Pencarian

Siluman Pemburu Perawan 1

Pendekar Rajawali Sakti 177 Siluman Pemburu Perawan Bagian 1


" . 177. Siluman Pemburu Perawan Bag. 1 - 4
7. M?rz 2015 um 21:38
? Pendekar Rajawali Sakti
episode: Siluman Pemburu Perawan
Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta
? 1 ? Senja baru saja berlalu, dan kegelapan pun menyergap Kadipaten Welirang. Termasuk, Desa Cendanu yang kelihatan sepi. Tak seorang pun yang terlihat berada di luar rumah. Kabut tebal dan udara dingin setelah tadi turun hujan agaknya yang jadi penyebab kesunyian ini. Namun keheningan itu mendadak pecah oleh....
'Tolong...! Tolooong.... Aaa...!"
Terdengar jeritan minta tolong yang diikuti te-riakan kesakitan. Pada saat yang sama dari atap sebuah rumah tempat asal jeritan, tampak berkelebat sebuah bayangan sambil memondong satu sosok tubuh ramping terkulai tak berdaya.
"Eh! Apa"! Oh!"
Dua penjaga yang tengah terlelap tersentak kaget, mendengar teriakan barusan. Sesaat mereka mondar-mandir tak tahu tujuan. Namun salah seorang langsung sempat melihat sesosok bayangan yang tengah berkelebat di atap rumah.
"Hei"! Itu dia! Berhenti! Berhenti...!"
"Berhenti atau kubunuh kau!" sambut yang lain.
Sosok berpakaian serta hitam itu berhenti se-bentar. Dan tiba-tiba dia mengebutkan tangannya, ke arah para penjaga.
Wusss! Terdengar desir angin berhawa panas dari te-lapak tangan sosok berpakaian serba hitam itu, langsung melesat ke arah dua penjaga.
Desss...! Desss...!
"Aaa...!"
Keduanya terpental ke belakang sambil menje-rit menyayat. Begitu ambruk di tanah, di dada mereka terlihat tanda hitam seperti daging terbakar. Keduanya tergeletak tanpa nyawa lagi.
Sedangkan sosok berpakaian serba hitam, begitu melepas serangan mendadak langsung berkelebat kembali dari satu atap ke atap rumah lainnya. Sebentar saja, tubuhnya telah lenyap dalam kegelapan. Memang begitu cepat dan ringan sekali gerakannya, pertanda bukan orang sembarangan.
Sementara itu, teriakan dari rumah yang disa-troni sosok berpakaian hitam tadi, mendapat sambutan. Beberapa orang penduduk langsung keluar, membawa obor dan berbagai macam senjata. Dalam waktu singkat di halaman depan bangunan rumah besar itu keadaan jadi terang benderang oleh para penduduk yang berkumpul.
"Tolong! Tolong...! Seseorang menculik anak-ku! Dan dia juga membunuh suamiku! Tolooong...!" teriak seorang wanita setengah baya yang tergopoh-gopoh keluar.
Wajah wanita ini tampak pucat. Airmatanya tumpah tak karuan. Bias kecemasan terlihat jelas pada wajahnya, yang bercampur ketakutan.
"Ke mana larinya penculik itu, Nyi Sati?" tanya seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun.
"Ke atas, Ki Langser!" tunjuk perempuan setengah baya yang dipanggil Nyi Sati cepat.
"Hei, lihat! Dua orang penjaga rumah Ki Nya-mat mati!" teriak seorang penduduk.
Orang-orang segera mengerubungi kedua penjaga rumah Ki Nyamat, seorang saudagar kaya di desa ini. Mereka menggotong mayat itu ke beranda depan. Sementara Nyi Sati, istri Ki Nyamat tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat itu. Didampingi beberapa orang pelayannya, wanita ini cuma menangis sesegukan.
"Ayo menyebar dan buat kelompok! Kita cari penculik itu!" teriak laki-lald tua yang bernama Langser, memberi perintah.
Ki Langser yang di Desa Cendanu ini menjabat sebagai kepala desa, kelihatan geram dan marah. Selama beberapa tahun tinggal di sini, bahkan sejak kecil, belum pernah terjadi peristiwa penculikan.
Tidak tanggung-tanggung. Karena yang diculik bukan harta benda, melainkan anak perawan Ki Nyamat. Seorang gadis yang terkenal cantik dan menjadi kembang desa ini.
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang desa yang tengah berkumpul langsung membentuk kelompok dan melakukan pengejaran. Apalagi para pemudanya. Mereka kelihatan bersemangat melakukan pengejaran.
? *** ? Ki Nyamat bukan orang sombong di desa ini. Dia tergolong kaya. Tak heran kalau kematiannya yang mengenaskan serta kematian dua penjaga rumahnya, banyak dikunjungi penduduk desa.
Sementara Nyi Sati tampak masih kelihatan belum sempurna keadaannya, meski pemakaman telah usai. Beberapa kali dia terpaksa dipapah para pelayan saat pergi dan pulang dari pekuburan.
Keadaan ini membuat Kepala Desa Cendanu segera bertindak. Para penduduk desa dikumpul-kan. Dan mereka mulai membicarakan persoalan itu.
"Kisanak semua.... Kejadian ini tidak bisa kita pandang sebelah mata. Si penculik mungkin akan kembali untuk mencari korban lagi. Maka kita mesti waspada...!" kata Ki Langser ketika membuka musyawarah di beranda rumahnya.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki Langser?" tanya seorang penduduk berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dia dikenal dengan nama Ki Sabrang.
"Ya, apa yang mesti kita lakukan sekarang?" sambung seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Badannya tegap, dengan kumis lipis menghias wajahnya. "Bukankah beberapa waktu lalu kami telah memberi tahu akan datangnya bahaya seperti ini" Tapi ketika itu Ki Langser seperti tak percaya. Bahkan meremehkannya."
"Sudahlah. Jangan permasalahkan hal itu, Panca! Yang berlalu biarkan berlalu. Yang terpenting sekarang, kita bahas dulu soal ini," sahut salah seorang laki-laki tua berpakaian serba putih.
"Ya.... Aku tahu, dan mengaku salah," sahut Ki Langser dengan suara lirih penuh penyesalan. "Mestinya aku mendengarkan keluhan warga yang mendengar berita ini dari desa tetangga...."
"Sudahlah.... Tak apa, Ki," sambung laki-laki yang dipanggil Panca. "Aku juga tidak bermaksud menyalahkan."
"Iya. Yang penting kita cari tahu dulu, siapa penculik itu," lanjut laki-laki tua berpakaian serba putih, yang berwajah lembut menampakkan kearifan dan perbawa kuat. Tak heran kalau oleh penduduk desa ini dia diangkat sebagai ketua desa. Para penduduk sering memanggilnya dengan nama Ki Tambika.
"Baiklah. Apakah di antara kita ada yang bisa ???menduga siapa penculik itu sebenarnya?" tanya Ki Langser.
"Tidak seorang pun yang bisa mengetahuinya. Yang jelas, dia bukan warga desa sini, atau desa tetangga," sahut Panca ketika yang lain terdiam.
"Berarti kita tidak tahu ke mana mesti menca-rinya?"
"Orang itu berilmu tinggi. Dan rasanya mustahil bisa dilacak oleh kita...."
"Apa maksudmu, Panca?" tanya seorang penduduk.
"Dua desa tetangga kita telah mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Ki Nyamat. Yaitu, anak gadisnya diculik. Namun tak seorang pun yang pernah melihat atau mengetahui, siapa penculiknya. Dia datang dan pergi bagai setan," jelas Panca.
"Jangan-jangan memang hantu!" desis penduduk lainnya, takut-takut.
"Bisa jadi! Sebab, beberapa orang menju-lukinya sebagai Siluman Pemburu Perawan. Hal itu jelas, karena yang diincar bukan harta benda, tapi seorang perawan belasan tahun dan berparas cantik!" jelas Panca.
"Apa maksud penculik itu sebenarnya?" gu-mam beberapa penduduk yang ada di ruang itu.
"Kalau dia seorang laki-laki, maksudnya mungkin lebih jelas. Yaitu....," Ki Langser tidak melanjutkan kata-katanya karena yakin, bahwa mereka semua mengerti. "Tapi kalau dia wanita" Apa yang dicarinya?"
"Ada beberapa orang penganut ilmu sesat yang menjadikan gadis perawan sebagai tumbal," sahut Ki Tambika.
"Siapa kira-kira penganut ilmu sesat itu?" tanya Panca.
Untuk sesaat ruangan serambi Kepala Desa Cendanu seperti pekuburan. Suasana hening mencekam bercampur wajah-wajah berkerut yang menyimpan amarah, kesal, namun tak tahu mesti berbuat apa. Mereka tengah berpikir, atau juga mengingat-ingat. Siapa gerangan yang pernah mendalami ilmu sesat seperti yang dikatakan Ki Tambika tadi.
"Rasanya, di desa ini belum ada terdengar ada orang yang menganut ilmu sesat...," cetus seseorang.
"Ya. Kurasa, begitu juga di desa tetangga kita," timpal Panca.
"Kurasa orang asing yang sengaja mencari kor-ban di desa-desa sekitar sini. Dengan begitu, je-jaknya tidak tercium...," duga Ki Tambika.
"Lepas dari itu semua, kita tetap mesti waspada. Tingkatkan keamanan di wilayah masing-masing. Jangan sampai kita kecolongan lagi seperti semalam. Juga ada hal yang terpenting. Yaitu, kita mesti waspada pada setiap orang asing yang lewat dan singgah di desa ini!" lanjut Ki Langser, memberi pengarahan.
"Ya. Itu usul yang bagus!" dukung Ki Sabrang.
Sementara yang lain mengangguk-angguk sebagai tanda mendukung pendapat itu.
Tapi baru saja pertemuan itu akan bubar, mendadak seorang pemuda bertubuh kurus memasuki serambi rumah kepala desa ini.
"Maaf, Ki...," ucap pemuda ini
"Ada apa, Gandung?" tanya Kepala Desa Cendanu.
"Seseorang melewati desa kita," lapor pemuda bertubuh kurus yang dipanggil Gandung.
"Apa maksudmu?" kejar Ki Langser dengan kening berkerut tajam.
"Orang asing! Aku belum pernah melihat se-belumnya," jelas Gandung.
"Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Ki Tambika.
"Seorang pemuda tampan barbaju rompi putih. Di punggungnya terselip sebatang pedang bergagang kepala burung. Dia menunggang kuda hitam," jelas Gandung.
"Hm.... Kalau begitu, beritahu semua penduduk! Kita cegat pemuda itu. Aku punya dugaan kuat, dialah penculik yang tengah kita cari!" ujar Ki Langser.
Ki Tambika baru saja akan menimpali, tapi su-aranya tenggelam di antara semangat kemarahan penduduk desa yang berada di serambi ini. Mereka semua menyambut ajakan Ki Langser penuh semangat. Bahkan segera angkat kaki dari ruangan ini.
Pada akhirnya, mau tak mau Ki Tambika terpaksa mengikuti.
"Dasar orang-orang tak sabar...!" umpat Ki Tambika dalam hati.
? *** ? Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tampak tenang-tenang saja menjalankan kudanya di jalan utama Desa Cendanu ini. Bola matanya beredar ke sekeliling memperhatikan tiap-tiap su-dut. Keningnya tampak berkerut dengan mata agak menyipit. Sepertinya, dia menangkap gejala keanehan yang terjadi di desa ini. Pada sebuah rumah yang paling besar di desa ini terlihat tanda-tanda bahwa penghuninya tengah berduka, tapi keadaannya sepi. Sementara penduduk desa ini jarang yang berkeliaran di depan rumah atau di jalan. Boleh dikatakan, desa ini seperti hampir mati. Padahal dari jumlah rumahnya, mestinya penduduknya ramai.
Dan mendadak saja pemuda itu menghentikan kudanya dengan sikap terkejut. Karena tahu-tahu beberapa penduduk desa keluar dari segala penjuru dengan senjata terhunus. Sikap mereka yang mengancam jelas ditujukan padanya. Wajah-wajah mereka menunjukkan permusuhan.
Pemuda itu memandang pada seorang laki-laki setengah baya yang berada paling depan pada jarak sepuluh langkah.
"Kisanak.... Kenapa tiba-tiba orang-orang ini berkumpul mengerubungiku?" tanya pemuda itu berusaha bersikap ramah.
"Jangan berpura-pura, Penculik Terkutuk! Se-rahkan putri Ki Nyamat! Juga, serahkan dirimu untuk kami adili!" bentak laki-laki setengah baya yang tak lain Ki Langser, Kepala Desa Cendanu ini.
Pemuda berbaju rompi putih ini bukan main kagetnya mendengar tuduhan itu. Dari mana mereka bisa berkata seperti itu, padahal baru pertama kali menginjakkan kaki di desa ini"
"Maaf, Ki! Ini salah paham. Aku Rangga, seorang pengembara. Dan aku sama sekali tidak mengerti tuduhan itu...," sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, berusaha menjelaskan.
"Tidak usah banyak bicara! Serahkan dirimu. Dan, serahkan pula putri Ki Nyamat yang kau culik semalam"!" bentak Ki Langser lagi.
"Aku tidak pernah menculik siapa pun, Ki. Dan aku juga tidak kenal Ki Nyamat yang kau sebutkan tadi. Ini salah paham. Dan kalian salah menuduh orang," kilah Pendekar Rajawali Sakti.
Agaknya percuma saja Rangga berusaha menjelaskan. Mereka bukannya mengerti, malah me-ngurungnya semakin dekat.
"Kau lihat mereka, bukan" Kalau kau masih membangkang, maka jangan salahkan kalau kami bertindak keras. Kau telah membunuh tiga orang dalam semalam. Maka jangan harap kebaikan kami untuk mengampunimu!" lanjut Kepala Desa Cendanu ini.
Pendekar Rajawali Sakti hanya menarik napas panjang. Lalu perlahan-lahan dia turun dari punggung kudanya. Kejengkelannya mulai naik ke kepala, melihat tingkah orang-orang desa yang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Dan dia telah mempersiapkan diri, jika sewaktu-waktu mereka mengamuk tiba-tiba.
"Bagus kalau kau menyerahkan dirimu dengan baik-baik!" sambut Ki Langser.
Rangga tersenyum sambil menggeleng-geleng. Sorot matanya berusaha dibuat selembut mungkin.
"Jangan salah sangka, Ki. Aku tidak ingin terjadi apa-apa di antara kita. Tapi kalau kau memaksa, aku terpaksa mempertahankan diri," desah Rangga tetap dengan senyum.
"Kurang ajar! Kalau begitu kau mencari penya-kit!" hardik Ki Langser.
Seketika Ki Langser menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada penduduk desa yang telah nengepung.
"Tangkap dan habisi dia! Pemuda ini menolak kita adili secara baik-baik!" perintah Ki Langser.
?"Beres, Ki!"
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Sambil mendesah panjang Pendekar Rajawali Sakti mengegos ke kiri ketika seorang pemuda telah merangsek lebih dulu dengan ayunan golok-nya ke perut. Sebelah tangannya cepat menangkap pergelangan tangan yang memegang golok.
Tap! Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti meram-pas senjata tajam itu, lalu sebelah kakinya menyodok perut.
Duk! "Aaakh...!"
Tidak keras, namun sudah membuat pemuda itu menjerit kesakitan.
Namun belum lagi Rangga menarik napas lega, dua orang telah kembali meluruk dengan senjata terhunus dari belakang.
Wuttt! Wuttt! Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu golok ram-pasan, dihantamkan ke senjata-senjata yang meluruk tajam hampir bersamaan.
Tras! Tak! "Hei"!"
Senjata berupa cangkul dan golok, mendadak patah dan terpental ditebas golok Rangga. Dan belum sempat mereka menyerang lebih lanjut, satu sapuan tendangan Pendekar Rajawali Sakti sudah meluruk deras.
Desss...! Diegkh...! "Aaakh...!"
Dua orang kontan terjengkang ambruk, disertai jerit kesakitan begitu tendangan Rangga mendarat tepat di sasaran.
"Hei"! Kurang ajar!"
"Bunuh dia...!" teriak Ki Langser.
Rangga benar-benar hanya bisa menggeleng lemah. Dia sudah berusaha membuktikan kalau dirinya bukan pembunuh. Bahkan para penduduknya hanya dibuat pingsan. Pemuda ini memang hanya sekadar memberi pelajaran saja pada manusia-manusia berkepala batu.
Namun, agaknya dengan tindakan Rangga, hal ini membuat para penduduk lainnya marah. Dan tanpa kenal takut, mereka menyerbu ke arah Rangga secara bersamaan dari segala penjuru.
"Heaaa...!"
Pendekar Rajawali Sakti mendadak berkelebat cepat sambil melepaskan kibasan tangan ke setiap orang yang mendekatinya.
Des..., diegkh..., dug...!
"Aaa...!"
Disertai jerit hampir berbarengan, tujuh orang langsung berpentalan tak tentu arah. Dan ini cepat menyadarkan Ki Langser, kalau pemuda yang dituduhnya sebagai penculik tidak bisa dianggap sembarangan.
Sementara para penduduk mulai ciut nyalinya. Mereka tak gegabah menyerang lagi setelah melihat kedigdayaan pemuda berbaju rompi putih ini. Terlebih lagi, karena Ki Langser telah memberi isyarat agar menghentikan penyerangan. Kepala Desa Cendanu kini memandang pemuda itu dengan seksama. Namun, tidak berarti kemarahannya telah surut.
"Kisanak! Kenapa kau tega membunuh penduduk desa ini dan menculik putri Ki Nyamat"!"
"Jadi kau masih menduga kalau aku adalah penculik gadis yang tidak kukenal?" tanya Rangga, kalem.
"Siapa lagi kalau bukan kau"! Kau datang untuk mengejek kami, karena kami tak mampu me-ringkusmu semalam!" sentak Ki Langser.
"Sadarlah, Ki. Kau lihat orang-orang itu. Mereka menderita akibat tuduhanmu. Dan aku terpaksa membela diri," kilah Rangga kalem.
? *** ? 2 ? Ki Langser memandang Rangga dengan dahi berkerut. Dia belum sepenuhnya mengerti.
"Apa maksudmu?" tanya kepala desa ini.
"Kesempatan untuk membunuh kalian banyak. Namun tidak kulakukan, karena kuanggap ini salah paham," jelas Rangga.
"Jadi, apa maksudmu ke desa ini?"
"Telah kujelaskan, aku hanyalah seorang pengembara. Dan tujuanku bukan desa ini. Jadi kalau kalian menyerangku, tentu saja aku akan membela diri. Maaf, kalau orang-orang itu kubuat pingsan sementara," kata Rangga, seraya melirik beberapa penduduk desa ini yang dibuat pingsan.
Kepala desa itu jadi ragu. Hatinya sedikit mulai condong, tidak sekeras tadi seperti pertama kali.
"Anak muda.... Kelihatannya kau memang bukan sembarang orang. Melihat gerak-gerikmu, pastilah kau seorang pendekar. Kalau boleh kami tahu, siapakah kau sebenarnya?" tanya Ki Tambika yang juga telah berada di tempat ini.
"Namaku Rangga. Aku memang mempunyai julukan tak berarti. Orang-orang persilatan memanggilku Pendekar Rajawali Sakti...," jelas Rangga berusaha merendah.
"Pendekar Rajawali Sakti"!" sentak Ki Tambika, terkejut.
Bagi penduduk yang jarang bepergian dan hanya menghabiskan sebagian besar usianya di desa ini, tentu tidak akan pernah mendengar julukan itu. Beda halnya Ki Tambika. Meski dalam usia setua sekarang, dia masih suka bepergian. Entah itu mengunjungi sanak saudara di tempat lain, atau berdagang ke tempat-tempat yang jauh. Dengan demikian perjalanan dan pengetahuan laki-laki tua ini tentang tokoh persilatan, tidak tertinggal. Dan julukan itu pernah didengarnya.
"Benarkah kau pendekar termasyhur itu"!" tanya Ki Tambika, ingin meyakinkan.
"Bagaimana aku harus membuktikannya, Ki" Tapi yang jelas, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah pendekar termasyhur. Mungkin kau terlalu melebih-lebihkan," sahut Rangga, tetap merendah.
"Oh, terimalah salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti.... Dan aku tidak bisa menganggapmu sebagai orang biasa. Namamu amat terkenal, Aku amat yakin. Sebab sepanjang aku melakukan perjalanan jauh, banyak kudengar tentang sepak terjang serta kehebatanmu. Pendekar Rajawali Sakti.... Perkenalkan, aku sering dipanggil Ki Tambika. Atas nama warga desa ini, aku meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Mudah-mudahan kau sudi memaafkan kekeliruan kami!" kata Ki Tambika, nyerocos seraya menjura memberi hormat.
"Sudah biasa dalam pengembaraanku akan selalu menemukan kesalahpahaman, Ki. Sudahlah" Kau tak perlu sungkan-sungkan padaku," sahut Rangga, setelah membalas salam hormat Ki Tambika.
Sementara itu, para penduduk Desa Cendanu hanya terlongong bengong melihat Ki Tambika bersikap ramah pada Pendekar Rajawali Sakti. Apalagi, Ki Langser yang semula begitu marah pada Rangga.
"Ki Langser!" panggil Ki Tambika yang meru-pakan tetua desa, seraya menoleh ke arah Kepala Desa Cendanu itu. "Kita telah salah paham menuduh pemuda ini sebagai penculik putri Ki Nyamat. Apalagi membunuh Ki Nyamat dan dua orang penjaga rumahnya!"
"Tapi, Ki...."
"Sudahlah. Jika pemuda ini berbuat yang ti-dak-tidak, aku yang bertanggung jawab. Kau boleh menghukumku, jika pernyataanku salah!" potong Ki Tambika, meyakinkan.
Sebagai tetua di desa ini, apalagi Ki Tambika menjaminkan dirinya sebagai jaminan, Ki Langser dan para penduduk mematuhinya.
"Pendekar Rajawali Sakti, kalau tidak keberatan sudilah kiranya mampir ke pondokku" Sekadar mencicipi seteguk dua teguk teh hangat dan membicarakan persoalan yang menimpa desa kami," ajak Ki Tambika.
"Maaf, Ki! Panggilah aku dengan nama saja. Jangan julukanku...."
"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Eh, Rangga. Bagaimana" Kau bersedia," ulang Ki Tambika.
Rangga berpikir sebentar, sebelum akhirnya mengangguk perlahan.
Kemudian, didampingi Ki Langser dan beberapa penduduk lain yang berjumlah sekitar tujuh orang, mereka beranjak ke rumah Ki Tambika. Sementara yang masih pingsan segera ditolong penduduk lain.
? *** ? Setiba di mmah Ki Tambika, Rangga mendapat penjelasan mengenai kejadian yang menimpa desa ini, dengan peristiwa yang terjadi di Desa Cendanu ini.
Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya manggut-manggut mendengarkan sampai penuturan itu tuntas.
"O.... Jadi, karena itu makanya kalian mencu-rigai aku sebagai orang asing?" tanya Rangga kemudian.
"Ya.... Kami kira kau adalah penculik itu yang datang siang hari untuk mengejek, bahwa kami tak mampu menangkapmu malam hari," jelas Ki Tambika seraya melirik sekilas pada Ki Langser yang sesekali tertunduk malu.
"Tidak apa.... Aku bisa memaklumi...," desah Rangga.
"Syukurlah. Kami berterima kasih atas kela-pangan hatimu, Rangga," ucap Ki Tambika.
"Sebenarnya aku pun tengah mengadakan perjalanan untuk mencari seseorang. Dan, kurasa tidak ada hubungannya dengan penculik ini. Dia bukan menculik para gadis, tapi malah sebaliknya," papar Pendekar Rajawali Sakti.
"Para pemuda?"
Rangga mengangguk.
"Jadi yang kau cari seorang wanita?"
"Benar. Dia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang tokoh hebat yang berkepandaian tinggi. Orang-orang menyebutnya Bidadari Penak-luk!" (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode : "Bidadari Penakluk").
"Ya, ya. Nama itu memang pernah kudengar sekilas," kata Ki Tambika, mengangguk-angguk.
"Kurasa penculik para gadis itu bukan dia. Tapi dalam pencarian dan perjalananku, biarlah kubantu kalian untuk menangkap penculik itu," lanjut Rangga menawarkan jasa baiknya.
"Benarkah, Rangga" Kami tak tahu, mesti bagaimana mengucapkan rasa terima kasih!" seru Ki Tambika.
"Ah! Tidak usah berlebihan! Aku hanya berusaha, belum tentu berhasil menangkapnya. Doa-kan saja!" sergah Rangga, merendah.
"Nama Pendekar Rajawali Sakti telah tersohor di delapan penjuru angin. Rasanya tanpa doa kami pun, kau bakal berhasil!"
Mendengar keyakinan itu Rangga tersenyum sendiri.
'Tidak bisa begitu, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Bisa merasakan sakit dan bakal mati kelak. Soal keberhasilan, bukan menjadi urusanku. Tapi urusan Yang Maha Kuasa," tukas Rangga.
Ki Tambika dan yang lain mengangguk-angguk mendengar kata-kata pemuda ini yang merendah.
"Nah, kurasa aku tak bisa lama-lama. Makin cepat pencarian dilakukan, makin baik. Aku pamit dulu, Kisanak semua!" kata Rangga seraya bangkit berdiri.
"Ah! Pertemuan ini rasanya kelewat angkat, Rangga! Sudikah kau mampir ke sini lagi di lain kesempatan?"
Kali ini Ki Langser yang buka mulut, setelah sejak tadi Ki Tambika yang lebih banyak bicara pada pemuda itu.
"Tentu saja kalau ada umur panjang. Kisanak semua, maafkan. Aku mohon diri sekarang juga!" sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya membung-kukkan tubuhnya memberi hormat, lalu angkat kaki dari rumah itu.
? *** Melewati batas Desa Cendanu, Rangga melam-batkan lari kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu. Tujuannya tidak pasti, sebab jejak Bidadari Penakluk yang tengah dicari-carinya belum juga terlihat. Padahal pencarian yang dilakukannya telah memakan waktu lebih dari dua minggu.
"Ke mana dia" Apakah lenyap ditelan bumi?" gumam Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir.
Selama ini Rangga telah berkeliling di wilayah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Bidadari Penakluk. Namun segalanya nihil. Tidak ada jejak yang ditemuinya sedikit pun!
"Apakah ada gunanya pencarianku ini?" lanjut Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah lesu.
Belum juga pertanyaan itu tetjawab mendadak....
"Tolooong...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong dari arah kanan, membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Sejenak pemuda itu menajamkan pendengarannya. Lalu....
"Ayo, Dewa Bayu! Kita lihat apa yang terjadi di Sana!" teriak Rangga, langsung menggebah kudanya ke kanan.
"Hieee...!"
Dewa Bayu meringkik halus, lalu berlari ken-cang mengikuti perintah Pendekar Rajawali Sakti.
Semakin Dewa Bayu mendekati sumbernya, suara itu sendiri jelas terdengar di telinga. Dan begitu tiba di tepian hutan, Rangga mengerutkan keningnya dengan pandangan tajam menyimpan kemarahan.
Kira-kira lima belas tombak di depan, Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa laki-laki bertampang kasar tengah mengurung seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan. Kelihatannya gadis itu tak berdaya karena dalam keadaan terikat. Sedangkan lima laki-laki yang mengelilinginya, agaknya hendak berbuat tidak senonoh.
"Kisanak! Kalian tidak pantas berbuat seperti itu pada seorang wanita!" teriak Rangga, keras menggelegar.
"Hei"!"??????
Lima laki-laki bertampang kasar itu tersentak kaget. Seketika mereka menoleh memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan geram karena merasa urusannya diganggu. Seorang yang berbadan besar dengan cambang bauk yang tidak rata, maju ke depan. Matanya mendelik sambil berkacak pinggang.
"Bocah! Boleh saja kau pentang bacot, tapi tidak di sini! Pergilah. Dan jangan campuri urusan orang! Kalau tidak, akan kupecahkan kepalamu!" bentak laki-laki ini.
Demi melihat siapa pemuda yang menunggang kuda hitam itu, gadis yang terikat itu berubah ce-rah.
"Kisanak! Tolonglah aku! Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku...!" teriak gadis ini.
"Hm, kau...."
Rangga coba mengingat-ingat siapa gadis itu. Dan rasanya, dia memang pernah mengenalnya.
"Aku Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor!" teriak gadis itu mengingatkan.
"Ah, betul!" sahut Rangga.
"Kurang ajar! Bocah keras kepala! Kau belum juga minggat dari hadapanku!" dengus laki-laki cambang bauk yang memandang penuh amarah meluap-luap.
"Kisanak.... Terus terang aku tidak bisa men-diamkan tindakan kalian begitu saja," sahut Rangga sambil menggeleng lemah.
"Kurang ajar! Rupanya kau belum kenal Ken-dung Belor, he"! Anak-anak! Coba beri pelajaranpada bocah ini supaya tahu diri!" perintah laki-laki bercambang bauk.
Serentak dua dari empat laki-laki bertampang kasar itu melompat sambil mencabut golok masing-masing.
Sret! Begitu golok tercabut, mereka meluruk sambil membabatkan senjatanya.
'Yeaaa...!"
"Hm!"
Pendekar Rajawali Sakti hanya mendengus dingin. Lalu sekali melompat ke atas dua serangan itu luput dari sasaran.
Kedua laki-laki bertampang kasar itu cepat berbalik. Namun sebelum mereka melakukan serangan satu sapuan kaki Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat cepat bagai kilat.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Kedua orang itu kontan terjungkal disertai jerit kesakitan, begitu dada mereka terhantam kaki Rangga.
"Kurang ajar! Bantu mereka!" desis laki-laki bercambang bauk yang mengaku bernama Ken-dung Belor.
Tanpa diperintah dua kali, serentak dua anak buah Kendung Belor mencabut golok. Bahkan se-ketika menyerang Rangga dengan garang.
"Yeaaa...!"
Rangga berbalik. Lalu tubuhnya kembali berputar, menyongsong serangan. Dan sebelum kedua orang itu membabatkan golok, kaki Rangga telah bergerak dengan kecepatan luar biasa.
Des! Des! "Aaakh...! Aaakh...!"
Kembali dua orang terjungkal disertai jerit kesakitan ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di perut masing-masing.
Bukan main geramnya Kendung Belor melihat anak buahnya dijatuhkan dengan sekali gebrak.
"Keparat! Rupanya kau mesti mendapat ha-jaran dari tanganku sendiri, Bocah Gendeng!" dengus Kendung Belor.
Sambil mendengus geram, laki-laki bercambang bauk itu mencabut goloknya.
Sret! "Mampus kau, Bocah!"
Dengan gerakan cepat. Kendung Belor mela-brak Pendekar Rajawali Sakti disertai sambaran goloknya.
Bet! Namun Rangga cukup sedikit memiringkan tu-buhnya, sehingga tebasan itu menyambar angin. Dalam hati, Rangga sempat memuji permainan silat Kendung Belor. Buktinya, baru saja Rangga menghindar, secepat itu pula golok di tangan laki-laki itu memapas pinggangnya.
Dengan gerakan mengagumkan Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas sambil berputar. Dan tiba-tiba kedua belah kakinya melakukan tendangan beruntun.
Duk! Des! "Aaakh...!"
Kendung Belor terpekik. Tubuhnya kontan terjungkal roboh ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam muka dan dadanya. Kelihatan dari lobang hidungnya mengucurkan darah segar. Wajahnya tampak meringis, ketika berusaha bangkit.


Pendekar Rajawali Sakti 177 Siluman Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bisa memberi hajaran yang lebih parah lagi!" desis Rangga seraya mendekati Kendung Belor dengan sikap mengancam.
Mendengar ancaman ini jantung Kendung Belor seperti mau copot. Dia tahu, percuma saja me-lawan. Karena, kepandaian pemuda di hadapannya jauh dibanding kemampuannya. Maka secepatnya dia berlutut!
"Oh, Tuan Pendekar. Ampuni, Tuan! Am-pun...!"
"Maaf, aku sudah sering bertemu penjahat kambuhan macam kalian. Rasanya kalau tidak cepat dilenyapkan, dunia tak akan tenang," kata Rangga kalem, namun nadanya menakut-nakuti.
"Oh, ampun...! Kali ini aku sungguh-sungguh, Tuan! Sumpah! Aku berjanji!" seru Kendung Belor dengan tubuh menggigii dan wajah memelas.
Rangga tersenyum sinis. Wajahnya tampak masih terselimuti kegarangan. Namun lambat laun, berangsur-angsur cerah.
"Baiklah. Kali ini kalian kuampuni. Tapi bila lain kali kudengar membuat kekacauan, maka aku akan datang serta membunuh kalian tanpa ampun!" ancam Rangga, tegas.
"Oh, terima kasih! Terima kasih, Tuan. Aku tak akan mengingkari janji!" sahut Kendung Belor dengan wajah cerah.
"Sudah, pergi Sana!"
"Eh! Ba..., baik"!"
Tanpa disuruh dua kali, Kendung Belor langsung ngeloyor dari tempat itu, diikuti keempat ka-wannya.
? *** ? "Orang seperti mereka mestinya tidak boleh diampuni!" cibir gadis bernama Kembang Harum bersungut-sungut, ketika Rangga melepaskan be-lenggu pengikatnya.
"Mereka telah minta ampun. Dan mereka juga perlu hidup...," kilah Rangga. ???
"Hidup mereka hanya menimbulkan masalah bagi orang lain!" dengus Kembang Harum.
"Tidak ada yang tahu, apakah hidup mereka nanti merugikan atau membantu orang lain. Tapi aku berharap, setelah kejadian ini mereka ber-tobat," tegas Rangga.
"Orang seperti mereka rasanya jauh dari to-bat!"
"Seperti yang kukatakan, tak seorang pun yang bisa mengetahui jalan hidup manusia selanjutnya. Sebab, semua itu telah diatur Yang Maha Kuasa...."
"Bagaimana kalau mereka tidak berubah?"
"Aku akan menagih janji. Atau paling tidak mereka akan menemukan balasannya. Bukankah tidak hanya kita yang membenci perbuatan-perbuatan buruk yang mereka lakukan?"
Gadis itu tidak menjawab lagi, karena keha-bisan kata-kata untuk menumpahkan kekesalan hatinya kepada kelima begundal yang nyaris saja merenggut kehormatannya.
"Sudahlah.... Yang penting, saat ini kau telah selamat. Lalu bagaimana sampai kau bisa bertemu mereka, Kembang" Dan kenapa kepergianmu tidak disertai Ki Karmapala dan Ki Laron Nunggal?"
"Aku memang sengaja pergi seorang diri. Karmapala tidak lagi bekerja untukku. Demikian pula yang lainnya. Ki Laron Nunggal sementara ini tidak mau membantu. Padahal aku mesti membalaskan kematian orangtuaku," sahut gadis itu.
"Wanita itu memiliki kepandaian tinggi. Dengan cara apa kau hendak menuntut balas kematian orangtuamu?"
"Dengan cara apa saja!"
"Dia juga kembal. Kau bisa terbunuh, sebelum berhasil membalaskan dendammu padanya."
"Aku tak peduli!"
Rangga menggeleng lemah.
"Aku tidak merendahkanmu. Tapi sudah dua minggu lebih aku mencarinya, namun hasilnya nihil. Wanita itu hilang seperti ditelan bumi. Banyak rintangan yang bisa terjadi. Apalagi kepada seorang gadis sepertimu. Contohnya seperti tadi."
"Apa pun akan kulakukan untuk membalaskan kematian ayahku. Aku punya uang untuk melakukannya," tegas Kembang Hamm.
"Uang" Apa maksudmu?" tanya Rangga, dengan kening berkerut tajam.
"Aku bisa membayar seseorang untuk membunuh wanita itu. Apakah kau tertarik" Aku bisa membayar mahal untukmu!" jelas gadis itu mantap.
"Kau hanya buang-buang uang dan tenaga, Kembang! Sudahlah, aku tak perlu bayaranmu. Tapi yang jelas aku akan menangkap Bidadari Penakluk," sahut Rangga, kalem.
"Tidak! Aku harus membayarmu. Dan aku minta kepastian kalau kau benar-benar membunuh wanita itu. Dengan begitu, dendamku terbalas sudah. Dan kau tak berhak mencampuri urusanku!"
"Kepandaianku belum tentu setara dengannya, Kembang!" tukas Rangga berusaha merendah. "Lagi pula katamu barusan, aku memang tidak berhak ikut campur. Kalau begitu selamat tinggal!"
Rangga cepat mendekati Dewa Bayu. Lalu dengan gerakan ringan dia melompat ke atas punggung kudanya.
"Heaaa...!"
Kembang Harum terpana, memandang pemuda itu yang telah menggebah kudanya sejurus lamanya. Dalam pikirannya, pemuda itu mungkin tengah mempertimbangkan tawarannya. Tapi siapa kira tawarannya sama sekali tidak dipedulikan. Bahkan meninggalkannya di tempat ini seorang diri.
"Huh! Pemuda sombong!" dengusnya kesal.
Pada akhirnya Kembang Harum pun segera angkat kaki. Dan entah kenapa, tak terasa dia malah mengikuti jejak yang ditinggalkan Pendekar Rajawali Sakti!
? *** ? 3 ? Telaga kecil di kaki Gunung Karimun kelihatan tenang. Suasananya indah sejuk dan damai, jauh dari keramaian manusia. Tempatnya pun agak menjorok ke bawah, seperti sebuah lembah yang dipenuhi pohon-pohon berdaun rimbun. Bila dilihat dari kejauhan, maka tempat itu laksana sebuah rimba yang jarang dimasuki manusia, hingga berkesan angker!
"Pruuuaaah...!"
Mendadak ketenangan telaga itu terusik oleh munculnya sebentuk kepala dari dalamnya. Lalu, diikuti sesosok tubuh yang bergerak cepat. Lincah sekali tubuhnya berputaran beberapa kali di udara, kemudian mencelat ke tepi telaga. Dan ringan sekali kakinya mendarat di tepian telaga.
Sosok yang baru mendarat ini dari ujung ram-but sampai ke kaki bawah kuyup. Pakaiannya yang berukuran besar menempel ketat, membentuk tubuhnya yang indah. Sesosok tubuh ramping itu memang milik seorang gadis jelita. Tatapan matanya sayu. Bibirnya yang indah terkatup rapat.
"Eyang. Aku menghaturkan sembah padamu...!"
Bibir sosok ini membuka suara dengan nada datar. Tubuhnya membungkuk ke satu arah.
Entah dari mana asalnya, mendadak angin lembut bertiup yang diiringi berkelebatnya satu sosok bayangan gelap ke arah gadis cantik ini. Dan tahu-tahu, di situ telah berdiri tegak seorang laki-laki tua pada jarak dua langkah di depan gadis ini. Usianya sekitar delapan puluh tahun. Pakaiannya agak kelabu dan lusuh. Rambutnya yang sebagian telah memutih dibiarkan tumbuh liar sampai punggung.
"Kau telah menyelesaikan semadimu dengan baik, Cucuku. Pakailah pakaian ini!" kata laki-laki tua ini seraya melempar seperangkat pakaian yang dibawa.
"Terima kasih, Eyang!"
Cepat gadis ini mengambil pakaian yang ter-onggok di tanah. Dan sebentar saja, kakinya telah beranjak ke balik semak-semak.
Sementara gadis itu memakai pakaian yang di-terima, kakek ini menatap tajam ke permukaan air telaga yang bergelembung tenang tertiup angin sepoi-sepoi. Sepertinya ada sesuatu yang ingin di-dapatkannya dari situ.
Laki-laki tua ini baru menoleh ketika terdengar suara langkah halus dari belakangnya. Rupanya, gadis tadi telah berubah lain dengan pakaian scderhana yang melekat di tubuhnya. Bibirnya tersenyum manis melihat laki-laki tua yang takjub memandanginya.
"Bagaimana aku sekarang, Eyang?" tanya gadis itu seraya berputar sebentar, seperti hendak menunjukkan pakaian yang diberikan.
"Begini lebih baik. Bagaimana keadaanmu sekarang, Suti?" orang tua itu malah balik bertanya sambil beranjak pelan ke sebuah batu besar yang beijarak sepuluh tombak di depannya.
"Baik, Eyang...," sahut gadis yang dipanggil Suti, langsung merendengi langkah orang tua itu.
"Perasaan-perasaan aneh itu?" tanya laki-laki tua ini lagi.
"Kurasa masih ada, Eyang. Hanya saja aku bisa menindasnya," jelas Suti.
"Syukurlah. Memang mestinya begitu. Dalam setiap kesempatan, kau harus melatih pernapasan seperti yang kuajarkan."
"Baik, Eyang...."
Sesaat kedua orang itu terdiam sambil sama-sama duduk dibatu sebesar kerbau.
"Eyang...," panggil Suti, seraya berpaling ke arah laki-laki tua itu.
"Hm..., apa?"
'Telah beberapa waktu Eyang membawaku ke sini. Apakah..., apakah aku akan mendapat hukuman?" tanya gadis itu dengan suara bergetar penuh ketakutan.
Orang tua itu tidak langsung menjawab. Kelihatan sikapnya begitu tenang. Padahal sebenarnya dia tengah berusaha menahan sesuatu yang cukup berat di hatinya.
"Mestinya aku menghukummu karena kelan-canganmu, Suti Raswati," desah laki-laki tua ini, menyebut nama lengkap gadis itu.
Mendadak Suti menjatuhkan diri dan berlutut di depan orang tua itu.
Memang gadis ini tak lain dari Suti Rasawati yang dijuluki orang-orang persilatan sebagai Bidadari Penakluk, karena tindakannya. Setelah bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini menderita luka dalam yang cukup parah. Untunglah seorang tokoh berjuluk Resi Jayadwipa yang juga guru gadis itu cepat menolongnya (Baca seriai Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: "Bidadari Penakluk").
"Eyang, bunuhlah aku sekarang! Aku terima semua hukuman yang Eyang berikan!" ratap Suti Raswati.
"Berdirilah kau!" ujar Resi Jayadwipa, seraya bangkit dari duduknya.
'Tapi, Eyang"."
"Berdiri kataku!"
Gadis itu tak bisa membantah lagi. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Namun Suti tidak berani memandang orang tua di depannya.
"Lihat ke arahku, Suti!" perintah Resi Jayadwipa.
"Eyang...."
Lirih terdengar suara gadis itu, ketika meng-angkat kepala. Jantungnya berdetak lebih cepat tatkala matanya melihat tatapan tajam laki-laki tua ini laksana sembilu yang mengiris jantung dan hatinya.
"Aku tidak menyalahkanmu...," desah Resi Jayadwipa lirih.
"Apa..., apa maksudmu, Eyang" Aku jelas-jelas bersalah. Hukumlah aku dengan hukuman yang paling berat, Eyang!" ratap Suti Raswati.
"Dengarlah kata-kataku," tegas Resi Jayadwipa.
"Baiklah, Eyang...."
Suti Raswati menunggu Resi Jayadvwpa melanjutkan kata-katanya. Namun untuk beberapa waktu tak terlihat kalau orang tua itu akan melanjutkan kata-katanya.
"Eyang...," panggil Suti Raswati, mengingatkan.
"Ya, aku tahu. Kejadian ini tidak terlepas dari tanggung jawab. Mestinya, aku tidak menyibuk-kan diri mencari Kitab 'Jagad Welung' yang hilang itu...," desah Resi Jayadwipa.
"Maksud, Eyang?"
"Mestinya aku melarangmu untuk mendekati ruang perpustakaan, dan juga melarangmu untuk membaca buku-buku yang tak patut. Apalagi dipelajari. Dan ternyata, hal itu menjadi kenyataan. Kau membaca Kitab 'Serat Biru'. Bahkan malah mempelajarinya. Akibatnya sungguh buruk bagimu, seperti yang kau alami beberapa waktu lalu...."
Resi Jayadwipa tidak langsung melanjutkan kata-katanya. Agaknya dia perlu melihat perubahan raut wajah gadis yang diajaknya bicara.
Tapi wajah Suti Raswati belum menunjukkan perubahan berarti.
? *** ? "Tahukah kau, Suti. Kau telah berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ini berarti, kau waktu itu berusaha mengeterapkan ilmu 'Serat Biru' pada pemuda itu. Untung saja, aku cepat datang dan menolongmu.... Dan yang lebih buruk lagi adalah, kau bermaksud menerapkan ilmu 'Serat Biru' kepadaku!" lanjut Resi Jayadwipa, membuat Suti Raswati tersentak.
"Eyang, ampuni salahku! Aku tahu, itu amatmemalukan sekali" ratap gadis itu hendak kembali berlutut, namun sempat dicegah orang tua ini.
"Sudahlah. Itu hal yang telah lalu. Namun yang amat menyakitkan bagiku adalah...."
"Adakah sesuatu rahasia yang hendak Eyang katakan padaku?" selak Suti Raswati, ketika melihat Resi Jayadwipa kembali memutus kata-katanya.
"Ya...."
"Apa gerangan itu, Eyang?"
"Kau adalah cucuku, Suti."
"Bukankah itu bukan rahasia" Eyang telah menganggapku cucu sejak pertama kali memungutku ketika bayi!"
"Cerita itu tidak benar, Suti. Aku mengarang-ngarangnya saja, agar kau tidak bertanya-tanya tentang orangtuamu."
"Maksud, Eyang"!"
Kali ini baru mulai terlihat perubahan berarti pada paras Suti Raswati. Bola matanya memandang tajam kepada laki-laki tua ini. Dan dia berharap, Resi Jayadwipa mau melanjutkan ceritanya buru-buru.
"Ya! Kau adalah cucu kandungku sendiri!" jelas Resi Jayadwipa menegaskan.
"Eyang, berarti...?"
Suara gadis itu tercekat, karena laki-laki tua itu langsung memeluknya dengan wajah haru, seperti hendak menumpahkan kesedihan karena tak mampu menjaga cucunya dengan baik.
Suti Raswati terdiam. Untuk beberapa saat, dia tak tahu mesti berkata apa dan bersikap bagaimana.
"Eyang.... Mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku?" tanya Suti Raswati ketika orang tua itu melepaskan pelukannya.
"Aku terpaksa berbuat begitu, agar kau tidak menanyakan orangtuamu. Maka, kukatakan saja kau kupungut sejak bayi. Serta kukatakan bahwa kedua orangtuamu telah tiada," jelas Resi Jayadwipa.
"Kenapa Eyang menyembunyikan aku" Apakah kedua orangtuaku masih ada?" desak Suti Raswati.
"Beberapa tahun berselang, mereka masih hidup. Namun belakangan kudengar kabar bahwa mereka telah tiada...," jelas laki-laki tua ini dengan wajah keruh penuh kedukaan.
"Oh...!" seru Suti Raswati kaget. Wajahnya seketika tertunduk sedih.
"Inilah yang menjadi pangkal persoalan...," lanjut orang tua itu, setelah kesedihan cucunya berkurang.
"Apa maksud, Eyang?"
"Pada waktu itu ayahmu membawa seorang saudaranya ke padepokan. Sejak itu, suasana yang tenteram perlahan berubah. Aku tahu, saudara ayahmu berhati culas. Lagi pula, dia suka menggoda ibumu. Namun aku tidak enak hati mengusirnya pergi. Segala isyarat yang kuberikan padanya agar meninggalkan padepokan, seperti tak digubrisnya. Dan ternyata, saudara ayahmu itu bermuka tembok. Dan untuk menekan perasaan karena kelakuannya, aku akhirnya sering bepergian. Namun tidak disangka kalau pada akhirnya, dia menghasut ayahmu untuk melanggar aturan...," tutur Resi Jayadwipa.
"Melanggar aturan bagaimana, Eyang?" tanyaSuti.
"Aku melarang mereka masuk ruang perpustakaan. Namun saudara ayahmu itu terus membujuknya. Sampai akhirnya, mereka nekat masuk ke Sana. Beberapa waktu kemudian ketika aku pulang, ayahmu memberitahukan persoalan yang menimpa padepokan. Beberapa buah kitab pusaka hilang dibawa kabur saudara ayahmu. Aku marah besar dan tak dapat mengendalikan diri. Meski saat itu ibumu baru saja melahirkanmu, mereka kuusir. Dan mereka tidak kuperbolehkan membawamu!" lanjut orang tua itu.
"Eyang sungguh kejam! Hehhh...! Bisa kura-sakan kesedihan mereka kala itu...," desis Suti Raswati, seraya mendesah.
'Ya, aku memang kejam!" cetus orang tua itu.
"Bahkan mereka tidak kuizinkan menginjakkan kaki ke padepokan, dan kularang menjengukmu!"
"Mengapa" Mengapa Eyang bertindak begitu kejam kepada mereka?" tanya Suti.
"Jangan kau tanyakan hal itu."
"Aku patut mengetahui karena mereka orangtuaku!" tukas gadis itu cepat.
Resi Jayadwipa kelihatan bergetar entah karena apa. Namun bias wajahnya tidak menunjukkan apa-apa. Sepertinya, dia memang pandai menyembunyikan perasaan. Tidak peduli cucunya mulai menitikkan airmata sambil menangis terisak. Lirih.
"Kenakan topeng ini. Dan pergilah dari sini!"
Aneh! Bukannya menjawab, Resi Jayadwipa malah menyerahkan topeng kayu yang sejak tadi dipegangnya kepada gadis itu. Kemudian tubuhnya berbalik, meninggalkan tempat ini.
"Eyang mengusirku?" tanya gadis itu lirih.??
"Kalau memang kau tak suka padaku, apa yang bisa kukatakan" Pergilah. Dalam pengemba-raan, kuharap kau bisa berpikir dewasa dan mengerti keadaan. Setelah kau menguasai dirimu, maka carilah pembunuh orangtuamu!" lanjut orang tua itu, setelah menghentikan langkah. Namun begitu dia tetap membelakangi cucunya.
"Apa maksud, Eyang" Siapa pembunuh kedua orangtuaku?" ujar Suti.
"Saudara ayahmu itu!"
"Siapa namanya"!" seru gadis ini bersemangat Terasa ada bibit dendam di hatinya.
"Kau hendak membalas dendam kedua orangtuamu?" Resi Jayadwipa malah balik bertanya.
'Ya!" sahut gadis ini dengan mantap.
"Dia memiliki kepandaian tinggi. Dan kau akan menemui kesulitan."
"Aku tidak peduli! Katakan padaku Eyang, siapa orang itu"!"
"Orang itu bernama Bernawa."
"Terima kasih, Eyang. Akan kucari dia meski bersembunyi ke ujung langit sekali pun!" desis Suti.
"Kalau niatmu sudah keras, maka aku hanya bisa berpesan agar hati-hati. Gunakanlah topeng itu bila berada di keramaian. Dan bila bertemu Pendekar Rajawali Sakti, usahakan bersikap wajar-wajar saja. Satu hal lagi, jangan menarik perhatian orang seperti dulu. Nah, Cucuku. Selamat bertugas."
Setelah berkata begitu, Resi Jayadwipa berkelebat cepat bagai sapuan angin kencang. Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana kakeknya berkelebat.
Untuk sesaat Suti Raswati terpaku merenungi pembicaraannya dengan kakeknya. Terasa ada sesuatu yang menyentak-nyentak di hati. Perasaan kesal, geram, lalu dendam, dan entah apa lagi. Kenapa dia baru tahu sekarang setelah selama ini tersembunyi" Kenapa pada saat dia tahu justru kedua orangtuanya telah tiada"
Suti Raswati memandang sayu pada topeng yang tadi diberikan kakeknya. Kenapa kakek memberikan topeng ini" Namun kemudian otaknya cepat berpikir, bahwa kehidupannya beberapa waktu lalu begitu banyak menimbulkan kebencian sebagian orang. Topeng kayu itu pasti sedikit banyak bisa menyembunyikan wajahnya di mata orang-orang yang ingin berurusan dengannya.
? *** ? 4 ? Seorang laki-laki bertampang kasar tengah duduk tenang menyantap hidangannya tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Padahal, suasana di dalam kedai ini cukup ramai. Namun hal itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Kumisnya yang tebal tampak bergerak-gerak ketika kedua rahangnya yang kokoh mengunyah makanan. Sepasang alis tebal menaungi kelopak mata yang agak cekung. Pandangannya tajam. Tubuhnya agak besar dengan lengan berotot dan jari-jari kuat.
"Pelayan! Tolong beri aku lauk-pauk seperti tadi!" ujar laki-laki ini ketika seorang pelayan melintas di dekatnya.
"Baik, Tuan!" sahut pelayan kedai. Tanpa disuruh, pelayan ini cepat membereskan sisa-sisa makan di piring tamunya itu. Sebenarnya laki-laki bertampang seram itu sudah dua kali me-minta hidangan yang sama sejak mulai makan. Berarti, tadi itu permintaan yang ketiga! Di samping itu dia juga menenggak beberapa telur ayam kampung dicampur cairan kental kekuningan yang dibawanya sendiri.
"Ada pesan yang lain, Tuan?" tanya pelayan tadi, ketika muncul kembali sambil membawa pe-sanan.
"Di mana penginapan terdekat?"
"Tuan hendak menginap" Hm.... Meski tidak terlalu bagus, kedai ini juga menyediakan penginapan!"
"Penginapan lengkap?"
"Tentu saja, Tuan! Sewanya juga murah."
Laki-laki bertampang seram itu tiba-tiba menarik bahu pelayan kedai. Mulutnya cepat didekatkan ke telinga. Berbisik.
"Ada...?" tanya laki-laki seram ini.
"Itu bisa diatur, Tuan! Mau yang bagaimana" Gemuk" Kurus, atau yang montok" Usianya muda" Tua" Atau yang sedang?" sahut pelayan kedai, cepat tanggap dengan bisikan tamunya.
"Tahukah kau selera yang pantas untukku?" laki-laki seram ini malah balik bertanya.
Pelayan kedai itu memandang tamunya beberapa saat dengan dahi pura-pura berkerut.
"Ah, aku tahu! Pokoknya Tuan tahu beres. Se-lesai bersantap, maka Tuan bisa menghubungiku. Sekarang juga, aku mohon pamit sebentar pada majikanku untuk mencarikan yang sesuai keinginan Tuan!" kata pelayan ini.
"Baik! Carikan aku tiga, ya!" ujar laki-laki se-ram ini.
"Tiga?" tanya pelayan kedai, tak jadi melang-kah. Dipandangnya laki-laki seram ini dengan wajah heran.
"Iya, tiga. Kenapa?"
"Eh! Baik.., baik...."
Setelah berkata demikian, pelayan kedai itu beranjak pergi untuk mencari tiga sasaran bagi tamunya.
? *** ? Telah cukup lama laki-laki bertampang seram tadi masuk ke kamar bersama tiga gadis yang di-pesan pelayan kedai. Dan kini tinggal pelayan kedai itu sendiri yang jadi kesal, menunggui. Masalahnya sejak tadi dia belum mendapat uang jasa dari tamunya. Dan dia berusaha membunuh waktu dengan berjalan mondar-mandir. Sesekali matanya memandang ke pintu dalam, tempat ruang penginapan berada. Dari situlah laki-laki bertampang kasar tadi masuk, sebentar-sebentar dari mulut dan hidungnya keluar desahan kesal.
Rupanya tindak-tanduk pelayan kedai ini tak luput dari perhatian laki-laki setengah baya, yang agaknya adalah pemilik kedai dan penginapan ini.
"Ada apa, Sampak?" sapa laki-laki setengah baya itu.
"Eh"! Tidak apa-apa, Ki Rambat...!" sahut pelayan kedai yang dipanggil Sampak, sedikit kikuk.
"Jangan pura-pura! Aku tahu, kau tengah menunggu upeti dari laki-laki angker itu, bukan?" cecar pemilik kedai yang bernama Ki Rambat.
Sampak hanya cengar-cengir.
"Kenapa" Dia belum memberikannya" Kulihat tadi kau membawa tiga gadis?"
"Itu dia! Sudah kubawakan tiga orang, aku tidak dapat apa-apa!" gemtu Sampak.
"Mungkin nanti. Tapi ngomong-ngomong, gila juga itu orang. Dia mau melahap tiga perempuan sekaligus"!" seru Ki Rambat dengan wajah heran.
"Aku juga bingung, Ki. Tapi melihat apa yang disantapnya, dia mungkin telah mempersiapkan diri, jelas Sampak.
"Orang itu mungkin punya keanehan. Sejak tadi, dia belum juga keluar kamar."
"Apa perempuan-perempuan itu digilir bergan-tian" Satu orang mendapat giliran sepuluh kali!" seloroh Sampak sambil tertawa lebar.
"Hush! Bisa saja kau, Sampak!"
"Laki-laki itu rakus perempuan. Mungkin saja setelah ini, dia akan minta pesanan lagi. Bisa sepuluh atau dua puluh, aku tak peduli. Yang penting bayar uang lelah padaku!"
Pada saat itu juga kata-kata Sampak terhenti ketika terdengar ribut-ribut dari arah belakang. Serentak mereka menoleh ke arah sumber suara. Dengan langkah lebar-lebar, mereka menuju ke belakang.
Begitu tiba di ruang penginapan, beberapa penghuni kamar yang lain tengah melongokkan kepala keluar, ke arah sumber suara ribut-ribut tadi.
Memang keributan diduga keras berasal dari kamar lelaki bertampang seram yang baru saja di-bicarakan. Benar saja, dari pintu itu keluar laki-laki berkumis tebal dengan rahang kokoh. Setelah menutup pintu, dia melangkah tegap.
Cepat Sampak menghampiri. Sementara laki-laki itu kelihatan melangkah tenang, seperti tak terjadi apa-apa.
"Eh! Ada apa, Tuan" Apakah semuanya beres?" tegur Sampak.
Laki-laki bertampang angker ini berhenti sebentar, lalu menatap Sampak.
"Hm, tidak."
Habis berkata demikian, laki-laki ini melangkah kembali meninggalkan Sampak.
"Eh, Tu..., an!"
"Apa"!"
Laki itu berhenti, dan berbalik. Matanya memandang Sampak dengan sorot tajam. Untuk sesaat darah Sampak berdesir. Begitu mengerikan sorot mata laki-laki yang berdiri di depannya. Penuh nafsu membunuh, laksana seekor harimau buas. Namun kepentingannya belum selesai. Maka dia memberanikan diri untuk menghampiri lagi.
"Eh, anu Tuan...," kata Sampak tergagap, ketika setengah tombak di depan laki-laki itu.
"Katakan saja! Jangan berbelit-belit! Aku mesti pergi ke suatu tempat malam ini juga!" bentak laki-laki itu.
"Mungkin Tuan melupakan sesuatu. Maksud-ku..., upah untukku dalam mencari tiga orang gadis belum dibayarkan kepadaku," jelas Sampak.
"O, kau minta persen lagi?"
"Bukan begitu Tuan. Tapi Tuan memang belum memberikan uang lelah...," kilah Sampak dengan kepala tertunduk, tak kuasa menatap sorot mata laki-laki di depannya.
"Kau ingin uang lelah?"
Kata-kata laki-laki ini dikeluarkan dengan raut wajah marah. Kalimatnya ditekan sedemikian rupa menunjukkan hati yang geram.
"Eh! Ka..., kalau memang Tuan tidak kebe-ratan...," sahut Sampak memberanikan diri.
"Ini, ambillah!"
Bersamaan dengan kata-katanya, laki-laki ber-teimpang seram itu menghujamkan jari-jari tangannya ke perut Sampak. Begitu cepat dan tak terduga, sehingga....
Jrosss!?? "Aaa...!"
Sampak kontan terpekik. Tubuhnya limbung dengan tangan memegangi ususnya yang terburai. Darah berlepotan menggenangi bumi tempatnya berpijak. Ketika ambruk, tubuhnya langsung kelojotan meregang nyawa. Lalu, dia diam tak berkutik lagi.
"Hei"!"
Orang-orang yang ada di tempat ini menjadi terkejut setengah mati. Demikian pula Ki Rambat, pemilik kedai dan penginapan. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, laki-laki bertampang seram tadi telah berkelebat keluar lewat pintu belakang, lalu menghilang di kegelapan malam.
"Sampak...!" desis pemilik kedai itu dengan wajah masih membayangkan keterkejutan.
Laki-laki setengah baya ini memandangi Sampak bersama beberapa penghuni kamar-kamar yang berada di tempat itu. Salah seorang wanita mendekati Ki Rambat sambil berbisik lirih.
"Ketiga perempuan yang ada di kamar tadi mati, Ki...!"
"Mati" Astaga...!" sentak Ki Rambat, melotot kaget.
"Jidat mereka bolong dua seperti ditusuk dua batang besi!" lanjut wanita itu.
Dan Ki Rambat semakin terkejut saja. Tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengataa keterkejutan yang berturut-turut.
"Apa yang mesti kita lakukan, Ki?" tanya seseorang yang juga berada di dekatnya.
"Oh, apa"!"
"Sebaiknya kita urus mereka dulu!" timpal seseorang.
'Ya, kita akan urus mereka. Tapi salah seorang mesti memberitahukan kejadian ini kepada Ki Guteng," sahut Ki Rambat.
"Biar aku saja, Ki!" sahut seorang pemuda yang juga pelayan kedai.
? *** ? Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun tiba di kedai Ki Rambat. Tubuhnya kecil dengan kulit hitam, terbungkus pakaian kuning gading. Dialah orang yang dimaksud Ki Rambat. Namanya, Ki Guteng. Dia menjabat keamanan Desa Kaligondang, yang masih terletak di Kadipaten Welirang. Kini, Ki Guteng tengah memeriksa keempat mayat itu sambil menggeleng dan mendesah lemah.
"Bagaimana, Ki?" tanya Ki Rambat.
"Ini betul-betul perbuatan iblis!" desis keamanan Desa Kaligondang ini, geram.
"Iblis" Tapi dia mirip sekali dengan manusia. Lagi pula, mana mungkin iblis doyan perempuan"!" tukas Ki Rambat
Ki Guteng melirik pemilik kedai ini.
"Bukan begitu maksudku, Ki! Orang yang melakukan ini sifatnya sama dengan iblis," jelas Ki Guteng.
Baru Ki Rambat mengangguk. Mengerti. Kemudian dijelaskannya ciri-ciri laki-laki yang telah membunuh keempat orang itu.
"Apakah kira-kira Ki Guteng pernah mengenalnya?" tanya Ki Rambat.
Ki Guteng berpikir sebentar. Terlihat dari jidatnya yang sedikit berkerut.
"Tidak.... Aku tak pernah melihat orang itu sebelumnya," kata keamanan desa itu menggeleng lemah. "Tapi melihat ciri-ciri korban, agaknya dia yang belakangan ini dihebohkan orang."
"Siapa yang kau maksudkan, Ki?" cecar Ki Rambat.
"Siluman Pembum Perawan!"
"Eh"! Apakah itu berarti dia siluman betul?" tanya Ki Rambat dengan wajah ketar-ketir ketakutan.
'Tentu saja tidak. Itu julukan seseorang dalam dunia persilatan. Orang itu memang dikenal memiliki kesaktian hebat, jelas Ki Guteng, tersenyum hambar.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan, Ki" Orang-tua mereka tentu tidak senang melihat kematian anaknya...," lanjut Ki Rambat dengan sikap lesu.
"Jelaskan saja apa yang terjadi."
"Jelaskan apa yang terjadi" Gila! Itu sama ar-tinya membunuhku, Ki!" sentak Ki Rambat kaget.
"Apa maksudmu" Siapa yang akan membu-nuhmu?"
"Ya, orangtua mereka!"
Ki Guteng menggeleng lemah.
"Itu salahmu sendiri, mengapa mengajak mereka ke sini?"
"Sampak yang bawa mereka...," kilah Ki Rambat.
"Telah berapa kali kuperingatkan padamu, agar jangan membuka kegiatan mesum di tempat ini. Tapi, kau tidak mau mendengarnya!" tandas Ki Guteng.
"Ya! Aku memang salah, Ki. Tapi, memang aku sudah tidak mengurusi soal-soal itu. Hanya Sampak dan anak buahnya suka mengambil kesempatan. Kalau ada tamu-tamu yang tanya," kilah Ki Rambat lagi.


Pendekar Rajawali Sakti 177 Siluman Pemburu Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketiga orangtua gadis itu tahu, apa yang mereka lakukan?"
"Yang satu tahu. Tapi dua lainnya tidak. Tahunya, anak mereka bekerja pada seseorang," jelas Ki Rambat.
"Urusan ini jadi runyam!" desis Ki Guteng.
"Ya, karena itulah aku butuh pertolonganmu, Ki. Sekalian mencari pembunuh keji itu!"
"Biarlah nanti akan kucoba menjelaskan pada orangtua kedua gadis itu. Tapi soal mencari si pembunuh, aku angkat tangan."
"Apakah Ki Guteng tak mau membantu?"
"Bukan tidak mau. Tapi tepatnya tidak mampu!" jelas Ki Guteng, terus terang.
"Ki Guteng pesilat hebat yang bisa kupercaya." "Orang ini seperti bukan manusia, Ki! Apakah kau tidak mengerti" Sepuluh orang sepertiku bakal disapu dalam sekejap!"
Ki Rambat jadi bingung sendiri mendengar jawaban itu. Ditatapnya Ki Guteng untuk beberapa saat.
"Lalu, siapa yang bisa kumintai tolong lagi?"
"Cobalah mengerti. Aku tidak mungkin menga-bulkan permintaanmu untuk mencari pembunuh itu. Nyawaku sendiri terancam, bila coba-coba mendekatinya."
"Lalu persoalan ini kita diamkan saja?" tanya, Ki Rambat dengan suara lemah.
"Kita tak punya pilihan, kalau ingin selamat..." desah Ki Guteng.
Pemilik kedai itu kembali terdiam. Entah merenungi kata-kata yang terlontar dari mulut keamanan desa itu, entah juga memikirkan yang lain.
? *** ? Setelah kejadian semalam, pengunjung kedai Ki Rambat jadi jauh berkurang. Rata-rata mereka ngeri membayangkan korban-korban yang terjadi. Mereka menganggap kedai itu kini tempat yang tak aman.
Pengunjung yang ada cuma dua orang. Seorang laki-laki setengah baya, dan seorang pemuda berompi putih yang duduk di pojok ruangan. Kalau laki-laki setengah baya itu kelihatan sebagai seorang pedagang, maka pemuda ini tampaknya dari persilatan. Ini terlihat dari pakaian dan pedang bergagang kepala burung yang tersampir di balik punggung.
"Kisanak. Tolong bawakan lagi aku sayur seperti ini!" tunjuk pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, pada mangkuk sayurnya yang telah ludes.
"Eh" Baik, Tuan!"
Seorang pelayan buru-buru menghampiri.
"Sebentar!" cegah pemuda itu ketika pelayan muda ini begitu berada di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan ini.
"Kenapa kedai ini kelihatan sepi?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, seraya memandang ke sekeliling.
Peiayan itu tidak langsung menjawab. Namun matanya melirik ke arah Ki Guteng. Tampak keamanan desa itu mengerling mata seperti melarang bicara. Mereka memang dilarang menceritakan peristiwa semalam, karena khawatir para tamu akan takut. Lalu, buru-buru meninggalkan kedai dan tidak akan pernah singgah lagi.
"Aku tidak tahu, Tuan..," kata pelayan itu.
Pendekar Rajawali Sakti memandang sekilas seperti hendak meyakini jawaban yang didengar-nya.
"O, maaf. Mungkin hanya perasaanku saja," ucap Rangga, halus.
'Tidak apa, Tuan."
"Boleh aku bertanya lagi tentang satu hal?"
"Silakan, Tuan. Kalau bisa kujawab, tentu dengan senang hati kuberitahu."
"Pernahkah kau melihat seorang wanita muda, agak tinggi dan ada tahi lalat di dekat bibir atas?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Rasanya tidak pemah, Tuan," sahut pelayan ini.
"Ya, sudah kalau begitu."
Pelayan itu segera angkat kaki untuk meme-nuhi pesanan Rangga. Sementara dari pintu kedai, masuk seorang tamu bertubuh ramping. Dari bentuk tubuhnya, jelas dia adalah wanita. Pakaiannya sopan agak besar, berwarna merah muda. Hal yang paling aneh, wanita itu ternyata memakai topeng kayu yang melukiskan wajah seorang wanita cantik jelita lengkap dengan bibir merah merekah dan hidung mancung. Dia lantas duduk, tak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Pesan apa, Nisanak?" tanya pelayan kedai yang melayani Rangga, setelah menyelesaikan tu-gasnya.
Wanita bertopeng itu menyebutkan pesanan-nya. Suaranya keluar seperti dari perut. Pelan, namun cukup jelas. Duduknya saat itu membelakangi Rangga. Sikapnya tampak tenang-tenang saja saat menunggu pesanan.
Sebentar kemudian, pelayan tadi datang membawa pesanan.
"Aku hendak bicara dengan majikanmu. Yang mana orangnya?" tanya wanita bertopeng ini.
"Tentang apa, Nisanak?" peiayan itu malah balik bertanya.
"Perlukah urusan penting kau ketahui?"
"Oh, maaf. Maaf, Nisanak. Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri urusan. Silakan saja. Itu pemilik kedai ini!" tunjuk pelayan itu kepada Ki Guteng.
Memang, penunjukan itu atas perintah Ki Rambat. Bila ada orang yang mencarinya, maka akan dipertemukan dengan Ki Guteng saja. Sementara, Ki Rambat akan ikut mendengarkan.
"Hmm...."
Wanita itu bangkit sambil bergumam tak jelas. Dihampirinya laki-laki hitam bertubuh kurus itu.
"Kisanak pemilik kedai ini?" tanya wariita bertopeng.
"Ya. Ada keperluan apa?" sahut Ki Guteng.
"Aku mencari Siluman Pemburu Perawan. Apakah Kisanak pernah bertemu dengannya?" tanya wanita bertopeng itu tanpa basa-basi.
"Apa urusanmu dengannya?" balas, Ki Guteng, menyelidik.
"Hm.... Kurasa itu tidak penting kau ketahui."
"Aku yakin kau seorang wanita. Sebaiknya, hati-hati bila berurusan dengannya...," cetus Ki Guteng, mengingatkan.
"Terima kasih atas nasihatmu, Kisanak. Akan kuingat itu. Tapi untuk saat ini, aku mampu menjaga diri. Kau tak usah khawatir. Nah! Kudengar desas-desus bahwa semalam tempat ini didatangi Siluman Pembum Perawan. Dapatkah kau memberitahu padaku, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?" cecar wanita bertopeng ini.
Mendengar itu Ki Guteng tak bisa mengelak lagi. Maka diceritakannya ciri-ciri orang yang dianggap sebagai Siluman Pemburu Perawan itu.
"Itu hanya dugaanku. Tapi, bukan merupakan jaminan kalau orang itu si Siluman Pemburu Perawan," tambah Ki Guteng, setelah menyelesaikan ceritanya.
"Tidak mengapa. Terima kasih atas penjelasanmu, Ki," ucap wanita bertopeng ini.
Kemudian wanita bertopeng itu berbalik. Kakinya melangkah kembali ke mejanya untuk menyantap hidangannya dengan lahap. Dibukanya topeng bagian bawah sedikit, agar suapannya tepat masuk ke mulut. Semua itu dilakukannya sambil tertunduk. Seolah takut orang-orang akan melihat bagian wajahnya. Meskipun sedikit!
? *** ? Agaknya wanita bertopeng itu tidak punya urusan lain, sesudah menyelesaikan makannya. Maka setelah membayar harga makanan, dia segera berlalu.
"Nisanak! Apakah kau sungguh-sungguh hendak mencari Siluman Pemburu Perawan?" tanya Ki Guteng penasaran, sebelum wanita itu keluar dari pintu kedai.
"Ya, kenapa?"
"Kau tahu bahwa orang itu memiliki kesaktian tinggi" Sebaiknya urungkan niatmu. Karena, kau akan celaka di tangannya," ujar Ki Guteng.
"Apakah menurutmu aku akan celaka di tangannya" Apa karena kau melihatku sebagai wanita" Percayalah! Aku bisa jaga diri!" sahut wanita itu tandas.
Setelah berkata begitu, wanita bertopeng ini buru-buru keluar dan melompat sigap ke punggung kudanya. Jarak tempatnya berdiri dengan kuda yang tengah ditambat, lebih kurang lima langkah. Namun tubuhnya enak saja melayang tanpa beban laksana kapas tertiup angin. Ki Guteng sempat terkesiap melihat ilmu meringankan tubuh wanita itu demikian hebat. Paling tidak membuatnya sedikit percaya kalau wanita bertopeng itu bukan orang sembarangan.
"Kau memang tidak boleh meremehkan orang, Kisanak!"
"Hei"!"
Tiba-tiba terdengar suara teguran membuat Ki Guteng tersentak kaget. Dan bukan saja sapaan itu yang membuatnya terkejut, melainkan tepukan di pundaknya. Terasa berat luar biasa, seolah sebelah bahunya diganduli beban berat. Dan tak terasa, terpaksa dia memiringkan pundaknya sebentar
Setelah Ki Guteng berbalik, tampak si pemuda berbaju rompi di depannya tersenyum. Lalu kaki pemuda yang memang Rangga melangkah keluar dengan tenang menghampiri kuda berbulu hitam yang ditambat di depan kedai.
"Apa maksudmu, Anak Muda?" tanya Ki Guteng penasaran, ketika Pendekar Rajawali Sakti hendak melompat ke punggung kudanya.
"Kau berdusta padanya. Juga berdusta padaku. Apakah kau kira aku tak tahu, bahwa kau bukan pemilik kedai ini" Kau pun melarang pelayanmu untuk menceritakan kejadian semalam. Entah, apa maksudmu. Tapi itu urusanmu. Dan aku tak berminat ikut campur," sahut Rangga, kalem.
"Eh! Sebenarnya aku tidak bermaksud begitu...," kilah Ki Guteng.
"Sudahlah. Tidak apa-apa. Kau lakukan hal itu untuk melindungi kedai ini, bukan?" tukas Rangga.
Lalu tanpa banyak bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera menggebah kudanya dan segera berlalu dari kedai itu diikuti tatapan Ki Guteng. Entah kenapa, da merasa menyesal atas dugaannya yang salah tentang kedua orang itu. Keduanya pasti memiliki kesaktian yang bisa diandalkan!?????
? *** Pendekar Rajawali Sakti
Notizen von Pendekar Rajawali Sakti
info Terjerat Asmara Mistik 1 Pendekar Gila 31 Peti Mati Untuk Pendekar Gila Pedang Asmara 12
^