Pencarian

Ratu Alam Baka 1

Pendekar Rajawali Sakti 199 Ratu Alam Baka Bagian 1


1 Hujan deras senja tadi masih menyisakan air di ujung-ujung dedaunan. Tanah di
sepanjang jalan sunyi menuju Pemakaman Keramat Sokalarang pun masih tergenang
air. Kegelapan menyelimuti alam sekitarnya. Di atas langit sana, bulan purnama
bersembunyi di balik gerumbulan awan hitam.
Sementara dua sosok bayangan hitam yang tengah menyelusuri jalan menuju ke makam
keramat di ujung Desa Sokalarang itu seperti tak mengenal rasa takut.
Langkah mereka tergesa gesa dengan napas terengah-engah. Agaknya kedua sosok -yang ternyata berbaju serba hitam ini baru saja melakukan perjalanan sangat
jauh. Namun anehnya, di tangan masing masing terdapat sebuah cangkul.
-"Kita hampir sampai, Balaga!" bisik sosok bertubuh pendek, menghentikan
langkahnya. "Benar, Sambika! Tapi semakin dekat, semakin banyak bahaya yang akan dihadapi!
Kita harus bersikap waspada!" sahut sosok berbadan jangkung bernama Balaga, juga
menghentikan langkah.
Balaga langsung mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Seakan dia khawatir kehadiran mereka telah diketahui orang lain.
"Jangan takut, Balaga! Kita telah banyak melakukan pembunuhan. Aku yakin, kuncen
pemakaman ini tidak akan banyak tingkah terhadap kita," ujar Sambika membesarkan
semangat kawannya.
"Aku tidak pernah merasa takut pada siapa pun!
Apalagi hanya terhadap seorang kuncen seperti Paratama. Dia tidak ada apa
-apanya!" dengus Balaga penuh keyakinan.
"Bergegaslah! Kita sudah hampir sampai!" ujar Sambika tidak sabar lagi.
Maka tanpa membuang buang waktu mereka segera berlari kembali. Tidak sampai
-sepemakan sirih, mereka sudah tiba di depan gerbang Pemakaman Keramat
Sokalarang. Suasana tempat ini terasa lebih sunyi dan mencekam. Begitu sunyinya,
sehingga degup jantung pun terasa jelas terdengar.
Kedua orang ini kemudian mulai mengedarkan pandangan kembali sambil terus
memperhatikan seluruh sudut makam. Puluhan bahkan ratusan nisan tampak tegak
membisu, berjajar dalam barisan rapi.
"Sebaiknya kita nyalakan obor dulu!" usul Balaga mengingatkan.
Laki laki berbadan pendek berpakaian serba hitam mengangguk setuju. Segera
-dinyalakannya obor kecil yang dibawa. Maka tempat di sekitar makam keramat ini
jadi terang benderang. Batu nisan langsung diperiksa satu demi satu.
"Ini dia...!" seru Sambika.
Balaga segera menghampiri. Segera dibacanya tulisan di atas batu nisan. Setelah
merasa yakin barulah cangkul yang dipegangnya diayunkan ke tanah.
Tindakannya diikuti Sambika.
Crak! Crak! Terdengar suara mata pacul menghujam tanah.
Namun baru beberapa kali mereka melakukan
penggalian. Set...! "Awas...!" teriak Balaga, sambil melompat ke belakang ketika sebuah sinar hijau
melesat cepat ke arah mereka.
Malang bagi Sambika. Baru saja dia hendak melompat, sinar biru telah lebih dulu
menghantam tangannya.
Crasss...! "Aaakh...!"
Laki laki berbadan pendek kontan terlempar disertai jerit kesakitan! Dengan -tertatih tatih, Sambika beranjak bangkit. Obornya langsung mati, terlempar entah
-ke mana. Sehingga, hanya obor milik Balaga yang masih menyala, membuat suasana
jadi remang remang.
-"Tanganku.... Ohh..., siapa yang melakukannya..!"
desis laki laki pendek ini. Sementara, Balaga langsung menghampirinya.
-Sambika dan Balaga langsung mengedarkan
pandangan ke sekeliling dengan sikap waspada. Tapi tidak ada sesuatu pun yang
mencurigakan di situ.
Sampai akhirnya....
"Ha ha ha...!"
Mendadak terdengar suara tawa berkepanjangan, yang disusul melesatnya sosok
tubuh ke arah mereka.
Hanya dalam beberapa kejap saja bayangan itu telah berdiri tegak sejauh dua
batang tombak dari Balaga dan Sambika.
Balaga dan Sambika memandang tegang pada sosok yang ternyata memakai topeng
hitam pakaiannya juga hitam. Sehingga wajahnya sulit dikenali.
"Siapa kau"!" desis Sambika curiga.
"Hik hik hik...! Sepantasnya akulah yang bertanya, siapa kalian," dengus orang
bertopeng tidak senang.
"Kami Sepasang Pacul Maut dari Pasundan! Maka, jangan ganggu urusan kami!" kata
Balaga. "Huh! Kalian tidak punya kekuasaan apa apa untuk melarangku. Tidak seorang pun
-yang akan kubiarkan menggali kubur yang satu ini!" dengus orang bertopeng.
"Apakah kau kuncen yang bemama Paratama?"
"Kalian tidak pantas untuk mengetahuinya!" dengus laki laki bertopeng itu -sengit.
Tiba tiba saja orang bertopeng ini mengibaskan kedua tangannya ke arah dua laki
- -laki yang mengaku berjuluk Sepasang Pacul Maut.
Seketika dua leret sinar hijau melesat ke arah Sepasang
Pacul Maut. Hawa panas langsung menyambar. Namun, kedua laki laki berbaju serba hitam ini menyambut serangan
-dengan menyorongkan mata pacul.
Breng! Suara keras terdengar ketika sinar yang melesat dari tangan orang bertopeng
menghantam punggung mata pacu. Dan akibatnya, Sepasang Pacul Maut terpelanting
roboh. Dari sini bisa diduga kabu tenaga dalam mereka berada di bawah orang
bertopeng itu. Sepasang Pacul Maut menggeram marah. Mereka segera bangkit berdiri. Dan secara
bersamaan mereka membangun serangan kembali, menggunakan jurus-jurus andalan.
"Heaaa.,.!"
Wuuuttt..! Wuuuttt...! Kali ini kedua pacul itu berkelebatan menghantam kepala dan punggung orang
bertopeng. Begitu cepatnya serangan mereka, sehingga menimbulkan desir angin
yang terasa memedihkan mata.
Secepatnya orang bertopeng ini meliukkan tubuhnya, seraya menggeser langkahnya
ke samping kiri.
Namun, kedua pacul itu terus mengejarnya ke mana pun tubuhnya bergerak.
Wuuuttt...! Dan ketika dua mata pacul meluruk deras ke arah dada, orang bertopeng itu
mencondongkan tubuhnya ke belakang dengan tangan terangkat, hendak menangkap
gagang pacul. Tap! Tap! Kedua gagang pacul berhasil dicekal orang bertopeng. Dan sambil menarik, kedua
kakinya terjulur menghantam perut Sepasang Pacul Maut
Des! Des! "Wuaaakh...!"
Sepasang Pacul Maut terlempar ke belakang. Mereka memegangi penjt yang terasa
mual bukan main. Namun secepatnya mereka bahgkit kembali. Dan hanya dalam waktu
singkat, kedua orang ini telah melakukan serangan gencar.
"Hiyaaa..!" teriak Sepasang Pacul Maut seraya mengeluarkan pukulan 'Bangau
Berkubang Lumpur'
dengan mendorongkan kedua tangan ke depan.
Wuuuss...! Dua larik sinar putih langsung berkeiebat, mengarah ke sasaran. Tetapi sebelum
kedua sinar itu sampai,
orang bertopeng juga telah mengibaskan tangannya.
Akibatnya.... Glarrr! "Wuaaah..,.!"
Suara ledakan keras terdengar, disertai kepulan asap tebal serta percikan bunga
api. Tampak jelas tiga sosok tubuh terlempar ke belakang. Jika orang yang
memakai topeng hitam itu masih dapat menjejakkan kakinya dengan manis, maka
Sepasang Pacul Maut jatuh terguling guling. Agaknya, mereka menderita luka dalam-yang cukup parah. Sedangkan dari mulut tampak menetes darah kental berwarna
hitam. "Bukan kalian saja yang kukirim ke neraka. Siapa pun yang berani menyambangi
tempat ini harus mati!"
gertak orang bertopeng, mendesis.
Tiba tiba saja orang bertopeng ini menjentikkan jemari tangannya ke arah kedua
-lawannya. Dalam kegelapan itu, terdengar suara desiran halus. Tampak tiga buah
benda benda hitam melesat ke arah Sepasang Pacul Maut.
-Serangan ini tidak sempat terlihat kedua laki laki berpakaian serba hitam.
-Sehingga.... Jresss! "Aaa...!"
Tepat sekali senjata rahasia itu menghujam ke jantung Sepasang Pacul Maut.
Mereka kontan menjerit kesakitan. Tubuh mereka melejang sekejap, lalu terdiam.
Mati. Laki laki bertopeng hitam ini segera men jalankan tugasnya. Diseretnya mayat
- -Sepasang Pacul Maut untuk dibawa ke gerbang Pemakaman Keramat Sokalarang.
*** Gunung Wilis berdiri angkuh, seakan hendak
menggapai langit. Tak jauh dari lerengnya, mem-bentang sebuah lembah yang sangat
dikenal sebagai Lembah Seribu Duka yang sejak dulu menjadi tempat tinggal. kaum
pendekar golongan putih. Selama bertahun tahun, keberadaan mereka tidak pernah -terusik.
Kalangan persilatan tak asing lagi dengan nama nama seperti Kaswatama, Dewi
-Kunti, Ki Sumping, Erlangga, dan Gagak Lamar. Mereka adalah lambang kekuatan
yang sangat disegani baik kawan maupun lawan.
Sesuatu yang sangat bertentangan dengan kodrat sebagai manusia adalah, kelima
orang tokoh persilatan ini tidak pernah menikah atau berumah tangga sepanjang
hidupnya. Konon, mereka dulu sewaktu masih muda selalu mengalami patah hati dan
gagal dalam menjalin asmara. Begitu pahitnya kisah cinta mereka, sehingga
bersumpah untuk tidak akan pernah lagi jatuh cinta pada lawan jenisnya.
Sungguhpun Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka telah mengasingkan diri dari
dunia persilatan, tetapi tidak jarang salah seorang yang meninggalkan tempat
kediaman untuk berkelana selama beberapa purnama.
Memang, bagaimanapun, mereka adalah orang-orang yang cinta perdamaian. Sehingga
wajar bila Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka selalu mengikuti perkembangan
yang terjadi pada masa ini.
Hari ini setelah dua purnama kembali dari perjalanan jauh, Kaswatama memanggil
semua pendekar yang
berdiam di Lembah Seribu Duka. Hal seperti ini bukanlah kebiasaannya, karena
pada waktu waktu sebelumnya orang tertua dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu
-Duka selalu tidur sampai berpekan-pekan, setelah melakukan perjalanan sangat
jauh. Empat Pendekar lainnya kini telah menghadap sesepuh dari Lima Pendekar Dari
Lembah Seribu Duka itu. Dewi Kunti, Ki Sumping, Erlangga, dan Gagak Lamar
mengerutkan kening ketika melihat Ki Kaswatama tampak murung. Walaupun saat itu
berusaha tersenyum menyambut kedatangan rekan rekannya, namun senyumnya terasa
-hambar, seperti dipaksakan.
"Bagaimana, Ki. Apakah perjalananmu kali ini menyenangkan?" tanya Ki Sumping.
"Aku memanggil kalian semua, karena ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi,"
jelas Ki Kaswatama.
"Maksudmu" Apakah ada pengacau yang telah membuat kerusuhan di bagian tengah
tanah Jawa ini?"
tanya Erlangga, penasaran.
Ki Kaswatama menggelengkan kepala.
"Yang ini, sebenarnya cukup lucu. Aku sedih, tetapi anehnya ingin tertawa. Aku
merasa geli, tapi ingin menangis. Kita di sini adalah orang orang yang pernah
-merasakan pahit getirnya asmara. Itu sebabnya, kita telah berjanji untuk tidak
jatuh hati lagi pada siapa pun.
Benar, bukan?"
"Mengenai ucapanmu itu, kami semua telah tahu.
Lalu, apa yang membuatmu sedih?" tanya Dewi Kunti, tak sabar.
Perempuan berbadan ramping ini berumur kurang lebih empat puluh tahun. Namun,
wajahnya masih tetap cantik. Kulitnya halus. Tatapan matanya setajam burung elang.
"Berita yang kubawa ada hubungannya denganmu!"
tegas Ki Kaswatama. "Kalian mungkin tidak percaya jika kukatakan ada orang yang
tergila gila pada Dewi Kunti.-Karena gilanya, sampai sampai di batang pohon, di warung warung, bahkan di
- -setiap tempat kulihat sebuah pesan yang menggelikan!"
"Pesan apa" Jangan membuat kami penasaran, Ki!"
desis Erlangga.
Ki Kaswatama tidak segera menjawab. Malah segera diambilnya selembar kulit yang
tampak halus pada bagian
permukaannya. Kemudian diserahkannya gulungan kulit itu pada Dewi Kunti.
Namun perempuan setengah umur ini tidak langsung menerimanya. Keningnya berkerut
dalam ketika melihat permukaan kulit tersebut.
"Bukankah ini kulit manusia?" tanya Dewi Kunti dengan terkejut
"Betul! Semua pesan ditulis di atas kulit orang yang sudah mati. Aku tidak tahu,
berapa kuburan yang harus dibongkar untuk diambil kulitnya. Tetapi pesan itu
jelas ditujukan untuk dirimu, Dewi!" tegas Ki Kaswatama.
"Orang mati hanya meninggalkan tulang belulang.
-Kurasa, penulis pesan itu membunuh orang orang tidak berdosa untuk diambil
-kulitnya!" timpal Gagak Lamar, merasa yakin dengan dugaannya.
"Sudahlah, jangan banyak bicara. Sebaiknya, baca tulisan di dalam kulit itu!"
ujar Ki Kaswatama.
Dewi Kunti dengan hati hati segera membuka kulit dari orang yang sudah mati itu.
-Dewi Kunti....
Kubiarkan seluruh dunia tahu tentang cinta kita yang gagal di tengah jalan. Kau
dan kawan-kawanmu telah melahirkan sebuah penderitaan bagiku. Keputusanmu adalah
kehancuran dalam hidupku. Tetapi ingat! Sebelum aku benar benar hancur, kalian -akan melihat betapa pem-balasanku akan membuat seluruh manusia di rimba
persilatan akan menderita.
Hanya itu saja. Tidak ada tanda, siapa yang membuat selembaran yang dianggap
Dewi Kunti sangat memalukan itu. Wajah perempuan itu tampak berubah dingin.
Sebeku tatapan matanya yang berkilat kilat.
-"Kurasa hanya orang gila yang menulis pesan memalukan ini. Jauh jauh kau
-melakukan perjalanan, kiranya hanya berita sialan ini yang dibawa pulang, Ki
Kaswatama!" dengus Dewi Kunti. "Lebih baik aku bermain main dengan undur undur,
- -daripada berbincang-bincang dengan tua gila sepertimu!"
*** 2 Dewi Kunti bangkit berdiri berniat meninggalkan ruangan. Namun sebelum benar
-benar pergi, Ki Kaswatama telah memberi isyarat padanya untuk duduk kembali.
"Aku sudah bosan duduk di sini. Kalian semua tahu, bagaimana perasaanku...!"
dengus Dewi Kunti.
"Memang kami percaya. Tapi, ada beberapa hal yang belum kusampaikan kepadamu.
Juga, kepada kalian semua!" jelas Ki Kaswatama dengan sikap lebih tegas lagi.
"Coba katakanlah!" desak Gagak Lamar.
"Sejak selebaran ini tersebar di mana mana, ku-dengar ada beberapa orang dari
-rimba persilatan baik dari golongan hitam maupun putih pergi ke makam keramat di
Desa Sokalarang. Tetapi mereka tidak pernah kembali ke daerah asal masing
-masing. Bahkan pendekar pendekar aliran putih hilang secara aneh dari tempat
-tinggalnya. Sepertinya ada satu kelompok yang menculik mereka!" jelas Ki
Kaswatama. "Lalu, apa hubungannya dengan diriku?" tanya Dewi Kunti, semakin tak mengerti.
"Hubungannya mungkin saja ada. Pesan itu, siapa pun yang membuatnya, aku ingin
agar kau mengingat siapa orang terakhir yang pernah menjalin cinta denganmu!"
"Gila!" dengus Dewi Kunti.
Wajah perempuan yang masih kelihatan cantik ini
seketika berubah memerah.
"Begitu banyak laki laki dulu jatuh cinta padaku.
- Tetapi, tidak satu pun yang sesuai keinginanku. Itu sebabnya, aku memilih tetap


Pendekar Rajawali Sakti 199 Ratu Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup menyendiri sampai mati," tegas Dewi Kunti.
"Ya! Aku ingin kau mengingatnya kembali!" Ki Kaswatama mengulangi pernyataannya.
"Aku tidak dapat mengingatnya. Mereka semua masih hidup. Jadi, sulit kutebak
siapa yang menulis pesan ini."
"Sebaiknya kita pergi ke Padepokan Camar Putih.
Kurasa, ketua Padepokan itu tahu tentang Pemakaman Keramat Sokalarang, mengingat
daerahnya yang cukup dekat dengan makam itu," usul Erlangga, menengahi.
"Kau mengenalnya?" tanya Gagak Lamar.
"Ya! Ki Sidarata dulu pernah minta bantuanku, ketika terjadi kerusuhan di
padepokannya. Kuharap beliau masih ingat denganku," sahut Erlangga.
"Kapan kita berangkat?" tanya Ki Kaswatama.
"Kurasa sebaiknya besok pagi saja. Di lembah ini sebentar lagi akan turun kabut
tebal. Selain itu, aku tidak mau kemalaman di jalan," Jawab Erlangga.
Semua orang yang berkumpul di tempat kediaman Ki Kaswatama mengangguk setuju.
Namun pada waktu yang bersamaan pula....
"Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka...,"
terdengar teriakan dari luar pondok. "Kami datang menjalankan perintah. Kuharap
kalian tidak pengecut seperti dugaan ketua kami!"
Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka sama sama terkejut. Bukan karena suara -teriakan tadi, tapi karena
heran mengingat untuk sampai ke Lembah Seribu Duka tidak mudah dan banyak
perangkap. Mereka menduga, pastilah orang orang yang datang di luar sana
-mempunyai kepandaian sangat tinggi.
"Biarkan aku yang mengatasi tamu tamu tidak diundang itu!" tegas Ki Kaswatama.
-"Enak saja! Sudah bertahun tahun tanganku gatal-gatal ingin bertarung. Sekarang
-tiba giliranku untuk ikut merayakan pesta!" sergah Gagak Lamar, yang memang
bersifat sedikit berangasan.
Tanpa menunggu lama lagi, Ki Kaswatama segera bergegas keluar. Sementara, empat
orang pendekar lainnya ikut menyusul pula. Ketika Ki Kaswatama sampai di depan
pintu pondok, tampak tiga orang pemuda telah berdiri di sana dengan sekujur
tubuh bersimbah darah. Mereka sama sekali tidak tampak menderita, walaupun
dipenuhi luka luka. Tampaknya, perangkap-perangkap yang dipasang di sekeliling
-lembah oleh, Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka telah mengenai sasaran.
"Sambutan yang kami terima sangat jelek, Ki Kaswatama. Tetapi demi tugas, apa
pun rintangannya tetap kami jalani!" kata salah satu dari ketiga orang ini,
menyindir tentang perangkap yang dibuat Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka.
"Bagaimana kalian bisa mengenaliku?" tanya Ki Kaswatama tanpa dapat menutupi
rasa terkejut. Sementara itu empat pendekar lainnya telah berada di belakang Ki Kaswatama.
Tampaknya mereka juga terkejut, seperti halnya Ki Kaswatama.
"Semua lawan yang harus dimusnahkan telah
dimasukkan dalam daftar hitam kematian oleh ketua kami!" jawab orang yang berada
paling depan. "Siapa ketua kalian?" serobot Dewi Kunti.
"Kami tidak boleh bicara apa apa, terkecuali melakukan tugas sebaik baiknya!"- -Begitu tuntas kata katanya, orang orang yang telah terluka akibat terkena
- -perangkap di Lembah Seribu Duka kemudian menerjang Ki Kaswatama dengan serangan
-serangan beruntun yang cukup ganas.
Para pemuda yang terluka ini tampaknya memang dikendalikan sebuah kekuatan dari
jarak jauh. Terbukti, walaupun sudah kehabisan darah oleh luka luka yang
-diderita, ketiganya tidak mati. Bahkan terus menyerang dahsyat.
Namun Ki Kaswatama bukanlah tokoh kemarin sore.
Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi, di samping, kesaktiannya yang telah
mumpuni. Sehingga ketika mendapat tekanan dari tiga orang lawan, segera
dikerahkannya ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan.
Melihat serangan selalu gagal, lama kelamaan ketiga pemuda itu menjadi gusar
juga, Mereka menjadi marah.
Segera ketiganya meloloskan sebuah cambuk dari pinggang. Pada bagian ujung
cambuk, terdapat sebuah mata pisau yang mempunyai ketajaman pada kedua sisinya.
"Kau harus mati di tangan kami!" teriak salah seorang pemuda yang bertubuh kekar
sambil menerjang ke depan dengan cambuk dilecutkan.
Tar! Bagian ujung cambuk tampak meliuk liuk ke arah Ki
-Kaswatama. "Hup...!"
Cepat bagai kilat laki laki berumur hampir enam puluh lima tahun ini segera
-melompat ke udara. Pada saat yang sama, telapak tangannya yang terkembang,
menyambut ujung cambuk.
Trep! Dengan gerakah sangat luar biasa, cambuk itu berhasil ditangkap Ki Kaswatama.
Langsung disentaknya cambuk itu, hingga terlepas dari pegangan lawan.
Sementara itu, empat pendekar yang memperhatikan jalannya pertarungannya jadi
tak sabar. "Sungguh memalukan! Hanya menghadapi manusia yang sudah menjadi bangkai saja,
kalang kabut begitu!"
teriak Dewi Kunti.
"Betul! Kita sudah bosan menunggu di sini. Atau kalau memang tidak punya
kemampuan, lebih baik mundur saja. Biar aku yang membereskannya," cemooh Gagak
Lamar. Ki Kaswatama diejek begitu jelas menjadi panas kupingnya. Apa lagi, dia termasuk
orang tua. Begitu mendarat di tanah, cambuk yang berhasil dirampasnya tadi
dilemparkan. Dan sekerika kedua tangannya digosok gosok satu sama lain. Dari -telapak tangannya kemudian tampak keluar kabut putih, menebarkan bau harum yang
sangat menusuk. Lalu....
"Hiyaaa...!" teriak Ki Kaswatama, seraya mengerahkan pukulan 'Menebar Petaka
Menuai Bencana' dengan mendorongkan kedua tangannya ke tiga penjuru arah.
Saat itu juga, tampak melesat tiga leret sinar kuning kehijau hijauan ke arah
-tiga pemuda. Mereka berusaha
menghindar, namun kalah cepat. Akibatnya....
Blarr! Blaarrr! "Hegkh...!"
Ketiga pemuda ini terjajar disertai keluhan tertahan.
Sebagian wajah mereka hangus terkena pukulan Ki Kaswatama. Namun, secepatnya
mereka menyerang kembali dengan serangan serangan beruntun yang cUkup ganas.
-Laki laki tua ini jelas tidak memberi hati lagi pada mereka. Saat tendangan
-mereka menghantam bagian ulu hati, Ki Kaswatama meliukkan tubuhnya sambil
melompat ke samping kanan. Tetapi pada waktu bersamaan, dari arah kanan salah
seorang lawan menghantam telapak tangan terbuka. Begitu cepat gerakannya,
sehingga tidak ampun lagi...
Buk! "Heh..."!"
Laki laki berambut putih ini kontan terhuyung-huyung dengan wajah terkejut.
-Namun segera tubuhnya melesat ke depan dengan kaki menghantam salah seorang
lawan yang berada paling dekat
Krak! Bukan main kerasnya tendangan Ki Kaswatama, sehingga membuat kepala lawannya
copot dari badan.
Pemuda berbaju hitam itu roboh dan tidak berkutik lagi.
Sementara dua pemuda lainnya menggeram marah.
"Bunuh...!" teriak salah seorang.
Tiba tiba saja, kedua pemuda ini melompat ke depan. Tangan mereka meluncur
-deras, mengincar tenggorokan dan kedua mata Ki Kaswatama.
Sambil tertawa, Ki Kaswatama membuang tubuhnya ke samping. Dan sambil berguling-guling kedua tangannya menghentak seeara beruntun.
Wuti Wut! Dua leret sinar hijau kekuning kuningan seketika melesat bagaikan kilat ke arah
-kedua pemuda itu.
Begitu cepat lesatannya, sehingga.,..
Glarrr! "Aaa,..!"
Jeritan keras terdengar di tengah tengah ledakan yang sangat dahsyat. Kedua
-pemuda berbaju hitam itu kontan terlempar sejauh dua batang tombak. Tubuh mereka
hangus dengan nyawa melayang.
"Ha ha ha...! Bagus! Ternyata sebagai sesepuh Lima Pendekar Dari Lembah Duka,
kau tidak mengecewakan, Kaswatama!" seru Ki Sumping.
"Kami tidak kecewa karena mengangkatmu menjadi pimpinan kami di Lembah Seribu
Duka Ini," timpal Dewi Kunti.
"Jangan terlalu yakin dengan kemampuan kita. Besok mungkin sangat banyak
persoalan yang harus dihadapi!" ujar Ki Kaswatama mengingatkan.
"Urusan besok kita selesaikan besok. Yang terpenting, masih ada waktu untuk
istirahat. Dan kita bisa memanfaatkan sebaik baiknya!" tambah Erlangga.
-Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka kemudian menuju ke pondok masing masing.
-Pada saat itu kegelapan mulai menyelimuti alam sekitarnya.
*** Memang belum jelas benar, ada apa sebenarnya di Pemakaman Keramat Sokalarang.
Namun, banyak tokoh persilatan yang penasaran, pergi juga ke tempat itu.
Mereka berharap, tidak mustahil di tempat itu akan menemukan benda benda pusaka
-atau kitab kitab yang berisi ilmu ilmu kedigdayaan tingkat tinggi.
- -Nanjun sejak mereka sampai di sana, sejak itu pula mereka menghilang tak tentu
rimbanya. Hal ini membuat seorang ketua padepokan yang tak jauh letaknya dari
pemakaman itu menjadi penasaran.
Orang orang persilatan tahu, padepokan yang letaknya paling dekat dengan
-Pemakaman Keramat Sokalarang hanyalah Padepokan Camar Putih yang diketahui Ki
Sidarata. Kabarnya, laki laki berusia enam puluh lima tahun itu pun telah berusaha
-menyelidiki ke Pemakaman Keramat Sokalarang. Hasilnya, menurut kabar dari murid-
muridnya, sampai sekarang laki laki tua itu belum kembali. Bila tewas, tentu
-murid muridnya akan cepat menemukan mayatnya. Karena, mereka tahu betul seluk
- beluk pemakaman itu. Tapi, mereka tak menemukan tanda tanda adanya mayat Ki -Sidarata. Dan bila hilang, siapa yang menculiknya" Karena mustahil Ki Sidarata
pergi begitu saja tanpa sebab.
Sejak kepergiannya, Ki Sidarata menyerahkan tanggung jawab padepokan pada murid
utamanya yang bernama Kuntala. Dan laki laki berusia tiga puluh enam tahun ini
-telah mencari gurunya ke mana mana, tapi hasilnya nihil.
-Kini Padepokan Camar Putih setelah senja berlalu
berubah menjadi sunyi. Memang, penjagaan tetap dilakukan seperti biasanya.
Tetapi wajah wajah para penjaga yang sekaligus murid murid padepokan itu tampak
- -lesu seperti kekurangan darah.
Di bagian pendopo depan, tampak beberapa orang murid murid padepokan sedang
-berbincang bincang dengan sesama saudara seperguruan. Sebagian tampak sedang
-tidur tiduran, sambil mendengarkan pembicara-an kawan kawan mereka tanpa
- -semangat. Memang, setelah Ki Sidarata tidak pernah kembali lagi dari Pemakaman Keramat
Sokalarang, seluruh kegiatan di padepokan terasa hambar.
Kuntala tidak mungkin mengurung diri di dalam kamarnya secara terus menerus
sejak tak mampu lagi menemukan gurunya. Hal ini hanya akan membuat adik adik
-seperguruannya kehilangan semangat untuk berlatih ilmu olah kanuragan. Namun dia
tidak mungkin melatih adik adik seperguruannya, jika perhatiannya terus terbagi
- -bagi. Karena hatinya akan selalu merasa penasaran jika belum menemukan gurunya.
Bagaimanapun, besok pagi gurunya harus dicari kembali Itulah yang dipikirkannya
sejak sore tadi.
Pada saat Kuntala termenung dalam kesendirian-nya....
"Kurung! Tangkap orang asing ini hidup atau mati!"
terdengar teriakan teriakan penjaga dari halaman depan.
-Sementara itu di halaman depan, murid murid Padepokan Camar Putih tengah
-mengepung seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Rasanya tidak mungkin bagi
pemuda tampan ini untuk meloloskan diri
lagi. "Kalian salah! Aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin bertemu Ketua Padepokan
Camar Putih!" sergah pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Rangga alias
Pendekar Rajawali Sakti.
"Bohong! Kau pasti salah seorang yang telah menculik guru kami!" dengus salah
seorang murid. Pendekar Rajawali Sakti jelas sangat terkejut mendengar ucapan murid itu. Sama
sekali tidak diduga kalau Ketua Padepokan Camar Putih ternyata telah diculik
seseorang. Yang diketahuinya selama berada dalam perjalanan adalah, tentang
orang orang yang datang ke Pemakaman Keramat Sokalarang. Dan mereka tidak pernah
-kembali lagi ke daerah asal masing masing.
-Selain itu juga, Rangga ingin tahu tentang pesan yang terdapat pada setiap
penjuru sudut yang ditulis di atas kulit orang mati.
Dalam perjalanannya menuju ke Pemakaman
Keramat Sokalarang, Rangga sengaja singgah di Padepokan Camar Putih, untuk
mengumpulkan beberapa keterangan yang diperlukan. Namun siapa sangka kalau ketua
padepokan itu juga menghilang.
"Kujelaskan pada kalian semua, kalian salah menuduh. Malah aku sedang berusaha
menyingkap tabir ini," kilah Rangga, tegas.
"Dusta! Bunuh dia...!" perintah seorang murid lainnya, lebih keras.
Tidak dapat dihindari lagi, lima orang murid padepokan serentak menerjang
Rangga. Karena Pendekar Rajawali Sakti memang tidak punya persoalan apa apa -dengan mereka, maka sama sekali tidak
ingin melukai seorang pun.
"Hup...!"
Rangga melompat mundur. Tetapi, dari belakang datang pula serangan lain yang
tidak kalah ganas dari serangan penjaga di depannya.
Pemuda berbaju rompi putih ini untuk menghindari tusukan senjata segera meliuk
-liukkan tubuhnya dengan gerakan kakinya yang lincah. Sehingga tak satu serangan
pun yang mendarat di tubuhnya.
Murid murid padepokan ini sempat terkesima karena tidak menyangka kalau pemuda
-itu mempunyai kelincahan yang mengagumkan. Tetapi kehebatan Rangga malah
ditafsirkan lain. Dugaan mereka makin besar kalau pemuda berbaju rompi putih
itulah yang menculik Ki Sidarata.
*** Murid murid Padepokan Camar Putih secara bahu-membahu terus mendesak Rangga
-dengan berbagai jenis senjata terhunus. Mendapat serangan yang sedemikian hebat
ini, tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak membiarkan dirinya tertusuk
senjata. Repotnya, justru dia sama sekali tidak punya maksud menyakiti, sehingga
harus menguras tenaga untuk menghindari hujan senjata.
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga tiba tiba melenting ke udara, keluar dari kepungan lawan lawannya. Dan
- -ketika kakinya menjejak kembali di atas tanah, murid murid padepokan itu telah
-memburunya. "Kalian benar benar tidak bisa membedakan orang!"
-dengus Rangga, mulai kesal.
Segera Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian
jurus 'Rajawali Sakti'.
Perubahan gerakan yang dilakukan pemuda berbaju rompi putih ini sangat
mengejutkan para murid padepokan. Apalagi ketika Rangga tengah mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' yang didukung ilmu meringankan tubuh yang telah
sangat tinggi, dengan tenaga dalam kurang dari seperempatnya.
Wuuuttt! Tubuh Rangga berkelebat begitu cepat Kedua tangannya bergerak bagaikan sayap
rajawali. Dan begitu mengibas....
Buk! Buk! "Huaaakh...!"
Tiga orang murid Padepokan Camar Putih kontan terjengkang
dengan gigi rontok dan hidung mengucurkan darah. Mungkin kalau Rangga mempergunakan tenaga dalam tinggi,
seketika pemuda Itu telah binasa!
"Hidungku...! Hidungku bocor...!" rintih salah seorang murid sambil memegangi
hidungnya. "Maaf, aku terpaksa membungkam kebandelan kalian. Sebenarnya aku tak ingin
menjatuhkan tangan.
Tapi kalian terlalu memaksa...," ucap Pendekar Rajawali Sakti, sedikit menyesali
tindakannya, Karena dia tahu, perbuatan murid murid ini dilandasi rasa cinta -terhadap guru mereka yang hilang entah ke mana.
"Keparat!" teriak salah seorang murid lain. "Bunuh dia!"
Dengan serentak, para murid Padepokan Camar Putih menerjang kembali. Berbagai
senjata meluncur deras ke seluruh penjuru arah. Tetapi pada saat itu pula....
"Tahan...!"
Serentak murid murid padepokan menghentikan tindakan, ketika mendengar bentakan
-keras menggelegar, Mereka telah cukup kenal suara itu. Bahkan mereka
segera

Pendekar Rajawali Sakti 199 Ratu Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlompatan mundur. Ketika memandang ke arah datangnya suara, tampak di pendopo depan berdiri seorang laki
-laki berusia tiga puluh enam tahun berbaju putih. Tubuhnya tegap dan wajahnya
cukup tampan. Dia tidak lain dari Kuntala.
"Ada tamu datang, mengapa kalian tidak menyambut dengan baik" Sungguh sangat
memalukan!"
dengus Kuntala.
"Tetapi, Kakang Kuntala...!"
"Tidak ada tapi tapian! Kalian pergi ke tempat masing masing. Biarkan aku bicara- -dengan dia!" bentak Kuntala.
Walaupun tampak ragu ragu, namun terpaksa murid murid Padepokan Camar Putih
- -mematuhi perintah saudara seperguruannya yang paling tua.
*** 3 "Maafkan saudara saudaraku itu, Kisanak. Mereka menjadi lepas kendali setelah
-kepergian Guru kami,"
ucap Kuntala pelan, ketika menerima Pendekar Rajawali Sakti di pendopo depan.
Mereka duduk berhadapan, dengan sebuah meja kecil yang membatasi. Di atas meja
telah terhidang kopi hangat dan sepiring rebusan talas. Sejak tadi Pendekar
Rajawali Sakti telah dipersilakan untuk mencicipi, namun belum satu pun yang
disentuhnya. "Aku dapat memahaminya, Kisanak. Aku datang ke sini justru ingin bertemu ketua
padepokan ini. Tetapi setelah mendengar kabar yang sebenarnya, aku malah ikut
merasa prihatin!" kata Rangga, perlahan.
"Oh, ya. Aku Kuntala. Dan kisanak siapa?" tanya Kuntala ramah.
"Namaku Rangga," jawab Pendekar Rajawali Sakti, perlahan.
Kuntala terdiam. Namun, kedua alis matanya bertaut. Sedangkan tatapan matanya
tidak lepas dari wajah pemuda berbaju rompi putih di depannya.
"Sepertinya, aku pernah mendengar namamu. Tidak salah! Bukankah kau Pendekar
Rajawali Sakti?" tebak Kuntala, terkejut.
Rangga sehdiri tidak kalah kagetnya. Bagaimana Kuntala bisa mengenalinya"
Padahal, berjumpa pun baru kali ini"
"Oh.... Betapa kami mendapat kehormatan besar
dikunjungi seorang pendekar ternama sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan
semua ini sesuai mimpiku!" desah Kuntala, seraya berdiri dan menjura hormat.
Wajahnya benar benar cerah dan bangga, karena Pendekar Rajawali Sakti sudi
-berkunjung ke padepokan ini.
"Ah, sudahlah, Kuntala.... Tak perlu beradat istiadat denganku. Panggil saja aku
Rangga. Hm..., ya. Tadi kau bilang, kau mengenalku lewat mimpi" Lantas apa saja
yang kau dapat dalam mimpi itu, Kuntala?" tanya Rangga.
Kuntala yang telah duduk kembali seketika wajahnya berubah sedih. Seperti ada
sesuatu yang sangat merisaukan hatinya.
"Kalau kukatakan, mimpi tidak lebih hanya sebagai bunga tidur. Kenyataannya, aku
bisa bertemu denganmu, Rangga! Tetapi, aku sangat takut jika kenyataan lain
dalam mimpiku itu sampai terjadi!" desah Kuntala yang tak ragu ragu lagi -memanggil nama Rangga.
"Apa?"
"Dalam mimpiku, aku melihat padepokan ini tenggelam tergenang air. Lalu, kulihat
Guru kami berdiri di atas bukit sambil tertawa tawa menyaksikan murid-muridnya
-dalam keadaan sekarat. Selain guruku, ada beberapa orang berdiri di belakangnya.
Tidak begitu jelas wajah mereka. Adik adik seperguruanku semuanya tewas, dan
-tinggal aku sendiri. Aku tidak tahu, apa makna semua ini," tutur Kuntala.
"Pertanda sangat buruk?" gumam Rangga, dalam hati.
"Apakah kau mengetahuinya, Rangga?" tanya Kuntab
kemudian. "Sayang aku bukan ahli tafsir mimpi. Sama sekali aku tidak tahu makna mimpi
-mimpi itu!" sahut Rangga, tak ingin membuat Kuntala makin takut.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Kuntala.
"Tentang gurumu itu, bukan?" tebak Rangga.
"Ya! Sejak beliau mengatakan ingin pergi ke Pemakaman Keramat Sokalarang sampai
hari ini tidak pernah kembali," keluh Kuntala.
"Jauhkah makam itu dari padepokan ini" Dan, apakah kau sudah mencarinya?" tanya
Pendekar Rajawali Sakti perlahan.
"Tidak begitu jauh. Aku pun sudah mencarinya.
Namun, jejaknya tidak kutemukan," desah Kuntala.
"Apakah kau menemukan sesuatu di sana?"
"Ada. Ketika sampai di depan gerbang makam, aku melihat sisa sisa tulang
- -belulang manusia tergantung di situ. Lalu, aku juga melihat ada ceceran darah
yang telah mengering. Maksudku, di dalam pondok kuncen pemakaman itu," jelas
Kuntala. "Siapa nama kuncen makam itu?" desah Rangga.
"Ki Paratama."
"Ada kemungkinan kuncen makam itu dibunuh oleh seseorang. Tapi yang kuherankan,
ke mana hilangnya orang orang rimba persilatan yang pernah datang ke sana" Kalau
-mereka mati, seharusnya kau menemukan mayat mereka. Kalaupun dikubur, kau juga
menemukan kuburnya. Aku tidak tahu, apakah ini ada hubunganya dengan penUlis
selebaran itu"!" papar Rangga.
"Sebaiknya besok pagi kita selidiki saja tempat itu!"
saran Kuntala begitu bersemangat.
"Aku setuju! Tetapi, aku tidak mau semua murid padepokan ini menyertai kita,"
tegas Rangga. "Kenapa?" tanya Kuntala, tidak mengerti.
"Jika padepokan ini kosong, aku khawatir ada orang yang datang kemari dan
menghancurkannya," jelas Rangga.
Akhirnya, Kuntala dapat mengerti juga apa yang dimaksud Pendekar Rajawali Sakti.
Kemudian adik seperguruannya diperintahkan untuk menyediakan sebuah kamar buat
Rangga. *** Sementara itu pada waktu yang bersamaan, di Pemakaman Keramat Sokalarang tampak
beberapa sosok bayangan mendekati sebuah kubur yang tampaknya sudah sangat tua.
Dalam suasana remang remang yang hanya diterangi cahaya bulan tiga belas, -bayangan-bayangan itu terus bergerak mengelilingi batu nisan yang sudah agak
berlumut! Pada salah satu sisi batu nisan tua ini terdapat Sebuah tulisan....
Demi Anggini. Dewi tercantik yang abadi. Meninggal secara aneh dalam umur dua
puluh tahun. Salah satu dari lima sosok bayangan itu segera mencabut baru nisan di depannya.
Kemuda dua sosok lainnya yang masing masing memegang pacul kecil maju mendekat
-di sisi sisi makam. Dan, pada saat itulah terjadi getaran kecil di permukaan
-tanah makam keramat yang terbujur jasad Dewi Anggini di dalamnya.
Getaran itu disertai hembusan angin amat dingin membekukan tulang.
"Hauuunggg...!"
Di kejauhan terdengar suara lolongan serigala yang begitu mendayu dayu. Dan
-setelah lolongan serigala hilang terbawa angin....
"Sekarang adalah malam Jumat Kliwon. Malam ini adalah malam kebangkitan dari
segala sesuatu yang berbau gaib. Hai, para jiwa yang telah berada dalam
genggamanku. Khususnya pada Ki Sidarata! Pimpinlah empat orang segolonganmu
untuk memindahkan calon raru cinta kita ke tempat yang layak. Kini sudah saatnya
bagi Dewi Anggini bangkit dari tidurnya. Ki Sidarata!
Lakukan tugasmu. Sekejap lagi, kita akan melaksanakan pesta setan yang direstui
para iblis penunggu kegelapan!"
Terdengar suara bagai desiran angin yang tak jelas wujud orangnya. Namun itu
cukup menyentak perasaan laki laki tua bernama Ki Sidarata dan empat orang
-lainnya. Tatapan mata mereka yang menerawang kosong, sekarang tampak berubah
kemerahan. "Ketua memerintahkan untuk mengangkat ratu cinta dari tempat tidurnya. Kita
harus memindahkannya ke istana yang layak. Cepat kerjakan!" perintah sosok
paling tua, yang ternyata Ki Sidarata.
"Baiklah...!" sahut keempat sosok lainnya.
Crak! Crak! Hanya dalam waktu sekejap saja sudah terdengar suara pacul membentur tanaht
Suara suara pacul dari dua orang di antara mereka terus terdengar. Hingga -akhirnya....
Tak! "Berhenti...!" Kembali terdengar seruan. Ternyata, salah satu pacul membentur
sebuah benda cukup keras.
Ketika sosok yang tak memegang pacul turun ke makam dan meraup tanahnya,
ternyata benda keras itu tak lain dari peti jenazah yang terbuat dari kayu jati.
Dan ternyata pula, peti itu masih utuh seperti sepuluh tahun yang lalu, saat
mayat Dewi Anggini dikuburkan.
Secara perlahan lahan, mereka pun membuangi tanah merah yang masih tersisa,
-hingga peti itu terlihat jelas.
"Angkat!" perintah Ki Sidarata.
Keempat laki laki lainnya dengan sekuat tenaga segera mengangkat peti mati, dan
-meletakannya di luar liang kubur,
"Mari kita bawa ke istana!" ujar Ki Sidarata lagi.
Mata laki laki tua yang sebenarnya Ketua Padepokan Camar Putih ini menatap
-kosong pada keempat orang yang berdiri di sekeliling peti mati. Tampaknya memang
ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat telah mem-pengaruhi jiwa dan raga Ki
Sidarata, juga keempat laki-laki lainnya. Sebenarnya mereka memang para pendekar
aliran putih. Peti mati kini segera dipanggul menuju tempat yang tidak begitu jauh dari
pemakaman. Hingga kemudian, mereka tiba di bawah pohon yang paling besar di
tempat ini. Begitu besarnya, hingga tak terpeluk oleh lengan orang orang dewasa.
-Ketika Ki Sidarata mencungkil pohon besar itu, maka tampak sebuah lubang besar
di batang pohon. Mereka pun segera memasukinya, setelah Ki Sidarata menutup
-nya kembali. Ternyata di dasar pohon terdapat anak-anak tangga batu untuk
menuruni lubang hingga ke dasarnya.
Sambil membawa peti rnayat itu mereka terus menuruni anak tangga batu. Dan tiba
di bagian dasar lubang, terdapat sebuah ruangan yang sangat luas. Ada beberapa
obor dari getah jarak yang menyala pada setiap dinding ruangan bawah tanah ini.
Sehingga, suasana di dalamnya tampak terang benderang.
Mereka terus menggotong peti mati itu menuju ke ruangan lain, dari kihi tiba di
sebuah ruangan serba kuning yang ditata begitu rupa, mirip singgasana seorang
putri raja. Sementara di dalam ruangan, telah berkumpul belasan orang memakai jubah kuning
keemasan. Terkecuali bagian wajah, kepala mereka tertutup kain kuning. Sehingga, mereka
tidak ubahnya memakai kerudung. Di antara orang orang berjubah kuning, salah -satu tampak memakai jubah merah. Dia duduk menghadap kursi kebesaran, yang di
sampingnya terdapat sebuah ranjang berhias emas permata.
"Letakkan peti calon ratu di tengah tengah ruangan ini, Ki Sidarata. Sebentar
-lagi, kita akan membangkitkannya!" perintah orang berjubah merah tegas.
Empat orang pembantu Ki Sidarata yang berjubah hitam melakukan apa yang
diperintahkan. "Kalian adalah para abdiku, budakku, dan hamba-hambaku yang akan ikut ambil
bagian dalam cita citaku!
-Karena Racun Pelebur Akal, kalian sama sekali tidak dapat mengingat siapa diri
kalian! Untuk sebuah cita-cita yang sangat besar, kalian harus bersedia
melakukan apa saja. Mengerti?" tandas orang berjubah merah, melanjutkan.
"Kami mengerti, Ketua!" sahut orang orang berjubah kuning dan hitam serentak.
-"Bagus! Sekarang, kalian harus mengeluarkan calon ratu cinta dari dalam tempat
tidurnya!" perintah orang berjubah merah yang dipanggil sebagai ketua.
Dengan patuh orang orang ini mengerjakan apa saja yang diperintahkan orang
-berjubah merah. Mereka segera membuka peti mati. Dan ketika peti terbuka,
terciumlah bau harum khas seorang gadis. Dan di dalam peti mati, terlihat
seorang gadis berwajah cantik bagai bidadari dalam keadaan seperti tertidur
nyenyak. Dia memakai gaun putih bersih. Sedangkan kepalanya memakai ikat warna
putih pula. Tidak seorang pun percaya kalau gadis itu telah mati.
Dengan terkagum kagum kelima lelaki itu mengeluarkan mayat gadis bernama Dewi
-Anggini, dan mem-baringkannya di atas tempat tidur. Tak heran kalau pakaian
mayat Dewi Anggini tampak sudah rapuh di sana sini, karena telah terkubur selama
sepuluh tahun. "Kalian semua tahu, inilah gadis dan calon ratu cinta yang paling cantik di
seluruh dunia! Tiada kecantikan melebihi kecantikannya. Dan sekejap lagi, kalian
juga berhak mencicipi keindahan anggotanya! Karena, racun cinta akan melayani
siapa saja yang menjadi anggota-ku...!" jelas orang berjubah merah. "Sekarang,
kalian harus menggores jari tangan masing masing untuk mengeluarkan tiga tetes
-darah. Darah ini gunanya untuk membangkitkan Dewi Anggini calon ratu cinta kita.
Sebab, dialah yang akan memimpin kalian melakukan
tugas tugas yang telah kurencanakan. Apakah kalian semuanya mengerti"!"
- "Kami mengerti dan siap melaksanakan perintah!"
sahut orang orang berjubah kuning dan hitam serentak.-"Ki Sidarata! Racun Pelebur Akal telah menguasai jiwamu. Sekarang, ambil nampan
itu dan mulai gores tanganmu!"
"Siap, Ketua," sahut Ki Sidarata.
Laki laki tua ini kemudian mengambil sebuah nampan dan sebuah pisau kecil.
-Sementara, di tengah-tengah ruangan orang yang memakai jubah merah mulai
mengucapkan mantra mantra untuk membangkitkan Dewi Anggini.
-*** Ki Sidarata segera menggores ujung jemarinya, hingga terluka meneteskan darah.
Darah ditampung di atas nampan sebanyak tiga tetes. selanjutnya, orang-orang
yang berada di dalam ruangan ini seluruhnya menggores tangan masing masing dan
-mengumpulkan darah di tempat yang sama.
Sebanyak dua puluh satu orang telah menumpahkan tiga tetes darahnya di atas
nampan yang sama.
Kemudian Ki Sidarata segera memberikan nampan yang berisi cairan darah kepada
laki laki berjubah mefah, yang selanjutnya dibawa di atas tempat tidur.
-Laki laki berjubah merah ini segera duduk bersila di atas ranjang. Mulutnya
-langsung komat kamit, membaca mantra mantra gaib sambil meneteskan darah di atas
- -nampan pada kedua mata mayat Dewi Anggini.
Sedangkan sisanya diteteskan ke mulut, ubun ubun, dan pusar.
-"Malam Jumat Kliwon saatnya berbangit! Malam penuh kemenangan, di mana tidak
seorang pun yang dapat mengalahkan kekuatan iblis! Bangkitlah, Ratu Cinta....
Bangkitlah atas kekuatan iblis...!" seru orang berjubah merah.
Saat itu juga orang orang yang memakai jubah kuning dan hitam segera menirukan
-apa yang diucapkan ketuanya. Sehingga suasana di bawah tanah itu menjadi
bergaung menyeramkan.
Hanya sekejapan saja, terjadilah sesuatu yang sangat mencengangkan. Darah yang
ada di kelopak mata, mulut, ubun ubun maupun berada di atas pusar mayat Dewi
-Anggini lenyap tiba tiba. Sementara ranjang berwarna kuning keemasan itu pun
-bergetar hebat.
Jenazah Dewi Anggini yang dalam keadaan utuh setelah terkubur selama sepuluh
tahun tampak meng-geliat. Matanya yang terpejam mengerjap terbuka.
"Setelah sepuluh tahun, Dewi! Setelah sekian lama, akhimya aku dapat
membangkitkan jenazahmu. Kau menjadi ratu cinta pemuas hasrat. Kau menjadi kaki
tanganku untuk melampiaskan dendam berkarat yang telah lama kuderita. Penghinaan
ini memang pantas ditebus dengan kematian mereka, dan juga kematian siapa saja!
Sekarang, untuk mengendalikan semua orang yang berada di dalam ruangan ini agar
menurut perintahku dan perintahmu, maka berilah kepuasan dengan tubuhmu, Ratu
Alam Baka. Beri mereka kesenangan, agar selalu terikat dengan dirimu!" seru
orang berjubah merah.
Sosok tubuh Dewi Anggini yang telah dihidupkan kembali itu menganggukkan kepala.
Matanya mengedip ke arah orang berjubah merah yang telah berdiri di sisi
ranjang. Tetapi orang ini tidak menanggapinya, dan malah kembali ke kursinya.
Saat Dewi Anggini yang berjuluk Ratu Alam Baka menggerakkan tubuhnya, maka
pakaian putihnya yang sudah lapuk terlepas. Sekarang, Dewi Anggini benar-benar
dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun.
"Siapa yang mendapat giliran lebih dulu?" tanya Dewi Anggini menantang.
Tidak ada yang berani menjawab. Padahal, setiap laki laki berjubah hitam dan -kuning ini ingin mendapat kesempatan pertama. Tetapi mereka selalu tunduk pada
orang berjubah merah, berkat Racun Pelebur Akal.
*** Kemudian, orang berjubah merah berpaling pada Ki Sidarata, sambil tersenyum.
Sebuah senyuman penuh arti.
"Ki Sidarata pembantuku yang setia! Kau adalah calon wakil Ratu Alam Baka. Untuk
itu, kau berhak mendapatkan kehangatannya yang pertama!" kata orang berjubah
merah. Seperti dalam pengaruh kekuatan sihir, Ki Sidarata menganggukkan kepala. Kakinya
segera melangkah, mendekati Dewi Anggini. Semeritara itu, orang berjubah merah
segera memberi isyarat pada yang lain lainnya untuk segera meninggalkan ruangan
-itu. Dan dia sendiri juga beranjak keluar ruangan ini.
Di ruangan peraduan ini hanya tinggal Ki Sidarata dan Ratu Alam Baka. Gadis itu


Pendekar Rajawali Sakti 199 Ratu Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum, langsung memeluk Ki Sidarata.
"Lakukanlah apa yang kau inginkan, wahai wakilku!"
bisik Ratu Alam Baka ditelinga laki laki tua ini.
-Ki Sidarata bagaikan harimau kelaparan langsung membalas pelukan Dewi Anggini
yang menggebu gebu.
-Dan wanita ini segera merebahkan diri, membawa tubuh Ki Sidarata yang terus
menciuminya. *** Ketika Ki Sidarata keluar dari ruangan Ratu Alam Baka, maka masuk laki laki
-berjubah lainnya. Kejadian terkutuk itu pun kembali berlangsung. Dengan demikian
Ratu Alarn Baka kembali melayani laki laki yang berbeda beda. Begitu seterus
- - -nya. Dan saat segala galanya telah selesai, laki laki berjubah merah segera
- -mengumpulkan anak buahnya kembali.
"Nanti sore kalian sudah bisa melakukan tugas yang kuberikan. Sedangkan yang
menjadi pimpinan, adalah Ratu Alam Baka! Jelas?" tanya laki laki berjubah merah.-"Jelas, Ketua!" sahut orang orang yang hadir di ruangan ini hampir serentak.
-"Nah, sekarang kalian boleh istirahat!"
Berpasang pasang mata yang selalu menatap kosong itu tampak saling berpandangan.
-Setelah melihat Ratu Alam Baka menganggukkan kepala sambil menggerakkan tangan,
maka mereka segera membubarkan diri.
*** 4 Dua ekor kuda yang satu berbulu hitam dan satu lagi berbulu coklat berpacu
begitu cepat. Penunggang kuda berbulu hitam adalah seorang pemuda tampan memakai
baju rompi putih. Sedangkan yang berada di sebelahnya adalah seorang laki laki
-berambut panjang sepinggang, memakai baju biru. Di dadanya terdapat sulaman
bergambar burung camar putih. Dia tidak lain Kuntala, murid tertua Padepokan
Camar Putih.. "Masih jauhkah tempat itu dari sini, Kuntala?" tanya pemuda berbaju rompi putih
yang terpaksa harus meriyesuaikan lari kudanya dengan kuda Kuntala.
"Tidak lagi, Rangga. Setelah kita melewati tikungan itu, Pemakaman Keramat
Sokalarang sudah terlihat!"
sahut Kuntala. Tidak lama setelah mereka melewati tikungan, segera terlihat sebuah makam luas.
Mereka baru menghentikan kuda setelah sampai di depan pintu gerbang makam.
"Apakah penduduk Sokalarang yang meninggal juga dikuburkan di sini!" tanya
pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga kalem. Pendekar Rajawali Sakti
segera turun dari kuda hitam bernama Dewa Bayu.
"Bukan dari daerah kami saja. Daerah daerah yang jauh dari makam ini juga
-menguburkan sanak keluarganya di sini!" sahut Kuntala, juga turun dari kuda
coklatnya. "Sebaiknya kita lakukan pemeriksaan sekarang!"
putus Pendekar Rajawali Sakti.
Pendekar Rajawali Sakti membawa Dewa Bayu ke sebuah pohon, dan menambatkannya.
Demikian pula Kuntala. Kemudian mereka memasuki pintu gerbang makam.
"Tidak ada apa apa di sini! Kurasa kita telah datang ke tempat yang salah!"
-desis Rangga, ketika telah berjalan beberapa langkah.
"Maksudmu?" tanya Kuntala.
"Mungkin apa yang terdengar hanya kabar bohong saja. Dan di sini tidak pernah
terjadi apa apa."-Kuntala tidak segera menjawab. Dan perhatiannya tertarik pada gundukan tanah
yang tampaknya belum lama digali seseorang.
"Coba kita lihat ke sana!" ajak Kuntala.
Pendekar Rajawali Sakti segera memperhatikan tempat yang dimaksudkan Kuntala.
Tanpa bicara lagi, diikutinya Kuntala.
Tidak lama, mereka telah sampai di pinggir sebuah lubang besar yang tampaknya
baru saja digali. Dengan kening berkerut, Rangga memperhatikan tiap tiap sudut
-lubang. Barangkali saja ada yang bisa digunakan sebagai petunjuk.
"Beberapa hari yang lalu, ini tidak ada. Kurasa ada orang yang menggalinya untuk
mendapatkan sesuatu,"
tebak Kuntala. "Paling tidak tiga atau empat orang telah melakukan penggalian di sini. Aku juga
curiga, jangan jangan orang itu ingin mendapatkan tulang belulang orang yang
- -sudah mati!"
"Ya.... Tetapi, untuk apa...?"
"Pertanyaan seperti itu juga terlintas di dalam benakku. Untuk apa orang
mengambil tulang belulang manusia" Hm.... Pasti mereka punya tujuan tertentu.
-Oh, ya.... Apakah kau benar benar yakin kalau kuncen makam ini benar benar sudah
- -mati?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tidak tahu, Rangga. Ketika memeriksa pondok itu, aku hanya melihat tetesan
darah yang sudah mengering. Aku telah memeriksa sekeliling pondok itu.
Tetapi, aku tidak menemukan mayat kuncen itu!" jawab Kuntala, mendesah.
"Coba kita lakukan pemeriksaan ulang. Kulihat, jejak-jejak kaki ini seperti
menuju ke arah pondok!" ujar Rangga.
Kuntala dan Rangga segera menelusuri jejak jejak kaki menuju ke arah pondok.
-Tetapi sebelum sampai di pondok, jejak jejak kaki itu hilang begitu saja.
-"Tidak ada apa apa di sini! Mungkin ini hanya tipuan saja. Kurasa, sebaiknya
-kita menuju ke utara sesuai arah jejak ini. Kalau nanti kita tidak memperoleh
hasil sesuai yang
diharapkan, sebaiknya kita kembali ke padepokan!" putus Rangga.
"Aku setuju! Tapi, entah mengapa sekarang perasaanku tidak enak begini!" keluh
Kuntala, seperti kurang bersemangat.
"Jangan malas! Mudah mudahan saja kita menemukan jejak gurumu. Kalau benar -diculik, kuharap sampai sekarang dia masih hidup!"
"Aku tidak yakin guruku masih hidup. Mimpi mimpi itu selalu menghantuiku ke mana
-pun aku pergi!"
"Sudahlah.... Jangan kau biarkan bayangan menakut
-kan menghantui dirimu. Kita sedang berusaha melakukan apa sebatas kemampuan.
Kita harus berusaha.
Hasilnya, terserah bagaimana Yang Maha Kuasa," tegas Rangga disertai seulas
senyum. "Marilah. Aku harus mengikuti ke mana pun yang kau anggap baik, Rangga!" sahut
Kuntala. *** Hari baru saja beranjak malam. Murid murid
-Padepokan Camar Putih tampak duduk duduk melepas lelah di pendopo. Setelah
-hampir sehari penuh bekeria di kebun dan meneoba menghilangkan berbagai beban
yang menghimpit pikiran masing masing, sekarang tiba giliran untuk merenung
-segala sesuatu yang telah terjadi. Baik tentang diri sendiri, atau tentang diri
guru mereka yang tidak pernah kembali. Mereka yang tidak suka memikirkan apa
yang telah dan akan terjadi, malah menyibukkan diri dengan bermain catur.
Sungguhpun demikian, mereka tidak pernah melupakan apa yang sudah menjadi
kewajiban masing masing.
-Tanpa mereka sadari, tidak jauh dari bangunan Padepokan Camar Putih tampak
bergerak belasan orang berjubah kuning dan hitam. Di depan rombongan itu tampak
dua orang berkuda. Yang satu seorang gadis jelita memakai baju putih ketat.
Sedangkan di sebelahnya tampak seorang laki laki tua berbaju biru.
-"Kita sudah hampir sampai, Ketua," lapor laki laki tua berbaju biru.
-"Untuk membuktikan kesetiaanmu kepada ketua tertinggi, kau harus membunuh murid
-muridmu. Ingat!
Mereka bukan orang yang segolongan dengan kita!"
perintah gadis cantik itu.
"Aku akan melaksanakan tugas sebaik baiknya!" janji laki lald itu mantap.
- -Beberapa saat kemudian, sampailah rombongan ini.
Mereka langsung memasuki halaman Padepokan Camar Putih. Sekerika murid murid
-padepokan kaget sekaligus kegirangan, ketika melihat kemunculan laki laki tua
- berbaju biru. "Guru telah datang! Guru kita telah datang...!" teriak murid murid yang berada -di pendopo.
Mereka yang berada di dalam bangunan padepokan berhamburan keluar. Tetapi
beberapa orang di antaranya tampak terkejut, ketika melihat laki laki tua yang
-tak lain Ki Sidarata disertai orang orang yang tidak dikenal sama sekali. Selain
-itu, tatapan mata Ki Sidarata juga sedemikian dingin dan terkadang menerawang
kosong. "Siapakah orang orang yang menyertai Guru?" tanya salah seorang murid.
-"Mereka adalah sahabat sahabatku. Hm.... Siwalaya, kau sebagai murid kedua,
-kumpulkan semua adik seperguruanmu di halaman ini untuk memberi peng-hormatan!"
ujar Ki Sidarata dengan suara datar.
Tanpa curiga, murid bernama Siwalaya memanggil semua murid Padepokan Camar Putih
untuk berkumpul di halaman depan padepokan. Ki Sidarata tersenyum dingin.
"Sudah semuanya?" tanya Ki Sidarata lagi.
"Masa' Guru lupa. Bukankah kami telah berkumpul di sini seluruhnya?" tukas
Siwalaya, setelah tugasnya
selesai. "Aku tidak melihat Kuntala?" tanya Ki Sidarata.
"Dia justru sedang mencari Guru ke mana mana!"
-"Hm, begitu" Tidak mengapa. Sekarang, kalian menghormatlah pada kawan kawanku!"
-perintah Ki Sidarata tegas. Rupanya, walaupun pikiran warasnya hilang, Ki
Sidarata masih diberi ingatan pada murid-muridnya.
Tanpa merasa ragu, murid murid Padepokan Camar Putih segera melakukan apa yang
-diperintahkan guru rriereka. Namun pada saat itulah Ki Sidarata mencabut pedang
yang tergantung di pinggang. Dengan kecepatan bagaikan kilat tubuhnya berkelebat
dari punggung kuda.
Sekerika senjata di tangan mengibas ke arah murid-muridnya yang sedang
membungkukkan badan,
Cras! Cras! "Wuaagkh...!"
Pedang camar yang berwarna putih mengkilat seperti perak langsung menghantam
punggung beberapa orang murid Padepokan Camar Putih. Karena Ki Sidarata
mempergunakan sebagian dari tenaga dalamnya, maka tubuh murid murid malang itu
-terputus menjadi dua bagian!
Beberapa murid lain kontan terkejut mendengar jeritan kawan kawannya. Mereka
-langsung menegakkan badan. Dan mereka lebih terkejut lagi, ketika melihat pedang
di tangan guru mereka berlumuran darah.
"Guru! Apakah Guru sudah gila membunuh murid-muridmu sendiri?" teriak Siwalaya.
"Ha ha ha..,! Kalian bukan muridku! Kalian adalah sampah yang pantas
disingkirkan!" dengus Ki Sidarata.
"Apa yang membuatmu berubah, Guru"! Apakah wanita itu yang telah meracuni Guru?"
tanya murid yang lain dengan berang.
Rupanya setelah melihat air muka gurunya, murid-murid Padepokan Camar Putih jadi
curiga. Pasti ada yang tidak beres pada Ki Sidarata. Tetapi apa yang dapat
dilakukan tanpa Kuntala"
"Tutup mulutmu! Kau tidak pantas bicara begitu pada ketua kami!" bentak Ki
Sidarata dengan mata mendelik.
*** Tampaknya murid murid Padepokan Camar Putih-tidak mungkin dapat menyadarkan gurunya yang sudah seperti orang kehilangan
ingatan itu. Sehingga mereka seperti mendapat aba aba, langsung berlompatan
-mundur. "Bunuh mereka!" perintah gadis berkuda yang tak lain Ratu Alam Baka kepada Ki
Sidarata dan belasan orang lain yang menyertainya.
Serentak orang orang itu dengan tatapan kosong tanpa cahaya kehidupan segera
-mencabut berbagai senjata. Lalu....
"Hajar! Hiyaaa...!" teriak Ki Sidarata, memberi aba-aba.
Seketika terjadilah pertempuran sengit. Dan sebagai murid, tentu saja pemuda
-pemuda itu kewalahan menghadapi gurunya sendiri. Apalagi saat itu Ki Sidarata
dibantu belasan orang pengikut Ratu Alam Baka.
Sehingga, keadaan mereka ibarat telur di ujung tanduk.
Namun, murid murid padepokan itu tidak mau pasrah menunggu nasib buruk. Dengan
-segenap kemampuan mereka terus berusaha melakukan perlawanan tidak kalah
sengitnya. Pedang di tangan mereka diputar secepat kilat.
Tetapi selain Ki Sidarata, ternyata pengikut pengikut Ratu Alam Baka lainnya
-juga mempunyai tingkat kepandaian tidak rendah. Sehingga, mereka dalam waktu
sangat singkat mulai mendesak mundur.
"Cepat habisi orang orang tolol itu!" teriak Ratu Alam Baka, memberi perintah.
-"Hiyaaa...!"
Seperti dirasuki iblis durjana, orang orang itu membantai murid murid Padepokan
- -Camar Putih. Satu demi satu murid murid yang malang ini mulai menemui ajal di
-ujung senjata. Bahkan Ki Sidarata sendiri tampak lebih ganas. Pedangnya
diayunkan ketiga penjuru sekaligus.
"Ciaaat...!"
Cres! Cres! "Aaa...!"
Tiga orang yang sebenarnya murid Ki Sidarata menjerit keras terkena senjata
pedang yang amat tajam pada bagian perut. Usus mereka memburai keluar disertai
darah mengucur deras dari luka yang memanjang. Tidak lama terbanting, tubuh
mereka kelojotan sebentar. Lalu, diam untuk selama lama nya.- -"Guru gila! Manusia sinting! Hiyaaa...!" jerit Siwalaya.
Saat itu juga pemuda ini memutar pedangnya dengan pengerahan jurus andalan.
Wesss...! Terasa sambaran angin halus menerpa wajah Ki Sidarata.
"Huh! Camar Putih Bermain Di Atas Ombak. Kau mainkan di depanku!" dengus Ki
Sidarata. Sebagai orang yang menciptakan jurus itu, tentu Ketua Padepokan Camar Putih ini
sudah paham betul kehebatan serta kelemahannya. Maka tidak kalah hebatnya,
pedangnya diputar untuk menangkis serangan Siwalaya. Trang!
Akibat kerasnya benturan, pedang di tangan Siwalaya terpenal. Jelas saja, tenaga
dalamnya kalah jauh dibandingkan tenaga dalam bekas gurunya.
Pemuda itu terkejut sekali. Segera dia melompat mundur. Tetapi, laki laki tua
-itu terus memburunya dengan tusukan pedang. "Aih...!"
Siwalaya menjatuhkan diri seraya berguling guling untuk menyelamatkan diri.
-Namun, Ki Sidarata, terus rnengejar. Tepat ketika Siwalaya bangkit berdiri,
tendangan orang tua itu meluncur datang. Sehingga.....
Buk! "Aaakh...!"
Siwalaya menjerit keras dengan tubuh terhuyung-huyung. Dan belum juga dia
menjaga keseimbangannya, pedang di tangan Ki Sidarata meluncur cepat tak
terhindarkan lagi.
Crep! "Aaa...!"
Mantap sekali pedang itu menembus dada sampai ke bagian jantung Siwalaya. Murid
yang malang itu ambruk dan tewas saat itu juga.
Ki Sidarata tertawa terbahak bahak -melihat kematian murid keduanya.
Setelah kematian Siwalaya, maka korban terus ber-jatuhan. Sampai pada akhirnya
hanya tinggal satu yang tersisa. Orang ini dalam keadaan terluka. Ketika melihat
kematian kawan kawannya, dia berpura pura mati untuk menyelamatkan nyawanya.- -"Kau telah menjalankan tugas dengan baik, Wakilku.
Aku pasti akan memberimu surga malam ini. Tetapi sebelum kita melanjutkan
perjalanan untuk mencari musuh besar Ketua Yang Agung, lebih baik bakar dulu
padepokan ini!" perintah Ratu Alam Baka tegas.
Membakar padepokan tentu bukan persoalan bagi Ki Sidarata. Apalagi, dia sudah
kehilangan akal sehatnya akibat Racun Pelebur Akal. Dengan senang hati laki laki
-tua ini memimpin pembakaran padepokan yang dibangunnya sendiri, dengan susah
payah. Sekejap saja, api sudah menyala dan membakar habis bangunan yang banyak
menyimpan suka duka.
Para pembunuh berdarah dingin ini memperhatikan kobaran api sambil tersenyum
puas. "Mari kita pergi!"
ujar Ratu Alam Baka.
"Mari, Ketua," sahut Ki Sidarata.
*** Pagi Pendekar Rajawali Sakti dan, Kuntala baru saja muncul dari arah utara.
Jelas sekali mereka dalam keadaan tergesa gesa. Saat melewati jalan desa yang
-lebar, penduduk yang kebetulan berlawanan arah dengan kedua penunggang kuda itu
tidak marah oleh kepulan debu, yang tercipta. Sebab, mereka kenal baik
dengan salah seorang yang tidak lain murid tertua Padepokan Camar Putih.


Pendekar Rajawali Sakti 199 Ratu Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya, Kuntala sendiri menjadi heran. Karena setiap mereka berjumpa
penduduk di situ, rata rata langsung menundukkan kepala. Merasa semakin
-penasaran, Kuntala mempercepat lari kudanya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti
harus menyesuaikan lari kudanya dengan kuda Kuntala, agar selalu berada di
sisinya. Ketika sudah mendekati Padepokan Camar Putih, rasa kaget di hati Kuntala semakin
menjadi jadi. Dia melihat banyak penduduk yang tinggal berdekatan dengan
-padepokan berkerumun di halaman. Lebih kaget lagi, setelah melihat padepokan
hanya tinggal puing puing hangus yang rata dengan tanah. Di sana sini masih
-mengepulkan asap tipis.
Kuntala segera melompat dari atas punggung kudanya diikuti Rangga. Lalu, dia
berlari dan me-nyeruak di tengah tengah orang banyak.
-"Apa yang telah terjadi di sini?" tanya Kuntala pada orang yang berdiri di
sampingnya. "Sepertinya kita telah datang terlambat, Kuntala,"
gumam Rangga sambil menepuk nepuk pundak Kuntala.
-Kuntala seperti tidak percaya memperhatikan mayat-mayat saudara seperguruannya
yang bergeletakan tak tentu arah.
Di tengah tengah kerumunan penduduk desa, Kuntala melihat seorang pemuda dengan -dada dibalut kain menghampirinya. Kuntala jelas mengenali orang ini.
"Braga! Katakan, apa yang terjadi di sini" Siapa yang
membunuh saudara saudara kita?" terabas Kuntala, begitu pemuda bernama Braga
-tiba di depannya.
Tanpa sadar Kuntala mencengkeram pundak Braga.
Sehingga, pemuda yang belum sembuh dari lukanya itu menyeringai kesakitan.
"Lepaskan Kakang Kuntala!" Braga meronta.
"Ehhh..., maaf...!" ucap Kuntala.
Pendekar Rajawali Sakti segera mengajak kedua pemuda itu menjauhi penduduk yang
semakin banyak berdatangan. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang tidak jauh
dari padepokan.
"Coba katakan padaku, siapa yang melakukan pembantaian ini!" desak Kuntala tidak
sabar. "Kejadiannya berlangsung sangat cepat, Kakang,"
desah Braga dengan mata berkaca kaca. "Ketika Guru kembali, semua saudara kita
-di sini sangat bergembira.
Tetapi, apa yang dilakukannya tidak mungkin dapat kulupakan seumur hidupku. Dia
bersama orang orang berjubah kuning membunuhi saudara saudara kita...."
- -"Apakah kau sudah gila"! Mana mungkin seorang Guru tega membunuh murid muridnya
-sendiri!" sergah Kuntala.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang mendengarkan semua ini jadi kaget sekali.
"Bukan aku yang gila! Tetapi, Guru kita dan orang-orang berjubah itu," sahut
Braga pelan suaranya.
"Selain Guru dan orang orang berjubah itu, lalu siapa lagi?" tanya Kuntala ingin
-kepastian. "Seorang gadis yang cantik luar biasa. Guru memanggilnya dengan sebutan Ratu
Alam Baka. Gadis itulah yang memimpin tidak kurang dari dua puluh
orang laki laki. Aku juga mendengar, mereka memanggil ketua pada gadis berbaju
-putih itu!" jelas Braga.
"Bagaimana, Rangga" Apakah kau mengenal
mereka?" tanya Kuntala penasaran.
Pendekar Rajawali Sakti dengan tegas menggeleng.
"Lalu, apa lagi?"
"Gadis itu mengatakan tentang Ketua Yang Agung.
Ya..., mereka sedang menjalankan tugas yang diberikan Ketua Yang Agung. Aku
tidak tahu, siapa dia. Mungkin saja rajanya para iblis. Sebab, tindakan mereka
benar-benar seperti iblis!" geram Braga.
"Sebaiknya lata bicarakan nanti saja, Rangga. Kita perlu menguburkan mayat mayat-itu," ujar Kuntala.
"Kakang..." seru Braga.
"Ada apa?"
Kuntala memperhatikan adik seperguruannya dengan heran. "Jika penguburan saudara saudara kita telah selesai, aku ingin kembali saja ke
-daerah asalku. Kurasa, aku tidak cocok berada di sini," jelas Braga.
"Aku tidak bisa mencegahmu. Jika memang itu pilihanmu, silakan saja," jawab
Kuntala. *** 5 "Apa rencana kita selanjutnya, Rangga?" tanya Kuntala, ketika bersama Pendekar
Rajawali Sakti tengah beristirahat di halaman padepokan yang telah rata dengan
tanah. "Pertama yang kita lakukan adalah, mencari Ratu Alam Baka dan anggotanya. Kurasa
jika mereka dapat ditangkap, kita segera tahu siapa sebenarnya yang berdiri di
belakang mereka!" jawab Rangga, tegas.
"Aku setuju! Namun yang membuatku heran, mengapa Ratu Alam Baka terlebih lebih
-guruku sendiri, begini tega membunuh saudara saudaraku!
-"Aku rasa, tujuan yang sebenarnya pastilah bukan itu. Saudara saudara
-seperguruanmu hanya korban sampingan saja. Atau bisa jadi, Ratu Alam Baka
digerakkan seseorang untuk membunuh musuh besar orang itu sendiri," duga
Pendekar Rajawali Sakti.
"Jadi segala sesuatunya bersumber dari makam keramat?" tebak Kuntala.
"Betul sekali! lngat tidak, ketika kita menemukan sebuah kubur yang sepertinya
telah digali seseorang?"
tanya Rangga. "Tentu saja ingat."
"Apakah kau berani memastikan apakah kubur itu milik laki laki atau perempuan?"-"Daerah makam yang di sebelah kanan, keseluruhannya adalah tempat mengubur mayat
perempuan. Seingatku, aku membawa batu nisan yang tergeletak di
samping lubang. Kurasa, nisan itu dapat memberi jawaban yang diinginkan," jelas
Kuntala. "Mana?" tanya Rangga.
"Aku menyimpannya di pelana kuda. Tunggu sebentar. Biar kuambilkan...!" sahut
Kuntala. Sekejap kemudian Kuntala meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti untuk mendapatkan
kudanya. Dan sekejap kemudian dia telah kembali lagi dengan membawa sebuah batu
nisan yang telah dipatahkan bagian ujungnya.
Kuntala menyerahkan batu nisan pada Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti langsung membaca tulisan yang tertera di atas nisan.
Dewi Anggini. Dewi yang tercantik abadi. Meninggal secara aneh dalam umur dua
puluh tahun. Rangga tercengang, setelah membaca tulisan yang tertera pada nisan. Sekarang
sudah diperoleh gambaran agak lebih jelas. Namun kemudian timbul keraguan di
hatinya. Benarkah orang yang telah mati dapat dihidupkan kembali" Lagi pula,
mayatnya sudah jelas tidak utuh. Atau paling tidak tinggal tulang belulang saja.
-"Kau menemukan sesuatu, Rangga?" Tanya Kuntala.
"Aku menemukan jawaban yang sulit diterima akal sehat. Atau, kita semuanya apa
memang sudah menjadi gila," gumam Rangga.
"Maksudmu?" tanya Kuntala tidak mengerti.
"Kurasa, ada yang telah menggali dan mencuri mayat Dewi Anggini. Paling tidak,
inilah jawaban yang kudapatkan dari batu nisan ini. Dan, Dewi Anggini telah
dibangkitkan kembali," jelas Rangga.
"Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, mayatnya
masih utuh?" tukas Kuntala..
"Kupikir Dewi Anggini mempunyai ilmu 'Karang'.
Orang yang mempunyai ilmu ini, mayatnya tidak akan pernah membusuk walau telah
terkubur selama berabad abad," jelas Pendekar Rajawali Sakti secara hati hati.- -"Lalu, siapa yang dapat membangkitkannya...?"
tanya Kuntala. "Paling tidak orang yang pernah mengenal baik gadis itu. Kalau dugaanku benar,
berarti orang yang telah membangkitkan Dewi Anggini punya dendam khusus pada
Pendekar Mata Keranjang 24 Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib Perguruan Kera Emas 3
^