Pencarian

Warisan Berdarah 1

Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah Bagian 1


WARISAN BERDARAH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Warisan Berdarah
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Suara gamelan mengalun merdu ditabuh para
nayaga yang duduk berjajar di sebuah panggung be-
sar. Malam yang biasanya gelap gulita, tampak terang benderang oleh cahaya api
obor yang terpancang di setiap sudut halaman besar sebuah rumah yang di pada-
ti orang. Segala macam tingkah dan celoteh di sertai derai tawa terdengar
semarak mengimbangi alunan
gamelan. Suasana malam ini terasa begitu hangat,
meskipun angin saat itu berhembus kencang mena-
burkan udara dingin menusuk kulit. Keceriaan terlihat di wajah semua orang yang
memenuhi halaman dan
bagian dalam rumah besar itu. Bukan hanya orang
dewasa saja, bahkan anak-anak pun ikut menikmati
kegembiraan itu.
"Beruntung sekali anak Ki Murad ya, Kang...?"
terdengar gumaman seseorang yang berdiri agak ter-
lindung di sudut halaman dekat pohon beringin.
"Hm...," orang bertubuh gemuk dan berperut buncit, hanya menggumam saja.
Pandangan matanya
tidak lepas ke arah sepasang mempelai yang duduk di
pelaminan berwajah cerah penuh senyum.
"Seharusnya kaulah yang duduk di situ, Kang
Wregu, Bukan si Wiraguna...!" agak tertahan
nada suara anak muda itu.
Lelaki yang diajak bicara hanya diam saja. Se-
pasang bola matanya tidak berkedip memandangi
mempelai yang duduk didampingi kedua orang tua
masing-masing. Begitu banyak tamu yang hadir, kare-
na mempelai wanita adalah anak orang terpandang di
Desa Kali Wungu ini. Namanya, Ki Danupaya. Orang
tua laki-laki mempelai wanita itu tidak hanya sebagai saudagar kaya tapi juga
sangat berkuasa. Ki Danupaya benar-benar melebihi kepala desa sendiri. Bahkan
kalau kepala desanya tidak disukai maka dengan mudah
dia bisa menggantikannya.
"Ayo kita pulang, Situyu," ajak Wregu seraya membalikkan rubuh dan melangkah di
samping Wregu. Kedua laki-laki berusia muda itu berjalan ber-
sisian tanpa banyak bicara lagi. Sementara malam se-
makin larut. Tapi orang-orang yang menghadiri pesta
pernikahan itu, terus saja berdatangan. Bahkan sema-
kin jauh malam, semakin meriah saja suasananya.
Bukan hanya penduduk desa ini saja yang ber-
datangan, tapi juga dari penduduk desa-desa lain. Kalau saja bukan orang yang
terpandang dan mempunyai
kekuasaan, mungkin pesta itu tidak akan semeriah ini.
Suara gamelan terus mengalun membuat suasana se-
makin hangat dan meriah. Para penari terus berleng-
gak-lenggok mengikuti irama gamelan yang ditabuh
para nayaga di atas panggung.
Sementara di sudut lain terlihat dua orang wa-
nita muda dengan wajah cukup cantik duduk di se-
buah bangku di bawah pohon kemuning. Pandangan
mereka juga tidak berkedip ke arah sepasang mempe-
lai yang tidak henti-hentinya memberikan senyum pa-
da setiap tamu yang hadir.
"Mereka kelihatan bahagia sekali, Rukmini,"
ujar salah seorang yang mengenakan baju merah mu-
da cukup ketat.
"Hanya sebentar," desah wanita berbaju biru yang dipanggil Rukmini. "Tidak lama
juga akan mende-rita. Lihat saja nanti, Selasih."
"Aku bisa mengerti perasaanmu, Rukmini. Ka-
lau aku jadi kau, sudah kubunuh si Wiraguna sebelum
naik ke pelaminan!" agak mendesis suara wanita yang bernama Selasih.
"Seumur hidup, tidak akan hilang rasa sakit di
hatiku ini, Selasih."
"Bukan hanya kau. Tapi banyak gadis lain yang
berperasaan begitu. Aku tahu betul, siapa itu Wiragu-na. Apalagi ayahnya...,"
sambung Selasih.
Rukmini menoleh, menatap sahabatnya. Ada
sebentuk senyuman tipis menghiasi bibirnya yang tipis dan merah menggoda. Sejak
kecil mereka sudah bersahabat, dan tak ada satu pun yang menjadi rahasia di
antara dua orang itu. Bahkan sampai ke hal-hal yang
bersifat pribadi sekalipun, selalu terbuka.
"Kuharap, ini malam terakhir mereka bisa ter-
tawa dan tersenyum bahagia," desah Rukmini.
"Harus!" sambut Selasih mantap agak mende-
sis. Kedua wanita muda itu saling berpandangan.
Entah kenapa, mereka sama-sama melemparkan se-
nyuman tipis dan hambar, kemudian bangkit berdiri.
Kini mereka telah melangkah meninggalkan keramaian
itu, tanpa ada yang bicara lagi. Mereka tidak lagi
memperdulikan semua yang terjadi, semua keramaian,
keceriaan, dan senda gurau serta tawa lepas yang me-
mecah keheningan malam ini.
Malam yang membuat semua orang ceria, ter-
tawa bahagia. Tapi ada beberapa orang yang tampak
tidak menikmati semua itu. Terutama mereka yang
merasa punya hubungan, atau merasa dirugikan atas
semua pesta hajat yang besar dan meriah ini. Entah
apa yang terjadi, hanya mereka sendiri yang tahu.
*** Malam masih terlalu dingin. Namun kehanga-
tan masih bisa juga menyelimuti sekitar rumah besar
milik Ki Danupaya. Meskipun sepasang mempelai su-
dah tidak berada lagi di pelaminan, namun masih saja banyak tamu yang belum
beranjak dari tempatnya.
Bahkan Ki Danupaya sendiri belum juga beranjak, dan
tengah dikelilingi sahabat-sahabatnya.
Dinginnya udara malam juga tidak terasa di da-
lam sebuah kamar yang cukup besar dengan penataan
apik sehingga terlihat indah. Dua tubuh tergolek bersimbah keringat di atas
pembaringan yang beralaskan
kain sutra halus berwarna merah muda. Desah napas
memburu dan rintihan lirih masih terdengar meng-
ganggu gendang telinga. Mereka tidak lagi mempeduli-
kan suara-suara bising di luar sana. Juga tidak mem-
pedulikan angin dingin yang menyusup masuk dari ce-
lah-celah jendela.
"Ah...!" tiba-tiba saja salah seorang memekik tertahan.
Dan tubuh yang berada di atas, mengejang se-
saat. Kemudian mendesah panjang sambil menjatuh-
kan dirinya yang bersimbah keringat ke samping. Se-
saat lamanya suasana di dalam kamar itu hening sepi.
Tarikan-tarikan napas mulai terdengar teratur.
Brak! Tiba-tiba saja jendela kamar itu terhempas
kencang, membuat sepasang insan yang tengah tergo-
lek berpelukan itu terlonjak kaget. Dan belum lagi disadari apa yang terjadi,
tahu-tahu sebuah bayangan hitam berkelebat masuk. Arahnya langsung ke pemba-
ringan, diikuti kelebatannya satu cahaya keperakan.
Dan belum ada yang bisa menyadari apa yang terjadi,
tahu-tahu.... "Aaa...!" satu jeritan melengking terdengar keras menyayat.
Tak berapa lama, terdengar keluhan tertahan.
Bayangan hitam itu kembali berkelebat melompat ke-
luar dari jendela yang terbuka berantakan. Tampak di pundaknya memanggul sesosok
tubuh yang terbungkus kain selimut tebal.
Tak ada yang mengetahui. Semua kejadian itu
sangat cepat, sukar untuk diikuti mata. Suasana di
dalam kamar itu kembali hening, tak terdengar satu
mata pun di sana. Sementara di luar, suara tawa dan
kelakar masih terdengar riuh mengimbangi alunan
merdu suara gamelan.
"Nurmi...!" terdengar suara panggilan dari luar kamar, diikuti ketukan pintu
berulang-ulang.
Suara panggilan dan ketukan itu semakin ser-
ing dan keras terdengar. Tapi tak ada sahutan sama
sekali. Suara ketukan itu seketika berubah menjadi
gedoran keras. Pintu kamar itu bergetar hebat, dan....
Brak! "Nurmi...!" pekik seorang laki-laki setengah baya yang tiba-tiba saja
muncul di ambang pintu kamar itu.
Laki-laki setengah baya berbaju indah bersu-
lam itu langsung menerobos masuk. Kedua bola ma-
tanya membeliak begitu mendapati sesosok tubuh ter-
bujur kaku dengan leher terbabat hampir putus. Da-
rah mengalir membasahi pembaringan. Laki-laki se-
tengah baya itu bergegas lari ke jendela yang terbuka lebar. "Penjaga...!"
serunya keras. Tidak berapa lama, enam orang laki-laki muda
bersenjata golok di pinggang berhamburan masuk.
Dan mereka semua terperangah begitu melihat di
pembaringan terbujur sesosok tubuh yang lehernya
hampir putus berlumuran darah. Tidak berapa lama
kemudian, muncul seorang laki-laki tua berjubah pu-
tih panjang membawa tongkat yang bagian kepalanya
bulat berkilat.
"Wiraguna...! Oh..., tidak...!" sentak laki-laki tua berjubah putih panjang itu,
langsung memburu ke
pembaringan. Laki-laki tua itu seperti tidak percaya apa yang
dilihatnya. Kemudian ditubruknya tubuh terbujur itu, dan diguncang-guncangnya
disertai rintihan keras.
Beberapa orang mulai berdatangan memadati kamar
itu. Dan mereka yang mengetahui, langsung terpekik
tertahan. Kesunyian langsung mengurung seluruh
kamar ini. Dan tiba-tiba saja suara gamelan dan canda tawa di luar sana terhenti
seketika. Malam yang semula semarak itu, seketika jadi
sunyi sepi. Wajah murung dengan sorot mata setengah
tidak percaya terpancar dari orang yang memadati
ruangan itu. Seorang laki-laki setengah baya yang pertama kali masuk,
menghampiri laki-laki tua yang ten-
gah menangisi tubuh terbujur di pembaringan.
"Ki Murad...," pelan suara laki-laki setengah baya itu seraya menepuk pundak Ki
Murad. Laki-laki tua berjubah putih itu menoleh, lalu
bangkit berdiri. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka
melangkah ke luar menyeruak kerumunan itu. Dan
beberapa orang langsung bergerak mengurus mayat
yang terbujur kaku itu, di atas pembaringan. Sebagian lagi melangkah ke luar
sambil menundukkan kepala
dan mengunci mulut rapat-rapat.
Ki Danupaya membawa Ki Murad ke ruangan
tengah yang tampak sepi. Mereka duduk dengan kepa-
la tertunduk lesu. Beberapa orang mulai bermunculan,
dan langsung duduk bersimpuh di depan kedua laki-
laki yang duduk di kursi berukir yang memiliki sandaran tinggi itu. Tak ada yang
membuka suara sedikit
pun. Kepala mereka semua tertunduk menekuri lantai.
Saat semua orang sedang terdiam sambil tertunduk,
tiba-tiba.... Slap! Sebatang anak panah melesat cepat dari luar jendela.
"Uts!"
Ki Murad langsung mengegoskan kepalanya,
maka anak panah itu menancap tepat di sandaran
kursinya. Semua orang yang berada di ruangan itu tersentak kaget. Empat orang
bergegas melompat ke luar
melalui jendela. Sedang Ki Murad mencabut anak pa-
nah itu. Sebentar dipandangi, lalu diserahkannya pada Ki Danupaya. Laki-laki
setengah baya itu meneri-manya, dan membuka ikatan daun lontar pada batang
anak panah itu.
"Keparat...!" geram Ki Danupaya setelah membaca sebaris kalimat pada daun lontar
itu Dengan wa- jah merah padam, Ki Danupaya menyerahkan lemba-
ran daun lontar itu pada Ki Murad. Seketika itu juga wajah laki-laki tua.
berjubah putih itu memerah. Gerahamnya bergemeletuk setelah membaca sebaris ka-
limat yang tertera pada daun lontar di tangannya. Seluruh ototnya menegang, dan
daun lontar itu hancur
diremas tangannya. Ki Murad segera bangkit berdiri.
"Jangan sendiri, Ki...!" seru Ki Danupaya seraya berdiri. "Si Keparat itu hanya
menginginkan aku, Ki Danupaya," tegas Ki Murad seraya mengayunkan kakinya.
"Anakmu sudah tewas, Ki. Sekarang orang itu menculik anakku. Bagaimanapun juga,
aku harus ikut!" tegas kata-kata Ki Danupaya.
Ki Murad tidak berkata-kata lagi dan terus saja
melangkah ke luar. Sementara Ki Danupaya memerin-
tahkan beberapa orang anak buahnya untuk ikut. Se-
dangkan sisanya mengurus mayat Wiraguna, dan men-
jaga rumahnya itu. Tidak lama berselang, tampak sekitar dua belas ekor kuda
berpacu cepat keluar dari gerbang rumah besar itu. Orang masih banyak berkum-
pul, tapi tak ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka hanya memandangi saja kepergian Ki Murad
dan Ki Danupaya bersama sepuluh orang anak buah-
nya. *** Dua belas ekor kuda berpacu cepat memasuki
sebuah padang rumput di sebelah Timur Desa Kali
Wungu. Sebuah bukit terpampang terlihat kelam terse-
limut kabut di seberang padang rumput yang tidak se-
berapa luas itu. Ki Murad yang berpacu paling depan, mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi. Maka semua kuda di belakangnya itu berhenti berpacu seketi-
ka. Ki Danupaya yang selalu berada di samping laki-
laki tua berjubah putih itu, segera menghentikan lari kudanya. Dia segera


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menoleh dan menatap Ki Murad
yang bergerak turun dari punggung kudanya.
"Tak ada siapa-siapa di sini," gumam Ki Danupaya segera turun dari kudanya, lalu
berjalan menghampiri laki-laki tua di samping kanannya.
"Hm...," Ki Murad hanya menggumam sedikit.
Tempat ini memang sepi. Apalagi malam masih menye-
limuti sekitarnya. Hanya desir angin yang terdengar
mengusik gendang telinga. Suara gemerisik dedaunan
menambah ketegangan semua orang yang berada di
padang rumput itu. Tampak Ki Murad menggeleng-
gelengkan kepalanya pelahan-lahan, mencoba men-
dengarkan setiap gerakan suara yang halus di sekitarnya. "Aku merasa ini hanya
permainan saja, Ki," ka-ta Ki Danupaya lagi.
Ki Murad menoleh menatap laki-laki setengah
baya di sampingnya. Keningnya sedikit berkerut dan
matanya agak menyipit Kemudian dihembuskan napas
panjang, dan dialihkan pandangannya ke arah bukit di depan. "Aku yakin, orang
yang melakukan perbuatan ini pasti menyimpan dendam. Mungkin juga dendam
padamu, atau padaku. Dan anak-anak kita yang men-
jadi sasarannya," kata Ki Danupaya lagi.
"Apa pun alasannya, aku tidak bisa menerima
kenyataan ini semua!" tegas kata-kata Ki Murad.
"Bukan hanya kau. Bahkan aku seperti ditan-
tang! Tidak bakalan aku diam saja!" sambung Ki Danupaya.
Ki Murad yang akan membuka mulutnya lagi,
langsung mengurungkan niatnya begitu matanya me-
nangkap gerakan bayangan putih tengah melintasi pa-
dang rumput yang cukup luas ini. Bayangan itu terus
bergerak ringan menuju ke arahnya, dan semakin la-
ma semakin jelas terlihat. Ternyata bayangan itu datang dari seorang laki-laki
muda berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Wajahnya cukup tampan. Rambutnya panjang
meriap dan sedikit tergelung ke atas. Selembar kain
putih mengikat bagian keningnya. Baju yang dikena-
kannya berwarna putih tanpa lengan dengan bagian
dada terbuka hingga ke perut. Baju itu melambai-
lambai dipermainkan angin. Pemuda itu berhenti me-
langkah setelah dekat di depan dua belas orang yang
berdiri bersikap menghadang.
"Oh, maaf. Bolehkah aku lewat...?" ucap pemuda itu ramah.
"Hm..., siapa kau?" dengus Ki Murad dingin.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk, meneliti se-
kujur tubuh pemuda di depannya.
"Aku seorang pengembara, dan hendak ke desa
di depan sana," sahut pemuda itu tetap ramah dan so-pan. "Aku tidak tanya ke
mana tujuanmu. Yang ku-tanyakan, siapa namamu?" bentak Ki Murad.
"Hm...," pemuda itu mengerutkan keningnya
mendengar bentakan laki-laki tua berjubah putih yang nampak tidak ramah padanya.
"Anak muda, siapa kau sebenarnya. Dan apa
maksudmu datang ke sini?" tanya Ki Danupaya agak ramah. "Namaku, Rangga, dan
hanya seorang pengembara. Aku tidak ada tujuan yang pasti," sahut pemuda itu.
"Anak muda, namaku Danupaya. Aku ingin
tanya sekali lagi padamu," kata Ki Danupaya lagi. "Si-lakan," ucap Rangga.
"Apakah kau melihat ada orang lain di sekitar
tempat ini selain kami?" tanya Ki Danupaya.
"Sekitar tengah malam tadi, aku memang meli-
hat ada seseorang lewat di kaki bukit sana...," Rangga menunjuk bukit di
belakangnya. "Apakah dia membawa seseorang?" serobot Ki Murad tidak sabaran.
'Tidak. Dia hanya sendiri saja."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Tidak jelas. Aku hanya melihat dari jauh.
Hm..., ada apa rupanya?"
"Tidak ada apa-apa, Anak Muda. Terima kasih
atas keteranganmu," ucap Ki Danupaya seraya melirik pada Ki Murad.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua laki-laki itu
bergegas melompat ke punggung kudanya masing-
masing. Dan sepuluh orang yang berada di belakang,
juga bergegas melompat naik ke kudanya. Sebentar sa-
ja mereka sudah menggebah kudanya dengan cepat.
Derap lari kuda terdengar menggetarkan jan-
tung. Sementara pemuda berbaju rompi putih itu
hanya memandangi saja.
Pemuda yang bernama Rangga dan lebih di
kenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu hanya
mengangkat bahunya, kemudian kembali berjalan
sambil bersiul kecil berirama tidak jelas. Sementara rombongan berkuda itu
semakin jauh menyeberangi
padang rumput, menuju ke bukit yang berdiri megah
terselimut kabut. Sedangkan pemuda itu terus saja
melangkah menuju ke Desa Kali Wungu.
*** 2 Semua orang di Desa Kali Wungu selalu mem-
bicarakan kejadian malam itu di rumah Ki Danupaya.
Peristiwa yang sangat mengejutkan dan tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Bukan hanya orang-orang
tua, bahkan anak-anak muda pun ikut membicarakan
peristiwa yang merenggut nyawa Wiraguna. Sebenar-
nya putra tunggal Ki Murad ini memang beruntung
dapat mempersunting putri Ki Danupaya, seorang
saudagar kaya di Desa Kali Wungu ini. Tapi, nasib ternyata lebih menentukan.
Sudah tiga hari peristiwa itu berlalu, tapi masih
terlalu hangat untuk dilupakan begitu saja. Masalah-
nya, Nurmi belum juga diketemukan dan tidak diketa-
hui nasibnya sampai sekarang. Tidak ada seorang pun
yang tahu, siapa pembunuh Wiraguna dan penculik
Nurmi. Waktu itu semua orang tengah sibuk berpesta.
Bukan hanya di rumah, di kedai, atau di la-
dang. Bahkan di sungai pun gadis-gadis membicara-
kan tentang peristiwa pembunuhan dan penculikan
itu. Mereka selalu bertanya-tanya tentang hilangnya
Nurmi Tapi ada juga yang merasa gembira atas kema-
tian Wiraguna. Dan tidak sedikit yang menyesalkan kejadian itu. Terlalu banyak
tanggapan yang terlontar-
kan, dan semuanya hanya menduga-duga saja.
"Tolooong...!" tiba-tiba saja siang yang tenang itu pecah oleh suara teriakan
seorang wanita.
Dan tampak seorang perempuan setengah baya
berlari-lari dengan baju sobek dan kain kedodoran. Perempuan itu terus
berteriak-teriak sambil berlari kencang. Teriakan yang keras itu mengagetkan
semua orang. Baik yang berada di sungai, di rumah, ataupun di ladang.
"Tolooong...!" teriak perempuan itu sekeras-kerasnya.
Sebatang akar yang menyembul ke permukaan
tanah mengganjal kaki wanita itu, hingga jatuh bergulingan di tanah berumput.
Wanita setengah baya itu
berusaha cepat bangkit, tapi tiba-tiba saja sebuah
bayangan sudah berkelebat cepat.
"Akh!" wanita itu terpekik tertahan.
Kedua bola matanya membeliak lebar, dan mu-
lutnya ternganga. Belum sempat bisa melakukan sesu-
atu, mendadak saja terlihat kilatan cahaya keperakan yang langsung menyambar
leher wanita itu.
"Aaa...!"
Satu jeritan melengking terdengar, disusul am-
bruknya wanita itu ke tanah. Darah mengucur deras
dari lehernya yang terbabat hampir buntung. Sebentar tubuhnya menggelepar,
kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Terlihat seseorang berdiri tegak me-
mandangi wanita setengah baya yang sudah jadi mayat
itu, kemudian berkelebat cepat bagai kilat. Seketika bayangannya lenyap bagai
ditelan bumi. Pada saat yang sama, orang-orang berdatangan
ke tempat itu. Dan mereka langsung terperangah begi-
tu melihat seorang wanita setengah baya menggeletak
dengan leher koyak berlumur darah segar yang masih
mengalir deras. Dari kerumunan orang, menyentak
seorang laki-laki setengah baya.
"Nyai...!" sentak laki-laki setengah baya yang ternyata adalah Ki Danupaya.
Laki-laki setengah baya yang selalu memakai
baju indah dari bahan sutra halus itu, bergegas berlutut dan memeriksa tubuh
wanita yang dikenal berna-
ma Nyai Mirta. Dan semua penduduk Desa Kali Wungu
sering memanggilnya Nyai Murad. Wanita itu memang
istri Ki Murad.
Saat Ki Danupaya bangkit berdiri, menyeruak
seorang laki-laki tua dari kerumunan orang-orang. Sesaat dia terpaku, lalu
menubruk wanita itu. Ki Danu-
paya hanya tertunduk, tak mampu mengeluarkan satu
kata pun. Semua orang yang berkerumun pun terdiam.
Tak ada satu suara pun yang terdengar. Semua kepala
tertunduk. Laki-laki tua berjubah putih itu bangkit
berdiri sambil memondong wanita itu. Sebentar bola
matanya yang berkaca-kaca menatap Ki Danupaya, la-
lu kakinya terayun pelahan-lahan. Orang-orang yang
berkerumun bergegas menyingkir, memberi jalan.
Sukar untuk dilukiskan, bagaimana perasaan
Ki Murad saat ini mendapati istrinya tewas dengan
leher koyak. Baru beberapa hari kehilangan putranya yang baru saja melangsungkan
pernikahan, kini juga
harus kehilangan istrinya. Sementara Ki Danupaya
memperhatikan dengan bibir bergetar dan tubuh
menggelegar menahan geram. Dilayangkan pandan-
gannya ke sekeliling, lalu bergegas melangkah menyu-
sul sahabatnya itu.
Langkah kaki Ki Danupaya berhenti seketika
saat matanya, menangkap sosok pemuda berbaju rom-
pi putih yang berdiri di bawah sebatang pohon besar.
Pemuda yang pernah ditemuinya di padang rumput
dekat Bukit Mangun. Hanya sebentar Ki Danupaya
menatap, kemudian kembali melangkah cepat menyu-
sul Ki Murad. Orang yang berkerumun, kembali bubar
menuju arahnya masing-masing. Beberapa celotehan
terdengar. Sebentar saja, tempat itu menjadi sunyi kemba-
li. Hanya seorang pemuda berbaju rompi putih yang
masih duduk di bawah pohon. Pemuda itu baru bang-
kit berdiri setelah semua orang tidak terlihat lagi. Dia melangkah menghampiri
tempat Nyai Murad tadi tergeletak tewas. Pandangan matanya tertuju langsung pa-
da seuntai kalung bergambar tengkorak dan bulan sa-
bit. Kalung itu hampir tertutup tanah, sehingga sukar dilihat dalam sepintas
saja. "Hm...," pemuda itu bergumam pelan.
*** Suasana di Desa Kali Wungu semakin diliputi
hawa maut. Tewasnya Nyai Murad oleh seseorang yang
belum diketahui, sepertinya merupakan lanjutan dari
malapetaka sebelumnya. Peristiwa mengerikan secara
beruntun itu kini menjadi pembicaraan hangat, di
samping menimbulkan beberapa macam dugaan dan
pertanyaan. Tidak mudah untuk mencari pelaku dua pem-
bunuhan itu. Apalagi seminggu setelah tewasnya Nyai
Murad, tidak ada lagi peristiwa mengerikan terjadi.
Dan para penduduk pun sudah mulai melupakannya.
Tapi tidak demikian dengan Ki Murad. Laki-laki tua itu tidak pernah tenang.
Karena, setelah peristiwa yang
meminta nyawa istri dan anaknya, dia selalu menerima ancaman. Setiap hari,
kehidupannya selalu dihantui
ancaman. "Keparat...!" geram Ki Murad.
Laki-laki tua berjubah putih itu meremas daun
lontar yang baru saja diterima dari salah seorang muridnya. Daun lontar. itu
ditemukan menancap di ujung anak panah pada tiang beranda depan rumahnya.
Hampir setiap hari Ki Murad selalu menerima anca-
man yang bernada sama. Tapi tidak diketahui, siapa
pengirim surat ancaman itu.
Ki Murad memandangi muridnya yang berjum-
lah sepuluh orang. Mereka rata-rata masih muda, dan
berseragam biru tua. Di punggung masing-masing ter-
sampir sebilah pedang. Mereka duduk bersila dengan
kepala tertunduk.
"Ini sudah jelas! Bajingan itu sengaja mengin-
carku!" dengus Ki Murad menahan geram.
"Mungkin salah seorang dari musuh kita, Ki,"
celetuk salah seorang yang duduk paling kanan.
"Siapa pun dia, tidak boleh didiamkan terlalu
lama!" "Benar, Ki!" sambut sepuluh murid Ki Murad serempak.
"Mungkin inilah saatnya kalian harus berhada-
pan secara sungguh-sungguh. Perlihatkan bakti kalian pada ku," ujar Ki Murad
menatap tajam murid-muridnya yang berjumlah sepuluh orang itu.
"Kami siap mengorbankan nyawa, Ki!" sahut
sepuluh orang pemuda itu serempak.
Ki Murad terangguk-angguk. Hatinya merasa
bangga terhadap kesetiaan muridnya yang hanya ber-
jumlah sepuluh orang itu. Dia memang sengaja tidak
mengambil murid banyak-banyak. Baginya, jumlah
yang sedikit bisa menurunkan ilmunya lebih baik, dan bermutu tinggi. Murid-murid
Ki Murad memang terkenal cukup tangguh dalam ilmu olah kanuragan. Me-
reka rata-rata satu tingkat di atas orang-orang Ki Danupaya.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengikik.
Ki Murad langsung menggerinjang bangkit dari
duduknya. Demikian juga sepuluh orang muridnya,
Sesaat mereka saling berpandangan. Dan tanpa me
nunggu perintah lagi, sepuluh orang berpakaian biru
tua itu berlompatan ke luar. Ki Murad sendiri langsung melesat cepat bagaikan
kilat melalui jendela yang terbuka lebar.
Mereka semua terperanjat begitu tiba di luar
rumah yang tidak begitu besar ini. Tampak di tengah-
tengah halaman yang tidak begitu luas, berdiri seseorang berpakaian merah
menyala sambil membawa se-
batang tongkat. Orang itu mengenakan tudung besar
yang hampir menutupi wajahnya. Namun dari bentuk
tubuhnya yang terbungkus baju merah ketat, dapat
dipastikan kalau orang itu adalah wanita. Demikian
pula kulit tangan dan kaki yang putih halus, sudah
menandakan kalau wanita itu masih berusia muda.
"Hm.... Siapa kau, Ni sanak! Apa keperluanmu
datang ke tempatku?" tanya Ki Murad dengan tatapan mata tajam menusuk. Laki-laki
tua berjubah putih itu berdiri tegak di depan sepuluh orang muridnya yang


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri berjajar dan bersikap penuh kewaspadaan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Ki Murad. Aku
datang untuk membunuhmu!" sahut orang itu ketus.
Srer! Sepuluh orang yang berada di belakang Ki Mu-
rad, langsung mencabut pedangnya. Sementara orang
bertudung bambu lebar itu kelihatan tenang saja.
Nampak bibirnya yang merah menyunggingkan se-
nyuman tipis mengejek. Ki Murad merentangkan tan-
gannya sedikit, mencegah murid-muridnya agar tidak
bertindak gegabah. Laki-laki tua berjubah putih itu
memandangi wanita bercaping yang mengenakan baju
merah menyala itu. Sudah bisa ditebak kalau wanita
itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap re-
meh. Terbukti kedatangannya secara terbuka dan
langsung menantang.
"Aku tidak kenal siapa dirimu, Ni sanak. Men-
gapa datang-datang ingin membunuhku?" nada suara Ki Murad masih terdengar ramah,
meskipun hatinya
sudah geram. "Karena kau berlaku curang!" masih bernada ketus jawaban wanita itu.
"Curang..." Aku tidak mengerti maksudmu, Ni
sanak." "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, karena tinggal kau yang belum
mampus!" Setelah berkata demikian, wanita berbaju me-
rah yang wajahnya hampir tertutup tudung bambu itu
langsung menggerakkan tongkatnya.
"Tunggu...!" sentak Ki Murad mencegah.
"Tidak ada waktu lagi, Ki Murad. Bersiaplah
untuk mari! Hiyaaat..!"
Wanita itu langsung melompat sambil menge-
butkan tongkatnya ke depan. Sungguh dahsyat kebu-
tan tongkat itu. Belum juga sampai ke arah sasaran,
angin kebutannya telah terasa menderu bagai angin
topan. "Hup!"
Ki Murad bergegas melompat ke belakang, Dan
sepuluh orang muridnya langsung berlompatan ke
samping, membentuk lingkaran mengepung wanita
berbaju merah itu.
Gagal dengan serangan pertamanya, wanita itu
segera menyerang dahsyat kembali. Ki Murad berlom-
patan, berkelit, menghindari sambaran tongkat putih
yang begitu dahsyat. Setiap kebutannya menimbulkan
suara angin menderu disertai hawa panas menyengat
kulit. Ki Murad sadar, kalau wanita itu sungguh-
sungguh ingin membunuhnya. Serangan-serangannya
begitu dahsyat dan cepat luar biasa. Lengah sedikit sa-ja bisa berakibat fatal.
Laki-laki berjubah putih itu melompat mundur sejauh tiga batang tombak begitu
ada kesempatan. Langsung dicabut pedangnya yang selalu
tergantung di pinggang. Pedang berwarna keperakan
itu berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Hiyaaat..!"
Wanita berbaju merah itu kembali menyerang
disertai satu teriakan keras. Ki Murad bergegas men-
gangkat pedangnya, menyampok tebasan tongkat putih
berujung runcing itu. Tak pelak lagi, dua benda beradu
keras di udara.
Trang! Pijaran api memercik dari kedua senjata yang
beradu keras itu. Ki Murad langsung mengibaskan pe-
dangnya ke bawah, namun wanita itu cepat sekali
memutar tongkatnya. Akibatnya, kembali dua senjata
itu beradu, hingga menimbulkan pijaran api memercik
ke segala arah. Satu percikan api menyambar atap
rumah. Sepuluh orang murid Ki Murad, tersentak meli-
hat kobaran api mulai melahap atap rumah gurunya.
Sejenak mereka berpandangan, lalu lima orang berge-
gas berlompatan berusaha memadamkan api yang mu-
lai membesar itu. Sementara Ki Murad masih berta-
rung sengit melawan wanita berbaju merah.
Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi wanita
berbaju merah dan bercaping besar itu masih juga
tangguh. Bahkan jurus-jurusnya semakin dahsyat dan
berbahaya. Beberapa kali Ki Murad harus berpelantin-
gan di udara, menghindari terjangan lawannya. Hingga suatu saat...
"Akh...!" tiba-tiba saja Ki Murad terpekik keras tertahan.
Satu tendangan telak, tepat mendarat di dada
laki-laki tua itu, hingga terjengkang sejauh dua batang tombak ke belakang. Saat
Ki Murad terhuyung-huyung, wanita itu sudah melompat sambil mengi-
baskan tongkatnya yang berujung runcing.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Buru-buru Ki Murad mengegoskan tubuhnya.
Tapi ujung tongkat berwarna putih itu masih juga
menggores bahunya. Darah langsung merembes ke
luar. Ki Murad kembali terhuyung, melangkah mundur
beberapa tindak.
"Mampus kau! Hiyaaat..!" teriak wanita itu melengking tinggi.
Bagaikan kilat, wanita berbaju merah itu me-
lompat cepat menghunus ujung tongkat ke arah dada.
Saat itu keadaan Ki Murad tidak menguntungkan sa-
ma sekali. Rasanya tidak ada waktu untuk menghin-
dar. Laki-laki tua itu terperangah sambil membeliak-
kan matanya. Cepat sekali ujung tongkat putih itu
mengarah ke dadanya. Namun belum juga ujung tong-
kat itu mengenai dada Ki Murad, tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat bagaikan kilat. Dan....
Trak! "Akh!" wanita itu memekik tertahan, dan tubuhnya mencelat ke belakang.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di de-
pan Ki Murad sudah berdiri seorang pemuda memakai
baju putih tanpa lengan. Bagian dadanya dibiarkan
terbuka lebar. Sebilah pedang bergagang kepala bu-
rung bertengger di punggungnya.
"Keparat..!" geram wanita itu.
Wanita berbaju merah itu langsung melompat
sambil berteriak keras. Cepat seka1i dikebutkan tongkatnya, sehingga yang
terlihat hanya bayangan putih
berkelebat mengarah ke tubuh pemuda berbaju rompi
putih itu. Namun manis sekali pemuda itu mengelak-
kannya. Bahkan saat tangan kanannya bergerak men-
gibas, wanita itu memekik keras tertahan.
Kembali wanita itu terdorong ke belakang bebe-
rapa langkah. Tampak dari sudut bibirnya mengalir
darah kental. Sebelah tangan memegangi dadanya.
Rupanya kibasan tangan pemuda berbaju rom-
pi putih itu tepat mengenai dadanya. Wanita itu menggeram marah.
"Phuih!" wanita itu menyemburkan ludahnya.
Tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat, dan tahu-tahu lenyap di
antara pepohonan yang rim-bun di samping rumah Ki Murad. Pemuda berbaju
rompi putih itu mendesah panjang, lalu membalikkan
tubuhnya menghadap pada laki-laki tua berjubah pu-
tih itu. Dibungkukkan tubuhnya sedikit kemudian
kembali diputar tubuhnya. Kini kakinya melangkah
pergi tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Tunggu...!" seru Ki Murad mencegah. Pemuda berbaju rompi putih itu menghentikan
langkah, dan memutar tubuhnya. Kembali dia menghadap ke arah
Ki Murad yang masih tetap berdiri pada tempatnya.
"Rasanya kita pernah bertemu. Hm.... Siapa
kau, Anak Muda?" tanya Ki Murad setengah bergu-
mam. Pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya
tersenyum saja. Sedangkan Ki Murad melangkah
menghampiri. Sementara lima orang murid laki-laki
berjubah putih yang berusaha memadamkan api, su-
dah menyelesaikan pekerjaannya. Untung saja hanya
bagian atap depan yang terbakar, dan tidak sampai
merambat lebih jauh lagi. Mereka segera bergabung
dengan yang lainnya.
Ki Murad baru teringat. Dia memang pernah
bertemu pemuda yang tadi telah menyelamatkan nya-
wanya. Ya..., dia ingat! Mereka bertemu di tepi padang di Kaki Bukit Mangun.
Laki-laki tua itu juga melihat pemuda itu saat. istrinya ditemukan tewas
terbunuh di tepi hutan. Ki Murad kemudian mengajaknya ke dalam
rumah, dan pemuda itu tidak bisa menolak. Mereka
kemudian duduk di ruangan tengah. Sementara sepu-
luh orang murid Ki Murad, membetulkan atap yang
hangus terbakar.
"Kalau tidak salah, kau pernah menyebutkan
namamu. Hm.... Rangga.... Benar bukan?" tebak Ki Murad mencoba mengingat-ingat.
"Benar, Ki," sahut pemuda itu mengangguk ramah. "Ah...! Kau seorang pengembara,
dan kepan-daianmu tinggi sekali. Aku senang bisa berkenalan lebih dekat lagi
denganmu," ujar Ki Murad.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kau bisa mengusir bajingan itu. Tentu kepan-
daianmu lebih tinggi darinya...," sambung Ki Murad la-gi.
"Ah! Hanya kebetulan saja, Ki," sahut Rangga merendah.
"Nak Rangga, dari manakah asalmu" Apakah
kedatanganmu ke sini karena memang ada keper-
luan?" tanya Ki Murad tanpa bermaksud menyelidik.
"Hanya kebetulan lewat saja, Ki. Dan asalku ti-
dak tentu," sahut Rangga ramah. Tentu saja tidak ingin diungkapkan tentang diri
sebenarnya. "Kau seorang pengembara berkepandaian ting-
gi. Tentu kau seorang pendekar. Apa julukanmu, Nak
Rangga?" tanya Ki Murad ingin tahu.
"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga.
"Oh...!" seketika bola mata Ki Murad berbinar begitu mendengar nama Pendekar
Rajawali Sakti.
Laki-laki tua berjubah putih itu memandangi
pemuda di depannya tanpa berkedip. Sepertinya ingin
dipastikan kalau pemuda yang telah menyelamatkan
nyawanya tadi adalah seorang pendekar yang sudah
ternama dan sangat digdaya. Apalagi dicari tandingannya. Pendekar yang sangat
disegani, baik lawan mau-
pun kawan. Ki Murad hampir tidak percaya kalau kini
tengah duduk bersama seorang pendekar yang selalu
menjadi buah bibir orang-orang rimba persilatan.
"Ada apa, Ki" Apa ada yang aneh pada diriku?"
tegur Rangga merasa jengah dipandangi seperti itu.
"Oh, tidak.... Hanya aku...," Ki Murad jadi ter-gagap. "Kenapa, Ki?" desak
Rangga. "Aku merasa mendapat kehormatan karena ke-
datangan seorang pendekar besar dan digdaya. Nama-
mu sering kudengar, dan aku selalu mengagumi segala
sepak terjangmu yang sudah banyak membasmi
keangkaramurkaan," ungkap Ki Murad sambil tersenyum bangga karena bisa duduk
bersama dan berbin-
cang-bincang dengan seorang pendekar ternama saat
ini. "Kau terlalu memujiku, Ki," ucap Rangga agak tersipu, "Aku berkata sebenarnya,
Nak Rangga. Sudah sepatutnya aku menyambutmu penuh rasa hormat.
Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti itu hanya ter-
senyum saja. Memang tidak disangkal kalau namanya
saat ini selalu menjadi buah bibir orang-orang rimba persilatan. Bahkan
biasanya, mereka langsung mengenali begitu berhadapan dengannya. Dengan baju
rompi putih dan pedang bergagang kepala burung di pung-
gung, adalah menjadi satu ciri khas Pendekar Rajawali Sakti. "Seharusnya kau
bisa ku kenali saat pertama kali bertemu, Nak Rangga. Tapi memang dasar sudah
tua, dan...," suara Ki Murad terputus.
Rangga mengernyitkan keningnya melihat pe-
rubahan pada air muka laki-laki tua di depannya.
Mendadak saja Ki Murad jadi merenung dan wajahnya
mendung. Sedangkan bola matanya berkaca-kaca. Tapi
itu hanya sebentar. Ki Murad menarik napas panjang
dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan hendak
melepaskan ganjalan yang tiba-tiba membuat dadanya
sesak. "Nampaknya kau sedang dilanda kesulitan, Ki,"
ujar Rangga hari-hati.
"Hhh...!" Ki Murad hanya mendesah panjang.
Laki-laki tua berjubah putih itu menatap Pen-
dekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Beberapa kali ditarik napas panjang dan
dihembuskannya kuat-kuat,
tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dan Rangga juga tidak ingin mendesak, dan hanya di-
am memperhatikan raut wajah yang selalu berubah-
ubah itu. Wajah yang terselimut kabut hitam.
*** 3 Malam baru saja menyelimuti bumi, namun
suasana di Desa Kali Wungu telah demikian sunyi. Su-
asana yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Keadaan
yang mencekam itu dikarenakan dalam beberapa hari
ini terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Ki Da-
nupaya. Terlebih lagi setelah peristiwa pahit yang me-nimpa Ki Murad. Laki-laki
tua itu hampir tewas kalau saja tidak ditolong Pendekar Rajawali Sakti.
Malam gelap terselimut kabut ini begitu sunyi.
Tidak terlihat seorang pun di luar rumah. Namun di jalan yang tidak terlalu
besar dan berdebu, terlihat seseorang berpakaian merah menyala tengah berjalan
sambil membawa tongkat putih yang terayun-ayun di
sampingnya. Jika dilihat dari kulit tangan dan bentuk tubuhnya, jelas orang itu
pastilah wanita. Hanya saja
wajahnya tidak terlihat karena hampir tertutup tudung tikar yang cukup besar.
Orang itu berjalan ringan, dan pandangannya lurus ke depan.
"Berhenti...!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.
Wanita berbaju merah yang bertudung tikar di
kepalanya itu langsung berhenti melangkah. Dia hanya menoleh sedikit saat
telinganya mendengar langkah
kaki dari arah belakangnya.
"Hm.... Dua tikus Danupaya...," gumam wanita itu pelahan.
Dan memang benar. Dua orang anak buah Ki
Danupaya tengah menghampiri dan langsung mengha-
dang di depan wanita bertudung tikar pandan itu.
Masing-masing menggenggam gagang golok yang ma-
sih terselip di pinggang.
"Siapa kau" Malam-malam begini masih ke-
luyuran!" bentak salah seorang yang berkumis lebat.
"Hm...," wanita itu hanya menggumam saja.


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan, tiba-tiba saja wanita itu bergerak cepat se-
raya mengibaskan tongkatnya bagaikan kilat. Dua
orang anak buah Ki Danupaya terperanjat kaget, kare-
na tiba-tiba orang di depannya menyerang tanpa ber-
kata-kata lagi. Dan belum sempat melakukan sesuatu,
ujung tongkat wanita itu sudah menyambar leher me-
reka. Dua jeritan panjang melengking terdengar
hampir bersamaan. Sesaat kemudian, dua sosok tu-
buh menggelepar di tanah dengan leher hampir putus
dan mengucurkan darah segar. Wanita bertudung
bambu itu memandangi sebentar, lalu kembali me-
langkah tenang setelah dua orang yang menghadang-
nya tidak bergerak-gerak lagi.
Jeritan menyayat dari dua orang anak buah Ki
Danupaya, rupanya mengejutkan semua penduduk
Desa Kali Wungu ini. Tapi tidak ada seorang pun yang berani ke luar. Mereka
hanya mengintip saja dengan
mata membeliak lebar begitu mendapati dua sosok
mayat menggeletak. Apalagi saat mendapati pula seo-
rang wanita berbaju merah dan bertudung besar ten-
gah berjalan ringan menuju kediaman Ki Danupaya.
Rumah besar milik saudagar kaya itu memang
sudah tidak seberapa jauh lagi. Dan tentu saja, jeritan panjang melengking tadi
terdengar jelas sampai ke sa-na. Tampak pintu gerbang yang semula tertutup
rapat, seketika terbuka. Maka berhamburanlah sekitar sepuluh orang dan dalam
pintu pagar bagai benteng itu.
Tapi belum juga mereka jauh meninggalkan
tempat itu, mendadak wanita berbaju merah menyala
itu sudah melentingkan tubuhnya cepat. Dan seketika
saja terdengar jeritan-jeritan melengking saat bayangan merah disertai kilatan
cahaya putih berkelebatan bagai kilat ke arah sepuluh orang yang baru keluar da-
ri gerbang kediaman Ki Danupaya.
Sukar dipercaya. Dalam waktu singkat saja, se-
puluh orang itu sudah tergeletak tak bernyawa dengan leher koyak hampir buntung.
Dan wanita berbaju merah itu kembali melangkah tenang, seakan-akan tidak
pernah terjadi sesuatu pada dirinya. Langkahnya rin-
gan mendekati pintu gerbang kediaman Ki Danupaya.
"Hm...," wanita itu bergumam pelan.
Tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke udara, lalu
mendadak lenyap tanpa bekas. Sungguh tinggi ilmu
meringankan tubuhnya. Bisa bergerak cepat melebihi
kilat Bayangannya saja sudah lenyap tak terlihat lagi.
Tak ada seorang pun yang tahu, ke mana arah per-
ginya. Bahkan orang-orang di atas pagar yang sudah
siap membidik anak panah, jadi bengong keheranan.
Mereka mencari-cari tanpa meninggalkan tempatnya.
Namun orang berbaju merah itu seperti lenyap ditelan bumi.
*** Ki Danupaya terperanjat begitu menerima lapo-
ran sepuluh orang anak buahnya tewas. Lebih terkejut lagi saat mendengar orang
yang membunuhnya lenyap
di depan pintu gerbang rumahnya. Laki-laki setengah baya itu bergegas menuju ke
kamar istrinya yang selalu mengurung diri di dalam kamar, sejak putri mereka
diculik saat pesta pernikahannya. Hingga kini belum
ada kabar berita tentang hilangnya Nurmi yang tanpa
jejak sama sekali. Ki Danupaya menggedor keras pintu kamar istrinya. Memang
keselamatan istrinya selalu
dikhawatirkan sejak terbunuhnya istri Ki Murad di tepi hutan. "Nyai...! Buka
pintunya, Nyai...!" seru Ki Danupaya keras sambil menggedor pintu kamar itu.
Tidak ada sahutan sama sekali. Ki Danupaya
semakin cemas. Di gedornya pintu itu semakin keras,
sambil terus memanggil istrinya agar membuka pintu.
Agak lama juga, dan akhirnya pintu kamar itu terbuka pelahan. Tampak seorang
wanita yang belum begitu
tua usianya berdiri di ambang pintu. Wanita yang be-
rusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu menggeser ke samping. Ki Danupaya
menerobos masuk, langsung
menghampiri jendela yang terbuka sedikit. Di longoknya keadaan di luar, lalu
ditutup jendela itu rapat-
rapat. KI Danupaya menghampiri wanita yang hanya
mengenakan kemben saja.
"Ada apa, Kakang?" lembut suara Nyai Danu-
paya bertanya. "Si Keparat itu ada di sini. Aku cemas terhadap mu, Nyai," sahut Ki Danupaya.
"Tidak ada siapa-siapa di sini," kata Nyai Danupaya. "Lagi pula, apa yang
diinginkan di sini?"
"Aku tidak tahu. Yang jelas dia telah membu-
nuh sepuluh orang anak buahku," kata Ki Danupaya.
Nyai Danupaya mendesah panjang. Dihampi-
rinya pembaringan, dan direbahkan dirinya di sana. Ki Danupaya menghampiri dan
duduk di tepi pembaringan. Dipandanginya wajah istrinya yang nampak lesu
dengan sinar mata redup tanpa gairah. Meskipun
Nurmi bukan anak kandungnya, tapi Nyai Danupaya
sangat menyayangi. Dia adalah istri muda Ki Danu-
paya. Sedangkan ibu Nurmi sendiri telah meninggal
saat anak itu berusia tujuh tahun. Dan Nyai Danupaya sendiri masih memiliki
seorang anak gadis yang baru berusia delapan belas tahun, yang saat ini bersama
kakeknya di Pertapaan Jati Wangi.
Ki Danupaya menoleh saat mendengar suara
ketukan di pintu. Dan pintu kamar itu memang tidak
tertutup. Seorang laki-laki muda berdiri di ambang
pintu, lalu menjura memberi hormat. Ki Danupaya
hanya menganggukkan kepalanya sedikit.
"Semua penjaga sudah disebar, Gusti. Tapi
orang itu tidak ada. Mungkin sudah pergi," lapor pemuda itu.
"Kalau begitu, lipat gandakan penjagaan. Teru-
tama di sekitar rumah ini!" perintah Ki Danupaya.
"Baik, Gusti," sahut pemuda itu seraya membungkuk memberi hormat.
Ki Danupaya mengibaskan tangannya sedikit,
maka pemuda itu bergegas pergi. Segera ditutupnya
pintu kamar ini. Ada sedikit desahan terdengar dari
hidung laki-laki setengah baya itu. Sementara Nyai
Danupaya masih terbaring dengan mata menerawang
jauh ke langit-langit kamar.
"Sudahlah, Nyai. Aku pun tidak tinggal diam
begitu saja. Kita berdoa saja, mudah-mudahan anak
kita selamat," kata Ki Danupaya mencoba menghibur.
"Bisa kau biarkan aku sendiri saja, Kakang?"
pinta Nyai Danupaya.
Ki Danupaya merayapi wajah istrinya sesaat,
kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Se-
dangkan Nyai Danupaya masih terbaring. Matanya
kembali menerawang jauh, menatap langit-langit ka-
mar. Sedikit pun kepalanya tidak berpaling meskipun
mendengar suara pintu kamar tertutup kembali. Sua-
sana di dalam kamar kembali sunyi, tanpa terdengar
satu suara pun.
*** Malam terus merambat semakin larut. Suasana
di Desa Kali Wungu semakin terasa sepi. Sementara
orang-orang Ki Danupaya menjaga penuh kewaspa-
daan. Tidak jauh dari rumah besar saudagar kaya itu
terlihat seseorang berdiri di bawah pohon, terlindung dart cahaya sang dewi
malam. Seorang laki-laki muda
yang wajahnya cukup tampan. Rambut yang sebatas
bahu, tergerai sedikit tergulung ke atas dengan ikat kepala berwarna putih.
Udara malam yang dingin, bagai tidak terasa
meskipun pemuda itu hanya mengenakan baju rompi
putih yang bagian dadanya dibiarkan terbuka lebar.
Dia tetap berdiri tegak merapatkan tubuhnya di batang pohon yang melindunginya
dari cahaya bulan. Sedikit
pun matanya tidak berkedip mengamati rumah besar
yang dijaga cukup ketat itu. Setiap ada gerakan, selalu menjadi perhatiannya.
"Hm... Dia tidak keluar lagi..," pemuda berbaju rompi putih itu bergumam pelan.
Pandangan matanya beralih ke ujung jalan ke-
tika mendengar suara derap seekor kuda putih yang
dipacu cepat melintasi jalan berdebu. Derap kaki kuda menghantam tanah,
terdengar keras di malam yang
sepi ini. Pemuda itu mengernyitkan dahinya saat men-
genali penunggang kuda putih itu.
"Ki Murad... Mau apa ke sini...?" bisiknya pelan.
Penunggang kuda putih itu memang Ki Murad.
Seorang laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah
putih panjang. Sebilah pedang tergantung di ping-
gangnya. Sementara pemuda berbaju rompi putih yang
masih berdiri di bawah pohon, terus saja mengawasi.
Kerut di keningnya semakin dalam saat mengetahui
penunggang kuda itu menuju rumah Ki Danupaya.
Dua orang penjaga pintu gerbang, bergegas
membuka pintu begitu melihat Ki Murad datang. Tan-
pa menghentikan laju kudanya, laki-laki tua berjubah putih itu terus menerobos
masuk. Pada saat itu, pemuda berbaju rompi putih yang lebih dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti, melesat tinggi ke udara. Dan dengan manisnya hinggap di
atas dahan yang cukup
tinggi. Dari dahan pohon ini bisa terlihat jelas ke bagian dalam halaman besar
yang dikelilingi tembok
tinggi bagai benteng itu.
Tampak Ki Murad melompat turun dari ku-
danya setelah sampai di depan beranda yang disangga
dua buah pilar. Dari dalam muncul Ki Danupaya yang
langsung menyongsongnya. Mereka kemudian melang-
kah masuk ke dalam rumah. Sementara di atas pohon
tidak jauh dari tembok benteng, Pendekar Rajawali
Sakti masih mengamati. Pemuda berbaju rompi putih
itu mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', un-
tuk mendengarkan pembicaraan dua orang yang cu-
kup disegani di Desa Kali Wungu ini.
"Dia sudah berani menjarah ke sini lagi, Ka-
kang Murad," terdengar suara Ki Danupaya.
"Hm..., ya. Aku sudah dengar. Itu sebabnya aku
langsung cepat-cepat ke sini," sahut Ki Murad setengah bergumam,
"Oh! Dari mana kau tahu?" Ki Danupaya agak terkejut. Begitu cepat kabar yang
sampai, sehingga Ki Murad bisa cepat mengetahui. Padahal jarak dari rumah ini ke
rumah Ki Murad cukup jauh.
"Seorang muridku melihat kejadian di luar sa-
na, dan langsung melaporkannya padaku," sahut Ki Murad kalem.
"Sepuluh orang, Kakang. Ditambah dua orang
yang sedang meronda," lirih suara Ki Danupaya.
"Yang kita hadapi sekarang orang berilmu ting-
gi, Adi Danupaya. Dia juga sudah mendatangiku, bah-
kan hampir saja aku tewas."
"Oh...!" lagi-lagi Ki Danupaya tersentak kaget.
"Tapi seorang pendekar menyelamatkan nyawa ku,"
lanjut Ki Murad.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Ki Danupaya. "Pemuda yang kita jumpai di padang
rumput dekat Bukit
Mangun," sahut Ki Murad lagi.
Ki Danupaya terdiam dengan kepala agak ter-
tunduk. Keningnya sedikit berkerut, berusaha mengin-
gat-ingat pemuda yang ditemui di padang rumput de-
kat Bukit Mangun. Seorang pemuda berwajah tampan
dengan ikat kepala putih dan rambut meriap sedikit
tergelung ke atas. Baju rompinya berwarna putih, dan gagang pedang berbentuk
kepala burung menyembul
dari balik punggungnya.
Agak lama juga Ki Danupaya berdiam diri sam-
bil mengingat-ingat. Dan akhirnya teringat juga. Dia pernah bertemu pemuda itu
saat kematian istri Ki Murad di tepi hutan. Pelahan-lahan Ki Danupaya men-
gangkat kepalanya, langsung menatap pada laki-laki
tua berjubah putih yang duduk di depannya.
"Namanya Rangga. Dia terkenal dengan julukan
Pendekar Rajawali Sakti," kata Ki Murad, seakan bisa membaca arti pandangan Ki
Danupaya. "Pendekar Rajawali Sakti...," desis Ki Danupaya pelan. Begitu pelannya, hampir
tidak terdengar suaranya. "Pernah kau dengar nama itu, Adi Danupaya?"
dalam sekali nada suara Ki Murad.
"Ya. Aku sering mendengar tentang seorang
pendekar yang selalu menumpas keangkaramurkaan.
Tapi..., ah! Rasanya aku tidak yakin...," Ki Danupaya menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Kau akan percaya kalau sudah berbicara den-
gannya, Adi Danupaya. Tapi sayang..., dia sudah per-
gi," ujar Ki Murad.
"Apakah kau minta bantuannya, Kakang?"
tanya Ki Danupaya setelah agak lama berdiam diri sa-
ja. "Tidak," sahut Ki Murad pelan.
"Kenapa" Saat ini kita benar-benar sedang
membutuhkan bantuan seorang pendekar digdaya.
Mengapa sekarang kau sia-siakan kehadiran seorang
pendekar digdaya hadir di desa ini" Kalau kau yakin
pemuda itu Pendekar Rajawali Sakti, kenapa tidak
meminta bantuannya" Aku yakin, kalau memang be-
nar-benar Pendekar Rajawali Sakti, dia pasti bersedia membantu sekaligus
melenyapkan si keparat itu!"
"Aku rasa belum perlu, Adi Danupaya."
"Belum perlu katamu..."!" Ki Danupaya terperanjat "Orang yang kita hadapi
berilmu sangat tinggi, Kakang. Aku sendiri belum tentu mampu menandinginya. Kau
lihat, dua belas orang anak buahku tewas
hanya dalam waktu singkat. Bahkan dia bisa menghi-
lang seperti setan!" agak keras nada suara Ki Danupaya. "Kau mulai panik, Adi
Danupaya...," pelan suara Ki Murad.
"Aku tidak tahu.'" dengus Ki Danupaya. "Yang jelas, setiap hari aku selalu
diliputi ketegangan. Coba kau lihat istriku tidak pernah lagi ke luar kamar
sejak Nurmi hilang. Hanya denganku saja mau bicara, itu
pun hanya sebentar! Benar-benar seperti berada di dalam neraka saja...!" keluh
Ki Danupaya. "Bukan hanya kau. Tapi seluruh penduduk de-
sa ini merasa begitu. Terlebih lagi aku, Adi Danupaya.
Istri dan anakku tewas!"
Ki Danupaya terdiam menundukkan kepalanya.
Memang masih saja disesali sikap Ki Murad yang tidak meminta bantuan Pendekar
Rajawali Sakti. Padahal,
pendekar muda dan digdaya itu ada di desa ini. Meskipun belum yakin kalau pemuda
berbaju rompi putih
itu adalah Pendekar Rajawali Sakti, tapi pada saat seperti ini benar-benar
dibutuhkan seseorang yang ber-
kemampuan tinggi untuk menghadapi perusuh yang
sudah' mengambil nyawa beberapa orang, dan mem-
buat semua orang resah.


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara, Pendekar Rajawali Sakti yang bera-
da di atas dahan di luar pagar benteng, telah mendengar semua pembicaraan kedua
orang itu. Pemuda yang
selalu mengenakan baju rompi putih itu, melesat tu-
run dengan gerakan indah tanpa suara sedikit pun.
Hanya sekali lesatan saja, pemuda itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam,
bersamaan keluarnya Ki Mu-
rad dari rumah besar kediaman Ki Danupaya.
*** Ki Murad memacu kudanya dengan kecepatan
tinggi ke arah Timur. Kuda putih itu berlari bagai dike-jar setan. Hentakan
kakinya yang menyepak debu, ter-
dengar keras memecah keheningan malam yang gelap
ini. "Heh...!" tiba-tiba saja laki-laki tua berjubah putih itu tersentak kaget.
Kuda putih yang ditungganginya meringkik ke-
ras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seten-
gah mati Ki Murad mencoba mengendalikannya, tapi
kuda putih itu jadi semakin liar. Kuda itu terus me-
ringkik keras dan berlompatan bagai melihat hantu.
"Hup!"
Ki Murad melompat turun, ketika kuda putih-
nya ambruk. Tampak sebuah benda berbentuk mata
tombak menancap di leher kuda itu. Sejenak Ki Murad
memandangi, namun tiba-tiba saja dikejutkan oleh su-
ara tawa mengikik. "Hi hi hi..!"
Laki-laki tua berjubah putih itu langsung me-
lompat mundur ketika tiba-tiba saja sebuah bayangan
merah berkelebat di depannya. Tahu-tahu di situ su-
dah berdiri seseorang berpakaian ketat berwarna me-
rah menyala. Hampir seluruh kepalanya tertutup tu-
dung besar sehingga wajahnya hampir tak terlihat.
Hanya bagian bibir dan dagu saja yang tampak.
"Kau lagi...!" dengus Ki Murad langsung bersia-ga.
"Kali ini tak ada yang bisa menyelamatkan nya-
wamu, Ki Murad!" tegas wanita berbaju merah itu dingin.
"Hm...," Ki Murad hanya menggumam saja.
"Bersiaplah untuk mati, tua bangka!"
"Tunggu...!" sentak Ki Murad keras.
"Kau ingin memperlambat kematianmu, Ki Mu-
rad..."!" dengus wanita itu dingin.
"Ni sanak, mengapa kau begitu ingin membu-
nuh ku" Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Murad masih diliputi rasa penasaran
terhadap orang berbaju merah yang wajahnya selalu ditutupi tudung besar itu.
"Sudah kukatakan, tua bangka! Kau tidak perlu
tahu siapa diriku!" bentak wanita berbaju merah itu ketus. "Hm..., kau selalu
menyembunyikan diri di balik tudung bambu. Apa maksudmu sebenarnya, Ni sa-
nak?" Ki Murad masih juga mendesak.
"Membunuhmu! Hiyaaa...!"
Wanita bertudung itu langsung melompat sam-
bil! mengebutkan tongkat putihnya. Kebutan yang be-
gitu dahsyat menimbulkan suara angin menderu bagai
badai. Ki Murad bergegas melompat mundur sambil
mencabut pedangnya. Cepat sekali dikibaskan pe-
dangnya, mengganjal serangan tongkat putih itu.
Trang! Satu benturan keras terjadi, dan mereka sama-
sama berlompatan mundur sejauh beberapa langkah,
namun kembali berlompatan saling menyerang. Ki Mu-
rad yang menyadari kalau lawannya tidak main-main,
tidak ingin ambil resiko. Langsung saja digunakan jurus-jurus yang dahsyat dan
mematikan. Gerakan-gerakan laki-laki tua berjubah putih
itu demikian cepat, sukar diikuti mata biasa. Namun
wanita berbaju merah yang tidak pernah membuka tu-
dungnya itu, dapat mengimbangi. Bahkan tidak jarang
membalas serangan dalam keadaan sulit sekalipun.
Jurus-jurus yang di gunakannya juga tidak kalah dah-
syat Setiap serangan yang dilancarkan mengandung
hawa maut Jurus demi jurus berlalu cepat. Tidak terasa,
lebih dari dua puluh jurus telah terlewati. Tapi sejauh ini belum ada seorang
pun yang kelihatan terdesak.
Masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurus anda-
lannya. Pertarungan itu disertai gerakan yang cepat
luar biasa, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan merah dan putih
berkelebatan sating sambar dalam
kegelapan malam. Tempat sekitar pertarungan sudah
tidak berbentuk lagi. Pohon-pohon tumbang, dan batu-
batuan pecah berantakan. Belum bisa dipastikan, sia-
pa yang bakal unggul dalam pertarungan itu. Dan se-
karang mulai terlewati jurus ketiga puluh, namun ma-
sih belum juga ada tanda-tanda yang terdesak.
Ki Murad yang pernah bertarung melawan wa-
nita ini, dan hampir saja tewas, tidak sudi bermain-
main lagi. Sudah bisa diukur tingkat kepandaian la-
wannya. Paling tidak, seimbang atau setingkat lebih
tinggi darinya atau malah sebaliknya. Hal ini sangat disadarinya. Tapi wanita
berbaju merah yang tidak
pernah melepaskan tudungnya, sepertinya juga me-
nyadari kalau lawannya sangat tangguh. Dia bertarung sangat hati-hati, meskipun
gerakannya cepat luar biasa. Jurus-jurusnya juga demikian dahsyat, sukar un-
tuk diketahui arah serangannya.
Beberapa kali Ki Murad kecolongan. Bahkan
hampir tewas di ujung tongkat putih itu, tapi masih
mampu diatasi. Sesekali masih mampu pula dia mem-
balas dengan tidak kalah dahsyatnya. Kini mereka bu-
kan lagi bertarung menggunakan jurus-jurus, tapi su-
dah masuk pada adu ilmu kesaktian. Pada saat mema-
suki ajian yang ke sepuluh, mendadak Ki Murad ter-
sentak kaget. "Heh...!"
"Hiyaaa...!"
Wanita bertudung itu sudah melancarkan se-
rangannya. Tampak dari ujung tongkat putihnya me-
luncur seberkas sinar kuning kemerahan. Sinar itu
langsung meluruk ke arah Ki Murad yang tengah ter-
kesiap. "Hup!"
Bergegas laki-laki tua berjubah putih itu me-
lompat menghindar, tapi gerakannya terlambat. Aki-
batnya sinar kuning kemerahan itu menghantam bahu
kanannya. Ki Murad terpekik tertahan, dan tubuhnya
terlontar jauh menabrak dua batang pohon hingga
tumbang. Ki Murad berusaha bangkit, tapi langsung
memuntahkan darah kental kekuningan. Seluruh tan-
gan kanannya terasa kaku dan sukar digerakkan.
"Ha ha ha...! Mampus kau, tua bangka...!" wanita itu tertawa terbahak-bahak.
"Phuih! Siapa kau" Ada hubungan apa kau
dengan...."
Tapi sebelum habis ucapan Ki Murad, wanita
berbaju merah itu sudah melompat sambil menghu-
jamkan ujung tongkatnya. Ki Murad cepat menggulir-
kan tubuhnya ke samping, maka ujung tongkat itu
menancap di tanah. Tapi cepat sekali wanita itu me-
mutar tubuhnya, dan kembali menyerang ganas.
Trak! Tiba-tiba saja, di saat ujung tongkat wanita Itu
hampir menghunjam dada Ki Murad, mendadak se-
buah bayangan berkelebat. Langsung bayangan itu
membuat tongkat wanita itu terpental balik. Disusul
pekikan tertahan. Bergegas wanita berbaju merah itu
melompat mundur sambil buru-buru menyilangkan
tongkatnya di depan dada. Sementara Ki Murad beru-
saha bangkit meskipun sebagian tubuhnya mulai tera-
sa kaku. Tampak di depannya berdiri seorang pemuda
berambut panjang. Pakaiannya rompi putih dengan
gagang pedang berkepala burung menyembul dari
punggungnya. "Rangga...," desis Ki Murad mengenali pemuda itu.
"Setan belang...! Lagi-lagi kau halangi maksud
ku!" dengus wanita itu geram.
"Hm.... Seorang pendekar sejati tidak akan
menganiaya orang tua yang sudah tidak berdaya lagi,"
ujar Rangga lembut.
"Phuih! Kemarin aku menghindar karena tidak
ingin ada orang lain ikut campur urusanku. Tapi kau
terlalu congkak untuk diberi ampun, anak setan!" geram wanita itu sengit.
"Dan aku pun tidak akan ikut campur jika kau
tidak bertindak kejam, Ni sanak," sahut Rangga. kalem. "Phuih! Seharusnya kau
mampus, anak setan!
Tapi waktuku terlalu berharga untuk mengurusi mu!"
wanita itu menoleh pada Ki Murad. "Dan kau, tua bangka! Kali ini kau boleh
merasa beruntung!"
Setelah berkata demikian, wanita berbaju me-
rah itu melesat cepat dan langsung lenyap menembus
kegelapan malam. Rangga menarik napas panjang,
kemudian memutar tubuhnya menghadap Ki Murad
yang berdiri bertopang pada pedangnya. Pendekar Ra-
jawali Sakti itu menghampiri, lalu memeriksa luka di bahu Ki Murad. Tampak bahu
kanan laki-laki tua itu
seperti hangus terbakar. Jubah putih di bagian ba-
hunya koyak bagai termakan api.
"Lukamu cukup parah, Ki," ujar Rangga seraya membantu Ki Murad duduk bersandar
di pohon yang tumbang. "Apa yang akan kau lakukan, Nak?" tanya Ki Murad saat Rangga menyobek baju di
bahu kanannya. "Akan ku coba mengurangi lukamu," sahut
Rangga. "Percuma saja, Nak. Tidak ada yang bisa me-
nyembuhkan luka dari.... Akh!" ucapan Ki Murad terputus. Saat itu Rangga menepuk
pundak yang hangus
bagai terbakar itu. Tampak tangan yang menempel erat di bahu itu bergetar. Ki
Murad meringis merasakan
hawa panas yang menjalar dari bahunya. Seketika da-
rah berwarna kekuningan merembes keluar dari ba-
hunya. "Akh...!" Ki Murad memekik keras. Laki-laki tua itu terkulai, dan
langsung jatuh pingsan.
*** 4 Hangatnya sinar matahari membangunkan Ki
Murad dari pingsannya. Laki-laki tua itu mulai merintih, dan menggeleng-
gelengkan kepalanya setelah se-
malaman tidak sadarkan diri. Ki Murad menggerinjang
berusaha bangkit berdiri, tapi sebuah tangan mence-
gahnya. Laki-laki tua berjubah putih itu kembali berbaring. Sebentar dikerjapkan
matanya, memandang
seraut wajah tampan di dekatnya.
"Nak Rangga, berapa lama aku pingsan?" tanya
Ki Murad pelan.
"Semalaman," sahut Rangga.
"Uh!"
Ki Murad mencoba bangkit.
"Berbaringlah dulu, Ki. Biarkan darahmu men-
galir lebih baik lagi," kata Rangga tanpa mencegah lagi.
"Uh! Bagaimana bisa kau sembuhkan aku,
Rangga?" tanya Ki Murad setelah bisa duduk bersandar di pohon tumbang.
"Hanya dengan hawa mumi," sahut Rangga di-
iringi senyuman tipis. "Lukamu cukup parah, tapi belum terlambat untuk
disembuhkan."
"Terima kasih," ucap Ki Murad, hampir tidak terdengar suaranya.
Rangga merayapi wajah laki-laki tua itu yang
mendadak saja jadi mendung. Pendekar Rajawali Sakti
itu menggeser duduknya lebih mendekat
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Entahlah...!" desah Ki Murad berat "Aku tidak yakin...."
"Apa yang dipikirkan, Ki?" desak Rangga.
"Orang itu," sahut Ki Murad pelan. "Yang melukaimu?"
"Ya. Aku kenal betul aji 'Mata Kilat' yang melukai ku. Aku begitu terpana,
sehingga tidak keburu
menghindar lagi. Aku tidak tahu, ada hubungan apa
dia dengan Dewi Iblis...," nada suara Ki Murad terdengar bergumam.
"Siapa Dewi Iblis itu?" tanya Rangga semakin ingin tahu.
"Seorang tokoh wanita yang sangat tinggi ke-
pandaiannya. Sampai saat ini belum ada yang bisa
menandinginya. Tapi...," ucapan Ki Murad terputus.
"Kenapa, Ki?" desak Rangga.
"Hampir dua puluh tahun aku tidak pernah lagi
mendengar namanya, bahkan sepertinya menghilang
begitu saja."
"Apakah dia seorang tokoh hitam, Ki?" Rangga meminta kejelasan.
"Lebih dari itu, Rangga. Dia seorang iblis yang tidak pernah berkedip saat
membunuh lawannya. Tidak peduli siapa yang dihadapi. Seorang petani yang
tidak bisa ilmu olah kanuragan pun akan dibunuh ka-
lau tidak menyenangkan hatinya."
"Hm...," Rangga menggumam pelan. Sedangkan Ki Murad diam seraya menerawang jauh
ke depan. Tampaknya masih belum dipercaya kalau orang yang
hampir menewaskannya dua kali itu mempunyai salah
satu ajian dahsyat yang dulu sangat ditakuti. Ajian
andalan milik seorang tokoh wanita yang mendapat ju-
lukan Dewi Iblis.
"Kenapa dia ingin membunuhmu, Ki?" tanya
Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti,
Rangga. Sejak kejadian malam itu, aku selalu dihantui oleh ancaman-ancaman,"
sahut Ki Murad mengeluh.
"Kejadian malam itu..." Kejadian apa, Ki?" "Hm. Kau pasti tidak tahu, Anak Muda.
Baiklah, akan kucerita-kan semuanya."
Dengan singkat, Ki Murad kemudian menceri-
takan peristiwa yang bermula dari kematian anaknya pada malam pesta pernikahan.
Dan kejadian-kejadian
lain yang datang secara beruntun, hingga istrinya tewas di tepi hutan. Pada saat
itu, Rangga memang ada.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu belum mengerti dan
hanya diam saja melihat Ki Murad memondong mayat
istrinya. Rangga hanya diam mendengarkan sampai la-
ki-laki tua berjubah putih itu selesai bercerita. Untuk
beberapa saat lamanya, kebisuan menyelimuti mereka


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pikiran berkecamuk. Beberapa kali terdengar
tarikan napas panjang dari dua orang yang duduk ber-
sila saling berhadapan itu.
"Rasanya mustahil kalau semua yang dilaku-
kannya itu tanpa alasan yang pasti, Ki," ujar Rangga setengah bergumam.
"Itulah yang menjadi beban pikiranku selama
ini. Sama sekali tidak ku mengerti kenapa dia melakukan semua itu pada
keluargaku" Aku sendiri tidak ta-
hu siapa dia sebenarnya," sambung Ki Murad bernada seperti mengeluh.
"Apa dia pernah mengucapkan sesuatu, Ki?"
tanya Rangga. Ki Murad tidak langsung menjawab. Keningnya
sedikit berkerut, mencoba mengingat-ingat semua per-
kataan wanita berbaju merah yang wajahnya hampir
tertutup tudung bambu. Sebentar kemudian laki-laki
tua itu menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti "Ya, aku ingat! Dia
menuduhku berlaku curang.
Aneh.... Aku sendiri tidak mengerti maksudnya. Seu-
mur hidup, belum pernah aku berlaku curang pada
siapa pun," setengah bergumam nada suara Ki Murad.
"Mungkin kau pernah punya perjanjian, Ki," tebak Rangga.
"Perjanjian...?" Ki Murad menatap dalam-dalam pemuda di depannya.
"Aku hanya menduga-duga saja, Ki."
Ki Murad termenung beberapa saat. Benar-
benar sulit dimengerti dugaan Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi dia berusaha
mengingat-ingat, kalau-kalau
pernah punya perjanjian dengan seseorang. Tapi ra-
sanya dia tidak pernah terikat janji satu pun.
"Perjanjian...," gumam Ki Murad pelan, hampir
tidak terdengar suaranya.
*** Ki Murad memandangi rumahnya yang tinggal
puing-puing habis terbakar. Asap masih mengepul ti-
pis dari kayu-kayu yang hangus. Laki-laki tua itu
hampir tidak percaya mendapati sepuluh orang mu-
ridnya sudah tergeletak jadi mayat dengan leher koyak hampir buntung. Tak ada
seorang pun yang hidup,
dan semua bangunan hancur rata dengan tanah.
"Biadab...!" desis Ki Murad menggeretak menahan marah.
"Ki...," Rangga menepuk pundak laki-laki tua itu. "Iblis keparat itu benar-benar
ingin menghancur-kanku tanpa sisa!" geram Ki Murad.
"Tenangkan dirimu, Ki. Jangan terbawa arus...,"
ujar Rangga mencoba menenangkan amarah laki-laki
tua itu. Ki Murad menatap dalam-dalam Pendekar Ra-
jawali Sakti, kemudian menarik napas panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat. Seluruh rongga da-
danya serasa sesak bagai terhimpit batu yang sangat
besar dan berat. Wajahnya merah padam menghadapi
kenyataan seperti ini. Tinggal dia sendiri yang masih hidup. Dan entah kapan,
wanita berbaju merah itu
pasti akan datang merenggut nyawanya. Ki Murad me-
nyadari kalau kepandaiannya masih di bawah perem-
puan berbaju merah itu. Dua kali dia hampir tewas.
Kalau saja tidak ditolong Pendekar Rajawali Sakti ini, entah apa jadinya.
"Kau lihat, Rangga. Mereka adalah muridku
yang setia. Aku sudah menganggapnya seperti anak
sendiri. Kini semuanya telah tewas. Iblis keparat itu
harus kubunuh! Harus...!" geram Ki Murad memuncak amarahnya.
"Tidak dalam keadaan marah begini, Ki. Kema-
rahan bisa mengakibatkan kelengahan yang sangat
fatal," kata Rangga mengingatkan.
"Rangga, aku tidak tahu lagi. Apa yang harus
kulakukan" Aku mohon padamu, Rangga. Hentikan ib-
lis terkutuk itu," ujar Ki Murad bagai seorang yang sudah putus asa.
Rangga hanya tersenyum saja. "Meskipun ke-
pandaiannya di atasku, tapi aku tidak takut mati. Bagaimanapun juga harus
kubalas kematian mereka se-
mua. Mereka adalah orang-orang yang kucintai," sambung Ki Murad.
"Aku mengerti perasaanmu, Ki," ucap Rangga pelan. Ki Murad mendesah panjang.
Dihempaskan tubuhnya, duduk di atas sebongkah batu yang tidak be
gitu besar. Pandangannya nanar merayapi puing-puing
dan mayat sepuluh orang muridnya yang berserakan
di tanah. Sesak seluruh rongga dadanya menyaksikan
semua kehancuran ini. Bertahun-tahun sepuluh orang
itu digembleng dan akan dipersiapkan untuk terjun
dalam rimba persilatan, tapi kini hancur. Tak ada lagi yang tersisa.
Laki-laki tua berjubah putih itu bangkit berdiri
setelah menarik napas dalam-dalam. Kemudian dica-
but pedangnya, dan mulai menggali tanah. Sementara
Rangga hanya memperhatikan saja tanpa berkata se-
dikit pun. Ki Murad menggali tanah dengan mengerah-
kan seluruh tenaganya tanpa berhenti. Sebentar saja
keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya.
"Kau belum pulih benar, Ki," kata Rangga mengingatkan luka yang diderita Ki
Murad. "Mereka harus segera dikuburkan, Rangga,"
dengus Ki Murad.
"Biar aku yang mengerjakannya."
Ki Murad berhenti menggali. Dia mendongak
menatap Pendekar Rajawali Sakti itu. Sudah dua lu-
bang digali, dan ini yang ketiga baru sebatas lutut.
Rangga menghampiri dan mengulurkan tangannya.
Sebentar Ki Murad memandangi, kemudian menerima
uluran tangan itu, dan melompat naik.
Ki Murad melangkah mundur setelah berada di
atas lubang. Rangga menggerak-gerakkan tangannya
di depan dada, kemudian berteriak keras. Dihentakkan kedua tangannya beberapa
kali ke depan. Suara ledakan terdengar dahsyat Seketika debu mengepul ke
udara. Sukar untuk dimengerti. Tiba-tiba saja di depan mereka sudah tersedia
sepuluh lubang yang cukup dalam! Meskipun Ki Murad seorang tokoh tua, tapi masih
juga merasa heran dan kagum.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rangga mulai
menguburkan satu persatu mayat murid Ki Murad.
Dengan kekuatan ilmu tenaga dalam yang sudah men-
capai taraf kesempurnaan, Pendekar Rajawali Sakti itu mampu menguburkan sepuluh
mayat dalam waktu tidak berapa lama saja. Sementara Ki Murad hanya bisa
memandangi penuh kekaguman.
"Kau hebat, Rangga. Aku yakin, kau pasti
mampu menandingi iblis keparat itu," puji Ki Murad setelah Rangga selesai
menguburkan sepuluh mayat.
Rangga hanya tersenyum saja. Diputar tubuh-
nya dan dilangkahkan kakinya menghampiri laki-laki
tua berjubah putih itu. Sejenak dipandangi wajah tua di depannya, kemudian
kakinya bergeser ke samping
dan terus berjalan. Ki Murad bergegas memburu, lalu
mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Raja-
wali Sakti. "Mau ke mana, Rangga?" tanya Ki Murad.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Rangga malah balik bertanya.
Ki Murad tersenyum, lalu menepuk pundak
Pendekar Rajawali Sakti itu. Mereka terus berjalan
tanpa berbicara lagi. Sementara matahari sudah naik
semakin tinggi. Sinarnya yang terik sangat menyengat kulit, namun kedua orang
itu terus berjalan dengan
mulut terkunci rapat.
*** Berita tentang tewasnya sepuluh orang murid
Ki Murad serta terbakarnya rumah laki-laki tua yang selalu memakai jubah putih
itu cepat tersebar luas.
Dan berita itu sampai ke telinga Ki Danupaya. Segera diutus beberapa orang anak
buahnya untuk menyeli-diki kebenarannya. Dan begitu orang-orangnya kemba-
li membawa berita kebenaran itu, Ki Danupaya lang-
sung terhenyak lemas di kursinya.
"Apa kau menemukan mayat Ki Murad?" tanya
Ki Danupaya dengan mata kosong menatap seorang
yang memberi laporan.
"Tidak. Bahkan kami hanya menemukan sepu-
luh kuburan yang kelihatannya masih baru," sahut la-ki-laki yang nampak masih
muda itu. "Aku tidak mengerti, apa keinginan orang itu"
Kenapa membantai habis orang-orang yang ada hu-
bungannya dengan Kakang Murad?" gumam Ki Danu-
paya seperti bicara kepada dirinya sendiri. "Barangkali ada unsur dendam,
Gusti," celetuk
pemuda yang mengenakan baju kuning, dan
bagian dada terbuka itu. Tampaklah pada dada yang
bidang itu bulu-bulu dada yang lebat menghitam.
"Dendam..." Lalu, apa hubungannya dengan-
ku" Kenapa mesti menculik anakku dan juga mengin-
car ku" Bahkan membunuh belasan orang-orangku!"
agak tinggi nada suara Ki Danupaya.
Pemuda berkumis tebal yang duduk di lantai
itu, hanya diam saja. Sedangkan tiga orang yang du-
duk di belakangnya tidak membuka mulut sedikit pun.
Mereka semua tahu, apa yang sedang terjadi pada ma-
jikannya ini. Sejak peristiwa malam itu, Ki Danupaya memang tidak pernah tenang.
Terlebih lagi sekarang
ini istrinya masih belum mau keluar dari kamar pribadinya. Tidak heran kalau Ki
Murad selalu uring-
uringan, karena tidak ada lagi yang bisa diajak bicara.
"Gusti...," terdengar ragu-ragu suara pemuda itu.
"Hm.... Ada apa, Gandil?" agak dingin nada suara Ki Danupaya.
"Maaf, Gusti. Apa tidak sebaiknya seluruh desa
kita geledah. Barangkali saja bisa ditemukan petunjuk untuk mengetahui di mana
dan siapa orang itu," kata Gandil mengajukan saran.
"Aku tidak akan melibatkan seorang penduduk
pun, Gandil. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh.
Aku tidak ingin menambah korban lagi," Ki Danupaya menolak usul anak buahnya
itu. "Tapi, Gusti.... Pagi tadi seorang penduduk di-
temukan tewas," lapor Gandil.
"Apa..."!" Ki Danupaya terkejut bukan main.
"Maaf, Gusti. Baru sekarang bisa dilaporkan," ucap Gandil. "Edan! Apa sebenarnya
keinginannya" Mengapa penduduk jadi sasaran juga"!" geram Ki Danupaya semakin
tidak mengerti.
Dan belum juga pertanyaan Ki Danupaya bisa
terjawab, tiba-tiba saja sebatang anak panah melesat masuk menerobos jendela.
Anak panah itu tepat menancap di samping kepala laki-laki setengah baya itu.
Ki Danupaya langsung menggerinjang melompat bang-
kit Hanya dengan sekali lesatan saja, dia sudah men-
capai jendela yang jaraknya cukup jauh. Pada saat itu, terlihat satu bayangan
merah berkelebat ke atas atap.
"Kejar dia...!" perintah Ki Danupaya.
Gandil dan ketiga temannya langsung melom-
pat bangkit Mereka bergegas melompat ke luar, lang-
sung melesat ke atas atap. Sementara Ki Danupaya
memutar tubuhnya, lalu melangkah menghampiri kur-
si yang didudukinya tadi. Tampak sebatang anak pa-
nah berwarna merah tertancap pada sandaran kursi.
Laki-laki setengah baya itu mencabut anak panah, dan memperhatikan sebentar.
Tergores sebaris kalimat pa-da batang anak panah itu. "Jangan ikut campur kalau
ingin selamat!"
"Keparat...!" geram Ki Danupaya.
Laki-laki setengah baya itu mengangkat kepa-
lanya. Saat itu Gandil dan ketiga temannya kembali,
dan langsung membungkukkan tubuhnya memberi
hormat. "Tidak perlu melapor! Kalian pasti gagal mengejarnya!" sergah Ki
Danupaya berang.
"Maaf, Gusti," ucap Gandil.
"Kalian pergi ke tempat Ki Murad. Katakan ka-
lau aku datang sendiri menemuinya!" perintah Ki Danupaya.
"Baik, Gusti."
Gandil dan ketiga temannya kembali menjura
memberi hormat, kemudian bergegas melangkah ke
luar. Sedangkan Ki Danupaya bergegas masuk ke
ruangan dalam rumahnya yang besar dan indah bagai
sebuah istana. *** 5 Di sebelah Timur Lereng Bukit Mangun, tam-
pak Ki Murad tengah berdiri memandang matahari ter-
bit. Sepasang matanya tidak berkedip, menatap lurus
ke satu arah. Sepertinya sedang menunggu seseorang
di tempat ini. Sedangkan tidak jauh di belakangnya,
berdiri Pendekar Rajawali Sakti di bawah naungan se-
batang pohon yang cukup rindang untuk melindungi
dirinya dari sengatan sinar matahari pagi.
Wajah pemuda berbaju rompi putih itu menda-
dak agak menegang ketika menangkap sesosok tubuh
bergerak cepat menuju ke arahnya. Sosok tubuh
bungkuk mengenakan jubah warna merah menyala.
Sedangkan Ki Murad lebih tegang lagi. Beberapa kali
digeser gagang pedangnya yang tergantung di ping-
gang. Mereka terus mengamati sosok tubuh yang se-
makin mendekat itu.
Tampak seorang wanita tua bertubuh bungkuk
menggenggam sebatang tongkat berkepala tengkorak
manusia. Rambutnya yang tidak teratur, meriap ham-
pir menutupi wajahnya yang keriput. Wanita tua ber-
jubah merah menyala itu berhenti tepat sekitar dua
batang tombak di depan Ki Murad. Dia melirik Rangga
yang tidak bergeming sedikit pun dari tempatnya.
"Cukup lama aku menunggu kedatanganmu,
Dewi Iblis," ucap Ki Murad datar.
"HI hi hi...!" wanita tua bertubuh bungkuk yang dipanggil Dewi Iblis itu tertawa
mengikik. Sementara Ki Murad menggeser kakinya ke ka-
nan. Dengan sudut ekor matanya sempat diliriknya
Pendekar Rajawali Sakti. Hatinya sedikit tenang men-
getahui pemuda berbaju rompi putih itu masih berada
di tempat. "Hik hik hik...! Belum pernah kuterima undan-
gan dari seseorang. Apakah kau sudah mampu me-
nandingiku, sehingga berani mengundangku?" terlalu kering nada suara Dewi Iblis.
"Kuharap kau tidak salah paham dulu, Nyai
Dewi. Aku mengundangmu bukan untuk bertarung.
Ada satu pertanyaan yang ingin kuketahui jawabannya
darimu," kata Ki Murad, melunak nada suaranya.
"Huh! Aku paling benci dengan pertanyaan!"
dengus Dewi Iblis.


Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini penting, Nyai Dewi." "Penting bagimu, tapi memuakkan untukku!" "Maaf, Nyai.
Jika tidak kebera-tan, apakah Nyai Dewi mempunyai murid?" Ki Murad tidak peduli
terhadap gerutuan perempuan tua berjubah merah itu.
"Kau sudah berani mengusik pribadiku, Ki Mu-
rad!" dengus Dewi Iblis kurang senang.
"Bukan maksudku mengusik urusan pribadi-
mu, Nyai Dewi Aku bertanya seperti itu karena bela-
kangan ini ada seseorang yang mengacau desa ku. Dia
menggunakan aji 'Mata Kilat'. Dan yang kuketahui,
hanya kaulah yang memiliki ajian itu," kata Ki Murad lagi
"Setan tua! Kau menuduhku...!" bentak Dewi Iblis keras.
"Tunggu, Nyai..!" cegah Ki Murad cepat-cepat ketika Dewi Iblis sudah
menggerakkan tongkatnya.
"Kau sudah menuduhku, Ki Murad. Dan ini
merupakan penghinaan bagiku. Kau harus mampus,
setan tua!" geram Dewi Iblis.
Setelah berkata demikian, Dewi Iblis berteriak
keras. Tubuhnya segera melompat menerjang sambil
mengebutkan tongkatnya ke arah Ki Murad. Tapi be-
lum juga ujung tongkat perempuan tua itu sampai pa-
da sasaran, mendadak saja sebuah bayangan putih
berkelebat cepat memapak serangan itu.
Tak! "Hm...!" Dewi Iblis mendengus seraya menarik pulang tongkatnya.
Perempuan tua itu menatap tajam seorang pe-
muda berbaju rompi putih yang tahu-tahu sudah ber-
diri di depan Ki Murad. Dia menggereng dalam dengan
sinar mata tajam menusuk. Sedangkan Rangga hanya
berdiri tenang sambil melipat tangan di depan dada.
"Jangan mengotori namamu yang sudah penuh
lumpur, Dewi Iblis!" ujar Rangga dingin.
"Pendekar Rajawali Sakti...! Jangan ikut cam-
pur urusanku!" bentak Dewi Iblis.
"Kau sudah berjanji untuk tidak terjun kembali
ke dunia ramai, Dewi Iblis," tetap dingin nada suara Rangga.
Pengantin Dewa Rimba 1 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Jasa Susu Harimau 1
^