Penyamaran Raden Sanjaya 1
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya Bagian 1
PENYAMARAN RADEN SANJAYA oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Penyamaran Raden Sanjaya
1 Seorang pemuda tampan berompi putih tengah ber-
diri tegak di sebuah lembah. Udara siang ini tidak begitu panas. Angin bertiup
sepoi-sepoi, mempermainkan rambut panjang milik pemuda tampan itu. Melihat
raut wajahnya yang tegang, bisa ditebak kalau dia tengah berpikir keras.
Sepertinya, dia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya.
"Hm.... Untuk mencapai Lembah Naga ini saja, tidak mudah. Lalu, mengapa si
Bayangan Putih mengajakku
bertarung di sini" Aku jadi tidak mengerti, untuk apa sebenarnya Bayangan Putih
mengajakku bertarung"
Padahal masih banyak tantangan yang harus kuhada-
pi," gumam pemuda berompi putih, yang di balik
punggungnya tampak menyembul gagang pedang ber-
bentuk kepala burung. Semua pikiran itu sepertinya menghantui benaknya.
Memang, melihat dari ciri-cirinya, jelas kalau pe-
muda itu adalah Rangga atau lebih dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti. Keberadaannya di tempat ini adalah untuk memenuhi
undangan si Bayangan Putih
yang mengajak bertarung. Sebagai tokoh persilatan, pantang bagi Pendekar
Rajawali Sakti menolak tantangan.
Namun biar bagaimana pun, otaknya terus bekerja
keras untuk mencari jalan keluar agar pertarungan
dapat dihindari. Atau paling tidak, jangan sampai ada yang mati. Dan yang lebih
dipikirkan lagi, mengapa harus dengan pertarungan kalau hanya untuk mengadu
ilmu" "Kalau sesama pendekar saling bertarung, bukanlah
membuat tokoh-tokoh sakti golongan hitam tertawa"
Aku jadi benar-benar tidak mengerti keinginan si
Bayangan Putih itu. Sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam diriku. Tapi, untuk
apa bentrok dengan sesama golongan putih?" tanya Rangga dalam hati.
Hampir setengah harian Rangga berdiri mematung
sambil memandang sebuah kampung yang kelihatan
sepi bagai tak berpenghuni. Seperti sebuah kampung mati. Tak terlihat seorang
pun di sana. Bahkan sepertinya, seekor binatang pun enggan hidup di kampung itu.
Entah, apa sebabnya.
"Aneh...," gumam Rangga perlahan.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak melang-
kah, tiba-tiba gerumbul semak di depannya bergerak-gerak. Sebentar kemudian,
muncul seorang pemuda
yang tubuhnya berlumur darah. Sebentar pemuda itu
terhuyung-huyung, lalu jatuh begitu sampai di depan Rangga.
"Tolong...," rintih pemuda itu lirih.
Rangga cepat-cepat menghampiri.
"Siapa kau" Dan, kenapa bisa begini?" tanya Rang-
ga. "Aku.... Aku Risman, dari Kampung Rapak. Mereka menghancurkan kampungku.
Tolong, Tuan. Tolong
kami...," rintih pemuda yang mengaku bernama Ris-
man, memelas. "Apa yang terjadi?" tanya Rangga.
"Mereka merampok, membunuh, dan menculik ga-
dis-gadis desa. Akh!"
Pendekar Rajawali Sakti mengguncang-guncang tu-
buh berlumur darah yang sudah tak bergerak-gerak
lagi. Sebentar diperiksanya keadaan Risman, lalu mulutnya mendesah panjang.
"Hhh..., pingsan. Terlalu banyak darah yang ke-
luar." Rangga memondong tubuh Risman. Kemudian, di-
bawanya tubuh tak berdaya itu, dan dibaringkannya di bawah pohon rindang. Dengan
caranya sendiri, dioba-tinya luka-luka di tubuh pemuda itu.
Setelah cukup lama Rangga menunggui, akhirnya
Risman sadar juga. Keadaan tubuhnya tampak masih
lemah. Rangga kemudian mencegah agar Risman tidak
terlalu banyak bergerak dulu.
"Oh..., Tuan siapa?" tanya Risman.
"Aku Rangga. Berbaringlah dulu. Lukamu cukup
parah," ujar Rangga disertai senyumnya.
Risman memandangi luka-luka di tubuhnya yang
sudah terbalut. Tidak ada lagi bercak-bercak darah yang melekat. Sebentar
dipandanginya Rangga yang
duduk bersila di sampingnya. Senyuman tipis tetap
tersungging di bibir Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Risman,
pelan. "Berterima kasihlah pada Sang Hyang Widi yang te-
lah menyelamatkanmu," sahut Rangga merendah.
"Tuan pasti seorang pendekar," tebak Risman.
Rangga hanya tersenyum.
"Oh...!" Risman beringsut, lalu duduk bersandar
pada sebatang pohon yang cukup besar dan rindang,
sehingga melindungi dirinya dari sengatan matahari yang sudah mulai garang lagi.
"Kenapa kau sampai terluka?" tanya Rangga, sete-
lah melihat Risman cukup pulih untuk diajak bicara.
"Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu tang-
guh," desah Risman lirih.
"Mereka" Mereka siapa?"
"Gerombolan perampok yang menamakan diri Ga-
gak Item," sahut Risman.
"Berapa orang kekuatan mereka?"
"Banyak. Aku tidak tahu pasti jumlahnya. Yang
pasti, mereka sangat kejam. Ah...! Aku tidak tahu lagi, apakah masih ada yang
hidup selain diriku."
Pendekar Rajawali Sakti memandang kampung di
depan sana. Pantas, kampung itu kelihatan sepi bagai tak berpenghuni. Rangga
agak terkejut ketika melihat banyak burung pemakan bangkai yang seperti sedang
pesta di sana. Suaranya ribut dan memekakkan telin-ga. Risman hanya menunduk,
tak kuasa menyaksikan
pesta burung-burung itu.
"Apa masih ada kerabatmu di sana?" tanya Rangga.
Risman menggeleng lemah.
"Kau hidup sendiri?"
"Tidak. Ada kakakku, tapi...."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu nasibnya lagi. Mereka telah mencu-
lik Ningsih, dan aku tidak bisa menolongnya," semakin lirih suaranya. Titik-
titik air bening tampak menggulir di pipinya.
Rangga tidak lagi bertanya. Dibiarkannya saja Ris-
man menghabiskan air matanya. Rasanya memang ti-
dak pantas bertanya terus-menerus dalam suasana
seperti ini. Apalagi, Risman masih sulit ditanyai.
*** Hati Rangga tersayat ketika menyaksikan peman-
dangan Desa Rapak. Mayat-mayat membusuk, sehing-
ga menyebarkan aroma tidak sedap, memualkan perut.
Anehnya dari sekian banyak mayat, tak ada mayat wanita muda seorang pun di sana.
Semua terdiri dari la-ki-laki, anak-anak, dan perempuan-perempuan tua.
Benar-benar pemandangan yang tidak sedap dipan-
dang mata. Keadaan mayat-mayat itu tidak ada yang
utuh. Semuanya rusak, tak dapat dikenali lagi. Bah-
kan beberapa rumah tampak sudah hangus jadi arang.
Sementara, Risman yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti, tidak henti-
hentinya menutup hidung.
Dia tidak sanggup lagi melihat pemandangan yang
mengenaskan ini.
Rangga mengajak Risman meninggalkan Desa Ra-
pak. Mereka berhenti setelah agak jauh, namun bau
busuk masih juga tercium. Sementara, burung-burung pemakan bangkai mulai
berdatangan kembali, bersama anjing-anjing liar yang keluar dari hutan. Pendekar
Rajawali Sakti mengajak Risman semakin jauh meninggalkan desa yang sudah porak-
poranda dan tak
berpenghuni itu. Mereka kembali berhenti, setelah bau busuk tidak tercium lagi.
"Aku sungguh tidak mengerti, mengapa masih ada
orang yang begitu tega membantai habis seluruh desa,"
gumam Rangga perlahan.
"Mereka memang kejam!" dengus Risman, sedikit di-
tahan suaranya.
"Di mana mereka tinggal?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi kata orang-orang, sa-
rang mereka dinamakan Bukit Gagak," sahut Risman.
"Letaknya?"
Risman menggelengkan kepala, karena memang tak
tahu persis letak bukit itu. Itu pun hanya dengar-
dengar dari cerita orang saja.
"Apa setiap merampok mereka selalu bertindak se-
perti itu?" tanya Rangga lagi.
"Biasanya tidak," sahut Risman. "Tapi, karena ke-
marin ada seorang pendekar yang mencoba melawan,
sehingga Gerombolan Gagak Item jadi marah. Akibat-
nya, mereka membantai semua penduduk."
"Kau tahu, siapa pendekar itu?"
"Tidak. Dia kabur setelah menderita luka parah."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan. Makanya, semua gadis-gadis di Desa
Rapak diculik."
Rangga mulai mengerti sekarang. Rupanya, ada
pendekar tanggung yang coba-coba bertindak. Atau
mungkin, salah seorang murid padepokan yang sedang berlibur. Kalau memang
pendekar, mustahil bisa terluka parah hanya untuk melawan segerombolan pe-
rampok. Rasa-rasanya, tak ada seorang pendekar pun yang sudi melarikan diri,
dengan mengorbankan sekian banyak nyawa. Itu hanya terjadi kalau yang berbuat
adalah tokoh dari golongan hitam.
"Aku yakin, kau seorang pendekar," tegas Risman,
menatap Rangga agak tajam. "Kau bersedia memban-
tuku membebaskan mereka yang diculik?"
"Bagaimana caranya membebaskan, kalau kau sen-
diri tidak tahu sarang mereka?" agak sinis suara Rangga. "Kita bisa mencari
keterangan di desa-desa lain,"
sahut Risman tegas.
"Kau bisa melakukannya?" Rangga masih kurang
yakin. "Kenapa tidak" Lebih baik mati daripada kejahatan
didiamkan!"
Pendekar Rajawali Sakti kagum juga terhadap sikap
tegas Risman. Dalam hati, dia tersenyum dan memuji.
Hal ini membuat Rangga jadi tertarik untuk membantu Risman. Pendekar Rajawali
Sakti kemudian mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah ini dulu, ba-ru
setelah itu menghadapi tantangan si Bayangan Putih di Lembah Naga.
"Desa mana tujuan pertamamu?" tanya Rangga.
"Mungkin Desa Mayang. Konon, di sana sering ter-
jadi perampokan," sahut Risman.
"Apakah di sana ada yang kau kenal?"
"Hampir semua penduduk Desa Mayang kukenal
baik, karena kami bertetangga."
"Kalau begitu, ayo kita berangkat," ajak Rangga.
Risman tersenyum. Kakinya lalu terayun menuju
Desa Mayang yang tidak berapa jauh lagi. Rangga
mengikuti di sampingnya. Kening Pendekar Rajawali
Sakti seketika berkerut, karena Risman ternyata menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Rangga kemudian
mengimbangi di samping ingin mengukur, sampai di
mana tingkat ilmunya. Dan Pendekar Rajawali Sakti
jadi tersenyum, karena ilmu Risman masih jauh di bawah tingkatannya.
"Di mana kau belajar ilmu olah kanuragan?" tanya
Rangga. "Oh!" Risman terkejut begitu ditanya seperti itu.
"Aku belajar dari mendiang ayah."
"Hm. Beliau sudah tewas?"
"Ya. Sewaktu melawan Gerombolan Gagak Item."
"Hm.... Kau dendam?"
"Mungkin."
Rangga berhenti melangkah begitu di depannya ter-
hampar sebuah perkampungan yang lumayan ramai.
Risman juga menghentikan langkahnya. Sejenak me-
reka diam dan memandang lurus ke depan.
"Itu Desa Mayang?" tanya Rangga ingin mene-
gaskan. "Benar. Rasanya tidak pantas disebut desa. Terlalu besar dan ramai," sahut
Risman, sedikit menjelaskan.
"Kita cari penginapan dulu," usul Rangga.
"Tidak perlu. Aku punya teman yang pasti bersedia
kalau rumahnya ditempati sementara," tolak Risman.
"Baiklah. Tapi kalau dia tidak mau, jangan dipak-
sa." "Tenang saja. Dia sahabat baikku."
Kemudian mereka melangkah memasuki perbata-
san desa. Setiap langkah, Rangga mengedarkan pan-
dangannya. Memang keadaan di sini tidak pantas ka-
lau disebut desa. Terlalu besar dan ramai. Pantasnya desa ini disebut dengan
kadipaten. Rumah-rumah
penduduknya juga bagus dan besar. Dan lagi, rasanya tak sulit mendapatkan rumah
makan atau penginapan, karena sepanjang jalan utama dipenuhi dua sa-
rana bagi para pengembara itu.
Rangga mengikuti ke mana Risman berjalan. Tidak
sedikit yang menegur Risman. Yang kemudian diba-
lasnya dengan senyum ramah. Bahkan kelihatannya
Risman begitu dihormati.
Mereka kemudian berhenti begitu sampai di sebuah
rumah yang agak menyendiri. Rumah itu tidak begitu besar. Dinding-dindingnya
terbuat dari belahan papan, sedang atapnya terbuat dari rumbia. Sejenak Rangga
mengamati keadaannya yang sepi dan tenang.
"Tunggu sebentar di sini," ujar Risman.
"Kau akan ke mana?" tanya Rangga, mencegah ta-
ngan Risman yang akan melangkah.
"Aku akan menemui temanku dulu," sahut Risman.
Rangga tidak mencegah lagi, dan dia kembali meng-
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amati keadaan sekitarnya. Tak lama, Risman sudah
keluar dari pintu depan bersama seorang laki-laki dan seorang wanita yang masih
muda. Mereka mengenakan pakaian sederhana, sebagaimana layaknya kelu-
arga petani. Rangga menghampiri, karena mereka berdiri saja di depan rumah.
"Rangga! Ini teman karibku. Badil dan istrinya, Sadiah," jelas Risman,
mengenalkan. Rangga menganggukkan kepala. Dua orang di
samping Risman juga balas mengangguk dengan bibir
menyunggingkan senyum.
"Tadi sudah kuceritakan maksud kita, dan mereka
mengizinkan kita menginap di sini sampai kapan saja,"
lanjut Risman. "Maaf, jadi merepotkan," sambung Rangga.
"Tidak apa-apa," sahut Badil juga ramah. "Antara
aku dan Risman memang sudah seperti saudara. Le-
bih-lebih keadaan Risman sekarang ini. Dan aku wajib menolongnya. Bukan begitu,
Sadiah?" "Benar! Anggap saja seperti di rumah sendiri," sambung Sadiah sambil tersenyum.
"Terima kasih," hanya itu yang diucapkan Rangga.
"Mari masuk. Pasti kalian telah lelah sekali menempuh perjalanan jauh," ajak
Badil. "Iya! Aku juga ingin mendengar, bagaimana keja-
diannya," sambung Sadiah.
"Nanti kuceritakan," janji Risman.
*** Malam baru saja datang. Udara dingin berselimut
kabut terasa menusuk sampai tulang sumsum. Na-
mun, Desa Mayang masih tetap ramai, karena banyak
penduduk yang menikmati keindahan alam. Lampu-
lampu pelita dan cahaya api obor menambah semarak
suasana. Rangga juga tidak ingin ketinggalan. Dia berjalan-
jalan sepanjang jalan utama, menikmati udara malam.
Hampir setiap sudut desa tampak ramai.
Laki-laki, perempuan, besar kecil berbaur jadi satu.
Benar-benar bagai sebuah sorga dunia saja layaknya.
Rangga sempat berpikir, jarak Desa Mayang ini tidak begitu jauh dengan Desa
Rapak yang beberapa hari la-lu hancur berantakan. Tapi sepertinya desa ini tak
ter-pengaruh sedikit pun. Dan tampaknya kejadian di de-
sa sebelah merupakan hal biasa. Tak seorang pun
yang membicarakannya.
"Uts!" Rangga melompat ketika seorang laki-laki
mabuk hampir menabraknya.
"He, Monyet! Apa tidak punya mata"! Minggir!" ben-
tak laki-laki itu mendengus. Dari mulutnya tercium bau arak yang sangat kuat.
"Maaf," hanya itu yang diucapkan Rangga, karena
enggan melayani orang mabuk.
"Maaf, maaf. Huh! Kau harus bayar mahal seguci
arakku yang jatuh!"
Rangga mengerutkan keningnya, karena memang
sama sekali tidak bersentuhan. Tapi, nyatanya ada seguci arak yang jatuh dan
pecah berantakan. Jelas, itu karena orang di depannya sedang mabuk, hingga tidak
sadar kalau sedang membawa seguci arak. Rangga
yang malas mengurusi orang mabuk, melengos dan
melangkah pergi.
"He, Monyet! Ganti dulu arakku, atau...!"
Rangga tetap berjalan.
"Kau ingin mati rupanya! Hiyaaa...!"
Orang itu langsung menerjang. Rangga cepat berba-
lik dan memiringkan tubuhnya. Sehingga terjangan itu lewat sedikit di
sampingnya. Dengan sedikit ayunan tangan, Rangga mencoba menepuk pundak orang
itu. Tapi tanpa diduga, dengan cepat orang itu berkelit.
"He he he...! Ingin coba-coba melawan Macan Lem-
bah Iblis, heh"!" orang itu terkekeh.
Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alis. Dia heran, karena tiba-tiba saja orang itu
tidak mabuk. Kuda-
kudanya begitu kokoh, tak sedikit pun tampak goyah.
Mukanya merah, dan tatapannya tajam.
"Siapa kau, Monyet Jelek"!" tanya si Macan Lembah
Iblis. "Maaf, aku tidak ada waktu," kata Rangga kembali
membalikkan tubuh.
"Bangsat!" geram si Macan Lembah Iblis.
Tiba-tiba kedua tangan laki-laki itu mendorong ke
depan. Mendadak Rangga merasakan satu dorongan
kuat dari belakang. Dengan cepat dia melompat dan
berputar di udara. Sebuah gubuk kecil kontan hancur berantakan. Rangga ringan
sekali menjejakkan kakinya di depan si Macan Lembah Iblis.
"Aku tidak segan-segan membunuhmu Monyet Je-
lek!" dengus si Macan Lembah Iblis menggeram.
"Apa yang kau inginkan" Kalau ingin uang, aku ti-
dak punya!" balas Rangga tidak kalah sengitnya.
"Bukan uang, tapi nyawamu!"
"Hm...," Rangga menggumam.
Alis Pendekar Rajawali Sakti agak merapat. Matanya tajam meneliti tongkrongan
orang tinggi dan besar berwajah kasar di depannya.
"Bersiaplah, Anak Muda!"
Setelah berkata demikian, si Macan Lembah Iblis
langsung melompat sambil berteriak nyaring. Sementa-ra Rangga hanya menggeser
kakinya sedikit, dan cepat mengangkat tangannya.
Plak! Kaki yang mengarah ke depan langsung ditepak ke-
ras oleh Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!" Macan Lembah Iblis mendengus geram.
"Rupanya kau punya isi juga, Bocah!"
"Maaf, aku tidak suka ribut," sahut Rangga bersi-
kap mengalah. "He he he.... Lagakmu seperti seorang pendekar sa-
ja! Kau tahu, siapa yang ada di depanmu, heh" Aku si Macan Lembah Iblis! Tidak
ada seorang pun yang lolos kalau aku menginginkan darahnya!" ancam si Macan
Lembah Iblis, congkak.
"Tapi tidak begitu denganku," sambut Rangga ka-
lem. "Setan alas! Kau menantangku, Bocah"!"
"Terlanjur."
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
*** 2 Si Macan Lembah Iblis melompat sambil mencabut
goloknya yang besar berwarna hitam pekat. Begitu
Rangga melangkah mundur dua tindak, ternyata sabe-
tan golok yang begitu dahsyat itu hanya menyambar
angin kosong. Kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti, mungkin baru kena angin
sambaran goloknya saja sudah lari terbirit-birit. Tapi tidak demikian halnya
dengan Rangga yang malah semakin tenang.
Melihat lawannya mampu menandingi sampai lima
jurus, si Macan Lembah Iblis jadi semakin geram. Serangannya diperhebat sambil
terus menyumpah. Seki-
tar pertarungan telah porak-poranda terkena kibasan golok si Macan Lembah Iblis.
Beberapa orang yang berada di sekitarnya cepat-
cepat menyingkir mencari selamat. Hanya beberapa
orang berkemampuan agak tinggi yang masih menyak-
sikan jalannya pertarungan. Bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai
arena judi. Mereka masing-masing memilih jagonya dengan bayaran sejumlah
uang. Dan sebenarnya Rangga mendengar pertaruhan
itu, meskipun dalam keadaan tengah bertarung. Maka seketika hatinya jadi geram.
Ternyata, penduduk desa ini telah terjangkiti penyakit yang merusak moral.
"Awas kaki...!" teriak Rangga sambil menyampokkan
kakinya ke kaki lawan.
"Uts!" si Macan Lembah Iblis menghindarinya de-
ngan cepat. Tapi belum si Macan Lembah Iblis sempat memper-
baiki keadaannya, tiba-tiba tangan kanan Rangga sudah menyodok ke depan. Laki-
laki kasar itu tidak
punya pilihan lain. Segera tubuhnya mengegos sambil mengayunkan golok dengan
cepat ke tangan Rangga.
Tap! Rangga menjepit golok itu kuat-kuat di antara ke-
dua jarinya. Si Macan Lembah Iblis kontan terkejut.
Segera seluruh tenaganya dikerahkan untuk mele-
paskan goloknya. Tapi golok itu bagai dijepit oleh baja yang amat kuat, hingga
si Macan Lembah Iblis sampai berkeringat. Padahal, seluruh tenaga dalamnya sudah
dikerahkan, tapi sedikit pun tak bergeming.
"Hih!" Rangga menghentakkan tangannya ke bawah.
Begitu kuat dan cepatnya, sehingga si Macan Lem-
bah Iblis sampai tertarik ke depan. Begitu tubuhnya doyong secepat kilat Rangga
mengayunkan kakinya ke depan.
Buk! "Hugh!"
Si Macan Lembah Iblis mengeluh pendek.
Telak sekali kaki Rangga mendarat di dada si Macan Lembah Iblis. Akibatnya
pegangan pada gagang goloknya terlepas dengan tubuh terhuyung-huyung ke
belakang. Belum lagi keseimbangan tubuhnya dikuasai,
secepat kilat Rangga menjentikkan jemarinya yang
mengepit golok. Maka, seketika golok itu meluncur deras ke arah si Macan Lembah
Iblis. "Aaakh...!"
Si Macan Lembah Iblis menjerit melengking tinggi.
Dada si Macan Lembah Iblis kontan tertancap sen-
jatanya sendiri. Tubuhnya langsung ambruk, dan
menggelepar di tanah. Darah tampak mengucur deras
dari dadanya. Sejenak Rangga memandangi tubuh
yang sudah tak bergerak-gerak lagi, kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat
itu. Setelah Rangga pergi, orang-orang yang menyaksi-
kan kejadian ini keluar, dan langsung mengerumuni
mayat si Macan Lembah Iblis. Macam-macam guma-
man terdengar saling sambut. Yang menang bertarung, tertawa-tawa senang.
Sedangkan yang kalah mengge-rutu karena jagonya tewas. Tak seorang pun yang
mempedulikan ke mana Pendekar Rajawali Sakti pergi.
Bagi mereka, seorang pendatang yang memperlihatkan kebolehannya merupakan satu
tontonan biasa.
Lain halnya Rangga. Kejadian barusan membuatnya
jadi lebih banyak berpikir. Dia makin heran atas keadaan Desa Mayang yang
dianggapnya aneh dan tidak
wajar. Baru kali ini Rangga menemukan sebuah desa
yang memiliki keanehan tersendiri.
*** "Kau pulang larut sekali malam tadi."
Pendekar Rajawali Sakti menoleh dan tersenyum
begitu melihat Risman sudah duduk di sampingnya.
Rangga memang pulang hampir pagi. Dan semua peng-
huninya sudah terlelap. Namun tidak diduga kalau
Risman bisa mengetahui kedatangannya.
"Ke mana saja kau semalam?" tanya Risman lagi
"Jalan-jalan," jawab Rangga, singkat.
"Kudengar, ada keributan semalam. Katanya si Ma-
can Lembah Iblis tewas bertarung melawan seorang
pendekar muda yang baru singgah di sini. Aku yakin pasti kau yang bertarung
semalam," duga Risman.
Rangga kaget dibuatnya. Begitu cepat berita itu ter-siar. Sampai pagi-pagi
begini, Risman sudah tahu apa yang terjadi semalam.
"Kau tahu, siapa si Macan Lembah Iblis itu?"
"Tidak," sahut Rangga singkat.
"Dia adalah salah satu pengawal orang terpandang
di desa ini," jelas Risman.
"Maksudmu, kepala desa?"
"Lebih dari itu. Selain kepala desa, juga saudagar dan tuan tanah yang sangat
kaya." "Hm. Siapa namanya?"
"Orang memanggilnya Gusti Pragala."
"Lalu, apa yang membuatmu cemas?"
"Gusti Pragala pasti tidak akan menerima kematian
pengawalnya. Masalahnya si Macan Lembah Iblis ada-
lah kaki tangannya yang paling diandalkan dan dipercaya."
"Kau takut?"
"Untuk apa" Semua orang menganggapmu hanya
pendatang yang kebetulan singgah. Tak seorang pun
yang tahu kalau kau ada di sini," tegas Risman.
"Kecuali aku!" tiba-tiba terdengar suara keras
menggelegar. Rangga dan Risman kontan menoleh ke arah suara
itu. Mereka cukup terkejut oleh suara yang bagai gun-tur tadi. Tampak di tengah-
tengah halaman rumah
berdiri seorang laki-laki tinggi besar. Dadanya dibiarkan terbuka,
memperlihatkan bulu-bulunya yang hi-
tam lebat. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang panjang dan besar bergagang
perak. Wajahnya bengis dan kasar, penuh ditumbuhi brewok.
Perlahan-lahan Rangga bangkit berdiri, diikuti Risman. Pendekar Rajawali Sakti
melangkah mendekati
orang yang berdiri tegak dan angkuh di depan. Lang-
kahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal satu batang tombak lagi. Matanya
tajam merayapi orang di
depannya. Agak berkerut juga kening Rangga ketika
melihat tampang yang menyeramkan, persis raksasa
kelaparan. "Maaf. Apakah aku pernah mengenalmu, Kisanak?"
Rangga membuka suara lebih dahulu. Mungkin saja
ingatannya terlupa, barangkali dia pernah mengenal orang itu. Makanya dia
bertanya seperti itu.
"Aku Rakyan Buto! Kedatanganku ke sini untuk
menuntut balas atas kematian adikku semalam!" ja-
wab Rakyan Buto.
"Hm. Jadi Macan Lembah Iblis itu adikmu?" tanya
Rangga tenang sekali.
"Benar! Dan kau berhutang nyawa padaku!"
"Maaf. Aku tidak sengaja membunuhnya. Dialah
yang ingin membunuhku. Dan aku hanya membela di-
ri." "Phuih! Membela diri atau bukan, kau harus membayar nyawa adikku!"
Rangga melirik Risman yang kini sudah didampingi
Badil dan istrinya. Wajah suami istri itu tampak begitu ketakutan, sampai-sampai
lutut mereka gemetar. Hanya Risman yang kelihatan tenang. Bahkan matanya
tajam mengawasi laki-laki tinggi besar yang ternyata bernama Rakyan Buto.
"Bersiaplah, Bocah!" sentak Rakyan Buto.
Setelah berkata demikian, Rakyan Buto langsung
mencabut pedangnya. Sinar keperakan yang menyi-
laukan langsung berpendar begitu pedang keluar dari warangka.
Sementara Rangga melangkah mundur dua tindak,
bersiap-siap dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Perlahan-lahan
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya berubah jadi berwar-
na merah bagai terbakar. Pendekar Rajawali Sakti tidak mau tanggung-tanggung,
karena sudah bisa me-
nilai kalau lawan yang dihadapi memiliki ilmu yang tidak rendah. Maka langsung
dikerahkannya jurus ke
empat dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
"Hiyaaa...!" Rakyan Buto berteriak nyaring.
Pada saat yang sama, tubuh tinggi besar itu me-
lompat sambil mengibaskan pedangnya. Sinar putih
keperakan berkelebat ke arah leher Rangga. Namun
dengan sedikit menarik kepala, kibasan pedang itu lewat di depan lehernya.
Dan belum lagi Rangga bisa berbuat sesuatu, kaki
Rakyan Buto sudah melayang ke pinggang. Maka dia
segera melompat, seraya mengirimkan satu tendangan keras ke arah kepala. Rakyan
Buto merunduk cepat.
Pertarungan tampak jadi berlangsung makin sengit.
Masing-masing mengeluarkan ketinggian ilmunya. Se-
mentara, Rangga masih tetap mengerahkan jurus 'Pu-
kulan Maut Paruh Rajawali'. Sedangkan Rakyan Buto
sudah menghabiskan tidak kurang dari lima jurus.
Memasuki jurus keenam, Rakyan Buto semakin ce-
pat dan berbahaya. Pedangnya berkelebat mengurung
tubuh Rangga. Begitu cepatnya bergerak, sehingga
yang terlihat hanya bayangannya. Bahkan ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti
sepertinya tertutup oleh kelebatan sinar-sinar keperakan dari pedang Rakyan
Buto. Rangga mengerahkan tingkatan terakhir dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sinar yang keluar dari kedua tangannya semakin
memancar mengalahkan sinar pedang Rakyan Buto. Sinar-sinar merah meluncur ke
sana kemari, mengarah tubuh Rakyan Buto yang
jadi kerepotan menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
"Akh!"
Mendadak, Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras.
Bersamaan dengan itu, kedua tangannya bergerak ce-
pat ke atas dan ke bawah, disertai putaran tubuhnya yang cepat bagai gasing.
Sinar merah yang keluar dari telapak tangannya memancar ke segala arah. Dan
salah satunya menghantam tangan kanan Rakyan Buto
yang menggenggam pedang.
Rakyan Buto langsung melompat mundur. Pedang-
nya seketika terlepas dan tangan kanannya, hangus
terbakar mengeluarkan asap tipis berwarna merah.
Rakyan Buto meringis memegangi sebelah tangannya
yang kini mati.
"Kurang ajar!" geramnya marah.
"Aku masih memberimu kesempatan hidup. Pergi-
lah, jangan ganggu ketenangan kami!" ancam Rangga, dingin sekali.
"Phuih! Pantang bagiku mundur sebelum mencabut
nyawamu!" dengus Rakyan Buto.
"Hm.... Rupanya kau termasuk orang yang keras
kepala," kata Rangga, sengit
"Sudah saatnya mengadu nyawa, Bocah!"
Rakyan Buto langsung merenggangkan kakinya.
Kemudian, kedua tangannya merentang ke depan. Bi-
birnya sedikit meringis saat memaksakan tangan ka-
nannya terangkat. Perlahan-lahan kedua tangannya
diturunkan, lalu ditarik dengan siku tertekuk di samping dada.
Rangga mengerutkan kening seperti pernah melihat
jurus ilmu kesaktian itu. Tapi, entah di mana" Dan belum memperoleh jawaban,
mendadak seberkas sinar
kuning meluncur cepat ke arahnya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti
melompat. Maka sinar kuning itu hanya menghantam sebatang pohon hingga hancur.
"Edan!" dengus Rangga. "Aku tidak boleh main-
main. Dia benar-benar ingin membunuhku!"
Saat sinar kuning yang kedua kembali meluncur,
mau tak mau secepat kilat Rangga mengerahkan ilmu
'Cakra Buana Sukma'. Yang langsung didorong dengan tangannya ke depan. Dua sinar
saling bertemu di satu titik. Sinar biru dan kuning tampak saling mendorong, adu
kekuatan. Beberapa saat, mulai kelihatan kalau sinar kuning
semakin terdesak mundur. Padahal, Rakyan Buto su-
dah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendo-
rong sinar biru. Tapi usahanya sia-sia. Ternyata sinar biru itu semakin kuat
mendorong. Hingga akhirnya,
seluruh sinar kuning lenyap dari pandangan. Bahkan kini kedua tangan Rakyan Buto
telah diselimuti sinar biru.
"Hih, akh!" Rakyan Buto menggeliat.
Terasa sekali kalau tenaga Rakyan Buto semakin
tersedot keluar. Semakin mencoba untuk bertahan,
semakin kuat tenaganya tersedot.
"Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring.
Suatu ledakan keras terdengar, seketika itu juga sosok tubuh Rakyan Buto
terlontar ke belakang, kemu-
dian sosok tubuh itu menggeliat-geliat meregang nya-wa. Mati! Akibat terkena
pukulan ilmu pamungkas
Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menarik kembali
ajiannya. Sebentar ditariknya napas panjang. Sementara benaknya masih diliputi
pertanyaan mengenai il-mu yang pernah dikenal beberapa waktu lalu. Seper-
tinya, ilmu seperti itu pernah dihadapinya. Tapi entah di mana, kapan dan dengan
siapa. Belum sempat terjawab, Risman sudah berlari-lari ke arahnya.
Risman berdiri sekitar tiga langkah di depan Rang-
ga. Sementara Badil dan istrinya mengikuti. Mata mereka menatap Pendekar
Rajawali Sakti dengan sinar
yang sulit dilukiskan.
"Keadaan kita sudah tidak aman lagi," pelan suara
Risman terdengar.
"Ya! Gusti Pragala pasti akan mengirim jago-jagonya ke sini," lanjut Badil.
"Sebaiknya, kau segera pergi sebelum tubuhmu di-
cincang," sambung Sadiah.
Rangga hanya mendesah seraya mengayunkan lang-
kahnya menuju rumah kecil itu. Dia berbalik, lalu duduk di lantai beranda yang
terbuat dari papan. Pikirannya tidak terpusat pada kekhawatiran ketiga orang
itu, tapi masih tertuju pada ilmu yang tadi dikerahkan Rakyan Buto. Rangga yakin
sekali kalau pernah bentrok dengan seseorang yang memiliki ilmu kesaktian
seperti itu. Hanya saja, tingkatannya lebih kuat dan dahsyat.
*** Malam telah merayap naik. Udara di sekitar Desa
Mayang semakin dingin. Sejak sore Rangga keluar rumah ingin menyelidiki keadaan
desa yang menurutnya punya ciri khas tersendiri. Sementara di beranda depan,
Risman duduk ditemani Badil dan istrinya. Sejak Rangga pergi, tak seorang pun
yang bicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Risman menghela napas panjang, sebelum meneguk
kopinya yang sudah dingin. Matanya merayapi seki-
tarnya. Hanya kegelapan saja yang nampak menyeli-
muti bagai di tengah-tengah kuburan. Onggokan debu dari tubuh Rakyan Buto,
perlahan-lahan mulai terkikis terbawa angin malam.
"Aku belum yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sak-
ti," gumam Badil memecah kesunyian.
"Kau tidak lihat pedang di punggungnya tadi, Ka-
kang?" Risman membantah dugaan Badil.
"Tidak sedikit senjata yang memiliki gagang berbentuk kepala burung. Menurut
keterangan yang kude-
ngar, pedang Pendekar Rajawali Sakti memancarkan
sinar biru yang sangat terang dan menyilaukan mata,"
tegas Badil. "Kau sudah melihat saat dia menggunakan pedang
itu, Risman?" tanya Sadiah ikut bicara.
"Belum," sahut Risman terus terang.
"Nah! Kenapa kau begitu yakin?"
"Dari ciri-cirinya!" Risman tetap pada pendiriannya.
"Aku hanya mengingatkanmu, Risman," kata Badil.
"Terima kasih," ucap Risman.
Beberapa saat mereka kembali terdiam.
"Sudah dua tokoh sakti tewas di tangannya. Dan
mereka bukanlah orang sembarangan. Aku jadi sangsi, semuanya akan gagal," Sadiah
bergumam pelan.
"Hilangkan keraguanmu, Sadiah! Kita harus selalu
bersikap wajar sebelum yakin bahwa dia benar-benar Pendekar Rajawali Sakti!"
celetuk Badil. "Iya, kalau benar. Kalau salah?"
"Masih ada waktu. Dan kukira pemuda itu bisa di-
andalkan. Lihat saja! Rakyan Buto yang begitu sakti dan tidak ada tandingannya
tewas di tangannya"!"
Risman mencoba meyakinkan.
"Rakyan Buto dan Macan Lembah Iblis masih jauh
tingkatannya dibandingkan...," Sadiah tidak meneruskan kata-katanya.
Mereka seketika mengalihkan pandangan ke depan.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti berjalan santai ke
arah mereka. Rangga tersenyum dan mengangguk be-
gitu kakinya menginjak lantai beranda yang terbuat dari belahan papan. Tanpa
dipersilakan lagi, dia duduk di samping Risman.
"Dari mana?" tanya Sadiah lembut.
"Jalan-jalan," sahut Rangga.
"Bagaimana menurutmu keadaan desa ini?" tanya
Badil basa-basi.
"Menyenangkan! Seperti bukan sebuah desa. Terla-
lu besar dan ramai, bagai kadipaten."
"Memang begitu keadaannya. Mungkin nanti desa
ini juga akan berubah jadi kadipaten, atau bisa jadi kerajaan kecil," celetuk
Risman agak bergumam.
Risman mengalihkan wajah saat menyadari tengah
dipandangi oleh Badil dan Sadiah.
"Yah, memang pantas desa ini diubah jadi kadipa-
ten," sambut Rangga polos.
Ketiga orang itu saling berpandangan. Tatapan mata Sadiah sedikit tajam
memandang mata Risman. Sementara, Rangga bangkit. Setelah berbasa-basi sebentar,
kakinya melangkah ke dalam rumah. Tubuhnya
terasa pegal-pegal. Dia ingin menikmati istirahat seje-nak untuk melemaskan
otot-ototnya. "Risman, jaga mulutmu!" sentak Sadiah tertahan,
begitu Pendekar Rajawali Sakti sudah tak terlihat lagi.
"Maaf, aku keterlepasan bicara," sahut Risman.
"Huh! Untung dia tidak curiga," dengus Badil pelan.
"Mudah-mudahan saja begitu, sampai rencana kita
terlaksana," gumam Sadiah.
Risman mengangkat bahunya, lalu beranjak me-
ninggalkan beranda. Langkahnya tertahan ketika Sa-
diah memanggil.
"Mau ke mana kau?" Sadiah balik bertanya.
"Keluar, cari hiburan," sahut Risman kalem.
"Ingat! Kau harus hati-hati, Risman!" Badil mengi-
ngatkan. "Jangan khawatir! Aku bisa jaga diri!"
Risman kembali melangkahkan kakinya. Tinggal
Badil dan Sadiah di situ. Mata mereka lurus menatap punggung Risman yang semakin
menghilang ditelan
kegelapan malam.
"Anak itu perlu diawasi, Kakang," kata Sadiah pe-
lan. "Aku percaya, dia sudah cukup dewasa, sehingga
bisa memilih mana yang harus dikerjakan dan ditinggalkan," sahut Badil kalem.
"Tapi...."
"Ah, sudahlah. Tidak perlu dicemaskan. Mungkin di
dalam kepalanya ada rencana yang tidak kita ketahui.
Buah pikirnya selalu cemerlang," ada nada pujian pada suara Badil.
"Terserahlah. Tapi kau harus ingat, Kakang. Mulut-
nya gampang terbuka!"
"Sebaiknya, kau istirahat saja," Badil tidak mempedulikan kekhawatiran Sadiah.
Wanita ayu berkulit kuning langsat itu mengangkat
pundaknya, lalu melangkah masuk. Badil menghela
napas panjang begitu tubuh Sadiah lenyap di balik
pintu. Sebentar dia masih duduk di kursi bambu, kemudian beranjak masuk juga.
Keadaan di dalam ru-
mah lengang sekali. Cahaya yang ada hanya sebuah
pelita dari buah jarak kecil yang tergantung di tengah-tengah ruangan depan.
Sementara malam merayap la-
rut, angin pun semakin dingin berhembus.
*** 3 Risman terkejut ketika tiba-tiba langkahnya diha-
dang lima orang bertampang sangar yang masing-ma-
sing menggenggam tongkat panjang. Dan begitu berba-
lik, ternyata di belakangnya sudah muncul lima orang lagi, bersenjatakan tongkat
juga. Dan, tiba-tiba muncul, masing-masing dari samping kanan dan samping
kiri. Kini Risman dikepung tidak kurang dua puluh
orang. Beberapa saat Risman berputar memandang wajah-
wajah pengepung yang tidak dikenalnya. Menyesal dia hanya membawa pisau-pisau
kecil yang tersembunyi di balik ikat pinggangnya.
"Siapa kalian" Dan apa maksudnya menghalangi ja-
lanku?" tanya Risman bersikap waspada.
"Kau tidak perlu tahu tentang kami! Saat ini, kau
hanya boleh menyebut nama leluhurmu!" jawab salah
seorang dingin.
"Aku tidak kenal kalian. Apa urusannya sehingga
kalian menginginkan nyawaku?" Risman sudah bisa
mengerti maksud orang-orang ini.
"Kau pengkhianat, Risman!"
"Aku..."!"
Belum sempat Risman meneruskan kalimatnya, ti-
ba-tiba empat orang sudah melompat sambil men-
gayunkan tongkatnya yang panjang. Risman cepat me-
lompat sambil menangkis tongkat-tongkat yang meng-
ancam tubuhnya. Beberapa saat pertarungan berlang-
sung, sudah kelihatan kalau kepandaian Risman jauh di atas keempat penyerangnya.
Pada satu kesempatan, ketika salah seorang me-
nyodokkan tongkat dari samping kanan, Risman cepat menarik tubuhnya ke belakang.
Lalu secepat kilat tangannya menangkap tongkat itu, dibarengi satu ten-
dangan telak yang langsung menghajar perut penye-
rangnya. "Hugh!" orang itu mengeluh tertahan.
Gerakan Risman begitu cepat, tahu-tahu tongkat
panjang itu sudah berpindah ke tangannya. Belum lagi orang itu sempat menyadari
apa yang terjadi, Risman langsung mengayunkan tongkat rampasannya dengan
deras sekali ke arah kepala si pemilik tongkat.
Trak! Orang itu kontan meraung keras sambil memegangi
kepalanya yang pecah oleh tongkatnya sendiri. Sebentar dia mampu berdiri,
sebelum tubuhnya ambruk
menggelepar di tanah. Risman menyilangkan tongkat
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rampasannya di depan dada, begitu melihat salah satu lawannya tewas dengan
kepala pecah. "Serang...!"
Satu teriakan keras terdengar diikuti berlompatan-
nya sepuluh orang lainnya. Kini Risman dikurung rapat dari segala penjuru.
Mereka memutar-mutar tongkat, dan mengebut-ngebutkan hingga di sekitarnya
tercipta angin menderu-deru bagai terjadi badai topan.
Risman menggerakkan kakinya berputar sambil
menggerak-gerakkan tongkat. Matanya tajam menga-
wasi setiap orang yang mengepungnya. Tiga belas
orang kini bergerak memutar, sambil memainkan
tongkat. "Mulai...!"
Begitu terdengar teriakan keras, mereka semua ber-
lompatan sambil mengayunkan tongkat. Sementara
Risman memutar tongkat rampasannya dengan cepat
bagai baling-baling, sehingga menjadikan perisai bagi dirinya.
Trak, trak, trak!
Suara-suara tongkat beradu memekakkan telinga,
ditingkahi teriakan semangat pertempuran. Risman
agak kewalahan juga menghadapi banyak pengeroyok,
meskipun rata-rata kepandaiannya berada di bawah.
"Hih!"
Risman mengebutkan tangannya seketika.
"Aaakh...!"
Satu jeritan melengking terdengar begitu sebuah
cahaya keperakan berkelebatan dari tangan kiri Risman yang bergerak cepat.
Rupanya satu pisaunya te-
lah digunakan untuk mengurangi daya tahan penye-
rangnya. Belum lagi hilang jeritan tadi, tak lama disusul jeritan lain berturut-
turut. Satu persatu, tubuh-tubuh penyerang itu bergelim-
pangan dengan beberapa bagian tubuh tertancap pisau kecil dari perak murni.
Dalam waktu tidak berapa la-ma saja, sudah lima mayat tergeletak dengan tubuh
tertancap pisau. Melihat hal ini, para penyerangnya ja-di gentar juga. Mereka
serentak berlompatan mundur dengan sikap tetap waspada.
"Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir sebelum se-
mua kuhabisi!" dengus Risman dingin bergetar.
"Phuih! Jangan berbangga hati dulu, Pengkhianat!
Hadapi aku!"
Sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Tahu-
tahu di depan Risman berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah longgar.
Wajahnya kurus berkeriput,
dengan mata merah menatap tajam tak berkedip. Seluruh rambutnya sudah berwarna
putih tergulung ke
atas. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna merah berkeluk-keluk
bagai ular. Risman melangkah mundur dua tindak. Dia tahu
siapa yang kini berdiri di depannya. Seorang yang dikenal berjuluk Setan Jubah
Merah, tokoh sakti dan
sulit dicari tandingannya. Tongkat merahnya sungguh dahsyat, dan mengandung
racun yang bekerja cepat
dan sangat mematikan. Risman bergidik, dan ragu
akan kemampuannya. Sungguh disadari, siapa lawan
yang akan dihadapi.
*** "Mundur!" Setan Jubah Merah merentangkan ta-
ngannya. Orang-orang bertongkat itu langsung melangkah
mundur. Sedangkan Setan Jubah Merah maju men-
dekat dan berhenti, setelah jaraknya tinggal tiga langkah di depan Risman. Kedua
bola matanya yang me-
rah, menatap tajam.
"Aku diperintahkan untuk membawamu, Risman.
Kau harus diadili di depan ketua agung!" datar suara Setan Jubah Merah
terdengar. "Tidak semudah itu, Setan Jubah Merah!" dengus
Risman. "Sayang sekali. Aku diperintahkan untuk memba-
wamu hidup-hidup," gumam Setan Jubah merah agak
menggeram. "Dan aku akan membunuhmu di sini!" tantang
Risman. Setan Jubah Merah menggeram keras. Kata-kata
Risman membuatnya marah sekali. Maka tanpa ba-
nyak kata lagi, langsung diserangnya anak muda itu dengan jurus-jurus pendek
tangan kosong. Sedangkan Risman melayaninya dengan sungguh-sungguh. Dia
sadar kalau kepandaiannya jauh di bawah si Setan
Jubah Merah. Sehingga, jurus mautnya terpaksa ha-
rus dikerahkan.
Agak kerepotan juga Setan Jubah Merah mengha-
dapi jurus-jurus tangan kosong Risman yang begitu
cepat dan sangat berbahaya. Dia segera melompat ke udara, lalu cepat menukik
sambil mengayunkan kakinya.
Risman yang tidak menyangka akan mendapat bo-
kongan, tidak bisa lagi mengelak. Tendangan Setan
Jubah Merah telak mendarat di punggungnya, sehing-
ga membuatnya terjungkal beberapa langkah ke de-
pan. Buru-buru tubuhnya berbalik dan bersiap-siap.
Sementara Setan Jubah Merah berdiri tegak mengawa-
si. "Hih!"
Risman mengangkat tangan kanannya ke atas, lalu
perlahan-lahan diturunkan dengan gemetaran. Kemu-
dian, tangan itu berhenti di depan mukanya. Sedangkan tangan kiri menyilang di
depan dada. Melihat Risman mengeluarkan jurus andalan terakhirnya, Setan
Jubah Merah segera mengimbanginya.
"Hiyaaa...!" Risman melompat sambil memekik
nyaring. Setan Jubah Merah juga melompat cepat. Kedua
tangan Risman bergerak cepat selagi di udara. Sementara Setan Jubah Merah
mengimbanginya dengan
menggerakkan tangannya dengan cepat pula.
Des! Satu pukulan keras mendarat di dada Risman tan-
pa mampu menangkis lagi.
Tubuh Risman langsung menukik deras ke tanah.
Tubuhnya bergulingan beberapa kali, sebelum mampu
bangkit dengan sempoyongan. Setan Jubah Merah
mendarat manis di tanah. Dia berdiri tegak sambil ber-tolak pinggang dengan
bibir tersenyum meremehkan.
"Ikat dia!" perintah Setan Jubah Merah.
Empat orang langsung melompat maju sambil men-
geluarkan seutas tambang. Mereka cepat memutar-
mutar tambangnya dan melemparkan ke arah Risman.
Dua tambang berhasil dihindari. Tapi satu tambang
lain telah membelit lengan kanannya, dan satu lagi mengikat kaki kiri. Belum
juga Risman sempat berbuat sesuatu, dua tambang lagi sudah menjerat tangan dan
kakinya yang masih bebas.
Bruk! Tak ampun lagi, Risman jatuh dengan kaki dan
tangan terikat. Sia-sia dia memberontak, karena ikatan itu begitu kuat
membelenggu. Bahkan dadanya semakin terasa sesak setiap kali tenaganya
dikerahkan untuk melepaskan diri.
"Seret!" perintah Setan Jubah Merah.
Dua orang memegangi tambang. Sementara dua lagi
mengikuti dari belakang. Sedangkan dua orang lagi
menyeret dari depan. Risman benar-benar tidak ber-
daya lagi dibuatnya. Si Setan Jubah Merah tertawa-
tawa mengikuti dari belakang.
"Lepaskan! Kubunuh kalian semua!" teriak Risman
terus meronta-ronta.
"Diam, Bocah!" bentak Setan Jubah Merah.
"Kau akan menyesal, Setan Jubah Merah!" geram
Risman. "Jangan menggertak, Bocah. Kalau bukan ketua
agung yang memerintah, sudah sejak tadi kubunuh
kau, Pengkhianat!" Setan Jubah Merah tidak kalah
gertak. "Phuih!" Risman meludah geram.
"Ha ha ha...!" Setan Jubah Merah hanya tertawa sa-
ja terbahak-bahak.
Risman terus diseret, tanpa mampu berbuat apa-
apa lagi. Punggungnya jadi babak belur dan terasa perih, mungkin akibat
terseret. Mulutnya meringis saat beberapa ranting tajam menusuk punggungnya.
Hingga sepanjang jalan yang dilalui darah berceceran bercampur debu.
"Kubunuh kau, Setan Jubah Merah! Kubunuh
kauuu...!" teriak Risman berulang-ulang.
"Ha ha ha...!" Setan Jubah Merah hanya tertawa sa-
ja. Risman hanya bisa berteriak-teriak melampiaskan
kemarahannya, namun apa dayanya lagi" Dia tahu,
apa yang akan diterima kalau sudah dihadapkan pada ketua agung nanti. Dan itu
memang sudah diperhi-tungkannya sejak semula. Hanya saja, sungguh tidak disangka
kalau sampai secepat ini. Dalam hati, dia mengumpat habis-habisan karena tidak
membawa senjata tadi. Kalau saja Risman membawa senjata pusaka, ra-
sanya hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi. Paling tidak, dia masih bisa
meloloskan diri sebelum mereka berhasil menangkapnya. Dalam hati, dia mengutuk
dirinya sendiri! Kenapa begitu tolol meninggalkan pusaka di rumah! Otaknya terus
berputar, mencari cara
agar dapat meloloskan diri. Tapi keadaannya saat ini memang tidak menguntungkan.
Begitu banyak yang
mengawal. Belum lagi ada si Setan Jubah Merah yang berjalan di ujung kakinya.
Keadaan Risman kali ini benar-benar terjepit, tidak ada celah untuk membebaskan
diri. Sementara, malam makin larut. Angin dingin ber-
hembus lebih kencang, membawa titik-titik embun
yang jatuh ke tanah. Sedangkan segala kegiatan ma-
lam Desa Mayang tampaknya mulai memudar. Bebera-
pa kedai sudah terlihat tutup. Lampu-lampu penerang jalan sudah banyak
dipadamkan. Risman terus diseret melintasi jalan utama. Tak seorang pun yang mau
peduli. Siapa orang yang tidak kenal Setan Jubah Me-
rah" Mencampuri urusan Setan Jubah merah, sama
saja menyerahkan nyawa sia-sia.
*** Rangga membasuh mukanya di pancuran yang ter-
letak di belakang rumah. Kepalanya menoleh ketika
mendengar suara langkah halus menghampirinya. Bi-
birnya langsung tersenyum begitu melihat Sadiah datang membawa sekeranjang
cucian. "Pagi-pagi begini sudah ingin mencuci?" tegur
Rangga ramah. "Sudah biasa," sahut Sadiah, seraya meletakkan ke-
ranjang cuciannya.
"Oh. Ya. Aku tidak melihat Risman pulang semalam.
Ke mana dia, ya?" Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ah! Paling-paling, ke rumah Surti," sahut Sadiah, acuh.
"Surti" Siapa dia?" tanya Rangga.
"Biasa," masih acuh jawaban Sadiah.
Rangga jadi berkerut keningnya. Sulit dimengerti
jawaban Sadiah yang bernada tidak mau tahu itu. Belum Rangga bertanya lebih
lanjut, Badil datang menghampiri. Laki-laki tinggi tegap berkulit sawo matang
itu langsung menyeret Rangga begitu sampai. Tentu
saja sikap Badil yang aneh ini semakin membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi
kebingungan. Sadiah juga mengikuti, tidak peduli pada cuciannya yang sudah
basah. Badil langsung saja membawa Rangga ke dalam
rumah. Segera ditutupnya semua pintu dan jendela.
Sebentar sebelah matanya mengintip keluar dari celah-celah daun jendela.
Kemudian, tubuhnya berbalik
menghadapi Rangga yang hanya berdiri saja tak men-
gerti atas sikap Badil yang aneh ini. Sadiah juga berdiri saja di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa?" tanya Rangga tidak sabar.
"Celaka!" suara Badil agak tertahan di kerongko-
ngan. Napasnya juga jadi tersengal.
"Celaka" Apa yang terjadi"!" tanya Sadiah men-
dekati suaminya.
"Risman! Aduh..., celaka besar. Bisa kiamat, nih
urusannya!"
"Tenang! Apa yang terjadi pada Risman?" Rangga
berusaha menenangkan.
Sadiah menuangkan air kendi ke dalam gelas, dan
menyerahkannya pada Badil. Laki-laki itu meneguk air yang diberikan istrinya
dengan tangan gemetaran. Sebentar napasnya diatur agar lebih tenang sedikit.
Lalu, dia duduk di kursi menghadapi meja bundar yang ada di tengah-tengah
ruangan ini. "Ceritakan, apa yang terjadi terhadap Risman?"
tanya Rangga. "Orang-orang mengatakan kalau Risman semalam
ditangkap," suara Badil sudah terdengar lebih tenang.
"Ditangkap" Ditangkap siapa?" nada suara Sadiah
terdengar cemas.
"Setan Jubah Merah," sahut Badil.
Sadiah memekik kecil sambil mendekap mulutnya.
Kedua bola matanya berputar seperti tidak percaya
pada pendengarannya sendiri. Sejak semalam Risman
memang belum pulang. Malah, baru saja Rangga me-
nanyakan. Sadiah duduk dekat Badil. Tangannya
menggenggam tangan suaminya erat-erat. Tatapannya
lurus menusuk langsung ke bola mata laki-laki tegap itu. "Kau tidak bergurau
kan, Kakang?" tanya Sadiah masih tidak percaya.
"Aku sungguh-sungguh, Sadiah. Semalam Risman
ditangkap. Kedua tangan dan kakinya diikat, lalu diseret melalui jalan utama
desa. Itu yang kudengar dari orang-orang," jelas Badil. Suaranya terdengar
sungguh-sungguh.
"Apa ada yang melihat?" tanya Sadiah lagi.
"Banyak. Malah Surti juga melihat."
"Lalu?"
Badil tidak langsung bisa menjawab, karena tidak
tahu lagi harus berkata apalagi. Ini memang sudah jadi bahan pikirannya, begitu
Risman mengemukakan
maksudnya pada mereka. Dan kini, apa yang dikhawa-
tirkan jadi kenyataan. Maka, tidak mustahil mereka berdua akan ikut terlibat.
Perlahan-lahan kepala Badil terangkat. Matanya
langsung tertuju pada Rangga yang masih tetap berdiri di tempatnya. Sadiah juga
memandang ke arah yang
sama. Dari tatapan mata mereka, jelas terpancarkan satu permintaan yang sulit
diucapkan oleh kata-kata.
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri dan duduk di
depan suami istri itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya membisu. Tidak ada
yang berusaha memulai
percakapan. Hanya sinar mata saja yang banyak me-
ngatakan sesuatu. Sesuatu yang terkandung di dalam hati, namun sulit
dikeluarkan. "Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Rangga. Sua-
ranya terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Rangga. Su-
ami istri itu hanya saling pandang saja. Berat rasanya bagi mereka untuk
mengatakan yang sebenarnya pada
Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan sekali Sadiah menganggukkan kepala. Kemudian
Badil menatap pemuda
yang duduk di depannya dengan sorot mata agak ta-
jam. "Apakah kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti?"
Badil malah bertanya.
Rangga tersenyum dan mengangguk. Hatinya dili-
puti berbagai macam pertanyaan yang belum juga terjawab. Dia tidak mengerti apa
sebenarnya yang terjadi.
Dan, mengapa Badil meragukan kalau dirinya Pen-
dekar Rajawali Sakti" Memang tidak semua orang ken-al Rangga. Lebih-lebih, Badil
yang hanya seorang petani menurut pengakuannya sendiri.
"Apa buktinya kalau kau Pendekar Rajawali Sakti?"
Badil masih belum percaya juga.
"Terus terang, aku tidak mengerti apa sebenarnya
yang kau inginkan?" Rangga semakin bingung jadinya.
"Kami membutuhkan seorang pendekar pilih tan-
ding. Dan menurut keterangan yang kudapat, hanya
ada seorang pendekar yang bisa membantu. Dialah
Pendekar Rajawali Sakti," tegas juga kata-kata Badil, seperti bukan seorang
petani biasa saja.
"Hm.... Aku jadi semakin tidak mengerti," gumam
Rangga. "Kau akan mengerti kalau dirimu benar-benar se-
orang pendekar pilih tanding, seperti yang kami butuhkan saat ini," celetuk
Sadiah. "Kalau aku bukan pendekar yang kalian butuh-
kan?" Rangga memberi pilihan juga.
"Terpaksa kami meninggalkanmu di sini," tegas ja-
waban Badil. "Lantas, apa yang kau ketahui tentang Pendekar
Rajawali Sakti?" pancing Rangga.
"Dia memiliki pedang sakti yang bisa memancarkan
sinar biru. Memang, ciri-cirinya ada semua padamu.
Tapi aku belum yakin kalau belum menyaksikan Pe-
dang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Badil.
"Baiklah, lihat!"
Sret! Rangga meloloskan pedang pusaka dari warangka di
punggung. Seketika itu juga, ruangan ini jadi terang benderang oleh sinar biru
yang terpancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Badil dan Sadiah kontan ter-
nganga menyaksikan pamor pedang yang begitu dah-
syat. Sebentar kemudian Rangga memasukkan kemba-
li pedangnya, sebelum Badil dan Sadiah hilang rasa takjubnya.
"Kau sudah melihat sendiri. Nah! Masih belum per-
caya juga?" dengus Rangga.
"Baiklah! Aku percaya, kau memang Pendekar Ra-
jawali Sakti," sahut Badil.
"Tidak ada seorang pendekar pun yang memiliki pe-
dang seperti itu," sambung Sadiah.
"Nah! Sekarang katakan, apa sebenarnya yang ter-
jadi pada kalian?" desak Rangga agak dingin suaranya.
Sebentar Badil menarik napas panjang sebelum
menjawab permintaan Pendekar Rajawali Sakti. Diliriknya Sadiah yang duduk di
sampingnya. Sedangkan
Sadiah hanya menganggukkan kepala dengan bibir
tersenyum tipis.
*** Rangga menunggu sabar dengan mata tetap tajam
menatap Badil yang masih diam. Dia memang tengah
mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk dikelua-
rkan. Sementara, Sadiah bangkit berdiri dan melangkah ke belakang. Tidak lama,
wanita itu kembali lagi bersama baki di tangannya. Baki itu tertutup kain
berwarna merah tua, dan berenda benang emas. Sa-
diah meletakkan baki itu di atas meja, kemudian duduk di samping Badil.
"Aku dan Sadiah sebenarnya bukan suami istri,"
Badil memulai. "Ya! Sebenarnya kami dua orang pelarian. Seperti
juga Risman," sambung Sadiah.
"Hm, teruskan," pinta Rangga agak kaget juga.
"Berminggu-minggu kami mencari pendekar pilih
tanding, tapi belum juga berhasil. Suatu saat, aku
Datuk Sesat Bukit Kubur 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Medali Wasiat 11
PENYAMARAN RADEN SANJAYA oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Penyamaran Raden Sanjaya
1 Seorang pemuda tampan berompi putih tengah ber-
diri tegak di sebuah lembah. Udara siang ini tidak begitu panas. Angin bertiup
sepoi-sepoi, mempermainkan rambut panjang milik pemuda tampan itu. Melihat
raut wajahnya yang tegang, bisa ditebak kalau dia tengah berpikir keras.
Sepertinya, dia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya.
"Hm.... Untuk mencapai Lembah Naga ini saja, tidak mudah. Lalu, mengapa si
Bayangan Putih mengajakku
bertarung di sini" Aku jadi tidak mengerti, untuk apa sebenarnya Bayangan Putih
mengajakku bertarung"
Padahal masih banyak tantangan yang harus kuhada-
pi," gumam pemuda berompi putih, yang di balik
punggungnya tampak menyembul gagang pedang ber-
bentuk kepala burung. Semua pikiran itu sepertinya menghantui benaknya.
Memang, melihat dari ciri-cirinya, jelas kalau pe-
muda itu adalah Rangga atau lebih dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti. Keberadaannya di tempat ini adalah untuk memenuhi
undangan si Bayangan Putih
yang mengajak bertarung. Sebagai tokoh persilatan, pantang bagi Pendekar
Rajawali Sakti menolak tantangan.
Namun biar bagaimana pun, otaknya terus bekerja
keras untuk mencari jalan keluar agar pertarungan
dapat dihindari. Atau paling tidak, jangan sampai ada yang mati. Dan yang lebih
dipikirkan lagi, mengapa harus dengan pertarungan kalau hanya untuk mengadu
ilmu" "Kalau sesama pendekar saling bertarung, bukanlah
membuat tokoh-tokoh sakti golongan hitam tertawa"
Aku jadi benar-benar tidak mengerti keinginan si
Bayangan Putih itu. Sedikit pun tidak ada rasa gentar dalam diriku. Tapi, untuk
apa bentrok dengan sesama golongan putih?" tanya Rangga dalam hati.
Hampir setengah harian Rangga berdiri mematung
sambil memandang sebuah kampung yang kelihatan
sepi bagai tak berpenghuni. Seperti sebuah kampung mati. Tak terlihat seorang
pun di sana. Bahkan sepertinya, seekor binatang pun enggan hidup di kampung itu.
Entah, apa sebabnya.
"Aneh...," gumam Rangga perlahan.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak melang-
kah, tiba-tiba gerumbul semak di depannya bergerak-gerak. Sebentar kemudian,
muncul seorang pemuda
yang tubuhnya berlumur darah. Sebentar pemuda itu
terhuyung-huyung, lalu jatuh begitu sampai di depan Rangga.
"Tolong...," rintih pemuda itu lirih.
Rangga cepat-cepat menghampiri.
"Siapa kau" Dan, kenapa bisa begini?" tanya Rang-
ga. "Aku.... Aku Risman, dari Kampung Rapak. Mereka menghancurkan kampungku.
Tolong, Tuan. Tolong
kami...," rintih pemuda yang mengaku bernama Ris-
man, memelas. "Apa yang terjadi?" tanya Rangga.
"Mereka merampok, membunuh, dan menculik ga-
dis-gadis desa. Akh!"
Pendekar Rajawali Sakti mengguncang-guncang tu-
buh berlumur darah yang sudah tak bergerak-gerak
lagi. Sebentar diperiksanya keadaan Risman, lalu mulutnya mendesah panjang.
"Hhh..., pingsan. Terlalu banyak darah yang ke-
luar." Rangga memondong tubuh Risman. Kemudian, di-
bawanya tubuh tak berdaya itu, dan dibaringkannya di bawah pohon rindang. Dengan
caranya sendiri, dioba-tinya luka-luka di tubuh pemuda itu.
Setelah cukup lama Rangga menunggui, akhirnya
Risman sadar juga. Keadaan tubuhnya tampak masih
lemah. Rangga kemudian mencegah agar Risman tidak
terlalu banyak bergerak dulu.
"Oh..., Tuan siapa?" tanya Risman.
"Aku Rangga. Berbaringlah dulu. Lukamu cukup
parah," ujar Rangga disertai senyumnya.
Risman memandangi luka-luka di tubuhnya yang
sudah terbalut. Tidak ada lagi bercak-bercak darah yang melekat. Sebentar
dipandanginya Rangga yang
duduk bersila di sampingnya. Senyuman tipis tetap
tersungging di bibir Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih atas pertolonganmu," ucap Risman,
pelan. "Berterima kasihlah pada Sang Hyang Widi yang te-
lah menyelamatkanmu," sahut Rangga merendah.
"Tuan pasti seorang pendekar," tebak Risman.
Rangga hanya tersenyum.
"Oh...!" Risman beringsut, lalu duduk bersandar
pada sebatang pohon yang cukup besar dan rindang,
sehingga melindungi dirinya dari sengatan matahari yang sudah mulai garang lagi.
"Kenapa kau sampai terluka?" tanya Rangga, sete-
lah melihat Risman cukup pulih untuk diajak bicara.
"Aku berusaha melawan, tapi mereka terlalu tang-
guh," desah Risman lirih.
"Mereka" Mereka siapa?"
"Gerombolan perampok yang menamakan diri Ga-
gak Item," sahut Risman.
"Berapa orang kekuatan mereka?"
"Banyak. Aku tidak tahu pasti jumlahnya. Yang
pasti, mereka sangat kejam. Ah...! Aku tidak tahu lagi, apakah masih ada yang
hidup selain diriku."
Pendekar Rajawali Sakti memandang kampung di
depan sana. Pantas, kampung itu kelihatan sepi bagai tak berpenghuni. Rangga
agak terkejut ketika melihat banyak burung pemakan bangkai yang seperti sedang
pesta di sana. Suaranya ribut dan memekakkan telin-ga. Risman hanya menunduk,
tak kuasa menyaksikan
pesta burung-burung itu.
"Apa masih ada kerabatmu di sana?" tanya Rangga.
Risman menggeleng lemah.
"Kau hidup sendiri?"
"Tidak. Ada kakakku, tapi...."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu nasibnya lagi. Mereka telah mencu-
lik Ningsih, dan aku tidak bisa menolongnya," semakin lirih suaranya. Titik-
titik air bening tampak menggulir di pipinya.
Rangga tidak lagi bertanya. Dibiarkannya saja Ris-
man menghabiskan air matanya. Rasanya memang ti-
dak pantas bertanya terus-menerus dalam suasana
seperti ini. Apalagi, Risman masih sulit ditanyai.
*** Hati Rangga tersayat ketika menyaksikan peman-
dangan Desa Rapak. Mayat-mayat membusuk, sehing-
ga menyebarkan aroma tidak sedap, memualkan perut.
Anehnya dari sekian banyak mayat, tak ada mayat wanita muda seorang pun di sana.
Semua terdiri dari la-ki-laki, anak-anak, dan perempuan-perempuan tua.
Benar-benar pemandangan yang tidak sedap dipan-
dang mata. Keadaan mayat-mayat itu tidak ada yang
utuh. Semuanya rusak, tak dapat dikenali lagi. Bah-
kan beberapa rumah tampak sudah hangus jadi arang.
Sementara, Risman yang berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti, tidak henti-
hentinya menutup hidung.
Dia tidak sanggup lagi melihat pemandangan yang
mengenaskan ini.
Rangga mengajak Risman meninggalkan Desa Ra-
pak. Mereka berhenti setelah agak jauh, namun bau
busuk masih juga tercium. Sementara, burung-burung pemakan bangkai mulai
berdatangan kembali, bersama anjing-anjing liar yang keluar dari hutan. Pendekar
Rajawali Sakti mengajak Risman semakin jauh meninggalkan desa yang sudah porak-
poranda dan tak
berpenghuni itu. Mereka kembali berhenti, setelah bau busuk tidak tercium lagi.
"Aku sungguh tidak mengerti, mengapa masih ada
orang yang begitu tega membantai habis seluruh desa,"
gumam Rangga perlahan.
"Mereka memang kejam!" dengus Risman, sedikit di-
tahan suaranya.
"Di mana mereka tinggal?" tanya Rangga.
"Aku tidak tahu pasti. Tapi kata orang-orang, sa-
rang mereka dinamakan Bukit Gagak," sahut Risman.
"Letaknya?"
Risman menggelengkan kepala, karena memang tak
tahu persis letak bukit itu. Itu pun hanya dengar-
dengar dari cerita orang saja.
"Apa setiap merampok mereka selalu bertindak se-
perti itu?" tanya Rangga lagi.
"Biasanya tidak," sahut Risman. "Tapi, karena ke-
marin ada seorang pendekar yang mencoba melawan,
sehingga Gerombolan Gagak Item jadi marah. Akibat-
nya, mereka membantai semua penduduk."
"Kau tahu, siapa pendekar itu?"
"Tidak. Dia kabur setelah menderita luka parah."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan. Makanya, semua gadis-gadis di Desa
Rapak diculik."
Rangga mulai mengerti sekarang. Rupanya, ada
pendekar tanggung yang coba-coba bertindak. Atau
mungkin, salah seorang murid padepokan yang sedang berlibur. Kalau memang
pendekar, mustahil bisa terluka parah hanya untuk melawan segerombolan pe-
rampok. Rasa-rasanya, tak ada seorang pendekar pun yang sudi melarikan diri,
dengan mengorbankan sekian banyak nyawa. Itu hanya terjadi kalau yang berbuat
adalah tokoh dari golongan hitam.
"Aku yakin, kau seorang pendekar," tegas Risman,
menatap Rangga agak tajam. "Kau bersedia memban-
tuku membebaskan mereka yang diculik?"
"Bagaimana caranya membebaskan, kalau kau sen-
diri tidak tahu sarang mereka?" agak sinis suara Rangga. "Kita bisa mencari
keterangan di desa-desa lain,"
sahut Risman tegas.
"Kau bisa melakukannya?" Rangga masih kurang
yakin. "Kenapa tidak" Lebih baik mati daripada kejahatan
didiamkan!"
Pendekar Rajawali Sakti kagum juga terhadap sikap
tegas Risman. Dalam hati, dia tersenyum dan memuji.
Hal ini membuat Rangga jadi tertarik untuk membantu Risman. Pendekar Rajawali
Sakti kemudian mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah ini dulu, ba-ru
setelah itu menghadapi tantangan si Bayangan Putih di Lembah Naga.
"Desa mana tujuan pertamamu?" tanya Rangga.
"Mungkin Desa Mayang. Konon, di sana sering ter-
jadi perampokan," sahut Risman.
"Apakah di sana ada yang kau kenal?"
"Hampir semua penduduk Desa Mayang kukenal
baik, karena kami bertetangga."
"Kalau begitu, ayo kita berangkat," ajak Rangga.
Risman tersenyum. Kakinya lalu terayun menuju
Desa Mayang yang tidak berapa jauh lagi. Rangga
mengikuti di sampingnya. Kening Pendekar Rajawali
Sakti seketika berkerut, karena Risman ternyata menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Rangga kemudian
mengimbangi di samping ingin mengukur, sampai di
mana tingkat ilmunya. Dan Pendekar Rajawali Sakti
jadi tersenyum, karena ilmu Risman masih jauh di bawah tingkatannya.
"Di mana kau belajar ilmu olah kanuragan?" tanya
Rangga. "Oh!" Risman terkejut begitu ditanya seperti itu.
"Aku belajar dari mendiang ayah."
"Hm. Beliau sudah tewas?"
"Ya. Sewaktu melawan Gerombolan Gagak Item."
"Hm.... Kau dendam?"
"Mungkin."
Rangga berhenti melangkah begitu di depannya ter-
hampar sebuah perkampungan yang lumayan ramai.
Risman juga menghentikan langkahnya. Sejenak me-
reka diam dan memandang lurus ke depan.
"Itu Desa Mayang?" tanya Rangga ingin mene-
gaskan. "Benar. Rasanya tidak pantas disebut desa. Terlalu besar dan ramai," sahut
Risman, sedikit menjelaskan.
"Kita cari penginapan dulu," usul Rangga.
"Tidak perlu. Aku punya teman yang pasti bersedia
kalau rumahnya ditempati sementara," tolak Risman.
"Baiklah. Tapi kalau dia tidak mau, jangan dipak-
sa." "Tenang saja. Dia sahabat baikku."
Kemudian mereka melangkah memasuki perbata-
san desa. Setiap langkah, Rangga mengedarkan pan-
dangannya. Memang keadaan di sini tidak pantas ka-
lau disebut desa. Terlalu besar dan ramai. Pantasnya desa ini disebut dengan
kadipaten. Rumah-rumah
penduduknya juga bagus dan besar. Dan lagi, rasanya tak sulit mendapatkan rumah
makan atau penginapan, karena sepanjang jalan utama dipenuhi dua sa-
rana bagi para pengembara itu.
Rangga mengikuti ke mana Risman berjalan. Tidak
sedikit yang menegur Risman. Yang kemudian diba-
lasnya dengan senyum ramah. Bahkan kelihatannya
Risman begitu dihormati.
Mereka kemudian berhenti begitu sampai di sebuah
rumah yang agak menyendiri. Rumah itu tidak begitu besar. Dinding-dindingnya
terbuat dari belahan papan, sedang atapnya terbuat dari rumbia. Sejenak Rangga
mengamati keadaannya yang sepi dan tenang.
"Tunggu sebentar di sini," ujar Risman.
"Kau akan ke mana?" tanya Rangga, mencegah ta-
ngan Risman yang akan melangkah.
"Aku akan menemui temanku dulu," sahut Risman.
Rangga tidak mencegah lagi, dan dia kembali meng-
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amati keadaan sekitarnya. Tak lama, Risman sudah
keluar dari pintu depan bersama seorang laki-laki dan seorang wanita yang masih
muda. Mereka mengenakan pakaian sederhana, sebagaimana layaknya kelu-
arga petani. Rangga menghampiri, karena mereka berdiri saja di depan rumah.
"Rangga! Ini teman karibku. Badil dan istrinya, Sadiah," jelas Risman,
mengenalkan. Rangga menganggukkan kepala. Dua orang di
samping Risman juga balas mengangguk dengan bibir
menyunggingkan senyum.
"Tadi sudah kuceritakan maksud kita, dan mereka
mengizinkan kita menginap di sini sampai kapan saja,"
lanjut Risman. "Maaf, jadi merepotkan," sambung Rangga.
"Tidak apa-apa," sahut Badil juga ramah. "Antara
aku dan Risman memang sudah seperti saudara. Le-
bih-lebih keadaan Risman sekarang ini. Dan aku wajib menolongnya. Bukan begitu,
Sadiah?" "Benar! Anggap saja seperti di rumah sendiri," sambung Sadiah sambil tersenyum.
"Terima kasih," hanya itu yang diucapkan Rangga.
"Mari masuk. Pasti kalian telah lelah sekali menempuh perjalanan jauh," ajak
Badil. "Iya! Aku juga ingin mendengar, bagaimana keja-
diannya," sambung Sadiah.
"Nanti kuceritakan," janji Risman.
*** Malam baru saja datang. Udara dingin berselimut
kabut terasa menusuk sampai tulang sumsum. Na-
mun, Desa Mayang masih tetap ramai, karena banyak
penduduk yang menikmati keindahan alam. Lampu-
lampu pelita dan cahaya api obor menambah semarak
suasana. Rangga juga tidak ingin ketinggalan. Dia berjalan-
jalan sepanjang jalan utama, menikmati udara malam.
Hampir setiap sudut desa tampak ramai.
Laki-laki, perempuan, besar kecil berbaur jadi satu.
Benar-benar bagai sebuah sorga dunia saja layaknya.
Rangga sempat berpikir, jarak Desa Mayang ini tidak begitu jauh dengan Desa
Rapak yang beberapa hari la-lu hancur berantakan. Tapi sepertinya desa ini tak
ter-pengaruh sedikit pun. Dan tampaknya kejadian di de-
sa sebelah merupakan hal biasa. Tak seorang pun
yang membicarakannya.
"Uts!" Rangga melompat ketika seorang laki-laki
mabuk hampir menabraknya.
"He, Monyet! Apa tidak punya mata"! Minggir!" ben-
tak laki-laki itu mendengus. Dari mulutnya tercium bau arak yang sangat kuat.
"Maaf," hanya itu yang diucapkan Rangga, karena
enggan melayani orang mabuk.
"Maaf, maaf. Huh! Kau harus bayar mahal seguci
arakku yang jatuh!"
Rangga mengerutkan keningnya, karena memang
sama sekali tidak bersentuhan. Tapi, nyatanya ada seguci arak yang jatuh dan
pecah berantakan. Jelas, itu karena orang di depannya sedang mabuk, hingga tidak
sadar kalau sedang membawa seguci arak. Rangga
yang malas mengurusi orang mabuk, melengos dan
melangkah pergi.
"He, Monyet! Ganti dulu arakku, atau...!"
Rangga tetap berjalan.
"Kau ingin mati rupanya! Hiyaaa...!"
Orang itu langsung menerjang. Rangga cepat berba-
lik dan memiringkan tubuhnya. Sehingga terjangan itu lewat sedikit di
sampingnya. Dengan sedikit ayunan tangan, Rangga mencoba menepuk pundak orang
itu. Tapi tanpa diduga, dengan cepat orang itu berkelit.
"He he he...! Ingin coba-coba melawan Macan Lem-
bah Iblis, heh"!" orang itu terkekeh.
Lagi-lagi Rangga mengernyitkan alis. Dia heran, karena tiba-tiba saja orang itu
tidak mabuk. Kuda-
kudanya begitu kokoh, tak sedikit pun tampak goyah.
Mukanya merah, dan tatapannya tajam.
"Siapa kau, Monyet Jelek"!" tanya si Macan Lembah
Iblis. "Maaf, aku tidak ada waktu," kata Rangga kembali
membalikkan tubuh.
"Bangsat!" geram si Macan Lembah Iblis.
Tiba-tiba kedua tangan laki-laki itu mendorong ke
depan. Mendadak Rangga merasakan satu dorongan
kuat dari belakang. Dengan cepat dia melompat dan
berputar di udara. Sebuah gubuk kecil kontan hancur berantakan. Rangga ringan
sekali menjejakkan kakinya di depan si Macan Lembah Iblis.
"Aku tidak segan-segan membunuhmu Monyet Je-
lek!" dengus si Macan Lembah Iblis menggeram.
"Apa yang kau inginkan" Kalau ingin uang, aku ti-
dak punya!" balas Rangga tidak kalah sengitnya.
"Bukan uang, tapi nyawamu!"
"Hm...," Rangga menggumam.
Alis Pendekar Rajawali Sakti agak merapat. Matanya tajam meneliti tongkrongan
orang tinggi dan besar berwajah kasar di depannya.
"Bersiaplah, Anak Muda!"
Setelah berkata demikian, si Macan Lembah Iblis
langsung melompat sambil berteriak nyaring. Sementa-ra Rangga hanya menggeser
kakinya sedikit, dan cepat mengangkat tangannya.
Plak! Kaki yang mengarah ke depan langsung ditepak ke-
ras oleh Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!" Macan Lembah Iblis mendengus geram.
"Rupanya kau punya isi juga, Bocah!"
"Maaf, aku tidak suka ribut," sahut Rangga bersi-
kap mengalah. "He he he.... Lagakmu seperti seorang pendekar sa-
ja! Kau tahu, siapa yang ada di depanmu, heh" Aku si Macan Lembah Iblis! Tidak
ada seorang pun yang lolos kalau aku menginginkan darahnya!" ancam si Macan
Lembah Iblis, congkak.
"Tapi tidak begitu denganku," sambut Rangga ka-
lem. "Setan alas! Kau menantangku, Bocah"!"
"Terlanjur."
"Tahan seranganku! Hiyaaa...!"
*** 2 Si Macan Lembah Iblis melompat sambil mencabut
goloknya yang besar berwarna hitam pekat. Begitu
Rangga melangkah mundur dua tindak, ternyata sabe-
tan golok yang begitu dahsyat itu hanya menyambar
angin kosong. Kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti, mungkin baru kena angin
sambaran goloknya saja sudah lari terbirit-birit. Tapi tidak demikian halnya
dengan Rangga yang malah semakin tenang.
Melihat lawannya mampu menandingi sampai lima
jurus, si Macan Lembah Iblis jadi semakin geram. Serangannya diperhebat sambil
terus menyumpah. Seki-
tar pertarungan telah porak-poranda terkena kibasan golok si Macan Lembah Iblis.
Beberapa orang yang berada di sekitarnya cepat-
cepat menyingkir mencari selamat. Hanya beberapa
orang berkemampuan agak tinggi yang masih menyak-
sikan jalannya pertarungan. Bahkan tidak sedikit yang menjadikannya sebagai
arena judi. Mereka masing-masing memilih jagonya dengan bayaran sejumlah
uang. Dan sebenarnya Rangga mendengar pertaruhan
itu, meskipun dalam keadaan tengah bertarung. Maka seketika hatinya jadi geram.
Ternyata, penduduk desa ini telah terjangkiti penyakit yang merusak moral.
"Awas kaki...!" teriak Rangga sambil menyampokkan
kakinya ke kaki lawan.
"Uts!" si Macan Lembah Iblis menghindarinya de-
ngan cepat. Tapi belum si Macan Lembah Iblis sempat memper-
baiki keadaannya, tiba-tiba tangan kanan Rangga sudah menyodok ke depan. Laki-
laki kasar itu tidak
punya pilihan lain. Segera tubuhnya mengegos sambil mengayunkan golok dengan
cepat ke tangan Rangga.
Tap! Rangga menjepit golok itu kuat-kuat di antara ke-
dua jarinya. Si Macan Lembah Iblis kontan terkejut.
Segera seluruh tenaganya dikerahkan untuk mele-
paskan goloknya. Tapi golok itu bagai dijepit oleh baja yang amat kuat, hingga
si Macan Lembah Iblis sampai berkeringat. Padahal, seluruh tenaga dalamnya sudah
dikerahkan, tapi sedikit pun tak bergeming.
"Hih!" Rangga menghentakkan tangannya ke bawah.
Begitu kuat dan cepatnya, sehingga si Macan Lem-
bah Iblis sampai tertarik ke depan. Begitu tubuhnya doyong secepat kilat Rangga
mengayunkan kakinya ke depan.
Buk! "Hugh!"
Si Macan Lembah Iblis mengeluh pendek.
Telak sekali kaki Rangga mendarat di dada si Macan Lembah Iblis. Akibatnya
pegangan pada gagang goloknya terlepas dengan tubuh terhuyung-huyung ke
belakang. Belum lagi keseimbangan tubuhnya dikuasai,
secepat kilat Rangga menjentikkan jemarinya yang
mengepit golok. Maka, seketika golok itu meluncur deras ke arah si Macan Lembah
Iblis. "Aaakh...!"
Si Macan Lembah Iblis menjerit melengking tinggi.
Dada si Macan Lembah Iblis kontan tertancap sen-
jatanya sendiri. Tubuhnya langsung ambruk, dan
menggelepar di tanah. Darah tampak mengucur deras
dari dadanya. Sejenak Rangga memandangi tubuh
yang sudah tak bergerak-gerak lagi, kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat
itu. Setelah Rangga pergi, orang-orang yang menyaksi-
kan kejadian ini keluar, dan langsung mengerumuni
mayat si Macan Lembah Iblis. Macam-macam guma-
man terdengar saling sambut. Yang menang bertarung, tertawa-tawa senang.
Sedangkan yang kalah mengge-rutu karena jagonya tewas. Tak seorang pun yang
mempedulikan ke mana Pendekar Rajawali Sakti pergi.
Bagi mereka, seorang pendatang yang memperlihatkan kebolehannya merupakan satu
tontonan biasa.
Lain halnya Rangga. Kejadian barusan membuatnya
jadi lebih banyak berpikir. Dia makin heran atas keadaan Desa Mayang yang
dianggapnya aneh dan tidak
wajar. Baru kali ini Rangga menemukan sebuah desa
yang memiliki keanehan tersendiri.
*** "Kau pulang larut sekali malam tadi."
Pendekar Rajawali Sakti menoleh dan tersenyum
begitu melihat Risman sudah duduk di sampingnya.
Rangga memang pulang hampir pagi. Dan semua peng-
huninya sudah terlelap. Namun tidak diduga kalau
Risman bisa mengetahui kedatangannya.
"Ke mana saja kau semalam?" tanya Risman lagi
"Jalan-jalan," jawab Rangga, singkat.
"Kudengar, ada keributan semalam. Katanya si Ma-
can Lembah Iblis tewas bertarung melawan seorang
pendekar muda yang baru singgah di sini. Aku yakin pasti kau yang bertarung
semalam," duga Risman.
Rangga kaget dibuatnya. Begitu cepat berita itu ter-siar. Sampai pagi-pagi
begini, Risman sudah tahu apa yang terjadi semalam.
"Kau tahu, siapa si Macan Lembah Iblis itu?"
"Tidak," sahut Rangga singkat.
"Dia adalah salah satu pengawal orang terpandang
di desa ini," jelas Risman.
"Maksudmu, kepala desa?"
"Lebih dari itu. Selain kepala desa, juga saudagar dan tuan tanah yang sangat
kaya." "Hm. Siapa namanya?"
"Orang memanggilnya Gusti Pragala."
"Lalu, apa yang membuatmu cemas?"
"Gusti Pragala pasti tidak akan menerima kematian
pengawalnya. Masalahnya si Macan Lembah Iblis ada-
lah kaki tangannya yang paling diandalkan dan dipercaya."
"Kau takut?"
"Untuk apa" Semua orang menganggapmu hanya
pendatang yang kebetulan singgah. Tak seorang pun
yang tahu kalau kau ada di sini," tegas Risman.
"Kecuali aku!" tiba-tiba terdengar suara keras
menggelegar. Rangga dan Risman kontan menoleh ke arah suara
itu. Mereka cukup terkejut oleh suara yang bagai gun-tur tadi. Tampak di tengah-
tengah halaman rumah
berdiri seorang laki-laki tinggi besar. Dadanya dibiarkan terbuka,
memperlihatkan bulu-bulunya yang hi-
tam lebat. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang panjang dan besar bergagang
perak. Wajahnya bengis dan kasar, penuh ditumbuhi brewok.
Perlahan-lahan Rangga bangkit berdiri, diikuti Risman. Pendekar Rajawali Sakti
melangkah mendekati
orang yang berdiri tegak dan angkuh di depan. Lang-
kahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal satu batang tombak lagi. Matanya
tajam merayapi orang di
depannya. Agak berkerut juga kening Rangga ketika
melihat tampang yang menyeramkan, persis raksasa
kelaparan. "Maaf. Apakah aku pernah mengenalmu, Kisanak?"
Rangga membuka suara lebih dahulu. Mungkin saja
ingatannya terlupa, barangkali dia pernah mengenal orang itu. Makanya dia
bertanya seperti itu.
"Aku Rakyan Buto! Kedatanganku ke sini untuk
menuntut balas atas kematian adikku semalam!" ja-
wab Rakyan Buto.
"Hm. Jadi Macan Lembah Iblis itu adikmu?" tanya
Rangga tenang sekali.
"Benar! Dan kau berhutang nyawa padaku!"
"Maaf. Aku tidak sengaja membunuhnya. Dialah
yang ingin membunuhku. Dan aku hanya membela di-
ri." "Phuih! Membela diri atau bukan, kau harus membayar nyawa adikku!"
Rangga melirik Risman yang kini sudah didampingi
Badil dan istrinya. Wajah suami istri itu tampak begitu ketakutan, sampai-sampai
lutut mereka gemetar. Hanya Risman yang kelihatan tenang. Bahkan matanya
tajam mengawasi laki-laki tinggi besar yang ternyata bernama Rakyan Buto.
"Bersiaplah, Bocah!" sentak Rakyan Buto.
Setelah berkata demikian, Rakyan Buto langsung
mencabut pedangnya. Sinar keperakan yang menyi-
laukan langsung berpendar begitu pedang keluar dari warangka.
Sementara Rangga melangkah mundur dua tindak,
bersiap-siap dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Perlahan-lahan
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya berubah jadi berwar-
na merah bagai terbakar. Pendekar Rajawali Sakti tidak mau tanggung-tanggung,
karena sudah bisa me-
nilai kalau lawan yang dihadapi memiliki ilmu yang tidak rendah. Maka langsung
dikerahkannya jurus ke
empat dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'.
"Hiyaaa...!" Rakyan Buto berteriak nyaring.
Pada saat yang sama, tubuh tinggi besar itu me-
lompat sambil mengibaskan pedangnya. Sinar putih
keperakan berkelebat ke arah leher Rangga. Namun
dengan sedikit menarik kepala, kibasan pedang itu lewat di depan lehernya.
Dan belum lagi Rangga bisa berbuat sesuatu, kaki
Rakyan Buto sudah melayang ke pinggang. Maka dia
segera melompat, seraya mengirimkan satu tendangan keras ke arah kepala. Rakyan
Buto merunduk cepat.
Pertarungan tampak jadi berlangsung makin sengit.
Masing-masing mengeluarkan ketinggian ilmunya. Se-
mentara, Rangga masih tetap mengerahkan jurus 'Pu-
kulan Maut Paruh Rajawali'. Sedangkan Rakyan Buto
sudah menghabiskan tidak kurang dari lima jurus.
Memasuki jurus keenam, Rakyan Buto semakin ce-
pat dan berbahaya. Pedangnya berkelebat mengurung
tubuh Rangga. Begitu cepatnya bergerak, sehingga
yang terlihat hanya bayangannya. Bahkan ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti
sepertinya tertutup oleh kelebatan sinar-sinar keperakan dari pedang Rakyan
Buto. Rangga mengerahkan tingkatan terakhir dari jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sinar yang keluar dari kedua tangannya semakin
memancar mengalahkan sinar pedang Rakyan Buto. Sinar-sinar merah meluncur ke
sana kemari, mengarah tubuh Rakyan Buto yang
jadi kerepotan menghindarinya.
"Hiyaaa...!"
"Akh!"
Mendadak, Pendekar Rajawali Sakti berteriak keras.
Bersamaan dengan itu, kedua tangannya bergerak ce-
pat ke atas dan ke bawah, disertai putaran tubuhnya yang cepat bagai gasing.
Sinar merah yang keluar dari telapak tangannya memancar ke segala arah. Dan
salah satunya menghantam tangan kanan Rakyan Buto
yang menggenggam pedang.
Rakyan Buto langsung melompat mundur. Pedang-
nya seketika terlepas dan tangan kanannya, hangus
terbakar mengeluarkan asap tipis berwarna merah.
Rakyan Buto meringis memegangi sebelah tangannya
yang kini mati.
"Kurang ajar!" geramnya marah.
"Aku masih memberimu kesempatan hidup. Pergi-
lah, jangan ganggu ketenangan kami!" ancam Rangga, dingin sekali.
"Phuih! Pantang bagiku mundur sebelum mencabut
nyawamu!" dengus Rakyan Buto.
"Hm.... Rupanya kau termasuk orang yang keras
kepala," kata Rangga, sengit
"Sudah saatnya mengadu nyawa, Bocah!"
Rakyan Buto langsung merenggangkan kakinya.
Kemudian, kedua tangannya merentang ke depan. Bi-
birnya sedikit meringis saat memaksakan tangan ka-
nannya terangkat. Perlahan-lahan kedua tangannya
diturunkan, lalu ditarik dengan siku tertekuk di samping dada.
Rangga mengerutkan kening seperti pernah melihat
jurus ilmu kesaktian itu. Tapi, entah di mana" Dan belum memperoleh jawaban,
mendadak seberkas sinar
kuning meluncur cepat ke arahnya. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti
melompat. Maka sinar kuning itu hanya menghantam sebatang pohon hingga hancur.
"Edan!" dengus Rangga. "Aku tidak boleh main-
main. Dia benar-benar ingin membunuhku!"
Saat sinar kuning yang kedua kembali meluncur,
mau tak mau secepat kilat Rangga mengerahkan ilmu
'Cakra Buana Sukma'. Yang langsung didorong dengan tangannya ke depan. Dua sinar
saling bertemu di satu titik. Sinar biru dan kuning tampak saling mendorong, adu
kekuatan. Beberapa saat, mulai kelihatan kalau sinar kuning
semakin terdesak mundur. Padahal, Rakyan Buto su-
dah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendo-
rong sinar biru. Tapi usahanya sia-sia. Ternyata sinar biru itu semakin kuat
mendorong. Hingga akhirnya,
seluruh sinar kuning lenyap dari pandangan. Bahkan kini kedua tangan Rakyan Buto
telah diselimuti sinar biru.
"Hih, akh!" Rakyan Buto menggeliat.
Terasa sekali kalau tenaga Rakyan Buto semakin
tersedot keluar. Semakin mencoba untuk bertahan,
semakin kuat tenaganya tersedot.
"Hiya...!" tiba-tiba Rangga berteriak nyaring.
Suatu ledakan keras terdengar, seketika itu juga sosok tubuh Rakyan Buto
terlontar ke belakang, kemu-
dian sosok tubuh itu menggeliat-geliat meregang nya-wa. Mati! Akibat terkena
pukulan ilmu pamungkas
Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menarik kembali
ajiannya. Sebentar ditariknya napas panjang. Sementara benaknya masih diliputi
pertanyaan mengenai il-mu yang pernah dikenal beberapa waktu lalu. Seper-
tinya, ilmu seperti itu pernah dihadapinya. Tapi entah di mana, kapan dan dengan
siapa. Belum sempat terjawab, Risman sudah berlari-lari ke arahnya.
Risman berdiri sekitar tiga langkah di depan Rang-
ga. Sementara Badil dan istrinya mengikuti. Mata mereka menatap Pendekar
Rajawali Sakti dengan sinar
yang sulit dilukiskan.
"Keadaan kita sudah tidak aman lagi," pelan suara
Risman terdengar.
"Ya! Gusti Pragala pasti akan mengirim jago-jagonya ke sini," lanjut Badil.
"Sebaiknya, kau segera pergi sebelum tubuhmu di-
cincang," sambung Sadiah.
Rangga hanya mendesah seraya mengayunkan lang-
kahnya menuju rumah kecil itu. Dia berbalik, lalu duduk di lantai beranda yang
terbuat dari papan. Pikirannya tidak terpusat pada kekhawatiran ketiga orang
itu, tapi masih tertuju pada ilmu yang tadi dikerahkan Rakyan Buto. Rangga yakin
sekali kalau pernah bentrok dengan seseorang yang memiliki ilmu kesaktian
seperti itu. Hanya saja, tingkatannya lebih kuat dan dahsyat.
*** Malam telah merayap naik. Udara di sekitar Desa
Mayang semakin dingin. Sejak sore Rangga keluar rumah ingin menyelidiki keadaan
desa yang menurutnya punya ciri khas tersendiri. Sementara di beranda depan,
Risman duduk ditemani Badil dan istrinya. Sejak Rangga pergi, tak seorang pun
yang bicara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Risman menghela napas panjang, sebelum meneguk
kopinya yang sudah dingin. Matanya merayapi seki-
tarnya. Hanya kegelapan saja yang nampak menyeli-
muti bagai di tengah-tengah kuburan. Onggokan debu dari tubuh Rakyan Buto,
perlahan-lahan mulai terkikis terbawa angin malam.
"Aku belum yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sak-
ti," gumam Badil memecah kesunyian.
"Kau tidak lihat pedang di punggungnya tadi, Ka-
kang?" Risman membantah dugaan Badil.
"Tidak sedikit senjata yang memiliki gagang berbentuk kepala burung. Menurut
keterangan yang kude-
ngar, pedang Pendekar Rajawali Sakti memancarkan
sinar biru yang sangat terang dan menyilaukan mata,"
tegas Badil. "Kau sudah melihat saat dia menggunakan pedang
itu, Risman?" tanya Sadiah ikut bicara.
"Belum," sahut Risman terus terang.
"Nah! Kenapa kau begitu yakin?"
"Dari ciri-cirinya!" Risman tetap pada pendiriannya.
"Aku hanya mengingatkanmu, Risman," kata Badil.
"Terima kasih," ucap Risman.
Beberapa saat mereka kembali terdiam.
"Sudah dua tokoh sakti tewas di tangannya. Dan
mereka bukanlah orang sembarangan. Aku jadi sangsi, semuanya akan gagal," Sadiah
bergumam pelan.
"Hilangkan keraguanmu, Sadiah! Kita harus selalu
bersikap wajar sebelum yakin bahwa dia benar-benar Pendekar Rajawali Sakti!"
celetuk Badil. "Iya, kalau benar. Kalau salah?"
"Masih ada waktu. Dan kukira pemuda itu bisa di-
andalkan. Lihat saja! Rakyan Buto yang begitu sakti dan tidak ada tandingannya
tewas di tangannya"!"
Risman mencoba meyakinkan.
"Rakyan Buto dan Macan Lembah Iblis masih jauh
tingkatannya dibandingkan...," Sadiah tidak meneruskan kata-katanya.
Mereka seketika mengalihkan pandangan ke depan.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti berjalan santai ke
arah mereka. Rangga tersenyum dan mengangguk be-
gitu kakinya menginjak lantai beranda yang terbuat dari belahan papan. Tanpa
dipersilakan lagi, dia duduk di samping Risman.
"Dari mana?" tanya Sadiah lembut.
"Jalan-jalan," sahut Rangga.
"Bagaimana menurutmu keadaan desa ini?" tanya
Badil basa-basi.
"Menyenangkan! Seperti bukan sebuah desa. Terla-
lu besar dan ramai, bagai kadipaten."
"Memang begitu keadaannya. Mungkin nanti desa
ini juga akan berubah jadi kadipaten, atau bisa jadi kerajaan kecil," celetuk
Risman agak bergumam.
Risman mengalihkan wajah saat menyadari tengah
dipandangi oleh Badil dan Sadiah.
"Yah, memang pantas desa ini diubah jadi kadipa-
ten," sambut Rangga polos.
Ketiga orang itu saling berpandangan. Tatapan mata Sadiah sedikit tajam
memandang mata Risman. Sementara, Rangga bangkit. Setelah berbasa-basi sebentar,
kakinya melangkah ke dalam rumah. Tubuhnya
terasa pegal-pegal. Dia ingin menikmati istirahat seje-nak untuk melemaskan
otot-ototnya. "Risman, jaga mulutmu!" sentak Sadiah tertahan,
begitu Pendekar Rajawali Sakti sudah tak terlihat lagi.
"Maaf, aku keterlepasan bicara," sahut Risman.
"Huh! Untung dia tidak curiga," dengus Badil pelan.
"Mudah-mudahan saja begitu, sampai rencana kita
terlaksana," gumam Sadiah.
Risman mengangkat bahunya, lalu beranjak me-
ninggalkan beranda. Langkahnya tertahan ketika Sa-
diah memanggil.
"Mau ke mana kau?" Sadiah balik bertanya.
"Keluar, cari hiburan," sahut Risman kalem.
"Ingat! Kau harus hati-hati, Risman!" Badil mengi-
ngatkan. "Jangan khawatir! Aku bisa jaga diri!"
Risman kembali melangkahkan kakinya. Tinggal
Badil dan Sadiah di situ. Mata mereka lurus menatap punggung Risman yang semakin
menghilang ditelan
kegelapan malam.
"Anak itu perlu diawasi, Kakang," kata Sadiah pe-
lan. "Aku percaya, dia sudah cukup dewasa, sehingga
bisa memilih mana yang harus dikerjakan dan ditinggalkan," sahut Badil kalem.
"Tapi...."
"Ah, sudahlah. Tidak perlu dicemaskan. Mungkin di
dalam kepalanya ada rencana yang tidak kita ketahui.
Buah pikirnya selalu cemerlang," ada nada pujian pada suara Badil.
"Terserahlah. Tapi kau harus ingat, Kakang. Mulut-
nya gampang terbuka!"
"Sebaiknya, kau istirahat saja," Badil tidak mempedulikan kekhawatiran Sadiah.
Wanita ayu berkulit kuning langsat itu mengangkat
pundaknya, lalu melangkah masuk. Badil menghela
napas panjang begitu tubuh Sadiah lenyap di balik
pintu. Sebentar dia masih duduk di kursi bambu, kemudian beranjak masuk juga.
Keadaan di dalam ru-
mah lengang sekali. Cahaya yang ada hanya sebuah
pelita dari buah jarak kecil yang tergantung di tengah-tengah ruangan depan.
Sementara malam merayap la-
rut, angin pun semakin dingin berhembus.
*** 3 Risman terkejut ketika tiba-tiba langkahnya diha-
dang lima orang bertampang sangar yang masing-ma-
sing menggenggam tongkat panjang. Dan begitu berba-
lik, ternyata di belakangnya sudah muncul lima orang lagi, bersenjatakan tongkat
juga. Dan, tiba-tiba muncul, masing-masing dari samping kanan dan samping
kiri. Kini Risman dikepung tidak kurang dua puluh
orang. Beberapa saat Risman berputar memandang wajah-
wajah pengepung yang tidak dikenalnya. Menyesal dia hanya membawa pisau-pisau
kecil yang tersembunyi di balik ikat pinggangnya.
"Siapa kalian" Dan apa maksudnya menghalangi ja-
lanku?" tanya Risman bersikap waspada.
"Kau tidak perlu tahu tentang kami! Saat ini, kau
hanya boleh menyebut nama leluhurmu!" jawab salah
seorang dingin.
"Aku tidak kenal kalian. Apa urusannya sehingga
kalian menginginkan nyawaku?" Risman sudah bisa
mengerti maksud orang-orang ini.
"Kau pengkhianat, Risman!"
"Aku..."!"
Belum sempat Risman meneruskan kalimatnya, ti-
ba-tiba empat orang sudah melompat sambil men-
gayunkan tongkatnya yang panjang. Risman cepat me-
lompat sambil menangkis tongkat-tongkat yang meng-
ancam tubuhnya. Beberapa saat pertarungan berlang-
sung, sudah kelihatan kalau kepandaian Risman jauh di atas keempat penyerangnya.
Pada satu kesempatan, ketika salah seorang me-
nyodokkan tongkat dari samping kanan, Risman cepat menarik tubuhnya ke belakang.
Lalu secepat kilat tangannya menangkap tongkat itu, dibarengi satu ten-
dangan telak yang langsung menghajar perut penye-
rangnya. "Hugh!" orang itu mengeluh tertahan.
Gerakan Risman begitu cepat, tahu-tahu tongkat
panjang itu sudah berpindah ke tangannya. Belum lagi orang itu sempat menyadari
apa yang terjadi, Risman langsung mengayunkan tongkat rampasannya dengan
deras sekali ke arah kepala si pemilik tongkat.
Trak! Orang itu kontan meraung keras sambil memegangi
kepalanya yang pecah oleh tongkatnya sendiri. Sebentar dia mampu berdiri,
sebelum tubuhnya ambruk
menggelepar di tanah. Risman menyilangkan tongkat
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rampasannya di depan dada, begitu melihat salah satu lawannya tewas dengan
kepala pecah. "Serang...!"
Satu teriakan keras terdengar diikuti berlompatan-
nya sepuluh orang lainnya. Kini Risman dikurung rapat dari segala penjuru.
Mereka memutar-mutar tongkat, dan mengebut-ngebutkan hingga di sekitarnya
tercipta angin menderu-deru bagai terjadi badai topan.
Risman menggerakkan kakinya berputar sambil
menggerak-gerakkan tongkat. Matanya tajam menga-
wasi setiap orang yang mengepungnya. Tiga belas
orang kini bergerak memutar, sambil memainkan
tongkat. "Mulai...!"
Begitu terdengar teriakan keras, mereka semua ber-
lompatan sambil mengayunkan tongkat. Sementara
Risman memutar tongkat rampasannya dengan cepat
bagai baling-baling, sehingga menjadikan perisai bagi dirinya.
Trak, trak, trak!
Suara-suara tongkat beradu memekakkan telinga,
ditingkahi teriakan semangat pertempuran. Risman
agak kewalahan juga menghadapi banyak pengeroyok,
meskipun rata-rata kepandaiannya berada di bawah.
"Hih!"
Risman mengebutkan tangannya seketika.
"Aaakh...!"
Satu jeritan melengking terdengar begitu sebuah
cahaya keperakan berkelebatan dari tangan kiri Risman yang bergerak cepat.
Rupanya satu pisaunya te-
lah digunakan untuk mengurangi daya tahan penye-
rangnya. Belum lagi hilang jeritan tadi, tak lama disusul jeritan lain berturut-
turut. Satu persatu, tubuh-tubuh penyerang itu bergelim-
pangan dengan beberapa bagian tubuh tertancap pisau kecil dari perak murni.
Dalam waktu tidak berapa la-ma saja, sudah lima mayat tergeletak dengan tubuh
tertancap pisau. Melihat hal ini, para penyerangnya ja-di gentar juga. Mereka
serentak berlompatan mundur dengan sikap tetap waspada.
"Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir sebelum se-
mua kuhabisi!" dengus Risman dingin bergetar.
"Phuih! Jangan berbangga hati dulu, Pengkhianat!
Hadapi aku!"
Sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Tahu-
tahu di depan Risman berdiri seorang laki-laki tua berjubah merah longgar.
Wajahnya kurus berkeriput,
dengan mata merah menatap tajam tak berkedip. Seluruh rambutnya sudah berwarna
putih tergulung ke
atas. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat berwarna merah berkeluk-keluk
bagai ular. Risman melangkah mundur dua tindak. Dia tahu
siapa yang kini berdiri di depannya. Seorang yang dikenal berjuluk Setan Jubah
Merah, tokoh sakti dan
sulit dicari tandingannya. Tongkat merahnya sungguh dahsyat, dan mengandung
racun yang bekerja cepat
dan sangat mematikan. Risman bergidik, dan ragu
akan kemampuannya. Sungguh disadari, siapa lawan
yang akan dihadapi.
*** "Mundur!" Setan Jubah Merah merentangkan ta-
ngannya. Orang-orang bertongkat itu langsung melangkah
mundur. Sedangkan Setan Jubah Merah maju men-
dekat dan berhenti, setelah jaraknya tinggal tiga langkah di depan Risman. Kedua
bola matanya yang me-
rah, menatap tajam.
"Aku diperintahkan untuk membawamu, Risman.
Kau harus diadili di depan ketua agung!" datar suara Setan Jubah Merah
terdengar. "Tidak semudah itu, Setan Jubah Merah!" dengus
Risman. "Sayang sekali. Aku diperintahkan untuk memba-
wamu hidup-hidup," gumam Setan Jubah merah agak
menggeram. "Dan aku akan membunuhmu di sini!" tantang
Risman. Setan Jubah Merah menggeram keras. Kata-kata
Risman membuatnya marah sekali. Maka tanpa ba-
nyak kata lagi, langsung diserangnya anak muda itu dengan jurus-jurus pendek
tangan kosong. Sedangkan Risman melayaninya dengan sungguh-sungguh. Dia
sadar kalau kepandaiannya jauh di bawah si Setan
Jubah Merah. Sehingga, jurus mautnya terpaksa ha-
rus dikerahkan.
Agak kerepotan juga Setan Jubah Merah mengha-
dapi jurus-jurus tangan kosong Risman yang begitu
cepat dan sangat berbahaya. Dia segera melompat ke udara, lalu cepat menukik
sambil mengayunkan kakinya.
Risman yang tidak menyangka akan mendapat bo-
kongan, tidak bisa lagi mengelak. Tendangan Setan
Jubah Merah telak mendarat di punggungnya, sehing-
ga membuatnya terjungkal beberapa langkah ke de-
pan. Buru-buru tubuhnya berbalik dan bersiap-siap.
Sementara Setan Jubah Merah berdiri tegak mengawa-
si. "Hih!"
Risman mengangkat tangan kanannya ke atas, lalu
perlahan-lahan diturunkan dengan gemetaran. Kemu-
dian, tangan itu berhenti di depan mukanya. Sedangkan tangan kiri menyilang di
depan dada. Melihat Risman mengeluarkan jurus andalan terakhirnya, Setan
Jubah Merah segera mengimbanginya.
"Hiyaaa...!" Risman melompat sambil memekik
nyaring. Setan Jubah Merah juga melompat cepat. Kedua
tangan Risman bergerak cepat selagi di udara. Sementara Setan Jubah Merah
mengimbanginya dengan
menggerakkan tangannya dengan cepat pula.
Des! Satu pukulan keras mendarat di dada Risman tan-
pa mampu menangkis lagi.
Tubuh Risman langsung menukik deras ke tanah.
Tubuhnya bergulingan beberapa kali, sebelum mampu
bangkit dengan sempoyongan. Setan Jubah Merah
mendarat manis di tanah. Dia berdiri tegak sambil ber-tolak pinggang dengan
bibir tersenyum meremehkan.
"Ikat dia!" perintah Setan Jubah Merah.
Empat orang langsung melompat maju sambil men-
geluarkan seutas tambang. Mereka cepat memutar-
mutar tambangnya dan melemparkan ke arah Risman.
Dua tambang berhasil dihindari. Tapi satu tambang
lain telah membelit lengan kanannya, dan satu lagi mengikat kaki kiri. Belum
juga Risman sempat berbuat sesuatu, dua tambang lagi sudah menjerat tangan dan
kakinya yang masih bebas.
Bruk! Tak ampun lagi, Risman jatuh dengan kaki dan
tangan terikat. Sia-sia dia memberontak, karena ikatan itu begitu kuat
membelenggu. Bahkan dadanya semakin terasa sesak setiap kali tenaganya
dikerahkan untuk melepaskan diri.
"Seret!" perintah Setan Jubah Merah.
Dua orang memegangi tambang. Sementara dua lagi
mengikuti dari belakang. Sedangkan dua orang lagi
menyeret dari depan. Risman benar-benar tidak ber-
daya lagi dibuatnya. Si Setan Jubah Merah tertawa-
tawa mengikuti dari belakang.
"Lepaskan! Kubunuh kalian semua!" teriak Risman
terus meronta-ronta.
"Diam, Bocah!" bentak Setan Jubah Merah.
"Kau akan menyesal, Setan Jubah Merah!" geram
Risman. "Jangan menggertak, Bocah. Kalau bukan ketua
agung yang memerintah, sudah sejak tadi kubunuh
kau, Pengkhianat!" Setan Jubah Merah tidak kalah
gertak. "Phuih!" Risman meludah geram.
"Ha ha ha...!" Setan Jubah Merah hanya tertawa sa-
ja terbahak-bahak.
Risman terus diseret, tanpa mampu berbuat apa-
apa lagi. Punggungnya jadi babak belur dan terasa perih, mungkin akibat
terseret. Mulutnya meringis saat beberapa ranting tajam menusuk punggungnya.
Hingga sepanjang jalan yang dilalui darah berceceran bercampur debu.
"Kubunuh kau, Setan Jubah Merah! Kubunuh
kauuu...!" teriak Risman berulang-ulang.
"Ha ha ha...!" Setan Jubah Merah hanya tertawa sa-
ja. Risman hanya bisa berteriak-teriak melampiaskan
kemarahannya, namun apa dayanya lagi" Dia tahu,
apa yang akan diterima kalau sudah dihadapkan pada ketua agung nanti. Dan itu
memang sudah diperhi-tungkannya sejak semula. Hanya saja, sungguh tidak disangka
kalau sampai secepat ini. Dalam hati, dia mengumpat habis-habisan karena tidak
membawa senjata tadi. Kalau saja Risman membawa senjata pusaka, ra-
sanya hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi. Paling tidak, dia masih bisa
meloloskan diri sebelum mereka berhasil menangkapnya. Dalam hati, dia mengutuk
dirinya sendiri! Kenapa begitu tolol meninggalkan pusaka di rumah! Otaknya terus
berputar, mencari cara
agar dapat meloloskan diri. Tapi keadaannya saat ini memang tidak menguntungkan.
Begitu banyak yang
mengawal. Belum lagi ada si Setan Jubah Merah yang berjalan di ujung kakinya.
Keadaan Risman kali ini benar-benar terjepit, tidak ada celah untuk membebaskan
diri. Sementara, malam makin larut. Angin dingin ber-
hembus lebih kencang, membawa titik-titik embun
yang jatuh ke tanah. Sedangkan segala kegiatan ma-
lam Desa Mayang tampaknya mulai memudar. Bebera-
pa kedai sudah terlihat tutup. Lampu-lampu penerang jalan sudah banyak
dipadamkan. Risman terus diseret melintasi jalan utama. Tak seorang pun yang mau
peduli. Siapa orang yang tidak kenal Setan Jubah Me-
rah" Mencampuri urusan Setan Jubah merah, sama
saja menyerahkan nyawa sia-sia.
*** Rangga membasuh mukanya di pancuran yang ter-
letak di belakang rumah. Kepalanya menoleh ketika
mendengar suara langkah halus menghampirinya. Bi-
birnya langsung tersenyum begitu melihat Sadiah datang membawa sekeranjang
cucian. "Pagi-pagi begini sudah ingin mencuci?" tegur
Rangga ramah. "Sudah biasa," sahut Sadiah, seraya meletakkan ke-
ranjang cuciannya.
"Oh. Ya. Aku tidak melihat Risman pulang semalam.
Ke mana dia, ya?" Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.
"Ah! Paling-paling, ke rumah Surti," sahut Sadiah, acuh.
"Surti" Siapa dia?" tanya Rangga.
"Biasa," masih acuh jawaban Sadiah.
Rangga jadi berkerut keningnya. Sulit dimengerti
jawaban Sadiah yang bernada tidak mau tahu itu. Belum Rangga bertanya lebih
lanjut, Badil datang menghampiri. Laki-laki tinggi tegap berkulit sawo matang
itu langsung menyeret Rangga begitu sampai. Tentu
saja sikap Badil yang aneh ini semakin membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi
kebingungan. Sadiah juga mengikuti, tidak peduli pada cuciannya yang sudah
basah. Badil langsung saja membawa Rangga ke dalam
rumah. Segera ditutupnya semua pintu dan jendela.
Sebentar sebelah matanya mengintip keluar dari celah-celah daun jendela.
Kemudian, tubuhnya berbalik
menghadapi Rangga yang hanya berdiri saja tak men-
gerti atas sikap Badil yang aneh ini. Sadiah juga berdiri saja di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa?" tanya Rangga tidak sabar.
"Celaka!" suara Badil agak tertahan di kerongko-
ngan. Napasnya juga jadi tersengal.
"Celaka" Apa yang terjadi"!" tanya Sadiah men-
dekati suaminya.
"Risman! Aduh..., celaka besar. Bisa kiamat, nih
urusannya!"
"Tenang! Apa yang terjadi pada Risman?" Rangga
berusaha menenangkan.
Sadiah menuangkan air kendi ke dalam gelas, dan
menyerahkannya pada Badil. Laki-laki itu meneguk air yang diberikan istrinya
dengan tangan gemetaran. Sebentar napasnya diatur agar lebih tenang sedikit.
Lalu, dia duduk di kursi menghadapi meja bundar yang ada di tengah-tengah
ruangan ini. "Ceritakan, apa yang terjadi terhadap Risman?"
tanya Rangga. "Orang-orang mengatakan kalau Risman semalam
ditangkap," suara Badil sudah terdengar lebih tenang.
"Ditangkap" Ditangkap siapa?" nada suara Sadiah
terdengar cemas.
"Setan Jubah Merah," sahut Badil.
Sadiah memekik kecil sambil mendekap mulutnya.
Kedua bola matanya berputar seperti tidak percaya
pada pendengarannya sendiri. Sejak semalam Risman
memang belum pulang. Malah, baru saja Rangga me-
nanyakan. Sadiah duduk dekat Badil. Tangannya
menggenggam tangan suaminya erat-erat. Tatapannya
lurus menusuk langsung ke bola mata laki-laki tegap itu. "Kau tidak bergurau
kan, Kakang?" tanya Sadiah masih tidak percaya.
"Aku sungguh-sungguh, Sadiah. Semalam Risman
ditangkap. Kedua tangan dan kakinya diikat, lalu diseret melalui jalan utama
desa. Itu yang kudengar dari orang-orang," jelas Badil. Suaranya terdengar
sungguh-sungguh.
"Apa ada yang melihat?" tanya Sadiah lagi.
"Banyak. Malah Surti juga melihat."
"Lalu?"
Badil tidak langsung bisa menjawab, karena tidak
tahu lagi harus berkata apalagi. Ini memang sudah jadi bahan pikirannya, begitu
Risman mengemukakan
maksudnya pada mereka. Dan kini, apa yang dikhawa-
tirkan jadi kenyataan. Maka, tidak mustahil mereka berdua akan ikut terlibat.
Perlahan-lahan kepala Badil terangkat. Matanya
langsung tertuju pada Rangga yang masih tetap berdiri di tempatnya. Sadiah juga
memandang ke arah yang
sama. Dari tatapan mata mereka, jelas terpancarkan satu permintaan yang sulit
diucapkan oleh kata-kata.
Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Rajawali Sakti menghampiri dan duduk di
depan suami istri itu. Beberapa saat lamanya mereka hanya membisu. Tidak ada
yang berusaha memulai
percakapan. Hanya sinar mata saja yang banyak me-
ngatakan sesuatu. Sesuatu yang terkandung di dalam hati, namun sulit
dikeluarkan. "Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Rangga. Sua-
ranya terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Rangga. Su-
ami istri itu hanya saling pandang saja. Berat rasanya bagi mereka untuk
mengatakan yang sebenarnya pada
Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan sekali Sadiah menganggukkan kepala. Kemudian
Badil menatap pemuda
yang duduk di depannya dengan sorot mata agak ta-
jam. "Apakah kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti?"
Badil malah bertanya.
Rangga tersenyum dan mengangguk. Hatinya dili-
puti berbagai macam pertanyaan yang belum juga terjawab. Dia tidak mengerti apa
sebenarnya yang terjadi.
Dan, mengapa Badil meragukan kalau dirinya Pen-
dekar Rajawali Sakti" Memang tidak semua orang ken-al Rangga. Lebih-lebih, Badil
yang hanya seorang petani menurut pengakuannya sendiri.
"Apa buktinya kalau kau Pendekar Rajawali Sakti?"
Badil masih belum percaya juga.
"Terus terang, aku tidak mengerti apa sebenarnya
yang kau inginkan?" Rangga semakin bingung jadinya.
"Kami membutuhkan seorang pendekar pilih tan-
ding. Dan menurut keterangan yang kudapat, hanya
ada seorang pendekar yang bisa membantu. Dialah
Pendekar Rajawali Sakti," tegas juga kata-kata Badil, seperti bukan seorang
petani biasa saja.
"Hm.... Aku jadi semakin tidak mengerti," gumam
Rangga. "Kau akan mengerti kalau dirimu benar-benar se-
orang pendekar pilih tanding, seperti yang kami butuhkan saat ini," celetuk
Sadiah. "Kalau aku bukan pendekar yang kalian butuh-
kan?" Rangga memberi pilihan juga.
"Terpaksa kami meninggalkanmu di sini," tegas ja-
waban Badil. "Lantas, apa yang kau ketahui tentang Pendekar
Rajawali Sakti?" pancing Rangga.
"Dia memiliki pedang sakti yang bisa memancarkan
sinar biru. Memang, ciri-cirinya ada semua padamu.
Tapi aku belum yakin kalau belum menyaksikan Pe-
dang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Badil.
"Baiklah, lihat!"
Sret! Rangga meloloskan pedang pusaka dari warangka di
punggung. Seketika itu juga, ruangan ini jadi terang benderang oleh sinar biru
yang terpancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Badil dan Sadiah kontan ter-
nganga menyaksikan pamor pedang yang begitu dah-
syat. Sebentar kemudian Rangga memasukkan kemba-
li pedangnya, sebelum Badil dan Sadiah hilang rasa takjubnya.
"Kau sudah melihat sendiri. Nah! Masih belum per-
caya juga?" dengus Rangga.
"Baiklah! Aku percaya, kau memang Pendekar Ra-
jawali Sakti," sahut Badil.
"Tidak ada seorang pendekar pun yang memiliki pe-
dang seperti itu," sambung Sadiah.
"Nah! Sekarang katakan, apa sebenarnya yang ter-
jadi pada kalian?" desak Rangga agak dingin suaranya.
Sebentar Badil menarik napas panjang sebelum
menjawab permintaan Pendekar Rajawali Sakti. Diliriknya Sadiah yang duduk di
sampingnya. Sedangkan
Sadiah hanya menganggukkan kepala dengan bibir
tersenyum tipis.
*** Rangga menunggu sabar dengan mata tetap tajam
menatap Badil yang masih diam. Dia memang tengah
mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk dikelua-
rkan. Sementara, Sadiah bangkit berdiri dan melangkah ke belakang. Tidak lama,
wanita itu kembali lagi bersama baki di tangannya. Baki itu tertutup kain
berwarna merah tua, dan berenda benang emas. Sa-
diah meletakkan baki itu di atas meja, kemudian duduk di samping Badil.
"Aku dan Sadiah sebenarnya bukan suami istri,"
Badil memulai. "Ya! Sebenarnya kami dua orang pelarian. Seperti
juga Risman," sambung Sadiah.
"Hm, teruskan," pinta Rangga agak kaget juga.
"Berminggu-minggu kami mencari pendekar pilih
tanding, tapi belum juga berhasil. Suatu saat, aku
Datuk Sesat Bukit Kubur 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Medali Wasiat 11