Patung Dewi Ratih 1
Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih Bagian 1
" 179. Patung Dewi Ratih Bag. 1 - 4
14 ?"?"" 2015 ". " 10:51
? 1 ? "Ki sudah sampai, Ki Balero."
"Inikah Gua Griwa itu, Janasi, Kober?"
Pertanyaan bernada ingin meminta penegasan itu meluncur dari mulut seorang laki-laki setengah baya berpakaian jubah sutera warna kuning. Kepalanya diikat dengah kain berwarna kuning juga. Tadi, dia dipanggil dengan nama Ki Balero.
Sebentar Ki Balero menjulurkan kepalanya, seraya mencoba menembuskan penglihatannya pada rongga gua yang nampak gelap itu.
"Sesuai, perjanjian, maka kami cukup mengantar sampai di sini!" tambah laki-laki berusia tiga puluh dua tahun yang dipanggil Janasi.
"Upah kalian akan kutambah bila mengantarkan aku sampai ke dalam," jelas Ki Balero, menawarkan.
Janasi dan temannya yang bernama Kober saling berpandangan beberapa saat. Agaknya mereka mulai tergiur tawaran Ki Balero.
"Berapa?" tanya Janasi.
"Bagaimana kalau masing-masing kalian mendapat lima kepeng emas?"
"Lima Kepeng emas"!" sentak Janasi, melotot.
Sambil tetap melotot, mata Janasi memandang Kober yang dari tadi sudah jengkel. Kalau tidak karena lima kepeng emas yang disebutkan Ki Balero, rasanya Kober sudah muak sekali berlama-lama dengan orang tua cerewet itu.
Akhirnya, Kober mengangguk.
"Baiklah. Kami setuju," sahut Janasi, setelah melihat persetujuan Kober yang menganggukkan kepalanya.
"Kami tidak ikut!" cetus seorang pemandu lain yang berada di belakang Ki Balero.
Hampir berbarengan, Janasi, Kober, dan Ki Balero menoleh ke arah tujuh orang pemuda yang juga menjadi pemandu jalan menuju Gua Griwa ini.
"Berapa Ki Balero berani bayar untuk mereka?" lanjut Janasi.
Janasi menduga, mereka menuntut uang yang dijanjikan Ki Balero.
"Mereka adalah urusan kalian!" kata Ki Balero, menegaskan.
"Tapi mereka adalah kawan-kawan kami," tukas Janasi.
"Aku hanya menyewa kalian. Bukan berikut mereka!" sahut Ki Balero, menegaskan kembali.
"Selama ini orang-orang menyewa kami juga berikut mereka. Dan kami telah jelaskan sebelumnya padamu. Sekarang, kita telah tiba di sini. Maka suka atau tidak, Ki Belero mesti membayar mereka pula!" timpal Kober.
Ki Balero menggeram kesal. Dipandangnya kedua orang itu dengan geraham bergemelutuk,
"Bagaimana" "Kalau mereka tidak diikutsertakan, maka kami pun hanya mengantar sampai di sini!" lanjut Janasi, bernada mengancam.
Ki Balero berpikir sebentar, sebelum mengangguk.
"Baiklah... Aku setuju," desah laki-laki setengah baya itu.
"Berapa bagian mereka?" tukas Kober.
"Masing-masing akan mendapat sekepeng uang emas."
"Tidak. Kami tidak akan mau masuk ke dalam!" teriak salah seorang pemuda.
"Kau dengar" Mereka merasa upahnya kurang!" sergah Janasi.
"Jadi berapa?"
"Derajat mereka tidak berada di bawah kami. Maka bila Ki Balero memberi sekepeng uang emas sedangkan kami lima kepeng, berarti mereka merasa direndahkan," jelas Janasi.
"Jadi, bagaimana maksudmu" Apakah aku mesti juga memberi mereka lima kepeng emas tiap orang"!" tanya Ki Balero.
"Ya, begitulah mestinya," sahut Janasi kalem.
"Brengek! Itu bukan jumlah yang sedikit!" rutuk Ki Balero. "Kawan-kawanmu ada tujuh. Sehingga untuk mereka aku mesti mengeluarkan tiga puluh lima kepeng emas. Jumlah yang lebih banyak ketimbang kalian berdua!"
"Tidak mengapa. Selama ini, kami memang selalu mendapat bagian yang sama. Tidak ada yang iri satu sama lain!" sahut Kober.
Ki Balero mendelik. Perasaan kesalnya masih ada. Apalagi ditambah urusan ini.
"Ini pemerasan!" lanjut Ki Balero geram.
"Bukan! Jangan salah, Ki. Ini sesuai tingkat bahaya yang mesti dihadapi. Kalau tidak bersedia, maka bayar upah kami sampai di sini. Lalu, Ki Balero silahkan lanjutkan sendiri menelusuri isi gua ini!"
Sebenarnya apa yang dikatakan Janasi memang benar. Gua Griwa terkenal angker dan banyak terdapat jebakan. Jalan menuju ke sini saja, sudah cukup sulit. Tapi, belum ada apa-apanya jika telah sampai di dalam. Menurut cerita yang menggulir di dunia persilatan, belum pernah ada seorang pun yang berhasil keluar setelah memasuki Gua Griwa!
"Bagaimana" Kami tidak akan memaksa orang...," desah Janasi.
"Baiklah...," sahut Ki Balero lemah.
Laki-laki setengah baya ini menyadari tidak ada gunanya menawar, kalau mereka sudah menetapkan harga. Mencari pemandu jalan menuju gua ini saja, sudah sulit. Apalagi semua penduduk desa terdekat tak ada yang berani mengantarkan. Mereka semua takut ancaman maut yang membayangi siapa saja yang berani mendekati daerah sekitar gua ini.
Janasi dan Kober serta tujuh kawan mereka adalah sekelompok pemuda berandal yang tidak punya pekerjaan. Maka ketika mendapatkan pekerjaan dengan imbalan memuaskan, langsung saja disetujui. Hanya mengantarkan. Dan itu pekerjaan enteng, pikir mereka.
"Tidak! Kami tidak akan mau mesti dibayar berapa pun!" sahut beberapa orang pemuda pemandu.
"Hm.... Bagaimana ini"!" tanya Ki Balero kesal.
"Jangan khawatir. Biar kuurus mereka!"
Janasi melangkah menghampiri tujuh pemandu diikuti Kober. Mereka bicara sebentar. Namun kelihatannya hanya dua orang yang mengangguk. Sedang lima lainnya menggeleng. Wajah mereka tampak pucat ketakutan.
"Jangan paksa kami! Meski berapa pun imbalannya, kami tidak akan sudi mati konyol!" sahut salah seorang.
"Ya! Gua Griwa tidak bisa dianggap sembarangan! Di dalamnya banyak jebakan dan hantu-hantu!" jelas yang seorang lagi.
"Aha, omong kosong!" tepis Janasi. "Terserah! Kalau kalian tidak mau ikut, maka bagian kalian untukku!"
"Tidak bisa begitu, Janasi. Bukankah kami telah mengantar sampai di sini?" sergah seorang pemandu.
"Diam kau, Jalaksewu! Apa kau akan melawanku"!" dengus Janasi sambil melotot dan berkacak pinggang.
Janasi sebenarnya berbohong pada Ki Balero jika mengatakan kalau ketujuh orang itu adalah kawan-kawannya. Padahal, yang sebenarnya mereka tidak hanya sekadar kawan. Bahkan lebih dari itu. Mereka adalah anak buahnya. Mereka semua takut pada Janasi yang berbadan paling kekar dan memiliki kepandaian. Meski belum tergolong tinggi, tapi untuk ukuran desa tidak ada yang mampu mengalahkannya. Sehingga begitu mendengar bentakannya, pemuda yang dipanggil Jalaksewu tak berani membantah.
"Kalau kau ikut, maka bagianmu akan kuberikan. Juga tambahan yang dikatakan Ki Balero tadi. Semua untukmu!" tambah Janasi.
Jalaksewu belum menjawab. Dia berpikir sebentar. Jumlah yang diterimanya memang banyak kalau setuju. Tapi..., bahaya yang dibayangkannya dari cerita orang-orang pun tidak kalah banyak! Uang bisa diganti kalau hilang. Tapi nyawa" Sekali melayang tidak akan bisa diganti lagi, meski dengan juragan yang lebih kaya dibanding Ki Balero.
"Terima kasih. Ambil sajalah buatmu. Aku lebih sayang nyawaku, Janasi...," desah Jalaksewu.
"Begitu juga aku...," sahut seorang pemuda lagi.
Sementara, tiga pemuda yang lain pun setuju dengan pendapat Jalaksewu.
"Pengecut!" umpat Janasi kesal. "Sudah, pulang sana! Meneteklah kalian pada ibu masing-masing!"
Jalaksewu dan keempat kawannya bergegas meninggalkan Janasi dan yang lainnya. Setelah jauh, baru mereka berani memaki.
"Mudah-mudahan kau dicekik hantu penunggu gua itu, Janasi!" desis Jalaksewu.
"Mampuslah kau di sana!" umpat yang lain, sambil terus mengikut langkah Jalaksewu.
Memang sudah sewajarnya mereka memaki-maki, meski tidak di depan Janasi. Karena setelah bersusah-payah, toh mereka tidak memperoleh sepeser pun uang yang dijanjikan Ki Belero. Tentu saja, karena semua bakal diambil Janasi. Percuma saja menentang. Karena itu sama saja cari penyakit sendiri. Janasi pasti akan mengamuk dan menghajar sampai babak belur.
"Sial! Pengecut brengsek! Rasain kalian!" dengus Janasi sambil memandangi kelima kawannya yang semakin jauh.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Justru kita untung. Bagian mereka untuk kita," ujar Kober, menerangkan.
Meski apa yang dikatakan Kober benar, tapi tetap saja Janasi masih kesal. Selama ini, apa kata Janasi selalu dipatuhi mereka. Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Hitam yang dikatakan maka hitam pula yang dikerjakan mereka. Maka ketika terdengar mereka menolak keinginannya, kekesalannya cepat memuncak. Masih untung kelimanya cepat angkat kaki. Kalau tidak, mungkin akan dihajar sampai hati Janasi puas.
Sementara itu, Ki Balero semakin kesal saja mendengar pertikaian kecil itu. Lebih kesal lagi hatinya, karena Janasi tetap memberlakukan upah kelima kawannya meski tidak ikut menemani.
"Kita sudah sepakat. Dan itu tidak boleh di langgar!" tegas Janasi.
"Baiklah, baiklah...! Aku tetap akan membayar jatah mereka berlima!" kata Ki Balero mengalah. "Sekarang, ayo kita masuk ke dalam!"
Setelah perjanjian memuaskan, maka Janasi memerintahkan dua kawannya untuk berjalan paling depan.
"Kenapa kami" Kita masuk bersama-sama saja?" tukas seorang anak buah Janasi dengan wajah ngeri.
"Jangan membantah, Patra! Kali ini aku akan betul-betul marah! Kau tahu akibatnya kalau aku marah, bukan"!" dengus Janasi.
"Eh, iya! Baiklah...," sahut pemuda bernama Patra ketakutan.
Patra lantas menggamit lengan kawannya. Dan mereka pun melangkah ragu ke dalam seraya menyalakan obor yang sudah dipersiapkan. Meski di luar matahari bercahaya terang-benderang, tapi di dalam gua kelihatan gelap. Bahkan mereka tidak bisa melihat apa yang ada di depan pada jarak tujuh langkah.
? *** ? "Tidak ada apa-apa...," ujar Patra lirih.
"Goblok! Kita harus berjalan lima langkah. Ayo, terus maju!" hardik Janasi, mengikuti dari belakang.
Sementara urutan di belakang Janasi adalah Kober. Kemudian baru Ki Balero. Laki-laki setengah baya itu tidak mau menanggung akibat buruk, setelah kehilangan uang untuk membayar mereka.
"Aaakh!"
Mendadak saja, pemuda yang berada di depan menjerit ketakutan dan langsung memeluk Patra.
Patra pun tidak kalah kaget, sehingga tidak sempat bersiaga. Maka seketika keduanya jatuh terjerembab ke belakang.
Cieeet! "Brengsek! Apa-apaan kalian ini"!" bentak Janasi geram.
"Ada bayangan hitam kecil menyambar kami..." jelas Patra dengan suara gemetar.
"Iya.... Bayangan kecil berwarna hitam...," timpal pemuda satunya yang dikenal bernama Sawung.
"Diam kalian! Brengsek! Dasar pengecut! Itu hanya kalong yang kaget karena kehadiran kita!" maki Janasi
"Eh"! Ka..., kalong"!" Patra dan Sawung saling berpandangan. Lalu mereka tersenyum malu.
"Ayo, Jalan lagi!" bentak Janasi.
"Iy... iya! Iya!"
Dengan sedikit keberanian Sawung dan Patra kembali melangkah. Ruangan terasa semakin lebar ketika mereka maju beberapa langkah. Dua pasang mata yang berada paling depan tampak nyalang mengamati keadaan sekitarnya. Namun tiba-tiba....
Bros! "Heh"!"
Sesaat Patra dan Sawung terkejut. Mendadak saja, tanah yang mereka injak amblas. Mereka kontan terperosok masuk ke dalam lubang. Lalu....
Creb! Creb! "Aaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar jeritan menyayat ketika tubuh Patra dan Sawung tak terlihat lagi, tertelan lubang.
"Ya, ampun!"
Janasi kaget bukan main ketika melihat kedua kawannya yang terjeblos ke dalam lubang, telah tertancap bambu-bambu runcing di dasarnya. Kedua anak muda itu telah terkulai lemah, bermandikan darah.
"Ohhh...!"
Kober menarik napas panjang melihat kematian Patra dan Sawung.
"Ada apa?" tanya Ki Balero, yang belum melihat ke lubang. Segera dia melangkah ke tepi lubang. Janasi dari Kober memberi jalan.
"Mereka terperosok ke dalam lubang perangkap...," jelas Janasi getir.
"Astaga!" sentak Ki Balero dengan mata terbelalak memandangi kedua mayat di bawah lubang sana.
"Bagaimana?" tanya Janasi seraya menyalakan obor yang dipegang karena obor yang dibawa Sawung dan Patra ikut terperosok ke dalam lubang. Namun obor itu tetap menyala.
"Bagaimana" Apa maksudmu bagaimana"!" sentak Ki Balero.
"Maksudku, apakah Ki Balero berani melanjutkan perjalanan?"
"Tentu saja!"
"Baiklah."
Janasi menyolek.
"Tidak. Kita maju bersama!" tolak Kober cepat, seperti mengerti isyarat Janasi barusan.
"Kurang ajar! Kau mau membantahku"!" dengus Janasi geram.
"Jangan menantangku di sini, Sobat. Kau tahu, aku tidak takut padamu! Jadi, jangan samakan aku dengan mereka!" balas Kober tak kalah sengit.
"Brengsek!" umpat Janasi.
"Sudahlah.... Kalian ini malah bertengkar. Ayo jalan bersamaan di depan!" teriak Ki Balero semakin kesal.
"Huh!"
Mereka mendengar sinis pada laki-laki setengah baya itu. Meski mereka hendak bertengkar, tapi rasanya tak rela dibentak orang seperti Ki Balero. Namun karena sudah terikat perjanjian, maka suka atau tidak, mereka terpaksa harus jalan di muka.
Sementara setelah melangkahi lubang di depan, mereka bertiga tiba di sebuah tempat yang cukup luas. Di sini tidak ada cahaya dari luar. Namun, keadaannya cukup terang oleh cahaya dari sebuah lubang. Di dalamnya, terdapat cairan merah bergolak.
"Uhh, panas!" desis Janasi dan Kober bersamaan, ketika coba mendekati permukaan lubang.
"Hem.... Isi gua ini dekat dengan perut gunung!" gumam Ki Balero, menduga.
"Kau boleh cari apa yang kau inginkan, Ki Balero," ujar Janasi.
"Tentu saja!" sahut laki-laki setengah baya itu kegirangan.
Ki Balero lantas menelusuri semua dinding ruangan yang berada di tempat ini. Sementara itu Janasi dan Kober bermaksud meninggalkannya, ketika Ki Balero telah memberi upah.
Grek... grek... grek!
"Hei"!"
Janasi dan Kober terkejut. Mendadak pintu yang menghubungkan antara ruangan itu dengan terowongan yang menuju mulut gua tertutup batu besar yang tadi berada di dekatnya!
Get! Set! Belum lagi habis rasa kaget mereka, mendadak melesat puluhan anak panah dari berbagai arah di dinding mangan ini.
Janasi dan Kober berusaha berkelit. Tapi malang, tindakan mereka terlambat, akibatnya....
Cras! Crab! "Aaa...!"
Dua anak panah lebih cepat menancap di perut mereka. Keduanya kontan tersuruk. Dan sebelum menyentuh lantai, tiga anak panah kembali menancap di jidat dan dada. Saat itu juga, keduanya meregang nyawa!
Keadaan yang sama juga dialami Ki Balero. Laki-laki setengah baya itu sibuk menghalau hujan anak panah. Namun hanya dua yang berhasil ditangkisnya. Selanjutnya....
Crep! "Akh!"
Sebatang anak panah menancap di betis kiri Ki Balero. Dan baru saja dia berusaha hendak mencabutnya, dua anak panah menghajar perut di pinggangnya.
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Ki Balero kembali terpekik dengan tubuh sempoyongan. Ketiga anak panah yang lain menghabisi nyawa orang tua itu hingga jatuh tersungkur.
Dan tiba-tiba saja hujan panah itu berhenti ketika semua orang yang ada di situ telah jadi mayat.
Kemudian, pintu yang menutup ruangan ini dengan terowongan yang menuju ke mulut gua terbuka kembali!
? *** ? 2 ? Sudah dua minggu ini Desa Kedu ramai dikunjungi orang. Melihat dari cara berpakaian, kebanyakan mereka adalah kaum persilatan. Namun kedatangan mereka sedikit banyak membuat penduduk desa khawatir dan sekaligus gembira. Khawatir karena tujuan mereka adalah ke Gua Griwa. Dan gembira karena kedatangan mereka sedikit banyak membawa rejeki bagi kedai makan dan penginapan yang betebaran di sana. Demikian pula para pemandu jalan, meskipun jarang ada yang mau sampai ke mulut gua. Biasanya mereka hanya mengantarkan dalam jarak yang cukup jauh. Sekadar menunjukkan arah yang benar menuju Gua Griwa.
Seperti hari ini. Tampak beberapa tokoh persilatan datang berkunjung. Kabar tentang keangkeran gua itu sama sekali tidak menyurutkan niat mereka ke sana. Meski begitu, ada juga yang hanya sekadar ingin tahu.
"Apa sebenarnya yang menarik dari gua itu, Teja Rukmana?" tanya seorang pemuda tampan berbaju serba putih berusia sekitar dua puluh tahun di salah satu kedai.
"Apakah kau tidak tahu, Badrawata," pemuda yang dipanggil Teja Rukmana malah balik bertanya.
Pemuda berbaju serba putih itu bernama Badrawata menggeleng. Lalu ditenggaknya tuak yang terhidang di depannya.
"Di Sana konon kabarnya terdapat warisan Dewi Ratih!" Jelas Teja Rukmana.
"Hm, Dewi Ratih" Rasa-rasanya pernah kudengar nama itu!" gumam Badrawata, sambil membetulkan letak pedang pendeknya di pinggang kiri.
"Dia adalah putri seorang selir Prabu Airlangga yang memilih hidup sebagai seorang pertapa, lebih kurang seratus tahun lalu," jelas Teja Rukmana. "Oh, jadi Dewi Ratih yang itu"!" Teja Rukmana tersenyum seraya menyantap hidangan di depannya. Dia tahu, keterkejutan Badrawata bukan karena juga berpikiran sama dengannya. Melainkan, sekadar pura-pura mengerti saja.
"Kau pasti tidak tahu Dewi Ratih yang sama dimasudkan!" sambar Teja Rukmana, setelah mengunyah makanan di mulutnya.
"Aku tahu!" kata Badrawata, sok yakin.
"Katakan!"
"Ya, pokoknya tahu saja! Dan tidak perlu kuberitahu, Dewi Ratih yang mana yang kumaksudkan!" tangkis Badrawata.
Teja Rukmana menyeringai lebar.
"Dasar tak mau kalah!"
Badrawata hanya tertawa kecil.
"Lantas, apa hebatnya warisan Dewi Ratih yang kau maksudkan itu?" tanya Badrawata kemudian setelah menyantap hidangan terakhir di piring-nya.
"Semasa hidupnya, dia memiliki ilmu olah ka-nuragan hebat dan mempunyai kesaktian laksana dewa. Dan konon, kabarnya dia menuliskan semua kehebatannya dalam bentuk..., entahlah! Orang-orang banyak menduga soal itu. Entah melalui kitab, pahatan di batu, atau di dinding gua. Tak seorang pun yang tahu pasti!" jelas Teja Rukmana.
"Hm, begitu. Lalu, apa hubungannya dengan Gua Griwa?"
"Bukankah sudah kukatakan?"
"Maksudku, bagaimana orang-orang yakin kalau warisan Dewi Ratih ada di sana?"
Teja Rukmana angkat bahu.
"Mana kutahu" Pengetahuanku tidak sampai ke situ," sahut Teja Rukmana datar.
"Bagaimana kalau kita ke sana" Sekadar memuaskan keingintahuanku saja!" sambung Badra-wata buru-buru, ketika melihat Teja Rukmana tersenyum lebar.
"Kita mesti buru-buru sampai ke perguruan, Badra," ingat Teja Rukmana. "Lagi pula, uang kita tak cukup membayar pemandu untuk ke sana."
"Kita tidak perlu pemandu!" tegas Badrawata.
Teja Rukmana tersenyum.
"Aku bahkan tak tahu daerah ini. Bagaimana mungkin kita bisa ke sana?" kata Teja Rukmana.
"Semua orang di desa ini tahu, arah mana yang mesti dituju untuk tiba di gua itu!" sahut Badrawata berkilah.
"Terserah katamu. Tapi kalau mau dengar kataku, sebaiknya urungkan saja niatmu. Kita tidak punya waktu mengurusi soal itu."
"Sayang sekali. Siapa tahu kita bisa memperoleh warisan itu...," gumam Badrawata.
"Hei" Kau bersungguh-sungguh"!" sentak Teja Rukmana, seperti tak percaya.
"Kalau memang nasib bahwa warisan itu bakal milik kita, kenapa tidak?" sahut Badrawata, enteng.
"Badra! Lupakan soal itu! Ayo, kita mesti bergegas pulang!" ajak Teja Rukmana, yang mulai khawatir mendengar kemauan kawannya.
"Eh, tunggu dulu! Kau sungguh-sungguh tidak berminat soal ini"!" cepat Badrawata.
"Tidak! Dan sekarang kita mesti tiba di perguruan secepat mungkin!" sergah Teja Rukmana.
"Pergilah lebih dulu. Nanti aku akan menyusul?" sahut Badrawata menegaskan.
"Badra! Apa-apaan kau ini?" sentak Teja Rukmana.
"Anak muda! Kalau kawanmu ingin sekali ke sana, biar saja ikut denganku!" timpal seorang laki-laki setengah baya yang sejak tadi agaknya mendengar percakapan mereka.
Karuan saja, kedua anak muda ini berpaling pada laki-laki bertubuh kecil berambut panjang awut-awutan yang tenang-tenang saja menenggak arak di depannya.
"Apa maksudmu, Ki" Kami sama sekali tidak kenal denganmu!" kata Teja Rukmana.
? *** ? "Namaku Ki Darta Rawon...," sahut orang tua itu tenang, seraya kembali menenggak isi guci di depannya.
"Ki Darta Rawon?" gumam Badrawata dan Teja Rukmana.
Mereka coba mengingat-ingat, di mana pernah mendengar nama itu. Namun sejauh ini belum juga terlihat. Mungkin juga mereka belum pernah dengar sebelumnya.
"Siapa namamu?" tunjuk laki-laki setengah baya bernama Ki Darta Rawon.
"Badrawata...!"
"Badrawata" Hm, bagus! Maukah kau ikut denganku" Aku akan ke gua itu!" tanya Ki Darta Rawon.
"Eh! Kalau Kisanak tidak keberatan, tentu saja dengan senang hati!" sahut Badrawata cepat.
"Badra, apa-apaan ini"!" tukas Teja Rukmana, cepat.
"Jangan halangi aku, Sobat! Pulanglah kau lebih dulu. Nanti akan menyusul. Katakan pada guru, aku jalan-jalan dulu!" ujar Badrawata tenang.
"Kau..., kau bersungguh-sungguh?"
Badrawata mengangguk cepat.
"Baiklah kalau itu maumu. Aku memang tidak bisa menghalangi. Selamat jalan. Dan, jaga dirimu baik-baik! Aku pergi dulu!" kata Teja Rukmana, seraya bangkit berdiri. Dihampirinya pemilik kedai untuk membayar harga makanan. Lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan kedai ini.
"Dia mencemaskanmu. Apakah kau saudara-nya?" tanya Ki Darta Rawon, setelah Teja Rukma-na tak terlihat lagi.
"Bukan. Dia hanya kawan seperguruanku," sahut Badrawat, seraya berdiri dan menghampiri Ki Darta Rawon. Pemuda itu lantas duduk di depan Ki Darta Rawon.
Ki Darta Rawon mengangguk kecil.
"Eh! Ngg..., apakah kau seorang diri hendak ke gua itu, Ki?" tanya Badrawata.
Laki-laki itu mengangguk.???????
"Tidak membawa pemandu jalan?" tanya Ba-drawata lagi.
"Aku tahu tempat itu. Bahkan lebih tahu ke-timbang semua orang di sini!" jawab Ki Darta Ra-won, enteng.
"Bagaimana mungkin" Apakah kau penduduk desa ini?"
"Tidak"
"Lalu?"
Ki Darta Rawon tak menjawab. Bahkan malah tersenyum, lalu kembali menenggak isi gucinya.
"Katakanlah padaku, apakah benar di dalam gua itu terdapat warisan Dewi Ratih yang hebat itu?" tanya Badrawata.
"Tentu saja!" sahut Ki Darta Rawon mantap.
"Oh, pasti hebat sekali! Seberapa hebat Dewi Ratih itu, sehingga warisannya diperebutkan banyak orang"!"
"Dia hebat sekali! Tidak bisa disamakan dengan tokoh hebat mana pun."
"Betulkah"! Ah! Kalau saja dia hidup di zaman ini, tentu orang-orang akan menjulukinya sebagai tokoh nomor satu yang tak terkalahkan!"
Ki Darta Rawon tak menjawab.
"Hm.... Apakah..., apakah kau ingin mengam-bil warisannya itu, Ki?"
"Tentu saja."
"Eh! Ka..., kalau sudah berada di tanganmu, bolehkah aku melihatnya barang sebentar?"
"Kau boleh melihatnya sepuasmu!"
"Oh, benarkah"! Kau baik sekali, Ki!" sahut Badrawata girang.
"He he he...! Kau kira semudah itu mendapat-kannya, Bocah?"
Mendadak terdengar suara bernada mengejek disertai kekehan dari sebelah kanan meja mereka.
Badrawata langsung melirik, dan melihat seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun tengah duduk di meja sebelahnya. Tubuhnya pendek Rambutnya yang sepanjang bahu telah memutih semuanya. Jubahnya panjang sampai ke mata kaki berwarna kelabu. Dia sama sekali tak menoleh dan kelihatan tengah menikmati santapannya. Sehingga, Badrawata merasa tidak yakin apakah orang tua itu bicara padanya.
"Aku bicara padamu tentunya!" sambung ka-kek itu seperti mengetahui isi pikiran Badrawata yang sudah berpaling.
Dan kata-kata itu membuat Badrawata kembali menoleh.
"Eh! Ma..., maaf. Kau bicara padaku?" tanyaBadrawata.
"Tentu saja. Apakah telingamu tuli?" sahut kakek ini tanpa menoleh.
"Maaf, aku tak tahu. Kukira kau bicara pada makananmu itu!" ucap Badrawata seenaknya, karena hatinya mendongkol.
Kakek berjubah kelabu itu baru menoleh dan memandang tajam sekali. Lalu kepalanya berpaling pada Ki Darta Rawon yang sama sekali tidak peduli atas ikut campurnya kakek ini.
"He he he...! Kau sungguh berani memperma-inkan aku, Bocah. Ingin kutahu, apa yang bisa kau andalkan!" kata kakek ini, enteng.
Setelah berkata begitu, kakek bertubuh pendek ini menjentikkan kedua jari-jarinya. Seketika dari situ melesat angin kecil yang cukup kuat, menyambar ke arah Badrawata.
Badrawata tidak tahu, apa kehebatan jentikan kakek ini. Tapi, Ki Darta Rawon tiba-tiba saja me-nariknya secepat kilat, sehingga angin kecil tadi luput dari sasaran, namun menghantam kursi di belakang Badrawata.
Prak! "Hei"!"
Barulah mata Badrawata terbelalak ketika me-nyaksikan sandaran kursi yang didudukinya hancur berantakan. Kalau saja mengenai batok kepalanya, entah apa jadinya.
Kejadian itu mengundang perhatian orang-orang yang berada di dalam kedai. Tapi kakek berjubah kelabu itu tenang-tenang saja, seperti tidak ada kejadian apa-apa. Kalau saja Badrawata tidak bangkit berdiri seraya menudingnya, niscaya tidak ada yang mengetahui kalau kakek itu yang telah menghancurkan sandaran kursi barusan.
Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang tua brengsek! Apa maksudmu" Kau hendak membunuhku, padahal antara kita tidak ada urusan apa pun!" maki Badrawata.
Si kakek diam saja. Bahkan malah enak-enak-an menyantap makanannya. Seolah-olah pemuda itu dianggapnya tidak bicara padanya.
"Orang tua busuk! Aku bicara padamu!" bentak Badrawata dengan suara menggelegar.
Hampir saja pemuda ini akan menghajar orang tua itu. Untung saja Ki Darta Rawon cepat menarik dan mengajaknya agar kembali duduk.
"Lepaskan! Biar kuhajar orang tua tidak tahu diri itu!" teriak Badrawata, berusaha melepaskan diri.
"Kau akan menghajarnya" Apakah kau tak tahu siapa dia?" tanya Ki Darta Rawon kalem.
"Apa peduliku"!" tukas pemuda itu.
"Apakah kau tak akan peduli kalau ternyata diaadalah si Siluman Api?"
"Apa"! Jadi..., jadi dia si Siluman Api"!" desis Badrawata seperti tak percaya dengan pende-ngarannya.
Secepat kilat Badrawata menatap tajam kakek itu beberapa kali untuk meyakinkan apa yang dikatakan Ki Darta Rawon. Nama Siluman Api pemah didengar dari gurunya. Tokoh itu merupa-kah salah satu datuk sesat yang berilmu tinggi. Jangankan gurunya. Bahkan lima orang berkepandaian seperti gurunya pun, tidak akan mampu mengalahkannya. Apalagi dirinya. Kalau tadi Ki Darta Rawon tak mencegah, entah apa yang akan terjadi padanya.
"Apakah kau akan menghajarnya setelah tahu siapa dia?" tanya Ki Darta Rawon sambil tersenyum kecil.
Badrawata jadi salah tingkah. Seketika dia diam tak menjawab.
? *** ? Sementara itu, kakek yang disebut Ki Darta Rawon sebagai Siluman Api telah selesai menyan-tap hidangannya. Kini matanya melirik Badrawata seraya menenggak arak dalam guci.
"Huaaah! Enak sekali! Kau ingin mencobanya, Bocah" Cobalah! Arak ini pilihan dan bukan sembarang arak!" ujar Siluman Api seraya menyodor-kan guci dalam genggamannya.
"Tidak, terima kasih!" tolak pemuda itu, berusaha sopan.
"Ayo coba! Kau akan ketagihan setelah men-cicipi arak buatanku ini!" paksa kakek ini seraya bangkit dari kursinya.
Bandrawata memandang Ki Darta Rawon. Laki-laki setengah baya itu seperti tak peduli dengan kejadian itu. Bahkan malah asyik menikmati araknya.
"Cobalah barang seteguk!" ulang Siluman Api.
Wut! Baru saja kembali menoleh, isi guci di tangan kakek itu telah dituangkan ke mulut Badrawata. Buru-buru Badrawata mengelak. Tapi sebelah tangan Siluman Api telah menangkap batok kepalanya.
Tap! Saat itu juga dua buah jari Siluman Api dengan cepat membuka mulut Badrawata. Dan pemuda itu sendiri tak kuasa menolak dari kekuatan yang lebih besar dari tenaganya. Sehingga tanpa bisa dicegah, sebagian isi arak muncrat ke tenggorokannya.
Glek! Glek! "Huaaah!"
Badrawata menjerit ketika arak itu masuk ke lambungnya, isi perutnya terasa panas bukan main, seperti menenggak air yang baru mendidih.
"He he he.... Enak, bukan" Nah! Kau akan ketagihan. Cobalah cicipi lagi!" ujar Siluman Api seraya menuangkan isi gucinya lagi.
Tapi kali ini Ki Darta Rawon agaknya tidak mau tinggal diam.
"Pfuuh!"
Secepat kilat, laki-laki setengah baya ini meniup cairan arak yang hendak tumpah ke mulut Badrawata, sehingga melenceng dari sasaran. Bersamaan dengan itu, sebelah kakinya menyodok perut Siluman Api.
Wut! "Uts!"
Melihat itu, si Siluman Api segera mengegoskan pinggangnya. Sehingga tendangan Ki Darta Rawon hanya menghantam tempat kosong. Tapi, ternyata kaki laki-laki setengah baya itu berbalik, menyapu ke batok kepala.
Seketika, Siluman Api menunduk. Namun saat itu juga tangan kiri Ki Darta Rawon yang membentuk cakar menyambar dada.
"Uhh!"
Dalam keadaan begitu, mau tidak mau terpaksa Siluman Api melompat ke belakang kalau tak mau celaka. Sehingga, cekalannya pada Badrawata terlepas.
Di luar dugaan, Ki Darta Rawon malah menghantam perut Badrawata dengan tangan kanan.
Pokkk..! "Hoekh...!"
Badrawata langsung terhuyung-huyung ke samping. Dan dari mulutnya muncrat cairan arak yang tadi terminum olehnya.
"Hiih!"
Wusss! Secepat kilat, telapak tangan kiri Ki Darta Rawon menghantam cairan arak itu sebelum jatuh ke lantai. Maka, seketika arak itu melesat cepat menyambar si Siluman Api.
"Uts!"
Siluman Api terkesiap, melihat pameran kehebatan cairan arak itu sebelum jatuh ke lantai. Maka, seketika arak itu melesat cepat menyambar si Siluman Api.
"Uts!"
Siluman Api terkesiap, melihat pameran kehebatan yang dipertunjukkan laki-laki setengah baya itu. Tubuhnya cepat berkelit ke samping, sehingga arak yang melesat ke arahnya menyambar kayu penyangga kedai ini.
Krakkk! "Hei"!"
Tonggkat kayu sebesar paha laki-laki dewasa itu kontan berderak patah, membuat kaget mereka yang berada di dalam kedai. Bukan saja karena kehebatan Ki Darta Rawon, tapi juga karena atap kedai itu bergerak-gerak seperti hendak runtuh!
"Hup!"
"Yeaaah!"
Beberapa orang yang tengah makan secepat-nya melompat keluar menyelamatkan diri. Dan yang lainnya menyusul dari belakang. Tinggal pemilik kedai yang sejak tadi berteriak-teriak kalap melihat kedainya yang mau ambruk.
"Aduh kedaiku! Dasar orang-orang tak tahu diri! Bagaimana nasib kedaiku"! Kalian harus mengganti kerusakannya! Kalian harus mengganti semua kerusakan ini!" teriak pemilik kedai.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Badra!" ajak Ki Darta Rawon, seraya menyambar salah satu pergelangan tangan pemuda itu.
"Eh, tapi...,"
"Jangan pikirkan apa pun!" potong laki-laki setengah baya itu, seraya secepatnya menyeret pemuda itu keluar lewat jalan belakang.
"Ohhh!"
Kembali Badrawata dibuat terkejut ketika Ki Darta Rawon mencelat cepat. Dan sepertinya, dia dibawa terbang oleh laki-laki itu.
"Kisanak! Persoalan kita belum lagi selesai...!" Terdengar sebuah suara dari belakang. Jelas itu suara si Siluman Api.
"He he he...! Agaknya tua bangka itu suka padamu, Badra!" kata Ki Darta Rawon tanpa menghentikan larinya.
"Apa..."!"
'Tapi jangan khawatir. Biar kita beri pelajaran dia!" hibur Ki Darta Rawon enteng.
? *** ? 3 ? Seekor kuda berbulu hitam melangkah lambat, seperti enggan berpacu dengan desir angin yang bertiup kencang. Di langit terlihat awan hitam bergulung-gulung. Keletihan menahan titik air yang sebentar lagi akan tumpah.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita harus cepat tiba di desa terdekat!" ujar pemuda tampan berbaju rompi putih, penunggang kuda hitam ini. Di Punggung pemuda itu tampak sebilah pedang bergagang kepala burung.
"Hieee!"
Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu mering-kik halus, kemudian melompat cepat lima kali ?lebih cepat dari larinya semula. Diterobosnya geri-mis yang mulai turun satu persatu.
"Hei"!"
Nyaris pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti terjungkal dari punggung kudanya, ketika tiba-tiba dari samping kiri memotong seorang penunggang kuda lainnya. Saat itu juga tali kekang Dewa Bayu ditarik untuk menghentikan larinya.
"Edan! Siapa orang itu" Nekat benar dia!" ru-tuk Rangga geram seraya menggebah kudanya kembali.
"Hieee!"
Maka kuda berbulu hitam itu melesat kencang bagai anak panah lepas dari busur. Tak heran kalau dalam waktu singkat, penunggang kuda putih berbelang coklat di depannya berhasil dikejarnya, hingga jarak tiga tombak di belakangnya.
Namun baru saja Rangga selesai bergumam....
"Hiih!"
Set! Set! "Hei"!"
Rangga terkejut bukan main ketika penunggang kuda di depan tiba-tiba mengibaskan tangannya ke belakang. Saat itu juga melesat dua benda bersinar keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti segera mencelat ke atas, sehingga dua buah sinar keperakan yang berupa senjata rahasia itu hanya menyapu angin. Kemudian setelah berputaran di udara beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti meluruk ke arahnya. Semua itu dilakukan tanpa menghentikan derap langkah Dewa Bayu yang terus berlari kencang.
"Sial! Orang ini mesti diberi pelajaran!" dengus Rangga, begitu mendarat kembali di atas punggung Dewa Bayu. "Heaaa"!"
Pendekar Rajawali Sakti mendadak menghen-takkan tangannya, dengan Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah sebuah pohon yang berada di depan penunggang kuda putih berbelang coklat. Sinar merah membara tampak melesat cepat sekali. Dan...
Bruak! Krak.. krak! Bruk!
Karuan saja penunggang kuda berpakaian kuning gading di depan terkejut ketika sebatang pohon ambruk dl depannya. Buru-buru tali kekang ditarik untuk menghentikan laju kuda. Dan seketika tubuhnya melenting gesit dari punggung hewan itu. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat empuk di tanah sambil berkacak pinggang menghadang,
Rangga yang telah bersiap menghentikan kudanya tidak kalah sigap. Secepat kilat dia ikut melompat untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang mungkin menimpa.
"Hei"!"
Tapi Pendekar Rajawali Sakti dibuat tertegun ketika mengetahui buruannya hanya seorang gadis belia berusia sekitar enam belas tahun. Rambutnya panjang dikuncir dua. Kiri dan kanan. Di punggungnya tersandang sebilah pedang panjang. Wajahnya cantik, tapi berkesan galak.
"Kenapa kau bersikap seperti hendak membunuhku?" tanya Rangga pura-pura gusar.
"Kurang ajar! Mestinya aku yang bertanya padamu, kenapa menguntitku"!" balas gadis berpakaian ketat warna kuning gading itu, membentak.
"Aku menguntitmu karena kau hampir mena-brak kudaku yang tengah melaju kencang!" jelas pemuda itu.
"Huh! Justru kudamu yang hendak menabrak-ku! Seenaknya saja kau menimpakan kesalahan padaku!" dengus gadis ini berkilah.
"Hhh!"
Rangga hanya bisa mendengus kesal seraya menghela napas kasar.
"Apa"! Mau memukulku" Ayo pukul kalau berani!" bentak gadis ini lantang.
"Untung saja kau gadis yang masih bau ken-cur...," sungut Rangga, bergumam.
"Kurang ajar! Apa dikira aku takut mengha-dapimu"! Sepuluh orang sepertimu tidak akan membuat Sakaweni mundur!" hardik gadis yang mengaku bernama Sakaweni tak mau kalah. Seolah dia hendak menantang Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah! Dasar bocah galak! Maunya me-nang sendiri!" gemtu Rangga.
Setelah berkata begitu, Rangga berbalik melangkah menghampiri Dewa Bayu. Sementara Sakaweni tetap mendengus sinis. Sikapnya masih tetap berkacak pinggang.
"Pengecut-pengecut sepertimu memang paling sering kutemui! Menyebalkan! Pura-pura meng-ganggu wanita. Dan setelah tahu wanita yang dihadapinya lebih kuat, maka tiba-tiba saja mencari alasan untuk mengurungkan niat busuknya!" sindir gadis itu.
"Hei"!"
Rangga terkesiap mendengarnya, Bagaimana mungkin gadis itu bisa bicara demikian lancang" Secepat itu pula, tubuhnya berbalik.
"Nisanak! Kau masih muda. Maka tak heran kalau pikiranmu begitu sempit, sehingga bicaramu demikian tajam. Apakah orangtuamu yang mengajarkanmu begitu?" balas Pendekar Rajawali Sakti, menatap tajam Sakaweni.
? *** ? "Itu bukan urusanmu! Sebaiknya, cabut pe-dangmu. Dan, hadapi aku!" dengus Sakaweni me-nantang.
"Aku tidak mungkin menurunkan tangan padamu...," desah Rangga, berusaha menahan gejolak amarah.
"Kau telah buat salah. Kemudian, kau merendahkanku. Aku merasa terhina. Dan untuk mene-bus perasaan itu, maka kubutuhkan kepalamu!" tandas Sakaweni.
"Maaf, aku tidak bisa meladenimu...," ucap Rangga, kembali membelakangi gadis itu.
"Setan!" hardik Sakaweni geram. "Hih...!" Secepat kilat Sakaweni menghentakkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Pendekar Rajawab Sakti, melepaskan pukulan jarak jauh.
Wusss...! "Hei"!"
Rangga terkesiap. Secepat kilat tubuhnya mengegos, sehingga angin pukulan yang menyambar hanya mengenai tempat kosong. Dan pukulan jarak jauh itu terus menabrak semak dan bateng pohon sampai hancur berantakan.
Bruak! "Kau...!" desis Rangga kaget.
"Masih menganggap enteng padaku?" kata gadis itu, enteng.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Nisa-nak"!" tanya Rangga, geram.
"Jangan menggertakku! Aku tidak takut padamu!" hardik Sakaweni dengan mata melotot. "Telingamu mungkin tuli. Tapi, tak apa biar kuulangi lagi. Aku ingin kepalamu!"
Cring! Setelah berkata begitu, gadis ini mencabut pedang, Seketika diserangnya Pendekar Rajawali Sakti,
"Heaaat!"
"Uts!"
Dan lagi-lagi Rangga dibuat jengkel melihat ulah gadis ini. Pedang di tangan gadis itu berkelebat dahsyat, menyambar ke arahnya. Kata-katanya seperti ingin dibuktikan secepatnya. Dan kalau saja Rangga tidak cepat menarik tubuhnya ke samping, niscaya bukan tidak mungkin kepalanya akan terpenggal.
"Hiyaaat!"
Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Lang-kah Ajaib, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mempartahankan diri sambil mengamat-amati setiap gerakan gadis itu. Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk. Bahkan kadang terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Gila! Hebat sekali ecrmainan pedangnya!" puji Rangga dalam hati.
Tapi, tentu saja pujian Rangga tidak diperlihatkan. Sementara Sakaweni makin liar saja, membuat Pendekar Rajawali Sakti tak bisa berbuat banyak. Dalam dua jurus di muka, kalau Rangga tidak balas menyerang rasanya pedang gadis itu akan mengenai sasaran. Maka dengan secepatnya Rangga mulai balas menggebrak.
"Hiyaaa!"
Rangga mendadak mencelat ke belakang sambil membuat putaran dua kali. Dan tatkala gadis itu mengejar, Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat manis di tanah. Seketika telapak kirinya cepat bergerak menghantam.
Gadis itu terkesiap, namun cepat mengegoskan tubuhnya. Dan kesempatan itu dipergunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk memutar tubuhnya sambil melepas tendangan kilat.
"Hiiih!"
"Hei"! Uts!"
Sakaweni terkejut. Dia benar-benar tak me-nyangka pemuda itu mampu bergerak secepat kilat. Dengan gelagapan gadis ini melompat mundur. Tapi dengan gerakan dahsyat telapak tangan kiri Rangga yang tak dialiri tenaga dalam telah menyusuli. Dan....
Begkh! "Uhh!"
Gadis itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah. Pukulan itu memang tidak kencang, tapi gadis itu merasa terhina sekali. Dan dia tahu, pemuda itu sebenarnya mampu melepaskan pukulan yang lebih kuat.
"Kenapa kau tidak bersungguh-sungguh memukulku"!" bentak gadis itu kesal.
"Aku memang tidak bermaksud membunuhmu, Nisanak," sahut Rangga, kalem.
'Tapi aku ingin sekali membunuhmu!" tukas Sakaweni.
Dan secepat itu pula kembali gadis ini memu-tar-mujar pedangnya, hingga seperti kitiran. Dipermainkannya pedang itu barang sesaat seraya mendekat ke arah Rangga. Lalu secepat kilat pedangnya dibabatkan ke bawah.
Wuuut!????? "Uts!"
Serangan itu kelihatannya remeh. Dan mudah sekali bagi Rangga untuk mengelakkan dengan meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Tapi mata Pendekar Rajawali Sakti mendadak terbelalak tatkala ujung pedang itu terus meliuk-liuk bagai seekor ular yang siap mematuk tubuhnya.
"Hiyaaa!"
Rangga cepat melompat ke belakang. Sementara Sakaweni cepat mengejarnya dengan lompatan tinggi. Sepertinya dia mengetahui kalau pemuda itu akan mencelat ke atas. Dan Rangga seperti masuk dalam perangkap. Maka mendadak saja ujung pedang Sakaweni cepat sekali menggores dadanya.
Sret! "Uhh... !"
"Hebat!" puji Pendekar Rajawali Sakti melihat? goresan halus yang dibuat pedang gadis itu, begitu mendarat di tanah.
"Aku bisa membunuhmu tadi!" dengus Sakaweni ketika menjejakkan kakinya di tanah pula.
"Kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga, seperti menantang.
"Huh!"
Gadis itu tak menjawab selain mendengus. Lalu ditinggalkannya pemuda itu sendirian untuk melanjutkan perjalanannya.
"Hei, tunggu dulu! Ke mana tujuanmu"!" teriak Rangga mencegah.
"Bukan urusanmu!" sahut gadis itu dengan suara ketus, seraya melompat ke atas punggung kudanya.
"Kita akan bertemu lagi nanti!" kata Rangga.
"Jangan berharap!" dengus gadis itu.
"Kenapa tidak"!" tanya Rangga.
"Sekali lagi bertemu denganmu, maka aku be-tul-betul akan membunuhmu!" ancam gadis itu.
Rangga hanya tersenyum mendengar ancaman itu. Diperhatikannya Sakaweni yang telah menggebah kudanya kencang-kencang.
"Heaaa!"
"Hm, Gadis Galak. Sebenarnya dia hebat sekali untuk gadis seusianya. Sayang, gerakannya masih terkesan kaku dan kurang pengalaman. Hm....
Apa yang dicarinya di sini?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menarik napas panjang, lalu kembali menghampiri dan menaiki kudanya setelah gadis tadi hilang dari pandangan. Entah kenapa, langkah kudanya ternyata seperti mengikuti jejak Sakaweni ketika meninggalkan tempat ini.
? *** ? Kehadiran Ki Darta Rawon dan Badrawata di Gua Griwa ternyata tidak sendiri. Karena begitu tiba di dekat mulut gua, lebih dari sepuluh tokoh persilatan telah bercokol di sana. Badrawata jadi bingung sendiri. Sedangkan Ki Darta Rawon kelihatan tenang-tenang saja.
"Kelihatannya akan jadi ramai, Ki," keluh Badrawata.
"Sekarang pun sudah ramai," sahut Ki Darta Rawon antang,
"Meraka semua menginginkan warisan Dewi Ratih?"
"Apa kau kira mereka menunggu manusia purbakala?" tukas laki-laki setengah baya ini, balik bertanya sambil tersenyum lebar.
Badrawata tersenyum pahit. Orang-orang yang dilihatnya rata-rata berwajah seram dan menunjukkan sikap tidak bersahabat.
"Apakah Ki Darta kenal mereka semua?" usik Badrawata.
"Sebagian...," jawab Ki Darta Rawon, pendek.
"Hm...."
"Sebaiknya kau jangan memperhatikan mereka. Nanti urusan bisa runyam!" ujar laki-laki setengah baya ini menasihati.
"Eh, iya. Iya, Ki!" sahut Badrawata patuh.
Pemuda ini telah mempunyai pengalaman bu-ruk pada Siluman Api. Dan dia beranggapan tokoh-tokoh silat itu aneh dan suka cari gara-gara. Mudah membunuh seperti membalikkan telapak tangan. Oleh sebab itu, nasihat Ki Darta Rawon cepat dimengerti.
"Kita akan masuk ke dalam sekarang," ujar Ki Darta Rawon.
"Sekarang, Ki?"
"Ya. Kapan lagi" Menunggu mereka semua membusuk?"
Pemuda itu tersenyum getir dengan hati cemas dan jantung berdetak tiga kali lebih cepat. Sesekali masih juga matanya melirik tokoh-tokoh silat yang berada di tempat ini. Mereka berdiri mematung dengan tatapan tajam ke arah mulut gua.
"Ki, mereka mengikuti kita...!" bisik Badrawata lirih."
"Percepat langkahmu!" desis Ki Darta Rawon.??
"Iy..., iya, Ki!"
"Heiit!"
Mendadak saja berkelebat satu bayangan, dan langsung mendarat menghadang kedua orang ini.
"Ohh!"
Badrawata terkejut kaget, ketika di depannya berdiri seorang laki-laki berambut panjang dan pirang, tapi awut-awutan seperti tak pernah terurus bertahun-tahun. Matanya bulat dan bibirnya tebal. Hidungnya lebar besar dibandingkan hidung rata-rata yang dimiliki orang lain. Jubahnya ungu, tangannya menggenggam membawa sebatang tongkat yang agak besar.
"Ha ha ha...! Kalian mau mendahuluiku masuk ke dalam gua ini"-!" bentak laki-laki berambut awul-awutan itu dengan memperdengarkan suaranya yang kuras.
"Kau Serigala Bukit Keduk, bukan?" sapa Ki Darta Rawon, nada datar.
"Hua ha ha"! Ternyata kau kenal juga dengan nama besarku. Nah, menyingkirlah. Dan, tunggu giliranmu. Aku akan masuk ke dalam lebih dulu!" ujar laki-laki berjuluk Serigala Bukit Keduk.
"Tentu saja, Serigala Bukit Keduk! Siapa yang tidak kenal nama besarmu" Tapi jangan salah.? Meski kami menghormati, tapi bukan berarti akan menyingkir," tandas Ki Darta Rawon.
"Hem! Apa katamu"!" dengus Serigala Bukit Keduk sambil menggeram marah.
"Kami akan masuk lebih dulu. Dan kalian si-lakan menunggu di luar," sahut Ki Darta Rawon tenang.
"Kurang ajar! Kau kira dirimu siapa, he"!" dengus Serigala Bukit Keduk semakin geram.
"Apakah kau tidak mengenalku"!" balas Ki Darta Rawon, mulai galak.
Serigala Bukit Keduk tertegun barang sesaat. Mungkin memikirkan kalau-kalau pernah kenal laki-laki yang jadi lawan bicaranya.
"Aku adalah majikanmu. Dan kau mesti menurut padaku!" sambung Ki Darta Rawon.
Sampai di situ, meledaklah kemarahan Serigala Bukit Keduk. Seumur hidup mana pernah dia mengabdi pada orang lain" Jelas kata-kata Ki Darta Rawon sangat melecehkan dan menganggapnya rendah. Oleh sebab itu, secepat kilat tongkatnya melayang menghajar batok kepala Ki Darta Rawon.
"Bangsat celaka! Modar kau...!"
Wuuut! "Menunduk, Badra!" seru Ki Darta Rawon seraya membungkuk dan menekan punggung pe-muda di dekatnya untuk ikut membungkuk. Sehingga, tongkat laki-laki angker itu luput dari sasasaran.
"Heaaa!"
Saat itu juga, Ki Darta Rawon balas menyerang. Kaki kanannya cepat menyodok ke perut. Namun, Serigala Bukit Keduk cepat mengegos ke kiri, sehingga serangan itu luput dari sasaran.
"Hiih!"
Dan ternyata, serangan Ki Darta Rawon tidak berhenti sampai di situ. Karena selanjutnya, tubuhnya berputar sambil melepas tendangan beruntun. Maka terpaksa Serigala Bukit Keduk hengkang ke belakang sambil memutar tongkat.
"Kurang ajar!" maki Serigala Bukit Keduk geram.
Betapa tidak" Bahkan Serigala Bukit Keduk tidak sempat menggunakan tongkatnya untuk menghalau serangan. Maka dengan tubuh meng-gigil menahan amarah yang meluap, dia kembali melompat unluk menghabisi Ki Darta Rawon secepatnya.
"Haaat!"
"Hm!"
Ki Darta Rawon bergumam pendek seraya memberi isyarat pada pemuda di dekatnya untuk menjauh.
Tapi, tak ada tempat lagi bagi Badrawata untuk menyingkir selain merapat ke dinding dekat mulut gua. Sebenarnya, dia pun takut dekat-dekat dengan tempat pertempuran keduanya. Tapi untuk masuk ke dalam gua, dia lebih takut lagi. Maka tak ada yang bisa dilakukan selain merapatkan tubuh ke dinding bukit yang ada di dekatnya.
"Hup!"
Sementara itu ketika Serigala Bukit Keduk tengah melompat menerkam, Ki Darta Rawon pun melompat sambil bergulingan di tanah. Kedua kakinya bergerak cepat, menendang perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! Begkh! "Aaakh...!"
*** ? 4 ? Serigala Bukit Keduk terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Namun karena ilmu meri-ngankan tubuhnya telah cukup tinggi, luncuran tubuhnya bisa dipatahkan dengan berjungkir balik di udara. Dan dengan mantap sekali kakinya menjejak tanah. Wajahnya kelihatan semakin seram saja. Sepertinya, segala amarah dan rasa geram telah naik ke kepala. Dan hanya kematian Ki Darta Rawon saja yang bisa menghentikan amarahnya.
"Hhh! Kau akan mati, Keparat!" desis Serigala Bukit Kaduk dengan mata terbelalak lebar.
"Ha ha ha...! Apakah kau yang menentukan kamatianku" Kau tidak lebih dari seekor hewan buduk yang tidak punya arti apa-apa," ejek Ki Darta Rawon.
"Keparat! Yeaaa"!"
Serigala Bukit Keduk menggeram buas, sehingga garahamnya terdengar bergemeretak. Lalu mendadak tubuhnya berkelebat sambil menyam-barkan tongkatnya.
"Uts! Belum berhasil, Sobat!"
Ki? Darta ?Rawon? merendahkan? tubuhnya, menghindari sambaran tongkat. Dan baru saja hendak menegakkan tubuhnya, tangan kiri Serigala Bukit Keduk yang membentuk cakar langsung menyusuli ke arah tenggorokan.
Cepat bagai kilat, Ki Darta Rawon menangkis dengan tangan kiri.
Plak! Dan laki-laki setengah baya itu terus mencelat ke samping tatkala Serigala Bukit Keduk meng-hujamkan tongkatnya ke ulu hati. Saat itu juga, kakinya menghantam dada sebelum Serigala Buldt Keduk berbuat sesuatu.
"Hup!"
Dengan sebisanya, Serigala Bukit Keduk melompat ke belakang untuk menghindarinya.
"Heaaat!"
Namun Ki Darta Rawon tidak memberi kesempatan. Dia terus mengejar sambil menyodokkan kepalan kanan ke dada Serigala Bukit Keduk yang baru saja mendarat. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Duk! "Aaakh!"
Untuk kedua kalinya, Serigala Bukit Keduk menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjajar ke belakang dengan terhuyung-huyung. Pukulan Ki Darta Rawon ini terasa lebih keras dibanding yang tadi. Bisa Jadi karena laki-laki setengah baya itu merasa kesal. Dan dia merasa perlu memberi pelajaran pada laki-laki tua lawannya untuk tidak gegabah.
Tapi, hal itu agaknya bukan membuat Serigala Bukit Keduk sadar. Hatinya, malah semakin berang dan mendengus geram. Ingin rasanya Ki Darta Rawon saat itu juga dilumatkannya.
"Hhh! Aku bersumpah akan membunuhmu!" desis Serigala Bukit Keduk geram.
Tapi belum lagi laki-laki tua ini melompat menyerang, mendadak....
"Aaa...!"
"Hei"!"
Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua tokoh yang tadi memusatkan perhatian pada perkelahian antara Serigala Bukit Keduk dan Ki Darta Rawon berpaling begitu dari dalam gua terdengar jeritan menyayat. Tak lama, menyusul dua sosok tubuh terlempar dari dalam gua dalam keadaan mengenaskan. Dada remuk dan nyawa telah malayang sejak tadi.
"Meraka mati!" desis seorang tokoh persilatan yang lebih dulu mendekat.
"Tujuh Beruang Hitam telah gagal!" timpal yang lain.
"Kurang ajar! Apa sebenarnya yang ada di da-lam"!" dengus seorang perempuan tua bertubuh bungkuk. Sebuah tongkat dari bambu kuning tampak menyangga tubuhnya.
Dalam rimba persilatan nenek dengan bambu kuning itu dikenal sebagai Ular Bambu Kuning. Padahal, nama sebenarnya adalah Nini Pemah. Dan kaum rimba persilatan juga tahu, kalau Ular Bambu Kuning mempunyai seorang cucu perempuan berwajah cantik. Usianya sekitar dua puluh tahun. Namanya Sekar Kedasih. Dan kini gadis itu ada di sampingnya.
"Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang. Nek...," usik Sekar Kedasih.
"Apa maksudmu?" tanya Ular Bambu Kuning dengan kening berkerut tajam.
"Di dalamnya banyak hantu."
"Tutup mulutmu, Sekar! Aku tidak percaya dengan segala jenis hantu. Selama dia menguasai benda itu, bukan hantu namanya!" tukas Nini Pemah.
"Jangan marah. Nek. Aku hanya menduga juga...!"
"Huh!" dengus Ular Bambu Kuning.
Sementara itu, Serigala Bukit Keduk agak ragu untuk melanjutkan pertarungan. Perhatiannya tersita oleh peristiwa yang baru saja terjadi di depan matanya.
"Tujuh Beruang Hitam mati"!" gumam Serigala Bukit Keduk seperti tidak percaya.
Meski mayat Tujuh Bemang Hitam cuma dua, tapi semua yakin lima orang lainnya tertinggal di dalam, Buktinya, mereka mendengar jeritan lain yang menyusul tak lama setelah terlemparnya kedua mayat tadi.
Padahal, kemampuan mereka sungguh hebat. Malah semua tokoh yang berada di sini tidak akan mampu mengalahkan Tujuh Beruang Hitam dalam dua puluh jurus jika maju bersamaan.
"Apa mungkin aku bisa mendapatkan warisan itu?" gumam Serigala Bukit Keduk di hati dengan paraaaan ragu.????
"Ha ha ha...! Kenapa" Kau tidak jadi masuk dalam, Sobat" Biarlah aku mengalah. Silakan masuk lebih dulu!" sem Ki Darta Rawon, bernada mengejek.
"Huh!" dengus Serigala Bukit Keduk sinis. "Masuklah lebih dulu! Mudah-mudahan kau me-nyusul ketujuh beruang celaka itu!"
"Ha ha ha"! Menangkap ular di dalam lubang sama artinya dengan bunuh diri! Aku punya cara yang lebih baik. Ayo, Badra! Bantu aku mengum-pulkan ranting kering!" ujar Ki Darta Rawon seraya berkelebat dari tempat itu.
"Baik, Ki!"
? *** ? Mula-mula para tokoh persilatan tidak mengerti, apa yang akan dilakukan Ki Darta Rawon bersama pemuda berbaju serba putih itu. Tapi lama kelamaan baru disadari kalau tumpukan ranting-ranting kering diletakkan di mulut gua.
"Dia akan membuat api! Bagus sekali!" cetus Nini Pemah.
"Dengan begitu, siapa pun yang berada di dalam akan keluar setelah isi gua dipenuhi asap. Kecuali, kalau dia memang berniat mampus di dalam sana!" timpal seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan kumis tebal.
Nini Pemah melirik sinis. Tapi, laki-laki itu malah tersenyum lebar.
"Kau sudah tua, Ular Bambu Kuning. Sebentar lagi masuk liang kubur. Buat apa mengurus soal-soal seperti ini!" celetuk laki-laki berkumis tebal itu.
"Diam kau, Sidarta! Sekali lagi mengoceh, kusumpal mulutmu!" hardik Nini Pemah.
Laki-laki bernama Sidarta itu tersenyum semakin lebar, tapi tak bicara apa-apa lagi. Dia me-mang tidak takut menghadapi kemarahan Ular Bambu Kuning. Tapi, ada hal lain yang dirasa masih perlu. Yaitu, seseorang atau apa pun yang berada di dalam gua, pasti akan keluar membawa benda yang diinginkan. Dan di saat itu, tentu terjadi perebutan di antara mereka. Maka saat demikianlah diperlukan tenaga penuh. Karena kalau Sidarta bertarung dengan Ular Bambu Kuning saat ini, tentu tenaganya sedikit banyak akan terkuras.
"Nenek! Dalam keadaan begini, ada baiknya kita menahan diri!" ujar Sekar Kedasih memperingati.
"Diam kau, Sekar! Tak perlu mengajariku!" hardik Nini Pemah.
Sekar Kedasih buru-buru tutup mulut. Agaknya gadis ini berpikiran sama dengan Sidarta. Tapi, Nini Pemah mana peduli akan hal itu. Adatnya memang keras dan pantang dihina. Dia mau mempertaruhkan segalanya demi harga diri.
Sementara itu, ranting-ranting yang dikumpulkan Ki Darta Rawon telah bertumpuk dan mulai dibakar. Api perlahan-lahan melahapnya, karena ranting-ranting basah oleh hujan semalam. Tapi memang itu yang diinginkan. Karena membakar kayu basah, akan menimbulkan asap yang lebih banyak.
Mereka menunggu beberapa saat ketika sebagian asap masuk kedalam gua. Tapi belum terlihat tanda-tanda kalau ada seorang akan keluar dari dalam, Bahkan ketika beberapa tokoh menambahkan ranting ke dalam kobaran api, belum juga memperoleh hasil.
"Huh! Sia-sia saja!" umpat salah seorang tokoh.
"Mungkin di dalamnya memang tak ada manu-sia. Yang ada hanya hantu!" timpal yang lain.?????
"Mustahil bila manusia mampu bertahan begitu lama dalam kubangan asap yang menyesakkan napas!" kata Sidarta seraya menggeleng lemah.
Ki Darta Rawon masih menunggu penuh harap. Meski dua kali penanakan nasi telah berlalu, dan sekian banyak ranting dihabiskan, belum juga terlihat tanda-tanda yang diharapkan.
"Apakah di dalamnya memang tidak ada siapa-siapa, Ki?" tanya Badrawata.
"Mustahil!" desis Ki Darta Rawon dengan wajah tak percaya.
"Bisa saja, Ki...," sergah Badrawata.
"Kau tidak tahu, Anak Muda. Mustahil benda berharga yang direbutkan banyak pihak itu tidak dijaga. Lagi pula, aku tahu kalau benda itu memang dijaga," sahut laki-laki setengah baya itu.
"Dijaga oleh siapa?" tanya Badrawata pena-saran.
"Oleh penjaganya!" sahut Ki Darta Rawon asaljadi.
Saat itu laki-laki setengah baya ini mulai me-ngais sisa-sisa bara ranting kayu yang masih menyala. Sementara, Badrawata secepatnya membantu.
"Kita akan masuk, Ki?" tanya Badrawata.
"Ya," sahut Ki Darta Rawon, pendek.
"Lalu bagaimana dengan mereka?" lanjut Badrawata, seraya menunjuk tokoh-tokoh yang berada di luar, yang saat itu mengikuti mereka.
"Kalau kau ingin berhasil mencapai tujuan, maka jangan pedulikan orang lain," jawab Ki Darta Rawon, gamblang.
"Eh, iya, Ki...!"
Beberapa kali Badratawa melihat Ki Darta Rawon mengibaskan tangan untuk menghalau asap yang memenuhi mulut gua, ketika mulai masuk ke dalam.
"Perlu kubawakan ranting yang masih menyala sebagai obor, Ki?" tanya Badrawata, ketika melihat laki-laki setengah baya itu tertegun memandang lorong gelap di depan mereka.
"Tidak perlu."
"Kita perlu berjaga-jaga. Siapa tahu ada perangkap di depan sana yang tak terlihat."
Kl Darta Rawon tersenyum.
"Oleh matamu mungkin tak terlihat. Tapi, aku bisa melihat jelas keadaan di sana," sahut Ki Darta Rawon, menjelaskan.
Badrawata menegaskan pandangan. Tapi tetap saja tak melihat apa-apa, selain ujung lorong yang gelap, Letak mulut gua itu sendiri terhindar dari cahaya matahari dan agak menekuk ke bawah.
"Awas!"
Mendadak Ki Darta Rawon memperingatkan seraya menarik lengan pemuda itu. Diberinya isyarat pada Badrawata agar kedua kakinya merapat ke dinding terowongan.
"Ada apa?" tanya Badrawata lega, setelah mereka melewatinya.
"Di situ ada jebakan!"
"Jebakan?" ulang pemuda itu, mengerutkan dahi karena tidak mengerti.
Tapi sesaat kemudian Badrawata baru tahu ketika beberapa orang yang berada di belakang berseru kaget. Salah seorang tampak terperosok ke dalam lubang yang tadi dilalui. Seketika terdengar jeritan yang memilukan hati.
"Apa itu?" tanya Badrawata penasaran.
"Perangkap. Di bawahnya siap menghujam bambu-bambu runcing," jelas Ki Darta Rawon ke-tika telah berada di ujung lorong. "Ayo!"
Ki Darta Rawon segera mengajak pemuda itu memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dalam perut gua ini.
Grek..., grek! "Hei" Pintu tertutup!" seru Badrawata kaget.
"Tenanglah. Jangan khawatir!" ujar Ki Darta Rawon.
"Tapi kita terkurung di sini"!" seru pemuda itu cemas.
"Tidak! Percayalah. Aku tahu apa yang akan kulakukan," sahut Ki Darta Rawon, melegakan.
Meskipun merasa cemas, namun Badrawata percaya kalau langkah yang diambil Ki Darta Ra-won benar.
Sementara dari luar terdengar maki-makian dan sumpah serampah. Mereka pun berusaha menghancurkan pintu batu yang bergeser menutupi mulut terowongan.
"Jangan hiraukan! Mereka tak akan mampu menghancurkan batu itu. Kita bisa leluasa mencari benda itu dalam ruangan ini," ujar Ki Darta Rawon lagi.
'Ya...." Badrawata mengangguk. Namun tiba-tiba kakinya menyentuh sesuatu. Dan setelah agak lama berada dalam gelap, matanya mulai menyesuaikan diri. Sehingga, samar-samar matanya bisa melihat benda apa yang menyentuh kakinya.
"Mayat!" desis Badrawata kaget.
?"Ya! Seluruh ruangan ini dipenuhi mayat. Perhatikan saja keadaan sekelilingnya!" tegas KiDarta Rawon.
? *** ? Apa yang dikatakan Ki Darta Rawon memang benar. Ruangan ini memang dipenuhi mayat-mayat berserakan.
Badrawata sampai terpaku memperhatikan. Ada yang tertancap beberapa batang anak panah, kepala remuk, atau ada juga yang tersayat senjata tajam.
"Berarti mereka berkelahi.
"Tidak mungkin sesama teman. Dan..., pasti ada penghuninya di ruangan ini!" duga pemuda itu yakin.
Tapi sementara Badrawata menduga-duga, mendadak terdengar sesuatu bergerak-gerak. Dia mendecah kagum ketika melihat salah satu sisi dinding ruangan bergeser ke atas. Dan..., terlihatlah sebuah ruangan lain yang lebih kecil. Di situ, tidak terdapat apa-apa kecuali sebuah altar batu.
"Sial! Pasti telah dibawa lari!" umpat Ki Darta Rawon, sambil mencak-mencak tak karuan.
"Dibawa lari" Apa yang dibawa lari?" tanya Badrawata bingung.
"Benda itu! Memangnya apa lagi"!" rutuk Ki Darta Rawon, dia sebenarnya kesal juga dengan kebodohan pemuda itu.
"Siapa yang membawa lari?"
"Seseorang. Penunggu gua ini!"
"Penunggu gua ini?" Badrawata termangu.
"Ayo, kita keluar!" ajak Ki Darta Rawon seraya menarik sebuah tonjolan batu pada salah satu sisi dinding yang ada di dekatnya.
"Tapi, mereka menunggu di luar, Ki?" tukasBadrawata.
Grek" grek!
Pertanyaan Badrawata agaknya tak perlu dijawab. Karena saat itu juga, permukaan tanah di dekat Ki Darta Rawon bergeser ke samping, membuat sebuah lubang persegi empat yang di bawahnya terdapat anak tangga.
"Ayo cepat!" ajak laki-laki setengah baya itu, seraya bergerak lebih dulu.
"Eh, iya! Iya, Ki!" sahut Badrawata buru-buru mengikuti. Namun....
Brosss! "Aaa...!"
"Hei"!"
Ki Darta Rawon terkesiap ketika mendengar teriakan Badrawata. Buru-buru dia melompat ke atas lagi, dan melihat sebuah lubang lain yang berada di dekat lubang yang memiliki anak tangga tadi. Permukaannya agak bulat, seperti sebuah sumur. Namun terlihat amat dalam dan gelap. Bahkan laki-laki selengah baya itu tak mampu melihat dasarnya, Agaknya, Badrawata telah terperosok ke dalamnya,
"Ki Darta Rawon, tolong aku...!" teriak Badrawata sayup-sayup.
"Hm, maaf! Aku tidak bisa menolongmu, Anak Muda. Aku mesti buru-buru!" teriak laki-laki itu seraya berlalu.
"Ki Darta, tolong aku! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini!"
Tapi laki-laki setengah baya itu tidak mempe-dulikan dan terus saja menuruni anak tangga. Tak berapa lama setelah ke bawah, permukaan tanah tertutup kembali. Demikian pula lubang sumur tempat Badrawata terkurung di situ.
Anak tangga yang terbuat dari bebatuan itu agak panjang dan berliku-liku serta terus turun ke bawah. Sampai kira-kira dua puluh anak tangga terakhir, baru terasa mendatar. Dan akhirnya, buntu dihadang dinding batu.
"Hm!"
Ki Darta Rawon menggumam tak jelas. Sikapnya tampak tenang-tenang saja. Dia lantas mencari sesuatu di permukaan tanah. Ketika melihat sebuah batu bulat kecil di dekat ujung anak tangga, diinjaknya batu itu. Perlahan-lahan dinding batu di depannya bergeser ke bawah. Tak lama, cahaya matahari menyemak masuk.
"Hup!"
Grek... grek! Ki Darta Rawon buru-buru melompat keluar, karena pintu itu kembali menutup.
Di depan laki-laki setengah baya itu kini ter-bentang sebuah telaga bening. Dan jauh ke depan tampak sebuah pegunungan yang melingkar wila-yah di sekitar tempat ini. Kepalanya lantas berpaling ke belakang, sambil tersenyum memandangi punggung bukit. Dari sebelah sana tadi dia masuk. Dan pintu keluar gua tadi ada di sini. Namun bila ada yang mencoba masuk dari sini, akan sia-sia saja. Karena, tidak akan ditemukan apa-apa kecuali air telaga dan dinding bukit.
"Hm... Kalian hanya memperebutkan pepesan kosong di tempat itu!" gumam Ki Darta Rawon sambil tersenyum.
Golok Bulan Sabit 6 Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Playboy Dari Nanking 13
" 179. Patung Dewi Ratih Bag. 1 - 4
14 ?"?"" 2015 ". " 10:51
? 1 ? "Ki sudah sampai, Ki Balero."
"Inikah Gua Griwa itu, Janasi, Kober?"
Pertanyaan bernada ingin meminta penegasan itu meluncur dari mulut seorang laki-laki setengah baya berpakaian jubah sutera warna kuning. Kepalanya diikat dengah kain berwarna kuning juga. Tadi, dia dipanggil dengan nama Ki Balero.
Sebentar Ki Balero menjulurkan kepalanya, seraya mencoba menembuskan penglihatannya pada rongga gua yang nampak gelap itu.
"Sesuai, perjanjian, maka kami cukup mengantar sampai di sini!" tambah laki-laki berusia tiga puluh dua tahun yang dipanggil Janasi.
"Upah kalian akan kutambah bila mengantarkan aku sampai ke dalam," jelas Ki Balero, menawarkan.
Janasi dan temannya yang bernama Kober saling berpandangan beberapa saat. Agaknya mereka mulai tergiur tawaran Ki Balero.
"Berapa?" tanya Janasi.
"Bagaimana kalau masing-masing kalian mendapat lima kepeng emas?"
"Lima Kepeng emas"!" sentak Janasi, melotot.
Sambil tetap melotot, mata Janasi memandang Kober yang dari tadi sudah jengkel. Kalau tidak karena lima kepeng emas yang disebutkan Ki Balero, rasanya Kober sudah muak sekali berlama-lama dengan orang tua cerewet itu.
Akhirnya, Kober mengangguk.
"Baiklah. Kami setuju," sahut Janasi, setelah melihat persetujuan Kober yang menganggukkan kepalanya.
"Kami tidak ikut!" cetus seorang pemandu lain yang berada di belakang Ki Balero.
Hampir berbarengan, Janasi, Kober, dan Ki Balero menoleh ke arah tujuh orang pemuda yang juga menjadi pemandu jalan menuju Gua Griwa ini.
"Berapa Ki Balero berani bayar untuk mereka?" lanjut Janasi.
Janasi menduga, mereka menuntut uang yang dijanjikan Ki Balero.
"Mereka adalah urusan kalian!" kata Ki Balero, menegaskan.
"Tapi mereka adalah kawan-kawan kami," tukas Janasi.
"Aku hanya menyewa kalian. Bukan berikut mereka!" sahut Ki Balero, menegaskan kembali.
"Selama ini orang-orang menyewa kami juga berikut mereka. Dan kami telah jelaskan sebelumnya padamu. Sekarang, kita telah tiba di sini. Maka suka atau tidak, Ki Belero mesti membayar mereka pula!" timpal Kober.
Ki Balero menggeram kesal. Dipandangnya kedua orang itu dengan geraham bergemelutuk,
"Bagaimana" "Kalau mereka tidak diikutsertakan, maka kami pun hanya mengantar sampai di sini!" lanjut Janasi, bernada mengancam.
Ki Balero berpikir sebentar, sebelum mengangguk.
"Baiklah... Aku setuju," desah laki-laki setengah baya itu.
"Berapa bagian mereka?" tukas Kober.
"Masing-masing akan mendapat sekepeng uang emas."
"Tidak. Kami tidak akan mau masuk ke dalam!" teriak salah seorang pemuda.
"Kau dengar" Mereka merasa upahnya kurang!" sergah Janasi.
"Jadi berapa?"
"Derajat mereka tidak berada di bawah kami. Maka bila Ki Balero memberi sekepeng uang emas sedangkan kami lima kepeng, berarti mereka merasa direndahkan," jelas Janasi.
"Jadi, bagaimana maksudmu" Apakah aku mesti juga memberi mereka lima kepeng emas tiap orang"!" tanya Ki Balero.
"Ya, begitulah mestinya," sahut Janasi kalem.
"Brengek! Itu bukan jumlah yang sedikit!" rutuk Ki Balero. "Kawan-kawanmu ada tujuh. Sehingga untuk mereka aku mesti mengeluarkan tiga puluh lima kepeng emas. Jumlah yang lebih banyak ketimbang kalian berdua!"
"Tidak mengapa. Selama ini, kami memang selalu mendapat bagian yang sama. Tidak ada yang iri satu sama lain!" sahut Kober.
Ki Balero mendelik. Perasaan kesalnya masih ada. Apalagi ditambah urusan ini.
"Ini pemerasan!" lanjut Ki Balero geram.
"Bukan! Jangan salah, Ki. Ini sesuai tingkat bahaya yang mesti dihadapi. Kalau tidak bersedia, maka bayar upah kami sampai di sini. Lalu, Ki Balero silahkan lanjutkan sendiri menelusuri isi gua ini!"
Sebenarnya apa yang dikatakan Janasi memang benar. Gua Griwa terkenal angker dan banyak terdapat jebakan. Jalan menuju ke sini saja, sudah cukup sulit. Tapi, belum ada apa-apanya jika telah sampai di dalam. Menurut cerita yang menggulir di dunia persilatan, belum pernah ada seorang pun yang berhasil keluar setelah memasuki Gua Griwa!
"Bagaimana" Kami tidak akan memaksa orang...," desah Janasi.
"Baiklah...," sahut Ki Balero lemah.
Laki-laki setengah baya ini menyadari tidak ada gunanya menawar, kalau mereka sudah menetapkan harga. Mencari pemandu jalan menuju gua ini saja, sudah sulit. Apalagi semua penduduk desa terdekat tak ada yang berani mengantarkan. Mereka semua takut ancaman maut yang membayangi siapa saja yang berani mendekati daerah sekitar gua ini.
Janasi dan Kober serta tujuh kawan mereka adalah sekelompok pemuda berandal yang tidak punya pekerjaan. Maka ketika mendapatkan pekerjaan dengan imbalan memuaskan, langsung saja disetujui. Hanya mengantarkan. Dan itu pekerjaan enteng, pikir mereka.
"Tidak! Kami tidak akan mau mesti dibayar berapa pun!" sahut beberapa orang pemuda pemandu.
"Hm.... Bagaimana ini"!" tanya Ki Balero kesal.
"Jangan khawatir. Biar kuurus mereka!"
Janasi melangkah menghampiri tujuh pemandu diikuti Kober. Mereka bicara sebentar. Namun kelihatannya hanya dua orang yang mengangguk. Sedang lima lainnya menggeleng. Wajah mereka tampak pucat ketakutan.
"Jangan paksa kami! Meski berapa pun imbalannya, kami tidak akan sudi mati konyol!" sahut salah seorang.
"Ya! Gua Griwa tidak bisa dianggap sembarangan! Di dalamnya banyak jebakan dan hantu-hantu!" jelas yang seorang lagi.
"Aha, omong kosong!" tepis Janasi. "Terserah! Kalau kalian tidak mau ikut, maka bagian kalian untukku!"
"Tidak bisa begitu, Janasi. Bukankah kami telah mengantar sampai di sini?" sergah seorang pemandu.
"Diam kau, Jalaksewu! Apa kau akan melawanku"!" dengus Janasi sambil melotot dan berkacak pinggang.
Janasi sebenarnya berbohong pada Ki Balero jika mengatakan kalau ketujuh orang itu adalah kawan-kawannya. Padahal, yang sebenarnya mereka tidak hanya sekadar kawan. Bahkan lebih dari itu. Mereka adalah anak buahnya. Mereka semua takut pada Janasi yang berbadan paling kekar dan memiliki kepandaian. Meski belum tergolong tinggi, tapi untuk ukuran desa tidak ada yang mampu mengalahkannya. Sehingga begitu mendengar bentakannya, pemuda yang dipanggil Jalaksewu tak berani membantah.
"Kalau kau ikut, maka bagianmu akan kuberikan. Juga tambahan yang dikatakan Ki Balero tadi. Semua untukmu!" tambah Janasi.
Jalaksewu belum menjawab. Dia berpikir sebentar. Jumlah yang diterimanya memang banyak kalau setuju. Tapi..., bahaya yang dibayangkannya dari cerita orang-orang pun tidak kalah banyak! Uang bisa diganti kalau hilang. Tapi nyawa" Sekali melayang tidak akan bisa diganti lagi, meski dengan juragan yang lebih kaya dibanding Ki Balero.
"Terima kasih. Ambil sajalah buatmu. Aku lebih sayang nyawaku, Janasi...," desah Jalaksewu.
"Begitu juga aku...," sahut seorang pemuda lagi.
Sementara, tiga pemuda yang lain pun setuju dengan pendapat Jalaksewu.
"Pengecut!" umpat Janasi kesal. "Sudah, pulang sana! Meneteklah kalian pada ibu masing-masing!"
Jalaksewu dan keempat kawannya bergegas meninggalkan Janasi dan yang lainnya. Setelah jauh, baru mereka berani memaki.
"Mudah-mudahan kau dicekik hantu penunggu gua itu, Janasi!" desis Jalaksewu.
"Mampuslah kau di sana!" umpat yang lain, sambil terus mengikut langkah Jalaksewu.
Memang sudah sewajarnya mereka memaki-maki, meski tidak di depan Janasi. Karena setelah bersusah-payah, toh mereka tidak memperoleh sepeser pun uang yang dijanjikan Ki Belero. Tentu saja, karena semua bakal diambil Janasi. Percuma saja menentang. Karena itu sama saja cari penyakit sendiri. Janasi pasti akan mengamuk dan menghajar sampai babak belur.
"Sial! Pengecut brengsek! Rasain kalian!" dengus Janasi sambil memandangi kelima kawannya yang semakin jauh.
"Sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Justru kita untung. Bagian mereka untuk kita," ujar Kober, menerangkan.
Meski apa yang dikatakan Kober benar, tapi tetap saja Janasi masih kesal. Selama ini, apa kata Janasi selalu dipatuhi mereka. Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Hitam yang dikatakan maka hitam pula yang dikerjakan mereka. Maka ketika terdengar mereka menolak keinginannya, kekesalannya cepat memuncak. Masih untung kelimanya cepat angkat kaki. Kalau tidak, mungkin akan dihajar sampai hati Janasi puas.
Sementara itu, Ki Balero semakin kesal saja mendengar pertikaian kecil itu. Lebih kesal lagi hatinya, karena Janasi tetap memberlakukan upah kelima kawannya meski tidak ikut menemani.
"Kita sudah sepakat. Dan itu tidak boleh di langgar!" tegas Janasi.
"Baiklah, baiklah...! Aku tetap akan membayar jatah mereka berlima!" kata Ki Balero mengalah. "Sekarang, ayo kita masuk ke dalam!"
Setelah perjanjian memuaskan, maka Janasi memerintahkan dua kawannya untuk berjalan paling depan.
"Kenapa kami" Kita masuk bersama-sama saja?" tukas seorang anak buah Janasi dengan wajah ngeri.
"Jangan membantah, Patra! Kali ini aku akan betul-betul marah! Kau tahu akibatnya kalau aku marah, bukan"!" dengus Janasi.
"Eh, iya! Baiklah...," sahut pemuda bernama Patra ketakutan.
Patra lantas menggamit lengan kawannya. Dan mereka pun melangkah ragu ke dalam seraya menyalakan obor yang sudah dipersiapkan. Meski di luar matahari bercahaya terang-benderang, tapi di dalam gua kelihatan gelap. Bahkan mereka tidak bisa melihat apa yang ada di depan pada jarak tujuh langkah.
? *** ? "Tidak ada apa-apa...," ujar Patra lirih.
"Goblok! Kita harus berjalan lima langkah. Ayo, terus maju!" hardik Janasi, mengikuti dari belakang.
Sementara urutan di belakang Janasi adalah Kober. Kemudian baru Ki Balero. Laki-laki setengah baya itu tidak mau menanggung akibat buruk, setelah kehilangan uang untuk membayar mereka.
"Aaakh!"
Mendadak saja, pemuda yang berada di depan menjerit ketakutan dan langsung memeluk Patra.
Patra pun tidak kalah kaget, sehingga tidak sempat bersiaga. Maka seketika keduanya jatuh terjerembab ke belakang.
Cieeet! "Brengsek! Apa-apaan kalian ini"!" bentak Janasi geram.
"Ada bayangan hitam kecil menyambar kami..." jelas Patra dengan suara gemetar.
"Iya.... Bayangan kecil berwarna hitam...," timpal pemuda satunya yang dikenal bernama Sawung.
"Diam kalian! Brengsek! Dasar pengecut! Itu hanya kalong yang kaget karena kehadiran kita!" maki Janasi
"Eh"! Ka..., kalong"!" Patra dan Sawung saling berpandangan. Lalu mereka tersenyum malu.
"Ayo, Jalan lagi!" bentak Janasi.
"Iy... iya! Iya!"
Dengan sedikit keberanian Sawung dan Patra kembali melangkah. Ruangan terasa semakin lebar ketika mereka maju beberapa langkah. Dua pasang mata yang berada paling depan tampak nyalang mengamati keadaan sekitarnya. Namun tiba-tiba....
Bros! "Heh"!"
Sesaat Patra dan Sawung terkejut. Mendadak saja, tanah yang mereka injak amblas. Mereka kontan terperosok masuk ke dalam lubang. Lalu....
Creb! Creb! "Aaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar jeritan menyayat ketika tubuh Patra dan Sawung tak terlihat lagi, tertelan lubang.
"Ya, ampun!"
Janasi kaget bukan main ketika melihat kedua kawannya yang terjeblos ke dalam lubang, telah tertancap bambu-bambu runcing di dasarnya. Kedua anak muda itu telah terkulai lemah, bermandikan darah.
"Ohhh...!"
Kober menarik napas panjang melihat kematian Patra dan Sawung.
"Ada apa?" tanya Ki Balero, yang belum melihat ke lubang. Segera dia melangkah ke tepi lubang. Janasi dari Kober memberi jalan.
"Mereka terperosok ke dalam lubang perangkap...," jelas Janasi getir.
"Astaga!" sentak Ki Balero dengan mata terbelalak memandangi kedua mayat di bawah lubang sana.
"Bagaimana?" tanya Janasi seraya menyalakan obor yang dipegang karena obor yang dibawa Sawung dan Patra ikut terperosok ke dalam lubang. Namun obor itu tetap menyala.
"Bagaimana" Apa maksudmu bagaimana"!" sentak Ki Balero.
"Maksudku, apakah Ki Balero berani melanjutkan perjalanan?"
"Tentu saja!"
"Baiklah."
Janasi menyolek.
"Tidak. Kita maju bersama!" tolak Kober cepat, seperti mengerti isyarat Janasi barusan.
"Kurang ajar! Kau mau membantahku"!" dengus Janasi geram.
"Jangan menantangku di sini, Sobat. Kau tahu, aku tidak takut padamu! Jadi, jangan samakan aku dengan mereka!" balas Kober tak kalah sengit.
"Brengsek!" umpat Janasi.
"Sudahlah.... Kalian ini malah bertengkar. Ayo jalan bersamaan di depan!" teriak Ki Balero semakin kesal.
"Huh!"
Mereka mendengar sinis pada laki-laki setengah baya itu. Meski mereka hendak bertengkar, tapi rasanya tak rela dibentak orang seperti Ki Balero. Namun karena sudah terikat perjanjian, maka suka atau tidak, mereka terpaksa harus jalan di muka.
Sementara setelah melangkahi lubang di depan, mereka bertiga tiba di sebuah tempat yang cukup luas. Di sini tidak ada cahaya dari luar. Namun, keadaannya cukup terang oleh cahaya dari sebuah lubang. Di dalamnya, terdapat cairan merah bergolak.
"Uhh, panas!" desis Janasi dan Kober bersamaan, ketika coba mendekati permukaan lubang.
"Hem.... Isi gua ini dekat dengan perut gunung!" gumam Ki Balero, menduga.
"Kau boleh cari apa yang kau inginkan, Ki Balero," ujar Janasi.
"Tentu saja!" sahut laki-laki setengah baya itu kegirangan.
Ki Balero lantas menelusuri semua dinding ruangan yang berada di tempat ini. Sementara itu Janasi dan Kober bermaksud meninggalkannya, ketika Ki Balero telah memberi upah.
Grek... grek... grek!
"Hei"!"
Janasi dan Kober terkejut. Mendadak pintu yang menghubungkan antara ruangan itu dengan terowongan yang menuju mulut gua tertutup batu besar yang tadi berada di dekatnya!
Get! Set! Belum lagi habis rasa kaget mereka, mendadak melesat puluhan anak panah dari berbagai arah di dinding mangan ini.
Janasi dan Kober berusaha berkelit. Tapi malang, tindakan mereka terlambat, akibatnya....
Cras! Crab! "Aaa...!"
Dua anak panah lebih cepat menancap di perut mereka. Keduanya kontan tersuruk. Dan sebelum menyentuh lantai, tiga anak panah kembali menancap di jidat dan dada. Saat itu juga, keduanya meregang nyawa!
Keadaan yang sama juga dialami Ki Balero. Laki-laki setengah baya itu sibuk menghalau hujan anak panah. Namun hanya dua yang berhasil ditangkisnya. Selanjutnya....
Crep! "Akh!"
Sebatang anak panah menancap di betis kiri Ki Balero. Dan baru saja dia berusaha hendak mencabutnya, dua anak panah menghajar perut di pinggangnya.
Cras! Cras! "Aaakh...!"
Ki Balero kembali terpekik dengan tubuh sempoyongan. Ketiga anak panah yang lain menghabisi nyawa orang tua itu hingga jatuh tersungkur.
Dan tiba-tiba saja hujan panah itu berhenti ketika semua orang yang ada di situ telah jadi mayat.
Kemudian, pintu yang menutup ruangan ini dengan terowongan yang menuju ke mulut gua terbuka kembali!
? *** ? 2 ? Sudah dua minggu ini Desa Kedu ramai dikunjungi orang. Melihat dari cara berpakaian, kebanyakan mereka adalah kaum persilatan. Namun kedatangan mereka sedikit banyak membuat penduduk desa khawatir dan sekaligus gembira. Khawatir karena tujuan mereka adalah ke Gua Griwa. Dan gembira karena kedatangan mereka sedikit banyak membawa rejeki bagi kedai makan dan penginapan yang betebaran di sana. Demikian pula para pemandu jalan, meskipun jarang ada yang mau sampai ke mulut gua. Biasanya mereka hanya mengantarkan dalam jarak yang cukup jauh. Sekadar menunjukkan arah yang benar menuju Gua Griwa.
Seperti hari ini. Tampak beberapa tokoh persilatan datang berkunjung. Kabar tentang keangkeran gua itu sama sekali tidak menyurutkan niat mereka ke sana. Meski begitu, ada juga yang hanya sekadar ingin tahu.
"Apa sebenarnya yang menarik dari gua itu, Teja Rukmana?" tanya seorang pemuda tampan berbaju serba putih berusia sekitar dua puluh tahun di salah satu kedai.
"Apakah kau tidak tahu, Badrawata," pemuda yang dipanggil Teja Rukmana malah balik bertanya.
Pemuda berbaju serba putih itu bernama Badrawata menggeleng. Lalu ditenggaknya tuak yang terhidang di depannya.
"Di Sana konon kabarnya terdapat warisan Dewi Ratih!" Jelas Teja Rukmana.
"Hm, Dewi Ratih" Rasa-rasanya pernah kudengar nama itu!" gumam Badrawata, sambil membetulkan letak pedang pendeknya di pinggang kiri.
"Dia adalah putri seorang selir Prabu Airlangga yang memilih hidup sebagai seorang pertapa, lebih kurang seratus tahun lalu," jelas Teja Rukmana. "Oh, jadi Dewi Ratih yang itu"!" Teja Rukmana tersenyum seraya menyantap hidangan di depannya. Dia tahu, keterkejutan Badrawata bukan karena juga berpikiran sama dengannya. Melainkan, sekadar pura-pura mengerti saja.
"Kau pasti tidak tahu Dewi Ratih yang sama dimasudkan!" sambar Teja Rukmana, setelah mengunyah makanan di mulutnya.
"Aku tahu!" kata Badrawata, sok yakin.
"Katakan!"
"Ya, pokoknya tahu saja! Dan tidak perlu kuberitahu, Dewi Ratih yang mana yang kumaksudkan!" tangkis Badrawata.
Teja Rukmana menyeringai lebar.
"Dasar tak mau kalah!"
Badrawata hanya tertawa kecil.
"Lantas, apa hebatnya warisan Dewi Ratih yang kau maksudkan itu?" tanya Badrawata kemudian setelah menyantap hidangan terakhir di piring-nya.
"Semasa hidupnya, dia memiliki ilmu olah ka-nuragan hebat dan mempunyai kesaktian laksana dewa. Dan konon, kabarnya dia menuliskan semua kehebatannya dalam bentuk..., entahlah! Orang-orang banyak menduga soal itu. Entah melalui kitab, pahatan di batu, atau di dinding gua. Tak seorang pun yang tahu pasti!" jelas Teja Rukmana.
"Hm, begitu. Lalu, apa hubungannya dengan Gua Griwa?"
"Bukankah sudah kukatakan?"
"Maksudku, bagaimana orang-orang yakin kalau warisan Dewi Ratih ada di sana?"
Teja Rukmana angkat bahu.
"Mana kutahu" Pengetahuanku tidak sampai ke situ," sahut Teja Rukmana datar.
"Bagaimana kalau kita ke sana" Sekadar memuaskan keingintahuanku saja!" sambung Badra-wata buru-buru, ketika melihat Teja Rukmana tersenyum lebar.
"Kita mesti buru-buru sampai ke perguruan, Badra," ingat Teja Rukmana. "Lagi pula, uang kita tak cukup membayar pemandu untuk ke sana."
"Kita tidak perlu pemandu!" tegas Badrawata.
Teja Rukmana tersenyum.
"Aku bahkan tak tahu daerah ini. Bagaimana mungkin kita bisa ke sana?" kata Teja Rukmana.
"Semua orang di desa ini tahu, arah mana yang mesti dituju untuk tiba di gua itu!" sahut Badrawata berkilah.
"Terserah katamu. Tapi kalau mau dengar kataku, sebaiknya urungkan saja niatmu. Kita tidak punya waktu mengurusi soal itu."
"Sayang sekali. Siapa tahu kita bisa memperoleh warisan itu...," gumam Badrawata.
"Hei" Kau bersungguh-sungguh"!" sentak Teja Rukmana, seperti tak percaya.
"Kalau memang nasib bahwa warisan itu bakal milik kita, kenapa tidak?" sahut Badrawata, enteng.
"Badra! Lupakan soal itu! Ayo, kita mesti bergegas pulang!" ajak Teja Rukmana, yang mulai khawatir mendengar kemauan kawannya.
"Eh, tunggu dulu! Kau sungguh-sungguh tidak berminat soal ini"!" cepat Badrawata.
"Tidak! Dan sekarang kita mesti tiba di perguruan secepat mungkin!" sergah Teja Rukmana.
"Pergilah lebih dulu. Nanti aku akan menyusul?" sahut Badrawata menegaskan.
"Badra! Apa-apaan kau ini?" sentak Teja Rukmana.
"Anak muda! Kalau kawanmu ingin sekali ke sana, biar saja ikut denganku!" timpal seorang laki-laki setengah baya yang sejak tadi agaknya mendengar percakapan mereka.
Karuan saja, kedua anak muda ini berpaling pada laki-laki bertubuh kecil berambut panjang awut-awutan yang tenang-tenang saja menenggak arak di depannya.
"Apa maksudmu, Ki" Kami sama sekali tidak kenal denganmu!" kata Teja Rukmana.
? *** ? "Namaku Ki Darta Rawon...," sahut orang tua itu tenang, seraya kembali menenggak isi guci di depannya.
"Ki Darta Rawon?" gumam Badrawata dan Teja Rukmana.
Mereka coba mengingat-ingat, di mana pernah mendengar nama itu. Namun sejauh ini belum juga terlihat. Mungkin juga mereka belum pernah dengar sebelumnya.
"Siapa namamu?" tunjuk laki-laki setengah baya bernama Ki Darta Rawon.
"Badrawata...!"
"Badrawata" Hm, bagus! Maukah kau ikut denganku" Aku akan ke gua itu!" tanya Ki Darta Rawon.
"Eh! Kalau Kisanak tidak keberatan, tentu saja dengan senang hati!" sahut Badrawata cepat.
"Badra, apa-apaan ini"!" tukas Teja Rukmana, cepat.
"Jangan halangi aku, Sobat! Pulanglah kau lebih dulu. Nanti akan menyusul. Katakan pada guru, aku jalan-jalan dulu!" ujar Badrawata tenang.
"Kau..., kau bersungguh-sungguh?"
Badrawata mengangguk cepat.
"Baiklah kalau itu maumu. Aku memang tidak bisa menghalangi. Selamat jalan. Dan, jaga dirimu baik-baik! Aku pergi dulu!" kata Teja Rukmana, seraya bangkit berdiri. Dihampirinya pemilik kedai untuk membayar harga makanan. Lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan kedai ini.
"Dia mencemaskanmu. Apakah kau saudara-nya?" tanya Ki Darta Rawon, setelah Teja Rukma-na tak terlihat lagi.
"Bukan. Dia hanya kawan seperguruanku," sahut Badrawat, seraya berdiri dan menghampiri Ki Darta Rawon. Pemuda itu lantas duduk di depan Ki Darta Rawon.
Ki Darta Rawon mengangguk kecil.
"Eh! Ngg..., apakah kau seorang diri hendak ke gua itu, Ki?" tanya Badrawata.
Laki-laki itu mengangguk.???????
"Tidak membawa pemandu jalan?" tanya Ba-drawata lagi.
"Aku tahu tempat itu. Bahkan lebih tahu ke-timbang semua orang di sini!" jawab Ki Darta Ra-won, enteng.
"Bagaimana mungkin" Apakah kau penduduk desa ini?"
"Tidak"
"Lalu?"
Ki Darta Rawon tak menjawab. Bahkan malah tersenyum, lalu kembali menenggak isi gucinya.
"Katakanlah padaku, apakah benar di dalam gua itu terdapat warisan Dewi Ratih yang hebat itu?" tanya Badrawata.
"Tentu saja!" sahut Ki Darta Rawon mantap.
"Oh, pasti hebat sekali! Seberapa hebat Dewi Ratih itu, sehingga warisannya diperebutkan banyak orang"!"
"Dia hebat sekali! Tidak bisa disamakan dengan tokoh hebat mana pun."
"Betulkah"! Ah! Kalau saja dia hidup di zaman ini, tentu orang-orang akan menjulukinya sebagai tokoh nomor satu yang tak terkalahkan!"
Ki Darta Rawon tak menjawab.
"Hm.... Apakah..., apakah kau ingin mengam-bil warisannya itu, Ki?"
"Tentu saja."
"Eh! Ka..., kalau sudah berada di tanganmu, bolehkah aku melihatnya barang sebentar?"
"Kau boleh melihatnya sepuasmu!"
"Oh, benarkah"! Kau baik sekali, Ki!" sahut Badrawata girang.
"He he he...! Kau kira semudah itu mendapat-kannya, Bocah?"
Mendadak terdengar suara bernada mengejek disertai kekehan dari sebelah kanan meja mereka.
Badrawata langsung melirik, dan melihat seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun tengah duduk di meja sebelahnya. Tubuhnya pendek Rambutnya yang sepanjang bahu telah memutih semuanya. Jubahnya panjang sampai ke mata kaki berwarna kelabu. Dia sama sekali tak menoleh dan kelihatan tengah menikmati santapannya. Sehingga, Badrawata merasa tidak yakin apakah orang tua itu bicara padanya.
"Aku bicara padamu tentunya!" sambung ka-kek itu seperti mengetahui isi pikiran Badrawata yang sudah berpaling.
Dan kata-kata itu membuat Badrawata kembali menoleh.
"Eh! Ma..., maaf. Kau bicara padaku?" tanyaBadrawata.
"Tentu saja. Apakah telingamu tuli?" sahut kakek ini tanpa menoleh.
"Maaf, aku tak tahu. Kukira kau bicara pada makananmu itu!" ucap Badrawata seenaknya, karena hatinya mendongkol.
Kakek berjubah kelabu itu baru menoleh dan memandang tajam sekali. Lalu kepalanya berpaling pada Ki Darta Rawon yang sama sekali tidak peduli atas ikut campurnya kakek ini.
"He he he...! Kau sungguh berani memperma-inkan aku, Bocah. Ingin kutahu, apa yang bisa kau andalkan!" kata kakek ini, enteng.
Setelah berkata begitu, kakek bertubuh pendek ini menjentikkan kedua jari-jarinya. Seketika dari situ melesat angin kecil yang cukup kuat, menyambar ke arah Badrawata.
Badrawata tidak tahu, apa kehebatan jentikan kakek ini. Tapi, Ki Darta Rawon tiba-tiba saja me-nariknya secepat kilat, sehingga angin kecil tadi luput dari sasaran, namun menghantam kursi di belakang Badrawata.
Prak! "Hei"!"
Barulah mata Badrawata terbelalak ketika me-nyaksikan sandaran kursi yang didudukinya hancur berantakan. Kalau saja mengenai batok kepalanya, entah apa jadinya.
Kejadian itu mengundang perhatian orang-orang yang berada di dalam kedai. Tapi kakek berjubah kelabu itu tenang-tenang saja, seperti tidak ada kejadian apa-apa. Kalau saja Badrawata tidak bangkit berdiri seraya menudingnya, niscaya tidak ada yang mengetahui kalau kakek itu yang telah menghancurkan sandaran kursi barusan.
Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang tua brengsek! Apa maksudmu" Kau hendak membunuhku, padahal antara kita tidak ada urusan apa pun!" maki Badrawata.
Si kakek diam saja. Bahkan malah enak-enak-an menyantap makanannya. Seolah-olah pemuda itu dianggapnya tidak bicara padanya.
"Orang tua busuk! Aku bicara padamu!" bentak Badrawata dengan suara menggelegar.
Hampir saja pemuda ini akan menghajar orang tua itu. Untung saja Ki Darta Rawon cepat menarik dan mengajaknya agar kembali duduk.
"Lepaskan! Biar kuhajar orang tua tidak tahu diri itu!" teriak Badrawata, berusaha melepaskan diri.
"Kau akan menghajarnya" Apakah kau tak tahu siapa dia?" tanya Ki Darta Rawon kalem.
"Apa peduliku"!" tukas pemuda itu.
"Apakah kau tak akan peduli kalau ternyata diaadalah si Siluman Api?"
"Apa"! Jadi..., jadi dia si Siluman Api"!" desis Badrawata seperti tak percaya dengan pende-ngarannya.
Secepat kilat Badrawata menatap tajam kakek itu beberapa kali untuk meyakinkan apa yang dikatakan Ki Darta Rawon. Nama Siluman Api pemah didengar dari gurunya. Tokoh itu merupa-kah salah satu datuk sesat yang berilmu tinggi. Jangankan gurunya. Bahkan lima orang berkepandaian seperti gurunya pun, tidak akan mampu mengalahkannya. Apalagi dirinya. Kalau tadi Ki Darta Rawon tak mencegah, entah apa yang akan terjadi padanya.
"Apakah kau akan menghajarnya setelah tahu siapa dia?" tanya Ki Darta Rawon sambil tersenyum kecil.
Badrawata jadi salah tingkah. Seketika dia diam tak menjawab.
? *** ? Sementara itu, kakek yang disebut Ki Darta Rawon sebagai Siluman Api telah selesai menyan-tap hidangannya. Kini matanya melirik Badrawata seraya menenggak arak dalam guci.
"Huaaah! Enak sekali! Kau ingin mencobanya, Bocah" Cobalah! Arak ini pilihan dan bukan sembarang arak!" ujar Siluman Api seraya menyodor-kan guci dalam genggamannya.
"Tidak, terima kasih!" tolak pemuda itu, berusaha sopan.
"Ayo coba! Kau akan ketagihan setelah men-cicipi arak buatanku ini!" paksa kakek ini seraya bangkit dari kursinya.
Bandrawata memandang Ki Darta Rawon. Laki-laki setengah baya itu seperti tak peduli dengan kejadian itu. Bahkan malah asyik menikmati araknya.
"Cobalah barang seteguk!" ulang Siluman Api.
Wut! Baru saja kembali menoleh, isi guci di tangan kakek itu telah dituangkan ke mulut Badrawata. Buru-buru Badrawata mengelak. Tapi sebelah tangan Siluman Api telah menangkap batok kepalanya.
Tap! Saat itu juga dua buah jari Siluman Api dengan cepat membuka mulut Badrawata. Dan pemuda itu sendiri tak kuasa menolak dari kekuatan yang lebih besar dari tenaganya. Sehingga tanpa bisa dicegah, sebagian isi arak muncrat ke tenggorokannya.
Glek! Glek! "Huaaah!"
Badrawata menjerit ketika arak itu masuk ke lambungnya, isi perutnya terasa panas bukan main, seperti menenggak air yang baru mendidih.
"He he he.... Enak, bukan" Nah! Kau akan ketagihan. Cobalah cicipi lagi!" ujar Siluman Api seraya menuangkan isi gucinya lagi.
Tapi kali ini Ki Darta Rawon agaknya tidak mau tinggal diam.
"Pfuuh!"
Secepat kilat, laki-laki setengah baya ini meniup cairan arak yang hendak tumpah ke mulut Badrawata, sehingga melenceng dari sasaran. Bersamaan dengan itu, sebelah kakinya menyodok perut Siluman Api.
Wut! "Uts!"
Melihat itu, si Siluman Api segera mengegoskan pinggangnya. Sehingga tendangan Ki Darta Rawon hanya menghantam tempat kosong. Tapi, ternyata kaki laki-laki setengah baya itu berbalik, menyapu ke batok kepala.
Seketika, Siluman Api menunduk. Namun saat itu juga tangan kiri Ki Darta Rawon yang membentuk cakar menyambar dada.
"Uhh!"
Dalam keadaan begitu, mau tidak mau terpaksa Siluman Api melompat ke belakang kalau tak mau celaka. Sehingga, cekalannya pada Badrawata terlepas.
Di luar dugaan, Ki Darta Rawon malah menghantam perut Badrawata dengan tangan kanan.
Pokkk..! "Hoekh...!"
Badrawata langsung terhuyung-huyung ke samping. Dan dari mulutnya muncrat cairan arak yang tadi terminum olehnya.
"Hiih!"
Wusss! Secepat kilat, telapak tangan kiri Ki Darta Rawon menghantam cairan arak itu sebelum jatuh ke lantai. Maka, seketika arak itu melesat cepat menyambar si Siluman Api.
"Uts!"
Siluman Api terkesiap, melihat pameran kehebatan cairan arak itu sebelum jatuh ke lantai. Maka, seketika arak itu melesat cepat menyambar si Siluman Api.
"Uts!"
Siluman Api terkesiap, melihat pameran kehebatan yang dipertunjukkan laki-laki setengah baya itu. Tubuhnya cepat berkelit ke samping, sehingga arak yang melesat ke arahnya menyambar kayu penyangga kedai ini.
Krakkk! "Hei"!"
Tonggkat kayu sebesar paha laki-laki dewasa itu kontan berderak patah, membuat kaget mereka yang berada di dalam kedai. Bukan saja karena kehebatan Ki Darta Rawon, tapi juga karena atap kedai itu bergerak-gerak seperti hendak runtuh!
"Hup!"
"Yeaaah!"
Beberapa orang yang tengah makan secepat-nya melompat keluar menyelamatkan diri. Dan yang lainnya menyusul dari belakang. Tinggal pemilik kedai yang sejak tadi berteriak-teriak kalap melihat kedainya yang mau ambruk.
"Aduh kedaiku! Dasar orang-orang tak tahu diri! Bagaimana nasib kedaiku"! Kalian harus mengganti kerusakannya! Kalian harus mengganti semua kerusakan ini!" teriak pemilik kedai.
"Mari kita tinggalkan tempat ini, Badra!" ajak Ki Darta Rawon, seraya menyambar salah satu pergelangan tangan pemuda itu.
"Eh, tapi...,"
"Jangan pikirkan apa pun!" potong laki-laki setengah baya itu, seraya secepatnya menyeret pemuda itu keluar lewat jalan belakang.
"Ohhh!"
Kembali Badrawata dibuat terkejut ketika Ki Darta Rawon mencelat cepat. Dan sepertinya, dia dibawa terbang oleh laki-laki itu.
"Kisanak! Persoalan kita belum lagi selesai...!" Terdengar sebuah suara dari belakang. Jelas itu suara si Siluman Api.
"He he he...! Agaknya tua bangka itu suka padamu, Badra!" kata Ki Darta Rawon tanpa menghentikan larinya.
"Apa..."!"
'Tapi jangan khawatir. Biar kita beri pelajaran dia!" hibur Ki Darta Rawon enteng.
? *** ? 3 ? Seekor kuda berbulu hitam melangkah lambat, seperti enggan berpacu dengan desir angin yang bertiup kencang. Di langit terlihat awan hitam bergulung-gulung. Keletihan menahan titik air yang sebentar lagi akan tumpah.
"Ayo, Dewa Bayu. Kita harus cepat tiba di desa terdekat!" ujar pemuda tampan berbaju rompi putih, penunggang kuda hitam ini. Di Punggung pemuda itu tampak sebilah pedang bergagang kepala burung.
"Hieee!"
Kuda hitam yang dipanggil Dewa Bayu mering-kik halus, kemudian melompat cepat lima kali ?lebih cepat dari larinya semula. Diterobosnya geri-mis yang mulai turun satu persatu.
"Hei"!"
Nyaris pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti terjungkal dari punggung kudanya, ketika tiba-tiba dari samping kiri memotong seorang penunggang kuda lainnya. Saat itu juga tali kekang Dewa Bayu ditarik untuk menghentikan larinya.
"Edan! Siapa orang itu" Nekat benar dia!" ru-tuk Rangga geram seraya menggebah kudanya kembali.
"Hieee!"
Maka kuda berbulu hitam itu melesat kencang bagai anak panah lepas dari busur. Tak heran kalau dalam waktu singkat, penunggang kuda putih berbelang coklat di depannya berhasil dikejarnya, hingga jarak tiga tombak di belakangnya.
Namun baru saja Rangga selesai bergumam....
"Hiih!"
Set! Set! "Hei"!"
Rangga terkejut bukan main ketika penunggang kuda di depan tiba-tiba mengibaskan tangannya ke belakang. Saat itu juga melesat dua benda bersinar keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti segera mencelat ke atas, sehingga dua buah sinar keperakan yang berupa senjata rahasia itu hanya menyapu angin. Kemudian setelah berputaran di udara beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti meluruk ke arahnya. Semua itu dilakukan tanpa menghentikan derap langkah Dewa Bayu yang terus berlari kencang.
"Sial! Orang ini mesti diberi pelajaran!" dengus Rangga, begitu mendarat kembali di atas punggung Dewa Bayu. "Heaaa"!"
Pendekar Rajawali Sakti mendadak menghen-takkan tangannya, dengan Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' ke arah sebuah pohon yang berada di depan penunggang kuda putih berbelang coklat. Sinar merah membara tampak melesat cepat sekali. Dan...
Bruak! Krak.. krak! Bruk!
Karuan saja penunggang kuda berpakaian kuning gading di depan terkejut ketika sebatang pohon ambruk dl depannya. Buru-buru tali kekang ditarik untuk menghentikan laju kuda. Dan seketika tubuhnya melenting gesit dari punggung hewan itu. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat empuk di tanah sambil berkacak pinggang menghadang,
Rangga yang telah bersiap menghentikan kudanya tidak kalah sigap. Secepat kilat dia ikut melompat untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang mungkin menimpa.
"Hei"!"
Tapi Pendekar Rajawali Sakti dibuat tertegun ketika mengetahui buruannya hanya seorang gadis belia berusia sekitar enam belas tahun. Rambutnya panjang dikuncir dua. Kiri dan kanan. Di punggungnya tersandang sebilah pedang panjang. Wajahnya cantik, tapi berkesan galak.
"Kenapa kau bersikap seperti hendak membunuhku?" tanya Rangga pura-pura gusar.
"Kurang ajar! Mestinya aku yang bertanya padamu, kenapa menguntitku"!" balas gadis berpakaian ketat warna kuning gading itu, membentak.
"Aku menguntitmu karena kau hampir mena-brak kudaku yang tengah melaju kencang!" jelas pemuda itu.
"Huh! Justru kudamu yang hendak menabrak-ku! Seenaknya saja kau menimpakan kesalahan padaku!" dengus gadis ini berkilah.
"Hhh!"
Rangga hanya bisa mendengus kesal seraya menghela napas kasar.
"Apa"! Mau memukulku" Ayo pukul kalau berani!" bentak gadis ini lantang.
"Untung saja kau gadis yang masih bau ken-cur...," sungut Rangga, bergumam.
"Kurang ajar! Apa dikira aku takut mengha-dapimu"! Sepuluh orang sepertimu tidak akan membuat Sakaweni mundur!" hardik gadis yang mengaku bernama Sakaweni tak mau kalah. Seolah dia hendak menantang Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudahlah! Dasar bocah galak! Maunya me-nang sendiri!" gemtu Rangga.
Setelah berkata begitu, Rangga berbalik melangkah menghampiri Dewa Bayu. Sementara Sakaweni tetap mendengus sinis. Sikapnya masih tetap berkacak pinggang.
"Pengecut-pengecut sepertimu memang paling sering kutemui! Menyebalkan! Pura-pura meng-ganggu wanita. Dan setelah tahu wanita yang dihadapinya lebih kuat, maka tiba-tiba saja mencari alasan untuk mengurungkan niat busuknya!" sindir gadis itu.
"Hei"!"
Rangga terkesiap mendengarnya, Bagaimana mungkin gadis itu bisa bicara demikian lancang" Secepat itu pula, tubuhnya berbalik.
"Nisanak! Kau masih muda. Maka tak heran kalau pikiranmu begitu sempit, sehingga bicaramu demikian tajam. Apakah orangtuamu yang mengajarkanmu begitu?" balas Pendekar Rajawali Sakti, menatap tajam Sakaweni.
? *** ? "Itu bukan urusanmu! Sebaiknya, cabut pe-dangmu. Dan, hadapi aku!" dengus Sakaweni me-nantang.
"Aku tidak mungkin menurunkan tangan padamu...," desah Rangga, berusaha menahan gejolak amarah.
"Kau telah buat salah. Kemudian, kau merendahkanku. Aku merasa terhina. Dan untuk mene-bus perasaan itu, maka kubutuhkan kepalamu!" tandas Sakaweni.
"Maaf, aku tidak bisa meladenimu...," ucap Rangga, kembali membelakangi gadis itu.
"Setan!" hardik Sakaweni geram. "Hih...!" Secepat kilat Sakaweni menghentakkan kedua tangannya yang terbuka ke arah Pendekar Rajawab Sakti, melepaskan pukulan jarak jauh.
Wusss...! "Hei"!"
Rangga terkesiap. Secepat kilat tubuhnya mengegos, sehingga angin pukulan yang menyambar hanya mengenai tempat kosong. Dan pukulan jarak jauh itu terus menabrak semak dan bateng pohon sampai hancur berantakan.
Bruak! "Kau...!" desis Rangga kaget.
"Masih menganggap enteng padaku?" kata gadis itu, enteng.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Nisa-nak"!" tanya Rangga, geram.
"Jangan menggertakku! Aku tidak takut padamu!" hardik Sakaweni dengan mata melotot. "Telingamu mungkin tuli. Tapi, tak apa biar kuulangi lagi. Aku ingin kepalamu!"
Cring! Setelah berkata begitu, gadis ini mencabut pedang, Seketika diserangnya Pendekar Rajawali Sakti,
"Heaaat!"
"Uts!"
Dan lagi-lagi Rangga dibuat jengkel melihat ulah gadis ini. Pedang di tangan gadis itu berkelebat dahsyat, menyambar ke arahnya. Kata-katanya seperti ingin dibuktikan secepatnya. Dan kalau saja Rangga tidak cepat menarik tubuhnya ke samping, niscaya bukan tidak mungkin kepalanya akan terpenggal.
"Hiyaaat!"
Dengan menggunakan jurus 'Sembilan Lang-kah Ajaib, Pendekar Rajawali Sakti berusaha mempartahankan diri sambil mengamat-amati setiap gerakan gadis itu. Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk. Bahkan kadang terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Gila! Hebat sekali ecrmainan pedangnya!" puji Rangga dalam hati.
Tapi, tentu saja pujian Rangga tidak diperlihatkan. Sementara Sakaweni makin liar saja, membuat Pendekar Rajawali Sakti tak bisa berbuat banyak. Dalam dua jurus di muka, kalau Rangga tidak balas menyerang rasanya pedang gadis itu akan mengenai sasaran. Maka dengan secepatnya Rangga mulai balas menggebrak.
"Hiyaaa!"
Rangga mendadak mencelat ke belakang sambil membuat putaran dua kali. Dan tatkala gadis itu mengejar, Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat manis di tanah. Seketika telapak kirinya cepat bergerak menghantam.
Gadis itu terkesiap, namun cepat mengegoskan tubuhnya. Dan kesempatan itu dipergunakan Pendekar Rajawali Sakti untuk memutar tubuhnya sambil melepas tendangan kilat.
"Hiiih!"
"Hei"! Uts!"
Sakaweni terkejut. Dia benar-benar tak me-nyangka pemuda itu mampu bergerak secepat kilat. Dengan gelagapan gadis ini melompat mundur. Tapi dengan gerakan dahsyat telapak tangan kiri Rangga yang tak dialiri tenaga dalam telah menyusuli. Dan....
Begkh! "Uhh!"
Gadis itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah. Pukulan itu memang tidak kencang, tapi gadis itu merasa terhina sekali. Dan dia tahu, pemuda itu sebenarnya mampu melepaskan pukulan yang lebih kuat.
"Kenapa kau tidak bersungguh-sungguh memukulku"!" bentak gadis itu kesal.
"Aku memang tidak bermaksud membunuhmu, Nisanak," sahut Rangga, kalem.
'Tapi aku ingin sekali membunuhmu!" tukas Sakaweni.
Dan secepat itu pula kembali gadis ini memu-tar-mujar pedangnya, hingga seperti kitiran. Dipermainkannya pedang itu barang sesaat seraya mendekat ke arah Rangga. Lalu secepat kilat pedangnya dibabatkan ke bawah.
Wuuut!????? "Uts!"
Serangan itu kelihatannya remeh. Dan mudah sekali bagi Rangga untuk mengelakkan dengan meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Tapi mata Pendekar Rajawali Sakti mendadak terbelalak tatkala ujung pedang itu terus meliuk-liuk bagai seekor ular yang siap mematuk tubuhnya.
"Hiyaaa!"
Rangga cepat melompat ke belakang. Sementara Sakaweni cepat mengejarnya dengan lompatan tinggi. Sepertinya dia mengetahui kalau pemuda itu akan mencelat ke atas. Dan Rangga seperti masuk dalam perangkap. Maka mendadak saja ujung pedang Sakaweni cepat sekali menggores dadanya.
Sret! "Uhh... !"
"Hebat!" puji Pendekar Rajawali Sakti melihat? goresan halus yang dibuat pedang gadis itu, begitu mendarat di tanah.
"Aku bisa membunuhmu tadi!" dengus Sakaweni ketika menjejakkan kakinya di tanah pula.
"Kenapa tidak kau lakukan?" tanya Rangga, seperti menantang.
"Huh!"
Gadis itu tak menjawab selain mendengus. Lalu ditinggalkannya pemuda itu sendirian untuk melanjutkan perjalanannya.
"Hei, tunggu dulu! Ke mana tujuanmu"!" teriak Rangga mencegah.
"Bukan urusanmu!" sahut gadis itu dengan suara ketus, seraya melompat ke atas punggung kudanya.
"Kita akan bertemu lagi nanti!" kata Rangga.
"Jangan berharap!" dengus gadis itu.
"Kenapa tidak"!" tanya Rangga.
"Sekali lagi bertemu denganmu, maka aku be-tul-betul akan membunuhmu!" ancam gadis itu.
Rangga hanya tersenyum mendengar ancaman itu. Diperhatikannya Sakaweni yang telah menggebah kudanya kencang-kencang.
"Heaaa!"
"Hm, Gadis Galak. Sebenarnya dia hebat sekali untuk gadis seusianya. Sayang, gerakannya masih terkesan kaku dan kurang pengalaman. Hm....
Apa yang dicarinya di sini?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga menarik napas panjang, lalu kembali menghampiri dan menaiki kudanya setelah gadis tadi hilang dari pandangan. Entah kenapa, langkah kudanya ternyata seperti mengikuti jejak Sakaweni ketika meninggalkan tempat ini.
? *** ? Kehadiran Ki Darta Rawon dan Badrawata di Gua Griwa ternyata tidak sendiri. Karena begitu tiba di dekat mulut gua, lebih dari sepuluh tokoh persilatan telah bercokol di sana. Badrawata jadi bingung sendiri. Sedangkan Ki Darta Rawon kelihatan tenang-tenang saja.
"Kelihatannya akan jadi ramai, Ki," keluh Badrawata.
"Sekarang pun sudah ramai," sahut Ki Darta Rawon antang,
"Meraka semua menginginkan warisan Dewi Ratih?"
"Apa kau kira mereka menunggu manusia purbakala?" tukas laki-laki setengah baya ini, balik bertanya sambil tersenyum lebar.
Badrawata tersenyum pahit. Orang-orang yang dilihatnya rata-rata berwajah seram dan menunjukkan sikap tidak bersahabat.
"Apakah Ki Darta kenal mereka semua?" usik Badrawata.
"Sebagian...," jawab Ki Darta Rawon, pendek.
"Hm...."
"Sebaiknya kau jangan memperhatikan mereka. Nanti urusan bisa runyam!" ujar laki-laki setengah baya ini menasihati.
"Eh, iya. Iya, Ki!" sahut Badrawata patuh.
Pemuda ini telah mempunyai pengalaman bu-ruk pada Siluman Api. Dan dia beranggapan tokoh-tokoh silat itu aneh dan suka cari gara-gara. Mudah membunuh seperti membalikkan telapak tangan. Oleh sebab itu, nasihat Ki Darta Rawon cepat dimengerti.
"Kita akan masuk ke dalam sekarang," ujar Ki Darta Rawon.
"Sekarang, Ki?"
"Ya. Kapan lagi" Menunggu mereka semua membusuk?"
Pemuda itu tersenyum getir dengan hati cemas dan jantung berdetak tiga kali lebih cepat. Sesekali masih juga matanya melirik tokoh-tokoh silat yang berada di tempat ini. Mereka berdiri mematung dengan tatapan tajam ke arah mulut gua.
"Ki, mereka mengikuti kita...!" bisik Badrawata lirih."
"Percepat langkahmu!" desis Ki Darta Rawon.??
"Iy..., iya, Ki!"
"Heiit!"
Mendadak saja berkelebat satu bayangan, dan langsung mendarat menghadang kedua orang ini.
"Ohh!"
Badrawata terkejut kaget, ketika di depannya berdiri seorang laki-laki berambut panjang dan pirang, tapi awut-awutan seperti tak pernah terurus bertahun-tahun. Matanya bulat dan bibirnya tebal. Hidungnya lebar besar dibandingkan hidung rata-rata yang dimiliki orang lain. Jubahnya ungu, tangannya menggenggam membawa sebatang tongkat yang agak besar.
"Ha ha ha...! Kalian mau mendahuluiku masuk ke dalam gua ini"-!" bentak laki-laki berambut awul-awutan itu dengan memperdengarkan suaranya yang kuras.
"Kau Serigala Bukit Keduk, bukan?" sapa Ki Darta Rawon, nada datar.
"Hua ha ha"! Ternyata kau kenal juga dengan nama besarku. Nah, menyingkirlah. Dan, tunggu giliranmu. Aku akan masuk ke dalam lebih dulu!" ujar laki-laki berjuluk Serigala Bukit Keduk.
"Tentu saja, Serigala Bukit Keduk! Siapa yang tidak kenal nama besarmu" Tapi jangan salah.? Meski kami menghormati, tapi bukan berarti akan menyingkir," tandas Ki Darta Rawon.
"Hem! Apa katamu"!" dengus Serigala Bukit Keduk sambil menggeram marah.
"Kami akan masuk lebih dulu. Dan kalian si-lakan menunggu di luar," sahut Ki Darta Rawon tenang.
"Kurang ajar! Kau kira dirimu siapa, he"!" dengus Serigala Bukit Keduk semakin geram.
"Apakah kau tidak mengenalku"!" balas Ki Darta Rawon, mulai galak.
Serigala Bukit Keduk tertegun barang sesaat. Mungkin memikirkan kalau-kalau pernah kenal laki-laki yang jadi lawan bicaranya.
"Aku adalah majikanmu. Dan kau mesti menurut padaku!" sambung Ki Darta Rawon.
Sampai di situ, meledaklah kemarahan Serigala Bukit Keduk. Seumur hidup mana pernah dia mengabdi pada orang lain" Jelas kata-kata Ki Darta Rawon sangat melecehkan dan menganggapnya rendah. Oleh sebab itu, secepat kilat tongkatnya melayang menghajar batok kepala Ki Darta Rawon.
"Bangsat celaka! Modar kau...!"
Wuuut! "Menunduk, Badra!" seru Ki Darta Rawon seraya membungkuk dan menekan punggung pe-muda di dekatnya untuk ikut membungkuk. Sehingga, tongkat laki-laki angker itu luput dari sasasaran.
"Heaaa!"
Saat itu juga, Ki Darta Rawon balas menyerang. Kaki kanannya cepat menyodok ke perut. Namun, Serigala Bukit Keduk cepat mengegos ke kiri, sehingga serangan itu luput dari sasaran.
"Hiih!"
Dan ternyata, serangan Ki Darta Rawon tidak berhenti sampai di situ. Karena selanjutnya, tubuhnya berputar sambil melepas tendangan beruntun. Maka terpaksa Serigala Bukit Keduk hengkang ke belakang sambil memutar tongkat.
"Kurang ajar!" maki Serigala Bukit Keduk geram.
Betapa tidak" Bahkan Serigala Bukit Keduk tidak sempat menggunakan tongkatnya untuk menghalau serangan. Maka dengan tubuh meng-gigil menahan amarah yang meluap, dia kembali melompat unluk menghabisi Ki Darta Rawon secepatnya.
"Haaat!"
"Hm!"
Ki Darta Rawon bergumam pendek seraya memberi isyarat pada pemuda di dekatnya untuk menjauh.
Tapi, tak ada tempat lagi bagi Badrawata untuk menyingkir selain merapat ke dinding dekat mulut gua. Sebenarnya, dia pun takut dekat-dekat dengan tempat pertempuran keduanya. Tapi untuk masuk ke dalam gua, dia lebih takut lagi. Maka tak ada yang bisa dilakukan selain merapatkan tubuh ke dinding bukit yang ada di dekatnya.
"Hup!"
Sementara itu ketika Serigala Bukit Keduk tengah melompat menerkam, Ki Darta Rawon pun melompat sambil bergulingan di tanah. Kedua kakinya bergerak cepat, menendang perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Des! Begkh! "Aaakh...!"
*** ? 4 ? Serigala Bukit Keduk terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Namun karena ilmu meri-ngankan tubuhnya telah cukup tinggi, luncuran tubuhnya bisa dipatahkan dengan berjungkir balik di udara. Dan dengan mantap sekali kakinya menjejak tanah. Wajahnya kelihatan semakin seram saja. Sepertinya, segala amarah dan rasa geram telah naik ke kepala. Dan hanya kematian Ki Darta Rawon saja yang bisa menghentikan amarahnya.
"Hhh! Kau akan mati, Keparat!" desis Serigala Bukit Kaduk dengan mata terbelalak lebar.
"Ha ha ha...! Apakah kau yang menentukan kamatianku" Kau tidak lebih dari seekor hewan buduk yang tidak punya arti apa-apa," ejek Ki Darta Rawon.
"Keparat! Yeaaa"!"
Serigala Bukit Keduk menggeram buas, sehingga garahamnya terdengar bergemeretak. Lalu mendadak tubuhnya berkelebat sambil menyam-barkan tongkatnya.
"Uts! Belum berhasil, Sobat!"
Ki? Darta ?Rawon? merendahkan? tubuhnya, menghindari sambaran tongkat. Dan baru saja hendak menegakkan tubuhnya, tangan kiri Serigala Bukit Keduk yang membentuk cakar langsung menyusuli ke arah tenggorokan.
Cepat bagai kilat, Ki Darta Rawon menangkis dengan tangan kiri.
Plak! Dan laki-laki setengah baya itu terus mencelat ke samping tatkala Serigala Bukit Keduk meng-hujamkan tongkatnya ke ulu hati. Saat itu juga, kakinya menghantam dada sebelum Serigala Buldt Keduk berbuat sesuatu.
"Hup!"
Dengan sebisanya, Serigala Bukit Keduk melompat ke belakang untuk menghindarinya.
"Heaaat!"
Namun Ki Darta Rawon tidak memberi kesempatan. Dia terus mengejar sambil menyodokkan kepalan kanan ke dada Serigala Bukit Keduk yang baru saja mendarat. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Duk! "Aaakh!"
Untuk kedua kalinya, Serigala Bukit Keduk menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terjajar ke belakang dengan terhuyung-huyung. Pukulan Ki Darta Rawon ini terasa lebih keras dibanding yang tadi. Bisa Jadi karena laki-laki setengah baya itu merasa kesal. Dan dia merasa perlu memberi pelajaran pada laki-laki tua lawannya untuk tidak gegabah.
Tapi, hal itu agaknya bukan membuat Serigala Bukit Keduk sadar. Hatinya, malah semakin berang dan mendengus geram. Ingin rasanya Ki Darta Rawon saat itu juga dilumatkannya.
"Hhh! Aku bersumpah akan membunuhmu!" desis Serigala Bukit Keduk geram.
Tapi belum lagi laki-laki tua ini melompat menyerang, mendadak....
"Aaa...!"
"Hei"!"
Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua tokoh yang tadi memusatkan perhatian pada perkelahian antara Serigala Bukit Keduk dan Ki Darta Rawon berpaling begitu dari dalam gua terdengar jeritan menyayat. Tak lama, menyusul dua sosok tubuh terlempar dari dalam gua dalam keadaan mengenaskan. Dada remuk dan nyawa telah malayang sejak tadi.
"Meraka mati!" desis seorang tokoh persilatan yang lebih dulu mendekat.
"Tujuh Beruang Hitam telah gagal!" timpal yang lain.
"Kurang ajar! Apa sebenarnya yang ada di da-lam"!" dengus seorang perempuan tua bertubuh bungkuk. Sebuah tongkat dari bambu kuning tampak menyangga tubuhnya.
Dalam rimba persilatan nenek dengan bambu kuning itu dikenal sebagai Ular Bambu Kuning. Padahal, nama sebenarnya adalah Nini Pemah. Dan kaum rimba persilatan juga tahu, kalau Ular Bambu Kuning mempunyai seorang cucu perempuan berwajah cantik. Usianya sekitar dua puluh tahun. Namanya Sekar Kedasih. Dan kini gadis itu ada di sampingnya.
"Mungkin benar apa yang dikatakan orang-orang. Nek...," usik Sekar Kedasih.
"Apa maksudmu?" tanya Ular Bambu Kuning dengan kening berkerut tajam.
"Di dalamnya banyak hantu."
"Tutup mulutmu, Sekar! Aku tidak percaya dengan segala jenis hantu. Selama dia menguasai benda itu, bukan hantu namanya!" tukas Nini Pemah.
"Jangan marah. Nek. Aku hanya menduga juga...!"
"Huh!" dengus Ular Bambu Kuning.
Sementara itu, Serigala Bukit Keduk agak ragu untuk melanjutkan pertarungan. Perhatiannya tersita oleh peristiwa yang baru saja terjadi di depan matanya.
"Tujuh Beruang Hitam mati"!" gumam Serigala Bukit Keduk seperti tidak percaya.
Meski mayat Tujuh Bemang Hitam cuma dua, tapi semua yakin lima orang lainnya tertinggal di dalam, Buktinya, mereka mendengar jeritan lain yang menyusul tak lama setelah terlemparnya kedua mayat tadi.
Padahal, kemampuan mereka sungguh hebat. Malah semua tokoh yang berada di sini tidak akan mampu mengalahkan Tujuh Beruang Hitam dalam dua puluh jurus jika maju bersamaan.
"Apa mungkin aku bisa mendapatkan warisan itu?" gumam Serigala Bukit Keduk di hati dengan paraaaan ragu.????
"Ha ha ha...! Kenapa" Kau tidak jadi masuk dalam, Sobat" Biarlah aku mengalah. Silakan masuk lebih dulu!" sem Ki Darta Rawon, bernada mengejek.
"Huh!" dengus Serigala Bukit Keduk sinis. "Masuklah lebih dulu! Mudah-mudahan kau me-nyusul ketujuh beruang celaka itu!"
"Ha ha ha"! Menangkap ular di dalam lubang sama artinya dengan bunuh diri! Aku punya cara yang lebih baik. Ayo, Badra! Bantu aku mengum-pulkan ranting kering!" ujar Ki Darta Rawon seraya berkelebat dari tempat itu.
"Baik, Ki!"
? *** ? Mula-mula para tokoh persilatan tidak mengerti, apa yang akan dilakukan Ki Darta Rawon bersama pemuda berbaju serba putih itu. Tapi lama kelamaan baru disadari kalau tumpukan ranting-ranting kering diletakkan di mulut gua.
"Dia akan membuat api! Bagus sekali!" cetus Nini Pemah.
"Dengan begitu, siapa pun yang berada di dalam akan keluar setelah isi gua dipenuhi asap. Kecuali, kalau dia memang berniat mampus di dalam sana!" timpal seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan kumis tebal.
Nini Pemah melirik sinis. Tapi, laki-laki itu malah tersenyum lebar.
"Kau sudah tua, Ular Bambu Kuning. Sebentar lagi masuk liang kubur. Buat apa mengurus soal-soal seperti ini!" celetuk laki-laki berkumis tebal itu.
"Diam kau, Sidarta! Sekali lagi mengoceh, kusumpal mulutmu!" hardik Nini Pemah.
Laki-laki bernama Sidarta itu tersenyum semakin lebar, tapi tak bicara apa-apa lagi. Dia me-mang tidak takut menghadapi kemarahan Ular Bambu Kuning. Tapi, ada hal lain yang dirasa masih perlu. Yaitu, seseorang atau apa pun yang berada di dalam gua, pasti akan keluar membawa benda yang diinginkan. Dan di saat itu, tentu terjadi perebutan di antara mereka. Maka saat demikianlah diperlukan tenaga penuh. Karena kalau Sidarta bertarung dengan Ular Bambu Kuning saat ini, tentu tenaganya sedikit banyak akan terkuras.
"Nenek! Dalam keadaan begini, ada baiknya kita menahan diri!" ujar Sekar Kedasih memperingati.
"Diam kau, Sekar! Tak perlu mengajariku!" hardik Nini Pemah.
Sekar Kedasih buru-buru tutup mulut. Agaknya gadis ini berpikiran sama dengan Sidarta. Tapi, Nini Pemah mana peduli akan hal itu. Adatnya memang keras dan pantang dihina. Dia mau mempertaruhkan segalanya demi harga diri.
Sementara itu, ranting-ranting yang dikumpulkan Ki Darta Rawon telah bertumpuk dan mulai dibakar. Api perlahan-lahan melahapnya, karena ranting-ranting basah oleh hujan semalam. Tapi memang itu yang diinginkan. Karena membakar kayu basah, akan menimbulkan asap yang lebih banyak.
Mereka menunggu beberapa saat ketika sebagian asap masuk kedalam gua. Tapi belum terlihat tanda-tanda kalau ada seorang akan keluar dari dalam, Bahkan ketika beberapa tokoh menambahkan ranting ke dalam kobaran api, belum juga memperoleh hasil.
"Huh! Sia-sia saja!" umpat salah seorang tokoh.
"Mungkin di dalamnya memang tak ada manu-sia. Yang ada hanya hantu!" timpal yang lain.?????
"Mustahil bila manusia mampu bertahan begitu lama dalam kubangan asap yang menyesakkan napas!" kata Sidarta seraya menggeleng lemah.
Ki Darta Rawon masih menunggu penuh harap. Meski dua kali penanakan nasi telah berlalu, dan sekian banyak ranting dihabiskan, belum juga terlihat tanda-tanda yang diharapkan.
"Apakah di dalamnya memang tidak ada siapa-siapa, Ki?" tanya Badrawata.
"Mustahil!" desis Ki Darta Rawon dengan wajah tak percaya.
"Bisa saja, Ki...," sergah Badrawata.
"Kau tidak tahu, Anak Muda. Mustahil benda berharga yang direbutkan banyak pihak itu tidak dijaga. Lagi pula, aku tahu kalau benda itu memang dijaga," sahut laki-laki setengah baya itu.
"Dijaga oleh siapa?" tanya Badrawata pena-saran.
"Oleh penjaganya!" sahut Ki Darta Rawon asaljadi.
Saat itu laki-laki setengah baya ini mulai me-ngais sisa-sisa bara ranting kayu yang masih menyala. Sementara, Badrawata secepatnya membantu.
"Kita akan masuk, Ki?" tanya Badrawata.
"Ya," sahut Ki Darta Rawon, pendek.
"Lalu bagaimana dengan mereka?" lanjut Badrawata, seraya menunjuk tokoh-tokoh yang berada di luar, yang saat itu mengikuti mereka.
"Kalau kau ingin berhasil mencapai tujuan, maka jangan pedulikan orang lain," jawab Ki Darta Rawon, gamblang.
"Eh, iya, Ki...!"
Beberapa kali Badratawa melihat Ki Darta Rawon mengibaskan tangan untuk menghalau asap yang memenuhi mulut gua, ketika mulai masuk ke dalam.
"Perlu kubawakan ranting yang masih menyala sebagai obor, Ki?" tanya Badrawata, ketika melihat laki-laki setengah baya itu tertegun memandang lorong gelap di depan mereka.
"Tidak perlu."
"Kita perlu berjaga-jaga. Siapa tahu ada perangkap di depan sana yang tak terlihat."
Kl Darta Rawon tersenyum.
"Oleh matamu mungkin tak terlihat. Tapi, aku bisa melihat jelas keadaan di sana," sahut Ki Darta Rawon, menjelaskan.
Badrawata menegaskan pandangan. Tapi tetap saja tak melihat apa-apa, selain ujung lorong yang gelap, Letak mulut gua itu sendiri terhindar dari cahaya matahari dan agak menekuk ke bawah.
"Awas!"
Mendadak Ki Darta Rawon memperingatkan seraya menarik lengan pemuda itu. Diberinya isyarat pada Badrawata agar kedua kakinya merapat ke dinding terowongan.
"Ada apa?" tanya Badrawata lega, setelah mereka melewatinya.
"Di situ ada jebakan!"
"Jebakan?" ulang pemuda itu, mengerutkan dahi karena tidak mengerti.
Tapi sesaat kemudian Badrawata baru tahu ketika beberapa orang yang berada di belakang berseru kaget. Salah seorang tampak terperosok ke dalam lubang yang tadi dilalui. Seketika terdengar jeritan yang memilukan hati.
"Apa itu?" tanya Badrawata penasaran.
"Perangkap. Di bawahnya siap menghujam bambu-bambu runcing," jelas Ki Darta Rawon ke-tika telah berada di ujung lorong. "Ayo!"
Ki Darta Rawon segera mengajak pemuda itu memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dalam perut gua ini.
Grek..., grek! "Hei" Pintu tertutup!" seru Badrawata kaget.
"Tenanglah. Jangan khawatir!" ujar Ki Darta Rawon.
"Tapi kita terkurung di sini"!" seru pemuda itu cemas.
"Tidak! Percayalah. Aku tahu apa yang akan kulakukan," sahut Ki Darta Rawon, melegakan.
Meskipun merasa cemas, namun Badrawata percaya kalau langkah yang diambil Ki Darta Ra-won benar.
Sementara dari luar terdengar maki-makian dan sumpah serampah. Mereka pun berusaha menghancurkan pintu batu yang bergeser menutupi mulut terowongan.
"Jangan hiraukan! Mereka tak akan mampu menghancurkan batu itu. Kita bisa leluasa mencari benda itu dalam ruangan ini," ujar Ki Darta Rawon lagi.
'Ya...." Badrawata mengangguk. Namun tiba-tiba kakinya menyentuh sesuatu. Dan setelah agak lama berada dalam gelap, matanya mulai menyesuaikan diri. Sehingga, samar-samar matanya bisa melihat benda apa yang menyentuh kakinya.
"Mayat!" desis Badrawata kaget.
?"Ya! Seluruh ruangan ini dipenuhi mayat. Perhatikan saja keadaan sekelilingnya!" tegas KiDarta Rawon.
? *** ? Apa yang dikatakan Ki Darta Rawon memang benar. Ruangan ini memang dipenuhi mayat-mayat berserakan.
Badrawata sampai terpaku memperhatikan. Ada yang tertancap beberapa batang anak panah, kepala remuk, atau ada juga yang tersayat senjata tajam.
"Berarti mereka berkelahi.
"Tidak mungkin sesama teman. Dan..., pasti ada penghuninya di ruangan ini!" duga pemuda itu yakin.
Tapi sementara Badrawata menduga-duga, mendadak terdengar sesuatu bergerak-gerak. Dia mendecah kagum ketika melihat salah satu sisi dinding ruangan bergeser ke atas. Dan..., terlihatlah sebuah ruangan lain yang lebih kecil. Di situ, tidak terdapat apa-apa kecuali sebuah altar batu.
"Sial! Pasti telah dibawa lari!" umpat Ki Darta Rawon, sambil mencak-mencak tak karuan.
"Dibawa lari" Apa yang dibawa lari?" tanya Badrawata bingung.
"Benda itu! Memangnya apa lagi"!" rutuk Ki Darta Rawon, dia sebenarnya kesal juga dengan kebodohan pemuda itu.
"Siapa yang membawa lari?"
"Seseorang. Penunggu gua ini!"
"Penunggu gua ini?" Badrawata termangu.
"Ayo, kita keluar!" ajak Ki Darta Rawon seraya menarik sebuah tonjolan batu pada salah satu sisi dinding yang ada di dekatnya.
"Tapi, mereka menunggu di luar, Ki?" tukasBadrawata.
Grek" grek!
Pertanyaan Badrawata agaknya tak perlu dijawab. Karena saat itu juga, permukaan tanah di dekat Ki Darta Rawon bergeser ke samping, membuat sebuah lubang persegi empat yang di bawahnya terdapat anak tangga.
"Ayo cepat!" ajak laki-laki setengah baya itu, seraya bergerak lebih dulu.
"Eh, iya! Iya, Ki!" sahut Badrawata buru-buru mengikuti. Namun....
Brosss! "Aaa...!"
"Hei"!"
Ki Darta Rawon terkesiap ketika mendengar teriakan Badrawata. Buru-buru dia melompat ke atas lagi, dan melihat sebuah lubang lain yang berada di dekat lubang yang memiliki anak tangga tadi. Permukaannya agak bulat, seperti sebuah sumur. Namun terlihat amat dalam dan gelap. Bahkan laki-laki selengah baya itu tak mampu melihat dasarnya, Agaknya, Badrawata telah terperosok ke dalamnya,
"Ki Darta Rawon, tolong aku...!" teriak Badrawata sayup-sayup.
"Hm, maaf! Aku tidak bisa menolongmu, Anak Muda. Aku mesti buru-buru!" teriak laki-laki itu seraya berlalu.
"Ki Darta, tolong aku! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini!"
Tapi laki-laki setengah baya itu tidak mempe-dulikan dan terus saja menuruni anak tangga. Tak berapa lama setelah ke bawah, permukaan tanah tertutup kembali. Demikian pula lubang sumur tempat Badrawata terkurung di situ.
Anak tangga yang terbuat dari bebatuan itu agak panjang dan berliku-liku serta terus turun ke bawah. Sampai kira-kira dua puluh anak tangga terakhir, baru terasa mendatar. Dan akhirnya, buntu dihadang dinding batu.
"Hm!"
Ki Darta Rawon menggumam tak jelas. Sikapnya tampak tenang-tenang saja. Dia lantas mencari sesuatu di permukaan tanah. Ketika melihat sebuah batu bulat kecil di dekat ujung anak tangga, diinjaknya batu itu. Perlahan-lahan dinding batu di depannya bergeser ke bawah. Tak lama, cahaya matahari menyemak masuk.
"Hup!"
Grek... grek! Ki Darta Rawon buru-buru melompat keluar, karena pintu itu kembali menutup.
Di depan laki-laki setengah baya itu kini ter-bentang sebuah telaga bening. Dan jauh ke depan tampak sebuah pegunungan yang melingkar wila-yah di sekitar tempat ini. Kepalanya lantas berpaling ke belakang, sambil tersenyum memandangi punggung bukit. Dari sebelah sana tadi dia masuk. Dan pintu keluar gua tadi ada di sini. Namun bila ada yang mencoba masuk dari sini, akan sia-sia saja. Karena, tidak akan ditemukan apa-apa kecuali air telaga dan dinding bukit.
"Hm... Kalian hanya memperebutkan pepesan kosong di tempat itu!" gumam Ki Darta Rawon sambil tersenyum.
Golok Bulan Sabit 6 Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Playboy Dari Nanking 13