Pencarian

Siluman Tengkorak Gantung 2

Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung Bagian 2


Bugkh! Des! "Aaakh...! Ugkh...!."
Tubuh Arung Garda dan Jayadi kontan terpelanting ke belakang. Untung saja Rangga tidak menyalurkan tenaga dalam sepenuhnya. Kalau tidak, pasti dada mereka telah hancur. Untungnya lagi, mereka juga mempunyai tenaga dalam cukup tinggi.
Dan belum juga Rangga melancarkan serangan kembali, mendadak berkelebat tiga sosok bayangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan langsung mengirimkan serangan. Sebagai pendekar tingkat tinggi, tentu saja Rangga menyadari adanya serangan berbahaya. Seketika kedua tangannya bergerak memapak.
Plak! Plak! Tiga bayangan yang ternyata dedengkotnya Siluman Tengkorak Gantung tergetar dan terdorong mundur beberapa langkah. Sementara Pendekar Rajawali Sakti sendiri terdorong ke belakang beberapa langkah. Kening Rangga berkerut, merasakan tenaga tiga sosok itu demikian kuat. Namun yang paling menyolok adalah bau busuk yang menyengat. Bau bangkai manusia.
Rangga teringat pada tokoh sesat yang belakangan ini telah menghebohkan dunia persilatan. Namun ketika rasa terkejutnya hilang, ternyata ketiga orang berpakaian tengkorak itu telah tidak ada lagi di tempatnya. Begitu juga Arung Garda dan Jayadi yang sedang terluka.
Rupanya mereka menggunakan kesempatan, saat Rangga lengah. Pendekar Rajawali Sakti hanya dapat menarik napas panjang dan segera berkelebat pergi dari tempat itu.
*** Tiga Siluman Tengkorak Gantung membawa dua orang muridnya ke rumah mereka di tengah hutan. Dengan telaten mereka mengobati Arung Garda dan Jayadi yang mendapat luka cukup parah. Terutama di bagian dalam, karena ada beberapa tulang dada yang patah.
Berkat ketelatenan itu lambat laun luka Jayadi dan Arung Garda dapat disembuhkan.
"Jayadi dan Arung Garda! Kini kesehatan kalian hampir pulih. Kini kau harus banyak berlatih. Sudah kau buktikan sendiri kalau Pendekar Rajawali Sakti terlalu tangguh bagi kalian. Kami bertiga yang menjadi gurumu, belum tentu sanggup mengalahkannya. Itulah sebabnya, kami, kalian, dan beberapa teman dari persilatan kuajak bergabung agar kekuatan kami jadi besar dan tidak mudah dikalahkan," jelas Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh kurus.
"Guru terlalu merendah. Siapa yang sanggup bertahan dari serangan Guru bertiga" Rasanya dalam dunia persilatan ini sudah jarang ada yang sanggup bertahan dari serangan Guru!" tukas Jayadi.
"Kali ini aku berkata benar. Memang, Pendekar Rajawali Sakti juga tidak akan gampang untuk mengalahkan aku dan kedua gurumu yang lain. Tetapi, kami juga sulit untuk memperoleh kemenangan. Itulah sebabnya, kita harus bersatu dan menyusun kekuatan sebaik mungkin."
"Baiklah, Guru. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menyusun kekuatan dan mengumpulkan teman-teman yang sehaluan dengan kita! Mudah-mudahan dengan tenaga gabungan, kita berhasil mengungguli kekuatan Pendekar Rajawali Sakti!"
"Tapi itu juga masih sulit!"
"Memangnya kenapa Guru..."!" tanya Arung Garda.
"Kata orang, Pendekar Rajawali Sakti memiliki kepandaian sulit diukur. Itulah sebabnya aku berusaha mendapatkan Kitab Pusaka Kincir Angin dari Loro Blonyo dan Manuk Beduwong. Dari gebrakanku dengannya tadi, bisa kubayangkan betapa tingginya tenaga dalam pendekar itu!"
"Mengapa Guru begitu mendendam kepadanya?"
"Beberapa tahun yang silam, saudara tuaku telah jadi korban kesombongan pendekar itu! Dan aku berjanji akan membalas dendam padanya. Itulah sebabnya, aku harus mendapatkan Kitab Pusaka Kincir Angin dahulu sebelum turun tangan menghadapi Pendekar Rajawali Sakti!"
"Guru! Kami berdua sudah merasakan juga kehebatan Loro Blonyo dan Manuk Beduwong! Kami berdua bukan imbangannya. Lalu apa yang harus kami lakukan" Kami mohon petunjuk Guru, agar tidak salah langkah!"
"Memang benar, kedua iblis itu memiliki kepandaian tinggi. Tetapi bila salah seorang dari mereka maju, kami tidak gentar menghadapinya!"
"Kalau begitu, kami harus memisahkan mereka. Baru setelah itu menghajar dan merampas Kitab Pusaka Kincir Angin!" tambah Jayadi, bertekat.
"Sebenarnya tidak harus begitu. Mereka tidak bertemu. Hanya kebetulan, pada waktu itu kalian menggempurnya di saat mereka sedang saling serang. Jadi, terpaksa mereka bersatu. Juga, karena mereka sudah terluka!" timpal Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh pendek gemuk.
*** Sejak saat itu, Jayadi dan Arung Garda berlatih beberapa jurus ilmu silat tingkat tinggi yang telah berhasil dikuasai. Di samping mereka juga mencari dan mengumpulkan teman-teman yang sehaluan, yang membenci pada Pendekar Rajawali Sakti.
Waktu terus bergeser. Saat ini malam sangat gelap. Apalagi cuaca begitu buruk. Sehingga menambah seram suasana saat itu. Sementara Tiga Siluman Tengkorak Gantung bersama murid-muridnya telah tertidur lelap dibuai mimpi. Hanya yang bertugas jaga saja yang masih duduk mengelilingi api unggun.
"Ha-ha-ha...!"
Pada cuaca yang seburuk itu, terdengarlah suara tawa yang besar dan mengguncangkan isi hutan. Tentu saja para penjaga jadi terkejut dan segera bangkit, sambil mencabut senjata masing-masing. Namun sosok yang tertawa, belum menampakkan diri.
"Ha-ha-ha...! Kiranya para Siluman Tengkorak Gantung adalah hasil ulah kalian yang di dalam. Dan rahasia kalian tidak ingin terbuka. Dasar pengecut licik! Hari ini kalian harus menerima pembalasan atas segala perbuatan kalian terhadapku beberapa waktu lalu!" seru suara berat yang bergema ke sekeliling hutan ini.
Para penjaga segera memasang mata, memandangi tempat yang dicurigai. Tetapi yang dicari tidak tampak batang hidungnya. Segera mereka mengambil beberapa pisau terbang beracun dan melemparkannya ke sekeliling hutan itu. Tetapi tidak ada balasan dari orang yang tertawa.
"Hoi! Kau setan atau manusia"! Kalau manusia, harap tunjukkan diri. Mari kita bertempur secara laki-laki!" seru salah seorang penjaga.
Belum lenyap gema suara itu mendadak sebuah ranting kering meluncur dengan kecepatan tinggi.
Serrr! Crep! "Wuaaa...!"
Ranting kering itu menancap tepat di leher si penjaga. Bersamaan dengan turunnya hujan, orang itu roboh di atas tanah. Tentu saja yang lain jadi terkejut. Mereka segera menyerbu ke arah datangnya ranting kering tadi. Tetapi, yang diserbu hanyalah tempat kosong belaka.
Belum habis rasa terkejut mereka, beberapa ranting kering kembali melayang. Maka kembali beberapa orang roboh dengan leher dan ulu hati tertancap ranting-ranting kering. Bersamaan dengan robohnya mereka, berkelebat sosok bayangan merah.
"Ciaaat!"
Tangan bayangan merah itu mendorong dengan telapak terbuka. Akibatnya dua orang terlempar dengan dada hangus, meninggalkan cap telapak tangan hitam. Jelas, orang itu telah hangus kulit dadanya terkena pukulan beracun yang mengandung hawa panas!
Dalam waktu singkat, bayangan merah itu berkelebat ke sana kemari. Dan dalam sekejap saja, para penjaga bergelimpangan tanpa bernyawa lagi. Dengan pandangan angkuh, sosok berpakaian serba merah itu memandangi mayat mereka satu persatu.
*** Mendengar suara ribut-ribut, dari dalam gubuk yang terdapat di atas pohon keluar beberapa lelaki berwajah seram. Tetapi belum lagi mereka sanggup berbuat sesuatu, sebuah bayangan merah telah menyambar.
Bagaikan anak ayam tersambar burung elang, mereka berpelantingan ke bawah pohon dengan kepala pecah. Dan isi perut berantakan terkena cakar sosok bayangan merah.
"Ha-ha-ha...! Ayo keluar kau manusia busuk. Jangan beraninya selagi aku terluka saja! Suruh pemimpinmu keluar menyambutku. Aku, Manuk Beduwong tidak akan mundur kalau kalian tidak main curang seperti beberapa waktu yang lalu!" teriak sosok berbaju merah yang ternyata Manuk Beduwong.
Baru saja kata-kata Manuk Beduwong habis, dari atas menyambar dua bayangan hijau dan kuning dengan senjata cambuk berujung kepala tengkorak manusia.
Kedua serangan ini sangat dahsyat, menimbulkan angin berciutan dan ledakan cambuk yang memekakkan telinga. Namun tanpa kesulitan, Manuk Beduwong berhasil mengelakkan serangan. Bahkan serangan balasan dari tangannya yang berbentuk cakar, telah membuat lawannya mundur dengan wajah terkejut.
"Hait!"
Sambil berjumpalitan, keduanya mundur ke belakang menjauhi. Tanpa terasa keringat dingin mengucur dari sekujur tubuh mereka. Maka, dia tidak berani memandang ringan lagi.
"Kiranya kau lagi! Apa kali ini kau ingin bunuh diri berani mendatangi tempat ini..."!" bentak laki-laki berbaju hijau yang tak lain Arung Garda.
"Bagus! Kau muncul tanpa kusuruh. Aku memang sengaja kemari mencari kalian! Kini, kalian tidak akan dapat melihat matahari terbit lagi!" ancam Manuk Beduwong.
"Bah! Sombong sekali! Di sini kau tidak perlu menepuk dada! Yang pasti bukan kami. Tetapi kaulah yang akan mampus tanpa liang kubur!" ejek Jayadi yang berbaju kuning.
"Ha-ha-ha...! Baru sekali ini ada orang yang berani berkata besar di hadapanku. Berdoalah sebelum kubuat jadi daging bakar!" ancam Manuk Beduwong.
"Para Siluman Tengkorak Gantung! Bunuh dia!" perintah Jayadi.
Maka beberapa orang berpakaian hitam bergambar tengkorak menyerang dengan berbagai senjata tajam. Namun gerakan orang tua berpakaian merah itu sangat luar biasa cepatnya. Bahkan tahu-tahu dua orang dari pengeroyok, menjerit dengan leher hampir tercabik putus.
Betapa marahnya Jayadi dan Arung Garda. Maka dengan cambuknya mereka mendesak Manuk Beduwong. Tetapi sampai sejauh itu, laki-laki tua berbaju merah itu masih dapat mengatasi. Dan lambat laun, Arung Garda dan Jayadi mulai jatuh bangun menghadapi serangan.
Pada saat yang gawat, terciumlah bau bangkai yang menyengat dan mengganggu pernapasan. Jelas, bau ini mengandung racun memabukkan. Maka segera Manuk Beduwong menahan pernapasannya dan meningkatkan kewaspadaannya.
Bau bangkai semakin menyengat. Ternyata tak jauh dari situ telah berdiri tiga orang berpakaian tengkorak. Merekalah dedengkot Siluman Tengkorak Gantung yang berjumlah tiga orang.
"Hik hik hik...! Manuk Beduwong! Terhadap yang lain kau boleh menepuk dada. Tetapi di hadapan kami, kau jangan banyak tingkah. Walaupun kepandaianmu setinggi langit, bagi kami kau masih bukan lawan istimewa!" ejek Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh tinggi tegap.
"Ha-ha-ha...! Segala makhluk jejadian macam kalian mau jual lagak di hadapanku! Sungguh menggelikan!" balas Manuk Beduwong. Sementara rambut putihnya sudah basah kuyup diguyur air hujan yang tidak ada hentinya.
"Ciaaat!"
"Haiiit...!"
Bersamaan dengan cahaya kilat yang menyilaukan mata. Tiga Siluman Tengkorak Gantung mengirimkan serangan jarak jauh, secara berbarengan. Tetapi Manuk Beduwong cepat memapaknya.
Glarrr! Mereka sama-sama tergetar mundur beberapa langkah. Namun ketiga Siluman Tengkorak Gantung segera maju lagi bersamaan.
Perkelahian sengit segera terjadi. Walaupun dikeroyok, Manuk Beduwong tidak terdesak. Pada saat itu, Jayadi dan Arung Garda kembali maju dengan senjata cambuknya.
Walau bagaimana tangguhnya, lambat laun Manuk Beduwong jadi terdesak juga. Dan tiba-tiba, gerakannya dirubah. Kedua tangannya diputar-putar, lalu didorong ke muka. Maka timbullah pusaran angin yang kuat melanda para Siluman Tengkorak Gantung. Akibatnya mereka terdorong dengan wajah berubah pucat.
"Gila! Itulah ilmu dari kitab Kincir Angin. Ayo kita desak dan jangan beri kesempatan bernapas!" seru Siluman Tengkorak Gantung yang bertubuh pendek gemuk dengan berang.
Sayangnya, walau ilmu tersebut cukup dahsyat, Manuk Beduwong belum mempelajari seluruhnya. Karena, separuh kitab itu masih berada di tangan Loro Blonyo. Sehingga lambat laun keadaannya jadi terdesak juga. Bahkan sebuah serangan dahsyat berhasil menghantam dadanya.
"Hoak!"
Darah segar tersembur dari mulut Manuk Beduwong, disusul hantaman punggung. Tak ampun lagi, dia jatuh keras ke tanah. Ketika akan bangkit, cambuk berkepala tengkorak milik Arung Garda lelah menghantam kepalanya.
Prak! "Aaakh...!"
Tidak ampun lagi, Manuk Beduwong ambruk dengan kepala retak. Darah merah bercampur putih tampak meleleh keluar dari kepalanya.
Sementara Tiga Siluman Tengkorak Gantung tertawa penuh kemenangan. Segera diperiksanya pakaian Manuk Beduwong yang terdapat Kitab Pusaka Kincir Angin yang hanya separuh.
*** 5 ? Waktu terus bergulir sesuai garis edarnya. Sementara Tiga Siluman Tengkorak Gantung sibuk mempelajari Kitab Pusaka Kincir Angin yang hanya setengah itu. Ternyata walaupun hanya separuh, ilmu itu memang benar-benar dahsyat luar biasa. Sehingga dalam waktu singkat, mereka telah berhasil memperoleh kemajuan pesat.
Seiring meningkatnya ilmu mereka, kejahatan mereka pun juga jadi semakin menjadi-jadi. Terutama yang dilakukan Jayadi dan Arung Garda yang selalu menculik wanita cantik.
Seperti biasa, Jayadi dan Arung Garda tengah menjalankan tindak kejahatannya. Anak buahnya tampak menjaga di sekeliling rumah tua yang tidak terpakai lagi. Sementara wanita desa yang diculik hanya dapat berteriak-teriak dengan wajah pucat. Air matanya mengucur deras, tetapi kedua manusia iblis itu tidak peduli.
"Aaa...!"
Di saat sudah lupa diri, terdengar teriakan-teriakan menyayat dari luar. Teriakan itu disusul dengan melayangnya sosok-sosok tubuh berpakaian serba hitam bergambar tengkorak yang tak bernyawa lagi. Mereka binasa dengan leher patah. Betapa terkejutnya Jayadi dan Arung Garda melihat mayat anak buahnya. Dan mereka segera meloncat keluar.
"Bangsat! Kau lagi rupanya, pendekar usil"! Berani benar kau mengusik macan yang sedang tidur..."!" seru Jayadi merasa jumawa.
"Ya, aku yang tak membiarkan kejahatan berlangsung di depan mataku. Kau sudah puas..."!" balas orang yang baru datang, yang ternyata Rangga.
Arung Garda dan Jayadi makin terkejut, ketika melihat mayat-mayat anak buahnya yang bergeletakan. Tetapi mereka menutupi semua itu dengan jalan menyerang. Cambuk mereka bersiutan, mengarah kepala dan dada Rangga. Tetapi Pendekar Rajawali Sakti melayani dengan gerakan-gerakan mengagumkan.
Melihat hal ini Jayadi dan Arung Garda jadi ciut nyalinya. Secepat kilat mereka berbalik hendak melarikan diri. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak. Tubuhnya melenting dan berjumpalitan beberapa kali di udara, lalu mendarat di hadapan kedua lawannya.
"Hm! Mau lari ke mana kau manusia busuk..."!" tanya Rangga, mengancam.
Melihat tidak ada jalan lain, Arung Garda dan Jayadi jadi nekat. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan, diterjangnya Rangga secara bersamaan.
Namun dengan menggunakan jurus "Sembilan Langkah Ajaib", serangan Jayadi dan Arung Garda mengenai tempat kosong. Bahkan sebuah tendangan melingkar yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu menghantam telak kepala Arung Garda.
Dugh! "Aaakh...!"
Arung Garda terpekik. Setelah terhuyung-huyung, tubuhnya terhempas ke tanah. Rasa pening yang hebat menyerang kepalanya. Sementara Jayadi melihat kesempatan yang menguntungkan. Tanpa membuang waktu lagi, dihantamnya Rangga dari belakang. Serangan itu benar-benar mematikan.
Namun Rangga yang merasakan ada desir angin di belakangnya, segera berkelebat cepat mengerahkan jurus "Seribu Rajawali" yang disertai ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi. Tubuhnya bergerak cepat, dan tampak berubah jadi banyak mengelilingi Jayadi. Sehingga, lawannya jadi kebingungan harus menyerang ke arah mana..."
Ketika Jayadi kebingungan, Rangga segera bergerak menyerang dengan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Tidak ampun lagi, Jayadi jadi kelabakan. Dia tidak tahu, harus mengelak ke mana. Karena semua jalan keluarnya seolah-olah telah tertutup.
Pada saat tak tahu harus berbuat apa, sebuah pukulan keras telah menghantam muka Jayadi.
Cprog! "Wuagkh!"
Seketika itu juga darah segar berhamburan. Tubuh Jayadi kontan terlempar jatuh menimpa Arung Garda. Setelah bangkit kembali, dengan nekat Jayadi menyabetkan cambuknya ke dada Rangga. Namun dengan kecepatan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti menangkap tali cambuk dan menariknya dengan kuat.
"Hiaaa...!"
Tidak ampun lagi, tubuh Jayadi tersentak ke udara. Lalu dengan keras tubuhnya terbanting pada batu sebesar anak kerbau.
Prakkk...! Tanpa dapat bersuara lagi, kepala Jayadi pecah. Otak bercampur darah tampak meleleh keluar dari kepalanya. Mati. Sementara Arung Garda wajahnya jadi pucat. Keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Sambil gemetaran, kakinya mundur menjauhi Rangga.
Tetapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau mengampuni manusia yang satu ini. Seketika tubuhnya melesat, melepaskan sebuah tendangan berantai ke perut Arung Garda.
Bugkh...! "Hekh...!"
Arung Garda terbungkuk-bungkuk, sambil memegangi perutnya yang terasa mual. Tanpa dapat dicegah lagi, seluruh isi perutnya tumpah. Merasa tidak dapat menandingi Pendekar Rajawali Sakti, Arung Garda berusaha mengambil jurus langkah seribu.
Namun dengan sekali menggenjot tubuh, Rangga telah berada di hadapan Arung Garda. Dengan wajah geram, dihampirinya manusia pengecut itu.
Arung Garda sadar, jiwanya tidak akan tertolong lagi. Maka dengan mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa, dia berusaha mencengkeram kepala Rangga.
"Haes!"
Plak! Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah mengibaskan tangannya dengan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali". Maka benturan pun terjadi.
Der! Bagaikan terdorong tenaga raksasa, tubuh Arung Garda tersentak balik ke belakang. Lalu, roboh dia dengan tangan patah dan hangus. Pendekar Rajawali Sakti hanya memandangi mayat-mayat.
Sebentar kemudian tubuh Rangga berkelebat cepat mencari Tiga Siluman Tengkorak Gantung yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini.
*** Tiga sosok berpakaian serba hitam bergambar tengkorak tengah membuat gerakan-gerakan silat. Tangan mereka diputar-putar, lalu didorongkan ke depan secara bersamaan. Bagaikan ada angin puyuh, daun dan debu jadi berputar ke udara menuju sebuah pohon yang cukup besar.
Bruagkh! Bagaikan dicabut tangan raksasa, pohon itu roboh berantakan. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya pukulan itu.
"Lihatlah, Badra! Betapa dahsyatnya serangan ilmu "Kincir Angin"! Sayang kita hanya memperoleh setengah. Coba kalau seluruhnya. Tentu kita akan sulit menemui tandingan!" ujar salah seorang berpakaian serba hitam bergambar tengkorak yang bertubuh kurus. Memang mereka tak lain tiga dedengkot Siluman Tengkorak Gantung.
"Kau tidak perlu kecewa, Kakang Badra! Tidak lama lagi kita pasti akan dapat merampas kitab itu dari tangan Loro Blonyo!" tukas yang dipanggil Badra bernada sombong.
"Kakang Badra! Kepandaian Loro Blonyo tidak di bawah Manuk Beduwong. Lagi pula, meskipun mereka bermusuhan, pada hakekatnya mereka adalah saudara seperguruan. Dengan matinya Manuk Beduwong di tangan kita, dia pasti akan membalas dendam. Bahkan dia akan mati-matian merampas Kitab Pusaka Kincir Angin dari tangan kita," kata orang termuda dari mereka!
"Kau benar, Badro! Yang menyebabkan mereka bermusuhan adalah gara-gara berebut Kitab Pusaka Kincir Angin! Aku tidak mengecilkan kekuatan kita. Tetapi bersikap waspada, adalah lebih baik. Sebab segala kemungkinan bisa saja terjadi. Walaupun, kita tahu dia tidak terlalu berarti bagi kita," ujar laki-laki bernama Badri.
"Haung... houng...!"
Tiba-tiba terdengar mengaum yang sambung menyambung tidak hentinya. Bumi seakan berguncang. Dedaunan kering di pohon berjatuhan. Binatang tersentak kaget, lalu lari pontang-panting bagai dikejar hantu. Sedangkan suara raungan itu semakin lama jadi semakin meninggi nadanya.
Tiga Siluman Tengkorak Gantung terkejut. Cepat mereka mengambil sikap bersemadi, mengatur napas agar isi dada tidak terguncang.
"Awas! Kerahkan hawa murni. Dan, atur pernapasan! Ini ilmu "Raungan Singa" yang dapat merusak telinga dan menghancurkan isi dada!"
Sambil berkata, Badri orang tertua dari Siluman Tengkorak Gantung ini mengatur pernapasan dan hawa mumi.
Pertarungan aneh masih terus berlangsung. Yang tiga masih terus diam. Sedangkan suara auman yang dahsyat semakin lama semakin meninggi. Lambat laun, ketiga wajah Siluman Tengkorak Gantung semakin pucat. Bahkan darah segar mulai menetes dari sudut bibir masing-masing. Sedangkan suara raungan juga jadi semakin melemah. Kemudian suasana jadi hening sepi.
Ketika Tiga Siluman Tengkorak Gantung bangkit, di hadapan mereka telah berdiri sesosok tubuh gendut dengan wajah lucu. Wajah itu selalu tampak tertawa dan tersenyum. Siapa lagi orang itu kalau bukan Loro Blonyo. Seorang tokoh aliran sesat, yang dapat membunuh lawan sambil tertawa.
"Keparat! Kiranya kau yang telah membunuh saudara seperguruanku Manuk Beduwong! Kini, terimalah pembalasanku. Kalian bertiga silakan maju sekaligus!" tantang Loro Blonyo.
"Bagus! Kau datang mengantarkan jiwa. Dan kami tidak perlu repot-repot lagi mencarimu! Kau akan kami ampuni, bila menyerahkan Kitab Pusaka Kincir Angin. Dan jangan salahkan kami bila berlaku kejam padamu!" ancam Badri.
"Bangsat! Manusia licik, kalian ini belum pantas berbicara seperti itu padaku! Lekas kembalikan sebagian Kitab Pusaka Kincir Angin yang kau curi! Jangan pikir kalian sudah merasa hebat dapat mengalahkan saudara seperguruanku Manuk Beduwong! Aku tahu, kalian main keroyok. Bila tidak, jangan harap bisa menang!" bentak Loro Blonyo.
"Baik! Mari kita buktikan. Siapa yang unggul di antara kita..."!" sambut Badra orang kedua dari Siluman Tengkorak Gantung.
Kemudian mereka meloloskan senjata masing-masing, berupa tali yang melingkar di leher. Kemudian secara tiba-tiba, mereka membanting sebuah benda berbentuk seperti telur puyuh yang langsung meledak. Asap tebal langsung mengepul dibarengi bau busuk yang menyengat hidung.
Seketika tercium bau bangkai manusia mengandung racun, sehingga membuat kepala pening dan perut mual. Jelas, asap itu mengandung racun jahat.
Tetapi, Loro Blonyo telah waspada. Dengan segera pernapasannya ditutup dan dipindahkan ke perut. Kemudian tubuhnya berkelebat dengan kedua tangan yang berbentuk cakar garuda mencengkeram Siluman Tengkorak Gantung yang terdekat.
"Hait!"
Namun Badri yang menjadi sasaran tak kalah sigap. Cepat tangannya bergerak menangkis.
Plak! Plak! Beberapa benturan keras segera terjadi. Mereka sama-sama terjajar beberapa langkah. Namun belum juga Loro Blonyo bersiap, Badra orang termuda dari Siluman Tengkorak Gantung melepaskan tendangan melingkar yang cukup keras.
Des! "Ha-ha-ha...! Masih adakah yang lebih keras lagi..."!" ejek Loro Blonyo.
Tendangan itu tepat mengenai perut Loro Blonyo. Tetapi orang lucu berperut gendut itu hanya tertawa saja.
Tentu saja Tiga Siluman Tengkorak Gantung jadi gusar. Dengan serentak mereka maju, menyerang bagaikan hujan dan angin. Tentu saja Loro Blonyo tidak mau jadi korban begitu saja. Segera jurus "Gajah Sakti Membongkar Hutan" segera dikeluarkan. Jurus ini memerlukan tenaga besar, sehingga tanah seakan bergetar bila orang tua itu melangkah.
Ketiga Siluman Tengkorak Gantung terkejut. Dan mereka segera memainkan jurus-jurus andalan. Cambuk dari tali yang disimpul seperti tali gantung saling berseliweran di sekitar tubuh Loro Blonyo. Bila lengah, tentu jiwanya akan melayang. Namun berkat pengerahan tenaga dalam yang kuat, setiap senjata itu mendekati tubuh Loro Blonyo selalu tertolak kembali atau meleset ke samping.
Perkelahian makin berlangsung sengit. Para Siluman Tengkorak Gantung mulai mengeluarkan jurus dari Kitab Pusaka Kincir Angin. Angin pukulan yang berputar bagaikan angin puyuh, melanda Loro Blonyo.
Dengan terkejut, orang tua yang selalu tersenyum itu berteriak keras. Lalu tubuhnya melenting ke udara berjumpalitan menjauhi ketiga lawannya. Dan pada saat berjumpalitan, tangannya bergerak mengibas.
Set! Set! Saat itu juga meluncur beberapa helai rumput beracun ke arah Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
"Awas, rumput beracun! Jangan ditangkis!" teriak Badri sambil melompat ke belakang.
Sebagai balasannya, Tiga Siluman Tengkorak Gantung melempar pisau beracun ke arah Loro Blonyo yang baru saja mendarat di tanah. Dengan sebisanya orang tua buncit itu mendorongkan telapak tangannya yang berisi tenaga dalam penuh.
Wesss! Trak! Trak! Pisau-pisau terbang itu kontan runtuh ke tanah, sebelum mengenai sasaran. Sedang Loro Blonyo hanya berdiri tegak sambil menarik napas dalam-dalam. Perutnya yang besar tampak semakin menggembung. Kemudian....
"Haung...!"
Terdengar teriakan Loro Blonyo yang keras dan mengguncangkan dada. Seketika Tiga Siluman Tengkorak Gantung memejamkan mata sambil mengatur jalan darah yang terasa tidak sebagaimana mestinya. Maka, terjadilah pertarungan menegangkan. Walau kelihatan sederhana, sesungguhnya inilah pertarungan hidup mati yang dahsyat.
Raungan Loro Blonyo semakin lama semakin meninggi. Sedangkan untuk mengimbangi Tiga Siluman Tengkorak Gantung membunyikan cambuk secara terus-menerus. Maka terdengarlah suara tidak beraturan yang berusaha saling tindih. Pertarungan itu berjalan cukup lama, membuat wajah mereka jadi semakin pucat.
Bahkan kini tubuh mereka bergetar hebat dengan darah segar menetes dari sudut bibir. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh.
"Heaaat...!"
Set! Set! Pada saat yang demikian gawat, Badri orang tertua dari Siluman Tengkorak Gantung menerjang dibarengi lemparan pisau beracun dua adiknya, Badra dan Badro.
"Haiiit!"
Sambil berteriak keras. Loro Blonyo menyambut serangan. Dengan sekali cengkeram, tangan Badri hancur.
Krap! Crap! Crap! Tubuh Loro Blonyo sendiri banyak tertancap pisau beracun. Tanpa dapat berteriak lagi, dia jatuh binasa. Di pihak Siluman Tengkorak Gantung, hanya Badri yang hancur tangan kanannya.
Sebentar Tiga Siluman Tengkorak Gantung memandangi mayat lawannya, lalu mengambil Kitab Pusaka Kincir Angin. Kemudian mereka meninggalkan Loro Blonyo begitu saja. Walaupun terluka, jelas mereka merasa puas dan senang. Kini mereka tinggal mempelajari. Dan bila sudah berhasil, cita-cita mereka untuk membalas dendam pada Pendekar Rajawali Sakti agaknya akan terwujud!
*** Di cuaca yang sangat terik, tampak seorang laki-laki tua berambut putih dengan pakaian sederhana, sedang asyik bermain catur dengan seorang pemuda bertubuh tegap dan gagah. Sesekali orang tua itu menyingkap rambut putih yang menutupi wajahnya yang kemerahan. Apabila menemui kesulitan, tampak dia menggerutu panjang pendek. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum saja melihat ulah orang tua itu.
"Hei, Bocah Tolol! Kenapa kau cengar-cengir" Senang melihat aku kesusahan..."!" tanya orang tua yang tak lain Ki Sabda Gendeng.
"Eee..., eh! Aku hanya tersenyum sendiri. Mana berani aku mengejek guru!" sahut pemuda, yang sudah pasti Jaka Tawang.
Ki Sabda Gendeng dan muridnya, bila ingin main catur tidak pernah memilih tempat lagi. Di mana pun jadi. Walaupun jarang menang, orang tua itu selalu penasaran dan tidak pernah mau mengaku kalah.
Tanpa disadari mereka seorang pemuda berbaju rompi putih berambut panjang dengan pedang berhulu kepala burung rajawali tampak mengawasi sambil tersenyum. Kebetulan, orang tua urakan itu menoleh ke arah pemuda tampan berompi putih ini.
"Hei! Berani kau menertawai aku..."! Ke sini kau, main denganku!" bentak Ki Sabda Gendeng sambil menghampiri pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, Kisanak! Aku tidak pandai main catur. Lagi pula, aku tersenyum karena melihat ulah kalian yang lucu tadi. Tidak ada maksud menertawakanmu. Percayalah!" tandas Rangga.
"Siapa kau, aku tidak peduli. Apa kau kira aku tontonan lucu..." Ayo kau main denganku! Atau, kuhajar kau bocah brengsek!" dengus orang tua berwatak aneh ini.
Sambil berkata, tangan Ki Sabda Gendeng melempar biji catur. Cepat sekali gerakannya. Bahkan diam-diam dialiri tenaga dalam tinggi.
Namun, enak sekali Rangga menyentil seperti tanpa mengerahkan tenaga. Sehingga, luncuran biji catur yang mengarah ke tubuhnya jadi melenceng jauh.
"Hebat! Pantas saja kau berani menertawakan aku. Mari kita main-main barang satu dua jurus denganku!" tantang Ki Sabda Gendeng, menyadari kekuatan tenaga dalamnya seperti diremehkan.
"Kita tidak bermusuhan, Kisanak. Untuk apa saling serang"!" ujar Rangga, tenang.
Tetapi Ki Sabda Gendeng tidak mau peduli. Sifatnya yang seperti anak kecil, selalu tidak mau mengalah. Dengan segera, diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti. Walau kelihatannya main-main, tetapi serangan orang tua itu dahsyat bukan main. Bila kurang hati-hati, tentu jiwa Rangga melayang.
Pendekar Rajawali Sakti tidak berani berlaku ayal-ayalan lagi. Segera dimainkannya jurus "Sembilan Langkah Ajaib". Tubuhnya bergerak ke sana kemari bagai terhuyung-huyung. Berbagai ilmu simpanannya telah dimainkan, tetapi keadaan tetap tidak berubah.
Sebenarnya Rangga juga merasakan kedahsyatan dari orang tua ini. Dia merasa di sekelilingnya bagai ada tekanan tak nampak.
Melihat kesungguhan orang tua itu, Pendekar Rajawali Sakti segera merubah jurusnya menjadi "Sayap Rajawali Membelah Mega", disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. Perubahan jurus ini membuat Ki Sabda Gendeng terkejut. Bahkan dia tampak kewalahan, mendapat tekanan beruntun.
Baru saja Ki Sabda Gendeng menghindari kibasan kaki Pendekar Rajawali Sakti kembali datang serangan. Kali ini Rangga melepaskan tendangan berputar. Cepat bagai kilat, orang tua itu melempar tubuhnya ke belakang beberapa kali. Dan baru saja Ki Sabda Gendeng menjejakkan kakinya di tanah. Rangga sudah meluncur deras dengan satu hantaman ke dada. begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Sabda Gendeng tak mampu menghindarinya. Dan....
Desss! "Aaakh...!"
Tubuh Ki Sabda Gendeng terjajar beberapa langkah disertai keluhan tertahan. Sementara melihat gurunya berhasil dijatuhkan, Jaka Tawang segera melesat menyerang Rangga.
"Mari, Guru! Kita serang orang ini!" kata Jaka Tawang.
Melihat muridnya bergerak, Ki Sabda Gendeng segera bergerak ikut mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti, tahu walaupun sulit diajak bicara, tetapi mereka bukan orang jahat.
Mereka hanya hendak menguji kepandaiannya saja. Ini lumrah bagi kalangan persilatan. Sebenarnya dia pun kagum pada kepandaian orang tua itu, yang sanggup bertahan sampai sekian lama. Jelas, laki-laki tua sableng ini bukan orang sembarangan.
"Wueeet!"
Dengan gerakan ringan, Pendekar Rajawali Sakti segera menjauhi Ki Sabda Gendeng dan muridnya.
"Tahan, Kisanak! Kita tidak saling bermusuhan. Jadi untuk apa bertarung mati-matian"!" cegah Rangga.
Begitu kata-katanya selesai Rangga melesat meninggalkan tempat ini.
"Hei! Jangan kabur"! Kau jangan mengecewakan aku. Matipun aku rela! Ayo kita bertempur lagi!" seru Ki Sabda Gendeng yang tak sempat mencegah.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti terus melesat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga guru dan murid itu hanya mampu memandangi kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Dia tidak mau meladeni aku! Tetapi kepandaian Pendekar Rajawali Sakti benar-benar mengagumkan!" dengus Ki Sabda Gendeng.
*** 6 ? Padepokan Kipas Kumala, dipimpin tokoh berkepandaian tinggi yang disegani dalam dunia persilatan. Ki Rawadeng, namanya. Muridnya cukup banyak.
Untuk melatih murid-muridnya yang berjumlah besar, lelaki berusia enam puluh lima tahun itu dibantu murid utama yang bernama Barata. Sesuai namanya, padepokan itu terkenal karena permainan ilmu "Kipas"nya yang jarang menemui tandingan.
Sebagaimana biasa, setiap hari murid-murid berlatih di lapangan terbuka, di halaman padepokan. Di bawah asuhan Barata yang sangat keras, membuat lulusan padepokan itu rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan yang bisa diandalkan.
"Hiat!"
"Hiaaap!"
Barata tersenyum puas melihat anak didiknya berlatih keras. Tubuhnya yang gempal dan berisi sudah dibanjiri keringat hingga terlihat berkilatan tertimpa cahaya matahari. Namun tiba-tiba....
"Ihhh..."! Bau bangkai dari mana ini..."!" gumam Barata dalam hati, ketika tercium bau tak sedap, seperti bau bangkai.
Para murid padepokan itu mencium bau tak sedap. Mereka serentak menghentikan gerakan, lalu menoleh ke kanan-kiri. Tetapi tak tampak sesuatu yang mencurigakan. Namun tak lama kemudian....
"Hi hi hi...!"
Terdengar suara tawa yang menggiriskan yang bersumber dari atas pohon, tepat di depan pagar padepokan.
Seketika semua murid menoleh ke arah pohon. Dan terlihatlah pemandangan yang mendirikan bulu roma, tiga sosok berpakaian hitam bergambar tengkorak manusia tampak bergantung di cabang pohon. Rupanya, bau bangkai itu berasal dari sana pula!
Barata segera bergerak menghampiri.
"Siapa kalian"! Turunlah, apa maksudmu dengan bermain-main seperti ini"! Kalau tidak mau turun, kami akan mengambil tindakan keras!" bentak Barata.
Namun bentakan Barata seperti tidak dipedulikan. Karena merasa diacuhkan, diambilnya tiga buah batu kecil. Lalu, dilemparkannya pada ketiga sosok yang menggantung itu.
Set! Set! Set! Sebelum batu-batu itu mengenai sasaran, ketiga sosok berpakaian tengkorak itu telah berkelebat dari atas pohon. Lalu tahu-tahu....
"Wuaaa!"
"Aeyaaa!"
Beberapa teriakan mengerikan kontan terdengar, ketiga sosok yang tak lain Tiga Siluman Tengkorak Gantung meluruk dan menghantam murid-murid Padepokan Kipas Kumala.
Saat itu juga tiga murid Padepokan Kipas Kumala berjatuhan dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Melihat kejadian itu, Barata jadi berang. Dari sini jelas kedatangan Tiga Siluman Tengkorak Gantung itu mempunyai tujuan tidak baik. Maka tanpa banyak bicara lagi, diterjangnya mereka. Tubuhnya melesat melepaskan satu pukulan maut ke salah satu dari Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
"Hah...!"
Namun hanya dengan sebuah dorongan tangan saja, Barata terlempar keras dan jatuh berdebuk keras di tanah. Darah segar tampak menetes dari sudut bibirnya. Dengan terhuyung-huyung, dia bangkit. Lalu siap menerjang.
"Keparat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" dengus Barata, lantang.
Dengan mengerahkan segenap kepandaiannya, Barata menerjang. Serangannya sangat dahsyat. Namun Tiga Siluman Tengkorak Gantung tampak tenang saja. Ketika serangan akan mengenai sasaran, serangan itu serentak disambut dengan telapak tangan terbuka.
Derrr...! "Aaakh!"
Barata terlempar begitu serangkum angin keras menghantam tubuhnya. Begitu menyentuh tanah, keadaannya sudah tidak bernyawa lagi. Dari seluruh lubang indranya tampak mengucurkan darah. Inilah akibat ilmu yang dipelajari Tiga Siluman Tengkorak Gantung. Memang, setelah bertarung melawan Loro Blonyo dan berhasil mendapat potongan Kitab Pusaka Kincir Angin, Tiga Siluman Tengkorak Gantung berniat menguasai seluruh ilmu dari kitab itu. Dan nyatanya, mereka berhasil, walaupun Badri, orang tertua dari Siluman Tengkorak Gantung, harus kehilangan tangan kanannya, karena bertarung melawan Loro Blonyo.
Pada saat Tiga Siluman Tengkorak Gantung memandangi mayat Barata, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh lalu mendarat di hadapan ketiga sosok sesat itu. Kumis dan jenggotnya bertebaran tertiup angin. Dengan sorot mata menyala-nyala, dipandanginya Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
Sosok berusia tujuh puluh lima tahun itu tak lain dari Ki Rawadeng Ketua Padepokan Kipas Kumala.
Dengan mata merah, Ki Rawadeng mengeluarkan senjata berupa kipas dari balik bajunya. Lalu senjata yang diberi nama Kipas Kumala itu dikebutkan ke arah Tiga Siluman Tengkorak Gantung. Seketika angin yang berisi tenaga dalam kuat menyambar.
Dengan terkejut, ketiga manusia tengkorak itu berjumpalitan menghindar. Dan begitu menjejak mantap di tanah, mereka meloloskan tali yang melingkar di leher, untuk mengimbangi permainan senjata Kipas Kumala Ketua Padepokan Kipas Kumala ini. Suara lecutan cambuk dan kebutan kipas terdengar saling meningkahi, pertanda mereka menggunakan tenaga dalam kuat.
Tiga puluh jurus kemudian Ki Rawadeng, tampaknya mulai terdesak. Dia hanya dapat menangkis dan main mundur saja. Memang tali yang dijadikan cambuk itu terlalu tangguh baginya. Malah pada satu kesempatan cambuk-cambuk Tiga Siluman Tengkorak Gantung menghajar tubuhnya tanpa ampun.
Ctar! "Aaakh...!"
Ki Rawadeng kontan terlempar ke tanah. Dan belum juga dia bangkit, sebuah lecutan keras mendarat di kepalanya.
Prak! "Aaakh...!"
Bunyi berderak dari kepala yang pecah, mengiringi kematian Ki Rawadeng. Darah tampak membanjiri bumi dari kepalanya.
Melihat guru mereka binasa secara mengenaskan, dua orang murid Padepokan Kipas Kumala maju menyerang dengan serentak. Namun dengan sekali lecutan cambuk, tanpa dapat dicegah lagi mereka binasa dengan kepala pecah.
Melihat hal ini yang lain tidak berani bertindak lagi. Mereka hanya memandangi dengan pandangan kosong.
"Menyerahlah kalian! Mulai saat ini, kalian jadi pengikut kami. Kalian harus taat pada perintah kami! Siapa yang membangkang, maka hukumannya mati! Nah! Kalian boleh pilih! Ikut kami, atau binasa tanpa liang kubur!" teriak Badri, orang tertua Siluman Tengkorak Gantung.
Tanpa banyak kata lagi, murid-murid Padepokan Kipas Kumala menyerah. Bahkan mereka berjanji akan patuh dan setia pada Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
Sejak saat itu Tiga Siluman Tengkorak Gantung, menguasai Padepokan Kipas Kumala. Dan merubah nama padepokan menjadi Partai Tengkorak Gantung.
*** Sejak peristiwa di Padepokan Kipas Kumala, kerusuhan terjadi di mana-mana. Semula, banyak pendekar golongan putih berusaha menentang. Namun, banyak di antara mereka mati secara sia-sia. Tindakan anggota Siluman Tengkorak Gantung semakin kejam dan tidak mengenal ampun.


Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan murid Padepokan Kipas Kumala yang semula berpribadi baik, kini jadi ugal-ugalan. Mereka sering merampok dan memperkosa. Sehingga dalam waktu singkat, Partai Tengkorak Gantung jadi makmur dan kaya raya.
Namun, kabar tentang hancurnya Padepokan Kipas Kumala tak sampai di telinga seorang lelaki tua berusia sembilan puluh tahun. Bahkan agaknya, dia tidak tahu kalau nama padepokan itu sudah berubah menjadi Partai Tengkorak Gantung. Di depan pagar bangunan partai ini, laki-laki tua berjenggot lebat itu berdiri. Pakaiannya serba hitam dengan senjata panah tersampir di punggungnya.
"Hoi, Rawadeng! Mengapa kau tidak keluar menyambutku" Dan mengapa padepokan ini jadi bau busuk begini"!" seru laki-laki tua berjenggot panjang ini.
Rupanya laki-laki ini mempunyai hubungan baik dengan Ki Rawadeng. Di kalangan rimba persilatan julukannya adalah Busur Kumala. Dia adalah adik seperguruan terkecil dari guru Rawadeng. Jadi, masih terhitung paman guru dari Ketua Padepokan Kipas Kumala yang sebenarnya telah tewas itu. Karena jenggotnya yang lebat, orang tua ini lebih dikenal sebagai si Jenggot Naga.
Baru saja si Jenggot Naga hendak melangkah masuk ke halaman, matanya melihat beberapa orang keluar dari bangunan padepokan. Dan dia merasa yakin kalau mereka adalah murid-murid Padepokan Kipas Kumala. Karena orang tua ini hampir setahun sekali mengunjungi padepokan milik Ki Rawadeng. Tapi mengapa mereka tidak menyambutnya" Bahkan bertingkah aneh seperti itu.
"Hoi! Bukankah kalian, murid keponakanku"! Mengapa tingkah kalian seperti ini" Apakah tidak takut dihukum berat?" tanya si Jenggot Naga, heran.
Tetapi dengan sikap kurang ajar, mereka malah menatap tajam ke arah orang tua ini, tanpa rasa hormat sama sekali.
"Huh! Jangan sembarangan bicara, Orang Tua Pikun! Siapa yang jadi murid keponakanmu" Kami tidak sudi punya guru jompo dan tidak punya kepandaian! Rawadeng hanya mulut besar. Padahal tidak ada isinya sama sekali!" sahut murid-murid Padepokan Kipas Kumala, seenaknya.
Melihat kenyataan ini, alis Jenggot Naga bertaut. Matanya mengawasi dengan tajam. Giginya pun terdengar bergemelutuk. Amarahnya langsung bergolak. Selama ini belum pernah ada murid-murid keponakannya yang berani kurang ajar padanya.
Disertai suara dengusan si Jenggot Naga meraih busur panahnya. Lalu sekali bergerak, lima batang anak panah telah siap meluncur. Dan....
Twang! Sekali tarik lima batang anak panah telah meluruk, lima orang berteriak dengan leher tertembus. Melihat hal ini, yang lain segera mencabut senjata dan langsung mengurung si Jenggot Naga.
"Ha-ha-ha...! Bagus! Kalian sudah gila semua rupanya. Biar kubuat mampus kalian semua...!" kata si Jenggot Naga.
Sambil berteriak keras, laki-laki tua itu memutar busur di tangan dan menyabetkannya.
Namun secara serentak, para bekas murid Padepokan Kipas Kumala menangkis dan mengirimkan serangan balasan. Terjadilah keroyokan yang tidak seimbang.
Walaupun demikian, tentu saja si Jenggot Naga masih terlalu tangguh. Sehingga dalam beberapa gebrakan saja, kembali tiga orang roboh binasa dengan dada dan perut berlubang, terkena tusukan busur di tangan si Jenggot Naga.
Beberapa orang pengeroyok segera meloncat mundur, membuat jarak. Sementara dengan cepat, si Jenggot Naga mencabut anak panahnya. Lalu....
Twang! Twang! Twang...!
Cras! Cras! "Wuaaa! Aaa...!"
Beberapa orang kembali berjatuhan dengan kening tertancap anak panah.
Baru saja si Jenggot Naga hendak melepaskan anak panahnya kembali, dari atas pohon berkelebat sesosok tubuh bersenjata tombak. Sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi, si Jenggot Naga cepat menyadari adanya serangan berbahaya yang diiringi desir angin halus. Maka cepat tubuhnya berbalik dan kembali sebatang anak panah berdesing.
Twang! Crap! "Aaargkh!"
Orang itu berteriak keras begitu anak panah menembus dadanya. Begitu menyentuh tanah, dia langsung tewas. Melihat kejadian ini yang lain mulai gentar. Dengan berjingkat-jingkat mereka berusaha lari dari tempat itu. Tetapi, si Jenggot Naga tidak mau memberi hati lagi. Seketika tiga batang anak panah dipasang sekaligus pada busurnya.
Twang! Twang! Twang!
Pada saat panah-panah itu meluncur, tahu-tahu berkelebat tiga sosok bayangan hitam ke arah luncuran anak panah. Dan....
Tap! Tap! Tap! Tiga sosok berkelebat itu cepat menangkap anak-anak panah, lalu membuat putaran beberapa kali. Dan dengan mantap, kaki-kaki mereka mendarat mantap di depan si Jenggot Naga.
"Hei! Siapakah kalian"! Di mana keponakanku yang bernama Rawadeng"!" bentak si Jenggot Naga, sambil menatap tajam ke arah tiga sosok berpakaian serba hitam bergambar tengkorak.
"Huh! Kami Tiga Siluman Tengkorak Gantung. Dan manusia tidak ada guna yang bernama Rawadeng telah kami pindahkan ke alam lain. Kalau kau mau ikut campur, kami juga bisa mengirimmu untuk menyusul keponakanmu!"
Ternyata, tiga sosok itu adalah tiga dedengkot Siluman Tengkorak Gantung yang masing-masing bernama Badri, Badra, dan Badro.
"Bangsat! jadi kalian ini biang Keladinya! Biar kubalaskan sakit hati keponakanku! Bersiaplah kau!" dengus si Jenggot Naga.
"Ciat!"
Saat itu juga si Jenggot Naga melompat menerjang dengan sabetan busurnya. Namun Tiga Siluman Tengkorak Gantung tak mau tinggal diam. Cepat mereka mencabut clurit, memapak serangan.
Trang! Trang! Terjadi benturan senjata yang cukup dahsyat. Mereka sama-sama tergetar mundur.
Namun Tiga Siluman Tengkorak Gantung cepat melempar pisau terbang. Sedangkan si Jenggot Naga segera memasang anak panahnya.
Set! Set! Set! Twang! Twang! Twang!
Cras! Cras! Cras!
Semua pisau terbang Tiga Siluman Tengkorak Gantung berjatuhan di tanah, terpapak anak-anak panah si Jenggot Naga. Kini kedua belah pihak saling berpandang dengan sorot mata tajam.
"Pantas saja keponakanku tewas di tangan mereka. Kepandaian Tiga Siluman Tengkorak Gantung benar-benar luar biasa! Hm.... Aku harus mengadu jiwa dengan mereka!" tekad si Jenggot Naga dalam hati.
Seketika si Jenggot Naga memutar-mutar busur panahnya yang disertai tenaga dalam sampai pada tingkat akhir. Maka terdengarlah suara menderu-deru menyakitkan telinga. Pasir dan debu tampak mengebul tinggi. Inilah jurus "Menyapu Badai" yang dahsyat.
"Heya!"
Sambil berteriak keras, si Jenggot Naga menyapukan busurnya pada Tiga Siluman Tengkorak Gantung sekaligus.
Tetapi ketiga tokoh sesat itu juga tidak tinggal diam. Seketika mereka meloloskan tali untuk menggantung leher, yang langsung diputar-putar.
Orang tertua Siluman Tengkorak Gantung kemudian memberi isyarat pada dua saudaranya. Maka mereka bertiga segera berpencar, mengurung si Jenggot Naga dari tiga jurusan.
"Hik hik hik...! Sekarang, menyesal pun tidak ada gunanya! Bersiaplah untuk binasa!" ejek Badri, orang tertua Siluman Tengkorak Gantung.
Pada saat itu, si Jenggot Naga mengibaskan busurnya sekuat tenaga. Menyaksikan lawan sudah nekat, Tiga Siluman Tengkorak Gantung tidak mau ayal-ayalan lagi.
Dari kibasan busur di tangan tercipta suatu kekuatan tak terlihat, serupa putaran angin yang maha dahsyat, sanggup menghancurkan batu karang sekeras apa pun. Dari sini bisa terlihat, betapa si Jenggot Naga telah mengeluarkan aji pamungkasnya. Dan tiupan angin itu terus bergerak ke tiga jurusan, mengarah pada Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
Sementara, Tiga Siluman Tengkorak Gantung yang juga memutar-mutar tali yang telah berubah menjadi seperti cambuk, juga sudah menciptakan satu kekuatan dahsyat yang telah siap meluncur. Dan ketika satu gundukan angin telah tercipta, masing-masing langsung menghempaskan tangan. Tentu saja, Badri harus terlebih dulu melepas tali gantungan yang digenggamnya.
"Heaaa...!" teriak si Jenggot Naga.
"Hiaaa...!" teriak Tiga Siluman Tengkorak Gantung, hampir berbarengan.
Kekuatan dari masing-masing pihak meluncur dahsyat. Dan....
Biar...! "Aaakh...!"
Si Jenggot Naga kontan terpental disertai pekik kesakitan. Jelas saja dia kalah, karena harus membagi satu kekuatan menjadi tiga. Sedangkan Tiga Siluman Tengkorak Gantung seperti menggabungkan tiga kekuatan menjadi satu. Tak heran kalau ketiga tokoh sesat itu hanya terjajar beberapa langkah!
Si Jenggot Naga kini terkapar, tak bergerak lagi. Tampak dari telinga, mata, dan mulutnya mengeluarkan darah. Dia mati meninggalkan dendam yang tak terbalaskan.
"Hik hik hik...! Ternyata ilmu dari Kitab Pusaka Kincir Angin yang kita pelajari dahsyat luar biasa. Aku ingin secepatnya bertemu Pendekar Rajawali Sakti! Akan kita buktikan, siapa yang lebih unggul..."!" ujar Badro, orang termuda dari Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
*** ? Kembali ke Bagian 1-3
? Selanjutnya Bagian 7-8 (selesai)
? Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 . 161. Siluman Tengkorak Gantung Bag. 7-8 (Tamat)
15. Januar 2015 um 06:23
7 ? Pendekar Rajawali Sakti berhenti istirahat pada sebuah pohon rindang, melindungi dirinya dari sengatan matahari. Sebenarnya, Rangga telah lelah mencari Tiga Siluman Tengkorak Gantung. Namun karena mendengar sepak terjang tiga tokoh sesat itu makin menjadi-jadi, mau tak mau kelelahannya dibuang jauh-jauh. Apalagi ketika Rangga mendengar kalau Tiga Siluman Tengkorak Gantung juga membantai penduduk desa tak berdosa yang tak mau tunduk pada perintah mereka.
Baru saja Rangga menghenyakkan pantatnya di bawah pohon, di kejauhan terlihat beberapa bayangan hitam berkelebat cepat.
Sejenak kening Rangga berkerut, lalu tiba-tiba mengejar bayangan itu. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, menandakan betapa sempurnanya ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti telah berada sembilan tombak di belakang tujuh orang berpakaian hitam bergambar tengkorak. Gerakan mereka gesit.
Tetapi gerakan Rangga lebih mengagumkan lagi. Begitu mereka berada dalam jarak jangkaunya, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke depan. Setelah berputaran beberapa kali. Rangga mendahului ketujuh sosok itu, lalu mendarat di hadapan mereka.
"Berhenti! Mau ke mana kalian..."!" bentak Rangga, begitu mendarat.
Sejenak Rangga memperhatikan ketujuh orang berpakaian serba hitam bergambar tengkorak itu. Dan sekali lihat dia sudah tahu kalau mereka anggota Siluman Tengkorak Gantung.
"Minggirlah! Ini bukan urusanmu. Kecuali kau sudah bosan hidup!" sahut salah seorang anggota Siluman Tengkorak Gantung, bengis.
"Hm.... Kalian pasti kroco-kroco Siluman Tengkorak Gantung yang ingin mengotori muka bumi ini! Dengan darah orang-orang tak berdosa!" gumam Rangga, dingin.
"Bangsat! Sombong benar bocah ini. Teman-teman, binasakan saja dia!" teriak salah seorang sambil mencabut senjata diikuti yang lainnya.
"Hiyat!"
"Ciat!"
Disertai teriakan membahana, ketujuh anggota Siluman Tengkorak Gantung. Golok dan tombak, berseliweran ke arah tubuh Rangga. Tetapi dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib" yang memiliki gerakan bagai orang mabuk, semua serangan luput dari sasaran.
Sesekali Pendekar Rajawali Sakti melepaskan kibasan tangan ke arah lawan yang terdekat.
Prak! "Aaakh!"
Tanpa dapat mengelak lagi, satu orang terkapar roboh dengan kepala pecah.
Salah seorang lawan mencoba membokong Rangga dari belakang. Tetapi sambil berbalik, Pendekar Rajawali Sakti cepat mengangkat tangan kanannya dengan telapak terbuka.
Clap! "Heh"!"
Betapa terkejutnya orang itu, ketika goloknya dijepit di antara jari tengah dan telunjuk Rangga. Belum sempat hilang rasa terkejutnya, mendadak Pendekar Rajawali Sakti telah mengirimkan satu gedoran tangan pada dadanya.
Des! "Aaakh!"
Disertai teriakan tertahan, orang itu ambruk memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sementara lima orang sisa anggota Siluman Tengkorak Gantung jadi nekat. Dengan serentak, mereka maju menyerang. Namun begitu Rangga berkelebat, empat orang kontan berpelantingan dengan jiwa melayang.
Dan Rangga sengaja membiarkan hidup sisa anggota Siluman Tengkorak Gantung yang tinggal seorang.
"Ampun..., Kisanak!" ratap orang itu, mengkeret ketakutan.
"Katakanlah, di mana pemimpinmu berada?" tanya Rangga, dingin menggetarkan.
"Aku..., aku tidak tahu! Aku tidak tahuuu...!" sahut orang itu, berdusta.
"Baiklah! Kalau begitu bersiaplah! Aku ingin mengantarkan arwahmu ke neraka..."!" ancam Rangga, siap mengangkat tangannya.
"Tunggu!" teriak orang itu, makin ciut ketakutan.
"Hm.... Ada yang ingin kau katakan..."!" tanya Rangga bergumam.
"Apakah kau bersedia mengampuni aku, bila aku mengatakannya padamu..."!"
"Tentu saja! Kalau kau katakan, tentu kau akan kubiarkan pergi!" sahut Rangga berubah berseri wajahnya.
"Ketiga pemimpin kami ada di..., aaakh!"
Belum juga orang itu mengatakan di mana Tiga Siluman Tengkorak Gantung, sebuah pisau telah menancap tepat di tenggorokannya. Seketika tubuhnya ambruk, diam untuk selamanya.
Pendekar Rajawali Sakti yang tak sempat mencegah, menjadi geram setengah mati. Dan belum juga kegeramannya hilang, berkelebat tiga sosok bayangan hitam ke arahnya.
*** Di hadapan Pendekar Rajawali Sakti telah berdiri belasan orang berseragam serba hitam, bergambar tengkorak. Sementara berdiri paling depan adalah tiga orang yang memiliki sorot mata menggiriskan. Tampaknya merekalah yang bertindak sebagai pemimpin. Dan Rangga bisa merasakan kalau ketiga orang ini memiliki kepandaian tinggi. Siapa lagi mereka kalau bukan Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
"Hm! Agaknya kalian pemimpin gerombolan Siluman Tengkorak Gantung!" duga Rangga.
"Hik hik hik...! Dugaanmu tepat sekali. Pendekar Rajawali Sakti!"
"Dan kalian pasti Tiga Siluman Tengkorak Gantung yang selama ini membuat resah dunia persilatan!"
"Kalau benar, kau mau apa..."!" tantang Badri, orang tertua Siluman Tengkorak Gantung.
"Manusia semacam kalian tidak akan kubiarkan hidup!" tandas Rangga, mantap.
Saat itu juga, Tiga Siluman Tengkorak Gantung memberi perintah pada anak buahnya untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Maka tanpa banyak bicara lagi, kesepuluh orang anggota Siluman Tengkorak Gantung bergerak.
"Hiaaat!"
Pendekar Rajawali Sakti yang dikepung dari segala penjuru segera menyambuti serbuan. Tubuhnya langsung berkelebat, sambil melepaskan pukulan dan tendangan.
Plak! Duk! Des!
"Aaakh...!"
Dalam satu gebrakan saja tiga orang anggota Siluman Tengkorak Gantung terbanting tak bangun-bangun lagi. Memang, Rangga tak sudi memberi hati pada mereka. Hatinya sudah benar-benar muak melihat sepak terjang mereka.
Sementara itu dua orang kembali menerjang dari depan dan dari belakang. Tapi dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya meluruk sambil mengerahkan jurus "Sayap Rajawali Membelah Mega". Dan....
Prak! Prak! "Aaakh.... Aaakh...!"
Dua orang yang menyerang Rangga kontan roboh dengan kepala pecah, terhantam kibasan tangan yang berisi tenaga dalam tinggi.
Melihat dua orang roboh, yang lainnya menjadi gentar. Mereka jadi ragu-ragu untuk menyerang pemuda berbaju rompi putih ini. Sementara Tiga Siluman Tengkorak Gantung jadi geram, melihat kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Maka secara bersamaan mereka mendorongkan telapak tangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Seketika gelombang angin puyuh menerjang ke arah Rangga.
Merasakan angin keras menuju ke arahnya, Pendekar Rajawali Sakti cepat merentangkan kakinya. Lalu kedua tangannya, dihentakkan ke depan "Aji "Bayu Bajra"! Heaaa...!" teriak Rangga.
Blar! "Aaakh...!"
Sungguh tidak disangka oleh Pendekar Rajawali Sakti. Dia tadi hanya mengerahkan sebagian tenaga dalamnya. Akibatnya Rangga terlempar beberapa tombak dan jatuh terguling-guling. Dari bibirnya tampak menetes darah kental.
"Gila! Ajian apa yang digunakan mereka"! Aku baru merasakannya?" Rangga seraya bangkit berdiri.
"Hik hik hik...! Kini baru tahu rasa kau, Pendekar Sombong! Jangan merasa sok pahlawan, kalau hanya berkepandaian pas-pasan!" ejek Badra, orang kedua Siluman Tengkorak Gantung.
"Kepandaian kalian sangat tinggi. Bukankah sebaiknya diamalkan untuk jalan kebaikan?" Rangga mencoba membujuk.
"Tak usah berceramah di depan kami! Sekarang, terimalah serangan kami berikut ini!" dengus Badra.
Saat itu juga Tiga Siluman Tengkorak Gantung meloloskan tali yang ada di leher. Kemudian tali itu diputar-putar, menciptakan satu kekuatan dahsyat yang perlahan-lahan menuju ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut melihat kekuatan aneh di depan. Dia bertanya dalam hati, apa yang hendak dilakukan ketiga lawannya Dan Rangga tidak mungkin banyak berpikir lagi ketika....
"Heaaa...!"
Secara bersamaan, ketiga Siluman Tengkorak Gantung menghentakkan tangan ke arah gundukan angin yang tercipta. Saat itu pula, tiga kekuatan yang tergabung menjadi satu meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Memang, mereka mengerahkan aji "Kincir Angin" yang sangat dahsyat.
Werrr! Merasakan kedahsyatan serangan Tiga Siluman Tengkorak Gantung, Rangga tidak mau setengah-tengah lagi. Cepat dibuatnya beberapa gerakan dengan kaki memasang kuda-kuda kokoh. Lalu....
"Aji "Guntur Geni"! Heaaa...!"
Saat itu juga meluruk serangkum angin panas, memapak luncuran angin dahsyat dari Tiga Siluman Tengkorak Gantung. Dan....
Biar...! "Gila! Hebat sekali kekuatan mereka! Aku harus hati-hati menghadapi!" dengus Rangga dalam hati. Sementara dadanya terasa sesak dan berguncang.
"Hik hik hik...! Kau harus merelakan jiwamu untuk kukirim ke neraka!" ejek Tiga Siluman Tengkorak Gantung, seperti tak mengalami apa-apa setelah terjadi benturan.
Rangga saat itu mempersiapkan diri untuk melakukan serangan dengan tenaga penuh. Tapi belum juga membuat gerakan....
"Ayo! Sekarang mau lari ke mana lagi kau, Pendekar Rajawali Sakti"! Mari, muridku. Kita gempur dia bersama-sama untuk membuktikan siapa yang lebih unggul?"
Belum juga Rangga mengerti bentakan itu, tahu-tahu dua sosok bayangan berkelebat dan langsung menyerangnya.
"Heii Nanti dulu, Kisanak! Urusanku belum selesai dengan mereka"!" cegah Rangga.
"Tidak bisa! Kalau kau menang, masih untung. Kalau kau mampus bagaimana"! Urusan kita bisa jadi berantakan!" dengus sosok tua sambil melancarkan serangan dahsyat, bersama sosok yang satu lagi.
*** Pertarungan tak dapat terelakkan lagi. Sosok laki-laki itu yang tak lain Ki Sabda Gendeng dan muridnya itu menyerang dengan sungguh-sungguh, menggunakan tenaga penuh.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti jadi kerepotan, karena Ki Sabda Gendeng bukan tokoh sembarangan. Apalagi, pada saat yang sama meluncur satu pukulan jarak jauh dari salah satu tokoh Siluman Tengkorak Gantung. Padahal, Rangga saat ini tengah kewalahan menghadapi Ki Sabda Gendeng. Akibatnya....
Der! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti berteriak tertahan dengan terlempar ketika pukulan jarak jauh itu mendarat di punggungnya. Darah kental tak dapat ditahan lagi, menetes dari sudut bibirnya ketika tubuhnya ambruk di tanah. Serangan Tiga Siluman Tengkorak Gantung tidak berhenti sampai di situ saja. Baru saja bangkit, beberapa bilah pisau beracun meluruk deras ke arah Rangga.
Di saat yang gawat bagi Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba melayang beberapa buah benda yang langsung memapak pisau-pisau milik Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
Trak! Trak! Trak!
Tiga bilah pisau yang melayang kontan berjatuhan, bersama terlemparnya benda-benda yang ternyata biji catur. Jelas, pelemparnya adalah Ki Sabda Gendeng dan muridnya, Jaka Tawang.
"Hei! Laki-laki macam apakah kalian ini"! Mengapa main bokong seperti perempuan" Pengecut kalian!" bentak Ki Sabda Gendeng gusar.
"Kau ini bagaimana sih" Tadi menyerang mati-matian. Setelah kubantu malah menyalahkan aku! Seharusnya kau berterima kasih, bukannya memaki!" bentak Badri penuh keheranan.
"Enak saja bicara. Aku bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti hanya ingin menentukan siapa yang lebih unggul! Tapi pertarungan secara jantan. Tidak main curang seperti kalian!" bentak Ki Sabda Gendeng. "Tapi..., eh! Tunggu dulu. Melihat ciri-ciri kalian.... Ya! Pasti kalian Tiga Siluman Tengkorak Gantung yang saat ini jadi pembicaraan dunia persilatan. Jadi, kalian memang pantas jadi lawanku!"
"Sudah jangan banyak bicara! Kalau memang berani serang kami!"
Mendapat tantangan seperti itu, Ki Sabda Gendeng dan muridnya yang sableng itu menerjang Tiga Siluman Tengkorak Gantung dengan segenap kemampuan. Maka terjadilah perkelahian sengit.
Melihat kesempatan itu, Pendekar Rajawali Sakti segera bersemadi untuk mengembalikan tenaga dan menyembuhkan luka dalamnya akibat pukulan Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
"Ha-ha-ha...! Bagus..., bagus! Kepandaianmu boleh juga. Aku tidak malu lagi main-main denganmu! Ayolah, muridku! Inilah kesempatan baikmu untuk mencari pengalaman!" teriak orang tua gendeng itu sambil memperhebat serangan.
Tentu saja tiga Siluman Tengkorak Gantung jadi berang. Kini mereka balas menyerang secara habis-habisan.
Semakin lama pertarungan jadi semakin sengit Beberapa bentrokan keras sudah terjadi. Dan kedua pihak sama-sama menyadari akan kekuatan satu sama lain.
Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang melancarkan pukulan "Membalik Lautan dan Meruntuhkan Langit", yang menjadi andalan. Namun dengan cepat, Tiga Siluman Tengkorak Gantung menyambutinya dengan salah satu ilmu dari Kitab Pusaka Kincir Angin.
Tidak terelakkan lagi, dua pukulan beradu. Kembali mereka berpelantingan ke belakang. Tiga Siluman Tengkorak Gantung sudah cepat bangkit kembali. Namun Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang tertatih-tatih berusaha bangkit sambil menekap dada yang terasa nyeri. Tiba-tiba....
"Hogkh!"
"Hoagkh!"
Guru dan murid itu tanpa dapat ditahan lagi memuntahkan darah kental.
Melihat keadaan guru dan murid itu, Tiga Siluman Tengkorak Gantung cepat melempar beberapa bilah pisau terbangnya. Sementara Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang kelihatan pasrah saja. Kekuatan mereka benar-benar terkuras. Apalagi, mendapat luka dalam sangat parah.
Pada saat yang gawat, mendadak berkelebat sesosok tubuh ke arah pisau-pisau yang tengah meluncur. Tidak jelas, siapa sosok itu karena terselimut cahaya biru yang memancar dari benda yang digenggamnya. Sekali putar, sinar biru itu berhasil memukul jatuh pisau-pisau.
Tring! Tring! Tring!
Setelah membuat putaran beberapa kali, sosok itu meluruk turun. Begitu menjejak tanah, sinar biru yang membungkus benda berupa pedang itu agak dijauhkan dari wajahnya. Dan kini jelas, siapa sosok itu. Dia tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti dengan Pedang Pusaka Rajawali Sakti, tersilang di depan dada.
"Hm! Rupanya kalian sudah tidak bisa diperingati. Kini tidak ada ampun lagi bagi kalian!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, dingin.
"Heaaa...!"
Tanpa memberi kesempatan barang sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti langsung meluruk menerjang Tiga Siluman Tengkorak Gantung yang langsung pontang-panting menyelamatkan diri. Rangga langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkai jurus "Rajawali Sakti" yang digabung-gabungkan. Begitu cepat gerakannya. Bahkan setiap perubahan jurus mampu membuat salah satu dari Tiga Siluman Tengkorak Gantung terkesiap.
Rangga yang sudah sangat geram, langsung mengerahkan jurus "Pedang Pemecah Sukma", pada setiap kelebatan pedangnya. Bahkan semakin lama semakin mengurung jalan keluar Tiga Siluman Tengkorak Gantung.
Akibatnya semua ilmu yang dimiliki Tiga Siluman Tengkorak Gantung seolah-olah macet tidak dapat digunakan lagi. Bahkan semangat bertarung mereka bagai hilang entah ke mana. Jiwa mereka seakan seperti terpecah-pecah, tak tahu harus berbuat apa.
Melihat kenyataan ini, Rangga segera meningkatkan serangannya. Yang menjadi sasarannya kini adalah Badri, orang tertua Siluman Tengkorak Gantung. Karena dia melihat, pusat kekuatan Siluman Tengkorak Gantung terletak pada orang yang bertangan buntung itu.
Mendapat serangan gencar, Badri cepat meloloskan tali yang melingkar di lehernya. Lalu secepat itu pula dilecutkan ke arah Rangga.
Namun Pendekar Rajawali Sakti yang bertekad ingin menyudahi pertarungan tidak tinggal diam. Cepat pedangnya dikibaskan untuk memapak.
Tas! "Heh"!"
Betapa terkejutnya Badri melihat tali yang digunakan cambuk miliknya, putus menjadi dua bagian. Dan belum juga keterkejutannya hilang, pedang Rangga telah meluncur cepat ke dadanya, tanpa dapat dihindari.
Bles! "Aaakh...!"
Tepat sekali pedang Pendekar Rajawali Sakti menembus dada Badri yang kontan melotot. Begitu Rangga mencabut pedangnya, tubuh Badri ambruk dengan darah mengucur deras dari dadanya.
"Kakang...!"
Melihat kakaknya ambruk, Badra dan Badro langsung meluruk menyerang Pendekar Rajawali Sakti secara berbarengan. Mereka benar-benar geram melihat orang yang dicintai tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mereka benci.
"Hiaaat...!"
Ctar...! Badra dan Badro sudah meloloskan tali yang melingkar di leher, dan langsung dilecutkan.
Cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang, menjauh untuk membuat jarak. Pada saat yang sama, Badra dan Badro menghentikan serangan dan langsung memutar-mutar tali yang bagaikan cambuk. Maka seketika tercipta dua kekuatan angin yang siap meluncur ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm.... Tampak mereka ingin mengadu jiwa denganku...!"
Melihat kedua lawannya tampak sudah menggunakan aji pamungkas, Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mendarat mantap di tanah dan memasukkan pedang ke dalam warangkanya segera membuat kuda-kuda kokoh. Kemudian, dibuatnya beberapa gerakan tangan, dengan tubuh sebentar miring ke kiri dan sebentar miring ke kanan. Begitu tubuhnya tegak kembali, kedua tangannya pada batas telapak telah terselubung cahaya biru berkilauan.
Sementara kedua Siluman Tengkorak Gantung telah siap meluncurkan dua kekuatan. Lalu ...
"Hiaaah...!"
Secara bersamaan Badra dan Badro menghentakkan tangannya ke arah dua gundukan angin di depan mereka. Maka saat itu pula, meluncur dua kekuatan angin ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat yang sama, Rangga juga menghentakkan kedua tangannya ke arah luncuran angin itu.
"Aji "Cakra Buana Sukma"! Heaaa...!"
Saat itu juga meluncur dua sinar biru ke arah luncuran angin yang dilepaskan Badra dan Badro. Sementara, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang sampai terlongong bengong, melihat pertarungan maha dahsyat yang baru kali ini disaksikan. Bahkan sisa anak buah Siluman Tengkorak Gantung telah sejak tadi menghindar dan hanya menonton dalam jarak cukup jauh.
Kini dua kekuatan dari masing-masing pihak bertemu di satu titik. Dan....
Blarrr...! Terdengar ledakan dahsyat yang membuyarkan dua kekuatan angin milik Badra dan Badro, terus meluncur deras ke arah dua dedengkot Siluman Tengkorak Gantung itu.
Glarrr...! Glarrr...!
"Aaa...! Aaakh...!"
Badra dan Badro kontan terlempar dengan tubuh hancur berkeping-keping begitu sinar biru itu menghajar tubuh mereka. Serpihan daging tubuh mereka berpentalan ke segala arah, menyebarkan bau sangit seperti daging terbakar.
Maka berakhirlah riwayat Siluman Tengkorak Gantung yang kejam dan ganas itu. Sedangkan Rangga hanya menarik napas panjang. Lalu, dihampirinya Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang yang masih terbengong-bengong tak percaya.
"Hm! Mari, Kisanak! Sekarang kau boleh meneruskan urusan kita," kata Rangga, mengingatkan keinginan orang tua gendeng itu.
"Tak perlulah, Pendekar Rajawali Sakti. Kita tidak bermusuhan. Jadi untuk apa bertarung tanpa tujuan?" sahut Ki Sabda Gendeng, yang diam-diam merasa gentar melihat kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Mendengar hal ini, Pendekar Rajawali Sakti jadi lega. Hatinya merasa bersyukur bila Ki Sabda Gendeng tidak ingin melanjutkan pertarungan.
"Kalau begitu, aku pamit dulu, Ki. Rasanya aku masih punya tugas lain," pamit Rangga disertai senyum manis. Seketika tubuhnya berkelebat cepat, meninggalkan guru dan murid itu.
"Selamat bertugas, Pendekar Rajawali Sakti...!" teriak Ki Sabda Gendeng, ketika Rangga telah cukup jauh. Namun sayup-sayup Pendekar Rajawali Sakti masih mendengarnya.
? SELESAI ? ? ? Scanned by Clickers
? Kembali ke Bagian 4-6
? SILUMAN TENGKORAK GANTUNG
Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info ? 2017 Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 11 Sumpah Palapa Karya S D Djatilaksana Seruling Perak Sepasang Walet 2
^