Pencarian

Dendam Membara 1

Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara Bagian 1


DENDAM MEMBARA Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Hendra
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam episode: Dendam Membara 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Hari menjelang sore. Matahari juga belum mau
membenamkan diri. Bias cahayanya saja yang masih
terlihat di puncak gunung sebelah barat
Di kaki sebuah bukit, tampak sesosok tubuh be-
rompi putih berdiri tegap. Di balik punggungnya ter-sembul sebilah pedang.
Menilik dari ciri-cirinya, sosok tubuh itu tak lain dari Rangga, atau yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu Rangga tengah memperhatikan serombon-
gan bocah berusia sekitar enam dan tujuh tahun. Me-
reka mendatangi seorang bocah lain yang tengah me-
mancing di tepi sungai. Dalam pikiran Pendekar Rajawali Sakti, pastilah mereka
sesama kawan. Tapi, ha-
tinya menjadi tercekat begitu melihat salah seorang bocah bertubuh besar,
langsung menendang bocah
yang tengah memancing itu hingga tercebur sungai.
Kailnyanya pun sampai ikut terlempar ke tepi sungai.
Beruntung, bocah itu pandai berenang dan segera me-
rayap ke tepi. Seluruh bajunya tampak basah kuyup.
"Gondo, kenapa kau menendangku" Bukankah aku
tak bersalah padamu?" tanya bocah berwajah manis
itu dengan tatapan sayu.
"Aku bebas berbuat apa saja padamu! Kau anak ha-
ram dan tak layak hidup!" bentak Gondo.
"Pergi kau dari sini! Kami muak melihatmu!" sahut
bocah yang lainnya.
Bocah itu memungut kailnya dan bermaksud me-
ninggalkan tempat itu. Namun salah seorang di antara mereka merasa tak puas.
Didatanginya si bocah, dan
dengan sekuat tenaga punggung bocah itu dipukul
hingga tersungkur.
"Sudah. Bunuh saja dia sekalian!" teriak Gondo.
"Mampusin!" timpal bocah lain sambil menghampiri
bocah berwajah manis itu. Tindakannya diikuti kawan yang lain, dan beramai-ramai
mereka memukulinya.
"Hentikan!" bentak Rangga keras sambil mengham-
piri mereka. Ketujuh bocah itu serentak berhenti memukul. Me-
reka memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan wa-
jah tak senang. Rangga tak mempedulikan sikap yang
ditunjukkan bocah-bocah itu. Dihampirinya bocah
yang malang itu, dan membangunkannya. Kemudian
dipandanginya ketujuh bocah itu satu persatu.
"Kenapa kalian memukulnya" Apakah dia telah
berbuat jahat pada kalian"!"
"Huh!" Gondo menunjukkan muka sinis.
"Dia anak haram. Tak boleh hidup di desa kami!"
sahut salah seorang bocah.
"Ya. Dia keturunan orang jahat, dan membawa sial
bagi desa kami," timpal yang lainnya.
"Dengarlah baik-baik! Kalian sesama manusia, tak
ada yang hina dan mulia dari yang lainnya. Jika ingin menjadi orang baik,
tunjukkanlah sikap yang baik. Sebaliknya yang kalian lakukan tadi, apakah itu
pantas disebut anak baik" Kalian memukul orang yang tak
bersalah, dan itu jelas perbuatan tidak terpuji."
"Paman, jangan membela orang jahat! Kalau tidak,
orang tua Gondo akan memusuhi Paman!" sahut salah
seorang bocah mengancam.
"Siapa yang mengatakan anak ini jahat?"
"Semua orang di desa ini!" sahut Gondo masih me-
nunjukkan wajah tak bersahabat.
"Kalau begitu, siapa kepala desa di sini?"
"Ki Sarpa. Tapi meskipun Paman minta pertolongan
Ki Sarpa, ayahnya Gondo masih lebih berkuasa dari-
pada Ki Sarpa. Lebih baik Paman membiarkannya me-
nerima hajaran dari kami!" sahut bocah bertubuh ku-
rus, geram. "O, begitu" Nah, sekarang katakan pada bapaknya
Gondo. Paman melarang kalian menyalati anak ini, kecuali kalau memang dia betul-
betul bersalah dan me-
nyakiti kalian," kata Rangga sambil tersenyum kecil.
"Paman pasti akan dihajar bapaknya Gondo!" sahut
bocah bertubuh kerempeng, kesal.
"Mari kita pulang! Akan kuadukan pada bapak, biar
dihajar sekalian!" ajak Gondo pada kawan-kawannya.
Ketujuh bocah itu melirik sesaat pada Rangga, sebe-
lum berlari-lari kecil meninggalkan tempat itu.
"Sobat kecil, sekarang kau sudah aman. Siapakah
namamu" Namaku Rangga."
"Terima kasih atas pertolongan Paman. Namaku
Samiaji." "Hm, Samiaji.... Seringkah kau menerima perlakuan
seperti tadi dari mereka?"
Samiaji terdiam. Dia duduk tenang, dan kedua ka-
kinya terjuntai ke dalam air sungai sambil sesekali mempermainkannya. Rangga
mengikuti perbuatan bocah itu dan duduk bersebelahan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Samiaji..."
Bocah itu masih terdiam beberapa saat. Kemudian,
terdengar suara halus dari bibirnya yang mungil.
"Ya...."
"Hm.... Kenapa kau diam saja dan tak berusaha me-
lawan?" "Ibu dan nenek melarangku."
"Ibu dan nenek" Bapakmu ke mana?"
Samiaji tak menjawab. Rangga jadi teringat saat bo-
cah-bocah tadi mengejek Samiaji. Hm, sudah pasti dis-ebabkan soal itu. Rangga
tersenyum dan menepuk-
nepuk pundak bocah itu, sambil mengambil kail dari
tangannya. "Paman lihat tadi kau memancing. Paman pinjam
sebentar. Mudah-mudahan ikan-ikan di sungai ini
berbaik hati...."
Rangga segera memusatkan pikiran sambil menge-
rahkan ilmu 'Tatar Netra' ke dalam air sungai. Seketika terlihat jelas ikan-ikan
yang berenang hilir-mudik.
"Hup...! Kena!" katanya berseru.
Samiaji yang sudah tidak berniat memancing, kem-
bali tertarik perhatiannya. Dilihatnya, Pendekar Rajawali Sakti memancing asal-
asalan saja. Melempar mata kail ke dalam sungai, tapi secepat itu pula ditarik
kembali. Namun, terlihat seekor ikan sebesar lengan-nya menggelepar-gelepar di
mata kail. "Kena!" teriak Rangga lagi, sambil memamerkan
ikan di mata kailnya.
Samiaji tertawa geli.
"Kau mau coba?"
"Mau!" sahut bocah itu cepat.
Rangga memberikan kail itu, tapi dia sendiri ikut
memegangi. Samiaji terkejut. Hentakan tangan Pende-
kar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan tak bisa diikuti pandangan matanya,
ketika tiba-tiba seekor ikan ter-sangkut di mata kail. Bocah itu tak
mempedulikan persoalan itu. Dia cukup senang berhasil menangkap
ikan dengan cara yang tak pernah dilakukannya. Yai-
tu, tanpa meletakkan umpan di mata kail.
Beberapa saat saja, telah terkumpul dua puluh ekor
lebih ikan-ikan besar. Wajah bocah itu pun berseri-seri kegirangan.
"Nah, cukuplah hari ini kita memancing. Kasihan,
kalau dipancing terus jumlahnya akan cepat habis.
Kau boleh pulang, Samiaji!"
"Paman mau ke mana?" tanya anak itu terkejut
"Paman harus melanjutkan perjalanan...."
"Paman, mainlah ke rumahku. Ibu dan nenek pasti
senang karena Paman telah membantu menangkap
ikan-ikan ini."
Rangga tersenyum.
"Kau boleh membanggakan diri di depan mereka ka-
lau ikan-ikan itu hasil tangkapanmu sendiri."
"Itu berdusta, Paman. Nenek dan ibu melarangku
berdusta. Katanya, perbuatan itu hanya dilakukan
oleh anak-anak jahat. Ayolah, Paman. Kalau aku pu-
lang membawa ikan sebanyak ini, mereka tentu tak
akan percaya dan pasti menuduhku mencuri," desak
bocah itu terus-menerus.
Rangga berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya
menyetujui ajakan bocah itu.
*** Perempuan tua yang biasa dipanggil nenek oleh
Samiaji, memperkenalkan nama dengan sebutan Nyi
Larasati. Dan, seorang lagi yang tampak masih muda menyebutkan pula namanya.
Rangga dipersilakan masuk oleh penghuni rumah ini.
Perempuan tua itu berusia sekitar lima puluh ta-
hun. Sedangkan putrinya berusia lebih dari dua puluh empat tahun. Tetapi,
wajahnya terlihat cantik dan
alamiah, seperti kebanyakan wanita desa. Mereka me-
nyambut kedatangan Pendekar Rajawali Sakti dengan
ramah. Apalagi ketika Samiaji berceloteh tentang
Rangga menangkap ikan dengan cara yang amat me-
nakjubkan. Rangga hanya bisa tersenyum-senyum ke-
cil. Ada perasaan haru menyelinap di hati Pendekar Ra-
jawali Sakti melihat kehidupan mereka amat sederha-
na. Di belakang rumah, terdapat sebuah kebun kecil
yang ditanami singkong dan umbi-umbian lainnya.
Rumah ini pun rasanya tak layak disebut rumah, me-
lainkan mirip kandang kerbau yang dilapisi dinding tepas. Mereka tak memiliki
kamar. Hanya ruangan yang
disekat kain panjang saja.
"Nak Rangga, berdiamlah di sini. Sebentar lagi sen-
ja. Lagi pula, melihat tubuh dan pakaianmu yang pe-
nuh debu, kau pasti telah melakukan perjalanan
jauh," ujar Nyi Larasati.
"Terima kasih, Nyi. Tapi rasanya hanya merepotkan
kalian saja...."
"Tidak. Kau sama sekali tak merepotkan kami.
Hanya barangkali tempat kami tak layak bagimu...."
"Rumah ini lebih dari cukup, daripada aku tidur di
dalam hutan," ujar Rangga sambil tersenyum kecil.
"Paman sering tidur di dalam hutan?" tanya Samiaji
terheran-heran, bercampur bias ketakutan di wajah-
nya. "Betul. Kenapa?"
"Nenek sering cerita, di hutan banyak binatang
buas yang suka menerkam dan memakan manusia.
Pernahkah Paman bertemu binatang buas?"
"Sering sekali, tapi tak semua binatang buas me-
nerkam manusia kalau tak terdesak dan diganggu.
Meski begitu, ada juga binatang buas yang kelaparan dan ketika menemukan
manusia, langsung menerkam
atau membunuhnya untuk dimakan," sahut Rangga
menjelaskan. Bocah itu terlihat ketakutan.
"Kau tak perlu takut, Samiaji. Manusia itu diberi
akal untuk melawan semua musuh-musuhnya, terma-
suk binatang buas. Gunakan akal untuk menghada-
pinya dan yang lebih penting, jangan mencari gara-
gara." Samiaji menganggukkan kepala.
Mereka bicara banyak malam ini dan bocah itu ter-
lihat cerdas sekali. Meskipun usianya baru enam ta-
hun, namun dia mengerti semua pembicaraan Rangga.
Matanya tetap terbuka lebar, dengan wajah menam-
pakkan keseriusan mendengarkan cerita-cerita pemu-
da berompi putih itu. Biasanya bocah itu telah terlelap bila malam beranjak
tiba. Tapi, ketika nenek dan
ibunya berkali-kali menyuruh tidur sekarang, Samiaji selalu menolak.
*** "Nyi Larasati! Keluarkan pemuda keparat itu dari
rumahmu, atau harus kami dobrak!" terdengar benta-
kan keras dari luar rumah.
Rangga terkesiap. Begitu juga dengan seluruh
penghuni rumah. Nyi Larasati buru-buru membuka-
kan pintu setelah berkata lirih kepada Rangga.
"Pasti orang-orangnya Juragan Bonteng!"
"Siapa...?"
Pertanyaan Rangga tak terjawab ketika terdengar
bentakan dan luar yang terdengar kasar sekali.
"Nenek peot, mana pemuda kurang ajar itu"!"
"Pemuda" Siapa yang kau maksudkan?"
"Alaaah, jangan banyak alasan kau! Dia telah
menghajar putra juragan kami! Ayo, suruh keluar ke-
parat itu!"
Rangga melirik sekilas ke arah Samiaji. Bocah itu
tengah dipeluk erat ibunya dengan wajah pucat keta-
kutan. Dia berjalan pelan ke depan. Dilihatnya lima orang laki-laki berwajah
kasar dengan golok di pinggang masing-masing. Di antara mereka terdapat seo-
rang bocah kecil sebaya Samiaji.
"Itu dia orangnya, Paman!" tunjuk si bocah ke arah
Rangga. Salah satu dari lima orang yang berdiri paling de-
pan, dan yang sejak tadi berteriak-teriak, melangkah mendekati Rangga. Wajahnya
kasar dan banyak terdapat lubang-lubang kecil. Mulutnya lebar dan besar
dengan kumis melintang. Baju di bagian dada terbuka lebar, seolah-olah ingin


Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memamerkan kekuatan otot-ototnya.
"Huh! Hanya seorang bocah ingusan yang berani
dengan bocah kecil! Ke sini kau!"
Rangga mencoba berlaku ramah dan mendekati
orang itu perlahan. Namun....
Wuuut! Plak! "Sabar, Kisanak. Ada urusan apa tiba-tiba kau ber-
teriak-teriak seperti orang kesurupan" Lalu, apa maksudmu hendak memukulku?"
tanya Rangga setelah
menangkis tangan orang yang hendak menampar mu-
kanya. "Punya nyali juga rupanya kau! Melihat pedang di
punggungmu, sedikit banyak kau pasti mengerti ilmu
silat, Bocah Ingusan. Baik, kau layani Cagak Layung beberapa jurus!" sahut orang
itu tanpa mempedulikan pertanyaan Rangga. Langsung dicarinya tempat yang
agak luas dan segera melangkah mundur.
"Sabar dulu, Kisanak. Ada urusan apa sebenarnya?"
"Huh! Pengecut hina! Setelah menghajar putra Ju-
ragan Bonteng, kau pura-pura tak tahu!"
"Putra Juragan Bonteng" Siapa dia?"
"Keparat! Dasar pengecut!" maki Cagak Layung ge-
ram. "Paman, untuk apa berlama-lama lagi" Hajar saja
dia. Sekalian dengan bocah itu dan seluruh penghuni rumah ini!" seru bocah kecil
itu, tak kalah garang dengan para pengawalnya.
Rangga melirik ke arah bocah itu, dan mengingat-
ingat di mana pernah dijumpainya. Tak salah lagi! Bocah itu salah seorang dari
anak-anak yang tadi ikut memukuli Samiaji. Pendekar Rajawali Sakti kini mulai
mengerti penyebab kemarahan mereka.
Tapi baru saja Rangga mencoba akan menjelaskan,
Cagak Layung menyerang dengan ganas.
"Yeaaa...!"
"Kisanak, tahan dulu! Ini hanya salah paham!"
"Sial! Dasar pengecut, tetap saja pengecut! Terima-
lah seranganku ini. Ayo cabut pedangmu! Hiyaaat..!"
"Uts...!"
Percuma saja Rangga berusaha menjelaskan. Orang
itu telah menyerang dengan membabi-buta.
Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mempertahankan
diri mengingat serangan Cagak Layung tidak main-
main. Sepertinya laki-laki berwajah kasar itu ingin menghabisi nyawa Pendekar
Rajawali Sakti secepat
mungkin. Plak! Desss! "Akh!"
Cagak Layung menjerit kesakitan. Rangga meng-
hindar sambil menundukkan kepala, ketika sebilah golok lawan hampir menebas
batang lehernya. Tangan
kirinya menangkis pergelangan tangan kanan lawan,
lalu kaki kiri menendang keras ke perut. Cagak Layung berusaha menangkis dengan
tangan kirinya, tapi tendangan Rangga lebih cepat menghantam.
"Keparat!" maki Cagak Layung sambil bangkit den-
gan wajah meringis kesakitan.
"Sudah. Mari kita habisi secepatnya!" kata kawan-
nya memberi perintah pada yang lain.
Kelima orang itu segera mengurung Rangga dengan
sikap garang. "Kisanak, tak bisakah kita bicara baik-baik dan
menyelesaikan persoalan sebagaimana layaknya ma-
nusia terhormat?"
"Keparat! Inilah cara terhormat untuk menyelesai-
kan persoalan. Ayo, cabut pedangmu! Kalau kau tak
mau menyesal! "bentak Cagak Layung.
"Baiklah kalau kalian memang memaksa...," jawab
Rangga kesal, melihat sikap mereka.
"Yeaaa...!"
"Uts...!"
Wukkk! Plak! Begkh! "Akh!"
Rangga menggunakan jurus 'Sembilan Langkah
Ajaib' untuk menghindari setiap serangan lawan. Tu-
buhnya meliuk-liuk seperti orang menari dan kedua
kakinya bergerak lincah ke sana kemari. Begitu dua
orang lawan hendak menyerang, Pendekar Rajawali
Sakti cepat berkelit dan menghantam pergelangan tangan lawan hingga goloknya
terpental. Yang seorang la-gi, mendapat sodokan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Keduanya pun menjerit bersamaan.
Tapi, bersamaan itu pula, ketiga kawannya meluruk
ganas sambil menyabetkan golok masing-masing.
Rangga mencelat ke atas sambil bersalto. Selagi berada di udara, kedua kakinya
langsung menghantam punggung lawan, dan kepalan tangan kanannya menghan-
tam keras ke tengkuk lawan yang lain. Ketiganya langsung menjerit kesakitan.
Wajah mereka langsung berubah pucat Kini, mere-
ka bangkit dengan perasaan takut. Tetapi Rangga yang sudah kesal dengan sikap
mereka, malah memasang
wajah angker. "Sini kalian!"
"Heh"!"
"Yeaaa...!"
Plak! Begkh...!
Tubuh Rangga kembali melesat cepat, menghantam
kelima orang lawannya. Mereka berusaha menangkis,
tapi gerakan pemuda berompi putih itu sangat cepat
dan tak terduga. Kembali tubuh mereka terjerembab
sambil mengeluh kesakitan.
"Ayo bangun dan serang aku lagi!" bentak Rangga.
Tapi, keempat orang itu sudah kabur meninggalkan
Cagak Layung sendirian. Begitu pula bocah yang sejak tadi hanya menyaksikan
pertarungan, telah ikut kabur pula.
"Awas kau, Pemuda Sialan! Juragan Bonteng tak
akan membiarkan persoalan ini begitu saja!"
"Suruh juraganmu ke sini, biar aku bicara pa-
danya!" balas Rangga sengit.
"Wah, Paman hebat! Paman Hebat! Mereka jungkir
balik dihajar!" teriak Samiaji kegirangan.
Rangga melangkah ke dalam tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Nyi Larasati dan putrinya yang bernama Rara Ningrum, menatap
Pendekar Rajawali Sakti
seolah-olah ingin meminta penjelasan atas kejadian
tadi. Rangga menghela napas pendek sebelum menje-
laskan. Setelah mendengar penjelasan Rangga atas kejadian
yang menimpa Samiaji tadi sore, kedua wanita itu menatap si bocah yang diam
menundukkan kepala.
"Kenapa kau tidak ceritakan kejadian itu pada Ibu?"
"Aku... aku takut Ibu dan nenek marah. Tapi sung-
guh, aku tidak membuat gara-gara. Merekalah yang
datang dan langsung memukul ketika aku sedang
memancing sendiri di tepi sungai," jelas Samiaji dengan suara lirih.
"Hm, Juragan Bonteng pasti tak suka mendengar
kejadian ini dan keadaan kita semakin tak aman...,"
desah Rara Ningrum, nadanya penuh kecemasan.
"Sudahlah, Rara. Kita harus sabar dan berserah diri menghadapi cobaan yang
diberikan Yang Mahakuasa, "
hibur Nyi Larasati menasihati.
"Tapi cobaan ini tidak pernah berhenti, Bu! Kita tak bisa selamanya hidup
begini!" "Nyi Larasati..., Rara Ningrum, ada persoalan apa
sebenarnya" Apakah yang pernah terjadi antara ke-
luarga ini dengan orang yang dipanggil Juragan Bon-
teng itu?" tanya Rangga hati-hati.
"Persoalannya panjang, Nak...," desah Nyi Larasati, lirih.
Perempuan tua itu melirik ke arah putrinya. Rara
Ningrum seperti mengerti, dan mengajak Samiaji tidur.
Nyi Larasati sendiri memberi isyarat agar Pendekar Rajawali Sakti mengikutinya
ke depan. Mereka berdua
duduk di balai-balai. Lalu, berceritalah perempuan tua itu tentang kejadian yang
menimpa keluarga mereka.
*** 2 Juragan Bonteng sangat marah mendengar laporan
orang kepercayaannya. Perutnya yang buncit bergun-
cang-guncang, ketika tubuhnya bangkit dari kursi dan
berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Sepasang ma-
tanya yang sipit bersorot tajam. Dan, senyum yang selalu menggambarkan keculasan
hatinya, kini hilang
tertutup kemarahan yang meluap-luap bercampur ge-
ram. Cagak Layung dan keempat kawannya diam mema-
tung. Mereka duduk bersila di lantai, dan merunduk-
kan kepala dalam-dalam.
"Percuma! Menghadapi seorang pemuda ingusan sa-
ja kalian tak mampu! Apa kerja kalian di sini cuma
makan tidur saja"!"
"Dia bukan orang sembarangan, Juragan...," bantah
Cagak Layung, pelan.
"Aku tak peduli! Anakku dihajar orang dan kalian
tak mampu berbuat apa-apa!"
Cagak Layung terdiam. Begitu juga keempat ka-
wannya. Sementara, Juragan Bonteng kembali duduk
di kursi sambil menghela napasnya yang terasa sesak.
"Panggil Ki Sempur Walang! Cepaaat..!"
"Ba... baik, Juragan!" sahut Cagak Layung.
Bersama keempat kawannya, Cagak Layung be-
rangkat malam itu juga ke rumah Ki Sempur Walang,
laki-laki tua yang selama ini mengabdi pada Juragan Bonteng.
Ki Sempur Walang bertubuh besar. Sepasang bola
matanya selalu tampak merah. Meski usianya sudah
lebih dari lima puluh tahun, namun kerjanya setiap
hari hanya mabuk-mabukan, dan bersenang-senang
dengan perempuan cantik yang ada di desa ini. Keba-
nyakan di antara mereka hanya terpaksa memenuhi
keinginannya. Ki Sempur Walang memang amat dita-
kuti di desa ini. Tapi, sebagian lagi terpaksa meladeni karena menginginkan uang
orang tua itu. Malam ini, terlihat Ki Sempur Walang berada di ru-
mah Nyi Kembang Sari, Janda cantik yang ditinggal
mati suaminya beberapa bulan lalu.
"Kurang ajar! Malam-malam begini mengganggu ke-
senangan orang!" bentak Ki Sempur Walang dengan
wajah berang, ketika terdengar ketukan di pintu, diikuti suara panggilan
untuknya. Ki Sempur Walang melepaskan pelukannya pada
janda cantik bertubuh sintal itu, dan melangkah ke
depan. Sepasang matanya melotot, dan wajahnya lang-
sung terlihat murka ketika melihat siapa yang datang.
"Cagak Layung"! Ada apa malam-malam begini
menggangguku" Tak suka kalau aku sedikit berse-
nang-senang, heh"!"
"Eh! Maaf, Ki. Kami tak bermaksud mengganggu,
tapi ini perintah Juragan Bonteng," jawab Cagak
Layung terbata-bata.
Cagak Layung memang sangat takut kepada laki-
laki tua itu. Dulu, Ki Sempur Walang pernah kesal padanya dan langsung
menghajarnya habis-habisan.
"Mau apa dia"!"
"Ti... tidak tahu, Ki. Tapi Juragan Bonteng me-
manggil Ki Sempur Walang malam ini juga...."
"Sial! Tidak tahu orang lagi senang. Katakan pa-
danya, apa pun urusannya, besok pagi saja diselesaikan. Malam ini aku tak mau
diganggu!"
Tapi, Ki..."
"Sial! He, Cagak Layung! Kau berani membantah-
ku"!"
Cagak Layung menelan ludah. Dia serba salah.
Memaksa orang tua ini, sama saja cari penyakit, tapi, kembali kepada Juragan
Bonteng tanpa Ki Sempur
Walang, juga lebih susah lagi.
Saat itu Nyi Kembang Sari keluar. Tubuhnya yang
padat berisi hanya terlilit kain panjang. Perempuan
cantik itu memeluk Ki Sempur Walang, setelah melirik sesaat kelima orang yang
masih mematung di depan
pintu. "Ada apa, Sayang...?" tanyanya mesra.
"Tak ada apa-apa, Manisku. Ayo kita kembali ke da-
lam," sahut Ki Sempur Walang sambil merangkul pe-
rempuan itu dan mengunci pintu dari dalam.
Cagak Layung dan keempat kawannya diam terpa-
ku. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Tidak ada pilihan lagi bagi mereka,
selain kembali kepada Juragan Bonteng, dan melaporkan penolakan Ki Sempur
Walang. Mereka sudah menduga akan mendapat caci-
maki dan hardikan.
Dugaan Cagak Layung dan teman-temannya ternya-
ta tepat Juragan Bonteng tidak bisa menerima penolakan bawahannya.
"Sial! Brengsek! Ki Sempur Walang semakin berbuat
semaunya belakangan ini!" maki Juragan Bonteng, se-
telah puas memaki kelima centengnya.
"Ju.... Juragan bermaksud menugaskan Ki Sempur
mengurus pemuda itu?"
"Kunyuk sial kau, Cagak! Siapa lagi yang kuha-
rapkan, kalau bukan dia"!"
Cagak Layung menelan ludah.
"Sebaiknya bersabar dulu, Juragan. Saat ini tena-
ganya memang diharapkan. Besok pagi-pagi sekali,
pemuda itu pasti telah dibereskannya...."
"Huh! Kalau saja kalian dapat kuandalkan, tentu
aku tak perlu mengemis-ngemis padanya!"
Cagak Layung kembali terdiam.
"Kalian cuma kantong-kantong nasi tak berguna!
Percuma saja aku menggaji kalian. Hanya membe-
reskan satu cecunguk saja tak becus!"
Tanpa berkata apa-apa lagi, Juragan Bonteng sege-
ra menuju kamarnya. Tetapi, matanya tak dapat dipe-
jamkan. Meskipun istri mudanya yang bahenol telah
berusaha membujuk dan mencumbunya, Juragan
Bonteng tetap tak bergeming.
Ada satu hal yang sangat dicemaskannya seka rang.
Selama ini, tak ada seorang pun penduduk desa yang
berani melawan. Termasuk kepala desa sendiri. Dia


Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti raja keci1 yang bisa mengatur penduduk see-
naknya. Berbeda dengan Ki Sempur Walang yang suka
perempuan dan tak mempedulikan apa pun, Juragan
Bonteng lebih memikirkan pengaruh dan kekayaan.
Dan pemuda itu, meski belum terlihat tindak lanjut-
nya, telah dianggap sebagai ancaman atas kekuasaan-
nya di desa ini.
*** Sejak kematian suaminya, Nyi Kembang Sari me-
mang menjadi agak nakal. Tapi hal itu tidak menghe-
rankan. Sejak gadis, perempuan itu memang agak ge-
nit dan suka meladeni laki-laki lain yang mengajak
bercanda. Kematian suaminya pun tidak begitu jelas.
Banyak penduduk desa menduga, kematian suaminya
berkaitan dengan kehadiran Ki Sempur Walang.
Sejak bekerja pada Juragan Bonteng, Ki Sempur
Walang memang sudah tertarik pada Nyi Kembang Sa-
ri. Dan selama ini, Ki Sempur Walang selalu berusaha mendapatkan perempuan yang
disukainya, walau dengan cara apa pun.
Belakangan ini, Ki Sempur Walang memang sering
berada di sana. Bahkan, sering bermalam dan pulang
pagi-pagi seperti sekarang.
Rumah kediaman Nyi Kembang Sari agak jauh dari
rumah penduduk lain. Bila Ki Sempur Walang hendak
menuju tempat tinggal Juragan Bonteng dari sana, dia harus melewati sebuah
sungai yang biasa dipakai perempuan-perempuan desa untuk mencuci pakaian. Itu
merupakan jalan terdekat, sekaligus yang disukainya.
Ki Sempur Walang lama berdiri di pinggir sungai,
memperhatikan gadis-gadis yang sedang bercanda
sambil mencuci. Pakaian yang melilit di tubuh mereka hanya selembar kain
panjang. Dan, kalau di antara
mereka sudah saling bercanda sambil bersiram-
siraman air, akan terlihat jelas setiap lekuk tubuh mereka.
Tetapi, bukan hanya itu saja niat Ki Sempur Wa-
lang. Ada seorang perempuan yang membuat hatinya
sangat penasaran. Seorang perempuan cantik, yang telah menjanda dengan satu anak
kecil. Perempuan itu tak pernah peduli terhadapnya. Pa-
dahal, telah berkali-kali Ki Sempur Walang menggoda dan mencoba merayu. Pernah
satu kali dia mengha-dang perempuan itu sepulang mencuci dan bermaksud
menodainya. Tetapi sungguh tak disangka, persis keti-ka hajatnya akan
dilaksanakan, Ki Sarpa serta bebe-
rapa penduduk desa melewati tempat itu. Meski ha-
tinya geram bukan main, tapi terpaksa perempuan itu dilepaskannya.
Pagi ini, niatnya telah bulat. Tak peduli siapa pun yang akan menghalangi
tujuannya. Batinnya sangat
penasaran kalau belum mendapatkan perempuan itu.
Diintainya perempuan itu dari kejauhan, sambil menelan ludah berkali-kali,
mengagumi kemontokan dan
kemulusan tubuhnya. Perempuan itu mencuci agak
jauh dari perempuan-perempuan lain. Dan kali ini, dia ditemani anaknya yang
masih bocah. Setelah menunggu agak lama, dilihatnya perem-
puan itu telah menyelesaikan pekerjaan dan beranjak
pergi. Ki Sempur Walang mengikuti sambil mengen-
dap-endap. Setelah tiba di tempat yang sepi, laki-laki tua itu segera melompat
ke hadapan perempuan itu
sambil terkekeh-kekeh.
"He he he...! Rara Ningrum, kali ini kau akan ke
mana"!"
"Oh...!" wajah perempuan itu berubah pucat, keta-
kutan. Bocah yang berada di dekatnya langsung dipeluk.
Sementara bakul berisi cucian jatuh terlepas.
"He he he...! Pagi ini kau semakin cantik, Rara. Kenapa kau selalu menolakku"
Kalau bersedia menjadi
istriku, apa pun yang kau minta pasti ku penuhi," rayu Ki Sempur Walang sambil
menelan ludah berkali-kali, dan mendekati perempuan itu.
"Ki Sempur, ku mohon jangan mengganggu kami.
Pergilah kau. Kami hendak pulang...."
"Kau boleh pulang setelah kita bersenang-
senang...."
"Ki Sempur aku mohon... aow!" perempuan itu men-
jerit sambil bergerak mundur ketika laki-laki itu melompat dan memeluknya.
Bocah yang tadi dipeluk, disentakkan laki-laki tua
itu dengan kasar. Ki Sempur Walang segera menggu-
muli perempuan itu penuh nafsu. Rara Ningrum men-
jerit-jerit, berusaha berontak dengan sekuat tenaga.
"Orang jahat! Lepaskan ibuku! Lepaskan ibuku!" te-
riak bocah tadi. Punggung Ki Sempur Walang dipukul
sekeras-kerasnya.
"Huh! Bocah sial! Kau mengganggu saja!"
"Akh!"
"Anakku...! Keparat! Jahanam! Lepaskan aku! Apa
yang kau perbuat terhadap anakku"! Aow...! Le-
paskaaan...!"
Perempuan itu semakin menjerit-jerit, ketika meli-
hat tubuh anaknya terpental dihajar Ki Sempur Wa-
lang. Tetapi, bocah itu sungguh keras hati. Meski seluruh tubuhnya terasa amat
sakit, dia berusaha bangkit untuk menolong ibunya. Diambilnya sepotong kayu
kering, dan dengan sekuat tenaga dihantamkan poton-
gan kayu itu ke punggung laki-laki yang sedang meng-gumuli ibunya.
Dukkk! "Bocah sial! Mampuslah kau!" geram Ki Sempur Wa-
lang sambil mengayunkan sebelah tangannya dengan
sekuat tenaga. Kali ini, bocah itu bukan saja akan terpental, na-
mun bisa dipastikan akan tewas seketika terkena hantaman Ki Sempur Walang.
Namun, tiba-tiba....
Plak! "Heh!"
"Paman Rangga!" seru si bocah girang melihat ke-
munculan Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Sempur Walang tersentak kaget Tangannya tera-
sa sakit akibat tangkisan pemuda itu. Buru-buru dia bangkit dan menatap garang.
Sementara, Rara Ningrum yang merasa terlepas dari nafsu setan laki-laki tua itu,
buru-buru bangkit dan membenahi pakaiannya yang tak karuan. Lalu, putranya
segera dipeluk.
"Jahanam keparat! Berani-beraninya kau meng-
ganggu kesenanganku. Apa kau sudah bosan hidup,
Bocah"!"
Pemuda yang baru datang itu tak lain memang
Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Tempat itu tak begitu jauh dari pondok
mereka. Pendengarannya yang tajam mendengar teriakan Rara Ningrum tadi, dan
langsung melesat ke sini.
"Kisanak, perbuatanmu sungguh tak terpuji. Sudah
sepatutnya kau diperingati," sahut Rangga tenang.
"Setan! Punya nyali juga kau rupanya! Berani
mengganggu kesenangan Ki Sempur Walang, harus be-
rani pula menanggung akibatnya!" Setelah berkata begitu, Ki Sempur Walang
bergerak cepat melayangkan
kepalan tangannya ke wajah Rangga.
Wukkk! Rangga mengegoskan wajah dan bergerak ke samp-
ing. Sebelah kakinya dengan cepat mengarah ke dada
lawan. Namun, dengan berani laki-laki tua itu me-
nangkis dengan tulang kering. Agaknya, dia begitu yakin dengan tenaganya
sendiri, dan merasa pasti tulang kaki pemuda itu akan remuk begitu beradu dengan
tulang keringnya.
Dukkk! "Aaakh...!"
Ki Sempur Walang terpekik kesakitan sambil men-
gangkat sebelah kakinya. Tetapi, saat itu juga kaki Rangga yang lain telah
melesat cepat menghantam ke-ningnya. Laki-laki tua itu terjungkal ke tanah.
Rangga berdiri tegak persis di hadapannya.
"Bangunlah, Kisanak. Karena telah berani mela-
wanmu aku siap menanggung akibatnya!" tantang
Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan!" maki Ki Sempur, dan membabatkan sebe-
lah kaki ke lutut belakang Rangga.
Tetapi, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat
dengan sebelah kaki kembali menghantam muka la-
wan. Kali ini Ki Sempur buru-buru menjatuhkan diri
untuk menghindari tendangan Rangga, goloknya lang-
sung dicabut dan dibabatkan ke kaki Rangga.
"Putus!"
Wuttt! Begkh! "Akh!"
Ki Sempur kembali terpekik ketika Rangga menekuk
kaki, menghindari sabetan golok lawan, lalu bergerak cepat menghantam dadanya.
Terdengar tulang dada
orang tua itu berderak patah. Dari mulutnya menyem-
bur darah segar. Pandangannya berkunang-kunang
beberapa saat ketika tubuhnya berusaha bangkit.
Desss! Kembali Ki Sempur Walang terlempar, dan menjerit
kesakitan ketika satu tendangan pemuda itu membuat
isi perutnya seperti diaduk-aduk. Kali ini dari mulutnya berulang-ulang
memuntahkan darah segar, dan
tubuhnya tak mampu bangkit lagi.
"Kisanak, kukira cukuplah pelajaran bagimu. Jan-
gan sekali-sekali lagi mencoba berbuat kurang ajar
terhadap perempuan yang tak berdaya!" dengus Rang-
ga dan mengajak Rara Ningrum serta putranya berlalu dari tempat itu.
Begitu tiba di rumah, Samiaji langsung mencerita-
kan peristiwa tadi kepada neneknya, sambil tak lupa memuji-muji kehebatan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Urusan ini tak akan selesai sampai di sini...," keluh si nenek pelan. Suaranya
lirih, hampir tak terdengar.
"Nyi, sedikit banyak aku telah terlibat dalam urusan ini. Ada baiknya
kuselesaikan saja, dan langsung berhadapan dengan Juragan Bonteng," kata Rangga.
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Memperingatkannya agar tak berbuat semena-
mena!" "Hhh...," Nyi Larasati menghela napas pendek.
"Kalian tunggu saja di sini. Aku akan bicara pada
Juragan Bonteng, dan sekaligus pada kepala desa,"
ujar Rangga seraya bangkit dan berlalu dari situ.
Nyi Larasati mau mencegah. Tapi Rangga sudah me-
lesat cepat. Perempuan tua itu menggeleng-gelang lemah. Berkali-kali dia
mendesahkan napas berat.
"Juragan Bonteng tak semudah yang dibayangkan-
nya...." *** 3 Sejak tadi, Juragan Bonteng sudah gelisah me-
nunggu kedatangan Ki Sempur Walang. Seharusnya,
orang tua itu sudah datang, tapi sampai kopi dicang-kirnya tandas, belum juga
terlihat batang hidungnya.
"Cagaaak...!" teriaknya.
Laki-laki bernama Cagak itu buru-buru mengham-
piri majikannya di beranda depan. Wajahnya tampak
ketakutan. "Ada apa, Juragan?"
"Mana Ki Sempur Walang?"
"Eh, ng... memang belum datang juga, Juragan?"
"Masih banyak tanya lagi"! Panggil dia cepat. Kalau masih membantah, katakan aku
akan memecatnya sekarang juga!"
"Baik, Juragan."
Baru saja Cagak Layung akan memutar tubuhnya,
Terlihat orang yang sedang dibicarakan berada di pintu pagar. Lelaki tua itu
berjalan tertatih-tatih sambil mendekap dadanya. Dari raut wajahnya, nampak bias
kesakitan hebat Cagak Layung pun segera mengham-
piri dengan heran.
"Ki Sempur, apa yang terjadi...?"
"Diam kau!"
Cagak Layung menelan ludahnya, mendengar ben-
takan Ki Sempur Walang. Dalam hatinya semakin tak
suka melihat kelakuan orang tua itu begitu memben-
cinya. "Ki Sempur, apa yang telah terjadi" Kau habis ber-
tarung?" tanya Juragan Bonteng heran.
Orang tua itu duduk di kursi depan. Napasnya di-
atur beberapa saat, sebelum menjawab pertanyaan la-
ki-laki berperut gendut itu.
"Tidak apa-apa! Aku terjatuh...."
Juragan Bonteng mengernyitkan dahi. Sekilas bisa
mengetahui kalau Ki Sempur berbohong. Tapi, untuk
berterus terang mengatakan yang sebenarnya, tentu
akan membuat orang tua itu tak senang.
"Ada apa kau menyuruh Cagak Layung memanggil-
ku?" Juragan Bonteng menghela napas sesak. Kalau saja
urusannya bukan soal perkelahian, mungkin masih bi-
sa berharap banyak pada orang tua ini. Tetapi, melihat keadaan Ki Sempur
demikian, tentu tak bisa diandalkan. Tetapi..., apa betul Ki Sempur babak belur
dihajar seseorang" Siapa yang telah berani berbuat demikian di desa ini"
"Ada persoalan apa, Juragan Bonteng"!" tanya Ki
Sempur mengulangi pertanyaannya. Kali ini lebih ke-
ras. "Si Gondo kemarin sore dipukul seseorang. Cagak
Layung sudah kukirim untuk menghajar orang itu. Te-
tapi, dasar ayam sayur, mereka malah babak belur.
Nah, bisakah kau membereskannya sekarang?" tanya
Juragan Bonteng, setelah menghela napas pendek.
"Siapa orang itu?"
"Entahlah, orang asing. Dia berada di rumah Nyi
Larasati saat ini...."
"Pemuda berambut panjang dan berbaju rompi?"
Bola mata Ki Sempur terbuka lebar, menduga orang
yang dimaksud Juragan Bonteng.
"He, Cagak Layung! Bagaimana pemuda yang kau
katakan itu"!" teriak Juragan Bonteng.
"Ya, pemuda berambut panjang dan berompi putih,"
jelas Cagak Layung mantap.
"Sial!" dengus Ki Sempur Walang sambil menghan-
tam meja. "Kenapa?" tanya Juragan Bonteng heran.
Ki Sempur Walang tak sudi menjawab. Hanya wa-


Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahnya saja yang geram menunjukkan isi hati penuh
dendam. Sangat memalukan, dirinya yang selama ini
ditakuti dan tak seorang pun berani menentang, tiba-tiba dijatuhkan seorang
pemuda di hadapan wanita
yang selama ini dikejarnya.
"Ki Sempur, bisakah kau membereskan pemuda
itu" Kalau dibiarkan saja, dia akan besar kepala dan menginjak-injak wibawaku!"
desak Juragan Bonteng,
meminta bantuan laki-laki tua itu.
Ki Sempur belum menjawab, ketika dilihatnya bebe-
rapa anak buah Cagak Layung mencoba menahan seo-
rang pemuda yang berusaha masuk ke dalam. Ki Sem-
pur menyipitkan mata, dan bertanya pelan pada Cagak Layung yang berada di
dekatnya. "Cagak Layung, pemuda itukah yang kau maksud?"
"Betul, Ki...."
Juragan Bonteng terkejut mendengar jawaban Ca-
gak Layung. "Mau apa dia ke sini?"
Cagak Layung dan Ki Sempur Walang terdiam. Di
depan sana, terlihat keempat anak buah Cagak Layung telah mencabut sebilah golok
masing-masing dan bersiap akan menyerang pemuda itu.
"Juragan Bonteng, beginikah caramu menerima ta-
mu yang akan berkunjung secara baik-baik"!" teriak
pemuda itu keras.
Juragan Bonteng terpaku sesaat. Diliriknya Cagak
Layung dan Ki Sempur Walang. Tetapi, mereka membi-
su dan tak memberikan jawaban apa pun.
"Biarkan dia masuk!" perintah Juragan Bonteng
akhirnya. Keempat penjaga itu langsung menyarungkan golok
dengan wajah penasaran. Pemuda yang tak lain dari
Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu, melangkah pelan dan memperhatikan
ketiga orang yang berada di beranda depan. Dua orang telah dikenalnya, dan
pikirannya cepat membuat kesimpulan, laki-laki berperut buncit itulah tentunya
Juragan Bonteng.
"Kaukah yang bernama Juragan Bonteng?" ta-
nyanya perlahan.
Juragan Bonteng salah tingkah. Tetapi akhirnya,
dia mengangguk pelan dan menyilakan pemuda itu
duduk. "Terima kasih," sahut Rangga, mengambil tempat
persis di depan mereka.
"Ada keperluan apa Kisanak datang kemari" Dan,
siapa Kisanak sebenarnya?" tanya Juragan Bonteng,
berpura-pura ramah.
*** "Aku cuma pengembara biasa yang kebetulan lewat
Namaku Rangga, terlebih dulu aku merasa perlu me-
minta maaf, Kisanak. Sesungguhnya, aku tak akan
berlaku kasar terhadap orang-orangmu kalau mereka
tidak mulai lebih dulu. Kedatanganku ke sini, memba-wa beberapa maksud. Pertama,
ingin ku jelaskan tu-
duhan putra mu. Aku tidak pernah memukulnya sekali
pun. Malah, dia bersama kawan-kawannya memukuli
putra Rara Ningrum. Dan, aku berusaha melerai," jelas Rangga tenang. "Yang
kedua, aku ingin Ki Sempur Walang jangan mengganggu Rara Ningrum lagi, juga kau,
Juragan Bonteng. Aku mohon, jangan menambah penderitaan Nyi Larasati dengan
memburuk-burukkan ke-
luarga mereka. Bagaimana, Juragan Bonteng?"
Laki-laki berperut buncit itu tersenyum, mengang-
guk-anggukkan kepala.
"Tentu saja, Kisanak. Aku percaya kau menyatakan
yang sejujurnya!" Lalu, laki-laki itu berpaling pada Ki Sempur Walang, "Kau
dengar, Ki Sempur" Aku tak
mau mendengar kau mengganggu Rara Ningrum lagi!"
"I..., iya, Juragan."
"Nah, kau dengar itu, Kisanak" Ki Sempur telah
berjanji. Ada lagi yang ingin kau sampaikan padaku?"
Rangga tersenyum kecil, dan bangkit dari duduk-
nya. "Terima kasih atas kemurahan hatimu, Kisanak.
Aku akan selalu mengingatnya. Tetapi, percayalah..., aku akan datang kembali ke
sini kalau ternyata kalian melanggar janji," tegas Pendekar Rajawali Sakti
sebelum berlalu dari sana.
Wajah Juragan Bonteng, yang sejak kehadiran pe-
muda itu selalu tersenyum-senyum, seketika berubah
setelah Pendekar Rajawali Sakti menghilang dari tempat itu.
Brakkk! Ki Sempur Walang dan Cagak Layung terkejut. Ju-
ragan Bonteng menggebrak meja sekuat-kuatnya.
"Huh! Percuma saja kubayar kalian! Ki Sempur, bi-
asanya kau garang"! Mengapa diam saja mendengar-
kan pemuda itu membuka mulut seenaknya" Apakah
kau telah dihajarnya tadi"!"
KI Sempur Walang terdiam.
"Ayo katakan! Apa kau telah dipecundanginya"!"
Ki Sempur Walang menganggukkan kepala lemah.
"Sial!"
"Sungguhkah kau ingin menghajar pemuda itu?"
tanya Ki Sempur Walang perlahan.
"Tentu saja! Dia sangat kurang ajar, dan harus di-
beri pelajaran!"
"Ng.... Ada seorang kenalanku yang berilmu tinggi,
dan selama ini tak terkalahkan. Kalau kau bersedia, aku bisa membujuknya.
Tapi...." "Apa"! Uang" Aku tak peduli. Bawa dia ke sini, dan
aku akan membayar tinggi!" sahut Juragan Bonteng.
"Baiklah kalau begitu. Sekarang juga, aku akan be-
rangkat menemuinya. Tapi... aku perlu uang untuk
ongkos perjalanan dan membayar uang muka...."
"Huh!"
Juragan Bonteng mengeluarkan beberapa keping
uang emas dari sakunya.
"Terima kasih, Juragan!" ujar Ki Sempur Walang,
tersenyum-senyum kecil menerima kepingan uang itu.
"Bawa dia secepatnya!"
"Cagak, ayo ikut aku!"
"Tidak! Biarkan dia di sini!" tahan Juragan Bonteng cepat
Ki Sempur cuma mengangkat bahu, dan berlalu se-
cepatnya dari situ.
"Ke sini kalian!" panggil Juragan Bonteng pada Ca-
gak Layung dan kawan-kawannya, setelah Ki Sempur
Walang berlalu.
"Ada apa, Juragan?"
"Awasi pemuda itu. Jangan sampai terlepas dari
pengawasan kalian. Orang itu harus mendapat pelaja-
ran pahit, agar dia tahu siapa aku sebenarnya!"
"Sekarang, Juragan?"
"Kapan lagi"!"
"Ba... baik, Juragan!" sahut Cagak Layung, lang-
sung mengajak kawan-kawannya berlalu dari sini.
Dari jauh, Juragan Bonteng mendengus sini sambil
berkali-kali menatap mereka sampai hilang dari pan-
dangannya. Hatinya geram bukan main. Tak pernah
dia menjadi orang sebodoh itu. Tetapi, melihat Cagak Layung dan Ki Sempur Walang
diam tak berkutik, apa-lagi yang bisa diperbuatnya selain menuruti kemauan
pemuda itu"
*** Nyi Larasati beserta putri dan cucunya menyambut
kedatangan Rangga dengan wajah harap-harap cemas.
Rangga tersenyum, dan meneguk air dingin yang dis-
uguhkan Rara Ningrum.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Rara Ningrum tak
sabar. "Aku telah bicara dengan kepala desa, tapi beliau
menyerahkan persoalan padaku. Lalu aku datang ke
tempat Juragan Bonteng."
"Lalu?"
"Meminta agar dia jangan mengganggu kalian lagi.
Terutama, Ki Sempur Walang. Juga, telah ku jelaskan duduk persoalan yang terjadi
pada anaknya. Lalu, aku juga meminta padanya agar tidak memburuk-burukkan
keluarga kalian...," jelas Rangga.
"Apakah dia menolak dan marah?" tanya Nyi Lara-
sati cemas. Rangga tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Tidak Juragan Bonteng sangat baik, dan menyang-
gupi permintaanku."
Nyi Larasati dan putrinya saling berpandangan. Tak
sedikit pun terbias perasaan gembira di wajah mereka mendengar penuturan pemuda
itu. Tentu saja, hal ini membuat Rangga heran.
"Ada apa, Nyi" Apa kalian tidak suka dengan cara-
ku" Aku datang baik-baik pada Juragan Bonteng, dan
sama sekali tak memaksanya. Adakah hal lain yang
kalian sembunyikan?"
"Tidak..., terima kasih. Kami terlalu banyak mere-
potkanmu. Mudah-mudahan, Juragan Bonteng mene-
pati janjinya...," sahut Nyi Larasati sambil menggeleng lemah.
"Hm, ya. Kalau begitu aku mohon diri. Masih ba-
nyak yang akan kukerjakan," pamit Rangga sambil
bangkit dari duduknya.
"Begitu cepatnyakah?" tanya Rara Ningrum, seperti
tak rela pemuda itu berlalu begitu saja.
"Paman mau ke mana?" tanya Samiaji sambil me-
megangi tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum dan berjongkok, hingga wajah-
nya persis di depan bocah itu.
"Paman harus pergi. Baik-baiklah kau dengan ibu
dan nenekmu, ya?"
"Kenapa musti pergi" Tidak sukakah Paman tinggal
bersama kami?"
"Tentu saja Paman suka. Tapi, kali ini ada sesuatu
yang harus Paman kerjakan...."
"Setelah urusan Paman selesai, apakah Paman
akan berkunjung kemari lagi?"
Rangga terdiam. Pandangannya beralih pada Rara
Ningrum dan Nyi Larasati. Kedua wanita itu diam, tak memberikan reaksi. Rangga
kembali menatap Samiaji
sambil tersenyum kecil.
"Paman pergi dulu, ya?"
"Paman belum menjawab pertanyaanku...," desah si
bocah lirih. Rangga terdiam, beberapa lama. Pertanyaan Samiaji
sulit untuk dijawab. Kalau mengatakan akan kembali, sebenarnya dia tidak akan ke
sini lagi. Dan, Rangga tidak mau mendustai anak itu. Mengatakan tidak akan
kembali ke tempat ini lagi, rasanya tak tega melihat wajah Samiaji itu yang
sangat berharap dirinya selalu berada di dekatnya. Tapi yang paling terpenting,
tak boleh mengajarkan kebohongan. Hal itu akan menyakitkan bagi bocah seusia
Samiaji. "Samiaji, Paman mungkin tidak ke sini lagi. Setelah menyelesaikan satu urusan,
urusan lain telah menan-ti. Hidup Paman tak pernah menetap di satu tem-
pat...," jelas Rangga.
Samiaji terdiam. Diperhatikannya wajah pemuda itu
agak lama, kemudian kepalanya ditundukkan dengan
wajah sedih. Suasana haru itu buyar ketika di kejauhan terden-
gar bunyi-bunyian yang menyita perhatian mereka se-
mua. Di ujung jalan menuju desa, terlihat suatu rombongan yang akan melewati
jalan utama desa.
"Siapa mereka?" tanya Rangga seperti pada diri
sendiri. Dengan mengerahkan ilmu Tatar Netra, matanya
mampu melihat jelas rombongan itu. Tampak beberapa
pedati sarat muatan, dan beberapa penunggang kuda
dengan pakaian aneka warna. Pendekar Rajawali Sakti mengernyitkan dahi. Siapakah
mereka" "Akan ada keramaian di desa ini," gumam Nyi Lara-
sati. "Keramaian bagaimana, Nyi?"
"Rombongan kesenian yang sering berkeliling ke de-
sa-desa." Rangga masih menunjukkan wajah heran, tidak
mengerti akan penjelasan perempuan tua itu. Kemu-
dian, Nyi Larasati menjelaskan secara singkat mengenai orang-orang itu. Rangga
menganggukkan kepala.
"Ada permainan untuk anak-anak?"
Kadang-kadang, mereka juga suka melakukan
akrobat Kau tertarik untuk menontonnya?"
Rangga tersenyum tipis dan melirik Samiaji.
"Kau suka menonton pertunjukan akrobat, Samia-
ji?" "Suka sekali! Paman mau mengajakku"!" tanya bocah itu penuh harap.
"Baiklah. Kalau memang kau suka, Paman akan
mengajak mu nanti malam," janji Rangga.
"Horeee! Jadi Paman akan tinggal bersama kami"!"
Samiaji berteriak kegirangan.
Rangga tak menjawab, melainkan hanya tersenyum
kecil. Digendongnya bocah itu dan dibawanya berlari-lari sambil bermain-main di
atas pohon. Kemudian di-tunjukkannya beberapa permainan akrobat yang
membuat bocah itu tercengang kagum dan tertawa-
tawa kegirangan.
"Samiaji senang sekali akan kehadiran pemuda
itu...," gumam Nyi Larasati.
"Ya..," sahut Rara Ningrum.
"Kalau saja pemuda itu menjadi suamimu, alangkah
senangnya Samiaji. Hidupmu tentu tidak menderita
begini, Rara...." Perempuan tua itu menoleh ke arah Rara Ningrum sambil
merangkul pundaknya.
"Siapa yang berani berharap begitu, Bu...?" tanya
Rara Ningrum lirih, mengerti maksud perkataan
ibunya. "Aku tak berharap, hanya berdoa untuk kebaha-
giaanmu. "
"Aku sudah cukup bahagia bisa mengasuh dan
membesarkan Samiaji...."
"Dalam gunjingan seluruh orang desa" Ah, memang
salahku menurunkan karma ini kepadamu," keluh Nyi
Larasati. "Sudahlah, Bu. Aku menerima semua ini sebagai
suratan takdir. Tak ada yang perlu disesali...."
"Tidak bisa! Aku telah bersumpah, jika keparat itu


Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutemukan, akan kuhajar kepalanya dengan kedua
tanganku ini!" geram Nyi Larasati.
Rara Ningrum tak bisa berkata apa-apa lagi. Jika
sudah membicarakan Samiaji, dan penderitaan yang
ditanggungnya selama ini, kenangan buruk itu selalu melintas dan tertumpah dalam
air mata yang merem-bang di kelopak matanya. Rara Ningrum berlari kecil ke
dalam. Dan, Nyi Larasati menyusul dengan wajah
menyesal. *** 4 Mata lelaki itu sipit dan selalu tampak berair. Tu-
buhnya agak bungkuk meski usianya belum terlalu
lanjut Bajunya lusuh seperti pengemis. Tetapi, raut wajahnya berkesan angkuh dan
menganggap remeh
semua orang. Begitu juga ketika berhadapan dengan
Juragan Bonteng. Seakan tak peduli, kedua kakinya
diangkat begitu saja di atas meja. Dari sela-sela bibirnya mengepul asap rokok
kawung membentuk bula-
tan-bulatan tebal.
"Tahukah kau apa yang harus dilakukan?" tanya
Juragan Bonteng menegaskan.
Juragan gendut itu tak yakin, kenalan Ki Sempur
Walang ini mampu menangani pemuda yang telah
membuatnya susah tidur. Sejak tadi, Corak Genggong
bersikap acuh tak acuh. Matanya yang sipit dan selalu berair, terkantuk-kantuk
menikmati hisapan asap rokok yang terus mengepul.
"Hm..., itu soal kecil. Bahkan kalau Juragan mau,
aku bisa membuatnya mampus dalam sekali pukul."
"Aku tak peduli! Kalau kau bisa membuatnya mam-
pus, itu lebih baik lagi!"
"He he he...! Tapi upahnya."
"Jangan khawatir, berapa pun yang kau minta pasti
ku penuhi!"
"Seratus keping uang emas!"
"Apa"!"
Sepasang mata Juragan Bonteng tampak membulat
Hatinya sangat terkejut, dan tidak pernah mem-
bayangkan akan diminta upah sebanyak itu. Seratus
keping uang emas, bukan jumlah yang sedikit. Dirinya sendiri harus mengumpulkan
dengan susah payah.
"Ya sudahlah. Kalau Juragan tidak setuju cari saja
orang lain...," sahut Carok Genggong sambil bangkit berdiri.
"Eh, sabar dulu. Sabar dulu.... Kau yakin mampu
membereskannya?" tanya Juragan Bonteng meyakin-
kan. "Lebih baik aku bunuh diri jika tak mampu membe-
reskan bocah ingusan!" ujarnya sombong.
"Baiklah. Akan kuberi seperempat bagian dulu, si-
sanya akan ku lunasi bila kau telah membawa kepala
pemuda itu."
"He he he...! Carok Genggong tak pernah menerima
upah setengah-setengah. Bila jadi, katakan jadi. Dan, beri upah seutuhnya. Tapi
bila tidak, katakan tidak.
Dan, aku akan berlalu secepatnya dari sini," tegas
orang bermata sipit itu tak senang.
"Aku tak punya uang sebanyak itu sekarang. Ba-
gaimana kalau kubayar tujuh puluh lima keping dulu, dan sisanya ku lunasi lima
hari lagi?"
Carok Genggong berpikir beberapa saat, sebelah
akhirnya menganggukkan kepala.
"Hm..., tak apalah. Hitung-hitung membantu maji-
kan sobatku. Kalau bukan majikan Ki Sempur, mana
mungkin kuterima. Nah, katakan di mana aku bisa
menjumpainya" Akan kubereskan sekarang juga!"
"Di rumah Nyi Larasati. Ki Sempur Walang akan
mengantarmu ke sana. Bukan begitu, Ki Sempur?"
"Betul, Ki Carok. aku akan mengantarmu sekarang
juga," sahut Ki Sempur Walang.
"Hm, kalau begitu kami berangkat sekarang!" ujar
Carok Genggong sambil membuang puntung rokok.
Dengan diikuti Ki Sempur Walang, mereka langsung
membalikkan tubuh dan berlalu dari tempat itu. Juragan Bonteng menghela napas
lega, dan berharap Carok Genggong mampu mengatasi pemuda yang telah
menghina dirinya.
"Kau percaya pada orang itu, Juragan?" tanya Ca-
gak Layung sinis.
"Kalau tidak, siapa lagi yang harus dipercaya" Se-
benarnya, aku tak suka orang itu. Sikapnya sangat
sombong dan meremehkan diriku. Kalau tugasnya su-
dah selesai, aku ingin dia segera angkat kaki dari sini!"
"Aku malah khawatir, dirinya akan menjadi pengha-
lang, Juragan."
"Maksudmu?"
"Iya..., melihat sikapnya yang sangat meremehkan
Juragan, bisa menjadikannya besar kepala dan berpi-
kir untuk menetap di sini selamanya. Kalau sampai
terjadi demikian, keberadaan Juragan akan terancam,"
jelas Cagak Layung.
Juragan Bonteng merenungi dugaan Cagak Layung.
Kemudian kepalanya terangguk-angguk dengan wajah
kebingungan. "Benar juga katamu...."
"Itulah Juragan. Sebaiknya, jangan mempercayai
orang yang baru dikenal.
"Jadi, apa yang harus kulakukan?" tanya Juragan
Bonteng kesal. "Setan keparat! Pemuda sial itu benar-benar membuat otakku
buntu!" "Jangan takut, Juragan. Masih banyak cara menga-
tasi pemuda itu," saran Cagak Layung tenang.
"Sudahlah, jangan berbelit-belit! Apa yang harus
kulakukan sekarang?" tanya Juragan Bonteng tak sa-
bar. Cagak Layung beranjak mendekati juragannya.
"Aku punya seorang kawan yang bisa diandalkan.
Kalau orang itu gagal, Juragan boleh mempercayai kawanku...," suara Cagak Layung
terdengar berbisik.
Mata Juragan Bonteng mendelik dan raut wajahnya
berubah tak senang.
"Kalian berdua sama saja! Ingin menguras hartaku
dengan alasan macam-macam!"
"Eh, jangan salah paham, Juragan! Kawanku tidak
mata duitan seperti yang tadi. Bila mendengar ada
orang sakti, akan didatangi dan ditantangnya orang
itu. Lalu, diajak bertarung habis-habisan," jelas Cagak Layung.
Juragan Bonteng kembali berpikir. Akalnya yang li-
cik segera bekerja. Ada baiknya, memanfaatkan orang itu bila kata-kata Cagak
Layung benar. Bagaimana-
pun, dibandingkan dengan Ki Sempur, Cagak Layung
lebih bisa dipercaya. Orang itu telah bekerja lebih lama daripada Ki Sempur.
Juragan Bonteng tahu betul wa-tak dan kebiasaannya.
"Bawa segera orang itu. Tidak usah menunggu Ca-
rok Genggong berhasil atau tidak," perintah Juragan Bonteng.
"Baik, Juragan!" Cagak Layung segera mengajak
kawan-kawannya, setelah mendengar keputusan Jura-
gan Bonteng. *** Rombongan itu memang kelompok kesenian yang
sering berpindah-pindah. Mereka merencanakan sing-
gah di desa itu selama beberapa hari. Mengadakan
sandiwara panggung, akrobat dan beberapa hiburan
lain. Pemuda berompi putih itu tersenyum girang melihat
si bocah tertawa-tawa. Beberapa orang sedang mela-
kukan akrobat, sambil sesekali melakukan adegan lu-
cu yang mengundang gelak tawa.
"Paman, aku ingin melihat dari dekat," pinta si bo-
cah berusaha menyelip di antara kerumunan penonton
lain. "Hati-hati, Samiaji!"
"Jangan khawatir, Paman!"
Pemuda yang dipanggil Paman tak lain dari Rangga
alias Pendekar Rajawali Sakti. Kepalanya menggelenggeleng melihat kelakuan
Samiaji. Sejak tadi, Samiaji merasa tak puas terhalang orang-orang di depannya.
Rangga telah berusaha mendudukkan Samiaji di pun-
daknya. Tetapi, banyaknya orang-orang yang menon-
ton pertunjukkan, membuat Samiaji masih merasa tak
leluasa. "Dasar bocah keras hati...," gumamnya.
"Yang jelas, sifat anak tentu mewarisi sifat orang-
tua...." "Heh!"
Rangga tersentak kaget mendengar seseorang me-
nyahuti gumamnya. Seketika kepalanya menoleh ke
belakang, dan melihat seorang gadis berbaju hijau
dengan rambut dikuncir ke belakang. Mulutnya terse-
nyum lebar padanya. Wajahnya cantik dengan kulit
kekuning-kuningan dan halus. Bibirnya kecil dan me-
rah, dengan hidung lancip serta bola mata bulat berbi-nar-binar. Kedua alis
matanya hitam dan lebat.
Sepintas saja, setiap laki-laki akan terpikat melihat parasnya. Terlebih melihat
tubuhnya yang, padat berisi dibungkus pakaian ketat. Melihat gerak-gerik serta
wajahnya, usia gadis itu tak lebih dari enam belas tahun.
Rangga juga menduga demikian.
"Apakah kau bicara padaku?" tanya Pendekar Raja-
wali Sakti ragu.
"Aku bicara pada orang yang merasa kuajak bicara,"
sahut gadis itu enteng.
"Hm, maaf. kalau begitu aku salah duga...," lanjut
Rangga sambil memalingkan tubuh kembali.
"Kalau bapaknya angkuh, tentu anaknya akan lebih
angkuh lagi...."
Rangga mendiamkan ocehan gadis itu.
"Orang angkuh biasanya berhati busuk!"
Kata-kata gadis itu mulai agak keras dan terdengar
jengkel. Rangga masih pura-pura tidak mendengar.
Matanya tetap tertuju pada orang-orang yang sedang
mempertunjukkan akrobat.
"He, Pemuda Sial! Kau tidak mendengar suaraku"!"
Rangga masih tetap tak peduli dimaki demikian.
"Sombong!" dengus gadis itu kesal.
Rupanya, gadis itu betul-betul jengkel. Maka ketika melihat perhatian. Rangga
tertumpah pada pertunjukan di depan, tiba-tiba gadis itu melesat melewati kepala
orang-orang yang menonton. Lalu, kakinya dije-
jakkan persis di tengah arena. Tentu saja hal itu mengundang kagum penonton.
Mereka mengira perbua-
tannya bagian dari pertunjukkan.
"He, Kisanak! Berbarislah kalian di sana!" perintah si gadis pada lima orang
anggota rombongan yang sedang memainkan akrobat.
Merasa tidak mengenal si gadis, tentu mereka ragu-
ragu menuruti perintahnya.
"He, kalian tidak mendengar perintah"!" bentaknya
sambil membelalak mata.
"Siapa kau" Kami tak mengenalmu?" tanya salah
seorang yang bertubuh tinggi kurus.
Orang itu sangat ahli melipat-lipat tubuhnya, seper-ti tidak bertulang saja. Dan
dialah pimpinan dalam kelompok ini. "Sial!"
"Heh!"
Tiba-tiba tubuh si gadis melesat ringan di atas ke-
lima orang itu sambil menjejakkan kakinya satu persa-tu. Perbuatannya tentu
sangat menghina. Terutama,
mereka tidak mengenal si gadis itu. Ketika giliran si tinggi kurus, kepalanya
segera ditundukkan sambil
tangannya diayunkan untuk menjegal.
"Kurang ajar!"
"Hihhh!"
Tetapi si gadis telah menduganya. Dengan kaki yang
lain, ditendangnya kepala orang itu. Si tinggi kurus pun bukan orang
sembarangan. Dengan cepat, dia
menghindari tendangan ke arah kepala.
"Yeaaa...!"
Plak! Des! "Akh!"
Si tinggi kurus terpekik kesakitan. Dengan gerakan
kilat, si gadis telah berbalik dan menghajar punggungnya. Tubuhnya terjerembab.
Namun, cepat bangkit
kembali. Ternyata, hal itu mengundang perhatian penonton. Mereka yang mengira
adegan tadi sebagai ba-
gian dari pertunjukan, kini mulai mengerti perkelahian itu sesungguhnya. Ada
yang senang, tapi ada pula
yang menanggapinya dengan kesal. Beruntung, hal itu tidak berlanjut ketika salah
seorang mendatangi arena.
*** "Nisanak, siapakah kau" Mengapa mengganggu
kami?" tanya seorang tua bertubuh kecil. Wajahnya
ramah dan tutur katanya halus.
"Huh! Dasar orang-orang goblok! Siapa yang meng-
ganggu" Justru aku ingin membantu agar pertunjukan
lebih hidup dan hebat!" sahut si gadis ketus.
Orang tua bertubuh kecil itu masih tersenyum.
"Terima kasih atas niat baikmu, Nisanak. Bukan
kami tidak menerima bantuan orang lain, tapi bagai-
manapun buruknya penampilan kami di mata penon-
ton, kami akan berusaha memperbaiki tanpa diajari
orang lain. Harap kau mengerti."
"Huh, terserah!" dengus si gadis sambil beranjak
pergi. "Nisanak, kau melupakan sesuatu! Tolong kembali-
kan ikat kepala salah seorang anggota yang ada di tan-ganmu!" pinta orang tua
itu. "Nih, ambil sendiri!" sahut si gadis sambil memba-
likkan tubuh. Tangannya menjulurkan ikat kepala me-
rah ke arah orang tua.
Dalam segebrakan tadi, gadis itu memang berhasil
mempecundangi lawan dan menyambar ikat kepala si
tinggi kurus. Dan, ketika hendak berlalu, sebenarnya dia pun tak lupa akan hal
itu. Malah memang disengaja untuk melihat reaksi orang tua itu. Dan inilah
kesempatan untuk melampiaskan kejengkelan hatinya.
Orang tua bertubuh kecil itu menyipitkan mata
sambil tetap tersenyum. Dengan sikap tenang dan perlahan-lahan, didekatinya si


Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis. Tangannya terjulur hendak mengambil sehelai kain kecil itu.
"Hup!"
"Heh!"
Plas! "Terima kasih atas kebaikan dan pengertianmu, Ni-
sanak!" sahut si orang tua sambil terkekeh kecil. Dibe-rikannya ikat kepala yang
berhasil direbut dari tangan si gadis itu kepada pemiliknya semula.
Si gadis merasa sangat gusar. Isi dadanya terasa ingin meledak menahan geram.
Bermaksud ingin mem-
beri pelajaran tapi dia sendiri yang diberi pelajaran.
Sengaja dipegangnya ujung kain sedikit erat, dan
ujung kain lainnya terulur ke arah si orang tua. Begitu terpegang, buru-buru
dikerahkan tenaga dalam hingga membuat ikat kepala itu menegang kaku.
Tapi, si orang tua tak kalah sigap. Kain pengikat
kepala yang kaku itu diputarnya seperti mata bor dalam genggaman si gadis. Tentu
saja si gadis terkejut.
Dan, dengan satu sentakan kecil, ikat kepala itu kembali melemas ketika si orang
tua menariknya.
"Ha ha ha...! Terima kasih, Kisanak. Kau membuat
kedua mata muridku terbuka. Gadis itu memang nakal
sekali dan suka usil mengganggu orang lain. Maafkan keteledoranku, hingga
melepasnya begitu saja!"
"Heh!"
Orang bertubuh kecil itu tersentak kaget Di sana telah berdiri sesosok tubuh
yang lebih tinggi sedikit darinya. Bajunya kumal seperti pengemis, dan tubuhnya
kurus. Mukanya merah dan di tangannya terlihat sebuah guci kecil berisi arak.
Melihat kerut-merut dan rambutnya yang telah memutih, bisa diduga usia mereka
tidak terpaut jauh. Sekitar enam puluh tahun.
"Hm, tak apa Kisanak. Memang kusadari hal itu.
Dan maafkan pula kekasaranku terhadap muridmu.
Kalau kalian sudah mampir ke tempat kami yang hina
ini, mengapa tidak langsung saja ke gubuk kami yang reot" Untuk sekadar minum
seteguk atau dua teguk
air" Kulihat kalian telah melakukan perjalanan mele-lahkan," ujar orang tua
bertubuh kecil itu ramah.
Sengaja dikatakannya hal itu untuk menghormati
tamunya. Orang tua bertubuh kecil ini memang tidak
menyukai keributan. Bila seorang tamu menunjukkan
niat baik, dia pun tak segan bersikap baik pula. Dan, ternyata hal itu disambut
baik si orang tua berbaju gembel.
"Ah, terima kasih, Kisanak. Aku si Palat Diga, dan muridku tentu mendapat
kehormatan besar mendapat
undanganmu."
"Hm, sebaliknya aku si tua, Teguh Narada, menda-
pat kehormatan besar kunjungan seorang pendekar
sepertimu," balas orang tua bertubuh kecil merendah.
"Nah, Wulansari, kau harus memberi hormat dan
meminta maaf atas kelakuanmu tadi! Ayo, beri hormat dan minta maaf!" bentak Ki
Palat Diga. Tapi, gadis itu rupanya pembangkang. Sambil
memberengut, dia malah berlalu dari tempat itu. Gu-
runya hanya menangani sambil terkekeh-kekeh. Lalu,
diajaknya orang tua bertubuh kecil itu menuju gubuknya.
"Dasar anak keras kepala! Sulit diatur. Pasti dia
akan kembali dan membawa persoalan yang menyu-
sahkanku...," gumam Ki Palat Diga sambil menggelenggelengkan kepala. Kakinya
terus mengikuti langkah Ki Teguh Narada yang berjalan lebih dulu.
*** 5 Sejak melihat si gadis menyerbu ke arena, Rangga
sudah langsung mencari Samiaji di antara kerumunan
penonton dan memondongnya di pundak.
"Kita pulang saja ya" Sudah malam...," ajak Rangga.
"Sebentar lagi, Paman! Ini lebih seru!" sahut Samiaji menolak.
Rangga memberikan beberapa alasan, tapi Samiaji
tetap berkeras. Ketika terjadi perkelahian antara si gadis dengan salah seorang
pemain akrobat, dia malah
tertawa-tawa lucu.
"Lihat, Paman! Orang itu tidak pandai mengelak,
dan dengan mudah kakak itu menjatuhkannya!"
"Hus, tidak boleh begitu!"
"Kenapa?"
"Tidak boleh menertawai orang yang sedang kesu-
sahan. Sebaliknya, kita harus kasihan.
Samiaji mengangguk-angguk. Sepasang matanya
yang kecil dan bulat kembali mengarah ke depan. Te-
tapi, perkelahian itu sudah dilerai Ki Teguh Narada.
Dan, Samiaji tidak mengerti peristiwa rebutan pengikat
kepala antara kakek itu dan si gadis. Sedangkan bagi Rangga, hal itu membuka
matanya dan segera mengetahui kakek bertubuh kecil itu bukan orang semba-
rangan. Tenaga dalamnya termasuk tokoh-tokoh persi-
latan kelas atas.
Merasa puncak acara telah berlalu, Samiaji mulai
mengantuk dan mengajak Rangga pulang. Rangga ti-
dak menolak. Sebentar lagi acara memang akan sele-
sai. Tinggal pertunjukan untuk orang-orang dewasa.
Suara gamelan dan gendang mengiringi penari-penari
berbaju minim berselendang tipis sebagai pengumpan
lelaki iseng yang akan menari bersama mereka.
"Paman bisa seperti orang-orang itu?" tanya Samiaji ketika dalam perjalanan
pulang. "Hm, nanti akan Paman coba ya?" jawab Rangga.
Rangga menghela napas pendek. Sengaja diajaknya
Samiaji menonton pertunjukkan, padahal, tadi sore
mereka sudah puas bermain. Samiaji tentu akan lelah dan langsung tidur setiba di
rumah. Saat itulah, Rangga berniat pergi dari pondok Nyi Larasati.
Bagaimanapun hatinya telah jatuh kasihan pada
Samiaji. Samiaji sudah menganggapnya orang tua sen-
diri. Padahal, mereka baru kenal beberapa hari. Lagi pula, mestinya dia tidak
berada di situ tanpa ada hal penting yang bisa dikerjakan. Persoalan Juragan
Bonteng dengan segala ulahnya telah selesai. Berarti, persoalan utama yang
mengganggu keluarga Nyi Larasati
telah selesai. "Kenapa harus menunggu nanti, Paman" Tidak bi-
sakah sekarang saja?" pinta si bocah.
"Sekarang sudah malam. Lagi pula, apakah kau tak
puas dengan pertunjukan itu?"
"Aku ingin melihat Paman yang melakukannya."
"Ya sudah, nanti saja. Sekarang, kita harus cepat-
cepat tiba di rumah. Udara semakin dingin, dan kelamaan di jalan bisa membuatmu
sakit Mengerti, kan?"
Samiaji menganggukkan kepala, bola matanya mu-
lai meredup ketika Rangga menggendongnya. Tak lama
kemudian, kepala Samiaji sudah terkulai di dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
menepuk-nepuk pantat-
nya, dan sesekali membelai rambut Samiaji dengan
kasih sayang. Baru saja Rangga mempercepat langkahnya agar ti-
ba di rumah, ketika tiba-tiba sesosok tubuh ramping melesat dari atas cabang
pohon, dan berdiri tegak di hadapannya. Rangga menghentikan langkah dan bersikap
waspada. "Hi hi hi...! Ternyata pemuda sombong sepertimu
memiliki kasih sayang juga terhadap anak."
Rangga menunjukkan wajah masam ketika tahu
siapa yang muncul. Gadis berambut kuncir ke bela-
kang itu, yang tadi mencari gara-gara dengannya.
"Apakah kau bicara padaku?" tanya Rangga sengaja
ingin membuat gadis itu kesal.
"Dasar sial! Apa kau pikir di sini ada orang lain" Kalau bukan bicara denganmu,
lalu bicara dengan sia-
pa?" Rangga tersenyum penuh kemenangan. Tetapi, wa-
jahnya tetap terlihat datar. Bahkan, menunjukkan ra-sa tidak senang.
"Hm, syukurlah. Aku hanya ingin memastikan,
apakah kau sedang bicara denganku atau angin...,"
sahutnya tenang.
Bibir gadis itu mengatup kesal.
"Belum pernah kutemui pemuda sombong seperti
kau...." "Tentu saja, karena baru tadi pagi kau turun gu-
nung," potong Rangga.
Ucapan Pendekar Rajawali Sakti membuat hati ga-
dis itu sangat panas. Wajahnya merah, dan kedua ma-
tanya melotot garang. Kepalan tangannya sudah siap
menghajar Rangga. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti su-
dah menyorongkan telapak kirinya sambil berkata perlahan.
"Ssst! Tidak bisakah kau menahan sabar sampai
anakku tidur nyenyak" Kasihan, sudah sejak tadi pagi dia bermain-main terus.
Nanti, kalau sudah kukemba-likan pada ibunya, kita bisa bermain-main sampai
puas." "Pemuda ceriwis, tutup mulutmu! Rasanya, aku ha-
rus membuntungi kepalamu yang sangat sombong
itu!" bentak gadis itu.
"Ssst! Jangan keras-keras bicaramu. Kalau nanti
anakku bangun, tentu akan mengadu pada ibunya,
dan kita bisa repot. Kalau memang kau tak mau, ya
sudah. Aku tak memaksa. Nah, sekarang jangan ha-
langi niatku untuk pulang," ujar Rangga.
Gadis itu diam ketika Rangga berlalu dari hadapan-
Playboy Dari Nanking 5 Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan Para Iblis Elang Terbang Di Dataran Luas 7
^