Pencarian

Dendam Naga Merah 2

Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah Bagian 2


Aku ingin kau cepat
melaporkan setiap terjadi sesuatu padanya," perintah Ki Rangkuti.
"Aku siap melaksanakannya, Ki," sahut Walikan mantap.
"Pergilah," desah Ki Rangkuti.
"Pamit, Ki," ucap Walikan kembali menjura memberi hormat.
Walikan bergegas bangkit berdiri, lalu sekali lagi
memberi penghormatan pada Ki Rangkuti sebelum
meninggalkan ruangan itu. Kini tinggal Darmaji saja yang masih duduk bersila di
depan laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi yang juga sekaligus ketua padepokan
di desa ini. Mereka masih tetap berdiam diri, meskipun Walikan sudah tidak
terlihat lagi diruangan berukuran tidak terlalu besar ini.
"Lalu, apa tugasku, Ki...?" tanya Darmaji yang sejak tadi diam saja.
"Kau tetap di sini bersamaku, Darmaji. Cukup
banyak tugas yang akan kau emban. Bahkan jauh le-
bih berat daripada kedua saudaramu," sahut Ki Rangkuti, yang selalu membiasakan
semua pembantu se-
tianya untuk saling menganggap saudara.
"Apa tidak sebaiknya aku juga pergi, Ki. Melalui jalan lain yang bertolak
belakang dengan Kakang
Sayuti," usul Darmaji.
"Tidak. Kau tidak boleh meninggalkan desa ini,"
tolak Ki Rangkuti tegas.
"Tapi, Ki."."
Belum juga Darmaji melanjutkan ucapannya, ti-
ba-tiba saja Ki Rangkuti mendongakkan kepala ke
atas. Pada saat Ki Rangkuti melesat tinggi menjebol
atap ruangan ini, Darmaji sempat mendengar ada
hembusan napas orang lain di atas atap bangunan Pa-
depokan Jatiwangi ini. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, Darmaji cepat melompat keluar melalui pintu. Di-tabraknya pintu itu hingga
hancur berkeping-keping.
Sementara tubuh Ki Rangkuti sudah lenyap setelah
menjebol atap kamar bangunan Padepokan Jatiwangi
ini. *** "Siapa kau"! Berhenti...!" seru Ki Rangkuti keras menggelegar."Hup...!"
Cepat sekali gerakan laki-laki tua berjubah putih
itu. Dan hanya sekali lesatan yang manis sekali, laki-laki tua itu bisa melewati
kepala seseorang yang mengenakan baju warna hitam pekat yang begitu ketat
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun Ki Rangkuti
mendarat tepat di depan orang berbaju serba hitam
yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Pada
saat yang sama, Darmaji sudah sampai. Dia langsung
berdiri di samping kanan Ki Rangkuti.
"Sekar...," desis Ki Rangkuti begitu bisa melihat wajah orang berbaju hitam yang
menyelinap me-nguping pembicaraannya tadi dengan para pembantu
kepercayaannya.
"Ayah jahat...! Ayah tidak cinta lagi pada Se-
kar...," sentak Sekar Telasih, agak terisak nada suaranya. Setelah berkata
demikian, orang berbaju serba hitam yang ternyata Sekar Telasih cepat berbalik
dan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. "Sekar, tunggu...!" seru
Ki Rangkuti. Bagaikan kilat, laki-laki tua Kepala Desa Jati-
wangi itu melompat cepat mengejar gadis itu. Hanya ti-ga kali lompatan saja, Ki
Rangkuti sudah berhasil
menghadang Sekar Telasih yang berlari kencang mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh. Memang ilmu
yang dimiliki Sekar Telasih belum ada seujung kuku
bila dibanding Ki Rangkuti. Sehingga mudah sekali la-ki-laki tua itu bisa
mengejar gadis ini.
"Dengar dulu, Sekar...," Ki Rangkuti mencoba menyabarkan hati anak gadisnya.
"Kenapa Ayah punya rencana diam-diam..." Ke-
napa Sekar tidak diberi tahu?" agak keras nada suara Sekar. Gadis itu menuntut
penjelasan dari ayahnya.
"Bukannya aku melupakanmu, Sekar. Aku hanya
merasa belum saatnya memberitahukanmu. Lagi pula,
semua rencana ini belum ketahuan hasilnya," Ki Rangkuti mencoba menjelaskan.
"Tapi kenapa harus diam-diam?"
"Maafkan aku, Sekar. Aku tidak bermaksud
mengecilkan arti dirimu," ucap Ki Rangkuti bernada menyesal.
Perlahan Ki Rangkuti melangkah mendekati ga-
dis itu, lalu tangannya terulur. Diraihnya kedua tangan Sekar Telasih. Kini
tangan gadis itu digenggamnya erat-erat. Sesaat mereka saling bertatapan.
Sementara dari tempat yang cukup jauh, Darmaji hanya memperhatikan saja. Dia
tidak tahu, apa yang dibicarakan antara anak dan ayah itu.
"Kau ingin berbuat sesuatu yang berarti bagi de-sa ini, Sekar?" tanya Ki
Rangkuti. Sekar Telasih mengangguk pasti, meskipun di
hatinya terselip suatu keheranan atas pertanyaan
ayahnya barusan. Di hati gadis itu jadi timbul berbagai pertanyaan yang bernada
keheranan. Dia juga tidak
yakin kalau laki-laki tua ini bisa berubah keputusannya begitu cepat.
"Apa yang akan kau lakukan untuk desa ini?"
tanya Ki Rangkuti lagi.
Sekar Telasih malah tidak bisa menjawab per-
tanyaan itu. Bahkan jadi kebingungan sendiri, dan tidak tahu harus menjawab
pertanyaan yang dilontar-
kan begitu lembut. Sekar Telasih jadi tertunduk. Tapi, Ki Rangkuti cepat menahan
dagu gadis itu dengan
ujung jari tangannya. Sehingga, membuat Sekar Tela-
sih terpaksa harus tetap memandang wajah ayahnya
ini. "Aku akan mengirimmu keluar dari desa ini," ka-ta Ki Rangkuti, mantap dan
perlahan sekali suaranya.
"Oh...?"
Sekar Telasih terkejut mendengarnya. Sungguh
tidak diduga kalau ayahnya akan berkata seperti itu.
Malah tadi disangka kalau laki-laki tua yang selalu mengenakan baju jubah putih
panjang ini akan marah
atas perbuatannya yang mendengarkan secara diam-
diam pembicaraan ayahnya tadi. Tapi apa yang diden-
garnya barusan, sungguh tidak disangka sama sekali
sebelumnya. Dan sebelum Sekar Telasih bisa mengu-
capkan sesuatu, Ki Rangkuti sudah melambaikan tan-
gannya memanggil Darmaji yang sejak tadi berdiri
sambil memperhatikan di kejauhan.
Melihat lambaian tangan Ki Rangkuti, pembantu
setia yang satu-satunya berusia muda itu bergegas
menghampiri. Dia menjura hormat membungkukkan
tubuhnya setelah berada dekat di depan laki-laki tua berjubah putih ini. Ki
Rangkuti menepuk pundak
Darmaji sambil tersenyum manis sekali.
"Darmaji, kau tadi mengusulkan apa padaku?"
tanya Ki Rangkuti.
"Apa, Ki...?" Darmaji malah balik bertanya.
Sungguh tidak disangka kalau Ki Rangkuti akan
bertanya seperti itu. Padahal usulnya yang langsung ditolak tegas oleh Ki
Rangkuti sudah dilupakannya.
Tapi sekarang Ki Rangkuti malah menanyakan kembali
usulnya tadi. "Aku ingin dengar lagi usulmu, Darmaji," pinta Ki Rangkuti, terdengar lembut
nada suaranya. "Kau sungguh-sungguh, Ki...?" Darmaji masih tidak percaya dengan apa yang
didengarnya. "Apa aku kelihatan main-main...?"
"Maaf, Ki. Tapi sudah ditolak," kata Darmaji agak tersipu.
"Aku kini menyetujui usulmu itu, Darmaji."
"Oh! Benarkah itu, Ki...?" Darmaji jadi terbeliak.
"Pergilah bersama Sekar, pada saat keberangka-
tan Sayuti. Tapi, ingat. Seperti usulmu, kau harus pergi ke arah yang berlawanan
dengan Sayuti," kata Ki Rangkuti lagi.
Darmaji tidak bisa lagi berkata apa-apa. Segera
tubuhnya dibungkukkan, menjura memberi hormat
pada laki-laki tua ini. Sedangkan Sekar Telasih sendiri begitu gembira, meskipun
kepergiannya harus didampingi salah seorang dari pengajar di Padepokan
Jatiwangi. "Terima kasih, Ayah," ucap Sekar Telasih dengan bola mata berkaca-kaca.
Ki Rangkuti hanya tersenyum saja, kemudian
melangkah meninggalkan tempat itu. Sekar Telasih
dan Darmaji masih tetap berdiri memandangi sampai
laki-laki tua kepala desa itu jauh meninggalkan-nya.
"Aneh.... Kenapa tiba-tiba keputusannya ber-
ubah?" gumam Darmaji bertanya pada diri sendiri.
"Ayah memang orang yang bijaksana," desah Se-
kar Telasih, juga seperti bicara pada diri sendiri.
Sesaat mereka sating berpandangan. Memang
rasanya tidak pantas kalau Darmaji yang baru berusia sekitar dua puluh lima
tahun itu disebut guru. Tapi, memang itulah kenyataannya. Darmaji adalah satu-
satunya murid Ki Rangkuti yang tertua dan paling la-ma menerima ilmu-ilmu dari
laki-laki tua Kepala Desa Jatiwangi itu. Meskipun di padepokan, Sekar Telasih
memanggilnya guru, tapi jika berada di luar padepokan selalu memanggil kakang.
Dan ini memang yang diinginkan Darmaji. Memang, dirinya masih merasa belum
pantas disebut guru. Dia sendiri sebenarnya masih
perlu banyak belajar mengenai ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Bahkan
dirinya merasa belum cu-
kup terjun ke dalam rimba persilatan. Apalagi harus dipanggil guru.
"Sebenarnya apa usul Kakang pada ayah tadi?"
tanya Sekar Telasih ingin tahu.
"Kau tidak dengar?" Darmaji malah balik bertanya. "Aku tadi keburu ketahuan,
jadi tidak sempat mendengar," sahut Sekar Telasih malu-malu.
"Aku hanya mengusulkan untuk keluar dari desa
ini, bersamaan waktunya dengan Paman Sayuti. Tapi,
melalui jalan lain yang berlawanan," Darmaji menjelaskan usulnya pada Ki
Rangkuti tadi di dalam ruan-
gan bangunan Padepokan Jatiwangi.
"Dan ayah menolak?" tanya Sekar Telasih ingin meyakinkan.
Darmaji mengangguk. 'Tapi aku heran, kenapa
tiba-tiba saja Ki Rangkuti jadi berubah pikiran?" agak menggumam nada suara
Darmaji. "Aku tahu. Ayah pasti berpikir, usul Kakang itu bagus. Bukankah dengan demikian
perhatian si Ular
Betina jadi terpecah, dan tidak mungkin menghalangi dalam dua tempat
sekaligus...?" ujar Sekar Telasih.
"Kau cerdas, Sekar," puji Darmaji.
Sekar Telasih jadi tersipu mendapat pujian pe-
muda yang juga gurunya dalam ilmu dasar olah ka-
nuragan ini. Mereka kemudian melangkah mening-
galkan tempat itu tanpa bicara lagi. Dalam hati, mereka sama-sama memuji
kebijaksanaan yang diberikan
Ki Rangkuti, dan semakin menghormatinya. Mereka
bertekad untuk bisa keluar dari desa ini, lalu meminta bantuan pada pendekar
yang bisa ditemui di mana sa-ja untuk menyelamatkan Desa Jatiwangi yang begitu
mereka cintai. *** 4 Tepat seperti yang sudah direncanakan. Begitu
Sayuti berangkat untuk mencoba keluar dari Desa Ja-
tiwangi ini, Walikan juga berangkat mengikuti kepergian Sayuti secara diam-diam.
Pada saat itu juga,
Darmaji bersama Sekar Telasih berangkat meninggal-
kan desa ini. Namun semua itu tidak lepas dari pen-
gamatan Ki Rangkuti dari dalam kamarnya. Laki-laki
tua itu memperhatikan, berdiri di depan jendela ka-
marnya. Sementara itu Darmaji dan Sekar Telasih terus
bergerak ke arah Selatan. Sedangkan Sayuti terus bergerak ke arah Utara. Hal ini
memang disengaja, karena untuk mengecoh perhatian si Ular Betina yang selalu
mengawasi entah dari mana. Tapi itu juga hanya perki-
raan saja. Dan mereka tetap harus waspada, karena
apa yang dilakukan si Ular Betina tidak dapat diduga dan diramalkan sebelumnya.
"Kakang Darmaji, bukankah ini jalan yang menu-
ju...?" "Benar, Sekar," sahut Darmaji sebelum Sekar Telasih menyelesaikan
pertanyaannya. "Kenapa harus lewat sini?" tanya Sekar Telasih.
"Ular Betina sudah mengobrak-abrik dan mem-
bumihanguskan bagian Selatan Desa Jatiwangi.
Jadi, kurasa tidak mungkin dia menjaga daerah
ini, Sekar. Sedangkan Paman Sayuti melalui jalan Uta-ra yang pasti dijaga ketat
si Ular Betina. Karena memang jalan Utaralah yang terdekat dengan desa sebe-
lah," Darmaji mencoba menjelaskan.
"Kau menyangka begitu, Kakang...?" agak lain nada suara Sekar Telasih.
"Bagaimana menurutmu, Sekar?"
"Aku memang tidak berpengalaman dalam masa-
lah pertempuran, Kakang. Aku hanya gadis desa yang
baru saja mempelajari ilmu olah kanuragan. Tapi me-
nurutku, jalan yang kita lalui justru akan membawa ke mulut buaya," Sekar
Telasih mengemukakan penda-patnya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Sekar," kata Darmaji, meminta penjelasan lagi.
"Kau tahu, Kakang. Nyi Rongkot yang dikenal
berjuluk si Ular Betina itu sangat licik. Kau pasti juga tahu, bahwa aku
dianggap anaknya. Bahkan ayahku
sendiri mengakui kalau aku adalah anak si Ular Betina itu. Dan aku sempat
tinggal beberapa hari bersa-manya, ketika dia berhasil menculikku. Jadi, aku
sedi-kitnya bisa mengetahui watak-wataknya," jelas Sekar Telasih.
Darmaji mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tanpa disadari, mereka menghentikan langkah kaki
kuda masing-masing, sementara kegelapan masih me-
nyelimuti sekitar Desa Jatiwangi. Dan memang, hari
masih begitu pagi. Malah sang mentari juga belum
menampakkan diri, meskipun beberapa kali sudah
terdengar suara ayam jantan berkokok di kejauhan.
"Aku yakin, si Ular Betina sengaja menghancur-
kan bagian Selatan ini agar dikira daerah ini bisa dilalui oleh semua orang
dengan bebas. Tapi sebenarnya, justru itu hanya jebakan belaka, Kakang Darmaji.
Dia pasti lebih memperketat penjagaan di sekitar daerah Selatan ini. Justru, aku
merasa yakin kalau Paman
Sayuti yang akan berhasil keluar dari Desa Jatiwangi ini," jelas Sekar Telasih
lagi. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang,
Sekar?" tanya Darmaji mulai mengerti.
"Kita kembali, Kakang," sahut Sekar Telasih mantap.
"Kembali...?"
"Ya! Saat ini pasti Paman Sayuti sudah berada di luar Desa Jatiwangi. Dan
sebaiknya kita kembali saja, Kakang."
"Baiklah. Ayo...."
Tapi baru saja memutar kuda, mendadak saja
berlompatan tubuh-tubuh berbaju serba merah yang
langsung mengurung mereka berdua. Sebentar saja,
sekitar dua puluh orang laki-laki berbaju serba merah sudah mengepung Sekar
Telasih dan Darmaji. Mereka


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing-masing menghunus senjata golok yang bentuk
dan ukurannya sama persis. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan merah yang
begitu cepat bagai kilat.
Dan tahu-tahu, di depan mereka sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah
merah. Tangannya tampak
memegang tongkat berbentuk ular yang juga berwarna
merah tua bagai berlumur darah.
"Ular Betina...," desis Darmaji langsung mengenali perempuan tua yang baru
muncul itu. "Hik hik hik.... Kalian hendak pergi ke mana,
heh"!" terasa begitu kering suara perempuan tua yang dikenal berjuluk si Ular
Betina itu. "Tidak ke mana-mana. Kami hendak kembali pu-
lang," sahut Sekar Telasih ketus.
"Kau memang cerdik sekali, Sekar Telasih. Pan-
tas saja ibumu begitu gigih ingin mengambilmu kem-
bali dari tangan si tua bangka Rangkuti," kata si Ular Betina, terasa begitu
sinis. "Heh..."! Siapa kau sebenarnya" Apakah kau bu-
kan Nyi Rongkot si Ular Betina...?" sentak Sekar Telasih terkejut mendengar
kata-kata perempuan tua ber-
jubah merah itu.
"Ha ha ha...!" perempuan tua berjubah merah itu jadi tertawa terbahak-bahak.
Bukan hanya Sekar Telasih yang terkejut. Tapi
Darmaji juga jadi tersentak. Sungguh tidak dimengerti maksud kata-kata yang
terlontar dari mulut perempuan tua berjubah merah itu. Seketika itu juga, timbul
satu pertanyaan di kepala Darmaji. Apakah perempuan tua ini bukan si Ular
Betina" Kalau bukan, lalu siapa perempuan tua ini sebe-
narnya..." Bukan hanya pakaiannya saja yang sama
persis dengan si Ular Betina. Tapi, suara dan wajahnya juga tidak terbuang
sedikit pun. Inilah yang membuat Darmaji dan Sekar Telasih
jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedangkan ka-ta-kata yang tadi meluncur
begitu saja dari bibir perempuan tua yang selama ini dikenal bernama Nyi
Rongkot si Ular Betina, jelas mengakui kalau dirinya
bukanlah si Ular Betina. Melainkan, orang lain yang sama persis dengan si Ular
Betina. Lalu, siapa sebenarnya..." Belum juga Darmaji maupun Sekar Telasih
melontarkan pertanyaan yang mengganggu kepalanya,
tiba-tiba saja perempuan tua berjubah merah itu su-
dah berteriak lantang memberi perintah.
"Serang...!"
Belum juga teriakan perempuan tua itu menghi-
lang dari pendengaran, seketika itu juga dua puluh
orang berpakaian serba merah sudah berlompatan ce-
pat menyerang Darmaji dan Sekar Telasih. Padahal
dua anak muda itu masih berada di punggung kuda
masing-masing. Sret! "Hih! Yeaaah...!"
Darmaji langsung mencabut pedangnya, dan se-
cepat itu pula membabatkannya pada seorang penye-
rang yang dekat dengannya. Cepat sekali pedang keperakan itu berkelebat. Namun
sungguh tidak diduga,
ternyata orang berbaju serba merah itu bisa berkelit begitu manis. Tubuhnya
melenting ke udara, melewati kepala Darmaji yang masih tetap berada di punggung
kudanya. "Heh..."!"
Darmaji jadi terkejut setengah mati begitu laki-
laki berbaju serba merah itu tiba-tiba melepaskan satu tendangan keras
menggeledek selagi berada tepat di
atas kepalanya. Tak ada pilihan lain lagi bagi Darmaji.
Cepat tubuhnya dijatuhkan dari punggung kuda. Be-
berapa kali dia bergelimpangan di tanah. Dan begitu melompat bangkit berdiri,
satu tebasan golok melayang deras ke arahnya dari samping kanan.
"Ikh...!"
Cepat cepat Darmaji menempatkan pedangnya ke
samping, menangkis tebasan golok orang berbaju me-
rah lainnya. Dua senjata seketika itu juga beradu keras, hingga menimbulkan
percikan bunga api yang
menyebar ke segala arah. Dan belum lagi Darmaji bisa menarik pulang pedangnya,
kembali satu serangan datang dari depan.
"Hup!"
Cepat-cepat Darmaji melompat menghindari te-
basan golok yang begitu deras berkelebat mengarah ke dadanya. Dua kali pemuda
itu berjumpalitan ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tahu-tahu
sebuah pukulan lurus telah melayang ke dadanya. Be-
gitu cepat serangan itu datang, sehingga Darmaji tidak sempat lagi menghindar.
Diegkh! "Akh...!" Darmaji terpekik keras agak tertahan.
Darmaji terhuyung-huyung ke belakang sambil men-
dekap dadanya yang terasa begitu sesak akibat terkena satu pukulan keras yang
mengandung tenaga dalam
cukup tinggi. Pada saat itu, satu orang berbaju serba merah sudah melompat
cepat. Langsung dilepaskan-nya satu serangan, tanpa menunggu Darmaji siap le-
bih dahulu. "Awas, Kakang...!" teriak Sekar Telasih memperingatkan. "Hiyaaat...!"
Sekar Telasih cepat melompat turun dari pung-
gung kudanya. Dan secepat itu pula pedangnya dica-
but dan langsung dikibaskan ke arah golok yang ber-
kelebat cepat mengarah ke dada Darmaji.
Trang! "Aaakh...!" Sekar Telasih terpekik keras begitu pedangnya beradu dengan golok
laki-laki berbaju serba merah itu.
Tenaga dalam yang dimiliki Sekar Telasih me-
mang masih tingkat dasar. Sehingga, dia tidak bisa lagi menguasai pedangnya yang
mencelat ke udara begitu
membentur golok laki-laki berbaju merah yang menye-
rang Darmaji tadi. Sedangkan gadis itu sendiri jadi terhuyung-huyung sambil
memegangi tangan kanannya yang seketika jadi terasa panas bagai terbakar.
"Sekar, cepat pergi dari sini. Selamatkan diri-mu...!" sentak Darmaji.
"Kau...?"
"Jangan hiraukan aku! Cepat pergi...!" sentak Darmaji
Sekar jadi ragu-ragu. Tapi, Darmaji sudah men-
dorong gadis itu ke belakang ketika dua orang berbaju serba merah sudah kembali
menyerang dari arah depan secara bersamaan. Dua bilah golok berkelebat cepat
mengarah ke kaki dan kepala Darmaji secara ber-
samaan. "Hup! Yeaaah...!"
Cepat Darmaji mengibaskan pedangnya ke ba-
wah sambil merundukkan tubuhnya untuk menghin-
dari tebasan golok yang mengarah ke kepala. Pedang-
nya berhasil menangkis serangan golok yang mengarah ke kaki. Dan tebasan golok
yang secara bersamaan
menyerang bagian kepalanya juga berhasil dihindari.
Sementara Sekar Telasih masih kelihatan ragu-ragu.
Gadis itu sendiri jadi merasa heran, karena tak ada seorang pun yang
menyerangnya. Dua puluh orang
berbaju serba merah, justru mengeroyok Darmaji dari berbagai jurusan.
"Pengecut..! Kalian bisanya hanya main keroyok!"
desis Sekar Telasih geram. "Hiyaaat...!"
Sekar Telasih tidak bisa melihat Darmaji kewala-
han dikeroyok dua puluh orang Tanpa menghiraukan
tingkat kepandaiannya yang masih tergolong rendah,
gadis itu cepat melompat dan memberikan beberapa
pukulan ke arah orang-orang yang mengeroyok Dar-
maji. Tapi, tak satu pun dari pukulannya yang mengenai sasaran. Gerakan orang-
orang berbaju merah itu
memang gesit sekali. Tapi, sama sekali mereka tidak mempedulikan Sekar Telasih.
Dan hal ini membuat
gadis itu semakin bertambah geram.
"Mundur...!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga dua puluh orang mengeroyok
Darmaji, berlompatan mundur begitu mendengar te-
riakan keras menggelegar tadi. Darmaji berdiri dengan pedang menyilang di depan
dada. Nafasnya terengah-engah, dan keringat mengucur deras membasahi seku-
jur tubuhnya. Matanya menatap tajam pada perem-
puan berbaju merah yang melangkah angkuh mende-
kati. Sedangkan Sekar Telasih berdiri tegak, bersikap menantang di samping
Darmaji. Sarung pedang yang
tersampir di pinggangnya sudah kosong. Gadis itu tidak tahu lagi, di mana
pedangnya berada setelah mencelat ke udara akibat berbenturan dengan golok salah
seorang pengeroyok.
'Pergi dari sini, Sekar. Sebelum pikiranku ber-
ubah!" desis perempuan tua berjubah merah itu dingin. "Enak saja memerintah.
Memangnya aku ini apamu, heh..."!" dengus Sekar Telasih ketus.
"Anak keras kepala! hih...!"
Bet! "Akh...!"
Sekar Telasih langsung jatuh tersuruk ketika
ujung tongkat perempuan tua itu menghantam dada
bagian kanannya. Melihat perbuatan perempuan tua
itu, darah Darmaji seketika saja bergolak mendidih.
"Iblis keparat...! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Darmaji tidak peduli lagi kalau lawan yang diha-
dapinya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi. Dengan
cepat sekali pemuda itu melompat. Pedangnya langsung dikebutkan ke arah batang
leher perempuan tua berjubah merah itu.
"Hih!"
Wuk! Tapi hanya sedikit mengegoskan tubuh sambil
menghentakkan tongkatnya, serangan Darmaji sama
sekali tak berarti. Bahkan pedang pemuda. itu jadi terpental lepas dari pegangan
begitu membentur tongkat ular berwarna merah itu. Dan sebelum Darmaji sempat
melakukan sesuatu, perempuan tua berjubah merah
itu sudah mengebutkan tangan kirinya ke depan. Ke-
cepatannya memang luar biasa. Akibatnya, Darmaji
tak sempat lagi menghindar.
Desss! "Aaakh...!" Darmaji menjerit keras melengking.
Kebutan tangan kiri perempuan tua itu tepat mengha-
jar kening Darmaji. Mau tak. mau, tubuh pemuda itu
terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Tampak bulatan merah tergambar di kening Darmaji.
Hanya sebentar saja pemuda itu berkelojotan di tanah, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi.
"Ayo kita pergi," ajak perempuan tua itu pada dua puluh orang laki-laki berbaju
serba merah. "Gadis itu, Nyi...?" ujar salah seorang sambil me-nunjuk Sekar Telasih yang
tergeletak tak sadarkan diri di tanah.
"Biarkan saja. Sebentar juga sadar. Belum saatnya mengurusi anak keras kepala
itu!" dengus perempuan tua berjubah merah itu.
Tak ada seorang pun yang membantah. Mereka
bergegas berlompatan pergi begitu perempuan tua berjubah merah itu melesat pergi
cepat sekali. Dan suasana pun kembali sunyi. Sekar Telasih menggeletak
tak sadarkan diri setelah terkena totokan tongkat ular perempuan tua berjubah
merah. Sedangkan Darmaji
telah tewas dengan kening terdapat bulatan merah bagai darah membeku.
*** Sekar Telasih membuka matanya ketika merasa
kan kehangatan sinar matahari membakar kulit wa-
jahnya. Dia mencoba menggerinjang bangkit, tapi se-
buah tangan telah mencegahnya. Sebentar gadis itu
mengerjapkan matanya. Dan begitu kelopak matanya
terbuka, langsung jadi terbeliak melihat seraut wajah tampan berada dekat di
atasnya. Bibir yang tipis dan agak merah, menyunggingkan senyuman yang begitu
manis. "Jangan bangun dulu. Kesehatan tubuhmu be-
lum pulih benar," kata pemuda itu lembut sekali suaranya. "Kakang Rangga...,"
desah Sekar Telasih, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang Rangga
yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Dia tersenyum begitu manis. Sementara pandangan
Sekar Telasih beralih, ketika mendengar langkah kaki halus menghampiri.
Keningnya jadi berkerut melihat
seorang gadis cantik berbaju biru sudah berdiri di belakang Rangga. Tampak
sebuah gagang pedang ber-
bentuk kepala naga, menyembul dari balik punggung-
nya. Wajah gadis itu demikian cantik. Kulitnya putih mulus, tanpa cacat sedikit
pun. "Kalian pasti belum saling mengenal. Ini Pandan Wangi...," ujar Rangga
memperkenalkan kedua gadis ini. Sekar Telasih hanya tersenyum saja. Dan gadis
berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi,
membalas senyuman dengan manis sekali. Di kalan-
gan rimba persilatan, Pandan Wangi lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Karena
senjatanya yang berben-
tuk sebuah kipas, sehingga gadis itu dijuluki si Kipas Maut sebelum menyandang
sebuah pedang yang bernama Pedang Naga Geni. Pedang itu juga tidak kalah
dahsyatnya dari kipas baja putih yang membuatnya
terkenal di kalangan rimba persilatan.
"Aku menemukanmu tengah tergeletak pingsan
di tengah jalan. Kebetulan, aku dan Pandan Wangi lewat daerah ini Dan aku memang
ingin mengajak Pan-
dan Wangi singgah di Desa Jatiwangi ini," kata Rangga memberi tahu tanpa
diminta. "Oh...," Sekar Telasih hanya mendesah saja.
Sesaat mereka terdiam.
"Kau melihat Kakang Darmaji...?" tanya Sekar Telasih.
Rangga mengangguk.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.
"Dia sudah tewas aku sudah menguburkannya,"
jawab Rangga. Lagi-lagi Sekar Telasih mendesah lirih. Sebentar
matanya dipejamkan. Terbayang kembali peristiwa
yang dialaminya bersama Darmaji Memang sudah di-
duga kalau perempuan tua berhati iblis itu tidak akan membiarkan Darmaji hidup.
Tapi, dia tidak tahu kenapa mereka membiarkan dirinya tetap hidup. Bahkan
hanya dibuat tidak sadarkan diri saja. Sekar Telasih
kembali membuka kelopak matanya.
Perlahan Sekar Telasih beringsut bangkit. Kali ini
Rangga tidak mencegah lagi. Gadis itu duduk bersila di depan Pendekar Rajawali
Sakti dan si Kipas Maut. Mereka masih belum ada yang membuka suara. Sedang-
kan Sekar Telasih memandangi Rangga dan Pandan
Wangi bergantian.
"Kulihat di bagian Selatan Desa Jatiwangi ini begitu menyedihkan. Apa sebenarnya
yang terjadi di sini, Sekar?" tanya Rangga ingin tahu.
"Sukar dikatakan, Kakang. Rasanya kiamat su-
dah dekat bagi desa kami," sahut Sekar Telasih. Suaranya yang mendesah, begitu
perlahan. "Kau pasti tidak akan percaya kalau aku mengatakannya, Kakang.
Tapi, itulah kenyataan yang sedang kami hadapi sekarang ini."


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan, apa yang sedang terjadi di sini..?" desak Rangga semakin ingin tahu.
"Perempuan iblis itu muncul lagi...,"
"Siapa?"
"Ular Betina."
"Ular Betina..."!"
Rangga terkejut bukan main mendengar nama
Ular Betina muncul lagi. Memang sukar dipercaya. Jelas sekali perempuan berhati
iblis itu sudah dite-
waskan di Hutan Gading dalam suatu pertarungan
yang sengit dan sangat melelahkan. Rasanya, memang
mustahil kalau orang yang sudah mati dan terkubur di dalam tanah bisa muncul
lagi. "Siapa itu Ular Betina?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja
mendengarkan. "Dia pernah datang ke desa ini, dan hampir
menghancurkan Desa Jatiwangi ini. Aku kemudian
berhasil menghentikan keangkaramurkaannya, dan
terpaksa menewaskannya. Bahkan bukan aku saja
yang mengalami. Tapi, juga banyak orang yang me-
nyaksikan pertarunganku dengan si Ular Betina itu.
Dia tewas di Hutan Gading. Sudah lama itu terjadi...,"
secara singkat Rangga menjelaskan, siapa si Ular Betina itu pada Pandan Wangi.
Meskipun belum jelas benar, tapi Pandan Wangi
tidak ingin bertanya lagi. Memang, pada saat peristiwa yang pernah terjadi
beberapa waktu di Desa Jatiwangi ini, Pandan Wangi tidak ada bersama Pendekar
Rajawali Sakti. Jadi, dia sama sekali tidak tahu.
"Ayo, aku antar kau pulang," kata Rangga seraya bangkit berdiri. "Sekalian, aku
juga ingin bertemu ayahmu."
"Ayah pasti senang melihat kau datang, Kakang,"
kata Sekar Telasih juga bangkit berdiri.
Rangga hanya tersenyum saja. Mereka kemudian
melompat naik ke punggung kuda masing-masing.
Pendekar Rajawali Sakti menunggang seekor kuda hi-
tam yang gagah. Namanya adalah Kuda Dewa Bayu.
Kuda hitam itu memang bukan kuda sembarangan.
Kecepatan larinya tak ada yang menandingi. Bahkan
kuda itu sangat cerdik. Dia bisa mengerti setiap kata yang diucapkan Pendekar
Rajawali Sakti.
Tak berapa lama kemudian, mereka sudah ber-
pacu meninggalkan tempat itu. Debu langsung menge-
pul membumbung tinggi ke angkasa, tersepak kaki tiga ekor kuda yang dipacu
dengan kecepatan sedang. Mereka berkuda secara bersisian, sehingga lebar jalan
yang ada begitu pas dilalui tiga ekor kuda ini.
"Bagaimana kau bisa masuk ke desa ini, Ka-
kang?" tanya Sekar Telasih ingin tahu.
"Kenapa kau tanyakan itu, Sekar" Memangnya
ada yang melarang orang masuk ke desa ini...?" Rang-
ga malah balik bertanya.
"Perempuan iblis itu melarang siapa saja yang
keluar masuk desa ini, Kakang. Sudah ada yang men-
coba, tapi mereka semua mati dibantai," jelas Sekar Telasih.
"Mungkin dia tidak sedang menjaga ketika aku
masuk ke sini, Sekar. Atau barangkali juga sedang
lengah," sahut Rangga seenaknya.
"Syukurlah kalau begitu. Aku senang kau sudah
ada di sini," ujar Sekar Telasih.
Lagi-lagi Rangga tersenyum saja. Dan mereka te-
rus di atas kuda yang diperlambat. Sepanjang jalan, Sekar Telasih menceritakan
semua yang terjadi di Desa Jatiwangi. Juga diceritakan peristiwa yang
dialaminya, sehingga pingsan setelah mendapat satu totokan Ular Betina di bagian
kanan dadanya. Rangga dan Pandan
Wangi mendengarkan saja tanpa memberi tanggapan
sedikit pun. Jalan yang dilalui semakin melebar, karena mereka sudah mendekati
pusat Desa Jatiwangi
yang besar ini.
*** 5 Ki Rangkuti begitu gembira atas kedatangan
Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut bersama
Sekar Telasih. Langsung disambutnya kedatangan
pendekar muda dan digdaya yang memang sangat di-
harapkan kemunculannya pada saat seperti ini. Tapi
kegembiraannya juga bercampur kesedihan begitu
mendengar Darmaji tewas di tangan perempuan berha-
ti iblis yang dikenal berjuluk si Ular Betina.
Saat ini kepandaian yang dimiliki Pendekar Ra-
jawali Sakti memang sukar dicari tandingannya. Begitu tingginya tingkat
kepandaian Rangga, sehingga tidak sedikit tokoh beraliran hitam yang memilih
menghindar daripada harus berurusan dengannya.
"Aku benar-benar sudah putus asa menghada-
pinya, Rangga. Rasanya tidak ada harapan lagi untuk bisa menyelamatkan desa ini
dari amukan si Ular Betina itu," keluh Ki Rangkuti. "Tindakannya semakin tak
karuan saja. Entah sudah berapa orang penduduk de-sa ini yang jadi korban.
Padahal aku tahu, apa sebenarnya yang diinginkan. Tapi, dia sengaja ingin
membuatku mati perlahan-lahan, dan melihat kehancuran
desa ini terlebih dahulu. Hhh...!
Sungguh menyakitkan, melihat desa yang ku-
bangun dengan susah payah harus hancur begitu sa-
ja." "Aku bisa mengerti perasaanmu, Ki. Dalam hal ini, aku ikut bertanggung
jawab atas keutuhan Desa
Jatiwangi," tegas Rangga perlahan.
"Aku percaya padamu, Rangga. Dan kedatan-
ganmu ke sini, pasti karena petunjuk Hyang Widi," ka-ta Ki Rangkuti langsung
menaruh harapan pada Pen-
dekar Rajawali Sakti.
"Aku berjanji akan menghadapinya dengan sega-
la daya yang kumiliki, Ki," tegas Rangga.
"Terima kasih, Rangga. Hanya kau satu-satunya
harapanku untuk menyelamatkan desa ini dari kehan-
curan," ujar Ki Rangkuti disertai bola matanya yang berkaca-kaca.
Mereka jadi terdiam ketika Walikan yang menda-
pat tugas mengawasi Sayuti, datang dengan langkah
lebar dan tergesa-gesa. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan itu
langsung menjura memberi hormat
begitu tiba di depan Ki Rangkuti. Dan begitu melihat ada Pendekar Rajawali
Sakti, segera tubuhnya membungkuk memberi penghormatan. Rangga membalas
dengan membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Bagaimana, Walikan?" tanya Ki Rangkuti. "Selamat, Ki. Kakang Sayuti sudah jauh
meninggalkan desa ini," sahut Walikan, agak tersengal suaranya.
"Tapi, Ki...."
"Ada apa lagi?"
"Pendekar Rajawali Sakti sudah ada di sini. Jadi, apakah kepergian Kakang Sayuti
tidak sia-sia...?"
tanya Walikan seraya melirik Rangga yang hanya ter-
senyum-senyum saja.
"Tidak ada yang sia-sia dalam berusaha, Wali-
kan. Tujuan utamanya memang mencari Pendekar Ra-
jawali Sakti. Tapi terlebih dahulu akan menemui
Bayangan Malaikat yang tidak seberapa jauh tempat
tinggalnya dari sini," jelas Ki Rangkuti. "Juga beberapa pendekar lain yang
tidak jauh tempat tinggalnya."
"Apa mungkin bisa keburu, Ki?" tanya Walikan.
"Kalau tidak ada Pendekar Rajawali Sakti di sini, mungkin juga aku akan cemas
sepertimu, Walikan.
Tapi kini aku sudah benar-benar tenang. Dan tak ada lagi yang perlu dicemaskan,"
ungkap Ki Rangkuti.
"Kau terlalu merendahkan diri, Ki," selak Rangga merasa pujian Ki Rangkuti
terlalu tinggi untuknya.
"Aku berkata yang sebenarnya, Rangga. Kehadi-
ranmu di sini, memang sangat tepat waktunya. Dan itu membuatku, dan semua
penduduk Desa Jatiwangi
merasa tenteram. Aku yakin, kau pasti bisa menghen-
tikan keberingasan si Ular Betina itu."
"Kita serahkan segalanya pada Hyang Widi, Ki,"
lagi-lagi Rangga merendah.
"Ayah, boleh aku bicara...?" selak Sekar Telasih
yang sejak tadi diam saja.
"Apa yang ingin kau katakan, Sekar?" Tanya Ki Rangkuti.
"Apakah Ayah memang betul-betul kenal Nyi
Rongkot..?" tanya Sekar Telasih bernada ragu-ragu.
"Tentu saja," sahut Ki Rangkuti.
"Apa mungkin Nyi Rongkot punya saudara kem-
bar Ayah...?" kembali terdengar keraguan dalam suara Sekar Telasih.
"Apa maksudmu, Sekar?" Ki Rangkuti malah ba-tik bertanya.
"Terus terang, Yah. Aku jadi tidak yakin kalau
yang sekarang muncul adalah Nyi Rongkot si Ular Be-
tina," ungkap Sekar Telasih. "Waktu sebelum bertarung tadi, dia sempat
mengatakan kalau aku tidak be-da jauh dari ibunya. Dari kata-kata itu saja bisa
diduga kalau dia bukan si Ular Betina. Bahkan anak buahnya sama sekali tidak
menyerangku. Mereka malah
mengeroyok Kakang Darmaji. Sedangkan aku hanya
dibuat pingsan saja. Aku jadi curiga, kalau dia bukan Nyi Rongkot."
"Hm.... Benar dia berkata seperti itu?" tanya Ki Rangkuti agak menggumam.
"Kalau benar Kakang Darmaji masih hidup, pasti akan berkata sama denganku,
Ayah," sahut Sekar Telasih. "Aneh... Padahal, dia begitu ingin mengambilmu
dariku, Sekar. Tapi kenapa sekarang justru berbalik?"
Ki Rangkuti seperti bicara sendiri.
Dari penuturan Sekar Telasih, membuat semua
orang yang ada di ruangan depan rumah Ki Rangkuti
ini jadi terdiam merenung. Bahkan Rangga yang sebe-
lumnya sudah diceritakan oleh Sekar Telasih dalam
perjalanan tadi, juga ikut berpikir. Memang kalau
mendengar kata-kata yang dituturkan Sekar Telasih
barusan, tampaknya wanita tua yang muncul kali ini
bukanlah Nyi Rongkot si Ular Betina. Kalau memang
demikian, lalu siapa sebenarnya wanita tua yang begi-tu mirip dengan Nyi
Rongkot.." Pertanyaan seperti itu muncul di benak mereka semua yang ada di
ruangan berukuran cukup besar ini.
Hanya Pandan Wangi saja yang tetap diam dan
tidak mengerti semua pembicaraan ini. Memang, dia
tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Desa Jatiwangi ini. Mereka semua jadi
terdiam, dengan berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepala masing-masing.
"Apa sebaiknya kita lihat kuburannya, Ki..?" usul Walikan memecah kesunyian yang
terjadi cukup lama
ini. "Untuk apa?" tanya Ki Rangkuti.
"Mungkin dari sana bisa diketahui, apakah be-
nar-benar Nyi Rongkot atau bukan," sahut Walikan.
"Kau akan membongkar kuburannya?" tanya Ki Rangkuti lagi. Jelas, dari nada
suaranya laki-laki tua itu tidak setuju kalau harus membongkar kuburan.
Meskipun, kuburan itu berisi manusia berhati iblis.
"Tidak perlu, Ki. Kita lihat saja. Kalau kuburan itu masih utuh, berarti wanita
tua yang muncul kali ini bukan Nyi Rongkot Tapi kalau kuburannya terbongkar, ada
kemungkinan memang Nyi Rongkot yang sekarang
muncul," jelas Walikan.
"Biar aku yang melihatnya, Ki," selak Rangga.
Dan sebelum ada yang menjawab, Pendekar Ra-
jawali Sakti sudah bangkit berdiri, dan langsung bergegas keluar dari ruangan
itu. Ki Rangkuti segera berdiri dan melangkah menyusul Pendekar Rajawali Sakti
diikuti yang lainnya. Tapi begitu mereka sampai di
luar, Rangga sudah memacu cepat kudanya. Kuda hi-
tam yang bernama Dewa Bayu itu berlari bagaikan an-
gin saja. Dalam waktu sebentar saja, sudah tak terlihat lagi bayangannya. Hanya
debu saja yang mengepul
membumbung tinggi ke angkasa.
Rangga menghentikan lari kudanya begitu tiba di
tengah-tengah Hutan Gading. Gerakan tubuhnya begi-
tu indah dan ringan sekali saat melompat turun dari punggung kudanya. Tanpa
menimbulkan suara sedikit
pun, Pendekar Rajawali Sakti mendarat tepat di dekat gundukan tanah, yang pada
satu ujungnya terdapat
sebuah batu berlumut hitam. Rerumputan liar hampir
menutupi gundukan tanah yang ternyata sebuah ku-
buran itu. "Hm...," Rangga menggumam perlahan dengan kening berkerut.
Dengan teliti sekali Pendekar Rajawali Sakti
memperhatikan setiap jengkal tanah di sekitar ku-
buran itu. Perlahan kemudian, kepalanya mendongak
ke atas. Kembali terdengar gumaman yang perlahan
dan lirih sekali. Dan tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat ke
udara. Dan kakinya langsung
hinggap di atas sebatang pohon yang cukup tinggi dan rimbun. Sebentar
pandangannya beredar, lalu kembali melompat turun dengan gerakan indah dan
ringan sekali. Pendekar Rajawali Sakti langsung hinggap di
atas punggung kudanya. Sekali hentak saja, kuda hi-
tam bernama Dewa Bayu itu melesat cepat bagai anak
panah lepas dari busur. Sebentar saja Dewa Bayu su-
dah berada di tepi Hutan Gading. Tapi tiba-tiba saja Rangga menarik tali kekang
kudanya. Maka seketika
itu juga, Dewa Bayu berhenti berlari seraya meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-
tinggi. "Hup!"
Ringan sekali gerakan Rangga saat melompat tu-
run dari punggung kuda hitam itu. Kedua matanya
menyipit memperhatikan sekitar dua puluh orang ber-
baju serba merah yang berdiri berjajar menghadang jalannya. Di depan dua puluh
orang berbaju serba me-
rah itu, berdiri seorang perempuan tua. Jubahnya
panjang, berwarna merah menyala. Sebatang tongkat
berbentuk ular yang juga berwarna merah, tergenggam di tangan kanannya. Perlahan
Rangga melangkah
mendekat. Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti, setelah jaraknya tinggal
sekitar satu batang tombak lagi dari orang-orang yang berjajar menghadang
jalannya. "Kau yang bernama Pendekar Rajawali Sakti?"
tanya perempuan tua berjubah merah itu. Suaranya
kering dan dingin sekali.
"Seharusnya tidak perlu bertanya seperti itu, kalau kau benar-benar si Ular
Betina, Nisanak," sahut Rangga tidak kalah dingin.
"Ha ha ha...! Pandanganmu sungguh tajam, Anak
Muda," perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Hm.... Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga.
"Semua orang menyebutku Naga Merah," sahut perempuan tua berjubah merah itu
memperkenalkan diri. "Rupamu memang mirip Nyi Rongkot si Ular Betina, Naga Merah. Pantas semua
orang di Desa Jati-
wangi menyangka kau adalah Nyi Rongkot," kata
Rangga, setengah menggumam suaranya. Seakan-akan


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bicara pada diri sendiri.
"Aku kagum dengan pandanganmu yang begitu
tajam, Anak Muda. Pantas saja semua orang selalu
membicarakanmu. Bahkan Nyi Rongkot sendiri bisa
kau kalahkan," puji si Naga Merah. Tapi nada suaranya terdengar begitu
meremehkan. "Kau benar-benar bernyali besar berani datang ke sini, Pendekar
Rajawali Sakti. Aku senang, ternyata kau ada di sini. Dan itu berarti tujuanku
akan tercapai hanya sekali jalan sa-ja." "Apa yang kau inginkan dari Desa
Jatiwangi, Na-ga Merah?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kematian, Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin
semua orang di Desa Jatiwangi mati!" sahut Naga Merah, dingin menggetarkan.
"Hm.... Mengapa kau ingin membunuh semua
orang di desa ini?" tanya Rangga lagi dengan suara agak tertahan.
"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Pen-
dekar Rajawali Sakti."
"Kau ingin membalas kematian Nyi Rongkot?"
'Tepat!" "Apa hubunganmu dengannya?"
"Aku adalah saudara kembar Nyi Rongkot yang
kau bunuh. Dan semua itu akibat ulah seluruh pen-
duduk Desa Jatiwangi. Aku ingin mereka merasakan
pembalasanku!" tegas sekali jawaban si Naga Merah.
"Mereka tidak bersalah. Bahkan tak ada sangkut pautnya dengan kematian saudara
kembarmu, Naga Merah. Jadi tidak selayaknya kau mengumbar nafsu
dendammu pada mereka," tegas Rangga.
"Kau pikir aku bodoh, Pendekar Rajawali Sakti!
Mereka selalu menghalangi saudaraku untuk
mengambil anaknya dari si Tua Bangka Rangkuti. Jadi sudah selayaknya mereka
menerima ganjaran yang se-timpal karena telah mencampuri urusan saudaraku.
Dan kau juga, Pendekar Rajawali Sakti.... Kau juga harus menerima pembalasanku!"
dingin sekali nada sua-
ra si Naga Merah itu.
Wukkk! Cepat sekali si Naga Merah mengebutkan tong-
katnya ke depan. Maka seketika itu juga, dua puluh
orang berbaju serba merah berlompatan dan langsung
mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Mereka menca-
but golok masing-masing, lalu melintangkannya di depan dada. Sementara Rangga
memperhatikan dengan
tajam lewat sudut ekor matanya. Dia menggumam per-
lahan. Dan perhatiannya kembali tertuju pada perem-
puan tua berjubah merah yang selama ini dianggap
sebagai si Ular Betina, tapi ternyata berjuluk Naga Merah. Saudara kembar dari
si Ular Betina yang sudah
tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau boleh bangga bisa mengalahkan Nyi Rong-
kot dengan kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi jangan harap bisa menggunakannya padaku...!"
desis Naga Merah.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
"Serang...!" seru Naga Merah lantang.
"Hiyaaa...!"
Yeaaah...!"
Seketika itu juga, dua puluh orang murid Naga
Merah yang memang sudah mengepung, serentak ber-
lompatan menyerang dengan golok ke arah Rangga.
Tapi begitu tiba, mereka bergantian me-ngebutkan goloknya dari segala penjuru.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'
untuk menghadapi keroyokan dua puluh orang yang
menggunakan senjata golok itu.
"Pusatkan pada kaki...!" seru Naga Merah memberi perintah dengan suara keras
menggelegar. "Heh..."!"
Rangga jadi terkejut setengah mati. Karena, baru
beberapa gebrakan saja perempuan tua itu sudah bisa mengetahui kelemahan jurus
'Sembilan Langkah
Ajaib'. Sesaat Pendekar Rajawali Sakti jadi kelabakan, karena dua puluh orang
yang menyerangnya memin-dahkan arah serangan ke kaki. Rangga terpaksa harus
berjumpalitan menghindari serangan golok yang datang bertubi-tubi itu.
"Edan!" dengus Rangga dalam hati. "Yeah...!"
*** Begitu mendapat kesempatan, secepat kilat Pen-
dekar Rajawali Sakti melentingkan tubuh ke udara
mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah
Mega'. Kedua tangan Rangga merentang lebar ke
samping. Sedangkan tubuhnya berputaran beberapa
kali di udara. Lalu, dia tiba-tiba saja meluruk deras sambil mengebutkan tangan
yang merentang lebar bagai burung rajawali ke arah para pengeroyoknya.
"Mundur...!" seru Naga Merah. Seketika itu juga, dua puluh orang berbaju merah
yang bersenjatakan
golok berlompatan mundur dan menyebar begitu men-
dengar teriakan perintah dari Naga Merah. Rangga jadi tersentak kaget. Maka
serangannya segera dihentikan.
Setelah melakukan putaran di udara dua kali, manis
sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tanah.
"Edan...!" dengus Rangga lagi.
"Hik hik hik...! Kau kaget aku bisa menanggulan-gi jurus-jurusmu, Pendekar
Rajawali Sakti..?" ejek Na-ga Merah memanasi.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
Dalam hati, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti me-
mang terkejut. Baru dua jurus dikeluarkan, tapi sudah cepat dimentahkan. Bahkan
jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega' yang dikeluarkannya tadi, belum
sempat mencapai sasaran sama sekali. Jurusnya itu
langsung mentah sebelum Rangga sendiri sempat me-
lancarkan serangannya. Semua pengeroyoknya cepat
menghindar sebelum Pendekar Rajawali Sakti mende-
kat. Itu berarti si Naga Merah benar-benar mengetahui cara menghadapi jurus-
jurus 'Rajawali Sakti'.
"Sebenarnya, aku tidak mengharapkan bertemu
denganmu secepat ini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, memang pertemuan ini tidak
bisa dihindari lagi. Dan kau sekarang sudah berhadapan denganku. Bersiaplah
menerima kematianmu, Pendekar Rajawali Sakti," ancam si Naga Merah.
"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam perlahan saja.
Sementara itu, perempuan tua berjubah merah
yang merupakan kembaran Nyi Rongkot, sudah men-
gangkat tongkatnya yang berbentuk ular berwarna me-
rah darah. Tongkat itu disilangkan di depan dada. Tatapan matanya begitu tajam,
seakan-akan sedang
mengukur tingkat kepandaian pemuda berbaju rompi
putih di depannya.
"Tahan seranganku, Anak Muda! Hiyaaat..!" seru Naga Merah keras menggelegar.
"Hup!"
Begitu si Naga Merah melompat menyerang,
Rangga seketika itu juga melentingkan tubuhnya ke
udara. Langsung kedua tangannya dihentakkan ke de-
pan, mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawa-
li' pada tingkatan yang terakhir. Bersamaan dengan
itu, si Naga Merah mengebutkan tongkatnya menyilang ke depan. Tak pelak lagi,
kedua telapak tangan Rangga membentur bagian tengah tongkat berbentuk ular na-ga
merah itu. Glarrr...! Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat
memecah angkasa. Tampak kedua tokoh tingkat tinggi
yang berada di udara itu sama-sama terpental ke belakang. Mereka saling
berputaran di udara, lalu hampir bersamaan pula mendarat manis di tanah. Pada
saat itu, si Naga Merah sudah cepat mengebutkan tongkat-
nya ke depan. Dan dari mulut tongkat berbentuk ular itu, meluncur secercah
cahaya merah yang langsung
meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Bergegas Rangga melentingkan tubuh, ber-
putaran beberapa kali ke udara untuk menghindari serangan yang dilancarkan
perempuan tua saudara
kembar si Ular Betina itu. Sinar merah yang melesat keluar dari tongkat ular
merah itu menghantam tanah hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar. Tanah
yang terhantam sinar merah itu seketika terbongkar, menimbulkan kepulan debu
yang membumbung
ke angkasa, membentuk sebuah jamur raksasa yang
begitu indah namun dahsyat.
"Gila...!" desis Rangga begitu kakinya kembali menjejak tanah.
Memang sungguh dahsyat sekali serangan pe-
rempuan tua ini. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika sinar merah itu tadi
mengenai tubuh manusia. Jelas, bisa hancur berkeping-keping jadi serpihan
dendeng! Sementara itu si Naga Merah sudah bersiap hendak melancarkan serangan
kembali. Dan Rangga juga
sudah siap menerimanya.
*** 6 "Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Secepat kilat Naga Merah melompat menerjang
Rangga yang memang sejak tadi sudah siap meng-
hadapi serangan perempuan tua itu. Dan ketika si Na-ga Merah mengebutkan
tongkatnya ke arah kaki, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas
menghindarinya.
Tapi tanpa diduga sama sekali, si Naga Merah ju-
stru cepat menarik serangan tongkatnya. Dan seketika itu juga tubuhnya melesat
ke udara mengejar Pendekar Rajawali Sakti yang tengah melayang di atas. Bagaikan
kilat, perempuan tua berjubah merah itu melepaskan satu pukulan keras
menggeledek dengan tan-
gan kiri. "Yeaaah...!"
"Uts! Hiyaaa...!"
Memang tak ada lagi kesempatan bagi Rangga
untuk berkelit menghindar. Maka cepat-cepat tangan
kanannya dikibaskan, menyampok pukulan tangan ki-
ri yang dilancarkan perempuan tua itu.
Trak! Dua tangan beradu keras di udara. Tampak
Rangga cepat melesat berputaran beberapa kali ke belakang. Begitu juga si Naga
Merah. Tapi begitu mereka menjejak tanah, Naga Merah sudah kembali melompat
memberi serangan yang semakin bertambah dahsyat
saja. Sedangkan Rangga terpaksa hams berjumpalitan
menghindari serangan-serangan yang dilancarkan pe-
rempuan tua itu.
Jurus demi jurus pun berlalu cepat tanpa terasa.
Mereka saling bertahan dan menyerang secara bergan-
tian. Rangga sendiri mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'. Bahkan
tidak jarang mencampur dua jurus sekaligus. Tapi perempuan tua berjubah merah
yang mengaku berjuluk Naga Merah ini memang
memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Serangan-serangan yang dilancarkan
Rangga bisa dipatahkan,
meskipun harus berjumpalitan dan mengerahkan selu-
ruh kemampuannya.
Tapi serangan-serangan yang dilancarkan si Na-
ga Merah juga membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi
kelabakan mematahkannya. Entah sudah berapa kali
pukulan yang dilepaskan bersarang di tubuh satu sa-
ma lain. Tapi pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit. Gerakan-
gerakan yang dilakukan pun
semakin cepat. Sehingga kini yang terlihat hanya
bayangan-bayangan merah dan putih berkelebatan sal-
ing sambar. Sementara dua puluh orang anak buah si
Naga Merah hanya bisa jadi penonton saja. Tidak
mungkin mereka ikut dalam pertarungan tingkat tinggi itu. Hingga akhirnya,
mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan menghentikan pertarungan
yang sudah menghabiskan puluhan jurus. Mereka
berdiri tegak saling berhadapan, dengan sorot mata tajam yang sukar diartikan.
Tapi di dalam hati, mereka sama-sama mengakui ketangguhan satu sama lain.
Beberapa saat mereka saling menatap tajam, bagai sedang mengukur sisa kepandaian
yang dimiliki masing-
masing, setelah bertarung puluhan jurus.
"Kuakui kau memang tangguh, Pendekar Raja-
wali Sakti. Tidak heran jika Nyi Rongkot bisa kau kalahkan," puji Naga Merah,
tulus. Namun nada suaranya terdengar begitu dalam sekali.
"Tingkat kepandaianmu juga lebih tinggi dari
saudara kembarmu. Meskipun beberapa jurus masih
sama persis. Tapi kau lebih matang dan sempurna
menggunakannya," Rangga balas memuji.
"Hm.... Baru kali ini aku mendapatkan lawan
yang masih muda dan berkepandaian tinggi."
"Hm...."
"Tapi aku tidak menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti. Aku ingin tahu,
sampai di mana tingkat dari ilmu kesaktian yang kau miliki," kata Naga Merah
lagi Kali ini suaranya terdengar begitu dingin.
"Kau menginginkan adu kesaktian, Naga Merah?"
gumam Rangga. "Kita tentukan sekarang. Siapa yang lebih unggul di antara kita berdua, Pendekar
Rajawali Sakti."
Kening Rangga jadi berkerut, dan langsung ingat
saat pertarungannya melawan saudara kembar si Naga
Merah ini dalam Hutan Gading. Waktu itu, Pendekar
Rajawali Sakti sempat juga dikalahkan Nyi Rongkot.
Bahkan hampir mati kalau saja tidak segera ditolong Rajawali Putih. Seekor
burung rajawali raksasa yang telah membuatnya jadi seorang pendekar tangguh.
Dan sekarang, di depannya berdiri seorang pe-
rempuan tua yang wajah dan bentuk tubuhnya begitu
mirip dengan Nyi Rongkot si Ular Betina. Dalam pertarungan tadi, Rangga sudah
bisa menilai kalau kepan-
daian yang dimiliki si Naga Merah jauh lebih tinggi dan sempurna daripada
saudara kembarnya. Dan bukan-nya Pendekar Rajawali Sakti gentar, tapi harus
lebih waspada. Rangga tidak ingin kecolongan untuk kedua
kalinya yang mengakibatkan dirinya hampir tewas.
*** "Kau pasti sudah tahu ilmu 'Naga Merah', Pendekar Rajawali Sakti," kata Naga
Merah, dingin. "Hm...," Rangga hanya menggumam saja.
Rangga sudah tidak terkejut lagi mendengar ilmu
'Naga Merah' yang disebut perempuan tua berjubah
merah ini. Karena, memang sudah pernah menghada-
pinya ketika ilmu itu dikeluarkan Nyi Rongkot Dalam pertarungannya yang pertama,
Pendekar Rajawali Sakti memang dapat dikalahkan. Bahkan hampir mati ka-
lau tidak segera ditolong burung rajawali raksasa. Tapi setelah mendapatkan
jurus 'Pedang Pemecah Sukma'
dan aji 'Cakra Buana Sukma', ilmu itu dapat ditaklukkannya.
"Tapi jangan harap kau bisa melihat ilmu itu lagi,
Pendekar Rajawali Sakti. Karena, aku sudah lebih


Pendekar Rajawali Sakti 64 Dendam Naga Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempurna lagi daripada Nyi Rongkot. Dan kau akan
merasakan ilmu 'Naga Merah' yang lebih sempurna da-
ri yang kau rasakan saat bertarung dengan saudara
kembarku," ancam Naga Merah, semakin dingin nada suaranya.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu, ilmu 'Naga
Merah' yang dimiliki perempuan tua ini pasti lebih
sempurna. Memang, perempuan tua inilah yang sebe-
narnya pemilik ilmu yang sangat dahsyat itu. Dan ten-tu saja akan lebih dahsyat.
Mengingat akan hal itu, Rangga tidak mau lagi menganggap main-main. Dia
Elang Terbang Di Dataran Luas 9 Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Lencana Pembunuh Naga 4
^