Pencarian

Dendam Naga Merah 1

Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah Bagian 1


DENDAM NAGA MERAH Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Dendam Naga Merah
128 Hal. : 12 x 18 cm
1 Awan hitam bergulung-gulung di langit, menye-
limuti Hutan Gading dan sekitarnya. Bahkan gulungan awan hitam itu sampai ke
Desa Jatiwangi yang letak-nya agak jauh dari hutan itu. Angin pun bertiup begitu
kencang. Daun-daun yang tak mampu menahan gempuran angin yang begitu keras bagai
hendak terjadi badai dahsyat, terpaksa berguguran. Langit tampak
kelam, membuat matahari tak mampu lagi memancar-
kan sinarnya ke bumi.
Begitu pekatnya, sehingga suasana siang ini te-
rasa bagaikan malam. Seluruh penduduk Desa Jati-
wangi jadi gelisah melihat keadaan alam yang kelihatan hendak murka. Mereka
menduga-duga, apa yang
bakal terjadi di desa ini. Bahkan semuanya kini ber-bondong-bondong, dan tumpah
ruah di halaman de-
pan rumah kepala desa yang cukup luas. Halaman itu
dipadati hingga tak ada lagi tempat yang tersisa. Sementara awan hitam terus
bergerak semakin pekat
menyelimuti langit di desa itu. Angin pun bertiup semakin kencang, menyebarkan
udara dingin menggigil-
kan tubuh. Satu dua pohon mulai bertumbangan, tak
mampu menahan gempuran angin yang begitu ken-
cang. Penduduk Desa Jatiwangi yang berkumpul di ha-
laman depan rumah kepala desa yang bernama Ki
Rangkuti jadi semakin gelisah saja. Berbagai macam
suara dan pendapat pun mulai terdengar terlontar,
seakan-akan ingin mengalahkan deru angin yang se-
makin bertambah dahsyat saja. Mereka tidak tahu, apa yang bakal terjadi. Belum
pernah tanda-tanda badai
yang begini dahsyat dialami sebelumnya. Sementara
itu di beranda depan, tampak Ki Rangkuti berdiri tegak didampingi anak gadisnya
yang bernama Sekar Telasih. "Tenang kalian semua! Tenang...! Jangan mem-
buat keributan...!" teriak Ki Rangkuti mencoba mene-nangkan warga desanya.
Seruan Ki Rangkuti yang begitu keras, membuat
semua orang yang memadati halaman rumahnya jadi
terdiam. Mereka semua mengarahkan pandangan ke
arah laki-laki tua kepala desa itu. Sedangkan Ki Rangkuti sendiri merayapi tiap-
tiap wajah dengan sinar ma-ta berharap banyak. Keadaan alam yang tampaknya
sedang murka seperti ini, memang membuat semua
orang yang ada di Desa Jatiwangi jadi gelisah. Dan mereka menunggu petunjuk dari
kepala desanya yang be-
gitu dihormati.
"Sebaiknya kalian semua kembali ke rumah ma-
sing-masing. Ini hanya badai biasa saja. Tidak perlu ditakuti...!" seru Ki
Rangkuti dengan suara yang begitu lantang dan keras sekali.
Dari gema suara yang hampir mengalahkan deru
angin keras, jelas kalau Ki Rangkuti mengeluarkannya disertai pengerahan tenaga
dalam. Tapi semua orang
yang memadati halaman rumahnya tidak juga akan
beranjak pergi. Mereka tetap diam dengan raut wajah mencerminkan kecemasan yang
tiada tara. "Dengar..! Ini hanya badai biasa. Cepatlah kalian kembali ke rumah masing-
masing. Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ujar Ki Rangkuti lagi. Suaranya
masih terdengar keras dan lantang.
Para penduduk Desa Jatiwangi itu belum juga
ada yang beranjak pergi. Tapi ketika tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat
menggelegar di angkasa, seketika itu juga mereka berlarian sambil menjerit-jerit
ke- takutan. Ledakan menggelegar tadi langsung disusul
berkelebatnya secercah cahaya kilat. Lidah-lidah kilat itu sempat menyambar
beberapa orang, sehingga seketika itu terjungkal roboh tak bangun-bangun lagi.
Seluruh tubuh mereka hangus bagai terbakar.
Suasana kalang-kabut semakin melanda seluruh
warga Desa Jatiwangi. Sedangkan Ki Rangkuti jadi kebingungan sendiri. Bahkan
beberapa penduduk sudah
menerobos masuk ke dalam rumahnya. Laki-laki tua
berjubah putih itu tidak bisa melarang mereka yang
mencari perlindungan. Sedangkan mereka yang ru-
mahnya dekat dengan tempat tinggal kepala desa itu, sudah menghilang di dalam
rumahnya masing-masing.
Crasss! Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar
disertai sambaran kilat dari angkasa. Sebatang pohon besar yang berdiri di
tengah-tengah halaman rumah Ki Rangkuti, seketika hancur berkeping-keping
tersambar kilat. Kekacauan semakin menjadi-jadi. Orang-orang
yang tadi berkumpul di halaman rumah Ki Rangkuti
itu berlarian tak tentu arah menyelamatkan diri masing-masing. Desa Jatiwangi
benar-benar bagai-kan sedang mengalami kiamat.
Sementara itu kilat semakin sering menyambar
ke bumi, disertai ledakan dahsyat menggelegar meme-
kakkan telinga. Ki Rangkuti terus berteriak-teriak memerintahkan warganya untuk
mencari tempat perlin-
dungan yang aman. Secercah cahaya kilat kembali
berkelebat. Namun, kali ini menyambar langsung ke
sebuah rumah yang terletak tidak seberapa jauh dari rumah kepala desa itu. Tak
dapat dikatakan lagi Rumah itu hancur seketika, sehingga menimbulkan koba-
ran api yang menyebar ke segala arah. Bahkan bebe-
rapa rumah lainnya terkena percikan bunga api dari
sambaran kilat tadi. Lidah api begitu cepat menjilat-jilat apa saja, membuat
orang-orang yang memang su-
dah bingung semakin kalang-kabut.
"Oh, Dewata Yang Agung.... Dosa apa yang telah kami perbuat, sehingga kau
timpakan malapetaka se-hebat ini pada kami...," keluh Ki Rangkuti mendesah
perlahan. "Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa keras menggelegar
di antara deru angin yang begitu keras dan suara-
suara gemuruh guntur yang membelah angkasa. Suara
tawa itu semakin membuat semua orang kalang-kabut.
Bahkan Ki Rangkuti sampai terlompat keluar dari be-
randa rumahnya. Kepalanya segera di tengadahkan ke
atas. Pada saat itu, tampak sebuah bentuk seekor ular naga berukuran sangat
besar luar biasa. Sisiknya berwarna merah menyala bagai darah.
Naga berwarna merah itu melayang-layang di
angkasa, di antara gelombang awan hitam yang me-
nyelubungi seluruh Desa Jatiwangi. Bukan hanya Ki
Rangkuti yang melihat naga merah itu. Bahkan Sekar
Telasih dan semua orang yang berada di situ, melihatnya dengan jelas. Namun
tiba-tiba saja naga merah itu lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan itu, awan
hitam yang menyelubungi angkasa juga sirna. Dan
keadaan pun kembali terang Bahkan angin badai yang
semula mengamuk begitu dahsyat, kini berhenti sama
sekali. "Oh..., pertanda malapetaka apa ini...?" keluh Ki Rangkuti bertanya
sendiri dalam hati.
Kekacauan yang terjadi, mendadak saja lenyap.
Dan keadaan alam yang semula mengamuk begitu
dahsyat kini kembali seperti sediakala. Bahkan tak ada seorang pun yang
mengeluarkan suara. Mereka semua
begitu terpaku pada naga merah yang mengambang,
melayang di angkasa tadi. Sementara api terus berkobar menghanguskan beberapa
rumah yang tadi ter-
sambar petir. *** Ki Rangkuti terduduk lemas di beranda depan
rumahnya. Pandangannya begitu nanar merayapi be-
berapa warga Desa Jatiwangi yang menangis, meratapi rumahnya yang habis terbakar
tak bersisa lagi. Sedangkan sebagian penduduk sudah kembali ke rumah
masing-masing. Memang, tak ada satu rumah pun
yang kelihatan utuh lagi. Badai topan yang begitu dahsyat tadi telah
menghancurkan rumah-rumah mereka.
Tapi, bukan kehancuran ini yang membuat laki-laki
tua berjubah putih itu kelihatan berduka.
Ayah...." Ki Rangkuti mengangkat kepalanya sedikit dan
berpaling begitu mendengar panggilan lembut dari
arah samping kanannya. Tampak seorang gadis cantik
yang sejak tadi berdiri tidak jauh darinya, melangkah menghampiri dan duduk di
samping kepala desa itu.
Ki Rangkuti menarik napas dalam-dalam dan meng-
hembuskannya kuat-kuat. Tangannya meraih tangan
Sekar Telasih, dan menggenggamnya hangat-hangat.
Sesaat mereka saling berpandangan, dengan sinar ma-
ta yang sukar diartikan.
"Naga Merah itu mengingatkan aku pada Nyi
Rongkot si Ular Betina...," kata Ki Rangkuti, agak menggumam nada suaranya.
Seakan-akan dia bicara
pada diri sendiri.
Sedangkan Sekar Telasih hanya diam saja mem-
bisu. Dia tahu, apa yang baru saja dikatakan ayahnya
ini. Tentu saja peristiwa yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Desa
Jatiwangi ini tidak bisa terlupakan begitu saja.
Desa Jatiwangi ini memang pernah kedatangan
seorang tokoh wanita rimba persilatan yang berkepandaian sangat tinggi. Wanita
tua itu bernama Nyi Rongkot, dan lebih dikenal dengan julukan Ular Betina.
Kedatangan si Ular Betina ke desa ini bukan saja
menimbulkan malapetaka bagi diri Ki Rangkuti. Tapi, juga bagi seluruh penduduk
Desa Jatiwangi. Bahkan
hampir saja dia tewas dalam peristiwa itu (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti,
dalam kisah " Naga Merah").
Dan tadi.., baru saja muncul seekor naga merah di
angkasa yang didahului terjadinya badai topan begitu dahsyat luar biasa.
Sehingga, desa ini bagaikan hendak kiamat saja rasanya.
"Tapi, Ayah. Nyi Rongkot sudah tewas di tangan
Pendekar Rajawali Sakti...," bantah Sekar Telasih seperti mengingatkan.
"Di dalam kehidupan orang-orang persilatan, terlalu banyak hal yang sukar bisa
diterima akal, Sekar.
Terlebih lagi, Nyi Rongkot memiliki kepandaian tinggi sekali," balas Ki
Rangkuti, masih dengan nada suara perlahan.
"Maksud, Ayah.... Nyi Rongkot masih hidup, dan sekarang muncul lagi hendak
membalas dendam?"
terka Sekar Telasih.
Gadis itu memang cerdas, dan bisa cepat mener-
ka maksud pembicaraan seseorang. Terlebih lagi ter-
hadap ayahnya, yang sudah diketahui watak maupun
kemauannya. Sehingga, isi hati dan pikiran orang tua itu bias cepat diterka.
"Hhh...!" Ki Rangkuti hanya menghembuskan nafasnya saja.
Terasa begitu berat sekali tarikan nafasnya. Per-
lahan Ki Rangkuti bangkit berdiri dan melangkah
sampai ke depan beranda rumahnya. Pandangannya
kembali tertuju pada para penduduk yang masih sibuk membenahi rumahnya.
Sementara, Sekar Telasih masih tetap duduk di kursi yang terbuat dari bahan
rotan itu. Dia kemudian bangkit berdiri lalu berjalan menghampiri ayahnya. Gadis
itu berdiri di samping kanan ayahnya yang masih tetap diam memandangi orang-
orang yang sibuk membenahi rumah yang rusak aki-
bat terlanda badai.
"Rasanya sulit dipercaya kalau Nyi Rongkot ma-
sih hidup...," gumam Sekar Telasih seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenyataannya dia sudah muncul, dan
membuat tanda malapetaka tadi," sergah Ki Rangkuti.
"Ayah, apa tidak sebaiknya kita memberitahukan hal ini pada Pendekar Rajawali
Sakti...?" usul Sekar Telasih.
"Kau tahu, di mana menghubunginya?" tanya Ki Rangkuti seperti menguji.
Sekar Telasih tidak bisa menjawab pertanyaan
itu. Jangankan menghubungi, mengetahui di mana
Pendekar Rajawali Sakti sekarang berada saja tidak
mungkin bisa diketahui. Waktu itu kedatangan Pende-
kar Rajawali Sakti juga secara tiba-tiba dan tidak diketahui. Dan kepergiannya
pun tanpa ada seorang pun
yang tahu. Sekar Telasih kini tahu, apa yang sekarang menjadi beban pikiran
ayahnya. Rasanya memang tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi kegana-
san Nyi Rongkot si Ular Betina itu. Tingkat kepan-
daiannya terlalu tinggi bagi mereka.
Naga Merah yang terlihat di angkasa tadi, me-
mang merupakan suatu pertanda akan datang malape-
taka di Desa Jatiwangi ini. Tapi tak ada seorang pun yang bisa menebak,
malapetaka apa yang akan terjadi nanti. Bukan hanya Sekar Telasih yang tidak
bisa menebak. Bahkan Ki Rangkuti sendiri tidak bisa mendu-
ga-duga. Tapi mereka sudah yakin, malapetaka itu
akan datang dengan cepat, dan tentunya lebih dahsyat dari yang pertama dahulu.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ayah?"
tanya Sekar Telasih.
"Rasanya tidak ada waktu lagi untuk melakukan
sesuatu," jelas Ki Rangkuti, menggumam.
"Bagaimanapun juga, kita harus berusaha sebe-
lum si Ular Betina itu datang, Ayah," tegas Sekar Telasih memberi dorongan
semangat. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ki Rangkuti ingin tahu.
"Aku akan mengundang beberapa pendekar
tangguh sahabat kita, Ayah," jawab Sekar Telasih mantap. "Kau akan pergi dari
sini?" Ki Rangkuti menggeleng-gelengkan kepala. Dia
tidak yakin rencana anak gadisnya akan berhasil. La-ki-laki tua itu kenal betul
watak Nyi Rongkot yang berjuluk si Ular Betina. Sekali saja memberi tanda, maka
tidak akan ada seorang pun yang bisa keluar dari desa ini dalam keadaan hidup.
Bahkan tak akan ada seorang pun yang bisa masuk ke desa ini. Dan itu berarti
seluruh penduduk Desa Jatiwangi benar-benar tinggal menunggu nasib saja. Namun
Ki Rangkuti lebih senang bila menggunakan kata menunggu kematian. Hal
ini bisa dikatakannya, karena mengingat watak Nyi
Rongkot yang tidak pernah kepalang tanggung jika sudah melakukan tindakan balas
dendam. "Kau tidak akan bisa keluar dari desa ini, Sekar,"
tegas Ki Rangkuti dengan kepala masih bergerak
menggeleng perlahan.


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku yakin bisa, Ayah," tekad Sekar Telasih.
"Tidak mungkin.... Itu sangat mustahil."
"Kenapa...?" Sekar Telasih jadi ingin tahu.
"Kau tidak akan mengerti, Sekar. Nyi Rongkot telah memberi tanda kehancuran dan
kematian bagi se-
luruh penduduk Desa Jatiwangi ini. Dan itu berarti tidak akan ada seorang pun
yang bisa keluar atau ma-
suk desa ini. Aku kenal betul wataknya. Jadi, aku tidak ingin kau mendapat
celaka jika terus memaksakan keinginanmu," Ki Rangkuti mencoba memberi
penjelasan. Sekar Telasih jadi terdiam. Memang semua yang dikatakan ayahnya
barusan tidak bisa lagi dibantah-nya. Meskipun gadis itu tidak begitu tahu
seluruhnya akan watak dan tindakan Ular Betina, tapi paling tidak pernah
menghadapi perempuan tua itu. Kekejamannya
memang tidak bisa dikatakan lagi. Bagi si Ular Betina, membunuh merupakan
pekerjaan yang paling mudah.
Semudah membalikkan telapak tangan. Untung waktu
itu penduduk Desa Jatiwangi ditolong Pendekar Raja-
wali Sakti. Sehingga, pembantaian seluruh penduduk
dapat ditekan sekecil mungkin.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan...?" tanya Sekar Telasih setelah berdiam diri
cukup lama juga.
"Diam, dan menunggu perkembangan selanjut-
nya," sahut Ki Rangkuti.
*** Malam sudah begitu larut. Sementara itu Ki
Rangkuti masih juga berada di depan rumahnya yang
besar. Rumah yang juga digunakan untuk tempat ber-
latih ilmu olah kanuragan para pemuda Desa Jati-
wangi. Selain sebagai kepala desa, Ki Rangkuti juga dikenal sebagai Ketua
Padepokan Jatiwangi. Sebuah pa-
depokan yang didirikan untuk mendidik pemuda-
pemuda desa ini agar memiliki kepandaian. Dengan
demikian, mereka dapat menjaga keamanan dan ke-
tenteraman desanya.
Saat itu Ki Rangkuti melihat empat orang menda-
tanginya dari arah depan. Salah seorang yang berjalan paling depan, sudah sangat
dikenali. Dialah Sayuti, salah seorang pengajar ilmu olah kanuragan di Padepokan
Jatiwangi ini. Keempat orang itu segera menjura memberi hormat begitu sampai di
depan Ki Rangkuti
yang masih tetap berdiri membelakangi rumahnya.
"Bagaimana" Sudah kau tempatkan mereka di
tempat-tempat rawan?" tanya Ki Rangkuti langsung.
"Sudah, Ki. Tinggal sekitar sepuluh orang saja yang tinggal di padepokan," sahut
Sayuti. Kepala Ki Rangkuti terangguk-angguk. Memang
hanya itu saja yang bisa dilakukan untuk berjaga-jaga, setelah peristiwa
mengejutkan yang membuatnya
menduga kalau Nyi Rongkot masih hidup. Memang, dia
sendiri tidak yakin akan berhasil baik dengan tindakannya sekarang ini. Tapi
untuk menjaga segala ke-
mungkinan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, tak ada cara lain yang harus
dilakukannya, selain me-ningkat-kan penjagaan keamanan di setiap pelosok
Desa Jatiwangi.
"Ki..," ujar Sayuti terputus.
"Ada apa, Sayuti?" desah Ki Rangkuti.
"Apa benar Ular Betina akan datang dan memba-
las dendam?" tanya Sayuti, terdengar ragu-ragu nada suaranya.
"Aku baru menduga begitu. Tapi tanda yang di-
berikannya tidak bisa kuabaikan begitu saja. Tidak
ada seorang tokoh pun di dunia ini yang mempunyai
lambang Naga Merah. Hanya si Ular Betina itu saja
yang memilikinya," jelas Ki Rangkuti.
Sayuti terdiam. Dia juga melihat Naga Merah di
angkasa ketika terjadi badai yang melanda secara aneh di desa ini siang tadi.
Dan memang tidak bisa disalahkan jika Ki Rangkuti memerintahkan seluruh murid
Padepokan Jatiwangi untuk melipatgandakan penja-
gaan di seluruh pelosok desa ini.
"Ki, apa tidak mungkin si Ular Betina itu akan mengambil Nini Sekar Telasih
lagi...?" kembali Sayuti membuka suaranya.
"Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan
Sekar Telasih dan membunuhku. Bahkan pasti akan
membumihanguskan seluruh desa ini. Aku tahu betul
wataknya yang kejam dan tidak mengenal ampun itu.
Hhh.... Sebaiknya kalian tetap bersiaga, dan jangan lengah sedikit pun juga.
Kalau ada sesuatu yang terjadi, kalian harus cepat laporkan padaku," pinta Ki
Rangkuti. "Baik, Ki," sahut Sayuti dan empat orang pendampingnya serempak.
"Kembalilah kalian ke tempat masing-masing,"
ujar Ki Rangkuti.
Setelah menjura memberi hormat, Sayuti dan ke-
tiga orang temannya yang juga sama-sama pengajar di Padepokan Jatiwangi, segera
melangkah pergi meninggalkan orang tua itu seorang diri. Sepeninggal mereka, Ki
Rangkuti masih tetap berdiri mematung di depan
rumahnya. Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya
yang begitu berat dan dalam.
"Hik hik hik...!"
"Heh..."!"
Ki Rangkuti terkejut setengah mati ketika tiba-
tiba terdengar suara tawa mengikik keras. Begitu terkejutnya, sampai-sampai
terlompat ke belakang bebe-
rapa langkah. Belum juga rasa keterkejutannya hilang, mendadak saja dari atas
kepalanya melesat sebuah
bayangan merah yang begitu cepat luar biasa. Untung saja Ki Rangkuti cepat
merundukkan kepala, sehingga hanya hembusan angin saja yang menerpa rambut putih
di kepalanya. Dan begitu tubuhnya ditegakkan
kembali, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseo-
rang berbaju merah menyala yang begitu longgar dan
panjang, sehingga menutupi seluruh bagian kakinya.
"Hm...," Ki Rangkuti menggumam perlahan.
*** 2 "Siapa kau..."!" tanya Ki Rangkuti. Suaranya terdengar dingin.
"Kau tidak mengenaliku lagi, Rangkuti...?" terdengar serak dan datar sekali
suara orang berjubah merah itu. "Lihat aku baik-baik, Rangkuti. Kau akan tahu
siapa aku."
Ki Rangkuti menyipitkan sedikit matanya, men-
coba melihat wajah orang berjubah merah di depan-
nya. Jantung Ki Rangkuti seketika seperti berhenti
berdetak ketika orang berjubah merah itu menyibak-
kan rambutnya yang panjang teriap tak teratur. Se-
hingga, seluruh wajahnya dapat terlihat jelas di bawah siraman cahaya rembulan.
"Nyi Rongkot...," desis Ki Rangkuti hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. "Hik hik hik...! Kau sekarang tahu siapa aku,
Rangkuti...?" semakin dingin nada suara wanita tua berjubah merah yang ternyata
memang Nyi Rongkot,
atau berjuluk Ular Betina.
Ki Rangkuti masih merayapi wajah tua di depan-
nya. Sungguh tidak disangka kalau si Ular Betina itu masih tetap hidup. Bahkan
sekarang tengah berdiri di depannya. Semula hanya diduga-duga saja atas keja-
dian siang tadi. Tapi kini bukan lagi menduga, melainkan suatu kenyataan yang
harus dihadapinya. Nyi
Rongkot ternyata masih hidup!
"Bagaimana mungkin kau masih bisa hidup, Nyi
Rongkot..?" tanya Ki Rangkuti masih diliputi perasaan herannya.
"Kau tidak perlu tahu, Rangkuti. Hidup dan ma-
tiku bukan urusanmu!" sahut Nyi Rongkot, begitu dingin nada suaranya.
"Apa maksudmu datang lagi ke sini...?" tanya Ki Rangkuti mulai dingin kembali
suaranya. "Hik hik hik...! Kenapa mesti kau tanyakan,
Rangkuti" Seharusnya kau sudah tahu maksud keda-
tanganku ke sini. Kau toh, bukan orang bodoh!" sahut Nyi Rongkot bernada
menghina. "Jika ingin mengambil Sekar Telasih dan meng-
hancurkan desa ini, kau tentu juga sudah tahu apa
yang akan kulakukan, Nyi Rongkot," tegas Ki Rangkuti.
"Hik hik hik...! Bagus...! Memang itu yang kuharapkan, Rangkuti. Tapi jangan
harap aku akan mela-
kukannya begitu saja. Terlalu enak bagimu jika desa ini kuhancurkan sekaligus.
Kau sudah membuatku
begitu menderita. Dan sekarang, aku akan membuat-
mu merasakan bagaimana penderitaan itu, Rangkuti,"
kata Nyi Rongkot bernada mengancam.
"Apa maksudmu...?" sentak Ki Rangkuti, agak
bergetar suaranya.
"Hik hik hik...!"
Si Ular Betina itu tidak menjawab pertanyaan Ki
Rangkuti barusan. Sambil memperdengarkan tawanya
yang mengikik mengerikan, Nyi Rongkot melesat pergi cepat sekali. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekeja-pan mata saja sudah tidak terlihat lagi
bayangannya. 'Tunggulah hari-hari penderitaanmu, Rangkuti!
Hik hik hik...!"
"Setan...!" dengus Ki Rangkuti menggeram.
Sayang sekali, laki-laki tua itu tidak bisa lagi
mengejar. Ilmu meringankan tubuh si Ular Betina itu memang sudah mencapai
tingkat sempurna, sehingga
bisa melesat begitu cepat bagaikan kilat. Dia seperti lenyap begitu saja bagai
ditelan bumi. Ki Rangkuti
hanya bisa mendengus dan menggerutu dalam hati.
Kemunculan Ular Betina yang begitu tiba-tiba dan
mengejutkan barusan, tentu sudah bisa diramalkan
maksudnya. "Hhh...! Aku tidak tahu, apa yang akan dilaku-
kannya. Wanita keparat itu memiliki seribu macam ca-ra untuk membuat orang
menderita sepanjang hidup,"
dengus Ki Rangkuti, bicara pada diri sendiri.
Saat itu terdengar suara langkah-langkah kaki
yang terdengar cepat, menghampirinya dari arah belakang. Perlahan laki-laki tua
berjubah putih itu memutar tubuhnya berbalik. Tampak Sekar Telasih meng-
hampirinya dengan langkah cepat setengah berlari. Ki Rangkuti menunggu saja
sampai gadis itu berada dekat di depannya.
"Ada apa, Ayah" Tadi kudengar ada suara orang
lain di sini," tanya Sekar Telasih langsung.
"Perempuan iblis itu benar-benar masih hidup.
Baru saja dia muncul di sini," jawab Ki Rangkuti, ma-
sih dengan nada suara agak mendengus geram.
"Maksud, Ayah..." Ular Betina...?" agak terbeliak bola mata Sekar Telasih.
Ki Rangkuti hanya menganggukkan kepala saja,
kemudian melangkah menuju beranda depan rumah-
nya. Sekar Telasih bergegas mengikuti dari belakang.
Mereka kemudian duduk di sebuah bangku panjang
dari rotan di beranda depan rumah yang berukuran
sangat besar. Untuk beberapa saat mereka terdiam, tidak saling membuka suara.
Sementara beberapa kali
terdengar tarikan napas Ki Rangkuti yang panjang dan berat sekali. Seakan-akan,
dia ingin melonggarkan
rongga dadanya yang terasa begitu sesak, bagai ter-
himpit sebongkah batu yang teramat besar dan berat.
"Jadi dia benar-benar masih hidup, Ayah...?"
tanya Sekar Telasih ingin memastikan lagi.
"Ya! Dia masih hidup dan ingin melaksanakan
maksudnya yang gagal waktu itu," sahut Ki Rangkuti.
"Ohhh...," Sekar Telasih mendesah panjang. Lemas seluruh tubuh Sekar Telasih
saat itu juga. Betapa tidak..." Gadis itu tahu, apa yang dimaksudkan ayahnya
barusan. Dan dia juga sudah tahu kalau dirinya
diakui Nyi Rongkot sebagai anaknya. Sedangkan gadis itu sendiri tidak pernah
mengakui kalau Nyi Rongkot adalah ibu yang telah melahirkannya. Memang tidak
ada seorang pun yang sudi mengakui wanita iblis itu sebagai saudara. Apalagi
ibu. Padahal, Ki Rangkuti
sendiri sudah mengatakan kalau Sekar Telasih me-
mang anak tunggal Nyi Rongkot. Tapi, gadis itu tetap hanya memilih Ki Rangkuti
sebagai orang tuanya (Semua akan jelas jika anda mengikuti serial Pendekar
Rajawali Sakti, dalam kisah " Naga Merah").
"Bukan hanya kau saja yang diinginkannya, Se-
kar. Tapi, kematianku juga diinginkannya. Aku akan
dibuat menderita terlebih dahulu sebelum pada akhirnya dikirim ke liang kubur,"
jelas Ki Rangkuti lagi. Masih terdengar perlahan suaranya.
"Kita tidak boleh menyerah begitu saja, Ayah. Ki-ta harus bisa bertahan. Paling
tidak, memberikan perlawanan," tegas Sekar.
"Ya! Kita memang akan mempertahankannya.
Meskipun, kita sendiri tahu tidak akan ada gunanya,"
sahut Ki Rangkuti jadi bersemangat melihat kegigihan gadis ini.
"Apa pun yang terjadi, aku tetap anakmu, Ayah.
Aku bukan anak perempuan iblis itu!" dengus Sekar Telasih berapi-api.
Ki Rangkuti jadi terharu mendengar kata-kata
Sekar Telasih yang begitu bersemangat dan berapi-api.
Maka keharuannya tidak bisa lagi tertahankan. Di-
rengkuhnya gadis itu ke dalam pelukannya. Beberapa
saat mereka berpelukan, menumpahkan rasa kasih
dan cinta yang begitu mendalam. Perlahan Ki Rangkuti melepaskan pelukannya.
Ditatapnya bola mata Sekar
Telasih dalam-dalam, lalu lembut sekali kening gadis itu diciumnya.
"Sudah malam. Sebaiknya kau tidur," ujar Ki Rangkuti lembut.
"Ayah juga harus istirahat, dan harus menjaga
kesehatan badan," kata Sekar Telasih memperlihatkan perhatian dan kasih
sayangnya. Ki Rangkuti tersenyum dan mengangguk. Sekar
Telasih bangkit berdiri, lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara Ki
Rangkuti masih tetap duduk
bersila di bangku beranda depan rumahnya yang san-
gat luas ini. "Dewata Yang Agung.... Beri petunjuk padaku
untuk menghadapi Ular Betina itu," desah Ki Rangkuti
seraya menengadahkan kepala ke atas.
*** Ki Rangkuti cepat melompat bangkit dari pemba-
ringannya, begitu mendengar ketukan di pintu kamar-
nya. Sempat disambarnya senjata yang berupa sebilah keris dari atas meja di
samping tempat tidur. Hanya sekali lompat saja, laki-laki tua kepala desa itu
sudah mencapai pintu, dan segera membukanya. Di depan
pintu itu sudah berdiri Sayuti yang didampingi tiga orang temannya, pengajar
Padepokan Jatiwangi.
"Ada apa...?" tanya Ki Rangkuti langsung.
"Bagian Selatan desa habis diporakporandakan,
Ki. Tak ada seorang penduduk pun yang tersisa," lapor Sayuti.
"Apa..."!"
Bukan main terperanjatnya Ki Rangkuti mende-
ngar laporan salah satu orang kepercayaannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
dia bergegas keluar.


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayunan langkahnya begitu cepat dan lebar-lebar,
membuat Sayuti dan ketiga temannya terpaksa harus
menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk men-
gimbanginya. Di depan pintu rumah, Ki Rangkuti dihadang Se-
kar Telasih yang tampak sudah siap hendak bepergian.
Sebilah pedang sudah tersandang di pinggangnya. Kali ini gadis itu mengenakan
pakaian kependekaran yang
begitu ketat dan berwarna merah muda. Celananya se-
batas lutut, sehingga memperlihatkan sepasang betis yang begitu indah dan mulus.
Ki Rangkuti terpaksa
menghentikan langkahnya di depan pintu.
"Aku ikut" pinta Sekar Telasih tegas.
"Jangan Sekar. Kau tidak akan tahan melihat-
nya," tolak Ki Rangkuti.
"Aku bukan lagi gadis yang dulu, Ayah. Sekar
yang dulu sudah mati. Yang ada sekarang ini adalah
Sekar Telasih, putri Ketua Padepokan Jatiwangi," lagi-lagi Sekar Telasih berkata
tegas. "Kau belum ada satu tahun mempelajari ilmu
olah kanuragan, Sekar. Kau tidak akan tahan melihatnya nanti. Sebaiknya...."
"Aku bisa pergi sendiri!" potong Sekar Telasih cepat. Gadis itu cepat memutar
tubuhnya, lalu berlari menghampiri kuda yang sudah siap tidak jauh dari beranda
depan rumah itu. Sejenak Ki Rangkuti jadi ke-
bingungan melihat tekad yang begitu bulat pada diri Sekar Telasih.
"Sekar, tunggu...!"
Tapi Sekar Telasih sudah keburu melompat naik
ke punggung kudanya. Langsung digebahnya kuda itu
hingga melesat cepat Ki Rangkuti tidak bisa berbuat lain lagi. Cepat-cepat dia
melompat naik ke punggung kuda, dan segera menggebahnya dengan cepat Sayuti
dan ketiga temannya juga segera mengikuti. Meskipun sudah berusia lanjut, tapi
Ki Rangkuti masih begitu tangkas mengendalikan binatang tunggangannya. Sebentar
saja Sekar Telasih yang berkuda lebih dahulu sudah bisa disusul.
"Sekar...," panggil Ki Rangkuti terputus.
"Ini bukan hanya masalah Ayah saja. Tapi, juga menyangkut diriku. Tidak mungkin
aku tinggal diam
menunggu begitu saja, Ayah. Aku juga harus ikut ter-libat" kata Sekar cepat
sebelum Ki Rangkuti melanjutkan ucapannya.
"Tapi dengarlah dulu kata-kataku, Sekar. Yang
kita hadapi sekarang ini bukan orang sembarangan.
Ilmunya demikian tinggi. Dan aku sendiri belum tentu
bisa menghadapinya. Sedangkan kau juga belum lama
mempelajari ilmu olah kanuragan. Aku ingin, kau bisa menahan diri. Jangan sampai
terpancing oleh siasat-nya," bujuk Ki Rangkuti mencoba menasihati gadis itu.
"Aku akan melihat, sampai sejauh mana perbua-
tan perempuan iblis itu, Ayah," balas Sekar Telasih tetap tegas.
"Biar bagaimanapun, dia tetap...."
"Tidak! Dia bukan ibuku!" sentak Sekar Telasih cepat memutuskan ucapan Ki
Rangkuti. "Tidak ada seorang pun yang sudi punya ibu ja-
hat Dia bukan ibuku! Tapi iblis...!"
"Sekar...."
"Jangan katakan itu lagi, Ayah," potong Sekar Telasih cepat.
Ki Rangkuti tidak bisa lagi berkata-kata. Sung-
guh baru kali ini Sekar Telasih kelihatan begitu keras.
Tekadnya benar-benar keras, seperti batu karang di
lautan yang tak pernah habis meskipun setiap saat selalu digempur gelombang
ombak. Memang Sekar Tela-
sih sudah jauh berubah. Dia bukan lagi gadis manja
yang tidak mampu melakukan sesuatu.
Sejak empat guru pengajar Padepokan Jatiwangi
menggemblengnya dengan berbagai macam ilmu olah
kanuragan selama hampir setahun, Sekar Telasih su-
dah berubah jauh. Bahkan sifat manjanya telah hilang sama sekali. Sekar Telasih
telah benar-benar berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Bukan hanya Sayuti.
Bahkan Darmaji, Gagak Aru, dan Walikan mengakui
kalau Sekar Telasih memiliki bakat luar biasa dalam mempelajari jurus-jurus ilmu
olah kanuragan. Belum
ada setahun, Sekar Telasih telah melebihi tingkatannya dari murid-murid yang
lebih lama belajar di padepokan itu.
Terlebih lagi, Sekar Telasih mengkhususkan diri
memperdalam jurus-jurus permainan pedang. Sehing-
ga, tak ada seorang pun murid Padepokan Jatiwangi
yang bisa menandingi kepandaiannya dalam permain-
an jurus-jurus pedang. Perubahan pada dirinya terjadi setelah Sekar Telasih
menyadari betapa pentingnya
mempelajari ilmu olah kanuragan untuk membela diri.
Pengalaman pahitnya telah membuka mata hati gadis
itu, yang sebelumnya tidak pernah tertarik terhadap ilmu-ilmu kepandaian.
Sementara itu enam kuda terus bergerak menuju
ke arah Selatan dari Desa Jatiwangi. Ki Rangkuti tidak lagi berusaha membujuk
Sekar Telasih untuk kembali
ke rumah. Dibiarkan saja gadis itu berkuda di sam-
pingnya. *** Sekar Telasih meringis melihat keadaan di bagian
Selatan Desa Jatiwangi. Tak ada satu rumah pun yang kelihatan masih berdiri.
Mayat bergelimpangan di ma-na-mana. Bau anyir darah menyeruak tajam menusuk
hidung. Hampir saja gadis itu tidak tahan melihat pemandangan yang begitu
mengerikan dan mengenaskan
sekali. Bukan hanya mayat orang dewasa saja yang
terlihat bergelimpangan di sepanjang jalan ini. Bahkan mayat anak-anak dan bayi
terlihat juga di antara re-runtuhan rumah dan mayat-mayat lain yang bersera-
kan tak tentu arah.
Asap tipis masih terlihat mengepul di beberapa
tempat. Benar-benar suatu pemandangan yang tidak
sedap dinikmati. Sementara Ki Rangkuti yang duduk
di punggung kudanya di samping Sekar Telasih, hanya bisa menggeretakkan
gerahamnya begitu melihat hasil
kekejaman Ular Betina. Perempuan berhati iblis itu
benar-benar tidak lagi menyisakan seorang pun untuk hidup.
"Aku akan kembali, Ayah," kata Sekar Telasih ti-ba-tiba, sambil memutar kudanya.
Tanpa menunggu jawaban Ki Rangkuti lagi, gadis
itu segera menggebah kudanya meninggalkan bagian
Selatan Desa Jatiwangi ini.
"Darmaji, temani putriku," perintah Ki Rangkuti.
"Baik, Ki," sahut Darmaji langsung menggebah kudanya menyusul Sekar Telasih.
"Hiya! Hiyaaa...!"
"Berapa orang kau tempatkan di sini, Sayuti?"
tanya Ki Rangkuti seraya merayapi mayat-mayat di sekitarnya.
"Sepuluh orang, Ki," sahut Sayuti yang kini sudah berada di samping laki-laki
tua berjubah putih itu.
"Bagaimana keadaan mereka?"
'Tak ada seorang pun yang hidup," sahut Sayuti perlahan.
"Hhh...!" Ki Rangkuti menghembuskan napas berat. Laki-laki tua Kepala Desa
Jatiwangi itu melompat turun dari punggung kudanya. Sayuti, Gagak Aru, dan
Walikan ikut melompat turun dari punggung kuda
masing-masing. Walikan bergegas mengambil tali ke-
kang kuda Ki Rangkuti sambil menuntun kuda mas-
ing-masing, mereka berjalan mengikuti Ki Rangkuti
yang berjalan paling depan. Hampir semua mayat yang berserakan di sepanjang
jalan ini diperiksa. Memang tak ada satu pun yang kelihatan masih hidup. Semua
tewas dengan luka-luka di tubuh. Darah yang berceceran, terlihat sudah hampir
mengering. Itu berarti baru semalam sebagian dari Desa Jatiwangi dihancurkan.
"Sebaiknya kita kembali saja, Ki. Tak ada lagi
yang bisa dilakukan di sini," ujar Sayuti memecah kebisuan yang terjadi di
antara mereka. "Ya.... Memang tak ada yang bisa kita lakukan,"
desah Ki Rangkuti perlahan. "Kita tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan
keangkaramurkaan
Ular Betina."
"Kami semua akan mempertaruhkan nyawa, Ki,"
tekad Sayuti mewakili teman-temannya.
"Terima kasih atas kesetiaan kalian semua. Tapi
aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian. Hhh...,"
ucap Ki Rangkuti disertai hembusan napas panjang
dan terasa berat sekali.
Laki-laki tua itu menghentikan ayunan langkah-
nya. Tubuhnya berbalik, lalu matanya merayapi ketiga guru pengajar di padepokan
yang didirikannya hampir setahun yang lalu. Sedangkan yang dipandangi hanya
menundukkan kepala saja, seakan-akan mereka tidak
sanggup membalas tatapan mata Ketua Padepokan Ja-
tiwangi itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam, tak ada yang membuka
suara sedikit pun. Se-
mentara suasana memang terasa begitu sunyi mence-
kam. "Desa Jatiwangi sudah berada di ambang kehancuran. Dan aku tidak ingin
lebih banyak lagi melihat mereka yang tak berdosa harus mati sia-sia. Juga
kalian bertiga...," ungkap Ki Rangkuti. Suaranya begitu perlahan, bahkan hampir
tak terdengar. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Me-
reka terdiam dengan kepala masih tertunduk dalam,
menekuri tanah di ujung kakinya. Sebentar Ki Rang-
kuti menarik napas dalam-dalam, dan menghem-
buskannya kuat-kuat, seakan-akan ingin melonggar-
kan rongga dadanya yang mendadak saja jadi terasa
begitu sesak. Pokoknya, seperti terhimpit sebongkah
batu yang sangat besar, sehingga membuat pernafa-
sannya seperti terhambat.
"Apa yang kau inginkan dari kami, Ki?" tanya Sayuti memecah kebisuan kembali.
"Aku ingin kalian membawa semua penduduk
desa ini ke tempat yang lebih aman, dan tidak terjangkau si Ular Betina," jelas
Ki Rangkuti setelah menghembuskan napas panjang.
"Mustahil.... Itu tidak mungkin, Ki," desah Sayuti.
'Benar, Ki. Ular Betina tidak akan membiarkan
seorang pun keluar dari desa ini," sambung Gagak Aru. "Aku hanya ingin kalian
menyelamatkan semua penduduk dari kebiadaban si Ular Betina itu," kata Ki
Rangkuti lagi. 'Tapi bagaimana caranya, Ki...?" tanya Walikan yang sejak tadi diam saja. "Yang
pasti, dia tidak seorang diri. Dan Desa Jatiwangi sudah terawasi dari luar.
Mereka tak mungkin memberi sedikit celah pada kita
untuk keluar dari desa ini. Kalaupun ada, itu pasti hanya jebakan saja untuk
membantai habis siapa saja yang mencoba keluar dari desa ini."
"Kalian rupanya sudah begitu paham akan sifat
dan watak si Ular Betina," desah Ki Rangkuti.
"Kami tahu betul, Ki," ujar Sayuti.
"Kalau sudah tahu, kalian harus bisa menyela-
matkan penduduk desa ini dari kehancuran," tegas Ki Rangkuti lagi.
"Kami akan menghadapinya sekuat tenaga dan
kemampuan kami, Ki," tegas Sayuti bertekad.
"Kalian tidak ada artinya bagi si Ular Betina. Dia bisa membunuh kalian semua,
semudah membalikkan
telapak tangan."
"Kami rela mati untuk itu, Ki," selak Gagak Aru.
"Itulah yang tidak kuinginkan. Aku ingin kalian tetap hidup dan dapat meneruskan
Padepokan Jatiwangi yang kita dirikan dengan darah dan keringat.
Kalian ingat peristiwa berdirinya Padepokan Jatiwangi, bukan..." Tidak mudah
mendirikan sebuah padepokan. Apalagi mempertahankannya. Dan aku ingin
kalian tetap mempertahankannya. Jadi, kalian harus
tetap hidup walau Desa Jatiwangi jadi lautan api," tegas sekali kata-kata yang
diucapkan Ki Rangkuti.
"Kami akan selalu setia padamu, Ki. Juga pada
Padepokan Jatiwangi," tegas Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan serempak seraya
menjura memberi penghormatan.
"Aku tidak meragukan kesetiaan kalian. Dan aku juga tidak meragukan kemampuan
kalian membawa keluar seluruh penduduk desa ini," kata Ki Rangkuti lagi. Sayuti, Gagak Aru, dan
Walikan hanya saling
melempar pandangan saja. Mereka tidak bisa lagi berkata lain. Terlebih lagi
membantah keinginan kepala desa, dan juga Ketua Padepokan Jatiwangi ini. Mereka
tahu, Ki Rangkuti tidak menginginkan ada pembantaian lagi di Desa Jatiwangi ini
Tapi keadaan yang dihadapi memang tidak mudah diatasi. Mereka kini be-
nar-benar terjepit.
"Kalian atur saja bagaimana caranya," kata Ki Rangkuti lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Rangkuti mengam-
bil. tali kekang kudanya dari tangan Walikan. Kemu-
dian, dia melompat naik ke punggung kudanya dengan
gerakan begitu ringan dan manis sekali. Tanpa berbicara lagi, laki-laki tua yang
selalu mengenakan baju jubah putih panjang itu melompat naik ke punggung
kudanya. "Ayo, kita kembali...," ajak Ki Rangkuti.
Sayuti, Gagak Aru, dan Walikan bergegas ber-
lompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Tak
berapa lama kemudian, mereka sudah bergerak cepat
meninggalkan bagian desa yang sudah rata dibumi-
hanguskan itu. Mereka cepat memacu kudanya, me-
ninggalkan debu yang mengepul membumbung tinggi
ke angkasa. "Sayuti...!" panggil Ki Rangkuti.
"Ya, Ki," sahut Sayuti seraya menghampiri, dan mensejajarkan langkah kudanya di
samping kuda laki-laki tua berjubah putih itu.
"Jika kau bisa keluar dari desa ini, usahakan
temui Pendekar Rajawali Sakti dan Bayangan Malaikat.
Atau, pendekar siapa saja yang berkepandaian tinggi.
Katakan pada mereka, aku membutuhkan bantuan-
nya," pesan Ki Rangkuti.
"Baik, Ki," sahut Sayuti.
"Tapi ada satu pesan yang harus kau ingat,
Sayuti. Juga kalian berdua," tambah Ki Rangkuti lagi.
"Apa itu, Ki?" tanya Sayuti.
"Jangan katakan hal ini pada Sekar Telasih," ka-ta Ki Rangkuti memberi pesan
lagi. | "Kenapa, Ki?" tanya Sayuti ingin tahu.
"Kalian harus ingat. Ini persoalan antara aku, Sekar, dan si Ular Betina. Jadi
hanya aku dan Sekar saja yang harus menghadapinya. Kecuali, orang-orang yang
kusebutkan namanya tadi. Kau paham, Sayuti...?"
"Paham, Ki," sahut Sayuti mantap.
Ki Rangkuti tidak berkata-kata lagi. Dan mereka
semua juga tidak ada yang bersuara lagi. Sementara kuda yang ditunggangi terus
berpacu cepat membelah
jalan tanah berdebu.
*** 3 Sayuti dan tiga orang rekannya mengambil cara
untuk mengeluarkan penduduk dari Desa Jatiwangi ini dengan bergelombang. Para
penduduk dibagi empat
gelombang yang akan dipimpin masing-masing dari
mereka berempat. Dan seluruh murid padepokan Jati-
wangi juga dibagi menjadi empat bagian. Setiap bagian akan mengawal satu
gelombang penduduk yang harus
keluar dari desa ini, sebelum ancaman si Ular Betina benar-benar terlaksana.


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam ini akan berangkat gelombang pertama
yang dipimpin Gagak Aru. Ada sekitar tiga puluh orang penduduk, baik tua, muda,
dan anak-anak yang di-kawal tidak kurang lima belas murid Padepokan Jati-
wangi. Mereka berangkat melalui jalan Utara, mengingat pada bagian Selatan desa
sudah dihancurkan
hingga tak ada lagi yang tersisa. Tepat tengah malam, mereka berangkat
meninggalkan desa secara diam-diam. Dan keberangkatan ini memang sangat diraha-
siakan, sehingga penduduk yang belum mendapat gili-
ran pun tidak ada yang tahu. Hanya Ki Rangkuti dan
para pembantunya di padepokan saja yang mengetahui
semua rencana ini. Bahkan Sekar Telasih sendiri tidak mengetahui.
Dan inilah yang memang diinginkan Ki Rangkuti,
agar Sekar Telasih tidak nekat ikut bersama rombon-
gan itu keluar dari Desa Jatiwangi ini.
Tapi begitu rombongan penduduk sampai di per-
batasan desa sebelah Utara, mendadak saja....
"Berhenti...!"
Bentakan keras yang begitu menggelegar bagai
guntur, membuat mereka terkejut setengah mati. Dan
belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan
merah. Tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri sesosok tubuh berjubah me-
rah menyala. Ternyata, seorang perempuan tua be-
rambut meriap panjang yang hampir menutupi wajah-
nya sudah menghadang mereka. Sebatang tongkat
berbentuk seekor ular naga, tergenggam di tangan kanannya.
"Ular Betina...," desis Gagak Aru langsung mengenali perempuan tua yang tiba-
tiba saja muncul di
depannya. "Mau ke mana kalian, heh..."!" bentak perempuan tua berjubah merah yang dikenal
sebagai si Ular Betina.
"Ke mana saja kami pergi, itu bukan urusanmu!"
dengus Gagak Aru ketus.
Ular Betina langsung menatap tajam Gagak Aru.
Sinar matanya tampak tajam menusuk langsung ke
bola mata laki-laki separuh baya ini. Sedangkan Gagak Aru sudah memberi isyarat
pada murid-muridnya untuk bersiaga. Tanpa diperintah dua kali, lima belas murid
Padepokan Jatiwangi segera mencabut senjata
masing-masing. "Kalian hanya punya satu pilihan. Kembali ke
desa, atau mati di sini!" desis si Ular Betina mengancam. "Hhh! Kau tidak ada
hak melarang kami, Perempuan Iblis!" dengus Gagak Aru, tetap ketus suaranya.
"Keras kepala...!" geram Ular Betina. "Kalian me-maksaku bertindak, heh..."!"
Setelah berkata demikian, Ular Betina langsung
menghentakkan tongkatnya ke tanah. Dan tiba-tiba
saja dari balik rimbunan semak belukar dan pepoho-
nan, berlompatan orang-orang berbaju merah bersen-
jatakan golok terhunus di tangan kanan. Jumlah me-
reka tidak kurang dari dua puluh orang. Mereka langsung mengurung para penduduk
Desa Jatiwangi yang
hanya diperkuat Gagak Aru dan lima betas muridnya.
"Bunuh mereka semua...!" perintah si Ular Betina lantang menggelegar.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Seketika itu juga, dua puluh orang laki-laki ber-
baju serba merah berlompatan cepat menyerang para
penduduk Desa Jatiwangi yang mencoba keluar dari
desa itu. Jerit dan pekikan melengking menyayat hati langsung terdengar saling
sambut yang disusul berja-tuhannya tubuh-tubuh bersimbah darah.
"Iblis keparat..! Kubunuh kalian semua!" geram Gagak Aru melihat kekejaman
orang-orang berbaju
serba merah ini. "Hiyaaat...!"
Sret! Bet! Gagak Aru langsung mencabut pedang, dan se-
cepat kilat mengibaskannya ke arah salah seorang
yang berada paling dekat dengannya. Tapi orang ber-
baju merah itu demikian gesit. Dengan merundukkan
tubuh saja, tebasan pedang Gagak Aru yang begitu cepat berhasil dielakkan.
Pada saat itu, dua orang lain yang mengenakan
baju serba merah berlompatan menyerang Gagak Aru.
Sementara yang lain terus membantai para penduduk
Desa Jatiwangi yang sama sekali tidak berdaya. Bah-
kan lima belas murid Padepokan Jatiwangi sama sekali
tidak berdaya menghadapi amukan orang-orang itu.
Satu persatu mereka roboh bergelimang darah.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi sema-
kin sering terdengar, diiringi tubuh-tubuh berlumuran darah terus berjatuhan.
Sementara Gagak Aru harus
menghadapi tiga orang yang menyerangnya dengan ce-
pat dan bergantian. Hanya dalam beberapa jurus saja, Gagak Aru sudah kelihatan
demikian terdesak. Sama
sekali tidak dipunyai nya kesempatan untuk balas menyerang. Tiga orang lawan
terus menerjang tanpa henti secara bergantian dari tiga jurusan. Akibatnya Gagak
Aru semakin kelabakan menghadapinya.
"Ha ha ha...!" si Ular Betina tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang-orangnya
demikian mudah membantai penduduk Desa Jatiwangi' tanpa perlawa-
nan berarti. "Iblis..."! geram Gagak Aru semakin mendidih da-
rahnya mengetahui orang-orang yang harus dijaga ke-
selamatannya terus terbantai tanpa ampun lagi
"Hiyaaa...!"
Dengan darah menggelegak dalam dada, Gagak
Aru jadi nekat. Bagaikan kilat tubuhnya melenting ke udara, dan langsung meluruk
deras ke arah Ular Betina yang tengah terbahak-bahak. Cepat sekali Gagak
Aru membabatkan pedangnya ke arah perempuan tua
berjubah merah itu.
"Mampus kau, Iblis Laknat! Hiyaaat...!"
Bet! "Ikh...!"
Wuk! Ular Betina hanya menarik tubuhnya sedikit ke
belakang seraya menghentakkan tongkatnya, me-
nyambut kebutan pedang Gagak Aru. Tak dapat dihin-
dari lagi, pedang Gagak Aru beradu keras dengan
tongkat berbentuk ular naga itu.
Trang! "Akh...!" Gagak Aru terpekik keras begitu pedangnya menghantam tongkat berbentuk
ular naga itu. "Hih! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Ular Betina menghentakkan ka-
kinya ke depan. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan perempuan tua berjubah
merah itu, sehingga
Gagak Aru tidak dapat lagi menghindarinya.
Bek! "Akh...!" lagi-lagi Gagak Aru memekik keras agak tertahan.
Seketika itu juga tubuh Gagak Aru terpental ke
belakang sejauh dua batang tombak, begitu dadanya
terkena tendangan keras menggeledek yang mengan-
dung pengerahan tenaga dalam sangat tinggi Keras sekali tubuhnya terbanting di
tanah. Dan sebelum bisa bangkit berdiri, seorang yang mengenakan baju merah
menyala sudah melompat ke arahnya sambil membabatkan golok tajam berkilatan.
"Hiyaaa...!"
Wuk! Cras! "Aaa...!" jeritan panjang melengking tinggi terdengar membelah angkasa.
Pedang orang berbaju serba merah itu langsung
membelah dada Gagak Aru. Seketika itu juga, darah
menyembur deras dari dada yang terbelah sangat lebar dan panjang. Dan sebelum
Gagak Aru menyadari apa
yang terjadi, sebilah golok kembali berkelebat cepat sekali ke arahnya. Dan....
Bres! "Aaa...!" lagi-lagi Gagak Aru menjerit panjang me-
lengking tinggi.
Sebentar laki-laki setengah baya itu mengejang
kaku, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Sebilah golok tampak tertanam dalam di
dadanya. Seorang berbaju
serba merah menghampiri, dan mencabut goloknya
yang terbenam di dada Gagak Aru. Sementara itu,
pembantaian terhadap para penduduk Desa Jatiwangi
pun sudah berakhir. Tak ada seorang pun yang dibiarkan hidup. Mereka semua tewas
bergelimpangan ber-
mandikan darah.
"Ha ha ha....!" si Ular Betina tertawa terbahak-bahak kesenangan, seperti
melihat satu pertunjukkan menarik.
Bersamaan melesatnya perempuan tua berjubah
merah itu, dua puluh orang berpakaian serba merah
juga segera berlompatan pergi meninggalkan puluhan
mayat yang berserakan saling tumpang tindih. Semen-
tara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin ditambah angin yang
berhembus agak keras, mene-barkan bau amis darah dari tubuh-tubuh tak bernya-
wa lagi. *** Gagalnya Gagak Aru membawa keluar sebagian
penduduk keluar dari Desa Jatiwangi membuat Ki
Rangkuti terpaksa harus mengumpulkan para pem-
bantu setianya yang kini tinggal tiga orang. Mereka berkumpul di bangunan
Padepokan Jatiwangi yang le-taknya tidak jauh dari rumah Ki Rangkuti sendiri.
Biasanya, ruangan tertutup itu dijadikan ruangan khu-
sus untuk bersemadi Ki Rangkuti.
"Iblis...!" desis Ki Rangkuti menggeram marah.
"Bagaimana, Ki" Apa rencana ini diteruskan?"
tanya Sayuti. "Tidak...! Aku tidak ingin mereka semua mati
terbantai sia-sia," tegas Ki Rangkuti.
"Kalau begitu, biar aku saja yang keluar sendiri, Ki," kata Sayuti lagi
menawarkan diri.
Ki Rangkuti menatap Sayuti dalam-dalam. Me-
mang terlalu sulit mengabulkan keinginan pengajar di padepokan Jatiwangi itu.
Sedangkan melarang pun,
rasanya tidak mungkin dilakukan. Mereka memang
sudah semakin terdesak keadaan. Korban sudah cu-
kup banyak berjatuhan. Desa Jatiwangi ini bagai tinggal menunggu datangnya saat-
saat kehancuran itu.
Apa yang diduga selama ini memang menjadi kenya-
taan. Satu rombongan penduduk yang mencoba keluar
dari desa ini, dan dipimpin Gagak Aru telah tewas tanpa seorang pun yang
dibiarkan hidup. Bahkan Gagak
Aru sendiri tewas bersama para penduduk dan lima
belas orang muridnya.
"Beri aku kesempatan, Ki. Aku akan hati-hati,"
pinta Sayuti memohon.
"Kau tahu, apa bahayanya?" tanya Ki Rangkuti.
"Aku tahu, Ki. Aku akan menanggung semua
akibatnya," sahut Sayuti mantap.
"Kau orang terbaik yang kumiliki, Sayuti. Aku
pasti akan kehilanganmu," ujar Ki Rangkuti agak sen-du. "Masih banyak yang lebih
baik dariku, Ki," Sayuti merendah.
Ki Rangkuti terdiam membisu. Memang sulit
mengucapkan sesuatu bagi Sayuti, orang yang paling
dipercayai dan disukai. Meskipun masih ada dua orang lagi kepercayaannya, tapi
Sayuti adalah orang pertama yang menyatakan kesetiaan. Bahkan orang pertama
pula yang pernah dipercayainya. Terasa sulit bagi Ki
Rangkuti untuk menerima kenyataan pahit ini. Terle-
bih lagi, harus kehilangan orang pertama yang begitu setia dan paling dipercaya.
Tapi semua memang harus dihadapi. Keadaan yang semakin mendesak, membuatnya
harus rela melepaskan Sayuti.
"Kapan kau akan berangkat, Sayuti?" tanya Ki Rangkuti setelah cukup lama
terdiam. "Besok, sebelum matahari terbit," sahut Sayuti mantap.
"Aku hanya bisa berpesan. Jangan tinggalkan
pedang pusaka itu. Mudah-mudahan Hyang Widhi se-
lalu melindungimu," ucap Ki Rangkuti.
"Terima kasih, Ki."
Sayuti segera menjura menyentuhkan keningnya
di lantai, memberi hormat pada orang tua yang sangat disegani ini. Sayuti jadi
teringat saat-saat pertama bertemu Ki Rangkuti yang saat itu belum menjabat
seba- gai kepala desa. Waktu itu Sayuti masih berusia muda, dan sudah memiliki
kepandaian cukup tinggi. Tapi
memang wataknya melenceng, sehingga membuatnya
terlalu angkuh dan jumawa.
Sayuti berbuat apa saja yang disukai. Bahkan
akan membunuh siapa saja yang mencoba merintangi.
Waktu itu, dia mencoba menodai putri Kepala Desa Jatiwangi. Tapi sebelum
maksudnya terlaksana, Ki
Rangkuti yang waktu itu masih gagah dan belum setua ini keburu datang menolong
anak gadis kepala desa
itu. Kepandaian yang dimiliki Ki Rangkuti memang
jauh lebih tinggi daripada Sayuti. Sehingga, mudah sekali Ki Rangkuti
menaklukkannya.
Kalau bukan Ki Rangkuti pula, mungkin sudah
sejak dulu Sayuti terbaring di lubang kubur. Seluruh penduduk Desa Jatiwangi
sudah begitu muak dan marah atas perbuatannya. Namun Ki Rangkuti masih
memberi kesempatan pada Sayuti untuk tetap hidup,
walau dengan satu syarat. Sayuti harus meninggalkan Desa Jatiwangi, dan tidak
boleh datang lagi ke desa ini. Dan ternyata Sayuti malah kembali lagi, namun
untuk menyatakan kesetiaannya, tepat ketika Ki
Rangkuti melangsungkan pernikahan dengan anak ga-
dis kepala desa yang ditolongnya.
Hingga akhirnya, Ki Rangkuti diangkat menjadi
kepala desa. Sedangkan Sayuti terus mendampinginya
dengan setia. Segala sifat buruknya benar-benar telah dikubur dalam-dalam.
Bahkan seluruh penduduk De-sa Jatiwangi yang semula membenci, berubah menjadi
mencintainya. Beberapa kali Sayuti memperlihatkan
kesetiaannya, dengan mempertaruhkan nyawa untuk
mengamankan Desa Jatiwangi dari rongrongan gerom-
bolan pengacau yang datang dari luar. Dan itu mem-
buat namanya semakin disegani. Tapi, Sayuti memang
benar-benar sudah berubah. Dia tidak mabuk akan
sanjungan. Bahkan semakin merasa rendah diri saja.
Hingga akhirnya, Ki Rangkuti mengangkatnya sebagai
saudara. "Sebaiknya kau istirahat sekarang, Sayuti," ujar Ki Rangkuti membuyarkan
kenangan Sayuti.
Perlahan laki-laki separuh baya yang selalu men-
genakan baju warna merah muda itu, mengangkat ke-
pala. Sebentar ditatapnya Ki Rangkuti, lalu kembali membungkuk. Kemudian dia
menjura memberi hormat, lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar me-
ninggalkan ruangan berukuran tidak begitu besar ini.


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini di dalam ruangan itu, tinggal Ki Rangkuti yang masih ditemani dua orang
pembantu setianya.
"Walikan...," panggil Ki Rangkuti.
"Iya, Ki," sahut Walikan seraya menjura memberi hormat dalam keadaan tetap duduk
bersila. "Ikutilah Sayuti. Tapi kau harus menjaga jarak, dan jangan sampai Sayuti tahu.
Pendekar Super Sakti 15 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Rahasia Peti Wasiat 5
^