Tuntutan Gagak Ireng 2
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng Bagian 2
menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi bukan itu yang membuat Rapasak jadi gun-
dah. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti adalah
seorang raja di Karang Setra. Sedangkan Kadipa-
ten Wadas Lintang ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra.
Rapasak jadi terdiam. Disadari kalau kedudu-
kan kakak angkatnya jadi terancam. Dan itu bisa membahayakan bila para pendekar
Bukit Gantang meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti. Rapa-
sak memandang Gagak Ireng dengan berbagai ma-
cam perasaan berkecamuk dalam dadanya.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita mulai seka-
rang?" ujar Rapasak bernada memberi saran.
"Tidak sekarang, Rapasak. Waktunya belum te-
pat. Tunggulah barang satu atau dua hari lagi,"
sahut Gagak Ireng.
"Aku hanya khawatir, Adipati Bayaga sudah
mengetahui rencana kita, Kakang."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau te-
nang saja, Rapasak. Sudah kukirim beberapa
orang untuk menyelidiki keadaan di Bukit Gan-
tang. Kita pasti akan mengetahuinya besok."
"Aku percaya pada rencanamu, Kakang."
"Sudah malam. Sebaiknya tidur saja."
"Baik, Kakang."
Rapasak bergegas meninggalkan kakak angkat-
nya ini, setelah menjura memberi hormat. Se-
dangkan Gagak Ireng masih tetap berada di sana, walaupun Rapasak sudah tenggelam
di balik pintu. Laki-laki itu masih berdiri mematung di depan jendela,
memandangi rembulan yang malam itu
bersinar penuh. Cahayanya tampak redup terseli-
mut awan tebal dan menghitam.
"Hm.... Sebaiknya aku memang harus bertin-
dak cepat sebelum para pendekar Bukit Gantang
mendahului. Aku yakin, Adipati Bayaga lebih per-
caya pada pendekar-pendekar Bukit Gantang da-
ripada aku. Terlebih lagi, kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai turun tangan.
Hm.... Ini tidak boleh terjadi...!" gumam Gagak Ireng berbicara sendiri.
"Akan kubuat kadipaten ini jadi neraka. Hhh...!"
***** 5 Tak ada seorang pun yang menyangka, kalau
peristiwa sebulan lalu bakal terulang kembali. Keresahan kembali melanda
Kadipaten Wadas Lin-
tang. Sudah tiga hari ini seseorang yang mengaku berjuluk Jago Bukit Gantang
telah muncul, dan
membuat keresahan. Bukan hanya harta yang di-
gasak, tapi juga nyawa pemilik harta itu ikut melayang. Sudah lebih dari sepuluh
rumah yang di- masuki, dan sudah dua belas orang yang tewas.
Keramaian yang biasanya terjadi di Kadipaten
Wadas Lintang, mendadak saja tenggelam oleh
munculnya Jago Bukit Gantang yang menjarah
rumah-rumah penduduk kadipaten itu. Bukan
hanya malam. Bahkan di tengah hari bolong pun
orang itu berani muncul. Kemunculan orang yang
menjuluki dirinya sebagai Jago Bukit Gantang itu sampai juga ke telinga Adipati
Bayaga. Sudah tentu Adipati Wadas Lintang itu memanggil Gagak
Ireng yang menjadi tangan kanannya di kadipaten ini. "Kau harus bisa
menghentikan kerusuhan ini secepatnya, Gagak Ireng," tegas Adipati Bayaga.
"Maaf, Gusti Adipati. Rasanya sulit menghenti-
kan kalau tidak langsung ke akarnya," sahut Ga-
gak Ireng seraya memberi hormat dengan mera-
patkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Maksudmu...?" tanya Adipati Bayaga.
"Kejadian ini sudah jelas ada hubungannya
dengan Birawa. Mereka sama-sama dari Bukit
Gantang. Aku rasa ini bukan hanya sekadar pe-
rampokan dan pembunuhan penduduk saja. Tapi
ada maksud tersembunyi di balik semua kejadian
ini, Gusti Adipati," Gagak Ireng menjabarkan pe-mikirannya.
"Maksudmu, mereka merencanakan pemberon-
takan?" "Bisa dikatakan begitu, Gusti Adipati," sahut
Gagak Ireng tegas.
"Hm...," gumam Adipati Bayaga perlahan. Sedi-
kit pun tidak ada pikiran sampai ke sana di kepala adipati itu. Dan sama sekali
tidak disangka kalau orang-orang dari Bukit Gantang punya maksud
memberontak. Padahal selama ini, orang-orang
Bukit Gantang memiliki hubungan baik dengan
Kadipaten Wadas Lintang. Bahkan tidak sedikit
mereka mencurahkan sumbangan tenaga dan pi-
kiran untuk kemajuan kadipaten ini. Belum lagi, mereka dikenal banyak melahirkan
jago tangguh. Dan tidak sedikit yang menjadi punggawa kera-
jaan. Rasanya sulit diterima kalau mereka punya rencana memberontak.
Tapi kelihatannya, kenyataan yang ada tak da-
pat dipungkiri lagi. Pertama Birawa melakukan kerusuhan. Dia merampok dan
membunuh siapa sa-
ja yang mencoba menentangnya. Tidak sedikit
nyawa terbuang hanya untuk meringkus pemuda
itu. Dan semua itu baru bisa dihentikan berkat
tindakan Gagak Ireng. Namun sekarang muncul
lagi orang yang seperti Birawa. Bahkan sama-
sama berasal dari Bukit Gantang. Baru tiga hari saja, sudah dua belas orang yang
tewas. "Aku akan mengirim utusan ke sana. Kalau
perlu, Ki Gandapara akan kupanggil. Kalau me-
mang orang-orang Bukit Gantang yang melakukan
semua ini, dia harus bertanggung jawab," tegas
Adipati Bayaga.
"Aku tidak yakin Ki Gandapara ada di Bukit
Gantang, Gusti Adipati. Kabar terakhir yang ku-
dengar, dia sedang mengembara," sergah Gagak
Ireng. "Mengembara..." Untuk apa mengembara?"
tanya Adipati Bayaga seperti untuk diri sendiri.
"Tidak ada yang tahu pasti, Gusti Adipati. Dan
kabarnya pula, dia mengembara sudah beberapa
tahun ini. Bahkan sudah menjalin hubungan per-
sahabatan dengan para pembesar Karang Setra,"
lagi-lagi Gagak Ireng memberitahu.
"Heh..."! Kenapa sampai meluas ke sana...?"
Adipati Bayaga terkejut bukan main mendengar
laporan yang tidak pernah disangka-sangka itu.
"Kalau sampai para pembesar Kerajaan Karang
Setra turun tangan, aku yakin kedudukan Gusti
Adipati akan terancam. Mereka pasti lebih percaya orang-orang Bukit Gantang.
Memang tidak sedikit orang kelahiran sana yang menjadi punggawa.
Bahkan ada pula yang sudah berpangkat panglima
atau pembesar tinggi istana," lanjut Gagak Ireng.
"Kenapa bisa jadi begini..." Apa ada suatu kesalahan yang kuperbuat...?" Adipati
Bayaga jadi kelabakan sendiri.
Benar-benar tidak disangka kalau peristiwa
yang semula dianggap kerusuhan biasa saja, ter-
nyata sudah meluas sampai ke kerajaan. Adipati
Bayaga benar-benar tidak mengerti dengan semua
ini. Sungguh tidak disangka kalau orang-orang
Bukit Gantang punya maksud buruk padanya.
"Apa yang harus kuperbuat, Gagak Ireng?"
tanya Adipati Bayaga.
"Sebaiknya Gusti Adipati sudah mulai memper-
kuat diri. Cepat atau lambat, mereka pasti akan menggulingkan Gusti Adipati.
Kelihatannya mereka sudah mulai bergerak dengan mengacau kea-
daan dan membuat kerusuhan di mana-mana. Je-
las maksudnya adalah untuk melemahkan perta-
hanan kadipaten ini," jelas Gagak Ireng.
"Apakah itu nanti tidak dianggap sebagai per-
siapan pemberontakan pada Karang Setra?"
"Aku yakin tidak, Gusti. Asalkan Gusti Adipati
sendiri bisa mengambil hati para pembesar kera-
jaan. Terutama pada Raja Karang Setra sendiri.
Gusti Adipati pasti bisa memberi penjelasan, sehingga mereka tidak akan
menyangka demikian.
Bahkan mungkin akan membantu menumpas
orang-orang Bukit Gantang yang sudah jelas-jelas hendak memberontak."
Adipati Bayaga terdiam. Rasanya memang tidak
mudah melaksanakan semua yang dikatakan Ga-
gak Ireng barusan. Terlebih lagi dia tahu kalau Ra-ja Karang Setra adalah
seorang pendekar digdaya yang gemar mengembara. Sekarang ini pun tak
ada yang tahu, di mana Raja Karang Setra itu berada. Hanya kedua adik tirinya
saja yang mungkin mengetahuinya. Tapi, apakah dia bisa mendekati
adik tiri Raja Karang Setra itu..."
Kebimbangan jelas sekali terpancar di wajah
Adipati Bayaga. Sudah bisa dibayangkan kalau kejadian ini bisa berakibat buruk
bagi dirinya. Bahkan bagi semua orang di Kadipaten Wadas Lintang ini. Kehancuran
Kadipaten Wadas Lintang sudah
membayang di matanya. Dan adipati itu tidak in-
gin kadipaten yang dibangunnya dengan susah
payah, bakal hancur-lebur digempur para prajurit Karang Setra dan jago-jago
Bukit Gantang. *** Malam itu Adipati Bayaga benar-benar tidak bi-
sa memicingkan matanya sekejap pun. Semua
yang dikatakan Gagak Ireng beberapa hari lalu terus terngiang di telinganya.
Adipati itu benar-
benar tidak ingin semuanya berakhir seperti yang dikatakan Gagak Ireng.
Sedangkan kerusuhan
yang terjadi di wilayah Kadipaten Wadas Lintang semakin menjadi-jadi saja.
Bahkan sudah empat
orang pembesar kadipaten beserta keluarganya telah terbunuh di rumah masing-
masing. Berbagai macam desakan datang padanya. Se-
dangkan Gagak Ireng yang diharapkan bisa me-
numpas perusuh-perusuh itu dengan cepat, sam-
pai sekarang ini belum juga menampakkan hasil-
nya. Dan Adipati Bayaga masih belum bisa memu-
tuskan untuk menyerang Bukit Gantang yang di-
katakan sebagai biang pembuat keonaran ini. En-
tah kenapa, dia masih belum yakin kalau para perusuh itu dari Bukit Gantang.
Di saat Adipati Bayaga tengah mondar-mandir
dalam kamarnya, tiba-tiba saja terasa ada hembusan angin dingin yang begitu
kencang menerpa
tubuhnya. Laki-laki setengah baya itu cepat me-
lompat ke pintu. Tapi sebelum sampai pintu, tahu-tahu sudah berdiri seorang
pemuda berbaju putih tanpa lengan membelakangi pintu kamar itu.
"Heh..."!"
Adipati Bayaga terkejut setengah mati. Kedua
matanya terbeliak lebar. Bahkan mulutnya tern-
ganga, seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang ada di depannya saat ini.
"Gus..., Gusti Prabu...," desis Adipati Bayaga
tergagap, seakan-akan tercekik tenggorokannya.
Cepat adipati itu menjatuhkan diri berlutut dan merapatkan kedua telapak tangan
di depan hidung. Kini baru disadari kalau pemuda berbaju
rompi putih yang tahu-tahu muncul di depannya
adalah Rangga, Raja Karang Setra. Dia juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Seluruh tubuh Adipati Bayaga bergetar. Kerin-
gat sebesar-besar butir jagung mengucur keluar
dari seluruh tubuhnya. Kepalanya tak sanggup la-gi diangkat, begitu Rangga
melangkah mendekati.
Seluruh tubuh Adipati Bayaga semakin bergetar
saat pundaknya terasa disentuh dengan lembut.
"Bangunlah, Paman Adipati," ujar Rangga lem-
but dan berwibawa.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Adipati
Bayaga masih tetap berlutut di lantai.
Rangga sedikit menekuk lututnya, lalu mem-
bangunkan Adipati Bayaga. Perlahan Adipati
Bayaga bangkit berdiri, tapi kepalanya tetap tertunduk. Seakan-akan, dia tidak
sanggup memba- las pandangan mata Rangga.
"Maaf. Mungkin kedatanganku membuatmu
terkejut," kata Rangga lagi. Suaranya masih tetap terdengar lembut dan
berwibawa. Adipati Bayaga hanya diam saja. Entah kenapa
lidahnya terasa begitu kelu, sukar diajak berkata-kata lagi. Sedangkan Rangga
sudah duduk di kur-
si dekat jendela. Dan Adipati Bayaga masih tetap berdiri dengan kepala tertunduk
menekuri lantai di ujung jari kakinya.
"Kedatanganku sengaja seperti ini. Aku hanya
ingin meminta keterangan darimu, Paman Adipa-
ti," kata Rangga lagi.
"Keterangan apa yang Gusti Prabu perlukan?"
tanya Adipati Bayaga penuh hormat.
"Keadaan di kadipaten ini. Kudengar di sini se-
dang terjadi kerusuhan. Benar begitu...?" tegas sekali pertanyaan Rangga.
"Benar, Gusti," sahut Adipati Bayaga.
"Kau bisa menanggulanginya?"
"Sudah, Gusti. Hamba sudah berusaha. Tapi
beberapa hari ini, muncul lagi kerusuhan yang
sama. Hamba sudah kerahkan para prajurit kadi-
paten, tapi para perusuh itu lebih kuat daripada para prajurit."
"Bukankah kau memiliki pasukan khusus?"
"Oh..."!" Adipati Bayaga terkejut mendengar
pertanyaan itu.
Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Raja-
wali Sakti ini sudah mengetahui tentang pasukan khususnya yang baru dibentuk
kurang dari dua
bulan ini. "Sebuah kadipaten mempunyai pasukan khu-
sus. Suatu kemajuan yang sangat besar, Paman.
Dan tentunya, pasukan khusus itu terdiri dari
orang-orang berkepandaian tinggi. Hm.... Bagai-
mana kau bisa membentuknya, Paman" Dan un-
tuk apa memiliki pasukan khusus segala" Bukan-
kah kau tahu, kalau membentuk suatu pasukan
khusus harus ada izin panglima tertinggi kera-
jaan...?"
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati Bayaga benar-benar tidak bisa lagi men-
jawab. Dia tahu, tindakannya membentuk pasu-
kan khusus tanpa meminta izin terlebih dahulu
merupakan suatu pelanggaran besar. Dan bukan-
nya tidak mungkin pihak kerajaan akan menu-
duhnya mempunyai maksud memberontak.
"Paman Adipati...."
"Ham.... Hamba, Gusti Prabu," sahut Adipati
Bayaga seraya memberi hormat.
"Kau sadari, apa yang telah kau lakukan sela-
ma ini, Paman?" tanya Rangga, tetap lembut sua-
ranya. Tapi begitu terasa kalau nada suara Pendekar Rajawali Sakti agak ditekan.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Adipati Bayaga
pelan. "Berapa orang kekuatan pasukan khususmu?"
tanya Rangga lagi.
"Lima puluh orang, Gusti Prabu."
"Cukup besar...," gumam Rangga.
Adipati Bayaga diam saja.
"Lalu, siapa yang menjadi panglimanya?"
"Gagak Ireng."
"Salah seorang punggawa kadipaten ini?"
"Bukan."
"Lalu...?"
"Dia seorang pengembara yang berhasil me-
numpas perusuh pertama sebulan yang lalu. Lalu, hamba mengangkatnya menjadi
panglima pasukan
khusus. Dan semua anggotanya adalah orang pili-
hannya sendiri. Tidak ada seorang prajurit atau punggawa yang masuk ke dalam
pasukan itu. Gagak Ireng menginginkan pasukannya terpisah dari prajurit
kadipaten," jelas Adipati Bayaga gamblang.
"Jadi, dia seorang yang berjasa...?"
"Benar, Gusti Prabu."
"Lalu, kenapa sekarang tidak bisa menumpas
perusuh yang muncul?"
"Gagak Ireng sudah berusaha, Gusti Prabu. Ta-
pi perusuh itu memiliki kepandaian sangat tinggi.
Sehingga sulit untuk diringkus. Sudah sepuluh
prajurit yang tewas," jawab Adipati Bayaga.
"Kau tidak meminta bantuan panglima kera-
jaan?" "Gagak Ireng sudah menyanggupi untuk me-
numpas perusuh itu, Gusti Prabu. Dan katanya
lagi, belum waktunya melibatkan pihak kerajaan
dalam persoalan ini," sahut Adipati Bayaga lagi.
"Hebat... Pasti dia seorang yang berkepandaian
tinggi," puji Rangga.
Adipati Bayaga kembali terdiam membisu. Se-
mentara Rangga sudah bangkit dari duduknya.
Kemudian dia melangkah menghampiri laki-laki
yang masih berdiri dengan kepala tertunduk itu.
Rangga berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Beberapa
saat mereka masih
terdiam. "Paman..."
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Adipati Bayaga
seraya memberi hormat.
"Kau tahu siapa Gagak Ireng" Dan dari mana
asalnya?" tanya Rangga. Kali ini suaranya terdengar begitu dalam.
"Hamba tidak tahu pasti, Gusti. Yang hamba
tahu, dia hanya seorang pengembara yang datang
ke sini bersama adiknya," sahut Adipati Bayaga.
"Hebat sekali.... Mengangkat orang yang tidak
dikenal untuk menduduki jabatan penting," terasa agak sinis nada suara Rangga
kali ini. Adipati Bayaga semakin dalam tertunduk.
"Hamba mengaku salah, Gusti Prabu. Hamba
siap menerima hukuman," kata Adipati Bayaga
perlahan. "Masalah hukuman itu mudah, Paman. Yang
penting sekarang, harus kau sadari kalau tinda-
kanmu selama ini sudah keliru. Aku ingin kau bi-sa mengetahui tentang Gagak
Ireng itu sebenar-
nya. Dari mana dia berasal. Dan apa tujuannya
datang ke kadipaten ini. Hal kecil seperti itu sudah kau abaikan, Paman. Dan
kalau kau tetap menga-baikannya, hal kecil seperti itu bisa menjadi senjata
makan tuan bagi dirimu sendiri," ujar Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Sekarang, aku pergi dulu. Dan besok malam,
kau harus sudah bisa mengetahui tentang pangli-
ma khususmu itu. Aku akan datang lagi besok."
Setelah berkata demikian, Rangga cepat mele-
sat keluar dari kamar ini melalui jendela yang terbuka. Sehingga Adipati Bayaga
hanya bisa terlongong bengong seperti mimpi. Begitu sempurnanya
lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap
tertelan gelapnya malam.
*** "Dari mana malam-malam begini, Kakang?"
"Oh..."!"
Rangga agak terkejut juga ketika mendengar te-
guran, begitu kakinya baru saja melangkah masuk ke dalam kamar penginapannya.
Sungguh tidak disangka kalau di kamar penginapan ini Pandan
Wangi sudah menunggu. Gadis itu berdiri bersan-
dar di samping jendela yang setengah terbuka.
Rangga melangkah masuk dan menutup pintu
kamar itu kembali.
Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah dan
berdiri di depan jendela. Tangannya bergerak
membuka jendela itu lebih lebar, sehingga angin malam yang dingin langsung
menerpa kulit dadanya yang bidang terbuka. Sementara itu, Pan-
dan Wangi hanya memperhatikan saja, tidak ber-
gerak sedikit pun dari tempatnya.
"Aku menemui Adipati Bayaga," jelas Rangga.
"Malam-malam begini...?"
"Aku tidak ingin ada orang lain tahu tentang
keberadaanku di Kadipaten Wadas Lintang ini,"
Rangga beralasan.
"Lalu, apa yang kau peroleh?"
"Dia tidak tahu asal-usul Gagak Ireng."
"Aneh.... Tidak tahu asal-usulnya, tapi bisa diangkat menduduki jabatan
penting," gumam Pan-
dan Wangi seperti bicara pada diri sendiri.
"Adipati Bayaga menganggap Gagak Ireng telah
berjasa menumpas perusuh."
"Goblok! Apa dia tidak tahu kalau itu hanya
siasat licik Gagak Ireng...!" Pandan Wangi jadi sengit.
"Kurasa tidak sepenuhnya dia bersalah, Pan-
dan. Gagak Ireng memang tidak dikenal di Kadipaten Wadas Lintang ini, meskipun
di kalangan persilatan dikenal dengan sebutan Penyamun Bukit
Tengkorak."
"Tapi paling tidak, diselidiki dulu asal-usulnya.
Aku rasa dia juga tidak meminta izin dulu untuk membentuk pasukan khusus."
"Memang."
"Nah! Bukankah itu suatu kesalahan besar" Bi-
sa diancam hukuman gantung kalau pihak kera-
jaan sampai tahu."
"Itu yang tidak kuinginkan, Pandan."
"Heh..."! Aku tidak mengerti maksudmu, Ka-
kang" Kenapa sepertinya kau malah membela adi-
pati itu?"
"Aku tidak membelanya. Aku hanya ingat jasa-
jasanya yang begitu besar pada kadipaten ini. Ju-ga pada Karang Setra. Aku akan
menentukan nan-
ti, kalau memang kekeliruannya selama ini dis-
adari." Saat itu terlihat serombongan orang berkuda
melintasi jalan di depan rumah penginapan ini.
Ada sekitar sepuluh orang memacu cepat kuda
masing-masing. Rangga dan Pandan Wangi mem-
perhatikan penunggang-penunggang kuda itu. Me-
reka jadi terdiam tidak bicara lagi.
"Kakang! Perhatikanlah orang yang berkuda
paling depan," ujar Pandan Wangi.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Ciri-cirinya sama persis seperti yang dikatakan
Balung Samodra. Dia pasti Rapasak, adik angkat
Gagak Ireng," tunjuk Pandan Wangi lagi.
Sementara para penunggang kuda itu sudah
jauh. Mereka bergerak cepat menuju ke arah uta-
ra. Rangga dan Pandan Wangi terus memperhati-
kan tanpa berkedip. Kening mereka jadi berkerut begitu melihat para penunggang
kuda itu berbelok ke kanan.
"Mereka menuju Bukit Gantang, Kakang," ujar
Pandan Wangi agak mendesis.
"Hup...!"
Tanpa berkata apa pun lagi, Pendekar Rajawali
Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan
bagaikan kilat. Pandan Wangi tidak mau ketinggalan. Secepat pedangnya yang
berada di atas meja disambar, secepat itu pula dia melompat keluar
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja mereka sudah begitu jauh
meninggalkan rumah
penginapan itu, dan menghilang ditelan kegelapan malam.
***** 6 Sementara itu sepuluh orang yang telah dilihat
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi terus
memacu cepat kudanya. Mereka memang anak
buah Gagak Ireng yang dikenal berjuluk Penya-
mun Bukit Tengkorak. Seperti yang diduga Pan-
dan Wangi, di antara mereka memang terdapat
Rapasak, adik angkat Gagak Ireng. Dan dari arah yang dituju, jelas kalau mereka
hendak ke Bukit Gantang.
Tapi tiba-tiba saja Rapasak menarik tali kekang
kudanya, sehingga kuda putih yang ditunggan-
ginya berhenti seketika seraya meringkik keras.
Sembilan orang yang berkuda di belakangnya,
kontan menghentikan lari kudanya. Tampak tidak
jauh di depan mereka berdiri seorang pemuda
berbaju rompi putih, didampingi seorang gadis
cantik mengenakan baju warna biru ketat.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Rapasak
langsung mengenali penghadangnya. Meskipun
Rapasak belum pernah bertemu, tapi dari ciri-
cirinya, dia sudah bisa mengetahui kalau penghadangnya adalah Pendekar Rajawali
Sakti. Rapasak segera memerintahkan orang-
orangnya turun dari punggung kuda. Tanpa dipe-
rintah dua kali, sembilan orang yang berada di belakang pemuda itu segera
berlompatan turun, dan langsung berdiri berjajar di depan Rapasak yang masih
duduk di punggung kudanya. Sembilan
orang itu menyandang golok yang terselip di pinggang.
"Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Kisa-
nak," kata Rapasak, agak dingin nada suaranya.
"Aku rasa kalian sendiri yang sudah membuat
kesulitan," balas Rangga tidak kalah dingin.
"Hm...," Rapasak berkerut keningnya.
"Apakah kalian akan ke Bukit Gantang?" tebak
Rangga, langsung.
"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sak-
ti!" bentak Rapasak lantang.
"Adanya kalian di Kadipaten Wadas Lintang ini,
sudah merupakan urusanku," tetap dingin suara
Rangga. "Setan...!" desis Rapasak langsung geram.
Tapi pemuda itu belum juga memerintahkan
anak buahnya bergerak. Dia jadi teringat kata-
kata Gagak Ireng. Ternyata kekhawatiran Gagak
Ireng beralasan sekali, dan sekarang menjadi kenyataan. Pendekar Rajawali Sakti
sudah muncul begitu cepat. Dan tampaknya, pemuda berbaju
rompi putih itu sudah mengetahui semua yang
terjadi di Kadipaten Wadas Lintang ini.
"Kuperingatkan pada kalian semua, tinggalkan
kadipaten ini! Dan jangan coba-coba bermimpi untuk menguasainya," tegas Rangga,
bernada men- gancam. "Keparat...! Kau tidak bisa menggertak kami
begitu saja!" geram Rapasak jadi gusar.
"Aku hanya memperingatkan kalian saja. Tapi
jika tetap membandel, kalian harus berhadapan
dengan jago-jago dari Karang Setra!" gertak Rang-ga lagi. "Terutama untuk si
Penyamun Bukit Tengkorak...! Katakan padanya! Kalau tetap bera-da di kadipaten ini sampai
besok, dia akan berhadapan denganku!"
"Setan...! Serang dia...!" seru Rapasak mengge-
ram marah mendengar gertakan Pendekar Rajawa-
li Sakti. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sembilan orang itu langsung berlompatan sam-
bil mencabut golok. Mereka meluruk menyerang
Rangga dan Pandan Wangi. Tak ada lagi kesempa-
tan bagi Rangga untuk mencegah. Sembilan orang
itu sudah cepat menyerangnya. Lima orang me-
nyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan empat orang mengeroyok Pandan Wangi. Begitu
gencarnya serangan-serangan yang dilancarkan, sehingga
membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra
itu harus berjumpalitan menghindari golok-golok yang berkelebatan di sekitar
tubuh. "Hiyaaat...!"
Bet! Tring! Cepat sekali Pandan Wangi mencabut kipasnya,
dan langsung dikebutkan untuk menangkis golok
yang hampir saja membelah dadanya. Golok itu
seketika jadi patah menjadi dua bagian tersabet kipas baja putih yang terkenal
maut itu. Dan sebelum pemilik golok itu sempat menyadari, Pandan
Wangi sudah mengirimkan satu tendangan keras
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hampir mencapai kesempurnaan.
"Yeaaah...!"
Des! "Aaakh...!"
Jeritan keras melengking tinggi terdengar, dis-
usul terpentalnya satu orang yang mengeroyok si Kipas Maut itu. Sementara itu
Rangga juga sudah menjatuhkan dua orang lawannya. Sedangkan,
Pandan Wangi kembali melancarkan serangan
dengan kipas baja putihnya.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi ter-
dengar saling sambut. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pandan Wangi dan Rangga
begitu cepat se-
kali. Sehingga, orang yang mengeroyoknya tidak
bisa lagi membendung. Mereka berpentalan terke-
na pukulan dan tendangan keras dua pendekar
muda itu. Mereka memang bukanlah tandingan
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Se-
hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak ada lagi yang sanggup
berdiri. Sembilan orang itu bergelimpangan di tanah
sambil merintih dan menggeliat kesakitan. Sementara Pandan Wangi sudah
menghampiri Rangga
yang berdiri tegak dengan tenangnya. Pandan
Wangi membuka kipas mautnya di depan dada.
Mereka sama-sama memandang tajam pada Rapa-
sak yang masih berada di atas punggung kudanya.
Adik angkat Penyamun Bukit Tengkorak itu tam-
pak terlongong melihat sembilan pengikutnya ro-
boh dalam waktu singkat saja.
"Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus
Rangga dingin menggetarkan.
Rapasak hanya menatap geram. Sementara
sembilan orang anak buahnya sudah bisa berdiri.
Tapi mereka tidak memiliki senjata lagi. Semua golok mereka berpatahan,
berserakan di tanah.
Sembilan orang itu bergegas naik ke punggung
kuda, begitu Rapasak memutar kudanya berbalik.
"Katakan pada Gagak Ireng, jika tidak segera
angkat kaki dari sini, harus berhadapan dengan-
ku!" ujar Rangga lantang.
"Setan...! Hiyaaa...!"
Rapasak hanya bisa merutuk saja, lalu cepat
menggebah kudanya. Sembilan orang pengikutnya
juga memacu kudanya dengan cepat, kembali ke
Kota Kadipaten Wadas Lintang. Sementara Rangga
dan Pandan Wangi hanya memandang sampai me-
reka jauh, dan hilang di tikungan jalan.
"Apa maksud mereka ke Bukit Gantang, Ka-
kang?" tanya Pandan Wangi seperti untuk diri
sendiri. "Mudah-mudahan saja mereka tidak berniat
membumihanguskan Desa Gantang," desah Rang-
ga perlahan. "Apa tidak sebaiknya kita mendahului mereka,
Kakang?" usul Pandan Wangi.
"Tunggu saja dulu perkembangannya, Pandan.
Aku ingin tahu sikap Gagak Ireng dulu," sahut
Rangga. Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya sa-
ja. Mereka kemudian melangkah ringan mening-
galkan tempat itu. Sementara, malam terus me-
rayap semakin larut. Kedua pendekar muda itu te-
rus melangkah ringan tanpa berbicara lagi.
*** Gagak Ireng terdiam begitu menerima laporan
Rapasak, kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah
ada di Kadipaten Wadas Lintang ini bersama si Kipas Maut. Terlebih lagi,
Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Apa yang
selama ini dikhawatirkan, menjadi kenyataan juga.
"Apa tindakan kita selanjutnya, Kakang?" tanya
Rapasak memecah keheningan yang terjadi di an-
tara mereka. Gagak Ireng tidak langsung menjawab, tapi ma-
lah bangkit berdiri dan melangkah perlahan-lahan keluar beranda rumahnya yang
besar dan megah
ini. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk di
kursinya. Dipandanginya kakak angkatnya itu
dengan berbagai macam perasaan. Kehadiran
Pendekar Rajawali Sakti memang bisa menimbul-
kan kesulitan besar bagi mereka.
"Laksanakan saja tugasmu, Rapasak. Biar Pen-
dekar Rajawali Sakti aku yang tangani," tegas Gagak Ireng.
"Baik, Kakang," sahut Rapasak.
"Ada utusan Adipati Bayaga datang. Temuilah
dulu, Rapasak," kata Gagak Ireng lagi.
"Utusan..." Mau apa...?" Rapasak seperti ber-
tanya pada diri sendiri.
"Sebaiknya temui saja, dan tanyakan keper-
luannya," perintah Gagak Ireng.
"Baik, Kakang."
Rapasak bergegas bangkit dan melangkah
menghampiri utusan kadipaten yang mengenakan
seragam berpangkat punggawa. Ada dua orang
utusan. Sedangkan Gagak Ireng hanya memperha-
tikan saja. Rapasak berbicara sebentar dengan kedua utusan berpangkat punggawa
itu, kemudian bergegas kembali menemui Gagak Ireng setelah
kedua utusan itu pergi.
"Berita apa yang dibawa kedua punggawa itu?"
tanya Gagak Ireng langsung, begitu Rapasak ada
di depannya. "Adipati Bayaga meminta Kakang segera meng-
hadap," jawab Rapasak.
"Hm.... Ada apa dia memanggilku...?" gumam
Gagak Ireng bertanya sendiri.
"Mereka tidak mengatakannya. Kakang hanya
diminta segera menghadap," jelas Rapasak lagi.
"Aku sendiri?"
"Iya."
"Baiklah. Siapkan kudaku, Rapasak."
"Baik, Kakang."
Rapasak bergegas meninggalkan kakak angkat-
nya. Sementara Gagak Ireng masih tetap berdiri di beranda depan rumahnya.
Keningnya jadi berkerut. Dia menduga-duga, apa yang akan dibicara-
kan Adipati Bayaga, sehingga memanggilnya seca-
ra mendadak begini. Sementara itu Rapasak su-
dah datang lagi sambil menuntun seekor kuda
yang tinggi dan tegap berwarna coklat tua.
Gagak Ireng segera menghampiri, lalu melom-
pat naik ke punggung kuda. Gerakannya indah
dan ringan sekali. Sebentar dia tercenung, kemudian menatap Rapasak yang masih
berdiri di sam-
pingnya. "Sebaiknya kau jangan ke mana-mana dulu.
Tunggu sampai aku kembali," pesan Gagak Ireng.
"Baik, Kakang," sahut Rapasak seraya men-
gangguk. "Hiya...!"
Gagak Ireng menggebah kudanya meninggalkan
rumah kediamannya ini. Sementara Rapasak
hanya memperhatikan saja sampai kakak angkat-
nya lenyap dari pandangan. Gagak Ireng berbelok ke kanan begitu melewati pintu
gerbang rumahnya. Tapi mendadak saja laju kudanya dihentikan begitu dilihatnya
dua orang punggawa utusan
Adipati Bayaga berada di tengah jalan seperti
menghadang. Perlahan Gagak Ireng mendepak ku-
danya hingga berjalan perlahan menghampiri ke-
dua punggawa itu.
"Kenapa kalian masih di sini?" tegur Gagak
Ireng. "Kami diperintahkan untuk bersama-sama den-
ganmu, Gusti Gagak Ireng," sahut salah seorang
punggawa itu dengan sikap hormat.
"Kalian berangkatlah lebih dahulu!" perintah
Gagak Ireng. "Maaf, Gusti. Kami hanya menjalankan perin-
tah Gusti Adipati."
Gagak Ireng memandangi dua orang punggawa
itu, sehingga kelopak matanya agak menyipit. Dia merasa ada suatu keanehan dari
sikap kedua punggawa itu. Lagi pula, tidak biasanya Adipati Bayaga memanggil dengan mengutus
dua orang punggawa. Biasanya bila Adipati Bayaga memerlu-
kannya, paling hanya mengutus prajurit renda-
han. Bahkan tidak pernah ditunggui seperti ini.
"Mari, Gusti Gagak Ireng. Gusti Adipati Bayaga
sudah menunggu di kadipaten," ajak punggawa itu lagi, masih bersikap hormat.
"Kalian tahu, kenapa Adipati Bayaga meminta-
ku segera menghadap?" tanya Gagak Ireng.
"Kami tidak tahu, Gusti. Kami hanya diperin-
tahkan menjemputmu. Hanya itu saja perintah da-
ri Gusti Adipati. Dan kami harus datang bersama-sama," jelas punggawa itu.
"Kalau begitu, kuperintahkan kalian untuk
kembali lebih dahulu. Katakan pada Adipati Baya-ga. Aku ada urusan dulu, dan
segera mene- muinya," perintah Gagak Ireng tegas.
"Maafkan kami, Gusti. Kami..."
"Laksanakan perintahku!" bentak Gagak Ireng
memutus cepat. "Tapi, Gusti...."
"Kalian ingin membangkang perintahku, ya..."!"
Kedua punggawa itu saling berpandangan, dan
tampak serba salah. Sulit menentukan, perintah
siapa yang harus dituruti. Sedangkan Gagak Ireng memandangi dengan mata memerah
menyorot tajam.
"Tunggu apa lagi..." Cepat pergi!" bentak Gagak Ireng.
"Gusti, kami..."
"Setan...! Kalian ingin mampus, ya..."!" Gagak
Ireng jadi geram melihat kebandelan kedua pung-
gawa yang tidak sudi menuruti perintahnya.
Kedua punggawa itu kembali saling melempar-
kan pandang. "Pembangkang...! Mampus kau! Yeaaah...!" Ga-
gak Ireng tidak bisa lagi menahan kemarahannya.
Bagaikan kilat dia melompat cepat. Langsung di-
berikannya pukulan keras bertenaga dalam tinggi kepada dua orang punggawa itu.
Begitu cepat serangannya, sehingga kedua punggawa itu tidak
sempat lagi menghindar.
Kedua punggawa itu menjerit keras melengking,
begitu kepala mereka terkena pukulan keras ber-
tenaga dalam tinggi yang dilepaskan Gagak Ireng.
Seketika itu juga mereka terpental jatuh dari
punggung kudanya. Sedangkan Gagak Ireng kem-
bali melenting, lalu duduk lagi di punggung ku-
danya. Dia mendengus melihat kedua punggawa
itu sudah tergeletak, tewas seketika. Kepala mereka pecah berlumuran darah.
Jeritan kedua punggawa itu rupanya terdengar
sampai ke dalam rumah kediaman Gagak Ireng.
Tampak Rapasak dan enam orang pengikutnya
berlari-lari menghampiri. Rapasak terkejut melihat dua orang punggawa utusan
adipati sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala hancur ber-
lumuran darah. Sedangkan Gagak Ireng duduk
angkuh di punggung kudanya.
"Kenapa mereka, Kakang?" tanya Rapasak.
"Singkirkan mayat mereka!" perintah Gagak
Ireng tanpa menjawab pertanyaan adik angkatnya.
Enam orang yang berada di belakang Rapasak
bergegas menggotong kedua punggawa itu, dan
membawa masuk ke dalam lingkungan rumah ke-
diaman Gagak Ireng. Sedangkan Rapasak masih
berdiri di depan Gagak Ireng yang tetap duduk di punggung kudanya.
"Kenapa Kakang membunuh mereka?" tanya
Rapasak. "Dengar.... Aku paling tidak suka ada orang
yang membangkang perintahku. Sekarang, kau
minggirlah. Dan jangan ke mana-mana sampai
aku kembali!" tegas Gagak Ireng.
Rapasak tahu kalau darah Gagak Ireng sedang
mendidih. Maka, pemuda itu tidak sudi bernasib
seperti punggawa itu. Bergegas tubuhnya me-
nyingkir ke tepi. Gagak Ireng menatap adik ang-
katnya sebentar, kemudian cepat menggebah ku-
danya. "Kejadian ini pasti akan berbuntut panjang.
Hhh... sebaiknya harus kusiagakan semua orang,"
gumam Rapasak langsung bisa membaca keadaan
yang akan dihadapi atas kejadian ini.
Bergegas pemuda itu kembali ke rumah besar
dikelilingi tembok batu bagai benteng itu. Dua
orang yang menjaga pintu gerbang segera menu-
tup pintu begitu diperintahkan Rapasak.
*** Sementara itu di Balai Pendopo Agung Istana
Kadipaten, Adipati Bayaga tampak gelisah. Laki-
laki setengah baya itu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang berukuran
sangat luas ini.
Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di sekitar Pendopo Agung Istana
Kadipaten. Sedangkan tidak jauh dari Adipati Bayaga, terlihat seorang gadis
berbaju biru muda yang tengah berdiri
memperhatikan. Gadis berwajah cantik yang me-
nyandang pedang bergagang kepala naga di pung-
gung itu adalah Pandan Wangi.
"Sebaiknya Gusti jangan kelihatan gelisah begi-
tu. Dia akan curiga kalau Gusti Adipati tidak bisa tenang," Pandan Wangi
memperingatkan.
"Bagaimana mungkin aku bisa tenang, Nini
Pandan Wangi. Ini menyangkut mati hidupku. Ma-
sa depanku...," sergah Adipati Bayaga.
Pandan Wangi jadi terdiam.
"Aku sudah melakukan kesalahan besar den-
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan memberi jabatan tinggi pada seorang penjahat besar seperti si Penyamun Bukit
Tengkorak itu,"
lanjut Adipati Bayaga.
Pandan Wangi masih terdiam. Memang benar
apa yang baru saja dikatakan Adipati Bayaga. La-ki-laki setengah baya itu telah
melakukan kesalahan besar, sehingga bisa mengancam kelangsun-
gan hidupnya. Bahkan bisa membuat kehancuran
bagi Kadipaten Wadas Lintang ini. Pandan Wangi
memang sudah memberi tahu, siapa sebenarnya
Gagak Ireng itu. Dalam kalangan kaum persilatan, dia dikenal berjuluk Penyamun
Bukit Tengkorak!
"Nini Pandan.... Apa rencana ini akan berhasil
baik?" tanya Adipati Bayaga.
"Mudah-mudahan saja, Gusti Adipati. Kita ber-
harap agar Gusti Prabu bisa membungkam pengi-
kut-pengikut si Penyamun Bukit Tengkorak," sa-
hut Pandan Wangi.
"Aku benar-benar tidak ada gunanya. Tidak
pantas menjadi adipati," keluh Adipati Bayaga.
"Jangan berkata seperti itu, Gusti. Tidak sela-
manya kita selalu benar. Adakalanya kita juga melakukan kesalahan. Apakah itu
besar, atau kecil.
Tidak ada manusia yang sempurna, Gusti," Pan-
dan Wangi menasihati, membesarkan hati Adipati
Wadas Lintang ini.
"Sulit rasanya menjadi orang yang baik dan
sempurna," desah Adipati Bayaga mengeluh lagi.
"Kau sudah melakukan yang terbaik. Gusti
Prabu pasti bisa memakluminya. Aku yakin...," la-gi-lagi Pandan Wangi
membesarkan hati Adipati
Bayaga. "Kau beruntung, Nini Pandan. Kau bisa berada
terus di sampingnya, dan pasti sudah mengenal
betul watak-wataknya," kata Adipati Bayaga lagi.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Memang
tidak mudah bisa selalu bersama-sama seorang
pendekar digdaya yang sangat disegani di kalan-
gan persilatan. Pandan Wangi memang merasa
bersyukur bisa selalu bersama-sama Pendekar Ra-
jawali Sakti. Bahkan selama berada di samping
pendekar muda itu, sudah banyak pelajaran yang
dipetiknya. Dan gadis itu tidak malu-malu lagi
mengungkapkan perasaan hatinya yang menga-
gumi Rangga. Apa saja yang dilakukan Rangga,
seperti tak terlihat ada kesalahan sedikit pun. Baginya, Pendekar Rajawali Sakti
adalah seorang pendekar muda yang sangat sempurna. Tak ada
lagi yang bisa menandinginya dalam segala hal.
"Hm.... Kenapa dia belum muncul juga, Nini
Pandan...?" gumam Adipati Bayaga seperti ber-
tanya pada diri sendiri.
"Kita tunggu saja. Barangkali sebentar lagi,"
sahut Pandan Wangi.
Mereka kembali terdiam. Adipati Bayaga me-
langkah mendekati jendela. Tapi belum juga sam-
pai ke jendela, mendadak saja sebuah benda melesat cepat ke arahnya, masuk dari
jendela yang terbuka lebar itu.
"Awas...!" seru Pandan Wangi memperingatkan.
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat cepat
ke arah Adipati Bayaga yang terlongong terkejut.
Dan sebelum benda hitam itu bisa menghantam
tubuh Adipati Bayaga, Pandan Wangi sudah men-
dorong tubuhnya. Sehingga, adipati itu jatuh terguling ke lantai. Pandan Wangi
sendiri segera melentingkan tubuhnya, menghindari terjangan ben-
da hitam itu. "Hup!"
Manis sekali si Kipat Maut menjejakkan ka-
kinya di lantai yang licin dan berkilat ini. Sekilas benda hitam itu masih
sempat terlihat menghantam dinding, tepat di bawah sebuah lukisan besar yang
menempel di dinding ruangan Balai Pendopo
Agung ini. Dengan dua kali lompatan saja, Pandan Wangi bisa mencapai dinding
itu. Sementara, Adipati Bayaga bergegas bangkit dan menghampiri.
Pandan Wangi mencabut benda hitam yang ter-
nyata adalah sebatang anak panah berukuran ke-
cil. "Gagak Ireng...," desis Pandan Wangi.
"Jadi.... Dia ada di sini, Nini Pandan...?" tanya Adipati Bayaga, langsung
memucat wajahnya.
"Benar. Ini adalah senjata rahasia Gagak Ireng,"
sahut Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah banyak diberi tahu
tentang si Penyamun Bukit Tengkorak oleh para
pendekar Bukit Gantang. Meskipun belum pernah
bertemu orangnya, tapi dari cerita mengenai Ga-
gak Ireng yang didengar, sudah bisa diketahui kalau senjata rahasia ini milik si
penyamun itu. "Kau di sini saja, Gusti Adipati. Hup...!"
Pandan Wangi cepat melesat keluar dari ruan-
gan ini melalui jendela, sebelum Adipati Bayaga bisa membuka suara. Begitu cepat
lesatannya, sehingga dalam sekejapan saja sudah lenyap di luar jendela. Adipati
Bayaga bergegas berlari mendekati jendela itu. Dia masih sempat melihat Pandan
Wangi melenting tinggi ke atas atap.
Tap! Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pandan
Wangi hinggap di atas atap. Gadis itu langsung
mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada yang dapat dilihat dan dicurigai.
Keadaan di sekitar istana kadipaten ini begitu tenang. Bahkan para
prajurit yang berjaga-jaga di sekitar tempat itu masih tetap di tempatnya. Tak
ada yang berubah
sama sekali. Tapi begitu dia berpaling ke arah kiri, mendadak saja....
"Heh..."!"
Slap! ***** 7 Pandan Wangi cepat-cepat melenting ke udara
begitu melihat sebuah benda hitam berbentuk
anak panah kecil meluruk deras ke arahnya. Anak
panah hitam kecil itu lewat sedikit di bawah kaki Pandan Wangi. Dengan gerakan
indah sekali, si
Kipas Maut kembali mendarat di atap. Dan pada
saat itu, sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambarnya.
"Hiyaaa...!"
Pandan Wangi kembali melenting ke udara,
menghindari sambaran bayangan yang berkelebat
cepat. Beberapa kali dia berputar di udara, dan terus meluruk turun ke bawah.
Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, gadis itu menjejakkan kaki di atas tanah berumput tebal. Dan
sebelum bisa menarik napas, kembali terlihat sebuah bayangan
putih meluruk deras ke arahnya dari atas atap.
"Hup! Yeaaah...!"
Pandan Wangi cepat menghentakkan kedua
tangannya ke depan menyambut terjangan lawan.
Tapi bayangan putih itu cepat bisa menghindar.
Tubuhnya diputar beberapa kali dan mendarat
ringan di belakang Pandan Wangi. Tanpa diduga
sama sekali, satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi cepat dilepaskan.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Pandan Wangi masih bisa menghindari pukulan
dari belakang dengan mengegoskan tubuhnya ke
kanan. Cepat tubuhnya diputar dan langsung di-
berikannya satu tendangan secara berputar ke belakang. Orang berbaju serba putih
itu melompat berputar ke belakang, menghindari tendangan
Pandan Wangi. Dua kali tubuhnya berputar ke be-
lakang, lalu manis kakinya mendarat di tanah berumput.
"Hm...," gumam Pandan Wangi perlahan.
Kini di depan si Kipas Maut itu telah berdiri
seorang laki-laki setengah baya. Bajunya ketat
berwarna putih dan bersih. Sebilah pedang ber-
bentuk aneh tampak tergantung di pinggangnya.
Pandan Wangi memperhatikan dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki. Sementara itu, Adipati
Bayaga yang berada di dekat jendela segera me-
lompat ke luar. Langsung dihampirinya Pandan
Wangi. Dia berdiri di samping kanan si Kipas Maut itu. "Gagak Ireng! Kenapa kau
datang dengan cara seperti ini...?" tegur Adipati Bayaga tidak senang.
"Kau yang menginginkannya demikian, Adipati
Bayaga," sahut laki-laki separuh baya yang ternyata memang Gagak Ireng. Nada
suaranya terdengar
begitu sinis. "Apa maksudmu...?"
"Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Adipa-
ti Bayaga," tetap sinis nada suara Gagak Ireng.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Adipati Bayaga
tegas. "Aku rasa, kau sudah tahu tentang diriku, Adi-
pati Bayaga," sahut Gagak Ireng semakin sinis.
Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang be-
rada di samping Adipati Bayaga. Bibirnya kemu-
dian menyunggingkan senyuman sinis. Sedangkan
Pandan Wangi hanya menatap saja dengan sinar
mata tajam, menusuk langsung ke bola mata si
Penyamun Bukit Tengkorak itu.
"Kau pasti si Kipas Maut," desis Gagak Ireng
pada Pandan Wangi.
"Tidak salah," sahut Pandan Wangi disertai se-
nyum tipis tersungging di bibirnya.
Gagak Ireng mendengus kecil. Sikapnya begitu
meremehkan si Kipas Maut itu. Sama sekali dia tidak memandang gadis cantik
berbaju biru yang
bergelar si Kipas Maut ini. Gagak Ireng sudah banyak mendengar tentang Pandan
Wangi. Sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian
gadis itu, walaupun baru kali ini bertemu muka.
Dan dari pertarungan sekejap tadi, Gagak Ireng
sudah bisa membaca tingkat kepandaian Pandan
Wangi. "Gagak Ireng! Apa tujuanmu sebenarnya di Ka-
dipaten Wadas Lintang ini"!" tanya Adipati Bayaga, memecah kebisuan yang terjadi
di antara mereka.
"Aku hanya ingin menuntut sedikit hakku di
sini," sahut Gagak Ireng dingin dan datar sua-
ranya. "Jasaku di kadipaten ini telah banyak, Adipati Bayaga."
"Hak apa...?" tanya Adipati Bayaga lagi.
"Sebagian wilayah kadipaten ini seharusnya
menjadi daerah kekuasaanku. Terutama wilayah
Gantang!" "Tidak ada hakmu di sini, atau di mana saja,
Gagak Ireng."
Tiba-tiba saja terdengar suara berat menggema.
Semua yang ada di tempat itu langsung berpaling ke arah suara yang datang tiba-
tiba itu. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan kuning agak kehitaman dari
atas atap. Tahu-tahu di antara me-
reka sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari enam puluh tahun. Dia
mengenakan baju dari kulit binatang. Mereka tentu saja sudah mengenalnya. Tapi
Gagak Ireng sempat terkejut juga.
Sehingga, mulutnya mendesis tatkala menyebut
nama orang yang tiba-tiba muncul itu.
*** "Ki Gandapara...," desis Gagak Ireng terkejut.
"Seharusnya kau tidak perlu lagi datang ke sini, Gagak Ireng. Tidak ada lagi
tempat untukmu di
Kadipaten Wadas Lintang ini!" terasa begitu dingin nada suara laki-laki berusia
enam puluh tahun le-
bih yang mengenakan baju dari kulit binatang itu.
Dia memang Ki Gandapara, tokoh tertua dari Bu-
kit Gantang. Orang inilah yang dianggap menjadi pelindung para pendekar muda di
Bukit Gantang. "Mampukah kau mengusirku, Gandapara..."!
Bertahun-tahun aku merencanakan semua ini.
Aku berhak untuk tinggal di sini, karena Kadipaten Wadas Lintang ini tempat
kelahiranku. Kau
tahu itu, Gandapara..."!" lantang sekali suara Gagak Ireng.
"Semua orang memang berhak tinggal di sini.
Tapi, tentu saja orang yang baik-baik. Tidak seperti kau, Gagak Ireng...! Di
mana kau berada, selalu saja menimbulkan kekacauan. Kau pikir, aku tak
tahu apa rencanamu"! Semua perbuatanmu kau
tuduhkan pada pendekar-pendekar Bukit Gan-
tang. Sementara, kau enak-enakan dengan kedu-
dukan tinggi di samping Adipati!" lantang sekali suara Ki Gandapara.
"Tutup mulutmu, Gandapara! Tidak semudah
itu kau memutarbalikkan kenyataan...!" bentak
Gagak Ireng. Seketika, wajahnya jadi memerah
mendengar kata-kata Ki Gandapara.
"Tidak ada yang memutarbalikkan kenyataan,
Gagak Ireng. Semua ini kau rencanakan hanya
untuk memenuhi nafsu angkara murkamu saja!"
"Keparat...! Kubunuh kau, Gandapara!" Gagak
Ireng jadi geram setengah mati.
Gagak Ireng sudah memegang gagang pedang
yang masih tergantung di pinggangnya. Sedangkan Ki Gandapara sudah bisa membaca
gelagat tidak baik ini. Wajahnya lalu berpaling pada Pandan
Wangi dan Adipati Bayaga.
"Menjauhlah kalian," pinta Ki Gandapara. Pan-
dan Wangi segera melangkah mundur diikuti Adi-
pati Bayaga. Sementara Ki Gandapara menggeser
kakinya beberapa tindak. Sinar matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola
mata Gagak Ireng.
"Kau memang selalu menjadi penghalangku,
Gandapara. Tidak ubahnya seperti gurumu. Maka
sudah saatnya kau masuk ke liang kubur!" desis
Gagak Ireng, dingin menggeletar.
"Hm...," Ki Gandapara hanya menggumam pe-
lan. "Bersiaplah, Gandapara! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Gagak Ireng melompat mener-
jang sambil mengirimkan satu pukulan menggele-
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hait...!"
Ki Gandapara cepat-cepat mengegoskan tubuh,
menghindari pukulan yang mengarah lurus ke da-
danya. Dan begitu pukulan Gagak Ireng lewat di
samping tubuhnya, cepat sekali Ki Gandapara
mengebutkan tangan kiri, menyodok ke arah lam-
bung. Tapi Gagak Ireng lebih cepat lagi berkelit.
Tubuhnya segera ditarik ke belakang, lalu melenting berputar ke belakang sambil
menghentakkan satu tendangan keras dengan kedua kakinya.
"Uts!"
Hampir saja telapak kaki Gagak Ireng mampir
di muka Ki Gandapara. Untung saja laki-laki itu segera menarik kepalanya ke
belakang. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah
melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat pukulannya sehingga Ki Gandapa-
ra tidak sempat lagi menghindar. Pukulan yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu
mendarat telak di dada Ki Gandapara yang terbu-
ka lebar. Desss! "Akh...!" Ki Gandapara terpekik agak tertahan.
Tubuh laki-laki tua itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil mendekap dadanya yang seketika
itu juga jadi terasa amat sesak. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya,
cepat-cepat dila-
kukannya beberapa gerakan. Dengan gerakan ini,
rasa sesak yang timbul di dadanya akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam
tinggi tadi dapat terusir.
"He he he.... Itu baru permulaan, Gandapara,"
ujar Gagak Ireng seraya terkekeh mengejek.
Sementara itu Pandan Wangi yang melihat Ki
Gandapara terkena pukulan dalam beberapa jurus
saja, sudah akan melompat membantu. Tapi sebe-
lum bertindak, Adipati Bayaga sudah lebih dahulu mencegah. Sementara, Ki
Gandapara tampaknya
sudah bisa menguasai diri kembali, dan sudah
siap melakukan pertarungan. Kedua tangannya
berada agak melintang di depan dada. Perlahan
kakinya bergerak menggeser, menyusur tanah ke
arah kanan. Sedangkan tatapan matanya begitu
tajam tak berkedip sedikit pun.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
*** Secara bersamaan, kedua laki-laki itu melom-
pat sambil mengebutkan kedua tangannya ke de-
pan. Dan pada satu titik tengah di udara, dua pasang telapak tangan yang
mengandung tenaga da-
lam tinggi itu beradu keras di udara. Begitu ke-rasnya, sehingga menimbulkan
ledakan dahsyat
menggelegar. Tampak mereka sama-sama terpental ke bela-
kang tapi juga mereka menguasai keseimbangan
tubuhnya, kemudian kembali saling menerjang.
Masing-masing menggunakan jurus yang cepat
dan dahsyat luar biasa. Pertarungan langsung terjadi begitu cepat, membuat
tubuh-tubuh mereka
seperti lenyap.
Suara ledakan keras dan pekik pertarungan
berbaur menjadi satu. Suara pertarungan itu
membuat prajurit-prajurit kadipaten jadi memada-ti sekitar pertarungan. Dan
kehadiran para prajurit itu rupanya tidak mempengaruhi jalannya pertarungan yang
semakin kelihatan dahsyat. Entah
sudah berapa jurus berlangsung. Tapi tampaknya
pertarungan itu masih akan terus berlangsung.
Mereka memang tokoh tua yang berkepandaian
tinggi. Sehingga, gerakan-gerakannya sulit diikuti pandangan mata biasa.
Sementara itu, para prajurit kadipaten semakin
banyak yang datang memenuhi tempat itu. Mereka
semua sudah menghunus senjata masing-masing,
meskipun belum ada perintah dari Adipati Bayaga yang masih terpana menyaksikan
indahnya pertarungan dua tokoh tua digdaya itu.
"Awas kepala...!" seru Gagak Ireng tiba-tiba.
Teriakan Gagak Ireng yang begitu keras meng-
gelegar membuat Ki Gandapara jadi terkejut se-
tengah mati. Terlebih lagi, teriakan itu disusul sa-tu kebutan tangan ke arah
kepala yang begitu cepat.
"Uts!"
Untung saja Ki Gandapara cepat-cepat menarik
kepala sehingga kebutan tangan Gagak Ireng tidak sampai mendarat. Tapi pada saat
yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja Gagak Ireng menghen-
takkan kakinya dengan tubuh sedikit berputar ke kiri.
"Heh..."!" Ki Gandapara terkejut setengah mati.
Tapi belum sempat dia berbuat sesuatu, ten-
dangan Gagak Ireng sudah mampir di dadanya.
"Hegkh!"
Ki Gandapara terhuyung-huyung ke belakang
sambil memegangi dadanya. Tendangan Gagak
Ireng begitu telak, sehingga membuat Ki Gandapa-ra jadi sulit bernapas. Seakan-
akan ada sebong-
kah batu yang begitu besar menghimpit dadanya.
"Mampus kau sekarang, Gandapara!
Hiyaaat...!"
Sret! Bet! Ki Gandapara cepat-cepat melenting berputar
ke belakang, begitu Gagak Ireng mencabut pedang yang langsung dikebutkan ke arah
perut. Gagal dengan serangan pertama, Gagak Ireng tidak ber-
henti sampai di situ saja. Kebutan pedangnya terus mencecar cepat dan beruntun.
Akibatnya Ki Gandapara terpaksa harus berjumpalitan meng-
hindari tebasan-tebasan pedang hitam berbentuk aneh yang mengeluarkan asap
kehitaman mengandung racun.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Gagak Ireng melompat ke udara
hingga melewati kepala Ki Gandapara. Dan tahu-
tahu, dia sudah berada di belakang pendekar dari Bukit Gantang itu. Bagaikan
kilat, pedangnya dikebutkan sambil memutar tubuhnya ke arah
punggung Ki Gandapara.
"Yeaaah...!"
Wuk! Cras! "Akh....!"
Satu pekikan keras agak tertahan terdengar be-
gitu ujung pedang Gagak Ireng merobek kulit
punggung Ki Gandapara. Seketika itu juga darah
segar muncrat dari punggung yang sobek terbabat pedang. Ki Gandapara terhuyung-
huyung ke de- pan. Dia berusaha cepat berbalik. Tapi pada saat tubuhnya berputar, mendadak
saja Gagak Ireng
sudah cepat sekali membabatkan pedangnya kem-
bali. "Yeaaah...!"
Bret! "Aaa...!"
Ki Gandapara semakin terhuyung-huyung begi-
tu ujung pedang Gagak Ireng membabat dadanya.
Kembali darah muncrat dari dadanya yang terbe-
lah cukup lebar. Sementara itu, Gagak Ireng mengedarkan pandangan berkeliling.
Dia tahu, seki-
tarnya sudah terkepung rapat. Rasanya tak
mungkin bisa menghadapi begitu banyak orang,
meskipun mereka hanya para prajurit yang ke-
pandaiannya tidak seberapa.
"Setan!" dengus Gagak Ireng. "Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Gagak Ireng melesat cepat ke
atas atap sebelum ada seorang pun yang menya-
dari. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada
di atas atap bangunan istana kadipaten itu. Dan dia langsung melompat pergi
melalui bagian belakang.
"Keparat...! Hiyaaat...!"
Pandan Wangi yang cepat menyadari lebih da-
hulu, segera saja melompat ke atas atap hendak
mengejar. Tapi begitu menjejakkan kakinya di
atap, bayangan tubuh Gagak Ireng sudah tidak
terlihat lagi. "Sial...!" rutuk Pandan Wangi.
Kembali si Kipas Maut meluruk turun dan
menghampiri Adipati Bayaga yang sudah berada di samping tubuh Ki Gandapara.
Pendekar utama Bukit Gantang itu tergeletak di tanah dengan darah mengucur dari luka di
punggung dan da-
danya. Walaupun terluka cukup parah, dia masih
bisa memberi senyum pada Adipati Bayaga dan
Pandan Wangi. "Maaf. Aku akan menghentikan darahmu," ujar
Pandan Wangi. Cepat gadis itu memberi beberapa totokan di
sekitar luka di punggung dan dada Ki Gandapara.
Sebentar saja darah berhenti mengucur dari luka yang menganga cukup lebar itu.
Adipati Bayaga segera memerintahkan beberapa prajurit untuk
memindahkan Ki Gandapara ke dalam.
"Aku akan menyusul si Penyamun Bukit Teng-
korak itu, Gusti Adipati," kata Pandan Wangi.
"Tidak menunggu Gusti Prabu dulu, Nini Pan-
dan?" "Tidak ada waktu lagi, Gusti."
Adipati Bayaga tidak bisa lagi mencegah. Pan-
dan Wangi sudah melesat cepat meninggalkan ha-
laman samping istana kadipaten itu. Gerakannya
cepat luar biasa. Begitu ringannya dia melompati benteng batu yang mengelilingi
bangunan ini, lalu langsung lenyap di balik dinding benteng dari batu itu.
Sementara Adipati Bayaga bergegas melangkah masuk ke dalam istananya, begitu
Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi.
***** 8 Sementara itu Gagak Ireng sudah tiba di ru-
mahnya yang dikelilingi pagar batu yang tinggi dan tebal bagai benteng.
Keningnya jadi berkerut begitu melihat pintu gerbang rumahnya terbuka lebar.
Namun, tidak ada seorang pun yang terlihat men-
jaga di sana. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu
melompat turun dari punggung kudanya dengan
gerakan indah dan ringan bagai kapas. Tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di depan pintu gerbang tempat
kediamannya. Perlahan Gagak Ireng melangkah melewati pin-
tu gerbang yang terbuka lebar. Kelopak matanya
jadi terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman depan.
Bergegas kakinya diayun menuju ke beranda, begitu melihat
Rapasak duduk lesu di tepian beranda depan. Pe-
dang yang tergenggam di tangannya penuh berlu-
muran darah. Rapasak mengangkat kepalanya se-
dikit begitu mendengar suara langkah kaki meng-
hampiri. "Rapasak, apa yang terjadi di sini...?" Gagak
Ireng langsung bertanya begitu dekat di depan
adik angkatnya ini.
"Tidak ada lagi yang tersisa, Kakang...," pelan sekali suara Rapasak seraya
mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Gagak Ireng juga mengedarkan pandangannya
berkeliling. Entah berapa jumlah tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Di
antara mayat- mayat itu terdapat mayat-mayat berseragam pra-
jurit kadipaten. Bahkan ada juga yang berpangkat punggawa. Mereka bercampur
saling tumpang-tindih dengan orang-orang berpakaian seperti
layaknya kaum persilatan. Bau anyir darah begitu keras menusuk hidung, terbawa
angin yang ber-hembus perlahan.
"Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini,
Kakang," usul Rapasak, masih pelan suaranya.
Gagak Ireng masih terdiam membisu.
"Kita tidak punya kekuatan lagi. Semua sudah
habis. Tak ada lagi yang tersisa," sambung Rapasak seraya bangkit berdiri.
"Mereka sudah menge-
tahui siapa kita sebenarnya. Bahkan sudah tahu
tujuan kita yang sesungguhnya di sini."
Gagak Ireng masih tetap diam membisu. Sung-
guh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti
ini. Suatu kehancuran siasat yang tidak pernah
dibayangkan. Kini tak ada lagi pengikutnya yang tersisa. Dulu ketika
gerombolannya digulung para pendekar Bukit Gantang, dia masih memiliki anak buah
sedikitnya dua puluh orang. Tapi sekarang.... Tak satu pun yang tersisa lagi.
Mereka semua tewas. Hanya Rapasak saja yang masih tetap
bertahan hidup.
"Apa yang terjadi di sini, Rapasak" Bagaimana
mereka bisa terbunuh semua?" tanya Gagak Ireng
meminta penjelasan.
"Pendekar Rajawali Sakti dan pendekar-
pendekar Bukit Gantang menyerbu ke sini, tidak
lama setelah Kakang pergi. Panggilan itu hanya je-bakan saja, Kakang. Tempat ini
sudah terkepung
prajurit. Kami mencoba bertahan, tapi mereka
memang lebih kuat. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sendiri tidak
sanggup memben-
dung gempurannya," jelas Rapasak.
"Kenapa kau sendiri masih bisa hidup...?"
"Aku menyerah setelah tak ada lagi yang tersi-
sa. Mereka akan menjemputku setelah Kakang ter-
tangkap di istana," sahut Rapasak.
"Menjemput..." Apa maksudmu, Rapasak?"
"Kakang...," agak tersekat suara Rapasak. "Di
belakang...."
Gagak Ireng memalingkan kepala begitu meli-
hat pandangan Rapasak tertuju lurus ke belakang punggung melalui bahunya. Gagak
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ireng jadi terbeliak begitu di belakangnya tahu-tahu sudah
berkumpul puluhan prajurit. Tampak berdiri pal-
ing depan, Adipati Bayaga, Pendekar Rajawali Sak-
ti, si Kipas Maut, Balung Samodra, dan beberapa orang pendekar Bukit Gantang.
Perlahan Gagak Ireng memutar tubuhnya. Saat
itu, Adipati Bayaga sudah melangkah maju di-
dampingi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut. Mereka berhenti saat berjarak beberapa
langkah lagi di depan Gagak Ireng dan Rapasak.
Sedangkan para prajurit kadipaten dan jago-jago Bukit Gantang sudah menyebar,
mengepung halaman depan yang cukup luas ini.
"Hanya ada satu pilihan, Gagak Ireng. Tak ada
gunanya lagi melawan," tegas Adipati Bayaga.
"Phuih! Penyamun Bukit Tengkorak pantang
menyerah!" dengus Gagak Ireng seraya menyem-
burkan ludahnya.
"Aku paling tidak suka melihat perusuh keras
kepala berkeliaran di wilayahku," desis Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
"Hhh! Orang lain boleh terkencing-kencing
mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Ta-
pi jangan harap aku gentar mendengar gertakan-
mu!" dengus Gagak Ireng dingin.
"Gagak Ireng! Kuharap kau tidak membuat ke-
sulitan pada dirimu sendiri. Kau tidak punya pilihan lain lagi. Menyerahlah, dan
terima hukuman yang akan dijatuhkan pengadilan nanti," ujar
Rangga, dingin dan tegas sekali.
"Jangan banyak omong! Majulah kalau ingin
menangkapku!" bentak Gagak Ireng nekat.
Sret! Gagak Ireng langsung mencabut pedang ke-
banggaannya. Sebilah pedang berbentuk aneh
yang bagian ujungnya bercabang dua, dan memi-
liki tujuh kelukan. Dari mata pedang itu menge-
pulkan asap tipis agak kehitaman. Rangga sedikit berkerut keningnya melihat
pamor pedang si Pe-
nyamun Bukit Tengkorak yang begitu dahsyat.
"Mundurlah kalian. Pedang itu mengeluarkan
asap beracun," ujar Rangga pelan seraya melirik Pandan Wangi dan Adipati Bayaga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi menarik
kakinya ke belakang diikuti Adipati Bayaga. Mere-ka memang sudah melihat
kedahsyatan pedang itu
ketika Gagak Ireng bertarung melawan Ki Ganda-
para. Dan memang, asap hitam yang keluar dari
pedang itu membuat pernapasan jadi agak ter-
ganggu. Adipati Bayaga memberi isyarat pada prajurit-
nya untuk menyingkir menjauh. Prajurit-prajurit yang tadinya mengepung rapat,
perlahan bergerak menjauhi tempat itu. Sementara, Rangga masih
berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun.
Sedangkan Gagak Ireng sudah melintangkan pe-
dang di depan dada. Tampak bibirnya bergerak-
gerak mendengungkan suara perlahan seperti le-
bah. "Sudah lama aku ingin mencoba kepandaian-
mu, Pendekar Rajawali Sakti. Majulah, biar batang lehermu cepat bisa kupenggal,"
desis Gagak Ireng dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau tidak ada
gunanya lagi membujuk Gagak Ireng agar menye-
rah. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu sudah be-
nar-benar nekat, dan tak ada lagi pilihan baginya.
Bagi Gagak Ireng, lebih baik mati di dalam pertarungan daripada menyerah menjadi
pesakitan yang tak berdaya apa-apa. Dan itu suatu tekad
wajar di kalangan rimba persilatan. Rangga juga bisa menyadari, sehingga tidak
lagi mencoba membujuk. Di kalangan persilatan, mati dalam pertarungan
lebih terhormat daripada mati di tangan algojo
tanpa dapat berbuat sesuatu. Dan rupanya, Gagak Ireng memang memilih bertarung.
Sehingga Rangga terpaksa harus melayaninya agar Gagak Ireng
lebih terhormat sebagai seorang pesilat sejati.
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaat...!"
"Hup!"
*** Bagaikan kilat Gagak Ireng melompat menye-
rang. Pedangnya dikebutkan ke arah dada Pende-
kar Rajawali Sakti. Tapi hanya sedikit menarik tubuhnya ke belakang, tebasan
pedang berujung ca-
bang dua itu berhasil dielakkan Rangga. Ujung
pedang itu hanya lewat sedikit saja di depan dadanya. Tapi rupanya Gagak Ireng
tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya serangan-serangan cepat dan dahsyat.
Pedangnya ber- kelebatan cepat dan kuat, sehingga seperti lenyap dari pandangan. Hanya
kelebatan bayangan hitam
saja yang terlihat mengurung hampir seluruh tu-
buh Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun Gagak Ireng sudah mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya, tapi tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Pendekar
Rajawali Sakti terlalu gesit untuk didekati. Gerakan-gerakannya begitu lincah
dan ringan, seakan-akan kedua kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali. Belum
lagi gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk indah bagaikan belut. Begitu sulit dan
licin, membuat Gagak Ireng jadi kelabakan sendiri. Apalagi setelah menyadari
kalau setiap serangan yang dilakukan
tidak membawa hasil sedikit pun.
"Gila...! Dia tidak terpengaruh pada asap racun pedangku!" dengus Gagak Ireng
dalam hati. Entah sudah berapa puluh jurus berlalu. Tapi
pertarungan masih juga berlangsung sengit. Se-
mentara Rangga seperti sengaja hendak menguras
habis seluruh tenaga dan kemampuan lawannya.
Hanya sekali-sekali saja Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan balasan.
Itupun sudah membuat Gagak Ireng jadi kelabakan menghindarinya.
Bahkan entah sudah berapa kali harus menerima
pukulan maupun tendangan yang begitu keras,
meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sehingga Gagak Ireng
masih dapat melanjutkan pertarungannya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Gagak Ireng melentingkan tubuh
berputar ke belakang. Lalu, manis sekali kakinya mendarat sekitar dua batang
tombak dari Rangga.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali
tidak mengejar, dan hanya berdiri saja memperhatikan. Kini, Gagak Ireng sudah
kembali bersiap dengan suatu ajian andalannya.
Beberapa kali pedangnya dikebutkan di depan
dada. Maka asap hitam yang keluar dari pedang
Gagak Ireng semakin banyak menggumpal. Kemu-
dian pedangnya dihentakkan lurus ke depan. Se-
hingga asap hitam yang keluar dari pedang ber-
bentuk aneh itu menggumpal membentuk bulatan
di ujungnya. Perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
"Hiyaaa...!"
Wukkk! Cepat sekali Gagak Ireng mengebutkan pe-
dangnya kembali ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu
juga, bulatan asap hitam di ujung pedangnya terlontar cepat bagaikan kilat ke
arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun sedikit pun pemuda berbaju rompi putih itu
tidak bergeming. Bahkan tetap berdiri tegak menerima
serangan itu. Tak pelak lagi, asap hitam itu menghantam tu-
buh Rangga. Bahkan kini menyelubunginya, se-
hingga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terselimut asap hitam yang
pekat dan menggumpal. Tapi beberapa saat kemudian....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah....!"
Begitu kedua tangan Rangga merentang lebar
ke samping, seketika itu juga membersit kilatan cahaya biru terang menyilaukan.
Bersamaan dengan itu, terdengar ledakan keras menggelegar.
Asap hitam yang menggumpal menyelimuti tubuh
Rangga, langsung berpendar habis bagai tertiup angin. Dan kini seluruh tubuh
Rangga berselimut sinar biru menyilaukan.
"Edan....!" desis Gagak Ireng terkejut melihat
hasil serangannya dapat mudah dimusnahkan be-
gitu saja. Belum lagi Gagak Ireng bisa menghilangkan ke-
terkejutannya, cepat sekali Rangga menghentak-
kan kedua tangan ke depan. Maka sinar biru yang menyelubungi tubuhnya langsung
berpindah ke telapak tangan. Dan kini malah melesat cepat
menghantam tubuh Gagak Ireng yang masih ber-
diri terpaku, bagai tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Aaakh...!"
Gagak Ireng menjerit keras begitu cahaya biru
menyelubunginya. Tubuhnya menggeliat, berte-
riak-teriak berusaha keluar dari selubung sinar bi-ru itu. Tapi Rangga terus
mengeluarkan aji 'Cakra Buana Sukma'-nya. Sinar biru yang terus keluar
dari kedua telapak tangannya semakin banyak
menyelimuti seluruh tubuh Gagak Ireng.
Perlahan-lahan tubuh Gagak Ireng tertarik
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan na-
mun pasti, Gagak Ireng terus bergerak mendekat
sambil menggeliat-geliat berusaha melepaskan di-ri. Tapi semakin keras berusaha,
semakin kuat pula tenaganya tersedot. Dan Gagak Ireng sama
sekali tidak menyadari akibat pengaruh aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikeluarkan
Pendekar Rajawali Sakti. Hingga, tubuhnya semakin dekat den-
gan pemuda berbaju rompi putih itu, masih juga
belum disadarinya.
"Aaakh...!" lagi-lagi Gagak Ireng menjerit ken-
cang melengking tinggi.
Kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti
kini sudah menempel di dada Gagak Ireng. Dan
sinar biru yang keluar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti semakin banyak saja
menyelimuti tu-
buh Gagak Ireng.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan tangan-
nya dengan keras. Akibatnya, tubuh Gagak Ireng
terlontar jauh ke belakang, lalu keras sekali ambruk ke tanah. Laki-laki separuh
baya itu berusa-ha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya sudah terkuras habis.
Dan dia sama sekali tidak bisa
bangkit berdiri. Bahkan untuk menggerakkan tan-
gannya saja begitu sulit. Sementara, sinar biru ki-ni sudah lenyap begitu Rangga
menarik aji 'Cakra Buana Sukma'. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti
melangkah menghampiri dan berdiri tegak di
samping tubuh Gagak Ireng yang tergeletak tak
berdaya lagi. "Bunuhlah aku, Keparat...!" geram Gagak Ireng.
"Kau harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatanmu dulu, Gagak Ireng. Pengadilan nanti yang akan menentukan hukumanmu,"
kata Rangga kalem.
Sementara itu, Adipati Bayaga dan Pandan
Wangi sudah menghampiri diikuti beberapa orang
berseragam prajurit. Kini Rangga menatap Rapa-
sak yang masih saja berdiri tidak mampu berbuat sesuatu lagi. Hatinya begitu
gentar melihat kedahsyatan ilmu kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.
Akibatnya, Gagak Ireng jadi lumpuh. Dia tak
mampu lagi menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
"Ringkus dia. Masukkan ke dalam penjara!" pe-
rintah Adipati Bayaga.
"Baik, Gusti Adipati."
Dua orang prajurit mengangkat tubuh Gagak
Ireng yang sudah lumpuh tak berdaya lagi. Se-
mentara, dua orang prajurit lagi segera menggiring Rapasak yang memang sudah
menyerah. Mereka
melucuti semua senjata yang dibawa Rapasak dan
Gagak Ireng. "Ah! Kalau saja tidak ada Gusti Prabu di sini...,"
desah Adipati Bayaga merasa lega.
"Sudahlah, Paman Adipati. Dan sebaiknya jan-
gan menyebutku Gusti," selak Rangga cepat.
"Maafkan Hamba, Gusti."
Rangga hanya tersenyum saja. Digamitnya len-
gan Pandan Wangi, dan diajaknya pergi dari tem-
pat ini. Tapi sebelum kakinya terayun melangkah, Adipati Bayaga dan Balung
Samodra sudah mencegah. Terpaksa Rangga mengurungkan ayunan
kakinya. *** Rangga jadi tertegun saat Adipati Bayaga me-
minta untuk tinggal beberapa hari di Kadipaten Wadas Lintang ini. Matanya
melirik Pandan Wangi untuk meminta pendapat gadis itu. Tapi Pandan
Wangi hanya mengangkat bahu saja.
"Baiklah. Tapi dengan satu syarat," Rangga
menyerah. "Apa itu, Gusti Prabu?" tanya Adipati Bayaga
sudah gembira mendengar kesediaan Pendekar
Rajawali Sakti menerima permintaannya untuk
tinggal beberapa hari di kadipaten ini.
"Jangan sekali-sekali memanggilku Gusti Pra-
bu. Aku sekarang ini bukan raja, tapi seorang
pendekar kelana yang mengembara dari satu tem-
pat ke tempat lain," kata Rangga mengajukan syarat. "Hanya itu, Gusti...?"
"Iya! Hanya itu saja. Dan aku juga tidak bisa
berlama-lama di sini. Hanya beberapa hari saja.
Bagaimana...?"
"Tentu, Gusti. Tapi..., hamba harus memanggil
apa?" "Panggil saja Rangga."
"Ah! Bagaimana mungkin, Gusti. Tidak patut
hamba memanggil dengan nama saja."
"Kalau tidak mau, ya sudah. Aku akan melan-
jutkan perjalanan sekarang juga," Rangga tidak
memberi pilihan.
"Oh! Jangan..., jangan, Gusti. Baik! Hamba
akan memanggil seperti yang Gusti Prabu ingin-
kan," buru-buru Adipati Bayaga mencegah.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Sebenar-
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya Pendekar Rajawali Sakti memang bermaksud
tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk beberapa hari sambil melihat-lihat
perkembangan kadipaten di wilayah Kerajaan Karang Setra ini.
Tapi, tentu saja kehadirannya tidak sebagai raja, yang akan membuatnya repot.
Melainkan sebagai
orang biasa dan sebagai pendekar kelana yang
hanya singgah saja untuk beberapa hari.
"Mari, Rangga. Sebaiknya kita segera kembali
ke istana," ajak Adipati Bayaga sudah mulai mem-
biasakan diri memanggil nama saja.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan ha-
laman depan rumah kediaman Gagak Ireng. Se-
mentara, para prajurit yang tadi memadati tempat itu sudah lebih dahulu pergi
membawa Gagak Ireng dan Rapasak yang berhasil ditawan hidup-
hidup. "Hukuman apa yang pantas untuk Gagak Ireng,
Rangga?" tanya Adipati Bayaga sambil terus men-
gayunkan kakinya keluar dari gerbang rumah ini.
"Mau tidak mau, dia akan menerima hukuman
yang dijatuhkan pengadilan nanti. Toh dia sudah tidak lagi memiliki daya. Semua
ilmu kepandaian dan kesaktiannya sudah musnah. Bahkan akan
tetap lumpuh begitu," Pandan Wangi yang menya-
huti. "Oh! Benarkah begitu...?" tanya Adipati Bayaga.
"Benar. Itu akibat dari aji 'Cakra Buana Suk-
ma'. Untung saja Kakang Rangga tidak mengerah-
kannya dalam tingkatan terakhir, sehingga dia
masih bisa hidup. Walaupun harus menderita ke-
lumpuhan seumur hidup," jelas Pandan Wangi la-
gi. "Kalau memang begitu, dia sudah mendapatkan hukuman setimpal. Tidak mungkin
lagi perbuatan buruknya bisa diulangi lagi," kata Adipati Bayaga.
"Tapi tidak demikian halnya Rapasak, Gusti
Adipati," selak Balung Samodra yang berjalan di samping Pandan Wangi.
"Hm.... Rapasak akan menerima hukuman yang
setimpal juga. Entah apa hukuman yang pantas
untuknya nanti. Bagaimana menurutmu, Rang-
ga...?" Adipati Bayaga berpaling menatap Rangga yang berjalan di sebelah
kanannya. "Sebaiknya, ikuti saja keputusan pengadilan
nanti. Dan kita tidak usah membicarakannya se-
karang. Biar pengadilan tinggi kadipaten yang menentukan hukuman untuk mereka,"
kata Rangga penuh bijaksana.
Mereka tak ada lagi yang bicara. Sementara
matahari sudah hampir condong ke arah barat.
Sebentar lagi senja akan turun. Kini, tak ada lagi kerusuhan yang terjadi di
Kadipaten Wadas Lintang ini.
***** SELESAI Scan/Ebook: Abu Keisel
Juru Edit: Nyamuk Berkecamuk
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Document Outline
TUNTUTAN GAGAK IRENG
1 *** *** ***** 2 *** *** ***** 3 *** *** *** ***** 4 *** *** ***** 5 *** *** ***** 6 *** *** ***** 7 *** *** ***** 8 *** *** ***** SELESAI Malaikat Gerbang Neraka 1 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Naga Sakti Sungai Kuning 15
menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi bukan itu yang membuat Rapasak jadi gun-
dah. Dia tahu, Pendekar Rajawali Sakti adalah
seorang raja di Karang Setra. Sedangkan Kadipa-
ten Wadas Lintang ini masih termasuk wilayah Kerajaan Karang Setra.
Rapasak jadi terdiam. Disadari kalau kedudu-
kan kakak angkatnya jadi terancam. Dan itu bisa membahayakan bila para pendekar
Bukit Gantang meminta bantuan Pendekar Rajawali Sakti. Rapa-
sak memandang Gagak Ireng dengan berbagai ma-
cam perasaan berkecamuk dalam dadanya.
"Kakang, apa tidak sebaiknya kita mulai seka-
rang?" ujar Rapasak bernada memberi saran.
"Tidak sekarang, Rapasak. Waktunya belum te-
pat. Tunggulah barang satu atau dua hari lagi,"
sahut Gagak Ireng.
"Aku hanya khawatir, Adipati Bayaga sudah
mengetahui rencana kita, Kakang."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau te-
nang saja, Rapasak. Sudah kukirim beberapa
orang untuk menyelidiki keadaan di Bukit Gan-
tang. Kita pasti akan mengetahuinya besok."
"Aku percaya pada rencanamu, Kakang."
"Sudah malam. Sebaiknya tidur saja."
"Baik, Kakang."
Rapasak bergegas meninggalkan kakak angkat-
nya ini, setelah menjura memberi hormat. Se-
dangkan Gagak Ireng masih tetap berada di sana, walaupun Rapasak sudah tenggelam
di balik pintu. Laki-laki itu masih berdiri mematung di depan jendela,
memandangi rembulan yang malam itu
bersinar penuh. Cahayanya tampak redup terseli-
mut awan tebal dan menghitam.
"Hm.... Sebaiknya aku memang harus bertin-
dak cepat sebelum para pendekar Bukit Gantang
mendahului. Aku yakin, Adipati Bayaga lebih per-
caya pada pendekar-pendekar Bukit Gantang da-
ripada aku. Terlebih lagi, kalau Pendekar Rajawali Sakti sampai turun tangan.
Hm.... Ini tidak boleh terjadi...!" gumam Gagak Ireng berbicara sendiri.
"Akan kubuat kadipaten ini jadi neraka. Hhh...!"
***** 5 Tak ada seorang pun yang menyangka, kalau
peristiwa sebulan lalu bakal terulang kembali. Keresahan kembali melanda
Kadipaten Wadas Lin-
tang. Sudah tiga hari ini seseorang yang mengaku berjuluk Jago Bukit Gantang
telah muncul, dan
membuat keresahan. Bukan hanya harta yang di-
gasak, tapi juga nyawa pemilik harta itu ikut melayang. Sudah lebih dari sepuluh
rumah yang di- masuki, dan sudah dua belas orang yang tewas.
Keramaian yang biasanya terjadi di Kadipaten
Wadas Lintang, mendadak saja tenggelam oleh
munculnya Jago Bukit Gantang yang menjarah
rumah-rumah penduduk kadipaten itu. Bukan
hanya malam. Bahkan di tengah hari bolong pun
orang itu berani muncul. Kemunculan orang yang
menjuluki dirinya sebagai Jago Bukit Gantang itu sampai juga ke telinga Adipati
Bayaga. Sudah tentu Adipati Wadas Lintang itu memanggil Gagak
Ireng yang menjadi tangan kanannya di kadipaten ini. "Kau harus bisa
menghentikan kerusuhan ini secepatnya, Gagak Ireng," tegas Adipati Bayaga.
"Maaf, Gusti Adipati. Rasanya sulit menghenti-
kan kalau tidak langsung ke akarnya," sahut Ga-
gak Ireng seraya memberi hormat dengan mera-
patkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Maksudmu...?" tanya Adipati Bayaga.
"Kejadian ini sudah jelas ada hubungannya
dengan Birawa. Mereka sama-sama dari Bukit
Gantang. Aku rasa ini bukan hanya sekadar pe-
rampokan dan pembunuhan penduduk saja. Tapi
ada maksud tersembunyi di balik semua kejadian
ini, Gusti Adipati," Gagak Ireng menjabarkan pe-mikirannya.
"Maksudmu, mereka merencanakan pemberon-
takan?" "Bisa dikatakan begitu, Gusti Adipati," sahut
Gagak Ireng tegas.
"Hm...," gumam Adipati Bayaga perlahan. Sedi-
kit pun tidak ada pikiran sampai ke sana di kepala adipati itu. Dan sama sekali
tidak disangka kalau orang-orang dari Bukit Gantang punya maksud
memberontak. Padahal selama ini, orang-orang
Bukit Gantang memiliki hubungan baik dengan
Kadipaten Wadas Lintang. Bahkan tidak sedikit
mereka mencurahkan sumbangan tenaga dan pi-
kiran untuk kemajuan kadipaten ini. Belum lagi, mereka dikenal banyak melahirkan
jago tangguh. Dan tidak sedikit yang menjadi punggawa kera-
jaan. Rasanya sulit diterima kalau mereka punya rencana memberontak.
Tapi kelihatannya, kenyataan yang ada tak da-
pat dipungkiri lagi. Pertama Birawa melakukan kerusuhan. Dia merampok dan
membunuh siapa sa-
ja yang mencoba menentangnya. Tidak sedikit
nyawa terbuang hanya untuk meringkus pemuda
itu. Dan semua itu baru bisa dihentikan berkat
tindakan Gagak Ireng. Namun sekarang muncul
lagi orang yang seperti Birawa. Bahkan sama-
sama berasal dari Bukit Gantang. Baru tiga hari saja, sudah dua belas orang yang
tewas. "Aku akan mengirim utusan ke sana. Kalau
perlu, Ki Gandapara akan kupanggil. Kalau me-
mang orang-orang Bukit Gantang yang melakukan
semua ini, dia harus bertanggung jawab," tegas
Adipati Bayaga.
"Aku tidak yakin Ki Gandapara ada di Bukit
Gantang, Gusti Adipati. Kabar terakhir yang ku-
dengar, dia sedang mengembara," sergah Gagak
Ireng. "Mengembara..." Untuk apa mengembara?"
tanya Adipati Bayaga seperti untuk diri sendiri.
"Tidak ada yang tahu pasti, Gusti Adipati. Dan
kabarnya pula, dia mengembara sudah beberapa
tahun ini. Bahkan sudah menjalin hubungan per-
sahabatan dengan para pembesar Karang Setra,"
lagi-lagi Gagak Ireng memberitahu.
"Heh..."! Kenapa sampai meluas ke sana...?"
Adipati Bayaga terkejut bukan main mendengar
laporan yang tidak pernah disangka-sangka itu.
"Kalau sampai para pembesar Kerajaan Karang
Setra turun tangan, aku yakin kedudukan Gusti
Adipati akan terancam. Mereka pasti lebih percaya orang-orang Bukit Gantang.
Memang tidak sedikit orang kelahiran sana yang menjadi punggawa.
Bahkan ada pula yang sudah berpangkat panglima
atau pembesar tinggi istana," lanjut Gagak Ireng.
"Kenapa bisa jadi begini..." Apa ada suatu kesalahan yang kuperbuat...?" Adipati
Bayaga jadi kelabakan sendiri.
Benar-benar tidak disangka kalau peristiwa
yang semula dianggap kerusuhan biasa saja, ter-
nyata sudah meluas sampai ke kerajaan. Adipati
Bayaga benar-benar tidak mengerti dengan semua
ini. Sungguh tidak disangka kalau orang-orang
Bukit Gantang punya maksud buruk padanya.
"Apa yang harus kuperbuat, Gagak Ireng?"
tanya Adipati Bayaga.
"Sebaiknya Gusti Adipati sudah mulai memper-
kuat diri. Cepat atau lambat, mereka pasti akan menggulingkan Gusti Adipati.
Kelihatannya mereka sudah mulai bergerak dengan mengacau kea-
daan dan membuat kerusuhan di mana-mana. Je-
las maksudnya adalah untuk melemahkan perta-
hanan kadipaten ini," jelas Gagak Ireng.
"Apakah itu nanti tidak dianggap sebagai per-
siapan pemberontakan pada Karang Setra?"
"Aku yakin tidak, Gusti. Asalkan Gusti Adipati
sendiri bisa mengambil hati para pembesar kera-
jaan. Terutama pada Raja Karang Setra sendiri.
Gusti Adipati pasti bisa memberi penjelasan, sehingga mereka tidak akan
menyangka demikian.
Bahkan mungkin akan membantu menumpas
orang-orang Bukit Gantang yang sudah jelas-jelas hendak memberontak."
Adipati Bayaga terdiam. Rasanya memang tidak
mudah melaksanakan semua yang dikatakan Ga-
gak Ireng barusan. Terlebih lagi dia tahu kalau Ra-ja Karang Setra adalah
seorang pendekar digdaya yang gemar mengembara. Sekarang ini pun tak
ada yang tahu, di mana Raja Karang Setra itu berada. Hanya kedua adik tirinya
saja yang mungkin mengetahuinya. Tapi, apakah dia bisa mendekati
adik tiri Raja Karang Setra itu..."
Kebimbangan jelas sekali terpancar di wajah
Adipati Bayaga. Sudah bisa dibayangkan kalau kejadian ini bisa berakibat buruk
bagi dirinya. Bahkan bagi semua orang di Kadipaten Wadas Lintang ini. Kehancuran
Kadipaten Wadas Lintang sudah
membayang di matanya. Dan adipati itu tidak in-
gin kadipaten yang dibangunnya dengan susah
payah, bakal hancur-lebur digempur para prajurit Karang Setra dan jago-jago
Bukit Gantang. *** Malam itu Adipati Bayaga benar-benar tidak bi-
sa memicingkan matanya sekejap pun. Semua
yang dikatakan Gagak Ireng beberapa hari lalu terus terngiang di telinganya.
Adipati itu benar-
benar tidak ingin semuanya berakhir seperti yang dikatakan Gagak Ireng.
Sedangkan kerusuhan
yang terjadi di wilayah Kadipaten Wadas Lintang semakin menjadi-jadi saja.
Bahkan sudah empat
orang pembesar kadipaten beserta keluarganya telah terbunuh di rumah masing-
masing. Berbagai macam desakan datang padanya. Se-
dangkan Gagak Ireng yang diharapkan bisa me-
numpas perusuh-perusuh itu dengan cepat, sam-
pai sekarang ini belum juga menampakkan hasil-
nya. Dan Adipati Bayaga masih belum bisa memu-
tuskan untuk menyerang Bukit Gantang yang di-
katakan sebagai biang pembuat keonaran ini. En-
tah kenapa, dia masih belum yakin kalau para perusuh itu dari Bukit Gantang.
Di saat Adipati Bayaga tengah mondar-mandir
dalam kamarnya, tiba-tiba saja terasa ada hembusan angin dingin yang begitu
kencang menerpa
tubuhnya. Laki-laki setengah baya itu cepat me-
lompat ke pintu. Tapi sebelum sampai pintu, tahu-tahu sudah berdiri seorang
pemuda berbaju putih tanpa lengan membelakangi pintu kamar itu.
"Heh..."!"
Adipati Bayaga terkejut setengah mati. Kedua
matanya terbeliak lebar. Bahkan mulutnya tern-
ganga, seakan-akan tidak percaya dengan apa
yang ada di depannya saat ini.
"Gus..., Gusti Prabu...," desis Adipati Bayaga
tergagap, seakan-akan tercekik tenggorokannya.
Cepat adipati itu menjatuhkan diri berlutut dan merapatkan kedua telapak tangan
di depan hidung. Kini baru disadari kalau pemuda berbaju
rompi putih yang tahu-tahu muncul di depannya
adalah Rangga, Raja Karang Setra. Dia juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Seluruh tubuh Adipati Bayaga bergetar. Kerin-
gat sebesar-besar butir jagung mengucur keluar
dari seluruh tubuhnya. Kepalanya tak sanggup la-gi diangkat, begitu Rangga
melangkah mendekati.
Seluruh tubuh Adipati Bayaga semakin bergetar
saat pundaknya terasa disentuh dengan lembut.
"Bangunlah, Paman Adipati," ujar Rangga lem-
but dan berwibawa.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," ucap Adipati
Bayaga masih tetap berlutut di lantai.
Rangga sedikit menekuk lututnya, lalu mem-
bangunkan Adipati Bayaga. Perlahan Adipati
Bayaga bangkit berdiri, tapi kepalanya tetap tertunduk. Seakan-akan, dia tidak
sanggup memba- las pandangan mata Rangga.
"Maaf. Mungkin kedatanganku membuatmu
terkejut," kata Rangga lagi. Suaranya masih tetap terdengar lembut dan
berwibawa. Adipati Bayaga hanya diam saja. Entah kenapa
lidahnya terasa begitu kelu, sukar diajak berkata-kata lagi. Sedangkan Rangga
sudah duduk di kur-
si dekat jendela. Dan Adipati Bayaga masih tetap berdiri dengan kepala tertunduk
menekuri lantai di ujung jari kakinya.
"Kedatanganku sengaja seperti ini. Aku hanya
ingin meminta keterangan darimu, Paman Adipa-
ti," kata Rangga lagi.
"Keterangan apa yang Gusti Prabu perlukan?"
tanya Adipati Bayaga penuh hormat.
"Keadaan di kadipaten ini. Kudengar di sini se-
dang terjadi kerusuhan. Benar begitu...?" tegas sekali pertanyaan Rangga.
"Benar, Gusti," sahut Adipati Bayaga.
"Kau bisa menanggulanginya?"
"Sudah, Gusti. Hamba sudah berusaha. Tapi
beberapa hari ini, muncul lagi kerusuhan yang
sama. Hamba sudah kerahkan para prajurit kadi-
paten, tapi para perusuh itu lebih kuat daripada para prajurit."
"Bukankah kau memiliki pasukan khusus?"
"Oh..."!" Adipati Bayaga terkejut mendengar
pertanyaan itu.
Sungguh tidak disangka kalau Pendekar Raja-
wali Sakti ini sudah mengetahui tentang pasukan khususnya yang baru dibentuk
kurang dari dua
bulan ini. "Sebuah kadipaten mempunyai pasukan khu-
sus. Suatu kemajuan yang sangat besar, Paman.
Dan tentunya, pasukan khusus itu terdiri dari
orang-orang berkepandaian tinggi. Hm.... Bagai-
mana kau bisa membentuknya, Paman" Dan un-
tuk apa memiliki pasukan khusus segala" Bukan-
kah kau tahu, kalau membentuk suatu pasukan
khusus harus ada izin panglima tertinggi kera-
jaan...?"
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati Bayaga benar-benar tidak bisa lagi men-
jawab. Dia tahu, tindakannya membentuk pasu-
kan khusus tanpa meminta izin terlebih dahulu
merupakan suatu pelanggaran besar. Dan bukan-
nya tidak mungkin pihak kerajaan akan menu-
duhnya mempunyai maksud memberontak.
"Paman Adipati...."
"Ham.... Hamba, Gusti Prabu," sahut Adipati
Bayaga seraya memberi hormat.
"Kau sadari, apa yang telah kau lakukan sela-
ma ini, Paman?" tanya Rangga, tetap lembut sua-
ranya. Tapi begitu terasa kalau nada suara Pendekar Rajawali Sakti agak ditekan.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Adipati Bayaga
pelan. "Berapa orang kekuatan pasukan khususmu?"
tanya Rangga lagi.
"Lima puluh orang, Gusti Prabu."
"Cukup besar...," gumam Rangga.
Adipati Bayaga diam saja.
"Lalu, siapa yang menjadi panglimanya?"
"Gagak Ireng."
"Salah seorang punggawa kadipaten ini?"
"Bukan."
"Lalu...?"
"Dia seorang pengembara yang berhasil me-
numpas perusuh pertama sebulan yang lalu. Lalu, hamba mengangkatnya menjadi
panglima pasukan
khusus. Dan semua anggotanya adalah orang pili-
hannya sendiri. Tidak ada seorang prajurit atau punggawa yang masuk ke dalam
pasukan itu. Gagak Ireng menginginkan pasukannya terpisah dari prajurit
kadipaten," jelas Adipati Bayaga gamblang.
"Jadi, dia seorang yang berjasa...?"
"Benar, Gusti Prabu."
"Lalu, kenapa sekarang tidak bisa menumpas
perusuh yang muncul?"
"Gagak Ireng sudah berusaha, Gusti Prabu. Ta-
pi perusuh itu memiliki kepandaian sangat tinggi.
Sehingga sulit untuk diringkus. Sudah sepuluh
prajurit yang tewas," jawab Adipati Bayaga.
"Kau tidak meminta bantuan panglima kera-
jaan?" "Gagak Ireng sudah menyanggupi untuk me-
numpas perusuh itu, Gusti Prabu. Dan katanya
lagi, belum waktunya melibatkan pihak kerajaan
dalam persoalan ini," sahut Adipati Bayaga lagi.
"Hebat... Pasti dia seorang yang berkepandaian
tinggi," puji Rangga.
Adipati Bayaga kembali terdiam membisu. Se-
mentara Rangga sudah bangkit dari duduknya.
Kemudian dia melangkah menghampiri laki-laki
yang masih berdiri dengan kepala tertunduk itu.
Rangga berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Beberapa
saat mereka masih
terdiam. "Paman..."
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Adipati Bayaga
seraya memberi hormat.
"Kau tahu siapa Gagak Ireng" Dan dari mana
asalnya?" tanya Rangga. Kali ini suaranya terdengar begitu dalam.
"Hamba tidak tahu pasti, Gusti. Yang hamba
tahu, dia hanya seorang pengembara yang datang
ke sini bersama adiknya," sahut Adipati Bayaga.
"Hebat sekali.... Mengangkat orang yang tidak
dikenal untuk menduduki jabatan penting," terasa agak sinis nada suara Rangga
kali ini. Adipati Bayaga semakin dalam tertunduk.
"Hamba mengaku salah, Gusti Prabu. Hamba
siap menerima hukuman," kata Adipati Bayaga
perlahan. "Masalah hukuman itu mudah, Paman. Yang
penting sekarang, harus kau sadari kalau tinda-
kanmu selama ini sudah keliru. Aku ingin kau bi-sa mengetahui tentang Gagak
Ireng itu sebenar-
nya. Dari mana dia berasal. Dan apa tujuannya
datang ke kadipaten ini. Hal kecil seperti itu sudah kau abaikan, Paman. Dan
kalau kau tetap menga-baikannya, hal kecil seperti itu bisa menjadi senjata
makan tuan bagi dirimu sendiri," ujar Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu."
"Sekarang, aku pergi dulu. Dan besok malam,
kau harus sudah bisa mengetahui tentang pangli-
ma khususmu itu. Aku akan datang lagi besok."
Setelah berkata demikian, Rangga cepat mele-
sat keluar dari kamar ini melalui jendela yang terbuka. Sehingga Adipati Bayaga
hanya bisa terlongong bengong seperti mimpi. Begitu sempurnanya
lesatan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap
tertelan gelapnya malam.
*** "Dari mana malam-malam begini, Kakang?"
"Oh..."!"
Rangga agak terkejut juga ketika mendengar te-
guran, begitu kakinya baru saja melangkah masuk ke dalam kamar penginapannya.
Sungguh tidak disangka kalau di kamar penginapan ini Pandan
Wangi sudah menunggu. Gadis itu berdiri bersan-
dar di samping jendela yang setengah terbuka.
Rangga melangkah masuk dan menutup pintu
kamar itu kembali.
Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah dan
berdiri di depan jendela. Tangannya bergerak
membuka jendela itu lebih lebar, sehingga angin malam yang dingin langsung
menerpa kulit dadanya yang bidang terbuka. Sementara itu, Pan-
dan Wangi hanya memperhatikan saja, tidak ber-
gerak sedikit pun dari tempatnya.
"Aku menemui Adipati Bayaga," jelas Rangga.
"Malam-malam begini...?"
"Aku tidak ingin ada orang lain tahu tentang
keberadaanku di Kadipaten Wadas Lintang ini,"
Rangga beralasan.
"Lalu, apa yang kau peroleh?"
"Dia tidak tahu asal-usul Gagak Ireng."
"Aneh.... Tidak tahu asal-usulnya, tapi bisa diangkat menduduki jabatan
penting," gumam Pan-
dan Wangi seperti bicara pada diri sendiri.
"Adipati Bayaga menganggap Gagak Ireng telah
berjasa menumpas perusuh."
"Goblok! Apa dia tidak tahu kalau itu hanya
siasat licik Gagak Ireng...!" Pandan Wangi jadi sengit.
"Kurasa tidak sepenuhnya dia bersalah, Pan-
dan. Gagak Ireng memang tidak dikenal di Kadipaten Wadas Lintang ini, meskipun
di kalangan persilatan dikenal dengan sebutan Penyamun Bukit
Tengkorak."
"Tapi paling tidak, diselidiki dulu asal-usulnya.
Aku rasa dia juga tidak meminta izin dulu untuk membentuk pasukan khusus."
"Memang."
"Nah! Bukankah itu suatu kesalahan besar" Bi-
sa diancam hukuman gantung kalau pihak kera-
jaan sampai tahu."
"Itu yang tidak kuinginkan, Pandan."
"Heh..."! Aku tidak mengerti maksudmu, Ka-
kang" Kenapa sepertinya kau malah membela adi-
pati itu?"
"Aku tidak membelanya. Aku hanya ingat jasa-
jasanya yang begitu besar pada kadipaten ini. Ju-ga pada Karang Setra. Aku akan
menentukan nan-
ti, kalau memang kekeliruannya selama ini dis-
adari." Saat itu terlihat serombongan orang berkuda
melintasi jalan di depan rumah penginapan ini.
Ada sekitar sepuluh orang memacu cepat kuda
masing-masing. Rangga dan Pandan Wangi mem-
perhatikan penunggang-penunggang kuda itu. Me-
reka jadi terdiam tidak bicara lagi.
"Kakang! Perhatikanlah orang yang berkuda
paling depan," ujar Pandan Wangi.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Ciri-cirinya sama persis seperti yang dikatakan
Balung Samodra. Dia pasti Rapasak, adik angkat
Gagak Ireng," tunjuk Pandan Wangi lagi.
Sementara para penunggang kuda itu sudah
jauh. Mereka bergerak cepat menuju ke arah uta-
ra. Rangga dan Pandan Wangi terus memperhati-
kan tanpa berkedip. Kening mereka jadi berkerut begitu melihat para penunggang
kuda itu berbelok ke kanan.
"Mereka menuju Bukit Gantang, Kakang," ujar
Pandan Wangi agak mendesis.
"Hup...!"
Tanpa berkata apa pun lagi, Pendekar Rajawali
Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan
bagaikan kilat. Pandan Wangi tidak mau ketinggalan. Secepat pedangnya yang
berada di atas meja disambar, secepat itu pula dia melompat keluar
mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja mereka sudah begitu jauh
meninggalkan rumah
penginapan itu, dan menghilang ditelan kegelapan malam.
***** 6 Sementara itu sepuluh orang yang telah dilihat
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi terus
memacu cepat kudanya. Mereka memang anak
buah Gagak Ireng yang dikenal berjuluk Penya-
mun Bukit Tengkorak. Seperti yang diduga Pan-
dan Wangi, di antara mereka memang terdapat
Rapasak, adik angkat Gagak Ireng. Dan dari arah yang dituju, jelas kalau mereka
hendak ke Bukit Gantang.
Tapi tiba-tiba saja Rapasak menarik tali kekang
kudanya, sehingga kuda putih yang ditunggan-
ginya berhenti seketika seraya meringkik keras.
Sembilan orang yang berkuda di belakangnya,
kontan menghentikan lari kudanya. Tampak tidak
jauh di depan mereka berdiri seorang pemuda
berbaju rompi putih, didampingi seorang gadis
cantik mengenakan baju warna biru ketat.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Rapasak
langsung mengenali penghadangnya. Meskipun
Rapasak belum pernah bertemu, tapi dari ciri-
cirinya, dia sudah bisa mengetahui kalau penghadangnya adalah Pendekar Rajawali
Sakti. Rapasak segera memerintahkan orang-
orangnya turun dari punggung kuda. Tanpa dipe-
rintah dua kali, sembilan orang yang berada di belakang pemuda itu segera
berlompatan turun, dan langsung berdiri berjajar di depan Rapasak yang masih
duduk di punggung kudanya. Sembilan
orang itu menyandang golok yang terselip di pinggang.
"Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Kisa-
nak," kata Rapasak, agak dingin nada suaranya.
"Aku rasa kalian sendiri yang sudah membuat
kesulitan," balas Rangga tidak kalah dingin.
"Hm...," Rapasak berkerut keningnya.
"Apakah kalian akan ke Bukit Gantang?" tebak
Rangga, langsung.
"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sak-
ti!" bentak Rapasak lantang.
"Adanya kalian di Kadipaten Wadas Lintang ini,
sudah merupakan urusanku," tetap dingin suara
Rangga. "Setan...!" desis Rapasak langsung geram.
Tapi pemuda itu belum juga memerintahkan
anak buahnya bergerak. Dia jadi teringat kata-
kata Gagak Ireng. Ternyata kekhawatiran Gagak
Ireng beralasan sekali, dan sekarang menjadi kenyataan. Pendekar Rajawali Sakti
sudah muncul begitu cepat. Dan tampaknya, pemuda berbaju
rompi putih itu sudah mengetahui semua yang
terjadi di Kadipaten Wadas Lintang ini.
"Kuperingatkan pada kalian semua, tinggalkan
kadipaten ini! Dan jangan coba-coba bermimpi untuk menguasainya," tegas Rangga,
bernada men- gancam. "Keparat...! Kau tidak bisa menggertak kami
begitu saja!" geram Rapasak jadi gusar.
"Aku hanya memperingatkan kalian saja. Tapi
jika tetap membandel, kalian harus berhadapan
dengan jago-jago dari Karang Setra!" gertak Rang-ga lagi. "Terutama untuk si
Penyamun Bukit Tengkorak...! Katakan padanya! Kalau tetap bera-da di kadipaten ini sampai
besok, dia akan berhadapan denganku!"
"Setan...! Serang dia...!" seru Rapasak mengge-
ram marah mendengar gertakan Pendekar Rajawa-
li Sakti. "Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Sembilan orang itu langsung berlompatan sam-
bil mencabut golok. Mereka meluruk menyerang
Rangga dan Pandan Wangi. Tak ada lagi kesempa-
tan bagi Rangga untuk mencegah. Sembilan orang
itu sudah cepat menyerangnya. Lima orang me-
nyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan empat orang mengeroyok Pandan Wangi. Begitu
gencarnya serangan-serangan yang dilancarkan, sehingga
membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra
itu harus berjumpalitan menghindari golok-golok yang berkelebatan di sekitar
tubuh. "Hiyaaat...!"
Bet! Tring! Cepat sekali Pandan Wangi mencabut kipasnya,
dan langsung dikebutkan untuk menangkis golok
yang hampir saja membelah dadanya. Golok itu
seketika jadi patah menjadi dua bagian tersabet kipas baja putih yang terkenal
maut itu. Dan sebelum pemilik golok itu sempat menyadari, Pandan
Wangi sudah mengirimkan satu tendangan keras
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hampir mencapai kesempurnaan.
"Yeaaah...!"
Des! "Aaakh...!"
Jeritan keras melengking tinggi terdengar, dis-
usul terpentalnya satu orang yang mengeroyok si Kipas Maut itu. Sementara itu
Rangga juga sudah menjatuhkan dua orang lawannya. Sedangkan,
Pandan Wangi kembali melancarkan serangan
dengan kipas baja putihnya.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi ter-
dengar saling sambut. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pandan Wangi dan Rangga
begitu cepat se-
kali. Sehingga, orang yang mengeroyoknya tidak
bisa lagi membendung. Mereka berpentalan terke-
na pukulan dan tendangan keras dua pendekar
muda itu. Mereka memang bukanlah tandingan
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Se-
hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah tidak ada lagi yang sanggup
berdiri. Sembilan orang itu bergelimpangan di tanah
sambil merintih dan menggeliat kesakitan. Sementara Pandan Wangi sudah
menghampiri Rangga
yang berdiri tegak dengan tenangnya. Pandan
Wangi membuka kipas mautnya di depan dada.
Mereka sama-sama memandang tajam pada Rapa-
sak yang masih berada di atas punggung kudanya.
Adik angkat Penyamun Bukit Tengkorak itu tam-
pak terlongong melihat sembilan pengikutnya ro-
boh dalam waktu singkat saja.
"Pergilah, sebelum pikiranku berubah!" dengus
Rangga dingin menggetarkan.
Rapasak hanya menatap geram. Sementara
sembilan orang anak buahnya sudah bisa berdiri.
Tapi mereka tidak memiliki senjata lagi. Semua golok mereka berpatahan,
berserakan di tanah.
Sembilan orang itu bergegas naik ke punggung
kuda, begitu Rapasak memutar kudanya berbalik.
"Katakan pada Gagak Ireng, jika tidak segera
angkat kaki dari sini, harus berhadapan dengan-
ku!" ujar Rangga lantang.
"Setan...! Hiyaaa...!"
Rapasak hanya bisa merutuk saja, lalu cepat
menggebah kudanya. Sembilan orang pengikutnya
juga memacu kudanya dengan cepat, kembali ke
Kota Kadipaten Wadas Lintang. Sementara Rangga
dan Pandan Wangi hanya memandang sampai me-
reka jauh, dan hilang di tikungan jalan.
"Apa maksud mereka ke Bukit Gantang, Ka-
kang?" tanya Pandan Wangi seperti untuk diri
sendiri. "Mudah-mudahan saja mereka tidak berniat
membumihanguskan Desa Gantang," desah Rang-
ga perlahan. "Apa tidak sebaiknya kita mendahului mereka,
Kakang?" usul Pandan Wangi.
"Tunggu saja dulu perkembangannya, Pandan.
Aku ingin tahu sikap Gagak Ireng dulu," sahut
Rangga. Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya sa-
ja. Mereka kemudian melangkah ringan mening-
galkan tempat itu. Sementara, malam terus me-
rayap semakin larut. Kedua pendekar muda itu te-
rus melangkah ringan tanpa berbicara lagi.
*** Gagak Ireng terdiam begitu menerima laporan
Rapasak, kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah
ada di Kadipaten Wadas Lintang ini bersama si Kipas Maut. Terlebih lagi,
Pendekar Rajawali Sakti sudah tahu tentang dirinya yang sebenarnya. Apa yang
selama ini dikhawatirkan, menjadi kenyataan juga.
"Apa tindakan kita selanjutnya, Kakang?" tanya
Rapasak memecah keheningan yang terjadi di an-
tara mereka. Gagak Ireng tidak langsung menjawab, tapi ma-
lah bangkit berdiri dan melangkah perlahan-lahan keluar beranda rumahnya yang
besar dan megah
ini. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk di
kursinya. Dipandanginya kakak angkatnya itu
dengan berbagai macam perasaan. Kehadiran
Pendekar Rajawali Sakti memang bisa menimbul-
kan kesulitan besar bagi mereka.
"Laksanakan saja tugasmu, Rapasak. Biar Pen-
dekar Rajawali Sakti aku yang tangani," tegas Gagak Ireng.
"Baik, Kakang," sahut Rapasak.
"Ada utusan Adipati Bayaga datang. Temuilah
dulu, Rapasak," kata Gagak Ireng lagi.
"Utusan..." Mau apa...?" Rapasak seperti ber-
tanya pada diri sendiri.
"Sebaiknya temui saja, dan tanyakan keper-
luannya," perintah Gagak Ireng.
"Baik, Kakang."
Rapasak bergegas bangkit dan melangkah
menghampiri utusan kadipaten yang mengenakan
seragam berpangkat punggawa. Ada dua orang
utusan. Sedangkan Gagak Ireng hanya memperha-
tikan saja. Rapasak berbicara sebentar dengan kedua utusan berpangkat punggawa
itu, kemudian bergegas kembali menemui Gagak Ireng setelah
kedua utusan itu pergi.
"Berita apa yang dibawa kedua punggawa itu?"
tanya Gagak Ireng langsung, begitu Rapasak ada
di depannya. "Adipati Bayaga meminta Kakang segera meng-
hadap," jawab Rapasak.
"Hm.... Ada apa dia memanggilku...?" gumam
Gagak Ireng bertanya sendiri.
"Mereka tidak mengatakannya. Kakang hanya
diminta segera menghadap," jelas Rapasak lagi.
"Aku sendiri?"
"Iya."
"Baiklah. Siapkan kudaku, Rapasak."
"Baik, Kakang."
Rapasak bergegas meninggalkan kakak angkat-
nya. Sementara Gagak Ireng masih tetap berdiri di beranda depan rumahnya.
Keningnya jadi berkerut. Dia menduga-duga, apa yang akan dibicara-
kan Adipati Bayaga, sehingga memanggilnya seca-
ra mendadak begini. Sementara itu Rapasak su-
dah datang lagi sambil menuntun seekor kuda
yang tinggi dan tegap berwarna coklat tua.
Gagak Ireng segera menghampiri, lalu melom-
pat naik ke punggung kuda. Gerakannya indah
dan ringan sekali. Sebentar dia tercenung, kemudian menatap Rapasak yang masih
berdiri di sam-
pingnya. "Sebaiknya kau jangan ke mana-mana dulu.
Tunggu sampai aku kembali," pesan Gagak Ireng.
"Baik, Kakang," sahut Rapasak seraya men-
gangguk. "Hiya...!"
Gagak Ireng menggebah kudanya meninggalkan
rumah kediamannya ini. Sementara Rapasak
hanya memperhatikan saja sampai kakak angkat-
nya lenyap dari pandangan. Gagak Ireng berbelok ke kanan begitu melewati pintu
gerbang rumahnya. Tapi mendadak saja laju kudanya dihentikan begitu dilihatnya
dua orang punggawa utusan
Adipati Bayaga berada di tengah jalan seperti
menghadang. Perlahan Gagak Ireng mendepak ku-
danya hingga berjalan perlahan menghampiri ke-
dua punggawa itu.
"Kenapa kalian masih di sini?" tegur Gagak
Ireng. "Kami diperintahkan untuk bersama-sama den-
ganmu, Gusti Gagak Ireng," sahut salah seorang
punggawa itu dengan sikap hormat.
"Kalian berangkatlah lebih dahulu!" perintah
Gagak Ireng. "Maaf, Gusti. Kami hanya menjalankan perin-
tah Gusti Adipati."
Gagak Ireng memandangi dua orang punggawa
itu, sehingga kelopak matanya agak menyipit. Dia merasa ada suatu keanehan dari
sikap kedua punggawa itu. Lagi pula, tidak biasanya Adipati Bayaga memanggil dengan mengutus
dua orang punggawa. Biasanya bila Adipati Bayaga memerlu-
kannya, paling hanya mengutus prajurit renda-
han. Bahkan tidak pernah ditunggui seperti ini.
"Mari, Gusti Gagak Ireng. Gusti Adipati Bayaga
sudah menunggu di kadipaten," ajak punggawa itu lagi, masih bersikap hormat.
"Kalian tahu, kenapa Adipati Bayaga meminta-
ku segera menghadap?" tanya Gagak Ireng.
"Kami tidak tahu, Gusti. Kami hanya diperin-
tahkan menjemputmu. Hanya itu saja perintah da-
ri Gusti Adipati. Dan kami harus datang bersama-sama," jelas punggawa itu.
"Kalau begitu, kuperintahkan kalian untuk
kembali lebih dahulu. Katakan pada Adipati Baya-ga. Aku ada urusan dulu, dan
segera mene- muinya," perintah Gagak Ireng tegas.
"Maafkan kami, Gusti. Kami..."
"Laksanakan perintahku!" bentak Gagak Ireng
memutus cepat. "Tapi, Gusti...."
"Kalian ingin membangkang perintahku, ya..."!"
Kedua punggawa itu saling berpandangan, dan
tampak serba salah. Sulit menentukan, perintah
siapa yang harus dituruti. Sedangkan Gagak Ireng memandangi dengan mata memerah
menyorot tajam.
"Tunggu apa lagi..." Cepat pergi!" bentak Gagak Ireng.
"Gusti, kami..."
"Setan...! Kalian ingin mampus, ya..."!" Gagak
Ireng jadi geram melihat kebandelan kedua pung-
gawa yang tidak sudi menuruti perintahnya.
Kedua punggawa itu kembali saling melempar-
kan pandang. "Pembangkang...! Mampus kau! Yeaaah...!" Ga-
gak Ireng tidak bisa lagi menahan kemarahannya.
Bagaikan kilat dia melompat cepat. Langsung di-
berikannya pukulan keras bertenaga dalam tinggi kepada dua orang punggawa itu.
Begitu cepat serangannya, sehingga kedua punggawa itu tidak
sempat lagi menghindar.
Kedua punggawa itu menjerit keras melengking,
begitu kepala mereka terkena pukulan keras ber-
tenaga dalam tinggi yang dilepaskan Gagak Ireng.
Seketika itu juga mereka terpental jatuh dari
punggung kudanya. Sedangkan Gagak Ireng kem-
bali melenting, lalu duduk lagi di punggung ku-
danya. Dia mendengus melihat kedua punggawa
itu sudah tergeletak, tewas seketika. Kepala mereka pecah berlumuran darah.
Jeritan kedua punggawa itu rupanya terdengar
sampai ke dalam rumah kediaman Gagak Ireng.
Tampak Rapasak dan enam orang pengikutnya
berlari-lari menghampiri. Rapasak terkejut melihat dua orang punggawa utusan
adipati sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala hancur ber-
lumuran darah. Sedangkan Gagak Ireng duduk
angkuh di punggung kudanya.
"Kenapa mereka, Kakang?" tanya Rapasak.
"Singkirkan mayat mereka!" perintah Gagak
Ireng tanpa menjawab pertanyaan adik angkatnya.
Enam orang yang berada di belakang Rapasak
bergegas menggotong kedua punggawa itu, dan
membawa masuk ke dalam lingkungan rumah ke-
diaman Gagak Ireng. Sedangkan Rapasak masih
berdiri di depan Gagak Ireng yang tetap duduk di punggung kudanya.
"Kenapa Kakang membunuh mereka?" tanya
Rapasak. "Dengar.... Aku paling tidak suka ada orang
yang membangkang perintahku. Sekarang, kau
minggirlah. Dan jangan ke mana-mana sampai
aku kembali!" tegas Gagak Ireng.
Rapasak tahu kalau darah Gagak Ireng sedang
mendidih. Maka, pemuda itu tidak sudi bernasib
seperti punggawa itu. Bergegas tubuhnya me-
nyingkir ke tepi. Gagak Ireng menatap adik ang-
katnya sebentar, kemudian cepat menggebah ku-
danya. "Kejadian ini pasti akan berbuntut panjang.
Hhh... sebaiknya harus kusiagakan semua orang,"
gumam Rapasak langsung bisa membaca keadaan
yang akan dihadapi atas kejadian ini.
Bergegas pemuda itu kembali ke rumah besar
dikelilingi tembok batu bagai benteng itu. Dua
orang yang menjaga pintu gerbang segera menu-
tup pintu begitu diperintahkan Rapasak.
*** Sementara itu di Balai Pendopo Agung Istana
Kadipaten, Adipati Bayaga tampak gelisah. Laki-
laki setengah baya itu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan yang berukuran
sangat luas ini.
Beberapa orang prajurit terlihat berjaga-jaga di sekitar Pendopo Agung Istana
Kadipaten. Sedangkan tidak jauh dari Adipati Bayaga, terlihat seorang gadis
berbaju biru muda yang tengah berdiri
memperhatikan. Gadis berwajah cantik yang me-
nyandang pedang bergagang kepala naga di pung-
gung itu adalah Pandan Wangi.
"Sebaiknya Gusti jangan kelihatan gelisah begi-
tu. Dia akan curiga kalau Gusti Adipati tidak bisa tenang," Pandan Wangi
memperingatkan.
"Bagaimana mungkin aku bisa tenang, Nini
Pandan Wangi. Ini menyangkut mati hidupku. Ma-
sa depanku...," sergah Adipati Bayaga.
Pandan Wangi jadi terdiam.
"Aku sudah melakukan kesalahan besar den-
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan memberi jabatan tinggi pada seorang penjahat besar seperti si Penyamun Bukit
Tengkorak itu,"
lanjut Adipati Bayaga.
Pandan Wangi masih terdiam. Memang benar
apa yang baru saja dikatakan Adipati Bayaga. La-ki-laki setengah baya itu telah
melakukan kesalahan besar, sehingga bisa mengancam kelangsun-
gan hidupnya. Bahkan bisa membuat kehancuran
bagi Kadipaten Wadas Lintang ini. Pandan Wangi
memang sudah memberi tahu, siapa sebenarnya
Gagak Ireng itu. Dalam kalangan kaum persilatan, dia dikenal berjuluk Penyamun
Bukit Tengkorak!
"Nini Pandan.... Apa rencana ini akan berhasil
baik?" tanya Adipati Bayaga.
"Mudah-mudahan saja, Gusti Adipati. Kita ber-
harap agar Gusti Prabu bisa membungkam pengi-
kut-pengikut si Penyamun Bukit Tengkorak," sa-
hut Pandan Wangi.
"Aku benar-benar tidak ada gunanya. Tidak
pantas menjadi adipati," keluh Adipati Bayaga.
"Jangan berkata seperti itu, Gusti. Tidak sela-
manya kita selalu benar. Adakalanya kita juga melakukan kesalahan. Apakah itu
besar, atau kecil.
Tidak ada manusia yang sempurna, Gusti," Pan-
dan Wangi menasihati, membesarkan hati Adipati
Wadas Lintang ini.
"Sulit rasanya menjadi orang yang baik dan
sempurna," desah Adipati Bayaga mengeluh lagi.
"Kau sudah melakukan yang terbaik. Gusti
Prabu pasti bisa memakluminya. Aku yakin...," la-gi-lagi Pandan Wangi
membesarkan hati Adipati
Bayaga. "Kau beruntung, Nini Pandan. Kau bisa berada
terus di sampingnya, dan pasti sudah mengenal
betul watak-wataknya," kata Adipati Bayaga lagi.
Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Memang
tidak mudah bisa selalu bersama-sama seorang
pendekar digdaya yang sangat disegani di kalan-
gan persilatan. Pandan Wangi memang merasa
bersyukur bisa selalu bersama-sama Pendekar Ra-
jawali Sakti. Bahkan selama berada di samping
pendekar muda itu, sudah banyak pelajaran yang
dipetiknya. Dan gadis itu tidak malu-malu lagi
mengungkapkan perasaan hatinya yang menga-
gumi Rangga. Apa saja yang dilakukan Rangga,
seperti tak terlihat ada kesalahan sedikit pun. Baginya, Pendekar Rajawali Sakti
adalah seorang pendekar muda yang sangat sempurna. Tak ada
lagi yang bisa menandinginya dalam segala hal.
"Hm.... Kenapa dia belum muncul juga, Nini
Pandan...?" gumam Adipati Bayaga seperti ber-
tanya pada diri sendiri.
"Kita tunggu saja. Barangkali sebentar lagi,"
sahut Pandan Wangi.
Mereka kembali terdiam. Adipati Bayaga me-
langkah mendekati jendela. Tapi belum juga sam-
pai ke jendela, mendadak saja sebuah benda melesat cepat ke arahnya, masuk dari
jendela yang terbuka lebar itu.
"Awas...!" seru Pandan Wangi memperingatkan.
"Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat cepat
ke arah Adipati Bayaga yang terlongong terkejut.
Dan sebelum benda hitam itu bisa menghantam
tubuh Adipati Bayaga, Pandan Wangi sudah men-
dorong tubuhnya. Sehingga, adipati itu jatuh terguling ke lantai. Pandan Wangi
sendiri segera melentingkan tubuhnya, menghindari terjangan ben-
da hitam itu. "Hup!"
Manis sekali si Kipat Maut menjejakkan ka-
kinya di lantai yang licin dan berkilat ini. Sekilas benda hitam itu masih
sempat terlihat menghantam dinding, tepat di bawah sebuah lukisan besar yang
menempel di dinding ruangan Balai Pendopo
Agung ini. Dengan dua kali lompatan saja, Pandan Wangi bisa mencapai dinding
itu. Sementara, Adipati Bayaga bergegas bangkit dan menghampiri.
Pandan Wangi mencabut benda hitam yang ter-
nyata adalah sebatang anak panah berukuran ke-
cil. "Gagak Ireng...," desis Pandan Wangi.
"Jadi.... Dia ada di sini, Nini Pandan...?" tanya Adipati Bayaga, langsung
memucat wajahnya.
"Benar. Ini adalah senjata rahasia Gagak Ireng,"
sahut Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah banyak diberi tahu
tentang si Penyamun Bukit Tengkorak oleh para
pendekar Bukit Gantang. Meskipun belum pernah
bertemu orangnya, tapi dari cerita mengenai Ga-
gak Ireng yang didengar, sudah bisa diketahui kalau senjata rahasia ini milik si
penyamun itu. "Kau di sini saja, Gusti Adipati. Hup...!"
Pandan Wangi cepat melesat keluar dari ruan-
gan ini melalui jendela, sebelum Adipati Bayaga bisa membuka suara. Begitu cepat
lesatannya, sehingga dalam sekejapan saja sudah lenyap di luar jendela. Adipati
Bayaga bergegas berlari mendekati jendela itu. Dia masih sempat melihat Pandan
Wangi melenting tinggi ke atas atap.
Tap! Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pandan
Wangi hinggap di atas atap. Gadis itu langsung
mengedarkan pandangan berkeliling. Tak ada yang dapat dilihat dan dicurigai.
Keadaan di sekitar istana kadipaten ini begitu tenang. Bahkan para
prajurit yang berjaga-jaga di sekitar tempat itu masih tetap di tempatnya. Tak
ada yang berubah
sama sekali. Tapi begitu dia berpaling ke arah kiri, mendadak saja....
"Heh..."!"
Slap! ***** 7 Pandan Wangi cepat-cepat melenting ke udara
begitu melihat sebuah benda hitam berbentuk
anak panah kecil meluruk deras ke arahnya. Anak
panah hitam kecil itu lewat sedikit di bawah kaki Pandan Wangi. Dengan gerakan
indah sekali, si
Kipas Maut kembali mendarat di atap. Dan pada
saat itu, sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambarnya.
"Hiyaaa...!"
Pandan Wangi kembali melenting ke udara,
menghindari sambaran bayangan yang berkelebat
cepat. Beberapa kali dia berputar di udara, dan terus meluruk turun ke bawah.
Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, gadis itu menjejakkan kaki di atas tanah berumput tebal. Dan
sebelum bisa menarik napas, kembali terlihat sebuah bayangan
putih meluruk deras ke arahnya dari atas atap.
"Hup! Yeaaah...!"
Pandan Wangi cepat menghentakkan kedua
tangannya ke depan menyambut terjangan lawan.
Tapi bayangan putih itu cepat bisa menghindar.
Tubuhnya diputar beberapa kali dan mendarat
ringan di belakang Pandan Wangi. Tanpa diduga
sama sekali, satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi cepat dilepaskan.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Pandan Wangi masih bisa menghindari pukulan
dari belakang dengan mengegoskan tubuhnya ke
kanan. Cepat tubuhnya diputar dan langsung di-
berikannya satu tendangan secara berputar ke belakang. Orang berbaju serba putih
itu melompat berputar ke belakang, menghindari tendangan
Pandan Wangi. Dua kali tubuhnya berputar ke be-
lakang, lalu manis kakinya mendarat di tanah berumput.
"Hm...," gumam Pandan Wangi perlahan.
Kini di depan si Kipas Maut itu telah berdiri
seorang laki-laki setengah baya. Bajunya ketat
berwarna putih dan bersih. Sebilah pedang ber-
bentuk aneh tampak tergantung di pinggangnya.
Pandan Wangi memperhatikan dari ujung kepala
hingga ke ujung kaki. Sementara itu, Adipati
Bayaga yang berada di dekat jendela segera me-
lompat ke luar. Langsung dihampirinya Pandan
Wangi. Dia berdiri di samping kanan si Kipas Maut itu. "Gagak Ireng! Kenapa kau
datang dengan cara seperti ini...?" tegur Adipati Bayaga tidak senang.
"Kau yang menginginkannya demikian, Adipati
Bayaga," sahut laki-laki separuh baya yang ternyata memang Gagak Ireng. Nada
suaranya terdengar
begitu sinis. "Apa maksudmu...?"
"Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Adipa-
ti Bayaga," tetap sinis nada suara Gagak Ireng.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Adipati Bayaga
tegas. "Aku rasa, kau sudah tahu tentang diriku, Adi-
pati Bayaga," sahut Gagak Ireng semakin sinis.
Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang be-
rada di samping Adipati Bayaga. Bibirnya kemu-
dian menyunggingkan senyuman sinis. Sedangkan
Pandan Wangi hanya menatap saja dengan sinar
mata tajam, menusuk langsung ke bola mata si
Penyamun Bukit Tengkorak itu.
"Kau pasti si Kipas Maut," desis Gagak Ireng
pada Pandan Wangi.
"Tidak salah," sahut Pandan Wangi disertai se-
nyum tipis tersungging di bibirnya.
Gagak Ireng mendengus kecil. Sikapnya begitu
meremehkan si Kipas Maut itu. Sama sekali dia tidak memandang gadis cantik
berbaju biru yang
bergelar si Kipas Maut ini. Gagak Ireng sudah banyak mendengar tentang Pandan
Wangi. Sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian
gadis itu, walaupun baru kali ini bertemu muka.
Dan dari pertarungan sekejap tadi, Gagak Ireng
sudah bisa membaca tingkat kepandaian Pandan
Wangi. "Gagak Ireng! Apa tujuanmu sebenarnya di Ka-
dipaten Wadas Lintang ini"!" tanya Adipati Bayaga, memecah kebisuan yang terjadi
di antara mereka.
"Aku hanya ingin menuntut sedikit hakku di
sini," sahut Gagak Ireng dingin dan datar sua-
ranya. "Jasaku di kadipaten ini telah banyak, Adipati Bayaga."
"Hak apa...?" tanya Adipati Bayaga lagi.
"Sebagian wilayah kadipaten ini seharusnya
menjadi daerah kekuasaanku. Terutama wilayah
Gantang!" "Tidak ada hakmu di sini, atau di mana saja,
Gagak Ireng."
Tiba-tiba saja terdengar suara berat menggema.
Semua yang ada di tempat itu langsung berpaling ke arah suara yang datang tiba-
tiba itu. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan kuning agak kehitaman dari
atas atap. Tahu-tahu di antara me-
reka sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari enam puluh tahun. Dia
mengenakan baju dari kulit binatang. Mereka tentu saja sudah mengenalnya. Tapi
Gagak Ireng sempat terkejut juga.
Sehingga, mulutnya mendesis tatkala menyebut
nama orang yang tiba-tiba muncul itu.
*** "Ki Gandapara...," desis Gagak Ireng terkejut.
"Seharusnya kau tidak perlu lagi datang ke sini, Gagak Ireng. Tidak ada lagi
tempat untukmu di
Kadipaten Wadas Lintang ini!" terasa begitu dingin nada suara laki-laki berusia
enam puluh tahun le-
bih yang mengenakan baju dari kulit binatang itu.
Dia memang Ki Gandapara, tokoh tertua dari Bu-
kit Gantang. Orang inilah yang dianggap menjadi pelindung para pendekar muda di
Bukit Gantang. "Mampukah kau mengusirku, Gandapara..."!
Bertahun-tahun aku merencanakan semua ini.
Aku berhak untuk tinggal di sini, karena Kadipaten Wadas Lintang ini tempat
kelahiranku. Kau
tahu itu, Gandapara..."!" lantang sekali suara Gagak Ireng.
"Semua orang memang berhak tinggal di sini.
Tapi, tentu saja orang yang baik-baik. Tidak seperti kau, Gagak Ireng...! Di
mana kau berada, selalu saja menimbulkan kekacauan. Kau pikir, aku tak
tahu apa rencanamu"! Semua perbuatanmu kau
tuduhkan pada pendekar-pendekar Bukit Gan-
tang. Sementara, kau enak-enakan dengan kedu-
dukan tinggi di samping Adipati!" lantang sekali suara Ki Gandapara.
"Tutup mulutmu, Gandapara! Tidak semudah
itu kau memutarbalikkan kenyataan...!" bentak
Gagak Ireng. Seketika, wajahnya jadi memerah
mendengar kata-kata Ki Gandapara.
"Tidak ada yang memutarbalikkan kenyataan,
Gagak Ireng. Semua ini kau rencanakan hanya
untuk memenuhi nafsu angkara murkamu saja!"
"Keparat...! Kubunuh kau, Gandapara!" Gagak
Ireng jadi geram setengah mati.
Gagak Ireng sudah memegang gagang pedang
yang masih tergantung di pinggangnya. Sedangkan Ki Gandapara sudah bisa membaca
gelagat tidak baik ini. Wajahnya lalu berpaling pada Pandan
Wangi dan Adipati Bayaga.
"Menjauhlah kalian," pinta Ki Gandapara. Pan-
dan Wangi segera melangkah mundur diikuti Adi-
pati Bayaga. Sementara Ki Gandapara menggeser
kakinya beberapa tindak. Sinar matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola
mata Gagak Ireng.
"Kau memang selalu menjadi penghalangku,
Gandapara. Tidak ubahnya seperti gurumu. Maka
sudah saatnya kau masuk ke liang kubur!" desis
Gagak Ireng, dingin menggeletar.
"Hm...," Ki Gandapara hanya menggumam pe-
lan. "Bersiaplah, Gandapara! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Gagak Ireng melompat mener-
jang sambil mengirimkan satu pukulan menggele-
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hait...!"
Ki Gandapara cepat-cepat mengegoskan tubuh,
menghindari pukulan yang mengarah lurus ke da-
danya. Dan begitu pukulan Gagak Ireng lewat di
samping tubuhnya, cepat sekali Ki Gandapara
mengebutkan tangan kiri, menyodok ke arah lam-
bung. Tapi Gagak Ireng lebih cepat lagi berkelit.
Tubuhnya segera ditarik ke belakang, lalu melenting berputar ke belakang sambil
menghentakkan satu tendangan keras dengan kedua kakinya.
"Uts!"
Hampir saja telapak kaki Gagak Ireng mampir
di muka Ki Gandapara. Untung saja laki-laki itu segera menarik kepalanya ke
belakang. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah
melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat pukulannya sehingga Ki Gandapa-
ra tidak sempat lagi menghindar. Pukulan yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu
mendarat telak di dada Ki Gandapara yang terbu-
ka lebar. Desss! "Akh...!" Ki Gandapara terpekik agak tertahan.
Tubuh laki-laki tua itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil mendekap dadanya yang seketika
itu juga jadi terasa amat sesak. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya,
cepat-cepat dila-
kukannya beberapa gerakan. Dengan gerakan ini,
rasa sesak yang timbul di dadanya akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam
tinggi tadi dapat terusir.
"He he he.... Itu baru permulaan, Gandapara,"
ujar Gagak Ireng seraya terkekeh mengejek.
Sementara itu Pandan Wangi yang melihat Ki
Gandapara terkena pukulan dalam beberapa jurus
saja, sudah akan melompat membantu. Tapi sebe-
lum bertindak, Adipati Bayaga sudah lebih dahulu mencegah. Sementara, Ki
Gandapara tampaknya
sudah bisa menguasai diri kembali, dan sudah
siap melakukan pertarungan. Kedua tangannya
berada agak melintang di depan dada. Perlahan
kakinya bergerak menggeser, menyusur tanah ke
arah kanan. Sedangkan tatapan matanya begitu
tajam tak berkedip sedikit pun.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
*** Secara bersamaan, kedua laki-laki itu melom-
pat sambil mengebutkan kedua tangannya ke de-
pan. Dan pada satu titik tengah di udara, dua pasang telapak tangan yang
mengandung tenaga da-
lam tinggi itu beradu keras di udara. Begitu ke-rasnya, sehingga menimbulkan
ledakan dahsyat
menggelegar. Tampak mereka sama-sama terpental ke bela-
kang tapi juga mereka menguasai keseimbangan
tubuhnya, kemudian kembali saling menerjang.
Masing-masing menggunakan jurus yang cepat
dan dahsyat luar biasa. Pertarungan langsung terjadi begitu cepat, membuat
tubuh-tubuh mereka
seperti lenyap.
Suara ledakan keras dan pekik pertarungan
berbaur menjadi satu. Suara pertarungan itu
membuat prajurit-prajurit kadipaten jadi memada-ti sekitar pertarungan. Dan
kehadiran para prajurit itu rupanya tidak mempengaruhi jalannya pertarungan yang
semakin kelihatan dahsyat. Entah
sudah berapa jurus berlangsung. Tapi tampaknya
pertarungan itu masih akan terus berlangsung.
Mereka memang tokoh tua yang berkepandaian
tinggi. Sehingga, gerakan-gerakannya sulit diikuti pandangan mata biasa.
Sementara itu, para prajurit kadipaten semakin
banyak yang datang memenuhi tempat itu. Mereka
semua sudah menghunus senjata masing-masing,
meskipun belum ada perintah dari Adipati Bayaga yang masih terpana menyaksikan
indahnya pertarungan dua tokoh tua digdaya itu.
"Awas kepala...!" seru Gagak Ireng tiba-tiba.
Teriakan Gagak Ireng yang begitu keras meng-
gelegar membuat Ki Gandapara jadi terkejut se-
tengah mati. Terlebih lagi, teriakan itu disusul sa-tu kebutan tangan ke arah
kepala yang begitu cepat.
"Uts!"
Untung saja Ki Gandapara cepat-cepat menarik
kepala sehingga kebutan tangan Gagak Ireng tidak sampai mendarat. Tapi pada saat
yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja Gagak Ireng menghen-
takkan kakinya dengan tubuh sedikit berputar ke kiri.
"Heh..."!" Ki Gandapara terkejut setengah mati.
Tapi belum sempat dia berbuat sesuatu, ten-
dangan Gagak Ireng sudah mampir di dadanya.
"Hegkh!"
Ki Gandapara terhuyung-huyung ke belakang
sambil memegangi dadanya. Tendangan Gagak
Ireng begitu telak, sehingga membuat Ki Gandapa-ra jadi sulit bernapas. Seakan-
akan ada sebong-
kah batu yang begitu besar menghimpit dadanya.
"Mampus kau sekarang, Gandapara!
Hiyaaat...!"
Sret! Bet! Ki Gandapara cepat-cepat melenting berputar
ke belakang, begitu Gagak Ireng mencabut pedang yang langsung dikebutkan ke arah
perut. Gagal dengan serangan pertama, Gagak Ireng tidak ber-
henti sampai di situ saja. Kebutan pedangnya terus mencecar cepat dan beruntun.
Akibatnya Ki Gandapara terpaksa harus berjumpalitan meng-
hindari tebasan-tebasan pedang hitam berbentuk aneh yang mengeluarkan asap
kehitaman mengandung racun.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Gagak Ireng melompat ke udara
hingga melewati kepala Ki Gandapara. Dan tahu-
tahu, dia sudah berada di belakang pendekar dari Bukit Gantang itu. Bagaikan
kilat, pedangnya dikebutkan sambil memutar tubuhnya ke arah
punggung Ki Gandapara.
"Yeaaah...!"
Wuk! Cras! "Akh....!"
Satu pekikan keras agak tertahan terdengar be-
gitu ujung pedang Gagak Ireng merobek kulit
punggung Ki Gandapara. Seketika itu juga darah
segar muncrat dari punggung yang sobek terbabat pedang. Ki Gandapara terhuyung-
huyung ke de- pan. Dia berusaha cepat berbalik. Tapi pada saat tubuhnya berputar, mendadak
saja Gagak Ireng
sudah cepat sekali membabatkan pedangnya kem-
bali. "Yeaaah...!"
Bret! "Aaa...!"
Ki Gandapara semakin terhuyung-huyung begi-
tu ujung pedang Gagak Ireng membabat dadanya.
Kembali darah muncrat dari dadanya yang terbe-
lah cukup lebar. Sementara itu, Gagak Ireng mengedarkan pandangan berkeliling.
Dia tahu, seki-
tarnya sudah terkepung rapat. Rasanya tak
mungkin bisa menghadapi begitu banyak orang,
meskipun mereka hanya para prajurit yang ke-
pandaiannya tidak seberapa.
"Setan!" dengus Gagak Ireng. "Hup! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Gagak Ireng melesat cepat ke
atas atap sebelum ada seorang pun yang menya-
dari. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada
di atas atap bangunan istana kadipaten itu. Dan dia langsung melompat pergi
melalui bagian belakang.
"Keparat...! Hiyaaat...!"
Pandan Wangi yang cepat menyadari lebih da-
hulu, segera saja melompat ke atas atap hendak
mengejar. Tapi begitu menjejakkan kakinya di
atap, bayangan tubuh Gagak Ireng sudah tidak
terlihat lagi. "Sial...!" rutuk Pandan Wangi.
Kembali si Kipas Maut meluruk turun dan
menghampiri Adipati Bayaga yang sudah berada di samping tubuh Ki Gandapara.
Pendekar utama Bukit Gantang itu tergeletak di tanah dengan darah mengucur dari luka di
punggung dan da-
danya. Walaupun terluka cukup parah, dia masih
bisa memberi senyum pada Adipati Bayaga dan
Pandan Wangi. "Maaf. Aku akan menghentikan darahmu," ujar
Pandan Wangi. Cepat gadis itu memberi beberapa totokan di
sekitar luka di punggung dan dada Ki Gandapara.
Sebentar saja darah berhenti mengucur dari luka yang menganga cukup lebar itu.
Adipati Bayaga segera memerintahkan beberapa prajurit untuk
memindahkan Ki Gandapara ke dalam.
"Aku akan menyusul si Penyamun Bukit Teng-
korak itu, Gusti Adipati," kata Pandan Wangi.
"Tidak menunggu Gusti Prabu dulu, Nini Pan-
dan?" "Tidak ada waktu lagi, Gusti."
Adipati Bayaga tidak bisa lagi mencegah. Pan-
dan Wangi sudah melesat cepat meninggalkan ha-
laman samping istana kadipaten itu. Gerakannya
cepat luar biasa. Begitu ringannya dia melompati benteng batu yang mengelilingi
bangunan ini, lalu langsung lenyap di balik dinding benteng dari batu itu.
Sementara Adipati Bayaga bergegas melangkah masuk ke dalam istananya, begitu
Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi.
***** 8 Sementara itu Gagak Ireng sudah tiba di ru-
mahnya yang dikelilingi pagar batu yang tinggi dan tebal bagai benteng.
Keningnya jadi berkerut begitu melihat pintu gerbang rumahnya terbuka lebar.
Namun, tidak ada seorang pun yang terlihat men-
jaga di sana. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu
melompat turun dari punggung kudanya dengan
gerakan indah dan ringan bagai kapas. Tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di depan pintu gerbang tempat
kediamannya. Perlahan Gagak Ireng melangkah melewati pin-
tu gerbang yang terbuka lebar. Kelopak matanya
jadi terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman depan.
Bergegas kakinya diayun menuju ke beranda, begitu melihat
Rapasak duduk lesu di tepian beranda depan. Pe-
dang yang tergenggam di tangannya penuh berlu-
muran darah. Rapasak mengangkat kepalanya se-
dikit begitu mendengar suara langkah kaki meng-
hampiri. "Rapasak, apa yang terjadi di sini...?" Gagak
Ireng langsung bertanya begitu dekat di depan
adik angkatnya ini.
"Tidak ada lagi yang tersisa, Kakang...," pelan sekali suara Rapasak seraya
mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Gagak Ireng juga mengedarkan pandangannya
berkeliling. Entah berapa jumlah tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Di
antara mayat- mayat itu terdapat mayat-mayat berseragam pra-
jurit kadipaten. Bahkan ada juga yang berpangkat punggawa. Mereka bercampur
saling tumpang-tindih dengan orang-orang berpakaian seperti
layaknya kaum persilatan. Bau anyir darah begitu keras menusuk hidung, terbawa
angin yang ber-hembus perlahan.
"Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini,
Kakang," usul Rapasak, masih pelan suaranya.
Gagak Ireng masih terdiam membisu.
"Kita tidak punya kekuatan lagi. Semua sudah
habis. Tak ada lagi yang tersisa," sambung Rapasak seraya bangkit berdiri.
"Mereka sudah menge-
tahui siapa kita sebenarnya. Bahkan sudah tahu
tujuan kita yang sesungguhnya di sini."
Gagak Ireng masih tetap diam membisu. Sung-
guh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti
ini. Suatu kehancuran siasat yang tidak pernah
dibayangkan. Kini tak ada lagi pengikutnya yang tersisa. Dulu ketika
gerombolannya digulung para pendekar Bukit Gantang, dia masih memiliki anak buah
sedikitnya dua puluh orang. Tapi sekarang.... Tak satu pun yang tersisa lagi.
Mereka semua tewas. Hanya Rapasak saja yang masih tetap
bertahan hidup.
"Apa yang terjadi di sini, Rapasak" Bagaimana
mereka bisa terbunuh semua?" tanya Gagak Ireng
meminta penjelasan.
"Pendekar Rajawali Sakti dan pendekar-
pendekar Bukit Gantang menyerbu ke sini, tidak
lama setelah Kakang pergi. Panggilan itu hanya je-bakan saja, Kakang. Tempat ini
sudah terkepung
prajurit. Kami mencoba bertahan, tapi mereka
memang lebih kuat. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sendiri tidak
sanggup memben-
dung gempurannya," jelas Rapasak.
"Kenapa kau sendiri masih bisa hidup...?"
"Aku menyerah setelah tak ada lagi yang tersi-
sa. Mereka akan menjemputku setelah Kakang ter-
tangkap di istana," sahut Rapasak.
"Menjemput..." Apa maksudmu, Rapasak?"
"Kakang...," agak tersekat suara Rapasak. "Di
belakang...."
Gagak Ireng memalingkan kepala begitu meli-
hat pandangan Rapasak tertuju lurus ke belakang punggung melalui bahunya. Gagak
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ireng jadi terbeliak begitu di belakangnya tahu-tahu sudah
berkumpul puluhan prajurit. Tampak berdiri pal-
ing depan, Adipati Bayaga, Pendekar Rajawali Sak-
ti, si Kipas Maut, Balung Samodra, dan beberapa orang pendekar Bukit Gantang.
Perlahan Gagak Ireng memutar tubuhnya. Saat
itu, Adipati Bayaga sudah melangkah maju di-
dampingi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas
Maut. Mereka berhenti saat berjarak beberapa
langkah lagi di depan Gagak Ireng dan Rapasak.
Sedangkan para prajurit kadipaten dan jago-jago Bukit Gantang sudah menyebar,
mengepung halaman depan yang cukup luas ini.
"Hanya ada satu pilihan, Gagak Ireng. Tak ada
gunanya lagi melawan," tegas Adipati Bayaga.
"Phuih! Penyamun Bukit Tengkorak pantang
menyerah!" dengus Gagak Ireng seraya menyem-
burkan ludahnya.
"Aku paling tidak suka melihat perusuh keras
kepala berkeliaran di wilayahku," desis Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
"Hhh! Orang lain boleh terkencing-kencing
mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Ta-
pi jangan harap aku gentar mendengar gertakan-
mu!" dengus Gagak Ireng dingin.
"Gagak Ireng! Kuharap kau tidak membuat ke-
sulitan pada dirimu sendiri. Kau tidak punya pilihan lain lagi. Menyerahlah, dan
terima hukuman yang akan dijatuhkan pengadilan nanti," ujar
Rangga, dingin dan tegas sekali.
"Jangan banyak omong! Majulah kalau ingin
menangkapku!" bentak Gagak Ireng nekat.
Sret! Gagak Ireng langsung mencabut pedang ke-
banggaannya. Sebilah pedang berbentuk aneh
yang bagian ujungnya bercabang dua, dan memi-
liki tujuh kelukan. Dari mata pedang itu menge-
pulkan asap tipis agak kehitaman. Rangga sedikit berkerut keningnya melihat
pamor pedang si Pe-
nyamun Bukit Tengkorak yang begitu dahsyat.
"Mundurlah kalian. Pedang itu mengeluarkan
asap beracun," ujar Rangga pelan seraya melirik Pandan Wangi dan Adipati Bayaga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi menarik
kakinya ke belakang diikuti Adipati Bayaga. Mere-ka memang sudah melihat
kedahsyatan pedang itu
ketika Gagak Ireng bertarung melawan Ki Ganda-
para. Dan memang, asap hitam yang keluar dari
pedang itu membuat pernapasan jadi agak ter-
ganggu. Adipati Bayaga memberi isyarat pada prajurit-
nya untuk menyingkir menjauh. Prajurit-prajurit yang tadinya mengepung rapat,
perlahan bergerak menjauhi tempat itu. Sementara, Rangga masih
berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun.
Sedangkan Gagak Ireng sudah melintangkan pe-
dang di depan dada. Tampak bibirnya bergerak-
gerak mendengungkan suara perlahan seperti le-
bah. "Sudah lama aku ingin mencoba kepandaian-
mu, Pendekar Rajawali Sakti. Majulah, biar batang lehermu cepat bisa kupenggal,"
desis Gagak Ireng dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau tidak ada
gunanya lagi membujuk Gagak Ireng agar menye-
rah. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu sudah be-
nar-benar nekat, dan tak ada lagi pilihan baginya.
Bagi Gagak Ireng, lebih baik mati di dalam pertarungan daripada menyerah menjadi
pesakitan yang tak berdaya apa-apa. Dan itu suatu tekad
wajar di kalangan rimba persilatan. Rangga juga bisa menyadari, sehingga tidak
lagi mencoba membujuk. Di kalangan persilatan, mati dalam pertarungan
lebih terhormat daripada mati di tangan algojo
tanpa dapat berbuat sesuatu. Dan rupanya, Gagak Ireng memang memilih bertarung.
Sehingga Rangga terpaksa harus melayaninya agar Gagak Ireng
lebih terhormat sebagai seorang pesilat sejati.
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaat...!"
"Hup!"
*** Bagaikan kilat Gagak Ireng melompat menye-
rang. Pedangnya dikebutkan ke arah dada Pende-
kar Rajawali Sakti. Tapi hanya sedikit menarik tubuhnya ke belakang, tebasan
pedang berujung ca-
bang dua itu berhasil dielakkan Rangga. Ujung
pedang itu hanya lewat sedikit saja di depan dadanya. Tapi rupanya Gagak Ireng
tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya serangan-serangan cepat dan dahsyat.
Pedangnya ber- kelebatan cepat dan kuat, sehingga seperti lenyap dari pandangan. Hanya
kelebatan bayangan hitam
saja yang terlihat mengurung hampir seluruh tu-
buh Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun Gagak Ireng sudah mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya, tapi tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Pendekar
Rajawali Sakti terlalu gesit untuk didekati. Gerakan-gerakannya begitu lincah
dan ringan, seakan-akan kedua kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali. Belum
lagi gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk indah bagaikan belut. Begitu sulit dan
licin, membuat Gagak Ireng jadi kelabakan sendiri. Apalagi setelah menyadari
kalau setiap serangan yang dilakukan
tidak membawa hasil sedikit pun.
"Gila...! Dia tidak terpengaruh pada asap racun pedangku!" dengus Gagak Ireng
dalam hati. Entah sudah berapa puluh jurus berlalu. Tapi
pertarungan masih juga berlangsung sengit. Se-
mentara Rangga seperti sengaja hendak menguras
habis seluruh tenaga dan kemampuan lawannya.
Hanya sekali-sekali saja Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan balasan.
Itupun sudah membuat Gagak Ireng jadi kelabakan menghindarinya.
Bahkan entah sudah berapa kali harus menerima
pukulan maupun tendangan yang begitu keras,
meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sehingga Gagak Ireng
masih dapat melanjutkan pertarungannya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Gagak Ireng melentingkan tubuh
berputar ke belakang. Lalu, manis sekali kakinya mendarat sekitar dua batang
tombak dari Rangga.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali
tidak mengejar, dan hanya berdiri saja memperhatikan. Kini, Gagak Ireng sudah
kembali bersiap dengan suatu ajian andalannya.
Beberapa kali pedangnya dikebutkan di depan
dada. Maka asap hitam yang keluar dari pedang
Gagak Ireng semakin banyak menggumpal. Kemu-
dian pedangnya dihentakkan lurus ke depan. Se-
hingga asap hitam yang keluar dari pedang ber-
bentuk aneh itu menggumpal membentuk bulatan
di ujungnya. Perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
"Hiyaaa...!"
Wukkk! Cepat sekali Gagak Ireng mengebutkan pe-
dangnya kembali ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu
juga, bulatan asap hitam di ujung pedangnya terlontar cepat bagaikan kilat ke
arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun sedikit pun pemuda berbaju rompi putih itu
tidak bergeming. Bahkan tetap berdiri tegak menerima
serangan itu. Tak pelak lagi, asap hitam itu menghantam tu-
buh Rangga. Bahkan kini menyelubunginya, se-
hingga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terselimut asap hitam yang
pekat dan menggumpal. Tapi beberapa saat kemudian....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah....!"
Begitu kedua tangan Rangga merentang lebar
ke samping, seketika itu juga membersit kilatan cahaya biru terang menyilaukan.
Bersamaan dengan itu, terdengar ledakan keras menggelegar.
Asap hitam yang menggumpal menyelimuti tubuh
Rangga, langsung berpendar habis bagai tertiup angin. Dan kini seluruh tubuh
Rangga berselimut sinar biru menyilaukan.
"Edan....!" desis Gagak Ireng terkejut melihat
hasil serangannya dapat mudah dimusnahkan be-
gitu saja. Belum lagi Gagak Ireng bisa menghilangkan ke-
terkejutannya, cepat sekali Rangga menghentak-
kan kedua tangan ke depan. Maka sinar biru yang menyelubungi tubuhnya langsung
berpindah ke telapak tangan. Dan kini malah melesat cepat
menghantam tubuh Gagak Ireng yang masih ber-
diri terpaku, bagai tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Aaakh...!"
Gagak Ireng menjerit keras begitu cahaya biru
menyelubunginya. Tubuhnya menggeliat, berte-
riak-teriak berusaha keluar dari selubung sinar bi-ru itu. Tapi Rangga terus
mengeluarkan aji 'Cakra Buana Sukma'-nya. Sinar biru yang terus keluar
dari kedua telapak tangannya semakin banyak
menyelimuti seluruh tubuh Gagak Ireng.
Perlahan-lahan tubuh Gagak Ireng tertarik
mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan na-
mun pasti, Gagak Ireng terus bergerak mendekat
sambil menggeliat-geliat berusaha melepaskan di-ri. Tapi semakin keras berusaha,
semakin kuat pula tenaganya tersedot. Dan Gagak Ireng sama
sekali tidak menyadari akibat pengaruh aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikeluarkan
Pendekar Rajawali Sakti. Hingga, tubuhnya semakin dekat den-
gan pemuda berbaju rompi putih itu, masih juga
belum disadarinya.
"Aaakh...!" lagi-lagi Gagak Ireng menjerit ken-
cang melengking tinggi.
Kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti
kini sudah menempel di dada Gagak Ireng. Dan
sinar biru yang keluar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti semakin banyak saja
menyelimuti tu-
buh Gagak Ireng.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan tangan-
nya dengan keras. Akibatnya, tubuh Gagak Ireng
terlontar jauh ke belakang, lalu keras sekali ambruk ke tanah. Laki-laki separuh
baya itu berusa-ha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya sudah terkuras habis.
Dan dia sama sekali tidak bisa
bangkit berdiri. Bahkan untuk menggerakkan tan-
gannya saja begitu sulit. Sementara, sinar biru ki-ni sudah lenyap begitu Rangga
menarik aji 'Cakra Buana Sukma'. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti
melangkah menghampiri dan berdiri tegak di
samping tubuh Gagak Ireng yang tergeletak tak
berdaya lagi. "Bunuhlah aku, Keparat...!" geram Gagak Ireng.
"Kau harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatanmu dulu, Gagak Ireng. Pengadilan nanti yang akan menentukan hukumanmu,"
kata Rangga kalem.
Sementara itu, Adipati Bayaga dan Pandan
Wangi sudah menghampiri diikuti beberapa orang
berseragam prajurit. Kini Rangga menatap Rapa-
sak yang masih saja berdiri tidak mampu berbuat sesuatu lagi. Hatinya begitu
gentar melihat kedahsyatan ilmu kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.
Akibatnya, Gagak Ireng jadi lumpuh. Dia tak
mampu lagi menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
"Ringkus dia. Masukkan ke dalam penjara!" pe-
rintah Adipati Bayaga.
"Baik, Gusti Adipati."
Dua orang prajurit mengangkat tubuh Gagak
Ireng yang sudah lumpuh tak berdaya lagi. Se-
mentara, dua orang prajurit lagi segera menggiring Rapasak yang memang sudah
menyerah. Mereka
melucuti semua senjata yang dibawa Rapasak dan
Gagak Ireng. "Ah! Kalau saja tidak ada Gusti Prabu di sini...,"
desah Adipati Bayaga merasa lega.
"Sudahlah, Paman Adipati. Dan sebaiknya jan-
gan menyebutku Gusti," selak Rangga cepat.
"Maafkan Hamba, Gusti."
Rangga hanya tersenyum saja. Digamitnya len-
gan Pandan Wangi, dan diajaknya pergi dari tem-
pat ini. Tapi sebelum kakinya terayun melangkah, Adipati Bayaga dan Balung
Samodra sudah mencegah. Terpaksa Rangga mengurungkan ayunan
kakinya. *** Rangga jadi tertegun saat Adipati Bayaga me-
minta untuk tinggal beberapa hari di Kadipaten Wadas Lintang ini. Matanya
melirik Pandan Wangi untuk meminta pendapat gadis itu. Tapi Pandan
Wangi hanya mengangkat bahu saja.
"Baiklah. Tapi dengan satu syarat," Rangga
menyerah. "Apa itu, Gusti Prabu?" tanya Adipati Bayaga
sudah gembira mendengar kesediaan Pendekar
Rajawali Sakti menerima permintaannya untuk
tinggal beberapa hari di kadipaten ini.
"Jangan sekali-sekali memanggilku Gusti Pra-
bu. Aku sekarang ini bukan raja, tapi seorang
pendekar kelana yang mengembara dari satu tem-
pat ke tempat lain," kata Rangga mengajukan syarat. "Hanya itu, Gusti...?"
"Iya! Hanya itu saja. Dan aku juga tidak bisa
berlama-lama di sini. Hanya beberapa hari saja.
Bagaimana...?"
"Tentu, Gusti. Tapi..., hamba harus memanggil
apa?" "Panggil saja Rangga."
"Ah! Bagaimana mungkin, Gusti. Tidak patut
hamba memanggil dengan nama saja."
"Kalau tidak mau, ya sudah. Aku akan melan-
jutkan perjalanan sekarang juga," Rangga tidak
memberi pilihan.
"Oh! Jangan..., jangan, Gusti. Baik! Hamba
akan memanggil seperti yang Gusti Prabu ingin-
kan," buru-buru Adipati Bayaga mencegah.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Sebenar-
Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya Pendekar Rajawali Sakti memang bermaksud
tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk beberapa hari sambil melihat-lihat
perkembangan kadipaten di wilayah Kerajaan Karang Setra ini.
Tapi, tentu saja kehadirannya tidak sebagai raja, yang akan membuatnya repot.
Melainkan sebagai
orang biasa dan sebagai pendekar kelana yang
hanya singgah saja untuk beberapa hari.
"Mari, Rangga. Sebaiknya kita segera kembali
ke istana," ajak Adipati Bayaga sudah mulai mem-
biasakan diri memanggil nama saja.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan ha-
laman depan rumah kediaman Gagak Ireng. Se-
mentara, para prajurit yang tadi memadati tempat itu sudah lebih dahulu pergi
membawa Gagak Ireng dan Rapasak yang berhasil ditawan hidup-
hidup. "Hukuman apa yang pantas untuk Gagak Ireng,
Rangga?" tanya Adipati Bayaga sambil terus men-
gayunkan kakinya keluar dari gerbang rumah ini.
"Mau tidak mau, dia akan menerima hukuman
yang dijatuhkan pengadilan nanti. Toh dia sudah tidak lagi memiliki daya. Semua
ilmu kepandaian dan kesaktiannya sudah musnah. Bahkan akan
tetap lumpuh begitu," Pandan Wangi yang menya-
huti. "Oh! Benarkah begitu...?" tanya Adipati Bayaga.
"Benar. Itu akibat dari aji 'Cakra Buana Suk-
ma'. Untung saja Kakang Rangga tidak mengerah-
kannya dalam tingkatan terakhir, sehingga dia
masih bisa hidup. Walaupun harus menderita ke-
lumpuhan seumur hidup," jelas Pandan Wangi la-
gi. "Kalau memang begitu, dia sudah mendapatkan hukuman setimpal. Tidak mungkin
lagi perbuatan buruknya bisa diulangi lagi," kata Adipati Bayaga.
"Tapi tidak demikian halnya Rapasak, Gusti
Adipati," selak Balung Samodra yang berjalan di samping Pandan Wangi.
"Hm.... Rapasak akan menerima hukuman yang
setimpal juga. Entah apa hukuman yang pantas
untuknya nanti. Bagaimana menurutmu, Rang-
ga...?" Adipati Bayaga berpaling menatap Rangga yang berjalan di sebelah
kanannya. "Sebaiknya, ikuti saja keputusan pengadilan
nanti. Dan kita tidak usah membicarakannya se-
karang. Biar pengadilan tinggi kadipaten yang menentukan hukuman untuk mereka,"
kata Rangga penuh bijaksana.
Mereka tak ada lagi yang bicara. Sementara
matahari sudah hampir condong ke arah barat.
Sebentar lagi senja akan turun. Kini, tak ada lagi kerusuhan yang terjadi di
Kadipaten Wadas Lintang ini.
***** SELESAI Scan/Ebook: Abu Keisel
Juru Edit: Nyamuk Berkecamuk
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Document Outline
TUNTUTAN GAGAK IRENG
1 *** *** ***** 2 *** *** ***** 3 *** *** *** ***** 4 *** *** ***** 5 *** *** ***** 6 *** *** ***** 7 *** *** ***** 8 *** *** ***** SELESAI Malaikat Gerbang Neraka 1 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Naga Sakti Sungai Kuning 15