Pencarian

Merantau Ke Deli 2

Merantau Ke Deli Karya Hamka Bagian 2


Tidak kah engkau fikirkan sampai pada urusan dia tidak akan beranak itu waktu dia akan engkau nikahi " tidak kah engkau fikirkan bahwa perempuan-perempuan kebun itu memang tak dapat beranak lagi, kalau sudah banyak suaminya yang lain " sekarang baru engkau ingat akan hal itu, setelah perempuan itu taubat dalam tangan mu, telah menjadi orang baik-baik. Cobalah fikirkan, bagaimana perbuatan mu itu namanya, Leman " Leman termenung dan menggelengkan kepala. Perkataan-perkataan itu termakan rupanya.
Bagaimana " tanya Bagindo Kayo pula.
Sayang& & surat sudah terkirim mengabulkan pintaknya orang di rumah. Bagindo Kayo terkejut mendengarnya.
Sudah lamakah surat itu engkau kirimkan "
Kira-kira sudahlah akan sampai di kampung , jawab Leman.
Kalau memang hati mu enggan beristri seorang lagi, itu pekara gampang. Sebab tali kawat antara Medan dan Minangkabau belum diputuskan angin , jawab Bagindo Kayo pula.
Leman kembali termenung. Melihat wajah Leman dia sendiri yang berkehendak rupanya beristri seorang lagi itu, sedang dia meminta buah fikiran kepadanya hanya karena memperlihatkan hati yang meluap saja, Bagindo Kayo pun mengalih pembicaraan ke soal lain. Dia tersenyum sambil menepuk punggung Leman pengobat hatinya :
Ah& & perkara gampang. Perkataan saya Cuma olok-olok saja. Beristri satu lagi, habis pekara ! mudah-mudahan dapat anak Heem& .. dan memang Poniem sudah agak tua. Lagi pula kalau dia fikirkan panjang sebagai perkataan saya itu, tidak ada orang beristri dua di dunia ini, akhirnya banyak perempuan yang terlantar& ! Serahkan saja kepada Tuhan, habis pekara !
Harga kopi dihitung dan dibayar oleh Leman, mereka pun keluarlah dari situ.
08. Surat Dari Kampung Benarlah apa yang disangka Bagindo Kayo, bahwa Leman meminta berbicara dengannya itu hanyalah semata-mata untuk menumpahkan perasaan hatinya yang sangat tertutup itu. Kalau tidak demikian, mengapa dia berdusta mengatakan bahwa surat itu telah lama dikirimkannya, sudah patutlah sampai dikampung, padahal baru hari itu masuknya ke pos.
Setelah lebih dari sepuluh hari ditunggu-tunggunya dengan dada berdebar dan kadang-kadang timbul juga sesal dalam hati, datanglah opas pos mengantarkan sepucuk surat dari kampung. Surat itu dibukanya dengan tangan gemetar, dengan harap dan cemas, harap akan keuntungan yang terisi dalamnya dan cemas akan keadaan yang akan ditempuhnya. Isi surat itu menerangkan sudah dapat kebulatan, baik pihak Leman atau Mariatun. Mariatun akan diantarkan oleh seorang mamaknya ke Deli, dan pernikahan akan dilangsungkan di Deli saja. Mereka akan datang seminggu lagi.
Leman tersenyum membaca surat itu, tetapi lama-lama senyumnya terhenti dan dadanya berdebar kembali, memikirkan bagaimanakah dia akan menyampaikan hal itu kepada Poniem " Akan di sampikan dengan terus terangkah " Jika dia menyanggah, jika dia melawan, jika dia tidak setuju dipermadukan " Tetapi sebaliknya, jika dia tidak membantah, hanya air matanya saja yang titik bagaimana pulakah " Tidak kah akan hiba hatinya melihat perempuan itu menangis " Atau kejadian pula sebaliknya lagi, melepas dengan hati yang suci dan muka cernih, dia suka dipermadukan. Alangkah besarnya korban yang akan ditempuh oleh perempuan itu !
Hari telah dekat, seminggu lagi, dan besok harinya tentu sudah tinggal enam hari, setelah itu tinggal lima hari, tinggal empat dan seterusnya, Mariatun nyata akan datang, dimanakah akan diletakkan, kemana akan dibawa " Akan di sembunyikan saja kah kepada istrinya yang tua " Padahal tidak ada hal yang demikian yang akan dapat disembunyikan, apalagi di negeri kecil, apa akal "
Tinggal tiga hari lagi. Maka di beranikannya saja hatinya. Kira-kira pukul sepuluh malam sebelum masuk tidur, di ajaknyalah istrinya duduk bercakap-cakap.
Poniem, kemarilah engkau duduk !
Poniem duduk ke kursi dengan penuh kepercayaan dan tak menyangka apa-apa.
Ada yang akan kanda bicarakan dengan engkau .
Apa kah agaknya " tanya Poniem dengan sedikit keheranan.
Oh, & & . Ru& & .. rupa-rupanya kakanda sudah di desakkan oleh orang kampung supaya& .. supaya kakanda suka& & kawin seorang lagi ! Jadi & .. sekarang ini sengaja kakanda hendak meminta fikiranmu, engkau ijin kan apa tidak "
Poniem masih menyangka bahwa suaminya hanya bermain-main saja. Lalu dengan cepat saja di jawabnya :
Kawinlah seorang lagi, siapa pula yang melarang , katanya tersenyum.
Ini, & & ini cakap kanda ini, sebetulnya Poniem, tidak bersenda gurau. Orang kampung menyesakkan agar kawin seorang lagi. Mereka katanya hendak mengantarkan seorang perempuan kemari, tiga hari lagi akan menjadi istri kakanda. Sebab itu pada malam ini kakanda sebenarnya hendak meminta pertimbangan mu, engkau ijin kan apa tidak "
Melihat suaminya yang bercakap sungguh-sungguh itu, Poniem pun sebelum sanggup lagi menyambung pembicaraannya. Hanya dilihatnya saja muka suaminya tenang-tenang, seakan-akan dia tidak percaya, seakan-akan masih disangkanya bahwa percakapan itu hanya main-main belaka. Dilihatnya, lagi sekali dilihatnya dan di tatapnya muka Leman, bertambah di lihatnya muka laki-laki yang laksana mengemis itu, teringatlah kembali sumpah yang di ucapkan Leman dihadapannya, ketika Leman mengajak lari kawin dahulu. Sumpah itu akan di berikannya seberat bumi dan langit, cuma Poniem juga yang menghambat. Itu kah laki-laki yang beberapa tahun yang lalu membujuk-bujuknya, mengatakan akan sehidup semati, yang kepadanya segenap kepercayaannya telah dilimpahkannya, bahwa dia lah yang akan menjadi suami, jadi junjungan, jadi ganti ibu bapak. Sekarang dihadapannya pula dia sebagai mengemis-ngemis, mengatakan akan beristri seorang lagi, tiga hari lagi, dengan orang kampungnya sendiri, dan akan dibawa pula ke tempat tinggal dengan dia "
Dia belum menjawab, karena belum percaya. Belum disangkanya sedikit juga, laki-laki yang telah bertahun-tahun bergaul, yang telah sehidup semati, yang kepadanya segenap kepercayaannya, akan berputar haluan selekas itu.
Bermimpikah saya katanya dalam hatinya sambil menatap muka suaminya juga. Dia masih tersenyum, tetapi matanya melihat dengan penuh keheranan.
Bagaimana Poniem " tanya Leman dengan tiba-tiba, sehingga keheningan beberapa saat itu menjadi hilang dan Poniem terkejut.
Akan& ber& . Beristri seorang lagi " tanyanya pula menegaskan.
Iya ! jawab Leman, tetapi wajahnya tidak lagi sebagai pengemis, melainkan sebagai terbayang suatu pertentangan.
Iya,& & . Beristrilah, siapa pula yang melarang , hujar Poniem pula. Tetapi nyata badannya gemetar dan dadanya berombak-ombak, seakan-akan ada seseuatu yang ditahannya. Dia segera berdiri dari tempat duduknya, dia hendak segera pergi ketempat tidurnya. Tetapi dengan segera pula Leman memegang tangannya : Duduklah dahulu Poniem, jawab mu itu belum memuaskan hatiku. Apakah engkau melepaskan aku beristri seorang lagi dengan rela& . Dengan serela-rela hati mu " Mengapa engkau berdiri saja sebagai merajuk, pada hal selama ini belum pernah engkau berbuat begitu " Sudah lebih lima tahun kita bergaul. Ijin kan engkau apa tidak " Katakanlah terus terang Yem !
Ditariknya tangannya sekuat-kuatnya dari pegangan suaminya, dan dengan segera dia pergi ke tempat tidur. Sampai disana dihempaskannya kepalanya diatas bantal yang lunak itu. Disanalah dilepaskannya segenap air matanya yang tertahan. Karena kekuatan orang perempuan dan persediaannya yang menghabiskan hanyalah air mata itu jua.
Leman termangu saja melihat. Dia heran mengapa begitu sifat istrinya, selama ini patuh menurut, tidak membantah, sekarang telah melawan. Dia hanya heran melihat perobahan istrinya, dia tidak heran bahwa selama ini hanya Poniem istrinya, sekarang hendak di dua kannya. Dia tidak heran akan perobahan haluannya sendiri.
Mula-mula dia berdiri kebinggungan. Sikap apakah lagi yang akan dilakukannya selihat istrinya menangkupkan mukanya keatas bantal dan terus menangis terisakisak. Mula-mula dia diam-diam saja, lalu dengan berangsur-angsur dia naik ketempat tidur. Sepicing matanya haram nak tidur karena fikirannya amat kusut mengahadapi langkah yang pertama ini, selintas-lintas mau juga fikirannya mengundurkan perkawinan yang kedua kali itu, tetapi datang pula himpitnya : Mana bisa. Orang telah bersiap dikampung dan akan datang segera. Hal ini bisa ku selesaikan , katanya.
Kira-kira dua jam kemudian tidak kedengaran lagi tangis Poniem, meskipun bantal telah basah oleh air mata. Setelah nyata bahwa tangis itu telah undur, barulah Leman hendak memulai pembicaraannya kembali. Dan oleh Poniem sendiri rupanya masa yang dua jam itu telah digunakan untuk membulatkan hati dan fikiran, sehingga lantaran air mata sudah habis keluar, mudahlah menyusun kata. Dia menelentang kembali baik-baik, air matanya tak ada lagi.
Sudah lepas terkejutnya Poniem " tanya Leman.
Poniem tidak menjawab, tetapi mukanya telah tenang kembali.
Memang saya terkejut mendengarkan perkataan kakanda itu. Sudah lazimnya saya terkejut, karena tidak saya sangka-sangka bahwa Abang akan beristri seorang lagi. Masih rasa-rasa kemarin, saya mendengar Abang berjanji bahwa diri saya akan Abang pelihara betul-betul. Hati saya tidak akan Abang kecewakan. Hanya Abang tempat saya bergantung dunia akhirat. Ketika Abang hendak bersumpah, ku halangi, ku tegahkan .
Memang Abang pun ingat akan sumpah itu. Tetapi bagaimanakah akal kita, orang kampung sangat keras meminta Abang supaya kawin seorang lagi. Kalau Abang tak mau, mereka katanya akan berkerat-keratan rotan dengan Abang, tidak akan mengakui bersaudara lagi .
Ah& .. itu Cuma dalih saja, lain tidak. Karena hal itu putusannya hanya ditangan Abang juga. Abang seorang laki-laki, masakan ada orang lain yang akan menguasai kalau Abang tidak mau. Akan bersudah-sudah berfamili, akan berkeratkeratan rotan, kalau tak mau beristri seorang lagi, itu Cuma cakap angin . Leman terdiam mencari jawab yang baru. Poniem menyambung pula :
Adinda tidak susah atau marah kalau bermadu, akan berdua dalam rumah tangga ini dengan perempuan lain, apalagi perempuan itu lebih karib, sekampung sehalaman dengan Abang, sedang saya ini hanya orang jauh, orang lain .
Jangan begitu bercakap Poniem, maksud ku tidak sampai kesana , ujar Leman pula.
Meskipun maksud Abang tidak sampai kesana, tetapi kejadian telah menyampaikan kesana .
Leman termenung pula. Saya tak menghalangi Abang beristri seorang lagi, apalagi dengan orang kampung sendiri, lebih-lebih akan putus pula berfamili kalau saya halangi. Manakah saya bisa menghalangi. Lagi pula saya telah biasa bermadu. Masa dalam tangan Mandor besar dahulu, enam orang madu saya. Dalam permaduan itulah saya Abang ambil .
Jadi apa yang engkau tangiskan tadi, kalau betul engkau sudi membiarkan kanda kawin seorang lagi "
Oo, Abang ! banyak& & banyak sekali yang teringat oleh ku. Kian lama saya menangis, kian banyak yang terupa, sehingga air mataku jatuh tak tertahan-tahan. Pertama, sudah terbayang-bayang di muka saya bagaimana kesengsaraan yang akan kita tempuh, yang berat dan ringannya akan terpikul di atas pundak Abang sendiri. Akan sanggupkah Abang beristri seorang lagi " Bukankah menurut adat kampung halaman Abang sendiri, sebagaimana adinda lihat sewaktu kita pulang, seorang laki-laki kemanapun dia merantau, maka hasil pencariannya itu mesti Abang cukupkan, apalagi hawa nafsu istri sendiri. Dia meminta sawah dan rumah, meminta perkakas gelang dan perhias-hiasan yang lain. Dan dia tidak akan tahu dari mana Abang memeras tenaga untuk keperluannya itu. Selama ini istri Abang hanya adinda seorang, dinda tidak mengharapkan uang atau harta benda Abang. Berilah adinda sehelai selimut penutup badan, berilah sepertegak kain penutup tubuh, beroleh nasi setempurung pagi setempurung petang, cukuplah itu bagi ku.
Tetapi kalau Abang beristri seorang lagi, apalagi dia lebih muda, sekampung pula, Abang akan sengsara, percayalah ! lain gayanya dinda lihat, berbeda benar tanggung jawab orang perempuan di negeri Abang dengan di negeri kami .
Poniem terdiam dan Leman pun terdiam pula ! Dan sesaat kemudian Leman mulai pula bertutur : Terasa oleh ku capak mu Poniem, sudah jauh engkau memikirkan, sedang kanda belum sampai kesitu .
Hendaknya kan sampai kesana di pikirkan ! jawab Poniem pula.
Itulah kelemahan yang ada di diri ku, Poniem. Abang tak tahan mendengar bisik desus orang menurut orang kampung, walaupun kaya berlindak[1] harta ku dan maju perniagaan ku, menurut langgam dan pandangan orang di kampung, Abang masih terpandang hina kalau belum memakai adat dalam kampung sendiri. Kata orang tua-tua dikampung ; beristrilah, berbinilah walau berapa suka, asal saja agak seorang ada dikampung sendiri. Tandanya awak ada berkaum famili, berkarib berbaid. Ku akui kelemahan ku terus terang, Poniem. Abang belum tahan mendengarkan itu. Apalagi sebelum itu kita bergaul, belum beruntung beroleh anak. Apakah yang akan ditunjuk-tunjuk oleh kaum kerabatku, siapakah yang akan dibawanya bertandang sebagai anak pisang[2] dikampung sendiri " Inilah yang menimpa diriku kini, Abang harapkan benar supaya engkau jangan saja menunjukkan penyakit, tetapi mencarikan obatlah.
Engkau hendaknya menolong Abang, mengetahui benar keadaan yang mendesak Abang kini, karena Abang percaya seberat-berat beban ku, semarah-marahnya engkau kepada ku, namun disudut hati mu masih ada rasa kasihan melihat keadaan ku ini .
Poniem menangis mendengarkan rayuan suaminya : Wahai Abang, kalau bukan kasihan kepada mu, apalah gunanya adinda menangis sekali lagi menangis, padahal sudah terlalu banyak air mata yang ku tumpahkan sejak gadis ku, setitik pun belum ada yang membela aku dan memperbaiki nasib malang yang telah tertentu buat diriku .
Jadi kau ijinkan kah Abang beristri seorang lagi " tanya Leman.
Dengar dahulu, itu baru yang pertama, yang kedua belum kakanda dengar .
Katakanlah Poniem, supaya hati kita sama-sama puas !
Ya yang kedua, dinda takut& ..
Apa yang kau takutkan "
Dinda takut, dinda takut& . Kata Poniem, dan dia pun tidak dapat pula menahan hatinya lagi, sekali lagi telengkupkannya pula kepalanya kebantal menghabiskan sisa-sisa air mata yang masih tinggal.
Leman kebingungan sampai Poniem mengangkat mukanya pula.
Beberapa saat kemudian dia berhenti menangis dan dihapusnya air matanya dengan ujung selendangnya, yang belum juga ditanggalinya sejak dia menghempaskan dirinya yang pertama.
Adinda takut kalau setelah mendapat yang baru, orang sekampung, perawan cantik, gadis jelita, adinda akan Abang pisahkan dan hindarkan dari sisi Abang yang telah menjadi tulang punggung ku. Bukankah bukit telah sama kita daki, lurah sudah sama kita turuni .
Abang tidak akan menganjur surut, percayalah ! jawab Leman.
Pada mulut mu sekarang tentu dinda percaya , ujar Poniem pula : Tetapi keadaan yang akan datang, tidaklah dapat kita menentukannya sekarang. Karena, apakah yang akan Abang harapkan lagi dari pada ku, Abang akan mendapatkan yang baru, yang lebih cantik .
Tidak Poniem& .. Demi Allah!
Sst, jangan bersumpah seberat itu .
Betul Poniem, yang lebih berat dari itu pun mau Abang bersumpah, asal engkau masih tetap setia kepada ku sebagai sekarang .
Adinda tidak akan berjanji dan bersumpah akan setia, Cuma keadaan yang sudahsudah sajalah Abang buktikan bagaimana kesetiaan saya. Cuma adinda takutkan ialah Abang ceraikan. Perkara kasih Abang walaupun berpindah kepada yang muda, adinda tidak akan menyesal. Dimana pun di dunia ini, yang baru lebih menarik hati dari yang lama. Cuma itulah, sekali lagi adinda minta, walau bagaimana kasih Abang kepada istrimu yang muda kelak, janganlah adinda diceraikan. Abang & ..! Tidakkah Abang ingat, bahwa langkahku sesat, maka Abanglah yang telah membawaku kepada penghidupan yang lurus ; aku di dalam gelap hidup, Abanglah yang membimbing tangan ku kepada cayaha terang. Aku sekarang telah kenal kepada hidup berfamili. Famili Abang telah ku anggap famili ku, kampung Abang menjadi kampung ku. Bagaimanakah nasib ku kalau Abang ceraikan pula. Alangkah gelapnya hari kemudian ku, langit manakah tempat ku berlindung, bumi mana tempat ku berpijak. Akan ku tuntut penghidupan yang lama, ke kebun ! Ya Tuhan ku ! ampunilah hamba mu ini dan jauhkan lah aku dari sana. Sekali selendang ini telah lekat di kepala ku, teruslah hendaknya ku bawa masuk kubur ku, jangan sampai tanggal lagi .
Dia termenung. Abang ! ujarnya lagi. Poniem ! Besar dosa mu di hadapan Allah kalau lantaran kasih mu terhadap istri muda yang cantik itu kelak, aku Abang ceraikan. Dan jika aku mati, mengutuk arwah ku kepada Abang dari kubur ku !.
Tidak, Poniem ! Benarkah tidak akan engkau ceraikan daku "
Demi Allah ! keatas biarlah kanda tak berpucuk, kebawah tak berurat, kalau sekiranya engkau ku sia-siakan . Dia gugup, sumpahnya benar berat, lalu di tukarnya dengan kata lain untuk peringankan sumpah itu : Kecuali jika engkau yang tak setia kepada ku lagi .
Badan dan Nyawa ku serahkan, Abang & ..
[1] lin"dak, ber"lin"dak-lin"dak Mk a bertimbun-timbun
[2] Anak pisang disebutkan terhadap anak saudara laki-laki oleh saudara perempuan dan saudara perempuan ayah disebut bako.
09. Perkawinan Orang kiri kanan sudah tahu bahwa istri Leman yang muda akan datang. Dia menyewa rumah tempat tinggal untuk istri yang muda itu sebuah lagi. Dengan bersusah payah dia dengan istrinya Poniem, membersihkan rumah yang baru disewa itu. Orang heran dan takjub serta menaruh hormat yang sebesar-besarnya atas ketulusan hati Poniem, yang selama ini hanya di sangka orang perempuan pelembahan yang tak ada harganya. Orang menekur kepala kepadanya melihat wajahnya yang tiada berkucak !
Bagaimana dia akan berkucak, padalah maksud suaminya akan langsung juga. Meskipun sudah seberat bumi dan langit sumpah suaminya, baginya semuanya itu belum berarti. Cuma sebagai orang yang lama menderita pahit hidup, dicobanya pula menyeberangi cobaan yang sekali ini, mudah-mudahan selamat. Di dekat suami dia tertawa, tersenyum, bekerja dengan keras, ditolongnya menjahitkan kelambu, merekatkan kertas ke dinding. Kelak bila suaminya pergi ketempat lain untuk menyediakan keperluan tetamu baru itu, dan dia hanya tinggal seorang diri, dilepaskannyalah kembali air matanya.
Hari yang sudah ditunggu-tunggu itupun datanglah, yakni hati yang ditunggu oleh Leman dengan harap cemas, dan ditunggu oleh Poniem dengan dada berdebar. Mereka telah pergi ke setasiun menjemput orang baru itu, yang datang diantarkan oleh mamaknya. Rasa akan terjatuh Poniem ketika melangkahkan kakinya turun tangga. Gelap penglihatannya dan keluar keringatnya, payah benar dia menahan hati. Tetapi itulah masanya perang, masa berjuang. Di tegapkannya kembali langkahnya, disekanya keringatnya dan dimakannya sirih, dia pun langsung bersama suaminya pergi ke setasiun.
Kereta Api belum lagi masuk. Leman hilir mudik saja di peron sambil melihat-lihat jam, mencocokkan jam itu dengan tarif kereta api lagi beberapa menit. Poniem melihat gerak suaminya dengan hati yang lintuh. Dia tidak bergaya lagi. Tiba-tiba terdengarlah bunyi peluit dari jauh dan terdengar pula bunyi desas desus lokomotif yang membawa, dan tidak berapa lama kelihatanlah kereta apinya sendiri. Sebanyak desus dan lengking lokomotif, sebanyak itu pula debar jantung Poniem menunggu orang yang akan merampas keberuntungan dan hikmat hidupnya dari tangannya sendiri.
Siapakah dia, bagaimanakah bentuk dan rupanya, orang yang beroleh kemenangan itu, orang yang akan merampas, singgasana yang dibinanya dengan aman sentosa sekian tahun lamanya "
Kereta api telah masuk, tetapi Poniem masih duduk, akalnya seakan-akan hilang, pikirannya menjadi tumpul.
Ayoh, Yem, kereta api telah masuk ! ujar Leman. Ujaran itulah yang menyadarkannya dan membangkitkannya dari tempat duduknya.
Bersamaan dengan orang banyak, turunlah Mariatun di iringkan mamak dan ibunya, bersama dengan salah seorang famili yang perempuan dari pihak Leman. Laksana seorang raja yang menang dari medan perang dan pulang dengan kebanggaan, demikianlah rasanya Mariatun menginjakkan kakinya kelantai peron setasiun dari kereta api. Dia turun kebawah dengan kemalu-maluan, Leman pun datang menyongsong, dibelakangnya mengiring Poniem. Mata orang banyak, mata mamak Mariatun, ibunya, famili Leman dan kaum kerabat yang lain, semuanya tertuju kepada Poniem saja. Leman kelihatan gugup. Dengan tiada gugup sedikit juga, Poniem tampil kemuka, dijabatnya tangan Mariatun dan dipeluknya perempuan muda itu dengan tersenyum gembira:
Selamat didalam perjalanan Dik, ujarnya.
Setelah keluar perkataannya yang sedemikian barulah nafas orang yang melihat yang tadinya tertahan, berjalan tenang kembali. Leman keluar keringat dingin di dahinya. Sekarang pindah pula penglihatan orang ramai kepada Mariatun, gugupkah dia ketika disambut oleh Poniem. Orang banyak hendak membanding manakah yang lebih tinggi budinya antara perempuan berdua itu.
Selamat mbak Ayu, tidak kurang suatu apa ! mbak Ayu adakah selamat saja "
Insya Allah, jawab Poniem.
Maka seakan-akan berbimbingan tangan mereka itu meninggalkan setasiun. Yang lain mengiring dibelakang sambil bercengkrama, hanya seorang saja yang tak tentu apa yang akan dikerjakannya seketika itu, yaitu Leman. Dia tetap gugup sebentarsebentar dikeluarkannya sapu tanganya dari sakunya dan disekanya peluh yang mengalir dikeningnya.
Setelah berjalan kira-kira berjalan lima menit dari setasiun, bertanyalah seorang yang menjemput tadi :
Kemana tetamu kita akan kita bawa "
Mendengar pertanyaan itu Leman kembali tersadar dari kegugupannya. Dia terkejut dan berkata : O, iya& .. ya, ru& . Rumah telah disediakan, kesana kita pergi ! marilah . Katanya sambil berjalan agak termuka.
Tidak , kata Poniem : Bawa pulang dahulu, lepaskan lelah di kedai dahulu. Sementara adik Mariatun dan kakak serta mamak melepaskan lelah, kita suruh si Suyono membersihkan disana melengkapkan apa yang kurang. Sekarang kita pulang dahulu !
Dia melihat kepada suaminya dengan sudut mata, sebagai menunjukkan marah. Leman hanya menekur saja.
Anjuran Poniem lah sekarang yang di ikut.
Perjalanan diteruskan ke kedai. Rupanya tikar telah dihamparkan terlebih dahulu di Loteng, minum-minuman telah disediakan. Di ajaknya Mariatun berseda gurau, ditunjukkannya budi bahasanya yang tinggi dihadapan ibu Mariatun dan ditunjukkan penghormatan yang tidak dibuat-buat dihadapan mamak Mariatun. Sehingga kelihatan seakan-akan tidak sedikit juga tergoncang hatinya lantaran kedatangan madunya itu. Setalah selesai minum sekadarnya, barulah dilepasnya Mariatun kerumah yang baru.
Remuk, bagai kaca terhempas ke batu rasa hati Poniem; sakit, tetapi kemana akan dia adukan. Telah lepas segala mimpinya sudah tamat cerita keberuntungannya. Dia cantik, lebih muda, tangkas dan sekampung pula lagi. Jauh banyak kelebihan Mariatun dari padanya. Sedang dia hanya sebatang kara di dunia ini. Hanya suaminya itu selama ini tempatnya berlindung. Sekarang kemana lagi. Hati suaminya separo, bahkan sama sekali tentu akan tertumpah kepada perempuan itu. Banyak terdapat sebab-sebab yang akan menjadikan perkisaran itu. Sebagai seorang yang telah dijatuhkan vonis kematian atau buang pulus seumur hidup, yang terkurung didalam tembok yang tebal, menunggu pengawal yang akan membawanya ketiang gantungan, tidak berdaya lagi, sehingga putuslah segala tali hidup dan hilanglah segala pengharapan, berganti dengan tawakal menyerah, menunggu takdir apapun yang akan datang, demikian Poniem pada masa itu. Sebab itu dia tidak akan menangis lagi, tidak ada perlunya lagi air mata. Dia tidak akan melawan nasib. Tidak ada kemenangan yang akan didapatnya lantaran melawan, dia hanya akan menyerah. Demikian janji yang telah dibuatnya dengan hatinya sendiri.
Dia tersenyum, dan untuk menghilangkan gundah gulana yang terbayang dimukanya, dimakannya sirih sebanyak-banyak, padahal selama ini dia kurang suka memakan sirih. Kalau suaminya datang diterimanya dengan hormat, melebihi biasa. Sehingga lantaran itu Leman bertambah serba salah. Waktu inilah telah dapat dibuktikannya siapa Poniem.
Telah dua hari Mariatun datang dihari ketiga dilangsungkanlah pernikahan, dan pada malam itulah Leman akan pergi kerumah baru, melangsungkan akad nikah. Waktu itulah akan dimulainya penghidupannya yang baru dengan Mariatun. Hari ketika itu kira-kira pukul sepuluh malam, kendaraan tidak banyak lalu lintas lagi didepan rumah, dan dari pukul tujuh habis magrib kedai telah di tutup oleh Suyono, orang gajian yang setia itu. Makanan dari tadi sudah terhidang, tetapi Leman tidak mau makan, Poniem sendiripun tidak, sehingga nasi yang telah lama dihidangkan dimeja makan, masih bertungkup dengan tudung saji, tidak ada satu tanganpun yang menjamahnya.
Hawa malam yang sejuk dari pertengahan bulan desember menyelinap segala tulang sumsum. Angin sepoi-sepoi basah meliputi alam dari pegunungan Brastagi. Ketika itu Leman masih mondar-mandir didalam kedai, Suyono duduk diluar diatas bangku kecil sambil termenung Poniem duduk bertopang dagu pada meja makan didekat hidangan yang telah dingin itu.
Tak ada seorang juga yang berkata, hening semata. Leman masih mondar-mandir. Tidak tentu sikap apa yang akan diambilnya. Berat hatinya hendak meninggalkan Poniem terkatung-katung seorang diri. Dia masih mondar-mandir !
Seorang anak kecil kedengaran dari muka kedai, datang dengan tergesa-gesa menjemput Leman. Dia disuruh oleh famili disana, tetamu telah gelisah menunggu, tuan ghodi tidak bisa menanti lama. Segeralah datang ! Kawan-kawan yang akan jadi teman dijalanpun telah berdirian pula disana, dimuka. Leman masih mondarmandir juga.
Ajaib hati perempuan ini !
Dia tidak suka ditipu, tidak sudi dipermainkan. Cintanya kepada orang lain, adalah berarti cinta terhadap dirinya sendiri. Tetapi didalam jiwa yang tegang yang keras, jiwa yang takut dikalahkan itu, ada pula tersimpan satu mutiara yang bersih mulia, itulah dia perasaan ke ibuan.
Jika seorang perempuan mempunyai dua orang anak, yang seorang sehat dan seorang sakit, telah banyak uangnya habis mengobati, namun cintanya terhadap si anak tidak akan berobah, ciuman kepada sianak yang sakit akan lebih dahulu lekat dari kepada yang sehat. Hati yang demikian ada pada Poniem.
Diperhatikannya, memang suaminya sedang dalam kebingungan, tidak tentu sikap apa yang akan diambilnya. Dilihatnya sesal yang amat besar telah mempengaruhi hati suaminya. Sehingga langkahnya mundur dan maju. Mula-mula disangkanya itu Cuma main-main saja, tetapi kemudian dilihatnya wajah suaminya, tenangtenang. Bukan main rupanya, tetapi sebenarnya.
Berangkatlah Bang, mengapa abang lalai jua. Lekaslah, orang sudah payah menanti, suruhannya sudah datang .
Mendengar perkataan istrinya yang sebagai perintah itu, tetapi penuh dengan perasaan welas asih, Leman tertegun dan dilihatnya mata Poniem tenang-tenang. Tiba-tiba dia berlari kepada istrinya. Satu perkataan dengan penuh cinta, dengan sesal, dengan rasa kekecilan diri, terlompat dari mulutnya& .. Poniem , dan kepalanya tiba sekali keatas haribaan Poniem.
Poniem, engkau marah kepada ku, ya "
Air matanya dengan tidak dirasanya, telah bercucuran dan dia menangis sebagai anak-anak layaknya.
Engkau marah kepada ku , ujarnya sekali lagi. Dan dengan tidak disadarinya pula, tangan Poniem telah menjalar diatas kepala suaminya, diusap-usapnya rambut suaminya, yang dicintainya itu, yang semiang kelampun belum pernah hilang dari hatinya.
Pada saat itu, hilang kemarahan, lemah segala sendi anggota. Poniem telah mengalah.
Tidak Bang, berangkatlah lekas, orang telah banyak menunggu, Yem tak marah .
Demi Allah. Yem, berat hatiku hendak meninggalkan engkau , kata Leman pula, sedang kepalanya masih ditangkupkannya diatas haribaan Poniem. Dengan perlahan-lahan kepala itu diangkat oleh Poniem, disekanya air mata suaminya dengan ujung selendangnya, lalu diperbaikinya letak baju suaminya dan ujarnya : Berangkatlah sekarang ! Habisilah perasaan itu abang. Jangan diperkesankan dimuka orang banyak. Tersenyumlah, tertawalah ! Cuma sebuah permintaan ku abang& .., abang ! Tiba-tiba air matanya jatuh dan tangisnya menjadi pula.
Secinta-cinta abang kepada istri muda abang, namun aku jangan abang ceraikan .
Sama-sama kita serahkan kepada Tuhan, Poniem .
Maka mulailah Leman memakai pakaiannya, dan menukar bajunya yang telah basah oleh air mata, diletakkannya kaca mata berwarna. Setelah selesai sekali lagi dipeluknya istrinya, seakan-akan tidak akan dilepaskannya, dan dia pun pergilah.
Di muka kedainya telah menunggu beberapa orang kawan yang telah sedia mengiringkan. Di sana telah cukup orang menunggu, tuan Qadhi telah bersedia dengan kitab khutbah nikah nya, makanan telah terhidang. Di belakang, orangorang perempuan telah bersedia pula menghiasi kamar dan memakaikan pakaian yang indah-indah keatas diri Mariatun. Gadis itu tahu goncangan apakah yang telah datang kerumah tangga perempuan lain lantaran dia. Dia hanya merasa beruntung karena telah tercapai apa yang di cita-citakannya. Tentu kelak beberapa lama lagi, tangannya akan berlilit dengan gelang emas, lehernya, dan penitinya daripada paun[1] Amerika dan kalau perlu gelang kaki, akan dibanggakannya kehadapan kawan-kawannya dikampung, apabila dia pulang kelak.
Dia menekur-nekur saja, kemalu-maluan. Ketika mamaknya pergi kebelakang menanyai sukakah dia dinikahkan, karena disuruh oleh tuan Qadhi menanyakan, lama baru dia menjawab. Setelah suruhkan oleh perempuan-perempuan lain menjawabkan suka , barulah dijawabnya antara kedengaran dengan tidak.
Leman duduk saja dengan tenang. Qadhi telah melakukan ijab dan kabul, pernikahan telah langsung dan dihidanganpun dimakan orang.
Beberapa saat kemudian, tetamu-tetamu itupun pulanglah kerumah masing-masing dan penganten pun masuk lah ke peraduan.
Baru saja suaminya pergi, Poniem masuk kembali kedalam kamarnya. Di sana dihantamnya menangis sepuas-puasnya. Dia tidur terbaring, kadang-kadang menghadap kekiri dan kadang-kadang menghadap kekanan. Langkah Leman sejak meninggalkan rumah, sampai tiba dirumah Mariatun, sampai mengadakan ijab dan kabul, semuanya itu seakan-akan terdengar ditelinganya. Tiap-tiap di ingatnya, air mata pun timbul kembali. Bertambah larutnya malam, bertambah matanya nyalang. Seperti terbayang diruang matanya bagaimana pertemuan suaminya dengan Mariatun, bagaimana perjumpaan dan tutur katanya. Segala keadaan ketika mula-mula bertemu dimalam pertama dahulu, semuanya sekarang terbayang. Tentu tegur sapa, bujuk cumbu, pergelutan malam pertama dan perangai-perangai yang lain. Yang dahulu pernah dilakukan suaminya terhadap dirinya, sekarang ini dilakukannya pula kepada istri mudanya.
Ya Allah, Ya Rabbi ! teringat olehnya itu, terlengking pula dia kembali menangis, sedu sedannya terdengar oleh orang sebelah menyebelah, kedengaran pula oleh Suyono dan dua orang temannya yang tidur didapur. Sudah berkokok ayam tanda hari akan siang, barulah matanya terlayan-layan hendak tidur tetapi sedu sedannya belum juga berhenti.
Demikianlah yang di derita oleh perempuan itu, dan tanyailah tiap-tiap istri yang dipermadukan, bahwa demikianlah yang teringat pada hari pertama dari perkawinan suaminya dengan istrinya yang baru.
Benar jugalah perkataan Bagindo Kayo dahulu. Kalau hendak beristri seorang lagi, janganlah diperdulikan itu, jangan diperiksai perasaan orang perempuan, pandang saja dia tidak manusia, tidak ada perasaan, dengan demikian akan berlangsunglah angan-angan kita laki-laki. Toh kita laki-laki, hendaklah kita mesti langsung, terbujur lalu terbelintang patah.
10. Dua Kapal Satu Juragan
ELAH dirasai oleh Leman nikmatnya beristri baru dan masih perawan. Kadangkadang dia menyesal, mengapa nikmat yang seindah itu baru sekarang dirasainya. Sudah habis saja mudanya terbuang-buang selama ini. Apalagi menurut orangorang yang telah biasa kawin, yang kedua dan ketiga itu, sekali perkawinan, sepuluh tahun umur surut kebelakang. Yang sukar hanyalah ketika akan menempuh yang kedua itu, sebab belum pernah. Tetapi apabila sekali telah dicoba tentu hendak mencoba terus, kawin dan kawin lagi, dan kalau dapat, tiap-tiap kawin itu hendaklah yang perawan juga, selalu awak berbaru-baru.
Oleh sebab itu, meskipun diakuinya kasihnya masih lekat pada Poniem, tetapi telah habis hari-hari yang jatuh dirumah baru, lalu dia pulang kerumah yang lama, tak obah seperti orang dagang yang kembali dari Jakarta ke Payakumbuh, dari negeri yang seramai-ramainya pindah kenegeri yang amat lengang.
Di rumah Mariatun segala baru, di rumah yang tua segalanya using. Sampai kepada susun tempat tidur, atau pun bantal, semuanya berbeda, semuanya berobah. Bukan saja itu, senda gurau pun berobah pula. Gelut dan cengkerama dengan istri yang muda, timbul daripada hati girang, sehingga mau rasanya berbenam saja ditempat tidur dari pagi hingga petang, sampai malam, karena hendak bergurau, kalau bukan karena banyaknya pekerjaan yang akan terlantar. Tetapi dirumah yang tua, tidak bisa dilakukan yang demikian, tidak tergerak hati lagi. Ada juga dicobacobanya memanis-maniskan mulut, bergurau dan bercanda pula. Tentu hal itu bukan timbul dari hati, melain dipaksa-paksa supaya jangan berkesan benar. Dan meskipun begitu, tentu Poniem yang telah merasa dirinya orang lama, sudah hampir sepuluh tahun. Oleh karena demikian tentu saja pergurauan itu tak dapat diteruskan, sebab menjemukan.
Maka tidaklah heran, disamping hiba kasihan kepada Poniem itu, timbul jemu apa bila di dalam rumahnya, dan rasa-rasa diungkit hari supaya lekas siang, agar segera pergi pula kerumah yang muda. Sampai disana, belum lagi naik keatas rumah, telah di sambut dengan senyum manis, tangan telah dipegangnya, maklumlah gadis yang baru bersuami.
Sungguh ! Yang begini belum pernah dialaminya selama ini. Memang kembali muda usainya.
Demikianlah keadaan Leman yang menangis tersedu di atas keharibaan Poniem ketika akan pergi kawin itu. Bukan pula hal itu berobah karena dipaksakannya, bukan dibuat-buat, melainkan sudah semestinya demikian. Apakah dia harus bermenung-menung pula di rumah istri barunya " Apakah dia mesti menekurnekur dan berinsaf-insaf diri apabila telah sampai di sana " Padahal hidup yang sedemikian nikmat belum dikenalnya selama ini " Dan apakah setiba di rumah istrinya yang tua dia mesti berbuat lebih daripada kesanggupannya " Menunjukkan kasih sayang sebagaimana terhadap istrinya yang muda " Bukankah perhubungannya selama ini bukan perhubungan gelut dan canda gurau lagi " Tetapi telah mulai tua dan telah matang sifatnya, telah berganti menjadi perhubungan diantara dua sahabat yang sehidup semati, yang sama-sama telah mendaki bukit dan menuruni lembah " Bukankah beristri muda ini kesempatan baginya buat beristirahat, bagi melepaskan kepayahan dan keberatan tanggungan itu "
Tidak bisa jadi, tidak mungkin, walaupun air mata darah yang dikeluarkannya ketika dia akan pergi beristri dahulu. Tidak bisa dia mengelakkan kejadian yang sebagai sekarang. Pada masa itu dia menangis, sebab dia belum beroleh obat untuk menimbulkan tertawa. Cuma ada setengah laki-laki yang bisa berlaku cerdik, tidak kelihatan perobahan hatinya lantaran pandainya membawakan. Meskipun bagaimana telah jemunya kepada istri yang tua, dan bagaimanapun tertumpah hatinya kepada istri yang muda, namun giliran pulang dijaganya juga dengan sebaik-baiknya, jamnya ditentukannya, kesalnya tidak diperlihatkannya, makanan dienakkannya juga, walaupun pahit bagai rimbang. Tetapi setengah laki-laki, terutama darah muda yang belum kenal timbangan hidup, mulai saja istrinya diduainya, haluannyapun berobah dengan segera.
Leman adalah termasuk pada golongan yang pertama. Di dalam hatinya masih ada sedikit pertimbangan. Dia insaf bahwa kemanisan hidup bagai madu dengan istri muda itu tidaklah akan lama. Orang sudah tertawa bahwasanya kemanisan hidup beristri yang mendatangkan senda gurau selambat-lambatnya hanya tiga bulan. Bangsa Eropa hanya menjangkakan satu bulan, yang dinamainya bulan madu. Lepas dari waktu yang ditentukan itu, mulailah kedua suami istri itu masuk kedalam gelanggang hidup, menegakkan suatu rumah tangga. Ketika itulah kelak berdamai, mempertemukan perangai dan kebiasaan masing-masing yang selama ini belum begitu dikenal. Diwaktu ombak besar, disanalah waktunya dapat ditandai, siapakah diantar mereka yang tahan dan yang tiada lekas mabuk.
Orang yang beristri lebih dari seorang, lepas dari bahaya itulah dapat diujinya siapakah diantara kedua istrinya itu yang akan menjadi teman tidur, dan siapa yang akan menjadi teman hidup. Oleh sebab itu kadang-kadang, setelah bergaul bertahun-tahun, cinta kasih itu tetap juga lekat pada yang tua, karena yang tua yang tahan, dan yang muda tinggallah sebagai beban berat, yang kadang-kadang kala suami bukan bangsa peyabar dan suka mempermurah-murah hidup, diceraikannya istri itu dengan tidak semena-mena.
Tetapi yang terlebih banyak, yang tua lah yang tercampak, karena daya tariknya lahir batin tak ada lagi, laksana sepah sirih yang diluahkan dari mulut karena sarinya telah habis.
Leman ada juga mempunyai pertimbangan seperti itu agak sedikit. Tetapi ada pula tabiatnya yang patut dicela, yaitu dia lekas marah. Kepada anak-anak gajian yang bekerja dengan dia, kalau ada sesuatu kesalahan yang dipandangnya merugikan, marahnyapun timbul, mulutnya bertaburan saja padahal kesalahan itu belum diperiksanya. Kelak setelah marah terlepas, dia menyesal, apa lagi kalau ternyata kesalahan itu sebenarnya belum patut menerima hukuman yang seberat itu dan dibalasi dengan kata yang sekasar itu. Orang yang pelekas marah itu lekas sekali pemaaf dan lekas menyesal. Sebab itu hatinya baik, padanya tak ada dendam. Dan kalau kena pula jalan penundukkan hatinya, mudah saja air matanya jatuh.
Poniem telah tahu benar tabiak suaminya ini. Sebab itu, selama ini jika dia marah, Poniem diam saja, jarang sekali kehendak Leman yang dibantahnya. Dalam pada itu, Leman lekas percaya kepada orang. Kalau datang orang meminta bantu, mau dia memberikan barangnya dan uangnya dengan tidak menyelidiki orang itu terlebih dahulu, Poniem juga yang mempertahankan supaya jangan sampai suaminya menanggung kerugian.
Sejak beristri muda, telah habis masa sebulan, perhatiannya terhadap perniagaan agak kurang. Tetapi Poniem tidak dapat berterus terang sebagai dahulu lagi. Keadaan itu sudah mesti berobah, sudah banyak hal-hal yang mesti difikirkannya dan ditanggungnya pula. Dizaman yang sudah-sudah lambat suaminya akan bangun, segera dibangunkannya. Lalai suaminya menegur orang-orang yang dilepas pergi berniaga ke kebun-kebun, mencocokkan barang-barang yang laku dengan pembayaran kembali (setoran) menurut bunyi faktur, Poniem yang memberi ingat. Sekarang dia sudah agak engan. Kalau suaminya terlambat datang dari rumah Mariatun, mukanya manis juga, nasi dihidangkannya, kopi secangkir penuh, buatannya sendiri, kue-kue, sabun mandi, semuanya tersedia dan dia tidak mau menanyakan, apa sebab terlambat, dan apa sebab perniagaan kurang diperhatikan. Takut dia, suaminya akan salah terima kepadanya. Hanya akan dinantikannya pada suatu-suatu yang baik, sedang hati suaminya terbuka.
Syukur juga ada Suyono, orang gajian yang setia itu. Meskipun majikkannya kurang giat bekerja, dialah yang sekarang lebih giat, sehingga langgananlangganan dikebun, bayaran bulanan dan bayaran kontan, menerima juga dengan baik. Cuma bayaran kepada toko yang di Medan yang agak kurang lancar pada bulan itu. Ketika dia disuruh oleh Leman mengantarkan bayaran habis bulan, dia telah disindir, panjang pula pertanyaan tuan toko orang Arab itu, apa sebab maka kurang bayaran sudah dua kali.
Telah habis hari sebulan, dua bulan dan telah masuk dibulan ketiga, bayaran ke toko tidak sebanyak yang dahulu lagi. Sebab orang toko pun tidak sebanyak dahulu pula lagi memberikan barang, sehingga kedai agak sepi sedikit. Kotak-kotak yang bersusun di atas lemari, adalah kotak-kotak kosong yang disusun oleh Suyono dengan bijaksana, sehingga tidak kelihatan kekurangan itu.
Tanggal sepuluh datanglah tagihan sewa rumah untuk bayaran rumah Mariatun, karena bulan yang dahulu pun belum dibayar pula. Dengan heran tercengang Leman menanyai Suyono apa sebab uang di dalam kotak tidak banyak lagi. Dengan hormat sambil membongkokkan punggungnya Suyono menerangkan herannya pula. Sebab pembayaran dari langganan-langganan sekali-kali tidak berkurang. Orang-orang yang menerima amanat menyetor dengan baik. Cuma pembayaran kepada toko yang telah agak kurang lancar telah dua bulan. Mendengarkan itu mata Leman bertambah terbeliak. Dilihatnya Suyono tenangtenang dan dilihatnya pula Poniem dia seakan-akan tidak percaya.
Saya heran, saya tidak percaya !
Selama ini Poniem cukup sabar, karena sabar itulah alat yang paling baik bagi seorang perempuan apabila suaminya telah beristri pula lagi. Terutama bagi dirinya sendiri. Dia insaf kalau dia tidak sabar, dia bisa terbuang buruk saja. Tetapi yang sekali ini, karena ucapan yang demikian belum pernah dihadapkan kepadanya walaupun bagaimana marah suaminya, apalagi telah bertindih-tindih pula perasaan yang telah lama terkurung, tersirat juga darahnya mendengarkan perkataan : Tidak percaya itu.
Apa yang abang maksudkan dengan perkataan tidak percaya " tanya Poniem dengan tersenyum, tetapi pahit. Mendengar pertanyaan itu Leman insaf akan kesalahan perkataannya. Tetapi dia tidak mau mundur lagi. Kalau yang sudahsudah lekas dia mundur kena sanggahan Poniem, ini keadaan telah berlain. Sebab itu dijawabnya pula dengan perkataan yang agak keras : Saya kurang percaya apa sebab maka demikian, apa sebab pembayaran ke toko tidak penuh dan sewa rumah tidak akan terbayar, kalau memang bayaran langganan dan setoran orang dagangan penuh juga. Hal ini nanti kita periksa dengan teliti. Nanti malam kita hitung barang-barang dan kita reken perniagaan kita .
Itu memang patut ujar Poniem.
Suyono berdiri saja dengan hormatnya.
Pada malamnya dijalankanlah sepanjang perintah Leman itu. Poniem memasakkan kopi di belakang bersama dengan kue-kuenya. Leman menurunkan kotak-kotak yang telah kosong dari atas lemari. Dia tercengang karena kosong.
Ai, kotak-kotak ini pun telah kosong . Ujarnya sambil melihat kepada Suyono dengan muka yang penuh mengandung soal. Bekas kuli kontrak yang setia itu diam saja. Sepatah dia tidak menyahut. Dia hanya asik menurunkan barang-barang yang bersusun di dalam lemari. Setelah siap diturunkan semuanya, ditolong oleh seorang anak gajian yang lain, dimulailah menghitung dengan seksama. Dimulai sejak pukul tujuh malam, hampir pukul satu malam baru selesai penghitungan itu. Kedapatan bahwa penjualan beres, pemenerimaan piutang teratur dan tidak ada terjadi suatu kecurangan. Cuma yang terang kekusutan dan kekurangan itu terjadi ialah lantaran Leman tidak menentu mengambil uang, berapa sukanya saja.
Demikianlah baru tingkatan perusahaan bangsa kita. Mereka itu pandai berniaga, tahu menjual dan membeli tetapi tidak tahu dan tidak pandai bagaimana cara berdagang memakai buku. Berapa saja uang untuk keperluan dirinya sendiri diambil, tetapi catatannya tidak terang. Barang yang diambil atau uang yang dipakai itu dinamai saukkan. Pada hitungan perniagaan itu tidak rugi, tetapi pada keadaan, pokoklah yang telah termakan.
Bila uang telah banyak, pikiran telah ragu, akan dipangapakankah uang itu. Yang lebih dahulu diusahakan ialah menambah barang perhiasan istri, gunanya ialah untuk tempat lari ketika terdesak.
Sesudah perhitugan itu, sudah nyata bahwa belanja pada masa tiga bulan ini belebih dari mestinya. Itulah sebabnya maka kurang pembayaran kepada toko. Leman sekarang telah insaf. Terasa olehnya menyesal karena mulutnya telah terdorong kepada istrinya, mengatakan tidak percaya itu. Dan telah insaf pula dia, bahwa sekarang yang menjadi tiang pada perniagaannya, yang membelanya diwaktu terjadi hal yang kusut, ialah Suyono orang gajian yang setia itu.
Sehabis berhitung dia berkata : Suyono, sekarang sudah saya ketahui hal ini. Memang saya telah khilaf, sudah lalai memperhatikan jalan perniagaan selama dua bulan ini. Kalau bukan karena pertolongan engkau, agaknya akan tertelungkuplah kita. Apalagi sekarang ini perniagaan agak sepi. Sebab itu, untuk menghargai jasa mu yang begitu mulia, mulai besok engkau tidak sebagai makan gaji saja di sini. Engkau saya bawa berkongsi ;
Terima kasih banyak-banyak engku . Jawab Suyono dengan girangnya.
Saya berikan kepada mu kepercayaan yang luas. Ditangan mu lah maju mundurnya perniagaan kita ini .
Terima kasih banyak-banyak engku .
Setelah itu mereka pun masuk tidur. Dan waktu itulah Leman mengambil kesempatan untuk meminta maaf kepada Poniem. Poniem hanya membalasnya dengan senyum saja.
Setelah pagi hari, kelihatan benar jernihnya muka Leman. Dimulainya pula berkata sambil menjentik-jentik rokoknya :
Apakah engkau setuju Poniem, jika rumah yang dua kita satukan saja "
Bagaimana yang akan baiknyalah . Jawab Poniem.
Engkau bagaimana Suyono "
Saya pun menurut , jawab Suyono.
Ya, coba tuan-tuan pikir, kalau rumah diduakan juga, tentu lebih belanja kita dari penghasilan. Bagaimana Poniem "
Betul . Jawab Poniem pula karena tabiat Leman telah diketahuinya.
Kalau jadi kita satukan, dimana engkau Poniem dan dimana Mariatun kita letakkan " Dan engkau sendiri Suyono, tentu boleh kita buatkan saja kamar dibahagian belakang .
Perkara saya pekara gampang, engku. Saya menyewa kamar saja diluar rumah ini, tidaklah mengapa. Atau di belakang sebagai engku aturkan itu .
Siapa yang baik di loteng dan siapa yang baik di bawah " Tanya Leman pula.
Saya menurut dimana yang akan baik . Jawab Poniem.
Kalau begitu biarlah engkau di bawah, engkau yang tua dan Mariatun biarlah di loteng .
Baik juga . Jawab Poniem.
Hal ini disampaikan pula kepada Mariatun. Mariatun mula-mula menyatakan keberatannya. Karena telah terasa senang olehnya tinggal merdeka di rumah sendiri. Dan kalau sekiranya jadi serumah, tentu ibunya yang turut mengantar dan menjadi temannya selama ini akan terpaksa disuruh pulang saja tetapi karena Leman meminta berhiba-hiba, mau jugalah Mariatun. Memang dia pun memilih tempat di atas juga, sebab di atas sudah lebih lapang.
Ketika segala barang-barang dan tempat tidurnya telah dipindahkan ke dalam rumah kedai itu, Mariatun merasa malu. Apalagi dia akan diserumahkan dengan madunya, dia merasa keberatan. Tetapi apa boleh buat, karena kehendak suaminya agak keras. Padahal kalau tidak diturutinya sekarang, tentu dia akan rugi. Apalagi ibunya membisikkan lebih baik kehendak suaminya itu dituruti. Supaya dia pun ikut pula memperhatikan perniagaan dan berkuasa pula atas harta benda suaminya. Jangan sampai orang lain itu saja yang beroleh laba dan keuntungan sebagaimana selama ini.
Ketika telah masuk kedalam rumah itu, dia disambut oleh Poniem dengan budi yang halus. Dipandanginya sebagai adik layaknya. Leman senang hatinya lantaran itu.
Tidak berapa hari setelah dia serumah di dalam kedai itu, ibu Mariatun pulang ke kampung. Sebelum dia berangkat, banyak pengajaran yang diberikannya kepada Mariatun, bagaimana caranya menarik hati suami, bagaimana jika seorang dengan madu, jangan mau dikalahkannya. Apalagi dia itu kalau dibuangkan oleh suaminya, tidakkan ada tempatnya bergantung lagi.
Sekarang keadaan sudah hampir baik, setoran habis bulan kepada toko sudah kembali baik pula. Kedua perempuan itu hiduplah serumah, seorang di atas loteng dan seorang di bawah. Leman pun sudah agak senang dari dahulu sedikit, karena Suyono bertambah lama bertambah pandai juga berniaga, lagi hemat. Langganannya, terutama di dalam lingkungan kuli kontrak pun banyak pula, sebab mereka amat senang diselenggarakan oleh bangsanya sendiri.
Masih belum apa-apa kalau kedua istri itu diserumahkan, kalau mereka salah satu atau keduanya belum merasa bahwa mereka turut berhak pula di dalam rumah itu. Kalau si istri hanya merasai bahwa dirinya hanya menumpang saja, dan cukup mempunyai kekuasaan ialah suaminya semata-mata, amanlah pergaulan dan tuluslah keduanya terhadap suami. Tetapi kalau seorang diantaranya telah merasa lebih daripada yang lain, atau salah seorang telah merasa dia yang lebih berhak di atas rumah itu, itulah alamat celaka. Apalagi kalau si suami tidak pula pandai mengemudikan.
Sudah sebulan dan telah dua meningkat tiga bulan, waktu itu berangsurlah kelihatan sifat yang asli dari kedua perempuan itu. Poniem selama ini sabar dan tenang, sekarang sudah kurang kesabarannya. Bagaimana dia tidak akan sabar selama itu, sebelum dia dipermadukan, padahal selama itu dia masih yakin bahwa suaminya hanya haknya seorang, tidak berkongsi dengan yang lain. Dahulu apapun yang diberikan diterimanya, dan kalau sekali-kali suami marah kepadanya, ditahannya. Sekarang dia telah meminta keadilan, karena keadilan itulah haknya. Kurang-kurang sedikit telah dijadikannya persoalan, bahkan nama yang cepat lebih dahulu dipanggil oleh suaminya telah sangat diperhatikannya.
Mariatun kian lama kian nyata pula perangainya semasa baru kawin dia masih agak bodoh, belum begitu tahu dia percaturan di dalam rumah. Tetapi sekarang dia telah mulai pintar . Banyak sebab-sebab yang akan mendatangkan selisih dalam rumah itu. Dia tidur di loteng, bangunnya tinggi hari, turunya dari tangga loteng itu dilambat-lambatnya kakinya, padahal kamar Poniem di bawah loteng itu. Sedang Poniem sudah semenjak tadi repot menyelenggarakan dapur dan menyiapkan makanan dan minuman. Kalau dia mandi bukan main lamanya dikamar mandi, berbedak dan berlangir dahulu, setiap pagi dan sore dia bertukar baju, bedaknya ditebal-tebalkan dan hampir setiap pagi rambutnya dibasahinya, ketika memeras rambut itu dengan kain handuk, sengaja agak diperlihatkan di muka Poniem. Dia yang lebih suka hanya duduk ke muka, ikut pula menjualkan barang-barang dengan suaminya. Meskipun sekali-sekali disuruh kebelakang dengan lemah lembut oleh Leman, dia duduk juga. Dia menolong melipat-lipat kain, dan kadangkadang dia memerintah pula kepada Suyono. Oleh Suyono perintah itu di ikuti saja, dengan ramah tamah. Sedang Poniem terbenam di dapur, mengukur kelapa membelah kayu, mengiling lada. Kelak kira-kira pukul satu tengah hari datanglah waktu makan. Waktu itu barulah Mariatun pergi sambil tersenyum-senyum ke belakang. Leman telah duduk menunggu nasih akan terhidang. Poniem lah yang mengaduk, sedang yang menantingkan ke muka ialah Mariatun, sambil tersenyumsenyum simpul juga. Mula-mula masih sabar Poniem menurutkan perangai madunya itu. Tapi lama-lama tentu akan penuh juga ibarat orang mengantang. Satu kali dibuatnya pura-pura sakit, tidak dia ke dapur dan tidak dia bangun dari tidurnya. Maka repotlah pula Mariatun menyelenggarakan di dapur. Selama ini tidak kentara kekurangannya itu, karena ibunya masih ada yang menolong. Rupanya mengukur kelapa tidaklah secepatnya berbedak dan mengupas bawang tidaklah sesigapnya meraut alis mata. Sudah hampir pukul dua belum juga ada yang terletak di atas meja. Leman telah berbalik-balik ke belakang. Pukul dua barulah terletak, rupanya hanya dua macam sambel. Setelah dicoba oleh Leman, perutnya tidak bergitu suka menerima, rupanya kurang campur diantara lada dengan asam, bawang dengan garam, dan ikan masih tetap seanyir keluar dari lautan. Tentu agak payah Leman mengurut kerongkongannya supaya sambelsambel itu lalu dan masuk dengan lasusnya kedalam perut. Hatinya kurang tahan, dari mulutnya melompat perkataan : Gulai kurang garam, Mari . Perkataan itu agak keras, jelas terdengar oleh Poniem yang berbenam di dalam kamar dari tadi. Mariatun sangat malu mendengar cerca suaminya itu. Dengan perkataan agak kasar dijawabnya : Orang yang enak masakannya sakit kepala . Mukanya merah berkata itu. Leman merasa bahwa cercanya itu salah. Tetapi oleh karena tidak tahan bagaimanalah hendak menyembunyikannya. Sedang ia hendak mengayun suapnya lagi, Poniem keluar dari kamar dengan kepala berikat. Dengan perlahanlahan dia pergi ke belakang, diambil batu lada lalu dibuatnya sambal lada bercampur terasi, dikerjakannya cepat-cepat dan diantarkannya kepada suaminya yang tengah makan bersama-sama dengan Suyono itu. Suyono sudah lekas berhenti makan karena dirasanya sendiri bagaimana kurang enaknya udara waktu itu. Mariatun sudah lari saja ke Loteng dengan muka merah. Poniem telah duduk ke dekat suaminya yang tengah makan itu, menyelenggarakannya sampai sesudahsudahnya.
Kepala saya sakit dari pagi Bang .
Barang kali sakit dibuat-buat, karena hendak memberi malu Mariatun . Kata Leman dengan muka marah pula.
Sakit kepala tidak bisa dibuat-buat . Kata Poniem pula. Sejak kejadian yang sekali itu, tidaklah ada perdamaian lagi dalam rumah. Suasana senantiasa keruh saja. Suatu kali terjadi pula perselisihan yang hampir saja meletus menjadi peperangan mulut. Celana tidur Leman habis dicucinya pagi-pagi dihampaikan oleh Mariatun berdekatan dengan sarung tidurnya. Mariatun hendak mempertunjukkan, bahwa tidur mereka amat enak semalam. Gelap benar hati Poniem melihat perangai yang rendah itu. Kain itu disentakkannya dari hampaian kain dengan marahnya dan celana itu dilemparkannya masuk api yang sedang bernyala. Ketika itu Leman sedang tidak ada di rumah.
Kau memang tidak punya pikiran Mariatun, kau sangkutkan kain sarung tidur mu di dekat celana suami ku. Kau boleh berbuat apa kau suka disini, tetapi jangan melewati batas .
Suka hati ku dengan harta benda ku. Apa saja perbuatan akan diperbuat dengan dia sedang dia dengan saya, apa yang menyakitkan hati mu " tanya Mariatun.
Tentu saja perbuatan itu menyakit hati ku, perbuatan itu sangat rendah .
Kalau suami ku kasih pada ku segala macam perbuatan akan kami lakukan di atas rumah ini .
Tetapi kau lupa bahwa di sini ada pula seorang lagi perempuan, ada pula seorang manusia yang berhak pula atas suami mu itu yang harus kau pandang sekurangkurangnya sesudut mata mu .
Sambil mengecimuskan bibirnya Mariatun berkata pula : Apa yang akan saya pandangkan kepada mu " Bukankah kau hanya seorang yang menumpang di sini " dari manakah alasan mu, tidak kah kau tahu " Orang manakah engkau, tidakkah engkau ingat " Lupakah kau asal mulanya kau dipungut oleh suami ku " Aku sendiri apa yang akan ku perbuat di atas rumah ini tak pun yang akan menghalangi. Abang Leman suami ku, suami ku yang sah dengan doa selamat, dengan nikah, dengan sepakat segenap famili kami. Kami di nikahkan menurut adat, setahu ninik mamak. Engkau sendiri hendak banyak mulut, hendak melarang dan menyuruh, seperti engkau yang berkuasa disini. Tidakkah engkau tahu bahwa engkau menompang di sini Hai orang Jawa " Cis tidak ada malu !
Mariatun !...... Mengapa sudah sampai kesana kasarnya perkataan mu "
Iya ! Engkau hendak menyombong masakan mu enak, penggulaianmu di makan oleh suami ku. Memang kalau orang dasar babu enak penggulaiannya. Saya memang tidak enak penggulaian, saya tidak bisa ke dapur, saya orang pingitan oleh ibu bapak ku, bukan orang sembarangan . Perkatan itu sudah terlalu ribut. Kebetulan kedengaran bunyi telapak sepatu orang di luar. Baru saja Poniem hendak menjawab, Leman telah masuk kedalam.
Mengapa ribut-ribut, tidakkah malu. Hai Poniem bukankah kau yang tua, tidakkah malu berbuat demikian " Mariatun& .. Hai, mengapa suara mu saja yang kedengaran dari tadi di luar " Mengapa kau bercakap begitu keras " Tidak saya sangka perempuan sekolah akan begitu keras cakapnya. Mujur saya pulang lekas !
Mariatun tidak menjawab. Dia lari saja ke atas loteng sambil menangis melulunglulung. Sedang Poniem masuk ke dalam kamarnya dengan tenang, tetapi mukanya masih tetap merah. Hatinya belum lepas, perkataan Mariatun itu sangat tersangkut rasanya di dalam hatinya. Peperangan mulut itu mula-mulanya masih asing. Tetapi apabila sekali terjadi tentu akan mulai biasa, sehingga akan terjadi setiap hari. Yang seorang berbenam di atas dan yang seorang bertekun di bawah. Atau bersidahuluan mengambil muka terhadap suami. Makanan sudah tidak teratur lagi. Masing-masing sudah berusaha mengadukan halnya kepada suami. Yang lebih pandai menarik hati Leman dengan tangisnya ialah Mariatun.
Pada suatu hari terjadi pula perselisihan sepeninggal Leman pergi ke Medan. Ialah perselisihan yang paling hebat. Leman akan kembali dari Medan pukul empat sore, nasi belum masak. Mariatun ikut ke muka berjualan bersama Suyono, hati Poniem sakit benar melihat perbuatan itu. Dia yang merasa berhak keluar berjualan, sebab modalnya separo daripada penjualannya itu menurut kenyakinannya, dan Mariatun hanya orang datang kemudian. Padahal sudah sekian lama dia saja yang banyak berbenam di dapur. Dia bukannya babu. Sudah dua tiga kali Suyono memperingatkan bahwa Mariatun lebih baik di belakang saja, tetapi dia tidak perduli. Orang membayar uang dia yang menerima, dia yang hendak menutup dan membuka laci. Sedianya hal ini tidaklah akan kejadian kalau Leman pandai mengurus dan mengatur. Satu kali yang mula-mula, seketika Mariatun mencoba mendekati tempat itu tidak dilarangnya, dia tersenyum saja. Sejak itulah terbiasalah dia dan bukan saja terbiasa lagi, melainkan merasa bahwa dia telah diberi hati. Padahal Poniem meskipun merasa lebih berhak mendekati penjualan itu, sejak mereka serumah sengaja dikuranginya. Kini Mariatun rupanya yang hendak mengangkat dirinya jadi kasir, padahal dia istri muda. Hatinya tidak tahan. Dia keluar. Dari dalam dadanya sudah sangat menyesak. Dia berkata :
Hai puteri kayangan, janganlah berdiri juga di muka, coba-cobalah membuat sambal .
Disinipun terjadilah pertengkaran yang sengit sekali lagi.
Engkau saja yang selalu hendak sebagai tuan disini, suami ku sendiri tidak mau melarang aku . Kata Mariatun.
Apa gunanya pandai melipat kain, kalau tidak pandai mericih bawang " Tanya Poniem, yang telah mulai mangkal hatinya.
Suka hati ku, aku di atas harta benda suami ku. Aku kemari di antar ninik mamak ku, engkaukan babu di sini. Aku akan menolong suami ku berniaga. Kami orang sekampung, sehalaman, bukan macam kau .
Perkataan itulah yang ditunggu oleh Poniem, karena dahulu belum dibalasnya.
Engkau memang tidak tahu diuntung, dan tidak suka bertanya ke kiri dan ke kanan. Tidakkah kau tahu bahwa engkau dibeli maka bisa kemari " Tidakkah engakau tahu bahwa segala barang yang terkedai ini tidak ada dari harta benda mu yang datang kemari dan tidak pula dari harta benda suami mu itu " Tidakkah engkau tahu bahwa gelang ku, subang dan segala perhiasan intan berlian ku dahulunya yang di jual dan digadaikan untuk menegakkan perniagaan ini, sehingga suami mu yang dahulu hanya berjualan dipunggung sudah bisa membuka kedai " Engkau hinakan orang Jawa " Mana engkau bisa hidup, mana tanganmu bisa berlilit emas kalau bukan orang Jawa ini, anak sombong ! Engkau katakan engkau senegeri dengan suamimu. Ya begitulah perempuan orang Padang, mata duitan. Dahulu seketika suami ku itu melarat di rantau ini, haram kalian hendak ingat kepadanya atau hendak meminta pulang. Seorangpun haram orang perempuan Padang yang sudi kepadanya sampai dia seakan-akan terbuang. Sekarang setelah terdengar dia kaya dan kekayaannya itu dari gelang ku, dari subang dan dukuh ku, barulah engkau katakan sekampung, berninik mamak. Ninik mamak orang Padang hanyalah uang, kau tahu " Adat ! " Sedikit-sedikit kami beradat. Sombong ! Apakah engkau kira kami yang bukan orang Padang tidak beradat " Ya, itulah macam adat. Kalau kelihatan orang kaya yang mampu dan senang hidupnya dengan istrinya, semuanya hendak memeras dan semuanya hendak merampasnya menjadi suami. Itulah adat orang Padang& & Cis ! tak usahlah upik, tak usahlah kau perlihatkan adat Padang kepada ku, aku sudah tahu, semuanya. Kau datang kemari dengan mamak mu dengan ibu mu. Semuanya pulang kembali, ongkos pulang balik mesti suami mu yang menanggung, belikan pula kain bajunya. Itulah adat mu yang engkau puja-puja itu, dan itulah alamat berninik bermamak, semuanya hendak menghabiskan dan hendak mengupas kulitnya, memakan dagingnya dan kalau boleh hendak mengertuk tulangnya sekali. Adakah kau datang kemari hendak membelanya " Tidak ! Engkau hendak membelanya, engkau bukan hendak menolongnya tetapi hendak menggolongnya. Katakan juga beradat negeri mu itu ! Saya sudah tahu engkau mengharapkan dibelikan sawah, dibuatkan rumah dan dibelikan gelang emas berlian, beli kain sepuluh peti. Sampai nanti kering suami mu itu dan kalau dia telah kering, sehingga kembali pula merantau dengan kemelaratannya, engkau akan minta talak dan minta cerai. Sebab engkau masih muda, dan engkau cari pula laki-laki lain, di negeri mu seorang perempuan yang beradat boleh berganti janda sepuluh kali setahun ! Bukan aku yang menumpang disini, upik, engkaulah yang menumpang& & . .
Dia ketika berbicara itu tegak dengan gagahnya dan mulutnya sebagai air hilir, matanya berapi-api, hilang pertimbangan dari hatinya.
Mariatun hendak mencoba juga menjawab tetapi mulutnya telah terkunci. Dan Poniem masih menunggu kalau-kalau musuhnya itu masih menjawab.
Suyono hanya diam di luar saja sambil menekur mengenangkan rumah tangga yang dahulunya surga itu, sekarang telah menjadi neraka.
Jawablah. Cobalah jawab kalau kau bisa ! Kata Poniem, pati madunya itu, dicobanya hendak menarik rambut dan menggigit badannya tetapi sebaik dia datang, Poniem telah bersiap menunggunya dengan tangkasnya. Oh, engkau akan mencoba mencekikku. Tidakkah engkau ingat lagi perkataan mu tadi, bahwasanya bagiku nyawa ini hanya murah saja, bukankah aku ini hanya perempuan kontrak " Jiwaku lebih murah daripada jiwamu !
Hampir terjadi pergumulan hebat, tetapi sebaik hendak bergumul selekas itupula Suyono datang memisahkan. Tangan Poniem dipegangnya kuat-kuat : Yu& & . Eh Yu, mengucaplah. Apa namanya perbuatan ini " ditariknya tangan Poniem kuat-kuat, seakan-akan dilemparkannya ke pintu kamarnya. Dan Mariatun sebelumnya terpegang pula, telah berlari naik ke loteng. Disana dia menangis sekuat-kuat hatinya sambil dibuah-buahilah dengan ratap, mengulang-ulang caci maki Poniem itu.
Orang menumpang rupanya kau disini Mariatun, orang hina kau kiranya. Adat negerimu dihinakan orang Mariatun. Dituduh orang mamak dan ibumu lobak tamak& . Dan banyak lagi yang lain buah ratapnya.
Kira-kira pukul empat sore Leman telah pulang, didapatinya Suyono termenung saja disudut kedai. Mata orang kiri kanan lain saja melihat kepadanya. Dia terus kebelakang. Didapatinya wajah Poniem muram saja. Dicobanya menanyai, Poniem hanya menjawab : Istri abang yang cantik molek itu amat benci melihat orang Jawa buruk ini masih disini juga . Leman menggeleng-gelengkan kepala lalu dia naik ke loteng. Didapatinya Mariatun sedang bergulung-gulung dengan bantal, tangisnya diperjadi-jadinya kembali, padahal tadi sudah reda. Baru saja Leman duduk didekatnya, dia menggarung seraya meratap : Antar say pulang kekampung. Saya membuat susah istrimu saja. Hidup senang dengan dia, telah menjadi kusut lantaran saya. Antarkan saya pulang !
Ah, ada-ada saja, kalian semuanya bodoh-bodoh. Semuanya tidak tahu diuntung. Nanti kalau saya tidak tahan lagi keduanya saya tempeleng, atau keduanya saya usir dari sini seperti mengusir anjing. Membuat pusing, membuat malu dengan orang kiri kanan . Ujar Leman. Dan dengan marah dia turun ke bawah dan begitu pula perkataannya kepada Poniem.
Tetapi sejak itu mulailah dirasanya sudah memikirkan hal ini. Mulailah sudah ada sesal, mulai ada keluh dan sudah ada dia termenung.
11. Pecah UNGGUH banyak sekali manusia yang lemah tak dapat mengendalikan dirinya untuk menahan hawa nafsu. Perturutkan dahulu. Buruk baiknya hitung dari belakang. Demikian kata hatinya setelah dia menempuh suatu perbuatan yang ditolak oleh timbangan halusnya, tetapi dikehendaki oleh nafsunya. Kelak zaman belakang waktu berhitung itu akan tiba juga. Maka cerahlah langit teranglah awan, hakikat kebenaran itupun tampaklah, sebab bila hawa nafsu telah lepas, tinggallah tanggungan bathin yang maha berat.
Demikianlah Leman, bahwasanya akan sulit jalan yang akan ditempuhnya nanti, dia sendiri telah merasa waktu itu dan orang-orang sebagai Bagindo Kayo telah memberi ingat. Tetapi dia lemah, dia jatuh di bawah kendali hawa nafsunya. Adaada saja dalih yang diperbuat untuk pelemahkan pendirian yang asli. Dikatakan dengan istri yang tua tidak beranak, dikatakan malu menjejak kampung halaman sebab belum ada rumah tangga di kampung sendiri. Pada hal pada hakikatnya dalam kehidupan orang kampung, anak itu tidaklah sepenting kemenakan. Bukankah suku anak berlain dengan suku ayah dan kemenakan itulah yang lebih dekat kepada dirinya " Sentana ada anaknya dengan Poniem, tentu tidak pula akan diakui orang Minangkabau dan itu pula yang akan jadi alasan untuk menambah istri seorang lagi.
Apabila manusia telah lemah mengambil timbangan untuk kepentingan dirinya sendiri pada kali yang pertama, kelemahan itu akan berturut-turutlah sampai kepada akhirnya. Maka sejak terjadi kekusutan rumah tangga itu, dia dengan Poniem tidak dapat lagi terus terang semacam dahulu. Pada hal musyawarah dengan terus terang itulah awal bahagianya di dalam pergaulan selama ini.
Dalam kekusutan rumah tangga yang semacam ini, yang paling buruk ialah apabila dimasukan tangan orag lain ke dalamnya, orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas bahagia diri kita sendiri. Dan cara yang begini masih menjadi kebiasaan yang ringan dalam kalangan bangsa kita.
Rumah tangganya telah kusut. Leman telah mulai membicarakannya kepada orang lain. Dia meminta pertimbangan ke kiri dan ke kanan. Orang luar lebih suka melihat kejadian yang hebat. Terutama orang yang sama-sama orang kampung yang lebih banyak memikirkan untung sendiri meskipun akan merugikan disana dimintanya pertimbangan tentang istrinya itu. Hampir semuanya memberi nasehat, lebih baik diceraikan salah seorang.
Yang mana yang mesti saya ceraikan "
Satu diantara nasehat yang didengarnya begini bunyinya : Tetapi Leman jagan marah. Menurut fikiran kami, meskipun bagaimana baiknya pergaulan dengan Poniem, lantaran dia bukan sekampung, lebih baik dia saja tinggalkan. Betul awak kasihan kepadanya, tetapi apalah hendak dikata, setinggi-tinggi terbang bangau namun dia akan kembali kekubang juga. Adapun Mariatun, dia sekampung sehalaman, sekota senegeri dengan engkau. Engkau akan tua, akhirnya akan pulang kekampung juga .
Itulah macamnya nasehat yang diberikan orang kepadanya. Bertambah lama bertambah hilang pertimbagan sendiri, menang pertimbagan orang lain. Apalagi ditumbuhi pula oleh hawa nafsu muda, yang lebih suka memakai yang baru dan membuangkan yang lama. Sejak banyaknya nasehat-nasehat yang semacam itu, dia pun bertambah renggang dari istri yang tua, dan si istri pun telah mulai pula merasa. Dahulu kerab kali dia menyambut haknya, membantah suatu perbuatan yang tidak adil. Sekarang dia mulai pendiam. Sebaliknya Mariatun, tiap-tiap suaminya pulang ke kedai, pulang berjaja, tiap-tiap akan tidur dan duduk berdua, ada-ada saja jalan baginya membusuk-busukkan Poniem, dan Poniem pun mulai merasa hidupnya terpencil. Segenap orang kampung suaminya yang berdagang di sana boleh dikatakan berpihak kepada Mariatun. Orang memandang Poniem tidak sebagai dahulu lagi, dia telah dipandang sebagai orang menumpang saja.
Perempuan adalah lautan, bila kita tidak kuat merenangi, kita akan ditelannya. Dengan berangsur-angsur Leman telah tertelan oleh Mariatun. Entah siapa yang mengajarkan, sifatnya pun tambah lama bertambah kasar kepada Poniem. Segala percakapan Poniem dahulu, memburukkan adat orang Padang, kerab kali di ulangnya dekat suaminya atau dekat yang lain-lain.
Kawan Poniem yang setia hanyalah Suyono. Jika Mariatun kemuka menemui suaminya berjualan, bergelak-gelak bergurau senda, Poniem telah duduk seorang dirinya di dapur. Orang lain bercakap-cakap dengan bahasa minangkabau dengan tertawa-tawa, maka dia apabila Suyono datang, bercakap-cakap pulalah dengan bahasa Jawa. Kalau ada kuli kontrak yang akan membeli, dipanggillah Suyono oleh Mariatun : Eh, Suyono layanilah ini, inilah bangsa mu .
Ajaib, lekas benar angin beralih.
Maka terjadilah yang sangat tidak di ingini itu. Ibarat suatu bisul yang telah lama sakit, sekarang akan meletuslah. Sebuah peti dibuka. Yaitu peti batik yang baru saja dipesan dari Pekalongan. Baru saja peti itu terbuka, datanglah Mariatun mendekati. Hatinya tertarik benar melihat sehelai kain batik yang halus itu. Belum lagi dihitung dan dilihat faktur barang itu, kain tersebut telah di helakkannya : Ini buat saya . Katanya dengan senyum, lalu hendak dilarikannya ke loteng.
Jangan, tunggu dahulu, fakturnya belum diperiksa . Kata Leman.
Cuma sehelai ini . Kata Mariatun pula lalu berjalan dengan senyumnya hendak menghantarkan kain itu ke atas, kedalam lemarinya. Hendak dikumpulkannya dengan kain-kain yang telah beberapa helai diberikan suaminya kepadanya. Tetapi didekat pintu Poniem telah lama berdiri. Dia melihat saja parangai madunya itu dengan benci. Rasa sayang kepada suami, rasa cinta selama ini pun telah kendor lantaran marah. Dia meminta supaya haknya jangan diperbedakan. Melihat Mariatun tidak mau tercegah mengambil kain itu, Poniem pun menerobos pula ke muka, diambilnya pula sehelai yang paling halus : Buat saya sehelai . Katanya pula.
Kalau Poniem masih sendiri, tahu dan insaf dia apa artinya perbuatan itu. Kain itu belum boleh diambil. Mesikpun telah dilihat fakturnya, pun juga tidak boleh, karena kain itu adalah kain jualan. Kalau telah main ambil keambil saja, alamat peraturan perniagaan tidak akan berjalan lagi dan itulah tampang kecelakaan. Dahulu Poniem sekali-sekali tidak suka berbuat demikian, budinya jauh lebih mulia dari itu. Gelang ditangannya akan dibukanya supaya perniagaan itu jangan terganggu, bahkan bertambah subur dan maju. Tetapi sekarang telah lain. Sekarang adalah perbuatan pengaruh diantara dua orang perempuan terhadap seorang lakilaki. Apabila cinta itu dituluskan kepada seorang, maka laki-laki itu akan menerima cinta yang penuh pula dari seorang perempuan. Mau perempuan itu mengorbankan dirinya sendiri untuk segenap keperluan suaminya. Tetapi apabila si laki-laki telah membagi cinta itu kepada dua orang perempuan, keduanya akan merebut merampas supaya suami itu lebih berat kepada dirinya sendiri. Ketika itu laki-laki yang dimintanya berkorban untuk dirinya, bukan dia lagi yang mau berkorban untuk laki-laki. Waktu itu bukan suaminya lagi yang dicintainya, tetapi dirinya sendiri. Poniem telah tahu perbuatan Mariatun itu salah. Tetapi lantaran tidak mau kalah, lantaran hendak meminta persamaan hak, dia tidak peduli kesalahan kawannya melainkan dia ikut pula membuat kesalahan sebuah lagi. Sehingga laki-laki itu memikul kerugian dua kali.
Letakkan itu kembali ! Ujar Leman dengan marahnya.
Suruhlah Mariatun meletakkan dahulu, baru barang ini akan saya letakkan pula . Kata Poniem.
Letakkan kain itu kemari Mariatun ! Kata Leman pula.
Cuma kain sehelai . Katanya, lalu dia terus juga naik.
Leman bertambah marah. Dia tegak lalu dirampasnya kain itu dari tangan Poniem. Poniem rupanya tidak pula menimbang lagi apa yang akan yang terjadi. Dia berlari naik ke atas loteng dirampasnya pula kain yang sehelai lagi dari tangan Mariatun. Mariatun menahan, dia menarik, sehingga terjadilah pergumulan yang hebat, kedengaran oleh Leman yang sedang di bawah. Sebagai kilat cepatnya Leman naik ke atas. Didapatinya kain itu telah lusuh diperebutkan, separo ditangan Mariatun dan separo lagi ditangan Poniem.
Rupanya kau hendak berlantas angan benar di sini, sudah lama saya menahan hati melihat perbuatan dan kelakuanmu Kata Poniem. Sedang dia duduk di atas perut Mariatun, tangannya yang sebelah menarik rambut Mariatun dan yang sebelah lagi memukul dadanya. Sangat kalafnya kelihatan, sehingga Mariatun tidak dapat bergerak lagi, meskipun ujung kain itu belum juga lepas dari tangannya. Sedang terjadi perkelahian yang hebat itulah Leman datang. Dengan sekali renggut saja direnggutkannya rambut Poniem, sehingga terhindar dari tubuh istri mudanya, lalu diiringinya pula dengan sepak sekali, sehingga terguling kepinggir : Kurang ajar ! Jawa buruk, kau hendak membunuh orang di sini .
Aduuh, aduh& & .. sakitnya, aduh !..... tolong saya, tolong ! hancur rasanya seluruh badan saya dikirik diremas oleh Jawa hina ini. Ya Allah ! mati badanku di kiriknya . Kata Mariatun sambil melengking-lengking memekik-mekik serupa orang sangat ke sakitan.
Poniem bangun dirasanya pinggang yang sakit kena sepak itu. Dilihatnya mata suaminya tenang-tenang. Lama baru mulutnya bisa berkata : Ganjil ! begitu caranya Abang memisahkan istri berkelahi, ya " Lebih baik Abang ambil saja pisau Abang sembelih leher saya, habis perkara ! sehingga tidak terganggu lagi pergaulan Abang dengan istri Abang yang cantik molek ini .
Kau jangan banyak cakap di sini. Kau memang kurang ajar .
Aduh sakitnya& & Ya Allah Ya Rabbi, remuk hancur badanku dipiriknya, patahpatah rasanya tulangku diremas& & . Aduh . Bunyi pekik Mariatun kembali.
Pembohong, belum sampai badannya ku pengapakan, belum sekeras sepak yang dijatuhkan ke atas pinggangku . Kata Poniem.
Diam ! Suara ribut itu telah kedengaran kesebelah menyebelah. Dengan langkah perlahan Suyono naik ke atas. Disaksikannya rambut kedua perempuan itu telah kusut, bajunya robek-robek dan kain yang diperebutkan itu telah hancur. Melihat Suyono naik, maka dua orang perempuan berdekatan rumah, sekampung dengan Leman, naik pula. Mereka terus datang membujuk Mariatun dan membimbing tangannya, mata mereka berapi-api melihat Poniem.
Mariatun bertambah menangis. Karena dilihatnya amat besar pengaruh tangisnya itu kepada suaminya. Leman bertambah marah melihat Poniem.
Kalau begitu kau di sini, saya tidak senang kepadamu lagi .
Kalau tidak senang lagi, boleh dibuang dan boleh diusir , jawab Poniem.
Leman bertambah marah, lebih-lebih mendengarkan pekik Mariatun dan disumbusumbi pula oleh karena perempuan yang baru datang itu.
Kau beleh pergi dari sini ! kau orang Jawa ! boleh turutkan orang Jawa, kau boleh kembali ke kebun ! sebelah mata saya tidak bisa pandang pada kau lagi. Pergilah dari sini, mulai sekarang saya jatuhkan kepada kau talak tiga sekali. Pergilah ! .
Hening beberapa saat tidak seorangpun menyangka bahwa keputusan yang begitu kejam dan hebat yang akan menimpa diri perempuan itu. Hening, sehingga jarum jatuh pun bisa kedengaran rasanya. Mariatun menegur saja kelantai, dia tidak memekik lagi. Kedua perempuan yang berdiri mengurut-urut punggungnya itu terdiam saja, tak dapat menentang muka Poniem. Suyono pun melihat pula kepada Leman dengan mata tiada terpejam.
Poniem melihat kepada Leman sebagai tercengang, sebagai tak percaya dan setelah itu dilihatnya orang berkeliling, dilihatnya kedua perempuan itu, dilihatnya Mariatun dan dilihatnya pula Suyono. Seakan-akan pandangannya itu menaruh pertanyaan apa benarkah demikian keputusan yang telah ditimpakan kepada dirinya. Talak tiga !
Ajaib& & ., apa benarkah itu pergaulan yang telah hampir sepuluh tahun, telah tamat pada hari itu " sepatah katapun dia tidak berkata-kata lagi, Leman pun diam pula. Poniem turun kebawah dengan langkah perlahan-lahan, sambil memegangkan pinggangnya karena sakit. Diam masuk kedalam kamarnya, dihelakannya kain-kainnya yang tersangkut disangkutan sehelai demi sehelai.Mula-mula dia sebagai kebingungan saja,tetapi bertambah sesaat bertambah hebat rasanya di dalam hati nya. Maka jatuhlah air mata setitik demi setitik, satu diiringkan yang lain. Diangsurnya melipati kain-kain nya itu satu persatu dan disusunnya kedalam peti seng nya sedang air matanya menitik juga. Leman telah turun pula ke bawah, dan Mariatun telah tinggal seorang diri di atas, termenung-menung. Ke dua perempuan tetangga itu pun turun pula. Ditentang kamar Poniem mereka tertebun, mereka joba hendak masuk ke dalam tetapi pintu lekas ditutup kan. Suyono telah pergi bermenung di atas bangku kecil di sudut kedai. Leman tak berkata sepatah jua. Dia duduk termenung di atas kursi.kian lama kian diam. Sebentar-sebentar dia melihat ke kamar Poniem.


Merantau Ke Deli Karya Hamka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika itu hari sedang tengah hari, panas amat teriknya. Orang yang lalu lintas di jalan raya kurang sekali. Ada juga lalu bendi sebuah dua, tetapi tak bermuatan, kudanya mengayunkan kaki perlahan-lahan, kusirnya serupa orang mengantuk. Tiba-tiba kedengaran lah pintu kamar Poniem berkicut. Leman terkejut dari menung nya. Poniem telah ke luar, matanya merah bekas menangis, tetapi telah lama rupanya disekanya. Telah di pakainya kain-kain nya yang baru, dilekatkanya dukuh dan gelangnya, petinya di angkatnya ke luar. Leman tek dapat bergerak dari tempat duduknya. Hening sesaat.
Abang ! Leman diam saja, mata melihat tenang kejalan raya.
Sudah sekian tahun kita hidup berdua, manis dan pahit telah kita makan, lurah yang dalam telah kita terjuni dan bukit yang tinggi telah sama kita daki. Tetapi hari ini terpaksa rupa nya kita bercerai . Setelah itu tertegun bicaranya.
Hanya satu permintaanku, Abang. Aku tidak meminta supaya perniagaan ini dihitung, dan bahagianku di keluarkan, meskipun terang ada hak milikku di dalamnya. Hanya satu saja yang akan kubawa, izinkanlah .
Lalu dia pergi ke dekat lemari kain, tempat batik-batik jualan tersusun. Diambilnya sehelai kain panjang yang tidak begitu halus.
Biarlah sehelai ini saja hartaku kuambil dari kedai ini, akan jadi tanda mata. Mudah-mudahan Jawa buruk ini tidak lagi akan memberati di atas rumah ini .
Kain itu diambilnya lalu dimasukkannya di dalam kopernya. Setelah koper itu dikuncinya kembali, dengan tenang di bawanya ke luar kedai, ke kaki lima. Sebuah bendi yang sedang lalu, dengan kudanya yang sedang berjalan perlahan ditahannya. Setelah berhenti, dimintanya kepada Suyono supaya ditolong menaikan barang nya dia hendak kesetasiun.
Kereta api masih lama lagi, Yu . Kata Suyono
Biar di sana saya menunggu . Jawabnya
Tinggal Bang . Katanya. Tetapi Leman tidak bergerak dari tempat duduknya, dia diam saja seperti orang bisu.
Setelah bendi berangkat, Suyono kembali ke kedai, tetapi dia tidak duduk ke bangku kecil itu lagi. Dia pergi kebilik kecilnya disudut dapur, dikemasinya kainkainnya, dibungkusnya dengan sebuah bungkusan kecil, lalu dia keluar dengan bungkusan itu dan terus kehadapan Leman yang sedang termenung. Dengan suara yang tetap tetapi ganjil bunyinya, dia berkata : ,, Engku & saya pun hendak berangkat pula sekarang .
Mendengar suara itu barulah Leman tersadar dari menungnya.
Kemana engkau akan pergi "
Menemui mbak Ayu ! Kapan kembali " Barang kali tidak akan kembali lagi !
Apa " Ya. Barangkali tidak akan kembali lagi. Bukankah saya kuli kontrakkan pula " dan orang Jawa pula "
Sebelum Leman sanggup menjawab, dia pun keluarlah dari kedai itu, naik kesebuah bendi dan menuju pula ke setasiun. Sampai di setasiun didapatinya Poniem duduk seorang dirinya, karena orang lain belum datang sebab kereta api lama lagi akan berangkat.
Mengapa engkau kemari " tanya Poniem.
Kalau mbak Ayu suka, saya akan mengikuti kemana mbak Ayu pergi. Bukankah kita senasib "
Benar Yono . Kata Poniem sambil menarik napas panjang. Kita sama-sama orang Jawa !
Dalam sesaat saja hilanglah dua pangkal keberuntungan dari dalam rumah Leman. Pertama istrinya yang setia, kedua temannya berniaga yang semakin lama menjadi tumpuan langganan dari mana-mana.
Leman termenung-menung memikirkan mulutnya yang terlanjur, dan teringat akan keadaan perniagaannya dibelakang hari : Nasi sudah jadi bubur !
12. Menuruti Adat Lembaga
SUDAH terlepas daripada beban yang amat berat, demikianlah rasanya hati Leman sejak bercerai dengan Poniem. Meskipun masih kerab kali juga teringat olehnya kebagusan pergaulannya dahulu dengan perempuan yang telah diceraikannya itu, tetapi perasaan itu lekas bias dihilangkan. Karena tidak beberapa lama kemudian Mariatun telah mengandung. Padahal itulah yang sangat dicita-citakannya.
Setelah genap bulannya, anak itupun lahir, anak perempuan. Anak perempuan bagi orang Minangkabau lebih besar harganya daripada anak laki-laki. Karena kalau ada beranak perempuan, ada harapan timbul cinta si ayah akan membuat rumah untuk anaknya itu, disamping itu membuat rumah tentu akan membelikannya sawah, sehingga pergaulan diantara kedua suami istri itu bertambah tegap dan teguh.
Lantaran telah beroleh anak perempuan, bentuk rumah tangga menjadi lain. Harta benda tidak ada harganya, mencari uang sudah mesti lebih bersungguh-sungguh daripada yang dahulu. Apa lagi disamping mencarikan harta benda untuk istri, orang Minangkabau terikat pula oleh kewajiban kepada familinya sendiri, yaitu saudara-saudara di dalam sukunya. Kalau seorang hanya menumpahkan hartanya buat anak dan istrinya, dia dinamakan Batu terbenam kebancah tidak memikirkan dunsanak dan kemenakan sendiri, hanya memperkaya Orang lain saja. Orang Minangkabau mencari harta benda, adalah untuk memperkaya suku sendiri, bukan untuk orang lain.
Tampang kepercayaan induk semang yang lama ada. Sebab itu diperbuatlah hutang lebih banyak dari dahulu diramaikan kedai dengan barang-barang amanat. Sehingga kelihatannya sudah lebih maju daripada dahulu. Padahal dahulu kebanyakkan barang dibeli kontan, meskipun tidak seramai yang sekarang. Sedang sekarang lebih ramai, tetapi dari barang yang dihutang. Ada lagi satu kekurangan yang lebih besar pada masa sekarang. Sekarang sudah perlu banyak memakai anak semang, yang bernama kongsi gendong. Yaitu disuruh orang-orang lain mencacakan barang-barang ke kebun-kebun tiap-tiap gajian kecil dan gajian besar (tanggal 16 dan tanggal 1). Orang yang disuruh itu dibawa berkongsi. Laba dibagi dua, seperdua kepada yang empunya barang dan yang seperdua kepada yang menjalankan. Orang yang dibawa berkongsi demikian tidak kurang dari sepuluh orang. Sayang tidak semuanya jujur. Ada yang menjual barang berlaba Rp. 1, dikatakannya Rp. 0,80 sen, laba yang didalam 80 sen itulah yang dibagi kedua kelak. Yang 20 sen masuk sakunya.
Alangkah majunya perniagaan begini. Tetapi untungnya sudah lebih tipis, karena barang-barang itu kebanyakan bukan kepunyaan sendiri, melainkan barang amanat pula. Berapa laku mesti segera disetor kepada induk semang di awal bulan, supaya diberinya pula barang yang baru. Kalau orang-orang yang bekerja lurus, bias memegang amanat, bias jugalah maju dan terjaga baik. Tetapi anak-anak semangnya itu sebanyak yang lurus sebanyak itu pula yang bengkok. Kadangkadang dengan tidak tahu-tahu, sehabis berjualan dia tidak pulang lagi ke kedai, dia terus saja pergi membawa jualan itu kenegeri lain, sampai ke Betawi atau ke Lampung. Akan dilaporkan kepada Polisi merasa enggan, karena dia family sendiri. Diwaktu yang demikianlah teringat jasa Suyono orang kontrak dari Jawa itu. Dahulu selagi dia masih ada, barang-barang itu dipegangnya sebagai tanggungannya sendiri, dijualnya dengan kelurusan. Karena dia insaf bahwa dari sanalah pangkal hidupnya.
Beban amat berat. Kekampun telah dikirim surat menyuruh membelikan pekayuan buat rumah anak. Sebab itu perlu dikirim uang. Cukup untuk membeli pekayuan sampai kepada harga papan. Belum lagi harga atap seng. Kayu itu hendaklah kayu pilihan. Dan kayu perlu rumah itu diberi beralas semen, maka harga semen itu lain pula. Uang kepunyaannya waktu itu tidak cukup buat memenuhi kehendak orang dikampung. Betul banyak uang terletak di dalam kotak, tetapi tidak beberapa uang yang kepunyaan awak, sedang waktu setor tiba-tiba.
Kesudahannya terpaksalah uang yang sedianya akan disetor penuh, dipakai lebih dahulu buat keperluan sendiri. Setoran yang sedianya Rp.500,dijadikan dahulu Rp. 300,dijanjikan akan disempurnakan habis bulan. Dan sehabis bulan janji itu tidak pula dapat dipenuhi melainkan kurang dari mestinya. Maka bertumpuklah hutang. Demikianlah caranya menyudahkan rumah. Sehabis mengerjakan rumah, perlu pula istri itu dibelikan sawah. Keperluan membeli sawah itupun demikian pula, yaitu dengan jalan memakai uang yang sedianya akan disetor. Setelah hampir satu tahun hutang-hutang tidak berkelunasan, maka induk semangpun menyesaklah dengan sekeras-kerasnya. Untuk memelihara jangan sampai membawa kesan yang tidak baik terpaksalah pinjam ke kiri dan ke kanan. Tertutup hutang kepada induk semang besar, tinggal hutang kepada kawan-kawan kiri kanan yang wajib diangsur pula tiap-tiap bulan. Padahal pedangang perlu lekas-lekas dibayar uangnya supaya dapat dijalankannya pula. Sekumpulan uang tertahan dijalannya bukan sedikit membawa atau mendatangkan kerugian kepada perniagaan. Hal ini berlaku hampir pula setahun. Akhirnya dengan tidak terasa semarak kedai itu berangsurlah hilang. Tidak terdapat lagi yang kepunyaan diri sendiri dan orang pun telah agak enggan memberikan barang dengan jalan hutang. Orang yang bisa dipercaya menjalankan dengan sigap sebagai Suyono dahulu tidak ada lagi. Rumah dan sawah dikampung telah ada, semuanya bukan kepunyaan sendiri, tetapi kepunyaan istri.
Sudah hampir tiga tahun merantau. Menurut adat dikampung sudah patut pula Mariatun dibawa pulang. Apa lagi hendak melihatkan anaknya kepada kaum kerabat. Pulang beranak pun perlu belanja, perlu kain selengkapnya, perlu membeli barang emas untuk Mariatun sendiri, jangan kalah hendaknya daripada pakaian Poniem seketika dibawa pulang dahulu. Dan anak sendiri, anak perempuan. Pakaian anak perempuan meskipun belum cukup usianya dua tahun tentu ada pula hendaknya. Sekurang-kurangnya subang emas semacam gelang tangan, gelang kaki dan dukuh. Semuanya tentu dari emas. Kalau tidak tentu malu awak, terlebihlebih seketika mula-mula turun dari atas oto, seketika anak itu disambut neneknya dari tangan ibunya. hendaknya tangan yang mengulurkan harus merah dan diri anak itu sendiri mesti berpalut pula dengan emas. Waktu turun dari atas oto itulah lagak yang dicita-citakan oleh tiap-tiap orang yang merantau ke Deli, walaupun sesudah itu tidak akan melagak lagi.
Itu pasal pakaian. Adalagi yang lebih penting, yaitu peti menyanyi piring plat barang 20 buah, meja kayu jati yang buatan Medan& . Meskipun di kampung sendiri ada juga meja.
Demikian juga cawan pinggan, barang-barang gelas agak satu peti kecil. Semuanya perlu.
Sudah sekian lamanya merantau, sudah tiga tahun. Tentu Mariatun sudah menyediakan uang pula guna pembeli kain bakal baju, kain sarung beberapa persalinan, yang akan di hadiahkan kepada kaum kerabat dekat dan jauh, terutama untuk pembalas bungkus orang yang ikut mengantarkan ketika akan berangkat dahulu.
Sekali pulang saja, untuk ongkos, yang perlu-perlu itu tidaklah akan kurang daripada Rp. 300,pula[1]. Belum lagi belanja sampai kekampung. Maka sebelum pulang itu diajaknyalah orang lain berkongsi buat tiga bulan lamanya. Kongsi itulah menjalankan perniagaan selama dia dikampung. Pulang kekampung itu bukan sebentar, sekurang-kurangnya tiga bulan, hampir sama dengan orang pulang bergaji Rp.400, sebulan layaknya. Dengan demikian barulah adat berdiri, baru lembaga bertuang, baru sah menjadi anak Minangkabau ! semuanya itu telah dilakukan. Boleh dikatakan licin tandas perniagaan sendiri seketika akan pulang itu. Pendek kata sejak bercerai dengan Poniem belum ada lagi tambahan dan kemajuan yang nyata, melainkan terus menerus menyusuti yang telah ada. Meskipun telah nyata bahwa uang itu dilekatkan pada sawah dan rumah di kampung, sama artinya uang yang lekat di sana sebagai barang mati, sebab tidak dapat lagi. Berapa banyaknya orang merantau yang menghabiskan hari mudanya, sampai tuanya di rantau, di Deli, di Bengkulu dan di mana jua pun. Bila telah ada uang, dikirimkan pulang, disuruh kerabat yang tinggal dikampung supaya memperbuatkan rumah atau dilekatkan kepada sawah. Maka berdirilah rumah yang indah-indah, yang bagus, tetapi tidak ada yang mendiaminya. Sebab yang mempunyai masih tetap merantau. Yang menghuni rumah demikian hanyalah orang-orang tua-tua, orang yang tetap bertani, hingga di beranda muka rumah itu dihampaikan celana kesawah dan baju untuk ke ladang. Lampu-lampu mahal yang bergantungan di karut lawa-lawa. Nanti kalau sudah tua, atau sudah melarat dirantau, barulah ingin hendak tinggal di kampung, tinggal di dalam rumah yang telah diperbuat tadi. Pendirian itu baik, kalau tidak akan merusak sumber pencarian di rantau sendiri, artinya yang dibelanjakan itu kelebihan dari modal. Yang celaka ialah kalau modal itu sendiri yang dibelanjakan untuk itu, sehingga uang hanya habis dijalankan, akan belanja pulang dan belanja kembali. Di kampung sendiri ada rumah bagus, tidak sanggup mendiaminya. Diri sendiri pergi merantau ke negeri orang, sampai di sana menumpang di kaki lima rumah orang. Kadang-kadang sebuah rumah kedai disewa sampai empat atau lima keluarga. Di loteng dua kamar, di bawah tiga, bersempit-sempit, sehingga hilang kebersihan. Yang setengahnya lagi apabila telah banyak uangnya, dibelikannya sawah untuk anak istri atau untuk famili. Untuk diri sendiri tidak ada. Sebab orang laki-laki di Minangkabau tidak berhak memiliki harta. Negeri telah selesai dikerjakan, sawah yang baru belum ada. Melainkan sawah pusaka turun temurun. Maka pindahlah sawah-sawah yang ada di tangan si miskin ke tangan si kaya, si banyak uang. Si miskin tidak sanggup lagi memindahkan uang harga sawahnya kepada sawah yang lain. Sebab itu, uang itu dibawanya berniaga. Karena modal tak besar, uang itu habis.
Maka dari setumpuk ke setumpuk pindahlah sawah dari tangan si miskin ke tangan si kaya. Terjadilah kelaparan suatu suku dan kenyang suku yang di dekat si kaya tadi. Orang-orang yang mempunyai sawah dahulu sekarang hanya menjadi tukang menerima upah menanam, upah mengirik dan upah menumbuk padi.
Tidak ada niatan hendak memperbesar modal dirantau, atau hendak membeli tanah di negeri orang, supaya harta benda orang di kampung jangan terganggu. Melainkan kalau mereka telah beruang banyak, hilang akalnya sebelum uang itu dilagakkannya kepada orang kampungnya sendiri. Hilang akalnya sebelum dia dapat mengulurkan anak perempuannya dari oto, yang di saput oleh emas. Waktu itu si laki-laki boleh tersenyum manis tsampailah cita-citanya selama ini.
Demikianlah penyakit yang telah menimpa jiwa Leman sejak dipengaruhi adat ini. Adat yang dikatakan tiada lapuk dihujan dan tidak lenkang dipanas ; Dia benci melihat orang dari Mandahiling kemanapun mereka merantau, tanah yang dicarinya dahulu. Sehingga telah ada orang Mandahiling yang telah hidup turun temurun di tanah Deli, demikian pula orang Banjar dan orang Jawa. Kata Leman orang telah melupakan kampung halaman. Leman dan teman-temannya pandai mencari rezeki, tetapi entah kemana rezeki itu perginya setelah didapat, tidaklah tahu.
Sejak orang candu merantau ini, hidup bertolong-tolongan, berfamili secara dahulu rusak binasa pula. Dahulu tidak ada sawah yang sampai diupahkan, tidak ada bertanam bersiang, menyabit dan mengirik yang diupahkan. Semuanya dikerjakan bersama-sama dalam kalangan orang sekampung. Sekarang yang akan mengerjakan telah habis lindang dari kampung. Sehingga perlu mengupahkan kepada orang yang datang dari tempat lain. Sedang upah sawah itu kadang-kadang sama dengan kehasilan yang diperdapat, bahkan kadang-kadang rugi, dan kadang tidak melepasi belanja. Kesudahan panjang rumput, semaklah ladang, liatlah sawah dan lenganglah kampung. Pulang mereka agak tiga Leman dengan istrinya telah pulang. Telah dicoba mendiami rumah yang baru diperbuat itu tiga bulan lamanya. Setelah habis masa tiga bulan Leman hendak kembali seorang dirinya. Tetapi Mariatun hendak keras mengikut. Dapat sajalah dimaklumi apa sebabnya dia keras mengikut. Dia takut kalau Leman surut kembali kepada jandanya. Maksud Leman makanya dia hendak merantau seorang diri lebih dahulu, biar istrinya tinggal di kampung, supaya agak ringan beban sedikit. Karena keadaan jauh berbeda daripada dahulu. Sebab pokok modalnya sudah kecil, hanya sisa-sisanya saja yang tinggal. Tetapi Mariatun tidak mau, dia hendak sama hilang sama timbul dengan suaminya, katanya. Apalah lagi kalau seorang perempuan telah merasai bagaimana senang merantau, canggung rasanya tinggal di kampung. Apa lagi kalau tinggal seorang diri dengan anak, suami jauh di rantau orang.
Sesampai ditempat tinggalnya kembali, didapati kebetulan saja apa yang disangkanya dahulu. Sepulang dari kampung dihitung perniagaan, direken laba dan rugi. Ternyata bahwa pokok asli Leman sudah sedikit sekali, boleh dikatakan sudah habis. Artinya kalau dia masih tetap tinggal di situ, dialah yang menjadi anak semang, kongsinya itulah majikan. Karena malu akan diperintah orang yang dahulunya diperintah, dimintanyalah berhenti dari perniagaan itu. Dan akan dicobanya berniaga sendiri. Tentu saja, ditanah Deli usul yang demikian amat menyenangkan hati kawan. Biasanya seorang yang berkedai diusir oleh orang yang ingin melihat letak kedai itu dengan uang, cia thee namanya, yaitu adat yang telah biasa ditiru dari orang Tionghoa. Sekarang yang menyewa toko itu sendiri yang tidak sanggup lagi, tentu kawan itu menerima dengan jari sepuluh.
Maka kelurlah Leman dari kedai yang telah bertahun-tahun di diamnya itu. Pindah kesebuah rumah petak kecil, disewanya berdua berkongsi dengan orang lain. Dengan sisa modalnya yang lama dan uang cia thee itu dibelinya barang untuk dijadikan dengan sepeda ke perkebunan-perkebunan, sebagaimana yang dilakukannya dahulu seketika dia mula-mula masuk ke tanah Deli.
Tidaklah kelihatan benar sedihnya, lantaran pertukaran nasibnya itu. Mariatun tidaklah sedih benar. Sebab sudah ada pergantungan harapan, yaitu rumah dan sawah setumpak hasil perjalanan yang dahulu. Barang emaspun telah ada pula. Sekarang biar surut kebawah dahulu. Kelak kalau berhemat tentu akan dapat pula sebagai dahulu kembali. Apalagi petuah guru telah ada ; dunia itu sebagai roda pedati, sekali turun sekali kita naik; mendapat janganlah terlalu harap, rugi janganlah terlalu cemas.
Cuma satu yang belum disadari Leman, yaitu perobahan dirinya. Dahulu semasa berkedai, sebelum pulang, kulitnya putih, tumitnya laksana berdarah dipijakkannya. Kain istrinya bertukar tiga kali sehari, anaknya manja. Sekarang, mukanya telah merah kehitaman dibakar cahaya matahari, anak bajunya telah busuk karena keringat, kain istrinya sudah jarang bertukar, dan & & , Leman tak sadar, bahwa dengan diam-diam rambut putih telah tumbuh sehelai dua helai, supuluh dan telah ada setumpak demi setumpak di atas kepalanya.
[1] Semua perhitungan ialah menurut ukuran sebelum perang.
Sumpah Palapa 22 Hardy Boys Misteri Manusia Kera Sembilan Pembawa Cincin 2
^