Jaringan Hitam 1
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam Bagian 1
JARINGAN HITAM oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 053:
Jaringan Hitam 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Deru angin senja di Puncak Gunung Caringin begitu kencang, seakan-akan hendak
meruntuhkan puncak yang terselimut kabut tebal. Daun-daun kering berguguran
terhempas sapuan angin kencang.
Beberapa pohon kecil mulai bertumbangan, dan batu-batu kerikil berhamburan.
Semuanya diterjang kuatnya tiupan angin kencang yang membawa udara dingin
menggigilkan tulang. Juga, membawa awan tebal menghitam, bergulung-gulung
menutupi sinar matahari senja.
Namun segala yang terjadi di Puncak Gunung Caringin ini, sama sekali tidak
mengusik seorang pemuda berwajah cukup tampan yang berdiri tegak di atas
sebongkah batu hitam berlumut tebal.
Pandangan pemuda berbaju putih ketat itu lurus tak berkedip. Sinar matanya
begitu kosong dan jauh, menembus gulungan ombak yang berada di bawah tebing yang
dipijaknya. Ketampanan wajahnya terusik oleh mendung yang menggantung menyelimuti. Entah apa
yang mengganggu pikiran anak muda itu. Rambutnya yang panjang terikat pita
putih, hanya tergerai melambai-melambai dipermainkan angin. Tubuhnya terlihat
tegak, terbungkus baju ketat berwarna putih. Belahan baju pada bagian dada cukup
lebar, menampakkan bentuk dada yang bidang, tegap dan berotot Entah sudah berapa
lama dia berdiri mematung di atas batu karang itu, dan sedikit pun tidak
bergeming. Perhatiannya begitu tajam, tertuju langsung pada
ombak yang bergulung-gulung tak ada habisnya.
Perhatiannya begitu penuh pada lautan, sampai-sampai tidak menyadari kalau ada
seseorang mendekatinya dari arah belakang.
Orang tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul, berhenti tepat di
belakang pemuda tampan berbaju putih ketat ini. Kepalanya bergerak menggeleng
perlahan. Ujung-ujung jarinya terus bergerak lincah, seperti menghitung butiran
tasbih yang terbuat dari batu hitam berkilat.
"Ehm-ehm...!"
"Oh..."!"
Pemuda berbaju putih ketat itu terkejut ketika mendengar suara batuk kecil di
belakangnya. Dia cepat berbalik, lalu menarik napas panjang begitu melihat ada
seorang laki-laki gundul berjubah kuning di tempat ini.
"Paman Pendeta Pohaji...," desah pemuda berbaju putih ketat itu, mengenali laki-
laki tua gundul berjubah kuning di depannya. Bergegas pemuda itu melompat turun
dari batu. Dia hendak berlutut, tapi laki-laki tua yang dikenali-nya sebagai Pendeta Pohaji
itu cepat mencegah.
Pemuda berbaju putih itu tidak jadi berlutut, dan hanya menundukkan kepala saja.
Dia seakan-akan tidak sanggup memandang sorot mata pendeta tua di depannya ini
"Sudah tiga hari ini kau tidak berlatih, Sangkala.
Dan kuperhatikan, kau selalu menyendiri, memandang ke tengah laut. Apa
sebenarnya yang sedang kau pikirkan...?" terasa lembut suara Pendeta Pohaji.
"Tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya senang saja memandangi burung camar yang
begitu bebas bergembira di alam yang indah ini. Aku suka mendengarkan deburan ombak memecah
batu karang. Begitu merdu, bagaikan nyanyian sang Dewi," sahut pemuda yang dipanggil
Sangkala. Pendeta Pohaji tersenyum. Laki-laki tua gundul itu tahu kalau Sangkala menyimpan
sesuatu. Dan jawaban tadi, hanya untuk menutupi hal yang sebenarnya saja.
Kemudian digamitnya bahu Sangkala dan diajaknya melangkah. Mereka berjalan
perlahan-lahan menuruni Puncak Gunung Caringin ini.
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang berbicara. Hingga sampai di kaki
lereng gunung ini, masih juga belum ada yang membuka suara. Dan ayunan kaki
mereka terus bergerak perlahan menuju pantai yang berada tepat di bawah kaki
Gunung Caringin ini. Mereka terus berjalan ke pantai yang landai berpasir putih,
sampai lidah ombak menjilati kaki. Dan kedua laki-laki itu terus berjalan
bersisian. "Aku tahu, kau pasti menyembunyikan sesuatu, Sangkala. Mungkin berat bagimu
untuk mengatakannya pada orang lain. Tapi segala persoalan harus terpecahkan.
Dan kau pasti membutuhkan seseorang yang dapat membantu memecahkan persoalan
yang sedang kau hadapi," kata Pendeta Pohaji lembut, membuka percakapan kembali.
"Aku tidak memiliki persoalan apa-apa, Paman,"
kilah Sangkala agak mendesah perlahan.
"Aku dulu juga pernah muda sepertimu, Sangkala.
Kau tidak bisa menyembunyikan perasaan hatimu padaku," nada suara Pendeta Pohaji
terdengar mendesak.
Sangkala diam saja. Beberapa kali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya
kuat-kuat Seakan-akan begitu berat untuk mengungkapkan
semua ganjalan hatinya. Memang diakui kalau pengamatan Pendeta Pohaji tidak
meleset sedikit pun. Pemuda itu memang memiliki persoalan yang sulit dipecahkan.
Apalagi harus menceritakannya pada orang lain, meskipun yang meminta adalah
gurunya sendiri, yang juga pamannya.
"Baiklah, jika merasa keberatan. Aku tidak akan menanyakan lagi," ujar Pendeta
Pohaji. "Maafkan aku, Paman," ucap Sangkala pelan.
Pendeta Pohaji hanya tersenyum saja. Ditepuknya lembut pundak pemuda itu, penuh
kasih sayang. Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Sangkala! Apa kau sudah menamatkan ajian terakhir yang kuberikan?" tanya
Pendeta Pohaji, mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, Paman," sahut Sangkala.
"Bagus Kalau begitu, malam ini aku akan menguji-mu. Aku ingin tahu, sampai di
mana kau menguasai aji 'Petak Jiwa'."
"Nanti malam, Paman..."!" Sangkala tampak terkejut
"Kenapa" Belum siap...?"
"Siap, Paman," sahut Sangkala, bernada ragu-ragu.
"Aku tunggu kau tepat tengah malam di sini."
Setelah berkata demikian, Pendeta Pohaji berjalan cepat mendahului Sangkala.
Sedangkan pemuda berbaju putih itu menghentikan ayunan kakinya. Dipandanginya
laki-laki tua gundul yang semakin jauh di depannya.
"Hhh.... Seharusnya tadi aku menolak. Pendeta Pohaji pasti kecewa," desah
Sangkala perlahan.
*** Sangkala baru mengayunkan kaki kembali setelah Pendeta Pohaji tidak terlihat
lagi. Ayunan kakinya begitu perlahan. Sedangkan kepalanya tertunduk dalam,
memandangi ujung jari kaki yang bergerak teratur menyusuri tepian pantai ini.
Tapi baru beberapa depa berjalan, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan biru.
"He...! Sangkala tersentak kaget, dan langsung berhenti melangkah. Belum lagi hilang
rasa keterkejutannya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang perempuan muda
yang cantik. Tubuhnya ramping, dengan lekuk-lekuk indah terbalut baju biru
terang yang ketat dan agak tipis.
"Mintarsih...," desis Sangkala mengenali wanita cantik di depannya.
Wanita cantik berbaju biru yang dipanggil Mintarsih itu tersenyum manis. Begitu
manis dan memikat senyumnya, membuat Sangkala jadi menelan ludah.
Entah kenapa, mendadak saja tenggorokan pemuda ini jadi kering.
"Sudah tiga hari aku menunggumu, Sangkala. Apa sudah mengambil keputusan...?"
terdengar halus dan lembut suara Mintarsih.
"Aku.., aku tidak bisa memutuskannya," sahut Sangkala agak tergagap
"Kenapa...?" tanya Mintarsih agak terkejut mendengar jawaban itu
"Aku tidak mungkin meninggalkan Pendeta Pohaji.
Aku bukan lagi seperti kemenakannya, tapi Pendeta Pohaji malah sudah
menganggapku seperti anaknya sendiri"
"Kenapa kau begitu berat meninggalkannya hanya untuk beberapa hari saja,
Sangkala" Lagi pula, kalau kau memberi alasan tepat, Pendeta Pohaji pasti
mengizinkanmu keluar dari Karang Setra."
Sangkala hanya diam saja.
"Alasanmu tidak tepat, Sangkala. Apa sebenarnya yang membuatmu begitu berat
meninggalkan Karang Setra" Ini kesempatan baik, Sangkala. Aku sudah tahu, di
mana Pendekar Rajawali Sakti sekarang berada. Jadi, tidak pertu repot-repot lagi
mencarinya. Setelah semuanya selesai, kau bisa kembali lagi ke sini," bujuk Mintarsih.
"Kenapa tidak kau saja, Mintarsih?" tanya Sangkala, tetap pelan suaranya.
"Aku membutuhkan teman."
"Tapi, kenapa harus aku?"
"Karena alasan kita sama, Sangkala. Dan kita bisa bekerja sama. Aku yakin, ilmu-
ilmu yang kau dapatkan dari Pendeta Pohaji bisa diandalkan. Terlebih lagi aji
'Petak Jiwa' yang sudah kau kuasai, Sangkala,"
lagi-lagi Mintarsih membujuk.
"Aku belum sempurna menguasai aji 'Petak Jiwa', Mintarsih. Masih terlalu banyak
kekurangannya,"
Sangkala mencoba berkilah.
"Kau hanya merendah saja, Sangkala."
"Ah! Sudahlah, Mintarsih. Beri aku sedikit waktu lagi untuk berpikir," desah
Sangkala. "Waktunya sangat mendesak, Sangkala."
"Kau datang saja ke sini besok."
"Kenapa tidak sekarang saja, Sangkala?" desak Mintarsih.
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Sudahlah, Mintarsih. Besok kau baru bisa men-
dengar keputusanku."
"Baiklah kalau begitu," Mintarsih mengalah.
"Besok siang aku akan datang lagi ke sini."
Setelah berkata demikian, Mintarsih langsung melesat pergi. Begitu cepatnya
gerakan gadis berbaju biru itu, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak
terlihat lagi. Sangkala menghembuskan napas panjang, lalu kembali mengayunkan
kaki meninggalkan pantai ini.
*** Malam ini udara di sekitar pantai begitu dingin.
Angin berhembus kencang, menciptakan deburan ombak yang semakin keras menghantam
karang. Di bawah siraman cahaya bulan, tampak dua orang laki-laki berdiri saling
berhadapan. Mereka adalah Pendeta Pohaji dan Sangkala. Saat ini, memang sudah
lewat tengah malam. Tak ada orang lain lagi yang terlihat di sekitar pantai ini,
kecuali mereka berdua saja. Mereka seperti tidak mempedulikan hembusan angin
kencang yang menyebarkan udara dingin membekukan tulang.
"Kau sudah siap, Sangkala...?" tanya Pendeta Pohaji membuka suara lebih dahulu.
"Siap," sahut Sangkala.
"Bagus...! Yeaaah...!"
Mendadak saja Pendeta Pohaji melompat cepat bagai kilat menerjang Sangkala.
Akibatnya pemuda itu sejenak terperangah. Namun dia cepat melompat ke samping
sambil menarik tubuhnya miring ke kanan. Maka terjangan Pendeta Pohaji lewat
sedikit di depan dada pemuda itu.
Pendeta Pohaji berdiri tegak. Matanya menyorot
tajam, dan bibirnya terkatup rapat. Sangkala cepat merundukkan kepala, tidak
sanggup menerima tatapan mata yang begitu tajam menusuk
"Cara menghindarmu jelek sekali, Sangkala.
Lawan bisa mudah memasukkan pukulan. Dadamu terlalu kosong, sama sekali tidak
teriindungi," ujar Pendeta Pohaji tajam.
"Maaf, Paman," ucap Sangkala.
"Kau harus bersungguh-sungguh, Sangkala."
Belum juga Sangkala menjawab, Pendeta Pohaji sudah menerjang kembali,
mengeluarkan jurus yang cepat luar biasa. Sangkala masih kelabakan sejenak, tapi
cepat bisa menguasai keadaan setelah satu pukulan mendarat telak di dadanya.
Untung saja pukulan itu tidak mengandung tenaga dalam, sehingga Sangkala tidak
merasakan sakit sedikit pun juga.
"Jangan membuatku kecewa, Sangkala...!
Hiyaaat..!"
"Hup"
Sangkala cepat melentingkan tubuhnya ke udara, lalu berputar dua kali sebelum
menjejakkan kaki di pasir pantai. Namun baru saja hendak bersiap, sudah datang
lagi serangan cepat. Sangkala cepat memiringkan tubuh ke kiri, menghindari
tendangan Pendeta Pohaji.
Namun ketika Pendeta Pohaji melepaskan
tendangan berputar, Sangkala tidak dapat lagi berkelit. Maka tendangan yang
cukup keras itu, tepat menghantam dada pemuda itu.
Des! "Akh...!" Sangkala terpekik agak tertahan.
Pemuda berbaju putih itu terjengkang jatuh duduk.
Sementara Pendeta Pohaji berdiri tegak. Baru dua
jurus, tapi Sangkala sudah dua kali menerima pukulan pada dadanya. Dan tendangan
yang terakhir tadi, membuat dadanya sedikit terasa sesak.
"Bangun!" bentak Pendeta Pohaji.
Sambil meringis, Sangkala beranjak bangkit berdiri. Sebentar dia mengatur jalan
napasnya yang agak sedikit tertahan, akibat tendangan laki-laki tua gundul ini.
"Kau benar-benar membuatku kecewa, Sangkala,"
ujar Pendeta Pohaji.
"Maafkan aku, Paman. Perhatianku sedang terpecah," sahut Sangkala beralasan.
"Aku beri kau lima jurus. Namun bila tidak bisa bertahan, jangan harap aku
memberi izin ke kota di akhir pekan ini."
"Aku akan bersungguh-sungguh, Paman," janji Sangkala.
Bet! Sangkala cepat mengebutkan tangan ke depan, lalu perlahan ditarik kembali hingga
sejajar dada. Dan setelah menghembuskan napas panjang, mendadak saja pemuda
tampan berbaju putih itu melompat menerjang Pendeta Pohaji sambil melemparkan
beberapa pukulan beruntun.
"Hup! Yeaaah....!"
Tapi Pendeta Pohaji bukanlah orang sembarangan.
Dengan mudah sekali, dia bisa menghindari serangan beruntun yang dilancarkan
muridnya yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Tanpa terasa, Sangkala sudah melewati lima jurus yang dijanjikan Pendeta Pohaji.
Namun dari semua jurus andalan yang dikerahkan, tapi tidak ada satu pun yang
mengenai sasaran. Hingga akhirnya....
"Tahan...! Yeaaah...!" seru Pendeta Pohaji tiba-tiba.
*** Manis sekali gerakan Pendeta Pohaji saat melenting ke belakang, keluar dari
pertempuran latihan-nya. Sangkala juga segera menghentikan serangan.
Dia langsung berlutut, memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung. Sementara, kepalanya tertunduk dalam.
Pendeta Pohaji menghampiri dengan ayunan langkah ringan, bagai tak menyentuh
tanah pantai berpasir putih. Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sepertinya, pemuda yang berlutut di depannya ini bukan Sangkala, murid
kesayangannya yang sudah memiliki jurus-jurus andalan dahsyat dari ilmu tingkat
tinggi. "Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang kau hadapi, Sangkala. Jurus-jurus
yang kau mainkan tadi, begitu mentah dan tidak berbobot sama sekali. Aku yakin,
kau pasti belum mempelajari aji 'Petak Jiwa',"
dingin sekali nada suara Pendeta Pohaji.
"Maafkan aku, Paman," ucap Sangkala perlahan.
"Kenapa belakangan ini kau jadi pemalas" Apa yang mengganggu pikiranmu,
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sangkala?" tanya Pendeta Pohaji. Kali ini nada suaranya berubah lembut.
Sangkala diam saja. Pemuda itu duduk bersila sambil tetap menundukkan kepala.
Seakan-akan dia tidak berani membalas tatapan Pendeta Pohaji yang begitu tajam
menusuk sampai ke relung hatinya yang paling dalam.
"Sejak kecil kau sudah ikut bersamaku, Sangkala.
Dan selama ini, sekali pun kau belum pernah menyimpan rahasia padaku. Tapi
kenapa sekarang
begitu lain" Kau tidak lagi menganggapku pamanmu, Sangkala?"
Pendeta Pohaji terus mendesak.
Sangkala diam saja. Bahkan tetap tertunduk, menekuri pasir yang putih berkilat
tertimpa cahaya bulan. Sementara debur ombak terus terdengar memecah karang.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana begitu sunyi. Pendeta Pohaji menunggu
sabar, namun Sangkala tetap diam membisu.
"Ada persoalan apa sebenarnya, Sangkala?" tanya Pendeta Pohaji tidak sabar.
"Paman...," pelan sekali suara Sangkala, seakan-akan begitu berat untuk
mengeluarkan suara.
Perlahan pemuda itu mengangkat kepalanya, tapi tidak berani membalas tatapan
mata laki-laki tua berjubah kuning di depannya ini.
"Katakan, apa sebenarnya yang mengganjal hatimu?" desak Pendeta Pohaji lembut.
"Paman tidak marah kalau aku mengatakan
sesuatu?" Sangkala malah bertanya.
"Kenapa harus marah?" ujar Pendeta Pohaji.
"Paman...," kembali ucapan Sangkala terputus.
Dan kepala pemuda itu kembali menunduk.
Dicobanya untuk mengumpulkan kekuatan agar segala yang ada di relung hatinya
bisa diutarakan.
Sesuatu yang selama beberapa hari ini selalu membuat pikirannya tidak menentu,
hingga tidak bisa memusatkan perhatian pada pelajaran yang diberikan Pendeta
Pohaji. "Sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman. Itu pun kalau Paman tidak marah dan
bersedia menjawab pertanyaanku," ujar Sangkala perlahan. Nada suaranya terdengar
seperti ragu-ragu.
"Apa pun yang kau tanyakan, pasti akan kujawab.
Dan jika ingin mengetahui sesuatu, tentu aku akan memberi tahu sebatas
pengetahuanku sendiri,"
jawab Pendeta Pohaji lembut.
"Paman, apakah benar Gusti Prabu Rangga itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya
Sangkala setelah berpikir agak lama.
"Benar," sahut Pendeta Pohaji.
Laki-laki tua berjubah kuning yang menjadi penasihat Kerajaan Karang Setra itu
jadi heran juga mendengar pertanyaan muridnya ini. Tapi keheranan-nya tidak
ingin diungkapkan dulu. Dia ingin agar Sangkala mengutarakan lebih dahulu semua
yang menjadi beban pikirannya saat ini.
"Benarkah dia yang membunuh ayahku, Paman?"
tanya Sangkala setelah menguatkan diri.
Pendeta Pohaji tersentak kaget mendengar pertanyaan pemuda itu, sehingga tidak
langsung menjawab. Dan Sangkala kini menatap wajah laki-laki tua yang berdiri di
depannya ini. Tampak jelas dari raut wajah, kalau Pendeta Pohaji begitu terkejut
mendengar pertanyaan Sangkala barusan.
Laki-laki tua berjubah kuning gading itu memutar tubuhnya, lalu melangkah
perlahan menuju tepian pantai. Pandangannya lurus ke depan. Sementara Sangkala
sudah bangkit berdiri. Perlahan kakinya melangkah mengikuti pendeta tua itu yang
kini sudah berhenti di garis pantai. Tampak lidah ombak menjilati kaki mereka.
"Maafkan atas pertanyaanku tadi, Paman," ucap Sangkala.
Pendeta Pohaji tidak berpaling sedikit pun. Dia terus menatap ke tengah laut
yang menghitam pekat.
Pantulan sinar rembulan, membuat permukaan laut yang selalu bergelombang seperti
bertaburkan batu
permata yang berkilauan. Tapi di mata Pendeta Pohaji, bagaikan lautan duri yang
harus diseberangi.
Beberapa kali napasnya dihembuskan, seakan-akan ingin melonggarkan rongga
dadanya yang mendadak jadi sesak.
*** 2 "Dari mana kau punya pikiran seperti itu, Sangkala?"
tanya Pendeta Pohaji tanpa berpaling sedikit pun.
Sangkala tidak menjawab. Pandangannya pun di-arahkan ke tengah lautan.
Pertanyaan Pendeta Pohaji barusan terasa begitu berat dijawab. Tidak mungkin hal
itu diutarakan dengan terus terang, karena sudah berjanji pada Mintarsih untuk
tidak memberitahukan pertemuan mereka selama ini pada siapa pun juga.
Termasuk Pendeta Pohaji.
"Aku kenal betul Gusti Prabu Rangga. Meskipun, aku baru bertemu dengannya lagi
setelah dia menjadi dewasa," jelas Pendeta Pohaji.
Laki-laki itu terkenang kembali saat pertemuannya dengan Pendekar Rajawati
Sakti. Saat itu, Karang Setra belum lagi berbentuk kerajaan, tapi masih
merupakan sebuah kadipaten (Baca serial Pendekar Rajawati Sakti dalam kisah,
"Api di Karang Setra").
Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan semua orang. Karena selama dua puluh
tahun, Rangga Pati Permadi sudah dianggap tewas di Lembah Bangkai.
Peristiwa itu memang sudah lama sekali, tapi masih melekat kuat dalam ingatan
Pendeta Pohaji.
Saat itu dia memang tidak bisa menentukan, dan tidak ingin berpihak pada siapa
saja. Kedudukannya sebagai pendeta dan penasihat keturunan Adipati Karang Setra,
membuat Pendeta Pohaji harus berdiri di tengah-tengah. Tidak memihak pada Rangga
yang ahli waris tunggal Karang Setra. Juga, tidak memihak pada Wira Permadi,
adik tiri Rangga yang sangat
bernafsu ingin menguasai Karang Setra. Terlepas, apakah dia tahu kalau jalan
yang ditempuh Wira Permadi dapat dibenarkan atau tidak.
Namun Pendeta Pohaji sudah berjanji pada Adipati Karang Setra untuk menjaga dan
melindungi keturunannya sampai ajal datang menjemput. Satu persatu janjinya pada
Adipati Karang Setra sudah terpenuhi, meskipun dia tidak bisa memenuhi janjinya
sendiri pada putra adipati itu sendiri. Dan yang jelas, itu bukan kesalahannya.
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan musibah datang.
"Paman, benarkah Pendekar Rajawali Sakti yang membunuh ayahku?" tanya Sangkala
lagi, agak mendesah.
"Aku tidak bisa menjawabnya, Sangkala," sahut Pendeta Pohaji pelan.
"Kenapa" Bukankah Paman begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Rangga, Pendekar Rajawali Sakti, atau Gusti Prabu Karang Setra adalah sama. Dan
aku memang salah seorang pejabat yang dipercaya menjadi penasihat istana. Tapi
aku dan Gusti Prabu jarang sekali bertemu. Jadi, aku tidak tahu pasti tentang
semua itu, Sangkala," jelas Pendeta Pohaji.
Sangkala tampak kecewa mendengar jawaban laki-laki tua berjubah kuning gading
ini. Sebentar dirayapinya wajah tua yang sudah banyak berkeriput Kemudian kedua
tangannya dirapatkan di depan hidung. Tanpa berkata-kata lagi, pemuda berbaju
putih ketat itu melangkah pergi. Tinggallah Pendeta Pohaji yang masih berdiri
mematung memandangi gulungan ombak.
Sampai langkah kaki Sangkala tidak terdengar lagi, Pendeta Pohaji masih juga
berdiri mematung.
Pandangannya lurus tak berkedip menatap lautan bebas, bagai tak bertepi. Namun
mendadak saja....
"Hm...," Pendeta Pohaji menggumam perlahan.
Pendengarannya yang setajam mata pisau, mendengar suara lain dari yang
didengarnya. Suara halus yang datang dari arah belakang.
"Hup...!"
Mendadak saja Pendeta Pohaji melenting ke atas, melakukan putaran dua kali.
Tepat pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan biru yang lewat di bawah kaki
Pendeta Pohaji. Setelah melakukan dua kali putaran, laki-laki tua berjubah
kuning yang seluruh kepalanya gundul itu mendarat di pasir pantai yang putih
dengan manis sekali.
"Siapa kau..."!" bentak Pendeta Pohaji seraya mengamati seseorang yang berdiri
membelakanginya.
"Hik hik hik...!" wanita berbaju biru terang itu tertawa terkikik.
Pendeta Pohaji melompat mundur dua tindak.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pendeta tua berkepala gundul itu
sudah berdiri seorang perempuan berwajah cukup cantik. Dia mengenakan baju ketat
warna biru. Begitu ketatnya, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya nampak jelas mem-
bayang. "Kau tidak mengenaliku lagi, Pohaji?" lembut sekali nada suara wanita berbaju
biru itu. Pendeta Pohaji nampak tersentak. Kembali di-amatinya wajah dan seluruh tubuh
wanita cantik di depannya. Kepala yang gundul tanpa sehelai rambut, terlihat
bergerak menggeleng perlahan. Pandangan matanya seperti tidak percaya terhadap
apa yang dilihatnya.
"Mustahil...," desis Pendeta Pohaji sambil meng-
gelengkan kepala perlahan beberapa kali.
"Zaman bisa berubah dan waktu pun terus berputar, Pohaji. Tapi jangan lupa,
kalau kepandaian manusia pun semakin meningkat," kata wanita berbaju biru itu
lagi. "Bagaimana mungkin kau bisa tetap muda,
Mintarsih?" tanya Pendeta Pohaji, masih tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya kini.
Wanita cantik yang mengenakan baju biru itu hanya tertawa saja. Tawanya begitu
lembut terdengar di telinga, namun juga mengandung suatu daya rangsang
tersendiri yang sangat menyentuh kejantanan seorang laki-laki. Dan itu terasa
sekali, sehingga Pendeta Pohaji terpaksa harus mengerahkan kekuatan dengan
menutup sebagian aliran darah yang menuju kejantanannya.
Laki-laki tua berkepala gundul itu seketika menyadari kalau suara yang
dikeluarkan Mintarsih mengandung suatu ilmu langka yang dapat melemahkan hati
siapa saja yang mendengarnya. Dan kalau hati seseorang sudah melemah, wanita ini
dapat dengan mudah memperdayai. Apa pun yang dikatakan akan dituruti tanpa
disadari. "Aku akui, aji 'Lemah Atma' yang kau miliki mengalami kemajuan pesat. Tapi belum
cukup untuk melemahkan hatiku, Mintarsih," kata Pendeta Pohaji dingin.
"Rupanya kau masih juga bisa merasakan ilmuku, Pohaji. Hebat...! Kau masih juga
dapat bertahan, tidak seperti muridmu. Hi hi hi...!"
"Apa maksudmu, Mintarsih?"
Mintarsih hanya tertawa saja, namun mendadak saja mengebutkan tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga, dari telapak tangan wanita itu
melesat secercah cahaya keemasan yang meluruk deras ke arah Pendeta Pohaji.
Sejenak Pendeta Pohaji terperangah, namun cepat mengegoskan tubuh ke kanan untuk
menghindari serangan mendadak yang dilakukan wanita cantik itu.
Maka cahaya kuning keemasan itu lewat sedikit di samping tubuh Pendeta Pohaji.
Namun sebelum laki-laki tua itu bisa menarik kembali kedudukan tubuhnya, kembali
Mintarsih menyerang lebih cepat dan dahsyat. Wanita itu melesat cepat bagaikan
kilat, disertai lontaran dua pukulan bertenaga dalam tinggi sekali.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Pendeta Pohaji terpaksa melentingkan tubuh ke udara. Dia melakukan putaran dua
kali di udara, sebelum menjejak tanah berpasir, sekitar dua batang tombak
jauhnya dari Mintarsih.
"Tunggu...!" sentak Pendeta Pohaji begitu melihat Mintarsih hendak melakukan
serangan kembali.
Mintarsih langsung mengurungkan serangannya.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Mintarsih?"
tanya Pendeta Pohaji.
"Kau sudah tahu keinginanku, Pohaji. Dan hanya kaulah penghalang utamaku! Maka
kau harus mampus lebih dahulu...!" sahutan Mintarsih begitu dingin dan datar
suaranya. "Aku tidak tahu, apa keinginanmu," sahut Pendeta Pohaji.
"Keparat...! Sejak dulu kau selalu saja berpura pura. Dasar penjilat..!" geram
Mintarsih. Wanita cantik berbaju biru itu kembali bersiap melakukan serangan. Wajahnya
tampak memerah bagai saga. Sinar matanya berkilatan tajam, menusuk
langsung bola mata Pendeta Pohaji. Perlahan-lahan kedua tangannya ditarik hingga
sejajar dada. Sedangkan kedua kakinya terpentang lebar ke samping.
"Hm...," Pendeta Pohaji bergumam perlahan melihat Mintarsih sudah bersiap hendak
melakukan serangan.
Semua yang dipersiapkan wanita itu sudah tidak asing lagi bagi Pendeta Pohaji.
Hanya saja dia tidak tahu sampai di mana kemajuan jurus-jurus yang dimiliki
wanita cantik ini. Dan laki-laki gundul itu tidak ingin menganggap remeh.
Pendeta Pohaji tahu kalau Mintarsih bukanlah wanita yang bisa dianggap enteng
ilmu-ilmunya. Mereka satu sama lain kenal sudah lama. Bukan setahun atau dua
tahun, tapi puluhan tahun. Dan masing-masing sudah mengenal watak dan
kemampuannya. Hanya saja, Pendeta Pohaji masih belum mengerti, kenapa Mintarsih
masih juga kelihatan muda dan cantik seperti seorang gadis belia saja.
Sedangkan dia sendiri sudah begitu tua, keriput, dan tinggal menunggu ajal saja.
Padahal kalau diukur usia, tentu hanya terpaut dua tahun saja. Inilah yang belum
bisa dimengerti laki-laki tua berkepala gundul itu. Sementara Mintarsih sudah
bersiap hendak melakukan serangan. Kakinya sudah digeser ke kanan beberapa
tindak. "Tahan seranganku, Pohaji! Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Pendeta Pohaji langsung melentingkan tubuh ke angkasa, begitu Mintarsih melompat
menyerang. Satu benturan keras di udara tak dapat dihindari lagi. Dua pasang
telapak tangan beradu keras, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
Begitu kerasnya dua kekuatan tenaga dalam itu beradu, sehingga mereka sama-sama
terpental jatuh keras sekali.
Namun mereka masih dapat menguasai diri, sehingga jatuh tepat dengan kedua kaki
tegar. Mintarsih langsung bersiap hendak melakukan serangan kembali. Sedangkan Pendeta
Pohaji tampak sedikit bergetar tubuhnya. Tampak darah menetes keluar dari sudut
bibirnya. "Hhh! Ilmu perempuan ini benar-benar maju pesat!" desis Pendeta Pohaji dalam
hati. Dengan punggung tangannya, pendeta tua itu menyeka darah yang menetes di sudut
bibir. Hampir sulit dipercaya kalau Mintarsih masih tetap tegar, tanpa kurang
suatu apa pun juga. Terlebih lagi, wanita itu kini sudah kembali siap hendak
menyerang lagi.
"Kau orang pertama yang harus mampus di
tanganku, Pohaji. Bersiaplah...! Hiyaaat...!"
Mintarsih kembali meluruk deras menerjang Pendeta Pohaji. Kedua tangannya
merentang lurus ke depan dengan jari-jari tangan terkembang lebar agak tertekuk
ke depan. Tampak jelas kalau ujung jari tangan perempuan itu berwarna merah
bagai terbakar.
"Hap!"
Pendeta Pohaji cepat melompat ke samping dua tindak. Seketika tubuhnya ditarik
miring ke kanan, hingga doyong seperti pohon yang hampir tumbang.
Maka tangan Mintarsih lewat sedikit di samping tubuh laki-laki tua berkepala
gundul itu. Namun tanpa diduga sama sekali, wanita cantik berbaju biru itu cepat
melepaskan satu pukulan menggeledek, mengarah ke dada.
"Ih...!"
Pendeta Pohaji terkejut bukan main. Bergegas tubuhnya melompat ke atas sejauh
satu batang tombak. Tapi belum juga siap, Mintarsih sudah kembali menyerang
cepat bagai kilat. Terpaksa Pendeta Pohaji melakukan salto ke udara. Dia
berputaran beberapa kali, melewati kepala wanita itu.
Lalu, dengan manis sekali kakinya mendarat di belakang Mintarsih.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Pendeta Pohaji langsung memberi satu gedoran
keras bertenaga dalam penuh ke arah punggung wanita itu.
"Hait..!"
Hanya sedikit saja Mintarsih memiringkan tubuh ke kiri, sehingga gedoran Pendeta
Pohaji dapat dielak kan. Cepat wanita itu memutar tubuh seraya memberi satu
tendangan berputar, lurus mengarah ke dada.
Cara mengelak yang langsung diikuti serangan berputar begitu cepat, membuat
Pendeta Pohaji terbeliak tidak menyangka.
Laki-laki tua itu tidak dapat berbuat apa-apa, karena tubuhnya sendiri menjorok
ke depan. Dan dia tidak sempat lagi menarik tangannya yang merentang lurus ke
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan. Akibatnya sepakan kaki Mintarsih tepat menghantam dada pendeta tua itu.
Des! "Akh...!" Pendeta Pohaji memekik agak tertahan.
Tubuh tua berjubah kuning gading itu terdorong keras ke belakang sejauh dua
batang tombak. Sebentar Pendeta Pohaji terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya yang terhantam
tendangan berputar Mintarsih tadi. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya,
dia cepat melakukan
gerakan-gerakan ringan untuk mengatur pernapasan yang mendadak sesak.
"Huh!" Pendeta Pohaji mendengus keras, mem-buang napasnya untuk melonggarkan
dada. "Kau sudah terlalu tua, Pohaji. Gerakanmu lamban sekali," ejek Mintarsih sambil
tersenyum sinis.
"Hm.... Kau pun sudah tua, Mintarsih," balas Pendeta Pohaji tidak kalah
dinginnya. "Ha ha ha...! Apa matamu sudah buta, Pohaji"
Seorang pangeran pun akan terpikat oleh wajahku."
"Orang lain boleh kau kelabui. Tapi, mata tuaku ini tidak bisa kau bodohi. Di
balik kecantikanmu, kau adalah seorang nenek tua yang keriput!"
"Setan...! Hanya kau yang tahu siapa aku sebenarnya, Pohaji. Maka kau harus
mampus! Hiyaaat..!"
Kata-kata Pendeta Pohaji yang terakhir, benar-benar membuat Mintarsih berang
setengah mati. Kembali tubuhnya melompat menyerang Pendeta Pohaji. Namun kali ini, laki-laki
tua berjubah kuning itu sudah siap menghadapinya. Dia tidak sudi lagi bermain-
main, karena sudah menyadari kalau kepandaian Mintarsih kini jauh lebih tinggi
dari yang pernah diketahui.
Pertarungan di tepi pantai itu pun kembali berlangsung sengit sekali. Masing-
masing berusaha menjatuhkan. Jurus-jurus maut tingkat tinggi yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat pasir di tepi pantai itu bertebaran ke
udara. Setiap kali pukulan yang dilontarkan, selalu mengandung dorongan angin kuat
sekali. Bahkan beberapa batu karang yang terkena pukulan nyasar pun hancur
berkeping-keping.
Sementara malam terus merambat semakin larut mendekati fajar. Namun pertarungan
masih terus berlangsung sengit sekali. Dari jalannya pertarungan, tampak jelas kalau
Mintarsih begitu bernafsu hendak menjatuhkan Pendeta Pohaji. Jurusnya selalu
ber-ganti cepat, begitu serangannya gagal. Kemudian dia langsung membuat
serangan baru yang lebih dahsyat.
Hal ini membuat Pendeta Pohaji kelihatan agak kewalahan menghadapi. Beberapa
kali pukulan Mintarsih yang mengandung tenaga dalam tinggi hampir menghantam
pendeta tua itu. Tapi sampai pertarungan lewat dari dua puluh jurus, belum ada
yang terdesak. Hingga pada satu saat, tepat memasuki jurus yang ketiga puluh, mendadak saja....
"Awas kepala...!"
"Heh..."!"
Pendeta Pohaji tersentak kaget begitu tiba-tiba Mintarsih berteriak nyaring
memperingatinya. Cepat kepalanya dirundukkan, tanpa melihat lebih dahulu.
Namun rupanya seruan Mintarsih tadi hanya tipuan saja. Tepat ketika Pendeta
Pohaji merundukkan kepalanya, mendadak saja Mintarsih memberi satu pukulan keras
ke arah dada laki-laki tua itu.
Serangan yang dilakukan Mintarsih memang sungguh dahsyat dan tidak terduga.
Memang, Pendeta Pohaji tadi menyangka kalau wanita ini akan menyerang bagian
kepala. Dan sama sekali tidak disangka kalau itu merupakan tipuan untuk membuka
daerah kosong. Diegkh...! "Akh...!" Pendeta Pohaji menjerit keras.
Pukulan yang dilepaskan Mintarsih tepat menghantam dada laki-laki tua berjubah
kuning gading itu.
Begitu kerasnya, sehingga membuat Pendeta Pohaji terpental ke belakang sejauh
dua batang tombak.
Sebongkah batu karang yang cukup besar hancur berkeping-keping begitu terlanda
tubuh tua berjubah kuning gading itu.
"Hoek...!"
Pendeta Pohaji memuntahkan darah kental agak kehitaman. Dia mencoba bangkit
berdiri. Namun belum juga sempurna berdirinya, mendadak saja satu serangan
kembali datang.
"Hiyaaat..!"
Pendeta Pohaji hanya bisa terperangah saja. Tidak ada lagi kesempatan untuk
menghindari serangan itu.
Cepat Pendeta Pohaji menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan
yang dilakukan Mintarsih. Tak dapat dielakkan lagi. Dua pasang telapak tangan
yang terbuka lebar, seketika beradu keras hingga menimbulkan ledakan dahsyat
luar biasa. Glarrr...! "Akh...!" lagi-lagi Pendeta Pohaji memekik keras agak tertahan.
Untuk kedua kalinya tubuh tua berjubah kuning gading itu terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak. Beberapa kali dia bergulingan di atas pasir yang
dingin membekukan. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Setelah
menyemburkan darah agak kehitaman, Pendeta Pohaji berusaha bangkit berdiri.
Dan belum lagi laki-laki tua berjubah kuning itu bisa berdiri tegak, Mintarsih
sudah kembali melompat seraya melontarkan dua pukulan keras bertenaga dalam
tinggi secara beruntun. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, sehingga
Pendeta Pohaji tidak sempat lagi menghindar. Dan...
"Yeaaah....!"
Dieghk! Prak! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar hampir bersamaan dengan
terdengarnya suara tulang yang berderak patah, tepat ketika kedua telapak tangan
Mintarsih mengepruk kepala gundul itu.
"Hih!"
Dengan tangan masih berada di kepala Pendeta Pohaji, Mintarsih menggenjot
tubuhnya. Maka, kini kedua kakinya berada di atas, dan tangannya tetap berada di
kepala laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
Brest "Akh...!" lagi-lagi Pendeta Pohaji menjerit Tubuhnya amblas, masuk ke dalam
pasir sampai ke pinggang. Sementara, kepalanya terus mengucur-kan darah segar.
Mintarsih melentingkan tubuh ke udara, lalu berputaran dua kali. Manis sekali
kakinya menjejak tepat sekitar tiga langkah di depan Pendeta Pohaji.
"Ha ha ha...!" Mintarsih tertawa terbahak-bahak melihat lawannya sudah tidak
berdaya lagi. Dengan setengah tubuh terbenam, Pendeta Pohaji memang tidak mungkin melakukan
sesuatu lagi. Terlebih, kepalanya sudah pecah. Darah tampak semakin banyak bercucuran dari
kepala yang pecah akibat terkena keprukan tangan halus Mintarsih.
"Mampus kau, Pohaji! Hiyaaat...!"
Bet! Bagaikan kilat, Mintarsih mengibaskan tangan ke arah leher Pendeta Pohaji.
Begitu cepatnya kibasan tangan wanita itu, sehingga Pendeta Pohaji tidak mampu
lagi menghindar. Dan....
Cras! Tangan Mintarsih yang tajamnya melebihi mata pedang begitu dahsyat menebas leher
Pendeta Pohaji hingga langsung terpenggal buntung. Darah seketaka muncrat dari
leher yang buntung tanpa kepala lagi.
Sedangkan kepalanya menggelinding di tanah berpasir putih.
"Ha ha ha...!"
*** 3 Seluruh penghuni Istana Karang Setra dilanda awan mendung yang amat tebal.
Bahkan seluruh rakyat Kerajaan Karang Setra terselimut kabut duka atas kematian
Pendeta Pohaji yang begitu menyedihkan dan penuh teka-teki. Beberapa nelayan
menemukan tubuh pendeta tua penasihat istana itu terbenam sepinggang di tepi
pantai, dengan kepala buntung.
Hingga tubuh pendeta itu dimakamkan, tidak ada yang bisa menemukan kepalanya.
Malah Raden Danupaksi, orang kedua di Karang Setra sudah memerintahkan ratusan
prajurit untuk mencari kepala Pendeta Pohaji, namun tidak juga bisa ditemukan.
Sampai saat ini, sudah dua hari jenazah Pendeta Pohaji dimakamkan tanpa kepala.
Namun sampai saat itu, kematiannya belum juga terungkap. Raden Danupaksi sudah
menanyakan pada semua murid Pendeta Pohaji, tapi tidak ada seorang pun yang
mengetahui. Dan semuanya mengatakan, kalau malam itu Pendeta Pohaji menguji ilmu
Sangkala. Raden Danupaksi tahu kalau Sangkala adalah murid kesayangan Pendeta Pohaji, dan
memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang lain. Sangkala pun tidak luput dari
pertanyaan Raden Danupaksi.
"Semua murid Paman Pendeta Pohaji mengatakan kalau malam itu kau bersamanya,
Sangkala," kata Raden Danupaksi seraya menatap dalam-dalam pemuda berbaju putih
yang duduk bersimpuh di depannya.
"Ampunkan hamba, Raden. Memang malam itu Paman Pendeta menguji ilmu yang selama
ini sudah hamba dapatkan darinya. Tapi itu berlangsung tidak lama. Kemudian
hamba meninggalkan pantai lebih dahulu, sehingga tidak tahu apa yang terjadi di
sana," sahut Sangkala, bersikap penuh rasa hormat.
"Kau tidak kembali ke puri malam itu, hingga menjelang fajar. Lalu ke mana saja
sepanjang malam?"
pertanyaan Raden Danupaksi sudah menjurus ke nada curiga.
"Hamba langsung pergi ke makam," sahut
Sangkala. "Ke makam.." Makam siapa?" tanya Raden
Danupaksi agak terkejut
Orang kedua di Kerajaan Karang Setra itu kemudian menatap Cempaka yang sejak
tadi diam saja di dalam ruangan khusus ini. Memang di situ hanya ada Raden
Danupaksi, Sangkala, dan Cempaka. Danupaksi memang tidak mengizinkan seorang pun
masuk ke dalam ruangan ini.
"Sangkala! Meskipun tidak mengenalmu sejak kecil, tapi kami semua tahu tentang
dirimu. Paman Pendeta Pohaji tidak pernah menyembunyikan apa pun tentang murid-
muridnya. Jadi, kami tahu kalau kau tidak memiliki ayah dan ibu sejak kecil.
Lalu, makam siapa yang kau kunjungi malam itu?"
Cempaka baru membuka suara setelah mendapatkan isyarat dari Danupaksi.
"Aku tahu, kalau aku tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tapi, aku tahu kalau
makam ayah dan ibuku sejajar bersama makam para pengkhianat dan pemberontak
serta penjahat besar kerajaan ini,"
sahut Sangkala kalem.
Danupaksi dan Cempaka tersentak kaget bukan
kepalang mendengar jawaban Sangkala yang begitu tenang dan tegas sekali. Namun
yang lebih mengejut-kan lagi, Sangkala sudah mengetahui makam kedua orang
tuanya. Hal ini membuat Danupaksi tidak punya gairah lagi untuk menanyai
Sangkala. Sedangkan Cempaka tidak mengetahui jelas duduk perkara orang tua
Sangkala. "Kau boleh keluar, Sangkala," ujar Danupaksi.
Sangkala merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung, kemudian
meninggalkan ruangan itu.
Tinggal Danupaksi dan Cempaka saja yang masih berada di ruangan ini. Beberapa
saat mereka terdiam dengan pikiran menerawang jauh.
"Aku tidak mengerti, dari mana dia bisa tahu tentang pusara orang tuanya...?"
gumam Danupaksi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau tahu asal-usul Sangkala, Kakang?" tanya Cempaka.
"Aku tahu asal-usul semua orang yang bebas keluar masuk di istana ini, Cempaka.
Tapi semua itu kurahasiakan, hingga tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali
Kakang Rangga sendiri," sahut Danupaksi.
"Mungkin Pendeta Pohaji sendiri yang mem-beritahukannya, Kakang," duga Cempaka.
"Tidak mungkin, Cempaka. Pendeta Pohaji tidak pernah membuka rahasia asal-usul
murid-muridnya, kecuali padaku dan Kakang Rangga. Kita memang tidak tahu pasti,
tapi Pendeta Pohaji sudah menceritakan semuanya. Bahkan berani bersumpah kalau
semua yang dikatakannya adalah benar. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang
mengetahui asal-usulnya. Mereka semua diambil sejak masih kecil. Bahkan ada yang
masih bayi," bantah
Danupaksi. "Kalau bukan Pendeta Pohaji sendiri, lalu siapa lagi?" tanya Cempaka.
"Itu yang tidak kumengerti, Cempaka. Dan aku yakin, kalau ini ada hubungannya
dengan kematian Pendeta Pohaji sendiri," sahut Danupaksi.
"Kakang, apa tidak sebaiknya hal ini diberitahukan pada Kakang Rangga?" usul
Cempaka. "Di mana harus mencari Kakang Rangga,
Cempaka..." Kita semua tidak tahu pasti, di mana Kakang Rangga sekarang berada."
Cempaka terdiam. Jawaban Danupaksi memang tidak bisa disangkal lagi. Tidak ada
seorang pun yang tahu, di mana Pendekar Rajawali Sakti itu kini berada.
Memang sukar memiliki raja seorang pendekar yang gemar berkelana. Dan ini sangat
dirasakan Cempaka maupun Danupaksi yang harus meng-gantikan kedudukan raja
mereka selama kepergian yang tidak bisa ditentukan kapan kembalinya. Bahkan
tidak tahu ke mana perginya.
"Kalau Kakang mengizinkan, aku akan mencari Kakang Rangga. Mudah-mudahan saja
bisa cepat bertemu," pinta Cempaka berharap.
"Aku tidak bisa melarang atau mengizinkanmu, Cempaka. Berbuatlah yang menurutmu
benar," sahut Danupaksi.
"Kalau begitu, aku berangkat sekarang, Kakang."
"Hati-hatilah. Aku merasa kematian Paman Pendeta Pohaji akan berbuntut panjang."
Cempaka mengangguk sedikit, kemudian meninggalkan ruangan itu dengan ayunan kaki
tegap dan mantap. Sepeninggal adik tirinya itu, Danupaksi masih merenung
sendiri. *** Sementara itu dekat perbatasan Kotaraja Karang Setra, tepatnya di daerah
pemakaman para bangsawan dan keluarga istana, Sangkala tampak berdiri mematung
di depan gundukan tanah merah yang kelihatan belum lama. Sejak keluar dari
Istana Karang Setra, pemuda itu langsung ke pemakaman ini. Sedangkan saat itu
matahari sudah begitu tinggi di atas kepala.
Tatapan matanya tertuju rurus ke batu nisan yang terukir nama Pendeta Pohaji di
ujung kanan gundukan tanah merah itu. Tak ada makna sama sekali di dalam sinar
matanya. Begitu kosong dan tak bercahaya. Sangkala baru mengangkat perlahan
kepalanya ketika mendengar suara batuk kecil yang halus. Sedikit pun tidak ada
perubahan pada wajahnya saat pandangannya tertumbuk pada seorang wanita cantik
berbaju biru, yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya.
"Sejak kapan kau berada di sini, Mintarsih?" tanya Sangkala, suaranya terdengar
kosong dan datar.
"Belum lama," sahut wanita cantik yang dikenali Sangkala bernama Mintarsih.
"Untuk apa datang ke sini?" tanya Sangkala lagi.
Suaranya masih tetap datar, tanpa tekanan sama sekali.
Mintarsih tidak menjawab, tapi malah tersenyum tipis. Wanita cantik itu
melangkah menghampiri, memutari makam Pendeta Pohaji dan berdiri di samping
pemuda itu. Sedangkan Sangkala seperti tidak memperhatikan, tetap menatap kosong
ke depan. Bau harum yang menyebar dari tubuh Mintarsih, menyeruak lubang hidung
Sangkala. Hal ini
membuat pemuda itu menggerinjang, menggeser sedikit agak menjauh.
"Aku tahu, siapa yang berbuat ini semua, Sangkala," kata Mintarsih lembut.
Sangkala tersentak kaget. Langsung tubuhnya diputar, menatap Mintarsih dalam-
dalam. Namun yang ditatap hanya tersenyum saja, manis sekali.
"Mungkin kau tidak percaya, tapi kebetulan sekali aku ada di sana malam itu. Aku
lihat jelas semua yang terjadi di tepi pantai," sambung Mintarsih.
"Katakan, siapa yang membunuh Paman
Pendeta?" desak Sangkala tegas.
"Pandan Wangi," sahut Mintarsih, diiringi senyum dikulum.
"Pandan Wangi...?" Sangkala seperti tidak percaya.
Dia tahu, siapa Pandan Wangi itu.
"Kau jangan mengada-ada, Mintarsih," ujar Sangkala tidak percaya. "Semua orang
tahu kalau Pandan Wangi sekarang bersama Gusti Prabu Rangga yang kini entah
berada di mana. Tidak mungkin dia bisa berada di sini dan membunuh Paman Pendeta
Pohaji." "Kan sudah kukatakan, mungkin kau tidak
percaya. Tapi ini kenyataan, Sangkala. Sekarang ini Rangga berada di salah satu
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
desa di dekat Rimba Tengkorak. Tidak terlalu jauh jaraknya dari sini, bukan..."
Bisa saja Pandan Wangi menyelinap dan datang ke pantai untuk membunuh Pendeta
Pohaji," Mintarsih mencoba meyakinkan pemuda ini.
"Tidak ada alasan bagi Pandan Wangi untuk membunuh Paman Pendeta, Mintarsih."
"Kenapa tidak..." Apa kau sudah lupa, Sangkala"
Karena Pendeta Pohajilah, sehingga mereka tidak bisa meresmikan pernikahan.
Pendeta Pohaji tidak
mau meresmikannya, karena asal-usul Pandan Wangi tidak jelas. Dan merupakan
suatu pantangan berat bagi seorang raja bila memiliki permaisuri yang tidak
jelas asal-usulnya. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah manusia biasa.
Apalagi telah lama berkecimpung di dalam rimba persilatan. Apa saja bisa
dilakukannya untuk mendapatkan Rangga, Sangkala. Ingat cara apa pun akan
dilakukan bagi seseorang yang sudah lama berkecimpung dalam rimba persilatan."
Sangkala terdiam membisu. Kata-kata yang diurai-kan Mintarsih barusan, langsung
merasuk ke dalam relung hatinya. Memang tidak dapat dibantah lagi, setinggi apa
pun tingkat kepandaian seseorang, tetap saja manusia biasa yang terkadang bisa
khilaf dan melakukan kesalahan. Terlebih, semua orang sudah tahu kalau hubungan
asmara antara Rangga dengan Pandan Wangi bukan rahasia umum lagi. Sudah terlalu
lama mereka menjalin asmara.
Dan memang mereka tidak bakal bisa bersatu dalam satu ikatan tali perkawinan,
selama asal-usul Pandan Wangi belum jelas diketahui. Kalaupun nanti-nya
diketahui, dan ternyata Pandan Wangi bukan keturunan satria, sudah pasti ikatan
perkawinan tidak akan bisa disatukan. Hal ini memang bisa membuat seseorang
mempunyai pikiran lain. Bahkan bisa juga berbuat nekat tanpa memperhitungkan
akibatnya. Tapi, mungkinkah itu akan terjadi pada Pandan Wangi.." Hal ini yang membuat
Sangkala jadi bimbang.
"Aku..., aku tidak tahu. Aku tidak bisa...."
"Sangkala...," potong Mintarsih cepat "Pandanglah aku, Sangkala. Apakah aku
mendustaimu" Atau mengada-ada...?"
Seperti ada suatu daya tarik, Sangkala langsung menatap bola mata Mintarsih yang
indah, penuh bertaburkan bintang gemerlap. Pemuda itu tidak tahu, dan sama
sekali tidak menyadari kalau Mintarsih menggunakan aji 'Lemah Atma'. Suatu ilmu
kesaktian yang tidak berwujud, tapi pengaruhnya sangat dahsyat bagi orang yang
terkena. Apalagi orang itu memiliki kepandaian tidak begitu tinggi.
Maka akibatnya mudah sekali dirasuki ajian itu.
"Pergilah, Sangkala. Cari Pandan Wangi dan Rangga. Bunuh mereka secara halus.
Kau tidak akan dicurigai mereka," kata Mintarsih, dalam sekali nada suaranya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Sangkala.
Pandangan mata pemuda itu sudah demikian kosong, seperti tidak memiliki semangat
hidup lagi. Aji 'Lemah Atma' yang ditebarkan Mintarsih telah benar-benar merasuk tubuh
Sangkala, tanpa disadari lagi. Maka pemuda ini bagaikan kerbau yang dicucuk
hidungnya, sehingga mengikuti saja apa yang diperintah Mintarsih.
"Aku tahu, kau ahli membuat racun. Buatlah racun yang tidak berbau, dan tawar
rasanya. Racuni mereka! Kau lebih paham tentang itu dariku, Sangkala.
"Baiklah, akan kulakukan," sahut Sangkala.
"Bagus. Demi arwah gurumu, semua kata-kataku harus kau laksanakan."
Sangkala tidak berkata-kata lagi. Tubuhnya berputar dan berjalan meninggalkan
tempat pemakaman ini. Sementara Mintarsih memperhatikan dengan bibir
menyunggingkan senyuman lebar. Begitu punggung Sangkala sudah tidak terlihat
lagi, bagaikan kilat, Mintarsih melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga
dalam sekejap saja sudah lenyap bagai tertelan bumi.
*** Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan dirinya, Sangkala sudah
keluar dari gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dengan menunggang kuda
tegap berwarna putih, pemuda itu menuju bagian Selatan Rimba Tengkorak. Sebuah
hutan yang jarang sekali dimasuki manusia, kalau tidak mempunyai keperluan yang
mendesak sekali.
Hutan itu memang kelihatan angker. Pepohonan-nya begitu rapat, seperti tidak ada
jarak untuk dapat dilalui. Begitu lebatnya, sehingga hutan itu kelihatan gelap.
Bahkan sinar matahari tak kuasa menembus lebatnya Rimba Tengkorak. Sementara
Sangkala sudah berbelok, menyusuri tepian Rimba Tengkorak.
Dia terus menuju ke arah Selatan, arah yang ditunjukkan oleh Mintarsih.
"Hiya...! Hiya...! Hiyaaa...!" Sangkala terus menggebah kudanya semakin kencang.
Begitu penuh perhatiannya pada perjalanan ini, sehingga tidak mengetahui kalau
ada yang memperhatikan dari tempat yang cukup tersembunyi. Mereka adalah seorang
gadis berbaju merah muda, bersenjatakan pedang di punggungnya, dan dua orang
laki-laki berusia setengah baya.
"Gusti Ayu Cempaka! Bukankah itu Sangkala, murid utama Pendeta Pohaji...?" ujar
salah seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju hijau yang dipadu
warna kuning. Gadis cantik berbaju merah muda yang memang Cempaka, hanya menggumam kecil saja.
Dia tahu kalau pemuda berbaju putih yang menunggang kuda
seperti dikejar setan itu adalah Sangkala, murid utama Pendeta Pohaji.
"Aneh...! Untuk apa dia ke Selatan...?" gumam Cempaka, seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Ini memang sangat mencurigakan, Gusti Ayu Cempaka," tegas laki-laki setengah
baya berbaju hijau itu lagi
"Paman Rakatala, ikuti dia. Jaga jangan sampai diketahui," perintah Cempaka.
"Hamba, Gusti Ayu," sahut laki-laki setengah baya berbaju hijau itu seraya
memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Paman
Rakatala segera melompat ke punggung kudanya. Lalu cepat sekali kuda coklat
berbelang putih itu digebah untuk menyusul Sangkala yang sudah jauh, dan hampir
tidak terlihat lagi. Sementara Cempaka masih terus memperhatikan dengan kening
agak berkerut dalam.
Sementara laki-laki setengah baya lainnya, yang mengenakan baju warna kuning
keemasan tetap setia menunggui di belakangnya.
"Paman Jarak Legi...." panggil Cempaka, pelan suaranya.
"Hamba, Gusti Ayu Cempaka," sahut laki-laki setengah baya berbaju kuning yang
dipanggil Paman Jarak Legi.
"Kalau tidak salah, kau pernah mengatakan bahwa Kakang Prabu Rangga sekarang ini
berada di daerah Selatan. Benar, Paman?" Cempaka ingin kepastian yang jelas.
"Benar, Gusti Ayu. Bahkan Gusti Prabu Rangga sempat memberi pesan yang harus
disampaikan pada Gusti Raden Danupaksi, melalui telik sandi
hamba, Gusti Ayu."
"Sudah kau sampaikan pesan itu, Paman?" tanya Cempaka lagi
"Sudah, Gusti Ayu. Raden Danupaksi sendiri yang menerimanya kemarin."
"Hm..., apa isi pesannya?" tanya Cempaka agak menggumam perlahan seraya
mengangguk-anggukkan kepala.
"Hanya memberitahukan kalau Gusti Prabu
Rangga hanya sebentar berada di Selatan, dan tidak sempat singgah ke Karang
Setra. Hanya itu saja, Gusti Ayu," sahut Paman Jarak Legi.
Gadis itu kembali mengarahkan pandangan ke Selatan. Tidak terlihat bayangan
Paman Rakatala yang mengikuti Sangkala, pemuda murid utama Pendeta Pohaji itu.
Kecurigaannya pada Sangkala semakin menebal. Apalagi setelah menyangkutpaut-kan
peristiwa pembunuhan itu dengan semua jawaban yang diberikannya pada Danupaksi
di ruangan khusus.
Dan sekarang, Sangkala menuju ke daerah
Selatan. Sedangkan Cempaka mendengar kalau Rangga kini berada di Selatan.
Seketika timbul berbagai macam pertanyaan dan dugaan di kepala gadis itu. Namun,
semuanya masih belum jelas. Dan Cempaka tidak ingin terlalu banyak menduga.
"Ayo, Paman. Kita harus cepat berada di Selatan sebelum mereka sampai," ajak
Cempaka. "Tapi mereka melalui jalan pintas yang terdekat, Gusti Ayu. Tidak ada jalan lain
lagi yang terdekat, selain melintasi Rimba Tengkorak," jelas Paman Jarak Legi.
"Lalu, jalan mana yang terbaik, Paman?" tanya Cempaka.
"Melewati pantai di kaki Gunung Caringin, Gusti Ayu. Tapi hamba tidak yakin bisa
sampai lebih dahulu.
Karena, itu berarti melalui jalan memutar," sahut Paman Jarak Legi.
"Kita pacu kuda tanpa berhenti, Paman."
Cempaka tidak lagi menunggu jawaban Paman Jarak Legi yang sebenarnya memiliki
pangkat panglima. Tapi dalam keadaan seperti ini, terlebih lagi mengenakan
pakaian biasa, sama sekali tidak terlihat kalau laki-laki setengah baya itu
adalah salah seorang Panglima Karang Setra.
Cempaka segera berjalan cepat menuju kudanya yang tertambat di bawah pohon.
Paman Jarak Legi mengikuti dari belakang. Tak berapa lama kemudian, terlihat dua
ekor kuda berbacu cepat meninggalkan tempat itu, diikuti tiga penunggang kuda
lainnya. Ketiga penunggang kuda yang mengikuti Cempaka adalah para prajurit pilihan yang
sengaja dibawa dengan mengenakan pakaian biasa.
Arah yang dituju, jelas kaki Gunung Caringin.
Sebuah gunung yang tidak begitu tinggi, dan terletak di tepi pantai. Jaraknya
memang tidak begitu jauh lagi. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja,
mereka sudah berada di pantai kaki Gunung Caringin.
Mereka terus berpacu cepat menyusuri pantai yang menuju ke arah Selatan.
*** Seharian penuh, Cempaka, Paman Jarak Legi, dan tiga orang prajurit yang
mengenakan pakaian biasa menunggang kuda dengan kecepatan tinggi. Sekejap pun
mereka tidak berhenti untuk beristirahat Begitu matahari benar-benar tenggelam
di belahan Barat,
baru mereka menghentikan lari kudanya. Tiga orang prajurit segera membuat api,
tanpa diperintah lagi Sedangkan Cempaka memandang ke arah Selatan yang masih
harus ditempuh sehari perjalanan lagi.
"Paman, kau mendengar sesuatu?" tanya
Cempaka seraya berpaling pada Paman Jarak Legi yang berdiri di sampingnya.
"Seperti suara pertempuran, Gusti Ayu," sahut Paman Jarak Legi.
"Benar. Dan tampaknya, tidak terlalu jauh," agak bergumam suara Cempaka.
"Apa tidak sebaiknya kita lihat, Gusti Ayu?" saran Paman Jarak Legi.
"Kau suruh mereka tetap tinggal di sini, Paman."
"Hamba, Gusti Ayu..."
Sebelum Paman Jarak Legi menyelesaikan kata-katanya, Cempaka sudah melompat
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Paman Jarak Legi segera
memerintahkan tiga prajurit yang ikut untuk tetap tinggal di tempat ini.
Kemudian, dia segera melesat cepat mengikuti Cempaka yang sudah melesat jauh.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Paman Jarak Legi memang lebih tinggi
dibandingkan Cempaka.
Sehingga, dia tidak mendapatkan kesulitan menyusul gadis itu. Sementara suara
pertarungan yang terdengar semakin jelas dan dekat sekali.
Hingga sampai di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas, Cempaka
menghentikan larinya.
Di padang rumput itu, terlihat dua orang tengah bertarung sengit. Hampir saja
Cempaka terpekik begitu mengenali salah seorang di antaranya.
"Kakang Rangga...," desis Cempaka.
"Gusti Ayu, bukankah itu..." suara Paman Jarak
Legi terputus. Mereka tidak bisa berbuat apa apa, dan hanya bisa menyaksikan pertarungan itu.
Jarak mereka tidak terlalu jauh, namun cukup aman dari kemungkinan terkena
pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
Sementara pertarungan rupanya sudah hampir berakhir. Tampak pemuda berbaju rompi
putih yang memang Rangga, sudah berada di atas angin.
Beberapa kali pukulan dan tendangannya bersarang di tubuh lawan. Dia adalah
seorang wanita berbaju biru. Rambutnya yang panjang, teriap sehingga menutupi
wajahnya. Sukar bagi Cempaka untuk mengenali lawan Pendekar Rajawali Sakti,
karena pertarungan berjalan cepat. Dan lagi, wajah wanita itu hampir seluruhnya
tertutup rambut hitam yang panjang meriap.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja wanita berbaju biru itu melesat ke belakang, lalu langsung
melompat kabur.
"Hei! Jangan lari kau...!"
"'Kakang...!"
Cempaka cepat-cepat berteriak, begitu melihat Rangga hampir saja melompat
mengejar lawannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak jadi mengejar.
Wajahnya berpaling, dan terkejut bukan main begitu melihat Cempaka dan Paman
Jarak Legi berada di tempat ini
Cempaka bergegas berlari kecil menghampiri.
"Cempaka..., apa yang kau lakukan di sini?"
Rangga langsung bertanya, begitu Cempaka berada dekat di depannya.
Sementara Paman Jarak Legi tetap menunggu pada jarak yang cukup jauh juga.
Rangga sempat melirik pada panglima itu. Maka Paman Jarak Legi segera memberi sembah dengan
membungkukkan badan sedikit, dan merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Kenapa kau berada di sini, Cempaka?" tanya Rangga lagi.
"Aku mencarimu, Kakang," sahut Cempaka.
"Untuk apa?" tanya Rangga lagi.
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu.
Penting...."
Rangga mengajak adik tirinya untuk mendekati Paman Jarak Legi. Sekali lagi,
laki-laki setengah baya itu membungkuk memberi hormat Rangga menepuk pundak
Paman Jarak Legi dengan sikap penuh persaudaraan.
"Ceritakan, kenapa kau sampai berada di tempat ini?" pinta Rangga mendesak.
"Ceritanya cukup panjang, Kakang."
"Ceritakan saja."
"Baiklah. Tapi, sebaiknya jangan di sini." Mereka kemudian berjalan meninggalkan
padang rumput kecil itu. Sambil berjalan, Cempaka mulai bercerita.
Dari ditemukannya mayat Pendeta Pohaji yang buntung kepalanya, hingga berada di
tempat ini *** 4 Sampai lewat tengah malam, Cempaka menceritakan keadaan di Karang Setra setelah
kematian Pendeta Pohaji. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian. Sedikit
pun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyelak, sampai Cempaka menyelesaikan
ceritanya. Rangga masih saja diam sambil menundukkan kepala, meskipun Cempaka
telah menyelesaikan ceritanya.
Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti diam sambil tertunduk. Sementara Cempaka
hanya memperhatikan saja, tanpa berani menegur. Gadis itu bisa merasakan, apa
yang sedang dirasakan pemuda berbaju rompi putih ini. Memang merupakan satu
pukulan berat bagi Rangga, karena Pendeta Pohaji sudah dianggap seperti orang
tua sendiri. Segala permasalahan selalu diceritakan pada pendeta tua itu, setiap
kali Rangga berada di Karang Setra. Dan memang, Pendeta Pohaji merupakan panutan
semua orang di Kerajaan Karang Setra. Bukan saja sikapnya yang selalu lembut dan
bersahaja, tapi segala tindakannya selalu adil dan bijaksana sekali.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang-panjang.
Kepalanya diangkat, menatap bulan yang saat itu tengah bersinar penuh. Cahayanya
yang keemasan, menyinari wajah mendung Pendekar Rajawali Sakti.
Begitu jelas terlihat, sampai-sampai Cempaka sendiri tidak sanggup memandangi
wajah yang terselimut kabut duka itu.
"Apa sudah dicari kepala Pendeta Pohaji di sekitar pantai itu, Cempaka?" tanya
Rangga pelan. Begitu pelannya, hampir tidak terdengar.
"Sudah," sahut Cempaka. "Bahkan beberapa nelayan ikut mencari sampai ke dasar
laut, tapi tidak ditemukan juga."
Kembali Rangga menghembuskan napas panjang, kemudian bangkit berdiri sambil
memandang lurus ke depan. Hutan ini memang tidak terlalu lebat, sehingga sinar
bulan yang memancar dapat menerangi sekitarnya. Apalagi malam ini tak ada awan
sedikit pun mengantung di langit Namun, udara malam ini terasa panas sekali.
"Tidurlah, Cempaka. Besok, pagi-pagi sekali kita menjemput Pandan Wangi. Setelah
itu baru kembali ke Karang Setra," kata Rangga tanpa membalikkan tubuhnya.
"Di mana Pandan Wangi, Kakang?" tanya
Cempaka baru teringat Pandan Wangi.
"Di Desa Batu Ceper. Tidak jauh dari sini," sahut Rangga.
Cempaka memandangi kakak tirinya yang berjalan perlahan-lahan, menjauhi tempat
bermalam ini. Sebentar gadis itu melirik Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit yang duduk
melingkari api unggun.
Kemudian kakinya terayun perlahan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu.
Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata, dan semakin jauh meninggalkan tempat
bermalam para prajurit yang ikut serta bersama Cempaka. Mereka baru berhenti
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah tiba di tempat yang cukup tinggi. Dari sini, mereka bisa memandangi
balik punggung gunung kecil yang berhubungan langsung dengan pantai. Memang
kelihatan dekat, tapi
membutuhkan waktu satu hari untuk mencapai tempat itu. Di sanalah Pendeta Pohaji
ditemukan tewas terbunuh dengan kepala buntung.
"Kakang...," panggil Cempaka.
"Kenapa kau mengikutiku, Cempaka?" tanya Rangga tanpa berpaling.
Cempaka mendekati kakak tirinya ini, lalu berdiri di samping kanannya. Gadis itu
juga mengarahkan pandangan ke arah yang sama dengan Rangga. Mata mereka menatap
lautan yang tampak menghitam, dipenuhi pernik cahaya, bagai bertarburkan ribuan
mutiara. Namun keindahan itu sama sekali tak dapat dinikmati karena terasa
suram, akibat tewasnya Pendeta Pohaji.
"Aku tahu, kau merasa sangat kehilangan, Kakang.
Aku juga.... Tapi aku mencoba untuk menyadari kenyataan ini," kata Cempaka
perlahan. Rangga menolehkan kepalanya, lalu meraih pundak gadis itu. Sebentar kemudian
dibawanya ke dalam pelukan. Cempaka jadi manja, langsung merebahkan kepalanya di
dada bidang pemuda ini.
Tangannya dilingkarkan, memeluk pinggang Rangga.
Tidak banyak kesempatan baginya untuk bermanja-manja. Tapi pada keadaan seperti
ini, apakah pantas bermanja-manja..." Tidak...! Cempaka segera melepaskan
pelukannya. Disingkirkannya tangan Rangga dari pundaknya. Gadis itu kemudian
menggeser kakinya agak menjauh.
"Kita akan mencari pembunuh itu bersama-sama, Kakang. Dan menjatuhkan hukuman
seberat-beratnya," tegas Cempaka lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja, namun terasa masam sekali. Cempaka tahu,
kalau Rangga sedang bergulat dengan batinnya sendiri. Pendekar
Rajawali Sakti seperti mempertahankan kesabaran dan ketabahan, yang mungkin saja
tidak dapat terbendung lagi. Namun pemuda berbaju rompi putih itu masih mampu
bertahan, dan memperlihatkan ketabahannya di depan gadis ini.
"Ap..."
Baru saja Cempaka akan membuka mulut, mendadak saja....
"Aaa...!"
"Heh..."!"
Rangga dan Cempaka tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar jeritan panjang
melengking tinggi.
Sebentar mereka saling berpandangan. Jeritan itu demikian jelas, dan datang dari
tempat peristirahatan Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit
"Paman Jarak Legi...," desis Rangga tertahan.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, masuk kembali ke dalam
hutan. Cempaka tidak mau ketinggalan. Dengan mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya, gadis itu berlompatan mengejar kakak tirinya.
*** "Keparat..!" desis Rangga menggeram.
Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Belum lama meninggalkan tempat ini, tiga orang prajurit tampak telah tergeletak
berlumuran darah. Rangga langsung memeriksa tubuh ketiga prajurit itu. Tak ada
seorang pun yang hidup. Mereka semua tewas dengan dada terbelah lebar. Darah
terus mengucur dari dada mereka.
Saat itu Cempaka muncul, dan langsung terpekik
kecil menyaksikan ketiga prajurit yang dibawanya sudah tergeletak tak bernyawa,
disertai lumuran darah. Bergegas gadis itu menghampiri Rangga yang sedang
memandangi tiga mayat di depannya.
"Paman Jarak Legi.... Di mana dia..."!" sentak Rangga begitu teringat Paman
Jarak Legi yang tidak kelihatan di tempat ini.
Pada saat itu, terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah Timur.
Rangga cepat melesat menuju ke arah jeritan itu. Cempaka bergegas mengikuti,
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Meskipun seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan, tapi
tetap saja tidak dapat mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu tertinggal
jauh, sementara Rangga sudah lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
"Paman...!" pekik Rangga tertahan Di depan Pendekar Rajawali Sakti tampak Paman
Jarak Legi tergeletak dengan dada terbelah berlumur darah.
Bergegas Rangga menghampiri, lalu mengangkat tubuh laki-laki setengah baya itu
Kemudian diletak-kannya kepala Paman Jarak Legi di pangkuannya.
Bibir Paman Jarak Legi bergerak gerak, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
"Paman.... Siapa yang melakukan ini?" tanya Rangga.
Pada saat itu, Cempaka datang. Gadis itu segera menghampiri Rangga, dan berlutut
di depannya. Paman Jarak Legi melirik Cempaka sebentar
"Gusti..., Mintarsih... Akh...!"
"Paman...!"
Rangga mengguncang guncang tubuh laki-laki separuh baya itu. Tapi, laki-laki itu
tetap diam dengan kepala terkulai. Darah semakin banyak mengucur dari
dada dan mulutnya. Perlahan-lahan Rangga meletakkan tubuh yang sudah tidak
bernyawa lagi ke tanah.
Dipandanginya mayat itu sebentar, lalu beralih pada Cempaka.
"Siapa itu Mintarsih, Kakang?" tanya Cempaka.
Rangga tidak segera menjawab. Dihempaskan tubuhnya, duduk dengan lemas. Sinar
matanya begitu kosong, memandangi tubuh setengah baya yang sudah tidak bernyawa
lagi. Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan Paman Jarak Legi dan tiga
orang prajurit, namun sekarang mereka sudah tiada. Hanya dalam waktu sebentar
saja! "Mintarsih...," desis Rangga agak menggeram.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Cempaka.
Disadari kalau ada seseorang yang selalu mem-bayanginya, sehingga membantai
orang orang yang dekat dengannya. Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit
pilihan tewas begitu cepat, tanpa dapat dicegah lagi. Siapa pun orangnya, tentu
memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
"Kakang...," pelan suara Cempaka.
Gadis itu menghampiri, namun agak takut-takut.
Belum pernah dia melihat Rangga menahan amarah begitu besar, sampai seluruh
wajahnya memerah.
Bahkan urat-urat di seluruh tubuhnya bersembulan ke luar.
"Orang itu pasti yang membunuh Pendeta
Pohaji...," desis Rangga, dingin menggetarkan.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Cempaka.
Rangga menatap Cempaka dalam-dalam.
Dipegangnya pundak gadis itu. Agak risih juga Cempaka, mendapatkan tatapan
begitu dalam, menusuk tajam bola matanya.
"Cempaka, pulanglah lebih dahulu sekarang juga.
Aku akan segera menyusul setelah menjemput Pandan Wangi," ujar Rangga.
"Malam-malam begini...?" Cempaka ingin menolak.
Saat itu malam memang masih begitu larut Rangga seakan-akan baru menyadari,
kalau tidak mungkin melepaskan Cempaka sendirian kembali ke Karang Setra malam-
malam begini. Kepala Pendekar Rajawali Sakti terdongak, seraya menghembuskan
napas panjang. "Kuda Dewa Bayu akan mengantarkanmu,
Cempaka," kata Rangga setelah cukup lama berpikir.
"Dewa Bayu..." O..., tidak.... Jangan paksa aku menunggang kudamu, Kakang,"
tolak Cempaka. Tidak pernah Cempaka memimpikan menunggang Dewa Bayu. Gadis itu tahu kalau kuda
hitam milik kakak tirinya ini bukanlah kuda sembarangan.
Kecepatan larinya seperti angin saja. Tidak ada seekor kuda pun di dunia ini
yang bisa menandingi-nya. Cempaka memang pernah sekali menunggang kuda itu. Dan
gadis itu sudah bersumpah, tidak akan mengulanginya lagi.
"Kau harus kembali ke Karang Setra sekarang juga, Cempaka," desak Rangga.
"Tapi tidak dengan Dewa Bayu. Aku tidak ingin mati di atas punggung kudamu,
Kakang," Cempaka tetap menolak.
"Hanya Dewa Bayu yang bisa mengantarkanmu pulang dengan selamat."
"Aku lebih memilih bersamamu, daripada harus menunggang kuda itu. Aku tidak mau
dipaksa, Kakang. Lebih baik pulang sendiri daripada harus menunggang kuda itu.
Sekali kukatakan tidak, tetap tidak...!" tegas Cempaka.
Rangga tidak bisa lagi mendesak. Kepalanya yang
tidak gatal digaruk-garuk. Memang Cempaka tidak mungkin dipaksa untuk pulang bersama Dewa Bayu.
Jangankan Cempaka, Pandan Wangi yang selalu bersamanya saja, sampai sekarang
tidak pernah sudi menunggang kuda itu lagi. Meskipun Dewa Bayu sendiri,
sebenarnya begitu jinak.
"Baiklah, kau ikut aku ke Desa Batu Ceper. Kita jemput Pandan Wangi sekarang,
lalu terus ke Karang Setra malam ini juga," Rangga akhirnya menyerah juga.
"Itu lebih baik, Kakang," sambut Cempaka senang.
Rangga memandangi mayat Paman Jarak Legi.
"Kita kuburkan dulu, Kakang," kata Cempaka, seakan-akan bisa membaca jalan
pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Tentu. Aku tidak ingin mereka jadi santapan binatang hutan."
*** Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat Rangga datang bersama Cempaka,
dan langsung memberondong dengan segudang pertanyaan. Tentu saja Rangga tidak
dapat menjawab semua pertanyaan itu. Sedangkan Cempaka hanya tersenyum-senyum
saja. Di dalam kamar penginapan ini, hanya mereka bertiga saja yang ada di
dalam. Sebuah rumah penginapan yang hanya ada satu-satunya di Desa Batu Ceper.
"Cempaka, ada persoalan apa di Karang Setra?"
tanya Pandan Wangi mengalihkan perhatian pada Cempaka, karena Rangga tidak
menjawab satu pun pertanyaannya.
"Hanya kesulitan kecil saja," sahut Cempaka
seraya melirik Rangga.
"Benar begitu, Kakang?" Pandan Wangi meminta penjelasan pada Rangga.
"Aku tidak tahu, tapi tampaknya cukup gawat juga," sahut Rangga.
"Maksudmu?"
"Paman Pendeta Pohaji tewas," Cempaka yang menyahuti.
"Maksudmu..., dibunuh...?" Pandan Wangi ingin ketegasan.
"Benar. Tapi, pembunuhnya belum ketahuan,"
sahut Cempaka lagi.
"Bagaimana mungkin bisa terjadi...?"
Pandan Wangi tidak percaya kalau Pendeta Pohaji bisa tewas terbunuh. Dia tahu
betul, siapa Pendeta Pohaji itu. Dia seorang yang bijaksana, dan menjadi panutan
di Kerajaan Karang Setra. Ilmu-ilmunya juga tergolong sangat tinggi, dan sukar
dicari tandingan-nya. Rasanya sulit dipercaya kalau pendeta itu bisa terbunuh.
Tapi, itulah kenyataannya. Sehingga, Cempaka sekarang harus berada di desa yang
cukup jauh dari pusat Kerajaan Karang Setra.
"Kakang, coba ceritakan. Bagaimana itu bisa terjadi?" pinta Pandan Wangi.
"Aku sendiri belum tahu jelas persoalannya, Pandan. Mungkin kalau kita sudah
sampai di kota, semuanya baru bisa diketahui," sahut Rangga.
"Semua orang di kota juga tidak ada yang tahu persis kejadiannya. Bahkan semua
murid Paman Pendeta Pohaji tidak ada yang tahu peristiwanya,"
selak Cempaka. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Cempaka?" tanya Pandan Wangi yang masih penasaran.
"Aku sendiri belum pasti, Kak Pandan. Sejak ke-
matian Paman Pendeta Pohaji, tingkah laku dan sikap Sangkala begitu aneh. Bahkan
sekarang ini dia sedang menuju Selatan. Tapi aku sudah meminta Paman Rakatala
untuk terus membuntuti," jelas Cempaka.
"Mau apa dia ke Selatan?" tanya Rangga seperti untuk dirinya sendiri.
"Itulah yang sampai saat ini aku tidak tahu, Kakang," sahut Cempaka, agak
mendesah. "Ini mencurigakan juga, Kakang," timpal Pandan Wangi, juga dengan suara setengah
menggumam. Rangga jadi terdiam merenung. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati
jendela, dan berdiri mematung di depan jendela yang terbuka lebar.
Matanya memandangi sang rembulan, yang pada malam ini bersinar penuh. Sedangkan
Pandan Wangi dan Cempaka hanya dapat memandangi saja. Mereka juga terdiam, dan
beberapa kali saling melempar pandang.
Cukup lama juga Rangga berdiam diri mematung di depan jendela. Entah apa yang
ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan tubuhnya diputar
sambil menghembuskan napas panjang.
Beberapa saat dipandanginya Cempaka dan Pandan Wangi yang duduk bersisian di
tepi pembaringan.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian menghempaskan diri di kursi, dekat jendela.
"Cempaka, apa ada sesuatu yang aneh
belakangan ini pada diri Pendeta Pohaji?" tanya Rangga, setelah cukup lama
berdiam diri. "Rasanya tidak ada yang aneh, Kakang. Sikap Paman Pendeta Pohaji biasa biasa
saja. Tidak ada yang aneh pada dirinya sebelum meninggal," sahut Cempaka sambil
mengingat-ingat sikap Pendeta
Pohaji belakangan ini, sebelum ditemukan tewas dengan kepala hilang entah ke
mana. "Kakang, apakah Paman Pendeta Pohaji pernah cerita padamu, kalau punya musuh?"
tanya Pandan Wangi.
"Tidak. Dia tidak pernah menceritakan apa pun tentang dirinya. Aku tidak pernah
tahu, apakah dia punya musuh atau tidak. Bahkan latar belakang kehidupannya
saja, aku tidak tahu," sahut Rangga.
"Sulit... Kita berada di jalan yang buntu," gumam Pandan Wangi seraya
menggelengkan kepala.
"Aku rasa tidak," selak Cempaka.
"Maksudmu, Cempaka...?" tanya Rangga.
"Aku yakin, Sangkala tahu semua peristiwa ini,"
tenang sekali nada suara Cempaka, tapi mengandung kesungguhan yang mendalam.
"Jangan terlalu cepat berprasangka, Cempaka,"
Rangga memperingatkan adik tirinya.
"Aku tidak berprasangka buruk sedikit pun pada Sangkala. Tapi kelakuannya begitu
mencurigakan, Kakang. Malah dia langsung menuju Selatan setelah gurunya
meninggal. Untuk apa dia ke sana kalau tidak punya satu tujuan yang pasti,"
Cempaka menguraikan kecurigaannya pada Sangkala, murid tersayang Pendeta Pohaji.
"Sudahlah, Cempaka. Simpan dulu rasa curiga dan segala macam dugaanmu pada
Sangkala. Mungkin dia punya maksud lain, atau juga untuk melupakan
kepahitannya," Rangga mencoba menyangkal.
"Aku merasa yakin, Kakang. Sangkala pasti tahu orang yang membunuh gurunya. Dia
pasti mengejar orang itu, Kakang," Cempaka tetap pada pendiriannya.
"Kau punya dasar yang tepat, Cempaka?" tanya
Rangga, menguji prasangka adik tirinya ini.
"Dari sikapnya," sahut Cempaka, singkat
"Sikap belum sepenuhnya menjamin, Cempaka."
"Naluriku yang mengatakannya, Kakang. Dan biasanya, naluriku tidak pernah salah.
Aku juga merasa kalau dia sumber dari segalanya, Kakang."
Rangga tidak ingin berdebat lebih panjang lagi dengan gadis ini. Dia tahu,
Cempaka tidak pernah suka mengalah sedikit pun. Gadis itu akan tetap kokoh pada
pendiriannya, meskipun apa yang diucapkan seperti tidak memiliki dasar dan bukti
yang kuat. Tapi Rangga memang mengakui, Cempaka seperti memiliki indra keenam.
Dan biasanya memang begitu. Kalau Cempaka sudah mengatakan nalurinya yang
Rahasia Pedang Emas 3 Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Bocah Titisan Iblis 1
JARINGAN HITAM oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode 053:
Jaringan Hitam 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Deru angin senja di Puncak Gunung Caringin begitu kencang, seakan-akan hendak
meruntuhkan puncak yang terselimut kabut tebal. Daun-daun kering berguguran
terhempas sapuan angin kencang.
Beberapa pohon kecil mulai bertumbangan, dan batu-batu kerikil berhamburan.
Semuanya diterjang kuatnya tiupan angin kencang yang membawa udara dingin
menggigilkan tulang. Juga, membawa awan tebal menghitam, bergulung-gulung
menutupi sinar matahari senja.
Namun segala yang terjadi di Puncak Gunung Caringin ini, sama sekali tidak
mengusik seorang pemuda berwajah cukup tampan yang berdiri tegak di atas
sebongkah batu hitam berlumut tebal.
Pandangan pemuda berbaju putih ketat itu lurus tak berkedip. Sinar matanya
begitu kosong dan jauh, menembus gulungan ombak yang berada di bawah tebing yang
dipijaknya. Ketampanan wajahnya terusik oleh mendung yang menggantung menyelimuti. Entah apa
yang mengganggu pikiran anak muda itu. Rambutnya yang panjang terikat pita
putih, hanya tergerai melambai-melambai dipermainkan angin. Tubuhnya terlihat
tegak, terbungkus baju ketat berwarna putih. Belahan baju pada bagian dada cukup
lebar, menampakkan bentuk dada yang bidang, tegap dan berotot Entah sudah berapa
lama dia berdiri mematung di atas batu karang itu, dan sedikit pun tidak
bergeming. Perhatiannya begitu tajam, tertuju langsung pada
ombak yang bergulung-gulung tak ada habisnya.
Perhatiannya begitu penuh pada lautan, sampai-sampai tidak menyadari kalau ada
seseorang mendekatinya dari arah belakang.
Orang tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul, berhenti tepat di
belakang pemuda tampan berbaju putih ketat ini. Kepalanya bergerak menggeleng
perlahan. Ujung-ujung jarinya terus bergerak lincah, seperti menghitung butiran
tasbih yang terbuat dari batu hitam berkilat.
"Ehm-ehm...!"
"Oh..."!"
Pemuda berbaju putih ketat itu terkejut ketika mendengar suara batuk kecil di
belakangnya. Dia cepat berbalik, lalu menarik napas panjang begitu melihat ada
seorang laki-laki gundul berjubah kuning di tempat ini.
"Paman Pendeta Pohaji...," desah pemuda berbaju putih ketat itu, mengenali laki-
laki tua gundul berjubah kuning di depannya. Bergegas pemuda itu melompat turun
dari batu. Dia hendak berlutut, tapi laki-laki tua yang dikenali-nya sebagai Pendeta Pohaji
itu cepat mencegah.
Pemuda berbaju putih itu tidak jadi berlutut, dan hanya menundukkan kepala saja.
Dia seakan-akan tidak sanggup memandang sorot mata pendeta tua di depannya ini
"Sudah tiga hari ini kau tidak berlatih, Sangkala.
Dan kuperhatikan, kau selalu menyendiri, memandang ke tengah laut. Apa
sebenarnya yang sedang kau pikirkan...?" terasa lembut suara Pendeta Pohaji.
"Tidak ada apa-apa, Paman. Aku hanya senang saja memandangi burung camar yang
begitu bebas bergembira di alam yang indah ini. Aku suka mendengarkan deburan ombak memecah
batu karang. Begitu merdu, bagaikan nyanyian sang Dewi," sahut pemuda yang dipanggil
Sangkala. Pendeta Pohaji tersenyum. Laki-laki tua gundul itu tahu kalau Sangkala menyimpan
sesuatu. Dan jawaban tadi, hanya untuk menutupi hal yang sebenarnya saja.
Kemudian digamitnya bahu Sangkala dan diajaknya melangkah. Mereka berjalan
perlahan-lahan menuruni Puncak Gunung Caringin ini.
Untuk beberapa saat lamanya tidak ada yang berbicara. Hingga sampai di kaki
lereng gunung ini, masih juga belum ada yang membuka suara. Dan ayunan kaki
mereka terus bergerak perlahan menuju pantai yang berada tepat di bawah kaki
Gunung Caringin ini. Mereka terus berjalan ke pantai yang landai berpasir putih,
sampai lidah ombak menjilati kaki. Dan kedua laki-laki itu terus berjalan
bersisian. "Aku tahu, kau pasti menyembunyikan sesuatu, Sangkala. Mungkin berat bagimu
untuk mengatakannya pada orang lain. Tapi segala persoalan harus terpecahkan.
Dan kau pasti membutuhkan seseorang yang dapat membantu memecahkan persoalan
yang sedang kau hadapi," kata Pendeta Pohaji lembut, membuka percakapan kembali.
"Aku tidak memiliki persoalan apa-apa, Paman,"
kilah Sangkala agak mendesah perlahan.
"Aku dulu juga pernah muda sepertimu, Sangkala.
Kau tidak bisa menyembunyikan perasaan hatimu padaku," nada suara Pendeta Pohaji
terdengar mendesak.
Sangkala diam saja. Beberapa kali ditariknya napas panjang dan dihembuskannya
kuat-kuat Seakan-akan begitu berat untuk mengungkapkan
semua ganjalan hatinya. Memang diakui kalau pengamatan Pendeta Pohaji tidak
meleset sedikit pun. Pemuda itu memang memiliki persoalan yang sulit dipecahkan.
Apalagi harus menceritakannya pada orang lain, meskipun yang meminta adalah
gurunya sendiri, yang juga pamannya.
"Baiklah, jika merasa keberatan. Aku tidak akan menanyakan lagi," ujar Pendeta
Pohaji. "Maafkan aku, Paman," ucap Sangkala pelan.
Pendeta Pohaji hanya tersenyum saja. Ditepuknya lembut pundak pemuda itu, penuh
kasih sayang. Kembali mereka terdiam untuk beberapa saat lamanya.
"Sangkala! Apa kau sudah menamatkan ajian terakhir yang kuberikan?" tanya
Pendeta Pohaji, mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, Paman," sahut Sangkala.
"Bagus Kalau begitu, malam ini aku akan menguji-mu. Aku ingin tahu, sampai di
mana kau menguasai aji 'Petak Jiwa'."
"Nanti malam, Paman..."!" Sangkala tampak terkejut
"Kenapa" Belum siap...?"
"Siap, Paman," sahut Sangkala, bernada ragu-ragu.
"Aku tunggu kau tepat tengah malam di sini."
Setelah berkata demikian, Pendeta Pohaji berjalan cepat mendahului Sangkala.
Sedangkan pemuda berbaju putih itu menghentikan ayunan kakinya. Dipandanginya
laki-laki tua gundul yang semakin jauh di depannya.
"Hhh.... Seharusnya tadi aku menolak. Pendeta Pohaji pasti kecewa," desah
Sangkala perlahan.
*** Sangkala baru mengayunkan kaki kembali setelah Pendeta Pohaji tidak terlihat
lagi. Ayunan kakinya begitu perlahan. Sedangkan kepalanya tertunduk dalam,
memandangi ujung jari kaki yang bergerak teratur menyusuri tepian pantai ini.
Tapi baru beberapa depa berjalan, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan biru.
"He...! Sangkala tersentak kaget, dan langsung berhenti melangkah. Belum lagi hilang
rasa keterkejutannya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang perempuan muda
yang cantik. Tubuhnya ramping, dengan lekuk-lekuk indah terbalut baju biru
terang yang ketat dan agak tipis.
"Mintarsih...," desis Sangkala mengenali wanita cantik di depannya.
Wanita cantik berbaju biru yang dipanggil Mintarsih itu tersenyum manis. Begitu
manis dan memikat senyumnya, membuat Sangkala jadi menelan ludah.
Entah kenapa, mendadak saja tenggorokan pemuda ini jadi kering.
"Sudah tiga hari aku menunggumu, Sangkala. Apa sudah mengambil keputusan...?"
terdengar halus dan lembut suara Mintarsih.
"Aku.., aku tidak bisa memutuskannya," sahut Sangkala agak tergagap
"Kenapa...?" tanya Mintarsih agak terkejut mendengar jawaban itu
"Aku tidak mungkin meninggalkan Pendeta Pohaji.
Aku bukan lagi seperti kemenakannya, tapi Pendeta Pohaji malah sudah
menganggapku seperti anaknya sendiri"
"Kenapa kau begitu berat meninggalkannya hanya untuk beberapa hari saja,
Sangkala" Lagi pula, kalau kau memberi alasan tepat, Pendeta Pohaji pasti
mengizinkanmu keluar dari Karang Setra."
Sangkala hanya diam saja.
"Alasanmu tidak tepat, Sangkala. Apa sebenarnya yang membuatmu begitu berat
meninggalkan Karang Setra" Ini kesempatan baik, Sangkala. Aku sudah tahu, di
mana Pendekar Rajawali Sakti sekarang berada. Jadi, tidak pertu repot-repot lagi
mencarinya. Setelah semuanya selesai, kau bisa kembali lagi ke sini," bujuk Mintarsih.
"Kenapa tidak kau saja, Mintarsih?" tanya Sangkala, tetap pelan suaranya.
"Aku membutuhkan teman."
"Tapi, kenapa harus aku?"
"Karena alasan kita sama, Sangkala. Dan kita bisa bekerja sama. Aku yakin, ilmu-
ilmu yang kau dapatkan dari Pendeta Pohaji bisa diandalkan. Terlebih lagi aji
'Petak Jiwa' yang sudah kau kuasai, Sangkala,"
lagi-lagi Mintarsih membujuk.
"Aku belum sempurna menguasai aji 'Petak Jiwa', Mintarsih. Masih terlalu banyak
kekurangannya,"
Sangkala mencoba berkilah.
"Kau hanya merendah saja, Sangkala."
"Ah! Sudahlah, Mintarsih. Beri aku sedikit waktu lagi untuk berpikir," desah
Sangkala. "Waktunya sangat mendesak, Sangkala."
"Kau datang saja ke sini besok."
"Kenapa tidak sekarang saja, Sangkala?" desak Mintarsih.
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Sudahlah, Mintarsih. Besok kau baru bisa men-
dengar keputusanku."
"Baiklah kalau begitu," Mintarsih mengalah.
"Besok siang aku akan datang lagi ke sini."
Setelah berkata demikian, Mintarsih langsung melesat pergi. Begitu cepatnya
gerakan gadis berbaju biru itu, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak
terlihat lagi. Sangkala menghembuskan napas panjang, lalu kembali mengayunkan
kaki meninggalkan pantai ini.
*** Malam ini udara di sekitar pantai begitu dingin.
Angin berhembus kencang, menciptakan deburan ombak yang semakin keras menghantam
karang. Di bawah siraman cahaya bulan, tampak dua orang laki-laki berdiri saling
berhadapan. Mereka adalah Pendeta Pohaji dan Sangkala. Saat ini, memang sudah
lewat tengah malam. Tak ada orang lain lagi yang terlihat di sekitar pantai ini,
kecuali mereka berdua saja. Mereka seperti tidak mempedulikan hembusan angin
kencang yang menyebarkan udara dingin membekukan tulang.
"Kau sudah siap, Sangkala...?" tanya Pendeta Pohaji membuka suara lebih dahulu.
"Siap," sahut Sangkala.
"Bagus...! Yeaaah...!"
Mendadak saja Pendeta Pohaji melompat cepat bagai kilat menerjang Sangkala.
Akibatnya pemuda itu sejenak terperangah. Namun dia cepat melompat ke samping
sambil menarik tubuhnya miring ke kanan. Maka terjangan Pendeta Pohaji lewat
sedikit di depan dada pemuda itu.
Pendeta Pohaji berdiri tegak. Matanya menyorot
tajam, dan bibirnya terkatup rapat. Sangkala cepat merundukkan kepala, tidak
sanggup menerima tatapan mata yang begitu tajam menusuk
"Cara menghindarmu jelek sekali, Sangkala.
Lawan bisa mudah memasukkan pukulan. Dadamu terlalu kosong, sama sekali tidak
teriindungi," ujar Pendeta Pohaji tajam.
"Maaf, Paman," ucap Sangkala.
"Kau harus bersungguh-sungguh, Sangkala."
Belum juga Sangkala menjawab, Pendeta Pohaji sudah menerjang kembali,
mengeluarkan jurus yang cepat luar biasa. Sangkala masih kelabakan sejenak, tapi
cepat bisa menguasai keadaan setelah satu pukulan mendarat telak di dadanya.
Untung saja pukulan itu tidak mengandung tenaga dalam, sehingga Sangkala tidak
merasakan sakit sedikit pun juga.
"Jangan membuatku kecewa, Sangkala...!
Hiyaaat..!"
"Hup"
Sangkala cepat melentingkan tubuhnya ke udara, lalu berputar dua kali sebelum
menjejakkan kaki di pasir pantai. Namun baru saja hendak bersiap, sudah datang
lagi serangan cepat. Sangkala cepat memiringkan tubuh ke kiri, menghindari
tendangan Pendeta Pohaji.
Namun ketika Pendeta Pohaji melepaskan
tendangan berputar, Sangkala tidak dapat lagi berkelit. Maka tendangan yang
cukup keras itu, tepat menghantam dada pemuda itu.
Des! "Akh...!" Sangkala terpekik agak tertahan.
Pemuda berbaju putih itu terjengkang jatuh duduk.
Sementara Pendeta Pohaji berdiri tegak. Baru dua
jurus, tapi Sangkala sudah dua kali menerima pukulan pada dadanya. Dan tendangan
yang terakhir tadi, membuat dadanya sedikit terasa sesak.
"Bangun!" bentak Pendeta Pohaji.
Sambil meringis, Sangkala beranjak bangkit berdiri. Sebentar dia mengatur jalan
napasnya yang agak sedikit tertahan, akibat tendangan laki-laki tua gundul ini.
"Kau benar-benar membuatku kecewa, Sangkala,"
ujar Pendeta Pohaji.
"Maafkan aku, Paman. Perhatianku sedang terpecah," sahut Sangkala beralasan.
"Aku beri kau lima jurus. Namun bila tidak bisa bertahan, jangan harap aku
memberi izin ke kota di akhir pekan ini."
"Aku akan bersungguh-sungguh, Paman," janji Sangkala.
Bet! Sangkala cepat mengebutkan tangan ke depan, lalu perlahan ditarik kembali hingga
sejajar dada. Dan setelah menghembuskan napas panjang, mendadak saja pemuda
tampan berbaju putih itu melompat menerjang Pendeta Pohaji sambil melemparkan
beberapa pukulan beruntun.
"Hup! Yeaaah....!"
Tapi Pendeta Pohaji bukanlah orang sembarangan.
Dengan mudah sekali, dia bisa menghindari serangan beruntun yang dilancarkan
muridnya yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Tanpa terasa, Sangkala sudah melewati lima jurus yang dijanjikan Pendeta Pohaji.
Namun dari semua jurus andalan yang dikerahkan, tapi tidak ada satu pun yang
mengenai sasaran. Hingga akhirnya....
"Tahan...! Yeaaah...!" seru Pendeta Pohaji tiba-tiba.
*** Manis sekali gerakan Pendeta Pohaji saat melenting ke belakang, keluar dari
pertempuran latihan-nya. Sangkala juga segera menghentikan serangan.
Dia langsung berlutut, memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di
depan hidung. Sementara, kepalanya tertunduk dalam.
Pendeta Pohaji menghampiri dengan ayunan langkah ringan, bagai tak menyentuh
tanah pantai berpasir putih. Tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sepertinya, pemuda yang berlutut di depannya ini bukan Sangkala, murid
kesayangannya yang sudah memiliki jurus-jurus andalan dahsyat dari ilmu tingkat
tinggi. "Aku tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang kau hadapi, Sangkala. Jurus-jurus
yang kau mainkan tadi, begitu mentah dan tidak berbobot sama sekali. Aku yakin,
kau pasti belum mempelajari aji 'Petak Jiwa',"
dingin sekali nada suara Pendeta Pohaji.
"Maafkan aku, Paman," ucap Sangkala perlahan.
"Kenapa belakangan ini kau jadi pemalas" Apa yang mengganggu pikiranmu,
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sangkala?" tanya Pendeta Pohaji. Kali ini nada suaranya berubah lembut.
Sangkala diam saja. Pemuda itu duduk bersila sambil tetap menundukkan kepala.
Seakan-akan dia tidak berani membalas tatapan Pendeta Pohaji yang begitu tajam
menusuk sampai ke relung hatinya yang paling dalam.
"Sejak kecil kau sudah ikut bersamaku, Sangkala.
Dan selama ini, sekali pun kau belum pernah menyimpan rahasia padaku. Tapi
kenapa sekarang
begitu lain" Kau tidak lagi menganggapku pamanmu, Sangkala?"
Pendeta Pohaji terus mendesak.
Sangkala diam saja. Bahkan tetap tertunduk, menekuri pasir yang putih berkilat
tertimpa cahaya bulan. Sementara debur ombak terus terdengar memecah karang.
Untuk beberapa saat lamanya, suasana begitu sunyi. Pendeta Pohaji menunggu
sabar, namun Sangkala tetap diam membisu.
"Ada persoalan apa sebenarnya, Sangkala?" tanya Pendeta Pohaji tidak sabar.
"Paman...," pelan sekali suara Sangkala, seakan-akan begitu berat untuk
mengeluarkan suara.
Perlahan pemuda itu mengangkat kepalanya, tapi tidak berani membalas tatapan
mata laki-laki tua berjubah kuning di depannya ini.
"Katakan, apa sebenarnya yang mengganjal hatimu?" desak Pendeta Pohaji lembut.
"Paman tidak marah kalau aku mengatakan
sesuatu?" Sangkala malah bertanya.
"Kenapa harus marah?" ujar Pendeta Pohaji.
"Paman...," kembali ucapan Sangkala terputus.
Dan kepala pemuda itu kembali menunduk.
Dicobanya untuk mengumpulkan kekuatan agar segala yang ada di relung hatinya
bisa diutarakan.
Sesuatu yang selama beberapa hari ini selalu membuat pikirannya tidak menentu,
hingga tidak bisa memusatkan perhatian pada pelajaran yang diberikan Pendeta
Pohaji. "Sebenarnya aku ingin bertanya pada Paman. Itu pun kalau Paman tidak marah dan
bersedia menjawab pertanyaanku," ujar Sangkala perlahan. Nada suaranya terdengar
seperti ragu-ragu.
"Apa pun yang kau tanyakan, pasti akan kujawab.
Dan jika ingin mengetahui sesuatu, tentu aku akan memberi tahu sebatas
pengetahuanku sendiri,"
jawab Pendeta Pohaji lembut.
"Paman, apakah benar Gusti Prabu Rangga itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya
Sangkala setelah berpikir agak lama.
"Benar," sahut Pendeta Pohaji.
Laki-laki tua berjubah kuning yang menjadi penasihat Kerajaan Karang Setra itu
jadi heran juga mendengar pertanyaan muridnya ini. Tapi keheranan-nya tidak
ingin diungkapkan dulu. Dia ingin agar Sangkala mengutarakan lebih dahulu semua
yang menjadi beban pikirannya saat ini.
"Benarkah dia yang membunuh ayahku, Paman?"
tanya Sangkala setelah menguatkan diri.
Pendeta Pohaji tersentak kaget mendengar pertanyaan pemuda itu, sehingga tidak
langsung menjawab. Dan Sangkala kini menatap wajah laki-laki tua yang berdiri di
depannya ini. Tampak jelas dari raut wajah, kalau Pendeta Pohaji begitu terkejut
mendengar pertanyaan Sangkala barusan.
Laki-laki tua berjubah kuning gading itu memutar tubuhnya, lalu melangkah
perlahan menuju tepian pantai. Pandangannya lurus ke depan. Sementara Sangkala
sudah bangkit berdiri. Perlahan kakinya melangkah mengikuti pendeta tua itu yang
kini sudah berhenti di garis pantai. Tampak lidah ombak menjilati kaki mereka.
"Maafkan atas pertanyaanku tadi, Paman," ucap Sangkala.
Pendeta Pohaji tidak berpaling sedikit pun. Dia terus menatap ke tengah laut
yang menghitam pekat.
Pantulan sinar rembulan, membuat permukaan laut yang selalu bergelombang seperti
bertaburkan batu
permata yang berkilauan. Tapi di mata Pendeta Pohaji, bagaikan lautan duri yang
harus diseberangi.
Beberapa kali napasnya dihembuskan, seakan-akan ingin melonggarkan rongga
dadanya yang mendadak jadi sesak.
*** 2 "Dari mana kau punya pikiran seperti itu, Sangkala?"
tanya Pendeta Pohaji tanpa berpaling sedikit pun.
Sangkala tidak menjawab. Pandangannya pun di-arahkan ke tengah lautan.
Pertanyaan Pendeta Pohaji barusan terasa begitu berat dijawab. Tidak mungkin hal
itu diutarakan dengan terus terang, karena sudah berjanji pada Mintarsih untuk
tidak memberitahukan pertemuan mereka selama ini pada siapa pun juga.
Termasuk Pendeta Pohaji.
"Aku kenal betul Gusti Prabu Rangga. Meskipun, aku baru bertemu dengannya lagi
setelah dia menjadi dewasa," jelas Pendeta Pohaji.
Laki-laki itu terkenang kembali saat pertemuannya dengan Pendekar Rajawati
Sakti. Saat itu, Karang Setra belum lagi berbentuk kerajaan, tapi masih
merupakan sebuah kadipaten (Baca serial Pendekar Rajawati Sakti dalam kisah,
"Api di Karang Setra").
Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan semua orang. Karena selama dua puluh
tahun, Rangga Pati Permadi sudah dianggap tewas di Lembah Bangkai.
Peristiwa itu memang sudah lama sekali, tapi masih melekat kuat dalam ingatan
Pendeta Pohaji.
Saat itu dia memang tidak bisa menentukan, dan tidak ingin berpihak pada siapa
saja. Kedudukannya sebagai pendeta dan penasihat keturunan Adipati Karang Setra,
membuat Pendeta Pohaji harus berdiri di tengah-tengah. Tidak memihak pada Rangga
yang ahli waris tunggal Karang Setra. Juga, tidak memihak pada Wira Permadi,
adik tiri Rangga yang sangat
bernafsu ingin menguasai Karang Setra. Terlepas, apakah dia tahu kalau jalan
yang ditempuh Wira Permadi dapat dibenarkan atau tidak.
Namun Pendeta Pohaji sudah berjanji pada Adipati Karang Setra untuk menjaga dan
melindungi keturunannya sampai ajal datang menjemput. Satu persatu janjinya pada
Adipati Karang Setra sudah terpenuhi, meskipun dia tidak bisa memenuhi janjinya
sendiri pada putra adipati itu sendiri. Dan yang jelas, itu bukan kesalahannya.
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan musibah datang.
"Paman, benarkah Pendekar Rajawali Sakti yang membunuh ayahku?" tanya Sangkala
lagi, agak mendesah.
"Aku tidak bisa menjawabnya, Sangkala," sahut Pendeta Pohaji pelan.
"Kenapa" Bukankah Paman begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Rangga, Pendekar Rajawali Sakti, atau Gusti Prabu Karang Setra adalah sama. Dan
aku memang salah seorang pejabat yang dipercaya menjadi penasihat istana. Tapi
aku dan Gusti Prabu jarang sekali bertemu. Jadi, aku tidak tahu pasti tentang
semua itu, Sangkala," jelas Pendeta Pohaji.
Sangkala tampak kecewa mendengar jawaban laki-laki tua berjubah kuning gading
ini. Sebentar dirayapinya wajah tua yang sudah banyak berkeriput Kemudian kedua
tangannya dirapatkan di depan hidung. Tanpa berkata-kata lagi, pemuda berbaju
putih ketat itu melangkah pergi. Tinggallah Pendeta Pohaji yang masih berdiri
mematung memandangi gulungan ombak.
Sampai langkah kaki Sangkala tidak terdengar lagi, Pendeta Pohaji masih juga
berdiri mematung.
Pandangannya lurus tak berkedip menatap lautan bebas, bagai tak bertepi. Namun
mendadak saja....
"Hm...," Pendeta Pohaji menggumam perlahan.
Pendengarannya yang setajam mata pisau, mendengar suara lain dari yang
didengarnya. Suara halus yang datang dari arah belakang.
"Hup...!"
Mendadak saja Pendeta Pohaji melenting ke atas, melakukan putaran dua kali.
Tepat pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan biru yang lewat di bawah kaki
Pendeta Pohaji. Setelah melakukan dua kali putaran, laki-laki tua berjubah
kuning yang seluruh kepalanya gundul itu mendarat di pasir pantai yang putih
dengan manis sekali.
"Siapa kau..."!" bentak Pendeta Pohaji seraya mengamati seseorang yang berdiri
membelakanginya.
"Hik hik hik...!" wanita berbaju biru terang itu tertawa terkikik.
Pendeta Pohaji melompat mundur dua tindak.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pendeta tua berkepala gundul itu
sudah berdiri seorang perempuan berwajah cukup cantik. Dia mengenakan baju ketat
warna biru. Begitu ketatnya, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya nampak jelas mem-
bayang. "Kau tidak mengenaliku lagi, Pohaji?" lembut sekali nada suara wanita berbaju
biru itu. Pendeta Pohaji nampak tersentak. Kembali di-amatinya wajah dan seluruh tubuh
wanita cantik di depannya. Kepala yang gundul tanpa sehelai rambut, terlihat
bergerak menggeleng perlahan. Pandangan matanya seperti tidak percaya terhadap
apa yang dilihatnya.
"Mustahil...," desis Pendeta Pohaji sambil meng-
gelengkan kepala perlahan beberapa kali.
"Zaman bisa berubah dan waktu pun terus berputar, Pohaji. Tapi jangan lupa,
kalau kepandaian manusia pun semakin meningkat," kata wanita berbaju biru itu
lagi. "Bagaimana mungkin kau bisa tetap muda,
Mintarsih?" tanya Pendeta Pohaji, masih tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya kini.
Wanita cantik yang mengenakan baju biru itu hanya tertawa saja. Tawanya begitu
lembut terdengar di telinga, namun juga mengandung suatu daya rangsang
tersendiri yang sangat menyentuh kejantanan seorang laki-laki. Dan itu terasa
sekali, sehingga Pendeta Pohaji terpaksa harus mengerahkan kekuatan dengan
menutup sebagian aliran darah yang menuju kejantanannya.
Laki-laki tua berkepala gundul itu seketika menyadari kalau suara yang
dikeluarkan Mintarsih mengandung suatu ilmu langka yang dapat melemahkan hati
siapa saja yang mendengarnya. Dan kalau hati seseorang sudah melemah, wanita ini
dapat dengan mudah memperdayai. Apa pun yang dikatakan akan dituruti tanpa
disadari. "Aku akui, aji 'Lemah Atma' yang kau miliki mengalami kemajuan pesat. Tapi belum
cukup untuk melemahkan hatiku, Mintarsih," kata Pendeta Pohaji dingin.
"Rupanya kau masih juga bisa merasakan ilmuku, Pohaji. Hebat...! Kau masih juga
dapat bertahan, tidak seperti muridmu. Hi hi hi...!"
"Apa maksudmu, Mintarsih?"
Mintarsih hanya tertawa saja, namun mendadak saja mengebutkan tangan kanannya ke
depan. Seketika itu juga, dari telapak tangan wanita itu
melesat secercah cahaya keemasan yang meluruk deras ke arah Pendeta Pohaji.
Sejenak Pendeta Pohaji terperangah, namun cepat mengegoskan tubuh ke kanan untuk
menghindari serangan mendadak yang dilakukan wanita cantik itu.
Maka cahaya kuning keemasan itu lewat sedikit di samping tubuh Pendeta Pohaji.
Namun sebelum laki-laki tua itu bisa menarik kembali kedudukan tubuhnya, kembali
Mintarsih menyerang lebih cepat dan dahsyat. Wanita itu melesat cepat bagaikan
kilat, disertai lontaran dua pukulan bertenaga dalam tinggi sekali.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Pendeta Pohaji terpaksa melentingkan tubuh ke udara. Dia melakukan putaran dua
kali di udara, sebelum menjejak tanah berpasir, sekitar dua batang tombak
jauhnya dari Mintarsih.
"Tunggu...!" sentak Pendeta Pohaji begitu melihat Mintarsih hendak melakukan
serangan kembali.
Mintarsih langsung mengurungkan serangannya.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Mintarsih?"
tanya Pendeta Pohaji.
"Kau sudah tahu keinginanku, Pohaji. Dan hanya kaulah penghalang utamaku! Maka
kau harus mampus lebih dahulu...!" sahutan Mintarsih begitu dingin dan datar
suaranya. "Aku tidak tahu, apa keinginanmu," sahut Pendeta Pohaji.
"Keparat...! Sejak dulu kau selalu saja berpura pura. Dasar penjilat..!" geram
Mintarsih. Wanita cantik berbaju biru itu kembali bersiap melakukan serangan. Wajahnya
tampak memerah bagai saga. Sinar matanya berkilatan tajam, menusuk
langsung bola mata Pendeta Pohaji. Perlahan-lahan kedua tangannya ditarik hingga
sejajar dada. Sedangkan kedua kakinya terpentang lebar ke samping.
"Hm...," Pendeta Pohaji bergumam perlahan melihat Mintarsih sudah bersiap hendak
melakukan serangan.
Semua yang dipersiapkan wanita itu sudah tidak asing lagi bagi Pendeta Pohaji.
Hanya saja dia tidak tahu sampai di mana kemajuan jurus-jurus yang dimiliki
wanita cantik ini. Dan laki-laki gundul itu tidak ingin menganggap remeh.
Pendeta Pohaji tahu kalau Mintarsih bukanlah wanita yang bisa dianggap enteng
ilmu-ilmunya. Mereka satu sama lain kenal sudah lama. Bukan setahun atau dua
tahun, tapi puluhan tahun. Dan masing-masing sudah mengenal watak dan
kemampuannya. Hanya saja, Pendeta Pohaji masih belum mengerti, kenapa Mintarsih
masih juga kelihatan muda dan cantik seperti seorang gadis belia saja.
Sedangkan dia sendiri sudah begitu tua, keriput, dan tinggal menunggu ajal saja.
Padahal kalau diukur usia, tentu hanya terpaut dua tahun saja. Inilah yang belum
bisa dimengerti laki-laki tua berkepala gundul itu. Sementara Mintarsih sudah
bersiap hendak melakukan serangan. Kakinya sudah digeser ke kanan beberapa
tindak. "Tahan seranganku, Pohaji! Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Pendeta Pohaji langsung melentingkan tubuh ke angkasa, begitu Mintarsih melompat
menyerang. Satu benturan keras di udara tak dapat dihindari lagi. Dua pasang
telapak tangan beradu keras, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar.
Begitu kerasnya dua kekuatan tenaga dalam itu beradu, sehingga mereka sama-sama
terpental jatuh keras sekali.
Namun mereka masih dapat menguasai diri, sehingga jatuh tepat dengan kedua kaki
tegar. Mintarsih langsung bersiap hendak melakukan serangan kembali. Sedangkan Pendeta
Pohaji tampak sedikit bergetar tubuhnya. Tampak darah menetes keluar dari sudut
bibirnya. "Hhh! Ilmu perempuan ini benar-benar maju pesat!" desis Pendeta Pohaji dalam
hati. Dengan punggung tangannya, pendeta tua itu menyeka darah yang menetes di sudut
bibir. Hampir sulit dipercaya kalau Mintarsih masih tetap tegar, tanpa kurang
suatu apa pun juga. Terlebih lagi, wanita itu kini sudah kembali siap hendak
menyerang lagi.
"Kau orang pertama yang harus mampus di
tanganku, Pohaji. Bersiaplah...! Hiyaaat...!"
Mintarsih kembali meluruk deras menerjang Pendeta Pohaji. Kedua tangannya
merentang lurus ke depan dengan jari-jari tangan terkembang lebar agak tertekuk
ke depan. Tampak jelas kalau ujung jari tangan perempuan itu berwarna merah
bagai terbakar.
"Hap!"
Pendeta Pohaji cepat melompat ke samping dua tindak. Seketika tubuhnya ditarik
miring ke kanan, hingga doyong seperti pohon yang hampir tumbang.
Maka tangan Mintarsih lewat sedikit di samping tubuh laki-laki tua berkepala
gundul itu. Namun tanpa diduga sama sekali, wanita cantik berbaju biru itu cepat
melepaskan satu pukulan menggeledek, mengarah ke dada.
"Ih...!"
Pendeta Pohaji terkejut bukan main. Bergegas tubuhnya melompat ke atas sejauh
satu batang tombak. Tapi belum juga siap, Mintarsih sudah kembali menyerang
cepat bagai kilat. Terpaksa Pendeta Pohaji melakukan salto ke udara. Dia
berputaran beberapa kali, melewati kepala wanita itu.
Lalu, dengan manis sekali kakinya mendarat di belakang Mintarsih.
"Yeaaah...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Pendeta Pohaji langsung memberi satu gedoran
keras bertenaga dalam penuh ke arah punggung wanita itu.
"Hait..!"
Hanya sedikit saja Mintarsih memiringkan tubuh ke kiri, sehingga gedoran Pendeta
Pohaji dapat dielak kan. Cepat wanita itu memutar tubuh seraya memberi satu
tendangan berputar, lurus mengarah ke dada.
Cara mengelak yang langsung diikuti serangan berputar begitu cepat, membuat
Pendeta Pohaji terbeliak tidak menyangka.
Laki-laki tua itu tidak dapat berbuat apa-apa, karena tubuhnya sendiri menjorok
ke depan. Dan dia tidak sempat lagi menarik tangannya yang merentang lurus ke
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan. Akibatnya sepakan kaki Mintarsih tepat menghantam dada pendeta tua itu.
Des! "Akh...!" Pendeta Pohaji memekik agak tertahan.
Tubuh tua berjubah kuning gading itu terdorong keras ke belakang sejauh dua
batang tombak. Sebentar Pendeta Pohaji terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya yang terhantam
tendangan berputar Mintarsih tadi. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya,
dia cepat melakukan
gerakan-gerakan ringan untuk mengatur pernapasan yang mendadak sesak.
"Huh!" Pendeta Pohaji mendengus keras, mem-buang napasnya untuk melonggarkan
dada. "Kau sudah terlalu tua, Pohaji. Gerakanmu lamban sekali," ejek Mintarsih sambil
tersenyum sinis.
"Hm.... Kau pun sudah tua, Mintarsih," balas Pendeta Pohaji tidak kalah
dinginnya. "Ha ha ha...! Apa matamu sudah buta, Pohaji"
Seorang pangeran pun akan terpikat oleh wajahku."
"Orang lain boleh kau kelabui. Tapi, mata tuaku ini tidak bisa kau bodohi. Di
balik kecantikanmu, kau adalah seorang nenek tua yang keriput!"
"Setan...! Hanya kau yang tahu siapa aku sebenarnya, Pohaji. Maka kau harus
mampus! Hiyaaat..!"
Kata-kata Pendeta Pohaji yang terakhir, benar-benar membuat Mintarsih berang
setengah mati. Kembali tubuhnya melompat menyerang Pendeta Pohaji. Namun kali ini, laki-laki
tua berjubah kuning itu sudah siap menghadapinya. Dia tidak sudi lagi bermain-
main, karena sudah menyadari kalau kepandaian Mintarsih kini jauh lebih tinggi
dari yang pernah diketahui.
Pertarungan di tepi pantai itu pun kembali berlangsung sengit sekali. Masing-
masing berusaha menjatuhkan. Jurus-jurus maut tingkat tinggi yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat pasir di tepi pantai itu bertebaran ke
udara. Setiap kali pukulan yang dilontarkan, selalu mengandung dorongan angin kuat
sekali. Bahkan beberapa batu karang yang terkena pukulan nyasar pun hancur
berkeping-keping.
Sementara malam terus merambat semakin larut mendekati fajar. Namun pertarungan
masih terus berlangsung sengit sekali. Dari jalannya pertarungan, tampak jelas kalau
Mintarsih begitu bernafsu hendak menjatuhkan Pendeta Pohaji. Jurusnya selalu
ber-ganti cepat, begitu serangannya gagal. Kemudian dia langsung membuat
serangan baru yang lebih dahsyat.
Hal ini membuat Pendeta Pohaji kelihatan agak kewalahan menghadapi. Beberapa
kali pukulan Mintarsih yang mengandung tenaga dalam tinggi hampir menghantam
pendeta tua itu. Tapi sampai pertarungan lewat dari dua puluh jurus, belum ada
yang terdesak. Hingga pada satu saat, tepat memasuki jurus yang ketiga puluh, mendadak saja....
"Awas kepala...!"
"Heh..."!"
Pendeta Pohaji tersentak kaget begitu tiba-tiba Mintarsih berteriak nyaring
memperingatinya. Cepat kepalanya dirundukkan, tanpa melihat lebih dahulu.
Namun rupanya seruan Mintarsih tadi hanya tipuan saja. Tepat ketika Pendeta
Pohaji merundukkan kepalanya, mendadak saja Mintarsih memberi satu pukulan keras
ke arah dada laki-laki tua itu.
Serangan yang dilakukan Mintarsih memang sungguh dahsyat dan tidak terduga.
Memang, Pendeta Pohaji tadi menyangka kalau wanita ini akan menyerang bagian
kepala. Dan sama sekali tidak disangka kalau itu merupakan tipuan untuk membuka
daerah kosong. Diegkh...! "Akh...!" Pendeta Pohaji menjerit keras.
Pukulan yang dilepaskan Mintarsih tepat menghantam dada laki-laki tua berjubah
kuning gading itu.
Begitu kerasnya, sehingga membuat Pendeta Pohaji terpental ke belakang sejauh
dua batang tombak.
Sebongkah batu karang yang cukup besar hancur berkeping-keping begitu terlanda
tubuh tua berjubah kuning gading itu.
"Hoek...!"
Pendeta Pohaji memuntahkan darah kental agak kehitaman. Dia mencoba bangkit
berdiri. Namun belum juga sempurna berdirinya, mendadak saja satu serangan
kembali datang.
"Hiyaaat..!"
Pendeta Pohaji hanya bisa terperangah saja. Tidak ada lagi kesempatan untuk
menghindari serangan itu.
Cepat Pendeta Pohaji menghentakkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan
yang dilakukan Mintarsih. Tak dapat dielakkan lagi. Dua pasang telapak tangan
yang terbuka lebar, seketika beradu keras hingga menimbulkan ledakan dahsyat
luar biasa. Glarrr...! "Akh...!" lagi-lagi Pendeta Pohaji memekik keras agak tertahan.
Untuk kedua kalinya tubuh tua berjubah kuning gading itu terpental ke belakang
sejauh dua batang tombak. Beberapa kali dia bergulingan di atas pasir yang
dingin membekukan. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Setelah
menyemburkan darah agak kehitaman, Pendeta Pohaji berusaha bangkit berdiri.
Dan belum lagi laki-laki tua berjubah kuning itu bisa berdiri tegak, Mintarsih
sudah kembali melompat seraya melontarkan dua pukulan keras bertenaga dalam
tinggi secara beruntun. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan, sehingga
Pendeta Pohaji tidak sempat lagi menghindar. Dan...
"Yeaaah....!"
Dieghk! Prak! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar hampir bersamaan dengan
terdengarnya suara tulang yang berderak patah, tepat ketika kedua telapak tangan
Mintarsih mengepruk kepala gundul itu.
"Hih!"
Dengan tangan masih berada di kepala Pendeta Pohaji, Mintarsih menggenjot
tubuhnya. Maka, kini kedua kakinya berada di atas, dan tangannya tetap berada di
kepala laki-laki tua berjubah kuning gading itu.
Brest "Akh...!" lagi-lagi Pendeta Pohaji menjerit Tubuhnya amblas, masuk ke dalam
pasir sampai ke pinggang. Sementara, kepalanya terus mengucur-kan darah segar.
Mintarsih melentingkan tubuh ke udara, lalu berputaran dua kali. Manis sekali
kakinya menjejak tepat sekitar tiga langkah di depan Pendeta Pohaji.
"Ha ha ha...!" Mintarsih tertawa terbahak-bahak melihat lawannya sudah tidak
berdaya lagi. Dengan setengah tubuh terbenam, Pendeta Pohaji memang tidak mungkin melakukan
sesuatu lagi. Terlebih, kepalanya sudah pecah. Darah tampak semakin banyak bercucuran dari
kepala yang pecah akibat terkena keprukan tangan halus Mintarsih.
"Mampus kau, Pohaji! Hiyaaat...!"
Bet! Bagaikan kilat, Mintarsih mengibaskan tangan ke arah leher Pendeta Pohaji.
Begitu cepatnya kibasan tangan wanita itu, sehingga Pendeta Pohaji tidak mampu
lagi menghindar. Dan....
Cras! Tangan Mintarsih yang tajamnya melebihi mata pedang begitu dahsyat menebas leher
Pendeta Pohaji hingga langsung terpenggal buntung. Darah seketaka muncrat dari
leher yang buntung tanpa kepala lagi.
Sedangkan kepalanya menggelinding di tanah berpasir putih.
"Ha ha ha...!"
*** 3 Seluruh penghuni Istana Karang Setra dilanda awan mendung yang amat tebal.
Bahkan seluruh rakyat Kerajaan Karang Setra terselimut kabut duka atas kematian
Pendeta Pohaji yang begitu menyedihkan dan penuh teka-teki. Beberapa nelayan
menemukan tubuh pendeta tua penasihat istana itu terbenam sepinggang di tepi
pantai, dengan kepala buntung.
Hingga tubuh pendeta itu dimakamkan, tidak ada yang bisa menemukan kepalanya.
Malah Raden Danupaksi, orang kedua di Karang Setra sudah memerintahkan ratusan
prajurit untuk mencari kepala Pendeta Pohaji, namun tidak juga bisa ditemukan.
Sampai saat ini, sudah dua hari jenazah Pendeta Pohaji dimakamkan tanpa kepala.
Namun sampai saat itu, kematiannya belum juga terungkap. Raden Danupaksi sudah
menanyakan pada semua murid Pendeta Pohaji, tapi tidak ada seorang pun yang
mengetahui. Dan semuanya mengatakan, kalau malam itu Pendeta Pohaji menguji ilmu
Sangkala. Raden Danupaksi tahu kalau Sangkala adalah murid kesayangan Pendeta Pohaji, dan
memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang lain. Sangkala pun tidak luput dari
pertanyaan Raden Danupaksi.
"Semua murid Paman Pendeta Pohaji mengatakan kalau malam itu kau bersamanya,
Sangkala," kata Raden Danupaksi seraya menatap dalam-dalam pemuda berbaju putih
yang duduk bersimpuh di depannya.
"Ampunkan hamba, Raden. Memang malam itu Paman Pendeta menguji ilmu yang selama
ini sudah hamba dapatkan darinya. Tapi itu berlangsung tidak lama. Kemudian
hamba meninggalkan pantai lebih dahulu, sehingga tidak tahu apa yang terjadi di
sana," sahut Sangkala, bersikap penuh rasa hormat.
"Kau tidak kembali ke puri malam itu, hingga menjelang fajar. Lalu ke mana saja
sepanjang malam?"
pertanyaan Raden Danupaksi sudah menjurus ke nada curiga.
"Hamba langsung pergi ke makam," sahut
Sangkala. "Ke makam.." Makam siapa?" tanya Raden
Danupaksi agak terkejut
Orang kedua di Kerajaan Karang Setra itu kemudian menatap Cempaka yang sejak
tadi diam saja di dalam ruangan khusus ini. Memang di situ hanya ada Raden
Danupaksi, Sangkala, dan Cempaka. Danupaksi memang tidak mengizinkan seorang pun
masuk ke dalam ruangan ini.
"Sangkala! Meskipun tidak mengenalmu sejak kecil, tapi kami semua tahu tentang
dirimu. Paman Pendeta Pohaji tidak pernah menyembunyikan apa pun tentang murid-
muridnya. Jadi, kami tahu kalau kau tidak memiliki ayah dan ibu sejak kecil.
Lalu, makam siapa yang kau kunjungi malam itu?"
Cempaka baru membuka suara setelah mendapatkan isyarat dari Danupaksi.
"Aku tahu, kalau aku tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tapi, aku tahu kalau
makam ayah dan ibuku sejajar bersama makam para pengkhianat dan pemberontak
serta penjahat besar kerajaan ini,"
sahut Sangkala kalem.
Danupaksi dan Cempaka tersentak kaget bukan
kepalang mendengar jawaban Sangkala yang begitu tenang dan tegas sekali. Namun
yang lebih mengejut-kan lagi, Sangkala sudah mengetahui makam kedua orang
tuanya. Hal ini membuat Danupaksi tidak punya gairah lagi untuk menanyai
Sangkala. Sedangkan Cempaka tidak mengetahui jelas duduk perkara orang tua
Sangkala. "Kau boleh keluar, Sangkala," ujar Danupaksi.
Sangkala merapatkan kedua telapak tangannya di depan hidung, kemudian
meninggalkan ruangan itu.
Tinggal Danupaksi dan Cempaka saja yang masih berada di ruangan ini. Beberapa
saat mereka terdiam dengan pikiran menerawang jauh.
"Aku tidak mengerti, dari mana dia bisa tahu tentang pusara orang tuanya...?"
gumam Danupaksi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kau tahu asal-usul Sangkala, Kakang?" tanya Cempaka.
"Aku tahu asal-usul semua orang yang bebas keluar masuk di istana ini, Cempaka.
Tapi semua itu kurahasiakan, hingga tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali
Kakang Rangga sendiri," sahut Danupaksi.
"Mungkin Pendeta Pohaji sendiri yang mem-beritahukannya, Kakang," duga Cempaka.
"Tidak mungkin, Cempaka. Pendeta Pohaji tidak pernah membuka rahasia asal-usul
murid-muridnya, kecuali padaku dan Kakang Rangga. Kita memang tidak tahu pasti,
tapi Pendeta Pohaji sudah menceritakan semuanya. Bahkan berani bersumpah kalau
semua yang dikatakannya adalah benar. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang
mengetahui asal-usulnya. Mereka semua diambil sejak masih kecil. Bahkan ada yang
masih bayi," bantah
Danupaksi. "Kalau bukan Pendeta Pohaji sendiri, lalu siapa lagi?" tanya Cempaka.
"Itu yang tidak kumengerti, Cempaka. Dan aku yakin, kalau ini ada hubungannya
dengan kematian Pendeta Pohaji sendiri," sahut Danupaksi.
"Kakang, apa tidak sebaiknya hal ini diberitahukan pada Kakang Rangga?" usul
Cempaka. "Di mana harus mencari Kakang Rangga,
Cempaka..." Kita semua tidak tahu pasti, di mana Kakang Rangga sekarang berada."
Cempaka terdiam. Jawaban Danupaksi memang tidak bisa disangkal lagi. Tidak ada
seorang pun yang tahu, di mana Pendekar Rajawali Sakti itu kini berada.
Memang sukar memiliki raja seorang pendekar yang gemar berkelana. Dan ini sangat
dirasakan Cempaka maupun Danupaksi yang harus meng-gantikan kedudukan raja
mereka selama kepergian yang tidak bisa ditentukan kapan kembalinya. Bahkan
tidak tahu ke mana perginya.
"Kalau Kakang mengizinkan, aku akan mencari Kakang Rangga. Mudah-mudahan saja
bisa cepat bertemu," pinta Cempaka berharap.
"Aku tidak bisa melarang atau mengizinkanmu, Cempaka. Berbuatlah yang menurutmu
benar," sahut Danupaksi.
"Kalau begitu, aku berangkat sekarang, Kakang."
"Hati-hatilah. Aku merasa kematian Paman Pendeta Pohaji akan berbuntut panjang."
Cempaka mengangguk sedikit, kemudian meninggalkan ruangan itu dengan ayunan kaki
tegap dan mantap. Sepeninggal adik tirinya itu, Danupaksi masih merenung
sendiri. *** Sementara itu dekat perbatasan Kotaraja Karang Setra, tepatnya di daerah
pemakaman para bangsawan dan keluarga istana, Sangkala tampak berdiri mematung
di depan gundukan tanah merah yang kelihatan belum lama. Sejak keluar dari
Istana Karang Setra, pemuda itu langsung ke pemakaman ini. Sedangkan saat itu
matahari sudah begitu tinggi di atas kepala.
Tatapan matanya tertuju rurus ke batu nisan yang terukir nama Pendeta Pohaji di
ujung kanan gundukan tanah merah itu. Tak ada makna sama sekali di dalam sinar
matanya. Begitu kosong dan tak bercahaya. Sangkala baru mengangkat perlahan
kepalanya ketika mendengar suara batuk kecil yang halus. Sedikit pun tidak ada
perubahan pada wajahnya saat pandangannya tertumbuk pada seorang wanita cantik
berbaju biru, yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya.
"Sejak kapan kau berada di sini, Mintarsih?" tanya Sangkala, suaranya terdengar
kosong dan datar.
"Belum lama," sahut wanita cantik yang dikenali Sangkala bernama Mintarsih.
"Untuk apa datang ke sini?" tanya Sangkala lagi.
Suaranya masih tetap datar, tanpa tekanan sama sekali.
Mintarsih tidak menjawab, tapi malah tersenyum tipis. Wanita cantik itu
melangkah menghampiri, memutari makam Pendeta Pohaji dan berdiri di samping
pemuda itu. Sedangkan Sangkala seperti tidak memperhatikan, tetap menatap kosong
ke depan. Bau harum yang menyebar dari tubuh Mintarsih, menyeruak lubang hidung
Sangkala. Hal ini
membuat pemuda itu menggerinjang, menggeser sedikit agak menjauh.
"Aku tahu, siapa yang berbuat ini semua, Sangkala," kata Mintarsih lembut.
Sangkala tersentak kaget. Langsung tubuhnya diputar, menatap Mintarsih dalam-
dalam. Namun yang ditatap hanya tersenyum saja, manis sekali.
"Mungkin kau tidak percaya, tapi kebetulan sekali aku ada di sana malam itu. Aku
lihat jelas semua yang terjadi di tepi pantai," sambung Mintarsih.
"Katakan, siapa yang membunuh Paman
Pendeta?" desak Sangkala tegas.
"Pandan Wangi," sahut Mintarsih, diiringi senyum dikulum.
"Pandan Wangi...?" Sangkala seperti tidak percaya.
Dia tahu, siapa Pandan Wangi itu.
"Kau jangan mengada-ada, Mintarsih," ujar Sangkala tidak percaya. "Semua orang
tahu kalau Pandan Wangi sekarang bersama Gusti Prabu Rangga yang kini entah
berada di mana. Tidak mungkin dia bisa berada di sini dan membunuh Paman Pendeta
Pohaji." "Kan sudah kukatakan, mungkin kau tidak
percaya. Tapi ini kenyataan, Sangkala. Sekarang ini Rangga berada di salah satu
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
desa di dekat Rimba Tengkorak. Tidak terlalu jauh jaraknya dari sini, bukan..."
Bisa saja Pandan Wangi menyelinap dan datang ke pantai untuk membunuh Pendeta
Pohaji," Mintarsih mencoba meyakinkan pemuda ini.
"Tidak ada alasan bagi Pandan Wangi untuk membunuh Paman Pendeta, Mintarsih."
"Kenapa tidak..." Apa kau sudah lupa, Sangkala"
Karena Pendeta Pohajilah, sehingga mereka tidak bisa meresmikan pernikahan.
Pendeta Pohaji tidak
mau meresmikannya, karena asal-usul Pandan Wangi tidak jelas. Dan merupakan
suatu pantangan berat bagi seorang raja bila memiliki permaisuri yang tidak
jelas asal-usulnya. Bagaimanapun juga, Pandan Wangi adalah manusia biasa.
Apalagi telah lama berkecimpung di dalam rimba persilatan. Apa saja bisa
dilakukannya untuk mendapatkan Rangga, Sangkala. Ingat cara apa pun akan
dilakukan bagi seseorang yang sudah lama berkecimpung dalam rimba persilatan."
Sangkala terdiam membisu. Kata-kata yang diurai-kan Mintarsih barusan, langsung
merasuk ke dalam relung hatinya. Memang tidak dapat dibantah lagi, setinggi apa
pun tingkat kepandaian seseorang, tetap saja manusia biasa yang terkadang bisa
khilaf dan melakukan kesalahan. Terlebih, semua orang sudah tahu kalau hubungan
asmara antara Rangga dengan Pandan Wangi bukan rahasia umum lagi. Sudah terlalu
lama mereka menjalin asmara.
Dan memang mereka tidak bakal bisa bersatu dalam satu ikatan tali perkawinan,
selama asal-usul Pandan Wangi belum jelas diketahui. Kalaupun nanti-nya
diketahui, dan ternyata Pandan Wangi bukan keturunan satria, sudah pasti ikatan
perkawinan tidak akan bisa disatukan. Hal ini memang bisa membuat seseorang
mempunyai pikiran lain. Bahkan bisa juga berbuat nekat tanpa memperhitungkan
akibatnya. Tapi, mungkinkah itu akan terjadi pada Pandan Wangi.." Hal ini yang membuat
Sangkala jadi bimbang.
"Aku..., aku tidak tahu. Aku tidak bisa...."
"Sangkala...," potong Mintarsih cepat "Pandanglah aku, Sangkala. Apakah aku
mendustaimu" Atau mengada-ada...?"
Seperti ada suatu daya tarik, Sangkala langsung menatap bola mata Mintarsih yang
indah, penuh bertaburkan bintang gemerlap. Pemuda itu tidak tahu, dan sama
sekali tidak menyadari kalau Mintarsih menggunakan aji 'Lemah Atma'. Suatu ilmu
kesaktian yang tidak berwujud, tapi pengaruhnya sangat dahsyat bagi orang yang
terkena. Apalagi orang itu memiliki kepandaian tidak begitu tinggi.
Maka akibatnya mudah sekali dirasuki ajian itu.
"Pergilah, Sangkala. Cari Pandan Wangi dan Rangga. Bunuh mereka secara halus.
Kau tidak akan dicurigai mereka," kata Mintarsih, dalam sekali nada suaranya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Sangkala.
Pandangan mata pemuda itu sudah demikian kosong, seperti tidak memiliki semangat
hidup lagi. Aji 'Lemah Atma' yang ditebarkan Mintarsih telah benar-benar merasuk tubuh
Sangkala, tanpa disadari lagi. Maka pemuda ini bagaikan kerbau yang dicucuk
hidungnya, sehingga mengikuti saja apa yang diperintah Mintarsih.
"Aku tahu, kau ahli membuat racun. Buatlah racun yang tidak berbau, dan tawar
rasanya. Racuni mereka! Kau lebih paham tentang itu dariku, Sangkala.
"Baiklah, akan kulakukan," sahut Sangkala.
"Bagus. Demi arwah gurumu, semua kata-kataku harus kau laksanakan."
Sangkala tidak berkata-kata lagi. Tubuhnya berputar dan berjalan meninggalkan
tempat pemakaman ini. Sementara Mintarsih memperhatikan dengan bibir
menyunggingkan senyuman lebar. Begitu punggung Sangkala sudah tidak terlihat
lagi, bagaikan kilat, Mintarsih melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga
dalam sekejap saja sudah lenyap bagai tertelan bumi.
*** Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan dirinya, Sangkala sudah
keluar dari gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra. Dengan menunggang kuda
tegap berwarna putih, pemuda itu menuju bagian Selatan Rimba Tengkorak. Sebuah
hutan yang jarang sekali dimasuki manusia, kalau tidak mempunyai keperluan yang
mendesak sekali.
Hutan itu memang kelihatan angker. Pepohonan-nya begitu rapat, seperti tidak ada
jarak untuk dapat dilalui. Begitu lebatnya, sehingga hutan itu kelihatan gelap.
Bahkan sinar matahari tak kuasa menembus lebatnya Rimba Tengkorak. Sementara
Sangkala sudah berbelok, menyusuri tepian Rimba Tengkorak.
Dia terus menuju ke arah Selatan, arah yang ditunjukkan oleh Mintarsih.
"Hiya...! Hiya...! Hiyaaa...!" Sangkala terus menggebah kudanya semakin kencang.
Begitu penuh perhatiannya pada perjalanan ini, sehingga tidak mengetahui kalau
ada yang memperhatikan dari tempat yang cukup tersembunyi. Mereka adalah seorang
gadis berbaju merah muda, bersenjatakan pedang di punggungnya, dan dua orang
laki-laki berusia setengah baya.
"Gusti Ayu Cempaka! Bukankah itu Sangkala, murid utama Pendeta Pohaji...?" ujar
salah seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju hijau yang dipadu
warna kuning. Gadis cantik berbaju merah muda yang memang Cempaka, hanya menggumam kecil saja.
Dia tahu kalau pemuda berbaju putih yang menunggang kuda
seperti dikejar setan itu adalah Sangkala, murid utama Pendeta Pohaji.
"Aneh...! Untuk apa dia ke Selatan...?" gumam Cempaka, seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Ini memang sangat mencurigakan, Gusti Ayu Cempaka," tegas laki-laki setengah
baya berbaju hijau itu lagi
"Paman Rakatala, ikuti dia. Jaga jangan sampai diketahui," perintah Cempaka.
"Hamba, Gusti Ayu," sahut laki-laki setengah baya berbaju hijau itu seraya
memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Paman
Rakatala segera melompat ke punggung kudanya. Lalu cepat sekali kuda coklat
berbelang putih itu digebah untuk menyusul Sangkala yang sudah jauh, dan hampir
tidak terlihat lagi. Sementara Cempaka masih terus memperhatikan dengan kening
agak berkerut dalam.
Sementara laki-laki setengah baya lainnya, yang mengenakan baju warna kuning
keemasan tetap setia menunggui di belakangnya.
"Paman Jarak Legi...." panggil Cempaka, pelan suaranya.
"Hamba, Gusti Ayu Cempaka," sahut laki-laki setengah baya berbaju kuning yang
dipanggil Paman Jarak Legi.
"Kalau tidak salah, kau pernah mengatakan bahwa Kakang Prabu Rangga sekarang ini
berada di daerah Selatan. Benar, Paman?" Cempaka ingin kepastian yang jelas.
"Benar, Gusti Ayu. Bahkan Gusti Prabu Rangga sempat memberi pesan yang harus
disampaikan pada Gusti Raden Danupaksi, melalui telik sandi
hamba, Gusti Ayu."
"Sudah kau sampaikan pesan itu, Paman?" tanya Cempaka lagi
"Sudah, Gusti Ayu. Raden Danupaksi sendiri yang menerimanya kemarin."
"Hm..., apa isi pesannya?" tanya Cempaka agak menggumam perlahan seraya
mengangguk-anggukkan kepala.
"Hanya memberitahukan kalau Gusti Prabu
Rangga hanya sebentar berada di Selatan, dan tidak sempat singgah ke Karang
Setra. Hanya itu saja, Gusti Ayu," sahut Paman Jarak Legi.
Gadis itu kembali mengarahkan pandangan ke Selatan. Tidak terlihat bayangan
Paman Rakatala yang mengikuti Sangkala, pemuda murid utama Pendeta Pohaji itu.
Kecurigaannya pada Sangkala semakin menebal. Apalagi setelah menyangkutpaut-kan
peristiwa pembunuhan itu dengan semua jawaban yang diberikannya pada Danupaksi
di ruangan khusus.
Dan sekarang, Sangkala menuju ke daerah
Selatan. Sedangkan Cempaka mendengar kalau Rangga kini berada di Selatan.
Seketika timbul berbagai macam pertanyaan dan dugaan di kepala gadis itu. Namun,
semuanya masih belum jelas. Dan Cempaka tidak ingin terlalu banyak menduga.
"Ayo, Paman. Kita harus cepat berada di Selatan sebelum mereka sampai," ajak
Cempaka. "Tapi mereka melalui jalan pintas yang terdekat, Gusti Ayu. Tidak ada jalan lain
lagi yang terdekat, selain melintasi Rimba Tengkorak," jelas Paman Jarak Legi.
"Lalu, jalan mana yang terbaik, Paman?" tanya Cempaka.
"Melewati pantai di kaki Gunung Caringin, Gusti Ayu. Tapi hamba tidak yakin bisa
sampai lebih dahulu.
Karena, itu berarti melalui jalan memutar," sahut Paman Jarak Legi.
"Kita pacu kuda tanpa berhenti, Paman."
Cempaka tidak lagi menunggu jawaban Paman Jarak Legi yang sebenarnya memiliki
pangkat panglima. Tapi dalam keadaan seperti ini, terlebih lagi mengenakan
pakaian biasa, sama sekali tidak terlihat kalau laki-laki setengah baya itu
adalah salah seorang Panglima Karang Setra.
Cempaka segera berjalan cepat menuju kudanya yang tertambat di bawah pohon.
Paman Jarak Legi mengikuti dari belakang. Tak berapa lama kemudian, terlihat dua
ekor kuda berbacu cepat meninggalkan tempat itu, diikuti tiga penunggang kuda
lainnya. Ketiga penunggang kuda yang mengikuti Cempaka adalah para prajurit pilihan yang
sengaja dibawa dengan mengenakan pakaian biasa.
Arah yang dituju, jelas kaki Gunung Caringin.
Sebuah gunung yang tidak begitu tinggi, dan terletak di tepi pantai. Jaraknya
memang tidak begitu jauh lagi. Sehingga dalam waktu tidak berapa lama saja,
mereka sudah berada di pantai kaki Gunung Caringin.
Mereka terus berpacu cepat menyusuri pantai yang menuju ke arah Selatan.
*** Seharian penuh, Cempaka, Paman Jarak Legi, dan tiga orang prajurit yang
mengenakan pakaian biasa menunggang kuda dengan kecepatan tinggi. Sekejap pun
mereka tidak berhenti untuk beristirahat Begitu matahari benar-benar tenggelam
di belahan Barat,
baru mereka menghentikan lari kudanya. Tiga orang prajurit segera membuat api,
tanpa diperintah lagi Sedangkan Cempaka memandang ke arah Selatan yang masih
harus ditempuh sehari perjalanan lagi.
"Paman, kau mendengar sesuatu?" tanya
Cempaka seraya berpaling pada Paman Jarak Legi yang berdiri di sampingnya.
"Seperti suara pertempuran, Gusti Ayu," sahut Paman Jarak Legi.
"Benar. Dan tampaknya, tidak terlalu jauh," agak bergumam suara Cempaka.
"Apa tidak sebaiknya kita lihat, Gusti Ayu?" saran Paman Jarak Legi.
"Kau suruh mereka tetap tinggal di sini, Paman."
"Hamba, Gusti Ayu..."
Sebelum Paman Jarak Legi menyelesaikan kata-katanya, Cempaka sudah melompat
cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Paman Jarak Legi segera
memerintahkan tiga prajurit yang ikut untuk tetap tinggal di tempat ini.
Kemudian, dia segera melesat cepat mengikuti Cempaka yang sudah melesat jauh.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Paman Jarak Legi memang lebih tinggi
dibandingkan Cempaka.
Sehingga, dia tidak mendapatkan kesulitan menyusul gadis itu. Sementara suara
pertarungan yang terdengar semakin jelas dan dekat sekali.
Hingga sampai di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas, Cempaka
menghentikan larinya.
Di padang rumput itu, terlihat dua orang tengah bertarung sengit. Hampir saja
Cempaka terpekik begitu mengenali salah seorang di antaranya.
"Kakang Rangga...," desis Cempaka.
"Gusti Ayu, bukankah itu..." suara Paman Jarak
Legi terputus. Mereka tidak bisa berbuat apa apa, dan hanya bisa menyaksikan pertarungan itu.
Jarak mereka tidak terlalu jauh, namun cukup aman dari kemungkinan terkena
pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi.
Sementara pertarungan rupanya sudah hampir berakhir. Tampak pemuda berbaju rompi
putih yang memang Rangga, sudah berada di atas angin.
Beberapa kali pukulan dan tendangannya bersarang di tubuh lawan. Dia adalah
seorang wanita berbaju biru. Rambutnya yang panjang, teriap sehingga menutupi
wajahnya. Sukar bagi Cempaka untuk mengenali lawan Pendekar Rajawali Sakti,
karena pertarungan berjalan cepat. Dan lagi, wajah wanita itu hampir seluruhnya
tertutup rambut hitam yang panjang meriap.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja wanita berbaju biru itu melesat ke belakang, lalu langsung
melompat kabur.
"Hei! Jangan lari kau...!"
"'Kakang...!"
Cempaka cepat-cepat berteriak, begitu melihat Rangga hampir saja melompat
mengejar lawannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak jadi mengejar.
Wajahnya berpaling, dan terkejut bukan main begitu melihat Cempaka dan Paman
Jarak Legi berada di tempat ini
Cempaka bergegas berlari kecil menghampiri.
"Cempaka..., apa yang kau lakukan di sini?"
Rangga langsung bertanya, begitu Cempaka berada dekat di depannya.
Sementara Paman Jarak Legi tetap menunggu pada jarak yang cukup jauh juga.
Rangga sempat melirik pada panglima itu. Maka Paman Jarak Legi segera memberi sembah dengan
membungkukkan badan sedikit, dan merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Kenapa kau berada di sini, Cempaka?" tanya Rangga lagi.
"Aku mencarimu, Kakang," sahut Cempaka.
"Untuk apa?" tanya Rangga lagi.
"Ada sesuatu yang harus kusampaikan padamu.
Penting...."
Rangga mengajak adik tirinya untuk mendekati Paman Jarak Legi. Sekali lagi,
laki-laki setengah baya itu membungkuk memberi hormat Rangga menepuk pundak
Paman Jarak Legi dengan sikap penuh persaudaraan.
"Ceritakan, kenapa kau sampai berada di tempat ini?" pinta Rangga mendesak.
"Ceritanya cukup panjang, Kakang."
"Ceritakan saja."
"Baiklah. Tapi, sebaiknya jangan di sini." Mereka kemudian berjalan meninggalkan
padang rumput kecil itu. Sambil berjalan, Cempaka mulai bercerita.
Dari ditemukannya mayat Pendeta Pohaji yang buntung kepalanya, hingga berada di
tempat ini *** 4 Sampai lewat tengah malam, Cempaka menceritakan keadaan di Karang Setra setelah
kematian Pendeta Pohaji. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian. Sedikit
pun Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyelak, sampai Cempaka menyelesaikan
ceritanya. Rangga masih saja diam sambil menundukkan kepala, meskipun Cempaka
telah menyelesaikan ceritanya.
Cukup lama juga Pendekar Rajawali Sakti diam sambil tertunduk. Sementara Cempaka
hanya memperhatikan saja, tanpa berani menegur. Gadis itu bisa merasakan, apa
yang sedang dirasakan pemuda berbaju rompi putih ini. Memang merupakan satu
pukulan berat bagi Rangga, karena Pendeta Pohaji sudah dianggap seperti orang
tua sendiri. Segala permasalahan selalu diceritakan pada pendeta tua itu, setiap
kali Rangga berada di Karang Setra. Dan memang, Pendeta Pohaji merupakan panutan
semua orang di Kerajaan Karang Setra. Bukan saja sikapnya yang selalu lembut dan
bersahaja, tapi segala tindakannya selalu adil dan bijaksana sekali.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang-panjang.
Kepalanya diangkat, menatap bulan yang saat itu tengah bersinar penuh. Cahayanya
yang keemasan, menyinari wajah mendung Pendekar Rajawali Sakti.
Begitu jelas terlihat, sampai-sampai Cempaka sendiri tidak sanggup memandangi
wajah yang terselimut kabut duka itu.
"Apa sudah dicari kepala Pendeta Pohaji di sekitar pantai itu, Cempaka?" tanya
Rangga pelan. Begitu pelannya, hampir tidak terdengar.
"Sudah," sahut Cempaka. "Bahkan beberapa nelayan ikut mencari sampai ke dasar
laut, tapi tidak ditemukan juga."
Kembali Rangga menghembuskan napas panjang, kemudian bangkit berdiri sambil
memandang lurus ke depan. Hutan ini memang tidak terlalu lebat, sehingga sinar
bulan yang memancar dapat menerangi sekitarnya. Apalagi malam ini tak ada awan
sedikit pun mengantung di langit Namun, udara malam ini terasa panas sekali.
"Tidurlah, Cempaka. Besok, pagi-pagi sekali kita menjemput Pandan Wangi. Setelah
itu baru kembali ke Karang Setra," kata Rangga tanpa membalikkan tubuhnya.
"Di mana Pandan Wangi, Kakang?" tanya
Cempaka baru teringat Pandan Wangi.
"Di Desa Batu Ceper. Tidak jauh dari sini," sahut Rangga.
Cempaka memandangi kakak tirinya yang berjalan perlahan-lahan, menjauhi tempat
bermalam ini. Sebentar gadis itu melirik Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit yang duduk
melingkari api unggun.
Kemudian kakinya terayun perlahan mengikuti pemuda berbaju rompi putih itu.
Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata, dan semakin jauh meninggalkan tempat
bermalam para prajurit yang ikut serta bersama Cempaka. Mereka baru berhenti
Pendekar Rajawali Sakti 53 Jaringan Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah tiba di tempat yang cukup tinggi. Dari sini, mereka bisa memandangi
balik punggung gunung kecil yang berhubungan langsung dengan pantai. Memang
kelihatan dekat, tapi
membutuhkan waktu satu hari untuk mencapai tempat itu. Di sanalah Pendeta Pohaji
ditemukan tewas terbunuh dengan kepala buntung.
"Kakang...," panggil Cempaka.
"Kenapa kau mengikutiku, Cempaka?" tanya Rangga tanpa berpaling.
Cempaka mendekati kakak tirinya ini, lalu berdiri di samping kanannya. Gadis itu
juga mengarahkan pandangan ke arah yang sama dengan Rangga. Mata mereka menatap
lautan yang tampak menghitam, dipenuhi pernik cahaya, bagai bertarburkan ribuan
mutiara. Namun keindahan itu sama sekali tak dapat dinikmati karena terasa
suram, akibat tewasnya Pendeta Pohaji.
"Aku tahu, kau merasa sangat kehilangan, Kakang.
Aku juga.... Tapi aku mencoba untuk menyadari kenyataan ini," kata Cempaka
perlahan. Rangga menolehkan kepalanya, lalu meraih pundak gadis itu. Sebentar kemudian
dibawanya ke dalam pelukan. Cempaka jadi manja, langsung merebahkan kepalanya di
dada bidang pemuda ini.
Tangannya dilingkarkan, memeluk pinggang Rangga.
Tidak banyak kesempatan baginya untuk bermanja-manja. Tapi pada keadaan seperti
ini, apakah pantas bermanja-manja..." Tidak...! Cempaka segera melepaskan
pelukannya. Disingkirkannya tangan Rangga dari pundaknya. Gadis itu kemudian
menggeser kakinya agak menjauh.
"Kita akan mencari pembunuh itu bersama-sama, Kakang. Dan menjatuhkan hukuman
seberat-beratnya," tegas Cempaka lagi.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja, namun terasa masam sekali. Cempaka tahu,
kalau Rangga sedang bergulat dengan batinnya sendiri. Pendekar
Rajawali Sakti seperti mempertahankan kesabaran dan ketabahan, yang mungkin saja
tidak dapat terbendung lagi. Namun pemuda berbaju rompi putih itu masih mampu
bertahan, dan memperlihatkan ketabahannya di depan gadis ini.
"Ap..."
Baru saja Cempaka akan membuka mulut, mendadak saja....
"Aaa...!"
"Heh..."!"
Rangga dan Cempaka tersentak kaget begitu tiba-tiba terdengar jeritan panjang
melengking tinggi.
Sebentar mereka saling berpandangan. Jeritan itu demikian jelas, dan datang dari
tempat peristirahatan Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit
"Paman Jarak Legi...," desis Rangga tertahan.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, masuk kembali ke dalam
hutan. Cempaka tidak mau ketinggalan. Dengan mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya, gadis itu berlompatan mengejar kakak tirinya.
*** "Keparat..!" desis Rangga menggeram.
Hampir Pendekar Rajawali Sakti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Belum lama meninggalkan tempat ini, tiga orang prajurit tampak telah tergeletak
berlumuran darah. Rangga langsung memeriksa tubuh ketiga prajurit itu. Tak ada
seorang pun yang hidup. Mereka semua tewas dengan dada terbelah lebar. Darah
terus mengucur dari dada mereka.
Saat itu Cempaka muncul, dan langsung terpekik
kecil menyaksikan ketiga prajurit yang dibawanya sudah tergeletak tak bernyawa,
disertai lumuran darah. Bergegas gadis itu menghampiri Rangga yang sedang
memandangi tiga mayat di depannya.
"Paman Jarak Legi.... Di mana dia..."!" sentak Rangga begitu teringat Paman
Jarak Legi yang tidak kelihatan di tempat ini.
Pada saat itu, terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari arah Timur.
Rangga cepat melesat menuju ke arah jeritan itu. Cempaka bergegas mengikuti,
mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Meskipun seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan, tapi
tetap saja tidak dapat mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu tertinggal
jauh, sementara Rangga sudah lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
"Paman...!" pekik Rangga tertahan Di depan Pendekar Rajawali Sakti tampak Paman
Jarak Legi tergeletak dengan dada terbelah berlumur darah.
Bergegas Rangga menghampiri, lalu mengangkat tubuh laki-laki setengah baya itu
Kemudian diletak-kannya kepala Paman Jarak Legi di pangkuannya.
Bibir Paman Jarak Legi bergerak gerak, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
"Paman.... Siapa yang melakukan ini?" tanya Rangga.
Pada saat itu, Cempaka datang. Gadis itu segera menghampiri Rangga, dan berlutut
di depannya. Paman Jarak Legi melirik Cempaka sebentar
"Gusti..., Mintarsih... Akh...!"
"Paman...!"
Rangga mengguncang guncang tubuh laki-laki separuh baya itu. Tapi, laki-laki itu
tetap diam dengan kepala terkulai. Darah semakin banyak mengucur dari
dada dan mulutnya. Perlahan-lahan Rangga meletakkan tubuh yang sudah tidak
bernyawa lagi ke tanah.
Dipandanginya mayat itu sebentar, lalu beralih pada Cempaka.
"Siapa itu Mintarsih, Kakang?" tanya Cempaka.
Rangga tidak segera menjawab. Dihempaskan tubuhnya, duduk dengan lemas. Sinar
matanya begitu kosong, memandangi tubuh setengah baya yang sudah tidak bernyawa
lagi. Tidak lama Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan Paman Jarak Legi dan tiga
orang prajurit, namun sekarang mereka sudah tiada. Hanya dalam waktu sebentar
saja! "Mintarsih...," desis Rangga agak menggeram.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi Cempaka.
Disadari kalau ada seseorang yang selalu mem-bayanginya, sehingga membantai
orang orang yang dekat dengannya. Paman Jarak Legi dan tiga orang prajurit
pilihan tewas begitu cepat, tanpa dapat dicegah lagi. Siapa pun orangnya, tentu
memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
"Kakang...," pelan suara Cempaka.
Gadis itu menghampiri, namun agak takut-takut.
Belum pernah dia melihat Rangga menahan amarah begitu besar, sampai seluruh
wajahnya memerah.
Bahkan urat-urat di seluruh tubuhnya bersembulan ke luar.
"Orang itu pasti yang membunuh Pendeta
Pohaji...," desis Rangga, dingin menggetarkan.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Cempaka.
Rangga menatap Cempaka dalam-dalam.
Dipegangnya pundak gadis itu. Agak risih juga Cempaka, mendapatkan tatapan
begitu dalam, menusuk tajam bola matanya.
"Cempaka, pulanglah lebih dahulu sekarang juga.
Aku akan segera menyusul setelah menjemput Pandan Wangi," ujar Rangga.
"Malam-malam begini...?" Cempaka ingin menolak.
Saat itu malam memang masih begitu larut Rangga seakan-akan baru menyadari,
kalau tidak mungkin melepaskan Cempaka sendirian kembali ke Karang Setra malam-
malam begini. Kepala Pendekar Rajawali Sakti terdongak, seraya menghembuskan
napas panjang. "Kuda Dewa Bayu akan mengantarkanmu,
Cempaka," kata Rangga setelah cukup lama berpikir.
"Dewa Bayu..." O..., tidak.... Jangan paksa aku menunggang kudamu, Kakang,"
tolak Cempaka. Tidak pernah Cempaka memimpikan menunggang Dewa Bayu. Gadis itu tahu kalau kuda
hitam milik kakak tirinya ini bukanlah kuda sembarangan.
Kecepatan larinya seperti angin saja. Tidak ada seekor kuda pun di dunia ini
yang bisa menandingi-nya. Cempaka memang pernah sekali menunggang kuda itu. Dan
gadis itu sudah bersumpah, tidak akan mengulanginya lagi.
"Kau harus kembali ke Karang Setra sekarang juga, Cempaka," desak Rangga.
"Tapi tidak dengan Dewa Bayu. Aku tidak ingin mati di atas punggung kudamu,
Kakang," Cempaka tetap menolak.
"Hanya Dewa Bayu yang bisa mengantarkanmu pulang dengan selamat."
"Aku lebih memilih bersamamu, daripada harus menunggang kuda itu. Aku tidak mau
dipaksa, Kakang. Lebih baik pulang sendiri daripada harus menunggang kuda itu.
Sekali kukatakan tidak, tetap tidak...!" tegas Cempaka.
Rangga tidak bisa lagi mendesak. Kepalanya yang
tidak gatal digaruk-garuk. Memang Cempaka tidak mungkin dipaksa untuk pulang bersama Dewa Bayu.
Jangankan Cempaka, Pandan Wangi yang selalu bersamanya saja, sampai sekarang
tidak pernah sudi menunggang kuda itu lagi. Meskipun Dewa Bayu sendiri,
sebenarnya begitu jinak.
"Baiklah, kau ikut aku ke Desa Batu Ceper. Kita jemput Pandan Wangi sekarang,
lalu terus ke Karang Setra malam ini juga," Rangga akhirnya menyerah juga.
"Itu lebih baik, Kakang," sambut Cempaka senang.
Rangga memandangi mayat Paman Jarak Legi.
"Kita kuburkan dulu, Kakang," kata Cempaka, seakan-akan bisa membaca jalan
pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Tentu. Aku tidak ingin mereka jadi santapan binatang hutan."
*** Pandan Wangi terkejut bukan main ketika melihat Rangga datang bersama Cempaka,
dan langsung memberondong dengan segudang pertanyaan. Tentu saja Rangga tidak
dapat menjawab semua pertanyaan itu. Sedangkan Cempaka hanya tersenyum-senyum
saja. Di dalam kamar penginapan ini, hanya mereka bertiga saja yang ada di
dalam. Sebuah rumah penginapan yang hanya ada satu-satunya di Desa Batu Ceper.
"Cempaka, ada persoalan apa di Karang Setra?"
tanya Pandan Wangi mengalihkan perhatian pada Cempaka, karena Rangga tidak
menjawab satu pun pertanyaannya.
"Hanya kesulitan kecil saja," sahut Cempaka
seraya melirik Rangga.
"Benar begitu, Kakang?" Pandan Wangi meminta penjelasan pada Rangga.
"Aku tidak tahu, tapi tampaknya cukup gawat juga," sahut Rangga.
"Maksudmu?"
"Paman Pendeta Pohaji tewas," Cempaka yang menyahuti.
"Maksudmu..., dibunuh...?" Pandan Wangi ingin ketegasan.
"Benar. Tapi, pembunuhnya belum ketahuan,"
sahut Cempaka lagi.
"Bagaimana mungkin bisa terjadi...?"
Pandan Wangi tidak percaya kalau Pendeta Pohaji bisa tewas terbunuh. Dia tahu
betul, siapa Pendeta Pohaji itu. Dia seorang yang bijaksana, dan menjadi panutan
di Kerajaan Karang Setra. Ilmu-ilmunya juga tergolong sangat tinggi, dan sukar
dicari tandingan-nya. Rasanya sulit dipercaya kalau pendeta itu bisa terbunuh.
Tapi, itulah kenyataannya. Sehingga, Cempaka sekarang harus berada di desa yang
cukup jauh dari pusat Kerajaan Karang Setra.
"Kakang, coba ceritakan. Bagaimana itu bisa terjadi?" pinta Pandan Wangi.
"Aku sendiri belum tahu jelas persoalannya, Pandan. Mungkin kalau kita sudah
sampai di kota, semuanya baru bisa diketahui," sahut Rangga.
"Semua orang di kota juga tidak ada yang tahu persis kejadiannya. Bahkan semua
murid Paman Pendeta Pohaji tidak ada yang tahu peristiwanya,"
selak Cempaka. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Cempaka?" tanya Pandan Wangi yang masih penasaran.
"Aku sendiri belum pasti, Kak Pandan. Sejak ke-
matian Paman Pendeta Pohaji, tingkah laku dan sikap Sangkala begitu aneh. Bahkan
sekarang ini dia sedang menuju Selatan. Tapi aku sudah meminta Paman Rakatala
untuk terus membuntuti," jelas Cempaka.
"Mau apa dia ke Selatan?" tanya Rangga seperti untuk dirinya sendiri.
"Itulah yang sampai saat ini aku tidak tahu, Kakang," sahut Cempaka, agak
mendesah. "Ini mencurigakan juga, Kakang," timpal Pandan Wangi, juga dengan suara setengah
menggumam. Rangga jadi terdiam merenung. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati
jendela, dan berdiri mematung di depan jendela yang terbuka lebar.
Matanya memandangi sang rembulan, yang pada malam ini bersinar penuh. Sedangkan
Pandan Wangi dan Cempaka hanya dapat memandangi saja. Mereka juga terdiam, dan
beberapa kali saling melempar pandang.
Cukup lama juga Rangga berdiam diri mematung di depan jendela. Entah apa yang
ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan tubuhnya diputar
sambil menghembuskan napas panjang.
Beberapa saat dipandanginya Cempaka dan Pandan Wangi yang duduk bersisian di
tepi pembaringan.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian menghempaskan diri di kursi, dekat jendela.
"Cempaka, apa ada sesuatu yang aneh
belakangan ini pada diri Pendeta Pohaji?" tanya Rangga, setelah cukup lama
berdiam diri. "Rasanya tidak ada yang aneh, Kakang. Sikap Paman Pendeta Pohaji biasa biasa
saja. Tidak ada yang aneh pada dirinya sebelum meninggal," sahut Cempaka sambil
mengingat-ingat sikap Pendeta
Pohaji belakangan ini, sebelum ditemukan tewas dengan kepala hilang entah ke
mana. "Kakang, apakah Paman Pendeta Pohaji pernah cerita padamu, kalau punya musuh?"
tanya Pandan Wangi.
"Tidak. Dia tidak pernah menceritakan apa pun tentang dirinya. Aku tidak pernah
tahu, apakah dia punya musuh atau tidak. Bahkan latar belakang kehidupannya
saja, aku tidak tahu," sahut Rangga.
"Sulit... Kita berada di jalan yang buntu," gumam Pandan Wangi seraya
menggelengkan kepala.
"Aku rasa tidak," selak Cempaka.
"Maksudmu, Cempaka...?" tanya Rangga.
"Aku yakin, Sangkala tahu semua peristiwa ini,"
tenang sekali nada suara Cempaka, tapi mengandung kesungguhan yang mendalam.
"Jangan terlalu cepat berprasangka, Cempaka,"
Rangga memperingatkan adik tirinya.
"Aku tidak berprasangka buruk sedikit pun pada Sangkala. Tapi kelakuannya begitu
mencurigakan, Kakang. Malah dia langsung menuju Selatan setelah gurunya
meninggal. Untuk apa dia ke sana kalau tidak punya satu tujuan yang pasti,"
Cempaka menguraikan kecurigaannya pada Sangkala, murid tersayang Pendeta Pohaji.
"Sudahlah, Cempaka. Simpan dulu rasa curiga dan segala macam dugaanmu pada
Sangkala. Mungkin dia punya maksud lain, atau juga untuk melupakan
kepahitannya," Rangga mencoba menyangkal.
"Aku merasa yakin, Kakang. Sangkala pasti tahu orang yang membunuh gurunya. Dia
pasti mengejar orang itu, Kakang," Cempaka tetap pada pendiriannya.
"Kau punya dasar yang tepat, Cempaka?" tanya
Rangga, menguji prasangka adik tirinya ini.
"Dari sikapnya," sahut Cempaka, singkat
"Sikap belum sepenuhnya menjamin, Cempaka."
"Naluriku yang mengatakannya, Kakang. Dan biasanya, naluriku tidak pernah salah.
Aku juga merasa kalau dia sumber dari segalanya, Kakang."
Rangga tidak ingin berdebat lebih panjang lagi dengan gadis ini. Dia tahu,
Cempaka tidak pernah suka mengalah sedikit pun. Gadis itu akan tetap kokoh pada
pendiriannya, meskipun apa yang diucapkan seperti tidak memiliki dasar dan bukti
yang kuat. Tapi Rangga memang mengakui, Cempaka seperti memiliki indra keenam.
Dan biasanya memang begitu. Kalau Cempaka sudah mengatakan nalurinya yang
Rahasia Pedang Emas 3 Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Bocah Titisan Iblis 1