Pencarian

Penjagal Bukit Tengkorak 2

Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak Bagian 2


"Adiknya seorang perampok, pembunuh dan
pemerkosa yang dijatuhi hukuman mati. Dan akulah pelaksana hukuman itu. Sudah
dua kali dia mencoba membalas kematian adiknya padaku. Dan aku tahu, dia tidak
akan puas sebelum melihat darahku mengalir," dengan singkat Suryadana
menjelaskan. Sementara Suryadana sudah bergerak ke samping menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
Gerakan si Penjagal Bukit Tengkorak itu diikuti Dewi Jubah Hitam. Mereka lalu
berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar dua batang tombak.
"Mau apa mereka?" tanya Arini berbisik pada Jarwa.
"Aku tidak tahu," sahut Jarwa seraya mengangkat pundaknya.
Sementara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam
sudah bersiap bertarung, Rangga memperhatikan sikap tiga orang dari Padepokan
Tongkat Putih. Pendekar Rajawali Sakti berjaga-jaga agar ketiga orang itu tidak ikut campur.
Pada saat itu, Pandan Wangi datang. Langsung dihampirinya Rangga begitu turun
dari punggung kudanya.
"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Nanti akan kujelaskan," sahut Rangga.
Sebentar Pandan Wangi memperhatikan Suryadana dan Dewi Jubah Hitam yang sudah
membuka kembangan jurus, kemudian melirik Jarwa, Arini, dan Purmita yang juga tengah
memperhatikan dua orang itu. Sementara Rangga terus mengawasi tiga orang dari
Padepokan Tongkat Putih ini.
"Hiyaaat!"
"Yeaaah...!"
*** Pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam tidak dapat dihindari lagi.
Mereka langsung mengerahkan jurus-jurus tingkat tinggi yang dahsyat Jarwa yang
tadi sempat bertarung dengan si Penjagal Bukit Tengkorak, sempat terhenyak
menyaksikan pertarungan tingkat tinggi yang begitu dahsyat dan mengagumkan.
Jarwa cepat menyadari kalau dalam pertarungan dengannya tadi, si Penjagal Bukit
Tengkorak itu tidak bersungguh-sungguh mengerahkan semua kemam-puannya. Walaupun
demikian, sangat sukar bagi Jarwa untuk memasukkan serangannya. Bahkan sedikit
pun tidak dapat mendesak. Kini seakan-akan mata murid Padepokan Tongkat Putih
itu baru terbuka, kalau lawan yang tadi dihadapi bukanlah tandingannya.
Sementara pertarungan itu terus berlangsung, diam-diam Jarwa mendekati Rangga
yang sejak tadi memang memperhatikannya. Jarwa berdiri sekitar dua langkah lagi
di samping Rangga. Sedangkan Arini dan Purmita hanya melirik sedikit. Kedua
gadis itu kembali memusatkan perhatian ke arah pertarungan antara Suryadana dan
Dewi Jubah Hitam.
"Sudah lama kau kenal si Penjagal Bukit
Tengkorak?" tanya Jarwa, agak berbisik suaranya.
"Lama juga," sahut Rangga seraya melirik sedikit pemuda di sampingnya ini.
"Aku rasa, mungkin kau benar. Kami telah salah menuduh," kata Jarwa tanpa malu-
malu lagi. Rangga jadi berkerut keningnya. Wajahnya berpaling, menatap pemuda murid
Padepokan Tongkat Putih itu dalam-dalam. Seakan-akan dia ingin mencari kepastian
dari ucapan Jarwa barusan. Sedangkan Jarwa mengarahkan pandangan pada
pertarungan. Pemuda itu seakan-akan tidak mempedulikan pandangan Rangga yang bernada
menyelidik kebenaran dari ucapannya tadi.
"Menurutmu, siapa pelaku pembunuhan di
Padepokan Tongkat Putih yang sebenarnya,
Kisanak?" tanya Jarwa tanpa berpaling sedikit pun.
"Rangga! Panggil saja aku Rangga," Rangga menyebutkan namanya tanpa menjawab
pertanyaan tadi.
"Hm.... Kau tahu, siapa pelaku pembunuhan itu, Rangga?" Jarwa mengulangi
pertanyaannya yang belum terjawab tadi.
"Sulit dipastikan," sahut Rangga.
"Sewaktu aku meninggalkan padepokan, sudah lima orang yang tewas secara gelap.
Dan baru tadi kudengar kabar, ada tiga lagi yang tewas. Satu orang sempat
memberi tahu padaku kalau pelakunya si Penjagal Bukit Tengkorak. Purmitalah yang
memberi tahu. Dia sengaja meninggalkan padepokan untuk memberi tahu hal itu
padaku," jelas Jarwa tanpa diminta. "Dan kebetulan, waktu kami akan kembali ke
padepokan, bertemu si Penjagal Bukit Tengkorak. Dia juga akan ke sana, makanya
aku mencoba mencegah dan terjadilah pertarungan tadi."
"Kau percaya kalau si Penjagal Bukit Tengkorak
yang melakukan?" tanya Rangga agak menyelidik.
Jarwa tidak menjawab. Kelihatannya pemuda itu ragu-ragu untuk menjawab
pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Kembali matanya beralih ke arah
pertarungan yang berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus, tapi
tampaknya masih akan terus berlangsung lama. Belum ada tanda-tanda akan
berakhir. Masing-masing kelihatan masih tetap tangguh, dan belum ada yang mampu
mendesak. Rangga mencolek sedikit lengan Pandan Wangi.
Dan gadis itu berpaling menatapnya. Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan
Pandan Wangi agar lebih mendekat dengannya. Gadis itu menuruti saja tanpa
membantah. "Kau tetap di sini. Kalau terjadi sesuatu pada Paman Suryadana, cepat bantu,"
kata Rangga berbisik.
"Kau akan ke mana?" tanya Pandan Wangi
langsung tanggap.
"Aku akan pergi bersama pemuda ini," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Jarwa lagi, sebelum Pandan Wangi bisa
bersuara lagi. Jarwa sedikit melirik pada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Antarkan aku ke padepokanmu," pinta Rangga.
"Untuk apa ke sana?" tanya Jarwa heran.
"Katakan saja pada kedua gadis itu. Kalau bisa, jaga jangan sampai si Penjagal
Bukit Tengkorak mendapat celaka," ujar Rangga bersungguh-sungguh.
Sebentar Jarwa memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bergegas menghampiri
Arini dan Purmita. Murid Padepokan Tongkat Putih itu bicara sebentar dengan
kedua gadis cantik itu, kemudian kembali menghampiri Rangga sambil menuntun
kuda- nya. Sedangkan Rangga kembali mendekati Pandan Wangi.
"Berhati-hatilah, Pandan. Jangan bertindak ceroboh," pesan Rangga.
"Jangan khawatir. Kalau perlu, aku bisa mengatasi perempuan tua itu," sahut
Pandan Wangi. Rangga cepat melompat ke punggung kudanya.
Sedangkan Jarwa sudah sejak tadi berada di punggung kudanya sendiri. Tak berapa
lama kemudian, kedua pemuda itu sudah memacu cepat kudanya menuju Padepokan
Tongkat Putih. Cepat sekali mereka memacu kudanya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka
sudah begitu jauh dan lenyap ditelan lebatnya pepohonan.
Sementara pertarungan antara Suryadana dan Dewi Jubah Hitam masih berlangsung
sengit Meskipun hanya dengan bertangan kosong saja, Suryadana kelihatan mampu
mengimbangi permainan tongkat perempuan tua berjubah hitam itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Dewi Jubah Hitam melompat ke
udara sambil berputaran dua kali. Lalu cepat sekali tubuhnya meluruk deras, dan
tongkatnya berkelebat cepat mengincar kepala si Penjagal Bukit Tengkorak itu.
"Hap!"
Cepat sekali si Penjagal Bukit Tengkorak mengegoskan kepalanya, menghindari
tebasan ujung tongkat yang runcing itu. Dan secepat kilat, dia melesat ke udara.
Langsung dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi, tepat ke arah dada Dewi Jubah Hitam.
"Hiyaaa...!"
Pada saat yang sama, Dewi Jubah Hitam juga
menghentakkan tangan kirinya. Langsung disambut-nya pukulan tangan kanan
Suryadana. Tak dapat dihindari lagi, dua pukulan bertenaga dalam tinggi beradu
keras sekali di udara, sehingga menimbulkan ledakan menggelegar memekakkan
telinga. Dua orang yang bertarung itu berpentalan satu sama lain ke belakang. Mereka
berputaran di udara beberapa kali, lalu sama-sama mendarat kokoh di tanah. Tapi
Dewi Jubah Hitam kelihatan agak terhuyung sedikit. Dari sudut bibirnya mengalir
darah kental. Tongkatnya kontan dihentakkan ke tanah, tepat di ujung jari
kakinya. "Kau memperoleh kemajuan yang sangat pesat Dewi Jubah Hitam," puji Suryadana
tulus. "Phuih!" Dewi Jubah Hitam menyemburkan ludahnya yang telah bercampur darah.
Perempuan tua berjubah hitam itu menyadari kalau sudah menderita luka dalam
akibat benturan kekuatan tenaga dalam tadi. Dan dia melihat si Penjagal Bukit
Tengkorak itu sama sekali tidak mengalami pengaruh apa-apa.
Bet! Dewi Jubah Hitam kembali mengebutkan tongkatnya. Dan sambil berteriak nyaring
melengking tinggi, dia melompat cepat sambil menghunjamkan ujung runcing
tongkatnya ke dada Suryadana.
"Hait!"
Sedikit saja Suryadana mengegoskan tubuhnya ke kiri, maka tongkat itu lewat di
depan dada. Lalu tangan kirinya cepat dikibaskan, menyodok ke arah lambung.
Begitu cepatnya kibasan itu, sehingga Dewi Jubah Hitam tidak sempat lagi
menghindar. Des! "Hugkh...!" Dewi Jubah Hitam mengeluh pendek
Perempuan tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh agak membungkuk.
Pada saat itu, Suryadana melontarkan satu pukulan keras disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Begitu keras dan cepatnya pukulan itu, hingga tepat
mendarat di wajah Dewi Jubah Hitam.
"Hiyaaa...!"
Prak! "Aaakh...!" Dewi Jubah Hitam menjerit melengking panjang.
Kepalanya terdongak ke atas, dan tubuhnya berputar beberapa kali. Kemudian, dia
ambruk menggelepar di tanah sambil meraung menutupi muka dengan kedua tangannya.
Dari sela-sela jari tangannya, mengalir darah segar yang cukup keras. Agak lama
juga Dewi Jubah Hitam menggelepar di tanah, lalu kembali melesat bangkit
berdiri. Darah terus mengucur dari wajahnya yang retak akibat pukulan bertenaga
dalam tinggi dari si Penjagal Bukit Tengkorak.
Sukar dikenali lagi wajah perempuan tua itu, karena terlalu banyak darah yang
mengucur di wajahnya. Dengan ujung jari kakinya, wanita tua itu menjentikkan
tongkatnya yang tergeletak di tanah, lalu dengan cepat menangkap tongkat itu.
Secepat tongkatnya ditangkap, secepat itu pula meluruk deras menyerang Suryadana
lagi. "Hiyaaat..!"
"Hih! Yeaaah...!"
Kembali Suryadana memiringkan tubuhnya, dan cepat sekali menghentakkan tangan
kanannya. Kontan dilepaskannya satu pukulan keras meng-geledek, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Tidak sampai di situ saja serangan Suryadana.
Seketika, dilepaskannya satu tendangan keras ke arah dada perempuan tua berjubah
hitam itu. "Aaa...!" Dewi Jubah Hitam menjerit keras melengking tinggi.
Satu pukulan dan tendangan yang dilepaskan Suryadana, tepat menghantam dada
wanita tua itu.
Akibatnya Dewi Jubah Hitam terpental deras sejauh tiga batang tombak. Sebongkah
batu yang cukup besar, menghentikan luncuran tubuhnya. Sebentar dia menggeliat,
lalu mengejang kaku dan tak bergerak-gerak lagi. Suryadana menarik napas panjang
seraya memandangi tubuh Dewi Jubah Hitam yang sudah tidak bernyawa lagi.
Penjagal Bukit Tengkorak itu memutar tubuhnya, langsung menatap Arini dan
Purmita. Kedua gadis itu tampak gentar melihat kedigdayaan Suryadana.
Terlebih lagi Arini, yang sudah pernah bertarung melawan Dewi Jubah Hitam. Saat
itu Pandan Wangi bergegas menghampiri Suryadana.
"Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Pandan
Wangi. "Tidak," sahut Suryadana. "Mana Rangga...?"
"Pergi, bersama teman kedua gadis itu," sahut Pandan Wangi.
"Ayo kita susul, Pandan," ajak Suryadana. Baru saja si Penjagal Bukit Tengkorak
itu hendak melompat ke punggung kudanya, mendadak saja Arini berteriak lantang
mencegah. "Tunggu...!"
Suryadana tidak jadi melompat naik ke punggung kudanya. Langsung ditatapnya
gadis cantik berbaju merah muda itu. Sementara Arini sudah melangkah beberapa
tindak ke depan. Tangannya menggenggam erat gagang pedang yang masih tergantung
di dalam warangkanya di pinggang. Tatapan mata gadis itu demikian tajam, meskipun di
hatinya terselip rasa gentar.
"Apa yang kau inginkan lagi" Kau tahu kalau bukan aku yang membunuh murid-murid
ayahmu!" agak bernada kesal suara Suryadana.
"Apa jaminan dan buktinya kau tidak bersalah?"
tanya Arini tegas.
Suryadana melirik Pandan Wangi sedikit. Dan gadis itu bisa mengerti arti lirikan
si Penjagal Bukit Tengkorak ini.
"Aku jaminannya, dan kau akan memperoleh
bukti," tegas Pandan Wangi mantap.
Arini menatap penuh selidik pada si Kipas Maut itu. Bibirnya langsung dicibirkan
sedikit. "Apa hubunganmu dengannya?" tanya Arini.
"Hanya teman," sahut Pandan Wangi mulai tidak menyukai sikap gadis ini yang
kelihatannya begitu angkuh.
"Hanya teman...?" terasa sinis nada suara Arini.
"Apa maksudmu, Nisanak...?" sentak Pandan Wangi.
Arini hanya mencibir saja. Meskipun sudah berusia setengah baya, tapi Suryadana
masih kelihatan gagah. Ketampanan wajahnya masih tersisa. Tubuhnya juga tegap,
meskipun agak kecoklatan, karena sering berpanas-panas di bawah teriknya sinar
matahari. Tanpa dijelaskan pun, Pandan Wangi sudah bisa mengerti sikap dan
tatapan mata Arini. Dan ini semakin membuatnya muak. Tapi Pandan Wangi mencoba
untuk tetap bersabar. Dia ingat pesan Rangga untuk tidak bertindak apa-apa pada
kedua gadis ini.
"Sudah! Jangan dilayani, Pandan. Ayo, kita cepat
menyusul Rangga," ujar Suryadana yang sudah memahami watak Arini.
Suryadana cepat melompat naik ke punggung kudanya. Pandan Wangi bergegas
mengikuti. Mereka cepat menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.
Arini berteriak-teriak kesal, karena tidak dipedulikan sama sekali. Maka, gadis
itu segera memungut sebuah batu. Hampir saja batu itu dilemparkan ke arah Pandan
Wangi. Untung saja Purmita cepat menangkap tangan Arini yang sudah terangkat
naik. "Jangan bodoh, Arini! Biarkan mereka pergi,"
sentak Purmita.
"Huh!" Arini mendengus kesal.
Gadis itu menurunkan tangannya, dan melemparkan batu itu disertai rasa kesal
sambil mendengus.
Dipandanginya Pandan Wangi dan Suryadana yang sudah jauh meninggalkan tempat
ini. Kemudian tubuhnya berputar, dan melangkah menghampiri kudanya. Sementara
Purmita hanya memandangi adiknya. Dia cepat melesat begitu Arini naik ke atas
punggung kudanya. Purmita kini sudah duduk di punggung kudanya sendiri.
"Hiya!"
"Hiyaaa...!"
Kedua gadis putri Eyang Jaraksa itu menggebah cepat kudanya. Mereka langsung
menuju ke Padepokan Tongkat Putih. Cepat sekali mereka memacu kudanya, sehingga sebentar
saja sudah jauh meninggalkan daerah berbatu itu. Tak ada sorang pun yang
menyadari kalau di suatu tempat
tersembunyi, sepasang mata selalu memperhatikan sejak tadi. Bersamaan dengan
menghilangnya kedua gadis dari Padepokan Tongkat Putih itu ke dalam hutan,
berkelebat sebuah bayangan biru gelap dari
sebongkah batu yang cukup besar.
Tahu-tahu di dekat mayat Dewi Jubah Hitam, sudah berdiri seseorang yang
mengenakan baju biru gelap panjang. Seluruh kepalanya terselubung kain biru,
dengan dua lubang kecil pada bagian matanya.


Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipandanginya mayat Dewi Jubah Hitam sebentar, lalu berpaling ke arah Padepokan
Tongkat Putih yang berada di balik hutan di depannya.
"Rangga.... Hhh! Kau tidak akan bisa merubah keyakinan tua bangka itu dalam
menuduh si Penjagal Bukit Tengkorak. Aku tahu siapa kau, Rangga...,"
desis orang berbaju biru gelap itu dingin.
Mendadak saja sosok tubuh itu melesat cepat.
Dan sekejapan mata saja sudah lenyap bagai tertelan bumi. Daerah berbatu itu
jadi sunyi. Yang tinggal kini hanya mayat Dewi Jubah Hitam yang terbujur kaku.
*** 6 Saat itu Rangga dan Jarwa sudah sampai di Padepokan Tongkat Putih. Rangga
sendiri tidak menyangka kalau laki-laki tua berjubah putih yang dikenal dengan
nama Eyang Jaraksa, mengenali dirinya sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan
Ketua Padepokan Tongkat Putih itu menyambutnya dengan hangat. Padahal Jarwa
telah membisikinya, kalau kedatangan pemuda berbaju rompi putih itu saat dirinya
tengah bertarung melawan si Penjagal Bukit Tengkorak.
Eyang Jaraksa meminta ditinggalkan berdua saja bersama Rangga di ruangan depan
bangunan besar padepokan ini. Tak ada seorang pun di sana, kecuali Eyang Jaraksa
dan Pendekar Rajawali Sakti sendiri.
Bahkan Jarwa juga sudah lenyap entah ke mana.
"Maaf, mungkin kedatanganku ke sini tidak tepat pada waktunya," ucap Rangga
sopan. "Ah, tidak.... Aku senang padepokan kecil ini dikunjungi seorang pendekar besar
dan digdaya sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti," sambut Eyang Jaraksa.
"Aku sudah sering mendengar tentang Padepokan Tongkat Putih yang dipimpin orang
bijaksana dan patut menjadi teladan bagi semua orang," puji Rangga.
Eyang Jaraksa hanya tersenyum tipis, meskipun hatinya seperti tersentil atas
ucapan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Bisa dibaca arah pembicaraan pemuda
berbaju rompi putih itu. Memang
diakui, tindakannya menyerbu si Penjagal Bukit Tengkorak kurang bijaksana. Saat
itu dia terlalu menuruti kata hati dan amarah. Mungkin karena tidak tahan lagi
melihat murid-muridnya tewas setiap hari, tanpa diketahui siapa pelakunya.
"Rasanya tidak pantas aku menerima pujianmu, Pendekar Rajawali Sakti," sergah
Eyang Jaraksa agak tersipu.
"Ini bukan pujian kosong, Eyang Jaraksa. Sudah banyak padepokan yang kau pimpin
melahirkan pemuda tangguh. Bahkan tidak sedikit yang mengabdikan diri untuk
memperkuat barisan per-tahanan di Karang Setra. Maaf, kedatanganku ini bukan
karena aku raja si Karang Karang Setra. Tapi atas nama dunia kependekaran dan
diriku pribadi,"
ujar Rangga. "Maaf, cara penyambutanku kurang baik," ucap Eyang Jaraksa.
Laki-laki tua ini memang sudah tahu kalau pemuda yang duduk di depannya ini
adalah Raja Karang Setra.
Dan Bukit Tengkorak ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra. Hanya
saja, Rangga belum mengenal betul tentang padepokan ini, juga pemimpinnya yang
sudah berusia lanjut. Rangga memang sengaja mengelilingi seluruh wilayah Karang
Setra, untuk mengenal lebih dekat tentang wilayah kerajaannya.
Padepokan Tongkat Putih ini bukan padepokan pertama yang disinggahi Pendekar
Rajawali Sakti.
Sudah banyak padepokan yang dikunjunginya, baik yang terkenal maupun yang belum
dikenal. Tapi pada umumnya, pemimpin padepokan di seluruh wilayah Kerajaan
Karang Setra, sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti. Entah tahu dari mana, dan
Rangga tidak pernah mempersoalkannya. Seperti halnya Padepokan Tongkat Putih ini, yang
tidak diketahui sebelumnya. Eyang Jaraksa sudah mengenal dirinya.
"Aku senang atas penyambutanmu ini, Eyang Jaraksa. Meskipun kau telah tahu siapa
diriku, tapi tidak kau tunjukkan di depan murid-muridmu.
Sungguh kuhargai sikapmu. Dan aku menaruh hormat atas kebijaksanaanmu yang juga
telah meng-hormatiku sebagai sesama kaum pendekar," kata Rangga, lagi-lagi
memuji laki-laki tua ini.
Dan itu membuat Eyang Jaraksa semakin tersipu.
Laki-laki tua itu tahu arah pembicaraan Pendekar Rajawali Sakti ini. Jelas, itu
ditujukan atas tindakannya yang menyerang si Penjagal Bukit Tengkorak.
Tindakan yang sebenarnya sangat ceroboh, karena tidak diselidiki terlebih dahulu
kebenarannya. Ada rasa malu menyelinap dalam hatinya. Karena dia yang sudah
berumur dan jauh lebih tua daripada Pendekar Rajawali Sakti, masih juga tidak
dapat mengendalikan diri. Bahkan tak mampu bertindak bijaksana. Itu bisa
menimbulkan citra buruk di depan murid-muridnya sendiri. Bahkan tidak mungkin,
dunia luar akan mencemoohnya kalau hal ini sampai ter-sebar luas.
"Aku memang ceroboh, Pendekar Rajawali Sakti.
Aku akan meminta maaf pada si Penjagal Bukit Tengkorak, tapi itu kalau terbukti
tidak bersalah,"
tegas Eyang Jaraksa langsung pada pokok persoalannya.
Laki-laki tua itu tidak ingin berlarut-larut, sehingga dapat membuat dirinya
semakin merasa rendah di depan pemuda berbaju rompi putih ini Sedangkan Rangga
hanya tersenyum saja. Dalam hatinya, dia semakin memuji laki-laki tua berjubah
putih ini, karena bisa menangkap cepat arah pembicaraannya.
"Aku yang menyelamatkannya dari ujung tongkat-mu, Eyang Jaraksa," jelas Rangga,
jujur. "Oh...," Eyang Jaraksa terkejut tidak menyangka.
Pantas saja si Penjagal Bukit Tengkorak bisa lenyap begitu cepat, di saat maut
tengah berada di depan matanya. Kalau Pendekar Rajawali Sakti ini yang
menyelamatkannya, laki-laki tua itu tidak bisa menyangsikan lagi. Memang sudah
sering didengarnya kehebatan dan kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti, yang sukar
diukur tingkat kepandaiannya.
"Waktu itu, aku tidak tahu apa persoalannya. Dan aku juga tidak mengenalmu.
Paman Suryadana yang memberitahuku. Itu sebabnya, mengapa aku segera datang
kemari. Dan muridmu, aku lihat sempat bertarung dengannya," jelas Rangga lagi,
tanpa diminta. "Maafkan atas kelancangan muridku," ucap Eyang Jaraksa.
"Sudahlah, kita lupakan saja hal itu. Kedatanganku hanya ingin tahu, apa benar
di sini terjadi pembunuhan gelap, sehingga kau dan murid-muridmu mengira Paman
Suryadana yang melakukannya,"
kata Rangga. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau lagi membicarakan tindakan
laki-laki tua ini dengan murid-muridnya pada si Penjagal Bukit Tengkorak.
"Benar. Dalam beberapa hari ini, sudah hampir sepuluh orang murid-muridku tewas
tanpa diketahui pembunuhnya. Aku sendiri tidak tahu, mengapa murid-muridku
dibantai dengan cara seperti itu,"
Eyang Jaraksa membenarkan pertanyaan Rangga.
"Kau tidak berusaha menyelidikinya?" tanya Rangga lagi.
"Sudah! Bahkan aku mengutus Jarwa untuk
menyelidiki dari luar. Tapi sampai sekarang ini, belum jelas hasilnya. Dan
semalam jatuh satu korban lagi.
Lehernya hampir putus terpenggal," sahut Eyang Jaraksa.
Saat itu muncul seorang wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik.
Bajunya biru agak ketat.
Rangga mengangkat kepala, dan menatap wanita itu.
Yang ditatap langsung menganggukkan kepala sedikit sambil memberi senyum. Rangga
membalasnya dengan anggukan kepala juga. Eyang Jaraksa buru-buru memperkenalkan
wanita itu pada Pendekar Rajawali Sakti.
Hampir Rangga tidak percaya kalau wanita
setengah baya dan masih kelihatan cantik ini adalah istri Eyang Jaraksa. Mereka
bukan seperti suami istri, tapi lebih pantas anak dengan ayahnya. Wanita
setengah baya yang dikenalkan Eyang Jaraksa bernama Satira itu, duduk si samping
laki-laki tua berjubah putih ini.
Sementara Rangga seakan-akan masih belum
percaya, kalau wanita secantik ini lebih suka menikah dengan laki-laki tua yang
pantas menjadi ayahnya ini.
Dan usianya juga pasti tidak lebih dari empat puluh tahun.
"Cukup lama kami menikah. Sekitar dua puluh tahun," kata Eyang Jaraksa memberi
tahu tanpa diminta.
Rangga hanya tersenyum saja. Sukar baginya untuk bisa memberi tanggapan tentang
pasangan yang dipandangnya sangat aneh dan tidak masuk akal ini. Tapi, dia hanya
diam dan tidak mau memikirkannya. Sedangkan Satira tanpa ada yang menyadari
selalu merayapi wajah Pendekar Rajawali
Sakti. Seakan-akan dia begitu terpikat pada ketampanan dan kegagahan pemuda yang
duduk di depannya ini.
"Eyang, boleh aku melihat-lihat sekitar padepokanmu ini?" pinta Rangga seraya
bangkit berdiri.
"Oh, silakan. Apa perlu diantar...?" Eyang Jaraksa juga bergegas berdiri.
"Tidak perlu. Aku bisa meminta Jarwa me-
nemaniku," tolak Rangga halus.
Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala sedikit pada Satira, kemudian
melangkah keluar dari ruangan ini. Eyang Jaraksa memandangi sampai pemuda itu
menghilang di balik pintu, kemudian beralih pada Satira yang kini sudah berdiri
di sampingnya. "Dari mana saja kau, Satira" Kenapa baru
datang...?" tegur Eyang Jaraksa.
"Habis dari pancuran. Aku tidak tahu kalau akan ada tamu," sahut Satira
beralasan. "Kau tidak bertemu Basrin?"
"Tidak. Memangnya kenapa...?"
"Aku menyuruhnya menyusulmu ke pancuran."
"Mungkin berselisihan jalan, Kakang. Aku tidak lewat jalan biasa."
"Hhh..., sudahlah. Sebaiknya, siapkan kamar untuknya. Ingat! Kau harus melayani
segala keperluannya dengan baik. Dia tamu terhormat kita,"
pesan Eyang Jaraksa.
"Memangnya dia siapa, Kakang?"
"Pendekar Rajawali Sakti," sahut Eyang Jaraksa.
"Aku ingin menemaninya melihat-lihat padepokan ini."
Eyang Jaraksa bergegas melangkah keluar dari ruangan ini. Sedangkan Satira hanya
memandangi saja kepergian laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut. Dan dia masih
berdiri di sana meskipun Eyang Jaraksa sudah menghilang di balik pintu.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Satira setengah bergumam. "Hm.... Jadi itu
yang bernama Pendekar Rajawali Sakti..." Hm...."
Satira mengangguk-anggukkan kepala, kemudian bergegas meninggalkan ruangan ini
dari pintu yang lain. Sebentar saja wanita itu sudah lenyap di balik pintu yang
berwarna hijau. Dan ruangan itu kembali sunyi tak seorang pun terlihat di sana.
*** Waktu terus berjalan tanpa ada yang dapat
menghentikannya. Siang pun berganti malam tanpa terasa. Suasana di Padepokan
Tongkat Putih kelihatan lebih tenang. Karena semua murid padepokan itu sudah
mengetahui, kalau tamu yang siang tadi datang bersama Jarwa adalah Pendekar
Rajawali Sakti. Mereka semua sudah sering mendengar tentang pendekar muda
berkepandaian tinggi dan sukar dicari tandingannya itu.
Tapi ada sedikit kecemasan di hati mereka, meskipun tidak diungkapkan. Siang
tadi, si Penjagal Bukit Tengkorak datang bersama Pandan Wangi, yang juga
berjuluk si Kipas Maut. Kemudian disusul kembalinya Purmita bersama adiknya,
Arini. Kedua gadis itu tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih yang
sempat dicurigai dan dimusuhi, ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang namanya
sudah sering terdengar.
Tapi baru kali ini bertemu langsung.
Walaupun malam sudah teramat larut, tapi Rangga belum juga dapat memicingkan
mata dalam kamar-
nya. Malam yang begitu dingin, dirasakan sangat panas. Pendekar Rajawali Sakti
itu melangkah keluar dari kamarnya. Dilewatinya ruangan depan, dan terus keluar
dari pintu depan. Dua orang murid Padepokan Tongkat Putih yang bertugas jaga
malam di depan pintu, menganggukkan kepala seraya menyapa hormat Rangga membalas
dengan anggukan kepala juga, dan memberikan senyum.
Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah menuju bagian samping kiri bangunan
besar ini. Ayunan langkahnya begitu perlahan, dan matanya tidak berkedip
merayapi setiap sudut yang dilaluinya. Siang tadi, dia sudah melihat-lihat
keadaan sekitar bangunan Padepokan Tongkat Putih ini. Namun begitu sampai di
bagian belakang, mendadak saja....
"Akh...!"
"Heh..."!"
Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar erangan tertahan yang
begitu pelan dari arah samping kanannya. Cepat-cepat tubuhnya melesat ke atas,
dan hinggap di atap bangunan besar ini. Pada saat itu, matanya langsung
menangkap sesosok bayangan berkelebat cepat di balik pagar bagian belakang. Dan
Rangga jadi terkejut, karena di sana juga terlihat sesosok tubuh tergeletak di
tanah. "Hup...!"
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam satu
kali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di luar pagar Padepokan
Tongkat Putih ini. Begitu kakinya menjejak tanah, kembali tubuhnya melesat cepat
mengejar bayangan yang berkelebat tadi.
Namun sesampainya Rangga di sebuah tikungan jalan, bayangan yang dikejarnya
lenyap begitu saja
bagai tertelan bumi. Rangga menghentikan
pengejarannya. Pandangannya beredar berkeliling.
Pendengarannya dipasang tajam. Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar desiran
halus dari arah samping kanan.
Wusss! Cepat Rangga memutar tubuhnya, dan langsung melenting ke belakang, seraya
berputar satu kali.
Hanya sekejap saja, dia mampu melihat bayangan biru pekat berkelebat cepat
hampir menyambar tubuhnya. Dan begitu bayangan biru itu lewat, mendadak saja
melesat seberkas sinar keemasan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!"
Manis sekali Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, maka sinar keemasan itu lewat
sedikit di samping tubuhnya. Seketika terdengar ledakan keras menggelegar,
begitu sinar keemasan itu menghantam sebatang pohon di belakang Rangga. Pohon
itu seketika tumbang, dan hampir saja mengenai Rangga. Untung saja Pendekar
Rajawali Sakti cepat melompat menghindar.
"Heh..."! Ke mana dia...?" Rangga terperanjat, karena bayangan biru pekat tadi
sudah lenyap tak terlihat lagi.
Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi hanya pepohonan
dan kegelapan saja yang ada di sekitarnya. Bayangan itu benar-benar lenyap, di
saat Rangga tengah sibuk menghindari sinar keemasan dan pohon yang tumbang ke
arahnya tadi. "Hm.... Siapa dia?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri.
Setelah yakin tidak mungkin lagi bisa menemukan
bayangan gelap itu, Rangga cepat bertari menuju Padepokan Tongkat Putih. Tak
disadari, kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah diamati sepasang mata yang
tersembunyi dari atas pohon.
"Benar-benar tangguh dia...," terdengar gumaman pelan.
*** Manis sekali Rangga melompati pagar belakang Padepokan Tongkat Putih ini.
Suasananya masih tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun di bagian belakang ini.
Dia berjalan perlahan mendekati sebuah pintu kamar yang tampak terbuka. Dia
tahu, kamar itu memang ditempati Suryadana. Dan di sebelahnya kamar yang
ditempati Pandan Wangi. Sedangkan Rangga sendiri mendapatkan kamar yang berada
jauh dari kedua kamar itu. Tepatnya, di bagian depan bangunan besar ini.
"Hm...," Rangga agak tertegun begitu dekat dengan kamar Suryadana.
Pintu kamar itu terbuka agak lebar, dengan nyala pelita yang menerangi seluruh
kamar itu. Tak ada seorang pun terlihat di dalam. Perlahan Pendekar Rajawali
Sakti mendekati. Dan begitu kepalanya dijulurkan, karena hendak memastikan
keadaan kamar itu, mendadak saja sebuah tangan menepuk pundaknya.
"Oh...!" Rangga agak terkejut karena perhatiannya saat itu tengah tertuju pada
keadaan sekeliling kamar.
Cepat tubuhnya berbalik. Keningnya jadi berkerut melihat Suryadana kini sudah
berada di depannya. Si Penjagal Bukit Tengkorak itu tersenyum, dan terus
menghempaskan tubuhnya ke kursi panjang yang ada di samping pintu kamar ini.
"Dari mana malam-malam begini, Paman?" tanya Rangga sedikit menegur.
"Jalan-jalan, cari udara segar," sahut Suryadana.
"Kau sendiri, kenapa masih berada di luar?"
"Di kamar udaranya terlalu panas. Tapi sekarang sudah mendingan," sahut Rangga


Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi, tanpa menceritakan kalau baru saja memergoki seseorang yang telah membunuh
seorang murid Padepokan Tongkat Putih.
Suryadana mengangguk-anggukkan kepala. Diambilnya tempat tembakau dari kulit
yang terselip di balik sabuknya. Kemudian dilintingnya tembakau itu dengan daun
jagung kering berwarna kuning muda.
Sebentar kemudian, dia sudah asyik dengan asap tembakaunya.
"Aku kembali dulu ke kamar, Paman," pamit Rangga yang tidak menyukai asap
tembakau itu. "Oh, ya...," sahut Suryadana seraya mengangkat kepala sedikit
Rangga melangkah meninggalkan laki-laki berusia separuh baya itu, untuk kembali
menuju ke bagian depan. Dia melalui pintu penghubung di bagian belakang bangunan
besar dan memanjang ini. Sedikit matanya melirik Suryadana sebelum lenyap di
balik pintu. Sedangkan Suryadana masih terus asyik dengan lintingan tembakaunya.
Rangga terus mengayunkan kakinya menyusuri lorong yang tak seberapa panjang. Di
kiri kanan lorong ini terdapat pintu-pintu kamar yang semuanya tertutup rapat.
Setelah melewati lorong ini, dia sampai di bagian ruangan tengah yang cukup
besar dan terang. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah
melewati ruangan tengah ini, kemudian sampai di ruangan depan. Di sini juga
terdapat beberapa pintu kamar. Dia tahu kalau kamar-kamar itu ditempati oleh
keluarga Eyang Jaraksa.
"Hm...."
Kembali Pendekar Rajawali Sakti tertegun saat melihat salah satu pintu kamar.
Semua kamar dalam keadaan gelap, tapi satu pintu terlihat terang.
Tampak sedikit cahaya membias dari lubang di bawah pintu itu. Rangga tahu kalau
itu kamar Purmita. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati kamar yang
masih terlihat terang itu.
Sebentar Rangga berhenti di depan pintu, dan memasang telinganya tajam-tajam.
Tak terdengar suara sedikit pun dari dalam kamar ini Rangga tercenung sebentar,
kemudian bergegas melangkah kembali keluar, dan memutari bangunan besar ini.
Ayunan langkahnya kembali terhenti setelah sampai di dekat jendela kamar yang
tampak sedikit terbuka.
Cahaya terang tampak membias dari balik jendela ini.
Rangga tahu kalau itu jendela kamar yang ditempati Purmita.
Pelan-pelan Rangga mencoba membuka jendela itu. Tapi belum juga daun jendela
kamar itu bergerak terbuka, mendadak saja terdengar bentakan keras dari
belakangnya. "Hei...!"
"Uts...!" Rangga terlonjak kaget dan cepat memutar tubuhnya.
Bukan hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang terkejut tapi orang yang membentak
tadi. Di depan Rangga, berdiri seorang gadis cantik bertubuh ramping dan padat
berisi. Dia mengenakan baju agak ketat, sehingga hampir memetakan bentuk
tubuhnya yang indah untuk dipandang mata.
"Oh, maaf. Aku kira siapa...," ucap gadis itu seraya mendekat "Maaf, aku telah
membuatmu terkejut Gusti."
"Tidak... Aku tidak terkejut. Hm.... Sebaiknya jangan panggil aku gusti. Panggil
saja Rangga."
Gadis itu hanya tersenyum kecil dan menganggukkan kepala sedikit. Rangga
memperhatikan gadis yang dikenalnya bernama Purmita ini. Pendekar Rajawali Sakti
jadi teringat bayangan yang tadi dipergokinya telah membunuh seorang murid
padepokan ini. Orang itu juga mengenakan baju warna gelap. Dan kalau tidak salah
menilai, bentuk tubuhnya ramping dan bagus seperti bentuk tubuh wanita muda.
Tapi Rangga tidak ingin terlalu cepat menduga, meskipun berbagai macam dugaan
telah mampir di kepalanya barusan. Hal itu cepat-cepat dibuangnya jauh-jauh.
Sementara Purmita menghampiri jendela kamarnya, lalu membuka lebar-lebar. Cahaya
dari pelita di dalam kamar itu menerobos keluar, seakan-akan hendak mengalahkan
sinar rembulan malam ini.
"Dari mana malam-malam begini?" tanya Rangga ingin tahu.
"Meronda," sahut Purmita seraya duduk di kursi, di bawah jendela kamar ini.
"Meronda..."!" Rangga seolah-olah tidak mem-percayai jawaban gadis ini.
"Memangnya kenapa" Meronda itu bukan hanya pekerjaan laki-laki saja, bukan..."
Wanita juga bisa melakukannya. Dan hampir setiap malam aku selalu melakukannya,"
kata Purmita lugas.
"Kau juga meronda di bagian belakang?" tanya Rangga, jadi teringat kalau di
bagian belakang, di luar
pagar tadi terjadi pembunuhan.
"Benar!" sahut Purmita kalem.
"Kalau begitu...?" Rangga tidak meneruskan kata-katanya.
Pendekar Rajawali Sakti memandangi gadis itu dalam-dalam. Timbul lagi kecurigaan
di hatinya, yang tadi telah dibuang jauh-jauh. Namun Rangga tetap tidak ingin
menduga kalau gadis ini yang melakukan semua pembunuhan gelap di Padepokan
Tongkat Putih, dalam beberapa hari ini. Sedangkan Purmita kelihatan tidak
peduli, dan malah mengarahkan pandangannya jauh ke depan.
"Purmita, bisa kita bicara...?" pinta Rangga dengan suara terdengar agak ragu-
ragu. Purmita menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Boleh aku duduk?"
Purmita menggeser duduknya, dan Rangga me-nempatkan diri di samping gadis itu.
Untuk beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja. Dua kali Rangga mendehem,
seakan tengah mengumpulkan kata-kata dalam kepalanya.
"Aku rasa kau sudah tahu, untuk apa aku datang ke sini," kata Rangga memulai.
"Ya! Kau ingin membersihkan nama Penjagal Bukit Tengkorak," sahut Purmita kalem.
"Bukan itu saja. Kedatanganku ke sini juga untuk mencari kebenaran," Rangga
menambahkan. Purmita hanya mengangkat bahunya saja. Dia sudah tahu dari ayahnya kalau
Pendekar Rajawali Sakti juga seorang raja di Karang Setra. Dan Suryadana yang
selalu dipanggil Penjagal Bukit Tengkorak, pernah bekerja untuk ayah pendekar
muda ini. Jadi, tidak heran kalau Rangga akan membelanya. Namun mengingat nama
besar Pendekar Rajawali Sakti, langsung Purmita percaya. Dia yakin, seandainya terbukti memang
Suryadana yang melakukan semua pembunuhan itu, akan tetap
menerima hukuman.
"Tadi, secara tidak sengaja, aku melihat sesuatu terjadi di balik pagar
belakang...," ujar Rangga, agak terputus suaranya.
"Oh..."! Apakah terjadi pembunuhan lagi?" sentak Purmita kelihatan terkejut
"Ya," sahut Rangga seraya mengangguk.
"Ayah harus segera tahu," ujar Purmita seraya bangkit berdiri.
"Tunggu dulu, Purmita," cegah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti cepat menangkap per-gelangan tangan Purmita. Dan gadis
itu kembali duduk. Wajahnya agak memerah. Cepat-cepat Rangga melepaskan
cekatannya pada tangan gadis itu. "Maaf," ucap Rangga.
"Tidak apa-apa," sahut Purmita sedikit gugup.
"Ayahmu memang perlu tahu. Tapi, aku ingin bicara sedikit denganmu dulu," tegas
Rangga. Purmita hanya diam saja. Ditatapnya wajah pemuda itu sebentar, lalu pandangannya
dialihkan ke arah lain. Hatinya langsung bergetar saat pandangannya bertemu
sinar mata pemuda itu, meskipun hanya sebentar.
"Kau tadi ke bagian belakang, bukan?" tanya Rangga langsung.
"Ya," sahut Purmita.
"Tidak melihat ada orang lain di sana?"
"Aku hanya bertemu si Penjagal Bukit Tengkorak.
Hanya bertegur sapa sedikit saja," sahut Purmita.
"Juga tidak melihat ada mayat di sana?"
"Aku tidak keluar dari pagar. Aku baru tahu setelah kau mengatakannya."
"Baiklah. Cepatlah beri tahu ayahmu. Aku akan menunggu di sana," kata Rangga
seraya bangkit berdiri.
Purmita bergegas bangkit dan melangkah
setengah berlari menuju ke dalam bangunan besar ini. Sebentar Pendekar Rajawali
Sakti memperhatikan, lalu cepat melesat pergi. Sekejap saja bayangan tubuhnya
sudah lenyap di balik pagar yang mengelilingi bangunan besar dan memanjang ini.
*** 7 Rangga memandangi pohon besar yang tumbang melintang di depannya. Pohon ini
semalam hampir membuat tubuhnya gepeng. Pendekar Rajawali Sakti melompat
melewati batang pohon ini. Di depan sanalah bayangan semalam menghilang. Rangga
mengangkat kepalanya ketika mendengar langkah kaki menuju ke arahnya. Terlihat
Pandan Wangi berjalan cepat lalu melompati pohon yang tumbang melintang dengan
gerakan indah. Pandan Wangi mendarat tepat di samping Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku cari-cari, tidak tahunya ada di sini," kata Pandan Wangi.
"Tahu dari mana aku di sini?" tanya Rangga.
"Nyai Satira yang bilang. Katanya, dia melihatmu menuju ke sini," sahut Pandan
Wangi. "Nyai Satira...?" Rangga mengerutkan keningnya.
"Iya, kenapa...?"
Rangga diam saja. Dia jadi tercenung sendiri.
Setahunya, tidak seorang pun dijumpai ketika pergi ke tempat ini. Bahkan tidak
seorang pun yang melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat, kalau
semalam hampir luput memperhatikan kamar yang ditempati Satira. Pintu kamar itu
agak terbuka, meskipun lampunya mati.
Dan ketika hampir pagi, pintu kamar itu tetap terlihat sedikit terbuka dalam
keadaan masih gelap.
Juga, saat semua orang terbangun, setelah Purmita memberitahukan ada pembunuhan
lagi. Semua penghuni Padepokan Tongkat Putih berhamburan ke belakang bagian luar pagar, tapi
sama sekali wanita muda istri ketua padepokan itu tidak terlihat.
"Ada apa, Kakang" Kenapa termenung mendengar nama Nyai Satira?" tanya Pandan
Wangi ingin tahu.
"Tidak..., tidak apa-apa. Aku tiba-tiba saja teringat sesuatu," sahut Rangga.
"Boleh aku tahu?" pinta Pandan Wangi.
Rangga menghampiri pohon yang tumbang,
langsung meneliti bagian bawah yang hancur. Tubuhnya membungkuk, dan mengambil
sesuatu dari serpihan kayu pohon itu. Tampaknya sebuah benda yang terbuat dari
emas. Pandan Wangi ikut memperhatikan benda di tangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Amel...," desis Pandan Wangi.
"Benar! Tusuk rambut ini milik pembunuh murid-murid Padepokan Tongkat Putih,"
kata Rangga begitu pasti.
"Kau tahu, siapa kira-kira pemiliknya, Kakang?"
tanya Pandan Wangi.
"Aku belum tahu pasti. Tapi yang jelas, pelakunya adalah pemilik benda ini,"
sahut Rangga. "Kalau begitu, Paman Suryadana terbebas dari tuduhan...?" Pandan Wangi jadi
senang. "Belum," sahut Rangga.
"Belum...?" Pandan Wangi jadi tidak mengerti.
"Apa maksudmu, Kakang" Bukankah tadi kau
mengatakan pelakunya wanita...?"
"Aku tidak mengatakan wanita. Tapi pemilik benda inilah mungkin pelaku
pembunuhan itu," Rangga menegaskan. "Bisa siapa saja. Juga termasuk kau,
Pandan." "Jangan bercanda, ah! Benda seperti itu memang dimiliki setiap wanita, Kakang.
Banyak corak dan
ragamnya. Bahkan yang sama juga banyak. Aku juga memakai dengan bentuk dan warna
seperti itu," kata Pandan Wangi.
Gadis itu meraba rambutnya. Tapi mendadak saja Pandan Wangi terkejut, karena di
rambutnya tidak terpasang amel. Rangga memperhatikan dengan kening berkerut.
Diserahkannya tusuk rambut itu pada Pandan Wangi, lalu diperlihatkan bagian
tangkainya yang terukir nama gadis itu. Sejenak Pandan Wangi menatap benda di
tangan Rangga, lalu menatap pemuda itu dengan sinar mata sukar diartikan.
"Jangan katakan kalau kau kehilangan tusuk rambutmu, Pandan," kata Rangga, agak
dalam nada suaranya.
"Tapi...," suara Pandan Wangi terputus.
"Baru kemarin kita berkumpul lagi. Dan selama sepuluh hari, kau kutinggalkan di
Desa Jati, bertepatan dengan peristiwa pembunuhan di sini,"
kata Rangga, tetap dalam nada suaranya.
"Tega benar kau menuduhku, Kakang...!" desis Pandan Wangi bisa menangkap kata-
kata yang diucapkan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
"Aku tidak menuduhmu, Pandan."
"Kata-katamu barusan...!"
"Maaf, kalau kata-kataku tadi menyinggungmu.
Tapi, kau harus tahu. Aku hanya mencari kebenaran saja. Tolong jelaskan, apa
saja yang kau lakukan selama sepuluh hari belakangan ini. Juga, mengenai amelmu
yang ada di sini. Aku percaya, bukan kau yang melakukannya, Pandan. Orang itu
hanya menggunakan amelmu, agar perhatianku beralih padamu,"
Rangga buru-buru menjelaskan.
"Aku tidak ke mana-mana selama kau tinggalkan
di Desa Jati, Kakang. Setiap hari aku hanya ke rumah Nyai Karti, belajar membuat
pakaian dari kulit. Kalau tidak percaya, tanya saja pada Nyai Karti sendiri.
Juga pada Ki Sawung, pemilik penginapan di sana. Dan mengenai amelku.... Sama
sekali aku tidak tahu, Kakang. Aku tidak pernah menyadari kalau amel itu lepas
dari rambutku," jelas Pandan Wangi dengan dada sedikit bergemuruh.
"Itu yang ingin aku dengar darimu, Pandan," ujar Rangga seraya tersenyum.
"Sekarang, terserah padamu. Kau ingin percaya atau tidak alasanku tadi," kata
Pandan Wangi. "Aku percaya, Pandan."
"Tapi, kenapa kau kelihatannya mencurigaiku?"
"Jangan salah mengerti, Pandan. Dalam keadaan seperti ini, aku perlu penjelasan
yang lengkap dari semua yang kutemukan. Kau bisa bayangkan, bagaimana kalau
orang lain yang menemukan amelmu ada di sini. Aku yakin, akan sama seperti yang
dialami Paman Suryadana. Untung saja mereka masih memandangku, sehingga tidak
berbuat sesuatu lagi padanya. Meskipun aku tahu, mereka pasti tetap menaruh
kecurigaan pada Paman Suryadana."
"Maaf, Kakang. Aku tadi..."
"Sudahlah. Sekarang sebaiknya kembali saja ke padepokan. Aku tidak ingin Paman
Suryadana berada sendirian di sana," potong Rangga cepat
"Tapi, Kakang..."
"Ada apa lagi?"
"Aku ke sini justru ingin mengatakan kalau Paman Suryadana tidak ada lagi di
padepokan."
"Apa..."!"
*** Rangga yang begitu terkejut mendengar kalau Suryadana sudah meninggalkan
Padepokan Tongkat Putih secara diam-diam, segera kembali ke padepokan itu.
Langsung ditemuinya Eyang Jaraksa yang saat itu tengah berkumpul di ruangan
depan bersama istri dan dua orang anak gadisnya.
Kedatangan Rangga dan Pandan Wangi disambut hangat Eyang Jaraksa.
"Kebetulan kau datang, Rangga. Tadinya, aku ingin menyuruh murid-muridku untuk
mencarimu," kata Eyang Jaraksa.
"Ada sesuatu yang penting?" tanya Rangga.
"Benar. Aku rasa Pandan Wangi telah mengatakannya padamu," sahut Eyang Jaraksa.
Rangga sedikit melirik Pandan Wangi yang berada di sampingnya.
"Belum seluruhnya, Eyang," ujar Pandan Wangi.
"Begini, Rangga. Suryadana meninggalkan kamarnya di saat semua orang tengah
sibuk menguburkan mayat muridku pagi tadi. Tidak ada yang melihat kepergiannya,"
jelas Eyang Jaraksa, singkat
"Sudah dicari?" tanya Rangga.
"Sudah. Bahkan beberapa muridku telah mencari ke bekas tempat tinggalnya, tapi
dia tidak ada di sana," sahut Eyang Jaraksa.
"Kalau begitu, aku akan mencarinya," kata Rangga.
"Aku ikut, Kakang," kata Pandan Wangi. Rangga mengangguk.
"Aku pamit dulu, Eyang," ujar Rangga berpamitan.
"Baik. Kuharap kau bisa menemukannya, Rangga."
Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut bergegas meninggalkan ruangan itu.
Eyang Jaraksa mengantarkan sampai di depan pintu. Dia baru kembali setelah kedua pendekar muda
itu melewati pintu gerbang dengan kudanya. Arini bangkit berdiri, saat melihat
ayahnya kembali ke ruangan ini. Gadis itu bergegas menghampiri.
"Ayah, boleh aku mencari si Penjagal Bukit Tengkorak itu...?" pinta Arini.
"Untuk apa" Aku sudah menyerahkan persoalan ini pada Pendekar Rajawali Sakti.
Aku tidak ingin kau membuat kacau, Arini," dengan halus Eyang Jaraksa menolak
permintaan anak gadisnya ini.


Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak membuat kacau, aku hanya ingin membantu," rungut Arini manja.
"Kau tetap di sini, karena sewaktu-waktu aku membutuhkanmu," tegas Eyang
Jaraksa. Arini ingin memaksa, tapi laki-laki tua itu sudah cepat berlalu meninggalkannya.
Gadis itu memberengut kesal, menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Purmita
bangkit berdiri dan menghampiri adiknya ini. Sedangkan Eyang Jaraksa dan Satira
sudah meninggalkan ruangan depan yang cukup besar ini.
"Aku ingin bicara denganmu, Arini," pinta Purmita.
"Jangan membujukku, Kak. Pokoknya aku harus pergi mencari si Penjagal Bukit
Tengkorak itu!" sentak Arini.
"Dengar dulu, Arini. Ada sesuatu yang penting, dan kau harus mengetahuinya. Aku
tidak bisa mem-percayai orang lain, selain dirimu," nada suara Purmita terdengar
sungguh-sungguh.
"Katakan saja," Arini masih memberengut.
"Aku tahu, di mana si Penjagal Bukit Tengkorak itu berada," kata Purmita
berbisik pelan.
"Apa..."! Kau tahu di...."
"Ssst.., jangan keras-keras," potong Purmfta, langsung membekap mulut adiknya.
"Kau tahu di mana dia...?" kali ini suara Arini jadi berbisik pelan. "Ayo...."
Arini yang masih keheranan, mengikuti saja ketika kakaknya mengajak pergi
meninggalkan ruangan itu.
Mereka keluar melalui pintu depan. Sebenarnya Arini ingin bertanya lebih banyak
lagi, tapi Purmita selalu saja memotong dan mencegahnya. Terpaksa gadis itu diam
dan terus mengikuti langkah kakaknya ini.
*** Arini semakin keheranan ketika Purmita meng-
ajaknya ke jurang yang berada di sebelah Selatan Padepokan Tongkat Putih.
Letaknya cukup jauh, dan harus melewati hutan kecil yang cukup lebat untuk bisa
mencapai ke sana. Belum lagi jalannya yang harus menurun, agak curam dan sedikit
berbatu. Salah melangkah sedikit saja, bisa tergelincir dan masuk jurang yang cukup
dalam. Mereka baru berhenti setelah benar-benar berada di bibir jurang. Arini agak
bergidik juga melihat kedalaman jurang ini. Belum pernah dia ke tempat seperti
ini, karena memang ayahnya tidak pernah mengizinkannya. Selain daerahnya yang
memang sangat berbahaya, juga sukar dilalui jika tidak menguasai ilmu
meringankan tubuh yang cukup tinggi.
"Kau bisa menyeberangi jurang ini, Arini?" tanya Purmita seperti menguji.
"Menyeberang...?" Arini tertegun menatap
kakaknya. "Iya. Si Penjagal Bukit Tengkorak ada di seberang
sana," kata Purmita lagi.
"Tapi...," Arini jadi menelan ludahnya yang mendadak saja terasa begitu pahit.
Dipandanginya jurang di depannya. Cukup lebar.
Dan yang pasti tidak mungkin bisa diseberanginya, walaupun mempergunakan ilmu
meringankan tubuh untuk melompati jurang ini. Dan kalau gagal.... Arini tidak
sanggup membayangkan. Jurang mi sungguh dalam. Sehingga dari tempatnya berdiri,
tidak bisa terlihat dasarnya karena tertutup kabut tebal yang menghitam.
"Kau lihat di sebelah sana, Arini," Purmita menunjuk ke sebelah kiri dari
adiknya. Arini menoleh, menatap arah yang ditunjuk kakaknya. Kembali hatinya tertegun,
karena tidak jauh di sebelah kirinya ada seutas tambang yang merentang di atas
jurang. Tambang itu terikat pada batang pohon di sebelahnya, dan di batang pohon
di seberang sana. Kelihatannya memang cukup kuat.
"Kau lihat ini," kata Purmita. "Hup...!"
Purmita langsung melompat ringan. Dilewatinya kepala Arini, lalu berputaran dua
kali. Dan dengan manis sekali kakinya hinggap di atas tambang itu.
Sedikit pun tambang itu tak bergerak. Purmita berdiri tegak, seperti berada di
atas permukaan tanah saja. Bibirnya tersenyum menatap Arini yang terlongong
bengong. "Tidak terlalu sulit, Arini. Ayo...," ajak Purmita.
Seperti berjalan di tanah saja, Purmita melangkah ringan melintasi rentangan
tambang itu. Gerakannya sangat ringan dan cepat. Dan sebentar saja dia sudah
berada di tengah-tengah tambang itu. Arini masih tetap berdiri memandangi.
"Ayo, Arini...! Kau pasti bisa melakukannya!" teriak
Purmita mengajak.
"Bagaimana kalau jatuh, Kak?" teriak Arini bertanya.
"Aku akan membantumu. Percayalah...! Hanya sedikit saja mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, kau pasti bisa berjalan di atas tambang ini. Ayo, Arini...!"
Arini melangkah juga mendekati tambang itu.
Sedangkan Purmita sudah bergerak lagi. Bahkan tidak berjalan, tapi berlompatan
ringan lincah sekali.
Seakan-akan dia ingin memamerkan kepandaiannya dalam ilmu meringankan tubuh.
"Hup!"
Begitu Purmita sampai di seberang, Arini langsung melompat naik ke atas tambang
itu. Ada sedikit getaran di tambang saat kaki Arini menjejaknya.
Gadis itu menenangkan diri sebentar, lalu mulai melangkah meniti tambang yang
hanya seutas ini.
"Jangan melihat ke bawah. Kau akan pusing nanti...!" teriak Purmita dari
seberang. "Iya...!" sahut Arini.
Arini tenis berjalan hati-hati di atas tambang yang melintang menyeberangi
jurang ini. Seluruh kemam-puan ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Dia tidak
ingin terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam ini. Dan begitu tinggal satu
tombak lagi sampai di seberang, cepat-cepat tubuhnya melenting, melompat dari
tambang itu. Dua kali Arini berputaran di udara, kemudian manis sekali
menjejakkan kakinya di depan Purmita.
"Huh...!" Arini menghembuskan napasnya kuat-kuat
"Aku sudah yakin, kau pasti bisa melakukannya,"
puji Purmita. "Iya, tapi jantungku seperti akan copot," dengus Arini.
"Yuk...?" ajak Purmita.
Sebentar Arini memandang ke seberang,
kemudian bergegas menyusul Purmita yang sudah berjalan lebih dahulu. Langkahnya
disejajarkan di samping kakaknya ini. Kedua gadis itu terus berjalan, dan kini
harus mendaki sambil menerobos lebarnya hutan.
"Masih jauh, Kak?" tanya Arini.
"Tidak. Sebentar lagi juga sampai. Tuh... sudah kelihatan."
Arini menatap ke arah yang ditunjuk kakaknya, tapi tidak melihat sesuatu yang
khusus. Hanya pepohonan dan batu-batuan saja yang ada di depan matanya.
Kakinya terus terayun mengikuti Purmita yang melangkah ringan di sampingnya.
Mereka baru berhenti setelah sampai di depan sebongkah batu yang cukup besar,
bagaikan sebuah tugu peringatan. Batu itu berwarna hitam dan berlumut tebal.
Arini tadi memang melihat batu ini, tapi tidak menyangka kalau ke sini
tujuannya. Purmita mencolek tangan adiknya, dan mengajak kembali melangkah.
Mereka memutari batu itu.
"Ooo..." desah Arini.
Gadis itu tidak menyangka kalau di belakang batu besar ini ada sebuah pondok
kecil dikelilingi taman indah, penuh bunga yang bermekaran. Kedua gadis itu
terus melangkah melintasi jalan berbatu kerikil.
Arini masih terkagum-kagum melihat keindahan di sekitarnya. Ternyata di tengah-
tengah hutan yang lebat dan tampak ganas ini, terdapat sebuah tempat yang begitu
indah, harum oleh semerbaknya bunga-bunga yang bermekaran.
"Punya siapa semua ini...?" tanya Arini ingin tahu.
"Punyaku," sahut Purmita.
"Sungguh...?" Arini seperti tidak percaya.
Purmita hanya tersenyum saja. Mereka kemudian sampai di depan pondok yang
terbuat dari kayu. Arini semakin kagum, karena kayu pondok ini begitu halus
buatannya. Bentuknya juga sangat manis, bagaikan tempat peristirahatan putri-
putri bangsawan.
"Mereka ada di dalam," kata Purmita.
"Mereka, si...?"
Diegkh! "Hegkh...!"
Belum juga Arini sempat meneruskan ucapannya, mendadak saja Purmita melayangkan
tangannya ke tengkuk gadis itu. Seketika Arini ambruk ke lantai beranda yang
terbuat dari kayu halus berwarna kecoklatan. Gadis itu langsung tidak sadarkan
diri, begitu tubuhnya menyentuh lantai kayu.
"Kau cukup bandel dan liar. Tapi bodoh...!" dengus Purmita mendesis dingin.
Purmita menyeret tubuh Arini masuk ke dalam pondok kecil itu. Sedangkan Arini
benar-benar tidak sadarkan diri, tak tahu lagi apa yang terjadi. Pukulan Purmita
pada tengkuknya demikian keras, karena langsung menghantam urat syaraf. Tak
heran kalau dia jatuh pingsan seketika.
*** 8 "Ohhh...," Arini merintih lirih. Gadis itu menggerak-gerakkan kepalanya
perlahan, lalu kelopak matanya mulai bergerak terbuka. Dia hendak bangkit, tapi
langsung terkejut. Ternyata dia mendapati seluruh tubuhnya dalam keadaan
terikat. Arini terbeliak begitu mengetahui dirinya terikat di lantai kayu.
"Arini.... Kau sudah sadar...?"
"Oh...!" Arini terkejut ketika mendengar suara tidak jauh dari sampingnya.
Gadis itu semakin terkejut, karena di sampingnya ada orang lain yang seluruh
tubuhnya juga terikat tambang. Bahkan sampai ke kaki. Dan orang itu adalah si
Penjagal Bukit Tengkorak. Di samping laki-laki itu, tampak tergolek seorang
gadis lain. Juga dengan seluruh tubuh terikat tambang.
"Kau...?" Arini tidak dapat meneruskan kata-katanya.
"Rupanya nasib kita sama, Arini. Dia begitu manis dan pandai bermain kata-kata.
Dia menyuguhkan secangkir teh padaku. Setelah kuminum..., entah apa yang
terjadi. Aku tidak sadarkan diri, dan tahu-tahu sudah berada di sini," Suryadana
yang juga dikenal sebagai Penjagal Bukit Tengkorak mengisahkan kejadiannya,
sampai berada di tempat ini.
"Bagaimana denganmu, Arini?"
"Aku...," Arini tidak bisa menjawab. Masih sulit baginya untuk bisa mengerti.
Arini menatap wanita yang tergolek di samping
tubuh Suryadana. Seluruh tubuh wanita itu juga terikat, seperti dirinya dan juga
Suryadana. Sulit dikenali, karena wajahnya tertutup tubuh laki-laki kekar ini.
"Siapa dia?" tanya Arini.
"Kakakmu," sahut Suryadana.
"Purmita..." Dia juga...," lagi-lagi Arini tidak melanjutkan.
"Dia kakakmu yang asli," jelas Suryadana.
"Maksudmu?" Arini tidak mengerti.
"Dia kakakmu yang asli, Arini. Sedangkan yang selama ini ada di padepokan adalah
Purmita palsu,"
Suryadana mencoba menjelaskan lebih lanjut
"Aku..., aku tidak mengerti maksudmu," Arini meminta penjelasan lagi.
"Cukup sulit menjelaskannya, Arini. Sayang, Purmita tidak sadarkan diri lagi.
Kesehatan tubuhnya sangat lemah. Entah sudah berapa hari dia berada di sini.
Yang jelas, sewaktu terjadi pembunuhan-pembunuhan di padepokan ayahmu. Orang
yang melakukan pembunuhan itu adalah si Purmita palsu.
Dia sebenarnya bernama Wiranti, putri tunggal Nyai Kalamurti," Suryadana
menghentikan ceritanya.
"Teruskan. Aku ingin tahu seluruhnya," pinta Arini yang mulai bisa memahami
sedikit demi sedikit
"Nyai Kalamurti dulu adalah istri pertama ayahmu.
Sebelum mendiang ibumu, Arini. Dia telah kepergok melakukan hubungan gelap
dengan sahabat ayahmu sendiri. Akibat perbuatannya, ayahmu mengusir dan membuat
cacat wajahnya. Sedangkan laki-laki itu tewas di tangan ayahmu. Sejak saat itu
Nyai Kalamurti tidak terdengar lagi kabarnya. Tapi ternyata dia menyepi di
tempat ini hingga melahirkan seorang putri hasil hubungan gelapnya. Anaknya itu
dinama- kan Wiranti. Kemudian Nyai Kalamurti mengajarkan segala cara pada anaknya. Dan
Wiranti diminta agar membalaskan dendam dan sakit hatinya setelah dia
meninggal...," sampai di situ Suryadana berhenti lagi.
"Aku mengerti sekarang," ujar Arini yang memang pernah mendengar sedikit tentang
istri pertama ayahnya itu. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Arini?"
"Wajahnya.... Kenapa begitu mirip kakakku?"
"Sebelum meninggalkan Padepokan Tongkat Putih, Nyai Kalamurti sempat mencuri
beberapa kitab dari sana. Dan salah satunya adalah kitab yang berisi ilmu-ilmu
pengobatan dan ramuan yang langka, selain kitab-kitab berisi ilmu-ilmu olah
kanuragan dan kedigdayaan. Dari kitab-kitab itu, Wiranti berhasil menemukan satu
ramuan untuk membuat topeng yang sangat halus dan tipis dari campuran kulit
binatang. Topeng itu bisa membentuk wajah siapa saja. Begitu halusnya, sehingga
tidak bisa mem-bedakan antara yang asli dan yang palsu," jelas Suryadana
kembali. "Bagaimana kau bisa tahu tentang itu semua?"
tanya Arini. "Bukan hanya aku, tapi ayahmu juga tahu."
"Ayahku...?"
"Ya, hanya saja dia tidak berpikir sejauh itu.
Bahkan tidak menyadari kalau di dekatnya ada seseorang yang siap menikam dari
belakang. Mungkin dia sudah melupakan kitab-kitab yang hilang itu. Dan
menganggap persoalannya dengan Nyai Kalamurti sudah berakhir. Sedangkan aku tahu
betul sejarah ayahmu, dan istri pertama ayahmu itu."
"Boleh aku bertanya lagi...?" pinta Arini.
"Silakan."
"Kenapa dia melibatkanmu, Paman?" tanya Arini yang kini memanggil si Penjagal
Bukit Tengkorak itu dengan sebutan paman.
"Dia tahu dari ibunya, kalau antara aku dan ayahmu tidak pernah cocok, sehingga
selalu saja terjadi perselisihan paham. Padahal, antara aku dan ayahmu masih
terikat tali persaudaraan. Aku adalah adik sepupunya. Dan memang sudah
sepantasnya kau memanggilku paman."
"Oh...," desah Arini.
Sungguh tidak disangka kalau si Penjagal Bukit Tengkorak ini adalah pamannya.
Sama sekali dia tidak tahu. Dan lagi, ayahnya memang tidak pernah menceritakan
tentang si Penjagal Bukit Tengkorak ini.
Tapi, kenapa di antara mereka terjadi permusuhan, sampai-sampai bisa tega untuk
membunuh. Dan itu langsung ditanyakan Arini.
"Ayahmu memang ingin sekali membunuhku,
Arini," kata Suryadana seraya tersenyum pahit.
"Kenapa...?" tanya Arini ingin tahu.
"Dia pernah meminta agar tidak menghukum mati adik iparnya. Tapi, tidak
kupedulikan. Perbuatan yang dilakukan adik iparnya sudah terlalu berat.
Membunuh, merampok, dan memperkosa wanita-wanita. Bahkan berani memperkosa dan
membunuh putri seorang bangsawan. Ayahmu meminta agar aku melepaskan adik
iparnya itu, yang juga adik kandung ibumu. Tapi, aku tidak pernah menuruti dan
tetap menjalankan tugasku. Sejak saat itu, kebencian semakin berkobar di dada
ayahmu. Kami seperti dua orang musuh, dan bukannya dua orang saudara yang
seharusnya saling melindungi."
"Oh...," Arini mendesah periahan. Kini segalanya bani jelas bagi gadis itu.
Bukan hanya persoalan
pembunuh gelap itu yang terungkap. Bahkan persoalan keluarganya yang tersimpan
puluhan tahun pun jadi terungkap ke permukaan. Gadis itu jadi senang dan tidak
menduga kalau masih mempunyai paman, yang sebenarnya begitu dekat dan sudah
dikenalnya. Tapi dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin seluruh perasaannya
ditumpahkan. "Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Arini. "Berdoa," sahut Suryadana.
"Berdoa...?"
"Benar. Berdoa agar penolong yang membebaskan kita dari sini segera datang."
"Huuuh...! Kita harus melakukan sesuatu, Paman!"
rungut Arini. "Apa yang bisa kita lakukan?"
"Putuskan tambang ini!" sahut Arini.
"Tambang ini terbuat dari campuran otot binatang dan urat-urat kayu yang sangat
kuat. Meskipun kau mengerahkan seluruh tenaga dalam, tidak akan mampu
memutuskannya. Coba saja kalau tidak percaya," jelas Suryadana.
"Huuuh...!" Arini jadi kesal.
"Tenang saja, Arini. Pendekar Rajawali Sakti pasti bisa menemukan kita di sini,"


Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujar Suryadana menenangkan gadis itu.
"Jangan terlalu berharap, Paman. Siap tahu dia sudah jauh meninggalkan Bukit
Tengkorak ini."
"Arini! Bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Suryadana.
"Aku diajak Purmita..., eh! Siapa tadi namanya?"
"Wiranti."
"Iya! Aku diajak Wiranti ke sini. Tiba-tiba saja dia memukul tengkukku hingga
pingsan," singkat saja
Arini menceritakan tentang dirinya.
"Kau datang dalam keadaan sadar?"
"Tentu saja."
Suryadana tersenyum-senyum.
"Kenapa tersenyum, Paman?"
"Aku yakin, sebentar lagi Pendekar Rajawali Sakti pasti datang membebaskan
kita," ujar Suryadana.
"Harapan kosong!" dengus Arini.
"Mau taruhan...?"
"Tidak! Aku tidak pernah menang taruhan!" sentak Arini.
"Itu berarti kau juga berharap Pendekar Rajawali Sakti datang ke sini."
"Huuuh...!" Arini mencibir.
*** Brak! Suryadana dan Arini terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja pintu kamar
tempat mereka disekap, hancur berkeping-keping. Tiba-tiba saja muncul seorang
pemuda berbaju rompi putih ke dalam kamar itu.
"Rangga...," desis Suryadana gembira melihat kedatangan pemuda berbaju rompi
putih yang ternyata memang Rangga si Pendekar Rajawali Sakti.
Tanpa berkata apa-apa, Rangga bergegas
melepaskan ikatan tambang di tubuh Suryadana dan Arini. Dan begitu terbebas,
Suryadana segera melepaskan ikatan pada Purmita yang masih juga belum sadarkan
diri. "Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini
Rangga?" tanya Suryadana.
"Sejak semula, aku sudah curiga pada Purmita.
Aku mengikuti dia dan Arini sampai ke sini," sahut Rangga.
"Tapi.... Bukankah kau tadi sudah pamitan hendak pergi?" selak Arini.
"Itu hanya siasatku saja untuk memberi
kesempatan padanya membawamu."
"Tuh.... Percaya, tidak" Sudah kukatakan kalau Rangga pasti datang," kata
Suryadana seraya memencet hidung Arini.
"Huuu...," Arini hanya mencibirkan bibirnya saja.
"Ayo! Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, selagi Purmita pergi," kata Rangga
menengahi gurauan itu.
"Ah! Masa' kau lupa! Dia bukan Purmita, tapi Wiranti," Suryadana membetulkan
ucapan Rangga. Suryadana memang telah menceritakan segalanya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Termasuk, latar belakang Eyang Jaraksa yang masih ada hubungan saudara dengan
dirinya. Juga tentang perkawinan Eyang Jaraksa terdahulu, di mana istri
pertamanya telah berbuat serong sehingga menghasilkan seorang anak perempuan.
Siapa lagi kalau bukan Wiranti, si Purmita palsu.
"Siapa pun dia, yang penting kalian harus secepatnya meninggalkan tempat ini,"
tegas Rangga. Suryadana memondong tubuh Purmita asli.
Mereka bergegas keluar dari kamar berdinding papan halus yang tidak begitu besar
ukurannya ini. Di luar pondok. Pandan Wangi sudah menunggu. Gadis itu bergegas
menghampiri Rangga yang melangkah paling depan.
"Dia sudah kembali?" tanya Rangga.
"Kulihat dia menyeberang jurang tadi," Pandan Wangi memberi tahu.
"Hm.... Dia pasti ke padepokan," gumam Rangga.
"Aku pergi duluan. Kalian langsung saja ke padepokan."
Setelah berkata demikian, Rangga cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga
dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Ayo, Paman, Arini. Aku sudah buat jembatan bambu di sebelah sana. Biar lebih
mudah melewatinya," ajak Pandan Wangi seraya memberi tahu.
"Ayolah.... Lebih cepat sampai, lebih baik," sahut Suryadana, tetap memondong
Purmita asli. Tanpa bicara lagi, mereka bergegas meninggalkan tempat itu. Pandan Wangi berada
di depan, menunjukkan jalan tempat jembatan bambu yang telah dibuatnya untuk
menyeberangi jurang.
Sementara itu di Padepokan Tongkat Putih, kekacauan sedang terjadi. Eyang
Jaraksa mendapati mayat-mayat muridnya bergelimpangan di mana-mana. Dan begitu
keluar, tampak lima orang muridnya tengah bertarung sengit melawan
seseorang yang berkelebatan cepat menghajar mereka. Jeritan-jeritan panjang
terdengar melengking saling susul.
Dan begitu kaki Eyang Jaraksa menjejak halaman, kelima muridnya sudah
bergelimpangan dengan tubuh bersimbah darah. Kedua bola mata laki-laki tua itu
jadi terbeliak, begitu mengenali orang yang telah membantai habis murid-
muridnya. Eyang Jaraksa hampir tidak percaya dengan penglihatannya sendiri!
"Purmita..., apa yang kau lakukan ini...?" agak bergetar suara Eyang Jaraksa.
"Membalas perlakuanmu terhadap ibuku!" desis Purmita dingin
"Purmita..., kau sadar apa yang kau ucapkan?"
"Kau pikir aku sudah gila, Tua Bangka! Kau rusak wajah ibuku, lalu kau campakkan
seperti sampah busuk tak berguna!"
"Heh..."! Siapa kau sebenarnya...?" Eyang Jaraksa tersentak kaget
Laki-laki tua itu langsung teringat istri pertamanya.
Seketika dipandanginya gadis yang berdiri di depannya dengan pedang tergenggam
berlumuran darah. Sedangkan perlahan-lahan gadis itu mengangkat tangan kirinya
ke muka, lalu....
Rrrt..! Bola mata Eyang Jaraksa semakin terbeliak, begitu menyaksikan Purmita merobek
kulit wajahnya sendiri.
Dan kini, timbul wajah lain yang sama sekali beda dengan wajah Purmita. Wajah
seorang gadis yang mengingatkan Eyang Jaraksa pada istrinya dulu.
Wajah Nyai Kalamurti.
"Kau...?" suara Eyang Jaraksa terputus.
"Aku Wiranti, putri tunggal Nyai Kalamurti. Sudah saatnya kau harus membayar
hutang-hutangmu pada ibuku, Eyang Jaraksa," ujar Wiranti yang kini sudah berubah
pada wajah aslinya.
Eyang Jaraksa tidak sempat lagi mengucapkan sesuatu, karena Wiranti sudah
melompat cepat menerjangnya sambil mengebutkan pedang.
"Hiyaaat..!"
Bet! Bet! "Hait..!"
Eyang Jaraksa cepat melentingkan tubuhnya ke belakang, lalu berputaran beberapa
kali. Manis sekali kakinya kembali mendarat begitu berhasil mengelakkan serangan
gadis itu. Namun Wiranti rupanya
tidak akan memberi kesempatan pada laki-laki tua berjubah putih ini untuk
mengatur serangan. Dengan cepat kembali diberikannya serangan dahsyat dan
berbahaya sekali.
Terpaksa Eyang Jaraksa bertimpangan meng-
hindari serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu.
Pedang yang berlumuran darah itu berkelebatan di sekitar tubuhnya. Akibatnya,
Eyang Jaraksa jadi kelabakan menghindarinya. Dan begitu memiliki kesempatan, dia
cepat melompat mundur untuk keluar dari lingkaran serangan Wiranti.
"Gila...! Jurus-jurus dari kitabku yang hilang telah dikuasainya dengan
sempurna," dengus Eyang Jaraksa dalam hati, langsung mengenali jurus-jurus yang
digunakan Wiranti. "Betapa bodohnya aku, karena telah menyepelekan kitab-kitab
yang hilang itu!"
"Kau tidak akan lolos dari tanganku, Eyang Jaraksa! Semua anakmu sudah ada di
tanganku!"
dengus Wiranti.
"Keparat..! Apa yang kau lakukan pada anakku?"
geram Eyang Jaraksa jadi memuncak amarahnya.
"Membantu mereka ke neraka."
"Setan...! Kubunuh kau, hiyaaat..!"
Eyang Jaraksa tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya mendengar kata-kata
Wiranti barusan.
Bagaikan kilat tubuhnya melesat cepat dan melontarkan dua pukulan keras
bertenaga dalam tinggi secara beruntun. Namun manis sekali Wiranti meliukkan
tubuhnya, menghindari serangan laki-laki tua berjubah putih ini. Bahkan tanpa
diduga sama sekali, mampu membalas dengan mengebutkan pedangnya.
Wuk! "Hih!"
Tongkat putih Eyang Jaraksa cepat menangkis tebasan pedang itu.
Trang! "Heh..."! "
Wiranti terkejut, karena tangannya terasa bergetar saat pedangnya beradu dengan
tongkat kakek itu.
Dan belum lagi lenyap keterkejutannya, mendadak saja Eyang Jaraksa sudah kembali
menebaskan tongkatnya ke arah dada gadis itu.
Bet! "Uts!"
Wiranti sudah berusaha cepat menghindar, namun sama sekali tidak menduga kalau
Eyang Jaraksa dapat menghentikan arus tebasan tongkatnya.
Bahkan cepat sekali berputar menusuk ke arah dadanya. Wiranti tersentak kaget,
lalu buru-buru menarik tubuhnya ke samping.
Wus! Tongkat Eyang Jaraksa lewat di depan dadanya.
Dan sebelum Wiranti bisa menegakkan tubuhnya kembali, mendadak saja tongkat
putih di tangan kiri laki-laki tua itu sudah dikebutkan dengan cepat Tak!
"Hih...!" Wiranti tersentak kaget
Pedang gadis itu terpental ke udara, namun cepat dikejarnya. Dan pada saat
Wiranti berhasil meraih gagang pedangnya di udara, Eyang Jaraksa sudah melompat
cepat sambil melepaskan satu pukulan keras ke dada gadis itu.
Begkh! "Akh...!" Wiranti terpekik keras.
Gadis itu terpental deras ke belakang, namun berhasil menguasai diri sebelum
mendarat di tanah.
Bersamaan dengan itu, di depannya juga mendarat Eyang Jaraksa.
"Setan...," desis Wiranti.
"Semuanya sudah berakhir, Wiranti. Semua jurus-jurus yang kau miliki sudah
kuketahui," tegas Eyang Jaraksa, agak dalam nada suaranya.
"Phuih!" dengus Wiranti sambil menyemburkan ludahnya.
Belum sempat Wiranti melakukan sesuatu, Eyang Jaraksa sudah kembali menyerang.
Tongkat putihnya berkelebatan cepat mengurung tubuh gadis itu.
Membuat Wiranti harus jumpalitan menghindar.
"Hiyaaa...!"
Satu sabetan tongkat yang cepat membuat Wiranti jadi terperangah. Cepat
pedangnya dikebutkan, menangkis tongkat Eyang Jaraksa. Tapi pada saat yang
hampir bersamaan, satu tendangan meng-geledek dilepaskan laki-laki tua itu.
Des! "Akh...!" Wiranti terpekik keras.
Di saat gadis itu terpental ke belakang, Eyang Jaraksa sudah menusukkan ujung
tongkatnya yang runcing. Begitu cepatnya tusukan itu, sehingga Wiranti tidak
dapat lagi menghindar. Dan....
Crab! "Aaa ...!"
Wiranti langsung ambruk menggelepar. Darah mengalir keluar dari dada yang
tertembus ujung tongkat yang runcing hingga ke punggung. Sebentar gadis itu
mengerang. Kemudian mengejang kaku tak bergerak-gerak lagi. Eyang Jaraksa
menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pada saat itu Rangga tiba di tempat halaman padepokan. Dan tak lama kemudian,
Suryadana, Pandan Wangi, Arini, dan Purmita yang sudah sadar dari pingsannya tiba pula di
tempat itu. "Ayah...!" teriak Arini dan Purmita bersamaan.
"Oh, Anakku...," desah Eyang Jaraksa seraya memeluk hangat kedua putrinya.
"Oh, semua murid-muridmu telah tewas, Ayah!"
teriak Arini kaget, ketika melihat banyak mayat-mayat bergelimpangan di sekitar
halaman padepokan.
"Mereka telah menunjukkan pengabdian yang tulus. Aku benar-benar bahagia.
Terlebih lagi, melihat kalian selamat, tak kurang satu apa pun juga," ujar Eyang
Jaraksa. "Tapi aku lapar, Ayah...," rengek Purmita manja.
"Eh..."!" Eyang Jaraksa memandangi putri sulungnya ini.
Sebentar kemudian, laki-laki tua itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sungguh anak
sulungnya ini hampir terlupakan. Memang, Purmita kelihatan pucat dan kurus.
Mungkin selama menjadi tawanan Wiranti tidak pernah mendapat makan. Atau
barangkali makanan yang disediakan tidak enak dan tidak mengundang selera.
Sedangkan Rangga, Pandan Wangi, Arini, dan Suryadana hanya tersenyum saja.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks ( fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Pengejar Nyawa 10 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan 2
^