Pencarian

Mutiara Dari Selatan 2

Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan Bagian 2


di tangan kanan.
Mereka membungkuk di depan laki-laki gemuk berperut buncit itu.
Rangga benar-benar tidak mengerti semua ini.
Ditatapnya Kencana dan Nyai Talut bergantian. Tapi yang dipandang hanya
menundukkan kepalanya saja, seakan-akan tidak berani menatap Pendekar Rajawali
Sakti itu. Pada saat Rangga masih diliputi berbagai perasaan dan pertanyaan di
hatinya, dari atas kuil meluncur sesosok tubuh berpakaian keemasan. Dan tubuh
itu mendarat ringan di undakan ketujuh dari kuil itu. Semua orang serentak
berlutut Orang berpakaian indah bagai terbuat dari benang emas itu mengangkat tangannya
sedikit Maka semua orang yang berlutut, segera duduk bersila. Rangga yang masih
berdiri bersama wanita bercaping itu, menatap sosok orang berwajah cantik bagai
dewi dari kahyangan itu. Di atas kepalanya yang berambut panjang hitam itu,
terpasang sebuah mahkota kecil bertahtakan manik-manik batu permata. Di
tangannya yang halus, masing-masing menggenggam sebatang tongkat pendek dan
sebuah kipas. Semuanya berwarna kuning keemasan, yang berkilat memancarkan cahaya terang.
Rangga sendiri dibuat terpesona, terutama memandang wajah orang itu yang
bercahaya nan cantik jelita bagai bidadari
*** 5 "Paman Pendeta Wuragil, bagaimana tugas yang kau emban?" tanya wanita berbaju
indah keemasan itu.
Suaranya begitu lembut, namun mencerminkan kewibawaan yang luar biasa.
"Ampun, Gusti Ratu Mutiara. Tugas hamba telah terlaksana dengan baik berkat
bantuan Sepasang Panah Perak. Namun hamba hanya memperoleh dua orang pendekar,"
sahut laki-laki gemuk berkepala botak yang dipanggil Pendeta Wuragil itu.
Saat itu Rangga melirik dua orang yang membawa busur dan anak panah. Otaknya
langsung bekerja, mencoba memahami semua yang ada di sini. Juga situasinya.
"Pendekar-pendekar yang perkasa, perkenalkan-lah namamu," pinta Ratu Mutiara
lembut dan ber-wibawa. Pandangannya langsung tertuju pada Rangga dan wanita
bercaping. "Tuan Pendekar, Gusti Ratu meminta Tuan menyebutkan nama masing-masing," tambah
Pendeta Wuragil seraya menunjuk Rangga dan wanita bercaping itu.
"Namaku Rangga," ucap Rangga lebih dahulu.
"Dan kau?" Ratu Mutiara menunjuk wanita bercaping di samping Rangga.
"Dewi Wila Marta," sahut wanita itu seraya membuka caping besarnya. Tampak
seraut wajah cantik dengan sepasang bola mata indah bersinar bagai bintang.
"Kuucapkan terima kaslh atas kesediaan kalian
berdua memenuhi undanganku," ucap Ratu Mutiara.
Pendekar Rajawali Sakti itu mulai bisa mengerti duduk persoalannya, meskipun
masih terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab di benaknya. Tapi, paling
tidak, sudah bisa diketahul jika semua daun lontar yang ditujukan padanya benar
benar berasal dari wanita berbaju indah keemasan yang dipanggil Ratu Mutiara.
Apakah pesan itu dikirimkan dua orang anak muda yang berjuluk Sepasang Panah
Perak" Kelihatannya, dugaan Rangga menjurus ke arah itu.
"Aku juga mohon maaf jika undangan ini membuat kalian susah," sambung Ratu
Mutiara. Ratu Mutiara menatap Pendeta Wuragil. Dan laki-laki gemuk botak itu menjura
memberi hormat.
"Paman, aku ingin berbicara langsung dengan kedua pendekar itu di dalam kuil,"
pinta Ratu Mutiara, tetap lembut nada suaranya. "Juga dengan kau dan kedua
muridmu." "Baik, Gusti Ratu," sahut pendeta Wuragil. Ratu Mutiara berbalik, dan langsung
melayang bagaikan terbang saja. Seketika itu juga tubuhnya lenyap begitu sampai
di puncak kuil. Rangga benar-benar mengagumi ilmu meringankan tubuhnya yang
begitu sempurna. Bisa melesat ringan bagaikan terbang!
Pendeta Wuragil mempersilakan Rangga dan Dewi Wila Marta mengikutinya. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja berdiri tak bergeming. Malah ditatapnya
Kencana dan Nyai Talut yang tetap duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Saat
itu Sepasang Panah Perak menghampirinya.
"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti," ucap salah seorang dari Sepasang Panah
Perak. "Hm.... Boleh aku bicara sebentar dengan kedua wanita itu?" pinta Rangga seraya
menunjuk Kencana
dan ibunya. "Nanti saja setelah kau bertemu Ratu Mutiara,"
kata Pendeta Wuragil.
Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah mengikuti Pendeta Wuragil Dewi
Wila Marta berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Di belakang,
Sepasang Panah Perak mengikuti. Mereka berjalan meniti undakan batu.
Pada lantai pertama kuil itu terdapat sebuah rongga bagai pintu tanpa penutup.
Pendeta Wuragil terus melangkah memasukinya diikuti yang lain.
Suasana di dalam begitu gelap, dan mereka terus melangkah. Semakin masuk ke
dalam, keadaan semakin terlihat terang. Rangga merasakan kalau jalan yang
dilalui seperti menurun.
Setelah melewati suatu tikungan, mereka tiba pada sebuah ruangan cukup besar
yang ditata indah.
Lantainya beralaskan permadani bulu tebal berwarna biru laut Pada bagian depan
mereka, tampak Ratu Mutiara duduk di atas singgasana indah bagai terbuat dari
emas yang berkilat tertimpa cahaya obor dan pelita yang menerangi ruangan ini.
Pendeta Wuragil dan Sepasang Panah Perak berlutut memberi hormat. Sedangkan
Rangga dan Dewi Wila Marta hanya membungkuk sedikit. Pendeta Wuragil dan kedua
muridnya bergeser, kemudian duduk bersila. Ratu Mutiara mempersilakan kedua
pendekar itu duduk di bangku yang sudah disediakan.
Rangga duduk di depan, sebelah kanan Ratu Mutiara.
Sedangkan Dewi Wila Marta di seberangnya.
Pendeta Wuragil memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri Ratu Mutiara, dan
berdiri di samping kanannya. Sedangkan Sepasang Panah Perak masih tetap duduk
bersila bersisian. Ratu
Mutiara mengangkat tangannya sedikit dengan telapak tangan di atas. Sepasang
Panah Perak memberi hormat, kemudian mereka duduk di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Sedangkan yang wanita di samping Dewi Wila Marta.
*** "Aku ingin mendengar perjalanan kalian berdua hingga sampai ke sini," pinta Ratu
Mutiara. "Tidak ada yang menarik. Perjalananku mulus tanpa hambatan sama sekali," jelas
Dewi Wila Marta mendahului.
"Terlalu banyak rintangan, dan aku masih kesal!"
dengus Rangga mengeluarkan isi hatinya.
"O..."!" Ratu Mutiara tampak terkejut.
"Bisa kau ceritakan, Pendekar Rajawali Sakti?"
pinta Pendeta Wuragil.
"Aku ingin bertanya lebih dahulu," selak Rangga.
"Silakan," Ratu Mutiara mempersilakan dengan lembutnya.
"Aku sampai ke sini karena mendapat tuntunan.
Oleh sebab itu aku ingin tahu, siapa yang mengirimkan semua ini?" Rangga
mengeluarkan semua lembaran daun lontar dari balik sabuknya.
"Aku," sahut pemuda yang berada di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menatap pemuda itu agak tajam.
"Maaf, kalau caraku tidak menyenangkan hatimu Tapi hanya itu yang bisa kulakukan
untuk menjaga kerahasiaan ini. Masalahnya tugas ini sudah bocor dan diketahui
Iblis Tongkat Perak," jelas pemuda itu.
"Huh! Lagi-lagi perempuan iblis itu!" rungut Pendeta Wuragil.
"Sebenarnya aku cemas ketika kau bertarung dengan Raden Segara dan enam orang
pengawalnya. Apalagi si Iblis Tongkat Perak terus membuntuti. Tapi aku lega karena kau mampu
mengatasi semua itu, bahkan berhasil membunuh si Iblis Tongkat Perak,"
sambung pemuda itu.
"Benar itu, Benawa?" sergah Pendeta Wuragil hampir tidak percaya.
"Benar, Pendeta. Aku melihat sendiri."
"Oh...!" Pendeta Wuragil mendesah panjang.
Sepertinya hendak dilonggarkan dadanya, saat mendengar berita kematian Iblis
Tongkat Perak. "Tampaknya kau gembira sekali mendengar berita itu, Paman Pendeta. Sebenarnya
slapakah Iblis Tongkat Perak itu?" setengah bergumam nada suara Rangga
"Salah seorang musuh kami. Dialah yang selalu menghalangi setiap maksud dan
rencana Gusti Ratu Mutiara untuk merebut kembali tahtanya yang di-duduki orang-
orang asing bertubuh setengah raksasa.
Bahkan seluruh rakyat jadi menderita karena kekejamannya," jelas Pendeta Wuragil
singkat "Orang-orang asing..."! Siapa mereka?" tanya Rangga.
"Raden Segara dan pengawal-pengawalnya," selak Ratu Mutiara cepat
"Mereka sekarang menduduki Kerajaan Karang Putih, dan telah membangun benteng-
benteng pertahanan di perbatasan sebelah Timur kerajaan. Hm....
Kau tentu telah melewati daerah itu," Pendeta Wuragil mencoba menjelaskan.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sekilas mulai bisa dipahami maksud semua ini. Tapi masih ada lagi pertanyaan di
hatinya. Dan tanpa ragu-
ragu lagi langsung dikemukakan ganjalan di hatinya itu.
"Satu lagi, Ratu Mutiara. Siapa sebenarnya Mutiara dari Selatan itu?"
Ratu Mutiara tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sedangkan Pendeta Wuragil
kelihatan kikuk dan serba salah. Terlebih lagi Benawa. Pemuda itu jadi merah
padam wajahnya, dan hanya tertunduk tidak mampu menatap semua yang ada di
ruangan ini. Rangga jadi heran tidak mengerti. Apakah per-tanyaannya itu salah"
"Gusti Ratu, apakah pertanyaan itu perlu dijawab?"
Pendeta Wuragil meminta pertimbangan dengan hormat.
"Jawab saja, Paman. Sekarang ini kita membutuh-kan bantuan mereka, dan tidak
sepantasnya menyembunyikan kerahasiaan," sahut Ratu Mutiara lembut.
"Baik, Gusti Ratu."
Rangga menatap Pendeta Wuragil. Demikian juga Dewi Wila Marta yang sejak tadi
hanya diam saja mendengarkan. Masalahnya dia memang tidak mempunyai persoalan
atau hambatan apa pun seperti yang dialami Rangga. Lagi pula, kedatangannya
dijemput gadis murid Pendeta Wuragil yang duduk di sebelahnya kini. Dan gadis
itu telah menjelaskan semuanya sepanjang perjalanan. Jadi maksud undangan ini
memang sudah diketahuinya. Lain hal-nya Pendekar Rajawali Sakti yang harus
menerima undangan dengan cara membingungkan, ditambah berbagai macam hambatan.
Dewi Wila Marta pun sudah tahu tentang kedatangan Pendekar Rajawali Sakti itu,
karena sudah diberitahu oleh gadis itu juga.
Dengan senang hari, maka dipenuhilah undangan ini
Apalagi setelah sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti.
Biasanya, jarang seorang pendekar dapat memperoleh kesempatan bertemu pendekar
ternama dan digdaya seperti Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Sebenarnya Mutiara dari Selatan itu adalah Gusti Ratu sendiri...," ucap Pendeta
Wuragil, agak tersipu jawabannya.
"Sudah kuduga," desis Rangga dalam hati. "Dulu, sebelum menjadi ratu
menggantikan Ayahanda Prabu, aku sering bepergian mencari "ilmu. Dan aku selalu
menamakan diri Mutiara dari Selatan," Ratu Mutiara menambahkan. "Sebenarnya
namaku bukan Mutiara. Tapi karena lebih dikenal dengan sebutan Mutiara dari
Selatan, maka sampai sekarang aku selalu dipanggil Mutiara. Dan aku sama sekali
tidak keberatan."
"Terima kasih, kini aku pa ham. Dan sekarang aku ingin tahu, untuk apa aku
diundang ke sini?" ucap Rangga.
"Pendeta Wuragil yang akan menjelaskan nanti,"
tegas Ratu Mutiara.
*** Rangga memandangi pondok kecil yang berjajar rapi di belakang kuil. Pondok-
pondok itu terbuat dari belahan kayu dan beratapkan daun rumbia. Sangat
sederhana, tapi terlihat apik karena teratur letaknya.
Rangga mengayunkan kakinya menuju salah satu pondok. Di sana duduk seorang gadis
yang tengah sibuk menyulam.
"Kencana...," panggil Rangga setelah dekat
"Oh...!" gadis itu tampak terkejut, dan langsung
mengangkat kepalanya.
Rangga lebih mendekat, dan duduk di samping Kencana tanpa diminta lagi. Gadis
itu menggeser duduknya agar merenggang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan,
seakan-akan takut ada yang melihat.
"Kapan kau sampai ke sini?" tanya Rangga.
"Hari itu juga," sahut Kencana. "Lorong itu langsung tembus ke sini"
"O...," Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kembali Rangga memandang sekitarnya. Satu pondok dihuni satu keluarga. Semuanya
berisi orang tua dan anak-anak Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh memandang
Kencana. Sedangkan yang dipandang hanya menunduk saja.
"Ke mana Ibumu?" tanya Rangga teringat akan Nyai Talut
"Ada," sahut Kencana tanpa mengangkat kepalanya.
"Kencana, ada yang ingin kutanyakan padamu. Aku berharap kau bersedia
membantuku," kata Rangga mulai serius.
Kencana mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali
Sakti itu. "Kencana, apakah wanita yang ada di puri itu seorang ratu?" tanya Rangga bernada
menyangsikan. "Benar," sahut Kencana.
"Kalau seorang ratu, tentu memiliki prajurit.
Sedangkan tidak ada seorang prajurit pun di sini.
Katakan padaku sejujurnya, Kencana. Kau dan ibumu terkejut ketika kusebut nama
Mutiara dari Selatan.
Sedangkan waktu itu ibumu berharap orang yang bernama Mutiara dari Selatan
muncul. Terus terang, Kencana. Aku jadi tidak mengerti semua ini." kata
Rangga. "Apa yang harus kulakukan?" Kencana malah bertanya.
"Kau jawab saja semua pertanyaanku, Kencana,"
pinta Rangga. "Dia tidak tahu apa-apa," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
Rangga langsung menoleh. Tampak Nyai Talut sudah berdiri di belakang Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Wanita setengah baya itu melangkah menghampiri anaknya, lalu duduk di
sampingnya. "Sebenarnya aku dan Kencana tidak punya hak untuk memberi keterangan apa-apa
padamu, Raden. Tapi Pendeta Wuragil telah mengijinkan untuk memberikan semua yang kau perlukan.
Dia tahu kalau aku dan Kencana bisa berada di sini berkat pertolonganmu. Semua
itu sudah diketahuinya dari Benawa," kata Nyai Talut
Rangga menatap dalam-dalam wanita setengah baya itu.
'"Aku sendiri tidak tahu kalau lorong rahasia itu akan sampai ke tempat ini.
Meskipun tahu ada lorong rahasia di rumahku, tapi belum pernah kulalui. Baru
kali itulah kuberanikan diri untuk melewatinya," lanjut Nyai Talut.
"Kenapa?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Suamiku yang melarang," sahut Nyai Talut.
"Suamiku seorang panglima di Kerajaan Karang Putih. Ternyata dia juga ada di
sini, dan sekarang sedang menghimpun kekuatan. Rasanya tidak perlu kuberitahu di
mana suamiku dan para prajurit lainnya kini berada. Yang pasti, suatu saat
mereka akan mengusir orang-orang itu dari Karang Putih."
"Hm.... Masih punya-prajurit, kenapa masih juga
mencari pendekar...?" Rangga bergumam seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Raden sudah menghadapinya sendiri. Mereka tidak mudah dikalahkan. Tubuh mereka
kebal, dan berilmu sangat tinggi. Pernah dua kali Gusti Ratu mencoba, tapi malah
kehilangan banyak prajurit.
Gusti Ratu berpendapat, hanya orang rimba persilatan sajalah yang dapat
menandingi mereka," jelas Nyai Talut.
"Bukankah hal itu juga pernah dicoba?" Rangga teringat kata-kata Pendeta Wuragil
"Aku tidak tahu," sahut Nyai Talut.
Saat itu Sepasang Panah Perak datang menghampiri. Mereka membungkuk sedikit
memberi hormat Rangga bangkit berdiri, diikuti Nyai Talut dan Kencana. Pendekar
Rajawali Sakti itu menatap dua anak muda murid Pendeta Wuragil itu.
"Pendeta Wuragil hendak bertemu Tuan Pendekar," kata Danawa hormat.
"Hm..., baiklah."
Rangga memandang sejenak pada Nyai Talut dan Kencana, kemudian melangkah pergi


Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti Sepasang Panah Perak itu. Nyai Talut memandangi sampai punggung ketiga
anak muda Itu lenyap dari pandangannya. Setelah mendesah panjang, kakinya
melangkah masuk ke dalam pondok. Kencana kembali duduk di balai-balai bambu, dan
kembali sibuk menyulam. Tapi hanya sebentar, kemudian diangkat kepalanya.
Pandangannya kosong menatap ke depan. Sepertinya ada yang mengganjal di relung
hati gadis ini.
"Kencana, kemari sebentar...!" terdengar panggilan dari dalam.
"Oh! lya, Bu...! Sebentar!"
Kencana bergegas membereskan peralatan
sulamannya, kemudian melangkah masuk ke dalam pondok. Gadis itu menutup
pintunya, dan tidak muncul-muncul lagi. Terdengar suara percakapan perlahan dari
dalam pondok itu. Suara percakapan yang tidak terdengar, karena suara itu
setengah berbisik.
Tapi tidak lama kemudian, terdengar suara isak tangis tertahan. Dan suara
percakapan itu pun tidak terdengar lagi, hilang tertelan oleh isak yang ter-
sandat. Sesaat kemudian Nyai Talut muncul, dan melangkah tergesa-gesa
meninggalkan pondok itu.
"Bu...!"
Kencana keluar dan berdiri bersandar pada ambang pintu. Nyai Talut berhenti
melangkah dan berbalik. Tampak wajah Kencana telah dipenuhi air mata.
"Jangan ke mana-mana sebelum aku kembali,"
kata Nyai Talut seraya berbalik dan bergegas melangkah pergi.
"Ibu...," Kencana merintih lirih.
Gadis itu berbalik dan menutup pintu pondoknya.
Tidak ada yang dapat didengar lagi, kecuali isak tangis tersendat yang terdengar
pelan. *** 6 Kegelapan menyelimuti sekitar daerah Selatan di hutan hutan dekat Gunung
Sintruk. Kegelapan yang tak pernah berlalu sejak kedatangan manusia-manusia
bertubuh tinggi besar setengah raksasa.
Mereka begitu kebal dan sukar untuk ditandingi.
Sementara, dari kegelapan terlihat dua bayangan berkelebat cepat menyeberangi
hutan yang kini oleh pohon-pohon yang tinggi besar menjulang.
Dua bayangan itu baru berhenti bergerak setelah tiba di pinggir sebuah
perkampungan yang cukup aneh. Bentuk bangunannya bagai benteng, berdinding batu
yang tinggi dan tebal dua sosok tubuh itu jelas tengah mengamati sekitar
perkampungan bagai benteng itu. Mereka tidak lain dari Rangga dan Dewi Wila
Marta, dua pendekar yang diundang Ratu Mutiara atau lebih dikenal benuluk
Mutiara dari Selatan.
"Apa mungkin mereka ada di sini?" tanya Dewi Wila Marta setengah tidak percaya,
melihat suasana yang sepi senyap bagai tidak berpenghuni.
"Aku pernah bertemu salah seorang di sini," tegas Rangga agak berbisik.
"Bertarung?"
"Hampir."
Rangga menoleh menatap gadis di sampingnya.
Capingnya terbuka menyampir di punggung. Wajahnya cukup cantik, tapi terlihat
agak pucat Titik-titik keringat berkilat di dahinya. Agak heran juga Pendekar
Rajawali Sakti itu melihatnya.
"Kau takut?" tanya Rangga tiba-tiba.
"Takut..."!" Dewi Wila Marta terkejut. Langsung ditatapnya Pendekar Rajawali
Sakti itu. "Kenapa harus takut" Aku sering menghadapi bahaya!"
Agak berkerenyit juga kening Rangga mendengar nada suara yang sedikit bergetar
itu. Sedangkan Dewi Wila Marta kembali berpaling menatap ke depan.
Rangga bisa menebak kalau gadis itu gelisah, namun tidak tahu apa yang
digelisahkannya.
"Kau tinggal dulu di sini, akan kuselidiki dulu keadaan di sana," kata Rangga.
"Heh...! Ini tugas kita berdua. Aku tidak ingin jadi penonton!" sentak Dewi Wila
Marta. "Bukan untuk menonton. Kalau aku tertangkap, kau bisa cepat memberitahu Ratu
Mutiara," kata Rangga beralasan. Padahal dia tidak ingin menyer-takan gadis yang
kelihatan gelisah itu. Entah apa sebabnya"
"Segala resiko kita tanggung bersama. Kita sama-sama diundang dan diminta
menghancurkan mereka.
Kau tidak bisa bergerak sendirian, Rangga. Ingat, posisi kita sama di sini!"
tegas Dewi Wila Marta menolak usulan Rangga
"Aku sudah pernah bertemu mereka. Bahkan sempat bertarung di Desa Sintruk. Yang
kita hadapi sekarang tidak bisa dianggap sembarangan, Wila."
"Jangan merendahkanku, Rangga. Kau sendiri belum tentu bisa mengalahkanku!"
dengus Dewi Wila Marta ketus.
"Bukannya aku merendahkanmu, Wila. Kau sendiri sedang tidak tenang...," Rangga
terpaksa berterus terang.
Dewi Wila Marta nampak terkejut. Tajam sekali tatapannya tertuju pada Pendekar
Rajawali Sakti.
Tebakan Rangga memang tepat. Saat ini hatinya sedang gelisah. Dan kegelisahannya
itu hanya diketahuinya sendiri. Dewi Wila Marta berpaling lagi menatap ke depan.
Sekuat tenaga berusaha ditekan kegelisahannya. Sebelumnya juga sudah dicoba
untuk menutupinya, tapi Rangga ternyata sangat jeli.
Ternyata Pendekar Rajawali Sakti mampu menilai seseorang dari raut wajahnya.
Diam-diam, Dewi Wila Marta kagum juga terhadap pandangan tajam pemuda itu.
"Tunggu saja di sini, sebentar aku kembali," kata Rangga.
Dewi Wila Marta diam saja. Dan Rangga sudah melesat cepat bagaikan kilat ke arah
perkampungan yang terdiri dari bangunan-bangunan besar terbuat dari batu yang
kokoh. Begitu cepatnya bergerak, sebentar saja tubuhnya sudah berada pada salah
satu sisi bangunan bertembok tinggi. Sebentar Pendekar Raja-wali Sakti itu
menatap ke arah Dewi Wila Marta yang tetap berada di sana. "Hup!"
Hanya sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di atas tembok.
Matanya langsung beredar ke sekeliling mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian
dia melompat lagi, dan berputar di udara tiga kali. Ringan dan tanpa suara
sedikit pun sepasang kakinya mendarat di atas sebuah bangunan besar berdinding
batu. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Rangga berjalan setengah merayap di
atas atap itu. Telinganya dipasang tajam-tajam dengan mempergunakan iimu 'Pembeda Gerak dan
Suara'. Sungguh aneh! Sama sekali tidak terdengar suara apa pun, kecuali desiran
angin saja yang mengganggu gendang telinganya. Pendekar Rajawali Sakti itu
berhenti melangkah setelah sampai di bagian tepi atap bangunan itu.
"Sepi... Apakah bangunan ini kosong?" gumam Rangga dalam hati.
Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun. Gerakannya cepat, tapi
tak bersuara sedikit pun. Seperti kapas tertiup angin, kakinya mendarat lunak di
tanah, tepat di bawah sebuah jendela ber-ukuran besar yang terbuka lebar. Rangga
men-julurkan kepalanya, meneliti bagian dalam melalui jendela itu.
"Kosong...," desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu melompat masuk, dan langsung meneliti ruangan yang
besar dan nampak kosong ini. Ada beberapa kamar, dan semuanya kosong tak
berpenghuni. Hanya sebentar saja Rangga berada di dalam bangunan besar itu,
kemudian keluar lagi. Tubuhnya langsung melesat ke atas atap bangunan satunya.
Delapan bangunan dari sepuluh yang ada sudah diperiksa Rangga. Tapi tidak satu
pun yang berpenghuni. Semuanya kosong, dan tidak ada satu pun perabotan. Rangga
berpikir juga melihat keadaan ini.
Rangga berdiri tegak di atas atap bangunan terakhir yang diperiksanya. Benar
benar sukar dimengerti kalau bangunan terakhir juga tidak berpenghuni. Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke arah Dewi Wila Marta yang telah
ditinggalkannya. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki,
sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di samping gadis itu
"Bagaimana?" tanya Dewi Wila Marta ketika Rangga baru saja menjejakkan kakinya.
Rangga mengangkat bahunya disertai dengusan
napas panjang. Dewi Wila Marta menatapnya dalam-dalam. Hatinya merasa heran juga
melihat raut wajah Pendekar Rajawali Sakti yang jadi kusut. Sulit dimengerti.
Sedangkan Rangga berbalik dan menatap lurus ke arah perkampungan aneh itu. Dia
sendiri masih belum bisa memahami keadaan bangunan-bangunan besar menyerupai
benteng itu. "Apa yang kau peroleh di sana, Rangga?" tanya Dewi Wila Marta penasaran melihat
sikap Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Tidak ada!" sahut Rangga seraya mendengus.
"Tidak ada..."!" Dewi Wila Marta benar-benar tidak mengerti. Ditatapnya Rangga
semakin dalam. "Semua kosong, tidak ada apa-apa di sana!"
"Lalu..."
*** Entah apa yang ada di dalam diri Pendekar
Rajawali Sakti sekarang ini. Mungkin rasa kesal, geram, bingung, atau apa lagi.
Yang jelas, saat ini Rangga tidak bisa memahami semua yang dialaminya sekarang.
Semua yang terjadi sunggguh membingungkan, dan sulit diterima akal sehatnya.
Sering dia mengalami kejadian-kejadian aneh, tapi peristiwa kali ini sungguh
membuat kepalanya terasa akan pecah.
Sambil bersungut-sungut tidak karuan, Rangga melangkah menuju ke perkampungan
aneh itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak tersentak. Bergegas
dia berbalik dan berjalan cepat Sementara Dewi Wila Marta jadi tidak mengerti
melihat sikap Rangga, lalu bergegas mengikuti.
Disejajarkan langkahnya di samping Pendekar
Rajawali Sakti itu.
"Ada apa, Rangga?" tanya Dewi Wila Marta.
"Aku merasa ini semua cuma tipuan belaka!" sahut Rangga mendengus.
"Tipuan..." Aku tidak mengerti maksudmu."
Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap gadis di sampingnya.
Ditatapnya dalam-dalam bola mata gadis itu Dewi Wila Marta jadi kikuk juga
ditatap sedemikian rupa. Dipalingkan wajahnya sedikit, tidak tahan membalas
pandangan mata pemuda itu.
"Wila, kau belum menceritakan bagaimana per jalananmu sampai ke sini," kata
Rangga serius. "Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga. Untuk apa kuceritakan hal itu padamu" Lagi
pula aku tidak mengalami kesulitan apa pun. Semuanya berjalan lancar tanpa
gangguan sedikit pun," sahut Dewi Wila Marta keheranan.
"Kau datang dari mana?" tanya Rangga.
"Daerah Utara," sahut Dewi Wila Marta.
"Tepatnya?" desak Rangga. Masalahnya seluruh daerah Utara sudah dijelajahinya.
Jadi kenal betul seluk beluk di sana.
"Gunung Waja," sahui Dewi Wila Marta.
"Aku tahu, di mana itu Gunung Waja...," gumam Rangga. "Hm..., apakah kau dari
Padepokan Arang Watu?"
"Benar, dari mana kau tahu?"
"Kalau benar kau berasal dari sana, tentunya kau murid Resi Kamuka. Hm..., rasa
nya tidak mungkin Resi Kamuka mengutusmu ke sini. Sedangkan beliau memiliki
murid-murid utama yang tangguh dan ber-kepandaian cukup tinggi. Wila, kau tidak
berbohong padaku?" Rangga jadi curiga.
"Untuk apa berdusta" Aku memang murid Resi Kamuka dari Padepokan Arang Watu, dan
ke sini tanpa sepengetahuan Resi Kamuka. Aku bertemu Witarsih di kedai
perbatasan Kerajaan Jlwanala, lalu tertarik ketika dia menceritakan semuanya dan
bermaksud mencari para pendekar," tutur Dewi Wila Marta terus terang.
Rangga menarik napat panjang, dan menghembus-kannya kuat-kuat Sedangkan Dewi
Wila Marta memandangnya tidak mengerti
"Ada apa sebenarnya, Rangga?" tlanya Dewi Wila Marta ingin tahu.
"Entahlah, aku sendiri belum bisa memastikan.
Yang jelas kau terlalu berani datang ke sini tanpa memberitahu lebih dahulu
gurumu. Kau dalam bahaya besar, Wila," desah Rangga.
"Bahaya .."!" Dewi Wila Marta mendelik.
Belum sempat Rangga menjelaskan, tiba-tiba terdengar suara tawa keras terbahak-
bahak. Suara tawa itu terdengar menggelegar, sehingga merontokkan daun-daun
pohon dan menggetarkan batu-batuan.
Rangga langsung menarik tangan Dewi Wila Marta, dan menempatkan di belakangnya.
Tampak wajah Dewi Wila Marta sedikit pucat mendengar suara tawa menggelegar itu.
Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul sepuluh orang laki-laki
bertubuh tinggi besar bagai raksasa. Mereka semua membawa gada besar yang bagian
kepalanya bulat berduri kasar dan tajam.
Mereka berlompatan membuat lingkaran mengepung dua pendekar itu.
"Ihhh...!" Dewi Wila Marta agak bergidik melihat manusia-manusia setengah
raksasa itu. Saat Rangga menolehkan kepalanya ke kiri,
melesat sesosok tubuh setengah raksasa. Ternyata, Raden Segara. Bumi terasa
bergetar begitu kaki Raden Segara menjejak tanah. Dewi Wila Marta sampai
terbeliak melihat perawakan tinggi besar itu.
Belum pernah dilihat sebelumnya manusia begini besar, yang besarnya hampir dua
kali lipat dari orang biasa!
"Siapa mereka, Rangga...?" tanya Dewi Wila Marta setengah berbisik. Suaranya
terdengar sedikit bergetar.
"Aku tidak tahu siapa mereka. Yang jelas, mereka-lah lawan kita," sahut Rangga
"Mereka..."!" Dewi Wila Marta tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.
"Kenapa" Takut?""
"Tidak!" sahut Dewi Wila Marta. Tapi suaranya masih juga terdengar bergetar.
Rangga bisa memaklumi. Kalau Dewi Wila Marta memang benar murid Resi Kamuka,
pasti belum ber-pengalaman menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan. Yang jelas,
Resi Kamuka tidak akan sembrono mengirimkan seorang gadis yang tingkat
kepandaian-nya belum cukup. Apalagi untuk berpetualang ke daerah yang begitu
jauh. "Tidak perlu repot mencarimu, Rangga. Aku kagum dengan keberanianmu, tapi sayang
kau harus mai di sini," kata Raden Segara.
"Justru aku datang untuk membunuh kalian semua!" dingin nada suara Rangga.
"Ha ha ha... " Raden Segara tertawa terbahak-bahak.
"Ih... ! Manusia atau jin, ini..."!" desis Dewi Wila Marta pelan di belakang
punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Rupanya kau sudah sampai ke kuil itu! Ha ha ha...! Sudah kuduga, kau datang ke
sini memang bukan sekadar lewat. Hebat! Benar-benar licik dia.
Tidak mampu menghadapiku sendiri, tapi malah meminta bantuan orang lain. Sayang
kau terlalu bodoh, Rangga," ujar Raden Segara lantang.
"Aku tidak peduli apa yang kau katakan, Raden Segara. Siapa saja yang meminta
pertolonganku, akan kutolong. Dan aku tidak segan-segan menantang kekejaman!"
mantap kata-kata Rangga.
"Kekejaman..., heh!" dingus Raden Segara sinis.
"Perbuatanmu tidak bisa lagi didiamkan, Raden Segara."
"Perbuatanku" Apa yang telah kulakukan" Heh...!
Rupanya orang-orang busuk itu sudah mempengaruhi otakmu, dan kau terlalu bodoh
untuk menilai!"
Rangga menatap tajam laki-laki bertubuh setengah raksasa itu. Sedangkan Dewi
Wila Marta hanya diam saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
"Dengar, Rangga. Aku tidak peduli siapa dirimu, dan dari mana datangnya. Siapa
pun yang berani mengusikku, itu berarti harus berhadapan denganku.
Seperti juga orang-orang busuk di puri itu. Mereka harus menerima akibat
perbuatannya karena mencoba menentangku!" tegas kata-kata Raden Segara.
"Mereka pantas menentangmu karena tidak tahan terhadap kekejaman dan
kebrutalanmu!" sambut Rangga ketus.
"Itu peraturanku, Rangga. Tidak ada seorang pun yang boleh melanggar aturanku!"
dengus Raden Segara.
"Dengan menjadikan tawanan sebagai binatang buruan" Membantai orang-orang tua
dan anak-anak"
Menculik gadis-gadis, dan mempekerjakan pemuda-
pemuda secara paksa. Apa itu bukan kekejaman namanya" Dan kau harus tahu, Raden
Segara. Di mana aku berada, maka tidak akan berdiam diri melihat
keangkaramurkaan!"
"Dengan kata lain kau menantangku, Rangga."
"Terserah apa pendapatmu. Yang jelas, kuminta kau membebaskan seluruh tawananmu,
dan kembali ke asalmu!"
"Kadal busuk! Menyesal kau kubiarkan hidup!"
Raden Segara menggerakkan tangannya sedikit, maka empat orang yang memegang gada
besar langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Serangan itu demikian
cepat, dan Rangga tidak punya pilihan lain. Langsung saja dikerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib'. Di samping harus menghindari serangan-serangan itu,
dia juga harus melindungi Dewi Wila Marta.
"Hiya! Hiya...!"


Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berteriak keras, Rangga memutar tubuhnya lalu melesat ke atas. Dua
pukulan bertenaga dalam sempurna dilepaskan langsung mengarah ke bagian di
antara dua mata penyerangnya. Dua pukulan itu demikian cepat, sehingga dua orang
penyerangnya tidak bisa menghindari diri lagi.
Kedua orang tinggi besar bagai raksasa itu meraung keras sambil menutup
wajahnya. Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Mereka ambruk berdebum ke tanah
dengan kerasnya, dan menggeliat-geliat sambil meraung keras. Dua orang lagi jadi
terpana, dan segera menghentikan serangannya memandang dua temannya yang
menggelepar-gelepar meraung kesakitan.
"Keparat!" geram Raden Segara marah.
"Hm...," Rangga tersenyum sinis.
*** Keanehan terjadi tiba-tiba. Dua orang yang menggelepar dan meraung di tanah,
mendadak diam kaku.
Kemudian dari seluruh tubuhnya mengepul asap tipis yang semakin lama semakin
menebal. Asap itu kini menyelubungi seluruh Jubuh kedua manusia setengah raksasa
itu. Tidak berapa lama, asap itu menghilang. Dan kedua tubuh yang menggeletak di
tanah, kini berubah menjadi kecil seukuran tubuh manusia biasa. Dua sosok tubuh
kurus kering itu berlubang pada bagian di antara kedua matanya.
Tampak sebutir batu merah terdapat dalam lubang di kening mereka.
Rangga menggeser kakinya ke belakang dua tindak. Hampir tidak dipercaya dengan
apa yang dilihatnya. Ternyata di kening manusia-manusia setengah raksasa itu
tertanam sebutir batu mutiara merah. Dan rupanya, di situlah letak kelemahannya.
Rangga sendiri belum mengerti tentang semua ini, tapi sudah bisa mengetahui
letak kelemahan manusia-manusia raksasa ini.
"Wila, kau harus bisa melawan mereka. Pusatkan perhatian seranganmu pada kening.
Di situ letak kelemahannya," jelas Rangga setengah berbisik.
"Baik, Rangga," sahut Dewi Wila Marta.
Sementara itu Raden Segara sudah memberi isyarat dengan tangannya. Maka delapan
manusia setengah raksasa lainnya, serentak bergerak menyerang sambil mengayunkan
gadanya yang besar dan berduri kasar. Kali ini Dewi Wila Marta tidak luput dari
serangan mereka. Gadis itu mencabut pedangnya, kemudian beriompatan menghindari
setiap serangan yang datang.
"Huh! Kenapa susah-susah rrengarahkan ke kening" Gerakan mereka tidak terlalu
cepat, dan aku bisa menusukkan pedang ke mana saja!" dengus Dewi Wila Marta
dalam hati. Seketika itu juga Dewi Wila Marta membabatkan pedangnya ke arah leher salah
seorang penyerangnya yang terdekat. Tapi begitu pedangnya menghantam leher
lawan, gadis itu terpekik kaget. Pedangnya terpental kembali dengan kuat. Bahkan
dirasakan tangannya bergetar hebat. Sedangkan lawannya tidak terluka sedikit
pun! Rangga yang sempat melihat kejadian itu, langsung melompat mendekati Dewi Wila
Marta. Padahal dia sendiri tengah sibuk menghadapi enam orang manusia setengah raksasa.
"Sudah kukatakan, jangan coba-coba!" bentak Rangga, kesal juga akan kebandelan
gadis itu. "Aku hanya ingin tahu!" rungut Dewi Wila Marta.
"Kau tidak punya pedang lagi! Sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini!" perintah
Rangga. "Tidak!"
Rangga geram juga akan gadis keras kepala ini.
Dan pada saat itu salah seorang dari manusia setengah raksasa itu menyerang ke
arah Dewi Wila Marta. Namun belum sempat orang itu mendekat, Rangga sudah lebih
dahulu melompat sambil mengirimkan satu tendangan ke arah kening.
Tendangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak bisa
lagi dihindari. Padahal orang itu sudah mencoba mengelak. Dia meraung keras
sambil menutupi wajahnya.
"Hup!"
Rangga langsung menyambar pedang Dewi Wila Marta yang menggeletak di tanah.
Secepat kilat, tubuhnya melesat seraya menyambar gadis itu. Begitu cepatnya
gerakan Rangga, tahu-tahu lenyap bagai tertelan bumi.
Raden Segara jadi berang setengah mati. Diperintahkanlah pembantu-pem-bantunya
untuk mengejar. Sementara dia sendiri kembali ke perkampungan. Tidak
dihiraukannya lagi seorang pembantunya yang mulai berubah wujud menjadi sosok
tubuh kurus kering dengan kening bolong dan sebutir mutiara merah di keningnya.
*** 7 Dewi Wila Marta bersungut-sungut seraya bangkit berdiri. Dibersihkan debu yang
melekat di bajunya.
Sedangkan Rangga berdiri tegak tidak jauh darinya.
Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu demikian tajam menusuk. Dewi Wila
Marta memungut pedangnya yang menggeletak di tanah, dan dlsarungkan kembali di
pinggang. "Sebaiknya kau kembali saja ke Gunung Waja!"
ujar Rangga dingin.
"Kalau aku tidak mau?" dengus Dewi Wila Marta ketus.
"Aku yang akan membawamu ke sana. Aku yakin, Resi Kamuka tidak menyukai
tindakanmu. Kau telah melangkahi wewenang gurumu sendiri."
"Aku bosan di padepokan terus!" rungut Dewi Wila Marta.
"Kau belum siap terjun ke dalam rimba persilatan, Wila. Masih banyak yang belum
kau ketahui. Bekalmu belum lagi cukup. Mengertilah itu, Wila. Dunia persilatan,
dunia yang keras. Tidak ada hukum yang bisa mengaturnya. Masing-masing pribadi
punya hukum sendiri-sendiri," Rangga mencoba memberi pengertian pada gadis itu.
Apa yang dilakukan Dewi Wila Marta tadi sudah menandakan kalau gadis itu masih
terlalu hijau untuk terjun ke dalam kancah persilatan. Terlalu berbahaya bagi
keselamatan dirinya sendiri. Dan Rangga tidak ingin gadis itu mati sia-sia hanya
karena menuruti kata hati belaka.
"Jurus-jurusmu memang dari Padepokan Arang Watu. Tapi kau belum begitu sempurna
memilikinya. Harus lebih banyak lagi belajar, Wila. Kau tidak bisa merambah ganasnya rimba
persilatan hanya dengan kepandaian yang setengah. Pulanglah, sebelum semuanya
terlambat," ujar Rangga lebih lembut.
"Aku tadi hanya mencoba, kenapa kau menilaiku begitu" Kau pikir aku bocah
ingusan yang tidak tahu apa-apa" Kau boleh mengujiku, Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun kau seorang pendekar digdaya, tapi belum tentu mampu menjatuhkanku
dalam lima jurus!" tantang Dewi Wila Marta ketus.
"Untuk apa" Aku sudah bisa mengukur, sampai di mana lingkat kepandaianmu!" selak
Rangga jadi sengit.
"Sombong! Kau terlalu angkuh, Rangga. Ayo, kita bertarung. Jika mampu merobohkan
dalam lima jurus, aku akan menuruti kata-katamu. Tapi kalau tidak..., jangan
harap bisa mengaturku!" tantang Dewi Wila Marta sambil mencabut pedangnya.
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu.
Rangga sudah sering malang-melintang dalam rimba persilatan. Sudah tidak
terhitung lagi, berapa tokoh golongan hitam yang dihadapinya, dan berapa
pendekar yang dikenal-nya. Seorang tokoh rimba persilatan tidak akan cepat-cepat
mencabut senjata kalau tidak terdesak. Sikap Dewi Wila Marta yang langsung
mencabut senjata, sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu hijau.
"Aku yakin, baru pertama kali ini kau keluar dari padepokan," tebak Rangga.
"Jangan banyak omong! Ayo lawan aku!" rungut Dewi Wila Marta senglt
"Tidak ada gunanya menurutimu, Gadis Manis.
Dari sikapmu saja sudah menunjukkan kalau kau belum pernah berkecimpung di dunla
luar. Apa kau sudah lupa ajaran dari padepokanmu" Seorang pendekar pantang
mencabut senjata kalau tidak terpaksa. Dan senjatamu itu sudah menunjukkan kalau
kau masih harus lebih banyak belajar lagi."
Sekerika wajah Dewi Wila Marta menyemburat merah dadu. Kata-kata Rangga yang
tenang dan lembut sungguh tepat mengenai sasaran. Mendadak, seluruh tubuh Dewi
Wila Marta jadi lemas. Pedang yang tergenggam erat, jatuh ke sampingnya.
Kemudian tubuhnya sendiri jatuh berlutut Rangga menghampiri dan memungut pedang
gadis itu. Disentuhnya pundak gadis itu, dan memintanya untuk bangkit berdiri.
Perlahan-lahan gadis itu bangkit.
Namun kepalanya terus tertunduk dalam, seolah-oiah malu untuk menatap wajah
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Sarungkan kembali pedangmu," ujar Rangga lembut.
Perlahan-lahan Dewi Wila Marta mengangkat kepalanya. Diterimanya pedang itu dari
tangan Rangga, dan disarungkannya kembali.
"Bisa kurasakan adanya kesungguhan di hatimu untuk menjadi seorang pendekar.
Tapi kesungguhan hati tidak cukup untuk berkecimpung di dalam rimba persilatan,"
kata Rangga lembut. "Masih banyak yang harus dipelajari dan dipahami di
padepokan. Bukan hanya penguasaan jurus-jurus, tapi juga pengetahuan lain agar
tidak terperosok dan akan membuat dirimu dirundung penyesalan seumur hidup."
"Maafkan aku...," ucap Dewi Wila Marta menyesal.
''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Anggap saja ini sebagai pelajaran berharga
untuk di kemudian hari jika kau sudah benar-benar siap menjadi seorang
pendekar," ujar Rangga tetap lembut
"Aku memang belum siap, tapi aku ingin menimba pengalaman di luar. Resi Kamuka
tidak pernah mengijinkan setiap muridnya keluar sebelum menyelesai-kan
pelajarannya di padepokan. Sedangkan aku sudah tidak tahan lagi. Sejak kecil aku
berada di Padepokan Arang Watu, dan tidak ingin sampai tua di sana," keluh Dewi
Wila Marta. "Aku bisa memahami perasaanmu, Wila."
"Sudah lebih dari sepekan kutinggalkan padepokan tanpa ijin. Tidak mungkin aku
kembali lagi ke sana. Resi Kamuka pasti tidak bersedia menerimaku lagi. Dan
semuanya pasti sudah meng-anggapku murid murtad."
"Aku tahu siapa gurumu. Beliau orang yang bi-jaksana. Kalau kau mengakui semua
kesalahanmu, pasti masih diterima dengan tangan terbuka."
Dewi Wila Marta menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku takut, Rangga. Aku tidak sanggup lagi bertemu Resi Kamuka. Rasanya dla
sudah kubuat kecewa," lirih suara Dewi Wila Marta
"Tidak perlu takut. Aku akan menjelaskannya nanti pada Resi Kamuka," janji
Rangga. "Oh, sungguh...?"
Rangga mengangguk.
"Terima kasih...."
"Rangga."
"Boleh aku memanggilmu Kakang?"
"Kenapa tidak?"
'Terima kasih," ucap Dewi Wila Marta mulai cerah
kembali wajahnya. "Tapi...," mendadak wajahnya kembali mendung.
"Apa lagi?" tanya Rangga.
"Apa mungkin Resi Kamuka masih menerimaku lagi?" tanya Dewi Wila Marta pelan.
"Kenapa tidak" Kau punya bakat besar. Aku yakin, dalam waktu dua atau tiga tahun
saja kau sudah mampu malang melintang dalam dunia persilatan,"
Rangga meyakinkan.
"Resi Kamuka pasti menghukumku, Kakang."
"Segala perbuatan mengandung resiko. Kau berani melakukan perbuatan ini, tentu
berani juga me-nanggung resikonya. Aku rasa hukuman yang akan kau dapat tidak
berarti banyak bila kau sudah terjun ke dunia luar. Resiko seorang pendekar
lebih berat lagi daripada hukuman yang pasti hanya bersifat mendidik. Bukan
karena kebencian semata."
"Aku gembira bisa bertemu denganmu, Kakang.
Resi Kamuka sering menceritakan tentang dirimu, dan aku ingin sekali bertemu
denganmu," ungkap Dewi Wila Marta terus terang.
"Aku tidak percaya hanya karena hal itu kau berani mengambil resiko besar
seperti ini," Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang sudah bisa ditebak
sebabnya Dewi Wila Marta berada di sini sekarang.
"Iya," sahut Dewi Wila Marta tersipu.
*** Rangga menepuk pundak Dewi Wiia Marta, dan
mengajaknya berjalan. Tapi belum juga jauh melangkah, tiba-tiba muncul Raden
Segara bersama lebih dari dua puluh orang pengawalnya. Mereka membuat
suara-suara gaduh sambil mengayun-ayunkan gada yang besar dan berduri tajam.
Dewi Wila Marta terkesiap juga melihat manusia setengah raksasa yang tahu-tahu
sudah mengepungnya.
Sedangkan Rangga jadi berpikir melihat jumlah manusia manusia setengah raksasa
Itu demikian banyak. Menghadapi lima atau enam orang saja sudah begitu sukar
baginya. Apalagi harus menghadapi sekian banyak! Namun yang menjadi bahan
pikiran Pendekar Rajawali Sakti adalah Dewi Wila Marta. Gadis ini pasti tidak
akan mampu menghadapi mereka. Seorang saja belum tentu bisa dihadapi Dewi Wila
Marta yang masih terlalu hijau dalam dunia kependekaran.
"Ha ha ha...! Kali ini kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah setan!" keras
sekali suara Raden Segara.
Para pengawalnya yang semuanya bertubuh
setengah raksasa, ikut tertawa terbahak-bahak. Dewi Wila Marta cepat menutup
telinganya, tidak tahan mende-ngar suara yang menggelegar itu.
"Bunuh dia! Biarkan yang perempuan hidup!"
perintah Raden Segara menggelegar.
Lebih dari dua puluh orang bertubuh tinggi besar itu menghambur dan berteriak-
teriak mengayun-ayunkan gadanya. Mereka langsung merangsek Pendekar Rajawali
Sakti, dan menggiringnya agar terpisah dari Dewi Wila Marta. Tentu saja hal ini
membuat Dewi Wila Marta jadi ketakutan juga.
Dengan sekuat tenaga dan semampunya gadis itu berusaha melawan mempergunakan
pedang dan jurus-jurus yang dipelajari di Padepokan Arang Watu.
Rangga sendiri agak kewalahan juga menghadapi keroyokan manusia setengah raksasa
itu. Mereka kini
sudah mengetahui kelemahan masing-masing, sehingga tidak mudah bagi Rangga untuk
mengarah-kan pukulannya ke kening. Setiap kali pukulannya mengarah ke sana,
selalu saja ada yang menjegal, atau menghantamkan gada besar dan berduri besar.
Mereka bahkan membiarkan saja bagian tubuh lainnya terbuka lebar. Mudah bagi
Rangga untuk menghantam dada, perut, atau bagian tubuh lainnya yang dapat
mematikan bagi orang lain. Tapi tidak ada gunanya bagi manusia setengah raksasa
ini. "Ha ha ha...!" Raden Segara yang menyaksikan pertarungan itu tertawa terbahak-
bahak. Sedangkan Rangga harus berpikir keras mencari jalan untuk mengalahkan manusia-
manusia setengah raksasa ini. Gerakan mereka terlihat lebih cepat, dan selalu
melindungi kening dengan gadanya. Sedangkan Rangga tahu, hanya di situlah letak
kelemahan mereka. Seluruh jurus maupun aji kesaktian yang dimiliki tidak berarti
apa-apa sama sekali! Rangga hanya mengandalkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Tapi, itu pun sudah terasa sulit, karena lawannya begitu banyak dan ruang gerak
juga semakin terbatas.
"Akh...!" tiba-tiba terdengar suara pekikan tertahan dari Dewi Wila Marta.
"Wila...!" sentak Rangga terkejut Tampak Dewi Wila Marta terhuyung-huyung sambil
mendekap dadanya. Tampak dari sudut bibimya keluar darah segar. Dan selagi gadis
itu terhuyung, sebuah hantaman keras mendarat di punggungnya.
Dewi Wila Marta kembali memekik keras, dan tubuhnya langsung terjerembab mencium
tanah. Rangga yang melihat keadaan gadis itu, langsung melompat Tapi sebuah gada
melayang deras menghadang lompatannya.
"Hup!"
Rangga melentingkan tubuhnya berputar menghindari terjangan gada besar berduri
itu. Dan tubuhnya langsung meluruk deras menjangkau Dewi Wila Marta yang tengah
berusaha bangkit berdiri. Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa meraih
tubuh Dewi Wila Marta, mendadak satu tendangan keras mendarat di punggungnya.
"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.
Pendekar Rajawali Sakti terdorong beberapa langkah ke depan. Dan selagi tubuhnya
belum seimbang, satu pukulan keras kembali mendarat di dadanya. Satu pekikan
keras terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti itu. Tubuhnya cepat mencelat
tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali.
Bukan Pendekar Rajawali Sakti kalau tidak mampu menghadapi keadaan sulit ini
dengan cepat. Mengetahui dirinya mendapat dua pukulan sekaligus, cepat-cepat
Rangga melentingkan tubuhnya dan hinggap di atas dahan. Sebentar digerakkan
tangannya, mengerahkan hawa murni untuk mengurangi rasa nyeri pada punggung dan
dadanya. "Phuih!" Rangga menyemburkan ludahnya.
Sret! Cahaya biru berkilau langsung menyemburat menerangi sekitarnya begitu pedang
pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya di punggung. Semua orang
bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu terpana melihat cahaya biru memancar
dari pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang yang tengah memegangi


Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Wila Marta, jadi terpaku. Dan kesempatan ini cepat dimanfaatkan gadis itu
untuk meloloskan diri.
Dengan cepat Dewi Wila Marta berlari begitu dapat terlepas dari cekalan dua
manusia setengah raksasa itu. Dia lari ke bawah pohon tempat Rangga berada.
Pendekar Rajawali Sakti itu segera meluruk turun, dan mendarat manis sekali di
depan Dewi Wila Marta.
Pedangnya melintang di depan dada.
"Bocah setan! Dari mana kau dapatkan pusaka itu?" bentak Raden Segara seraya
membeliak lebar.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.
Pertanyaan Raden Segara membuat kening
Pendekar Rajawali Sakti berkerut juga. Terlebih lagi melihat wajah manusia-
manusia setengah raksasa yang kehhatan pucat dengan mata membeliak lebar ketika
melihat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan mereka bergerak
mundur. "Kakang, mereka takut melihat pedangmu," kata Dewi Wila Marta setengah berbisik
Lagi-lagi Rangga hanya bergumam saja, kemudian kakinya bergerak maju perlahan-
lahan Manusia-manusia setengah raksasa itu semakin bergerak mundur.
Sret! Raden Segara mencabut pedangnya yang panjang dan cukup besar. Digenggamnya
pedang itu erat-erat dengan kedua tangannya. Perlahan kakinya menggeser ke kanan
beberapa tindak. Kedua matanya tajam menatap pedang berwama biru berkilau di
tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Serang...!" teriak Raden Segara keras.
Empat orang serentak melompat maju seraya mengayunkan gadanya kuat-kuat.
Sedangkan Rangga hanya menggeser sedikit ke kanan kakinya, lalu mengibaskan
pedangnya ke arah salah seorang
penyerangnya yang berada di sebelah kanan. Kibasan pedang bercahaya biru
berkilau itu demikian cepat, sehingga tidak dapat dielakkan lagi. Ujung pedang
itu langsung membabat dada manusia setengah raksasa itu.
"Aaargh...!"
Satu raungan keras terdengar. Seketika orang itu menggelepar dan dadanya yang
robek panjang langsung mengucurkan darah segar. Belum lagi lenyap suara raungan
itu, Rangga sudah melompat sambil mengebutkan pedangnya ke kiri. Kembali
terdengar raungan keras disusul ambruknya seorang penyerang lagi. Dua orang
lainnya langsung melompat mundur. Tampak dua orang yang menggelepar di tanah,
langsung berubah mengecil setelah asap menyelubungi tubuhnya. Kini yang ada
hanya dua orang laki-laki kurus kering seperti seonggok mayat yang sudah lama
terkubur di dalam tanah.
Rangga berdiri tegak dengan pedang pusakanya menyilang di depan dada. Sungguh
tidak dimengerti, kenapa pedang pusakanya mampu mengoyak tubuh mereka yang
kebal. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tersenyum gembira dalam hati. Kini,
tidak perlu lagi dipusatkan perhatiannya pada kening manusia-manusia setengah
raksasa itu. Dengan Pedang Rajawali Sakti, kekebalan tubuh mereka tidak ada
artinya. Rangga sempat melirik dua sosok tubuh yang menggeletak tidak jauh darinya.
Tampak pada bagian kening di antara kedua matanya, terdapat satu lubang yang
tidak berapa besar. Dan di dalam lubang itu ter-lihat sebutir mutiara merah. Bau
busuk yang datang dari dua sosok tubuh yang tergeletak mulai terasa menyengat
hidung. "Serang! Bunuh bocah setan itu...!" teriak Raden Segara kalap.
Raden Segara langsung melompat sambil mengibaskan pedangnya ke arah kepala
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi manis sekali Rangga mengelakkannya.
Bahkan pedangnya berkelebat cepat menusuk ke arah perut Raden Segara terkesiap
sesaat, dan cepat-cepat melompat mundur ke belakang. Pada saat itu pengawal-
pengawalnya sudah berhamburan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa di
antaranya mengeroyok Dewi Wila Marta.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring, Rangga berlompatan cepat seraya mengibaskan pedangnya
ke kanan dan ke kiri. Raungan keras terdengar saling sambut, disusul ambruknya
tubuh-tubuh besar bersimbah darah. Rangga bagaikan seekor singa gurun yang
terluka. Gerakannya demikian cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
Jeritan melengking terdengar saling sambut disertai raungan keras dari tubuh-
tubuh yang menggelepar bersimbah darah.
Asap mengepul di beberapa tempat. Sebentar saja, tidak kurang dari delapan mayat
bergelimpangan membusuk. Kening mereka berlubang, dan ada sebutir batu mutiara
merah di dalamnya.
Melihat delapan orang pengawalnya tewas, Raden Segara agak gentar juga
menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dialihkan perhatiannya pada Dewi
Wila Marta. Secepat kilat Raden Segara melompat dan langsung menyambar tubuh
gadis itu. Dewi Wila Marta terpekik kaget. Tapi tubuhnya sudah tidak berdaya lagi dalam
kempitan tangan yang besar.
"Wila...!" teriak Rangga terkejut.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat,
namun beberapa orang bertubuh tinggi besar sudah menghadangnya. Mereka langsung
memberikan serangan dahsyat. Sementara, Raden Segara sudah melesat kabur membawa
Dewi Wila Marta. Pengawal-pengawalnya yang tersisa juga segera berlarian cepat
ke segala arah.
"Iblis! Pengecut...!" rutuk Rangga geram.
*** 8 Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat mengejar Raden Segara yang
kabur membawa lari Dewi Wila Marta. Meskipun bayangan manusia setengah raksasa
itu sudah tidak terlihat lagi, namun Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat
arah kepergiannya.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiiiki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah
mencapai taraf sempurna, sehingga dalam waktu tidak berapa lama sudah sampai di
perkampungan aneh. Perkampungan yang lebih tepat disebut benteng pertahanan.
Namun Rangga tidak berhenti sampai di situ Dia terus menuju ke arah Timur,
menerobos lebatnya semak belukar dan pepohonan yang merapat, menambah gelapnya
suasana. Rangga baru berhenti setelah di depannya terlihat sebuah bangunan besar bagai
istana, yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan tebal. Pendekar Rajawali
Sakti itu melangkah perlahan mendekati pintu gerbang benteng yang nampak terbuka
lebar, seakan-akan sengaja memberi peluang untuk dimasuki.
Namun Rangga tidak gegabah begitu saja. Dia berhenti sekitar tiga batang tombak
jaraknya di depan pintu gerbang benteng istana itu. Slap...!
Mendadak seberkas cahaya merah meluncur dari dalam benteng istana itu. Sinar
merah yang begitu terang, meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Bergegas Rangga melompat, dan berputar sekali di
udara. Cahaya merah itu meluncur deras dalam putaran tubuhnya. Dan begitu
kakinya mendarat di tanah, kembali datang dua sinar merah sekaligus.
Rangga terpaksa beriompatan kembali di udara menghindari terjangan sinar-sinar
merah itu. Suara ledakan terdengar beruntun, disusul tumbangnya pepohonan yang
terlanda sinar-sinar merah itu.
"Rangga, kemari...!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan keras dari belakang. Pada saat itu, Rangga
baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Dia langsung menoleh, dan seketika
kembali meluncur seberkas sinar merah dari dalam benteng istana.
"Awas..!" terdengar seruan kecil, namun terdengar jelas.
"Hup! Hiyaaa...!"
Terlambat.... "Akh...!" Rangga memekik keras agak tertahan.
Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.
Sinar merah itu tepat menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tubuhnya
terlontar ke belakang. Dua batang pohon yang sangat besar langsung tumbang
terlanda tubuh pemuda pendekar itu. Belum lagi Rangga sempat bangkit, tiba-tiba
melesat satu bayangan kuning keemasan, langsung menyambar tubuh Pendekar
Rajawali Sakti dan membawanya pergi dari tempat itu. Tepat, pada saat itu
kembali seberkas ca-haya merah melesat, menghantam tempat tadi Rangga tergolek.
Sedangkan bayangan kuning keemasan itu sudah membawa Rangga cukup jauh dari
perkampungan bagai benteng itu.
Dibaringkan kembali tubuh Pendekar Rajawali Sakti di tempat yang cukup aman.
"Ugh!" Rangga mengeluh pendek begitu dia me-
rasakan tubuhnya kembali terbaring di tanah.
Rangga berusaha bangkit, tapi sebentuk tangan halus mencegahnya. Pendekar
Rajawali Sakti itu memandang seraut wajah cantik bagai bidadari kahyangan.
Pakaiannya begitu indah terbuat dari surra halus yang penuh terhias sulaman
benang emas. Wanita itu memberikan senyum yang begitu manis menawan.
"Ratu Mutiara...," desis Rangga seraya berusaha bangkit, tapi kemudian meringis
karena dadanya nyeri sekali.
"Jangan bangun dulu. Tetaplah berbaring," kata Ratu Mutiara lembut
Rangga tidak bergerak lagi. Dirasakan sepasang tangan yang halus dan lembut
menekan dadanya.
Perlahan-lahan seluruh rongga dadanya serasa jadi dingin. Namun sesaat kemudian
mendadak seluruh dadanya jadi sesak, dan tulang-tulangnya seperti diremas.
Begitu menyakitkan, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu meringis menahan rasa
sakit yang luar biasa.
"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental kehitaman.
Ratu Mutiara melepaskan tangannya. Saat itu Rangga rherasakan seluruh rongga
dadanya kembali longgar, dan napasnya pun kembali teratur. Tidak ada lagi rasa
nyeri dan sakit di dadanya, bahkan kini sudah bisa bangkit dan duduk bersila.
Ratu Mutiara juga tetap duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Apa yang terjadi padaku?" tanya Rangga seraya meraba dadanya.
"Kau terkena ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung racun mematikan. Tapi bukan
karena itu. Dalam pukulan itu tersimpan sebutir mutiara merah,"
sahut Ratu Mutiara.
"Mutiara Merah...!" Rangga jadi teringat batu-batu mutiara yang selalu ada pada
setiap kening manusia-manusia setengah raksasa itu.
"Mutiara kehidupan yang juga mematikan."
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Memang sukar untuk dimengerti bangsa manusia.
Itu sebabnya aku pergi dari puri menemuimu," kata Ratu Mutiara.
Rangga semakin tidak dapat memahami kata-kata Ratu Mutiara tadi. Benaknya kini
dipenuhi bermacam dugaan. Sedangkan Ratu Mutiara hanya tersenyum, seolah bisa
membaca yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Aku dan seluruh rakyatku sebenarnya bukan bangsa manusia seperti yang kau
lihat. Demikian pula dengan Raden Segara dan pengawal-pengawahnya.
Sebenarnya kami semua termasuk bangsa siluman yang tidak bisa terlihat oleh
manusia. Tapi karena ulah Raden Segara, semuanya jadi seperti melawan kodrat
alam," kata Ratu Mutiara mencoba menjelaskan.
Rangga mencoba menangkap penjelasan yang sukar dipahami ini.
"Sejak nenek moyang kami diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara
sudah terjadi permusuhan. Dan itu tidak akan dapat terselesalkan hingga akhir
jaman. Aku sendiri menjadi ratu sejak ribuan tahun lamanya. Demikian juga Ayah
Raden Segara. Meskipun kami semua bangsa siluman, tapi kami hidup seperti
layaknya bangsa manusia. Bisa berkembang biak, dan juga dapat mati. Dan semua
itu sudah takdir. Hanya para pemimpinlah yang tidak akan mati kalau tidak
menyalahi kodrat yang telah
digariskan. Dan semua kodrat yang telah digariskan Sang Pencipta itu telah
dilanggar Raden Segara."
Sedikit-sedikit Rangga mulai bisa memahami.
"Sejak pertama kali diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara tidak
akan bisa bersatu. Tapi Raden Segara tidak peduli. Dia tetap ingln menyuntingku
sebagai istrinya. Tentu saja aku menolak, karena tidak ingin menyalahi kodrat
yang telah digariskan. Raden Segara tidak bersedia menerimanya. Maka, dicurilah
mutiara-mutiara merah yang menjadi kekuatan kehidupan dan kematian bangsa
siluman. Mutiara merah itu bisa menjadi lambang kekuatan kehidupan abadi jika
digunakan secara benar, tapi juga bisa membuat kematian bila digunakan secara
salah. Mutiara Merah itu juga tidak akan berguna banyak bagi bangsa manusia, dan
akan musnah kekuatannya oleh bangsa manusia jika sudah mengetahui letak
penanamannya."
"Maksudmu?" tanya Rangga ingin lebih jelas.
"Kau sudah tahu di mana letak mutiara merah itu berada, bukan?" tanya Ratu
Mutiara. "Ya," sahut Rangga.
"Letak yang sebenarnya bukan di antara kedua mata, tapi di dalam hati. Ini
maksudnya sebagai sumber dari segala pusat kehidupan setiap makhluk siluman. Dan
hal itu kemudian diketahui Raden Segara. Kemudian, diculik dan dibunuhlah
bangsaku untuk diambil mutiara merahnya, lalu dikenakan pada pengawal-
pengawalnya di antara kedua mata mereka.
Dia sendiri juga mengenakannya. Itulah sebabnya kenapa dirinya dan para
pengawalnya bisa berubah menjadi setengah raksasa. Itu tak lain karena kesalahan
dalam penggunaan yang sebenarnya sudah diketahui, tapi tetap dilanggar. Kau
tahu, hatinya begitu culas dan selalu ingin berkuasa...."
"Terutama untuk mendesakmu menerima lamar-annya. Bukan begitu?" tebak Rangga
mulai mengerti.
"Benar! Tapi dia sangat kecewa karena aku tetap pada pendirianku. Yang jelas,
aku tidak mau menentang kodrat yang telah digariskan. Aku sudah ditentukan akan
menikah dengan seseorang, tapi bukan pada saat-saat sekarang ini. Malah calon
suamiku belum jelas berada di mana. Yang pasti, aku akan menikah dengan bangsa
siluman juga. Tapi bukan dari lawan-lawanku, seperti bangsa siluman Raden
Segara." "Hm.... Aku masih belum mengerti, kenapa mereka.... Maksudku Raden Segara
mengambil mutiara merah dari bangsamu?" tanya Rangga.
"Raden Segara tahu, kekuatan bangsaku berada pada mutiara merah yang tertanam di
hari. Tanpa mutiara itu sudah sejak lama kami musnah, dan jumlah mutiara itu pun
terbatas. Makanya setiap ada bangsaku yang mati, mutiaranya kusimpan untuk
diberikan pada yang baru lahir. Bisa kau bayangkan jika semua mutiara merah
berhasil dikuasainya.
Semua bangsaku akan musnah. Dan itu bukan saja membahayakan seluruh bangsa
siluman lainnya, tapi bagi kehidupan manusia! Karena, dari mutiara merah itu
mereka bisa terlihat jelas oleh manusia. Dan kau tahu sendiri, mereka tidak
mudah untuk dikalahkan."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mulai bisa mengerti duduk
persoalannya. Pantas saja sejak pertama kali datang, dan saat menerima pesan-
pesan aneh yang membingungkan, sudah dirasakan adanya kelainan. Terlebih lagi
setelah menginjakkan kakinya di daerah Selatan ini. Daerah yang masih
diselubungi hutan lebat yang tidak terjamah manusia.
"Apa yang kau pikirkan, Rangga?" tanya Ratu Mutiara.
"Hm," Rangga bergumam saja.
"Katakan, dengan senang hari akan kujawab.
Sudah kutetapkan, kau harus tahu semuanya karena telah terlibat langsung dalam
persoalan ini."
"Hm...," kembali Rangga bergumam, seperti mencari kata-kata yang tepat agar
tidak menyinggung perasaan wanita ini.
Sedangkan Ratu Mutiara menunggu sabar. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum,
meskipun tidak sedang tersenyum.
*** "Katakan saja. Jangan khawatir, aku tak akan tersinggung," kata Ratu Mutiara
lembut Sepertinya, dia selalu tahu setiap kali Rangga berpikir.
"Jalan pikiranku selalu bisa kau tebak dengan tepat. Tentu kau tahu, apa yang
ada dalam pikiranku saat ini," kata Rangga bisa merasakan.
"Kau ingin tahu kenapa aku meminta bantuanmu, begitu?" tebak Ratu Mutiara
langsung. "Tepat!" sahut Rangga kagum.
"Karena aku tahu siapa dirimu, dari mana kau peroleh semua kepandaianmu. asal-
usulmu, dan semuanya.
"Oh, ya. .?" terkejut juga Rangga.
"Jangan heran. Aku ini bangsa siluman, sehingga bisa mengetahul yang tidak bisa
diketahui manusia.
Tapi aku bukan dewa, sehingga juga punya keterba-tasan."
"Kalau begitu, kau juga pasti tahu kalau bukan karena aku saja yang...."
"Kau ingin dengar alasanku, Rangga?" potong Ratu Mutiara.
"Jika tidak keberatan."
"Aku memilihmu karena kau mewarisi ilmu Pendekar Rajawali yang hidup seratus


Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun lalu. Terlebih lagi, kau juga membawa pedang pusaka Rajawali Sakti. Itu yang
menyebabkan aku memilihmu, Rangga"
"Apa hubungannya?"
"Karena dulu Pendekar Rajawali pernah mengalahkan bangsa siluman dari kaum Raden
Segara. Makanya aku percaya betul kalau kau juga pasti mampu."
"Bagaimana dengan Dewi Wila Marta?" Rangga jadi teringat gadis dari Padepokan
Arang Watu itu.
"Sejak semula, sudah kuketahui kalau dia tidak akan berguna. Tapi aku tidak
ingin mengecewakan-nya. Maka kubiarkan saja karena aku tahu apa yang ada dalam
hatinya." "Dia sudah menyadari kekeliruannya," jelas Rangga.
"Aku tahu, dan sekarang aku juga tahu kalau dia berada di tangan Raden Segara. Tapi tidak
perlu khawatir. Kodrat manusia dengan siluman itu berbeda. Raden Segara tidak
akan dapat menyama-kannya. Dia akan selamat tanpa kurang satu apa pun.
Itu juga kalau Raden Segara tidak membunuhnya.
Terlalu mudah baginya untuk membunuh manusia."
"Aku harus cepat membebaskannya," tegas Rangga.
"Rangga, kau bisa membunuh mereka. Tapi jangan membunuh Raden Segara.
Bagaimanapun juga, dia yang akan meneruskan kodrat kaumnya. Dan ini tidak boleh
dilanggar meskipun sifatnya buruk. Dan
memang itu yang sudah terjadi. Ada sifat baik, ada juga sifat buruk. Aku yakin,
bangsa manusia juga begitu."
"Aku janji," kata Rangga.
"Terima kasih."
Rangga bangkit berdiri. Ratu Mutiara juga ikut berdiri.
"Ada satu lagi, Rangga," kata Ratu Mutiara begitu mereka melangkah kembali
menuju bangunan istana megah itu.
"Apa?" tanya Rangga terus saja melangkah.
"Kau hadapi mereka, biar aku yang membebaskan Dewi Wila Marta bersama yang
lainnya." "Kenapa begitu?"
"Karena, aku tidak dapat membunuh mereka yang memakai mutiara merah. Itu sama
saja membunuh rakyatku sendiri. Karena perbedaan antara siluman terletak pada
alat kehidupan dan kematiannya.
Mereka juga memilikinya. Dan, kau tidak perlu tahu, Rangga."
"Kenapa?"
"Ini kodrat, yang tak boleh dilanggar."
Rangga langsung diam. Sebenarnya hatinya kesal juga, karena Ratu Mutiara selalu
berkata kodrat Dia memang percaya adanya kodrat yang telah digariskan Sang Hyang
Widi. Dan itu tidak bisa ditolak ataupun dilanggar. Sebesar apa pun usahanya
untuk melawan, tetap akan datang juga. Tapi Rangga tidak terlalu terpaku pada
kodrat. Yang dipercayainya hanya adanya nasib baik dan buruk. Keberuntungan dan
kesialan. Hanya itu yang tertanam dalam hatinya sebagai seorang pendekar
pemberantas keangkaramurkaan di Mayapada ini
Sementara itu mereka mulai berjalan menuju pintu
gerbang benteng istana. Benteng yang seharusnya ditempati Ratu Mutiara beserta
seluruh rakyatnya.
Mereka berhenti setelah dekat benteng istana itu.
"Akan kubebaskan tawanan mereka. Kau masuk saja sendiri. Jangan hiraukan
serangan sinar merah mereka. Kau sudah kebal sekarang," kata Ratu Mutiara.
"Apa yang kau lakukan pada diriku tadi?" tanya Rangga.
"Hanya perisai. Gunakan pedangmu, karena hanya senjata itulah yang dapat
menghancurkan mereka,"
pesan Ratu Mutiara.
Belum lagi Rangga membuka mulut, Ratu Mutiara mendadak telah lenyap dari
pandangannya. Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah memasuki pintu
gerbang benteng istana itu. Baru saja kakinya melewati ambang pintu, beberapa
cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Cahaya itu langsung menghantam tubuh
Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan kali ini Rangga bisa tersenyum karena sinar-
sinar itu langsung pudar begitu menyentuh tubuhnya.
Rangga tersenyum sambil terus melangkah masuk.
"Serang...!" tiba-tiba terdengar seruan keras.
"Hiyaaa...!"
"Graaagh...!"
*** Entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah
banyak manusia setengah raksasa bermunculan.
Mereka berlarlan cepat memperdengarkan suara gemuruh ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. Saat itu Rangga segera teringat pesan Ratu Mutiara. Tanpa menunggu
datangnya serangan lagi, Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung mencabut pedang pusakanya yang bercahaya biru.
Sret! "Hiya! Yaaahhh...!"
Rangga tidak lagi menunggu terlalu lama. Begitu pedangnya terhunus, segera
dikibaskan cepat disertai pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus
yang sangat dahsyat dan sangat jarang digunakan.
"Aukh...!"
"Aaargh...!"
Suara-suara pekikan dan raungan menyayat terdengar saling sambut, disusul
ambruknya tubuh-tubuh yang bersimbah darah segar
Cahaya biru berkelebatan menyambar-nyambar mengikuti gerak tubuh Pendekar
Rajawali Sakti, dan tidak bisa terbendung lagi. Setiap kali berkelebat, satu dua
nyawa melayang diiringi erangan menyayat.
Tidak terhitung lagi berapa tubuh bergelimpangan bersimbah darah. Rangga
mengamuk bagai banteng terluka. Meskipun dikeroyok puluhan manusia setengah
raksasa, tapi mampu menjatuhkan begitu banyak lawan.
Hba-tiba saja Rangga dikejutkan adanya suara gemuruh, yang langsung disusul
jerit dan pekikan melengking dari arah belakang. Belum sempat Rangga mengetahui
apa yang terjadi, mendadak di dekatnya muncul Ratu Mutiara. Rangga cepat
melompat menghampiri.
"Temanmu sudah ada di perbatasan Utara," kata Ratu Mutiara.
Secepat dia berkata, secepat itu pula tubuhnya melesat melewati beberapa kepala
manusia-manusia setengah raksasa. Rangga ikut melesat cepat menyu-
sul. Dan begitu kakinya mendarat, tampak Ratu Mutiara sudah berdiri tegak
menghadapi Raden Segara. Pendekar Rajawali Sakti menempatkan diri di samping
wanita cantik bangsa siluman itu.
Sementara di belakang mereka, terlihat prajurit-prajurit Ratu. Mutiara bertarung
sengit melawan pengawal pengawal Raden Segara.
"Kuakui, kali ini kau menang, Mutiara. Tapi jangan harap aku menyerah begitu
saja," kata Raden Segara dingin.
"Kembalikan saja mutiara merah itu, Raden. Aku janji, semua yang terjadi di sini
tidak akan sampai terdengar ayahmu," ujar Ratu Mutiara lembut Raden Segara
bergumam agak mendesis,
kemudian meraba wajahnya. Dilemparkan sebutir mutiara merah, dan Ratu Mutiara
langsung menangkapnya. Bibirnya tersenyum setelah melihat sebutir mutiara berada
dalam genggamannya.
Keanehan terjadi. Raden Segara langsung jadi menyusut kecil, dan kembali seperti
sediakala Seketika itu juga, para pengawalnya pun berubah mengecil kembali
Pertarungan pun segera berhenti.
Pengawal-pengawal Raden Segara berlompatan seraya melemparkan batu mutiara
merah. Prajurit-prajurit Ratu Mutiara juga segera menangkapnya.
"Suatu saat aku akan kembali lagi, Mutiara. Ingat!
Kau harus jadi milikku," kata Raden Segara, tetap dingin nada suaranya.
Raden Segara menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hhh! Seharusnya aku tahu kalau kau seorang manusia. Sayang, kau masih terikat
persaudaraan dengan Raja Siluman Ular. Kalau tidak, nyawamu sudah menghuni
penjara istanaku, Rangga," dengus
Raden Segara. Setelah berkata demikian, Raden Segara langsung lenyap, disusul para
pengawalnya. Ratu Mutiara menarik napas panjang, kemudian berpaling pada Rangga
yang berdiri di sampingnya.
"Terima kasih, Rangga," ucap Ratu Mutiara. "Tapi berhati-hatilah, Raden Segara
begitu dendam padamu."
"Kenapa dia tidak mau melawanku?" tanya Rangga.
"Karena kau saudara angkat Satria Naga Emas, Raja Siluman Ular."
"Hm...."
"Tidak ada satu pun bangsa siluman yang berani menentang Raja Siluman Ular. Dia
adalah raja dari segala raja siluman yang ada. Beruntunglah kau memiliki saudara
angkat seperti dia."
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kasihan temanmu. Dia pasti sudah menunggu lama," Ratu Mutiara mengingatkan.
"Baiklah. Aku pergi dulu," pamit Rangga.
"Atas nama seluruh rakyatku, kuucapkan banyak terima kasih, Rangga."
"Ah! Sudah sepantasnya aku membantu siapa saja yang memerlukan," desah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti itu membungkukkan ba-dannya, kemudian melesat cepat
menuju ke arah Utara. Saat itu, perlahan-lahan tempat Ratu Mutiara dan seluruh
rakyatnya berada, berubah kembali menjadi hutan belantara. Tidak ada lagi satu
bangunan pun yang terlihat. Semuanya lenyap, kembali menjadi sediakala.
Sementara Rangga terus berlari cepat menuju perbatasan Utara dengan wilayah kaum
siluman itu. Alam kembali terang benderang. Matahari bersinar cerah, tepat di saat Rangga
bisa menemukan Dewi Wila Marta yang memang telah menunggunya setelah dibebaskan
Ratu Mutiara. Mereka tidak banyak bicara lagi, dan langsung pergi menunggang
kuda masing-masing. Rangga sendiri tidak ingin bertanya bagaimana caranya Ratu
Mutiara membebaskan Dewi Wila Marta. Bahkan juga menyediakan kuda-kuda di tempat
ini. Pendekar Rajawali Sakti sempat menoleh ke belakang, dan terlihat bayangan
Ratu Mutiara yang mengambang sambil tersenyum manis.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (syauqy_arr)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Peristiwa Burung Kenari 5 Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng Tiga Naga Sakti 7
^