Istana Tulang Emas 2
Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas Bagian 2
Trang! Begitu terjadi benturan senjata, dengan gerakan dahsyat Sindu memutar goloknya, lalu langsung dikelebatkan ke perut Gandung. Sehingga....
Brettt! "Aaakh...!"
Gandung memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi perutnya yang robek ditebas golok Sindu. Panjalu bermaksud membantu, tapi Sindu terus memburu Gandung yang sudah ambruk di tanah dan tengah sekarat.
Cras! "Aaa...!"
Golok panjang di tangan Sindu tidak mengenal ampun. Langsung dibelahnya dada Gandung yang sudah tidak berdaya.
"Biadab!" desis Panjalu geram.
"Tidak usah banyak bicara! Kau akan mengalami nasib yang sama dengannya!" tukas Sindu, enteng saja.
"Aku akan menyeretmu untuk ke akhirat bersama kawanku!"
Baru saja Panjalu berteriak sambil melompat menerjang....
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan. Kali ini Reksa yang menjadi lawan Setiaji menjadi korban. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dada kanannya berlubang terkena tikaman senjata Setiaji.
"Heaaat!"
Panjalu membatalkan serangannya. Dan dia bermaksud melindungi kawannya yang bernama Reksa dari serangan Setiaji selanjutnya. Tapi Sindu ternyata lebih cepat bergerak. Golok di tangannya cepat dilemparkan ke arah leher Reksa yang terhuyung-huyung. Dan....
Cras! "Hokh!"
"Hei"!"
Kembali Panjalu terkesiap, melihat leher Reksa telah tertancap golok yang dilemparkan Sindu. Berarti dua kawannya telah tewas dalam waktu singkat secara mengenaskan.
"Biadab! Aku harus membalas kematian mereka berdua, lebih kejam daripada yang kalian lakukan!" bentak Panjalu penuh amarah.
"Tidak usah buang-buang tenagamu. Sebentar lagi kau akan menyusul mereka...," ejek Sindu, setelah mencabut goloknya yang tertancap di leher lawannya.
"Heaaat!"
Saat itu juga Sindu langsung melompat menyerang dengan ayunan goloknya. Pada saat yang sama, Setiaji dan Sindu sudah sama-sama meluruk dengan sambaran golok masing-masing. Namun, apalah daya Panjalu saat ini" Apalagi kini harus menghadapi kerubutan dua orang.
Kini tampak, serangan masing-masing pihak akan bertemu di udara.
Trang! Sambaran golok Setiaji berhasil dipapak Panjalu dengan memalangkan goloknya ke depan wajah. Namun pada jarak yang hampir bersamaan, Sindu membabatkan goloknya ke perut.
"Hup!"
Cepat bagai kilat, Panjalu menjatuhkan diri ke tanah. Namun, ternyata Sindu dapat mengejarnya.
Dan baru saja dia bangkit, Sindu telah melepaskan tendangan ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.... Duk!
Panjalu terhuyung-huyung ke belakang disertai keluhan tertahan, begitu tendangan Sindu berhasil bersarang di dadanya. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya lengah. Sehingga, Setiaji yang telah siap sejak tadi cepat membabatkan senjatanya ke perut.
Crasss! "Aaah...!"
Panjalu kontan memekik keras, begitu perutnya robek mengeluarkan darah. Tentu saja, hal ini membuat gerakannya terhambat.
"Heaaat...!"
Pada saat itu Sindu sudah melompat dengan senjata di tangan, siap menghabisi Panjalu.
"Yeaaa...!"
*** 5 ? Pada saat yang gawat bagi Panjalu, mendadak melesat sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Sindu. Gerakannya cepat bukan main. Dan....
Plak! "Aaakh...!"
Tahu-tahu Sindu memekik kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang terasa nyeri. Sementara senjatanya lepas entah ke mana.
Dan baru saja Sindu bisa menguasai perasaannya, di depannya telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Sementara Setiaji hanya terbengong-bengong, tak tahu harus berbuat apa.
"Siapa pun adanya kau, lebih baik tidak usah ikut campur dalam urusan ini!" dengus Sindu, berusaha menghilangkan rasa kegentarannya. Betapa tidak gentar" Pada saat berbenturan tadi, Sindu yakin tenaga dalamnya jauh di bawah pemuda berbaju rompi putih di depannya.
Pemuda yang tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum dingin. Matanya menyorot tajam pada Sindu.
"Aku pemilik pulau ini. Maka segala sesuatu yang terjadi di sini berhak kuketahui," sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng.
"Setan! Agaknya kau belum kenal kami, he"!" bentak Sindu. "Heaaa...!"
Saat itu juga Sindu melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kibasan tangan secara bertubi-tubi.
"Uts!"
Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya. Rangga berhasil menghindarinya. Dan baru saja Sindu hendak membangun serangan kembali, sebelah kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat melayang dengan satu tendangan keras.
Diegh! "Aaakh"!"
Telak sekali tendangan itu bersarang di leher Sindu. Disertai jerit kesakitan, Sindu tersuruk mencium tanah. Dan baru saja dia hendak bangkit, Rangga tahu-tahu telah menjejak di lehernya.
"Aku telah tahu siapa dirimu. Dan kau pun telah tahu siapa aku saat ini! Aku adalah malaikat pencabut nyawa. Maka jangan coba-coba bertindak macam-macam. Lehermu akan putus bila kau bertindak macam-macam!" ancam Rangga.
"Ohhh.... Ekh...!"
Sindu mengeluh tertahan dan sulit bernapas ketika Rangga membuktikan ancaman dengan menekan telapak kakinya yang menempel ke leher lawan.
"Nah! Kau semakin tahu, bukan" Jadi kau tidak usah macam-macam!" lanjut pemuda itu melonggarkan pijakan kakinya.
Sementara, melihat kawannya jatuh dalam satu kali gebrakan, Setiaji tidak berani bertindak. Dia sadar, kalau pun membokong, pasti pemuda berbaju rompi putih itu pasti dapat melumpuhkannya. Sehingga, dia hanya berdiam diri dengan tatapan kasihan pada Sindu.
"Apa maumu"!" tanya Sindu lantang.
"Seharusnya aku yang bertanya! Siapa kalian"! Dan, apa maksud kalian di sini"!" balas Rangga, dingin.
"Aku anak buah Gagas Kelana penguasa gugusan pulau ini!"
"Siapa Gagas Kelana itu?"
"Boleh jadi kau tak mengenalnya. Tapi kami semua berada di bawah pimpinan Ki Jalidar alias si Hiu Perak, yang menguasai seluruh perairan di wilayah laut bagian barat Pulau Jawadwipa ini!" sahut Sindu dengan nada sedikit angkuh.
Nama Hiu Perak sebenarnya telah terkenal di setiap penjuru sebagai pimpinan bajak laut yang di takuti. Bukan saja mereka yang sering bepergian menggunakan perahu layar, tetapi juga dikenal oleh orang-orang yang berada di daratan. Dengan begitu, Sindu berharap pemuda itu akan gentar mendengarnya.
"Hiu Perak" Hm.... Belum pernah kudengar namanya. Tapi, pasti kalian semua suka membuat resah!"
"Maaf, Kisanak! Kau jangan menyamakannya dengan kami!"
Panjalu yang sudah bisa bangkit berdiri langsung menyahuti kata-kata Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh tajam kepada Panjalu.
"Dan kau siapa" Kudengar, kalian tadi meributkan pemimpin masing-masing!"
"Namaku Panjalu, anak buah Ki Muwangkoro. Kami ke sini diutus Ki Seta yang menguasai hutan Damar Setan," sahut Panjalu.
"Tidak salah dugaanku. Kalian memang para perampok yang suka membuat keresahan. Hm.... Apa yang kalian kerjakan di sini, kalau tidak sedang membuat keonaran?"
Tidak ada yang menyahut. Rangga menatap tajam mereka satu-persatu, lalu mengalihkan pandangan pada Sindu yang masih diinjaknya.
"Apa yang kalian lakukan di sini"!" desis Rangga geram sambil menekan telapak kakinya lebih kuat.
"Ekh... kekh... kekh...!"
"Katakan lekas!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, kembali mengendurkan pijakan kakinya.
"Aku... aku tak tahu.... Aaakh!"
Sindu menjerit keras, karena Rangga tidak puas dengan jawabannya.
"Tidak perlu berbohong padaku! Kau termasuk anak buah si Hiu Perak. Dan jelas, kau tahu apa yang dilakukan di sini."
"Baiklah. Kami..., kami berada di pulau yang paling besar itu."
"Untuk apa?"
"Menyerang penghuni pulau itu...!"
"Wanita-wanita yang mayatnya berserakan itukah yang mendiami pulau itu?"
"Be..., betul!"
"Untuk apa kalian memusuhi mereka?"
"Eh! Aku, aku tidak tahu...!"
Tapi baru saja berkata seperti itu, kembali Sindu menjerit kesakitan ketika Rangga menekan kakinya lebih kuat.
"Katakan!"
"Eh! Ba..., baiklah."
Tapi belum, juga Rangga mendapat jawaban....
"Wanita itu mencuri perahu kita!" seru Panjalu, seraya menunjuk pantai.
Perhatian Rangga jadi beralih ke arah pantai. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan Sindu. Cepat tubuhnya bergulingan, melepaskan diri dari pijakan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh"!"
*** Rangga tadi sempat melihat gadis yang tadi bersamanya tengah mendorong perahu milik Sindu dan kawan-kawannya.
Sementara Sindu yang telah terbebas cepat bangkit dan segera mengejar ke arah gadis itu.
"Hei, berhenti! Kurang ajar, berhenti...!" teriak Sindu, terus mengejar ke arah pantai.
Tapi Rangga tidak tinggal diam. Kakinya cepat bergerak, menendang sebutir batu kecil sebesar kurang dari kepalan tangan.
"Hih...!"
Saat itu juga batu kecil ini meluncur deras ke arah Sindu. Dan....
Tak! "Aaakh...!"
Sindu kontan tersungkur ke depan disertai keluhan kesakitan begitu batu yang ditendang Rangga menghantam lehernya. Namun dia cepat bangkit, seraya mengambil goloknya yang tadi terpental. Lalu secepat kilat dia berbalik, memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah geram.
"Keparat! Kubunuh kau...!" umpat Sindu garang, langsung menghampiri Rangga dengan golok terhunus.
Begitu telah berada dalam jangkauannya, Sindu cepat membabatkan goloknya.
"Uts!"
Rangga bergeser sedikit ke samping, sehingga golok Sindu hanya menyambar angin. Begitu kuat sambaran itu, membuat Sindu kehilangan keseimbangan. Untung dia langsung bergulingan, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, Rangga tidak mendiamkan begitu saja. Tubuhnya cepat berkelebat. Dan begitu Sindu bangkit, satu tendangan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya, sehingga Sindu tak dapat menghindarinya.
Des! "Aaakh...!"
Telak sekali tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tengkuk Sindu yang langsung terpekik dan jatuh tersungkur. Tak ada gerakan lagi di tubuhnya, kecuali tarikan napasnya yang terlihat lemah. Pingsan!
Pada saat yang bersamaan, Setiaji yang sudah timbul keberaniannya, meluruk dengan sambaran goloknya hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dari angin sambaran itu. Rangga sudah mampu menebak adanya serangan gelap. Cepat bagai kilat tubuhnya bergeser ke samping, langsung menangkap pergelangan tangan Setiaji.
Tap! Dan belum juga Setiaji bisa berbuat apa-apa lagi, Rangga telah melepaskan satu sodokan keras lewat sikut ke perut.
Desss...! "Aaakh...!"
Setiaji menjerit kesakitan. Begitu kuat sodokan Rangga, membuat perut Setiaji seperti mau pecah. Bahkan laki-laki itu langsung ambruk tidak sadarkan diri.
Sementara itu Panjalu hanya bisa berdiri terpaku dengan wajah kecut.
"Si..., siapa kau sebenarnya?" tanya Panjalu. Suaranya terdengar sedikit tergagap.
"Aku malaikat maut yang akan menghukummu!" sahut Rangga menakut-nakuti.
"Oh, ampuni aku. Tuan Pendekar. Kasihanilah aku. Dan lagi, aku tengah terluka...," ratap Panjalu.
"Kenapa aku mesti kasihan padamu" Kau seorang perampok. Dan bagi kalian, nyawa tiada artinya, bukan" Perhatikan mayat-mayat yang mengambang di tepi pantai! Perbuatan siapakah itu?"
"Itu..., itu perbuatan mereka...! Aku tidak ikut-ikutan...," sahut Panjalu, makin ketakutan.
"Biadab!" rutuk Rangga.
Sepasang mata Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam laksana seekor harimau yang hendak menerkam mangsa.
Sementara, Panjalu merasa tubuhnya menggigil ketakutan. Belum pernah dia merasa ketakutan begini, meski dihardik Ki Seta, pimpinannya.
"Berapa jumlah kalian di pulau itu?" tanya Rangga.
"Sekarang kira-kira..., tujuh puluh orang. Sebagian dipimpin Gagas Kelana. Sedang sisanya dipimpin Ki Muwangkoro."
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Mencari ratu mereka."
"Apakah hanya kalian yang ditugaskan mencarinya?"
"Tidak. Ada sekitar sepuluh perahu lagi, yang masing-masing berisi lima atau enam orang."
"Ceritakan padaku kehidupan di sana. Dan, apa yang kalian inginkan dari orang-orang itu!"
"Ba..., baik...."
Panjalu pun mulai bercerita dari awal sampai akhir. Serta, apa yang kira-kira terjadi saat ini.
*** Rangga mulai mengangguk mengerti setelah Panjalu selesai bercerita.
"Eee..., kalau boleh kutahu..., untuk apa kau bersusah payah membela mereka" Orang-orang itu memperbudak laki-laki."
"Kau tidak perlu tahu. Lagi pula, belum tentu aku akan membela mereka!"
"Apakah kau akan ke pulau itu" Di sana emas berlimpah-ruah! Kalau kau mau bekerja sama, aku akan menunjukkan tempatnya. Kita singkirkan mereka semua!"
Rangga tersenyum sinis.
"Apa kau kira aku akan bertindak bodoh" Begitu emas kudapat, maka aku bisa membunuhmu!"
Panjalu terdiam seraya menelan ludah dengan wajah kecut. Sementara Rangga sudah tak mempedulikannya lagi. Malah, kepalanya mendongak ke langit lalu....
"Suiiit...!"
Tiba-tiba Rangga bersuit nyaring dan terdengar aneh. Sebentar Rangga menunggu, tak lama bibirnya tampak tersenyum ketika di angkasa terlihat rajawali raksasa masih berputar.
Dan dengan lesatan yang cepat sekali, Rajawali Putih menukik ke bawah. Sehingga bentuknya yang sangat besar sempat membuat Panjalu bergidik ngeri. Apalagi setelah burung itu mendarat.
"Heh" Burung apa ini"! Hi...!"
Panjalu makin mengkeret hatinya. Sungguh, seumur hidup baru kali ini melihat burung rajawali yang demikian besar.
Sementara Rangga tidak mempedulikan sikap Panjalu yang tampak gemetar. Bahkan tanpa terasa, celananya telah basah karena terkencing-kencing.
"Diamlah baik-baik di sini. Dan, jangan macam-macam. Aku bisa membunuhmu dari jauh!" ancam Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke atas punggung Rajawali Putih.
Panjalu hanya bisa mengangguk, dengan wajah penuh ketakutan. Namun Rangga tak memperhatikannya, karena Rajawali Putih kembali melesat ke angkasa. Hanya dengan beberapa kepakan sayap, mereka telah membubung tinggi, membelah angkasa.
"Kau telah menemukannya, Rajawali Putih?" teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin.
"Kragh...!"
"Hm.... Kalau begitu cepat kita ke sana!"
Rajawali Putih terus melesat menuju ke pulau yang paling besar di antara gugusan pulau-pulau itu. Dari atas, Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu berukuran agak besar seperti yang tadi didengarnya dari cerita Panjalu.
"Mendarat di sana, Rajawali!" teriak Rangga sambil menunjuk ke sebuah dataran luas!
"Kragh...!"
Saat itu juga Rajawali Putih menukik cepat bagai kilat. Dan sebentar saja, dia telah mendarat dengan empuk. Sementara, Rangga cepat melompat dari punggungnya.
"Keeerrkh...!"
"Ada apa. Rajawali?"
Kening Rangga berkerut ketika Rajawali Putih berbunyi aneh. Ujung paruhnya tampak menunjuk ke satu arah. Tapi, Rangga belum melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sementara rajawali raksasa itu tetap menunjuk ke arah semula, mau tidak mau, pemuda itu mulai curiga.
"Rajawali, tinggalkan aku di sini. Dan, tolong awasi aku dari atas!" ujar Rangga, begitu menatap tunggangannya.
"Kraaagkh...!"
"Iya..., aku akan hati-hati," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ketika mendengar nada kekhawatiran pada suara Rajawali Putih.
Seketika Rajawali Putih mengepakkan sayapnya. Dan saat itu juga tubuhnya melesat ke udara dengan kecepatan dahsyat.
"Mungkinkah ada tempat rahasia di sekitar sini...?" pikir Rangga sambil mengamati sekitarnya, begitu Rajawali Putih telah melayang-layang di angkasa.
Ada beberapa ranting patah dan dedaunan masih hijau dan segar. Dan Pendekar Rajawali Sakti yakin, itu bukan karena kaki si Rajawali Putih saat turun tadi. Tapi, lebih mirip perbuatan seseorang. Beberapa jejak tampak dihapus terburu-buru, menuju ke satu arah. Kemudian hilang di balik sebuah pohon besar.
"Hm.... Aku yakin ada tempat rahasia di sekitar sini," gumam Rangga halus.
Pemuda berbaju rompi putih itu mulai mengetuk-ngetuk tanah dengan kakinya. Lalu diperiksanya batang pohon besar di depannya disertai pengerahan aji "Pembeda Gerak dan Suara".
"Di bawah ini...," desis Pendekar Rajawali Sakti nyaris tidak terdengar.
Rangga bisa melihat garis tipis di batang pohon yang membentuk sebuah persegi panjang. Dia mulai menduga bahwa itu adalah pintu masuk ruangan rahasia yang berada di bawah tanah. Tapi, bagaimana caranya" Apakah harus didobrak"
Lama pemuda berbaju rompi putih ini merenung, memikirkan cara untuk masuk ke dalam. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk menunggu saja. Mungkin suatu saat penghuninya akan keluar.
Sambil menunggu, Rangga segera menelusuri tempat lain di sekitar pulau ini.
"Mungkin pintu masuknya tidak hanya dari sini...," gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan, ketika kakinya menapak dan mendapatkan keanehan.
Duk! Duk! Rangga menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dan telinganya mendengar bunyi yang mencurigakan.
"Hm.... Sebuah terowongan?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga memang mendengar suara hampa, yang menandakan kalau di bawah tanah yang dipijaknya terdapat sebuah ruangan semacam gua.
"Hm.... Tempat ini menuju pantai...?"
Rangga mengernyitkan dahi ketika terus menyusuri lorong di bawah tanah lewat pendengarannya yang tajam.
*** Kini Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak tepat di tepi pantai. Kedua kakinya sesekali disapu ombak kecil. Pandangan matanya menyapu permukaan laut, seperti hendak menembus sampai ke dasarnya.
"Bisa jadi di dasar laut ada mulut gua yang menghubungkannya ke tempat mereka," duga Rangga.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti menyeburkan diri ke air laut. Beberapa kali kepalanya timbul untuk menghirup napas sebanyak-banyaknya, lalu kembali menyelam ke bawah menyusuri dasar pantai.
Di situ Pendekar Rajawali Sakti menemukan tumpukan karang, yang di antaranya terlihat sebuah bunga karang besar. Bunga karang ini ternyata menghalangi sebuah lubang sebesar tampah. Tanpa ragu-ragu pemuda itu menyingkirkan bunga karang itu, lalu memasuki lubang itu.
Lubang itu ternyata sebuah terowongan yang tidak terlalu panjang dan terus menuju ke atas. Dan terowongan itu kemudian berakhir pada lubang yang berada dalam sebuah ruangan di dalam perut bumi.
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengeluarkan napas lega. Kemudian dia bersembunyi di balik sebuah batu, ketika mendengar suatu percakapan yang tidak jauh dari tempatnya berada.
"Siapa pemuda itu?" tanya sebuah suara. Nadanya lantang dan sedikit tegas.
"Aku..., aku tidak tahu...," sahut suara lain.
"Apakah dia salah satu dari mereka?"
"Dia tidak mengaku."
"Dia mencelakaimu?"
"Tidak. Saat kutinggalkan, mereka tengah berkelahi."
"Hm.... Dari mana dia...?"
"Apakah ketika kau pergi tidak ada yang mengikuti?"
"Entahlah. Saat itu aku gugup, dan buru-buru mendayung!"
"Hm.... Kau terlalu ceroboh! Mungkin saat ini mereka tengah mengawasi kita!"
"Sudahlah, Kijang Merah. Tidak usah terlalu berburuk sangka kepadanya...," sela sebuah suara lain.
"Tuanku! Kita harus waspada pada apa pun, meski sekecil butiran pasir!" tandas sosok yang dipanggil Kijang Merah.
Memang, mereka yang tengah berbicara adalah Kembang Taji yang merupakan penguasa Kerajaan Tulang Emas, Kijang Merah yang merupakan seorang panglima, dan seorang prajurit wanita yang waktu itu pernah bersama Rangga.
Tentu saja Rangga hanya mengenali prajurit wanita yang pernah bersamanya itu. Dan dia terus mengawasi dari tempat tersembunyi.
"Tapi jangan berlebihan. Tidakkah kau lihat dia terluka dan sedikit takut?" bela Kembang Taji.
"Seorang prajurit harus kuat lahir dan batin. Dan hamba telah menggembleng mereka demikian. Sehingga tidak ada alasan untuk berlemah-lemah," kilah Kijang Merah.
"Sudahlah, biarkan saja. Aku sadar bahwa dia telah berbuat yang terbaik bagi dirinya...."
"Dia memang telah berbuat yang terbaik...!" Tiba-tiba Rangga memperlihatkan diri.
"Heh"!"
"Siapa kau"!"
"Tuanku! Pemuda inilah yang bertemu dengan hamba tadi!"
"Tangkap dia!"
*** ? 6 ? Begitu mendengar teriakan Kijang Merah, para prajurit wanita itu segera bergerak hendak meringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaat...!"
"Dengarkan! Aku tidak bermaksud jahat kepada kalian. Tidak usah pakai kekerasan segala," cegah Pendekar Rajawali Sakti sambil menghindar dari serangan dua orang prajurit.
"Jangan dengarkan ocehannya! Bunuh dia!" teriak wanita bertubuh tegap yang bernama Kijang Merah kembali.
Maka saat itu juga dua orang gadis berwajah manis kembali menyerangnya dengan ganas. Wajah mereka tampak mengeras, menggambarkan jiwa seorang prajurit yang patuh pada atasan.
"Hmmm...!"
Rangga hanya bergumam tak jelas sambil menggelengkan kepala ketika serangan-serangan meluncur ke arahnya. Ruangan ini agak sempit. Tapi bukan berarti dia tidak mampu melumpuhkan kedua lawannya. Semula dia tidak ingin main keras. Tapi karena mereka memulainya, maka tidak ada jalan lain lagi.
Pendekar Rajawali Sakti melenting ringan menghindar tebasan senjata gadis-gadis cantik itu. Dan dengan berpijak pada langit-langit gua tubuhnya meluncur deras menyambar dengan gerakan tak terduga. Kedua tangannya cepat bergerak. Dan...
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Kedua gadis itu kontan jatuh lemas, begitu Rangga berhasil mendaratkan totokan di tubuh mereka.
"Heaaat...!"
Baru saja Rangga mendarat, Kijang Merah sudah melompat menyerang. Goloknya yang terhunus langsung disabetkan ke leher Rangga.
Wuuut! Namun Rangga yang langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti" cepat menghindar dengan melempar tubuhnya ke samping. Sehingga serangan itu luput.
Sementara Kijang Merah tidak berhenti sampai di situ saja. Goloknya kembali berkelebat mengancam dada.
"Hih!"
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti mundur selangkah.
Dan begitu serangan itu hanya menebas angin, cepat dilepaskannya satu tendangan keras ke pinggang. Namun, rupanya Kijang Merah cepat tanggap. Secepat itu pula, kibasan goloknya berbalik.
Cepat-cepat Rangga menarik pulang kakinya, karena tendangan itu hanya berupa tipuan. Dan tepat ketika sambaran golok itu meluncur, kakinya yang satu lagi kembali bergerak. Dan....
Plak! "Heh?"
Betapa terkejutnya Kijang Merah, melihat goloknya terpental terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, satu luncuran tangan Rangga telah datang. Dan....
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan dua totokan ke dada Kijang Merah. Saat itu juga perempuan perkasa ini merasakan tubuhnya lemas, lalu melorot ambruk di tanah.
"Siapa lagi yang akan menantangku?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, tanpa mempedulikan yang melotot garang ke arahnya. Rangga kini malah menatap Kembang Taji.
Sementara, Kembang Taji yang duduk di atas batu itu tidak menjawab. Diperhatikannya pemuda itu untuk sejurus lamanya.
"Siapa kau...?" tanya Kembang Taji.
"Namaku Rangga."
"Aku Kembang Taji, Ratu Kerajaan Tulang Emas. Kulihat kau cukup hebat. Apakah kau bersedia mengabdi padaku?"
"Maaf, Ratu. Aku bukan abdimu. Tapi kalau kau menginginkan bantuan, tentu saja dengan senang hati aku akan membantumu," sahut Rangga disertai senyum manis.
"Kau sungguh aneh. Tapi, semua perbuatanmu kuampuni. Tak seorang pun yang boleh membantah perintahku. Apalagi, hal itu dilakukan oleh laki-laki."
Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kembang Taji! Kuhormati kau sebagai seorang ratu. Namun, aku tidak bisa menerima bila kau merendahkan martabat laki-laki. Itu hanya ada dalam duniamu. Sebab di banyak tempat, justru laki-laki yang berkuasa. Maka, hilangkanlah hal-hal yang merendahkan laki-laki. Dan aku akan senang hati membantumu," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Wanita itu terdiam sejurus lamanya. Dipandanginya pemuda itu, lalu berpaling pada orang-orangnya.
"Jumlah prajuritku sedikit. Dan di ruang lain beberapa orang lagi tengah dirawat. Sedang jumlah mereka cukup besar. Bagaimana mungkin kita dapat mengalahkannya...?" tanya Kembang Taji bernada putus asa.
"Dalam perjuangan yang diperlukan adalah semangat. Bila tidak ada semangat, maka tidak perlu berperang. Lagi pula jumlahmu tidak sekecil ini" Bukankah masih banyak prajuritmu yang berada di sana" Mereka ditawan orang-orang itu...."
"Dari mana kau tahu?"
"Aku berhasil meringkus tiga orang dari mereka. Dan salah seorang telah menceritakan padaku," jelas Rangga.
*** "O, begitu...!" kata Kembang Taji, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana keputusanmu sekarang?" tanya Rangga.
"Kapan kita adakan serangan terhadap mereka?" Kembang Taji malah balik bertanya.
"Setelah segala sesuatu berjalan lancar."
"Apa maksudmu?" tanya Kembang Taji dengan dahi berkerut.
"Kita harus merencanakan segalanya untuk penyerangan itu. Setelah aku mendapatkan keterangan, maka dari kalian pun aku harus mendapatkan keterangan pula," jelas Rangga.
"Keterangan apa yang kau perlukan dari kami?"
"Mengenai seluk-beluk pekerjaanmu. Lalu, wilayah pulau itu serta jumlah kekuatan prajuritmu."
"Menurut Kijang Merah banyak prajuritku yang tewas. Mereka berjuang gagah berani, rela mengorbankan diri demi ratu dan kerajaannya. Mungkin jumlah mereka saat ini hanya setengahnya saja," sahut Kembang Taji, masygul.
"Tidak apa. Kita harus membebaskan mereka. Dan kalau benar mereka setia, tentu mau berjuang lagi membelamu setelah dibebaskan."
"Mengenai yang lain, kau bisa tanyakan pada panglimaku," ujar Ratu Kembang Taji. "Tapi mereka tengah tidak berdaya karena ulahmu."
"Aku tidak bermaksud melukai mereka," desah Rangga, sambil tersenyum manis.
Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri Kijang Merah dan dua prajurit wanita yang tadi ditotoknya. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, semua orang yang tertotok sudah terbebas. Ini untuk membuktikan, kalau dia tidak bermaksud jahat.
"Kijang Merah! Kau telah dengar percakapan kami tadi, bukan" Berilah keterangan pada pemuda ini!" ujar Kembang Taji, ketika Kijang Merah bangkit berdiri.
"Ampun, Tuanku! Kenapa kita harus bekerja sama dengannya" Dia cuma laki-laki asing yang tidak kita kenal. Kenapa mesti percaya padanya" Siapa tahu dia mata-mata untuk mengetahui persembunyian kita. Sebaiknya kita bunuh saja sekarang!" sahut Kijang Merah, penuh dendam karena dengan mudah berhasil dijatuhkan.
"Kau tadi telah mencobanya. Dan ternyata tidak mampu. Lalu dengan cara bagaimana kita bisa membunuhnya?" tanya Kembang Taji memancing.
"Kalau Tuanku ijinkan, hamba rela mengorbankan nyawa sekalipun. Demikian pula yang lainnya!" tandas Kijang Merah.
"Tidak, Kijang Merah! Telah banyak yang berkorban untukku dan kerajaan ini. Sekarang, giliran kita untuk berkorban demi mereka. Kita harus berbuat sesuatu. Dan kalau pun pemuda ini memang mata-mata musuh, maka biarlah hal itu akan kutanggung sendiri. Tapi kalau memang kalian masih menganggapku sebagai ratu, maka ikutlah padaku! Aku percaya kalau dia jujur. Maka, hendaknya kalian pun percaya padanya!"
"Kalau memang demikian kehendak Tuanku, maka kami mematuhinya!" sahut Kijang Merah.
Wanita berperawakan tegap itu kemudian berlutut di hadapan Pendekar Rajawali Sakti, diikuti para prajuritnya.
"Tuan! Karena Ratu kami mempercayaimu, maka kami pun mempercayaimu! Katakanlah, apa yang bisa kami bantu?" tanya Kijang Merah, tetap berkerut.
"Bangunlah. Pertama, aku ingin agar kalian tidak merendahkan martabat laki-laki. Yang harus dipandang rendah adalah mereka yang berbuat kejahatan. Tidak peduli laki-laki atau wanita!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, jika memang begitu kehendak Tuan!"
"Kemudian, kalian tidak usah khawatir dengan ratumu. Dia dalam pengawasanku. Maka kujamin keselamatannya dengan nyawa sebagai taruhannya!" tambah Rangga mantap.
"Kami senang mendengarnya."
"Nah! Sekarang, ceritakan padaku tentang seluk-beluk istana, serta daerah-daerah di pulau itu secara terperinci. Juga, perhitungkan kekuatan musuh. Jangan lupa, perkirakan kekuatan kita sendiri jika para prajuritmu dibebaskan!"
Kijang Merah segera menerangkan apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti dengan panjang lebar.
"Sekarang dua orang harap menjaga dan merawat kawan-kawan kalian yang terluka...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar cerita Kijang Merah.
"Apakah kita akan menyerang mereka sekarang?" tanya Kijang Merah.
"Ya!" sahut Rangga mantap.
"Mereka pasti tahu!"
Rangga tersenyum.
"Betul! Tapi ada hal yang kuperhitungkan. Yaitu, sebagian dari mereka saat ini akan bertolak ke tempatnya untuk melaporkan hasil kerja kepada pimpinan mereka. Oleh sebab itu, kekuatan mereka berkurang," jelas Rangga.
"Tapi tetap saja amat berbahaya..."!" keluh Kijang Merah dengan sikap ragu.
"Bukankah kalian bangsa pelaut" Kalian tentu hebat di lautan, bukan" Jalankan perahu. Dan, jangan ditambatkan di pantai. Buanglah jangkar agak jauh dari pantai. Kemudian, berenanglah ke pantai di tempat yang tersembunyi. Aku akan mengagetkan mereka. Sehingga bila perhatian mereka telah tertuju padaku, di saat itulah kalian bebaskan para tawanan," lanjut Rangga membeberkan rencananya.
"Apakah tidak berbahaya?" tanya Kembang Taji.
"Kita hanya punya kesempatan sekali ini saja. Mereka hanya mengetahui, kalau jumlah prajurit yang dibawa sang Ratu hanya sedikit. Sehingga tidak mungkin mampu melawan mereka. Oleh sebab itu, yang bertolak saat ini jumlahnya cukup banyak untuk melaporkan kerja mereka pada si Hiu Perak."
"Hiu Perak" Itukah pemimpin mereka?" tanya Kembang Taji.
"Begitulah menurut apa yang kudengar."
"Baiklah. Kita bergerak sekarang!"
"Kenapa Ratu tidak tinggal di sini saja. Biar kami yang berperang melawan mereka?" tukas Kijang Merah.
"Tidak! Aku ingin rakyat juga melihat bahwa ratu mereka pantas menjadi panutan dengan ikut berjuang!"
Kijang Merah tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban itu.
*** Gagas Kelana tengah berpesta-pora menyambut kemenangan kali ini. Laki-laki itu sengaja membawa anak buahnya masuk ke dalam istana ditemani gadis-gadis cantik penghuni istana yang kini menjadi tawanan.
"He he he...! Ayo, mari kita berpesta! Tidak usah malu-malu! Kita berada di surga. Dan segalanya ada di sini! Mau wanita tinggal pilih. Mau harta, tinggal ambil! Hua ha ha...!"
Suara tawa Gagas Kelana menggelegar. Sesekali dia menenggak anggur merah. Dua orang gadis dalam dekapannya, menuangkan anggur ke dalam cangkir. Tampaknya mereka enggan melakukannya. Namun, tidak punya pilihan lain. Keduanya sesekali melengos, ketika Gagas Kelana hendak mencumbu.
"Hehhh! Kalian kira bisa selamat dengan berontak begitu" Negeri ini ada dalam telapak kakiku. Tidak usah bermimpi kalau kalian bisa berbuat macam-macam!" desis laki-laki itu geram.
"Aaah...!"
Kedua gadis itu mengeluh tertahan, ketika Gagas Kelana merenggut rambut mereka. Sehingga, wajah keduanya mendongak ke atas.
Pada saat itu juga beberapa anak buahnya keluar dari beberapa kamar sambil mesem-mesem dan membetulkan letak celananya.
"Ada apa?" tanya salah seorang.
"He he he...! Agaknya kau belum juga mau mencicipi mereka!" seru yang lain.
"Diam kalian!" bentak Gagas Kelana geram.
Laki-laki itu tampak tersinggung, meski anak buahnya tidak bermaksud demikian. Tak seorang pun yang tahu kalau sebenarnya dia tidak mampu mengumbar nafsu kelaki-lakiannya pada wanita seperti yang dilakukan anak buahnya. Gagas Kelana hanya bisa gigit jari, dan hanya mampu mencumbu serta membelai-belai gadis-gadis dalam dekapannya. Dan ketika anak buahnya selesai melampiaskan nafsu kelelakiannya, lalu berkata seperti tadi, maka seketika kemarahannya bangkit.
"Maaf, Kang. Kami tidak bermaksud menyinggung perasaanmu," sahut seorang anak buahnya dengan sikap bersalah.
"Iya, Kang" Maafkan kami. Kami tidak tahu kalau hal itu membuatmu tersinggung," timpal yang lain.
"Sudahlah! Kalian boleh teruskan pekerjaan lain."
"Baik, Kang."
"Eit, tunggu dulu!" sentak Gagas Kelana sebelum mereka meninggalkan ruangan ini.
"Ada apa, Kang?" sahut salah seorang, mewakili kawan-kawannya.
"Bagaimana pekerjaan kalian" Sudah beres?"
"Beres, Kang!" sahut orang itu dengan wajah gembira.
Tapi, tiba-tiba wajah kedua orang itu berubah murung. Dan perlahan-lahan didekatinya Gagas Kelana yang menjadi pemimpin di sini.
"Ada apa?" tanya Gagas Kelana curiga.
"Anu, Kang. Sindu dan Setiaji belum kembali."
"Maksudmu"!" tanya Gagas Kelana dengan wajah tampak mulai murka.
"Mereka belum kembali. Anak buah Ki Muwangkoro pun belum kembali juga...."
"Goblok! Kenapa kalian tidak bertindak cepat"! Anak buah Muwangkoro bisa kembali dan melaporkan kejadian ini padanya!"
"Eh! Akan kami cari mereka sekarang ini juga, Kang...!"
"Cepaaat...!"
"Ba... baik, Kang!"
Setelah menjura hormat dengan tubuh gemetar ketakutan, mereka segera berlalu dari ruangan ini.
Sementara Gagas Kelana masih bersungut-sungut kesal mendengar berita dari anak buahnya itu. Sehingga pikirannya tidak lagi terpaku pada kedua gadis yang berada di dekatnya.
"Ke sini kau!" teriak laki-laki yang masih berusia muda ini memanggil seorang anak buahnya.
"Ada apa. Kang?" sahut orang itu buru-buru menghampiri.
"Di mana si Muwangkoro sekarang?"
"Ada di tempatnya. Kang."
"Pergi ke sana, dan awasi semua anak buahnya! Bawa beberapa orang kawanmu!"
"Baik, Kang!"
"Cepaaat...!"
"Ba..., baik. Kang!" sahut orang itu tergagap dan segera meninggalkan ruangan.
"Kau! Ke sini...!" bentak Gagas Kelana pada seorang lagi.
Orang itu buru-buru menghampiri, dan nyaris terpeleset di lantai ruangan yang agak licin.
"Panggil Garlika ke sini!"
"Baik, Kang...!" sahut orang itu cepat. Dengan sigap, dia segera melompat meninggalkan ruangan, sebelum Gagas Kelana membentaknya seperti yang lain.
"Huh!"
Baru saja Gagas Kelana menghempaskan napas beberapa kali, salah satu anak buahnya masuk ke dalam.
"Mau apa kau"!" sentak pemuda ini.
"Eh! Ki Muwangkoro akan menghadap, Kang," sahut orang itu ketakutan.
"Hm, suruh dia masuk!"
"Baik, Kang."
Gagas Kelana segera bangkit berdiri menyambut sekutunya. Wajahnya dibuat semanis mungkin, ketika mempersilakan tangan kanan Ki Seta itu duduk.
"Ada apa gerangan, Ki Muwangkoro...?"
"Langsung saja. Gagas Kelana. Aku tidak biasa berbasa-basi," kata laki-laki yang ternyata Ki Muwangkoro.
"O, ya! Katakanlah, ada apa?"
"Beberapa anak buahku kau sertakan dalam pencarian ratu mereka. Anak buahku kembali. Tapi, mereka mengatakan kalau habis diserang musuh. Aku tidak mengerti, bagaimana hal ini bisa terjadi" Apa barangkali anak buahmu berdiam diri saja melihat anak buahku berhadapan dengan musuh" Atau, mereka memang sengaja menjerumuskannya?" tanya Ki Muwangkoro sinis.
*** ? Kembali ke Bagian 1-3
? Bersambung ke Bagian 7-8 (Tamat)
? Istana Tulang Emas
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 164. Istana Tulang Emas Bag. 7-8 (Tamat)
22. Januar 2015 um 06:18
7 ? Wajah Gagas Kelana terkesiap kaget, tapi perlahan-lahan mengembangkan senyum.
"Agaknya kau terlalu mencurigai kami, Sobat. Mana mungkin kami akan berbuat begitu", Kalian adalah kawan sendiri. Dan kita telah sepakat, bahwa harta benda serta seluruh kekayaan yang ada di sini akan dibagi rata," ujar Gagas Kelana berkilah.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Kita telah taklukkan mereka. Dan kita telah memperoleh apa yang diinginkan! Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?" tanya Ki Muwangkoro.
"Sabarlah, Sobat. Masih banyak yang harus kita temukan di sini. Tidakkah kau lihat, bahwa tempat ini amat menakjubkan?" kilah Gagas Kelana.
"Kami tidak butuh hal-hal lain, Gagas Kelana. Tentukan bagian kami. Dan kami segera akan angkat kaki dari sini!" dengus Ki Muwangkoro.
"Hm.... Kenapa terburu-buru" Apakah kau dan anak buahmu tidak ingin bersenang-senang dulu" Di sini segalanya tersedia. Bahkan wanita-wanita cantik tinggal pilih saja. Lagi pula, beberapa anak buahmu masih belum kembali. Juga beberapa lainnya tengah menemani anak buahku untuk melapor pada si Hiu Perak."
"Kau boleh melapor pada pimpinanmu. Sedang aku tidak kau berikan perahu untuk melapor pada pimpinanku!"
"Sabar, sabar...! Bukankah Ki Seta telah menyerahkan urusan ini pada si Hiu Perak" Dia mempercayainya. Lalu, kenapa kau malah mencurigai kami" Apakah kau sengaja hendak merusak persahabatan yang telah terjalin di antara mereka?"
"Gagas Kelana! Aku tidak pandai bersilat lidah! Harap kau kabulkan saja keinginan kami. Berikan harta bagian kami, termasuk separuh wanita-wanita muda yang mendiami pulau ini. Setelah itu, kami akan angkat kaki dari sini!" sentak Ki Muwangkoro.
"Ha ha ha...! Tenanglah, Sobat. Itu soal mudah. Mana mungkin aku berani mengangkangi harta benda ini semua. Tentu saja akan kita bagi dua. Tapi kalau kau menginginkannya, Ki Seta akan kecewa sekali. Sebab dengan begitu kau telah menyerahkan pulau serta istana yang indah kepada kami...."
Ki Muwangkoro terdiam sesaat. Apa yang dikatakan Gagas Kelana memang benar. Bila dia meninggalkan tempat ini berarti istana serta isinya telah sah menjadi milik si Hiu Perak. Dan kalau pun dia meminta bagiannya segera, bukannya tanpa alasan. Ki Muwangkoro mulai mencium adanya ketidakberesan. Orang-orangnya mulai menghilang satu-persatu. Sementara, anak buah Gagas Kelana seperti mulai menguasai seluruh pelosok pulau ini.
"Bagaimana, Sobat...?" tanya Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum kecil.
"Biar kuputuskan bersama anak buahku...."
"Ha ha ha...! Kau pemimpin mereka. Apa yang kau katakan mereka pasti menurut. Lagi pula, usulku itu tidak buruk. Karena, demi kepentingan kita bersama. Kalau saja aku bermaksud buruk, maka tidak akan kuberitahu padamu tentang hal itu."
Ki Muwangkoro terdiam lagi untuk beberapa saat.
"Sudahlah, lebih baik kau kembali ke tempatmu dan bersenang-senang. Kenapa harus mempersoalkan hal-hal sepele yang bisa menimbulkan perselisihan di antara kita...?" ujar Gagas Kelana.
"Mungkin juga kau benar. Aku permisi dulu...!" sahut Ki Muwangkoro, pendek.
Orang itu segera meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, diiringi senyum Gagas Kelana. Di depan pintu, dia bertemu salah seorang anak buah Gagas Kelana yang hendak ke dalam. Mereka sempat bertegur sapa, namun Ki Muwangkoro terus melangkah keluar.
*** "Kenapa tidak kau suruh aku membereskan orang itu?" tanya anak buah Gagas Kelana seraya duduk seenaknya di dekat pimpinannya.
"Tidak sekarang, Garlika. Kita jangan ceroboh dan tidak boleh seorang pun yang boleh lolos. Mereka harus mati, tanpa menyadari bahwa maut tengah mengintainya!" sahut Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum.
"Huh! Sudah muak aku melihat mereka!" dengus laki-laki yang dipanggil Garlika.
"He he he...! Kau ini kenapa tidak bisa bersabar" Kalau terus begini, jangan-jangan kau malah membahayakan kedudukanku"!" kata Gagas Kelana.
"Sial kau. Gagas!" umpat Garlika. "Aku bukan sekadar anak buahmu. Tapi, juga kawanmu sejak kecil. Apakah kau tidak mempercayaiku"!"
"Ha ha ha...! Aku hanya berkelakar, Sobat Aku tahu, di antara kawan-kawanku, kaulah yang paling bisa dipercaya."
"Nah! Lalu, urusan apa kau hendak memanggilku ke sini?"
Gagas Kelana tidak langsung menjawab. Tapi, disuruhnya pergi kedua gadis itu dari ruangan ini lebih dulu.
"Kau tahu, harta di sini cukup banyak. Kita bisa berbuat apa saja dengan harta ini, bukan?" ujar Gagas Kelana, berbisik.
"Benar. Maksudmu, akan kita kelabui saja si Hiu Perak itu?" tanya Garlika seperti kurang percaya.
"He he he...! Kau sungguh pintar, Sobat. Aku telah mengirim orang-orang yang bisa kupercaya menghadap kepadanya. Lalu di sini, pelan-pelan akan kita singkirkan dulu si Muwangkoro beserta anak buahnya. Tapi sebelum itu, aku masih membutuhkan tenaga mereka. Oleh sebab itu, tidak perlu terburu-buru melenyapkan mereka," jelas Gagas Kelana.
"Pintar sekali kau, Sobat!" puji Garlika sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he...!" Gagas Kelana ikut tertawa girang bersamanya.
Pada saat itu muncul seorang dengan tergopoh-gopoh. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.
"Celaka, Kang! Ada seorang pemuda sedang mengamuk!" lapor orang itu.
"Apa"! Kurang ajar! Tangkap dia. Dan, bunuh sekaligus!" sentak Gagas Kelana.
*** "Tapi, Kang.... Pemuda itu kuat sekali. Ba..., banyak anggota kita yang tewas di tangannya...."
"Kurang ajar!" dengus Gagas Kelana menggeram.
Namun sebelum laki-laki itu semakin murka, Garlika cepat berdiri.
"Biar kulihat, siapa bocah itu. Tenang saja. Sobat. Akan kubereskan segera!" ujar Garlika, lalu melangkah lebar meninggalkan ruangan ini.
Memang, apa yang dikatakan orang tadi tidak salah. Sebagian anggota si Hiu Perak kini berkumpul di satu tempat, dan beramai-ramai mengerubuti seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan Garlika tidak sempat memperhatikan, kalau anak buah Ki Muwangkoro ternyata tidak ikut membantu. Dia terlalu sibuk melihat korban yang jatuh semakin banyak.
"Berhenti semua! Biar kubereskan bocah ini!" bentak Garlika dengan suara menggelegar.
Saat itu juga, pertarungan berhenti. Sementara para anak buah Gagas Kelana segera menyingkir dan memberi jalan pada Garlika begitu mengetahui siapa yang muncul. Dan Garlika memandang sinis pada pemuda yang dikeroyok. Perlahan-lahan didekatinya dengan sikap mengancam.
"Bocah busuk! Kau cari mati berani datang ke sini!" desis Garlika geram.
"Tidak usah banyak mulut! Kedatanganku ke sini justru ingin mencabut nyawa busuk kalian semua!" sahut pemuda berbaju rompi putih itu, dingin. Dia tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan!" bentak Garlika geram.
Sret! Laki-laki berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu langsung mencabut golok panjang dari pinggang.
"Mampus kau! Yeaaa...!"
Disertai teriakan keras, Garlika meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan sabetan goloknya.
Tapi yang dihadapi Garlika adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar tingkat atas. Dengan pedang di tangan yang berhasil direbutnya dari tangan salah seorang lawan, Rangga menangkis senjata Garlika.
Trang! Begitu habis terjadi benturan, Pendekar Rajawali Sakti cepat menyerang ganas.
Sedangkan Garlika terkesiap. Ujung pedang itu nyaris menebas lehernya kalau tidak cepat melompat ke belakang. Dan baru saja menjejakkan kaki, serangan Pendekar Rajawali Sakti telah datang lagi.
Dengan sebisanya, Garlika menangkis dengan golok panjangnya.
Namun Garlika kontan meringis, begitu telapak tangannya terasa linu dan sakit sekali sehabis menangkis Dan dengan kerepotan, dia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindari tebasan senjata Pendekar Rajawali Sakti yang bertubi-tubi.
"Heaaat...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat dan mengejar Garlika yang bergulingan menghindarkan diri dari sambaran pedangnya.
"Hup!"
Dan baru saja Garlika bangkit, satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya.
Des! "Akh...!"
Garlika memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Dan sebelum sampai menyentuh tanah, senjata Pendekar Rajawali Sakti meluncur dengan serangan kilat.
"Hiiih!"
Bles! "Aaa...!"
Gerakan Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mampu mengikuti dengan pandangan mata. Yang terlihat, tahu-tahu pedang pemuda itu menancap di jantung Garlika.
Tubuh Garlika terhempas ke belakang dengan darah mengucur deras dari luka di dada kiri. Nyawanya lepas beberapa saat kemudian.
"Siapa yang ingin menyusul, maju ke sini!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Pandangan mata Rangga tajam mengawasi mereka satu-persatu. Dan untuk sesaat tampak mereka ragu-ragu melanjutkan serangan. Tapi sejurus kemudian, mungkin orang-orang itu menyadari kalau jumlah mereka banyak. Maka saat itu juga terdengar teriakan beberapa orang yang melompat menyerang Rangga secara serentak.
"Heaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Huh!"
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam jika tak ingin celaka. Sebelum mereka sempat melayangkan senjata, maka Rangga telah lebih dulu berkelebat menyerang dengan pengerahan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Sementara pedang di tangannya berkelebat bagai kilat, menyambar-nyambar.
Trang! Trak! Cras! Bret! "Aaa...!"
Korban-korban kembali berjatuhan. Namun begitu mereka terus bersemangat menyerang tanpa mengenal rasa takut. Sedangkan Rangga sendiri agaknya betul-betul ingin menunjukkan pada mereka, kalau mampu bertindak kejam. Sehingga, pedangnya seperti tidak bermata dan menyambar siapa saja yang berada di dekatnya.
Pada saat kemudian, mereka dikejutkan teriakan-teriakan nyaring dari arah lain. Beberapa orang anak buah Gagas Kelana tersungkur berlumuran darah. Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut. Terlebih lagi ketika mengetahui bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan itu.
"Keparat! Mereka orang-orangnya Ki Muwangkoro!" seru salah seorang anak buah Gagas Kelana.
"Singkirkan mereka!"
"Bunuuuh...!"
Pasukan itu terpecah menjadi dua bagian. Tapi, Rangga agaknya tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Pemuda itu kembali mengamuk, untuk mengejutkan mereka.
"Heaaa...!"
Tring! Breeet! "Aaa...!"
Beberapa orang kembali ambruk bermandikan darah disambar pedang Rangga. Sehingga membuat yang lainnya semakin kalut. Sebab dengan begitu, anak buah Ki Muwangkoro akan terus menghajar mereka habis-habisan.
"Aaa...!"
Dalam pada itu kembali terdengar jerit kematian dari mana-mana. Dan banyak di antara anak buah Gagas Kelana yang tewas menemui ajalnya. Kali ini mereka dikagetkan, sebab yang menyerang adalah pasukan yang terdiri dari wanita. Penduduk asli pulau ini!
*** Dengan adanya serangan-serangan mendadak dalam waktu dekat membuat anak buah Hiu Perak yang berada di bawah pengawasan Gagas Kelana kocar-kacir. Sebagian malah terbirit-birit melarikan diri menyerbu pantai dan berebutan mencari perahu-perahu. Sementara, yang terjebak dalam kepungan itu melawan mati-matian.
"Yeaaa...!"
Pada saat itu juga mencelat sesosok tubuh, dan langsung menghantam anak buah Ki Muwangkoro.
Crass! Cras! "Aaa.... Akh!"
Dua orang tewas seketika ditebas pedang panjang milik orang itu. Tapi ketika hendak menyerang lawan yang lain, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat menangkis.
Trang! Wuuut! "Uhhh...!"
Sosok itu kontan terkesiap. Tangannya bergetar setelah menangkis senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kaukah pemuda pengacau itu"!" dengus sosok ini geram.
"Bukan. Kau salah duga. Aku malaikat maut yang hendak mencabut nyawamu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Pada saat itu Ki Muwangkoro muncul dengan pedang masih berlumur darah.
"Sobat muda! Serahkan keparat Gagas Kelana itu padaku! Dia telah membunuh anak buahku!" dengus Ki Muwangkoro geram.
"Ki Muwangkoro! Apa-apaan ini"! Kau malah membela pemuda ini, dan bukannya bersatu denganku"!" hardik sosok yang ternyata Gagas Kelana.
"Gagas Kelana! Tidak perlu menjelaskan lagi. Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi kali ini, aku tidak mau tertipu olehmu. Seorang anak buahku telah kembali. Dia menceritakan, bagaimana niat busukmu! Kau sertakan anak buahku mencari ratu mereka, tapi ternyata hal itu hanya siasat busukmu! Kau perintahkan anak buahmu membunuh mereka. Maka, kini aku menagih nyawa mereka dengan kepalamu!" sahut Ki Muwangkoro lantang.
Kelihatan sekali kalau Ki Muwangkoro tidak bisa menahan amarahnya. Langsung diserangnya Gagas Kelana dengan satu kelebatan yang cepat bagai kilat.
"Mampus kau!"
"Uts!"
Gagas Kelana berkelit gesit. Kemudian senjatanya dikibaskan cepat balas menyerang. Namun, Ki Muwangkoro yang tengah diliputi amarah, dengan gerakan tidak kalah gesit cepat mengelak. Saat itu juga pertarungan sengit terjadi.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli pada pertarungan. Dia kembali menghajar anak buah Gagas Kelana.
"Heaaa...!"
Trang! Bret! Cras!
"Aaa...!"
Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mencari korban. Dua orang tewas seketika dengan leher nyaris putus. Dan seorang lagi menyusul dengan pinggang robek.
"Hup! Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti terus melompat ringan, mendekati satu orang dari pasukan yang terdiri dari para wanita itu. Dia bermaksud melindungi dari serangan.
"Maaf, Kembang Taji...! Aku sedikit lengah, sehingga lupa tanggung jawabku...!" ucap Rangga seraya mengibaskan pedang, ketika ada dua serangan datang.
Trak! Cras! "Aaa...!"
Dua orang yang berada di dekatnya kontan memekik kesakitan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas leher.
"Tidak apa. Aku mampu melindungi diriku...," sahut sosok yang tak lain Kembang Taji.
"Sudah bertemu Guru Suci serta para Guru Tua?"
"Sudah."
Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Syukurlah."
Sementara itu. Kijang Merah bertempur dengan semangat menyala-nyala. Banyak musuh yang tewas di tangannya. Sedangkan para prajurit yang lainnya yang tadi dibebaskan, kini melampiaskan dendam pada orang-orang Gagas Kelana yang berbuat sesuka hatinya pada mereka. Sehingga begitu ada kesempatan membalas, maka mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Anak buah Gagas Kelana agaknya tidak punya nyali lagi untuk bertahan dari serangan. Mereka yang masih sayang dengan nyawanya, berusaha menyelamatkan diri dan kabur dari tempat itu.
"Kejar! Jangan biarkan seorang pun dari mereka lolos!" teriak Kijang Merah, memberi perintah pada anak buahnya.
Maka dengan serta-merta para prajurit wanita itu mengejar orang-orang itu ke mana pun mereka pergi. Meskipun panglima mereka tidak memberi perintah, tetap saja gadis-gadis itu akan mengejar dan membinasakan lawan-lawannya. Bahkan sampai yang tengah berperahu pun dikejar dan diserang dari bawah laut.
Sedangkan sisanya, menjadi bagian anak buah Ki Muwangkoro. Mereka pun agaknya punya dendam yang sama meski kejadiannya berbeda. Orang-orang itu merasa dikhianati, setelah mengetahui kalau kawan-kawan mereka dibantai orang-orang yang selama ini dianggap kawan sendiri.
"Hm.... Agaknya semua berjalan sesuai rencana...," ujar Kembang Taji sambil tersenyum kecil.
"Syukurlah...," sahut Rangga.
Anak buah Gagas Kelana tinggal sedikit saja. Demikian pula anak buah Ki Muwangkoro. Sedangkan pimpinan mereka saat ini tengah terlibat pertarungan, ditonton Pendekar Rajawali Sakti dan yang lainnya.
*** 8 ? Seperti dua orang musuh yang saling melepaskan dendam kesumat masing-masing, Gagas Kelana yang memang sejak semula ingin menyingkirkan Ki Muwangkoro, sudah barang tentu tidak mau mengalah begitu saja. Demikian pula sebaliknya Ki Muwangkoro. Orang itu merasa dikhianati. Padahal, Gagas Kelana sudah dianggap sebagai kawan. Sehingga, dendamnya semakin bergejolak dan tidak dapat ditahan lagi.
Kepandaian mereka sebenarnya seimbang. Sehingga sulit untuk menentukan, mana yang lebih unggul. Tidak heran kalau keduanya sama-sama mengalami luka parah yang cukup seimbang.
"Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?" tanya Kembang Taji.
"Tidak usah ditangkap atau dipisahkan. Untuk sementara, biarkan mereka saling baku hantam. Kita kumpulkan saja anak buah Muwangkoro itu ke sini."
"Prajurit-prajuritku segera melakukannya!"
Kembang Taji segera memberi isyarat pada seorang prajurit, lalu mereka bicara sebentar. Kemudian, prajurit itu segera berlalu.
Sementara menunggu, mereka kembali melihat pertarungan antara Gagas Kelana melawan Ki Muwangkoro. Keduanya sama-sama jatuh lemas. Gagas Kelana mendapat luka di pinggang, sedang perut Ki Muwangkoro robek disambar senjata. Meski begitu keduanya masih berusaha bangkit dan bermaksud menghabisi.
"Keparat kau. Gagas! Aku tidak akan puas sebelum kau mati!" desis Ki Muwangkoro.
"Huh! Kau kira bisa menghabisiku, Setan! Kaulah yang akan mampus di tanganku!" balas Gagas Kelana.
"Uhhh...! Hiiih!"
Ki Muwangkoro mengkertak rahang, lalu mengibaskan pedangnya. Namun Gagas Kelana cepat dapat menangkisnya.
Trang! Pedang itu terus bergeser, menyambar pangkal leher Gagas Kelana.
Crasss! Pada saat yang sama senjata Gagas Kelana menghunjam dalam ke jantung kiri Ki Muwangkoro.
Bles! "Aaah...!"
Keduanya sama-sama terpekik. Gagas Kelana lebih dulu roboh dengan kepala nyaris putus. Sementara, Ki Muwangkoro terhuyung-huyung ke belakang samba memegangi pedang yang menancap di dadanya.
"To..., tolong...," ujar Ki Muwangkoro lemah, seraya menggapai-gapaikan tangan.
Rangga buru-buru mendekat, pura-pura memeriksa lukanya. Namun baru saja memegang tubuh Ki Muwangkoro, orang itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng lemah dan merebahkannya pelan-pelan ke tanah.
Pemuda itu kemudian bangkit berdiri, lalu menatap agak lama pada mayat itu. Kemudian kepalanya berpaling. Beberapa anak buah Ki Muwangkoro yang berada di tempat itu, buru-buru menghampiri jenazah pemimpinnya.
"Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu...," ujar salah seorang anak buah Ki Muwangkoro yang tak lain Panjalu.
Memang dari Panjalu-lah Ki Muwangkoro serta yang lainnya mengetahui kalau mereka telah dikhianati Gagas Kelana.
"Kau juga membantu kami. Nah, mewakili mereka aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan kawan-kawanmu," sahut Rangga.
"Kami akan angkat kaki dari pulau ini sekarang juga...," suara Panjalu terdengar lesu.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti mendongak ke atas. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat Dan di sekitar tempat ini, obor-obor telah dinyalakan sebagai penerangan.
"Kurasa Ratu Kembang Taji tidak keberatan, kalau kau dan kawan-kawanmu menginap barang semalam...," kata Rangga.
"Kalian boleh menginap satu malam ini. Lalu, besok pagi pergilah! Kami akan menyiapkan perahu-perahu untuk kalian!" sahut Kembang Taji cepat.
"Terima kasih, Ratu. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali!"
"Dan, ingat! Jangan coba-coba mempermainkan rakyat serta para prajuritku. Kecuali, mereka suka dengan sendirinya. Bila ada saja yang berani mengganggu, maka aku tidak akan segan-segan menghukum pancung kepala kalian!"
"Aku akan ingat hal itu. Sang Ratu...."
Kembang Taji memberi isyarat, pada lima prajurit. Maka mereka segera mengajak Panjalu dan kawan-kawannya untuk beristirahat.
"Hm.... Kau memang seorang ratu yang bijaksana," puji Rangga.
Kembang Taji tersenyum.
"Aku belajar banyak dari pengalaman. Juga dari Guru Suci. Aku belajar untuk bersikap arif pada musuh," jelas Kembang Taji.
"Rakyat serta seluruh penghuni negeri ini pasti suka padamu."
"Terima kasih...."
Sementara itu, Panglima Kijang Merah telah kembali bersama Guru Suci dan para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Kembang Taji segera memberi hormat pada mereka. Demikian pula Rangga.
"Hm.... Inikah pemuda gagah yang telah membantu kita?" tanya Guru Suci dengan suara bergumam dan bibir tersenyum.
*** "Guru Suci! Masih ingatkah kau dengan salah satu ketentuan di kerajaan ini?" tanya salah seorang dari Guru Tua yang berjumlah lima orang.
"Hm, tentang apa itu?" Guru Suci malah balik bertanya.
"Setiap laki-laki yang berjasa bagi negeri, maka derajatnya akan kita tinggikan...."
"Ya, aku ingat itu."
Guru Suci memandang Pendekar Rajawali Sakti. Lalu diusapnya kening dan dahi Rangga.
"Dengan berkatku, mana kutinggikan derajat serta martabatmu, Anak Muda!" seru Guna Suci.
"Terima kasih. Aku senang sekali dengan pemberkatan kalian. Tapi harap tidak salah mengerti. Aku berasal dari dunia luar. Dan selama ini, selalu berpendapat bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama. Ada pun mereka yang hina adalah yang melakukan kejahatan...," ucap Rangga, kalem.
"He he he...! Benar sekali kau, Anak Muda...!" seru Nenek Kampar Ilir. "Tapi seperti yang telah kau katakan, kau dari dunia luar. Maka di sini, hal itu penghargaan yang tiada tara. Kau diberkati langsung oleh Guru Suci!"
Rangga terdiam sejenak.
"Ya, mungkin Nenek ini ada benarnya," ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.
"Nenek Kampar Ilir adalah penasihatku, sekaligus penasihat kerajaan...," jelas Kembang Taji.
"O, ya" Pantas. Kata-katanya sungguh bijaksana!" seru Rangga seraya tersenyum.
Tapi Nenek Kampar Ilir sama sekali tidak tersenyum. Orang tua itu malah menatap tajam kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Anak Muda, hati-hati bicaramu! Kau berada di pulau ini, dan segalanya harus pakai aturan!" desis Nenek Kampar Ilir.
"Nenek Kampar Ilir! Terima kasih atas nasihatmu. Aku bisa menjaga diriku sendiri!"
Setelah berkata begitu, Nenek Kampar Ilir melengos dan meninggalkan tempat ini.
Guru Suci serta para Guru Tua jadi tidak enak hati. Terlebih lagi Kembang Taji. Agaknya antara pemuda itu dengan Nenek Kampar Ilir tidak saling cocok. Namun begitu, sebagai seorang ratu, dia harus bertindak bijaksana. Maka dengan ramah diajaknya, Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam istana.
Tapi tidak berapa lama. Guru Suci serta para Guru Tua meninggalkan mereka berdua. Menyusul, Panglima Kijang Merah serta para prajurit lainnya yang tadi mengikuti.
"Kenapa mereka pergi...?" tanya Rangga heran.
"Mereka merasa malu denganmu...."
"Malu kenapa?"
"Seorang laki-laki, ternyata menjadi dewa penolong kami. Padahal negeri ini telah telanjur menganggap rendah derajat laki-laki. Lalu ketika Guru Suci memberi, anugerah, ternyata Nenek Kampar Ilir seperti tidak setuju. Dan yang lebih membuat mereka malu, karena kau pun ternyata tidak mau menerima anugerah itu," jelas Kembang Taji.
Rangga terdiam, dan mengerti apa yang terjadi. Pemuda itu merenung beberapa saat.
"Maaf.... Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu," ucap Rangga, lemah.
*** Kembang Taji tidak menjawab. Gadis itu terdiam. Pikirannya menerawang entah ke mana. Rangga menunggu beberapa saat. Dan ketika gadis itu belum juga berpaling, pemuda ini memberanikan diri untuk membuka pembicaraan lagi.
"Mungkin kehadiranku di sini tidak diperlukan lag...."
"Eh, apa" Oh, maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu susah!" ucap Kembang Taji.
"Aku telah cukup menyusahkan kalian, bukan?" tanya Rangga.
Kembang Taji tidak langsung menjawab. Gadis itu menarik napas agak panjang.
"Kita berasal dari dunia yang berbeda. Baik adat istiadat dan kebiasaan. Sehingga setiap benturan yang terjadi, hendaknya bisa disadari dan tidak menimbulkan pertikaian. Apalagi sampai menciptakan permusuhan. Rangga! Aku tidak pernah berpikir bahwa kau menyusahkan. Bahkan dengan jujur kukatakan, bahwa kau adalah pahlawan kami. Semua orang di negeri ini pasti akan mengingat dan mengenangmu," tutur Kembang Taji, lirih.
"Terima kasih...," desah Rangga, halus.
"Kau tidak merasa tersinggung, bukan?"
Rangga tersenyum. Sebagai seorang yang hidup di lingkungan yang tidak menghargai arti laki-laki, rasanya agak janggal bila Kembang Taji menanyakan perasaannya. Tapi sebagai seorang ratu, agaknya Rangga bisa menilai bahwa gadis ini lebih arif ketimbang yang lainnya.
"Tidak," jawab Rangga, singkat.
"Syukurlah...."
"Eh, aku sampai lupa! Bagaimana anak buah Gagas Kelana?"
"Para prajuritku telah membereskan mereka!"
"Tapi sayang, sebelumnya mereka sempat bertolak. Mungkin saat ini, si Hiu Perak tengah mempersiapkan armada untuk menyambut kemenangan anak buahnya."
"Ya! Aku pun tengah memikirkan hal itu," sahut Kembang Taji masygul. "Jumlah prajurit kami berkurang banyak. Dan rasanya tidak akan sanggup menahan seandainya mereka menyerang kembali...."
"Ya, aku bisa mengerti. Mestinya Ki Muwangkoro dan anak buahnya bisa kita manfaatkan. Tapi kalau mereka tidak kembali, pemimpinnya tentu akan bertanya-tanya. Dan bukan tidak mungkin, akan bertolak ke sini," kata Rangga.
"Aku jadi merasa bahwa kemelut ini akan semakin kacau dan tak ada akhirnya," desah Kembang Taji.
"Kau ingin aku membantumu lagi?"
"Aku sungkan untuk memintanya."
"Aku akan membantu kalian tanpa diminta."
Kembang Taji terdiam sesaat.
"Bagaimana caramu membantu kami?"
"Malam ini juga, akan kupastikan kalau atasan Ki Muwangkoro mengetahui kalau mereka telah dikhianati kawannya sendiri. Dengan begitu, kuharap mereka akan saling berperang!"
"Bagus sekali! Tapi, bagaimana caranya?"
"Akan kubawa Ki Muwangkoro menghadap pemimpinnya malam ini juga!"
"Malam ini" Bagaimana mungkin" Perairan di sekitar pulau ini sering mengganas di malam hari. Kalian tidak akan selamat. Lagi pula, hal itu memerlukan waktu cukup lama!" tanya Kembang Taji, heran.
"Tidak usah khawatir...," sahut Rangga, enteng.
"Maksudmu?"
"Sudahlah.... Yang jelas setelah aku berhasil meyakinkan pemimpin mereka aku tidak bisa kembali lagi," kata Rangga.
Kembang Taji terkesiap. Dipandanginya pemuda itu sejurus lamanya, seperti tidak percaya akan pendengarannya tadi.
"Kau..., kau akan pergi meninggalkan kami...?"
"Kehadiranku di sini hanya untuk membantu kalian. Bila segalanya telah selesai, maka aku harus pergi. Banyak orang lain yang mungkin memerlukan pertolonganku," sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum.
"Berarti kita tidak akan bertemu lagi?"
"Kita akan bertemu bila panjang umur. Dan kau bisa saja menemuiku kapan saja kau suka!"
"Di mana?"
"Di sebuah negeri bernama Karang Setra. Negeri itu terletak di tanah Jawadwipa di bagian timur. Bila kau mendarat di pulau besar yang berada di utara itu, maka teruslah ke timur. Bila menunggang kuda, maka akan tiba empat hari perjalanan setelah diselingi istirahat," jelas Rangga.
"Karang Setra" Hm.... Aku akan mengingatnya. Orang-orang di sana pasti akan mengenalmu?" tanya Kembang Taji.
"Ya! Mereka akan kenal Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti" Begitukah mereka memanggilmu?"
"Begitulah orang-orang persilatan memanggilku," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
Kembang Taji tersenyum kecil.
"Aku berangkat sekarang. Akan kupastikan segala sesuatunya beres. Dan tidak usah khawatir. Sebab bila pemimpin Ki Muwangkoro tidak mau kuhasut, akan kuhancurkan mereka. Juga, si Hiu Perak itu," tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih...."
Rangga segera meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Muwangkoro, lalu pergi meninggalkan pulau ini sekarang juga.
Sementara Kembang Taji masih memperhatikan pemuda itu dari jendela kamarnya. Wajah gadis itu tampak muram. Bola matanya berkaca-kaca. Dan entah kenapa, kedua pipinya terasa hangat ketika beberapa tetes air mata membasahi. Entah apa yang dirasakannya saat ini.
? SELESAI ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
? WANITA IBLIS ? ? ? Scanned by Clickers
? Kembali ke Bagian 4-6
? Istana Tulang Emas
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Keris Pusaka Nogopasung 1 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Jala Pedang Jaring Sutra 6
Trang! Begitu terjadi benturan senjata, dengan gerakan dahsyat Sindu memutar goloknya, lalu langsung dikelebatkan ke perut Gandung. Sehingga....
Brettt! "Aaakh...!"
Gandung memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi perutnya yang robek ditebas golok Sindu. Panjalu bermaksud membantu, tapi Sindu terus memburu Gandung yang sudah ambruk di tanah dan tengah sekarat.
Cras! "Aaa...!"
Golok panjang di tangan Sindu tidak mengenal ampun. Langsung dibelahnya dada Gandung yang sudah tidak berdaya.
"Biadab!" desis Panjalu geram.
"Tidak usah banyak bicara! Kau akan mengalami nasib yang sama dengannya!" tukas Sindu, enteng saja.
"Aku akan menyeretmu untuk ke akhirat bersama kawanku!"
Baru saja Panjalu berteriak sambil melompat menerjang....
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan. Kali ini Reksa yang menjadi lawan Setiaji menjadi korban. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dada kanannya berlubang terkena tikaman senjata Setiaji.
"Heaaat!"
Panjalu membatalkan serangannya. Dan dia bermaksud melindungi kawannya yang bernama Reksa dari serangan Setiaji selanjutnya. Tapi Sindu ternyata lebih cepat bergerak. Golok di tangannya cepat dilemparkan ke arah leher Reksa yang terhuyung-huyung. Dan....
Cras! "Hokh!"
"Hei"!"
Kembali Panjalu terkesiap, melihat leher Reksa telah tertancap golok yang dilemparkan Sindu. Berarti dua kawannya telah tewas dalam waktu singkat secara mengenaskan.
"Biadab! Aku harus membalas kematian mereka berdua, lebih kejam daripada yang kalian lakukan!" bentak Panjalu penuh amarah.
"Tidak usah buang-buang tenagamu. Sebentar lagi kau akan menyusul mereka...," ejek Sindu, setelah mencabut goloknya yang tertancap di leher lawannya.
"Heaaat!"
Saat itu juga Sindu langsung melompat menyerang dengan ayunan goloknya. Pada saat yang sama, Setiaji dan Sindu sudah sama-sama meluruk dengan sambaran golok masing-masing. Namun, apalah daya Panjalu saat ini" Apalagi kini harus menghadapi kerubutan dua orang.
Kini tampak, serangan masing-masing pihak akan bertemu di udara.
Trang! Sambaran golok Setiaji berhasil dipapak Panjalu dengan memalangkan goloknya ke depan wajah. Namun pada jarak yang hampir bersamaan, Sindu membabatkan goloknya ke perut.
"Hup!"
Cepat bagai kilat, Panjalu menjatuhkan diri ke tanah. Namun, ternyata Sindu dapat mengejarnya.
Dan baru saja dia bangkit, Sindu telah melepaskan tendangan ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.... Duk!
Panjalu terhuyung-huyung ke belakang disertai keluhan tertahan, begitu tendangan Sindu berhasil bersarang di dadanya. Meski tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya lengah. Sehingga, Setiaji yang telah siap sejak tadi cepat membabatkan senjatanya ke perut.
Crasss! "Aaah...!"
Panjalu kontan memekik keras, begitu perutnya robek mengeluarkan darah. Tentu saja, hal ini membuat gerakannya terhambat.
"Heaaat...!"
Pada saat itu Sindu sudah melompat dengan senjata di tangan, siap menghabisi Panjalu.
"Yeaaa...!"
*** 5 ? Pada saat yang gawat bagi Panjalu, mendadak melesat sesosok bayangan putih yang langsung memapaki serangan Sindu. Gerakannya cepat bukan main. Dan....
Plak! "Aaakh...!"
Tahu-tahu Sindu memekik kesakitan sambil memegangi tangan kanannya yang terasa nyeri. Sementara senjatanya lepas entah ke mana.
Dan baru saja Sindu bisa menguasai perasaannya, di depannya telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung. Sementara Setiaji hanya terbengong-bengong, tak tahu harus berbuat apa.
"Siapa pun adanya kau, lebih baik tidak usah ikut campur dalam urusan ini!" dengus Sindu, berusaha menghilangkan rasa kegentarannya. Betapa tidak gentar" Pada saat berbenturan tadi, Sindu yakin tenaga dalamnya jauh di bawah pemuda berbaju rompi putih di depannya.
Pemuda yang tidak lain dari Pendekar Rajawali Sakti itu tersenyum dingin. Matanya menyorot tajam pada Sindu.
"Aku pemilik pulau ini. Maka segala sesuatu yang terjadi di sini berhak kuketahui," sahut Pendekar Rajawali Sakti enteng.
"Setan! Agaknya kau belum kenal kami, he"!" bentak Sindu. "Heaaa...!"
Saat itu juga Sindu melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan kibasan tangan secara bertubi-tubi.
"Uts!"
Namun hanya sedikit memiringkan tubuhnya. Rangga berhasil menghindarinya. Dan baru saja Sindu hendak membangun serangan kembali, sebelah kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat melayang dengan satu tendangan keras.
Diegh! "Aaakh"!"
Telak sekali tendangan itu bersarang di leher Sindu. Disertai jerit kesakitan, Sindu tersuruk mencium tanah. Dan baru saja dia hendak bangkit, Rangga tahu-tahu telah menjejak di lehernya.
"Aku telah tahu siapa dirimu. Dan kau pun telah tahu siapa aku saat ini! Aku adalah malaikat pencabut nyawa. Maka jangan coba-coba bertindak macam-macam. Lehermu akan putus bila kau bertindak macam-macam!" ancam Rangga.
"Ohhh.... Ekh...!"
Sindu mengeluh tertahan dan sulit bernapas ketika Rangga membuktikan ancaman dengan menekan telapak kakinya yang menempel ke leher lawan.
"Nah! Kau semakin tahu, bukan" Jadi kau tidak usah macam-macam!" lanjut pemuda itu melonggarkan pijakan kakinya.
Sementara, melihat kawannya jatuh dalam satu kali gebrakan, Setiaji tidak berani bertindak. Dia sadar, kalau pun membokong, pasti pemuda berbaju rompi putih itu pasti dapat melumpuhkannya. Sehingga, dia hanya berdiam diri dengan tatapan kasihan pada Sindu.
"Apa maumu"!" tanya Sindu lantang.
"Seharusnya aku yang bertanya! Siapa kalian"! Dan, apa maksud kalian di sini"!" balas Rangga, dingin.
"Aku anak buah Gagas Kelana penguasa gugusan pulau ini!"
"Siapa Gagas Kelana itu?"
"Boleh jadi kau tak mengenalnya. Tapi kami semua berada di bawah pimpinan Ki Jalidar alias si Hiu Perak, yang menguasai seluruh perairan di wilayah laut bagian barat Pulau Jawadwipa ini!" sahut Sindu dengan nada sedikit angkuh.
Nama Hiu Perak sebenarnya telah terkenal di setiap penjuru sebagai pimpinan bajak laut yang di takuti. Bukan saja mereka yang sering bepergian menggunakan perahu layar, tetapi juga dikenal oleh orang-orang yang berada di daratan. Dengan begitu, Sindu berharap pemuda itu akan gentar mendengarnya.
"Hiu Perak" Hm.... Belum pernah kudengar namanya. Tapi, pasti kalian semua suka membuat resah!"
"Maaf, Kisanak! Kau jangan menyamakannya dengan kami!"
Panjalu yang sudah bisa bangkit berdiri langsung menyahuti kata-kata Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menoleh tajam kepada Panjalu.
"Dan kau siapa" Kudengar, kalian tadi meributkan pemimpin masing-masing!"
"Namaku Panjalu, anak buah Ki Muwangkoro. Kami ke sini diutus Ki Seta yang menguasai hutan Damar Setan," sahut Panjalu.
"Tidak salah dugaanku. Kalian memang para perampok yang suka membuat keresahan. Hm.... Apa yang kalian kerjakan di sini, kalau tidak sedang membuat keonaran?"
Tidak ada yang menyahut. Rangga menatap tajam mereka satu-persatu, lalu mengalihkan pandangan pada Sindu yang masih diinjaknya.
"Apa yang kalian lakukan di sini"!" desis Rangga geram sambil menekan telapak kakinya lebih kuat.
"Ekh... kekh... kekh...!"
"Katakan lekas!" bentak Pendekar Rajawali Sakti, kembali mengendurkan pijakan kakinya.
"Aku... aku tak tahu.... Aaakh!"
Sindu menjerit keras, karena Rangga tidak puas dengan jawabannya.
"Tidak perlu berbohong padaku! Kau termasuk anak buah si Hiu Perak. Dan jelas, kau tahu apa yang dilakukan di sini."
"Baiklah. Kami..., kami berada di pulau yang paling besar itu."
"Untuk apa?"
"Menyerang penghuni pulau itu...!"
"Wanita-wanita yang mayatnya berserakan itukah yang mendiami pulau itu?"
"Be..., betul!"
"Untuk apa kalian memusuhi mereka?"
"Eh! Aku, aku tidak tahu...!"
Tapi baru saja berkata seperti itu, kembali Sindu menjerit kesakitan ketika Rangga menekan kakinya lebih kuat.
"Katakan!"
"Eh! Ba..., baiklah."
Tapi belum, juga Rangga mendapat jawaban....
"Wanita itu mencuri perahu kita!" seru Panjalu, seraya menunjuk pantai.
Perhatian Rangga jadi beralih ke arah pantai. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan Sindu. Cepat tubuhnya bergulingan, melepaskan diri dari pijakan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh"!"
*** Rangga tadi sempat melihat gadis yang tadi bersamanya tengah mendorong perahu milik Sindu dan kawan-kawannya.
Sementara Sindu yang telah terbebas cepat bangkit dan segera mengejar ke arah gadis itu.
"Hei, berhenti! Kurang ajar, berhenti...!" teriak Sindu, terus mengejar ke arah pantai.
Tapi Rangga tidak tinggal diam. Kakinya cepat bergerak, menendang sebutir batu kecil sebesar kurang dari kepalan tangan.
"Hih...!"
Saat itu juga batu kecil ini meluncur deras ke arah Sindu. Dan....
Tak! "Aaakh...!"
Sindu kontan tersungkur ke depan disertai keluhan kesakitan begitu batu yang ditendang Rangga menghantam lehernya. Namun dia cepat bangkit, seraya mengambil goloknya yang tadi terpental. Lalu secepat kilat dia berbalik, memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah geram.
"Keparat! Kubunuh kau...!" umpat Sindu garang, langsung menghampiri Rangga dengan golok terhunus.
Begitu telah berada dalam jangkauannya, Sindu cepat membabatkan goloknya.
"Uts!"
Rangga bergeser sedikit ke samping, sehingga golok Sindu hanya menyambar angin. Begitu kuat sambaran itu, membuat Sindu kehilangan keseimbangan. Untung dia langsung bergulingan, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
Tapi, Rangga tidak mendiamkan begitu saja. Tubuhnya cepat berkelebat. Dan begitu Sindu bangkit, satu tendangan keras dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat gerakannya, sehingga Sindu tak dapat menghindarinya.
Des! "Aaakh...!"
Telak sekali tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tengkuk Sindu yang langsung terpekik dan jatuh tersungkur. Tak ada gerakan lagi di tubuhnya, kecuali tarikan napasnya yang terlihat lemah. Pingsan!
Pada saat yang bersamaan, Setiaji yang sudah timbul keberaniannya, meluruk dengan sambaran goloknya hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti.
Namun dari angin sambaran itu. Rangga sudah mampu menebak adanya serangan gelap. Cepat bagai kilat tubuhnya bergeser ke samping, langsung menangkap pergelangan tangan Setiaji.
Tap! Dan belum juga Setiaji bisa berbuat apa-apa lagi, Rangga telah melepaskan satu sodokan keras lewat sikut ke perut.
Desss...! "Aaakh...!"
Setiaji menjerit kesakitan. Begitu kuat sodokan Rangga, membuat perut Setiaji seperti mau pecah. Bahkan laki-laki itu langsung ambruk tidak sadarkan diri.
Sementara itu Panjalu hanya bisa berdiri terpaku dengan wajah kecut.
"Si..., siapa kau sebenarnya?" tanya Panjalu. Suaranya terdengar sedikit tergagap.
"Aku malaikat maut yang akan menghukummu!" sahut Rangga menakut-nakuti.
"Oh, ampuni aku. Tuan Pendekar. Kasihanilah aku. Dan lagi, aku tengah terluka...," ratap Panjalu.
"Kenapa aku mesti kasihan padamu" Kau seorang perampok. Dan bagi kalian, nyawa tiada artinya, bukan" Perhatikan mayat-mayat yang mengambang di tepi pantai! Perbuatan siapakah itu?"
"Itu..., itu perbuatan mereka...! Aku tidak ikut-ikutan...," sahut Panjalu, makin ketakutan.
"Biadab!" rutuk Rangga.
Sepasang mata Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam laksana seekor harimau yang hendak menerkam mangsa.
Sementara, Panjalu merasa tubuhnya menggigil ketakutan. Belum pernah dia merasa ketakutan begini, meski dihardik Ki Seta, pimpinannya.
"Berapa jumlah kalian di pulau itu?" tanya Rangga.
"Sekarang kira-kira..., tujuh puluh orang. Sebagian dipimpin Gagas Kelana. Sedang sisanya dipimpin Ki Muwangkoro."
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Mencari ratu mereka."
"Apakah hanya kalian yang ditugaskan mencarinya?"
"Tidak. Ada sekitar sepuluh perahu lagi, yang masing-masing berisi lima atau enam orang."
"Ceritakan padaku kehidupan di sana. Dan, apa yang kalian inginkan dari orang-orang itu!"
"Ba..., baik...."
Panjalu pun mulai bercerita dari awal sampai akhir. Serta, apa yang kira-kira terjadi saat ini.
*** Rangga mulai mengangguk mengerti setelah Panjalu selesai bercerita.
"Eee..., kalau boleh kutahu..., untuk apa kau bersusah payah membela mereka" Orang-orang itu memperbudak laki-laki."
"Kau tidak perlu tahu. Lagi pula, belum tentu aku akan membela mereka!"
"Apakah kau akan ke pulau itu" Di sana emas berlimpah-ruah! Kalau kau mau bekerja sama, aku akan menunjukkan tempatnya. Kita singkirkan mereka semua!"
Rangga tersenyum sinis.
"Apa kau kira aku akan bertindak bodoh" Begitu emas kudapat, maka aku bisa membunuhmu!"
Panjalu terdiam seraya menelan ludah dengan wajah kecut. Sementara Rangga sudah tak mempedulikannya lagi. Malah, kepalanya mendongak ke langit lalu....
"Suiiit...!"
Tiba-tiba Rangga bersuit nyaring dan terdengar aneh. Sebentar Rangga menunggu, tak lama bibirnya tampak tersenyum ketika di angkasa terlihat rajawali raksasa masih berputar.
Dan dengan lesatan yang cepat sekali, Rajawali Putih menukik ke bawah. Sehingga bentuknya yang sangat besar sempat membuat Panjalu bergidik ngeri. Apalagi setelah burung itu mendarat.
"Heh" Burung apa ini"! Hi...!"
Panjalu makin mengkeret hatinya. Sungguh, seumur hidup baru kali ini melihat burung rajawali yang demikian besar.
Sementara Rangga tidak mempedulikan sikap Panjalu yang tampak gemetar. Bahkan tanpa terasa, celananya telah basah karena terkencing-kencing.
"Diamlah baik-baik di sini. Dan, jangan macam-macam. Aku bisa membunuhmu dari jauh!" ancam Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke atas punggung Rajawali Putih.
Panjalu hanya bisa mengangguk, dengan wajah penuh ketakutan. Namun Rangga tak memperhatikannya, karena Rajawali Putih kembali melesat ke angkasa. Hanya dengan beberapa kepakan sayap, mereka telah membubung tinggi, membelah angkasa.
"Kau telah menemukannya, Rajawali Putih?" teriak Rangga, berusaha mengalahkan deru angin.
"Kragh...!"
"Hm.... Kalau begitu cepat kita ke sana!"
Rajawali Putih terus melesat menuju ke pulau yang paling besar di antara gugusan pulau-pulau itu. Dari atas, Pendekar Rajawali Sakti melihat sebuah perahu berukuran agak besar seperti yang tadi didengarnya dari cerita Panjalu.
"Mendarat di sana, Rajawali!" teriak Rangga sambil menunjuk ke sebuah dataran luas!
"Kragh...!"
Saat itu juga Rajawali Putih menukik cepat bagai kilat. Dan sebentar saja, dia telah mendarat dengan empuk. Sementara, Rangga cepat melompat dari punggungnya.
"Keeerrkh...!"
"Ada apa. Rajawali?"
Kening Rangga berkerut ketika Rajawali Putih berbunyi aneh. Ujung paruhnya tampak menunjuk ke satu arah. Tapi, Rangga belum melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sementara rajawali raksasa itu tetap menunjuk ke arah semula, mau tidak mau, pemuda itu mulai curiga.
"Rajawali, tinggalkan aku di sini. Dan, tolong awasi aku dari atas!" ujar Rangga, begitu menatap tunggangannya.
"Kraaagkh...!"
"Iya..., aku akan hati-hati," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ketika mendengar nada kekhawatiran pada suara Rajawali Putih.
Seketika Rajawali Putih mengepakkan sayapnya. Dan saat itu juga tubuhnya melesat ke udara dengan kecepatan dahsyat.
"Mungkinkah ada tempat rahasia di sekitar sini...?" pikir Rangga sambil mengamati sekitarnya, begitu Rajawali Putih telah melayang-layang di angkasa.
Ada beberapa ranting patah dan dedaunan masih hijau dan segar. Dan Pendekar Rajawali Sakti yakin, itu bukan karena kaki si Rajawali Putih saat turun tadi. Tapi, lebih mirip perbuatan seseorang. Beberapa jejak tampak dihapus terburu-buru, menuju ke satu arah. Kemudian hilang di balik sebuah pohon besar.
"Hm.... Aku yakin ada tempat rahasia di sekitar sini," gumam Rangga halus.
Pemuda berbaju rompi putih itu mulai mengetuk-ngetuk tanah dengan kakinya. Lalu diperiksanya batang pohon besar di depannya disertai pengerahan aji "Pembeda Gerak dan Suara".
"Di bawah ini...," desis Pendekar Rajawali Sakti nyaris tidak terdengar.
Rangga bisa melihat garis tipis di batang pohon yang membentuk sebuah persegi panjang. Dia mulai menduga bahwa itu adalah pintu masuk ruangan rahasia yang berada di bawah tanah. Tapi, bagaimana caranya" Apakah harus didobrak"
Lama pemuda berbaju rompi putih ini merenung, memikirkan cara untuk masuk ke dalam. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk menunggu saja. Mungkin suatu saat penghuninya akan keluar.
Sambil menunggu, Rangga segera menelusuri tempat lain di sekitar pulau ini.
"Mungkin pintu masuknya tidak hanya dari sini...," gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan, ketika kakinya menapak dan mendapatkan keanehan.
Duk! Duk! Rangga menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dan telinganya mendengar bunyi yang mencurigakan.
"Hm.... Sebuah terowongan?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga memang mendengar suara hampa, yang menandakan kalau di bawah tanah yang dipijaknya terdapat sebuah ruangan semacam gua.
"Hm.... Tempat ini menuju pantai...?"
Rangga mengernyitkan dahi ketika terus menyusuri lorong di bawah tanah lewat pendengarannya yang tajam.
*** Kini Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak tepat di tepi pantai. Kedua kakinya sesekali disapu ombak kecil. Pandangan matanya menyapu permukaan laut, seperti hendak menembus sampai ke dasarnya.
"Bisa jadi di dasar laut ada mulut gua yang menghubungkannya ke tempat mereka," duga Rangga.
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti menyeburkan diri ke air laut. Beberapa kali kepalanya timbul untuk menghirup napas sebanyak-banyaknya, lalu kembali menyelam ke bawah menyusuri dasar pantai.
Di situ Pendekar Rajawali Sakti menemukan tumpukan karang, yang di antaranya terlihat sebuah bunga karang besar. Bunga karang ini ternyata menghalangi sebuah lubang sebesar tampah. Tanpa ragu-ragu pemuda itu menyingkirkan bunga karang itu, lalu memasuki lubang itu.
Lubang itu ternyata sebuah terowongan yang tidak terlalu panjang dan terus menuju ke atas. Dan terowongan itu kemudian berakhir pada lubang yang berada dalam sebuah ruangan di dalam perut bumi.
Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengeluarkan napas lega. Kemudian dia bersembunyi di balik sebuah batu, ketika mendengar suatu percakapan yang tidak jauh dari tempatnya berada.
"Siapa pemuda itu?" tanya sebuah suara. Nadanya lantang dan sedikit tegas.
"Aku..., aku tidak tahu...," sahut suara lain.
"Apakah dia salah satu dari mereka?"
"Dia tidak mengaku."
"Dia mencelakaimu?"
"Tidak. Saat kutinggalkan, mereka tengah berkelahi."
"Hm.... Dari mana dia...?"
"Apakah ketika kau pergi tidak ada yang mengikuti?"
"Entahlah. Saat itu aku gugup, dan buru-buru mendayung!"
"Hm.... Kau terlalu ceroboh! Mungkin saat ini mereka tengah mengawasi kita!"
"Sudahlah, Kijang Merah. Tidak usah terlalu berburuk sangka kepadanya...," sela sebuah suara lain.
"Tuanku! Kita harus waspada pada apa pun, meski sekecil butiran pasir!" tandas sosok yang dipanggil Kijang Merah.
Memang, mereka yang tengah berbicara adalah Kembang Taji yang merupakan penguasa Kerajaan Tulang Emas, Kijang Merah yang merupakan seorang panglima, dan seorang prajurit wanita yang waktu itu pernah bersama Rangga.
Tentu saja Rangga hanya mengenali prajurit wanita yang pernah bersamanya itu. Dan dia terus mengawasi dari tempat tersembunyi.
"Tapi jangan berlebihan. Tidakkah kau lihat dia terluka dan sedikit takut?" bela Kembang Taji.
"Seorang prajurit harus kuat lahir dan batin. Dan hamba telah menggembleng mereka demikian. Sehingga tidak ada alasan untuk berlemah-lemah," kilah Kijang Merah.
"Sudahlah, biarkan saja. Aku sadar bahwa dia telah berbuat yang terbaik bagi dirinya...."
"Dia memang telah berbuat yang terbaik...!" Tiba-tiba Rangga memperlihatkan diri.
"Heh"!"
"Siapa kau"!"
"Tuanku! Pemuda inilah yang bertemu dengan hamba tadi!"
"Tangkap dia!"
*** ? 6 ? Begitu mendengar teriakan Kijang Merah, para prajurit wanita itu segera bergerak hendak meringkus Pendekar Rajawali Sakti.
"Heaaat...!"
"Dengarkan! Aku tidak bermaksud jahat kepada kalian. Tidak usah pakai kekerasan segala," cegah Pendekar Rajawali Sakti sambil menghindar dari serangan dua orang prajurit.
"Jangan dengarkan ocehannya! Bunuh dia!" teriak wanita bertubuh tegap yang bernama Kijang Merah kembali.
Maka saat itu juga dua orang gadis berwajah manis kembali menyerangnya dengan ganas. Wajah mereka tampak mengeras, menggambarkan jiwa seorang prajurit yang patuh pada atasan.
"Hmmm...!"
Rangga hanya bergumam tak jelas sambil menggelengkan kepala ketika serangan-serangan meluncur ke arahnya. Ruangan ini agak sempit. Tapi bukan berarti dia tidak mampu melumpuhkan kedua lawannya. Semula dia tidak ingin main keras. Tapi karena mereka memulainya, maka tidak ada jalan lain lagi.
Pendekar Rajawali Sakti melenting ringan menghindar tebasan senjata gadis-gadis cantik itu. Dan dengan berpijak pada langit-langit gua tubuhnya meluncur deras menyambar dengan gerakan tak terduga. Kedua tangannya cepat bergerak. Dan...
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Kedua gadis itu kontan jatuh lemas, begitu Rangga berhasil mendaratkan totokan di tubuh mereka.
"Heaaat...!"
Baru saja Rangga mendarat, Kijang Merah sudah melompat menyerang. Goloknya yang terhunus langsung disabetkan ke leher Rangga.
Wuuut! Namun Rangga yang langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti" cepat menghindar dengan melempar tubuhnya ke samping. Sehingga serangan itu luput.
Sementara Kijang Merah tidak berhenti sampai di situ saja. Goloknya kembali berkelebat mengancam dada.
"Hih!"
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti mundur selangkah.
Dan begitu serangan itu hanya menebas angin, cepat dilepaskannya satu tendangan keras ke pinggang. Namun, rupanya Kijang Merah cepat tanggap. Secepat itu pula, kibasan goloknya berbalik.
Cepat-cepat Rangga menarik pulang kakinya, karena tendangan itu hanya berupa tipuan. Dan tepat ketika sambaran golok itu meluncur, kakinya yang satu lagi kembali bergerak. Dan....
Plak! "Heh?"
Betapa terkejutnya Kijang Merah, melihat goloknya terpental terkena tendangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, satu luncuran tangan Rangga telah datang. Dan....
Tuk! Tuk! "Ohhh...!"
Dua kali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan dua totokan ke dada Kijang Merah. Saat itu juga perempuan perkasa ini merasakan tubuhnya lemas, lalu melorot ambruk di tanah.
"Siapa lagi yang akan menantangku?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, tanpa mempedulikan yang melotot garang ke arahnya. Rangga kini malah menatap Kembang Taji.
Sementara, Kembang Taji yang duduk di atas batu itu tidak menjawab. Diperhatikannya pemuda itu untuk sejurus lamanya.
"Siapa kau...?" tanya Kembang Taji.
"Namaku Rangga."
"Aku Kembang Taji, Ratu Kerajaan Tulang Emas. Kulihat kau cukup hebat. Apakah kau bersedia mengabdi padaku?"
"Maaf, Ratu. Aku bukan abdimu. Tapi kalau kau menginginkan bantuan, tentu saja dengan senang hati aku akan membantumu," sahut Rangga disertai senyum manis.
"Kau sungguh aneh. Tapi, semua perbuatanmu kuampuni. Tak seorang pun yang boleh membantah perintahku. Apalagi, hal itu dilakukan oleh laki-laki."
Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kembang Taji! Kuhormati kau sebagai seorang ratu. Namun, aku tidak bisa menerima bila kau merendahkan martabat laki-laki. Itu hanya ada dalam duniamu. Sebab di banyak tempat, justru laki-laki yang berkuasa. Maka, hilangkanlah hal-hal yang merendahkan laki-laki. Dan aku akan senang hati membantumu," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
Wanita itu terdiam sejurus lamanya. Dipandanginya pemuda itu, lalu berpaling pada orang-orangnya.
"Jumlah prajuritku sedikit. Dan di ruang lain beberapa orang lagi tengah dirawat. Sedang jumlah mereka cukup besar. Bagaimana mungkin kita dapat mengalahkannya...?" tanya Kembang Taji bernada putus asa.
"Dalam perjuangan yang diperlukan adalah semangat. Bila tidak ada semangat, maka tidak perlu berperang. Lagi pula jumlahmu tidak sekecil ini" Bukankah masih banyak prajuritmu yang berada di sana" Mereka ditawan orang-orang itu...."
"Dari mana kau tahu?"
"Aku berhasil meringkus tiga orang dari mereka. Dan salah seorang telah menceritakan padaku," jelas Rangga.
*** "O, begitu...!" kata Kembang Taji, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana keputusanmu sekarang?" tanya Rangga.
"Kapan kita adakan serangan terhadap mereka?" Kembang Taji malah balik bertanya.
"Setelah segala sesuatu berjalan lancar."
"Apa maksudmu?" tanya Kembang Taji dengan dahi berkerut.
"Kita harus merencanakan segalanya untuk penyerangan itu. Setelah aku mendapatkan keterangan, maka dari kalian pun aku harus mendapatkan keterangan pula," jelas Rangga.
"Keterangan apa yang kau perlukan dari kami?"
"Mengenai seluk-beluk pekerjaanmu. Lalu, wilayah pulau itu serta jumlah kekuatan prajuritmu."
"Menurut Kijang Merah banyak prajuritku yang tewas. Mereka berjuang gagah berani, rela mengorbankan diri demi ratu dan kerajaannya. Mungkin jumlah mereka saat ini hanya setengahnya saja," sahut Kembang Taji, masygul.
"Tidak apa. Kita harus membebaskan mereka. Dan kalau benar mereka setia, tentu mau berjuang lagi membelamu setelah dibebaskan."
"Mengenai yang lain, kau bisa tanyakan pada panglimaku," ujar Ratu Kembang Taji. "Tapi mereka tengah tidak berdaya karena ulahmu."
"Aku tidak bermaksud melukai mereka," desah Rangga, sambil tersenyum manis.
Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri Kijang Merah dan dua prajurit wanita yang tadi ditotoknya. Dengan gerakan yang cepat luar biasa, semua orang yang tertotok sudah terbebas. Ini untuk membuktikan, kalau dia tidak bermaksud jahat.
"Kijang Merah! Kau telah dengar percakapan kami tadi, bukan" Berilah keterangan pada pemuda ini!" ujar Kembang Taji, ketika Kijang Merah bangkit berdiri.
"Ampun, Tuanku! Kenapa kita harus bekerja sama dengannya" Dia cuma laki-laki asing yang tidak kita kenal. Kenapa mesti percaya padanya" Siapa tahu dia mata-mata untuk mengetahui persembunyian kita. Sebaiknya kita bunuh saja sekarang!" sahut Kijang Merah, penuh dendam karena dengan mudah berhasil dijatuhkan.
"Kau tadi telah mencobanya. Dan ternyata tidak mampu. Lalu dengan cara bagaimana kita bisa membunuhnya?" tanya Kembang Taji memancing.
"Kalau Tuanku ijinkan, hamba rela mengorbankan nyawa sekalipun. Demikian pula yang lainnya!" tandas Kijang Merah.
"Tidak, Kijang Merah! Telah banyak yang berkorban untukku dan kerajaan ini. Sekarang, giliran kita untuk berkorban demi mereka. Kita harus berbuat sesuatu. Dan kalau pun pemuda ini memang mata-mata musuh, maka biarlah hal itu akan kutanggung sendiri. Tapi kalau memang kalian masih menganggapku sebagai ratu, maka ikutlah padaku! Aku percaya kalau dia jujur. Maka, hendaknya kalian pun percaya padanya!"
"Kalau memang demikian kehendak Tuanku, maka kami mematuhinya!" sahut Kijang Merah.
Wanita berperawakan tegap itu kemudian berlutut di hadapan Pendekar Rajawali Sakti, diikuti para prajuritnya.
"Tuan! Karena Ratu kami mempercayaimu, maka kami pun mempercayaimu! Katakanlah, apa yang bisa kami bantu?" tanya Kijang Merah, tetap berkerut.
"Bangunlah. Pertama, aku ingin agar kalian tidak merendahkan martabat laki-laki. Yang harus dipandang rendah adalah mereka yang berbuat kejahatan. Tidak peduli laki-laki atau wanita!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.
"Baiklah, jika memang begitu kehendak Tuan!"
"Kemudian, kalian tidak usah khawatir dengan ratumu. Dia dalam pengawasanku. Maka kujamin keselamatannya dengan nyawa sebagai taruhannya!" tambah Rangga mantap.
"Kami senang mendengarnya."
"Nah! Sekarang, ceritakan padaku tentang seluk-beluk istana, serta daerah-daerah di pulau itu secara terperinci. Juga, perhitungkan kekuatan musuh. Jangan lupa, perkirakan kekuatan kita sendiri jika para prajuritmu dibebaskan!"
Kijang Merah segera menerangkan apa yang diinginkan Pendekar Rajawali Sakti dengan panjang lebar.
"Sekarang dua orang harap menjaga dan merawat kawan-kawan kalian yang terluka...!" ujar Pendekar Rajawali Sakti setelah mendengar cerita Kijang Merah.
"Apakah kita akan menyerang mereka sekarang?" tanya Kijang Merah.
"Ya!" sahut Rangga mantap.
"Mereka pasti tahu!"
Rangga tersenyum.
"Betul! Tapi ada hal yang kuperhitungkan. Yaitu, sebagian dari mereka saat ini akan bertolak ke tempatnya untuk melaporkan hasil kerja kepada pimpinan mereka. Oleh sebab itu, kekuatan mereka berkurang," jelas Rangga.
"Tapi tetap saja amat berbahaya..."!" keluh Kijang Merah dengan sikap ragu.
"Bukankah kalian bangsa pelaut" Kalian tentu hebat di lautan, bukan" Jalankan perahu. Dan, jangan ditambatkan di pantai. Buanglah jangkar agak jauh dari pantai. Kemudian, berenanglah ke pantai di tempat yang tersembunyi. Aku akan mengagetkan mereka. Sehingga bila perhatian mereka telah tertuju padaku, di saat itulah kalian bebaskan para tawanan," lanjut Rangga membeberkan rencananya.
"Apakah tidak berbahaya?" tanya Kembang Taji.
"Kita hanya punya kesempatan sekali ini saja. Mereka hanya mengetahui, kalau jumlah prajurit yang dibawa sang Ratu hanya sedikit. Sehingga tidak mungkin mampu melawan mereka. Oleh sebab itu, yang bertolak saat ini jumlahnya cukup banyak untuk melaporkan kerja mereka pada si Hiu Perak."
"Hiu Perak" Itukah pemimpin mereka?" tanya Kembang Taji.
"Begitulah menurut apa yang kudengar."
"Baiklah. Kita bergerak sekarang!"
"Kenapa Ratu tidak tinggal di sini saja. Biar kami yang berperang melawan mereka?" tukas Kijang Merah.
"Tidak! Aku ingin rakyat juga melihat bahwa ratu mereka pantas menjadi panutan dengan ikut berjuang!"
Kijang Merah tidak bisa berkata apa-apa lagi mendengar jawaban itu.
*** Gagas Kelana tengah berpesta-pora menyambut kemenangan kali ini. Laki-laki itu sengaja membawa anak buahnya masuk ke dalam istana ditemani gadis-gadis cantik penghuni istana yang kini menjadi tawanan.
"He he he...! Ayo, mari kita berpesta! Tidak usah malu-malu! Kita berada di surga. Dan segalanya ada di sini! Mau wanita tinggal pilih. Mau harta, tinggal ambil! Hua ha ha...!"
Suara tawa Gagas Kelana menggelegar. Sesekali dia menenggak anggur merah. Dua orang gadis dalam dekapannya, menuangkan anggur ke dalam cangkir. Tampaknya mereka enggan melakukannya. Namun, tidak punya pilihan lain. Keduanya sesekali melengos, ketika Gagas Kelana hendak mencumbu.
"Hehhh! Kalian kira bisa selamat dengan berontak begitu" Negeri ini ada dalam telapak kakiku. Tidak usah bermimpi kalau kalian bisa berbuat macam-macam!" desis laki-laki itu geram.
"Aaah...!"
Kedua gadis itu mengeluh tertahan, ketika Gagas Kelana merenggut rambut mereka. Sehingga, wajah keduanya mendongak ke atas.
Pada saat itu juga beberapa anak buahnya keluar dari beberapa kamar sambil mesem-mesem dan membetulkan letak celananya.
"Ada apa?" tanya salah seorang.
"He he he...! Agaknya kau belum juga mau mencicipi mereka!" seru yang lain.
"Diam kalian!" bentak Gagas Kelana geram.
Laki-laki itu tampak tersinggung, meski anak buahnya tidak bermaksud demikian. Tak seorang pun yang tahu kalau sebenarnya dia tidak mampu mengumbar nafsu kelaki-lakiannya pada wanita seperti yang dilakukan anak buahnya. Gagas Kelana hanya bisa gigit jari, dan hanya mampu mencumbu serta membelai-belai gadis-gadis dalam dekapannya. Dan ketika anak buahnya selesai melampiaskan nafsu kelelakiannya, lalu berkata seperti tadi, maka seketika kemarahannya bangkit.
"Maaf, Kang. Kami tidak bermaksud menyinggung perasaanmu," sahut seorang anak buahnya dengan sikap bersalah.
"Iya, Kang" Maafkan kami. Kami tidak tahu kalau hal itu membuatmu tersinggung," timpal yang lain.
"Sudahlah! Kalian boleh teruskan pekerjaan lain."
"Baik, Kang."
"Eit, tunggu dulu!" sentak Gagas Kelana sebelum mereka meninggalkan ruangan ini.
"Ada apa, Kang?" sahut salah seorang, mewakili kawan-kawannya.
"Bagaimana pekerjaan kalian" Sudah beres?"
"Beres, Kang!" sahut orang itu dengan wajah gembira.
Tapi, tiba-tiba wajah kedua orang itu berubah murung. Dan perlahan-lahan didekatinya Gagas Kelana yang menjadi pemimpin di sini.
"Ada apa?" tanya Gagas Kelana curiga.
"Anu, Kang. Sindu dan Setiaji belum kembali."
"Maksudmu"!" tanya Gagas Kelana dengan wajah tampak mulai murka.
"Mereka belum kembali. Anak buah Ki Muwangkoro pun belum kembali juga...."
"Goblok! Kenapa kalian tidak bertindak cepat"! Anak buah Muwangkoro bisa kembali dan melaporkan kejadian ini padanya!"
"Eh! Akan kami cari mereka sekarang ini juga, Kang...!"
"Cepaaat...!"
"Ba... baik, Kang!"
Setelah menjura hormat dengan tubuh gemetar ketakutan, mereka segera berlalu dari ruangan ini.
Sementara Gagas Kelana masih bersungut-sungut kesal mendengar berita dari anak buahnya itu. Sehingga pikirannya tidak lagi terpaku pada kedua gadis yang berada di dekatnya.
"Ke sini kau!" teriak laki-laki yang masih berusia muda ini memanggil seorang anak buahnya.
"Ada apa. Kang?" sahut orang itu buru-buru menghampiri.
"Di mana si Muwangkoro sekarang?"
"Ada di tempatnya. Kang."
"Pergi ke sana, dan awasi semua anak buahnya! Bawa beberapa orang kawanmu!"
"Baik, Kang!"
"Cepaaat...!"
"Ba..., baik. Kang!" sahut orang itu tergagap dan segera meninggalkan ruangan.
"Kau! Ke sini...!" bentak Gagas Kelana pada seorang lagi.
Orang itu buru-buru menghampiri, dan nyaris terpeleset di lantai ruangan yang agak licin.
"Panggil Garlika ke sini!"
"Baik, Kang...!" sahut orang itu cepat. Dengan sigap, dia segera melompat meninggalkan ruangan, sebelum Gagas Kelana membentaknya seperti yang lain.
"Huh!"
Baru saja Gagas Kelana menghempaskan napas beberapa kali, salah satu anak buahnya masuk ke dalam.
"Mau apa kau"!" sentak pemuda ini.
"Eh! Ki Muwangkoro akan menghadap, Kang," sahut orang itu ketakutan.
"Hm, suruh dia masuk!"
"Baik, Kang."
Gagas Kelana segera bangkit berdiri menyambut sekutunya. Wajahnya dibuat semanis mungkin, ketika mempersilakan tangan kanan Ki Seta itu duduk.
"Ada apa gerangan, Ki Muwangkoro...?"
"Langsung saja. Gagas Kelana. Aku tidak biasa berbasa-basi," kata laki-laki yang ternyata Ki Muwangkoro.
"O, ya! Katakanlah, ada apa?"
"Beberapa anak buahku kau sertakan dalam pencarian ratu mereka. Anak buahku kembali. Tapi, mereka mengatakan kalau habis diserang musuh. Aku tidak mengerti, bagaimana hal ini bisa terjadi" Apa barangkali anak buahmu berdiam diri saja melihat anak buahku berhadapan dengan musuh" Atau, mereka memang sengaja menjerumuskannya?" tanya Ki Muwangkoro sinis.
*** ? Kembali ke Bagian 1-3
? Bersambung ke Bagian 7-8 (Tamat)
? Istana Tulang Emas
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 164. Istana Tulang Emas Bag. 7-8 (Tamat)
22. Januar 2015 um 06:18
7 ? Wajah Gagas Kelana terkesiap kaget, tapi perlahan-lahan mengembangkan senyum.
"Agaknya kau terlalu mencurigai kami, Sobat. Mana mungkin kami akan berbuat begitu", Kalian adalah kawan sendiri. Dan kita telah sepakat, bahwa harta benda serta seluruh kekayaan yang ada di sini akan dibagi rata," ujar Gagas Kelana berkilah.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Kita telah taklukkan mereka. Dan kita telah memperoleh apa yang diinginkan! Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?" tanya Ki Muwangkoro.
"Sabarlah, Sobat. Masih banyak yang harus kita temukan di sini. Tidakkah kau lihat, bahwa tempat ini amat menakjubkan?" kilah Gagas Kelana.
"Kami tidak butuh hal-hal lain, Gagas Kelana. Tentukan bagian kami. Dan kami segera akan angkat kaki dari sini!" dengus Ki Muwangkoro.
"Hm.... Kenapa terburu-buru" Apakah kau dan anak buahmu tidak ingin bersenang-senang dulu" Di sini segalanya tersedia. Bahkan wanita-wanita cantik tinggal pilih saja. Lagi pula, beberapa anak buahmu masih belum kembali. Juga beberapa lainnya tengah menemani anak buahku untuk melapor pada si Hiu Perak."
"Kau boleh melapor pada pimpinanmu. Sedang aku tidak kau berikan perahu untuk melapor pada pimpinanku!"
"Sabar, sabar...! Bukankah Ki Seta telah menyerahkan urusan ini pada si Hiu Perak" Dia mempercayainya. Lalu, kenapa kau malah mencurigai kami" Apakah kau sengaja hendak merusak persahabatan yang telah terjalin di antara mereka?"
"Gagas Kelana! Aku tidak pandai bersilat lidah! Harap kau kabulkan saja keinginan kami. Berikan harta bagian kami, termasuk separuh wanita-wanita muda yang mendiami pulau ini. Setelah itu, kami akan angkat kaki dari sini!" sentak Ki Muwangkoro.
"Ha ha ha...! Tenanglah, Sobat. Itu soal mudah. Mana mungkin aku berani mengangkangi harta benda ini semua. Tentu saja akan kita bagi dua. Tapi kalau kau menginginkannya, Ki Seta akan kecewa sekali. Sebab dengan begitu kau telah menyerahkan pulau serta istana yang indah kepada kami...."
Ki Muwangkoro terdiam sesaat. Apa yang dikatakan Gagas Kelana memang benar. Bila dia meninggalkan tempat ini berarti istana serta isinya telah sah menjadi milik si Hiu Perak. Dan kalau pun dia meminta bagiannya segera, bukannya tanpa alasan. Ki Muwangkoro mulai mencium adanya ketidakberesan. Orang-orangnya mulai menghilang satu-persatu. Sementara, anak buah Gagas Kelana seperti mulai menguasai seluruh pelosok pulau ini.
"Bagaimana, Sobat...?" tanya Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum kecil.
"Biar kuputuskan bersama anak buahku...."
"Ha ha ha...! Kau pemimpin mereka. Apa yang kau katakan mereka pasti menurut. Lagi pula, usulku itu tidak buruk. Karena, demi kepentingan kita bersama. Kalau saja aku bermaksud buruk, maka tidak akan kuberitahu padamu tentang hal itu."
Ki Muwangkoro terdiam lagi untuk beberapa saat.
"Sudahlah, lebih baik kau kembali ke tempatmu dan bersenang-senang. Kenapa harus mempersoalkan hal-hal sepele yang bisa menimbulkan perselisihan di antara kita...?" ujar Gagas Kelana.
"Mungkin juga kau benar. Aku permisi dulu...!" sahut Ki Muwangkoro, pendek.
Orang itu segera meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, diiringi senyum Gagas Kelana. Di depan pintu, dia bertemu salah seorang anak buah Gagas Kelana yang hendak ke dalam. Mereka sempat bertegur sapa, namun Ki Muwangkoro terus melangkah keluar.
*** "Kenapa tidak kau suruh aku membereskan orang itu?" tanya anak buah Gagas Kelana seraya duduk seenaknya di dekat pimpinannya.
"Tidak sekarang, Garlika. Kita jangan ceroboh dan tidak boleh seorang pun yang boleh lolos. Mereka harus mati, tanpa menyadari bahwa maut tengah mengintainya!" sahut Gagas Kelana sambil tersenyum-senyum.
"Huh! Sudah muak aku melihat mereka!" dengus laki-laki yang dipanggil Garlika.
"He he he...! Kau ini kenapa tidak bisa bersabar" Kalau terus begini, jangan-jangan kau malah membahayakan kedudukanku"!" kata Gagas Kelana.
"Sial kau. Gagas!" umpat Garlika. "Aku bukan sekadar anak buahmu. Tapi, juga kawanmu sejak kecil. Apakah kau tidak mempercayaiku"!"
"Ha ha ha...! Aku hanya berkelakar, Sobat Aku tahu, di antara kawan-kawanku, kaulah yang paling bisa dipercaya."
"Nah! Lalu, urusan apa kau hendak memanggilku ke sini?"
Gagas Kelana tidak langsung menjawab. Tapi, disuruhnya pergi kedua gadis itu dari ruangan ini lebih dulu.
"Kau tahu, harta di sini cukup banyak. Kita bisa berbuat apa saja dengan harta ini, bukan?" ujar Gagas Kelana, berbisik.
"Benar. Maksudmu, akan kita kelabui saja si Hiu Perak itu?" tanya Garlika seperti kurang percaya.
"He he he...! Kau sungguh pintar, Sobat. Aku telah mengirim orang-orang yang bisa kupercaya menghadap kepadanya. Lalu di sini, pelan-pelan akan kita singkirkan dulu si Muwangkoro beserta anak buahnya. Tapi sebelum itu, aku masih membutuhkan tenaga mereka. Oleh sebab itu, tidak perlu terburu-buru melenyapkan mereka," jelas Gagas Kelana.
"Pintar sekali kau, Sobat!" puji Garlika sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he...!" Gagas Kelana ikut tertawa girang bersamanya.
Pada saat itu muncul seorang dengan tergopoh-gopoh. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.
"Celaka, Kang! Ada seorang pemuda sedang mengamuk!" lapor orang itu.
"Apa"! Kurang ajar! Tangkap dia. Dan, bunuh sekaligus!" sentak Gagas Kelana.
*** "Tapi, Kang.... Pemuda itu kuat sekali. Ba..., banyak anggota kita yang tewas di tangannya...."
"Kurang ajar!" dengus Gagas Kelana menggeram.
Namun sebelum laki-laki itu semakin murka, Garlika cepat berdiri.
"Biar kulihat, siapa bocah itu. Tenang saja. Sobat. Akan kubereskan segera!" ujar Garlika, lalu melangkah lebar meninggalkan ruangan ini.
Memang, apa yang dikatakan orang tadi tidak salah. Sebagian anggota si Hiu Perak kini berkumpul di satu tempat, dan beramai-ramai mengerubuti seorang pemuda berbaju rompi putih. Dan Garlika tidak sempat memperhatikan, kalau anak buah Ki Muwangkoro ternyata tidak ikut membantu. Dia terlalu sibuk melihat korban yang jatuh semakin banyak.
"Berhenti semua! Biar kubereskan bocah ini!" bentak Garlika dengan suara menggelegar.
Saat itu juga, pertarungan berhenti. Sementara para anak buah Gagas Kelana segera menyingkir dan memberi jalan pada Garlika begitu mengetahui siapa yang muncul. Dan Garlika memandang sinis pada pemuda yang dikeroyok. Perlahan-lahan didekatinya dengan sikap mengancam.
"Bocah busuk! Kau cari mati berani datang ke sini!" desis Garlika geram.
"Tidak usah banyak mulut! Kedatanganku ke sini justru ingin mencabut nyawa busuk kalian semua!" sahut pemuda berbaju rompi putih itu, dingin. Dia tak lain memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Setan!" bentak Garlika geram.
Sret! Laki-laki berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu langsung mencabut golok panjang dari pinggang.
"Mampus kau! Yeaaa...!"
Disertai teriakan keras, Garlika meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti dengan sabetan goloknya.
Tapi yang dihadapi Garlika adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pendekar tingkat atas. Dengan pedang di tangan yang berhasil direbutnya dari tangan salah seorang lawan, Rangga menangkis senjata Garlika.
Trang! Begitu habis terjadi benturan, Pendekar Rajawali Sakti cepat menyerang ganas.
Sedangkan Garlika terkesiap. Ujung pedang itu nyaris menebas lehernya kalau tidak cepat melompat ke belakang. Dan baru saja menjejakkan kaki, serangan Pendekar Rajawali Sakti telah datang lagi.
Dengan sebisanya, Garlika menangkis dengan golok panjangnya.
Namun Garlika kontan meringis, begitu telapak tangannya terasa linu dan sakit sekali sehabis menangkis Dan dengan kerepotan, dia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindari tebasan senjata Pendekar Rajawali Sakti yang bertubi-tubi.
"Heaaat...!"
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melompat dan mengejar Garlika yang bergulingan menghindarkan diri dari sambaran pedangnya.
"Hup!"
Dan baru saja Garlika bangkit, satu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya.
Des! "Akh...!"
Garlika memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Dan sebelum sampai menyentuh tanah, senjata Pendekar Rajawali Sakti meluncur dengan serangan kilat.
"Hiiih!"
Bles! "Aaa...!"
Gerakan Pendekar Rajawali Sakti cepat sekali. Bahkan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak mampu mengikuti dengan pandangan mata. Yang terlihat, tahu-tahu pedang pemuda itu menancap di jantung Garlika.
Tubuh Garlika terhempas ke belakang dengan darah mengucur deras dari luka di dada kiri. Nyawanya lepas beberapa saat kemudian.
"Siapa yang ingin menyusul, maju ke sini!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Pandangan mata Rangga tajam mengawasi mereka satu-persatu. Dan untuk sesaat tampak mereka ragu-ragu melanjutkan serangan. Tapi sejurus kemudian, mungkin orang-orang itu menyadari kalau jumlah mereka banyak. Maka saat itu juga terdengar teriakan beberapa orang yang melompat menyerang Rangga secara serentak.
"Heaaat...!"
"Yeaaa...!"
"Huh!"
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam jika tak ingin celaka. Sebelum mereka sempat melayangkan senjata, maka Rangga telah lebih dulu berkelebat menyerang dengan pengerahan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Sementara pedang di tangannya berkelebat bagai kilat, menyambar-nyambar.
Trang! Trak! Cras! Bret! "Aaa...!"
Korban-korban kembali berjatuhan. Namun begitu mereka terus bersemangat menyerang tanpa mengenal rasa takut. Sedangkan Rangga sendiri agaknya betul-betul ingin menunjukkan pada mereka, kalau mampu bertindak kejam. Sehingga, pedangnya seperti tidak bermata dan menyambar siapa saja yang berada di dekatnya.
Pada saat kemudian, mereka dikejutkan teriakan-teriakan nyaring dari arah lain. Beberapa orang anak buah Gagas Kelana tersungkur berlumuran darah. Tentu saja hal itu membuat mereka terkejut. Terlebih lagi ketika mengetahui bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan itu.
"Keparat! Mereka orang-orangnya Ki Muwangkoro!" seru salah seorang anak buah Gagas Kelana.
"Singkirkan mereka!"
"Bunuuuh...!"
Pasukan itu terpecah menjadi dua bagian. Tapi, Rangga agaknya tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Pemuda itu kembali mengamuk, untuk mengejutkan mereka.
"Heaaa...!"
Tring! Breeet! "Aaa...!"
Beberapa orang kembali ambruk bermandikan darah disambar pedang Rangga. Sehingga membuat yang lainnya semakin kalut. Sebab dengan begitu, anak buah Ki Muwangkoro akan terus menghajar mereka habis-habisan.
"Aaa...!"
Dalam pada itu kembali terdengar jerit kematian dari mana-mana. Dan banyak di antara anak buah Gagas Kelana yang tewas menemui ajalnya. Kali ini mereka dikagetkan, sebab yang menyerang adalah pasukan yang terdiri dari wanita. Penduduk asli pulau ini!
*** Dengan adanya serangan-serangan mendadak dalam waktu dekat membuat anak buah Hiu Perak yang berada di bawah pengawasan Gagas Kelana kocar-kacir. Sebagian malah terbirit-birit melarikan diri menyerbu pantai dan berebutan mencari perahu-perahu. Sementara, yang terjebak dalam kepungan itu melawan mati-matian.
"Yeaaa...!"
Pada saat itu juga mencelat sesosok tubuh, dan langsung menghantam anak buah Ki Muwangkoro.
Crass! Cras! "Aaa.... Akh!"
Dua orang tewas seketika ditebas pedang panjang milik orang itu. Tapi ketika hendak menyerang lawan yang lain, Pendekar Rajawali Sakti telah melompat menangkis.
Trang! Wuuut! "Uhhh...!"
Sosok itu kontan terkesiap. Tangannya bergetar setelah menangkis senjata yang dipegang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kaukah pemuda pengacau itu"!" dengus sosok ini geram.
"Bukan. Kau salah duga. Aku malaikat maut yang hendak mencabut nyawamu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
Pada saat itu Ki Muwangkoro muncul dengan pedang masih berlumur darah.
"Sobat muda! Serahkan keparat Gagas Kelana itu padaku! Dia telah membunuh anak buahku!" dengus Ki Muwangkoro geram.
"Ki Muwangkoro! Apa-apaan ini"! Kau malah membela pemuda ini, dan bukannya bersatu denganku"!" hardik sosok yang ternyata Gagas Kelana.
"Gagas Kelana! Tidak perlu menjelaskan lagi. Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi kali ini, aku tidak mau tertipu olehmu. Seorang anak buahku telah kembali. Dia menceritakan, bagaimana niat busukmu! Kau sertakan anak buahku mencari ratu mereka, tapi ternyata hal itu hanya siasat busukmu! Kau perintahkan anak buahmu membunuh mereka. Maka, kini aku menagih nyawa mereka dengan kepalamu!" sahut Ki Muwangkoro lantang.
Kelihatan sekali kalau Ki Muwangkoro tidak bisa menahan amarahnya. Langsung diserangnya Gagas Kelana dengan satu kelebatan yang cepat bagai kilat.
"Mampus kau!"
"Uts!"
Gagas Kelana berkelit gesit. Kemudian senjatanya dikibaskan cepat balas menyerang. Namun, Ki Muwangkoro yang tengah diliputi amarah, dengan gerakan tidak kalah gesit cepat mengelak. Saat itu juga pertarungan sengit terjadi.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak peduli pada pertarungan. Dia kembali menghajar anak buah Gagas Kelana.
"Heaaa...!"
Trang! Bret! Cras!
"Aaa...!"
Pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mencari korban. Dua orang tewas seketika dengan leher nyaris putus. Dan seorang lagi menyusul dengan pinggang robek.
"Hup! Yeaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti terus melompat ringan, mendekati satu orang dari pasukan yang terdiri dari para wanita itu. Dia bermaksud melindungi dari serangan.
"Maaf, Kembang Taji...! Aku sedikit lengah, sehingga lupa tanggung jawabku...!" ucap Rangga seraya mengibaskan pedang, ketika ada dua serangan datang.
Trak! Cras! "Aaa...!"
Dua orang yang berada di dekatnya kontan memekik kesakitan ketika pedang Pendekar Rajawali Sakti menebas leher.
"Tidak apa. Aku mampu melindungi diriku...," sahut sosok yang tak lain Kembang Taji.
"Sudah bertemu Guru Suci serta para Guru Tua?"
"Sudah."
Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Syukurlah."
Sementara itu. Kijang Merah bertempur dengan semangat menyala-nyala. Banyak musuh yang tewas di tangannya. Sedangkan para prajurit yang lainnya yang tadi dibebaskan, kini melampiaskan dendam pada orang-orang Gagas Kelana yang berbuat sesuka hatinya pada mereka. Sehingga begitu ada kesempatan membalas, maka mereka pergunakan sebaik-baiknya.
Anak buah Gagas Kelana agaknya tidak punya nyali lagi untuk bertahan dari serangan. Mereka yang masih sayang dengan nyawanya, berusaha menyelamatkan diri dan kabur dari tempat itu.
"Kejar! Jangan biarkan seorang pun dari mereka lolos!" teriak Kijang Merah, memberi perintah pada anak buahnya.
Maka dengan serta-merta para prajurit wanita itu mengejar orang-orang itu ke mana pun mereka pergi. Meskipun panglima mereka tidak memberi perintah, tetap saja gadis-gadis itu akan mengejar dan membinasakan lawan-lawannya. Bahkan sampai yang tengah berperahu pun dikejar dan diserang dari bawah laut.
Sedangkan sisanya, menjadi bagian anak buah Ki Muwangkoro. Mereka pun agaknya punya dendam yang sama meski kejadiannya berbeda. Orang-orang itu merasa dikhianati, setelah mengetahui kalau kawan-kawan mereka dibantai orang-orang yang selama ini dianggap kawan sendiri.
"Hm.... Agaknya semua berjalan sesuai rencana...," ujar Kembang Taji sambil tersenyum kecil.
"Syukurlah...," sahut Rangga.
Anak buah Gagas Kelana tinggal sedikit saja. Demikian pula anak buah Ki Muwangkoro. Sedangkan pimpinan mereka saat ini tengah terlibat pertarungan, ditonton Pendekar Rajawali Sakti dan yang lainnya.
*** 8 ? Seperti dua orang musuh yang saling melepaskan dendam kesumat masing-masing, Gagas Kelana yang memang sejak semula ingin menyingkirkan Ki Muwangkoro, sudah barang tentu tidak mau mengalah begitu saja. Demikian pula sebaliknya Ki Muwangkoro. Orang itu merasa dikhianati. Padahal, Gagas Kelana sudah dianggap sebagai kawan. Sehingga, dendamnya semakin bergejolak dan tidak dapat ditahan lagi.
Kepandaian mereka sebenarnya seimbang. Sehingga sulit untuk menentukan, mana yang lebih unggul. Tidak heran kalau keduanya sama-sama mengalami luka parah yang cukup seimbang.
"Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?" tanya Kembang Taji.
"Tidak usah ditangkap atau dipisahkan. Untuk sementara, biarkan mereka saling baku hantam. Kita kumpulkan saja anak buah Muwangkoro itu ke sini."
"Prajurit-prajuritku segera melakukannya!"
Kembang Taji segera memberi isyarat pada seorang prajurit, lalu mereka bicara sebentar. Kemudian, prajurit itu segera berlalu.
Sementara menunggu, mereka kembali melihat pertarungan antara Gagas Kelana melawan Ki Muwangkoro. Keduanya sama-sama jatuh lemas. Gagas Kelana mendapat luka di pinggang, sedang perut Ki Muwangkoro robek disambar senjata. Meski begitu keduanya masih berusaha bangkit dan bermaksud menghabisi.
"Keparat kau. Gagas! Aku tidak akan puas sebelum kau mati!" desis Ki Muwangkoro.
"Huh! Kau kira bisa menghabisiku, Setan! Kaulah yang akan mampus di tanganku!" balas Gagas Kelana.
"Uhhh...! Hiiih!"
Ki Muwangkoro mengkertak rahang, lalu mengibaskan pedangnya. Namun Gagas Kelana cepat dapat menangkisnya.
Trang! Pedang itu terus bergeser, menyambar pangkal leher Gagas Kelana.
Crasss! Pada saat yang sama senjata Gagas Kelana menghunjam dalam ke jantung kiri Ki Muwangkoro.
Bles! "Aaah...!"
Keduanya sama-sama terpekik. Gagas Kelana lebih dulu roboh dengan kepala nyaris putus. Sementara, Ki Muwangkoro terhuyung-huyung ke belakang samba memegangi pedang yang menancap di dadanya.
"To..., tolong...," ujar Ki Muwangkoro lemah, seraya menggapai-gapaikan tangan.
Rangga buru-buru mendekat, pura-pura memeriksa lukanya. Namun baru saja memegang tubuh Ki Muwangkoro, orang itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir. Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng lemah dan merebahkannya pelan-pelan ke tanah.
Pemuda itu kemudian bangkit berdiri, lalu menatap agak lama pada mayat itu. Kemudian kepalanya berpaling. Beberapa anak buah Ki Muwangkoro yang berada di tempat itu, buru-buru menghampiri jenazah pemimpinnya.
"Kisanak! Kami mengucapkan terima kasih atas bantuanmu...," ujar salah seorang anak buah Ki Muwangkoro yang tak lain Panjalu.
Memang dari Panjalu-lah Ki Muwangkoro serta yang lainnya mengetahui kalau mereka telah dikhianati Gagas Kelana.
"Kau juga membantu kami. Nah, mewakili mereka aku pun mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu dan kawan-kawanmu," sahut Rangga.
"Kami akan angkat kaki dari pulau ini sekarang juga...," suara Panjalu terdengar lesu.
Wajah Pendekar Rajawali Sakti mendongak ke atas. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat Dan di sekitar tempat ini, obor-obor telah dinyalakan sebagai penerangan.
"Kurasa Ratu Kembang Taji tidak keberatan, kalau kau dan kawan-kawanmu menginap barang semalam...," kata Rangga.
"Kalian boleh menginap satu malam ini. Lalu, besok pagi pergilah! Kami akan menyiapkan perahu-perahu untuk kalian!" sahut Kembang Taji cepat.
"Terima kasih, Ratu. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali!"
"Dan, ingat! Jangan coba-coba mempermainkan rakyat serta para prajuritku. Kecuali, mereka suka dengan sendirinya. Bila ada saja yang berani mengganggu, maka aku tidak akan segan-segan menghukum pancung kepala kalian!"
"Aku akan ingat hal itu. Sang Ratu...."
Kembang Taji memberi isyarat, pada lima prajurit. Maka mereka segera mengajak Panjalu dan kawan-kawannya untuk beristirahat.
"Hm.... Kau memang seorang ratu yang bijaksana," puji Rangga.
Kembang Taji tersenyum.
"Aku belajar banyak dari pengalaman. Juga dari Guru Suci. Aku belajar untuk bersikap arif pada musuh," jelas Kembang Taji.
"Rakyat serta seluruh penghuni negeri ini pasti suka padamu."
"Terima kasih...."
Sementara itu, Panglima Kijang Merah telah kembali bersama Guru Suci dan para Guru Tua, serta Nenek Kampar Ilir. Kembang Taji segera memberi hormat pada mereka. Demikian pula Rangga.
"Hm.... Inikah pemuda gagah yang telah membantu kita?" tanya Guru Suci dengan suara bergumam dan bibir tersenyum.
*** "Guru Suci! Masih ingatkah kau dengan salah satu ketentuan di kerajaan ini?" tanya salah seorang dari Guru Tua yang berjumlah lima orang.
"Hm, tentang apa itu?" Guru Suci malah balik bertanya.
"Setiap laki-laki yang berjasa bagi negeri, maka derajatnya akan kita tinggikan...."
"Ya, aku ingat itu."
Guru Suci memandang Pendekar Rajawali Sakti. Lalu diusapnya kening dan dahi Rangga.
"Dengan berkatku, mana kutinggikan derajat serta martabatmu, Anak Muda!" seru Guna Suci.
"Terima kasih. Aku senang sekali dengan pemberkatan kalian. Tapi harap tidak salah mengerti. Aku berasal dari dunia luar. Dan selama ini, selalu berpendapat bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama. Ada pun mereka yang hina adalah yang melakukan kejahatan...," ucap Rangga, kalem.
"He he he...! Benar sekali kau, Anak Muda...!" seru Nenek Kampar Ilir. "Tapi seperti yang telah kau katakan, kau dari dunia luar. Maka di sini, hal itu penghargaan yang tiada tara. Kau diberkati langsung oleh Guru Suci!"
Rangga terdiam sejenak.
"Ya, mungkin Nenek ini ada benarnya," ucap Pendekar Rajawali Sakti lirih.
"Nenek Kampar Ilir adalah penasihatku, sekaligus penasihat kerajaan...," jelas Kembang Taji.
"O, ya" Pantas. Kata-katanya sungguh bijaksana!" seru Rangga seraya tersenyum.
Tapi Nenek Kampar Ilir sama sekali tidak tersenyum. Orang tua itu malah menatap tajam kepada Pendekar Rajawali Sakti.
"Anak Muda, hati-hati bicaramu! Kau berada di pulau ini, dan segalanya harus pakai aturan!" desis Nenek Kampar Ilir.
"Nenek Kampar Ilir! Terima kasih atas nasihatmu. Aku bisa menjaga diriku sendiri!"
Setelah berkata begitu, Nenek Kampar Ilir melengos dan meninggalkan tempat ini.
Guru Suci serta para Guru Tua jadi tidak enak hati. Terlebih lagi Kembang Taji. Agaknya antara pemuda itu dengan Nenek Kampar Ilir tidak saling cocok. Namun begitu, sebagai seorang ratu, dia harus bertindak bijaksana. Maka dengan ramah diajaknya, Pendekar Rajawali Sakti masuk ke dalam istana.
Tapi tidak berapa lama. Guru Suci serta para Guru Tua meninggalkan mereka berdua. Menyusul, Panglima Kijang Merah serta para prajurit lainnya yang tadi mengikuti.
"Kenapa mereka pergi...?" tanya Rangga heran.
"Mereka merasa malu denganmu...."
"Malu kenapa?"
"Seorang laki-laki, ternyata menjadi dewa penolong kami. Padahal negeri ini telah telanjur menganggap rendah derajat laki-laki. Lalu ketika Guru Suci memberi, anugerah, ternyata Nenek Kampar Ilir seperti tidak setuju. Dan yang lebih membuat mereka malu, karena kau pun ternyata tidak mau menerima anugerah itu," jelas Kembang Taji.
Rangga terdiam, dan mengerti apa yang terjadi. Pemuda itu merenung beberapa saat.
"Maaf.... Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu," ucap Rangga, lemah.
*** Kembang Taji tidak menjawab. Gadis itu terdiam. Pikirannya menerawang entah ke mana. Rangga menunggu beberapa saat. Dan ketika gadis itu belum juga berpaling, pemuda ini memberanikan diri untuk membuka pembicaraan lagi.
"Mungkin kehadiranku di sini tidak diperlukan lag...."
"Eh, apa" Oh, maaf! Aku tidak bermaksud membuatmu susah!" ucap Kembang Taji.
"Aku telah cukup menyusahkan kalian, bukan?" tanya Rangga.
Kembang Taji tidak langsung menjawab. Gadis itu menarik napas agak panjang.
"Kita berasal dari dunia yang berbeda. Baik adat istiadat dan kebiasaan. Sehingga setiap benturan yang terjadi, hendaknya bisa disadari dan tidak menimbulkan pertikaian. Apalagi sampai menciptakan permusuhan. Rangga! Aku tidak pernah berpikir bahwa kau menyusahkan. Bahkan dengan jujur kukatakan, bahwa kau adalah pahlawan kami. Semua orang di negeri ini pasti akan mengingat dan mengenangmu," tutur Kembang Taji, lirih.
"Terima kasih...," desah Rangga, halus.
"Kau tidak merasa tersinggung, bukan?"
Rangga tersenyum. Sebagai seorang yang hidup di lingkungan yang tidak menghargai arti laki-laki, rasanya agak janggal bila Kembang Taji menanyakan perasaannya. Tapi sebagai seorang ratu, agaknya Rangga bisa menilai bahwa gadis ini lebih arif ketimbang yang lainnya.
"Tidak," jawab Rangga, singkat.
"Syukurlah...."
"Eh, aku sampai lupa! Bagaimana anak buah Gagas Kelana?"
"Para prajuritku telah membereskan mereka!"
"Tapi sayang, sebelumnya mereka sempat bertolak. Mungkin saat ini, si Hiu Perak tengah mempersiapkan armada untuk menyambut kemenangan anak buahnya."
"Ya! Aku pun tengah memikirkan hal itu," sahut Kembang Taji masygul. "Jumlah prajurit kami berkurang banyak. Dan rasanya tidak akan sanggup menahan seandainya mereka menyerang kembali...."
"Ya, aku bisa mengerti. Mestinya Ki Muwangkoro dan anak buahnya bisa kita manfaatkan. Tapi kalau mereka tidak kembali, pemimpinnya tentu akan bertanya-tanya. Dan bukan tidak mungkin, akan bertolak ke sini," kata Rangga.
"Aku jadi merasa bahwa kemelut ini akan semakin kacau dan tak ada akhirnya," desah Kembang Taji.
"Kau ingin aku membantumu lagi?"
"Aku sungkan untuk memintanya."
"Aku akan membantu kalian tanpa diminta."
Kembang Taji terdiam sesaat.
"Bagaimana caramu membantu kami?"
"Malam ini juga, akan kupastikan kalau atasan Ki Muwangkoro mengetahui kalau mereka telah dikhianati kawannya sendiri. Dengan begitu, kuharap mereka akan saling berperang!"
"Bagus sekali! Tapi, bagaimana caranya?"
"Akan kubawa Ki Muwangkoro menghadap pemimpinnya malam ini juga!"
"Malam ini" Bagaimana mungkin" Perairan di sekitar pulau ini sering mengganas di malam hari. Kalian tidak akan selamat. Lagi pula, hal itu memerlukan waktu cukup lama!" tanya Kembang Taji, heran.
"Tidak usah khawatir...," sahut Rangga, enteng.
"Maksudmu?"
"Sudahlah.... Yang jelas setelah aku berhasil meyakinkan pemimpin mereka aku tidak bisa kembali lagi," kata Rangga.
Kembang Taji terkesiap. Dipandanginya pemuda itu sejurus lamanya, seperti tidak percaya akan pendengarannya tadi.
"Kau..., kau akan pergi meninggalkan kami...?"
"Kehadiranku di sini hanya untuk membantu kalian. Bila segalanya telah selesai, maka aku harus pergi. Banyak orang lain yang mungkin memerlukan pertolonganku," sahut Pendekar Rajawali Sakti sambil tersenyum.
"Berarti kita tidak akan bertemu lagi?"
"Kita akan bertemu bila panjang umur. Dan kau bisa saja menemuiku kapan saja kau suka!"
"Di mana?"
"Di sebuah negeri bernama Karang Setra. Negeri itu terletak di tanah Jawadwipa di bagian timur. Bila kau mendarat di pulau besar yang berada di utara itu, maka teruslah ke timur. Bila menunggang kuda, maka akan tiba empat hari perjalanan setelah diselingi istirahat," jelas Rangga.
"Karang Setra" Hm.... Aku akan mengingatnya. Orang-orang di sana pasti akan mengenalmu?" tanya Kembang Taji.
"Ya! Mereka akan kenal Pendekar Rajawali Sakti."
"Pendekar Rajawali Sakti" Begitukah mereka memanggilmu?"
"Begitulah orang-orang persilatan memanggilku," sahut Pendekar Rajawali Sakti.
Kembang Taji tersenyum kecil.
"Aku berangkat sekarang. Akan kupastikan segala sesuatunya beres. Dan tidak usah khawatir. Sebab bila pemimpin Ki Muwangkoro tidak mau kuhasut, akan kuhancurkan mereka. Juga, si Hiu Perak itu," tandas Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih...."
Rangga segera meninggalkan tempat itu untuk menemui Ki Muwangkoro, lalu pergi meninggalkan pulau ini sekarang juga.
Sementara Kembang Taji masih memperhatikan pemuda itu dari jendela kamarnya. Wajah gadis itu tampak muram. Bola matanya berkaca-kaca. Dan entah kenapa, kedua pipinya terasa hangat ketika beberapa tetes air mata membasahi. Entah apa yang dirasakannya saat ini.
? SELESAI ? Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya:
? WANITA IBLIS ? ? ? Scanned by Clickers
? Kembali ke Bagian 4-6
? Istana Tulang Emas
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Keris Pusaka Nogopasung 1 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Jala Pedang Jaring Sutra 6