Pencarian

Misteri Naga Laut 2

Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut Bagian 2


bersama Layung Sari yang sudah tidak diragukan
lagi kepandaian ilmu olah kanuragannya.
Tapi kehidupan di dunia luar tidak bisa mudah
diramalkan. Terlalu banyak tokoh persilatan dari
berbagai macam golongan yang berkeliaran. Dan
sudah pasti, tidak sedikit rintangan yang akan dihadapi. Sedangkan perjalanan ke
Kotaraja Karang
Setra sedikitnya membutuhkan waktu tiga hari tiga malam perjalanan berkuda. Itu
bukan waktu yang
sedikit "Bagaimana, Paman...?" desak Layung Sari.
"Biar ku putuskan besok," sahut Paman Ardaga. Layung Sari tidak bisa memaksa,
dan bisa mengerti keberatan Paman Ardaga untuk mem-
bawa Andari pergi dari desa ini. Walaupun, keper-
giannya untuk menyelamatkan desa nelayan ini dari
kehancuran dan cengkeraman kebiadaban Raden
Banyu Samodra. *** 5 Tepat seperti perhitungan Paman Ardaga, sete-
lah menempuh perjalanan panjang selama tiga hari
tiga malam, Layung Sari dan Andari baru tiba di Istana Kerajaan Karang Setra,
Kedua gadis dari desa nelayan di Pesisir Pantai Utara itu langsung diterima
Danupaksi. Kemudian Layung Sari mencerita-
kan semua peristiwa yang terjadi di desanya, setelah diterima orang kedua Karang Setra.
Setelah mendengar semua cerita tentang ke-
adaan yang terjadi di desa nelayan itu, Danupaksi segera menyampaikannya pada
Rangga. Dan saat
ini, Rangga memang kebetulan berada di istana,
dan sedang bercengkerama bersama Pandan Wangi
dan Cempaka di taman keputren belakang istana.
Pendekar Rajawali Sakti yang mendapat laporan da-
ri adik tirinya, bergegas menemui Layung Sari dan Andari di ruangan Bangsal
Pendopo Agung. Cempaka dan Pandan Wangi tidak ketinggalan mendam-
pinginya. "Semua yang kalian ceritakan sudah kudengar
dari Danupaksi. Hm..., sudah berapa lama berlang-
sung?" Rangga yang juga Raja Karang Setra langsung membuka suara, begitu duduk
di singgasana. "Lebih dari satu purnama, Gusti Prabu," sahut Layung Sari dengan sikap begitu
hormat, "Satu Purnama..." Kenapa baru datang ke si-
ni?" Tanya Rangga agak terkejut.
"Ampun, Gusti. Kesempatan untuk mening-
galkan desa yang tidak ada. Dan lagi, kami khawatir
Gusti tidak berada di istana," sahut Layung Sari la-gi. "Hm...," Rangga
menggumam perlahan. Pendekar Rajawali Sakti melirik Cempaka, Danupaksi,
dan Pandan Wangi yang mendampinginya. Kemu-
dian, pandangannya kembali tertuju pada Layung
Sari dan Andari yang duduk bersimpuh di lantai beralaskan permadani berbulu
tebal dan halus lem-
but. Raja Karang Setra yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti ini
bangkit dari singgasa-nanya sambil menghembuskan napas panjang. De-
ngan ayunan kaki mantap, dihampirinya kedua ga-
dis dari desa nelayan di Pesisir Pantai Utara itu.
"Bangunlah," pinta Rangga lembut.
"Ampun, Gusti Rangga," ucap Layung Sari sambil memberi sembah dengan merapatkan
kedua telapak tangan di depan hidung.
Andari juga mengikuti dengan sikap sama. Se-
telah Rangga meminta untuk kedua kali, baru ke-
dua gadis itu bangkit berdiri. Sikap mereka begitu hormat. Dan mereka memberi
sembah sekali lagi,
setelah berdiri dengan tubuh agak membungkuk.
"Cempaka, antarkan mereka ke tempat per-
istirahatannya," pinta Rangga.
"Baik, Kakang Prabu," sahut Cempaka sambil merapatkan kedua tangannya di depan
hidung. Cempaka langsung mengajak kedua gadis itu
meninggalkan Bangsal Pendopo Agung. Semen-tara,
Rangga masih berdiri mematung memandangi ga-
dis-gadis itu sampai lenyap di balik dinding penye-kat Sedangkan, Pandan Wangi
dan Danupaksi su-
dah menghampiri, mengapit Pendekar Rajawali Sak-
ti yang saat ini mengenakan pakaian kebesaran seorang raja.
"Kalian berdua tetap di sini," kata Rangga.
"Kakang akan pergi sendiri?" Tanya Pandan
Wangi dengan nada suara menyesalkan keinginan
Pendekar Rajawali Sakti yang akan pergi sendiri ke Pesisir Pantai Utara.
"Ya! Aku akan datang sendiri ke sana. Dia
menginginkan aku sendiri yang datang ke sana,"
sahut Rangga mantap.
"Tapi...."
Rangga cepat-cepat menggoyangkan tangan-
nya, sehingga memutuskan ucapan Pandan Wangi.
Sedangkan Danupaksi hanya diam saja dengan
kening agak berkerut. Entah, apa yang sedang dipikirkan adik tiri Pendekar
Rajawali Sakti saat ini.
Sementara, Rangga sudah melangkah mening-
galkan ruangan yang berukuran sangat besar dan
megah ini. Tinggallah Pandan Wangi dan Danupaksi
yang masih berada di dalam ruangan. Mereka se-
mua terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti
yang terus melangkah tanpa menoleh lagi menuju
bagian belakang istana. Dan pemuda itu lenyap se-
telah memasuki sebuah lorong yang cukup panjang.
"Bagaimana, Danupaksi...?" ujar Pandan Wangi meminta pendapat
Danupaksi mengangkat bahunya sedikit. Dia
tahu bila Rangga sudah mengatakan ingin pergi
sendiri, tidak mungkin bisa dibantah lagi. Dan tidak mungkin dia atau siapa pun
juga membuntutinya.
Hal ini juga sudah diketahui Pandan Wangi yang setiap saat selalu mendampingi
Pendekar Rajawali
Sakti dalam pengembaraannya, menjalankan tugas
sebagai seorang pendekar.
"Aku akan pergi ke sana sendiri," kata Pandan Wangi.
"Jangan, Kak. Bisa celaka kalau tetap pergi di-am-diam," cegah Danupaksi.
"Perasaanku tidak enak, Danupaksi."
"Tapi aku percaya, Kakang Rangga pasti bisa
mengatasinya sendiri. Lagi pula, Raden Banyu Sa-
modra menghendaki Kakang Rangga sendiri yang
datang," kata Danupaksi tetap menghalangi keinginan gadis yang dikenal berjuluk
si Kipas Maut. "Tapi...."
"Sudahlah, Kak. Untuk sekali ini, sebaiknya tu-ruti saja," potong Danupaksi
cepat. Pandan Wangi terdiam.
"Ayo, Kak. Sebaiknya temui kedua gadis itu.
Barangkali saja ada yang lupa diceritakan," ajak Danupaksi.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Mere-
ka kemudian bergegas meninggalkan ruangan
Bangsal Pendopo Agung, menuju tempat peristira-
hatan untuk tamu-tamu istana.
*** "Khraaagkh...!"
"Agak rendah sedikit Rajawali...!" teriak Rangga agak keras suaranya, agar bisa
mengalahkan deru
angin yang membuat telinganya terasa sakit.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih Raksasa merendahkan ter-
bangnya, sehingga Rangga bisa melihat jelas ke bawah. Pendekar Rajawali Sakti
memang sengaja me-
manggil burung raksasa tunggangannya agar lebih
cepat sampai ke Pesisir Pantai Utara. Dan pakaiannya kini sudah kembali seperti
biasa yang menjadi ciri utama di dalam dunia kependekaran. Sebuah
baju rompi putih dengan Pedang Pusaka Rajawali
Sakti bertengger di punggung.
"Khraaagkh...!"
"Jangan terlalu ribut Rajawali. Lihat..! Perkampungan itu sudah terlihat dari
sini," kata Rangga sambil menunjuk ke sebuah perkampungan yang
berdiri di Pesisir Pantai Utara.
Tampak jelas dari angkasa kalau keadaan per-
kampungan itu sangat sunyi, seakan tidak ber-
penghuni lagi. Dan keadaannya pun seperti baru
saja dilanda badai yang sangat dahsyat. Rangga
meminta Rajawali Putih lebih merendah lagi ter-
bangnya, hingga tepat di atas desa nelayan yang
sunyi. Rangga memperhatikan setiap sudut desa itu dengan tatapan mata tajam,
tanpa berkedip sedikit pun juga.
"Turun di sebelah sana, Rajawali!" pinta Rang-ga sambil menunjuk sebuah hutan
bakau di sebe- lah Selatan Pantai Utara.
"Khraaagkh...!"
Cepat sekali Rajawali Putih meluruk ke arah
hutan bakau yang ditunjuk Rangga. Dalam waktu
sekejap saja, burung rajawali raksasa itu sudah
mendarat di pinggir hutan bakau. Rangga langsung
melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Se-
bentar pandangannya beredar berkeliling. Tak seorang pun yang terlihat di
sekitarnya. Bahkan binatang kecil pun tidak dijumpainya. Benar-benar
sunyi suasana di Pesisir Pantai Utara ini. Hanya desiran angin dan debur ombak
saja yang terdengar
mengusik gendang telinga.
"Rajawali, menyingkirlah. Tapi jangan terlalu jauh. Aku pasti akan membutuhkan
mu lagi," kata Rangga sambil menepuk leher binatang raksasa
tunggangannya. "Khrrrk...!"
"Pergilah."
Hanya sekali mengepakkan sayapnya, Rajawali
Putih sudah melambung tinggi ke ang-kasa. Bina-
tang itu lenyap dari pandangan mata, begitu me-
nembus awan yang berarak di langit. Sebentar
Rangga masih menengadahkan pandangannya ke
atas, kemudian menarik napas dalam-dalam. Lalu,
Pendekar Rajawali Sakti melangkah menuju per-
kampungan nelayan yang berada tidak begitu jauh
dari tepian hutan bakau ini. Ayunan kakinya begitu tenang dan mantap.
Pandangannya pun tertuju lurus ke depan.
Begitu menginjakkan kakinya, Rangga sudah
merasakan kalau desa nelayan ini tidak di-
tinggalkan penduduknya. Tapi, tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan tak ada
satu rumah pun yang membuka pintu atau jendelanya. Pendekar Rajawali
Sakti bisa merasakan adanya napas kehidupan di
tiap-tiap rumah yang dilewatinya.
"Hm. Sebaiknya aku langsung saja ke salah sa-tu rumah desa ini. aku ingin tahu,
apa cerita Layung Sari itu benar...," gumam Rangga dalam ha-ti. Rangga terus berjalan
dengan ayunan kaki
mantap. Dan dia baru berhenti melangkah setelah
sampai didepan sebuah rumah yang berhalaman
cukup luas. Keadaannya sangat sunyi. Bahkan se-
dikit pun tak terdengar suara dari dalamnya. Beberapa saat Pendekar Rajawali
Sakti meneliti keadaan rumah di depannya, tanpa menggunakan aji
'Pembeda Gerak dan Suara'. Dia tidak ingin getaran ajian itu bisa ditangkap
orang yang bersembunyi di dalam rumah itu.
"Sunyi sekali.... Apakah memang tidak ada
orang di dalam sana...?" gumam Rangga bicara sendiri. Perlahan kepala Pendekar
Rajawali Sakti bergerak ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang terlihat.
Namun, tiba-tiba saja kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Tidak jauh
dari rumah ini, tampak sebuah rumah berukuran kecil yang
dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Tampak
juga sebuah jendela di rumah itu terbuka, walau-
pun hanya sedikit. Sekilas, terlihat ada sepasang mata mengintai dari balik
jendela. "Hup...!"
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti tiba-
tiba saja melesat. Begitu sempurnanya ilmu merin-
gankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak
terlihat lagi. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
didepan jendela rumah yang sedikit terbuka itu.
"Kisanak yang di dalam, boleh aku bertanya sesuatu...?" ujar Rangga dengan suara
dibuat sopan. Tak ada jawaban sedikit pun juga dari dalam
rumah itu. Tapi telinganya yang tajam, bisa men-
dengar adanya tarikan napas agak ditahan. Rangga
bisa menebak, di dalam rumah ini ada dua orang
laki-laki. Dan dia tahu, yang seorang sudah tua
usianya. Sedangkan, yang seorang lagi masih ber-
usia sekitar lima puluh tahun. Semua itu diketa-
huinya dari tarikan napas yang terdengar.
"Kisanak...!" panggil Rangga lagi setelah ber-pindah ke depan pintu.
Tetap tak ada jawaban dari dalam. Tapi begitu
Rangga hendak mengetuk pintu, mendadak saja....
"Hup...!"
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti me-
lenting ke belakang, begitu meluncur sebuah benda panjang yang ternyata sebatang
tombak saat pintu
rumah itu tiba-tiba terbuka.
Tap! Dengan satu gerakan tangan yang sangat cepat
Pendekar Rajawali Sakti berhasil menangkap tom-
bak itu. Lalu, begitu ringan kakinya menjejak kembali di tanah. Begitu
sempurnanya ilmu meringan-
kan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menim-
bulkan suara saat kakinya menjejak tanah berpasir
putih ini. "Kisanak, kenapa kau menyerangku" Aku bu-
kan musuhmu," kata Rangga, agak dikeraskan suaranya.
"Siapa kau" Apa maksudmu datang ke sini...?"
Terdengar suara lantang dari dalam rumah itu.
Sementara, Rangga menggeser kakinya ke depan
beberapa langkah. Lalu ditancapkannya tombak
yang tadi meluncur dari dalam rumah itu, dan di-
tinggalkan begitu saja di belakangnya. Sedangkan
pintu rumah itu masih terbuka lebar, tapi memang
sulit untuk bisa melihat jelas ke dalam. Keadaan di dalam rumah itu sangat
gelap. Ayunan kaki Rangga
baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan pintu


Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah ini. "Aku Rangga," Rangga memperkenalkan diri, tanpa merasa tersinggung sedikit pun
juga atas sambutan yang tidak mengenakkan tadi. "Apakah aku berbicara dengan Ki Amus...?"
Saat itu, terdengar tarikan napas yang panjang.
Dan tak lama kemudian, seorang laki-laki berusia
setengah baya bertubuh tegap berotot, keluar dari dalam rumah dengan langkah
tergopoh-gopoh.
Langsung dijatuhkan dirinya untuk berlutut, seraya merapatkan kedua tangannya di
depan hidung begitu sampai di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh! Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Hamba
tidak tahu kalau yang datang Gusti Prabu sendiri,"
ujar laki-laki setengah baya yang tak lain Paman
Ardaga. "Bangunlah, Paman," pinta Rangga sambil me-nyentuh pundak Paman Ardaga.
Perlahan laki-laki setengah baya itu bangkit
berdiri. Namun, tubuhnya masih sedikit membung-
kuk hormat Rangga tersenyum dan melangkah lebih
mendekat. "Silakan masuk, Gusti Prabu. Tapi keadaan
rumah Hamba sangat tidak menyenangkan," ajak Paman Ardaga dengan sikap sangat
hormat "Terima kasih, Paman," sahut Rangga sambil
tersenyum. Tanpa ada keraguan sedikit pun juga, Rangga
melangkah masuk ke dalam rumah itu. Sementara,
Paman Ardaga membuntuti dari belakang. Dengan
sikap yang enak sekali, Pendekar Rajawali Sakti duduk di kursi kayu, tidak jauh
dari jendela yang tertutup rapat. Sementara, di depannya terdapat se-
buah balai-balai dari bambu yang di atasnya ter-
baring sesosok tubuh laki-laki tua. Hanya bagian
kepalanya saja yang bisa bergerak. Sedangkan seluruh tubuhnya tidak dapat
digerakkan lagi.
"Ki Amus menderita kelumpuhan setelah berta-
rung melawan Iblis Raden Banyu Samodra," jelas Paman Ardaga, tanpa diminta lebih
dahulu. "Hm, sudah berapa lama?" Tanya Rangga seraya bangkit berdiri dan menghampiri
laki-laki tua yang terbaring di atas balai-balai bambu yang memang Ki Amus,
kepala desa nelayan di Pesisir Pan
tai Utara ini. "Sejak Raden Banyu Samodra datang ke desa
ini, Gusti Prabu," sahut Paman Ardaga.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Se-
bentar diperiksanya beberapa bagian tubuh Ki
Amus. Kemudian nafasnya berhembus panjang, dan
kembali duduk di kursinya tadi. Sementara, Paman
Ardaga masih tetap berdiri di ujung balai-balai
bambu dengan sikap agak membungkuk.
Walaupun saat ini Rangga berpakaian biasa,
tapi sudah dikenal seluruh rakyatnya. Sehingga, tidak mungkin lagi bisa
menyembunyikan keadaan
dirinya. Semua rakyat di Kerajaan Karang Setra sudah tahu, raja mereka adalah
seorang pendekar
tangguh dan digdaya. Dan di dalam kalangan rimba
persilatan, dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sak-ti. "Gusti Prabu...."
"Jangan panggil aku seperti itu, Paman," potong Rangga cepat
"Tapi...."
"Aku lebih senang kalau dipanggil Rangga sa-
ja," kembali Rangga memotong, hingga Paman Ardaga tidak bisa melanjutkan
bicaranya. Sikap Rangga yang begitu, membuat Paman
Ardaga jadi bertambah kaku. Sikapnya jadi serba
salah. Memang, bagaimanapun pakaian yang dike-
nakan Pendekar Rajawali Sakti, tetap saja seorang raja. Jadi tidak mungkin bagi
Paman Ardaga untuk
memanggil nama rajanya.
"Kau bisa memanggilku apa saja, Paman. Asal jangan Gusti Prabu," pinta Rangga.
Paman Ardaga hanya bisa menganggukkan ke-
pala saja. Namun begitu, tetap saja tidak mungkin bisa memenuhi permintaan
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga hanya tersenyum. Dia tahu,
Paman Ardaga kebingungan untuk memanggilnya
nanti. Tapi hal seperti ini memang sudah seringkali ditemui, jika berada di
dalam wilayah Kerajaan Karang Setra. Dan Rangga yakin, Paman Ardaga nan-
tinya pasti akan terbiasa.
"Paman, coba ceritakan semua yang telah ter-
jadi di desa ini," pinta Rangga.
"Maksud, Gusti Pra.... Eh, Raden...?" Paman Ardaga jadi tergagap.
"Dua orang gadis dari desa ini datang ke istana.
Dan kebetulan sekali, aku ada di sana. Aku lang-
sung datang setelah mendengar ceritanya. Tapi, aku ingin Paman sendiri yang
mengatakannya. Mungkin
bisa lebih lengkap lagi," jelas Rangga.
"Oh, jadi Layung Sari dan Andari sudah sampai di sana...?" desah Paman Ardaga,
merasa lega saat itu juga.
"Benar. Dan mereka kuminta tetap tinggal di
sana, sampai keadaan di sini bisa teratasi," sahut Rangga menjelaskan lagi.
"Dewata Yang Agung...," desah Paman Ardaga bersyukur.
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum. Tapi, kali
ini senyumannya terasa hambar. Melihat sikap Paman Ardaga seperti itu, Rangga
sudah bisa mendu-
ga kalau keadaan yang akan dihadapi tidak seperti bayangannya. Pasti akan lebih
sulit lagi. "Nah, Paman. Kau bisa menceritakannya dari
awal sekarang," ujar Rangga lembut
"Baik, Den," sahut Paman Ardaga, masih bersikap hormat sekali.
Tanpa diminta lagi, Paman Ardaga menceri-
takan semua yang telah terjadi dari awal hingga
saat ini. Juga diceritakan kalau hampir setiap hari ada saja gadis yang hilang
entah ke mana. Tapi,
Layung Sari pernah melihat kalau Raden Banyu
Samodra mempersembahkan gadis-gadis desa un-
tuk menjadi santapan Naga Laut. Hanya saja, Pa-
man Ardaga belum bisa menarik kesimpulan lebih
banyak lagi. Dan dia hanya bisa menceritakan apa
adanya, seperti yang diketahui selama ini. Sedangkan Rangga mendengarkan penuh
perhatian. Sedi-
kit pun tidak menyelak, sampai Paman Ardaga sele-
sai dengan ceritanya.
*** Tepat tengah malam, Rangga berada di depan
rumah Ki Amus yang sekarang ditempati Raden
Banyu Samodra. Paman Ardaga terus mendampingi
Pendekar Rajawali Sakti itu. Tapi kelihatannya dia begitu gelisah sekali. Kedua
bola matanya terus melirik ke kanan dan ke kiri. Seakan dia takut ada
orang lain yang melihatnya berada di tempat ini
bersama seorang pemuda yang sudah dikenal den-
gan julukan Pendekar Rajawali Sakti.
"Paman di sini saja," kata Rangga setengah
berbisik. "Raden akan ke mana?" Tanya Paman Ardaga juga berbisik pelan suaranya.
"Aku ingin melihat ke dalam," sahut Rangga.
"Hati-hati, Den," pesan Paman Ardaga.
Rangga tersenyum kecil, lalu menepuk pundak
laki-laki setengah baya itu. Sebentar masih diamatinya keadaan rumah kepala desa
itu. Kemudian dengan kecepatan kilat, tubuhnya melesat naik ke
atas atap. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja Pen-
dekar Rajawali Sakti sudah berada di atas atap rumah itu. Sementara, Paman
Ardaga bergegas men-
cari tempat untuk berlindung untuk me-
nyembunyikan diri. Hatinya baru merasa aman se-
telah berada di balik sebatang pohon yang cukup
besar, hingga melindungi dirinya dari bayang-
bayang cahaya rembulan.
Sementara, Rangga terus bergerak ringan sekali
di atas atap bangunan rumah. Dan dengan gerakan
yang ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melu-
ruk turun ke bagian belakang. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, manis sekali kakinya menjejak ke tanah berpasir. Sebentar,
diamatinya keadaan sekitarnya.
"Hm. Pintu ini tidak terkunci," gumam Rangga dalam hati.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendorong
pintu belakang yang memang tidak terkunci. Tapi
baru saja daun pintu itu terdorong sedikit, mendadak saja Rangga merasakan
adanya hempasan an-
gin yang begitu kuat dari balik daun pintu.
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang. Te-
pat pada saat kakinya menjejak tanah, daun pintu itu hancur berkeping-keping.
Dan pada saat yang
bersamaan, dari dalam meluncur deras puluhan
benda kecil berbentuk mata tombak ke arah Pende-
kar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Manis sekali Rangga melenting, dan ber-
putaran di udara menghindari benda-benda kecil
berbentuk mata tombak yang meluruk deras men-
gancam nyawa. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru
bisa menjejakkan kakinya kembali di tanah, setelah tidak ada lagi benda-benda
berbahaya yang men-gancam jiwa-nya.
"Hm...," gumam Rangga perlahan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menunggu,
tapi tidak juga ada sambutan lagi yang datang. Perlahan kakinya terayun
melangkah mendekati pintu
yang kini sudah hancur berkeping-keping. Tak ter-
lihat ada gerakan sedikit pun di dalam rumah ini.
Segera dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Sua-
ra'. Tapi, sama sekali tidak terdengar menyusup ke dalam telinganya. Rumah ini
benar-benar bagaikan
tidak berpenghuni lagi, dan seakan-akan tidak ada seorang pun di dalamnya.
Tapi, sambutan dari benda-benda kecil berben-
tuk mata tombak itu membuat Rangga harus bersi-
kap lebih waspada lagi. Diyakininya kalau ada
orang di dalam rumah ini, meskipun dengan penge-
rahan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', sedikit pun
tidak terdengar suara yang menandakan adanya
kehidupan. "Raden Banyu Samodra, keluarlah...! Aku
Rangga. Bukankah kau sedang menantikan ke-
datanganku...?" Terdengar lantang sekali suara Rangga.
Namun, sedikit pun tidak terdengar jawaban
dari dalam. Keadaannya masih tetap sunyi. Perla-
han Rangga menggeser kakinya ke kanan beberapa
langkah. Pandangan matanya tetap tajam, tertuju
langsung ke pintu yang sudah hancur berkeping-
keping. Dan baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak membuka mulutnya kembali,
mendadak saja dari dalam rumah melesat sebuah bayangan begitu
cepat bagai kilat.
"Hup...!"
Rangga cepat-cepat melenting ke samping,
menghindari terjangan bayangan yang meluncur se-
cepat kilat dari dalam rumah. Dua kali tubuhnya
berputaran di udara, lalu manis sekali kakinya
menjejak di tanah berpasir. Saat itu, didepan Pendekar Rajawali Sakti sudah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan, namun memiliki sorot mata yang
begitu tajam. Dialah pemuda asing yang mengaku
bernama Raden Banyu Samodra
"Kau yang bernama Raden Banyu Samodra?"
Tanya Rangga, langsung saja.
"Kau sendiri, apakah kau Rangga, Raja Karang Setra, dan juga bergelar Pendekar
Rajawali Sakti?"
Raden Banyu Samodra malah balik bertanya.
"Benar," sahut Rangga agak datar nada suaranya.
"Ha ha ha... bagus! Ternyata nama besarmu tidak kosong belaka. Kau benar-benar
punya nyali besar hingga datang ke sini, Pendekar Rajawali Sak-ti." "Raden Banyu Samodra,
katakan saja terus te-
rang. Apa tujuanmu sebenarnya ingin bertemu den-
ganku secara seperti ini?" Tanya Rangga langsung.
"Ha ha ha...!"
Tapi Raden Banyu Samodra hanya tertawa saja
terbahak-bahak mendengar pertanyaan Rangga.
Sementara, Rangga sudah mulai tidak suka atas si-
kap yang meremehkan seperti ini. Tapi dia harus bi-sa menahan diri. Harus
diketahuinya lebih dahulu
tujuan pemuda asing yang tidak dikenalnya hingga
datang ke desa nelayan ini dan membuat keka-
cauan hanya karena ingin bertemu dengannya.
*** "Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Kedatangan-
ku atas perintah ayahku. Aku sengaja datang ke si-ni untuk bertemu denganmu,"
kata Raden Banyu Samodra dengan suara lantang menggelegar.
"Hm, siapa ayahmu?" Tanya Rangga datar.
"Ayahanda Prabu Naga Pendaka."
Rangga mengerutkan keningnya sambil meng-
gumamkan nama yang tadi disebutkan Raden
Banyu Samodra. Dicobanya mengingat-ingat nama
itu, tapi memang baru mendengarnya malam ini.
Sama sekali tidak diketahuinya, siapa Prabu Naga Pendaka yang diakui Raden Banyu
Samodra sebagai
ayahnya itu. "Lalu, apa maksudmu kau ingin bertemu de-
nganku?" Tanya Rangga lagi.
"Membawamu ke Kerajaan Karang Emas," sahut Raden Banyu Samodra mantap.
"Untuk apa?"
"Kau akan tahu kalau sudah sampai di sana,
Pendekar Rajawali Sakti. Aku tidak bisa mengata-
kannya sekarang padamu."
"Hm...," gumam Rangga kembali.
Kedua kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti
terlihat agak menyipit, merayapi Raden Samodra
dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Seakan-
akan tengah dinilainya kemampuan pemuda tam-
pan yang berwajah keras, lewat sorot mata yang
sangat tajam itu. Tapi benak Pendekar Rajawali
Sakti terus berputar dan menduga-duga, apa tujuan pemuda itu sebenarnya hingga
ingin bertemu dengannya. Walaupun tadi sudah mengatakan hendak
membawanya ke Kerajaan Karang Emas. Sedangkan


Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga sama sekali belum pernah mendengar nama
kerajaan itu. "Ayo, ikut aku."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Raden Banyu
Samodra langsung melangkah tanpa sedikit pun
ada perasaan curiga kalau-kalau Rangga melaku-
kan serangan dari belakang. Dia terus saja berjalan dengan ayunan kaki mantap.
Sementara, Rangga
masih tetap diam memandangi. Entah, apa yang
ada dalam pikiran Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan Raden Banyu Samodra
sudah cukup jauh
berjalan meninggalkannya. Jelas, arah yang dituju adalah pantai.
"Apa maksudnya ini...?" Rangga jadi bertanya-tanya dalam hati.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti me-
langkah, Paman Ardaga tiba-tiba saja muncul. Laki-laki setengah baya bertubuh
kekar berotot itu langsung menghampiri Rangga yang sudah menghenti-
kan langkahnya lagi. Sementara, Raden Banyu Sa-
modra terus saja berjalan tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Mau apa dia, Raden?" Tanya Paman Ardaga.
"Entahlah," sahut Rangga agak mendesah.
"Dia menuju ke laut, Raden," kata Paman Ardaga masih dengan suara perlahan
berbisik. Rangga tidak bicara lagi. Kini kakinya terayun
mengikuti pemuda asing yang mengaku bernama
Raden Banyu Samodra. Sementara Paman Ardaga
hanya bisa berdiri mematung sambil memandangi.
Hatinya jadi ragu-ragu juga untuk mengikuti dua
orang pemuda yang menuju tepian pantai.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?" Desah Paman Ardaga jadi kebingungan
sendiri. Padahal, tadi dikiranya akan menyaksikan sua-
tu pertarungan seru. Tapi kenyataannya, Rangga
malah mengikuti Raden Banyu Samodra menuju
laut. Dan ini yang membuat Paman Ardaga jadi ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati. Bahkan kecemasan
mulai tumbuh menyelimuti hati.
Sementara itu, Raden Banyu Samodra sudah
sampai di tepian pantai. Tubuhnya baru diputar
menunggu Rangga yang masih berjalan mengham-
piri. Debur ombak terdengar sangat keras menghan-
tam baru karang yang banyak terdapat di sepanjang Pesisir Pantai Utara. Dan
Rangga baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang
tombak lagi didepan Raden Banyu Samodra.
"Kau benar-benar Rangga si Pendekar Rajawali Sakti...?" Tanya Raden Banyu
Samodra seperti sedang memastikan.
"Benar," sahut Rangga datar.
"Terus terang, sebenarnya aku ragu-ragu. Apa-
kah kau memang benar Pendekar Rajawali Sakti,
atau bukan. Dan untuk meyakinkan, terpaksa ha-
rus ku uji lebih dahulu, sebelum kubawa ke kerajaan ku," kata Raden Banyu
Samodra mantap.
"Hm, apa maksudmu...?" Tanya Rangga tidak mengerti.
Tapi, jawaban yang diterima Rangga ternyata
sebuah serangan kilat dari senjata-senjata kecil
berbentuk mata tombak yang dilepaskan Raden
Banyu Samodra dengan kecepatan luar biasa.
"Hup!"
Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk
mencegah. Terpaksa menghindari serangan senjata-
senjata berbahaya itu. Kedua tangannya langsung
bergerak cepat, mengibas melindungi tubuhnya dari incaran senjata-senjata
rahasia. "Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba
saja Rangga meluruk deras sambil mengebutkan
kedua tangan dengan cepat sekali. Saat itu lang-
sung dikerahkannya jurus 'Rajawali Sakti Menukik
Menyambar Mangsa', yang dipadukan dengan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'! Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Raden
Banyu Samodra jadi terperangah sesaat.
"Hap!"
Namun dengan gerakan cepat dan ringan se-
kali, Raden Banyu Samodra berhasil menghindari
kebutan kedua tangan dan tendangan menggeledek
yang langsung dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Sempat juga Raden Banyu Samodra kelabakan
menghindari serangan balik yang dilakukan pemu-
da berbaju rompi putih ini. Tapi, dia cepat dapat menguasai keadaan dengan
melompat ke belakang,
sejauh dua batang tombak. Lalu dengan manis se-
kali kakinya menjejak pantai yang berpasir putih
bagai mutiara. Maka serangan-serangan senjatanya
pun seketika terhenti. Sementara, Rangga sudah
berdiri tegak dengan kedua tangan terlihat di depan dada.
"Hebat...! Seranganmu sungguh dahsyat," puji Raden Banyu Samodra sambil
menghembuskan napas berat.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.
"Tapi, itu belum membuktikan kalau kau Pen-
dekar Rajawali Sakti," sambung Raden Banyu Samodra.
"Katakan, apa saja yang kau ketahui tentang
Pendekar Rajawali Sakti," terasa dingin nada suara Rangga.
Jelas sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti mu-
lai tidak menyukai sikap Raden Banyu Samodra
yang angkuh ini. Tapi tetap saja dia harus bisa menahan diri, karena tidak ingin
terjadi sesuatu yang dapat menimbulkan penyesalan di belakang hari.
Rangga khawatir kalau sikap yang ditunjukkan Ra-
den Banyu Samodra hanya berpura-pura saja, un-
tuk memancing amarahnya.
"Aku tidak bisa mengatakannya, tapi harus melihatnya sendiri. Dan itu harus
dilakukan dengan
pengujian menurut caraku," tegas Raden Banyu Samodra.
Rangga kembali terdiam.
"Nah, bersiaplah kau. Hiyaaa...!"
"Hap!"
*** Sesaat Rangga sempat terkesiap, ketika tiba-
tiba Raden Banyu Samodra melompat sambil mele-
paskan satu tendangan dahsyat menggeledek yang
mengarah langsung ke dada. Tapi dengan memi-
ringkan tubuh ke kanan, Pendekar Rajawali Sakti
berhasil menghindarinya.
"Hup!"
Bergegas Rangga melompat ke samping, tepat
di saat Raden Banyu Samodra memutar tubuhnya
sambil melepaskan satu pukulan keras menggele-
dek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi
sekali. Untuk kedua kakinya, serangan pemuda
tampan itu berhasil dielakkan Pendekar Rajawali
Sakti dengan gerakan manis sekali.
"Hooop...! Yeaaah...!"
"Hap..."! Hup!"
Rangga jadi terbeliak setengah mati, begitu ti-
ba-tiba Raden Banyu Samodra menghentakkan ke-
dua tangan ke depan. Dan dari kedua telapak tan-
gan itu, meluncur dua baris sinar berwarna merah bagai lidah api yang menjulur
cepat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dengan kecepatan bagai kilat pula,
Rangga melenting ke udara, menghindari terjangan
cahaya merah bagai lidah api. Beberapa kali Rangga berputaran di udara, lalu
melesat ke belakang dengan mengempos tubuhnya. Begitu manis dan ringan
Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kaki di pasir pantai yang putih ini. Tepat
pada saat itu, terdengar suara ledakan dahsyat menggelegar yang
menggetarkan seluruh permukaan Pesisir Pantai
Laut Utara ini.
"Edan..."!" desis Rangga kagum.
Sebuah perahu seketika hancur berkeping-
keping terlanda sinar merah yang meluncur bagai
kilat dari kedua telapak tangan Raden Banyu Sa-
modra. Begitu dahsyatnya, hingga membuat Rangga
jadi kagum. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak
bisa berlama-lama mengagumi kedahsyatan ilmu
yang dimiliki Raden Banyu Samodra, karena sudah
kembali diserang dengan ilmu-ilmu kedigdayaan
yang sangat dahsyat.
Dan Pendekar Rajawali Sakti terpaksa harus
melayani dengan ilmu-ilmu kedigdayaan pula. Seke-
tika itu, juga suara ledakan dahsyat terdengar
menggelegar beruntun, disertai kilatan-kilatan cahaya dan percikan bunga api.
Pesisir pantai yang
semula gelap, kini jadi terang benderang oleh kila-
tan-kilatan cahaya dan kobaran api yang menghan-
guskan perahu-perahu nelayan, akibat menjadi sa-
saran pertarungan ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat
tinggi itu. Suara pertarungan membuat seluruh pendu-
duk desa nelayan jadi keluar dari rumahnya. Dan
mereka terlongong bengong menyaksikan sebuah
pertarungan tingkat tinggi yang seumur hidup be-
lum pernah disaksikannya. Terlebih lagi, Paman Ardaga yang memang sejak tadi
membuntuti terus.
Matanya sampai tidak berkedip menyaksikan perta-
rungan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan Ra-
den Banyu Samodra.
"Siapa anak muda itu, Paman?" Tanya salah seorang penduduk yang berdiri di dekat
Paman Ardaga. "Den Rangga," sahut Paman Ardaga, tidak mengatakan yang sebenarnya.
"Mudah-mudahan saja mampu mengalahkan
iblis itu," sambung salah seorang lagi.
Paman Ardaga hanya melirik saja sedikit. Se-
mentara, pertarungan antara Raden Banyu Samo-
dra melawan Pendekar Rajawali Sakti masih terus
berlangsung sengit. Dan tampaknya, pertarungan
masih akan berlangsung lama. Terbukti, mereka
masih sama-sama memiliki ketangguhan untuk sal-
ing memberi serangan. Tapi, pertarungan yang ber-
langsung sudah cukup lama itu malah membuat
hati Paman Ardaga jadi cemas. Dia khawatir, kalau-kalau Rangga tidak dapat
mengalahkan Raden
Banyu Samodra. "Hap!"
Cring! Tiba-tiba saja Raden Banyu Samodra menca-
but pedangnya yang tergantung di pinggang. Begitu tercabut terlihat asap
berwarna merah mengepul
dari mata pedangnya. Saat itu juga, Rangga melom-
pat ke belakang. Dirasakan adanya hawa racun pa-
da pedang yang mengepulkan asap merah itu.
"Hm...."
Sret! Cepat Rangga mencabut pedangnya. Seketika,
malam yang begitu pekat jadi terang benderang oleh cahaya biru berkilauan yang
memancar dari Pedang
Pusaka Rajawali Sakti. Semua orang yang menyak-
sikan pedang Rajawali Sakti jadi tercengang. Bah-
kan Raden Banyu Samodra sampai terlongong den-
gan mata terbeliak lebar dan mulut ternganga. Me-
reka semua begitu kagum melihat pedang di tangan
Rangga yang berpamor sangat dahsyat.
"Cukup, Pendekar Rajawali Sakti...!" sentak Raden Banyu Samodra sambil
memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di pinggang.
Sementara, Rangga masih menggenggam pe-
dang pusakanya dengan erat, tersilang di depan da-da. Cahaya biru yang memancar
dari pedang itu
membuatnya bagaikan sosok malaikat maut yang
siap mencabut nyawa. Tampak Raden Banyu Sa-
modra membungkukkan tubuhnya memberi hor-
mat. Namun hal itu membuat Rangga jadi terlon-
gong bengong tidak mengerti. Bahkan semua orang
yang menyaksikan sejak tadi juga jadi terpaku di-
am, tidak mengerti sikap Raden Banyu Samodra
yang begitu cepat sekali berubah setelah Rangga
mencabut pedang pusaka yang berpamor sangat
dahsyat itu. "Kenapa dia..." Apa ini bukan hanya tipu daya
Belaka..?" gumam Rangga bertanya sendiri dalam
hati. *** 7 Perlahan Rangga memasukkan kembali pedang
pusakanya ke dalam warangka di punggung. Se-
mentara, tubuh Raden Banyu Samodra masih sedi-
kit terbungkuk, dengan sikap begitu hormat. Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti
terayun melangkah
mendekati, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi
di depan pemuda
tampan yang mengaku bernama Raden Banyu Sa-
modra. "Sudah cukup, Pendekar Rajawali Sakti. Aku
sekarang percaya kalau kau memang Rangga, si
Pendekar Rajawali Sakti, sekaligus Raja Karang Setra," kata Raden Banyu Samodra.
"Apa arti dari semua ini, Raden Banyu Sa-
modra?" Tanya Rangga meminta penjelasan.
Raden Banyu Samodra tidak langsung menja-
wab. Malah pandangannya kini beredar ke sekelil-
ing, merayapi orang-orang yang kini sudah cukup
dekat berada di sekitar pesisir pantai ini. Sikap dan sorot mata mereka sekarang
tidak lagi mencermin-kan ketakutan. Mereka sudah begitu percaya kalau
Pendekar Rajawali Sakti bisa mengatasi kedig-
dayaan Raden Banyu Samodra. Bahkan seakan-
akan mereka ingin merancah halus tubuh pemuda
itu. Perlahan Raden Banyu Samodra lebih men-
dekati Pendekar Rajawali Sakti, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar
tiga langkah lagi. Sedikit tubuhnya dibungkukkan untuk memberi hormat.
Dan Rangga membalasnya dengan hanya mengang-
gukkan kepala sedikit. Meskipun sikap Raden
Banyu Samodra sudah jauh berubah, tapi tetap saja Rangga bersikap waspada.
"Kuharap, kau sudi memaafkan semua yang te-
lah kulakukan di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Semua ini karena terpaksa. Aku
sendiri sebenarnya


Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak menginginkan hal ini terjadi," kata Raden Banyu Samodra dengan sikap dan
tutur kata sopan.
"Terus terang, aku tidak mengerti semua yang kau katakan tadi, Raden Banyu
Samodra," kata Rangga meminta penjelasan dengan halus.
"Memang sulit dijelaskan, Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi memang harus ku jelaskan. Dan kuha-
rap kau mengerti, karena semua yang kulakukan
ini hanya untuk menarik perhatianmu. Dan tujua-
nku sebenarnya adalah ingin memohon pertolon-
ganmu," kata Raden Banyu Samodra memulai menjelaskan.
"Hm, pertolongan apa?" Tanya Rangga.
"Membebaskan ayah dan rakyat ku dari ceng-
keraman Naga Laut," sahut Raden Banyu Samodra.
"Naga Laut...?"
Kening Rangga jadi berkerut mendengar Naga
Laut disebut Raden Banyu Samodra. Sedangkan se-
lama ini yang diketahuinya dari Layung Sari, Anda-ri, dan Paman Ardaga justru
Raden Banyu Samo-
dralah yang disangka sebagai orang suruhan dari si Naga Laut. Bahkan Layung Sari
telah berterus terang telah melihat dengan mata kepala sendiri, kalau Raden
Banyu Samodra menyerahkan seorang
gadis untuk santapan si Naga Laut.
Dan sekarang, pemuda itu mengatakan ingin
meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti untuk
membebaskan ayah dan seluruh rakyatnya dari
cengkeraman si Naga Laut. Kalau begitu, mana
yang benar..." Rangga jadi tidak mengerti, dan tidak tahu harus berbuat apa
untuk mencari yang benar.
Dia harus memutar otak agar tidak terjebak dalam
persoalan yang rumit ini.
"Sudah lebih dari lima tahun ini, Kerajaan Ka-
rang Emas dikuasai Naga Laut. Dan kami semua ti-
dak bisa berbuat apa-apa. Setiap hari, kami harus menyediakan seorang gadis
untuk santapannya.
Dan sekarang, tidak ada lagi gadis yang bisa dijadikan santapan di sana. Jadi,
terpaksa aku harus
mencari gadis-gadis dari kerajaan lain. Dan tempat yang terdekat hanyalah
Pesisir Pantai Utara ini. Di samping itu pula, ayahku memang mengatakan kalau
daerah Pesisir Pantai Utara, ini masih termasuk wilayah Kerajaan Kerang Setra.
Dan ayah bilang,
kalau Raja Karang Setra adalah seorang pendekar
yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itulah aku segera datang di sini.
Dan aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan. Aku harus meminta
bantuan padamu, juga harus menyediakan seorang
gadis muda untuk santapan si Naga Emas setiap
malam," Raden Banyu Samodra langsung mence-
ritakan panjang lebar.
Sementara, Rangga hanya diam saja mende-
ngarkan. Sedikit matanya melirik Paman Ardaga
yang kini sudah berada tidak jauh di sebelah ki-
rinya. Laki-laki setengah baya bertubuh kekar berotot itu juga mendengar semua
cerita Raden Banyu
Samodra tanpa membuka suara sedikit pun juga.
Dia sendiri baru tahu semua tujuan dari perbuatan pemuda itu, selama di desa
nelayan ini. "Sudah berapa orang gadis yang kau berikan
pada Naga Laut itu?" Tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Entahlah. Aku sendiri sudah tidak tahu lagi,"
sahut Raden Banyu Samodra pelan.
"Malam ini, apakah Naga Laut akan datang un-
tuk meminta santapannya?" Tanya Rangga lagi.
"Ya, sebentar lagi," sahut Raden Banyu Samodra. "Hm.... Kau memiliki kepandaian
yang sangat tinggi, Raden. Tapi kenapa tidak kau saja yang me-lawannya?"
"Semua yang kumiliki tidak ada artinya sama
sekali bagi Naga Laut, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Raden Banyu Samodra
dengan suara terdengar
lesu. "Kenapa...?" Tanya Rangga ingin tahu.
*** Raden Banyu Samodra tidak langsung menja-
wab. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling,
dan bertumpu pada Paman Ardaga. Kemudian,
kembali ditatapnya Rangga yang berdiri sekitar beberapa langkah di depannya.
Cukup lama juga dia
terdiam, tidak menjawab pertanyaan Pendekar Ra-
jawali Sakti tadi. Perlahan ditariknya napas dalam-dalam, kemudian
dihembuskannya kuat-kuat. Se-
akan-akan ingin dilonggarkannya rongga dada yang
mendadak saja jadi terasa sesak.
"Kenapa semua kepandaian yang kau miliki ti-
dak berarti bagi Naga Laut, Raden?" Rangga mengu-langi pertanyaan yang tadi
belum juga terjawab.
"Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa
mengalahkan Naga Laut Apalagi membunuhnya,
Pendekar Rajawali Sakti. Naga Laut sudah hidup ribuan tahun, bahkan mungkin
sejak dunia ini ada.
Dan...," Raden Banyu Samodra tidak melanjutkan.
"Tapi, kenapa kau meminta ku untuk membu-
nuhnya?" Tanya Rangga karena menunggu cukup lama, tapi Raden Banyu Samodra tidak
juga melanjutkan kata-katanya yang terputus tadi.
"Karena, hanya kau yang mampu mengalah-
kannya, Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun belum
tahu, apakah kau bisa membunuhnya. Tapi paling
tidak, bisa melenyapkannya sampai namamu tidak
terdengar lagi olehnya," sahut Raden Banyu Samodra. "Hm...," Rangga menggumam
kecil. Tampak kening Pendekar Rajawali Sakti berke-
rut Entah apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin
kata-kata Raden Banyu Samodra tadi yang mem-
buatnya tampak berpikir keras. Memang sulit dite-
rima akal pikiran manusia biasa. Tapi, di dalam kalangan rimba persilatan, hal
seperti itu memang
bukanlah sesuatu yang aneh lagi. Seseorang yang
memiliki ilmu kedigdayaan tingkat tinggi b-gitu banyak, bisa saja kalah oleh
orang yang hanya memi-
liki satu ilmu kedigdayaan saja.
Tapi, semua itu memang tidak bisa dira-
malkan siapa pun juga. Dan kata-kata Raden
Banyu Samodra yang mengatakan kalau hanya
Pendekar Rajawali Sakti saja yang mampu me-
ngalahkan Naga Laut, membuatnya jadi berpikir ke-
ras. Sementara, Rangga tahu kalau ilmu kedig-
dayaan yang dimiliki Raden Banyu Samodra saja
sudah begitu tinggi. Dan Rangga sendiri mengakui
kalau hampir saja kewalahan menghadapinya,
hingga terpaksa harus mengeluarkan pedang pusa-
ka yang sudah terkenal sangat dahsyat.
"Raden, bagaimana kau bisa mengatakan ka-
lau hanya aku yang bisa mengalahkan si Naga Laut
itu...?" Tanya Rangga, ingin tahu.
"Ayahku yang mengatakannya begitu," sahut Raden Banyu Samodra.
"Ayahmu...?"
"Ya! Seribu tahun lalu, atau bahkan mungkin
lebih. Naga Laut merah muncul dan melahap begitu
banyak gadis tak berdosa. Begitu banyak pendekar
yang mencoba untuk membunuhnya, tapi tak ada
seorang pun yang berhasil. Dan Naga Laut itu ber-
hasil dihentikan kiprahnya, hanya oleh seorang
pendekar saja," jelas Raden Banyu Samodra.
"Siapa pendekar itu?" Tanya Rangga ingin tahu.
"Gurumu," sahut Raden Banyu Samodra.
"Guruku..."!" Rangga jadi terkejut.
"Ya! Pendekar Rajawali yang menjadi guru mu."
"Hm. Dia hidup lebih dari seratus tahun yang lalu. Bagaimana mungkin kau bisa
begitu yakin kalau aku muridnya, Raden Banyu Samodra?"
"Hanya orang yang memegang Pedang Pusaka
Rajawali Sakti sajalah yang menjadi pewaris ilmu-
ilmu Pendekar Rajawali. Dan kini, pedang itu ada di tanganmu. Itu berarti, kau
adalah murid Pendekar
Rajawali. Dan lagi, kau sendiri mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti. Nah,
dari situlah aku yakin kalau kau murid Pendekar Rajawali. Hanya mereka
yang memiliki pedang pusaka itulah yang bisa men-
galahkan Naga Laut," jelas Raden Banyu Samodra gamblang.
Kali ini, Rangga benar-benar tidak bisa lagi
berkata apa-apa. Dan dia hanya bisa memandangi
Raden Banyu Samodra yang telah mengupas semua
asal muasal ilmu-ilmu kedigdayaannya. Bahkan
sampai kehidupan Pendekar Rajawali yang memang
gurunya. Walaupun, apa yang sekarang dimiliki ti-
dak langsung didapat dari Pendekar Rajawali (Jika Anda ingin jelas, silakan baca
lagi serial Rajawali Sakti dalam episode "Iblis Lembah Bangkai").
"Kalau bisa mengalahkan Naga Laut, kau bu-
kan hanya membebaskan Kerajaan Karang Emas
dari cengkeramannya, tapi juga membebaskan du-
nia ini dari kehancuran, Pendekar Rajawali Sakti.
Kau tentu bisa membayangkan, bagaimana jadinya
kalau semua gadis di dunia ini harus menjadi san-
tapan Naga Laut setiap hari," kata Raden Banyu Samodra, seperti membujuk nada
suaranya. "Dengan apa aku harus menghadapinya?"
Tanya Rangga bernada menguji.
"Pedangmu itu, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Raden Banyu Samodra.
"Hm...," lagi-lagi Rangga menggumam.
"Aku rasa tidak ada waktu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Naga Laut
sebentar lagi pasti datang untuk meminta seorang gadis lagi untuk
santapannya," desak Raden Banyu Samodra.
"Di mana akan munculnya?" Tanya Rangga.
Tapi belum juga Raden Banyu Samodra bisa
menjawab, mendadak saja bertiup angin ke-cang
yang membuat laut bergelombang begitu besar. Se-
ketika itu juga, semua orang yang tadi memadati
pantai ini langsung berhamburan berlarian ke ru-
mah masing-masing. Dan sebentar saja, di tepian
pantai itu tinggal Raden Banyu Samodra, Rangga,
dan Paman Ardaga.
Sementara, angin yang bertiup semakin terasa
kencang, hingga menimbulkan suara menderu ba-
gai hendak membalikkan seluruh Pesisir Pantai
Utara. Tampak laut bergelombang begitu besar se-
tinggi gunung. Dan sebentar saja, sudah ada bebe-
rapa pohon yang tumbang, tercabut dari akarnya.
Crraaak! Glaaar...!"
*** Paman Ardaga langsung melompat ke bela-
kang begitu terlihat kilat menyambar disertai ledakan guntur yang sangat dahsyat
menggelegar me-
mekakkan telinga. Saat itu, terlihat cahaya terang kehijauan membersit keluar
dari tengah laut. Semakin lama, cahaya terang kehijauan itu semakin
terlihat membesar. Sementara, Paman Ardaga diam-
diam sudah melangkah mundur menjauh. Tinggal
Rangga dan Raden Banyu Samodra yang masih te-
tap berdiri tegak memandang ke arah cahaya terang kehijauhan di tengah laut.
"Hm.... Kemunculannya sangat dahsyat," gumam Rangga dalam hati.
Tepat ketika cahaya terang kehijauan itu berge-
rak ke pantai, Raden Banyu Samodra menggeser
kaki ke belakang beberapa langkah. Sementara,
Rangga yang sempat melirik tetap saja berdiri tegak menanti cahaya terang
kehijauan itu. Malam yang
semula begitu pekat karena langit terselimut awan hitam dan tebal, kini jadi
terang benderang oleh cahaya kehijauan yang muncul dari tengah laut.
"Hup!"
Rangga cepat melompat ke belakang, hingga
kembali berdiri di samping Raden Banyu Samodra,
tepat di saat cahaya terang kehijauan itu sampai di garis tepi pantai. Dan saat
itu, cahaya kehijauan meredup. Lalu, terlihatlah bentuk seekor ular naga raksasa
yang berwarna hijau dan bercahaya pada
seluruh tubuh. Sungguh besar dan sangat me-
ngerikan bentuknya.
Kedua bola matanya yang memancarkan sinar
kehijauan, menatap begitu tajam pada Raden
Banyu Samodra. Dari kedua lubang hidungnya yang
besar, selalu mengepulkan asap kehijauan. Air liur tampak menetes dari sela-sela
bibirnya yang mem-perlihatkan gigi-gigi yang tajam dan runcing bagai barisan
mata tombak. Perlahan-lahan kepalanya
disorongkan mendekati Raden Banyu Samodra.
"Maaf, Naga Laut Malam ini aku tidak bisa
memberimu santapan. Aku tidak bisa menyediakan
gadis untukmu lagi," tegas Raden Banyu Samodra dengan suara terdengar agak
bergetar dan tertahan.
"Ghrrr...!"
Naga Laut itu menggereng. Tampaknya, dia
marah sekali mendengar kata-kata Raden Banyu
Samodra. Dan tiba-tiba saja....
"Awas...!" seru Rangga keras.
"Hup!"
Begitu cepat Rangga melesat sambil me-
nyambar tubuh Raden Banyu Samodra, ketika ke-
pala ular raksasa berwarna hijau itu meluruk cepat bagai kilat sambil membuka
moncongnya lebar-lebar. Tapi, tindakan Rangga memang begitu cepat, sehingga
moncong Naga Laut hanya menyambar
pasir pantai yang kosong.
"Ghraaaugkh...!"
Naga Laut menggerung keras, dan kelihatan
begitu marah. Serangannya pada Raden Banyu Sa-
modra yang dapat digagalkan, membuatnya sema-
kin murka. Sementara, Rangga sudah kembali men-
jejakkan kakinya di tanah berpasir putih ini. Dengan sedikit merentang tangan,
dia meminta Raden
Banyu Samodra untuk menyingkir ke belakang.
Tanpa diucapkan dengan kata-kata, Raden Banyu
Samodra segera melangkah mundur menjauhi Pen-
dekar Rajawali Sakti.
"Ghrrr...!"
Naga Laut kelihatan benar-benar marah me-
lihat Rangga yang telah menyelamatkan Raden
Banyu Samodra. Perlahan ular raksasa itu melata
menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Sementara,
Raden Banyu Samodra sudah berada cukup jauh
bersama Paman Ardaga, dan berada di tempat yang


Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup aman dan terlindung. Sedangkan Rangga te-
tap berdiri tegak menanti ular naga raksasa ber-
warna hijau itu.
"Ghraaaugkh...?"
"Hup! Yeaaah...!"
Tepat begitu Naga Laut menyerang dengan me-
nyorongkan kepala, Rangga cepat-cepat melenting
ke udara. Tapi begitu baru saja melakukan satu putaran, mendadak saja kepala
naga raksasa itu su-
dah terangkat sambil membuka mulutnya lebar-
lebar. Saat itu juga, dari mulutnya yang bergigi
runcing menyemburkan api sangat besar.
"Hap! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat Rangga memutar tubuhnya ke be-
lakang, lalu membanting ke tanah berpasir putih
ini. Dan Pendekar Rajawali Sakti beberapa kali ber-gulingan menghindari semburan
api Naga Laut. Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya. Dengan gerakan kaki yang begitu cepat dan lincah serangan dan
semburan api Naga Laut
ber-hasil dihindarinya.
"Ghraaagukh...!"
Naga Laut semakin kelihatan marah, karena
serangan-serangannya tidak membawa hasil. Bah-
kan seperti disengaja, Rangga membawa ular naga
raksasa itu menjauhi pantai. Juga, menjauhi peru-
mahan penduduk nelayan di Pesisir Pantai Utara.
Pendekar Rajawali Sakti terus berjumpalitan dan
bergerak mendekati hutan bakau yang letaknya cu-
kup jauh dari perumahan penduduk.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Ghraaaugkh...!"
Rangga terus bergerak cepat dan lincah sekali
untuk memancing ular naga raksasa semakin men-
jauhi rumah-rumah penduduk. Sementara, dari ja-
rak yang cukup jauh, Raden Banyu Samodra dan
Paman Ardaga terus mengikuti sambil memperhati-
kan jalannya pertarungan aneh itu. Pertarungan
antara manusia melawan ular naga raksasa, tapi
terjadi sangat dahsyat. Sedikit kelengahan saja bisa membuat keadaan Pendekar
Rajawali Sakti tidak
bisa tertolong lagi.
Semburan-semburan api Naga Laut begitu dah-
syat dan menghanguskan. Bahkan batu karang
yang sangat keras sekalipun, langsung hancur jadi debu terkena semburan api Naga
Laut. Sulit di-bayangkan, bagaimana jika semburan api itu men-
genai tubuh manusia.
"Rangga, gunakan pedang pusaka mu...!" teriak Raden Banyu Samodra.
"Ghraaaugkh...!"
Teriakan Raden Banyu Samodra rupanya me-
ngejutkan Naga Laut. Maka bagaikan kilat, tubuh-
nya diputar dan langsung meluruk deras ke arah
Raden Banyu Samodra. Begitu cepat gerakan bina-
tang itu, hingga membuatnya jadi terkesiap.
"Hiyaaat...!"
Tapi belum juga serangan kilat Naga Laut sam-
pai pada sasaran, Rangga sudah melesat begitu ce-
pat melebihi kilat. Langsung disambarnya tubuh
Paman Ardaga yang berada tidak seberapa jauh dari Raden Banyu Samudra. Pada saat
yang bersamaan pula, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tan-
gan, hingga membuat tubuh Raden Banyu Samodra
terpental jauh ke belakang.
"Ghraaagkh...!"
Naga Laut semakin bertambah murka melihat
serangannya pada Raden Banyu Samodra kembali
gagal. Sementara, Rangga sudah membawa Paman
Ardaga ke tempat yang lebih aman, lalu langsung
melesat menghampiri Raden Banyu Samodra yang
terpental jauh akibat sentakan tangan kanannya
tadi. Sebongkah batu karang yang cukup besar me-
nahan tubuh Raden Banyu Samodra. Tapi, batu ka-
rang itu langsung hancur seketika, sehingga mem-
buat Raden Banyu Samodra terkapar sambil merin-
tih nyeri. "Hap!"
Begitu menjejak Pendekar Rajawali Sakti lang-
sung menyambar tubuh Raden Banyu Samodra.
Kembali Rangga melesat cepat bagai kilat menyela-
matkan pemuda itu dari serangan Naga Laut. Begitu cepat gerakannya, sehingga
dalam waktu sekejapan
mata saja sudah kembali di depan Paman Ardaga.
Pendekar Rajawali Sakti menurunkan tubuh Raden
Banyu Samodra dari pondongan, dan membaring-
kannya di tanah berpasir putih, tepat di depan Paman Ardaga.
"Tolong jaga dia, Paman. Kalau bisa jauhkan
dari sini," pinta Rangga.
"Apakah dia terluka, Den?" Tanya Paman Ardaga. 'Tidak!" sahut Rangga singkat.
"Den...."
Suara Paman Ardaga jadi terputus, karena
Rangga sudah begitu cepat melesat menghampiri
Naga Laut kembali yang sudah bergerak hendak
mendekati Raden Banyu Samodra. Begitu sempurna
ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam seke-
japan mata saja sudah kembali didepan Naga Laut.
"Aku lawanmu, Naga Laut!" desis Rangga dingin. "Ghrrr...!"
Dengan kedua bola matanya yang menyala hi-
jau, Naga Laut menatap Pendekar Rajawali Sakti
begitu tajam. Seakan-akan ingin dihancurkannya
pemuda berbaju rompi putih itu hingga lumat jadi
tepung dengan cahaya hijau dari matanya. Tapi,
Rangga malah membalasnya dengan tatapan mata
yang tidak kalah tajam. Pendekar Rajawali Sakti
berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sedangkan jaraknya
dengan Naga Laut hanya
sekitar dua batang tombak saja.
"Ghraaaugkh...!"
Sambil menggerung keras, Naga Laut meluruk
deras menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, rupanya Rangga memang sudah siap
sejak tadi. Dan
begitu moncong yang terbuka lebar itu hampir me-
lahapnya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke belakang. Dan hanya
menghentakkan sedi-
kit ujung jemari kakinya, tubuhnya langsung me-
lenting ke udara, hingga melewati bagian atas kepa-la ular naga raksasa itu.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga
melepaskan satu pukulan dahsyat dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tepat ke arah ba-
gian tengah kepala ular naga raksasa itu. Pukulan tingkatan terakhir dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali' memang sangat cepat dan dahsyat. Sehingga, Naga
Laut tidak sempat lagi bergerak menghindar. Dan....
Diegkh! "Ghraaaugkh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
*** 8 Cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya ke
angkasa dan berputaran beberapa kali. Sementara, Naga Laut meraung keras sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Pukulan tingkatan terakhir dari jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' yang dilepaskan Rangga, dan tepat menghantam bagian ten-
gah kepala itu membuat Naga Laut semakin ber-
tambah murka. Bumi jadi berguncang bagai dilanda gempa,
saat seluruh tubuh ular naga raksasa itu menggelepar merasakan sakit yang amat
sangat pada kepala.
Tampak dari bagian kepala yang terkena pukulan
dahsyat Pendekar Rajawali Sakti tadi mengucurkan
darah segar. Sementara, Rangga sudah kembali
menjejakkan kakinya ringan di tanah.
"Ghraaaugkh...!"
Begitu cepatnya Naga Laut melupakan kepala
yang retak akibat pukulan dahsyat Pendekar Raja-
wali Sakti hingga mengeluarkan darah. Dan kini,
kembali meluruk deras menyerang pemuda berbaju
rompi putih itu. Tapi dengan kecepatan luar biasa sekali, Rangga kembali melesat
ke udara. Dan begitu baru saja hendak meluruk melakukan serangan
balasan, Naga Laut sudah mendongakkan kepala
sambil menyemburkan api dari mulutnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Namun, Rangga sudah lebih cepat lagi melesat
ke belakang, hingga semburan api tidak sampai
menjilat tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya berpu-
taran di udara. Namun begitu hendak menjejakkan
kakinya di pasir pantai lagi, mendadak saja Naga
Laut mengibaskan ekornya cepat sekali. Hingga....
Wuk! Plak! "Akh...!"
Rangga terpekik keras begitu ekor Naga Laut
menyambar tubuhnya. Tak pelak lagi, Pendekar Ra-
jawali Sakti terpental jauh ke belakang. Begitu ke-rasnya hantaman tadi, hingga
beberapa pohon ke-
lapa bertumbangan terlanda tubuh Pendekar Raja-
wali Sakti. Dan meluncurnya baru berhenti setelah menghantam gundukan batu
karang hingga hancur
berkeping-keping.
"Ghraaaugkh...!"
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melenting bangkit berdiri
kembali, begitu Naga Laut kembali meluruk deras
hendak melumatnya. Bergegas Rangga melompat ke
samping, dan kembali melesat hingga melewati tu-
buh ular naga raksasa itu.
"Hiyaaa...!"
Saat berada di udara, Rangga melepaskan satu
kibasan tangan kanan mempergunakan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan rupanya ki-
basan tangannya itu tepat menghantam bagian le-
her Naga Laut. Akibatnya, ular raksasa itu menggerung dahsyat sambil
menggeliatkan tubuhnya.
"Hap! Yeaaah...!"
Rangga kembali melenting tinggi-tinggi ke uda-
ra, dan kembali meluruk deras sambil melepaskan
satu pukulan dahsyat disertai pengerahan tenaga
dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus itu, sehingga kepalan tangan
Pendekar Rajawali
Sakti jadi berwarna merah, bagai batang besi terbakar dalam tungku.
"Hiyaaa...!" Begkh!
"Ghraaaugkh...!"
Begitu keras dan cepatnya pukulan yang dile-
paskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Naga
Laut itu tidak bisa lagi menghindar. Dan binatang raksasa itu meraung dahsyat
sambil menggeliatkan
tubuhnya. Kembali daerah Pesisir Pantai Utara itu berguncang bagai dilanda gempa
yang amat dahsyat, membuat rumah-rumah yang berdiri di seki-
tarnya berguncang. Bahkan sudah ada beberapa
rumah yang kelihatannya hampir runtuh, karena
terus-menerus menerima guncangan yang sangat
keras dan dahsyat.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang se-
jauh tiga batang tombak. Dengan punggung tangan,
disekanya keringat yang membanjiri leher. Perta-
rungannya dengan Naga Laut ini benar-benar men-
guras tenaga. Sudah beberapa kali ular naga raksa-sa itu terkena pukulan dahsyat
yang mengandung
pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi tetap saja masih kuat, walaupun meraung
keras merasakan
kesakitan yang amat sangat.
"Hm, Naga Laut ini benar-benar kuat. Apakah
aku harus menggunakan Pedang Pusaka Rajawali
Sakti...?" gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati.
*** Sementara itu, Raden Banyu Samodra sudah
terbangun dari pingsannya. Tubuhnya langsung
menggerinjang bangkit berdiri. Dan dia hampir saja melompat menerjang Naga Laut,
kalau saja Paman
Ardaga tak segera mencegah. Sedangkan saat itu,
Rangga sudah mulai menggenggam gagang pedang-
nya, walaupun belum tercabut dari warangka di
punggung. "Ghrrr...!"
Naga Laut menggereng keras sambil membuka
mulut lebar-lebar. Dari dalam mulutnya, me-
nyembur api yang sangat besar dan langsung
menghanguskan beberapa batang pohon kelapa
yang ada di dekatnya. Kedua bola matanya yang
semula berwarna hijau, kini jadi merah membara
bagaikan sepasang bola api. Tatapannya begitu ta-
jam pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Ghraaaugkh...!"
Sambil meraung dahsyat, Naga Laut kembali
meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
belum juga serangannya sampai, Rangga sudah me-
lentingkan tubuh yang sudah mencapai tingkat ke-
sempurnaan. Begitu ringan dan cepat, tahu-tahu
Pendekar Rajawali Sakti sudah melambung tinggi di angkasa.
"Hiyaaat...!"
Sret! Cring! Bagaikan kilat, Rangga meluruk deras sambil
mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Seketika
itu juga, cahaya biru terang menyemburat menyi-
laukan mata. Melihat pedang yang berpamor sangat
dahsyat tergenggam di tangan lawan, Naga Laut me-
raung keras. Dan dengan gerakan cepat dihinda-
rinya tebasan pedang bercahaya biru terang itu.
"Hap! Hiyaaa...!"


Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu menjejakkan kaki di pasir pantai, Rang-
ga kembali melesat sambil mengibaskan pedang
dengan cepat sekali. Sinar biru yang memancar dari pedangnya berkelebat begitu
cepat, bergulung-gulung bagaikan hendak menggulung tubuh ular
naga raksasa itu. Dari gerakan-gerakannya, sudah
dapat dipastikan kalau saat itu Rangga mengerah-
kan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Sebuah jurus
simpanan yang jarang sekali digunakan, kalau tidak terpaksa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Gerakan tubuh Rangga begitu cepat, meng-
imbangi tebasan-tebasan pedangnya. Saking cepat-
nya, sehingga sulit sekali dilihat. Dan kini, yang terlihat hanya gulungan
cahaya biru berkelebat men-
gurung Naga Laut
"Hup! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti berteriak
nyaring. Tubuhnya langsung melenting tinggi ke
udara, tepat bersamaan dengan terangkatnya kepa-
la Naga Laut ke atas. Dan pada saat itu juga, pedangnya dikebutkan dengan
kecepatan bagai kilat
disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempur-
na. Begitu cepat serangannya, sehingga sulit sekali diikuti pandangan mata
biasa. Tahu-tahu....
Cras! "Aaargkh...!"
Raungan yang begitu keras terdengar dahsyat
menggelegar. Tampak Naga Laut menggelepar,
membuat seluruh permukaan Pantai Utara ini jadi
terguncang hebat bagai dilanda gempa sangat dah-
syat. Sementara, terlihat Rangga berputaran di uda-ra beberapa kali, lalu
meluruk ke bawah. Kemudian kakinya menjejak tanah berpasir dengan indah dan
ringan sekali. "Ghraaaugkh...!"
"Hap!"
Melihat Naga Laut yang sudah terbabat bagian
tenggorokannya masih ingin menyerang lagi, cepat-
cepat Rangga menempelkan telapak tangan kiri pa-
da Pedang Rajawali Sakti. Lalu digosokkannya pe-
dang itu hingga sampai ke ujung dan kembali ber-
gerak sampai ke pangkalnya.
Saat itu juga, cahaya biru yang memancar dari
pedang, berkumpul membentuk bulatan pada ba-
gian ujungnya. Tepat di saat Naga Laut menerjang
dengan kecepatan tinggi, Pendekar Rajawali Sakti
menghentakkan pedangnya ke depan sambil berte-
riak keras bagai guntur meledak di angkasa.
"Aji Cakra Buana Sukma! Hiyaaa...!"
Wuk! Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti men-
gebutkan pedang pusakanya, sehingga membuat
bulatan cahaya biru pada ujung pedang langsung
terlontar ke depan dengan kecepatan melebihi kilat.
Seketika bulatan cahaya biru itu langsung meng-
hantam tubuh Naga Laut keras sekali.
"Ghraaaugkh...!"
"Hih!"
Rangga segera menyilangkan pedang di depan
dada. Dan dengan seluruh kekuatan yang ada, di-
kerahkannya aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat
dahsyat. Sinar biru yang memancar dari mata pe-
dangnya semakin banyak menggumpal, menyelimu-
ti seluruh tubuh ular naga raksasa. Tubuh Naga
Laut hanya menggeliat-geliat sambil menggerung-
gerung dahsyat.
"Edan! Hih! yeaaah...!"
Rangga merasakan adanya kekuatan yang sa-
ngat dahsyat menentang aji kesaktiannya. Sehing-ga, seluruh kekuatannya harus
dikerahkan. Dan ini membuat kakinya yang menjejak pasir seketika amblas sampai
ke betis. Namun Pendekar Rajawali
Sakti tidak sudi menyerah. Aji 'Cakra Buana Suk-
ma' terus dikerahkan, hingga sampai tingkat terakhir. Tampak titik-titik
keringat mulai membanjiri seluruh wajah, leher, dan tubuhnya. Pakaian yang
dikenakan pun sudah basah oleh keringat. Perta-
rungan kali ini benar-benar menguras seluruh ke-
mampuan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, ke-
dua kaki Rangga semakin dalam terbenam ke dalam
pasir pantai. Dan sekarang, malah sudah terbenam
sampai ke batas lutut. Tapi Pendekar Rajawali Sakti terus mengerahkan seluruh
tenaga, untuk mengalahkan Naga Laut.
*** "Hih! Yeaaah...!"
Brus! Sambil mengerahkan sisa-sisa tenaga yang ma-
sih ada, Rangga menghentakkan tubuhnya hingga
melesat ke udara. Dan cepat sekali tubuhnya melu-
ruk deras ke arah Naga Laut yang masih mengge-
liat-geliat dalam lingkaran cahaya biru yang me-
mancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga
menghentakkan pedangnya ke atas kepala. Dan se-
ketika itu juga, cahaya biru yang memancar terca-
but. Namun dengan kecepatan luar biasa, Pendekar
Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya, tepat ter-
arah ke kepala Naga Laut. Begitu cepat serangannya sehingga Naga Laut tidak
sempat lagi menghindar.
Dan.... Cras! "Aaargkh...!"
Darah seketika muncrat begitu pedang di tan-
gan Rangga menghantam kepala Naga Laut, tepat di
bagian tengah antara kedua matanya. Ular naga
raksasa itu menggerung-gerung sambil bergelim-
pangan. Tubuhnya terus menggeliat-geliat dahsyat, membuat bumi jadi berguncang
hebat. "Hap!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali,
Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah. Se-
mentara, tangan kanannya langsung bergerak indah
memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke da-
lam warangka di punggung. Seketika itu juga ca-
haya biru yang memancar terang jadi lenyap, tepat di saat Pedang Rajawali Sakti
kembali tenggelam dalam warangka.
"Haaap...! Yeaaah...!"
Begitu cepat Rangga melakukan beberapa ge-
rakan dengan kedua tangan merapat di depan dada.
Gerakannya meliuk-liuk seperti ular. Lalu sambil
berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali
Sakti menghentakkan kedua tangan ke depan sete-
lah merentangkan kedua kaki lebar-lebar ke samp-
ing, hingga tubuhnya jadi agak rendah.
Seketika itu juga, dari kedua telapak tangannya
meluncur sinar biru yang sangat terang hingga me-
nyilaukan mata. Sinar itu meluncur deras melebihi kilat, dan langsung menghantam
tubuh Naga Laut
yang masih menggeliat-geliat sambil menggerung
keras. Glaaar...! "Ghraaaugkh...!"
Begitu terdengar ledakan dahsyat mengge-
legar, terdengar pula raungan keras yang mengge-
tarkan jantung. Tampak kilatan-kilatan bunga api
menyebar diiringi memancarnya api yang begitu be-
sar menyelubungi seluruh tubuh Naga Laut. Dan
tak berapa lama kemudian....
Blarrr...! Kembali terdengar ledakan menggelegar yang
begitu keras dan dahsyat. Tampak tubuh Naga Laut
hancur berkeping-keping, tersebar ke segala penju-ru. Saat itu juga, Rangga
melompat ke belakang untuk menghindari terpaan serpihan tubuh Naga Laut
yang meledak hancur akibat aji kesaktian yang dilepaskan Pendekar Rajawali
Sakti. "Huhhh...!"
Rangga menyeka keringat di lehernya sambil
mendengus panjang. Kakinya kemudian ditarik ke
belakang beberapa langkah. Pandangannya tak ber-
kedip sedikit pun memperhatikan kepulan asap me-
rah kehijauan yang menggumpal di tempat Naga
Laut tadi berada. Dan begitu asap merah kehijauan lenyap....
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget. Ternyata, di tem-
pat tadi Naga Laut berada kini sudah berdiri seo-
rang laki-laki berusia lanjut mengenakan baju ju-
bah panjang berwarna hijau dan memancarkan ca-
haya terang. Dia berdiri tegak, walaupun usianya
sudah sangat lanjut. Pandangannya tertuju lurus
pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku mengaku kalah, Anak Muda...," aku laki-laki tua berjubah hijau itu agak
lirih nada suaranya terdengar.
"Hm...," Rangga menanggapi hanya dengan menggumam kecil.
"Aku berjanji tidak akan muncul lagi, dan
mengganggu siapa pun juga," sambungnya masih tetap terdengar lirih.
"Selamanya...?" Rangga ingin menegaskan.
"Tidak. Hanya sampai kau tidak ada lagi di du-
nia ini," tegas laki-laki tua berjubah hijau jelmaan Naga Laut.
"Apa..."!"
Belum juga keterkejutan Rangga bisa hilang,
tiba-tiba saja laki-laki tua jelmaan Naga Hijau itu lenyap, setelah seluruh
tubuhnya terlebih dahulu memancarkan sinar terang. Sedikit pun tak ada bekas
yang ditinggalkannya.
Beberapa saat Rangga masih mematung. Ingin
dipastikannya kalau Naga Laut benar-benar telah
lenyap. Kemudian tubuhnya memutar, dan melang-
kah menghampiri Raden Banyu Samodra yang ma-
sih tetap didampingi Paman Ardaga. Dan entah da-
tang dari mana, seekor kuda kini sudah ada di be-
lakang Raden Banyu Samodra. Seekor kuda yang
sangat gagah dan bagus. Rangga berhenti me-
langkah setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan Raden Banyu
Samodra. "Terima kasih, Gusti Prabu," ucap Raden
Banyu Samodra, sebelum Rangga bisa membuka
mulut. Raden Banyu Samodra langsung menyodorkan
tangannya dengan sikap tubuh agak membungkuk,
seperti sedang memberi hormat pada Pendekar Ra-
jawali Sakti. Dan uluran tangan ini tidak bisa lagi ditolak. Rangga segera
menyambutnya, membuat
kedua pemuda itu berjabatan tangan erat sekali.
"Izinkan aku pergi sekarang untuk menga-
barkan kegembiraan ini pada rakyat ku, Gusti Pra-
bu," ujar Raden Banyu Samodra berpamitan.
"Pergilah," sahut Rangga.
"Terima kasih."
Raden Banyu Samodra langsung saja me-
lompat naik ke punggung kudanya. Dan sekali hen-
tak saja, kuda itu sudah melesat kencang bagai
anak panah terlepas dari busur. Sementara Rangga
dan Paman Ardaga berdiri berdampingan meman-
dangi kepergian Raden Banyu Samodra sampai le-
nyap tak terlihat lagi. Tak ada dendam lagi yang ter-tanam di hati penduduk desa
nelayan di Pesisir
Pantai Utara. Mereka semua menyadari, perbuatan
Raden Banyu Samodra semata-mata karena terpak-
sa. Mungkin kalau hal ini dihadapkan pada mereka, bisa jadi mereka juga akan
melakukan tindakan
yang sama dengan Raden Banyu Samodra.
Selesai Juru Edit: Dedig
Scan/E-Book: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Ada Apa Dengan Setan 2 Pendekar Gila 26 Undangan Maut Hantu Wanita Berambut Putih 4
^