Pencarian

Siluman Tengkorak Gantung 1

Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung Bagian 1


. 161. Siluman Tengkorak Gantung (Bag. 1-3)
15. Januar 2015 um 06:21
1 ? Hujan saat ini turun begitu deras. Suara guruh dan sambaran kilat bersahutan, begitu menakutkan. Jilatan kilat bagaikan pedang malaikat yang sedang mengejar iblis terkutuk. Tanah di daerah itu sudah basah digenangi air hujan.
"Hiyat!"
Tar! Tar! Dalam cuaca seburuk itu di pinggiran hutan Jatijajar terdengar suara orang bertarung ditingkahi suara lecutan cambuk. Memang, tengah terjadi pertarungan tak seimbang. Tampak tujuh orang laki-laki berpakaian prajurit kerajaan, tengah mengeroyok dua orang pemuda bersenjata cambuk yang sudah terluka. Ujung cambuk dua pemuda itu berbentuk tengkorak kepala manusia.
Siut! Wut! Berbagai senjata tajam, berkelebatan, menghalau lecutan cambuk di tangan kedua pemuda berpakaian serba hijau dan serba kuning yang sudah kepayahan karena luka-lukanya. Tetapi mereka tidak mau menyerah juga. Dengan sisa-sisa tenaga, mereka terus bertahan sebisanya. Bahkan tampaknya sudah tidak memikirkan keselamatan lagi.
"Terimalah kebinasaanmu, Anak Muda! Sayang pemuda seusiamu, telah memilih jalan sesat! Atau kau ikut bersama kami menghadap Gusti Prabu Narawangsa untuk menerima hukuman!" bujuk prajurit yang berkumis dan beralis tebal. Dialah yang menjadi pemimpin prajurit ini.
"Jangan ikut campur urusanku! Dan persetan dengan Gusti Prabu!" sentak pemuda yang berpakaian kuning.
"Keparat! Kalian benar-benar tidak tahu diri! Pengawal, cepat ringkus dia! Hidup, atau mati!" perintah prajurit berkumis tebal.
Tanpa banyak basa basi lagi, para prajurit segera menerjang kedua pemuda yang menjadi buronan kerajaan. Tetapi keduanya tetap tidak mau menyerah begitu saja. Mereka tetap mengadakan perlawanan sebisanya tanpa memikirkan keselamatan diri lagi.
"Hiaaat!"
Walaupun bertahan sekuatnya, tetap saja kedua pemuda itu berada di bawah angin. Kembali mereka terdesak, dan hanya berusaha mengelak dan menangkis.
Sepuluh jurus kemudian, sebuah tusukan pedang menderu cepat ke arah dada pemuda berpakaian kuning. Maka secepatnya pemuda itu memiringkan tubuhnya, sambil berusaha mengangkat kakinya untuk menendang. Tapi di luar dugaan, satu luncuran pedang bersamaan datangnya, ketika kakinya terangkat. Dan....
Crap! "Akh!"
Pemuda berpakaian kuning itu mengeluh tertahan, ketika luncuran pedang salah seorang prajurit menancap di pahanya. Darah tampak mengucur deras ketika pedang itu tercabut.
Dengan segera pemuda yang berpakaian serba hijau melindungi. Dia bermaksud menghambat serangan berikut yang lebih dahsyat terhadap pemuda berpakaian kuning.
"Kakang Jayadi! Apakah kau tidak apa-apa..."!" tanya pemuda berpakaian serba hijau.
"Tidak perlu gelisah, Adi Arung Garda. Mati atau hidup tidak jadi soal bagi kita, bukan...?" tukas pemuda berpakaian kuning yang dipanggil Jayadi.
Kini pemuda berpakaian hijau yang bernama Arung Garda, menyerang para pengepung dengan mengarahkan ujung cambuknya yang berbentuk tengkorak ke arah kepala. Dan tampaknya, serangan tersebut tidak terlalu berbahaya, karena empat orang dari prajurit saja telah sanggup membendung.
Serangan balik prajurit benar-benar sangat membahayakan. Bahkan tiba-tiba ujung tombak salah seorang prajurit berhasil melukai lengan kanan Arung Garda.
Crasss...! "Aaakh...!"
Arung Garda terpekik. Lengan kanannya tampak mengucurkan darah. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, meluncur sebuah tendangan keras yang menghantam perutnya.
Des! "Aaakh...!"
Pemuda ini kontan ambruk cukup keras disertai pekik kesakitan. Sementara Jayadi yang mencoba menghalangi, juga tak luput mendapat bagian. Dadanya terhantam satu pukulan telak. Tubuhnya pun terhuyung-huyung disertai muntahan darah segar dari mulut, lalu ambruk ke tanah.
Ketika akan bangkit, telah terancam ujung tombak dan pedang yang berkelebatan menggiriskan. Rasanya nyawa mereka berada di ujung tanduk.
Namun pada saat yang gawat, mendadak berkelebat tiga sosok bayangan yang langsung memapak serangan para prajurit.
Trang! Tring! Tring!
"Wuaaa! Akh!"
Para prajurit kontan menjerit tertahan, ketika senjata mereka tertangkis. Bahkan tangan mereka terasa seperti kesemutan dan bergetar mundur dua-tiga langkah ke belakang.
Setelah melakukan pemapakan, tiga sosok bayangan hitam itu tidak melanjutkan serangan. Mereka langsung berdiri, melingkari Arung Garda dan Jayadi bersikap melindungi. Sehingga, para prajurit kerajaan dapat melihat jelas tiga sosok itu.
"Siapakah kau, Kisanak"!" tanya kepala prajurit kerajaan, setelah menatap beberapa saat dengan wajah terkejut.
"Ha-ha-ha...! Kami Siluman Tengkorak Gantung, yang tidak mengizinkan kalian membinasakan kedua orang ini!" jawab salah satu dari tiga orang yang baru datang ini.
Mereka semua memakai kerudung dan berpakaian serba hitam bergambar tulang tengkorak manusia. Bila dalam gelap, mereka bagaikan tengkorak manusia sungguhan. Di leher mereka masing-masing tampak melingkar seutas tali yang telah disimpul menjadi semacam gantungan. Maka tak heran kalau orang persilatan menjuluki Siluman Tengkorak Gantung.
"Di hadapan Siluman Tengkorak Gantung, kalian jangan sok jadi pahlawan! Kami berminat pada dua anak muda ini. Dan pergilah sebelum kami lupa diri!" ujar salah satu dari tiga Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tinggi besar. Lalu dibukanya tali gantungan yang melingkari lehernya.
Sementara itu hujan semakin menggila. Curahan air bagaikan ditumpahkan dari langit. Para pengawal kerajaan yang sudah berang, tidak mempedulikan keadaan cuaca lagi. Maka dengan teriakan menggeledek, mereka menerjang Siluman Tengkorak Gantung. Desingan dan teriakan kembali meningkahi cuaca yang semakin buruk.
Ctar! "Haaat!"
Sambaran tali pengikat leher, disambut para prajurit dengan berbagai senjata. Pertarungan sengit tidak dapat dielakkan lagi. Jurus demi jurus dilalui. Dan mendadak....
"Ugh... Hoekh...!"
"Aaa...!"
Tiba-tiba tercium bau yang amat busuk, diiringi ambruknya para prajurit kerajaan dengan teriakan menyayat.
"Awas! Bau ini, mengandung racun jahat! Jaga dan atur pernapasan kalian!" ujar kepala prajurit, namun telah terlambat. Karena dia sendiri juga merasakan kepalanya pening dan bumi yang dipijak bergoyang-goyang.
"Celaka! Kita telah menghisap asap beracun dari Siluman Tengkorak Gantung. Aaakh..!"
Satu persatu para prajurit ambruk di tanah dengan tubuh membiru. Dan yang terakhir adalah kepala prajurit itu, setelah tanpa sengaja menghisap racun yang disebarkan Siluman Tengkorak Gantung.
"Hik hik hik...!"
Dalam cuaca seburuk ini, suara tawa Siluman Tengkorak Gantung terdengar sangat menyeramkan melihat kematian para prajurit. Arung Garda dan Jayadi yang ditolongnya, sampai bergidik mendengarnya. Lalu ketiga siluman itu menatap Arung Garda dan Jayadi. Kedua pemuda itu tidak terkena racun, karena Siluman Tengkorak Gantung telah membuat penawarnya tadi.
"Mari ikut kami...!" ajak salah satu Siluman Tengkorak Gantung.
"Ke mana?" tanya Jayadi.
"Jangan banyak tanya!" dengus Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus sambil melangkah pergi.
Terpaksa kedua pemuda itu mengikuti dari belakang. Sementara, hujan masih terus tercurah dari langit. Sedang malam pun semakin larut.
*** Berita tentang kematian tujuh prajurit Kerajaan Suralaya sangat menggegerkan Gusti Prabu Narawangsa. Maka saat itu pula banyak prajurit kerajaan berkeliaran di mana-mana, untuk menangkap Siluman Tengkorak Gantung yang secara terang-terangan memusuhi pihak kerajaan. Orang yang dicurigai ditangkap dan dipenjarakan. Sementara Tiga Setan Tengkorak Gantung sendiri hilang bagaikan ditelan bumi.
Sementara itu di Desa Karang Geneng yang berada di kaki Gunung Suryo, tampak padat penduduknya. Tanah di desa itu sangat subur. Tak heran kalau penduduknya secara turun-temurun terus menetap di sana. Kepala desanya juga terkenal bijaksana. Bahkan tidak segan-segan turun ke sawah dan ladang bersama rakyat. Sehingga, rakyat amat menghormati dan mencintainya.
Sore itu di bawah pohon rindang, tampak seorang laki-laki tua berambut putih dan berwajah kemerahan sedang bermain catur dengan seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah. Sesekali orang tua berpakaian sederhana itu menyingkirkan rambut putihnya yang menutupi matanya yang tidak bergeser dari papan catur. Seolah-olah persoalan di atas papan catur itu sulit dipecahkan. Dan sesekali, ditariknya napas dengan alis mata berkerut.
"Sialan! Otak tolol...! Dasar kerbau dungu! Masa" untuk melangkah lagi saja tidak bisa..."!" gerutu orang tua itu sambil memukul kepalanya. Sehingga rambutnya semakin acak-acakan tidak karuan. Sedangkan pemuda bertubuh gagah itu sambil cengar-cengir, mengambil bumbung tempat arak.
Tetapi sebelum maksudnya tercapai, tangan pemuda ini telah disentil oleh laki-laki tua di depannya.
Tuk! "Aaakh...!" keluh pemuda itu, langsung menarik tangannya.
"Sialan kau, Jaka Tawang! Enak saja mau minum arak ini! Kau pikir aku tidak melihat..."!" bentak laki-laki tua itu sambil melotot.
"Tidak boleh, ya sudah! Aku tidak mau main catur lagi. Sudah ngantuk, mau tidur dulu!" kata pemuda yang dipanggil Jaka Tawang sambil bangkit dari duduknya. Tetapi, tiba-tiba tubuhnya jadi kaku dan tidak dapat digerakkan lagi.
"Kalau tidak mau main, akan kubiarkan kau kaku seperti itu, Jaka Tawang! Bahkan tidak kuberi makan selama sebulan! Aku ingin tahu, apa kau masih kuat bertahan..."!" ancam orang tua ini.
Namun, agaknya Jaka Tawang tidak takut dengan ancaman orang tua yang sebenarnya gurunya itu. Dan dia memang sudah paham segala sifat dan tabiat gurunya yang memang di kalangan rimba persilatan dikenal bernama Ki Sabda Gendeng.
Ki Sabda Gendeng memang tergolong tokoh tua. Wataknya memang aneh. Terkadang berangasan, berkesan edan. Namun di balik itu, terselip rasa welas asih terhadap orang lemah. Kegemarannya malah bermain catur. Maka tak heran kalau ia bersama muridnya yang bernama Jaka Tawang, hampir tiap hari bermain catur. Seperti hari ini.
"Tidak bisa bergerak dan tidak dikasih makan selama sebulan, aku tak khawatir! Anggap saja sedang puasa dan istirahat main catur, selama sebulan pula! Aku pusing main catur terus. Ilmu olah kanuraganku tidak ditambah selama dua bulan ini!" gerutu Jaka Tawang sambil melirik nakal pada gurunya.
Ternyata siasat pemuda itu berhasil. Sambil mengomel, orang tua itu membebaskan totokan pada tubuhnya.
"Ayo main catur lagi...!" ajak Ki Sabda Gendeng.
"Baik! Tetapi aku minta minum dulu. Tenggorokanku kering sekali...!" sahut Jaka Tawang, dengan wajah memelas.
"Jangan pura-pura, Jaka. Nih, minum arak dulu! Awas jangan dihabisi, kalau kau kalah nanti kuajari kau olah kanuragan!" kata si orang tua sambil menggerutu.
"Sama saja bohong! Kalau aku menang, aku tidak diajari. Itu sama saja aku harus kalah...! Dasar Guru edan!" gerutu Jaka Tawang dalam hati.
Mau tidak mau, terpaksa pemuda itu melanjutkan pertandingan. Dan seperti sudah diduga, akhirnya gurunya memenangkan pertandingan. Sedang muridnya hanya nyengir, sambil garuk-garuk kepala. Sedangkan Ki Sabda Gendeng tampak berjingkrakan seperti orang gila dengan wajah berseri dan tampak gembira. Memang, wataknya sesuai dengan namanya. Sabda Gendeng!
"Menang...! Horeee.... Aku menang!"
Jaka Tawang segera memberesi biji-biji catur yang berserakan di tanah. Namun dalam hati dia bersorak gembira....
"Biar saja kalah. Tetapi, aku dapat pelajaran ilmu "Membalik Lautan dan Meruntuhkan Langit" yang menjadi andalan guruku."
"Mari kita mencari penginapan di desa ini, Jaka Tawang! Kau boleh makan dan minum sepuasnya hari ini...!" ajak Ki Sabda Gendeng.
Kemudian guru dan murid yang sama edannya itu, melangkah menuju tengah Desa Karang Geneng yang ramai.
*** Sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lain di Desa Karang Geneng, tampak ramai oleh orang-orang yang hilir mudik berkunjung. Tentu saja, rumah itu milik kepala desa itu, yang bernama Ki Bimo. Tak heran kalau tiap hari hampir selalu kedatangan tamu.
Namun mendadak, kesibukan itu jadi terhenti ketika tahu-tahu tercium bau sesuatu yang menyengat hidung. Bau bangkai itu datangnya dari sebuah ruangan di rumah besar ini.
"Cepat periksa seluruh ruangan! Bau apa ini"!" perintah Ki Bimo.
Dua orang pembantu kepala desa itu mencari-cari sumber bau. Mereka terus mencari ke ruang tengah, yang diduga sebagai sumber bau. Sampai di sini, mereka mencari-cari dengan kepala terjulur dan kening berkerut Dan begitu mendongak ke atas wuwungan....
"Hah"!"
Betapa terkejutnya mereka ketika melihat dua mayat yang tergantung-gantung di wuwungan rumah kepala desa ini yang sudah berbau sangat busuk!
Kedua pembantu kepala desa itu segera berlarian menuju ke ruangan Ki Bimo.
"Di..., di sana! Ada..., dua mayat... yang... tergantung! Bau... busuk itu datang dari situ!" lapor kedua pembantu itu dengan napas tersengal-sengal. Sementara Ki Bimo memandang mereka dengan kening berkerut.
"Mana mungkin di rumah ini ada mayat. Mayat siapa"! Ayo, kita lihat...!" seru Ki Bimo, langsung mendahului menuju tempat yang dikatakan kedua pembantunya tadi.
Betapa terkejutnya laki-laki setengah baya itu, ketika sampai di ruangan tengah. Ternyata di tempat itu bertambah mayat para pelayannya. Darah segar tampak berceceran di lantai ruangan.
Saat itu juga rumah kepala desa ini jadi geger. Jerit pekik para pembantu yang lain segera memenuhi ruangan.
"Hm.... Pasti ada orang telengas ingin mencari gara-gara. Penjaga! Cari pengacau itu sampai dapat...!" perintah Ki Bimo dengan wajah merah.
Belum juga mereka beranjak, terdengar suara tawa yang membuat suasana jadi bertambah tegang. Ketika diperhatikan, ternyata suara tawa itu berasal dari mayat yang menggantung.
"Hiaaat...!"
Diiringi bentakan nyaring, Ki Bimo melemparkan beberapa bilah pisau terbang yang selalu terselip di balik bajunya.
Tap! Tap! Tap! Beberapa bilah pisau terbang menancap di atas wuwungan. Tapi, dua mayat menggantung itu telah lenyap dari tempatnya. Ternyata dengan kecepatan mengagumkan, kedua mayat itu telah berada di atas lantai sambil terus memperdengarkan suara tawanya.
Kedua mayat berpakaian serba hitam dengan gambar tengkorak itu memang bagaikan hidup. Wajah mereka benar-benar menggiriskan. Hampir seluruh kulit mengelupas, seperti mayat yang telah membusuk. Pada bagian wajah, sudah hampir berupa tengkorak. Pada leher mereka tampak seutas tali yang disimpul bagai tali gantungan. Siapa lagi mereka kalau bukan Siluman Tengkorak Gantung"
"Hik hik hik...! Bimo! Ini hukuman untuk keberanianmu menentang guru kami yang menginginkan agar kau menyerahkan gadis setiap bulan purnama. Tapi, kau berani membantah! Maka guru kami memerintahkan untuk membasmi seluruh keluargamu! Bersiaplah kau...!" ancam salah satu mayat hidup itu.
"Keparat! Jangan harap dapat menakut-nakuti kami, Siluman Keparat! Penjaga! Habisi mereka berdua!" perintah Ki Bimo.
"Hiaaat!"
Saat itu juga beberapa orang penjaga rumah kepala desa ini menerjang dengan golok masing-masing.
Mendapat serangan demikian, dua Siluman Tengkorak Gantung masih terlihat tenang saja. Baru ketika serangan golok hampir menyentuh tubuh, barulah tubuh keduanya bergerak cepat, membuat gerakan melenting tinggi ke atas.
Tak dapat dicegah lagi, golok para penjaga rumah kepala desa itu saling beradu.
Trang! "Gila! Mereka berdua benar-benar siluman!" teriak salah seorang penjaga terkejut, karena mereka hampir saja saling bunuh.
Sementara itu, dua Siluman Tengkorak Gantung sudah melepaskan tali gantungan yang melilit leher. Dan seketika itu pula, diputar-putar bagaikan cambuk, sambil berkelebat ke arah sasaran.
Ctar! Ctar! Jderrr!
"Wuak! Aaakh...!"
Ujung tali gantungan yang bagaikan cambuk langsung menyambar kepala penjaga, hingga pecah! Kedua orang itu langsung ambruk tak berkutik lagi, bersimbah darah. Tentu saja perbuatan itu membuat nyali yang lain jadi ciut. Mereka sadar, kedua siluman itu berkepandaian tinggi. Dan rasanya, mereka memang tak sanggup melawan.
Sementara Ki Bimo yang dulunya juga tokoh persilatan, segera mencabut keris dari pinggangnya. Langsung diterjangnya salah satu Siluman Tengkorak Gantung. Dan perbuatannya itu ternyata membangkitkan semangat para pengawal yang lain. Segera saja mereka mengeroyok Siluman Tengkorak Gantung.
Tetapi menghadapi keroyokan ini, dua Siluman Tengkorak Gantung tidak kewalahan. Bahkan kembali tiga orang ambruk terhantam batok kepalanya hingga pecah.
"Ha-ha-ha...! Karena keras kepala, maka terpaksa kalian harus dibasmi...!" kata Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus sambil menerjang dengan senjata talinya.
Suara tali diputar-putar terdengar menderu-deru. Lalu disusul teriakan kematian di sana-sini. Namun Ki Bimo tidak pantang menyerang. Segera dikerahkannya, jurus "Belalang Jentikan Kaki" yang sangat diandalkan. Setiap gerakan kakinya begitu cepat, mirip jentikan kaki belalang.
Namun, ternyata Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus sangat alot. Bahkan pada satu kesempatan, dia menerjang dahsyat, mengurung jalan keluar Ki Bimo.
Ketika ujung tali Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus menyambar ke arah kaki, Ki Bimo melompat ke atas. Pada saat yang sama, Siluman Tengkorak Gantung bertubuh tinggi tegap melihat kesempatan baik. Tubuhnya langsung melesat meninggalkan lawan-lawannya. Dan seketika itu pula tali gantungannya disabetkan ke pinggang kepala desa itu.
Cras! "Aaakh...!"
Ki Bimo menjerit tertahan, ketika tali gantungan itu menyengat dan langsung membelit pinggangnya. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tegap langsung menyentakkannya.
"Hih...!"
"Ohhh..."!"
Ki Bimo terkejut, namun tak bisa berbuat apa-apa lagi ketika tubuhnya meluncur turun dan jatuh terbanting di tanah. Meskipun demikian, dia berusaha bangkit. Sayang, sebelum niatnya terlaksana, ujung tali Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus telah menyambar deras dadanya.
Prattt...! "Aaa...!"
Tubuh Ki Bimo kontan terlempar disertai jeritan kematian, begitu dadanya tersambar tali Siluman Tengkorak Gantung. Darah pun menyembur dari lukanya.
Melihat kekejaman Siluman Tengkorak Gantung, banyak pelayan dan para tamu yang melarikan diri. Namun ada pula yang malah menyerang mati-matian. Tapi apalah daya mereka menghadapi kepandaian Siluman Tengkorak Gantung yang sangat tinggi. Dalam waktu singkat saja, tidak ada satu pun yang dibiarkan hidup. Semuanya dibantai habis. Darah pun menganak sungai dalam ruangan itu.
"Ha-ha-ha...! Habislah kalian semua. Mari kita tinggalkan tempat ini...!" ajak Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tegap.
Sekali berkelebat, kedua Siluman Tengkorak Gantung lenyap dari ruangan. Yang tertinggal hanyalah bau bangkai dan bau anyir darah, beserta mayat-mayat yang bergelimpangan tidak tentu arah. Keadaan ini jadi sunyi dan sepi, menggiriskan.
*** 2 ? "Ada pengacau...! Ada pengacau...!"
Ki Sabda Gendeng dan muridnya yang bernama Jaka Tawang menjadi terkejut, ketika melihat para penduduk Desa Karang Geneng berlarian, sambil berteriak-teriak. Guru dan murid itu langsung keluar penginapan, menghadang seorang laki-laki berusia setengah baya yang berlari-lari sambil berteriak-teriak.
"He..."! Ada apa, Kisanak..." Siapa yang mengacau"! Dan, ada berapa orang..."!" tanya Ki Sabda Gendeng.
"Entahlah. Wujudnya seperti tengkorak! Mereka dua orang, tetapi ilmunya tinggi bukan main. Semua yang ada di rumah kepala desa habis dibinasakan...!" jelas laki-laki setengah baya itu dengan napas terengah-engah.
Mendengar penjelasan ini, guru dan murid itu saling pandang. Dan seketika itu pula tubuh mereka berkelebat cepat bukan main, dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi. Begitu cepat mereka bergerak, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan laki-laki yang tengah ketakutan itu. Maka tentu saja hal ini menambah rasa takut pada dirinya. Bahkan tanpa terasa, celana bagian bawahnya sampai basah karena terkencing-kencing. Tubuh seperti sulit digerakkan.
"Ampuuun, Hiyang Widhi! Mengapa di sini sekarang banyak berkeliaran setan dan demit..." Malah sekarang setan dan demit berani muncul di siang hari! Pertanda apakah ini..."!" desis laki-laki itu dengan gemetar.
Sementara itu para penduduk langsung berlarian menuju ke rumah masing-masing dan langsung mengunci pintu rapat-rapat. Sedangkan Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang yang sama-sama urakan terus bergerak mencari dua pengacau itu. Mereka menduga kerusuhan itu akibat sepak terjang Siluman Tengkorak Gantung yang memang sering terdengar kekejaman dan keganasannya.
"Hei, Jaka Tawang...! Kira-kira ke arah mana mereka lari?"
"Kukira, aku tidak tahu Guru! Bukankah sejak tadi selalu bersama Guru?" jawab Jaka Tawang, seenaknya.
Baru saja akan marah, Ki Sabda Gendeng melihat dua sosok tubuh berkelebat dengan cepat di balik pepohonan di depan mereka.
"Itu dia! Ayo kita kejar...!" tunjuk Ki Sabda Gendeng.
Seketika itu pula tubuh orang tua ini melesat, mendahului muridnya ke arah bayangan yang dilihatnya.
*** Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh Ki Sabda Gendeng sehingga dalam waktu singkat kedua sosok yang dikejarnya tinggal terpaut dua tombak lagi. Lalu dengan gerakan melenting yang indah sekali, laki-laki tua itu sudah mendarat tepat di hadapan sosok yang tak lain Siluman Tengkorak Gantung.
"He-he ho ho...! Mau lari ke mana kalian sekarang"! Kalian pasti sebenarnya setan! Hm.... Tidak baik berkeliaran di siang hari...," kata Ki Sabda Gendeng, masih sempat bergurau. Namun sepasang matanya menatap tajam, penuh ancaman.
"Hik hik hik...! Rupanya ada orang tua gila yang suka mengantarkan jiwanya pada kita...!" ejek Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus.
"Ha-ha-ha...! Terhadap orang lain, kalian boleh main setan-setanan. Tetapi terhadapku, jangan coba-coba. Nanti kalian bisa jadi setan beneran...!" balas Ki Sabda Gendeng.
Sementara itu, Jaka Tawang telah tiba di tempat itu. Dan dia hanya memperhatikan saja sambil tersenyum-senyum. Pemuda itu tahu benar sifat gurunya yang konyol ini.
Melihat orang tua ini sudah tidak memandang sebelah mata, kedua Siluman Tengkorak Gantung jadi berang. Agaknya dia tidak mengenal Ki Sabda Gendeng. Karena, laki-laki tua itu memang termasuk seorang tokoh angkatan tua.
"Haaat...!"
Disertai teriakan keras, tiba-tiba Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus mengibaskan tangannya yang sebelumnya tersembunyi di saku. Saat itu juga, meluncur sebuah benda bergerak ke arah Ki Sabda Gendeng.
Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba. Dan tampaknya, Ki Sabda Gendeng akan terkena. Tetapi dengan sekali menggerakkan tangan, dua jarinya berhasil menjepit benda yang ternyata ular beracun!
"Ular ini sangat beracun. Kalian benar-benar kejam! Orang setua aku, mau dibinasakan juga...?" kata Ki Sabda Gendeng sambil mempermainkan ular di antara jari-jarinya.
Dan tanpa terduga, ular berbisa itu dilempar balik pada pemiliknya.
"Hih!"
"Heh"!"
Tanpa dapat dicegah, ular itu langsung mendarat di pundak Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus. Dan sebelum dia berbuat apa-apa, ular itu sudah mematuk lengan kanannya, membuat Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus terpekik kaget. Dengan cepat, ditariknya tubuh ular itu sampai putus jadi dua. Lalu, dia berusaha menelan obat pemunah racun yang dibawanya.
Sementara sambil tertawa-tawa, Ki Sabda Gendeng terus merintangi dengan mengirimkan tendangan dan pukulan. Tentu saja perbuatan itu membuat Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus kalang kabut. Dia khawatir bisa ular akan merambat ke jantung tanpa dapat dicegah.
Sedangkan Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tinggi tegap berusaha membantu, namun tak mampu. Karena, Ki Sabda Gendeng juga menghalang-halangi maksudnya.
Dalam waktu singkat, Siluman Tengkorak Gantung yang berbadan kurus jatuh ke tanah, terserang bisa ularnya sendiri. Setelah menggelepar sejenak, tubuhnya diam. Mati dengan tubuh membiru.
"Bangsat! Kubunuh kau, Tua Bangka Keparat!" dengus Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tegap sambil meloloskan tali gantungan yang melilit lehernya.
Kini tali itu telah berubah seperti cambuk. Bahkan langsung menderu menyerang bagian-bagian yang mematikan di tubuh Ki Sabda Gendeng.
Sementara orang tua itu berusaha menghindar dengan gerakan aneh dan kocak. Seolah, serangan itu tidak ada artinya sama sekali baginya. Bahkan kadang kala dia berjumpalitan bagaikan kera mabuk. Kadang tubuhnya terhuyung-huyung, seperti orang sakit perut.
Sambil berteriak-teriak, Ki Sabda Gendeng terus berloncatan sambil mengejek. Memang, kepandaian Siluman Tengkorak Gantung ini berada di bawah tingkatannya. Bahkan dia semakin tidak berdaya saja. Sementara Ki Sabda Gendeng sendiri agaknya sudah bosan melayani.
"Siluman keparat sepertimu, selayaknya enyah dari dunia ini. Awas! Terimalah seranganku ini!" bentak Ki Sabda Gendeng seraya menghentakkan kedua tangannya.
Begitu cepat gerakan Ki Sabda Gendeng, sehingga Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tegap tak dapat menghindari serangkum angin yang meluruk deras ke arahnya. Dan....
"Wuakh...!"
Blug! Bagaikan daun kering, Siluman Tengkorak Gantung terlempar ke belakang dan jatuh bagaikan nangka busuk. Setelah berkelojotan sesaat, tubuhnya diam tidak berkutik lagi.
Plok! Plok! Jaka Tawang sambil cengengesan dan bertepuk tangan, menghampiri gurunya.
"Guru! Mari kita tinggalkan tempat ini!" ajak Jaka Tawang.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sabda Gendeng berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Sementara Jaka Tawang mengikuti dari belakang, meninggalkan tempat itu.
*** "Heaaat...!"
Terdengar teriakan menggelegar di pinggir pantai Laut Selatan. Di antara batu karang yang tajam, tampak berloncatan dua orang. Gerakan mereka ringan, bagaikan burung camar. Yang seorang sudah tua. Sedangkan yang seorang lagi masih muda.
Dari gerakan-gerakan yang terlihat, jelas mereka berdua tengah berlatih ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Teriakan mereka seolah menyaingi gemuruhnya ombak di lautan. Sesekali mereka turun ke dalam air, sambil mendorongkan tangan ke depan tatkala gelombang datang menerjang. Akibatnya air tadi terpukul pecah ke kanan dan kiri.
Bisa dibayangkan, betapa dahsyatnya tenaga pukulan mereka. Bahkan batu karang yang terinjak sampai bergoyang-goyang dan roboh dari tempatnya.
Melihat gerakan-gerakan yang digelar, bisa ditebak kalau mereka adalah Ki Sabda Gendeng dan muridnya Jaka Tawang.
Pada satu kesempatan, terjadi satu benturan dari dua kekuatan. Akibatnya batu karang di sekitar tempat itu bergetar. Ki Sabda Gendeng terlempar balik, sedangkan Jaka Tawang terguling jatuh ke dalam air. Orang tua itu sendiri terpaksa berjumpalitan beberapa kali di udara, untuk mematahkan daya dorong tenaga dalam muridnya yang sudah cukup tinggi. Dan manis sekali kakinya mendarat di atas pasir tepi pantai.
"Ha-ha-ha...!"
Ki Sabda Gendeng tertawa terpingkal-pingkal, melihat muridnya keluar dari dalam air dalam keadaan basah kuyup, bagaikan tikus tercebur ke dalam air.
"Heaaat...!"
Secara tidak terduga, Jaka Tawang melenting ke udara. Setelah berjumpalitan beberapa kali, tubuhnya meluruk menggunakan jurus "Belalang Pindah Tempat". Gerakannya begitu cepat. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di depan gurunya. Lalu bagaikan kilat, tangannya mengancam jalan darah yang mematikan di tubuh bagian atas gurunya.
"Hait!"
Sambil memutar tangannya, Ki Sabda Gendeng memapak muridnya yang melayang di udara.
Plak! Plak! Lalu secara tidak terduga, orang tua itu menghantamkan tangannya ke atas.
Begkh! "Aaakh...!"
Akibatnya, Jaka Tawang kontan terlempar, dan terbanting di atas tanah berpasir. Sedangkan gurunya hanya bergoyang-goyang saja di tempatnya. Dengan penasaran, pemuda itu bangkit bermaksud menerjang kembali. Tetapi....
"Berani menyerang lagi, kuhajar benjol kepalamu! Gerakanmu masih kurang mantap dan banyak yang salah. Bagaimana kau dapat mendesakku...?" maki Ki Sabda Gendeng sambil mendelik.
"Kalau begini terus, sampai kapan aku dapat menguasai ilmu "Membalik Lautan dan Meruntuhkan Langit"..."!" tanya Jaka Tawang penasaran.
"Huh! Kalau tololmu dipelihara terus! Sampai kiamat pun kau tidak akan dapat menguasai ilmu itu! Kau pikir mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan makan ikan bakar..."! Otakmu jangan ditaruh di dengkul, Bocah Goblok!" dengus orang tua itu sambil memukul kepala Jaka Tawang.
"Baiklah. Aku akan belajar sungguh-sungguh. Ayo, ajari aku lagi!" pinta Jaka Tawang.
"Enak saja bicara! Memangnya aku patung batu yang tidak pernah lelah..."! Ayo cari dan buatkan aku ikan bakar. Baru nanti akan kuajari lagi...!" hardik Ki Sabda Gendeng.
Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, Jaka Tawang terpaksa pergi mencari ikan yang dipesan gurunya.
*** Bagi Jaka Tawang yang sudah mempunyai kepandaian cukup, mencari ikan di dalam air dengan menggunakan kayu yang runcing bukan hal yang sulit. Sehingga dalam waktu singkat, pemuda itu telah berhasil mendapatkan beberapa ekor ikan yang cukup besar. Setelah dirasa cukup, dia kembali mendapatkan gurunya yang ternyata telah mendengkur tidur.
Jaka Tawang tidak ingin mengganggu gurunya. Setelah mengumpulkan kayu kering, dia segera membuat api. Tak lama kemudian, tercium bau ikan bakar yang harum membangkitkan selera. Bagaikan tertimpa durian, Ki Sabda Gendeng menggeliat bangun. Dan bagaikan seekor kucing, hidungnya mengendus-endus mencari sumber bau harum yang telah mengganggu tidurnya.
"Uh... uh...! Murid kurang ajar! Kau mengganggu tidurku saja! Mana..., mana ikan bakar..."!" seru Ki Sabda Gendeng.
Tanpa banyak bicara lagi, Jaka Tawang segera duduk sambil menggerogoti daging ikan yang gurih dan harum. Sementara sambil menggerutu, Ki Sabda Gendeng duduk di samping muridnya. Lalu disantapnya ikan bakar itu satu demi satu. Setelah kenyang, kepalanya direbahkan ke akar pohon, dan kembali tidur mendengkur. Jaka Tawang pun ikut merebahkan diri sambil melepas lelah. Sebentar saja terdengarlah dengkur guru dan murid yang saling bersahutan.
Waktu terus berlalu. Sementara sekitar lima belas tombak dari tempat mereka tidur, tampak dua orang tengah berkejar-kejaran. Yang berada di depan, adalah seorang bertubuh tinggi besar dengan perut gendut. Wajahnya tampak lucu, selalu mengumbar senyum.
Sedangkan orang yang mengejar seorang laki-laki berpakaian serba merah. Rambutnya yang putih digelung ke atas. Alis matanya sudah putih dengan wajah bersih berwarna kuning.
Kejar-kejaran itu baru berhenti, ketika orang yang dikejar terhalang tebing dinding karang yang sangat tinggi. Seketika, laki-laki buncit itu menghentikan larinya.
"He-he-he...! Gendut jelek! Mau lari ke mana lagi, Loro Blonyo"!" ejek laki-laki berpakaian serba merah yang mengejar.
"Ho ho ho...! Siapa yang melarikan diri. Manuk Beduwong"! Aku sengaja mencari tempat yang sepi, supaya pertarungan kita tidak ada yang mengganggu...," sahut laki-laki buncit yang ternyata bernama Loro Blonyo. Saat itu juga, tubuhnya berbalik melancarkan serangan ke arah kaki laki-laki berpakaian serba merah yang bernama Manuk Beduwong.
"Hait!"
Sambil berteriak keras, Manuk Beduwong loncat ke atas, sehingga serangan itu luput. Begitu meluruk ke bawah, Manuk Beduwong menyabetkan sisi telapak tangannya, ke leher Loro Blonyo. Namun secepat itu pula, orang tua gendut itu mendoyongkan tubuhnya ke belakang.
Serangan Manuk Beduwong lewat beberapa jari dari muka Loro Blonyo. Dan baru saja laki-laki berbaju merah itu mendarat di tanah, Loro Blonyo melepaskan tendangan ke arah daerah terlarang. Namun dengan gerakan mengagumkan, Manuk Beduwong membuat putaran tubuhnya. Sehingga serangan ke daerah terlarang di tubuhnya luput. Bahkan sambil terus berputaran, dilepaskannya satu tendangan ke perut Loro Blonyo. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Dug! "Heph!"
Betapa terkejutnya Manuk Beduwong yang berusia tujuh puluh lima tahun itu, melihat tendangannya dianggap remeh oleh Loro Blonyo yang tertawa tergelak sambil mengusap-usap perutnya. Sementara Manuk Beduwong terpaksa berjumpalitan di udara, untuk mematahkan dorongan balik dari perut Loro Blonyo. Memang, itulah kehebatan dan kelebihan perut Loro Blonyo yang dikenal sebagai tokoh sesat tingkat atas. Dia dapat menerima serangan keras tanpa mengelakkannya.
Kini kedua orang tua aneh ini saling menatap tajam, dan saling menjaga jarak. Kelihatannya sepele. Tetapi sesungguhnya inilah suatu pertarungan dahsyat yang jarang terjadi dalam dunia persilatan.
*** Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang terjaga dari tidurnya, begitu mendengar suara pertarungan. Secepat kilat mereka bangkit, dan melesat menuju ke arah asal suara pertarungan. Ketika melihat siapa yang tengah bertempur, Ki Sabda Gendeng terkejut. Segera muridnya disuruh bersembunyi di balik batu besar.
"Ssst! Hati-hati! Jangan sampai terlihat oleh kedua orang itu...," ujar Ki Sabda Gendeng di telinga muridnya.
"Memangnya kenapa..." Apakah guru takut pada kedua orang jelek itu"!" tanya Jaka Tawang, sambil mencibirkan bibirnya.
"Siapa yang takut..." Walaupun mereka cukup tangguh, namun tak akan sanggup berbuat banyak terhadapku! Dan lagi aku enggan berurusan dengan mereka..."! Lebih baik kita lihat saja, apa yang sedang mereka lakukan di tempat ini..."!" tukas Ki Sabda Gendeng sambil mendelik.
Melihat sikap gurunya, Jaka Tawang mengerti. Ki Sabda Gendeng agaknya tidak main-main. Bisa jadi, kedua orang tua yang sedang berkelahi itu bukan orang sembarangan. Maka pemuda itu segera diam, memperhatikan jalannya perkelahian.
"Haiiit!"
Plak! Plak! Beberapa pukulan keras dari masing-masing orang yang bertarung bertemu. Seketika tanah yang dipijaknya terus bergetar.
Manuk Beduwong dan Loro Blonyo sama-sama terjajar mundur. Wajah masing-masing tampak sedikit memucat. Namun Loro Blonyo tetap menampakkan senyum yang lucu.
"Heaaat...!"
Rupanya Manuk Beduwong tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan teriakan menggeledek, kembali diterjangnya Loro Blonyo dengan tenaga dalam penuh. Saat tubuhnya berkelebat, kedua tangannya menjulur ke depan.
Namun tokoh sesat bernama Loro Blonyo juga tak mau kalah. Begitu serangan mendekat, kedua tangannya juga dijulurkan. Dan....
Plak! Kembali dua pasang tangan bertemu. Tapi kali ini melekat jadi satu. Sedangkan kedua kaki mereka seperti terpatri kuat di atas tanah. Seakan kedua kaki itu berakar pada tanah. Kemudian terjadilah saling dorong. Lambat laun, dari kepala keduanya mengepulkan asap putih tipis. Sedangkan kedua telapak kaki mereka sedikit demi sedikit terbenam ke dalam tanah.
Kelihatannya sepele. Padahal, inilah pertarungan mati hidup yang paling menegangkan. Pada saat yang menegangkan itu....
"Hi hi hi...!"
Terdengar suara tertawa berkepanjangan disusul terciumnya bau busuk yang menyengat hidung. Bau busuk dari bangkai manusia.
Bersamaan habisnya suara tawa yang tidak mengenakkan, tampaklah beberapa sosok berbaju hitam bergambar tengkorak menggantung pada seutas tali di beberapa cabang pohon yang tumbuh di sekeliling pantai ini. Lalu dengan gerakan ringan, beberapa sosok berbaju hitam itu melayang turun ke atas pasir.
Namun menghadapi keadaan seperti itu, Loro Blonyo dan Manuk Beduwong tidak mau peduli. Mereka tak ingin memecah perhatian yang bisa mengakibatkan kematian.
Melihat kesempatan baik itu, para sosok berpakaian tengkorak itu terus mendekati sedikit demi sedikit. Kemudian salah seorang menerjang, dengan tangan membentuk cakar garuda. Tetapi ketika serangannya hampir mengenai sasaran, tiba-tiba terhenti, seakan-akan membentur tembok yang tidak terlihat.
"Aaakh!"
Sambil berteriak keras, tubuh sosok itu terlempar ke belakang disertai muntahan darah segar. Setelah berkelojotan sejenak, tubuhnya diam tidak berkutik lagi. Mati. Sedangkan kedua tokoh yang diserang, tampak meneteskan darah segar dari sudut bibirnya.
Melihat keadaan salah seorang dari mereka binasa dalam keadaan menyedihkan, sosok-sosok berbaju tengkorak segera maju menghampiri sambil mengambil senjata rahasia dari balik bajunya masing-masing.
Set! Set! Saat itu juga melesat beberapa benda berkilatan, ke arah kedua orang yang tengah bertarung ini.
Sedang Loro Blonyo dan Manuk Beduwong yang masih bertarung tampak saling mengedipkan mata. Mereka seolah tak mempedulikan serangan gelap yang meluncur mengancam.
Seketika beberapa senjata rahasia yang ternyata pisau terbang dan jarum beracun meluruk ke arah kedua tokoh itu. Dan ketika senjata-senjata rahasia itu hampir mencapai sasaran, secara tiba-tiba mereka melepaskan tangan yang saling menempel, lalu mengibaskan dan mendorong dengan telapak tangan terbuka.
Wesss...!

Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desir angin kuat dari telapak tangan kedua tokoh itu berhasil menjatuhkan semua senjata rahasia yang dilempar sosok-sosok yang ternyata dari Siluman Tengkorak Gantung. Kejadian ini benar-benar di luar dugaan para Siluman Tengkorak Gantung yang tinggal berjumlah delapan orang.
Tanpa diberi apa-apa lagi, empat Siluman Tengkorak Gantung menerjang kedua tokoh tua itu. Namun sambil tertawa Loro Blonyo menggerakkan tangannya. Kelihatan sembarangan, namun akibatnya....
Des! Des! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua Siluman Tengkorak Gantung jadi terpental dengan kepala pecah dan remuk. Sedangkan Manuk Beduwong tidak kalah kejamnya. Dua lawannya juga mati dengan tangan dan kaki putus.
Tetapi keadaan mereka juga dalam bahaya. Karena, masing-masing sudah terluka pada bagian dalam. Dalam pertarungan keduanya tadi, sudah begitu banyak mengandalkan tenaga dalam. Apalagi kini harus menghadapi para Siluman Tengkorak Gantung. Akibatnya, gerakan-gerakan mereka telah membuat luka dalam semakin parah. Darah tampak menetes dari sudut bibir keduanya. Sedangkan di pihak Siluman Tengkorak Gantung, kini tinggal empat.
Sambil memutar-mutar tali gantungan yang tadi melibat leher, empat Siluman Tengkorak Gantung bergerak menerjang.
"Chiaaat!"
Ctar! Ctar! Ctar!
"Bajingan tengik! Setan pengecut! Beraninya hanya main bokong. Kalian harus dilenyapkan dari muka bumi ini!" dengus Manuk Beduwong. Seketika tangannya merogoh saku dari baju merahnya. Lalu dilemparkannya beberapa buah benda yang ternyata kelabang merah ke arah lawan-lawannya.
"Bagus! Biar aku juga akan menghadiahi rumput salju dari Puncak Himalaya!" tambah Loro Blonyo sambil melemparkan rumput panjang berwarna putih.
Tampaknya kedua tokoh yang tergolong sesat itu menggunakan senjata beracun yang ganas luar biasa!
Begitu cepat gerakan Manuk Beduwong, sehingga salah satu Siluman Tengkorak Gantung terkena serangan kelabang merahnya. Sedang yang seorang lagi tertancap rumput salju yang mengandung racun dingin. Yang tergigit kelabang merah, kontan binasa dengan warna kulit berubah merah kehitaman. Sedangkan yang tertancap rumput salju, roboh binasa dengan tubuh kaku membiru.
Sementara dua orang Siluman Tengkorak Gantung yang selamat segera loncat mundur dengan rasa ngeri. Melihat kesempatan itu, kedua tokoh tua itu melesat pergi sambil meninggalkan tawa berisi tenaga dalam tinggi, hingga dapat mengguncangkan isi dada.
"Hieeeh...!"
Namun baru saja kedua Siluman Tengkorak Gantung hendak mengejar, terdengar suara ringkikan kuda disusul munculnya beberapa prajurit Kerajaan Suralaya. Kedua siluman itu tampak terkejut melihat kedatangan orang-orang kerajaan yang tidak terduga sama sekali.
"Keparat! Biar bagaimanapun kita harus mendapat potongan-potongan Kitab Pusaka Kincir Angin dari tangan Loro Blonyo dan Manuk Beduwong. Kalau mereka tidak cepat dikejar, kita bisa kehilangan jejak. Hm.... Tidak ada jalan kecuali ini!" kata salah seorang Siluman Tengkorak Gantung.
Lalu kedua musuh Kerajaan Suralaya itu melempar pisau terbang dan jarum beracun ke arah prajurit. Begitu cepat gerakan mereka sehingga....
Crap! Crap! Saat itu juga terdengar jeritan keras dari beberapa prajurit yang roboh binasa. Kejadian ini membuat para prajurit terlongong tak percaya.
Melihat kesempatan itu, kedua Siluman Tengkorak Gantung segera melesat, melarikan diri dari tempat ini.
"Keparat! Mereka lolos lagi! Mari kita kejar sampai ke dasar neraka sekalipun!" bentak kepala prajurit geram.
Dalam waktu singkat, pinggiran pantai Laut Selatan kembali sepi dan lengang. Sedangkan Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang telah meninggalkan tempat itu pula.
*** ? 3 ? Dalam waktu singkat, dunia persilatan geger oleh berita Kitab Pusaka Kincir Angin yang berisi ilmu-ilmu tinggi. Tetapi orang harus berpikir seribu kali. Karena kitab itu kini berada di tangan dua tokoh sakti yang beraliran hitam. Siapa lagi kalau bukan Loro Blonyo dan Manuk Beduwong"
Jangankan orang luar. Kedua orang itu sendiri saja tengah saling memperebutkan potongan kitab itu sendiri.
Sementara kegemparan lain adalah munculnya Siluman Tengkorak Gantung, yang selalu membela dan melindungi penjahat rendahan yang kemudian dijadikan murid atau anggota.
Saat ini cuaca agak mendung. Angin bertiup cukup keras. Namun itu tak menghalangi rombongan prajurit Kerajaan Suralaya yang berhenti pada dataran yang agak luas. Rupanya mereka hendak beristirahat setelah membuat kemah.
Ternyata mereka adalah rombongan Panglima Sena dan istrinya yang bernama Nirmala. Mereka belum lama menikah. Dan saat itu, panglima itu ditugaskan di wilayah selatan. Sedangkan pasukan yang mengawalnya berjumlah tiga puluh orang.
Menjelang tengah malam, banyak prajurit yang tertidur karena kelelahan sehabis melakukan perjalanan jauh. Beberapa penjaga juga mulai terkantuk-kantuk. Kini suasana jadi hening dan sepi. Mereka semua terlelap dalam buaian malam.
Waktu berlalu. Sementara dari balik batu-batu besar dan pepohonan berloncatan, sosok tubuh berpakaian hitam bergambar tengkorak. Gerakan mereka demikian gesit dan cepat. Sehingga para penjaga tidak menyadarinya.
Ternyata, jumlah sosok berpakaian serba hitam bergambar tengkorak itu ada dua puluh orang. Secara bersamaan, mereka membanting sebuah benda sebesar telur puyuh di sekeliling kemah. Setelah mengeluarkan ledakan kecil, benda tadi mengeluarkan asap tebal bergulung-gulung ke udara.
Mendengar ledakan, para prajurit dan Panglima Sena serta istrinya terjaga dengan wajah terkejut. Namun lebih terkejut lagi ketika merasa kepalanya pening. Pandangan mata mereka mendadak kunang-kunang. Namun demikian dengan cepat mereka mencabut senjata masing-masing.
"Awas! Ada pengacau menggunakan asap beracun! Bersiap semuanya!" teriak salah seorang prajurit.
"Aaa...!"
Tapi pada waktu yang bersamaan, terdengar teriakan-teriakan menyayat, disusul jatuhnya beberapa sosok tubuh tanpa nyawa lagi.
"Hi hi hi...! Mampuslah kalian orang kerajaan yang usil dengan urusan orang lain!" ejek sosok-sosok yang ternyata Siluman Tengkorak Gantung.
Sambil tertawa-tawa, mereka mencabut senjata masing-masing dan langsung menyerang para prajurit Kerajaan Suralaya.
Mendapat serangan mendadak dan masih dalam keadaan pening, membuat para prajurit jadi kelabakan dan tidak dapat bertahan dengan baik. Maka kembali beberapa orang jatuh jadi korban dalam keadaan menyedihkan. Tubuh mereka berlumuran darah.
Panglima Sena dengan senjata pedang pendek, beradu punggung dengan Nirmala yang bersenjata pedang panjang.
Sebelum menikah Nirmala dulu juga seorang pendekar wanita yang cukup disegani dalam dunia persilatan. Julukannya Dewi Pedang Kelana. Sedangkan Sena, sebelum jadi panglima kerajaan adalah pendekar rimba persilatan yang berjuluk Ksatria Hina Kelana.
Ada empat Siluman Tengkorak Gantung yang menyerang suami istri itu. Tetapi Nirmala segera membentuk pertahanan kuat dan sulit ditembus. Begitu serangan para Siluman Tengkorak Gantung tertahan, Sena melakukan serangan balasan yang bergulung-gulung bagaikan ombak lautan.
"Sheat!"
Bret! Brebet! "Akh!"
Beberapa teriakan menyayat segera terdengar, disusul jatuhnya dua Siluman Tengkorak Gantung tanpa nyawa lagi. Melihat kedua kawannya dapat dirobohkan begitu mudah, dua Siluman Tengkorak Gantung lainnya segera melompat mundur.
"Chiaaat...!"
Disertai teriakan menggeledek, Panglima Sena dan Nirmala menerjang kedua Siluman Tengkorak Gantung.
Serta merta, kedua Siluman Tengkorak Gantung menangkis. Tetapi pada serangan berikutnya, mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, ketika senjata-senjata Panglima Sena dan Nirmala mencari korban.
Perkelahian di luar kemah, berlangsung tidak seimbang. Para pengawal Panglima Sena yang telanjur menghirup racun, menjadi kalang kabut. Penglihatan mereka jadi kabur dengan tenaga melemah mendadak. Sehingga, mereka hanya menjadi bulan-bulanan para Siluman Tengkorak Gantung.
Bret! Jep! Bletak!
"Wuaaa! Aaakh!"
Teriakan berkepanjangan terdengar saling susul. Darah pun tampak menganak sungai. Sehingga dalam tempo singkat, yang tertinggal hanyalah Panglima Sena dan istrinya saja yang mengamuk dengan mengerahkan seluruh kemampuan.
"Bangsat! Rupanya kalian yang sering melakukan kejahatan. Kini sudah kubuktikan sendiri! Bersiaplah. Aku atau kalian yang akan terkapar mati di tempat ini...!" dengus Panglima Sena. Suaranya menggeledek dan bergetar, pertanda sedang menahan marah luar biasa.
Sehabis bicara, panglima berusia dua puluh delapan tahun itu memberi tanda pada istrinya. Lalu, mereka menerjang serentak. Begitu dahsyat amukan suami istri ini.
Beberapa orang Siluman Tengkorak Gantung berusaha menahan serangan dengan melempari pisau dan jarum beracun. Tetapi dengan jurus "Kupu-kupu Mengitari Bunga", suami istri itu memutar pedang bagaikan kitiran. Maka tak satu pun dari senjata rahasia Siluman Tengkorak Gantung yang mengenai sasaran.
Bahkan serangan balasan dari Panglima Sena dan Nirmala menyebabkan tiga orang terjungkal dengan isi perut terburai.
Tentu saja melihat kematian rekannya, membuat marah pemimpin para Siluman Tengkorak Gantung. Maka dengan kecepatan luar biasa, dia melempar benda sebesar telur puyuh ke arah Panglima Sena dan Nirmala yang tangguh itu.
Blap...! Saat itu juga terdengar ledakan kecil yang menimbulkan asap beracun, mengurung suami istri ini.
"Awas istriku! Tahan napasmu! Asap itu mengandung racun!" ujar Panglima Sena sambil menahan napas.
Tetapi, para Siluman Tengkorak Gantung tidak mau memberi kesempatan lagi. Sambil terus mengejek, mereka mendesak. Yang paling berbahaya, adalah serangan dua Siluman Tengkorak Gantung yang menggunakan cambuk berujung tengkorak kepala manusia.
Jdar! Jdar! "Hait! Chiyat!"
Sambil memutar pedang bagai baling-baling suami istri itu coba bertahan dari serangan yang selalu mengarah ke bagian yang mematikan. Namun jumlah pengeroyok yang banyak, membuat mereka tidak dapat berbuat banyak, hingga hanya dapat main mundur saja.
Apalagi serangan dua Siluman Tengkorak Gantung yang menggunakan cambuk berujung tengkorak manusia. Mereka tidak sudi memberi kelonggaran sama sekali. Tampaknya, kedua Siluman Tengkorak Gantung ini mempunyai dendam pada orang-orang Kerajaan Suralaya.
"Keparat! Siapakah kalian berdua"! Tampaknya senjata kalian itu sudah tidak asing lagi bagi kami!" bentak Panglima Sena sambil menangkis serangan cambuk yang mengarah pada kepala istrinya.
Sejenak kedua Siluman Tengkorak Gantung menghentikan serangan itu. Lalu mereka membuka topeng berbentuk wajah tengkoraknya. Memang di antara para Siluman Tengkorak Gantung lainnya, hanya dua orang ini yang menggunakan topeng. Sedangkan lainnya, memang asli berwajah buruk, mirip mayat membusuk. Entah ilmu apa yang mereka gunakan, sehingga wajah mereka demikian buruk. Maka tampaklah dua raut wajah hampir membusuk, namun masih bisa dikenal baik oleh panglima itu.
"Perhatikan baik-baik! Kami Jayadi dan Arung Garda! Kami berdua selalu dikejar dan diburu bagaikan kucing memburu tikus oleh Kerajaan Suralaya. Setelah tahu wajahku, tentu kau tidak akan mati penasaran lagi, bukan..."!" ejek kedua Siluman Tengkorak Gantung yang ternyata Jayadi dan Arung Garda.
"Bangsat! Pantas saja kau selalu membuat resah rakyat dan memusuhi kerajaan. Kiranya kau buronan yang dicari dan bersembunyi di balik kedok Siluman Tengkorak Gantung! Mari, istriku! Kita mengadu jiwa dengan mereka!"
Sambil berseru keras, Panglima Sena dan istrinya menerjang tanpa menghiraukan keselamatan diri lagi.
"Ciaaat!"
Trang! Tring! Trang!
Namun usaha suami istri itu, tetap saja tidak berarti banyak. Beberapa pukulan dan senjata tajam telah mengenai tubuh mereka. Darah mulai mengucur. Tetapi sedikit pun tidak ada niat untuk menyerah. Bahkan keduanya semakin berang, dan berniat bertarung habis-habisan.
Bret! Bret! "Aaakh!"
Kembali seorang Siluman Tengkorak Gantung kena terbabat lehernya oleh pedang Panglima Sena. Tidak ampun lagi, kepalanya menggelinding ke tanah. Darah pun menyembur dari lukanya.
Tetapi pada saat itu pula, ujung cambuk Jayadi yang berbentuk tengkorak telah menghantam kepala panglima itu tanpa bisa dicegah lagi.
Prok! Tubuh Panglima Sena kontan ambruk dengan kepala pecah. Seketika istrinya memburu dengan teriakan menggidikkan. Tetapi baru saja memeluk suaminya, tiba-tiba satu hantaman cambuk berujung tengkorak mendarat di kepalanya.
Prok! Nirmala kontan ambruk tanpa suara lagi di pelukan suaminya.
Setelah memandangi mayat-mayat lawannya, Jayadi dan Arung Garda pergi meninggalkan tempat ini.
*** Ketika belum jauh para Siluman Tengkorak Gantung meninggalkan tempat itu, di depan mereka telah berdiri tegak sesosok pemuda tampan berambut panjang. Pedang bergagang kepala burung rajawali tampak bertengger di punggungnya. Rompinya berwarna putih. Melihat keadaan di sekitarnya yang seperti telah terjadi pertarungan, kening pemuda itu jadi berkerut.
"Hm.... Aku yakin, kalian adalah Siluman Tengkorak Gantung yang selama ini membuat onar! Sepak terjang kalian yang kejam sudah sampai di telingaku. Dan aku tidak bisa berdiam diri!" kata pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Hi hi hi...! Pemuda kemarin sore! Sombong benar kau! Apakah sudah bosan hidup berani bentrok dengan kami..."!" tanya salah satu Siluman Tengkorak Gantung, jumawa.
"Soal mati dan hidupku bukan di tangan kalian!" sahut Pendekar Rajawali Sakti yang bernama asli Rangga.
"Katakan, siapa kau"! Atau kau lebih suka kukirim ke neraka"!" tanya Siluman Tengkorak Gantung yang lain dengan pandangan mata berapi-api.
"Namaku Rangga. Orang persilatan memanggilku Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rangga, kalem.
Mendengar julukan Pendekar Rajawali Sakti, para Siluman Tengkorak Gantung jadi tersentak mundur. Dengan wajah ragu-ragu, mereka mengepung Rangga dari segala penjuru.
Sedangkan pemuda itu sendiri tampak tenang-tenang saja! Yang jelas, kedua kakinya sudah membuat kuda-kuda kokoh. Lalu....
"Aji "Bayu Bajra"! Heaaa...!"
Disertai bentakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke seluruh pengepungnya, melepaskan ajiannya yang mengeluarkan deru angin bagai topan.
"Aaakh! Waaa...!"
Beberapa Siluman Tengkorak Gantung kontan beterbangan dan langsung menghantam pepohonan. Padahal Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan hanya sebagian tenaga dalamnya.
Sementara sisa Siluman Tengkorak Gantung yang memiliki tenaga dalam lumayan mundur ketakutan. Bagaimana mungkin dengan sekali gebrak pemuda itu dapat merobohkan beberapa orang teman mereka yang rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan lumayan"
Agaknya Pendekar Rajawali Sakti sudah sering mendengar sepak terjang Siluman Tengkorak Gantung yang di luar batas perikemanusiaan. Maka dia tak ingin memberi hati lagi. Seketika tubuhnya berkelebat cepat mengelilingi para Siluman Tengkorak Gantung. Tubuhnya seakan-akan berubah jadi banyak karena memang tengah mengerahkan jurus "Seribu Rajawali", pada saat itulah pukulan dahsyat mencari sasaran. Tidak ampun lagi, tubuh para Siluman Tengkorak Gantung berpelantingan tanpa nyawa lagi.
Darah segar berhamburan ke mana-mana. Kini Rangga menghentikan serangan, lalu dihampirinya seorang dari Siluman Tengkorak Gantung yang sengaja ditinggalkan hidup.
"Katakan! Siapa yang menjadi pemimpin Siluman Tengkorak Gantung! Apakah dia juga terlibat dalam pembunuhan di sini..."!" bentak Rangga sambil mengacungkan tangan ke atas.
"Ampun, Pendekar! Aku hanya diperintah. Yang menjadi pemimpin adalah Jayadi dan Arung Garda. Keduanya memang terlibat dalam pembunuhan ini...," jelas orang itu, bergetar.
"Ke mana kedua orang yang kau sebutkan tadi"!"
"Mereka berdua pergi menuju Hutan Bondowoso...!"
Begitu kata-kata orang itu habis, tubuh Pendekar Rajawali Sakti berkelebat dari tempat ini.
Pendekar Rajawali Sakti harus mencari jejak Siluman Tengkorak Gantung yang bernama Jayadi dan Arung Garda. Karena mereka yang paling bertanggung jawab. Tetapi jejak mereka sudah tidak terlihat lagi.
*** Saat itu di tengah Hutan Bondowoso tampak sepi. Binatang penghuni hutan tampak berkeliaran mencari makanan. Dalam hutan itu, kadang kala terdapat uap beracun dan sumur yang mengeluarkan asap beracun. Sehingga hutan ini sangat berbahaya.
Di tengah hutan, berdiri sebuah rumah batu yang sangat kokoh dan kuat, yang merupakan tempat kediaman tiga pemimpin para Siluman Tengkorak Gantung. Merekalah yang sesungguhnya berjuluk Tiga Siluman Tengkorak Gantung. Sedangkan para pengikutnya, juga disebut Siluman Tengkorak Gantung.
Kini tiga siluman itu tengah mendengarkan laporan dari dua orang muridnya yang bernama Jayadi dan Arung Garda.
"Guru. Kami telah berhasil menghabisi Panglima Sena dan istrinya. Bahkan seluruh pengawalnya, tidak ada seorang pun yang kami biarkan hidup," lapor Jayadi.
"Lalu, ke mana saudaramu yang lainnya. Mengapa mereka tidak ikut menghadap..."!" tanya guru salah satu Siluman Tengkorak Gantung sambil mengerutkan kening.
"Mereka nanti menyusul. Kami berangkat lebih dahulu," Arung Garda memberi penjelasan.
"Ah! Kau terlalu sembrono! Bagaimana kalau mereka menemui bahaya dan bertemu tokoh tingkat tinggi yang membenci kita"!"
"Kalau beberapa saat lagi tidak muncul, berarti mereka mendapat halangan. Biar aku susul mereka ke tempat tadi," tukas Arung Garda.
"Tidak perlu, Arung Garda! Apakah kau mau bunuh diri" Siapa tahu di sana telah menunggu beberapa tokoh berkepandaian tinggi yang siap menghabiskan kalian"!" seru salah seorang dari Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
"Kalau begitu, kita tunggu saja mereka di sini."
"Ya! Tujuan kita adalah mendapatkan kitab yang berada pada Loro Blonyo dan Manuk Beduwong. Oleh karena itu, kita harus mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin. Kalian pasti tahu, mereka berdua berkepandaian tinggi dan sulit dikalahkan."
"Perkataan Guru benar. Kami sudah merasakan sendiri keganasan mereka yang tidak kenal ampun!" ujar Jayadi.
*** Sementara itu Loro Blonyo bersembunyi di sebuah gua sambil menyembuhkan luka dalamnya, akibat bertempur melawan Manuk Beduwong. Matanya tampak terpejam sambil bersedakap mengatur pernapasan. Sebelumnya, beberapa butir obat pulung telah ditelannya untuk menyembuhkan luka dalamnya.
Sedangkan di tempat yang cukup jauh dari tempat situ, juga sedang berusaha menyembuhkan luka dalamnya. Dari ubun-ubun kepalanya, mengepul asap tipis berwarna keputihan. Semakin lama jadi semakin tebal. Pada puncaknya orang tua itu memuntahkan darah kehitaman. Dorongan tenaga dalamnya, baru dihentikan setelah darah yang keluar berwarna merah.
*** ? Selanjutnya Bagian 4-6
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 " . 161. Siluman Tengkorak Gantung (Bag. 4-6)
15. Januar 2015 um 06:22
4 ? Pasar Sasak Bambu pagi ini tampak ramai oleh pedagang dan pembeli, yang mengisi kehidupan sehari-hari. Kedai-kedai pun tampak ramai dan penuh. Rupanya, para pedagang akan mengeruk keuntungan yang lumayan hari ini.
Di tengah pasar yang agak luas, tampak orang berkerumun dan bersorak-sorak gembira. Ternyata, mereka tengah menyaksikan pertunjukan tukang obat yang sedang bermain sulap bersama anak gadisnya.
"Terima kasih, terima kasih. Kami sebenarnya hendak menjual jamu rebus untuk kesehatan. Baik sekali untuk menolak angin dan menghilangkan pegal di badan sehabis bekerja berat. Yang berminat, silakan minta pada anak saya," ucap tukang obat berusia setengah baya, setelah menggelar pertunjukannya.
Entah karena kemanisan wajah anak gadisnya atau lain alasannya, banyak juga yang membeli obat rebusan laki-laki itu. Namun tiba-tiba....
"Hentikan! Segala obat busuk dijual di sini! Ayo kalian ikut kami!"
Mendadak terdengar bentakan keras menggelegar. Dan tahu-tahu di situ berdiri dua orang berwajah seram dengan golok tergantung di pinggang.
Semua orang yang ada di tempat ini langsung mengalihkan perhatian ke arah dua laki-laki itu.
"Maafkan. Kami tidak tahu kalau di tempat ini dilarang berjualan obat. Biarlah kami berdua memberi ganti rugi, dan pergi dari tempat ini...," mohon si penjual obat.
"Enak sana bicara! Mari ikut kami!" bentak salah seorang berwajah seram sambil menjulurkan tangannya hendak menyeret anak gadis si penjual obat.
Tentu saja gadis itu tidak suka. Maka seketika ditepisnya tangan itu dengan membabatkan sisi telapak tangan kiri ke pergelangan tangan laki-laki ini.
Ternyata tindakan laki-laki seram itu hanya pancingan belaka. Dengan gerakan cepat, telapak tangannya dibalikkan. Maka tangan gadis itu telah tergenggam erat, tanpa dapat lepas lagi. Semakin berontak tangannya, terasa semakin sakit.
Kedua orang seram itu segera menyeret. Dan gadis itu terpaksa menurut, jika tidak ingin tangannya patah. Sementara ayahnya si penjual obat, segera menyusul ke arah perginya kedua orang yang langsung melesat pergi. Kejar-mengejar segera terjadi. Ternyata, kedua orang tadi memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Demikian pula si tukang obat.
*** Ketika sampai di daerah berbatu-batu, kedua orang bertampang seram itu berhenti dan berbalik menghadapi si tukang obat.
"Setan! Agaknya kau sudah bosan hidup, berani mengikuti kami kemari..."!" bentak salah satu orang bertampang seram dengan mata merah.
"Bajingan busuk! Rupanya kalian bajingan pemetik bunga. Manusia macam kalian tidak layak hidup di muka bumi ini! Cepat lepaskan anakku!" dengus si tukang obat. "Hi hi hi...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa diiringi bau busuk yang menyengat hidung. Seketika tukang obat itu jadi menoleh ke sana kemari, mencari sumber tawa dan bau busuk tadi. Tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Bahkan ketika menoleh ke arah dua orang yang menculik anaknya, mereka tidak tampak lagi batang hidungnya.
"Heh..."! Ke mana mereka..."!" gumam si tukang obat dalam hati.
Si tukang obat kembali celingukan. Dan ketika kepalanya sedikit mendongak, tampak beberapa sosok tergantung-gantung pada dahan pohon. Suara tawa itu ternyata berasal dari sosok berpakaian tengkorak yang bergantung pada tali besar.
"Uhhh! Bau busuk itu berasal dari sosok yang bergantung itu. Hm.... Aku harus berhati-hati dan waspada. Aku pernah mendengar tentang kejahatan mereka! Ya! Mereka pasti Siluman Tengkorak Gantung!" pikir tukang obat itu.
"Hi hi hi...! Mau apa kau datang kemari, monyet bau"!" tanya salah satu dari Siluman Tengkorak Gantung yang tak jauh dari si tukang obat.
"Kalian pasti telah bersekongkol dengan dua orang tadi. Cepat lepaskan anakku dan jangan ganggu kami! Kami akan berterima kasih dan pergi dari sini secepatnya!" tukas si tukang obat.
"Hi hi hi...! Kau tidak perlu cemas, Kisanak! Anak gadismu ada di tempat aman! Cepat tinggalkan tempat ini. Kalau tidak, jangan salahkan kami bila berlaku kejam!" ancam Siluman Tengkorak Gantung sambil terus mengikik. Sedangkan bau busuk semakin menyebar ke sekelilingnya.
Merasa tidak ada gunanya banyak mengadu mulut, tangan tukang obat ini menyelinap ke balik pakaian jubahnya. Begitu tangan itu mengibas, melesat sebuah benda yang ternyata sebilah pisau ke arah Siluman Tengkorak Gantung.
Namun sambil terus bergelantungan, tubuh Siluman Tengkorak Gantung itu berputar cepat. Maka pisau terbang itu meleset dari sasaran.
"Hi hi hi...! Permainan murahan dipertontonkan di hadapan kami. Kini, rasakanlah akibatnya!" geram Siluman Tengkorak Gantung yang tadi mendapat serangan pisau.
Lalu dengan gerakan ringan, tubuh Siluman Tengkorak Gantung itu melayang turun dan berdiri tepat di hadapan si tukang obat. Kini keduanya saling tatap sejenak. Sementara si tukang obat mencabut senjatanya yang tergantung di pinggang, lalu membabatkannya ke arah leher.
Tetapi serangan itu dapat dielakkan Siluman Tengkorak Gantung dengan mudah. Bahkan tanpa terduga kakinya berhasil menendang pergelangan tangan si tukang obat. Tak ampun lagi, senjatanya terlepas dari genggaman. Dan pada saat itu pula, sebuah hantaman keras berhasil menggedor dada si tukang obat.
Des! "Hoakh!"
Disertai muntahan darah segar, tubuh si tukang obat ambruk mencium tanah. Ketika akan bangkit, sebuah telapak kaki telah menginjak punggungnya kuat-kuat.
Krek! "Aaah...!"
Tidak ampun lagi, tukang obat itu kembali roboh dengan tulang punggung patah. Nyawanya saat itu juga melayang.
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Siluman Tengkorak Gantung meninggalkan tempat itu, diikuti kawan-kawannya yang sejak tadi hanya menonton pertarungan. Dalam waktu singkat, tempat itu jadi sepi dan lengang kembali.
*** Belasan sosok tubuh tampak berlari sambil memanggul seorang wanita cantik berambut dikuncir dua. Tampaknya gadis manis itu tidak dapat berbicara. Mungkin urat suaranya telah tertotok. ini jelas terlihat dari raut wajahnya yang ketakutan.
Tanpa mempedulikan wanita dalam gendongan yang semakin pucat ketakutan, mereka terus berlari. Pada saat itu, tanpa disadari satu sosok bayangan tampak berkelebat cepat ke arah mereka.
Ketika sampai di tempat sepi, wanita muda itu diturunkan dari gendongan. Kemudian dengan wajah beringas, dua orang yang berpakaian kuning dan hijau menghampiri.
Wanita itu sadar, nasib apa yang sesaat lagi akan menimpa. Maka keringat dinginnya mengucur deras dari sekujur tubuh.
Bret! Sekali sentak, pakaian wanita itu sobek di bagian dada. Seketika matanya jadi terbelalak. Tetapi apa daya" Suara dan tubuhnya telah tertotok tidak dapat digunakan. Sementara dengan napas memburu, laki-laki berpakaian kuning dan hijau itu meremas-remas dada gadis ini yang padat dan bertubuh sintal.
Tangan mereka terus berkeliaran. Sementara gadis itu hanya memejamkan mata dengan air mata bercucuran. Dan sebelum kejadian terkutuk menimpa....
Begkh! "Aaakh...!"
Tahu-tahu laki-laki yang berpakaian kuning merasa tubuhnya melayang, ketika sebuah bayangan putih berkelebat. Dan belum hilang rasa terkejutnya, tubuh itu terbanting keras di tanah.
Bug! "Hegkh!"
Begitu tubuhnya menyentuh tanah, laki-laki berpakaian kuning itu bangkit kembali. Tetapi kembali sebuah tendangan keras menghantam dadanya, membuat tubuhnya terbanting kembali. Sementara temannya yang berbaju hijau seperti terpaku kaget. Namun secepat kilat tubuhnya meluruk mengirimkan serangan ke punggung sosok berompi putih. Tanpa diduga sama sekali, sosok berbaju rompi putih itu berbalik sambil mengibaskan tangannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Dugkh! "Akh!"
Sambil berteriak tertahan, laki-laki baju hijau itu terlempar disertai muntahan darah segar. Sementara, sosok berbaju rompi putih hanya memandanginya dengan sorot mata tajam. Kini jelas, siapa yang menyerang mereka. Orang yang baru muncul adalah seorang pemuda tampan berambut panjang terurai. Pada punggungnya tersampir pedang berhulu kepala burung rajawali. Wajahnya yang tampan tampak berkerut, pertanda sedang menahan marah. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Siapakah kau, Kisanak"! Apa maksudmu ikut campur dalam urusan kami"! Apakah kau sudah bosan hidup"!" bentak laki-laki berbaju kuning, sambil menyusut darah yang menetes di sudut bibir.
"Aku Rangga. Dan orang persilatan memanggilku Pendekar Rajawali Sakti!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, tanpa nada kesombongan sedikit pun.
Mendengar nama itu, laki-laki berbaju kuning mundur dua langkah ke belakang. Wajahnya sedikit pucat, namun secepatnya dia menenangkan diri. Sementara lelaki berbaju hijau yang baru saja dirobohkan Rangga telah bangkit, dan berdiri di samping laki-laki yang berbaju kuning. Mereka berdua kini telah meraba senjata cambuk berkepala tengkorak.
"Boleh saja kau mengaku sebagai pendekar besar itu. Tetapi kami berdua harus membuktikannya terlebih dahulu!"
Sambil berkata, laki-laki yang berbaju kuning memberi isyarat pada sepuluh orang anak buahnya. Maka tanpa diulangi lagi, sepuluh orang berpakaian serba hitam bergambar tengkorak bergerak menerjang.
Berbagai senjata tajam tampak mengancam tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan enaknya tubuh Rangga meliuk-liuk di antara kelebatan senjata-senjata pengeroyoknya. Bahkan semua serangan tidak ada yang mengenai tubuhnya.
"Ciat!"
Walau ke mampu pun mereka menyerang, Rangga dapat menghindarinya dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" yang memang digunakan untuk bertahan. Bahkan dengan dua jarinya, Rangga berhasil menjepit sebilah golok. Lalu sekali sentak, senjata itu telah pindah tangan.
Dengan senjata rampasannya, Rangga balas menyerang.
"Haeeet!"
"Wuaaa! Aaaeeek!"
Hasilnya, beberapa orang tampak roboh dengan perut robek dan usus terburai. Darah segar berceceran di sekitar tempat ini. Yang seorang berusaha melarikan diri. Tetapi dengan sekali lempar golok di tangan Rangga menancap di punggung orang sampai tembus ke dada.
Blugk! Tubuh orang berbaju hitam itu ambruk ke tanah tanpa dapat berkutik lagi. Sementara dua laki-laki berbaju hijau dan kuning sampai pucat wajahnya. Dengan cepat dikeluarkan cambuk berkepala tengkorak yang menjadi senjata andalan.
"Kami Arung Garda dan Jayadi! Hari ini akan bertarung sampai titik darah yang terakhir! Bila kami binasa, akan ada yang menuntut balas bagi kematian kami! Bersiaplah kau, Pendekar Usilan!" seru laki-laki yang berbaju kuning. Memang mereka adalah Arung Garda dan Jayadi, yang kini telah menjadi anggota Siluman Tengkorak Gantung.
Pendekar Rajawali Sakti sangat membenci pada laki-laki yang suka mengganggu wanita. Maka begitu melihat mereka berdua telah menyerang dengan cambuk tengkoraknya, Rangga tak mau ayal-ayalan lagi.
"Hup!"
Saat itu juga Rangga melenting ke atas dan meluncur dahsyat ke arah kedua lawannya.
Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti saat meluruk dengan jurus "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa". Dan begitu dekat dengan Arung Garda dan Jayadi, jurusnya dirubah menjadi "Pukulan Maut Paruh Rajawali" tingkat pertama. Dan maka tanpa dapat dicegah lagi.
Pedang Pembunuh Naga 16 Dewa Arak 06 Prahara Hutan Bandan Si Rase Hitam 3
^