Pencarian

Pembunuh Berdarah Dingin 2

Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin Bagian 2


pernah kami mendapatkan tamu sebaik kalian berdua.
Mari..., biar kuda-kudanya diurus Randika.
Rangga tidak bisa lagi menolak, begitu wanita ge-
muk itu menarik tangannya. Sementara, bocah kecil
yang bernama Randika sudah mengambil kuda-kuda
mereka. Pandan Wangi mengikuti saja dari belakang,
bersama anak gadis pemilik kedai itu.
"Siapa namamu, Dik?" tanya Pandan Wangi ramah.
"Randini, Kak," sahut gadis itu.
"Nama yang cantik, secantik orangnya," puji Pandan
Wangi. "Ah, tidak secantik Kakak," ujar Randini, jadi tersi-pu. Mereka kemudian masuk
ke dalam rumah yang be-
rada di samping kedai. Rumah Nyi Gembur, begitu
orang-orang desa memanggil perempuan gemuk pemi-
lik kedai ini. Entah, apa nama aslinya. Tapi tampak-
nya, perempuan gemuk itu tidak keberatan dipanggil
Nyi Gembur. Dan memang, nama itu cocok sekali den-
gan bentuk tubuhnya yang gemuk dan subur. Tapi
anehnya, kedua anaknya tidak ada yang bertubuh ge-
muk. Terlebih lagi Randini. Tubuhnya sangat ramping.
Malah kulitnya pun putih, tidak seperti ibunya yang
agak hitam. Sedangkan Randika juga kurus. Hanya
kulitnya saja yang sedikit hitam, karena tidak pernah memakai baju.
"Ngobrol dulu dengan Randini. Aku akan me-
nyiapkan makan buat kalian," kata Nyi Gembur, sete-
lah mereka berada di dalam.
"Ah, tidak perlu repot-repot, Nyi," ujar Pandan Wan-
gi. "Tidak apa-apa, Kak. Kami semua juga belum ada
yang makan," celetuk Randika yang tahu-tahu sudah
berada di ambang pintu.
"Hush, Randika...!" sentak Nyi Gembur.
"Tapi memang benar kok, Mak. Randika sudah la-
par dari tadi...," Randika agak merengek.
"Iya, sebentar. Mak panaskan dulu sayurnya."
"Cepat, Mak."
"Iya...!"
Rangga hanya tersenyum saja mendengar semua
itu. Sementara Pandan Wangi sudah terlibat obrolan
yang entah menjurus ke mana bersama Randini. Keli-
hatan menarik sekali obrolan mereka, sehingga Rangga jadi tidak mau mengganggu.
Pendekar Rajawali Sakti
malah melangkah mendekati jendela, dan membu-
kanya lebar-lebar. Angin senja yang bertiup lembut,
langsung menghantam wajahnya. Begitu sejuk mem-
buatnya terasa segar saat itu juga.
"Randika, nyalakan lampu...!"
Terdengar teriakan Nyi Gembur dari belakang.
"Iya, Mak. Sebentar...!" balas Randika, tidak kalah
kerasnya. Rangga hanya melirik sedikit saja dan tersenyum
melihat Randika begitu cekatan melaksanakan perin-
tah ibunya. Sementara, Pandan Wangi dan Randini
sudah menghilang entah ke mana. Mungkin, mereka
masuk ke dalam kamar gadis itu. Dan Rangga tidak
peduli lagi, karena tengah begitu menikmati udara segar di Desa Paranggada ini.
*** 5 Malam terus merayap semakin larut. Namun Rang-
ga belum juga bisa memejamkan mata dalam kamar-
nya yang disediakan Nyi Gembur. Entah kenapa, piki-
rannya terus menerawang, mengulang kembali cerita
Nyi Gembur mengenai beberapa pembunuhan aneh
yang terjadi dalam beberapa hari di Desa Paranggada
ini. Dan sebenarnya, kedatangannya ke desa ini juga
sedang mengejar seorang pembunuh keji, yang telah
membantai hampir habis penduduk sebuah desa yang
disinggahinya. Rangga sendiri belum bisa menduga, apakah orang
yang sekarang berkeliaran mencari korban itu adalah
orang yang sama dengan yang dikejarnya kini. Hanya
saja dari cara korbannya tewas, Rangga jadi ragu-ragu.
Namun mengingat begitu banyak cara membunuh, ke-
raguannya jadi menipis juga. Meskipun masih ada ke-
raguan, tapi Rangga berharap di desa ini bisa bertemu buronannya.
"Kakang...."
"Ohhh..."!"
Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar
suara yang sangat lembut dari belakang. Cepat tubuh-
nya diputar berbalik. Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut. Ternyata
Randini tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu kamar ini. Sungguh tadi suara
langkah gadis itu tidak didengar. Mungkin karena seluruh perhatian dan pikirannya
terlalu terpusat pada si pembunuh aneh, sehingga sampai tidak mendengar suara
langkah kaki Randini.
"Oh.... Ada apa, Randini" Kenapa malam- malam
datang ke sini?" tanya Rangga jadi tergagap.
"Maaf, Kakang. Aku hanya ingin bicara sebentar
denganmu. Penting...," ujar Randini.
"Duduklah...," pinta Rangga seraya merentangkan
tangannya sedikit menunjuk kursi di sebelahnya.
Randini melangkah masuk ke dalam kamar yang ti-
dak begitu besar ini, lalu duduk di kursi rotan yang ditunjuk Rangga. Sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti
sendiri tetap berdiri membelakangi jendela yang sedikit terbuka. Sehingga
dinginnya angin malam begitu terasa membelai punggungnya.
"Apa yang ingin kau ceritakan, Randini?" tanya
Rangga melihat gadis itu hanya diam saja, dengan ke-
pala sedikit tertunduk.
Sejenak Rangga memperhatikan raut wajah gadis
itu saat kepalanya terangkat. Tampak jelas dari sinar matanya, kalau raut
wajahnya seakan- akan begitu takut. Malah, tubuhnya mendadak saja jadi bergidik
se- perti kedinginan. Dan Rangga jadi mengerutkan ke-
ningnya melihat sikap gadis anak pemilik kedai ini.
"Ini penting, Kakang. Tapi kau harus janji...," kata Randini pelan, seakan takut
ada orang lain yang mendengar.
"Janji...?" Rangga jadi mengeratkan keningnya.
"Iya, janji jangan katakan pada orang lain."
"Baiklah. Aku janji," ujar Rangga jadi geli sendiri
dalam hati. Walaupun geli, Pendekar Rajawali Sakti juga terus
bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan gadis beru-
sia delapan belas tahun ini. Dan Rangga masih bisa
bersabar dan menahan diri untuk tidak terus mende-
sak. Bisa terlihat dari raut wajah dan sorot matanya, kalau Randini kelihatan
begitu takut Pendekar Rajawali Sakti menduga pasti sesuatu yang akan dikatakan-
nya amat rahasia. Buktinya gadis itu tampak begitu
ketakutan. "Nah! Katakan sekarang, apa yang ingin kau sam-
paikan padaku," ujar Rangga lembut.
"Kakang masih ingat cerita makku tadi...?"
Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
"Sebenarnya, aku lebih banyak tahu daripada orang
lain, Kakang. Aku tahu, apa yang terjadi sebenarnya di desa ini."
Kali ini Rangga benar-benar terkejut mendengarnya.
Sungguh tidak disangka kalau Randini akan berkata
seperti itu. Padahal dinilainya, gadis berusia sekitar delapan belas tahun ini
begitu polos. Bahkan mungkin tidak tahu apa-apa yang terjadi di luar
kehidupannya. Tapi, ternyata Randini malah tahu banyak.
"Kau tahu banyak mengenai pembunuh-pembunuh
itu, Randini...?" tanya Rangga seperti ingin memastikan.
"Lebih dari yang orang lain ketahui, Kakang. Bah-
kan aku tahu siapa pelakunya," sahut Randini man-
tap, tapi terdengar pelan sekali suaranya.
"Ah.... Kau jangan main-main, Randini."
"Aku tidak main-main, Kakang. Aku sungguh-
sungguh...," tegas Randini, berusaha meyakinkan.
Rangga jadi tertegun beberapa saat. Sorot matanya
terlihat begitu tajam merayapi wajah gadis manis itu.
Rasanya, ingin dicarinya kesungguhan dari raut wajah dan sinar mata gadis itu.
Dan yang ditemukan, Randini memang kelihatan tidak sedang bermain-main.
Rangga jadi menghela napas panjang-panjang.
"Baiklah, Randini. Katakan, apa saja yang kau ke-
tahui...," ujar Rangga akhirnya ingin tahu juga.
*** Cukup lama juga Randini terdiam membisu, menca-
ri kekuatan dan keberanian untuk menceritakan apa
saja yang diketahuinya mengenai pembunuhan-
pembunuhan aneh yang terjadi di Desa Paranggada
ini. Sementara, Rangga menunggu hampir tidak sabar,
tapi tetap mencoba menunggu. Beberapa kali Randini
menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
kuat-kuat. "Semua orang di desa ini memang tidak ada yang
tahu, Kakang. Hanya aku sendiri yang tahu. Dan se-
benarnya, juga aku sudah berjanji untuk tidak berceri-ta pada orang lain.
Tapi...," Randini tidak meneruskan.
"Teruskan, Randini," pinta Rangga.
"Aku merasa ikut bersalah kalau terus diam saja,
Kakang. Bahkan jadi takut sendiri kalau-kalau dia datang dan membunuhku...,"
sambung Randini kembali
terputus. "Hm.... Kau tahu betul, siapa orangnya?" tanya
Rangga langsung.
Randini mengangguk.
"Siapa...?"
"Lestari."
"Lestari..."! Siapa dia?" tanya Rangga merasa tidak
mengenal nama yang disebutkan Randini barusan.
"Putri Ki Rapala, kepala desa yang ikut menjadi
korban." "Eh..."!"
Rangga benar-benar tersentak kaget setengah mati
kali ini. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat mendekati Randini yang
masih tetap duduk di kursi
rotan ini. Dicekalnya tangan gadis itu erat-erat, sehingga membuat Randini jadi
meringis. Rangga buru-
buru melepaskannya, dan kembali mendekati jendela
kamar ini. Pendekar Rajawali Sakti kini membelakangi Randini, menatap jauh
keluar, membelah kegelapan
malam. Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam
membisu. Perlahan Rangga memutar tubuhnya, dan kembali
menatap Randini yang masih tetap duduk di kursi.
Gadis itu juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali
Sakti. Perlahan Rangga menghembuskan nafasnya
panjang-panjang.
"Bagaimana kau bisa menceritakan semua itu,
Randini?" tanya Rangga seakan tidak percaya.
"Aku tahu betul, Kakang. Sejak kecil, aku dan Les-
tari sudah bersahabat. Bahkan di antara kami tidak
ada rahasia sedikit pun juga."
"Hm...," Rangga menggumam kecil. "Ceritakan,
Randini. Kenapa dia sampai bisa begitu?"
Sebentar Randini terdiam.
"Waktu berumur sepuluh tahun, aku dan Lestari
sering main ke hutan. Waktu itu, aku menemukan se-
buah goa dan langsung kuberitahukan pada Lestari.
Dia minta agar masuk ke dalam goa itu. Semula aku
takut, tapi Lestari terus memaksa. Dan akhirnya, kami berdua masuk ke dalamnya.
Tidak ada apa-apa di dalam goa itu. Dan kami berdua jadi sering datang ke sa-na,
sehingga goa itu seperti rumah kami saja. Bebera-pa hari yang lalu, ketika kami
terakhir ke sana, goa itu sudah tidak lagi seperti biasanya. Dan begitu sampai
di sana, kami menemukan seorang perempuan tua.
Aku begitu ketakutan, tapi Lestari tidak sama sekali.
Ternyata orang tua itu menderita sakit yang sangat parah. Dia meminta aku dan
Lestari mendekat Aku tidak
mau, tapi Lestari mendekati juga. Dan...," Randini
memutuskan ceritanya.
"Apa yang terjadi, Randini?" tanya Rangga semakin
ingin tahun. "Perempuan tua itu lantas memegang wajah Lestari.
Entah kenapa, tahu-tahu Lestari jadi berteriak. Tapi hanya sebentar saja, karena
kemudian jatuh lemas.
Dan tiba-tiba perempuan tua itu tertawa terbahak-
bahak, sehingga aku semakin ketakutan. Lalu, dia
menuangkan cairan merah seperti darah ke dalam mu-
lut Lestari. Kemudian.... Ihhh...!" Randini tiba-tiba saja jadi bergidik.
"Kemudian apa yang terjadi, Randini?"
"Seluruh tubuh Lestari hancur, menyatu dengan
tanah dalam goa itu. Aku jadi semakin ketakutan, dan terus saja lari keluar. Dan
aku masih mendengar suara tawa perempuan tua itu, sebelum jatuh pingsan. Aku
tidak tahu lagi, apa yang terjadi. Dan begitu sadar, aku sudah berada di rumah."
"Kejadian itu tidak kau ceritakan pada orang lain?"
tanya Rangga. Randini hanya menggeleng saja.
"Kenapa?"
"Waktu aku sadar, Lestari ada di kamarku. Hanya
dia saja sendiri."
"Oh...."
"Aku juga terkejut waktu itu, Kakang. Langsung sa-
ja kutanyakan, apa yang terjadi padanya di dalam goa.
Tapi Lestari hanya mengatakan kalau perempuan tua
itu sebenarnya seorang dewi yang memberi sebuah il-
mu padanya. Aku tak tahu, ilmu apa yang dimaksud.
Tapi beberapa hari setelah kejadian itu, aku lihat Lestari membunuh seorang anak
gembala, dengan me-
menggal lehernya sampai hampir buntung. Kemudian
dia melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh
dilakukannya. Lestari tahu kalau aku melihat, sehing-ga dia mengancam akan
membunuhku jika sampai
menceritakannya pada orang lain. Aku sama sekali ti-
dak berani cerita, Kakang. Aku tahu ancamannya be-
nar- benar dibuktikan."
"Apa yang dilakukannya?"
"Menggauli mayat anak gembala itu."
"Apa..."!"


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan hanya anak gembala itu saja korbannya.
Aku sering melihat Lestari membunuh dan menggauli
korbannya. Bahkan seperti sengaja mengajakku untuk
menyaksikannya. Aku benar-benar takut, Kakang. Ta-
pi, aku tidak berani menolak. Lestari selalu mengan-
cam akan membunuhku dan semua keluargaku, kalau
tidak mau ikut dengannya mencari korban," sambung
Randini. "Hm," Rangga menggumam pendek.
"Beberapa hari yang lalu, semua orang kaget karena
kekasih Lestari ditemukan mati terbunuh. Lehernya
hampir buntung, dan tidak memakai pakaian sama
sekali. Bahkan hari itu juga, Ki Rapala tewas dibunuh orang, juga dengan leher
hampir buntung. Dan selang
beberapa hari, anak Ki Marta juga mati terbunuh yang kemudian terus disusul
beberapa pembunuhan lainnya. Semuanya yang mati dengan leher hampir bun-
tung adalah laki-laki. Dari luka di lehernya, aku tahu kalau Lestari yang
melakukan itu semua. Dia tidak
akan memilih-milih korbannya. Bahkan ayahnya sen-
diri ikut menjadi korban. Semakin hari, dia semakin
haus darah. Dan aku jadi takut untuk bertemu lagi
dengannya, Kakang," kata Randini lagi.
Rangga hanya diam saja. Entah, apa yang ada da-
lam kepalanya saat ini. Memang terasa sangat aneh,
semua orang diceritakan Randini barusan. Lestari se-
perti bukan lagi manusia. Dan semua itu terjadi setelah masuk ke dalam goa di
dalam hutan. Sementara,
Randini juga tidak meneruskan ceritanya. Dia terdiam dengan wajah kelihatan
tenang, seakan sebagian be-
ban yang selama ini disandangnya sudah terlepas dari pundaknya. Dan malam terus
merayap semakin bertambah larut.
"Kembalilah ke kamarmu, Randini. Sudah terlalu
malam. Tidak enak nanti kalau ibumu tahu," kata
Rangga lembut. "Kakang..., kau janji tidak akan mengatakannya
pada orang lain," ujar Randini meminta kepastian.
Rangga tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih, Kakang. Hanya padamu ini semua
kuceritakan. Karena aku tahu, kau adalah pendekar
digdaya." "Kau bisa mempercayai aku, Randini."
Randini tersenyum, kemudian bangkit berdiri. Lalu
dia melangkah keluar dari kamar ini. Tapi baru saja
kakinya sampai di ambang pintu, mendadak saja....
Wusss...! "Heh"! Awas...! Hup!"
*** Rangga cepat melompat begitu melihat sebuah ben-
da meluncur cepat bagai kilat, menerobos dari jendela.
Sigap sekali Pendekar Rajawali Sakti menubruk tubuh
Randini, hingga mereka jatuh bergulingan bersama-
sama. "Akh...!"
Randini jadi terpekik. Tubuh mereka yang terus
bergulingan, hingga punggung Rangga sampai mena-
brak meja hingga hancur berantakan.
"Hup...!"
Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Dan suara
gaduh itu rupanya mengagetkan semua orang yang
ada di rumah ini. Dan di saat Rangga melompat men-
dekati jendela, Pandan Wangi muncul, diikuti Nyi
Gembur. "Ada apa...?" seru Pandan Wangi bertanya.
"Randini..."!"
Nyi Gembur tersentak kaget melihat anak gadisnya
tergeletak meringis di lantai, di antara pecahan meja kayu yang tadi terlanda
punggung Rangga.
"Pandan, kau jaga mereka," kata Rangga.
"Hup...!"
"Heh..."!"
Pandan Wangi jadi tersentak kaget tidak mengerti.
Tapi baru saja membuka mulutnya, Rangga sudah me-
lesat begitu cepat bagai kilat, keluar dari kamar ini melalui jendela. Begitu
cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
tidak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi jadi termangu sesaat, tapi cepat
menghampiri Randini yang tengah
berusaha berdiri dibantu ibunya.
"Aduh...," Randini mengeluh, merasakan sakit pada
pinggangnya. Memang keras sekali Randini jatuh tadi. Tulang-
tulang pinggangnya terasa remuk. Pandan Wangi ber-
gegas membantu Nyi Gembur memapah Randini, ke-
mudian membaringkannya ke tempat tidur kayu di
kamar ini. Randini masih meringis merasakan sakit.
Dan Pandan Wangi segera memeriksa tubuh gadis ini.
Ternyata yang didapat luka memar di bagian belakang
pinggang Randini, dan tidak ada luka lain yang
mengkhawatirkan.
"Tidak apa-apa, Nyi. Berikan saja obat balur. Besok
juga sudah sembuh," jelas Pandan Wangi tentang kea-
daan Randini. "Apa yang terjadi, Randini" Kenapa kau ma- lam-
malam ada di kamar ini...?" tanya Nyi Gembur lang-
sung meminta penjelasan.
"Sudahlah, Nyi. Biarkan Randini istirahat dulu,"
ujar Pandan Wangi mencoba menengahi.
Nyi Gembur kelihatan tidak puas. Tapi perempuan
gemuk itu menurut saja, saat Pandan Wangi menga-
jaknya keluar dari kamar ini, setelah menutup jende-
lanya. Sementara, Randini masih terbaring di atas ranjang kayu ini. Gadis itu
kelihatan seperti tidur pulas, setelah Pandan Wangi memberi satu totokan di
bagian atas dadanya. Tidak lama Pandan Wangi kembali ke
kamar itu, dan langsung membebaskan totokannya.
"Oh...."
Randini mencoba bangkit duduk, tapi jadi meringis.
Pandan Wangi membantu gadis itu duduk bersandar
di pembaringan, lalu kemudian duduk di tepi ranjang
ini. "Masih terasa sakit?" tanya Pandan Wangi.
"He-eh...," sahut Randini sambil meringis.
"Mana yang sakit?"
"Ini..., pinggangku."
"Hanya luka memar. Besok juga sudah sembuh."
Randini hanya mengangguk saja.
"Randini, apa yang terjadi" Kenapa kau sampai ja-
tuh tadi?" tanya Pandan Wangi lembut.
"Aku..., oh! Tidak..., tidak apa-apa. Tadi, aku hanya terpeleset," sahut Randini
agak tergagap. "Lalu, kenapa kau ada di sini?"
"Aku..., aku tadi ke belakang sebentar. Lalu, aku
melihat Kakang Rangga belum tidur dan akan mena-
nyakannya, tapi...."
"Sudahlah, Randini. Sebaiknya kau istirahat saja
dulu. Baringkan tubuhmu. Biar kupijat bagian yang
sakit," kata Pandan Wangi langsung bisa mengerti.
Tapi pengertian Pandan Wangi lain. Rangga me-
mang tampan, sehingga sudah tidak heran lagi kalau
gadis-gadis ingin dekat dengannya. Terlebih lagi, gadis muda seperti Randini
ini. Pandan Wangi memang tidak
tahu kejadian yang sebenarnya. Dan dia hanya men-
duga kalau Randini ingin mengenal Rangga lebih dekat lagi, hingga malam-malam
mendatangi kamarnya. Tapi
begitu melihat meja yang hancur, Pandan Wangi jadi
berkerut juga keningnya.
"Hm.... Apa yang terjadi sebenarnya..." Mustahil ka-
lau Kakang Rangga tergoda dan ingin.... Ah, tidak! Tidak mungkin...," Pandan
Wangi bicara sendiri dalam
hati. Berbagai macam dugaan berkecamuk dalam kepala
si Kipas Maut. Namun dugaan-dugaan buruk itu beru-
saha diusirnya. Pandan Wangi hanya bisa berharap
Rangga mau menjelaskannya nanti kalau sudah kem-
bali. *** 6 Sementara itu, Rangga sudah jauh meninggalkan
rumah Nyi Gembur. Sekilas masih sempat terlihat se-
buah bayangan merah berkelebat begitu cepat menuju
ke arah timur Desa Paranggada ini. Rangga tahu, arah yang dituju bayangan merah
itu adalah hutan yang
sering didatangi penduduk untuk mencari kayu bakar.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti terus menggenjot ilmu me-
ringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada ting-
kat sempurna, begitu kembali melihat bayangan merah
itu berkelebat masuk dan langsung menghilang ditelan lebatnya hutan ini. Rangga
segera menghentikan la-
rinya, setelah tiba di tepi hutan yang tidak begitu lebat ini. Sebentar
pandangannya diedarkan ke sekeliling.
"Hm...."
Pendengaran Rangga yang setajam mata pisau,
langsung bisa menangkap adanya tarikan napas halus
di sekitar tepian hutan ini. Namun belum juga Pende-
kar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja berlompatan sosok-
sosok tubuh dari balik pepohonan dalam hutan ini. Dan sebentar saja, pemuda itu
sudah dikepung tidak kurang dari tiga puluh orang
pemuda yang semuanya bersenjata golok terhunus di
tangan kanan. Dan di antara mereka, terlihat Ki Marta yang menggenggam tongkat
kayu. "Serang dia...!" seru Ki Marta langsung memberi pe-
rintah. "Heh, tunggu...!" sentak Rangga terkejut.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tapi orang-orangnya Ki Marta tidak lagi mendengar
cegahan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka langsung sa-
ja berlompatan menyerang dengan ganas, sehingga
membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan,
menghindari serangan yang datang dari segala arah
ini. Namun dalam beberapa gebrakan saja, Rangga su-
dah bisa mengukur kalau kepandaian lawan- lawan-
nya masih tergolong rendah. Dan sebenarnya, mudah
saja baginya untuk menghabisi mereka semua. Tapi
tentu saja Rangga sama sekali tidak ingin mele-
nyapkan nyawa orang yang dianggapnya tidak tahu
apa-apa ini. "Maaf, aku tidak ada waktu melayani kalian. Hup!
Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting
tinggi-tinggi ke udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras ke arah sebuah pohon yang
tidak begitu jauh. Dan ketika kedua kakinya langsung menjejak batang pohon
itu, lalu ... "Yeaaah...!"
Tanpa berhenti sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti
kembali melesat cepat bagai kilat. Langsung ditinggalkannya orang-orang yang
dipimpin Ki Marta ini. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak
terlihat lagi. "Setan...! Ayo, kejar bocah keparat itu...!" seru Ki Marta lantang menggelegar.
Sekitar tiga puluh orang pemuda itu langsung ber-
larian masuk ke dalam hutan, mengejar Rangga yang
sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sementara, Ki Marta mendengus-dengus
kesal. Sudah dua kali dia ditinggalkan begitu saja oleh pemuda yang sama sekali
tidak dikenalnya yang dicurigai sebagai pembunuh pu-
tra tunggalnya beberapa hari lalu.
Sementara itu, Rangga terus berlari cepat memper-
gunakan ilmu meringankan tubuh, hingga semakin
jauh masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat
ini. Dan dia baru berhenti berlari, setelah dirasakan cukup jauh dari orang-
orang Ki Marta.
"Huh!" Rangga mendengus menghembuskan napas
berat Sedikit Pendekar Rajawali Sakti berpaling ke bela-
kang, dan memang tidak terlihat ada yang mengejar.
Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling.
"Hhh! Ke mana dia...?" gumam Rangga bertanya
sendiri. Bulan yang bersinar penuh malam ini, cukup mene-
rangi hutan yang tidak begitu lebat. Sama sekali Rang-
ga tidak melihat ada seorang pun di dalam hutan ini.
Bahkan telinganya tidak mendengar suara yang men-
curigakan sedikit pun. Sedangkan angin yang bertiup
begitu dingin, membuat tubuhnya jadi bergidik meng-
gigil. "Hhh! Gara-gara Ki Marta, semuanya jadi berenta-
kan. Huh...!" dengus Rangga menggerutu sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya per-
lahan-lahan sambil mengedarkan pandangannya ber-
keliling. Namun belum juga jauh berjalan, ayunan ka-
kinya tiba-tiba saja terhenti. Dan kelopak matanya
langsung menyipit, saat melihat kilatan cahaya api
jauh di antara pepohonan hutan ini.
"Hm, coba kudekati," gumam Rangga dalam hati.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melangkah den-
gan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar. Tanpa disadari ilmu meringankan tubuhnya
dikerahkan, sehingga
ayunan langkahnya jadi begitu cepat. Dan sebentar sa-ja, api yang dilihatnya
tadi sudah dekat Rangga segera menghentikan ayunan langkahnya. Tampak di dekat
api itu duduk seseorang bertubuh ramping, menutupi
tubuhnya dengan kain yang sudah lusuh warnanya.
*** "Ehm ehm...!"
Rangga mendehem beberapa kali, sehingga orang
itu langsung mengangkat kepalanya. Agak terkejut ju-
ga Rangga, begitu melihat kalau orang itu ternyata wanita berwajah cantik. Lebih
terkejut lagi, karena hanya seorang diri di dalam hutan yang sunyi ini. Malah,
hanya selembar kain lusuh itu saja yang menjadi te-
man penghangat tubuhnya.
"Maaf, kalau aku mengganggu...," ujar Rangga ra-


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mah. "Ah, tidak. Silakan duduk kalau kau kedinginan,"
sambut wanita itu juga ramah, seraya tersenyum ma-
nis. "Terima kasih."
Rangga mengambil tempat di depan wanita ini.
Hanya api yang menyala tidak begitu besar saja yang
membatasi mereka. Sekilas Rangga melirik wajah wa-
nita ini. Begitu cantik, bagaikan bidadari baru turun dari kayangan. Dan saat
itu juga, benak Rangga berputar, mengolah berbagai macam pertanyaan yang ti-
ba-tiba saja berkecamuk dalam kepalanya.
"Kau sendiri di sini, Nisanak?" tanya Rangga setelah beberapa saat terdiam.
"Kelihatannya bagaimana...?" wanita itu malah balik
bertanya. Rangga jadi tersenyum sendiri. Entah, apa arti se-
nyumannya. Dan kembali matanya melirik sekilas ke
wajah cantik di depannya. Namun saat itu juga, jan-
tungnya jadi berdegup kencang. Ternyata begitu wani-
ta di depannya mengetahui lirikannya, malah memberi
senyuman yang sungguh menawan.
"Kau seperti sedang mengejar sesuatu, Kisanak...,"
ujar wanita itu.
"Rangga. Panggil saja aku Rangga," selak Rangga
memotong, memperkenalkan diri.
"Nama yang gagah," puji wanita itu.
"Dan siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga ingin
tahu. "Apakah itu penting?" wanita itu malah balik ber-
tanya. "Kalau kau tidak keberatan...."
"Ah.... Semua orang sudah melupakan aku, Ki...."
"Rangga."
Wanita itu tersenyum.
"Aku memanggilmu Rangga saja?"
"Sama sekali aku tidak keberatan."
"Baiklah, Rangga. Kenapa kau ingin tahu namaku,
sementara semua orang selalu menghindar dan melu-
pakan aku...?"
"Rasanya tidak enak kalau kita tidak tahu nama
masing-masing. Sedangkan malam masih terlalu pan-
jang untuk dilewati," sahut Rangga memberi alasan.
"Kau pasti tidak ingin mendengar namaku, Rangga."
"Kenapa?"
"Karena...," wanita itu tidak melanjutkan kata- ka-
tanya. "Karena apa, Nisanak?" desak Rangga ingin tahu.
"Kau akan membenciku, Rangga," kata wanita itu
pelan. Begitu pelan suaranya, sampai hampir tidak terden-
gar di telinga. Seketika, Rangga merasakan adanya na-da kesenduan pada kata-kata
wanita itu barusan. Dan
hatinya mendadak saja jadi terkesiap begitu melihat
raut wajah wanita itu jadi berselimut mendung. Rang-
ga jadi menduga-duga, siapa sebenarnya wanita ini..."
Tapi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti rupanya
masih terlalu jauh untuk mendapat jawaban. Wanita
itu jadi terdiam membisu, memandangi nyala api yang
kecil di depannya. Entah apa yang menarik dalam api
itu. Tangannya bergerak-gerak mengorek tanah di
ujung jari kakinya. Sementara, Rangga hanya diam sa-
ja sambil memperhatikan dengan bola mata tidak ber-
kedip. Namun mendadak saja detak jantungnya jadi
berdebar keras, begitu berhembus angin kencang,
sampai menyibakkan kain yang menyelubungi tubuh
wanita di depannya.
"Eh...?"
"Ada apa, Rangga?" tanya wanita itu langsung men-
gangkat kepalanya.
Begitu terkejutnya Rangga tadi, sampai-sampai ter-
lompat berdiri. Langsung dipandanginya wanita berwa-
jah cantik yang masih duduk beralaskan selembar
kain ini. Sorot matanya seakan-akan tidak percaya
dengan apa yang terlihat barusan. Di balik kerudung
kain itu, ternyata wanita ini mengenakan baju warna
merah yang sangat ketat. Sedangkan Rangga berada di
dalam hutan ini justru karena mengejar bayangan me-
rah dari rumah Nyi Gembur.
Saat itu juga, Rangga jadi teringat cerita Randini.
Tapi dugaannya masih belum yakin, kalau wanita yang
berada duduk di depannya ini adalah Lestari. Sedang-
kan orang yang dikejarnya saja tadi, sama sekali tidak diketahui. Yang terlihat
tadi kelebatan bayangan saja dengan kecepatan sangat tinggi.
"Maaf, Nisanak. Apakah kau yang bernama Lestari?"
Rangga langsung saja menebak.
Tapi wanita itu malah tersenyum mendengar perta-
nyaan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Dan perlahan, bangkit berdiri, lalu
melepaskan kain yang membungkus tubuhnya.
Tepat dugaan Rangga. Wanita itu memang menge-
nakan baju warna merah menyala yang cukup ketat,
sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang in-
dah dan ramping menggiurkan. Namun di balik semua
keindahan itu, terlihat sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Entah sadar
atau tidak, Rangga menarik
kakinya ke belakang tiga langkah.
"Pandanganmu sungguh tajam, Rangga. Sayang, ki-
ta berada di sini bukan sebagai teman. Tapi kalau kau mau, kita bisa menjadi
teman," kata wanita itu lembut Dan memang, dialah Lestari yang merupakan putri
tunggal Ki Rapala, kepala desa yang tewas di tangan
anaknya sendiri. Lestari memang tidak akan peduli.
Dia membunuh siapa saja kalau memang ingin mem-
bunuh orang. Entah, apa sebenarnya yang terjadi pada diri gadis ini. Dari cerita
Randini, Rangga merasakan adanya ketidakwajaran pada diri gadis ini. Dan sorot
matanya yang terlihat sekarang, seperti tidak lagi memiliki cahaya kehidupan.
Begitu kosong dan datar, seperti bola mata orang yang sudah mati.
*** "Aku tahu, kau sudah banyak sekali tahu tentang
diriku, Rangga. Tapi sayang, kau belum tahu siapa
aku sesungguhnya," kata Lestari.
Kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin se-
kali. Begitu datar, tanpa adanya tekanan sedikit pun.
Raut wajahnya juga kini terlihat begitu dingin. Bahkan perlahan-lahan berubah
memucat. Rangga jadi agak
terkesiap melihatnya, namun berusaha untuk tetap
tenang. "Yang jelas kau pasti bukan Lestari. Kau hanya
meminjam tubuh gadis Lestari," ujar Rangga agak da-
tar suaranya terdengar.
"Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, Rangga. Tidak
percuma kalau kau mendapat julukan Pendekar Raja-
wali Sakti. Pandanganmu memang sangat tajam, persis
seperti burung rajawali."
"Hm.... Kau juga sudah tahu tentang diriku, Lesta-
ri." "Tidak terlalu sulit untuk mengetahui tentang kau, Rangga. Dan aku sudah
mengetahuimu sejak lama.
Hhh! Kau pasti tidak akan bisa melupakan suaraku
ini, Pendekar Rajawali Sakti...."
Rangga jadi tertegun, begitu mendengar suara gadis
ini jadi berubah seperti suara seorang perempuan tua
yang sudah lanjut, tidak lagi lembut seperti tadi. Saat itu juga, otak Rangga
jadi berputar. Dia berusaha
mengingat-ingat, suara siapa yang baru saja didengarnya.
"Nyi Sura...," desis Rangga bisa mengenali suara itu.
"Hi hi hi...! Kau memang hebat, Rangga. Kau bisa
mengenali suaraku."
Rangga jadi tercenung. Sungguh tidak disangka ka-
lau di dalam tubuh Lestari ternyata berisi roh Nyi Su-ra, orang yang selama ini
diburunya bersama Pandan
Wangi dari Desa Karuling.
"Di desa Karuling ketangguhanmu kuakui, Pende-
kar Rajawali Sakti. Tapi sekarang, aku semakin kuat.
Aku tidak akan lari lagi menghadapimu, Pendekar Ra-
jawali Sakti. Aku malah khawatir, malam ini justru
kau yang akan menggali lubang kuburmu sendiri. Hi hi hi...!"
"Hm...."
Di Desa Karuling, mereka memang sempat berta-
rung. Dan Rangga sempat melukai Nyi Sura, sebelum
wanita yang sebenarnya sudah tua itu bisa melarikan
diri. Tapi sungguh tidak disangka kalau Nyi Sura bisa memindahkan rohnya ke
tubuh orang lain. Waktu itu,
Rangga sudah yakin kalau Nyi Sura menderita luka
yang sangat parah dan tidak mungkin disembuhkan
lagi. Sungguh tidak disangka, dalam beberapa hari saja,
Nyi Sura sudah memindahkan rohnya ke tubuh Lesta-
ri. Bahkan kembali melakukan perbuatan kejinya,
membunuh orang-orang hanya untuk kesenangan sa-
ja. Tapi memang sangat aneh ilmu yang dimiliki Nyi
Sura ini. Semakin banyak membunuh orang, semakin
digdaya saja ilmunya. Malah, kekuatannya akan se-
makin berlipat ganda kalau kedua tangannya sudah
berlumuran darah.
Ilmu yang sangat aneh ini, membuat Rangga harus
berhati-hati menghadapinya. Sedikit saja terluka dan mengeluarkan darah, akan
membuat wanita itu semakin bertambah kuat saja. Dan semakin banyak darah
yang keluar dari tubuh lawannya, semakin sulit saja
dikalahkan. Rangga tidak tahu, ilmu apa yang dimiliki Nyi Sura.
"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Jemput ajal-
mu.... Yeaaah...!"
Belum lagi hilang kata-katanya, Nyi Sura yang me-
minjam tubuh Lestari sudah melesat begitu cepat ba-
gai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga dilepaskannya
satu pukulan yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hupts...!"
Namun dengan liukan tubuh yang sangat indah, se-
rangan wanita ini dapat dihindari. Dan Rangga cepat-
cepat menarik kakinya ke belakang dua langkah. Tapi
pada saat itu juga, Lestari sudah melepaskan satu
tendangan menggeledek sambil memutar tubuhnya ke
samping. "Yeaaah...!"
"Hap! Hih...!"
Plak! "Ikh...!"
Lestari jadi terpekik kaget, karena tanpa diduga
sama sekali Rangga tidak berkelit menghindar. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti
memapak tendangannya, dengan satu kebutan tangan kiri yang begitu cepat, hingga
kakinya tidak dapat ditarik lagi.
Maka, satu benturan yang sangat keras pun terjadi,
membuat wanita itu jadi terpekik. Cepat kakinya ditarik dan melompat ke belakang
sambil berputar satu
kali di udara. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh
sedikit pun dari tangkisan
tangan kanannya tadi.
"Ugkh...!"
Lestari tampak terhuyung-huyung sedikit begitu
kakinya kembali menjejak tanah. Seketika pergelangan kakinya terasa begitu
nyeri. Tapi rasa nyerinya itu cepat bisa dihilangkan, dan kembali bersiap hendak
me- lakukan pertarungan. Melihat dari gerakannya, saat
itu juga Rangga langsung teringat seorang wanita yang beberapa hari lalu
menghadangnya, dan meminta agar
dia dan Pandan Wangi meninggalkan Desa Parangga-
da. Tanpa dijelaskan lagi, Rangga langsung tahu kalau wanita yang menghadangnya
pasti Nyi Sura, yang meminjam tubuh Lestari. Rangga tidak tahu, ada berapa
orang yang digunakan Nyi Sura. Pendekar Rajawali
Sakti langsung menyadari kalau sekarang ini tengah
mendapatkan kesulitan yang sangat besar.
Nyi Sura sudah bisa memindahkan rohnya ke tu-
buh orang lain. Dan ini berarti semakin sulit saja untuk melenyapkannya. Kalau
pun Pendekar Rajawali
Sakti bisa membunuh raga yang dipinjam Nyi Sura, itu bukan berarti Nyi Sura juga
sudah ikut mati. Rohnya
akan melayang mencari raga baru. Dan yang lebih pa-
rah lagi, raga yang sebenarnya sudah mati, akan sulit ditaklukkan. Rangga merasa
sama saja berhadapan
dengan orang mati yang tidak mungkin dimatikan un-
tuk kedua kalinya.
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti!
Hiyaaa...!"
Sret! Cring! Wut! "Haiiit..!"
Rangga cepat-cepat merundukkan kepalanya, saat
Nyi Sura kembali menyerang sambil mencabut pe-
dangnya, dan langsung membabatkannya ke leher
Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja Rangga cepat
merunduk, sehingga mata pedang yang kelihatannya
biasa saja hanya lewat di atas kepalanya. Tapi, angin tebasan pedang itu sempat
juga terasa, membuat
Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke belakang dua
langkah. Memang, angin tebasan pedang itu terasa sangat
panas, menyengat kulit kepala. Dan belum sempat
Rangga berpikir lebih jauh lagi. Nyi Sura yang meng-
gunakan tubuh Lestari sudah kembali melesat menye-
rangnya. "Hiyaaat...!"
Bet! Wuk! "Hup! Yeaaah...!"
Rangga terpaksa harus berjumpalitan, mengguna-
kan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' dalam menghadapi
perempuan yang sebenarnya sudah mati ini. Kilatan-
kilatan cahaya pedang berkelebat mengurung tubuh-
nya yang tengah meliuk-liuk bagai belut. Begitu licin, hingga masih terasa sulit
bagi Lestari untuk bisa menyarangkan pedangnya ke tubuh Pendekar Rajawali
Sakti. *** 7 Entah, sudah berapa jurus pertarungan antar


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rangga dan Nyi Sura yang menggunakan tubuh Lestari
itu berlangsung. Jurus demi jurus terus cepat bergan-ti. Dan Rangga juga sudah
mengerahkan dan mengga-
bung-gabungkan rangkaian lima 'Jurus Rajawali Sakti'
yang sangat tangguh dan berbahaya.
Dengan jurus-jurus itu, Nyi Sura semakin kelaba-
kan saja menghadapinya. Malah sama sekali tidak bisa lagi menyarangkan serangan-
serangan. Semua sambaran pedang dan pukulan serta tendangan yang dilan-
carkannya, mudah sekali dapat dihindari Pendekar Ra-
jawali Sakti. "Setan keparat! Hiyaaat...!"
Nyi Sura semakin bertambah geram saja dan terus
memperhebat serangan-serangan. Begitu cepat kebu-
tan-kebutan pedangnya, sehingga bentuknya jadi le-
nyap. Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya putih keperakan, menggulung
tubuh Rangga yang juga
hanya kelihatan bayangannya saja.
Entah sudah berapa jurus pertarungan berlang-
sung, tapi sedikit pun belum ada tanda-tanda bakal
berhenti. Sementara, malam terus merayap semakin
bertambah larut. Dan udara di sekitar pertarungan itu jadi terasa hangat.
Kilatan-kilatan cahaya pedang Nyi Sura yang dalam tubuh Lestari, membuat
sekitarnya jadi terang. Kini pertarungan itu terus meningkat menggunakan
ilmu-ilmu kedigdayaan, sehingga menimbulkan leda-
kan-ledakan yang terdengar saling susul dan mengge-
legar dahsyat. Batu-batu mulai terlihat pecah berhamburan. Puluhan pohon
bertumbangan. Bahkan tidak
sedikit yang hangus terbakar. Tapi, pertarungan itu
masih terus berlangsung semakin sengit.
Suara-suara pertarungan itu rupanya terdengar ju-
ga oleh Ki Marta dan orang-orangnya yang memang be-
rada dalam hutan ini dalam upaya mengejar Rangga
yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan-
pembunuhan yang terjadi di Desa Paranggada. Dan
bukan hanya Ki Marta saja yang terkejut begitu meli-
hat pemuda yang dikejarnya kini tengah bertarung
sengit melawan seorang wanita berbaju merah. Tapi,
semua pengikutnya juga jadi mengkeret nyalinya. Dan
yang lebih mengejutkan, ternyata lawan yang sedang
dihadapi pemuda berbaju rompi putih itu adalah Les-
tari. Karena dialah putri tunggal Ki Rapala kepala desa mereka sendiri. Dan Ki
Rapala pun telah menjadi korban pembunuhan pula.
"Ki! Bukankah itu Lestari...?" ujar salah seorang
pemuda yang berdiri di sebelah kanan Ki Marta.
"Hm, benar," sahut Ki Marta agak menggumam ter-
dengar suaranya.
"Hebat..! Tidak disangka kalau dia punya kepan-
daian begitu tinggi," sambung pemuda lainnya memuji.
Sedangkan Ki Marta hanya diam saja memandangi
pertarungan itu tanpa berkedip sedikit pun juga. Tampak keningnya jadi berkerut,
seakan-akan tengah me-
mikirkan sesuatu. Entah apa yang ada dalam kepa-
lanya saat ini. Namun....
"Kalian berpencar, dan kepung tempat ini. Jaga jan-
gan sampai gadis itu bisa lolos!" perintah Ki Marta
agak mendesis terdengar suaranya.
"Eh"! Apa, Ki...?"
Tentu saja pemuda-pemuda itu jadi terkejut men-
dengar perintah Ki Marta barusan. Sungguh mereka
tidak mengerti, kenapa justru harus memusuhi Lesta-
ri. Dan, kenapa bukannya pemuda asing yang tadi di-
kejar yang harus dimusuhi..." Tapi, tidak ada seorang pun yang berani membantah
perintah Ki Marta. Walaupun dengan raut wajah memancarkan ketidakmen-
gertian, tapi mereka bergerak juga mengepung tempat
ini dari jarak yang cukup jauh.
Sementara, Ki Marta tetap berdiri tegap memperha-
tikan pertarungan. Kedua bola matanya tidak berkedip sedikit pun. Beberapa kali
mulutnya menggumam pelan, dan hampir tidak terdengar suaranya. Sementara
pertarungan antara Rangga dan Nyi Sura yang meng-
gunakan tubuh Lestari, masih terus berlangsung sen-
git. "Hup! Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja secara bersamaan, mereka melompat
ke atas sambil berteriak keras menggelegar. Semua
orang yang ada di sekitar pertarungan itu jadi menen-gadahkan kepala. Dan saat
itu juga, mereka saling melontarkan pukulan keras dan cepat bagai kilat
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Plak! Glarrr...!
*** Satu ledakan keras menggelegar seketika itu juga
terdengar, tepat di saat dua pasang telapak tangan
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi
yang berisi aji kesaktian beradu di udara. Tampak
bunga api memercik, menyebar ke segala arah disertai kepulan asap hitam
membubung tinggi ke angkasa.
Dan pada saat itu juga, terlihat kedua orang yang
bertarung itu sama-sama terpental jauh ke belakang.
Secara bersamaan pula, mereka jatuh bergulingan di
tanah beberapa kali.
"Hoeeekh...!"
"Ugkh!"
Tampak Nyi Sura yang memakai tubuh Lestari me-
muntahkan darah kental berwarna kehitaman, begitu
tubuhnya berhenti berguling. Sedangkan Rangga me-
lenguh berat, sambil memegangi dadanya. Beberapa
kali Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-geleng. Dan
begitu bangkit berdiri, kedua kakinya seperti tidak
sanggup menahan beban berat tubuhnya, sehingga ja-
di limbung beberapa saat. Sementara, Nyi Sura masih
terduduk dengan kedua lutut tertekuk ke belakang.
Dan pedangnya menjadi tumpuan berat tubuhnya.
"Ukh...!"
Perlahan wanita itu bangkit berdiri, bertumpu pada
pedang yang ujungnya menghunjam ke dalam tanah.
Sesaat tubuhnya masih kelihatan limbung. Mulutnya
penuh darah yang menggumpal kental. Sesekali darah
yang memenuhi rongga mulutnya termuntah. Semen-
tara Rangga sudah bisa berdiri tegak, walaupun pan-
dangan matanya masih agak berkunang-kunang.
"Kau.... Kau memang hebat, Pendekar Rajawali Sak-
ti...," ujar Nyi Sura terbata-bata suaranya.
Rangga hanya diam saja memandangi wanita itu
dengan tajam. Perlahan Nyi Sura mengangkat tangan
kirinya ke depan. Namun belum juga sempurna men-
gangkat tangannya, mendadak saja....
"Akh...!"
Bruk! Begitu terdengar jeritan tertahan, tubuh wanita
yang meminjam raga orang lain itu jatuh terguling
kembali ke tanah. Dan kembali dari mulutnya me-
nyembur darah kental kehitaman. Perlahan kepalanya
diangkat, langsung menatap Rangga yang masih tetap
berdiri tegak memandanginya.
"Aku belum kalah, Pendekar Rajawali Sakti....
Tunggulah! Aku akan kembali lagi membalas semua
ini. Akh...!"
Nyi Sura yang memakai tubuh Lestari, langsung
ambruk setelah berkata tersendat. Dan tubuhnya tidak lagi bergerak sedikit pun
juga. Sementara, Rangga masih berdiri memandangi beberapa saat, kemudian me-
langkah menghampiri wanita itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah....
"Heh..."!"
Wusss! "Hi hi hi...!"
Bukan hanya Rangga saja yang kaget setengah ma-
ti, begitu tiba-tiba tubuh Lestari yang tergeletak di tanah jadi lumer seperti
lumpur tersiram air. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat secercah cahaya
kebiruan melesat dari tubuh gadis itu, disertai terdengarnya suara tawa mengikik
mengerikan. Mau tak mau,
bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya jadi mere-
mang berdiri. Begitu cepat cahaya kebiruan itu mele-
sat, sehingga dalam sekejapan mata sudah lenyap ter-
telan gelapnya malam.
Sedangkan tubuh Lestari sudah lenyap mencair.
Rangga jadi berdiri mematung memandangi cairan
berwarna merah agak kehitaman yang berasal dari tu-
buh Lestari. Dan saat itu, Ki Marta bersama orang-
orangnya datang menghampiri. Tapi, kali ini sikap mereka tidak seperti semula.
Tidak lagi terpancar cahaya permusuhan di mata mereka. Dan Rangga langsung
mengangkat kepalanya, menatap Ki Marta yang sudah
berada sekitar setengah batang tombak di depannya.
"Terimalah salam hormat dan maafku, Gusti Pende-
kar...," ucap Ki Marta sambil menjura memberi hormat
"Kenapa kau bersikap begitu, Ki?" tanya Rangga ti-
dak mengerti. "Maafkan atas tindakanku, Gusti Pendekar. Aku
sungguh-sungguh tidak tahu kalau kau seorang pen-
dekar digdaya yang sudah sering kali kudengar julu-
kannya," sahut Ki Marta masih dengan memberi hor-
mat Sementara anak buah Ki Marta yang berjumlah se-
kitar tiga puluhan itu, langsung mengambil tempat di belakangnya dan langsung
berlutut tanpa diperintah
lagi. Kata-kata Nyi Sura yang terakhir tadi, sudah me-nyadarkan. Rupanya mereka
selama ini tak tahu kalau
pemuda yang dicurigai adalah seorang pendekar dig-
daya yang julukannya sudah sering kali terdengar.
Apalagi, sepak terjangnya. Hal inilah yang membuat
mereka langsung berubah sikap.
Rangga yang langsung cepat bisa tanggap, jadi ter-
senyum sendiri. Nyi Sura tadi memang menyebut julu-
kannya, Pendekar Rajawali Sakti. Kini bisa dimengerti perubahan sikap Ki Marta
dan orang-orangnya ini. Sudah barang tentu mereka jadi berubah, setelah tahu
siapa sebenarnya pemuda berbaju rompi putih ini.
"Ah, sudahlah.... Bangkitlah kalian. Tidak baik ber-
sikap begitu padaku," ujar Rangga merasa jengah.
"Gusti.... Sudilah Gusti Pendekar memaafkan kami
semua yang telah berlaku tidak semestinya selama
ini," ucap Ki Marta lagi.
"Ah, lupakan saja. Aku bisa mengerti dan mema-
hami semuanya. Kau tidak salah, Ki. Juga orang-
orangmu. Sudahlah..., bangkitlah kalian semua," ujar Rangga lembut.
Ki Marta memerintahkan orang-orangnya berdiri.
Dan mereka semua menuruti perintah itu. Sedangkan
Rangga melangkah mendekati Ki Marta, langsung me-
nepuk pundaknya dengan senyuman penuh persaha-
batan tersungging di bibirnya.
"Sebaiknya kita kembali ke desa, Ki," ajak Rangga.
"Sudah terlalu malam. Terlalu berbahaya berada di dalam hutan malam-malam
begini," ajak Rangga.
"Benar, Gusti...," sahut Ki Marta seraya mengang-
guk. "Ah! Tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu,
Ki. Panggil saja aku Rangga. Namaku Rangga," kata
Rangga meminta.
"Tapi...."
"Kau tidak perlu bersikap seperti itu. Aku tidak
pantas menerima sanjungan yang begitu besar. Aku
sama sepertimu juga, Ki. Panggil saja aku Rangga,"
ujar Rangga memutuskan ucapan Ki Marta.
"Baiklah, kalau itu maumu," sahut Ki Marta tidak
bisa lagi menolak.
Rangga hanya tersenyum saja. Dan sebentar kemu-
dian, mereka sudah berjalan bersama-sama keluar da-
ri dalam hutan yang sudah hancur porak- poranda
akibat pertarungan yang sangat dahsyat tadi. Mereka
terus berjalan tanpa bicara lagi, sampai tiba di Desa Paranggada.
"Kita berpisah di sini, Ki. Aku harus kembali ke ru-
mah Nyi Gembur. Aku bermalam di sana. Adikku pasti
sudah tidak sabar menunggu," kata Rangga saat me-
reka sampai di perempatan jalan.
"Baiklah, Rangga," sambut Ki Marta.
Mereka pun berpisah. Rangga terus menuju ke ru-
mah Nyi Gembur, sedangkan Ki Marta mengambil jalan
ke kanan, pulang ke rumahnya sendiri diikuti pemban-
tu-pembantunya.
Dan malam pun terus merayap semakin bertambah
larut Desa Paranggada ini juga semakin terasa sunyi.
Malam yang terasa begitu dingin. Tapi, tidak demikian halnya Rangga. Rasanya
malam ini begitu panas. Dan
Pendekar Rajawali Sakti memang harus secepatnya
sampai di rumah Nyi Gembur, untuk bersemadi. Ke-
kuatannya yang begitu banyak terkuras akibat perta-
rungannya dengan Nyi Sura tadi harus segera dipulih-
kan. *** Rangga kembali masuk melalui jendela kamarnya
yang terbuka lebar. Dia agak terperanjat juga, begitu berada di dalam kamar yang
disewanya dari Nyi Gembur. Di dalam kamar itu bukan hanya ada Randini, ta-
pi juga Pandan Wangi dan Nyi Gembur. Ketiga wanita
ini seperti sedang menunggunya.
"Kotor sekali kau, Kakang. Dari mana saja...?" tegur Pandan Wangi langsung.
"Panjang untuk diceritakan," sahut Rangga seraya
menghempaskan tubuhnya, duduk di kursi rotan de-
kat jendela. Sementara, Pandan Wangi berdiri saja di samping
pintu. Sedangkan Nyi Gembur duduk di tepi pemba-
ringan bersama Randini. Mereka semua mengerahkan
pandangan pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang
dipandangi seperti tidak peduli.
Sebentar matanya dipejamkan. Kemudian tangan-
nya bergerak, memijat bagian dadanya tiga kali.
"Hhh...!"
"Kau seperti habis bertarung, Kakang. Kau terlu-
ka?" tanya Pandan Wangi dengan kelopak mata agak
menyipit. Rangga kembali tersenyum seraya menatap gadis
cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini. Me-


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mang sudah lama sekali mereka selalu bersama-sama
dalam pengembaraan. Sudah barang tentu Pandan
Wangi bisa cepat mengetahui kalau Pendekar Rajawali
Sakti baru saja bertarung. Dan sekarang, mendapat
luka yang diketahui pemuda itu sendiri.
"Dengan siapa kau bertarung, Kakang?" tanya Pan-
dan Wangi lagi.
"Nyi Sura," sahut Rangga.
"Apa..."! Dia ada di sini?" Pandan Wangi kelihatan
terkejut. "Ya. Dia ada di sini. Dan semua yang terjadi di desa ini akibat ulahnya," kata
Rangga lagi. "Ukh...!"
"Oh! Kau terluka, Kakang...."
Rangga cepat mengulurkan tangannya ke depan,
saat Pandan Wangi mau mendekat. Seketika Pandan
Wangi jadi mengurungkan langkahnya. Hanya dipan-
danginya saja Pendekar Rajawali Sakti itu dengan si-
nar mata penuh kecemasan.
"Nanti akan kuceritakan semuanya. Sekarang biar-
kan aku bersemadi dulu," kata Rangga meminta.
"Parah lukanya, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tidak begitu. Tapi kau jangan mendekat, ada racun
di sekitar tubuhku. Keluarlah kalian."
Pandan Wangi langsung bisa mengerti, dan segera
mengajak Nyi Gembur dan putrinya keluar dari dalam
kamar ini. Dan ketika Pandan Wangi hendak menutup
jendela, Rangga sudah cepat mencegahnya. Terpaksa
gadis itu terus saja melangkah keluar dari kamar ini, dan menutup pintunya
rapat-rapat. Pandan Wangi menyusul Nyi Gembur dan Randini
yang sudah berada di ruangan tengah rumahnya.
Hanya ada sebuah pelita yang menyala, sehingga ham-
pir tidak sanggup menerangi seluruh ruangan yang
cukup luas ini. Mereka bertiga duduk menghadapi me-
ja bundar dari kayu berwarna hitam pekat
"Dugaanmu ternyata salah, Randini," ujar Pandan
Wangi seraya menatap Randini cukup dalam. 'Tadi Ka-
kang Rangga mengatakan kalau habis bertarung den-
gan Nyi Sura, orang yang selama ini kami kejar. Dia
memang perempuan berdarah dingin. Sudah tidak ter-
hitung lagi berapa orang terbunuh di tangannya. Yang lebih menjengkelkan,
perbuatannya itu hanya untuk
kesenangan belaka dan untuk menambah kekuatan
ilmunya. Dari membunuh itu, Nyi Sura bisa semakin
kuat dan tangguh."
"Tapi, tanda-tanda dari korbannya sangat mirip
dengan yang dilakukan Lestari, Kak Pandan," selak
Randini. "
Randini memang sudah menceritakan semuanya
pada si Kipas Maut ini. Hal ini terpaksa diceritakan, karena Pandan Wangi terus
mendesak. Randini tahu
kalau ada kecurigaan dalam hati Pandan Wangi, ma-
kanya terpaksa harus mengatakan yang sebenarnya.
Semula memang Pandan Wangi masih belum per-
caya betul. Tapi setelah Rangga pulang dalam keadaan terluka dalam, semua yang
dikatakan Randini baru bi-sa dipercayai. Rangga bukan menghindari dirinya, tapi
mengejar orang yang hendak membunuh Randini. Dan
orang itu ternyata Nyi Sura, wanita pembunuh berda-
rah dingin yang selama ini dikejar.
"Kak Pandan..., mungkin saja orang itu bukan men-
gincar aku, tapi Kakang Rangga," ujar Randini terdengar hati-hati sekali nada
suaranya. "Hm, mungkin juga...," gumam Pandan Wangi pe-
lan. "Mungkin, kebetulan saja orang yang Kak Pandan
dan Kakang Rangga cari ada di sini. Tapi aku yakin,
semua pembunuhan yang terjadi di desa ini dilakukan
oleh Lestari," tegas Randini lagi dengan suara mantap.
"Kenapa kau begitu yakin, Randini?" tanya Pandan
Wangi jadi ingin tahu.
Randini tidak langsung menjawab, tapi malah me-
natap ibunya yang duduk di sebelahnya. Kemudian
terdengar tarikan nafasnya yang begitu panjang dan dalam. Lalu dihembuskan kuat-
kuat. Sementara, Pandan Wangi terus menatap, seakan menunggu jawaban
dari pertanyaannya tadi.
Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam.
Ruangan ini jadi terasa begitu sunyi, sampai suara
jangkrik di luar terdengar sangat jelas. Saat itu, Nyi Gembur bangkit berdiri.
"Aku buatkan minuman hangat dulu," kata Nyi
Gembur, langsung saja melangkah pergi ke belakang.
*** 8 Pagi-pagi sekali, Rangga sudah berpamitan pada Nyi
Gembur. Diajaknya Randini untuk pergi ke goa yang
telah diceritakan semalam. Pandan Wangi tidak mau
ketinggalan, karena memang harus ikut untuk menja-
ga keselamatan anak gadis pemilik kedai yang rumah-
nya dipakai untuk menginap semalam. Mereka tidak
menunggang kuda, karena Randini bukan hanya gadis
desa yang lugu, tapi juga pernah menunggang kuda
seumur hidupnya.
Semalam Rangga memang sudah menceritakan se-
mua yang dialami di dalam hutan. Dan dia tahu, Nyi
Sura belum mati. Tapi yang jelas Pendekar Rajawali
Sakti mempunyai pendapat kalau kehidupan Nyi Sura
ada di dalam goa, tempat terakhir kalinya ditemukan.
Dia yakin, pasti ada di dalam goa itu. Maka Randini
harus diajak untuk menunjukkan jalannya.
Namun begitu mereka sampai di perbatasan desa,
Ki Marta sudah menanti bersama lima orang pemban-
tunya. Laki-laki separo baya ini meminta Rangga agar mengizinkannya ikut. Dan
Rangga sendiri tidak kuasa
menolaknya. Kini, mereka berdelapan menuju dalam hutan.
Hanya saja, jalan yang dilalui bukan jalan yang semalam dilalui Rangga. Randini
tetap berjalan paling depan menjadi penunjuk jalan, didampingi Pandan Wan-
gi. Sementara, Rangga berada di belakangnya bersama
Ki Marta, diikuti lima orang pemuda pembantu laki-
laki separo baya ini.
Tepat di saat matahari berada di atas kepala, mere-
ka sampai di depan mulut goa yang cukup besar. Dan
kelihatannya, memang cukup mengerikan. Bahkan
banyak ular yang berkumpul di depan mulut goa ini,
memperdengarkan suara mendesis mengerikan.
Rangga kemudian meminta mereka semua, me-
nyingkir menjauhi mulut goa itu. Kemudian, Pendekar
Rajawali Sakti perlahan melangkah mendekati. Ayunan
kakinya baru terhenti setelah berjarak tinggal sekitar tujuh langkah lagi di
depan goa ini. Ketika Rangga berdiri tegak memandangi ular-ular itu, Randini
mendeka-ti Pandan Wangi.
"Dulu goa ini tidak banyak ularnya...," bisik Randi-
ni. "Hm.... Kakang Rangga pasti bisa mengatasi," ujar Pandan Wangi, juga
berbisik. Dan apa yang dikatakan Pandan Wangi memang
menjadi kenyataan. Tidak berapa lama kemudian,
ular-ular itu terlihat bergerak pergi meninggalkan mulut goa ini. Sedangkan
Rangga kelihatan tidak bertindak apa-apa. Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri
mematung saja memandangi ular-ular yang kini sema-
kin menghilang di telan semak belukar.
Memang tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali
Pandan Wangi. Gadis itu tahu, Pendekar Rajawali Sak-
ti memiliki sebuah ilmu aneh sehingga bisa berhubun-
gan dengan ular-ular manapun di dunia ini. Semua il-
mu itu didapatkan ketika Rangga bertemu sahabat gu-
runya, Satria Naga Emas.
"Heh..."! Bagaimana mungkin ular-ular itu bisa per-
gi..." Ilmu apa yang dipakai?" desis Ki Marta keheranan sendiri.
Sementara, Rangga sudah melangkah mendekati
mulut goa itu. Tidak ada lagi seekor ular pun yang terlihat lagi. Sementara,
mereka yang berada cukup jauh dari mulut goa itu terus memandangi dengan dada
berdebar kencang. Semakin dekat Pendekar Rajawali
Sakti ke mulut goa, semakin kencang jantung mereka
berdetak. Namun belum juga Rangga masuk ke dalam goa itu,
mendadak saja....
Slart! "Hup!"
Secepat secercah cahaya merah meluruk deras dari
dalam goa itu, secepat itu pula Rangga mengegoskan
tubuhnya ke belakang. Sehingga, kilatan cahaya me-
rah itu hanya lewat di samping tubuhnya.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa
menarik tegak tubuhnya lagi, kembali terlihat satu serangan kilat dari beberapa
buah benda berbentuk pi-
sau kecil yang memancarkan cahaya keperakan.
"Hup! Yeaaah...!"
Terpaksa Rangga harus melenting ke udara, dan
berputaran beberapa kali menghindari terjangan pi-
sau-pisau kecil dari perak. Sementara mereka yang
menyaksikan dari kejauhan, jadi kaget setengah mati, melihat Rangga diserang
dari dalam goa. Hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan tenang, karena tahu be-
tul kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Sesulit apa
pun bahaya yang menghadangnya, Rangga pasti bisa
menghadapi dengan tenang.
Sementara itu, semakin banyak saja senjata kecil
berhamburan keluar dari dalam goa, membuat Rangga
tidak punya kesempatan sedikit pun untuk menjejak-
kan kakinya di tanah. Beberapa kali ujung jari tangan dan kakinya menotok benda-
benda itu, kemudian
kembali melesat ke udara dan berputaran dengan ge-
rakan manis sekali.
"Dia perlu bantuan...," desis Ki Marta.
"Jangan, Ki!" sentak Pandan Wangi.
Tap! Cepat sekali gadis yang dikenal berjuluk si Kipas
Maut itu menangkap pergelangan tangan Ki Marta, dan
mencekalnya erat-erat. Akibatnya, laki-laki separo
baya itu jadi meringis, memandangi gadis cantik ini.
"Kakang Rangga tidak perlu bantuan. Lihat saja.
Dia pasti bisa mengatasi semuanya," tandas Pandan
Wangi sambil melepaskan cekalannya pada pergelan-
gan tangan Ki Marta.
"Tapi, Nini...."
"Percayalah. Tidak akan terjadi apa-apa pada Ka-
kang Rangga," kata Pandan Wangi meyakinkan.
Ki Marta tidak bisa lagi berkata-kata. Walaupun
raut wajahnya memancarkan kecemasan, tapi tidak bi-
sa membantah kata-kata Pandan Wangi. Dan memang
kenyataannya, Rangga masih bisa mengatasi seran-
gan-serangan itu, walaupun harus berjumpalitan di
udara menghindarinya, tanpa dapat membalas sedikit
pun. "Hup! Hiyaaa ...!"
*** Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke
udara. Lalu secepat kilat, tubuhnya meluruk deras
dengan kepala berada di bawah. Bagaikan seekor bu-
rung rajawali, kedua tangannya mengembang lebar ke
samping. Dan saat itu juga....
"Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaa...!"
Wuk! Secepat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti me-
nyatu di depan wajahnya, seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang
terbuka berhembus angin ba-dai yang begitu keras menghantam mulut goa ini.
Glarrr! Satu ledakan dahsyat seketika terjadi, membuat
bumi bergetar hebat bagai diguncang gempa. Dan ber-
samaan begitu kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti
menjejak tanah, mulut goa itu hancur berkeping-
keping. Akibatnya, debu dan bebatuan langsung ber-
hamburan di sekitarnya. Rangga melompat mundur
sejauh dua batang tombak, begitu dari dalam kepulan
debu di mulut goa bagai kilat.
Wusss! "Haiiit..!"
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan,
begitu bayangan merah itu meluncur deras menerjang
ke arahnya. Tapi di saat bayangan merah itu melewati tubuhnya, saat itu juga....
Plak! "Akh...!"
"Kakang...!"
"Rangga...!"
Semua yang menyaksikan jadi terpekik, begitu me-
lihat Rangga tahu-tahu terpental ke kanan sejauh dua
batang tombak. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti jatuh
keras sekali ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Brak! Sebatang pohon yang cukup besar seketika hancur
terlanda tubuh pemuda ini. Namun bersamaan dengan
hancurnya batang pohon itu, Rangga cepat sekali me-
lesat bangkit. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak di
tanah. Saat itu juga, bayangan merah yang tadi menerjangnya sudah berada sekitar
satu batang tombak di depannya. Tampak kini di de-
pannya telah berdiri seorang wanita muda bertubuh
ramping dan padat terbungkus baju warna merah me-
nyala. Rangga langsung yakin kalau wanita itu pernah juga bertarung dengannya.
Dan dia tahu, di dalam tubuh wanita ini bersembunyi Nyi Sura.
"Kau pakai siapa lagi untuk menghadapiku, Nyi Su-
ra...," desis Rangga, terdengar sangat dingin nada suaranya.
"Jangan banyak omong kau, Rangga. Kau harus
mampus! Hih...!"
Slap! "Hap!"
Manis sekali Rangga mengegoskan tubuhnya, tepat
ketika Nyi Sura yang kini memakai tubuh gadis ini
menghentakkan tangan kanannya. Seketika dari tela-
pak tangan itu memercik kilatan api yang menyambar
di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah...!"
Rangga yang sudah tahu akan kedigdayaan lawan-


Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya, tidak ingin bermain-main lagi. Dengan kecepatan kilat, tubuhnya langsung
melesat tinggi ke angkasa.
Dan saat berada di atas kepala wanita itu, cepat tu-
buhnya menukik turun dengan kedua kaki berputaran
mengarah ke kepala.
"Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'...,"
desis Pandan Wangi yang terus menyaksikan, lang-
sung mengenali.
"Yeaaah...!"
"Upts! Hiyaaa...!"
Sret! Bet! "Aikh...!"
Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja Nyi Sura mencabut ikat
pinggang, dan langsung
mengebutkannya di atas kepala. Cepat- cepat Rangga
memutar tubuhnya. Langsung diberikannya satu pu-
kulan keras ke arah dada, begitu tubuhnya terbalik
dengan kepala berada di bawah.
"Hap!"
Namun tanpa diduga sama sekali, Nyi Sura mema-
pak pukulan itu dengan menyilangkan tangan kiri di
depan dada. Hingga....
Plak! "Hap!"
Rangga melenting ke belakang dan berputaran be-
berapa kali begitu pukulannya mendarat di tangan
wanita ini. Sedangkan Nyi Sura sendiri sempat terdo-
rong dua langkah ke belakang. Dengan manis sekali,
Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah.
"Hap!"
"Cabut pedangmu, Rangga! Hari ini kita mengadu
nyawa!" dengus Nyi Sura dingin menantang.
"Hm...."
Rangga sebenarnya masih enggan menggunakan
Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang masih saja tersim-
pan dalam warangka di punggung. Tapi melihat ke-
tangguhan perempuan ini, memang tidak ada pilihan
lain lagi. Pedang pusakanya yang sampai saat ini be-
lum ada yang bisa menandingi kesaktiannya harus di-
gunakan. Cring! "Hah..."!"
Bukan hanya Nyi Sura yang terbeliak melihat pe-
dang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang meman-
carkan cahaya biru menyilaukan mata. Tapi semua
orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terngan-
ga memandangnya. Sementara, Rangga sudah menyi-
langkan pedangnya di depan dada. Sedangkan telapak
tangan kirinya sudah menempel pada bagian pangkal
gagang pedang. "Kau sudah membuatku muak, Nyi Sura. Aku tidak
akan sungkan-sungkan lagi menghadapimu," kata
Rangga dengan suara begitu dingin dan datar.
"Huh! Kau pikir aku takut melihat pedang bututmu,
Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Nyi Sura, menutupi rasa keterkejutannya.
"Bersiaplah, Nyi Sura. Kau yang menginginkan. Dan
aku tidak akan mengecewakanmu," kata Rangga lagi,
masih dengan suara dingin menggetarkan.
Dengan pedang di tangan, Pendekar Rajawali Sakti
bagaikan sosok malaikat maut yang sudah siap men-
cabut nyawa perempuan itu. Sementara, Pandan Wan-
gi segera meminta yang lainnya untuk menyingkir le-
bih jauh lagi. Dia tahu, saat ini Rangga akan mengeluarkan aji kesaktiannya yang
paling dahsyat dan belum ada tandingannya pada saat ini. Si Kipas Maut tak ingin
ada di antara mereka yang terkena ajian dahsyat
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap!"
Saat itu, Nyi Sura sudah siap mengeluarkan ilmu
kesaktian pamungkasnya. Sementara, perlahan-lahan
Rangga mulai menggosok mata pedangnya dengan te-
lapak tangan kiri. Dan saat itu juga, cahaya biru yang memancar dari pedang
pusaka itu menggumpal, tepat
ketika telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti berada di ujung senjatanya.
*** "Hiyaaa...!"
"Hap! Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Tepat di saat Nyi Sura melompat sambil berteriak
nyaring. Rangga menghentakkan ujung pedang yang
tangkainya terpegang oleh kedua tangannya ke depan.
Dan saat itu juga, dari ujung Pedang Rajawali Sakti
memancar cahaya biru terang yang bergulung-gulung,
menyambut tubuh perempuan yang mengenakan baju
warna merah menyala ini.
Plas! "Akh...!"
Bruk! Nyi Sura langsung jatuh menghantam tanah, begitu
tubuhnya terhantam cahaya biru yang memancar dari
ujung Pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu
hendak melompat bangkit, Rangga sudah menekan-
nya. Akibatnya, wanita itu menggeletak di tanah sam-
bil menggelepar mengeluarkan desisan bagai ular.
"Hih!"
Hanya sekali sentak saja, tubuh Nyi Sura terangkat
bangkit berdiri. Sementara, sinar biru yang memancar dari Pedang Pendekar
Rajawali Sakti terus menggulung tubuhnya.
"Aaakh...!"
Nyi Sura terus menggeliat-geliat sambil berteriak,
seakan-akan seluruh tubuhnya dihunjam ribuan ja-
rum yang sangat menyakitkan. Dan semakin keras pe-
rempuan itu berusaha melepaskan belenggu cahaya
biru ini, semakin deras pula tenaganya mengalir ke-
luar, hingga tidak dapat lagi dikendalikan.
Saat itu, Rangga perlahan-lahan mulai melangkah
maju mendekati. Sedangkan cahaya biru yang meman-
car dari ujung pedangnya semakin banyak menggum-
pal menggulung tubuh Nyi Sura. Tatapan mata Pende-
kar Rajawali Sakti demikian tajam, seakan tidak ingin melepaskan wanita yang
sudah lama dikejarnya ini.
Sekilas Rangga berpaling pada Pandan Wangi yang
berada di antara orang-orang dari Desa Paranggada.
"Pandan! Cari Batu Mustika Merah miliknya di da-
lam goa!" teriak Rangga keras.
"Baik, Kakang!" sahut Pandan Wangi. "Hup!"
"Setan keparat! Jangan...!" teriak Nyi Sura terkejut
"Hih! Aaakh...!"
Baru saja Nyi Sura hendak melepaskan- pukulan
jarak jauhnya pada Pandan Wangi, Rangga sudah me-
nekan kuat sekali. Akibatnya, wanita itu jadi terpekik dan kembali menggelepar
di tanah. Dan Rangga sudah
menghentakkan pedangnya lagi, sehingga wanita ini
kembali berdiri di depannya.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah lenyap di da-
lam goa. Tapi tidak berapa lama, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu
sudah kembali lagi sambil membawa sebuah batu berwarna merah menyala yang
memancarkan cahaya berkilauan begitu indah.
"Kakang, sudah kudapatkan!" seru Pandan Wangi
memberi tahu. "Hancurkan batu itu dengan pedangmu, Pandan!"
"Tidak! Jangaaan...! Akh!" teriak Nyi Sura.
Namun Pandan Wangi sudah mencabut Pedang Pu-
saka Naga Geni. Seketika pedang berwarna merah ba-
gai terbakar itu langsung saja dihantamkan ke Batu
Mustika Merah yang tadi diletakkan di tanah, sebelum
mencabut pedangnya.
"Yeaaah...!"
Pandan Wangi segera mengangkat pedangnya ting-
gi-tinggi dan siap dikebutkan. Dan....
Glarrr! "Hih!"
Tepat pada saat terdengarnya ledakan dari Batu
Mustika Merah yang hancur, saat itu juga Rangga
mengangkat pedangnya ke atas kepala. Dan...
"Hiyaaa...!"
Cras! Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti menge-
butkan pedangnya. Maka ...
"Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terden-
gar, bersamaan tergulingnya kepala Nyi Sura, begitu
terbabat Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
"Hup!"
Cring! Sambil melompat ke belakang, Rangga memasuk-
kan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka
di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya biru me-
mancar menerangi tempat ini jadi lenyap tak terlihat lagi. Sementara, sekitar
satu batang tombak di depannya telah menggeletak tubuh seorang wanita berbaju
merah. Pendekar Rajawali Sakti berpaling, saat men-
dengar langkah-langkah kaki menghampirinya.
"Ayo, kita kembali ke Desa Paranggada," ajak Rang-
ga. Tidak ada seorang pun yang membuka suara men-
dengar ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, mereka
semua langsung saja melangkah mengikuti Rangga
yang sudah lebih dulu berjalan didampingi Pandan
Wangi. "Kakang! Bagaimana kau tahu kalau Nyi Sura
punya Batu Mustika Merah?" tanya Pandan Wangi.
"Setiap orang yang bisa melepaskan jiwa dari ra-
ganya, akan menyimpan jiwa yang sesungguhnya di
dalam sebuah benda. Dan kebetulan saja, aku tahu
kalau Nyi Sura selalu membawa-bawa Batu Mustika
Merah. Aku jadi berpikir, mungkin di batu itu jiwa
yang sesungguhnya disimpan," jelas Rangga.
"Aku sama sekali tidak memperhatikan, Kakang,"
ujar Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kakang, kenapa kita kembali ke Desa Paranggada"
Mengapa tidak terus saja melanjutkan perjalan ini,
Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Kau lupa pada kuda kita, Pandan...?"
"Oh..."!"
Lagi-lagi Rangga tersenyum. Sedangkan Pandan
Wangi hanya tersipu saja. Entah kenapa, gadis itu jadi malu sendiri, karena
tidak ingat kalau kuda mereka ditinggalkan di Desa Paranggada. Sudah tentu kuda-
kuda itu harus diambil dulu, sebelum melanjutkan
pengembaraan yang panjang dan tiada akhir ini.
SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
*** *** *** 2 *** *** *** *** 3 *** *** *** 4 *** *** *** 5 *** *** *** 6 *** *** *** 7 *** *** *** 8 *** *** SELESAI Lembah Nirmala 22 Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran Suling Emas Dan Naga Siluman 1
^