Pencarian

Pedang Kilat Membasmi Iblis 3

Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


bahwa Kwa Bun Houw adalah murid bekas Pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh ..."!?" bekas kaisar itu berseru kaget dan mukanya berubah agak pucat.
"Kalau begitu ... apa maunya dia mau menerima undanganku?"
"Hemm, tidak sukar diduga, Kongcu. Sepanjang pengetahuanku, bekas pangeran Tiauw Sun Ong sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika kerajaan Kongcu dijatuhkan oleh keluarga Siauw. Itu saja menjadi bukti bahwa diam-diam Tiauw Sun Ong tentu mendendam kepada mendiang ayah Kongcu! Dan sekarang muridnya berada di sini
aku tidak akan heran kalau dia mewakili gurunya, melakukan tugas mata-mata demi kepentingan kerajaan Chi."
"Ahh! Kalau begitu, kita hatus cepat turun tangan! Kita harus membunuhnya
sekarang juga!" kata bekas kaisar itu dan Suma Hok tersenyum. Bekas kaisar ini
demikian lemah dan bodoh, pikirnya. Pantas saja kerajaannya jatuh. Kalau orang ini berhasil menjadi kaisar kembali dan dia dapat menjadi perdana menterinya, tentu dia akan mudah dapat menguasainya!
"Harap paduka tenang dulu. Kita harus berhati-hati dan jangan mengagetkan ular
dalam semak. Kita pura-pura tidak tahu lebih dulu agar dia tidak curiga dan tidak melarikan diri. Ilmu silatnya lihai bukan main. Kita harus mengatur siasat untuk 82
dapat menangkap atau membunuhnya." Suma Hok berbisik-bisik dan malam itu
juga Pouw Cin di panggil untuk mengatur siasat. Siauw Tek merahasiakan siasat itu dari adiknya karena dia maklum betapa aneh watak adiknya itu, kadang berani
menentangnya. Ketika selirnya yang tadinya diutus untuk membujuk-rayu Bun Houw kembali
kepadanya dan melapor bahwa Bun Houw menolak halus, makin besar kecurigaan
Siauw Tek yang sudah dapat dibakar oleh Suma Hok. Kini Suma Hok menambahkan,
"Nah, jelas bahwa dia berniat buruk. Aku, pernah mendengar bahwa Bun Houw
seorang laki-laki mata keranjang, seperti juga gurunya. Kalau sekarang dia menolak pelayanan seorang wanita cantik, hal ini patut dicurigai. Pasti dia tidak ingin terbujuk agar dapat melakukan tugasnya memata-matai keadaan kongcu dengan
baik." Siauw Tek mengangguk-angguk, menyetujui pendapat pembantu barunya itu. Dia
teringat akan bekas pamannya, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran itu
dahulu terkenal sebagai seorang pria yang menaklukkan hati banyak wanita, bahkan tidak segan berjina dengan selir ayahnya. Kini bekas pangeran itu menjadi guru Kwa Bun Houw. Kalau gurunya seperti itu, muridnya dapat dibayangkan wataknya.
Akan tetapi, Pouw Cin masih ragu-ragu. Bekas panglima ini adalah seorang yang
sudah berpengalaman. Setelah bertemu dengan Bun Houw dan menguji
kepandaiannya, dia sudah dapat menilai pemuda itu sebagai seorang pendekar
yang gagah perkasa dan halus budi pekertinya. Sama sekali tidak kejam. Hal ini
terbukti ketika dia dikalahkan pemuda itu. tanpa sedikitpun menderita luka. Di
samping ini, diapun seorang yang amat setia kepada bekas kaisar itu, maka tentu saja dia tidak pernah membantah perintah Siauw Tek, selalu mentaatinya dengan
membuta. Dan diapun pernah mendengar nama ayah dan anak Suma yang menjadi
majikan Bukit Bayangan Iblis sebagai datuk sesat yang amat kejam dan curang.
Maka, diam-diam diapun mencurigai Suma Hok, bahkan hatinya merasa tidak enak
melihat keakraban hubungan antara Suma Hok dan nona majikannya, Kiok Lan.
Diam-diam dia bersikap waspada.
"Paman Pouw, kenapa engkau diam saja" Bagaimana pendapatmu tentang Kwa Bun Houw itu" Amat mencurigakan, bukan" Aku sungguh khawatir dia benar-benar
mewakili gurunya, memata-matai kita demi kepentingan kerajaan Chi."
"Jalan satu-satunya adalah besok pagi-pagi, di luar sangkaannya, kita mengepung dan membunuhnya. Kita sudah mengatur barisan pendam, dan dia tidak akan
mampu melarikan diri lagi. Bukanlah siasat kita ini baik sekali, Paman Pouw?" kata Suma Hok dengan nada suara gembira. Kematian Bun Houw merupakan hal yang
amat menguntungkan dia. Pertama, dia dapat membalas kekalahannya tempo hari,
kedua dia akan kehilangan saingan dan lawan yang amat lihai dalam
memperebutkan Hui Hong dan akhirnya, dia tidak akan menghadapi rintangan
83 dalam kerja samanya yang menguntungkan dengan para pemberontak yang
dipimpin oleh bekas kaisar Cang Bu.
Pouw Cin tidak menjawab pertanyaan Suma Hok, melainkan memandang
majikannya dan berkata dengan hati-hati, "Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini.
Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, belum tentu dia memata-matai kita. Hal itu harus dibuktikan dulu. Ilmu kepandaiannya hebat,
Kongcu, kalau kita dapat menariknya sebagai pembantu, tentu keadaan Kongcu
menjadi semakin kuat. Sebaiknya kita melihat sikapnya besok pagi. Tanpa bukti lalu menyerangnya begitu saja amatlah tidak bijaksana. Bagaimana kalau kemudian
terbukti dia bukan mata-mata dan kita sudah terlanjur mencelakainya" Tentu
orang-orang di dunia persilatan akan menentang kita!"
Siauw Tek mengangguk-angguk. "Hemm, kami rasa pendapatmu ini memang tepat.
Bagaimana pikiranmu, Suma-toako" Memang kita harus berhati-hati agar jangan
salah sangka, kita harus dapat membuktikan dulu kalau benar dia memata-matai
kami." "Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong belum tentu dia memata-matai kita."
Suma Hok juga bukan orang bodoh. Sebaliknya malah, dia cerdik dan licin bagaikan belut. Dia tidak mau berkeras mempertahankan pendapatnya dan menentang
pendapat Pouw Cin yang dia tahu merupakan orang yang paling dipercaya oleh
bekas kaisar itu! "Hebat! Pendapat Pouw-lo-enghiong memang hebat, tanda bahwa Paman Pouw seorang yang bijaksana. Sesungguhnya, sayapun tidak hanya menuduh
sembarangan. Walaupun belum terbukti Kwa Bun Houw menjadi mata-mata
kerajaan Chi, akan tetapi prasangka buruk saya ini bukan tidak berdasar. Dasarnya kuat sekali, karena selain menjadi murid tersayang bekas pangeran yang kini
menjadi datuk lihai yang matanya buta itu, juga dia ingin menjadi mantu bekas
Pangeran Tiauw Sun Ong."
"Ahhhh ... " Siauw Tek berseru kaget.
Pouw Cin mengerutkan alisnya. "Bagaimana mungkin itu" Setahuku, Pangeran
Tiauw Sun Ong tidak mempunyai isteri dan tidak mempunyai anak !"
Suma Hok membungkuk sambil tersenyum. "Paman Pouw, saya juga bukan seorang
yang suka berbohong. Akan tetapi, keterangan sepihak saja dari saya tentu tidak meyakinkan. Baiklah, besok di waktu makan pagi saya akan bertanya kepada Kwa
Bun Houw, dan biarlah dia sendiri yang akan mengakui kebenaran apa yang saya
kemukakan tadi." Dengan sikap hormat dan ramah, Suma Hok memandang kepada
Siauw Tek, lalu bertanya dengan halus. "Kalau Bun Houw sudah mengaku dengan mulut sendiri bahwa dia ingin menjadi mantu gurunya, apakah Kongcu akan yakin
dan percaya kepada saya?"
84 Bekas kaisar itu mengangguk-angguk. "Kalau benar dia murid dan bahkan calon mantu Tiauw Sun Ong, keadaannya sungguh amat mencurigakan!"
"Kalau dia sudah mengaku dengan mulut sendiri dan Kongcu sudah yakin bahwa dia tentu memata-matai Kongcu, kita harus sudah siap." kata Suma Hok penuh
kegembiraan karena merasa berhasil. "Dia amat berbahaya dan lihai sekali, karena itu, jangan sampai kita kedahuluan olehnya. Siapa tahu, dia bertugas untuk
membunuh Kongcu! Karena itu, besok ketika kita makan pagi dan saya
memancingnya agar mengaku, di luar ruangan makan sebaiknya dilakukan
penjagaan yang kokoh kuat dan begitu dia mengaku bahwa memang calon mantu
Tiauw Sun Ong, kita mengepung dan mengeroyoknya!"
Kembali Siauw Tek mengangguk dan memandang kepada Pouw Cin. Sejak dia
dipaksa melarikan diri karena singgasana dirampas oleh Souw Hui Kong lima tahun yang lalu, semangat dan harapannya tergantung kepada bekas jenderal yang dahulu menjadi panglimanya yang setia itu. Maka, kinipun segala keputusannya selalu
ditanyakan dulu kepada pembantu setia ini.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Pouw?"
Pouw Cin adalah seorang yang berpengalaman dan selalu bertindak dengan hati-
hati, tidak mudah dia mencurigai orang, juga tidak mudah percaya begitu saja.
"Kongcu, sebaiknya kalau kita berhati-hati dalam hal ini. Andaikata benar demikian, sedapat mungkin kita harus membujuk agar Kwa Bun Houw suka membantu kita.
Kalau dia mau bekerja sama, kita dapat memanfaatkan tenaganya karena pemuda
itu memang seorang ahli silat yang amat tangguh. Kalau dia menolak, barulah
terpaksa kita melenyapkannya, apalagi kalau dia benar-benar seorang mata-mata
dari Chi. Akan tetapi, Kongcu, yang membuat saya merasa ragu dan penasaran
adalah keterangan dari Suma Kongcu tadi. Setahu kita. Pangeran Tiauw Sun Ong
tidak beristeri dan tidak mempunyai anak ketika meninggalkan istana, bagaimana
sekarang dia dapat mempunyai puteri yang akan dijodohkan dengan Kwa Bun
Houw?" Dia berhenti sebentar mengingat-ingat, "Dan selama ini, saya hanya mendengar bahwa bekas pangeran itu menjadi seorang tokoh persilatan yang tidak
pernah, mempunyai isteri."
Siauw Tek menoleh kepada Suma Hok.
"Bagaimana jawabanmu dengan pertanyaan itu, toako" Berilah keterangan agar hati Kami tidak menjadi bimbang, dan meragukan keterangan itu."
Suma Hok tersenyum. "Pertanyaan Pouw-lo-enghiong memang tepat sekali, dan
sudah sepatutnya kalau kongcu dan lo-enghiong mengetahuinya. Ketahuilah.
Kongcu bahwa selir yang menjadi kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong itu, ketika
melaksanakan hukuman buang, dalam perjalanan ia dibebaskan oleh Bu-eng-kiam
Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, kemudian menjadi isterinya. Ketika
menjadi isteri datuk itu, selir itu telah mengandung yang kemudian melahirkan
85 seorang anak perempuan. Nah, anak perempuan itu adalah anak kandung Pangeran
Tiauw Sun Ong! Anak perempuan itulah yang akan menjadi isteri Kwa Bun Houw,
Kongcu." Kalau bekas kaisar itu mengangguk-angguk, sebaliknya bekas panglima Pouw Cin
mengerutkan alisnya, "Kalau demikian, maka gadis itu bukan lagi puteri Pangeran Tiauw Sun Ong! Ia adalah puteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek!"
"Memang tadinyapun begitu, Pouw-lo-enghiong. Bahkan gadis itu sendiri tidak tahu bahwa ayah kandungnya adalah Tiauw Sun Ong. Akan tetapi akhir-akhir ini rahasia itu terbuka dan Tiauw Sun Ong mendatangi keluarga Ouwyang, dan menuntut agar
puteri kandungnya itu dijodohkan dengan muridnya, yaitu Kwa Bun Houw itulah!"
"Nah, bagaimana, Paman, Pouw?" tanya Siauw Tek. "Kurasa memang pemuda itu berbahaya sekali, apalagi mengingat bahwa dia amat lihai. Siapa tahu dia memang, ditugaskan oleh gurunya untuk menyelidiki, atau mungkin untuk memata-matai
kita." "Bukan mustahil tugasnya lebih jahat lagi, yaitu membunuh Kongcu." kata Suma Hok. Mendengar ini, Siauw Tek terkejut dan wajahnya berubah agak pucat.
"Kita tidak boleh terburu-buru menuduh orang, akan tetapi juga sebaiknya siap menjaga segala kemungkinan. Biarlah kita melihat perkembangannya besok pagi di
waktu makan pagi. Kalau dia sudah mengaku sendiri bahwa dia akan berjodoh
dengan puteri gurunya, kemudian kita bujuk agar dia suka bekerja sama membantu
kita. Kalau dia menolak, baru kita turun tangan menangkapnya. Saya akan
mempersiapkan pasukan untuk mengepung tempat di mana kita menjamunya
makan pagi, Kongcu."
"Akan tetapi dia lihai bukan main, kalau hanya dikeroyok pasukan saja, mungkin dia akan dapat lolos." kata Suma Hok. "Aku masih meragukan apakah Pouw-lo-enghiong akan mampu menangkapnya." Suma Hok sengaja berkata demikian untuk membakar perasaan bekas panglima itu dan dia berhasil.
Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dan dia mengepal tinju. "Boleh jadi dia lihai dan aku tidak dapat menandinginya, akan tetapi kalau aku mempergunakan
pasukan, jangan harap dia akan mampu meloloskan diri, kecuali kalau dia
membunuh diri terjun dari atas tebing!"
Mereka bertiga lalu mengatur siasat dan tentu saja diam-diam Suma Hok gembira
bukan main. Orang yang dibencinya, yang juga menjadi saingannya dalam
memperebutkan Hui Hong, besok pagi-pagi akan terbunuh atau tertawan! Diapun
kembali ke kamarnya dan tidur dengan pulas karena kelegaan hatinya.
*** 86 Kiok Lan cepat menyelinap di balik sudut tembok, mengintai ke depan, ke arah
kamar seorang di antara dua orang tamunya, yaitu Kwa Bun Houw. Ia merasa heran
sekali melihat Yo Leng Hwa, seorang di antara selir-selir kakaknya yang cantik, dengan langkah ringan seperti seekor kucing, menghampiri pintu kamar Kwa Bun
Houw. Kiok Lan merasa heran bukan main. Mau apa malam-malam begini selir
kakaknya itu menghampiri lalu mengetuk daun pintu kamar tamu mereka" Padahal,
Kwa Bun Houw adalah seorang tamu, seorang pemuda pula. Sungguh tidak pantas
kalau selir kakaknya itu mengetuk pintu pemuda itu malam-malam. Andaikata
kakaknya mempunyai keperluan kepada tamunya, masih ada pelayan lain yang
dapat diutusnya untuk memberitahu pemuda itu, bukan selirnya. Kiok Lan
mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan ia mengintai terus.
Wajah gadis bekas puteri istana ini menjadi kemerahan dan matanya bersinar
penuh kemarahan ketika ia melihat betapa daun pintu dibuka dan selir kakaknya itu memasuki kamar! Akan tetapi, daun pintu itu tetap terbuka sehingga Kiok Lan
masih dapat mengintai dan mendengarkan percakapan antara Bun Houw dan Leng
Leng. Mendengar betapa Leng Leng disuruh kakaknya untuk membujuk rayu Bun
Houw, bukau main marahnya hati gadis itu. Kakaknya sungguh keji dan, tidak tahu malu! Dan-melihat Bun Houw menolak dengan sikap yang tegas, iapun merasa
kagum sekali. Seorang pendekar muda yang hebat, pikirnya, ia melihat betapa Leng Leng meninggalkan kamar Bun Houw, dengan air mata berlinang sehingga ia diam-diam merasa kasihan kepada selir kakaknya itu yang dipaksa oleh kakaknya untuk
menyeleweng dengan tamu, dan kemarahannya tertuju kepada kakaknya. Daun
pintu kamar Bun Houw, ditutup kembali dan kini Kiok Lan membayangi Leng Leng
yang meningalkan kamar Bun Houw ...!"
Kiok Lan, melihat selir itu memasuki ruangan dalam. Ia mengintai dari balik pintu dan melihat Leng Leng melapor kepada Siauw Tek bahwa tugasnya telah
dilaksanakan, akan tetapi gagal karena Bun Houw menolaknya. Siauw Tek dengan
sikap kecewa menyuruh Leng Leng keluar dari ruangan itu di mana dia sedang
bercakap-cakap dengan Pouw Cin dan Suma Hok. Dan iapun mengintai dan
mendengarkan. Gadis ini terkejut mendengar rencana kakaknya untuk
mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi akan menangkap Bun Houw kalau
pemuda itu tidak mau diajak bekerja sama, karena Bun Houw dicurigai sebagai
mata-mata setelah Suma Hok menceritakan siapa adanya pemuda itu. Murid
Pangeran Tiauw Sun Ong, bahkan calon mantunya! Cepat-cepat Kiok lan kembali ke
kamarnya sendiri setelah mendengar semua rencana itu.
Liu Kiok Lan duduk melamun. Ia tahu bahwa kakaknya menghimpun pasukan untuk
dapat merebut kembali tahta kerajaannya yang dirampas oleh Siauw Hui Kong yang
kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan baru Chi. Sebagai seorang bekas puteri istana, tentu saja ia menyetujui rencana kakaknya ini dan dengan sepenuh hati ingin membantunya. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya pula. Akan tetapi, kalaupun mereka harus merebut kembali kerajaan dan membangun kembali dinasti
87 Liu-sung yang sudah jatuh, harus dilakukan dengan cara yang gagah dan wajar. Ia selalu cocok dengan sikap yang diambil oleh bekas Panglima Pouw yang selalu
bertindak dengan gagah perkasa. Ia pulang tidak suka dengan cara yang curang dan licik. Kini, melihat betapa kakaknya hendak menyuguhkan selirnya sendiri kepada Kwa Bun Houw untuk menjatuhkan hati pendekar itu dari menariknya sebagai
pembantu, tentu saja ia merasa amat tidak senang. Apalagi mendengar rencana
kakaknya yang agaknya terbujuk oleh Suma Hok untuk menangkap atau
membunuh, Kwa Bun Houw dengan pengeroyokan kalau pendekar itu tidak mau
membantu, sungguh amat mengganggu hatinya dan menekan perasaannya.
Akhirnya ia meneambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw. Bukan karena
ia merasa berat kepada pemuda yang baru saja dikenalnya itu, melainkan ia hendak mencegah kakaknya bertindak curang. Cepat ia bertukar pakaian yang ringkas dan
membawa pedang. Ia harus dapat memabuki kamar Bun Houw sebagai pencuri agar
tidak sampai terlihat kakaknya, Kalau ia masuk sebagai pencuri, andaikata ia
ketahuan kakaknya, ia dapat mengambil alasan bahwa ia berniat untuk menyerang
tamu itu, karena ia sudah tahu bahwa tamu itu adalah murid Paigeran Tiauw Sun
Ong dan ia mencurigainya.
Dengan ilmu kepandaiannya, tidak sukar bagi Kiok Lan untuk meloncat ke atas
genteng dan berada di atas kamar Bun Houw. Setelah membiarkan peronda lewat,
ia melayang turun dan mencokel jendela kamar dengan pedangnya. Ia tahu
bagaimana bentuk jendela itu. maka tanpa banyak kesukaran ia dapat mencokel
jendela sehingga terbuka dan cepat ia meloncat ke dalam kamar, lalu menutupkan
lagi daun jendela dari dalam, ia merasa lapang dada karena agaknya tidak ada orang mengetahui perbuatannya, dan agaknya tamu itupun sudah tidur. Ia menghampiri
pembaringan yang kelambunya tertutup. Cuaca dalam kamar itu remang-remang
karena lilin di atas meja sudah dipadamkan, akan tetapi ada sinar masuk dari luar melalui lubang-lubang angin di atas jendela, yaitu sinar lampu gantung di luar
kamar!" Tiba-tiba kelambu tersingkap dan sesosok tubuh meloncat keluar. Karena Kiok Lan tidak nenyerang, maka Bun Houw juga hanya meloncat dan berdiri di tengah kamar, memandang kepada gadis yang membawa pedang di tangan kanan itu.
"Kwa-twako ...!" bisik Kiok Lan yang mencontoh kakaknya, menyebut twako (kakak) kepada pemuda itu. Baru sekarang Bun Houw tahu bahwa bayangan hitam
membawa pedang yang mencokel daun jendela dan memasuki kamarnya itu adalah
Liu Kiok Lan, bekas puteri istana, adik bekas kaisar! Kalau tadinya dia terkejut karena sudah tahu ada orang mencokel jendela kamarnya, kini kekagetan itu
bertambah dengan keheranan setelah mengetahui bahwa yang masuk seperti
pencuri ke dalam kamarnya adalah bekas puteri itu.
"Nona itu ... apa ... apa artinya ini ...?"
88 "Dia bertanya gagap, namun menahan suaranya sehingga berbisik karena dia sama sekali tidak ingin ada orang lain melihat gadis, bangsawan ini memasuki kamarnya seperti itu. Sekilas lantas dia mengira bahwa jangan-jangan bekas kaisar itu, setelah tadi usaha selirnya gagal, kini begitu tega mengutus adiknya sendiri untuk
merayunya! Akan tetapi segera dia mengusir prasangka ini karena biarpun dia baru saja mengenal Kiok Lan ketika sama-sama makan di meja makan, dan ketika gadis
itu bersama Pouw Cin mengantar dia dan Suma Hok berkeliling melihat benteng
yang disusun, namun dia sudah dapat menduga bahwa gadis bangsawan ini
memiliki kegagahan dan keangkuhan, memiliki harga diri yang tinggi. Tidak mungkin gadis seperti itu sudi melaksanakan tugas yang sehina itu.
"Maafkan kalau aku mengejutkanmu, twako. Akan tetapi jawab dulu pertanyaanku.
Benarkah engkau murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, dan benar pulakah bahwa
engkau akan menjadi mantu Tiauw Sun Ong" Jawab sejujurnya, ini mengenai mati-
hidupmu!" Tentu saja Bun Houw terbelalak. Mengenai mati hidupnya" Biarpun dia tidak ingin bercerita tentang gurunya dan apalagi tentang Hui Hong, namun melihat betapa
gawatnya keadaan dari sikap aneh bekas puteri istana ini, diapun mengaku terus
terang seperti yang dikehendaki gadis itu.
"Benar, nona. Aku murid suhu Tiauw Sun Ong dan dicalonkan menjadi mantunya.
Lalu, kenapa?"
"Jawab lagi sejujurnya, demi iktikad baikku terhadap dirimu! Apakah engkau datang ke sini sebagai mata-mata. diutus oleh suhumu atau oleh kerajaan Chi?"
Sekarang mengertilah Bun Houw. Dia dicurigai! Akan tetapi kalau gadis ini
mencurigainya, kenapa malam-malam datang mengajukan pertanyaan itu" Kalau
benar dia mata-mata, sungguh tindakan gadis ini bodoh sekali.
"Tidak sama sekali, nona! Secara kebetulan saja aku bertemu dengan kakakmu, lalu aku diundang ke sini. Sebetulnya, aku tidak ingin berdiam di sini, akan tetapi
kakakmu yang mendesakku sehingga aku merasa sungkan, melihat sikapnya yang
ramah. Kenapa nona menyangka yang bukan-bukan?"
"Nah, ada satu pertanyaan yang harus kaujawab sejujurnya. Kakakku menghendaki agar engkau suka membantunya dalam perjuangannya merebut kembali tahta
kerajaan. Bersediakah engkau membantunya?"
Tanpa ragu lagi Bun Houw menggeleng kepala dan menjawab, "Tidak, nona. Aku tidak mau melibatkan diriku dalam perang saudara memperebutkan kekuasaan."
"Nah, inilah sebabnya aku malam-malam-memasuki kamarmu seperti seorang
pencuri. Besok pagi-pagi, kakakku dalam perjamuan makan pagi akan meminta
keputusanmu. Kalau engkau suka membantunya, tentu tidak akan terjadi apa-apa.
89 Akan tetapi sebaliknya, kalau engkau menolak, engkau akan ditangkap, mungkin
dibunuh karena mereka sudah tahu bahwa engkau murid Tiauw Sun Ong."
Bun Houw terkejut, akan tetapi tidak merasa heran. Tentu Suma Hok yang
membuka rahasia dirinya dan diapun tahu mengapa. Suma Hok membencinya, dan
agaknya hendak mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakakannya. "Hemm,
lalu apa maksudnya nona datang memberitahukan semua ini kepadaku?"
"Aku tidak suka dengan cara yang diambil kakakku kepadamu. Enci Leng disuruh merayumu. Sungguh tak tahu malu! Dan kalau engkau tidak mau membantunya,
besok engkau akan dikepung pasukan dan dikeroyok, inipun tindakan curang dan
licik yang tidak kusukai. Karena itu, aku datang memberitahu kepadamu agar malam ini juga engkau cepat melarikan diri dari tempat ini. Cepat!"
Pada saat itu, terdengar suara kaki orang di luar kamar dan melalui sinar lampu, nampak bayangan beberapa orang seperti mendekati jendela.
"Cepat, akan kuserang kau!" bisik Kiok Lan dan gadis ini segera menendang daun jendela terbuka dan berseru, "Mata-mata laknat, engkau akan mati di tanganku!"
Bun Houw sudah menyambar buntalan pakaiannya dan ketika diserang oleh Kiok
Lan, tubuhnya sudah mencelat ke belakang. Kemudian, dia membalik dan
mengerahkan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek cin-kang, mendorongkan kedua
telapak tangannya ke arah daun pintu.
"Braaaakkk ...!!" Daun pintu jebol dan dia lalu meloncat ke luar, dan sebelum para peronda yang terkejut dan tercengang itu dapat bergerak, Bun Houw sudah
meloncat naik ke atas genteng.
"Mata-mata jahat, akan lari ke mana kau!" bentak Kiok Lan yang sudah meloncat keluar pula melalui pintu yang jebol, dengan pedang di tangan dan iapun melayang naik ke atas genteng melakukan pengejaran.
Namun, Bun Houw sudah menghilang dalam kegelapan malam. Kiok Lan merasa
lega dan ia berpura-pura masih mencari-cari sambil berteriak-teriak, menyuruh para penjaga melakukan pencarian di sekitar tempat itu. Tiba-tiba nampak Pouw Cin,
Suma Hok dan tiga orang perwira dari pasukan yang dihimpun Siauw Kongcu,
berloncatan ke atas genteng.
"Nona, apa yang terjadi?" tanya Suma Hok dan Pouw Cin yang terkejut mendengar ribut-ribut itu. Mereka keluar dari kamar dan mendengar ada mata-mata dari para penjaga yang berada dalam keadaan panik.
Kiok Lan mengerutkan alisnya. "Sialan! Aku gagal menangkapnya! Dia telah berhasil melarikan diri. Cepat kita kejar dan cari dia, tangkap! Bunuh!" Tanpa memberi kesempatan kepada lima orang itu untuk bicara, Kiok Lan sudah meloncat jauh ke
depan, lalu melakukan pengajaran ke sana sini. Tentu saja lima orang itupun
90 bingung. Mereka kini tahu bahwa yang melarikan diri adalah Kwa Bun Houw, akan
tetapi ke mana mereka harus mengejar"


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengejaran dan pencarian itu gagal dan kini mereka semua sudah berada di ruangan depan menghadap Siauw Tek yang sudah terbangun dan siap untuk mendengar
laporan mereka.
"Paman Pouw, apa yang telah terjadi, kenapa ribut-ribut ini dan aku mendengar keterangan yang tidak jelas dari para pengawal. Kwa Bun Houw melarikan diri"
Bagaimana pula ini."
Pouw Cin memberi hormat dan nampak gelisah. "Maaf, Kongcu. Saya sendiri juga tidak mengetahui dengan tepat apa yang telah terjadi. Ketika terdengar suara ribut-ribut, saya terbangun dan lari keluar dari kamar bertemu dengan Suma-taihiap dan tiga orang perwira. Melihat Siocia berada di atas genteng, kami berlompatan naik dan membantu Siocia melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Kwa Bun
Houw, akan tetapi sia-sia. Dia telah lenyap."
"Siauw-moi, apa yang telah terjadi?"
"Begini, koko. Tadi ketika aku kebetulan lewat didepan kamar di mana koko
bersama Paman Pouw dan Suma-toako ini bicara, aku mendengar bahwa Kwa Bun
Houw adalah murid dan calon mantu Pangeran Tiauw Sun Ong dan bahwa dia
memata-matai kita. Aku menjadi marah dan setelah kuanggap dia tidur pulas, aku
memasuki kamarnya untuk membunuhnya. Aku berhasil masuk, aku melihat dia
sudah siap dengan buntalannya untuk melarikan diri. Aku menyerangnya, kami
berkelahi dalam kamar akan tetapi dia terlalu lihai, koko. Dia menjebol pintu dan melarikan diri. Aku berusaha mengejarnya namun tidak berhasil."
"Ahh, Siauw-moi, kenapa engkau begitu lancang" Kami sudah mengatur rencana untuk menangkapnya besok pagi-pagi. Kenapa engkau telah mendahului kami
sehingga dia berhasil melarikan diri?" tegur bekas kaisar itu.
Adiknya memandang dengan alis berkerut dan bibir cemberut. "Aku tidak tahu akan rencana itu, koko. Salahmu sendiri kenapa aku tidak diajak berunding" Begitu
mendegar dia murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai
kita, aku sudah tidak sabar lagi dan aku ingin membunuhnya.
"Hemm, engkau lancang, siauw-moi. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin engkau mampu menandingi seorang diri saja" Kalau kau
memberitahukan kami, tentu kita tidak akan gagal untuk menangkapnya," kembali bekas kaisar itu mengomeli adiknya.
"Saya kira, belum tentu Kwa Bun Houw itu memata-matai kita, Kongcu. Siapa tahu, dia malah dapat kita bujuk untuk membantu perjuangan kita," kata Pouw Cin.
91 "Itulah yang mengesalkan hatiku, paman! Kalau dia tidak melarikan diri karena diserang Kiok Lan, besok kita dapat membujuknya dan kalau dia mau membantu,
berarti kita mendapatkan tenaga yang boleh diandalkan. Sekarang dia telah pergi, kita kehilangan seorang pembantu tangguh."
"Harap Kongcu tidak terlalu kecewa. Andaikata Bun Houw mau menjadi pembantu Kongcu, tetap saja hal itu amat berbahaya. Sebagai murid dan calon mantu Tiauw
Sun Ong, bagaimana dia dapat dipercaya" Sekali waktu tentu akan menjadi
pengkhianat. Sudahlah, ada baiknya dia pergi dan tidak membahayakan kita lagi.
Tentang tenaga bantuan, harap Kongcu tidak khawatir, Aku akan membujuk agar
ayahku bersama semua anak buah kami suka membantu Kongcu. dan tenaga
bantuan ayahku dan anak, buah kami tentu jauh lebih kuat dan boleh diandalkan
dari pada tenaga Bun Houw."
Mendengar ucapan ini, wajah bekas kaisar itu berseri gembira dan dia memandang
kepada Suma Hok dengan mata bersinar-sinar. "Ah, benarkah itu, Suma toako"
Alangkah baiknya kalau ayahmu suka membantu kami. Aku sudah mengenal baik
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan sudah tahu akan kehebatannya. Kami akan
merasa gembira dan beruntung sekali kalau dia suka membantu kami!"
Suma Hok tersenyum. "Aku akan berusaha sedapatku Kongcu. Akan tetapi harus kuakui bahwa memang tidak mudah membujuk ayah. Ayah memiliki watak yang
keras dan kalau bukan keluarga sendiri, atau orang yang memiliki hubungan erat
atau hubungan keluarga dengan dia, agak sukar dia mau membantu."'
"Hemm, kami mengenal siapa ayahmu. Kalau datuk besar itu mau membantu
perjuangan kami, kelak kalau kami berhasil tentu tidak akan melupakan jasanya dan kami akan memberi kedudukan yang tinggi."
"Sebagai panglima besar, Kongcu?" cepat Suma Hok mendesak.
Siauw Tek tersenyum, akan tetapi senyumnya agak dingin dan dia menoleh kepada
Pouw Cin. "Kedudukan yang tinggi, akan tetapi tentu saja bukan panglima besar karena kami sudah memiliki seorang panglima besar, yaitu Paman Pouw Cin."
"Hemm, saudara muda Suma Hok, belum juga jasa dibuat, bagaimana hendak bicara tentang pahala" Harap jangan khawatir! Kongcu tidak akan melupakan jasa para
pembantunya, dan aku sendiri yang akan mencatat semua jasa agar kelak dapat
dipertimbangkan, pahala apa yang patut diterima?" kata Pouw Cin dengan nada
suara menegur. Tadi mendengar ucapan bekas kaisar yang sudah menentukan bahwa panglima
besarnya adalah Pouw Cin, hati Suma Hok sudah merasa iri dan tidak senang
kepada bekas jenderal itu. Kini ditambah lagi dengan ucapan Pouw Cin sendiri, dia merasa direndahkan, akan tetapi dia berpura-pura tidak merasa tersinggung dan
tersenyum saja. Pada saat itupun dia sudah mengambil keputusan untuk mencari
92 jalan lain agar derajatnya naik dalam pandangan bekas kaisar itu. Jalan itu adalah melalui Liu Kiok Lan! Kalau saja dia dapat merayu gadis bekas puteri yang cantik jelita itu, dan dapat menarik gadis itu menjadi isterinya, sudah pasti bekas kaisar yang menjadi kakak ipar itu akan lebih mementingkan dia dari pada Pouw Cin!
*** Pagi yang cerah dan indah sekali, apalagi di dalam taman yang terpelihara baik-baik dan penuh dengan bermacam bunga itu. Musim semi telah berumur sebulan lebih,
telah memberi waktu cukup bagi para tanaman untuk mengembangkan bunga-
bunga yang indah dan harum. Kupu-kupu ikut bergembira ria, beterbangan di
antara bunga-bunga indah. Mereka hinggap dari satu ke lain bunga, dengan rajin
mencari dan menghisap madu yang manis dan wangi.
Kiok Lan duduk termenung seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku
panjang dekat kolam ikan emas. Ia baru saja memberi makan ikan emas dan kini ia melihat ikan yang berenang memperebutkan makanan, kemudian termenung,
tenggelam dalam lamunan.
Ia telah mengkhianati kakaknya sendiri! Ia telah membebaskan orang yang akan
ditawan oleh kakaknya. Lamunan membawanya kepada masa lampau, sejak lima
tahun yang lalu ia ikut kakaknya melarikan diri dari kota raja Nan-king karena
kerajaan kakaknya, yaitu dinasti Liu-sung, diserbu dan dikalahkan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dan mendirikan kerajaan baru, yaitu dinasti Chi. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun. Kehancuran kekuasaan
kakaknya yang membuat kakaknya menjadi pengembara ini membuat ia bertekad
untuk menjadi seorang wanita tangguh dengan mempelajari banyak macam ilmu
silat, bahkan gurunya yang terakhir adalah Paman Pouw, pembantu setia kakaknya.
Keluarga kerajaan Liu-sung cerai berai dan iapun selalu mengikuti kakaknya
merantau dan akhirnya menetap di daerah Kui-cu, di mana kakaknya mencoba
untuk menghimpun kekuatan dan membangun pasukan dengan bantuan Pouw Cin.
Iapun dengan penuh semangat hendak membantu kakaknya dan bertekad bahwa
kalau kelak terjadi perang dalam usaha kakaknya merebut kembali tahta kerajaan, ia akan membantu dan kalau perlu siap mengorbankan nyawa untuk kebangkitan
kerajaan Liu-sung.
Akan tetapi, apa yang dilakukan kakaknya terhadap Kwa Bun Hou merupakan
tamparan besar baginya, tamparan yang membuat hatinya terasa sakit, yang
menghimpit perasaannya dan menghancurkan semua kebanggaan hatinya terhadap
kakaknya, bekas kaisar yang sedang berusaha untuk merampas kembali tahta
kerajaan yang sudah hilang itu. Kakaknya melakukan hal-hal yang amat rendah,
yang tidak pantas dilakukan searang raja yang besar! Menyuguhkan selir sendiri
kepada tamu! Hanya untuk merayu dan membujuk tamu agar suka membantunya.
Bahkan, kalau yang dibujuk menolak untuk membantu, akan ditangkap, dibunuh!
Betapa keji dan curangnya. Ia sama sekali tidak setuju, dan kenyataan itu membuat 93
ia merasa berduka sekali. Kakaknya telah berubah. Dalam usahanya mengejar cita-
cita, kakaknya telah tidak segan mempergunakan segala macam cara, yang kotor
dan hina sekalipun. Dan ia tahu bahwa Pouw Cin sudah pasti tidak menyetujui
tindakan kakaknya itu. Ia tahu benar betapa gagah dan jantan pembantu utama
kakaknya yang juga menjadi gurunya itu. Ia merasa bersedih sekali, dan juga
khawatir. Duka dan takut timbul dari pikiran yang mengenang masa lalu dan membayangkan
masa depan. Kalau kita membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah lewat atau peristiwa masa lalu, membanding-bandingkan dan merasa betapa kita
kehilangan, bahwa kita dirugikan, akan timbul duka, baik dari iba diri, kecewa atau kesepian. Demikian pula dengan rasa khawatir atau takut, selalu timbul kalau kita membayangkan masa depan, yang dihubungkan dengan saat ini, lalu kita merasa
bahwa keadaan kita akan tidak enak, tidak baik atau merugikan dan membahayakan
kita. Tidak akan timbul duka dan takut kalau kita hidup saat demi saat, menganggap yang sudah terjadi itu wajar saja dan sesuatu yang sudah dikehendaki Tuhan,
membiarkannya lalu seperti hembusan angin tanpa bekas, sebagai sesuatu yang
sudah lewat dan sudah mati, kalau kita tidak membayangkan hal yang belum
terjadi, menganggap bahwa masa depan hanya kelanjutan dari saat ini, masa depan adalah saat ini juga kalau saatnya tiba, maka tidak perlu dibayangkan. Yang ada hanya berikhtiar sebaik mungkin dalam kehidupan ini, dalam bekerja, dalam
berhubungan dengan manusia lain, hubungan dengan masyarakat, dengan
pemerintah. Berikhtiar sebaik mungkin berarti bekerja sebaik mungkin, dengan
didasari penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Tugas kita hanyalah
mengerjakan segala pemberian Tuhan berupa seluruh anggauta badan termasuk
hati akal pikiran, memanfaatkannya untuk hidup sebaik mungkin, dan dengan dasar penyerahan kepada Tuhan berarti bahwa apapun yang kita lakukan adalah suatu
persembahan kepadaNya. Kalau sudah begini, penyerahan itu seperti
menggerakkan kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita sehingga nafsu kita
sendiri tidak akan merajalela memperhamba kita, sehingga apapun yang kita
lakukan tentu baik dan benar, tidak menyeleweng!
"Nona Liu, selamat pagi." Kiok Lan terkejut, sadar dari lamunannya, dan menoleh.
Dilihatnya Suma Hok sudah nampak rapi sekali pagi itu, wajahnya yang tampan
segar karena habis mandi, pakaiannya juga indah dan rambutnya disisir mengkilap dan digelung ke atas dengan rapi, di kat kain sutera biru. Pemuda ini memang
tampan dan pesolek, dan wajahnya kini nampak berseri dengan senyum yang
memikat. "Ah, Suma-toako, selamat pagi. Pagi-pagi engkau sudah nampak rapi, hendak ke manakah?" tanya Kiok Lan yang juga dapat bersikap lincah dan gembira.
"Ah, tidak kemana-mana, nona. Sehabis mandi, aku melihat betapa indahnya taman ini di pagi yang cerah, maka aku memasukinya, dengan maksud mencari tempat
94 sunyi untuk berlatih silat. Tidak tahu bahwa engkau berada di sini, nona.
Maafkanlah kalau aku mengganggu."
"Pemuda yang mengagumkan ini selalu bersikap sopan," pikir Kiok Lan. Dan
mendengar bahwa Suma Hok hendak berlatih silat. Kiok Lan segera menjadi tertarik sekali.
"Toako, kebetulan sekali kalau engkau hendak berlatih silat. Aku ingin sekali belajar silat darimu toako!"
"Aih, nona. Engkau sudah cukup lihai dengan ilmu silat yang kau kuasai, bagaimana aku berani mengajarmu?"
Kiok Lan cemberut, mengambil sikap seperti orang kecewa. "Hemm, engkau tidak mau mengajarkan silat padaku, toako" Agaknya engkau menganggap aku terlalu
bodoh dan tidak berharga untuk menerima pelajaran silat darimu, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, nona!" kata Suma Hok dengan melebarkan matanya, "Bukan begitu maksudku. Aku hanya khawatir bahwa engkau akan kecewa, karena ilmu
kepandaianku masih rendah ... "
"Nah-nah. ... sekarang engkau merendahkan diri. Kaukira aku belum tahu" Ketika engkau mengalahkan Ngo-liong Sin-kai, aku sudah melihat betapa lihainya engkau!
Bahkan aku merasa yakin bahwa guruku terakhir, yaitu Paman Pouw seni ri tidak
akan menang melawanmu. Bagaimana, toako, engkau, masih tidak mau
mengajarkan silat kepadaku?"
"Baiklah, nona. Aku akan mengajarkan apa yang aku bisa, akan tetapi dengan satu syarat bahwa aku tidak mau kauanggap sebagai guru, apalagi kalau engkau
menyebut suhu kepadaku, aku tidak mau menerimanya!"
Kiok Lan tertawa dan Suma Hok terpesona. Dia seorang pemuda yang memiliki
watak mata keranjang dan gila kecantikan wanita, maka tentu saja Kiok Lan yang
lincah dan cantik jelita, juga memiliki pembawaan agung ini membuat dia mengilar.
Akan tetapi dia memang pandai membawa diri dan berpura-pura alim.
"Hi-hik, engkau lucu, toako! Bagaimana mungkin aku menyebut suhu kepadamu"
Usiamu hanya beberapa tahun saja lebih tua dariku. Bahkan kepada guruku
terakhir, yaitu Paman Pouw Cin, aku menyebut paman, tidak memanggilnya suhu.
Akupun enggan kalau harus menyebut suhu kepadamu!"
Suma Hok tertawa pula, memperlihatkan giginya yang dia tahu berbaris rapi dan
putih terpelihara. "Sungguh aku merasa berbahagia sekali memperoleh seorang murid yang pandai, cerdik, dan cantik jelita seperimu nona." Sebelum gadis itu terkesan oleh pujaan atau rayuannya, dia cepat menyambung.
"Nah, sebaiknya kita mulai sekarang, nona. Pagi ini cuaca baik sekali untuk berlatih."
95 Kegembiraan karena akan dilatih silat oleh pemuda itu membuat Kiok Lan tidak
begitu memperhatikan lagi rayuan tadi, dan iapun cepat mengajak Suma Hok ke
belakang pondok di taman. Belakang pondok itu, di tempat terbuka memang
disediakan untuk berlatih silat. Lantainya dari ubin batu lebar yang rata dan cukup luas.
Suma Hok yang cerdik ingin mengambil keuntungan sebanyaknya dari kesempatan
ini. Dia memang sudah mengambil keputusan untuk merayu gadis bekas puteri ini.
Kalau gadis ini sudah jatuh ke tangannya dan menjadi isterinya atau setidaknya
menjadi tunangannya, maka barulah dia akan membantu perjuangan bekas kaisar
kerajaan Liu-sung dengan sepenuh tenaga, bahkan akan membujuk ayahnya untuk
membantu pula. Dan untuk dapat mencapai cita-citanya memperisteri bekas puteri
ini, terlebih dahulu dia harus dapat menjatuhkan hati Kiok Lan! Oleh karena dia telah memperhitungkan segalanya dengan cepat, pemuda yang cerdik dan licik ini
lalu berkata sambil tersenyum.
"Nona, karena engkau telah mempelajari banyak ilmu yang cukup tinggi, maka kiranya tidak perlu mempelajari ilmu silat baru dariku. Sebaiknya kalau aku
mencoba memberi petunjuk kepadamu dalam ilmu silat yang sudah kaukuasai,
menunjukkan kelemahan dan kekurangannya, dan menambah daya serangannya
sehingga engkau akan memperoleh kemajuan cepat. Caranya adalah engkau
berlatih silat denganku, engkau keluarkan jurus-jurus ilmu silatmu dan kalau aku melihat jurus yang lemah, akan kuberi petunjuk. Dengan demikian maka engkau
akan cepat maju."
Kiok Lan mengangguk. "Rencanamu itu baik sekali, toako. Nah, mari kita mulai. Aku akan menyerangmu dengan ilmu silat yang paling kuandalkan."
"Baik, aku sudah siap. nona." kata pemuda itu. Dengan cara yang diambilnya itu, selain dia tidak perlu mengajarkan ilmu-ilmunya kepada gadis ini, juga dalam latihan bersama, dia akan mendapat, kesempatan lebih banyak untuk beradu lengan, untuk
menyentuh gadis itu, dan berdekatan, juga untuk memamerkan kepandaiannya
membuat gadis itu tidak berdaya. Diapun memasang kuda-kuda dengan gagahnya,
kaki kiri ditekuk di depan, kaki kanan di belakang, tangan kiri diangkat ke atas dan tangan kanan ditekuk di pinggang, mukanya menoleh ke kanan menghadap ke arah
Kiok Lan. "Toako, lihat seranganku! Hai ittt ...!!"
Kiok Lan yang kini merasa gembira karena mendapat kesempatan berlatih silat
dengan pemuda yang ia tahu amat lihai itu segera mengerahkan tenaganya. Cepat
sekali tubuhnya bergerak ke depan dan ia sudah menyerang dengan totokan-
totokan kilat yang bertubi-tubi ke arah berbagai jalan darah di bagian depan tubuh lawan.
96 "Bagus!" Suma Hok mengelak ke sana-sini, berloncatan dan kadang menangkis
sambil mengamati gerakan gadis itu. Ketika melihat kesempatan, pada saat jari
tangan kanan gadis itu menotok ke arah pundaknya, dia memutar tubuh ke kiri dan menangkap dengan tangan kanan pada pergelangan tangan Kiok Lan yang kanan,
lalu tangan kirinya menotok pundak kiri gadis itu sambil memuntir lengan kanan
Kiok Lan ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya, lengan kanannya
terbekuk ke belakang dan kini lengan kiri Suma Hok melingkari lehernya dengan
jari-jari tangan mengancam tenggorokannya! Tentu saja hanya sebentar Suma Hok
menelikung gadis itu, lalu melepaskannya lagi. "Nah, di sini engkau melakukan gerakan yang lemah, nona, sehingga engkau mudah dapat tertekan," kata Suma Hok, dengan lembut dan sopan dia memberi penjelasan, minta kepada gadis itu
mengulang lagi serangannya yang tadi dan menjelaskan bagian mana yang lemah
dan harus diadakan perbaikan. Demikianlah, dengan cerdiknya Suma Hok memberi
petunjuk dan dia mendapat banyak kesempatan untuk meringkus, merangkul dan
memeluk tubuh gadis itu ketika menundukkannya, namun tidak membuat Kiok Lan
merasa rikuh karena semua itu dilakukan Suma Hok untuk memberi petunjuk
kepadanya. Kedua orang muda ini sama sekali tidak tahu betapa sepasang mata mengamati
mereka dari jauh, sepasang mata yang berkilat dan sepasang alis yang berkerut
tanda bahwa si pemilik mata tidak berkenan hatinya melihat apa yang mereka
lakukan itu. Sejak pagi hari itu, hubungan antara Suma Hok dan Liu Kiok Lan menjadi semakin
akrab. Kiok Lan merasa senang dan puas karena harus ia akui bahwa sejak ia diberi petunjuk oleh Suma Hok, ia memperoleh kemajuan pesat sekali. Iapun menjadi
semakin tertarik dan kagum saja kepada pemuda itu. Suma Hok nampaknya
memberi petunjuk dengan sungguh hati dan sikap pemuda itupun selalu sopan dan
ramah, membuat gadis itu terpikat dan senang sekali. Apalagi ketika Suma Hok
berjanji akan mengajarkan suatu cara menghimpun tenaga sin-kang (tenaga sakti)
yang istimewa untuk memperkuat tubuh, Kiok Lan menjadi semakin bersemangat.
"Latihan itu merupakan cara bersamadhi yang harus dilakukan dalam tempat
tertutup dan tidak boleh kelihatan orang lain! Kurasa latihan itu dapat dilakukan di dalam pondok taman, nona. Dan untuk dapat melakukan latihan itu dengan baik,
engkau harus minum ramuan obat dari keluarga Suma yang sengaja dibuat untuk
melengkapi latihan itu."
"Ah, aku senang sekali, toako. Mari kita lakukan latihan itu, aku telah siap. Kapan kita melakukannya, Suma-toako?" tanya Kiok Lan penuh semangat.
Mereka baru habis berlatih dan beristirahat di belakang pondok. Kiok Lan
menghapus keringatnya dengan saputangan, wajahnya yang berkeringat nampak
kemerahan dan segar seperti buah tomat yang sedang ranum, matanya bersinar-
sinar dan bibirnya yang merah basah itu tersenyum manis.
97 Suma Hok menelan ludah. "Secepatnya lebih baik, nona, akan tetapi aku khawatir kalau-kalau engkau akan berkeberatan dan terutama kalau-kalau Kongcu akan tidak mengijinkan latihan itu kaulakukan ..."
"Eh, kenapa, toako" Koko sudah tahu, bahwa engkau memberi petunjuk ilmu silat kepadaku dan dia sama sekali tidak berkeberatan, bahkan ikut bergembira melihat kemajuanku. Kalau latihan itu untuk memperkuat sin-kang dalam tubuhku, kenapa
dia tidak akan mengijinkan?" Sepasang mata yang bening itu mengamati wajah Suma Hok dengan penuh selidik.
"Begini, nona. Latihan sin-kang dari keluarga kami itu merupakan latihan rahasia yang tidak boleh dilihat atau diketahui orang lain. Dan si pelatih tidak akan berhasil tanpa bantuan seorang di antara kami yang telah ahli, dan dalam hal ini, nona harus kubantu kalau ingin berhasil. Dan latihan ini baru dapat dilakukan kalau matahari sudah tenggelam, yaitu pada malam hari, semalam suntuk. Inilah yang membuat
aku ragu apakah nona tidak akan berkeberatan, dan apakah Kongcu akan memberi
ijin kalau nona berlatih sin-kang dalam pondok dengan kutemani selama semalam
suntuk. Karena itu, lebih baik kalau engkau tidak berlatih sin-kang keluarga kami itu, nona."
Sepasang alis itu berkerut. Memang agak aneh cara latihan itu, pikirnya. Memang tentu saja kakaknya tidak akan mengijinkan kalau ia berlatih sin-kang berdua saja semalam suntuk dengan Suma Hok dalam tempat tertutup. Hal itu memang tidak
semestinya dan tidak pantas. Akan tetapi, ia melihat kesungguhan dalam cara Suma Hok mengajarkan ilmu kepadanya. Selama ini, Suma Hok mengajar dengan sungguh
hati dan tidak pernah pemuda itu memperlihatkan sikap atau melakukan perbuatan
yang tidak sopan kepadanya. Ia percaya sepenuhnya kepada Suma Hok dan ia
merasa yakin bahwa biarpun mereka berdua akan berlatih dalam pordok tertutup
selama semalam suntuk, pasti pemuda itu tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Ia melihat betapa lihainya Suma Hok dan ia ingin sekali mendapatkan
kekuatan sin-kang yang hebat.
"Jangan khawatir, toako. Kalau latihan itu hanya dilakukan dalam waktu semalam suntuk, aku akan dapat mengaturnya agar kita melakukan latihan itu tanpa
diketahui oleh kakakku atau oleh siapapun juga."
Diam-diam Suma Hok merasa girang bukan main. Dia sudah melihat tanda-tanda
bahwa gadis itu mulai tertarik dan percaya kepadanya dan sekali gadis itu
menyerahkan diri, maka sudah dapat dipastikan bahwa mau atau tidak mau, bekas
puteri istana ini akan menjadi isterinya! Bagaikan seekor laba-laba yang memasang jerat, dia telah melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah mulai mendekati jeratnya!
"Akan tetapi, bagaimana caranya, nona" Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak mendapat marah dari Kongcu."
98 "Jangan takut, aku yang tanggung kalau sampai koko mengetahui dan memarahimu, akan kukatakan bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan
caranya mudah saja. Kita tentukan waktunya, kemudian setelah semua orang tidur
dan keadaan sunyi, kita ketemu di pondok dan melakukan latihan itu sampai pagi.
Mudah saja, bukan?"
"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang akan bertanggung jawab kalau sampai kakakmu mengetahui dan marah?"
"Tentu saja. Dan pula, kita berdua hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"
Hemm, dia harus berhati-hati, pikir Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih sukar
ditundukkan dari pada yang dia kira. Kalau menghadapi gadis lain, tentu tidak
sesukar itu dia menundukkannya, Liu Kiok Lan ini seorang gadis yang tegas, berani, memiliki harga diri yang tinggi. Seorang gadis seperti ini, walau misalnya sudah tertarik dan jatuh cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan, amat menghargai kehormatannya sebagai seorang bekas puteri istana. Buktinya, gadis itu begitu benci kepada Tiauw Sun Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan
selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong adalah pamannya sendiri. Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin agar tidak
sampai gagal. Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.
Mereka lalu menentukan waktu untuk melaksanakan latihan itu. Suma Hok memilih
waktu tiga malam lagi. Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap
tanpa adanya bulan sedikitpun sehingga tentu malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan mereka berjanji akan saling bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan akan dibiarkan tidak terkunci daun pintunya.
Tiga malam kemudian. Malam itu memang gelap seperti sudah diperhitungkan
Suma Hok. Agaknya keadaan malam itu membantu rencana siasatnya. Selain tidak
ada bulan, langit pun tertutup mendung sehingga bintang-bintangpun tidak
nampak. Malam gelap pekat dan udara dingin, membuat orang segan untuk keluar


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu. Taman rumah besar bekas kaisar itupun sunyi sekali. Yang terdengar hanya bunyi kerik jangkerik dan belalang malam.
Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat terhenti
sejenak dua kali karena adanya orang yang lewat memasuki taman menuju ke
pondok dalam waktu yang sebentar saja selisihnya, kemudian sekali lagi kerik
jangkerik terganggu dan terhenti.
"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki pintu pondok. Dia sudah berada di situ lebih dahulu. Ruangan
pondok itu cukup luas, dengan sebuah meja dan delapan buah kursi, juga sebuah
99 dipan di sudut. Tidak banyak peabot di ruangan itu karena memang pondok itu
dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau terik.
Melihat pemuda yang menjadi guru tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan tidak ada seorangpun mengetahui rahasia
mereka malam itu!
"Selamat malam, toako. Sukurlah, engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan latihan kita, toako." Bagaimanapun juga, berada berdua saja dengan pemuda itu di dalam pondok yang hanya diterangi lampu gantung dari luar
sehingga keadaan ruangan itu remang-remang, pada malam hari pula,
mendatangkan perasaan rikuh di hatinya, maka ia pun hendak menutupi perasaan
itu dengan cepat-cepat melaksanakan latihan yang dijanjikan Suma Hok kepadanya.
"Nanti dulu, nona. Seperti telah kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau simpanan yang biasanya hanya diajarkan kepada anggauta
keluarga turun temurun, dan yang melatih ilmu ini haruslah minum ramuan obat
untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan. Oleh karena itu,
untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga
seperti lajimnya, lalu minum ramuan obat yang sudah kupersiapkan."
"Baik, toako, aku sudah siap."
Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah cawan dan
sebungkus obat bubuk. Dia menuangkan isi guci yang menyiarkan bau anggur yang
harum ke dalam cawan, kemudian memasukkan bubuk putih dari bungkusan.
"Nona, mari kita berlutut untuk mengucapkan janji seperti yang diharuskan bagi anggauta keluarga yang melatih ilmu ini." Katanya dan dia sendiripun berlutut
menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan tempat tinggal keluarga Suma.
Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.
"Nah, peganglah cawan ini dan tirukan ucapanku, nona." katanya. Kiok Lan menerima cawan itu dan sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.
"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji akan
merahasiakan ilmu Lui-kong ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain kecuali anggauta keluarga Suma. Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga Suma!" Lalu Suma Hok memberi isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.
Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur
bau yang aneh dan keras, membuat ia tersedak, akan tetapi isi cawan itu sudah
100 habis diminumnya. Suma Hok menerima kembali cawan kosong dan berkata
lembut. "Engkau akan merasa pening sedikit, akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.
Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari
belakang. Sikapmu dalam samadhi harus seperti ini, dan pernapasan harus begini."
Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.
Kiok Lan memperhatikan petunjuk itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia
merasa agak pening maka cepat ia bangkit dan menghampiri dipan, lalu duduk
bersila di atas dipan, menghadap ke dalam. Ia masih mendengar betapa Suma Hok
juga bangkit dan pemuda itu agaknya duduk di kursi.
Tak lama kemudian, pemuda itu bertanya, "Apakah peningnya sudah hilang, nona?"
"Susudah ... toako ... " kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu berbisik dan tersendat, dengan napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai
memperlihatkan pengaruhnya! Dia tahu benar bahwa tidak lama lagi, paling lama
sejam lagi, obat itu sudah mempengaruhi seluruh tubuh dan juga hati dan pikiran gadis itu, membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat tanpa
penolakan sedikitpun!
"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua lengannya, dan kedua telapak tangannya dia tempelkan
punggung Kiok Lan sambil berkata, "Sekarang, tariklah napas perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran hawa dari kedua tanganku, biarkan
berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah menghimpun tenaga sakti Lui-kongciang!"
Kiok Lan yang sudah tidak merasa pening kini merasa seperti dalam mimpi. Mula-
mula tubuhnya seperti terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat
bukan main, seperti diayun-ayun, kemudian ia merasa betapa dua telapak tangan
yang menempel di punggungnya, mengeluarkan hawa yang hangat dan
mendatangkan getaran yang menggetarkan seluruh tubuhnya, membuat ia merasa
seperti digelitik dan mula-mula bulu tengkuknya meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak dapat dikendalikan. Sedikit demi sedikit,
bagaikan api yang mulai membakar, ia merasakan suatu rangsmgan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya panas, makin lama semakin panas seperti
dibakar. 101 "Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ... " ia mulai mengeluh, napasnya memburu dan suaranya seperti merintih.
Dan suara yang halus lembut itu terdengar dekat sekali dengan telinganya, berbisik lembut. Ia tidak ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus, "Kalau panas dan gerah mengganggumu engkau boleh membuka pakaianmu, agar terasa nyaman, agar tidak mengganggu latihanmu ... "
Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau
memenuhi keinginan hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh
kegerahan yang membuat ia berkeringat. Akan tetapi karena tubuhnya seperti
dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan melepaskan
pakaiannya bagian atas.
Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam pondok itu
terbuka dan sesosok tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.
"Keparat jahanam!" terdengar teriakan, "Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin. Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah
mencelat ke belakang dan berjungkir balik. Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh
bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyang-goyang dan merintih-rintih,
Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga. Gadis itu terbius
dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk
Kiok Lan. gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan.
Kemudian Pouw Cin membalikkan tubuh karena dia mendengar angin menyambar
dahsyat. Dia cepat membuat gerakan menangkis, namun terlambat. Ketika dia tadi
menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari belakang terbuka dan
perhatiannya masih tercurah kepada Kiok Lan sehingga tangkisannya agak
terlambat. "Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.
"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling itu memang mengandung racun yang amat hebat. Suling itu
yang membuat Suma Hok di dunia kaug-ouw dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan
Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu melompat berdiri,
matanya terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.
"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.
Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan
pertama tadi telah membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan
dadanya sakit sekali, perlawanannya tidak berarti bagi Suma Hok. Berulang kali
ujung sulingnya menemui sasaran dan tubuh Pouw Cin kembali terjengkang atau
terpelanting beberapa kali. Akhirnya, sebuah hantaman suling yang mengenai
102 kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Mukanya
berubah kehitaman karena keracunan, dari mata, telinga, mulut dan hidungnya
keluar darah. Akan tetapi matanya masih melotot memandang kepada Suma Hok,
dan bibirnya masih bergerak-gerak, "kau ... kau ... terkutuk kau ... " dan diapun terkulai, seorang jenderal atau panglima besar yang amat setia kepada rajanya,
menemui kematian secara menyedihkan sekali.
Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang
menggeletak telentang di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan mulutnya tersenyum. Senyum iblis!
Dia masih tersenyum ketika menghampiri dipan sambil kedua tangannya membuka
kancing bajunya, matanya berkilat dan senyum di mulutnya semakin keji!
Menjelang pagi, gegerlah seluruh penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu
ketika Suma Hok berteriak-teriak, "Ada pembunuh ...! Ada penjahat keji ...!!"
Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul
bersama beberapa orang yang bertugas menjadi pengawalnya. Mereka melihat
Suma Hok berdiri di depan pondok dengan suling di tangan dan muka babak belur,
pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan. Begitu melihat Siauw
Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.
"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"
Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat
dan menghalangi mereka. "Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali
Kongcu!" Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan
dengan suara bercampur tangis dia berkata, "Kongcu malapetaka telah menimpa orang yang paling Kongcu percaya ... "
"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan mengguncangnya tidak sabar. Guncangan ini agaknya
membuat Suma Hok menjadi tenang.
"Kongcu, harap perintahkan semua orang mundur, dan marilah kongcu bersama
saya saja yang masuk melihat ... "
Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua pembantunya
untuk menjauh, kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.
Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok
membawa lampu penerangan dari luar masuk, membuat bekas kaisar itu terbelalak
dan hampir saja dia terhuyung jatuh. Suma Hok cepat memegang lengannya.
103 "Kuatkan hati paduka, Kongcu ... " katanya hormat, "dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak semua orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang mengetahuinya ... "
Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat
pemandangan mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas
dengan mata melotot, dari telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia mengarahkan pandang
matanya ke arah dipan, dia mengeluh. Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan pakaian
setengah telanjang pula, telentang di atas dipan dan sekilas pandang saja tahulah dia bahwa adiknya telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan atau tidur.
"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.
"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan letak pakaiannya agar tidak kelihatan orang lain sebelum ia
sadar dari pingsannya."
"Ia ... ia tidak mati ... ?"
"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah
telanjang itu. Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya
dan memanggil-manggil namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan
tetapi diam-diam dia menotok pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar
dan membuka matanya.
Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut, memandang kepada Suma Hok. "Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.
"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi. Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin.
Kiok Lan yang masih agak nanar itu memandang dan iapun terbelalak.
"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok. "Toako, apa yang telah terjadi" Kuingat tadi dia meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia
mati ...?"
104 Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan. Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres
dengan dirinya!
"Ihhh ... aku ... kenapa ..." Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.
"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun
Houw mempunyai ilmu silat tinggi dan bahkan telah mengalahkan Paman Pouw,
maka mereka tentu akan percaya kalau dikabarkan bahwa yang membunuhnya
adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi. Dengan demikian, tidak akan
terjadi banyak dugaan dan kecurigaan."
Kakak beradik itu hanya dapat mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut
dan tegang, apalagi Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat
menduga bahwa tentu telah terjadi hal mengerikan pada dirinya!"
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan
bahwa Pouw Cin tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu
dirawat baik-baik. Dia sendiri lalu mengajak Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke
dalam rumah. Di dalam ruangan sebelah dalam yang tertutup, di mana tidak ada
orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan
kakak beradik itu mendesak agar Suma Hok menceritakan apa yang telah terjadi.
Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara tenang.
"Kongcu, sebelumnya saya harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi. Nona Liu sedang berlatih semacam ilmu menghimpun tenaga
sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan, tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami
berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui jendela. Dia menotok roboh Nona Liu dan saya demikian terkejut sehingga tidak dapat menjaga diri dan sayapun roboh tertotok dan tidak mampu bergerak sama sekali." Dia memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak. "Ketika itu, saya sedang menyalurkan tenaga sin-kang untuk membantu Nona Liu, maka tenaga saya tersalur dan tidak
mampu menahan ketika Pouw Cin menyerang dan merobohkan saya dengan
totokan." MELIHAT Suma Hok berhenti bercerita dan kelihatan sedih dan bingung Kiok Lan
yang sudah menduga hal terburuk menimpa dirinya, segera mendesaknya, "Lalu bagaimana, toako" Teruskan ...!!"
Kembali Suma Hok nampak kebingungan, sebentar memandang kepada gadis itu,
lalu kepada Siauw Tek, dan agaknya amat sukar baginya untuk bicara.
105 "Toako, ceritakan, apa yang selanjutnya terjadi?" Siauw Tek mendesak pula.
"Saya roboh tertotok, berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi tidak berhasil karena saya tertotok ketika tenaga saya tersalur.
Kemudian ... kemudian ... si jahanam itu ... saya hanya dapat melihat saja, tidak berdaya sehingga akhirnya saya tidak kuasa melihatnya lagi, saya memejamkan
mata ... "
"Apa yang dia lakukan" Cepat, jawab!"
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan
bahwa Pouw Cin tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu
dirawat baik-baik.
Kiok Lan membentak, mukanya sebentar merah, sebentar pucat, "Dia menggunakan kesempatan selagi saya tidak berdaya, dan selagi engkau juga ditotoknya pingsan ...
dia ... binatang itu telah melakukan hal keji terhadap dirimu nona ... "
Kiok Lan menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis. " ...
jahanam busuk, keparat terkutuk ...?" ia memaki-miki dan merintih-rintih, hatinya hancur lebur.
Kakaknya cepat bangkit dan merangkulnya, mencoba untuk menghiburnya. Namun
sia-sia, Kiok Lan terus menangis tersedu-sedu. Dua orang laki-laki itu
membiarkannya melepas kedukaannya melalui tangisnya dan setelah agak mereda.
Siauw Tek bertanya kepada Suma Hok yang sejak tadi hanya menundukkan
mukanya. "Suma-toako, lalu apa yang terjadi" Bagaimana jahanam terkutuk itu dapat
mampus?" Mendengar pertanyaan kakaknya ini, biarpun masih terisak-isak, Kiok
Lan ikut mendengarkan.
"Saya berusaha keras untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, Kongcu.
Akan tetapi memang totokan itu kuat sekali sehingga saya tidak mampu menolong
Nona Liu. Kemudian, jahanam busuk itu mengakhiri perbuatannya yang terkutuk
dan agaknya hendak membunuh saya agar rahasianya tidak sampai bocor. Akan
tetapi, tepat pada saat dia hendak membunuh saya dengan totokan maut, saya
dapat terbebas dari pengaruh totokan. Cepat saya lalu mencabut suling dan
menyerangnya. Kami berkelahi dan akhirnya saya dapat merobohkan dan
menewaskan manusia berwatak iblis itu."
Kiok Lan mengeluarkan suara mengeluh, dan gadis ini lalu bangkit dan sambil
menutupi muka dengan kedua tangan, iapun berlari keluar dari ruangan itu.
"Siauw-moi ...!!" kakaknya berseru memanggil dan mengejar.
106 Akan tetapi gadis itu memasuki kamarnya sendiri dan menutupkan, daun pintu,
memalangnya dari dalam sehingga tidak ada orang lain dapat memasukinya.
"Kongcu, saya kira lebih baik kalau sementara ini kita biarkan saja Nona Liu melepaskan kedukaan dan kekagetannya seorang diri saja dalam kamarnya." kata Suma Hok yang ikut pula mengejar dan kini menyentuh lengan bekas kaisar itu.
Siauw Tek menarik napas panjang, lalu mengeluh. "Ahh, nasib ... kenapa begini buruk nasib kami sekeluarga" Aih, aku dapat membayangkan betapa hancurnya hati
adikku. Kini ia ternoda, lalu bagaimana nanti masa depannya" Aihhhh ...!" Kembali bekas kaisar itu mengeluh panjang dan wajahnya nampak bersedih sekali.
"Semua itu telah terjadi, Kongcu, tidak cukup hanya untuk disedihkan saja." Suma Hok menghibur. Mereka berjalan kembali memasuki ruangan yang tadi. Siauw Tek
menutupkan daun pintu dan kini mereka berdua bercakap-cakap tanpa diketahui
orang lain. "Aih, Suma-toako, bagaimana aku tidak akan bersedih" Tanpa kusangka,
malapetaka hebat menimpa diri kami. Adikku menderita aib, diperkosa orang, dan
pembantuku yang paling baik, ternyata seorang jahanam dan kini telah tewas!
Adikku kehilangan kebahagiaan dan aku kehilangan pembantu yang setia."
"Kongcu, memang sudah sepantasnya kalau Kongcu bersedih, akan tetapi terlalu bersedih tidak ada gunanya, bahkan kalau berlarut-larut amat tidak baik, merugikan diri sendiri. Kongcu kehilangan pembantu utama, akan tetapi saya siap untuk
membantu Kongcu dengan kesetiaan yang tidak kalah besar, dan saya rela
mengorbankan jiwa raga untuk membantu Kongcu sampai tercapai cita-cita Kongcu
menumbangkan kerajaan Chi dan membangun kembali kerajaan Liu-sung!"
Wajah Siauw Tek yang tadinya muram itu kini agak berseri dan dia menatap tajam
wajah Suma Hok. "Terima kasih, Suma-toako. Agak terhibur hatiku dengan
kesediaanmu ini. Apalagi kalau kelak ayahmu suka pula untuk bekerja sama. Akan
tetapi, ahhh ... hatiku tak mungkin dapat melupakan nasib yang menimpa adikku!
Bagaimana aku tidak akan bersedih?"
"Kongcu, kita sebagai laki-laki harus mampu bersikap tenang menghadapi segala peristiwa dan mencari jalan keluarnya, memang sudah menjadi kenyataan,
walaupun hanya kita bertiga yang mengetahuinya, bahwa Nona Liu tertimpa aib
yang akan menghancurkan masa depannya, akan tetapi hal itupun kiranya masih
dapat ditemukan jalan keluarnya."
Bekas kaisar itu memandang Suma Hok dengan sinar mata mengandung penuh
pertanyaan. "Bagaimana mungkin hal seperti itu dapat dicari jalan keluarnya, toako?"
"Kongcu, kalau Nona Liu menikah, tentu aib itu akan lenyap."
107 "Menikah" Toako, bagaimana kau dapat berkata demikian" Justeru di situlah letak persoalannya. Adikku, juga aku, tentu akan menderita malu besar kalau ia menikah kemudian suaminya tahu ... "
"Toako, tidak akan ada keributan, tidak akan ada rasa malu kalau calon suami Nona Liu sudah mengetahui akan aib itu dan suka menerima kenyataan yang ada,"
"Hemm, siapa yang akan mau" pria mana. yang akan suka berkorban seperti itu, menikahi seorang gai s yang sudah ... "
"Saya mau, Kongcu."
"Engkau ..."! !" Bekas kaisar itu memandang heran, akan tetapi ada sinar harapan terkandung dalam pandang matanya. "Engkau, toako" Tapi ... engkau sendiri tahu.
bahkan menjadi saksi tunggal ... "
"Toako, saya merasa kasihan sekali kepada Kongcu, juga kepada Nona Liu. Oleh karena itu, saya bersedia untuk menutupi aib itu, dengan segala kerendahan hati, dengan suka rela. tentu saja kalau Nona Liu sudi menerima saya dan kalau paduka menyetujui. ... "
"Aku" Tentu saja aku setuju sepenuhnya, bahkan aku akan berterima kasih sekali kepadamu, toako! Dan tentang adikku, bagaimana mungkin ia akan menolak"
Pengorbananmu ini akan menolongnya, melepaskannya dari aib dan mendatangkan
sinar terang yang baru bagi masa depannya. Aku akan segera menyampaikan
kepadanya, toako, agar terhibur hatinya dan tidak menjadi putus asa."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekala Siauw Tek sudah menemui adiknya di
dalam kamar adiknya. Karena sudah agak reda, tangisnya, Liu Kok Lian


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membukakan pintu kamarnya dan begitu kakaknya memasuki kamar. ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw Tek, merangkul kedua kaki bekas
kaisar itu dan menangis.
Siauw Tek mengangkat bangun adiknya, menuntunnya untuk duduk di pembaringan
dan dia duduk di tepi pembaringan. "Tenangkan hatimu, Kiok Lan, dan sudahlah, jangan bersedih lagi. Aku telah menemukan jalan terbaik bagiku, yang akan
menchindarkan engkau dari aib ini."
Gadis itu, dengan mata membengkak merah dan kedua pipi masih basah,
memandang kakaknya. Ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata akan tetapi
pandang matanya sudah mengajukan pertanyaan apa yang dimaksudkan kakaknya
dengan ucapan itu.
"Adikku yang manis, hentikan tangismu dan dengarkan baik-baik. Kita telah
mendapatkan bintang penolong, yaitu seorang pemuda yang dengan suka rela akan
menutupi aib pada dirimu. Dia bersedia untuk menikah denganmu, menjadi
suamimu yang sah."
108 "Koko! Bagaimana mungkin aku ... "
"Ssttt ... jangan kfrawatir. Dia sudah tahu akan keadaan dirimu, bahkan dia yang telah menyaksikan semua itu. Dia adalah Suma Hok ... "
"Ahh ...!" Wajah gadis itu berubaha kemerahan, tentu saja ia merasa malu bukan main mengenangkan bagaimana pemuda itu telah menjadi saksi yang tak berdaya
ketika, ia dalam keadaan pingsan, diperkosa oleh Pouw Cin!"
"Ingat, adikku. Dia kini menjadi pambantu utamaku, pengganti Paman Pouw Cin yang ternyata menjadi jahat seperti kemasukan iblis, dan Suma-toako memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan selain dari itu, bukankah dia pula yang telah
membalaskan sakit hatimu, telah membunuh jahanam yang berbuat keji terhadap
dirimu?" "Akan tetapi ... koko, kenapa dia ... dia mau mengorbankan diri untuk
menolongku?" Ia meragu karena masih bimbang, tidak tahu harus mengambil
keputusan bagaimana semua peristiwa ini terjadi demikian tiba-tiba dan
mengejutkan. Tadinya, ia sebagai seorang gadis yang lincah gembira, yang masih
remaja karena usianya baru tujuh belas tahun, tiba-tiba saja telah dipaksa untuk menjadi seorang gadis dewasa yang dihadapkan pada pernikahan!
"Dia merasa iba kepadaku, dan kepadamu, siauw-moi, dan dia menawarkan diri selain untuk menggantikan Pouw Cin menjadi, pembantuku yang setia, dia juga
bersedia untuk menutupi aibmu dan menjadi suamimu. Bukankah itu hebat sekali,
siauw-moi" Dengan pengorbanan orang gagah itu, semua menjadi beres,
melapetaka ini bahkan menjadi berkah. Aku mendapatkan seorang pembantu yang
amat baik. dan engkau mendapatkan seorang suami yang baik pula."
"Tapi ... aku ... aku sebetulnya belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga, koko, usiaku juga baru tujuh belas tahun ... "
"Aku mengerti, adikku. Akan tetapi dalam keadaanmu seperti ini, kurasa ... ah, kita terpaksa ...! Bagaimana, Kiok Lan, engkau setuju, bukan" Aku harus memberi
keputusan kepada Suma-toako sekarang juga agar dia tidak ragu-ragu dalam
membantuku."
"Kiranya tidak ada jalan lain bagiku kecuali menyetujui jalan keluar yang satu-satunya ini, koko. Akan tetapi, biarlah aku bicara dulu dengan dia, baru aku akan memberi keputusan."
"Baiklah, adikku. Aku menunggu dengan sabar, dan engkau harus ingat juga
keadaanku, karena aku amat membutuhkan bantuan Suma-toako dan kalau engkau
menolak, mungkin dia akan merasa tersinggung. Dia menawarkan diri untuk
menolong, kalau ditolak, seolah kita memandang rendah kepadanya."
"Aku mengerti. Biar aku yang bicara sendiri dengannya, koko."
109 Demikianlah, baru dua hari kemudian, setelah mata gadis itu tidak lagi
membengkak dan merah, setelah lenyap bekas-bekas tangis dukanya, ia memberi
kesempatan kepada Suma Hok untuk bertemu dengannya di ruangan tamu. Ia tidak
mau mengadakan pertemuan dengan Suma Hok di taman. Semenjak terjadinya
peristiwa itu, taman dan pondoknya seolah menjadi tempat yang mengerikan bagi
Kiok Lan. Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan tamu itu. Hati Suma Hok merasa lega
dan juga kagum melihat betapa gadis itu kini sudah pulih, tidak lagi terbenam dalam duka. Namun ada suatu perubahan terjadi, yaitu dalam sikapnya. Biasanya, Liu Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira, bahkan masih agak
kekanak-kanakan. Akan tetapi kini sikapnya menjadi lain, begitu tenang pendiam
dan gerak geriknya halus, seolah gadis remaja itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang dapat menguasai dan mengendalikan diri.
"Nona Liu ... " kata Suma Hok setelah mereka berdua duduk berhadapan agak lama dan keduanya berdiam diri saja. Liu Kiok Lan mengangkat muka memandang. Dua
pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Kiok Lan lebih dahulu
menundukkan mukanya, kedua pipinya agak kemerahan karena kembali ia teringat
akan peristiwa, yang amat memalukan baginya itu dan betapa pemuda di depannya
ini yang menjadi saksi tunggal. Ia masih menundukkan mukanya ketika dengan
suara lirih. "Suma-toako, aku telah mendengar dari kakakku tentang niatmu untuk menolong aku. ... " Ia berhenti, sukar agaknya untuk melanjutkan.
"Nona, maafkan kalau engkau menganggap aku lancang. Sesungguhnya, aku
memang tidak cukup berharga dan pantas untuk menjadi teman hidupmu ... " Suma
Hok dengan cerdik mengambil sikap rendah hati.
"Toako, aku mendengar dari kakakku bahwa engkau bersedia melakukan itu karena engkau merasa iba kepadaku dan karena engkau ingin membebaskan aku dari aib.
Benarkah itu?"
"Benar sekali, nona!" kata Suma Hok cepat. "Aku merasa amat iba kepadamu, aku ingin membebaskan engkau dari kedukaan dan keputus-asaan, juga ingin
melenyapkan aib yang kauderita."
Hening sebentar dan setelah menghela napas beberapa kali, Liu Kiok Lan
mengangkat muka menatap wajah pemuda itu dan kini.!!
Sinar matanya tajam penuh selidik. "Hanya itu saja alasannya" Engkau hendak menikahiku hanya karena ingin menolongku, hanya karena engkau merasa iba
kepadaku?" Sepasang mata itu memandang tanpa berkedip. "Tidak ada alasan
lain?" 110 Suma Hok terkejut. Mata itu seolah dapat menjenguk hatinya. Tentu saja alasan
utamanya bukan menutup aib, bukan pula iba, melainkan sama sekali berlainan. Dia ingin memperisteri gadis itu selain untuk mendapatkan seorang isteri yang cantik jelita bekas puteri istana, juga hal itu akan mengangkat derajatnya dan akan
memperbesar kemungkinan dia kelak menduduki jabatan tinggi! Sama sekali dia
tidak merasa iba, dan seujung rambutpun dia tidak perduli akan aib yang menimpa diri Kiok Lan atau gadis yang manapun juga di dunia ini. Dia seorang yang cerdik dan licik bukan main. Biarpun pertanyaan itu diam-diam mengejutkan hatinya, hanya
sebentar saja dia tertegun. Segera dia tersenyum malu-malu dan berkata dengan
suara lirih menggetar.
"Nona. sebetulnya aku tidak berani mengatakan hal yang sejak dulu menjadi bisikan hatiku ini, akan tetapi ... karena sekarang engkau bertanya, terpaksa aku
memberanikan diri untuk mengaku terus terang. Nona Liu Kiok Lan, sebelumnya
maafkan aku, akan tetapi ... sejak pertama kali kita berjumpa, sejak aku
membantumu menghadapi Ngo-liong Sin-kai itu, aku ... telah jatuh cinta kepadamu!
Nah, lega hati ini telah mengeluarkan bisikan hatiku itu, nona. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi ... siapakah aku ini" Nona
adalah seorang bekas puteri istana, bahkan adik bekas, kaisar, seorang puteri
bangsawan, dan aku ... aku hanya seorang pendekar petualang, maka sampai
matipun aku tidak akan berani menyatakan cintaku kepadamu. Kemudian, sungguh
jahanam Pouw Cin itu! Kemudian terjadilah malapetaka itu menimpa dirimu, nona.
Karena tidak melihat jalan keluar lain untuk menolongmu, maka aku memberanikan
diri untuk menyatakan kesediaanku menikahimu tentu saja kalau nona sudi
menerimaku."
Terjadi perubahan sedikit demi sedikit pada wajah yang masih agak pucat itu. Kedua pipi itu kemerahan, mata itu bersinar dan wajahnya berseri, mulutnya dihias
senyum yang ditahan-tahan. Pengakuan cinta Suma Hok sungguh merupakan obat
amat mujarab yang dapat mengurangi rasa nyeri, pedih dan perih di hati gadis itu.
Kalau pemuda itu hendak menikahinya hanya karena iba, hanya untuk
menolongnya, maka dalam hubungan itu tentu tidak ada ikatan batin, akan hambar
dan seperti permainan sandiwara belaka. Akan tetapi kalau ada cinta, itu lain lagi!
Dan agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta pemuda itu, yang memang
sudah dikaguminya sejak semula, walaupun saat itu ia belum merasakan adanya
kasih sayang itu. Melihat gadis itu hanya menundukkan mukanya yang kini
kemerahan, mata itu tadi bersinar-sinar, dan bibir itu kini agak merekah dengan senyum malu-malu, Suma Hok juga tersenyum senang dan bangga, penuh
kemenangan. Dia menanti sampai beberapa saat lamanya, dan melihat gadis itu
agaknya sukar untuk bicara, diapun benar ya lembut tanpa mendesak.
"Bagaimana jawabanmu, nona" Percayalah andaikata nona merasa terlalu tinggi untuk menjadi jodohku, katakan saja terus terang dan aku tidak akan menyalahkan mu, hanya aku bersumpah selamanya tidak akan menikah dengan wanita lain.
111 Sebaliknya, kalau nona setuju, aku akan membahagiakanmu, nona, dan aku akan
membantu kakakmu sampai tercapai cita-cita kita bersama, yaitu membangun
kembali kerajaan Liu-sung.'
Betapa muluknya janji yang diucapkan pemuda itu. Kiok Lan sampai terbuai dan
memejamkan mata sejenak, kemudian ketika ia membuka matanya dan
mengangkat muka memandang, Suma Hok melihat betapa pandang mata
kepadanya itu kini sudah berubah. Demikian indah, demikian mesra!
"Toako, aku menerima usulmu atau katakanlah pinanganmu dan aku berterima
kasih kepadamu. Akan tetapi, aku minta agar urusan perjodohan ini ditunda sampai setahun lagi. Setahun kemudian, barulah aku bersedia untuk melangsungkan
pernikahan denganmu, toako."
Diam-diam Suma Hok terkejut dan kecewa. "Maaf, nona, akan tetapi mengapa kita harus menanti sampai satu tahun lagi" Apa yang menjadi halangannya?"
"Harap jangan salah paham, toako. Terus terang saja, sejak pertama akupun sudah kagum kepadamu, walaupun belum ada cinta kasih seperti yang terdapat dalam
perasaan hatimu kepadaku. Maka, kalau aku sekarang menerima, hal itu kulakukan
penuh kesadaran dan keikhlasan. Akan tetapi, aku pernah mengambil keputusan
bahwa sebelum usiaku delapan belas tahun, aku tidak akan menikah. Kita masih
mempunyai waktu setahun untuk saling bergaul sebagai tunangan, dan dalam
waktu itu, aku juga ingin dapat jatuh cinta kepadamu, kepada orang yang akan
menjadi suamiku selama hidupku."
Bukan main girangnya hati Suma Hok. Tidak apa menanti setahun, karena bukan
gairah berahi yang mendorongnya memperisteri Kiok Lan. Biarpun belum menikah,
kalau dia sudah menjadi tunangan gadis ini, berarti dia sudah menjadi calon adik ipar bekas kaisar, berarti dia sudah menjadi keluarga dekat. Apalagi kalau dia
menjadi pembantu utama! Kedudukan tinggi sudah menanti di ambang pintu
baginya! "Baiklah, nona ... atau bolehkah aku menyebutmu moi-moi (adinda") Lan-moi?" Dia tersenyum.
Kiok Lan juga tersenyum, kini senyum wajar yang timbul karena kelegaan dan
kegembiraan hati. "Tentu saja boleh, dan aku akan menyebutmu koko, Suma-koko.
Dan kita akan lanjutkan latihan-latihan ilmu silat, ya, koko?"
"Tentu saja. Lan-moi. Aku akan mengajarkan seluruh apa saja yang kumiliki
kepadamu. Bukankah engkau ini calon isteriku tersayang?"
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Hok menjadi pembantu utama dari Siauw Tek,
menggantikan kedudukan Pouw Cin. Semua perwira diperkenalkan kepadanya,
bahkan seluruh pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari lima ribu orang besarnya 112
itu kini mengetahui bahwa panglima Pouw Cin telah tewas oleh mata-mata musuh,
dan kini yang menjadi panglima adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal
dengan julukan Tok-siauw-kui, pu-tera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan yang
terkenal sebagai datuk dari Kui-eng-san (Bukit Bayangan Setan). Para perwia juga sudah diberitahu bahwa panglima atau komandan mereka adalah calon suami nona
Liut Kiok Lan. Tentu saja kenyataan ini membuat mereka lebih tunduk dan hormat
kepada Suma Hok. Pemuda yang amat cerdik inipun dapat bertahan, mengekang
gairahnya. Dia tahu bahwa Kiok Lan adalah seorang gadis yang berbeda dari gadis biasa. Ia seorang bekas puteri yang mempunyai harga diri amat tinggi. Dia tidak berani main-main dan tidak pernah dia mencoba untuk membujuk calon isterinya
itu menyerahkan diri kepadanya. Dia akan bersabar sampai waktu setahun lewat,
sampai mereka dinikahkan secara resmi.
Dan Suma Hok juga tidak tinggal diam sebagai pengganti Pouw Cin. Dia bahkan
mengajarkan ilmu silat tambahan kepada para perwira dan memerintahkan agar
semua perajurit dilatih ilmu itu sehingga setiap orang perajurit merupakan tenaga yang tangguh. Selain itu, Suma Hok juga memberi kabar kepada ayahnya yang
menjadi gembira sekali mendengar puteranya menjadi calon adik ipar bekas kaisar Cang Bu yang kini sedang berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung
yang sudah jatuh lima tahun yang lalu. Dengan senang hati diapun menyatakan siap untuk membentu, membuat Siauw Tek semakin gembira dan bersemangat.
*** Kota raja Nan-king menjadi semakin ramai dan besar setelah kini menjadi kota raja
dari kerajaan baru, yaitu dinasti Chi (479-501) yang didirikan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi kaisar pertama kerajaan Chi dengan nama Kaisar Siauw Hian Ong.
Berbeda dengan sikap kerajaan Liu-sung yang lebih condong memihak Agama To
dari pada Agama Buddha sehingga kerajaan Liu-sung tidak mendapatkan dukungan
dari Agama Buddha yang memiliki banyak pengikut, Kaisar Siauw Bian Ong
membuka pintu lebar-lebar bagi kedua agama itu. Apalagi pada masa itu, kerajaan Wei di utara, yaitu kerajaan Bangsa Toba atau Tartar yang dipimpin oleh Kaisar Wei Ta Ong, mengambil sikap memusuhi para hwesio (pendeta Buddha) yang dianggap
sebagai orang-oran gasing. Banyak sekali hwesio yang dibunuh di kerajaan Wei yang dipengaruhi oleh para pengikut agama To, dan banyak yang melarikan diri ke
selatan, menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengungsi ke daerah kerajaan baru Chi.
Di selatan ini. Agama Buddha berkembang dengan pesat, dan kebijaksanaan Kaisar
Siauw Bian Ong membuat permusuhan yang terjadi antara para pengikut Agama To
dan pengikut Agama Buddha tidak terbawa ke selatan. DI kerajaan ini, kedua
pengikut agama itu dihargai dan dihormati, penyebaran agama mereka diterima
secara bebas oleh rakyat.
Karena inilah, maka kota raja Nan-king nampak semakin meriah dan ramai.
Keamanan jauh lebih baik dari pada di utara, dan suasana aman ini tentu saja
113 menumbuhkan perdagangan. Pedagang keluar masuk kota raja Nan-king. dan tentu
saja akibatnya banyak dibangun rumah-rumah penginapan dan rumah-rumah
makan yang besar dan yang setiap hari penuh dengan tamu. Pasukan keamanan
kota raja Nan-king juga. terkenal dengan jagoan-jagoan istana yang lihai, dan yang selalu melakukan perondaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di kota raja
itu. Tidak ada penjahat berani banyak lagak di kota raja ini, dan suasana yang
terjamin keamanannya itulah yang membuat para pedagang menjadi semakin
bersemangat melakukan perdagangan dan suasana di kota ini nampak meriah dan
gembira. Apalagi golongan penjahat kecil, bahkan para tokoh kang-ouw, baik
golongan hitam atau putih, baik para penjahat maupun pendekar, tidak ada yang
berani malakukan kejahatan secara berterang di kota raja Nanking. Kaisar Siauw
Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, tidak seperti bekas
Kaisar Cang Bu dari kerajaan Liu-sung yang hanya mementingkan kesenangan diri
pribadi belaka, kurang memperhatikan nasib rakyat jelata sehingga
pemerintahannya dicengkeram oleh para pembesar yang korup. Para pembesar
seperti itu, bukan hanya tidak memperhatikan nasib rakyat, bahkan lebih celaka
lagi, sebaliknya dari pada mengayomi rakyat, mereka bahkan menekan rakyat
dengan berbagai cara untuk memenuhi gudang harta mereka sendiri.
Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi baik" Kalau
para penjahat tinggi korup, bagaimana mungkin mengharapkan para penjahat
rendahan akan bersikap jujur" Dan pembesar tinggi yang menjadi pengawas sendiri bertindak korup, bagaimana mungkin dia berani meindak hawahannya yang juga
melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran lebih kecil" Kalau yang di atasan jujur, sudah, pasti yang di bawahan tidak berani curang karena yang di atasnya
tentu akan menghantamnya. Kaisar Siuw Bian Ong yang mengaku sebagai
keturunan keluarga Siauw yang besar yang terkenal sejak nenek moyang mereka
yang bernama Siauw Ho menjadi perdana menteri kerajaan Han (tahun 206 S.M. - 8
A.D.), maklum bahwa sebuah kerajaan baru akan kokoh kuat kalau mendapatkan
dukungan rakyat jelata. Biarpun memiliki kekuatan pasukan yang besar dan kuat.
kalau tidak mendapat dukungan rakyat dan lebih lagi kalau sampai dibenci rakyat, maka kekuatan pasukan itu tidak akan banyak manfaatnya. Dan satu-satunya cara
untuk memperoleh dukungan rakyat hanyalah kalau pemerintah dapat
mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata. Kalau rakyat merasa puas. dengan
langkah yang diambil oleh pemerintah, kalau rakyat dapat memetik buah dari
pohon tanaman pemerintah, kalau rakyat dapat ditingkatkan taraf hidupnya, maka
rakyat tentu akan mencintai pemerintah dan akan membela mati-matian kalau
pemerintah yang mendatangkan kebahagiaan itu sampai terancam oleh kekuasaan
lain. Dan satu-satunya cara untuk mendatangkan kemakmuran kepada rakyat jelata
hanyalah dengan pembangunan dalam segala bidang. memperluas lapangan
pekerjaan, menjaga ketertiban dan keamanan sehingga rakyat dapat bekerja
dengan gembira karena merasa aman dan tenteram, mengatur sedemikian rupa
dengan segala kebijaksanaan agar setiap orang dari rakyat jelata terpenuhi semua 114
kebutuhan pokok hidup mereka. Dan kalau para cerdik pandai, mereka yang
memegang kemudi pemerintahan, terdiri dari orang-orang bijaksana yang tidak
memetingkan diri sendiri, tidak melakukan korupsi, tidak menekan rakyat, maka
cita-cita untuk memakmurkan kehidupan rakyat bukan sekedar menjadi slogan dan
mimpi kosong belaka.
Kaisar Siauw Bian Ong berusaha ke arah itu. Maka, tidaklah mengherankan apabila kini, setelah lima tahun dia mendirikan dinasti Chi, kota raja Nan-king menjadi sebuah kota kerajaan yang besar, ramai dan perdagangan maju dalam segala
bidang. Juga kaisar baru ini bersikap lunak terharap bekas para pejabat tinggi, para
bangsawan, bahkan keluarga dari kerajaan Liu-sung yang telah dia jatuhkan. Dia
tidak seperti penakluk-penakluk yang lain, yang sering kali melakukan pembersihan, membunuhi seluruh keluarga raja yang ditaklukkan, bahkan membunuhi para
pejabat tinggi kerajaan yang kalah karena takut kalau-kalau mereka akan
mengadakan pembalasan dan pemberontakan.
Hal ini mungkin karena memang masih ada hubungan keluarga antara keluarga
Siauw dan keluarga Liu, yaitu keturunan raja-raja yang memerintah kerajaan Liu-
sung. Akan tetapi terutama sekali karena Kaisar Siauw Bian Ong ingin agar para
cerdik pandai bekas pembesar kerajaan Liu-sung, kini membantu pemerintahannya,
dan melihat bahwa pemerintah yang baru jauh lebih baik dari pada pemerintah
kerajaan yang telah jatuh itu.
Satu di antara keluarga bangsawan yang tidak dibasmi, dihukum atau dibunuh oleh pemerintah yang baru adalah keluarga bangsawan Kwan yang telah turun temurun
menjadi bangsawan yang memegang jabatan penting dalam kerajaan Liu-sung. Yang
terakhir, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, Kwan Jin Kun memegang kedudukan tinggi, yaitu sebagai Menteri Kehudayaan. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) adalah seorang
sasterawan dan seniman yang bijaksana dan lemah lembut. Karena dia seorang
yang mencintai pekerjaannya, mencintai kebudayaan, maka dia sejak dahulu tidak
pernah menjadi seorang pembesar yang korup dan sewenang-wenang seperti
banyak pejabat lainnya. Dia tidak pernah menyalah-gunakan kekuasaannya, apalagi karena jabatannya mengurus kebudayaan, maka jabatannya sendiri tidak memberi
banyak kesempatan kepadanya untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari
kebenaran. Biasanya, kesempatan yang membuat orang melakukan
penyelewengan. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh. Kwan-taijin tidak mengajak keluarganya melarikan diri seperti banyak pembesar lainnya. Akan tetapi, diapun tidak lalu menyerah
kepada penguasa baru. Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula penakut. Kalau
dia tidak mengikuti kaisarnya yang melarikan diri mengungsi, hal itu bukan karena dia tidak setia kepada kerajaan Liu-sung, melainkan sudah hal suatu ketidakcocokan antara dia dan kaisar Cang Bj, pernah dia memrotes kaisar dan para pejabat tinggi 115
yang hanya tenggelam dalam kesenangan tanpa memperdulikan keadaan rakyat,
bahkan lengah terhadap gejala pemberontakan yang timbul di mana-mana, akan
tetapi protes ini bahkan membuat kaisar marah-marah kepadanya. Oleh karena itu, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, diapun tinggal saja di rumah bersama keluarganya.
Dia sama sekali tidak merasa takut, karena dia tidak pernah merasa bersalah. Kalau penguasa baru akan membunuhnya, diapun sudah siap.
Kwan Jin Kun mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang puteri
bernama Kwan Hwe Li, akan tetapi keluarga itu telah kehilangan puteri ini sejak kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu! Sampai sekarang, keluarga itu belum
pernah bertemu kembali dengan puteri itu yang meninggalkan rumah. Kwan-taijin
dan isterinya merasa prihatin bukan main, apalagi ketika mereka mendengar bahwa puteri mereka itu kini telah menjadi seorang datuk di dunia kang-ouw!
Anak ke dua mereka seorang putera yang kini telah berusia empat puluh delapan
tahun dan telah menjadi seorang hakim di kota Bi-ciu, dan setelah pergantian
pemerintahan, di kerajaan Chi diapun masih tetap menjadi hakim, karena dia
terkenal sebagai seorang hakim yang bijaksana dan adil sehingga pemerintah yang baru tetap mengangkat Kwan Hwe TJn ini menjadi hakim di Bi-ciu.
Kwan Jin Kun kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, dan isterinya telah


Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggal dunia lima tahun yang lalu ketika terjadi perang saudara. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh, wanita inipun jatuh sakit karena kaget dan khawatir sehingga ia tidak sempat menyaksikan betapa semua kekhawatirannya bahwa keluarganya akan
tertimpa malapetaka sebetulnya tidak terjadi. Suaminya tidak diganggu oleh
penguasa baru. bahkan Kaisar Siauw Biang Ong tadinya menunjukkan untuk tetap
memegang jabatan lamanya. Akan tetapi, Kwan Jin Kun dengan hormat dan halus
menolak, dengan alasan bahwa dia sudah terlalu tua untuk bekerja, apalagi
semenjak ematian isterinya, dia sudah tidak mempunyai semangat lagi, dan hanya
ingin menghabiskan sisa usianya untuk bersamadhi dan melepaskan diri dari semua ikatan keduniawian.
Rumah gedung besar tempat tinggal Kwan Jin Kun kini nampak sepi. Yang tinggal di situ hanyalah kakek Kwan, ditemani dua orang selir yang kini sudah berusia enam puluhan tahun akan tetapi misih setia kepadanya, dan empat orang pembantu
rumah tangga. Hanya kadang saja, beberapa bulan atau setidaknya setahun sekali, kalau Kwan Hwe Un dari Bi-ciu bersama isteri dan anak-anaknya datang berkunjung, rumah gedung itu menjadi ramai-Selebihnya, rumah itu selalu sunyi, hanya kadang terdengar bunyi yang-kim (kecapi) yang dimainkan oleh seorang di antara selirnya.
Pada suatu pagi yang cerah, dua orang wanita memasuki pekarangan rumah gedung
tua yang sunyi itu. Mereka adalah dua orang wanita yang cantik, yang seorang
berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya cantik jelita dengan mulut yang manis dan sikapnya penurut dan lembut. Adapun wanita yang ke dua nampaknya
berusia beberapa tahun lebih tua akan tetapi belum ada tiga puluh tahun, wajahnya 116
juga cantik, pesolek dengan pakaian indah, mulutnya selalu tersenyum mengejek
dan sikapnya anggun dan angkuh. Mereka ini adalah Cia Ling Ay, janda muda yang
cantik itu bersama gurunya. Bi Moli Kwan Hwe Li yang usianya sudah lima puluh
tahun akan tetapi masih nampak muda dan cantik.
Seorang wanita pelayan keluar dari pintu depan menyambut mereka. Suasana
dalam rumah itu sudah jauh berbeda dengan ketika Kwan Hwe Li masih tinggal di
situ sebagai seorang gadis. Tidak lagi seperti rumah bangsawan dengan pengawal
dan pelayan yang berpakaian keren. Kini melihat suasana rumah itu, melihat
pakaian pelayan wanita yang keluar menyambut, tiada bedanya dengan ramah
orang biasa. Pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk menanyakan keperluan
kedua orang wanita cantik itu datang berkunjung.
"Ji-wi sio-cia (Nona berdua) hendak mencari siapakah?" tanyanya dengan sikap hormat.
Kwan Hwe Li tidak mengenal pelayan itu, tentu seorang pelayan baru. Dan memang, ketika ia meninggalkan rumah ini, hal itu telah lewat kurang lebih tiga puluh tahun, dan ketika kerajaan Liu-sung jatuh, semua pelayan dari keluarga Kwan ikut pula lari mengungsi bersama banyak penduduk Nan-king yang lain, meninggalkan keluarga
majikan mereka.
"Aku ingin bertemu dengan Kwan-loya (tuan tua Kwan)," kata Hwe Li, menahan getaran hatinya. Biarpun selama ini ia telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan
telah menjadi datuk kang-ouw yang terkenal sekali, keras hati dan berwibawa, tidak urung hatinya tergetar ketika ia berada di rumah keluarga orang tuanya di mana ia dibesarkan, dan akan bertemu dengan ayah kandungnya. Ia sudah mendengar
bahwa ibu kandungnya meninggal dunia ketika terjadi perang saudara dan bahwa
kini yang tinggal di rumah itu tinggal ayahnya seorang diri. Ia tahu pula dari
keterangan anak buahnya bahwa kakak tunggalnya kini masih menjadi hakim di Bi-
ciu. "Maaf, nona. Saya tidak berani menggangu lo-ya, karena pada saat sepagi ini, lo-ya masih duduk bersamadhi dalam kamarnya dan tak seorangpun dari kami
diperbolehkan mengganggunya."
Hwe Li teringat bahwa menurut keterangan para anak buahnya yang pernah ia utus
melakukan penyelidikan, selain ayahnya, di situ masih tinggal dua orang selir
ayahnya, atau ibu tirinya, akan tetapi seingatnya, ayahnya dahulu mempunyai
empat orang selir dan ia tidak tahu, selir yang mana yang sekarang masih
menemani ayahnya tinggal di situ.
"Kalau begitu, panggilkan saja nyonya besar, katakan bahwa aku ingin bicara."
katanya tak sabar.
117 "Baik, nona. Silakan ji-wi (kalian) menunggu di ruangan tamu." pelayan itu mempersilakan dua orang tamunya duduk di ruangan tamu yang berada di samping
kiri. Bi Mo Li Kwan Hwe Li dan Cia Ling Ay memasuki ruangan tamu itu dan duduk di atas kursi-kursi jang bentuknya kran. Diam-diam Kwan Hwe Li terharu melihat
keadaan kamar itu. Semua perabotnya adalah perabot lama yang kini sudah mulai
nampak tua dan butut. Ruangan itu, yang dahulu nampak mewah, kini kehilangan
kemewahannya dan bahkan membayangkan keadaan yang bangkrut. perabot yang
semestinya minta ganti yang baru dipertahankan, ruangan itu memberi kesan yang
tua dan buruk. Suara langkah kaki dengan sepatu diseret membuat kedua orang wanita itu
menengok, memandang ke arah pintu sebelah dalam yang terbuka. Seorang wanita
berusia enam puluhan tahun muncul di ambang pintu dan biarpun wanita itu sudah
kelihatan tua sekali, namun Hwe Li segera mengepalnya. Inilah ibu tirinya yang ke tiga, yang dahulu ketika ia pergi, merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang selain cantik menarik, juga lincah dan genit! Namun, di antara para ibu tirinya, wanita inilah yang sikapnya paling ramah dan akrab dan merupakan ibu tiri yang dahulu seperti sahabatnya sendiri.
"Ibu ke tiga ...!" kata Hwe Li sambil mengamati wajah itu dan seruannya merupakan bisikan penuh keraguan.
Akan tetapi, wanita tua itu terbelalak. Kwan Hwe Li sudah pergi selama tiga puluh tahun, akan tetapi seolah-olah wajah cantik itu sama sekali tidak berubah, masih tetap seperti dahulu, tiga puluh tahun yang lalu!
"Kau ... kau ... Hwe Li ...!" Ah, tidak mungkin ...! Hwe Li hanya lebih muda sepuluh tahun dariku, tentu sekarang telah menjadi seorang nenek. Ah, aku tahu! Engkau
tentulah puterinya! Ya, engkau tentu anak dari Hwe Li! Bagaimana ibumu sekarang, nak" Kenapa ia tidak ikut datang?" Wanita itu dengan ramahnya menghampiri dan merangkul pundak Hwe Li. Wanita ini tersenyum dan diam-diam ia merasa terharu.
Wanita ini, biarpun sekarang sudah tua dan keluarganya jatuh miskin, masih tetap ramah dan periang seperti dahulu. Pantas saja ayahnya masih mempertahankannya
untuk menemanimu di situ.
"Ibu, akulah Hwe Li!" katanya sambil merangkul selir ayahnya yang ke tiga itu.
"Ehh ...?"" Wanita itu memegang kedua pundak Hwe Li, mendorongnya ke belakang dan mengamati wajah yang cantik itu. '"Kau ... kau memang tiada bedanya dengan Hwe Li. Akan tetapi tidak mungkin! Engkau tentu sudah berusia lima puluhan tahun, dan engkau kelihatan seperti seorang gadis. Bagaimana mungkin engkau Hwe Li?"
"Sungguh, ibu. Aku adalah Kwan Hwe Li dan aku datang untuk menengok ayah.
Bagaimana dengan ayah" Aku ingin sekali bertemu dengannya."
118 "Hwe Li ...! Engkau benar-benar Hwe Li" Kami sudah mendengar bahwa engkau
menjadi seorang wanita sakti, akan tetapi ... bagaimana mungkin engkau menjadi
wanita yang selalu muda, tak pernah menjadi tua?"
Hwe Li tersenyum, merangkul pinggang ibu tiri yang dahulu menjadi amat akrab
seperti sahabat baik dengannya. "Ibu, mari kita temui ayah. Kamarnya masih yang dahulu, bukan" Oh, aku sampai lupa, Ibu, ini adalah Cia Ling Ay, ia muridku. Ling Ay, ini ibuku yang ke tiga, engkau boleh memanggilnya Bibi ke Tiga."
Ling Ay cepat membungkuk dan memberi hormat. Wanita tua itu memandang,
terheran-heran. "Kalau engkau benar-benar Hwe Li sungguh luar biasa sekali!
Engkau masih secantik dan semuda dahulu, dan engkau bahkan seperti kakak
beradik saja dengan muridmu ini."
"Sudahlah, ibu, mari kita temui ayah." kata Hwe Li dan ia menggandeng ibu tirinya keluar dari ruangan tamu dan masuk ke ruangan dalam. Ia masih ingat di mana
letak kamar ayahnya, kamar besar yang tak jauh dari ruangan tengah. Setelah
mereka berada di depan pintu kamar, ibu tirinya berbisik, "Hwe Li, biasanya, pada saat seperti ini, ayahmu masih bersamadhi di dalam kamarnya. Aku tidak berani
mengganggunya."
"Ibu, biarlah aku yang memangil ayah." kala Hwe Li dan ia mengetuk daun pintu, lalu mengerahkan khi kang sehingga biar suaranya hanya lirih, namun suara itu
menembus ke dalam kamar dan akan terdengar dengan jelas sekali oleh orang yang
berada di dalam kamar. "Ayah, aku Kwan Hwe Li datang untuk menengok ayah!"
Hanya sekali Hwe Li bicara dan terdengar suara kaget dari dalam. Suara Hwe Li yang didorong kekuatan khi-kang itu terdengar jelas sekali oleh kakek Kwan yang
bersamadhi di dalam kamar. Tentu saja dia tersentak kaget mendengar kalimat itu.
"Ahhh ... " Dan diapun turun dari atas pembaringan, menghampiri daun pintu kamar dan membukanya.
Sekeras-kerasnya hati Hwe Li, ia merasa seolah jantungnya diremas karena terharu melihat ayahnya kini telah menjadi seorang kakek tua renta! Biarpun dahulu,
tigapuluh tahun yang lalu, ayahnya juga hanya seorang laki-laki yang lemah dan
tidak pernah mempelajari ilmu silat, namun ayahnya yang lemah lembut itu
memiliki gairah hidup yang timbul karena jiwa seninya. Kini, hanya sepasang mata itu yang masih nampak hidup bersemangat, akan tetapi tubuhnya sudah lemah dan
gemetaran! "Ayah ...!!" Hwe Li menubruk dan merangkul ayahnya. Ketika kedua lengannya merangkul, ia merasakan betapa kedua lengannya memeluk kerangka, seolah tubuh
itu hanyalah tulang tulang terbungkus kulit saja.
Namun, kedua tangan kurus itu masih membelainya.
119 "Hwe Li ... kau Hwe Li ...! Engkau masih seperti dulu ...! Engkau masih Hwe Li yang dahulu!" Tiba-tiba tangannya memegang pundak Hwe Li dan seperti yang dilakukan isterinya yang ke tiga tadi, dia mendorong tubuh Hwe Li dan mengamati wajah dan seluruh tubuh wanita itu dengan penuh keheranan. "Akan tetapi, engkau masih begini muda! Pada hal, usiamu tentu sudah ada lima puluh tahun sekarang!"
Sepasang mata yang masih indah itu basah air mata. Menangis merupakan
kebiasaan kaum wanita. Biasanya, perasaan wanita amatlah halus dan peka, dan hal ini membuat mereka emosionil dan air mata mereka selalu siap untuk dicucurkan
dalam tangis. Akan tetapi. Bi Moli Kwan Hwe Li bukan wanita biasa lagi. Hatinya sudah mengeras dalam gemblengan pengalaman hidup yang serba keras dan pahit.
Hatinya tidak lagi mudah tergerak dalam keharuan, apalagi tangis. Namun kini,
hampir ia tidak dapat menahan untuk tidak terisak menangis dan hanya air matanya saja yang membasahi pelupuk matanya dan ada sebutir dua air mata yang sempat
meloncat keluar.
"Ayah, aku Hwe Li, ayah. Berkat ilmu yang kupelajari, aku dapat tetap awet muda seperti sekarang."
"Hwe Li, ahh ... Hwe Li ...!" Ayah itu merangkul, kemudian mereka keluar dari kamar itu, menuju ke ruangan tengah di mana mereka duduk dengan penuh kegembiraan.
Kakek Kwan meneriaki para pembantunya dan memperkenalkan puterinya, lalu
menyuruh mereka mempersiapkan pesta seadanya untuk merayakan pulangnya
puteri itu. "Ayah, ini adalah Cia Ling Ay, muridku. Ling Ay, inilah ayahku, sekarang telah tua sekali." Ling Ay cepat memberi hormat kepada orang tua itu.
Sejak tadi Kwan Jin Kun tiada hentinya mengamati wajah puterinya. kemudian dia
berkata, "Hwe Li, ketika kami mendengar berita bahwa engkau telah menjadi
seorang tokoh dunia persilatan, dan kabar itu amat menggelisahkan hatiku karena engkau dikabarkan menjadi seorang datuk kang-ouw yang berwatak iblis. Aku
membayangkan bahwa engkau tentu kini menjadi seorang wanita setengah tua
yang menakutkan. Akan tetapi ... ha-ha, kabar itu bohong semua! Mungkin disebar oleh mereka yang membenci keluarga kita. Engkau ternyata masih tetap Hwe Li
yang dahulu, dan engkau tidak seperti iblis, bahkan seperti seorang dewi!"
Kwan Jin Kun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak puterinya pergi
meninggalkan rumah itu. "Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi yang baru ini cukup bijaksana, balikan aku harus mengakui dia lebih bijaksana dibardingkan kaisar yang lalu. Beliau juga menawarkan kedudukan lama kepadaku, akan tetapi aku
sudah merasa terlalu tua untuk bekerja, Hwe Li. Aku lebih suka menghabiskan sisa hidupku dengan mempelajari kitab-kitab agama dan bersamadhi. Aku tidak
bersemangat lagi untuk mencampuri urusan dunia yang penuh dengan
120 pertentangan. Lalu sekarang ceritakan semua pengalamanmu setelah engkau pergi
meninggalkan rumah ini, anakku."
Hening sejenak. Diam-diam Ling Ay juga ingin sekali mendengarkan karena selama
ini, gurunya belum pernah menceritakan dengan jelas tentang latar belakang
kehidupannya. Pada saat itu, selir ke dua dari kakek itu memasuki ruangan itu. Tadi ia pergi berbelanja berbagai keperluan keluarga itu dan seperti juga selir ke tiga, ia terheran-heran karena ia segera mengenali Hwe Li. Segera iapun ikut pula duduk di ruangan itu dan mereka semua kini menanti Hwe Li menceritakan pengalamannya
yang tentu akan menarik sekali.
"Ayah tentu masih ingat mengapa aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit?"
Setelah menghela napas panjang Hwe Li bertanya dan memandang kepada ayahnya
dan kedua orang ibu tirinya.
Ayahnya mengangguk dan diapun menarik napas panjang. "Siapa yang akan dapat melupakan peristiwa itu" Gara-gara pangeran mata keranjang itu! Gara-gara
tunanganmu. Pangeran Tiauw Sun Ong, melakukan perbuatan yang memalukan itu,
engkau menjadi marah dan malu, dan engkau pergi meninggalkan keluargamu
tanpa pamit!"
"Benar sekali, ayah. Gara-gara Tiauw Sun Ong maka aku menjadi seroang petualang, Hatiku sakit bukan main. Tadinya aku berniat untuk mencari Tiauw Sun Ong yang
sudah lolos dari sebagai seorang buta. Tekadku untuk membunuhnya karena ia
telah menghancurkan kebahagiaan hatiku, telah mengkhianatiku, dan kami saling
mencinta sejak remaja. Siapa kira, dia melakukan perbuatan tak senonoh dengan
selir kaisar. Dalam perantauanku, aku bertemu orang-orang pandai di dunia, kang-ouw, aku mempelajari ilmu silat dengan tekun karena ada satu tujuan, yaitu
membunuh Tiauw Sun Ong!"
Ayahnya menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Eehhh, kenapa engkau menuruti nafsu amarah" Mengapa engkau meracuni hatimu sendiri dengan
dendam sakit hati, anakku" Sekali kita membiarkan nafsu merajalela di hati, nama kita akan diperhamba dan nafsu akan menjadi pembimbing kita yang akan
menyelewengkan jalan hidup kita."
Kwan Hwe Li tersenyum simpul mendengar ucapan ayahnya, Ia sudah kenyang
dengan segala macam petuah dan nasihat ayahnya, bahkan sejak kecil sampai
dewasa kepala dan hatinya sudah dijejali segara macam pelajaran tentang
kebatinan dan agama. Akan tetapi semua itu lenyap tanpa bekas sejak hatinya
hancur oleh perbuatan Tiauw Sun Ong. ia tidak perduli lagi. Lebih-lebih setelah ia berguru kepada banyak datuk persilatan, tokoh-tokoh besar kaum sesat di dunia
kang-ouw. ia makin jauh meninggalkan segala yang berbau pelajaran kebatinan itu.
Kini ia mendengas lagi petuah ayahnya, dan betapa hambarnya semua itu. ia
maklum bahwa ia telah terlalu jauh tersesat, telah terlalu banyak perbuatan
121 dilakukan tanpa memperhitungkan baik buruknya. Kalau perbuatannya dianggap
kotor, maka kotoran itu telah sedemikian tebalnya sehingga kalau hanya setitik air pencuci berupa petuah dan pengetahuan kebatinan, tidak akan dapat
membersihkannya! Bukannya ia tidak tahu bahwa ia telah menjadi seorang datuk
sesat, Ia tahu benar, tahu bahwa semua perbuatannya selama ini oleh umum
dianggap jahat, berdosa dan sebagainya. Akan tetapi ia tidak mampu
meninggalkannya, tidak dapat dan tidak mau.
"Hwe Li, apakah engkau lalu berhasil membalas dendam sakit hatimu kepada
Pangeran Tiauw Sun Ong?" tanya ibu tirinya yang ke dua.
Wajah Hwe Li berubah muram dan iar menggeleng kepala. "Berkali-kali aku
mencobanya, akan tetapi jahanam itu ternyata setelah menjadi buta, memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main sehingga semua percobaanku gagal. Aku tidak
pernah dapat menang dalam pertandingan melawannya. Dia memang lihai bukan
main. Akan tetapi satu hal yang membuat hatiku bertambah sakit adalah kenyataan bahwa kalau aku menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia yang selalu
mengalahkan aku, tidak pernah mencoba untuk membunuhku, bahkan
melukaikupun belum pernah!"
"Siancai ...!" Kakek Kwan berseru dengan suara pujian. "Itu menandakan bahwa dia masih sayang kepadamu, atau setidaknya, dia telah menyesali perbuatannya
sehingga tidak mau melukaimu, anakku. Engkau seharusnya berterima kasih karena
ternyata pangeran yang telah kehilangan kedudukan dan telah menjadi buta
matanya itu ternyata tidak buta hatinya."
"Aku tidak perduli, ayah! Dan aku yakin bahwa dia melakukan itu sama sekali bukan karena dia mencintaku, karena aku telah membujuknya untuk hidup bersama akan
tetapi dia selalu menolak. Tidak, dia sengaja memamerkan kepandaiannya untuk
mengejek aku, membuat hatiku makin perih lagi. Akan tetapi sekarang aku merasa
puas, ayah. Aku telah menemukan jalan untuk membuat dia menderita seperti aku,
tanpa aku harus menyerangnya satu juruspun!" Wanita cantik itu tertawa dan biarpun suara tawanya merdu, namun ayahnya dan dua orang ibu tirinya bergidik
karena dalam suara tawa itu terkandung sesuatu yang mengerikan.
"Siancai ... semoga Tuhan akan menyadarkanmu, anakku. Dan setelah engkau
pulang, kami harap engkau dan muridmu akan terus tinggal di sini. Engkau mau
menemaniku ayahmu yang tidak akan lama lagi berada di dunia ini, bukan?" Dalam
suara itu terkandung permohonan. Kakek ini bukan mengeluarkan ucapan itu
karena rasa iba diri, melainkan mempunyai maksud lain. Dia menghendaki agar
Pendekar Super Sakti 12 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Sepak Terjang Hui Sing 5
^