Pencarian

Pendekar Pedang Pelangi 3

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 3


terasa tangan pemuda itu terulur ke depan untuk memegang pundak Siau In. Pada
saat itulah tiba-tiba Siau In membalik!
Plaaak! Plaaaak! Dua kali tamparan yang keras mendarat di pipi Chin Tong Sia! Begitu cepat dan
keras sehingga pemuda itu tidak kuasa lagi untuk menghindarinya.
Jaraknya demikian dekat, dan Chin Tong Sia sendiri memang lengah. Akibatnya pipi
pemuda itu menjadi bengkak dan merah, bahkan dari sela-sela bibirnya mengalir
darah segar. Tapi sungguh mengherankan! Sama sekali pemuda itu tidak marah atau sakit hati.
Pemuda itu hanya mengusap-usap saja pipinya yang bengkak. Hanya matanya saja
yang berkedip-kedip seperti lampu kehabisan minyak, memandang dengan wajah
menyesal kepada Siau In. "Heh" Kenapa kau diam saja ditampar gadis ini?"
Entah dari mana datangnya, mendadak di dekat Chin Tong Sia telah berdiri Put-
pai-siu Hong-jin! Si Gila itu seperti hantu yang muncul begitu saja di tempat
itu, sehingga Siau In yang baru saja menampar 168
Chin Tong Sia itu sampai terlonjak saking kagetnya!
Apalagi ketika gadis itu melihat wajahnya yang menyeramkan!
"Suheng! Sekali lagi kau jangan turut campur!
Aku... tiba-tiba aku merasa menyesal telah mempermainkan gadis ini. Aku memang
anak bengal. Aku tak pernah mempunyai Ayah dan Ibu. Yang ada hanya Suhu dan para Suheng yang
terlalu amat memanjakan aku. Aku tak pernah diajari untuk menghormati wanita.
Aku tak pernah ditampar kalau berbuat nakal. Oooh, kalau aku punya Ibu, aku
tentu sering dipukul dan ditampar seperti ini kalau nakal...."
seperti orang melamun Chin Tong Sia bergumam dengan suara lemah.
"Nah, kau sudah mulai cengeng lagi! Huh, bosan aku...! Sudahlah, aku akan pergi
dulu! Silakan kau menangis bersama gadis ini sepuasnya, asal jangan lupa datang
di rumah nelayan itu tengah malam nanti!"
Selesai menggerundel Put-pai-siu Hong jin melesat pergi dari tempat itu.
Datangnya sangat tiba-tiba, begitu perginya. Tubuhnya yang kurus dan agak
bungkuk itu seperti berubah menjadi asap yang tertiup angin semakin jauh. Cepat
bukan main! Siau In sampai terbelalak saking herannya.
"Nona, maafkanlah aku. Aku benar-benar menyesal mempermainkan engkau. Kuharap
kau tidak menjadi sakit hati terhadapku...." sambil tetap mengelus-elus 169
pipinya yang bengkak Chin Tong Sia meminta maaf kepada Siau In.
Siau In sudah tidak sesenggukan lagi. Masih dengan kaki bersimpuh di atas rumput
gadis itu menatap dengan rasa benci kepada Chin Tong Sia.
Rona merah masih menjalar di pipi gadis itu kalau mengingat keadaannya ketika
diintip oleh pemuda itu. Tapi pemuda itu kini juga ikut bersimpuh di depannya. Bahkan pemuda itu tampak
sangat menyesali perbuatannya. Terbukti ditampar sampai bengkak dan berdarah pun
ia tak membalas. Akhirnya susut juga kemarahan Siau In.
"Baiklah, aku memaafkan kau. Tapi... coba kau berkata terus terang! Apakah kau
tadi benar-benar melihat... eh... melihat seluruhnya?" dengan wajah kembali
memerah Siau In mencoba meyakinkan sekali lagi akan kekhawatirannya.
Chin Tong Sia menatap dengan agak takut-takut.
Sikapnya itu benar-benar aneh dan bertolak belakang dengan kehebatannya dalam
ilmu silat! Perlahan-lahan kepala Chin Tong Sia mengangguk.
Plaaaak! Kemarahan Siau In tiba-tiba meledak kembali dan tangannya melayang ke pipi Chin
Tong Sia tanpa bisa dicegah lagi. Akibatnya untuk kedua kalinya darah mengalir
keluar dari mulut pemuda itu.
"Wah, payah...! Sute, apa sebenarnya yang telah terjadi padamu" Kenapa kau tetap
diam saja seperti patung" Lama-lama kau bisa ompong... ditampar 170
terus-menerus oleh perempuan galak itu!" terdengar suara Put-pai-siu Hong-jin
dari kejauhan. Siau In tercengang. Orangnya sudah tidak tampak, tapi kenapa seperti masih bisa
menyaksikan keadaan di tempat itu" Berdiri juga bulu roma Siau In melihat
kesaktian orang itu. Apa jadinya kalau manusia menyeramkan itu tadi menjadi
marah dan membela sutenya" Baru Si pemuda ini saja sudah bukan main lihainya,
apalagi orang itu. Perlahan-lahan Siau In menurunkan tangannya yang telah siap sedia hendak
menampar lagi. Matanya yang galak itu tiba-tiba meredup tatkala menyaksikan
aliran darah yang masih menetes-netes di sudut bibir Chin Tong Sia. Sejenak
heran juga hati Siau In melihat pemuda itu diam saja tak membalas ketika ia
tampar tadi. Apakah pemuda itu takut padanya" Jelas tidak. Pemuda itu memiliki
kesaktian yang jauh lebih tinggi dan pada silatnya. Apakah pemuda itu benar-
benar menyesali perbuatannya"
Siau In menghela napas panjang. Matanya tertunduk pula.
"Menurut aturan aku harus membunuhmu untuk menghilangkan rasa maluku. Tapi...
sudahlah. Aku tak tega melihat kau telah menyesali perbuatanmu. Hanya kuminta
untuk selanjutnya kau jangan sampai bertemu dengan aku. Kalau sampai berjumpa
sekali lagi, aku akan membunuhmu. Kalau tak bisa membunuhmu, aku sendiri yang
akan bunuh diri. Aku tak ingin melihat orang yang telah melihat tubuhku,
kecuali...." 171 Siau In tak meneruskan ucapannya, kemudian berdiri dan meninggalkan tempat itu.
"Kecuali... apa, Nona?" Chin Tong Sia cepat berdiri dan bertanya.
Tapi Siau In tak mau berbicara lagi. Kakinya melangkah cepat menuju ke pantai.
Chin Tong Sia sendiri sebenarnya juga akan ke perkampungan nelayan pula. Tapi ia
tak berani membarengi gadis itu.
Ia takut gadis itu akan membuktikan ancamannya.
Barulah ketika gadis itu tidak kelihatan lagi, Chin Tong Sia melangkah pula
menuju ke pantai. Inilah pengalamannya yang pertama dengan seorang gadis selama
hidupnya yang telah menginjak dua puluh enam tahun itu.
"Oh... tololnya aku! Sampai lupa aku menanyakan namanya! Hmmm...!" pemuda itu
menyesali dirinya. Tiba-tiba Chin Tong Sia ingat pada bungkusan Siau In yang masih ketinggalan di
dekat selokan itu. Bergegas pemuda itu kembali dan mengambilnya.
Namun ketika ia hendak berlari untuk memberikan benda tersebut ke pemiliknya,
hatinya kembali ragu-ragu.
"Ah, peristiwa ini masih mengeruhkan pikirannya.
Dia bisa benar-benar berbuat nekad kalau aku tetap mendesaknya. Hmh, biarlah
lain kali saja kalau takdir masih mempertemukan aku dengan dia, barang ini akan
kuserahkan kepadanya." Sambil menarik napas panjang Chin Tong Sia mengikatkan
bungkusan itu ke pundaknya. Entah apa isinya ia tak tahu.
172 Demikianlah, peristiwa yang tidak mengenakkan hati itu masih saja mengganggu dan
berkecamuk hebat di dalam pikiran Siau In. Oleh sebab itu pula walaupun malam
telah merangkak semakin larut, gadis cantik itu masih saja bermenung sendirian
di tepi pantai. Dibiarkannya angin malam yang nakal itu membelai dan mengacaukan
rambutnya. Bahkan dibiarkannya pula air laut yang mulai pasang itu membasahi
kain celananya. Berjam-jam lamanya gadis itu duduk diam bagai patung batu. Diam tak bergerak.
Matanya menerawang jauh ke tengah laut seolah-olah ingin menjenguk cakrawala, di
mana langit dan permukaan laut saling bertaut menjadi satu. Hanya tarikan
napasnya yang panjang dan berat saja yang menandakan gadis itu masih hidup.
Terdengar suara lonceng dari kampung Ui-thian-cung, pertanda hari sudah lewat
tengah malam. Air laut benar-benar telah mulai pasang, sehingga pasir di mana
Siau In duduk juga mulai dibanjiri air.
Siau In terpaksa beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dengan lesu gadis itu
melangkah satu-satu ke tempat yang lebih tinggi. Kadang-kadang ia harus
melompati batu-batu karang yang berserakan di depannya. Dan akhirnya gadis itu
memutuskan untuk duduk kembali di sebuah batu karang yang menjulang paling
tinggi. Namun ketika Siau In mulai meletakkan pantatnya di puncak batu karang itu, tiba-
tiba matanya terbelalak 173
memandang ke tengah laut. Di antara gulungan ombak yang bergulung-gulung datang,
gadis itu melihat sebuah perahu datang mendekati pantai di mana ia berada. Yang
membuatnya heran adalah perahu itu sama sekali tidak memasang lampu seperti
halnya perahu-perahu nelayan yang lain.
Siau In meloncat turun dan bersembunyi di balik batu karang. Nalurinya
mengatakan bahwa perahu yang datang itu bukanlah perahu nelayan biasa. Ada
sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Selain tidak memasang lampu, perahu itu juga
tidak berlabuh di perkampungan nelayan, tapi tempat terasing seperti ini.
Perahu itu ternyata cukup besar pula, mungkin - ada empat atau lima tombak
panjangnya. Di tengah-tengahnya dibangun sebuah ruangan lengkap dengan atapnya.
Dan begitu menyentuh pasir, enam orang penumpangnya segera berloncatan turun
untuk menyeret perahu itu ke tepian.
Siau In menjadi berdebar-debar hatinya. Melihat gerakan orang-orang itu dapat
dipastikan bahwa mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi. Tubuh mereka yang
hanya mengenakan baju tanpa lengan itu, tampak kokoh kekar dan perkasa.
"Tutup perahu ini dengan daun ilalang yang tumbuh di tepian itu!" tiba-tiba
terdengar suara berwibawa dari dalam perahu.
174 Siau In terkejut bukan main. Ternyata masih ada lagi orang di dalam perahu itu.
Untunglah gadis itu tidak gegabah dalam pengintaiannya.
Sekejap saja keenam orang itu telah membabati daun ilalang dan menutupkan nya
pada perahu besar itu. Mereka bekerja dengan cepat tanpa suara, seperti kawanan
hantu yang bekerja di malam hari. Mereka seperti tidak memperdulikan orang yang
masih berada di dalam perahu.
Selesai menimbun perahu dengan daun ilalang, orang-orang itu lalu berdiri tegak
menunggu perintah. Tak seorang pun membuka mulutnya. Mereka tegak kaku bagaikan patung batu.
Siau In mencoba melihat wajah-wajah mereka.
Namun karena jaraknya terlalu jauh, maka hanya warna pakaian dan bentuk
perawakan mereka saja yang bisa dilihatnya. Kegelapan membuat wajah mereka tampak hitam dan samar-samar.
Keenam orang itu mengenakan pakaian yang berbeda-beda warnanya. Kuning, hijau,
biru, merah, putih dan hitam. Masing-masing membawa pedang di atas punggungnya.
"Carilah tempat berlindung! Kita tunggu kedatangan mereka!" tiba-tiba terdengar
suara di atas batu karang di mana Siau In bersembunyi.
Hampir saja Siau In menjerit. Tanpa dia ketahui bagaimana atau kapan keluarnya,
orang yang berada di dalam perahu tadi telah berdiri tegak di atasnya, di atas
batu karang besar itu. Demikian dekatnya, 175
sehingga rasa-rasanya dia bisa menjangkau ujung sepatu orang itu. Untunglah
cuaca cukup gelap dan suara debur ombak juga cukup berisik pula sehingga benar-
benar membantunya dari perhatian orang itu.
Coba kalau tidak, arang itu tentu akan segera mengetahui persembunyiannya.
Angin laut berhembus dengan tajamnya, tapi peluh dingin justru mengucur dengan
derasnya di leher dan punggung Siau In. Hampir-hampir gadis itu tidak berani
bernapas, takut suaranya akan terdengar.
"Ada orang datang...!" orang itu bersuara lagi.
"Bersembunyilah...!"
Dan untuk yang kedua kalinya Siau In tersentak kaget. Suara itu telah berada di
dalam timbunan daun ilalang kembali, tanpa sedikit pun ia ketahui kapan
berpindahnya. Padahal perahu yang ditimbun ilalang itu ada tiga atau empat
tombak jauhnya dari batu karang tempat ia bersembunyi.
Sekarang bukan hanya ketegangan atau ketakutan yang melanda hati Siau In, tapi
juga rasa ngeri menyaksikan kehebatan orang itu. Sekejap timbul juga perasaan
bimbang di hatinya. Benarkah orang itu atau mereka itu manusia-manusia biasa
seperti dirinya" Ataukah mereka itu hantu-hantu penjaga pantaj yang sedang
menakut-nakuti dirinya"
"Aku sama sekali tak melihat gerakannya. Orang yang berdiri di atas batu karang
ini tadi seperti menghilang begitu saja. Rasa-rasanya memang cuma 176
hantu atau roh yang bisa berbuat demikian." gumam Siau In di dalam hatinya.
Kemudian gadis itu menyurukkan tubuhnya semakin dalam ke celah-celah batu
karang. Kalau memang benar makhluk-makhluk itu bukan manusia seperti dirinya,
Siau In ingin tahu apa yang hendak mereka perbuat di tempat itu.
"Hemmm, kenapa hanya seorang yang datang...?"
tiba-tiba orang yang bersembunyi di dalam perahu tadi berdesah agak keras.
Siau In menjulurkan kepalanya di antara celah sempit di dekatnya. Dengan amat
hati-hati gadis itu mengintip ke luar.
Benar juga. Tidak lama kemudian dari arah kampung Ui-thian-cung terlihat sesosok
bayangan hitam berloncatan di antara batu karang yang berserakan di tepian
pantai tersebut. Dengan cepat bayangan hitam itu terbang mendekati. Gerakan
kakinya sangat ringan dan lincah, menandakan orang itu memiliki ginkang yang
tinggi pula. Sekejap saja bayangan itu telah berada di dekat perahu. Dan sungguh kebetulan
juga, bayangan itu berdiri tak jauh dari tempat Siau In bersembunyi, sehingga
gadis itu bisa melihat wajah orang itu dengan jelas.
Orang itu mengenakan jubah hitam yang amat longgar, hingga tubuhnya yang tegap
dan tinggi itu semakin tampak seperti raksasa. Rambutnya yang panjang dan telah
berwarna dua itu dibiarkan tergerai 177
di pundaknya. Demikian juga dengan kumis dan jenggotnya yang lebat itu
dibiarkannya tumbuh bebas menutupi sebagian besar wajahnya pula. Sesaat hampir
saja Siau In menyangkanya sebagai Tong Taisu.
-- o0d-w0o -- JILID V AAFKAN hamba, Kongcu. Hamba
datang terlambat, sehingga hamba tidak bisa menjemput kedatangan Paduka di
Mtengah laut tadi." orang yang baru saja datang itu membungkuk hormat ke arah
perahu sambil melaporkan keadaannya.
"Ada urusan apa di Pek-hok-bio sehingga kau mesti terlambat menjemput aku?"
orang lihai di dalam perahu itu berkata dingin.
Raksasa berjubah hitam itu menarik napas panjang.
"Musuh lama hamba kembali datang mengganggu tugas hamba, Kongcu." jawabnya
kemudian dengan suara geram.
"Hmmh! Sogudai...! Siapa musuh lamamu itu"
Apakah kau dan teman-temanmu tidak dapat menyelesaikan dia?" suara di dalam
perahu itu terdengar marah.
178 Raksasa yang dipanggil Sogudai itu kelihatan gemetar tubuhnya. "Dia bernama...
Liu Wan, Kongcu. Dia dikenal orang sebagai Bun-bu Siu-cai (Pelajar Serba Bisa). Kepandaiannya
sangat tinggi, sehingga hamba dan kawan-kawan hamba tidak bisa menghadapinya.
Pek-hok-bio terpaksa kami tinggalkan...."
Siau In yang sejak tadi selalu melotot mengawasi timbunan ilalang di atas perahu
itu, tiba-tiba melihat sebuah gerakan. Tumpukan daun ilalang yang menutupi
bagian atap perahu itu mendadak tersingkap sedikit, lalu sesosok bayangan tampak
melesat keluar dengan kecepatan yang sulit dilukiskan. Dan selanjutnya terdengar
suara tamparan pada pipi Sogudai, sehingga raksasa itu sempoyongan hampir jatuh.
"Tolol kau...!" orang yang bersuara angker itu mengumpat dan di lain saat
bayangannya telah menyusup kembali ke dalam perahu.
Meskipun bisa menangkap gerakan orang di dalam perahu itu, tapi tetap saja Siau
In tak dapat melihat dengan jelas macam apa orang itu. Demikian cepatnya orang
tersebut bergerak sehingga rasa-rasanya cuma bayangannya saja yang tampak.
Sogudai berlutut di atas pasir. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
"Maafkan hamba, Kongcu...." desahnya lirih hampir tak terdengar.
179 Hening sesaat. Lalu terdengar suara tarikan napas panjang dari dalam perahu.
"Baiklah, semua ini memang bukan salahmu sendiri. Kau boleh terus melanjutkan
tugasmu. Lalu... kemanakah kawan-kawanmu?" suara dari dalam perahu, itu berubah lunak.
Sogudai tampak gembira sekali. Berulang kali dia membungkukkan tubuhnya dan
mengucapkan terima kasih.
"Mereka hamba perintahkan untuk pergi meninggalkan Pek-hok-bio dan berkumpul di
kota Cia-sing. Kalau Kong-cu memperbolehkan, kami bermaksud untuk menggabungkan
diri dengan rombongan Bayan Tanu di kota Siang-hai."
"Bodoh!" Tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu itu membentak. "Mengapa otakmu
sekarang menjadi amat tolol begitu, Sogudai" Bukankah kau dan anak buahmu
ditugaskan di Propinsi She-kiang ini" Kenapa sekarang tiba-tiba kau ingin
bergabung dengan Bayan Tanu yang bertugas di Propinsi Kiang-su" Lalu siapa yang
bertanggung jawab di daerah ini?"
Sogudai dengan ketakutan berlutut di atas pasir basah. Berulang-ulang ia meminta
maaf dan mengakui kebodohannya.
"Hamba... hamba memang terlalu bodoh, Kongcu.
Kegagalan-kegagalan dalam tugas hamba selama ini membuat hamba berputus asa dan


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan kepercayaan diri. Hamba takut akan semakin 180
mengecewakan Seng-yu (Sebutan untuk raja suku bangsa Hun atau Tartar)."
"Jadi... kau hendak mengundurkan diri dari tugasmu ini?" suara dari dalam perahu
itu mendadak menjadi kejam dan dingin kembali.
"Bukan... bukan begitu, Kongcu!" Sogudai merintih ketakutan. "Hamba tidak
bermaksud demikian. Hamba... hamba justru ingin bertanggung jawab atas kegagalan-kegagalan hamba
itu. Tapi hamba ingin mempertanggung- jawabkannya sendirian. Hamba tidak ingin
melibatkan dan menyeret kawan-kawan hamba itu dalam hal ini. Mereka adalah
orang-orang yang sangat patuh dan setia kepada Seng-yu. Maka biarlah mereka
bergabung dengan Bayan Tanu, sementara hamba akan menanti hukuman dari Kongcu."
Hening kembali. Orang yang ada di dalam perahu itu tidak segera menjawab
perkataan Sogudai. Dan keheningan tersebut benar-benar mencekam hati Siau In
yang menggigil kedinginan di dalam persembunyiannya.
Meskipun tidak mengetahui ujung pangkal dari pembicaraan orang-orang itu, namun
sebagai orang Han yang setia terhadap negerinya, sedikit banyak Siau In menjadi
curiga terhadap sepak-terjang mereka.
Gurunya pernah bercerita tentang kekejaman suku bangsa Hun dari luar Tembok
Besar, yang pernah beberapa kali menyerang Negeri Tiongkok.
181 "Jangan-jangan mereka ini orang-orang Hun yang pernah diceritakan Suhu itu.
Tetapi... rasa-rasanya juga mustahil. Tempat ini ada ribuan lie jauhnya dari
Tembok Besar itu. Apa yang mereka cari di daerah ini?" gadis itu bertanya-tanya
di dalam hatinya. "Sogudai...! Kita tunda dulu persoalanmu ini. Kita bicarakan lagi nanti setelah
tugas di tempat ini selesai.
Untuk sementara kau boleh bergabung dengan rombongan Hulungka yang sebentar lagi
akan tiba di sini." akhirnya suara dari dalam perahu itu memecah keheningan.
"Terima kasih, Kongcu."
"Nah... itu dia! Hulungka telah datang! Kau tetaplah di tempatmu!"
Siau In semakin berdebar-debar hatinya. Secara tak sengaja ia berada di tempat
yang sangat berbahaya, di mana sebuah kekuatan rahasia yang amat mencurigakan
mengadakan pertemuan. Tak lama kemudian dari tengah laut muncul tiga buah sampan kecil merapat ke
pantai. Setiap sampan memuat tiga orang lelaki berseragam nelayan, lengkap
dengan jaring dan topi lebarnya. Salah seorang dari mereka, yang bertubuh besar
seperti halnya Sogudai, segera meloncat turun dan berlari mendapatkan Sogudai.
Namun sebelum orang itu menyapa Sogudai, orang yang ada di dalam perahu itu
sudah menegur lebih dahulu. "Hulungka! Bagaimana dengan hasil penyelidikkanmu"
Apakah para pemenang sayembara 182
"Mengangkat Arca" dari lima kabupaten di sekitar muara Sungai Yang-tse itu jadi
dikumpulkan di daerah ini?"
Nelayan bertubuh besar itu terkejut sekali, ia tak bisa segera menjawab teguran
tersebut. "Kongcu berada di dalam perahu yang tertimbun ilalang itu." Sogudai
memberitahukan. "Akh...! Maaf, Kongcu. Perhatian hamba cuma ke Sogudai saja sehingga tidak tahu
kalau Kongcu sudah berada di tempat ini." Hulangka cepat-cepat menjawab dan
memberi hormat ke arah perahu itu.
"Lekas kau laporkan hasil penyelidikanmu itu!"
suara dari dalam perahu itu kembali menghardik.
Hampir saja Siau In terpeleset di tempat persembunyiannya. Suara itu tidak
begitu keras, namun terasa menggelegar di dalam rongga dadanya.
Untunglah ia segera mengerahkan sinkang-nya, sehingga getaran suara tersebut
dapat diredamnya. "Orang yang dipanggil Kongcu ini sungguh hebat sekali kepandaiannya. Rasanya
tidak kalah dengan Pemuda Nakal yang memberi malu kepadaku sore tadi. Hmmmm,
dunia persilatan memang benar-benar menggetarkan. Kepandaian silat yang
kupelajari dan kubangga-banggakan selama ini ternyata belum apa-apanya bila
dibandingkan dengan mereka." gadis itu berdecak kagum di dalam hati.
"Kongcu, seperti yang diperintahkan oleh Pendeta Agung Ulan Kili, hamba beserta
anak buah hamba sudah menjelajah hampir seluruh kota aliran muara 183
Sungai Yang-tse. Hamba melihat dan mengikuti terus persiapan-persiapan yang
dilakukan oleh anak buah Au-yang Goanswe di daerah tersebut. Menurut penglihatan
hamba, rencana mereka tetap tak berubah.
Pemuda-pemuda itu tetap akan dikumpulkan lebih dulu di tempat di sepanjang
pantai ini. Sayang hamba tak bisa memperoleh kepastian tempatnya...."
"Huh!" orang yang ada di dalam perahu itu mendengus kesal. "Lalu, apa yang
hendak kalian lakukan selanjutnya?"
Hampir berbareng Hulungka dan Sogudai mengangkat wajahnya. Keduanya tampak kaget
dan bingung. "Aa-apa... maksud Kongcu?" akhirnya Hulungka memberanikan diri untuk bertanya.
"Sudah kukatakan, apa rencana kalian selanjutnya"
Lekas kalian jawab!"
"Eh, anu... bukankah kita telah diperintahkan oleh Panglima Solinga untuk
menumpas mereka setelah mereka berkumpul semuanya?" Hulungka menjawab dengan
gugup. "Aku tidak sependapat!" tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu itu menggeram
keras. Tubuh Sogudai dan Hulungka yang besar itu tersentak kaget. Mereka saling
berpandangan. "Maksud... maksud Kongcu?" Sogudai memohon penjelasan.
"Aku tidak setuju dengan rencana Panglima Solinga!"
184 "Jadi...?" "Kita akan membantai para pemenang perlombaan itu secepatnya, di manapun juga
mereka pun kita temukan! Tak perlu harus menunggu mereka berkumpul!"
Hulungka dan Sogudai menjadi ketakutan. Wajah mereka menjadi pucat.
"Tapi... tapi... Panglima Solinga telah dipercaya oleh 'Seng-yu' untuk memimpin
tugas rahasia ini." dengan suara gemetar Hulungka mencoba untuk memberi peringatan.
"Persetan dengan kepercayaan itu! Yang penting kita harus berhasil dengan tugas
kita ini! Seharusnya Panglima Solinga berpikir dua kali untuk mempercayai
rencana Au-yang Goan-swe itu!" orang di dalam perahu itu menggeram lagi dengan
keras. "Maksud Kong-cu...?" Hulungka bertanya.
"Orang Han terkenal akan kelicikan dan kecerdikannya. Aku khawatir Au-yang Goan-
swe sengaja meniupkan berita palsu untuk menjebak orang-orang yang hendak
merintangi tugasnya. Ingatlah! Au-yang Goanswe adalah seorang panglima perang yang terkenal cerdik
dan ahli bersiasat!"
"Oooh!" Hulungka tertegun seperti orang yang baru saja terbangun dari tidurnya.
Perkataan orang yang ada di dalam perahu itu mulai mengusik hatinya.
"Seharusnya kita merasa heran atas rencana itu.
Cobalah kalian pikirkan. Kota An-king dan Wuhu di Propinsi An-hwei, lalu kota-
kota Nanking, Cin-kiang 185
dan Wu-shi di Propinsi Kiang-su. Kota-kota tersebut lebih dekat jaraknya: dari
kota raja daripada Hang-ciu ini. Nah, mengapa anak buah Au-yang Goanswe itu
harus berpayah-payah membawa rombongan pemenang sayembara itu ke sini kalau
akhirnya mereka harus dibawa kembali ke utara" Masuk akalkah itu?"
"Ini... ini, eh... pendapat Kongcu rasanya betul juga." akhirnya dengan suara
lirih Hulungka mengakui. "Benar. Rasanya memang aneh. Mengapa mereka tidak dikumpulkan di kota Nanking
saja, sehingga tidak bolak-balik membawanya?" Sogudai berdesah pula dengan
heran. "Nah! Sekarang kalian berdua boleh memilih.
Menurut perintahku atau... tetap mengikuti rencana Panglima Solinga! Lekas
jawab!" "Tapi... bagaimana dengan Panglima Solinga?"
Hulungka menjawab ragu. "Jangan khawatir! Aku sendiri yang akan berbicara dengan dia nanti." orang yang
ada di dalam perahu itu berkata tegas.
"Bagaimana dengan Seng-yu...?" Sogudai bertanya pula.
"Jangan cerewet! Aku juga yang akan bertanggung jawab jika Seng-yu marah! Nah...
bagaimana?" Sogudai dan Hulungka saling memandang sejenak, kemudian mengangguk ke arah
perahu. "Baiklah, 186
Kongcu. Kami berdua akan patuh pada perintah Kongcu." keduanya menjawab
berbareng. "Bagus! Pilihan kalian memang tepat! Aku tidak perlu tersusah payah
memerintahkan Lok-kui-tin (Barisan Enam Hantu) untuk mengambil nyawa kalian..."
orang di dalam perahu itu berkata dingin.
"Terima kasih, Kongcu." Hulungka dan Sogudai cepat-cepat menjatuhkan diri
berlutut di atas pasir. Keringat dingin keluar membasahi punggung mereka.
Keringat dingin juga mengalir membasahi tubuh Siau In di tempat
persembunyiannya. Semakin banyak gadis itu mendengarkan percakapan mereka,
hatinya semakin merasa ngeri. Dan di dalam hatinya gadis itu juga menjadi
semakin yakin, bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang asing. Orang-orang
dari suku bangsa Nomad yang berdiam jauh di utara.
Bahkan kalau ditilik dari nama maupun sebutan-sebutan yang mereka pergunakan,
mereka memang benar-benar dari suku bangsa Hun.
"Apa yang hendak mereka lakukan di tempat yang jauh ini" Mengapa mereka akan
membunuh semua pemenang perlombaan "Mengangkat Arca?" Mengapa mereka sampai
mengirimkan panglima pula" Ah...!
Aku tidak mengerti. Tentu... tentu ada sesuatu rencana yang besar di balik semua
ini. Aku... aku harus melaporkannya kepada Suhu." berbagai macam pertanyaan
berkecamuk di dalam benak Siau In.
"Kongcu! Perahu besar itu sudah kelihatan!"
187 Tiba-tiba entah dari mana datangnya, salah satu dari keenam pengawal itu telah
berada di samping Hulungka. Ia mengenakan seragam merah-merah.
Kedatangan orang itu. tidak hanya mengagetkan Siau In, tapi juga mengejutkan
Sogudai dan Hulungka. Menurut Siau In, gerakan orang berseragam merah-merah itu
sungguh sesuai sekali dengan julukannya. Hantu! Tanpa diketahui gerakannya dan
dari mana ia datang, tahu-tahu ia telah berdiri di .dekat Hulungka! Kecepatan
geraknya rasa-rasanya tidak jauh di bawah orang yang bersembunyi di dalam perahu
itu. Sedangkan bagi Sogudai dan Hulungka sendiri, rasa kaget itu lebih disebabkan
karena tidak menyangka bahwa mereka bisa bertemu muka secara langsung dengan
salah seorang Hantu Pengawal Raja yang amat tersohor di negerinya. Soal
kesaktian, Barisan Enam Hantu itu memang sudah lama mereka ketahui, apalagi
sepak - terjangnya yang ganas, kejam, serta penuh rahasia itu. Dan seperti
halnya Siau In, diam-diam hati merekapun merasa bergetar menyaksikan kehebatan
gin-kang hantu berseragam merah tersebut.
"Kata orang Hantu Merah ini adalah orang termuda dari Barisan Hantu itu. Paling
muda tapi kabarnya paling ganas dan paling sulit diajak bersahabat. Hmm, kalau
yang termuda saja ginkangnya sudah demikian tinggi, apalagi dengan yang lain-
lainnya." diam-diam Sogudai dan Hulungka berkata di dalam hatinya.
188 "Baik, Ang-kui (Hantu Merah)! Kau bersiaplah bersama saudara-saudaramu! Kita
tumpas rombongan pemenang sayembara itu setelah mereka berkumpul di atas
perahu!" orang yang bersembunyi di dalam perahu itu tiba-tiba memberi perintah.
"Baik, Kongcu!" Ang-kui menyahut lantang, kemudian tubuhnya melesat pergi dengan
cepatnya. "Sogudai... Hulungka! Perahu besar yang dikirim untuk mengangkut para pemenang
sayembara itu telah datang. Ternyata semuanya memang sesuai dengan rencana. Kita
basmi mereka setelah pemenang dari kota Hang-ciu nanti datang. Hm, apakah kalian
sudah siap?" orang yang disebut Kongcu itu lalu mengalihkan kata-katanya kepada
Sogudai dan Hulungka yang masih berdiri di tempat itu.
"Hamba juga sudah siap, Kongcu." Sogudai dan Hulungka menjawab hampir berbareng.
"Bagus! Nah, Hulungka.... kauajak Sogudai bersama anak buahmu untuk mengawasi
perahu itu di tengah laut! Awas, kalian harus benar-benar dapat mempergunakan
penyamaran kalian sebagai nelayan dengan baik! Jangan sampai anak buah Au-yang
Goanswe curiga. Cepat kalian melapor kalau perahu itu merubah haluan!"
Hulungka cepat membungkukkan tubuhnya, kemudian menggandeng lengan Sogudai,
menuju ke sampan bersama anak buahnya. Sebentar saja sampan-sampan itu telah
dikayuh ke tengah laut kembali.
189 Siau In benar-benar memperoleh tempat persembunyian yang bagus, yaitu di sebuah
tumpukan karang-karang besar yang berrongga di dalamnya, sehingga dengan aman
dan leluasa ia bisa mengawasi keadaan di tepian itu tanpa diketahui oleh lawan-
lawannya. Dan Siau In memang tidak menunggu terlalu lama.
Begitu sampan- sampan tadi hilang ditelan kegelapan, dari tengah laut tampak sinar lampu yang semakin lama semakin membesar. Keringat dingin mulai membanjir kembali di tubuh gadis itu. Ia tak segera bisa memutuskan, apa yang harus ia perbuat untuk menolong mereka. "Kepandaian mereka rata-rata berada di atas kepandaianku. Melawan mereka
sendirian berarti bunuh diri. Tapi kalau hanya melihat dan berdiam diri 190
saja di sini, rasanya juga salah. Aah... apa yang harus kulakukan?"
Belum juga Siau In menemukan jalan keluar yang baik untuk ia lakukan, telinganya
telah mendengar suara derak perahu dan lengkingan suara aba-aba di kejauhan.
Ketika Siau In melongok dari lobang persembunyiannya, dilihatnya sebuah perahu
besar telah membuang sauh agak jauh dari garis pantai. Dua buah lampu besar
menerangi bagian haluan dan buritannya. Dan Siau In segera melihat kesibukan
para penumpangnya. Belasan orang .perajurit berseragam lengkap bergegas menurunkan beberapa buah
sampan kecil ke dalam air. Kemudian satu persatu mereka turun menaikinya. Sebuah
sampan untuk tiga orang prajurit.
Mereka lalu menyebar di sekeliling perahu besar tersebut untuk berjaga-jaga.
Seorang perwira tinggi berseragam indah gemerlapan tampak keluar dari bilik
perahu. Seperti sedang kesal ia melangkah cepat ke atas anjungan.
Seorang lelaki berpakaian biasa tampak menempel ketat di belakangnya.
"Heran! Kemana Lim Kok Liang dan Su Kiat Hong ini" Mengapa mereka tidak
menyambut kedatangan kita?" Perwira itu menggerutu kesal.
"Mungkin ada sesuatu yang menghambat tugas pekerjaan mereka, Ciangkun." lelaki
berpakaian biasa yang tidak lain adalah pengawal pribadi perwira itu 191
menjawab perlahan. "Jangan-jangan mereka juga kena musibah pula seperti yang
lain.,.," Perwira itu tidak berkata lagi. Dia hanya berdesah panjang seraya naik ke tempat
yang lebih tinggi lagi. Matanya tajam mengawasi kegelapan malam. Tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Ia
melihat iring-iringan manusia menuju ke tempat itu.
"Itu mereka datang...!" serunya lega. "Tampaknya banyak juga anak yang di
bawanya." Siau In mengintip lagi dari celah-celah lobang persembunyiannya. Di kejauhan,
dari arah perkampungan Ui-thian-cung, memang terlihat sebuah iring-iringan
panjang mendatangi. Setelah dekat gadis itu segera mengernyitkan dahinya.
Rombongan itu terdiri dari sepuluh orang pemuda tanggung dan enam orang
pengiringnya. Siau In memang tidak mengenal tiga orang pengiring bersenjatakan golok di
belakang barisan, tapi ia mengenal tiga orang pengiring yang berjalan di depan
barisan. Dua orang di antaranya pernah dilihatnya di dalam warung arak pagi
tadi, sementara yang seorang lagi adalah Tong Tai-su, yang baru saja berkelahi


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya. Perwira tinggi yang berdiri di atas anjungan itu segera memerintahkan anak
buahnya untuk menurunkan sampan lagi yang agak besar. Bersama pengawal
pribadinya ia lalu mendarat ke tepian.
"Selamat malam, Gui Ciang-kun...!" Lim Kok Liang yang segera tiba pula bersama
rombongannya, 192 menyapa sambil membungkukkan badannya. "Maaf, kami datang terlambat. Ada
keributan sedikit yang mengganggu perjalanan kami."
"Keributan,..?" Gui Ciangkun berdesah kaget.
"Apakah rombonganmu juga diganggu orang-orang dari Rimba Persilatan?"
Lim Kok Liang, Su Hiat Hong dan Tong Tai-su saling berpandangan dengan mata
terbelalak. "Mengapa Ciang-kun berkata demikian" Apakah
"Ciang-kun sudah lebih dulu mengetahuinya?" Lim Kok Liang bertanya.
"Hmm... benar, bukan" Nah, tadi aku hanya menduga-duga saja, karena rombongan
yang lain-lain juga mengalami hal yang sama. Sampai sekarang perahuku masih
kosong, karena rombongan dari Sao-hing yang dipimpin oleh Kwa Ciang-kun diserbu
penjahat di tengah jalan. Semuanya mati terbunuh^
kecuali Kwa Ciangkun, dia terluka parah dan kini ada di dalam perahu. Kwa
Ciangkun mengatakan, bahwa selain rombongannya, rombongan Ong Ci Kin dari kota
Cia-sing juga telah disergap pengacau. Bahkan Ong Ci Kin dan seluruh anak
buahnya ikut terbunuh pula."
"Gila...! Ternyata benar juga hasil penyelidikan Tong Tai-su." Lim Kok Liang
menggeram marah sambil menoleh ke arah temannya yang berambut panjang itu.
"Aku sudah memberi peringatan kepada Lim Ciang-kun pagi tadi. Kita harus
berhati-hati karena 193 ada sebuah kekuatan rahasia yang besar jumlahnya sedang mengintai kita. Bahkan
sekarang pun hatiku merasa kurang enak, jangan-jangan tempat ini juga telah
mereka ketahui pula...." Tong Tai-su menyahut dengan suara berat.
Diam-diam Siau In menjadi tegang sendiri.
Rombongan pemenang sayembara dari kota Hang-ciu itu berkumpul tidak jauh dari
tempat persembunyiannya. Bahkan Tong Tai-su dan Lim Kok Liang berdiri di dekat perahu
yang ditimbuni ilalang tadi. Dan di dalam ketegangannya itu Siau In hampir saja
berteriak memperingatkan mereka akan bahaya yang sedang mengintai.
"Tai-su tak perlu khawatir. Hanya kalangan kita sendiri saja yang mengetahui
tempat ini." tiba-tiba Gui Ciang-kun membesarkan hati Tong Tai-su.
"Tapi... kalau rahasia tempat ini memang sudah bocor ke telinga mereka, kita pun
tidak perlu takut. Aku membawa tiga puluh enam prajurit pilihan untuk
melaksanakan tugasku ini."
Tong Tai-su menjura dengan hormatnya. Namun sebelum pendeta berambut panjang itu
mengutarakan pendapatnya, sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa
dingin. Suara tersebut demikian dekatnya sehingga semuanya merasa seolah-olah
orang yang sedang tertawa itu berada di antara mereka.
"Hahahaha...! Hahaha...! Ciang-kun, kau jangan terlalu menyombongkan prajurit-
prajuritmu yang 194 tiada gunanya itu. Berpalinglah...! Coba kaulihat lagi prajurit-prajurit
kebanggaanmu itu! Adakah mereka itu bisa diandalkan" Hahaha...!"
Otomatis semuanya berpaling ke perahu besar milik Gui Ciang-kun. Dan semuanya
segera terbelalak kaget! Belasan prajurit yang tadi kelihatan di atas geladak,
kini tampak bergelimpangan di mana-mana.
Ada yang tergolek di atas anjungan, ada yang terjungkal dt bawah tangga, dan ada
pula yang tersampir di pagar perahu. Semuanya telah meninggal.
Sedangkan sampan-sampan kecil tadi kini juga tidak berpenumpang lagi.
Penumpangnya telah pada mengapung di dalam air. Mati.
"Haaah...?"?"
Semuanya menjerit kaget seolah tak percaya.
Mereka sama sekali tak mendengar suara apa-apa, apalagi suara keributan ketika
para perajurit itu mendapatkan serangan. Para perajurit itu seperti dengan
mendadak mati sendiri secara berbareng.
"Gui Ciang-kun...?" Lim Kok Liang berseru dengan suara serak.
"Kok Liang..." Ini...?" Gui Ciang-kun berdesah pula dengan suara lirih.
"Hahaha, bagaimana Gui Ciang-kun" Benar, bukan" Prajuritmu itu sama sekali tak
berguna. Mereka mati tanpa sedikit pun berkesempatan menggerakkan senjatanya. Dan
sebentar lagi engkau dan kawan-kawanmu ini akan bernasib sama pula 195
seperti mereka. Hahihihaa... bersiap-siaplah!" suara itu kembali menggema di
telinga mereka. Otomatis semuanya saling mendekatkan diri membentuk lingkaran. Gui Ciang kun dan
pengawalnya, Lim Kok Liang, Su Hiat liong, Tong Tai-su, serta tiga orang
bersenjata golok yang dibawa oleh Lim Kok Liang. Masing-masing telah menggenggam
senjata andalan mereka sendiri. Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong memegang pedang,
sedangkan Tong Tai-su juga telah mengeluarkan, tasbehnya.
"Kok Liang! Apakah, orang ini yang mengganggu perjalananmu?" dalam ketegangannya
Gui Ciang-kun masih sempat berbisik kepada Lim Kok Liang.
"Entahlah. Dia belum memperlihatkan batang hidungnya...."
Sementara itu pemuda-pemuda pemenang
sayembara itu. menjadi ketakutan setengah mati, termasuk pula A Liong di
dalamnya. Hati yang semula diliputi kebanggaan dan kegembiraan itu tiba-tiba
kini berubah menjadi ngeri dan ketakutan yang amat sangat. Bahkan beberapa orang
di antara mereka telah menjadi lemas dan pingsan, sementara yang lain seperti
memperoleh kekuatan untuk lari dari tempat tersebut.
Namun langkah mereka segera terhenti ketika enam orang berseragam warna-warni
sekonyong-konyong muncul dari dalam kegelapan menghalangi mereka.
196 "Tolong! Tolong...!" mereka menjerit-jerit ketakutan.
"Lok-kui-tin, bunuh mereka!" suara tanpa wujud itu tiba-tiba memberi perintah.
"Jangan! Jangan bunuh aku...!" A Liong yang berdiri di antara pemuda-pemuda itu
merintih ketakutan. Tapi rintihan itu segera terbenam dalam teriakan dan jeritan ngeri teman-
temannya. Tubuhnya dan juga tubuh kawan-kawannya sekonyong-konyong seperti
dihantam oleh badai yang maha dahsyat sehingga terlempar ke sana ke mari. Dan
tubuh A Liong bersama dua orang temannya secara kebetulan membentur batu karang
di mana Siau In bersembunyi.
Semuanya berlangsung dengan cepat sehingga Gui Ciangkun dan Lim Kok Liang
terlambat memberi pertolongan. Pemuda-pemuda itu telah terlanjur mati dengan
mengenaskan. "Bunuh juga yang pingsan itu! Jangan biarkan seorang pun lolos!" suara tanpa
ujud itu kembali memberi perintah lagi.
Keenam Hantu itu cepat menghampiri pemuda-pemuda yang pingsan tadi. Tapi sebelum
mereka melepaskan serangan, Lim Kok Liang lebih dulu berteriak.
"Tunggu...! Jangan bunuh mereka!"
Lim Kok Liang cepat melesat ke depan Lok-kui-tin, kemudian diikuti pula oleh
teman-temannya yang lain.
197 "Kalian ini sebenarnya siapa" Mengapa membunuhi orang-orang yang tak berdosa?"
Lim Kok Liang menggeram penasaran.
"Bagaimana, Kok Liang" Benarkah mereka yang telah mengganggu perjalananmu tadi?"
Gui Ciangkun yang telah berada di samping Lim Kok Liang berbisik pelan.
Lim Kok Liang menghembuskan napasnya kuat-kuat. "Bukan, Ciangkun. Orang yang
mengganggu kami tadi adalah anak murid aliran Beng-kau. Orang-orang ini
kelihatannya bukan dari aliran itu."
jawabnya kemudian dengan nada geram.
"Kalau begitu mereka ini tentulah kawanan penjahat yang telah mencegat dan
membasmi rombongan Ong Ci Kin dan Kwa Sing." Gui Ciangkun menggeram pula.
"Hahaha... dugaan Ciangkun memang tidak salah.
Memang kamilah yang telah menumpas seluruh rombongan Ong Ciangkun dan Kwa
Ciangkun. Dan kami memang sengaja tidak membunuh mati Kwa Ciangkun, agar kami
bisa bertemu dengan rombongan Gui Ciangkun, hehehee ..." suara tanpa ujud itu
kembali menertawakan kebodohan Gui Ciangkun.
"Kurang ajar...! Keluarlah kau! Dan... katakanlah siapakah kalian ini
sebenarnya" Mengapa kalian membunuhi petugas-petugas kerajaan" Apakah engkau
ingin memberontak terhadap kerajaan?" Gui Ciangkun berteriak lantang.
198 Tak terduga teriakan Gui Ciangkun itu disambut dengan ketawa dingin oleh
lawannya. Bahkan orang itu kemudian menjawab dengan suara yang amat menghina.
"Persetan dengan kerajaanmu! Kami orang-orang Hun sama sekali tidak takut
terhadap rajamu!" "Ooooh"!?"
Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Tai-su saling pandang dengan wajah kaget.
Mereka sama sekali tak menyangka bila lawan mereka itu ternyata adalah orang-
orang dari suku bangsa Hun di luar Tembok Besar.
"Jadi kalian ini orang-orangnya Mo Tan" Tapi...
mengapa kalian sampai ke tempat yang jauh ini dan membunuhi pemuda-pemuda yang
hendak kami bawa ke kota raja?" Tong Taisu yang sejak tadi belum mengeluarkan
suara tiba-tiba berseru keras.
"Karena kami benci terhadap Liu Pang dan keluarganya!" orang yang belum mau
menampakkan diri itu menggeram dengan nada berang.
Sekali lagi Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Taisu saling pandang dengan
dahi berkerut. "Benci dengan keluarga Kaisar" Mengapa" Dan ...
kalau kalian memang membenci keluarga Kaisar kami, mengapa kalian justru
membunuhi orang-orang tak berdosa seperti pemuda-pemuda itu?" Lim Kok Liang
cepat menyela. Tapi orang itu tampaknya menjadi kesal karena diajak omong terus-menerus.
199 "Kurang ajar! Kenapa kalian masih berpura-pura juga" Apa bedanya kami dengan
kalian, heh" Perempuan junjungan kalian itu (Permaisuri Li Liong Hui) mengumpulkan anak-anak
muda ini juga untuk dibunuh pula! Apa bedanya..." Bukankah perbuatanku ini
justru membantu niatnya itu?" katanya berapi-api.
"Fitnah! Kau omong sembarangan Kau...?" Lim Kok Liang berteriak pula dengan
marah; "Bagus! Kini kalian menjadi marah setelah ketahuan belangnya! Tapi aku malah
menjadi senang melihatnya! Kalian akan mampus dengan hati penasaran
Hahahahahihihi...!" suara orang itu berubah menjadi gembira sekali sekarang.
"Bangsat ! pengecut, keluarlah kau! Marilah kita bertempur sampai mati!" Lim Kok
Liang berteriak garang. "Tidak perlu! Para pengawalku itu sudah lebih dari cukup untuk mengantarkan
nyawamu ke akherat! Lok-kui-tin, bunuh mereka pula! Cepaaaat!"
Enam Hantu itu tiba-tiba menggeram. Bersama-sama mereka menerjang rombongan Gui
Ciang-kun. Dari telapak tangan mereka segera menghembus angin dingin yang mendahului
langkah mereka. Wuuuuushh! Dan tiba-tiba saja Gui Ciangkun bersama teman-temannya merasa seperti
diterjang oleh air yang maha dahsyat!
"Aaah...!" Semuanya menjadi gelagapan seperti anak ayam tercebur di kolam. Dan otomatis
masing-masing 200 berusaha menyelamatkan diri mereka dengan cara mereka sendiri-sendiri. Gui
Ciangkun bersama pengawalnya segera menjatuhkan diri ke pasir dan berguling-
guling menjauhi arena. Sedangkan Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong cepat-cepat
menjejakkan kaki mereka ke tanah dan berjumpalitan ke belakang. Hanya tiga orang
kawan Lim Kok Liang yang bersenjatakan golok itu saja yang berusaha melawan
hembusan angin dahsyat itu dengan kekuatan mereka. Masing-masing memutar golok
mereka di depan dada, kemudian dengan nekad menerjang ke depan menyerang lawan.
Namun apa yang dilakukan oleh jago-jago silat kerajaan itu tetap sia-sia juga.
Kepandaian Enam Hantu dari luar Tembok Besar itu benar-benar jauh dari jangkauan
kepandaian mereka. Tanpa mengendorkan langkah masing-masing, barisan Hantu itu
tiba-tiba memecah barisannya. Dua orang bergeser ke kiri dan ke kanan
menghindari terjangan tiga orang bergolok itu, untuk kemudian meneruskan langkah
mereka memburu Gui Ciangkun dan pengawalnya.
Dua orang lagi segera melesat tinggi ke .udara, melewati kepala tiga orang
bergolok tadi, untuk menangkap Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong.
Sedangkan sisanya, yang dua orang, tetap menyongsong kedatangan tiga orang
bergolok itu dengan tangan kosong.
"Sisakan salah seorang, dari mereka untuk memberi laporan kepada Auyang
Goanswe!" pimpinan orang-201
orang Hun itu tiba-tiba berseru lagi memperingatkan pengawal-pengawalnya.
Sementara itu di'tempat persembunyiannya Tio Siau In belum juga bisa menemukan
jalan terbaik yang seharusnya ia lakukan. Sebenarnya dengan kedatangan Tong Tai-
su di antara para pengawal-pemenang perlombaan tersebut telah membuat gadis itu
menjadi lega. Tapi, ketika pada gebrakan pertama tadi pendeta lihai itu sama
sekali tak mampu mencegah atau menghalangi Lok-kui-tin membunuhi korban-
korbannya, hati Siau In. menjadi goyah lagi.
Bahkan akhirnya gadis itu merasa yakin bahwa Tong Tai-su takkan bisa
menyelamatkan orang-orang yang dilindunginya.
Dengan perasaan sedih dan kasihan Tio Siau In menatap tiga sosok mayat pemuda-
pemuda tak berdosa yang berserakan di depan lobang persembunyiannya. Pakaian
yang menempel di badan mayat-mayat itu nyaris hancur terkena pukulan tenaga
sakti gabungan dari Lok-kui-tin.
Kulit tubuh mereka tampak kehitam-hitaman seperti bekas tersiram air panas.
Mendadak mata Tio Siau In terbelalak! Secara tak sengaja dan tak terduga mata
gadis itu melihat gambar tatto naga di pangkal lengan salah satu dari tiga mayat
itu. Dan pikiran gadis itu segera melayang pada pesan gurunya, bahwa ia dan
kakak-kakak seperguruannya ditugaskan untuk mencari seorang pemuda yang memiliki
gambar tatto di tubuhnya.
202 Sejenak Tio Siau In terpaku diam di tempatnya.
Betulkah pemuda ini yang dikehendaki oleh gurunya itu" Kalau memang benar, lalu
apa yang harus ia kerjakan" Masakan ia harus membawa mayat itu ke hadapan
gurunya" Tak terasa tangan Siau In terulur ke luar untuk meraih mayat bertatto naga itu,
seolah-olah ia ingin meyakinkan sekali lagi bahwa orang itu telah mati.
Tapi karena mayat itu tertindih oleh mayat yang lain, terpaksa Siau In menggeser
mayat yang lain itu terlebih dahulu.
Tapi sekail lagi mata Siau In terbeliak lebar! Untuk yang kedua kalinya gadis
itu melihat gambar tatto naga pada tubuh mayat yang lain tersebut. Hanya bedanya
pada mayat yang pertama tadi gambar itu berada di pangkal lengan, dan cuma
berwujud sebuah kepala naga yang sedang menganga, sementara pada mayat yang
kedua gambar naga itu berada di tengah-tengah dada dan lebih lengkap bentuknya.
Bahkan gambar pada mayat yang ke dua itu terdiri dari dua ekor naga yang saling
membelit satu sama lain. Setelah hatinya menjadi tenang kembali Siau In mencoba memperhatikan mayat yang
ke tiga, yang tergolek miring membelakangi lobang
persembunyiannya. Seperti mayat-mayat yang lain mayat itu juga hampir telanjang
sama sekali. Hanya ada sedikit saja serpihan-serpihan kain yang masih tersisa di
badannya. 203 "Hmmmmm... jangan-jangan mayat itu juga memiliki gambar tatto naga di tubuhnya."
gadis itu menduga-duga. Tangan Siau In sedikit gemetar meraih tubuh mayat yang ke tiga itu, lalu
disentakkannya sehingga terlentang. Dan ... benar juga dugaannya! Mayat yang
berdada bidang itu mempunyai gambar tatto naga pula di atas dada yang sebelah
kanan. Tidak begitu besar, cuma sebesar jari tangan orang dewasa, tapi digores
dengan coretan yang kuat dan bagus sekali, sehingga gambar naga itu tampak
garang dan hidup. "Nah, apa kataku" Banyak sekali orang yang menggambari tubuhnya dengan lukisan
naga di dunia ini. Lalu bagaimana aku bisa menentukan orangnya yang dikehendaki
oleh Suhu?" gadis itu berkata di dalam hatinya.
Beberapa saat lamanya Tio Siau In tercenung diam memikirkan masalah yang
dihadapinya. Kemarin gadis itu masih merasa sulit untuk bisa melaksanakan
perintah gurunya. Namun sekarang sekali bertemu ia malah bisa mendapatkan
sekaligus tiga orang yang memiliki gambar tatto naga di badannya, sehingga ia
justru menjadi bingung karenanya.
Dan sebuah bayangan yang mengerikan tiba-tiba melintas di benak Tio Siau In.
Mengapa tiga di antara sepuluh orang pemenang perlombaan Mengangkat Arca itu
secara kebetulan memiliki gambar tatto naga di badannya" Masakan semuanya itu
cuma kebetulan saja" Jangan-jangan para pemenang perlombaan yang 204


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain itu juga memiliki gambar tatto naga pula" Kalau memang demikian halnya,
persoalan pemuda bertatto naga ini tampaknya memang bukan persoalan kecil.
Tentu ada sebuah misteri besar di balik semuanya ini.
Otomatis Tio Siau In teringat kembali akan kata-kata Lo-jin-ong yang disampaikan
melalui gurunya, bahwa suatu saat seorang laki-laki bertatto naga akan
mengharumkan nama Aliran Im-yang-kau di kemudian hari.
"Hemm, apakah para pejabat kerajaan juga sedang mencari laki-laki bertato naga
itu karena dia juga dianggap bisa mengharumkan nama negeri ini" Lalu...
bagaimana dengan orang-orang Hun yang membunuhi para rombongan pemenang
perlombaan Mengangkat Arca ini"
Apakah mereka juga mencari laki-laki bertatto naga itu untuk dimusnahkan agar
tidak membahayakan negeri mereka di kelak kemudian hari?" bermacam-macam pikiran
dan dugaan memenuhi kepala lio Siau In.
Untuk membuktikan dugaannya gadis itu mencoba mencari mayat pemuda pemenang
perlombaan yang lain. Akan tetapi ketika tangannya terjulur keluar hendak meraih
mayat yang berada agak jauh dari lobang persembunyiannya, mendadak telinganya
mendengar suara keluhan. Tio Siau In terkejut. Salah seorang dari tiga sosok mayat tadi ternyata belum
mati. Mayat berdada 205 bidang dengan gambar naga yang indah dan hidup itu tampak berusaha menggerak-
gerakkan tangannya. "Hei, pemuda itu belum mati. Sungguh mengherankan sekali. Tampaknya pukulan
dahsyat Enam Hantu tadi tidak benar-benar telak mengenai tubuhnya. Aku harus
menolongnya. Biarlah ia kuseret ke dalam lobang ini agar tidak terlihat oleh
pembunuh-pembunuh itu."
Dengan hati-hati Tio Siang In menarik tubuh pemuda yang masih hidup itu ke dalam
lobang persembunyiannya. Dan bertepatan dengan masuknya tubuh tersebut ke dalam
lobang, di arena pertempuran terdengar jeritan ngeri saling susul menyusul. Enam
orang Hantu itu tampaknya telah merampungkan tugasnya, membunuh mati semua
lawannya. Tempat itu menjadi lengang kembali. Tio Siau In tidak berani bergerak. Angin
malam yang berhembus dari laut membawa butiran-butiran air bercampur embun.
Demikian dingin udaranya sehingga bulan tipis yang tergantung di langit seperti
terburu-buru menyurukkan diri ke dalam pelukan awan. Malam semakin menjadi gelap
gulita. Tio Siau In semakin menjadi ketakutan pula di dalam lobang persembunyiannya.
Sama sekali tidak berani bergerak atau beringsut, apalagi berusaha mengintip
keadaan di luar. Gadis itu hanya bisa membayangkan bahwa para petugas kerajaan
itu tentu telah bergelimpangan menjadi mayat, bercampur 206
dengan mayat-mayat para pemenang perlombaan Mengangkat Arca.
Akan tetapi betapa kagetnya Tio Siau In ketika terdengar suara geraman orang
yang bersembunyi di dalam perahu itu,
"Siapakah kalian..., he" Berani benar menghalangi orang-orangku! Apakah kalian
sudah bosan hidup?" "Ada orang yang menghalang-halangi" Siapa...?"
Tio Siau In berdesah tak percaya. Hampir saja kepalanya melongok ke luar, tapi
segera ditariknya kembali. Takut.
"Biarlah kami yang membereskannya, Kongcu. Tak perlu Kongcu mengotori tangan
untuk membunuh dua orang tua ini." Ang-kui yang pernah didengar suaranya oleh
Tio Siau In tadi menggeram.
"Benar, Kongcu. Mereka telah menghalangi niat kami untuk mencabut nyawa para
anjing Kaisar Han itu. Mereka harus dilumatkan untuk
mempertanggung-jawabkan kelancangannya ...!" Pek-kui Si Hantu Putih, yang tertua
di antara Hantu-hantu itu, berseru keras.
Hening sejenak. Kemudian terdengar suara napas ditarik, panjang sekali.
"Maafkan kami.... Kami tak bermaksud mencampuri urusan Tuan. Bukankah kami belum
mengenal Tuan-tuan semua" Kami hanya ingin mencegah pertumpahan darah yang tak
berguna ini." terdengar suara serak. 207 "Kurang. ajar...! Enak saja berbicara! Siapa bilang pertumpahan darah ini tak
berguna" Mereka adalah begundal-begundal Kaisar Han, dan keluarga kami adalah
musuh bebuyutan Kaisar itu! Nah, sudah selayaknyalah kalau kami membasmi
mereka!" orang yang bersembunyi di dalam perahu itu membentak.
"Oooh, jadi Tuan-tuan ini bermusuhan dengan mendiang Kaisar Liu Pang" Tetapi...
mengapa Tuan tidak berhadapan langsung saja dengan keluarganya"
Mengapa Tuan membunuhi orang-orangnya yang tak tahu permusuhan itu?" tiba-tiba
terdengar suara lain yang membuat kaget Tio Siau In di tempat persembunyiannya.
"Suhu..."!?" gadis itu hampir saja bersorak di dalam hati.
Tio Siau In cepat-cepat melongokkan kepalanya ke luar. Memang benar." Dilihatnya
gurunya, Giam Pit Seng, dengan tenang dan gagah berdiri tak jauh dari perahu
orang Hun itu. Di dekatnya berdiri Lo-jin-ong, seorang kakek yang benar-benar
sudah sangat tua, sehingga tubuhnya, yang renta itu telah condong ke depan
seolah-olah tulang punggungnya sudah tak kuasa lagi menyangganya. Sebatang
tongkat terpegang di tangan kirinya untuk menopang agar tubuh reyot itu tidak
tersungkur ke depan. Rambutnya yang tipis berwarna putih meletak itu digelung ke
atas seperti layaknya seorang pendeta, sementara jenggotnya yang panjang sampai
ke perut itu dibiarkan melambai-lambai ditiup angin pantai.
208 Dua orang tua itu telah dikepung oleh Lok-kui-tin, sementara di belakang mereka
berdiri menggerombol rombongan Lim Kok Liang dan Gui Ciangkun. Para abdi
kerajaan itu tampak pucat kesakitan menahan luka dalam yang parah akibat
gempuran Lok-kui-tin tadi. Bahkan Gui Ciangkun dan Su Hiat Hong yang memiliki
ilmu silat paling rendah di antara mereka tampak menggeletak diam di atas pasir.
Gui Ciangkun masih tampak bergerak-gerak dalam rangkulan pengawalnya, sementara
Su Hiat Hong diam tak bergerak seolah sudah mati.
Tiba-tiba terdengar suara mendengus dari dalam perahu, dan mendadak pula Tio
Siau ln melihat sesosok bayangan berdiri di atas atap perahu tersebut.
Bayangan itu mengenakan baju berlengan pendek yang ditutup oleh kulit rusa
berbulu tebal. Rambutnya yang gemuk hitam itu sebagian digelung ke atas dan yang
sebagian lagi dibiarkan terurai di atas bahunya.
Tiga butir mutiara berwarna merah, kuning, hijau, tampak gemerlapan di atas tali
pengikat rambutnya. Cara berpakaian orang itu tampak sedikit aneh dan tak seperti layaknya orang
Han. Namun dari bahan-bahan yang dikenakan segera bisa diduga bahwa orang itu
bukanlah orang kebanyakan. Apalagi bila dilihat sarung pedang yang tergantung di
pinggangnya. Sarung pedang itu tersalut emas serta ditaburi perhiasan dari batu
mulia yang mahal harganya. Di dalam kegelapan sarung pedang itu 209
tampak gemerlapan seperti halnya tiga buah mutiara yang terikat di atas
rambutnya. "Hei, Orang tua...! Enak saja kau bicara! Kalau keluarga kaisarmu itu tidak
selalu bersembunyi di balik tembok istana yang dijaga oleh ribuan pengawalnya,
tentu telah kuhabisi dulu-dulu."
bayangan itu menggeram ke arah Giam Pit Seng.
"Ah, kukira mereka tidak bersembunyi. Sejak dahulu keluarga raja atau kaisar
memang tinggal di dalam tembok istana yang kuat dan dijaga para pengawal. Kalau
Tuan memang berniat membuat perhitungan dengan mereka, hmmm... mengapa Tuan
tidak menggempur saja tembok itu?" guru Tio Siau In itu menjawab seolah tak tahu
akan bahaya yang bisa menimpanya.
"Kurang ajar....!" bayangan itu berseru marah.
Kemudian seperti kilat menyambar tubuh orang itu melesat ke arah Giam Pit Seng.
Demikian cepatnya sehingga bayangannya saja hampir tak dapat diikuti oleh mata
Tio Siau ln. Hanya gemerlapannya mutiara dan permata di sarung pedang orang itu
yang membantu mata Tio Siau In untuk melihatnya.
"Suhu...." gadis itu berdesah khawatir di dalam hatinya.
"Pit Seng, awaaaas...!" Orang tua bongkok di samping Giam Pit Seng itu berdesah
dengan suara khawatir pula. Tongkat yang ada di tangan kirinya tiba-tiba beralih
ke tangan kanan. 210 "Baik, Lo-jin-ong!" Ketua cabang Aliran Im-yang-kau yang kenyang asam garam
pertempuran itu menyahut keras sambil bergegas merogoh sepasang pit atau pena
yang menjadi senjata andalannya.
Akan tetapi gerakan orang itu benar-benar cepat dan dahsyat tiada terkira,
sehingga Giam Pit Seng terbelalak seolah tak percaya. Belum juga senjatanya siap
di tangan, badai serangan itu keburu tiba.
Cepatnya bukan main. Traaaaaang! Traaaaaang...! Untunglah orang tua bongkok yang disebut Lo-jin- ong itu cepat membantunya. Ujung tongkat yang telah berpindah ke tangan kanan orang tua itu tiba-tiba melambung ke atas, memotong badai serangan yang lewat di depannya. Benturan keras seperti layaknya dua bilah pedang baja
berdentang 211 memekakkan telinga ketika ujung tongkat itu beradu dengan lengan Si Penyerang.
Namun; demikian bantuan tersebut ternyata tidak sepenuhnya bisa menyelamatkan
Giam Pit Seng. Lengan Si Penyerang yang lain ternyata masih terjulur menyambar
ke dada Giam Pit Seng. Namun hambatan yang cuma sedetik dari tongkat Lo-jin-ong itu telah banyak
artinya buat Giam Pit Seng. Meski tergesa-gesa dan belum bisa bersiap
sepenuhnya, tapi setidak-tidaknya salah sebuah pitnya telah terpegang di depan
dadanya. Sehingga pada saat serangan lawan tiba, pit itu sempat menangkis,
meskipun akhirnya harus terlepas dari pegangannya.
Ketika kemudian Lo-jin-ong dan Giam Pit Seng meloncat mundur untuk bersiap
sedia, bayangan yang menyerang mereka itu telah kembali bertengger di atas
perahu. "B-bu-bukan main!" Giam Pit Seng berdesah dengan suara bergetar. Telapak
tangannya yang memegang pit tadi tampak terkelupas mengeluarkan darah.
"Memang hebat sekali! Sungguh tak kusangka!
Usianya masih begitu muda, tapi ginkangnya dan lwekangnya hampir^ hampir telah
mencapai kesempurnaan! Sungguh berbahaya...!" Lo-jin-ong mengangguk-angguk
sambil mengawasi ujung tongkatnya yang somplak.
Sementara itu Lok-kui-tin telah mengepung mereka, siap untuk menerjang.
212 "Lok-kui-tin, hati-hati dengan orang tua bongkok itu! Kulit dan tulang-tulangnya
ternyata masih alot sekali." orang yang ada di atas perahu itu memperingatkan
pengawal-pengawalnya. "Kalian bertiga atau berempat baru akan bisa
menghadapinya...." "Kongcu..." Keenam orang yang tergabung dalam barisan Hantu itu berdesah seperti
orang penasaran. Mereka yang selama ini ditakuti orang dan hampir tak pernah menemukan lawan yang
bisa menandingi ilmu mereka tentu saja takkan percaya kalau orang tua jompo itu
harus dikeroyok tiga atau empat. Masa orang tua itu memiliki kesaktian melebihi
guru mereka" Tampaknya orang yang berada di atas perahu itu merasakan keragu-raguan
pengawalnya. "Jangan bertindak bodoh! Lakukan seperti yang kuperintahkan, nanti kalian akan
mengerti! Nah, Pek-kui, Hek-kui, Cing-kui dan Ui-kui... kalian berempat
menghadapi orang tua bongkok itu! Gi-kui kau melanjutkan pekerjaan kalian yang
tertunda tadi! Dan... Ang-kui, kau membereskan orang tua bersenjata pit itu! Dia sebenarnya
tidak ada apa-apanya. Paling paling dia cuma mampu bertahan lima jurus
menghadapimu! Kakek bongkok itulah yang berbahaya...!"
Meskipun masih merasa penasaran, tapi Keenam Hantu itu tak berani membantah
lagi. Mereka segera membagi diri untuk melaksanakan perintah itu.
213 Namun ketika mereka telah siap untuk bergerak, tiba-tiba orang di atas perahu
itu berseru lagi. Tapi tidak kepada mereka. Orang itu mengacungkan jari
telunjuknya ke arah batu karang besar di mana Tio Siau ln bersembunyi. "Kau
siapa...?" Lemas seluruh sendi-sendi tulang Tio Siau In.
Walaupun ia merasa tak menimbulkan suara gerakan yang membuat dirinya diketahui
lawan, tapi tampaknya orang lihai itu telah mengetahui persembunyiannya. Dengan
wajah pucat dan tubuh gemetaran Tio Siau In mengusap keringat dingin yang
membanjiri dahi dan lehernya.
"Cepat katakan! Siapakah kau...?" orang di atas perahu itu membentak lagi.
Hampir saja Tio Siau In menjawab serta keluar dari lobang persembunyiannya
ketika tiba-tiba di atas batu, karang itu terdengar suara jawaban yang amat
dikenalnya. Suara kakek gila, saudara seperguruan Si Pemuda nakal yang
dibencinya itu! "Ho-ho-ho-ha-ha-ha...! Sungguh penasaran!
Penasaran...! Hei, Bocah Tampan kenapa kau melupakan aku di sini" Semuanya
kauberi lawan bertanding, tapi... kenapa aku belum, hah" Lalu...
dengan siapa aku harus berkelahi" Apakah ...
apakah... ohh, ya... tahu aku sekarang, he-he-he-he!
Tampaknya kau sendiri yang hendak bertarung denganku! Bagus! Bagus...! Ho-ho-ho-
ha-ha-ha-ha!" Tio Siau In tidak jadi keluar dari lobang persembunyiannya. Entah mengapa, ada
perasaan lega 214 di hatinya. Ternyata bukan dirinya yang dimaksud oleh orang di atas perahu itu.
Walaupun di dalam hati ia juga merasa kaget karena ia tak tahu, sejak kapan
kakek gila itu bertengger di atas batu karang persembunyiannya.
Di lain pihak kemunculan Put-pai-siu Hong-jin itu juga amat melegakan hati Lo-
jin-ong dan Giam Pit Seng. Bagaimanapun juga kedua tokoh Aliran Im-yang-kau itu
tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka menghadapi lawan yang amat
berat, sehingga kedatangan Put-pai-siu Hong-jin itu benar-benar menambah
semangat mereka. "Iblis gila! Siapakah kau..." Lekas katakan!" orang yang berdiri di atas perahu
itu menghardik lagi. "Percuma saja kau bicara apabila dia sedang sinting seperti itu. Dia adalah Put-
pai-siu Hong-jin dari aliran Beng-kau, heh-heh...." Lo-jin-ong cepat-cepat
menyela perkataan lawannya.
"Put-pai-siu Hong-jin" Huh, aku belum pernah mendengarnya." orang yang berdiri
di atas perahu itu mendengus dingin.
"Bagus! Bagus! Kau memang tidak perlu mengenal nama itu! Aku pun benci
kepadanya! Hahaha-heheh...! Buat apa mengingat-ingat nama" Hanya membuang waktu
saja! Lebih baik berkelahi! He-he...
itu baru asyik! Ayoh!" Si Gila dari Beng-kau itu tiba-tiba berteriak kegirangan,
kemudian meloncat turun mendekati perahu. Gerakannya ketika melayang turun dari
atas batu karang berkesan santai dan ogah-215
ogahan, bahkan seperti anak kecil yang sedang main lompat tali saja. Tapi
semuanya menjadi kaget dan tercengang keheranan ketika tubuh Si Gila itu tidak
segera jatuh ke pasir, namun melayang-layang lebih dulu ke kanan kiri, bagaikan
daun kering yang terbang tertiup angin. Jatuhnya pun tidak di atas kaki, tapi
menggelepar di atas punggungnya.
"Gila! Bocah itu memang semakin gila...!" Lo-jin-ong berdecak kagum menyaksikan
peragaan ilmu mengentengkan tubuh yang tiada tara itu.
"Ginkangnya benar-benar telah mencapai kesempurnaan, sehingga tubuhnya menjadi
seringan kapas." Giam Pit Seng berdesah pula dengan kagumnya.
Ternyata demonstrasi gin-kang Put-pai-siu Hong-jin itu membuat keder juga di
hati lawannya. Selama ini, orang yang bertengger di atas perahu itu merasa,
bahwa ginkangnya tak ada yang bisa mengalahkan selain gurunya, Pendeta Ulah
Kili. Namun di tepi pantai yang sepi ini ternyata ada seorang kakek gila, yang
ginkangnya bisa dikatakan setingkat dengan gurunya.
"Hei! Kenapa masih diam saja di situ" Ayoh, cepat kita berkelahi! Tangan dan
kakiku sudah tak bisa dikendalikan lagi! Mereka segera ingin berantem!"
Put-pai-siu Hong-jin yang sudah berdiri di dekat perahu itu berseru keras.
"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu melayang di tempat ini! Lihat pukulan...!"


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang yang 216 bertengger di atas perahu itu menyambar turun ke arah Put-pai-siu Hong-jin.
"Ho-ho-ha-ha...! Sekali-sekali aku memang ingin merasakan... bagaimana rasanya
nyawaku ini keluar sedikit demi sedikit dari dalam tubuhku, hehehe!
Kubiarkan dulu dia merangkak sampai ke ubun-ubun, setelah itu cepat-cepat
kutarik lagi ke dalam! Hohoho... tentu asyik sekali!"
Sambil berceloteh Put-pai-siu Hong-jin melompat ke kiri untuk menghindari
serangan lawannya. Kemudian dengan tangkas badannya berputar ke kanan seperempat lingkaran, seraya
melepaskan pukulan tangan kiri ke pinggang lawan.
Wuuusssss! Gelombang udara dingin menerjang pemimpin rombongan suku Hun itu! Tak
ada suaranya, namun terasa mengandung kekuatan yang amat dahsyat!
"Bagus!" pemimpin rombongan Suku Hun itu berseru. Tubuhnya berjumpalitan ke
belakang untuk mematahkan serangan itu, kemudian berdiri tegak menghadapi Put-
pai-siu Hong-jin kembali.
Masing-masing telah menyerang satu kali, sebagai pembukaan dan sebagai
penjajagan pertama atas kekuatan lawan. Dan gebrakan tersebut seolah-olah
menjadi tengara atau tanda bagi Si Enam Hantu, bahwa pertempuran telah dimulai!
Seperti yang telah diperintahkan pemimpin mereka tadi, maka mereka memecah diri
menjadi tiga rombongan. Rombongan pertama terdiri dari Pek-kui, Hek-kui, Cing-
kui dan 217 Ui-kui, menghadapi Lo-jin-ong. Rombongan kedua hanya seorang, yaitu Ang-kui,
mendapat jatah untuk membunuh Giam Pit Seng. Sedangkan rombongan ke tiga juga
hanya seorang saja, Ci-kui, bertugas mencari dan membasmi seluruh sisa-sisa
lawan yang masih hidup. Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan, pertempuran sengit tak dapat
dielakkan lagi! Masing-masing telah mendapatkan lawan!
Giam Pit Seng yang berhadapan Ang-kui sama sekali tidak kelihatan gentar
walaupun lawannya sangat memandang rendah dirinya. Dua batang pit (pena) terbuat
dari baja tulen, berukuran panjang dan pendek, tergenggam erat di tangannya. Dua
batang pit itu berkelebatan di sekeliling tubuhnya, baik untuk menyerang maupun
untuk mempertahankan diri, sementara Ang-kui yang bertangan kosong itu masih
belum bersungguh-sungguh melayaninya. Sebentar-sebentar Iblis Merah itu
menghentikan gerakannya melihat-lihat pertempuran lainnya.
Seperti halnya Ang-kui, maka Ci-kui yang mendapat tugas ringan, menghadapi sisa-
sisa kekuatan Lim Kok Liang, masih kelihatan santai pula.
Hanya dengan sebelah tangan Iblis Ungu itu mempermainkan Lim Kok Liang, Tong
Tai-su dan pengawal Gui Ciang-kun. Pada saat segar bugar saja mereka tak mampu
melawan, apalagi dalam keadaan luka dalam yang parah seperti sekarang. Mereka
218 bertiga hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Iblis Ungu itu ingin menghabisi
mereka. Pertempuran yang seru, namun cukup konyol, berlangsung antara Put-pai-siu Hong-
jin melawan pemimpin rombongan suku Hun itu. Kali ini pemimpin rombongan suku
Hun itu benar-benar membentur musuh yang berat. Dia yang selama perjalanannya ke
selatan ini tak pernah mendapatkan lawan tangguh, sehingga sikapnya menjadi
congkak dan takabur, kini benar-benar dibuat jengkel dan berang oleh Put-pai-siu
Hong-jin yang sinting dan konyol! Si Gila dari aliran Beng-kau itu berkelahi
tanpa aturan. Selain gerakannya kadang-kadang kacau tak keruan, mulutnya yang
lebar tanpa gigi itu juga nyerocos terus tanpa berhenti. Anehnya, dengan
gerakannya yang kacau itu bisa saja ia meloloskan diri dari gempuran lawan!
Bahkan dengan gayanya yang tak beraturan itu sering membikin lawannya kalang
kabut! "Lalat busuk! Ternyata kepandaianmu benar-benar hebat! Tangan dan kakiku
sampai... hwaduh! Bangsat... keparat curang! Kau sepak bisulku!
Haduuuh! Aduuuh... Bocah tak tahu sopan-santun!
Lihat... nih, sampai keluar madunya!" Pu-pai-siu Hong-jin berjingkrak-jingkrak
kesakitan. Tapi pemimpin rombongan suku Hun itu tidak mempedulikan ulah Put-pai-siu Hong-
jin. Dia terlanjur kesal dan marah menghadapi tingkah-laku Put-pai-siu Hong-jin
yang menjengkelkan. Sedari tadi 219
ia telah mengerahkan beberapa macam ilmu silat kebanggaannya, namun kakek gila
yang wajahnya lebih mirip monyet daripada manusia itu, ternyata mampu
melayaninya dengan baik. Meskipun gerakannya kacau, kakek gila itu selalu bisa
menyelamatkan diri. Ginkangnya memang hebat sekali!
Menurut ucapan gurunya, Ulan Kili, Ilmu Meringankan Tubuh yang paling baik di
dunia ini adalah ilmu meringankan tubuh milik perguruan mereka sendiri,
perguruan Ui-soa-pai (Perguruan Pasir Kuning) dari Gurun Gobi! Demikian
tersohornya ilmu itu sehingga dalam perkembangan sejarahnya banyak tokoh-tokoh
persilatan yang berusaha memilikinya. Tapi perguruan Ui-soa-pai sangat tertutup
dan keras menjaga tradisi sehingga sulit ditembus orang luar. Meskipun demikian
ada juga tokoh persilatan yang berhasil mencuri rahasia ilmu meringankan tubuh
tersebut dan menirunya. Dianiaranya adalah Bu-eng Hwe-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) milik seorang
tokoh iblis yang hidup beberapa puluh tahun yang lalu. Ilmu tersebut merupakan
hasil tiruan dari ginkang perguruan Ui-soa-pai!
"Hmmh, apakah ginkang kakek gila ini yang disebut Bu-eng Hwe-teng itu" Tapi...
kulihat gerakannya sama sekali tidak ada yang mirip dengan ginkang Ui-soa-pai."
sambil bertempur orang dari suku Hun itu menduga-duga.
220 Buk! Tak terduga sebuah tendangan Putpai-siu Hong-jin nyelonong mengenai pantat
pemimpin rombongan suku Hun itu! Tidak terlalu keras, karena posisi Putpai ski
Hong-jin sendiri sebenarnya juga tidak memungkinkan untuk melepas tendangan!
Meskipun demikian tendangan tersebut telah membuat pemimpin rombongan suku Hun
itu menjadi marah dan mereka merasa terhina!
"Hehe-hoho... sekarang impas sudah! Kau tadi menyepak bisulku, kini aku ganti
menghajar pantatmu! Hoho-hooo...! Sayang tidak punya bisul!"
mulut Put-pai-siu Hong-jin yang lebar itu tertawa terbahak-bahak.
"Monyet Tua! Mulutmu memang harus gera dibungkam agar tidak menggonggong terus
menerus! Nah, terimalah kematianmu sekarang ...!"
Tampaknya pemimpin rombongan suku Hun itu telah merasa cukup menjajagi ilmu
kepandaian Putpai-siu Hong-in. Kini dia ingin mengakhiri pertempuran itu. Ia
berdiri tegak dengan tangan tersilang di depan dada. Matanya yang mencorong
dingin itu menatap Put-pai-siu Hong-jin tanpa berkedip. Dan sebentar kemudian
tubuhnya diselimuti . kabut tipis berwarna kebiruan.
Walaupun konyol dan sinting, tapi perasaan dan otak Put-pai-siu Hong-jin
sebenarnya tajam dan cerdas luar biasa. Melihat lawannya mulai mengeluarkan ilmu
pamungkas, dia juga tak berani 221
main-main lagi. Diai pun segera bersiap sepenuhnya.
Seluruh urat-urat tubuhnya menggeletar, suatu tanda ilmu silat andalan Aliran
Beng-kau yang disebut Chou mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), telah siap
dilontarkan pula! -- o0d-w0o -- JILID VI EMENTARA itu pertempuran yang
paling dahsyat dan paling brutal adalah pertempuran Lo-jin-ong melawan Empat
S Iblis itu. Karena merasa penasaran atas sanjungan pemimpin rombongan mereka
terhadap tokoh Im-yang-kau itu, serta keinginan untuk membuktikan bahwa mereka
bisa mengalahkannya, maka begitu bergebrak Empat Hantu tersebut ingin segera
bisa menyelesaikan pertempuran mereka.
Seperti halnya Kongcu mereka, Enam Hantu itu juga murid dari Pendeta Agung suku
bangsa Hun, Ulan Kili. Meskipun kepandaian mereka tidak setinggi Kongcu mereka
itu, tapi mereka justru menjadi murid-murid utama, karena mereka telah mengikuti
guru mereka sejak di Perguruan Ui-soa-pai.
Terutama Hek-kui, Ui-kui, dan Pek-kui. Sebelum menjadi pengawal ketiga hantu itu
lebih dikenal 222 dengan sebutan Sam Eng (Tiga Garuda) di kalangan persilatan.
Demikianlah, begitu menyerang mereka berempat telah mengerahkan seluruh
kemampuan mereka. Jago-jago ginkang itu bergerak cepat, berkelebatan bagaikan
kawanan lebah madu yang beterbangan mengelilingi bunga. Sebentar-sebentar mereka
menyerang Lo-jin-ong dengan pukulan, tendangan, sabetan, maupun sapuan kaki yang
mematikan. Gerakan mereka benar-benar seperti kawanan lebah yang mematuk, menggigit dan
menyengat korbannya! Namun yang amat mengherankan adalah lawan mereka. Lo-jin-ong yang sudah tua
renta, bahkan bisa dikatakan sudah jompo dan pikun itu, ternyata mampu melayani
serbuan mereka dengan gesit dan lincah.
Walaupun kadang-kadang harus mundur untuk mengambil napas, tapi gerakannya masih
amat cepat. Tenaga sakti yang terlontar dari telapak tangannya juga sangat menggiriskan hati
lawan-lawannya. Alhasil pertempuran mereka berjalan dengan sangat cepat dan mendebarkan.
Beberapa kali lengan dan tangan mereka berlaga di udara, dan menimbulkan suara
nyaring yang memekakkan telinga.
"Gila! Orang tua ini memang masih alot sekali kulitnya!" Hek-kui mengumpat tiada
hentinya. "Yah, tapi bagaimanapun juga dia sudah tua.
Tenaga dan pernapasannya tentu terbatas. Lama-lama dia akan ambruk sendiri
karena kelelahan, hehehe...!"
Pek-eng mengejek pula. 223 "Kalian benar, orang-orang muda! Sebentar lagi aku tentu akan kehabisan napas!
Tapi... lihat saja, sebelum napasku benar-benar habis... beberapa orang di
antara kalian tentu akan lebih dulu putus napasnya!"
"Kurang ajar! Orang tua tak tahu diri! Marilah kita lihat, siapa yang lebih dulu
terkapar di atas pasir ini!"
Hek-kui menjerit marah. Wusssss...! Hek-kui menghantam punggung Lo-jin-ong dengan tenaga sepenuhnya. Tapi dengan
tangkas orang tua itu meliuk ke kanan, kemudian membalikkan badan sambil balas
memukul dengan tebasan tangan kiri.
Terdengar suara mencicit, suatu tanda bahwa serangan tersebut didukung oleh
tenaga sakti yang luar biasa kuat.
Sementara itu Ui-kui, Cing-kui dan Pek-kui, tidak tinggal diam. Bersama-sama
mereka menerjang dari sisi yang lain. Mereka juga menggunakan seluruh tenaga
kekuatan mereka, sehingga dalam gebrakan tersebut mereka ingin menghancur-
lumatkan Lo-jin-ong. Apa boleh buat, Lo-jin-ong tak ingin menjadi bulan-bulanan pukulan lawannya. Ia
mengurungkan tebasan tangannya yang mengarah kepada Hek-kui.
Sebagai gantinya ia menjejakkan kakinya dalam jurus Burung Walet Meninggalkan
Sarang. Tetapi Ui-kui dan Cing-kui, yang berada di sebelah kanan dan kiri, tidak
mau memberi kesempatan keduanya juga 224
melenting ke atas, berjumpalitan di udara, dan memotong gerakan Lo-jin-ong
dengan jurus Membajak Sawah Menabur Benih. Serangan mereka menimbulkan suara
gemuruh bagaikan benturan ombak di atas batu karang!
Lo-jin-ong tak ingin membentur serangan mereka.
Selain tulang-tulangnya sudah terlalu rapuh, dia tak ingin terjebak dalam
kesulitan pada saat menyongsong pukulan tersebut. Hek-kui dan Pek-kui tentu
telah menunggu pula di atas tanah. Jalan satu-satunya hanya menghindar lagi.
Tapi hal itu benar-benar sulit dilakukan dalam keadaan seperti itu!
"Tingkat kepandaian dari masing-masing orang ini hanya setingkat atau dua
tingkat di bawahku. Dua orang atau tiga orang saja rasanya sudah sulit bagiku
untuk menghadapinya, apalagi empat orang sekaligus.
Tampaknya Giam Pit Seng juga akan mendapat kesulitan pula kali ini. Aku harus
segera menolongnya keluar dari tempat ini." dalam keadaan terdesak Lojin-ong
masih memikirkan anak buahnya.
Apa yang dikhawatirkan orang tua itu memang benar. Giam Pit Seng tak dapat
berbuat banyak melawan Ang-kui. Iblis Merah itu memang berada jauh di atas
kemampuan Giam Pit Seng. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga mengerahkan Ilmu
Hok-hong Siang-pitnya, tapi Giam Pit Seng masih juga di bawah angin. Bahkan satu
demi satu pit-nya terlepas dari tangan akibat gempuran Ang-kui.
Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan 225
Lo-jin-ong dan Giam Pit Seng berada dalam keadaan terancam jiwanya!
Sementara itu di dalam lubang perlindungannya Siau In tak bisa berbuat apa-apa.
Dia tahu, apabila ia keluar dari tempat itu, dia justru akan menambahi beban dan
mempersulit keadaan gurunya. Dia hanya bisa menonton pertempuran berat sebelah
itu dengan perasaan tegang dan khawatir. Apalagi ketika ia melihat Ci-kui (Si
Iblis Ungu) bebar-benar membantai Lim Kok Liang, Tong Tai-su dan pengawal Gui
Ciangkun. Bahkan Iblis kejam itu juga membunuh Gui Ciangkun yang terluka, serta
pemuda-pemuda pemenang sayembara yang pingsan tadi. Sekarang rombongan pemenang
sayembara dan para perwira kerajaan itu benar-benar tertumpas tanpa sisa.
"Hong-jin... tinggalkan tempat ini!" tiba-tiba terdengar Lo-jin-ong berteriak ke
arah Put-pai-siu Hong-jin.
Sekejap kemudian terdengar suara berdentang keras sekali, diikuti oleh
berkelebatnya tubuh Lo-jin-ong ke arah Giam Pit Seng! Dhieeeees! Tubuh orang tua
itu seolah-olah membentur Ang-kui, yang sudah siap melepaskan pukulan
terakhirnya kepada Giam Pit Seng!
Ang-kui terpental, sementara Lo-jin-ong juga terjatuh di samping Giam Pit Seng.
"Pit Seng! Ayoh, kita pergi dulu mencari bantuan! Kita tak bisa menyelamatkan
mereka!" Lo-jin-ong berteriak.
226 Giam Pit Seng menyambar lengan Lo-jin-ong, lalu bergegas bersama-sama melesat
pergi dari tempat itu. "Bagaimana dengan Put-pai-siu Hong-jin...?"
"Jangan takut! Orang gila itu banyak akalnya!" Lojin-ong menjawab sambil
berkelebat menerobos semak belukar yang gelap.
Hek-kui, Pek-kui, Cing-kui dan Ui-kui, yang tadi mengeroyok Lo-jin-ong, datang
menolong Ang-kui. Ci-kui yang juga sudah menyelesaikan tugasnya, bergegas menghampiri pula. Mereka
melihat keadaan Ang-kui. "Aku tidak apa-apa. Aku terpental karena kalah tenaga. Orang tua itu benar-benar
kuat sekali!" "Dia memang kuat dan cerdik luar biasa! Dalam keadaan terjepit dia bisa mengecoh
kami berempat dan meloloskan diri! Lihat potongan tongkatnya ini!
Dia mengorbankan tongkatnya untuk menahan serangan kami...!" Hek-kui menggeram
marah. "Ayoh kita kejar mereka!" Ui-kui berseru.
"Tidak perlu!" tiba-tiba pemimpin mereka yang sedang bertempur dengan Put-pai-
siu Hong-jin itu berteriak. "Siapkan saja perahu kita! Kita segera berangkat
setelah monyet tua ini mati!"
"Mati..." Oh, enaknya! Sudah sepuluh tahun ini aku ingin mati, tapi tak seorang
pun bisa membunuh aku, he-he-he! Apalagi hanya bocah ingusan seperti kau!
Oh-ho-ho-ho!" Enam Hantu itu memandang ke arah pertempuran, dan mereka segera terbeliak kaget.
Dua orang yang 227 sedang berlaga itu mengadu kesaktian sambil berbicara, seakan-akan mereka tidak
bersungguh-sungguh. Padahal Enam Hantu itu melihat bagaimana seru dan hebatnya
pertempuran mereka. Kongcu mereka yang berilmu sangat tinggi itu sudah
menggunakan ilmu silat Ui-soa-pai tingkat tertinggi, campuran ilmu silat dan
ilmu sihir! Ginkang yang digunakan juga ginkang tingkat terakhir dari Ui-soa-
pai, yang disebut Hui-eng-cu-in (Bayangan Terbang di Atas Awan)! Mereka berenam
tidak bisa mengikuti gerakan Kongcu mereka lagi, padahal mereka berenam juga
mempelajari ilmu tersebut!
Meskipun demikian ketika Enam Hantu itu memperhatikan Put-pai-siu Hong-jin,
wajah mereka semua menjadi pucat pasi! Si Gila dari aliran Bengkau itu bersilat
dengan gerakan-gerakan yang aneh dan mengerikan. Selain sikap dan bentuk
gerakannya kelihatan kacau dan tidak beraturan, tenaga sakti yang mendukung
gerakan tersebut juga tampak aneh dan tidak terkendali. Sepintas lalu seperti
ada kekuatan lain yang menggerakkan kaki dan tangan itu selain Put-pai-siu Hong-
jin. Kadang-kadang kuat luar biasa, sehingga Kongcu mereka seperti tak tahan
menghadapinya. Tapi juga sering tampak lemah atau biasa-biasa saja, sehingga
dengan mudah Kongcu mereka mengatasinya.
Jika tokoh seperti Enam Hantu itu saja merasa takjub, apalagi Tio Siau In!
Pertempuran itu berlangsung tidak jauh dari tempat
228

Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persembunyiannya. Meskipun demikian gadis itu tak mampu membedakan, yang mana
Put-pai-siu Hong-jin dan yang mana pula pemimpin rombongan suku Hun itu. Mereka
bertempur dengan cepat sekali, seperti bayangan yang saling membelit, melesat,
dan berkelebatan ke sana ke mari. Bahkan menurut penglihatan Siau In, bayangan
itu semakin lama menjadi semakin banyak. Rasa-rasanya tidak hanya dua orang yang
bertempur, tapi lebih dari lima orang!
Memang benar apa yang disaksikan oleh Tio Siau In. Saat itu pemimpin rombongan
dari suku Hun tersebut telah mengeluarkan Pat-sian-ih-hoat (Delapan Baju Dewa),
sebuah ilmu silat andalan Ui-soa-pai yang telah dicampur dengan ilmu sihir!
Pemimpin rombongan suku Hun itu seolah-olah telah memecah diri menjadi enam
orang, yang masing-masing dapat bergerak sendiri untuk menyerang Put-pai-siu
Hong-jin! Akibatnya Si Gila dari Aliran Beng-kau itu seperti dikeroyok enam
orang sekaligus! Tapi hanya beberapa saat Put-pai-siu Hong-jin terpengaruh dan terkecoh oleh ilmu
sihir yang mengerikan itu. Justru menghadapi manusia sinting, yang jarang
berpikir dengan otaknya seperti Put-pai-siu Hong-jin itu, segala ilmu sihir
menjadi mentah dan mati kutu! Melihat lawannya berubah menjadi banyak dan sangat
membingungkan matanya, Put-pai-siu lantas berkelahi dengan mata terpejam. Karena
Si Gila ini memang tak pernah peduli akan kematian, maka enak saja ia berbuat
seperti itu. Ia hanya 229
mengandalkan perasaan, pendengaran, dan penciumannya saja untuk bertempur. Maka
akibatnya bisa diduga, segala macam bentuk yang aneh-aneh dari lawannya, sama
sekali tak mempengaruhi pikiran Put-pai-siu Hong-jin! Apalagi Si Gila dari
Aliran Beng-kau itu kini mengeluarkan ilmu baru, hasil ciptaannya sendiri, yang
ia beri nama Tiga Langkah Bulu Angsa! Ilmu silat inilah yang dilihat oleh Enam
Hantu itu. Sebuah ilmu silat yang seolah-olah tidak dilakukan atau digerakkan
sendiri oleh pelakunya. "Monyet Tua! Ayoh, kita berkelahi! Jangan hanya menghindar ke sana ke mari!"
pemimpin rombongan suku Hun itu menjerit marah. Tangannya menghantam ke depan,
ke arah pinggang Put-pai-siu Hong-jin yang sedang melayang turun ke tanah.
Tapi sebelum pukulan itu menyentuh sasaran, tubuh Put-pai-siu Hong-jin telah
lebih dulu melayang pergi, bagaikan selembar bulu angsa yang tertiup angin!
"Hohoho-haha... ada hitam ada putih Ada perempuan... ada lelaki! Ada lobang.....
ada semut! Hohahohaaaa! Anak muda, kau tahu arti perkataanku?" mulut Put-pai-siu Hong-jin
mengoceh. "Artinya... segala sesuatu yang tercipta di dunia ini tentu ada imbangannya.
Contohnya..." Ilmu silatmu tadi sangat aneh dan menakutkan. Aku percaya, kau
tentu bisa menciptakan. bentuk yang aneh-aneh dengan ilmumu itu. Hehehe... tapi
kalau lawanmu itu buta atau... memejamkan matanya, oh-ho-ho... apakah 230
dia masih juga bisa melihat" Huuuaaah-hahahaha!
Konyol! Konyol! Sungguh sebuah ilmu yang konyol!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Monyet tua!" pemimpin rombongan dari suku Hun itu berteriak. "Hei! Hei! Nanti dulu...!" Mendadak Put-pai-siu Hong-jin mengangkat tangannya. "Tampaknya kau benar-benar ingin mengadu nyawa!
Ho-ho-ho, kalau begitu... sebutkan dulu namamu!
Jadi, hehehe... aku bisa menyebutkan namamu kalau su-teku nanti bertanya
kepadaku." "Maksudmu...?" "Sebutkan dulu namamu! Apakah kau takut namamu diketahui orang?"
"Bangsat! Putera Raja Mo Tan tidak mengenal takut! Namaku Mo Hou! Sudah
kaudengar, hei?" 231 "Kongcu...?"?"" Enam Hantu itu berdesah kaget.
"Hohoho... jadi kau ini putera Raja suku bangsa Hun itu" Hahaha, ketahuilah...!
Ayahmu itu sudah beberapa kali bertemu denganku, dan dia... takut sekali
kepadaku! Hohohahaaaaaa! Pada pertemuan yang terakhir... ho-hoha-ha... Ayah mu
telah kukencingi punggungnya! Hoha-haaaha !!!". Put-pai-siu Hong-jin menutup
ucapannya dengan tertawa terbahak-bahak.
Saking marahnya Mo Hou justru tak bisa mengucap apa-apa. Kabut kebiruan kembali
menyelimuti tubuhnya. Hanya ini lebih pekat, sehingga tubuh itu cuma kelihatan
samar-samar dalam kegelapan malam.
Wuuuuuus! Mo Hou menerjang Put-pai-siu Hong-jin, Gerakannya cepat bukan main!
Dari dalam lobang persembunyiannya Tio Siau In hanya melihat segumpal asap
pekat, berwarna kebiruan, melesat ke arah Put-pai-siu Hong-jin! Dan dari
gumpalan asap itu berkelebat pula cahaya berwarna kekuningan!
Tampaknya kali ini Put-pai-siu Hong-jin ingin menjajal kekuatan lawannya. Dia
juga mengerahkan segala kekuatannya dan menyongsong gempuran Mo Hou.
Plak! Plaaak! Siiiiiing...! Dhieeeeeees!
Dua bayangan tampak berlaga di udara, lalu masing-masing terpental ke belakang!
Bluuk! Mou Hou jatuh terlentang di atas pasir! Tangannya yang memegang kipas
berwarna kuning keemasan itu menggeletar menahan sakit! Dah dari mulutnya 232
mengalir darah segar! Sebaliknya, Put-pai-siu Hong-jin yang membelakangi laut,
terlempar ke udara, dan jatuh ke dalam gelombang air yang kebetulan menerjang
pantai! Sebentar saja tubuhnya hilang dibawa ombak!
"Kongcu...!" Enam Hantu itu bergegas menghampiri Mo Hou.
"Cepat bawa aku pergi dari tempat ini! Aku terluka dalam!"
Keenam Hantu itu tak banyak bicara pula. Cepat-cepat mereka menggotong tubuh Mo
Hou ke dalam perahu dan bergegas meninggalkan pantai itu.
Sementara itu Tio Siau In masih tetap berada di lobang persembunyiannya.
Meskipun perahu orang Hun itu sudah pergi, ia tetap belum keluar. Ia masih
merasa khawatir kalau-kalau orang Hun itu kembali lagi. Baru setelah beberapa
waktu kemudian suasana tetap lengang dan sepi, Siau In merangkak keluar dari
lubang batu karang itu. Kemudian gadis itu menarik keluar pemuda yang ditolongnya tadi dan membawanya ke
tempat kering. Sekilas tampak tatto gambar di dada pemuda itu.
"Oh, ya... akan kulihat! Apakah para pemenang sayembara yang lain itu juga
memiliki tatto naga?"
Siau In berkata di dalam hatinya.
Siau In lalu menghampiri mayat-mayat yang bergelimpangan di pasir. Setiap
menjumpai mayat para pemenang sayembara, gadis itu memeriksanya dengan teliti.
233 "Hah... benar! Pemuda ini juga memiliki gambar naga di punggungnya!" gadis itu
berdesah lirih ketika membalikkan sebuah mayat yang mati terlentang.
"Ini juga...! Ah, itu juga!" desisnya kemudian berkali-kali ketika meneliti
mayat-mayat yang lainnya.
Ternyata persis dengan yang telah diduga Tio Siau In, semua pemuda yang
memenangkan perlombaan Mengangkat Arca itu mempunyai gambar tatto naga di tubuh
mereka. Hanya bentuk gambar dan tempatnya saja yang berbeda-beda. Ada yang di
lengan, dada, perut, pinggang atau punggung.
Sementara bentuk gambarnya ada yang lengkap, ada yang tidak. Ada yang hanya
kepala naga saja, tapi ada juga yang dilukis penuh dari kepala sampai ekor.
Bahkan ada yang tidak cuma satu ekor saja, tapi dua ekor naga sekaligus.
"Tidak mungkin kalau hal ini hanya satu kebetulan saja. Tampaknya pihak istana
secara rahasia memang bermaksud mengumpulkan para pemuda bertatto naga di
seluruh negeri dengan dalih Perlombaan Mengangkat arca. Sebaliknya Raja suku
bangsa Hun tampaknya juga ikut ambil bagian pula di dalam urusan ini. Namun
dengan tujuan yang berbeda, yaitu membasmi pemuda-pemuda bertatto naga itu.
Sementara itu di pihak yang lain lagi, Aliran Im-yang-kau juga memerintahkan
seluruh cabang-cabangnya untuk mencari pemuda bertatto naga itu pula. Aaah,
kalau memang demikian halnya, pemuda itu tentu 234
merupakan seorang yang hebat sekali. Siapakah dia sebenarnya...?" sambil
mengawasi mayat-mayat yang berserakan itu Siau In mencoba menduga-duga dan
merangkai semua yang telah diketahuinya.
"Ooouugh...." Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh suara erang kesakitan. Sesosok mayat yang
ada di dekatnya sekonyong-konyong menggerakkan kaki dan tangannya. Malahan
beberapa saat kemudian mayat itu bangkit dengan perlahan-lahan.
Dengan agak takut-takut Tio Siau In mendekati.
Dengan seksama ditatapnya mayat yang kini telah duduk bersimpuh itu lekat-lekat.
Dan akhirnya Siau In mengenali orang .itu sebagai pembantu dari Lim Kok Liang,
pemimpin pengawal rombongan pemenang perlombaan tersebut.
Lelaki itu tidak lain adalah Su Hiat Hong, tahu bahwa dia terluka dalam. Maka
pertama-tama yang dia lakukan adalah duduk bersila dan mengerahkan tenaga sakti
untuk mengobati luka-lukanya itu. Dan usaha itu dilakukannya berulang-ulang.
Setelah rasa sakit itu hilang dan aliran darahnya menjadi normal kembali, Su
Hiat Hong membuka matanya. Dan ia benar-benar kaget sekali melihat Siau In di
depannya. "Nona... Nona siapa?" ujarnya dengan suara cemas.
Siau In mencoba tersenyum. "Tuan tidak usah khawatir. Saya kebetulan lewat di
tempat ini dan melihat keributan yang baru saja berlalu. Tapi maaf, 235
saya sama sekali tak berani keluar untuk membantu.
Saya sadar bahwa saya tak mungkin bisa melawan mereka. Ah, apakah Tuan sudah
merasa baik kembali?"
"Oooh...! Su Hiat Hong bernapas lega. "Terima kasih. Kulitku memang tidak
terluka, tapi bagian dalam dari tubuhku rasanya hancur semua. Aku harus lekas-
lekas mencari tabib yang pandai untuk menyembuhkannya. Nona, maukah kau menolong
aku?" "Salah seorang dari rombongan Tuan juga masih hidup walaupun terluka parah pula.
Tapi... mana ada tabib pandai di sekitar tempat ini?"
"Ohh, benarkah ada temanku yang lain yang masih selamat?" Su Hiat Hong berdesah
gembira. "Ya! Pemuda itu saya tinggalkan di dekat batu karang itu."
"Ooo...!" Su Hiat Hong berdesah kembali, tapi sekarang dengan suara sedikit
kecewa. Sebenarnya ia berharap yang selamat itu adalah Lim Kok Liang,
sahabatnya, tapi ternyata bukan.
Namun demikian petugas dari istana kerajaan itu cepat berkata lagi. "Bagaimana,
Nona" Apakah kau mau menolong kami" Dua lie dari tempat ini tinggal seorang
tabib yang sedang mengasingkan diri."
Siau In tidak segera menjawab. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat kembali ke kota
untuk menemui kakak dan suhengnya. Tapi orang-orang ini amat butuh bantuannya
pula. 236 "Baiklah...!" akhirnya ia menyanggupi. "Tapi bagaimana cara kita pergi ke tabib
itu" Bukankah Tuan belum dapat berjalan" Lalu... bagaimana pula dengan mayat-
mayat ini?" Wajah yang pucat itu tampak lega. "Nona tidak usah khawatir. Aku mempunyai
sampan kecil, yang kusembunyikan di celah-celah batu karang besar itu!"
katanya sambil menunjuk ke arah yang ia maksudkan.
"Dan... tentang mayat-mayat ini, Nona juga tidak perlu khawatir. Pagi nanti
sepasukan prajurit kerajaan akan meronda ke mari."
"Ooh...!" Siau In mengangguk lega pula. Tapi tiba-tiba keningnya berkerut. "Tapi
kalau kita bersampan... bisa bertemu dengan orang-orang Hun itu!"
"Jangan khawatir, Nona. Lapat-lapat kudengar mereka tadi menuju ke utara, sedang
tujuan kita adalah ke selatan." dengan cepat Su Hiat Hong memberi keterangan.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengambil sampannya...."
"Terima kasih, Nona. Terima kasih..." akan tetapi sebelum berangkat mengambil
sampan Tio Siau In menengok pemuda yang ditolongnya tadi lebih dahulu.
Dilihatnya pemuda itu telah sadar pula, meskipun keadaannya tampak lebih parah
dari pada Su Hiat Hong. Namun kelihatannya pemuda itu memiliki ketahanan tubuh
yang luar biasa. Pemuda itu tidak terkejut melihat dirinya. Pemuda itu justru
237 tersenyum, walaupun senyumnya lebih menyerupai seringai kesakitan daripada
senyum kegembiraan. "Siapa namamu...?" Tio Siau-In perlahan.
"A Liong...." pemuda itu menjawab singkat.
"Kau mau kubawa ke tabib?"
Lagi-lagi pemuda itu tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya. Wajahnya yang
pucat pasi itu tampak pasrah.
"Kalau begitu tunggulah di sini sebentar. Aku akan mengambil sampan untuk
membawamu pergi. Nah... kuatkanlah hatimu!" Tio Siau In menepuk lengan A Liong, kemudian berlalu.
Dengan mengikuti arah yang telah ditunjukkan oleh Su Hiat Hong,, Siau In mencoba
mencari sampan tersebut. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkannya.
Sampan itu hanya tersuruk di antara celah-celah batu karang yang banyak
bertonjolan di tepi pantai.
Lengkap dengan dua batang kayu pendayungnya.
Su Hiat Hong semakin kelihatan bersemangat melihat kedatangan Tio Siau ln
bersama sampannya. Dengan agak tertatih-tatih ia melangkah ke dalam sampan, sementara Tio Siau ln
membantu A Liong yang tidak bisa berjalan sendiri. Pemuda tanggung itu terpaksa
berpegangan pada lengan Siau In. Dan gadis cantik itu sama sekali tidak merasa
risih. Malam semakin larut, bahkan embun pagi sudah mulai turun pula ke bumi. Semakin
lama embun itu semakin tebal sehingga dari jauh seperti awan tipis yang turun
perlahan-lahan menyelimuti bumi. Dengan 238
susah payah Tio Siau In mendayung sampan itu menyusuri pantai. Dan dua lie
kemudian ia sampai ke sebuah ceruk atau teluk kecil yang dikelilingi tebing
pantai yang menjulang tinggi ke atas, sehingga ceruk yang mempunyai dataran
sempit itu seolah-olah merupakan dasar jurang yang terbuka ke arah laut.
Tio Siau ln melihat sinar lampu minyak berkedip-kedip di tengah-tengah dataran
sempit tersebut. Dan ketika sampan itu datang semakin dekat, Tio Siau In melihat
sebuah rumah kecil di antara rimbunnya pepohonan. Ternyata cahaya lampu yang
dilihatnya itu keluar dari salah sebuah jendelanya yang terbuka.
"Kita telah sampai ke rumahnya, Nona. Marilah kita ke pinggir." Su Hiat Hong
berkata lega. Tio Siau In mendayung sampan itu ke pinggir.
Diam-diam perasaannya merinding juga. Rumah di tempat yang sangat terasing itu
kelihatan menyeramkan di malam hari.
"Siapakah tabib itu sebenarnya..." Mengapa ia memilih tempat yang sepi seperti
ini?" tanyanya lirih kepada Su Hiat Hong.
Petugas kerajaan itu menghela napas panjang. Raut mukanya yang pucat itu tampak
suram, sementara matanya berkaca-kaca mengawasi rumah kecil di tempat terasing
itu. "Dia sebenarnya seorang bekas prajurit kerajaan pula. Bahkan antara dia dan aku
bersahabat erat sekali, meskipun tugas kami berbeda. Pertama kali kami bertemu,
dia bertugas di bagian kesehatan dan 239
perawatan prajurit yang terluka, sedangkan aku bertugas di bawah bendera pasukan
berkuda. Karena luka-lukaku yang parah aku pernah dirawat oleh dia.
Tapi aku juga pernah menyelamatkan dia ketika markas kami diserang musuh."
Mata Su Hiat Hong menerawang jauh, teringat akan pengalamannya di masa lalu.
Tapi mata itu segera berkaca-kaca ketika bayangan seorang sahabatnya yang lain,
yaitu Lim Kok Liang, ikut berkelebat di depan matanya.
"Alangkah malangnya dia. Seorang perwira yang telah banyak berjasa kepada
negara, tapi pada saat kematiannya tak seorang pun yang merawat jenazahnya."
keluhnya dalam hati, menyesali kematian Lim Kok Liang.
"Lalu... kenapa dia sekarang tinggal di tempat seperti ini, Paman?" Siau In yang
merasa kasihan kepada Su Hiat Hong itu kini menyebutnya Paman.
Su Hiat Hong seperti disentakkan dari lamunannya yang hanya sesaat itu.
"Aaaah... ya, dia... dia akhirnya dipindahkan ke istana. Sementara aku juga
dipindahkan ke Pasukan Rahasia. Karena kepandaiannya mengobati orang, sahabatku
itu lalu diambil oleh mendiang Pangeran Liu Yang Kun ke istana pribadinya. Dia


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diangkat sebagai perwira dan ditunjuk sebagai tabib pribadi dalam keluarga
Pangeran Mahkota itu. Tapi...."
"Tapi... bagaimana, Paman?" kejar Tio Siau In.
240 "Yah... ternyata keberuntungannya itu tak berlangsung lama. Seperti yang mungkin
telah kaudengar pula, Pangeran Liu Yang Kun itu mendadak hilang setelah upacara
pemakaman Kaisar Liu selesai.
Bahkan tidak cuma itu. Ternyata keluarga Pangeran Liu Yang Kun dan istana
pribadi beliau, beberapa hari kemudian juga ikut musnah pula dimakan api.
Sahabatku yang sudah terlanjur mengasihi keluarga itu menjadi sedih dan
kehilangan gairah hidup. Dia yang memang tidak mempunyai keluarga lagi lalu
pergi menyepikan diri ke tempat sunyi ini. Hanya aku yang diberi tahu
Kepergiannya. Dan secara diam-diam aku pernah mengunjunginya di tempat ini. tapi
itu telah bertahun-tahun yang lalu. Entahlah, sekarang aku tak tahu bagaimana
keadaannya...." Su Hiat Hong dengan nada sedih mengakhiri ceritanya.
Tio Siau ln tidak bertanya lagi. Sambil mengayuh dayungnya gadis itu juga sedang
terbuai oleh lamunannya. Entah mengapa cerita Su Hiat Hong itu tiba-tiba juga
mengingatkan keadaannya sendiri.
Gadis itu teringat kepada kakaknya, Tio Ciu In.
Kakaknya itu tentu sedang kebingungan mencari dirinya.
"Aku tidak memiliki sanak saudara lagi selain Cici Cui In. Saat ini dia tentu
sangat sedih dan menangisi kepergianku. Aaaah... aku harus cepat-cepat kembali
selesai mengantar orang-orang ini." katanya di dalam hati.
241 Seperti ada seutas benang yang menghubungkan dua pikiran mereka, ternyata pada
saat yang sama di kota Hang-ciu Tio Ciu In juga sedang memikirkan Siau In pula.
Semalam Ciu In bersama-sama dengan Liu Wan telah berhasil memporak-porandakan
upacara yang diadakan oleh para pendeta Pek-hok-bio. Namun Ciu In menjadi kecewa
dan cemas karena gadis yang mereka bebaskan dari upacara korban itu ternyata
bukan Siau In. Untunglah Liu Wan pandai menghiburnya. Pemuda itu mengajaknya ke
kota untuk beristirahat dulu.
Mereka menyewa kamar sendiri-sendiri di sebuah penginapan. Dan Liu Wan yang
kelelahan sehabis bertempur dengan musuh-musuhnya itu segera tertidur di
kamarnya, sementara Ciu In sendiri tidak bisa memicingkan matanya. Gadis itu
melamun di atas pembaringannya.
Tengah malam tadi, ketika di tepi pantai Siau In menyaksikan pertempuran antara
rombongan petugas kerajaan dan orang-orang Hun, maka di Kuil Pek-hok-bio Ciu In
justru sedang bertempur melawan para pendeta Pek-hok-bio pula dengan sengitnya.
Seperti yang telah direncanakan, Liu Wan mengajak Tio Ciu In ke Pek-hok-bio
menjelang tengah malam. Karena sore harinya mereka telah didatangi anak buah
Pek-hok-bio, maka Liu Wan tidak berani sembarangan memasuki sarang macan itu.
Pemuda itu yakin bahwa kuil Pek hok-bio tentu telah dijaga dengan ketatnya.
Pagar, halaman, atap-242 atap bangunan, pepohonan, tentu tidak luput dari pengawasan mereka.
"Kita harus mencari jalan yang baik supaya mereka tidak tahu kalau kita telah
menyusup ke dalam sarang mereka.
Tapi... bagaimana caranya?" sebelum sampai di tempat tujuan Liu Wan menjadi bingung. "Kita lewat melalui pagar belakang?" Ciu In mengusulka n. "Wah... tidak mungkin. Segala tempat tentu telah dijaga. Kita tidak mungkin
menerobosnya tanpa ketahuan."
"Mengapa tidak kita dobrak saja sekalian pintu halamannya?" Ciu In yang sangat
mengkhawatirkan keselamatan adiknya itu menjadi tidak sabar.
243 "Wah, itu lebih konyol lagi. Upacara korban yang akan mereka laksanakan tentu
menjadi batal, dan mereka tentu akan menyembunyikan gadis korbannya.
Kita akan sulit mencarinya nanti."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Tio Ciu In menjadi gelisah dan hampir
menangis. Liu Wan tersenyum. Dengan sabar dan penuh perhatian pemuda itu membesarkan hati
Ciu In. "Jangan cemas. Aku telah' mendapatkan akal yang bagus." katanya halus.
Tio Ciu In mengerling dengan bibir cemberut.
"Twako memang suka menggoda aku. Kalau memang sudah tahu jalannya, mengapa tidak
dikatakan sejak tadi?" sergahnya dengan kesal.
"Eeee, jangan keburu marah dulu Nona Cantik!
Aku tidak bermaksud menggoda. Aku hanya ingin mengetahui pendapatmu. Yah, siapa
tahu...!" Tiba-tiba pandangan mata Liu Wan meredup sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sebagai gadis yang telah menginjak dewasa, Ciu In tahu arti pandangan pemuda
itu. Pandangan kagum seorang lelaki terhadap wanita.
"Jangan memandangku seperti itu, Twako. Ngeri aku melihatnya." Gadis itu
berdesah lirih sambil menundukkan mukanya.
"Amboi...! Sungguh beruntung sekali Suhengmu itu, bisa mendapatkan bidadari
sedemikian cantiknya. Aku benar-benar iri kepadanya. Bertahun-tahun aku berkeliling ke seluruh pelosok
negeri, naik gunung 244 turun gunung, keluar masuk dusun dan kota, namun belum pernah juga bertemu
bidadari. Tak tahunya bidadari itu sudah ada yang punya. Maaf, Ciu-moi...
maafkan aku." "Ngaco! Siapa bilang aku sudah ada yang punya"
Aku dengan Suheng..." tiba-tiba Ciu In menutup mulutnya. Kulit mukanya yang
putih mulus itu mendadak berubah menjadi merah padam. "Kau... kau memang suka
menggoda aku!" akhirnya ia bersungut-sungut kesal sambil membuang mukanya.
"Ciu-moi...." "Sudah! Aku tak mau bicara lagi denganmu!
Twako jahat!" Selesai bicara Tio Ciu In berlari meninggalkan Liu Wan.
"Eeee... Ciu-moi! Ciu-moi! Tunggu ...!" Liu Wan berseru memanggil.
Tapi Ciu In tak ambil peduli lagi. Gadis cantik itu tetap berlari terus,
sehingga Liu Wan menjadi khawatir juga akhirnya. Pemuda itu cepat mengejar.
"Tunggu Ciu-moi! Apakah kau tidak jadi menolong Adikmu?" pemuda itu berseru.
"Biar. Aku akan menolongnya sendiri." Ciu In menjawab ketus, tanpa mengendorkan
langkahnya. "Bagaimana engkau akan menolong Adikmu" Akan menerobos penjagaan mereka" Atau
kau akan nekad mendobraknya dari pintu depan" Ingat, Ciu-moi!
Jangan gegabah! Sekali kau gagal, kau takkan dapat 245
menemukan Adikmu lagi!" Liu Wan
memperingatkan. Sejenak Ciu In masih tetap berlari. Namun sesaat kemudian gadis itu sekonyong-
konyong berhenti. Sambil menutupi mukanya gadis itu tersedu-sedu.
Tampaknya ucapan Liu Wan tadi amat mengena di hatinya.
Dengan hati-hati Liu Wan mendekati. Disentuhnya pundak Ciu In dengan halus, tapi
gadis itu cepat menghindarinya. Tapi Liu Wan tidak berputus asa.
Sekali lagi diraihnya pundak Ciu In sambil tak lupa mulutnya menghibur. Dan kali
ini gadis itu tidak mengelak lagi.
"Maafkanlah aku kalau aku kesalahan omong, Ciu-moi. Aku tak bermaksud menggoda
atau mengganggumu. Aku hanya mengatakan apa yang ada, yang tadi kebetulan terlintas
di dalam hatiku. Aku bukan seorang munafik. Bukankah aku sudah pernah mengatakan bahwa aku
seorang yang sangat menyenangi keindahan" Dan aku memang tidak bohong atau
berpura-pura ketika mengatakan kau sangat cantik bagai bidadari. Engkau memang
benar-benar seperti bunga pek-lian (teratai putih) yang mekar segar di pagi
hari. Indah, anggun, dan mengandung perbawa yang memukau. Nah, Ciu-moi... tidak
sadarkah kau akan karunia Thian yang diberikan kepadamu itu" Bukankah setiap
hari kau juga melihatnya sendiri di dalam kaca?" dengan 246
panjang lebar pemuda yang mahir menyusun sajak itu menghibur Ciu In.
Gadis mana yang tak suka disanjung dan dipuja di dunia ini" Akhirnya luluh juga
hati Tio Ciu In. Bahkan diam-diam gadis itu merasa bangga juga hatinya.
"Aku tahu, Twako. Tapi kau tak perlu mengatakan semuanya itu kepadaku. Aku malu.
Apalagi kau lalu menghubung-hubungkannya dengan Suhengku. Aku sama sekali tak
mempunyai hubungan apa-apa dengan Sin Lun Suheng selain hubungan sebagai saudara
seperguruan." "Baiklah... baiklah, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya kepadamu. Aku berjanji
takkan mengulanginya lagi. Nah, kau puas Nona Cantik?"
"Itu... kau sudah mulai lagi!" Geram Ciu In dengan suara tinggi.
Liu Wan terbelalak kaget seperti orang yang terlanjur makan sayur kepanasan.
"Ah, benar... benar. Mulutku ini memang keterlaluan!" serunya kemudian sambil
menampari sendiri mulutnya yang usil itu. Suaranya plak-plok menggelikan.
"Sudah... sudah kauhentikan tanganmu itu! Kau memang lelaki konyol dan
menggemaskan! " akhirnya tak tahan juga Ciu In melihatnya. "Sekarang lebih baik
kaujelaskan saja rencanamu untuk memasuki Kuil Pek-hok-bio itu!"
247 Liu Wan mematuhi perintah Tio Ciu In. Telapak tangannya yang semula menampari
pipi dan mulutnya sendiri itu kini ganti mengelus-elusnya. Ternyata pipi itu
telah berubah menjadi merah juga. Sambil tersenyum malu pemuda itu memandang Ciu
In. Mereka berada di jalan setapak di mana keduanya mulai berjumpa kemarin. Bahkan
tempat di mana mereka sekarang berdiri adalah di bawah pohon di mana Ciu In
kemarin menangis. "Hei, jangan bengong saja! Lekas katakan, bagaimana rencanamu?" Ciu In
menghardik, sehingga Liu Wan tersentak kaget untuk yang kedua kalinya.
Pemuda itu benar-benar sedang kesengsem melihat kecantikan Ciu In.
"Gila...!" pemuda itu mengumpat di dalam hati.
"Mengapa aku begini pusing melihat kecantikannya"
Bukankah aku baru kenal kemarin siang" Bukan main! Gadis ini sungguh memiliki
daya tarik yang luar biasa. Aku toh sebenarnya bukan anak dusun yang masih
ingusan, yang terkagum-kagum melihat kecantikan gadis kota. Aku sudah terbiasa
dikelilingi gadis-gadis cantik. Bahkan kalau mau aku bisa mengambil sebanyak aku
suka. Tapi sekali ini benar-benar lain. sungguh luar biasa.
"Hei..." Kau ini bagaimana, sih?" Sekali lagi Ciu In membentak dengan suara yang
sangat mendongkol. "Eh, anu... ya-ya, aku akan menyamar seperti...
seperti bidadari! Lhoh!" Liu Wan yang masih kehilangan semangat itu menjadi
gugup sehingga 248 ucapannya jungkir-balik tidak keruan. Dan pemuda itu menjadi kaget sendiri
setelah menyadarinya. Tio Ciu In tak bisa menahan senyumnya. Bahkan gadis molek itu akhirnya tak kuasa
menahan ketawanya. Liu Wan memang benar-benar seperti pemuda dusun yang baru
pertama kalinya melihat kecantikan gadis kota.
Akhirnya sadar juga pemuda itu dari belenggu keindahan yang memukaunya.
"Maaf, Ciu-moi. Aku mempunyai rencana untuk menyusup ke dalam upacara keagamaan
mereka dengan menyamar. Kita berdua berdandan sebagai salah seorang dari
penganut aliran mereka.".
"Apakah mereka tidak akan mengenal kita" Dalam upacara penting seperti ini tentu
hanya anggota-anggota yang telah dikenal saja yang boleh hadir."
Ciu In menanggapi. Liu Wan tersenyum, dan pemuda itu memang ganteng sekali kalau tersenyum.
"Tentu saja, Ciu-moi. Kita pun harus memilih pula dalam menyamar." katanya
dengan nada yakin. "Bagaimana caranya?"
Sekali lagi Liu Wan tersenyum. "Maaf, Ciu-moi.
Sebenarnya aku sudah mempersiapkan rencana itu jauh sebelumnya. Aku sudah
menyelidiki siapa-siapa saja penduduk kota ini yang menjadi pengikut aliran Pek-
hok-bio. Nah, untuk melaksanakan rencana kita ini aku telah menyuruh Lo Kang dan
Lo Hai ke kota sore tadi. Sekarang kita tinggal menantikan khabar 249
dari mereka. Marilah kita ke jalan raya menunggu kedatangan mereka!"
Tio Ciu In merengut karena merasa dibohongi
"Huh, kau tadi mengatakan bahwa belum mempunyai rencana apa-apa. Ternyata, kau
sudah mempersiapkannya jauh-jauh sebelumnya. Huh, mengapa tak kau katakan sejak
tadi?" sungut gadis itu jengkel.
"Eeee... jangan marah dulu! Aku tidak bermaksud mempermainkanmu." Liu Wan buru-
buru memberi keterangan. "Aku hanya ingin mengetahui pendapatmu. Siapa tahu kau
memiliki rencana yang lebih bagus daripada rencanaku" Kalau aku buru-buru
mengatakan rencanaku, kau tentu tak mau mengatakan pendapatmu. Kau tentu akan
Bloon Cari Jodoh 4 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 8
^