Pencarian

Ranah Tiga Warna 3

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 3


sedap. "Kau ini mengaku anak kampung, tapi manja. Masa bau
itu aja KO?" ejeknya. Hmm mungkin juga, aku anak kampung
yang miskin, tapi tidak mengenal kemiskinan akut perkotaan
seperti ini. Sesusah-susahnya hidupku di kampung, kami punya
baju layak dan selalu ada sanak saudara yang akan memberi
sekadar makan. "Coba kau duduk di sini. Diam saja, jangan berkata apaapa dan perhatikan apa yang terjadi di sini," bisiknya sambil
mendahului duduk di bawah pohon itu.
Hampir satu jam kami duduk diam. Kampung miskin dan
kumal ini bagai sebuah panggung pertunjukan besar. Penduduknya bagai berparade mempertontonkan hidup mereka di depan
kami. Di depan rumah-rumah tripleks ini tampak anak-anak
kumal setengah telanjang berlarian. Sebagian perut mereka
161 buncit, tapi tulang lengan dan dadanya mencuat tidak berdaging. Dari rumah-rumah reyot itu terdengar suara tangis anakanak balita yang mungkin kurang makan. Orangtua dan remaja
tanggung datang dan pergi membawa karung dan tongkat
pengait. Sebagian lagi dengan baju compang-camping berlalu
menuju jalan besar yang ternyata tidak jauh dari sana dengan
bekal kecrekan dan kaleng. Sementara di ujung satu lagi, sebuah
kali yang kotor terlihat ramai dengan berbagai kegiatan. Ada
yang sedang mandi, mencuci, juga yang sedang buang hajat.
Di panggung ini sedang dimainkan lakon kemiskinan yang
akut di negara ini. Sayangnya panggung ini bukan panggung
sandiwara, tapi kehidupan nyata. Kemiskinan yang terlupakan
dan sudah dianggap sebuah kewajaran. Aku tiba-tiba ingat
hafalanku yang berkarat tentang pasal-pasal UUD 45. Kalau
tidak khilaf, di pasal 34 disebutkan orang miskin dan anak
telantar dipelihara oleh negara. Di mana negaraku itu sekarang"
Sekian lama kami diam. Bang Togar memutar lehernya,
melihat ke arahku. "Coba kau lihat. Berapa pun mereka berusaha keras, kemungkinan besar mereka tetap jadi orang miskin. Begitu juga
anak keturunan mereka nanti. Begitu seterusnya. Sedangkan
kau, boleh tidak punya duit, tapi kau ada kesempatan untuk
berhasil, bahkan membantu orang seperti mereka. Mereka
tidak punya akses untuk pendidikan, kau punya. Jadi kenapa
malas" Kau orang yang beruntung. Tidak pantas kau malas!"
katanya berapi-api menunjuk-nunjuk hidungku.
Aku mendengar saja kecamannya dengan pasrah.
"Semua bentuk kemalangan hidup ada di sini. Fakir miskin,
162 yatim piatu, korban cerai, kelaparan, sakit akut, putus sekolah,
pengangguran. Pokoknya kau sebut apa saja yang sedih-sedih,
ada semuanya di sini," semburnya lagi.
Aku menunduk meresapi kebenaran yang pedih ini.
"Tugas kita berbuat terbaik untuk mendapat rezeki terbaik,
dan semoga kita punya kekuatan membantu mereka nanti.
Kecuali kau mau seperti mereka. Mau kau?" Ujung telunjuknya
kali ini nyaris menyenggol pucuk hidungku.
Aku menggeleng kencang. Tidak puas dengan ceramah sambil duduknya, kali ini
Bang Togar tegak berdiri di depanku yang masih terduduk
mencangkung di pokok pohon.
"Dulu waktu aku baru merantau ke Bandung, aku tidak
punya apa-apa. Hanya modal nekat. Awalnya aku gampang mengasihani diriku sendiri, lalu malas-malasan dan menyalahkan
nasib. Tak sengaja aku lewat di dekat tempat ini. Aku melihat
pedihnya hidup mereka di kampung ini. Sampai di sini aku
baru tahu bahwa aku jauh lebih beruntung. Sungguh tidak
pantas aku bermalas-malasan."
Aku menyimak dia dengan takzim.
"Sepulang dari sini biasanya aku menulis dan menulis seperti kesetanan, sampai pagi. Sering kali sambil terisak mengingat susahnya mereka dan betapa beruntungnya aku."
Campuran kata motivasi, pemandangan kemiskinan akut,
dan bau yang menusuk hidung membuat aku berdiri juga dan
ingin segera pergi meninggalkan "panggung hidup" yang terlalu jujur ini. Mataku berkaca-kaca.
163 Selama perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Banyak
yang berkecamuk dalam hatiku. Betapa banyak nikmat yang
sudah aku dapat, dan betapa beruntungnya aku dibanding
mereka. Kepedihan yang selama ini aku anggap luar biasa
menyakitkan ternyata belum ada apa-apanya. Tuhan masih
sangat perhatian kepadaku. Semangatku kembali menggelegak,
seperti akan menembus langit.
Sampai di tempat kos, yang pertama aku lakukan adalah
salat dan melekatkan keningku lama-lama dan kuat-kuat di
kepala sajadah. Rasanya inilah sujudku yang paling berarti
selama ini. Betapa banyak nikmat yang aku lupakan dan aku
anggap wajar dan biasa. Seakan-akan aku berhak mendapat
nikmat itu tanpa usaha. Karena itu betapa sesatnya aku
kalau sampai bermalas-malasan. Setiap kemalasan artinya
memboroskan waktu sekarang, hari ini, detik ini. Padahal
tidak ada jaminan apa pun bahwa besok, bahkan sedetik lagi,
aku akan punya waktu yang lapang seperti sekarang. Sebuah
pepatah Arab dari Pondok Madani berkelebat di ingatanku.
Lan tarji" ayyamullati madhat. Tak akan kembali hari-hari
yang telah berlalu. Aku harus menggunakan waktuku sebaik
mungkin, seefisien mungkin. Mulai sekarang, detik ini juga.
Malam itu, dengan napas memburu, aku mengetik seperti
badai tornado yang mengamuk sampai pagi. Malam itu dua
tulisan baru lahir, di bawah curahan hujan lebat. Hujan air
mata. Sejak malam itu, penyakit malasku rasanya telah menguap
total dari badanku. 164 Jangan Remehkan Meminjam andai, pinjam komputer nanti ya, kalau wa"ang sudah
selesai mengetik tugas," kataku sambil menepuk pundak
Randai. Dia menengadah tanpa ekspresi. Matanya merah. Sudah
dua hari dia duduk di depan komputer dan tampaknya tugasnya
belum selesai-selesai juga. Melihat wajahnya yang rusuh, aku
sebetulnya menyesal telah bertanya.
"Masih banyak yang belum diketik. Belum tahu kapan aden
selesai padahal tugas ini harus dikumpulkan besok pagi. Kalo
perlu buru-buru, wa"ang mungkin ke rental aja, Lif," katanya
kering. "Oke, nanti saja kalau selesai, atau pas lagi wa"ang ngantuk.
Aden siap kok begadang," jawabku. Untuk menghemat pengeluaran, aku biasanya memakai komputer yang sedang menganggur di tempat kos. Kalau bukan punya Randai, ya punya teman lain. Caranya, aku menyiasati jam. Kalau teman-temanku
sudah tidur, barulah aku yang memakai komputer. Biasanya
lewat tengah malam mereka mulai mendengkur, maka aku
bisa mengetik sampai subuh. Pokoknya kalau orang lain tidur,
aku akan bekerja. Aku memandang jam dinding. Baru jam 9 malam. Aku
menepuk-nepuk bantal dan berteriak kepada Randai, "Aden
165 lalok dulu. Aku tidur dulu. Tolong bangunin jam dua belas ya."
Aku mendengar Randai mengiyakan dan aku segera hilang
ke alam mimpi. Hidup di Pondok Madani telah mengajariku
untuk siap tidur dan bangun kapan saja.
Seseorang menggoyang-goyang badanku.
"Oii jago lah lai. Lif, bangun. Sudah jam 12 malam, giliran
aden tidur." Aku menguap lebar sambil mengucek mata yang masih
terasa lengket. "Ayo gantian. Tugas aden belum selesai, tapi ngantuk minta
ampun. Nanti disambung lagi. Jadi, tolong bangunin jam 3 ya."
"Siap," kataku segera mengambil alih kendali komputer
yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Dengan lancar aku mengetik artikel yang akan aku kirim besok ke koran Manggala.
Menjelang jam 3 subuh, selesai juga artikelku. Selalu ada
sensasi puas setiap aku mencapai kata terakhir dan menekan
perintah print. Aku memasang kertas, menekan beberapa tuts dan printer
dotmatrix itu memekik-mekik menyelesaikan tugasnya. Baru
saja halaman terakhir selesai dicetak, tiba-tiba entah apa yang
terjadi, layar komputer mengerjap-ngerjap beberapa kali. Layar
yang terang kemudian mengerucut menjadi hanya satu titik di
tengah dan sedetik kemudian layar menjadi gelap. CPU-nya
berdenging-denging keras. Tidak ada reaksi apa pun setiap aku
klik mouse atau keyboard.
Aku coba reboot. Komputer ini mencicit sebentar seperti
mencit dan layarnya kembali mengerjap menjanjikan kehidup166
an. Kali ini benar-benar hidup! Tapi sedetik kemudian muncul
tulisan error. Gawat! Semoga masih bisa diperbaiki. Padahal
Randai masih harus menyelesaikan tugasnya hari ini. Semoga
saja dia punya backup tugas yang tadi sudah dicicilnya. Tapi
bagaimana kalau tidak" Keringat dingin terasa tumbuh di
punggungku. Lengket. "Randai, sudah jam 3." Dengan kalut aku bangunkan
Randai yang berkelumun selimut.
Dia menjawab dengan tidak jelas dan memutar tubuhnya
ke arah dinding. "Dai, bangun, komputernya error," kataku menggoyang
tubuhnya lebih keras. Entah karena goyangan itu atau karena
ada kata error, Randai terlompat dari kasurnya.
"Hah... apa yang error?" Matanya nyalang dan dia langsung
melompat ke meja komputer. Di layar masih terpampang
tulisan error. Berkali-kali dia mengutak-atik kabel dan CPU
dengan serabutan. Komputer ini tetap seperti orang pingsan.
Tidak berdaya. "Kok bisa begini?" tanyanya tajam padaku.
"Aku mengetik dan mem-print, tahu-tahu begini," jawabku
dengan perasaan tidak enak.
Dia menangkupkan kedua telapak tangan di atas kepala
dengan wajah tegang. "Ondeh mandeh, paniang kapalo den. Pusing nih. Bagaimana
dengan tugas yang harus den serahkan hari ini. Semua bahan
ada di komputer ini."
"Wa"ang tidak punya backup, Dai?" tanyaku memberanikan
167 diri. Aku merasa bersalah sekali dan bisa merasakan penderitaannya. Dia melirikku dengan sengit, matanya lalu menyipit.
"Indak. Tidak. Masa komputer sendiri aku backup terus. Ini
kan bukan rental," katanya ketus. Aku semakin tidak enak
hati. "Maaf, Randai, aden bisa bantu apa" Mengetik ulang tugas
wa"ang?" "Mana mungkin wa"ang bisa bantu. Ini kan pelajaran
Teknik, pasti nggak ngerti!" Suaranya meninggi. "Tadi diapakan ini" Bertahun-tahun komputer ini nggak pernah rusak!"
Tangannya sekarang membuka kap CPU dengan kasar,
mencabut beberapa kabel sekali renggut dengan keras.
"Sekali lagi aden minta maaf, den tidak sengaja."
Dia diam saja, tangannya masih terus mengutak-atik perut
CPU. Sekali lagi dia coba menghidupkan komputer. Masih
error. Dia menghela napas lesu, kepalanya terjuntai lemah.
Setelah agak lama terdiam dia mengucap lirih, seperti pada
diri sendiri. "Ini susahnya kalo dipinjam orang lama-lama," gerutunya.
Lirih saja. Tapi ini subuh buta yang sepi dan aku bisa mendengar
jelas. Aku tahu aku salah, tapi tidak menyangka Randai akan
berkata begini. Aku mendengar lidahku bergerak terburu-buru. "Dai,
wa"ang bilang apa" Ngomong yang jelas." Darahku rasanya merupa dan mulai menjalar deras naik ke kepala.
Dia diam. Kawan karibku ini menatapku sekilas, mungkin
dia menyesal. 168 "Ayo bilang terus terang. Apa tadi itu?" Aku memaksa.
"Apa?" ulangku.
"Ini karena wa"ang pinjam lama-lama, mesin jadi panas
dan tampaknya hardisk jebol," katanya dingin.
Mataku yang tadi sudah diserang kantuk langsung nyalang
lagi. Kawanku sudah mengeluarkan isi hatinya. Langsung
menikamku. Aku memang orang yang meminjam. Tapi
pengakuan dan penyalahan seperti ini dari kawan dekatku
tetap membuatku terpana. Dadaku sesak dan sumbuku pun
tersulut juga akhirnya. "Apa sebetulnya masalah wa"ang" Keberatan kalau aden
sering menulis artikel?" tanyaku mengundang bencana.
"Ini tidak ada hubungannya dengan masalah artikel wa"ang.
Ini masalah tugas yang sudah aden kerjakan hilang seketika.
Tugas kuliah aden lebih penting daripada artikel. Ini masalah
lulus atau tidak!" sahutnya dengan suara tinggi. Kulit di ujung
bibirnya berkedut-kedut. Aku tidak mau kalah. Aku siap meluncurkan serangan
balasan yang tidak kalah pedas. Aku buka mulut dan katakata panas itu sudah siap aku tembakkan dari ujung lidah.
Tapi aku hela napas, aku timbang-timbang lagi, dan akhirnya
aku batalkan. Tidak ada gunanya aku teruskan bertengkar seperti ini.
Aku sebenarnya di pihak yang kalah dan pihak yang salah.
Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain minta maaf. Dan
aku tahu, sebaiknya aku mundur dan tidak usah menyulut
lebih banyak pertengkaran. Pada subuh buta itu, perkawanan
kami yang sejak kecil ini tiba-tiba terasa hambar dan dingin.
169 Randai bersungut-sungut panjang-pendek. Dia membuka
pintu kamar lebar-lebar dan mengempaskannya. Meja belajarku dari kayu bekas peti kemas sampai bergoyang-goyang.
Selama ini aku berkawan dengan Randai, telah banyak yang
kami lewati bersama: bertengkar, bersilang pendapat, bahkan berkelahi. Tapi semua itu bagai cubitan di kulit dan
perselisihan gampang kami obati bersama. Pertengkaran kali
ini berbeda. Menyentuh perasaan terdalamku dan membuat
hatiku terasa pedih. Berdenyut-denyut.
Diam-diam dalam hati aku berjanji bahwa aku tidak
akan pernah lagi meminjam barang orang lain yang bisa merendahkan derajatku. Aku ingin menjadi tangan di atas, menjadi pihak pemberi. Aku ambil diary-ku, dan aku torehkan di
atas kertas bergaris itu, bahwa aku harus benar-benar mandiri.
Tidak boleh meminjam-minjam lagi. Aku harus membeli komputer sendiri secepatnya. Entah bagaimana caranya, tapi aku
harus punya sendiri. Sejak subuh itu, hubungan kami semakin rengkah. Kami
masih sekamar, tapi tegur sapa seperlunya, hanya heh dan hoh
saja. Perasaan bersalahku semakin besar ketika tahu Randai
akhirnya telat mengumpulkan tugas dan harus datang ke rumah dosen menceritakan apa yang terjadi. Bahkan mungkin
dia terancam tidak lulus mata kuliah itu. Tapi perasaan tersinggungku juga tidak gampang hilang.
Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, sebuah pemikiran
muncul di kepalaku. 170 Tiga Sultan dan Borobudur
eman tidak harus selalu bersama. Teman juga tidak harus
selalu berdamai. Mungkin kadang-kadang kami perlu
berpisah untuk lebih menghargai pertemanan ini. Sekalisekali kita bisa saja bertengkar untuk menguji seberapa kokoh
inti persahabatan itu. Mungkin ini saatnya.
"Randai, aden ingin pindah kos. Kebetulan ada yang cocok
dengan kantong dan tidak jauh dari kampus," kataku suatu
hari. Aku terkejut sendiri, ini mungkin kalimat sempurna pertama yang aku sampaikan ke dia dalam seminggu ini. Kami
saling malas bertegur sapa sejak tragedi komputer itu.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O ya," katanya menggantung. Mukanya datar sedatar-datarnya. Setelah jeda sejenak, dia meneruskan. "Ya nggak apaapa. Kapan rencananya" Nanti aden bantu pindahan," katanya
hambar. Rasa lega sekaligus kecewa bercampur baur di hatiku. Lega
aku bisa menyampaikan niatku dan lepas dari situasi yang tidak
enak dengan teman sekamar. Tapi juga kecewa karena melihat
betapa dinginnya dia menanggapi rencanaku.
Maka sebulan kemudian, aku pindah ke sebuah kos di
Jalan Cilaki. Kali ini aku menyewa sebuah kamar mungil di
belakang sebuah rumah tua berarsitektur zaman Belanda. Seperti janjinya, Randai dan kawan-kawan yang lain ikut menenteng kasur, lemari, dan barang-barangku.
171 Aku merasa ada sesuatu yang longsor dari hubunganku
dan Randai. Kepercayaan. Dan sialnya masalah kepercayaan
ini rusak hanya gara-gara pinjam-meminjam. Yang jelas, aku
kini punya sebuah pelajaran baru dalam hidupku. Sungguh,
jangan pernah remehkan meminjam karena bisa mengubah
persahabatan. Bahkan persahabatan yang kuat dan lama sekali
pun. Bahwa meminjam itu bisa lebih berbahaya daripada meminta. Begitu kita meminta, apa pun objeknya, pasti telah
diputuskan untuk diberikan oleh yang punya. Semua terang
benderang. Ada ijab dan kabul. Ada yang ikhlas memberi dan
ada yang ikhlas menerima. Tapi ketika sesuatu dalam status
dipinjam, tidak ada kata putus di sana. Mungkin selalu ada
benih konflik yang ikut tertanam bersama meminjam. Dia bisa
beracun dan laten. Sejak itu, meminjam menjadi salah satu
hal yang paling aku hindari.
Berpisah dengan Randai membuatku punya tekad-tekad
baru. Kini pengeluaranku untuk biaya kos lebih mahal karena
tidak ada lagi sistem patungan bersama Randai. Awalnya,
keputusanku untuk mengambil kos yang bayar per bulan
membuat aku ketar-ketir. Bagaimana kalau di bulan depan aku
tidak bisa membayar" Bagaimana kalau bulan depan tidak ada
satu pun tulisanku yang dimuat di koran" Tapi aku nekat saja
mencoba. Supaya mencukupi kebutuhan hidup, aku menjadi orang
yang ekstra hemat. Semua pengeluaran dan pemasukan aku
172 catat dalam sebuah buku kas pribadi berwarna biru langit, yang
sudah lusuh karena sering aku taruh di bawah bantal. Tidak
ada jajan yang tidak perlu, memaksa diri untuk menabung
walau sesedikit apa pun, dan tidak lupa menyisihkan untuk
mengantarkan ke panti asuhan di Jalan Nilem. Artikelku semakin teratur dimuat oleh berbagai media. Lama-kelamaan,
walau penuh pengiritan, biaya hidup bisa aku cukupi dan
utangku yang sebelumnya menggunung mulai aku cicil. Tapi
yang masih belum tercapai adalah bagaimana aku bisa punya
penghasilan yang memadai sehingga aku mampu mengirim
uang untuk Amak dan adik-adik di Maninjau.
Tidak disangka-sangka, Pak Danang, redaktur koran Manggala meminta aku menulis biografi tokoh internasional setiap
minggu dan Kang Romli, redaktur tabloid Hikmah bersedia
memuat tulisanku tentang dunia Islam internasional setiap
dua minggu sekali. Bayangkan, selama ini aku yang berjuang
mengirimkan tulisan dan berharap dimuat, sekarang ada
media yang memintaku menulis. Sejak itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, penghasilan bulananku melebihi semua
kebutuhan hidupku di Bandung. Min haitsu la yahtasib. Dari
tempat yang tidak disangka-sangka. Rezeki dari Tuhan memang
bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Alhamdulillah"
Dengan semangat melonjak-lonjak, aku selipkan 3 lembar
uang Rp10.000 bergambar Sultan Hamengku Buwono IX dan
Borobudur di tengah lipatan surat untuk Amak. Walau tidak
banyak, ini sebuah prestasi besar dalam hidupku. Ini kali
pertama dalam hidupku aku bisa memberi uang hasil keringat
sendiri kepada Amak. 173 Aku tulis sebaris kalimat dengan segenap perasaan:
Ke hadapan Amak yang mulia. Hanya ini yang bisa ananda
kirimkan kepada Amak. Walau hanya Rp30.000, tapi insya
Allah ini hasil keringat sendiri yang halal. Semoga bisa membantu Amak dan adik-adik. Mohon doa Amak agar ananda
dimudahkan selalu untuk hidup di rantau, menuntut ilmu dan
mencari rezeki. Sembah sujud ananda. Alif.
Seminggu setelah itu, Amak membalas suratku. "Amak
hanya bisa mengusap air mata yang berderai ketika menggenggam kiriman Ananda. Bukannya seharusnya Amak yang
mengirimi Ananda untuk biaya sekolah" Doa Amak dan
adik-adik berlipat ganda buat Ananda, semoga terus ditunjuki
Allah jalan lurus." Tragedi komputer Randai itu membuat aku melecut diri
agar bisa membeli komputer sendiri. Impianku tidak muluk.
Hanya ingin punya komputer 486, dengan program DOS dan
WordStar. Sebetulnya banyak teman yang sudah memakai
Pentium 1 dengan Windows, tapi aku pikir kepentinganku
saat ini baru sebatas menulis teks jadi tidak perlu komputer
yang tercanggih. Ketika aku menceritakan impian ini ke Bang
Togar, dia menjawab spontan, "Seingatku ada sebuah komputer tua di gudang rumah kontrakanku. Sudah lama tidak
aku pakai. Kalau kau mau, bisa kau pakai itu saja. Tua-tua
begitu tapi masih bisa dipakai untuk menulis. Tidak gratis ya.
Kau tetap harus bayar, cicil semampu kau."
174 "Oke, Bang, aku ambil sekarang saja," kataku sambil sibuk
membayangkan bagaimana asyiknya punya komputer sendiri
di kamarku. "Ini komputer pertamaku, tercanggih di masanya. IBM PC
XT asli, bikinan Amerika. Besinya tahan banting," kata Bang
Togar membanggakan kekuatan barang bekasnya. Untuk membuktikan, dia mengetok-ngetok CPU itu dengan pegangan
sapu. Berdentang-dentang seperti bunyi drum ditokok-tokok.
Aku tidak menyangka komputer bekas Bang Togar sepurba
ini. Badan komputer yang berbentuk kotak besi kekar itu
bagai onderdil tank baja dari Perang Dunia ke-2, tebal dan
seperti dimuati berkilo-kilo batu. Bang Togar tertawa berderai
melihat aku sampai terbungkuk-bungkuk mengangkat barang
bekas ini ke dekat colokan listrik. Sebaliknya, monitornya
begitu mungil. Di sisi kanan ada dua tombol imut. Begitu
aku tekan tombol ON, mesin ini merengek-rengek seperti
kucing jantan lapar, lalu di layarnya yang hitam itu berkedipkedip kursor berwarna hijau. Aku gelari komputer ini: Hulk si
Raksasa Hijau. Setiap aku gunakan untuk men-save data ke disket besar,
Hulk selalu mengeluarkan suara campuran rengekan dan terkentut-kentut. Tapi walau uzur, mesin tua ini memang masih
bisa aku gunakan buat menulis. Biarlah Hulk fosil buruk
rupa, tapi aku bahagia tidak kepalang. Ini milikku sendiri,
bukan pinjaman. Tidak akan ada orang lain yang pernah
menyalahkan aku lagi kalau Hulk nanti error dan rusak.
Alhamdulillah, Allah memberikan rezeki untuk aku menaati
janjiku: menghindari meminjam.
175 Aku tidak akan pernah lupa, impian menjulangku ketika
duduk di bawah menara masjid Pondok Madani bersama
Sahibul Menara. Aku membayangkan suatu hari kelak akan
merantau ke Amerika. Sebuah daratan yang terletak di balik
Bumi, tanah yang dihuni oleh orang Indian yang kemudian
ditaklukkan penjelajah Eropa32 sekitar 600 tahun lalu. Bukubuku karangan Karl May yang berkisah tentang suku Apache
dan film Little House on the Prairie membuat aku ingin sekali
melihat sendiri padang rumput, bison, koboi, dan orang
Indian. Benua ini lalu menjadi sangat maju karena orang Eropa
datang dengan semangat baru dan meninggalkan segala
perangai buruk mereka di Eropa. Mungkin kira-kira sama
seperti yang diajarkan di Pondok Madani, al muhafazhah ala
qadimi shalih, wal akhzu ala jadidil ashlah. Hanya memegang
teguh hal yang baik dari masa lalu dan mengambil halhal baru yang lebih baik lagi. Tidaklah heran kalau benua
Amerika kemudian menjadi tanah impian para imigran mulai
dari Afrika, China, Eropa, Timur Tengah, sampai Indonesia.
Tidak hanya untuk mencari rezeki, banyak pula orang berlayar
ke benua ini untuk menuntut ilmu. Mulai dari Iqbal, sang
pemikir hebat dari Pakistan sampai Fidel Castro pemimpin
Kuba, belajar di Amerika.
Ikuti kisah ini lebih lengkap di buku sebelumnya, Negeri 5
Menara. 176 Pada suatu tengah malam di kamar kosku, aku ceritakan
lagi impian besarku ini kepada Wira, Agam, dan Memet yang
sedang mengerjakan tugas kelompok mata kuliah Analisa
Kebijakan Luar Negeri. Mereka malah menguap lebar seperti
kawanan singa laut sedang berjemur. Di tengah kantuk mereka
mungkin ceritaku mereka anggap igauan menjelang dini hari.
Tapi aku tidak peduli, aku sibuk berkhayal bagaimana caranya
mengikuti jejak Columbus.
"Kalo kamu jadi ke Amrik, aku nanti nitip kaus NBA
bertanda tangan Michael Jordan ya," kata Wira bercanda menanggapiku sambil menyeruput habis sisa kopinya.
Agam memberi pendapat, "Menurutku, lebih baik kamu
pikirin bagaimana kita lulus mata kuliah ini dulu. Lalu bagaimana lulus S-1, setelah itu, Lif, baru mikir Amerika."
Teman-teman lain mengangguk-angguk setuju.
"Bukan aku meragukan kamu, tapi masih jauhlah, bukan sekarang," kata Memet mengamini pendapat Wira dan Agam.
Apakah terlalu berlebihan kalau aku ingin mencapai Amerika segera, ketika belum selesai kuliah" Bukankah Columbus
bahkan tidak harus lulus S-1 dulu untuk mencapai daratan
Amerika" Berita buruk: permohonan beasiswaku ke kampus ditolak
karena nilai semester awalku kalah tinggi dibanding pelamar
lain. Apa boleh buat, aku harus terus berhemat untuk bisa
177 membayar SPP sendiri. Awalnya aku kesal, tapi lama-lama aku
berpikir kenapa aku tidak menggunakan penolakan sebagai pecut untuk malah bermimpi lebih besar: berburu beasiswa ke
luar negeri. Sejak itu, seperti seseorang yang terobsesi, aku
sibuk keluar-masuk perpustakaan, menulis surat ke manamana, bertanya kepada para senior di kampus, bagaimana bisa
belajar ke luar negeri tanpa harus bayar. Ketika teman kuliahku masih sibuk berkutat dengan mata kuliah semester ini, aku
malah berpikir bagaimana caranya semester depan aku bisa
sudah kuliah di luar negeri dengan gratis.
Setiap aku melihat spanduk pameran pendidikan luar
negeri di hotel berbintang, aku pasti catat tanggalnya. Dengan
si Hitam andalanku, aku datangi setiap stan universitas dari
Australia, Eropa, dan Amerika yang dijaga orang bule. Aku
mengajak mereka ngobrol, aku jelaskan keinginanku, aku
tanya tentang beasiswa, aku minta brosur dan formulir, serta
aku jabat erat tangan mereka sambil mengucapkan terima kasih. Tentu saja aku belum bisa mendaftar, karena kebanyakan
untuk sekolah S2, sementara aku belum lulus S1. Kalaupun
aku sudah lulus S1, aku jelas tidak mampu membayar uang
sekolah yang seharga rumah gedung itu. Ini kan pameran
sekolah, bukan pameran beasiswa.
Tapi setiap melihat stan pameran yang berbaris-baris dengan plang dan spanduk bertuliskan universitas ini dan itu,
aku selalu tersenyum senang. Dengan mata berbinar, aku
amati dan sentuh gambar-gambar kampus besar yang mereka
pajang. Aku sungguh menikmati irama bicara setiap bule
yang aku ajak bicara, "We are looking forward to receiving your
application. Please send it to our admission office."
178 Aku jawab dengan meyakin-yakinkan diri, "Yes, I will, Sir,
I will"." Rasanya aku semakin dekat dengan impianku ke luar
negeri setiap kali menjabat tangan para wakil universitas asing
ini. Rasanya impianku hanya dibatasi sehelai kertas tipis saja
setiap kali aku memegang formulir masuk kuliah di luar negeri
ini. Sekali-sekali aku datangi CCF di dekat BIP dan Goethe
di Jalan Riau untuk memelototi brosur peluang beasiswa yang
ditempel di papan pengumuman.
"Kalau kita kondisikan sedemikian rupa, impian itu lambat
laun akan jadi nyata. Pada waktu yang tidak pernah kita
sangka-sangka," begitu nasihat Ustad Salman wali kelasku
di Pondok Madani yang selalu berdengung di kepalaku.
Rajin ke pameran pendidikan luar negeri adalah usahaku
mengondisikan pikiran. Suatu hari, aku girang sekali mendengar jurusanku mengadakan studi tur keliling Eropa. Jangan-jangan ini jawaban
dari doaku untuk bisa melawat ke luar negeri. Aku hanya
bisa tersenyum tawar ketika tahu biaya studi tur itu ratusan
dolar dan harus keluar dari kantong sendiri. Yang bisa pergi
hanyalah sebagian temanku yang orangtuanya punya kantong
tebal. Aku dan teman-teman yang datang dari kelas menengah
ke bawah boleh menelan ludah dan berharap mendapatkan
oleh-oleh sekadar sebuah pin atau secarik stiker European
Union dari kawan-kawanku yang beruntung itu.
179 Tempias Niagara ulan ini, kampusku yang tua tapi rindang dan hijau
di Dago harus pindah ke sebuah lahan gersang yang
bertanah merah di Jatinangor. Teman-temanku dan aku merasa
perlu mengheningkan cipta karena berduka atas kepindahan
ini. Tidak ada lagi masa berleha-leha duduk berangin-angin di
Dago Tea Huiss menunggu kuliah. Hari-hari kami habis untuk
mengejar-ngejar bus Damri trayek Dipati Ukur"Jatinangor
yang selalu gerah dan penuh sesak laksana kaleng sarden.
Dalam sebuah perjalanan pulang ke Bandung dari Jatinangor, aku terkantuk-kantuk setelah lelah ikut demonstrasi
menolak pembreidelan Tempo. Sejak dari Cileunyi, aliran lalu
lintas beringsut-ingsut ke arah Bandung. Padahal aku harus
segera menyetor dua artikel minggu ini agar bisa melunasi
uang kos bulan ini. Di kursi sebelah kananku duduk seorang mahasiswi hitam
manis berambut ikal sebahu. Dia tampak sangat menikmati
bacaannya. Awalnya, dia tersenyum-senyum sambil membelaibelai secarik kertas dan sehelai amplop. Ah, mungkin sedang
jatuh cinta dan dapat surat dari kekasih. Selesai dengan kertas
surat, dia mengeluarkan setumpuk foto dari amplop tadi. Kali
ini lebih seru, dia berkali-kali tergelak, sambil menutup mulutnya. Beberapa orang melirik dia. Mukanya memerah tersipu.
Ah, pasti lagi melihat foto berdua dengan pacar.
180 Tapi lama-lama aku jadi penasaran. Aku panjangkan leherku ke arah kanan dan dengan sedikit mendelik, aku maksimalkan lirikan ke foto-fotonya. Nah, berhasil. Aku bisa melihat
beberapa foto mahasiswi manis itu dengan teman-temannya.
Ada yang bule! Latar belakang foto mereka adalah air setinggi
bukit berbusa-busa turun deras. Mereka semua basah kuyup
mungkin kena tempias air terjun. Tidak salah lagi, itu pasti
foto di Niagara Falls, air terjun raksasa di benua Amerika.
Tiba-tiba gadis ini melirik ke arahku. Mungkin dia merasa
diintip. Aku tergeragap dan memalingkan wajah. Telingaku
panas. Beberapa saat aku sok tidak peduli. Hmm, gadis yang
beruntung. Jalan-jalan ke Amerika. Tapi aneh, kok naik bus
Damri yang sumpek ini ya" Umumnya temanku yang kaya
tidak naik bus umum, tapi naik mobil pribadi. Mungkin dia
gadis kaya yang low profile. Mungkin dia orang yang sangat
beruntung karena dapat undian dan jalan-jalan ke Amerika"
Atau liburan keluarga" Spekulasiku makin menjadi-jadi.
Aku mencoba tidur-tidur ayam daripada sibuk mengintip
foto orang. Tapi aku terbangun ketika gadis ini kembali mengikik sendiri sambil menutup mulut. Pelan-pelan, aku beranikan
diri lagi mengintip foto-fotonya. Ah, kepalang tanggung. Sekalian saja aku beranikan diriku bertanya. "Ehmm, Mbak, fotofotonya bagus sekali. Itu di mana?" kataku pura-pura tidak
tahu. Dia melihat ke arahku dengan raut terkejut. Tapi pelanpelan senyum pecah di mulutnya. Rupanya dia tidak keberatan
ditanya. 181

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, maaf ya, Mas, kalau mengganggu. Saya ketawa-ketawa
sendiri," jawabnya malu-malu. "Ini di Niagara Falls, Canadian
Side. Sisi sebelah Kanada. Air terjunnya selebar setengah
kilometer. Gede banget! Yang saya tidak pernah lupa adalah
tempias air terjun itu membuat kacamata saya ini berembun
dan rambut basah, karena air terjun dari ketinggian 50 meter
lebih." Matanya berbinar-binar sambil menerawang ke arah
kemacetan akut di Cileunyi. Arus kemacetan mungkin seperti
arus Niagara di matanya. Hmm, kalau bicara air terjun, paling jauh aku cuma bisa
mencocok-cocokkan pengalaman dia dengan liburanku ke air
terjun Lembah Anai di dekat Padang Panjang waktu kecil dulu.
"Oya, silakan kalau mau lihat," katanya mengangsurkan
tumpukan foto ke arahku dengan senang hati.
"Wah, terima kasih, Mbak," kataku sambil menerima fotofoto itu.
"Panggil saja Asti," katanya.
"Saya Alif. Hebat sekali, Asti, bisa libur jauh ke Kanada,"
pujiku sambil mendecak-decakkan lidah.
"Ah, saya beruntung aja. Dibayarin kok. Gratis!"
Nah, benar kan" Dibayarin orangtua.
"Oya" Gratis" Siapa yang bayarin?"
"Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kanada," katanya
sambil tersenyum. Ups, aku salah besar. Bukan orangtua, tapi negara. Tidak
mungkin dia pegawai negeri atau atlet. Aku penasaran.
182 "Wah, kok bisa" Gimana caranya?"
"Ya bisa dong. Kamu juga bisa kalau mau. Gampang. Asal
lulus tesnya. Ini program yang sudah ada sejak tahun 70-an."
Mendengar jawaban ini, aku memutar sepenuh badanku
menghadap dia. Kata "gampang" dan "lulus tes" benar-benar
menyita perhatianku. Udara panas dan bus yang semakin
sesak tidak aku pedulikan. Seakan-akan aku juga kena efek
tempias dingin Niagara. Dengan senang hati, Asti, yang ternyata kakak kelasku di
FISIP, bercerita panjang lebar tentang mimpinya ingin keluar
negeri gratis. Baru tahun lalu impiannya jadi kenyataan, ketika
dia mengikuti program pertukaran pemuda antara Indonesia
dan Kanada. Yang dia lakukan hanya mengisi formulir di
kantor panitia seleksi, lalu mengikuti tes tulis dan wawancara.
Setelah itu dia terbang ke Kanada.
"Kapan lagi ada seleksinya?" tanyaku tidak sabar.
"Setiap tahun ada. Untuk tahun ini baru dibuka. Datang
aja ke kantor panitia untuk lihat syarat dan ambil formulir,"
katanya menuliskan sebuah alamat di Bandung.
"Sejak tahun 70-an" Kenapa aku tidak pernah tahu ya?"
tanyaku penasaran. "Kurang perhatian aja, kali. Setiap tahun ada pengumumannya, baik di kampus dan di koran Pikiran Rakyat," katanya.
Tidak aku sangka, ternyata memang ada kesempatan untuk
belajar ke luar negeri bahkan buat mahasiswa yang belum
lulus S1. Pasti teman-temanku Geng UNO tidak ada yang
tahu. Sesuai nasihat Asti, besoknya aku segera mendatangi kan183
tor panitia dan mengambil formulir pendaftaran tes program
pertukaran pemuda ke luar negeri. Program ini kerja sama pemerintah Indonesia dan berbagai negara lain. Aku mendongak
melihat poster pengumuman yang besar dengan tulisan yang
heroik: "Mau Jadi Duta Muda Bangsa" Mendaftar di Sini".
Ini dia yang aku cari, kesempatan ke luar negeri selagi masih
kuliah. Rupanya ada beberapa negara tujuan, mulai dari
Australia, Jepang, negara ASEAN, dan Kanada. Tapi tidak
ada Amerika, padahal impianku kan ke Amerika.
"Ibu, apa ada pertukaran ke Amerika?" tanyaku kepada
panitia seleksi. Dia melihatku dengan heran. "Dik, Kanada itu ada di benua Amerika."
Mukaku merah. Kenapa tidak terpikirkan. Selama ini pikiranku tentang Amerika terlalu sempit, hanya negara Amerika
Serikat, padahal sebagai benua, ada Kanada, juga Amerika
Latin. Tanpa pikir panjang aku berniat mengikuti program ke
Kanada. Dengan hati-hati aku isi setiap kolom formulir. Ada sebuah
pertanyaan yang menantang, yaitu, "Kenapa Anda pantas untuk
dipilih?". Kolom ini membuat aku pusing dan aku butuh berkalikali menulis jawaban. Setiap aku belum puas dengan jawabanku,
aku simpan formulir itu di bawah bantal, dan begitu bangun
subuh aku baca dan perbaiki lagi. Begitu terus selama berharihari. Di formulir ini aku tuliskan pengalamanku selama di PM,
yaitu aku biasa bergaul dengan orang dari berbagai suku dan
bangsa dan aku ingin menguasai berbagai bahasa asing dunia.
Setelah semua kolom jawaban terisi, aku biarkan lagi beberapa
184 hari sebelum aku periksa sekali lagi. Pokoknya aku lebihkan
usaha, harus going the extra mile, itu dulu nasihat Ustad Salman.
Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apa pun di formulir ini
dan aku ingin memberikan jawaban yang paling lengkap dan
menarik perhatian tim seleksi.
Akhirnya datanglah hari tes itu. Aku kuakkan selimut
pagi-pagi benar, aku semir si Hitam sampai mengilat gilanggemilang, aku setrika licin-licin kemeja terbaikku. Bau harum
meruap setelah kaleng minyak wangi berdesis-desis aku
semprotkan di sekeliling badanku. Setelah aku sisir rambutku
licin-licin ke belakang, aku ayunkan langkah menyetop angkot. Bismillah. Ini hari menentukan, apakah impianku ke luar
negeri bisa terwujud tahun ini.
Ketika aku sampai di tempat seleksi, sudah ada ratusan
orang duduk rapi-rapi memadati sebuah aula terbuka. Mengingatkan aku pada hari UMPTN. Banyak yang bersedekap
atau menggenggam tangan mereka dan hanya sedikit yang
saling mengobrol. Mungkin mereka juga harap-harap cemas
sepertiku. Aku melihat Asti melambai-lambaikan tangan dari
kejauhan. Dia memakai jas biru dengan emblem garuda yang
dijahit gagah di saku depan. Bersamanya ada belasan orang
dengan seragam yang sama. "Sukses ya, Alif, aku dan para
alumni program dapat tugas membantu proses seleksi," katanya
menyalamiku. Senangnya hatiku ada yang memberi semangat,
apalagi di saat tanganku dingin seperti sekarang.
185 Randai dan Raisa iba-tiba darahku tersirap. Dari kejauhan aku merasa
melihat sekelebat wajah orang yang tidak asing. Pemuda
berwajah putih dan berbadan atletis yang dibungkus jaket
biru lusuh jurusan kebanggaannya, Teknik Mesin ITB. Tidak
mungkin aku silap. Dia Randai! Baru saja aku tenang, sedetik
kemudian, jantungku kembali buncah. Ada lagi seseorang
bersama dia. Memakai topi rajut dari wol. Bekas tetanggaku
yang kemilau. Raisa! Sekian lama tidak bertemu, diam-diam
aku kangen juga setelah melihat wajahnya.
Randai seperti biasa, berbicara seraya tangannya menarinari di udara. Dari dulu aku tahu dia memang selalu ingin
membikin Raisa terpukau. Atau raisa benar-benar telah terpukau" Huh!
Mereka berdua-duaan, mengapa"
Mereka juga pasti ikut tes ini. Jangan kayak orang pandir. Ini
kan tes terbuka buat siapa saja. Boleh dong. Takut bersaing, ya"
sanggah hatiku sendiri. Nggak, nggak takut kok. Tapi kenapa harus ikut berdua"
Terserah mereka dong, emangnya kamu emak mereka"
Jangan-jangan mereka teman sangat dekat"
Emangnya apa urusan kamu, cemburu" goda hatiku lagi.
186 Hmmm, nggak taulah. Ha ha ha ha! Mengaku ajalah.
Ah, pura-pura nggak kenal ajalah.
Tapi itu tidak kesatria. Belum selesai debatku dengan diri sendiri, badanku telah
bertindak. Aku memalingkan muka sambil menjauh dari mereka.
Sejak pindah dari kos Randai, aku tidak pernah kontak lagi
dengan dia. Menurutku tidak ada yang perlu dibicarakan lagi
di antara kami. Kami toh berpisah baik-baik setelah tragedi
komputer error itu. Tapi lama-lama hatiku tidak enak. Bagaimanapun Randai
tetap temanku. Memang kami punya kenangan tidak menyenangkan, tapi apa untungnya memperpanjang masalah"
Dengan memaksa diri, aku geret kakiku beringsut menuju
mereka yang sedang asyik bicara. Lalu aku sapa mereka dengan pertanyaan basa-basi, "Randai, Raisa, wah ikut juga
ternyata...." Bersamaan mereka memutar tubuh ke arahku. Randai agak
tergeragap, sebelum memaksakan sebuah senyum kecil terbit
dari wajahnya. Raisa seperti biasa menguasai dirinya dengan
elegan, yaitu dengan menerbitkan selembar senyum ke arahku.
Tapi dia tidak bisa menutupi semu merah menyapu mukanya.
Kepalang tanggung, daripada kaku, aku salami saja mereka.
"Gimana kos baru, Lif?" tanya Randai tak kalah basa-basinya.
187 "Baik, makasih sudah bantu angkat-angkat waktu itu ya."
"Wah, Alif sombong, nggak pernah lagi main ke Tubagus,"
kata Raisa sambil menyunggingkan senyum sampai gingsulnya
kelihatan. Seandainya dia tidak basa-basi.
"Tenang, kalau ada banjir lagi, aku pasti datang membantu,"
jawabku berkilah. Kami tertawa bersama mengingat tiba-tiba
gang kami digenangi air bak sungai dan Raisa serta teman satu
kosnya basah kuyup dan harus mengungsi ke rumah kos kami
dulu. Sekonyong-konyong, sebuah dering keras berkumandang.
Asti dan teman-teman berjas birunya bertepuk-tepuk tangan
mengajak kami masuk kelas untuk mulai tes tulis. "Semoga kita
lulus semua ya," kata Raisa. Kami sama-sama mengamini doa
ini. Kehadiran Randai dan Raisa di seleksi ini berakibat baik
buatku. Adrenalinku seperti muncrat dipompa semangat
kompetisi yang semakin sengit dengan Randai. Bolehlah aku
tidak berhasil masuk ITB, tapi paling tidak aku harus bisa
pergi ke Kanada. Bolehlah dia dekat dengan Raisa, tapi kali
ini akulah yang akan membuat Raisa terkesan.
Dengan rasa percaya diri, aku gasak setiap soal tulis. Memang tidak sia-sia perjuanganku belajar saban hari selama
dua minggu terakhir ini. Tidak hanya belajar dan membaca,
aku bahkan sampai bertanya kepada Asti tentang kisi-kisi
pertanyaan. Untuk menempa diri, aku bahkan membuat
beragam soal sendiri dan aku jawab pula sendiri. Usai ujian
tulis, panitia menyilakan kami duduk di luar ruangan, sambil
mereka langsung menilai lembar ujian saat itu juga.
188 "Setengah jam lagi hasil ujian sudah bisa dilihat di sini," kata
Asti menunjuk sebuah papan pengumuman. Randai mengajak
kami makan bakso di kantin, dan seperti biasa dia mentraktir.
Kami mengobrol ngalor-ngidul, tapi pikiranku melayanglayang, penasaran ingin melihat pengumuman hasil ujian.
Dalam pandanganku, Raisa dengan adil membagi perhatian,
senyum, dan tawa yang sama kepada cerita aku dan Randai.
Dia mungkin sedang memainkan perannya dengan bangga,
bahwa dia bisa memilih dan menentukan di antara dua anak
rantau yang bersaing menarik perhatiannya. Seakan-akan dia
membunyikan peluit untuk memulai kompetisi antara aku dan
Randai. Dan etape pertama kompetisi ini adalah apakah kami
bisa lulus ujian tulis ini.
Aku keluar dari kerumunan peserta yang bersesak-sesak
di depan papan pengumuman itu dengan mengulum senyum.
Seperti yang aku perkirakan, kami bertiga lulus ujian tertulis
ini. Catatan di bawah pengumuman ini: Bagi yang lulus akan
mengikuti tes wawancara berbahasa Inggris dan tes kemampuan nonakademis tepat seminggu lagi.
"Selamat ya, Alif. Siap-siap nanti ada tes kesenian tradisional Indonesia. Termasuk tes pertunjukan kesenian dan nyanyi lho," pesan Asti.
Tes nyanyi" Aduh, gawat! Ini bencana besar. Satu-satunya
nilai merah di raporku waktu SD dulu adalah seni suara. Aku
tidak bisa bernyanyi, tidak hafal lirik lagu, dan tidak mau
bernyanyi. Sedangkan saingan utamaku, Randai, adalah ahlinya. Raisa juga, dia menguasai berbagai seni tari dan menyanyi
dengan amat baik. Aduh, bagaimana ini"
189 Semakin lama aku berpikir, semakin ciut nyaliku, dan
semakin besar pula rasanya bayangan Randai dan Raisa di
kepalaku. Randai, ah, siapa yang meragukan kemampuannya.
Sejak dulu dia sangat lihai dalam bidang kesenian, khususnya
seni Minang. Bahkan aku kerap curiga, jangan-jangan dia
mampu menari piring sambil tidur. Asal suatu benda punya
tali senar dan lubang, niscaya dia bisa memainkannya jadi alat
musik. Seni tidak hanya mengalir di darahnya bahkan sampai
meresap ke tulang dan sumsumnya. Sedangkan Raisa, tidak
kalah hebat, dia pernah mewakili sekolahnya ikut lomba tari
dan vokal grup. Tidaklah heran kalau sekarang dia terpilih
menjadi lead vocal untuk paduan suara Unpad. Jangankan lirik
lagu, bahkan mungkin daftar menu di rumah makan Padang
pun bisa dinyanyikannya dengan indah. Aku bayangkan dia
bernyanyi dengan lirik ini: ...Randang... Gulai Cancang...
Dendeng Batokok... Gulai Utak... Talua Balado... Gulai Paku...
Pucuak Ubi... Samba Lado Mudo... Perutku menderu-deru
lapar membayangkan liriknya saja.
Ehm, aku" Aku nggak level. Bisa dipastikan aku akan mati
kutu menghadapi mereka berdua dalam hal kesenian. Kepalaku sibuk mencari-cari kesenian apa yang bisa aku dalami
selama seminggu. Aku mahir dalam kaligrafi Arab, tapi apa
hubungannya dengan pertunjukan" Apa lagi" O ya, aku bisa
sedikit silat, tapi sekarang hanya sisa-sisa ingatan ketika belajar silek Minang waktu kecil di Maninjau. Entah bagaimana
caranya aku lolos tes ini. Aku terduduk lesu, tidak tahu harus
bagaimana. Ya Tuhan, tunjukilah jalan terbaik.
190 Jurus Golok Kembar Kiai Rais
nilah saat aku benar-benar butuh segala semangat untuk
membuat aku percaya bahwa aku bisa, aku mampu, aku
berhak, kalau mau berjibaku. Aku bolak-balik lembar-lembar
diary-ku, termasuk semasa aku belajar di PM. Pada saat aku
lemah dan putus harapan, sering catatan-catatan ini bisa
menggerakkan semangatku lagi. Mataku terhenti dan tidak
berkedip ketika membalik satu halaman yang bertuliskan
huruf-huruf tebal. Aku ingat menuliskannya dengan cara
menorehkan bolpoin berulang-ulang di tempat yang sama,
sampai ada bagian kertas yang robek karena aku terlalu kuat
menekan bolpoin. Tulisan itu: Jurus Golok Kembar Kiai
Rais33. Aku tulis ketika mendengarkan salah satu wejangan Kiai
Rais di PM sekitar dua tahun lalu. Membaca lembaran itu
membuat aku hanyut ke suatu masa ketika kiaiku berpidato
di depan ribuan santrinya. Aku mencatat, seluruh aula tibatiba berdengung oleh bisik-bisik kami, ketika Kiai Rais masuk
ruangan berkapasitas 3.000 orang itu. Bisikan riuh kami
diakibatkan penampilannya yang tidak biasa. Tangan kanan
dan kirinya masing-masing menghunus sebilah golok panjang.
Pimpinan Pondok Madani yang sangat inspiratif. Baca Negeri 5 Menara
tentang peran tokoh ini. 191 Sedangkan di pinggangnya terselip sebuah tongkat kayu
seukuran pergelangan tangan orang dewasa. Beliau meloncat
maju ke podium bagai ninja yang siap tempur. Bagai asap
ditiup angin, bisik-bisik kami hilang dalam sekejap.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah suasana hening ini, beliau berdiri di podium dan
mengangkat kedua bilah golok itu tinggi-tinggi. Yang kanan,
bilahnya tampak terbuat dari logam yang terang dan berkilatkilat. Sementara yang kiri tampak gelap dan bercak-bercak
cokelat, seperti sudah berkarat.
"Anak-anakku tercinta, coba lihat ke depan. Di tangan
saya ada dua golok. Satu tajam habis diasah tajam-tajam, satu
lagi berkarat dan tumpul. Sedangkan di pinggang saya ada satu
tongkat kayu." Beliau lantas meletakkan kedua golok dan tongkat kayu
di atas podium kayu. Tiga ribu pasang mata kami mengikuti
setiap gerak-gerik beliau dengan saksama. Apa Kiai Rais akan
mengajari kami jurus paling sakti untuk bekal bela diri"
Atau beliau akan mempertontonkan keahliannya bermain
silat dengan sepasang golok" Bukan rahasia lagi, Kiai Rais juga
seorang pendekar silat tangguh.
"Nah, sekarang coba kalian perhatikan baik-baik."
Dihunusnya golok yang berkilat-kilat itu dengan tangan
kanan. Tongkat kayu digenggam di tangan kiri. Tangan
kanannya terangkat tinggi ke atas ubun-ubun. Bilah sinar
matahari pagi yang menyelinap melalui jendela jatuh tepat di
atas badan golok. Memantulkan cahaya silau ke wajah-wajah
kami. Tangan kirinya teguh memegang tongkat kayu. Aku
menahan napas, mulut Said menganga lebar, Raja melepaskan
192 pegangannya dari kamus tebal yang dari tadi dibacanya, Atang
memperbaiki letak kacamatanya, dan Dulmajid sudah beberapa
detik tidak bersedia berkedip. Kami menanti, gerakan ajaib
apa yang akan diperlihatkan Kiai Rais"
Golok tajam itu terayun kencang ke bawah, berdenging
ngilu membelah udara. Langsung berkelebat menuju tongkat
kayu. Dalam bayanganku, kalau tongkat itu ditebas golok,
pasti sekali ayun akan putus. Tapi, sepersekian detik sebelum
menyentuh kayu, golok itu berhenti di udara. Kiai Rais sekonyong-konyong mengurungkan niat memperlihatkan jurusnya dan menyapu pandang ke arah kami. Aneh, tiba-tiba
beliau malah berbicara tentang menu tempe setipis silet
yang kami makan pagi ini sambil mengumbar tawa. Lalu
sambil tetap berbicara, golok tadi jadi juga diayunkan ke arah
tongkat kayu. Tanpa melihat. Dengan tenaga sekadarnya.
Terdengar suara berderak ketika golok menghantam sasaran.
Tongkat kayu ini tidak putus, hanya lecet. Beberapa kali beliau
mengulang gerakan yang sama. Tidak serius dan tidak sepenuh
hati. Bahkan beberapa kali golok itu meleset menghantam
podium, bukan tongkat kayu. Hasilnya, tongkat ini tidak
putus, tapi hanya lecet-lecet. Beliau meletakkan kembali
golok dan tongkat. Kami berdengung berbisik-bisik sambil
mengernyitkan dahi tidak paham.
"Baik, coba perhatikan sekali lagi."
Kali ini ganti beliau menghunus golok yang belang-belang
karatan di tangan kanan. Tongkat kayu sekali lagi digenggam di tangan sebelah kiri. Berbeda dengan tadi, kali ini
raut Kiai Rais sangat serius. Tidak ada setitik senyum pun.
193 Lalu, dengan segenap perasaan, dia mengayun golok karatan
dengan kecepatan penuh ke arah tongkat. Prak... besi berkarat
menghajar kayu. Tidak terjadi apa pun, kemajalan golok
hanya melukai sedikit di kulit tongkat kayu itu. Kiai Rais
menarik tangan lagi, dan menghajar tongkat itu lagi kedua
kalinya, ketiga kali, keempat... bertubi-tubi ke arah kayu yang
lecet tadi. Kayu itu masih belum putus, tapi dengan sabar Kiai
Rais terus mengayunkan tangannya. Napasnya sampai terdengar naik-turun, dan dahi serta lehernya sudah kuyup oleh
keringat. Setelah sekian kali mengayun dengan tekun... plar...
akhirnya tongkat itu patah dua. Potongannya jatuh bergulingguling di lantai ubin dengan suara nyaring.
Sejenak dia menyeka keringat dengan saputangan putih
sambil mengatur napas. Lalu Kiai Rais mengangkat kembali
golok karatan dan tumpul tinggi-tinggi. Teman-temanku juga
banyak yang berbisik-bisik, tidak mengerti apa gerangan maksud Kiai Rais.
"Anak-anak, sudah kalian lihat tadi semua, jurus dua golok.
Saya ingin memperlihatkan kepada kalian semua hikmah dari
jurus ini. Ini jurus yang sangat andal dan sakti, tapi bukan
untuk kalian praktikkan dengan tangan, tapi untuk kalian
hidupkan dan amalkan dengan jiwa. Cobalah bayangkan.
Kalian yang dikaruniai bakat hebat dan otak cerdas adalah
bak golok tajam yang berkilat-kilat. Kecerdasan kalian bisa menyelesaikan berbagai masalah. Tapi kalau kalian tidak serius,
tidak sepenuh tenaga dan niat menggunakan otak ini, maka
hidup kalian tidak akan maksimal, misi tidak akan sampai,
usaha tidak akan berhasil, kayu tidak akan patah.
194 Sedangkan kalian yang kurang berbakat seperti golok majal
yang karatan. Walau otak kalian tidak cemerlang, tapi kalau
kalian mau bekerja keras, tidak kenal lelah mengulang-ulang
usaha dengan serius, sabar dalam proses perjuangan dan tidak
menyerah sedikit pun, maka hambatan apa pun lambat laun
akan kalian kalahkan. Bahkan dengan golok tumpul pun,
kayu akan putus kalau dilakukan berkali-kali tanpa lelah.
Apalagi, golok majal selalu bisa diasah. Otak yang biasabiasa saja selalu bisa diperkuat dengan ilmu dan pengalaman.
Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan
usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan
berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguhsungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda
wajada dan man shabara zhafira adalah kesuksesan."
Aku ingat sekali, seketika itu juga kami bertempik sorak
riuh, berterima kasih untuk jurus hikmah yang dipertontonkan
oleh kiai kami tercinta. Aku sentuh halaman diary yang kesat ini dengan mata terpejam untuk meresapi maknanya. Aku tutup diary ini dengan
semangat yang bergelora sampai ubun-ubun. Walau aku tidak
bisa menari dan bernyanyi, kalau aku berusaha dengan sungguh, lambat laun aku akan berhasil mengatasi hambatan.
Bolehlah aku bagai sebuah golok berkarat dalam hal kesenian
ini, tapi kalau aku mau bersabar dan mencoba berulang-ulang,
hambatan akan aku patahkan akhirnya. Aku akan buktikan!
195 Aku mengurung diri di kamar untuk mempersiapkan segala ujian praktik kesenian. Aku ingin memusatkan segala
energi dan perhatianku menghadapi ujian itu dan wawancara
bahasa Inggris. Aku akan amalkan jurus golok sakti Kiai Rais
dengan hati dan perbuatan. Mulai hari ini aku hanya memutar
gelombang radio AM, untuk mendengarkan hanya siaran
berbahasa Inggris dari luar negeri. Bacaanku untuk seminggu
ini adalah The Jakarta Post dan majalah berbahasa Inggris bekas
yang aku beli di lapak-lapak Cikapundung. Supaya nanti lancar
menjalani tes wawancara, aku juga mempraktikkan bicara
bahasa Inggris dengan diri sendiri di depan cermin kamar dan
kamar mandi. Aku buat pertanyaan untuk aku jawab sendiri.
Pokoknya, seminggu ini aku kembali melemaskan otot bahasa
Inggrisku dengan membuat lingkungan terkontrol seperti yang
pernah aku alami di Pondok Madani dulu.
Sehari menjelang tes, aku ternyata semakin resah. Aku
masih belum tahu apa bentuk kesenian dan lagu yang akan
aku persembahkan besok di depan para penguji ini. Sudah
aku coba tulis daftar kesenian yang aku bisa pertunjukkan,
tapi satu per satu aku coret lagi karena tidak ada yang benarbenar menjanjikan penampilan luar biasa. Sudah seminggu ini
aku coba berlatih, tapi aku benar-benar tidak becus menari,
menyanyi, atau memainkan alat musik apa pun. Rupanya
praktik jurus golok Kiai Rais ini sungguh tidak gampang.
Apa boleh buat, mungkin kesenian yang aku bisa hanya
beberapa jurus silat. Memang, silat bukan menari, tapi termasuk
kesenian tradisional, kan" Aku melangkah keluar kamar
kosku, menengok ke kiri-kanan. Setelah yakin tidak ada orang
yang melihat, aku tanggalkan sandal jepit dan melangkah ke
196 tengah halaman yang berpasir ini. Aku pejamkan mata sesaat,
mencoba mengingat-ingat beberapa langkah silek tuo Minang
dan jurus-jurus tangan kosong yang dulu pernah aku pelajari
sepintas waktu SD di Maninjau. Tapi hanya langkah ampek
yang aku ingat persis, kembangan yang lain sudah lupa. Ada
beberapa jurus dari Tapak Madani yang aku ingat. Tapi yang
paling menempel di ingatanku malah gerakan silat indah Jun
Bao di film Taichi Master. Baru beberapa minggu lalu Geng
UNO ditraktir oleh Wira menonton di bioskop Bandung
Indah Plaza. Sudahlah. Karena tidak ada jurus yang aku ingat dengan
sempurna, aku coba menggabungkan beberapa potong jurus
yang berbeda. Kebanyakan gerakan silat Minang yang aku
kenal sangat efisien, karena itu gerakannya terlihat kurang
demonstratif untuk ditonton. Maka aku tambahkan sentuhan
beberapa gaya keren Jun Bao yang aku tonton. Jadilah ini gaya
silat gado-gado. Gerakan kuda-kuda dari langkah ampek, tendangan dan pukulan dari Taichi Master.
Tiba-tiba ada bunyi tepuk tangan di belakangku. Otong,
anak pembantu ibu kosku yang berumur lima tahun tahu-tahu
sudah ada di belakangku. Dia melonjak-lonjak sambil bertepuk
tangan. Mulut kecilnya mengeluarkan suara yang kira-kira
berbunyi, "Holeee! Om Alif jiga jeli, jiga jeli, jiga jeli..."
Aku tersenyum balik, tapi dengan muka bingung. Apa
maksud si Otong yang cadel ini" Kenapa aku dibilang seperti
"jeli?" "Ooo, Den Alif, maksud si Otong teh, Aden teh mirip Jet
Li nu di TV tea." Dengan sukarela Bi Imah menerjemahkan ba197
hasa ajaib anaknya kepadaku. Tokoh Jun Bao di Taichi Master
memang dibintangi oleh Jet Li.
"Ooo, maksud kamu teh Jet Li," kataku sambil mengelus
kepala Otong. Dia cengengesan sambil mengangguk-angguk
senang. Matanya mengerjap-ngerjap. Senyum lebarnya memperlihatkan gigi depannya yang ompong, karena kerap digerus
permen manis. 198 Kambanglah Bungo ku akhirnya insaf, struktur kerongkongan dan buah
jakunku tidak didesain untuk bisa menyanyi merdu.
Dipakai mengaji atau azan masih lumayan enak didengar, tapi
sungguh tidak pas untuk menyanyi. Apalagi aku trauma parah
karena pernah dapat angka 5 untuk pelajaran seni suara di SD
dulu. Apa pun kenyataannya, tapi aku harus mencoba berlatih
keras dulu sebelum ujian. Pertanyaan pertama: lagu apa yang
aku hafal luar kepala" Aku menggaruk-garuk kepala.
Aku bergegas pergi ke Toko Buku Gramedia di Jalan
Merdeka. Aku bongkar-bongkar bagian kesenian dan menemukan buku 100 Kumpulan Lagu-Lagu Daerah dan Aubade
Sepanjang Masa. Berbekal dua buku lagu ini aku berharap bisa
menemukan lagu yang pendek, mudah diingat, tidak banyak
cengkok, jadi cocok dengan suaraku yang cempreng ini.
Aku buka buku aubade. Setelah memeriksa daftar isi, aku
sadar bahwa lagu yang bisa aku ingat dengan baik ternyata
hanya lagu Indonesia Raya dan Garuda Pancasila. Lagu bebas
yang aku hafalkan ada dua: satu lagu kasidah Perdamaian yang
kami nyanyikan dulu di madrasah di kampungku dan tentulah
lagu mars PM. Aku jadi sangsi sendiri. Mana mungkin aku
bisa lolos seleksi kalau menyanyikan lagu aubade untuk ikut
tes praktik kesenian besok"
199 Dengan putus asa aku tutup buku Aubade Sepanjang Masa dan
aku buka buku 100 Kumpulan Lagu-Lagu Daerah. Dari sekian
lagu di daftar isi, yang tampaknya gampang dihafal adalah
Kambanglah Bungo dari Minang. Apalagi waktu kecil dulu
aku sangat terkesan dengan acara TVRI yang menayangkan
dua perempuan mengenakan selendang berbentuk tanduk
kerbau dengan latar belakang Rumah Gadang. Mereka lalu
bernyanyi bersahut-sahutan... Kambanglah bungo pawaritan....
Waktu itu aku sungguh bangga melihat lagu dan rumah adat
Minangkabau bisa juga masuk ke teve yang disiarkan sampai
ke Merauke. Maka menjelang tengah malam itu, aku kumpulkan semua
kepercayaan diriku untuk mengeluarkan suara yang semoga
terdengar seperti lagu. "Satu, dua, tiga, kambanglah bungo.....
emh," aku tercekat sendiri mendengar suaraku yang berderik
seperti pintu tidak diminyaki.
Aku ulangi lagi dengan mengambil napas lebih panjang
dan lebih percaya diri. "Kambanglah bungo..." aku lantunkan lagu sambil membaca
lirik di buku. Berulang-ulang aku coba dengan berbagai variasi
keras dan panjang. Tiba-tiba pintu kamarku bergetar, dipukul keras dari luar.
"Den, bangun, bangun. Ngucap Gusti Allah, jangan
ngelindur. Bikin si Otong terbangun," terdengar suara Bi Imah
keras dari luar. Aku mendadak terdiam. Lolonganku malammalam mungkin dikira karena mimpi buruk.
"Eh, iya, Bi, saya sudah bangun. Maaf saya mengganggu."
200 Sambil berbaring, aku terus menghafalkan lirik sambil
berbisik serak, "Kambanglah bungo pawaritan...."
Aku bernyanyi sampai terlelap.
Berturut-turut, aku melihat Randai dan Raisa keluar dari
ruangan tes dengan senyum berseri-seri. Debur jantungku
bertalu-talu. Mungkin giliranku sebentar lagi.
"Alif Fikri, please come in," panggil suara perempuan yang
tegas dari dalam ruangan. Suasana ini mengingatkan aku pada
suasana ujian lisan di Pondok Madani dulu. Bertemankan si
Hitam yang baru disemir, aku hadapi 3 orang penguji yang
duduk penuh wibawa di belakang meja kayu bertaplak kain
biru. Masing-masing mengenalkan diri, Pak Oce ahli kesenian
dan Pak Ruli ahli pendidikan. Ketua dewan penguji ini Ibu
Sonia, si suara tegas, seorang ahli budaya.
Bagian pertama berupa wawancara dalam bahasa Inggris
aku lewati dengan sangat percaya diri. Setiap pertanyaan aku
terkam, aku kuliti, dan aku hidangkan jawabannya dengan
matang. Aku ceritakan dengan lancar pengalamanku di
PM bergaul dengan berbagai suku dan semangatku untuk
bisa mempelajari berbagai bahasa asing. Mereka bertiga
mengangguk-angguk dengan mata hampir tidak berkedip.
Tidak sia-sia aku kondisikan berpikir dalam bahasa Inggris
sejak beberapa hari ini. "Great, let"s see what you can do in term of performing arts,"
201 kata Ibu Sonia dengan muka berbinar sambil mempersilakan
aku tampil di tengah ruangan yang lapang. Mukaku terasa
berlipat tujuh karena grogi. Tiga pasang mata ini terus mengikutiku ketika berdiri dari kursi dan berjalan ke tengah ruangan
wawancara. "Inilah beberapa jurus silat nusantara yang pernah saya
pelajari sejak kecil," kataku sambil membuka langkah ampek.
Aku mencoba memperagakan jurus silat tradisional terbaikku, lengkap dengan modifikasi jurus dan tendangan bela
diri modern yang kerap ditunjukkan Bruce Lee dan Jet Li di film
mereka. Dengan napas ngos-ngosan aku tutup penampilanku
dengan sambah silat Minang, gerakan menunduk dengan kaki
terlipat di lantai, muka tertunduk, dan kedua tapak tangan
di kepala. Peluhku menetes jatuh dari puncak hidung. Aku
angkat wajahku dan menemukan wajah ketiga orang yang
menentukan nasib ini dingin-dingin saja. Hanya berpandangpandangan dan mendeham kecil. Apa mereka tidak suka
dengan silatku" Semoga mereka cukup puas, sehingga cukup
ini saja tugasku. Semoga aku tidak perlu bernyanyi, mohonku


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam hati. "OK, let"s hear your voice!" kata Ibu Sonia lagi. Onde mandeh,
harapanku agar tidak diminta menyanyi tidak dikabulkan
Tuhan. Tidak ada jalan lain, berarti latihan sampai dini hari
tadi harus aku praktikkan di sini.
"Apa lagu yang akan Anda nyanyikan?" tanyanya.
Aku jawab sesuai dengan persiapanku semalam. Kalau
laguku nanti buruk, paling tidak aku harus memberikan kesan
bisa bicara dengan baik dan percaya diri. Supaya tidak terlalu
202 tegang, aku menjawab rileks, "Dua lagu Barat yang sangat
terkenal: Kambanglah Bungo dari Sumatra Barat dan Panon
Hideung dari Jawa Barat."
Mereka tersenyum mendengar leluconku yang agak memaksa.
Sebelum menyanyi Kambanglah Bungo, aku beri pengantar.
"Saya suka lagu ini karena menceritakan kerinduan seorang
perantau kepada negerinya. Ini menggambarkan semangat cinta
tanah air seorang anak bangsa walau jauh merantau. Sehingga
sangat cocok dengan semangat program pertukaran ini," kataku
membubuhkan sedikit kecap untuk menjual.
Aku berdiri dengan sikap sempurna, lalu tanganku terangkat
sedikit seperti bendera setengah tiang. Supaya tampak sangat
menghayati, aku katupkan kelopak mataku. Padahal alasanku,
aku ngeri melihat bagaimana reaksi muka para penguji yang
terhormat ini. Setelah aku mendeham beberapa kali untuk
membuang grogi, mengalunlah suara sumbang yang bergetargetar naik-turun, seperti dawai gitar yang kendur.
Sesekali kuberanikan juga mengintip dari mata yang
setengah terpicing itu. Mereka mengernyitkan dahi. Mungkin
mengira pita suaraku salah pasang pagi ini. Tapi sudah kepalang basah. Aku katupkan mataku lagi dan aku teruskan penampilan yang sama sekali tidak aku nikmati ini. Belum lagi
selesai, aku mendengar suara "stop". Ketika aku buka mata,
tangan Ibu Sonia terangkat tinggi, menggantung di udara.
Alisnya beradu lekat. "Maaf, Bu, liriknya belum habis," sahutku sambil mengingatingat bait selanjutnya.
203 Dia mengibaskan tangan dan menunjuk kursi. "Sudah"
sudah... Silakan duduk."
"Tapi Panon Hideung belum saya nyanyikan, Bu," kataku
masih membela diri. Aku sungguh takut didiskualifikasi hanya
gara-gara tidak bisa bernyanyi.
"Tidak usah lagi. Cukup. Lagu Anda tadi kurang pas
didengar. Jadi mohon maklum. Duduk... duduk"."
Aku terpaksa mengenyakkan pantatku di kursi kayu yang
sekarang terasa seperti berduri.
"Terima kasih, Bu, tapi saya punya banyak bakat, selain
menyanyi." "Sorry. Your time is up. Waktu Anda habis."
"Ibu, ini menentukan masa depan saya. Mohon beri kesempatan sekali lagi, memperlihatkan apa yang saya bisa
sumbangkan untuk program pertukaran penting ini," kataku
dengan nada paling mengiba-iba yang aku bisa.
Dia bimbang sejenak dan melihat kiri-kanan. Kedua bapak
ini hanya diam saja, dan dia berkomentar pendek. "Baik,
hanya sebentar. Sebentar saja. Apa lagi menurut Anda yang
membuat kami bisa memilih Anda?"
Aku sudah mempersiapkan beberapa jurus untuk membela
diri, dan pertanyaan ini pintunya. Pertanyaan yang menantang
aku untuk menjual segala kelebihan diriku. Tanpa ba-bi-bu
lagi, aku mulai "bernyanyi".
"Saya mahasiswa jurusan Hubungan Internasional yang
mempelajari teknik dan seni diplomasi antarbangsa. Dalam
204 misi persahabatan dan diplomasi dengan negara lain, agar
dihargai, negara kita harus memperlihatkan kemampuan yang
terbaik di segala bidang. Indonesia punya banyak potensi
untuk bisa sejajar bahkan unggul, dan sebaiknya tidak dibatasi
hanya urusan performing art. Kalau hanya itu yang selalu kita
usung ke luar negeri, di mata bangsa lain kita hanyalah bangsa
penyanyi dan penari. Kita sesungguhnya juga bangsa pemikir
dan pencipta yang?" "Jadi maksud Anda, tes sekarang ini tidak penting" Ini
sangat penting. Karena lewat kesenianlah semua diplomasi
bisa dimulai dengan baik dan memudahkan komunikasi antarbudaya," potong Ibu Sonia dengan suara tinggi. Tampaknya
harga dirinya terusik dan dia tidak suka dengan khotbah sok
tahuku. Dua penguji lain mengangguk setuju. Nasibku di ujung
tanduk. Tapi sudah kepalang basah. Untuk mendinginkan
suasana yang memanas, aku merendahkan suara dan menunduk,
takut dianggap menentang mereka.
"Ibu benar sekali, kesenian dapat menjadi jalan yang memudahkan diplomasi. Tapi banyak sekali yang bisa kita perlihatkan
sebagai bangsa sederajat. Tidak hanya seni tari, suara, dan
kerajinan tangan. Lebih dari itu, kita perlu mempromosikan
inteligensi kita setara dengan mereka. Lihatlah bagaimana
Habibie bisa menjadi "duta" teknologi Indonesia di negara
maju. Dia kuasai teknologi, dia perlihatkan kecanggihan
ilmunya, dan dia mengepalai para insinyur Jerman. Atau Rudi
Hartono yang menguasai turnamen All England dengan skill
bulutangkisnya. Atau dulu Agus Salim dengan kemampuan
debat, bahasa, dan diplomasinya yang unggul mengharumkan
nama Indonesia di PBB. Jadi banyak cara untuk mengenalkan
205 Indonesia, dan kita bisa memakai segala macam cara itu.
Termasuk untuk program kali ini. Mari kita gunakan semua
yang kita punya, tidak hanya bidang seni tapi juga sisi intelektual bahkan olahraga. Bila kita gunakan semua potensi
keunggulan bangsa, maka inilah cara diplomasi internasional
yang lengkap." Pak Oce dan Pak Ruli tampaknya mulai termakan ucapanku. Mereka berdua mengangguk-angguk kecil. Tapi ketika
Ibu Sonia melirik mereka dengan pandangan kurang senang,
cepat-cepat kedua bapak ini berhenti mengangguk.
"Lalu apa yang Anda bisa tawarkan kepada kami, sehingga
kami yakin Anda punya kelebihan, selain kesenian?" Dagu Ibu
Sonia terangkat dan bibirnya mencuat.
Ini dia. Ini tempat aku melancarkan jurus pamungkasku.
Dengan cepat aku berdiri dari kursiku, menjangkau tas, dan
mengeluarkan setumpuk kertas. Tebalnya sekitar 5 sentimeter.
Aku bagi jadi 3 bagian dan aku serahkan tumpukan itu ke
tangan tiga pewawancara ini. Sambil berdiri aku kembali "bernyanyi".
"Ini 30 tulisan saya di berbagai media massa. Bahasannya
berbagai topik, mulai politik sampai seni. Walaupun kurang
bagus dalam hal tarik suara, saya telah menyuarakan isi pikiran
saya melalui tulisan. Tulisan, literasi, ide, adalah ukuranukuran peradaban maju yang jarang sekali kita perlihatkan
ke bangsa Barat. Yang sering kita banggakan adalah kesenian
kita," tekanku sambil mengangguk dalam.
Aku hela napas beberapa detik dan aku lanjutkan, "Nah,
dalam rangka memperlihatkan kesetaraan inteligensi kita
206 dengan warga dunia, saya ingin menjelaskan bahwa kemampuan mengekspresikan ide dengan tulisan adalah sebuah bukti
mutlak bangsa berperadaban tinggi. Menulis berbagai hal,
menuliskan ide-ide besar, menulis tentang budaya, menulis
tentang seni. Semua bangsa besar adalah bangsa yang gemar
menulis dan membaca. Punya budaya literasi. Tanpa keduanya,
mereka punah dimakan zaman," kataku berapi-api sampai
muncrat ke sana-sini. Ibu Sonia sudah membuka mulut hendak bicara, tapi sebelum dia bersuara, aku lancarkan jurus kuncianku. Semoga
kalimat pamungkas ini tepat mengenai sasaran.
"Tanpa budaya menulis dan membaca, negara ini akan selalu dianggap negara terbelakang. Indonesia tidak boleh punah
dimakan zaman. Indonesia tidak boleh dianggap terbelakang.
Indonesia harus dikenal dan diakui, lebih dari sekadar negara
yang pintar menari dan bernyanyi. Tapi juga bangsa yang bisa
berbicara ide besar dalam tulisan. Itulah salah satu ciri bangsa
besar!" Aku berdiri mematung beberapa detik. Tiga pengujiku
ini sempat diam terpana beberapa saat. Sepatu hitamku
berdekak-dekak, aku kembali duduk. Mereka tidak berbicara
sepatah kata pun. Perhatian mereka beralih ke kertas yang
aku serahkan. Mereka membolak-balik tumpukan itu. Kali ini
dengan perhatian besar. Tumpukan itu bukan kumpulan kertas
biasa. Itu kliping artikelku yang telah dipublikasikan di media
massa, lokal dan nasional. Itu kertas ide, itu kertas pemikiran.
Bukan sekadar demonstrasi gerak tari dan nyanyi. Dari roman
muka mereka, tampaknya aku mulai memengaruhi mereka.
207 Dan waktuku akhirnya benar-benar telah habis untuk menjual diri. Mereka berdiri, mata lekat ke arahku dan menyalamiku sambil mengguncang-guncang tanganku. Kecuali Ibu
Sonia yang hanya mengangguk dan menyalami ujung telapak
tanganku. Bahkan dia menambahkan sesuatu. "Terima kasih
untuk gaya Anda yang sangat berbeda. Tapi dari pengalaman
saya mengurus program ini, tetap pertunjukan senilah yang
paling membuat kesan mendalam di mata orang asing. Dan
ini adalah pengalaman yang telah berjalan 20 tahun," katanya
sambil mengangkat kacamatanya, meneropongku langsung
tanpa melalui lensa kaca.
Hidungku yang sudah mulai mekar jadi kuncup lagi.
Rupanya Ibu Sonia ini benar-benar susah ditaklukkan. Sambil
berjalan gontai pulang aku mencoba menghibur diri. Kalau
mengikuti nasihat Kiai Rais, aku telah menunaikan semua
tugas untuk mencapai keberhasilan. Yaitu niat lurus dan
ikhlas, usaha keras, doa khusyuk. Tinggal aku genapi saja
dengan huznuzhan, berprasangka baik.
Ya Tuhan, aku berprasangka baik untuk semua keputusanMu.
Lambat laun, hatiku pun menjadi sejuk dan tenteram. Aku
menengadah ke langit Bandung yang kembali mendung sore
itu. Gerumbul awan sore di mataku masih berbentuk benua
Amerika. Hanya Tuhan yang tahu apa ini hanya akan jadi mimpi atau nanti menjadi nyata. Biarkan Tuhan yang memutuskan
mana yang terbaik buatku. Dia Maha tahu, Dia Maha Mengerti,
Dia Mahaadil. Insya Allah, Tuhan tahu yang terbaik buatku.
Dan sungguh Dia selalu memberi yang terbaik.
208 Keputusan Lonjong eminggu berlalu. Awalnya hatiku sudah ikhlas dan tenang,
tapi semakin lama semakin gelisah. Mungkin aku belum
benar-benar tawakal34. Aku ternyata sangat berharap terpilih
menjadi duta muda bangsa, entah itu ke Australia, Jepang,
negara ASEAN, atau Kanada.
Dan hari Kamis itu, ketika sedang berbuka puasa sunah di
kamar kos dengan pecel lele Supratman, Bi Imah berteriak
dari ruang tengah, "Den Alif, ada telepon dari ibunya...."
Darahku berdesir. Dari Amak" Tidak mungkin. Amak tidak
punya telepon di rumah. Tidak pernah sekali pun Amak menelepon. Apakah ada suatu yang luar biasa" Hatiku tidak enak.
Aku rapatkan gagang telepon ke telinga, "Assalamualaikum,
apo kaba, Mak?" Ada jeda sebentar. Aku berdebar-debar. Lalu ada jawaban.
"Ehm... Ini Ibu Sonia dari panitia seleksi. Anda harap hadir
di kantor kami jam delapan pagi besok. Ada pengumuman
penting." Hah! Katanya Amak, kok jadi Bu Sonia" Hatiku kali ini
Tawakal: salah satu konsep dalam Islam. Antara lain bermakna mewakilkan urusan kepada Tuhan. Setelah mengerahkan segenap usaha dan
memanjatkan doa, ada titik menyerahkan keputusan apa pun kepada Tuhan
dan percaya itu adalah yang terbaik.
209 seperti buncah. Dengan tangan dan suara bergetar aku membalas, "Alhamdulillah" alhamdulillah, akhirnya saya lulus.
Terima kasih banyak ya, Bu. Ibu telah membuka jalan buat
saya ke luar negeri..."
Ibu Sonia memotongku dengan dingin. "Alif, nanti dulu,
ini bukan keputusan lulus. Datang saja besok, ada yang ingin
kami bicarakan. Penting. Kami tunggu. Sampai besok."
Klik. Telepon ditutup di ujung sana. Hatiku langsung menciut lagi. Kok belum ada kepastian" Rasanya serba tidak enak.
Kalau aku lulus, kenapa belum ada kepastian" Kalau aku tidak
lulus kenapa disuruh datang" Mungkinkah aku jadi cadangan"
Atau ada syarat yang kurang" Atau disuruh mengulang tahun
depan, supaya nyanyiku lebih merdu" Atau aku salah ngomong
kemarin jadi aku harus minta maaf"
Segala gaya tidur telah kucoba, tapi tidak ada yang terasa
nyaman. Baru lewat tengah malam aku terlelap, itu pun setelah aku yakinkan diriku berkali-kali bahwa apa pun itu adalah
keputusanNya yang terbaik buatku.
Dengan rambut masih kuncup sehabis mandi, pagi-pagi
aku berangkat ke kantor panitia seleksi. Sepanjang perjalanan
di atas angkot, pikiranku hilir-mudik, tidak sabar mendengar
apa yang akan disampaikan Ibu Sonia kepadaku. Setiba di
kantor itu, aku disuruh bergabung dengan beberapa orang
anak muda lain di sebuah ruang rapat kecil. Aku mengenali
beberapa wajah mereka waktu ikut tes kemarin. Kami mulai
210 berkenalan dan saling berbagi penasaran karena ditelepon tadi
malam. Satu persamaan kami semua: tidak ada satu pun yang
yakin telah diterima. Belum ada keputusan kami telah lulus.
Tiba-tiba pintu terkuak. Kami yang ramai mengobrol terdiam, mengira Ibu Sonia yang datang. Muka yang muncul
di balik pintu membuat aku berdesir. Raisa, dengan senyum
segarnya menyapaku ramah dan langsung duduk di kursi yang
masih kosong di sebelahku. Dia terlihat semakin berkilau
dengan topi putih dari wolnya. Biasanya kalau ada Raisa ada
Randai. Jangan-jangan sebentar lagi dia muncul.
Tapi tidak ada orang lain yang masuk. Aku mencondongkan
diri ke arah kursi Raisa. Setelah berbasa-basi, aku akhirnya
bertanya juga, "Mana Randai?"
"Bukannya kamu yang teman dekatnya Randai?"
"Yang tempat kosnya berdekatan siapa?"
Raisa menggeleng. "Aku nggak tahu. Mungkin dia tidak ditelepon. Tadi pagi
kami ketemu pagi di depan kos ketika memesan bubur ayam,
tapi dia tidak bilang apa-apa," jawab Raisa.
Hmm, mungkin mereka tidak sedekat yang aku pikir. Aku
tarik kesimpulan sendiri.
Ketukan sepatu berirama terdengar dan pintu kembali terkuak. Ibu Sonia masuk ruangan.
"Kumaha dararamang. Apa kabar semua?" sapanya, kali ini
dengan penuh senyum. Kami mencoba mengimbangi dengan
tersenyum ragu-ragu. 211 "Baik, Adik-adik. Dengar baik-baik ya. Alhamdulillah,
setelah mempertimbangkan banyak hal, kami dengan bahagia
mengabarkan bahwa kalian bersepuluh adalah peserta ujian
terbaik," dia berhenti sebentar.
Seperti dikomandoi, kami serempak melepaskan napas
lega. Senyum mulai tumbuh di beberapa wajah. Beberapa
orang memberanikan diri bertepuk tangan. Aku membisikkan
"alhamdulillah" berulang-ulang kali.
"Tapi... tapi ingat, kalian masih calon penerima beasiswa ini
ya. Setelah nama kalian masih ada beberapa calon cadangan,"
kata Ibu Sonia sambil mengangkat tangannya.
Napasku dan teman-teman lain kembali tertahan, senyum
yang baru tumbuh kembali surut.
"Masih ada satu tahapan lagi, yaitu wawancara tambahan
hari ini. Barulah setelah melengkapi administrasi, izin kampus
dan orangtua, tes kesehatan dan syarat-syarat lainnya, kalian


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa resmi terpilih."
Terdengar kembali embusan napas lega dari kami bersepuluh.
"Jadi ini bukan keputusan akhir dan final. Wawancara hari
ini untuk memastikan semua syarat bisa kalian lengkapi. Kami
tidak mau mengirim dan memilih orang yang salah untuk mewakili Indonesia. Yang tidak kalah penting, kami akan memberitahukan ke negara mana kalian akan pergi."
Negara tujuan memang tidak bisa kami pilih sewaktu mendaftar. Tim seleksi yang menentukan. Aku hanya berharap
mendapatkan impianku. 212 Setelah beberapa orang diwawancarai satu per satu, tibalah
giliranku berhadapan berdua saja dengan Ibu Sonia. Dia duduk dengan wajah serius di belakang meja. Ada dua kertas di
depannya. Sekilas aku lihat bagian atasnya ada tulisan besar
"lulus" dan yang kedua "cadangan". Tapi aku tidak bisa melihat daftar namanya, karena terlalu kecil untuk dilihat sekilas.
"Kami berdiskusi sengit untuk memilih Anda. Terus terang
di bidang kesenian, Anda kurang bagus. Tapi Anda mampu
memperlihatkan bahwa tulisan dan olah pikir juga penting.
Jadi kami memilih Anda, bila Anda mampu mendapatkan
surat referensi tambahan dari salah satu dosen di kampus.
Kami beri waktu tiga hari, karena masih banyak peserta
cadangan yang siap berangkat."
"Siap, Bu," sambarku terburu-buru. Pokoknya, aku tidak
akan membiarkan ada jeda sedetik pun sampai dia berubah pikiran. "Lalu, ke negara mana saya dikirim, Bu?" tanyaku tidak
sabar. "Kami kesulitan menentukannya," katanya sambil menekur
meneliti catatannya, "...tapi kami harus menentukan mana
yang paling cocok." Iya, tapi ke mana" kataku dalam hati.
"Mengingat pengalaman Anda yang sudah banyak menghadapi orang berbeda budaya, kami ingin menantang Anda
untuk bergaul dengan bangsa yang terjauh, yaitu ke... Kanada,
di benua Amerika." 213 Yes, Amerika! Alhamdulillah, bisikku. Senyumku merekah
lebar sekali. Ingin rasanya aku menghambur, meloncat-loncat
sambil berteriak, tapi aku terlalu malu melakukan itu di depan
Ibu Sonia. Yang bisa aku lakukan hanya menggoyangkan kakiku
di bawah meja, sepatuku sampai berdekak-dekak menghantam
lantai. Ini impianku, inilah awan impianku dulu di PM.
"Terima kasih banyak Ibu untuk keputusan ini. Kanada
benar-benar sesuai dengan harapan dan impian saya. Karena
saya ingin sekali mendalami budaya dan bahasa Inggris langsung dari penutur aslinya."
"Hmmm, saya meragukan Anda akan bisa mendalami
bahasa Inggris...." Dia menggeleng-geleng serius.
"Kenapa tidak, Bu?"
"Karena kami mengirim Anda ke daerah yang tidak
berbahasa Inggris." "Lho, Kanada kan semuanya berbahasa Inggris?"
Dia menggeleng. "Tidak semua. Di New Brunswick dan
Quebec umumnya berbahasa Prancis, atau franchophone. Dan
Anda akan dikirim ke provinsi berbahasa Prancis, di Quebec."
Aku terdiam dan jari-jariku memijat-mijat kening.
"Waduh. Tapi saya tidak bisa bicara sepatah kata pun bahasa Prancis."
"Malah itu tantangannya. Bukankah Anda waktu itu
bilang, menguasai berbagai bahasa asing adalah keinginan
Anda" Kami menyimpulkan Anda akan cocok ke Quebec.
Karena Anda berarti akan belajar bahasa baru, bahasa Prancis.
Bagus, bukan?" katanya tersenyum.
214 "Tapi kenapa saya, Bu" Saya malah ingin sekali ke provinsi
yang berbahasa Inggris, supaya bahasa Inggris saya bagus dulu.
Apa masih mungkin diganti, Bu?"
Air muka Ibu Sonia berubah. Senyumnya lenyap tak berbekas. "Baik. Kalau Anda mau diganti, kami ganti. Tapi artinya jatah Anda ini kami berikan ke orang lain saja. Kami
anggap Anda mengundurkan diri..."
"Tapi, Bu...." Dia potong kata-kataku dengan tajam. "Kami masih punya
nama-nama di daftar tunggu yang saya yakin mereka siap
dikirim ke Quebec," katanya semakin tidak sabar. Wajahnya
mengeras. Desiran dingin terasa di hatiku. Kesempatan emas ini
bisa lepas begitu saja di depan hidungku. Sebelum aku sadar,
mulutku telah bergerak, "Ba" ba.... baik, Bu, saya terima ke
Quebec." Muka Ibu Sonia dipenuhi senyum kemenangan.
"Baik. Kalau semua persyaratan tadi terpenuhi dan Anda
lulus tes kesehatan, tiga bulan lagi Anda akan berada di
Quebec, Kanada." Aku mendekat ke meja Ibu Sonia dan menyalaminya
sambil mengulang-ulang kata terima kasih. Sekilas aku bisa
melihat isi lembaran yang bertuliskan "cadangan" di mejanya.
Aku terperanjat. Ada satu nama yang aku langsung tahu walau
terlihat sekejap. Dia berada di puncak peserta cadangan. Pasti
tidak ada orang lain di Jawa Barat ini yang bernama Raymond
Jeffry. Pasti dia. Pasti Randai! Dia cadangan.
215 Ibu Sonia mengangsurkan secarik kertas ke tanganku.
"Kanada itu punya seleksi kesehatan yang ketat dan banyak.
Karena itu hari ini juga Anda harus datang ke klinik ini untuk
uji kesehatan. Bawa kertas ini ya," kata beliau.
Aku mengangguk agak ragu-ragu. Sejak sakit tifus, aku
selalu cemas dengan tes kesehatan.
Aku semakin gelisah begitu tahu yang akan aku hadapi
adalah cek kesehatan komprehensif yang melibatkan sampel
darah sampai urine. Bahkan juga ada formulir yang harus aku
isi tentang suntikan dan vaksin yang pernah aku terima sejak
kecil. Sekelompok otot terasa menegang di dadaku. Bagaimana
kalau bakteri tifus masih terdeteksi di aliran darahku" Apalagi
kalau bicara vaksinasi, waktu SD di kampungku dulu, aku suka
loncat lewat jendela kelas setiap ada jadwal suntik cacar dan
sejenisnya. Ujung jarum suntik yang dijentik-jentik mantri
dan memuncratkan cairan sebelum ditusukkan ke kulit adalah
pemandangan yang paling membuat aku ngilu.
Tapi kali ini aku terpaksa pasrah. Aku memejamkan mata
kuat-kuat ketika seorang suster menghunus jarum untuk
mengambil sampel darahku. Ketika darahku diisap dari
lenganku dan terpencar masuk ke tabung-tabung kaca, aku
hanya bisa berdoa agar hasil tes darahku baik. Hatiku semakin
ciut ketika suster ini bilang bahwa darah dan urine ini akan
segera dikirim ke Singapura untuk diuji. Apa" Kenapa harus ke
Singapura segala" Bagaimana kalau alat ujinya lebih canggih
dan semua penyakitku dulu dan sekarang diketahui"
Hari ini aku galau, aku bersyukur, aku tersenyum, tapi juga
tegang. Campur aduk. 216 Kesatria Berpantun ecarik amplop cokelat muda berstempel "dinas" di
sudut kiri bawah, sampai di rumah kosku. Lekas aku
robek ujungnya dan terburu-buru membaca selembar surat
yang diketik rapi. Isinya berbunyi: ?"sebagai calon peserta
program pertukaran antarnegara, Anda harus mengikuti sesi
pembekalan menjelang keberangkatan ke Kanada yang berisi
berbagai pelatihan. Mulai dari cara berdiplomasi, wawasan kebangsaan, sampai penguasaan seni budaya Indonesia di Cibubur." Aku mengecup surat itu sambil mengucapkan hamdalah.
Aku merasa impianku tinggal sejengkal lagi di depan mata,
walau tetap saja ada rasa waswas ketika aku melihat tulisan
tambahan di bawah surat. "NB: Kepastian keberangkatan
Anda ke Kanada akan ditentukan oleh hasil tes kesehatan
yang masih kami tunggu dari Singapura."
Hari itu juga Amak aku surati dengan layanan kilat khusus,
sedangkan Bang Togar dan Geng Uno aku kabari lewat telepon. "Mantap kali kau, Lif, seandainya ayah kau masih
hidup," kata Bang Togar dengan suara bercampur ketawa senang. Sementara, kawan-kawan Geng Uno berteriak-teriak
di ujung telepon sampai pekak kupingku. Mereka menyelamatiku seakan-akan aku sudah benar-benar pasti berangkat.
217 Surat permohonan cuti kuliah satu semester segera aku ketik
dan antarkan langsung kantor ke SBA35 di kampus. Sehari itu
senyum tak pernah kuncup dari bibirku. Aku pun tak henti
bersenandung lagu Kambanglah Bungo. Bi Imah dan Otong
terheran-heran melihat aku tiba-tiba doyan bernyanyi. Malam
ini, aku juga tidak mau cepat-cepat terlelap. Aku tidak mau
berita gembira hari ini dihapus oleh mimpiku malam hari.
Aku ingin merasakan sensasi kesenangan ini sampai pagi.
Begitu menginjakkan si Hitam di gerbang kamp persiapan
Cibubur aku merasa kembali ke kehidupan di Pondok Madani
dulu. Di depannya terbentang lapangan luas, di sisinya ada
aula, dan di sekitarnya tampak asrama yang berderet membujur
panjang, yang akan dihuni oleh anak-anak muda lain utusan
dari semua provinsi di Indonesia.
Pagi pertama kami di Cibubur diisi dengan apel selamat
datang yang dipimpin oleh penanggung jawab kamp, Pak Widodo yang tegap seperti tentara. Melihat mukanya yang dipenuhi
gerombolan kumis tebal, aku dan teman-teman sepakat kalau dia
pantas jadi pemeran tokoh Pak Raden dalam film si Unyil. Begitu
dia angkat bicara, suaranya menggelegar penuh vibra layaknya
seorang aktor drama panggung kawakan. Selama masa pelatihan
ini, Pak Widodo dibantu beberapa orang alumni program
Kanada lainnya. Para alumni dipimpin oleh Kak Marwan,
Sub Bagian Akademik 218 seorang pemuda semampai yang selalu tersenyum. Dia juga
nanti akan terus mendampingi kami selama program di Kanada.
Upacara berjalan khidmat dan sekarang tiba giliran amanat
dari Pak Widodo selaku pembina upacara. Dia bersiap-siap maju
ke panggung kecil dari kayu, tapi dia mengurungkan niatnya
sambil menatap kaget ke pinggir lapangan. Tiba-tiba, entah
dari mana datangnya, tampak seorang anak muda berjalan
cepat melintasi lapangan upacara kami. Dia menenteng koper
besar kuning cemerlang yang setengah bagiannya dicat dengan
warna merah putih dan mengepit di bawah ketiaknya sebuah
benda lonjong panjang berwarna kecokelatan. Seakan-akan
harta yang sangat mahal. Dia terus berjalan cepat menuju
barisan kami sambil celingak-celinguk seakan-akan dia adalah
makhluk ruang angkasa yang baru mendarat di bumi.
Awalnya, kami yang sedang berbaris mengira dia perantau
dari kampung yang tersesat masuk kamp. Tidak peduli dengan
upacara yang berlangsung, dia mencolek aku yang berdiri paling
depan. "Kawan, boleh saya bertanya, di mana tempat orang
latihan mau ke luar negeri, mau ke Kanada?" tanya dia dengan
suara keras. "Pak Raden" yang sudah bersiap berpidato tampak
gusar. Matanya melotot dan kumis tebalnya sampai tinggi
sebelah. Dia berjalan cepat ke arahku dan orang baru ini, seakan
mau menerkam. Mata kami mengikuti apa yang akan terjadi
selanjutnya. Si pemilik koper kuning ini malah cuek saja bagai
tidak tahu marabahaya mengancam. Bukannya takut, dia juga
berjalan cepat ke arah "Pak Raden" dan mengulang pertanyaan
yang sama, "Pak Kumis yang terhormat, tahu di mana orang
yang mau ke Kanada berkumpul?" Kami terbahak-bahak sambil
menutup mulut mendengar dia menyebut "Pak Kumis."
219 Begitu tahu harus ikut upacara, dia langsung menjatuhkan koper kuning dan meletakkan dengan hati-hati barang
yang dikepitnya tadi di atas rumput. Ternyata itu sebuah
miniatur perahu. Dengan berlari kecil dia segera bergabung
dengan barisan, berdiri tepat di sebelahku. Puncak hidungnya
ditumbuhi butir-butir keringat. Sejak tadi aku telah berusaha
menekan kedua bibirku, tapi aku tidak kuasa menahan desakan
tawa yang bocor keluar dari mulutku. Orang aneh yang lucu.
Mendengar aku tertawa, dia mengerling ke arahku dengan
terheran-heran. Selesai upacara dia mengulurkan tangan berkenalan. Namanya Rusdi Satria Banjari, putra Banjar asli
yang baru pertama kali keluar dari kampung halamannya. Dia
rupanya naik kapal laut dari Kalimantan, karena ada badai,
kapalnya terlambat merapat ke Tanjung Priok.
Rusdi kemudian menjadi teman satu kamarku. Ke mana
saja Rusdi pergi, dia pasti membawa bendera Indonesia.
Bahkan kopernya dicat merah putih, ranselnya punya badge
merah putih, buku diary-nya juga ditempeli stiker gambar bendera. Salah satu topik pembicaraan yang disukainya adalah
nasionalisme, hutan, dunia polisi, dan mata-mata. Kalau sedang senang atau grogi, kerjanya menekuk-nekuk jari sampai berbunyi seperti tulang patah. Semakin dia bersemangat,
semakin banyak bunyi tulang patah, termasuk leher, bahu,
sampai jari kaki. Dia juga seseorang yang mempunyai tawa yang menurutku
paling kencang yang pernah aku dengar dan sekaligus menular
220 kepada siapa pun di sekitarnya. Satu lagi mukjizat Rusdi adalah
dia lihai menggubah pantun36. Dalam situasi apa saja, dia
mampu merangkai pantun dalam hitungan detik atau kerjapan
mata. Ketika Roni, kawanku utusan Jakarta, menertawakan
gayanya yang terlihat kampungan, Rusdi tidak tersinggung.
Malah dia maju mendekati Roni. Dia angkat sedikit dagunya
dan tangan maju ke muka ditekuk 45 derajat. Lalu dari mulutnya mengalirlah sebuah pantun:
Ikan tenggiri masuk ke bubu
Dimakan kering di atas kereta
Mari anak negeri saling bersatu
Bukan saling hina saling cela
Kata-katanya diayun semakin demikian rupa. Mendengar
Rusdi berpantun ini kami bertempik sorak. Muka Roni seperti kepiting rebus karena disindir dengan telak. Mulutnya
berkerut cemberut. Rusdi tampaknya belum puas dengan
agresi pertama. Sambil mengulum senyum dia menembakkan
sebuah pantun lagi: Di sana gunung di sini gunung
Di tengah-tengahnya kampung Garut
Kalau disindir balik janganlah bingung
Balaslah pantun janganlah hanya merengut
Pantun adalah sastra lisan yang dikenal di Sumatra, Jawa, sampai Kalimantan. Lazimnya pantun terdiri atas empat baris, bersajak akhir dengan
pola a-b-a-b dan a-a-a-a. Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian:
sampiran dan isi yang punya rima. Sampiran adalah dua baris pertama, dua
baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
221 Mendengar itu, sontak kami kembali ketawa terpingkalpingkal. Aku baru tahu kalau orang Kalimantan bisa berpantun.
Selama ini aku anggap orang Minang dan Melayu-lah yang
punya budaya pantun kuat. Itu pun zaman dulu. Aku sendiri
malah tidak pernah berhasil menciptakan pantun dalam
hitungan detik. Rusdi hanya terkekeh ketika aku pertanyakan
asal kemampuan berpantunnya.
"O, baru tahu ya, kami orang Banjar dulu punya akar
budaya berpantun. Bahkan kami punya acara berpantun di
TVRI Banjarmasin dengan pembawa acara Jon Tralala. Tapi
budaya pantun sekarang mulai punah khususnya di kalangan
anak muda. Padahal dulu, bagi sebagian generasi tua, pantun
sudah seperti bernapas, sudah refleks. Kapan saja bisa bikin,"
balas Rusdi. Dia mengaku dalam sepersekian detik pantun
bisa dikarang, bahkan sambil dia melantunkan bait awal, dia
mengarang bait selanjutnya. Luar biasa. Sejak itu Rusdi aku
gelari Kesatria Berpantun.
"Aku jadi malu sebagai orang Minang tidak bisa berpantun."
"Sudah seharusnya kamu malu. Aku saja banyak belajar
dari buku-buku yang memuat pantun Minang. Pantun Minang
itu sungguh enak didengar," katanya memanas-manasiku.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di Cibubur, kami dibagi ke dalam grup kecil yang masingmasing nanti akan tinggal di satu kota kecil di Kanada. Di
kelompokku ada 6 teman dari berbagai daerah yaitu Rusdi,
Dina, Topo, Sandi, Ketut, dan" Raisa.
Aku senang bisa satu kelompok dengan Rusdi sang Kesatria
222 Berpantun yang lucu dan lugu. Tapi teman kelompok yang
paling aku syukuri adalah Raisa. Dengan gaya anak Jakarta-nya
yang ceplas-ceplos, dia selalu membawa keramaian buat kami.
Satu lagi, karena pernah tinggal bertahun-tahun di Paris, bahasa
Prancis-nya seperti air terjun yang deras meluncur. Dia menjadi
tempat kami bertanya kalau nanti tidak mengerti bahasa Prancis
di Quebec. Membayangkan akan selalu bersama Raisa selama
berbulan-bulan ke depan membuat aku lebih bersemangat.
Hatiku juga menjadi lebih tenteram begitu tahu kalau
Topo bermain gitar dengan sangat baik. Sedangkan Raisa,
Ketut, Dina, dan Sandi bagai kuartet artis serbabisa kalau sudah manggung, mereka mumpuni dalam kesenian daerah, baik
seni tari maupun seni suara. Kesimpulannya, grupku sudah
full force untuk masalah penampilan budaya. Semoga nanti
aku bisa ongkang-ongkang kaki, tanpa harus ikut tampil di
panggung. Seminggu menjelang tanggal keberangkatan, kami satu
asrama mulai kasak-kusuk karena sampai sekarang belum juga
menerima tiket pesawat. Apa betul kami akan berangkat"
Dari bisik-bisik dengan para alumni, katanya tiket belum bisa
dikonfirmasi karena mungkin ada di antara kami yang tidak
lulus tes kesehatan. Mendengar kabar ini, ada hawa dingin
mengalir cepat di tulang punggungku. Bagaimana kalau aku"
Bagaimana kalau virus tifusku masih terdeteksi"
Hanya tiga hari menjelang jadwal berangkat ke Kanada,
223 kami semua dikumpulkan di aula besar. Entah desas-desus
dari mana lagi, beberapa kawan menganggap ini pengumuman
hasil tes kesehatan. Salah seorang senior, Kak Miki, sambil
bercanda bilang, "Coba pasang kuping baik-baik. Siapa tahu
nasib kalian diputuskan sebentar lagi. Yang lulus tes kesehatan
akan berangkat ke Kanada. Dan yang gagal, mohon maaf,
harus pulang dan bisa coba tahun depan." Dia tidak sadar
kalau candanya ini membuat aku ketar-ketir.
Pak Widodo tampil ke depan dengan memegang secarik
amplop kuning. Mendengar kami saling berbisik, dia mengangkat tangan dan dengan suara yang selalu menggeram lugas
berkata, "Mohon kepada nama yang saya panggil tampil ke
depan." Seketika ruangan ini hening, seakan-akan setiap helai
udara ditahan dalam napas masing-masing orang. Semua mata
terpusat pada kertas yang berbunyi kresek-kresek ketika dikeluarkan Pak Widodo dari amplop. Ujung-ujung jariku terasa
makin mendingin. "Dengan sangat menyesal saya panggil beberapa teman kita
ke depan..." Kali ini jantungku seperti lupa untuk berdetak. Entah
kenapa ada perasaan tidak enak merasuki pikiranku. Jangan
jangan... "Teman-teman itu adalah: Rinto... Ema..."
Aku menghela setengah napas.
?"dan yang terakhir... Alif."
Napasku serasa menguap hilang dan dadaku seperti dicekik.
Sejenak aku terdiam mematung. Namaku" Iya, tidak ada lagi
224 yang bernama Alif. Ya Allah, kenapa harus aku" Ini impian
besarku. Tinggal sedikit lagi bisa aku raih, kenapa Engkau
gagalkan ketika garis finish tinggal sejengkal lagi"
Dengan menyeret kaki, aku melangkah juga ke depan,
mengikuti Rinto dan Ema yang berjalan tersaruk-saruk.
Otakku tiba-tiba terasa mampat oleh berbagai konsekuensi
kegagalanku. Selain impianku melayang, apa kata Amak, apa
kata Bang Togar, apa kata Raisa, apa kata kawan-kawan di
kampusku" Aku akan malu besar karena sudah pamit akan
ke Amerika. Mungkin yang paling bahagia adalah Randai.
Kalau aku tidak berangkat, sebagai peserta cadangan pertama,
dialah yang akan menggantikanku. Randai kawanku, Randai
lawanku. Aku melirik ke arah teman-teman yang akan berangkat
dengan iri. Sedangkan mereka memandang kami dengan mata
iba. Beberapa isak mulai pecah di sana-sini, makin lama makin
banyak. Raisa menggosok-gosok matanya dengan punggung
tangan. Beberapa orang tidak tahan memendam perasaannya
dan maju dengan mata merah ke arah Pak Widodo. Mereka
mempertanyakan keputusan ini. "Kami sudah seperti saudara
Pak, luluskanlah mereka!" teriak Bonny, kawan dari Irian Jaya
di depan muka Pak Widodo. Rusdi, dengan berlari maju ke
depan sambil mengibarkan bendera merah putih kecil yang
selalu dikantonginya. "Mereka juga wakil Indonesia, Pak,
Bapak berdosa telah menghalangi wakil bangsa ini berangkat,"
katanya dengan suara tinggi. Kak Marwan dan beberapa
alumni yang selama ini ikut mendampingi pembekalan kami
juga tidak tinggal diam. Mereka juga maju ke depan dan
225 tampak berbicara dengan suara rendah dan berbisik-bisik. Pak
Widodo hanya menggeleng dan wajahnya membesi.
Rusdi tidak puas. Dia merebut mik di depan Pak Widodo,
sambil meneriakkan sepotong pantun. Suaranya parau menyambar-nyambar gendang telinga.
Tulang rawan dimasak santan
Dimakan raja dan permaisuri
Kalau kawan dipisah kawan
Tidak rela hamba berdiam diri
Wajah Pak Widodo tercenung beberapa detik. Mungkin
dia kaget dengan pantun colongan ini. Tapi dia hanya memicingkan mata dan bergeming. Seperti mendapat komando,
teman-temanku berteriak-teriak menuntut kami diizinkan
untuk ikut ke Kanada. Suasana yang semakin hiruk pikuk
membuat Pak Widodo gusar. Dia merebut mik dari Rusdi
dan berteriak keras, "Tenang semua, jangan cengeng seperti
anak kecil begini. Apa ada lagi yang mau saya panggil ke
depan?" ancamnya dengan suara ditekan, kumisnya sampai
bergetar-getar. Teman-temanku masih berteriak satu-satu, tapi
makin lama makin sepi. Tapi suara sesegukan tetap bersahutsahutan. Aku melihat harapanku ke luar negeri menguap
hilang bersama dengan kempisnya protes kawan-kawan ini.
Sambil memelintir kumis sebelah kanan, Pak Widodo
angkat bicara lagi, "Dengan ini, resmi saya sampaikan, bahwa
kalian semua LULUS tes kesehatan, kecuali 3 orang teman
kalian ini." Dia menghela napas berat sebentar. "Masalah
ketiga orang ini adalah... mereka merayakan ulang tahun me226
reka minggu ini. Karena itu, mereka bertiga juga lulus. Kalian
semua lulus. LULUS. SELAMAT SELAMAT!"
Kali ini, ruangan bagai pecah oleh pekikan dan tangis lagi.
Banyak yang melonjak-lonjak bahagia. Aku menutup mukaku
dengan kedua telapak tangan, tertunduk bersyukur, kawankawanku merangkul kami bertiga. Rusdi kali ini membawa
bendera merah putih yang lebih besar, melingkupi kami dengan
bendera itu. Dia tampaknya sedang berusaha mengeluarkan
pantun lagi, tapi tidak ada yang mau mendengar karena seisi
ruangan larut dalam ingar bingar kegembiraan.
Wajah Pak Widodo yang tadi seperti besi kini lumer
oleh senyum lebar. Sambil terkekeh dia memeluk kami dan
berkali-kali minta maaf telah ngerjain kami. Walau aku ikut
tersenyum, dalam hati aku menyumpah-nyumpah, kok "Pak
Raden" ini sampai hati ngerjain kami. Bagaimana kalau di antara kami ada yang sakit jantung"
Sehari menjelang keberangkatan ke Kanada, kami mengadakan malam perpisahan yang dihadiri oleh para pejabat
negara dan karib keluarga. Seperti yang lain, aku mengenakan
jas biru tua dengan emblem merah putih melekat di dada
kiri. Sebuah pin logam keemasan berbentuk garuda tersemat
di ujung peci beludru hitam yang menyongkok kepala. Kami
berbaris lurus-lurus masuk aula. Sepatu hitam kami yang
mengilat berderap-derap di lantai pualam dengan ketukan
teratur. Seketika itu juga, kami mendengar tepuk dan suitan
227 para undangan yang memenuhi aula menyambut kami gegap
gempita. Lampu kamera berkilatan, beberapa kamera TV dengan lampu-lampunya yang besar rajin menyapu wajah kami
dari berbagai sudut. Rasanya aku gagah sekali.
Dengan wajah gilang gemilang Pak Widodo tampil di podium memberi amanat. "Buat bangsa ini bangga dan buat bangsa
lain menghargai Indonesia. Jadilah wajah Indonesia yang
terbaik di mata internasional," katanya berapi-api. Ini bukan
sekadar beasiswa biasa, ini adalah masalah mempertaruhkan
nama negara di mata dunia.
Acara ditutup dengan Raisa tampil ke depan. Seragam jas
biru tua semakin melengkapi aura percaya dirinya yang besar.
Dia mengayunkan kedua tangannya, memimpin kami semua
melantunkan lagu Padamu Negeri. Bait terakhir, "bagimu negeri jiwa raga kami..." kami nyanyikan panjang dengan sepenuh hati. Badanku rasanya ringan terbang melayang, meresapi
sensasi yang sulit aku lukiskan. Bahkan ketika nyanyian telah
berakhir, di dadaku masih terus bergaung lirik, "bagimu negeri
jiwa raga kami?". Rasanya aku bahkan siap mati demi bangsa
ini. Selesai menyanyi bersama, aku dekati Raisa sambil berkata.
"Wah terima kasih ya memimpin kita bersama. Ngomong-ngomong penampilan kamu hari ini tidak seperti biasa. Bikin aku
pangling." Dia membalas dengan sebuah senyum manis dan
ucapan terima kasih. Sekilas aku lihat pipinya bersemu merah.
Entah karena blush on atau karena pujianku.
Belum lagi aku sempat bicara yang lain, tiba-tiba aku
tersentak. Aku melihat seseorang di tengah para hadirin.
228 Orang yang tidak pernah aku bayangkan akan hadir. Randai.
Dia melambai ke arahku sambil tersenyum lebar. Tentu aku
senang kawanku ini datang pada malam perpisahan ini.
Atau lebih tepatnya, aku kagum dia mau datang di tengah
hubungan kami yang kurang akrab. Aku bergegas menyalami
dan merangkulnya. "You are such a great friend," kataku. Randai
tersenyum. Aku kesulitan mengartikan senyumnya.
Raisa tiba-tiba mendekat ke arah kami berdua dan kami
semua asyik mengobrol sambil tertawa-tawa mengingat masa
kos di Tubagus Ismail. Tiba-tiba Raisa diserbu rangkulan sekelompok gadis yang terus ribut karena saling berebut bicara
dan ketawa. Setelah mereka agak tenang, Raisa melambaikan
tangan ke arahku. "Lif, sini, aku kenalin dengan temanteman dekatku di SMA dulu. Ada yang orang Minang lho,"
candanya. "Teman-teman, ini Alif, mahasiswa yang hebat,
karena menulis di berbagai media dan menguasai bahasa Arab
dan Inggris," promosinya ke mereka. Aku tersenyum malumalu.
"Nah Alif, ini nih temanku yang orang Padang, namanya
Dinara. Siapa tau kalian sodaraan."
Dinara menyambut dengan senyum dan celetukan,
"Tepatnya anak Jakarta, berdarah Minang."
"Dinara, Minang-nya di mana?" tanyaku memberanikan
diri. "O, bapakku orang Sawah Lunto, tapi ibu dari Jawa Tengah.
Aku dengar Mas, sorry, bukan Mas ya, Uda. Dulu di pondok
ya?" tanyanya dengan nada antusias.
229 "Ehmm, kok tahu?"
"Tahu dong. Raisa kan sering cerita."
Aku tersanjung mendengar Raisa sering bercerita tentang
diriku. "Iya, empat tahun di Pondok Madani."
"Wah hebat deh. Pasti hapal Alquran dong?" Alis matanya
yang hitam tebal terangkat di atas bola mata besarnya.
"Nggaklah, yang hapal itu hanya orang-orang terpilih, aku
hapal sedikit saja," kataku jujur.
"Alaaaah, merendah nih. Kalau aku cuma hapal surat
Yasin," kata Dinara dengan santai.
"O ya" Wah itu saja sudah luar biasa, kan Yasin panjang
juga," kataku terkejut.
"Saketek-saketek. Sedikit-sedikit. Namanya juga usaha,"
balasnya tersenyum. Wow. Tidak pernah selama ini aku berpikir seorang anak
Jakarta yang sekolah di SMA bisa hapal surat Yasin. Luar
biasa sekali. Bonus tambahan, dia bahkan bisa mengucapkan
sepatah-dua patah kata Minang. Kombinasi yang unik. Obrolan
kami diakhiri dengan bertukar alamat. Tepatnya aku minta
alamatnya, sedangkan aku belum tahu alamat nanti di Kanada.
Seseorang sekonyong-konyong menepuk punggungku dari
belakang. Ketika aku berbalik, aku diserbu oleh tiga orang
yang berjingkrak-jingkrak senang.
"Hore, temanku ke luar negeri juga. Tidak nyangka impian
kamu kesampaian ya, Lif!" seru Wira.
230 Agam sambil cengar-cengir menepuk-nepuk bahuku, "Awas
jangan sampai kau terlena dengan kecantikan cewek bule ya.
Dan yang penting tentu oleh-oleh buat kami semua."
Memet, pemuda berhati lembut ini seperti biasa selalu memberikan suasana berbeda. Di tangannya ada sebuah bungkusan.
"Alif, aku bawakan kamu angklung, alat musik tradisional
Sunda. Mungkin bisa dijadikan suvenir di luar negeri sana,"
katanya. 231 Urdun dan Sarah elum lagi azan Subuh, aku sudah terbangun oleh Rusdi
yang sibuk menggeret-geret koper kuning cemerlangnya.
Tak lama kemudian, barak kami hiruk pikuk karena semua
orang berkemas untuk berangkat ke bandara. "Jangan lupa,
untuk keberangkatan, semua orang berpakaian Attire One
ya!" teriak Kak Marwan di depan barak. Dengan perasaan
bangga dan membaca basmallah37, aku kenakan Attire One,
yaitu pakaian pemuda garuda, baju resmi kami, jas biru tua,
baju putih, dasi merah, dan peci bersematkan lencana burung
garuda. Rusdi keluar dari asrama dengan tetap mengepit miniatur
kapal perang Kalimantan ditemani kopernya, persis seperti
pertama kali muncul dengan ajaib di tanah lapang Cibubur.
"Ini oleh-oleh penting yang dibikin dari getah pohon nyatu
yang tumbuh di hutan lebat Kalimantan. Kamu lihat ini,
ada miniatur serdadu dan tentaranya yang kecil dan detail.
Kalau masuk tas, takut ada yang patah dan rusak," katanya
membelai-belai kapal ini begitu duduk di kursi bus, persis di
sebelahku. Baru saja bus kami berjalan beberapa meter, tiba-tiba
Membaca bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang)
232 Rusdi berteriak keras, "Pak Sopir, berhenti dulu, ada yang
ketinggalan!" Tanpa basa-basi, kapal kebanggaannya dipindahkan ke pangkuanku.
"Gak bisa Mas, takut ketinggalan pesawat, ini sudah telat!"
protes sopir bus. Kak Marwan mendelik melihat tingkah
Rusdi. Tapi Rusdi tidak peduli.
"Ini sangat penting, menyangkut kepentingan bangsa dan
negara," sergahnya sambil membuka pintu bus yang masih
berjalan. Rem mencicit. Sopir kami menggerutu. Rusdi sudah
kabur berlari kembali ke asrama kami.
"Hah, kepentingan bangsa dan negara, ada-ada saja dia.


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paling juga dia ketinggalan kaus kaki. Selama ini dia kan pelupa," gerutu Ketut dari Bali.
"Ketinggalan pantun kali dia," canda Sandi. Kami satu bus
tergelak. Rusdi berlari pontang-panting kembali ke bus, di dekapannya
tampak menyembul seonggok kain. Dia menjatuhkan diri di
kursi di sebelahku dengan terengah-engah.
Aku menggodanya, "Apa pula kebohonganmu sampai pakai
atas nama kepentingan bangsa dan negara?"
Dia melirikku garang. "Nih lihat, ini yang aku ambil. Semalam aku cuci dan jemur di luar, biar wangi dan bersih. Tapi
tadi pagi lupa melipatnya. Nah, apa lagi yang paling bisa mewakili sebuah bangsa selain ini?"
Dia membentangkan kain di dekapannya lebar-lebar. Tidak
peduli kalau kain itu menutupi mukaku dan tangannya menyeruak melewati kepalaku. Sebuah kain berwarna merah dan
233 putih. Baunya seperti cucian yang baru kering di jemuran.
Diciumnya sambil memejamkan mata.
"Hmm benderaku wangi!"
Dengan khidmat dilipatnya bendera ini, diciumnya sekali
lagi dan disimpannya di ranselnya. Aku sungguh merasa
bersalah. Kawan-kawan lain tidak ada yang berani berkomentar.
Lamat-lamat aku mendengar pantun lirihnya:
Anak kutilang tersesat pagi
Ditangkap buyung di atas pagu
Walau lima benua aku kelilingi
Sang Merah Putih tetap di dadaku
Di pelataran bandara, Pak Widodo merangkul kami satu
per satu dan berbisik di kuping kami. Waktu dia berbisik,
kumis lebatnya menusuk daun telingaku. "Alif, jadilah duta
muda terbaik bangsa, perlihatkan bahwa kita bangsa yang
besar." Dia mengguncang-guncang bahuku dengan muka
serius. Setelah berminggu-minggu dilatihnya, pesan ini terasa
begitu merasuk dan menggetarkan hatiku. "Siap Pak, mohon
doa," jawabku tegas. Dalam hatiku, aku bertekad berbuat yang
terbaik. Lebih dari itu, bahkan aku punya sebuah misi pribadi,
yaitu memperbaiki citra Indonesia dan muslim di mata orang
Kanada. 234 Seperti takut ketinggalan pesawat, kami antre rapat-rapat
di depan imigrasi. Yang paling depan adalah Ketut, temanku
dari Bali, di samping membawa tas jinjing dia mengepit
topeng barong yang besar dengan aksesori warna-warni yang
bergemerincing setiap dia melangkah. Sazli, teman satu
kampungku dari Sumatra Barat menjinjing miniatur rumah
gadang yang beratap runcing, yang kadang-kadang membuat
Sazli terpekik sendiri karena ketiaknya disundul ujung atap
rumah gadang bagonjong. Dan tentulah, yang paling heboh
adalah Rusdi dengan kapal dari getah nyatu-nya. Beberapa
serdadu sebesar kelingking yang jadi awak kapal itu jatuh
berguguran karena lemnya kurang kuat dan berkali-kali dia
harus berjongkok memunguti benda yang jatuh ke lantai. Aku
sendiri membawa angklung dan miniatur Jam Gadang yang
aku simpan di dalam koper setelah aku balut dengan tiga lapis
kaus. Semua ini kami lakukan demi membawa oleh-oleh khas
dari daerah masing-masing untuk diberikan kepada orangtua
angkat kami nanti. Petugas imigrasi, pramugari, pilot, dan para
penumpang lain terheran-heran melihat kami. Berpakaian jas
resmi, tapi bawaannya seperti rombongan anak-anak kelas
prakarya yang ikut karnaval 17 Agustus-an. Tapi kami tidak
peduli karena terlalu sibuk menjaga suvenir masing-masing.
Ketika melintas garbarata dan berjalan ke dalam perut
pesawat yang besar ini, aku gugup sekali sekaligus senang.
Akhirnya, untuk pertama kali dalam hidupku, aku naik pesawat juga! Betapa kampungannya aku. Di sebelahku, Rusdi
mengepit erat kapal dengan muka serius. Mulutnya komat-
235 kamit berdoa. Ketut memangku topeng Bali-nya yang telah
sukses membuat seorang anak bule menangis sejadi-jadinya
melihat topeng yang bertaring menyeramkan itu.
"Jadi rute kita nanti ke mana saja, Raisa?" tanyaku mengusir
gugup kepada gadis yang duduk di seberang aisle itu. Di antara
kami, dialah yang paling berpengalaman naik pesawat ke luar
negeri. Karena itu, kami yang baru pertama ke luar negeri,
sering bertanya ini-itu padanya.
Dengan sabar, dia menjawab, "Lupa lagi ya" Ini loh: Jakarta,
Queen Aliya-Yordania, Pearson-Toronto, mendarat di TrudeauMontreal. Sampai deh kita di tujuan." Sebetulnya sudah pernah
aku mendengarkan rute itu dari Raisa sebelumnya. Tapi aku
terlalu gugup untuk bisa mengingat setiap Raisa bicara.
"Terima kasih banyak Raisa yang baik," kataku sambil
meliriknya. Rupanya dia kebetulan juga sedang melirikku.
Aku tersenyum kagok. Dia tersenyum manis. Kami sama-sama
tersenyum, lalu saling memalingkan muka.
Aku mengintip turbin jet berdenging cepat dari jendela,
lalu nama bandara Soekarno-Hatta berkelebat, tanah menjadi
kabur. Sekonyong-konyong, badanku terasa enteng seperti
kapas. Pengalamanku paling dekat dengan sensasi ini adalah
ketika naik bus lintas Sumatra saat bus melaju kencang di jalan
menurun yang panjang. Perut rasanya ngilu, seperti kehilangan
organ-organ di dalamnya. Jari-jariku terus mengetuk-ngetuk
tangan kursi dengan ritmis, antara gugup dan senang. Terima
kasih ya Tuhan, aku jadi juga terbang ke luar negeri.
236 Rinto temanku dari Jakarta, dari tadi berkeluh-kesah betapa pegal pinggangnya duduk selama 8 jam, padahal ini baru
sepertiga dari waktu penerbangan kami. Bagiku, yang sudah
pernah merasakan naik bus 3 hari 3 malam dari Maninjau
ke Ponorogo, 8 jam perkara kecil. Setelah mendapat ransum
makanan, yang entah sudah keberapa kali di penerbangan
yang jauh ini, pesawat kami terasa terbang merendah. Di
bawah tampak hamparan gurun pasir berwarna kuning
kemerahan disapu seulas sinar matahari pagi. Beberapa titik
hitam yang bergerak di pasir sekarang semakin besar dan
nyata: sekawanan unta. Inilah negara asing pertama yang akan
aku jejaki: Amman, Yordania. Roda pesawat berdecit-decit
menjejak runway. "Marhaban bi Urdun. Welcome to Jordan," ucap para pramugari Royal Jordan ketika melepas kami di pintu pesawat.
Urdun adalah Yordania dalam bahasa aslinya, Arab. "Assalamualaikum, ana min Indonesiy. Saya dari Indonesia." Begitu
aku sapa petugas imigrasi dengan bahasa Arab sefasih mungkin.
Petugas tambun ini memberi senyum lebar dan menepuknepuk pundakku dengan hangat. Semoga Raisa yang antre
persis di belakangku terkagum-kagum dengan demonstrasi
bahasaku. Aku hirup udara pagi Timur Tengah yang segar ini dengan
sepenuh hati. Tidak salah lagi, inilah udara yang sama yang
pernah dihirup para nabi yang mulia. Bahkan mungkin tanah
yang aku injak sekarang pernah juga diinjak oleh para manusia
237 pilihan Tuhan itu. Angin yang dingin menerpa badanku, membawa butiran-butiran halus pasir ke wajah.
"Selamat datang Mas dan Mbak, Anda semua adalah tamu
kehormatan kami di Kedutaan Indonesia," sambut seorang
bapak berjas hitam rapi. Gayanya mengingatkan aku kepada
kakak kelasku di HI yang telah menjadi diplomat. Begitu satu
bus besar kami membelah Kota Amman, semua mata kami
yang tadi terkantuk-kantuk kini terbuka lebar melihat ke luar
jendela. Ke mana mata memandang hanya padang pasir dan
rumah kubus berwarna kuning pupus. Beberapa jalan besar
dirimbuni oleh pohon kurma yang bersusun-susun sama tinggi
di pinggir jalan. Tidak berapa lama, kami sampai di kompleks
perumahan. Bus berhenti tepat di depan sebuah bangunan
besar berpagar hitam. Di atas gerbang gedung ini menempel
lambang garuda dengan latar hitam serta tulisan The Embassy
of the Republic of Indonesia. Rasa banggaku menggelegak
melihat burung garuda terpampang di negara asing.
Di depan gerbang, di bawah garuda itu, Pak Duta Besar
menyalami kami satu persatu dengan erat. "Selamat datang
para duta muda bangsa. Hari ini, Anda semua saya jamu di
sini," katanya. Bukan cuma makanan, kami juga disuguhi live
music yang dinyanyikan staf KBRI dan mahasiswa Indonesia
yang sedang kuliah di Yordania. Baru satu lagu pop Indonesia
dan satu lagu dangdut yang berkumandang, aku sudah tertegun. Bukan lagunya, tapi gitaris dan penabuh drum itu. Aku
mengangkat kacamata dan mengucek-ucek mata dengan punggung tangan. Aku tidak salah lihat"
Bayangan gelap di atas sepeda hitam. Palang pintu yang
238 tangguh menyapu semua aliran bola. Suara yang menggelegar.
Dan jewer berantai! Semua memori itu muncul silih berganti
di kepalaku. Semuanya begitu mirip. Tidak salah lagi, gitaris
itu adalah Tyson38. Tapi bagaimana mungkin dia ada di sini"
Mataku beralih ke drummer yang sedang memelintir tangannya ketika menabuh drum. Setiap menggebuk drum, pipinya
yang tembam terlihat bergoyang-goyang lucu. Siapa lagi yang
berciri begini" Aku yakin dia adalah Kurdi, biang gosip di asramaku dulu.
Selesai memainkan beberapa lagu, keduanya turun dari
panggung, berbisik-bisik dan berjalan agak ragu-ragu ke arahku.
"Alif, min ma"had. Dari pondok?" tanya Kurdi. Aku mengangguk cepat, dan kami bertiga berangkulan penuh tawa.
"Masya Allah. Anak Pondok Madani ternyata ada di manamana. Maaza ta"mal huna. Lagi apa di sini?" tanyaku penasaran
kepada Kurdi. "Aku masih kuliah tahun pertama."
"Kalau antum di mana sekarang, ya Ustad?" tanyaku ke
Tyson. Sebagai adik kelas, kami selalu memanggil kakak kelas
yang sudah lulus dengan sebutan ustad atau guru. Tentu saja
aku tidak berani memanggilnya dengan nama Tyson.
"Saya sekarang sudah hampir selesai di University of Jordan.
Tinggal skripsi saja," jelas Tyson dengan santai. Keangkerannya
sebagai kepala bagian keamanan di PM dulu telah punah. Dia
Nama aslinya Rajab Sujai tapi digelari Tyson, karena kemiripan dan
terornya. Ikuti kisah Tyson di Negeri 5 Menara
239 sekarang selalu tersenyum. Hanya badan gempal dan leher
kukuhnya saja yang mengingatkan aku kalau dia pernah menjadi momok bagi aku dan para Sahibul Menara.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 13 Panji Akbar Matahari Terbenam Seri 3 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Mutiara Hitam 14
^