Pencarian

Perempuan Siluman 1

Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman Bagian 1


http://duniaabukeisel.blogspot.com
PEREMPUAN SILUMAN Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Perempuan Siluman
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Hujan gerimis merinai jatuh dari langit,
langsung menghantam bumi. Angin berhembus
kencang, melontarkan daun-daun dan rerumpu-
tan kering. Udara terasa begitu dingin menusuk
tulang, sehingga membuat orang lebih memilih di
dalam rumah. Terlebih lagi, malam ini begitu ge-
lap. Sedikit pun tak terlihat cahaya bintang mau-
pun rembulan yang membias.
Namun keadaan alam yang tampak tidak
ramah pada malam ini, tidak membuat seorang
wanita menghentikan ayunan langkahnya. Dengan
tertatih-tatih, disusurinya jalan tanah yang mulai basah oleh rintik air hujan.
Cukup sulit untuk bi-sa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya
ditutupi sehelai kain berwarna hitam. Malah, tam-
paknya sudah begitu lusuh. Bahkan banyak ter-
dapat tambalan. Dia berjalan dengan kaki telan-
jang, menapak perlahan-lahan. Tidak dipeduli-
kannya lagi tanah becek yang tersiram air hujan
yang semakin deras saja turun menyirami bumi
ini. Wanita itu baru berhenti melangkah sete-
lah tiba di depan sebuah pondok kecil yang terle-
tak agak jauh dari rumah-rumah lainnya. Seben-
tar mukanya dipalingkan ke kanan dan ke kiri,
seakan-akan tidak ingin ada orang lain yang meli-
hatnya. Kemudian dengan tangan agak gemetar,
dibukanya pintu pondok itu. Bunyi derit dari sendi pintu yang sudah berkarat,
terdengar mengiris ha-ti. Secercah cahaya redup dari sebuah pelita kecil yang
tergantung di tengah-tengah ruangan pondok
kecil ini langsung menyambut kehadiran wanita
itu. "Kaukah itu, Nek..?" terdengar suara agak
nyaring dari dalam pondok.
"Benar..., ini aku!" sahut wanita berkerudung kain lusuh itu.
Suaranya terdengar kering sekali. Bahkan
agak serak seperti burung gagak. Kakinya melang-
kah masuk ke dalam pondok, lalu membesarkan
nyala api pelita. Maka ruangan berukuran kecil ini jadi lebih terang lagi
setelah nyala api pelita membesar. Tampak di atas sebuah dipan bambu, du-
duk seorang gadis berpakaian kumal dan penuh
tambalan. Wajah dan tubuhnya tampak kotor.
Rambutnya juga acak-acakan tak teratur, hampir
menutupi wajahnya.
"Apa lagi yang kau bawa untukku malam
ini, Nek?" tanya gadis itu.
Suaranya terdengar datar sekali, tanpa te-
kanan sedikit pun. Dan matanya agak memerah,
dengan tatapan begitu kosong bagai tak memiliki
lagi cahaya gairah kehidupan. Sementara perem-
puan tua yang kini sudah melepaskan kerudung-
nya, melangkah terseret menghampiri. Diletak-
kannya sebuah guci berukuran cukup besar yang
dibawanya ke atas dipan di depan gadis itu.
Seketika itu juga sinar mata gadis berbaju
kumal itu jadi berbinar. Begitu melihat isi guci
yang ada di depannya, dia jadi tidak sabar lagi.
Langsung diambilnya guci itu, lalu....
Glek...! "Habiskan semuanya. Tapi mungkin malam
ini untuk yang terakhir aku bisa memperolehnya,"
ujar perempuan tua itu, masih dengan suara ker-
ing dan serak seperti burung gagak.
Sementara gadis berbaju kumal dan kotor
itu terus meneguk cairan merah dari dalam guci
berukuran cukup besar ini. Guci itu baru diletak-
kan kembali di depannya, setelah semua isi guci
itu berpindah ke dalam perutnya. Sambil menye-
ringai penuh kepuasan, bibirnya yang kini jadi
merah disekanya.
"Kau bicara apa tadi, Nek Paring?" tanya gadis itu, masih tetap datar suaranya.
"Ini malam terakhir aku bisa mendapatkan
darah untukmu. Rasanya sulit bagiku untuk bisa
lagi keluyuran malam-malam mencari darah," kata perempuan tua yang dipanggil Nek
Paring itu. "Kenapa..." Apa semua orang di desa ini
sudah habis?"
"Tidak."
"Lalu..., kenapa kau berkata seperti itu?"
"Keadaan semakin sulit. Tadi saja aku
hampir mati...."
"Kau kepergok mereka lagi?"
Nek Paring hanya menganggukkan kepala
saja. 'Tapi tinggal tiga malam lagi, Nek. Dan setelah itu, semuanya akan
berakhir. Kau tidak per-
lu lagi keluar malam-malam. Biar aku sendiri yang
melakukannya seperti dulu-dulu lagi. Tinggal tiga
hari lagi, Nek. Tiga hari tidak akan lama...," tandas gadis itu, mencoba
membangkitkan semangat Nek
Paring yang tampaknya mulai padam.
Nek Paring hanya diam saja. Sedangkan
langkahnya terus bergerak menghampiri sebuah
dipan bambu lain, yang terletak di bawah sebuah
jendela kayu yang tertutup rapat. Dari sela-sela
lubang di bawah jendela itu berhembus angin dari
luar yang terasa begitu dingin. Perlahan-lahan Nek Paring merebahkan dirinya di
atas dipan bambu
beralaskan sehelai tikar anyaman daun pandan
itu. Sementara gadis berbaju kumal yang selu-
ruh wajah dan tubuhnya tampak kotor, masih te-
tap duduk bersila. Sebentar matanya melirik Nek
Paring yang sudah terbaring dengan mata terpe-
jam rapat. Tak ada lagi yang berbicara. Sementara
hujan di luar pondok ini semakin deras saja, se-
hingga memperdengarkan suara menggemuruh, -
bagai hendak menghancurkan semua yang ada di
atas permukaan bumi ini.
"Nek..., kau belum tidur...?" tanya gadis itu dibuat lembut suaranya. Tapi,
masih saja terdengar agak datar.
"Hm..., ada apa?" Nek Paring hanya meng-
gumam saja. "Kenapa kau tadi mengatakan kalau ini
malam yang terakhir, Nek?" tanya gadis itu.
"Aku hanya mengatakan ini baru kemung-
kinan saja. Aku merasa semakin sulit menda-
patkan darah untukmu. Mereka semakin waspada
dan selalu berjaga-jaga," jelas Nek Paring.
"Hm, seberapa jauh jaraknya desa lain dari
sini?" "Dua hari perjalanan."
Gadis itu tidak bertanya lagi. Kini matanya
dipejamkan dengan sikap bersemadi. Sedangkan
Nek Paring masih tetap berbaring. Kelopak ma-
tanya juga tidak terbuka. Tampaknya, perempuan
tua itu sangat lelah. Sementara hujan deras sudah
turun di luar, memperdengarkan suara mengge-
muruh. Sehingga, membuat bumi terasa bergetar
bagai diguncang ribuan tangan-tangan raksasa.
Suasana di dalam pondok kecil itu pun kini terasa
sangat sunyi. Sedikit pun tak terdengar suara dari dalam sana.
*** Udara di Desa Mungkit terasa segar sekali
pagi ini, setelah semalam diguyur hujan sangat le-
bat. Meskipun jalan-jalan di desa itu jadi basah
dan becek, tapi tidak menghalangi para penduduk
yang harus bekerja seperti hari-hari biasanya. Wa-
laupun pagi ini terasa begitu cerah dan udaranya
sangat segar, tapi wajah semua orang di desa ini
tidaklah secerah sang mentari yang bersinar pe-
nuh tanpa terhalangi awan sedikit pun.
Di salah satu rumah, terlihat banyak orang
berkumpul. Dan dari sana pula terdengar suara-
suara tangisan yang terisak dan sesenggukan.
Orang yang berkerumun memadati halaman ru-
mah berukuran kecil itu bergerak menyingkir, ke-
tika seorang laki-laki tua menunggang kuda da-
tang menghampiri. Laki-laki tua yang mengenakan
jubah warna putih bersih itu bergegas melompat
turun dari punggung kudanya. Lalu dengan lang-
kah-langkah kaki lebar, diterobosnya kerumunan
itu untuk masuk ke dalam rumah yang ditujunya.
"Oh..."!"
Seketika laki-laki tua itu jadi tertegun begi-
tu baru saja melewati pintu depan yang sejak tadi
terbuka lebar. Kedua bola matanya jadi terbeliak
lebar, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya di dalam ruangan depan yang beruku-
ran tidak begitu besar ini. Dan di situ ada pula
beberapa orang yang memandanginya. Sinar mata
mereka terlihat kosong, sulit diartikan.
"Kapan ini terjadi...?" desah laki-laki tua berjubah putih itu, seakan-akan
bertanya pada di-ri sendiri.
"Semalam, Ki," sahut seorang pemuda ber-
baju warna merah, yang berdiri membelakangi
jendela. "Hm...," gumam laki-laki tua itu perlahan.
Laki-laki tua itu melangkah menghampiri
tiga sosok mayat yang tergeletak di tengah-tengah
ruangan depan ini. Sungguh mengerikan sekali
keadaannya. Leher dan dada mereka terkoyak le-
bar. Setetes pun tak ada darah terlihat, walau leh-er ketiga orang itu terkoyak
hampir buntung. De-
mikian pula dada mereka yang terbuka lebar, se-
hingga memperlihatkan seluruh isinya sampai je-
las sekali. Sebentar laki-laki tua berjubah putih itu
mengamati keadaan ketiga mayat itu, kemudian
kembali bangkit berdiri sambil menghembuskan
napas panjang. Sebentar diamatinya orang-orang
yang berada di dalam ruangan ini. Pandangannya
kemudian tertuju pada pemuda berbaju merah
muda yang masih berdiri membelakangi jendela.
Kakinya terayun menghampiri pemuda berwajah
cukup tampan, dengan tubuh tinggi tegap berotot
itu. Kulitnya pun putih, seperti seorang putra raja atau bangsawan kota.
"Kenapa hal ini bisa terjadi, Darkan" Kau
sudah kutugaskan untuk mengatur perondaan
tiap malam...," kata laki-laki tua itu menyesalkan peristiwa mengerikan ini.
"Lebih dari tiga puluh orang yang meronda
semalam, Ki Labur. Bahkan aku sendiri sampai
sekarang belum tidur," sahut pemuda berbaju merah muda yang dipanggil Darkan,
seperti tidak in-
gin disalahkan.
"Lalu, kenapa hal ini sampai terjadi?" tanya Ki Labur yang juga Kepala Desa
Mungkit ini, meminta penjelasan.
"Aku..., aku tidak tahu, Ki. Tidak ada seo-
rang pun yang tahu. Baru tadi ada yang tahu ka-
lau...," kata Darkan terputus.
"Hm..., entah sampai kapan hal ini akan
terjadi. Sudah begitu banyak jatuh korban. Dan
semuanya tewas dalam keadaan yang begitu men-
gerikan. Hhh...," desah Ki Labur agak perlahan, memotong ucapan Darkan.
Suasana kembali sunyi, tanpa seorang pun
berbicara lagi. Di sekitar rumah itu masih dikeru-
muni orang. Dan beberapa pemuda mulai membe-
reskan mayat-mayat yang tergeletak di tengah-
tengah ruangan depan rumah ini. Sungguh men-
gerikan keadaannya. Dari luka-luka yang mengan-
ga lebar, setetes pun tak ada darah yang terlihat.
Suatu kematian yang sungguh aneh dan sangat
mengerikan. Bahkan Ki Labur sampai tak tahan
untuk menyaksikan lebih lama lagi.
Laki-laki tua itu bergegas keluar diikuti
Darkan. Mereka terus melangkah menerobos ke-
rumunan orang-orang yang ingin menyaksikan sa-
tu keluarga di dalam rumah berukuran kecil itu.
Mereka baru berhenti setelah berada di luar, agak
jauh dari kerumunan orang yang semakin bertam-
bah banyak ini.
"Mulai sekarang, kau harus lebih memper-
kuat penjagaan di seluruh wilayah desa ini, Dar-
kan," ujar Ki Labur agak dalam nada suaranya, namun terdengar tegas sekali.
"Baik, Ki," sahut Darkan seraya mengang-
gukkan kepala. Ki Labur mengedarkan pandangannya ber-
keliling. Sesaat kemudian, tatapan matanya yang
agak tajam tertumbuk langsung pada seorang pe-
muda berwajah tampan. Tubuhnya tinggi dan te-
gap berotot. Pemuda itu berdiri di bawah sebatang
pohon yang sangat rindang untuk melindungi di-
rinya dari sengatan sinar mentari. Dan perhatian
pemuda itu rupanya tertumpah pada kerumunan


Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang di sekitar rumah kecil itu.
Ki Labur terus memperhatikan, ketika pe-
muda tampan itu mencegat seorang laki-laki tua
penduduk desa Mungkit ini. Hanya sebentar me-
reka berbicara, kemudian laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu terus
melangkah menuju ke
arah Ki Labur yang masih didampingi Darkan. Se-
gera Ki Labur mencegatnya. Di pundaknya yang
kurus, terpanggul sebuah cangkul kotor yang pe-
nuh lumpur sawah.
"Oh..."! Ada apa, Ki Kepala Desa...?" tanya laki-laki tua itu.
"Aku hanya ingin tanya," sahut Ki Labur.
'Tanya apa?"
"Kau kenal pemuda yang berbicara dengan
mu tadi, Ki?" tanya Ki Labur langsung, sambil melirik pemuda tampan yang masih
tetap berdiri di
bawah pohon rindang.
Laki-laki tua penduduk Desa Mungkit itu
melirik sedikit pemuda yang tadi memang bicara
dengannya, kemudian menatap Ki Labur dengan
kelopak mata agak menyipit. Tampak jelas, raut
wajahnya menyiratkan keheranan mendengar per-
tanyaan kepala desa itu barusan. Kemudian, kepa-
lanya bergerak menggeleng perlahan.
"Lalu, apa yang kau bicarakan dengannya
tadi?" tanya Ki Labur lagi.
"Dia hanya bertanya tentang kejadian di
rumah itu saja," sahut laki-laki tua yang tidak mengenakan baju itu.
Ki Labur mengangguk-anggukkan kepala,
kemudian meminta laki-laki tua itu untuk melan-
jutkan perjalanannya, setelah tadi habis mengolah
sawahnya. Hari memang masih pagi, tapi seluruh
penduduk Desa Mungkit sudah menghentikan pe-
kerjaannya begitu mendengar ada peristiwa pem-
bunuhan mengerikan yang menimpa satu keluar-
ga di desa ini.
Sementara Ki Labur masih tetap diam. Di-
tatapnya Darkan yang masih tetap berada di sebe-
lah kanannya. Tapi begitu pandangannya beralih
ke pohon di pinggir jalan itu, mendadak saja dia
jadi tersentak kaget. Karena, pemuda tampan ber-
tubuh tinggi tegap dan berwajah tampan itu sudah
tidak berada lagi di bawah pohon rindang itu. Ki
Labur langsung mengedarkan pandangannya ber-
keliling, tapi tidak juga melihatnya lagi.
"Hm..., ke mana perginya...?" gumam Ki
Labur bertanya-tanya sendiri dalam hati.
*** Memang bukan sekali ini peristiwa pembu-
nuhan mengerikan yang penuh teka-teki itu terja-
di di Desa Mungkit. Tapi sudah beberapa kali ber-
langsung. Dan selama ini, tidak ada seorang pun
yang mengetahui, atau memergoki pembunuh keji
itu. Namun yang membuat seluruh penduduk De-
sa Mungkit dicekam kengerian adalah semua kor-
bannya mati tanpa ada darah setetes pun yang ke-
luar. Padahal, semua korbannya tewas dengan lu-
ka-luka sangat besar dan parah!
Dan yang membuat Ki Labur terus ber-
tanya-tanya dalam hati, setiap kali peristiwa itu
terjadi, dia selalu melihat seorang pemuda berwa-
jah tampan muncul di tempat kejadian. Sayang-
nya, belum sempat didekatinya, pemuda itu selalu
saja sudah menghilang. Perginya tidak pernah ke-
tahuan, kapan dan ke mana.
"Hhh.... Malam ini aku harus bisa bertemu
iblis pembunuh keparat itu. Kalau terus-menerus
begini bisa habis seluruh warga desa ku...," desah Ki Labu perlahan, bicara
sendiri. Laki-laki tua yang selalu mengenakan ju-
bah panjang berwarna putih itu mengayunkan ka-
kinya per lahan-lahan, meninggalkan rumahnya
yang berukuran cukup besar. Sebuah rumah yang
dikelilingi halaman luas dan ditumbuhi rerumpu-
tan. Dua batang pohon beringin tumbuh berdiri di
tengah-tengah halaman depan. Beberapa orang
pemuda terlihat di sekitar halaman rumah kepala
desa itu. Mereka adalah para penjaga keamanan
rumah kepala desa.
Namun belum juga Ki Labur keluar dari
halaman rumahnya, terdengar panggilan bernada
lembut dai arah belakang. Langkahnya langsung
dihentikan. Kepalanya berpaling sedikit, dan lang-
sung memutar tubuhnya berbalik begitu melihat
seorang wanita tua, tertatih-tatih keluar dari dalam rumah menghampirinya. Ki
Labur tetap berdi-
ri tegak menanti perempuan tua yang tak lain is-
trinya sendiri.
"Mau ke mana, Ki?" tanya Nyai Labur setelah dekat di depan suaminya.
"Keliling kampung," sahut Ki Labur, agak datar nada suaranya.
"Kau sudah tua, Ki. Bukankah kau sudah
percayakan pada menantu kita, si Darkan itu..."
Untuk apa bersusah-susah keliling desa sendiri"
Mana sudah larut malam begini...," kata Nyai Labur, terdengar suaranya bernada
khawatir. Ki Labur hanya tersenyum tipis saja. Dite-
puknya pundak istrinya dengan lembut. Sebentar
matanya menatap lurus ke bola mata wanita tua
di depannya ini, kemudian beredar berkeliling. Di-
pandanginya orang-orangnya yang tetap berjaga-
jaga di sekitar rumahnya. Mereka semua masih
muda-muda, dan rata-rata berusia sekitar dua pu-
luh lima tahun.
Sejak terjadinya pembunuhan-pembunu-
han mengerikan di Desa Mungkit. ini, Ki Labur
memang melipatgandakan penjagaan di sekitar
rumahnya. Bahkan Darkan yang juga menantunya
diperintahkan untuk mengatur penjagaan yang ke-
tat di sekitar desa. Tidak heran bila setiap orang yang datang ke desa ini,
Selalu ditanyai maksud
dan tujuan kedatangannya. Para pendatang itu te-
tap diawasi sampai pergi meninggalkan desa. Hal
ini terpaksa dilakukan untuk menjaga kalau-kalau
salah seorang dari pendatang itulah yang telah
melakukan pembunuhan-pembunuhan mengeri-
kan ini. "Pembunuh itu sudah semakin keterlaluan, Nyai. Aku tidak bisa terus-
menerus mengandalkan
Darkan dan mereka semua. Kau tahu, Nyai. Mere-
ka juga bisa mengalami bahaya. Dan aku tidak
mau kehilangan mereka, setelah cukup banyak
penduduk desa ini yang menjadi korban," kata Ki Labur mencoba memberi pengertian
kepada istrinya. "Aku mengerti, Ki. Tapi kau sudah tua. Kau tidak lagi segagah
dulu," sahut Nyai Labur tetap mengkhawatirkan keadaan suaminya.
Lagi-lagi Ki Labur hanya tersenyum saja.
Usianya sekarang memang sudah sangat tua.
Bahkan sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Dan
memang, keadaannya tidak lagi segagah ketika
masih berusia tiga puluh tahun. Tapi bagaimana-
pun juga, dia merasa bertanggung jawab atas ke-
selamatan seluruh penduduk Desa Mungkit ini.
Dan dia tidak bisa tinggal diam dengan berpangku
tangan saja melihat satu persatu penduduknya
mati terbunuh secara aneh dan mengerikan. Dia
harus bertindak sesuatu untuk menghentikan se-
mua pembunuhan ini. Dan kalau perlu, membe-
kuk pembunuh keji itu dengan tangannya sendiri.
Hal ini memang sudah menjadi tekadnya, sejak
terjadi peristiwa pembunuhan lagi kemarin ma-
lam. "Aku pergi dulu, Nyai. Sebaiknya kau masuk saja dan jangan keluar sebelum
aku kembali,"
kata K Labur. Nyai Labur tidak bisa lagi menahan sua-
minya. Dia hanya mematung saja sambil meman-
dangi laki-laki tua berjubah putih itu melangkah pergi dengan ayunan kaki begitu
mantap. Nyai Labur baru berbalik setelah bayangan tubuh sua-
minya tidak terlihat lagi, tertelan gelapnya malam yang teramat pekat ini.
Sementara itu, Ki Labur terus melangkah
perlahan-lahan dengan ayunan kaki mantap, se-
mantap hatinya untuk membekuk si pembunuh.
Dia terus berjalan sambil mengedarkan matanya
yang tajam. Beberapa orang peronda yang berpa-
pasan dengannya selalu membungkukkan tubuh
memberi hormat. Sedangkan Ki Labur hanya
membalas dengan sedikit anggukan kepala saja.
Laki-laki tua berjubah putih itu baru ber-
henti melangkah setelah sampai di perbatasan de-
sa sebelah timur. Sunyi sekali keadaan di sekitar-
nya. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan di
dekat perbatasan ini hanya berdiri dua rumah sa-
ja. Dan itu pun keadaannya sangat gelap, karena
sudah tidak lagi dihuni. Seluruh penghuninya
memang telah tewas menjadi korban pembunuh
itu. "Hm..., seharusnya ada penjaga di sini.
Kemana mereka...?" gumam Ki Labur bertanya
sendiri. Kembali pandangan mata laki-laki tua itu
beredar berkeliling. Keningnya jadi berkerut begitu
melihat dua tonggak batu yang menjadi tanda dari
batas Desa Mungkit ini. Kelopak matanya semakin
menyipit saat melihat dua sosok tubuh tengah
bersandar pada batu tanda batas desa ini. Perla-
han Ki Labur menghampiri tonggak batu tanda
perbatasan itu. Dan setelah dekat...
"Heh..."!"
*** 2 Kedua bola mata Ki Labur jadi terbeliak le-
bar! Ternyata dua orang yang seharusnya menjaga
gerbang perbatasan Desa Mungkit ini sudah tidak
bernyawa lagi, dengan leher berlubang lebar ham-
pir putus. Ki Labur bergegas memeriksa keadaan
mereka yang sudah tidak bernyawa lagi. Kening-
nya jadi berkerut begitu dalam, melihat darah
mengucur dari leher yang menganga sangat lebar
itu. "Hm...," Ki Labur menggumam perlahan.
Kematian dua orang penjaga perbatasan ini
tidak seperti kematian-kematian yang lainnya.
Mayat kedua orang itu masih mengeluarkan da-
rah. Sedangkan pada korban-korban terdahulu,
sedikit pun tidak ada darah yang keluar. Ki Labur
cepat-cepat melangkah mundur beberapa tindak.
Dan pada saat itu....
"Uts...!"
Cepat-cepat laki-laki tua itu memiringkan
tubuhnya ke kanan, begitu merasakan adanya
hempasan angin yang begitu kuat dari arah bela-
kang. Seketika itu juga, terlihat sebuah bayangan
hitam berkelebat sangat cepat dari arah belakang-
nya. "Hup!"
Bergegas Ki Labur melenting ke belakang
beberapa tindak. Dua kali dia berputar sebelum
kakinya menjejak manis sekali di tanah berumput
agak basah oleh embun. Tepat pada saat itu, seki-
tar enam langkah di depannya berdiri sesosok tu-
buh berbaju hitam yang sudah lusuh, dan penuh
tambalan. Tidak mudah untuk mengenali wajahnya,
karena seluruh kepalanya tertutup kerudung kain
berwarna hitam dan lusuh. Ditambah lagi, malam
ini memang sangat gelap. Awan hitam menggum-
pal, bergulung-gulung menghalangi siraman ca-
haya bulan. Tubuhnya yang agak membungkuk,
tersangga sebatang tongkat kayu yang tidak bera-
turan bentuknya.
"Siapa kau...?" tanya Ki Labur, agak dalam nada suaranya.
"Hik hik hik...!" perempuan tua itu hanya terkikik saja mendapat pertanyaan
Kepala Desa Mungkit ini. Suara tawa itu begitu kecil dan serak, tapi
terdengar sangat nyaring. Sehingga membuat bulu
kuduk siapa saja yang mendengarnya pasti bergi-
dik bangun. Tidak terkecuali Ki Labur. Laki-laki
tua berjubah putih itu sampai bergidik mendengar
tawa yang terkikik mengerikan itu. Kakinya me-
langkah mundur dua tindak. Namun sorot ma-
tanya tetap menyala tajam, mencoba menembus
selubung kain kerudung hitam yang hampir me-
nutupi seluruh wajah perempuan tua berbaju
kumal dan penuh tambalan itu.
"Aku tahu, kau ingin bertemu denganku, Ki
Labur. Nah, sekarang kau sudah berhadapan den-
ganku. Apa yang akan kau lakukan padaku, La-
bur...?" terasa dingin dan serak sekali suara pe-
rempuan tua itu.
"Hm..., jadi kau yang membantai penduduk
ku secara keji..,?" desis Ki Labur, langsung bisa menebak siapa perempuan tua
yang berdiri beberapa langkah di depannya ini.
"Hik hik hik...!' lagi-lagi perempuan tua itu terkikik mengerikan.
Sementara Ki Labur sudah mempersiapkan
diri. Dia yakin, malam ini pasti harus mengerah-
kan tenaga untuk menghadapi pembunuh aneh
dan kejam ini. Padahal dalam hatinya sama sekali
tidak menyangka kalau yang melakukan semua
pembunuhan keji itu adalah seorang perempuan
tua yang memiliki suara mengerikan sekali.
"Siapa pun kau, Nisanak. Kau harus ku-
tangkap. Kau harus mempertanggungjawabkan
semua perbuatan kejimu!" desis Ki Labur tegas.


Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hik hik hik...! Tidak mudah untuk me-
nangkapku, Ki Labur. Sebaiknya jangan mem-
buang-buang tenaga untuk mengurusi hal kecil
seperti ini. Ingat! Kau sudah tua dan tidak punya
kekuatan lagi untuk bertarung," kata perempuan tua itu lagi.
"Siapa kau sebenarnya?" Apa tujuanmu
membunuhi penduduk Desa Mungkit"!" tanya Ki
Labur tegas, tanpa menghiraukan peringatan pe-
rempuan tua itu.
"Hik hik hik...! Aku biasa dipanggil Nek
Paring. Semua ini kulakukan hanyalah untuk cu-
cuku. Juga untuk kebahagiaan mu sendiri, La-
bur," sahut perempuan tua itu.
"Heh..."! Apa yang kau katakan...?"
Ki Labur jadi tersentak kaget setengah mati
mendengar kata-kata perempuan tua yang menga-
ku bernama Nek Paring barusan. Begitu terkejut-
nya, sampai kakinya terlonjak ke belakang bebe-
rapa langkah. Sorot matanya jadi semakin tajam,
ingin melihat wajah yang hampir tertutup kain ke-
rudung hitam itu. Dia benar-benar terkejut dan ti-
dak mengerti perkataan Nek Paring padanya tadi.
"Hik hik hik...!"
*** "Siapa kau ini sebenarnya" Apa maksudmu
berkata seperti itu"!" tanya Ki Labur tinggi sekali nada suaranya.
Tapi perempuan tua itu hanya tertawa ter-
kikik saja. Seakan-akan tenggorokannya tergelitik
mendengar pertanyaan Ki Labur yang beruntun
dan bernada penasaran. Hal ini membuat Ki Labur
jadi berang. Dia merasa perempuan tua itu sedang
mempermainkan nya, dengan kata-kata yang sa-
ma sekali tidak bisa dimengerti.
"Dengar, Nisanak...! Aku bisa berbuat ka-
sar kalau kau tidak mau mengatakan dan meng-
hentikan perbuatan kejimu itu!" desis Ki Labur tidak main-main.
"Hik hik hik...!"
Aneh! Perempuan tua berbaju hitam kumal
penuh tambalan itu menanggapi hanya dengan
tawa saja. Bahkan semakin nyaring melengking,
dan terdengar serak seperti burung gagak. Tapi Ki
Labur tidak bergidik lagi mendengarnya. Kemara-
hannya yang seketika itu juga meluap di dalam
dada, membuatnya jadi tidak peduli. Dan dia kini
hanya memandang kalau perempuan itu adalah
pelaku pembunuhan keji di Desa Mungkit ini.
Orang yang harus ditangkap dan dijatuhi huku-
man yang setimpal atas perbuatannya dalam be-
berapa hari ini.
"Aku tidak peduli tujuanmu membunuhi
penduduk desa ini, Nisanak. Yang jelas, kau harus
kutangkap malam ini juga," desis Ki Labur dingin menggetarkan.
"Hik hik hik...!"
Lagi-lagi perempuan tua itu hanya tertawa
terkikik saja. Sama sekali tidak dipedulikannya
kata-kata Ki Labur yang begitu tegas dan bernada
mengancam. Sedikit pun tidak ditanggapinya kata-
kata maupun sikap laki-laki tua berjubah putih
yang menjabat kepala desa di Desa Mungkit ini.
Tentu saja hal itu membuat Ki Labur semakin ber-
tambah geram! "Hap! Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki La-
bur langsung melompat menerjang, sambil melon-
tarkan beberapa pukulan keras menggeledek, yang
disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Namun tanpa diduga sama sekali, perempuan tua
berbaju kumal penuh tambalan yang mengaku
bernama Nek Paring itu sangat mudah menghin-
dari setiap serangannya.
Dengan lincah dan manis sekali Nek Paring
meliuk-liukkan tubuhnya. Setiap pukulan yang di-
lancarkan Ki Labur dihindarinya dengan mudah.
Bahkan beberapa kali pula berhasil menangkis
tangan Ki Labur dengan tangannya sendiri. Se-
hingga, terjadi beberapa benturan keras yang
membuat Ki Labur jadi terperanjat setengah mati.
Setiap kali tangannya membentur tangan lawan,
langsung terasa jadi bergetar bagai tersengat lebah berbisa. "Hup...!"
Cepat-cepat Ki Labur melenting ke bela-
kang, setelah melakukan serangan sebanyak tiga
jurus. Namun, tak satu pun yang membawa hasil.
Bahkan kedua tangannya jadi memerah akibat be-
berapa kali berbenturan dengan tangan perem-
puan tua berbaju kumal penuh tambalan itu.
"Hap! Hap...!"
Ki Labur segera membuka jurus lain. Sete-
lah melakukan beberapa gerakan di depan dada,
kemudian tangannya mengembang ke samping.
Seluruh jari-jarinya tampak merapat menjadi satu,
seperti membentuk kepala seekor burung bangau.
Perlahan-lahan kaki kanannya diangkat dengan
lutut tertekuk. Sehingga, pahanya sejajar dengan
permukaan tanah. Tatapan matanya begitu tajam
menusuk langsung ke wajah yang hampir tertutup
kerudung hitam yang sudah memudar warnanya.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Ki La-
bur melesat cepat bagai kilat. Kedua tangannya
yang masih terkembang ke samping bergerak ce-
pat, diikuti gerakan tubuh yang meliuk-liuk indah.
Langsung diserangnya perempuan tua yang men-
gaku bernama Nek Paring itu. Sungguh cepat dan
dahsyat serangan-serangan yang dilakukan Ki La-
bur kali ini. Setiap kebutan tangannya menimbul-
kan deru angin, bahkan menyebarkan hawa san-
gat panas menyengat kulit.
"Hait..!"
Nek Paring mengimbangi serangan-
serangan laki-laki tua berjubah putih itu dengan
meliuk-liukkan tubuhnya. Setiap sambaran kedua
tangan Ki Labur yang terkembang lebar ke samp-
ing selalu dapat dihindarinya. Namun, beberapa
kali dia terpaksa harus melentingkan tubuhnya ke
udara, dan membanting tubuhnya ke tanah. Bah-
kan kadang juga harus bergulingan beberapa kali,
untuk menghindari setiap serangan Ki Labur yang
begitu cepat dan dahsyat.
Di malam yang dingin dan gelap tanpa ca-
haya bulan sedikit pun, Ki Labur dan Nek Paring
terus bertarung sengit. Jurus-jurus yang dikelua-
rkan cukup dahsyat, dan bermutu tinggi. Teria-
kan-teriakan keras menggelegar terdengar bagai
hendak memecah kesunyian malam di perbatasan
Timur Desa Mungkit ini. Dan pertarungan masih
saja terus berlangsung semakin sengit. Kini bukan
hanya Ki Labur saja yang melakukan serangan,
bahkan Nek Paring pun sudah menyiapkan seran-
gan-serangan dahsyatnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa!"
Tepat ketika Ki Labur melenting ke udara
sambil melepaskan satu pukulan keras menggele-
dek yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, secepat itu pula Nek Paring menarik ka-
kinya ke belakang sambil mengebutkan tongkat-
nya ke atas. Bet! "Heh..."! Utsss...!"
Ki Labur jadi terkesiap setengah mati.
Sungguh tidak disangka kalau perempuan tua itu
bisa bertindak di saat yang sangat sulit ini. Maka cepat-cepat tubuhnya berputar
berjumpalitan di
udara, menghindari tebasan ujung tongkat yang
berbentuk runcing itu.
"Hiyaaa...!"
Namun belum juga Ki Labur bisa mengua-
sai keseimbangan tubuhnya di udara, tiba-tiba sa-
ja Nek Paring sudah mencelat cepat bagai kilat ke
angkasa. Dan secepat itu pula, satu pukulan keras
menggeledek dilepaskan dengan tangan kirinya.
Begitu cepat pukulan tangan kirinya, sehingga Ki
Labur tidak sempat lagi untuk berkelit menghin-
dar. Hingga akhirnya....
Desss! "Akh...!"
Bruk! Begitu keras pukulan yang diberikan Nek
Paring, sehingga tubuh Ki Labur jatuh keras sekali menghantam tanah. Beberapa
kali laki-laki tua
berjubah putih itu bergulingan di tanah, lalu ce-
pat-cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat
yang sama, kedua kaki Nek Paring sudah kembali
menjejak di atas permukaan tanah yang berumput
dan basah oleh embun ini.
Tampak Ki Labur terhuyung-huyung begitu
bisa berdiri. Dari sudut bibirnya mengalir darah.
Kemudian, mulutnya memuntahkan darah kental
agak kehitaman. Saat itu juga, pandangannya jadi
mengabur berkunang-kunang. Beberapa kali kepa-
lanya menggeleng-geleng. Dicobanya untuk men-
gusir rasa pening yang menyerangnya begitu tiba-
tiba, setelah menerima pukulan keras bertenaga
dalam lumayan dari perempuan tua berbaju hitam
kumal penuh tambalan itu.
"Aku bisa membunuhmu sekarang juga ka-
lau aku mau, Labur. Tapi aku tidak akan melaku-
kannya. Dan kuharap kau tidak keras kepala...,"
kata Nek Paring dingin sekali nada suaranya.
"Phuih!"
Ki Labur menyemburkan ludahnya yang bercam-
pur darah. Memang, di dalam rongga mulutnya
masih penuh darah yang menggumpal. Napasnya
juga jadi tersengal dan terasa sesak sekali. Na-
mun, sorot matanya masih memancar sangat ta-
jam. "Hap...!"
Cepat-cepat Ki Labur membuat beberapa
gerakan dengan tangannya di depan dada. Kemu-
dian, perlahan-lahan kakinya bergerak ke kanan
menyusuri tanah berumput yang basah oleh em-
bun. Sementara, Nek Paring masih tetap berdiri
tegak mengamati setia gerakan yang dilakukan la-
ki-laki berjubah putih itu.
Sret! Cepat sekali Ki Labur mengeluarkan golok-
nya. yang sejak tadi tersembunyi di balik jubahnya yang panjang dan longgar ini.
Dan begitu goloknya
tersilang di depan dada, bagaikan kilat laki-laki
tua berjubah putih itu melesat menyerang.
"Hiyaaat..!"
Bet! Golok yang tergenggam erat di tangan ka-
nan Ki Labur berkelebat cepat bagai kilat, mengi-
kuti gerakan tubuhnya. Begitu cepatnya, sehingga
mata Nek Paring jadi terbeliak lebar. Sungguh ti-
dak disangka kalau kepala desa itu masih bisa
bergerak begitu cepat luar biasa, setelah mendapat satu pukulan keras bertenaga
dalam cukup tinggi.
Dan memang, tadi Nek Paring tidak sepenuhnya
mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya. Pa-
dahal, dia tadi menyangka kalau Ki Labur tidak
akan mungkin bisa melakukan serangan kembali.
Namun kenyataannya, laki-laki tua berjubah putih
itu malah mampu melakukan serangan begitu ce-
pat dan dahsyat luar biasa.
"Hait..! Hih!"
Cepat-cepat Nek Paring melompat mundur
sambil mengebutkan tongkatnya untuk menangkis
tebasan golok Kepala Desa Mungkit itu. Tak pelak
lagi, tongkat yang kelihatannya dari kayu biasa itu berbenturan dengan golok Ki
Labur yang berkila-tan sangat tajam.
Trang! "Heh..."!"
Ki Labur jadi tersentak kaget setengah ma-
ti, begitu goloknya berbenturan dengan tongkat
kayu yang kelihatannya rapuh. Cepat-cepat tu-
buhnya melenting melakukan putaran beberapa
kali ke belakang. Dan manis sekali kedua kakinya
kembali menjejak tanah. Tapi mulutnya jadi me-
ringis karena merasakan nyeri pada persendian
tangan kanannya.
Memang sukar dipercaya, kalau tongkat
kayu yang kelihatan rapuh itu ternyata sangat
tangguh luar biasa. Bahkan ketika berbenturan
tadi, seakan-akan goloknya menghantam sebatang
besi baja yang sangat berat Dan saat laki-laki tua itu tengah terpana, tiba-tiba
saja.... "Hiyaaat..!"
Bet! Bagaikan kilat, Nek Paring melompat sam-
bil mengebutkan tongkatnya ke arah dada Ki La-
bur yang masih terpana tidak percaya oleh keja-
dian barusan. Dan kini matanya jadi terbeliak le-
bar, begitu mendapat serangan cepat dan menda-
dak dari perempuan tua berbaju kumal penuh
tambalan itu. "Hat...!"
Wuk! Cepat-cepat KI Labur mengangkat golok-
nya, melindungi dadanya dari kebutan tongkat


Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nek Paring yang berujung runcing. Kembali dua
senjata beradu keras di depan dada Ki Labur.
Trang! "Yeaaah...!"
Belum juga Ki Labur berbuat sesuatu, ba-
gaikan kilat Nek Paring sudah melenting ke udara
sambil melepaskan satu tendangan keras mengge-
ledek yang mengarah ke dada. Waktunya memang
bersamaan saat tangan Ki Labur yang menggeng-
gam golok itu terpental ke samping.
Desss! "Akh...!" Ki Labur terpekik keras.
Kembali dada laki-laki tua itu terpaksa ha-
rus menerima tendangan keras menggeledek dari
Nek Paring. Seketika itu juga, tubuhnya terpental
deras ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Sebatang pohon
berukuran cukup
besar langsung tumbang seketika, begitu terlanda
tubuh laki-laki tua yang sudah berusia lebih dari
tujuh puluh tahun itu.
"Hoeeekh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Labur memuntah-
kan darah kental kehitaman dari mulutnya. Dia
berusaha bangkit berdiri, namun kembali jatuh
menggelimpang di antara reruntuhan batang po-
hon yang terlanda tubuhnya tadi. Perlahan kepa-
lanya diangkat, mencoba menatap Nek Paring yang
berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
Namun pandangannya benar-benar men-
gabur dan berkunang-kunang. Sedangkan napas-
nya semakin tersengal. Kembali Ki Labur terbatuk
dan menyem-burkan darah kental kehitaman dari
mulutnya. Pandangannya semakin kurang dan
mengabur. Sedangkan Nek Paring tetap berdiri te-
gak memandanginya, sambil berkacak pinggang
sekitar satu batang tombak di depan Kepala Desa
Mungkit itu. "Kau tidak akan mati, Labur. Tapi, kau
akan lumpuh untuk beberapa hari," kata Nek Paring, begitu dingin nada suaranya.
"Huh!"
Ki Labur hanya bisa mendengus saja, dan
terus mencoba membuka kelopak matanya lebar-
lebar. Tapi, pandangannya semakin kurang dan
terus mengabur. Hingga akhirnya, dia sama sekali
tidak bisa melihat. Sekitarnya terasa begitu gelap.
Bahkan kepalanya jadi berat bagai terbebani
bongkahan batu seberat beberapa kati. Dan ak-
hirnya, laki-laki tua berjubah putih itu roboh tak sadarkan diri lagi.
"Hik hik hik...!"
Hanya sesaat dan samar-samar saja Ki La-
bur masih sempat mendengar tawa Nek Paring
yang terkikik panjang mengerikan, kemudian tak
mampu lagi mendengar apa pun. Laki-laki tua ber-
jubah putih itu benar-benar pingsan, setelah da-
danya terkena tendangan keras yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi tadi.
*** 3 "Oh...."
Ki Labur merintih lirih sambil menggerak-
gerakkan kepalanya. Beberapa saat kemudian ke-
lopak matanya terbuka, dan perlahan tubuhnya
bergerak hendak bangkit. Tapi sebuah tangan su-
dah mencegah bahunya. Niatnya terpaksa di-
urungkan. Sebentar Ki Labur mengerjapkan ma-
tanya, lalu kembali membukanya lebar-lebar.
Tampak seraut wajah wanita tua berada dekat
dengannya. Wajah yang sangat dikenali, dan telah
mendampingi hidupnya bertahun-tahun.
"Jangan bangun dulu, Ki. Kau masih le-
mah," lembut dan agak bergetar suara wanita tua yang tak lain Nyai Labur.
Sebentar Ki Labur masih memandangi is-
trinya, kemudian pandangannya beralih pada seo-
rang pemuda tampan yang berdiri di depan pintu
kamar ini. Sebuah kamar berukuran tidak begitu
besar, namun kelihatan rapi dan bersih. Sedang-
kan pintu kamar itu terbuka lebar, sehingga Ki
Labur bisa melihat dua orang pemuda dengan go-
lok terselip di pinggang tengah berjaga-jaga di depannya. Pemuda tampan yang
ternyata Darkan
segera melangkah mendekat saat tangan kanan Ki
Labur bergerak memanggilnya.
"Ya, Ki...," ujar Darkan setelah dekat dengan pembaringan kayu itu.
"Dengar, Darkan. Dalam beberapa hari ini,
aku terpaksa berada di tempat tidur. Maka kau
harus bisa mengendalikan keadaan desa ini. Kau
harus bisa meringkus perempuan iblis keparat
itu," lemah sekali suara Ki Labur.
"Aku usahakan semampu ku, Ki," sahut
Darkan mantap. "Darkan...."
"Iya, Ki."
"Walaupun kau hanyalah menantuku, tapi
kuharapkan kau bisa menjadi pemimpin. Hanya
kau satu-satunya harapanku untuk meneruskan
cita-citaku ini. Aku tidak ingin kau terus-menerus larut dalam kesedihan setelah
ditinggal pergi istrimu. Kau harus tabah, Darkan. Dan sekarang,
pundakmu harus memikul beban berat. Beban
yang seharusnya aku sandang, kini menjadi tang-
gung jawabmu. Kau mengerti maksudku, Dar-
kan...?" masih terdengar lemah suara Ki Labur.
"Aku mengerti, Ki," sahut Darkan juga pelan. Pemuda itu hanya tertunduk saja.
Dia kini ja- di teringat istrinya yang sudah tewas satu bulan
sebelum peristiwa pembunuhan yang mengerikan
ini. Kaminten tewas oleh empat orang perampok
yang mendatangi rumah mereka.
Saat itu, Darkan sedang berada di rumah
mertuanya. Dan hanya Kaminten saja yang tinggal
di rumah, ditemani seorang wanita pembantu yang
sudah berusia cukup lanjut. Perampok itu bukan
hanya menggasak harta, tapi juga mencabut nya-
wa dua orang wanita di dalam rumah itu. Dan un-
tungnya, Kaminten masih bisa bertahan sampai
suaminya pulang. Dan dia hanya memberi tahu
kalau yang melakukan semua itu ada empat
orang. Tapi, sampai saat ini Darkan tidak bisa
menemukan keempat perampok yang telah men-
gambil nyawa istrinya. Putri satu-satunya Kepala
Desa Mungkit ini.
Dan baru saja sebulan peristiwa menye-
dihkan itu terjadi, muncul satu peristiwa pembu-
nuhan yang sangat mengerikan dan keji. Kemu-
dian disusul pembunuhan-pembunuhan lain yang
sama coraknya. Dan semua korbannya mati dalam
keadaan tubuh tidak memiliki darah lagi. Seakan-
akan pembunuh itu menghisap darah korbannya
hingga tak tersisa sedikit pun. Semua peristiwa itu membuat Ki Labur, Nyai
Labur, dan Darkan terpaksa harus melupakan kematian Kaminten. Dan
perhatian mereka kini jadi terpusat pada peristiwa pembunuhan yang masih
terselubung teka-teki
itu. "Apa yang kau lamunkan, Darkan...?" tegur Ki Labur.
"Oh..., eh! Tidak..., tidak, Ki," sahut Darkan jadi tergagap.
Dan lamunan pemuda itu pada peristiwa
yang menimpa istrinya langsung buyar seketika.
Perlahan kepalanya terangkat. Pandangannya
langsung bertemu dengan tatapan mata Ki Labur
yang masih terbaring di atas pembaringan, ditung-
gui istrinya dengan setia. Sedangkan Darkan ma-
sih tetap berdiri dengan kedua tangan menyatu di
depan. "Kau sudah kuburkan dua mayat orang ki-ta, Darkan?" tanya Ki Labur.
"Sudah, Ki," sahut Darkan. "Bagaimana Keadaannya?"
"Seperti yang lainnya. Mereka tewas tanpa
ada darah di tubuhnya," sahut Darkan, tanpa
membeberkan lebih jauh.
Karena pemuda itu yakin kalau mertuanya
ini sudah lebih tahu darinya.
Darkan mendapati dua orang penjaga ger-
bang perbatasan tewas dengan keadaan sama
dengan korban-korban yang lain. Leher terkoyak
lebar, dan dada berlubang tanpa ada darah setetes
pun. Sedangkan Ki Labur ditemui sudah tergeletak
tak sadarkan diri, tidak jauh dari kedua mayat itu.
Pada saat itu, pagi sudah menjelang. Jadi memang
cukup waktu untuk menguras darah dari kedua
mayat itu. Sementara itu, keadaan Ki Labur sendiri
sangat mengkhawatirkan. Darah banyak tertum-
pah dari mulutnya. Sedangkan tulang-tulang da-
danya remuk, akibat terkena pukulan serta ten-
dangan keras bertenaga dalam lumayan dari pe-
rempuan tua yang mengaku bernama Nek Paring.
Darkan segera membawa mertuanya itu pulang,
setelah memerintahkan orang-orangnya mengurus
mayat dua orang penjaga gerbang desa sebelah
Timur. *** Peristiwa yang dialami Ki Labur tentu saja
menambah beban semakin berat di pundak Dar-
kan. Sekarang Ini, Ki Labur benar-benar tidak bisa bangkit lagi dari
pembaringannya. Dia hanya bisa
menggerakkan kepala dan tangannya. Sedangkan
seluruh tubuhnya jadi lumpuh, akibat pertarun-
gannya melawan perempuan tua yang membunuhi
penduduk Desa Mungkit ini tanpa jelas maksud
dan tujuannya. Seharian ini, setelah Ki Labur dibawa pu-
lang setelah ditemui menggeletak pingsan di per-
batasan desa sebelah Timur, Darkan terus berdiri
mematung di depan pusara istrinya. Belum ada
dua purnama istrinya terbaring di tempat peristi-
rahatannya yang terakhir. Dan sekarang, Darkan
harus memikul beban yang sangat berat di pun-
daknya. Rasanya terlalu berat dan sulit baginya
untuk menanggung semua beban ini. Tapi semua
itu tidak bisa lagi ditolaknya.
Perlahan Darkan mengangkat kepalanya.
Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang
wanita muda berpakaian kumal dan compang-
camping, serta penuh tambalan. Seluruh tubuh
dan wajahnya begitu kotor, seakan-akan baru saja
keluar dari kubangan lumpur. Wanita itu berdiri
mematung sambil memandangi Darkan di bawah
pohon yang cukup rindang. Tubuhnya terlindungi
dari sengatan matahari yang saat ini sudah berada
tepat di atas kepala.
Perlahan Darkan melangkah menghampiri.
Sedangkan wanita itu masih tetap berdiri dengan
pandangan kosong, namun tertuju lurus ke wajah
pemuda tampan ini. Sejenak Darkan merasakan
adanya desiran halus pada aliran darahnya, begitu
dekat di depan wanita yang lebih mirip gembel ja-
lanan ini. Cukup sulit untuk mengenali wajahnya
yang kotor, dan hampir tertutup rambut panjang
yang dibiarkan meriap tak teratur.
"Sedang apa kau di sini, Nisanak?" tegur Darkan sambil mencoba mengurangi suatu
perasaan aneh yang tiba-tiba saja membersit dalam
hatinya. "Aku..., aku...," wanita itu tergagap.
Kalimatnya tidak diselesaikan. Lalu, cepat-
cepat mukanya dibuang ke samping, seakan-akan
tidak tahan melihat sorot mata Darkan yang tera-
sa cukup tajam menusuk langsung ke bola ma-
tanya. Beberapa saat mereka terdiam membisu.
Jarak mereka berdiri hanya sekitar tiga langkah
saja. Perlahan wanita itu memalingkan mukanya
kembali, dan menatap wajah pemuda tampan di
depannya lagi. "Aku seperti pernah mengenalmu. Tapi...,"
lagi-lagi wanita itu tidak meneruskan ucapannya.
"Siapa kau ini, Nisanak?" tanya Darkan
dengan nada suara terdengar menyelidik.
Pemuda itu teringat kata-kata Ki Labur
yang mengatakan bahwa lawannya semalam ada-
lah seorang perempuan tua berpakaian kumal se-
perti gembel dengan ilmu kedigdayaan nya yang
sangat tinggi. Namun melihat wanita yang berada
di depannya ini, hati Darkan jadi ragu-ragu.
Meskipun wanita ini mengenakan pakaian kumal
penuh tambalan, tapi usianya tidak tua. Bahkan
masih kelihatan muda, seperti baru berusia seki-
tar sembilan belas tahun. Hanya saja, keadaannya
yang sangat kotor ini membuatnya jadi tidak se-
dap untuk dipandang. Tapi di balik wajahnya yang
pucat dan kotor, Darkan melihat adanya garis-
garis kecantikan yang sangat tersembunyi.
Kening Darkan juga jadi berkerut, dan
pandangannya semakin bertambah dalam saja
merayapi wajah wanita yang berada sekitar tiga
langkah di depannya ini. Benaknya jadi teringat
seraut wajah yang sangat dicintainya, tapi terlalu cepat pergi meninggalkannya
untuk selama-lamanya. Wajah itu adalah Kaminten, istrinya
yang tewas di tangan empat orang perampok seki-
tar dua purnama yang lalu. Dan wajah wanita di
depannya ini begitu mirip. Hanya saja keadaannya
yang sangat kotor dan tidak beraturan membuat
Darkan jadi ragu-ragu. Sedangkan dia tahu is-
trinya sudah meninggal.
"Inten...!"


Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh..."!"
"Heh..."!"
*** Bukan hanya gadis berbaju kumal dan ko-
tor itu saja yang terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar panggilan yang sangat
keras dan serak ba-
gai suara burung gagak. Bahkan Darkan jadi ter-
lonjak beberapa langkah. Rasa kagetnya memang
beralasan, karena suara yang keras itu memanggil
sebuah nama yang sering diucapkan jika dia me-
manggil istrinya.
Belum lagi rasa keterkejutan mereka le-
nyap, tahu-tahu seorang perempuan tua berpa-
kaian kumal dan lusuh penuh tambalan muncul
dari balik semak yang cukup tebal dan tinggi. Pe-
rempuan tua itu juga tampak terkejut melihat
Darkan yang ada di situ juga. Bergegas dihampi-
rinya gadis itu, dan langsung tangannya ditarik
hingga menjauh dari Darkan yang jadi terlongong
bengong. "Ayo pulang! Kau belum boleh keluar!" agak menyentak suara perempuan tua itu.
'Tapi, Nek...," gadis itu ingin membantah.
"Pulang, kataku...!" sentak perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan yang
wajahnya tertutup kerudung hitam yang sudah memudar
warnanya. Mendengar suara bernada membentak, ga-
dis itu langsung terdiam tidak berani membantah
lagi. Sebentar matanya melirik Darkan yang hanya
diam saja mematung seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya. Bergegas gadis itu berlari pergi, sete-
lah perempuan tua berbaju kumal penuh tamba-
lan menghentakkan ujung tongkatnya ke tanah
sambil mendengus seperti kesal.
Sebentar saja gadis yang tadi dipanggil In-
ten itu menghilang ke dalam semak belukar yang
cukup lebat dan tinggi, tempat perempuan tua itu
tadi muncul. Sedangkan Darkan masih tetap ber-
diri tegak, seperti tidak mengerti. Dan perempuan
tua berbaju kumal penuh tambalan itu masih te-
tap saja berdiri di depan Darkan, sambil berkacak
pinggang dengan sikap angkuh sekali.
"Kau jangan coba-coba menemuinya lagi,
Darkan. Dia bukan milikmu lagi...!" sentak perempuan tua itu.
"Heh..."!"
Wusss...! Selagi Darkan terlongong kaget, saat itu ju-
ga perempuan tua berbaju kumal penuh tambalan
tadi melesat cepat bagai kilat Dan dalam sekeja-
pan mata saja, dia sudah lenyap bagai tertelan
bumi. Sedangkan Darkan masih tetap berdiri me-
matung. Mulutnya terbuka lebar, dan matanya
memandang kosong ke depan. Pemuda itu seperti
orang bodoh yang habis dikibuli, hingga hartanya
amblas tak bersisa lagi. Cukup lama juga Darkan
berdiri mematung, terlongong bengong tanpa da-
pat berbuat sesuatu.
"Oh...," Darkan mendesah panjang begitu
kesadarannya kembali pulih.
Namun, di sekelilingnya tidak ada seorang
pun lagi, selain dirinya sendiri. Sunyi sekali seki-tarnya sehingga hembusan
angin di bawah terik-
nya sinar mentari siang ini begitu terasa mengalun
di telinga. Beberapa saat Darkan masih tetap ber-
diri mematung memandangi semak belukar, tem-
pat gadis kotor berbaju kumal penuh tambalan ta-
di pergi. Dari sana pula perempuan tua berbaju hi-
tam kumal penuh tambalan yang sudah memudar
warnanya itu tiba-tiba muncul.
"Ahhh...! Apakah aku bermimpi...?" desah Darkan, seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang baru saja dialaminya.
Darkan mencoba mengingat-ingat lagi se-
mua peristiwa yang baru saja terjadi pada dirinya.
Dan dia jadi tersentak ketika teringat cerita Ki Labur tentang lawannya semalam.
Dan ciri-ciri yang
dikatakan Kepala Desa Mungkit itu sangat mirip
perempuan tua yang tadi muncul dan pergi begitu
tiba-tiba. Namun, pemuda tampan itu kembali terte-
gun. Jelas sekali wanita tua itu memanggil gadis
berpakaian gembel tadi dengan nama yang sama
dengan nama mendiang istrinya. Bahkan wajah
gadis yang dipanggil Inten itu juga mirip sekali
Kaminten. Hanya saja, wajahnya yang kotor seper-
ti baru keluar dari lumpur. Jadi sulit untuk dike-
nali. "Oh! Apa arti semua ini...?" desah Darkan bertanya-tanya sendiri.
Tapi mendadak saja Darkan jadi tersentak.
Cepat tubuhnya berbalik. Tatapan matanya lang-
sung tertuju pada onggokan pusara istrinya. Dan
seketika itu juga, keningnya jadi berkerut. Baru
disadari kalau ada perubahan yang sangat kecil
dan hampir tidak terlihat pada makam itu. Berge-
gas kakinya melangkah menghampiri pusara itu.
Sejenak dipandanginya kuburan yang masih beru-
pa tanah merah itu.
Sret! Darkan langsung mencabut goloknya yang
terselip di pinggang sebelah kanan. Sebentar dia
berdiri mematung memandangi pusara istrinya
itu, kemudian....
"Hiyaaa...!"
*** Sambil berteriak keras menggelegar, pemu-
da itu langsung menghunjamkan goloknya ke pu-
sara istrinya. Dan beberapa kali goloknya dihunjamkan,
hingga tanah kuburan itu terbongkar. Seperti
orang kerasukan setan, Darkan terus menggali
kuburan dengan goloknya disertai pengerahan te-
naga dalam. Maka sebentar saja, lubang kuburan
itu sudah tergali cukup dalam. Tepat ketika keda-
lamannya sudah mencapai pinggang tiba-tiba saja
muncul dua orang penunggang kuda dari arah
Desa Mungkit. Mereka tampak terkejut melihat Darkan
seperti kerasukan setan membongkar sebuah ku-
buran sambil berteriak-teriak keras. Dua orang
penunggang kuda itu langsung bergegas melompat
turun. Mereka adalah seorang pemuda tampan,
mengenakan baju warna putih tanpa lengan. Sebi-
lah pedang bergagang kepala burung, tersampir di
punggungnya. Dan yang seorang lagi adalah gadis
cantik berbaju biru muda agak ketat. Sebuah ki-
pas putih keperakan tampak terselip di pinggang
depan. Sedangkan pedang bergagang kepala naga
hitam, berada di punggungnya. Mereka bergegas
menghampiri Darkan begitu turun dari kuda mas-
ing-masing. "Hey...! Apa yang kau lakukan..."!" seru pemuda yang mengenakan baju rompi putih
itu, agak keras suaranya.
Darkan langsung berhenti, begitu menden-
gar seruan yang sangat keras. Sehingga, membuat
gendang telinganya jadi terasa sakit. Kelopak mata menantu kepala desa itu jadi
menyipit begitu melihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih
sudah berdiri dekat dengan lubang kuburan yang
sudah terbongkar cukup dalam ini. Dan di bela-
kang pemuda itu tampak berdiri seorang gadis
cantik berbaju biru muda yang agak ketat. Se-
hingga, memetakan bentuk lekuk-lekuk tubuhnya
yang ramping dan indah sekali.
'Pergi kau! Jangan ikut campur urusan-
ku...!" bentak Darkan, terdengar kasar nada sua-
ranya. "Kau membongkar kuburan. Hanya iblis
yang bisa melakukan perbuatan itu, Kisanak," desis pemuda baju rompi putih itu.
"Setan...! Hup!"
Darkan jadi geram mendengar kata-kata
pemuda yang tidak dikenalnya ini. Dengan gera-
kan yang begitu ringan dan manis, dia melompat
naik dari lubang kuburan Kaminten yang digalinya
lagi. Hanya sekali lompatan saja, menantu Kepala
Desa Mungkit it sudah berada di atas. Kakinya
mendarat manis sekali dengan jarak sekitar lima
langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih
yang didampingi seorang gadis cantik berbaju biru
muda agak ketat.
"Dengar, Kisanak.... Aku tidak suka uru-
sanku dicampuri orang asing yang tidak kukenal.
Dan sebaiknya, kalian segera pergi sebelum aku
berlaku tidak sopan," kata Darkan, agak mengancam nada suaranya.
"Kenapa kau membongkar kuburan istrimu
sendiri?" tanya pemuda berbaju rompi putih itu,
tidak menghiraukan ancaman yang dilontarkan
Darkan barusan.
"Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!"
bentak Darkan agak terkejut juga, karena pemuda
yang belum dikenalnya ini sudah tahu kalau dia
membongkar kuburan istrinya sendiri.
Tatapan matanya begitu tajam, merayapi
sekujur tubuh pemuda berwajah tampan dan
mengenakan baju rompi putih yang berdiri sekitar
lima langkah di depannya. Mendadak saja Darkan
jadi tersentak. Dia ingat kalau pernah melihat pe-
muda itu di Desa Mungkit waktu terjadi pembu-
nuhan mengerikan. Dan terakhir kali melihatnya,
saat dia bersama Ki Labur melihat saat terjadi
pembunuhan mengerikan lagi di Desa Mungkit.
"Siapa kalian..."!" tanya Darkan, agak dite-kan nada suaranya.
Sorot mata pemuda itu masih tetap tajam
mengamati pemuda tampan berbaju rompi putih
di depannya. Sesekali matanya melirik gadis can-
tik yang berdiri di samping pemuda berbaju rompi
putih itu. "Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi," sa-
hut pemuda berbaju rompi putih itu memperke-
nalkan diri. Mereka memang Rangga dan Pandan Wan-
gi. Di kalangan persilatan, Rangga berjuluk Pen-
dekar Rajawali Sakti. Dan Pandan Wangi berjuluk
si Kipas Maut. Mereka juga dikenal sebagai sepa-
sang pendekar Karang Setra. Tapi, tampaknya
Darkan tidak mengenal nama kedua pendekar
muda itu. "Kenapa kau menghentikan pekerjaanku?"
tanya Darkan lagi.
"Perbuatanmu sangat keji, Darkan...."
"Eh..."! Kau tahu aku...?" lagi-lagi Darkan
tersentak kaget.
Darkan begitu yakin, kalau belum mem-
perkenalkan diri pada pemuda berbaju rompi pu-
tih itu. Tapi orang yang bernama Rangga ini bisa
mengetahui namanya. Sedangkan baru kali ini
mereka bisa berdiri dekat dan saling berpandan-
gan, walaupun diliputi suasana ketegangan yang
cukup merasuk dada.
"Selama beberapa hari di Desa Mungkit,
aku tahu semua yang terjadi. Juga termasuk diri-
mu," sahut Rangga, terdengar kalem sekali nada suaranya.
"Kau sudah tahu diriku. Dan kau juga su-
dah tahu kalau kuburan ini pusara istriku. Kena-
pa masih juga mau ikut campur...?" sinis sekali nada suara Darkan
"Kau punya beban yang sangat berat dan
aku berharap kau jangan mengotorinya dengan
perbuatan keji yang sepele ini. Seorang ksatria se-jati tidak akan pernah
membongkar kuburan
orang lain. Biarkanlah istrimu beristirahat tenang.
Dan seharusnya, kau tidak perlu mengganggu isti-
rahatnya," kata Rangga lagi lebih kalem suaranya.
"Jangan coba-coba menggurui ku, Kisa-
nak...!" desis Darkan masih tidak suka, karena pekerjaannya jadi terhenti.
Rangga hanya tersenyum saja. Kakinya me-
langkah perlahan, mendekati kuburan yang sudah
terbongkar lebih dari setengahnya. Sebentar kepa-
lanya melongok ke dalam lubang kuburan yang
menganga lebar, kemudian kembali beralih pada
Darkan yang sejak tadi terus memperhatikan ting-
kahnya. "Kau akan menyesal melakukan semua ini,
Darkan," kata Rangga.
"Setan...! Pergi kau dari sini!" bentak Dar-
kan jadi berang.
"Mungkin sebaiknya kau saja yang pergi,
Darkan. biar aku dan Pandan Wangi yang akan
membereskan pusara istrimu ini."
"Keparat..! Kau membuat kesabaranku hi-
lang, Kisanak!" desis Darkan menggeram.
Bet! Darkan langsung mengebutkan goloknya
yang kotor berlumur tanah merah. Sedangkan
Rangga masih tetap berdiri tenang dengan bibir
menyunggingkan senyum tipis. Sikap Pendekar
Rajawali Sakti seperti tidak peduli, walaupun Dar-
kan sudah bersiap mengeluarkan jurusnya. Na-
mun begitu, sinar mata Rangga masih tetap me-
nyorot tajam. "Kau tidak mau pergi juga, heh..." Jangan
salah kan aku kalau terpaksa mengusirmu secara
kasar ancam Darkan lagi.
"Kau tidak akan melakukannya, Darkan.


Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Percayalah. Kau akan menyesal telah membongkar
makam istrimu sendiri. Bahkan semua orang akan
marah jika tahu bahwa kau melakukan perbuatan
terkutuk, membongkar kuburan istrinya sendiri,"
kata Rangga masih dengan suara tenang dan ber-
nada membujuk. "Phuih...! Kau terlalu keras kepala, Kisa-
nak. Rasakan ini!
Hiyaaat..!"
Bet! Wut! "Hait..!"
*** 4 Dua kali Darkan mengebutkan goloknya.
Tapi hanya meliukkan tubuhnya saja, Rangga
berhasil menghindari serangan-serangan cepat
pemuda itu. Dan Rangga cepat-cepat melompat
ketika Darkan langsung merubah jurusnya. Bah-
kan terus menyerang dengan goloknya yang kotor
berlumur tanah merah. Kebutan golok yang men-
garah ke dada itu hanya lewat saja di depan Pen-
dekar Rajawali Sakti yang cepat-cepat melompat
ke belakang, sambil menarik tubuhnya ke bela-
kang. "Hiyaaa...!"
Namun Darkan tidak berhenti sampai di si-
tu saja. Kembali dilakukannya serangan-serangan
cepat yang begitu dahsyat. Setiap kebutan golok-
nya mengandung pengerahan tenaga dalam cukup
tinggi, sehingga menimbulkan suara angin yang
menderu menyakitkan telinga.
"Lepas! Hiyaaa...!" tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar.
Pada saat itu, Pendekar Rajawali Sakti me-
lesat cepat sambil mengebutkan tangan kanannya
begitu cepat. Rangga langsung mengeluarkan ju-
rus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat per-
tama. Tapi, ini sudah membuat Darkan jadi kela-
bakan juga. Goloknya yang tadi sudah terulur
hendak dihunjamkan ke dada lawan, cepat-cepat
ditarik kembali. Tapi belum juga Darkan menarik
penuh tangannya mendadak saja...
Plak! "Akh...!" Darkan terpekik keras agak tertahan. Entah bagaimana kejadiannya,
tahu-tahu te- pakan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa
terbendung lagi. Tepakan itu tepat menghantam
pergelangan tangan yang memegang golok Darkan.
"Setan alas...!" maki Darkan dalam hati.
Golok di dalam genggaman tangan pemuda itu su-
dah terpental entah ke mana. Darkan cepat-cepat
menarik kakinya ke belakang beberapa langkah
sambil memegangi pergelangan tangan kanannya,
karena tadi sempat terkena kebutan Pendekar Ra-
jawali Sakti. Jelas, tingkat kepandaian yang dimi-
liki Darkan berselisih sangat jauh di bawah ting-
kat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti. Sehing-
ga, mudah sekali pemuda berbaju rompi putih itu
menaklukkannya.
Walaupun goloknya sudah terpental jauh
entah kemana, tapi Darkan tidak sudi menyerah
begitu saja. Tanpa menghiraukan rasa nyeri pada
pergelangan tangan kanannya, dia kembali bersiap
melakukan serangan lagi. Sementara, Rangga te-
tap berdiri tegak menanti.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Dar-
kan melompat cepat sambil melontarkan beberapa
pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga da-
lam cukup tinggi. Namun manis sekali Pendekar
Rajawali Sakti berhasil mengelakkan setiap puku-
lan yang da tang ke tubuhnya. Gerakan-gerakan
tubuhnya sangat indah, diikuti gerakan kaki yang
begitu lincah. Rangga saat ini memang mengerah-
kan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi itu
hanya sebentar saja dilakukan, karena....
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti
memutar tubuhnya. Dan seketika itu juga, kaki
kanannya melayang begitu cepat untuk mendepak
ke arah dada Darkan. Begitu cepat serangannya,
sehingga Darkan tidak sempat lagi menghindar.
Dan.... Desss! "Akh...!" untuk kedua kalinya Darkan terpekik. Tubuh Darkan langsung terpental
jatuh ke tanah, begitu telapak kaki Rangga keras sekali
menghantam dadanya. Meskipun Pendekar Raja-
wali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam sedikit
pun juga, tapi sudah membuat Darkan terpental
cukup deras. Dan pemuda itu meringis, menahan
sakit dan rasa sesak pada dadanya.
Sementara Rangga melangkah menghampi-
ri. Dan begitu dekat, tangannya diulurkan sambil
menyunggingkan senyuman. Melihat hal ini, Dar-
kan jadi berkerut keningnya, karena mendapat
perlakuan yang begitu bersahabat. Padahal, dia
tadi sangat kasar, bahkan melakukan serangan
terlebih dahulu. Namun, pemuda berbaju rompi
putih itu malah mengulurkan tangan hendak
membantunya berdiri.
Agak ragu-ragu juga Darkan menerima
uluran tangan itu. Dan dia bisa bangkit berdiri,
setelah Rangga menghentakkan tangannya agak
kuat. Kini, mereka kembali berdiri berhadapan
dengan jarak sekitar dua langkah saja.
"Kenapa kau tidak membunuhku" Kau su-
dah mengalahkanku, Kisanak," kata Darkan, masih agak tersengal napasnya, akibat
menerima tendangan keras dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.
"Kau bukan musuhku, Darkan. Justru aku
merasa prihatin oleh keadaan dirimu," kata Rangga kalem.
Darkan jadi terdiam. Diamatinya Pendekar
Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu dalam,
seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru
saja di-dengarnya. Sungguh tidak disangka kalau
budi pendekar muda ini begitu luhur. Hanya den-
gan satu kalimat saja, sudah membuat hati Dar-
kan jadi tersentuh cukup dalam.
"Aku tahu, apa yang sedang terjadi pada
dirimu. Juga pada seluruh penduduk desamu,"
kata Rangga lagi. "Untuk itu, aku terpaksa tinggal beberapa hari di desamu,
untuk mengetahui apa
yang terjadi sebenar-nya pada dirimu."
Darkan semakin diam membisu. Dia jadi
tidak bisa lagi berkata-kata, mendengar penuturan
Rangga yang begitu lembut dan penuh perhatian.
Entah apa yang ada di dalam dada pemuda itu.
Sedangkan Rangga sendiri masih terlalu sulit me-
nerka. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi ter-
diam membisu. *** "Apa saja yang sudah kau ketahui?" tanya Darkan setelah cukup lama berdiam diri.
"Tidak banyak. Tapi aku tahu, kau dan se-
luruh penduduk Desa Mungkit sedang menghada-
pi persoalan yang tidak kecil. Bahkan sudah ba-
nyak memakan korban," kata Rangga membuka
semua yang diketahuinya selama ini di Desa
Mungkit. Sementara itu, Pandan Wangi sudah bera-
da lagi di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan tampaknya, gadis yang berjuluk si Kipas
Maut itu juga tidak mengerti keadaan yang sedang
terjadi sekarang ini. Sehingga, dia hanya bisa diam saja tanpa dapat membuka
suara sedikit pun.
Pandan Wangi merasa lebih baik diam menden-
garkan, sebelum bisa mengerti benar duduk per-
karanya. Memang baru Pandan Wangi saja yang da-
tang menemui Pendekar Rajawali Sakti di Desa
Mungkil hari ini. Karena, mereka memang sudah
berjanji untuk bertemu di sini, setelah berpisah
beberapa hari untuk menyelesaikan persoalan
masing-masing. Sementara itu, Darkan melangkah mende-
kati kuburan istrinya yang sudah dibongkar sam-
pai setengah dalamnya. Pemuda itu berdiri mema-
tung di pinggiran lubang kuburan itu. Rangga me-
langkah mendekati diikuti Pandan Wangi. Kedua
pendekar muda itu berdiri mengapit di samping
kanan dan kiri Darkan. Beberapa saat mereka
kembali terdiam membisu, memandang ke lubang
kubur di depannya.
"Kalian tahu, kenapa aku lakukan ini pada
kuburan istriku sendiri...?" pelan sekali suara Darkan.
Begitu pelannya, hampir saja tidak terden-
gar telinga kedua pendekar muda dari Karang Se-
tra yang mengapitnya dari samping. Sementara,
Rangga da Pandan Wangi hanya diam saja men-
dengarkan. "Aku merasa, istriku belum meninggal. Dan
jasadnya tidak ada di dalam kuburan ini," sambung Darkan.
"Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"
selak Pandan Wangi.
Sejak tadi, Pandan Wangi memang hanya
diam saja dan mendengarkan. Tapi rasanya me-
mang tidak betah jika hanya diam dan menden-
garkan saja, tanpa berbuat sesuatu yang berarti.
"Waktu aku berada di sini, tahu-tahu mun-
cul seorang gadis muda yang sangat kotor kea-
daannya. Tapi tak lama kemudian, muncul lagi pe-
rempuan tua yang juga melumpuhkan Ki Labur
semalam. Setelah mereka pergi begitu saja, baru
kusadari kalau ada perubahan pada makam ini.
Aku langsung berpikir, Istriku tidak ada di dalam
pusara ini," jelas Darkan, singkat.
"Kenapa...?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Gadis kotor berpakaian seperti gembel itu
wajahnya mirip sekali istriku," sahut Darkan.
"Oh...! Hanya itu..."!" desah Pandan Wangi agak terkejut mendengar alasan
Darkan, sehingga
sampai membongkar kuburan ini.
"Kuburan ini hanya untuk beristirahat se-
telah melakukan perjalanan jauh...," kata Rangga agak menggumam. Seakan-akan dia
berbicara pa-da diri sendiri. "Jadi mungkin saja dia belum sempat beristirahat,
tapi sudah diajak pergi lagi oleh orang lain."
"Jadi, kau juga menduga kalau Kaminten
tidak ada di dalam pusaranya lagi...?" tanya Darkan, seperti bisa menangkap
makna yang terselu-
bung dalam ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja.
'Tapi walaupun begitu..., kau tidak patut mem-
bongkarnya. Kau kan bisa menyelidiki lebih dulu
tentang gadis itu, kalau memang wajahnya mirip
istrimu," kata Pandan Wangi menasihati.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang ada dalam
pikiranku selain membuktikannya dengan mata
kepala sendiri," sahut Darkan bernada menyesal.
"Ah, sudahlah.... Sebaiknya, kita tutup lagi
lubang ini. Lalu dirapikan seperti semula," selak Rangga tidak ingin
memperpanjang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Darkan lang-
sung saja menimbun lagi lubang yang tadi diga-
linya. Rangga membantu hingga pekerjaan mereka
cepat selesai. Pekerjaan yang cukup melelahkan
itu sudah selesai sebelum matahari condong ke
arah Barat. Sementara Pandan Wangi sudah bera-
da di depan kudanya dan kuda Pendekar Rajawali
Sakti. Sedangkan Rangga dan Darkan tetap berdiri
di samping pusara itu. Mereka terdiam cukup la-
ma, dan terus memandangi pusara yang sudah
rapi kembali. "Maaf. Aku harus kembali ke desa. Sudah
terlalu lama aku berada di sini," kata Darkan tiba-tiba. "Kalau kau bersedia,
aku bisa menyediakan tempat yang layak untukmu dan temanmu mengi-nap di sana."
'Terima kasih," ucap Rangga menolak ha-
lus. "Baiklah. Aku tidak ingin memaksa. Tapi jika kau kembali ke Desa Mungkit,
temuilah aku. Dan kata kan kau adalah sahabatku," kata Dar-
kan lagi. Rangga hanya tersenyum saja. Darkan
mengulurkan tangannya yang langsung disambut
hangat oleh Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar
mereka saling berjabatan tangan, kemudian Dar-
kan bergegas meninggalkan tempat itu untuk me-
nuju kembali ke Desa Mungkit. Karena desa itu
memang membutuhkan tenaganya. Memang seka-
rang ini, Darkan adalah tulang punggung desa itu.
Sementara, Rangga juga bergegas menghampiri
Pandan Wangi yang sudah mempersiapkan kuda-
kuda mereka untuk melanjutkan perjalanan kem-
bali. *** Malam itu di sekitar Desa Mungkit sangat
dingin. Angin bertiup kencang. Awan bergulung-
gulung menggumpal hitam, menutupi cahaya
rembulan. Lolongan anjing terdengar saling sam-
but di kejauhan. Malam ini suasana di Desa
Mungkit terasa begitu mencekam. Beberapa orang
yang bertugas meronda malam ini tak ada seorang
pun yang berani meninggalkan tempat jaganya.


Pendekar Rajawali Sakti 73 Perempuan Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan tak ada seorang pun yang membuka sua-
ra. Mereka semua dicekam perasaan takut yang
amat sangat, dengan suasana malam yang begitu
mencekam. "Auuung...!"
Lolongan anjing hutan semakin keras ter-
dengar, seakan-akan begitu dekat di Desa Mungkit
ini. Dua orang peronda yang duduk di gubuk kecil,
jadi saling berpandangan satu sama lain. Suara lo-
longan anjing itu serasa berada tepat di belakang mereka. Seperti ada yang
memberi perintah, perlahan-lahan mereka sama-sama berpaling ke bela-
kang. Dan seketika itu juga....
"Hahhh..."!"
"Wha..."!"
Bet! Bet! Tak ada lagi suara yang terdengar. Tampak
dua orang peronda itu terpaku diam, dengan mata
terbeliak dan mulut ternganga lebar. Sesaat ke-
mudian, mereka bersamaan jatuh terguling keluar
dari gubuk kecil beratap daun rumbia itu. Tampak
darah mengucur deras dari leher yang hampir pu-
tus, robek sangat lebar dan dalam. Pada saat yang
hampir bersamaan, dari belakang gubuk kecil itu
melesat sebuah bayangan agak kehitaman. Dan
tahu-tahu, di dekat kedua peronda itu sudah ber-
diri seorang wanita dengan rambut acak-acakan,
baju kumal, dan kotor penuh tambalan. Seluruh
tubuhnya juga kotor, seperti baru keluar dari ku-
bangan lumpur. "Hik hik hik...!"
Suara tawanya terdengar kering dan terki-
kik mengerikan. Kedua bola matanya memerah
liar, merayapi darah yang terus mengucur dari
leher yang menganga lebar hampir buntung. Tan-
pa menghiraukan keadaan sekelilingnya, wanita
kumal seperti gembel itu langsung menubruk sa-
lah seorang peronda yang sudah tak bernyawa la-
gi. Mulutnya segera dihunjamkan ke leher yang
berlubang cukup besar itu.
Cruuup...! Begitu nikmat sekali wanita itu menghirup
darah yang mengalir deras dari leher peronda itu.
Sama sekali tidak dipedulikan keadaan sekeliling-
nya. Dia terus menghirup darah yang keluar dari
leher berlubang besar itu. Dan setelah tak ada lagi darah yang tersisa, wanita
itu berpindah pada peronda yang satunya lagi. Kembali dihirupnya da-
rah dengan perasaan nikmat sekali.
"Hik hik hik...!"
Kembali wanita itu tertawa terkikik kering,
setelah menghisap habis darah dua orang peronda
malang itu. Perlahan tubuhnya bangkit berdiri dan
mengedarkan pandangan berkeliling. Tak terlihat
seorang pun berada di luar rumah. Sekelilingnya
begitu sunyi. Dan udara pun semakin bertambah
dingin, hingga menusuk tulang.
"Biadab...!"
Tiba-tiba saja terdengar bentakan agak ke-
ras. Wanita berbaju kumal dan kotor penuh tam-
balan itu tampak terkejut. Dari bibirnya yang me-
merah akibat darah dua orang peronda itu, ter-
dengar suara mendesis seperti ular. Perlahan tu-
buhnya diputar berbalik. Entah dari mana da-
tangnya, tahu-tahu di depan wanita sudah berdiri
seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya rompi
berwarna putih. Di balik punggung terlihat sebuah
gagang pedang berbentuk kepala burung yang ter-
sembul keluar. Pemuda itu tak lain adalah Rang-
ga, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti. "Rupanya kau yang jadi biang keladinya...,"
desis Rangga dingin menggetarkan.
Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti nam-
pak menegang melihat dua orang peronda sudah
tergeletak tak bernyawa lagi dengan leher terkoyak lebar hampir buntung, tanpa
setetes pun darah
tersisa. Sinar matanya merah membara, bagai se-
pasang bola api yang hendak membakar apa saja
yang ada di dekatnya. Perlahan Pendekar Rajawali
Sakti melangkah maju beberapa tindak. Sedang-
kan perempuan bertubuh kotor dan kumal itu
hanya mendesis saja seperti ular
"Hssst..!"
Tiba-tiba saja wanita kumal itu melesat ce-
pat dengan kedua tangan menjulur lurus ke de-
pan. Seluruh jari-jari tangannya meregang kaku,
bagai cakar seekor burung yang hendak menceng-
keram mangsanya. Begitu cepat gerakannya, se-
hingga membuat Rangga agak terkesiap tidak me-
nyangka. "Ufts...!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti mena-
rik tubuhnya ke kanan, menghindari terjangan
wanita kumal dan kotor itu. Lalu bagaikan kilat,
kakinya dihentakkan, tepat ketika tubuh wanita
itu berada di sampingnya. Gerakan Rangga yang
begitu cepat dan tidak terduga, sama sekali tak
dapat dihindari lagi.
"Yeaaah...!"
Dess! "Hegkh...!" wanita kumal itu mengeluh
pendek. Tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali
Sakti tepat menghantam perut wanita kumal ber-
tubuh kotor seperti gembel itu, sampai membuat-
nya terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Rangga
melepaskan satu pukulan keras ke arah pung-
gung, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Diegkh! Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat
menghantam punggung wanita kumal berbaju ko-
tor penuh tambalan itu.
"Akh...!"
Sungguh keras pukulan Rangga, hingga
membuat wanita itu tersuruk jatuh mencium ta-
nah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, meng-
hindari injakan kaki Pendekar Rajawali Sakti. La-
lu, cepat-cepat tubuhnya melenting ke atas. Sete-
lah melakukan dua kali putaran di udara, manis
sekali wanita itu menjejakkan kakinya di tanah,
sekitar satu tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, wani-
ta itu kembali melompat menerjang Rangga. Gera-
kannya begitu cepat luar biasa, padahal baru saja
terkena hajaran Pendekar Rajawali Sakti tadi. Tapi tampaknya pukulan maupun
tendangan Rangga
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi
itu sama sekali seperti tidak dirasakannya. Bah-
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 9 Dewa Arak 43 Garuda Mata Satu Banjir Darah Di Bukit Siluman 3
^