Memperebutkan Bunga Wijaya 3
Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma Bagian 3
Tapi, Rangga masih tetap kelihatan tenang.
"Kenapa kalian begitu terkejut mendengarnya..."
Bukankah kalian juga datang ke sini untuknya?"
masih terdengar tenang nada suara Rangga.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang kami?" tanya Randini, agak dalam nada suaranya.
"Nyai Karti sendiri yang mengatakannya. Itulah sebabnya, aku cepat datang ke
sini, meskipun sebenarnya enggan. Aku juga masih ada urusan lain yang lebih
penting. Tapi mengingat keadaan Nyai Karti yang semakin kelihatan parah, aku
tidak bisa mengenyampingkan begitu saja. Terserah anggapan kalian padaku. Yang
penting, pesan untuk kalian akan kusampaikan. Hanya itu yang kubawa dari Nyai
Karti," tutur Rangga. "Apa pesannya?" tanya Randini lagi.
"Kalian diminta pulang segera, dan melupakan semuanya. Hanya itu yang bisa
kusampaikan," sahut Rangga.
Randita dan Randini saling berpandangan,
kemudian kembali menatap tajam-tajam ke arah Rangga. Sepertinya kedua gadis
kembar ini belum bisa percaya penuh pada kata-kata yang diucapkan Pendekar
Rajawali Sakti barusan. Padahal mereka tahu dan sering mendengar nama dan sepak
terjang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan rimba persilatan di
setiap kemunculannya.
"Apa lagi yang kau ketahui?" tanya Randita, seolah-olah menyelidik.
Rangga tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan menyandarkan
punggung ke pohon. Matanya menerawang jauh ke depan,
melewati bahu kedua gadis kembar di depannya ini.
"Kalian sudah dapatkan bunga itu?" Rangga malah
balik bertanya.
"Belum," sahut Randita.
"Kelihatannya penyakit ibu kalian memang tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan
Bunga Wijayakusuma Merah. Tapi, aku tidak yakin kalian bisa memperolehnya dari
puncak gunung ini. Yang kutahu, bunga itu hanya ada satu kali dalam seratus
tahun, dan pohonnya juga tidak ada di sini," kata Rangga lagi.
"Memang pohonnya tidak ada di sini. Tapi, Bunga Wijayakusuma Merah ada di sini.
Aria Kandaka-lah yang memilikinya," jelas Randita.
"Ketua Padepokan Gunung Lawu...?"
"Benar."
"Kalau memang dia yang memiliki, kenapa tidak bicara saja terus terang" Aku
yakin, Aria Kandaka bersedia memberikannya. Aku kenal baik dengannya.
Dia orang yang sangat bijaksana. Bahkan selalu memperhatikan kepentingan orang
lain, daripada dirinya sendiri," kata Rangga lagi.
"Kau pikir mudah memintanya begitu saja...?"
agak sinis nada suara Randita.
"Kenapa tidak...?"
"Karena bunga itu, ibu kami harus menderita kelumpuhan bertahun-tahun. Beliau
kalah bertarung dalam memperebutkan Bunga Wijayakusuma Merah.
Bukan hanya Aria Kandaka, tapi juga oleh tokoh-tokoh persilatan lain yang saat
ini berkumpul di puncak Gunung Lawu ini," masih terdengar ketus nada suara
Randita. "Hm...," Rangga menggumam perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Pendekar Rajawali Sakti memang baru tahu kalau itulah persoalannya. Dan
tampaknya memang tidak
mudah bagi kedua gadis ini untuk bisa mendapatkan Bunga Wijayakusuma Merah yang
sangat diperlukan untuk menyembuhkan penyakit kelumpuhan yang diderita ibu
mereka selama beberapa tahun ini.
Sedangkan yang diketahuinya, bunga itu hanya dapat digunakan satu kali. Namun
bunga itu begitu banyak kegunaannya, sehingga tidak heran jika banyak tokoh
persilatan memperebutkannya. Dan tentu saja mereka menginginkan untuk tujuan
masing-masing. "Kanjeng ibu terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat beracun. Masih
untung tidak tewas, dan hanya menderita kelumpuhan saja. Dan hanya bunga itu
sendiri yang dapat menyembuh-kannya," jelas Randita.
"Kalian memang harus mendapatkan sebelum
orang lain memilikinya. Aku akan bicara pada Aria Kandaka," tegas Rangga.
"Percuma saja bicara padanya," dengus Randini.
"Kenapa...?"
"Bunga itu sudah hilang. Itu pengakuan dari Aria Kandaka sendiri," sahut
Randini. "Oh..., benarkah...?"
Rangga terkejut bukan main mendengar Bunga Wijayakusuma Merah sudah hilang, dan
tidak berada lagi di tangan Aria Kandaka. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi
berkerut. Langsung dirasakan kalau persoalannya berkembang semakin sulit,
sebelum dirinya masuk dalam kemelut ini.
"Sebaiknya kalian pulang saja. Ada adikku di sana," ujar Rangga.
"Adikmu..." Siapa?" tanya Randita.
"Pandan Wangi. Aku menyuruhnya menunggu ibu kalian. Tidak baik meninggalkan
orang tua dalam keadaan tidak berdaya seorang diri di dalam gua,"
kata Rangga lagi.
"Tapi kami tidak bisa pulang tanpa membawa bunga itu," tolak Randini tegas.
"Nyai Karti tidak mengharapkan kalian mendapatkannya. Beliau malah memikirkan
keselamatan kalian berdua. Sebaiknya, segeralah pulang. Aku akan membawa bunga
itu untuk kalian. Percayalah. Aku akan berusaha mendapatkannya untuk kalian,"
Rangga mencoba meyakinkan.
"Bagaimana, Randita...?" tanya Randini meminta pendapat saudara kembarnya.
Randita hanya mengangkat bahu saja. "Baiklah.
Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Randini.
"Panggil saja aku Rangga." Kedua gadis kembar itu hanya tersenyum saja.
Sesaat kemudian mereka berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing. Dewi
Kembar dari Utara menuruni puncak Gunung Lawu ini, sedangkan Rangga sendiri
terus menuju Padepokan Gunung Lawu yang berada di tengah-tengah puncak gunung
yang selalu terselimut kabut ini.
Tapi, benarkah Randita dan Randini benar-benar kembali ke Bukit Utara seperti
yang diminta Pendekar Rajawali Sakti..." Kedua gadis itu memang tidak terus
melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di lereng Gunung Lawu ini, dan
beristirahat di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan rindang untuk menaungi
diri dari sengatan sinar matahari.
"Kita akan kembali ke sana diam-diam, Randini,"
kata Randita perlahan.
"Untuk apa?" tanya Randini.
"Aku ingin membawa bunga itu untuk Kanjeng Ibu dengan tanganku sendiri," sahut
Randita bertekad.
"Kau tidak percaya pada Pendekar Rajawali Sakti, Randita...?"
"Aku percaya. Justru kedatangannya memberi kesempatan pada kita, Randini. Kau
pasti bisa mengerti jalan pikiranku "
Randini terdiam dan mengangguk-anggukkan
kepala. Memang bukan hanya wajah dan bentuk tubuh mereka saja yang sama persis.
Bahkan jalan pikiran mereka juga selalu sama. Meskipun terkadang ada
perselisihan pendapat Tapi, selalu saja mereka mempunyai jalan kesepakatan
bersama, yang tentu saja tidak dimiliki orang lain. Mereka seperti memiliki satu
jiwa dalam tubuh kembar masing-masing.
"Malam nanti, kita mulai bergerak," desis Randita memantapkan rencananya.
"Ya...," sahut Randini mendesah.
*** Sementara itu Rangga sudah sampai di
Padepokan Gunung Lawu. Pendekar Rajawali Sakti jadi agak ragu-ragu, melihat
padepokan itu tampak ramai seperti sedang mengadakan perayaan. Tapi, dia cepat
ingat kalau kemarin adalah peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung
Lawu. Dan mungkin, sampai hari ini perayaan itu belum juga berakhir.
Perlahan Rangga mengayunkan kaki memasuki gerbang padepokan itu. Dua orang murid
berpakaian seragam merah memperhatikan saja, tanpa menegur sama sekali. Memang
sampai hari ini, semua orang diberi kebebasan untuk memasuki lingkungan
padepokan. Rangga menghentikan ayunan kaki
sebelum jauh melewati pintu gerbang. Dari sini panggung berukuran besar yang
berdiri di tengah-tengah halaman sudah bisa terlihat. Di atas panggung itu
tampak sedang berlaga dua orang tokoh persilatan. Rangga berbalik menghampiri
dua orang murid Padepokan Gunung Lawu yang bertugas jaga di gerbang ini.
"Maaf. Boleh aku bertanya sedikit...?" ucap Rangga sopan.
"Silakan," sahut salah seorang yang masih berusia muda, juga dengan suara dan
sikap ramah. "Boleh bertemu Paman Aria Kandaka?" ujar
Rangga masih dengan sikap sopan.
"Kisanak siapa?" pemuda itu kembali bertanya.
"Aku Rangga, sahabat Paman Aria Kandaka. Beliau mungkin sedang menunggu
kedatanganku," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Kisanak punya undangan?" tanya murid
Padepokan Gunung Lawu itu lagi.
"Ada. Tapi aku ada keperluan yang lebih penting lagi dengannya."
Dua orang anak muda murid Padepokan Gunung Lawu itu berbisik-bisik sebentar.
Mereka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dari ujung rambut hingga ke ujung
kaki. "Sebentar," ujar salah seorang.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
Pemuda yang mengenakan seragam warna merah itu bergegas melangkah meninggalkan
pos jaganya. Sedangkan Rangga hanya menunggu saja. Pandangannya dilayangkan ke arah panggung.
Tampak pertarungan sudah berhenti di atas panggung. Tapi, kemudian disusul
berlompatannya satu orang yang langsung menantang pemenang dari pertarungan
tadi. Kembali sorak sorai terdengar bergemuruh dari para penonton yang kebanyakan
adalah penduduk desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini. Dan di atas panggung,
sudah kembali terjadi pertarungan adu kekuatan dan kesaktian dari tokoh-tokoh
persilatan yang diundang Ketua Padepokan Gunung Lawu.
Rangga mengalihkan perhatiannya, ketika melihat pemuda yang tadi menjaga gerbang
ini datang kembali diikuti seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun.
Wanita itu mengenakan baju yang cukup ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang
ramping dan padat. Meskipun umurnya sudah berkepala empat, tapi masih kelihatan
cantik. "Ah! Kenapa tidak langsung masuk saja.
Rangga...?" tegur wanita yang ternyata adalah Winarti, begitu dekat di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, aku datang terlambat," ucap Rangga seraya menjura, memberi penghormatan.
"Tidak mengapa. Mari..."
Rangga melangkah mengikuti Winarti yang berjalan lebih dahulu di depan. Mereka
tidak menuju ke panggung, melainkan terus memasuki bangunan utama Padepokan
Gunung Lawu ini. Di dalam ruangan berukuran cukup besar, tampak Aria Kandaka
sudah menanti. Dia bergegas menyongsong, begitu melihat Rangga dan Winarti masuk
ke dalam ruangan ini
"Ah! Syukurlah kau datang, Rangga...," ucap Aria Kandaka seraya menyalami
Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga membalasnya dengan hangat dan penuh persahabatan. Di antara mereka memang
sudah terjalin suatu persahabatan. Karena Aria Kandaka
sebenarnya abdi yang setia dari Adipati Arya Permadi, orang tua kandung Pendekar
Rajawali Sakti. Aria Kandaka lalu mengasingkan diri dan pergi ke Gunung Lawu,
saat Wira Permadi menguasai Kadipaten Karang Setra.
Memang bukan hanya Aria Kandaka yang meninggalkan Kadipaten Karang Setra waktu
itu. Tapi, masih banyak para petinggi yang meninggalkah kadipaten, karena tidak
menyetujui sikap dan cara Wira Permadi menduduki kadipatenan. Dan Rangga memang
selalu mengunjungi orang-orang yang pernah mengabdi pada ayahnya, yang tersebar
di saat Karang Setra masih berupa kadipaten di bawah kekuasaan tangan besi adik
tirinya. "Maaf. Aku datang terlambat, Paman," ucap Rangga.
"Tidak mengapa, Rangga. Aku senang kau bisa hadir di sini. Malah kedatanganmu
sangat kuharapkan pada saat-saat seperti ini," kata Aria Kandaka.
"Ada sedikit halangan yang membuatku ter-
lambat," kata Rangga lagi, masih merasa tidak enak karena kedatangannya tidak
tepat pada waktunya.
"Sudahlah, Rangga. Mari duduk...." Mereka kemudian duduk melingkari meja bundar
beralaskan batu pualam putih yang licin dan berkilat Winarti menuangkan arak ke
dalam cawan dari perak.
Mereka sama-sama menenggak habis arak manis di dalam cawan itu, lalu sama-sama
memberi penghormatan melalui minuman.
"Seharusnya kami memanggilmu dengan sebutan Gusti Prabu, Rangga...," kata Aria
Kandaka. "Ini bukan istana. Dan sebaiknya, Paman dan Bibi tetap memanggilku dengan nama
saja. Biar orang lain tidak tahu, siapa aku sebenarnya," sahut Rangga
meminta. "Apa yang ada dalam dirimu, sama sekali tidak membuang sifat-sifat ayahmu," kata
Aria Kandaka mengenang.
"Mudah-mudahan nama baik beliau bisa kupertahankan," ucap Rangga.
Mereka kembali terdiam, dan sama-sama me-
nikmati arak manis yang dituangkan Winarti ke dalam cawan masing-masing. Wanita
itu juga ikut minum, untuk menghormati kedatangan tamu yang memang sudah sangat
dinantikan. "Menjadi raja tentu sangat sibuk. Banyak persoalan yang harus ditangani," kata
Aria Kandaka lagi.
"Ya.... Tapi, untunglah aku memiliki orang-orang yang dapat dipercaya, sehingga
punya banyak waktu untuk mengembara. Aku ingin melihat kehidupan yang
sebenarnya, dan punya banyak waktu untuk belajar dari alam," nada suara Rangga
terdengar merendah.
"Aku tadinya malah khawatir, undanganku tidak sampai ke tanganmu," kata Aria
Kandaka lagi. "Kebetulan waktu itu aku ada di istana, Paman.
Dan sebenarnya aku datang berdua...."
Sebenarnya Rangga tidak dari Istana Karang Setra.
Bahkan sudah lama tidak ke sana. Dan dia sendiri tidak tahu kalau ada undangan
dari Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kedatangannya ke sini juga bukan karena
undangan itu. Tapi, Rangga tidak ingin mengecewakan, dan terpaksa berbohong
sebelum sampai pada maksud yang sebenarnya.
"Berdua..." Kenapa tadi kulihat kau hanya sendiri saja, Rangga?" selak Winarti.
"Aku bersama Pandan Wangi. Tapi terpaksa dia tidak bisa ikut ke sini, " Rangga
mencoba menjelas-
kan. "Kenapa tidak diajak sekalian ke sini...?" Aria Kandaka seperti menyesalkan.
Bukan hanya Aria Kandaka yang sudah banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Tapi
hampir semua orang juga sudah tahu, Pendekar Rajawali Sakti ini punya teman
dekat yang bergelar si Kipas Maut. Meskipun kepandaian yang dimiliki berada
beberapa tingkat di bawah Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak mudah menaklukkan
gadis itu. Saat itu Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menceritakan tentang
perjalanannya yang terpaksa terhambat Saat itu hujan turun, Pendekar Rajawali
Sakti dan Pandan Wangi kebetulan sedang lewat di Bukit Utara. Mereka lalu
menemukan gua yang ternyata di dalamnya ada seorang perempuan tua dalam keadaan
lumpuh, tak mampu bergerak sedikit pun. Dan saat Rangga menyebutkan nama
perempuan tua itu, Aria Kandaka seperti tersengat ribuan kala berbisa.
"Kau kenal Nyai Karti, Paman...?" tanya Rangga sempat melihat perubahan wajah
Aria Kandaka. Aria Kandaka tidak langsung menjawab, dan hanya terdiam saja. Matanya beberapa
kali melirik Winarti yang juga diam membisu. Sedangkan Rangga memandangi mereka
secara bergantian. Dia sebenarnya sudah tahu kalau Ketua Padepokan Gunung Lawu
ini kenal perempuan tua yang bernama Nyai Karti. Tapi Rangga tidak ingin
menunjukkan kalau sudah tahu.
Bahkan ingin memastikan sendiri dari pengakuan Aria Kandaka. Tentu saja Rangga
menginginkan kejujuran Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
"Kami memang mengenalnya...," pelan sekali suara Aria Kandaka, hampir tidak
terdengar. Rangga hanya menggumam saja. Jawaban seperti inilah yang memang diharapkan.
Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengatur pembicaraan secara bertahap.
Sehingga, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tidak merasa kalau kedatangannya bukan
karena mendapat undangan, tapi karena Nyai Karti yang meminta pertolongannya.
Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** 7 Pembicaraan mereka terhenti saat matahari sudah condong ke arah Barat. Aria
Kandaka sendiri sengaja mengulur-ulur waktu, dengan mengumumkan adu ketangkasan
bisa dilanjutkan esok hari. Sehingga, tak ada lagi rasa penasaran dari para
undangan yang datang ke padepokannya ini. Tapi, tidak sedikit para undangan yang
sudah meninggalkan padepokan. Dan mereka yang pergi, merasa kalau acara adu
ketangkasan itu tidak ada gunanya. Memang ada juga yang sudah merasakan adanya
sesuatu yang tidak beres di padepokan ini, sehingga lebih memilih meninggalkan
padepokan daripada ikut terlibat dalam suatu urusan yang tidak diketahuinya.
Sehingga, yang tinggal hanya beberapa orang saja.
Dan pada malam harinya, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
Kali ini, pembicaraan sudah berkisar pada Bunga Wijayakusuma Merah yang telah
hilang dari tempat penyimpanannya. Rangga juga sudah mengatakan kalau kelumpuhan
yang diderita Nyai Karti hanya dapat disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah
itu. "Ya.... Kelumpuhan Nyai Karti memang hanya bisa disembuhkan oleh Bunga
Wijayakusuma Merah. Dia bisa lumpuh begitu, karena terkena getah Bunga
Wijayakusuma Merah yang beracun dan sukar dicari obatnya, kecuali oleh bunganya
sendiri," kata Aria Kandaka, perlahan suaranya.
"Tapi sayang sekali. Bunga itu sekarang tidak ada
lagi di sini, Rangga," selak Winarti.
"Apakah dari tamu-tamu yang hadir, mengetahui tentang bunga itu?" tanya Rangga
menyelidik. "Ya! Ada beberapa di antara mereka yang tahu.
Bahkan sudah beberapa kali berusaha merebutnya dariku. Tapi aku tidak punya
bukti untuk menuduh salah seorang dari mereka," sahut Aria Kandaka menjelaskan.
"Memang sulit..," gumam Rangga perlahan.
"Itu sebabnya, aku terpaksa menahan mereka di sini dengan mengadakan
pertandingan. Itu pun karena keinginan mereka yang ingin menjajaki tingkat
kepandaian masing-masing," sambung Aria Kandaka.
"Apa ada di antara undangan yang sudah meninggalkan padepokan ini, Paman?" tanya
Rangga lagi. "Beberapa di antaranya memang sudah. Bahkan Elang Perak, Dewi Kembar dari Utara,
dan Ki Gambang yang mengetahui tentang bunga itu juga sudah meninggalkan
padepokan ini," sahut Aria Kandaka.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Elang Perak dan Dewi Kembar
dari Utara tidak memiliki bunga itu. Sedangkan beberapa nama yang sempat
disebutkan Aria Kandaka, masih berada di padepokan ini. Kecuali, Ki Gambang yang
sudah meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini kemarin siang.
Tapi, apa mungkin Ki Gambang yang mengambil bunga itu dari tempat penyimpanan
pusaka" Atau mungkin ada orang lain yang telah menguasai, dan sekarang menunggu
waktu yang tepat untuk
membawanya pergi dari padepokan tanpa seorang pun yang mencurigainya" Dan memang
benar apa yang dikatakan Aria Kandaka tadi. Tidak ada bukti untuk menuduh atau mencurigai
salah seorang dari mereka.
"Maaf, aku tinggal dulu," ucap Winarti tiba-tiba seraya bangkit berdiri.
"Oh, ya. Silakan...," sahut Rangga juga bangkit berdiri.
Winarti menjura memberi hormat, kemudian
melangkah keluar dari ruangan ini. Rangga kembali duduk di kursinya setelah
Winarti tenggelam di balik pintu yang kembali tertutup rapat Di dalam ruangan
berukuran cukup besar ini, hanya ada Rangga dan Aria Kandaka saja. Sementara
malam terus merayap semakin larut Dan mereka terus berbicara hingga jauh malam.
"Maaf, Paman. Boleh bertanya sedikit..?" pinta Rangga menyelak pembicaraan.
"Tentu saja, Rangga," sahut Aria Kandaka mempersilakan.
"Ini menyangkut Bibi Winarti, Paman."
"Winarti..." Ada apa dengannya...?" tanya Aria Kandaka agak terkejut
"Kudengar, Bibi Winarti sedang memperdalam ilmu-ilmunya di Gua Pantai Selatan.
Kapan dia datang ke sini, Paman...?" tanya Rangga hati-hati.
"Sudah dua purnama ini," sahut Aria Kandaka.
"Kenapa kau tanyakan itu, Rangga?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja, apakah Bibi Winarti sudah menguasai
ilmu-ilmu kesaktiannya.
Aku senang kalau Bibi Winarti sudah semakin sempurna ilmu-ilmunya," kata Rangga
kalem. Aria Kandaka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dia merasa ada
sesuatu yang disembunyikan Rangga dari pertanyaannya tadi.
Sesuatu yang pasti menyangkut Winarti. Sedangkan Rangga sendiri kelihatan tenang
saja, meskipun dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Maaf, Paman. Mungkin aku salah menduga," ujar Rangga merasa tidak enak juga.
"Ada apa sebenarnya, Rangga..." Katakan saja,"
desak Aria Kandaka.
Rangga menghembuskan napas panjang, dan
terasa begitu berat sekali. Hatinya seperti berat mengatakannya, takut kalau
laki-laki separuh baya ini tersinggung.
"Belum lama ini, aku dan Pandan Wangi sempat mampir ke Gua Pantai Selatan. Di
sana, kami sempat pula berbincang-bincang dengan Bibi Winarti.
Katanya, dia masih perlu satu atau dua tahun lagi untuk menyempurnakan ilmu-
ilmunya. Dan sekarang, aku bertemu lagi di sini. Aku hanya heran saja, Paman.
Karena, belum ada satu purnama bertemu dengannya di Gua Pantai Selatan," kata
Rangga hati-hati.
"Dia sudah dua purnama tinggal di sini, dan membantuku menggembleng murid-murid
padepokan ini. Bahkan datang membawa dua orang yang dikatakan muridnya," jelas
Aria Kandaka lagi
"Murid..." Sejak kapan Bibi Winarti punya murid, Paman?" tanya Rangga agak
terkejut "Katanya, selama berada di Gua Pantai Selatan,"
sahut Aria Kandaka. "Ada apa, Rangga" Kenapa bertanya seperti itu...?"
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan
"Kuharap, kau tidak menaruh prasangka buruk pada Winarti, Rangga," agak dalam
nada suara Aria Kandaka.
Rangga hanya diam saja. Pendekar Rajawali Sakti
kemudian bangkit berdiri, dan berpamitan hendak istirahat. Aria Kandaka tidak
mencegah, dan masih tetap berada di kursinya sampai Rangga tidak terlihat lagi
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak termenung. Dipikirkannya kata-kata Rangga
yang terakhir tadi.
"Hm.... Sepertinya Rangga mencurigai Winarti Tapi, kenapa...?" Aria Kandaka jadi
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Benarkah Pendekar Rajawali Sakti mencurigai Winarti" Atau itu hanya perasaan
Aria Kandaka saja.
Tapi pembicaraannya barusan dengan Rangga, membuat hatinya jadi tidak bisa
tenteram. *** Malam terus merambat semakin larut. Tapi, Rangga belum juga dapat memicingkan
mata dalam kamar peristirahatan yang disediakan Aria Kandaka untuknya.
Entah sudah berapa kali kamar ini diputari. Dan sudah berapa kali pula dia
berada di depan jendela.
Sebentar kepalanya ditengadahkan ke atas, sebentar kemudian ditariknya napas
panjang-panjang, lalu dihembuskan kuat-kuat
Tok, tok, tok...!
Rangga berpaling ketika terdengar ketukan di pintu. Sebentar ditatapnya pintu
kamar yang tertutup rapat itu. Kemudian penahan kakinya terayun mendekati pintu.
Tapi belum juga sempat terbuka, mendadak saja pintu kamar itu sudah jebol,
disusul melesatnya sesosok tubuh hitam yang masuk ke dalam kamarnya.
"Hup!"
Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya. Dia berputaran
beberapa kali ke belakang, sebelum kakinya menjejak lantai kamar yang terbuat
dari belahan papan tebal. Dan pada saat itu, satu pukulan cepat mengandung
tenaga dalam tinggi melunak deras ke arahnya.
"Hait..!"
Rangga cepat memiringkan tubuh ke kanan,
sehingga pukulan orang berbaju serba hitam itu tidak sampai mengenai tubuhnya.
Dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diduga, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali
Sakti mengecutkan tangan kirinya. Langsung disodoknya perut orang berbaju serba
hitam itu. "Hegkh!"
Orang berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya
memegangi perut yang terkena sodokan tangan kiri Rangga. Meskipun tidak disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi sodokan itu membuat perut orang itu terasa
mengejang kaku dan mual.
"Hiyaaat..!"
Belum lagi orang berbaju serba hitam berbuat sesuatu, Rangga sudah melompat
cepat. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disusul satu
totokan jari tangan kirinya ke arah dada.
"Akh...!"
Orang berbaju serba hitam itu langsung tergeletak di lantai yang terbuat dari
belahan papan. Rangga cepat-cepat menghampiri, dan menjambret kain hitam yang
menutupi muka orang ini. Betapa terkejut hatinya, begitu kain hitam yang menutup
wajah orang itu terbuka.
Rangga cepat-cepat melompat mundur. Tapi
mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut,
karena tangan kiri orang itu masih mampu bergerak cepat Rangga tak sempat lagi
bertindak, ketika orang itu menggorok lehernya sendiri dengan pisau yang diambil
dari balik lipatan baju.
"Hey...!" sentak Rangga terkejut
Terlambat..! Leher orang itu sudah menganga tergorok pisau.
Darah mengucur deras. Kelopak matanya terbuka lebar, dan sebentar kemudian
tertutup rapat Rangga mendesah panjang. Hampir tidak dipercayai, apa yang
dilihatnya ini.
Rangga mengangkat kepala ketika Aria Kandaka muncul di ambang pintu. Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu tampak terkejut melihat sesosok tubuh berpakaian serba
hitam tergeletak tak bernyawa lagi dl depan Pendekar Rajawali Sakti. Lebih
terkejut lagi begitu mengenali orang berbaju serba hitam itu.
Seorang pemuda bertubuh tegap, dan berwajah cukup tampan. Tapi, agak terusik
oleh luka codet yang membelah pipinya.
"Kenapa dia...?" tanya Aria Kandaka seraya melangkah menghampiri Rangga.
"Dia bunuh diri setelah aku menjatuhkannya,"
sahut Rangga. "Dia menyerangmu...?" nada suara Aria Kandaka seperti tidak percaya oleh
pertanyaannya sendiri Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
Memang sukar untuk dipercaya. Ternyata pemuda dengan luka codet di pipi itu
sudah sangat dikenal di Padepokan Gunung Lawu ini. Dia adalah salah satu
pengikut Winarti, yang dikatakan sebagai muridnya.
Tapi, kenapa menyerang Pendekar Rajawali Sakti..."
Pertanyaan inilah yang mengganggu benak Aria Kandaka.
Aria Kandaka bergegas melangkah keluar tanpa berkata-kata lagi. Rangga bergegas
pula mengikuti Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Mereka terus berjalan cepat,
setengah berlari menyusuri lorong yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu
tertutup, tempat para tamu beristirahat. Tak ada satu pintu pun yang terbuka.
Mereka kini tiba di sebuah ruangan berukuran cukup hias dan terang benderang.
Setelah melintasi ruangan itu, mereka sampai di depan pintu sebuah kamar yang
juga tertutup rapat. Aria Kandaka mengetuk pintu itu kuat-kuat. Tapi, tak
terdengar jawaban sedikit pun dari dalam. Sebentar matanya melirik Rangga yang
berada tidak jauh di belakangnya. Kemudian, tiba-tiba saja kakinya bergerak
menghentak. Brak! Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal itu seketika hancur berantakan terkena
tendangan Aria Kandaka.
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu cepat menerobos masuk ke dalam. Kedua matanya
kontan terbeliak melihat keadaan kamar dalam keadaan kosong.
Rangga hanya berdiri saja di ambang pintu yang sudah hancur berantakan. Dia
tahu, kamar ini dihuni Winarti, adik perempuan satu-satunya Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu.
"Keparat..!" geram Aria Kandaka gusar.
Perlahan tubuhnya berputar memandang Rangga yang masih tetap berdiri di ambang
pintu. Rona merah tampak membias di wajahnya. Terdengar suara bergemeretak dari
geraham yang berderak menahan geram.
"Siapa sebenarnya dia, Rangga?" tanya Aria Kandaka.
"Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, wanita itu bukanlah Bibi Winarti," sahut
Rangga. Aria Kandaka bergegas berlari keluar. Kemarahannya begitu memuncak, merasa telah
tertipu mentah-mentah. Sungguh tidak disangka, kalau wanita yang selama ini
dianggap adiknya ternyata telah menipu.
Bahkan sekarang wanita itu telah pergi entah ke mana.
Rupanya kedatangan Rangga ke Padepokan
Gunung Lawu ini, membuat Winarti merasa terancam.
Maka anak buahnya diperintahkan membunuh
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu gagal, dia malah melarikan diri. Aria
Kandaka yang langsung bisa mengetahui keadaan, tidak dapat lagi menahan
kemarahannya. Terlebih lagi, sebelumnya Rangga memang sudah mencurigai wanita
itu. Karena, sebelum sampai di Padepokan Gunung Lawu ini, terlebih dahulu
Pendekar Rajawali Sakti bertemu Winarti yang asli di Gua Pantai Selatan.
Sementara itu Aria Kandaka sudah berada di luar ruang utama padepokannya ini.
Rangga masih tetap mengikuti dari belakang. Mereka terus bergerak cepat menuju
gua tempat penyimpanan senjata pusaka Padepokan Gunung Lawu. Tapi baru saja
sampai di mulut gua, mendadak saja....
*** "Paman, awas...!" seru Rangga tiba-tiba.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Rangga melesat cepat begitu melihat secercah cahaya keperakan
meluncur deras ke arah Aria Kandaka. Pada saat yang bersamaan, Aria Kandaka
menjatuhkan diri ke tanah, dan ber-
gulingan beberapa kali. Sementara, Rangga mengebutkan tangan kanan untuk
menyampok sinar keperakan yang meluncur cepat bagaikan kilat itu.
"Akh...!" Rangga terpekik agak tertahan.
Cepat-cepat tubuhnya diputar dan mendarat di tanah. Pendekar Rajawali Sakti agak
limbung sedikit begitu kakinya menjejak tanah. Tangan kanannya yang memerah
bagai sepotong besi di dalam tungku pembakaran dipeganginya. Sementara itu Aria
Kandaka yang sudah bangkit berdiri, segera menghampiri Rangga.
"Kenapa tanganmu?" tanya Aria Kandaka.
"Tidak apa-apa," sahut Rangga.
Aria Kandaka memperhatikan tangan Rangga yang masih kelihatan memerah. Kalau
saja Rangga tidak mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
pada tingkat terakhir, mungkin sekarang ini tangannya sudah buntung saat
menyampok sinar keperakan tadi. Namun begitu, rasa panas tetap menjalar di
tangannya. Begitu panasnya, sehingga dari pergelangan tangan hingga ke ujung
jarinya memerah bagai terbakar.
"Hati-hati, Paman. Rupanya dia sudah mengetahui kalau kedoknya sudah
terbongkar," Rangga memperingatkan.
Pada saat itu, dari balik pepohonan bermunculan sekitar sepuluh orang berpakaian
serba hitam. Mereka berlompatan ringan, dan langsung
mengurung sambil menghunus golok melintang di depan dada. Sulit untuk melihat
wajah mereka, karena kesepuluh orang ini menutupi wajah dengan kain hitam. Dan
hanya pada bagian matanya saja yang terlihat
"Hm..., siapa mereka...?" gumam Aria Kandaka
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Seraaang...!"
Begitu terdengar teriakan memberi perintah, seketika itu juga sepuluh orang
berbaju serba hitam yang menggenggam senjata golok langsung berlompatan
menyerang. Rangga dan Aria Kandaka terpaksa berlompatan. Mereka memisahkan diri,
sehingga sepuluh orang ini terpaksa memecah menjadi dua bagian. Lima orang
mengeroyok Aria Kandaka, dan lima orang lagi menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Cring! Bet! Aria Kandaka yang memang hatinya sudah
Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbakar amarah, tidak ingin tanggung-tanggung lagi.
Langsung dikeluarkan pedangnya, dan dikebutkan dengan cepat. Lima orang
berpakaian hitam yang mengeroyoknya langsung terbabat. Begitu cepatnya gerakan
permainan pedang Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu, sehingga lima orang berpakaian serba hitam itu tidak bisa lagi
membendungnya. Jeritan-jeritan panjang melengking terdengar saling susul. Dalam beberapa
gebrakan saja, lima orang itu sudah bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa
lagi. Aria Kandaka langsung saja melompat cepat hendak membantu Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Seperti seekor banteng jantan yang terluka, Aria Kandaka cepat mengebutkan
pedang. Langsung dibabatnya lima orang berbaju serba hitam yang menyerang
Rangga. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar. Rangga
terkejut melihat
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengamuk, membantai orang-orang berbaju hitam
tanpa ampun lagi.
"Mampus kalian, Keparat..!" geram Aria Kandaka memaki.
Dalam waktu yang tidak begitu lama saja, sepuluh orang berbaju serba hitam itu
sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Udara malam yang semula dingin dan
bersih, kini tercemar bau anyir darah yang mengucur dari tubuh sepuluh orang
berbaju serba hitam ini.
"Tidak seharusnya kau membantai mereka,
Paman," ujar Rangga tidak menyetujui tindakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
"Mereka pantas mampus!" dengus Aria Kandaka kesal.
Rangga menggeleng-gelengkan kepala. Dihampirinya salah seorang penyerang itu.
Lalu dilepaskannya kain hitam yang menyelubungi wajahnya.
"Heh..."!" sentak Aria Kandaka terkejut begitu kain hitam yang menutupi wajah
orang itu terbuka.
*** 8 Aria Kandaka membuka kain hitam penutup muka orang-orang itu satu persatu. Kedua
matanya semakin lebar terbeliak. Sepuluh orang berpakaian serba hitam ini
ternyata adalah murid-muridnya sendiri. Memang, dia tadi cepat bertindak
membunuh sehingga tidak sempat lagi mengenali jurus-jurus yang mereka gunakan.
Tidak heran kalau dalam beberapa gebrakan saja, sepuluh orang itu mampu
dituntaskan. "Setan...! Kenapa mereka memusuhiku..."!"
dengus Aria Kandaka geram.
"Mereka lebih patuh pada perintahku, Arya Kandaka."
"Heh..."!"
Aria Kandaka cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping mengenakan baju hitam
pekat. Meskipun sudah berumur lebih dari empat puluh tahun, tapi wajahnya masih
kelihatan cantik.
Sementara Rangga yang berada di samping Aria Kandaka hanya diam saja
memperhatikan. Plok, plok, plok...!
Wanita itu menepuk tangan beberapa kali. Maka dari kegelapan malam, bermunculan
orang-orang berbaju serba hitam bersenjatakan golok terhunus.
Mereka langsung bergerak mengepung tempat ini.
Ada sekitar dua puluh orang dengan kepala ter-
selubung kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat
"Siapa kau sebenarnya" Kenapa mengacau
padepokanku?" tanya Aria Kandaka, terdengar lantang suaranya.
"Lima tahun memang bukan waktu yang pendek.
Tapi itu juga tidak cukup untuk menghapus ingatan, Aria Kandaka. Kau pasti tidak
akan lupa dengan benda ini!"
Wanita berbaju serba hitam yang selama ini dikenal sebagai Winarti melemparkan
sebuah benda berwarna keemasan. Benda itu jatuh tepat di ujung kaki Aria Kandaka
yang terbeliak begitu mengenali benda berbentuk tusuk rambut berwarna kuning
keemasan. Perlahan tubuhnya membungkuk, memungut tusuk rambut emas itu. Sebentar
diper-hatikannya benda Itu, kemudian ditatapnya wanita berbaju serba hitam
sekitar dua batang tombak di depannya.
"Mustahil...!" desis Aria Kandaka, seakan-akan tidak percaya dengan dirinya
sendiri. "Kau sudah mati, Lasti...."
"Itu anggapanmu, Aria Kandaka. Tapi, kenyataannya aku masih tetap hidup. Dan
sekarang, aku hendak menuntut balas!" dingin sekali nada suara wanita yang kini
dikenal Aria Kandaka bernama Lasti.
Bukan Winarti yang selama ini dikenalnya.
"Bagaimana mungkin kau bisa hidup" Dan
wajahmu itu...?" Aria Kandaka benar-benar jadi kebingungan.
Lasti tersenyum tipis. Tangan kanannya kemudian terangkat ke wajah. Perlahan-
lahan sekali tangannya bergerak seperti mengupas sesuatu di wajahnya. Dan Aria
Kandaka jadi terbeliak begitu mengetahui kalau
wanita itu memakai topeng yang begitu tipis, dan menyerupai wajah adiknya.
Kini, di depannya bukan lagi Winarti yang ada.
Melainkan, seorang wanita berwajah cacat, penuh luka. Seperti luka akibat
tergores ujung pedang. Kulit mukanya juga kelihatan hitam, seperti bekas
terbakar. Aria Kandaka benar-benar terkejut, dan mengenalinya. Wajah itu memang
pernah dilihatnya lima tahun yang lalu. Bahkan luka-luka di wajah yang menghitam
itu akibat dari goresan ujung pedangnya.
Lima tahun yang lalu, di antara mereka memang terjadi suatu perselisihan.
Tepatnya, perselisihan asmara. Dulu, selagi mereka muda, antara Aria Kandaka
dengan Lasti telah terjalin cinta kasih.
Namun karena Aria Kandaka mengasingkan diri ke Gunung Lawu, Lasti terpaksa
ditinggalkan. Mereka memang tidak bisa bersatu, karena orang tua Lasti melarang
hubungan mereka. Sebabnya, orang tua Lasti adalah antek Wira Permadi, yang
memerintah Kadipaten Karang Setra waktu itu. Maka bibit cinta kemudian
berkembang jadi bibit permusuhan.
Mereka kemudian bertarung di tepi sebuah jurang setelah lama tak bertemu. Aria
Kandaka yang saat itu masih malang-melintang di dalam rimba persilatan, berhasil
melemparkan wanita itu ke dalam jurang yang cukup dalam. Ujung pedang membabat
habis wajah wanita itu.
Bahkan satu tusukan pedangnya berhasil menembus bagian dada. Memang mustahil
kalau wanita yang bernama Lasti ini masih bisa bertahan hidup.
Tapi kenyataannya, sekarang masih bernapas dan berada di depan orang yang dulu
dicintainya. "Kau terkejut kenapa aku masih hidup, Aria Kandaka..." Maut memang belum mau
menjemputku. Seorang tua yang baik hati telah menyelamatkanku di dasar jurang. Dialah yang
merawatku sehingga aku punya kesempatan membalas sakit hatiku padamu,"
dingin sekali suara Lasti.
Geraham Aria Kandaka menggeretak hebat Hatinya benar-benar geram, karena selama
dua purnama ini tinggal bersama-sama orang yang masih berpihak pada Wira
Permadi. Bahkan semua rahasia
padepokan yang dibangunnya ini sudah diketahui Lasti. Sampai tempat penyimpanan
Bunga Wijayakusuma Merah pun diberi tahu.
Aria Kandaka baru menyadari, kalau saat seperti ini memang sudah direncanakan
Lasti. Acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu,
dimanfaatkan wanita ini untuk menghancurkannya dan padepokan yang didirikannya
selama satu tahun ini. Bahkan dia berhasil memalingkan kesetiaan murid-murid
Aria Kandaka padanya. Benar-benar suatu kerja yang rapi dan terencana baik. Dan
ini membuat Aria Kandaka benar-benar geram. Dia merasa telah tertipu, tanpa
dapat menyadari sedikit pun juga. Hasil kerjanya selama setahun ini begitu mudah
dihancurkan oleh seorang wanita yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.
"Terimalah kematianmu, Aria Kandaka! Hiya...!"
"Uts!"
Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu pedang tipis
berkelebat cepat di depan dadanya. Tapi sebelum sempat melakukan sesuatu, Lasti
sudah kembali melakukan serangan cepat. Pedangnya berkelebatan dahsyat mengurung
ruang gerak Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Sementara Rangga yang sudah mengetahui per-tentangan cinta antara kedua orang
itu segera menyingkir menjauh. Tapi, perhatiannya tidak lepas dari orang-orang berbaju
serba hitam yang mengelilingi sekitar tempat pertarungan ini. Pada saat itu,
terlihat tamu-tamu undangan yang masih berada di padepokan menghampiri. Mereka
tak ada yang berbuat sesuatu, dan hanya berdiri saja menyaksikan pertarungan
Aria Kandaka melawan wanita berbaju serba hitam dari luar lingkungan kepungan
orang berbaju hitam yang menggenggam senjata golok terhunus di depan dada.
Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berjalan cepat. Dan
masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang dahsyat.
Begitu cepatnya pertarungan berlangsung, sehingga tubuh mereka lenyap. Yang
terlihat kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan disertai kilatan-kilatan
cahaya pedang. "Hiyaaat..!"
Bet! Tiba-tiba saja Aria Kandaka mengecutkan cepat pedangnya ke dada wanita berbaju
serba hitam itu.
Sungguh sulit dipercaya. Lasti tidak berusaha berkelit sedikit pun. Bahkan
pertahanannya di bagian dada dibuka lebar-lebar. Maka tak pelak lagi, pedang
Aria Kandaka yang terkenal dahsyat itu menghantam dada Lasti dengan keras.
"Ha ha ha...!" Lasti malah tertawa terbahak-bahak.
"Heh..."! Edan...!" dengus Aria Kandaka terbeliak tidak percaya.
Bukan hanya Aria Kandaka saja yang terkejut setengah mati. Tapi, Rangga dan juga
semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terkejut Betapa tidak..."
Jelas sekali kalau pedang Aria Kandaka membabat dada Lasti. Tapi, wanita itu
tetap berdiri tegar. Bahkan tak ada sedikit pun luka di dadanya.
Aria Kandaka cepat-cepat melompat mundur.
Pandangannya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu mengecutkan pedang di depan dada, lalu cepat melompat
Pedangnya langsung dibabatkan ke leher wanita berbaju serba hitam itu.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Bet! "Heh..."!"
Untuk kedua katinya mata Aria Kandaka terbeliak.
Sukar dipercaya! Pedang kebanggaannya selama ini ternyata patah jadi dua bagian
begitu menghantam leher wanita berbaju serba hitam itu. Pada saat yang
bersamaan, Lasti menghentakkan tangan kanannya.
Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi
"Yeaaah...!"
Des! "Akh...!"
Aria Kandaka terpekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang
dilepaskan Lasti mendarat telak di dada. Keras sekali tubuhnya jatuh terguling
di tanah. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Dengan tubuh terhuyung-huyung,
Aria Kandaka bangkit berdiri
"Ugkh!"
Kembali dimuntahkannya darah segar dari mulut Tarikan napasnya juga jadi
terhambat, akibat pukulan bertenaga dalam tinggi yang mendarat di dada.
"Saatmu sudah tiba, Aria Kandaka! Hiyaaat..!"
Lasti melompat cepat bagaikan kilat Pedangnya
berkelebat mengarah ke leher Aria Kandaka. Tak ada lagi kesempatan bagi Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu untuk menghindar. Terlebih lagi, saat ini tengah
menderita luka dalam yang cukup parah di bagian dada. Aria Kandaka hanya dapat
mendesis dan terbeliak melihat Lasti sudah melancarkan serangan cepat, dengan
pedang mengarah ke leher. Tapi pada saat mata pedang itu hampir membabat leher
Aria Kandaka, mendadak saja....
Trang! "Ikh..."!"
Lasti tersentak kaget setengah mati. Pedangnya hampir saja terlepas dari
pegangan. Cepat-cepat serangannya ditarik, lalu melompat mundur sejauh dua
batang tombak. Manis sekali kedua kakinya menjejak tanah.
"Setan...!" geram Lasti begitu melihat Rangga sudah berdiri di samping Aria
Kandaka. *** "Sudah cukup kau menghancurkannya, Nisanak.
Tidak perlu sampai membunuhnya," tegas Rangga.
"Minggir! Ini bukan urusanmu!" bentak Lasti geram.
"Aku memang tidak ada urusan dalam hal ini. Tapi tindakanmu sudah kelewat batas,
Nisanak. Kau hancurkan nama baik seseorang, hanya untuk mengumbar nafsu dan
dendammu," kata Rangga, tetap tegas suaranya.
"Hanya satu kali kuperingatkan, Pendekar Rajawali Sakti! Minggirlah, atau kau
juga ingin mampus!"
ancam Lasti tidak main-main.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit
Mata Pendekar Rajawali Sakti melirik Aria Kandaka yang berada di sampingnya.
Keadaan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah tidak me-
mungkinkan lagi untuk bertarung. Luka dalam akibat pukulan Lasti tadi, seakan-
akan telah meremukkan seluruh rongga dadanya. Bahkan tarikan napasnya saja sudah
demikian terhambat.
"Menyingkirlah, Paman. Biar kutangani dia," ujar Rangga.
"Hati-hatilah, Rangga. Aku yakin dia membawa Bunga Wijayakusuma Merah. Tubuhnya
jadi kebal, dan kepandaiannya berlipat ganda," Aria Kandaka memperingatkan.
Setelah memperingatkan Pendekar Rajawali Sakti, Aria Kandaka bergerak ke
belakang menjauhi.
Sementara Lasti sudah bersiap melakukan serangan.
Pedangnya sudah melintang di depan dada.
Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Matanya menatap tajam, menusuk langsung ke
bola mata wanita berbaju serba hitam di depannya.
"Aku sering mendengar julukanmu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal kalau
mati di tanganku," ancam Lasti dingin.
"Aku hanya ingin mencoba keampuhan Bunga
Wijayakusuma Merah yang kau bawa," sambut Rangga kalem.
"Rupanya kau sudah tahu kalau aku yang memiliki bunga itu, Pendekar Rajawali
Sakti," desis Lasti dingin.
"Ya. Karena tak ada orang lain lagi yang tahu tempat penyimpanannya selain kau.
Mustahil bunga itu hilang begitu saja dari tempatnya."
"Kau baru datang siang tadi, tapi sudah tahu segalanya. Aku mengagumi
kepintaranmu dalam
menilai, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sayang, kau akan mati malam ini," semakin
dingin suara Lasti.
"Terima kasih."
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, mereka melompat saring
menerjang. Lasti melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dengan
tangan kirinya.
Serangan itu langsung disambut Rangga dengan hentakan tangan kanannya. Dua
pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu di udara, hingga menimbulkan ledakan
dahsyat menggelegar.
Tampak mereka sama-sama terpental berputaran ke belakang. Hampir bersamaan pula,
mereka mendarat kembali di tanah. Lasti langsung melesat lagi begitu kakinya
menjejak tanah. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke arah dada Rangga. Namun
dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari
tebasan pedang wanita berbaju serba hitam ini.
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Lasti yang sudah banyak mendengar
kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, tidak lagi bermain tanggung-tanggung, meskipun sekarang
ini sudah menguasai Bunga Wijayakusuma Merah yang membuat
kepandaiannya jadi berlipat ganda. Bahkan tubuhnya juga jadi kebal terhadap
senjata. Itu terbukti ketika pedang Aria Kandaka patah begitu membabat lehernya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai sepuluh jurus berlalu, Rangga masih
menghadapi dengan tangan kosong. Beberapa kali pukulannya berhasil mendarat,
tapi tak sedikit pun membuat Lasti goyah.
Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan wanita itu kelihatan semakin garang. Dan
setiap pukulan Rangga yang mendarat di tubuhnya, membuat kekuatan wanita itu
terus bertambah.
Hingga, tak sedikit pun merasa sakit setiap kali mendapat pukulan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hm... Kekuatannya semakin bertambah besar saja. Sungguh dahsyat pengaruh bunga
itu pada dirinya," gumam Rangga langsung menyadari.
Sementara Lasti semakin dahsyat saja melancarkan serangan-serangannya. Dan
Rangga tidak lagi membalas menyerang. Dia hanya berkelit, berjumpalitan
menghindari setiap serangan yang datang.
Pendekar Rajawali Sakti terus mencari kelemahan wanita berbaju serba hitam itu.
Hingga akhirnya....
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat tubuhnya
meluruk deras membuka jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali
serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga Lasti tak sempat lagi
menyadari. Dan sebelum wanita berwajah penuh luka itu melakukan sesuatu, kaki
Pendekar Rajawali Sakti sudah mendepak kepalanya.
*** "Akh...!" Lasti terpekik keras agak tertahan. Wanita bermuka buruk penuh luka
itu kontan terhuyung-huyung terkena dupakan kaki Rangga pada kepalanya. Dan
sebelum dapat berbuat sesuatu, Rangga sudah mencabut pedang pusakanya. Sinar
biru langsung menerangi sekitarnya. Kemudian pedangnya dikebutkan ke arah dada.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti menahan arus tebasan sedikit, sehingga ujung
pedangnya hanya menebas baju bagian dada wanita
itu. Bet! "Ikh..."!"
Lasti jadi kelabakan, karena bagian dadanya jadi terbuka. Pada saat itu, tangan
kiri Rangga bergerak cepat menyambar bagian perut wanita itu.
Bret! "Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang.
Beberapa kati dia melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya sejauh
dua batang tombak dari wanita berbaju serba hitam ini. Di tangan kirinya kini
telah tergenggam sobekan baju Lasti. Di antara sobekan kain itu, terdapat
sekuntum bunga berwarna merah bagai berlumur darah.
"Keparat..!" geram Lasti.
Rangga tersenyum melihat hasil serangannya begitu memuaskan. Kini tak ada lagi
kekuatan yang dimiliki Lasti tanpa Bunga Wijayakusuma Merah.
Pendekar Rajawali Sakti memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam
warangkanya di punggung. Cahaya biru terang langsung lenyap seketika begitu
pedang itu tenggelam ke dalam warangka.
"Kubunuh kau, Rangga! Hiyaaat..!"
Lasti jadi nekat. Bagaikan kilat dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Pedangnya dikibaskan disertai pengerahan seluruh kemampuan tenaganya. Tapi hanya
sedikit saja Rangga menarik tubuh ke belakang, tebasan pedang itu berhasil
dihindari. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti berhasil memasukkan satu sodokan
tangan kanan ke dada wanita ini.
"Akh...!"
Lasti terpental ke belakang, dan tidak dapat lagi menguasai keseimbangan
tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh telentang di tanah. Dan pada saat itu,
Aria Kandaka melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok yang dipungutnya
dari tanah. "Hiyaaat..!"
"Paman, jangan...!" seru Rangga mencoba
mencegah. Tapi terlambat...
Bres! "Aaa...!"
Golok di tangan Aria Kandaka langsung
menghunjam dalam ke dada wanita berwajah buruk penuh luka itu. Darah seketika
menyembur deras sekali. Lasti berkelojotan, sementara golok masih memanggang
dadanya dengan dalam hingga sampai ke pangkal gagangnya.
Tak berapa lama dia mengejang, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Aria Kandaka
cepat melompat mundur begitu melihat bekas kekasih yang telah menjadi musuh
bebuyutannya sudah tak bernyawa lagi. Saat itu Rangga sudah berada di
sampingnya. Perlahan Aria Kandaka memutar tubuhnya menghadap Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar ditatapnya pendekar muda itu, lalu pandangannya beredar ke sekeliling.
"Pergilah. Bawa bunga itu untuk Nyai Karti. Dia lebih membutuhkan daripada aku,"
kata Aria Kandaka.
"Bagaimana dengan di sini?" tanya Rangga.
"Biar aku yang mengurus. Tidak semua muridku berkhianat," sahut Aria Kandaka.
Memang di tempat ini, terlihat beberapa orang pemuda berbaju serba merah.
Sedangkan sekitar tiga
puluh orang berbaju hitam sudah menjatuhkan diri, berlutut begitu melihat Lasti
tewas. Dan orang-orang persilatan yang masih berada di padepokan ini, satu
persatu menyingkir meninggalkan bagian belakang padepokan ini. Mereka seperti
tidak mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
Rangga menatap dua orang gadis kembar yang tadi menyatu bersama orang-orang
persilatan tamu undangan Padepokan Gunung Lawu ini. Rangga tidak lagi terkejut
melihat mereka. Memang sudah diduga kalau kedua gadis kembar itu pasti datang
kembali ke padepokan ini untuk mencari Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat
dibutuhkan bagi penyembuhan ibu mereka dari kelumpuhan. Rangga tak peduli kalau
kedua gadis itu merasa malu, karena tak mem-percayainya.
"Aku akan kembali lagi ke sini, Paman," kata Rangga.
"Kedatanganmu selalu kuharapkan. Pergilah, sebelum ada di antara mereka yang
menginginkan bunga itu," sahut Aria Kandaka.
Rangga menjura memberi hormat, kemudian
memutar tubuhnya dan melangkah mendekati dua orang gadis kembar itu. Sementara
Aria Kandaka masih berdiri memperhatikan. Sebentar Rangga berbicara pada Dewi
Kembar dari Utara, kemudian mereka sama-sama beranjak pergi meninggalkan
Padepokan Gunung Lawu ini.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Pedang Pelangi 3 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Panji Wulung 6
Tapi, Rangga masih tetap kelihatan tenang.
"Kenapa kalian begitu terkejut mendengarnya..."
Bukankah kalian juga datang ke sini untuknya?"
masih terdengar tenang nada suara Rangga.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang kami?" tanya Randini, agak dalam nada suaranya.
"Nyai Karti sendiri yang mengatakannya. Itulah sebabnya, aku cepat datang ke
sini, meskipun sebenarnya enggan. Aku juga masih ada urusan lain yang lebih
penting. Tapi mengingat keadaan Nyai Karti yang semakin kelihatan parah, aku
tidak bisa mengenyampingkan begitu saja. Terserah anggapan kalian padaku. Yang
penting, pesan untuk kalian akan kusampaikan. Hanya itu yang kubawa dari Nyai
Karti," tutur Rangga. "Apa pesannya?" tanya Randini lagi.
"Kalian diminta pulang segera, dan melupakan semuanya. Hanya itu yang bisa
kusampaikan," sahut Rangga.
Randita dan Randini saling berpandangan,
kemudian kembali menatap tajam-tajam ke arah Rangga. Sepertinya kedua gadis
kembar ini belum bisa percaya penuh pada kata-kata yang diucapkan Pendekar
Rajawali Sakti barusan. Padahal mereka tahu dan sering mendengar nama dan sepak
terjang Pendekar Rajawali Sakti yang selalu menggemparkan rimba persilatan di
setiap kemunculannya.
"Apa lagi yang kau ketahui?" tanya Randita, seolah-olah menyelidik.
Rangga tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri dan menyandarkan
punggung ke pohon. Matanya menerawang jauh ke depan,
melewati bahu kedua gadis kembar di depannya ini.
"Kalian sudah dapatkan bunga itu?" Rangga malah
balik bertanya.
"Belum," sahut Randita.
"Kelihatannya penyakit ibu kalian memang tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan
Bunga Wijayakusuma Merah. Tapi, aku tidak yakin kalian bisa memperolehnya dari
puncak gunung ini. Yang kutahu, bunga itu hanya ada satu kali dalam seratus
tahun, dan pohonnya juga tidak ada di sini," kata Rangga lagi.
"Memang pohonnya tidak ada di sini. Tapi, Bunga Wijayakusuma Merah ada di sini.
Aria Kandaka-lah yang memilikinya," jelas Randita.
"Ketua Padepokan Gunung Lawu...?"
"Benar."
"Kalau memang dia yang memiliki, kenapa tidak bicara saja terus terang" Aku
yakin, Aria Kandaka bersedia memberikannya. Aku kenal baik dengannya.
Dia orang yang sangat bijaksana. Bahkan selalu memperhatikan kepentingan orang
lain, daripada dirinya sendiri," kata Rangga lagi.
"Kau pikir mudah memintanya begitu saja...?"
agak sinis nada suara Randita.
"Kenapa tidak...?"
"Karena bunga itu, ibu kami harus menderita kelumpuhan bertahun-tahun. Beliau
kalah bertarung dalam memperebutkan Bunga Wijayakusuma Merah.
Bukan hanya Aria Kandaka, tapi juga oleh tokoh-tokoh persilatan lain yang saat
ini berkumpul di puncak Gunung Lawu ini," masih terdengar ketus nada suara
Randita. "Hm...," Rangga menggumam perlahan sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Pendekar Rajawali Sakti memang baru tahu kalau itulah persoalannya. Dan
tampaknya memang tidak
mudah bagi kedua gadis ini untuk bisa mendapatkan Bunga Wijayakusuma Merah yang
sangat diperlukan untuk menyembuhkan penyakit kelumpuhan yang diderita ibu
mereka selama beberapa tahun ini.
Sedangkan yang diketahuinya, bunga itu hanya dapat digunakan satu kali. Namun
bunga itu begitu banyak kegunaannya, sehingga tidak heran jika banyak tokoh
persilatan memperebutkannya. Dan tentu saja mereka menginginkan untuk tujuan
masing-masing. "Kanjeng ibu terkena getah Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat beracun. Masih
untung tidak tewas, dan hanya menderita kelumpuhan saja. Dan hanya bunga itu
sendiri yang dapat menyembuh-kannya," jelas Randita.
"Kalian memang harus mendapatkan sebelum
orang lain memilikinya. Aku akan bicara pada Aria Kandaka," tegas Rangga.
"Percuma saja bicara padanya," dengus Randini.
"Kenapa...?"
"Bunga itu sudah hilang. Itu pengakuan dari Aria Kandaka sendiri," sahut
Randini. "Oh..., benarkah...?"
Rangga terkejut bukan main mendengar Bunga Wijayakusuma Merah sudah hilang, dan
tidak berada lagi di tangan Aria Kandaka. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi
berkerut. Langsung dirasakan kalau persoalannya berkembang semakin sulit,
sebelum dirinya masuk dalam kemelut ini.
"Sebaiknya kalian pulang saja. Ada adikku di sana," ujar Rangga.
"Adikmu..." Siapa?" tanya Randita.
"Pandan Wangi. Aku menyuruhnya menunggu ibu kalian. Tidak baik meninggalkan
orang tua dalam keadaan tidak berdaya seorang diri di dalam gua,"
kata Rangga lagi.
"Tapi kami tidak bisa pulang tanpa membawa bunga itu," tolak Randini tegas.
"Nyai Karti tidak mengharapkan kalian mendapatkannya. Beliau malah memikirkan
keselamatan kalian berdua. Sebaiknya, segeralah pulang. Aku akan membawa bunga
itu untuk kalian. Percayalah. Aku akan berusaha mendapatkannya untuk kalian,"
Rangga mencoba meyakinkan.
"Bagaimana, Randita...?" tanya Randini meminta pendapat saudara kembarnya.
Randita hanya mengangkat bahu saja. "Baiklah.
Aku percaya padamu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Randini.
"Panggil saja aku Rangga." Kedua gadis kembar itu hanya tersenyum saja.
Sesaat kemudian mereka berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing. Dewi
Kembar dari Utara menuruni puncak Gunung Lawu ini, sedangkan Rangga sendiri
terus menuju Padepokan Gunung Lawu yang berada di tengah-tengah puncak gunung
yang selalu terselimut kabut ini.
Tapi, benarkah Randita dan Randini benar-benar kembali ke Bukit Utara seperti
yang diminta Pendekar Rajawali Sakti..." Kedua gadis itu memang tidak terus
melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di lereng Gunung Lawu ini, dan
beristirahat di bawah sebatang pohon yang cukup besar dan rindang untuk menaungi
diri dari sengatan sinar matahari.
"Kita akan kembali ke sana diam-diam, Randini,"
kata Randita perlahan.
"Untuk apa?" tanya Randini.
"Aku ingin membawa bunga itu untuk Kanjeng Ibu dengan tanganku sendiri," sahut
Randita bertekad.
"Kau tidak percaya pada Pendekar Rajawali Sakti, Randita...?"
"Aku percaya. Justru kedatangannya memberi kesempatan pada kita, Randini. Kau
pasti bisa mengerti jalan pikiranku "
Randini terdiam dan mengangguk-anggukkan
kepala. Memang bukan hanya wajah dan bentuk tubuh mereka saja yang sama persis.
Bahkan jalan pikiran mereka juga selalu sama. Meskipun terkadang ada
perselisihan pendapat Tapi, selalu saja mereka mempunyai jalan kesepakatan
bersama, yang tentu saja tidak dimiliki orang lain. Mereka seperti memiliki satu
jiwa dalam tubuh kembar masing-masing.
"Malam nanti, kita mulai bergerak," desis Randita memantapkan rencananya.
"Ya...," sahut Randini mendesah.
*** Sementara itu Rangga sudah sampai di
Padepokan Gunung Lawu. Pendekar Rajawali Sakti jadi agak ragu-ragu, melihat
padepokan itu tampak ramai seperti sedang mengadakan perayaan. Tapi, dia cepat
ingat kalau kemarin adalah peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung
Lawu. Dan mungkin, sampai hari ini perayaan itu belum juga berakhir.
Perlahan Rangga mengayunkan kaki memasuki gerbang padepokan itu. Dua orang murid
berpakaian seragam merah memperhatikan saja, tanpa menegur sama sekali. Memang
sampai hari ini, semua orang diberi kebebasan untuk memasuki lingkungan
padepokan. Rangga menghentikan ayunan kaki
sebelum jauh melewati pintu gerbang. Dari sini panggung berukuran besar yang
berdiri di tengah-tengah halaman sudah bisa terlihat. Di atas panggung itu
tampak sedang berlaga dua orang tokoh persilatan. Rangga berbalik menghampiri
dua orang murid Padepokan Gunung Lawu yang bertugas jaga di gerbang ini.
"Maaf. Boleh aku bertanya sedikit...?" ucap Rangga sopan.
"Silakan," sahut salah seorang yang masih berusia muda, juga dengan suara dan
sikap ramah. "Boleh bertemu Paman Aria Kandaka?" ujar
Rangga masih dengan sikap sopan.
"Kisanak siapa?" pemuda itu kembali bertanya.
"Aku Rangga, sahabat Paman Aria Kandaka. Beliau mungkin sedang menunggu
kedatanganku," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Kisanak punya undangan?" tanya murid
Padepokan Gunung Lawu itu lagi.
"Ada. Tapi aku ada keperluan yang lebih penting lagi dengannya."
Dua orang anak muda murid Padepokan Gunung Lawu itu berbisik-bisik sebentar.
Mereka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dari ujung rambut hingga ke ujung
kaki. "Sebentar," ujar salah seorang.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
Pemuda yang mengenakan seragam warna merah itu bergegas melangkah meninggalkan
pos jaganya. Sedangkan Rangga hanya menunggu saja. Pandangannya dilayangkan ke arah panggung.
Tampak pertarungan sudah berhenti di atas panggung. Tapi, kemudian disusul
berlompatannya satu orang yang langsung menantang pemenang dari pertarungan
tadi. Kembali sorak sorai terdengar bergemuruh dari para penonton yang kebanyakan
adalah penduduk desa di sekitar kaki Gunung Lawu ini. Dan di atas panggung,
sudah kembali terjadi pertarungan adu kekuatan dan kesaktian dari tokoh-tokoh
persilatan yang diundang Ketua Padepokan Gunung Lawu.
Rangga mengalihkan perhatiannya, ketika melihat pemuda yang tadi menjaga gerbang
ini datang kembali diikuti seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun.
Wanita itu mengenakan baju yang cukup ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang
ramping dan padat. Meskipun umurnya sudah berkepala empat, tapi masih kelihatan
cantik. "Ah! Kenapa tidak langsung masuk saja.
Rangga...?" tegur wanita yang ternyata adalah Winarti, begitu dekat di depan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, aku datang terlambat," ucap Rangga seraya menjura, memberi penghormatan.
"Tidak mengapa. Mari..."
Rangga melangkah mengikuti Winarti yang berjalan lebih dahulu di depan. Mereka
tidak menuju ke panggung, melainkan terus memasuki bangunan utama Padepokan
Gunung Lawu ini. Di dalam ruangan berukuran cukup besar, tampak Aria Kandaka
sudah menanti. Dia bergegas menyongsong, begitu melihat Rangga dan Winarti masuk
ke dalam ruangan ini
"Ah! Syukurlah kau datang, Rangga...," ucap Aria Kandaka seraya menyalami
Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga membalasnya dengan hangat dan penuh persahabatan. Di antara mereka memang
sudah terjalin suatu persahabatan. Karena Aria Kandaka
sebenarnya abdi yang setia dari Adipati Arya Permadi, orang tua kandung Pendekar
Rajawali Sakti. Aria Kandaka lalu mengasingkan diri dan pergi ke Gunung Lawu,
saat Wira Permadi menguasai Kadipaten Karang Setra.
Memang bukan hanya Aria Kandaka yang meninggalkan Kadipaten Karang Setra waktu
itu. Tapi, masih banyak para petinggi yang meninggalkah kadipaten, karena tidak
menyetujui sikap dan cara Wira Permadi menduduki kadipatenan. Dan Rangga memang
selalu mengunjungi orang-orang yang pernah mengabdi pada ayahnya, yang tersebar
di saat Karang Setra masih berupa kadipaten di bawah kekuasaan tangan besi adik
tirinya. "Maaf. Aku datang terlambat, Paman," ucap Rangga.
"Tidak mengapa, Rangga. Aku senang kau bisa hadir di sini. Malah kedatanganmu
sangat kuharapkan pada saat-saat seperti ini," kata Aria Kandaka.
"Ada sedikit halangan yang membuatku ter-
lambat," kata Rangga lagi, masih merasa tidak enak karena kedatangannya tidak
tepat pada waktunya.
"Sudahlah, Rangga. Mari duduk...." Mereka kemudian duduk melingkari meja bundar
beralaskan batu pualam putih yang licin dan berkilat Winarti menuangkan arak ke
dalam cawan dari perak.
Mereka sama-sama menenggak habis arak manis di dalam cawan itu, lalu sama-sama
memberi penghormatan melalui minuman.
"Seharusnya kami memanggilmu dengan sebutan Gusti Prabu, Rangga...," kata Aria
Kandaka. "Ini bukan istana. Dan sebaiknya, Paman dan Bibi tetap memanggilku dengan nama
saja. Biar orang lain tidak tahu, siapa aku sebenarnya," sahut Rangga
meminta. "Apa yang ada dalam dirimu, sama sekali tidak membuang sifat-sifat ayahmu," kata
Aria Kandaka mengenang.
"Mudah-mudahan nama baik beliau bisa kupertahankan," ucap Rangga.
Mereka kembali terdiam, dan sama-sama me-
nikmati arak manis yang dituangkan Winarti ke dalam cawan masing-masing. Wanita
itu juga ikut minum, untuk menghormati kedatangan tamu yang memang sudah sangat
dinantikan. "Menjadi raja tentu sangat sibuk. Banyak persoalan yang harus ditangani," kata
Aria Kandaka lagi.
"Ya.... Tapi, untunglah aku memiliki orang-orang yang dapat dipercaya, sehingga
punya banyak waktu untuk mengembara. Aku ingin melihat kehidupan yang
sebenarnya, dan punya banyak waktu untuk belajar dari alam," nada suara Rangga
terdengar merendah.
"Aku tadinya malah khawatir, undanganku tidak sampai ke tanganmu," kata Aria
Kandaka lagi. "Kebetulan waktu itu aku ada di istana, Paman.
Dan sebenarnya aku datang berdua...."
Sebenarnya Rangga tidak dari Istana Karang Setra.
Bahkan sudah lama tidak ke sana. Dan dia sendiri tidak tahu kalau ada undangan
dari Ketua Padepokan Gunung Lawu ini. Kedatangannya ke sini juga bukan karena
undangan itu. Tapi, Rangga tidak ingin mengecewakan, dan terpaksa berbohong
sebelum sampai pada maksud yang sebenarnya.
"Berdua..." Kenapa tadi kulihat kau hanya sendiri saja, Rangga?" selak Winarti.
"Aku bersama Pandan Wangi. Tapi terpaksa dia tidak bisa ikut ke sini, " Rangga
mencoba menjelas-
kan. "Kenapa tidak diajak sekalian ke sini...?" Aria Kandaka seperti menyesalkan.
Bukan hanya Aria Kandaka yang sudah banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Tapi
hampir semua orang juga sudah tahu, Pendekar Rajawali Sakti ini punya teman
dekat yang bergelar si Kipas Maut. Meskipun kepandaian yang dimiliki berada
beberapa tingkat di bawah Pendekar Rajawali Sakti, tapi tidak mudah menaklukkan
gadis itu. Saat itu Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menceritakan tentang
perjalanannya yang terpaksa terhambat Saat itu hujan turun, Pendekar Rajawali
Sakti dan Pandan Wangi kebetulan sedang lewat di Bukit Utara. Mereka lalu
menemukan gua yang ternyata di dalamnya ada seorang perempuan tua dalam keadaan
lumpuh, tak mampu bergerak sedikit pun. Dan saat Rangga menyebutkan nama
perempuan tua itu, Aria Kandaka seperti tersengat ribuan kala berbisa.
"Kau kenal Nyai Karti, Paman...?" tanya Rangga sempat melihat perubahan wajah
Aria Kandaka. Aria Kandaka tidak langsung menjawab, dan hanya terdiam saja. Matanya beberapa
kali melirik Winarti yang juga diam membisu. Sedangkan Rangga memandangi mereka
secara bergantian. Dia sebenarnya sudah tahu kalau Ketua Padepokan Gunung Lawu
ini kenal perempuan tua yang bernama Nyai Karti. Tapi Rangga tidak ingin
menunjukkan kalau sudah tahu.
Bahkan ingin memastikan sendiri dari pengakuan Aria Kandaka. Tentu saja Rangga
menginginkan kejujuran Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
"Kami memang mengenalnya...," pelan sekali suara Aria Kandaka, hampir tidak
terdengar. Rangga hanya menggumam saja. Jawaban seperti inilah yang memang diharapkan.
Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengatur pembicaraan secara bertahap.
Sehingga, Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tidak merasa kalau kedatangannya bukan
karena mendapat undangan, tapi karena Nyai Karti yang meminta pertolongannya.
Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** 7 Pembicaraan mereka terhenti saat matahari sudah condong ke arah Barat. Aria
Kandaka sendiri sengaja mengulur-ulur waktu, dengan mengumumkan adu ketangkasan
bisa dilanjutkan esok hari. Sehingga, tak ada lagi rasa penasaran dari para
undangan yang datang ke padepokannya ini. Tapi, tidak sedikit para undangan yang
sudah meninggalkan padepokan. Dan mereka yang pergi, merasa kalau acara adu
ketangkasan itu tidak ada gunanya. Memang ada juga yang sudah merasakan adanya
sesuatu yang tidak beres di padepokan ini, sehingga lebih memilih meninggalkan
padepokan daripada ikut terlibat dalam suatu urusan yang tidak diketahuinya.
Sehingga, yang tinggal hanya beberapa orang saja.
Dan pada malam harinya, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.
Kali ini, pembicaraan sudah berkisar pada Bunga Wijayakusuma Merah yang telah
hilang dari tempat penyimpanannya. Rangga juga sudah mengatakan kalau kelumpuhan
yang diderita Nyai Karti hanya dapat disembuhkan oleh Bunga Wijayakusuma Merah
itu. "Ya.... Kelumpuhan Nyai Karti memang hanya bisa disembuhkan oleh Bunga
Wijayakusuma Merah. Dia bisa lumpuh begitu, karena terkena getah Bunga
Wijayakusuma Merah yang beracun dan sukar dicari obatnya, kecuali oleh bunganya
sendiri," kata Aria Kandaka, perlahan suaranya.
"Tapi sayang sekali. Bunga itu sekarang tidak ada
lagi di sini, Rangga," selak Winarti.
"Apakah dari tamu-tamu yang hadir, mengetahui tentang bunga itu?" tanya Rangga
menyelidik. "Ya! Ada beberapa di antara mereka yang tahu.
Bahkan sudah beberapa kali berusaha merebutnya dariku. Tapi aku tidak punya
bukti untuk menuduh salah seorang dari mereka," sahut Aria Kandaka menjelaskan.
"Memang sulit..," gumam Rangga perlahan.
"Itu sebabnya, aku terpaksa menahan mereka di sini dengan mengadakan
pertandingan. Itu pun karena keinginan mereka yang ingin menjajaki tingkat
kepandaian masing-masing," sambung Aria Kandaka.
"Apa ada di antara undangan yang sudah meninggalkan padepokan ini, Paman?" tanya
Rangga lagi. "Beberapa di antaranya memang sudah. Bahkan Elang Perak, Dewi Kembar dari Utara,
dan Ki Gambang yang mengetahui tentang bunga itu juga sudah meninggalkan
padepokan ini," sahut Aria Kandaka.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Elang Perak dan Dewi Kembar
dari Utara tidak memiliki bunga itu. Sedangkan beberapa nama yang sempat
disebutkan Aria Kandaka, masih berada di padepokan ini. Kecuali, Ki Gambang yang
sudah meninggalkan Padepokan Gunung Lawu ini kemarin siang.
Tapi, apa mungkin Ki Gambang yang mengambil bunga itu dari tempat penyimpanan
pusaka" Atau mungkin ada orang lain yang telah menguasai, dan sekarang menunggu
waktu yang tepat untuk
membawanya pergi dari padepokan tanpa seorang pun yang mencurigainya" Dan memang
benar apa yang dikatakan Aria Kandaka tadi. Tidak ada bukti untuk menuduh atau mencurigai
salah seorang dari mereka.
"Maaf, aku tinggal dulu," ucap Winarti tiba-tiba seraya bangkit berdiri.
"Oh, ya. Silakan...," sahut Rangga juga bangkit berdiri.
Winarti menjura memberi hormat, kemudian
melangkah keluar dari ruangan ini. Rangga kembali duduk di kursinya setelah
Winarti tenggelam di balik pintu yang kembali tertutup rapat Di dalam ruangan
berukuran cukup besar ini, hanya ada Rangga dan Aria Kandaka saja. Sementara
malam terus merayap semakin larut Dan mereka terus berbicara hingga jauh malam.
"Maaf, Paman. Boleh bertanya sedikit..?" pinta Rangga menyelak pembicaraan.
"Tentu saja, Rangga," sahut Aria Kandaka mempersilakan.
"Ini menyangkut Bibi Winarti, Paman."
"Winarti..." Ada apa dengannya...?" tanya Aria Kandaka agak terkejut
"Kudengar, Bibi Winarti sedang memperdalam ilmu-ilmunya di Gua Pantai Selatan.
Kapan dia datang ke sini, Paman...?" tanya Rangga hati-hati.
"Sudah dua purnama ini," sahut Aria Kandaka.
"Kenapa kau tanyakan itu, Rangga?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja, apakah Bibi Winarti sudah menguasai
ilmu-ilmu kesaktiannya.
Aku senang kalau Bibi Winarti sudah semakin sempurna ilmu-ilmunya," kata Rangga
kalem. Aria Kandaka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Dia merasa ada
sesuatu yang disembunyikan Rangga dari pertanyaannya tadi.
Sesuatu yang pasti menyangkut Winarti. Sedangkan Rangga sendiri kelihatan tenang
saja, meskipun dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Maaf, Paman. Mungkin aku salah menduga," ujar Rangga merasa tidak enak juga.
"Ada apa sebenarnya, Rangga..." Katakan saja,"
desak Aria Kandaka.
Rangga menghembuskan napas panjang, dan
terasa begitu berat sekali. Hatinya seperti berat mengatakannya, takut kalau
laki-laki separuh baya ini tersinggung.
"Belum lama ini, aku dan Pandan Wangi sempat mampir ke Gua Pantai Selatan. Di
sana, kami sempat pula berbincang-bincang dengan Bibi Winarti.
Katanya, dia masih perlu satu atau dua tahun lagi untuk menyempurnakan ilmu-
ilmunya. Dan sekarang, aku bertemu lagi di sini. Aku hanya heran saja, Paman.
Karena, belum ada satu purnama bertemu dengannya di Gua Pantai Selatan," kata
Rangga hati-hati.
"Dia sudah dua purnama tinggal di sini, dan membantuku menggembleng murid-murid
padepokan ini. Bahkan datang membawa dua orang yang dikatakan muridnya," jelas
Aria Kandaka lagi
"Murid..." Sejak kapan Bibi Winarti punya murid, Paman?" tanya Rangga agak
terkejut "Katanya, selama berada di Gua Pantai Selatan,"
sahut Aria Kandaka. "Ada apa, Rangga" Kenapa bertanya seperti itu...?"
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan
"Kuharap, kau tidak menaruh prasangka buruk pada Winarti, Rangga," agak dalam
nada suara Aria Kandaka.
Rangga hanya diam saja. Pendekar Rajawali Sakti
kemudian bangkit berdiri, dan berpamitan hendak istirahat. Aria Kandaka tidak
mencegah, dan masih tetap berada di kursinya sampai Rangga tidak terlihat lagi
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu tampak termenung. Dipikirkannya kata-kata Rangga
yang terakhir tadi.
"Hm.... Sepertinya Rangga mencurigai Winarti Tapi, kenapa...?" Aria Kandaka jadi
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Benarkah Pendekar Rajawali Sakti mencurigai Winarti" Atau itu hanya perasaan
Aria Kandaka saja.
Tapi pembicaraannya barusan dengan Rangga, membuat hatinya jadi tidak bisa
tenteram. *** Malam terus merambat semakin larut. Tapi, Rangga belum juga dapat memicingkan
mata dalam kamar peristirahatan yang disediakan Aria Kandaka untuknya.
Entah sudah berapa kali kamar ini diputari. Dan sudah berapa kali pula dia
berada di depan jendela.
Sebentar kepalanya ditengadahkan ke atas, sebentar kemudian ditariknya napas
panjang-panjang, lalu dihembuskan kuat-kuat
Tok, tok, tok...!
Rangga berpaling ketika terdengar ketukan di pintu. Sebentar ditatapnya pintu
kamar yang tertutup rapat itu. Kemudian penahan kakinya terayun mendekati pintu.
Tapi belum juga sempat terbuka, mendadak saja pintu kamar itu sudah jebol,
disusul melesatnya sesosok tubuh hitam yang masuk ke dalam kamarnya.
"Hup!"
Tangkas sekali Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya. Dia berputaran
beberapa kali ke belakang, sebelum kakinya menjejak lantai kamar yang terbuat
dari belahan papan tebal. Dan pada saat itu, satu pukulan cepat mengandung
tenaga dalam tinggi melunak deras ke arahnya.
"Hait..!"
Rangga cepat memiringkan tubuh ke kanan,
sehingga pukulan orang berbaju serba hitam itu tidak sampai mengenai tubuhnya.
Dengan kecepatan bagai kilat dan sukar diduga, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali
Sakti mengecutkan tangan kirinya. Langsung disodoknya perut orang berbaju serba
hitam itu. "Hegkh!"
Orang berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung ke belakang. Kedua tangannya
memegangi perut yang terkena sodokan tangan kiri Rangga. Meskipun tidak disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi, tapi sodokan itu membuat perut orang itu terasa
mengejang kaku dan mual.
"Hiyaaat..!"
Belum lagi orang berbaju serba hitam berbuat sesuatu, Rangga sudah melompat
cepat. Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, disusul satu
totokan jari tangan kirinya ke arah dada.
"Akh...!"
Orang berbaju serba hitam itu langsung tergeletak di lantai yang terbuat dari
belahan papan. Rangga cepat-cepat menghampiri, dan menjambret kain hitam yang
menutupi muka orang ini. Betapa terkejut hatinya, begitu kain hitam yang menutup
wajah orang itu terbuka.
Rangga cepat-cepat melompat mundur. Tapi
mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti terkejut,
karena tangan kiri orang itu masih mampu bergerak cepat Rangga tak sempat lagi
bertindak, ketika orang itu menggorok lehernya sendiri dengan pisau yang diambil
dari balik lipatan baju.
"Hey...!" sentak Rangga terkejut
Terlambat..! Leher orang itu sudah menganga tergorok pisau.
Darah mengucur deras. Kelopak matanya terbuka lebar, dan sebentar kemudian
tertutup rapat Rangga mendesah panjang. Hampir tidak dipercayai, apa yang
dilihatnya ini.
Rangga mengangkat kepala ketika Aria Kandaka muncul di ambang pintu. Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu tampak terkejut melihat sesosok tubuh berpakaian serba
hitam tergeletak tak bernyawa lagi dl depan Pendekar Rajawali Sakti. Lebih
terkejut lagi begitu mengenali orang berbaju serba hitam itu.
Seorang pemuda bertubuh tegap, dan berwajah cukup tampan. Tapi, agak terusik
oleh luka codet yang membelah pipinya.
"Kenapa dia...?" tanya Aria Kandaka seraya melangkah menghampiri Rangga.
"Dia bunuh diri setelah aku menjatuhkannya,"
sahut Rangga. "Dia menyerangmu...?" nada suara Aria Kandaka seperti tidak percaya oleh
pertanyaannya sendiri Rangga hanya menganggukkan kepala saja.
Memang sukar untuk dipercaya. Ternyata pemuda dengan luka codet di pipi itu
sudah sangat dikenal di Padepokan Gunung Lawu ini. Dia adalah salah satu
pengikut Winarti, yang dikatakan sebagai muridnya.
Tapi, kenapa menyerang Pendekar Rajawali Sakti..."
Pertanyaan inilah yang mengganggu benak Aria Kandaka.
Aria Kandaka bergegas melangkah keluar tanpa berkata-kata lagi. Rangga bergegas
pula mengikuti Ketua Padepokan Gunung Lawu itu. Mereka terus berjalan cepat,
setengah berlari menyusuri lorong yang di kanan kirinya terdapat pintu-pintu
tertutup, tempat para tamu beristirahat. Tak ada satu pintu pun yang terbuka.
Mereka kini tiba di sebuah ruangan berukuran cukup hias dan terang benderang.
Setelah melintasi ruangan itu, mereka sampai di depan pintu sebuah kamar yang
juga tertutup rapat. Aria Kandaka mengetuk pintu itu kuat-kuat. Tapi, tak
terdengar jawaban sedikit pun dari dalam. Sebentar matanya melirik Rangga yang
berada tidak jauh di belakangnya. Kemudian, tiba-tiba saja kakinya bergerak
menghentak. Brak! Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal itu seketika hancur berantakan terkena
tendangan Aria Kandaka.
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu cepat menerobos masuk ke dalam. Kedua matanya
kontan terbeliak melihat keadaan kamar dalam keadaan kosong.
Rangga hanya berdiri saja di ambang pintu yang sudah hancur berantakan. Dia
tahu, kamar ini dihuni Winarti, adik perempuan satu-satunya Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu.
"Keparat..!" geram Aria Kandaka gusar.
Perlahan tubuhnya berputar memandang Rangga yang masih tetap berdiri di ambang
pintu. Rona merah tampak membias di wajahnya. Terdengar suara bergemeretak dari
geraham yang berderak menahan geram.
"Siapa sebenarnya dia, Rangga?" tanya Aria Kandaka.
"Aku tidak tahu. Tapi yang jelas, wanita itu bukanlah Bibi Winarti," sahut
Rangga. Aria Kandaka bergegas berlari keluar. Kemarahannya begitu memuncak, merasa telah
tertipu mentah-mentah. Sungguh tidak disangka, kalau wanita yang selama ini
dianggap adiknya ternyata telah menipu.
Bahkan sekarang wanita itu telah pergi entah ke mana.
Rupanya kedatangan Rangga ke Padepokan
Gunung Lawu ini, membuat Winarti merasa terancam.
Maka anak buahnya diperintahkan membunuh
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu gagal, dia malah melarikan diri. Aria
Kandaka yang langsung bisa mengetahui keadaan, tidak dapat lagi menahan
kemarahannya. Terlebih lagi, sebelumnya Rangga memang sudah mencurigai wanita
itu. Karena, sebelum sampai di Padepokan Gunung Lawu ini, terlebih dahulu
Pendekar Rajawali Sakti bertemu Winarti yang asli di Gua Pantai Selatan.
Sementara itu Aria Kandaka sudah berada di luar ruang utama padepokannya ini.
Rangga masih tetap mengikuti dari belakang. Mereka terus bergerak cepat menuju
gua tempat penyimpanan senjata pusaka Padepokan Gunung Lawu. Tapi baru saja
sampai di mulut gua, mendadak saja....
*** "Paman, awas...!" seru Rangga tiba-tiba.
"Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Rangga melesat cepat begitu melihat secercah cahaya keperakan
meluncur deras ke arah Aria Kandaka. Pada saat yang bersamaan, Aria Kandaka
menjatuhkan diri ke tanah, dan ber-
gulingan beberapa kali. Sementara, Rangga mengebutkan tangan kanan untuk
menyampok sinar keperakan yang meluncur cepat bagaikan kilat itu.
"Akh...!" Rangga terpekik agak tertahan.
Cepat-cepat tubuhnya diputar dan mendarat di tanah. Pendekar Rajawali Sakti agak
limbung sedikit begitu kakinya menjejak tanah. Tangan kanannya yang memerah
bagai sepotong besi di dalam tungku pembakaran dipeganginya. Sementara itu Aria
Kandaka yang sudah bangkit berdiri, segera menghampiri Rangga.
"Kenapa tanganmu?" tanya Aria Kandaka.
"Tidak apa-apa," sahut Rangga.
Aria Kandaka memperhatikan tangan Rangga yang masih kelihatan memerah. Kalau
saja Rangga tidak mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
pada tingkat terakhir, mungkin sekarang ini tangannya sudah buntung saat
menyampok sinar keperakan tadi. Namun begitu, rasa panas tetap menjalar di
tangannya. Begitu panasnya, sehingga dari pergelangan tangan hingga ke ujung
jarinya memerah bagai terbakar.
"Hati-hati, Paman. Rupanya dia sudah mengetahui kalau kedoknya sudah
terbongkar," Rangga memperingatkan.
Pada saat itu, dari balik pepohonan bermunculan sekitar sepuluh orang berpakaian
serba hitam. Mereka berlompatan ringan, dan langsung
mengurung sambil menghunus golok melintang di depan dada. Sulit untuk melihat
wajah mereka, karena kesepuluh orang ini menutupi wajah dengan kain hitam. Dan
hanya pada bagian matanya saja yang terlihat
"Hm..., siapa mereka...?" gumam Aria Kandaka
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Seraaang...!"
Begitu terdengar teriakan memberi perintah, seketika itu juga sepuluh orang
berbaju serba hitam yang menggenggam senjata golok langsung berlompatan
menyerang. Rangga dan Aria Kandaka terpaksa berlompatan. Mereka memisahkan diri,
sehingga sepuluh orang ini terpaksa memecah menjadi dua bagian. Lima orang
mengeroyok Aria Kandaka, dan lima orang lagi menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Cring! Bet! Aria Kandaka yang memang hatinya sudah
Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbakar amarah, tidak ingin tanggung-tanggung lagi.
Langsung dikeluarkan pedangnya, dan dikebutkan dengan cepat. Lima orang
berpakaian hitam yang mengeroyoknya langsung terbabat. Begitu cepatnya gerakan
permainan pedang Ketua Padepokan
Gunung Lawu itu, sehingga lima orang berpakaian serba hitam itu tidak bisa lagi
membendungnya. Jeritan-jeritan panjang melengking terdengar saling susul. Dalam beberapa
gebrakan saja, lima orang itu sudah bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa
lagi. Aria Kandaka langsung saja melompat cepat hendak membantu Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Seperti seekor banteng jantan yang terluka, Aria Kandaka cepat mengebutkan
pedang. Langsung dibabatnya lima orang berbaju serba hitam yang menyerang
Rangga. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar. Rangga
terkejut melihat
Ketua Padepokan Gunung Lawu itu mengamuk, membantai orang-orang berbaju hitam
tanpa ampun lagi.
"Mampus kalian, Keparat..!" geram Aria Kandaka memaki.
Dalam waktu yang tidak begitu lama saja, sepuluh orang berbaju serba hitam itu
sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Udara malam yang semula dingin dan
bersih, kini tercemar bau anyir darah yang mengucur dari tubuh sepuluh orang
berbaju serba hitam ini.
"Tidak seharusnya kau membantai mereka,
Paman," ujar Rangga tidak menyetujui tindakan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
"Mereka pantas mampus!" dengus Aria Kandaka kesal.
Rangga menggeleng-gelengkan kepala. Dihampirinya salah seorang penyerang itu.
Lalu dilepaskannya kain hitam yang menyelubungi wajahnya.
"Heh..."!" sentak Aria Kandaka terkejut begitu kain hitam yang menutupi wajah
orang itu terbuka.
*** 8 Aria Kandaka membuka kain hitam penutup muka orang-orang itu satu persatu. Kedua
matanya semakin lebar terbeliak. Sepuluh orang berpakaian serba hitam ini
ternyata adalah murid-muridnya sendiri. Memang, dia tadi cepat bertindak
membunuh sehingga tidak sempat lagi mengenali jurus-jurus yang mereka gunakan.
Tidak heran kalau dalam beberapa gebrakan saja, sepuluh orang itu mampu
dituntaskan. "Setan...! Kenapa mereka memusuhiku..."!"
dengus Aria Kandaka geram.
"Mereka lebih patuh pada perintahku, Arya Kandaka."
"Heh..."!"
Aria Kandaka cepat memutar tubuhnya. Pada saat itu, sebuah bayangan hitam
berkelebat cepat di depannya. Dan tahu-tahu, di depan Ketua Padepokan Gunung
Lawu itu sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping mengenakan baju hitam
pekat. Meskipun sudah berumur lebih dari empat puluh tahun, tapi wajahnya masih
kelihatan cantik.
Sementara Rangga yang berada di samping Aria Kandaka hanya diam saja
memperhatikan. Plok, plok, plok...!
Wanita itu menepuk tangan beberapa kali. Maka dari kegelapan malam, bermunculan
orang-orang berbaju serba hitam bersenjatakan golok terhunus.
Mereka langsung bergerak mengepung tempat ini.
Ada sekitar dua puluh orang dengan kepala ter-
selubung kain hitam. Dan hanya pada bagian matanya saja yang terlihat
"Siapa kau sebenarnya" Kenapa mengacau
padepokanku?" tanya Aria Kandaka, terdengar lantang suaranya.
"Lima tahun memang bukan waktu yang pendek.
Tapi itu juga tidak cukup untuk menghapus ingatan, Aria Kandaka. Kau pasti tidak
akan lupa dengan benda ini!"
Wanita berbaju serba hitam yang selama ini dikenal sebagai Winarti melemparkan
sebuah benda berwarna keemasan. Benda itu jatuh tepat di ujung kaki Aria Kandaka
yang terbeliak begitu mengenali benda berbentuk tusuk rambut berwarna kuning
keemasan. Perlahan tubuhnya membungkuk, memungut tusuk rambut emas itu. Sebentar
diper-hatikannya benda Itu, kemudian ditatapnya wanita berbaju serba hitam
sekitar dua batang tombak di depannya.
"Mustahil...!" desis Aria Kandaka, seakan-akan tidak percaya dengan dirinya
sendiri. "Kau sudah mati, Lasti...."
"Itu anggapanmu, Aria Kandaka. Tapi, kenyataannya aku masih tetap hidup. Dan
sekarang, aku hendak menuntut balas!" dingin sekali nada suara wanita yang kini
dikenal Aria Kandaka bernama Lasti.
Bukan Winarti yang selama ini dikenalnya.
"Bagaimana mungkin kau bisa hidup" Dan
wajahmu itu...?" Aria Kandaka benar-benar jadi kebingungan.
Lasti tersenyum tipis. Tangan kanannya kemudian terangkat ke wajah. Perlahan-
lahan sekali tangannya bergerak seperti mengupas sesuatu di wajahnya. Dan Aria
Kandaka jadi terbeliak begitu mengetahui kalau
wanita itu memakai topeng yang begitu tipis, dan menyerupai wajah adiknya.
Kini, di depannya bukan lagi Winarti yang ada.
Melainkan, seorang wanita berwajah cacat, penuh luka. Seperti luka akibat
tergores ujung pedang. Kulit mukanya juga kelihatan hitam, seperti bekas
terbakar. Aria Kandaka benar-benar terkejut, dan mengenalinya. Wajah itu memang
pernah dilihatnya lima tahun yang lalu. Bahkan luka-luka di wajah yang menghitam
itu akibat dari goresan ujung pedangnya.
Lima tahun yang lalu, di antara mereka memang terjadi suatu perselisihan.
Tepatnya, perselisihan asmara. Dulu, selagi mereka muda, antara Aria Kandaka
dengan Lasti telah terjalin cinta kasih.
Namun karena Aria Kandaka mengasingkan diri ke Gunung Lawu, Lasti terpaksa
ditinggalkan. Mereka memang tidak bisa bersatu, karena orang tua Lasti melarang
hubungan mereka. Sebabnya, orang tua Lasti adalah antek Wira Permadi, yang
memerintah Kadipaten Karang Setra waktu itu. Maka bibit cinta kemudian
berkembang jadi bibit permusuhan.
Mereka kemudian bertarung di tepi sebuah jurang setelah lama tak bertemu. Aria
Kandaka yang saat itu masih malang-melintang di dalam rimba persilatan, berhasil
melemparkan wanita itu ke dalam jurang yang cukup dalam. Ujung pedang membabat
habis wajah wanita itu.
Bahkan satu tusukan pedangnya berhasil menembus bagian dada. Memang mustahil
kalau wanita yang bernama Lasti ini masih bisa bertahan hidup.
Tapi kenyataannya, sekarang masih bernapas dan berada di depan orang yang dulu
dicintainya. "Kau terkejut kenapa aku masih hidup, Aria Kandaka..." Maut memang belum mau
menjemputku. Seorang tua yang baik hati telah menyelamatkanku di dasar jurang. Dialah yang
merawatku sehingga aku punya kesempatan membalas sakit hatiku padamu,"
dingin sekali suara Lasti.
Geraham Aria Kandaka menggeretak hebat Hatinya benar-benar geram, karena selama
dua purnama ini tinggal bersama-sama orang yang masih berpihak pada Wira
Permadi. Bahkan semua rahasia
padepokan yang dibangunnya ini sudah diketahui Lasti. Sampai tempat penyimpanan
Bunga Wijayakusuma Merah pun diberi tahu.
Aria Kandaka baru menyadari, kalau saat seperti ini memang sudah direncanakan
Lasti. Acara peringatan satu tahun berdirinya Padepokan Gunung Lawu,
dimanfaatkan wanita ini untuk menghancurkannya dan padepokan yang didirikannya
selama satu tahun ini. Bahkan dia berhasil memalingkan kesetiaan murid-murid
Aria Kandaka padanya. Benar-benar suatu kerja yang rapi dan terencana baik. Dan
ini membuat Aria Kandaka benar-benar geram. Dia merasa telah tertipu, tanpa
dapat menyadari sedikit pun juga. Hasil kerjanya selama setahun ini begitu mudah
dihancurkan oleh seorang wanita yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.
"Terimalah kematianmu, Aria Kandaka! Hiya...!"
"Uts!"
Aria Kandaka cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu pedang tipis
berkelebat cepat di depan dadanya. Tapi sebelum sempat melakukan sesuatu, Lasti
sudah kembali melakukan serangan cepat. Pedangnya berkelebatan dahsyat mengurung
ruang gerak Ketua Padepokan Gunung Lawu itu.
Sementara Rangga yang sudah mengetahui per-tentangan cinta antara kedua orang
itu segera menyingkir menjauh. Tapi, perhatiannya tidak lepas dari orang-orang berbaju
serba hitam yang mengelilingi sekitar tempat pertarungan ini. Pada saat itu,
terlihat tamu-tamu undangan yang masih berada di padepokan menghampiri. Mereka
tak ada yang berbuat sesuatu, dan hanya berdiri saja menyaksikan pertarungan
Aria Kandaka melawan wanita berbaju serba hitam dari luar lingkungan kepungan
orang berbaju hitam yang menggenggam senjata golok terhunus di depan dada.
Pertarungan terus berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus berjalan cepat. Dan
masing-masing sudah mengeluarkan jurus-jurus andalan yang dahsyat.
Begitu cepatnya pertarungan berlangsung, sehingga tubuh mereka lenyap. Yang
terlihat kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan disertai kilatan-kilatan
cahaya pedang. "Hiyaaat..!"
Bet! Tiba-tiba saja Aria Kandaka mengecutkan cepat pedangnya ke dada wanita berbaju
serba hitam itu.
Sungguh sulit dipercaya. Lasti tidak berusaha berkelit sedikit pun. Bahkan
pertahanannya di bagian dada dibuka lebar-lebar. Maka tak pelak lagi, pedang
Aria Kandaka yang terkenal dahsyat itu menghantam dada Lasti dengan keras.
"Ha ha ha...!" Lasti malah tertawa terbahak-bahak.
"Heh..."! Edan...!" dengus Aria Kandaka terbeliak tidak percaya.
Bukan hanya Aria Kandaka saja yang terkejut setengah mati. Tapi, Rangga dan juga
semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terkejut Betapa tidak..."
Jelas sekali kalau pedang Aria Kandaka membabat dada Lasti. Tapi, wanita itu
tetap berdiri tegar. Bahkan tak ada sedikit pun luka di dadanya.
Aria Kandaka cepat-cepat melompat mundur.
Pandangannya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu mengecutkan pedang di depan dada, lalu cepat melompat
Pedangnya langsung dibabatkan ke leher wanita berbaju serba hitam itu.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Bet! "Heh..."!"
Untuk kedua katinya mata Aria Kandaka terbeliak.
Sukar dipercaya! Pedang kebanggaannya selama ini ternyata patah jadi dua bagian
begitu menghantam leher wanita berbaju serba hitam itu. Pada saat yang
bersamaan, Lasti menghentakkan tangan kanannya.
Langsung dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi
"Yeaaah...!"
Des! "Akh...!"
Aria Kandaka terpekik keras. Tubuhnya terpental ke belakang begitu pukulan yang
dilepaskan Lasti mendarat telak di dada. Keras sekali tubuhnya jatuh terguling
di tanah. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Dengan tubuh terhuyung-huyung,
Aria Kandaka bangkit berdiri
"Ugkh!"
Kembali dimuntahkannya darah segar dari mulut Tarikan napasnya juga jadi
terhambat, akibat pukulan bertenaga dalam tinggi yang mendarat di dada.
"Saatmu sudah tiba, Aria Kandaka! Hiyaaat..!"
Lasti melompat cepat bagaikan kilat Pedangnya
berkelebat mengarah ke leher Aria Kandaka. Tak ada lagi kesempatan bagi Ketua
Padepokan Gunung Lawu itu untuk menghindar. Terlebih lagi, saat ini tengah
menderita luka dalam yang cukup parah di bagian dada. Aria Kandaka hanya dapat
mendesis dan terbeliak melihat Lasti sudah melancarkan serangan cepat, dengan
pedang mengarah ke leher. Tapi pada saat mata pedang itu hampir membabat leher
Aria Kandaka, mendadak saja....
Trang! "Ikh..."!"
Lasti tersentak kaget setengah mati. Pedangnya hampir saja terlepas dari
pegangan. Cepat-cepat serangannya ditarik, lalu melompat mundur sejauh dua
batang tombak. Manis sekali kedua kakinya menjejak tanah.
"Setan...!" geram Lasti begitu melihat Rangga sudah berdiri di samping Aria
Kandaka. *** "Sudah cukup kau menghancurkannya, Nisanak.
Tidak perlu sampai membunuhnya," tegas Rangga.
"Minggir! Ini bukan urusanmu!" bentak Lasti geram.
"Aku memang tidak ada urusan dalam hal ini. Tapi tindakanmu sudah kelewat batas,
Nisanak. Kau hancurkan nama baik seseorang, hanya untuk mengumbar nafsu dan
dendammu," kata Rangga, tetap tegas suaranya.
"Hanya satu kali kuperingatkan, Pendekar Rajawali Sakti! Minggirlah, atau kau
juga ingin mampus!"
ancam Lasti tidak main-main.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit
Mata Pendekar Rajawali Sakti melirik Aria Kandaka yang berada di sampingnya.
Keadaan Ketua Padepokan Gunung Lawu itu sudah tidak me-
mungkinkan lagi untuk bertarung. Luka dalam akibat pukulan Lasti tadi, seakan-
akan telah meremukkan seluruh rongga dadanya. Bahkan tarikan napasnya saja sudah
demikian terhambat.
"Menyingkirlah, Paman. Biar kutangani dia," ujar Rangga.
"Hati-hatilah, Rangga. Aku yakin dia membawa Bunga Wijayakusuma Merah. Tubuhnya
jadi kebal, dan kepandaiannya berlipat ganda," Aria Kandaka memperingatkan.
Setelah memperingatkan Pendekar Rajawali Sakti, Aria Kandaka bergerak ke
belakang menjauhi.
Sementara Lasti sudah bersiap melakukan serangan.
Pedangnya sudah melintang di depan dada.
Sedangkan Rangga masih berdiri tegak. Matanya menatap tajam, menusuk langsung ke
bola mata wanita berbaju serba hitam di depannya.
"Aku sering mendengar julukanmu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal kalau
mati di tanganku," ancam Lasti dingin.
"Aku hanya ingin mencoba keampuhan Bunga
Wijayakusuma Merah yang kau bawa," sambut Rangga kalem.
"Rupanya kau sudah tahu kalau aku yang memiliki bunga itu, Pendekar Rajawali
Sakti," desis Lasti dingin.
"Ya. Karena tak ada orang lain lagi yang tahu tempat penyimpanannya selain kau.
Mustahil bunga itu hilang begitu saja dari tempatnya."
"Kau baru datang siang tadi, tapi sudah tahu segalanya. Aku mengagumi
kepintaranmu dalam
menilai, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sayang, kau akan mati malam ini," semakin
dingin suara Lasti.
"Terima kasih."
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"
Hampir bersamaan, mereka melompat saring
menerjang. Lasti melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dengan
tangan kirinya.
Serangan itu langsung disambut Rangga dengan hentakan tangan kanannya. Dua
pukulan bertenaga dalam tinggi bertemu di udara, hingga menimbulkan ledakan
dahsyat menggelegar.
Tampak mereka sama-sama terpental berputaran ke belakang. Hampir bersamaan pula,
mereka mendarat kembali di tanah. Lasti langsung melesat lagi begitu kakinya
menjejak tanah. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan ke arah dada Rangga. Namun
dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari
tebasan pedang wanita berbaju serba hitam ini.
Pertarungan memang tak dapat dihindari lagi. Lasti yang sudah banyak mendengar
kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, tidak lagi bermain tanggung-tanggung, meskipun sekarang
ini sudah menguasai Bunga Wijayakusuma Merah yang membuat
kepandaiannya jadi berlipat ganda. Bahkan tubuhnya juga jadi kebal terhadap
senjata. Itu terbukti ketika pedang Aria Kandaka patah begitu membabat lehernya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sampai sepuluh jurus berlalu, Rangga masih
menghadapi dengan tangan kosong. Beberapa kali pukulannya berhasil mendarat,
tapi tak sedikit pun membuat Lasti goyah.
Pendekar Rajawali Sakti 61 Memperebutkan Bunga Wijaya Kusuma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahkan wanita itu kelihatan semakin garang. Dan
setiap pukulan Rangga yang mendarat di tubuhnya, membuat kekuatan wanita itu
terus bertambah.
Hingga, tak sedikit pun merasa sakit setiap kali mendapat pukulan Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hm... Kekuatannya semakin bertambah besar saja. Sungguh dahsyat pengaruh bunga
itu pada dirinya," gumam Rangga langsung menyadari.
Sementara Lasti semakin dahsyat saja melancarkan serangan-serangannya. Dan
Rangga tidak lagi membalas menyerang. Dia hanya berkelit, berjumpalitan
menghindari setiap serangan yang datang.
Pendekar Rajawali Sakti terus mencari kelemahan wanita berbaju serba hitam itu.
Hingga akhirnya....
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Rangga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat tubuhnya
meluruk deras membuka jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali
serangan yang dilakukan Rangga kali ini, sehingga Lasti tak sempat lagi
menyadari. Dan sebelum wanita berwajah penuh luka itu melakukan sesuatu, kaki
Pendekar Rajawali Sakti sudah mendepak kepalanya.
*** "Akh...!" Lasti terpekik keras agak tertahan. Wanita bermuka buruk penuh luka
itu kontan terhuyung-huyung terkena dupakan kaki Rangga pada kepalanya. Dan
sebelum dapat berbuat sesuatu, Rangga sudah mencabut pedang pusakanya. Sinar
biru langsung menerangi sekitarnya. Kemudian pedangnya dikebutkan ke arah dada.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti menahan arus tebasan sedikit, sehingga ujung
pedangnya hanya menebas baju bagian dada wanita
itu. Bet! "Ikh..."!"
Lasti jadi kelabakan, karena bagian dadanya jadi terbuka. Pada saat itu, tangan
kiri Rangga bergerak cepat menyambar bagian perut wanita itu.
Bret! "Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang.
Beberapa kati dia melakukan putaran di udara, sebelum menjejakkan kakinya sejauh
dua batang tombak dari wanita berbaju serba hitam ini. Di tangan kirinya kini
telah tergenggam sobekan baju Lasti. Di antara sobekan kain itu, terdapat
sekuntum bunga berwarna merah bagai berlumur darah.
"Keparat..!" geram Lasti.
Rangga tersenyum melihat hasil serangannya begitu memuaskan. Kini tak ada lagi
kekuatan yang dimiliki Lasti tanpa Bunga Wijayakusuma Merah.
Pendekar Rajawali Sakti memasukkan kembali Pedang Rajawali Sakti ke dalam
warangkanya di punggung. Cahaya biru terang langsung lenyap seketika begitu
pedang itu tenggelam ke dalam warangka.
"Kubunuh kau, Rangga! Hiyaaat..!"
Lasti jadi nekat. Bagaikan kilat dia melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Pedangnya dikibaskan disertai pengerahan seluruh kemampuan tenaganya. Tapi hanya
sedikit saja Rangga menarik tubuh ke belakang, tebasan pedang itu berhasil
dihindari. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti berhasil memasukkan satu sodokan
tangan kanan ke dada wanita ini.
"Akh...!"
Lasti terpental ke belakang, dan tidak dapat lagi menguasai keseimbangan
tubuhnya. Keras sekali tubuhnya jatuh telentang di tanah. Dan pada saat itu,
Aria Kandaka melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok yang dipungutnya
dari tanah. "Hiyaaat..!"
"Paman, jangan...!" seru Rangga mencoba
mencegah. Tapi terlambat...
Bres! "Aaa...!"
Golok di tangan Aria Kandaka langsung
menghunjam dalam ke dada wanita berwajah buruk penuh luka itu. Darah seketika
menyembur deras sekali. Lasti berkelojotan, sementara golok masih memanggang
dadanya dengan dalam hingga sampai ke pangkal gagangnya.
Tak berapa lama dia mengejang, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Aria Kandaka
cepat melompat mundur begitu melihat bekas kekasih yang telah menjadi musuh
bebuyutannya sudah tak bernyawa lagi. Saat itu Rangga sudah berada di
sampingnya. Perlahan Aria Kandaka memutar tubuhnya menghadap Pendekar Rajawali Sakti.
Sebentar ditatapnya pendekar muda itu, lalu pandangannya beredar ke sekeliling.
"Pergilah. Bawa bunga itu untuk Nyai Karti. Dia lebih membutuhkan daripada aku,"
kata Aria Kandaka.
"Bagaimana dengan di sini?" tanya Rangga.
"Biar aku yang mengurus. Tidak semua muridku berkhianat," sahut Aria Kandaka.
Memang di tempat ini, terlihat beberapa orang pemuda berbaju serba merah.
Sedangkan sekitar tiga
puluh orang berbaju hitam sudah menjatuhkan diri, berlutut begitu melihat Lasti
tewas. Dan orang-orang persilatan yang masih berada di padepokan ini, satu
persatu menyingkir meninggalkan bagian belakang padepokan ini. Mereka seperti
tidak mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
Rangga menatap dua orang gadis kembar yang tadi menyatu bersama orang-orang
persilatan tamu undangan Padepokan Gunung Lawu ini. Rangga tidak lagi terkejut
melihat mereka. Memang sudah diduga kalau kedua gadis kembar itu pasti datang
kembali ke padepokan ini untuk mencari Bunga Wijayakusuma Merah yang sangat
dibutuhkan bagi penyembuhan ibu mereka dari kelumpuhan. Rangga tak peduli kalau
kedua gadis itu merasa malu, karena tak mem-percayainya.
"Aku akan kembali lagi ke sini, Paman," kata Rangga.
"Kedatanganmu selalu kuharapkan. Pergilah, sebelum ada di antara mereka yang
menginginkan bunga itu," sahut Aria Kandaka.
Rangga menjura memberi hormat, kemudian
memutar tubuhnya dan melangkah mendekati dua orang gadis kembar itu. Sementara
Aria Kandaka masih berdiri memperhatikan. Sebentar Rangga berbicara pada Dewi
Kembar dari Utara, kemudian mereka sama-sama beranjak pergi meninggalkan
Padepokan Gunung Lawu ini.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Pedang Pelangi 3 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Panji Wulung 6