Pencarian

Perawan Lembah Maut 2

Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut Bagian 2


"Lalu, ke mana mereka perginya?" tanya Pandan
Wangi lagi. "Ke sana," sahut Rangga menunjuk.
Pandan Wangi mematri pandangannya ke arah yang
ditunjuk Rangga. Sementara, Rangga sendiri sudah
menjalankan kudanya lagi, ke arah kepergian si Perawan Lembah Maut dan orang-
orangnya semalam. Pan-
dan Wangi bergegas menggebah kudanya, dan kembali
berada di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka
terus berkuda tanpa bicara lagi. Sementara, matahari
terus merayap naik semakin tinggi, memancarkan cahaya yang terang dan hangat.
*** 5 Siang ini matahari terasa begitu terik memancarkan
sinarnya, membuat kulit terasa bagai terbakar. Sementara, di tempat tersembunyi
yang terletak di Lembah
Maut, terlihat seorang wanita berbaju hitam pekat dan
ketat, tengah duduk menyendiri di atas sebongkah batu di pinggir sebuah kolam
mata air. Entah, sudah berapa lama wanita itu berada di sana, seakan-akan tidak
mempedulikan sengatan sinar
matahari yang begitu panas bagai hendak menghanguskan seluruh permukaan bumi
ini. Wanita itu mengangkat kepalanya perlahan, saat mendengar langkah
kaki menghampiri dari arah belakang. Dan perlahan
pula tubuhnya diputar berbalik. Tampak seseorang
berjubah hitam longgar dan berpenutup kepala dari
kain hitam yang berbentuk runcing, datang menghampiri. Dan dia langsung berlutut
begitu dekat di depan
wanita yang wajahnya ditutupi topeng kulit berbentuk
tengkorak ini. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan suara dingin.
"Mereka datang, Nini," sahut orang itu, tetap dengan sikap berlutut hormat.
"Mereka siapa...?"
"Sebaiknya lihatlah sendiri, siapa yang dibawa me-
reka, Nini. Kau pasti akan menyukainya," ujar orang
berjubah hitam itu.
Wanita bertopeng tengkorak ini jadi penasaran juga.
Maka dia segera beranjak bangkit, dan melangkah
tanpa bicara lagi. Sementara, orang berjubah hitam itu
mengikuti dari belakang. Mereka terus berjalan memasuki sebuah bangunan
berbentuk candi, yang seluruhnya terbuat dari batu. Mereka terus berjalan
menyusuri lorong yang sempit dan cukup gelap. Tidak
lama kemudian, mereka tiba di sebuah ruangan yang
cukup luas dan terang benderang oleh cahaya obor
yang terpasang di dinding.
Di dalam ruangan ini, sudah menunggu sepuluh
orang berjubah serba hitam. Dan di depan mereka, terlihat tumpukan peti yang
terbuka tutupnya. Tampak di
dalam peti-peti kayu itu penuh berisi barang terbuat
dari emas dan perak. Dan di sana juga terlihat seorang
anak muda berwajah tampan. Bajunya sangat indah,
terbuat dari bahan sutera halus dengan sulamansulaman benang emas. Dia duduk di
lantai dengan kedua tangan terikat tambang.
"Kau pasti tidak akan tertarik dengan barangbarang itu, Nini," ujar orang
berjubah hitam yang berdiri di belakang agak ke kanan dari wanita bertopeng
tengkorak ini. .
"Hmmm...," wanita itu hanya menggumam saja sedikit.
Wanita yang berjuluk Perawan Lembah Maut ini
melangkah mendekati anak muda yang masih tetap
terduduk di lantai dengan kedua tangan ke belakang
terikat tambang. Wajahnya tampan sekali, dan tubuhnya tegap. Kulitnya putih
seperti pemuda bangsawan.
Beberapa saat wanita bertopeng tengkorak itu mengamati.
"Bawa dia ke kamarku," perintah Perawan Lembah
Maut itu tegas.
"Baik, Nini," sahut orang berjubah hitam yang sejak
tadi mengikutinya di belakang.
Tanpa diperintah dua kali, orang berjubah hitam itu
menarik pemuda ini hingga berdiri. Lalu, menggiringnya keluar dari ruangan ini.
"Jangan lupa, buka ikatannya...!" seru wanita bertopeng tengkorak itu agak keras
suaranya. "Baik, Nini."
Setelah orang berjubah hitam itu tidak terlihat lagi,
wanita bertopeng tengkorak ini memandangi peti-peti
yang penuh berisi barang dari emas dan perak. Kemudian dipandanginya sepuluh
orang yang berlutut di
lantai tidak jauh di depannya.
"Simpan barang-barang ini. Dan, kalian boleh beristirahat. Malam nanti, akan ada
tugas yang besar untuk
kalian semua. Aku ingin kalian beristirahat cukup hari
ini," ujar wanita itu memberi perintah.
"Segera, Nini...," sahut sepuluh orang yang semuanya berbaju jubah warna hitam
itu, serentak. Perawan Lembah Maut itu lalu berbalik, dan terus
melangkah meninggalkan ruangan ini. Dia berjalan
dengan ayunan kaki lebar, memasuki sebuah lorong
kecil yang tidak begitu terang. Hanya ada beberapa
buah obor saja terpancang di dinding lorong ini.
Ternyata, di ujung lorong ini terdapat sebuah pintu
yang terbuat dari besi baja hitam yang sangat tebal
dan kokoh kelihatannya. Tapi, Perawan Lembah Maut
ini mudah sekali mendorongnya hingga terbuka lebar.
Tampak di balik pintu besi ini terdapat sebuah
ruangan bagai sebuah kamar peristirahatan putri raja.
Begitu indah dan berbau harum bunga-bunga. Di dalamnya, terlihat pemuda tampan
tadi, yang baru saja
menjadi tawanannya. Pemuda itu tampak tengah duduk di tepi pembaringan yang
sangat indah, beralaskan kain sutera halus berwarna merah muda yang
lembut. Wanita bertopeng tengkorak itu telah menutup
kembali pintu ruangan ini rapat-rapat. Kemudian kakinya melangkah menghampiri
pemuda tampan yang
masih tetap duduk di tepi pembaringan, memandanginya dengan sorot mata sangat
tajam menusuk. "Siapa namamu, Bocah Bagus?" tanya Perempuan
Lembah Maut dengan suara dibuat lembut.
"Kau tidak perlu tahu namaku, Perempuan Iblis!"
sentak pemuda itu, langsung kasar.
"Ah.... Jangan bersikap kasar begitu padaku, Cah
Bagus. Aku tahu, kau pasti tidak senang melihat sikap
anak buahku. Lupakan saja, Cah Bagus. Sekarang,
kau sudah ada di sini. Di istanaku ini. Dan tentu, tidak kalah indahnya dengan
istanamu, bukan...?" masih tetap terdengar lembut suara wanita itu.
"Huh! Aku tahu siapa dirimu, Perempuan Iblis. Kaulah yang dijuluki si Perawan
Lembah Maut. Jadi, jangan harap bisa memperdayaiku...!" ketus sekali nada
suara anak muda ini.
"Bagus, kalau kau sudah tahu siapa aku. Tapi terus
terang saja, aku lebih senang kalau dipanggil nama saja. Bukan julukan itu yang
mereka berikan padaku.
Kau ingin tahu namaku...?"
"Huh!"
"Sawitri.... Itulah namaku. Kau boleh memanggilku
dengan nama itu," jelas wanita ini, memperkenalkan
diri dengan lembut. Sedikit pun tak ada rasa tersinggung di hatinya melihat
sikap pemuda ini.
Sedangkan pemuda itu masih diam saja.
"Siapa namamu..." Aku sudah menyebutkan nama-
ku. Dan sekarang, kau harus memperkenalkan diri."
"Witangga. Arya Witangga. Panggil saja aku Witangga," sahut pemuda itu, masih
ketus. Wanita bertopeng tengkorak yang mengaku bernama Sawitri itu terdiam dengan
kepala terangguk beberapa kali. Sedangkan pemuda tampan yang mengaku
bernama Arya Witangga, juga terdiam membisu. Namun sorot matanya masih tetap
terlihat tajam tidak
menunjukkan tanda-tanda persahabatan sama sekali.
*** "Aku tahu, apa yang kau pikirkan, Witangga. Kau
pasti merasa tidak senang berada di sini. Tapi aku yakin, tidak lama lagi kau
pasti akan menyukai tempat
ini," kata Sawitri yang juga dikenal sebagai si Perawan
Lembah Maut itu, dengan suara lembut sekali.
Tapi Witangga tetap diam membisu saja. Dipandanginya wajah wanita yang berbentuk
tengkorak mengerikan ini. Meskipun kulitnya putih dan bentuk tubuhnya ramping,
namun kalau melihat wajahnya.... Semua orang pasti akan merasa jijik dan mual.
Topeng kulit yang dikenakan wanita itu memang sangat halus
buatannya. Sehingga, seakan-akan wanita itu tidak
mengenakan topeng sama sekali. Begitu halus, hingga
orang yang melihatnya pasti akan menyangka, memang seperti itulah wajah si
Perawan Lembah Maut
ini. "Kenapa kau memandangiku seperti itu, Witangga...?" tegur Sawitri, merasa jengah
dipandangi terusmenerus.
"Aku ingin tahu, seperti apa wajahmu di balik topeng jelek seperti itu," dengus
Witangga dingin.
Sawitri yang selama ini dikenal berjuluk si Perawan
Lembah Maut itu hanya diam saja. Tampak beda matanya yang semula terlihat
lembut, kini jadi memerah
bagai menyimpan suatu bara api yang terbalut dendam. Begitu tajam sorot matanya,
sehingga membuat
Witangga jadi bergidik juga memandangnya. Maka
pandangannya cepat-cepat dialihkan ke arah lain.
"Kau memang gagah dan tampan, Witangga. Dan
memang, sudah sepantasnya kau berdampingan dengan gadis cantik. Tapi tidak....
Tidak akan pernah terjadi, Witangga. Orang-orang gagah dan tampan sepertimu,
tidak akan punya kesempatan untuk memiliki.
Orang sepertimu harus merasakan akibat dari apa
yang telah dilakukan padaku, terasa begitu dingin nada suara Sawitri.
Begitu diucapkannya, sampai membuat jantung Witangga terasa terhenti berdetak
seketika. Dan wajahnya pun langsung memucat. Dia tahu, arti dari katakata yang
barusan didengarnya. Sebuah kata-kata
yang mengandung arti sangat dalam. Bahkan memancarkan api dendam yang tidak bisa
dipadamkan lagi.
Witangga semakin bergetar tubuhnya.
Pemuda itu memang sudah banyak mendengar tentang wanita yang menghuni Lembah
Maut yang berjuluk si Perawan Lembah Maut Dia tahu, wanita ini senang menangkapi
pemuda-pemuda tampan dan gagah.
Bahkan akan merusak wajah dan membuatnya cacat
seumur hidup, lalu dilepaskan begitu saja. Banyak
pemuda yang pernah tertangkap wanita ini tidak ada
yang kembali dalam keadaan hidup. Kalaupun bisa
sampai menemui desa, dalam waktu dua atau tiga hari
pasti sudah ditemukan tidak bernyawa lagi.
"Kau ingin melihat wajahku, Witangga..." Inilah wajahku yang sebenarnya. Wajah
wanita yang dicampakkan setelah kalian, laki-laki laknat menghancurkan
segala-galanya dari diriku. Ini wajahku, Witangga. Lihat...!"
"Ikhhh...!"
Witangga jadi terpekik, begitu wanita yang berjuluk
si Perawan Lembah Maut ini membuka topeng tengkorak yang selalu dikenakannya.
Hampir tidak dipercaya,
apa yang ada di depannya ini. Wanita yang memiliki
kulit halus dengan bentuk tubuh yang sangat indah
mewah ini, ternyata berwajah begitu mengerikan.
Hampir seluruh kulit wajahnya mengelupas, bagai tersiram air panas. Sebelah
matanya tidak memiliki kelopak sama sekali, hingga terlihat bundar dan merah
bagai bola mainan anak-anak.
Baris-baris giginya yang menghitam terlihat jelas,
karena tidak memiliki bibir. Bahkan tidak memiliki hidung sama sekali. Hanya
lubang besar saja yang terlihat. Witangga jadi bergidik ngeri melihat
pemandangan seperti ini. Bahkan tidak sanggup memandang lebih
lama lagi. "Jangan palingkan wajah, Witangga. Tatap aku...!
Tatap wajahku ini, Witangga. Tatap...!" sentak Sawitri
terdengar kalap.
Dengan perasaan ngeri dan mual pada perutnya,
Witangga mencoba untuk menatap wajah wanita ini.
"Orang-orang sepertimulah yang membuat wajahku
jadi seperti ini, Witangga. Wajahku dulu cantik. Aku
dulu adalah kembangnya Desa Galunggung, sebelah
selatan lembah ini. Namun, kembang itu telah layu setelah beberapa pemuda
memaksaku untuk menyerahkan kehormatanku. Setelah puas, mereka menyiksaku
sambil merusak wajahku. Ketika aku dianggap telah
mati, aku lalu dibuang di lembah ini. Dan ternyata nasib baik masih menyertaiku.
Sebelum tubuhku dicacah
anjing-anjing hutan, aku ditolong oleh seorang perem-
puan tua yang mengaku berjuluk Penguasa Lembah
Maut Dia mengobati dan menyembuhkanku," tutur Perawan Lembah Maut.
Sejenak wanita bertopeng tengkorak itu diam, seperti mengenang saat-saat yang
pedih di hatinya. Kemudian kembali bercerita.
"Begitu telah sembuh, aku dididik dan diajarkan
berbagai macam ilmu olah kanuragan dan kesaktian.
Dan setelah aku bisa menguasai seluruh ilmunya, dia
meninggal dunia dengan tenang. Bahkan dia membebaskan niatku untuk membalas
dendam pada siapa
saja yang telah menyakitiku. Itulah dendamku pada
pemuda-pemuda tampan, Witangga!" dengus Perawan
Lembah Maut. Napas perempuan bertopeng tengkorak itu tampak
memburu. Sepertinya, segala kegeramannya ingin dimuntahkan saat ini juga.
"Dan kini, aku telah menguasai para pengikut Penguasa Lembah Maut Bahkan aku
juga dijuluki, Perawan Lembah Maut Dan kau tahu, Witangga.... Aku sudah
bersumpah, akan membuat semua lelaki gagah
dan sengsara sepertimu sengsara seumur hidup! Dan
aku akan membunuh semua orang yang tidak mau
mematuhi perintahku. Aku tidak peduli, apa itu lakilaki, perempuan, orang tua,
atau anak- anak! Mereka
semua harus mati. Juga kau, Witangga...! Kau harus
mati setelah wajahmu rusak sepertiku, tahu...!"
"Oh, tidak...," desis Witangga jadi bergidik ngeri.
Kini Sawitri sudah mengenakan topeng tengkoraknya kembali. Kemudian, kakinya
melangkah mendekati Witangga yang sudah gemetar ketakutan, dengan
wajah pucat bersimbah keringat. Sementara Sawitri
yang dikenal berjuluk Perawan Lembah Maut ini sudah
semakin dekat saja. Perlahan dicabutnya sebilah pisau
kecil dari balik lipatan ikat pinggangnya.
"Jangan.... Jangan kau lakukan itu, Nini. Jangan...," rintih Witangga, memohon
belas kasihan. "Dulu aku juga berkata begitu, Witangga. Tapi mereka tidak peduli. Dan mereka


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus menyiksaku. Dan
sekarang, aku akan menikmati semua yang mereka lakukan padaku," desis Sawitri,
dingin menggetarkan.
"Tapi itu mereka, Sawitri. Bukan aku...."
"Sama. Semua laki-laki sama! Setelah puas, lalu
mencampakkannya begitu saja seperti sampah!" bentak Sawitri garang.
Perawan Lembah Maut, terus melangkah perlahan
mendekati Witangga. Sementara pemuda itu sudah
berdiri bersandar ke dinding. Tubuhnya semakin hebat
menggeletar, memandangi pisau yang berkilatan di
tangan si Perawan Lembah Maut ini.
"Aku mohon padamu, Sawitri. Jangan.... Jangan
kau lakukan...," rintih Witangga memelas.
"Memohonlah sepuasmu, Witangga. Memohonlah...," desis Sawitri semakin terdengar
dingin suaranya.
Dan si Perawan Lembah Maut itu semakin dekat saja jaraknya. Sementara Witangga
sudah tidak bisa lagi
menggerakkan kakinya. Kedua bola matanya semakin
lebar terbeliak, melihat ujung pisau di tangan wanita
itu sudah demikian dekat dengan wajahnya.
"Nikmatilah wajah barumu, Witangga...," desis Sawitri dingin.
Dan.... "Hih!"
Rrrttt! "Akh...!"
Witangga menjerit tertahan, begitu ujung pisau Sawitri menyayat pipinya. Darah
seketika mengalir dari
kulit wajah yang tersayat cukup dalam dan panjang
ini. Namun Perawan Lembah Maut tidak berhenti sampai di situ saja. Ujung
pisaunya terus digoreskan ke
wajah pemuda ini, walaupun Witangga terus menjeritjerit. Dia berusaha melepaskan
diri dari kekejaman
wanita yang selalu mengenakan topeng tengkorak untuk menutupi keburukan wajahnya
ini. Jeritan-jeritan menyayat pun terus terdengar berulang-ulang. Sementara, Sawitri
semakin menikmati
perbuatannya. Dan sesekali terdengar tawanya yang
mengikik mengerikan. Sementara, dari wajah Witangga
darah semakin banyak keluar. Dan wajah yang tampan
itu, kini terlihat begitu mengerikan. Tersayat, berlumur
darah segar. *** Angin bertiup kencang menyebarkan bau busuk
yang sangat menusuk hidung di sekitar Lembah Maut
ini. Setiap kali matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, bau busuk itu
selalu tersebar di sekitar
lembah ini. Bau busuk dari mayat-mayat yang tidak
pernah terkubur, jumlahnya semakin bertambah saja
setiap hari. Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan Lembah
Maut itu setiap hari semakin senang menyiksa anakanak muda yang ditangkap dari
desa-desa di sekitar
lembah ini. Wanita itu begitu menikmati perbuatannya, menyayat dan merusak wajah
anak- anak muda.
Dan setelah puas, tubuh anak muda itu dicampakkan
begitu saja. Tak ada seorang pun yang bisa mengenalinya lagi, kalau masih bisa
bertahan hidup.
Tapi sampai saat ini, belum ada seorang pun yang
bisa bertahan hidup lebih dari dua hari. Kalau tidak
mati karena kehabisan darah, pasti mati bunuh diri
karena merasa sudah tidak ada gunanya lagi hidup di
dunia ini dengan wajah rusak tersayat. Orang akan jijik melihat wajahnya lagi.
Dan memang, ini yang diinginkan Perawan Lembah Maut yang ingin membalas
dendam atas perbuatan laki-laki padanya. Perbuatan
yang merusak wajahnya, hingga sekarang harus ditutupi dengan selembar topeng
kulit. *** Sementara, Rangga yang sudah beberapa hari berada di Desa Paringgi, semakin
dibuat bingung oleh ulah
si Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Mereka sekarang tidak lagi
mempedulikan harta benda, tapi
menjarah desa hanya untuk menculik anak-anak muda. Dan yang lebih membingungkan
lagi, yang dipilih
adalah yang berwajah tampan saja. Entah sudah berapa banyak pemuda Desa Paringgi
yang diculik. Tapi,
sampai saat ini Rangga belum juga bisa menemukan
letak sarang Perawan Lembah Maut.
Sudah berulang kali Pendekar Rajawali Sakti menjelajahi daerah Lembah Maut, tapi
sama sekali tidak melihat adanya tanda-tanda yang menunjukkan letak sarang
gerombolan aneh itu. Yang ditemukan hanya
mayat-mayat pemuda yang wajahnya sudah rusak.
Dan sebagian mayat sudah mulai membusuk, menyebarkan bau tidak sedap. Seperti
malam ini, Rangga
dan Pandan Wangi sengaja menerobos masuk ke Lembah Muat. Tapi, mereka hanya
mendapat mayat-mayat
yang sudah menyebarkan bau busuk memualkan perut.
"Ayo tinggalkan tempat ini, Kakang. Aku tidak tahan baunya," ajak Pandan Wangi.
Rangga melirik sedikit pada gadis cantik yang di-
kenal berjuluk si Kipas Maut. Bagi Rangga sendiri, bau
busuk yang bagaimanapun menyengatnya, mudah diatasi. Tapi bagi Pandan Wangi....
Rangga tahu, Pandan
Wangi tidak bisa memindahkan pernapasannya ke perut. Sehingga, bau busuk yang
menyebar dari mayatmayat itu tidak bisa ditanggulangi.
"Ayo," Rangga cepat menyetujui.
Kedua pendekar muda itu segera memacu kudanya
meninggalkan Lembah Maut ini. Dan sebentar saja,
mereka sudah sampai di jalan dekat lembah yang
menghubungkan desa-desa dengan Lembah Maut ini.
Di jalan ini juga, mereka menemukan beberapa sosok
tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Dan kebanyakan, sudah mulai membusuk
menyebarkan bau sangat
tidak sedap. Pandan Wangi terus memacu kudanya,
hingga sampai di tempat yang cukup bersih udaranya.
Si Kipas Maut itu menarik nafasnya dalam-dalam,
mengisi rongga dadanya dengan udara bersih sebanyak-banyaknya. Sementara, Rangga
yang sampai belakangan, langsung melompat turun dari punggung
Dewa Bayu tunggangannya. Pandan Wangi bergegas
mengikuti, melompat turun dari punggung kuda putihnya. Gerakannya terlihat
sangat ringan dan indah.
"Phuih...! Lembah ini bisa penuh oleh mayat membusuk, kalau tidak segera
dihentikan, Kakang," ujar
Pandan Wangi seraya menghembuskan napas panjang
dan berat. "Hm."," Rangga hanya menggumam saja sedikit
Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya juga sudah tidak tahan lagi melihat semua
ini. Tapi, memang tidak
mudah untuk bisa menggempur si Perawan Lembah
Maut dan para pengikutnya. Gerakan mereka begitu
cepat, bagai hantu saja. Sulit diduga, kapan munculnya dan bagaimana perginya.
Mereka selalu datang
dan pergi dengan cepat, tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Seakan-akan,
seluruh dataran Lembah
Maut ini bisa menghapus jejak mereka.
*** 6 Malam terus merayap semakin larut. Sementara,
Rangga dan Pandan Wangi masih berada di jalan sekitar Lembah Maut. Terasa begitu
sunyi keadaannya.
Bahkan suara serangga malam pun tidak terdengar
sama sekali. Hanya geraman-geraman anjing hutan saja yang sesekali terdengar,
berpesta mengoyak tubuhtubuh yang banyak bergelimpangan di sekitar hutan
Lembah Maut ini.
"Kakang, aku kembali saja ke Desa Paringgi," kata
Pandan Wangi, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka berdua.
"Kenapa...?" tanya Rangga ingin tahu alasannya.
"Aku tidak tahan," sahut Pandan Wangi terus terang.
Rangga hanya diam saja. Memang Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa memaksa Pandan
Wangi untuk terus ikut menjelajahi Lembah Maut ini, mencari sarang gerombolan si Perawan
Lembah Maut. Keadaan di
sekitar lembah ini memang sangat menggiriskan. Di
mana-mana selalu terlihat mayat bergelimpangan yang
sudah mulai menyebarkan bau busuk tidak sedap.
Memang harus diakui, meskipun Pandan Wangi
seorang pendekar wanita digdaya, tapi juga manusia
biasa. Dan Rangga tidak memungkirinya. Sekuat apa
pun orangnya pasti tidak akan tahan melihat peman-
dangan mengerikan di lembah ini. Lebih-lebih, aroma
yang tersebar pasti bisa membuat orang tidak akan bisa makan tiga hari. Dan
Rangga benar-benar tidak bisa
memaksa Pandan Wangi untuk terus ikut dan bertahan.
"Baiklah, Pandan. Aku tidak bisa memaksamu.
Memang, sebaiknya kau tetap berada di Desa Paringgi," ujar Rangga agak mendesah
suaranya. "Bawa sekalian kudaku, Pandan."
Pandan Wangi hanya mengangguk, kemudian kembali melompat naik ke punggung
kudanya. Diambilnya
tali kekang Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali
Sakti ini. Sebentar dipandanginya Rangga yang masih
tetap berdiri tegak di tengah jalan.
"Pergilah. Keadaan di sini memang tidak mengenakan. Dan kau sendiri, harus
menjaga agar mereka tidak masuk ke Desa Paringgi," ujar Rangga bisa memahami
perasaan si Kipas Maut itu.
"Maafkan aku, Kakang," ucap Pandan Wangi.
Rangga tersenyum, lalu menepuk bahu gadis itu.
Dan sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah melesat
dengan kuda putihnya sambil menuntun Dewa Bayu
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar saja,
bayangan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut
itu sudah lenyap ditelan gelapnya malam. Sementara
Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah
perginya Pandan Wangi.
Dan perlahan kemudian, tubuhnya diputar berbalik. Namun pada saat itu....
"Heh..."!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu
tiba-tiba di depannya kini sudah ada sekitar sepuluh
orang berpakaian longgar serba hitam. Bagian kepala
mereka tertutup kain hitam yang runcing pada bagian
atasnya. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu,
kapan datangnya orang-orang ini. Namun belum juga
hilang rasa terkejutnya, mereka sudah berlompatan
mengepung. Dan...
"Hiyaaat...!"
Salah seorang yang berada tepat di depan Rangga,
langsung melompat sambil mengibaskan pedang ke
arah leher. Begitu cepat serangannya, hingga membuat
Rangga jadi terperangah sesaat. Namun cepat-cepat
Pendekar Rajawali Sakti menarik kepalanya ke belakang. Sehingga, tebasan pedang
orang itu tidak sampai
memenggal lehernya.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat mundur dua langkah,
begitu dari arah depan agak ke kiri, datang lagi serangan yang cepat luar biasa
dengan babatan cepat bagai
kilat ke arah dada.
"Haiiit...!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan
pedang ini. Dan begitu
pedang yang menyerang dadanya lewat, dengan kecepatan sukar diikuti pandangan
mata biasa, dilepaskannya satu tendangan menggeledek, sambil memutar tubuhnya
sedikit ke kanan.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat tendangan Pendekar Rajawali Sakti itu,
sehingga orang yang menyerangnya kini tidak sempat
lagi menghindar. Maka tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tingkat tinggi itu tepat
menghantam dada.
Desss! "Akh...!"
Sambil memekik keras agak tertahan, orang berjubah hitam itu terpental jauh ke
belakang. Dan nya-
wanya seketika melayang, begitu tubuhnya menghantam tanah. Tampak dari mulutnya
mengalir darah segar agak kental.
Sementara, saat itu Rangga sudah kembali memutar tubuhnya, sambil melepaskan
satu pukulan keras
dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Sehingga, kedua
kepalan Pendekar Rajawali
Sakti jadi memerah bagai terbakar!
"Hiyaaat...!"
Rupanya, tidak ingin tanggung-tanggung lagi menghadapi orang-orang dari Lembah
Maut ini. Tiga kali
pukulan dahsyatnya dilepaskan dari jurus 'Pukulan
Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Dan seketika itu
juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan
menyayat. Tampak tiga orang lawannya terjerembab
dengan kepala pecah terhantam pukulan dahsyatnya!
"Hih! Yeaaah...!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting
tinggi-tinggi ke udara. Dan seketika itu juga, tubuhnya
menukik deras dengan kedua kaki berputar dengan
kecepatan luar biasa. Begitu cepat serangannya, sehingga dua orang itu tak dapat
lagi berkelit menghindar. Dan seketika itu juga, kembali terdengar jeritan
melengking tinggi, disusul ambruknya dua orang berjubah hitam itu. Tampak dari
kepala mereka yang remuk, mengalir darah segar.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejak tanah kembali, setelah dalam beberapa gebrakan saja
sudah merobohkan
enam orang lawan. Dan kini, yang tersisa tinggal empat orang lagi. Tampaknya,
keempat orang berjubah
hitam itu sudah gentar menghadapi kedahsyatan dari
jurus-jurus milik Pendekar Rajawali Sakti.
"Jangan takut! Seraaang...!"
Tiba-tiba salah seorang berteriak lantang menggelegar memberi semangat. Dan
seketika itu juga, keempat
orang yang tersisa ini serentak langsung berlompatan
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya
meliuk-liukkan tubuh yang begitu lentur, semua serangan itu mudah sekali dapat
dihindarinya. "Hih! Yeaaah...!"
Dan begitu mendapat kesempatan, Rangga langsung melepaskan satu pukulan keras,
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke dada salah seorang lawan. Begitu


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat serangannya, sehingga orang berjubah hitam tidak dapat lagi
menghindarinya. Dan....
Digkh! "Akh...!"
"Hup! Hiyaaat...!"
*** Rangga tidak lagi menunggu sampai orang itu ambruk ke tanah. Tubuhnya langsung
melesat, sambil
berteriak keras menggelegar. Dan saat itu juga dua
pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'
yang sangat luar biasa dilepaskan secara beruntun.
Akibatnya, dua orang lawan terlempar ke belakang seketika, sambil mengeluarkan
jerit melengking.
"Hap!"
Pendekar Rajawali Sakti cepat menjejakkan kakinya
kembali di tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di
depan lawan yang kini tinggal seorang saja. Orang berjubah hitam itu tampak
kelabakan, begitu menyadari
hanya tinggal sendiri. Sedangkan yang lain sudah
menggeletak, tidak mungkin bangun lagi.
"Tinggal kau sendiri, Kisanak...," ujar Rangga dingin. "Aku akan memberi
pilihan. Kalau kau mau tetap
hidup, tunjukkan tempat si Perawan Lembah Maut
bersembunyi. Tapi kalau mau mati seperti yang lain,
silakan serang aku."
Orang berjubah hitam itu hanya diam saja, namun
tetap melintangkan pedangnya di depan dada. Dari balik kerudung hitamnya,
terpancar sorot mata yang
sangat tajam. Tapi sinar mata itu tampak memancarkan kegentaran. Dan tampaknya,
tawaran yang diajukan Pendekar Rajawali Sakti barusan tengah dipikirkannya
"Aku janji, Kisanak. Aku tidak melakukan apa-apa
padamu, kalau kau bersedia menunjukkan tempat
persembunyian Perawan Lembah Maut. Dan kau boleh
pergi ke mana saja kau suka," bujuk Rangga.
Namun orang berjubah hitam itu masih tetap diam
membisu. "Pikirkanlah, Kisanak. Keputusan yang akan kau
ambil, menyangkut keselamatan nyawamu," kata
Rangga lagi, terus mendesak dengan nada lembut
Beberapa saat orang berjubah hitam itu masih tetap
diam membisu. Kemudian, kakinya bergeser ke kanan
selangkah, lalu ditarik ke belakang dua langkah. Sementara, Rangga masih tetap
berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Namun, sorot matanya
terlihat begitu tajam, memperhatikan setiap gerak orang berjubah hitam di
depannya. "Siapa kau, Anak Muda?" tanya orang berjubah hitam itu memecah kebisuannya.
"Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Kepandaianmu sangat mengagumkan, Anak Muda.
Kau pasti seorang pendekar. Apa julukanmu...?"
Rangga tidak langsung menjawab. Memang, dia selalu mengalami kesulitan bila
harus menjawab pertanyaan seperti itu. Bukannya tidak mau, tapi entah kenapa
Rangga tidak pernah mau mengatakan dari mu-
lutnya sendiri tentang julukannya.
"Apa itu perlu untukmu, Kisanak?" Rangga malah
balik bertanya.
"Hanya untuk meyakinkan diriku saja, Anak Muda,"
sahut orang berjubah hitam itu.
Dan dari suaranya yang terdengar besar, jelas sekali
kalau orang itu laki-laki. Tapi, Rangga sulit mengetahui usianya dengan pasti,
karena wajahnya tertutup
kain kerudung hitam yang menyelubungi seluruh kepalanya. Tapi jelas dapat
dilihat dari jari-jari tangannya, kalau kulit orang ini pasti agak legam. Dan
usianya, mungkin sudah mencapai lima puluh tahun.
"Untuk apa...?" tanya Rangga lagi, ingin tahu.
"Kau terlalu banyak bertanya, Anak Muda," dengus
orang itu berat.
"Maaf, aku tidak biasa menyebutkan julukanku...,"
Rangga tidak menyelesaikan ucapannya.
"Anak muda! Kaukah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?" tebak orang berjubah
hitam itu, langsung.
Dan saat itu juga Rangga jadi tertegun kaget. Sungguh tidak disangka kalau orang
berjubah ini bisa menebak tepat sekali. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti cepat-
cepat menghilangkan keterkejutannya dan langsung bersikap biasa lagi.
"Anak muda! Kalau kau memang benar Pendekar
Rajawali Sakti, memang selama ini yang kucari. Dan
itu bukan karena perintah Nini Sawitri, tapi memang
keinginanku sendiri. Tapi kalau kau bukan Pendekar
Rajawali Sakti, sekarang juga aku akan mengadu jiwa
denganmu," tegas orang berjubah hitam ini.
Dan untuk kedua kalinya, Rangga jadi tersedak
hingga tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Sementara orang berjubah hitam
itu sudah memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Sedangkan
Rangga masih tetap berdiri tegak, dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Dipandanginya orang berjubah hitam ini dengan sinar mata dipenuhi berbagai
macam pertanyaan dan keheranan.
"Ya.... Aku memang Pendekar Rajawali Sakti," ujar
Rangga akhirnya mengakui juga.
Walaupun nada suara Pendekar Rajawali Sakti terdengar agak berat saat
menyebutkan julukannya, tapi
sedikit pun tidak tergambar nada kesombongan.
"Orang bisa saja mengaku-aku, Anak Muda. Tapi,
aku sulit untuk dibodohi. Aku tahu betul, apa yang
ada pada diri Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku bisa
mengetahui pasti," tegas orang berjubah hitam itu masih tetap tegas terdengar
suaranya. "Apa yang bisa meyakinkan dirimu?" tanya Rangga
bernada mulai jengkel.
"Pedangmu...," sahut orang berjubah hitam ini.
"Eh..."!"
Rangga tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya kali ini.
"Di jagat ini, tidak ada yang mempunyai pedang seperti pedang yang dimiliki
Pendekar Rajawali Sakti.
Dari pedang itu, orang akan jelas mengetahuinya, kalau yang memegangnya pasti
Pendekar Rajawali Sakti.
Nah, Anak Muda.... Tunjukkan pedang yang kau sandang itu. Biar aku lebih yakin,
kalau kau memang
Pendekar Rajawali Sakti."
"Kalau aku tidak mau...?" Rangga memberi pilihan
lagi. "Kita akan bertarung sampai salah seorang dari kita
ada yang mati," sahut orang berjubah hitam ini.
*** Memang sulit pilihan yang dihadapi Rangga kali ini.
Sedangkan dia tidak ingin orang itu tewas di tangannya. Pendekar Rajawali Sakti
berharap, orang itu masih tetap hidup dan bisa menjadi penunjuk jalan ke sarang
gerombolan si Perawan Lembah Maut. Bagaimanapun juga, orang ini harus
diperintahkan agar tetap
hidup. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak punya
pilihan lain lagi. dengan perasaan enggan, dipegangnya
juga gagang pedangnya yang selalu berada di punggung. Perlahan-lahan Pedang
Pusaka Rajawali Sakti ditarik keluar dari warangka. Dan tercabut sejengkal saja,
sudah memancar cahaya biru yang terang berkilauan yang menyilaukan mata dari
mata pedang itu.
Dan cahaya biru yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti itu, membuat
orang berjubah hitam
ini jadi terperangah diam membisu. Sementara, Rangga menahan pedang pusakanya
untuk tidak tercabut
penuh. "Cukup...!" sentak orang berjubah hitam itu tibatiba.
Cring! Rangga langsung memasukkan kembali pedang pusaka itu ke dalam warangka di
punggung. Maka cahaya biru yang sempat menerangi tempat ini, langsung
lenyap seketika. Sementara, orang berjubah hitam ini
masih tetap berdiri, diam tidak bergeming sedikit pun.
Dan dari balik kerudung kain hitamnya, dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti
dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Sementara, yang dipandangi hanya
diam saja. "Aku Ki Mutung, Pendekar Rajawali Sakti...," ujar
orang berjubah hitam itu memperkenalkan diri.
Lalu, orang yang mengaku bernama Ki Mutung
membuka kain hitam yang menutupi seluruh kepalanya. Dan kini terlihat jelas raut
wajah seorang lakilaki berusia lebih dari enam puluh tahun. Tapi, tubuhnya masih
tetap kelihatan gagah. Dan rambutnya
juga sudah kelihatan berwarna dua. Rangga sempat
memandanginya sesaat.
"Aku berasal dari sebuah desa yang sangat jauh dari sini. Sejak dulu, aku
sebenarnya tidak pernah berbuat jahat sedikit pun juga pada orang lain. Aku
bergabung dengan Sawitri, karena putus asa," Ki Mutung
menceritakan dirinya tanpa diminta.
"Apa yang membuatmu putus asa, Ki?" tanya Rangga ingin tahu.
"Dulu, aku pemilik sebuah padepokan. Mungkin karena sebuah fitnah, orang-orang
persilatan dari golongan putih menyerang padepokanku dan menghancurkannya.
Hampir semua muridku tewas. Dan aku sendiri menderita luka sangat parah. Tapi,
Nini Sawitri menyelamatkan nyawaku dan meminta aku bergabung
dengannya. Aku menyanggupinya, asal dia bisa membalaskan sakit hatiku pada
mereka yang sudah menghancurkan padepokanku. Dan Nini Sawitri lalu menyanggupi.
Maka dalam waktu tidak berapa lama saja,
semua orang yang menghancurkan padepokanku sudah dibereskannya. Sejak saat itu,
aku bergabung dengannya. Kau tahu, Anak Muda. Aku jadi begitu
dendam pada orang-orang persilatan. Ketangguhan Nini Sawitri kumanfaatkan untuk
melampiaskan dendamku. Tapi melihat sepak terjang Nini Sawitri semakin liar
saja, timbul pertentangan di dalam batinku.
Hingga sekarang, aku terus merasa tersiksa. Dan...,"
Ki Mutung tidak meneruskan.
"Kau menyesal, Ki...?"
"Yeaaah..., aku menyesal. Aku menyesal telah ber-
gabung dengan manusia berhati iblis seperti Nini Sawitri. Dan aku selalu mencari
kesempatan untuk bisa
membebaskan diri. Tapi kesempatan itu tidak pernah
ada. Nini Sawitri selalu membunuh siapa saja yang
bermaksud lari darinya. Bahkan siapa saja yang gagal
menjalankan perintahnya langsung dibunuh, kalau tidak mau membunuh diri
sendiri." "Hmmm...."
Rangga menggumam kecil, dan langsung jadi teringat peristiwa beberapa waktu yang
lalu. Pendekar Rajawali Sakti memang melihat orang-orang yang sempat
bertarung dengannya membunuh dirinya sendiri, karena dianggap telah gagal.
"Anak muda...."
"Rangga," selak Rangga cepat. "Panggil saja aku
Rangga, Ki."
Ki Mutung tersenyum.
"Apa yang akan kau lakukan kalau bisa bertemu
Nini Sawitri?" tanya Ki Mutung ingin tahu.
"Jelas aku akan menghentikan semua perbuatannya, Ki. Kalau masih bisa
disadarkan, mungkin aku
akan memberinya kelonggaran. Tapi kalau keras kepala, entahlah...," sahut Rangga
mendesah panjang.
"Dia tidak akan bisa disadarkan, Rangga. Hatinya
sudah tertutup iblis," tegas Ki Mutung.
Rangga hanya tersenyum saja. Entah, apa arti senyumnya ini.
"Rangga, aku akan mengantarkanmu menemui Nini
Sawitri. Tapi, kau harus membunuhnya. Kalau tidak,
dia akan membunuh kita berdua. Terutama, aku. Karena, aku sudah gagal
melaksanakan perintahnya,"
sambung Ki Mutung.
"Apa yang diperintahkannya padamu, Ki?" tanya
Rangga. "Mengambil beberapa anak muda dari Desa Paring-
gi. *** 7 Malam ini juga, Rangga dan Ki Mutung berangkat
ke Lembah Maut, tempat tinggal Nini Sawitri yang dikenal berjuluk si Perawan
Lembah Maut dan para pengikutnya. Mereka masuk ke dalam hutan lebat dan tidak
pernah diinjak orang kecuali pengikutpengikutnya si Perawan Lembah Maut. Walaupun Ki
Mutung sudah bercerita banyak, tapi Rangga masih
saja bersikap hati-hati. Sebagai pendekar yang berwawasan luas, Pendekar
Rajawali Sakti belum percaya
penuh pada laki-laki setengah baya ini. Bisa saja hal
seperti ini hanya sebuah jebakan saja. Dan itu yang
menjadi pikiran Rangga saat ini.
Rangga merasakan sudah cukup jauh berjalan menembus lebatnya hutan di Lembah
Maut ini, tapi belum juga terlihat ada tanda-tanda letak sarang persembunyian si
Perawan Lembah Maut dan para pengikutnya. Langkahnya segera dipercepat, menyusul
Ki Mutung yang berjalan lebih dahulu di depan. Dan
ayunan langkahnya disejajarkan di samping laki-laki
berusia setengah baya yang mengenakan baju jubah
panjang warna hitam pekat ini.
"Masih jauh tempatnya?" tanya Rangga bernada
mulai curiga. "Tidak. Sebentar lagi sampai. Sebaiknya, kau jangan banyak bicara. Nini Sawitri
bisa mendengar dari
jarak jauh," sahut Ki Mutung.
"Hm... Kebetulan sekali kalau begitu. Aku memang
ingin langsung bertemu dengannya," ujar Rangga ka-
lem. "Iya. Tapi kalau dia yang tahu lebih dulu, kita berdua akan celaka. Percayalah
padaku, Rangga. Kalau
dia tidak mati, aku yang pasti mati. Dan kau juga...."
"Berapa orang pengikutnya?" tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.
"Sekitar seratus orang."
"Banyak juga...."
"Itu yang ada di lembah ini. Belum yang tersebar di
setiap desa di sekitar Lembah Maut ini. Mungkin jumlah seluruhnya ada sekitar
lima ratus orang. Nini Sawitri juga menyebar orang-orangnya sampai ke kota-kota
kadipaten dan kotaraja. Pengikutnya sangat banyak.
Dan kalau sudah menyebar, sulit dikenali lagi. Mereka
berbaur dengan orang- orang biasa. Tapi kalau ingin
mendapatkan mangsa, mereka bisa menjadi ganas.
Bahkan lebih ganas dari serigala kelaparan."
"Apa saja tugas mereka?"
"Selain merampok, juga membuat cacat anak- anak
muda. Terutama, yang berwajah tampan. Hmmm....


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau juga sangat tampan, Pendekar Rajawali Sakti. Hati-hatilah padanya. Dia bisa
sangat liar dan kejam kalau melihat anak muda berwajah tampan. Kalau tidak
bisa dibuat cacat wajahnya, akan langsung dibunuh
secara kejam."
"Hm.... Tampaknya dia sangat dendam. Kau tahu,
apa sebabnya?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
"Dia memang dendam pada anak-anak muda tampan dan gagah. Tapi kami semua
pengikutnya tidak
ada yang tahu alasannya, kenapa dia begitu dendam
pada anak-anak muda tampan," sahut Ki Mutung
menjelaskan lagi.
Dan Rangga tidak bertanya-tanya lagi, dan terus
berjalan di sebelah kiri laki-laki setengah baya yang
ingin keluar dari gerombolan liar si Perawan Lembah
Maut itu. Sementara hutan yang dilalui sekarang sudah terasa mulai tidak rapat
lagi. Dan cahaya bulan
pun mulai menerangi sekitarnya, hingga mereka bisa
melihat jauh ke depan.
Saat itu Ki Mutung menghentikan ayunan langkahnya. Rangga juga jadi ikut
berhenti berjalan. Hatinya
agak heran juga melihat Ki Mutung memandang lurus
ke depan, dengan kelopak mata tidak berkedip sedikit
pun. Rangga mengarahkan pandangannya lurus ke
depan, searah dengan pandangan mata laki-laki setengah baya itu. Tapi, Pendekar
Rajawali Sakti tidak melihat apa pun di depan sana, kecuali sebuah padang
rumput kecil dan lebatnya pepohonan saja yang terlihat di sana.
"Ada apa, Ki?" tanya Rangga tanpa berpaling sedikit
pun juga. "Di seberang padang rumput itu, tempat Nini Sawitri tinggal. Di sebuah puri
tua," sahut Ki Mutung
memberi tahu. "Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
"Kalau kau menyeberangi padang rumput ini, mereka akan cepat mengetahuimu,
Rangga. Sedangkan untuk menuju ke sana, hanya melalui padang rumput ini
saja," jelas Ki Mutung.
"Hm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam perlahan.
"Di seberang padang rumput ini, Nini Sawitri menyebar orang-orangnya. Mereka
sulit dilihat, karena
selalu bersembunyi dengan rapi. Kau tidak akan bisa
menyangka kemunculannya, Rangga," sambung Ki
Mutung. "Kau tahu tempat-tempat persembunyian mereka
yang pasti?" tanya Rangga.
"Sulit," sahut Ki Mutung seraya menggeleng.
"Sulit..." Apa maksudmu, Ki?"
"Nini Sawitri selalu memindah-mindahkan mereka
tanpa ada seorang pun yang tahu. Hanya dia saja yang
tahu persis, di mana orang-orangnya di tempatkan."
"Hebat.... Pertahanan yang sangat hebat dan mengagumkan," puji Rangga tulus.
"Memang dia sangat ahli dalam mengatur siasat
bertempur dan pertahanan, Rangga. Itu sebabnya,
sampai sekarang tidak ada yang bisa mengalahkannya.
Bahkan pernah beberapa kelompok perguruan silat
menyerbu ke sini, tapi semuanya mati sebelum bisa
mencapai puri. Dan prajurit kerajaan juga pernah
mencoba, tapi tidak ada yang berhasil. Hingga pihak
kerajaan sampai saat ini seperti tidak mau tahu."
"Hm...," kembali Rangga jadi bergumam.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat cerita Kepala
Desa Paringgi yang mengatakan kalau pihak kerajaan
tidak tahu apa-apa tentang gerombolan liar si Perawan
Lembah Maut ini.
"Ki! Aku selama ini tinggal di Desa Paringgi. Dan
kepala desa itu mengatakan kalau pihak kerajaan tidak tahu apa-apa masalah ini,"
kata Rangga mencoba
mengorek keterangan.
"Sudah tentu dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya, Rangga. Karena kepala
desa itu masih ada
ikatan keluarga dengan pihak keluarga istana. Dan
tentu saja dia tidak mau mencoreng nama keluarganya
sendiri." Rangga mengangguk-angguk. Memang bisa diterima
alasan itu. Dan dia juga tidak mau mempersoalkan lagi. Perhatiannya kembali ke
depan, ke seberang padang rumput yang tidak begitu besar ini. Dan tampaknya,
padang rumput ini memang sengaja dibuat Ini bi-
sa dilihat dari banyaknya bekas tebangan kayu yang
tersebar hampir di seluruh padang rumput ini.
"Kau di sini saja, Ki...?" ujar Rangga tanpa berpaling
sedikit pun juga.
"Aku kira, kau sebaiknya jangan ke sana sendiri,
Rangga. Terlalu berbahaya bagi dirimu sendiri," kata Ki
Mutung, langsung bisa mengerti pertanyaan Pendekar
Rajawali Sakti tadi.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Baiklah, Rangga. Aku tidak bisa mendesak dan
mencegahmu. Kalau kau ingin ke sana, biar aku di sini
saja. Aku akan cegat kalau-kalau ada yang mau kabur
dan menyerang ke sini," kata Ki Mutung lagi.
"Baiklah kalau begitu. Kau siap-siap saja di sini
dengan bagianmu, Ki," kata Rangga terus tersenyum.
Ki Mutung hanya sedikit mengangguk saja. Sementara Rangga sudah mulai melangkah
memasuki padang rumput yang tidak begitu luas ini. Ayunan kakinya terasa begitu
ringan. Bahkan sedikit pun tidak
terlihat gerakan pada daun-daun rerumputan yang terinjak kakinya. Seakan-akan,
Pendekar Rajawali Sakti
berjalan di atas pucuk-pucuk daun rerumputan. Begitu sempurna ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga
membuat Ki Mutung yang melihatnya jadi berdecak
kagum. *** Tanpa mendapat halangan sedikit pun juga, Rangga
sampai di seberang padang rumput ini. Tapi baru saja
melewati satu pohon yang sangat besar, tiba-tiba saja
dari balik kerimbunan daun pohon itu melesat turun
dua buah sosok tubuh berpakaian serba hitam.
"Haiiit...!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, begitu
dua orang berpakaian serba hitam itu langsung menyerangnya dengan pedang
terhunus. Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung
melenting ke udara sambil berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat..!"
Dengan kecepatan bagai kilat pula, pemuda berbaju
rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti menghentakkan kedua kakinya hingga merentang ke samping, tepat mengarah ke
kepala dua orang
berbaju jubah hitam yang menyerangnya tanpa basabasi lagi.
Begitu cepat sekali serangan Pendekar Rajawali
Sakti, sehingga dua orang berjubah hitam itu tidak
sempat lagi berkelit menghindar. Maka tendangan itu
tepat menghantam kepala mereka.
Desss! Prak! "Akh...!"
"Aaa...!"
Dua kali jeritan panjang melengking seketika terdengar menyayat. Sementara,
Rangga sudah memutar
tubuhnya di udara dengan gerakan indah sekali. Dan
begitu kakinya menjejak tanah, dua orang berbaju serba hitam itu ambruk
menggelegar ke tanah dengan kepala pecah berlumur darah. Hanya sebentar saja
mereka sempat menggeliat dan mengerang, kemudian
mengejang kaku. Mati.
"Hhh!"
Rangga menghembuskan napas berat. Wajahnya
berpaling sedikit ke seberang padang rumput, tapi Ki
Mutung tidak terlihat lagi di sana. Rangga tahu, lakilaki setengah baya itu
sudah menyembunyikan diri di
balik pepohonan.
Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan
sekitarnya. Kemudian kakinya melangkah perlahan memasuki hutan yang kelihatannya
tidak begitu lebat ini. Tapi, pepohonan yang
tumbuh memang sangat besar-besar dan berdaun
rimbun. Hingga, cahaya bulan sulit menerobos sampai
ke permukaan tanah. Rangga terus melangkah dengan
pendengaran dipasang tajam. Sedangkan kedua bola
matanya juga tidak berkedip, memancar sangat tajam
mengamati keadaan sekitarnya.
"Berhenti...!"
"Hm...."
Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya,
begitu tiba-tiba terdengar bentakan yang cukup keras
mengejutkan. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak kelihatan terkejut, karena
memang sudah diperingati Ki
Mutung. Tak heran kalau segala rintangan yang akan
dihadapinya sudah dipersiapkan sejak tadi. Dan begitu
terdengar desiran angin yang sangat halus dari belakang, Pendekar Rajawali Sakti
cepat membanting tubuhnya ke belakang. Dan secepat itu pula kaki kirinya
dihentakkan ke atas.
"Yeaaah...!"
Wusss! Diegkh...! Tepat di saat terlihatnya bayangan hitam berkelebat
di atas tubuhnya, tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali Sakti yang ke atas
menghantam dengan telak.
Hingga, terdengar suara benturan yang cukup keras
disertai keluhan pendek. Tampak sesosok tubuh berjubah hitam jatuh bergulingan,
tidak jauh di samping
tubuh Rangga yang menelentang ke atas.
"Hup!"
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat
bangkit berdiri. Dan begitu kakinya menjejak tanah,
terlihat seseorang berjubah hitam sudah menggeletak
di tanah dengan dada remuk akibat terkena tendangan
dahsyatnya. "Hm...."
Hanya sedikit saja Rangga menggumam, kemudian
sudah melangkah lagi dengan ayunan kaki ringan dan
perlahan. Mata dan telinganya tetap dipasang tajam.
Dia tahu, di sekitar hutan Lembah Maut ini banyak
orang bersembunyi, yang pasti sudah diperintahkan
untuk membunuh siapa saja yang mencoba memasukinya.
*** Berbagai macam rintangan dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah. Dan
memang mereka yang
mencoba menghadang, memang bukanlah tandingan
pemuda berbaju rompi putih ini. Tak heran bila menghadapi rintangan dari mereka
yang tingkat kepandaiannya masih rendah, bukanlah halangan yang berarti bagi
Pendekar Rajawali Sakti.
Kini, mudah sekali Rangga bisa menemukan sebuah
bangunan puri yang sudah tua dan kelihatan tidak terurus lagi ini. Dia tahu,
puri itulah yang menjadi tempat tinggal si Perawan Lembah Maut. Tapi keadaan
sekitarnya begitu sunyi, seperti tidak pernah ada yang
datang ke tempat ini. Tanaman- tanaman rambat
hampir memenuhi seluruh dinding puri yang terbuat
dari batu. Bahkan lumut pun terlihat sangat tebal,
menutupi seluruh batu-batu dinding puri ini.
"Hm.... Apa mungkin ini tempatnya...?" gumam
Rangga jadi ragu-ragu sendiri melihat keadaan puri
yang sudah hampir rusak dan tidak terawat ini.
Namun, keraguan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak
berlangsung lama. Belum juga bisa berpikir lebih jauh
lagi, tiba-tiba saja dari bagian atas puncak puri melesat sebuah bayangan hitam
dengan kecepatan luar biasa. Seketika, Pendekar Rajawali Sakti jadi terperangah
sesaat. Wusss! "Upts!"
Hampir saja bayangan hitam itu menghantam kepalanya, kalau saja Rangga tidak
segera merunduk. Dan
belum juga kepalanya bisa ditegakkan lagi, dari arah
belakang sudah melesat satu bayangan hitam lagi dengan kecepatan bagai kilat.
"Hap...!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Sehingga,
bayangan hitam itu lewat di bawah telapak kakinya. Saat itu juga, dari arah
lain muncul bayangan hitam lagi yang langsung meluruk menyerang Pendekar
Rajawali Sakti.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kali ini, Rangga tidak punya kesempatan lagi untuk
berkelit menghindari. Terlebih lagi, sekarang ini sedang
berada di udara. Dan dengan pengerahan tenaga dalam penuh, Pendekar Rajawali
Sakti langsung mengibaskan tangan kanan disertai jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega', tepat pada saat bayangan hitam dekat dengannya. Hingga....
Plak! "Akh...!"
"Hap!"
Bersamaan dengan terdengarnya pekikan tertahan,
Rangga cepat-cepat menjejakkan kakinya kembali ke
tanah. Dan saat itu juga, terlihat seorang berjubah hitam bergulingan di tanah
sambil menggeram. Tampak
darah merembes keluar dari baju hitam yang dikena-
kannya. Dan saat itu juga, orang berjubah hitam ini
langsung menggeletak tidak bisa bergerak-gerak lagi.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
"Hm" Rangga hanya menggumam sedikit saja, saat melihat di sekelilingnya sudah
bermunculan orang-orang
berjubah hitam berlompatan ke arahnya. Dan sebentar
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah terkepung tidak
kurang dari seratus orang berjubah hitam, yang seluruh kepalanya berselubung
kain hitam. Mereka semua
menggenggam senjata pedang di tangan kanan. Begitu
rapat, hingga tidak ada celah sedikit pun untuk bisa
meloloskan diri.
Saat itu, Rangga cepat menyadari kalau tidak
mungkin bisa menghadapi orang sebanyak ini bila
hanya mengandalkan jurus-jurus biasa saja. Meskipun
jurus-jurus yang dimiliki termasuk dalam golongan
tingkat tinggi, tapi menghadapi orang yang berjumlah
sekitar seratus ini tidak ada seorang pun yang akan
sanggup. Sementara orang-orang berjubah hitam ini, tidak


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa dianggap sembarangan. Tingkat kepandaian mereka cukup lumayan. Namun tetap
saja Rangga tidak
akan mampu menghadapi keroyokan orang sedemikian
banyaknya. Maka Pendekar Rajawali Sakti harus
menggunakan ilmu kesaktian dalam menghadapi kepungan orang yang berjumlah
sekitar seratus ini.
Rangga memutar tubuhnya perlahan dengan kaki
menggeser, tetap menjejak tanah. Sorot matanya terlihat begitu tajam merayapi
orang-orang berjubah hitam
yang sudah mengepung rapat dengan senjata terhunus. Dan perlahan-lahan, kedua
telapak tangannya
mulai dirapatkan di depan dada, sambil terus bergerak
perlahan memutar. Mereka juga bergerak perlahan,
mengikuti arah gerakan Pendekar Rajawali Sakti.
"Seraaang...!"
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Begitu terdengar teriakan memerintah yang sangat
lantang, orang-orang berjubah hitam ini langsung saja
berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari
segala arah. Pedang-pedang mereka berkelebatan begitu cepat, hingga sulit
diikuti pandangan.
Namun tanpa diduga sama sekali, saat itu juga
Rangga yang sudah merapatkan kedua tangan di depan dada, memutar tubuhnya dengan
kecepatan bagai
kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan secepat
kilat pula kedua tangannya dihentakkan hingga merentang ke samping.
"Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"
Bersamaan terdengarnya teriakan lantang menggelegar Pendekar Rajawali Sakti,
tiba-tiba saja bertiup
angin badai topan yang datang dari kedua tangannya
yang terentang lebar. Dan seketika itu juga, orangorang berjubah hitam itu
berpentalan ke belakang, tidak mampu menahan hempasan angin badai yang
sangat dahsyat ini!
Werrr! "Aaa...!"
"Akh!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan menyayat, seketika itu juga
terdengar saling sambut Begitu dahsyatnya aji kesaktian yang dikerahkan Pendekar
Rajawali Sakti, hingga bukan hanya orang-orang berjubah hitam ini saja yang
berpelantingan terhempas.
Tapi pepohonan di sekitarnya juga bertumbangan, tercabut sampai ke akar-akar nya
disapu angin dari aji
'Bayu Bajra'. Bahkan bebatuan pun berhamburan bagai segumpal kapas. Tampak
bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu itu jadi bergetar bagaikan
diguncang gempa. Bahkan bagian atasnya mulai berguguran, tidak mampu menahan
gempuran aji kesaktian Pendekar Rajawali Sakti yang sangat dahsyat ini.
"Hap!"
Rangga segera mengatupkan kedua telapak tangannya ke depan dada. Maka seketika
badai yang diciptakannya terhenti. Tampak sekitarnya sudah hancur porak-poranda
bagai baru saja dilanda kawanan banteng
liar yang mengamuk. Tubuh- tubuh berjubah hitam
tampak bergelimpangan tak bernyawa lagi. Bahkan
ada yang tertindih pohon dan batu. Atau, tubuhnya
menembus potongan kayu pohon! Tidak ada seorang
pun yang kelihatan masih bisa bernapas. Rangga
menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat, memandangi keadaan
sekitarnya. Memang, aji 'Bayu Bajra' yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti bukan saja bisa
menumbangkan puluhan
atau mungkin ratusan orang dalam waktu singkat saja. Tapi, alam sekitarnya juga
ikut terkena akibatnya.
Dan setiap kali Rangga selesai menggunakannya, selalu terselip rasa penyesalan
melihat keadaan sekelilingnya jadi hancur berantak- an seperti ini.
"Maaf. Aku terpaksa menggunakannya," ujar Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah mendekati bangunan puri tua ini. Namun
baru saja berjalan beberapa langkah....
Swing! "Heh..."!
Hup!" *** 8 Sesaat Rangga terkesiap ketika tiba-tiba saja dari
arah pintu puri yang mendadak terbuka, meluncur ratusan anak panah yang
menghambur ke arahnya. Cepat-cepat tubuhnya diputar ke belakang. Dan pedangnya
langsung dicabut dengan cepat. Lalu secepat itu
pula pedangnya diputar untuk melindungi diri dari hujaman panah-panah yang
meluruk bagai kilat ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
Werrr! Begitu cepat putaran Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti, sehingga yang
terlihat hanya gelombang
cahaya biru saja dalam menangkis serangan anak panah yang keluar dari dalam puri
tua itu. Dan sekelilingnya yang terselimut gelap ini, langsung menjadi terang
benderang oleh pancaran cahaya biru yang menyemburat menggelombang dari Pedang
Pusaka Rajawali Sakti.
"Hap!"
Rangga menghentikan gerakan pedangnya, begitu
terasa tidak ada lagi serangan panah yang mengarah
kepadanya. Pedang pusaka yang memancarkan cahaya
biru terang menyilaukan ini disilangkan di depan dada,
membuat sekelilingnya jadi bagaikan siang hari.
"Nini Sawitri, keluar kau...! Aku Pendekar Rajawali
Sakti akan menantangmu bertarung!" tantang sekali
teriakan Rangga.
Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu
menggema ke seluruh Lembah Maut ini, memantul dari pepohonan dan batu-batuan
yang banyak tersebar di
seluruh lembah. Namun, tidak ada sahutan sama se-
kali. Suasana pun jadi terasa lengang, begitu gema teriakan Pendekar Rajawali
Sakti menghilang dari pendengaran. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak di
depan bangunan puri tua ini. Perlahan pedangnya diangkat, dan dimasukkan kembali
ke dalam warangka
di punggung. "Nini Sawitri...!" teriak Rangga memanggil lagi.
Masih juga belum ada jawaban. Pendekar Rajawali
Sakti segera melangkah beberapa tindak ke depan.
Pandangan matanya tertuju lurus ke pintu yang kini
terbuka lebar. Tampak keadaannya gelap pada bagian
dalam puri itu. Dan sedikit pun tidak ada tanda-tanda
kehidupan di dalamnya. Begitu sunyi dan lengang,
hingga desir angin yang sangat halus pun dapat terdengar jelas.
"Baiklah, Nini Sawitri. Kalau kau tidak mau keluar,
aku akan menghancurkan puri ini!" teriak Rangga lagi,
masih dengan suara keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Pendekar Rajawali Sakti langsung bersiap mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat
terakhir, hingga kedua kepalan tangannya terlihat
memerah bagai besi terbakar dalam tungku.
Kini, kedua kepalan tangannya sudah sejajar , di
pinggang. Rangga terus menatap ke arah pintu dengan
sinar mata tajam. Namun, belum ada tanda-, tanda si
Perawan Lembah Maut menjawab tantangannya. Dan
itu membuat Rangga tidak dapat lagi menahan diri.
"Aku sudah memperingatkanmu, Nini Sawitri...!"
ujar Rangga lantang menggelegar.
Belum juga ada tanggapan.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua
tangannya ke de-
pan. Dan begitu kepalan tangannya terbuka, dari kedua telapaknya meluncur
seleret cahaya merah bagai
api yang begitu cepat bagai kilat, langsung mengarah
ke pintu puri tua itu.
Glarrr...! Bumi seketika berguncang begitu terdengar ledakan
dari puri yang terhantam pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali' tingkat terakhir.
Tampak batu-batu dari dalam puri terbongkar keluar,
disertai semburan api dan asap hitam yang menggumpal tebal.
Sementara, Rangga menunggu sambil berdiri tegak
pada kedua kakinya yang kokoh. Pandangannya tetap
tertuju lurus ke depan, tanpa berkedip sedikit pun ke
arah bangunan puri yang sudah hancur bagian dalamnya. Tampak dinding-dinding
batu bangunan puri
itu sudah mulai retak. Bahkan sudah banyak yang
berjatuhan akibat terkena pukulan jarak jauh yang
sangat dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga...!"
"Oh..."!"
*** Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar teriakan memanggil dari
belakang. Cepat tubuhnya
berbalik. Dan saat itu, tampak Ki Mutung tahu-tahu
sudah berdiri cukup jauh di depannya. Laki-laki setengah baya bekas pengikut si
Perawan Lembah Maut itu
melangkah tergesa-gesa menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa, Ki Mutung?" tanya Rangga langsung, begitu Ki Mutung sudah dekat.
"Kau tidak akan menemukan si Perawan Lembah
Maut itu di sini," kata Ki Mutung langsung memberi
tahu. "Jadi, aku salah...?"
"Tidak. Kau benar, Rangga. Puri ini memang menjadi tempat tinggalnya. Tapi malam
ini, dia tidak ada di
sini. Aku lupa memberitahumu," kata Ki Mutung.
"Di mana dia?"
Ki Mutung tidak langsung menjawab, namun malah
mendongakkan kepalanya ke atas, memandang bulan
yang malam ini bersinar penuh. Sebentar kemudian
kembali ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti yang masih berdiri dekat di depannya.
Tampak Rangga menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
"Sebaiknya kita memang tidak perlu ke sana, Rangga. Sebentar lagi, dia pasti
kembali lagi ke sini," kata
Ki Mutung. "Sudah hampir pagi. Tidak lama lagi dia
pasti datang."
"Hm.... Di mana dia sebenarnya sekarang, Ki?"
tanya Rangga, tetap ingin tahu.
"Di tempat mendiang gurunya, Penguasa Lembah
Maut. Setiap bulan purnama, dia pasti ke sana untuk
memberi penghormatan. Setiap kali pergi, dia hanya
membawa sekitar sepuluh orang saja untuk mengawalnya. Tapi, aku rasa tidak lama
lagi pasti kembali,"
jelas Ki Mutung.
Rangga hanya diam saja.
"Kita tunggu saja di sini, Rangga. Nanti kau bisa
menghadapinya. Sedangkan yang sepuluh orang, biar
aku yang membereskan," kata Ki Mutung lagi.
Rangga masih tetap diam beberapa saat. Tubuhnya
kembali diputar, memandangi bangunan puri yang sudah hampir hancur itu.
Sementara, Ki Mutung masih
tetap berada di belakangnya. Saat itu, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengepalkan
kedua tangannya di
pinggang. Dan kedua kepalan tangannya perlahan-
lahan jadi memerah bagai terbakar. Ki Mutung jadi
terbeliak melihat perubahan itu, namun hanya bisa diam saja memperhatikan tanpa
berkedip sedikitpun juga.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar.
Dan seketika itu juga kedua tangannya cepat dihentakkan ke depan. Saat itu juga,
terlihat selarik sinar
merah meluncur cepat bagai kilat ke arah bangunan
puri tua ini. Glarrr...! Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar,
membuat bangunan puri tua itu hancur seketika terhantam pukulan jarak jauh dari
jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Dan saat itu, Rangga
kembali melepaskan pukulan dahsyatnya. Akibatnya,
bangunan puri tua ini jadi hancur berkeping-keping,
menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi
ke angkasa. Dan kilatan bunga api pun menyebar ke
segala arah. Bumi bergetar hebat bagai diguncang
gempa yang sangat kuat.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas berat.
"Kenapa kau hancurkan puri itu, Rangga?" tanya Ki
Mutung. "Hanya untuk memancing kemarahannya saja, Ki.
Kalau tahu aku yang menghancurkan purinya, dia
pasti akan marah dan berusaha membunuhku. Maka
di saat itulah aku bisa mempermainkan perasaannya.
Kalau sudah terpancing, dia akan kehilangan kendali
diri. Dan aku bisa mudah mengalahkannya. Kau mengerti, Ki...?" Rangga
menjelaskan alasannya menghancurkan bangunan puri itu.
"Kau hebat, Rangga," puji Ki Mutung tulus. 'Tidak
percuma kau mendapat gelar Pendekar Rajawali Sakti
yang begitu ternama dan digdaya. Kau memang pantas
mendapatkan gelar pendekar sejati, Rangga. Bukan
hanya ilmu-ilmu saja yang digdaya, tapi pikiranmu juga sangat cemerlang."
Rangga hanya tersenyum sedikit saja, menanggapi
pujian itu. "Ayo, Ki. Kita sembunyi dulu," ajak Rangga.
Ki Mutung tidak membantah sedikit pun juga. Diikutinya langkah Rangga yang sudah
berjalan lebih dulu mencari tempat persembunyian yang cocok. Sementara, malam
terus beranjak semakin larut Dan memang sebentar lagi pagi akan datang
menjelang. Di kejauhan, sudah mulai terdengar bunyi burung berkicau
menyambut datangnya fajar.
*** Memang tidak terlalu lama Rangga menunggu. Buktinya Nini Sawitri yang dikenal
berjuluk si Perawan
Lembah Maut datang ke puri ini bersama sepuluh
orang berjubah hitam yang mengawalnya. Wanita yang
selalu mengenakan baju hitam dengan topeng tengkorak menutupi wajahnya itu, jadi
terperanjat setengah
mati melihat puri tempat tinggalnya sudah hancur
tinggal puing-puing saja. Sementara, di pelataran puri
ini terlihat mayat-mayat bergelimpangan.
"Keparat...! Siapa berani melakukan ini, heh..."!" geram Nini Sawitri, langsung
memuncak amarahnya.
Saat itu Rangga muncul dari tempat persembunyiannya. Sedangkan Ki Mutung masih


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk muncul dan
langsung menggempur sepuluh orang yang mengawal
si Perawan Lembah Maut.
"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nini Sawitri,
langsung mengenali pemuda berbaju rompi putih yang
baru muncul dari balik semak belukar itu.
Memang di kalangan orang-orang persilatan, julukan Pendekar Rajawali Sakti sudah
sangat akrab di telinga. Bahkan bagi orang yang baru pertama kali bertemu pun
sudah langsung bisa mengenalinya. Memang
tidak ada lagi yang mengenakan baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala
burung di dalam dunia
persilatan, selain Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau yang bernama Nini Sawitri...?" tanya Rangga
langsung dengan suara terdengar dingin.
"Benar!" sahut Nini Sawitri ketus. "Dan kau yang
menghancurkan puriku..."!"
"Tidak salah lagi."
"Bangsat keparat...! Kau harus mampus, Pendekar
Rajawali Sakti!" geram Nini Sawitri langsung memuncak amarahnya.
"Justru kedatanganku untuk membungkammu, Nini Sawitri," sambut Rangga dingin.
"Setan! Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Sambil memaki dan berteriak lantang menggelegar,
Perawan Lembah Maut langsung saja melompat secepat kilat sambil melepaskan satu
pukulan dahsyat ke
arah batok kepala Rangga.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, serangan si Perawan Lembah Maut
dapat dihindari Pendekar Rajawali Sakti dengan mudah. Dan Rangga cepat-cepat
menarik kakinya ke kiri dua langkah. Dan
saat itu juga, tubuhnya dimiringkan, tepat di saat Nini
Sawitri kembali melepaskan satu pukulan menyamping ke arah pinggang.
Belum lagi pukulan si Perawan Lembah Maut bisa
mencapai sasaran, tanpa diduga sama sekali Rangga
sudah menghentakkan kaki kanannya ke samping
dengan tubuh miring hampir jatuh.
"Yeaaah...!"
"Heh..."! Hup!"
Perawan Lembah Maut jadi kaget setengah mati.
Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke belakang, menghindari serangan balik yang begitu
cepat dan tanpa diduga
sebelumnya. Wanita itu memaki dan menyemburkan
ludahnya dengan sengit. Sementara, Rangga sudah
kembali berdiri tegak sambil memandang tajam, langsung ke bola mata si Perawan
Lembah Maut ini.
"Hiyaaat...!"
Sret! Cring! Bet! Nini Sawitri kembali melompat menyerang sambil
cepat mencabut pedangnya. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan ke leher
Pendekar Rajawali Sakti.
"Haiiit...!"
Namun kembali serangan wanita bertopeng tengkorak itu dapat mudah dihindari.
Bahkan Rangga langsung memberi serangan balasan yang begitu cepat,
hingga membuat si Perawan Lembah Maut itu jadi menyumpah serapah sambil
berjumpalitan menghindari
serangan-serangan.
Pertarungan itu pun berjalan semakin sengit saja.
Jurus-jurus tingkat tinggi yang sangat dahsyat langsung dikerahkan untuk saling
menjatuhkan. Namun
setelah pertarungan berjalan lebih dari sepuluh jurus,
belum juga ada tanda-tanda akan terhenti. Bahkan
semakin dahsyat saja, dan terus meningkat dengan
pengerahan aji-aji kesaktian.
Suara ledakan-ledakan dahsyat menggelegar, seketika terdengar saling sambut
ditingkahi teriak- an-
teriakan keras pertarungan. Dan loncatan-loncatan
bunga api terlihat membubung tinggi ke angkasa. Entah sudah berapa jurus dan
beberapa banyak aji kesaktian yang dikerahkan, hingga membuat keadaan
hutan sekitarnya semakin hancur tidak beraturan lagi.
Tidak terhitung lagi, berapa batu yang hancur. Dan,
berapa pula pepohonan yang tumbang. Namun pertarungan terus berjalan semakin
sengit. Bahkan kini
Rangga sudah menggunakan pedang pusakanya yang
terkenal sangat dahsyat.
"Hap...!"
Entah pada jurus yang keberapa, tiba-tiba saja Nini
Sawitri melompat mundur, keluar dari kancah pertarungan. Sementara itu, entah
kapan dimulainya, Ki
Mutung sudah menggempur sepuluh orang yang tadi
bersama si Perawan Lembah Maut ini. Bahkan sudah
terlihat tiga orang menggeletak tak bernyawa lagi.
"Kita mengadu jiwa sekarang, Pendekar Rajawali
Sakti. Kerahkan ilmu yang paling kau andalkan," tantang Nini Sawitri dingin
menggetarkan. "Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
"Haaap...!"
Sementara, itu si Perawan Lembah Maut sudah bersiap mengerahkan aji
pamungkasnya. Dan ilmu ini jarang sekali digunakan, kalau tidak dalam keadaan
terpaksa. Dan selama ini belum ada satu ilmu kedigdayaan pun yang bisa
menandinginya. Sementara itu,
Rangga masih berdiri tegak dengan pedang pusaka
bersilang di depan dada.
Saat itu, perlahan-lahan Rangga mulai menempelkan telapak tangannya di mata
pedang, lalu menggosoknya perlahan-lahan sampai pada ujung mata pedang. Dan
kembali lagi, Rangga menggosoknya hingga
ke pangkal. "Sekarang saatnya, Pendekar Rajawali Sakti. Bersiaplah. Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Perawan
Lembah Maut menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Dan pada saat itu juga....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Secepat itu pula, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pedangnya lurus ke
depan. Dan di saat seberkas cahaya kuning keemas-emasan meluruk deras dari
telapak tangan Nini Sawitri, seketika itu juga dari
ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti memancarkan
cahaya biru yang sangat terang menyilaukan mata.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan yang sangat dahsyat
menggelegar, begitu dua cahaya yang saling bertentangan ini bertemu di tengah-
tengah. "Hiyaaat..!"
Rangga tidak lagi menunggu sampai cahaya birunya
menyelimuti seluruh tubuh si Perawan Lembah Maut.
Sambil berteriak keras menggelegar Pendekar Rajawali
Sakti melesat, begitu Nini Sawitri tengah terhuyunghuyung akibat benturan dua
cahaya dari ilmu kedigdyaan itu tadi. Dan serangan Rangga yang begitu cepat
tanpa diduga sama sekali ini, membuat si Perawan
Lembah Maut jadi terperangah dengan mata mendelik.
Namun, dia tidak memiliki kesempatan lagi sedikit pun
juga. Hingga...
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat, tepat
ketika Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti membabat leher si Perawan Lembah
Maut. Tampak wanita berbaju serba hitam itu masih berdiri tegak, tidak jauh di
depan Pendekar Raja-
wali Sakti. Tapi sebentar kemudian, dia sudah limbung, lalu jatuh menggelepar
dengan kepala terlepas
dari leher. Darah tampak mengucur deras dari lehernya yang buntung tidak
berkepala lagi.
Sementara, Rangga berdiri tegak memandangi tubuh si Perawan Lembah Maut yang
sudah tewas dengan kepala terpisah dari leher. Kemudian pandangannya diarahkan
pada Ki Mutung yang kini tinggal
menghadapi dua orang lawannya.
Dan jeritan kematian si Perawan Lembah Maut rupanya membuat dua orang itu jadi
tersentak kaget.
Saat itu juga, Ki Mutung membabatkan pedangnya.
Akibatnya, dua orang lawannya ini tidak dapat lagi
menghindar. Dan mereka seketika menjerit melengking, begitu mata pedang Ki
Mutung membelah dadanya.
"Phuih...!"
Ki Mutung menghembuskan napas panjang, begitu
menghabisi lawan terakhirnya. Langsung kepalanya
diangkat dan melihat Pendekar Rajawali Sakti juga sudah selesai dengan lawan
tangguhnya. Beberapa saat
mereka hanya saling pandang, tanpa bicara sedikit
pun juga. "Ayo kita kembali ke Desa Paringgi, Ki," ajak Rangga.
"Kau saja, Rangga," tolak Ki Mutung tegas.
"Kenapa kau tidak mau ke sana?" tanya Rangga ingin tahu alasannya.
"Aku tidak berhak lagi menginjakkan kaki di sana,
Rangga. Lagi pula, aku masih punya kampung halaman. Dan aku akan kembali ke
sana, memulai hidup
baru menjadi petani," tolak Ki Mutung.
Rangga tidak bisa lagi mendesak, dan hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Dan
tidak berapa lama
kemudian, mereka sudah berpisah mengambil jalan
sendiri-sendiri.
SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Aura Pandra
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Manusia Harimau Jatuh Cinta 1 Si Pedang Kilat Karya Gan K L Ratu Cendana Sutera 1
^