Pencarian

Rantau Satu Muara 4

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 4


selesaikan semua halaman. Tau aja kamu kalau saya suka,"
sambungnya dengan suara lebih ramah dari sebelumnya. Ya,
tentunya karena hasil persekongkolanku dengan ibunya Dinara.
Kami mengobrol basa-basi, hilir-mudik, tidak jelas, dan belum juga membahas pokok masalah yang ada di suratku. Inilah
tantangan kalau berbicara dengan orang Minang, tidak bisa
langsung to the point. Banyak basa-basi, kata melereng, sindirmenyindir, dan lain sebagainya. Pak Sutan ini sudah pasti tahu
maksudku, yang jelas tertulis di surat. Tapi tetap saja dia seperti
kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Apa boleh buat,
aku yang harus menjelaskan kenapa aku menelepon.
246 rantau1muara.indd 246 "Pak Sutan, ambo menelepon untuk melengkapi surat yang
sudah dikirim kemarin. Mohon maaf kelancangan ambo, karena
jauh, ambo hanya bisa mengirim surat, tidak datang sendiri,"
kataku. "Hmmm. Iya, sudah kami baca. Kami senang dengan perhatian besar kamu kepada Dinara. Satu tanya saya: kenapa buruburu" Kenapa tidak menunggu selesai sekolah saja di Amerika,
mungkin akan lebih baik."
Aku belum sempat menjawab, dia sudah bicara lagi.
"Apalagi, umur Dinara masih 23 tahun, masih muda. Baru
saja lulus kuliah tahun lalu. Pasti dia masih ingin bekerja dulu
dengan tenang sebelum berkeluarga. Cobalah pikir-pikir lagi."
Tanganku menegang, mencengkeram gagang telepon yang
semakin licin. Ingin aku bersilat lidah, memberi alasan, kalau
perlu bertengkar. Tapi apa untungnya buatku. Aku yang berkehendak, aku yang mengalah. Situasi dan kondisi saat ini kurang
bersahabat. Setelah membahas ini-itu untuk basa-basi, akhirnya dengan
takzim aku ucapkan terima kasih dan aku gantungkan gagang telepon kembali. Proposal mahapentingku saat ini belum tembus.
Tidurku tidak akan nyenyak beberapa hari ini.
Melalui chatting, aku dan Dinara membahas perkembangan
ini dengan cemas. "Aduh, bagaimana caranya kalau Bapak belum setuju?" tanyaku.
"Bang. Kita coba lagi cara lain. Pasti Mama punya cara yang
lain." 247 rantau1muara.indd 247 "Tapi bagaimana caranya?"
"Ntar Dinara kabari."
"Kenapa mukamu seperti ditekuk terus Lif?" tanya Mas Nanda ketika kami makan malam bersama.
"Susahnya melamar anak gadis orang Mas. Anaknya mau, eh
bapaknya belum bilang iya. Katanya kami kemudaan."
Dia menepuk-nepuk punggungku sambil tertawa.
"Ah, itu biasa. Biar ada yang bisa diceritakan ke anak-cucu
nanti. Cerita aku dengan mbakmu ini lebih seru."
"Aduh, mau buka rahasia kita nih Mas Nanda!" protes Mbak
Hilda sambil tersenyum. "Dulu, ketika aku akan berangkat ke Amerika untuk tugas,
aku juga ingin langsung menikah dan membawa Hilda ke Amerika. Tapi bapaknya tidak mau melepas anak gadisnya dibawa
merantau jauh." "Agak mirip dengan aku Mas."
"Aku coba pendekatan dengan berbagai macam cara. Tetap
saja gagal. Karena merasa sudah buntu dan tidak ada harapan
sama sekali, maka aku melakukan sesuatu yang nekat. Sangat
nekat." Padahal dia tidak punya potongan orang nekat.
"Aku mengajak Hilda kawin lari. Aku menculik dia dan dia
mau diculik dengan sukarela."
248 rantau1muara.indd 248 "Mau karena terpaksa kalee...," kata Mbak Hilda berseloroh.
"Apa yang terjadi" Gemparlah kampungku, orangtuaku gusar, mertuaku murka. Tapi ketika kami punya anak di sini dan
kami pulang menjenguk kedua orangtua, mereka tidak berkutik
melihat cucu-cucu mereka yang lucu-lucu. Sekarang hubungan
dengan mertuaku baik sekali."
Mbak Hilda yang memeluk bahunya tiba-tiba mencubit lengan Mas Nanda. "Mas ini mengajari yang jelek-jelek ah. Nakal."
Mas Garuda, walau juga belum menikah, tidak kalah bersemangat memberi usul. "Berapa umur bapak Dinara" Semakin
tua semakin baik. Ajak calon mertua bercerita tentang masa
lalunya, masa susah, dan masa senangnya. Buatlah dia merasa
kita ingin belajar dari pengalamannya. Aku dulu berhasil menaklukkan calon mertua dengan memakai cerita masa lalunya
yang berani melamar calon istrinya hanya dengan modal seekor
anak kambing dan tiga ekor ayam."
"Mama bilang supaya Abang telepon secepatnya hari ini.
Kasih selamat ultah untuk Papa, biar dia senang," kata Dinara
di chatting room. Ini mungkin momen penting yang bisa aku
gunakan untuk mengubah pendapatnya. Aku tengadahkan tanganku sambil berdoa sekhusyuk mungkin. Tuhan, sudah miliaran laki-laki di dunia ini Engkau mudahkan untuk melamar
dan berhasil, jadikan aku salah satu pelamar yang berhasil itu.
Amin. "Selamat ulang tahun Pak, semoga jadi umur yang berkah
dan sehat selalu." 249 rantau1muara.indd 249 "Terima kasih Lif, jauh-jauh menelepon dari ujung dunia."
Dari suaranya, dia tampaknya sedang senang.
"Sosok seperti Bapak ini patut jadi panutan kami yang
muda-muda ini." "Ah, bisa saja kamu, ambo hanya perantau seperti perantau
lainnya." "Dinara pernah cerita, katanya hidup Bapak penuh lika-liku.
Merantau jauh ke Jakarta untuk bersekolah lalu memulai karier
dari bawah sampai akhirnya sekarang bisa punya usaha sendiri."
"O iya, kita harus terus berusaha, karena hanya itu yang kita
bisa. Dan sisanya biarkanlah Allah yang menentukan."
"Sekalian di hari baik ini, ambo mau bertanya. Apa yang
paling Bapak kenang dalam perjalanan hidup selama 55 tahun
ini?" Dia menghela napas cepat. Mungkin dia bersemangat mengenang prestasi hidupnya yang sudah 55 tahun.
"Yang pertama adalah keputusan untuk merantau di usia
muda. Mencoba peruntungan nasib di ranah orang. Jatuh-bangun membangun usaha dengan keringat sendiri. Rasa asam,
asin, pahit yang harus dilalui sebelum berakhir manis."
"Apa modal Bapak masuk Jakarta dulu?"
Aku mendengar dia mendeham-deham penuh semangat.
Semangatnya sudah terbudur untuk bercerita panjang lebar
kepadaku. Tidak apa-apa. Aku selalu senang mendengar cerita
keberhasilan orang. Lagi pula aku sudah menyiapkan calling card
terbaik di Chinatown dengan pulsa terbanyak. Insya Allah tidak
akan tulalit di tengah jalan.
250 rantau1muara.indd 250 "Bukan cuma mental baja tapi juga fisik baja. Harus berani
bersakit-sakit dulu. Bertahun-tahun ambo bersimbah peluh dan
oli mesin, bekerja di bengkel resmi mobil bergengsi buatan
Jerman. Keluar-masuk pasar onderdil berburu suku cadang."
Suaranya terus menggebu-gebu bercerita perjuangan tidak kenal
lelah sampai akhirnya dia bisa membuka usaha bengkel mobilnya sendiri di kawasan Bintaro.
"Itu sudah berkeluarga, ketika hidup susah itu?"
"Ya, sudah. Salah satu yang paling ambo kenang adalah berjuang bersama istri ambo memulai ini semua. Bersama saling
mendukung di saat senang dan susah. Kami menikah di usia
yang tergolong muda. Mungkin seumuran kamu sekarang. Bahkan sejak kecil Widy, kakaknya Dinara, dan Dinara sudah ambo
ajak ke pasar onderdil Blok A, Senen, sampai Asam Reges. Tapi
ambo sadar semua itu akhirnya kembali ke niatnya. Jika niatnya
baik, alhamdulillah jalan dimudahkan...."
"Benar-benar seru hidup Bapak. Terima kasih Pak. Akan
ambo jadikan pengalaman hidup Bapak sebagai penyemangat hidup ambo." Aku coba peruntunganku. Ini pelor pertama.
"Iya, ingat-ingat nasihat ambo yang tua ini. Coba ikuti, insya
Allah berhasil." "Kalau tidak keberatan, bolehkah saya minta tolong Bapak
untuk bisa mengikuti jejak dan nasihat-nasihat Bapak ini?" Pelor kedua meluncur.
"Apa itu Lif" Tentu saja, kalau bisa ambo akan bantu."
Dan saatnya pelor utama aku tembakkan.
"Ehm. Begini Pak. Mengikuti nasihat Bapak tadi. Ambo seka251
rantau1muara.indd 251 rang sudah dapat penghasilan sendiri sambil menyelesaikan S-2.
Hidup jauh di luar negeri sebatang kara rasanya kurang tenang.
Seperti Bapak dulu, ingin pula ambo mengambil berkah dari
pernikahan. Ambo memohon restu Bapak atas keinginan ambo
melamar Dinara...." Aku bisa mendengar dawai suaraku bergetar saat berbicara
kalimat mahapenting ini. Ini pertama kali aku mengucapkan
kata melamar dengan semua niat di hatiku dan dengan suara
sejernih ini. Di ujung sana, aku dengar dehaman berkali-kali. Semangat
berceritanya yang menggebu-gebu tadi pudur dalam sekejap. Lalu hening. Aku bagai sedang menunggu pancingku ditarik oleh
ikan besar. "Zaman sudah berbeda. Hidup masa kini lebih banyak kendala," Dia tidak menyerah dengan gampang.
"Tapi ambo percaya, contoh perjuangan hidup Bapak layak
ditiru. Seperti kata Bapak, Tuhan Maha Membukakan Rezeki.
Dulu dan sekarang, insya Allah."
Hening lagi. Setelah sekian detik yang bisu, akhirnya aku
mendengar Sutan Rangkayo Basa berkata, "Ambo bicarakan dengan Ibu dulu," katanya singkat. Mungkin terkejut. Mungkin
merasa terjebak oleh ceritanya sendiri.
Dan begitu saja pembicaraan berakhir.
Aku mafhum sekali kalau Pak Sutan perlu bicara dengan
Ibu Utami. Bagaimanapun keputusan mereka menerima atau
menolak lamaranku menyangkut nasib anak gadisnya.
Melalui chatting dengan Dinara, aku tahu kalau papanya
252 rantau1muara.indd 252 langsung mengajak mamanya bicara serius. Pintu kamar sampai
dikunci dan mereka berbicara dengan suara pelan supaya tidak
seorang pun bisa mendengar. Termasuk Dinara.
"Kayaknya alot. Sepertinya belum ada tanda-tanda setuju dari Papa.... Nggak tau deh gimana jadinya," tulis Dinara dengan
nada khawatir. Dua hari kemudian, aku kembali menelepon Pak Sutan
dengan berdebar-debar. Dia menyambut dengan suara datar
seperti danau yang tenang. Tapi suaranya kembali menggebu
ketika dia melanjutkan cerita tentang hobinya mengutak-atik
mobil. Dia terus berkisah seakan-akan tidak ada urusan penting
yang sedang aku tunggu jawabannya. Aku coba bersabar untuk
menunggu waktu yang tepat, untuk bicara dan bertanya. Tapi
aku tidak perlu bertanya. Setelah bicara ke sana-kemari malah
Sutan Rangkayo Basa yang bertanya kepadaku:
"Jadi kapan keluarga kita bisa saling bertemu dan berkenalan?"
Sariawan itu meruyak sedikit demi sedikit. Awalnya dari bibir kanan, lalu menyeberang dan melebar ke bibir kiri. Setiap
mengunyah makanan, sariawan ini berdenyut-denyut. Mungkin
kombinasi memikirkan persiapan pernikahan, tugas kuliah yang
menumpuk, bekerja di Ticket Master, membuat aku kurang istirahat. Setiap hari ketika menggosok gigi dan bercukur, aku
memperhatikan mukaku makin tirus di kaca. Suatu pagi aku bangun dengan leher yang panas. Setiap buku tulang dan otot terasa kaku. Baru mencoba menggeser badan saja kepalaku sudah
253 rantau1muara.indd 253 berdenyut-denyut. Aku coba berdiri tapi tungkaiku goyah dan
badanku kembali jatuh di kasur. Belum pernah aku merasakan
kombinasi sakit seperti ini. Dengan tumit, aku ketok dinding
kamarku yang berbatasan dengan kamar Mas Garuda. Semoga
dia belum berangkat kerja.
"Hei, kalau mimpi jangan gedor-gedor!" teriaknya dari balik
kamar. Aku mencoba menjawab tapi suaraku tipis, nyaris tidak
terdengar. Aku mengentakkan kaki lagi ke dinding.
Sejurus kemudian mukanya muncul dari balik pintu kamarku. Melihat aku terkapar lemas, raut mukanya berubah jadi
khawatir. "Kenapa kamu Lif?"
"Pusing dan lemes Mas," jawabku sambil mengerang lirih.
"Makanya kalau kerja jangan kayak orang gila. Belajar jangan
sampai subuh. Sayanglah sama badan," omelnya. Bagai seorang
perawat, dia meletakkan punggung tangannya di keningku dan
memeriksa nadiku. Dia menghilang sebentar dan muncul lagi dengan semangkuk
air dingin dan kain kompres. "Nih, tempel di kening dulu. Saya
siapkan sarapan." Baru keluar kamar beberapa detik, mukanya muncul lagi
dari balik pintu. "Lif, kemarin saya baru beli jambal roti di toko Vietnam Import itu. Ini pesanan khusus lho. Saya bikinin nasi goreng jambal ya, lengkap dengan sambal. Setuju" Mau pakai keju juga?"
tanyanya, meski sebenarnya dia tidak ambil pusing dengan apa
jawabanku. Aku hanya mengangguk lemah. Kepalaku masih berdentumdentum.
254 rantau1muara.indd 254 Walau mulutku pahit, tapi nasi goreng jambal yang hangat
mengepul bikinan Mas Garuda berhasil menggugah selera. Setelah sarapan dengan porsi besar, sebutir aspirin dan kompres,
kepalaku mulai terasa ringan. Tapi aku tidak bisa melelapkan
diri karena kelopak mataku terasa panas.
"Mas nggak kerja?" tanyaku. Dari tadi dia hanya duduk saja
di kamarku. "Ah, tenang, saya bisa telat sedikit. Yang penting kamu oke
dulu. Gimana" Kita perlu ke dokter" Atau saya kerok?" tanya dia
sambil memperlihatkan koin 50 sen bergambar lambang negara
Amerika Serikat. Aku menggeleng.
"Kalau mau ke dokter, saya antar nih sekarang."
"Makasih Mas, besok aja, kalau masih belum membaik,"
kataku. "Kalau melihat gejalanya kamu itu kayak sakit malaria. Panas
dan menggigil," katanya sok bergaya dokter. Orang lagi susah,
dia malah menakut-nakuti.
"Tapi mengingat di sini tidak ada nyamuk malaria. Jadi
saya berkesimpulan, kamu itu sakitnya bukan malaria, tapi
malarindu. Gering karena kangen kekasih hati di ujung dunia sana," katanya bercanda. Aku mencoba ikut tersenyum.
Mungkin begini caranya menghibur teman. Bukan dengan
ikut merasakan sakit dan berempati tapi dengan bercerita yang
lucu-lucu. Pagi itu akhirnya aku tidak jadi tidur karena banyak
terpingkal-pingkal mendengar beragam cerita lucu ketika dia
jadi TKI. "Saya mungkin bisa bikin buku Mati Ketawa Cara
TKI," katanya. Tertawa lumayan membuat aku lebih rileks dan
255 rantau1muara.indd 255 lebih enak daripada tadi. "Mas, terima kasih sudah mengurus
aku yang sakit. I owe you," kataku ketika dia akhirnya berangkat
kerja kesiangan. "Ah, kalau bersaudara tidak boleh hitung-hitungan, tidak
ada utang-utangan. Saya ini kakak kamu," katanya. Mungkin
begini rasanya kalau punya seorang kakak.
256 rantau1muara.indd 256 Kabar Baik yang Buruk ua hari tidur di rumah dan diurus secara gotong-royong
oleh Mas Garuda, Mbak Hilda, dan Mas Nanda membuat
badanku lebih baik. Hari ketiga aku sudah bisa masuk kelas dan
bahkan bekerja. Anehnya, ketika aku menelepon Dinara, bukannya diberi simpati, aku malah dimarahi. Alasannya karena
aku tidak memberi tahu dia lebih awal. Aku menjadi kesal karena tidak mengerti mengapa dia marah. Buat apa aku memberi
kabar kalau membikin dia makin cemas karena kami berjauhan.
Lagi pula, apa yang bisa dia bantu dari jauh"
"Masa calon suami sakit, Dinara gak tau, paling tidak kan
bisa mendoakan," katanya dengan suara galak. Walau aku masih kesal, tapi mendengar kata-kata "calon suami" dari mulut


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dinara itu rasanya menenangkan. Sejak pembicaraan terakhirku dengan Pak Sutan, kami berdua lebih rileks dan excited.
Bahagia tapi juga was-was, cemas tapi senang. Bahagia yang misterius. Mungkin karena kami belum tahu apakah rencana satu
setengah bulan lagi bisa terwujud.
Sehari setelah itu, Dinara mengirim pesan chat ke telnet-ku.
"Bang, ada kabar baik nih. Tapi Dinara gak tahu harus memulai
dari mana." Aku berdebar-debar. Entah mengapa firasatku kurang enak.
"Kabar apa?" tanyaku was-was.
257 rantau1muara.indd 257 "Dinara dapat beasiswa ke Inggris."
"Wah selamat! Tapi buat kapan?" Sungguh, ucapan selamatku
murni, tapi bermakna bohong. Memang aku menyelamati prestasinya, tapi di saat yang sama mengkhawatirkan rencana pernikahan kami.
"Next intake. Tahun ajaran baru. Agustus tahun ini."
Beberapa menit, aku tidak menulis apa-apa di layar. Aku sedang berhitung-hitung bulan dengan jari-jariku. Ini berpotensi
menjadi masalah bagi kami.
Dia bertanya, "Kok gak ada komentar?"
"Bingung mau ngomong apa. Ini kesempatan baik. Tapi bagaimana
dengan kita?" "Maksud Abang gimana" Sekolah di London kan impian Dinara
dari dulu. Meskipun hubungan kita juga masa depan. Tapi sekolah
S-2 di UK cuma setahun."
Ingin rasanya aku egois bilang bahwa hubungan kami lebih
penting. Setahun memang cukup singkat, tapi bisa jadi masa
setahun akan membentuk kami berdua jadi orang yang tidak
sama lagi. "Jadi, rencana nikah kita ditunda?" tanyaku.
"Lho, yang bilang ditunda siapa" Kan dua-duanya bisa. Dua-duanya masa depan Dinara."
"Tapi mana prioritas kita sekarang" Coba kita pikir baik-baik. Jangan emosian dulu."
"Siapa yang emosi" Prioritas kan" Pertanyaannya: prioritas siapa"
Dinara" Abang" Atau kita berdua?"
258 rantau1muara.indd 258 Kata-kata yang membangunkan aku. Sebetulnya prioritas
siapa sekarang yang harus dikedepankan. Aku" Dinara" Kami"
Aku tahan jariku untuk tidak membalas kata-kata ini dengan
kata yang tidak kalah tajam. Hanya akan semakin menyakitkan
saja. "Sudahlah Dinara, sebelum kita saling menyakiti lebih jauh, mending kita hentikan saja chatting ini. Kalau tugas-tugas kita selesai,
mungkin kepala kita lebih dingin."
"Oh gitu ya, jadi ternyata tugas lebih penting daripada bicara
tentang kita. Kalo gitu, kerjain deh itu tugas, dan jangan kontak lagi
sampai itu selesai. Kita harus memilih," balasnya sarkastik.
"Bukan begitu maksudnya, maaf...," balasku. Tapi sudah terlambat karena dia sudah hilang dari layar. Logged out.
Sepertinya ini bukan waktu yang tepat buat kami berdua
mendiskusikan hal serius seperti ini. Kepala kami sedang panas
dan logika tidak jalan. Dinara di kantor sedang dikejar deadline
laporan. Sedang aku masih berutang satu paper yang harus aku
kumpulkan besok ke Profesor Deutsch.
Salah satu "kemewahan" yang aku punyai di kampus adalah
mendapat ruang riset pribadi berukuran 2 x 2 meter di lantai
tiga Gelman Library. Ruangan ini hanya untuk mahasiswa S-2
dan S-3 yang beruntung mendaftar di awal semester. Tempat
yang tenang ini biasanya selalu membuat aku mampu menulis
dan membaca bahan kuliah dengan produktif. Tapi hari ini
ruangan ini terasa pengap.
259 rantau1muara.indd 259 Dua hari sudah aku kesal kepada Dinara dan juga diriku
sendiri. Bahkan kami seperti sedang perang dingin, tidak saling
kontak sama sekali sejak pembicaraan beasiswa ke Inggris. Apa
yang terjadi dengan kami sebetulnya" Kalau saling perhatian,
mengapa saling marah"
Hari ini tampaknya aku tidak bisa belajar dengan tenang.
Aku kunci ruanganku dan berjalan gontai ke lantai bawah.
Aku beranjak menuju warung pretzel yang dipenuhi mahasiswa
undergrad. Mereka sedang bercanda dan tertawa lepas layaknya
tidak ada masalah pelik di dunia ini.
"Ya Ahmad, keif hal" Qohwah wa pretzel," kataku ke penjual
langganan yang imigran Irak.
Dengan senyum lebar dia melebihkan takaran kopi panas
untukku. "Tafadhal ya Alif," katanya.
Aku rapatkan jaket melawan angin dingin musim gugur dan
duduk di kursi kayu di tengah Kogan Plaza. Aku kunyah pretzel
keras dan asin ini. Mulutku mengeluarkan asap seperti naga
setiap kali menganga. Dalam sekejap, uap mulutku hilang diembus angin. Ingatanku melayang ke Dinara. Bagaimana kalau dia
juga hilang dalam sekejap seperti uap ini. Kalau aku benar takut
kehilangan dia, aku harus mengambil tindakan. Tidak hanya
mengandalkan waktu untuk mendamaikan kami.
Aku ingat petuah Kiai Rais dulu, "harrik yadak", gerakkan tangan, buat aksi, supaya ada pergerakan. Supaya hubungan kami
membaik. Seiring gigitan pretzel terakhir, aku tahu tindakan radikal yang harus kuambil.
260 rantau1muara.indd 260 "Can I reserve a return ticket to Jakarta?" tanyaku ke staf STA
Travel di Marvin Center. Hari ini sudah aku putuskan, aku akan pulang ke Jakarta
segera, dengan atau tanpa persetujuan dari Dinara. Pokoknya di
hari ujian berakhir, aku akan segera terbang ke Jakarta. Kalau
perlu dari ruang ujian aku langsung ke bandara. Tidak boleh
aku membuang waktu lagi. Mungkin ini satu-satunya caraku
membuktikan ke Dinara, kalau aku benar-benar serius untuk
menikahinya. Tidak cukup hanya dengan chatting dan telepon
saja. Bagaimana kalau dia memutuskan untuk pergi ke Inggris,
dan tinggal di sana satu tahun untuk kuliah" Kalau aku pasif
dan diam, dia pasti pergi. Kalau aku pulang, siapa tahu dia mau
mempertimbangkan lagi keputusannya. Siapa tahu aku bisa
membujuk dia untuk kuliah bersamaku di Washington DC.
Aku sudah mengumpulkan banyak informasi tentang kuliah
dan beasiswa di Washington DC. Aku akan yakinkan Dinara
bahwa dia juga bisa melanjutkan sekolah di Amerika Serikat.
261 rantau1muara.indd 261 Kotak Beludru Hitam unyi ping halus mengejutkan aku pagi-pagi. Dari Dinara.
Aku tidak berharap dia sudah menantiku di halaman
chatting saat perang dingin seperti ini.
"Dinara sudah berpikir-pikir panjang tentang rencana kita. Kita
harus memilih. Tepatnya, Dinara harus memilih."
Aku merasa nada yang kurang enak. Urat leherku terasa menegang. Pertengkaran apa lagi yang akan berkecamuk sepagi ini"
"Lebih baik memilih sekarang, daripada kita tidak tahu mau ke
mana. Jangan saikua capang, saikua lapeh. Satu terbang, satu lepas.
Tidak ada yang didapat. Hampa," balasku, masih ada sisa kesal.
"Dinara sudah memutuskan," tulisnya. Darahku tersirap.
"Dinara mengirim e-mail ke British Scholarship Committee untuk
bertanya apakah beasiswa boleh di-defer. Alhamdulillah, mereka sudah
menjawab. Dan jawabannya beasiswa boleh ditunda."
"Jadi?" "Kita bisa ke Inggris nanti, setelah Abang selesai kuliah di Washington DC."
"Rencana kita menikah, jadi nih?"
"Emang ada rencana kita yang lain?"
Ah, aku merasa bersalah telah berprasangka buruk kepada
262 rantau1muara.indd 262 Dinara. Ternyata dia telah memutuskan pilihannya. Kekhawatiranku kini tiba-tiba hilang, dan kepala serta dadaku terasa
enteng. Aku bisa fokus pada ujian dan mengurus rencana pernikahan. Mungkin ini janji-Nya bahwa Dia selalu mencarikan
jalan keluar dari tempat yang tidak terduga.
"Alhamdulillah. Din, Abang juga sudah memesan tiket pulang abis
ujian," kataku tidak mau kalah untuk mengimbangi antusiasmenya.
"Serius" Wah asyik! Dinara juga sudah ada janji untuk lihat gedung, undangan, cari katering, dll. Tanggalnya gimana?"
"Abang sih ingin secepatnya. Mungkin akhir atau awal tahun.
Tapi kayaknya bagus kita tanyakan ke keluarga besar. Abang akan
telepon Pak Etek Gindo yang baru pindah ke Jakarta untuk segera
musyawarah dengan keluarga Dinara ya."
"OK Bang. Bye-bye Inggris. Mungkin nasib Dinara ke Amerika
dulu kali ya." Aku menangkap kegetiran di nada bicaranya. Aku bisa mengerti pasti berat untuk Dinara melepaskan kesempatan emas
untuk sekolah ke negara yang dia idamkan.
"Din, Abang sudah riset banyak tentang ketentuan visa. Pasangan
dari pemegang visa J seperti Abang, diperbolehkan untuk kuliah atau
bekerja. Bahkan dua-duanya bisa."
"Amin, semoga bisa ya Bang."
"Iya dong. Pasti seru. Merantau, sekolah, melihat dunia, membangun keluarga. Just the two us."
"Hehehe kayak petualangan Tintin ya. Bisa berpetualangan ke
tempat-tempat yang jauh."
263 rantau1muara.indd 263 "Abang janji berjuang habis-habisan mewujudkan mimpi kita."
"Terima kasih Abang. Kita sama-sama ya. Tapi Abang tau kan
kalau Dinara bukan tipe housewife yang diam, Dinara maunya beraktivitas, sekolah dan berkarier. I need to express myself."
"Abang tau kok. Abang segera terus cari-cari info kerja dan sekolah
ya." "Dan awas ya Bang, kalau tidak pulang J," tulisnya serius tapi
dengan cara bercanda. Aku paham betul, beban perencanaan pernikahan kami
akan lebih banyak di Dinara. Sebagai pihak perempuan dan seorang diri pula di Jakarta, dia yang super sibuk mengurus tetekbengek urusan pernikahan. Jika saja ada masalah dan aku tidak
pulang ke Indonesia, malu akan ditanggung oleh dia seorang.
"Mas, serius?" Dia mengangguk tegas. "Beneran ini Mas?" tanyaku dengan suara bergetar meyakinkan lagi.
"Iya, kamu pakai saja dulu uang tabungan saya sebagai jaminan. Nanti setelah balik ke sini, kamu bisa transfer balik ke
rekening saya," kata Mas Garuda tanpa beban.
Aku baru saja bercerita kepada dia, bahwa kalau ingin mengurus visa untuk istri, maka aku perlu memperlihatkan bahwa
aku punya cukup dana di rekening tabungan untuk membiayai
keluarga. Syaratnya, paling tidak aku harus punya uang 15 ribu
264 rantau1muara.indd 264 dolar. Mana aku punya uang sebanyak itu" Tiba-tiba, tanpa aku
minta, Mas Garuda sudah menuliskan cek sebanyak 15 ribu dolar dan menyerahkan ke tanganku.
Aku tahu persis ini adalah hasil jerih payahnya bertahuntahun di Amerika untuk modalnya kembali pulang kampung.
Bagaimana kalau aku tidak kembali" Bagaimana kalau aku
menghilang" Bagaimana kalau ada apa-apa denganku" Dia akan
kehilangan semua modal hidupnya. Tapi dia tampaknya tidak
memusingkan risiko-risiko ini.
Dengan malu-malu, aku dekap dia erat.
"Belikan juga dia yang seperti ini," kata Mas Garuda sambil
merogoh ke bawah tumpukan bajunya di lemari. Di tangannya
ada sebuah kotak berwarna keemasan. Dia membungkukkan
badan dan menjulurkan tangan pelan-pelan, seperti sedang
menjinakkan bom. Dengan hati-hati dibukanya kotak itu. Sebuah batu kecil bersegi-segi bertengger di puncak sebuah cincin
ber warna emas putih mengilat. Di bawah lampu kamar, refleksi
batu limas ini memancar gemerlap sampai ke dinding dan langit-langit.
"Ini cincin yang akan saya persembahkan kepada Herawati
nanti kalau saya pulang. Berlian asli lho, walau karatnya yang
paling kecil." Baru sekali ini aku melihat berlian dari dekat.
"Lihat kilaunya. Begini mungkin keindahan cinta, memancar
ke mana-mana. Dan pastinya, meluluhkan hati perempuan. Itu
yang saya lihat di film-film Amerika ini. Diamond is a girl"s best
friend," katanya antusias. Dasar dia memang korban film ce265
rantau1muara.indd 265 ngeng Hollywood. Beberapa kali aku menonton dengan Mas
Garuda. Pilihannya selalu film romantis, sedangkan aku maunya
menonton film action. Kami akhirnya menonton sendiri-sendiri.
Aku hanya mengangguk-angguk, pura-pura paham. Gagal
mengerti kenapa intan berlian berkarib dengan perempuan.
"Kalau bingung, nanti saya temani kamu membelinya. Kalau
perlu saya pilihkan."
"Enak aja, aku yang mau beli kok Mas yang memilih," balasku. Dia hanya tertawa keras.
"Lif, sekalian minta dituliskan namanya di lingkar dalam
cincin itu. Biar lebih romantis," saran Mas Garuda.
Ustad Fariz yang sedang bertamu ke rumah kos kami tidak ketinggalan unjuk saran dan membekaliku. Pesannya, "Di balik setiap kesuksesan laki-laki, pasti ada sosok perempuan yang hebat.
Pilihlah perempuan terbaik. Karena dia yang mengingatkan
dan menguatkan kita kaum lelaki. Dan kalau nanti dianugerahi
anak, perempuan pulalah yang menjadi madrasatul ula, sekolah
pertama setiap anak manusia."
"Ustad, bagaimana bisa setiap perempuan jadi guru yang baik.
Kan tidak semuanya berpendidikan baik?" sangkalku. Pikiranku
melayang ke beberapa teman yang aku kenal di Indonesia, menikahi gadis usia belasan tahun, lalu punya anak sampai lima
orang. Sementara mereka tidak didukung kemampuan ekonomi
untuk menghidupi keluarga besar ini. Akibatnya rumah tangga
kocar-kacir, anak-anak tidak mendapatkan hak dan kesejahteraan yang seharusnya.
"Itulah salah kaprahnya beberapa kalangan. Mereka siap
untuk menikah, siap punya anak, tapi tidak disiapkan untuk
266 rantau1muara.indd 266 membesarkan anak. Apa gunanya punya anak banyak, tapi tidak
dibesarkan untuk menjadi manusia-manusia yang terbaik dan
bermanfaat." Mas Garuda menyeletuk, "Bukannya banyak yang percaya
bahwa banyak anak, banyak rezeki?"
"Kalau orientasi selalu untuk mendapatkan keturunan yang
banyak, maka yang banyak itu tidak selalu berkualitas. Ada pepatah, "iza katsura rakhusa". Kalau banyak jadi murahan. Kasihan
kalau anak-anak itu nanti malah tidak mendapatkan pendidikan
yang baik, sehingga jadi beban masyarakat. Kadang-kadang yang
diwariskan kepada anak-anak itu adalah kemiskinan dan kebodohan. Saya selalu sedih melihat umat menjelma menjadi buih
yang banyak, tapi tidak berarti apa-apa. Banyak secara jumlah,
tapi hanya untuk menjadi kebanyakan saja. Yang kita cari adalah banyak untuk bermakna," paparnya menggebu-gebu.
Aku dan Mas Garuda mengangguk-angguk setuju 200 persen.
Ustad Fariz ternyata belum selesai. Bagai sedang berceramah
di podium, dia mengangkat tangannya menarik perhatian kami.
"Ini tidak kalah penting, Lif. Dalam hidup itu ada tiga manusia
terdekat. Orangtua, pasangan, dan anak. Semuanya diberikan
sebagai takdir. Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh
ibu yang mana. Kita juga tidak akan pernah bisa memilih mendapatkan anak yang seperti apa. Tapi, kita masih mungkin memilih pasangan kita. Walau jodoh di tangan Tuhan, tapi kita
diberi kesempatan untuk berupaya keras mendapat pasangan
terbaik." 267 rantau1muara.indd 267 Di suatu sore di awal Desember, aku dengan canggung masuk
ke Macy"s, sebuah department store di Pentagon City. Aku intip
sudut penjual berlian yang pernah dibicarakan Mas Garuda.
Mataku terbelalak melihat label harga cincin-cincin mungil ini.
Harga satu cincin berlian ukuran setitik sudah bisa membeli tiket kami berdua pulang-pergi. Kantongku belum sanggup untuk
membeli berlian. Sebagai gantinya, aku membeli cincin perak
dengan batu zirconia, berlian imitasi, dan kuletakkan di dalam
sebuah kotak beludru hitam. Semoga Dinara menerima cincin
ini walau bukan barang mahal. Sabar ya Dinara, suatu hari akan
aku belikan kamu berlian yang sebenarnya.
"Mau dibungkus sekalian?" usul penjaga toko. Aku menggeleng. Aku ingin membungkusnya sendiri nanti. Ini simbol


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengikat kami, simbol keputusan hatiku memilih Dinara. Semua akan aku urus sendiri. Sepanjang jalan ke apartemen,
tiap sebentar aku sentuh saku jaketku. Aman. Masih ada yang
menyembul berbentuk persegi empat kecil. Kotak beludru hitam untuk belahan jiwaku.
268 rantau1muara.indd 268 Sunting Lima Tingkat ahai waktu, cepatlah bergulir. Kenapa setiap detik kini terasa merangkak lambat. Sementara Pak Hamdarih yang
berkopiah miring ini tampaknya menikmati peran sentralnya
dan tidak merasa terburu-buru menuntaskan acara. Suaranya
bergaung keras dengan logat Betawi yang percaya diri. "Sebelum
kita mulai acara akad nikah ini, mari kita istigfar bareng-bareng...." Sejenak kemudian yang terdengar hanya dengungan
istigfar bersama-sama, di sela wangi bunga melati yang ditata di
meja dan sudut-sudut ruangan.
Sejurus kemudian, bapak penghulu ini dengan enteng menarik ujung tanganku yang sudah sedingin batu es, "Coba
dah sekarang jabat tangan calon mertua, jangan malu-malu,"
katanya mencoba memecah ketegangan yang mungkin jelas
menggayuti mukaku. Beberapa hadirin terpancing senyum dan
ketawa kecil. Aku ikut-ikutan tersenyum tegang.
Dengan berdebar-debar kuulurkan tangan ke arah Pak Sutan. Tapak tangannya yang besar, gemuk, dan panas bagai
menelan tangan kurusku bulat-bulat. Mata kami bertatapan
sekilas, lalu diam-diam ujung mataku mencari-cari Dinara yang
sedang duduk tertunduk sambil menggigit bibir, mungkin ikut
gugup. Ujung mataku juga lari ke kursi yang agak jauh dari meja
269 rantau1muara.indd 269 akad nikah, mencari Amak yang tampak duduk berdampingan
dengan Mama. Bagai sudah janjian, mereka berdua kompak
sama-sama memegang saputangan, sama-sama mengangkat kacamata untuk mengelap kelopak mata mereka yang basah.
Pandangan mataku akhirnya aku jatuhkan pasrah ke tangan
kami yang berjabat. Setelah mendeham dan meluruskan letak
kopiahnya, bagai konduktor orkestra, penghulu merentangkan
tangan mempersilakan Pak Sutan mengucapkan ijab, kata-kata
yang mahapenting itu. Suara Pak Sutan mengalir mantap, ?".
saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya yang bernama Dinara Larasati binti Irwansyah Sutan Rangkayo Basa kepada
engkau, Alif Fikri bin Syafnir dengan mas kawin berupa
seperangkat alat salat tunai."
Bagai tergigit lidah, aku sesaat tidak tahu harus berkata apa.
Dua helaan napas berlalu hening. Pak Penghulu menatapku dan
cepat-cepat menyenggol pinggangku agar aku segera bereaksi
menyambut ijab ini. Dengan suara bergetar aku lafazkan kabul
yang telah aku hafal sejak dua hari lalu:
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Dinara binti Irwansyah
Sutan Rangkayo Basa dengan mas kawin yang tersebut, tunai."
Bulu romaku terasa tegak sendiri mendengar suaraku. Pak
Sutan mengeratkan genggamannya tiba-tiba, tanganku bagai
tercekik. Mungkin ini penanda betapa dia menyerahkan anak
gadisnya agar aku bela sepenuh jiwa. Pak Hamdarih manggutmanggut sebentar, lalu tersenyum lebar, sambil berkata lantang,
"Alhamdulillah. Alfatihah"."
Amak dan Mama saling memegang tangan, aku menyalami
270 rantau1muara.indd 270 Pak Sutan dengan kedua belah tangan, tak peduli tanganku
dijepit lebih keras dibanding yang tadi. Sanak famili tertawa
dan tersenyum lega. Di saat aku memakaikan cincin ke jari manis Dinara, dia memandangku dengan pandangan mata yang
tidak pernah kulihat sebelumnya dan tidak akan pernah aku
lupakan. Mungkin inilah pandangan pertama seorang istri kepada seorang suaminya yang sah. Meluluhkan hati, mendamaikan
jiwa. Sejak ini, Dinara bukan lagi perempuan biasa. Dia adalah
perempuan utamaku, belahan jiwaku. Akulah pembelanya dan
pendampingnya seperti dialah pendampingku dan pembelaku.
Akulah rajanya, dialah ratuku.
"Seandainya Ayah ado di siko," kata Amak berbisik dengan suara
tertahan, ketika aku mencium tangan Amak. "Iyo, seandainya
ada Ayah," kataku dengan suara tercekat. Mengikuti arahan
pendamping manten Jawa, aku melanjutkan menundukkan kepala dalam-dalam bagai bersujud kepada Amak. Belum pernah
seumur hidup aku bersujud serendah ini kepada Amak sebagai
perlambang bakti dan memuliakan Amak. Ketika aku akan
berdiri, Amak menahanku dan mengelap kudukku yang basah
oleh luruhnya beberapa tetes air hangat dari matanya.
Di kampungku dulu, cara yang diajarkan tetua untuk menghormati orangtua tidak dengan mencium kaki atau tangan mereka. Kami hanya menyalami orangtua sambil menundukkan
kepala takzim. Sedangkan biasanya orangtua hanya akan memegang bahu atau menepuk-nepuk kepala anaknya. Itu saja.
Selebihnya dibiarkan tak terucap, tak terlihat. Mungkin orangorang di kampungku dulu percaya bahwa hal-hal terdalam ter271
rantau1muara.indd 271 kadang lebih baik tidak diungkapkan dengan kata-kata. Cukup
dirasakan. Cukup dibatinkan. Better left unsaid.
Bukannyo tabek sumbarang tabek. Ondeh tuan oi
Tabek banamo si tabek gadang. Ondeh kanduang oi
Bukannyo alek sumbarang alek
Alek banamo alek gadang Tagaklah alam jo marawa. Ondeh tuan oi
Tando pusako didirikan. Ondeh kanduang oi
Aguang tagantuang alah digua
Pupuik sarunai maramikan Lagu-lagu Minang yang mengimbau-imbau, dengan iringan
ketukan talempong, bansi, dan puput batang padi mulai pudar
satu-satu seiring dengan sekitar 400 orang tamu yang beranjak
pamit. Amak yang berganti-ganti didampingi Uda Ramon dan
Pak Etek Gindo dengan sukacita duduk melepas lelah, setelah
penat berdiri menyambut para tamu. Di ujung kiri, mama dan
papa Dinara tampak juga bernasib sama.
Sedangkan kami, raja dan ratu sehari, tidak kurang capeknya. Kami menyelonjorkan kaki lurus-lurus di sofa. Betisku
terasa kaku dan telapak kaki kesemutan. Aku masih memakai
baju adat Minang dengan sarung setengah tiang dan saluak di
kepala. Dinara masih dibalut baju kurung berhiaskan payet-payet gemerlap dengan sunting tinggi yang ujung-ujungnya mulai goyah. Sedangkan otot mukaku terasa pegal karena selalu
memasang senyum lebar sejak pagi sampai siang hari. Alhamdulillah alek gadang, akhirnya usai.
272 rantau1muara.indd 272 Di sampingku, Dinara terkulai menumpangkan kepalanya
di bahuku sebagai penyangga. "Perjuangan dua bulan ini selesai
juga. Alhamdulillah," katanya dengan wajah lelah.
Aku bantu dia mencabuti satu per satu gerumbulan kembang
dari logam keemasan yang telah dijunjungnya dengan tabah di
atas ubun-ubunnya sejak empat jam yang lalu. Keningnya berjejak melingkar bekas sunting.
"Kenapa kemarin-kemarin gak ada yang bilang kawinan adat
Minang ini akan begini. Memang keren kalau difoto, tapi gak
nyangka suntiang ini seberat batu," katanya sambil meringis.
Sebagai anak campuran Jawa-Minang, Dinara sebetulnya bisa
memilih acara resepsi dengan adat Jawa. Tapi dia sendiri yang
bersikeras menggunakan adat Jawa untuk akad nikah, dan adat
Minang untuk resepsi. "Gaya Minang itu lebih heboh, lebih
warna-warni, lebih asyik untuk resepsi. Kalo adat Jawa cocoknya
untuk akad nikah yang syahdu," alasannya beberapa minggu
lalu. "Katanya sih: No pain no gain. Beauty is pain," kataku berseloroh sambil memijat leher dan bahunya yang kaku. Mungkin para
etek dan mak tuo dari pihak keluarga Dinara terlalu bersemangat
mengatur pakaian adat Minang kami, sampai mereka merasa
harus memesan suntiang limo lenggek. Sunting lima tingkat.
Aku pandang gadis bermata indah ini dalam-dalam. Rasanya
aku masih tidak percaya kalau dia telah menjadi istriku. Matanya
tersenyum, aku tersenyum. Ini bukan impian, dia benar ada di
depanku. Aku berbisik ke telinga dia, dan untuk pertama kali aku
katakan: I love you. Matanya yang tadi tampak redup berubah
273 rantau1muara.indd 273 jadi gemerlap cemerlang dan pipinya yang tadi agak pucat kini
berganti warna bagai jambu air merah muda. "I love you too,"
katanya menunduk malu-malu.
"Iyo sabana baruntuang abang ko ha. Dapek Dinara, hatinyo elok,
matonyo rancak," bisikku bercanda.
"Apaan tuh. Nggak ngerti, jangan roaming ya," protes Dinara
sambil mendorong pelan bahuku.
"Eh, itu kan bahasa nenek moyang Dinara juga," selorohku.
"Tapi kan cuma 50 persen," kilahnya.
"Kalau kita punya anak, anak kita 75 persen berdarah Minang lho."
Dia tertawa sambil berkata, "Ah, curang. Pokoknya jangan
sering-sering ngomong bahasa Minang ya, nggak ngerti."
"Alah, paling beberapa bulan lagi jadi fasih. Salah sendiri
nikah sama orang Minang. Abang kan kalo mengigau bahasa
Minang," godaku. "Oya" Waduh, gawat!" dia menjawab sambil menjulurkan
lidah. "Terima kasih Dinara, untuk percaya pada Abang," kataku
sambil mengecup lembut keningnya.
Dia tidak menjawab. Tapi bulu matanya yang lentik mengerjap-ngerjap. Senyumnya yang manis sudah mewakili lebih dari
seribu kata. Aku tersenyum tenteram. Ah, tak sabar rasanya untuk segera
mengarungi hidup dan memulai petualangan bersama Dinara.
274 rantau1muara.indd 274 Petualangan pertama kami segera dimulai minggu depan:
Washington DC. "Maaf ya Cinta, apartemen kita cuma mungil gini," kataku
ketika membuka pintu apartemen Old York, tempat tinggal
kami yang baru di kawasan Foggy Bottom. Kelebihannya, kami
mendapat unit di hoek dengan jendela menghadap ke dua sisi.
Salah satu sisi jendela apartemen kami di lantai tiga ini menghadap langsung ke menara Washington Monument.
"Dinara gak peduli besar kecilnya, yang penting kita bersama," kata Dinara. Apartemen kami disebut studio, berupa
sebuah ruangan lepas, sebuah kamar mandi, walk-in closet,
ruangan kecil yang berfungsi untuk menyimpan pakaian dan
barang lainnya, dan sebuah dapur sempit yang hanya muat
buat satu orang hilir-mudik di depan kompor dan kulkas. Di
tengah ruang lepas itu tergelar futon alias kasur lipat. Di ujung
dekat jendela berdiri meja belajar bekas yang kami dapat dari
penghuni sebelumnya. Di atas meja ada laptop dan sebuah vas
bunga. Empat kuntum bunga tulip ungu, merah, kuning, dan
putih ada di sana, bunga favorit Dinara. Tadi sepulang kerja,
aku sempatkan membeli dari penjual bunga di pinggir jalan
Pennsylvania Avenue. Old York berdiri tidak jauh dari kampusku. Hanya berjalan
tiga menit, aku sudah bisa sampai di kelas. Jadi aku bisa menghemat biaya transportasi.
275 rantau1muara.indd 275 Tahun ini musim dingin berkunjung lebih cepat ke Washington DC. Dengan punggung tangan, aku hapus embun
di kaca jendela yang cepat berkumpul karena uap panas dari
napasku. Dari jendela apartemen kami yang besar-besar, kami
lihat salju berjatuhan bagai kapuk yang ditiup angin. Ke mana
mata memandang, Bumi memutih.
Pagi-pagi Dinara sudah memakai celemek barunya. Ada gambar menara dan bertuliskan "Washingtonian".
Bagai koki berpengalaman dia menguncupkan telapak tangannya dan meneteskan kuah kuning tua itu untuk dikecap.
Dia menggeleng sambil bergumam sendiri, "Kayak ada yang kurang." Setelah menaburkan sejumput rempah kuning, dia meneruskan mengacau rendang yang sedang dijerang di kompor. Ini
pengalaman pertamanya memasak rendang.
Ketika di Jakarta, Dinara mengaku bukan tipe yang sering
ke dapur sehingga kemampuan memasak bukan salah satu potensi yang aku bayangkan Dinara miliki. Tapi sepertinya aku
keliru. Tinggal di Amerika membuat dia tidak punya pilihan
lain. Dia harus rutin memasak dan sejauh pengamatanku dia
ternyata menikmati sensasi memasak. Macam-macam yang dia
hidangkan, mulai dari ikan teri balado kacang hingga sayur
asem. Untuk menghasilkan karya-karya ini, dia berguru memasak kepada Mbak Hilda.
Walau ini rendang pertamanya, tapi aromanya membuat
jakunku naik-turun. Inilah hasil kursus jarak jauh dengan
menelepon neneknya yang asli Bukittinggi. Beberapa rempah
ternyata dijual di toko kelontong China dan Vietnam. Sisanya
memakai bumbu jadi yang dia bawa dari Jakarta.
276 rantau1muara.indd 276 "Udah bisa dimakan belum?" tanyaku sambil mendekatkan
ujung hidungku di sekitar bibir panci. Perutku bergolak senang.
"Kalau mau gulai daging sudah bisa sekarang. Tapi kata
nenek, agar dedaknya kental, tunggu beberapa jam lagi. Sabar
ya," katanya terus mengaduk.
"Boleh ikut bantu nggak?" tanyaku lagi.
"Sana... sana.... Udah tunggu di luar aja, sempit di sini. Ngerecokin orang yang lagi masak aja," katanya sambil mengibasngibas tangan.
Aku mengalah sambil beringsut keluar dapur sambil bilang
dengan sepenuh hati, "Terima kasih, Cinta, sudah memasak
buat kita." "Makasih juga Abang, sudah membawa Dinara jauh-jauh ke
sini," katanya sambil melempar segumpal senyum.
Ketika aku menjengukkan kepala ke dapur lagi, isi panci itu
menggelegak berasap. Dedak rendang mulai berubah cokelat
tua setelah Dinara menghabiskan setengah hari di dapur.
Salju melayang-layang di langit sore, aroma rendang baru
matang mengimbau-imbau selera, dan Dinara sedang menyiapkan makan malam sambil bersenandung. Dalam sekejap, dua
piring nasi hangat tandas setelah digelimangi rendang karya
Dinara. "Aduh rasanya heavenly. Cinta, boleh nambah lagi?" kataku
menyodorkan piring. 277 rantau1muara.indd 277 "Wah ada yang laparnya ngamuk nih," kata dia menggodaku.
Kami habiskan makan malam dengan tawa dan canda. Bahagia
itu sederhana. What more can you ask for" Mungkin ini yang disebut bulan
madu, dunia terasa indah berbunga-bunga, dan benar-benar terasa milik berdua saja. Yang lain hanya menumpang.
"Bang, biar masak rendang dagingnya cepat lembut, sama
biar cepat bikin sop buntut, kita perlu beli pressure cooker. Dinara
sudah cek harganya di internet. Nih," katanya memperlihatkan
website Wal-Mart. Harga panci presto ini 60 dolar, sama dengan
gajiku tiga hari kerja. Bisa sih, tapi aku merasa ada yang lebih
penting buat kami sekarang.
"Sabar ya Cinta, mungkin baru bulan depan, kita harus berhemat untuk bulan ini," kataku minta maaf.
Dia mengangguk. Mukanya murung.
Aku terburu-buru pulang dari loket Ticket Master untuk shift
siang. Perutku keroncongan dan tidak sabar untuk menikmati
sup buntut bikinan Dinara yang berlinang kuah kental. Ini adalah masakan andalan dia yang terbaru, setelah berhasil dengan
rendang. Sedapnya sampai ubun-ubun.
Bau sup sudah tercium sejak aku tiba di depan pintu apartemen. Biasanya Dinara akan menyambutku datang. Kali ini
tidak. "Cinta, assalamualaikum." Dia membalas salamku dari
dalam, dan aku menemukan dia duduk menekur di lantai di
tengah studio kami. Badannya sampai melengkung menekuni
sebuah buku catatan. 278 rantau1muara.indd 278 "Apa itu Cin?" "Catatan keuangan kita," sahutnya singkat sambil melihat ke
arahku. Lalu dia kembali menekuri kertas yang dicorat-coretnya
sambil menekan-nekan tombol kalkulator kecilnya. Di sekitarnya berserak struk belanja dari Safeway, CVS, dan Costco. Dari
balik punggungnya aku mengintip. Di buku catatan itu aku
melihat deretan rapi angka-angka setiap pengeluaran dan pemasukan. Sampai ke setiap sen. Di atas pesawat sebelum kami


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendarat di Amerika, aku pernah bilang bahwa kita mungkin
perlu hidup hemat dengan pendapatan yang ada sekarang. Aku
sama sekali tidak menyangka dia begitu serius menanggapi perkataanku.
"Duh ribet juga ngitung-ngitung seperti ini. Coba ya Dinara
udah bisa kerja. Gak bakal bosen di rumah dan bisa bantu
Abang cari uang," katanya sambil memperlihatkan angka saldo
keuangan kami yang kurus.
Aku hanya diam dan menepuk-nepuk punggungnya agar
bersabar karena surat izin kerja memang butuh waktu beberapa
bulan. Sudah berkali-kali dia bicara seperti tadi. Mungkin dia
protes kepada proses birokrasi dan pada keadaan. Kadang-kadang aku merasa dia protes padaku yang telah merenggut kehidupannya yang sibuk dan berkecukupan di Jakarta.
Diam-diam aku juga memprotes diriku sendiri. Aku menikahi
Dinara tidak untuk memaksanya berhemat habis-habisan dan
membuat hidupnya menjadi lebih susah dibandingkan ketika
sebelum menikah. Aku menikahi Dinara bukan untuk membuatnya harus membeli baju murah second hand di Thrifty
279 rantau1muara.indd 279 Shop dan Salvation Army. Bukan untuk membuat dia hanya
bisa menikmati naik bus Greyhound kalau akan berlibur. Aku
seharusnya menikahi Dinara untuk memuliakannya sebagai
perempuan dan sebagai seorang mitra hidup. Aku meresahkan
reputasiku sebagai suami pemula.
280 rantau1muara.indd 280 CIA dan Hamka rusan duit ini ternyata berekor panjang. Suatu hari, tidak ada badai tidak ada hujan, Dinara nyeletuk, "Bang,
mohon maaf, ini bukan tidak menghargai pemberian Abang ya.
Tapi gak enak banget selalu minta uang sama Abang. Apalagi
sejak kuliah dulu, Dinara sudah bekerja di radio kampus, jadi
liaison officer, jadi punya uang sendiri. Sekarang menganggur
dan hanya dapat uang dari Abang. Rasanya helpless."
Aku coba memahami perubahan besar yang terjadi pada
Dinara beberapa minggu ini. Tiba-tiba dia menikah, tercerabut
dari keluarganya di Jakarta. Dari gadis mandiri sekarang jadi
ibu rumah tangga, terkurung di rumah, hanya sibuk mencoba
resep ini dan itu. Aku tidak berani langsung menjawab, karena beberapa hari
ini Dinara begitu sensitif. Dia gampang marah, kesal, dan tersinggung. Mungkin jatah durasi bulan madu kami sudah berakhir. Yang ada sekarang adalah bulan-bulan realitas.
Dinara terpaksa tidak bekerja karena dia perlu menunggu
surat izin kerja resmi yang dikeluarkan kantor INS. Proses keluarnya surat ini bisa memakan waktu minimal 3-4 bulan.
Aku sekarang baru sadar kalau kalimat "Happily ever after"
atau "Semoga selalu rukun sampai kakek-nenek" itu hanya jadi
gula-gula dan pemanis lidah ketika menyelamati pengantin baru.
281 rantau1muara.indd 281 Mungkin sebuah doa yang tidak lengkap dan menyembunyikan
sebagian realitas. Bukan berarti bahagia tidak mungkin. Yang
tidak mungkin adalah bahagia tanpa selingan duka.
Jawaban yang bisa aku buat akhirnya cuma bagai obat penenang sementara, "Sabar ya Dinara, semoga izin kerja keluar
sebentar lagi." Sedih rasanya, aku tidak punya cara lain untuk
membantu istriku yang galau.
Tiba-tiba telepon di apartemen berdering. Rupanya sebuah
telepon untuk menagih janji datang dari Mas Aji. Janjiku untuk
menjadi koresponden. "Lif, saya ingin minta tolong kamu dan
Dinara melakukan wawancara dan reportase investigasi tentang
peran Amerika di Indonesia tahun 1965. Apakah CIA terlibat
dalam membuat daftar anggota PKI yang kemudian hilang atau
mati. Penugasan untuk kalian saya kirim segera pakai e-mail."
Aku pikir ini peluang baik untuk membuat Dinara ikut sibuk dan terlibat, daripada dia bosan di rumah. Narasumber kami Kevin Stone, seorang pensiunan agen CIA yang pernah bertugas di Indonesia tahun 1965. Dia tinggal jauh di pedalaman
negara bagian Virginia, di pinggir sebuah taman nasional yang
tidak dapat dicapai dengan kendaraan umum. Aku belum punya SIM, sedangkan memesan taksi terlalu mahal. Untunglah
Mas Garuda yang sedang libur kerja menawarkan diri untuk
mengantar kami meliput. Mungkin dia penasaran bagaimana
kerja wartawan. Kulitnya tampak keriput dan kendor, kepalanya botak licin,
tapi nada bicara Kevin masih kuat mengentak. Fisiknya tampak
sehat, walau dia mengaku pernah dapat serangan jantung. Info
282 rantau1muara.indd 282 yang kami dapat, Kevin, sebagai seorang peneliti Komunis
dianggap tahu banyak apa yang terjadi di masa percobaan
kudeta PKI tahun 1965. Sebagai negara yang anti-Komunis, AS
waktu itu mendukung upaya menelikung semua kekuatan PKI.
"Saya memang ditugaskan untuk mengikuti pergerakan aktivis PKI, Pemuda Rakyat, Gerwani, Baperki, juga partai seperti
Partindo, Murba, PNI. Karena itu saya punya banyak catatan
nama orang-orang komunis yang aktif."
"Sumber saya mengatakan, nama-nama orang yang Anda
ikuti ini kemudian menjadi daftar nama orang Komunis yang
hilang setelah tahun 1965. Apakah Anda menyerahkan nama
itu kepada tentara?"
Mukanya menegang dan suara seraknya meninggi. "Tidak
pernah saya memberikan nama kepada tentara. Dan tidak ada
orang yang menyuruh-nyuruh saya melakukan hal itu." Kucing
siamnya yang tadi bergelung tenang di pangkuannya terkejut
dan melompat menjauh. Sebelum dia bludrek, Dinara mengambil alih memberikan
pertanyaan-pertanyaan ringan yang bisa menenangkan hatinya.
Mulai dari makanan favoritnya di Jakarta, tempat dia pelesir,
dan apakah dia pernah jatuh hati kepada gadis Indonesia.
Ketika kami pamit di pintu rumahnya, aku masih mencoba
mengumpankan pertanyaan sulit dengan sambil lalu, "Pernah
terpikir tidak, kalau nama dalam buku catatan Anda, kalau
sampai jatuh ke tangan tentara Indonesia, akan membuat
orang-orang itu ditangkap atau bahkan hilang selamanya?" Dia
diam saja dan melayangkan pandangannya ke pohon cemara di
depan rumahnya. 283 rantau1muara.indd 283 "Mungkin saja itu terjadi. Tapi ingat. Itu masa perang. It was
war. People on both sides were killed..." Dia tidak menyelesaikan kalimatnya tapi mengalihkan pembicaraan dengan menggendong
kucing siamnya dan bercerita tentang asal muasal kucing ini.
Sampai pamit, aku tetap merasa bahwa jawaban Kevin masih
mengambang di udara. Belum sepenuhnya mengungkapkan
sejauh mana sebetulnya CIA turut campur dengan politik Indonesia selama kurun waktu 1965 dan masa krisis setelah itu.
Mas Garuda yang dari tadi lebih banyak mendeham dan
asyik memperhatikan, berkomentar, "Mungkin saya bisa jadi
wartawan kayak kalian berdua," katanya entah bergurau atau
tidak di perjalanan kami pulang ke DC.
Tugas kami selanjutnya adalah melakukan riset perpustakaan
untuk mendalami latar sejarah Indonesia tahun 1965 dan bagaimana Pemerintah Amerika melihat Indonesia saat itu. Meskipun kali ini kami tidak perlu tumpangan tapi Mas Garuda tetap
memaksa untuk mengantar. Tujuan riset kami pertama adalah
perpustakaan yang konon paling lengkap sedunia, Library of
Congress atau LOC. Perpustakaan yang terletak di belakang
Capitol Hill ini didirikan tahun 1800. Hebatnya, koleksi LOC
terus tumbuh, tercatat lebih dari 100 juta item ada di dalam
katalognya, yang terdiri dari puluhan juta buku, film, kaset,
microfilm, dan bahkan tablet batu yang berasal dari masa 2000
tahun sebelum Masehi. Kami berjalan melintasi ruangan perpustakaan di Gedung
Congress yang berdinding pualam. Aku menengadah menga284
rantau1muara.indd 284 gumi langit-langit berlekuk dan tiang-tiang kekar bergaya Yunani. Kami sampai di loket peminjaman yang dijaga seorang
perempuan kulit hitam dengan rambut keriting ikal dan wajah
mirip Janet Jackson. "Hi, my name is Bonnie. How can I help you,
Sir?" Sebuah pin besar tersemat di kelopak bajunya bertuliskan
I am proud to be a librarian.
Profesor Deutsch pernah bilang bahkan kita bisa menemukan buku-buku tua yang sudah tidak ada di Indonesia.
"Buku pelajaran "Ini Budi" saja ada," katanya. Mana mungkin"
Tapi aku mau mencoba memasukkan kata kunci ke dalam
katalog digitalnya. Banyak sekali buku tentang CIA dan juga
sejarah Indonesia di masa Orde Lama. Di katalog aku juga
menemukan Alquran terjemahan bahasa Inggris yang pertama
dan Didjempoet Mamaknja, novel karya Buya Hamka yang terbit
tahun 1962 yang selama ini sulit dicari. Aku ingat, Ayah pernah
bercerita bahwa novel ini bercerita tentang beberapa kelemahan
pelaksanaan adat di Minang.
Ada pula Kamoes Bahasa Minangkabaoe-Bahasa Melajoe-Riaoe,
karangan M.T. Sutan Pamuntjak yang diterbitkan di Batavia
oleh Balai Pustaka tahun 1935, majalah Panji Masyarakat edisi
lama yang memuat gambar kampungku di Maninjau, serta buku Alam Takambang Jadi Guru karangan A.A. Navis.
Aku serahkan kertas yang berisi daftar buku yang aku cari kepada Bonnie. Beberapa menit kemudian dia datang membawa
setumpuk buku permintaanku. Ajaib, buku Hamka yang terbit
sebelum aku lahir itu kini terpegang di tanganku. "Kami punya
koleksi lengkap hampir semua buku karangan Hamka ini di sini," kata Bonnie seakan dia kenal dengan Hamka.
285 rantau1muara.indd 285 "Ayo Mas, mau pesen buku apa?" tantangku ke Mas Garuda.
"Mereka punya majalah Indonesia lama gak" Kayak Si Kuncung."
"Coba aja." Dalam sekejap Bonnie kembali datang dengan sebuah bundel besar. Majalah Si Kuncung dari tahun "60 sampai "70. Mas
Garuda langsung tergagap-gagap membalik-balik halaman. "Saya
jadi ingat dulu sering membacakan cerita-cerita majalah ini untuk Danang," katanya dengan suara tercekat.
Sedangkan Dinara bersukaria mendapatkan buku tahun
1983 yang sudah lama diincarnya, The Making of Tintin oleh
Herg". Aku terbungkuk-bungkuk berterima kasih kepada pustakawan ini. Dia tertawa ringan sambil bilang, "It is always nice
to match a book with a person." Senangnya menjodohkan buku
dengan orang. Tidak ada yang lebih penting daripada riset yang
baik untuk wawancara dan menulis. Dan tidak ada riset yang
baik kalau tidak ada tenaga pustakawan yang berdedikasi.
Dengan agak narsis, aku iseng mengetik namaku sendiri di
katalog elektroniknya. "Dinara, lihat ini!" teriakku menunjuk
layar komputer yang berkedip-kedip. Bangga juga rasanya
melihat namaku, dan juga Dinara, muncul sebagai tim penulis
beberapa laporan investigasi yang diterbitkan oleh majalah Derap. Ternyata kami punya potongan juga untuk masuk dalam
katalog koleksi perpustakan yang luar biasa ini.
286 rantau1muara.indd 286 Setelah puas melakukan riset di LOC, kami pindah ke
Gelman Library di kampusku yang punya koleksi khusus National Security Archive. Koleksi ini dibuat oleh para wartawan dan
akademisi untuk memastikan Pemerintah tidak menyimpan rahasia yang tidak seharusnya disimpan. Pendiri perpustakaan ini
percaya masyarakat berhak tahu seluk-beluk di balik kebijakan
pemerintah. Karena itu mereka menghimpun segala macam investigasi, laporan ilmiah, serta harta karunnya yang paling hebat:
segala macam dokumen rahasia milik Pemerintah Amerika Serikat yang sudah dibuka ke publik.
Mas Garuda terbengong-bengong ketika tahu hamparan rahasia negara Amerika yang berskala top secret boleh dibaca dan
diakses oleh publik. "Paman saya konon dulu pernah jadi intel
Melayu. Bukan main pelitnya jaga rahasia. Istrinya saja tidak tahu dia intel. Lha, ini kok ya bisa negara Amerika membiarkan
rahasianya dibaca bebas?" katanya geleng-geleng kepala.
"Mas, inilah perlunya semangat keterbukaan. Setelah lewat
beberapa tahun, dokumen rahasia paling hebat sekalipun dapat
dibuka negara ke publik. Ini agar negara tidak asal menang dan
pemimpin tidak asal mengambil keputusan dan merasa tidak
akan ada rakyatnya yang tahu. Sudah jadi undang-undang melalui US Freedom of Information Act," jelasku panjang lebar.
Kebetulan aku baru dapat mata kuliah tentang hal ini.
Aturannya, semua confidential documents dan surat menyurat
agen CIA, termasuk radiograms, ketika sudah berumur 30 tahun
bisa dibuka kepada publik. Yang kami dalami adalah sebuah dokumen tebal berjudul "Foreign Relations of the United States
(FRUS) 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines,
287 rantau1muara.indd 287 Volume XXVI." Dokumen rahasia seputar Indonesia dimuat di
dalam bab dengan tebal 300 halaman.
"Tapi kok ya nggak takut buka rahasia?" Mas Garuda masih
bertanya tidak puas. "Pemerintah itu kan pilihan rakyat, jadi dilarang pake rahasia-rahasiaan dengan rakyat pemilihnya."
"Tapi dari mana kita tahu, bahwa ini dokumen intelijen
yang sebenarnya" Mungkin saja ini cuma jadi umpan agar orang
salah persepsi?" tanya Dinara.
"Menurut bos Washington Post, Howard Simon, aturan pertama jurnalistik adalah untuk tidak percaya pada dokumen atau
informasi apa pun yang diberikan CIA."
"Jadi ini juga bisa dokumen bohongan semua?"
"Tentu tidak semualah Mas. Yang lebih pas, mungkin tidak
semua dokomen ini lengkap. Mungkin cuma sepotong-sepotong." Kebenaran dan kebohongan kadang batasnya lebih tipis
dari kulit ari. "Kalau melihat keterbukaan ini, berarti demokrasi Amerika
itu terbagus ya?" "Relatif Mas. Aku mengakui kalau demokrasi mungkin saat
ini berjalan di Amerika. Tapi bahkan dengan prinsip freedom of
speech, tetap saja mayoritas media di Amerika masih mainstream
dan tidak bersuara majemuk. Bebas sih iya, tapi variasinya kurang."
Lantas, apakah demokrasi itu cara yang terbaik mengelola
negara" Entahlah. Menurut Plato, demokrasi bukan pilihan ter-
288 rantau1muara.indd 288 baik karena selalu ada pergumulan para politisi yang punya kepentingan masing-masing. Plato lebih memilih sistem pemerintahan aristokrasi yang dikomandoi oleh philosopher leader. Yaitu
orang yang bijak bestari dan mendapat kesempatan memerintah.
Pemimpin yang naik ke tampuk kekuasaan karena ilmu dan kearifannya. Bukan karena kendaraan politik partainya. Tapi apakah itu juga yang terbaik" Hanya Tuhan yang tahu.
289 rantau1muara.indd 289 Aroma Nasi Hangat emasuki tiga bulan pernikahan, aku masih terkejut-kejut
senang dengan kehadiran Dinara. Sepulang kuliah, saat
membuka pintu apartemen, aku kadang tertegun ketika disongsong aroma wangi nasi yang sedang ditanak, bunyi desis air
panas yang sedang dijerang, kasur yang diselimuti seprai yang
licin dan harum. Kadang aku juga masih kagok melihat deretan
sepatu kami berbaris rapi dua-dua di dekat pintu, kamar mandi
yang beraroma karbol dan mengilap baru digosok, serta sikat
gigi merah dan biru yang bersanding berdua di depan kaca wastafel. Juga sesekali masih kaget dengan teriakan senang Dinara,
"Horee, Abang pulang!"
Aku kerap memprotes Dinara karena aku tidak leluasa lagi
begadang untuk membaca buku kuliah dan menulis tugas sampai dini hari. "Bangun saja sebelum subuh dan kerja lebih awal,
daripada habis-habisan sampai dini hari," begitu bujuk Dinara
kepadaku setiap aku protes. Aku merasa tidak sebebas dulu lagi
untuk sahirul lail, tapi anehnya aku menyukai pembatasan-pembatasan ini.
Juga aku tidak merdeka lagi menguasai kamar mandi. Kebiasaan burukku: berlama-lama di kamar mandi membaca koran, majalah, atau novel yang aku lipat halamannya untuk
dilanjutkan besok. Kini kalau kelamaan sedikit, pasti diketukketuk oleh Dinara yang kebelet menggunakan toilet. Dia selalu
290 rantau1muara.indd 290 geleng-geleng kepala heran, mengapa aku senang membaca di
toilet. Tiga bulan yang indah bagiku, dan aku yakin, juga bagi Dinara. Sampai datang suatu hari.
Berulang kali aku sorongkan tangan ke balik kaos kaki untuk memijit-mijit urat betisku yang tegang. Aku sudah berjamjam berdiri terus melayani pelanggan Ticket Master. Tidak
seperti biasa, antrean hari ini tidak putus-putus karena ada
penjualan tiket menonton NBA All Star di MCI Center dan
beberapa konser di Kennedy Center.
Maka tidak terbilang leganya aku begitu sampai di apartemen.
Aku lempar jaket dan syal ke kursi dekat vas bunga Dinara lalu
aku empaskan badanku di kasur. Aku hanya ingin berbaring
lurus-lurus sambil memejamkan mata. Dinara yang muncul dari
dapur dengan celemeknya berteriak senang seperti biasa, dan


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajak ngobrol hilir-mudik. Tapi aku hanya mampu membuka
mataku sedikit. Aku bilang, "Cinta, Abang capek, boleh ya istirahat dulu?"
"Iya deh. Tapi Dinara kan pengen cerita-cerita."
"Cinta sih enak di rumah aja, Abang kan kerja," kataku
dengan mata terpejam memunggungi dia yang duduk di ujung
tempat tidur. Hening sesaat, lalu terdengar jawaban Dinara.
"Emangnya yang kerja Abang saja. Dinara di apartemen kan
bukan nggak ngapa-ngapain. Seharian Dinara ngerjain semua,
291 rantau1muara.indd 291 dari gosok WC, masak, nyuci, nyetrika. Apa itu nggak bikin capek juga?" Nadanya seperti merajuk.
"Abang kan tadi berdiri empat jam nonstop," kataku membela diri.
"Kalau boleh milih, Dinara lebih suka capek kerja di luar
rumah daripada jadi Upik Abu seperti sekarang. Sudah capek
fisik, eh Abang nggak mau diajak ngobrol. Capek perasaan
juga." Suaranya tidak merajuk lagi. Tapi sudah pecah dan
bergetar. Aku membalikkan badan dan membuka mata. Air
mata tampak mulai merebak di pelupuk matanya. Aku tidak
mengerti kenapa dia menjadi sensitif sekali. Aduh Tuhan, aku
hanya ingin merebahkan badan dan jauh dari pertengkaran.
Selama setengah jam kemudian kami bersahut-sahutan seperti berbalas pantun tapi dengan tensi semakin tinggi. Isi pembicaraan merembet ke segala arah, berisi segala macam perasaan
tak terungkap selama usia pernikahan kami yang baru seumur
jagung ini. Dinara kesal dan emosi, aku lebih-lebih lagi. Ketika
dia mulai terisak di sela-sela kata-katanya, aku tahu kami telah
terjebak ke perang yang tidak berguna. Kami seakan terus saling
menyakiti dengan ucapan masing-masing. Aku tahu aku harus
menghentikan ini dengan satu cara. Pergi dari medan perang
mulut. Aku renggut jaket tebalku dan tarik ritsletingnya sampai leher. Di vas bunga aku melihat, beberapa kuntum tulip sudah
keriput. Sehelai kelopaknya gugur dan jatuh di lantai. Aku tidak percaya pertanda, tapi ini pas menggambarkan hubungan
kami sekarang. Kering dan layu terlalu cepat. Aku sentak gagang pintu dengan keras.
292 rantau1muara.indd 292 "Ke mana?" tanyanya dingin.
"Nggak tahu, yang penting ke luar," kataku tidak kalah dingin.
"Lho kok malah pergi, bukannya kita lagi ngomong?"
"Ngomong gimana" Ini namanya bertengkar, marah-marah.
Abang tidak mau kita terus saling menyakiti karena emosi,"
semburku sambil membanting pintu.
Sambil menyurukkan kedua tangan ke dalam saku, aku membelah jalanan bersalju, seperti perahu oleng menembus gelombang pasang. Aku sepak-sepak bongkah-bongkah salju sekuatkuatnya, melampiaskan sisa-sisa kesalku. Apakah kami memang
terlalu muda untuk menikah sehingga bertengkar seperti ini"
Apakah setiap pasangan baru menikah akan bersilang paham
seperti ini" Apakah karena kami hanya berdua dan tidak punya
keluarga lain untuk mengadu, sehingga tegangan emosi kami
lebih tinggi" Beragam pertanyaan berputar-putar di kepalaku.
Aku tidak bisa menjawab. Aku terus berjalan tak tentu arah sampai tiba di Lafayette
Square, taman di sebelah utara White House. Walau salju turun, taman ini cukup ramai oleh sejumlah turis dan anak-anak
yang berteriak-teriak sambil membuat boneka salju. Aku melewati kemah plastik Connie Picciotto dan William Thomas yang
sudah seperti iglo ditutupi salju. Aku lihat mereka sedang menuang kopi panas dan uap air dari gelas mengerubungi muka
mereka. Di luar kemah, barisan poster protes mereka yang
ber warna kuning terlihat kontras dengan tanah yang putih oleh
salju. Poster terbesar bertuliskan "War is Not the Answer" tampak
paling galak mengarah ke White House.
293 rantau1muara.indd 293 Aku termangu-mangu dan merasa tersindir. Rasanya tidak
pantas aku kalut untuk urusan pribadi yang kecil. Seharusnya
aku malu kepada Connie dan William. "War is Not the Answer",
pesan yang diniatkan mereka untuk tidak menggunakan perang
sebagai solusi, aku artikan juga sebagai imbauan untuk tidak
bertengkar dengan Dinara. Kenapa harus perang mulut dan marah kepada istri sendiri" Tapi satu hal yang bisa aku jawab pasti
adalah: aku mencintai Dinara. Dan itu mungkin jawaban yang
cukup kuat untuk mengalahkan semua persoalan. Urat kakiku
terasa membeku dan kulit mukaku kebas oleh angin dingin. Tapi dadaku mulai terasa lebih lapang. Saatnya pulang.
Pelan-pelan aku dorong pintu apartemen. Tidak ada Dinara
di ruang tengah. Tidak ada suara di dapur. Tapi lampu kamar
mandi tampak menyala. Dari pintu yang setengah terbuka aku
lihat Dinara duduk bersimpuh di lantai ubin. Pundaknya berguncang-guncang diselingi bunyi isak-isak kecil. Mungkinkah
dia dari tadi tidak berhenti menangis" Dia memutar-mutar cincin kawin kami di jari manisnya.
Ingin aku rasanya mendekati dia dan meminta maaf karena
telah membuat dia menangis. Tapi hatiku kembali protes. Pertengkaran ini bukan salahku. Karena itu aku gengsi untuk memulai bicara. Tapi separuh hatiku lagi berbisik, kenapa harus
mempertahankan ego" Bukankah menikah untuk saling ikhlas
menerima dan memaafkan. Bukan menuntut kesempurnaan tapi saling menyempurnakan"
Dari belakang, aku sentuh pundaknya dan aku dekap dia.
"Maafkan Abang, Cinta," bisikku di telinganya. Aku seka sebutir
air mata yang menggantung di dagu lonjongnya dengan ujung
294 rantau1muara.indd 294 ibu jariku. Lalu aku kecup keningnya. Dia tidak bergerak dan
tidak menjawab. Namun pelan-pelan isaknya susut dan bahunya
tenang. "Maafkan Dinara juga, Abang. Jangan pergi lagi kayak
tadi. Kita selesaikan masalah kita dulu, jangan lari," balasnya
berbisik. Ingin aku memprotes lagi, bahwa sesungguhnya aku
tidak lari tapi tidak ingin saling menyakiti.
Tapi sudahlah, tidak ada gunanya pertengkaran ini. Hanya
menghabiskan tenaga dan stok saling sayang kami. Baru sekarang aku mengerti arti sesungguhnya dari nasihat Ustad Fariz,
bahwa dunia perkawinan adalah dunia berbagi dan saling mengerti. Bukan dunia meminta dan berharap.
Malam itu, kami lelap sambil berpegangan tangan. Love is
the answer. Dering panjang membuat aku terlonjak kalang kabut dari
kasur. Remang-remang aku melihat alarm clock radio menunjukkan jam 1 dini hari. Ada musibah apa" Siapa yang meninggal"
Telepon tengah malam selalu membuat aku deg-degan.
"Maaf Alif, menelepon agak malam. Ini penting. Derap perlu
wawancara tokoh penting Amerika besok. Mau minta tolong
kalian...," Sayup-sayup antara tidur dan bangun aku kenal suara
itu. Mas Malaka. "Apa Mas nggak bisa menunggu sedikit sampai pagi. Ini bukan malam, ini dini hari, jam 1 malam," balasku memprotes
dengan suara serak dan mata masih terkatup.
295 rantau1muara.indd 295 "Wah, maaf, maaf. Saya salah melihat perbedaan waktu, saya
pikir ini masih jam 9 malam di Amerika."
Sudah telanjur bangun, akhirnya aku mendengarkan juga
penugasan baru dari Jakarta itu.
"Siapa?" "Yang paling bertanggung jawab untuk keamanan Amerika.
Menteri Pertahanannya, Andrew Roddick. Dia punya slot waktu
besok sore untuk wawancara di Pentagon."
Pentagon! Aku terlonjak dan mataku nyalang. Dari dulu aku
memang ingin sekali masuk ke Pentagon sebagai seorang wartawan. Konon itu salah satu kompleks perkantoran terbesar di
dunia dengan lebih dari 25 ribu pegawai lalu-lalang di dalam bangunan seperti benteng kelabu raksasa itu. Selama ini, interior
bangunan bersegi lima ini hanya aku lihat di film, sedangkan
bagian luarnya aku sering melihat setiap melewati Highway 395.
Selain itu aku penasaran sekali untuk bisa bertanya langsung
kepada pemegang kebijakan Amerika tentang pendekatan internasional mereka yang kerap menggunakan kekuatan militer.
"Siap Mas. Kirimkan saja penugasan detailnya lewat e-mail,"
kataku dengan suara serak.
Sore itu, di depan pintu utama Pentagon, seorang tentara
bertubuh tinggi besar dengan mata menyelidik mencocokkan
kartu pers kami dengan daftar yang ada di tangannya. "This way
Sir, Ma"am," katanya membuka pintu. Begitu pintu terkuak, kami disambut oleh perwira berhelm mengilat. "Saya perlu mengantar Anda bukan hanya karena alasan keamanan, tapi karena
296 rantau1muara.indd 296 takut Anda tersesat. Kantor ini luas sekali. Staf baru saja bisa
bingung kembali ke ruangannya," kata perwira ini ramah.
Kami berjalan menyusuri lorong lebar yang sepi dan disambung lorong lain yang panjang dan dipenuhi orang berpakaian
militer dan sipil yang hilir-mudik. Sepatu militer mereka berdekak-dekak menabuh lantai keras. Saat berpapasan di sebuah
perempatan, beberapa orang saling mengangkat tangan memberi hormat. Sesekali mobil listrik meluncur membawa tiga
perwira dengan seragam penuh lencana duduk di atas joknya.
Mungkin mereka terburu-buru harus rapat di sudut lain gedung
ini. Setelah melewati sekian lorong berdinding abu-abu, akhirnya
kami sampai juga di kantor Menteri Roddick. Walau Pentagon
terkesan militeristik, tapi begitu masuk ruang menteri tidak banyak aksesori militer. Malah menterinya mengenakan jas dan
dasi seperti dosen-dosenku di kampus. Menurut risetku, banyak
pejabat menteri pertahanan Amerika Serikat yang bukan berlatar belakang militer.
"Apa kabar?" sapanya dalam bahasa Indonesia. Menteri
Roddick dengan hangat mengembangkan kedua tangannya menyambut kami dan menyilakan duduk. Paling tidak, mungkin
itu dua kata yang masih menempel di ingatannya setelah pernah
bertugas di Kedutaan AS di Jakarta belasan tahun yang lalu.
Bahkan dari hasil riset yang kulakukan, anaknya sempat sekolah
di Jakarta. Dan ketika mereka sekeluarga pindah kembali ke
Washington, dia memboyong pengasuh anaknya yang berasal
dari Temanggung ke Amerika.
297 rantau1muara.indd 297 Menilik penampilannya yang santai, rasanya sosok dia kurang
pas menjadi menteri pertahanan sebuah negara adikuasa. Bagaimana mungkin seorang yang berperangai santun ini punya kuasa untuk merekomendasikan operasi militer atau perang kepada
Presiden AS. Look can be deceiving.
Aku buka dengan pertanyaan pertama: "Bagaimana Anda
melihat munculnya sikap anti-Amerika di Indonesia sekarang
ini" Apakah Anda kecewa dengan orang Indonesia?"
"Tidak kecewa dan tidak perlu kecewa. Saya kira ada salah
pengertian antara kita. Saya siap untuk berkomunikasi lebih
jauh dengan pemerintah dan masyarakat Indonesia."
Selama satu jam, aku dan Dinara berganti-ganti bertanya.
Kebanyakan pertanyaan kami bernada skeptis terhadap pendekatan Amerika Serikat yang mengandalkan invasi bersenjata
dan bertindak seperti polisi dunia. Semua pertanyaan kami
ditangkal dengan jawaban Menteri Roddick yang bernada normatif dan politically correct. Tidak banyak informasi baru yang
berhasil kami gali dari wawancara ini. Tapi pengalaman masuk
ke Pentagon rasanya tidak akan pernah kami lupakan.
"Saya masih cinta Indonesia, saya masih suka gado-gado dan
nasi padang," katanya ketika melepas kami di pintu kantornya
setelah berfoto bersama. 298 rantau1muara.indd 298 Sakura dan Segerobak Buku
abis salju terbitlah kembang. Segala rupa bunga pelanpelan bangkit dari tidur panjang selama musim dingin,
lalu bersemi, mekar, melepaskan serbuk sari untuk diembus
udara ke empat penjuru mata angin. Begitu serdadu lebah
berdengung-dengung saling membalap satu sama lain untuk
hinggap dari kuntum ke kuntum lain, itulah tanda musim semi
sudah tiba. Musim yang selalu membawa janji-janji segar untuk
memulai hidup baru. Janji untuk hidup yang baru juga sampai ke apartemen kami,
ketika tukang pos mengetuk pintu kami. Dia datang membawa
sebuah surat resmi dari INS, kantor yang menerbitkan izin
kerja orang asing. Terburu-buru, Dinara merobek amplopnya,
dan dia langsung melompat-lompat senang sambil berseru,
"Alhamdulillah! Yes!" Hari ini adalah awal baru bagi hidupnya
di rantau. Dengan kartu yang dikirim bersama surat itu, dia bisa bekerja dengan legal di mana saja di Amerika.
Dinara bergerak cepat, menyebar surat lamaran yang sudah
disiapkannya sejak tiga bulan yang lalu. Dan dalam hitungan
hari saja dia sudah diterima bekerja sebagai book seller di salah
satu toko buku terbesar di dunia, Borders. Hampir setiap hari
sepulang kerja, Dinara dengan mata berbinar-binar bercerita
tentang kesibukannya hari itu. Dia melakukan pekerjaannya dengan senang hati walau harus capek bolak-balik mencarikan bu299
rantau1muara.indd 299 ku dan melayani pembeli di toko buku bertingkat dua sebesar
kantor Derap. Walau kadang dia harus lembur, aku tahu dia
telah menemukan lagi harga diri yang sempat turun.
Musim semi ini mungkin musim keberuntungan Dinara.
Sebuah surat lain datang. "Bang, Dinara diterima untuk kuliah
di GWU mulai semester depan!" teriaknya dengan riang. Ia
memilih mengambil kelas sore dan akhir pekan untuk bidang
integrated marketing communication. Kini status kami berdua kembali sama, mahasiswa dan pekerja.
Kegiatan kuliah kami ikut terbantu dengan pekerjaan Dinara di Borders. Sebagai karyawan, Dinara boleh meminjam buku
apa saja yang ada dalam katalog di toko. Melalui Dinara, aku
kerap meminjam buku-buku referensi terbaru untuk paper-ku.
Borders bagi kami layaknya perpustakaan pribadi yang luas dengan koleksi buku paling gres setiap hari.
Bagi Dinara, pekerjaan favoritnya di Borders adalah menata
ulang sebuah bagian toko buku yang terletak di sudut belakang.
"Senangnya kalau dapat tugas di Travel Section. Kerjanya merapikan dan menyusun buku travel guide ke seluruh dunia. Setiap
kali megang satu buku itu, pengen rasanya mendatangi tempat
itu. Melihat foto-foto dan membaca beberapa halaman buku
saja sudah happy rasanya. Nanti kalau kita punya uang, kita berkelana keliling dunia ya Bang. Just the two of us," katanya sambil
menggoyang-goyangkan tanganku.
"Siapa takut," jawabku.
Suatu hari Dinara pulang dengan lebih bersemangat, "Bang,
300 rantau1muara.indd 300 hari Sabtu besok semua karyawan boleh memilih buku sisa
display yang segunung banyaknya. Kita boleh membawa pulang
buku sebanyak-banyaknya. Gratis! Ntar bantuin Dinara bawa
pulang buku-buku ya," katanya.
"Beres. Kalau perlu, kita bawa truk," kataku bercanda.
Kami yang selalu rakus buku berpikir keras bagaimana supaya bisa membawa buku lebih banyak. Ransel terlalu kecil.
Koper paling hanya bisa memuat beberapa belas buku. Ketika
aku mencuci baju di laundry room, aku menemukan jawaban.
Gerobak dorong untuk membawa cucian ke ruang laundry.
Perfect! Tidak ada truk, gerobak pun jadi.
Sabtu siang, kami dengan susah payah mendorong gerobak
yang berdecit-decit melintasi trotoar K Street. Gerobak ini doyong ke kanan karena penuh munjung oleh tumpukan buku.
Dinara memborong beragam peta dan buku travel guide dari
Lonely Planet dan Frommer"s, sedangkan aku mendapatkan
banyak buku tentang fotografi, media dan seri Idiot"s. Selain
itu kami masih menenteng plastik-plastik berisi novel paperback
yang lebih enteng di tangan kiri dan kanan.
Walau lengan kami pegal linu, kami tertawa-tawa senang.
Rasanya seperti membawa harta karun dan aku sudah tidak
sabar untuk berpesta membaca buku-buku bagus ini setiba di
apartemen. Bahagia kami memang sederhana.
Salah satu hiburan musim semi yang paling dinanti oleh
Washingtonian"sebutan untuk warga DC"adalah National
301 rantau1muara.indd 301 Cherry Blossom Festival. Puncak festival ini hanya bertahan beberapa hari saja ketika bunga cherry mekar semekar-mekarnya,
setelah itu bunga ini akan gugur dan semua orang harus menunggu setahun lagi untuk menikmati pemandangan serupa.
Karena itu, di sekolah, kantor, atau jalanan, warga memperbincangkan kapan hari puncak itu datang. Aku dan Dinara
ikut-ikutan kena demam cherry blossom ini. Setiap hari kami
melihat koran dan TV untuk memantau kapan bunga cherry
bisa dinikmati secara maksimal.
Cherry adalah pohon bunga dari Jepang, yang di Indonesia
dikenal sebagai bunga sakura. Alkisah, untuk mempererat persahabatan Jepang dan Amerika Serikat, walikota Tokyo, Yukio
Ozaki, menyumbangkan ribuan bibit pohon sakura untuk ditanam di ibu kota Amerika pada tahun 1912. Pohon impor
yang cantik ini lama-kelamaan menjadi salah satu identitas DC,
sehingga sampai dibuat sebuah acara tahunan bernama Cherry
Blossom Festival.

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bang, Washington Post bilang, hari ini puncak mekarnya
cherry, ke sana yuk!" sorak Dinara pagi-pagi. Dengan kamera
aku kalungkan di leher, kami berdua ikut berbondong-bondong
bersama masyarakat DC ke Tidal Basin dan Jefferson Memorial
untuk menyaksikan ribuan pohon cherry memamerkan bunga
indahnya dengan serentak.
"Masya Allah, indahnya!" teriak Dinara. Aku mengangguk
mengiyakan sambil mataku mengeker dan sibuk menjepret foto
sana-sini. Ribuan batang pohon sakura yang melingkupi lahan
luas di sekitar Tidal Basin, seperti kompak menyenangkan hati
dan mata Washingtonian. Kuntum bunga muncul dari sekujur
302 rantau1muara.indd 302 dahan dan ranting pohon yang berwarna hitam. Tiada daun,
yang ada hanya bunga, yang lebat bergerumbul-gerumbul.
Berdiri tegak memandang monumen Jefferson, kami merasa
dikepung oleh lautan bunga putih dan merah jambu yang lembut. Air yang tenang seperti kaca di kolam Tidal Basin merefleksikan kembali nuansa merah jambu ke segala penjuru.
"Terima kasih ya Bang, membawa Dinara ke tempat seromantis ini."
"Apalagi ada efek warna pink di mana-mana ini ya," balasku
bercanda. Aku bersyukur sekali bisa menikmati masa indah layaknya orang berpacaran setelah kami menikah. Pacaran setelah
menikah itu nyatanya memang lebih asyik.
Setelah lelah berjalan bergandengan tangan di antara pokokpokok sakura, aku minta Dinara untuk berpose dengan segala
gaya di depan lautan bunga ini. Awalnya Dinara senang dan
tertawa-tawa, tapi setelah 20 kali jepret dia menyerah. "Udah
ah, pemaksaan jadi model nih. Capek." Dinara kemudian sibuk memungut beberapa kelopak bunga sakura yang gugur di
tanah dan menyelipkan di sisi kupingnya. "Cantiknya," kataku.
"Apanya, bunganya atau orangnya," kata dia tergelak. "Bunganya boleh apa saja, karena akan ikut kebawa cantik orangnya," kataku merayu. "Ih gombal," katanya. Mukanya merona
menjadi merah jambu, seperti bunga sakura yang dipegangnya.
Dengan ajaib musim semi kemudian memperbarui pula hubungan kami. Ketegangan dan salah pengertian di antara kami
seperti pupus diembus angin, hilang entah ke mana. Dinara
yang sekarang sibuk bekerja telah tumbuh kembali menjadi
Dinara yang riang gembira yang aku kenal dulu di Jakarta.
Semua yang indah-indah kembali bersemi di antara kami.
303 rantau1muara.indd 303 Rekan Kerja Tercinta Setahun kemudian... usim semi bagi sebagian orang Amerika adalah
kesempatan melepaskan sarung tangan dan syal serta
menggantungkan jaket musim dingin di rumah. Saatnya mereka
bisa lagi berolahraga di alam terbuka tanpa takut kedinginan.
Sedangkan bagi Mas Garuda, musim semi adalah masa sibuk
membawa saputangan. "Inilah hidung kampung, kena serbuk
bunga sedikit saja aku... hacihhh!" Dia merogoh saputangan lagi
dan menutup hidungnya, menahan serbuan bersin berikutnya.
Mas Garuda tidak sendirian. Jutaan warga Amerika juga diserang
pollen allergy, alergi karena serbuk bunga yang beterbangan di
udara musim semi. Jadilah musim semi adalah musim bersin
berjamaah. Satu lagi hal yang baru bagi Mas Garuda di musim semi ini:
dia pindah ke New York City. Alasannya ingin mengembangkan
"karier" di Manhattan. Yang dimaksudnya karier adalah gaji
yang lebih besar. "Diajak teman untuk menjadi kurir di sana.
Dia bilang tarif antar per paket lebih bagus dan order jauh lebih
banyak daripada di DC. Semakin banyak order, semakin cepat
saya bisa pulang dan menikah. Doakan ya masmu ini," katanya
memberi alasan. "Hacihhhhh! Hacihhh! Haciih!" Bersinnya tiga
kali berturut-turut. Puncak hidungnya merah merona seperti
tomat baru matang. 304 rantau1muara.indd 304 Dinara dan aku mengantarnya pindah ke New York. Kami
menyewa truk U-Haul khusus untuk membawa barang pindahan. Mas Garuda menyetir dan Dinara kami daulat menjadi
navigator kepercayaan untuk membaca peta dan menemukan
jalan ke apartemen baru Mas Garuda di kawasan Queen. Kami
sudah dinanti oleh Mas Galih dan Mas Rama, teman-teman
Mas Garuda yang tinggal di New York. Mas Rama adalah koresponden sebuah kantor berita Indonesia di New York. Kebetulan
dia tinggal di satu gedung apartemen dengan Mas Garuda.
Setelah dua tahun bergaul dekat dengan Mas Garuda, kepindahannya ke NY membikin aku sedih. "Tenang Lif, saya
pasti sering main ke DC menengok kalian berdua," katanya
ketika kami berlima selesai mengangkat semua barang ke apartemennya.
Sementara Mas Galih dan Mas Rama pamit pulang duluan,
kami meneruskan berbenah. Mas Garuda sibuk membongkar
kardus dan menata beberapa foto di atas rak bukunya. Foto
orangtuanya, foto calon istrinya, fotonya sendiri, dan foto adiknya yang pernah diperlihatkan ke aku, Danang.
"Oh ya, Lif, obrolan tentang Danang dulu itu baru separo
cerita," katanya sambil mematut foto adiknya itu dan duduk di
atas sebuah kardus. Aku dan Dinara ikut duduk menyimak dia
bercerita panjang lebar. Dulu, ketika Mas Garuda duduk di kelas 2 SD, dia melihat banyak temannya yang punya adik. Dia pun ingin punya adik lakilaki. Agar bisa diajak main layangan di sawah dan berenang di
kali. Suatu ketika sepulang sekolah, Mas Garuda kecil menemui
ibunya yang sedang membatik. Permintaannya meyakinkan:
305 rantau1muara.indd 305 "Mbok, minta belikan adik kecil satu." Dia menyangka adik
kecil bisa dibeli seperti dia minta dibelikan balon, layangan,
atau gasing di pasar desa. Ibunya meletakkan canting, lalu
tersenyum. "Nanti ya Le. Kamu berdoa saja dulu." Mas Garuda
bercerita, dia langsung menggelar sajadah di sudut rumah,
duduk dan berdoa sejadi-jadinya. Begitu terus setiap hari.
Setelah setahun rajin berdoa di sudut rumah, dia melihat
perut ibunya terus membesar. Akhirnya hadirlah seorang bayi
laki-laki. Tepat seperti doanya. Manusia kecil ini diberi nama
Danang. Seumur hidup, inilah hadiah terbesar yang pernah dia
terima. Seorang adik. Tapi sejak melahirkan Danang, mboknya
sakit-sakitan. "Setiap hari, saya bantu Mbok mengurus adik
kecil saya ini. Saya ikut memandikan, menyuapi, mengurus
popoknya. Kalau menyuapi, saya suapi dia besar-besar, biar dia
cepat gede dan kami segera bisa main layang-layang. Setiap langkah kecilnya ketika belajar melangkah, saya soraki seperti melihat tim sepak bola kampung melawan kampung sebelah. Sejak
dia bisa berlari, maka mulailah saya mengajak dia main layanglayang. Juga berlari-lari mengejar ayam atau capung di halaman,
memancing belut di sawah, berenang di kali, dan bermain apa
saja yang kami suka," kata Mas Garuda berkisah dengan wajah
sendu. Sepertinya Mas Garuda sedang mood untuk curhat berlama-lama.
"Suatu ketika Danang ingin dibelikan layang-layang.
Dengan patungan uang jajan, kami beli sebuah layanglayang berwarna merah dengan ekor kuning. Saya ingat kami
menerbangkan layang-layang itu sepanjang hari di tanah sawah
yang baru dipanen, dan kami baru memintal benangnya ketika
306 rantau1muara.indd 306 matahari terbenam. Ketika malam tiba, kami mengaji bersama,
di bawah lampu petromaks dan membaca ulang buku-buku
cerita yang sudah kami tamatkan. Karena buku yang kami punya
hanya itu-itu saja. Mungkin karena terlalu banyak membaca,
Danang harus pakai kacamata sejak SD.
"Hampir setiap hari kami mandi dan berenang di kali, sampai suatu hari Danang tidak bangun pagi seperti biasanya. Dia
bergelung dengan sarung melilit badan sambil batuk-batuk. Saya
mencoba menggoyang-goyang badannya. Kacamata Danang malah terjatuh di lantai dan separo badannya terjuntai dari dipan.
Hari itu dia jatuh sakit. Sejak itu dia kerap batuk, bahkan sampai mengeluarkan dahak berdarah. Badannya semakin kurus
dan kami tidak lagi bebas bermain seperti biasa.
"Saya sedih sekali melihat dia tidak lagi ceria. Setiap hari saya
bacakan dia sebuah cerita dari majalah Si Kuncung, sampai dia
terlelap. Dokter bilang dia punya radang di paru-paru. Asap rokok dan hawa dingin memperburuk keadaannya. Sejak itu, ayah
saya yang perokok berat mencoba berhenti merokok, paling
tidak di depan kami sekeluarga. Setelah dirawat dua minggu
di rumah sakit kabupaten, kesehatan Danang membaik. Tapi
ketika saya bekerja di Malaysia, Danang jatuh sakit lagi. Dia
batuk hebat dan dirawat lagi di rumah sakit. Sampai akhirnya
kemudian dia berhenti batuk. Berhenti selamanya."
Matanya berkaca-kaca melihat foto adiknya di rak buku.
"Saya marah besar pada keadaan, juga pada Tuhan yang sudah memberikan Danang, tapi juga merenggutnya. Tapi marah
saya yang paling besar kepada Bapak yang telah merokok dan
saya anggap mencelakai adik saya secara diam-diam, sampai dia
307 rantau1muara.indd 307 mengidap radang paru-paru. Tapi saya juga menyalahkan diri
sendiri. Mungkin saja kondisi kesehatan Danang menjadi parah
karena sering saya ajak berenang di kali yang airnya kecokelatan.
"Setiap saya pulang, saya pasti mengunjungi makamnya yang
ditanami puring kuning merah, seperti warna layang-layang pertama kami. Saya bisa habiskan satu jam di sana dan bercerita
tentang hidup saya. Dia, adik laki-laki tersayang yang akan terus
ada di hati saya. Ketika melihat kamu untuk pertama kali Lif,
mencangklong ransel, berbadan kurus, dan berkacamata, saya
langsung ingat Danang. Kalau saja dia masih hidup, dia pasti
mirip kamu." Begitulah cerita Mas Garuda panjang lebar, dengan suara
yang lirih. Aku dan Mas Garuda mungkin punya kesamaan.
Kami berdua sedang berlari. Aku berlari menuju sesuatu. Mas
Garuda berlari menjauhi sesuatu. Aku merantau jauh untuk
mengejar mimpi bersekolah tinggi, mengejar jodoh, dan punya
penghidupan yang baik. Mas Garuda juga sedang berlari, untuk
menjauhi masa lalunya. Rasa penyesalannya karena kehilangan
adiknya. Juga lari dari kemiskinan hidupnya. Mungkin dia sebenarnya lari dari dirinya sendiri.
"Lif, terima kasih ya sudah menjadi pengganti Danang," katanya lirih.
Pindah kerja ternyata tidak hanya urusan Mas Garuda. Beberapa bulan menjelang aku lulus kuliah, sebuah e-mail dari milis
Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS sampai ke inbox-ku. Sebuah kantor berita internasional, American Broadcasting Net308
rantau1muara.indd 308 work atau ABN yang berpusat di DC mencari beberapa orang
yang pernah menjadi wartawan di Indonesia. Lowongan kerja
yang cocok sekali dengan latar belakang kami.
"Bang, waktu kuliah di UI dulu, Dinara pernah punya impian untuk bekerja di ABN Washington DC. Apa ini doa yang
didengar-Nya ya?" kata Dinara ketika aku perlihatkan pengumuman ini. Kualifikasi keterampilan wartawan kami memang
mirip, bahkan secara teori Dinara lebih unggul daripada aku
karena dia kuliah di jurusan ilmu komunikasi.
Aku dan Dinara sepakat untuk mencoba melamar. Hanya
dalam waktu seminggu setelah mengirimkan lamaran, kami
mendapatkan undangan untuk wawancara. Dinara langsung
ditawari posisi full time. Ketika diwawancarai Chief of Service
Tom Watson, seorang laki-laki bertubuh tinggi langsing yang
lama tinggal di Indonesia, aku mengaku masih punya dua
mata kuliah lagi semester ini. Dia mengangguk-angguk sambil
berkata, "Kualifikasi Anda oke sekali, tapi sayangnya kami saat
ini perlu personel full time. Jadi maaf, silakan melamar kembali
saat Anda sudah lulus." Dinara yang hanya kuliah di akhir pekan dianggap bisa kerja full time, sedangkan aku yang kuliah
sepanjang minggu dianggap belum cocok saat ini.
Bukannya riang gembira, Dinara malah merusuhkan keputusan ini. "Maaf ya Bang, kita berdua melamar, hanya Dinara
yang diterima," katanya dengan muka bersalah. "Nggak apa-apa,
I am happy for you. Begitu Abang lulus nanti juga bisa full time.
Kita bisa kerja bareng," balasku untuk menenangkannya, walau
di hatiku terselip sekilas rasa iri. Tapi aku segera menepis perasaan itu. Masa sih sama istri sendiri harus iri"
309 rantau1muara.indd 309 Setiap akan berangkat kerja, muka Dinara berseri-seri. Pasti
dia menikmati pekerjaannya. Tapi di saat yang sama dia hampir
tidak banyak bercerita apa yang terjadi di kantor. Dia mungkin
menjaga perasaanku. Dia tahu aku juga ingin mendapatkan
pekerjaaan itu. Dia mungkin juga merasa tidak enak karena
dia sudah punya pekerjaan yang bagus, sedangkan aku masih
tetap bekerja sebagai penjual tiket. Mungkin juga dia tidak
enak karena mendapatkan gaji lebih banyak daripada yang aku
dapatkan. Aku merasa Dinara ingin menjaga egoku sebagai lakilaki dan kepala keluarga.
Hari itu sampai juga. Commencement day. Hari resmi aku
boleh memakai titel Master of Arts di belakang namaku. Aku
kembali memakai baju aneh kedodoran berwarna hitam yang
dirindukan semua mahasiswa: toga. Seperti tradisi satu dekade
terakhir, acara wisuda lulusan GWU diadakan di The Ellipse,
lapangan rumput berbentuk bundar yang diapit oleh pagar
selatan White House dan Washington Monument. Lapangan
yang dulu pernah jadi tempat berkemah pasukan Union, pasukan Utara antiperbudakan, ketika perang saudara abad ke-19
terjadi. Kalau saja Presiden Clinton iseng menjenguk ke luar
dari salah satu jendela Gedung Putih, atau dia berjalan ke Truman Balcony, tentu dia melihat kami sedang bersorak-sorai melempar topi wisuda ke udara.
Hari itu juga aku mengirim surat lamaran kerja ke beberapa
media internasional, di antaranya ke European Broadcasting
Corporation yang berpusat di London. Aku juga mengirimkan
310 rantau1muara.indd 310 e-mail ke Tom Watson, Chief of Service ABN, dengan harapan
lowongan itu masih terbuka. Selang sehari, datang e-mail Tom
yang menyambut baik lamaranku. "Congratulations on your graduation. We are delighted to have you in our team." Hanya dalam
tempo seminggu, aku mulai bekerja di ABN. Alhamdulillah.
Pagi itu, pada hari pertama aku mulai bekerja di ABN, kami
berdua berangkat kerja bersama. Senyum lebar tidak lepas dari
wajah Dinara saat kami berjalan bergandengan tangan melewati
taman di depan gedung World Bank menuju halte bus. Sejarah
berulang. Kami kembali menjadi rekan kerja seperti di Derap
dulu. Sekantor, seprofesi.
Pagi itu juga, kami membuka pintu baru dalam hidup kami.
Tidak ada lagi kerja berjam-jam menjual tiket, tidak ada lagi
kewajiban Dinara mencatat pengeluaran setiap sen. Selamat
jalan kenangan memotong kupon belanja, membeli pakaian
dan perlengkapan rumah di toko barang bekas, dan mencari
perabot sisa orang pindahan di samping apartemen. Kami
sekarang adalah bagian dari kelas menengah Amerika. Kami
adalah kaum DINK. Double Income, No Kids. Kami siap menikmati Amerika.
311 rantau1muara.indd 311 Buruh Pabrik Cokelat i kantor ABN yang punya media radio, televisi dan internet, aku dan Dinara seperti mengalami d"j" vu. Keriuhan newsroom, rapat redaksi, tenggat waktu, dan berbagai
liputan menarik mengingatkan kami kepada Derap. Bedanya di
ABN tidak ada rapat Senin ajang presentasi usulan berita yang
membikin perut kembung dan badan panas dingin, seperti yang
kami rasakan saat bekerja di Derap.
Tom Watson yang mengenal baik reputasi Derap, memberi
aku dan Dinara kepercayaan besar untuk mengembangkan gaya
liputan ala Derap yang selalu ditopang riset dan perencanaan
matang. Tom juga mendukung kami untuk mengambil kursus
profesional untuk menambah skill kami. Aku dengan sukacita
memilih belajar segala aspek TV production, mulai dari camera
handling, audio, bahkan melakukan editing sendiri dengan Final
Cut Pro atau Avid. Sedangkan Dinara menekuni on-air production dan scripting.
Kepercayaan Tom kami bayar dengan banyak laporan menarik dan eksklusif. Ada-ada saja ide Dinara dan aku untuk membuat liputan khusus. Wilayah liputan kami sangat luas, mulai
dari Pantai Barat sampai Pantai Timur Amerika. Kami pernah
terbang ke Los Angeles untuk meliput sejarah awal "kota
para malaikat" ini, lalu masuk ke studio film di Hollywood
untuk melihat bagaimana proses film Indonesia bisa masuk
312 rantau1muara.indd 312 Amerika. Kami juga meliput kiprah pengusaha asal Indonesia
yang memiliki perusahaan impor makanan Asia yang sukses
di Amerika, dan perjuangan akademisi Indonesia mengajar di
universitas Ivy League di kawasan New England. Dalam waktu


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

singkat, aku dan Dinara dijuluki "Dynamic Duo", karena rajin
memproduksi berita yang unik dan berkualitas.
Aku bersyukur sekali, kami berdua ternyata tidak hanya bisa
menjadi pasangan hidup tapi juga menjadi mitra kerja yang andal. Kami bagai dua elemen kimia yang jika digabungkan menjadi elemen baru yang kuat. Ketika seorang diri, kami hanya
satu pribadi biasa, ketika bersatu, kami menjadi tim yang luar
biasa. Kami saling melengkapi. Kami adalah satu.
Dulu, ketika masih sekolah di Pondok Madani, aku penggembira tim basket. Ikut main tapi tidak pernah masuk tim inti
asrama, tentunya karena kalah tinggi dengan teman-teman yang
lain. Tapi kesenanganku pada basket lebih dari sekadar main.
Sampai-sampai sandal pun aku rajah dengan pisau lipat kecil
untuk membuat gambar ring basket. Kalau membaca berita
olahraga, selain sepak bola, aku mencari berita tentang NBA.
Aku mengikuti kabar pemain veteran Kareem Abdul Jabbar
serta pemain aktif seperti Shaquille O"Neal, Kobe Bryant, dan
legenda hidup Michael Jordan.
Mumpung tinggal di Amerika, aku ingin menonton aksi mereka secara langsung. Bahkan kalau perlu mengobrol dan berjabat tangan dengan para pebasket ini. Suatu hari aku mendapat
ide baru. "Dinara, daripada hanya sekedar menonton, kenapa
313 rantau1muara.indd 313 kita tidak membikin laporan khusus tentang NBA untuk ABN.
Hal ini belum pernah dilakukan siapa pun." Dinara yang sedang sibuk membuat skrip TV show mengiyakan. "Asyik banget
kalau bisa. Tapi emang Abang sudah dapat izin liputan?"
Ternyata mendapatkan izin meliput NBA bagi media tidak
gampang. Aku perlu pendekatan lebih dari satu bulan kepada
staf media relations NBA menjelaskan kenapa aku perlu melakukan liputan khusus. Setelah belasan e-mail dan berkali-kali
menelepon, akhirnya NBA "menyerah". "We will grant you access
only to selected NBA games as follows...," begitu isi e-mail dari
Andre Ellison yang mengurus media credential untuk NBA. Dia
setuju memberi media pass all access untukku dan satu orang
anggota tim ABN. Dynamic Duo kembali beraksi, dan Dinara
senang sekali karena salah satu impiannya untuk meliputi ajang
olahraga penting tercapai.
Aku tidak sabar untuk segera meliput ketika melihat jadwal
liputan pertama kami adalah pertandingan antara Washington
Wizards dan Los Angeles Lakers. Aku bakalan meliput legenda
NBA seperti Michael Jordan, Kobe Bryant dan Shaquille
O"Neal. Sebagai pemegang media pass, aku dan Dinara bebas memilih
tempat duduk di Media Section bahkan boleh menempati lokasi di pinggir garis lapangan. Dengan jarak hanya satu meter
dari lapangan, aku bisa mendengar langsung setiap tarikan
napas Jordan, merasakan entakan langkahnya, bahkan bau
keringatnya. Aku ternganga melihat langsung aksi fadeaway Michael Jordan yang berkali-kali berhasil memberikan angka buat
Wizards, padahal dia ditempel ketat oleh Kobe Bryant dan si
314 rantau1muara.indd 314 raksasa Shaquille O"Neal. Selama dua quarter pertama, kami
tidak berlaku layaknya reporter yang sibuk meliput berita, tapi
malah terbengong-bengong dengan serunya pertandingan.
Setelah pertandingan usai, kami bergabung dengan wartawan
lain untuk masuk ke ruang ganti pemain dan media center. Di
tengah keriuhan locker room, kami mewawancarai Michael Jordan dan Shaquille O"Neal yang menjulang di depanku seperti
tiang listrik hitam. Aku dan Dinara harus mendongak maksimal
untuk memandang muka mereka. Kaki mereka hanya berjarak
30 sentimeter dari kaki kami. Saat itulah aku sadar betapa raksasanya ukuran kaki mereka.
Sepatu besar mereka bagaikan kapal pesiar besar, dan sepatu
kami hanyalah sekoci kecil.
Di ABN, kami mendapat teman-teman baru yang tidak
kalah seru, walau tidak ada yang seantik Pasus. Rekan kerja
pertama yang aku kenal adalah Rio. Ketika jam makan siang,
dia mengetuk-ngetuk kubikelku. "Mas, yuk makan bareng di
meja rapat. Ntar coba ya green curry Thailand yang gue masak
sendiri." Selain Rio sudah memiliki jam terbang tinggi di dunia radio broadcasting dan videography dia pintar memasak dan
membuat aku terus menambah nasi. Rio punya pasangan on air
bernama Diana, yang jago dalam seluk-beluk TV production. Keduanya lahir di Jakarta tapi besar di Amerika.
Selain kami berempat, ada Arum dan Tere. Dua reporter
perempuan yang selalu kompak walau bergaya beda. Arum yang
tomboi, suka bercelana jeans dan berjaket kulit, memakai jam
315 rantau1muara.indd 315 sebesar jengkol dan mengidolakan pria macho seperti Vin Diesel. Sedangkan Tere yang girly, suka bergaun modis berwarna
pastel, kerap menenteng kamera Nikon manual dan menyukai
cowok akademisi. Kami berenam punya hobi pemersatu: makan
siang dan makan malam bersama di tempat-tempat terenak tapi
tidak mahal di seputar DC. Kalau bosan makan di luar, kami
membikin pot luck, yaitu membawa makanan sendiri-sendiri dari rumah lalu saling berbagi dan mencicipi makanan teman di
meja rapat kantor. Kami juga kompak dalam liputan bersama. Suatu hari Arum
dan Tere mengajak aku dan Dinara untuk membuat laporan investigatif tentang mafia pekerja ilegal Indonesia di Amerika. Dari penelusuran awal Arum dan Tere, salah satu pusat penyalur
tenaga kerja ini ada di Philly, nama gaul Kota Philadelphia. Kami mendapatkan info, penyalur gelap ini berjulukan Mama Mona dan dia "berkantor" di sebuah rumah makan Asia mungil
miliknya di pinggir Kota Philadelphia.
Pagi-pagi, kami berempat bertolak dari DC dan memarkir
mobil di seberang rumah makan itu untuk mengintai. Aku menekan tombol record di kamera dan memasang boom mic untuk
mendengar pembicaraan di dalam. Arum mengeker dan menjepret dengan lensa telenya. Kami amati, orang berwajah Indonesia masuk dan keluar dari rumah makan ini. Tapi tidak ada
pembicaraan yang tertangkap. Pengintaian tidak menghasilkan
apa-apa. Kami perlu mendekat. "Yuk, kita datangi saja," kata
Tere yang kali ini berdandan santai, bercelana jeans dan kaos
oblong. "Tampang kamu sudah mirip pencari kerja ilegal," selorohku.
316 rantau1muara.indd 316 Ketika kami masuk ke dalam rumah makan, aku melihat lima orang yang duduk melingkari sebuah meja. Kami berempat
duduk di sebelah meja itu. Dari kelima orang itu ada yang berwajah sawo matang, dan ada yang berwajah keturunan Tionghoa. Sekilas aku bisa mengikuti diskusi mereka tentang jadwal
penerimaan gaji mingguan.
Pandanganku beradu dengan pandangan laki-laki berwajah
sawo matang. Dia mengangguk ke arahku ramah. Dia bangkit
dan mendatangi meja kami. "Mas, nanti rencana mau kerja di
mana" Bareng saya aja, di pabrik cokelat. Gajinya lancar. Kalau kerja di pabrik botol lebih capek, dan gaji baru turun dua
mingguan," katanya kepadaku dengan logat Tegal yang kental.
Tere dan Dinara menunduk menahan tawa. "Sekarang siapa
yang mirip pencari kerja," bisik Dinara, ikut-ikutan menggodaku.
"Kalo Mas lagi apa di sini?" tanyaku.
"Ya ngambil gajilah, dari Mama Mona."
"Mama Mona lagi ke mana?" pancing Arum.
"Ada. Itu," jawab Mas Tegal sambil menggerakkan dagunya ke
pintu dapur. Di ambang pintu, seorang ibu separuh baya dengan
rambut potongan pendek sekuping mengirimkan pandangan tajam ke arah kami. Sejurus kemudian, tangannya melambai dengan penuh kuasa bagai seorang ibu akan menyetrap anaknya
yang nakal. Kami ragu-ragu mendekat ke dia.
"Dari mana?" katanya menusuk. "Sudah janji?"
Entah tenaga gaib apa yang dia miliki, kami berempat sempat terdiam bagai sedang diinterogasi aparat. Seharusnya bukan
317 rantau1muara.indd 317 begini. Kami yang mestinya mewawancarai dia. Kenapa kami
yang sekarang merasa tertekan. Dengan menggertakkan gigi,
aku angkat bicara, "Kami dari media Bu. Kami ingin wawancara
Ibu tentang teman-teman yang bekerja di pabrik cokelat dan
botol." Alisnya yang nyaris dicukur habis terangkat tinggi dan kulit
keningnya berlipat-lipat. "Saya tidak mengerti maksudnya apa.
Saya ini penjual makanan Indonesia, dan sekarang harus belanja
buat masak besok." Tanpa tedeng aling-aling dia serta-merta memutar badannya, membanting pintu, dan sekejap kemudian
kami melihat dia melajukan mobilnya entah ke mana.
Mas Tegal mendekatiku. "Gimana Mas jadinya, dapat kerjaan di pabrik cokelat atau botol" Nanti kita kos bareng aja. Biar
hemat. Jadi kita bisa cepat nabung buat pulang kampung."
Aku tidak sudi terjerat sendiri. "Kalau perempuan bagusnya
kerja di mana ya, Mas?"
"Wah, setahu saya lowongan buat cewek sekarang lagi gak
ada. Mungkin sebulanan lagi ada di pabrik resleting. Bulan depan Mbak-Mbak datang aja lagi ke sini."
"Jangan ngajak-ngajak orang dong," kata Tere kepadaku dan
disambung tawa Dinara dan Arum.
Sepanjang perjalanan ke DC, tak habis-habisnya aku diledek.
"Lif, bagi-bagi dong cokelatnya" Pekerja pabrik pasti dapat gratis
dong," seloroh Arum.
318 rantau1muara.indd 318 Gatotkaca dan Superman alau mau menikmati hidup di Amerika seutuhnya, belilah mobil. Mobil apa saja, asal bisa jalan nyaman,"
nasihat Mas Nanda kepadaku. Dan itulah yang aku lakukan, setelah mengikuti ujian SIM yang ketat di Department of Motor
Vehicle, aku dan Dinara mencari mobil bekas. Hanya dengan
merogoh US$500 kami sudah dapat mobil sedan Ford Fiesta
bekas. Pada akhir pekan, mobil ini kami pakai menyetir ke konser
Gipsy Kings di alam terbuka Wolf Trap di pinggir kota. Di minggu itu pula aku tersesat selama satu jam ketika menyetir sendiri
di daerah Virginia. Aku baru bisa pulang lagi setelah bertanya
arah jalan yang benar ke seorang polisi yang sedang patroli. Sejak itulah aku semakin insaf, aku tidak punya sense of direction
dan sering gagal menghafal jalan. Sejak itu pula, sebisa mungkin
aku selalu pergi bersama Dinara. Dia kembali membuktikan kemampuan mengingatnya yang hebat. Dia hanya perlu sekali saja
melalui sebuah jalan, setelah itu dia hafal layaknya orang yang
sudah tinggal di sana bertahun-tahun. Sama seperti dia dengan
mudah hafal hari ulang tahun Amak, adik-adikku, dan temantemannya. Mungkin dia diberkati photographic memory seperti
yang dipunyai Baso. Salah satu keindahan hidup di Amerika yang tidak akan
pernah kulupakan adalah menyetir sejauh mata memandang,
319 rantau1muara.indd 319 melintasi kota, pegunungan, puncak es, gurun pasir, dan hutan
boreal Amerika. Jalan mulus dan lebar, tanpa ada pasar kaget,
angkot, dan ribuan motor. Kebebasan menjelajahi hamparan daratan Amerika yang luasnya hampir lima kali luas Indonesia ini
hanya bisa dilakukan dengan kendaraan seperti mobil. Tanpa
mobil, orang di sini mungkin tidak merasa menjadi orang Amerika seutuhnya. Nasihat Mas Nanda memang benar adanya. Mobil membukakan horizon alam Amerika kepada kami.
Seiring dengan pendapatan yang meningkat, kami jadi lebih
sering pelesiran keliling Amerika. Kalau tidak berdua, kami
kadang mengajak Arum, Tere, Rio, dan Diana untuk jalan bersama. Dinara dengan teliti merencanakan rute road trip kami
ke segala penjuru mata angin. Pernah kami melakukan road trip
menyusuri Route 66 yang terkenal itu ke arah barat lalu singgah
di Los Angeles, Las Vegas, dan Grand Canyon. Kalau capek,
kami menyesap minuman dingin di Soda Fountain atau makan
di American Dinners. Kalau mengantuk di perjalanan, kami
berhenti dan menginap di motel kecil yang banyak berdiri di
sepanjang jalan. Dinara juga pernah merencanakan perjalanan ke utara Amerika. Kami meluncur di Interstate 95 dan naik ke New York
terus ke New England, menuju Massachusetts dan Maine. Lalu
menyusuri perbatasan Amerika dan Kanada di air terjun Niagara Falls. Sayang kami tidak punya visa Kanada, padahal tinggal tiga jam lagi menyetir, aku sudah bisa makan siang di rumah
Mado dan Ferdinand, orangtua angkatku di Saint Raymond
dan bertemu Franc. Pernah pula kami turun ke arah selatan
dengan menyusuri Route 1, melewati Virginia, North Carolina,
320 rantau1muara.indd 320 dan sampai Florida. Kami tidak hanya berhenti di Miami, tapi
terus turun lagi menuju gugus pulau-pulau kecil Key West,
ujung paling selatan Amerika Serikat. Kalaulah ada jembatan,
sedikit lagi kami akan sampai di negara Fidel Castro, Kuba.
Life is good. Actually, it is great!
Kadang-kadang perjalanan kami juga tidak terencana. Pernah Sabtu subuh, begitu kepala kami muncul dari balik converter
yang hangat, aku dikejutkan oleh Dinara yang tiba-tiba langsung
duduk. "Setelah salat Subuh, kita ke Philly yuk, kita breakfast
di sana," usul Dinara. Aku mengangguk setuju. "Siapa takut,"
kataku. Aku memacu mobil menuju Philly, yang berjarak sekitar tiga
jam perjalanan dari DC. Udara pagi yang segar dan sejuk kami
biarkan masuk melalui jendela, menyentuh muka kami, mengibas-ngibaskan ujung rambutku. Setelah puas mengitari Philly
dan mengudap fish and chips untuk sarapan, kami kembali berpandang-pandangan.
"Berani ke mana lagi?" tanyaku.
"Mau ke New York" Sekalian main ke tempat Mas Garuda?"
tantangnya. "Asal navigatornya bacain peta ya?"
Ketika kami sampai di depan apartemennya, Mas Garuda
baru keluar dari pintu apartemen. "Dua adikku datang tidak
ngasih tahu dulu," katanya gembira sambil memelukku erat dan
menyalami Dinara. "Tapi maaf, kalian berdua datang di saat
yang kurang pas. Walaupun weekend, saya tidak libur, kebagian
piket di kantor Manhattan. Libur saya malah Selasa. Bagaimana
321 rantau1muara.indd 321 kalau kita ngobrol di dekat kantor saja sambil makan gyro halal
yang paling top di sana," katanya.
Kami bersama menuju Manhattan, sebuah pulau di Sungai
Hudson yang menjadi kawasan terpadat penduduknya di AS.
Manhattan yang bagai hutan gedung pencakar langit ini adalah
pusat pergerakan uang terbesar Amerika Serikat, atau mungkin
dunia. Di Manhattan inilah terletak kawasan bisnis Wall Street,
Empire State Building yang pernah dipanjat King Kong dalam
film, Central Park yang rimbun, dan juga kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Profesor Deutsch pernah bilang kepadaku, bahwa Manhattan
itu pernah berharga sama dengan sebuah daratan mungil di Kepulauan Banda, Pulau Run namanya. Dia bercerita bagaimana
Inggris dan Belanda dulu berperang sengit memperebutkan
tanah jajahan, termasuk kepulauan di sekitar Banda. Akhirnya
melalui Treaty of Breda pada abad ke-17, Belanda "menukar"
Manhattan yang dulu bernama New Netherland dengan Pulau
Run yang dikuasai Inggris. Mungkin di masa itu, wangi pala
dan rempah di Pulau Run lebih memabukkan bagi Belanda
daripada koloni pedagang kulit berang-berang di Manhattan.
Melihat Manhattan hari ini, sangat mungkin Belanda menyesal
dengan keputusan yang mereka buat dulu.
"Yuk, antrian masih pendek," kata Mas Garuda mempercepat
langkahnya. Di sudut jalan tidak jauh dari kantor Mas Garuda,
ada warung Hasan"s Halal Gyro. Begitu menghirup wangi daging domba dan ayam panggang, air liurku menggenang.
"Assalamualaikum Brother. How is Jamil?" kata Mas Garuda
menyapa seorang pria berkulit terang dan berhidung mancung
seperti orang Timur Tengah. Dia sedang sibuk mengomandoi
322 rantau1muara.indd 322 empat pegawai melayani pembeli di warungnya. Sesekali tangannya menggoyang sebuah boks bayi.
"Walaikumsalam. Busy... busy.... My wife is doing the grocery.
It is my turn to babysit Jamil. Fortunately, he is sleeping," jawabnya
sambil tergelak menunjuk bayi laki-laki yang tampak mengulet
di boksnya. Sesuai usul Mas Garuda, aku memesan sepiring nasi briyani
yang dicampur dengan daging domba, pita bread, dan salad
bermandikan saus putih. Mas Garuda berbisik, saus ini dibuat
khusus dari campuran yoghurt, vinegar, ketimun, bawang putih,
dan madu. Rahasia kelezatannya adalah ukuran racikan setiap
bahan dasar itu. Begitu aku suap, aku tahu promosi Mas Garuda tidak
berlebihan. Porsi di piring aluminium tipis ini besar, daging
dombanya bertekstur lembut dengan bumbu Mediterania yang
meresap sedap dan nasi yang kurus panjang berwarna wortel
itu gurih sekali. Sausnya yang gurih benar-benar membikin ketagihan. Semakin kami mengunyah, terasa semakin enak. "Kalau mau lebih top, lebihin kejunya," celetuk Mas Garuda. Bagi
dia, sekali cinta keju tetap keju.
"Dibanding kerja di DC, enakan mana Mas?"
"Ya, di New York ini lebih banyak uangnya. Di DC lebih tenang dan banyak kawan."


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi cepat terkumpul modal nikah dan modal usaha nih,"
godaku. "Iya Lif, saya mau pulang." Tiba-tiba Mas Garuda merendahkan suaranya dan menjadi serius. Dia memandangku lekat.
323 rantau1muara.indd 323 Aku dan Dinara saling melirik. Kami berdua sudah tahu
sejak lama dia selalu bilang mau pulang tapi belum juga terlaksana. Jadi aku tidak terlalu percaya. Alasannya macam-macam, karena tabungan belum cukup, belum berhasil menjual
mobil, masih terikat kontrak, dan sebagainya.
"Kapan?" ujiku sambil menyuap pita bread berlumur saus
putih yang gurih. "Saya sekarang sadar Lif, tabungan itu rasanya tidak akan
pernah benar-benar cukup. Akan selalu terasa kurang. Tapi kerja
di New York ini lumayan. Rasanya akhir tahun ini saya sudah
benar-benar bisa pulang. Kayaknya ini waktunya. Menikah.
Mengoperasi katarak mbokku. Menikmati kampung halaman,
dekat dengan orangtua, dan punya usaha sendiri," katanya sambil melayangkan pandangannya ke jalan besar, di mana tampak
dua menara menjulang. Ketika kami pamit, Mas Garuda dengan mata serius kembali
bilang, "Pokoknya yang sekarang ini benar, sudah saatnya si
Garuda ini hinggap kembali." Kami melambaikan tangan. Dia
membalas sambil membetulkan syal batik yang membebat lehernya.
Sore itu kami meneruskan petualangan weekend dengan berjalan melintasi keramaian di Time Square dan menonton The
Phantom of the Opera yang sedang main di Majestic Theater,
Broadway. Ketika mondar-mandir di Broadway kami membaca
sebuah selebaran yang dibagi-bagikan di jalan. "Enjoy our Contemporary Javanese Puppet Show and Gamelan Festival next weekend
in Connecticut." 324 rantau1muara.indd 324 "Bang, ini menarik banget. Festival gamelan dan wayang
kulit di Wesleyan University, Connecticut. Kampus itu bahkan
punya mata kuliah Karawitan Jawa. Kita liput yuk!" Dia cukup
tahu tentang wayang karena pakdenya adalah salah satu ahli
wayang tersohor di Tanah Air.
"Wayang" Abang kurang tertarik. Tidak pernah bisa mengerti
apa isi ceritanya karena selalu dalam bahasa Jawa."
"Dinara juga gak ngerti. Tapi masa gak malu sama bule-bule
yang mau belajar budaya kita," balas Dinara.
Setelah enam jam menyetir dari DC, kami sampai ke juga
di Kampus Wesleyan University yang tenang dan teduh dengan
pohon-pohon rimbun. Baru saja kami duduk, Dinara menggamit pundakku. "Bang
lihat itu, kayaknya perlu langsung di-shoot," katanya menunjuk
ke pinggir panggung. Enam orang perempuan muda berambut
pirang sedang berdiri berbaris seperti menunggu aba-aba. Aku
langsung menyiapkan kamera Sony PD150 dan memasang
shotgun microphone Sennheisser.
Dari balik view finder, aku mengikuti gerakan mereka yang
mulai mendaki panggung dengan langkah kecil-kecil. Mereka
memakai kain batik dan baju kebaya dan rambut disanggul
layaknya pesinden. Satu-satu mereka menghaturkan sembah gemulai kepada penonton layaknya putri-putri Keraton Solo, lalu
menempati posisi masing-masing di balik seperangkat gamelan.
Lalu masuk pula serombongan laki-laki bule yang berbaju
325 rantau1muara.indd 325 beskap dan berblangkon, menghatur sembah dan mengambil
posisi di balik gong dan gamelan lain. "Please welcome our university gamelan group!" sambut seorang pembawa acara berbaju
batik. Gamelan dilafalkan jadi gee-mi-lan. Penonton yang
hampir semuanya bule bertepuk tangan meriah. Bunyi gamelan
mengapung lembut di udara, para mahasiswa ini memainkan
gamelan dengan sepenuh penghayatan jiwa.
Acara puncak adalah pertunjukan wayang kulit. Dalangnya
adalah Pak Purnomo, seorang laki-laki kurus berwajah Jawa,
yang bergelar profesor musik dan seni Jawa dari universitas ini.
Dialah yang menjadi guru semua mahasiswa yang tadi tampil.
"This is a short version of contemporary Ramayana puppet show," kata
Profesor Purnomo membuka acara. "Kalau di kampung saya di
Jawa Tengah, wayang ditampilkan semalam suntuk. Demi jam
tidur Anda, saya bawakan yang singkat saja sebagai sample.
Kalau mau yang lengkap, jalan-jalan saja nanti ke kampung
halaman saya yang indah di Indonesia." Gamelan terdengar
bertalu, lampu di belakang layar mulai menyorot dan wayang
satu per satu dengan patuh mengikuti peran yang diberikan Pak
Purnomo. Penonton terbahak-bahak setiap Punakawan berbicara dalam
bahasa Inggris medok Jawa, dan beberapa anak-anak bule ternganga melihat pertarungan antara tokoh Rahwana dan Rama.
Sungguh, untuk pertama kali dalam hidupku, aku benar-benar
larut dan menikmati pertunjukan wayang. Bukan berarti tidak
pernah menonton wayang di Indonesia, tapi ini cerita wayang
kulit yang pertama kali aku mengerti seratus persen. Ironisnya,
aku bisa paham ketika Rama dan Sinta mengobrol dalam bahasa Inggris.
326 rantau1muara.indd 326 Setelah lakon dari Profesor Purnomo selesai, dia memberi
pengumuman, "The next puppet show is Baratayudha and will be
performed by my long time friend and one of my Ph.D students, Leo
McIntyre." Yang maju adalah bapak-bapak bule dengan badan
subur, memakai beskap dan blangkon lengkap.
Sejak awal, Dalang Leo menyelipkan jargon-jargon Amerika
Serikat, gambaran suasana dunia terkini, baik tentang perang di
dunia maupun tentang lingkungan yang tercemar. Aku, Dinara,
dan para penonton tidak bisa menahan tawa setiap Petruk yang
memakai aksen Hispanik bertengkar dengan Gareng yang beraksen Rusia.
"Wooaa, the earth is shuddering. Gatotkaca flies above the
Menyingkap Karen 7 Wiro Sableng 143 Perjanjian Dengan Roh Across Nightingale Floor 3
^