Pencarian

Ranah Tiga Warna 4

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 4


"Siapa saja alumni Pondok Madani yang ada di sini?" tanyaku.
"Sekarang hanya kami berdua, sebelumnya ada beberapa
yang sudah tamat dan pulang. O ya, bulan lalu Atang baru
saja berkunjung. Dia sekarang kuliah di Al-Azhar di Kairo,"
jawab Kurdi. "Wah Atang" Sahibul Menara?"
"Iya, Atang kita, shahibul minzhar. Yang berkacamata itu."
Jantungku berdetak lebih keras karena senang. Sudah lama
aku tidak berkirim surat dengan Atang, dan ternyata sekarang
dia sudah di Kairo. "Hebat. Dia ke Al-Azhar sesuai dengan
impiannya dulu ketika kami duduk di bawah menara masjid.
Siapa lagi?" "Ehmm ada satu lagi. Dia tidak di Yordania, tapi semua
orang pasti ingin tahu. Kamu juga pasti mau tahu," kata Kurdi
sambil tersenyum. Aku menunggu penasaran.
"Masih ingat Sarah, kan?"
"Ehm. Ya nggak mungkin lupalah," sahutku dengan berdebar.
"Nah, dia pun aku dengar sekarang akan masuk Al-Azhar,"
kata Kurdi dengan bangga. Dari dulu, dia selalu punya bahan
gosip dengan informasi eksklusif yang entah dari mana dia
dapatkan. 240 Hmmm, the Princess of Madani sekarang sedang belajar di
negeri Cleopatra. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum
mengingat persaingan kami para Sahibul Menara hanya untuk
bertemu muka dan berfoto dengan Sarah.39 Tidak terasa itu
sudah 6 tahun yang silam. Apa Sarah masih ingat aku ya"
Sarah adalah anak ustad senior yang dikenal Alif di novel pertama dari
trilogi Negeri 5 Menara 241 Romawi dan Kaligrafi di Atas Gips fwan ya shahibi40, maaf, kawanku, saya ada kuliah siang
ini, jadi tidak bisa menemani jalan-jalan. Tapi ada Tyson
yang akan mendampingi terus," kata Kurdi. Dia merendahkan
suara, ketika menyebut nama Tyson. Julukan Tyson memang
hanya antara teman seangkatanku di PM. Selepas makan siang,
Pak Purnomo, staf kedutaan mempersilakan kami naik bus
lagi. "Kita akan melancong ke abad pertama," katanya, seperti
menjanjikan sebuah petualangan. Dengan perut kenyang dan
kamera di tangan, kami sudah tidak sabar untuk menjelajahi
Amman. Dari brosur pariwisata yang aku baca, kota ini punya
banyak situs historis yang tersebar di 7 jabal atau bukit yang
mengitarinya. Bangunan yang seperti tumbuh dari padang pasir hampir
terlihat seragam dalam bentuk kubus berwarna putih pupus
atau kuning gading. Di jalanan yang mulus, hilir-mudik mobil buatan Eropa, bahkan taksi-taksi kuningnya yang peot
bermerek Mercedes Benz. Orang-orang lalu lalang dengan
beragam busana. Ada yang berjas rapi, tapi banyak yang
berbaju khas Arab panjang dan berserban putih polos atau
Maaf, saudaraku (Arab) 242 kafiyeh ala Yasser Arafat. Kaum perempuan kebanyakan pakai
baju hitam panjang. Beberapa kali kami melihat bocah gembala menemani
domba-dombanya yang berbulu gimbal merumput di pinggir jalan besar. Di sebuah tikungan kami bahkan melihat beberapa
unta yang celingukan meninggikan kepala sambil meleletkan
lidahnya ke arah bus kami. Mungkin kawanan unta ini tidak
biasa mendengar suara berbahasa Indonesia.
Sesekali kami melihat patroli tentara berseragam loreng
dengan senjata siap kokang di berbagai sudut jalan. Tangan seorang tentara terangkat ketika aku akan memotret. "Mamnu"
tashwir. Dilarang memotret!" hardiknya dengan mata melotot.
"Yordania ini berada di daerah rawan konflik, karena berbatasan langsung dengan Israel dan Irak. Di sini banyak sekali
pengungsi Palestina yang terusir dari tanahnya sendiri. Karena
itulah aparat selalu siaga," terang Tyson yang berdiri memegang mik di kepala bus, layaknya pemandu wisata profesional.
Tak kusangka seorang mantan kepala bagian keamanan yang
angker pun bisa jadi pemandu wisata.
Bus kami terus meluncur masuk ke daerah yang semakin
ramai dan padat. Kiri dan kanan jalan disesaki toko kelontong
dan rumah makan. Di sebelahku Rusdi sibuk mengeja-eja
sebuah billboard besar di atas toko minuman. "Kuu ka... kuu
laaa." Dia bertepuk tangan senang dengan kemampuannya
membaca tulisan Arab. Dia semakin senang begitu aku bilang
bahwa yang dia baca itu adalah merek dagang minuman Coca
Cola dalam bahasa Arab. "Oooo begitu, aku nanti mau beli
satu yang ada tulisan Arab itu," katanya antusias.
243 "Teman-teman semua, Yordania ini unik karena tempat bertemunya tiga budaya yang besar, yaitu Bizantium, Romawi, dan
Islam. Dan hebatnya peninggalan ketiga budaya itu masih bisa
kita lihat sampai sekarang. Sebentar lagi kita akan saksikan
sendiri sisa kejayaan masa silam itu," kata Tyson, kembali
memberikan penjelasan. Bus kami sekarang berada di puncak
sebuah bukit sehingga kami dengan leluasa dapat melihat
Kota Amman yang terbentang di bawah.
"Nah, itu dia daerah Al Balad!" seru Tyson seraya menunjuk
ke arah bawah. Sambil menjulurkan leher, mata kami mengikuti telunjuknya ke sebuah lembah di samping bus kami.
Di bawah sinar matahari yang cerah, di dasar lurah itu, kami
melihat hamparan bangunan kotak-kotak yang berdempetan.
Dan di tengah hamparan bangunan itu mencuat bangunan
bulat yang mendominasi karena ukurannya yang sangat besar.
Teksturnya sekilas mengingatkan aku pada Borobudur, dari
batu berwarna gelap. Tapi bentuknya seperti mangkuk raksasa
yang menghadap ke atas dan sisinya terpotong. Mangkuk ini
menempel di bukit batu yang menjulang. Sisi mangkuk ini
berundak-undak membentuk tangga. Di tengah mangkuk batu
ini terdapat sebuah arena berbentuk lingkaran yang luas.
"Selamat datang di salah satu peninggalan budaya Romawi
yang masih utuh dan masih dipakai sampai sekarang. Inilah
yang disebut sebagai Roman Theater. Tempat pertunjukan
kuno ini didirikan pada abad ke-2 Masehi oleh Antonius
Pius. Ya kira-kira 700 tahun sebelum Borobudur berdiri," jelas
Tyson. Bus kami berhenti di depan teater kuno itu yang konon
244 bisa menampung 6000 penonton. Sambil duduk di kursi batu
yang dingin itu, aku jalankan jariku di permukaan dinding
kasar teater ini sambil memejamkan mata. Aku mencoba
membayangkan 1800 tahun yang lalu ada seseorang yang
duduk tepat di titik aku duduk sekarang sambil asyik menikmati
pertunjukan di tengah panggung. Bagaimana dulu baju mereka,
bahasa mereka, suasana kota ini" Aku seperti masuk ke dalam
suasana film Benhur yang penuh bunyi gemuruh kaki kuda dan
denting pedang. "Hidup Indonesia!" Terdengar suara yang nyaring bersipongang ke segala penjuru.
Aku terlonjak kaget dan melihat di kejauhan Rusdi sedang
tegak di tengah panggung sambil melompat-lompat melambailambai kepada kami. Di tangannya, apa lagi, kalau bukan bendera Merah Putih. "Kedengaran, nggaaaaaak?" katanya lagi.
Suaranya kembali melantun-lantun ke semua arah.
"Inilah keunikan teater ini. Zaman dulu tidak ada mikrofon, sehingga dibikinlah sudut yang sangat terukur sehingga
memaksimalkan akustik. Setiap suara yang berasal dari panggung akan terpantul dengan kuat dan baik ke semua penjuru.
Sehingga para penonton di sisi mana pun tetap bisa mendengar dialog di panggung," jelas Tyson yang berdiri tidak
jauh dariku. Kesibukan naik-turun bangunan bersejarah ini membuat
perutku menderu-deru lapar. Dari tadi aku bolak-balik melirik
warung makanan yang dijaga seorang bapak Arab tambun berkafiyeh. Dia hilir mudik melayani pembeli lokal. Pisau kurus
panjangnya berkilat-kilat dan berkali-kali mengiris sebongkah
245 daging yang digantung sambil diputar-putar dekat api. Daging
irisan ini kemudian dibalut dengan lembaran roti tipis.
Aku eja huruf tulisan Arab-nya. Kaf-ba-ba. Ooo ini yang
disebut kebab. Aku pesan tiga, satu buatku, satu buat Rusdi,
dan satu lagi, buat, ehm, Raisa, walau dia tidak pernah minta.
Dia berbinar-binar ketika aku sodorkan sebungkus kebab. "Terima kasih ya Lif, perhatian sekali," jawabnya dengan senyum
indah itu. "He eh"," jawabku grogi. Hatiku rasanya mekar.
"Tujuan kita selanjutnya Jabal al-Qala"a itu, tempat tertinggi di Amman dan juga sangat bersejarah," jelas Tyson sambil
menunjuk ke sebuah puncak bukit. Dari jauh kami melihat
puncak bukit yang tandus itu dihiasi reruntuhan bangunan
batu dan tiang-tiang granit kuno.
Dari dataran di puncak Jabal al-Qala"a, kami bisa memandang dengan leluasa ke segala penjuru kota yang berbukitbukit ini. Bukit ini tandus, hanya ada pasir, batu, dan satu-dua
pohon cypress yang tumbuh tinggi lurus menunjuk langit. Sedangkan gurun pasir terbentang sampai ujung horizon. "Mau
tahu yang disebut oase atau wadi" Itu dia," tunjuk Tyson ke
sebuah kumpulan pepohonan hijau di tengah padang pasir
nan kering. Di pucuk bukit ini kami berjalan memasuki kawasan reruntuhan benteng dan kuil Romawi yang berumur lebih 2000
tahun. Tiang-tiang granit berwarna gading masih ada yang
tegak menjulang dengan diameter beberapa pelukan orang
246 dewasa. Beberapa bongkah granit lain tampak diikat oleh
tambang besar dan ada tulisan "under renovation". Reruntuhan
yang lebih muda di bukit ini adalah bekas masjid Dinasti
Umayah yang mulai dibangun pada abad ke-11. Aku ingat
bagaimana guru kami dulu di Pondok Madani mengajarkan
sejarah dengan membawa batu, peta, dan alat peraga yang
membuat kami bisa merasakan tekstur sejarah dengan jari
kami. Hari ini, aku menghirup dan menyentuh sejarah itu
langsung. Aku menekur ke tanah. Si Hitam tidak mengkilat lagi
karena telah disentuh debu padang pasir yang berwarna krem
keruh. Sepatu dari Bukittinggi ini sekarang telah menjelajah
ke dua tanah berbeda, tanah Sunda yang berhumus hitam
subur serta tanah Yordania yang terdiri dari serbuk pasir yang
tandus. Aku ambil tanah berpasir di dekat kakiku, aku remas
di tangan, pasir itu luruh, lolos dari sela jariku, seperti luruhnya peradaban masa lalu ditelan waktu.
Kami kembali sibuk berfoto dengan berbagai gaya. Rusdi
seperti biasa, layaknya anak kelebihan energi, berlari ke sana
dan kemari. Aku masih sempat melirik dari kejauhan, Raisa
sibuk berfoto dengan beberapa teman perempuan. Ingin aku
menawarkan bantuan untuk memotret mereka, atau ikut
dipotret bersama mereka. Tapi aku terlalu malu.
Tiba-tiba aku mendengar ribut-ribut di sudut salah satu
reruntuhan. Dan kami tidak heran lagi ketika mendengar
suara teriakan bahasa Indonesia yang tidak lurus di atas
bukit batu ini. Pasti Rusdi lagi. "Hei kawan-kawan, kalau
Neil Armstrong mengibarkan bendera Amerika di bulan,
247 aku ingin mengibarkan Sang Merah Putih di reruntuhan Romawi ini. Siapa yang mau ikut berfoto?" teriaknya. Dalam
waktu singkat kami telah berkerumun di sekitarnya untuk
foto bersama, berdesak-desakkan menghadap kamera, sambil
heboh merentangkan lebar-lebar bendera merah putih.
Tidak cukup satu sudut, Rusdi bilang bahwa foto dengan
latar belakang Teater Romawi yang ada di bawah sana juga
harus ada. "Supaya lebih dramatis di foto, kita kibarkan bendera ini dekat jurang," kata Rusdi sambil menarik salah satu
ujungnya ke tubir tebing dan aku memegang ujung satu lagi.
Sambil terus mundur, dia mulai menyuruh teman-teman lain
untuk ambil posisi di dekat bendera. Dia mundur ke arah
jurang, tanpa melihat ke belakang. Sedikit lagi dia bisa ditelan
jurang. "Awas kakimu"!" teriakku ke arah Rusdi. Belum selesai aku
berteriak, Rusdi telah jatuh terhuyung. Jurang itu menganga
dalam. Di dasarnya batu cadas yang tajam. Satu kakinya
terperosok ke bibir jurang. Kami semua terpekik cemas dan
berlari ke arah Rusdi. Aku yang berlari paling depan segera
menangkap tangannya. Berhasil. Tapi tubuhnya terlalu berat.
Dia tetap rebah, dan aku melihat sendiri kakinya menghantam
ujung karang yang besar. Rusdi meraung kesakitan. Jantungku
berdegup kencang sekali, keringat dinginku mengalir di leher.
Beberapa batu berguguran terlempar jatuh masuk jurang menghasilkan bunyi longsor yang mengerikan.
Kaki Rusdi yang tadi menghantam batu kini ikut tergelincir
bersama batu-batu yang longsor. Pelan-pelan, badannya merosot ke bawah. Aku terus memegang tangannya, tapi sedikit
248 demi sedikit aku ikut tertarik mendekati tubir jurang. Pasir
dan bebatuan tajam menggerus lenganku. Perih. Aku tidak
berani melihat ke bawah. Aku hanya berani berteriak panik.
Ya Allah, selamatkanlah kami. Kerikil kembali longsor di
sekitar kakiku dan jatuh berderai-derai di dasar jurang.
Sekonyong-konyong lengan kiriku digenggam kuat oleh
sebuah tangan. "Ayo Lif, jangan lepaskan pegangan ini!"
teriak Tyson yang tiba-tiba sudah berada di dekatku. Dengan menggigit bibir dan bernapas terengah-engah, aku
kerahkan segenap tenaga untuk bertahan memegang tangan
Rusdi dan tidak lepas dari pegangan Tyson. Tapi berat badan
kami berdua tidak sebanding dengan Tyson sendiri, sehingga
gravitasi terus menarik kami ke arah jurang. Lebih celaka lagi,
telapak tangan Tyson licin oleh keringat. Aku panik sekali
membayangkan kami akan terjun bebas ke jurang yang dalam
di bawahku. Apakah riwayat kami akan berakhir tragis seperti
ini" Setiap detak jantung dan aliran darah terasa kencang di
kupingku, di ujung hidung, di sekitar mata, di setiap ujung
badan. Mungkinkah ini tanda-tanda hidup akan berakhir"
Aku mencoba tenang dengan berkomat-kamit membaca zikir.
Kedua tangan Tyson terus memegang pergelanganku dengan
kencang, tapi tidak cukup kuat untuk menahan beban berat
tubuh kami. Perlahan-lahan tanganku lolos dari genggamannya. Aku menutup mata pasrah. Rusdi di bawahku berteriakteriak minta tolong. Aku pasrahkan hidupku padaMu, ya
Tuhan. Sebentar lagi aku akan melayang jatuh.
Ketika rasanya pegangan Tyson lepas, aku dikejutkan oleh
sebuah sentakan di badanku. Aku membuka mata, dadaku telah
249 dililit tambang besar. Tambang untuk memindahkan granit
yang aku lihat tadi! Ujungnya berasal dari Kak Marwan dan
kawan-kawanku yang telah merubung di bibir jurang. Pelan tapi
pasti, bersama-sama mereka menarikku dan Rusdi ke atas lagi.
Mungkin teriakan Rusdi yang melengking berhasil memanggil
mereka semua untuk datang. Kami akhirnya bisa diangkat ke
tempat yang rata. Ya Tuhan, terima kasih untuk bantuan ini.
Aku meringis memegang lengan bawahku yang lebam
merah karena bergesekan dengan pasir kasar. Si Hitam juga
menderita, kulit bagian depannya coak dan tergores oleh batu
cadas yang runtuh tadi. Kami mengucap alhamdulillah berkalikali sambil menarik napas lega. Aku peluk bahu Rusdi. Tapi
dia tidak bereaksi. Rusdi terbaring kaku di tanah. Mulutnya
mengaduh-aduh tiada henti. Tangan kanannya masih saja
mencengkeram bendera. Telunjuk kirinya menunjuk-nunjuk
celana panjangnya yang koyak besar. Di balik robekan itu aku
bisa melihat kulit kakinya membengkak besar seperti balon
dengan warna biru lebam. Aku menggigit bibir cemas sekali.
Dokter berbadan tinggi dan bermuka bulat itu keluar
dari ruang periksa menenteng dua hasil foto X-ray. Dia mendekati Kak Marwan dan Tyson. Dengan wajah serius dia
berbicara, tangannya beberapa kali menunjuk kaki sambil
menggelengkan kepala. Tyson juga memasang tampang rusuh.
Tyson menceritakan kesimpulan dokter ini. "Ada retak di
pergelangan kaki dan harus digips. Supaya tidak menambah
250

Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

parah, Rusdi harus dirawat di rumah sakit paling tidak 3 hari."
Kami bersyukur Rusdi hanya mengalami retak tulang. Tapi
bagaimana bisa menunggu 3 hari" Padahal pesawat kami ke
Montreal berangkat dalam 5 jam lagi. Kami pasti ketinggalan
pesawat. Kami merubung di sekitar Kak Marwan untuk memutuskan
langkah apa yang harus kami lakukan. Kami jelas tidak bisa
meninggalkan Rusdi sendiri. Akhirnya kami memutuskan
semua anggota tim Rusdi akan ikut menunggu di Amman
selama 3 hari, sedangkan tim lain berangkat lebih dulu. Untunglah untuk urusan makan dan menginap, kedutaan siap
menanggung, bahkan pengunduran tiket pesawat juga akan
diurus mereka. Kami berganti-ganti menjaga Rusdi di rumah sakit. Tapi
hanya satu orang setiap kali yang boleh berjaga dan sisanya
menganggur. Melihat kami akan terlunta-lunta 3 hari di
Amman, staf kedutaan, Tyson, dan Kurdi bahu-membahu
membantu kami dengan menyusun jadwal jalan-jalan bagi
kami ke sekitar Yordania. Blessing in disguise. Sayang Rusdi
tidak bisa ikut. Aku bahkan tidak berani bercerita kepada
Rusdi betapa asyiknya jalan-jalan kami, ke tempat yang tidak
pernah aku bayangkan. Kami diajak ke albahar almayyit, alias laut mati. Sebuah
perairan dengan kadar garam sampai 33 persen, sehingga aku
dan teman-teman bisa mengapung di air tanpa harus menggerakkan badan sama sekali. Selain itu kami juga diajak ke
Petra, sebuah kota yang didirikan 600 tahun lalu oleh suku
Nabataean dengan menatah bukit cadas.
251 Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Gua Ashabul
Kahfi atau the Seven Sleepers cave. Sebagian penduduk lokal
percaya bahwa inilah gua yang digambarkan dalam Alquran.
Tempat sekelompok orang yang melarikan diri dari raja lalim
dan bersembunyi di sana. Atas izin Tuhan mereka tertidur selama bertahun-tahun dan terjaga ketika raja lalim telah jatuh.
Selain bisa jalan-jalan, aku punya kesempatan untuk mempraktikkan kemampuan bahasa Arab-ku. Selama di Yordania
ini, Raisa sering bertanya tentang terjemahan bahasa Arab
kepadaku. Dengan senang hati aku bantu dia, tentunya aku
berusaha mengeluarkan bunyi berbahasa Arab terfasih yang
aku bisa. Aku pertontonkan bunyi huruf ha pedas, huruf kha
di kerongkongan seperti orang membersihkan dahak di kerongkongan, dan huruf syin yang berdesis-desis lebih nyaring dari
ban bocor. Kemarin, aku membantu Raisa menawar harga sebuah
syal buatan suku Baduwi di pasar tradisional Amman. "Aduh
Alif, kalo nggak ada kamu, aku pasti bayar lebih mahal deh.
Makasih ya Lif," kata Raisa dengan muka berbinar memakai
syal barunya. Berada di tengah negara gurun ini, hatiku seperti
diguyur air sejuk. Akhirnya, hari yang kami tunggu-tunggu tiba. Aku bersama teman-teman menjemput Rusdi dari rumah sakit. Ini
hari kebebasannya setelah terkurung di kamar perawatan.
Rusdi sekarang sudah boleh jalan, tapi harus memakai tongkat
pembantu. Kakinya masih dibalut gips sehingga tampak sebesar batang pohon kelapa. Dasar Rusdi manusia aneh, dia
sama sekali tidak terlihat kesal dengan bencana yang men252
deranya. Begitu keluar dari rumah sakit, dia dengan bangga
memperlihatkan gipsnya yang coreng-moreng dengan tulisan
Arab. "Aku meminta semua dokter dan perawat untuk tanda
tangan dengan tulisan Arab," katanya sambil mengangkat
kakinya agak tinggi. Belum lagi kami meninggalkan pekarangan rumah sakit,
Rusdi sudah kembali ke bakat awalnya. Dia kembali berpantun:
Kurma Yordania berbuah lebat
Buah dimakan sambil berkuda
Orang Banjar sudah kembali sehat
Kini siap terbang ke Kanada
Yang jelas, sejak hari itu, karena harus memakai tongkat,
Rusdi tidak bisa lagi menenteng kapal dari getah nyatu-nya.
Kamilah yang harus berganti-ganti mengepit barang antik
yang satu ini. Malam itu, kami semua duduk dengan nyaman di kabin
pesawat. Destination: Montreal, Kanada. Rusdi duduk di sebelahku. Sesekali, dia mengelus gipsnya yang bertuliskan tanda
tangan orang Arab itu, tidak dengan wajah memelas tapi
malah dengan raut bangga.
253 Maple dan Jambon abin Royal Jordanian gulita, awak pesawat telah meredupkan semua penerangan. Tampaknya porsi makan
malam yang besar cepat meninabobokan para penumpang.
Dengkuran halus terdengar di sana-sini. Semua orang tampaknya bisa lelap kecuali aku. Di ransel biruku masih ada buku
yang harus aku tamatkan sebelum mendarat di tanah Kanada.
Buku pertama Percakapan Bahasa Prancis untuk Pemula telah
aku tamatkan beberapa kali, buku kedua, Culture Shock baru
aku selesaikan. Lampu baca aku hidupkan dan meneruskan
membaca buku ketiga Budaya, Alam dan Cuaca Kanada. Buku
ini paling menyenangkan karena memuat banyak sekali foto
keindahan alam negeri di ujung utara benua Amerika ini.
Mulai dari padang prairie seperti dalam cerita Old Shatterhand
atau Little House in the Prairie sampai hamparan glacier di
dekat kutub. Mulai dari orang Indian seperti Winnetou yang
berburu bison liar sampai orang Inuit dan Eskimo yang tinggal
di hamparan es dan kerjanya berburu paus dengan harpun.
Aku terlelap memeluk buku ini.
"Dear passengers, we are approaching Trudeau Airport,
Montreal. Bienvenue au Canada." Lamat-lamat aku mendengar
254 suara seorang pramugari. Aku menegakkan badan yang melorot
di kursi karena tertidur, melap mulut dengan punggung tangan,
dan dengan tidak sabar melongok ke jendela. Di luar pesawat,
matahari pagi sudah mengintip di balik horizon. Langit berkelir
lazuardi terang. Di daratan tampak beberapa danau dan sungai
yang biru pekat, lalu bergantian muncul beberapa gerombolan
pohon di antara padang rumput yang hijau rapi. Daerah yang
berbukit ditumbuhi pohon-pohon rimbun yang didominasi
warna hijau dengan semburat warna merah dan kuning tegas
dari pucuk-pucuk pohon maple. Menurut buku yang aku baca
tadi, inilah tanda musim telah bertukar dari musim panas ke
musim gugur. Daun hijau pelan-pelan menjelma menjadi
kuning-merah. Amboi, permai nian.
Menginjakkan kaki di tarmac bandara di Montreal ini menjadi sebuah sensasi yang membuat badanku seakan terbang
melayang. Aku cubit lenganku kuat-kuat dan meringis sendiri.
Ini bukan mimpi, tapi awan impian yang menjadi nyata.
Alhamdulillah. Awalnya hanya angan-angan di bawah menara
masjid Pondok Madani. Kini lihatlah, anak kampung ini
menjejak benua Amerika. Modalku hanya berani bermimpi,
walau sejujurnya, aku dulu tidak tahu cara menggapainya.
Walau berjalan tertatih dengan kruknya, Rusdi tidak kalah
bahagia. Mulutnya berkomat-kamit sendiri dan matanya berbinar menyapu ke segala arah. "Lihatlah Rusdi, kau telah jauh
dari hutan Kalimantan kau. Kita sekarang di rimba maple!"
seruku padanya. Dia terkekeh-kekeh sendiri.
Di bagian imigrasi, suara bariton petugas imigrasi berbadan
raksasa terasa bagai nyanyian merdu. "Bienvenue " Montreal.
255 Selamat datang di Montreal," katanya dengan suara di hidung.
"Merci beaucoup. Terima kasih banyak," jawabku sambil
mencoba meniru suara sengau-sengau tanggung itu. Raisa
bagai pulang kampung, dia merepet ke sana-sini dalam bahasa
Prancis yang tidak bisa aku ikuti artinya sama sekali.
Begitu sampai di depan terminal kedatangan yang teduh,
aku julurkan tanganku untuk menyentuh daun maple yang
selama ini hanya aku lihat di gambar. Daunnya agak lonjong
dengan gerigi besar-besar di sekelilingnya, permukaannya
terasa kesat dan bertulang lunak. Ada yang hijau segar, ada
yang kuning, dan ada yang mulai memerah terang, bahkan ada
daun yang memuat kombinasi ketiga warna itu. Indah sekali.
Tidak salah kalau orang Kanada menjadikan daun maple
merah sebagai gambar bendera mereka.
Sambil berjongkok, aku raup tanah Amerika ini, aku patutpatut di telapak tangan, tanahnya abu-abu kering, rengkah,
dan ringan. Berbeda dengan tanah negeriku yang hitam basah,
padat, kaya humus. Aku hamburkan tanah ini ke udara. Aku
petik daun maple. Aku hirup udara awal musim gugur ini
dengan haus. Ini benar-benar riil. Aku di Amerika!
Sulit aku bayangkan sebelumnya. Dalam hanya beberapa
hari, aku dan si Hitam telah merasakan tiga tanah berbeda. Tanah tumpah darahku, tanah Timur Tengah tempat para nabi
lahir, dan tanah benua Amerika.
256 Kami disambut oleh panitia program di bandara dan
dibawa ke penginapan YMCA di Rue41 de Trudeau. YMCA
adalah hostel yang banyak digunakan oleh kalangan muda
dan terletak di pusat keramaian Montreal. Lantai untuk perempuan dan laki-laki dipisah. Aku, Rusdi, dan Ketut ditempatkan di satu kamar besar. Lagi-lagi aku mendapatkan pengalaman baru: ini kali pertama aku masuk ke sebuah kamar
hotel. Kamar kami punya perabot yang tampaknya tua tapi
bersih. Yang paling aku suka adalah seluruh lantai dilapisi
karpet merah tebal. Ranjangnya yang berpegas menurutku
yang paling empuk yang pernah aku rasakan, jauh berbeda
dengan kasur kapukku di Indonesia.
"Aku perlu mandi, sudah lama rasanya tidak ketemu
air!" teriak Rusdi sambil mengambil handuk. Tapi sekejap
kemudian dia balik ke kamar kami dengan muka marah-marah. "Ternyata kamar mandinya untuk dipakai bersama satu
lantai. Dan anak-anak bule itu mandi telanjang. Tanpa sehelai benang pun. Mana mereka sudah baligh, tidak sunatan
lagi! Risih aku," katanya gusar. Rupanya di kampung, Rusdi
terbiasa mandi dengan memakai celana kancut atau sarung,
sehingga dia stres sendiri melihat cowok-cowok bule polos
tidak bersunat ini. "Aku nanti sajalah mandi tengah malam, nunggu cowokcowok itu tidur," katanya. Aku dan Ketut terbahak-bahak
sampai sakit perut. "Mungkin kalau kau kasih pantun, mereka langsung pakai
Rue: jalan 257 baju," celetukku. Dia tidak peduli dan sibuk dengan kegiatan
lain, yaitu memeletukkan jari-jari tangannya dan merapikan
kapal adat yang sekarang sudah banyak kehilangan serdadu.
Dengan hati-hati dia merekatkan lagi beberapa sosok serdadu
ke badan kapal. "Aku ingin orangtua angkatku mendapatkan
perahu Dayak yang terbaik," katanya mengulang-ulang tekad
mulia itu. "Tentang pantun, percuma saja, aku belum bisa menerjemahkan pantunku ke bahasa Inggris, apalagi bahasa Prancis,"
jawabnya. Ternyata celetukanku dianggap serius.
Setelah mandi yang terburu-buru karena takut ketemu
cowok-cowok bule polos lain, kami bersama-sama turun ke
kantin di lantai dasar untuk sarapan.
Dan pagi itu aku merasa seperti masuk ke dalam adegan
film Barat yang aku tonton di TV. Bunyi sendok dan garpu berdentang-denting, asap meruap-ruap dari coffee maker, wangi
keju, mentega, dan roti yang dibakar memenuhi hidungku.
Beberapa orang dengan celemek putih dan topi tinggi hilir
mudik di belakang rak kaca yang penuh beragam makanan.
Ada kentang goreng, kentang tumbuk, telur kocok, yoghurt,
aneka bentuk keju, aneka buah yang ranum-ranum, susu, dan
banyak lagi jenis makanan yang tidak aku tahu namanya.
Atau lebih tepatnya belum pernah melihat sebelumnya. Kami
bertiga berpandang-pandangan. Siapa yang akan maju duluan
untuk memesan sarapan"
258 Rusdi mendorong-dorong punggungku, "Ayo maju, kan
yang belajar bahasa Prancis tiap malam itu kamu," katanya memaksa. Aku segera merapalkan yang paling sering aku ingat:
jangan sampai makan ham dari daging babi. Ham itu bahasa
Prancis-nya jambon. Jambon, jambon, jambon... kataku komatkamit sebelum maju ke petugas yang tampaknya tidak sabar
melihat kami bertiga bertingkah seperti undur-undur.
Dengan membulatkan kepercayaan diri dan secarik kertas
hapalan, aku ragu-ragu maju ke depan pramusaji yang berdiri
di belakang rak makan kaca.
"Je voudrais prendre le petit d"jeuner sans jambon, s"il vous
plait42," kataku terpatah-patah di depan waitress, seorang gadis
berambut jagung. Alexa namanya. Matanya yang biru besar
itu mengerjap dan dia menelengkan kepalanya, berusaha
menangkap apa yang aku katakan.
"Pardon?" katanya, meminta aku mengulang. Aduh, semakin dia memandangku, semakin resah aku dan semakin berlipat lidah ini rasanya. Jangan-jangan logat Minangku terlalu
kental untuk bahasa Prancis.
Setelah menarik napas sejenak, aku ulangi kalimat yang
dari semalam aku hapalkan, kali ini lebih pelan-pelan. Mata
biru itu tetap bingung. Tidak sabar, aku keluarkan saja buku
percakapanku yang kulipat di saku belakang dan memperlihatkan kepadanya kalimat yang tadi aku hapalkan. Sudah aku
tandai dengan stabilo kuning.
Saya ingin sarapan tapi tanpa ham (babi)
259 Senyum lebarnya pecah sampai gigi serinya kelihatan semua.
"Ooo oui... oui43." Dia lalu menunjuk beberapa jenis makanan
dan memberi isyarat dengan tangan bahwa itu mengandung
babi. Aku penasaran untuk mencoba berbagai jenis makanan
yang disediakan. Aku mengintip-intip dari balik kuduk seorang
anak bule di depanku. Dia mengambil sebuah mangkuk, lalu
mengisinya dengan sereal, berbagai biji-bijian kering yang aku
tidak tahu apa, setengah genggam kismis dan sebuah pisang
ranum yang kemudian dipotong-potong, lalu diguyur dengan
susu segar. Lantas dia menuangkan jus jeruk segar ke gelas.
Hmmm, begini caranya makan di sini. Diam-diam aku ikuti
persis seperti yang dia lakukan.
Ini adalah sarapan bergaya Barat pertamaku. Bedanya bak
bumi dan langit dengan sarapanku pada masa susah di Bandung
dulu: setengah porsi bubur ayam dengan ekstra air atau sarapanku di PM dengan salathah rohah44 dan makrunah. Kalau
melihat sekeliling, belasan teman-temanku yang lain juga
pasti sedang gegar budaya dengan sarapan pertama mereka ini.
Sedangkan Rusdi yang duduk di sebelahku sedang sibuk menghapal sesuatu... sans jambon... sans jambon....
Oui: iya Salathah rohah: sambal khas buatan dapur umum PM yang sangat lezat,
yang hanya ada pada jam istirahat pagi. Bisa dibaca lebih detail di novel
Negeri 5 Menara 260 Bus Kuning etelah beberapa hari di Montreal, aku mulai berani untuk
berjalan-jalan sendiri di sekitar hotel sambil menikmati
kota yang dengan apik memadukan arsitektur modern dan tua.
Tapi sebenarnya dalam memoriku, Montreal hanya berhubungan dengan satu nama: McGill University. Kampus terkenal ini
akrab di telingaku karena ada beberapa alumni Pondok Madani
yang melanjutkan S-2 dan S-3 di sana. Selagi masih di sini,
dan matahari bersinar hangat, aku berniat menjenguk kampus
ini, siapa tahu bertemu dengan salah seorang kakak kelasku.
Mendengar niatku akan pergi ke McGill, Rusdi memaksa
ikut. "Aku siap menaklukkan Montreal, ke mana pun kau
bawa," katanya cengengesan walau dengan kaki masih pincang.
Tidak aku sangka, Raisa yang mendengar rencana kami juga
tertarik ikut. "Siapa tahu nanti aku juga bisa sekolah di sana,"
katanya. Tentulah aku senang sekali dia ikut.
Dengan peta di tangan, hampir di setiap persimpangan
jalan aku menanyakan arah dengan bahasa Prancis serabutan
ke siapa saja. Raisa yang tentu tahu bahasaku amburadul
hanya tersenyum-senyum melihat usahaku. Untunglah kebanyakan orang Montreal sangat baik dan menjawab dengan


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang-lebar. Kami menikmati suasana sepanjang jalan yang trotoarnya
261 sangat lebar. Banyak mobil, tapi tidak macet, dan jarang sekali
terdengar klakson. Ramai tapi senyap. Banyak sekali toko
suvenir yang menjual berbagai barang unik dari Kanada dan
entah kenapa hampir semua penjual suvenir ini adalah orang
Arab. Beberapa toko bahkan memutar musik padang pasir dan
kaset mengaji murattal45 di tokonya. "Lif, tolong tawarin dong
biar murah," kata Raisa berbisik. Abdullah yang berasal dari
Libanon senang sekali melihat aku bisa bahasa Arab. "Untuk
kalian, saudaraku dari Indonesia, semua barang dapat diskon
khusus," katanya mengangkat kedua tangan sambil tersenyum
lebar. Raisa melonjak-lonjak senang karena bisa membeli
kalung Eskimo dengan diskon besar.
Kami sampai juga di depan gerbang kampus McGill. Di
tengah kampus terhampar padang rumput yang tercukur rapi
dan pohon-pohon ek, american elm, dan canyon maple yang
rindang. Jalan setapak mengular menghubungkan satu gedung
ke gedung yang lain. Mahasiswa tampak menyemut duduk
atau berbaring di rumput sambil berdiskusi atau membaca
buku. Beberapa orang hilir mudik masuk ke gedung-gedung
kampus yang antik dan tua.
"Guruku bilang, di sini gampang mencari orang Indonesia,"
kataku yakin. Tapi sepanjang mata memandang hanya ada
bule dan orang berkulit hitam. "Mungkin kita harus datang
ke fakultasnya," kataku menghibur hati. Kami berkunjung ke
ruang Islamic Studies Department dan melongok ke ruang
perpustakaannya. Nama-nama yang tertulis di cubicle ruang
Salah satu gaya melagukan bacaan Alquran dengan ciri antara lain
alunan sederhana, lafaz jelas, pendek-pendek, tapi menyentuh hati
262 baca ini membuat aku merasa ada di Indonesia: Muhammad
Sutrisno, Murniati Abidin, dan Sunaryo. Semua kosong,
kecuali cubicle paling ujung yang diisi oleh seseorang berkulit
sawo matang. Di mejanya ada sebungkus Salonpas dan sebotol
minyak angin Cap Lang. Sudah pasti ini orang Indonesia.
Papan nama di depan cubicle-nya: Agus Munawir, Ph.D.
Candidate. "Kebanyakan kami belajar di sini adalah atas biaya beasiswa
CIDA, badan bantuan pemerintah Kanada," jelas Pak Agus
ketika kami ajak mengobrol. Begitu aku mengenalkan diri dan
bilang pernah di Pondok Madani, dia langsung berseru penuh
semangat. "Masya Allah, ana khirrij ya akhi. Saya juga alumni
PM. Setelah lulus kuliah di Kairo, saya meneruskan S-3 di
sini." Dia mengguncang-guncang tanganku. Ah, bahkan di belahan dunia lain pun aku masih menemukan keluarga besar PM.
Dunia kami seketika terasa rapat. Kami satu guru, satu ilmu.
"Apa kabar terbaru Pondok Madani sekarang" Apakah Class
Six Show masih bagus" Bagaimana kabar almukarram Kiai Rais"
Masih ada salathah rohah" Saya kangen PM, sudah puluhan tahun tidak ke sana." Bertubi-tubi pertanyaannya tentang Pondok Madani. Dengan sabar aku layani pertanyaannya satu per
satu. "Mohon doa antum, Ustad, agar nanti saya bisa menyusul
sekolah jauh seperti ini."
"Amin, insya Allah terkabul. Ingat, kan" Iza sadaqal azmu
wadaha sabil. Kalau sudah jelas dan benar keinginan, akan
terbukalah jalan," katanya menyemangatiku. Kami berpe263
lukan erat. Sepanjang jalan pulang, Rusdi dan Raisa sibuk
menginterogasi aku tentang Pondok Madani. Sementara dalam
hati aku berdoa bersungguh-sungguh kepada Tuhan agar suatu
ketika nanti bisa kuliah di benua Amerika ini.
"Mes amies, teman-temanku semua, gimana, puas jalanjalan di Montreal?" tanya Kak Marwan di depan kami semua.
Kami berdiri melingkarinya di depan lobi hotel. Tas-tas kami
sudah siap untuk diangkat.
"Kurang... kurang panjang waktunya," balas kami sambil
tertawa. Dia ikut tersenyum sebentar, lalu senyumnya lenyap
dan suaranya menjadi serius.
"Coba dengar baik-baik. Hari ini sangat penting. Bahkan
mungkin paling penting selama kalian di Kanada. Kita akan
meninggalkan Montreal menuju pedalaman Quebec. Inilah hari
yang menentukan apakah kalian mendapat pengalaman paling
seru seumur hidup kalian atau malah paling menyedihkan..."
Dia menghela napas sebentar. Kami mendengarkan dengan
penuh perhatian. "Tugas kalian adalah sebagai duta muda bangsa di mata
orang Kanada. Jadilah cerminan orang Indonesia yang terbaik.
Gunakan setiap kesempatan untuk jadi yang terbaik," lanjutnya
dengan penuh semangat. Aku lihat Rusdi mulai mengeluarkan
lipatan bendera. Jangan-jangan dia akan mengibarkan bendera
lagi. 264 "Hari ini, setiap kita akan bertemu dengan homologue atau
rekan orang Kanada yang akan menjadi teman serumah kalian
selama setengah tahun ke depan. Kalau kalian bisa berteman
dengan homologue ini, hidup kalian akan menyenangkan, tapi
kalau tidak, rasanya hidup tidak tenang," tambah Kak Marwan.
Aku hanya bisa berdoa semoga aku bisa cocok dengan siapa
pun homologue-ku nanti. Setelah berdoa bersama, kami naik ke sebuah bus panjang
besar berwarna kuning. Di jidat bus terpasang tulisan besar
?"coliers46". Ini rupanya bus sekolah yang selama ini cuma aku
lihat di film-film Barat. Sopirnya melambai-lambaikan tangan
sambil menghidupkan mesinnya yang berderum-derum. Rusdi
yang makin sehat kini sudah kembali giat dengan segala
ulahnya. Dengan hanya memberi anggukan kecil ke arah
sopir bule dan berbisik, "Excusez-moi, Monsieur. Maaf Pak."
Dia langsung memasang bendera di salah satu kaca bus. Aku
sekarang baru tahu kenapa sejak subuh tadi dia kasak-kusuk
menghapalkan kalimat minta izin pasang bendera ini.
Bus kuning kami menderum di jalan mulus Quebec.
Menembus tengah kota, masuk pinggir kota, padang rumput,
peternakan, pertanian, hutan, sungai, dan danau yang permai.
Hampir ke mana mata memandang, selalu ada pohon maple,
dengan daun yang semakin berwarna-warni. Bus kuning kami
sekarang telah membelok ke jalan lebih kecil, membelah
hutan pinus, lalu berkelok naik sampai kami mencapai sebuah
dataran. Dari sini kami bisa melihat hutan maple, danau, dan
"colier: anak sekolah
265 sungai yang mengular. Bunyi burung bercericit memenuhi
udara. Kami melewati sebuah gerbang kayu bertuliskan Camp
de Tadussac dan berhenti di halaman rumput yang luas dan
dikelilingi oleh rumah-rumah kecil dari kayu gelondongan.
"Merekalah tim pasangan kalian. Salah satu di antaranya
adalah homologue kalian nanti," ujar Kak Marwan menunjuk
ke arah wajah-wajah pemuda dan pemudi Kanada yang
tersenyum dan melambai-lambai ke arah kami. Dari balik
kaca bus, aku melihat wajah mereka dengan berdebar-debar.
Siapakah nanti yang akan menjadi homologue-ku" Bagaimana
tingkah polahnya" Apakah akan cocok denganku nanti" Apa
dia nanti bisa mengerti bahasa Inggris-ku" Bisakah aku belajar
bahasa Prancis kepadanya" Apakah pendapatnya tentang
Islam" Apakah dia suka mabuk" Apakah dia akan menjadi
temanku selamanya nanti" Seperti Sahibul Menara atau Geng
Uno" Aku cemas, gugup, tapi juga excited. Aku hanya berdoa
dalam hati agar aku mendapat yang terbaik.
Anak-anak muda Kanada ini dengan sigap membantu
mengangkat koper-koper dan menyalami kami. "Hi, how are
you" I am Robert from Ontario," sapa seorang anak laki-laki
tinggi besar berwajah tampan seperti John Stamos dengan
rambut menjulai panjang. Kami berjabat tangan dan dia melepaskan topi koboinya ketika mengenalkan diri. Begitu selesai
bersalaman, dia memakai topinya lagi. Otot lengannya yang
mengkal berurat-urat dengan enteng mengangkat koperku
266 yang berat. Anak baik yang kuat. Apakah dia nanti yang jadi
homologue-ku" "I am Cathy, nice to meet you," kata seorang gadis berhidung
mancung dengan rambut merah pendek seperti cowok yang
menepuk bahuku. Alis dan bulu matanya pirang. Di lubang
hidungnya menggantung anting perak. Anak yang ramah tapi
aneh. Atau diakah yang jadi homologue-ku" Tidak ada yang
tahu siapa yang akan jadi pasangan kami nanti.
Tidak jauh dariku, Rusdi juga sedang berkenalan dengan
beberapa orang lain. Tidak butuh waktu lama untuk membuat
anak-anak Kanada ini merubung Rusdi. Mereka begitu tertarik
dengan kapal getah yang terus ditenteng Rusdi dengan bangga.
Lalu mereka terpekik-pekik antara ngeri dan takjub waktu
melihat Rusdi melipat-lipat jemarinya sampai mengeluarkan
suara seperti tulang patah. Aku tahu semakin gugup Rusdi,
semakin banyak bunyi "keletukan" itu.
Di sebelah kamp ini ada sebuah danau tenang yang
pinggirnya sesak dengan batu-batu besar. Di salah satu sudutnya
kami bisa menuruni tangga kayu menuju dermaga kecil tempat
beberapa sampan tertambat. Tidak jauh dari kamp, kami bisa
melihat birunya air sungai Saint-Laurent. Sungai ini lebarnya
bisa mencapai puluhan kilometer sehingga Danau Maninjau
pun tampak jadi mungil. Sekali-sekali kawanan burung berbulu
putih terbang sambil ribut berkoak-koak menuju sungai.
Rumah-rumah dari kayu berderet mengelilingi lapangan
rumput hijau yang diselingi bunga-bunga liar yang daunnya
mulai menguning. Di tengah lapangan hijau tempat bus
parkir ini ada sebuah tiang besar dari kayu yang diukir-ukir
267 warna-warni. Sekilas seperti kerajinan dari Irian Jaya. Robert
menjelaskan bahwa inilah yang disebut totem, tiang yang dipakai suku Indian dalam ritual budaya mereka. Kanada, sebelum
ditemukan oleh bangsa Eropa adalah kawasan yang dikuasai
oleh Indian. Tasku ditenteng Rob47 menuju sebuah cabin atau rumah
kecil yang dindingnya terbuat dari tumpukan gelondongan
kayu. Begitu masuk ke cabin, bau kayu pinus yang nyaman dan
hangat menyambut hidungku. Di cabin-ku ini ada 2 tempat
tidur bertingkat yang bisa memuat 4 orang. "Please take a rest,
we will see you at the dining room for lunch," kata Rob sambil
menunjuk sebuah bangunan yang paling besar dan berada
di tengah deretan kabin ini. "See you soon," katanya sambil
melambaikan tangan kepadaku yang berkali-kali mengucapkan
terima kasih. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar seperti
ekor kuda. Tak lama Rusdi masuk diantar oleh Cathy yang
kali ini membantu membawakan kapal getahnya.
Muka Rusdi tampak tegang. Mungkin dia belum siap menerima banyak fans asing tadi. Aku pukul bahunya. "Hei, enjoy
saja, kawan. Sudah punya banyak kawan kamu ya. Yuk kita
makan dulu di ruang makan sana," ajakku. Rusdi menganggukangguk. Di depan ruang makan ini ada tulisan besar, "salle "
manger/dining room".
Aku dan Rusdi masuk ke ruangan ini, yang ternyata telah
penuh oleh anak muda Kanada yang sedang mengobrol sambil
lesehan. Salle " manger ini dilengkapi dapur dan meja-meja
Rob adalah singkatan panggilan untuk Robert.
268 dari balok kayu. Di ujung ruangan ada sebuah sudut yang
menjorok ke dalam dengan api berkobar-kobar di dalamnya.
Mungkin ini yang disebut perapian. Tepat di atasnya tergantung
sebuah kepala rusa besar yang sudah dikeringkan dengan mata
melotot. Melihat kami para peserta Indonesia masuk, suara
obrolan mereka mengecil dan menjadi bisik-bisik sambil mata
mereka menatap kami. Hmm, kenapa aku deg-degan juga"
Rob, si rambut ekor kuda, melambaikan tangan dan mempersilakan kami duduk berbaur dengan mereka. Satu-dua ada
yang nekat duduk bersebelahan dengan para bule tanggung
ini. Tapi sebagian besar dari kami, tetap merasa lebih nyaman
duduk dekat kawan-kawan Indonesia. Aku memilih duduk
di antara Rusdi dan seorang gadis Kanada berambut pirang
sebahu. Dia tersenyum dan mengangguk padaku, lalu kembali
sibuk mengangguk-angguk sendiri. Kupingnya disumpal
earphone yang terhubung ke walkman kuning mencolok.
Dari ujung meja makan, Kak Marwan bertepuk tangan
untuk menarik perhatian kami. Di sampingnya berdiri seorang
bule yang sebaya dengan Kak Marwan. Mereka berdua mengenalkan diri di depan kami semua. Si bule yang satu ini bernama Sebastien Trudeau, seorang alumni program yang berasal
dari Montreal. Dia pimpinan rombongan Kanada yang berarti
juga menjadi homologue untuk Kak Marwan. Mereka berdua
berbisik-bisik sebentar sambil melihat beberapa helai kertas di
tangan mereka. Sebastien kali ini angkat bicara.
"Mes amis, sekarang kami akan mengumumkan siapa homologue kalian selama program ini. Dia akan menjadi teman kalian
di saat suka dan duka. Jadilah teman yang saling mendukung."
269 Kami semua menahan napas. Beberapa anak bule menggigitgigit ujung kuku. Rusdi menyimpan kedua tangannya di bawah
meja, sayup-sayup terdengar suara keletukan tulang jari. Aku
cuma bisa berdoa. Sebastien memandang berkeliling kepada kami semua.
Seakan-akan dia menikmati raut muka kami yang gelisah.
270 Francois Pepin ien. Baiklah. Kami berdua telah mencoba mencocokkan
profil kalian semua. Kami coba pertimbangkan latar
belakang keluarga, kepribadian, hobi, dan faktor lain sehingga
kemungkinan kalian akan cocok dengan homologue yang
sudah kami tentukan," jelas Sebastien. Ketegangan wajah
kami mengendur sedikit. "Tapi... tapi berdasarkan pengalaman tahun-tahun lalu, ada
saja pasangan yang kurang cocok atau bahkan bersitegang.
Tapi itulah salah satu proses belajar kalian di program ini,"
lanjutnya datar. Keterangannya yang jujur, malah membikin
kami kembali gelisah. "Baik, saya akan baca nama kalian secara berpasangan. Setiap yang disebut segera berdiri dan berkenalan dengan pasangannya. Siap?"
Pelan-pelan, dia membacakan nama-nama kami dari sehelai kertas. Beberapa pasangan sudah disebutkan. Kapan giliranku"
"Alif Fikri," sebut Sebastien. Aku langsung berdiri dengan
ragu-ragu. Aku tidak berkedip menunggu siapa orang Kanada
yang disebutnya. "...mendapatkan homologue bernama Francois Pepin dari
Quebec." 271 Aku berdiri dari kerumunan anak Indonesia. Di ujung sana
aku lihat seorang anak laki-laki melambai-lambaikan tangan
dengan senyum lebar yang antusias. Bahkan setengah berlari
dia mendapatkanku, mengulurkan tangannya. "All", je suis
Francois, my name is Francois Pepin," katanya dengan akses
Prancis yang kental. Dua kalung bertali hitam menggantung
di lehernya. "Hi, my name is Alif," kataku menyambut tangannya yang
berguncang-guncang. Kalaulah Franc hidup di Indonesia,
aku yakin wajahnya sudah menghiasi sampul majalah sebagai
bintang iklan. Pupil matanya sepenuhnya biru terang, mirip


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu akik bening yang melekat di cincin ayahku dulu. Mukanya lonjong dan dagunya simetris serta dibalut bulu tipis yang
membikin dia terlihat macho. Sedangkan rambutnya ikal
pirang. Badannya sedang, tidak terlalu tinggi. Yang paling
aku ingat adalah dia selalu tersenyum lebar. Dan senyum
hangatnya ini menular. Dia kembali nyengir lebar. Dia tampak mau mengatakan
sesuatu, mulutnya sudah terbuka, tapi bola matanya yang
biru berputar-putar seperti bingung. Dia tidak jadi bicara dan
menggantinya dengan tersenyum lagi. Seakan-akan dia malu
harus bicara di antara banyak orang di ruangan ini.
Francois akhirnya menggamit tanganku untuk duduk agak
menjauh dari anak-anak lain, di bawah pohon maple yang
rimbun. Sesekali ada daun kuning dan merah yang melayang
jatuh di ujung kakiku. Tanah di sekeliling pohon ini diceceri
daun gugur berwarna-warni, laksana permadani alam yang
indah. 272 "Help me... learn... English, s"il vous plait48, " katanya memulai pembicaraan dengan terbata-bata. Wajah kawan baruku
ini serius dan memelas. Ada apa dengan anak ini" Apa dia
gagu" "I... do not... speak... English... good," katanya sekali lagi
sambil menggeleng-geleng pasrah. Apa aku salah dengar" Dia
tidak bisa bicara bahasa Inggris dengan baik"
Tidak pernah terbayangkan olehku kalau seorang bule di
Kanada ini ingin belajar bahasa Inggris dari aku. Ironis sekali,
karena salah satu niatku ikut program ini adalah memperbaiki
bahasa Inggris-ku. Ada sekilas kecewa terbit di hatiku.
Aku dan Francois Pepin atau biasa dipanggil Franc mengobrol ngalor-ngidul. Tapi pembicaraan pertama ini membutuhkan kesabaran karena banyak kalimat Franc yang tidak
lengkap. Kalau bingung mencari kata Inggris, dia berkalikali membolak-balik kamus kecilnya untuk menemukan kata
yang tepat. Kalau tetap tidak ketemu, dia akan berbicara
pelan-pelan dalam bahasa Prancis. Aku tetap tidak mengerti.
Sebaliknya juga begitu, kadang-kadang aku yang kebingungan
menerangkan sesuatu kepadanya. Terpaksa segala bentuk
bahasa tubuh, raut muka, dan gestur tangan kami gunakan
maksimal. Franc bahkan menggunakan coretan-coretan di
bukunya untuk menceritakan maksudnya. Untunglah gaya
Franc kalau bicara memang maksimal dan animatik, semua
urat mukanya bergerak. Sering aku tergelak sendiri.
S"il vous plait: ungkapan sopan yang ditambahkan ketika meminta atau
mempersilakan. Seperti kata "please" dalam bahasa Inggris.
273 Franc adalah mahasiswa sosiologi di Universit" Laval dan
sangat tertarik pada budaya Asia. Sepanjang hayatnya, dia hanya
bicara dalam bahasa Prancis, belum pernah keluar dari Provinsi
Quebec. Dia sempat belajar bahasa Inggris di sekolah, tapi tidak
dipraktikkan aktif. Mungkin kira-kira seperti pelajaran bahasa
Inggris di sekolah-sekolah Indonesia. Jadi mata pelajaran wajib,
tapi hanya segelintir yang bisa memakainya dengan aktif. Aku
mulai mengerti kenapa dia tidak lancar ngomong Inggris.
Franc menepuk-nepuk bahuku, kembali dengan mimik serius.
"But... but... I learn...." Tangannya dibuat menyerupai
kapal terbang yang melaju kencang ke depan. Bibirnya bersiul
cepat mengikuti gerakan itu. Aku cuma terpana. Kembali dia
mengulangi gerakan yang sama, kali ini siulannya lebih tinggi
nadanya. Setelah berpikir-pikir, aku menyeletuk, "You mean, you learn
fast" Like this?" Tanganku ikut meniru gaya pesawat terbangnya.
"Oui" oui, yes" very fast," katanya mengangguk-angguk
senang seperti burung beo. Dia mengangkat tangannya ke
arahku, minta aku membalas. High five. Tos. "Good team...
good team," katanya sambil cengengesan.
Aku kembali tertawa melihat mimiknya, mulut tersenyum
lebar, mata terbelalak, alis terkembang. Mungkin aku tidak dapat mitra belajar bahasa Inggris, tapi setidaknya aku mendapat
seorang kawan yang baik dan lucu. Hatiku yang tadi sedikit
kecewa aku ajak berdamai. Bukan salahnya kalau bahasa
Inggris-ku tidak lebih baik dari dia. Dan aku juga tidak boleh
mengasihani diri sendiri karena tidak dapat homologue yang
274 fasih berbahasa Inggris. Ini malah tantanganku. Atau malah
peluang besarku untuk belajar bahasa Prancis.
Walau terpatah-patah berbahasa Inggris, Franc masih bisa
dimengerti asal aku mau bersabar mendengarkannya atau menunggu dia buka kamus atau mencoret-coret di kertas. Dia
seorang anak petani di dekat St. Agapit, sebuah daerah di luar
Quebec City. Tanah pertanian keluarganya menghasilkan berbagai hasil bumi mulai dari tomat, lobak, gandum, jagung, dan
tanaman lain yang kemudian dijual di pasar pagi, fresh market.
Orangtuanya juga beternak sapi perah, biri-biri, dan ayam
petelur. Yang unik, keluarga ini juga memelihara ribuan ekor
lebah dan menjual madu dalam botol-botol kaca.
Sambil menepuk bahunya, aku bilang, "Well, Franc. Sebetulnya aku juga masih belajar bahasa Inggris. Tapi aku akan
bantu kamu meluruskan bahasamu yang agak rusak itu." Dia
tidak tersinggung, malah mengangguk tersenyum.
"Tapi dengan satu syarat, kamu juga mengajarkan aku bahasa Prancis. D"accord" Setuju?" tanyaku.
Franc ketawa lebar, memperlihatkan semua giginya yang
rapi. Pipinya ternyata punya lesung pipit. Menambah "nilai
jual"-nya sebagai bintang iklan. "D"accord. Setuju," katanya
seraya langsung mengangkat tangan lagi. Mengajak aku high five
lagi. Lupakan soal bahasa, aku mulai suka kepribadian anak ini.
Sebagai homologue, kami berdua akan tinggal bersama orang
tua angkat yang sama di rumah yang sama. Aturannya, dalam
setiap kegiatan, kami harus saling bantu. Dia membantu aku
menyesuaikan diri dengan budaya sini, dan aku membantu dia
memahami budaya Indonesia.
275 Teman-teman lain tampak sedang asyik berkenalan dengan
homologue masing-masing. Ada yang mojok di pinggir danau
yang biru sambil merendam ujung kakinya di air, ada yang
duduk di bawah totem, ada yang menggelar tikar di lapangan
rumput, bahkan ada yang sampai memanjat ke rumah pohon
di samping lapangan. Di pinggir danau aku melewati Rusdi sedang bicara dengan
homologue-nya, Robert, pemuda bertopi koboi dan berambut
menjuntai tadi. Aku curiga, dalam beberapa bulan saja, Robert
mungkin sudah mahir berpantun. "Lihat saja nanti, aku akan
mengajarkan dia berpantun," bisik Rusdi, seakan-akan tahu apa
yang aku pikirkan. Sedangkan Raisa tampak agak sedih karena
pasangannya Emilie, seorang gadis pirang dari Manitoba yang
entah kenapa, dari pagi tadi sampai sekarang hampir selalu
sibuk dengan walkman kuningnya.
Menjelang gelap di Camp de Tadussac, angin musim
gugur yang berembus lembut berhasil menegakkan bulu-bulu
tanganku. Angin ini mungkin terasa lebih menggigit karena
mengalir dari arah utara yang membawa dinginnya hawa
kutub. Aku menaikkan ritsleting jaketku yang sebetulnya tidak
bisa naik lagi. Kling" kling... Sebastien terus menggoyanggoyangkan lonceng kecil yang menyerupai ganto49 berukuran
kecil. "Souper... souper, tout le monde,50" katanya mengajak kami
Lonceng kecil yang ada di leher kerbau peliharaan petani di Maninjau.
Dalam bahasa Prancis Quebec, souper berarti makan malam
276 semua untuk makan malam. Kami yang sedang bergerombol di
berbagai sudut kamp segera berebut masuk ke salle " manger
yang hangat. Aku dan Franc langsung mengantre di depan loket dapur.
Dengan ludah meleleh melihat makanan yang sudah tersedia:
sup asparagus, mi besar-besar dengan kuah merah yang disebut
Franc sebagai spaghetti, daging kalkun asap, serta hidangan penutup berupa es krim dan apple pie. Dalam sekejap, aku menghabiskan makan malam yang luar biasa enak ini. Kalaulah
tidak malu, ingin rasanya aku menambah satu porsi es krim
lagi. Seusai makan malam, kami mengikuti teman-teman lain
yang pindah duduk ke dekat perapian untuk menghangatkan
badan. Makin lama, makin banyak orang yang berkumpul di
sekitar perapian. Anak Indonesia dan Kanada sudah duduk
bercampur-baur. Di sana-sini terdengar ketawa cekikikan dan
suara kami riuh rendah dengan aneka bahasa: Inggris, Prancis,
Indonesia. Bahkan sesekali terdengar pula selipan bahasa lokal
seperti Jawa, Sunda, dan Minang ketika sesama rombongan
Indonesia berbicara. Di pendiangan, api menjilat-jilat kayu bakar dari ranting
pinus, mengeluarkan bunga api bernuansa warna hijau, biru,
dan merah. Sebastien membolak-balik kayu bakar dengan
tongkat besi atau mengumpankan kayu bakar baru. Api berkobar terang. Seperti mulai berkobarnya persahabatan kami.
Persahabatan dua bangsa. 277 Topo tiba-tiba menghilang dan kembali muncul di salle "
manger sambil menenteng gitar putih andalannya. Melihat Topo
membawa gitar, seorang anak Kanada bernama Steve membuka
kotak biolanya. Kawanku Sandi tidak mau kalah dan telah siap
dengan ketipung kecilnya. Tidak aku sangka si koboi Rob mahir
memainkan saksofon. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu
ruang makan ini telah menjadi ajang jam session. Petikan gitar
lincah dari Topo berbaur apik dengan gesekan biola, saksofon,
dan gendang. Silih berganti beragam lagu dimainkan secara
keroyokan oleh para musisi ini, mulai lagu Morning is Broken
dari Cats Steven sampai Leaving on the Jet Plane. Sedangkan
kami yang merubung menyanyikan syairnya bersama.
Aku tahu diri tidak bisa bernyanyi, jadi cukuplah mengentak-entakkan sepatu hitamku ke lantai, mengikuti ritme irama
gendang yang ditabuh Sandi. Begitu sebuah lagu berhasil kami
nyanyikan sampai akhir, para pemusik ini berdiri dan membungkukkan badan ke arah kami.
Tepuk tangan riuh berkumandang, lengkap dengan suitsuit.
Lalu Topo berdiri dan mengangkat tangan ke arah kami
yang duduk melingkar. Dengan fasih dia menyerocos bahasa
Prancis, lalu Inggris. "Tout le monde, kami ingin membawakan beberapa lagu
lokal Indonesia. Teman-teman Kanada boleh mengikuti dengan tepukan. D"accord. Setuju?"
"D"accord!" teriak anak-anak Kanada yang sudah terbius
dengan kehebatan Topo memetik gitar.
278 Lalu meluncurlah lagu dari Papua yang mengentak dan
kami lagukan dengan bersemangat, Yamko Rambe Yamko
dan dilanjutkan dengan Si Gule Pong. Topo juga tidak lupa
menurunkan tempo sedikit dan membawakan lagu berirama
jazz, Usah Dikanalah Juo. Raisa sekali-sekali menyumbang
suara emasnya dan mendapat tepukan riuh dari pendengarnya.
Beberapa dari mereka adalah cowok bule dengan gaya seperti
bintang iklan di TV. Raisa seperti biasa dengan santun membagi senyumnya. Ada sekilas cemburu lewat di hatiku. Tapi
kenapa" Walau tidak mengerti satu patah kata pun, para bule ini
ikut larut dengan berbagai lagu daerah. Dipimpin Franc,
mereka berdiri dan mengentak-entakkan kaki mengikuti
irama. Semua berbaur dan seakan kami lupa kalau kami baru
saja bertemu dan punya bahasa dan budaya berbeda. Untuk
pertama kalinya, aku mulai suka dengan kegiatan nyanyimenyanyi ini. Malam ini lagi favoritku adalah Si Gule Pong.
Rusdi juga punya penggemar sendiri. Tampaknya dia sekarang cukup menikmati menjadi pusat perhatian. Bagai melihat
makhluk sirkus yang aneh, beberapa anak Kanada terpekikpekik kecil, beberapa cewek melompat-lompat karena gemas.
Aku lihat di tengah lingkaran, Rusdi sedang melakukan
ritualnya, menekuk-nekuk jari supaya berbunyi. Beberapa
cewek Kanada berteriak, "Don"t, don"t do that, please. You will
hurt yourself!". Rusdi tertegun, melihat sebentar ke cewekcewek itu lalu cengengesan dan melanjutkan demonstrasi
tulang belulangnya. Sekarang dia sibuk menekuk-nekuk leher.
Semakin banyak orang yang terpekik. Krek" krek" krek.
279 Sampai jauh malam kami masih terus merubung perapian,
bernyanyi bersama, bercerita dengan hangat, ditemani kopi
dan api dari perapian. Malam ini seakan tidak ingin kami
akhiri. Persahabatan antarnegara mulai bertunas dan mungkin
akan berumur sepanjang hayat kami atau bahkan lebih.
Menjelang tengah malam, aku bersama beberapa teman
lain kembali ke cabin, tapi ada juga satu-dua yang tetap mengobrol dengan teman-teman baru. Beberapa yang lain bahkan
mengambil sleeping bag dan tidur di dekat perapian. Topo
masih terus rajin memetik gitarnya. Sekarang dia dikelilingi
beberapa cewek Kanada yang minta lagu ini-itu. Rupanya dia
telah dapat penggemar baru.
Dengan sudut mata aku bisa melihat Franc terbelalakbelalak mengikuti semua gerakanku ketika salat Isya. Tapi
dia belum berani bertanya lebih jauh. Sebaliknya, dia hanya
berkata, "Bonne nuit, Alif. Selamat malam." Lalu dia menyuruk
ke balik comforter51-nya. Aku menyembulkan kepalaku dari
balik selimut tebal dan membalas selamat malamnya. Sejak
hari ini, tempat tidur homologue diatur bersebelahan. Walau
kedinginan, malam ini aku tidur dengan muka dikerubungi
senyum. Hidup penuh persahabatan yang terus tumbuh adalah
hidup yang mendamaikan. Selimut hangat yang biasa dipakai musim gugur dan musim dingin.
Berisi bahan insulasi penahan dingin dan dilengkapi sarung
280 Rumah Jompo asanya aku baru terlelap sekejap ketika aku terlonjak
oleh suara bel yang sangat keras. Kilatan-kilatan cahaya
merah berpijar-pijar menembus jendela cabin kami. Aku
semakin kalang kabut melihat Franc langsung meloncat dari
ranjang. Comforter-nya melayang ke lantai. Dia berteriakteriak tidak jelas dalam bahasa Prancis dan langsung lari ke
luar. Lalu dia kembali berbalik cepat, menarik selimutku dan
menarik tanganku. "Vite... vite... Ayo cepat, ada api. Ayo cepat keluar!" katanya tersengal-sengal.
Dengan pandangan masih nanar, aku ikut lari dengan
panik. Rusdi sudah lebih dulu bangun dengan wajah terkejut
dan rambut berantakan. Di lapangan rumput sudah banyak
orang berkerumun. Bel masih berdering-dering dan lampu merah tadi masih mengerjap-ngerjap dari atas pintu setiap cabin.
Ada apa" Kenapa seheboh ini" Mana api yang membuat semua
orang heboh ini" Yang paling heboh adalah Robert. Dengan rambutnya yang
panjang awut-awutan, dia terbirit-birit lari ke halaman. Di
tangannya ada dua alat pemadam kebakaran. Matanya liar
mencari sumber api. Begitu tahu tidak ada api, dia menendang
dan memukul tiang totem kayu. Mulutnya seperti menyumpahnyumpah.
281 "Kami telah dilatih kalau mendengar alarm kebakaran,
harus segera keluar gedung dan bersiap memadamkan api,"
kata Franc. "Tapi mana apinya?" tanyaku polos sambil bersedekap
kedinginan. Setiap angin berembus gigiku gemeletuk. Franc
menjawab dengan muka bingung.
Sebastien dan beberapa anak bule berkeliling dari cabin ke
cabin dan tetap tidak menemukan sumber api. "False alarm,
go back to sleep guys. Alarmnya palsu, silakan tidur lagi," kata
Sebastien antara lega dan kesal. Dengan menggerutu kami
kembali masuk cabin. "Ssstt... Alif, masih bangun?" bisik Rusdi dari ranjang
tingkat dua di atasku, ketika kami telah selamat kembali ke
kamar. "Udah mau tidur, ngantuk, nih."
"Kenapa bel dan lampu tadi hidupnya pas sekali dengan
aku keluar toilet tadi ya?"


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Emangnya kenapa?"
"Di dekat WC ada tombol merah dan pengungkit yang
bikin penasaran. Lalu aku iseng menarik pengungkitnya. Eh,
tiba-tiba bel berbunyi dan lampu merah hidup dan heboh
seperti ini." Aku bangkit dengan kesal. "Masya Allah, kok iseng banget,
itu kan alarm kebakaran."
"Bukan salahku. Semua tulisannya bahasa Prancis, aku kan
nggak ngerti," bela Rusdi dengan polos.
282 Aku hanya bisa bergumam, "Iseng kamu itu mengganggu
tidur orang satu kamp."
"Tapi....." Aku menarik selimut dan menumpuk bantal di atas kepalaku, tidak mau lagi mendengar pembelaan Rusdi.
Kepala pirang Franc menyembul dari balik selimut. Matanya
masih kuyu, mulutnya menguap lebar, tapi nada suaranya
sudah bersemangat. "Bonjour Alif, petit d"jeuner?"
Aku celingukan beberapa saat. Dia tampaknya sadar kalau
kupingku masih belum terlatih mendengar bahasa Prancis pagipagi begini. Lalu dengan lidah tertatih-tatih dia mengulang
dalam bahasa Inggris. "Err, good morning, Alif, let"s have some breakfast."
"Selamat pagi. Iya, aku sudah lapar nih," kataku menyibakkan
selimut. Kami sudah sepakat, Franc akan berusaha banyak
berbicara Prancis kepadaku, kecuali aku tidak mengerti baru
dia menerjemahkan. Sedangkan aku akan mengoreksi bahasa
Inggris-nya. Dengan begitu kami akan saling membantu.
Dengan menating mangkuk sereal, sepiring telur, dan segelas jus jeruk, kami memutuskan untuk makan di lapangan
hijau yang dipenuhi bangku-bangku dan meja kayu yang lembap karena sentuhan embun pagi. Kebetulan matahari sudah
muncul dan menghangatkan meja kayu tempat kami sarapan.
283 Burung-burung beterbangan di antara pucuk-pucuk maple
yang sudah memerah. Tupai yang berbulu lebat naik turun
dengan lincah di batang-batang pohon ini. Sebagian berlarilari di padang rumput mengumpulkan biji-biji pohon ek dan
pinus untuk persiapan makanan mereka pada musim dingin.
Ekor mereka yang mekar melentik-lentik setiap menemukan
makanan. Di ujung lapangan, aku lihat Rob menuding-nuding ke
arah alarm pemadam kebakaran. Rambutnya yang panjang
bergerak-gerak setiap dia menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya menyerocos dalam bahasa Prancis. "Dia masih marahmarah karena terbangun kemarin hanya untuk sebuah alarm
yang salah," kata Franc menerangkan. Ada Rusdi juga di
sana. Tapi dia sok duduk-duduk tenang. Seandainya Rob tahu
kejadian semalam adalah ulah Rusdi, entah bagaimana hubungan mereka sebagai homologue.
"Ini hari yang penting. Aku tidak sabar mendengar pengumuman nanti kerja di mana," kata Franc dengan Inggris patah-patah. Hari ini Kak Marwan dan Sebastien sudah berjanji
akan mengumumkan tempat kami akan bekerja selama di
Saint-Raymond, dan siapa orangtua angkat kami.
"Hu-uh...," kataku sambil mengangguk. Mulutku sedang
sibuk karena aku jejali sesendok sereal dan berbagai biji-bijian
yang terasa asing di lidahku. Pelan-pelan aku kunyah dan
berbunyi klutuk-klutuk. "Aku berharap bisa kerja sebagai relawan di koperasi masyarakat atau di media," kata Franc.
284 "Memangnya kamu sudah tahu di mana saja tempat kerja
kita?" "Itulah gunanya jadi orang Quebec, aku bisa tahu lebih
dahulu. Seminggu yang lalu aku tidak sengaja mendengar
kabar dari temanku yang tinggal di Saint-Raymond tentang
tempat-tempat kerja yang tertarik menerima kita."
"Apa saja?" tanyaku penasaran sambil menghentikan suapan.
"Ada yang di peternakan, panti jompo, perpustakaan, kantor walikota, pemadam kebakaran, koran, dan TV."
Telingaku seperti berdiri. Aku ingin sekali bisa bekerja
di TV atau koran. Bagiku ini kesempatan emas untuk dapat
pengalaman kerja di bidang yang aku minati. Pasti nanti
akan sangat berguna kalau aku melamar kerja di Indonesia.
Bayangkan, aku bisa menulis di CV-ku, pengalaman kerja:
wartawan TV di Kanada. Enak nian terdengarnya.
Bermacam tingkah kawan-kawanku. Ada yang tertunduk
sambil meremas tangannya sendiri, ada yang memintal-mintal
ujung baju, ada pula yang menggigit kuku. Air muka baik teman-teman Kanada maupun Indonesia kali ini mirip. Seperti
orang menunggu pengumuman ujian kelulusan. Semua mata
tertuju pada dua orang saja: Sebastien dan Kak Marwan.
Setelah mendeham beberapa kali, Sebastien berdiri di tengah kami sambil bicara, "Besok kita akan bertolak ke SaintRaymond. Kalian semua akan menikmati pengalaman sekali
285 seumur hidup. Ini adalah sebuah pembelajaran unik yang
nanti akan kalian kenang sepanjang hidup. Program kita ini
punya satu tradisi. Siapa yang mencetak prestasi paling baik
selama program, akan menerima piagam dan medali."
Sebastien kemudian mengambil sebuah kotak beludru biru
dari sampingnya dan membukanya. Tiga buah medali berkilatkilat diangkatnya tinggi-tinggi. "Ini medali yang sudah kami
siapkan bagi tiga orang terbaik, emas, perak, dan perunggu."
Medali" Hmmm, aku selalu terbakar semangat kompetisi
kalau ada iming-iming seperti ini. Kenapa aku tidak berusaha
untuk memenangkannya" Aku harus menorehkan prestasi
tinggi nanti. Tapi melakukan apa" Aku belum tahu. Beberapa
mata temanku berkilat-kilat melihat medali itu. Aku yakin
pasti ada peserta lain yang punya impian dan ambisi besar.
Tiba-tiba Rob mengangkat tangan tinggi-tinggi. Lalu langsung
bicara, "Apa syaratnya untuk memenangkan medali?" tanya
Rob sambil memutar-mutar topi koboinya.
"Tidak ada syarat dan kriteria khusus. Kalian semua bisa.
Jadilah peserta yang unik, berbeda, berprestasi, berkompetisi
untuk kebaikan, dan diakui oleh komunitas masyarakat tempat
tinggal kalian nanti," kata Sebastien.
"Tampaknya aku cocok sekali mendapatkan medali itu.
Aku pasti dapat," kata Rob sambil mengepalkan tinjunya yang
besar. Rob yang aku kenal hari pertama adalah seseorang yang
baik dan ramah, tapi sekarang kesanku berubah. Dia sepertinya seseorang yang pemarah, ambisius, dan agak arogan sejak
kejadian alarm kebakaran tempo hari. Entah kenapa dia masih
menyumpah-nyumpah sampai sekarang.
286 Rasa nasionalismeku menjadi terbakar. Dalam hati aku berjanji akan berusaha mendapatkan medali ini, untuk membuktikan bahwa kami anak Indonesia bisa mengalahkan anak-anak
Kanada ini. Kalaupun bukan aku yang akan mendapatkan
nanti, paling tidak salah satu temanku orang Indonesia. Ini
masalah harga diri bangsa, masalah nasionalisme. Indonesia
harus dilihat setara sebagai bangsa. Kalau bisa lebih tinggi.
Sebastien kemudian duduk dan giliran Kak Marwan yang
berdiri. "Saya akan mengumumkan apa yang pasti sudah kalian
tunggu-tunggu sekarang. Tempat kerja kalian selama di Kanada...." Ruangan segera riuh rendah. Jantungku berdebar-debar, mungkin sama kerasnya dengan semua teman lain. Kak
Marwan mengangkat tangan meminta kami semua diam.
"Tempat kerja ini adalah ajang kalian mengenal masyarakat
di Saint-Raymond. Sarana kalian juga untuk belajar bekerja
profesional. Kerja kalian berbasis relawan, jadi kalian tidak
digaji untuk semua kontribusi dan waktu yang kalian berikan
nanti. Menurut pengalaman saya sebagai alumni, ini salah
satu kesempatan emas untuk membuat kalian lebih mengenal
siapa diri kalian." Kak Marwan menyudahi pidatonya dan menjangkau lembaran kertas di meja.
"Pasangan kalian di tempat kerja bisa sama dan bisa beda
dengan pasangan kalian di rumah orangtua angkat. Dengar
baik-baik ya," katanya, seakan-akan senang melihat kami
penasaran. Akhirnya, setelah menghela napas panjang, dia
mulai membaca, "Raisa dan Dominique di kantor walikota."
287 Raisa dan Dominique berpelukan. Raisa tampak senang
dan menangkupkan tangannya ke wajah. Dia memang ingin
merasakan bekerja di kantor pemerintahan Kanada. Melihat
dia senang, aku juga ikut merasa senang.
"Rusdi dan Mark di peternakan sapi perah." Mata Rusdi
membulat lalu melotot tak berkedip. Dia tampak bingung dan
melongo. Tangannya mulai aktif menekuk-nekuk jari. Aku
tahu pasti, dia ingin dapat kesempatan magang di kantor polisi
lokal, ingin belajar bagaimana polisi luar negeri mengayom
masyarakat. Bukan belajar mengayom hewan ternak, apalagi
sapi perah. Mark hanya diam, tapi pipi di bagian gerahamnya
mengencang. Dia mungkin juga tidak suka dengan penempatan
ini. "Rob dan Ketut di Jawatan Pemadam Kebaran." Rob mengangkat kedua tangannya dan menutup mata seakan telah memenangkan sebuah pertandingan. Anak ini semakin aneh dan
berlebihan di mataku. "Sandi dan Cathy di koran lokal." Ups, satu pilihan idealku
lewat. Semoga aku dapat yang kerja di stasiun TV.
"Dina dan Kim di Taman Kanak-kanak." Wajah Dina berbinar, sementara Kim merengut.
"Topo dan Franc di SRTV, stasiun TV lokal." Apa" Bukan
namaku" Aku tidak mendapat penempatan di tempat idamanku" Kenapa malah Topo yang tidak punya latar belakang
media akan bekerja di sana" Hatiku mulai tidak tenang.
Tinggal aku dan Patrick yang belum disebut. Apakah akan
ada keajaiban sehingga aku tetap bisa bekerja di media"
288 Kak Marwan membalik kertas catatannya yang terakhir
dan" "Alif dan Patrick di panti jompo." Beberapa saat aku
tidak bereaksi, karena bingung akan berbuat apa. Aku jadi
relawan di panti jompo" Kepalaku rasanya berpusing kencang.
Sudah jelas-jelas aku pernah bilang ke Kak Marwan bahwa
aku tertarik bekerja di bidang media, sehingga aku berharap
besar akan bekerja di TV atau koran. Panti jompo" Pikiranku
langsung mengingat kakek dan nenekku yang sudah meninggal.
Bukan aku tidak suka merawat orang-orang tua, tapi minatku
di media, bukan di panti jompo. Kesal menjalar dari hatiku,
naik ke dada, naik ke leher, terus ke mukaku dan tidak lupa
singgah di kuping. Mukaku panas dan tertekuk berlipat-lipat.
Begitu pengumuman selesai, aku langsung mendekat kepada
Kak Marwan dan Sebastien. Aku meminta mereka dengan penuh harap untuk mempertimbangkan agar aku dipindah ke
koran atau TV. "Lif, keputusan ini sudah hasil diskusi panjang dengan tempat kerja. Tidak segampang itu mengganti tempat kerja orang.
Dan yang paling penting, tidak mungkin menambah dan mengurangi. Ini sudah final," jelas Kak Marwan.
"Tapi Kak, apa gunanya kerja sukarela, kalau aku tidak
rela" Pasti tidak ada yang bisa dipelajari," sangkalku.
Belum lagi aku selesai, tahu-tahu Rusdi telah berada di
sisiku. Dengan sengit dia berbicara, "Kak, tolong aku didengar.
Aku jauh-jauh dari Kalimantan, masa jagain sapi," katanya
sedih. Kak Marwan dan Sebastien memandang kami dengan kesal dan menjawab dengan wajah serius, "Begini. Kami tidak
289 akan bisa menarik kalian dari tempat yang sudah ditentukan
bersama dengan induk semang kalian. Yang bisa dilakukan
adalah mengganti orang. Jadi kalian harus mencari kawan
Indonesia yang mau berganti tempat kerja dengan kalian. Itu
satu-satunya yang bisa dilakukan."
Seketika aku langsung berkeliling kamp, mencari enam
orang kawan kelompokku. Aku menawarkan mereka kerja
di panti jompo menggantikanku. Siapa yang mau" Mungkin
tidak ada. Tapi tidak ada salahnya aku coba dulu.
Satu orang yang aku tidak berani bertanya langsung adalah
Raisa. Rasanya diriku malu jika harus mengiba-iba kepadanya.
Aku hanya berkeluh kesah dapat tempat di panti jompo, sedang dia mentereng di kantor walikota. Raisa mencoba menghiburku, tapi tentulah dia tidak menawarkan berganti tempat
dengannya. Bekerja di balai kota sudah jabatan sempurna
baginya. Rusdi langsung aku coret dari daftar negosiasiku. Tidak
mungkinlah aku ajak dia bertukar tempat. Tempat kerja magangnya di peternakan sapi perah. Aku coba dekati Dina,
tapi sebelum bernegosiasi, aku sudah mengurungkan niat.
Aku tidak berani bertukar tempat. Mengajar anak TK yang
berbahasa Prancis tampaknya malah bisa bikin aku tambah
pusing. Harapanku selanjutnya si Sandi. Dia mendapat tempat kerja
di koran lokal Saint-Raymond, salah satu tempat idamanku.
290 Lagi pula, Sandi bukanlah orang berlatar belakang media walau
memang fasih berbahasa Prancis. Dia menjawab bijak, "Lif,
aku juga perlu belajar untuk menulis di media. Kamu kan sudah terbiasa di Indonesia. Mungkin sekarang giliranku." Aku
tidak menyalahkan dia. Siapa yang akan bersedia melepaskan
kesempatan menjadi reporter magang di luar negeri, walau
hanya lokal" Tinggallah satu-satunya harapanku yang mungkin paling
tidak masuk akal: Topo. Karena aku tahu sejak di Cibubur,
Topo adalah orang yang selalu suka tampil di depan umum, suka
menjadi pusat perhatian, dan tidak tahan melihat mik menganggur. Dia bercita-cita menjadi penyiar TV. Lebih daripada itu,
dia adalah orang yang sangat fasih berbahasa Prancis. Jadi posisi
bekerja di TV sungguh sebuah tempat yang paling tepat buat dia.
Tapi aku harus mencoba dulu, baru aku tahu peruntunganku.
Aku dapati Topo sedang menjentik-jentik senar gitarnya
dengan cepat, memainkan ketukan jazz untuk mengiringi beberapa anak Kanada yang bernyanyi. Dengan gitar putihnya ini,
aku kira Topo telah menaklukkan Kanada dan membuat dia
punya banyak teman. Setelah lewat beberapa lagu, aku tepuk
punggungnya. "Topo, enaknya kamu dapat kerja yang bagus sekali di
TV lokal," kata pembukaku sambil menyodorkan sekotak jus
jeruk. Dia menerima dengan senang.
"Terima kasih, kawan. Iya, cocok sekali dengan keinginanku.
Bagaimana dengan tempat kerjamu?" tanyanya.
"Itulah, kawan. Jauh panggang dari api. Harapanku ya
kerja di media. Tapi apa daya, dapatnya di panti jompo. Bu291
kannya aku keberatan merawat para manula, tapi minatku
lebih kuat di media. Kata Kak Marwan, tidak bisa lagi pindah
kerja, kecuali ada yang mau sukarela berganti tempat kerja,"
jawabku. Agak gentar aku memberikan tawaran kepadanya.
"Semoga ada hikmahnya, Lif. Siapa tahu ada orang jompo
kaya raya dan memberikan warisan untuk kamu," katanya
dengan nada bercanda. Aku melihat dia sekilas. Mungkin ini lelucon yang lucu
bagi dia, tapi bagiku lelucon itu tidak enak didengar. Aku
diam saja dan tidak tertarik lagi meneruskan pembicaraan.
Tanpa berkata apa-apa, aku bangkit dari duduk dan pergi mengeloyor meninggalkan Topo dan gitarnya. Di belakang punggungku, aku mendengar dia berteriak memanggilku. Mungkin
dia merasa bersalah. Aku mempercepat langkah.
Aku duduk termenung di bawah tiang totem. Memandang
jauh ke air biru Sungai Saint-Laurent yang berombak. Semua
anak Indonesia sudah aku dekati dan tidak ada yang mau
berganti kerja dengan aku. Beginilah nasib anak kampung
Maninjau ini. Merantau jauh-jauh ke Kanada, diminta jadi
relawan di panti jompo. Bukan aku tidak sayang sama para
nenek dan kakek, tapi aku ingin punya pengalaman kerja di
media. 292 Rumah Kayu di Pinggang Sungai ari jauh aku lihat Rusdi berjalan menekur-nekur ke
tanah, kakinya terantuk-antuk. Aku panggil dia. Dia
menengadah sekilas lalu melambaikan tangan lunglai dan
mau juga duduk di sebelahku. Tanpa bertanya pun aku sudah
tahu, pasti dia juga gagal menemukan teman yang mau menggantikannya bekerja di peternakan sapi perah.
Kami berdua terduduk lesu. Hanya terdiam dengan napas


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang-panjang. Air biru Saint-Laurent terus hanyut ke hilir.
Seperti hanyutnya kesempatan kami untuk mengubah tempat
kerja magang. Apa yang bisa dilakukan dua manusia yang
patah harapan" Saling berbagi sedih atau saling menghibur.
Aku memilih untuk menghibur, walau hatiku pun gundah.
Aku tumpangkan tanganku di bahu Rusdi yang menggelesot
sembari menggigit-gigit ujung rumput yang dicabutnya tanpa
tujuan. Punggungnya bertelekan pada tiang totem. Wajahnya
lesu dan matanya memandang jauh entah ke mana.
"Rusdi, kayaknya kita harus bersyukur dengan apa yang
kita terima sekarang," kataku sok bijak, mengumbar kata-kata
penghibur. Hatiku berontak tidak sepakat dengan lidahku.
Bagaimana bisa bersyukur dalam situasi tidak puas ini" Tapi
293 aku teruskan juga kata-kata nasihat itu. Sebetulnya kata-kata
bijak itu lebih aku tunjukan untuk diriku sendiri.
"Mungkin ini kesempatan kita untuk mengenal dunia
lain yang kita belum pernah tahu," lanjutku seraya menahan
kekecewaanku sendiri. Rusdi hanya melengos.
"Khusus untuk kasusmu, Rusdi. Ini bisa jadi tugas mulia.
Dan kesempatan kau untuk memperkenalkan negara Indonesia
yang agraris kepada petani dan peternak Kanada. Paling tidak
mengenalkan sang Merah Putih sebagai bendera kebangsaan
kita kepada mereka yang bekerja di peternakan itu."
Begitu mendengar kata bendera Merah Putih, dia tampaknya sedikit terhibur. "Ya sudah, doakan saja aku tabah di
peternakan sapi itu." Dia tertunduk sebentar. Tapi tiba-tiba
kepalanya mendongak. Hidungnya kembang-kempis, aku sudah hapal bahasa tubuh ini. Dia dalam sebuah proses penciptaan. Lalu bergulirlah dari mulutnya sebuah pantun. Lirih saja
dan dia seperti membisikkannya untukku:
Sultan Banjar bertitah di takhta
Sambil menikmati beras tanak
Dengan bismillah saya buka kata
Siap pun saya menjaga ternak
Pantun itu singgah sebentar di kupingku, lalu hilang-hilang
timbul seperti ditiup angin dingin kutub jauh menembus
rimba maple yang kuning merah, dan akhirnya tercebur ke
kedalaman Sungai Saint-Laurent yang dingin, tempat para
paus biru bercengkerama dan beranak pinak.
294 Esok paginya, dengan pegangan koper tergenggam erat,
kami semua siap di depan salle " manger, menunggu bus
kuning, yang kali ini akan mengantarkan kami ke SaintRaymond. Kebanyakan kami anak Indonesia sudah mulai
memakai sweter, sebagian yang lain mengenakan jaket. Aku
sendiri bahkan sampai membebat leher dengan seulas kain
panjang berbahan wol yang akhirnya aku kenal bernama syal.
"Udaranya seperti angin kulkas," keluh Rusdi. Sementara
para teman Kanada seperti ikan di dalam air. Nyaman dan
tenang-tenang saja, seolah kulit mereka terbuat dari sol sepatu.
Tebal dan tidak terpengaruh dingin.
Dingin dan keinginan yang tidak sampai. Kombinasi yang
beku. Aku coba hangatkan telapak tangan dengan membenamkan dalam-dalam ke saku jaket. Aku malas berkata-kata.
Apalagi dengan seseorang yang bernama Topo, yang entah
kenapa berjalan mendekat ke arahku. Aku palingkan muka ke
arah Sungai Saint-Laurent.
"Alif, maafkan kalau aku salah kata kemarin," katanya
sungguh-sungguh. "Ah sudahlah," kataku pendek dengan suara mampat. Aku
masih jengkel. "Oke, terserah kalau kamu masih tersinggung. Aku hanya
mau bilang kalau aku ingin minta tolong."
Hah, habis bertingkah menjengkelkan terus mau minta tolong"
295 "Gini, Lif. Aku sebetulnya sedang menulis skripsi di UGM.
Rancangan penelitianku adalah kajian psikologi usia manula.
Dosenku meminta aku mengadakan observasi dan penelitian
di panti jompo." Hmm. Baru tahu sekarang butuh bantuan, batinku. Aku
tetap pura-pura sibuk mengamati Saint-Laurent yang mengalir
tenang. "Jadi, aku pikir-pikir. Itu pun kalau kau bersedia, aku mau
bertukar tempat kerja dengan kamu."
Apa aku salah dengar" Atau Topo sedang bercanda dan
mengolok-olok saja" Wajahku yang telah aku buang jauh, kini
berbelok ke arah Topo. "Apa kata kamu?" tanyaku untuk memastikan.
"Apakah kamu bersedia untuk berganti tempat kerja
denganku" Kamu kerja di TV. Aku kerja di panti jompo."
Sesaat aku terdiam dan ternganga. Berusaha mencerna yang
aku dengar. Topo ingin kerja di panti jompo" Menggantikan
aku" Aku tidak percaya. Aku pandang wajahnya, aku teliti
lekat-lekat. Tapi roman mukanya serius sekali.
"Tentu saja aku bersedia. Dan semoga penelitian skripsimu
bisa lancar," sambarku cepat, sebelum dia berubah pikiran.
Muka Topo benar-benar berubah menjadi riang.
"Jadi deal kita" Tinggal ngomong ke Kak Marwan," katanya
mengulurkan tangan. Tersenyum.
"Deal," sambutku mengguncang-guncang tangannya. Dengan senyum jauh lebih lebar, seperti aku akan tampil di iklan
pasta gigi. 296 Alhamdulillah ya Rabbi. Ini seperti menyusup lolos di
lubang jarum. Ketika semua kemungkinan tidak ada lagi,
rupanya Tuhan mendengar doaku. Solusi masalah dari Engkau
selalu datang dari tempat yang tidak disangka-sangka dan
pada waktu yang tidak pernah bisa dikira. Min haitsu la
yahtasib. Betapa Tuhan suka memberi surprise. Membuat aku
sering terkaget-kaget. Dengan hati-hati aku kabari Rusdi tentang tawaran Topo
ini. Aku tidak mau dia bertambah sedih karena mendengar
deal ini dari orang lain. Dia menyelamatiku dengan muka
masih lesu. "I am happy for you, my friend," katanya. Hah, tumben sekali dia menjawab dengan bahasa Inggris, bukan pakai
pantun. Aku coba menghiburnya, "Rusdi, nanti kalau aku
kerja di TV, aku akan datang untuk meliput kegiatanmu di
peternakan. Bagaimana?"
Dia tersenyum tawar kepadaku. TV pun gagal merayunya.
Hari menjelang sore ketika kami masuk ke batas Kota
Saint-Raymond. Di tengah rerimbunan maple, berdiri tegak
sebuah plang lalu lintas berwarna hijau yang bertuliskan
"Saint-Raymond 1 km". Aku semakin tidak sabar ingin melihat bentuk kota tempat kami bermukim nanti. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Kata Sebastien, hanya sebuah
kota kecil. Tapi sekecil apa" Lebih kecil mana dibandingkan
kampungku di Bayur, Maninjau" Atau sebesar dan seramai
Kota Bukittinggi" Seperti apa keluarga angkat aku dan Franc
297 nanti" Bagaimana kesan mereka bertemu dengan seseorang
dari Indonesia yang berkulit sawo matang" Apakah mereka
nanti bingung dan melihat aku dengan aneh karena tidak
makan babi dan punya jadwal salat 5 kali sehari"
Rem bus kuning berdecit dan berhenti tepat di depan sebuah gedung bergaya arsitektur art deco, mirip dengan gaya
aula di PM. Sebuah lapangan rumput yang tampak baru
dicukur, terbentang mengitarinya. Bunga berwarna terang
seperti marigold, tulip, dan krisan tumbuh rapi di dekat pintu
masuk. Ketika aku mendongak, tulisan besar dari metal perak
terpampang jelas di dekat bumbungan atap: "H"tel de ville".
Hotel" Aku menyikut Franc, bertanya apakah kita akan
menginap di hotel lagi"
"Alif, dalam bahasa Prancis, H"tel de ville, artinya bukan
penginapan, tapi balai kota. Ville artinya kota," katanya terbahak pendek.
"Oooo," kataku mengangguk-angguk.
Seperti biasa, Rusdi yang hari ini sudah menemukan kembali
kelincahannya langsung heboh. Dia terpekik kencang sambil
sibuk menunjuk-nunjuk ke udara. Kami ikut menengadah.
"Lihat... lihat tiang bendera itu. Ada bendera kita, Merah
Putih!" teriak Rusdi seperti anak-anak melihat layang-layang
putus. Di depan balai kota ini berdiri gagah 3 tiang bendera, masingmasing mengibarkan bendera Kanada yang bersimbolkan daun
maple merah, lalu Fleur-de-lis, julukan buat bendera Quebec
yang memakai bunga lili sebagai lambangnya, dan terakhir
298 sang saka Merah Putih. Menggembung rasanya dadaku melihat
bendera Indonesia mengepak-ngepak, berkibar gagah di salah
satu tiang itu. Baru kami turun dari bus, seseorang berjas rapi menyongsong
kami dan membentangkan tangan lebar-lebar. "Bienvenue,
Mesdames et Messieurs. Selamat datang. Saya Walikota SaintRaymond. Alban Plamondon," katanya dengan senyum kebapakan menyalami kami satu-satu. Dia sendiri yang membukakan pintu kantornya buat kami. "S"il vous plait. Silakan,"
katanya mempersilakan kami masuk ke ruangan berlampu
kristal yang sudah dipenuhi orang yang duduk rapi-rapi.
Begitu kami masuk ruangan itu, kaki-kaki kursi terdengar
bergesek di lantai, orang-orang ini kompak berdiri dan bertepuk
tangan seperti menyambut tamu penting. Kak Marwan yang
ada di depan kami menyeru ke belakang, "Mereka adalah calon
para orangtua angkat kalian nanti." Muka mereka mengikuti
setiap gerak-gerik kami, sambil sesekali berbisik dengan teman
di sebelahnya. Apa yang ada di pikiran mereka" Mungkin
kira-kira bisikan sesama mereka: orang asing manakah yang
akan tinggal di rumah kami nanti, apa makanan mereka, apa
cocok dengan keluarga kami, anak yang itu lucu, yang itu
tinggi jangkung. Kami hanya bisa membalas senyum mereka,
sambil melambaikan tangan setengah tiang. Malu-malu.
Aku amati diam-diam wajah calon orangtua kami ini. Ada
ibu muda menggendong bocah yang sedang mengisap dot, ada
juga yang sudah sepuh dan menggunakan tongkat berkaki tiga.
Walikota Plamondon merentangkan tangannya lagi ke dua sisi
badannya dan memanggil kami satu per satu ke depan dan dia
299 memperkenalkan nama orang tua angkat kami. Aku berdebardebar, Rusdi menyimpan tangannya di belakang punggung,
berbunyi klutuk-klutuk. "Francois Pepin dan Alif Fikri akan tinggal bersama orang
tua angkat dari keluarga Lepine," kata Pak Walikota. Dari
kerumunan hadirin berdirilah sepasang suami-istri separuh
baya. Mereka melambai-lambaikan tangan memanggil kami
mendekat. Bapak angkatku bernama Ferdinand, seorang yang
berbadan kukuh seperti tentara, tapi tidak terlalu tinggi.
Dia selalu tersenyum, sementara rambutnya hanya tinggal di
bagian tengah atas, yang berkibar-kibar kalau tertawa. Dia tidak banyak bicara, hanya senyum dan tertawa. Paling bilang
yes, no, dan thank you. Sisanya bahasa Prancis yang cepat,
yang aku sulit memahami. Sedangkan ibu angkatku bernama Madeleine. Ibu separuh
baya yang tidak lagi muda ini punya mata yang besar dan
biru. Rambutnya seperti anyaman warna cokelat dan pirang.
Kombinasi semua ini dengan badannya yang langsing membuat
ibu ini terlihat cantik. Madeleine lebih banyak bicara dan cenderung heboh. Sayangnya dia juga tidak bisa bicara bahasa
Inggris. Sebetulnya aku sudah mulai paham bahasa Prancis,
selama diucapkan dengan pelan dan berulang-ulang. Tapi
kalau kalimat panjang diucapkan dengan cepat, terdengarnya
hanya seperti kumur-kumur yang sengau.
Jadilah Franc yang memainkan peran penting, menerjemahkan pertanyaan dan jawaban ketika aku bercakap-cakap. Aku
bertekad harus segera bisa berbahasa Prancis.
300 Begitu duduk, aroma kulit menyergap hidungku, pantatku
rasanya terbenam di jok kulit hitam yang empuk. Mobil ini
lega, semua interiornya kombinasi hitam dan cokelat yang
berlapis kulit. Dengan lembut Cadillac ini membelah jalan
kota kecil Saint-Raymond. Madeleine yang suka dipanggil
Mado duduk di depan sambil terus berkicau cepat dengan
suara naik-turun. "Wo" wo" lentement, s"il vous plait. Mohon pelan-pelan,"
seru Franc yang kerepotan menerjemahkan pembicaraan kepadaku.
"Ops," seru Mado menutupi bibirnya malu-malu. Ferdinand
yang memegang setir hanya mengangguk-angguk dengan
senyum yang stabil. Kami meluncur menyeberangi jembatan,
melewati gereja, lalu sebuah taman tulip yang luas, dan
berbelok ke kiri. Di depanku tampak sebuah rumah kayu
bercat biru pupus berhalaman lapang. Di atas kotak suratnya
tertulis alamatnya, "531 Rue Notre Dame".
"Voil", chez nous. Ini rumah kita," ujar Madeleine kepada
kami. Gerombol pohon-pohon maple yang sedang merekah merah
dan kuning melingkupi halaman rumah separuh lapangan
sepakbola ini. Sebuah pohon ek tua dengan gagah berdiri di
sebelah beranda, sekeluarga tupai hilir mudik di salah satu
dahannya yang menyangga sebuah ayunan tali. Aku mendengar gemercik air yang mengalir, dan itu dia: di sisi rumah
301 ini mengalir sungai berair biru yang menyejukkan mata. Di
antara sungai dan rumah, terhampar sebuah lapangan rumput
yang terawat dan berbukit-bukit. Di salah satu bukit itu
ada sebuah perapian dan tungku yang dikelilingi kursi dan
meja dari batu. "Kalau tidak dingin, kami sering memasak
daging barbecue di sana," kata Mado. Aku terpana setengah
percaya. Aku akan tinggal di rumah kayu ini" Dengan latar
pemandangan cantik seperti ini"
"En haut" en haut... ke atas," kata Ferdinand menyilakan
kami naik tangga. Tangannya menjinjing tas-tas kami. Setelah
melewati tangga kayu yang berderit-derit, kami sampai di
lantai 2, tepatnya di loteng. Ada 2 kamar bersebelahan tepat
di bawah atap, langit-langitnya miring mengikuti lekuk atap.
"Ini dulu kamar 2 anak kami, Jeannine dan Martin, yang
sekarang sudah berkeluarga semua," kata Mado.
"Sekarang silakan istirahat dulu. Makan malam akan siap
di bawah dalam 1 jam ya," kata Mado dengan senyum yang
mengingatkan aku pada Amak kalau menyuruh kami makan
sehabis dia memasak rendang. "Merci beaucoup pour tout, terima
kasih untuk semuanya," kataku sambil membungkuk-bungkuk.
Mado memasak ikan tuna yang ditaburi kuah keju krem
tua. Sedangkan pengganti nasi dia menghidangkan mashed
potato, kentang yang dihancurkan. Tapi sebelum itu aku
hampir kenyang duluan karena Mado telah menghidangkan
sup jamur kental, yang dimakan dengan roti bakar bertabur
rajangan bawang putih, yang dipoles mentega. Makan malam
kami tamatkan dengan setangkup es krim strawberry yang
langsung meleleh lembut di lidahku.
302 "Th", tout le monde?" tanya Mado menawarkan teh hangat
sebagai penutup makan malam yang superlengkap. Kami semua
mengangguk. Ini dia kesempatanku. Sudah dari tadi aku
siapkan di bawah meja. Sekaranglah waktu yang paling tepat.
Aku menyuruk ke bawah meja makan, mengambil bungkusan
besar dan aku serahkan kepada orangtua angkatku ini.
Ferdinand dan Mado berebut membuka oleh-oleh dariku
dan mata mereka berbinar-binar menimang-nimang miniatur Jam Gadang dengan atapnya yang berlekuk-lekuk seperti
tanduk kerbau dan sebuah angklung yang berbunyi nyaring.
Ferdinand terkekeh-kekeh setiap menggoyangkan angklung
yang mengeluarkan bunyi merdu ini. Mado langsung memboyong Jam Gadang dan meletakkan di tempat yang paling


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhormat di rumah ini, di atas pendiangan. Dengan susah
payah aku bercerita. Banyak senyum-senyum. Tapi lama-lama
walau tanpa kata-kata lengkap, kami saling mengerti. Sungguh
mengherankan, perbedaan bahasa rasanya tidak lagi menjadi
penghalang kami untuk mengobrol panjang sampai menjelang
tengah malam, sampai aku dan Franc menguap lebar. Kami
pamit naik ke lantai dua.
"Bonne nuit, tout le monde. Selamat malam semua," kataku
dengan suara separuh tidur. Hari yang melelahkan tapi menyenangkan. Tidak sabar aku melihat apa yang akan terjadi
besok. 303 Negeri Utopia" ercikan air dingin menyentuh tanganku dan sebagian
meletik-letik ke mukaku setiap kayuhku mencebur ke
air. Di belakang, Ayah ikut mengayuh, membuat biduk kami
melaju cepat membelah Danau Maninjau, melewati berbagai
nagari seperti Sungai Batang, Bayur, Koto Malintang, Koto
Kaciak, Galapuang sampai Tanjung Sani. Sementara Amak
dan dua adikku tidak habis-habisnya bercerita tentang acara
balarek gadang Etek Rubiah tadi. Selendang mereka yang
berwarna oranye, merah, dan kuning berkibar-kibar ditiup
angin. Kontras dengan latar air danau yang membiru.
Biduk kami melewati surau yang berdiri persis di pinggir
danau di daerah Gasang. Beberapa orang bersarung bugis
tampak mencangkung, langsung menyauk air wudu dari
danau. Air yang bening dengan jelas mempertontonkan dasar
danau yang dangkal. Beraneka ikan hilir mudik, mulai dari
cideh-cideh belang seperti macan, kailan panjang seperti ular,
sampai kailan gadih dan barau yang mengilat keperakan.
Corong di puncak kubah surau ini tiba-tiba berisik. Pasti telah
tiba waktu salat dan azan akan segera berkumandang. Aku
menunggu. Tapi azan tak kunjung terdengar. Malah corong itu
mengeluarkan suara aneh: dering jam weker. Aku tersentak
heran. Sejak kapan azan berganti bunyi alarm jam"
304 Suara dari corong di puncak surau itu makin besar dan
makin mendekat ke biduk kami. Suara itu seperti menelan air
dan biduk kami. Dalam sekejap Ayah, Amak, dan kedua adikku
menghilang ditelannya. Begitu juga biduk dan danau tiba-tiba
menghilang dari pandangan mataku. Yang aku lihat hanyalah
langit-langit putih yang miring, mengikuti bentuk atap. Di
sebelahku jam weker masih berdering-dering. Dengan malas
aku mengeluarkan tangan dari balik selimut untuk mematikan
weker itu. Jam 5 pagi. Bukan azan yang membangunkanku,
tapi weker. Beberapa detik aku termenung. Di mana aku" Kenapa aku
di balik selimut tebal" Aku kembali mengumpulkan ingatan.
Ah, ini malam pertamaku tinggal di rumah kayu orang tua
angkat. Bukan di Maninjau, tapi di Saint-Raymond, Quebec,
Kanada. Udara musim gugur terasa mulai menggigit. Aku
menyibak gorden dan melihat ke luar. Masih gelap, hanya ufuk
yang menyiratkan cahaya matahari. Waktunya salat Subuh.
"Bonjour Alif, "a va bien" Selamat pagi Alif, bagaimana
kabarnya?" tanya Mado yang memakai celemek dan berdiri di
depan kompor. "Bonjour Mado, tr"s bien. Selamat pagi. Kabar baik,"
balasku. Kalimat ini sudah aku hapalkan sejak semalam. Asal
dia tidak berbicara lebih panjang, aku bisa layani.
"Ayo silakan sarapan dulu sebelum berangkat," katanya
sambil menyiapkan sendok garpu dan tatakan piring di meja
305 makan. "Omelet suka?" tanyanya. Aku mengangguk. Aroma
mentega, butter, dan keju wangi memenuhi dapur. Dengan
sigap Mado menuangkan adonan telur dadar dengan irisan
bawang bombai besar-besar ke piringku. Mengepul-ngepul
menerbitkan liur. Sambil makan aku memperhatikan Mado kembali bekerja.
Begitu pemanggang roti berdenting, dia sibuk mengoleskan
mayones, menyusun potongan daun selada dan irisan tomat.
Terakhir dia sisipkan sehelai keju tebal dan salmon asap di antara
dua helai roti gandum yang kecokelatan, setelah itu tangkupan
roti digulung dalam kertas aluminium. Lalu dia masukkan
semuanya ke kantong kertas, ditambah satu apel merah besar,
satu kotak susu, satu botol jus jeruk, dan satu bungkus biskuit.
"Ini makan siang kamu. Besok boleh bikin sendiri, semua
bahan ada di kulkas dan lemari ini," kata Mado.
"Merci beaucoup. Terima kasih, Mado."
"De rien. Sama-sama."
"Saya akan antar kalian pada hari pertama kerja hari
ini. Selanjutnya kalian bisa jalan kaki atau naik sepeda,"
kata Mado sambil berkemas-kemas. Franc yang baru turun
dari kamar bilang bahwa kota ini cukup kecil dan tidak ada
angkutan umum. Semua rumah punya mobil karena tidak
ada bus umum atau opelet. Alternatif lain, ya jalan kaki atau
mengayuh sepeda. "O ya, nanti kalian bisa datang dan pergi jam berapa
saja. Pintu selalu terbuka, tidak pernah kami kunci," kata
Ferdinand yang baru duduk di meja makan.
306 "Kenapa tidak dikunci?" tanyaku dengan refleks.
"Kenapa dikunci?" tanyanya balik.
"Tidak takut ada apa-apa jika tidak dikunci?" tanyaku
masih terheran-heran. Mado tersenyum. "Di sini tidak ada pencurian. Hampir
semua rumah tidak dikunci siang-malam."
Aku terbengong-bengong. Dulu aku pikir hal seperti ini
hanya ada di film, novel, atau di impian idealis tentang sebuah
negara yang makmur. Tapi kini aku berada di kota yang
warganya tidak merasa perlu mengunci pintu karena tidak ada
kasus kejahatan dan pencurian. Zero crime rate!
"Kok bisa sampai tidak ada pencurian" Apa semua orang
di sini sudah kaya raya?" tanyaku semakin penasaran. Kali ini
Franc yang menjawab. "Tentu tidak semua orang kaya, tapi hampir semua orang
berkecukupan untuk memenuhi kebutuhannya. Ada yang
miskin dan tidak beruntung, tapi mereka mendapat santunan
yang memadai dari negara. Selain itu, penegakan hukum kami
bagus. Kriminal dapat ganjaran setimpal," katanya seperti
berpromosi. Tapi buat apa dia berpromosi" Mungkin dia bukan sombong
tapi hanya bicara apa adanya tentang Kanada. Aku manggutmanggut sambil menatap Jam Gadang dan angklung yang
bersanding di atas pendiangan. Kapan ya negaraku yang
katanya punya masyarakat yang ramah tamah dan baik budi
itu bisa bebas dari kriminalitas"
Kapan ya semua orang dapat merasa aman dan tenteram
307 dalam arti yang paling mendasar, baik secara fisik dan batin"
Seperti yang selalu jadi slogan: menciptakan Indonesia yang
adil dan makmur. Gemah ripah loh jinawi. Aku ingat dengan
buku yang ditulis oleh Thomas More tahun 1516, berjudul
Utopia52. Buku fiksi yang mungkin terinspirasi buku The
Republic karangan Plato ini bercerita tentang sebuah sistem
pemerintahan di sebuah pulau antah barantah di Samudra
Atlantik yang sangat ideal. Saking idealnya, penduduk pulau
ini tidak punya kesusahan dan penderitaan. Mereka semua
benar-benar merasakan keadilan dan kemakmuran. Rakyat
tidak punya kunci di pintu rumah mereka karena semua punya
semua kebutuhan hidup mereka. Semua begitu sempurna.
Setiap pelanggar aturan akan dihukum berat sehingga tidak
ada yang berani melanggar.
Aku kembali ingat pelajaran sejarah dari Ustad Surur
di Pondok Madani dulu. Pada abad ke-8 Masehi, di zaman
kekhalifahan Bani Umayyah, masyarakat Islam dalam
kemakmuran yang ideal. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
baru diangkat menangis karena besarnya tanggung jawab yang
harus dipikul. Khalifah Umar terkenal karena semua harta
miliknya dan keluarganya diserahkan kepada negara dan dia
hidup dengan sederhana, jujur, dan giat memberantas korupsi.
Masa itu, para petugas zakat sampai putus asa mencari orang
miskin untuk diberi zakat. Tidak ada pengemis di jalanan.
Penjara menjadi lengang. Semua sudah berkecukupan dan
warga taat hukum. Ketika semua orang telah menjadi mampu
Terjemahan lengkap judul buku berbahasa latin ini adalah On the Best
State of a Republic and on the New Island of Utopia.
308 dan tidak ada lagi yang berhak menjadi mustahik atau penerima
zakat, itulah salah satu definisi negeri yang adil dan makmur.
Dulu aku pernah berpikir tidak akan ada negara di alam
nyata yang mampu menjelma menjadi Utopia, negeri impian
itu. Ternyata pada zaman Khalifah Umar pernah ada. Bahkan
sekarang, di tempat aku berada, di kota kecil Saint-Raymond
ini aku menemukan sepotong Utopia. Masyarakat hidup layak,
orang tidak mampu disantuni, orang jompo diberi fasilitas
panti yang bagus, nyaris tidak ada kriminalitas sehingga
mereka merasa tidak perlu mengunci pintu rumah lagi.
Mado mengerem Cadillac hitamnya di depan taman pusat
Kota Saint-Raymond, tidak jauh dari H"tel de ville, tempat
kami kemarin disambut oleh walikota. Mado turun dari
mobil dan membentangkan peta Kota Saint-Raymond di kap
mobilnya. "Voil", kita sekarang ada di tengah Kota Saint-Raymond.
Semua gedung dan sarana penting di kota ini terletak di
sekitar sini. Mulai dari stasiun TV, kantor redaksi koran,
sekolah, kantor walikota, sampai rumah sakit. Nah, kantor
kalian berdua adalah SRTV, ada di gedung di seberang taman
ini," katanya sambil menunjuk sebuah bangunan tinggi. Aku
mendongak mengikuti telunjuknya.
"Sampai nanti ya, semoga suka dengan kerja kalian. Jangan
lupa makan siang ya. Nanti kita ketemu lagi di sini jam 5 sore
ya," kata Mado sambil melambaikan tangan. Franc mengerling
309 aneh ke arahku. Dia pernah bilang, dia tidak suka diingatkan
seperti anak kecil lagi. Mungkin perhatian Mado membuat dia
merasa seperti anak-anak.
Dengan bersiul-siul penuh semangat kami ayunkan langkah
ke gedung tua bertingkat tiga itu. Kantor kami tepat di lantai
3. Ini pengalaman pertama aku bekerja di kantoran. Sekalisekalinya bekerja langsung di Kanada pula! Alhamdulillah.
"Senang sekali ada relawan yang mau magang seperti
kalian. Kami selalu kekurangan personel kru kalau sedang
liputan," kata bos baru kami, Stephane Jobin, dengan suara
renyah. Perutnya yang subur terguncang-guncang setiap tergelak. Bahkan jari dan jempolnya juga montok-montok.
Bahasa Inggris-nya beraksen Prancis yang tebal dan lengket,
tapi masih bisa aku mengerti. Beberapa kali dia menggarukgaruk kepala mencari ungkapan bahasa Inggris yang tepat.
"Saya sudah atur. Kalian berdua akan punya jam siaran
sendiri setiap minggu, yang khusus meliput kegiatan yang
dilakukan oleh para peserta program pertukaran IndonesiaKanada ini di Saint-Raymond," katanya. Aku mengerjapngerjapkan mata antusias. Aku dan Franc saling menyenggol
tangan. Bayangkan, kami akan punya siaran sendiri. Siapa
tahu, nanti aku bahkan muncul di depan kamera. Tayang di
layar TV. Wow. Seandainya Amak dan almarhum Ayah nanti
melihat. Betapa bangganya mereka.
Tapi pelan-pelan aku meragukan diriku sendiri bisa tampil
310 di depan kamera. Kemampuan bahasa Prancis-ku belum cukup.
Baru bisa bicara sepotong-sepotong. Bagaimana dengan bicara
lengkap di depan kamera" Entahlah. Yang jelas aku harus
bekerja luar biasa keras belajar bahasa dalam beberapa minggu
ke depan supaya tidak memalukan. Mungkin harus lebih
keras daripada usahaku sewaktu mempelajari bahasa Arab dan
Inggris di Pondok Madani.
Hari pertama kerja kami diperkenalkan dengan alat-alat
broadcasting. Mulai dari kabel, kamera, mikrofon, sampai
komputer. Kami dibawa berkeliling studio yang dipergunakan
untuk berbagai acara. Dindingnya dilapisi busa tebal yang
menurutku seperti kertas karton cokelat tatakan telur yang
biasa dijual di pasar. Lalu kami diajak masuk ke control room
dan editing, yang dipenuhi beberapa komputer, video player,
dan gulungan kabel. Terakhir, kami masuk ke ruang peralatan
lain yang menyimpan arsip video, kabel, kamera, lampu,
dan sebagainya. "Setelah perkenalan alat-alat broadcast, besok
giliran kita praktik lapangan. Kalian akan belajar bagaimana
bekerja sebagai satu tim untuk membuat liputan TV," kata
Stef ketika kami pamit. Tanpa terasa sore datang dan aku
memijit-mijit kepala yang serasa berdengung-dengung. Hari
ini rasanya terlalu banyak informasi beragam bahasa yang
masuk ke kepalaku. Tapi aku juga tidak sabar menunggu besok
untuk belajar langsung di lapangan.
Siapa tahu dengan pengalaman di sini, nanti aku bisa jadi
penyiar televisi ternama di Indonesia. Siapa tahu aku bisa
menorehkan prestasi terbaik selama bekerja di sini. Impianku
melayang ke hadiah medali yang disediakan oleh Sebastien.
311 Medali itu kini menjadi salah satu misi pentingku di Kanada.
Halangan seriusku mungkin Robert. Satu hal yang selalu aku
ingat-ingat adalah kepongahan Rob yang yakin bisa merenggut
medali. Aku harus bisa membuktikan tidak kalah dengan anak
Kanada sombong itu. Aku harus mencari cara bagaimana bisa
berprestasi terbaik, merebut medali itu, dan aku ingin melihat
wajah Rob saat aku merebut medali itu nanti.
Waktu aku menata lemari arsip kaset Betacam di ruang
editing, tidak sengaja aku melihat ke luar jendela kantor.
Kantorku yang bertingkat 3 ini bersebelahan dengan kantor
walikota yang bertingkat 2. Bahkan dari jendela lantai 3, aku
bisa langsung melihat jendela kantor walikota dan karyawan
yang bekerja di sana. Sesaat tiba-tiba jantungku seperti
membeku. Darahku berdesir-desir. Tepat di sana, di balik salah
satu jendela kantor walikota, seseorang duduk di belakang
komputer. Raisa! Aku bisa melihat ruang kerjanya dari balik
jendela kantorku. Sejak aku kenal Raisa di awal kuliah dulu, belum pernah
aku merasakan seperti ini. Kenapa sekarang mengingat namanya saja bisa membikin aku panas-dingin"
312 Oui ou Non ari Minggu pagi ini, Mado dan Ferdinand terus mondarmandir di dapur. Panci, dandang, wajan stainless steel
centang-perenang dan bau masakan mengapung di udara.
"Kita akan makan malam spesial hari ini untuk merayakan
ulang tahun perkawinan kami," kata Mado sambil memeluk
Ferdinand di pinggang. "Dan jangan khawatir, makanan yang
saya masak hari ini semua bisa kamu makan. Pokoknya selama
kamu tinggal bersama kami, kami tidak memasak babi."
Menjelang sore, Jeannine dan Martin, dua anak Mado


Ranah Tiga Warna Buku 2 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah berkeluarga datang bersama pasangan masingmasing. Mereka mirip ibunya, tukang cerita yang riuh. Sambil
mengobrol ngalor-ngidul, Mado berkeliling meja, menuangkan
soupe aux pois yang berwarna kuning ke cawan putih kami
sebagai entr"e, makanan pembuka. Warna sup ini sekilas
mirip kuah gulai kuniang53 yang sering dimasak Amak, tapi
lebih kental. Aku seruput sedikit dan tidak bisa berhenti
menyeruput sampai tandas.
"Ini makanan tradisional Quebec, dibikin dari kacang
ercis kering yang berwarna kuning," terang Franc yang sudah
Biasanya berupa ikan gulai kuniang. Tidak menggunakan cabai. Resepnya adalah campuran santan, kunyit, asam kandis, daun kunir, dan daun
jeruk purut. 313 menambah dua kali. Tangannya sibuk menyobek-nyobek roti
baguette yang dibenam-benamkan ke sup hangat ini.
"Dan menu utama kita kami masak berdua, yaitu salmon
bakar dan baked bean dengan resep spesial dari nenek saya,"
kata Mado. Kami bertepuk tangan menunggu masakan yang
sekarang dihidangkan oleh Ferdinand.
Perutku rasanya sesak melahap porsi besar ukuran bule
ini. Dan itu belum yang terakhir, begitu piringku kosong,
Mado telah siap dengan hidangan penutup: pouding ch"meur.
Bentuknya seperti kue kecil yang dilimpahi saus, sirup maple,
dan es krim. Sekali lagi Franc menambah dan berkomentar,
"Ini juga asli Quebec, awalnya adalah puding yang dibuat oleh
kelas ekonomi bawah yang menganggur. Sekarang jadi favorit
semua orang." Pembicaraan semakin ramai ketika Mado mengeluarkan
album perkawinan mereka. Denting sendok-garpu bercampur
dengan gelak tawa keluarga Lepine. Di tengah keriuhan
keluarga yang hangat ini aku diam-diam ingat Amak, Laili,
dan Safya. Aku dan mereka tidak akan pernah lagi punya keluarga lengkap seperti keluarga Lepine.
Sambil menyicip teh hangat, Jeannine melihat ke arahku
dan bertanya, "Alif, jadi negara kamu itu dekat Bali yang
terkenal itu, kan?" Aku hampir tersedak tapi segera menguasai keadaan.
"Tunggu sebentar ya." Aku segera berlari ke kamarku, mengambil peta yang sudah aku siapkan sejak dari Jakarta, kalau-kalau ada pertanyaan tentang lokasi geografis Indonesia. "Bahkan
Bali ada di dalam negara saya," kataku sambil membentangkan
314 peta dunia di meja makan yang sekarang hanya diisi cangkir
teh. Semua orang menjulurkan leher melihat ke telunjukku yang
mengarah ke wilayah nusantara. "Persamaan Indonesia dan
Kanada adalah, kalau peta negara kita dibandingkan, panjang
wilayah kita hampir sama dari barat ke timur. Tapi kami punya
ribuan pulau dan laut yang luas," kataku menggebu-gebu.
"Combien" Berapa" 220 juta orang?" tanya Mado dengan
muka heran. Mungkin sulit baginya membayangkan negara
dengan penduduk besar, karena dengan luas daratan yang lima
kali lebih besar dari Indonesia, Kanada hanya punya 30 jutaan
penduduk. "Iya, penduduk kami sebanyak itu," kataku meyakinkan
dengan menuliskan angka 220 dan 6 angka nol di kertas.
"Dan kami punya 700-an dialek yang saling berbeda,"
kataku bangga. Mereka terkesima. Tujuh ratus. Ya, aku menuliskan angka 700 di kertas besar-besar.
"Bagaimana kalian bisa bicara satu sama lain?"
"Kami punya bahasa persatuan, bahasa Indonesia."
Ferdinand menggeleng-geleng heran. "Magnifique! Luar
biasa! Entah bagaimana kalian bisa mengajarkan 1 bahasa ke
ratusan juta orang yang berbeda bahasa ibu, kami saja hanya
dua bahasa, Inggris dan Prancis susah." Untuk pertama kali
aku sadar betapa hebatnya pencapaian Indonesia dengan satu
bahasa persatuan. Sesuatu yang selama ini aku anggap biasa
ternyata sangat hebat di mata orang asing.
315 "Une importante question. Satu pertanyaan penting. Dengan
ratusan juta orang, puluhan ribu pulau, ratusan bahasa dan
budaya, apakah tidak ada yang mau berpisah dari Indonesia?"
Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan
Ferdinand ini. Kenapa tiba-tiba ada pertanyaan politik. Apa
dia membaca bahwa ada upaya memisahkan diri sejak Indonesia merdeka"
Tiba-tiba Franc juga angkat bicara. "Aku membaca banyak
artikel tentang gerakan di Sumatra Tengah, Aceh, Timor, dan
lainnya. Juga tentang pelanggaran hak asasi oleh militer. Itu
bagaimana ceritanya?"
Aku terperangah. Ini untuk pertama kalinya Franc yang
biasanya berperangai santai dan penuh senyum bertanya
dengan sangat serius, atau lebih tepatnya seperti mengkritik.
Aku terus terang merasa terpojok harus menjawab pertanyaan
politis di tengah makan malam yang santai ini. Semua orang
sekarang diam menunggu jawabanku. Hanya denting cangkir
teh yang beradu dengan tatakan kaca saja yang terdengar.
"Ehmm. Tentu saja ada. Memang sejak Indonesia merdeka
tahun 1945, ada beberapa gerakan seperti itu. Apalagi kalau ada
rakyat yang merasa kurang puas, kurang perhatian. Misalnya
kalau daerah mereka menghasilkan devisa banyak, tapi tidak
mendapat dana memadai untuk pembangunan," jawabku.
Rupanya ini gunanya kami diberi pembekalan berbagai materi
di Cibubur. Supaya bisa menjawab berbagai pertanyaan pelik.
Itu pun tampaknya belum memuaskan Franc. Dia menggaruk-garuk dagunya yang berlekuk. Dan bertanya lagi. "Tapi
kenapa sampai harus ada kekerasan bersenjata dan jatuh
316 korban jiwa hanya untuk ini?" tanyanya dengan suara tajam.
Aku terperangah dan bungkam beberapa saat.
"Jangan salah kira, Alif. Di sini juga ada hal seperti itu.
Padahal penduduk kami cuma 30 juta orang. Sekitar seperempatnya berbahasa Prancis. Warga yang berbahasa Prancis
sekarang sedang menimbang-nimbang untuk memisahkan diri
sebagai sebuah negara berdaulat," kata Franc serius. Gantian
sekarang aku yang terkejut. Ada yang mau berpisah dengan
negara damai ini" "Tapi kenapa. Kan semua orang di sini sejahtera?"
"Karena kami berbeda budaya dan bahasa."
"Sejak kapan?" "Sejak dulu. Dan sekarang, tahun ini, akan ada referendum.
Untuk memutuskan apakah kami, Quebec, benar-benar akan
berpisah dengan Kanada. Kami akan memilih antara oui atau
non. Ya atau tidak. "Ya" berpisah dengan Kanada dan menjadi
mandiri, atau "tidak" berpisah dan tetap bersatu dengan
Kanada." Aku baru sadar bahkan di negara maju pun ada gerakan
separatis. Aku tidak sabar untuk bertanya. "Tidak ada kekerasan
senjata" Kan di sini warga boleh punya senjata api?"
"Sejauh ini tidak ada. Senjata yang boleh dimiliki penduduk
hanya untuk alat berburu. Bukan untuk kekerasan."
"Tidak ada keributan masalah ini?"
"Mungkin ini yang berbeda dengan negara lain. Tentu saja
ada keributan, khususnya dalam pidato politik, tapi tidak ada
317 kekerasan bersenjata. Kami semua tidak ingin kalau masalah
ini sampai menimbulkan brutalisme."
"Masa tidak ada yang tersulut, ini kan masalah harga diri
dan identitas?" tanyaku sangsi.
"Kami melihat perbedaan untuk dihargai. Boleh diperjuangkan tapi tidak dengan kekerasan. Silakan saksikan sendiri
proses referendum beberapa bulan lagi. Kamu akan jadi saksi
mata penting dari Indonesia," katanya menantangku. Mereka
begitu yakin semuanya akan aman dan damai.
"Jadi pada saat referendum nanti, kalian sekeluarga akan
memilih apa?" "Masing-masing bebas memilih. Pemilihan referendum
masih 3 bulan lagi, kami masih punya waktu untuk berpikir.
Kami senang menjadi bagian Kanada, tapi kami bangga sebagai
orang Quebec, dengan kultur francophone kami."
Franc menyeletuk, "Kalau aku tentu akan memilih berpisah.
Menjadi merdeka dan mandiri itu adalah segalanya. Kami bisa
mengatur semua dengan lebih mudah. Semua hasil alam kami
kembali ke Quebec." Ferdinand hanya tersenyum. "Semangat mudamu boleh
juga, Franc. Tapi juga lihatlah masa depan. Apakah lebih baik
bersama atau berpisah?"
"Tapi aku tetap tidak habis pikir kenapa harus ada yang
merasa harus berpisah" Apa salahnya bersatu terus," sambung
Mado. Silvie dan Bertrand mengangguk mengiyakan.
"Bagaimana rasanya tahun depan kalau kalian punya
negara baru?" tanyaku iseng memancing. Mereka berempat
318 berebut menjawab. Ditemani teh hangat dan biskuit gandum,
cukup lama kami bicara ngalor-ngidul seputar referendum.
Bahkan pembicaraan masih terus berlanjut sambil bersamasama mencuci piring dan membereskan meja makan. Di sini
tidak ada pembantu rumah tangga, kegiatan mencuci piring
dan bersih-bersih dilakukan semua orang. Bersama-sama.
Aku termenung sendiri di atas dipan. Di Indonesia, yang
dilagukan dengan penuh nostalgia adalah bangsa yang penuh
senyum dan ramah, tapi kerap tersulut konflik yang kemudian
Iblis Penebus Dosa 1 Animorphs - 32 Pemisahan The Separation Pulung Mencari Nansy 1
^