Pencarian

Perawan Lembah Maut 1

Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut Bagian 1


PERAWAN LEMBAH MAUT Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
1 Senja baru saja merayap ke peraduannya. Bias cahaya matahari yang memerah jingga
terlihat indah,
menyemburat di balik sebuah gunung. Sebuah lembah
kecil tampak membentang di bawahnya, ditumbuhi
pepohonan yang sangat lebat. Dan tidak jauh dari situ,
terlihat sebuah jalan tanah yang sunyi lengang, yang
menghubungkan Desa Arunggeti dengan Desa Paringgi.
Tak lama kesunyian di sekitar lembah itu berlangsung. Karena sebentar kemudian
terdengar hentakan
kaki-kaki kuda yang dipacu tidak terlalu cepat Tampak
di ujung jalan sana, dua orang penunggang kuda tengah mengawal sebuah gerobak
kecil yang ditarik dua
ekor kuda. Kusir gerobak itu adalah seorang laki-laki
setengah baya. Tubuhnya gemuk terbungkus baju hitam yang tidak sempurna cara
memakainya. Sehingga
perutnya yang buncit tampak seperti ingin mencuat
keluar. Sedangkan dua penunggang kuda yang berada di
depan gerobak kayu itu masih terlihat muda dengan
pedang tersandang di punggung. Sementara di dalam
gerobak yang ditutupi kain kasar, terlihat dua orang
wanita yang masing-masing berusia empat puluh lima
tahun dan lima belas tahun. Wanita yang lebih tua
tampak memangku sambil memeluk bocah laki-laki
berusia sekitar delapan tahun.
"Kakang Rupadi...," panggil pemuda berbaju coklat
yang kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Dia berkuda di samping laki-laki yang dipanggil Rupadi.
"Ada apa, Kariba?" tanya laki-laki berbaju biru tua,
yang usianya sudah mencapai tiga puluh tahun. Dialah yang bernama Rupadi
Rupadi berpaling sedikit ke kanan. Dan saat itu juga keningnya jadi terlihat
berkerut, begitu melihat wajah pemuda yang bernama Kariba memucat. Tampak
keringat sebesar butir-butir jagung menitik membasahi
wajah Kariba yang tidak tenang. Rupadi lalu menoleh
ke belakang, menatap laki-laki tua berperut buncit
yang mengendalikan gerobak kayunya. Kemudian,
kembali ditatapnya Kariba. Saat itu, Kariba juga berpaling memandangnya.
Sehingga, pandangan mereka
langsung bertemu. Tapi, Kariba cepat-cepat memalingkan mukanya ke depan lagi.
"Ada yang ingin kau katakan, Kariba?" tanya Rupadi dibuat lembut nada suaranya.
"Entahlah, Kakang. Kalau ingat cerita orang, rasanya aku tidak mau lewat jalan
ini...," desah Kariba
perlahan. Dan nada suaranya jelas sekali terdengar
bergetar. "Berharap saja, Kariba semoga kekhawatiranmu tidak menjadi kenyataan," ujar
Rupadi, bisa mengerti
apa yang dicemaskan pemuda cukup tampan berbaju
coklat itu. Kariba jadi terdiam. Namun butir-butir keringat semakin banyak membasahi
wajahnya. Sekilas wajahnya
berpaling ke belakang, menatap gadis manis yang berada di dalam gerobak kayu.
Sementara, Rupadi juga
jadi membisu. Pikirannya mendadak saja jadi tidak
menentu. Terlintas juga omong- omongan orang yang
pernah didengarnya, tentang cerita-cerita mengerikan
di jalan yang sedang dilalui saat ini.
Tapi semua cerita itu memang bukan hanya cerita
kosong belaka. Buktinya sudah banyak orang yang
mengalami. Bahkan hanya sedikit saja yang bisa sela-
mat dari maut. Sepanjang jalan di sekitar lembah ini
memang sangat mengerikan. Tidak heran kalau orangorang yang tinggal di sekitar
lembah ini menamakannya Lembah Maut. Dan jalan ini juga disebut Jalan
Maut, karena dari sepuluh dua puluh orang yang melintas jalan ini, hanya satu
orang saja yang bisa selamat. Sedangkan selebihnya....
Rupadi tidak sanggup membayangkan kengerian
itu, tapi berusaha untuk tetap kelihatan tenang. Padahal, pikirannya semakin
kacau tidak menentu. Dan
sementara itu matahari semakin jauh tenggelam di balik peraduannya. Tidak lama
lagi, malam pasti akan
datang menyelimuti sekitar lembah ini. Dan sudah barang tentu, mereka tidak
ingin bermalam di tempat
yang sudah terkenal keangkerannya. Padahal untuk
menuju Desa Paringgi, masih jauh sekali jaraknya. Paling tidak, baru tengah
malam nanti bisa sampai. Itu
pun kalau mereka terus berjalan dan tidak berhenti
sama sekali. Apalagi berjalan di malam hari, yang jelas
sangat berbahaya. Dan semua itu bisa disadari Rupadi. Tapi sekarang ini, dia dan
yang lain sudah berada
di tengah-tengah, dan tidak mungkin kembali lagi.
"Kakang...," desis Kariba tiba-tiba. Suaranya terdengar agak tersedak.
Rupadi langsung berpaling menatapnya.
"Kau dengar suara itu, Kakang...?" sambung Kariba,
pelan sekali suaranya.
Rupadi hanya diam saja. Sayup-sayup telinganya
juga mendengar suara seperti lolongan anjing hutan.
Rupadi segera menghentikan langkah kaki kudanya.
Sedangkan Kariba sudah sejak tadi berhenti, segera
turun dari kudanya. Dihampirinya gerobak kayu yang
juga berhenti. Rupanya, mereka yang ada di dalam gerobak ini juga mendengar
lolongan anjing yang sangat
memilukan itu. "Ada apa, Kakang Kariba?" tanya gadis manis yang
duduk di dalam gerobak.
Kariba tidak langsung menjawab, namun segera saja melompat ke atas gerobak ini.
Dan dia kemudian
duduk di samping laki-laki tua berperut buncit yang
menjadi kusir. "Kau pindah ke belakang, Golan. Lindungi mereka
kalau terjadi sesuatu," ujar Kariba.
"Baik, Den," sahut laki-laki tua berperut buncit
yang ternyata bernama Golan.
Sementara, Rupadi masih tetap berada di punggung
kudanya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, seakan-akan sedang mencari arah
dari lolongan yang semakin jelas terdengar itu. Namun begitu sulit menentukan
arahnya, karena lolongan itu seakan-akan datang dari segala arah. Bahkan sepergi
mengepung tempat ini. "Kariba! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru Rupadi.
"Baik, Kakang! Hiyaaa...!"
Kariba langsung saja menghentakkan tali kekang
kuda yang menarik gerobak ini. Kedua ekor kuda itu
kontan meringkik keras, lalu melesat cepat bagai anak
panah lepas dari busur. Namun belum juga jauh kuda
itu berlari, tiba-tiba saja....
Wusss! "Hieeegkh...!"
Salah seekor kuda itu langsung meringkik keras,
dan kontan tersungkur. Akibatnya kuda yang satu lagi
jadi terguling. Hampir saja gerobak kayu itu terguling,
kalau saja Kariba tidak cepat-cepat menghentikannya.
Dengan gerakan cepat sekali, Kariba melompat turun
dari gerobak itu. Langsung dihampirinya kuda yang
tergeletak di tanah.
"Panah...!"
*** Kariba jadi kebingungan. Tapi belum juga mengatakan sesuatu, terdengar pekikan
tertahan. Dan...
"Golan...!" pekik Kariba, terkejut.
Pemuda itu langsung melompat naik ke atas gerobak ini. Tapi pada saat itu,
sebatang anak panah lagi
melesat ke arahnya.
"Upts...!"
Hampir saja panah itu menghantam dadanya, kalau
saja tubuhnya tidak segera ditarik ke kiri. Saat itu, laki-laki tua berperut
buncit yang menjadi kusir gerobak
kuda ini sudah tergeletak di tanah. Tampak sebatang
anak panah menembus batang lehernya.
"Aaa...!" "Eh..."!"
Kariba kembali dikejutkan oleh terdengarnya jeritan
panjang melengking tinggi. Dan kedua bola matanya
jadi terbeliak lebar, begitu melihat Rupadi terbanting
dari punggung kudanya, dengan sebatang anak panah
menembus dada. Kariba semakin bingung. Sementara,
dua perempuan dan seorang anak laki-laki di dalam
gerobak ini sudah kelihatan begitu ketakutan.
"Cepat turun dari kereta...!" perintah Kariba.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, wanita yang
paling tua bergegas turun dari gerobak kayu ini bersama bocah yang berada dalam
pelukannya. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, sebatang anak panah sudah
melesat ke arahnya. Dan....
Crab! "Aaakh...!"
Sebatang anak panah tiba-tiba saja menyambar batang leher perempuan itu.
Akibatnya, tubuhnya kontan
terjengkang. Sedangkan bocah yang berada dalam
gendongannya kontan terlepas dari tangan dan jatuh
ke tanah. "Ibuuu...!"
"Sari, jangan...!" sentak Kariba, langsung mencekal
tangan gadis manis yang akan memburu keluar dari
atas kereta gerobak kayu ini.
Kariba semakin kelihatan bingung, apa yang harus
dilakukan. Sementara dia sama sekali tidak tahu dari
mana datangnya anak-anak panah itu.
Perlahan Kariba turun dari gerobak kuda ini sambil
mengendap-endap, cepat disambarnya bocah kecil itu.
Lalu, Kariba segera kembali ke gerobak, dan meletakkan bocah itu di dalamnya.
Setelah itu, kembali dia
mengendap-endap mendekati kuda penarik gerobak
yang tinggal satu. Lalu dilepaskannya tali-tali dari kuda yang sudah mati.
Kemudian tali itu dipasangkan ke
kudanya sendiri. Selanjutnya, kudanya siap untuk
menarik gerobak itu. Sambil mengendap-endap dan
mengedarkan pandangan ke sekeliling, perlahan-lahan
Kariba kembali naik dan duduk di tempat kusir kereta
yang sangat sederhana ini.
"Hiyaaa...!"
Kariba langsung menggebah dua ekor kuda yang
menarik gerobak kayu ini. Kuda-kuda itu meringkik
keras, lalu melesat cepat membawa gerobak kayu ini,
yang jadi terguncang-guncang memperdengarkan suara berderak. Tapi Kariba tidak
peduli lagi. Kudanya terus digebah sambil berteriak-teriak agar semakin cepat
berlari. "Hiya! Hiyaaa...!"
"Kakang, mereka mengejar...!" teriak Sari.
"Oh..."!"
Kariba jadi terkesiap begitu menoleh ke belakang.
Tampak sekitar sepuluh orang tengah menunggang
kuda yang dipacu cepat di belakang. Dan tampaknya,
mereka memang mengejar gerobak ini. Kariba terus
menggebah kuda-kudanya agar terus berlari semakin
cepat. "Hiya! Hiyaaa...!"
Sepuluh orang penunggang kuda itu semakin dekat
saja jaraknya. Bahkan salah seorang tampak sudah
memasang panah pada busurnya. Lalu....
Swing! Panah itu melesat cepat bagai kilat begitu dilepaskan dari busur. Dan....
Jleb! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan menyayat dari dalam gerobak. Kariba cepat berpaling ke
belakang. Seketika jantungnya
seakan jadi berhenti berdetak, begitu melihat bocah
kecil yang kini berada dalam pelukan Sari tertembus
panah pada punggungnya. Sementara, Sari jadi terpekik. Malah bocah itu makin
dipeluk erat-erat.
"Pindah ke depan, Sari...!" teriak Kariba.
Sari menangis sesenggukan sambil memeluk bocah
kecil itu. Sementara, orang-orang berkuda yang mengejar mereka semakin dekat
saja. Walaupun Kariba
sudah berusaha memacu cepat, tapi kedua ekor kuda
itu memang terlalu berat menarik gerobak kayu yang
cukup besar ini.
"Cepat, Sari...!" teriak Kariba sambil terus menggebah kudanya.
Sesaat Sari masih terdiam menangis sesenggukkan,
kemudian melepaskan pelukannya pada anak kecil
yang sudah tidak bernyawa lagi. Lalu gadis itu merangkak ke depan mendekati
Kariba, dan duduk di
sampingnya. Sementara orang-orang berkuda yang
mengejar sudah semakin dekat saja.
"Pegang ini," ujar Kariba sambil menyerahkan tali
kekang kereta ini.
"Apa..."!" Sari tampak terkejut.
"Cepat! Pegang ini...!"
Dengan ragu-ragu, Sari menerima tali kekang dari
kulit itu. Sementara, dua ekor kuda yang menarik gerobak ini terus berlari
kencang seperti tidak terkendali
lagi. Sedangkan Kariba segera merayap ke bagian belakang. Diambilnya busur dan
sekantong anak panah.
Kini Kariba siap membidik para pengejarnya.
"Hih!"
Wusss! "Aaa...!"
Terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari
arah belakang, begitu anak panah Kariba dilepaskan.
Tampak salah seorang pengejar berkuda itu terbanting
dari punggung kudanya. Bidikan Kariba memang sangat tepat, menembus langsung ke


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dada orang itu. Kariba cepat memasang kembali anak panahnya, dan
kembali membidik pengejarnya.
"Hih!"
Swing! Crab! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking, yang
kemudian disusul ambruknya seorang lagi. Sementara,
Sari yang mengendalikan gerobak ini, terus berteriakteriak sambil memecut kuda-
kuda itu agar semakin
cepat berpacu. Gerobak kayu berukuran cukup besar
ini semakin keras berguncang, dan berderak-derak,
seakan-akan tidak mampu lagi diajak berpacu.
Sementara itu, Kariba terus membidikkan anak panahnya.
"Hih!"
Siap! Jleb! "Aaa...!"
Kariba tersenyum senang, melihat lima orang sudah
dijatuhkannya. Dan memang, pemuda ini sangat mahir
menggunakan panah. Setiap bidikannya bisa dipastikan tidak pernah meleset.
Kehilangan lima orang, rupanya pengejar-pengejar itu berpikir juga. Maka, mereka
seketika menghentikan pengejarannya. Dibiarkan
saja gerobak kuda itu melaju cepat meninggalkan kelima penunggang kuda ini.
Senyum Kariba makin melebar melihat lima orang
pengejarnya sudah berhenti. Pemuda itu cepat kembali
ke depan, dan duduk di tempatnya semula. Kembali
diambilnya tali kendali kereta ini dari tangan gadis
manis di sebelahnya.
"Mereka tidak mengejar lagi, Sari," kata Kariba
memberi tahu. Sari hanya diam saja. Wajahnya berpaling ke belakang, melihat bocah kecil yang
kini sudah tertelungkup tidak bernyawa lagi dengan punggung tertembus
panah. Sementara, Kariba mulai memperlambat lari
gerobak kayu ini. Dia juga berpaling ke belakang, seraya menghembuskan napas
panjang. "Kita akan urus nanti setelah sampai di Desa Paringgi," ujar Kariba perlahan.
"Kita tinggal berdua, Kakang. Tidak punya apa-apa
lagi," ujar Sri lirih.
"Hhh...!" Kariba hanya menghembuskan napas panjang saja.
*** Menjelang tengah malam, gerobak yang membawa
Kariba dan Sari tiba di Desa Paringgi. Sunyi sekali
keadaan desa ini. Tidak ada seorang pun yang terlihat
berada di luar rumah. Hanya nyala lampu pelita di beranda depan rumah saja yang
terlihat, menandakan
kalau desa ini masih ada penghuninya.
Kariba terus menjalankan gerobak kudanya perlahan-lahan memasuki desa yang tidak
begitu besar ini.
Pandangannya beredar ke sekeliling, seakan ingin memastikan keadaan desa yang
terasa begitu sunyi. Hentakkan kaki kuda dan gerit gerobak jelas sangat keras
terdengar di kesunyian malam ini. Namun Kariba seperti tidak peduli. Gerobak
kuda ini terus saja dijalankan perlahan-lahan. Sementara, Sari hanya diam
membisu saja di sebelahnya.
"Masih jauh tempatnya, Kakang...?" tanya Sari memecah kesunyian.
"Di ujung jalan ini. Tinggal dua kali belokan lagi,"
sahut Kariba juga pelan suaranya.
Namun begitu mereka melewati satu belokan, tibatiba saja bermunculan orang-orang
dari balik dinding
rumah dan pepohonan yang tumbuh di sepanjang
pinggir jalan ini. Mereka langsung saja menghadang di
depan, memadati jalan. Maka, Kariba cepat-cepat
menghentikan langkah kaki kudanya.
"Hooop...!"
"Ada apa, Kakang" Kenapa mereka mencegat kita...?" tanya Sari.
"Entahlah," sahut Kariba seraya menghembuskan
napas sedikit. Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya,
berbaju putih ketat sehingga membentuk tubuhnya
yang tegap berotot, melangkah mendekati gerobak kuda ini.
Sementara, Kariba dan Sari tetap berada di atas gerobak itu. Dipandanginya laki-
laki bertubuh tinggi te-
gap dan berotot yang menyandang sebilah pedang di
pinggangnya. Laki-laki itu berhenti sekitar tiga langkah
lagi di depan dua ekor kuda penarik gerobak kayu.
"Aku Gorapati, kepala desa ini. Maaf, perjalanan kalian terpaksa kuhentikan,"
kata laki-laki setengah baya
itu memperkenalkan dari.
Suara laki-laki yang mengaku bernama Gorapati
terdengar besar dan berat. Malah, berkesan tidak ramah. Tapi dari sikap dan
sorot matanya, sudah terpancar keramahannya. Kariba segera turun dari atas
kereta kudanya ini, lalu melangkah menghampiri lakilaki setengah baya yang
mengaku sebagai Kepala Desa
Paringgi ini. Sementara Sari tetap berada di atas gerobak ini.
"Maaf, apakah perjalanan kami mengganggu ketenteraman di sini, Ki?" ujar Kariba
dengan suara dan sikap dibuat ramah dan sopan.
"Sama sekali tidak," sahut Ki Gorapati.
"Lalu, kenapa kami dihentikan?" tanya Kariba.
"Hanya untuk pemeriksaan saja. Maaf, kuharap kau
tidak keberatan, Anak Muda. Aku dan seluruh penduduk desa ini hanya berjaga-jaga
saja." "Kami berdua datang dari jauh, Ki. Kami melewati
jalan Lembah Maut. Bahkan tiga orang saudara kami
telah tewas di sana. Dan di dalam gerobak itu, ada
mayat anak kecil. Maaf, Ki. Aku harus segera sampai
dan mengurusnya," kata Kariba, meminta kebijaksanaan.
Kelopak mata Ki Gorapati jadi menyipit. Kemudian
diperintahkannya seorang pemuda yang berada di belakangnya untuk memeriksa ke
dalam gerobak. Tak
lama, pemuda berusia sekitar dua puluh tahun bergegas mendekati gerobak kuda
ini, dan langsung ke bagian belakang. Lalu, kepalanya dijulurkan.
Tak beberapa lama, pemuda itu kembali lagi, dan
kepalanya bergerak mengangguk membenarkan katakata Kariba barusan. Sementara, Ki
Gorapati melangkah menghampiri pemuda ini.
"Ke mana tujuanmu, Anak- Muda?" tanya Ki Gorapati.
"Ke sebelah utara desa ini. Di pinggiran Hutan
Guyangan," sahut Kariba.
"Tempat yang kau tuju masih terlalu jauh, Anak
Muda. Bisa esok pagi baru sampai. Sebaiknya, kau ke
rumahku saja. Aku dan penduduk Desa Paringgi akan
membantu jasad...."
"Adikku," selak Kariba buru-buru menjelaskan.
"Ya! Sebaiknya kau ke rumah Ki Gorapati saja,"
sambut seorang pemuda yang berada di belakang kepala desa itu.
"Kasihan adikmu. Jangan terlalu lama dibiarkan
begitu," sambung yang lain.
Kariba tidak bisa lagi berkata-kata. Hatinya begitu
terharu melihat kesediaan penduduk desa ini untuk
mengurus mayat adiknya.
"Terima kasih...," ucap Kariba perlahan.
Memang hanya itu yang bisa diucapkannya. Sementara, Ki Gorapati sudah
merangkulnya dengan sikap
lembut, seperti seorang ayah pada anaknya. Sedangkan beberapa anak muda sudah
menghampiri gerobak
kayu itu. Tampak seorang laki-laki tua membantu Sari
turun. Saat itu, seorang anak muda naik ke atas gerobak dan memegang tali
kendalinya. "Kalian berdua pasti lelah. Mari, malam ini biar kalian istirahat di rumahku.
Besok pagi, kalian baru bisa
melanjutkan perjalanan," kata Ki Gorapati.
"Terima kasih, Ki," ucap Kariba dan Sari hampir
berbarengan. Mereka kemudian bergerak menuju rumah kepala
desa ini. Dan di belakangnya, gerobak kuda dari kayu
itu mengikuti, dikendalikan seorang anak muda berusia sekitar dua puluh tahun.
Tapi tubuhnya tinggi tegap dan berotot, sehingga seperti sudah berusia tiga
puluh tahun saja.
*** 2 Malam terus beranjak semakin larut. Dan memang,
hari ini sudah lewat tengah malam. Tapi di rumah Ki
Gorapati, kelihatan ramai dipenuhi orang. Beberapa
orang wanita tampak sibuk mengurus mayat anak laki-laki yang dibawa Kariba.
Sedangkan para pemuda
menyediakan lubang kubur. Kariba dan Sari tidak bisa
lagi menolak kesediaan mereka untuk mengurus jasad
adiknya. Dan mereka juga tidak bisa menolak usul Ki
Gorapati untuk menguburkannya di desa ini malam ini
juga. "Seharusnya jangan lewat jalan itu, Kariba. Kau bisa mengambil jalan berputar.
Memang lebih jauh, dan
baru sampai ke sini setelah tiga hari perjalanan. Tapi
kurasa itu lebih aman daripada harus melewati jalan
di Lembah Maut," sesal Ki Gorapati, saat dia dan Kariba duduk berdua di bagian
samping kanan rumahnya.
"Semula aku sudah mengusulkan begitu, Ki. Tapi
kakakku tetap keras kepala. Dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Terlebih lagi,
ibu menyetujuinya. Dan memang, kami semua hanya berharap tidak mendapat
halangan apa-apa di jalan," ujar Kariba perlahan.
"Sudah terlalu banyak korban yang jatuh. Bahkan
sudah lebih dari enam purnama jalan itu tidak dilalui
orang lagi. Dan baru kau dan keluargamulah yang lewat setelah enam purnama ini,"
jelas Ki Gorapati dengan suara agak mendesah perlahan, seakan bicara pada diri
sendiri. Sedangkan Kariba hanya membisu saja. Entah apa
yang ada dalam benaknya saat ini. Sementara, malam
terus beranjak semakin larut. Dan pemuda itu tahu,
Sari mungkin sudah terlelap tidur bersama anak gadis
kepala desa ini. Memang, perjalanannya sangat melelahkan. Di dalam hatinya,
Kariba benar- benar menyesali sikap kakaknya yang tidak mau mempedulikan kata-
katanya, untuk tidak melalui jalan di Lembah Maut.
Kalau saja mereka mengambil jalan berputar, tentu tidak akan seperti ini
jadinya. "Seperti yang tadi kukatakan, selama enam purnama ini tidak ada seorang pun yang
melalui jalan itu,
Kariba. Dan ini rupanya yang mendorong iblis-iblis itu
turun ke desa. Tiga hari yang lalu, mereka merajah desa ini dan merampas harta
benda kami. Bahkan banyak penduduk mati. Yang lebih menjengkelkan, ada
juga yang menculik anak-anak gadis kami. Itu sebabnya, kenapa aku menghentikan
jalanmu, Kariba," jelas
Ki Gorapati memberi tahu keadaan di desanya ini tanpa diminta.
"Oh..."!" '
Kariba terkejut, tidak menyangka kalau Desa Paringgi ini baru saja terkena
musibah. Sampai-sampai
dipandanginya wajah kepala desa itu dalam- dalam.
Jelas sekali terlihat dari keremangan cahaya lampu pelita, wajah Ki Gorapati
terselimut mendung yang cukup
tebal. "Ah, sudahlah.... Tidak seharusnya hal ini kukatakan padamu, Kariba," desah Ki
Gorapati, seakan baru
menyadari kalau tadi sedang mengeluh.
"Tidak apa-apa, Ki. Aku memang perlu tahu itu,"
sergah Kariba sambil berusaha memberi senyum. Tapi,
terasa sangat hambar senyumnya.
Ki Gorapati membalasnya juga dengan senyum tipis, dan terasa sangat dipaksakan.
Untuk beberapa saat mereka terdiam membisu. Sementara, rumah kepala desa ini sudah mulai terasa
sunyi. Dan memang,
mereka semua sudah selesai menguburkan jasad adik
Kariba yang mati terbunuh di Lembah Maut sore tadi.
"Ki...! Ki...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan memanggil kepala desa
itu. Tampak seorang anak muda berlari-lari cepat
sambil berteriak-teriak memanggil kepala desanya. Malah larinya terlihat
terpontang-panting, dan terkadang
jatuh terjerembab. Namun dia cepat bangkit berdiri,
dan berlari lagi sekuat tenaga.
Ki Gorapati bergegas bangkit berdiri, dan melangkah ke depan rumahnya ini.
Sedangkan Kariba segera
mengikuti kepala desa itu. "
"Eh, Jamin..."! Ada apa...?" tanya Ki Gorapati langsung, begitu anak muda ini
dekat. "Mereka, Ki.... Mereka datang lagi...," sahut Jamin
tersendat-sendat.
"Apa..."!"
"Mereka, Ki. Iblis-iblis dari Lembah Maut...."
Ki Gorapati tampak kebingungan beberapa saat.
"Cepat kumpulkan yang lain. Kita hadang sebelum mereka masuk ke desa ini,"
perintah Ki Gorapati.
"Baik, Ki."
Pemuda yang bernama Jamin itu bergegas pergi
berlari meninggalkan kepala desanya. Sementara Ki
Gorapati bergegas melangkah masuk ke dalam rumah,
seperti melupakan Kariba yang berada di sampingnya
tadi. Dan Kariba sendiri bergegas melangkah menghampiri gerobaknya yang berada
tidak jauh dari samping rumah ini. Lalu pemuda itu naik ke dalam gerobak,
dan mengambil busur serta dua kantong anak panah.
Juga sebilah pedang diikatkan di pinggangnya.
Dan begitu Kariba keluar dari dalam gerobaknya,
terlihat Ki Gorapati sudah berada di depan rumahnya
lagi. Sebilah pedang sudah tergantung di pinggangnya.
Laki-laki setengah baya itu tampak terkejut melihat
Kariba sudah siap dengan busur di tangan dan dua
kantong anak panah tersandang di punggung. Dan di
pinggangnya tergantung sebilah pedang.
"Aku akan ikut menghadang mereka, Ki," tandas
Kariba langsung, sebelum Ki Gorapati bisa membuka
suaranya. Ki Gorapati tidak bisa melarang lagi. Sementara
pemuda-pemuda desa ini sudah berdatangan, dan
berkumpul di halaman depan rumah kepala desanya.
Hanya beberapa patah kata saja Ki Gorapati berbicara,
kemudian sudah melompat naik ke punggung kudanya. Dan sebentar saja, mereka
sudah bergerak menuju perbatasan yang langsung berhubungan dengan
Lembah Maut. *** Baru saja Ki Gorapati dan sepuluh penduduk Desa
Paringgi sampai di perbatasan, mereka sudah langsung
diserang orang-orang yang menunggang kuda hitam
dan berpakaian serba hitam. Sulit untuk melihat wajah mereka, karena seluruh


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala ditutupi kain hitam
yang runcing pada bagian ujung kepalanya. Hanya
warna hitam saja yang ada pada wajah mereka.
Kini anak-anak panah langsung berhamburan
menghujani pemuda-pemuda desa ini. Jeritan-jeritan
melengking dan menyayat pun langsung terdengar saling sambung, disusul ambruknya
pemuda-pemuda Desa Paringgi. Kejadian yang begitu cepat dan tidak
terduga sama sekali, tentu saja membuat Ki Gorapati
jadi terkejut setengah mati.
"Munduuur...!" teriak Ki Gorapati keras-keras.
Anak-anak muda desa itu segera bergerak mundur,
menjauhi jangkauan hujan panah orang- orang berpakaian serba hitam yang semuanya
menunggang kuda
hitam. Sementara, orang-orang berkuda itu terus bergerak cepat, sambil
menghujani panah.
Saat itu, Kariba sudah menyiapkan panahnya.
Langsung dibidiknya salah seorang yang berada di depan. Panahnya pun melesat
cepat dari busur tanpa
terbendung lagi, dan langsung menghujam tepat di dada orang berpakaian serba
hitam. Kariba cepat memasang lagi panahnya, dan kembali menarik tali busurnya.
Lalu.... Jleb! "Aaa...!"
Ketepatan Kariba dalam memanah, membuat Ki Gorapati dan pemuda-pemuda desa yang
berada di belakang jadi terlongong bengong.
Sementara, Kariba terus menghujani panah ke arah
orang-orang berkuda hitam itu dengan tangkas sekali.
Akibatnya gerakan orang-orang berkuda hitam itu jadi
terhambat. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah ada lima orang yang terguling jatuh
dari kudanya. Kejadian
itu, membuat mereka menghentikan gerakannya. Sementara Kariba sudah siap dengan
panah terpasang di
busur, menunggu orang-orang berpakaian serba hitam
yang semuanya menunggang kuda hitam maju. Tapi
mereka tidak juga bergerak maju, malah terlihat mundur perlahan-lahan.
Kini justru Kariba yang melangkah maju dengan
busur terentang, siap melontarkan anak panah. Sementara, Ki Gorapati dan pemuda-
pemuda Desa Paringgi ikut melangkah maju ke belakang Kariba.
"Yeaaa...!"
Namun, ternyata orang-orang berkuda itu malah
berbalik dan langsung menggebah kudanya meninggalkan perbatasan Desa Paringgi
ini. Seketika itu juga,
pemuda-pemuda desa yang berada di belakang Kariba
bersorak gembira, sambil mengacungkan golok di atas
kepala. Sedangkan kedua tangan Kariba langsung terkulai seraya menghembuskan
napas panjang. Memang, tangan tadi sudah terasa pegal, ketika merentangkan
busur. Sedikit lagi saja, pasti tidak sanggup
mengangkat kedua tangannya.
"Phuihhh...!" dengus Kariba, menghembuskan napas panjang kembali.
Ki Gorapati menghampiri, langsung menepuk pundak pemuda ini sambil tersenyum
lebar. Kariba membalasnya dengan senyuman pula. Dan saat itu, pemuda-pemuda yang
ada di sekelilingnya langsung menyalami dengan wajah cerah. Sementara Kariba
hanya bisa tersenyum dengan mata merembang berkaca-kaca.
Baru kali ini kemahirannya dalam memanah bisa digunakan untuk kepentingan orang
banyak. Padahal
selama ini, hanya digunakan untuk berburu di hutan.
"Ayo kita kembali...!" ajak Ki Gorapati.
Mereka segera kembali ke desa, tapi tidak semuanya. Ada sepuluh orang yang tetap
tinggal berjaga-jaga
di sekitar perbatasan ini.
"Kau hebat, Kariba. Tidak kusangka, ternyata kau
pandai sekali memainkan panah," puji Ki Gorapati.
"Hanya sedikit, Ki," ujar Kariba merendah.
"Tapi berkat kehebatanmu, malam ini Desa Paringgi
terbebas dari kehancuran," kata Ki Gorapati terus
memuji. Kariba hanya tersenyum saja. Entah apa yang bisa
diucapkan. Yang dilakukannya tadi, sebenarnya hanya
melampiaskan kemarahan yang bercampur dendam
dalam dadanya. Betapa tidak" Sebagian besar keluarganya telah terbunuh oleh
orang-orang dari Lembah
Maut. *** Kehebatan Kariba dalam memanah dan berhasil
memukul mundur orang-orang dari Lembah Maut, cepat tersebar ke seluruh pelosok
Desa Paringgi ini. Semua orang membicarakan peristiwa semalam. Dan mereka yang
melihat langsung kehebatan Kariba, merasa
bangga. Sementara itu di rumah Ki Gorapati, Kariba
masih sulit mengabulkan permintaan kepala desa ini
untuk tetap tinggi di desa ini.
"Kepandaianmu sangat dibutuhkan di sini, Kariba.
Tidak ada seorang pun pemuda di desa ini yang bisa
menggunakan panah. Aku yakin, mereka akan senang
kalau kau sudi mengajarkannya," desah Ki Gorapati.
Sedangkan Kariba hanya diam saja. Sesekali matanya menatap Sari yang duduk di
sebelahnya. Tapi,
gadis tanggung itu hanya diam saja. Padahal dari sorot
matanya, dia tahu kalau Kariba meminta pendapat padanya. Sedangkan Sari sendiri
merasa tidak memiliki
hak untuk melarang atau menyetujui. Semua keputusan diserahkan pada kakaknya.
"Malam nanti, atau entah kapan, mereka pasti datang lagi ke sini. Dan tentu
dengan kekuatan yang lebih besar lagi. Sedangkan kami semua, hanya men-
gandalkan keberanian saja. Pemuda-pemuda di desa
ini tidak ada yang memiliki kedigdayaan. Apalagi memanah seperti yang kau
miliki, Kariba," kata Ki Gorapati lagi, terus mendesak agar Kariba mau tetap
tinggal di desa ini. "Melihat kepandaian mereka dalam memanah pun
aku tidak yakin bisa terus bertahan dan memukul
mundur mereka, Ki," ujar Kariba terdengar pelan sekali suaranya.
"Kalau kau bersedia mengajarkan pada anak-anak
muda di sini, paling tidak mereka telah mempunyai
bekal, Kariba. Dan kini kami semakin kuat bertahan."
"Hhh...!"
Lagi-lagi Kariba menarik napas panjang-panjang,
dan menghembuskannya kuat-kuat. Memang sulit sekali pilihan yang harus
dihadapinya sekarang ini. Sementara, Ki Gorapati begitu mendesak. Kariba juga
tahu, Desa Paringgi ini membutuhkan seseorang yang
bisa mempertahankannya dari kehancuran. Sedangkan dari dua kali pertemuan,
Kariba sudah bisa mengetahui kalau kekuatan orang-orang berjubah serba
hitam itu tidak bisa dianggap main-main. Malah, dia
sendiri tidak yakin akan kemampuannya.
"Bagaimana, Kariba...?" desak Ki Gorapati.
"Baiklah, Ki," sahut Kariba agak mendesah.
"Terima kasih, Kariba," ucap Ki Gorapati senang.
"Tapi aku ada satu permintaan, Ki."
"Katakan saja, Kariba."
"Terus terang, Ki. Aku tidak mungkin bisa bertahan
lama di sini. Dan untuk mengajarkan memanah, tidak
sedikit waktu yang dibutuhkan. Sedangkan desa ini
memerlukan seseorang yang tangguh secepat mungkin...," jelas Kariba, terdengar
terputus. "Lalu...?"
Sebentar Kariba terdiam. Matanya memandang lurus ke depan, merayapi beberapa
anak muda yang berada di bawah pohon, tengah duduk-duduk di halaman depan rumah
kepala desa ini. Mereka seakan sedang menunggu sesuatu.
"Desa Paringgi ini memang berada di luar wilayah
Kerajaan Karang Setra. Dan aku ada usul yang mungkin bisa kau terima, Ki," kata
Kariba lagi. "Apa usulmu, Kariba?" tanya Ki Gorapati.
"Kirim utusan ke Kotaraja Karang Setra. Mintalah
bantuan di sana untuk menghalau iblis-iblis Lembah
Maut itu," ujar Kariba mengemukakan usulnya.
Ki Gorapati langsung terdiam dengan kening berkerut. Dipandanginya pemuda yang
duduk didepannya
ini dengan sinar mata begitu tajam.
"Kami punya kerajaan sendiri, Kariba...," ujar Ki
Gorapati terdengar agak mendesah suaranya.
"Benar, Ki. Tapi terlalu jauh ke kotaraja meminta
bantuan. Paling tidak bisa memakan waktu dua pekan
dari sini. Sedangkan Kotaraja Karang Setra, hanya ditempuh dalam tiga hari saja
dengan kuda. Jadi kurasa, tidak ada salahnya bila meminta bantuan ke sana,
Ki," kata Kariba lagi.
Ki Gorapati kembali terdiam membisu, memikirkan
usul yang diberikan Kariba. Memang diakui kebenaran
kata-kata Kariba barusan. Tapi, apa mungkin meminta
bantuan pada kerajaan lain" Sedangkan desa ini berada di luar wilayahnya....
Pertanyaan seperti itu terus
menggayuti benak Ki Gorapati.
"Aku punya kenalan orang penting di Karang Setia,
Ki, kata Kariba lagi.
"Hmmm...," kening Ki Gorapati jadi berkerut memandangi pemuda ini.
"Dia punya kedudukan tinggi di istana, dan terma-
suk orang terdekat Raja Karang Setra. Kalau Ki Gorapati merasa sungkan, aku bisa
bicara dengannya dan
meminta bantuan secara pribadi, tanpa mengatasnamakan kerajaan. Bagaimana,
Ki...?" usul Kariba lagi.
"Kau yakin temanmu itu bersedia?" tanya Ki Gorapati.
"Orang-orang Karang Setra tidak pernah memandang sesuatu dalam menolong yang
lemah, Ki. Aku tahu betul mereka. Malah aku pernah tinggal sekitar tiga
tahun di Karang Setra," ujar Kariba meyakinkan.
"Ya.... Aku juga pernah mendengar tentang kebaikan rakyat Karang Setra," desah
Ki Gorapati. "Nah! Tunggu apa lagi, Ki..." Sebaiknya kirim saja
utusan ke sana."
"Dia temanmu, Kariba. Dan kau sendiri yang mengatakannya akan meminta bantuan
secara pribadi. Jadi kukira, harus kau sendiri yang datang menemuinya
di sana," kata Ki Gorapati.
Kariba mengangkat bahunya sendiri. Dan suasana
sejenak jadi hening.
"Berapa lama kau tinggalkan desa ini?" tanya Ki Gorapati setelah cukup lama
terdiam. "Mungkin satu pekan, Ki. Kalau tidak ada halangan,
bisa kupercepat sampai lima hari," sahut Kariba.
"Baiklah. Kapan kau berangkat?"
"Kalau diizinkan, aku berangkat sekarang juga."
Ki Gorapati terdiam. Perlahan kemudian laki-laki
setengah baya itu bangkit berdiri, dan melangkah keluar dari ruangan depan
rumahnya ini. Tangannya melambai memanggil seorang anak muda yang tengah
duduk bersama teman-temannya di bawah pohon.
Anak muda itu bergegas menghampiri Kepala Desa Paringgi ini.
"Siapkan kuda yang bagus dengan perbekalan cu-
kup untuk satu pekan," pinta Ki Gorapati.
"Mau pergi ke mana, Ki?" tanya anak muda itu keheranan.
"Bukan aku yang pergi, tapi Kariba."
"Kariba...?"
"Dia akan meminta bantuan temannya. Sudah....
Cepat siapkan kudanya.
"Baik, Ki."
Ki Gorapati kembali masuk ke dalam rumahnya
yang cukup besar ini. Sementara, Kariba tengah berbicara dengan adiknya. Dan
bicaranya langsung dihentikan begitu Ki Gorapati kembali duduk di kursinya,
tepat di depan Kariba.
"Kudamu sedang disiapkan," kata Ki Gorapati
memberi tahu. "Terima kasih, Ki," ucap Kariba.
"Hm...," Ki Gorapati hanya menggumam saja sedikit.
Dan mereka kembali terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah
apa yang ada dalam
kepala mereka saat ini. Beberapa kali Ki Gorapati
menghembuskan napas panjang, yang terdengar begitu
berat. "Kariba! Boleh kutanya sesuatu padamu...?" ujar Ki
Gorapati setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Silakan, Ki," sambut Kariba ramah.
"Siapa nama temanmu di Istana Karang Setra?"
tanya Ki Gorapati langsung, seperti tidak dipikirkan lagi.
"Kalimun. Dulu dia seorang punggawa, tapi sekarang sudah menjadi panglima yang
termuda di sana,"
sahut Kariba. "Dia dari desamu juga?"
"Ya! Kelahiran sana. Tapi, seluruh keluarganya se-
karang sudah tinggal di Karang Setra."
Ki Gorapati terdiam membisu lagi.
"Ada apa, Ki..." Kau kelihatannya tidak yakin...." ?
"Terus terang, aku sangsi kalau temanmu itu bersedia membantu desa ini, Kariba.
Dia seorang panglima,
tentu kau akan mendapat kesulitan untuk menemuinya."
"Sudah sering kali aku mengunjunginya, Ki. Tidak
terlalu sulit. Lagi pula, Istana Karang Setra sangat terbuka. Bahkan siapa saja
boleh memasukinya, walaupun penjagaannya sangat ketat. Raja Karang Setra
sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya, Ki. Aku
yakin, Kalimun sudi menolong kita di sini," tegas Kariba, meyakinkan.
"Mudah-mudahan saja, Kariba," desah Ki Gorapati
panjang. Mereka beranjak bangkit saat melihat anak muda
yang disuruh Ki Gorapati muncul di depan sambil menuntun seekor kuda yang tegap
dan gagah. "Aku pergi dulu, Ki," pamit Kariba setelah mereka
sampai di beranda.
"Hati-hati, Kariba. Usahakan jangan terjadi bentrokan dengan siapa pun di
jalan," pesan Ki Gorapati.
"Akan kuusahankan, Ki," sahut Kariba.
Pemuda itu bergegas melangkah mendekati kuda
berkulit coklat yang berkilat ini, setelah memberi beberapa pesan pada adiknya.
Dengan gerakan ringan, Kariba melompat naik ke punggung kuda itu. Sebentar
ditatapnya Ki Gorapati, kemudian beralih pada Sari,
yang berdiri di sebelah kiri kepala desa yang didampingi anak gadisnya.
"Hiyaaa...!"
Kuda coklat itu langsung melesat cepat bagai anak
panah terlepas dari busur, begitu Kariba menghentak-
kan tali kekangnya. Debu langsung mengepul, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu
cepat. Sebentar saja
Kariba sudah lenyap dari pandangan, setelah berbelok
di tikungan jalan. Sementara, Ki Gorapati sudah berbalik dan melangkah hendak
masuk ke dalam rumahnya lagi. Tapi ayunan langkahnya jadi terhenti, begitu
berpaling ke arah Sari yang masih tetap berdiri di beranda depan ini.
"Sari...," panggil Ki Gorapati.


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sari berpaling ke belakang, dan memutar tubuhnya
berbalik. Gadis itu lalu melangkah perlahan menghampiri kepala desa ini, yang
berdiri di ambang pintu.
"Ada yang kau pikirkan, Sari...?" tegur Ki Gorapati
lembut "Aku mencemaskan Kakang Kariba," sahut Sari.
"Kakakmu melaksanakan tugas suci, Sari. Mohon
saja pada Sang Hyang Widi untuk keselamatannya.
Dan mudah-mudahan dia kembali lagi ke sini bersama
temannya yang panglima itu," kata Ki Gorapati.
Sari hanya diam saja, lalu terus melangkah masuk
ke dalam. Sementara, Ki Gorapati memandangi sampai
punggung gadis itu lenyap di balik pintu penyekat
ruangan, kemudian juga melangkah masuk ke dalam.
*** 3 Hari-hari berlalu terasa begitu lambat. Sudah lima
hari Kariba pergi ke Karang Setra, sementara orangorang dari Lembah Maut sudah
dua kali menyerang
Desa Paringgi. Mereka membakar beberapa rumah,
merampas barang-barang, dan membunuh penduduk
yang sama sekali buta ilmu olah kanuragan. Kesengsaraan semakin nyata terlihat
di Desa Paringgi. Sementara, Ki Gorapati sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu.
Sekali lagi orang-orang dari Lembah Maut itu datang,
desa ini tidak akan tertolong lagi.
Ini adalah malam yang keenam kepergian Kariba. Di
beranda depan rumahnya, Ki Gorapati kelihatan gelisah sekali. Entah sudah berapa
kali beranda depan
rumahnya dikelilingi. Sementara ada sekitar dua puluh
orang anak muda berada di sekitar halaman depan
rumah kepala desa ini. Malam yang begitu pekat dan
dingin, terasa sangat sunyi. Tidak satu rumah pun
yang menyalakan lampu. Semua orang di desa ini tidak ada lagi yang berani keluar
dari dalam rumahnya,
kalau malam sudah jatuh menyelimuti seluruh Desa
Paringgi ini. "Kakang Kariba belum datang juga, Ayah...?"
Ki Gorapati berpaling begitu mendengar suara pertanyaan dari belakangnya.
Senyumnya langsung terkembang, begitu melihat anak gadisnya tahu-tahu sudah
berdiri di ambang pintu. Gadis manis berusia sekitar delapan belas tahun itu
melangkah keluar, dan duduk di kursi kayu, tidak jauh dari tempat ayahnya
berdiri. "Belum," sahut Ki Gorapati agak mendesah perlahan suaranya. "Kau belum tidur,
Purwita..." Sudah larut malam."
"Aku tidak bisa tidur, Ayah," sahut gadis yang ternyata bernama Purwita.
"Apa yang kau pikirkan..,?"
Belum juga Purwita bisa menjawab, tiba-tiba saja
terdengar suara ribut-ribut dari sebelah timur. Ki Gorapati cepat melompat
keluar dari beranda depan rumahnya ini, dan langsung berlari cepat diikuti anak-
anak muda yang sejak tadi berkumpul di halaman.
Mereka terus berlari-lari menuju ke arah sumber ribut-ribut itu. Tampak, tidak
jauh dari perbatasan desa
sebelah timur, sekitar dua puluh anak muda dengan
golok terhunus tengah menghadang dua orang penunggang kuda. Dan mereka segera
bergerak menyingkir begitu Ki Gorapati datang.
"Ada apa ini...?" tanya Ki Gorapati.
"Mereka memaksa masuk, Ki. Katanya penting, ingin bertemu denganmu," sahut salah
seorang pemuda"
yang menghadang dua penunggang kuda itu.
Ki Gorapati memandangi kedua orang yang belum
juga turun dari kudanya. Saat itu, salah satu dari dua
penunggang kuda yang berbaju rompi putih dengan
sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di
punggung melompat turun dari punggung tunggangannya. Dia adalah seorang pemuda
tampan, dengan tubuh kekar dan berotot.
Sedangkan yang seorang lagi, adalah gadis muda
yang sangat cantik. Bajunya warna biru muda yang ketat, sehingga membentuk
tubuhnya yang ramping dan
padat berisi. Dia juga segera melompat turun dari
punggung kudanya. Gerakannya begitu indah dan ringan. Dari sini bisa ditebak
kalau gadis yang membawa
kipas putih terselip di pinggang dan pedang bergagang
kepala naga berwarna hitam tersampir di punggung itu
tidak bisa dianggap sembarangan.
Dan memang, kedua orang itu tidak bisa dipandang
dengan sebelah mata. Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi, yang di kalangan
rimba persilatan dikenal
sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
Mereka juga sering kali dijuluki Sepasang Pendekar
dari Karang Setra.
Sementara itu, Ki Gorapati terus mengamati mereka
yang sudah berdiri berdampingan di depan kuda masing-masing.
"Siapa kalian berdua" Dan apa maksud kalian datang malam-malam ke desa ini?"
tanya Ki Gorapati
agak dalam terdengar nada suaranya.
"Namaku Rangga. Dan ini, Pandan Wangi. Kami
berdua adalah utusan dari Karang Setra," sahut Rangga memperkenalkan diri dan
juga memperkenalkan
Pandan Wangi. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak
mau mengatakan siapa dirinya yang sebenarnya.
"Utusan dari Karang Setra...?" desah Ki Gorapati
agak terperanjat. "Apa kalian teman-temannya Kariba...?"
"Benar," sahut Rangga, singkat.
"Lalu, kenapa kalian tidak datang bersama Kariba?"
tanya Ki Gorapati lagi.
"Kariba mendapat kesulitan dengan luka-lukanya di
jalan. Dia telah bertarung melawan beberapa orang
berpakaian jubah hitam. Dan dia...," jelas Pandan
Wangi, terputus kata-katanya.
"Kariba tewas...?" desak Ki Gorapati lagi, terdengar
agak bergetar. Sepertinya, dia bisa menebak apa yang
terjadi terhadap Kariba.
Kedua pendekar dari Karang Setra itu hanya mengangguk saja.
"Oh.... Anak muda yang sangat berjasa terhadap
desa ini. Budimu tak akan kami lupakan, Kariba...,
Kariba. Tak ada sebutan yang pantas buatmu selain
sebutan pahlawan," desah Kepala Desa Paringgi itu.
"Dia telah damai di Nirwana, Ki," hibur Rangga.
"Biarlah kabar ini aku yang akan menyampaikannya pada adiknya."
Kini Ki Gorapati memerintahkan pemuda-pemuda
desa yang mengelilingi untuk kembali ke tempat mas-
ing-masing. Dan hanya sekitar dua puluh orang saja
yang masih mendampingi kepala desa itu.
"Maaf atas penyambutan yang tidak menyenangkan
ini," ucap Ki Gorapati.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ki. Aku justru
kagum dengan kesigapan mereka," ujar Rangga.
"Mereka semua memang kuperintahkan untuk
menghalangi siapa saja yang mencoba masuk ke desa
ini. Tapi sungguh..., mereka tidak mengenalmu. Maaf
sekali lagi atas sikap mereka, Rangga."
Rangga hanya tersenyum saja.
"Kedatangan kalian memang sangat ditunggutunggu. Bahkan.. Hm.... Mungkin Kariba
telah menceritakan semuanya yang terjadi di desa ini pada kalian.
Sejak Kariba pergi, sudah dua kali mereka menyerang
desa ini," kata Ki Gorapati sambil melangkah kembali
menuju rumahnya.
Rangga dan Pandan Wangi menyejajarkan langkahnya di samping kanan kepala desa,
sambil menuntun
kudanya. Sementara dua puluh orang pemuda yang
mendampingi Ki Gorapati mengikuti dari belakang. Ki
Gorapati menceritakan keadaan yang ada di desanya
sambil terus berjalan. Sementara, Rangga dan Pandan
Wangi mendengarkan penuh perhatian.
*** "Maaf, Ki. Apakah selama ini dari pihak kerajaan tidak ada usaha untuk
melenyapkan mereka...?" tanya
Pandan Wangi, setelah mereka semua berada di beranda depan rumah Ki Gorapati.
"Keberadaan orang-orang Lembah Maut sama sekali
tidak diketahui pihak kerajaan, Nini Pandan," sahut Ki
Gorapati menjelaskan.
"Tidak ada yang melaporkan?"
Ki Gorapati hanya menggeleng saja.
"Sudah berapa lama mereka di sana?" tanya Rangga
lagi. "Entah sudah berapa tahun. Tapi sebelumnya mereka tidak pernah menjarah sampai
ke desa. Biasanya,
mereka hanya menghadang siapa saja yang lewat di jalan lembah itu. Entah kenapa,
sekarang menjarah desa ini. Mungkin setelah enam purnama tidak ada lagi
orang yang sudi lewat di jalan sana," kembali Ki Gorapati menjelaskan secara
gamblang. "Berapa jumlah mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi
lagi. "Tidak ada yang tahu, Nini. Biasanya, mereka selalu
muncul sepuluh orang. Tapi belakangan ini, mereka
muncul dengan jumlah lebih banyak. Dan setiap kemunculannya, jumlah itu tidak
pernah kurang atau
bertambah."
"Mereka hanya merampok saja, Ki?" tanya Rangga
lagi. "Mereka juga membunuh siapa saja tanpa kecuali.
Bahkan juga orang tua dan anak-anak! Mereka bukan
lagi manusia. Rangga. Tapi, iblis-iblis yang berujud
manusia. Tindakan mereka sangat kejam, tidak kenal
belas kasihan sedikit pun!"
"Kau tahu, siapa pemimpinnya, Ki?" tanya Pandan
Wangi lagi. "Inilah yang membuatku, dan semua orang jadi bingung. Beberapa tahun yang lalu,
sebelum gerombolan
itu ada dan menguasai lembah, memang ada yang
menghuni lembah itu. Dia adalah gadis yang juga sangat kejam seperti iblis.
Semua orang menjulukinya sebagai si Perawan Lembah Maut. Hanya sekitar dua tahun
Perawan Lembah Maut merajai lembah itu. Dan
setelah satu tahun dia menghilang, gerombolan liar itu
muncul. Tapi mereka juga selalu mengaku sebagai Prajurit Perawan Lembah Maut,"
jelas Ki Gorapati lagi,
dengan gamblang.
"Mungkin gadis itu sekarang memang sudah punya
pasukan, Ki," ujar Pandan Wangi agak menggumam
suaranya. "Entahlah, Nini. Mungkin juga...," desah Ki Gorapati
perlahan. Sesaat mereka terdiam.
"Rasanya, kita harus tahu dulu kekuatan mereka,
Kakang," ujar Pandan Wangi seraya menatap Rangga
yang duduk di sebelah kirinya.
"Ini yang sedang kupikirkan, Pandan," sahut Rangga pelan.
Kembali mereka terdiam membisu. Entah, apa yang
ada dalam benak mereka masing-masing saat ini. Sementara, malam terus merayap
semakin bertambah larut. Dan keadaan di Desa Paringgi ini semakin terasa
sunyi. Malah serangga malam seperti enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir
angin saja yang terdengar menggesek dedaunan.
*** Rangga berdiri tegak di atas puncak sebuah bukit
yang cukup tinggi. Bukit ini seperti membatasi langsung antara Desa Paringgi
dengan Lembah Maut. Dari
atas puncak bukit ini bisa terlihat langsung ke arah
desa. Demikian pula lembah yang selama ini ditakuti
semua orang, hingga tidak ada yang berani masuk ke
dalamnya. Bahkan untuk melewati jalannya saja, tidak
ada yang sudi. Kecuali, memang dalam keadaan terpaksa. Atau mungkin, memang
ingin mati di sana.
"Hm... tidak ada apa-apa di sana. Hanya hutan, semak, dan batu-batu saja," gumam
Rangga perlahan,
dengan pandangan terus tertuju ke arah Lembah
Maut. Pendekar Rajawali Sakti berpaling saat mendengar
suara langkah kaki menuju ke arahnya. Tampak Pandan Wangi dan Ki Gorapati
bersama sekitar sepuluh
orang anak muda, mendaki lereng bukit ini. Sebentar
saja, mereka sudah sampai di tempat Rangga berdiri.
"Sudah kau lihat mereka, Rangga?" tanya Ki Gorapati langsung, begitu tiba di
dekat Pendekar Rajawali
Sakti. "Belum. Bahkan tanda-tandanya saja tidak ada,"
sahut Rangga. "Mungkin mereka sudah tahu kedatanganmu," selak seorang anak muda yang berdiri
di belakang kepala
desa itu. "Benar, Rangga. Mereka pasti takut oleh kedatanganmu," sambung pemuda lainnya.
Rangga jadi tersenyum.
"Orang-orang seperti mereka tidak mengenal kata
takut. Bahkan nyawa mereka sendiri tidak pernah dipikirkan. Kalaupun mereka
mundur, itu hanya untuk
sesaat saja. Untuk mengatur siasat," jelas Rangga, kalem.
"Tapi, kenapa mereka tidak kelihatan setelah kau
datang...?" tanya pemuda di belakang Ki Gorapati lagi.
Rangga tidak bisa menjawab pertanyaan itu, dan
hanya mengangkat bahu saja sedikit. Kembali pandangannya di arahkan ke Lembah
Maut. Masih tetap sama
seperti tadi, sedikit pun tidak terlihat adanya tandatanda kehidupan di sana.
Begitu lengang dan sunyi.
Bahkan terlihat begitu mengerikan dari atas bukit ini.
Kembalilah kalian ke desa. Aku akan melihat ke sa-
na," kata Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.
"Kau sendiri, Rangga...?" Ki Gorapati jadi terperanjat.
Rangga berpaling sedikit, dan tersenyum saja.
"Ayo, Ki," ajak Pandan Wangi setelah melihat lirikan
Pendekar Rajawali Sakti.
"Hati-hati, Rangga. Mereka sangat kejam," ujar Ki
Gorapati memperingatkan.
"Tidak lama aku kembali lagi, Ki," ucap Rangga menenangkan.
Ki Gorapati tak bisa memaksa Pendekar Rajawali
Sakti untuk tak pergi ke Lembah Maut malam- malam
begini. Sementara Pandan Wangi dan pemuda-pemuda
Desa Paringgi sudah berjalan menuruni bukit ini. Sebentar Ki Gorapati berdiri
diam di samping Pendekar
Rajawali Sakti. Dan pandangannya juga terarah lurus
ke Lembah Maut.


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pergilah, Ki," ujar Rangga meminta tanpa berpaling
sedikit pun juga.
"Hati-hati, Rangga."
Setelah berkata demikian, Ki Gorapati bergegas melangkah menuruni puncak bukit
ini. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak di sana, menatap lurus ke
arah Lembah Maut. Dan perlahan kemudian Pendekar
Rajawali Sakti melangkah. Namun setelah berjalan beberapa langkah....
"Hup!"
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat menuruni lereng bukit ini,
menuju ke Lembah
Maut yang kelihatan menghitam pekat berkesan angker. Begitu sempurna ilmu
meringankan tubuhnya,
sehingga hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat di antara gelapnya
malam, dan pepohonan yang
sangat rapat. Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Dan sesekali tubuhnya melesat
naik ke puncak pohon. Lalu dia berlompatan dari satu
pohon, ke pohon lain dengan ringan sekali. Tubuhnya
bagaikan sejumput kapas yang terbawa angin saja.
"Hap...!"
Rangga berhenti, lalu berdiri tegak pada sebatang
cabang pohon yang cukup tinggi dan kuat. Sebentar
pandangannya beredar ke sekeliling. Keningnya agak
berkerut melihat dua tubuh laki-laki tergeletak di tengah jalan. Dan tidak jauh
dari kedua mayat laki-laki
itu, terlihat seorang wanita yang juga tergeletak tidak
bernyawa lagi. Mereka tewas dengan anak panah terhujam di tubuh.
"Hmmm...," Rangga jadi menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti teringat cerita Kariba yang
sebenarnya ditemukan di perjalanan menuju Karang
Setra. Kariba memang dalam keadaan terluka, setelah
bertarung melawan perampok yang menjegalnya di
tengah jalan. Luka yang sangat parah, membuat pemuda itu tidak dapat bertahan
lebih lama lagi. Namun
dia sempat menceritakan semua yang dialami, juga
keadaan Desa Paringgi, sebelum menghembuskan napas yang terakhir. Itu sebabnya,
kenapa Rangga sekarang berada di Lembah Maut ini, setelah datang ke Desa
Paringgi. Kariba memang belum sampai ke Karang Setra, tapi
sudah bertemu orang utama dari Karang Setra. Pendekar Rajawali Sakti, yang juga
raja di Karang Setra.
Hanya saja Kariba tidak tahu kalau yang menolongnya
adalah Raja Karang Setra yang juga pendekar digdaya
dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti.
Dari cerita Kariba yang diingatnya, Rangga sudah
bisa menduga kalau mayat-mayat itu pasti sanak sau-
dara Kariba yang dibunuh orang-orang dari Lembah
Neraka ini. "Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar
Rajawali Sakti melompat turun dari atas pohon ini.
Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun kakinya
menjejak pinggir jalan Lembah Maut ini. Sebentar
pandangannya beredar ke sekeliling. Tidak ada yang
bisa dilihat, kecuali kegelapan yang mengelilinginya.
Perlahan kakinya melangkah menghampiri mayat lakilaki yang bertubuh tegap,
berusia sekitar tiga puluh
tahun. Rangga memeriksa sebentar keadaan tubuh yang
sudah tidak bernyawa itu. Sebatang anak panah tampak menembus dadanya. Dari
warna hitam yang melingkar di sekitar anak panah itu, Rangga sudah bisa
mengetahui kalau panah itu mengandung racun yang
sangat mematikan. Dan baru saja Pendekar Rajawali
Sakti bangkit berdiri, mendadak saja....
Wusss! "Heh"! Upts...!"
Cepat Rangga memiringkan tubuh, begitu telinganya yang tajam mendengar desir
halus dari belakang. Dan seketika terlihat sebatang anak panah meluncur deras,
lewat sedikit saja di samping tubuhnya.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti cepat menarik kakinya ke kanan beberapa
langkah, sehingga debu di jalan ini berkepul seperti tersepak kaki kuda.
Siap! Wusss! Kembali terlihat beberapa anak panah berhamburan ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. Akibatnya, pemuda berbaju rompi putih itu terpaksa melesat ke
udara. Dan tubuhnya langsung berputaran cepat bebe-
rapa kali, menghindari terjangan panah-panah itu.
"Hap!"
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali
di tanah, setelah bisa menghindari semua panah yang
berhamburan menyerangnya. Dan baru saja tubuhnya
bisa ditegakkan, beberapa sosok tubuh berpakaian
serba hitam yang longgar sudah berlompatan keluar
dari balik pohon dan semak belukar di sekitar jalan
ini. Sebentar saja, Rangga sudah terkepung tidak kurang dari sepuluh orang berpakaian
longgar serba hitam. Mereka juga memakai penutup kepala dari kain
hitam yang berbentuk runcing pada bagian atas kepalanya. Memang cukup sulit
untuk melihat wajah mereka, karena lebarnya kain hitam yang menutupi kepala
dan wajah. Hanya warna hitam saja yang terlihat pada
wajah orang-orang ini. Rangga jadi teringat peristiwa
yang pernah dialami.
Orang-orang berpakaian seperti ini, mengingatkannya pada para penyembah iblis.
Dan mereka biasanya
disebut kaum pengikut iblis.
Tapi Rangga tidak bisa berpikir lebih panjang lagi,
ketika orang-orang berpakaian serba hitam itu sudah
berlompatan menyerang sambil mencabut pedangnya.
Dan salah seorang yang berada di depan, cepat membabatkan pedangnya ke arah
leher Pendekar Rajawali
Sakti. "Hap!"
Cepat Rangga menarik kepala ke belakang, sehingga
ujung pedang orang itu hanya lewat sedikit di depan
tenggorokannya. Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi sudah membabatkan
pedangnya ke arah kaki
kiri. Dan Rangga cepat mengangkat kaki kirinya sedikit
menghindari tebasan pedang itu. Dan saat itu juga.
Lengan kirinya dihentakkan ke samping sambil memiringkan tubuhnya ke kanan
dengan kecepatan tak terduga sama sekali.
"Yeaaah...!"
Des! "Akh...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Pendekar
Rajawali Sakti ini, sehingga orang itu tidak dapat lagi
berkelit menghindar. Dan orang itu terpekik agak tertahan dengan tubuh terpental
cukup jauh ke belakang.
Memang, keras sekali tendangan Rangga barusan. Padahal tenaga dalam yang
dikeluarkannya tidak penuh.
Tapi, sudah cukup membuat orang itu tidak bisa cepat-cepat bangkit berdiri.
"Hup! Hiyaaat...!"
Rangga cepat-cepat melenting ke atas, dan hinggap
di batang pohon yang cukup kuat. Tapi pada saat itu,
beberapa batang anak panah sudah meluncur deras ke
arahnya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti cepat
melenting menghindari serangan panah itu. Dan kembali kakinya mendarat di antara
orang-orang berbaju
serba hitam ini.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Gila...!"
*** 4 Pendekar Rajawali Sakti jadi kaget juga, karena
orang-orang berpakaian serba hitam ini langsung saja
menyerang, begitu kakinya menjejak tanah. Terpaksa
Rangga harus berjumpalitan menghindari serangan-
serangan yang datang dengan cepat dari segala arah
ini. Seketika segera dikerahkannya jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib', hingga serangan-serangan orang berpakaian serba hitam itu tidak
ada yang bisa mencapai
sasaran. "Hap! Yeaaah...!"
Begitu memiliki kesempatan, Pendekar Rajawali
Sakti langsung melenting ke udara. Dan saat itu juga
jurusnya dirubah menjadi jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tepat di saat
tiga orang lawannya juga melesat mengejar ke udara.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, cepat bagai kilat Rangga mengebutkan kedua
tangannya yang terentang lebar. Begitu cepatnya, sehingga tiga orang berpakaian
serba hitam itu tidak dapat lagi menghindarinya.
Maka jeritan-jeritan panjang pun terdengar menyayat
saling susul. Tampak ketiga orang itu jatuh terjerembab dengan bagian kepala
berlumuran darah. Sementara dengan gerakan manis, Rangga kembali menjejakkan
kakinya di tanah.
"Hhh!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung bersiap menanti
serangan. Tapi, tampaknya orang-orang berpakaian
serba hitam ini jadi gentar juga melihat ketangguhan
lawannya. Tidak ada seorang pun yang maju menyerang lagi, walau sikap mereka
masih tetap mengepung,
dengan senjata terhunus di tangan. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sudah
menyilangkan kedua tangannya yang terkepal di depan dada, siap mengeluarkan
jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali Sakti' tingkat terakhir. Ini bisa dilihat
dari kedua kepalan tangan
Rangga yang telah memerah seluruhnya, bagai besi
terbakar dalam tungku.
"Ayo maju kalian semua, Iblis-Iblis Keparat!" geram
Rangga sudah langsung memuncak amarahnya.
Rangga memang sudah geram, setelah melihat tiga
mayat yang tergeletak di jalan ini. Terlebih lagi, setelah
melihat keadaan Desa Paringgi. Pendekar Rajawali
Sakti rupanya saat ini tidak ingin tanggung-tanggung
lagi menghadapi orang-orang berpakaian seperti kaum
pengikut iblis ini.
Dan pada saat itu, terdengar hentakan-hentakan
kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kecepatan tinggi
dari ujung jalan. Begitu kerasnya hentakan itu, membuat bumi yang dipijak jadi
terasa bergetar bagai diguncang gempa. Dan saat itu juga, terlihat orang-orang
berpakaian serba hitam ini bergerak berputar merapat
kepungan. Pedang-pedang mereka pun sudah bergerak-gerak melintang di depan dada.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat puluhan penunggang kuda berpacu cepat
menuju jalan ini, dari
dalam lebatnya hutan di ujung jalan Lembah Maut.
Seketika, Pendekar Rajawali Sakti jadi terkesiap begitu
melihat semua penunggang kuda itu mengenakan baju
hitam yang disambung dengan penutup kepala berbentuk runcing. Pakaian yang sama
seperti yang kini sedang mengepungnya. Dan jumlah mereka juga begitu
banyak, ada sekitar lima puluh orang.
"Celaka...! Bisa-bisa aku kehabisan tenaga kalau
begini...," desis Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Dan tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali
Sakti langsung melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu
dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna,
tubuhnya melesat
cepat Sehingga orang-orang berpakaian serba hitam
yang mengepungnya, jadi tersentak kaget tidak menyangka.
Namun belum juga hilang rasa keterkejutan mereka, Pendekar Rajawali Sakti sudah
lenyap tak terlihat
lagi bayangannya. Sementara orang-orang yang menunggang kuda, sudah sampai di
tempat ini. Tampak
berkuda paling depan, adalah seseorang yang berbaju
hitam pekat dan sangat ketat Sehingga memetakan lekuk-lekuk tubuhnya yang
ramping, dengan bagian dada menyembul indah. Meskipun seluruh kepalanya
memakai kerudung hitam dan wajahnya mengenakan
topeng berbentuk tengkorak, namun dari bentuk tubuhnya sudah bisa dipastikan
kalau dia adalah wanita.
Wanita bertopeng itu lalu melompat turun dari kudanya. Gerakannya begitu ringan,
sehingga sedikit pun
tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah.
Dari sini bisa dipastikan kalau wanita itu memiliki kepandaian tinggi.
Saat itu juga, mereka yang tadi bertarung melawan
Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri, berlutut di
depan wanita bertopeng tengkorak ini. Sementara, penunggang-penunggang kuda lain
berlompatan turun
dari punggung kudanya. Tanpa diperintah lagi mereka
langsung bergerak menyebar, mengelilingi tempat ini.
"Siapa lawan kalian tadi?" tanya wanita bertopeng
tengkorak itu, sambil melangkah beberapa tindak.
Suaranya terdengar sangat datar dan tanpa tekanan
sedikit pun. Begitu datar, seakan-akan bicara melalui
perut saja. Sementara, orang-orang berpakaian serba
hitam yang tadi bertarung tetap berlutut dengan kepala tertunduk menekuri tanah
di depannya. "Kami tidak tahu, Nini. Tapi, tampaknya bukan
orang Desa Paringgi. Baru kali ini kami melihatnya,
Nini," sahut salah seorang sambil mengangkat kepala
perlahan. "Bagaimana kalian bisa kehilangan banyak begini,
heh..."!"
"Dia sangat tangguh, Nini. Sulit merobohkannya."
"Huh...!"
Wanita bertopeng tengkorak itu mendengus berat.
Beberapa saat dipandanginya mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya.
Mungkin dari balik topeng
tengkoraknya bisa diduga kalau wajahnya jadi memerah menahan geram, melihat
pengikut-pengikutnya
terbunuh hanya oleh satu orang saja.
"Bukankah kalian yang kuperintahkan menggempur
Desa Paringgi...?" tanya wanita bertopeng tengkorak,
dingin. "Benar, Nini," sahut orang berjubah hitam itu lagi.
"Lalu, kenapa kalian mengurusi pekerjaan yang bukan urusan kalian, heh..."!"
"Anak muda itu sangat mencurigakan sikapnya, Nini. Kami memperhatikannya waktu
datang ke sini.
Mayat-mayat itu diperiksanya sambil menggumam beberapa kali. Aku tidak tahu, apa
yang digumamkannya. Lalu kami langsung menyerang, waktu dia memandang lurus ke
tempat kita, Nini," jelas orang itu.
"Anak muda katamu, heh..."!"


Pendekar Rajawali Sakti 104 Perawan Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, Nini. Usianya mungkin baru sekitar dua puluh tahun. Tapi, kepandaiannya
sangat luar biasa. Gerakan-gerakkannya sungguh cepat, hingga kami semua sulit
mendesaknya."
"Hmmm.... Kau tahu, siapa dia?"
"Tidak, Nini."
"Kau bisa sebutkan ciri-cirinya?"
"Bisa, Nini."
"Katakan...."
"Dia masih muda. Pakaiannya baju rompi putih.
Dan membawa pedang bergagang kepala burung di
punggung. Rambutnya panjang ter...."
"Cukup...!" sentak wanita bertopeng tengkorak itu
memutuskan kata-kata pengikutnya.
Orang berjubah hitam langsung menghentikan kata-katanya. Sementara, wanita
bertopeng tengkorak itu
tampak tertegun dengan jari-jari tangan berada di dagunya yang tertutup topeng
kulit. Dari balik topengnya, terpancar sorot mata yang tajam. Jelas, ada sesuatu
yang sedang dipikirkannya.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Hm.... Aku yakin, pasti
dia," gumam wanita bertopeng tengkorak itu perlahan,
seperti bicara pada diri sendiri.
Sementara tidak ada seorang pun yang bersuara
sedikit pun. Dan wanita bertopeng tengkorak itu memutar tubuhnya berbalik, lalu
melangkah menghampiri kudanya yang dipegangi salah seorang pengikutnya.
Diambilnya tali kekang kudanya. Lalu dengan gerakan
ringan sekali, dia melompat naik ke atas punggung
kudanya. "Ayo kembali...!" seru wanita itu memberi perintah.
Tanpa seorang pun yang membantah, mereka yang
datang bersamanya bergegas berlompatan naik ke
punggung kuda masing-masing. Sementara wanita
bertopeng tengkorak itu memandangi pengikutnya
yang masih tetap berlutut di tanah.
"Cabut pedang kalian!" perintah wanita itu tegas.
"Nini..."!"
Mereka jadi tersentak kaget, tapi tidak bisa membantah lagi. Dengan tangan
terlihat gemetar, mereka
meloloskan pedang masing-masing. Kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas
kepala. Dan.... Jleb!
Hampir bersamaan, mereka menghujamkan pedang
itu ke tubuhnya sendiri tanpa keluhan sedikit pun juga. Dan mereka yang tadi
bertarung dengan Pendekar
Rajawali Sakti langsung ambruk ke tanah dengan pedang tertancap di dada masing-
masing. "Ayo, tinggalkan mereka!" perintah wanita itu sambil memutar kudanya.
Dan mereka langsung bergerak cepat, memacu kudanya meninggalkan jalan tanah yang
berada di pinggiran Lembah Maut ini. Cepat sekali mereka berpacu,
hingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Sementara
tanpa ada seorang
pun yang tahu, dari atas sebatang pohon yang cukup
tinggi dan terlindung, Rangga memperhatikan semua
peristiwa itu dengan hati tercekat.
"Edan...! Manusia atau iblis perempuan itu...," kutuk Rangga dengan suara
mendesis. *** Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak bisa
memahami sikap wanita bertopeng tengkorak yang dilihatnya malam ini. Pengikutnya
yang tidak bisa menjalankan tugas, harus bunuh diri. Baru kali ini dilihatnya
ada seorang pemimpin bertindak demikian kejamnya pada anak buahnya. Tapi, Rangga
tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya, karena harus segera kembali ke
Desa Paringgi. Dan secepatnya, Pendekar Rajawali Sakti harus menghentikan
manusiamanusia biadab dari Lembah Maut itu.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh
yang sudah sempurna, dalam waktu tidak berapa lama
saja Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali di Desa
Paringgi. Pendekar muda dari Karang Setra itu langsung menuju rumah Ki Gorapati.
Di rumah kepala desa itu, bukan hanya Ki Gorapati
saja yang sudah menunggu. Tapi, Pandan Wangi dan
beberapa orang yang tampaknya sudah siap menghadapi orang-orang dari Lembah
Maut. "Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ki," ujar
Rangga langsung, sambil menghempaskan tubuhnya
di kursi kayu di beranda depan rumah Kepala Desa
Paringgi ini. "Apa yang ingin kau ketahui, Rangga?"
"Orang-orang Lembah Maut"
"Kau sudah temukan mereka?"
"Sudah."
"Lalu...?"
"Kau tahu, siapa pemimpinnya, Ki?" Rangga balik
bertanya. Ki Gorapati hanya menggeleng saja.
"Dia seorang wanita, memakai topeng tengkorak,"
ujar Rangga memberi tahu.
"Wanita bertopeng tengkorak...?"
Tampak sekali kalau Ki Gorapati terkejut mendengar penjelasan Pendekar Rajawali
Sakti barusan. "Ya! Kau kenal, Ki...?"
"Perawan Lembah Maut..," desis Ki Gorapati perlahan.
Begitu pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar. Sementara Rangga
memandangi laki-laki setengah baya itu dengan sinar mata begitu dalam. Sedangkan
yang dipandangi jadi termangu, seperti ada
sesuatu yang menghantui pikirannya. Dan untuk beberapa saat, mereka semua
terdiam membisu.
Dan mereka yang mendengar kalau orang-orang
berpakaian serba hitam itu dipimpin si Perawan Lembah Maut, jadi tidak bisa lagi
membuka suara. Julukan itu memang sudah sering kali terdengar. Dan bagi
yang pernah mendengarnya, rasanya tak akan berani
lagi membuka suara untuk membicarakannya. Mereka
tahu, tindakan wanita yang berjuluk si Perawan Lembah Maut itu sangat kejam.
Bahkan kekejamannya
melebihi iblis-iblis neraka. Inilah yang membuat mereka jadi terdiam. Dan dari
raut wajah mereka, jelas sekali terpancar rasa kekhawatiran. Mereka takut
kalaukalau si Perawan Lembah Maut itu datang ke desa ini
kembali, dan membumihanguskan dengan tuntas.
"Kau pasti sudah dengar banyak tentangnya, Rangga...," ujar Ki Gorapati
perlahan. "Sedikit," sahut Rangga agak mendesah.
"Kau tadi bertarung dengan orang-orangnya?" tanya
Ki Gorapati lagi.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Kau sempat membunuh mereka?"
Untuk kedua kalinya Rangga hanya mengangguk
saja, namun keningnya kini terlihat sedikit berkerut.
Pendekar Rajawali Sakti heran juga mendengar pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan kepala desa ini.
Tapi, semua keheranannya masih tersimpan dalam hati. Sementara, Ki Gorapati
menghembuskan napas
panjang-panjang.
"Kau tahu, apa akibatnya kalau mereka tahu kalau
kau ada di sini, Rangga" Mereka akan datang ke sini,
dan benar-benar akan menghancurkan desa ini hingga
rata dengan tanah," jelas Ki Gorapati tetap terdengar
pelan suaranya.
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Ki," ujar
Rangga tegas. "Aku percaya padamu, Rangga. Tapi jumlah mereka
pasti sangat banyak. Bahkan berkepandaian tinggi.
Aku rasa, semua penduduk desa ini tidak akan sanggup menghadapinya. Sedangkan
kau.... Hanya kau
dan Pandan Wangi saja yang memiliki kepandaian ilmu
olah kanuragan. Rangga...., maaf kalau aku jadi cemas
dan...," Ki Gorapati tidak melanjutkan ucapannya.
"Aku mengerti kecemasanmu, Ki," kata Rangga,
langsung bisa memahami.
"Untuk menghadapi mereka, memang dibutuhkan
satu pasukan prajurit terlatih," kata Ki Gorapati lagi.
"Tidak ada waktu lagi untuk meminta prajurit datang ke sini, Ki. Mereka akan
kuhadapi dan mencoba
menghancurkan di luar desamu ini," tegas Rangga lagi.
"Apa yang akan kau lakukan, Rangga?" tanya Ki
Gorapati tidak mengerti.
"Aku akan mendahului mereka, Ki," sahut Rangga
seraya tersenyum.
"Maksudmu.... Kau akan mendatangi mereka di
Lembah Maut...?" terdengar tersedak suara Ki Gorapati.
Rangga hanya tersenyum saja, sambil mengangguk.
"Jangan, Rangga. Terlalu berbahaya datang ke sana...," cegah Ki Gorapati.
"Jangan khawatir, Ki. Aku bisa menjaga diri. Dan
tentunya aku juga tidak mau mati di sana. Percayalah.
Jika Sang Hyang Widi mengizinkan, aku pasti selamat.
Dan mereka tidak akan lagi mengganggu desa ini untuk selamanya," tugas Rangga
lagi, mencoba menenangkan perasaan kepala desa ini.
Ki Gorapati tidak bisa lagi berkata-kata. Dan memang, keinginan Rangga untuk
pergi ke Lembah Maut
tidak mungkin bisa dicegah lagi. Sementara, Pandan
Wangi yang mendengarkan semua percakapan itu
hanya diam saja membisu. Entah apa yang ada dalam
benaknya saat ini. Gadis itu sendiri tidak mungkin bisa mencegah Rangga untuk
pergi ke Lembah Maut, sebelum mereka menghancurkan desa ini.
Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan suasana di Desa
Paringgi ini terasa be-
gitu sunyi. Tapi, tampaknya malam ini orang-orang dari Lembah Maut itu tidak
akan muncul. Dan Rangga
memang sudah membuat mereka mundur, sebelum
mencapai desa ini.
*** Pagi-pagi sekali Rangga sudah berada di depan rumah Ki Gorapati. Kuda hitam yang
bernama Dewa Bayu sudah disiapkan untuk menemaninya pergi ke
Lembah Maut hari ini juga. Pendekar Rajawali Sakti
hanya melirik sedikit saja ketika mendengar suara
langkah-langkah kaki menghampiri. Pekerjaannya dalam membenahi pelana kudanya
segera dihentikan begitu yang dilihat datang adalah Pandan Wangi.
"Sudah kau siapkan kudaku, Kakang?" tanya Pandan Wangi langsung, begitu dekat.
"Sudah," sahut Rangga seraya tersenyum.
Rangga mengencangkan tali pengikat pelana, kemudian menepuk leher Dewa Bayu
beberapa kali dengan lembut. Kuda hitam itu mendengus-dengus sambil
menghentakkan kaki depannya beberapa kali. Rangga
hanya tersenyum saja melihat tingkah kuda tunggangannya. Sementara Pandan Wangi
sudah memeriksa
kelengkapan kuda putihnya yang tinggi dan gagah.
"Berangkat sekarang, Kakang...?" ujar Pandan Wangi lagi, seraya melirik sedikit
pada Pendekar Rajawali
Sakti. "Memang sebaiknya begitu, Pandan. Sebelum ada
penduduk yang bangun," sahut Rangga.
"Tidak pamitan dulu pada Ki Gorapati?"
Rangga tidak menjawab. Ditatapnya rumah Ki Gorapati yang kelihatan begitu sunyi.
Memang, semalam
mereka mengobrol di beranda depan rumah ini sampai
larut. Dan yang pasti, Ki Gorapati juga masih mendengkur di pembaringannya.
Tidak terlihat seorang
pun yang menjaga rumah ini. Mereka semua begitu
yakin kalau orang-orang dari Lembah Maut tak akan
muncul. Jadi, kesempatan ini digunakan untuk beristirahat.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat
naik ke punggung kudanya. Sementara, Pandan Wangi
masih saja tetap berdiri di samping kudanya sendiri.
Rangga memandangi gadis cantik yang dikenal sebagai
si Kipas Maut. "Mau ikut, Pandan...?" Rangga menawarkan.
"Aku tidak akan pergi sebelum berpamitan dengan
Ki Gorapati," tegas Pandan Wangi.
"Ki Gorapati pasti belum bangun, Pandan...."
"Sepicing pun mataku tidak bisa terpejam...."
Kedua pendekar muda itu jadi terkejut, ketika tibatiba saja terdengar suara dari
arah rumah kepala desa
ini. Dan begitu berpaling, tampak Ki Gorapati sudah
berdiri di ambang pintu.
"Kalian akan berangkat sekarang juga?" tanya Ki
Gorapati tanpa beranjak sedikit pun juga.
"Ya, sebelum semua penduduk bangun, Ki," sahut
Rangga. "Baiklah, Rangga. Aku tidak bisa berkata apa-apa
lagi padamu. Dan aku hanya bisa berharap, mudahmudahan berhasil melenyapkan
mereka," ujar Ki Gorapati. "Maaf, aku tidak bisa membantumu lebih banyak lagi."
"Kau sudah cukup berbuat, Ki," ujar Rangga cepatcepat.
Ki Gorapati hanya tersenyum saja.
"Kami pergi dulu, Ki," pamit Rangga.
"Hati-hatilah kalian...," sambut Ki Gorapati.
Pandan Wangi baru melompat naik ke punggung
kudanya. Sementara, Rangga sudah menghentakkan
tali kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu bergerak melangkah perlahan-lahan.
Dan sebentar saja,
Pandan Wangi sudah menyejajarkan langkah kaki kudanya di samping kuda hitam Dewa
Bayu tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terus
mengendalikan kuda perlahan-lahan, keluar dari Desa
Paringgi ini. Dan setelah melewati perbatasan desa,
mereka baru memacu cepat kudanya. Tapi Rangga
sengaja tidak memacu kudanya dengan kecepatan penuh, dan tetap sejajar di
samping kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi.
Tepat di saat matahari baru menampakkan cahayanya di ufuk timur, kedua pendekar
itu sampai di jalan yang sunyi dan tidak pernah lagi dilalui orang.
Mereka menghentikan lari kudanya, di tempat semalam Rangga bertarung. Tampak
mayat- mayat masih
bergelimpangan di jalan ini.
"Di sini kau bertarung, Kakang?" tanya Pandan
Wangi. "Ya," sahut Rangga mendesah pelan, seraya mengangguk.
Pendekar Rajawali Sakti memang sudah menceritakan semua yang dialami semalam
pada Pandan Wangi.
Dendam Asmara Liar 1 Anak Harimau Karya Siau Siau Pendekar Lengan Buntung 1
^