Dendam Membara 2
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara Bagian 2
nya. Tapi, secara diam-diam diikutinya dari belakang sampai ke tempat kediaman
Nyi Larasati. *** "Yeaaa...!"
"Heh"!"
Rangga tersentak kaget. Pendengarannya yang ta-
jam mendengar teriakan perkelahian dari arah rumah
Nyi Larasati. Tubuhnya langsung digenjot dan berlari cepat untuk melihat apa
yang terjadi. Pendekar Rajawali Sakti sangat heran melihat seo-
rang laki-laki tua bertubuh agak bungkuk menyerang
Nyi Larasati dengan hebat Di dekatnya, terlihat orang
yang telah dikenal Rangga sedang mencengkeram dan
memeluk tubuh Rara Ningrum penuh nafsu. Perem-
puan itu meronta-ronta dan menjerit ketakutan. Teta-pi, jeritannya tidak
dihiraukan sama sekali oleh laki-laki separuh baya, yang terus menindih tubuhnya
dan berusaha membuka seluruh pakaiannya dengan paksa. Setelah meletakkan tubuh
Samiaji yang terbangun mendengar suara-suara ribut itu, tubuh Rangga langsung
melesat ke arah laki-laki yang sedang berusaha melampiaskan nafsu setannya.
"Jahanam keparat! Agaknya kau tidak jera dengan
pelajaran yang kuberikan!"
"Heh!"
Laki-laki itu terkejut dan melepaskan pelukan pada
Rara Ningrum. Wuuut! Wuuut! Sesosok tubuh telah bergerak cepat ke arahnya.
Walaupun hantaman itu berhasil dielakkan dengan
membuang tubuh ke samping, tapi tendangan ujung
kaki Rangga menghantam telak di perutnya.
Bugkh! "Aaakh...!"
Terdengar suara seperti nangka busuk jatuh dari
pohon. Orang itu terpekik kesakitan ketika tubuhnya terpental dua tombak sambil
menyemburkan darah segar. Bagian bawah tubuhnya tersingkap ketika cela-
nanya robek lebar dan tak sempat diikat tadi.
"Ki Carok Genggong!"
Orang yang sedang bertarung dengan Nyi Larasati
terkejut dan menghentikan serangan mendengar jeri-
tan kawannya. Matanya langsung menatap tajam ke
arah pemuda berbaju rompi putih yang baru datang
itu. "Phuih! Kaukah orangnya"!"
Rangga menaikkan alis. Pikirannya mengingat-ingat
di mana pernah bertemu orang ini. Tapi sampai jemu
mengingat, tidak juga ditemukannya. Lagi pula, pikirannya tak sempat lagi untuk
mengingat berlama-
lama. Laki-laki bermata sipit dan bertubuh agak bungkuk itu telah mengambil aba-
aba untuk menyerang.
Sementara, Rara Ningrum yang telah terbebas sege-
ra bangkit dan membenahi pakaiannya yang tak ka-
ruan, buru-buru dihampiri perempuan tua yang bibir-
nya telah meneteskan darah segar akibat perkelahian tadi.
"Ibu tidak apa-apa"!" tanyanya cemas.
"Tidak apa-apa, Rara. Tak perlu cemas. Syukurlah
pemuda itu cepat datang. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada kita.
Oh..., aku memang tak berguna. Menghadapi bajingan busuk saja tak mampu, apa-
lagi membalaskan dendam kita...."
"Jangan berpikir ke sana terus, Bu. Lebih baik isti-rahat, dan mengatur napas
baik-baik!"
Nyi Larasati terdiam dan mengikuti anjuran pu-
trinya. Napasnya yang memburu, perlahan-lahan mu-
lai diatur kembali.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Begitu pikirannya kembali sadar, Nyi Larasati baru
mengetahui kalau Rangga tengah bertarung dengan
bekas lawannya. Sedangkan Ki Sempur Walang yang
berusaha bangkit tertatih-tatih untuk mencuri kesempatan, telah dihadang seorang
dara berbaju hijau berambut panjang dikuncir.
"Siapa gadis itu, Rara?"
"Entahlah, Bu. Aku juga tak tahu. Kedatangannya
begitu tiba-tiba dan langsung menyerahkan Samiaji ke
pangkuanku. Lalu, dihadangnya laki-laki itu."
"Samiaji cucuku, oh... kau tak apa-apa"!" jerit Nyi Larasati, seakan baru
menyadari bocah kecil itu berada di dekatnya.
Dipeluknya bocah itu, dan diciuminya sambil men-
gusap-usap kepala. Tetapi, Samiaji hanya membalas
sekilas sambil tersenyum kecil. Bola matanya tak ber-kedip menyaksikan
pertarungan Rangga dengan orang
jahat yang mengganggu ibu dan neneknya. Tak terber-
sit rasa takut sedikit pun di wajahnya, melihat kejadian aneh di depan matanya.
Gerakan-gerakan mereka
sulit diikuti karena terlalu cepat. Kepala Samiaji pun terasa pusing, namun
tetap dipaksakannya untuk melihat.
Sementara, pertarungan antara Rangga dan lawan-
nya terus berlanjut. Carok langsung mengeluarkan serangan-serangan yang cukup
ganas dan mematikan.
Tetapi, setelah mengamati jurus-jurus lawan, Rangga mulai mengerti kelemahannya
dan mulai melancarkan
serangan balasan!
"Agaknya kau sangat bernafsu membunuhku Sobat!
Terpaksa aku harus melindungi diri dan memberi pelajaran padamu!" gertak Rangga.
"Huh! Bocah kencur, kau bisa berbuat apa" Kepa-
lamu akan kutebas sebentar lagi!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dalam suatu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti
melompat di atas kepala lawan. Carok Genggong pun
menyambutnya dengan kepalan tangan berisi tenaga
dalam penuh. Dengan hanya sekali pukul, Carok Genggong yakin
Rangga tidak akan berkutik lagi. Namun tidak didu-
ganya, Rangga malah menangkis dengan kepalan tan-
gan. Laki-laki bertubuh bungkuk itu mengeluh kesakitan, tangannya terasa perih
seperti kesemutan.
Baru saja dirinya bersiaga untuk menghadapi se-
rangan berikut, telapak kaki kanan Rangga sudah bergerak cepat menghantam
dadanya. Seketika terdengar
tulang rusuk Carok Genggong berderak patah.
Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk itu memekik
kesakitan. Tubuhnya terjungkal sejauh dua tombak.
Sebelum dirinya mampu bergerak bangkit, Pendekar
Rajawali Sakti telah berkelebat cepat dengan serangan kilatnya.
"Hup!"
Plak! Des! "Akh...!"
Carok Genggong menjerit kesakitan ketika kepalan
tangan Pendekar Rajawali Sakti menyodok perutnya
dengan telak Rangga berdiri tegak, persis di depan lawannya.
"Bangkitlah, Manusia Kejam! Bukankah kau ingin
menebas leherku" Atau aku yang harus melakukannya
pada kepalamu"!"
"Bedebah! Carok Genggong tak pernah dihina! Kau
harus membayar mahal dengan jiwamu!"
"Hm...."
Rangga memperhatikan tindakan lawannya. Carok
Genggong berdiri tegak dengan kedua kaki ditekuk.
Kedua kepalan tangannya berada di pinggang. Sesaat
kemudian, terdengar rongga dadanya diisi udara. Na-
mun, wajahnya meringis kesakitan sebelum kedua pa-
ru-parunya terisi penuh. Rasa sakit yang hebat menjalar akibat patahnya beberapa
tulang rusuk. Tetapi, Carok Genggong tetap berusaha mengatasinya walaupun
keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.
"Hup!"
Telapak kanannya disorongkan ke depan. Terasa
angin panas menjalar dari telapaknya. Rangga segera bergerak ke samping. Tetapi,
Carak Genggong sudah
melompat dan bersiap menghajar Pendekar Rajawali
Sakti dengan telapak tangan yang kini berubah merah kecoklatan.
"Kau memang tak pantas dikasih hati lagi!" ujar
Rangga sambil menyorongkan telapak tangan ke arah
Carok Genggong. Dilihatnya lelaki tua itu sangat bernafsu menyerang.
Glarrr! "Heh!"
"Aaa...!"
Carok Genggong memekik panjang, ketika tubuhnyaterlempar beberapa tombak dan menggelepar-gelepar
seperti ayam dipotong. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tak mampu
dielakkan. Dan, napasnya putus beberapa saat kemu-
dian. *** Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti tak bermak-
sud membunuh lelaki tua itu. Tetapi, Carok Genggong terlalu memaksakan diri dan
terus menggempurnya,
meski keadaan tubuh sudah tak memungkinkan. Aki-
batnya, bisa diduga orang itu akan berbuat apa pun
asal lawan tewas, atau setidaknya mereka tewas ber-
dua. Tentu saja, Rangga tidak sudi melayani keneka-
tan itu. Pendekar Rajawali Sakti pun balas menyerang, dan ternyata mengakibatkan
kematian pada lawan.
Bersamaan dengan itu, Ki Sempur Walang terlihat
lari terbirit-birit. Rangga sengaja membiarkan dan berjalan menghampiri Nyi
Larasati. Segera diperiksanya keadaan tubuh perempuan tua itu.
"Kau tak apa-apa, Nyi?"
"Tidak, cuma sedikit sesak. Tak lama lagi juga akan sembuh."
Pendekar Rajawali Sakti baru terbuka matanya. Ti-
dak disangka, perempuan tua ini mampu menghadapi
Carok Genggong. Padahal, kepandaian laki-laki bertubuh sedikit bungkuk itu cukup
tinggi. Ketika malam kemarin bercerita, Nyi Larasati tidak
mengatakan apa-apa. Dirinya hanya bercerita menge-
nai tekanan dan gunjingan orang-orang desa terhadap keluarga mereka. Salah
seorang yang sangat menginginkan kepergian mereka adalah Juragan Bonteng.
Dan, selebihnya perempuan tua itu menceritakan niat busuk Ki Sempur Walang, yang
mengincar Rara Ningrum dan bermaksud menodai.
"Siapakah gadis itu" Apakah dia kawanmu?" tanya
Nyi Larasati, mengalihkan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Gadis" Gadis mana?" Rangga melihat berkeliling,
tapi gadis yang dikatakan perempuan tua itu tak terlihat batang hidungnya.
"Dia sudah pergi...."
"Bagaimana rupanya?"
"Masih muda, cantik dan berambut panjang dikun-
cir ke belakang, serta memakai baju hijau."
"Hm...," Rangga mengangguk-anggukkan kepala
mendengar penjelasan Nyi Larasati.
"Kawanmu?"
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng. Nyi Larasati
pun tak bersemangat lagi mencari tahu, melihat reaksi Rangga yang segan
menjawab. "Ada yang ingin kubicarakan padamu, Nyi...," ucap
pemuda itu ketika melihat Nyi Larasati bermaksud melangkah ke dalam rumah.
"Persoalan apa?" tanya Nyi Larasati menghentikan
langkah, dan melihat sinar mata pemuda itu mengan-
dung kecurigaan padanya.
"Kulihat tadi kau memiliki ilmu silat yang tak ren-
dah. Mengapa kau menyembunyikannya dariku?"
Nyi Larasati tidak langsung menjawab, dan diam
beberapa saat sebelum berkata lirih.
"Masuklah ke dalam. Hari telah larut malam..."
"Silakan kalian lebih dulu. Aku akan menyelesaikan
persoalan malam ini juga kepada Juragan Bonteng.
Orang itu harus memegang janjinya!" geram Rangga
sambil berlalu dari tempat itu.
"Mau ke mana Paman"!"
Rangga tak menjawab teriakan bocah itu. Begitu ju-
ga ketika Nyi Larasati dan Rara Ningrum berniat menahan.
"Juragan Bonteng sangat licik. Kau tunggu di sini,
Rara. Aku akan membantu pemuda itu!" ujar Nyi Lara-
sati segera berkelebat menyusul Pendekar Rajawali
Sakti. Rara Ningrum tak mampu menjawab. Wajahnya ter-
lihat cemas sambil memeluk Samiaji. Matanya sayu
memandang ke arah hilangnya kedua orang tadi. Teta-
pi, baru saja kakinya akan melangkah ke dalam, tiba-tiba sesosok tubuh bergerak
cepat mengayunkan tan-
gan ke lehernya.
*** 6 "Ehhh...," Rara Ningrum mengeluh pendek. Habis-
lah riwayatnya, dibunuh lawan tak dikenal Kedua ma-
tanya terpejam sambil memeluk Samiaji erat-erat Na-
mun sekian lama ditunggu, tidak juga terasa apa-apa di lehernya. Rara Ningrum
memberanikan diri membuka kelopak mata. Di depannya, telah berdiri seorang gadis
cantik yang tadi ikut membantu Rangga menghajar Ki Sempur Walang.
"Oh, kau rupanya. Maaf, kau mengagetkanku, Ni-
sanak, terima kasih pertolonganmu tadi...," Rara Ningrum berusaha tersenyum dan
mempersilakan ta-
munya masuk ke dalam.
"Tak perlu! Aku hanya ingin tahu, apakah kau istri
pemuda itu?" tanya si gadis ketus.
"Pemuda" Pemuda yang mana?"
"Jangan berbelit-belit! Aku bisa membunuhmu saat
ini juga!" bentak gadis berbaju hijau itu.
"Nisanak, kau boleh membunuh kami sekarang ju-
ga. Tapi aku tak mengerti apa yang kau maksud...."
"Sial! He, buka telingamu lebar-lebar! Pemuda be-
rompi putih itu suamimu"!"
Rara Ningrum baru mengerti apa yang dimaksud
"Dia bukan apa-apaku...," jawabnya perlahan.
"Hm, lalu bocah itu?" tunjuk si gadis kepada Samia-
ji. "Ini anakku...."
"Kenapa pemuda itu berada di sini dan sangat
mengkhawatirkan dirimu" Apakah suamimu sudah
mati, dan sekarang kau mencoba merayunya?"
"Nisanak, kau begitu memperhatikan Rangga, apa-
kah dia kawan dekatmu?" Rara Ningrum balik ber-
tanya. "Hm... itu bukan urusanmu!" sahut si gadis ketus,
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera berlalu dari situ.
Gadis yang bernama Wulandari itu, memang murid
Ki Palat Diga yang sejak tadi menguntit Rangga. Ketika Pendekar Rajawali Sakti
telah membereskan lawannya, secepat itu pula ditinggalkannya Ki Sempur Walang
yang nyaris meninggal dihajar habis-habisan.
Dan, ketika Rangga serta Nyi Larasati meninggalkan
tempat itu. Wulandari juga tahu mereka akan menuju
tempat kediaman Juragan Bonteng. Wulandari bersa-
ma gurunya masih baru di sini. Tak heran, kalau di-
rinya tidak mengenal Juragan Bonteng.
Bermula dari rasa iseng menguntit Pendekar Raja-
wali Sakti, akhirnya malah merasa penasaran melihat kepandaian pemuda itu sangat
tinggi dan luar biasa.
Bahkan, dirinya tak yakin mampu mengimbangi pe-
muda itu. Tadinya Wulandari berniat mengikuti Rangga. Na-
mun, dirasa perlu menemui gurunya terlebih dulu di
tempat kediaman Ki Teguh Narada.
*** "Silakan masuk! Jangan malu-malu...," ujar orang
tua bertubuh kecil itu ketika membukakan pintu, dan melihat seorang gadis cantik
diam mematung. "Kau harus minta maaf, lalu memberi hormat, baru
boleh masuk. Kalau membantah kau tak akan lepas
dari hukumanku!" timpal gurunya dari dalam.
Meskipun merasa kesal, gadis yang ternyata Wu-
landari itu terpaksa melakukannya.
"Duduklah. Masalah apa lagi yang kau buat di lua-
ran?" tanya Ki Palat Diga seperti tahu kelakuan mu-
ridnya. "Aku tidak berbuat macam-macam!" sahut Wulan-
dari ketus. Wajahnya terlihat masam.
"Hm, kalau tidak ada urusan penting, mana mung-
kin kau ke sini menemuiku...!"
Bola mata Wulandari melirik Ki Teguh Narada, ke-
mudian kembali memandang gurunya.
"Ada berita penting yang kubawa. Tapa hanya akan
kukatakan kalau kita berdua...."
"He, sobat baruku ini bisa dipercaya. Kau boleh
mengatakan di hadapannya juga."
Wulandari ragu mengatakan niat hatinya. Tapi keti-
ka gurunya mendesak, keluar juga ucapan perlahan
dari mulutnya. "Aku baru menyaksikan beberapa orang tokoh yang
sedang bertarung. Satu dari mereka memiliki ilmu silat tinggi dan mampu
mengalahkan lawannya...."
"Hm, apa yang ingin kau sampaikan sesungguh-
nya?" tanya Ki Palat Diga enggan berpanjang lebar.
Wulandari kesal melihat gurunya belum mengerti
juga. "Bukankah Guru mengajakku berpetualang untuk
mencari musuh besar itu?" tegurnya mengingatkan.
"Maksudmu si keparat itu berada di sini"!"
Bola mata Ki Palat Diga terbelalak. Wajahnya ber-
bias senang bercampur dendam. Ki Teguh Narada pun
merasa kesenangan. Keduanya menatap Wulandari
dan berharap gadis itu meneruskan kata-katanya.
Tapi, gadis yang baru menjelang dewasa itu malah
terdiam melihat perubahan mereka. Hatinya bingung,
dan bibirnya terkatup rapat. Bola matanya memperha-
tikan mereka bergantian.
"Ayo, katakan! Apakah yang kau maksud adalah si
keparat Durgasana"!" bentak Ki Palat Diga tak sadar.
"Eh, ng... bukan. .."
"Lalu siapa?"
Wulandari segera menceritakan ciri-ciri Rangga
lengkap dan jelas.
"Sial! Kukira kau membawa berita penting!" dengus
Ki Palat Diga kesal.
"Tapi, justru ingin kusampaikan kecurigaanku
bahwa dia muridnya!" dalih Wulandari tak mau kalah.
Ki Palat Diga dan Ki Teguh Narada saling berpan-
dangan. Lalu, orang tua bermuka merah yang suka
menenggak arak itu mengangguk-angguk.
"Bisa jadi...," ujarnya perlahan.
*** "Di mana pemuda itu sekarang?"
"Tadi mereka bertarung di depan sebuah rumah, di
dalam desa sana. Tetapi, sekarang pemuda itu sedang mendatangi tempat Juragan
Bonteng. Urusan itu pasti ada sangkut-pautnya dengan Juragan Bonteng."
Ki Teguh Narada mengangguk-anggukkan kepala.
"Ya, aku mengenalnya. Pemilik rumah yang ku tem-
pati mengatakannya sebagai raja kecil di desa ini.
Bahkan, ketika kau meminta izin membawa rombon-
gan penghibur, justru kepala desa meminta izin dulu darinya," katanya
menjelaskan. "Hm, jadi kaukah ketua rombongan penghibur ini?"
tanya Wulandari.
"Betul," sahut Ki Teguh Narada.
"Untuk apa kau ikut campur urusan kami?"
"Wulan, jaga kata-katamu!" bentak Ki Palat Diga.
Wulandari terdiam. Kepalanya ditundukkan. Ujung
bajunya dipermainkan untuk menyembunyikan hati
yang kesal. "Kau tahu apa tentang orang tua ini" Dia bukan
orang sembarangan, dan mempunyai urusan yang sa-
ma dengan gurumu"!"
"Sudahlah, Ki Palat. Jangan terlalu keras pada mu-
ridmu. Dia masih muda, dan jiwanya masih bergejolak.
Wajar kalau kata-katanya selalu meledak-ledak," sahut Ki Teguh Narada menengahi.
Ki Palat Diga masih bersungut-sungut, memandangi
murid satu-satunya dengan pandangan tajam. Arak di
dalam gucinya berkali-kali ditenggak hingga mukanya terlihat semakin merah saja.
"Ki Palat, aku ingin tahu peristiwa apa yang terjadi di rumah Juragan Bonteng.
Kalau pemuda itu sampai
turun tangan, tentunya persoalan itu tidak sepele,"
duga Ki Teguh Narada.
"He, kau mengenal pemuda itu?" tanya Ki Palat Diga
ikut bangkit v "Entahlah, aku tak tahu pasti. Tapi kalau menco-
cokkan dengan keterangan muridmu, kuduga pemuda
itu adalah Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm, pernah kudengar
namanya. Pemuda sakti itu banyak membunuh tokoh-
tokoh sesat rimba persilatan. Tapi, untuk apa dirinya mengurusi tuan tanah
seperti Juragan Bonteng?"
"Itulah yang ingin kuketahui. Persoalan ini tentu tidak sekadar mengurusi
Juragan Bonteng. Apalagi, mu-
ridmu mengatakan pemuda itu telah bertarung dengan
seorang tokoh berilmu tinggi...."
"Hm aku jadi semakin tertarik, ingin pergi ke tem-
pat Juragan Bonteng. Mudah-mudahan aku dapat me-
nemukan kakak seperguruanku yang celaka itu!" den-
gus Ki Palat Diga, dengan wajah memancarkan den-
dam membara. "Itulah alasanku membawa rombongan kemari, se-
bab kudengar dirinya bersembunyi tak jauh dari tem-
pat ini...."
"Marilah, Ki Teguh. Untuk apa membuang waktu?"
ajak Ki Palat Diga.
Ki Tegu Narada mengikuti dari belakang. Dan, Wu-
landari semakin kesal saja karena tidak dipedulikan kedua orang tua itu.
"Guru, aku ikut!" ujarnya setengah berteriak.
"Tidak. Kau tinggal di sini saja, mengawasi anak
buah Ki Teguh Narada. Bantu mereka jika ada persoa-
lan!" pesan Ki Palat Diga, cepat dan tegas.
Tetapi ketika kedua orang tua itu menghilang dari
pandangan, Wulandari mengendap-endap keluar sam-
bil menutup pintu. Dan tubuhnya segera berkelebat
cepat setelah bertanya-tanya pada seorang penonton
letak kediaman Juragan Bonteng.
*** Senja baru berlalu ketika sesosok tubuh melompat
dengan ringan ke atas tembok istana. Bangunan se-
tinggi lebih kurang dua tombak itu mudah saja dica-
pai. Bola matanya yang cekung melirik ke sana kemari, mencari kelengahan para
prajurit yang sedang bertu-gas. Tubuhnya yang kurus seperti melayang terbang
ketika melompat ke atas wuwungan. Bajunya yang hi-
tam longgar berkibar-kibar seperti sayap kelelawar.
Dan, rambutnya yang putih panjang meriap tertiup
angin. Dilihat dari dekat, wajah orang tua itu tidak terlalu seram. Kerut-merut di
wajahnya memang sudah terlihat, namun masih tampak bekas-bekas ketampanan di
masa mudanya. Tak lama kemudian, tubuhnya melayang turun dan
merapat di balik tembok tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Padahal, saat itu lima orang petugas jaga sedang patroli.
Wuttt! Tubuhnya kembali bergerak ringan melewati sebuah
wuwungan atap. Dan, tiba di suatu tempat yang penuh bunga-bunga, serta kolam
berair jernih. Namun laki-laki tua itu agaknya tak tertarik dengan suasana ro-
mantis. Tubuhnya kembali merayap di bawah dinding
ruangan, sambil sesekali mengintip lewat jendela.
Dari gerakan yang dilakukan, terlihat langkahnya
kurang sempurna. Kaki kirinya ternyata lebih pendek dari kaki kanan, sehingga
bila berjalan terlihat timpang. Tetapi melihat caranya bergerak, jelas orang tua
ini bukan orang sembarangan.
Perlahan dibukanya sebuah jendela dan menerobos
masuk ke dalam. Langkahnya menuju sebuah tempat
tidur berkelambu sutera merah jambu.
Di dalamnya, tergolek seorang wanita muda berwa-
jah manis dan berkulit halus. Kedua betis yang ter-
singkap membuat debaran jantung lelaki tua itu semakin kencang. Pinggul yang
besar dan pinggang yang
ramping, serta buah dada yang padat membuatnya be-
berapa kali menelan ludah.
"Mayasari...."
"Nghhh...," gadis itu menggeliat sambil membalik-
kan tubuh. Bola matanya yang indah terkejut kaget melihat
seorang laki-laki tua berada di kamarnya. Sama sekali tak dikenalinya orang tua
itu. "Tolong...!"
Tuk! Gadis itu mengeluh kecil ketika dua jari laki-laki
tua itu menotok urat suara dan urat geraknya. Kemu-
dian, tubuhnya dipondong keluar dari ruangan itu.
"He he he...! Diamlah, Manis. Kau akan senang da-
lam pelukan Ki Timpang. Kita akan mencari tempat
yang aman dan jauh dari istana ini."
"Heh!"
"Ada orang menyelinap ke kamar Putri Mayasari!"
"Putri Mayasari hilang!"
"Kejar...!"
"Tangkap penculik itu...!"
Suara hingar-bingar para prajurit kerajaan yang se-
dang berjaga saling bersahutan. Mereka melihat sesosok bayangan melesat dari
kamar putri kerajaan. Penjaga yang berada di pintu kamar segera memeriksa,
dan melihat putri junjungannya tak ada di dalam ka-
mar. Istana kerajaan heboh seketika. Prajurit-prajurit kerajaan langsung mengejar
bayangan yang berkelebat
tadi. "Sial!" maki laki-laki yang menyebut dirinya Ki Timpang ketika kehadirannya
diketahui. Tubuhnya melayang dari satu wuwungan ke wu-
wungan lain dengan gerakan ringan. Meski pundaknya
memondong putri kerajaan, tapi tak terlihat kesulitan sedikit pun.
"Heup!"
"Kecoa-kecoa busuk! Mana mungkin kalian mampu
mengejarku. He he he...! Dasar orang-orang dungu!"
dengus Ki Timpang setelah menjejakkan kaki di luar
bangunan istana.
"Orang tua busuk! Kau pikir bisa lolos dariku"!"
bentak seorang laki-laki tinggi besar yang memakai ba-ju kebesaran kerajaan.
Ki Timpang mencoba mengamati. Sesaat kemudian,
mulutnya terkekeh melihat lelaki yang menggenggam
pedang besar di tangan kanan.
"He he he...! Hebat, hebat...! Tak percuma kerajaan busuk ini memiliki panglima
perang sepertimu. Ternyata, kau bisa diandalkan juga. Tetapi, mencegah
urusan Ki Timpang hanya mencari penyakit sendiri...."
"Hm, jadi kau yang bernama Ki Timpang" Orang tua
busuk yang masih suka daun muda. Tetapi, kali ini
kau salah alamat. Putri kerajaan tak bisa kau sama-
kan dengan yang lain!" sahut orang bertubuh tinggi
besar itu gusar.
"Ha ha ha...! Boleh juga gertakanmu. Tetapi aku
mengatakan yang sebenarnya. Nah, kalau kau me-
mang memiliki kepandaian, ambillah Cah Ayu ini dari tanganku...."
"Kisanak, jangan membuat urusan lebih panjang.
Kau serahkan Putri Mayasari, dan kami akan melupa-
kan perbuatanmu!" panglima kerajaan masih berbaik
hati memberikan pilihan.
Ki Timpang hanya terkekeh kecil. Sepasang ma-
tanya yang cekung memperhatikan puluhan prajurit
kerajaan yang telah mengepung tempat itu. Sementara, yang lainnya masih terus
berdatangan. "Bagaimana, Ki Timpang" Kau menerima tawaran-
ku?" tanya panglima kerajaan merasa menang, mengi-
ra orang tua itu mengalah dan menerima usulnya.
"Ha ha ha...! Sekali gadis ini ada dalam pangkua-
nku, maka tak seorang pun dapat mengamininya. Ke-
cuali, mereka yang sudah bosan hidup!"
"Keparat! Kalau begitu, kau memang tak bisa dika-
sih hati. Serang orang ini!" perintah panglima kerajaan pada prajurit-
prajuritnya. "Yeaaa...!"
"He he he...! Ke sinilah kalian semua, kalau ingin
mampus di tanganku!"
Wuttt!
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plak! Plak! Begkh! "Aaa...!"
Tubuh Ki Timpang bergerak ringan menghindari se-
rangan-serangan prajurit kerajaan. Tetapi, pada saat bersamaan kedua kakinya
juga menghajar kian kemari, menghantam lawan-lawan secara tak terduga.
Dalam sekejap saja, beberapa prajurit kerajaan ter-
jungkal sambil menjerit Ki Tampang terkekeh-kekeh
kegirangan. Pengeroyokan yang dilakukan terhadapnya cuma dianggap permainan
saja. Tentu, hal ini membuat panglima kerajaan geram. Langsung diperintah-
kan anak buahnya mundur.
"Orang tua busuk, hadapilah aku!" Tantangnya gu-
sar, bersiap menempur lawan.
"He he he...! Jangan mendekat! Kalau tidak, Cah
Ayu ini akan mampus sekarang juga!" Ki Timpang
mengangkat tubuh Putri Mayasari dan mengancam
hendak membantingnya.
Ancaman itu membuat panglima kerajaan tak
mampu berbuat apa-apa. Niat menyerang lawan di-
urungkannya. "Pengecut hina! apakah keberanianmu cuma men-
gancam saja?"
"He he he...! Panglima goblok! Kau pikir dirimu sia-pa, hingga berani menganggap
rendah Ki Timpang"
Aku hanya lagi malas bermain-main denganmu. Nanti,
kalau urusanku sudah selesai dengan gadis ini, akan kucari kau untuk menagih
nyawamu yang kutitipkan
sekarang. Nah, sekarang jangan ikuti aku. Kalau tidak, aku tak segan-segan
membunuh Cah Ayu ini!"
Selesai berkata demikian, Ki Timpang memperhati-
kan mereka satu persatu. Semuanya diam mematung
dengan sikap waspada. Kemudian, tiba-tiba tubuh
orang itu melesat dan berlari cepat meninggalkan mereka. Beberapa saat kemudian,
panglima kerajaan ba-
ru memerintahkan anak buahnya mengejar orang tua
itu. *** 7 Tempat kediaman Juragan Bonteng terlihat sepi ba-
gai kuburan. Bangunan besar dengan halaman lebar
berpagar tembok setinggi satu tombak itu benar-benar sunyi. Hanya terlihat
lampu-lampu di halaman depan
dan di dalam gedung.
Rangga tidak berpikir panjang lagi. Kakinya melom-
pat ke atas pagar tembok, dan berjalan menyusuri
hingga tiba di dekat bangunan. Kemudian, kakinya
melompat ringan ke atas wuwungan, dan mencari ka-
mar orang yang dituju. Tetapi, belum juga niatnya ter-capai mengintip lewat
celah-celah genteng, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya.
"Kisanak yang di atas, silakan turun. Mengapa ha-
rus bersusah-payah mencari orang lewat jalan yang
sulit?" "Heh!"
Di halaman depan, telah berdiri tegak lima sosok
tubuh tak dikenal. Mereka berbaris dengan kedua tangan merapat di dada. Perlahan
Rangga mendekati, dan turun persis di hadapan mereka. Di beranda depan,
terlihat Juragan Bonteng duduk tenang. Di samping-
nya berdiri Cagak Layung beserta empat orang anak
buahnya. "Manusia keparat! Kutagih janjimu malam ini. Seo-
rang budakmu bernama Carok Genggong telah kukirim
ke akhirat!" geram Rangga melihat lelaki berperut buncit itu duduk tenang.
Juragan Bonteng sedikit terkejut mendengar berita
itu. Pantas pemuda ini bisa kemari. Tetapi, mengapa Ki Sempur Walang tak
memberitahukannya" Orang itu
malah tak kelihatan batang hidungnya sampai saat ini.
Beruntung, Cagak Layung telah berhasil membawa
kawan-kawannya ke tempat ini, sehingga hatinya sedikit lega.
"He he he...! Bocah ingusan, kau pikir bisa mene-
kanku seenak jidatmu"! Kau bermimpi bisa mengatur
Juragan Bonteng," jawab laki-laki berperut buncit dan bermata sipit sombong.
"Hm, begitukah?" dengus Rangga.
Selesai bertanya begitu, tubuhnya melesat cepat ke
arah Juragan Bonteng. Tetapi pada saat bersamaan,
kelima orang yang berada di depannya bergerak meng-
halangi sambil menyerang.
"Yeaaa...!"
Plak! Plak! Rangga terkejut. Serangan kelima orang itu amat
kompak dan kuat sekali. Tubuhnya meliuk-liuk meng-
hindari serangan kelima lawan, sambil sesekali mem-
balas. Tetapi, dengan mudah mereka menghindari.
Kemudian, mereka kembali berdiri tegak saling berhadapan.
"Keselamatan Juragan Bonteng di tangan kami. Ka-
lau kau berbuat macam-macam padanya, langkahi du-
lu mayat kami berlima," tantang salah seorang di antara mereka yang dahinya
licin dan berambut sedikit
"Siapa kalian" Dan, mengapa mencampuri urusan-
ku?" "Buka telingamu lebar-lebar. Namaku Giri Manuk,
dan keempat orang ini adalah kawan-kawanku, " sahut orang berdahi lebar dan
licin itu. Sepasang matanya yang bulat dan besar menunjukkan kesombongan hati
ketika memperkenalkan dirinya.
"Giri Manuk, aku tak mempunyai urusan dengan-
mu. Kuharap, tidak mencari urusan denganku?"
"Tidak usah banyak bicara, Sobat. Bila kau berani
menyentuh Juragan Bonteng, kami tidak akan berdiam
diri!" "Hm, rupanya kalian anjing-anjing penjaga manusia
busuk itu...," dengus Rangga sinis.
"Keparat! Kau berani berkata begitu padaku"! Teri-
malah kematianmu!"
Giri Manuk langsung berkelebat cepat menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, keempat kawan-
nya memperhatikan dengan waspada.
"Yeaaa...!"
Rangga yang memang sejak tadi telah menduga,
menyambutnya dengan tenang. Giri Manuk tidak me-
makai senjata apa pun, dan mengandalkan jurus-jurus tangan kosong yang ampuh.
Gerakan tangannya sangat cepat, dan berisi tenaga dalam yang kuat Jika Pendekar
Rajawali Sakti tidak menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk
menghindari, tentu serangan Giri Manuk sudah berhasil mengenainya sejak tadi.
"Hm, tak kusangka kau memiliki kemampuan yang
hebat juga, Bocah. Tetapi, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" dengus
Giri Manuk geram.
Rangga tersenyum tipis. Sesungguhnya, Giri Manuk
masih tergolong muda. Kemungkinan, usianya sendiri
belum lewat tiga puluh lima tahun. Tetapi, seenaknya saja menyebut Rangga bocah.
Sebutan itu tidak akan
berpengaruh apa-apa, jika Giri Manuk berharap Pen-
dekar Rajawali Sakti akan marah mendengar panggi-
lannya. "Yeaaa...!"
Giri Manuk berteriak sambil melontarkan serangan.
Plak! Des! "Akh...!"
Giri Manuk mengeluh ketika rahangnya terkena ha-
jaran kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua
buah giginya rontok, dan darah mengucur deras dari
luka itu. Serangan yang tak terduga itu membuat hati Giri
Manuk sangat penasaran. Bagaimana mungkin pemu-
da yang diserangnya habis-habisan, tiba-tiba mampu
melejit dan berbalik menghajar dirinya!
"Giri Manuk, perlukah kami turun tangan mering-
kus bocah itu?" tanya salah seorang kawannya dengan nada gusar.
"Tak perlu! Aku masih sanggup meringkus bocah ini
dengan tanganku sendiri!" sahut Giri Manuk sombong.
Matanya kembali memandang Pendekar Rajawali
Sakti dengan bengis.
"Bocah, tak sembarangan orang mampu memunah-
kan jurus 'Membelah Badai Topan' milikku. Kau bukan hanya berhasil
memunahkannya, tetapi juga mampu
membalas. Itu cukup hebat Tapi, jangan bergirang hati dulu. Kali ini kau tak
akan lolos dari maut. Sebutkan-lah gelar yang kau sandang agar bisa kutuliskan
pada batu nisanmu nanti!" ujar Giri Manuk jumawa.
"Orang-orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti.
Boleh kau ingat itu nanti setelah berada di akhirat!"
jawab Rangga datar, namun cukup menusuk.
Seperti tak percaya pada pendengarannya, Giri Ma-
nuk memandang Rangga lekat-lekat Sebagai orang
persilatan, tentu saja julukan pemuda itu sangat dikenalnya.
"Hm, jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti" Bagus! Sering kudengar nama besarmu, dan
tanganku sudah gatal ingin menjajal kehebatan yang
sering dibesar-besarkan orang," Giri Manuk berusaha menyembunyikan perasaan
takutnya dengan berujar
sesombong itu. "Giri Manuk, tak usah banyak bicara. Silakan, mu-
lai!" Mendengar tantangan Pendekar Rajawali Sakti, ke-
marahan Giri Manuk semakin menjadi. Kali ini, dia tak malu mengajak keempat
orang kawannya untuk membantu.
Mereka sudah bersiap-siap akan bertarung, ketika
tiba-tiba sesosok tubuh ramping berkelebat di tempat itu dan langsung menyerang
Giri Manuk. "Manusia jahanam! Bertahun-tahun kau kucari,
akhirnya kujumpai di sini. Terimalah kematianmu!"
"Nyi Larasati, jangan...!" Rangga segera berteriak
menahan, begitu mengenal tubuh yang baru tiba. Te-
tapi, peringatannya sudah terlambat Perempuan tua
itu telah terlibat pertarungan dengan kelima orang lawan Pendekar Rajawali Sakti
tadi. Rangga mengetahui kemampuan perempuan tua itu
tidak seberapa. Menghadapi Carok Genggong saja, di-
rinya sudah kesulitan dan dihajar habis-habisan. Apalagi berhadapan dengan
kelima orang lawannya itu,
yang memiliki kepandaian rata-rata di atas Carok
Genggong. Kekhawatiran Rangga segera terbukti. Belum juga
Pendekar Rajawali Sakti memberi bantuan, Nyi Larasa-ti sudah memekik kesakitan
dan tubuhnya terjungkal
menghantam tembok pagar. Buru-buru dihampirinya
perempuan tua itu.
"Nyi Larasati, kau tidak apa-apa?" tanyanya khawa-
tir. Napas perempuan tua itu megap-megap, dan tu-
buhnya terasa sulit digerakkan. Pandangannya sayu
menatap ke arah Rangga. Dan, tangannya terulur le-
mah memegang pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga, maukah kau menolong kami sekali lagi?"
Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala.
"Tahukah kau mengapa seluruh penduduk desa
mengejek Samiaji sebagai anak haram" Hinaan itu
memang betul, dan tak bisa dibantah. Tetapi, semua itu bukan salah Rara Ningrum.
Si keparat Giri Manuk itu yang menodainya, hingga timbul benih dalam perut Rara
Ningrum. Tetapi, meski Samiaji hasil perbuatan yang menyakitkan hati, Rara
Ningrum tetap berniat
merawatnya. Kini, tolonglah membalaskan dendam
dan sakit hati Rara Ningrum kepada si keparat itu...."
"Jangan khawatir, Nyi Larasati. Giri Manuk akan
kubuat menyesal!" janji Rangga geram.
"Tolonglah, Rangga. Aku telah bersumpah pada di-
riku sendiri, lebih baik mati daripada tak mampu
membalaskan sakit hati putri ku. Orang itu betul-betul keparat laknat! Setelah
menodai putri ku secara paksa dengan seenaknya ditinggal begitu saja!" jelas Nyi
Larasati berulang kali.
Rangga pun berulang-ulang menganggukkan kepa-
la, dan menenangkan hati perempuan tua itu. Kemu-
dian, tubuhnya berbalik menghadap kelima orang la-
wannya. "Giri Manuk, kau dengar kata-kata perempuan tua
itu" Dia telah bercerita banyak tentangmu. Tapi, baru kali ini aku berjumpa
dengan orang yang dimaksud.
Perbuatanmu sungguh keji dan terkutuk. Kau tidak
akan lolos dari tanganku!"
"Huh, Pendekar Rajawali Sakti! Sungguh berani kau
berkata begitu padaku. Buktikanlah, kalau memang
kau mampu mengalahkan kami!" tantang Giri Manuk
sambil mendengus sinis.
Rangga tidak banyak bicara lagi. Sambil memainkan
rangkaian jurus Rajawali Sakti, tangannya mulai me-
nyerang kelima lawan yang telah bersiap-siap sejak ta-di. "Yeaaa...!"
Plak! Wuttt! Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar bagai gas-
ing beberapa saat. Kedua kakinya bergerak lincah silih berganti. Tubuhnya
meliuk-liuk seperti orang menari, terlihat dua orang lawan memapaki serangannya.
Rangga berputar, dan menghantamkan kepalan tangan
ke muka dua orang lawan yang berusaha membokong
dari belakang. Begkh! "Akh...!"
Keduanya menjerit kesakitan. Tulang hidung mere-
ka patah dan mengucurkan darah. Kalau saja Rangga
bersungguh-sungguh mengeluarkan seluruh tenaga,
mungkin kepala kedua lawannya akan pecah dalam
sekali pukul. *** "Keparat! Terimalah jurus 'Tangan Maut' ini!" ben-
tak Giri Manuk geram.
Tubuhnya bergerak menghantamkan telapak tan-
gan ke dada lawan. Rangga melihat serangan lawan
sangat sederhana, dan hal itu tentu mudah dihindari.
Dengan bergerak sedikit ke belakang, maka pukulan
lawan akan lewat beberapa jengkal. Tetapi, betapa ter-kejutnya Pendekar Rajawali
Sakti melihat telapak tangan lawan seperti memanjang dan cepat menghantam-
nya. Begkh! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga mengeluh kesakitan ketika tubuhnya harus
jungkir balik menghindari serangan lawan. Dua orang kawan Giri Manuk telah
menunggu, dan menyambut
Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut mere-
ka. Rangga tak punya pilihan, selain memapakinya
dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Plak! Plak! Begkh! "Aaa...!"
Kedua lawannya terjungkal ketika dari telapak tan-
gan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah yang langsung menghantam mereka.
Mulut mereka menjerit
kesakitan dengan tubuh menggelepar-gelepar di tanah.
Rangga belum sempat memastikan kematian kedu-
anya, tiba-tiba Giri Manuk telah kembali menyerang
dengan jurus-jurus 'Tangan Maut'nya yang unik dan
hebat Kali ini, Rangga sungguh berhati-hati mengha-
dapi serangan lawan. Jika menganggap remeh, tubuh-
nya akan terhajar kembali seperti tadi.
Sementara itu Juragan Bonteng melihat kelima
orang panggilannya dibuat jatuh bangun oleh Pende-
kar Rajawali Sakti. Dirinya pun bersiap-siap masuk ke dalam bersama Cagak Layung
dan keempat anak
buahnya. Niatnya ingin kabur dari ancaman pemuda
berompi putih itu. Namun, ketika berada di dalam
ruangan tamu, laki-laki berperut buncit itu terkejut melihat dua orang laki-laki
tua sedang berpesta arak di meja.
"He, Juragan Bonteng. Syukur kau datang. Mau ke
mana kau" Kenapa buru-buru meninggalkan tontonan
menarik di depan sana?" tanya salah seorang dari mereka.
Juragan Bonteng mengamati orang tua itu. Bajunya
kumal seperti pengemis, dan mukanya merah. Usianya
sekitar enam puluh tahun. Tapi, orang tua bertubuh
kecil ini serasa pernah dikenalnya. Usia mereka me-
mang tidak terpaut jauh.
"Siapa kalian, dan mengapa berada di ruangan ku?"
tanyanya gusar.
"Apakah kau keberatan bila kami menumpang mi-
num-minum di sini?" tanya orang tua bermuka merah
yang tak lain Ki Palat Diga.
Sementara, Ki Teguh Narada duduk di hadapannya.
Mereka tahu di halaman depan tengah terjadi perta-
rungan seru. Maka, mereka menyelinap ke ruangan ini lewat pintu belakang,
setelah membungkam beberapa
orang pembantu rumah.
Cagak Layung yang melihat sikap kedua orang tua
itu sangat menjengkelkan, sudah langsung mencabut
goloknya. Bersama keempat kawannya bergerak men-
dekati dengan sikap mengancam. Tetapi, belum juga
mengucapkan sepatah kata pun, kedua orang tua itu
sudah bergerak cepat. Tiba-tiba, kelihatan orang itu sudah menjerit kesakitan
dan terpental menghantam
dinding ruangan. Dua orang langsung pingsan, dua la-gi merangkak-rangkak sambil
merasakan sakit yang
sangat hebat di sekujur tubuhnya. Sementara Cagak
Layung berusaha menghilangkan rasa sakit di tubuh-
nya, dan sudah kembali menyerang lawan dengan ka-
lap. "Keparat! Kubunuh kalian...!"
"Diamlah, Sobat. Biar kuberi penjelasan tikus got
ini!" ujar Ki Palat Diga pada rekannya.
"Hup!"
Plak! Bletak! Tangan kiri Ki Palat Diga menangkis serangan la-
wan, sementara guci arak di tangan kanannya meng-
hajar ke batok kepala Cagak Layung. Bersamaan den-
gan itu, lutut kanannya menghajar lambung. Sehing-
ga.... Begkh! "Aaa...!"
Cagak Layung langsung semaput ketika tubuhnya
terjungkal menghantam dinding.
"Eee... mau ke mana kau?"
Tubuh Juragan Bonteng menggigil ketakutan, dan
berusaha kabur. Tetapi, Ki Teguh Narada sudah bergerak menghalangi.
"Eh, ng..., kau mau berbuat apa padaku?"
"Menurutmu apa yang pantas?"
"Di antara kita tak ada urusan apa-apa, dan aku
tak pernah mengenal kalian sebelumnya...."
"Siapa yang berpikir ke arah itu" Kenal atau tidak, apa peduli kami?" sahut Ki
Teguh Narada tersenyum kecil.
"Sebaiknya kita apakan babi gempal ini, Sobat?"
tanya Ki Palat Diga dari arah belakang Juragan Bon-
teng. "Bagaimana kalau kita sate saja?"
"Hm.., lumayan juga. Sudah lama sekali aku tak
makan sate manusia lintah darat sepertinya!"
Kedua orang tua itu berjalan menghampiri. Wajah
Juragan Bonteng pun semakin pucat Tubuhnya me-
nyandar ke dinding, dan pandangannya silih berganti melihat kedua orang tua itu.
Dalam bayangannya, wajah kedua orang tua yang senyum-senyum itu seperti
malaikat maut yang sesaat lagi akan menjemput ajal-
nya. "Coba ku rasakan kulit dagingnya...," ujar Ki Palat Diga sambil mengulurkan
kepalan tangan.
"Jaaa...!"
Buk! "Akh!"
"Cukup alot juga!" ejek Ki Palat Diga sambil terse-
nyum-senyum, melihat tubuh Juragan Bonteng am-
bruk ke lantai sambil menjerit kesakitan menerima
pukulan keras di bahunya tadi.
"Bangun! Aku juga ingin merasakan bagaimana
manusia busuk sepertimu mampu berbuat sewenang-
wenang pada orang lain!" sentak Ki Teguh Narada
sambil menarik ujung baju laki-laki berperut besar itu.
Juragan Bonteng meringis kesakitan ketika tubuh-
nya terangkat tinggi dan menghantam genteng rumah-
nya. Juragan Bonteng kembali menjerit keras. Beberapa
buah genteng tampak pecah, seperti kepalanya yang
juga bocor mengeluarkan darah. Belum lagi, tubuhnya yang besar itu harus jatuh
berdebum ke lantai.
Kedua orang itu baru saja akan kembali menghajar,
ketika mereka mendengar suara tertawa lebar yang
memekakkan telinga dari arah luar.
"Orang yang kita tunggu telah datang, Sobat," duga
Ki Palat Diga. "Hm, kurasa juga begitu. Mari kita ke depan untuk
bergabung," sahut Ki Teguh Narada. Tangannya berge-
rak cepat menotok tubuh laki-laki berperut buncit itu
sebelum mereka berlalu ke depan.
*** 8 Begitu tiba di beranda depan, mereka melihat seo-
rang laki-laki bertubuh kurus dan berbaju hitam.
Rambutnya putih sebatas bahu, dan dibiarkan meriap.
Sebelah kakinya terlihat timpang. Dan di bahunya terlihat tubuh seorang gadis
yang tidak sadarkan diri.
Sementara, keempat orang lawan si pemuda berom-
pi putih itu tampak binasa. Hanya Giri Manuk yang
masih kembang-kempis napasnya. Dari mulut dan hi-
dungnya, terus-menerus mengeluarkan darah. Ru-
panya Giri Manuk menderita luka dalam yang cukup
hebat. Giri Manuk segera bersujud pada laki-laki yang baru datang.
"Guru, oh..., syukurlah kau cepat datang, kalau ti-
dak entah bagaimana nasibku..."!"
. "Murid keparat! Kau membuatku malu saja.
Menghadapi seorang bocah pentil saja tidak mampu.
Lebih baik kau mampus!"
"Guru..." Aaa...!"
Dengan sadis kaki kanan orang tua bermata cekung
itu terayun ke arah Giri Manuk, yang merupakan mu-
ridnya. Giri Manuk tidak mampu mengelak. Tendan-
gan keras yang berisi tenaga dalam itu membuat kepalanya seperti mau copot dari
pangkal. Rahangnya re-
muk ketika ujung kaki yang menghantam dada lang-
sung bergerak terayun ke atas. Begitu menyentuh tanah, tubuhnya menggelepar-
gelepar sesaat sebelum
akhirnya diam tak bergerak.
"Hm. tidak heran muridnya berkelakuan iblis kare-
na gurunya memang iblis."
Mendengar sindiran itu, si orang tua segera berpal-
ing. Dan, dilihatnya seorang perempuan tua yang be-
rada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya
memandang cukup lama, seperti mengenali Nyi Lara-
sati. "Tidak kenalkah kau padaku, Durgasana...?" tanya
Nyi Larasati dingin.
"Siapa kau"! Siapa yang kau sebut Durgasana"
Nama ku Ki Timpang, karena jalanku memang tim-
pang," bantah orang tua itu.
"Hm, siapa pun namamu, kau tidak bisa mengela-
buiku..." "Hm, kaukah Larasati...?" tanya laki-laki yang me-
nyebut dirinya Ki Timpang itu dengan suara di hidung.
"Bagus! Kau telah mengenalku sekarang. Kini, teri-
malah pembalasan atas apa yang kau lakukan dahu-
lu." Setelah berkata demikian Nyi Larasati langsung
menyerang laki-laki di hadapannya.
"Larasati, jangan main-main kau! Aku tak ingin
membunuhmu!" teriak Ki Timpang bergerak menghin-
dar. Pada saat yang bersamaan melesat pula dua sosok
bayangan dari beranda depan dan langsung menye-
rang Ki Timpang.
"Jahanam keparat! Terimalah kematianmu seka-
rang juga...!"
"Yeaaa...!"
Meski harus memanggul tubuh seorang gadis dalam
pundaknya, tapi gerakan Ki Timpang sangat gesit dan lincah. Tubuhnya melayang
bagai sehelai kapas tertiup angin, dan melesat jauh di dekat pintu gerbang
depan. Sepasang matanya menatap tajam pada dua orang la-
wan yang baru datang itu.
"Hm rupanya kau Palat Diga. Dengan siapa kau in-
gin mencabut nyawaku saat ini?" dengus Ki Timpang.
"Ki Timpang, atau siapa pun namamu, masih in-
gatkah kau peristiwa dua puluh lima tahun lalu di De-sa Anjar Kulon" Waktu itu
kau merebut seorang gadis dari kekasihnya, padahal mereka saling mencintai.
Kau merusaknya, kau menodainya, dan yang lebih sa-
dis, kau membunuh gadis itu. Aku datang untuk me-
nagih hutang nyawa gadis itu padamu!" geram Ki Te-
guh Narada cepat.
"Ya, ya... kuingat. Kau adalah kekasihnya Sekar
Mayang. Hm, bagus! Kalau memang kalian telah ber-
siap untuk membunuhku, silakan saja kalau mampu!"
sahut Ki Timpang sombong.
"Dasar murid murtad! Setelah mencuri kitab pusa-
ka perguruan, kau malah mencelakakan guru dengan
membuntungi kedua kakinya. Aku mencarimu untuk
membuat perhitungan!" bentak Ki Palat Diga.
"Palat Diga, kau tak usah banyak bicara. Buktikan
ucapanmu kalau kau memang mampu. Ayo, majulah
bersama-sama!"
Ki Palat Diga telah menceritakan sebelumnya pada
Ki Teguh Narada, ketika mereka sama-sama mengeta-
hui mencari orang yang sama. Terlebih kepandaian Ki Timpang saat ini sulit
diukur. Maka, mereka tidak merasa malu maju berbarengan.
Ki Timpang sendiri sudah langsung menyambut se-
rangan mereka ketika sudah meletakkan gadis yang
dipanggulnya. Sesungguhnya, apa yang menyebabkan orang tua
itu datang ke sini" Pada saat Cagak Layung menghu-
bungi Giri Manuk, dirinya juga bertemu dengan Ki
Timpang. Tapi karena Ki Timpang ada keperluan lain, maka lelaki timpang berjanji
akan menyusul ke tempat Juragan Bonteng setelah urusan selesai.
Sementara di dalam pertarungan terlihat kedua
orang itu menggempur lawan yang paling dibencinya.
Nyi Larasati diam saja, tak ikut campur. Rangga pun tak tahu apa yang harus
dikerjakannya saat ini. Dihampirinya perempuan tua itu, dan dihiburnya setelah
melihat kejadian di dalam rumah Juragan Bonteng.
"Sudahlah, Nyi. Segalanya sudah beres. Ayo kita pu-
lang. Kasihan Rara Ningrum dan Samiaji berdua di
rumah...."
"Silakan, kau pulang lebih dulu. Aku masih ingin di sini...," sahut perempuan
tua itu lirih. "Apakah kau akan menyerangnya setelah mereka?"
Nyi Larasati diam tak menjawab.
"Nyi, tampaknya kau sangat mengenal lelaki itu.
Apakah kalian pernah akrab" Kulihat, sinar mata kalian tak bisa membohongi...."
Nyi Larasati mengangguk pelan.
"Dia suamimu?"
"Ceritanya panjang, Rangga! Kami... sepasang keka-
sih yang saling mencintai. Suatu saat kami terperosok melakukan perbuatan yang
seharusnya tidak dilakukan. Dan, dirinya berjanji akan mengawiniku. Tapi, tak
lama setelah kejadian itu, dia pergi mengembara. Bertahun-tahun aku mencarinya,
sementara benih yang
ditinggalkannya telah menjadi seorang bayi perempuan yang cantik. Ku asuh dia,
kurawat, dan kubesarkan.
Tetapi kemudian, terjadilah hal yang tak kuinginkan ketika putri ku satu-satunya
dinodai seorang pemuda yang beberapa kali. Dan, yang lebih menyakitkan hati-ku,
pemuda itu adalah murid dari orang yang selama
ini kucari-cari...," jelas Nyi Larasati menutup ceritanya.
Rangga menganggukkan kepala. Namun, baru saja
mulutnya akan bertanya lagi, tiba-tiba terdengar pekik kesakitan diiringi
terjungkalnya tubuh dua orang lawan Ki Timpang. Dari mulut mereka menyemburkan
darah segar.
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang tua itu berusaha bangkit tertatih-tatih.
Napasnya terlihat megap-megap, namun pancaran ma-
ta mereka tajam dan penuh dendam.
*** "Nyi, izinkan aku membalaskan sakit hatimu, dan
sakit hati semua orang padanya," mohon Rangga sam-
bil bangkit berdiri.
Nyi Larasati diam membisu. Dirinya tak tahu harus
menjawab apa. Sebenci-bencinya pada Ki Timpang, ta-
pi rasa cintanya masih tetap ada.
Sementara itu, Ki Timpang terkekeh-kekeh sambil
bertolak pinggang.
"Ha ha ha...! Hanya begitu kemampuan kalian, su-
dah berani bermaksud mengalahkan dan membinasa-
kanku" Pulanglah kalian sebelum mataku muak me-
mandang!" "Kisanak, bicaramu sombong sekali..."
"Heh! Bocah sial, apakah kau pun menghendaki
nyawaku"!" bentaknya angker. Matanya memandang
tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah kalau kukatakan iya, kau sudi memberi-
kannya, Orang Tua?" tanya Rangga tidak kalah gertak.
"Sial! He, sebut namamu. Boleh juga kau berhada-
pan denganku, karena mampu menundukkan murid
goblokku itu!"
"Apakah namaku bisa membuatmu takut" Kalau
memang betul, tentu dengan senang hati ku- se-
butkan," ujar Rangga sengaja membuat hati orang tua itu marah.
"Keparat! Kau pikir dengan mengalahkan muridku,
kau pun bisa berbuat seenaknya padaku"! Huh, Bocah
Pentil! Kau perlu diberi pelajaran rupanya."
Setelah berkata demikian, tubuhnya langsung ber-
kelebat menerjang. Gerakannya cepat, dan berisi tena-ga dalam kuat Dirinya
berharap, dengan sekali gebrakan pemuda itu paling tidak akan kewalahan, dan ke-
sombongannya akan berubah menjadi rasa khawatir
serta ketakutan.
Tapi, bukan main kesalnya Ki Timpang melihat
Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindar dengan
gesit dan tidak kalah ringannya. Berkali-kali diserangnya pemuda itu, namun
Rangga tidak mengalami ke-
sulitan sedikit pun untuk menghindari.
Rangga mengetahui lawannya ini berkepandaian
tinggi. Maka, dirinya tidak mau berlaku ayal-ayalan dan menganggap rendah lawan.
Dengan memainkan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari setiap serangan lawan, tubuhnya
meliuk-liuk seperti
orang menari. Kedua kakinya pun bergerak lincah.
Rangga mengerahkan segenap kemampuan ilmu me-
ringankan tubuhnya untuk mengimbangi gerakan la-
wan. Dua jurus telah berlangsung, dan Ki Timpang be-
lum juga berhasil mendesak Rangga. Meskipun telah
mengeluarkan jurus 'Tangan Maut' yang dahsyat, tapi kali ini Rangga tak akan
terkecoh dua kali.
Sebab, Giri Manuk pernah mengeluarkan jurus ini.
Dan sudah pasti jurus yang dimiliki gurunya akan lebih ampuh lagi.
Perlahan tapi pasti, Rangga mulai mendesak Ki
Timpang dengan mengeluarkan rangkaian jurus 'Raja-
wali Sakti'. Tetapi sama halnya dengan lawan, baginya pun cukup sulit menghajar
Ki Timpang. Keadaan ini membuat Ki Timpang benar-benar
jengkel. Dikiranya, Rangga sama sekali tak berarti. Ta-pi, setelah pertarungan
berjalan lebih dari dua puluh jurus, belum juga terlihat tanda-tanda siapa yang
akan berhasil menjatuhkan lawan.
Maka, pada jurus kedua puluh satu, tubuh Ki Tim-
pang bergerak bergulung-gulung dan membuat lompa-
tan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti segera men-gejarnya dan mengirimkan
satu tendangan keras. Tapi tanpa sepengetahuan Rangga, saat itu Ki Timpang
tengah mengerahkan ajian mautnya yang bernama 'Tapak
Nenggala'. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan hingga
kedua tangannya berubah merah menyala. Lalu, ketiak kedua kakinya menjejak
tanah, saat itu pula sebelah telapak tangannya menghantam ke- tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dari situ, melesat sinar merah laksana kabut yang menimbulkan
angin menderu. "Yeaaa...!"
Rangga terkejut melihat serangan lawan. Saat itu,
tubuhnya tengah mengapung di udara. Tak ada pilihan lain, kecuali mencabut
pedang pusakanya untuk menangkis sinar merah itu. Seberkas sinar biru langsung
berpendar dari bilah pedang dalam genggamannya. Di-usapnya dengan tangan kiri,
dan dengan cepat dis-
orongkannya ke muka sambil berteriak keras.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Glarrr...!"
"Aaakh...!"
Ki Timpang menjerit kesakitan ketika pukulan sakti
mereka bertemu dan menimbulkan suara menggelegar.
Terlihat percikan bunga api serta asap hitam tebal
membumbung angkasa. Tubuhnya terjungkal satu
tombak sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri.
Saat itu juga, kakinya membuat beberapa lompatan.
Dan, begitu menjejak tanah, tubuhnya kembali berge-
rak cepat menyerang lawan dengan sisa-sisa tenaga
yang ada. Kali ini Ki Timpang berbuat nekat, ingin tewas bersama-sama.
"Yeaaa...!"
Rangga pun mengalami luka akibat benturan tadi.
Isi perutnya seperti diaduk-aduk. Namun, Rangga ce-
pat menguasai diri dengan bersalto beberapa kali sambil mengatur pernapasan. Dan
tanpa menoleh ke bela-
kang, pedang yang masih berada dalam genggamannya
berkelebat cepat.
"Akh!"
"Durgasana...!" Nyi Larasati memekik nyaring.
Rangga menyarungkan pedangnya kembali untuk
sesaat, dipandanginya Nyi Larasati yang mendekap tubuh Ki Timpang. Tubuh lelaki
tua itu hangus seperti terbakar. Kemudian, ditinggalkannya dengan langkah
pelan. Kejadian tadi memang sangat cepat Meskipun tidak
melihat, pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dapat mengetahui
serangan lawan. Pendekar Ra-
jawali Sakti mengetahui lawan tak bersenjata, dan dirinya sangat yakin, Ki
Timpang tidak akan mampu
menghalangi ayunan pedangnya. Dugaannya ternyata
benar. Ki Timpang tak mampu menghindar. Dirinya
hanya terkejut, dan selanjutnya melenguh kecil. Dari mulai dada hingga ke perut,
terlihat robek dibabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terselimuti
seberkas sinar kebiruan yang perlahan-lahan sirna
dan tubuhnya berubah hitam seperti terbakar.
"Rangga..."
"Eh!"
Pendekar Rajawali Sakti terkejut Di hadapannya te-
lah berdiri Rara Ningrum yang memeluk Samiaji. Mu-
kanya sembab seperti habis menangis. Bola matanya
memandang sayu, dan kemudian tertunduk. Rangga
jadi salah tingkah. Berkali-kali matanya melirik Nyi Larasati yang masih
menekuri mayat Ki Timpang.
"Sudah lama kalian berada di sini?"
Rara Ningrum mengangguk. Wanita itu tak mampu
menahan perasaan dukanya yang belum dimengerti
Rangga. Tetapi, ketika berjalan mendekati Nyi Larasati yang sedang menekuri
mayat Ki Timpang, pemuda berompi putih mulai mengerti. Niatnya untuk pergi seca-
ra diam-diam diurungkan. Rangga hanya diam mem-
perhatikan mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti, aku si orang tua tak ber-
guna Ki Teguh Narada, menghaturkan banyak terima
kasih atas pertolonganmu...."
"Heh...!"
Rangga baru tersadar ketika dua orang tua yang ta-
di bertarung dengan Ki Timpang mendekatinya, ber-
sama gadis yang tadi dipanggul orang tua berkaki timpang itu.
"Aku si tua Palat Diga pun menanggung hutang
nyawa padamu, Anak Muda," ucap lelaki tua berwajah
merah itu. "Sudahlah, Paman! Tidak usah dipikirkan lagi, di
antara kita tidak ada hutan-piutang. Yang ada, hanya saling tolong-menolong.
Bukankah yang namanya ke-laliman harus dilenyapkan dari muka bumi ini" Kalau
kita tidak saling bahu-membahu, mana mungkin aku
mampu menghadapinya seorang diri," ujar Rangga
dengan nada merendah.
"Ah, tapi siapa yang meragukan kehebatanmu, Pen-
dekar Rajawali Sakti!" puji Ki Teguh Narada sambil tersenyum kecil.
"Paman terlalu memujiku...."
"Nah, Sobat Muda. Kini kau punya tugas baru lagi,"
lanjut Ki Palat Diga.
"Tugas apa, Paman?" tanya Rangga heran.
*** Ki Palat Diga memberi hormat pada gadis di sebe-
lahnya yang sejak tadi membisu. Lalu kepalanya me-
noleh ke arah Rangga.
"Kau mengenalinya, bukan" Gadis inilah yang tadi
dibawa Ki Timpang. Dia adalah putri dari Kerajaan
Sanjaya. Sudilah kau mengantarkannya kembali ke is-
tana kerajaan."
"Hm, Paduka Putri, maafkan hamba yang tidak
mengenal orang," sahut Rangga memberi penghorma-
tan. "Sudahlah. Sebenarnya aku tak ingin disanjung-
sanjung seperti itu. Bila mereka berdua tahu berterima kasih, aku pun ingin
mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu. Ikutlah denganku ke istana kerajaan.
Pasti ayahanda akan memberi hadiah-hadiah yang be-
sar padamu," ujar gadis itu.
Rangga tersenyum kecil mendengar kata-kata gadis
itu. "Tuan Putri, maafkan hamba. Jika tujuan menga-
jakku ke istana untuk mendapatkan hadiah, maka bi-
arlah aku mengalah. Tuan Putri bisa mengajak kedua
Paman ini...."
"Hm, kenapa" Apakah kau tak cukup dengan ha-
diah-hadiah?"
Rangga kembali tersenyum pahit. Gadis ini terlihat
polos dan kurang bergaul. Yang ada dalam benaknya, persoalan balas budi harus
ditukar dengan hadiah
atau harta benda. Padahal Rangga ingin menjelaskan
kalau gadis ini sama sekali tak mengenal dunianya.
Rangga tidak butuh hadiah.
"Tuan Putri, maaf..., Pendekar Rajawali Sakti tak
bermaksud menolak pemberian Tuan Putri. Dalam du-
nia kependekaran, dirinya terkenal sebagai orang yang menolong tanpa pamrih.
Bila pertolongannya dihargai dengan hadiah, sama artinya dengan penghinaan." Ki
Teguh Narada menengahi sambil menjelaskan pada
gadis itu, yang terlihat kurang senang mendengar jawaban Rangga tadi.
Mendengar penjelasan itu, Tuan Putri baru mengerti
dan menganggukkan kepala.
"Baiklah, kalau demikian, atas nama ayahanda aku
mengundangmu ke istana kerajaan. Beliau tentunya
ingin berkenalan denganmu, sekaligus mengucapkan
terima kasih atas apa yang kau lakukan...."
"Tuan Putri, apa yang telah kuperbuat sehingga ha-
rus ke istana untuk menemui ayahandamu, Baginda
Kerajaan Sanjaya?" tanya Rangga.
"Bukankah kau telah menyelamatkan diriku?"
Rangga tersenyum kecil dan merasa geli sendiri. Di-
rinya tak pernah menyelamatkan gadis ini. Tapi, gadis itu berkeras dirinya yang
telah menyelamatkan dari
cengkeraman Ki Timpang. Lalu, gadis itu pun berkeras menginginkan Rangga datang
ke istana. Semula Pendekar Rajawali Sakti enggan dan tetap menolak. Tapi Ki
Palat Diga dan Ki Teguh Narada memberikan beberapa alasan, yang membuatnya
setuju mengantarkan
gadis itu. "Baiklah. Tapi aku pamit dulu dengan mereka," ujar
Rangga sambil melangkah ke arah Nyi Larasati dan
Rara Ningrum yang sedang menggendong Samiaji. Me-
reka telah berdiri tegak dan memandang Rangga den-
gan tatapan sayu.
"Paman mau pergi?" tanya Samiaji mendahului
Rangga membuka mulut.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum kecil dan men-
gelus kepala bocah itu. Kemudian kepalanya mengang-
guk. Dilihatnya bocah itu terdiam. Tidak seperti kemarin, Samiaji selalu menahan
kepergian Rangga. Kali ini, pancaran matanya tetap tak rela. Namun mulutnya
terkunci rapat "Banyak yang harus Paman kerjakan, Samiaji. Tapi
Paman berjanji, bila suatu saat berada di desa ini lagi, Paman pasti
mengunjungimu...."
Samiaji terdiam. Rangga mengalihkan pandangan
pada Nyi Larasati dan berkata pelan.
"Maaf Nyi.... Kalau kau tak senang Ki Timpang ter-
bunuh, kau boleh menghukumku...."
"Tidak. Hatiku memang tak bisa dikatakan senang,
tapi sudah pantas dirinya menerima ganjaran itu...,"
suara Nyi Larasati terdengar lirih.
Lalu, Rangga berpaling pada Rara Ningrum.
"Maafkan aku, Rara. Aku tahu, walaupun kau tak
diakui, tapi yang pasti dia adalah bapakmu. Kau tentu mencintainya."
Rara Ningrum terisak sambil menggelengkan kepa-
la. "Aku pergi sekarang, Rara. Baik-baiklah kalian di sini. Urusan Juragan
Bonteng akan kulaporkan pada
Baginda Raja. Agar menghukumnya dengan adil," janji Rangga meyakinkan bahwa
hidup mereka kali ini akan
aman. Rara Ningrum tak menjawab sepatah kata pun. Air
matanya tidak berhenti mengalir. Ketika Rangga perlahan-lahan meninggalkan
tempat ini bersama putri ra-
ja. Terasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ada sesuatu yang melesak dalam
dada dan membuat perih
seluruh jiwa raganya.
Bila dibandingkan putri raja dengan dirinya... anak haram. Ah, sungguh
lengkaplah kehinaan itu. Dirinya tak pantas mendapat perhatian lelaki mana pun,
bisik hati Rara Ningrum.
"Apakah wanita itu kekasihmu?"
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, apa...?" Rangga tersentak mendengar perta-
nyaan putri raja.
Gadis berwajah cantik dan ayu itu tersenyum kecil.
Tampak deretan gigi yang putih bersih dan bibir merah merekah.
"Kau termenung memikirkannya?"
"Memikirkan siapa?"
"Wanita yang menggendong anak kecil tadi?"
"Ya, dirinya terlalu menanggung penderitaan...."
Belum habis Rangga bicara, tiba-tiba melesat seso-
sok tubuh ramping di hadapan mereka dan langsung
mencabut pedang. Rangga segera menarik putri raja
sambil memiringkan kepalanya. Ujung pedang itu le-
wat beberapa rambut, tapi kembali menyambar pang-
kal lehernya. "Maaf, Tuan Putri!"
Disambarnya tubuh gadis itu sambil melompat ke
belakang, menghindari serangan lawan yang baru da-
tang itu. Tentu saja putri raja yang bernama Mayasari itu tersentak kaget. Baru
kali ini tubuhnya dirangkul seorang laki-laki dalam keadaan sadar.
Tapi karena mengetahui keadaan mereka berba-
haya, dirinya diam saja. Perasaan ngeri dan takut
menjalar di hatinya ketika mendengar angin berciutan dan tubuhnya melayang-
layang dalam gendongan Pendekar Rajawali Sakti.
"Nisanak, kenapa kau menyerangku?" tanya Rangga
heran pada penyerangnya itu.
Ternyata penyerang itu tak lain Wulandari, gadis
berbaju hijau dan berambut kuncir ke belakang, murid Ki Palat Diga. Sejak tadi
dirinya memang mengikuti
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mengintip peristiwa yang terjadi di halaman
depan rumah Juragan Bonteng.
"Huh! Kau tak perlu beralasan. Pemuda ceriwis se-
pertimu seharusnya mampus!" geram suara Wulanda-
ri. Rangga tak mengerti mengapa gadis itu tiba- tiba bernafsu Ingin membunuhnya.
Jika terus-menerus
menghindar, dirinya akan repot meladeni kekonyolan
Wulandari. Maka, dalam suatu kesempatan tubuhnya
berkelebat cepat. Mayasari sampai menutup mata me-
nahan ngeri. Tidak lama berselang, terdengar Wulandari menjerit
kesakitan. Pedang di tangannya terpental jauh dan tubuhnya jatuh ke tanah dalam
keadaan tak berdaya.
"Maaf, aku tak sempat melayani keinginanmu yang
tak ku mengerti. Kurang dari sepeminum teh, kau
akan terbebas dari totokanku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti segera melesat dari
situ. Wulandari berteriak dan memaki-maki tak karuan.
Dirinya merasa kesal melihat Pendekar Rajawali Sakti kembali menggendong gadis
itu. Rasanya, Wulandari
ingin melumatkan mereka berdua!
Entah mengapa, dirinya tak rela melihat Pendekar
Rajawali Sakti berdekatan dengan wanita mana pun.
Tak heran, bila akhirnya Wulandari uring-uringan
sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan! Sementara, Pendekar Rajawali
Sakti yang membawa putri raja telah melesat jauh meninggalkannya.
SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** *** *** 2 *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** *** 7 *** *** 8 *** *** SELESAI Kemelut Di Majapahit 17 Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 7
nya. Tapi, secara diam-diam diikutinya dari belakang sampai ke tempat kediaman
Nyi Larasati. *** "Yeaaa...!"
"Heh"!"
Rangga tersentak kaget. Pendengarannya yang ta-
jam mendengar teriakan perkelahian dari arah rumah
Nyi Larasati. Tubuhnya langsung digenjot dan berlari cepat untuk melihat apa
yang terjadi. Pendekar Rajawali Sakti sangat heran melihat seo-
rang laki-laki tua bertubuh agak bungkuk menyerang
Nyi Larasati dengan hebat Di dekatnya, terlihat orang
yang telah dikenal Rangga sedang mencengkeram dan
memeluk tubuh Rara Ningrum penuh nafsu. Perem-
puan itu meronta-ronta dan menjerit ketakutan. Teta-pi, jeritannya tidak
dihiraukan sama sekali oleh laki-laki separuh baya, yang terus menindih tubuhnya
dan berusaha membuka seluruh pakaiannya dengan paksa. Setelah meletakkan tubuh
Samiaji yang terbangun mendengar suara-suara ribut itu, tubuh Rangga langsung
melesat ke arah laki-laki yang sedang berusaha melampiaskan nafsu setannya.
"Jahanam keparat! Agaknya kau tidak jera dengan
pelajaran yang kuberikan!"
"Heh!"
Laki-laki itu terkejut dan melepaskan pelukan pada
Rara Ningrum. Wuuut! Wuuut! Sesosok tubuh telah bergerak cepat ke arahnya.
Walaupun hantaman itu berhasil dielakkan dengan
membuang tubuh ke samping, tapi tendangan ujung
kaki Rangga menghantam telak di perutnya.
Bugkh! "Aaakh...!"
Terdengar suara seperti nangka busuk jatuh dari
pohon. Orang itu terpekik kesakitan ketika tubuhnya terpental dua tombak sambil
menyemburkan darah segar. Bagian bawah tubuhnya tersingkap ketika cela-
nanya robek lebar dan tak sempat diikat tadi.
"Ki Carok Genggong!"
Orang yang sedang bertarung dengan Nyi Larasati
terkejut dan menghentikan serangan mendengar jeri-
tan kawannya. Matanya langsung menatap tajam ke
arah pemuda berbaju rompi putih yang baru datang
itu. "Phuih! Kaukah orangnya"!"
Rangga menaikkan alis. Pikirannya mengingat-ingat
di mana pernah bertemu orang ini. Tapi sampai jemu
mengingat, tidak juga ditemukannya. Lagi pula, pikirannya tak sempat lagi untuk
mengingat berlama-
lama. Laki-laki bermata sipit dan bertubuh agak bungkuk itu telah mengambil aba-
aba untuk menyerang.
Sementara, Rara Ningrum yang telah terbebas sege-
ra bangkit dan membenahi pakaiannya yang tak ka-
ruan, buru-buru dihampiri perempuan tua yang bibir-
nya telah meneteskan darah segar akibat perkelahian tadi.
"Ibu tidak apa-apa"!" tanyanya cemas.
"Tidak apa-apa, Rara. Tak perlu cemas. Syukurlah
pemuda itu cepat datang. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada kita.
Oh..., aku memang tak berguna. Menghadapi bajingan busuk saja tak mampu, apa-
lagi membalaskan dendam kita...."
"Jangan berpikir ke sana terus, Bu. Lebih baik isti-rahat, dan mengatur napas
baik-baik!"
Nyi Larasati terdiam dan mengikuti anjuran pu-
trinya. Napasnya yang memburu, perlahan-lahan mu-
lai diatur kembali.
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Begitu pikirannya kembali sadar, Nyi Larasati baru
mengetahui kalau Rangga tengah bertarung dengan
bekas lawannya. Sedangkan Ki Sempur Walang yang
berusaha bangkit tertatih-tatih untuk mencuri kesempatan, telah dihadang seorang
dara berbaju hijau berambut panjang dikuncir.
"Siapa gadis itu, Rara?"
"Entahlah, Bu. Aku juga tak tahu. Kedatangannya
begitu tiba-tiba dan langsung menyerahkan Samiaji ke
pangkuanku. Lalu, dihadangnya laki-laki itu."
"Samiaji cucuku, oh... kau tak apa-apa"!" jerit Nyi Larasati, seakan baru
menyadari bocah kecil itu berada di dekatnya.
Dipeluknya bocah itu, dan diciuminya sambil men-
gusap-usap kepala. Tetapi, Samiaji hanya membalas
sekilas sambil tersenyum kecil. Bola matanya tak ber-kedip menyaksikan
pertarungan Rangga dengan orang
jahat yang mengganggu ibu dan neneknya. Tak terber-
sit rasa takut sedikit pun di wajahnya, melihat kejadian aneh di depan matanya.
Gerakan-gerakan mereka
sulit diikuti karena terlalu cepat. Kepala Samiaji pun terasa pusing, namun
tetap dipaksakannya untuk melihat.
Sementara, pertarungan antara Rangga dan lawan-
nya terus berlanjut. Carok langsung mengeluarkan serangan-serangan yang cukup
ganas dan mematikan.
Tetapi, setelah mengamati jurus-jurus lawan, Rangga mulai mengerti kelemahannya
dan mulai melancarkan
serangan balasan!
"Agaknya kau sangat bernafsu membunuhku Sobat!
Terpaksa aku harus melindungi diri dan memberi pelajaran padamu!" gertak Rangga.
"Huh! Bocah kencur, kau bisa berbuat apa" Kepa-
lamu akan kutebas sebentar lagi!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dalam suatu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti
melompat di atas kepala lawan. Carok Genggong pun
menyambutnya dengan kepalan tangan berisi tenaga
dalam penuh. Dengan hanya sekali pukul, Carok Genggong yakin
Rangga tidak akan berkutik lagi. Namun tidak didu-
ganya, Rangga malah menangkis dengan kepalan tan-
gan. Laki-laki bertubuh bungkuk itu mengeluh kesakitan, tangannya terasa perih
seperti kesemutan.
Baru saja dirinya bersiaga untuk menghadapi se-
rangan berikut, telapak kaki kanan Rangga sudah bergerak cepat menghantam
dadanya. Seketika terdengar
tulang rusuk Carok Genggong berderak patah.
Laki-laki tua bertubuh agak bungkuk itu memekik
kesakitan. Tubuhnya terjungkal sejauh dua tombak.
Sebelum dirinya mampu bergerak bangkit, Pendekar
Rajawali Sakti telah berkelebat cepat dengan serangan kilatnya.
"Hup!"
Plak! Des! "Akh...!"
Carok Genggong menjerit kesakitan ketika kepalan
tangan Pendekar Rajawali Sakti menyodok perutnya
dengan telak Rangga berdiri tegak, persis di depan lawannya.
"Bangkitlah, Manusia Kejam! Bukankah kau ingin
menebas leherku" Atau aku yang harus melakukannya
pada kepalamu"!"
"Bedebah! Carok Genggong tak pernah dihina! Kau
harus membayar mahal dengan jiwamu!"
"Hm...."
Rangga memperhatikan tindakan lawannya. Carok
Genggong berdiri tegak dengan kedua kaki ditekuk.
Kedua kepalan tangannya berada di pinggang. Sesaat
kemudian, terdengar rongga dadanya diisi udara. Na-
mun, wajahnya meringis kesakitan sebelum kedua pa-
ru-parunya terisi penuh. Rasa sakit yang hebat menjalar akibat patahnya beberapa
tulang rusuk. Tetapi, Carok Genggong tetap berusaha mengatasinya walaupun
keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.
"Hup!"
Telapak kanannya disorongkan ke depan. Terasa
angin panas menjalar dari telapaknya. Rangga segera bergerak ke samping. Tetapi,
Carak Genggong sudah
melompat dan bersiap menghajar Pendekar Rajawali
Sakti dengan telapak tangan yang kini berubah merah kecoklatan.
"Kau memang tak pantas dikasih hati lagi!" ujar
Rangga sambil menyorongkan telapak tangan ke arah
Carok Genggong. Dilihatnya lelaki tua itu sangat bernafsu menyerang.
Glarrr! "Heh!"
"Aaa...!"
Carok Genggong memekik panjang, ketika tubuhnyaterlempar beberapa tombak dan menggelepar-gelepar
seperti ayam dipotong. 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tak mampu
dielakkan. Dan, napasnya putus beberapa saat kemu-
dian. *** Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti tak bermak-
sud membunuh lelaki tua itu. Tetapi, Carok Genggong terlalu memaksakan diri dan
terus menggempurnya,
meski keadaan tubuh sudah tak memungkinkan. Aki-
batnya, bisa diduga orang itu akan berbuat apa pun
asal lawan tewas, atau setidaknya mereka tewas ber-
dua. Tentu saja, Rangga tidak sudi melayani keneka-
tan itu. Pendekar Rajawali Sakti pun balas menyerang, dan ternyata mengakibatkan
kematian pada lawan.
Bersamaan dengan itu, Ki Sempur Walang terlihat
lari terbirit-birit. Rangga sengaja membiarkan dan berjalan menghampiri Nyi
Larasati. Segera diperiksanya keadaan tubuh perempuan tua itu.
"Kau tak apa-apa, Nyi?"
"Tidak, cuma sedikit sesak. Tak lama lagi juga akan sembuh."
Pendekar Rajawali Sakti baru terbuka matanya. Ti-
dak disangka, perempuan tua ini mampu menghadapi
Carok Genggong. Padahal, kepandaian laki-laki bertubuh sedikit bungkuk itu cukup
tinggi. Ketika malam kemarin bercerita, Nyi Larasati tidak
mengatakan apa-apa. Dirinya hanya bercerita menge-
nai tekanan dan gunjingan orang-orang desa terhadap keluarga mereka. Salah
seorang yang sangat menginginkan kepergian mereka adalah Juragan Bonteng.
Dan, selebihnya perempuan tua itu menceritakan niat busuk Ki Sempur Walang, yang
mengincar Rara Ningrum dan bermaksud menodai.
"Siapakah gadis itu" Apakah dia kawanmu?" tanya
Nyi Larasati, mengalihkan pikiran Pendekar Rajawali Sakti.
"Gadis" Gadis mana?" Rangga melihat berkeliling,
tapi gadis yang dikatakan perempuan tua itu tak terlihat batang hidungnya.
"Dia sudah pergi...."
"Bagaimana rupanya?"
"Masih muda, cantik dan berambut panjang dikun-
cir ke belakang, serta memakai baju hijau."
"Hm...," Rangga mengangguk-anggukkan kepala
mendengar penjelasan Nyi Larasati.
"Kawanmu?"
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng. Nyi Larasati
pun tak bersemangat lagi mencari tahu, melihat reaksi Rangga yang segan
menjawab. "Ada yang ingin kubicarakan padamu, Nyi...," ucap
pemuda itu ketika melihat Nyi Larasati bermaksud melangkah ke dalam rumah.
"Persoalan apa?" tanya Nyi Larasati menghentikan
langkah, dan melihat sinar mata pemuda itu mengan-
dung kecurigaan padanya.
"Kulihat tadi kau memiliki ilmu silat yang tak ren-
dah. Mengapa kau menyembunyikannya dariku?"
Nyi Larasati tidak langsung menjawab, dan diam
beberapa saat sebelum berkata lirih.
"Masuklah ke dalam. Hari telah larut malam..."
"Silakan kalian lebih dulu. Aku akan menyelesaikan
persoalan malam ini juga kepada Juragan Bonteng.
Orang itu harus memegang janjinya!" geram Rangga
sambil berlalu dari tempat itu.
"Mau ke mana Paman"!"
Rangga tak menjawab teriakan bocah itu. Begitu ju-
ga ketika Nyi Larasati dan Rara Ningrum berniat menahan.
"Juragan Bonteng sangat licik. Kau tunggu di sini,
Rara. Aku akan membantu pemuda itu!" ujar Nyi Lara-
sati segera berkelebat menyusul Pendekar Rajawali
Sakti. Rara Ningrum tak mampu menjawab. Wajahnya ter-
lihat cemas sambil memeluk Samiaji. Matanya sayu
memandang ke arah hilangnya kedua orang tadi. Teta-
pi, baru saja kakinya akan melangkah ke dalam, tiba-tiba sesosok tubuh bergerak
cepat mengayunkan tan-
gan ke lehernya.
*** 6 "Ehhh...," Rara Ningrum mengeluh pendek. Habis-
lah riwayatnya, dibunuh lawan tak dikenal Kedua ma-
tanya terpejam sambil memeluk Samiaji erat-erat Na-
mun sekian lama ditunggu, tidak juga terasa apa-apa di lehernya. Rara Ningrum
memberanikan diri membuka kelopak mata. Di depannya, telah berdiri seorang gadis
cantik yang tadi ikut membantu Rangga menghajar Ki Sempur Walang.
"Oh, kau rupanya. Maaf, kau mengagetkanku, Ni-
sanak, terima kasih pertolonganmu tadi...," Rara Ningrum berusaha tersenyum dan
mempersilakan ta-
munya masuk ke dalam.
"Tak perlu! Aku hanya ingin tahu, apakah kau istri
pemuda itu?" tanya si gadis ketus.
"Pemuda" Pemuda yang mana?"
"Jangan berbelit-belit! Aku bisa membunuhmu saat
ini juga!" bentak gadis berbaju hijau itu.
"Nisanak, kau boleh membunuh kami sekarang ju-
ga. Tapi aku tak mengerti apa yang kau maksud...."
"Sial! He, buka telingamu lebar-lebar! Pemuda be-
rompi putih itu suamimu"!"
Rara Ningrum baru mengerti apa yang dimaksud
"Dia bukan apa-apaku...," jawabnya perlahan.
"Hm, lalu bocah itu?" tunjuk si gadis kepada Samia-
ji. "Ini anakku...."
"Kenapa pemuda itu berada di sini dan sangat
mengkhawatirkan dirimu" Apakah suamimu sudah
mati, dan sekarang kau mencoba merayunya?"
"Nisanak, kau begitu memperhatikan Rangga, apa-
kah dia kawan dekatmu?" Rara Ningrum balik ber-
tanya. "Hm... itu bukan urusanmu!" sahut si gadis ketus,
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera berlalu dari situ.
Gadis yang bernama Wulandari itu, memang murid
Ki Palat Diga yang sejak tadi menguntit Rangga. Ketika Pendekar Rajawali Sakti
telah membereskan lawannya, secepat itu pula ditinggalkannya Ki Sempur Walang
yang nyaris meninggal dihajar habis-habisan.
Dan, ketika Rangga serta Nyi Larasati meninggalkan
tempat itu. Wulandari juga tahu mereka akan menuju
tempat kediaman Juragan Bonteng. Wulandari bersa-
ma gurunya masih baru di sini. Tak heran, kalau di-
rinya tidak mengenal Juragan Bonteng.
Bermula dari rasa iseng menguntit Pendekar Raja-
wali Sakti, akhirnya malah merasa penasaran melihat kepandaian pemuda itu sangat
tinggi dan luar biasa.
Bahkan, dirinya tak yakin mampu mengimbangi pe-
muda itu. Tadinya Wulandari berniat mengikuti Rangga. Na-
mun, dirasa perlu menemui gurunya terlebih dulu di
tempat kediaman Ki Teguh Narada.
*** "Silakan masuk! Jangan malu-malu...," ujar orang
tua bertubuh kecil itu ketika membukakan pintu, dan melihat seorang gadis cantik
diam mematung. "Kau harus minta maaf, lalu memberi hormat, baru
boleh masuk. Kalau membantah kau tak akan lepas
dari hukumanku!" timpal gurunya dari dalam.
Meskipun merasa kesal, gadis yang ternyata Wu-
landari itu terpaksa melakukannya.
"Duduklah. Masalah apa lagi yang kau buat di lua-
ran?" tanya Ki Palat Diga seperti tahu kelakuan mu-
ridnya. "Aku tidak berbuat macam-macam!" sahut Wulan-
dari ketus. Wajahnya terlihat masam.
"Hm, kalau tidak ada urusan penting, mana mung-
kin kau ke sini menemuiku...!"
Bola mata Wulandari melirik Ki Teguh Narada, ke-
mudian kembali memandang gurunya.
"Ada berita penting yang kubawa. Tapa hanya akan
kukatakan kalau kita berdua...."
"He, sobat baruku ini bisa dipercaya. Kau boleh
mengatakan di hadapannya juga."
Wulandari ragu mengatakan niat hatinya. Tapi keti-
ka gurunya mendesak, keluar juga ucapan perlahan
dari mulutnya. "Aku baru menyaksikan beberapa orang tokoh yang
sedang bertarung. Satu dari mereka memiliki ilmu silat tinggi dan mampu
mengalahkan lawannya...."
"Hm, apa yang ingin kau sampaikan sesungguh-
nya?" tanya Ki Palat Diga enggan berpanjang lebar.
Wulandari kesal melihat gurunya belum mengerti
juga. "Bukankah Guru mengajakku berpetualang untuk
mencari musuh besar itu?" tegurnya mengingatkan.
"Maksudmu si keparat itu berada di sini"!"
Bola mata Ki Palat Diga terbelalak. Wajahnya ber-
bias senang bercampur dendam. Ki Teguh Narada pun
merasa kesenangan. Keduanya menatap Wulandari
dan berharap gadis itu meneruskan kata-katanya.
Tapi, gadis yang baru menjelang dewasa itu malah
terdiam melihat perubahan mereka. Hatinya bingung,
dan bibirnya terkatup rapat. Bola matanya memperha-
tikan mereka bergantian.
"Ayo, katakan! Apakah yang kau maksud adalah si
keparat Durgasana"!" bentak Ki Palat Diga tak sadar.
"Eh, ng... bukan. .."
"Lalu siapa?"
Wulandari segera menceritakan ciri-ciri Rangga
lengkap dan jelas.
"Sial! Kukira kau membawa berita penting!" dengus
Ki Palat Diga kesal.
"Tapi, justru ingin kusampaikan kecurigaanku
bahwa dia muridnya!" dalih Wulandari tak mau kalah.
Ki Palat Diga dan Ki Teguh Narada saling berpan-
dangan. Lalu, orang tua bermuka merah yang suka
menenggak arak itu mengangguk-angguk.
"Bisa jadi...," ujarnya perlahan.
*** "Di mana pemuda itu sekarang?"
"Tadi mereka bertarung di depan sebuah rumah, di
dalam desa sana. Tetapi, sekarang pemuda itu sedang mendatangi tempat Juragan
Bonteng. Urusan itu pasti ada sangkut-pautnya dengan Juragan Bonteng."
Ki Teguh Narada mengangguk-anggukkan kepala.
"Ya, aku mengenalnya. Pemilik rumah yang ku tem-
pati mengatakannya sebagai raja kecil di desa ini.
Bahkan, ketika kau meminta izin membawa rombon-
gan penghibur, justru kepala desa meminta izin dulu darinya," katanya
menjelaskan. "Hm, jadi kaukah ketua rombongan penghibur ini?"
tanya Wulandari.
"Betul," sahut Ki Teguh Narada.
"Untuk apa kau ikut campur urusan kami?"
"Wulan, jaga kata-katamu!" bentak Ki Palat Diga.
Wulandari terdiam. Kepalanya ditundukkan. Ujung
bajunya dipermainkan untuk menyembunyikan hati
yang kesal. "Kau tahu apa tentang orang tua ini" Dia bukan
orang sembarangan, dan mempunyai urusan yang sa-
ma dengan gurumu"!"
"Sudahlah, Ki Palat. Jangan terlalu keras pada mu-
ridmu. Dia masih muda, dan jiwanya masih bergejolak.
Wajar kalau kata-katanya selalu meledak-ledak," sahut Ki Teguh Narada menengahi.
Ki Palat Diga masih bersungut-sungut, memandangi
murid satu-satunya dengan pandangan tajam. Arak di
dalam gucinya berkali-kali ditenggak hingga mukanya terlihat semakin merah saja.
"Ki Palat, aku ingin tahu peristiwa apa yang terjadi di rumah Juragan Bonteng.
Kalau pemuda itu sampai
turun tangan, tentunya persoalan itu tidak sepele,"
duga Ki Teguh Narada.
"He, kau mengenal pemuda itu?" tanya Ki Palat Diga
ikut bangkit v "Entahlah, aku tak tahu pasti. Tapi kalau menco-
cokkan dengan keterangan muridmu, kuduga pemuda
itu adalah Pendekar Rajawali Sakti...."
"Pendekar Rajawali Sakti" Hm, pernah kudengar
namanya. Pemuda sakti itu banyak membunuh tokoh-
tokoh sesat rimba persilatan. Tapi, untuk apa dirinya mengurusi tuan tanah
seperti Juragan Bonteng?"
"Itulah yang ingin kuketahui. Persoalan ini tentu tidak sekadar mengurusi
Juragan Bonteng. Apalagi, mu-
ridmu mengatakan pemuda itu telah bertarung dengan
seorang tokoh berilmu tinggi...."
"Hm aku jadi semakin tertarik, ingin pergi ke tem-
pat Juragan Bonteng. Mudah-mudahan aku dapat me-
nemukan kakak seperguruanku yang celaka itu!" den-
gus Ki Palat Diga, dengan wajah memancarkan den-
dam membara. "Itulah alasanku membawa rombongan kemari, se-
bab kudengar dirinya bersembunyi tak jauh dari tem-
pat ini...."
"Marilah, Ki Teguh. Untuk apa membuang waktu?"
ajak Ki Palat Diga.
Ki Tegu Narada mengikuti dari belakang. Dan, Wu-
landari semakin kesal saja karena tidak dipedulikan kedua orang tua itu.
"Guru, aku ikut!" ujarnya setengah berteriak.
"Tidak. Kau tinggal di sini saja, mengawasi anak
buah Ki Teguh Narada. Bantu mereka jika ada persoa-
lan!" pesan Ki Palat Diga, cepat dan tegas.
Tetapi ketika kedua orang tua itu menghilang dari
pandangan, Wulandari mengendap-endap keluar sam-
bil menutup pintu. Dan tubuhnya segera berkelebat
cepat setelah bertanya-tanya pada seorang penonton
letak kediaman Juragan Bonteng.
*** Senja baru berlalu ketika sesosok tubuh melompat
dengan ringan ke atas tembok istana. Bangunan se-
tinggi lebih kurang dua tombak itu mudah saja dica-
pai. Bola matanya yang cekung melirik ke sana kemari, mencari kelengahan para
prajurit yang sedang bertu-gas. Tubuhnya yang kurus seperti melayang terbang
ketika melompat ke atas wuwungan. Bajunya yang hi-
tam longgar berkibar-kibar seperti sayap kelelawar.
Dan, rambutnya yang putih panjang meriap tertiup
angin. Dilihat dari dekat, wajah orang tua itu tidak terlalu seram. Kerut-merut di
wajahnya memang sudah terlihat, namun masih tampak bekas-bekas ketampanan di
masa mudanya. Tak lama kemudian, tubuhnya melayang turun dan
merapat di balik tembok tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Padahal, saat itu lima orang petugas jaga sedang patroli.
Wuttt! Tubuhnya kembali bergerak ringan melewati sebuah
wuwungan atap. Dan, tiba di suatu tempat yang penuh bunga-bunga, serta kolam
berair jernih. Namun laki-laki tua itu agaknya tak tertarik dengan suasana ro-
mantis. Tubuhnya kembali merayap di bawah dinding
ruangan, sambil sesekali mengintip lewat jendela.
Dari gerakan yang dilakukan, terlihat langkahnya
kurang sempurna. Kaki kirinya ternyata lebih pendek dari kaki kanan, sehingga
bila berjalan terlihat timpang. Tetapi melihat caranya bergerak, jelas orang tua
ini bukan orang sembarangan.
Perlahan dibukanya sebuah jendela dan menerobos
masuk ke dalam. Langkahnya menuju sebuah tempat
tidur berkelambu sutera merah jambu.
Di dalamnya, tergolek seorang wanita muda berwa-
jah manis dan berkulit halus. Kedua betis yang ter-
singkap membuat debaran jantung lelaki tua itu semakin kencang. Pinggul yang
besar dan pinggang yang
ramping, serta buah dada yang padat membuatnya be-
berapa kali menelan ludah.
"Mayasari...."
"Nghhh...," gadis itu menggeliat sambil membalik-
kan tubuh. Bola matanya yang indah terkejut kaget melihat
seorang laki-laki tua berada di kamarnya. Sama sekali tak dikenalinya orang tua
itu. "Tolong...!"
Tuk! Gadis itu mengeluh kecil ketika dua jari laki-laki
tua itu menotok urat suara dan urat geraknya. Kemu-
dian, tubuhnya dipondong keluar dari ruangan itu.
"He he he...! Diamlah, Manis. Kau akan senang da-
lam pelukan Ki Timpang. Kita akan mencari tempat
yang aman dan jauh dari istana ini."
"Heh!"
"Ada orang menyelinap ke kamar Putri Mayasari!"
"Putri Mayasari hilang!"
"Kejar...!"
"Tangkap penculik itu...!"
Suara hingar-bingar para prajurit kerajaan yang se-
dang berjaga saling bersahutan. Mereka melihat sesosok bayangan melesat dari
kamar putri kerajaan. Penjaga yang berada di pintu kamar segera memeriksa,
dan melihat putri junjungannya tak ada di dalam ka-
mar. Istana kerajaan heboh seketika. Prajurit-prajurit kerajaan langsung mengejar
bayangan yang berkelebat
tadi. "Sial!" maki laki-laki yang menyebut dirinya Ki Timpang ketika kehadirannya
diketahui. Tubuhnya melayang dari satu wuwungan ke wu-
wungan lain dengan gerakan ringan. Meski pundaknya
memondong putri kerajaan, tapi tak terlihat kesulitan sedikit pun.
"Heup!"
"Kecoa-kecoa busuk! Mana mungkin kalian mampu
mengejarku. He he he...! Dasar orang-orang dungu!"
dengus Ki Timpang setelah menjejakkan kaki di luar
bangunan istana.
"Orang tua busuk! Kau pikir bisa lolos dariku"!"
bentak seorang laki-laki tinggi besar yang memakai ba-ju kebesaran kerajaan.
Ki Timpang mencoba mengamati. Sesaat kemudian,
mulutnya terkekeh melihat lelaki yang menggenggam
pedang besar di tangan kanan.
"He he he...! Hebat, hebat...! Tak percuma kerajaan busuk ini memiliki panglima
perang sepertimu. Ternyata, kau bisa diandalkan juga. Tetapi, mencegah
urusan Ki Timpang hanya mencari penyakit sendiri...."
"Hm, jadi kau yang bernama Ki Timpang" Orang tua
busuk yang masih suka daun muda. Tetapi, kali ini
kau salah alamat. Putri kerajaan tak bisa kau sama-
kan dengan yang lain!" sahut orang bertubuh tinggi
besar itu gusar.
"Ha ha ha...! Boleh juga gertakanmu. Tetapi aku
mengatakan yang sebenarnya. Nah, kalau kau me-
mang memiliki kepandaian, ambillah Cah Ayu ini dari tanganku...."
"Kisanak, jangan membuat urusan lebih panjang.
Kau serahkan Putri Mayasari, dan kami akan melupa-
kan perbuatanmu!" panglima kerajaan masih berbaik
hati memberikan pilihan.
Ki Timpang hanya terkekeh kecil. Sepasang ma-
tanya yang cekung memperhatikan puluhan prajurit
kerajaan yang telah mengepung tempat itu. Sementara, yang lainnya masih terus
berdatangan. "Bagaimana, Ki Timpang" Kau menerima tawaran-
ku?" tanya panglima kerajaan merasa menang, mengi-
ra orang tua itu mengalah dan menerima usulnya.
"Ha ha ha...! Sekali gadis ini ada dalam pangkua-
nku, maka tak seorang pun dapat mengamininya. Ke-
cuali, mereka yang sudah bosan hidup!"
"Keparat! Kalau begitu, kau memang tak bisa dika-
sih hati. Serang orang ini!" perintah panglima kerajaan pada prajurit-
prajuritnya. "Yeaaa...!"
"He he he...! Ke sinilah kalian semua, kalau ingin
mampus di tanganku!"
Wuttt!
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plak! Plak! Begkh! "Aaa...!"
Tubuh Ki Timpang bergerak ringan menghindari se-
rangan-serangan prajurit kerajaan. Tetapi, pada saat bersamaan kedua kakinya
juga menghajar kian kemari, menghantam lawan-lawan secara tak terduga.
Dalam sekejap saja, beberapa prajurit kerajaan ter-
jungkal sambil menjerit Ki Tampang terkekeh-kekeh
kegirangan. Pengeroyokan yang dilakukan terhadapnya cuma dianggap permainan
saja. Tentu, hal ini membuat panglima kerajaan geram. Langsung diperintah-
kan anak buahnya mundur.
"Orang tua busuk, hadapilah aku!" Tantangnya gu-
sar, bersiap menempur lawan.
"He he he...! Jangan mendekat! Kalau tidak, Cah
Ayu ini akan mampus sekarang juga!" Ki Timpang
mengangkat tubuh Putri Mayasari dan mengancam
hendak membantingnya.
Ancaman itu membuat panglima kerajaan tak
mampu berbuat apa-apa. Niat menyerang lawan di-
urungkannya. "Pengecut hina! apakah keberanianmu cuma men-
gancam saja?"
"He he he...! Panglima goblok! Kau pikir dirimu sia-pa, hingga berani menganggap
rendah Ki Timpang"
Aku hanya lagi malas bermain-main denganmu. Nanti,
kalau urusanku sudah selesai dengan gadis ini, akan kucari kau untuk menagih
nyawamu yang kutitipkan
sekarang. Nah, sekarang jangan ikuti aku. Kalau tidak, aku tak segan-segan
membunuh Cah Ayu ini!"
Selesai berkata demikian, Ki Timpang memperhati-
kan mereka satu persatu. Semuanya diam mematung
dengan sikap waspada. Kemudian, tiba-tiba tubuh
orang itu melesat dan berlari cepat meninggalkan mereka. Beberapa saat kemudian,
panglima kerajaan ba-
ru memerintahkan anak buahnya mengejar orang tua
itu. *** 7 Tempat kediaman Juragan Bonteng terlihat sepi ba-
gai kuburan. Bangunan besar dengan halaman lebar
berpagar tembok setinggi satu tombak itu benar-benar sunyi. Hanya terlihat
lampu-lampu di halaman depan
dan di dalam gedung.
Rangga tidak berpikir panjang lagi. Kakinya melom-
pat ke atas pagar tembok, dan berjalan menyusuri
hingga tiba di dekat bangunan. Kemudian, kakinya
melompat ringan ke atas wuwungan, dan mencari ka-
mar orang yang dituju. Tetapi, belum juga niatnya ter-capai mengintip lewat
celah-celah genteng, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya.
"Kisanak yang di atas, silakan turun. Mengapa ha-
rus bersusah-payah mencari orang lewat jalan yang
sulit?" "Heh!"
Di halaman depan, telah berdiri tegak lima sosok
tubuh tak dikenal. Mereka berbaris dengan kedua tangan merapat di dada. Perlahan
Rangga mendekati, dan turun persis di hadapan mereka. Di beranda depan,
terlihat Juragan Bonteng duduk tenang. Di samping-
nya berdiri Cagak Layung beserta empat orang anak
buahnya. "Manusia keparat! Kutagih janjimu malam ini. Seo-
rang budakmu bernama Carok Genggong telah kukirim
ke akhirat!" geram Rangga melihat lelaki berperut buncit itu duduk tenang.
Juragan Bonteng sedikit terkejut mendengar berita
itu. Pantas pemuda ini bisa kemari. Tetapi, mengapa Ki Sempur Walang tak
memberitahukannya" Orang itu
malah tak kelihatan batang hidungnya sampai saat ini.
Beruntung, Cagak Layung telah berhasil membawa
kawan-kawannya ke tempat ini, sehingga hatinya sedikit lega.
"He he he...! Bocah ingusan, kau pikir bisa mene-
kanku seenak jidatmu"! Kau bermimpi bisa mengatur
Juragan Bonteng," jawab laki-laki berperut buncit dan bermata sipit sombong.
"Hm, begitukah?" dengus Rangga.
Selesai bertanya begitu, tubuhnya melesat cepat ke
arah Juragan Bonteng. Tetapi pada saat bersamaan,
kelima orang yang berada di depannya bergerak meng-
halangi sambil menyerang.
"Yeaaa...!"
Plak! Plak! Rangga terkejut. Serangan kelima orang itu amat
kompak dan kuat sekali. Tubuhnya meliuk-liuk meng-
hindari serangan kelima lawan, sambil sesekali mem-
balas. Tetapi, dengan mudah mereka menghindari.
Kemudian, mereka kembali berdiri tegak saling berhadapan.
"Keselamatan Juragan Bonteng di tangan kami. Ka-
lau kau berbuat macam-macam padanya, langkahi du-
lu mayat kami berlima," tantang salah seorang di antara mereka yang dahinya
licin dan berambut sedikit
"Siapa kalian" Dan, mengapa mencampuri urusan-
ku?" "Buka telingamu lebar-lebar. Namaku Giri Manuk,
dan keempat orang ini adalah kawan-kawanku, " sahut orang berdahi lebar dan
licin itu. Sepasang matanya yang bulat dan besar menunjukkan kesombongan hati
ketika memperkenalkan dirinya.
"Giri Manuk, aku tak mempunyai urusan dengan-
mu. Kuharap, tidak mencari urusan denganku?"
"Tidak usah banyak bicara, Sobat. Bila kau berani
menyentuh Juragan Bonteng, kami tidak akan berdiam
diri!" "Hm, rupanya kalian anjing-anjing penjaga manusia
busuk itu...," dengus Rangga sinis.
"Keparat! Kau berani berkata begitu padaku"! Teri-
malah kematianmu!"
Giri Manuk langsung berkelebat cepat menyerang
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, keempat kawan-
nya memperhatikan dengan waspada.
"Yeaaa...!"
Rangga yang memang sejak tadi telah menduga,
menyambutnya dengan tenang. Giri Manuk tidak me-
makai senjata apa pun, dan mengandalkan jurus-jurus tangan kosong yang ampuh.
Gerakan tangannya sangat cepat, dan berisi tenaga dalam yang kuat Jika Pendekar
Rajawali Sakti tidak menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk
menghindari, tentu serangan Giri Manuk sudah berhasil mengenainya sejak tadi.
"Hm, tak kusangka kau memiliki kemampuan yang
hebat juga, Bocah. Tetapi, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" dengus
Giri Manuk geram.
Rangga tersenyum tipis. Sesungguhnya, Giri Manuk
masih tergolong muda. Kemungkinan, usianya sendiri
belum lewat tiga puluh lima tahun. Tetapi, seenaknya saja menyebut Rangga bocah.
Sebutan itu tidak akan
berpengaruh apa-apa, jika Giri Manuk berharap Pen-
dekar Rajawali Sakti akan marah mendengar panggi-
lannya. "Yeaaa...!"
Giri Manuk berteriak sambil melontarkan serangan.
Plak! Des! "Akh...!"
Giri Manuk mengeluh ketika rahangnya terkena ha-
jaran kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua
buah giginya rontok, dan darah mengucur deras dari
luka itu. Serangan yang tak terduga itu membuat hati Giri
Manuk sangat penasaran. Bagaimana mungkin pemu-
da yang diserangnya habis-habisan, tiba-tiba mampu
melejit dan berbalik menghajar dirinya!
"Giri Manuk, perlukah kami turun tangan mering-
kus bocah itu?" tanya salah seorang kawannya dengan nada gusar.
"Tak perlu! Aku masih sanggup meringkus bocah ini
dengan tanganku sendiri!" sahut Giri Manuk sombong.
Matanya kembali memandang Pendekar Rajawali
Sakti dengan bengis.
"Bocah, tak sembarangan orang mampu memunah-
kan jurus 'Membelah Badai Topan' milikku. Kau bukan hanya berhasil
memunahkannya, tetapi juga mampu
membalas. Itu cukup hebat Tapi, jangan bergirang hati dulu. Kali ini kau tak
akan lolos dari maut. Sebutkan-lah gelar yang kau sandang agar bisa kutuliskan
pada batu nisanmu nanti!" ujar Giri Manuk jumawa.
"Orang-orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti.
Boleh kau ingat itu nanti setelah berada di akhirat!"
jawab Rangga datar, namun cukup menusuk.
Seperti tak percaya pada pendengarannya, Giri Ma-
nuk memandang Rangga lekat-lekat Sebagai orang
persilatan, tentu saja julukan pemuda itu sangat dikenalnya.
"Hm, jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti" Bagus! Sering kudengar nama besarmu, dan
tanganku sudah gatal ingin menjajal kehebatan yang
sering dibesar-besarkan orang," Giri Manuk berusaha menyembunyikan perasaan
takutnya dengan berujar
sesombong itu. "Giri Manuk, tak usah banyak bicara. Silakan, mu-
lai!" Mendengar tantangan Pendekar Rajawali Sakti, ke-
marahan Giri Manuk semakin menjadi. Kali ini, dia tak malu mengajak keempat
orang kawannya untuk membantu.
Mereka sudah bersiap-siap akan bertarung, ketika
tiba-tiba sesosok tubuh ramping berkelebat di tempat itu dan langsung menyerang
Giri Manuk. "Manusia jahanam! Bertahun-tahun kau kucari,
akhirnya kujumpai di sini. Terimalah kematianmu!"
"Nyi Larasati, jangan...!" Rangga segera berteriak
menahan, begitu mengenal tubuh yang baru tiba. Te-
tapi, peringatannya sudah terlambat Perempuan tua
itu telah terlibat pertarungan dengan kelima orang lawan Pendekar Rajawali Sakti
tadi. Rangga mengetahui kemampuan perempuan tua itu
tidak seberapa. Menghadapi Carok Genggong saja, di-
rinya sudah kesulitan dan dihajar habis-habisan. Apalagi berhadapan dengan
kelima orang lawannya itu,
yang memiliki kepandaian rata-rata di atas Carok
Genggong. Kekhawatiran Rangga segera terbukti. Belum juga
Pendekar Rajawali Sakti memberi bantuan, Nyi Larasa-ti sudah memekik kesakitan
dan tubuhnya terjungkal
menghantam tembok pagar. Buru-buru dihampirinya
perempuan tua itu.
"Nyi Larasati, kau tidak apa-apa?" tanyanya khawa-
tir. Napas perempuan tua itu megap-megap, dan tu-
buhnya terasa sulit digerakkan. Pandangannya sayu
menatap ke arah Rangga. Dan, tangannya terulur le-
mah memegang pundak Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga, maukah kau menolong kami sekali lagi?"
Pendekar Rajawali Sakti menganggukkan kepala.
"Tahukah kau mengapa seluruh penduduk desa
mengejek Samiaji sebagai anak haram" Hinaan itu
memang betul, dan tak bisa dibantah. Tetapi, semua itu bukan salah Rara Ningrum.
Si keparat Giri Manuk itu yang menodainya, hingga timbul benih dalam perut Rara
Ningrum. Tetapi, meski Samiaji hasil perbuatan yang menyakitkan hati, Rara
Ningrum tetap berniat
merawatnya. Kini, tolonglah membalaskan dendam
dan sakit hati Rara Ningrum kepada si keparat itu...."
"Jangan khawatir, Nyi Larasati. Giri Manuk akan
kubuat menyesal!" janji Rangga geram.
"Tolonglah, Rangga. Aku telah bersumpah pada di-
riku sendiri, lebih baik mati daripada tak mampu
membalaskan sakit hati putri ku. Orang itu betul-betul keparat laknat! Setelah
menodai putri ku secara paksa dengan seenaknya ditinggal begitu saja!" jelas Nyi
Larasati berulang kali.
Rangga pun berulang-ulang menganggukkan kepa-
la, dan menenangkan hati perempuan tua itu. Kemu-
dian, tubuhnya berbalik menghadap kelima orang la-
wannya. "Giri Manuk, kau dengar kata-kata perempuan tua
itu" Dia telah bercerita banyak tentangmu. Tapi, baru kali ini aku berjumpa
dengan orang yang dimaksud.
Perbuatanmu sungguh keji dan terkutuk. Kau tidak
akan lolos dari tanganku!"
"Huh, Pendekar Rajawali Sakti! Sungguh berani kau
berkata begitu padaku. Buktikanlah, kalau memang
kau mampu mengalahkan kami!" tantang Giri Manuk
sambil mendengus sinis.
Rangga tidak banyak bicara lagi. Sambil memainkan
rangkaian jurus Rajawali Sakti, tangannya mulai me-
nyerang kelima lawan yang telah bersiap-siap sejak ta-di. "Yeaaa...!"
Plak! Wuttt! Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar bagai gas-
ing beberapa saat. Kedua kakinya bergerak lincah silih berganti. Tubuhnya
meliuk-liuk seperti orang menari, terlihat dua orang lawan memapaki serangannya.
Rangga berputar, dan menghantamkan kepalan tangan
ke muka dua orang lawan yang berusaha membokong
dari belakang. Begkh! "Akh...!"
Keduanya menjerit kesakitan. Tulang hidung mere-
ka patah dan mengucurkan darah. Kalau saja Rangga
bersungguh-sungguh mengeluarkan seluruh tenaga,
mungkin kepala kedua lawannya akan pecah dalam
sekali pukul. *** "Keparat! Terimalah jurus 'Tangan Maut' ini!" ben-
tak Giri Manuk geram.
Tubuhnya bergerak menghantamkan telapak tan-
gan ke dada lawan. Rangga melihat serangan lawan
sangat sederhana, dan hal itu tentu mudah dihindari.
Dengan bergerak sedikit ke belakang, maka pukulan
lawan akan lewat beberapa jengkal. Tetapi, betapa ter-kejutnya Pendekar Rajawali
Sakti melihat telapak tangan lawan seperti memanjang dan cepat menghantam-
nya. Begkh! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rangga mengeluh kesakitan ketika tubuhnya harus
jungkir balik menghindari serangan lawan. Dua orang kawan Giri Manuk telah
menunggu, dan menyambut
Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut mere-
ka. Rangga tak punya pilihan, selain memapakinya
dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Plak! Plak! Begkh! "Aaa...!"
Kedua lawannya terjungkal ketika dari telapak tan-
gan Pendekar Rajawali Sakti melesat sinar merah yang langsung menghantam mereka.
Mulut mereka menjerit
kesakitan dengan tubuh menggelepar-gelepar di tanah.
Rangga belum sempat memastikan kematian kedu-
anya, tiba-tiba Giri Manuk telah kembali menyerang
dengan jurus-jurus 'Tangan Maut'nya yang unik dan
hebat Kali ini, Rangga sungguh berhati-hati mengha-
dapi serangan lawan. Jika menganggap remeh, tubuh-
nya akan terhajar kembali seperti tadi.
Sementara itu Juragan Bonteng melihat kelima
orang panggilannya dibuat jatuh bangun oleh Pende-
kar Rajawali Sakti. Dirinya pun bersiap-siap masuk ke dalam bersama Cagak Layung
dan keempat anak
buahnya. Niatnya ingin kabur dari ancaman pemuda
berompi putih itu. Namun, ketika berada di dalam
ruangan tamu, laki-laki berperut buncit itu terkejut melihat dua orang laki-laki
tua sedang berpesta arak di meja.
"He, Juragan Bonteng. Syukur kau datang. Mau ke
mana kau" Kenapa buru-buru meninggalkan tontonan
menarik di depan sana?" tanya salah seorang dari mereka.
Juragan Bonteng mengamati orang tua itu. Bajunya
kumal seperti pengemis, dan mukanya merah. Usianya
sekitar enam puluh tahun. Tapi, orang tua bertubuh
kecil ini serasa pernah dikenalnya. Usia mereka me-
mang tidak terpaut jauh.
"Siapa kalian, dan mengapa berada di ruangan ku?"
tanyanya gusar.
"Apakah kau keberatan bila kami menumpang mi-
num-minum di sini?" tanya orang tua bermuka merah
yang tak lain Ki Palat Diga.
Sementara, Ki Teguh Narada duduk di hadapannya.
Mereka tahu di halaman depan tengah terjadi perta-
rungan seru. Maka, mereka menyelinap ke ruangan ini lewat pintu belakang,
setelah membungkam beberapa
orang pembantu rumah.
Cagak Layung yang melihat sikap kedua orang tua
itu sangat menjengkelkan, sudah langsung mencabut
goloknya. Bersama keempat kawannya bergerak men-
dekati dengan sikap mengancam. Tetapi, belum juga
mengucapkan sepatah kata pun, kedua orang tua itu
sudah bergerak cepat. Tiba-tiba, kelihatan orang itu sudah menjerit kesakitan
dan terpental menghantam
dinding ruangan. Dua orang langsung pingsan, dua la-gi merangkak-rangkak sambil
merasakan sakit yang
sangat hebat di sekujur tubuhnya. Sementara Cagak
Layung berusaha menghilangkan rasa sakit di tubuh-
nya, dan sudah kembali menyerang lawan dengan ka-
lap. "Keparat! Kubunuh kalian...!"
"Diamlah, Sobat. Biar kuberi penjelasan tikus got
ini!" ujar Ki Palat Diga pada rekannya.
"Hup!"
Plak! Bletak! Tangan kiri Ki Palat Diga menangkis serangan la-
wan, sementara guci arak di tangan kanannya meng-
hajar ke batok kepala Cagak Layung. Bersamaan den-
gan itu, lutut kanannya menghajar lambung. Sehing-
ga.... Begkh! "Aaa...!"
Cagak Layung langsung semaput ketika tubuhnya
terjungkal menghantam dinding.
"Eee... mau ke mana kau?"
Tubuh Juragan Bonteng menggigil ketakutan, dan
berusaha kabur. Tetapi, Ki Teguh Narada sudah bergerak menghalangi.
"Eh, ng..., kau mau berbuat apa padaku?"
"Menurutmu apa yang pantas?"
"Di antara kita tak ada urusan apa-apa, dan aku
tak pernah mengenal kalian sebelumnya...."
"Siapa yang berpikir ke arah itu" Kenal atau tidak, apa peduli kami?" sahut Ki
Teguh Narada tersenyum kecil.
"Sebaiknya kita apakan babi gempal ini, Sobat?"
tanya Ki Palat Diga dari arah belakang Juragan Bon-
teng. "Bagaimana kalau kita sate saja?"
"Hm.., lumayan juga. Sudah lama sekali aku tak
makan sate manusia lintah darat sepertinya!"
Kedua orang tua itu berjalan menghampiri. Wajah
Juragan Bonteng pun semakin pucat Tubuhnya me-
nyandar ke dinding, dan pandangannya silih berganti melihat kedua orang tua itu.
Dalam bayangannya, wajah kedua orang tua yang senyum-senyum itu seperti
malaikat maut yang sesaat lagi akan menjemput ajal-
nya. "Coba ku rasakan kulit dagingnya...," ujar Ki Palat Diga sambil mengulurkan
kepalan tangan.
"Jaaa...!"
Buk! "Akh!"
"Cukup alot juga!" ejek Ki Palat Diga sambil terse-
nyum-senyum, melihat tubuh Juragan Bonteng am-
bruk ke lantai sambil menjerit kesakitan menerima
pukulan keras di bahunya tadi.
"Bangun! Aku juga ingin merasakan bagaimana
manusia busuk sepertimu mampu berbuat sewenang-
wenang pada orang lain!" sentak Ki Teguh Narada
sambil menarik ujung baju laki-laki berperut besar itu.
Juragan Bonteng meringis kesakitan ketika tubuh-
nya terangkat tinggi dan menghantam genteng rumah-
nya. Juragan Bonteng kembali menjerit keras. Beberapa
buah genteng tampak pecah, seperti kepalanya yang
juga bocor mengeluarkan darah. Belum lagi, tubuhnya yang besar itu harus jatuh
berdebum ke lantai.
Kedua orang itu baru saja akan kembali menghajar,
ketika mereka mendengar suara tertawa lebar yang
memekakkan telinga dari arah luar.
"Orang yang kita tunggu telah datang, Sobat," duga
Ki Palat Diga. "Hm, kurasa juga begitu. Mari kita ke depan untuk
bergabung," sahut Ki Teguh Narada. Tangannya berge-
rak cepat menotok tubuh laki-laki berperut buncit itu
sebelum mereka berlalu ke depan.
*** 8 Begitu tiba di beranda depan, mereka melihat seo-
rang laki-laki bertubuh kurus dan berbaju hitam.
Rambutnya putih sebatas bahu, dan dibiarkan meriap.
Sebelah kakinya terlihat timpang. Dan di bahunya terlihat tubuh seorang gadis
yang tidak sadarkan diri.
Sementara, keempat orang lawan si pemuda berom-
pi putih itu tampak binasa. Hanya Giri Manuk yang
masih kembang-kempis napasnya. Dari mulut dan hi-
dungnya, terus-menerus mengeluarkan darah. Ru-
panya Giri Manuk menderita luka dalam yang cukup
hebat. Giri Manuk segera bersujud pada laki-laki yang baru datang.
"Guru, oh..., syukurlah kau cepat datang, kalau ti-
dak entah bagaimana nasibku..."!"
. "Murid keparat! Kau membuatku malu saja.
Menghadapi seorang bocah pentil saja tidak mampu.
Lebih baik kau mampus!"
"Guru..." Aaa...!"
Dengan sadis kaki kanan orang tua bermata cekung
itu terayun ke arah Giri Manuk, yang merupakan mu-
ridnya. Giri Manuk tidak mampu mengelak. Tendan-
gan keras yang berisi tenaga dalam itu membuat kepalanya seperti mau copot dari
pangkal. Rahangnya re-
muk ketika ujung kaki yang menghantam dada lang-
sung bergerak terayun ke atas. Begitu menyentuh tanah, tubuhnya menggelepar-
gelepar sesaat sebelum
akhirnya diam tak bergerak.
"Hm. tidak heran muridnya berkelakuan iblis kare-
na gurunya memang iblis."
Mendengar sindiran itu, si orang tua segera berpal-
ing. Dan, dilihatnya seorang perempuan tua yang be-
rada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Matanya
memandang cukup lama, seperti mengenali Nyi Lara-
sati. "Tidak kenalkah kau padaku, Durgasana...?" tanya
Nyi Larasati dingin.
"Siapa kau"! Siapa yang kau sebut Durgasana"
Nama ku Ki Timpang, karena jalanku memang tim-
pang," bantah orang tua itu.
"Hm, siapa pun namamu, kau tidak bisa mengela-
buiku..." "Hm, kaukah Larasati...?" tanya laki-laki yang me-
nyebut dirinya Ki Timpang itu dengan suara di hidung.
"Bagus! Kau telah mengenalku sekarang. Kini, teri-
malah pembalasan atas apa yang kau lakukan dahu-
lu." Setelah berkata demikian Nyi Larasati langsung
menyerang laki-laki di hadapannya.
"Larasati, jangan main-main kau! Aku tak ingin
membunuhmu!" teriak Ki Timpang bergerak menghin-
dar. Pada saat yang bersamaan melesat pula dua sosok
bayangan dari beranda depan dan langsung menye-
rang Ki Timpang.
"Jahanam keparat! Terimalah kematianmu seka-
rang juga...!"
"Yeaaa...!"
Meski harus memanggul tubuh seorang gadis dalam
pundaknya, tapi gerakan Ki Timpang sangat gesit dan lincah. Tubuhnya melayang
bagai sehelai kapas tertiup angin, dan melesat jauh di dekat pintu gerbang
depan. Sepasang matanya menatap tajam pada dua orang la-
wan yang baru datang itu.
"Hm rupanya kau Palat Diga. Dengan siapa kau in-
gin mencabut nyawaku saat ini?" dengus Ki Timpang.
"Ki Timpang, atau siapa pun namamu, masih in-
gatkah kau peristiwa dua puluh lima tahun lalu di De-sa Anjar Kulon" Waktu itu
kau merebut seorang gadis dari kekasihnya, padahal mereka saling mencintai.
Kau merusaknya, kau menodainya, dan yang lebih sa-
dis, kau membunuh gadis itu. Aku datang untuk me-
nagih hutang nyawa gadis itu padamu!" geram Ki Te-
guh Narada cepat.
"Ya, ya... kuingat. Kau adalah kekasihnya Sekar
Mayang. Hm, bagus! Kalau memang kalian telah ber-
siap untuk membunuhku, silakan saja kalau mampu!"
sahut Ki Timpang sombong.
"Dasar murid murtad! Setelah mencuri kitab pusa-
ka perguruan, kau malah mencelakakan guru dengan
membuntungi kedua kakinya. Aku mencarimu untuk
membuat perhitungan!" bentak Ki Palat Diga.
"Palat Diga, kau tak usah banyak bicara. Buktikan
ucapanmu kalau kau memang mampu. Ayo, majulah
bersama-sama!"
Ki Palat Diga telah menceritakan sebelumnya pada
Ki Teguh Narada, ketika mereka sama-sama mengeta-
hui mencari orang yang sama. Terlebih kepandaian Ki Timpang saat ini sulit
diukur. Maka, mereka tidak merasa malu maju berbarengan.
Ki Timpang sendiri sudah langsung menyambut se-
rangan mereka ketika sudah meletakkan gadis yang
dipanggulnya. Sesungguhnya, apa yang menyebabkan orang tua
itu datang ke sini" Pada saat Cagak Layung menghu-
bungi Giri Manuk, dirinya juga bertemu dengan Ki
Timpang. Tapi karena Ki Timpang ada keperluan lain, maka lelaki timpang berjanji
akan menyusul ke tempat Juragan Bonteng setelah urusan selesai.
Sementara di dalam pertarungan terlihat kedua
orang itu menggempur lawan yang paling dibencinya.
Nyi Larasati diam saja, tak ikut campur. Rangga pun tak tahu apa yang harus
dikerjakannya saat ini. Dihampirinya perempuan tua itu, dan dihiburnya setelah
melihat kejadian di dalam rumah Juragan Bonteng.
"Sudahlah, Nyi. Segalanya sudah beres. Ayo kita pu-
lang. Kasihan Rara Ningrum dan Samiaji berdua di
rumah...."
"Silakan, kau pulang lebih dulu. Aku masih ingin di sini...," sahut perempuan
tua itu lirih. "Apakah kau akan menyerangnya setelah mereka?"
Nyi Larasati diam tak menjawab.
"Nyi, tampaknya kau sangat mengenal lelaki itu.
Apakah kalian pernah akrab" Kulihat, sinar mata kalian tak bisa membohongi...."
Nyi Larasati mengangguk pelan.
"Dia suamimu?"
"Ceritanya panjang, Rangga! Kami... sepasang keka-
sih yang saling mencintai. Suatu saat kami terperosok melakukan perbuatan yang
seharusnya tidak dilakukan. Dan, dirinya berjanji akan mengawiniku. Tapi, tak
lama setelah kejadian itu, dia pergi mengembara. Bertahun-tahun aku mencarinya,
sementara benih yang
ditinggalkannya telah menjadi seorang bayi perempuan yang cantik. Ku asuh dia,
kurawat, dan kubesarkan.
Tetapi kemudian, terjadilah hal yang tak kuinginkan ketika putri ku satu-satunya
dinodai seorang pemuda yang beberapa kali. Dan, yang lebih menyakitkan hati-ku,
pemuda itu adalah murid dari orang yang selama
ini kucari-cari...," jelas Nyi Larasati menutup ceritanya.
Rangga menganggukkan kepala. Namun, baru saja
mulutnya akan bertanya lagi, tiba-tiba terdengar pekik kesakitan diiringi
terjungkalnya tubuh dua orang lawan Ki Timpang. Dari mulut mereka menyemburkan
darah segar.
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kedua orang tua itu berusaha bangkit tertatih-tatih.
Napasnya terlihat megap-megap, namun pancaran ma-
ta mereka tajam dan penuh dendam.
*** "Nyi, izinkan aku membalaskan sakit hatimu, dan
sakit hati semua orang padanya," mohon Rangga sam-
bil bangkit berdiri.
Nyi Larasati diam membisu. Dirinya tak tahu harus
menjawab apa. Sebenci-bencinya pada Ki Timpang, ta-
pi rasa cintanya masih tetap ada.
Sementara itu, Ki Timpang terkekeh-kekeh sambil
bertolak pinggang.
"Ha ha ha...! Hanya begitu kemampuan kalian, su-
dah berani bermaksud mengalahkan dan membinasa-
kanku" Pulanglah kalian sebelum mataku muak me-
mandang!" "Kisanak, bicaramu sombong sekali..."
"Heh! Bocah sial, apakah kau pun menghendaki
nyawaku"!" bentaknya angker. Matanya memandang
tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah kalau kukatakan iya, kau sudi memberi-
kannya, Orang Tua?" tanya Rangga tidak kalah gertak.
"Sial! He, sebut namamu. Boleh juga kau berhada-
pan denganku, karena mampu menundukkan murid
goblokku itu!"
"Apakah namaku bisa membuatmu takut" Kalau
memang betul, tentu dengan senang hati ku- se-
butkan," ujar Rangga sengaja membuat hati orang tua itu marah.
"Keparat! Kau pikir dengan mengalahkan muridku,
kau pun bisa berbuat seenaknya padaku"! Huh, Bocah
Pentil! Kau perlu diberi pelajaran rupanya."
Setelah berkata demikian, tubuhnya langsung ber-
kelebat menerjang. Gerakannya cepat, dan berisi tena-ga dalam kuat Dirinya
berharap, dengan sekali gebrakan pemuda itu paling tidak akan kewalahan, dan ke-
sombongannya akan berubah menjadi rasa khawatir
serta ketakutan.
Tapi, bukan main kesalnya Ki Timpang melihat
Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindar dengan
gesit dan tidak kalah ringannya. Berkali-kali diserangnya pemuda itu, namun
Rangga tidak mengalami ke-
sulitan sedikit pun untuk menghindari.
Rangga mengetahui lawannya ini berkepandaian
tinggi. Maka, dirinya tidak mau berlaku ayal-ayalan dan menganggap rendah lawan.
Dengan memainkan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghindari setiap serangan lawan, tubuhnya
meliuk-liuk seperti
orang menari. Kedua kakinya pun bergerak lincah.
Rangga mengerahkan segenap kemampuan ilmu me-
ringankan tubuhnya untuk mengimbangi gerakan la-
wan. Dua jurus telah berlangsung, dan Ki Timpang be-
lum juga berhasil mendesak Rangga. Meskipun telah
mengeluarkan jurus 'Tangan Maut' yang dahsyat, tapi kali ini Rangga tak akan
terkecoh dua kali.
Sebab, Giri Manuk pernah mengeluarkan jurus ini.
Dan sudah pasti jurus yang dimiliki gurunya akan lebih ampuh lagi.
Perlahan tapi pasti, Rangga mulai mendesak Ki
Timpang dengan mengeluarkan rangkaian jurus 'Raja-
wali Sakti'. Tetapi sama halnya dengan lawan, baginya pun cukup sulit menghajar
Ki Timpang. Keadaan ini membuat Ki Timpang benar-benar
jengkel. Dikiranya, Rangga sama sekali tak berarti. Ta-pi, setelah pertarungan
berjalan lebih dari dua puluh jurus, belum juga terlihat tanda-tanda siapa yang
akan berhasil menjatuhkan lawan.
Maka, pada jurus kedua puluh satu, tubuh Ki Tim-
pang bergerak bergulung-gulung dan membuat lompa-
tan ke belakang. Pendekar Rajawali Sakti segera men-gejarnya dan mengirimkan
satu tendangan keras. Tapi tanpa sepengetahuan Rangga, saat itu Ki Timpang
tengah mengerahkan ajian mautnya yang bernama 'Tapak
Nenggala'. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkan hingga
kedua tangannya berubah merah menyala. Lalu, ketiak kedua kakinya menjejak
tanah, saat itu pula sebelah telapak tangannya menghantam ke- tubuh Pendekar
Rajawali Sakti. Dari situ, melesat sinar merah laksana kabut yang menimbulkan
angin menderu. "Yeaaa...!"
Rangga terkejut melihat serangan lawan. Saat itu,
tubuhnya tengah mengapung di udara. Tak ada pilihan lain, kecuali mencabut
pedang pusakanya untuk menangkis sinar merah itu. Seberkas sinar biru langsung
berpendar dari bilah pedang dalam genggamannya. Di-usapnya dengan tangan kiri,
dan dengan cepat dis-
orongkannya ke muka sambil berteriak keras.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Glarrr...!"
"Aaakh...!"
Ki Timpang menjerit kesakitan ketika pukulan sakti
mereka bertemu dan menimbulkan suara menggelegar.
Terlihat percikan bunga api serta asap hitam tebal
membumbung angkasa. Tubuhnya terjungkal satu
tombak sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri.
Saat itu juga, kakinya membuat beberapa lompatan.
Dan, begitu menjejak tanah, tubuhnya kembali berge-
rak cepat menyerang lawan dengan sisa-sisa tenaga
yang ada. Kali ini Ki Timpang berbuat nekat, ingin tewas bersama-sama.
"Yeaaa...!"
Rangga pun mengalami luka akibat benturan tadi.
Isi perutnya seperti diaduk-aduk. Namun, Rangga ce-
pat menguasai diri dengan bersalto beberapa kali sambil mengatur pernapasan. Dan
tanpa menoleh ke bela-
kang, pedang yang masih berada dalam genggamannya
berkelebat cepat.
"Akh!"
"Durgasana...!" Nyi Larasati memekik nyaring.
Rangga menyarungkan pedangnya kembali untuk
sesaat, dipandanginya Nyi Larasati yang mendekap tubuh Ki Timpang. Tubuh lelaki
tua itu hangus seperti terbakar. Kemudian, ditinggalkannya dengan langkah
pelan. Kejadian tadi memang sangat cepat Meskipun tidak
melihat, pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dapat mengetahui
serangan lawan. Pendekar Ra-
jawali Sakti mengetahui lawan tak bersenjata, dan dirinya sangat yakin, Ki
Timpang tidak akan mampu
menghalangi ayunan pedangnya. Dugaannya ternyata
benar. Ki Timpang tak mampu menghindar. Dirinya
hanya terkejut, dan selanjutnya melenguh kecil. Dari mulai dada hingga ke perut,
terlihat robek dibabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya terselimuti
seberkas sinar kebiruan yang perlahan-lahan sirna
dan tubuhnya berubah hitam seperti terbakar.
"Rangga..."
"Eh!"
Pendekar Rajawali Sakti terkejut Di hadapannya te-
lah berdiri Rara Ningrum yang memeluk Samiaji. Mu-
kanya sembab seperti habis menangis. Bola matanya
memandang sayu, dan kemudian tertunduk. Rangga
jadi salah tingkah. Berkali-kali matanya melirik Nyi Larasati yang masih
menekuri mayat Ki Timpang.
"Sudah lama kalian berada di sini?"
Rara Ningrum mengangguk. Wanita itu tak mampu
menahan perasaan dukanya yang belum dimengerti
Rangga. Tetapi, ketika berjalan mendekati Nyi Larasati yang sedang menekuri
mayat Ki Timpang, pemuda berompi putih mulai mengerti. Niatnya untuk pergi seca-
ra diam-diam diurungkan. Rangga hanya diam mem-
perhatikan mereka.
"Pendekar Rajawali Sakti, aku si orang tua tak ber-
guna Ki Teguh Narada, menghaturkan banyak terima
kasih atas pertolonganmu...."
"Heh...!"
Rangga baru tersadar ketika dua orang tua yang ta-
di bertarung dengan Ki Timpang mendekatinya, ber-
sama gadis yang tadi dipanggul orang tua berkaki timpang itu.
"Aku si tua Palat Diga pun menanggung hutang
nyawa padamu, Anak Muda," ucap lelaki tua berwajah
merah itu. "Sudahlah, Paman! Tidak usah dipikirkan lagi, di
antara kita tidak ada hutan-piutang. Yang ada, hanya saling tolong-menolong.
Bukankah yang namanya ke-laliman harus dilenyapkan dari muka bumi ini" Kalau
kita tidak saling bahu-membahu, mana mungkin aku
mampu menghadapinya seorang diri," ujar Rangga
dengan nada merendah.
"Ah, tapi siapa yang meragukan kehebatanmu, Pen-
dekar Rajawali Sakti!" puji Ki Teguh Narada sambil tersenyum kecil.
"Paman terlalu memujiku...."
"Nah, Sobat Muda. Kini kau punya tugas baru lagi,"
lanjut Ki Palat Diga.
"Tugas apa, Paman?" tanya Rangga heran.
*** Ki Palat Diga memberi hormat pada gadis di sebe-
lahnya yang sejak tadi membisu. Lalu kepalanya me-
noleh ke arah Rangga.
"Kau mengenalinya, bukan" Gadis inilah yang tadi
dibawa Ki Timpang. Dia adalah putri dari Kerajaan
Sanjaya. Sudilah kau mengantarkannya kembali ke is-
tana kerajaan."
"Hm, Paduka Putri, maafkan hamba yang tidak
mengenal orang," sahut Rangga memberi penghorma-
tan. "Sudahlah. Sebenarnya aku tak ingin disanjung-
sanjung seperti itu. Bila mereka berdua tahu berterima kasih, aku pun ingin
mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu. Ikutlah denganku ke istana kerajaan.
Pasti ayahanda akan memberi hadiah-hadiah yang be-
sar padamu," ujar gadis itu.
Rangga tersenyum kecil mendengar kata-kata gadis
itu. "Tuan Putri, maafkan hamba. Jika tujuan menga-
jakku ke istana untuk mendapatkan hadiah, maka bi-
arlah aku mengalah. Tuan Putri bisa mengajak kedua
Paman ini...."
"Hm, kenapa" Apakah kau tak cukup dengan ha-
diah-hadiah?"
Rangga kembali tersenyum pahit. Gadis ini terlihat
polos dan kurang bergaul. Yang ada dalam benaknya, persoalan balas budi harus
ditukar dengan hadiah
atau harta benda. Padahal Rangga ingin menjelaskan
kalau gadis ini sama sekali tak mengenal dunianya.
Rangga tidak butuh hadiah.
"Tuan Putri, maaf..., Pendekar Rajawali Sakti tak
bermaksud menolak pemberian Tuan Putri. Dalam du-
nia kependekaran, dirinya terkenal sebagai orang yang menolong tanpa pamrih.
Bila pertolongannya dihargai dengan hadiah, sama artinya dengan penghinaan." Ki
Teguh Narada menengahi sambil menjelaskan pada
gadis itu, yang terlihat kurang senang mendengar jawaban Rangga tadi.
Mendengar penjelasan itu, Tuan Putri baru mengerti
dan menganggukkan kepala.
"Baiklah, kalau demikian, atas nama ayahanda aku
mengundangmu ke istana kerajaan. Beliau tentunya
ingin berkenalan denganmu, sekaligus mengucapkan
terima kasih atas apa yang kau lakukan...."
"Tuan Putri, apa yang telah kuperbuat sehingga ha-
rus ke istana untuk menemui ayahandamu, Baginda
Kerajaan Sanjaya?" tanya Rangga.
"Bukankah kau telah menyelamatkan diriku?"
Rangga tersenyum kecil dan merasa geli sendiri. Di-
rinya tak pernah menyelamatkan gadis ini. Tapi, gadis itu berkeras dirinya yang
telah menyelamatkan dari
cengkeraman Ki Timpang. Lalu, gadis itu pun berkeras menginginkan Rangga datang
ke istana. Semula Pendekar Rajawali Sakti enggan dan tetap menolak. Tapi Ki
Palat Diga dan Ki Teguh Narada memberikan beberapa alasan, yang membuatnya
setuju mengantarkan
gadis itu. "Baiklah. Tapi aku pamit dulu dengan mereka," ujar
Rangga sambil melangkah ke arah Nyi Larasati dan
Rara Ningrum yang sedang menggendong Samiaji. Me-
reka telah berdiri tegak dan memandang Rangga den-
gan tatapan sayu.
"Paman mau pergi?" tanya Samiaji mendahului
Rangga membuka mulut.
Pendekar Rajawali Sakti tersenyum kecil dan men-
gelus kepala bocah itu. Kemudian kepalanya mengang-
guk. Dilihatnya bocah itu terdiam. Tidak seperti kemarin, Samiaji selalu menahan
kepergian Rangga. Kali ini, pancaran matanya tetap tak rela. Namun mulutnya
terkunci rapat "Banyak yang harus Paman kerjakan, Samiaji. Tapi
Paman berjanji, bila suatu saat berada di desa ini lagi, Paman pasti
mengunjungimu...."
Samiaji terdiam. Rangga mengalihkan pandangan
pada Nyi Larasati dan berkata pelan.
"Maaf Nyi.... Kalau kau tak senang Ki Timpang ter-
bunuh, kau boleh menghukumku...."
"Tidak. Hatiku memang tak bisa dikatakan senang,
tapi sudah pantas dirinya menerima ganjaran itu...,"
suara Nyi Larasati terdengar lirih.
Lalu, Rangga berpaling pada Rara Ningrum.
"Maafkan aku, Rara. Aku tahu, walaupun kau tak
diakui, tapi yang pasti dia adalah bapakmu. Kau tentu mencintainya."
Rara Ningrum terisak sambil menggelengkan kepa-
la. "Aku pergi sekarang, Rara. Baik-baiklah kalian di sini. Urusan Juragan
Bonteng akan kulaporkan pada
Baginda Raja. Agar menghukumnya dengan adil," janji Rangga meyakinkan bahwa
hidup mereka kali ini akan
aman. Rara Ningrum tak menjawab sepatah kata pun. Air
matanya tidak berhenti mengalir. Ketika Rangga perlahan-lahan meninggalkan
tempat ini bersama putri ra-
ja. Terasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ada sesuatu yang melesak dalam
dada dan membuat perih
seluruh jiwa raganya.
Bila dibandingkan putri raja dengan dirinya... anak haram. Ah, sungguh
lengkaplah kehinaan itu. Dirinya tak pantas mendapat perhatian lelaki mana pun,
bisik hati Rara Ningrum.
"Apakah wanita itu kekasihmu?"
Pendekar Rajawali Sakti 86 Dendam Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, apa...?" Rangga tersentak mendengar perta-
nyaan putri raja.
Gadis berwajah cantik dan ayu itu tersenyum kecil.
Tampak deretan gigi yang putih bersih dan bibir merah merekah.
"Kau termenung memikirkannya?"
"Memikirkan siapa?"
"Wanita yang menggendong anak kecil tadi?"
"Ya, dirinya terlalu menanggung penderitaan...."
Belum habis Rangga bicara, tiba-tiba melesat seso-
sok tubuh ramping di hadapan mereka dan langsung
mencabut pedang. Rangga segera menarik putri raja
sambil memiringkan kepalanya. Ujung pedang itu le-
wat beberapa rambut, tapi kembali menyambar pang-
kal lehernya. "Maaf, Tuan Putri!"
Disambarnya tubuh gadis itu sambil melompat ke
belakang, menghindari serangan lawan yang baru da-
tang itu. Tentu saja putri raja yang bernama Mayasari itu tersentak kaget. Baru
kali ini tubuhnya dirangkul seorang laki-laki dalam keadaan sadar.
Tapi karena mengetahui keadaan mereka berba-
haya, dirinya diam saja. Perasaan ngeri dan takut
menjalar di hatinya ketika mendengar angin berciutan dan tubuhnya melayang-
layang dalam gendongan Pendekar Rajawali Sakti.
"Nisanak, kenapa kau menyerangku?" tanya Rangga
heran pada penyerangnya itu.
Ternyata penyerang itu tak lain Wulandari, gadis
berbaju hijau dan berambut kuncir ke belakang, murid Ki Palat Diga. Sejak tadi
dirinya memang mengikuti
Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mengintip peristiwa yang terjadi di halaman
depan rumah Juragan Bonteng.
"Huh! Kau tak perlu beralasan. Pemuda ceriwis se-
pertimu seharusnya mampus!" geram suara Wulanda-
ri. Rangga tak mengerti mengapa gadis itu tiba- tiba bernafsu Ingin membunuhnya.
Jika terus-menerus
menghindar, dirinya akan repot meladeni kekonyolan
Wulandari. Maka, dalam suatu kesempatan tubuhnya
berkelebat cepat. Mayasari sampai menutup mata me-
nahan ngeri. Tidak lama berselang, terdengar Wulandari menjerit
kesakitan. Pedang di tangannya terpental jauh dan tubuhnya jatuh ke tanah dalam
keadaan tak berdaya.
"Maaf, aku tak sempat melayani keinginanmu yang
tak ku mengerti. Kurang dari sepeminum teh, kau
akan terbebas dari totokanku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti segera melesat dari
situ. Wulandari berteriak dan memaki-maki tak karuan.
Dirinya merasa kesal melihat Pendekar Rajawali Sakti kembali menggendong gadis
itu. Rasanya, Wulandari
ingin melumatkan mereka berdua!
Entah mengapa, dirinya tak rela melihat Pendekar
Rajawali Sakti berdekatan dengan wanita mana pun.
Tak heran, bila akhirnya Wulandari uring-uringan
sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan! Sementara, Pendekar Rajawali
Sakti yang membawa putri raja telah melesat jauh meninggalkannya.
SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** *** *** 2 *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** *** 7 *** *** 8 *** *** SELESAI Kemelut Di Majapahit 17 Dewa Arak 68 Biang-biang Iblis Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 7