Pencarian

Sepasang Pendekar Bertopeng 2

Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng Bagian 2


orang bertopeng itu. Tulang dadanya yang sebelah kiri
melesak ke dalam, dan membuat jantungnya pecah.
Setelah menggelepar, tubuhnya diam tak berkutik
lagi. Mati! "Huh! Mampuslah kalian semua! Tak ada seorang
pun yang akan tersisa dari tanganku, atas apa yang
pernah kalian lakukan pada kedua orang tuaku!"
dengus orang bertopeng dingin.
Setelah berkata demikian Panjalu pun melesat
meninggalkan tempat itu. Gerakannya gesit dan cepat
bukan main. Sehingga dalam waktu singkat, tubuhnya
lenyap di balik tikungan jalan.
5 Ki Ajar Ningrat geram bukan main, karena merasa
dipermainkan orang yang tak jelas rupanya. Telah
cukup lama mengejar, namun belum juga bisa
dipastikan, siapa sebenarnya bayangan kuning itu.
Gerakannya cepat luar biasa. Agaknya itu memang
disengaja, untuk
menunjukkan kalau
ingin meninggalkan pengejarnya, maka bukan persoalan
susah. Ki Ajar Ningrat bertambah penasaran saja, sebab
meskipun telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak dapat
mengejar. Sementara,
padepokannya sendiri sudah tertinggal jauh. Dan kini
orang tua itu mulai sadar kalau telah terpancing.
Sebenarnya tadi pun sudah disadarinya. Namun, dia
merasa malu kalau sampai berhenti dan membiarkan
orang yang dikejar mempermainkan dirinya. Namun
setelah sekian lama berlari, napasnya mulai tak
beraturan. Bahkan tenaganya sudah banyak terkuras.
Kalau begini terus-menerus tentu tenaganya akan
habis. Sementara, orang yang diburunya itu tak
menunjukkan keletihan sama sekali.
"Setan! Agaknya dia memang sengaja membuatku
letih dan memancingku jauh ke sini!" maki orang tua
itu, seraya menghentikan langkah dan mengatur
napasnya. "Hi hi hi...! Orang tua busuk, apakah kau akan
memilih tempat kematianmu di sini"!"
Tiba-tiba terdengar tawa mengikik, yang disertai
suara meledek terhadap Ki Ajar Ningrat
"Heh"!"
Ki Ajar Ningrat terperanjat kaget Dan belum habis
kekagetannya, mendadak di depannya melesat turun
sesosok tubuh ramping, mengenakan topeng
berwarna merah darah. Orang inikah yang tadi
dikejarnya"
"Siapa kau"!" bentak Ki Ajar Ningrat, mengancam.
"Kau tak perlu tahu. Namun kalau ingin tahu
tujuanku, aku menghendaki nyawamu," sahut orang
bertopeng itu datar.
"Siapa kau sebenarnya"! Tak ada angin tak ada
hujan, akan menean urusan dengan orang lain. Kalau
bukan sinting, kau pastilah orang sok jago!" dengus
Ki Ajar Ningrat gemas.
"Hi hi hi...! Apa pedulimu dengan urusanku" Mau
sinting atau tidak, itu bukan urusanmu. Tapi kaulah
yang terlalu usil. Bahkan kejam tak berperikemanusiaan, saat membunuh Ki Dewoko dan
Nyi Kumiasih. Kalian telah membakarnya hiduphidup. Padahal, dia tak bersalah dan
tak tahumenahu soal kitab itu. Atas nama mereka, aku
menuntut balas padamu. Bersiaplah, Orang Tua Mina,
kata orang bertopeng itu.
"Phuih! Siapa pun kau, majulah. Aku tak takut
padamu!" sahut Ki Ajar Ningrat garang sambil bersiap
membuka jurus. "Hiyaaat...!"
Orang bertopeng yang sebenarnya adalah Ismi itu
memulai serangannya sambil membentak nyaring.
Kepalan tangan kanannya menghantam ke arah
dada. Namun sigap sekali Ki Ajar Ningrat menggeser
tubuhnya ke samping, dan seraya mengayunkan satu
tendangan ke arah perut. Sayang bersamaan dengan
itu tubuh Ismi telah melenting tinggi sambil membuat
putaran. Maksudnya, hendak menghantam rahang
lawan dengan tendangan kaki kanannya.
Wut! "Uts...!"
Ki Ajar Ningrat cepat membuat salto dengan kedua
kaki mengincar perut Ismi. Tapi gadis itu tak peduli.
Kakinya tetap dihantamkan, membawa dua buah
serangan yang masing-masing hendak menginjak
dada, dan sekaligus menyapu tendangan orang tua
itu. Plak! "Hiiih!"
Orang tua itu kontan meringis menahan ngilu
akibat benturan barusan. Dan situ bisa diketahui
kalau tenaga dalam orang bertopeng itu lebih kuat
Itulah sebabnya, dia cepat bergulingan untuk menghindari diri dari pijakan.
"Yeaaa...!"
Namun dengan cepat tubuh orang bertopeng itu
melayang mengikuti gerakannya. Bahkan lebih dulu
berada di depan, mencegat tubuh Ki Ajar Ningrat yang
masih bergulingan. Sambil berputar, dilepaskannya
satu sapuan ke arah perut.
"Hih! "Uts!"
Untung saja orang tua itu cepat mengetahui,
seketika tubuhnya melentifjg menghindari dan melompat ke belakang. Namun, orang
bertopeng itu tak
menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya langsung
melesat mengejar, sambil mengayunkan kepalan
tangan kanan yang berisi tenaga dalam kuat. Begitu
cepat serangannya, sehingga Ki Ajar Ningrat tak
mungkin mampu menghindar. Dan....
Begkh! "Aaakh...!"
Ki Ajar Ningrat menjerit setinggi langit, ketika
tulang rusuk bagian kanannya terdengar patah
terhantam pukulan orang bertopeng itu. Tubuhnya
kontan terpental disertai rasa nyeri yang tak tertahankan.
Mendadak, pada saat tubuh Ki Ajar Ningrat sedang
melayang. Dari arah berlawanan melesat sosok
bayangan coklat seperti menyambutnya. Sekilas,
bayangan coklat itu bermaksud menolongnya. Namun
tak disangka-sangka, ternyata sosok berpakaian
coklat itu, melepaskan satu pukulan maut yang
membuat Ki Ajar Ningrat tak sempat menjerit.
Tubuhnya kontan melayang berbalik sejauh satu
tombak dengan kepala remuk. Nyawanya langsung
melayang, sebelum tubuhnya jatuh tersungkur di
tanah. "Kakang! Ternyata kau cepat juga menyelesaikan
tugasmu...!" seru orang bertopeng berpakaian kuning
yang tadi menjadi lawan Ki Ajar Ningrat.
Sosok bayangan coklat yang baru datang itu
berperawakan tegap dan juga memakai topeng berwarna merah darah. Kedua orang
bertopeng ini memandang sekilas kepada mayat orang yang mulai
menyebarkan bau busuk itu. Mereka lalu membuka
tutup kepalanya, dan menyimpan kain merah darah
itu di balik baju. Maka kini terlihat wajah sebenarnya
di balik topeng itu!
*** Yang berbadan tegap terbungkus pakaian coklat
adalah seorang pemuda gagah berusia sekitar dua
puluh lima tahun. Bentuk mukanya segi empat
dengan rahang menonjol, dan dihiasi kumis tipis.
Sorot matanya jernih dan tajam, menandakan kecerdasan otaknya. Namun dari
wataknya, terpancar
kekejaman hatinya.
Sedangkan yang bertubuh ramping terbungkus
pakaian kuning adalah seorang gadis berusia sekitar
dua puluh tahun. Wajahnya manis dan berkulit
kuning. Rambutnya sebatas bahu. Dengan celana
pangsi warna hijau dan ikat pinggang dari kain merah,
terlihat pas dengan kulitnya.
Mereka memang Panjalu dan Ismi, yang sebelas
tahun lalu dikejar-kejar tokoh persilatan. Dan ketika
dikejar tokoh hitam yang bernama Kaliambar,
keduanya terjatuh di jurang. Untung saat itu mereka
tersangkut di sebuah pohon yang tumbuh di tebing
jurang. Sehingga, nyawa mereka selamat Dan dengan
merayapi tebing jurang, mereka terus turun ke
dasarnya. Ketika menemukan sebuah goa mereka
memasukinya. Ternyata di sana mereka menemukan
kitab berisi jurus-jurus silat dan ilmu kesaktian.
Setelah dipelajari selama sebelas tahun, kini mereka
jadi ancaman tokoh-tokoh persilatan yang pernah
mengejar-ngejar mereka dan membunuh orangtua
mereka. "Kakang! Apakah sudah kau bereskan mereka
semua?" tanya Ismi.
"Sudah. Bahkan tak kusisakan seorang pun juga!"
sahut Panjalu, dengan dengusan.
Mendengar itu, Ismi tertawa girang. Matanya yang
berkilat tajam, sekilas terlihat indah dan menawan.
Namun kalau diperhatikan lebih seksama, akan
tersirat hawa kebengisan dan dendam membara yang
bergejolak hebat di hatinya.
"Apakah kita akan langsung menuju ke tempat
kediaman Ki Kaliambar itu, Kakang?" tanya Ismi
kembali. "Bagaimana menurutmu" Apakah kita biarkan
dulu mereka saling berbaku hantam atau tangan kita
sendiri yang menghabisi?" Panjalu malah balik
bertanya. "Bagiku, keduanya sama saja. Mereka mati di
tangan kita atau bukan, yang penting dendam kita
sudah terbalas bukan?"
"He he he...! Kau memang cerdik, Ismi. Tapi aku
belum puas kalau belum menyaksikan sendiri
kematian mereka."
"Maksud, Kakang?"
"Bagaimana kalau kita ke sana, dan memastikan
kematian mereka."
"Hm.... Usul yang baik, meskipun masih banyak
lagi yang harus dikerjakan...."
"Aku mengerti, Ismi. Masih banyak lagi orang-orang
yang harus merasakan dendam kita. Tapi, yakinlah.
Kita akan membereskan mereka satu persatu. Nah,
rnari kita kerjakan apa yang bisa dikerjakan lebih
dulu!" ujar Panjalu.
"Baiklah...," sahut gadis itu.
*** Panjalu dan Ismi telah berlari cepat menuju ke
satu arah. Namun, mendadak langkah mereka terhenti ketika melihat dua ekor kuda
beriari kencang
dari arah yang berlawanan. Pemuda itu terkejut
ketika melihat dua ekor kuda berbulu hitam dan putih
yang telah dikenalnya. Tak salah lagi, dua orang
penunggang kuda itu pernah bertemu dengannya.
Mendadak ditarik lengan adiknya untuk berhenti.
"Kenapa?" tanya Ismi, bingung.
"Ssst...! Bersikaplah seperti orang desa yang
bodoh dan tak mengerti apa-apa...," ujar pemuda itu.
"Kakang, apa maksudmu" Aku tak mengerti?"
tanya gadis itu bingung.
"Sudahlah. Turuti apa kata-kataku saja!"
Meskipun gadis itu terlihat bingung, namun menurut saja apa yang dikatakan
kakaknya. Dan benar
saja dugaan anak muda itu. Ternyata kedua
penunggang kuda yang baru berhenti persis di depan
kakak beradik itu adalah sepasang anak muda. Yang
seorang adalah pemuda tampan memakai baju rompi
putih. Sedangkan yang berkuda di sebelahnya adalah
seorang gadis memakai baju biru muda. Tampak
sebuah kipas berwarna keperakan terselip di
pinggang, dan sebilah pedang bergagang kepala naga
tersampir di punggung.
"Tuan Pendekar Rajawali Sakti! Oh, senang sekali
bisa bertemu denganmu kembali!" sapa pemuda
berbaju coklat itu sambil memberi hormat. Demikian
juga adiknya. Pemuda berbaju rompi putih itu memang Rangga,
alias Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis di
sebelahnya adalah Pandan Wangi. Tampak bibirnya
tersenyum lebar, melihat pemuda yang beberapa hari
lalu pernah ditolongnya saat tengah pingsan.
"Hm.... Kau Soreang, bukan?"
"Betul, Tuan Pendekar!" sahut orang yang
mengaku Soreang, dan sebenarnya Panjalu.
"Ah! Jangan menyebutku Tuan Pendekar. Panggil
saja aku Rangga...."
"Oh! Rasanya kurang pantas. Tuan adalah seorang
pendekar besar. Dan lebih dari itu, aku berhutang
budi padamu. Bagaimana mungkin aku bisa
menyebut nama begitu saja," kata Soreang.
"Hm.... Ternyata bantuan sepele saja masih kau
ingat. Sudahlah.... Yang penting kalau kau bemiat
menghormatiku, kenapa tak menyebutkan namaku"
Dan itu berarti kau menganggapku sebagai kawan.
Nah, bagaimana?" ujar Rangga, tersenyum manis.
"Eh, baiklah kalau memang demikian..."
"Begitukan lebih baik. Apa yang sedang kalian
lakukan di sini. Dan, siapa gadis itu?"
"Oh.... Ini Dewi, adikku. Kami..., kami...," pemuda


Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tak meneruskan kata-katanya. Kepalanya
tertunduk. Sekilas, Rangga bisa menangkap kesedihan di
wajah mereka. "Kenapa, Soreang" Apa yang telah terjadi pada
kalian?" "Se..., sejak peristiwa beberapa hari yang lalu, aku
merasa perlu untuk belajar ilmu silat untuk membela
diri. Maka, aku dan adikku pun pergi ke Padepokan
Muria yang diketuai Ki Ajar Ningrat. Namun baru saja
menjadi muridnya, malapetaka telah terjadi. Dua
orang manusia bertopeng datang tiba-tiba dan
mengacau. Ki Ajar Ningrat binasa di tangan mereka.
Begitu juga beberapa orang tamunya yang hari itu
berkunjung. Beberapa muridnya banyak yang tewas.
Sementara yang lainnya menyelamatkan diri,
termasuk kami. Tuan..., eh! Rangga, tolonglah kami!
Kedua manusia bertopeng itu barangkali masih
mengamuk di sana!" jelas pemuda yang bernama
Soreang sambil menjura hormat.
"Hm.... Kedua manusia bertopeng merah darah?"
"Betul! Dari mana kau tahu"!"
"Sepanjang perjalanan, aku mendengar berita itu.
Jauhkah padepokan itu dari sini"!"
"Cukup jauh juga. Namun bila berkuda, mungkin
tak akan terasa...."
"Kalau demikian, naiklah di belakangku. Dan
adikmu suruh naik di belakang kawanku ini!"
"A..., apakah kau akan mengajak kami kembali ke
padepokan?"
"Aku ingin bertemu kedua orang bertopeng itu!"
"Eh! Ng..., baiklah. Mari, Dewi!" ajak Soreang,
seraya melompat ke belakang punggung kuda
Rangga. Demikian pula gadis yang dipanggil Dewi. Dia
melompat ke belakang Pandan Wangi.
Dan tak berapa lama kemudian, mereka kembali
memutar arah menuju Padepokan Muria!
*** Menjelang senja, Rangga, Pandan Wangi, dan
kakak beradik itu tiba di Padepokan Muria. Dalam
perjalanan tadi, mereka menemukan beberapa
sosok mayat yang bergelimpangan di tepi jalan.
Mayat-mayat itu tak lain murid-murid Padepokan
Muria, seperti yang dikatakan Soreang pada Rangga.
Kini di halaman depan padepokan, sambil ber-jalan
perlahan-lahan mereka menemukan tiga sosok mayat
dengan tubuh nyaris membusuk, menebarkan aroma
menusuk hidung. Ketiganya tidak bisa dikenali lagi
wajahnya. Rangga menggeleng dengan wajah geram.
Padepokan itu pun terlihat berantakan. Bahkan
beberapa pohon tumbang. Agaknya, tadi memang
telah terjadi pertarungan cukup seru. "Apakah salah
satu di antara tiga mayat itu guru kalian?" tanya
Rangga, menunjuk ketiga mayat itu.
"Entahlah, kami tak yakin. Tapi kalau melihat dari
baju yang dikenakan rasanya bukan...," sahut
Soreang, dengan wajah sedih.
"Lalu, ke mana kira-kira gurumu itu" Apakah dia
melarikan diri?"
"Tidak! Guru kami tak sepengecut itu. Mungkin
mengejar manusia bertopeng yang kabur, setelah
melakukan pembunuhan keji ini," jelas Soreang.
Ketika mereka tadi menuju ke sini, memang tidak
melewati tempat mayat Ki Ajar Ningrat terbujur.
Mereka, memang mencari jalan lain yang lebih
singkat, sehingga menemukan mayat para murid
utama padepokan ini.
"Tahukah kalian, ke mana kira-kira perginya orang
bertopeng itu?" tanya Pandan Wangi yang sejak tadi
lebih banyak berdiam diri.
Gadis itu agaknya merasa kurang menyukai kedua
kakak beradik ini. Ada sesuatu dari mereka yang
membuatnya curiga. Dari pertama kali bertemu
Soreang, Pandan Wangi pun sudah merasa curiga.
Mereka sama sekali tak memberi kesan sebagai
orang desa. Atau barangkali hanya karena naluri
kewanitaannya belaka" Mungkin ada hal lain yang
membuatnya menduga demikian.
Soreang menggeleng lemah.
"Mereka membunuh sembarang orang?" tanya
Rangga. "Kami sama sekali tak tahu-menahu soal mereka.
Juga, kami tak tahu apa yang menyebabkan mereka
berbuat demikian...," sahut Soreang lemah.
Rangga hanya mengangguk.
"Sekarang kalian akan ke mana?" tanya Rangga.
"Entahlah.... Barangkali kami akan mengunjungi
seorang sanak keluarga di Desa Wuwungan...," jawab
Soreang. "Kalian akan menetap di sana?"
"Mungkin begitu. Rasanya, tempat itu cukup aman
dibandingkan daerah lain...."
"Baiklah. Kalau demikian, kami akan pergi dulu.
Mudah-mudahan di jalan bisa bertemu manusia
bertopeng itu. Sekalian mencari tahu, apa yang
menyebabkan mereka berbuat demikian," kata
Rangga. "Ya. Itu bagus sekali, Rangga. Semoga kau
berhasil!"
Rangga dan Pandan Wangi langsung naik ke
punggung kuda masing-masing. Setelah menggebah
pelan. Kuda-kuda itu melangkah perlahan-lahan
meninggalkan tempat ini.
"Mampirlah kalian bila berada di desa itu. Kami
tentu akan menyambut dengan gembira...," ujar Dewi
agak keras, ketika sepasang pendekar dari Karang
Setra itu sudah cukup jauh.
Sebenarnya, Pandan Wangi kesal bukan main
melihat tingkah gadis tadi. Apalagi ketika tersenyumsenyum kepada Rangga, dan
tak mempedulikan
dirinya. "Huh! Memuakkan...!" gerutu Pandan Wangi.
Rangga menoleh dan tersenyum kecil.
"Kenapa?"
"Jangan berpura-pura!" sahut Pandan Wangi,
mendengus kesal.
"Kau cemburu?" tanya Rangga pelan. Memang
bisa diduga apa yang membuat kekasihnya bersikap
demikian. "Kau tentu senang, bukan"!"
"Jangan berpikir begitu, Pandan. Mungkin mereka
hanya menunjukkan keramahannya. Kalaupun dia
tersenyum, barangkali hanya sekadar suka
denganku...," ledek Rangga.
"Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus,
mendengar ledekan Rangga.
Dan Rangga tersenyum melihat kelakuan
kekasihnya. "Pandan.... Apakah kau tak curiga kepada
mereka?" tanya Rangga pelan.
"Hm.... Kukira kau sudah terpikat oleh senyum
maut gadis itu, sehingga tak memiliki prasangka apaapa terhadap mereka!"
"Sudahlah, Pandan. Ada hal lain yang lebih penting
yang harus kita kerjakan. Yakni kakak beradik itu.
Dan aku tak menangkap dendam dan kesedihan
pada sorot mata mereka, atas kematian kawankawan seperguruan. Bahkan tak
berusaha mencari
guru mereka..."
Pandan Wangi masih berdiam, dan belum
menyahuti ucapan Rangga.
"Padahal, mereka bisa meminta tolong pada kita
untuk mencari kedua manusia bertopeng itu. Tapi, itu
tak dilakukan. Mereka juga tak merasa cemas
melihat kawan-kawannya tewas dengan tubuh
mengerikan," tambah Rangga.
"Hm.... Tidakkah Kakang memperhatikan cara
mereka naik ke punggung kuda kita" Ringan dan
enteng sekali. Itu menandakan kalau mereka
memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup
sempurna" Dan bagi murid yang baru belajar ilmu
silat, mana mungkin mampu melakukannya...,"
gumam Pandan Wangi.
"Itu memang lepas dari perhatianku. Tapi, aku
merasa kalau sorot mata mereka mempunyai tenaga
batin kuat. Dan itu hanya dimiliki orang yang
mempunyai kepandaian hebat..."
"Kita harus menyingkap teka-teki ini, Kakang.
Sudah banyak yang menjadi korban. Dan mungin
akan bertambah terus selama mereka masih berkeliaran," tegas Pandan Wangi.
"Ya.... Kita harus mencari tahu, apa yang
diinginkan mereka sebenarnya!"
Sepasang pendekar dari Karang Setra itu
menggebah kudanya. Maka kedua hewan itu
langsung berlari kencang!
*** 6 Setelah beristirahat semalaman di pinggir sebuah
hutan, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi
kini tiba di sebuah desa yang tak terlalu besar.
Penduduknya yang tidak terlalu padat, hidup sebagai
petani. Jarak mereka satu rumah dengan yang lain
pun cukup jauh. Sehingga, kesunyian selalu
mewarnai kehidupan desa itu. Terlebih-lebih, pada
pagi hari. Biasanya pada waktu seperti itu, sebagian
besar pemuda dan laki-laki penduduk desa pergi ke
sawah. Namun, pagi ini suasana tak seperti biasanya.
Tampak penduduk desa berkumpul di sebuah
halaman yang cukup luas, di depan sebuah pondok
yang terpisah dan pondok-pondok lainnya. Rangga
dan Pandan Wangi yang merasa tertarik, segera
memacu kudanya perlahan ke sana. Sebentar saja,
sepasang pendekar dan Karang Setra itu telah tiba di
depan pondok yang telah dipenuhi penduduk desa.
Mereka segera turun dan kuda masing-ma-sing, dan
bergerak mendekati seorang penduduk.
"Maaf, Paman. Apa yang telah terjadi di rumah
ini?" tanya Rangga ramah, pada laki-laki yang bertubuh kurus dan berkulit gelap.
Orang tua itu memandang curiga Rangga dan
Pandan Wangi. "Kalian siapa" Apakah kawan-kawan mereka?"
orang tua itu balik bertanya.
"Mereka! Mereka siapa yang Paman maksudkan?" tanya Rangga, bingung.
"Orang-orang yang telah mengeroyok Ki
Kaliambar."
"Ki Kaliambar" Siapa dia...?"
Orang tua bertubuh kecil itu tak langsung menjawab. Rasanya memang sedikit aneh,
bila dua anak muda yang berpakaian seperti pendekar itu tak
mengenal Kaliambar. Bukankah dia tokoh yang cukup
disegani" Mungkin saja, setelah sebelas tahun
mengasingkan diri di tempat ini, kedua anak muda itu
baru saja turun ke dunia luar. Sehingga, wajar saja
kalau tak mengenalnya.
"Kami tak tahu, apa penyebabnya. Tapi tiba-tiba
saja, mereka datang berempat, kemudian terjadi
pertarungan. Mereka behasil mengalahkan Ki
Kaliambar, dan membuatnya tewas. Namun, dua
orang dan mereka pun telah tewas juga dihajar Ki
Kaliambar. Dan pada saat yang bersamaan, entah
dari mana datangnya tahu-tahu muncul dua orang
bertopeng. Mereka langsung menghabisi kedua orang
yang tersisa, sehingga tewas dengan tubuh
membusuk," jelas orang tua itu singkat.
"Orang bertopeng?" tanya Rangga meyakinkan.
"Betul. Mereka dua orang, mengenakan topeng
berwarna merah darah. Yang seorang bertubuh besar
dan tegap. Dan seorang lagi bertubuh ramping seperti
perempuan. Ilmu silat mereka sangat tinggi, tapi
sangat sadis. Buktinya, kedua orang musuh Ki
Kaliambar itu tewas dengan tubuh membusuk,
mengeluarkan bau menusuk hidung," lanjut orang tua
itu. "Hm.... Kapan peristiwa itu terjadi?"
"Tadi malam. Beberapa orang yang kebetulan
lewat di dekat sini, menyaksikan peristiwa itu...."
"Ke mana kira-kira orang-orang bertopeng itu
melarikan diri?"
"Ke arah selatan...."
"Ada yang mengetahui, siapa kira-kira mereka"
Tahukah Paman, kira-kira siapa yang menaruh
dendam kepada Ki Kaliambar?"
Orang tua itu menggeleng lemah.
"Tldak. Tak ada seorang pun di desa ini yang tahu
banyak tentang Ki Kaliambar. Dia jarang bergaul dan
jarang bertemu penduduk desa ini. Kadang-kadang,
bahkan tak keluar dari rumahnya sampai berhari-hari.
Kami hanya tahu dari beberapa orang penduduk yang
sering berdagang keluar desa ini. Mereka mendengar,
kalau Ki Kaliambar adalah seorang pendekar
tersohor...."
Rangga menganggukkan kepala.
"Terima kasih...," ucap Rangga sambil mengajak
Pandan Wangi kembali menaiki kudanya masingmasing.
"Kisanak, tunggu dulu! Bolehkah aku tahu, siapa
kalian sebenarnya. Dan, apakah punya kepentingan
dengan Ki Kaliambar hingga datang ke desa ini?"
Rangga tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Tidak. Kami hanya pengembara yang kebetulan
lewat di desa ini, namaku Rangga. Dan ini kawanku,


Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandan Wangi...," kata Rangga, segera menggebah
kudanya. Orang tua itu menganggukkan kepala. Wajahnya
biasa saja sebab tak mengenal nama-nama itu
sebelumnya. Kalaupun ada keheranan dan rasa
takjub di wajahnya, karena kedua anak muda itu
sangat serasi. Yang pemuda tampan dan yang
perempuan cantik. Dia betul-betul tak percaya kalau
mereka hanya sekadar berkawan. Paling tidak, di
antara mereka ada jalinan asmara. Atau bahkan
merupakan sepasang suami istri!
"Kita ke selatan, Kakang?" tanya Pandan Wangi
ketika mereka baru saja keluar dari perbatasan desa
itu. "Tentu saja. Kedua orang bertopeng itu membuatku penasaran. Aku mendapat
kesimpulan, mereka tak sembarangan membunuh. Tokoh-tokoh
yan dibunuhnya hanya tertentu saja."
"Kenapa Kakang berpendapat demikian?"
"Desa ini terpencil. Tapi, mereka menyempatkan
datang ke sini hanya untuk mencampuri urusan
orang. Demikian pula Ki Ajar Ningrat dan orang-orang
padepokannya. Setahuku, tak jauh dari situ ada
sebuah perguruan silat yang cukup terkenal dan
diketuai seorang tokoh yang berkepandaian tinggi.
Tapi Soreang dan Dewi mengatakan, tokoh itu tak
diundang dalam pertemuan yang diadakan di
kediaman Ki Ajar Ningrat. Ada apa ini" Lalu, Kepala
Desa Gudang Banyu beserta anak buahnya yang
tewas. Padahal, di kampung masih banyak tokoh
persilatan yang cukup tangguh. Kalau orang-orang
bertopeng itu ingin membuat kekacauan, mereka
tentu membakar atau merampok, serta membunuh
sembarangan orang. Dan kalau mereka mencari
pendekar tak terkalahkan, tentu sudah banyak
korban yang berjatuhan. Tapi sejauh ini, masih orangorang tertentu saja...,"
kata Rangga menjelaskan
panjang lebar. Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk
mendengarkan. "Kalau demikian, untuk apa berlama-lama,
Kakang" Mari cepat kita ke sana"!" ajak gadis itu
sambil menghela kuda berbulu putihnya.
Rangga menghela kudanya, agar berlari kencang
bagai tiupan angin. Dalam waktu sekejap saja,
Pandan Wangi telah tersusul. Bahkan Rangga terus
memacu Dewa Bayu, meninggalkan gadis itu jauh di
belakangnya. Disadari kuda yang ditunggangi Rangga
bukan kuda sembarangan. Kuda hitam bernama
Dewa Bayu itu mampu bergerak cepat, tak mampu
dikejar oleh kuda tangguh manapun. Itulah sebabnya
dia tenang-tenang saja dan tak bermaksud mengejar.
Namun di satu tikungan jalan gadis itu berhenti,
karena tiba-tiba terdengar suara pertarungan. Pandan
Wangi segera memacu kudanya ke arah yang
berbelok itu. Padahal, Rangga memacu kudanya lurus
saja. Kini Pandan Wangi tiba di suatu tempat yang agak
tinggi. Dugaannya betul. Di bawah sana tampak
teijadi suatu pertarungan yang seru. Dua orang lakilaki tak dikenal. Yang
masing-masing telah berusia
lanjut dan masih muda. Sementara lawan mereka
adalah orang yang sedang mereka cari. Sepasang
manusia bertopeng.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, yang disusul
meluruknya sosok bayangan biru. Sebentar saja, di
depan seorang manusia bertopeng telah berdiri satu
sosok gadis cantik berpakaian biru. Dia tak lain dari
Pandan Wangi. Setelah memperhatikan pertarungan
sejenak, gadis itu memang memutuskan untuk
meluruk turun. Kedua orang bertopeng itu menghentikan
serangan dan memandang Pandan Wangi dengan
sorot mata tajam.
"Hm.... Kukira siapa, nyatanya si Kipas Maut yang
terkenal itu...," sahut salah seorang bertopeng yang
bertubuh tegap terbungkus pakaian coklat. Di balik
topengnya memang tersembunyi wajah Panjalu.
Sementara sosok yang satu lagi jelas Ismi, adik
Panjalu. "Hm, kau mengenaliku rupanya. Siapa kalian"!
Dan apa yang kau lakukan terhadap kedua orang itu,"
desis Pandan Wangi curiga, sambil menunjuk laki-laki
tua dan pemuda yang kini beristirahat di bawah
pohon. "Kau tak perlu tahu. Ini urusan kami.
Menyingkirlah sebelum mencampuri urusan ini lebih
jauh!" sahut orang bertopeng yang berbaju kuning
dengan suara dingin.
"Sudah banyak yang menjadi korban kekejaman
kalian. Jadi mana bisa aku berdiam diri begitu saja"!"
sahut Pandan Wangi tegas.
"Hm.... Kau akan menyesal nantinya. Kuperingatkan sekali lagi, pergilah. Dan,
jangan mencampuri
urusan kami!"
Ada nada mengancam yang dikeluarkan orang
bertopeng dan kata-katanya.
"Jangan mengancamku. Tapi, kalianlah yang
sebaliknya pergi. Dan jangan lagi membuat korban di
mana-mana. Kalau tidak, terpaksa aku akan menghentikannya!"
"Ha ha ha...! Kata-katamu sungguh berani, Kipas
Maut! Tapi kalau aku berkata seperti tadi, bukan
berarti takut denganmu. Tapi demi keselamatanmu
sendiri. Tapi kalau tetap keras kepala, kau akan
menyesal sendiri. Dan sekarang, meskipun kau akan
menyingkir, tak ada jalan bagimu. Kau terlalu lancang
mencampuri urusan orang! Dan untuk itu,
kematianlah bagianmu!" dengus orang bertopeng
memakai baju coklat.
"Hm.... Ingin kubuktikan kata-katamu!" sahut
Pandan Wangi dingin sambil mencabut kipas mautnya.
"Hup!"
Kedua orang bertopeng itu bersiap. Dari sorot
matanya terlihat rasa tak senangnya, disertai nafsu
membunuh. Terlebih-lebih yang bertubuh ramping.
Dia melompat lebih dulu, dengan sebuah serangan
berbahaya. "Mampuslah
kau, Perempuan Lancang!
Yeaaa...!"
Bet! Si Kipas Maut menyambut serangan dengan
kelebatan kipasnya yang cepat ke berbagai jurusan di
tubuh orang bertopeng itu. Namun, tubuh terbungkus
pakaian kuning itu lincah sekali maliuk bagai orang
menari, menghindari setiap serangan lawan. Bahkan
Pandan Wangi nyaris dibuat terkejut, ketika tiba-tiba
saja serangkum angin berhawa panas menyambar
mukanya. "Hiyaaa...!"
"Uts...!"
Buru-buru gadis berpakaian biru itu bersalto ke
belakang. Namun pada saat yang bersamaan, orang
bertopeng yang berpakaian coklat telah mencelat
sambil mengayunkan kepalan tangannya ke dada
Kipas Maut. Pandan Wangi tidak kehilangan akal. Dengan
cepat kipasnya dikibaskan ke atas membentuk
pusaran angin kencang. Sosok berpakaian coklat itu
terkejut, tidak buru-buru menarik serangannya.
Sementara orang bertopeng yang bertubuh ramping
telah mengejar dengan pukulan maut, tatkala kedua
kaki Pandan Wangi baru saja menyentuh tanah.
"Hiyaaat...!"
"Uts! Sial...!"
Dengan jungkir balik Pandan Wangi membuat
lompatan ke samping. Akibatnya, sebuah pohon yang
berbatang cukup besar hangus terbakar, karena
menjadi sasaran serangan. Bukan main terkejutnya
Pandan Wangi melihat hal itu. Namun belum lagi
habis rasa keterkejutnya, orang bertopeng yang
berbaju coklat telah kembali melesat menyerang
disertai terlaga dalam kekuatan penuh. Seketika
terdengar desir angin kencang, seperti topan yang
menghantam ke arahnya.
"Yeaaa...!"
Pandan Wangi cepat bagai kilat melenting ke
udara, kemudian menukik sambil memutar kipas baja
putih di tangannya dengan pengerahan tenaga dalam
penuh. Serangan yang demikian cepat ini tertuju ke
arah dua orang lawannya secara bersamaan.
Werrr...! "Heh"!"
Serangan Pandan Wangi sama sekali tak diduga
oleh kedua manusia bertopeng itu. Meskipun secara
serabutan, mereka berhasil menghindarkan diri.
Bahkan kembali balas menyerang dengan sengit. Kini
pertarungan pun kembali beriangsung secara cepat
dan a lot. Teriihat sekali kalau kedua orang bertopeng itu tak
ingin memberi sedikit pun peluang bagi Pandan
Wangi. Mereka terus mendesak, dan bermaksud
menghabisi Kipas Maut secepatnya.
Sementara Pandan Wangi bukannya tak
merasakannya. Dia berusaha bertahan mati-matian
dan serangan yang semakin bertubi-tubi. Namun
jelas, terlihat, perlahan-lahan pertahanannya mulai
terdesak hebat. Meskipun permainan ilmu kipas
Pandan Wangi tergolong hebat, namun gerakan dan
kerja sama kedua orang bertopeng itu luar biasa.
Lebih dan itu, mereka memiliki tenaga dalam kuat Itu
teriihat dari setiap serangan mereka yang selalu
menimbulkan desir angin kencang. Sehingga mampu
membuat Pandan Wangi bergetar!
Dalam kedudukan yang sudah sangat terancam,
mendadak melesat sosok bayangan putih yang
langsung menyerang salah seorang manusia
bertopeng itu. "Heh?"
*** Sepasang manusia bertopeng itu begitu terkejut,
melihat sosok bayangan putih yang melesat demikian
cepat. Bahkan begitu muncul, langsung memapak
serangan orang bertopeng yang bertubuh lebih besar.
Kini Pandan Wangi sendiri telah lebih leluasa
menghadapi seorang lawannya. Bahkan perlahanlahan terlihat mulai mampu menekan
manusia bertopeng yang berbaju kuning.
"Huh! Pendekar Rajawali Sakti yang kudengar,
ternyata memang suka mencampuri urusan orang
lain! Bahkan merasa dirinya hebat tak terkalahkan!"
dengus orang bertopeng dan berpakaian coklat itu
geram, karena serangannya digagalkan.
"Tak bisa kubiarkan perbuatan kalian yang sewenang-wenang!" sahut sosok bayangan
putih yang memang Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti,
dengan nada tegas.
"Huh! Kau tahu, kenapa semua ini kami lakukan"!"
dengus orang bertopeng yang sebenamya adalah
Panjalu itu dengan nada suara dingin.
"Rasanya aku memang tak perlu tahu. Yang jelas
mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana karena
ulah kalian yang kejam."
"Kau tak mengerti apa-apa Pendekar Rajawali
Sakti. Yang kau tahu, hanya kulit luarnya saja. Tapi
karena kau telah mencampuri urusanku, maka aku
tak akan mengampunimu!" kata Panjalu.
"Siapa sudi menerima ampunanmu!" balas
Rangga, enteng.
"Keparat! Mampuslah kau...!" Panjalu seketika
membentak sambil menyo-rongkan telapak tangan
kanannya ke depan. Maka dan telapak tangannya
keluar serangkum angin kencang yang menderu-deru,
membawa hawa panas dan meliuk-liuk seperti
cambuk. Werrr...! "Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti melompat ke kiri dan
kanan untuk menghindari pukulan maut yang dilancarkan Panjalu. Dan setiap kali
pukulan itu tak
mengenai sasaran, maka benda yang terkena
langsung terbakar dan hangus menjadi arang. Rangga
mendecak kagum menyaksikan kehebatan pukulan
maut yang dilancarkan orang bertopeng itu. Pada
suatu kesempatan, Panjalu bermaksud mencuri
kesempatan, saat Pendekar Rajawali Sakti sedang
ke-repotan. Melihat hal ini rahangnya bergemeletuk.
Orang bertopeng itu seperti berpacu melawan
kecepatan geraknya. Bahkan kepalan tangan
kanannya dihantamkan ke dada Pendekar Rajawali
Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu cepat mundur
ke belakang, seraya mengebutkan tangannya untuk
menangkis kepalan yang mengarah ke dadanya.
Plak! Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan tendangan
berputar yang mengincar leher. Tak ada waktu lagi bagi Panjalu,
selain menangkis tendangan yang dilepaskan demikian cepat Maka....


Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Plak! "Uh...!"
Panjalu mengeluh kesakitan, ketika tangannya
menangkis tendangan Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dia cepat menguasai diri dengan pukulan
mautnya, yang terarah ke dada Pendekar Rajawali
Sakti pada jarak cukup dekat.
Namun Rangga telah menyadarinya. Maka dipapaknya serangan itu, dengan pengerahan
j?rus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat yang
cukup tinggi. Sehingga....
Glarrr...! Satu ledakan dahsyat, begitu dua tangan beradu
yang sama-sama berisi ilmu kedigdayaan hebat.
Bahkan tubuh Panjalu sampai terlontar ke belakang.
Untungnya, dia cepat membuat gerakan salto
beberapa kali, sehingga dapat mematahkan daya
lontaran, walaupun agak terhuyung ketika menjejakkan kakinya.
Sementara pada saat yang sama, terdengar keluh
kesakitan dari pertarungan lain. Rangga yang hanya
teijajar beberapa langkah terkejuf karena menyangka
kalau Pandan Wangi berada dalam bahaya. Buru-buru
perhatiannya dialihkan. Namun saat itu juga manusia
bertopeng yang berbaju coklat cepat melesat kabur.
Sedangkan yang berbaju kuning, sudah lebih dulu
kabur, setelah mendapat perlawanan sengit dari
Pandan Wangi. "Pandan, kau tak apa-apa...?" tanya Rangga
cemas. Gadis itu menggeleng sambil menyelipkan kipas
mautnya di pinggang.
"Kenapa lawan Kakang dibiarkan kabur?"
"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Pandan.
Biarlah lain kali mereka akan kita bereskan. Kau
sungguh tak apa-apa?" tanya Rangga kembali.
"Huh! Kalau saja dia tak keburu kabur, mungkin
aku akan berhasil memenggal kepalanya!" desis
Pandan Wangi geram.
"Kau berhasil melukainya?"
"Bahunya terserempet ujung kipasku..."
"Sudahlah. Kurasa mereka pun tak akan bisa
bergerak jauh. Kalau nanti bertemu kembali, kita
akan menangkap dan melihat siapa yang ada di balik
topeng itu."
Pada saat itu, terlihat dua orang yang semula
didesak habis-habisan oleh kedua orang bertopeng
tadi, mendekati.
"Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut, aku
Kalimaya. Dan ini muridku, Tarmuji. Kami mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga atas pertolongan kalian berdua...," ucap laki-laki tua itu,
seraya memberi salam penghormatan.
Rangga dan Pandan Wangi membalas, dan memandang sekilas pada mereka. Yang paling
tua berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus
dan memiliki janggut seperti kambing. Sedangkan
yang satunya lagi berusia sekitar tiga puluh tahun dan
bertubuh kurus.
"Kisanak. Apakah kalian mempunyai persoalan
dengan orang-orang bertopeng itu, sehingga ingin
membunuh kalian?" tanya Rangga datar.
*** 7 "Ceritanya panjang...," tutur Ki Kalimaya, lirih.
"Sudikah kalian menceritakannya kepada kami...?"
pinta Rangga. "Lebih kurang sebelas tahun yang lalu, aku
mendengar kabar kalau suami istri yang bernama Ki
Dewoko dan Nyi Kurniasih mengetahui tempat
sebuah kitab pusaka berisi ilmu silat tingkat tinggi.
Kitab itu banyak dicari tokoh persilatan, sehingga
mereka berebut ke sana. Aku pun ke sana, dan
melihat kejadian yang sama sekali tak kuduga.
Karena diamuk amarah, para tokoh persilatan itu
membakar suami istri itu hidup-hidup.
Mereka menuduh kalau Ki Dewoko dan istrinya telah membunuh dua orang tokoh persilatan
yang dating secara
baik-baik untuk meminjam kitab itu," Ki Kalimaya
memulai ceritanya.
Mata orang tua itu menerawang jauh, seperti
berusaha mengumpulkan ingatannya. Sementara
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian.
"Kejadian itu pun dikarenakan pihak kepala desa
telah menyulut kemarahan para tokoh persilatan,
dengan memfitnah suami istri itu. Katanya, Ki
Dewoko dan istrinya adalah sepasang tokoh sesat
yang sangat kejam. Namun sebelum mereka
ditangkap, ternyata kedua anaknya yang berpenyakit
kusta sempat melarikan diri. Akhirnya, kedua anak
itulah yang menjadi sasaran tokoh-tokoh persilatan,
dalam usaha menemukan kitab pusaka itu...," jelas Ki
Kalimaya panjang lebar.
Rangga dan Pandan Wangi mengangguk-angguk
mengerti. "Lalu, apa hubungannya dengan kedua orang
bertopeng tadi?" tanya Rangga kembali.
"Mereka mengaku bernama Panjalu dan Ismi,
putra-putri Ki Dewoko dan Nyi Kurniasih yang tewas
dibakar hidup-hidup oleh para tokoh persilatan itu,"
sahut Ki Kalimaya.
"Hm.... Pantas mereka berbuat kejam begitu. Tapi,
dari mana mereka mempelajari ilmu silat yang
tangguh itu...?"
"Entahlah. Menurutku, mereka mungkin selamat
dari kejaran Kaliambar. Lalu mencari kitab pusaka itu
dan mempelajarinya. Kemudian setelah sebelas
tahun ini, mereka membalas dendam kepada tokohtokoh yang ikut dalam pembantaian
kedua orangtuanya...."
"Kira-kira di mana, mereka berada saat ini. Atau,
ke mana kira-kira tujuan mereka selanjutnya, Ki?"
tanya Rangga. "Tentu saja mencari tokoh-tokoh yang terlibat
dalam pembunuhan kedua orangtua mereka...."
"Hm.... Bisakah kau menyebutkan satu persatu,
siapa-siapa saja yang akan jadi korbannya?" kali ini
Pandan Wangi yang bertanya.
"Yang tersisa memang tak banyak. Dan sebagian
besar sudah tewas di tangan mereka. Selain kami
berdua, masih tersisa kira-kira lima orang tokoh
lagi...," jelas Ki Kalimaya, sambil menyebutkan kelima
tokoh yang dimaksud.
"Siapa di antara tokoh-tokoh itu yang tempatnya
agak dekat dan sini...?"
"Ki Sambung Beni. Dia menetap di Desa
Wuwungan, sebelah utara desa ini.
"Desa Wuwungan?" Rangga dan Pandan Wangi
sama-sama terkejut mendengarnya.
"Kenapa, Rangga, Pandan" Apakah ada sesuatu
yang khusus tentang desa itu?" tanya Ki Kalimaya
heran. "Eh, tidak. Hanya kami mempunyai kenalan di
desa itu. Barangkali, kalian mau bergabung dan
mengawani kami ke sana?" tanya Rangga menawarkan.
"Memang kami berniat ke sana, sekaligus
menjumpai Ki Sambung Beni untuk membicarakan
persoalan ini. Kebetulan sekali kalau kalian berkenan mengajak kami bersama-
sama. Aku akan senang sekali menerimanya," sahut Ki Kalimaya.
"Pandan, berikan kudamu pada mereka berdua,"
ujar Rangga. "Baik, Kakang," sahut gadis itu seraya melompat
ringan. "Kau naik kudaku," ujar Pendekar Rajawali Sak?
lagi. Gadis itu segera bergerak, dan melompat ke
punggung Dewa Bayu. Indah sekali gerakannya,
membuat Ki Kalimaya berdecak kagum.
*** "Tadi kau bilang punya rencana" Rancana apa,
Kakang?" tanya Pandan Wangi. Gadis itu
menanyakan alasan kenapa Rangga menolak
tawaran menginap Ki Sambung Beni saat mereka
mampir di rumah orang tua itu. Sepasang pendekar
dan Karang Setra itu tadi memang sempat mampir di
rumah Ki Sambung Beni, sekaligus mengantarkan Ki
Kalimaya dan Tarmuji. Namun karena ada sesuatu
rencana yang akan dijalankan, Pendekar Rajawali
Sakti cepat-cepat memohon pamit. Sementara, Ki
Kalimaya dan Tarmuji ditinggal di sana.
"Apakah kau tak bisa melihatnya?"
Pandan Wangi menggeleng.
"Ki Sambung Beni dan Ki Kalimaya adalah orang
yang dicari kedua manusia bertopeng itu...."
"Lalu?" tanya Pandan Wangi masih bingung.
"Hm... Tentu saja ini kesempatan baik bagi kedua
orang bertopeng itu, untuk menghabisi mereka
secara bersamaan. Kita akan mengintai tempat itu
malam nanti. Mereka tentu akan melaksanakan
pembunuhan itu saat keadaan sepi. Maka, saat itulah
kesempatan untuk membekuk kedua orang
bertopeng itu," jelas Rangga singkat.
Pandan Wangi tersenyum
kecil mendengar
rencana itu. "Bagus sekali, Kakang," puji gadis itu. Rangga
hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu.
"Nah! Sekarang, kita coba mencari kedua kakak
beradik itu di desa ini. Kalau tak ketemu, kita
menginap saja di rumah penginapan," usul Pendekar
Rajawali Sakti, sambil menjalankan kudanya
perlahan-lahan.
Pandan Wangi diam tak menyahut ketika Rangga
menyebut kedua kakak beradik itu. Hatinya memang
tak suka kalau harus sering-sering bertemu. Terutama
sekali, dengan gadis yang bernama Dewi. Sorot
matanya genit dan sering melirik Rangga.
Mereka terus memacu kudanya dengan pelan,
melewati jalan desa yang kecil dan berdebu. Dan
ketika melewati kelokan jalan....
"Rangga...!"
Terdengar suara panggilan, membuat Rangga dan
Pandan Wangi segera berbalik.
"Hei"!"
Cepat Rangga turun dan kudanya diikuti Pandan
Wangi. Sambil menuntun kuda masing-masing,
mereka melangkah menghampiri Soreang.
Rangga mengenali orang yang memanggilnya.
Tentu saja, karena dia tak lain dari Soreang.
Kelihatannya, pemuda itu berjalan tergesa-gesa
sekali menghampirinya.
"Aku tak melihat adikmu" Di mana dia?" tanya
Rangga, ketika dekat.
"Dia sedang sakit. Dan sekarang sudah agak lebih
baik setelah diobati oleh seorang tabib," jawab
Soreang. "Syukurlah," ucap Rangga.
"Kapan tiba?" lanjut Soreang bertanya.
"Baru saja. Kami kebetulan melewati desa ini, dan
teringat pada kalian...," Rangga terpaksa berdusta.
"Oh, ya.... Silakan kalau kalian berdua ingin
mampir. Tapi jangan kaget, sebab tempat kami
sangat sempit dan jelek," kata Soreang ramah.
"Tak mengapa...."
Mereka berjalan perlahan-lahan sambil bercakapcakap manuju kediaman Soreang. Tak
terlalu jauh tempat tinggal Soreang. Sehingga sebentar saja
mereka sudah tiba di depan rumah kecilnya yang
sederhana itu. "Inilah tempat tinggal kami!" kata Soreang.
Rangga dan Pandan Wangi memperhatikan sekilas rumah itu. Memang betul apa yang
dikatakan Soreang. Rumah itu kecil. Bahkan di sana-sini terlihat
banyak yang rusak, sehingga mengesankan bagai
rumah tua yang telah lama tak ditempati.
"Silakan...!" ucap Soreang, mempersilakan ke-dua
tamunya masuk. Soreang memang tak berdusta tentang adiknya.
Begitu mereka masuk, Dewi tampak berbaring di atas
sebuah dipan yang telah reot Tubuhnya panas. Bahu
kirinya terbalut kain putih yang masih terlihat noda
darah merembes keluar. Dia sedikit terkejut melihat
kedatangan kedua orang tamunya, namun berusaha
bersikap ramah.
"Tidur saja dahulu kalau memang kau masih
lemah...," ujar Pandan Wangi sambil tersenyum kecil,
ketika Dewi berusaha bangkit.
Seketika benak Pandan Wangi menggayut sebuah
pertanyaan. Jangan-jangan gadis itulah yang dilukainya dengan kipas maut, waktu
bertarung kemarin. "Ohhh..., tidak. Tubuhku sudah sedikit lebih baik.
Nanti setelah Kakang Soreang membuat obat, aku
akan sembuh kembali," sahut Dewi lemah.
"Ke mana sanak keluarga kalian?" tanya Rang-ga,
ketika Soreang berada di dapur membuat ramuan
jamu dan akar-akar yang dibawanya dalam keranjang
kecil tadi. "Eh! Mereka telah tak ada, saat kami tiba di sini...,"
sahut Dewi gugup.


Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke mana?"
"Entahlah. Menurut penduduk desa ini, mereka
telah lama pergi...."
"Paman, atau...?"
'Ya, Paman. Adik ibu kami?" sahut gadis itu cepat
"Hm.... Sungguh aneh. Rupanya dia seorang yang
senang mengasingkan din dan keramaian. Dan
tempat ini pun terpisah agak jauh dari keramaian
desa...," gumam Rangga, seperti berkata-kata se?diri.
"Ya.... Dia memang seorang aneh...."
Rangga tersenyum kecil, kemudian memandang
luka di bahu gadis itu.
"Lukamu itu kenapa?" tanya Rangga.
"Eh! Ini..., ng.... Semalam kami terburu-buru. Dan
bahuku, tersangkut ranting kayu patah yang tajam,"
sahut gadis itu tergagap.
Rangga mengangguk-angguk.
Sementara itu Soreang telah kembali membawa
secangkir ramuan obat yang dibuatnya sendiri.
Ramuan itu segera diangsurkan pada Dewi, untuk
diminum. Tak lama Dewi telah mengangsurkan
cangkir dari tempurung kelapa yang telah tandas
isinya, pada kakaknya.
"Sebentar lagi panas tubuhmu akan turun...," kata
Soreang lirih, sambil mengambil cangkir tempurung
kelapak dari adiknya.
Dewi menarik selimut untuk menutupi sebagian
tubuhnya. Rangga dan Pandan Wangi tahu diri, kalau
gadis itu hendak beristirahat. Apalagi ketika Soreang
mengajak mereka untuk ke beranda depan. Di situ,
ada sebuah dipan bambu yang sudah reot, namun
masih cukup kokoh untuk diduduki.
Di beranda, Soreang banyak bercerita mengenai
apa yang pernah didengarnya tentang kehebatan
Pendekar Rajawali Sakti dan Kipas Maut Dan ini
membuat kedua tamunya jadi jengah. Sepertinya,
cerita Soreang itu berlebih-lebihan. Dan Rangga
paling tidak suka mendengarnya.
*** Ki Sambung Beni telah mendengar semua yang
diceritakan Ki Kalimaya mengenai orang-orang
bertopeng itu. Mungkin itu pula yang menyebabkan
dirinya berjaga-jaga malam ini. Demudan juga Ki
Kalimaya beserta muridnya. Agaknya, mereka sepakat untuk menghadapi orang-orang
bertopeng itu. "Apakah Ki Kalimaya yakin kalau mereka akan
menyatroni kita?" tanya Ki Sambung Beni ragu.
"Hm..:. Kuat dugaanku begitu. Semua tokoh yang
terbunuh adalah yang sebelas tahun lalu ikut dalam
pembantaian di Desa Gudang Banyu itu," jelas Ki
Kalimaya. "Ya! Aku pun mendengar pula dari para pedagang
yang sering melewati desa ini. Cepat atau lambat, dia
akan ke sini juga...," sahut Ki Sambung Beni.
"Kepandaian mereka sangat hebat, Ki. Kau mesti
berhati-hati dan harus selalu waspada...," desah Ki
Kalimaya, seperti tercekat di tenggorokan.
Ki Sambung Beni memandang tamunya dalamdalam.
"Menurutmu, apakah Pendekar Rajawali Sakti tak
bermaksud campur tangan dalam urusan ini...?"
tanya Ki Sambung Beni ragu.
"Entahlah. Tapi, dia memang banyak bertanya soal
mereka...," sahut Ki Kalimaya.
"Seandainya saja dia berada di sini...," desah Ki
Sambung Beni. "Ki! Kita tak bisa mengandalkan bantuan pada
seseorang. Kesalahan ini, secara tak langsung adalah beban kita. Maka kita harus
memikulnya tanpa
mengandalkan bantuan orang lain...."
"Ya, aku mengerti. Meskipun dilakukan, karena
kita dikelabui kepala desa itu."
"Sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Tiada guna
lagi disesali."
Ketiga orang itu terdiam beberapa saat.
Sementara, di luar keadaan semakin gelap. Udara
dingin mulai merayap masuk ke ruang tamu ini.
Ketika cahaya kilat menerangi tempat itu untuk
sesaat, maka bisa diduga kalau sebentar lagi akan
turun hujan. Dan kegelisahan pun seperti merayapi
mereka. Menunggu sesuatu yang tak pasti, namun
seolah ada di depan mata. Bahkan selalu
mengancam keselamatan mereka.
Sssap! "Heh"!"
Ketiga orang itu tersentak kaget, ketika sekelebat
bayangan bergerak cepat melewati jeridela depan.
Mereka segera bersiaga dengan senjata masingmasing. Ki Sambung Beni meraih
tombaknya dan menggenggam erat-erat Sementara, Ki Kalimaya
beserta muridnya menggenggam sebilah pedang.
"Siapa"!" bentak Ki Sambung Beni.
Orang tua itu segera bergerak ke depan dan
membuka pintu lebar-lebar. Sorot matanya tajam,
mengawasi keadaan di luar. Namun sedikit pun tak
terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Orang tua itu
mulai berpikir, apakah matanya yang mulai rabun"
Tapi.... Bruakkk! "Yeaaa...!"
"Hei!"
Bukan main terkejutnya ketiga orang itu, ketika
tiba-tiba dan atap menerobos dua sosok tubuh berpakaian kuning dan coklat,
langsung bergerak menyerang Ki Kalimaya dan muridnya.
"Hiyaaat..!"
Ki Kalimaya melompat untuk menghindari
serangan. Pedangnya langsung terhunus menghajar
bagian kepala sosok yang baru menginjakkan kakinya di tanah.
Wuttt! Namun sosok berpakaian coklat dengan topeng
merah darah itu sigap sekali menundukkan kepala,
sekaligus mengayunkan sebejah kaki. Cepat dilepaskannya satu tendangan ke arah
dada. Zet! "Uts!"
Ki Kalimaya melompat ke belakang. Namun sosok
tubuh yang bertopeng itu terus mengejar, melepaskan
satu kepalan tangan bertenaga kuat yang menyambar
perut. "Jih!"
Bet! Bet! Pada saat yang gawat itu Ki Sambung Beni
melompat sambil mengayunkan tombaknya yang
berputar-putar cepat, ke arah orang bertopeng dan
berpakaian coklat yang memang Panjalu itu. Namun,
Panjalu lebih cepat melompat ke atas, langsung
membuat beberapa putaran. Kemudian bagai sebuah
anak panah, tubuhnya meluruk deras menghantam
lurus ke kening orang tua itu.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Ki Sambung Beni cepat-cepat menjatuhkan din ke
lantai hingga kepalan tangan Panjalu yang dii-ringi
tenaga dalam tinggi lewat setengah jengkal dan
kepalanya. Sementara Ki Kalimaya cepat bertindak.
Kembali pedangnya dibabatkan ke tubuh laki-laki
bertopeng coklat itu dalam beberapa gerakan memotong yang cepat Namun belum lagi
melanjutkan serangannya....
"Aaa..!"
Ki Sambung Beni dan Ki Kalimaya dikejutkan
teriakan Tarmuji yang sendirian menghadapi orang
bertopeng satunya lagi. Tubuh Tarmuji terjungkal
disertai semburan darah segar dari mulut, lalu membentur dinding dengan keras.
Namun orang bertopeng yang bertubuh ramping dan tak lain dari
Ismi itu tak memberi kesempatan sedikit pun.
Sebelum tubuh Tarmuji roboh, dia melompat dan
bermaksud menghabisi secepatnya.
Saat itulah, Ki Kalimaya langsung menghentikan
serangannya pada Panjalu, dan langsung bergerak
cepat menghadang orang bertopeng yang bernama
Ismi. Dengan kecepatan dahsyat, pedangnya
diayunkan ke tubuh ramping milik manusia bertopeng
yang berbaju kuning itu.
Wut! Wut! "Hup!"
Ismi cepat menundukkan kepala, menghindari
sambaran pedang Ki Kalimaya. Dan dengan
kecepatan kilat, kepalan tangan kanan beralih
mengan-cam perut Ki Kalimaya.
Wut! "Uts!"
Namun tanpa memberi kesempatan sedikit pun,
Ismi terus mencecarnya. Tubuhnya cepat berputar,
seraya melepaskan tendangan kaki kiri ke arah dada.
Serangan yang demikian cepat ini membuat Ki
Kalimaya terkejut. Sebisanya dicobanya untuk
menangkis. Plak! "Uhhh...!"
Ki Kalimaya jadi meringis sendiri ketika merasakan
tangannya terasa nyeri akibat benturan dengan kaki
manusia bertopeng itu. Maka buru-buru pedangnya
diayunkan sekuat tenaga, ketika Ismi akan melanjutkan serangan. Tapi, manusia
bertopeng berpakaian
kuning ini telah meien?ng ke atas. Begitu telah
berada di udara, dia mengincar batok kepala orang
tua itu. "Uts...!"
Ki Kalimaya cepat menjatuhkan din, sehingga
kepalan tangan Ismi luput menghantamnya.
Sementara itu dari pertarungan lain, terdengar
suara berdentang nyaring. Tombak yang tadi digenggam Ki Sambung Beni tampak
terlempar menghantam dinding. Orang tua itu sendiri menjerit
kesakitan, ketika tubuhnya terlempar. Namun dalam
keadaan begitu dia maslh sempat menguasai diri dan
berpijak kokoh di atas kedua kakinya.
"Yeaaa...!"
Panjalu sudah melompat menyergap ketika orang
tua itu baru saja menyentuh lantai. Terpaksa Ki
Sambung Beni melenting cepat, menghindari injakan
kaki Panjalu yang kuat hiar biasa.
Bresss! Lantai dekat Ki Sambung Beni jebol sedalam satu
jengkal, begitu Panjalu tak menemukan sasaran.
Kedua orang bertopeng itu terus menyerang
gencar lawan masing-masing. Sementara Ki Kalimaya
dan Ki Sambung Beni hanya bisa bertahan matimatian. Agaknya kematian mereka
hanya menunggu waktu saja. Namun tiba-tiba...
"Berhenti...!"
"Heh"!"
*** 8 Terdengar bentakan nyaring yang disertai te-naga
dalam tinggi. Kemudian disusul meluruknya dua
sosok tubuh dan atas atap, dan mendarat manis di
antara mereka. Sepasang orang bertopeng itu
terkejut. Mereka cepat melarikan diri lewat dinding
yang telah jebol berantakan ketika melihat siapa yang
datang. Namun dua sosok yang tak lain Pendekar
Rajawali Sakti dan Kipas Maut itu tak membiarkan
mereka lolos begitu saja. Rangga dan Pandan Wangi
cepat melesat disertai ilmu meringankan tubuh yang
sudah sangat sempurna, menghadang mereka di
halaman rumah Ki Sambung Beni. Kini Pendekar
Rajawali Sakti berhadapan dengan Panjalu, sedangkan Pandan Wangi berhadapan
dengan Ismi. "Sudah kuperingatkan, agar kalian tak lagi
membuat kekacauan di mana-mana. Cukuplah
sudah, apa yang kalian lakukan selama ini. Tapi,
nyatanya kalian keras kepala dan telah dirasuki iblis!"
desis Pendekar Rajawali Sakti.
"Pendekar Rajawali Sakti! Di antara kita tak ada
persoalan. Kenapa selalu usil dan ikut campur urusan
kami"!" kata Panjalu, tak senang.
"Sebenarnya aku tak bermaksud ikut campur,.
kalau saja perbuatan kalian benar dan bijaksana.
Tapi apa yang kalian lakukan selama ini, sematamata menuruti nafsu iblis dan
dendam belaka. Apakah kalian tak bisa memaafkan dan membiarkan apa
yang telah terjadi untuk diambil hikmahnya?" sahut
Pendekar Rajawali Sakti kalem.
"Ha ha ha...! Bicaramu seperti seorang pendekar
saja! Kau bicara tentang pembunuhan yang kami
lakukan" Padahal tanganmu sendiri kotor berlumur
darah. Orang sepertimu tak layak bicara seperti itu!"
sindir Panjalu yang bertopeng merah darah ini.
"Aku memang tak mengingkarinya. Tanganku
memang berlumuran darah dan kotor. Tapi, kau harus
tahu. Orang-orang yang terbunuh di tanganku
sebagian besar adalah para pengacau dan pembuat
keonaran," kilah Rangga.
"Sudah, jangan banyak bicara! Lebih baik, kalian
menyingkir. Persoalan itu sudah jelas, dan mereka
telah mengakuinya. Lantas kau tahu apa tentang
penderitaan yang kami alami?" sinis nada suara
Panjalu. "Kenapa tidak" Aku tahu persoalan kalian.
Makanya aku mengingatkan kalian, agar tak menuruti


Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nafsu setan dan dendam yang akan menyulitkan din
sendiri. Sorot matamu tak akan bisa menipuku.
Bahkan aku tahu wajah di balik topengmu itu!" ucap
Rangga dingin. Kata-kata Rangga membuat orang bertopeng itu
terdiam beberapa saat lamanya. Mulai diduga-duga,
benarkah apa yang dikatakan Pendekar Rajawali
Sakti itu" Rangga telah mengetahui wajah di balik
topeng ini"
"Huh! Kau jangan asal bicara, Pendekar Rajawali
Sakti!" dengus orang bertopeng berpakaian coklat itu.
"Kau boleh coba. Tapi, tak usah kukatakan. Aku
mengingatkanmu sebagai seorang sahabat. Maka,
urungkanlah dendam itu. Dan, hiduplah kalian secara
baik dan benar. Lupakan semua masa lalu yang pahit
itu." "Phuih! Tutup mulutmu!"
Panjalu tiba-tiba menyentak. Dan pada saat itu
juga tubuhnya tiba-tiba mencelat menyerang
Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti menangkis kepalan
tangan Panjalu, sehingga tangan mereka saling
beradu. "Yeaaa...!"
Plak! Laki-laki bertopeng itu menahan nyeri pada
tangannya akibat benturan dengan tangan Pendekar
Rajawali Sakti tadi. Namun dia seperti tak peduli.
Bahkan tiba-tiba saja tubuhnya berbalik, lalu dengan
tenaga dalam kuat tangannya kembali bergerak ke
arah dada. Rangga cepat memiring ke kiri sambil
mengayunkan kaki kanannya ke dagu.
"Uts!"
Panjalu melompat ke belakang. Namun Pendekar
Rajawali Sakti tak membiarkan begitu saja. Tubuhnya
langsung melenting membawa jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali'.
"Hiyaaat..!"
Melihat serangan dahsyat ini, Panjalu berniat
mengadu nyawa. Seketika pukulan mautnya disiapkan untuk menghadang serangan
Pendekar Rajawali
Sakti. Namun Rangga malah menarik pulang
pukulannya, dan melanjutkan lentingannya menggunakan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega\ Sejenak tubuhnya melayang di udara, bagai kapas
saja. Wer! Brakkk! Sedangkan pukulan maut Panjalu yang tidak
menemui sasaran itu menghantam sebuah pohon
hingga hancur berantakan, tepat ketika Pendekar
Rajawali Sakti mendarat di tanah.
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti
melawan Panjalu kembali berlangsung sengit. Sehingga yang tampak hanya bayangan
merah yang saling berkelebat.
Sementara itu Pandan Wangi telah bertarung
melawan Ismi. Bahkan tempat pertarungan di sekitarnya telah porak-poranda.
Sebenarnya Pandan Wangi yang bertarung dengan
tangan kosong, tak terlalu terdesak oleh seranganserangan Ismi. Namun hatinya
sudah kesal dan naik
darah, karena diremehkan lawannya. Maka tanpa
berpikir panjang lagi, langsung dicabutnya Kipas Baja
Putih yang terselip di pinggang.
Sret! "Hi hi hi...! Hm.... Agaknya kepandaian si Kipas
Maut hanya begitu saja. Karena tak mampu melawan,
kini hendak menggunakan senjata. Ayo! Kenapa tak
dicabut saja pedangmu sekalian" Bu-kankah dengan
begitu akan semakin seru?" ejek wanita bertopeng
berpakaian kuning ini.
"Hm.... Aku menggunakan kipas ini, karena akan
lebih lama mencabut nyawa busukmu. Kalau
pedangku tercabut, kau tak akan mampu bertahan
lebih dari tiga jurus!"
"Ingin kulihat, sampai di mana kemampuanmu!"
desis kmi menantang.
"Lihat serangan!" Pandan Wangi membentak
sambil mengembangkan kipas mautnya.
*** Pandan Wangi mengamuk sejadi-jadinya. Namun
bukan berarti jurus-jurusnya semakin ngawur. Justru
serangannya malah membuat wanita bertopeng itu
terkejut setengah mati. Bahkan dia terpaksa jungkir
balik menyelamatkan diri dari sambaran kipas maut
Pandan Wangi yang tak dapat dipandang enteng,
karena disertai pengerahan tenaga dalam kuat Sekali
terkembang, maka terdengar deru angin sambaran
kipas yang sangat dahyat, lalu cepat mengatup
kembali dan menusuk bagaikan mata pedang. Belum
lagi serangan kepalan tangan Pandan Wangi yang
kadang menyodok ke dada, serta tendangan kaki
kanan yang menghajar ke arah lambung.
"Hiyaaat...!"
Dalam satu kesempatan, Pandan Wangi mengayunkan kepalan tangan ke arah dada.
Namun, wanita bertopeng itu cepat mencelat ke belakang.
Pandan Wangi memang telah membaca gerakan
lawan. Maka disiapkannya serangan berikut.
Tubuhnya laksana terbang, menyusul ke arah Ismi
disertai tendangan lurus ke arah perut.
Wanita bertopeng itu terkesiap, maka buru-buru
membuang diri ke kiri. Tapi tanpa diduga-duga,
Pandan Wangi menarik pulang serangannya. Begitu
kakinya menginjak tanah, tubuhnya langsung berputar seraya membabatkan kipasnya
yang terkembang ke perut. Begitu cepat gerakannya,
sehingga.... Cras! "Aaakh...!"
Wanita bertopeng itu menjerit kesakitan sambil
mendekap perutnya yang robek mengucurkan darah
segar akibat tersambar kipas baja Pandan Wangi.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Namun
Pandan Wangi tak memberi kesempatan sedikit pun
pada lawannya. Tubuhnya langsung melesat dan
bersalto beberapa kali di udara, sebelum hinggap di
hadapan Ismi. Sementara itu mendengar teriakan Ismi orang
bertopeng yang tengah bertarung melawan Pendekar
Rajawali Sakti terkejut Perhatiannya kontan jadi
terpecah. Dan pada saat itu, Rangga telah
mengirimkan serangan dahsyat. Panjalu terkesiap
saat serangan hampir menghantam perutnya. Buruburu tubuhnya dimiringkan, namun
tak urung angin
pukulan lawan membuat berdirinya goyah. Rasanya,
Panjalu tak sempat berkelit lagi. Sehingga....
Begkh! "Aaakh...!"
Tubuh Panjalu kontan terjungkal, begitu pukulan
Pendekar Rajawali Sakti telak menghantam dadanya.
Dari mulutnya menetes darah segar akibat pukulan
yang disertai tenaga dalam lumayan itu. Namun, lakilaki bertopeng itu berusaha
bangkit berdiri, walapun
terhuyung-huyung. Sorot matanya tajam menusuk
penuh dendam ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kubunuh kau!" dengus Panjalu sambil
memasang kuda-kuda dan bersiap menyerang
kembali. "Sadarlah, Sobat. Kau belum terlambat untuk
menyadari kekeliruanmu selama ini. Jangan
menambah dosa yang telah ada...," Rangga berusaha
menyadarkan. "Tutup mulutmu! Hari ini kita tentukan, siapa yang
akan mampus! Kau atau aku! Hiyaaat...!"
Bersamaan dengan itu, tubuh Panjalu melompat
disertai hantaman maut ke arah Pendekar Rajawali
Sakti. Seketika Rangga merasakan tekanan hebat
dan angin berhawa panas luar biasa saat melompat
ke atas, untuk menghindari serangan. Kemudian,
tubuhnya melentkig ke arah orang bertopeng itu.
Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti menghantam ke depan dalam pengerahan jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Sedangkan sebelumnya,
telapak kiri Pendekar Rajawali Sakti menghentak mengerahkan aji 'Bayu Bajita'.
Serangan angin kencang
bagai badai topan itu membuat Panjalu gelagapan.
Namun, dia terus memaksakan din sambil
melepaskan pukulan mautnya. Dan pada saat yang
bersamaan, melesat seberkas sinar merah dari
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang
mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Glarrr! Terdengar ledakan keras menggelegar, ketika
kedua pukulan itu saling beradu. Laki-laki bertopeng
itu terpental ke belakang disertai jerit kesakitan.
Bahkan dari mulutnya memuntahkan darah kental
kehitaman. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti masih tetap
berdiri tegak sambil mengatur jalan napasnya
perlahan-lahan. Wajahnya yang tegang, berubah
seperti semula. Ada rona kesedihan ketika memperhatikan sosok bertopeng yang
menjadi lawannya.
Panjlu berusaha bangkit, namun berkali-kali terguling
dan memuntahkan darah kental.
Sedangkan perempuan bertopeng yang menjadi
lawan Pandan Wangi pun nasibnya tak lebih baik,
Pandan Wangi berhasil melukainya, membuat luka
wanita itu bertambah parah. Luka di perut wanita
bertopeng yang bernama Ismi itu melebar dan cukup
dalam akibat sambaran kipas mautnya tadi. Bahkan
kemudian belakangan disusul tendangan di dada.
Akibatnya, Ismi terjungkal sambil memuntahkan
darah segar. Dia berusaha bangkit, namun kedua
kakinya seperti tak kuat menopang berat tubuhnya.
Akibatnya dia kembali ambruk.
"Adikku...!"
Orang bertopeng yang bertubuh tegap itu mendesis lirih, sambil menjulurkan
tangan memanggil
adiknya. "Kakang...!"
"Oh...!"
Mereka berusaha saling mendekat, dengan beringsut perlahan-lahan. Sedangkan
Rangga dan Pandan Wangi hanya memperhatikan penuh
keharuan. Kini keduanya telah mendekat, dan saling
merengkuhkan kedua telapak tangan.
"Kakang.... Kita..., kita gagal...," kata Ismi lirih.
"Eh...! Ekh...! Ti..., tidak, adikku. Ki... kita telah
berusaha sekuat kemampuan kita...."
Rangga dan Pandan Wangi segcra menghampiri
dan berjongkok di dekat mereka.
"Maafkan aku, Sobat...," ucap Pendekar Rajawali
Sakti lirih. Sepasang manusia bertopeng itu memandang ke
arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi
dengan sorot mata sayu.
"Ka..., kau betul tahu, si..., siapa ka..., kami...?"
tanya Panjalu terbata-bata.
Rangga mengangguk lesu. "Aku hanya tak tahu,
atau mungkin juga kalian tak ingin diketahui.
Sehingga, kalian mengganti nama menjadi Soreang
dan Dewi. Padahal, anak Ki Sadewo dan Nyi Kumiasih
setahuku adalah Panjalu dan Ismi...," lanjut Pendekar
Rajawali Sakti Iirih.
"Eh, akh! To..., tolong buka penutup wajah kami..."
ujar Panjalu kemudian.
Rangga membuka penutup topeng mereka, maka
terlihatlah jelas, siapa mereka sesungguhnya!
Memang kedua orang itu tak lain dan kedua kakak
beradik yang pernah dikenal Rangga dan Pandan
Waqgi. Dan Sepasang Pendekar dan Karang Setra itu
sama sekali tak terkejut melihatnya.
"Kami sudah menduganya...," kata Pendekar
Rajawali Sakti pelan.
"Dan mana kau mengetahuinya?" tanya Panjalu,
orang bertopeng yang bertubuh lebih besar.
"Kau tak meyakinkan kami sebagai seorang anak
petani. Dan pada saat mengantarkan kami ke
Padepokan Muria, kalian sama sekali tak
mengesankan sebagai murid yang ketakutan
terhadap sepasang manusia bertopeng juga tentang
luka yang diderita adikmu itu.... Hm..., mana mungkin
Pandan Wangi lupa pada luka adikmu akibat goresan
kipasnya?" jelas Pendekar Rajawali Sakti.
"Oh...," Soreang mengeluh.
"Kenapa kalian sampai begini" Bukankah aku
telah memperingatkannya?"
"Tak ada yang perlu disesali, Sobat. Garis
kehidupan kami telah begini. Sejak kecil kami
sengsara. Dan telah dewasa pun harus mati muda.
Tapi, kami puas. Sebagian mereka yang telah
membunuh kedua orangtua kami, telah tewas.
Termasuk, si Penghasut Keparat, Kepala Desa
Gudang Banyu itu...!"
"Kalian mempelajari kitab pusaka itu, bukan?"
"Ekh...! Ce... ceritanya panjang. Mula-mula kami
sama sekali tak mengetahuinya. Sampai suatu ketika
aku nekat membawa adikku menceburkan diri ke
dalam jurang. Namun kami ternyata tersangkut di
sebatang pohon, dan berhasil merayap ke dinding


Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurang. Secara tak sengaja kami menemukan sebuah
goa yang amat menakutkan dan penuh bisikan iblis.
Tapi kami nekat memasukinya. Dan di sanalah kami
menemukan kitab yang berisi jurus-jurus silat serta
ilmu kesaktian. Dan..., dan kitab itu pun ternyata
berisi ilmu pengobatan, sehingga penyakit kusta yang
kami derita sembuh sama sekali. Setelah kami
merasa mampu, kami berikrar untuk membalas
dendam...."
Sampai di situ, Panjalu kembali memuntahkan
darah kental. Digenggam tangan adiknya itu erat-erat
Terasa dingin dan tak ada getaran sama sekali. Air
matanya terlihat mengalir periahan membasahi pipi.
"Dia telah tiada...," gumam Panjalu kecil.
Rangga dan Pandan Wangi diam membisu dengan
kepala tertunduk.
"Na..., namaku sebenarnya Panjalu Soreang.
Dan..., dan adikku Ismi Dewi..., aaakh!" Panjalu
menjerit sambil merasakan sakit di dadanya. Dia
meregang nyawa sesaat, kemudian terlihat kepalanya terkulai. Jantungnya berhenti
berdenyut Mali!
Sepasang Pendekar dari Karang Setra itu
menghela napas sesak. Ada sesuatu yang hilang
dalam diri mereka. Entah apa, rasanya sulit dijelaskan. Namun dalam hati mereka
selalu bertanya,
apakah yang dilakukan kakak beradik itu salah"
"Kisanak, terima kasih atas pertolonganmu pada
kami...." Rangga dan Pandan Wangi menoleh. Ki Kalimaya,
Tarmuji, dan Ki Sambung Beni berdiri di belakang.
Mereka segera menundukkan kepala. Tampak
suasana sedih membayang di wajah mereka.
"Sudahlah...."
"Eh! Apa kalian memang telah mengenal mereka
sebelumnya?" tanya Ki Sambung Beni datar.
Pendekar Rajawali Sakti menggeleng lemah. Dia
sengaja berbohong, agar mereka tak mempunyai
dugaan yang bukan-bukan.
"Kelihatannya mereka percaya pada kalian...,"
lanjut Ki Sambung Beni dengan suara mengambang.
Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam ke
arah tiga orang itu.
"Kisanak semua, mereka menatap kami dengan
mata hatinya. Bukan dengan mata lahirnya. Mereka
memang bersalah. Namun, masih mampu melihat
orang yang bisa dipercaya. Itu lebih baik, ketimbang
orang yang benar namun buta mata hatinya.
Sehingga, selalu berprasangka buruk yang kemudian
berlanjut kepada malapetaka. Itulah pelajaran yang
berharga bagi kita semua," sindir Pendekar Rajawali
Sakti. Semuanya terdiam, mendengar kata-kata pedas
yang keluar dari mulut Rangga.
Tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti
dan Kipas Maut menghampiri kuda masing-masing,
dan menaikinya. Sebentar saja kuda-kuda itu telah
melangkah. Namun mereka berhenti sesaat, ketika
melewati mayat Panjalu dan Ismi. Kemudian kepala
mereka berpaling kepada tiga orang yang masih
berdiri mematung di tempat itu.
"Bolehkah kami minta pertolongan kalian...?"
tanya Rangga halus.
"Tentu saja. Apa yang bisa kami lakukan?" sahut
Ki Sambung Beni.
Rangga menghela napasnya sesat, sebelum
menjawab pertanyaan, "Tolong kebumikan mereka
selayaknya. Bagaimanapun jahatnya mereka, namun
tetaplah manusia yang wajib dihormati sesuai
kodratnya...."
"Ya.... Akan kami kerjakan permintaan itu," sahut
Ki Sambung Beni, pelan.
"Terima kasih. Kalau demudan, kami pergi dulu,"
sahut Rangga sambil memacu kudanya perlahan,
diikuti Pandan Wangi dari samping.
Udara semakin gelap dan dingin menyapu bumi.
Halilintar mulai terdengar sesekali. Gerimis mulai
turun menyapu pekatnya malam. Sementara
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi seakan
berpacu, menean tempat berteduh sebelum hujan
deras mengamuk mendera bumi!"
Selesai Pedang Kilat Membasmi Iblis 3 Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir Suling Emas Dan Naga Siluman 21
^