Pencarian

Banjir Darah Di Bukit Siluman 3

Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman Bagian 3


kian sambil menyaksikan pertarungan yang sedang
berlangsung, Monyet Hitam bersaudara mempelajari
dan mencari titik kelemahan jurus-jurus yang dimain-
kan oleh Buang Sengketa. Tapi mereka akhirnya men-
jadi puyeng sendiri, karena pada dasarnya jurus-jurus silat yang dimainkan oleh
si pemuda senantiasa berubah-ubah.
"Heaat...! Haiiiit... Shaaaa...!"
Saat itu Buang Sengketa yang telah banyak
memberi kesempatan pada suami Maling Durjana
tampaknya sudah tidak sabaran lagi. Setelah memper-
gunakan jurus Membendung Gelombang Menimba
Samudra. Kini dia merobah jurus silatnya dengan ju-
rus 'Si Gila Mengamuk'. Mempergunakan jurus ini,
permainan silat Pendekar Hina Kelana berobah secara
total. Kalau tadinya dia mengandalkan kecepatan ge-
rak dengan memutar kedua tangannya membentuk
sebuah benteng pertahanan, maka kini tubuhnya tam-
pak seperti limbung dan hendak tersungkur. Gerakan
silatnya kacau tak beraturan, terkadang terhuyung-
huyung bagai orang yang mabuk berat. Sempoyongan
ke depan dan ke belakang, miring kiri dan ke kanan.
Justru dengan begitu tak satu pun serangan-serangan
yang dibangun oleh suami Maling Durjana yang men-
genai sasarannya. Laki-laki berpakaian hitam dan
kuning ini tampaknya sangat gusar sekali, padahal
saat itu dia telah mempergunakan jurus 'Maling Tidur di Rumah Janda Kesiangan'.
Selama ini tak seorang
pun lawan-lawannya mampu mengelakkan serangan-
serangannya yang terkenal cepat dan ganas. Namun
sekarang jurus andalan itu dipergunakan untuk me-
nyerang si pemuda, rasa-rasanya dia kena batunya
dan mati kutu. Bagaimana tidak, secepat mana pun
gerakan tangan dan kakinya melancarkan tendangan
dan pukulan, namun tetap saja dia tak mampu me-
mukul lawannya, jangankan memukul menyentuh
rambutnya saja dia tidak mampu. Hingga pada satu
kesempatan tubuhnya melompat bagai orang yang
hendak terjatuh. Kirimkan satu tendangan mengarah
pada bagian selangkangan, sedangkan tangan kanan-
nya mengancam pada bagian dada. Menyadari adanya
ancaman bahaya seperti itu, suami Maling Durjana
membanting tubuhnya sambil memaki. Satu sapuan
telak yang mendatangkan angin bersiuran mampu di-
elakkan oleh pemuda itu malangnya satu jotosan tak
mampu dia elakkan dengan baik.
"Buuuk!"
"Aghhk...!"
Suami Maling Durjana keluarkan jeritan terta-
han. Dadanya yang terserempet tinju lawannya terasa
berdenyut-denyut sakit. Bahkan di bagian itu terasa
sesak dan nyeri. Kiranya Maling Durjana ini memiliki daya tahan yang lumayan.
Terbukti seperti tak merasakan pukulan yang menghantam tubuhnya, secepat
dia jatuh secepat itu pula dia telah bangkit kembali.
"Sreet!"
Kipas berwarna hitam yang terselip di ping-
gangnya tercabut sudah. Sejenak di pandanginya pe-
muda yang menjadi lawannya itu dengan tatapan seo-
lah tak percaya, kemudian dengan suara menggeledek
dia membentak. "Bocah! Mungkin kau manusia yang hebat, tapi
berhadapan dengan Maling Durjana jangan kau berha-
rap bakal menang! Sebelum kematianmu, katakanlah
siapa kau ini agar kami mudah menuliskannya di batu
nisanmu nanti...!" selak si Maling Durjana berapi-api!
Pendekar Hina Kelana hanya senyum-senyum
di kulum menanggapi kata-kata Maling Durjana. Ting-
kah si pemuda itu sudah barang tentu membuat suami
Maling Durjana menjadi berang.
"Kuperingatkan padamu sekali lagi, katakanlah
siapa namamu agar kau tak mati penasaran...!" bentak Maling Durjana sambil
katupkan rahang rapat-rapat.
"Ha... ha... ha...! Segala maling comberan saja coba-coba menggertakku. Hemm!
Kalau! kalian ingin
tahu siapa aku, inilah orangnya si Hina Kelana...!"
ucap Buang Sengketa tanpa ada memiliki maksud un-
tuk membanggakan diri. Bukan suami istri Maling
Durjana saja yang tampak terkejut, sebaliknya dua
Bersaudara Monyet Hitam juga menunjukkan hal yang
sama. Sungguh pun selama ini mereka hanya men-
dengar sepak terjang pendekar yang namanya kesohor
sampai di pelosok-pelosok rimba persilatan yang san-
gat jauh. Tapi menurut cerita yang mereka dengar,
pendekar yang memiliki banyak keanehan dengan il-
mu-ilmu saktinya itu tak pernah mengenal kompromi
dalam membasmi golongan sesat. Bahkan pendekar itu
akan menjadi sangat berbahaya sekali dengan pusaka
Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto di tangan-
nya. Namun mereka juga menjadi sedikit ragu, be-
narkah Pendekar Hina Kelana berpenampilan mirip
seorang gembel hina dengan segala periuk yang meng-
gelantung di pinggangnya itu. Kalau memang benar,
itu sama saja artinya mereka hari ini benar-benar telah berhadapan dengan hantu
rimba persilatan.
"Kawan-kawan! Jangan percaya dengan segala
bualannya, bocah gemblung anaknya gembel ini hanya
mengaku-ngaku. Percayakah kalian tampangnya pen-
dekar Golok Buntung seperti ini" Dia kira kalau men-
gaku sebagai Pendekar Hina Kelana kita akan per-
caya...!", kata Dua Bersaudara Monyet Hitam untuk memberikan semangat pada suami
istri Maling Durjana yang hampir lenyap keberaniannya.
"Aha... hak... hak...!" Buang tertawa lepas. "Ku-pertaruhkan nyawa untuk
menyeberangi laut, meram-
bah belantara dan mendaki gunung. Apa artinya aku
mengaku sebagai Pendekar Hina Kelana, kalau bukan
kejahatan yang harus sirna!" bentak pemuda keturunan Raja Bunian itu sembari
memandang tajam pada
keempat lawan yang kini juga sudah menghentikan
pertarungan. "Hemm... siapa mau percaya dengan omon-
ganmu, budak gembel! Terkecuali kau mampu menun-
jukkan pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap
Sayuto di hadapan kami!" ujar istri Maling Durjana meragu.
"Permintaan yang sama juga pernah mereka
ajukan padaku! Sayang... mereka tak pernah melihat
kehebatan golok itu terkecuali merasakan ketajaman-
nya...!" tukas Buang Sengketa dingin.
"Kau hanya seorang pembual besar! Mana
mungkin kami percaya begitu saja terhadap segala
macam omonganmu!" bantah si Monyet Gemuk, sambil berkata dia langsung maju dua
tindak "Bagus! Aku memang tak pernah mengharap
segala kepercayaan dari orang-orang sebangsa monyet
seperti kalian. Nah sekarang tunggu apa lagi, kalian
bertiga, maling keparat dan dua ekor Monyet Hitam
majulah secara bersama-sama...!" tantangnya merasa tidak sabar lagi. Sebaliknya
ketiga orang itu menjadi panas juga hatinya mendapat tantangan seperti itu.
"Kau terlalu jumawa bocah gombal amoh! Jan-
gan salahkan kami andai dalam tiga gebrakan di muka
kau terkapar menjadi bangkai...!" selak si Monyet Kurus.
"Wei... malah bagus, aku pun jadi ingin melihat siapa di antara kalian yang
mempergunakan kuku
panjang dalam bertarung nanti. Dengan begitu tak su-
sah-susah bagiku untuk menentukan hukuman bagi
pembunuh si Rambut Kelabu...!"
"Tak perlu melihat nanti, kalau kau ingin tahu, kamilah orangnya...!" jawab si
Monyet Gemuk. Selanjutnya tanpa memberi kesempatan lagi pada Buang
Sengketa untuk berbicara, dia langsung membuka ju-
rus-jurus mautnya. Pertarungan kini menjadi semakin
seru dengan turunnya Monyet Hitam Bersaudara.
Sementara itu pertarungan antara Dewi Ratih
dengan istri Maling Durjana juga berlanjut kembali.
Kalau tadinya masing-masing lawan bertarung dengan
mempergunakan jurus silat tangan kosong, maka kini
mereka mengeluarkan senjata masing-masing. Di ten-
gah-tengah berdentingnya senjata itu, sekali dua pu-
kulan-pukulan maut pun mereka lepaskan.
"Ciaaat...!"
"Wuuus!"
Senjata kipas di tangan istri Maling Durjana
menderu mengincar bagian kepala dan perut Ratih,
sebaliknya dengan mempergunakan pedangnya Ratih
berusaha mematahkan serangan kipas di tangan la-
wannya. Satu tendangan mempergunakan kaki kanan
dilakukan oleh gadis itu menyertai sabetan pedang di tangannya.
"Preeet! Traaang!"
"Duuuk!"
Ketika dua senjata itu saling berbenturan, satu
tendangan kaki yang datangnya laksana kilat terlepas dari perhatian istri Maling
Durjana. Tubuh perempuan berusia lima puluhan itu terbanting dan terguling-
guling di atas tanah. Sementara Ratih sendiri dapat
merasakan betapa akibat beradunya dua senjata tadi
tangannya menjadi sakit dan terasa kesemutan. Tu-
buhnya juga tergetar dengan wajah sedikit memucat.
Lain lagi halnya yang dirasakan oleh istri Maling Durjana. Dia hanya merasa
perutnya yang tertendang kaki lawannya terasa mules, mual dan mau muntah.
Sedangkan pada bagian tangannya hanya terasa kesemu-
tan, dan itu pun kejab kemudian telah lenyap sama
sekali. Istri Maling Durjana secepatnya bangkit kemba-li. Lalu disalurkannya
tenaga dalam ke arah bagian
tangan kirinya. Saat itu dia sudah bersiap-siap untuk melepaskan pukulan 'Maling
Bangsawan Menggebuk
Pengemis Kelaparan'.
"Wuuus!"
Serangkum gelombang berwarna kuning men-
deru, menghadapi pukulan yang mengandung seten-
gah dari tenaga dalam yang dimiliki oleh istri maling durjana sebagai gadis yang
masih hijau dalam dunia
persilatan tak banyak yang dapat dilakukannya terke-
cuali memutar pedangnya untuk melindungi diri. Hal
ini benar-benar dapat membahayakan keselamatan
Dewi Ratih. Sebab selain pukulan itu mengandung
hawa dingin juga di dalamnya terkandung racun yang
sangat ganas. Masih untung, Buang Sengketa yang se-
jak tadi sembari bertempur melawan Monyet Hitam
Bersaudara dan suami maling durjana masih sempat
mengawasi jalannya pertarungan antara Ratih dan istri Maling Durjana. Pemuda itu
sambil berkelit menghin-
dar cakaran dan sabetan kipas yang datang, dia le-
paskan pukulan Empat Anasir Kehidupan untuk
membantu Dewi Ratih.
Semua yang sedang melakukan pengeroyokan
atas diri si pemuda nampak sangat terkejut sekali. Sedikit pun mereka tiada
menyangka kalau sedang da-
lam keadaan bertempur menghadapi lawan yang rata-
rata memiliki ilmu tinggi, si pemuda masih mampu
melepaskan pukulan demi untuk membela Dewi Ratih
yang sedang menghadapi bahaya yang sangat besar
itu. Serangkum gelombang berwarna Ultra Violet tak
pelak lagi menyongsong pukulan yang dilepaskan oleh
istri Maling Durjana. Perempuan berusia lima puluhan itu mengeluarkan seruan
tertahan saat mana sambaran angin pukulan menerpa bagian bahunya.
"Blaam...!"
Satu letupan keras terdengar ketika dua puku-
lan maut itu saling bertemu di udara. Bumi tempat
mereka berpijak terasa bergetar, tubuh istri Maling
Durjana terpelanting roboh. Saat itu dari hidung dan bibirnya meleleh darah
segar, dengan susah payah dia berusaha bangkit, namun sebelum perempuan itu
dapat berdiri tegak pada posisinya, Dewi Ratih telah
memburunya dengan pedang terhunus, satu jurus pe-
dang tingkatan ketujuh yang terdapat pada kitab keli-ma dia mainkan. Istri
Maling Durjana yang saat itu
sudah dalam keadaan terluka parah hanya sempat
membuang tubuhnya ke samping. Namun pedang di
tangan Ratih bagai bermata saja layaknya terus mem-
buru dirinya. "Haiiiiit!"
"Jrooos! Aggrhk!"
Istri Maling Durjana langsung terkulai tewas
sesaat setelah mata pedang di tangan Dewi Ratih
menghunjam dadanya.
Kematian sang istri sudah barang tentu mem-
buat suami Maling Durjana menjadi kalap. Begitu tu-
buh Buang tersungkur saat bentrok dengan pukulan
yang dilepaskan oleh istrinya, maka dengan senjata
mautnya yang berupa sebuah kipas warna hitam dia
langsung melakukan satu lompatan sembari hantam-
kan kipasnya ke arah bagian punggung lawannya.
"Craaak...!"
Buang Sengketa menyeringai menahan sakit
ketika merasakan sambaran kipas itu merobek kulit
punggungnya. Tapi dia sudah tak menghiraukan rasa
nyeri itu, sambil terus berguling-guling dia berusaha menghindari sergapan-
sergapan yang dilakukan oleh
ketiga lawannya. Lagi-lagi sambaran kipas di tangan
suami Maling Durjana mengancam pada bagian kepa-
lanya. Dalam keadaan kritis seperti itu, Dewi Ratih datang membantu.
"Traaang...!"
"Jahanam...!" maki suami Maling Durjana mengetahui serangannya dapat dipatahkan
oleh Dewi Ra- tih. Pertarungan dua lawan satu pun langsung terjadi, tiba-tiba tubuh Buang
Sengketa tanpa terduga-duga
nampak meletik ke udaranya.
"Adik Ratih! menyingkirlah jauh-jauh!" berte-riak Pendekar Hina Kelana masih
dalam keadaan ber-
jumpalitan. Dewi Ratih cepat-cepat menyingkir. Saat
itu dengan disertai satu raungan keras, pendekar dari negeri Bunian itu
hantamkan tangan kanannya. Satu
gelombang pukulan yang memancarkan sinar merah
menyala melesat dengan disertai suara bergemuruh


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagai badai angin ribut. Tak salah lagi saat itu Buang sedang melepaskan pukulan
Si Hina Kelana Merana.
*** 10 Tampaknya ketiga orang itu menyadari dengan
akibat yang mungkin ditimbulkan akibat pukulan yang
dilepaskan oleh pihak lawannya. Yang membuat ketiga
orang ini menjadi terkejut adalah karena sesaat setelah pukulan maut itu
terlepas, mendadak pukulan 'Si Hina Kelana Merana' membelah menjadi tiga bagian.
Dan masing-masing bagian yang terbelah itu menghajar ke
arah lawannya. Berbuatlah masing-masing lawan den-
gan segenap kemampuan yang ada demi menyela-
matkan jiwa masing-masing. Suami Maling Durjana
cepat-cepat memutar kipas mautnya, sementara Mo-
nyet Hitam Bersaudara melepaskan satu pukulan yang
diberi nama 'Sepuluh Menuju Jalan Kematian'. Begitu
kedua tangan bergerak melambai, tak ampun lagi
menderulah satu gelombang angin topan yang sangat
kencang sekali. Pakaian maupun rambut si pemuda
tampak melambai-lambai di terpa gelombang pukulan
yang dilakukan oleh Dua Monyet Hitam Bersaudara.
"Dweeer! Dweer...!"
Empat tubuh dari mereka yang sedang berta-
rung itu tampak berpentalan ke berbagai tempat. Ber-
temunya tiga tenaga sakti yang telah dilepaskan oleh masing-masing lawan,
membuat Dua Bersaudara Monyet Hitam merasakan tubuhnya bagai remuk, sekali
saja dia terbatuk, maka menggelogoklah darah kental
dari mulut mereka. Sementara suami Maling Durjana
yang mempergunakan senjata kipas hitam nya sebagai
perisai tampak merangkak berusaha bangkit, sedang-
kan kipas di tangannya hancur berkeping-keping. Ti-
dak terkecuali Pendekar Hina Kelana.
"Celaka...! Mereka benar-benar tiga orang lawan yang cukup berarti bagiku!
Tampaknya aku tak punya
pilihan lain untuk menandingi mereka terkecuali
mempergunakan pusaka Golok Buntung...!" batin pendekar ini seraya seka darahnya
yang mengalir memba-
sahi bibir dan pakaiannya.
"Kampreeeet... ternyata kau merupakan seo-
rang pendekar yang memiliki kemampuan yang sangat
hebat. Tapi rasakan ini...!" kata si Monyet Hitam. Lalu cepat-cepat rogoh saku
bajunya dan melemparkan sebuah benda berbentuk bulat. Benda itu langsung me-
ledak begitu menyentuh tubuh Pendekar Hina Kelana.
"Buuum...!"
Asap tebal sekejap saja menyelimuti diri si pe-
muda, lalu dalam gumpalan asap itu terdengar suara
terbatuk-batuk.
"Kakang...!" pekik Dewi Ratih demi melihat bahaya yang sedang mengancam diri
pemuda itu. Ratih
menyadari apa yang akan terjadi andai sampai si pe-
muda tak sadarkan diri. Tapi para lawannya yang ta-
dinya sempat menarik nafas lega, akhirnya menjadi
sangat terkejut begitu mendengar suara gelak tawa
yang berasal dari gumpalan kabut tadi.
"Ahaa... ha... ha...! Sialan ini bau asap pembius apa kentut kuda... wah kalian
kira aku bisa kelenger dengan segala asap pembius yang tiada berguna ini...!"
selak Pendekar Hina Kelana. Sungguh pun dia tertawa
tergelak-gelak, tapi sebenarnya kesabaran yang dia miliki telah sampai pada
puncaknya. Kedua matanya pun
telah berubah memerah saga, sementara dari sela-sela bibirnya memperdengarkan
bunyi mendesis bagai ular
pi-ton yang sedang dilanda kemarahan.
"Sriiing...!"
Sekali tangannya meraba pada bagian ping-
gangnya, maka senjata Golok Buntung itu pun terca-
but dari sarungnya. Kejab itu juga terlihat sinar merah menyala dari senjata
andalan di tangan Buang Sengke-
ta. Mereka menjadi lebih terkejut lagi ketika mereka merasakan udara di
sekitarnya mendadak berubah
dingin luar biasa. Tubuh mereka menggigil, namun se-
telah mengerahkan tenaga dalam yang mereka miliki,
rasa dingin itu sedikit demi sedikit menjadi hilang, walau tidak dapat dikata
hilang sama sekali.
"Kalian lihatlah apa yang ingin kalian lihat dari Pendekar Hina Kelana
sebelumlah segala-galanya benar-benar terlambat, persiapkan segala apa yang ka-
lian miliki...!" menggeram si pemuda. Sekejap kemudian dengan disertai teriakan
tinggi melengking, maka senjata di tangan Pendekar Hina Kelana berkelebat
menyambar. "Nguuung...!"
Terdengar suara menggaung bagai auman sua-
ra pukulan harimau terluka saat sinar merah berkele-
bat menyambar. Kini sadarlah para lawan-lawannya
bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan
Pendekar Golok Buntung. Tapi apa mau dikata, semu-
anya terasa jadi terlambat, senjata itu begitu ganas menyambar-nyambar bagaikan
memiliki mata. Tak ada jalan lain yang lebih baik bagi ketiga
lawannya selain hanya bertahan dan berusaha menge-
lakkan setiap serangan-serangan yang datang.
"Haiiit...!"
Teriak Pendekar Hina Kelana, sembari memper-
gunakan jurus si Jadah Terbuang laksana kilat dia
melompat ganas ke depannya. Yang menjadi sasaran-
nya adalah suami Maling Durjana. Demi menyela-
matkan selembar nyawanya, Maling Durjana lepaskan
satu pukulan mautnya. Tapi gerakan Golok Buntung
di tangan si pemuda datang lebih cepat dari perhitungannya. "Creeess...!"
"Arggkh...!"
Suami Maling Durjana melolong panjang saat
mana senjata di tangan Buang Sengketa membabat
bagian dadanya. Dengan menderita luka babatan yang
sangat dalam tubuh Maling Durjana terpelanting ro-
boh. Tubuhnya bersimbah darah, berkelejetan seben-
tar, kemudian diam untuk selama-lamanya.
Kini tinggallah Dua Bersaudara Monyet Hitam
yang tampak tertegun-tegun memandangi mayat Mal-
ing Durjana. "Monyet Hitam! Bersiap-siaplah untuk segera
menyusul kawanmu...!" bentak si pemuda dengan tatapan sinis.
"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Hina Ke-
lana...!" "Bagus! Majulah...!" tantang pemuda itu, seraya kembali bergebrak.
"Heiiik."
"Nguuung...!"
Dengan sangat nekad Dua Monyet Hitam Ber-
saudara memapaki serangan senjata di tangan lawan-
nya. Golok Buntung berkelebat menyambar.
"Crook! Craaas...!"
Tubuh kedua orang itu tampak berputar-putar
bagai orang yang sedang bingung. Bagian dada dan
kepala mereka hampir saja terbelah di landa ketaja-
man senjata Golok Buntung. Sebelum tubuh sesat itu
ambruk ke bumi, sekali lagi senjata itu berkelebat cepat
Tanpa ampun kedua Monyet Hitam langsung
ambruk menggelosoh di atas rerumputan. Berkelojotan
sebentar, lalu diam dengan jiwa melayang. Melihat kematian lawan-lawannya, Buang
menarik nafas pendek,
kemudian dia menoleh dan memandang pada Dewi Ra-
tih yang segera berlari dari mendekat ke arahnya.
"Kakang! Selama ini kiranya kau merahasiakan
nama kebesaranmu! Tak, kusangka orang yang memi-
liki gelar besar Pendekar Hina Kelana engkaulah
orangnya. Aku merasa sangat beruntung dapat ber-
jumpa dan bersama-sama denganmu!" ucap gadis itu sambil memandang sendu pada
pemuda berwajah
tampan itu. "Sudahlah, tak perlu kau menyanjungku se-
tinggi langit! Tugas kita untuk mendapatkan Batu Wa-
let Merah dari tangan manusia terkutuk itu pun belum tercapai!" sela Buang
Sengketa merana tak enak dengan sanjungan dan pujian yang diucapkan oleh Dewi
Ratih. "Jadi sekarang kita hendak kemana, Ka-
kang...?" Si pemuda tampak berpikir sebentar dan lang-
sung menyahut. "Sudah kukatakan tak ada tempat yang aman
bagi Sepasang Walet Merah, terkecuali di Bukit Siluman." "Tapi, bagaimana dengan
mayat-mayat itu...?"
tanya Ratih, sungguh pun mayat-mayat itu sebagai
musuhnya, tapi dia merasa tak tega membiarkan
mayat-mayat itu bergelimpangan begitu saja.
"Biarkan saja! Tokh di hutan ini masih banyak
macan kelaparan yang membutuhkan santapan!"
"Kalau begitu kita secepatnya meninggalkan
tempat ini, Kakang?"
"Lebih cepat justru malah lebih baik...!" ujar Buang Sengketa.
*** 11 Ketika ketua Gerombolan Sinar Kayangan me-
rasa sudah tidak mempunyai pilihan lain lagi untuk
bersikap menunggu secara terus-menerus. Maka saat
itu dua hal yang selalu datang dalam benak Gada Wisa adalah bagaimana caranya
mendapatkan Batu Walet
Merah dan juga membalas kematian murid-muridnya
di tangan Sepasang Walet Merah. Tunggu punya tung-
gu tak ada tanda-tanda kalau Sepasang Walet Merah
mau datang ke Maliau dan Taruak, yaitu dua daerah
yang menjadi kekuasaannya selama beberapa tahun
belakangan ini. Akhirnya dia merasa kesal, dia pun
memutuskan untuk meluruk Sepasang Walet Merah ke
Bukit Siluman sebagai mana dilaporkan oleh murid
utamanya si Cacing Kalung dan si Tanduk Maut yang
diutus untuk melakukan penyelidikan.
Setelah mengetahui titik lemah dan kekuatan
yang dimiliki oleh Sepasang Walet Merah, maka be-
rangkatlah satu rombongan yang sangat besar, ber-
jumlah tak kurang dari empat puluh orang menuju
Bukit Siluman. Karena mereka hampir keseluruhan-
nya mempergunakan kendaraan berkuda. Maka men-
jelang dua hari kemudian sampailah rombongan Ge-
rombolan Sinar Kayangan ini di Bukit Siluman. Kenya-
taannya Sepasang Walet Merah memang berada di sa-
na. "Rombongan besar, merupakan orang-orang
kasar! Apakah tujuan kalian menyambangi Bukit Si-
luman...!" tanya Sepasang Walet Merah, sesaat meneliti orang-orang yang hadir di
situ. "Heh...! Inikah kunyuknya yang menamakan di-
rinya sebagai Sepasang Walet Merah" Kudengar ka-
lianlah yang telah membunuh murid-muridku?" tanya
si Kakek Tinggi Semampai, lalu menatap tajam pada
Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita. Walet Merah ter-
senyum mencibir, betapa pun mereka yakin dengan
kemampuan yang mereka miliki, namun keduanya ju-
ga memperhitungkan jumlah lawan-lawannya sangat
besar. Kakek Tinggi Besar dan dua orang lainnya ke-
mungkinan sekali memiliki kesaktian yang dapat dian-
dalkan "Tak salah, kamilah Sepasang Walet Merah!"
Si Gada Wisa tergelak-gelak mendengar penga-
kuan kedua muda mudi itu, lalu dia membuang pan-
dangan matanya jauh-jauh. Ke arah kerangka rumah
di atas bukit kapur yang belum jadi. Hatinya saat itu membatin, "Mungkin di
sinilah kedua pemuda itu akan membangun sebuah kekuatan baru". Setelah puas
memandangi kerangka rumah tadi maka dia kembali
memandang pada Sepasang Walet Merah.
"Bagus! Sebaiknya kalian menyerah kepada
kami dan serahkan Batu Walet Merah yang ada pada
kalian itu...!" perintah si Kakek Tinggi Besar.
"Hi... hi... hi...! Semudah itukah, Kakek tolol!
Pantasnya malah kalianlah yang menyerah atau paling
tidak bersekutu pada kami...!"
"Hah...! Bocah ingusan macam kalian mengajak
bersekutu dengan aku, seorang penguasa di Maliau
dan Taruak...?" ejek Gada Wisa
"Tak salah...!"
"Hemm! Kalau itulah yang kalian inginkan!"
Kakek Tinggi Besar memandang pada para muridnya,
lalu memberi perintah
"Anak-anak! Cincang kedua orang itu!" katanya tegas. Begitu melihat aba-aba yang
diberikan oleh gurunya, maka hampir empat puluh orang murid-murid
Gada Wisa secara berlomba-lomba datang menyerbu.
Sepasang Walet Merah bukanlah orang yang takut pa-
da keroyokan, namun menghadapi jumlah yang sekian
banyaknya, mau tak mau keduanya langsung kerepo-
tan. *** Saat itu juga mereka sudah mencabut pedang-
nya masing-masing. Begitu pedang di tangan mereka
berkelebat, tiga orang murid Gada Wisa menjerit ro-
boh. Tapi murid-murid dari Maliau dan Taruak ini me-
rupakan murid-murid yang tiada mengenal rasa takut,
mengetahui kawannya tersungkur bermandikan darah,
mereka menjadi semakin bertambah beringas. Dalam
waktu sekejap terjadilah pertarungan sengit di bukit berkapur yang selama ini
merupakan sebuah tempat
yang sangat dikeramatkan oleh keturunan Padepokan
Bukit Berkabung.
Korban di pihak murid kakek Gada Wisa, jurus
demi jurus terus berjatuhan, sejauh itu Si Gada Wisa, Caring Kalung dan si
Tanduk Maut hanya berdiri menonton. Tapi tak lama kemudian Kakek Tinggi Tegap
ini menoleh pada murid andalannya itu.
"Bantu mereka...!" perintahnya. Si Cacing Kalung dan Tanduk Maut tanpa menunggu
diperintah dua kali segera menghambur di arena pertempuran.
Kemunculan dua orang murid utama itu membuat se-
gala-galanya berobah, kalau pertama tadi Sepasang
Walet Merah dengan begitu mudahnya merobohkan
lawan-lawannya yang sebenarnya memiliki kepandaian
yang tidak seberapa tinggi ini, namun setelah si Cacing Kalung dan Tanduk Maut
datang membantu. Maka sekarang terlalu sulit bagi keduanya untuk menjatuhkan
lawan-lawannya. Si Tanduk Maut dan Cacing Kalung


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan senjatanya yang berupa pedang bergerigi mirip
gergaji, tampak menyeruak menyongsong datangnya
sambaran pedang di tangan Sepasang Walet Merah.
Pedang bergerigi di tangan si Cacing Kalung dan Tan-
duk Maut datang menggebu, memapaki senjata di tan-
gan lawan yang meluncur deras ke arah bagian perut
mereka. Satu sapuan kaki pun menyertai berkelebat-
nya senjata di tangan Walet Merah.
"Traaang! Buuuk!"
"Ughk...!"
Terlihat senjata di tangan masing-masing lawan
tergetar hebat. Tetapi si Tanduk Maut dan Cacing Ka-
lung tak luput dari sambaran kaki Dewi Ratna Juwita, hingga mengakibatkan tubuh
mereka terjengkang.
Sementara itu Bagas Salaya setelah mendapat
isyarat dari Dewi Ratna Juwita dengan gerakan yang
sangat gesit, segera membagi medan pertarungan men-
jadi dua bagian. Puluhan murid-murid Gada Wisa te-
rus meluruk ke arahnya dengan babatan senjata di
tangan mereka. Sekali dua Bagas Salaya keluarkan
tawa mengekeh, dia merasa bahwa lawan yang sedang
dihadapinya bukanlah berarti apa-apa bila dibanding-
kan dengan kemampuan yang dia miliki. Akibatnya
sering terlihat kelengahan-kelengahan yang tiada berarti membuat dia menjadi
rugi sendiri. Seperti pada satu kesempatan, dengan seenaknya saja dia membabat
lawan yang berada di depannya. Lawan itu roboh
dengan tubuh bermandi darah, tapi dari belakangnya
menyusul satu pukulan telak
"Buuuk!"
"Ahkk... kampreet...!"
Maki Bagas Salaya ketika tubuhnya tersungkur
ke depan dengan bagian punggung terasa remuk.
Tampaknya dia menjadi kalap atas kelengahannya
sendiri. Tanpa ampun Bagas Salaya mengerahkan se-
bagian tenaga dalamnya ke arah bagian jemari tan-
gannya. Detik selanjutnya tubuh pemuda itu mengge-letar, wajahnya berubah
menjadi kemerah-merahan.
Bagas Salaya menyadari apa artinya dia mengerahkan
tenaga ke arah bagian jemari tangannya itu. Memang
tak dapat disangkal kalau saat itu Bagas Salaya se-
dang berusaha membangkitkan kekuatan Batu Walet
Merah yang melingkar di jari manisnya. Tak lama setelah tenaga dalamnya sampai
pada Batu Walet Merah
yang melingkar di bagian jarinya itu. Maka kejab ke-
mudian Batu Walet Merah telah pula memancarkan
sinar merah kekuning-kuningan. Tanpa membuang-
buang waktu lagi Bagas Salaya mulai mengarahkan
mata batu itu pada lawan yang datang mengeroyok di
sekelilingnya. Dua tiga lesatan tampak meluncur dari batu yang berada di tangan
Bagas Salaya. Selarik sinar yang berhawa dingin dan panas dan berbentuk pipih
menghantam tubuh lawan-lawannya.
Tak dapat dicegah, berpelantinganlah tubuh
murid-murid Gada Wisa bagai batu-batu bertebaran.
Kejadian seperti itu dilakukan berulang-ulang oleh Bagas Salaya sehingga dalam
waktu tak lebih dari setengah jam, murid-murid Gada Wisa yang jumlahnya
mencapai puluhan itu, kini hanya tinggal beberapa ge-lintir saja. Mengetahui
hampir seluruh muridnya ter-
sapu bersih di tangan Bagas Salaya, Kakek tinggi Be-
sar itu menjadi sangat marah sekali. Dengan disertai raungan bagai serigala yang
kehilangan anak-anaknya, tubuh Gada Wisa tampak melesat ke depan. Tahu-tahu
telah berdiri empat tombak di depan Bagas Sa-
laya. "Keparat...! Kau telah membunuh orang-
orangku...!" geram Gada Wisa sambil mencabut senjata andalannya yang berupa
sebuah gada yang berukuran
tak lebih dari ibu jari itu.
"Aha... ha... ha...! Kalau kau tak ingin melihat murid-muridmu terbunuh, mengapa
kau hanya diam saja sedari tadi, Kakek pikun...!" ejek Bagas Salaya.
"Kau harus mampus di tanganku, Bocah kepa-
rat...!" rutuk si Tinggi semampai lalu bersiap-siap melakukan serangan dengan
senjatanya. "Bagus! Mari kita tentukan siapa yang paling
berhak hidup di kolong langit ini lebih lama lagi...!"
dengus Bagas Salaya. Menyadari bahwa lawannya
mungkin saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi, maka begitu menghadang
Bagas Salaya selain memutar pedang di tangan kirinya juga mulai lancarkan
pukulan-pukulan yang bersumber dari kekuatan sakti
yang ada pada Batu Walet Merah di tangannya.
Sementara itu pertarungan antara Dewi Ratna
Juwita dan Cacing Kalung juga Tanduk Maut tampak
telah mencapai puncaknya. Lebih dari dua kali tangan dan kaki si Cacing Kalung
dan Tanduk Maut berhasil
memukul bagian punggung, perut dan juga pada peli-
pis Dewi Ratna Juwita. Sungguh pun pukulan itu den-
gan mempergunakan tenaga dalam, namun hanya
mengakibatkan tubuh si gadis hanya terpelanting ro-
boh. Untuk kemudian bangkit kembali. Bagi Dewi Rat-
na Juwita hal itu tak menjadi soal, asal saja dia mam-pu menghindari terjangan
senjata di tangan lawannya.
Karena itu justru yang dia nilai sangat berbahaya sekali. Namun ketika satu
jotosan yang dilakukan oleh si Cacing Kalung berhasil menghantam bagian dadanya.
Maka berubahlah paras Dewi Ratna Juwita seketika.
Dia sangat marah sekali, sebaliknya si Cacing Kalung dan Tanduk Maut tergelak-
gelak. "Bagaimana, Cacing Kalung! Empuk ya...!"
"Ho'oh...!" Si Cacing Kalung menyahuti, sambil berusaha menyerang kembali.
"Keparat...! Kalian benar-benar tak akan men-
dapat pengampunan dari si Walet Merah!" maki Dewi Ratna Juwita, selain merasakan
sakit di bagian dadanya juga merasa sangat malu sekali.
"Haiiit...!"
Satu serangan balasan dilakukan oleh Dewi
Ratna Juwita, sesungguhnya serangan pedang ini ha-
nyalah merupakan tipuan belaka, karena niat yang
terkandung dalam hati gadis itu hanyalah ingin me-
nyalurkan tenaga dalamnya pada bagian jemari tan-
gannya. Kedua lawannya memapaki dengan sabetan
senjata di tangan.
"Traak! Traaang...!"
Cacing Kalung dan Tanduk Maut menyurut dua
langkah, tangan mereka terasa kesemutan dan nyeri.
Dengan wajah sedikit memucat keduanya secara se-
rentak cepat-cepat melakukan serangan kembali. Te-
tapi betapa wajah mereka semakin bertambah memu-
cat kala melihat sinar merah kuning dan biru me-
nyongsong kedatangan serangan mereka, Cacing Ka-
lung menyadari bahwa tenaga sakti itu bersumber dari Batu Walet Merah yang
memancar, secepatnya dia berusaha berkelit dan membuang tubuhnya jauh-jauh ke
samping kanan. Lain halnya dengan si Cacing Kalung
yang selalu bertindak hati-hati. Lain lagi halnya dengan si Tanduk Maut yang
dalam melakukan serangan
selalu dibarengi dengan emosi yang meluap-luap. Saat dia menyadari datangnya
sinar yang mematikan itu,
dia sudah tak dapat berbuat banyak selain menjadi
gugup dan hantamkan senjatanya ke depan.
"Traaang! Breeees...!"
"Uaghkkh...!"
Senjata di tangan berantakan berkeping-keping,
sementara tubuh si Tanduk Maut terpelanting roboh.
Dalam waktu sekejap saja tubuh itu pun telah berubah membiru, tiada erangan mau
pun lolongan maut. Bah-
kan berkelojotan pun tidak, karena sesaat setelah perubahan itu terjadi jiwa si
Tanduk Maut pun telah melesat pergi meninggalkan raganya. Tinggallah si Cacing
Kalung yang terlongong-longong dengan rasa tak percaya. Se-baliknya si Kakek
Berbadan Tinggi yang kala bertarung dengan Bagas Salaya, dan sempat melihat
apa yang dialami oleh murid kesayangannya. Tampak
menjadi sangat murka sekali. Tapi dia pun hanya
mampu mencaci maki dengan kata-kata kotor. Sebab
saat itu dia pun sedang kerepotan menghadapi terjan-
gan-terjangan sinar merah yang bersumber dari Batu
Walet Merah. Sukur dia memiliki pukulan ampuh dan
senjata yang dapat dipergunakan untuk menandingi
kehebatan Batu Walet Merah. Andai tidak, mungkin
dia sendiri tidak mampu menjaga keselamatannya pri-
badi. "Mengapa harus bengong seperti itu, Cacing Kurus! Cepat serahkanlah
nyawamu!" bentak Dewi
Ratna Juwita tiba-tiba. Dan lebih cepat lagi gadis itu mengarahkan Batu Walet
Merah pada si Cacing Kalung. "Keparat...!" makinya sambil hantamkan satu pukulan
'Bara Sakti' yang merupakan pukulan andalannya. "Buuuum!"
"Gusraak...!"
Dewi Ratna Juwita hanya tergetar saja tubuh-
nya, walau tidak dapat disangkal bagian rongga da-
danya terasa sakit sekali. Sebaliknya tubuh si Cacing Kalung selain terpelanting
dan jatuh nyungsep. Juga
menderita luka dalam yang cukup fatal. Dengan ber-
susah payah dia berusaha bangkit, namun sebelum
niatnya kesampaian. Lagi-lagi Dewi Ratna Juwita yang sudah menjadi kalap ini
mengarahkan Batu Walet Merah di tangannya.
"Wuuus!"
Si Cacing Kalung sedapatnya berusaha mele-
paskan satu pukulan dengan mempergunakan sisa-
sisa tenaganya. Celakanya jangankan untuk menge-
rahkan tenaga, sedangkan untuk menggerakkan tan-
gannya saja dia sudah tiada mampu. Dengan mata
membelalak lebar dia menyongsong pukulan itu den-
gan sikap pasrah.
"Bruues..!"
"Arrghk...!"
Si Cacing Kalung berkelejat-kelejat tubuhnya,
secara perlahan namun pasti tubuh itu kemudian ter-
diam tak berkutik-kutik lagi.
"Jahanam...!" Murid-muridku tewas semuanya di tangan kalian, aku tak akan
tinggal diam...!" pekik si Gada Wisa.
"Kakang Bagas! Jangan hiraukan mulutnya!
Mari kita kroyok kakek goblok ini beramai-ramai...!" teriak Dewi Ratna Juwita.
Sebentar kemudian kedua
orang itu sudah menghujani si Gada Wisa dengan ke-
kuatan Batu Walet Merah di tangan masing-masing.
Menghadapi Bagas Salaya saja Gada Wisa tak mampu
berbuat banyak, bahkan pukulan mautnya sudah tak
banyak berarti, jangankan kini menghadapi dua orang
lawan yang mempergunakan Batu Walet Merah yang
dia tahu sangat berbahaya itu. Mau tak mau Gada Wi-
sa harus berjuang mati-matian untuk menyelamatkan
dirinya. "Kakek tolol! Lebih baik menyerah saja...!" perintah Dewi Ratna Juwita.
"Lebih baik aku mati berkalang tanah, daripada
harus menyerah pada kroco-kroco seperti kalian...!"
bantah Gada Wisa sembari mengayunkan gadanya.
Lalu selarik sinar melesat dari gada di tangan si
Kakek Ketua Gerombolan Sinar Kayangan ini. Bagas
Salaya dan Dewi Ratna Juwita tak mau ambil resiko,
maka dengan mengarahkan Batu Walet Merah di tan-
gan masing-masing, selarik gelombang merah, kuning
dan biru yang berbentuk pipih sekali menderu ke arah si Kakek Tinggi Besar. Tak
terelakkan lagi dua kekuatan dahsyat yang bergulung-gulung itu pun bertabra-
kan di tengah jalan.
"Blaaam!"
Masing-masing lawan tergetar hebat tubuhnya,
tapi mereka tetap berada pada posisinya masing-
masing. Dan sebelum kakek ini dapat bertindak lebih jauh, Sepasang Walet Merah
kembali mengarahkan ba-tu yang melingkar di bagian jarinya.
"Wuuuss!"
Lebih cepat lagi Gada Wisa mempergunakan
gada andalannya untuk memapaki datangnya sinar ta-
di. "Buuummm...!"
Gada di tangan kakek besar tinggi meleleh,
bahkan dia terpaksa mencampakkannya saat mana
hawa panas menjalari tubuhnya.
"Brees!"
"Auughk...!"
Gada Wisa melolong panjang, tubuhnya ter-
campak jauh setelah dua sinar maut dengan telak
menghantam tubuhnya. Saat tubuhnya rubuh meng-
hantam pohon, selembar nyawa melayang dari ra-
ganya. Sepasang Walet Merah tersenyum penuh keme-
nangan. *** 12 Ketika Pendekar Hina Kelana dan Dewi Ratih
sampai di Bukit Siluman, mereka melihat mayat-mayat
bergelimpangan di mana-mana. Melihat keadaan
mayat-mayat itu, tampaknya kejadiannya berlangsung
satu hari sebelum kedatangan mereka. Buang Sengke-
ta menarik napas pendek, sebelum kata-katanya ke-
mudian lepas: "Tampaknya telah terjadi pertarungan besar-
besaran di sini, Adik Ratih...!" ucapnya sambil menoleh pada Dewi Ratih yang tak
begitu jauh berdiri di sisinya. Dewi Ratih hanya mengangguk pelan.
"Melihat bekas luka-luka yang dialami oleh me-
reka! Rasa-rasanya tak salah kalau aku menarik ke-
simpulan bahwa mereka tewas di tangan Sepasang
Walet Merah!"
"Jelas mereka ada di sekitar tempat ini, Ra-
tih...!" kata si pemuda kemudian. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu hampir
bersamaan mereka memandang ke sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda Sepa-
sang Walet Merah berada di sekitar perbukitan itu.
"Bagaimana kalau kita menuju ke Gua Silu-
man?" tanya si pemuda mengajukan satu usul pada gadis yang berada di sampingnya.
"Sebuah ide yang sangat baik...!" berkata Dewi Ratih. Kemudian keduanya segera
bergerak menuju
Gua Siluman yang terletak tak kurang dari sepuluh
tombak di sebuah tikungan di depannya. Sebentar ke-
mudian keduanya pun telah sampai di depan mulut
gua, secara tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya
dua sosok tubuh dari dalam gua yang pintunya sudah
tidak terkunci lagi.
Beberapa detik kemudian muncullah dua sosok
tubuh yang sangat dikenal oleh Ratih, berdiri tegak di hadapan mereka. Tampaknya
di antara mereka sama-sama menunjukkan rasa saling terkejut.
"Kakang Bagas! Kakak Dewi...! Kalian benar-


Pendekar Hina Kelana 20 Banjir Darah Di Bukit Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benar telah mencemarkan nama baik Padepokan Bukit
Berkabung. Lebih dari hanya sekedar pencuri tengik,
kalian juga telah menodai kesucian diri kalian sendiri!
Hemm. Pantas kalau Eyang Girinda almarhum mengu-
sir kalian dari padepokan. Kalian memang benar ma-
nusia terkutuk menjalin cinta dengan saudara sendiri!"
dengus Ratih dengan pandangan sinis.
"Hei Adik Ratih! Begitu datang kau langsung
marah-marah, bersama gembel itu apakah yang kau
inginkan...?" tanya Bagas Salaya marah.
"Tak banyak yang kuminta dari kalian, orang-
orang terkutuk! Serahkan sepasang Batu Walet Merah,
setelah itu kalian tinggalkan tempat keramat ini...!"
"Keparat! Sukur aku tak membunuhmu men-
gingat kita masih ada hubungan saudara, andai tidak
kau pasti mampus di tangan kami...!" maki Dewi Ratna Juwita gusar.
"Jangan kau mengaku-ngaku sebagai saudara.
Aku tak memiliki saudara sepertimu!" bantah Dewi Ratih.
"Bagus! Kalau kau tak mengakui kami sebagai
saudaramu lagi, tidak ada terkecualinya lagi bahwa
kau dan manusia gembel itu barus mampus di tangan
kami...!" "Lakukanlah kalau kalian mampu kunyuk hi-
na...!" maki si pemuda yang sedari hanya memperhatikan perdebatan antara sesama
saudara itu. "Adik Dewi! Mari kita remukkan batok kepala
bocah gembel ini beramai-ramai...!"
"Adik Dewi"!" seru Ratih. "Kalian berdua benar-benar telah menjadi gila...!"
"Kakak di panggil adik, adik di panggil ka-
kang... memang benar-benar sudah nggak waras ku-
nyuk jantan dan kunyuk betina ini, Ratih...!" kata Buang Sengketa menimpali.
"Keparat...! Kalian benar-benar ingin mencari
mampus...!" teriak Bagas Salaya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi, pemuda ini
segera menyerang Pendekar
Hina Kelana dengan jurus-jurus andalannya. Saat itu
Ratih langsung pula berhadapan dengan Dewi Ratna
Juwita. "Menyesal sekali sebagai saudara aku harus membunuhmu, Ratih...!" desis
Dewi Ratna Juwita, seraya segera mencabut pedangnya. Dewi Ratih pun tak
mau kalah. "Sriiing! Sriiing!"
Senjata yang mengkilat-kilat karena ketaja-
mannya itu langsung menderu, maka bertarunglah
dua bersaudara itu dengan mempergunakan jurus-
jurus pedang yang berasal dari satu sumber. Sekejap
saja denting beradunya senjata tajam terasa merobek
kesunyian di pagi hari. Dua gadis yang masih bersau-
dara itu kelihatan sama-sama gesitnya, berulang kali pedang di tangan mereka
beradu. Tapi betapa terke-jutnya hati Dewi Ratna Juwita saat mana merasakan
tangannya berdenyut-denyut sakit. Mulanya hanya da-
lam waktu tujuh jurus saja dia merasa segera dapat
menjatuhkan lawannya. Tapi siapa sangka dalam
mengadu tenaga dalam tadi dia merasakan tenaganya
setingkat berada di bawah adiknya sendiri.
"Tak usah heran perempuan sundel! Kalau kau
berhasil mempelajari kitab warisan Bukit Berkabung
hanya sampai pada yang keempat, tapi aku yang pe-
malas ini telah menguasai kitab yang kelima...!" kata Ratih dengan sesungging
senyum mengejek.
"Keparat! Kalau begitu sekarang juga kau harus
merasakan bagaimana dahsyatnya Batu Walet Merah
di tanganku ini...!" maki Dewi Ratna Juwita merasa tidak akan unggulan
menghadapi Dewi Ratih dengan ju-
rus-jurus pedang yang jelas berada di bawah lawan-
nya. Dengan cepat Dewi Ratna Juwita. mengerahkan
tenaga dalamnya ke arah bagian tangannya. Sekejap
saja Batu Walet Merah di bagian jemari tangannya
memancarkan cahaya merah, kuning dan biru. Ratih
terkesiap, wajahnya berubah pucat pasi, dia berpikir tak mungkin Batu Walet
Merah dapat dia atasi dengan
jurus pedang atau pun pukulan yang hanya berintikan
tenaga dalam biasa. Dalam pada itu walaupun dalam
keadaan bertarung, tampaknya Pendekar Hina Kelana
juga tidak melepaskan perhatiannya pada Ratih. Begi-
tu dia melihat sinar merah di jemari tangan Dewi Rat-na Juwita. Maka sebelum
gadis itu mengarahkan batu
maut itu pada Ratih. Buang Sengketa hantamkan satu
pukulan yang paling sangat diandalkannya, Si Hina
Kelana Merana. Selanjutnya begitu tangannya dia do-
rongkan ke depan, maka serangkum gelombang yang
memancarkan sinar merah dan berhawa panas luar
biasa meluruk ke arah Dewi Ratna Juwita. Saat itu
pun dua lesatan sinar menderu di udara, timbulkan
hawa dingin dan panas yang tak kalah hebatnya.
"Blaarr...!"
Debu tampak mengepul ke udara, bumi terasa
bergetar hebat, tak ayal sungguh pun Ratih dapat ter-hindar dari ancaman maut,
namun tubuh Bang Seng-
keta tak pelak lagi terjengkang dua tombak. Begitupun halnya yang dialami oleh
Dewi Ratna Juwita. Mulut
kedua orang itu sama-sama menyemburkan darah
kental. Bagas Salaya tampak tercengang dan menga-
watirkan keadaan istrinya. Serta merta emosinya me-
luap-luap. Lalu dengan pedang terhunus dia memburu
Pendekar Hina Kelana yang sedang berusaha meng-
himpun hawa murni untuk menghilangkan rasa nyeri
yang sangat luar biasa pada bagian dadanya.
"Kakang Kelana...!" pekik Dewi Ratih histeris demi melihat Bagas Salaya
membabatkan pedangnya
ke bagian tengkuk si pemuda. Sesungguhnya dia ingin
bertindak membantu pendekar itu. Namun karena ja-
raknya yang begitu jauh membuat dia merasa tak da-
pat melakukannya. Namun dalam saat-saat mene-
gangkan seperti itu Buang cepat-cepat memperguna-
kan jurus Koreng Seribu yang memiliki daya hisap
yang sangat tinggi.
"Kreeeep...!"
Dengan mempergunakan jemari tangannya, dia
sambut sabetan pedang di tangan Bagas Salaya. Pe-
muda terkutuk itu terkejut bukan main. Apalagi dia
merasa tak-mampu untuk melepaskan senjatanya dari
jepitan jari Buang Sengketa. Tarik menarik pun ber-
langsung beberapa saat lamanya. Celakanya semakin
kuat Bagas Salaya mengerahkan tenaga dalamnya un-
tuk membebaskan pedang itu kembali, maka semakin
sulitlah bagi pemuda itu untuk membetot senjatanya.
Bahkan lama-kelamaan dia menyadari tenaganya tera-
sa terbetot keluar melalui pedang di tangannya
"Keparat! Ilmu Siluman...!" maki Bagas Salaya mulai berusaha mengerahkan bagian
tenaganya untuk
dipergunakan membangkitkan kesaktian dari Batu
Walet Merah. Usahanya itu tampaknya mendatangkan
hasil, sebab kejab kemudian Batu Walet Merah di tan-
gannya memancarkan sinar merah kuning dan biru.
Secara perlahan dia mengarahkan batu itu pada pihak
lawannya yang berjarak tak kurang dari satu meter di hadapannya. Lebih celaka
lagi saat itu pun Dewi Ratna Juwita mengarahkan batu di tangannya kepada sasaran
yang sama. "Weer! Weeer...!"
Dalam detik-detik yang sangat menentukan an-
tara hidup dan mati itu, serta merta Buang Sengketa
mencabut Golok Buntung yang terselip di pinggang-
nya. Laksana kilat dipergunakannya golok tadi untuk
menerima sinar yang bersumber dari Batu Walet Me-
rah. "Bleeer! Seeet...!"
Kekuatan yang sangat dahsyat itu langsung
menghajar golok di tangan si pemuda yang diperguna-
kannya sebagai tameng.
Sepasang Walet Merah menjadi terkejut luar bi-
asa saat mana sinar yang mereka lepaskan malah le-
nyap begitu saja dan tampak bagai terserap. Bahkan
lama kelamaan mereka merasakan selain tenaga sakti
yang ditimbulkan oleh Batu Walet Merah lenyap begitu saja, tapi malah tubuh
mereka ikut tersedot. Sungguh pun mereka berusaha mati-matian untuk tetap
bertahan pada posisinya, namun tetap saja tubuh mereka
tertarik mendekat ke arah Buang Sengketa. Seketika
pucat wajah Sepasang Walet Merah, terlebih-lebih Ba-
gas Salaya yang berada paling dekat dengan Buang
Sengketa. Tiba-tiba pemuda itu dorongkan Golok
Mautnya ke depan dan ke samping disertai dengan sa-
tu bentakan: "Hembus kalian sana...!"
Tenaga dorongan yang dilakukan oleh si pemu-
da menyebabkan tubuh kedua lawannya terpelanting.
Dengan merangkak mereka sudah bangkit kembali,
dan berusaha membangun sebuah serangan baru. Ta-
pi begitu melihat pada lawan yang berdiri tegak di depannya lagi-lagi mereka
menjadi terbelalak tak per-
caya. "Pendekar Hina Kelana...!" serunya tanpa sadar.
Buang Sengketa diam tiada bergeming. Di tan-
gan kirinya tergenggam Pecut Gelap Sayuto, sedang-
kan di tangan kanannya tergenggam pula Pusaka Go-
lok Buntung yang juga memancarkan sinar merah me-
nyala. Darah Siluman di dalam tubuh pendekar ini
saat itu memang telah merasuk dalam emosinya yang
tertahan-tahan. Betapa bencinya dia melihat tampang
Sepasang Walet Merah yang sesungguhnya masih ada
hubungan darah. Namun tetap nekad melakukan per-
cintaan itu. "Manusia berjiwa hewan seperti kalian memang
tak layak untuk hidup lebih lama lagi. Mampuslah...!"
Serta merta, sebelum Sepasang Walet Merah sempat
menyahut. Cambuk Gelap Sayuto di tangan Buang
Sengketa menderu.
"Ctaar.... Ctaaar...! Ctaaar...!"
Mendadak bertiuplah angin yang sangat ken-
cang disertai dengan bunyi petir sambung-
menyambung. Awan hitam segera menyelimuti suasa-
na di sekitarnya. Suasana pagi yang cerah berganti
dengan suasana kegelapan yang nyata. Terkesiaplah
Sepasang Walet Merah demi melihat kejadian seperti
itu, dalam kegelapan itu mereka hanya melihat berke-
lebatnya sinar merah yang bersumber dari Golok Bun-
tung yang berada di tangan lawannya. Sementara
cambuk di tangan Buang tidak henti-hentinya melecut, hingga menimbulkan suara
hingar bingar memekak-kan gendang telinga
Pabila terdengar suara mendesis-desis bagai
ular piton yang sedang marah. Maka di situlah Pusaka Golok Buntung menderu. Tapi
Sepasang Walet Merah
mengimbanginya dengan batu di tangannya. Lesatan
sinar merah yang bersumber dari Batu Walet Merah
bubar berantakan dilanda lecutan Cambuk Gelap
Sayuto. Tiada menyia-nyiakan kesempatan Buang
Sengketa dengan Golok di tangannya merangsak maju.
"Craaas! Creeees...!"
"Aghhk...!"
Tubuh Sepasang Walet Merah ambruk ke ta-
nah. Darah menyembur dari luka di bagian pangkal
leher mereka. Hanya sesaat saja mereka berkelojotan, kemudian tewas dalam
keadaan berpelukan.
"Kakang, kau telah membunuhnya?" jerit Dewi Ratih sedih, bagaimana pun mereka
tetap saudara "Dengan sangat terpaksa sekali! Biarlah mereka
terus bercinta sampai di akherat sana...!" kata si pemuda sesaat setelah
kegelapan itu sirna. Pendekar Hi-na Kelana segera mencopoti Batu Walet Merah di
tan- gan Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita, menyerah-
kannya pada Dewi Ratih.
"Kakang aku tak menyalahkanmu! Kalau kita
biarkan mereka hidup, pasti akan jatuh korban lebih
banyak lagi. Marilah kita kubur mereka Kakang..,!"
ucap si gadis tersendat. Lalu tanpa basa basi lagi mereka mengubur mayat
Sepasang Walet Merah. Tak be-
gitu lama pekerjaannya pun selesai
"Kakang aku akan menutup pintu gua itu...!"
kata Ratih sembari berjalan menuju ke arah gua. Na-
mun begitu gadis ini kembali untuk menjumpai Pen-
dekar Hina Kelana, pemuda tampan itu telah lenyap
dari tempatnya semula. Berdebar dada Ratih. Dia me-
rasakan, sesuatu telah terenggutkan dari hidupnya.
Tidak sesedih di tinggalkan oleh saudaranya. Tapi dia lebih sedih justru karena
pemuda yang secara diam-diam dicintainya itu telah pergi meninggalkan dirinya
tanpa pesan apa pun.
"Kakang Kelana! Tidak tahukah kau kalau se-
lama ini aku sangat mencintaimu!" desah gadis itu di sela-sela isak tangisnya.
Lalu gadis berwajah ayu itu pun berlari mengejar ke arah lenyapnya Pendekar Hina
Kelana. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Laron Pengisap Darah 8 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pedang Sinar Emas 7
^