Pencarian

Penjagal Bukit Tengkorak 1

Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak Bagian 1


PENJAGAL BUKIT TENGKORAK
oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Penjagal Bukit Tengkorak
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Sekitar tiga puluh orang yang memadati sebuah ruangan cukup besar, bergerak
berlutut ketika seorang laki-laki tua berjubah putih memasuki ruangan itu. Dua
orang wanita tampak mengiringi dari belakang. Yang mengenakan baju kuning
memegang sebatang tombak pendek berwarna kuning keemasan. Dan yang mengenakan
baju merah muda membawa pedang yang tersampir di pinggang.
Sedangkan laki-laki tua berjubah putih itu berjalan tegap. Tongkat putihnya
nampak lurus terayun mantap, mengikuti irama langkah kakinya.
Dia langsung menuju ke tengah-tengah ruangan yang telah dikosongkan. Tampak di
sana sesosok tubuh tengah terbaring tertutup sehelai tikar pandan yang sudah
lusuh dan ternoda darah. Laki-laki tua itu berhenti melangkah di dekat sosok
tubuh yang terbaring. Dengan ujung tongkatnya, dibukanya tikar yang menutupi
tubuh itu. Sebentar dirayapi wajah yang sudah membiru.
Darah menggumpal kental di leher yang koyak hampir buntung. Kemudian ditutupnya
kembali tubuh tak bernyawa itu. Sekarang pandangannya beredar berkeliling.
Sekitar tiga puluh orang laki-laki yang berada di ruangan itu tak ada yang
berani mengangkat kepalanya. Mereka berlutut dengan kepala tertunduk menekuri
lantai. "Jarwa...!" panggil laki-laki tua itu.
Suaranya terdengar besar dan berat sekali.
Seorang pemuda berwajah cukup tampan dan ber-
baju warna biru gelap, bergegas bangkit dan menghampiri laki-laki tua itu.
Tubuhnya membungkuk setelah berada di depannya. Sebatang pedang tampak
tergantung di pinggangnya.
"Ceritakan, bagaimana hal ini bisa terjadi?" pinta laki-laki tua itu, masih
tetap dengan suara berat dan agak tertahan.
"Tidak tahu, Eyang. Dua orang murid menemukannya sudah tergeletak di depan pintu
pagar," sahut pemuda yang dipanggil Jarwa.
"Siapa yang menemukannya?" tanya laki-laki tua itu.
"Jalil dan Mudor, Eyang," sahut Jarwa.
Laki-laki tua yang sebenarnya bernama Eyang Jaraksa itu mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Dia juga dikenal dengan julukan Dewa Tongkat Putih.
Tatapan matanya langsung tertuju pada dua orang pemuda yang duduk agak
menyendiri berdampingan.
Mereka berlutut dengan kepala tertunduk dalam.
"Benar kalian yang pertama kali melihatnya...?"
tanya Eyang Jaraksa tajam. Tatapan matanya tetap tertuju pada dua orang pemuda
itu. "Benar, Eyang. Kami berdua yang pertama kali menemukannya," sahut pemuda berbaju
putih yang bernama Jalil.
"Kalian tahu, kenapa Santika sampai tewas...?"
kali ini pandangan Eyang Jaraksa beredar berkeliling.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua tetap berlutut sambil
menundukkan kepala, menekuri lantai. Jarwa yang berada dekat di depan laki-laki
tua itu juga tidak bisa menjawab pertanyaan tadi.
Memang tak ada seorang pun murid Padepokan Tongkat Putih itu yang mengetahui
peristiwanya. Mereka hanya tahu setelah pagi hari tadi, Jalil dan Mudor menemukan Santika
sudah tergeletak tak bernyawa di depan pintu pagar padepokan ini. Dari lehernya
yang terkoyak hampir buntung, sudah dapat dipastikan kalau Santika terbunuh.
Tapi siapa yang membunuhnya..." Pertanyaan ini tidak mungkin bisa cepat
terjawab. Karena, tak seorang pun yang tahu peristiwanya.
"Jarwa, urus mayat Santika. Lalu, secepatnya temui aku di kamar semadi,"
parintah Eyang Jaraksa.
"Segera, Eyang," sahut Jarwa cepat
Setelah memberi perintah, laki-laki tua berjubah putih itu bergegas melangkah
meninggalkan ruangan yang cukup besar ini. Dua orang wanita betubuh sintal yang
mendampinginya, ikut melangkah meninggalkan ruangan itu. Salah seorang yang
mengenakan baju merah muda sempat melirik dan mengerling pada Jarwa. Sedangkan
pemuda itu hanya membalas dengan senyum kecil di bibir.
*** "Masuk...!"
Jarwa tertegun sesaat begitu terdengar suara berat dari balik pintu. Balum juga
pintu diketuk, sudah terdengar suara yang menyuruhnya masuk. Perlahan pemuda itu
mendorong daun pintu di depannya, lalu melangkah masuk. Di dalam ruangan yang
tidak begitu besar ini sudah menunggu Eyang Jaraksa. Laki-laki tua itu duduk
bersila di atas sebuah batu putih berbentuk bulat ceper.
"Tutup pintunya, Jarwa," perintah Eyang Jaraksa.
Jarwa bergegas menutup pintu ruangan semadi itu. Pemuda itu kemudian mendekati
Eyang Jaraksa, dan duduk bersila di depannya. Selembar tikar pandan menjadi alas duduk pemuda
itu. Gagang pedangnya digeser sedikit, agar tidak mengganggu kenyamanan
duduknya. "Aku menghadap, Eyang. Siap menerima perintah,"
ucap Jarwa dengan sikap hormat
"Jarwa, kau tahu mengapa aku memintamu datang ke sini?" tanya Eyang Jaraksa
tanpa menghiraukan sikap hormat muridnya.
Jarwa hanya menggelengkan kepala saja. Sama sekali tidak diketahuinya, apa
maksud gurunya ini meminta untuk menemui di ruang semadi. Jarwa hanya bisa
menduga-duga dalam hati. Tapi, pemuda itu sudah yakin kalau panggilan ini ada
kaitan dengan tewasnya Santika. Hanya saja sulit diduga, perintah apa yang akan
diberikan gurunya nanti.
"Sudah berapa orang murid Padepokan Tongkat Putih yang tewas dengan cara seperti
ini...?" "Lima," sahut Jarwa perlahan.
"Dalam berapa hari?" tanya Eyang Jaraksa lagi.
"Lima hari."
"Berarti dalam satu hari, ada yang tewas satu orang. Dan semuanya tewas dengan
leher tergorok hampir putus. Kau tahu, siapa orang gila yang berani main-main
dengan Padepokan Tongkat Putih, Jarwa...?" berat sekali nada suara Eyang
Jaraksa. Jarwa hanya diam saja. Perlahan-lahan kepalanya bergerak menggeleng. Memang
dalam lima hari ini, sudah ada lima orang murid Padepokan Tongkat Putih yang
tewas tanpa diketahui sebab musababnya.
Dan mereka semua tewas dengan leher terkoyak hampir buntung. Keadaan seperti ini
memang tidak menguntungkan. Semua murid Padepokan Tongkat Putih kini diliputi
kegelisahan. Selama lima hari ini, tak seorang pun yang berani keluar rumah sendirian,
meskipun di siang hari.
Terlebih lagi sekarang ini, setelah Santika ditemukan tewas dengan cara yang
sama. Santika adalah murid kesayangan Eyang Jaraksa, selain Jarwa. Malah,
tingkat kepandaiannya tidak bisa dibilang enteng, meskipun masih satu tingkat di
bawah Jarwa. Tapi tewasnya Santika membuat semua murid padepokan ini jadi gentar
dan cemas. "Kejadian ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.
Jadi, kita tidak bisa tinggal diam begitu saja.
Secepatnya orang gila itu harus ditemukan," tegas Eyang Jaraksa, agak ditekan
nada suaranya. Jarwa tetap diam. Dia tahu, gurunya ini tengah memendam kemarahan. Lima orang
muridnya tewas secara gelap. Dan itu menyakitkan sekali. Hal ini merupakan
sebuah tamparan keras bagi laki-laki tua ini Jarwa bisa merasakan, bagaimana
marahnya laki-laki tua ini.
"Tinggal kau satu-satunya murid utama di
padepokan ini. Maka aku hanya bisa menaruh harapan padamu untuk menyelesaikan
persoalan ini, Jarwa," sambung Eyang Jaraksa.
Jarwa tersentak kaget, sampai-sampai mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki
tua itu. Pemuda itu seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Sungguh
tidak disangka kalau Eyang Jaraksa menaruh harapan yang begitu besar padanya
untuk menyelesaikan kemelut ini.
"Kau bisa mengerti maksudku, Jarwa?" tanya Eyang Jaraksa seraya menatap tajam
muridnya ini "Mengerti, Eyang," sahut Jarwa seraya menundukkan kepala.
"Aku memberikan kebebasan kepadamu. Hanya
satu yang kuinginkan. Secepatnya, bekuk manusia gila itu sebelum jatuh korban
lebih banyak lagi," tegas Eyang Jaraksa lagi.
Jarwa hanya menganggukkan kepala saja, dan tidak tahu lagi harus berkata apa.
Perintah sudah dijatuhkan, dan tidak mungkin bisa ditolak. Apa pun yang terjadi,
perintah itu harus dijalankan. Meskipun, hatinya menjerit ingin menolak.
"Pergilah sebelum gelap, dan bawa ini untuk peganganmu."
Eyang Jaraksa menyodorkan sebatang tongkat putih yang lurus sepanjang lengan.
Dengan sikap ragu-ragu, Jarwa menerima benda itu, kemudian bangkit berdiri.
Tubuhnya dibungkukkan sedikit, memberi hormat pada laki-laki tua itu.
"Tinggalkan pedang itu, Jarwa. Kau tidak memerlu-kannya lagi," kata Eyang
Jaraksa. Tanpa membantah sedikit pun, Jarwa melepaskan pedangnya. Kemudian diserahkan
pada gurunya. Eyang Jaraksa menerima pedang itu. Setelah memberi hormat sekali lagi, Jarwa
bergegas keluar dari ruangan semadi ini. Tongkat putih yang menjadi lambang dari
padepokan ini kini berada di tangannya.
*** Jarwa menghentikan lari kudanya setelah cukup jauh meninggalkan Padepokan
Tongkat Putih. Kudanya diputar, lalu matanya memandang ke arah bangunan yang
dikelilingi pagar kayu cukup tinggi itu.
Mendadak saja keningnya berkerut ketika melihat seekor kuda yang dipacu cepat
keluar dari Padepokan Tongkat Putih. Hampir saja dia tidak percaya begitu
mengenali penunggang kuda itu.
"Arini...," desis Jarwa.
Penunggang kuda itu seorang gadis berwajah cantik. Bajunya cukup ketat berwarna
merah muda, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Pedang
yang tergantung di pinggangnya terombang-ambing mengikuti irama lari kuda. Gadis
itu baru menghentikan lari kudanya setelah berada di depan Jarwa.
"Kenapa kau keluar dari padepokan, Arini...?"
tegur Jarwa langsung.
"Aku ingin ikut denganmu, Kakang," sahut Arini, masih dengan napas agak
tersengal. "Heh..."!" Jarwa terperanjat mendengar jawaban gadis itu.
"Aku tidak ingin tinggal diam, sementara kau harus menghadapi bahaya di luar,"
lanjut Arini. "Ayahmu tahu kau ke sini?" tanya Jarwa.
"Tidak. Kalau aku minta izin, tidak mungkin diper-bolehkan," sahut Arini agak
memberengut "Sebaiknya kau kembali saja, Arini. Tugas ini sangat berat dan berbahaya. Dan
lagi, apa kata ayahmu kalau sampai tahu kau ikut bersamaku..."
Kumohon, kembali saja ke padepokan, Arini," bujuk Jarwa.
Tidak mungkin bagi Jarwa membawa putri gurunya ini dalam mengemban tugas yang
begitu berat dan berbahaya. Pemuda itu harus mencari pembunuh gelap yang telah
meminta korban lima orang.
Sedangkan sampai saat ini sama sekali tidak diketahuinya, siapa orang yang telah
membuat resah seluruh penghuni Padepokan Tongkat Putih. Jarwa sendiri masih
belum tahu, ke mana harus mencari pembunuh gelap itu.
"Aku ingin ikut..!" sentak Arini, agak keras suara-
nya. "Aku mohon, Arini. Kembalilah ke padepokan,"
bujuk Jarwa lagi.
"Tidak!" sentak Arini tegas.
Jarwa menghembuskan napasnya kuat-kuat. Dia kenal betul watak gadis ini yang
begitu keras. Kalau sudah keinginannya begitu, sulit dicegah lagi. Meskipun
ayahnya sendiri yang melarang, tidak bakalan dia mau mundur setapak pun. Jarwa
jadi kebingungan sendiri. Dia tidak tahu lagi, dengan cara apa mencegah Arini
ikut dengannya.
"Baik.... Kalau Kakang tidak mau mengajak, aku akan pergi sendiri. Kita
bertaruh, siapa yang lebih dulu menemukan pembunuh gila itu!" tegas Arini, agak
ketus suaranya.
"Jangan nekat, Arini...!" desis Jarwa jadi kesal juga atas kenekatan gadis ini.
Arini mendengus sinis, kemudian menggebah cepat kudanya melewati pemuda itu.
"Arini, kembali...!" teriak Jarwa terkejut melihat kenekatan gadis itu.
Tapi, Arini malah semakin cepat menggebah kudanya. Jarwa bergegas menghentakkan
tali kekang kuda untuk mengejar gadis itu. Tidak mungkin Arini dilepaskan
sendirian saja di alam bebas yang terkenal ganas ini. Kudanya terus digebah agar
berlari lebih kencang lagi.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Tangkas sekali pemuda itu mengendalikan kudanya, sehingga dapat menyusul Arini.
Kudanya disejajarkan di samping kuda gadis itu. Dengan cepat diraihnya tali
kekang kuda itu dan ditariknya agar berhenti. Bersamaan dengan berhentinya kuda
Jarwa, kuda Arini juga berhenti berlari. Gadis itu mem-
berengut, sambil menggerutu kesal.
*** Jarwa melompat turun dari punggung kudanya, diikuti Arini. Mereka berjalan kaki
sambil menuntun kuda masing-masing, tanpa tujuan pasti. Mereka terus berjalan
menyusuri jalan tanah berdebu dan agak berbatu. Jalan ini menuju desa terdekat
dari kaki Bukit Tengkorak. Sementara lembah tempat Padepokan Tongkat Putih
berdiri sudah tidak terlihat lagi.
"Kita bermalam di Desa Jati," usul Jarwa.
"Berapa hari kita di sana?" tanya Arini.
"Sampai ada yang datang menjemputmu kembali ke padepokan," sahut Jarwa
seenaknya. "Aku tidak sudi kembali...!" sentak Arini langsung menghentikan langkahnya.
Jarwa ikut berhenti. Dipandanginya gadis itu dalam-dalam. Semula Arini sudah
senang, karena mengira Jarwa akan membawanya pergi mencari pembunuh gelap itu.
Tapi begitu mendengar kata-kata pemuda itu tadi, dia jadi kembali memberengut
kesal. "Dengar, Arini...."
"Tidak!" sentak Arini cepat memutuskan ucapan pemuda itu. "Pokoknya aku tidak
akan pulang!"
Arini kembali melangkah sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Sebentar
Jarwa memperhatikan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Di-hembuskannya napas
panjang, kemudian bergegas melangkah menyusul gadis itu.
"Arini! Dengar dulu kata-kataku...," desah Jarwa setelah bisa mensejajarkan
langkahnya di samping
gadis itu. "Sekali kukatakan tidak, tetap tidak...!" sentak Arini tegas.
"Kau akan menghadapi banyak bahaya, Arini,"
Jarwa mencoba memperingatkan gadis ini.
"Aku tidak peduli," dengus Arini.
"Bagaimanapun juga, kau tetap harus pulang."
"Pulang saja sendiri. Katakan pada ayah kalau tugasmu kugantikan!"
"Jangan nekat Arini."
"Biar...!"
Jarwa sudah kehilangan kata-kata untuk membujuk gadis ini. Memang tidak mudah
melunakkan hati Arini. Jika dia sudah bilang hitam, maka se-terusnya tetap
hitam. Sulit untuk merubahnya lagi.
Dan Jarwa tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan agar gadis ini bersedia


Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali pulang ke padepokan.
Sementara senja tenis merayap turun. Desa Jati sudah terlihat di depan. Keadaan
sekitarnya tampak remang-remang. Sebentar lagi, sekitar Bukit Tengkorak ini akan
terselimut kegelapan. Sementara Jarwa benar-benar tidak berhasil membujuk gadis
itu untuk kembali ke padepokan.
"Baiklah, kau boleh ikut bersamaku," akhirnya Jarwa menyerah juga.
"Dari tadi saja begitu. Kenapa susah-susah membujukku...?" dengus Arini.
Meskipun di wajahnya masih terlihat mem-
berengut, namun di hati gadis itu bersorak kesenangan. Rasanya dia ingin
mengucapkan terima kasih, tapi keangkuhan hatinya tidak mengizinkan lidahnya
untuk mengucapkan itu. Matanya hanya melirik sedikit saja pada pemuda di
sampingnya. Wajah Jarwa kelihatan kusut. Dia terpaksa meng-
izinkan Arini ikut, karena tidak ada cara lain lagi untuk menolak. Dan Arini
tidak peduli, meskipun tahu kalau Jarwa terpaksa mengizinkannya.
"Apa kira-kira pembunuh itu ada di Desa Jati, Kakang?" tanya Arini langsung
melupakan per-tengkarannya dengan pemuda itu tadi.
"Aku tidak tahu. Kita telusuri saja desa-desa yang ada di sekitar kaki Bukit
Tengkorak ini," sahut Jarwa.
"Kalau kita tidak juga menemukannya, kau akan kembali ke padepokan?" tanya Arini
lagi. "Ayahmu tidak mengizinkan aku pulang tanpa hasil," sahut Jarwa.
"Aku akan membantumu sampai berhasil,
Kakang," tegas Arini
Jarwa hanya tersenyum tipis saja. Hatinya tidak yakin kalau Arini dapat
membantu. Bahkan mungkin malah akan merepotkan saja. Dia tidak tahu, sampai di
mana tingkat kepandaian gadis ini. Yang diketahuinya, Arini hanyalah seorang
gadis manja yang keras kepala. Gadis ini tidak pernah terlihat berlatih dengan
tekun seperti kakaknya. Dan Jarwa memang mengakui kalau Arini lebih cantik
daripada Purmita, kakaknya.
Yang lebih mengherankan lagi, semua murid laki-laki di Padepokan Tongkat Putih
menyukai gadis ini.
Selain wataknya yang keras dan tidak suka mengalah, Arini juga ramah dan mudah
bergaul pada siapa saja.
Lain dengan kakaknya yang pendiam dan sukar diajak bicara. Tapi Jarwa lebih
menyukai Purmita daripada Arini. Kelihatannya Purmita lebih dewasa, dan selalu
berpikir panjang sebelum melakukan tindakan. Kalau saja Purmita yang memintanya
ikut, dengan senang hati akan diterimanya.
"Kok melamun, Kakang..." Ada yang dipikirkan,
ya?" tegur Arini.
Jarwa hanya tersenyum tipis saja.
"Di penginapan mana nanti, Kakang?" tanya Arini.
"Di penginapan Ki Sawung," sahut Jarwa.
Arini tidak bertanya lagi. Dia tahu kalau penginapan milik Ki Sawung adalah yang
terbaik di Desa Jati. Dan hampir semua murid Padepokan Tongkat Putih pernah
menginap di sana jika sedang melakukan perjalanan. Itu bila memang terpaksa
harus bermalam di desa itu. Arini sendiri sering menginap di sana. Ki Sawung
juga kenal baik dengan gadis ini. Dan pasti, mereka akan mendapat kamar yang
terbaik. *** 2 Dugaan Arini memang tepat. Begitu muncul, Ki Sawung langsung menyambutnya dengan
hangat. Disediakannya dua kamar berdampingan yang terbaik di penginapannya. Laki-laki
berusia lanjut itu tidak banyak bertanya atas kedatangan mereka di saat malam
sudah datang menyelimuti Desa Jati ini.
Sudah sering Arini datang ke penginapan ini. Juga murid ayahnya.
Setelah mengisi perutnya, Arini keluar dari kamarnya. Matanya melirik ke kamar
yang ditempati Jarwa. Keningnya agak berkerut, melihat pintu kamar itu sedikit
terbuka. Perlahan gadis itu menghampiri.
Diintipnya sedikit dari celah pintu. Kosong.... Tak ada seorang pun di dalam
sana. "Kakang...," panggil Arini seraya mendorong pintu kamar itu.
Perlahan-lahan pintu kamar itu terbuka. Benar-benar kosong, tak ada seorang pun
di dalam. Bahkan tempat tidurnya saja masih rapi, seperti belum tersentuh. Gadis
itu mengedarkan pandangan berkeliling. Matanya tertuju pada baki perak yang
terletak di meja dekat pembaringan. Arini melangkah masuk dan menghampiri meja
kecil itu. Dibukanya penutup baki. Keningnya jadi berkerut.
Hidangan di dalam baki ini masih utuh, tak tersentuh sedikit pun juga. Mendadak
saja wajah gadis itu jadi memerah. Mulutnya mendesis geram, lalu membanting
tutup baki itu.
"Kurang ajar...! Awas kau, berani pergi tanpa pamit..!" geram Arini merasa
dibohongi. Bergegas gadis itu melangkah ke luar. Namun belum juga kakinya melintasi pintu,
mendadak saja Jarwa muncul. Hampir-hampir mereka bertabrakan kalau tidak sama-
sama melompat mundur.
"Arini.."! Sedang apa kau di sini?" tanya Jarwa terkejut begitu mengenali gadis
di dalam kamarnya.
"Dari mana kau"!" dengus Arini malah balik bertanya.
Jarwa melangkah masuk dan membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar. Diliriknya
tutup baki yang tergeletak di lantai, lalu dipungut dan diletakkan pada
tempatnya. Sedangkan Arini hanya memandangi dengan mata mendelik lebar.
"Mau coba-coba meninggalkan aku, ya..."!" lagi-lagi Arini mendengus ketus.
"Untuk apa..." Aku hanya keluar sebentar membeli tembakau," sergah Jarwa jadi
ikut sewot. "Kalau tidak percaya, nih lihat..!"
Jarwa menunjukkan bungkusan daun pisang
berbentuk kerucut. Arini tahu, bungkusan itu berisi tembakau, seperti yang
dibeli ayahnya setiap kali datang ke desa ini. Sementara Jarwa menghampiri
jendela, dan membukanya lebar-lebar. Angin malam yang dingin langsung menerobos
masuk ke dalam kamar ini, membuat suasana yang agak tegang tadi perlahan
mendingin. Sedingin hembusan angin malam ini.
Pemuda itu menghempaskan tubuhnya, duduk di kursi dekat jendela. Sedikit pun
tidak dipedulikannya Arini yang masih saja berdiri memperhatikan. Jarwa malah
asyik melinting tembakau dan membakarnya.
Begitu nikmatnya asap tembakau itu dihisap, dan
dipermainkannya menjadi bulatan-bulatan kecil. Bau harum daun tembakau menyeruak
ke dalam hidung Arini.
"Sudah makan?" tanya Jarwa seraya berpaling sedikit menatap gadis itu.
"Sudah," sahut Arini singkat
"Kalau masih kurang, makan saja punyaku. Aku masih kenyang," ujar Jarwa lagi.
Arini tidak menyahuti, tapi malah melangkah menghampiri pembaringan dan duduk di
sana. Direntangkan kakinya, dan disandarkan punggungnya ke dinding yang terbuat dari
belahan papan. Bola matanya terus memperhatikan Jarwa yang tetap asyik
mempermainkan asap tembakau.
Jarwa melirik sedikit pada gadis itu, namun cepat mengalihkan ke arah lain.
Seperti disengaja, Arini menggeliatkan tubuhnya. Mau tak mau, belahan dadanya
agak tersingkap. Lagi-lagi Jarwa melirik ke arah gadis itu. Dadanya jadi
berdebar kencang melihat lekukan dada yang agak terbuka. Pemuda itu cepat
bangkit berdiri dan membuang puntung tembakaunya ke luar jendela.
"Aku ingin keluar sebentar. Kau jangan ke mana-mana," pamit Jarwa.
"Ingin ke mana lagi...?" tanya Arini.
"Mencari keterangan, kalau-kalau ada yang tahu si gila itu," sahut Jarwa.
Bergegas pemuda itu melangkah ke luar. Arini cepat bangkit dan mengejar pemuda
itu. Namun Jarwa terus saja melangkah tidak peduli. Dan Arini menghentikan
langkah saat berada di depan pintu kamarnya sendiri. Matanya hanya memandangi
saja punggung pemuda itu, sampai lenyap di tikungan.
"Huuuh...!" Arini mendengus panjang. Dia mem-
buka pintu kamarnya dan cepat masuk. Seperti sedang kesal, dibantingnya pintu
kamar itu hingga tertutup dan menimbulkan suara keras bagai hendak meruntuhkan
seluruh dinding penginapan ini.
Sementara Jarwa sudah berada di luar rumah penginapan Ki Sawung. Langkahnya
berhenti sebentar, lalu matanya menatap ke arah jendela kamar Arini. Napasnya
sedikit dihembuskan. Dia cepat keluar, sebenarnya bukan untuk apa-apa. Tapi,
hanya ingin menghindar saja dari gadis itu. Dia tidak ingin tergoda oleh sikap
Arini yang begitu bebas, seakan-akan mengundang. Jarwa terus mengayunkan kakinya
meninggalkan penginapan itu. Sementara di dalam kamar, Arini memperhatikan dari
balik jendela yang sedikit dibuka.
*** Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi menampakkan diri, Jarwa dan Arini
sudah meninggalkan penginapan itu. Mereka memacu kudanya menuju ke Selatan,
memutari kaki Bukit Tengkorak.
Kuda-kuda itu dipacu tidak terlalu cepat, karena hari masih begitu gelap. Sukar
untuk memandang jauh.
Sekitar kaki Bukit Tengkorak ini masih berselimut kabut tebal. Dan udara pun
terasa begitu dingin menggigilkan.
"Ke mana lagi tujuan kita, Kakang?" tanya Arini sambil menggeletar menahan
dingin. "Desa Talang," sahut Jarwa singkat
"Apa tidak terlalu jauh ke sana, Kakang?" tanya Arini lagi.
Dia tahu kalau Desa Talang cukup jauh letaknya.
Bisa satu hari perjalanan berkuda. Gadis itu merasa
tidak yakin kalau orang yang mereka cari ada di sana.
Sedangkan murid-murid Padepokan Tongkat Putih selalu ditemukan tewas tidak jauh
dari padepokan.
Tapi Arini tidak ingin mengemukakan pikirannya.
Gadis itu diam saja, mengikuti ke mana tujuan pemuda ini. Dan mereka kini
semakin jauh meninggalkan Desa Jati. Bahkan sudah memasuki kawasan hutan yang jarang dilalui
orang. Mereka terpaksa harus menerobos pepohonan yang cukup lebat, hingga sampai
di sebuah danau kecil yang cukup indah pemandangannya. Kedua orang itu terus
saja menggebah kudanya, menyusuri tepian danau.
Tapi mendadak....
"Berhenti...!"'
Terdengar bentakan keras mengejutkan. Jarwa dan Arini segera menghentikan
langkah kaki kudanya, langsung berpandangan sejenak. Belum juga hilang rasa
terkejutnya, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas kepala
mereka. Dan tahu-tahu, di depan sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah
panjang berwarna hitam.
Sebuah tongkat berkeluk tak beraturan, tergenggam di tangan kanannya. Tubuhnya
sudah bungkuk, namun berdirinya masih kokoh. Tatapan matanya begitu tajam dan
agak memerah. Seluruh rambutnya sudah memutih.
"Kalian dari Padepokan Tongkat Putih...?" terdengar kering suara wanita tua itu.
"Benar! Dan kau siapa"! Dan mengapa meng-
hadang jalan kami?" sahut Arini ketus, dan langsung balik bertanya.
"Kalian tidak perlu tahu, siapa diriku. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini,
dan kembali ke padepokan kalian!" semakin kering nada suara
wanita tua berjubah hitam itu.
"Heh..."! Apa urusanmu memerintah..."!" bentak Arini sengit
"Kau pasti Arini," wanita tua ini menatap tajam pada gadis itu.
"Dari mana kau tahu namaku..."!" Arini jadi terkejut
Perempuan tua itu tidak mempedulikan Arini yang sudah memerah mukanya. Matanya
malah menatap Jarwa yang sejak tadi hanya diam saja. Pemuda itu balas menatap
dengan sinar mata penuh selidik, mencoba mencari tahu tentang perempuan tua
berjubah hitam ini. Di hatinya juga timbul keheranan, karena perempuan tua ini
seperti tahu banyak tentang Padepokan Tongkat Putih.
"Anak muda, kembalilah ke padepokan. Kau hanya membuang-buang waktu saja dengan
perjalananmu itu. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali penyesalan pada
akhirnya," tegas wanita tua berjubah hitam itu. Nada suaranya terdengar berubah
sedikit lunak. "Maaf! Boleh aku tahu, siapa dirimu dan mengapa kau meminta kami kembali ke
padepokan?" tanya Jarwa sopan.
"Turuti saja kata-kataku, Anak Muda. Jangan sampai kau menyesal di belakang hari
nanti," perempuan tua itu tidak menjawab pertanyaan Jarwa.
"Sudah, Kakang. Jangan layani perempuan
gendeng ini!" selak Arini.
Gadis itu langsung menghentakkan tali kekang kudanya, sehingga membuat perempuan
tua berjubah hitam itu jadi mendengus kesal. Dia melompat ke belakang, langsung
menghadang langkah kuda Arini. Dicekalnya tali kekang kuda gadis itu kuat-kuat,
sehingga berhenti melangkah.
"Bocah bandel...!" dengus perempuan tua itu agak menggeram.
"Minggir!" bentak Arini kesal.
Perempuan tua itu tidak juga menyingkir, dan malah menatap tajam Arini. Tentu
saja hal ini membuat gadis itu semakin berang. Tiba-tiba saja Arini
menghentakkan kakinya, menendang ke arah dada perempuan tua berjubah hitam itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, perempuan tua itu mengegoskan tubuhnya, sehingga
tendangan Arini meleset tidak menemui sasaran.
"Minggir kataku, Setan...!" bentak Arini semakin berang.
Bet! Cepat sekali gadis itu mengibaskan tangan ke arah perempuan tua berjubah hitam.
Dan sekali lagi, perempuan tua itu mengegoskan kepala sedikit Arini jadi
bertambah berang, lalu cepat melompat turun dari punggung kudanya. Dan begitu
kakinya menjejak tanah, langsung dilontarkannya satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi. "Hiyaaat..!"
Perempuan tua berjubah hitam itu tidak mencoba berkelit, bahkan menanti serangan
Arini. Seketika dengan cepat tangan kirinya diangkat.
Tap! "Ikh...!" Arini tersentak, karena kepalan tangannya dicengkeram erat oleh tangan
kiri perempuan berjubah hitam itu.
Arini mencoba menarik tangannya, tapi ceng-keraman perempuan tua itu demikian
kuat. Tanpa mau menyadari kalau yang dihadapinya memiliki kepandaian yang jauh
lebih tinggi darinya, Arini cepat
menghentakkan kakinya ke depan, sambil cepat memutar tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
"Hait!"
Manis sekali perempuan tua berjubah hitam itu berkelit menghindar. Seketika
tangannya yang mencengkeram kepalan tangan Arini dihentakkan.
Tak pelak lagi, gadis itu terdorong cukup keras hingga terhuyung-huyung. Kalau
saja Jarwa tidak cepat bertindak menangkapnya, pasti Arini sudah jatuh ter-suruk
mencium tanah. Sambil mendengus kesal, Arini mendorong dada pemuda itu. Lalu, cepat-cepat
tubuhnya diputar berbalik. Gerahamnya menggeretak menahan marah.
Sementara Jarwa terdorong ke belakang, cepat melompat saat Arini sudah memegang
gagang pedangnya.
Tap! Jarwa cepat menahan tangan gadis itu untuk mencabut pedang. Arini mendelik.
Dengan kasar di-dorongnya tubuh pemuda itu, sehingga membuatnya kembali terjajar
ke belakang. Sret! Arini cepat mencabut pedangnya. Sementara Jarwa berusaha menguasai keseimbangan
tubuhnya. Dan sebelum Jarwa bisa mencegah, gadis itu sudah melompat cepat sambil berteriak
keras menenang perempuan tua berjubah hitam itu. Pedangnya berkelebat cepat
mengincar anggota tubuh lawan.
"Hiyaaat..!"
Bet! Wuk! "Hait!"
Perempuan tua berjubah hitam itu manis sekali meliuk-liukkan tubuhnya, sehingga
tak satu pun serangan Arini yang berhasil mengenai sasaran.
Namun Arini tidak berhenti sampai di situ. Jurusnya cepat diubah, dan terus
menyerang kembali. Pedang di tangannya berkelebat cepat mengurung lawan.
*** Jurus demi jurus cepat berlalu. Meskipun terus menyerang, tapi Arini belum juga
mampu mendesak perempuan tua berjubah hitam itu. Bahkan sudah dua kali Arini
harus menerima pukulan keras di tubuhnya. Meskipun tidak mengandung pengerahan
tenaga dalam, tapi cukup membuat gadis itu meringis kesakitan.


Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu Jarwa hanya menyaksikan saja.
Pemuda ini sudah bisa melihat kalau Arini tidak mungkin bisa menandingi
perempuan tua itu. Sudah lebih dari lima jurus dikeluarkan, tapi gadis itu belum
mampu menyentuh sedikit pun ujung rambut lawan.
Sedangkan wanita tua itu hanya berkelit saja tanpa mengeluarkan satu jurus pun.
"Cukup, Arini! Jangan memaksaku untuk bertindak kejam...!" sentak wanita
berjubah hitam itu seraya melompat ke belakang.
"Mau lari ke mana kau..."! Hiyaaat..!"
Arini benar-benar sudah tidak mungkin lagi dikendalikan. Gadis itu langsung
melompat sambil mengebutkan pedangnya ke arah dada lawan. Namun hanya sedikit
saja menarik tubuh ke belakang, perempuan tua itu mampu mengelakkan tebasan
pedang Arini yang berkelebat cepat hampir membelah dada.
"Keras kepala! Hih...!" dengus wanita tua itu menggeram.
Cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke arah dada Arini, begitu pedang gadis
itu lewat di depan dadanya. Begitu cepatnya sodokan tangan wanita berjubah hitam
itu, sehingga Arini tidak sempat menghindar lagi.
Des! "Akh...!" Arini menjerit agak tertahan.
Gadis itu terhuyung-huyung ke belakang. Dan sebelum keseimbangan tubuhnya sempat
terkuasai, mendadak saja perempuan tua berjubah hitam itu sudah bergerak cepat.
Dia melompat sambil memberi satu totokan keras ke dada Arini.
Lagi-lagi Arini terpekik, dan seketika ambruk menggeletak di tanah. Jarwa
bergegas menghampiri gadis itu. Matanya menatap tajam perempuan tua berjubah
hitam yang berdiri dengan tongkat menyangga tubuhnya.
"Dia tidak apa-apa. Sebentar juga pulih," jelas wanita tua itu.
Jarwa memeriksa tubuh Arini. Dia tahu kalau Arini hanya terkena totokan yang
tidak membahayakan pusat jalan darahnya. Namun paling tidak, gadis itu jadi
lemas tak berdaya. Perlahan pemuda itu bangkit berdiri setelah yakin kalau Arini
tidak mengalami sesuatu yang parah. Ditatapnya perempuan tua berjubah hitam yang
berdiri di depannya.
"Apa keinginanmu sebenarnya, Nisanak?" tanya Jarwa, agak dalam nada suaranya.
"Sebaiknya, cepat bawa pulang gadis liar itu," ujar perempuan tua berjubah hitam
tanpa menjawab pertanyaan Jarwa.
Selesai berkata demikian, cepat perempuan tua itu melesat pergi. Begitu
cepatnya, sehingga Jarwa tidak sempat lagi mencegah. Dalam sekejapan mata saja,
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Jarwa masih berdiri mematung sebentar. Wajahnya kemudian berpaling saat
mendengar rintihan lirih dari belakangnya.
Arini mulai menggerakkan kepala perlahan sambil merintih lirih. Bergegas Jarwa
menghampiri gadis itu, dan membantunya bangun. Arini menggeleng-gelengkan
kepala, mencoba mengusir rasa pening yang menyerang seluruh kepala. Sebentar
pandangannya beredar berkeliling, lalu menatap Jarwa yang berdiri di depannya.
"Mana nenek keparat itu..."!" dengus Arini.
"Dia sudah pergi," sahut Jarwa.
"Kau membiarkannya pergi begitu saja...?" mata Arini mendelik, seakan-akan tidak
percaya kalau Jarwa membiarkan perempuan tua berjubah hitam itu pergi tanpa
berusaha mencegah sedikit pun.
Jarwa tidak menjawab, tapi malah melangkah menghampiri kudanya. Sebentar
ditepuk-tepuknya leher kuda itu, kemudian melompat naik ke punggungnya. Arini
masih berdiri memandangi. Perlahan kemudian, kakinya terayun menghampiri
kudanya. Dengan gerakan ringan, gadis itu melompat naik ke punggung kudanya. Namun mereka
belum juga bergerak meninggalkan tempat itu. Tampak Jarwa seperti ragu-ragu
untuk meneruskan perjalanannya ini.
"Ada apa, Kakang...?" tegur Arini.
"Ah, tidak ada apa-apa," sahut Jarwa seraya menggelengkan kepala.
"Kau kelihatan memikirkan sesuatu. Apa yang dipikirkan, Kakang?" Arini sedikit
mendesak. Jarwa tidak menjawab. Lalu, tali kekang kudanya disentakkan. Seketika kuda itu
bergerak melangkah
perlahan-lahan. Arini mengikuti pemuda itu, lalu mensejajarkan langkah kaki
kudanya di samping kuda pemuda itu. Sesekali diperhatikannya raut wajah Jarwa.
Dia yakin kalau pemuda itu sedang memikirkan sesuatu, tapi tidak ingin
mengutarakannya.
"Kau kenal nenek itu, Kakang?" tanya Arini dengan benak terus menduga-duga.
"Tidak," sahut Jarwa.
"Lalu, kenapa meminta kita kembali pulang...?"
nada suara Arini seperti menyelidik.
"Aku tidak tahu, Arini. Mungkin maksudnya memang baik. Hanya saja, tidak
diutarakannya pada kita," duga Jarwa sambil berpaling menatap gadis di
sebelahnya. "Baik..."! Huh! Tampangnya saja sudah men-curigakan," dengus Arini mencibir.
"Jangan melihat seseorang dari luarnya saja, Arini."
"Aku tahu sekarang... Kau pasti memikirkan kata-kata nenek itu, bukan...?" tebak
Arini langsung.
Jarwa hanya diam saja. Diakui, kalau tebakan Arini memang tepat Sejak tadi
ucapan-ucapan perempuan tua berjubah hitam yang tidak dikenalnya sama sekali
tenis dipikirkannya. Dia yakin kalau ada sesuatu tersembunyi di balik ucapan itu
tadi. Tapi untuk kembali ke padepokan..., rasanya memang tidak mungkin. Jarwa
ingat kata-kata gunanya yang tidak mengizinkannya kembali sebelum menyelesaikan
tugas, meringkus si pembunuh gelap yang telah meminta korban lima orang murid
Padepokan Tongkat Putih.
Jarwa menghentikan langkah kaki kudanya.
Sejenak ditatapnya Arini yang juga balas menatapnya dengan kelopak mata agak
menyipit Untuk beberapa
saat, mereka saling pandang tanpa berkata apa-apa.
"Sebaiknya kita kembali saja, Arini. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi di
padepokan," duga Jarwa perlahan.
"Kembali..."!" Arini terkejut tidak percaya.
Dan sebelum gadis itu bisa mengeluarkan suara lagi, Jarwa sudah memacu cepat
kudanya. Arini berteriak memanggil, tapi pemuda itu tidak lagi peduli. Dia terus
menggebah kudanya bagai dikejar setan.
"Kunyuk...!" dengus Arini kesal.
Sebentar gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian cepat memutar
kudanya dan menggebah agar berlari kencang. Tubuh gadis itu terguncang-guncang
di atas punggung kuda. Dia berteriak-teriak sambil menggebah kudanya agar
berlari lebih cepat untuk menyusul Jarwa yang sudah begitu jauh di depannya.
"Kakang, tunggu...!" teriak Arini sekuat-kuatnya.
Tapi Jarwa seperti tidak mendengar, sehingga terus saja memacu kudanya dengan
cepat. Arini menggerutu dan memaki sejadi-jadinya. Tali kekang kudanya semakin
cepat disentakkan agar berpacu lebih cepat lagi. Sementara keadaan di sekitarnya
sudah terang. Matahari sudah sejak tadi menampakkan diri dengan cahayanya yang
hangat menyirami seluruh permukaan Bukit Tengkorak ini.
"Kakang, tunggu...!" teriak Arini begitu bisa memperpendek jarak dengan pemuda
itu. Jarwa berpaling sedikit, lalu memperlambat lari kudanya. Dan kini Arini bisa
cepat mengejarnya.
Gadis itu terengah-engah begitu berada di samping Jarwa. Mereka kemudian
mengendarai kuda tidak terlalu kencang, sehingga bisa terus berdampingan.
"Setan! Kau akan meninggalkan aku, ya..."!"
dengus Arini memberengut kesal.
Jarwa hanya diam saja. Dia tahu, kalau dilayani bisa bertambah panjang. Dan yang
pasti, Arini tidak sudi mengalah barang sedikit saja. Jadi Jarwa lebih memilih
diam, meskipun telinganya panas mendengar gerutuan yang tidak hentinya dari
bibir mungil yang selalu merah basah itu.
*** 3 Sementara itu suasana di Padepokan Tongkat Putih semakin menegang. Sejak Jarwa
meninggalkan padepokan itu, sudah tiga orang lagi murid Eyang Jaraksa yang
ditemukan tewas tidak jauh dari bangunan besar di tengah-tengah lembah di lereng
Bukit Tengkorak ini.
Dan yang terakhir, satu orang sempat lolos. Dia kembali ke padepokan meskipun
dengan tubuh berlumuran darah. Langsung ditemuinya Eyang Jaraksa yang saat itu
tengah berbincang-bincang bersama putri sulungnya. Laki-laki tua itu terkejut
melihat muridnya datang dengan tubuh berlumuran darah.
"Gandik.... Apa yang terjadi"! Kenapa kau berlumuran darah begini...?" tanya
Eyang Jaraksa terkejut
"Dia.... Dia datang lagi, Eyang," sahut Gandik seraya meringis menahan sakit.
"Dia siapa...?"
"Penjagal Bukit Tengkorak.... Akh!"
"Gandik...!"
Eyang Jaraksa bergegas menghampiri, tapi Gandik sudah menggeletak tak bernyawa
lagi. Terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Saat itu, seluruh murid
Padepokan Tongkat Putih ini sudah berkumpul.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.
Mreka begitu ngeri melihat keadaan rubuh Gandik yang penuh luka dan berlumuran
darah. Bahkan tangan kiri anak muda itu buntung dari pangkalnya.
"Penjagal Bukit Tengkorak...," desis Eyang Jaraksa
agak menggumam.
Laki-laki tua berjubah putih itu bergegas melangkah menuju samping rumah.
Purmita, putri sulungnya segera mengikuti. Sedangkan semua murid-murid di
padepokan ini hanya bisa memandangi tanpa melakukan sesuatu.
"Ayah....," panggil Purmita seraya mempercepat langkahnya, dan mensejajarkan
diri di samping laki-laki tua itu.
Eyang Jaraksa berhenti melangkah. Ditatapnya anak gadisnya ini lekat-lekat.
Perlahan tangannya terulur dan memegang pundak Purmita.
"Kau lekas pergi, Purmita. Cari adikmu. Aku yakin, dia menyusul Jarwa," ujar
Eyang Jaraksa sebelum putri sulungnya ini berbicara.
"Ayah sendiri akan ke mana?" tanya Purmita.
"Aku harus menemui si Penjagal Bukit Tengkorak.
Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya ini,"
tegas Eyang Jaraksa.
Purmita tidak mencegah lagi ketika ayahnya melompat naik ke punggung kuda yang
tertambat di sebatang pohon. Eyang Jaraksa memandangi murid-muridnya yang
berdiri saja di belakang Purmita.
"Kalian ambil kuda masing-masing, dan ikut aku!"
perintah Eyang Jaraksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sekitar tiga puluh orang murid laki-laki tua
berjubah putih itu bergegas mengambil kuda. Tak berapa lama
kemudian, mereka bergerak cepat meninggalkan padepokan. Tinggal Purmita sendiri
yang memandangi kepergian mereka.
"Ke mana aku harus mencari Arini...?" keluh Purmita bertanya pada dirinya
sendiri. Arini pergi sejak kemarin, bersamaan dengan
kepergian Jarwa yang mendapat tugas dari Eyang Jaraksa. Perlahan gadis itu
menghampiri seekor kuda yang tidak jauh darinya. Lalu, dia naik ke punggung kuda
itu. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Kemudian tali kekang kudanya
disentakkan hingga bergerak perlahan meninggalkan padepokan ini.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Purmita segera menggebah kudanya begitu melewati pintu gerbang Padepokan Tongkat
Putih, menuju ke arah yang berlawanan dengan yang dituju rombongan ayahnya. Arah
yang dituju gadis itu jelas ke Desa Jati. Desa yang terdekat dari Padepokan
Tongkat Putih. *** Sementara itu Eyang Jaraksa dan murid-muridnya terus bergerak mendaki Bukit
Tengkorak. Mereka menuju puncak bukit yang jarang didatangi orang.
Meskipun ada jalan yang cukup lebar untuk menuju ke sana.
Rombongan itu bani berhenti setelah sampai di puncak Bukit Tengkorak. Eyang
Jaraksa melompat turun dari punggung kudanya. Tatapan matanya begitu tajam tak
berkedip, lurus ke arah sebuah gubuk kecil yang dikelilingi kebun sayuran.
Seorang laki-laki berusia setengah baya dengan tubuh coklat dan kekar, tengah
sibuk merawat tanamannya.
"Suryadana...!" teriak Eyang Jaraksa lantang menggelegar.
Laki-laki bertubuh tegap berotot itu mengangkat kepalanya. Dia seperti tertegun
ketika melihat banyak orang di seberang kebunnya ini. Bergegas dia berdiri,
lalu melangkah menghampiri. Keningnya semakin berkerut begitu mengenali orang
yang memanggilnya.
Laki-laki berperawakan kekar yang dipanggil Suryadana ini menghentikan
langkahnya. "Eyang Jaraksa.... Tidak biasanya kau ke sini" Ada perlu apa, Eyang?" tanya
Suryadana seraya meng-amati pemuda-pemuda yang berada di belakang laki-laki tua
berjubah putih itu.
"Jangan banyak tanya! Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu, Suryadana!"
bentak Eyang Jaraksa.
"Bertanggung jawab...?" Suryadana jadi kebingungan. "Aku tidak mengerti
maksudmu, Eyang Jaraksa?"
"Jangan pura-pura, Setan! Berapa orang lagi muridku yang akan kau penggal
kepalanya, heh...?"
"Tunggu dulu. Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu. Kau tiba-tiba datang dan
marah-marah begini. Bahkan menuntutku harus bertanggung jawab. Apa sebenarnya
yang terjadi, sehingga kau marah-marah begini...?" Suryadana meminta penjelasan.
"Masih juga ingin berkelit kau, Setan Keparat!
Hiyaaat..!"
Eyang Jaraksa tidak dapat lagi mengendalikan amarahnya. Bagaikan kilat,
tongkatnya dikibaskan ke arah kepala Suryadana. Sejenak laki-laki bertubuh kekar
yang tidak mengenakan baju itu terperangah, namun cepat merundukkan kepalanya.
Maka tebasan tongkat Eyang Jaraksa tidak sampai mengenai sasaran.
"Bagus! Bela dirimu sebelum kukirim ke neraka!"
desis Eyang Jaraksa dingin.
Suryadana menggeser kakinya ke belakang dua
langkah. Dia masih belum mengerti maksud kedatangan laki-laki tua berjubah putih
yang dikenal sebagai Ketua Padepokan Tongkat Putih itu. Namun melihat sinar mata
dan raut wajah yang memerah, Suryadana bisa memastikan kalau Eyang Jaraksa
tengah memendam amarah yang sukar dikendalikan lagi.
"Kendalikan amarahmu, Eyang Jaraksa. Jelaskan dulu persoalannya. Kenapa tiba-
tiba kau datang lalu meminta pertanggungjawabanku?" Suryadana masih meminta
penjelasan dari ketidakmengertiannya.
"Sudah cukup kau membantai murid-muridku, Penjagal Bulat Tengkorak! Sekarang
giliran aku menagih hutang nyawa murid-muridku!" desis Eyang Jaraksa dingin.
"Hutang nyawa..." Heh...! Apa yang telah kulakukan pada murid-muridmu?"
Suryadana yang juga dijuluki si Penjagal Bukit Tengkorak oleh Eyang Jaraksa
semakin tidak mengerti.
"Jangan banyak omong! Terimalah kematianmu, Setan Jagal! Hiyaaat..!"
"Hait!"
Cepat Suryadana melompat ke belakang begitu Eyang Jaraksa kembali mengebutkan
tongkat putihnya yang terkenal dahsyat. Hampir saja ujung tongkat itu merobek
dada si Penjagal Bukit Tengkorak.
Untung saja dia segera melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi begitu kakinya
menjejak tanah, Eyang Jaraksa sudah mengebutkan tongkatnya kembali ke arah kaki.
"Hup!"
Suryadana segera melentingkan tubuh ke udara.
Dan pada saat itu, Eyang Jaraksa juga melesat ke atas. Laki-laki tua berjubah
putih itu menghentakkan
tangan kirinya ke arah dada. Pada saat yang bersamaan, Suryadana mendorong
tangan kanannya ke depan. Tak pelak lagi, dua telapak tangan beradu keras di
udara. Blarrr...! Begitu kerasnya benturan itu, sehingga terjadi satu ledakan keras menggelegar
yang memekakkan telinga. Semua murid Padepokan Tongkat Putih bergegas
berlompatan mundur sambil menarik tali kekang kudanya masing-masing. Sementara
terlihat Eyang Jaraksa dan Suryadana sama-sama terpental ke belakang.
Mereka melakukan putaran beberapa kali, lalu mantap sekali mendarat kembali di
tanah. "Hiyaaat..!"
"Hap!"
Eyang Jaraksa langsung melompat kembali
menyerang si Penjagal Bukit Tengkorak itu. Gerakannya sungguh cepat luar biasa.
Tapi, Suryadana juga cepat melakukan tindakan menghindar dengan mem-bungkukkan
tubuhnya ketika tongkat laki-laki tua itu berkelebat cepat menyambar ke arah
kepala.

Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suryadana langsung menegakkan tubuhnya
kembali, dan cepat melenting ke belakang saat Eyang Jaraksa mengebutkan
tongkatnya kembali ke arah dada. Dua kali Suryadana berputaran ke belakang.
Dan tangan kanannya menyambar cangkul yang tergeletak di tanah. Manis sekali
kakinya dijejakkan di tanah kebun yang baru saja dipaculi.
"Rupanya kau bersungguh-sungguh hendak membunuhku, Tongkat Putih!" desis
Suryadana, agak dingin nada suaranya.
"Tahan jurus 'Tongkat Seribu'-ku, Setan Jagal Keparat! Hiyaaat...!" teriak Eyang
Jaraksa lantang
menggelegar. Laki-laki tua berjubah putih itu cepat memutar tongkatnya bagaikan baling-
baling. Lalu, tubuhnya meluncur deras ke arah Suryadana. Cepat sekali tongkatnya
dikebutkan beberapa kali, membuat Suryadana jadi kelabakan menghindarinya. Si
Penjagal Bukit Tengkorak itu berlompatan sambil meliuk-liukkan tubuhnya,
menghindari serangan Eyang Jaraksa yang begitu dahsyat luar biasa.
Tongkat putih itu berkelebatan cepat mengurung tubuh Suryadana, seakan-akan ada
di sekitar tubuhnya. Tongkat itu seperti menjelma jadi seribu banyak-nya.
Beberapa kali tongkat itu hampir mengenai tubuh Suryadana. Dan untungnya si
Penjagal Bukit Tengkorak itu masih mampu berkelit menghindar.
Namun lewat suatu gerakan yang tidak terduga, mendadak saja....
Bet! Eyang Jaraksa membalikkan tongkatnya. Dan secepat itu pula ditusukkan ke arah
dada Suryadana.
Gerakan berbalik yang begitu cepat, sama sekali tidak diduga si Penjagal Bukit
Tengkorak itu. Akibatnya, dia terlambat menghindar.
Des! "Akh...!" Suryadana terpekik keras begitu ujung tongkat menghantam dadanya yang
bidang berotot Laki-laki bertubuh tinggi tegap penuh otot itu terhuyung-huyung
ke belakang. Dadanya didekap karena terasa nyeri dan sesak. Untung saja bukan
ujungnya yang runcing, sehingga tidak sampai menembus dada si Penjagal Bukit
Tengkorak. "Ha ha ha...! Bersiaplah ke neraka, Jagal Keparat!
Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Eyang Jaraksa melompat sambil
membalikkan tongkatnya. Dan kali ini ujung tongkat yang runcing mengarah lurus
ke dada Suryadana.
Pada saat itu, si Penjagal Bukit Tengkorak masih berusaha menguasai
pernapasannya yang mendadak sesak.
"Hait..!"
Meskipun pernapasannya belum lagi sempurna, Suryadana bergegas membanting
tubuhnya ke tanah.
Dan cangkul yang berada di tangan kanan langsung dikebutkan ke arah tongkat
putih itu. Trak! Cangkul itu seketika terbelah jadi dua begitu membentur tongkat putih di tangan
Eyang Jaraksa. Mata Suryadana jadi terbeliak. Ternyata ujung tongkat itu terus meluruk deras ke
arahnya, tidak terpengaruh oleh benturan tadi. Maka cepat-cepat tubuhnya
bergelimpangan, sehingga hunjaman ujung tongkat yang runcing itu hanya mengenai
tanah. "Hup!"
Suryadana cepat melompat bangkit berdiri.
Sementara Eyang Jaraksa sudah kembali bersiap hendak menyerang kembali. Cepat
sekali tubuhnya melesat menyerang dengan tongkat berkelebat cepat ke kepala si
Penjagal Bukit Tengkorak
"Hiyaaat...!"
Bet! "Uts!"
Suryadana merundukkan kepala sedikit, tapi hatinya jadi terkejut. Ternyata tiba-
tiba saja Eyang Jaraksa sudah memutar tongkatnya, yang melayang deras ke arah
kaki. Si Penjagal Bukit Tengkorak tak sempat lagi menghindar.
Wuk! Crasss...! "Akh...!" Suryadana memekik tertahan begitu ujung tongkat putih yang runcing
merobek paha kanannya.
Seketika, darah mengucur deras dari luka yang cukup panjang dan dalam di paha
kanannya. Suryadana terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi paha kanannya yang
mengucurkan darah segar. Pada saat itu, Eyang Jaraksa sudah kembali bersiap
hendak menghunjamkan tongkatnya untuk mengakhiri hidup si Penjagal Bukit
Tengkorak ini. "Mampus kau, Keparat! Hiyaaat...!"
Tinggal sejengkal lagi ujung tongkat putih yang runcing itu menembus dada
Suryadana, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih menyambar si Penjagal
Bukit Tengkorak sambil menyentakkan tongkat Eyang Jaraksa.
Tak! "Heh..."!" Eyang Jaraksa terperanjat.
Cepat Eyang Jaraksa melompat mundur sambil menarik tongkatnya kembali. Laki-laki
tua berjubah putih itu jadi terlongong, karena si Penjagal Bukit Tengkorak tiba-
tiba saja lenyap dari hadapannya.
Pandangannya beredar ke sekeliling, tapi tak terlihat satu bayangan pun
berkelebat. "Setan keparat..!" geram Eyang Jaraksa.
Matanya memandangi semua muridnya yang juga bengong menyaksikan kejadian itu. Si
Penjagal Bukit Tengkorak benar-benar lenyap, di saat maut hampir saja
merenggutnya. "Kalian semua...! Periksa seluruh tempat ini, dan bakar rumah itu!" perintah
Eyang Jaraksa mengumbar amarahnya.
Tak ada seorang pun yang berani membantah.
Murid-murid Padepokan Tongkat Putih itu bergegas berhamburan. Sementara dua
orang berlarian menuju
ke gubuk kecil yang terbuat dari bilik bambu. Tak berapa lama kemudian, terlihat
api berkobar membakar gubuk itu. Eyang Jaraksa mendengus sambil mengumpat kesal.
Dia melompat naik ke punggung kuda, dan langsung menggebahnya. Kuda itu me-
ringkik keras, lalu berlari cepat.
*** Eyang Jaraksa melompat turun dari punggung
kuda begitu sampai di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya,
sekaligus tempat pendidikan ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan bagi para
pemuda. Dengan ayunan kaki yang lebar, diterobosnya pintu itu untuk masuk ke
dalam. Langsung dirinya dihempaskan di atas balai-balai bambu yang hanya beralaskan
selembar tikar anyaman daun pandan.
"Satira...!" panggil Eyang Jaraksa.
Belum juga gema teriakan itu menghilang dari pendengaran, dari salah satu pintu
muncul seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Langkahnya tampak
tergopoh-gopoh menghampiri laki-laki tua berjubah putih itu. Senyumnya langsung
terkembang, lalu duduk di samping Eyang Jaraksa. Diambilnya sehelai saputangan,
kemudian disekanya keringat yang membanjiri leher laki-laki tua itu dengan sikap
lembut sekali. "Dari mana, Kakang" Sampai berkeringat begini,"
lembut sekali suara wanita yang dipanggil Satira ini.
"Kau tahu..." Aku hampir saja melenyapkan pembunuh edan itu!" dengus Eyang
Jaraksa, memberi tahu.
"Pembunuh edan..." Maksud Kakang, pembunuh
yang telah...," Satira tidak meneruskan ucapannya.
"Iya.... Pembunuh edan itu ternyata si Penjagal Bukit Tengkorak!"
Satira tertegun. Seketika tangannya ditarik dari leher laki-laki tua itu.
Dipandanginya wajah yang penuh debu dan berkeringat itu dalam-dalam, seakan-akan
ingin mencari kebenaran dari ucapan yang didengarnya barusan.
"Kenapa..." Kau terkejut...?" agak sinis nada suara Eyang Jaraksa.
"Rasanya tidak mungkin kalau Kakang Suryadana melakukan itu," ujar Satira, agak
ragu-ragu nada suaranya.
"Kenapa tidak..." Kau ingat ancamannya ketika aku mengawinimu?"
Satira tidak menjawab, namun tentu saja tidak akan melupakannya. Di hari
perkawinan dengan laki-laki tua yang pantas menjadi ayahnya ini, Suryadana
melontarkan ancaman akan memusnahkan
Padepokan Tongkat Putih sampai ke akar-akarnya.
Memang, sebelum memilih laki-laki tua ini, Satira sempat menjalin hubungan
dengan Suryadana. Satira tidak mungkin bisa menikah dengannya, karena waktu itu
Suryadana masih menjadi pelaksana hukuman penggal kepada penjahat-penjahat
besar. Wanita itu tidak ingin kehidupannya selalu diwarnai darah dan jeritan menjelang
ajal dari orang-orang yang terpenggal kepalanya oleh pedang Suryadana.
Makanya, dia lebih memilih Eyang Jaraksa yang lebih pantas menjadi ayahnya
daripada suami.
"Seharusnya tadi aku bisa membunuhnya, kalau saja tidak muncul setan edan yang
membawanya kabur!" dengus Eyang Jaraksa.
Satira menatap laki-laki tua itu. Entah kenapa,
hatinya merasa bersyukur mendengar Suryadana belum tewas dan sempat tertolong
oleh seseorang yang tidak dikenal. Hatinya memang tidak yakin kalau semua
pembunuhan gelap yang terjadi dalam beberapa hari ini di Padepokan Tongkat
Putih, adalah perbuatan Suryadana. Tapi, dia juga tidak mungkin membelanya di
depan Eyang Jaraksa.
"Siapa yang menolongnya, Kakang?" tanya Satira ingin tahu.
"Aku tidak tahu! Gerakannya begitu cepat. Tahu-tahu dia hilang begitu menyambar
Suryadana," sahut Eyang Jaraksa.
"Kau tidak mengejarnya?"
"Kalau aku bisa, sudah kulakukan!" dengus Eyang Jaraksa.
Satira jadi terdiam. Dia tahu, laki-laki tua ini sedang diliputi kekesalan.
Tepat pada saat itu terdengar derap langkah beberapa ekor kuda di depan.
Dari pintu yang terbuka lebar, terlihat murid-murid Padepokan Tongkat Putih yang
tadi ikut bersama gurunya mulai berdatangan memasuki halaman yang cukup luas.
Mereka langsung menuju bagian samping untuk menaruh kuda. Seorang menghampiri
kuda Eyang Jaraksa yang masih berada di depan pintu, dan membawanya ke samping
kanan bangunan besar ini.
"Istirahat di dalam saja, Kakang. Nanti kupijiti badanmu," kata Satira lembut.
Sebentar Eyang Jaraksa menatap wanita itu, kemudian bangkit berdiri. Satira
membimbingnya melangkah masuk ke dalam kamar. Pintu kamar itu tertutup rapat
begitu mereka berada di dalam.
*** 4 Di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir di lereng Bukit Tengkorak sebelah
Timur, Suryadana duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup rindang.
Sehingga, tubuhnya ternaungi dari sengatan sinar matahari. Paha kanannya sudah
terbalut kain putih yang bernoda darah, tapi sekarang tak ada lagi setetes darah
pun yang keluar.
Laki-laki bertubuh tegap dan agak kecoklatan itu menggerakkan tubuhnya ketika
dari sungai seorang gadis cantik berbaju biru muda menghampiri. Di tangannya
membawa air yang ditampung oleh tempurung kelapa. Sambil menyunggingkan senyum,
gadis itu menghampiri Suryadana dan menyerahkan tempurung kelapa berisi air
jemih itu. Suryadana menerimanya sambil melemparkan senyum, lalu meneguk air
hingga habis. "Terima kasih," ucap Suryadana.
"Bagaimana lukamu, Paman?" tanya gadis itu lembut
"Masih terasa nyeri," sahut Suryadana. "Di mana Rangga, Pandan?"
"Cari makanan," sahut gadis cantik berbaju biru yang ternyata memang Pandan
Wangi atau si Kipas Maut.
"Hhh.... Untung saja dia cepat datang. Kalau tidak..., kalian pasti hanya akan
menemukan pusara-ku," desah Suryadana perlahan.
"Sudahlah, Paman. Yang penting Paman harus
beristirahat dulu. Nanti kalau Kakang Rangga datang, kita bicarakan lagi," kata
Pandan Wangi mengalihkan kegalauan hati Suryadana..
Suryadana tersenyum dan menyerahkan tem-
purung kelapa yang sudah kosong pada gadis itu.
Pandan Wangi menerimanya seraya bangkit berdiri.
"Mau lagi?" tanya Pandan Wangi.
"Sudah cukup," tolak Suryadana.
Pandan Wangi kembali duduk di depan laki-laki setengah baya yang bertubuh masih
kekar itu, meskipun rambutnya sudah ada yang memutih.
Sebentar Suryadana memejamkan matanya, kemudian membukanya kembali. Pandangannya
langsung tertuju pada seraut wajah cantik di depannya.
"Sudah berapa lama kau kenal Rangga, Pandan?"
tanya Suryadana.
"Lama juga," sahut Pandan Wangi. "Dan Paman sendiri, sudah berapa lama kenal
Kakang Rangga?"
Pandan Wangi balik bertanya.
"Sejak dia lahir. Aku kenal betul ayah dan ibunya.
Tapi, lama juga aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Dan tahu-tahu, aku
menerima undangan saat penobatan Rangga sebagai raja di Karang Setra. Aku
sendiri tidak pernah membayangkan kalau Karang Setra bisa menjadi sebuah
kerajaan yang begitu makmur," Suryadana jadi terkenang masa-masa lalunya.
"Aku dengar, Paman seorang pejabat penting di Kadipaten Karang Setra dulu,"
pancing Pandan Wangi, ingin mengenal lebih jauh lagi laki-laki setengah baya
ini. "Bukan pejabat penting. Aku hanya pesuruh yang harus menjalankan tugas menghukum
mati penjahat- penjahat di Karang Setra," ujar Suryadana merendah.
"Jadi itu sebabnya, kenapa Paman dijuluki si Penjagal Bukit Tengkorak...?"
"Benar! Apalagi, aku memang tinggal di puncak Bukit Tengkorak. Dan di sana juga
aku menjalankan tugas. Semua terhukum yang akan menjalankan hukuman mati dibawa
ke Bukit Tengkorak. Hanya sekali-sekali saja aku turun dan datang ke Karang
Setra." "Lalu, kenapa Paman berhenti?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Ha ha ha...! Aku rasa kau sudah bisa menjawab-nya, Pandan. Tidak ada seorang
pun yang bercita-cita ingin menjadi penjagal kepala," sahut Suryadana seraya
tertawa bergelak.
Pandan Wangi jadi meringis, merasa per-
tanyaannya tadi begitu bodoh. Memang tidak ada seorang pun yang ingin jadi
pemenggal kepala, meskipun yang dilakukan adalah tugas. Gadis itu bangkit
berdiri ketika terdengar langkah kaki kuda, disusul ringkikan yang panjang dan
keras. Dari dalam semak, muncul seekor kuda hitam gagah yang ditunggangi seorang pemuda
tampan. Dia berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung
menyembul dari punggungnya.
Pemuda tampan itu melompat turun dari punggung kudanya, lalu memberikan sebuah
bungkusan pada Pandan Wangi. Kemudian dihampirinya Suryadana yang menyambutnya
dengan senyuman lebar terkembang di bibir.
"Bagaimana keadaanmu, Paman?" tanya pemuda itu.
"Tidak ada masalah. Pandan Wangi merawatku dengan baik," sahut Suryadana.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah membuka bungkusan yang dibawa pemuda berbaju
rompi putih itu, yang tak lain Rangga atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Bungkusan itu ternyata berisi macam-macam makanan yang masih mengepulkan uap
harum. "Dari mana kau dapatkan makanan ini, Kakang?"
tanya Pandan Wangi.
"Dari desa. Tidak jauh dari sini, kok," sahut Rangga.
"Yuk makan dulu, Paman. Biar cepat sembuh lukanya," ajak Pandan Wangi.
"Ah! Aku tidak pernah membayangkan akan bisa makan sama-sama Penguasa Karang
Setra," desah Suryadana.
"Tidak ada penguasa di sini, Paman," kata Rangga merendah.
"Bagaimanapun juga, kau tetap seorang raja, Rangga," tegas Suryadana seraya
menerima makanan dari Pandan Wangi.
"Tapi, kenapa Paman tidak menyebutnya Gusti Prabu...?" timpal Pandan Wangi.
"Gusti Prabu..." Ha ha ha...!" Suryadana jadi tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa tertawa, Paman?" tanya Pandan Wangi.
"Tanyakan saja pada Rangga. Kapan aku pernah menyebut gusti pada seseorang,"
sahut Suryadana sambil melirik Rangga.
"Tidak pernah," tegas Rangga.


Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, dengar itu. Meskipun seorang penguasa mayapada, tidak bakal aku akan
panggil gusti, atau apa pun namanya."
"Kenapa?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Karena aku si Penjagal Bukit Tengkorak," sahut
Suryadana. "Ha ha ha...!"
Rangga juga ikut tertawa. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Suryadana
memang mudah sekali tertawa. Mungkin karena pekerjaannya dulu, sehingga harus
selalu tertawa agak tidak jadi gila. Karena, hampir setiap hari dia harus
melihat darah mengalir dari kepala yang dipenggalnya.
Mereka terus menikmati makanan yang dibawa Rangga sambil berbicara ringan.
Sesekali tawa mereka meledak jika ada yang membuat lelucon menggelitik.
Rangga merebahkan tubuhnya dengan kedua
tangan mengganjal kepala. Api unggun yang menyala di sampingnya, membuat sekitar
tepi sungai itu jadi terasa sedikit hangat Tidak jauh darinya, tampak Pandan
Wangi sudah melingkar, dan mendengkur kecil. Rangga melirik Suryadana yang juga
belum memejamkan mata. Padahal, ini sudah lewat tengah malam.
"Paman! Bisa dijelaskan sekarang, kenapa orang tua siang tadi menyerangmu?"
tanya Rangga sambil memiringkan tubuhnya, menghadap pada Suryadana.
"Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja dia datang bersama murid-muridnya, lalu
menyerangku," sahut Suryadana pelan.
"Murid-muridnya...?" kening Rangga agak berkerut.
"Dia Ketua Padepokan Tongkat Putih. Namanya, Eyang Jaraksa. Padepokannya ada di
lereng bukit sebelah Selatan, di sebuah lembah," jelas Suryadana.
"Ooo...," Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
"Lalu, kenapa dia menyerangmu?"
"Aku sendiri tidak tahu."
"Mustahil bila seorang ketua padepokan menyerang tanpa alasan," Rangga tidak
percaya. "Tuduhannya yang tanpa alasan."
"Tuduhan apa, paman?"
"Aku dituduh telah membunuh murid-muridnya."
"Kau lakukan itu?"
"Untuk apa..."! Sudah lebih dua puluh tahun aku tidak pemah melihat darah lagi,
kecuali darah ayam atau kelinci. Memangnya aku sudah gila, main bunuh orang
tanpa alasan..."!" agak tinggi nada suara Suryadana.
"Aku percaya padamu, Paman," ujar Rangga.
"Kepercayaan tidak ada gunanya tanpa bukti yang jelas."
"Maksudmu...?"
"Akan kubuktikan kalau tuduhan Eyang Jaraksa tidak benar. Aku yakin, ada orang
yang menggunakan namaku untuk menghancurkan Padepokan Tongkat Putih," tegas
Suryadana. "Kau tahu, siapa orang ketiga itu?" tanya Rangga.
"Terlalu banyak musuh Eyang Jaraksa. Juga, tidak sedikit musuhku. Sukar
ditentukan, siapa dalang semua fitnah keji ini. Bisa kau bayangkan, Rangga.
Pekerjaanku sebagai penjagal kepala, tentu tidak sedikit kepala yang sudah jadi
korban pedangku.
Entah, berapa banyak keluarga atau sahabat-sahabat mereka yang menaruh dendam
padaku. Hhh...! Aku merasa akan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami."
"Barangkali kehadiranku bisa sedikit membantu, Paman," kata Rangga menawarkan
jasa. "Persoalanmu sendiri sudah terlalu banyak, Rangga. Jangan melibatkan dirimu
dalam persoalan ini," dengan halus Suryadana menolak bantuan Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga hanya mengangkat bahunya sedikit.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau sifat Suryadana begitu keras, dan tidak
pernah mau melibatkan orang lain dalam persoalan yang sedang dihadapinya. Dia
akan menyelesaikan sendiri, walau apa pun yang harus dihadapi. Tapi Rangga tidak
mungkin tinggal diam begitu saja, melihat orang yang pernah mengabdi pada
ayahnya terlibat dalam kesulitan besar. Bahkan dapat mengancam jiwanya.
"Sudah terlalu malam. Sebaiknya kau tidur saja, Rangga. Besok kau harus ke Desa
Jati, bukan...?" ujar Suryadana mengingatkan.
"Ya, ada urusan sedikit di sana," sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kembali menelentangkan tubuhnya. Perlahan kemudian,
matanya terpejam.
Namun, Rangga sama sekali tidak bisa tidur.
Benaknya terus berputar, memikirkan persoalan yang sedang dihadapi Suryadana.
Dia percaya kalau laki-laki tegap itu tidak melakukan pembunuhan keji, seperti
yang dituduhkan Eyang Jaraksa.
Sementara, Suryadana tengah membuka balutan pada pahanya. Dia tersenyum melihat
luka di pahanya sudah mengering. Ramuan obat yang dibuat Pandan Wangi memang
cukup manjur juga. Dalam waktu kurang dari satu hari, luka yang besar itu sudah
mengering. Suryadana menggerak-gerakkan kakinya perlahan.
"Hm.... Aku rasa besok sudah bisa berlari cepat,"
gumam Suryadana dalam hati.
Matanya melirik sedikit pada Pandan Wangi yang melingkar di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Dalam hati, diucapkannya terima kasih pada gadis itu, yang telah
merawat dan memberikan obat pada lukanya.
Untung saja hanya luka luar, sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
*** Rangga menggeliat bangun dari tidur saat
kehangatan sinar matahari menyorot tubuhnya.
Bergegas dia bangkit, begitu menyadari tidak ada lagi seorang pun di dekatnya.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling. Dia bergegas
melangkah begitu matanya menangkap gerak-gerak halus di dalam semak.
"Auwh...!"
Terdengar pekikan tertahan ketika Rangga
menyibakkan semak itu. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat mundur sambil
memalingkan muka.
Dari dalam semak, muncul Pandan Wangi sambil merapikan pakaiannya. Rangga cepat
memutar tubuh, karena bagian dada gadis itu masih agak terbuka.
"Sudah mulai berani ngintip, ya..."!" rungut Pandan Wangi.
"Maaf, aku tidak sengaja," ucap Rangga.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti memutar
tubuhnya berbalik. Pandan Wangi sudah rapi, bahkan sudah mengenakan pedangnya di
punggung. Perlahan Rangga menghampiri gadis itu.
"Ke mana Paman Suryadana?" tanya Rangga yang sejak bangun tadi tidak melihat si
Penjagal Bukit Tengkorak.
"Aku tidak tahu," sahut Pandan Wangi.
"Tidak tahu..." Kau kan bangun lebih dulu...?"
"Aku bangun, Paman Suryadana sudah tidak ada."
Rangga jadi teringat pembicaraannya semalam dengan si Penjagal Bukit Tengkorak
itu. Bergegas dihampiri kudanya, lalu melompat naik. Pendekar Rajawali Sakti
menatap Pandan Wangi yang masih
saja berdiri memandangnya.
"Cepat naik...!" perintah Rangga.
"Mau ke mana?" tanya Pandan Wangi seraya
melangkah menghampiri kudanya.
Gadis itu melompat naik ke punggung kuda putih yang tinggi dan tegap. Gerakannya
ringan dan indah sekali. Sementara itu Rangga sudah menyentakkan tali kekang
kudanya. Pandan Wangi bergegas mengikuti dan mensejajarkan langkah kaki kudanya
di samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengendalikan kudanya agar tetap
berjalan perlahan-lahan.
"Tidak menunggu Paman Suryadana kembali
dulu?" ujar Pandan Wangi.
Rangga tidak menyahuti. Benaknya tengah sibuk mengira-ngira, ke mana perginya si
Penjagal Bukit Tengkorak itu. Dia menelaah setiap cerita yang di-kemukakan si
Penjagal Bukit Tengkorak semalam.
Rangga teringat, Suryadana mengatakan sebuah nama yang tinggalnya di Padepokan
Tongkat Putih, di sebuah lembah di lereng Bukit Tengkorak ini.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi ragu-ragu.
Rasanya terlalu berani kalau si Penjagal Bukit Tengkorak mendatangi Eyang
Jaraksa di padepokan-nya. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di samping
Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja.
Gadis itu tidak tahu kalau pikiran pemuda berbaju rompi putih ini sedang
berputar keras, mencari jawaban dari kepergian Suryadana yang tanpa pamit tadi.
"Berhenti dulu, Pandan...," desis Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi menghentikan langkah kaki kudanya, begitu Rangga juga menghentikan
kudanya. Gadis itu menatap wajah Rangga, saat telinganya mendengar denting senjata
beradu, disertai teriakan-
teriakan keras saling sambut
"Kau dengar suara itu, Pandan?" tanya Rangga.
"Ya! Seperti suara pertarungan," sahut Pandan Wangi.
Seketika Rangga cepat melesat dari punggung kudanya. Begitu kakinya menjejak
tanah, dia langsung berlari cepat meninggalkan kudanya dan Pandan Wangi. Begitu
sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Tak heran
bila dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi. Pandan Wangi
mengambil tali kekang kuda Pendekar Rajawali Sakti, lalu menuntunnya menuju ke
arah suara pertempuran itu.
Sementara Rangga terus berlari cepat, dan baru berhenti setelah sampai di daerah
yang berbatu. Pendekar Rajawali Sakti itu melompat naik ke atas sebongkah batu yang tinggi.
Tampaklah, di bawah sana dua orang tengah bertarung sengit. Tidak jauh dari
pertarungan itu, terlihat dua orang gadis cantik tengah memperhatikan.
"Paman Suryadana...," desis Rangga begitu mengenali salah seorang yang
bertarung. Sedangkan lawannya adalah seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Bentuk tubuhnya tegap dan berotot. Senjatanya adalah
sebatang tongkat berwarna putih sepanjang lengan. Melihat tongkat yang
dipergunakan itu, Rangga menduga kalau pemuda yang bertarung dengan Suryadana
adalah salah seorang dari Padepokan Tongkat Putih.
"Berhenti...!" seru Rangga keras menggelegar.
Teriakan Rangga yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu mengejutkan
sekali. Akibatnya pertarungan itu seketika berhenti. Dan dua gadis yang sedang
memperhatikan jalannya pertarungan
tadi, langsung berpaling ke arah datangnya bentakan tadi.
"Hup...!"
Bagaikan kilat. Rangga melompat dari atas batu yang dipijaknya. Sungguh cepat
dan ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Tiga kali dia berputaran di udara,
lalu mendarat manis sekali di tengah-tengah antara Suryadana dan pemuda
bertongkat putih.
"Rangga...!" desis Suryadana begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah berada di
depannya. "Kisanak! Siapa kau..."!" tanya pemuda bertongkat putih yang tak lain adalah
Jarwa, keras. "Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Dan siapa Kisanak ini, serta dua gadis itu?" Rangga balik bertanya.
"Aku Jarwa. Mereka adalah Purmita dan Arini,"
Jarwa juga memperkenalkan dirinya serta dua gadis yang berada tidak jauh
darinya. "Rangga, mereka dari Padepokan Tongkat Putih.
Kedua gadis itu adalah putri-putri Eyang Jaraksa,"
selak Suryadana memberi tahu.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan. Dugaannya benar, mereka memang dari
Padepokan Tongkat Putih.
"Kisanak, apakah kau teman si Penjagal Bukit Tengkorak itu?" tanya Jarwa seraya
menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Benar," sahut Rangga.
"Sebaiknya kau menyingkir, agar tidak tersangkut dalam persoalan ini," tegas
Jarwa. "Kalau boleh tahu, ada perselisihan apa antara Padepokan Tongkat Putih dengan
Penjagal Bukit Tengkorak?" Rangga bertanya, meminta penjelasan.
"Ini menyangkut persoalan nyawa, Kisanak.
Penjagal Bukit Tengkorak telah membunuh murid-murid Padepokan Tongkat Putih
secara kejam dan pengecut!" Jarwa menuding Suryadana.
"Kau punya bukti atas tuduhanmu itu?" agak ditekan nada suara Rangga.
"Purmita! Apa yang kau dengar dari Gandik sebelum tewas?" seru Jarwa seraya
berpaling menatap Purmita yang berdiri di sebelah kanan adiknya.
"Dia menyebut pembunuh itu berjuluk Penjagal Bukit Tengkorak," sahut Purmita.
"Kau dengar itu, Kisanak..." Sebaiknya cepat menyingkir, agar aku bisa lebih
cepat melenyapkan iblis itu!" dengus Jarwa.
Setelah berkata demikian, Jarwa langsung
menyilangkan tongkat di depan dada, bersiap hendak melakukan penyerangan
kembali. Kakinya bergerak menggeser beberapa tindak ke samping. Tatapan matanya
begitu tajam, tertuju lurus pada si Penjagal Bukit Tengkorak.
"Tunggu...!" sentak Rangga cepat-cepat
"Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Kisanak!"
dengus Jarwa. "Kau salah besar jika menyangka si Penjagal Bukit Tengkorak adalah yang membunuh
teman-temanmu. Aku berani memastikan kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu," tegas
Rangga "Jangan dengarkan, Kakang! Biar aku yang meng-hadapinya kalau mau terus ikut
campur!" selak Arini lantang.
Rangga melirik gadis cantik berbaju merah muda itu. Sedangkan Arini sudah
melompat mendekati Jarwa. Gadis itu langsung mencabut pedangnya.
Meskipun tatapan matanya tajam, tapi bibir gadis itu terukir senyuman tipis, dan
hampir tidak terlihat
"Kau begitu gigih membela dia. Jangan-jangan, kau sendiri pembunuhnya," ujar
Arini, sinis. Rangga hanya tersenyum saja mendengar tuduhan yang sembarangan itu. Matanya
sedikit melirik Purmita yang masih berada di tempatnya. Rangga menyadari, memang
tidak mudah membelokkan keyakinan seseorang. Terlebih lagi, hal ini menyangkut
banyak nyawa yang sudah melayang.
"Rangga, menyingkirlah. Mereka sudah buta.
Percuma saja kau bicara banyak dengan cacing-cacing ini," ujar Suryadana.
"Apa kau bilang..."!" Arini mendelik berang di-katakan cacing. "Kau ulat busuk
yang harus mampus!"
"Ini hanya kesalahpahaman saja, Paman. Harus diselesaikan sebelum terjadi
penyesalan di belakang hari," tegas Rangga, tetap tenang dan lembut suaranya.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa kering terkikik yang menggema. Semua yang
tengah bersitegang itu terkejut. Dan sebelum hilang keterkejutan mereka, tiba-
tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam.
Tahu-tahu di antara mereka sudah berdiri seorang perempuan tua berjubah hitam.
Tubuhnya agak membungkuk, dan berdirinya disangga oleh sebatang tongkat.
"Kau lagi...," desis Arini langsung mengenali perempuan tua berjubah hitam itu.
"Dewi Jubah Hitam...," desis Suryadana juga mengenali perempuan tua itu.
"Hik hik hik.... Suryadana, mengapa kau berurusan dengan bocah-bocah nakal ini?"
terdengar kering suara perempuan tua yang dikenal Suryadana ber-
juluk Dewi Jubah Hitam.
"Apa keperluanmu, hingga datang ke Bukit
Tengkorak ini?" Suryadana malah balik bertanya.
Nada suaranya agak ketus, seakan-akan tidak menyukai kehadiran perempuan tua
berjubah hitam itu.
"Aku datang justru ingin bertemu denganmu, Penjagal Bukit Tengkorak. Tapi,
rupanya kau juga punya urusan dengan bocah-bocah nakal dari Padepokan Tongkat
Putih. Apa kau pernah me-menggal kepala teman-teman mereka, Suryadana?"
agak sinis nada suara perempuan tua berjubah hitam itu.
"Itu bukan urusanmu!" bentak Suryadana tidak senang.
"Memang bukan urusanku, karena kita punya urusan sendiri, Suryadana."
Suryadana mendesis dingin. Sementara Rangga hanya memperhatikan saja dengan
kening berkerut.
Dia menduga kalau persoalan ini akan semakin rumit.
Satu masalah belum juga selesai, muncul lagi masalah lain. Kedatangan perempuan
tua yang dikenal berjuluk Dewi Jubah Hitam ini tentu membawa persoalan lain
untuk si Penjagal Bukit Tengkorak.
"Persoalan apa lagi yang dibawa perempuan tua ini...?" keluh Rangga dalam hati.
*** 5

Pendekar Rajawali Sakti 57 Penjagal Bukit Tengkorak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga menggeser kakinya mendekati si Penjagal Bukit Tengkorak. Ada rasa iba di
hatinya melihat keadaan laki-laki bertubuh tegap itu. Kelihatannya, dia terjepit
sekali. Tiga anak muda dari Padepokan Tongkat Putih telah menuduhnya membunuh
beberapa orang teman mereka. Dan persoalan itu belum juga selesai, muncul
seorang perempuan tua berjubah hitam yang membawa persoalan bani lagi.
Meskipun tidak tahu persoalan apa yang dibawa si Dewi Jubah Hitam itu, tapi
Rangga sudah bisa menebak kalau urusannya tentu menyangkut nyawa juga. Pendekar
Rajawali Sakti teringat pembicaraannya dengan Suryadana semalam. Si Penjagal
Bukit Tengkorak itu mengakui kalau dalam hidupnya selalu dikelilingi orang-orang
yang hendak membalas dendam. Pekerjaannya sebagai penjaga kepala orang-orang
hukuman, sudah barang tentu akan menimbulkan kebencian dan dendam bagi keluarga,
maupun sahabat terhukum. Dan Rangga sudah menduga kalau urusan yang dibawa si
Dewi Jubah Hitam tentu ada hubungannya dengan pekerjaan Suryadana di masa lalu
itu. "Tampaknya, tidak menguntungkan, Paman," bisik Rangga. "Sebaiknya, kau cepat
pergi. Biar mereka yang akan mengejarmu kuhadang."
"Aku bukan pengecut, Rangga," tolak Suryadana tegas.
"Kau memang harus membuktikan kalau tidak
bersalah. Tapi, bukan dengan cara seperti ini, Paman," kata Rangga lagi.
"Mereka sudah menjual, Rangga. Dan aku tidak bisa menolak untuk membelinya. Lagi
pula, si Dewi Jubah Hitam punya urusan lain. Maaf, aku tidak bisa pergi dan
dianggap pengecut."
"Ada urusan apa antara kau dengan perempuan tua itu?" tanya Rangga.
Kembalinya Si Tangan Setan 2 Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan Iblis Seruling Maut 1
^