Pencarian

Rantau Satu Muara 3

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 3


"Nih aku beliin di Mayestik. Makasih yang Bang Alif, untuk
obrolan kita kemarin." Wow, sejak kapan dia panggil aku
Abang" Sejak kapan pula dia menyebut dirinya aku, bukan gue"
"Boleh kan manggil Abang, sekali-sekali," katanya. Aku melambung-lambung rasanya. Ah Dinara, seandainya kamu tahu
isi hatiku. Jangankan sekali-sekali, selamanya juga aku tidak
keberatan. Ketika kantong kubuka, membubunglah aroma sedap dari
masa kecilku di Maninjau. Dinara membawakan sarapan lontong padang dengan kuah gulai paku. Dulu Amak kerap membuat gulai dari batang pakis muda dan daunnya. Potongan hijau
kres-kres berenang di tengah genangan gulai santan yang menguning. Nikmat terasa menjalar dari lidah sampai ubun-ubun.
Aku berusaha melambankan gerakan menyauk dan curigai
sendokku, takut terlihat kelaparan. Tapi mungkin aku sudah
telat untuk sadar, karena di ujung meja, Dinara cekikikan
melihat aku menyuap tergesa-gesa.
Anehnya, di depan Pasus dan Yansen, dia kembali memakai
kata ganti gue dan kamu ketika berbicara denganku.
162 rantau1muara.indd 162 Bernyali Tapi Takut Malu n nasu a"dau ma jahilu. "Manusia itu musuh terhadap apa
yang dia tidak tahu."
Pepatah kuno Arab yang aku dapatkan dulu di Pondok
Madani, aku temukan buktinya sekarang. Semakin sering
aku mengobrol dengan Dinara, semakin tersingkap siapa dia.
Sedikit demi sedikit, syak wasangkaku terhadap Dinara semakin
terkikis. Dia bukan lagi gadis yang aku kagumi dari jauh, tapi
sudah menjadi teman mengobrol yang menyenangkan.
Orang-orang mulai berkomentar. Jaka fotografer Derap yang
selalu pakai baju lurik suka menggoda kami dengan bilang, "Prikitiuw!" dan lalu mengarahkan kamera memotret kami beberapa
kali. Biasanya aku tersenyum saja dan Dinara paling tergelak
malu, lalu mukanya bersemu merah jambu. Sekadar "Ciyeh,"
dan "Cihui" dari teman-teman, mulai Dida sampai Pasus sudah
hal biasa. Yono saja tidak mau ketinggalan, "Waduh, senangnya
yang dibawain sarapan," katanya setiap kali Dinara menenteng
bungkusan pagi-pagi. Aku sejujurnya senang saja dikomentari
begitu. Paling tidak aku bisa menghambat orang lain yang
mungkin berminat mendekati Dinara. Ini seperti konsensus,
atau popular vote dari khalayak. Sejauh ini aku yang menang.
Bila situasi kami tampak terang di luar, aku sebetulnya tidak begitu yakin apa yang terjadi di dalam hati kami. Iya, aku
163 rantau1muara.indd 163 tertarik kepada dia, atau bahkan suka. Tapi lebih dari itu" Iya,
dia suka mengobrol dengan aku. Tapi isi hatinya" Entahlah.
Padahal aku berniat tidak akan mencari pacar. Aku sedang
mencari teman hidup, calon istri yang siap aku lamar menjadi
pendamping sepanjang hidup. Jangankan menerawang isi hati
Dinara, aku saja tidak mengerti apa yang terjadi di pedalaman
hatiku. Bila belum yakin dengan hatiku, bagaimana aku bisa
tahu apa yang ada di hati Dinara"
Bang Togar yang sekarang sudah punya anak-istri pernah
menasihatiku, "Lif. Jangan bermain-main dengan hati perempuan. Hatinya dalam dan sensitif, bisa menghanyutkan dan
menenggelamkan. Tapi juga tangguh, bisa menguatkan, menumbuhkan, dan menjelmakan mimpi-mimpi kita. Hati perempuan bisa memaafkan, tapi tidak bisa melupakan apa yang pernah singgah di pedalaman hatinya. Kalau tidak serius, jangan
main-main." Sambil bercanda Mas Aji tidak lupa memberi tips, "Jodoh
itu harus dirasakan, bukan dipaksakan. Rasanya sudah yakin,
belum" Melihat aku cuma cengengesan, dia menambahkan, "Kalau
yakin, tembak, sebelum ditembak orang lain. Hahaha."
Yang jelas, aku dulu diajarkan bahwa kalau seorang pemuda
sudah merasa siap, sudah cocok, tidak perlu menunda lagi
untuk berkeluarga. Tapi siap itu kan bukan hanya perasaan
tapi juga siap mental dan ekonomi. Taruhlah aku benar suka
Dinara dan Dinara suka denganku, aku tidak tahu bagaimana
164 rantau1muara.indd 164 melanjutkan hubungan kami ke tahap yang lebih serius. Aku
belum mampu menjamin bisa menafkahi lahir-batin. Aku saja
masih ikut program "doktor" dan gaji juga terbatas.
Hah, kenapa aku berpikir melantur sejauh ini, seakan-akan
Dinara mau saja dengan aku. Belum tentu dia mau dengan
anak dari tepian Danau Maninjau ini. Atau aku saja yang tidak
bisa membaca tanda-tanda" Maka suatu malam menjelang tidur,
aku coba bertanya kepada Pasus. Dia melihatku dengan mata
sayu dan mulut menguap. "Mana aku tahu perasaan Dinara. Yang namanya cewek itu,
mereka ahli menyembunyikan perasaan. Tak ada jalan lain, kau
harus bertanya pada dia. Itu pun kau harus siap untuk mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan keinginan kau," katanya sambil berkelumun dengan sarung.
Tiada jalan lain, aku merasa perlu bertanya kepada kaum perempuan. Ingin aku berkonsultasi dengan Dida atau Hana, tapi
aku terlalu malu. Mungkin yang paling tepat adalah kawannya
sendiri. Dengan malu-malu aku mencoba bertanya tentang tanda-tanda yang mungkin pernah disampaikan Dinara kepada
Raisa. "Kita baru aja ketemuan minggu lalu, pas aku ke Jakarta.
Biasalah, reunian teman-teman SMA," kata Raisa membuka
pembicaraan. "Terus, terus, gimana?" tanyaku penasaran.
"Terus apaan" Mau tahu apa?"
"Ya, apa ajalah. Dia ngomong tentang kantor, atau tentang
seseorang?" 165 rantau1muara.indd 165 "Heh, kamu serius beneran sama dia?"
"Salah kamu yang dulu memanas-manasi aku."
"Dia bilang suka kerja di Derap. Teman-teman asyik semua."
"Teman yang mana" Gak ada kesan khusus gitu?"
"Ada, banyak...."
Aku menahan napas. "Teman-teman di newsroom."
"Yah itu mah biasa. Maksudku, apa ada kesan khusus pada
seseorang?" Raisa terdiam sebentar seperti mengingat-ingat.
"Hmm, dia menyebut beberapa nama, termasuk kamu." Dadaku terasa bergemuruh.
"Trus?" "Nah, aku sempat sih pancing dan becandain apa ada yang
spesial. Dia cuma senyum aja. Nggak bilang ya, nggak bilang
tidak." "Oke," suaraku layu.
"Tapi jangan khawatir Lif. Pokoknya aku terus promosiin
kamu ke dia. Seperti aku bilang dari awal, kalian itu cocok."
Yang sebenarnya adalah: aku belum berani bicara langsung
ke Dinara. Ada nyaliku. Kuat dan siap. Tapi aku tidak sudi malu. Nyali punya, malu tidak mau.
166 rantau1muara.indd 166 Yono the Incredible, dengan tangannya yang lincah, meletakkan selembar amplop ke meja kerjaku. "Surat kilat khusus,
Mas Alif." Aku hanya menggumamkan terima kasih yang tidak
jelas kepadanya. Mataku tetap lengket ke layar komputer. Aku
sedang diburu deadline untuk laporan investigasi minggu ini,
merangkum hasil wawancara dengan narasumber yang tinggal
di Hong Kong bernama George Vicker. Dia adalah kepala biro intelijen partikelir yang punya data seluk-beluk kekayaan
keluarga petinggi negara Asia, termasuk petinggi Indonesia.
Jari-jariku yang sedang mengetik berhenti ketika aku melihat
logo di amplop itu. Dari Aminef dan Fulbright. Jantungku berdebar-debar. Sejak aku mengantarkan sendiri formulir ini ke
Gunung Sahari, aku selalu menunggu jawaban. Saking lamanya
menunggu, aku khawatir aplikasiku gagal.
Buru-buru aku robek ujung surat. Ujung mataku lari-lari dari
kiri ke kanan, sampai berhenti tertumbuk pada satu kalimat.
"Anda kami undang untuk datang ke kantor kami untuk mengikuti wawancara tahap akhir seleksi beasiswa Fulbright..." Aku
terlonjak dan melolong-lolong senang. Beberapa kepala dari
balik kubikel melongok ke arahku heran. Aku melambai malu-malu surat itu ke arah teman-teman dan mencoba duduk
tenang dan menarik napas panjang-panjang. Walaupun ini baru
tahap wawancara, aku merasa begitu gembira. Jalanku masih
panjang tapi ini pertanda baik.
Kuputar kursiku mengarah kepada Dinara yang sedang asyik
mengetik laporan. Kupingnya disumpal sepasang headphone
besar berwarna merah cabai. Kepalanya mengangguk-angguk
mengikuti dentaman musik. Ketika aku kibar-kibarkan surat wa167
rantau1muara.indd 167 wancara ini, matanya yang indah berbinar-binar. "Nah kan, seperti Dinara bilang. Abang akan lolos tahap wawancara. Dinara
percaya Abang bisa." Serrr... kepercayaan dari dia membuat dadaku buncah.
Sore itu, di ruang rapat, aku minta tolong Dinara untuk mau
menjadi partner untuk latihan wawancara berbahasa Inggris. Makin sore pertanyaannya makin sukar. Pasus yang ikut-ikutan menguping tidak mau ketinggalan menyumbang pertanyaan, walau
dalam bahasa Indonesia. Malam itu mereka berdua aku traktir
nasi bungkus rames dari rumah makan Padang.
168 rantau1muara.indd 168 Saputangan Bordir anik-manik keringat yang merembes dari telapak tanganku membuat kertas yang aku pegang lembap. Nadiku
terasa lebih ligat dari biasa. Bahkan buhul dasi terasa tetap
mencekik walau sudah aku renggangkan berkali-kali dengan
ujung jari telunjuk. Di kursi putih di ujung lorong sepi itu, aku
mencoba menenangkan diri dengan komat-kamit berdoa dan
mengenang masa-masa indah yang pernah aku lalui. Misalnya,
ketika aku berhasil memancing belut sawah untuk pertama
kali. Aku juga coba dendangkan bait lagu masa kecil seperti
"tak tontong kalamai jaguang...", agar hatiku lebih rileks. Aku
coba ingat-ingat bagaimana rasa rendang buatan Amak. Aku
juga coba meneriakkan mantra man jadda wajada dalam hati.
Tapi aku masih saja tidak tenang. Di ujung lorong satu lagi
terpampang sebuah pintu putih yang sebentar lagi aku masuki.
Ruang wawancara. Wawancara untuk beasiswa bukan barang baru untukku,
bahkan aku sudah membuktikan dua kali lulus, ke Kanada dan
Singapura. Lagi pula, aku sudah melakukan tiga kali sesi latihan
wawancara dengan Dinara. Tapi wawancara Fulbright kali ini
terasa sangat berbeda. The stake is much higher. Persaingan sangat
ketat, konon dari ribuan pelamar, hanya belasan orang saja yang
akan terpilih. Ini bukan pertukaran pelajar ke Kanada atau
Singapura lagi. Ini beasiswa penuh untuk tingkat master selama
169 rantau1muara.indd 169 dua tahun di Amerika. Beasiswa penuh prestise ke benua impianku sejak di Pondok Madani dulu.
Menurut risetku, beasiswa yang digagas Senator J. William
Fulbright tahun 1946 ini punya lebih dari 30 pemenang Nobel
dan 60 pemenang penghargaan Pulitzer. Di dalam negeri, alumni Fulbright di antaranya H. Agus Salim dan Profesor Mochtar
Kusumaatmadja. Semakin banyak aku tahu tentang beasiswa
ini, semakin berdebar-debar aku mengikuti tesnya.
Jika saja aku ditakdirkan untuk mendapat beasiswa ini, maka aku akan menjadi anggota klub elite ini, kelompok cerdik
pandai dan pemimpin dunia. Siapa tahu aku ikut tertular, jadi
seperti mereka, memenangi Nobel atau Pulitzer. Siapa tahu.
Aku diajarkan untuk tidak meremehkan impian setinggi apa
pun, karena sungguh Tuhan Maha Mendengar. Cita-cita yang
baru berupa bisikan di dalam hati terdalam, telah terdengar
oleh-Nya dan bisa jadi nyata.
Lamunanku buyar ketika pintu putih di ujung lorong itu
terbuka. Seorang laki-laki berambut putih, berdasi merah, melongokkan kepala ke luar. Aku kenal wajahnya di media, seorang
profesor ilmu komunikasi. Dia melambaikan tangan, "Saudara
Alif Fikri?" Aku mengangguk. "Silakan masuk," katanya.
"Saya Rahmat, pewawancara Anda hari ini. Please sit down,"
katanya mempersilakan aku duduk di sebuah kursi dengan meja putih mungil. Ah, untuk orang seterkenal dia, tidak perlu
dia memperkenalkan dirinya lagi. Aku menggumamkan terima
kasih yang tidak jelas ke arahnya.
"Make yourself comfortable," lanjutnya.
170 rantau1muara.indd 170 Apanya yang comfortable" Mejaku menghadap meja panjang
yang telah ditempati lima orang yang memandangku dengan
pandangan menyelidik. Ketika Profesor Rahmat memperkenalkan empat orang Indonesia dan satu orang bule yang akan mewawancaraiku, aku jeri. Mereka semua adalah orang ternama di
Indonesia di beragam bidang keilmuan.
Berganti-ganti mereka mengenalkan diri dan tanpa basa-basi
melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepadaku. Aku seperti bisa mendengar debur jantungku setiap menjawab berondongan pertanyaan panel ini selama satu jam. Inilah mungkin
wawancara paling penting dalam hidupku.
Dua minggu kemudian, walau rasanya mata sudah perih,
tapi aku susah memicingkan mata malam ini. Sempat terlelap
sebentar, lalu terjaga lagi. Begitu terus sampai jam dua dini
hari. Pikiranku terus melayang-layang tak tentu. Menurut
Profesor Rahmat, pengumuman penerima beasiswa Fulbright
akan dilakukan besok, melalui e-mail, website, telepon, dan
surat. Besok jam berapa ya" Barulah setelah Tahajud, hatiku
berangsur tenang dan sejenak kemudian aku akhirnya tertidur
juga dengan pulas. Pagi itu aku tidak mau jauh-jauh dari telepon dan internet. Sedikit-sedikit, mailbox e-mail aku refresh. Siapa tahu pengumuman itu sudah ada. Tiap sebentar, letak gagang telepon
yang sebenarnya tidak miring aku luruskan, takut tidak bisa
terima telepon. Yono sampai berdiri bingung melihat tingkah
lakuku. Dia baru beranjak, setelah aku mendelik. Kalau Dinara
171 rantau1muara.indd 171 tidak sedang liputan keluar kantor, pasti dia juga sudah protes
melihat aku seperti cacing kepanasan. Namun seberapa pun
hebohnya aku, bahkan sampai siang pun, tiada e-mail, tiada
dering telepon. Karena sangat penasaran, aku angkat juga gagang telepon
dan aku pencet nomor telepon penyelenggara beasiswa. Belum
lagi semua angka telepon aku pencet, komputerku berbunyi.
Sebuah e-mail baru saja masuk. Pengirimnya Profesor Rahmat.
Degup jantungku seperti drumband pawai 17 Agustusan.
"I am delighted to inform you the scholarship committee has agreed
to offer you a full scholarship to pursue your master"s degree in the
US. Please accept my personal congratulations for your outstanding
achievement." Rasanya inilah rangkaian tulisan terindah yang
pernah aku baca dari sebuah e-mail. Setiap selesai membaca satu kalimat aku ucapkan hamdalah.
Hari ini aku mentraktir Dinara dan Pasus makan di soto
betawi Bang Madun. Keduanya berjasa membantu menyiapkan
aku menghadapi wawancara penting kemarin.
E-mail Profesor Rahmat kemudian disusul sebuah surat
resmi yang mendarat di mejaku tiga hari kemudian. Isinya menerangkan dengan dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa
Fulbright, bukan berarti aku akan bisa langsung melenggang
ke Amerika. Aku masih harus berjuang untuk memastikan aku
diterima di salah satu universitas di Amerika. Dan ini artinya
nilai TOEFL dan GRE-ku harus memenuhi syarat penerimaan.
Kalau kedua hal ini tercapai, barulah aku bisa terbang ke Amerika. Semoga kerja kerasku membaca buku TOEFL dan GRE
172 rantau1muara.indd 172 setiap hari sejak berbulan-bulan lalu akan membuahkan hasil
bagus. Aku percaya dengan man yazra" yahsud. Siapa yang menanam, akan menuai.
Bermodal surat penting itu aku mulai berani bicara serius
tentang rencana sekolah ini ke orang lain. Di sebuah pagi aku
mengetuk dinding kubikel Mas Aji. Aku ceritakan rencanaku
sekolah. Dia hanya memilin-milin ujung kumisnya sambil matanya melayang ke jendela. "Lif, sebetulnya terlalu cepat kalau
kamu pergi sekarang, ilmu jurnalistikmu belum lengkap. Ibarat
pesilat, jurus pamungkas belum kamu kuasai."
"Tapi Mas, ini ibarat ada perguruan hebat yang membuka


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan, hanya untuk waktu terbatas dan peserta terbatas.
Sayang sekali kalau aku tolak."
"Lha, Derap kan juga perguruan bagus. Apalagi kamu masuk
sini kan sudah susah payah, masa mau keluar begitu saja."
"Nah karena itu, aku mau minta kebijakan, agar diizinkan
untuk cuti selama sekolah di Amerika."
"Hah, cuti dua tahun?" Alisnya terangkat.
"Iya, kalau perlu di luar tanggungan juga tidak apa."
"Saya bawa ke rapat manajemen dulu," katanya.
Bus Harmonis berlalu dengan asap hitam mengepul dari
pantatnya. Aku tarik napas dalam ketika kakiku akhirnya menjejak di jalan kecil yang melingkari Danau Maninjau. Aku pulang ke kampung kelahiranku di Bayur untuk minta restu dan
doa Amak. 173 rantau1muara.indd 173 Di depan mataku, gelombang Bukit Barisan yang hijau gagah berpadu dengan biru danau yang berkilat-kilat diterpa matahari sore. Di langit yang lapang beberapa ekor elang mengulik
berputar-putar mengintai anak ayam yang lengah. Di sisi bukit,
gumpal awan seperti menggantung sejengkal dari ubun-ubun.
Sungai kecil dan banda yang ratusan, mungkin ribuan jumlahnya
mengalirkan air gunung melintasi nagari-nagari untuk bersatu
menuju danau. Kecipak dan gemerecik air dari segala arah ini
bagai orkestra alam yang selalu membuat hatiku tenteram. Karena ini aku selalu rindu untuk pulang kampung.
Begitu Amak mendengar aku akan merantau setidaknya selama dua tahun tanpa pulang, mukanya tampak berkabut. Aku
duduk bersimpuh di depan Amak dan tidak berani beringsut
sampai mendengar jawabannya. Setelah beberapa saat diam,
Amak mengulang lagi nasihatnya, "Ke mana pun dan apa pun
yang wa"ang lakukan, selalu perbarui niat, bahwa hidup singkat
kita ini hanya karena Allah dan untuk membawa manfaat.
Jangan berorientasi materi. Kalau memang sekolah jauh itu
membawa manfaat dan wa"ang niatkan sebagai ibadah, pailah.
Pergilah." Ah, nasihat Amak selalu menghunjam jauh ke dalam hatiku
tapi juga membesarkan semangatku.
"Ondeh, ado urang rantau mah," kata suara dari arah halaman rumah. Pak Tuo Can dan Mak Tuo Nel tersenyum menjengukkan muka ke arah pintu rumah kami yang terbuka lebar.
Orangtua Randai. "Pak Tuo dengar dari amak wa"ang, keceknyo Alif ka marantau
jauh pulo?" 174 rantau1muara.indd 174 "Iyo Pak Tuo, Mak Tuo."
"Kama tu?" "Ka Amerika." Pak Tuo Can dan Mak Tuo Nel saling lirik dengan ujung
mata. "Ehm. Nan Pak Tuo lihat di tivi tu, Amerika itu negara yang
suka memerangi umat Islam. Konco karib dengan Israel dan
ikut menekan Palestina. Apa tidak berbahaya buat keimanan
wa"ang nanti?" "Apa betul itu, Nak?" tanya Amak tiba-tiba melihat ke arahku.
Aku perlu waktu satu jam untuk memberikan penjelasan
dan alasan-alasanku merantau jauh ke Amerika Serikat. Bahwa
di Amerika Utara itu Islam pun berkembang luas. Dan kenapa
keimanan dan ideologiku tidak akan berubah walau sekolah di
sana.... "Nan pantiang, bantu saja ambo jo doa agar terus di jalan
lurus," kataku. Diskusi berakhir dengan wajah Pak Tuo Can
dan Mak Tuo Nel yang masih ragu. Untunglah Amak lebih tenang. Beliau percaya aku bisa menjaga diri.
Pagi besoknya aku raih tangan Amak lalu aku cium dan
letakkan di kening. "Mohon doa Amak selalu agar sukses di
rantau urang." Tangan Amak mengusap kepalaku seperti dulu,
dan belaian tangan itu sudah cukup membuat aku tenang. Doa
Amak aku bayangkan sedang terbang melesat melintas langit
dan diikuti doa Safya dan Laily. Aku yakin, doa mereka adalah
kombinasi doa terbaik dan termujarab.
175 rantau1muara.indd 175 Dengan mata yang redup, Amak mengantar aku sampai pintu bus Harmonis sambil berbisik, "Seandainya ayah wa"ang ada
di sini." Saputangan berbordir bunganya melambai di udara,
dikepit dengan jarinya. Mungkin basah.
Mas Aji memanggilku khusus ke kubikelnya. "Ini," katanya.
Ujung telunjuknya mengangsurkan sebuah amplop di mejanya
ke arahku. "Baca!"
Ragu-ragu aku membukanya. Sebuah surat resmi dengan
logo Derap berisi izin cuti panjang di luar tanggungan. Persis
seperti yang aku minta kepadanya beberapa minggu lalu. Dan
sebuah kartu nama seorang pengusaha. "Coba kontak teman
dekatku itu, dia suka membantu anak muda Indonesia yang
mau sekolah jauh. Lumayan bisa nambah-nambah jajan kamu
di sana." Aku salami tangannya dan aku guncang kuat-kuat. Tak aku
sangka Mas Aji akan mendukungku seperti ini. Dia tersenyum,
kumisnya sampai merekah mengikuti gerak bibirnya.
"Tapi dengan satu syarat ya."
Wah, ternyata ada maunya.
"Sebut saja Mas, aku turuti."
"Kamu bersedia jadi koresponden Derap untuk Amerika
Serikat." "Siap Mas. Siapa takut!" sambutku lega. Kalau hanya itu aku
bisa."Mas, boleh tanya pertanyaan iseng Mas?"
176 rantau1muara.indd 176 "Hu uh, apa?" "Kenapa sih harus selalu pakai baju hitam, atau putih" Atau
kombinasinya" "Ini sebuah sikap Lif. Dalam bersikap dan membuat berita
kita harus jelas hitam dan putih. Benar dan salah. Jangan abuabu, plintat-plintut. Kita adalah kelompok penjelas dan pembeda antara yang benar dan salah buat pembaca. Itu makna hitam
dan putih buatku. As simple as that. Agar aku tidak lupa dengan
sikap itu maka aku kenakan sebagai baju setiap hari."
Gayanya seperti sedang berpidato kalau sedang rapat.
177 rantau1muara.indd 177 Setan Merah udah surat kelima berturut-turut aku terima dengan jawaban
yang sama. "Universitas kami belum bisa mengakomodasi Anda
tahun ini karena pengalaman kerja dan latar pendidikan Anda kurang
cocok untuk ikut program master kami." Aku tidak habis pikir dengan jawaban mereka, apanya yang kurang cocok" Aku ingin
belajar media dan selama ini aku bekerja di media. Seharusnya
cocok sekali dong. Entahlah. Mungkin aku memilih universitas
yang standar penerimaannya terlalu tinggi, dan nilai minimum
TOEFL dan GRE-ku belum mencapai yang mereka syaratkan.
Waktu terus berjalan dan deadline tahun ajaran semakin
dekat. Kalau aku sampai tidak diterima di kampus mana pun,
maka beasiswaku harus ditunda entah sampai kapan. Kalau bisa
menunda sih masih lumayan, bagaimana kalau malah hangus"
Aku bergidik sendiri membayangkan kalau sampai aku tidak
jadi berangkat. Bagaimana jadinya impianku yang telanjur melambung jauh untuk sekolah ke Amerika. Ke mana muka hendak aku surukkan" Situasi yang serba tidak jelas ini membuat
aku semakin tertekan. "Hoi, jangan termenung terus. Nanti ikut kita gak?" kata Pasus memukul pundakku.
"Jangan ganggu, orang lagi pusing nih mikirin sekolah."
178 rantau1muara.indd 178 "Sekolah kok dipikirin.... Aku saja tanpa sekolah sudah doktor. Ikut nanti kan?" katanya terbahak.
"Ikut apaan?" "Tuh baca pengumuman di papan. Nanti malam kita akan
nonton bareng final Piala Champions, ada Manchester United
melawan Bayern Munich. Di ruang rapat."
Aku mengangguk pelan. Menonton bola bareng. Mungkin
bisa bikin mumetku berkurang.
Malam itu ruang rapat kami sesak dipenuhi kursi yang dipindahkan dari ruang lain. Piring-piring plastik ditabuh dan
yel-yel terdengar silih berganti. Ini malam Piala Champions
1999. Beberapa reporter dan editor yang biasanya sudah pulang,
bersesak-sesak duduk di ruang rapat. Bahkan Yansen dan Pasus
yang laporannya belum selesai pun berhenti dulu. Seperti biasa,
aku selalu mencari posisi duduk di dekat Dinara. Dia mengakui
tidak berpihak ke tim mana pun. "Aku penggemar tendangan
pisang Beckham, tapi bukan pendukung MU." Aku selalu berpikir bahwa kalau suka seorang pemain artinya pendukung tim
di mana pemain itu berada. Dia beda.
"Reportaseku bisa menunggulah barang dua jam, boleh ya
Mas?" tanya Pasus mencoba membujuk Mas Aji. Sejak pagi tadi
Pasus sudah memakai jersey MU.
"Boleh saja. Tapi kamu janji, kalau Munich menang, kamu
harus setor tulisan dalam satu jam setelah pertandingan usai,"
tantang Mas Aji. "Nah kalau MU menang?" jawab Pasus tidak mau kalah.
179 rantau1muara.indd 179 "Kamu tentukan sendiri deadline-nya, hari ini atau besok paling lambat," kata Mas Aji meladeni. Gayung bersambut.
"Oke. Deal. Kalo MU menang, deadline saya besok pagi. Semua reporter di ruangan ini jadi saksinya ya?"
"Okeeee...," jawab kami bagai koor. Pasus bersalaman dengan Mas Aji. Mereka duduk bersebelahan. Pasus dengan jersey
merah MU-nya sementara Mas Aji yang berbaju putih-putih melingkarkan syal tim Bayern Munich burgundi abu-abu yang dia
beli saat bersekolah di Jerman. Suasana semakin hangat ketika
Yono menghidangkan aneka gorengan dan bergelas-gelas kopi.
Yono the Incredible selalu tahu kapan dan bagaimana memberi
layanan terbaik. Aku adalah penikmat olahraga, namun bukan penggila sebuah klub tertentu. For love of the game. Siapa saja yang main bagus dengan semangat bertanding yang bergelora, maka aku akan
jatuh hati. Kebetulan saat ini tim yang selalu memesonaku karena gelora jiwanya adalah MU. Tahun 1992 aku suka ledakan
permainan tim Denmark. Aku berhasil menembus UMPTN
antara lain karena terinspirasi oleh semangat tim underdog Denmark yang memenangi Euro Cup.
Ketika daftar pemain muncul di layar kaca, aku baru sadar,
satu pemain yang ada di tim Denmark tahun 1992 juga main di
MU. Dia salah satu kiper terbaik dunia, Peter Schmeichel yang
berbadan raksasa, tinggi besar, menjulang hampir dua meter.
Di sela-sela deruk-deruk tempe goreng dan suara seruputan
kopi, kami melihat kedua tim memasuki Stadion Camp Nou,
180 rantau1muara.indd 180 Barcelona. Sejenak kemudian, wasit kawakan asal Italia,
Pierluigi Collina berdiri di tengah lapangan. Wasit plontos ini
terlihat mungil diapit kapten raksasa kedua tim. Kiper Oliver
Kahn dari Munich dan Peter Schmeichel.
"Wah kalo melihat wajah para pemain, kayaknya MU bakal
menggulung Munich dalam tempo singkat nih," seloroh Pasus
memanas-manasi ruangan. Komentarnya diikuti oleh koor beragam rupa, khususnya dari pendukung non-MU.
Tanganku baru mencomot tahu goreng, ketika pemain MU,
Ronny Johnsen melanggar penyerang Carsten Jancker di luar
kotak penalti. Tendangan bebas untuk Munich. Maria Basler,
pemain sulah ini tampak mengukur-ukur tendangan apa yang
akan diambilnya. Dia menjauh lima langkah dari bola, memberi
isyarat ke timnya dan mengambil ancang-ancang. Begitu Collina
meniup peluit, dia berlari ke depan, dan menyepak bola dengan
kaki kanan. Bolanya menderu terbang rendah, membuat arah
seperti busur, dan dengan ajaib berhasil menghindari pagar pemain. Schmeichel bereaksi tapi salah langkah. Dia hanya berdiri
melongo melihat bola menyelusup ke ujung kanan gawang.
Ruangan rapat bagai pecah dan meja bergetar-getar dipukul
para penonton. Aku tidak percaya. Gol! 1-0 untuk Munich. Pasus hanya bungkam dan memalingkan muka dari TV. Mas Aji
melompat berdiri dari duduknya dan memutar-mutar syalnya di
udara. Kumisnya ikut kembang-kempis penuh semangat. Pasus
hanya mesem-mesem saja. "Ah, lihat saja nanti," katanya, walau
dengan mata tertunduk dan kening kusut.
Sudah kebobolan duluan di menit keenam, membuat MU
kesetanan. Serangan mereka menderu-deru mengurung Munich.
181 rantau1muara.indd 181 David Beckham bersama Ryan Giggs berlari ke sana-kemari,
menembakkan umpan ke arah Andy Cole dan Dwight Yorke.
Beberapa peluang matang mereka ciptakan, tapi kiper Oliver
Kahn sangat tangguh. Di sebuah kemelut gawang, Dinara tibatiba terpekik dan Pasus menyembah-nyembah meminta maaf
berkali-kali. Kaki Pasus yang ikut menendang-nendang di bawah
meja kali ini tepat mengenai tulang kering Dinara. Ruang rapat
kembali heboh karena ulah Pasus ini.
Babak kedua semakin membuat MU cemas. Munich malah
lebih giat menyerang dan berkali-kali menggedor pertahanan
MU. "Coba kalau Roy Keane dan Paul Scholes main, gak akan
begini hasilnya," kata Pasus dengan muka tegang. Roy Keane
tidak bisa main karena mendapat akumulasi kartu setelah melanggar Zinedine Zidane di partai sebelumnya.
Serangan Munich semakin bervariasi dan bagai menikam-nikam pertahanan MU. Beberapa kali Schmeichel mati langkah
dan melongo ketika bola berkelebat. Tapi sayang, sepakan Stefan Effenberg, Mehmet Scholl, dan Carsten Jancker beberapa
kali hanya menghantam tiang gawang. Skor 1-0 tetap tidak
berubah ketika pertandingan sebentar lagi genap 90 menit.
Tampaknya Munich akan segera melipat MU. Seperti para
suporter MU di Camp Nou, Pasus juga menguburkan muka
tidak berdaya ke lipatan tangannya. Dia tahu harus membayar
janjinya kepada Mas Aji yang duduk dengan pongah melihat
keunggulan timnya. Kamera TV sekilas menyorot Presiden UEFA Lennart Johansson yang sudah bangkit dari kursinya dan mulai berjalan
menuju lapangan untuk menyerahkan piala kepada pemenang.
182 rantau1muara.indd 182 Kemudian kamera menyorot telinga Piala Champions yang besar yang sudah dihiasi pita-pita abu-abu burgundi. Pesta sudah
disiapkan untuk Bayern Munich. Kemenangan mereka hanya
tinggal menunggu beberapa menit saja.
Satu-dua penggemar MU diam-diam meninggalkan ruang
rapat. Di meja hanya tinggal piring kosong berisi remah-remah
gorengan dan beberapa cengek hijau yang belum dimakan. Yono
yang mendukung MU tampak terpukul, tapi dia tetap tabah
mengerjakan tugasnya walau penuh duka. Satu-satu piring dan
gelas kosong dia masukkan ke ember hijau untuk dicuci.
Di lapangan, Collina melirik jam tangannya dan memberi
isyarat dengan tangan. Sejenak kemudian, seorang official mendekat ke pinggir lapangan sambil memanggul papan elektronik
penunjuk angka dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Angka digital
ber warna merah berpendar. Tiga menit. Pendukung Munich
terus bersorak-sorai tiada putus-putus. Hanya tiga menit lagi
mereka akan menjadi juara Eropa. Mas Aji sibuk memilin
kumisnya sambil tersenyum jumawa. Mungkin manisnya kemenangan sudah terasa di ujung lidahnya.
Di masa injury time ini, tiba-tiba MU mendapat sepak pojok.
Ini mungkin harapan terakhir MU sehingga kiper Schmeichel
sampai nekat maju dan berdiri di daerah penalti Munich.
Beckham mengirim bola lambung dari sepak pojok. Bola disambut oleh Dwight Yorke, tapi bola berhasil dihalau oleh
pemain Munich ke tengah. Bola lambung itu disambut dengan
tendangan first time yang lemah oleh Ryan Giggs. Beruntung
bola masih bergulir ke arah Teddy Sheringham yang dengan
cepat mencocor bola ke sisi kiri gawang. Oliver Kahn terpaku
183 rantau1muara.indd 183 di bawah mistar. Gooolll! Penonton bersorak-sorai seperti akan
meruntuhkan stadion. Teriakan kami di ruang rapat membuat
telingaku berdenging. 1-1. Waktu menunjukkan 90 menit lewat
36 detik. Pasus memekik histeris, berguling di lantai sambil mengepalkan tangannya tinggi-tinggi di udara, seakan dia salah satu
pemain MU. Mas Aji diam duduk terpaku. Yono pun lupa daratan. Tangannya menabuh-nabuh ember piring kotornya. Aku
menggeleng-gelengkan kepala mengagumi daya juang MU bahkan di detik-detik paling akhir sekalipun. "Baiklah, kayaknya
akan sampai ke adu pinalti," kata Mas Aji.


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu dulu Mas, apa pun bisa terjadi dalam beberapa detik," serobot Pasus.
Tidak lama kemudian MU kembali mendapat sepak pojok.
Apakah akan terjadi hal yang sama" Beckham mengirim umpan
lambung, disambut oleh tandukan Sheringham dan bola dijebloskan oleh pemain berwajah imut Ole Gunnar Solskj"r ke
gawang bagian atas. Lagi-lagi gooool! 2-1. Waktu menunjukkan
92:17. Pasus kembali berguling-guling sampai ke bawah meja
sambil berteriak, "Glory, glory, glory!"
Sungguh tidak bisa dipercaya, MU yang tertekan sepanjang
pertandingan, sekarang balik memimpin 2-1. Schmeichel yang
kembali ke gawangnya bersalto sambil tertawa lebar. Kepala Mas
Aji terkulai lesu. Yono menjatuhkan ember hijaunya saking senangnya, tidak peduli ada gelas yang pecah. "MU has reached the
promised land," kata komentator di televisi. Para pemain Munich
tertunduk lunglai lalu bertumbangan seperti pohon pisang ditebang, rebah di lapangan. Collina harus menepuk-nepuk bahu
184 rantau1muara.indd 184 mereka untuk bangun dan meneruskan pertandingan yang tersisa 43 detik lagi.
Apa yang dipertunjukkan MU hari ini sungguh berkesan di
hatiku. Perjuangan tidak boleh berakhir, bahkan ketika semua
tampaknya akan gagal. Sebelum titik darah penghabisan dan
peluit panjang, tidak ada kata menyerah. Terus berjalan, terus
maju, sampai ujung tujuan. Man saara ala darbi washala. Sebuah
konsistensi mengalahkan ketidakmungkinan. Si Setan Merah
berhasil menyabet gelar Juara Liga Champions 1999. Alex
Ferguson yang tidak bisa menahan emosi terdengar berteriak,
"Football, bloody hell!" Musim ini MU mencetak treble, tiga gelar
sekaligus: Premier League, FA Cup, dan Champions League.
Sebuah demonstrasi man jadda wajada, man shabara zhafira, dan
man saara ala darbi washala yang luar biasa.
"Maaf Mas, laporannya besok ya. Mau mabuk kemenangan
dulu nih," ledek Pasus. Mas Aji yang menutup mukanya dengan
syal Munich cuma bisa mengangguk lesu.
Ini masa injury time-ku. Kalau MU bisa menang di menit-menit penghabisan, seharusnya aku juga bisa. Yang penting sungguh-sungguh. Malam itu juga aku lakukan riset lebih banyak
lagi. Aku juga siapkan aplikasi baru ke lima universitas lagi.
Setiap aplikasi aku isi dengan cermat. Motivation letter aku tulis
dengan sepenuh hati. Dinara dengan senang hati ikut memberikan masukan dan editan untuk setiap motivation letter yang aku
tulis. Dia benar-benar menjadi mitra yang luar biasa bagiku dalam proyek beasiswa ini. Kalau aku lulus, entah bagaimana aku
berterima kasih untuk semua bantuannya.
185 rantau1muara.indd 185 Karena waktunya sudah mepet, tidak ada jalan lain aku
harus mengirim dokumenku dengan express service. Tiga hari
harus sudah sampai ke Amerika. Sisa tabungan terpaksa aku
kuras untuk membayar pengiriman surat internasional yang
mahal. Tapi ini langkah yang harus aku tempuh. Kalau mau
memancing ikan besar, umpannya juga harus besar.
Keajaiban injury time terjadi hanya dalam hitungan seminggu. Hari ini aku mendapat e-mail resmi dari dua fakultas
komunikasi yang bagus di East Coast. Boston University dan
George Washington University di Washington DC. Mereka telah menyetujui aplikasi S-2-ku.
Ingin aku melompat setinggi-tingginya dan berteriak lega
sekeras-kerasnya. Impian besar itu tercapai jua akhirnya. Alhamdulillah, ya Tuhan. Janji-Mu memang tidak meleset, apa yang
diperjuangkan dengan sepenuh hati dan raga, lambat laun
akan sampai. Inilah impianku sejak bersama Sahibul Menara di
bawah menara Pondok Madani. Perlu sepuluh tahun aku berletih-letih untuk bisa mencapainya. Hari ini, keletihan selama
sepuluh tahun terbayar lunas. Aku bisa memanfaatkan injury
time dengan baik, belajar dari tim asuhan Ferguson.
Dengan tidak sabar, aku ceritakan ke Dinara yang baru kembali dari liputan. "Din, akhirnya kampusnya dapat. Horeeee!"
seruku. Matanya yang besar itu seperti berpendar terang. Alis
tebalnya yang hitam membentuk lengkung yang indah. Senyumnya terkembang lebar.
"Alhamdulillah!! Tuh kan dapat sekolah juga. Selamat ya,"
186 rantau1muara.indd 186 katanya singkat. Sejurus kemudian dia menunduk, matanya meredup dan senyumnya layu.
"Din, kenapa" Lagi gak enak badan?"
Dia menghindari tatapanku dan mengangguk. "Iya agak sakit kepala," katanya berkemas dan terburu-buru berlalu tanpa
berkata-kata lagi. Bahkan komputernya pun belum dimatikan.
"Aku antar pulang ya?"
Dia menggeleng cepat, "Nggak usah. Masih terang kok," dan
menghilang di ujung tangga.
Ada apa ini" Ini berita besar tentang suatu yang besar, yang
bahkan kami berdua kerjakan seperti proyek bersama. Di setiap
lembar formulir dan esai yang aku kirim untuk sekolah ada sidik jarinya, ada andil besar dia. Di setiap jawaban wawancara
yang aku pakai ada hasil latihan dengan dia. Kenapa cuaca berubah demikian cepat dari hangat menjadi dingin" Berkali-kali
aku telepon dia, tidak satu pun diangkat.
Wahai perempuan, aku sungguh tidak pernah bisa paham
bahasa kaum kalian. 187 rantau1muara.indd 187 Bunga Kembang Tak Jadi"
udah jauh-jauh kau merantau dari kampung, tapi masa sama
cewek saja gemetaran. Tidak malu kau sama Jam Gadang?"
kata Bang Togar di tengah-tengah tawa yang menggelegar. Aku
hanya menunduk saja sambil geleng-geleng kepala.
Provokasi Bang Togar ini bermula ketika aku bercerita
tentang rencanaku ke Amerika. Dia senangnya bukan main,
dan bertanya, "Sudah punya calon kau Lif" Baik sekali kalau
kau merantau jauh sudah menikah."
"Ada satu orang yang aku suka di kantor Bang. Tapi aku grogi mau menyatakan perasaanku sama dia Bang. Malu," kataku
mengaku. "Kalau kau malu, nanti tidak laku-laku. Cepatlah bilang
sama dia. Syukur-syukur mau dia. Kalau tidak, kau cari yang
lain," balasnya. Aku lebih siap naik podium di depan ribuan orang atau mewawancarai jenderal paling garang, daripada mengutarakan isi
hatiku pada seorang gadis. Semakin aku suka orang itu, semakin
bisu aku. Mana berani aku dulu bicara terus terang kepada Sarah ketika di Pondok Madani. Beraninya cuma mencari alasan
wawancara dengan Kiai Rais demi dapat berfoto bersama Sarah.
Lalu muncullah Raisa dalam hidupku. Karena kurang percaya
diri, aku hanya berani menulis surat yang akhirnya tidak pernah
188 rantau1muara.indd 188 tersampaikan, karena Raisa malah disambar Randai. Sekarang,
ada Dinara yang mulai membuat aku gugup. Akankah kegagalan yang sama akan terjadi"
Aku perlu bicara untuk memperjelas apa yang terjadi di antara kami berdua. Apakah aku selama ini yang terlalu geer merasa kami sudah dekat" Atau jangan-jangan ini kenyataan pahit:
aku hanya bertepuk sebelah tangan" Tidak ada cara lain untuk
mengetahui jawabannya, selain bertanya langsung ke Dinara.
Aku ingin bilang kalau aku merasa cocok dengannya. Kalau
dia juga merasa cocok, mungkin kita bisa melangkah lebih jauh
lagi. Sesederhana itu. Tapi ini sederhana yang mahaberat dan
membuatku gelisah. Mengikuti saran Bang Togar, hari itu aku bertekad bulat
akan bicara serius dengan Dinara. Beberapa kali aku panjangkan
leher untuk melihat ke kubikelnya, tapi sejak pagi tadi aku
tidak juga melihat dia muncul. Baru sore aku berselisih jalan
dengan dia di tangga. Belum lagi aku angkat bicara, dia sudah
memasang alasan. "Sori... sori... lagi ada liputan penting nih,"
katanya sambil menunduk dan menghilang lagi entah ke mana.
Bagaimana aku bisa bertanya, kalau dia selalu menghindar.
Hanya ada satu cara agar dia tidak bisa menolak aku ajak
bicara. Aku harus duduk di sebelah dia ketika rapat redaksi.
Tidak mungkin dia menghindar, tidak mungkin dia lari, tidak
mungkin dia berkelit sedang ada tugas. Supaya tidak ditegur
Mas Aji karena mengobrol selagi rapat, aku sudah merumuskan
strategi. 189 rantau1muara.indd 189 Begitu menguasai kursi di sebelah Dinara, aku langsung
membuka block note. Di halaman kosong, tanpa basa-basi, aku
tulis besar-besar dan dengan tekanan pulpen yang keras. Kertas
putih itu sampai melengkung:
Apa salahku" Kertas itu aku cabik dari buku dan kugeser ke depan dia
yang duduk diam menyimak arahan Mas Aji tentang penugasan
minggu depan. Dia tersentak, melirik dengan ujung mata ke
kertas itu, lalu kembali mendengar Mas Aji. Seakan tidak peduli.
Ketika Mas Aji menghadap ke white board untuk menulis
deadline, aku berbisik, "Dinara, aku tidak akan pergi sebelum
mendapat jawaban. Tolong jawab, atau paling tidak, tulis di
sini," kataku mengetuk-ngetuk kertas di depannya. Sekilas dia
melirikku. Aku tidak bisa membaca isi matanya. Di matanya
tidak ada lagi kilau cemerlang seperti biasa.
"Tolong...," bisikku lagi.
Dia tidak menjawab. Hanya menunduk. Setelah diam beberapa saat, tangannya sigap mengambil kertasku dan menulis
terburu-buru di bawah pertanyaanku. Dengan ogah-ogahan disorongkannya kertas itu kembali kepadaku.
Biasa saja. Tidak ada yang salah.
Jawaban yang aneh. Aku tulis pertanyaan lain.
Lalu" Kenapa menjauh"
Aku sodorkan lagi ke dia. Mas Aji sekilas melirik ke arahku.
Aku menegakkan badan seperti tidak ada apa-apa. Ketika dia
membalik badan lagi, aku menggeser kertas ke Dinara.
190 rantau1muara.indd 190 Dinara terdiam melihat pertanyaan ini. Dia menghela napas
lalu menulis. Kali ini pelan-pelan, seakan ragu dengan tulisannya sendiri. Lalu dia serahkan kepadaku.
Lagi sibuk saja. Aku kesal karena ini adalah jawaban sama yang diulangulang. Aku tulis balik.
Aku mau ngomong. Penting banget. Kita bicara yuk.
Dia hanya menggeleng tanpa sejurus pun melihatku. Dia
menulis lagi. Belum ada waktu. Sebenarnya ada apa" Ga ada apa-apa. Aku semakin geregetan. Ya udah, gak mau ngomong juga gak apa-apa. Kita makan siang
aja gimana" Nanti-nanti deh. Sampai kapan" Gak tau. Kok gak tau sih" Ya gak tau aja. Ah, pembicaraan macam apa ini" Tidak berujung, tidak berpangkal.
Dia menutup ujung pulpennya dan bahkan tidak mau melihat kertas ini lagi. Wajahnya lurus menatap ke depan seakan ber-
191 rantau1muara.indd 191 konsentrasi mendengar pembagian tugas Mas Aji, "Alif, kamu
wawancara ke pemda lagi ya. Dinara, kamu memburu Direktur
Utama Bank Nusantara. Pasus, cari terdakwa. Semuanya harus
segera. Oke" Ini laporan utama kita yang paling penting dalam
melawan korupsi." "Siap Mas. Saya ke Bank Nusantara sekarang juga," balas Dinara. Dia berlalu dari sebelahku tanpa melirik ke arahku. Tak
sekedip pun. Aku tidak habis mengerti dengan sikapnya. Lalu ke mana
masa-masa kami asyik mengobrol hilir-mudik kemarin" Mana
Magrib berjamaah itu. Mana lontong padang sebagai sarapan"
Apa salahku" Di umurku yang sudah 26 tahun ini, aku masih
terus gagal memahami apa isi kepala dan hati makhluk bernama
perempuan. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak enak muncul juga di kepalaku: Apa ada orang ketiga" Apa aku pernah menyakiti hatinya"
Wahai para perempuan, kenapa harus seperti buku tertutup
di depan kami para lelaki" Kami makhluk yang lemah dan bodoh dalam membaca isyarat yang tidak terkatakan dengan jelas.
We are not mind readers. Kami bukan cenayang.
Aku semakin dekat untuk mendapatkan impian Amerika-ku,
tapi aku tampaknya akan kehilangan Dinara. Tuhan, apakah
memang aku harus memilih salah satu saja" Bolehkah aku mendapatkan keduanya"
192 rantau1muara.indd 192 Kertas di Balik Kaca ia pagut badanku sampai leherku tercekik dan tidak bisa
bernapas. "Bangga aku Lif, punya kawan seketiduran mau
sekolah ke Amrik. Asal jangan lupa kau dengan kasur sajadah
dan bantal kopiah kita ya. Iler kita berdua menjadi saksi lho,"
kata Pasus di depan pintu keberangkatan.
Aku membalas pelukannya, "Tenang Kawan, bagaimana aku
akan lupa dengan dengkuran kau yang berirama dangdut itu."
Kami tertawa tergelak. Di sela desingan pesawat yang terbang
dan hinggap silih berganti di Bandara Soekarno-Hatta aku
pamit kepada teman-teman dari Derap yang ikut mengantarkan.
Dari balik pintu kaca ruang check in, aku melambai-lambaikan tangan kepada rombongan seheboh grup sirkus India. Semua membalas dengan gaya masing-masing. Yang paling norak
tentulah Pasus. Setelah menempelkan mukanya ke kaca, kini
dia melompat-lompat seperti pemain voli memblok smash lawan.
Dan Dinara, hanya melambai setengah tiang, sekadarnya, lalu
matanya lari ke tempat lain, acuh tidak acuh. Dinara hampir
tidak ikut kalau tadi tidak dipaksa Pasus.
Mungkin inilah takdirku. Hubungan kami berakhir tidak
jelas, tanpa definisi. Aku akan meninggalkan Jakarta dengan
begini saja, tanpa tahu apa yang ada di hati dia. Aku balikkan
badan dan melangkah ke gate. So long, Jakarta.
193 rantau1muara.indd 193 Untuk terakhir kalinya, aku tolehkan mukaku ke belakang,
ke arah para pengantarku. Darahku berdesir. Tidak kusangka
di balik kaca masih ada Dinara. Sendiri saja. Ngapain dia" Kerumunan kawanku sudah beranjak pergi. Aku berbalik sambil
melambai ke dia. Dia juga maju pelan beberapa langkah.
Dari balik pintu kaca yang merenggang sedikit, dia melihatku
sekilas, lalu menunduk memainkan HP-nya.
"Kabar-kabari aja ya, jangan lupa ya sama kami...," katanya
lirih, hampir tak terdengar di tengah kebisingan bandara.
Kenapa kami" Kenapa dia tidak bilang jangan lupa sama dia"
Ah, sudahlah. "Gak mungkin lupa," aku jawab cepat. Sayup-sayup aku
mendengar panggilan untuk penumpang pesawat Japan Airlines
tujuan Tokyo Narita, tempat transitku sebelum terbang lagi ke
Washington. "Tapi di sana kan banyak yang akan membuat kamu sibuk,"
katanya lagi. Mata kami bertemu sekilas. Matanya tetap indah.
Masih hitam legam, dalam, bulat.
"Aku tidak akan lupa kamu Dinara. Bagaimana aku bisa,"
kataku dengan keberanian tiba-tiba yang muncul dari hati. Belum pernah aku bicara seterus terang ini kepada dia. Dinara
menunduk lagi tapi aku menangkap sekilas senyum yang disembunyikan.
"Sampai ketemu ya, Dinara."
"Iya, sampai ketemu. Entah kapan."
Akhirnya, hanya begitu saja semua ini berakhir.
194 rantau1muara.indd 194 Entah kapan. Menusuk ngilu.
"Tunggu aku dua tahun lagi ya."
Kalimat itu terlompat begitu saja dan membuat aku sendiri
kaget. Kalimat ini terasa bergaung melantun-lantun ke segala
penjuru bandara. Hening. Tiada jawaban. Dan aku benar-benar
harus pergi. Baru tiga langkah aku berlalu, tiba-tiba aku mendengar ketukan di kaca. Aku berbalik. Dia terburu-buru merobek sehelai
kertas dari block note-nya, menuliskan sesuatu, dan menempelkannya ke kaca pembatas kami. Tulisan itu jelas dan besar.
"Call me!" Beberapa detik kemudian dia melipat kertas itu


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menyelipkan di antara rongga pintu kaca ke tanganku.
Panggilan terakhir untuk penumpang pesawatku kembali
bergema. Dinara mengibas-ngibaskan tangan agar aku segera
naik pesawat. Dia menaruh satu tangan di kupingnya, mengisyaratkan agar aku menelepon dia nanti.
Tumben dia sekarang minta ditelepon. Untuk apa" Kenapa
harus sekarang, ketika aku akan melangkah masuk pesawat" Kenapa dia seperti mempermainkan perasaanku, bagai main yo-yo,
naik turun tak tentu. Bunyi mesin jet bergemuruh ketika melesat ke angkasa. Itu
pun tidak mampu mengalahkan gemuruh perasaan di dadaku.
Kertas dari Dinara masih aku genggam. Rasanya seperti sedang
menggenggam secarik peta harta karun.
Entah sudah berapa kali aku buka dan eja lagi isi robekan
kertas itu. Di atas langit Jakarta, di awang-awang Jepang, di
bubungan Samudra Pasifik, dan di atas Los Angeles, Grand Ca195
rantau1muara.indd 195 nyon, sampai aku tiba di Washington DC. "Call me." Dua kata
saja, tapi mungkin ini petunjuk penting menuju hatinya.
Badanku memang pergi membubung bersama pesawat, tapi
separuh hatiku rasanya tertinggal pada gadis di balik dinding
kaca tadi. Ketika pesawat mulai menurun menuju Reagan National Airport, aku pelan-pelan bisa melihat sebuah kota yang ditembus
Sungai Potomac dan dilingkupi hutan kota Rock Creek dan
taman bunga warna-warni. "Welcome to the national capital, Washington DC. Or also well-known as DC. District of Columbia,"
sambut pilot dari ruang kemudi. Aku merapalkan kepanjangan
DC di dalam hati. Ini dia nama kota yang akan jadi rumahku
beberapa tahun ke depan. Menurut buku the Guide Book to Washington DC yang sedang aku baca, ibu kota Amerika Serikat
ini dipilih sendiri oleh Presiden George Washington tahun
1790. Awalnya, tanah untuk ibu kota ini disumbangkan oleh
dua negara bagian, yaitu Maryland dan Virginia yang sekarang
mengapit Washington DC. Aku dekatkan kepalaku ke jendela pesawat yang disaput embun tipis. Nun di ujung horizon aku melihat pucuk menara,
Washington Monument. Tugu berwarna gading yang berbentuk
obelisk dari sandstone ini berdiri kukuh. Titik pucuknya yang
terbuat dari aluminium berkilat-kilat dari jauh. Ya Tuhan,
menara impianku sekarang ada di depanku. Impian itu benarbenar bisa jadi nyata.
Ketika kakiku mencecah di Washington DC, hanya dua
196 rantau1muara.indd 196 orang yang ada di kepalaku. Yaitu menelepon Amak dan Dinara. Untuk bertanya apa arti "call me" itu.
Jam 12 malam, aku putar langsung nomor kantor dan ekstensionnya. Ini jam 11 pagi di Jakarta, aku perkirakan dia sudah
duduk di depan komputer atau sedang rapat redaksi, "Halo
selamat pagi, ini Dinara." kata suaranya ringan dan riang seperti yang aku kenal.
"Halo" Halo" Ini dengan siapa?" dia mengulang bertanya karena aku belum menjawab apa pun.
"Ehmm, assalamualaikum. Ingat gak ini suara siapa?" tanyaku sok berteka-teki.
"Aaaaa. Walaikumsalam. Bang Aliffff.... Ke mana ajaaaaaaa,"
katanya dengan suara kegirangan. Dia memanggilku Abang lagi!
Aku tidak salah dengar"
"Kan baru nyampe."
"Senangnya nih mendengar suara Abang lagi," suaranya menyembur penuh semangat dari ujung gagang telepon.
"Sama dong," kataku malu-malu.
"Bang, Dinara minggu ini jadi journalist of the week dong karena tembus sumber untuk rubrik wawancara dengan narasumber rahasia itu. Pokoknya, gak mau kalah sama Abang dan Pasus." Ah, dia menggunakan namanya sendiri sebagai kata ganti.
"Wah hebatnya. Selamat ya. Siapa dulu orangnya. Jurnalis
muda berbakat." "Gaklah. Biasa aja. Abang tuh yang hebat, bisa sekolah jauh.
Bikin Dinara iri. Dan bikin sepi nih di kantor."
197 rantau1muara.indd 197 Aku berdebar menyimak jawabannya. Tapi aku tidak boleh
geer. Aku tetap harus menanyakan ini dengan jelas. I am not a
mind reader. Maka setelah menarik napas panjang, aku sampaikan juga:
"Ehmmm apa sih sebetulnya maksud tulisan "call me" di bandara kemarin itu?"
Hening untuk beberapa detik. Sayup-sayup yang terdengar
cuma keriuhan newsroom seperti biasa. Mungkin dia sedang
mencari-cari kata untuk menjawabku.
"Dinara selalu bermimpi punya orang yang bisa jadi imam
salat dengan bacaannya yang enak," jawabnya dengan kata melereng.
"Maksudnya?" kataku penasaran. Aku ingin ada kata-kata
yang pasti. "Ah, masa sih Abang ini tidak mengerti. Udah ah, bahas
yang lain aja... Gimana rasanya nyampe di Washington?" katanya setengah merajuk.
Bagaimanapun aku mencoba menggiringnya untuk menjawab pertanyaanku, tetap saja dia berkelit. Yang aku tahu, suaranya sekarang hangat dan dia menggunakan kata ganti yang aku
suka. Dinara dan Abang. Hari ini aku merasa kami kembali jadi dekat. Justru ketika
kami berjauhan secara fisik.
198 rantau1muara.indd 198 Mas Kurir ext stop, Foggy Bottom," kata suara seorang perempuan dari
speaker di dalam kabin kereta bawah tanah. Aku meraih
ransel dan melompat ke luar begitu kereta berhenti di stasiun
yang terletak puluhan meter di perut Bumi. Mendengar desingan kereta listrik lalu-lalang dan melihat langit-langit stasiun yang
berbentuk kubah memanjang dengan ceruk kotak-kotak seperti
permukaan waffle berwarna abu-abu, aku seperti berada di dalam setting film Star Wars.
Aku mengikuti penumpang lain yang menumpang eskalator
panjang yang membawaku ke permukaan tanah lagi. Aku berhenti sejenak di mulut gerbang stasiun. Di depanku berbaris
bangunan-bangunan kolonial tua yang didominasi warna merah
bata, dan beberapa bangunan minimalis berdinding kaca yang
diteduhi pohon-pohon american elms dengan daun-daun hijau rindang. Di beberapa sudut tampak lapangan rumput hijau yang dihiasi semburat warna-warni bunga goldenrod, russian sage, dan helenium. Ya Tuhan, ini dia kampus yang
akan menjadi tempatku menuntut ilmu selama dua tahun.
George Washington University atau singkatnya GWU. Ini juga
kampus tempat Senator Fulbright, penggagas beasiswaku, pernah menjadi mahasiswa dan dosen. Sungguh kebetulan yang
menyenangkan. 199 rantau1muara.indd 199 Aku berjalan pelan-pelan sambil menengok kiri dan ke kanan layaknya seorang turis. Sedikit-sedikit aku menekur membaca peta kampus yang aku sudah terima sejak di Indonesia.
Menurut peta ini, kampusku berada di prime location, kawasan
yang sangat strategis. Diapit oleh Gedung Watergate yang terkenal karena skandal yang melibatkan Nixon, Gedung World
Bank, Gedung IMF, dan hanya beberapa blok dari kediaman
pemimpin tertinggi Amerika, the White House.
Awalnya aku bingung, apa nama alamat yang aku tuju. Kenapa hanya ada huruf dan angka. Setelah aku pelajari peta,
ternyata H dan 22 adalah nama jalan. Belakangan aku semakin
mafhum, di Washington DC dan beberapa kota Amerika lainnya nama jalan dengan abjad dan angka lazim digunakan.
Alamat yang aku tuju adalah sebuah bangunan berdinding
kaca di tengah kampus. Academic Center di H Street dan
22nd Street, tempat aku mendaftar sebagai mahasiswa baru.
Di depan gedung ini, mahasiswa dengan berbagai warna kulit
lalu-lalang, sambil mengobrol dan menenteng buku. Sebagian
mengerubungi sebuah mobil penjaja yang menjual hotdog dan
pretzel yang aroma sedapnya mengalir sampai ke hidungku.
"Welcome to GWU, Mr. Alif Fikri. I hope you enjoy your time
here," kata Coleen, petugas administrasi berkulit hitam dengan
suara yang serak besar, sambil menyerahkan kartu GW kepadaku. Kartu GW ini adalah kartu mahasiswa untuk masuk
perpustakaan, menggunakan lab komputer, mesin fotokopi,
bahkan untuk mendapatkan layanan kesehatan di klinik.
"Thank you very much. It"s so fast," kataku memuji pengurusan
kartu mahasiswa yang cepat.
200 rantau1muara.indd 200 "Anything else that I can help you?"
"How can I find an apartment to rent?" tanyaku. Jatahku
tinggal di hotel hanya untuk maksimal dua minggu. Aku perlu
segera menemukan tempat tinggal sendiri. Pencarian apartemen
sudah aku lakukan beberapa hari ini, tapi belum mendapatkan
tempat yang cocok secara harga dan lokasi.
Coleen menunjuk ke luar Academic Center. Ke sebuah papan
pengumuman yang penuh ditempeli berbagai informasi tentang
akomodasi. Mataku nanar menatap satu per satu informasi di
papan pengumuman. Dana beasiswaku terbatas, jadi harus pandai-pandai mencari tempat tinggal yang terjangkau biaya sewanya dan tidak jauh dari kampus.
Aneh sekali rasanya, baru beberapa bulan yang lalu aku dan
Pasus sibuk mencari tempat kos di Jakarta. Sekarang aku tegak
berdiri di depan papan ini, melakukan hal yang sama. Satu hal
yang pasti, di sini aku tidak bisa jadi doktor seperti di Derap.
"Ehm. Dari Indonesia?" Suara di belakang punggungku
membuat aku terlonjak kaget. Sejak mendarat di Washington,
aku belum mendengar bahasa Indonesia. Aku putar badanku
dan seorang laki-laki berbadan gempal berdiri tersenyum sambil
mendeham-deham. Hanya senyum di bibirnya yang aku lihat.
Matanya disekap oleh kacamata ray-ban besar. Terlalu besar untuk wajah Asianya.
"Ya," jawabku cepat.
Dia menyorongkan tangannya menyalamiku.
201 rantau1muara.indd 201 "Panggil saya Garuda."
Mungkin dia bercanda. Nama kok seperti maskapai penerbangan saja.
"Saya Alif." "Nama di KTP sih Budi, tapi Garuda itu nama julukan dari
kecil. Karena saya suka burung lambang negara kita itu. Ah,
alasan yang aneh ya. Nanti saya ceritakan cerita lengkapnya.
Ehm," selorohnya dengan lidah Jawa yang kental. Plus sebuah
dehaman di akhir. "Oooo." "Baru datang ya Mas" Saya belum pernah lihat sampeyan sebelumnya," katanya ramah. Aku mengangguk mengiyakan. Aku
baru memperhatikan, dia mengenakan seragam overall, dengan
topi, dan walkie talkie tersampir di dadanya. Ada tulisan di tali
tas selempangnya: Light Speed Courier. Lehernya dililit syal dari
bahan batik. Dia tertawa dan seperti tahu pasti aku memperhatikan. "Ini
syal khas saya, ada beberapa corak dan warna, batik tulis semua,
dan semuanya ditulis mbok saya sendiri," katanya.
Bersua orang sebangsa di negara asing selalu membawa sensasi keakraban yang tidak pernah terasa di Indonesia. Walau baru
saja kenal, tapi serasa sudah lama bersaudara. "Makan siang
bareng yuk. Saya sekalian istirahat habis mengantar dokumen
ke Academic Center tadi," ajak dia. Siang itu, aku ditraktirnya
makan siang di kantin mahasiswa di Marvin Center. Aku memesan fish and chip, Mas Garuda setangkup burger ikan. Setiap
aku memanggilnya Mas Budi, dia mengoreksi, "Nama Budi itu
pasaran, panggil saja saya Garuda. G-a-r-u-d-a."
202 rantau1muara.indd 202 "Ehm maaf, sebentar ya," di tengah kami bicara, tiba-tiba dia
pamit. Setengah berlari dia menuju tangga dan membantu seorang nenek berkursi roda yang sedang menuruni ramp. Sampai
di lantai datar, mereka tampak mengobrol akrab beberapa saat.
Teman baik kayaknya. Setelah saling melambaikan tangan, dia
kembali ke meja kami. "Udah lama kenal Mas?"
"Baru tiga menit yang lalu, pas dia turun tangga itu. Pokoknya, setiap melihat orang berkursi roda, saya ingat sepupuku
di kampung, ehm," katanya tersenyum sambil menyeruput minuman sodanya.
Mas Garuda mengaku punya banyak jabatan. Koresponden
berbagai media di Indonesia, kurir khusus untuk dokumen dan
surat penting, pengantar koran, pizza man, dan penjual tempe.
Menurutku, selain banyak pekerjaan, dia juga banyak mendeham. Mungkin dia sedang sakit tenggorokan.
Bagai bisa membaca prasangkaku, dia menjawab. "Maaf saya
sering mendeham kalo baru kenal orang. Atau kalau lagi grogi.
Ehm. Tapi lama-lama hilang," katanya tanpa beban. Aku tersenyum mendengar kejujurannya.
Selagi ketemu orang Indonesia, aku bertanya. "Mas, saya lagi
pusing cari apartemen. Belum dapat yang cocok harga dan tempat. Ada satu yang menurut saya cocok, tapi baru akan kosong
bulan depan." "Tinggal saja bersama saya dulu. Sambil kamu cari tempat.
Asal mau tidur di tempat tidur serep. Mau lebih sebulan juga gak
apa-apa," katanya enteng dengan senyum lebar. Mengingatkan
203 rantau1muara.indd 203 aku ketika Pasus mengajak aku sekamar di ruang arsip kantor
dulu. Di dalam hati aku lega tapi juga sangsi. Aku belum kenal
dia. Apa enak kalau menumpang sebulan"
Dia membaca keraguanku. "Alif, mungkin agak aneh ya
bagi kamu. Tapi bagi kami yang sudah lama merantau di sini,
numpang tinggal di saudara senegara itu sudah biasa. Sebulandua bulan itu biasa. Jadi jangan khawatir. Main dulu saja ke
apartemen saya. Suka silakan, tidak juga gak apa-apa. Sederhana, tapi bisa untuk sekedar tidur. Ehm..." Mengingat upayaku
beberapa hari ini mencari apartemen belum mendapat hasil,
aku akhirnya mengangguk. Sore itu, aku check out dari hotel dan memindahkan semua
koperku ke mobil boks Mas Garuda yang datang menjemputku.
"Ini mobil khusus untuk ngantar koran," katanya, menyebutkan
salah satu profesinya. Mobil ini penyok di bumper depan, cat
sampingnya terkelupas seperti habis menyerempet tembok dan
aku melihat beberapa tetes oli jatuh dari mesinnya ke aspal.
Mas Garuda menyetir ke luar wilayah DC dan masuk ke negara bagian Virginia. Aku penasaran bagaimana bentuk tempat
menumpangku nanti. 204 rantau1muara.indd 204 Dapur Maryam ku kira dia punya apartemen sendiri tapi ternyata dia
tinggal di rumah sebuah keluarga Indonesia yang menyewakan kamar-kamar kepada orang Indonesia. Sebuah rumah
dua tingkat berdinding bata ekspos yang agak pudar. "Ya kayak
asrama atau indekos gitulah kira-kira," katanya. Sejak kami
makan siang tadi, dia sudah tidak mendeham lagi. Aku mungkin tidak dianggap orang baru lagi.
"Rumah ini milik Mas Nanda dan istrinya Mbak Hilda, yang
sudah lama tinggal di sini. Dari Mas Nanda, saya belajar bisnis
kurir ini. Lumayan buat nabung modal untuk saya pulang selamanya ke Indonesia tahun depan," katanya.
Begitu Mas Garuda menguak pintu, hidungku disambut bau
yang sangat Indonesia. Ada bau sambal terasi yang menusuk
nikmat. Kepala seorang perempuan muncul dari dapur sambil
berteriak, "Wah ada tamu. Halo selamat datang, saya Hilda."
Kepalanya diikat kain putih seperti koki dan senyumnya selebar
mukanya. Aku tersenyum menyambut salamnya yang riang.
"Alif, sebentar lagi sambal terasiku matang, kita makan malam sama-sama ya. Jangan kaget kalau sebentar lagi tetangga-tetangga bule ini menggedor-gedor pintu kita. Bukan mau minta
sambal, tapi hidung mereka tidak kuat mencium terasi," katanya terkekeh dengan ekspresi kocak. Aku mengangguk-angguk
pura-pura mengerti. 205 rantau1muara.indd 205 Tidak lama kemudian datang suami Mbak Hilda, Mas Nanda. Dia baru menjemput dua anak kembarnya yang berusia enam
tahun, Putra dan Putri, dari sekolah. Mas Nanda bercerita, mereka merantau sejak sepuluh tahun lalu untuk memperbaiki kehidupan keluarga. Dua anaknya lahir di Virginia, dan sekarang
keduanya sudah kelas 1 SD.
"Maaf Lif, boleh tolong bawa nasi ke meja makan di sana,"
katanya menunjuk rice cooker. Mbak Hilda, Mas Nanda, dan
Mas Garuda memperlakukan aku seperti orang yang sudah lama mereka kenal.
Kami bersama-sama menyiapkan makan. Dalam sekejap, meja makan sudah penuh. Selain sambal terasi, ada ayam goreng,
ikan asin, tahu, serta sayur asem. Seperti di Tanah Air saja. Air
liurku sudah mau menetes dan perutku terasa lebih lapar. Mbak
Hilda aktif menyorongkan potongan ikan asin dan ayam goreng
ke piringku. Dengan agak malu-malu, aku menambah nasi dua
kali. Malam itu aku memutuskan menerima tawaran Mas Garuda
untuk menumpang. Putra dan Putri berteriak-teriak senang
ketika tahu aku akan menginap. "Thank you for staying," kata
Putri sambil nyengir dan gigi kelincinya muncul. Putra langsung
menenteng buku bersampul muka dinosaurus dan meminta
aku membacakan untuknya. Aku tersenyum mendengar bahasa
mereka yang patah-patah, bercampur antara bahasa Indonesia


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Inggris. Tiga kali aku didaulat mereka berulang-ulang membaca buku yang sama. Untunglah Mas Nanda menyuruh anakanaknya tidur.
Di kamarnya Mas Garuda membongkar sofa bed di sebelah
206 rantau1muara.indd 206 tempat tidurnya. "Sori agak darurat, kamu bisa pilih tidur di
kasur atau sofa bed ini," tanya Mas Garuda. "Sofa aja, Mas."
Bicara tentang tempat tidur, aku tidak keberatan sama sekali.
Hampir sepanjang hidupku aku sudah terbiasa tidak punya
ruang pribadi khusus. Kalau dulu dengan sehelai sajadah sudah
ngorok, apalagi dengan sofa bed ini. Perfectly OK.
Mata kuliah pertamaku di jenjang S-2, Media Qualitative Research, dimulai jam 9 pagi. Kelasku terletak di sebuah bangunan
berbentuk rumah bertingkat dua dari kayu. Menurut buku panduan kampus, bangunan itu berumur lebih dari seabad dan
dianggap bersejarah karena pernah jadi kantor pemerintahan
di masa Civil War abad ke-19, rumah sakit darurat, serta kantor
pos. Aku menaiki tangga kayu yang berderik ke lantai dua dan
ketika aku menguak pintu kelas, aku kaget melihat kelas sudah
penuh. Semua mata memandang ke arahku. Sudah berangkat
pagi sekali, aku masih saja terlambat. Memalukan bangsa saja.
Aku otomatis meminta maaf, "I am sorry for coming late," sambil
melihat jam tanganku. Hei, tunggu dulu, aku belum terlambat,
masih jam 8.55. Mereka saja yang kepagian datang, jauh sebelum jadwalnya.
Seorang laki-laki berambut jarang dengan jas serta rompi
tanpa dasi melambaikan tangan ke arahku. "Don"t worry, we
haven"t started yet. And your name?" Laki-laki dengan janggut putih yang terawat ini menyalamiku, "I am Lars Deutsch. Please take
your seat and come early next time. Happy to have a Fulbright scholar
207 rantau1muara.indd 207 in my class." Entah di mana dia tahu, tapi pujian itu berhasil
melapangkan lubang hidungku.
Dari perkenalan singkat, ternyata lima belas teman sekelasku
datang dari berbagai negara. Arab Saudi, India, China, Korea,
Argentina, Italia, dan sisanya Amerika. Profesinya juga beragam,
ada pelajar tulen, ada lawyer, pegawai perusahaan iklan, bahkan
ada seorang ibu yang sudah berumur paling tidak di atas 50
tahun. Semua mahasiswa, termasuk dosen, duduk melingkari sebuah meja besar. Dinding, langit-langit, sampai meja besar
kami semua terbuat dari kayu yang tidak dicat, hanya dipernis
sehingga memperlihatkan urat-urat kayunya. "Ini kelas seminar,
jadi setiap orang saya harap aktif berdiskusi," kata Profesor
Deutsch. Walau hari pertama, kelas sudah diisi diskusi seru tentang
hipotesis third-person effect. Aku jadi malu sendiri karena belum
selesai membaca dua buku yang akan didiskusikan hari ini
sehingga tidak terlalu aktif dalam diskusi. Dalam hati aku berjanji akan bersiap lebih baik lagi di kelas selanjutnya. Aku akan
mewajibkan diriku membaca buku sebelum kelas dimulai.
"OK guys, next week, please read ten chapters from the text book.
And also write an essay from our discussion today," kata Profesor
Deutsch di akhir kelas. Dinara tertawa-tawa mendengar pengalamanku bertemu
Mas Garuda dan masuk kelas paling terakhir. Aku mencoba
menelepon dia paling tidak satu atau dua kali seminggu, walau
hanya barang semenit-dua menit. Ingin sekali aku bisa berlamalama bercerita kepadanya, tapi ongkos menelepon mahal.
208 rantau1muara.indd 208 Sedangkan untuk Randai, aku menulis sebuah e-mail panjang tentang pengalamanku di Amerika. Memenangkan sebuah
kompetisi setelah merasa direndahkan itu sangat menyenangkan.
Sekali lagi: underdog can win. E-mail itu aku tutup dengan sebuah
kalimat: "Kapan wa"ang jadi terbang ke Jerman?"
Selama seminggu tiada balasan e-mailku. Ini di luar kebiasaannya. Artinya dia belum ke Jerman.
Setelah kelas pagi, seorang menepuk bahuku. "Hey Alif, if
you want to perform Friday prayer, please come with me. Dekat sini
kok," kata Abdul, teman kuliahku yang baru lulus S-1 juga di
GWU. Dia tulen berdarah Palestina, tapi orangtuanya sudah
berimigrasi ke Amerika sejak tahun "60-an.
"Oh, saya baru tahu ada jumatan di kampus. Tadinya saya
mau pergi ke musala Kedutaan Indonesia yang agak jauh seperti
minggu lalu," jawabku senang.
Bukannya berjalan menuju musala kecil buat mahasiswa di
Student Center, dia malah mengajakku berjalan terus ke arah
sebuah gereja tua di ujung kampus.
"Iya, kita salat Jumat di gereja," kata Abdul tersenyum melihat muka aku yang kebingungan.
"Kok bisa?" "Jamaah Jumat di kampus makin ramai, musala tidak mencukupi. Karena itu kami dari Muslim Student Association mencari tempat yang lebih lapang di seputar kampus. Ada beberapa
pilihan seperti lapangan basket indoor, meeting hall, serta aula.
209 rantau1muara.indd 209 Tapi ruangan ini tidak sepenuhnya kosong di hari Jumat. Satusatunya tempat yang nyaman dan tidak dipakai di hari Jumat
adalah sebuah ruangan bernama Miriam"s Kitchen di basement
Western Presbyterian Church ini. Ternyata pastor gereja ini
mengizinkan kami memakai ruangan ini sebagai tempat salat Jumat. Kebetulan kami beberapa kali mengadakan kegiatan sosial
bersama dengan pengurus gereja ini."
Di basement yang dilengkapi AC ini kami bersama-sama
menggelar karpet dan memasang perangkat sound system. Yang
datang tidak hanya jamaah laki-laki saja, tapi ada dua saf jamaah
perempuan. Menjelang azan, paling tidak berkumpullah sekitar
200 jamaah dengan kebangsaan beragam. Azan dilantunkan
Ghazi seorang mahasiswa keturunan Bosnia, khotbah dibawakan
dalam bahasa Inggris oleh Ahmad Mumtaz, seorang dosen dari
Mesir, dan diimami Syakur, warga Turki yang menjadi pegawai
di World Bank. Di pintu keluar, seorang laki-laki India berpeci
putih membagikan air minum, kurma, dan kue manis Arab
kepada jemaah. "Sedekah... sedekah, silakan diambil," katanya
kepada kami. Sambil mengunyah beberapa butir kurma, aku berkenalan
dengan mahasiswa dari Pakistan, Bosnia, Rusia, Mesir, Arab
Saudi, Maroko, Malaysia, dan juga beberapa orang Indonesia
lain. Selepas Jumatan, aku berjalan ke University Yard untuk
makan siang yang aku bawa dari rumah. Menu makanku
sudah mencontek gaya para bule. Bukan untuk gaya-gayaan,
tapi untuk penghematan dan kepraktisan. Cukup setangkup
roti berisi daging kalkun asap, daun selada, irisan tomat, dan
210 rantau1muara.indd 210 dinikmati sambil duduk-duduk di kursi taman di depan lapangan rumput di tengah kampus. Jam makan siang seperti
ini, lapangan rumput dipenuhi mahasiswa. Ada yang rebahan
sambil membaca buku, ada yang main frisbee, ada yang sedang
makan berduaan. Kampusku di wilayah Foggy Bottom ini sebetulnya ada di
kawasan permukiman tertua di Washington DC. Mulai dari
ujung jalan di depan kampusku, tampak berbaris-baris rumah
bertingkat dua peninggalan abad ke-18, ada yang bercat polos,
ada pula yang facade-nya bata merah. Konon dulu rumah-rumah
yang diisi kaum pekerja industri ini kerap ditutupi kabut dari
sungai dan asap pabrik. Sehingga melekatlah julukan foggy atau
berkabut. Tidak terasa sudah tiga minggu aku kuliah. Banyak tugas
membaca buku, menulis esai serta presentasi di setiap mata kuliah. Dosen favoritku tetap Profesor Deutsch karena keluasan
wawasannya. Kami menjadi dekat karena dia juga seorang
Fulbrighter, panggilan akrab penerima beasiswa Fulbright. Dia
dulu menjadi dosen Fulbright di IAIN Jakarta sehingga memahami budaya Indonesia dan Islam. Bahkan dia masih bisa
berbicara dengan bahasa Indonesia walau harus pelan-pelan.
Beberapa kali kami makan siang bersama, atau dia mengajak
aku mengobrol di kantornya.
Selain menguasai riset media, Profesor Deutsch juga seorang
kurator di Smithsonian Museum dan staf ahli di Library of
Congress. Dia bagai ensiklopedia berjalan. Apa saja yang ditanya, akan dijawabnya dengan perincian lengkap. Tapi kalau ada
yang dia tidak tahu, dia akan bilang terus terang, "Saya perlu
211 rantau1muara.indd 211 beberapa hari untuk mencari jawabannya." Dan benar saja,
minggu depan, sebelum kuliah dimulai, dia akan menerangkan
pertanyaan yang belum terjawab sepekan yang lalu. Lengkap
selengkap-lengkapnya. "I am always a student at heart. My main interest is research and
the history of knowledge," katanya ketika aku tanya bagaimana
dia bisa tahu begitu banyak hal. Seorang profesor yang selalu
merasa dirinya seorang murid.
Selagi mengobrol santai pun dia seperti dosen, dengan ceramah ilmiah yang bisa berkepanjangan dan sulit dihentikan. Tapi
aku menikmati saja, karena banyak ilmu yang aku dapat. Suatu
ketika dia membeberkan hal yang selama ini sudah berkali-kali
aku dengar sejak di Pondok Madani, bahwa peradaban Islam
di Spanyol menjadi jembatan kebangkitan ilmu di Eropa di
masa Renaissance. Lalu Islam mengalami kemunduran karena
ketidakmampuan mempertahankan supremasi, seperti yang pernah dituliskan oleh Ibnu Khaldun. Awalnya aku sudah tidak
tertarik tapi ada detail yang disampaikannya yang belum pernah
kudengar. "Muslimlah yang mengembangkan peradaban Yunani menjadi lebih membumi. Muslim menemukan konsep nol, tanda
minus, bilangan irasional, dan meletakkan dasar ilmu hitung,
kimia, fisika, dan astronomi. Semua ini yang kemudian melancarkan jalan menuju ilmu modern setelah Renaissance."
"Yang itu saya sudah tahu, Prof. Jadi bahan nostalgia orang
muslim, tapi sedikit bukti empirisnya."
"Oh, banyak bukti nyatanya. Selain yang berbentuk karya
212 rantau1muara.indd 212 arsitektur yang masih berdiri seperti di Spanyol, Mesir, Turki,
Irak, dan Iran, juga ada kosakata ilmu pengetahuan modern
yang kita pakai sekarang. Banyak istilah teknis Barat yang berasal dari bahasa Arab. Algorithm dari Al-Khawarizmi, atau algebra
dari Al-Jabar, calibre dari qalib yang berarti ukuran barang logam,
elixir dari al-iksir yang bermakna obat, zero dari shifr, cotton dari
quthn, coffee dari qahwah, magazine dari makhazin, dan admiral
dari amir al-bahr, juga ada azimuth, monsoon, zenith, nadir, cipher
dan lainnya. Itu dulu. Pertanyaan kritis saya: apa yang diberikan
muslim kepada peradaban dunia sekarang ini?" tanyanya.
Aku menggeser-geser posisi duduk, tidak tenang.
213 rantau1muara.indd 213 Foto-Foto Garuda elama aku sekamar dengan Mas Garuda, hampir setiap
dini hari aku terbangun dan dia minta maaf karena mengganggu tidurku. Dia sudah menyetir mobil keluar rumah jam 4
pagi untuk mengantar koran. Pagi hingga sore di jam kantor,
dia berkeliling lagi naik mobil mengantar dokumen sebagai kurir. Malamnya mengantar pesanan pizza. Sedangkan Jumat siang
dia masih sempat menjajakan tempe buatan sendiri di jemaah
salat Jumat di kedutaan Indonesia.
"Hidup saya di atas roda hampir 24 jam tiap hari, Lif. Demi
tabungan saya pulang nanti," katanya. Energi kerja Mas Garuda
membikin aku geleng-geleng. Hampir tidak ada istirahat dan libur. Seperti kerja rodi.
Sehari dalam dua minggu, dia mengambil libur. Kalau libur,
aku diajaknya belanja ke factory outlet yang menyediakan barang
bermerek dengan harga miring, makan di Tyson Corner, atau
main catur di rumah. Suatu kali dia mengajakku mendayung
kano di Sungai Potomac. Aku langsung menyambut tawaran
ini karena mengingatkan pengalaman masa kecilku mendayung
biduk di Danau Maninjau dulu. Sama-sama di air, Maninjau
adalah danau vulkanik, sedangkan Potomac adalah sungai utama yang mengalir sampai Chesapeake Bay dan bermuara di
Samudra Atlantik. Aku penasaran untuk merasakan perbedaan
mengayuh biduk di perairan ini.
214 rantau1muara.indd 214 "Mulai dari mana kita berkano?"
"Mulai dari Thompson."
Di pertemuan muara anak sungai Rock Creek dan Sungai
Potomac berdiri Thompson Boat Center, boat house yang menyewakan kano untuk umum. Beberapa orang dengan baju pelampung oranye sudah mulai mengayuh kano sewaan. Tampak pula
beberapa anak muda dengan pangkal lengan besar-besar berseragam Georgetown University Rowing Team menjunjung perahu mereka bersama masuk ke sungai. Kami berdua memilih
meminjam satu kano untuk dua penumpang.
Kami mendayung pelan di air yang tenang melintasi sisi
Theodore Roosevelt Island. Beberapa ekor kijang white tail yang
sedang minum berlari menjauh dengan mata curiga melihat kami lewat. Mas Garuda tertawa melihat mereka. "Jangan takut,
gak bakalan disate kalian."
"Lif, dulu SMA di mana kamu?"
"Gak SMA Mas. Nyantren di Pondok Madani, Ponorogo."
"Haa... Ponorogo itu kampung saya juga. Saya lahir dan
besar di perbatasan Solo dan Yogya, tapi mbah kakung saya
berasal dari Jabung, daerah yang terkenal dengan dawetnya."
Dawet jabung dulu minuman favorit kami, para santri Pondok
Madani. "Mas, setahu aku, orang Ponorogo dan sekitarnya itu banyak
jadi TKI, di Malaysia dan Arab Saudi. Lho Mas kok bisa aneh
sendiri, ke Amerika?"
"Semua negara yang kamu sebut itu Lif, sudah saya jalani.
215 rantau1muara.indd 215 Bahkan pernah hampir berangkat ke Taiwan. Akhirnya malah
nyasar ke sini," katanya sambil terus mengayuh.
Naluri wartawanku tersengat. "Gimana awalnya nyasar ke
sini Mas?" "Tiga hari tiga malam kita mendayung kano ini, ceritanya gak
akan selesai. Panjang Lif," katanya dengan mata menerawang ke
arah jembatan Arlington Memorial yang kokoh itu.
"Ya, versi pendeknya aja kalau gitu," desakku penasaran.
Dia memindahkan kayuhan ke sebelah kiri dan menoleh
menghadap ke aku. "Oke, singkatnya gini. Awalnya saya bekerja
di perkebunan di Malaysia. Saya di bagian angkutan, jadi belajar
mengendarai mobil besar untuk membawa karet mentah dan
buruh perkebunan. Lalu, seorang pemilik kebun keturunan
Arab membawa saya ke Arab Saudi untuk menjadi sopirnya di
Jeddah. Baru ke Amerika."
"Arab Saudi ke Amerika Serikat" Bagaimana caranya Mas?"
"Panjang lagi ceritanya. Saya cerita sambil makan siang ya.
Lapar nih mendayung terus," katanya sambil menepikan kano
di pinggir sungai yang landai dan rindang. Dia merogoh tas
mengeluarkan sandwich berisi ikan asap dan berbagi denganku.
"Ketika bos saya ini tidak meneruskan kontrak, saya memutuskan mencari kerja lain di Arab. Walau saya tidak punya izin
kerja, saya nekat saja. Saya bekerja apa saja, serabutan. Pernah
jualan sandal, jadi tukang sapu, sopir, sampai juru masak. Pokoknya tekad saya waktu itu mengumpulkan modal, untuk
membelikan rumah buat orangtua dan mengobati sakit mbok
saya. Saya juga ingin buka usaha, bangun ruko, dan tentu saja
melamar calon istri."
216 rantau1muara.indd 216 Setelah meneguk air minum dia meneruskan, "Tapi setahun
kemudian ada razia besar-besaran bagi semua pekerja asing,
khususnya dari Indonesia. Saya waktu itu menjadi petugas
kebersihan di pasar ketika puluhan petugas merazia pasar.
Banyak sekali petugasnya. Saya sudah pasrah saja. Dari kejauhan
saya lihat petugas Arab yang galak-galak itu hampir semuanya
laki-laki. Saya langsung masuk ke sebuah toko, membeli
abaya perempuan ukuran XL lengkap dengan cadar. Dengan
memakai cadar saya keluar toko, berlagak jadi perempuan tua.


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Awalnya petugas ingin memeriksa saya juga. Saya usir mereka
dan berteriak "haram-haram!", dengan suara bergaya neneknenek Arab. Mungkin karena percaya dengan gaya lambaian
perempuan gadungan ini, para polisi itu mundur. Malas kali
ya harus berurusan dengan ibu tua gembrot. Saya lewat dengan
selamat." Dia kemudian memeragakan suara dan gaya nenek-nenek
Arab yang marah. Aku pun tidak kuat menahan ketawa. Kano
kami sampai terguncang-guncang.
"Tapi trik nenek tidak laku lagi saat razia kedua. Saya tertangkap dan dipulangkan ke Tanah Air.
"Setelah pulang ke Indonesia, tabungan hanya cukup untuk
membeli sawah dan tanah untuk orangtua. Belum kuat untuk
membuka usaha, beli ruko, dan menyiapkan rumah sendiri untuk calon istri. Karena itu saya pamit kembali ke Mbok. Walau
berat diizinkan juga. Di Malaysia sudah tidak menarik, di Arab
sudah di-black list. Nah ada teman yang menawarkan ikut rombongan ke Amerika. Saya pikir kenapa tidak?"
217 rantau1muara.indd 217 "Lho dapat visa kerja di Amerika kan susah Mas?"
"Siapa bilang harus visa kerja?"
"Jadi Mas ini kerja ilegal di sini?"
"Eh, jangan keras-keras ngomongnya," katanya melihat sekeliling, padahal tidak ada orang, karena kami sedang mengapung
di tengah sungai. Dia melanjutkan ceritanya dengan suara lebih
rendah, seakan takut didengar orang lain.
"Gini ceritanya. Masuk Amerika itu bisa pakai berbagai visa.
Ada visa kunjungan biasa, ada visa wartawan, dan banyak cara
lain. Yang masuk resmi seperti ini tetap disebut oleh hukum
Amerika sebagai alien, tepatnya legal alien, seperti lagu Sting itu.
Awalnya saya ingin meniru teman yang jadi awak kapal pesiar.
Dia pernah bekerja beberapa bulan di cruise yang berlayar ke
Amerika dan Karibia. Ketika berlabuh di Florida, dia tidak naik
lagi ke kapal. Ngacir dan bekerja ilegal. Tapi dia jadi orang tanpa identitas karena paspornya ditahan kapten kapal. Saya tidak
mau begitu." "Jadi?" "Saya pakai cara lain. Jadi anggota delegasi pameran dagang
dan pariwisata. Sebagai anak kampung saya bisa main gamelan,
membatik, dan memahat. Ditambah sedikit kemampuan berbahasa Inggris, saya diterima jadi rombongan delegasi. Setelah
selesai pameran, puff, saya menghilang dari rombongan."
"Nekat banget. Gak dicariin orang tuh?"
"Dicariin orang sekabupatenlah. Sekarang sudah hampir empat tahun saya di sini. Tabungan saya rasanya sudah lumayan,
mungkin tahun depan saya akan pulang selamanya. Akan saya
218 rantau1muara.indd 218 bawa cincin buat calon istri. Uang untuk membangun rumah
Mbok dan memulai usaha. Mungkin rumah makan dengan menu serba keju. Laku gak ya?"
"Jadi selama ini Mas kucing-kucingan terus dengan orang
INS?" tanyaku hati-hati. Mukanya tidak berubah, cuma menarik
napas panjang. Immigration and Naturalization Service atau
INS adalah badan pemerintah yang berwenang menangkap penduduk ilegal di Amerika Serikat sehingga ditakuti para imigran
gelap. "Ya, gak terlalu ilegal sih hehe. Kan masuknya legal dan
paspor juga legal, tapi izin tinggal memang sudah expired. Sejak
tahun lalu saya menyewa lawyer untuk mendapatkan visa kerja
legal. Jadi niatnya selalu legal sih."
"Gak deg-degan Mas, kalo ketahuan?"
"Di sini kalo kita gak ada masalah dengan yang berwajib dan
selalu bayar pajak, kita gak akan pernah ditanya status kita. Just
stay out of trouble, you will be fine. This is a free world."
Seekor bald eagle merentangkan sayap dengan angkuh di langit biru. Kepala dan ekornya yang putih kontras dengan paruh
kuning dan badannya yang hitam ditambah dengan perawakan
yang besar membuatnya tampak gagah dan bebas. Freedom.
Tidak heran rakyat Amerika menjadikannya lambang negara.
Kepala putihnya mengingatkan aku pada burung haji bondo
di kampung. Disebut haji karena kepalanya yang putih, seperti
pakai peci haji. Beberapa saat kami terdiam. Hanya terdengar riak Sungai
Potomac yang ditiup angin pelan. Lalu kano kami bergoyang
219 rantau1muara.indd 219 ketika Mas Garuda merogoh dompetnya dan mengeluarkan sesuatu di antara lembaran uang dolar.
"Nih, foto calon istri saya," katanya dengan mata berbinar
dan senyum senang. Di foto itu, seorang gadis berkebaya juga
tampak tersenyum malu-malu.
"Herawati namanya. Hanya dia yang bisa membikin saya
mendeham seminggu," kata dia sambil mengambil foto dari tanganku dan menggantinya dengan foto lain. Hitam putih dan
agak menguning. Foto sepasang suami-istri dengan dua anak.
"Foto Bapak menggandeng saya dan Mbok menggendong
Danang, adik saya." Dia terdiam agak lama, pandangan matanya jauh ke cakrawala, seperti teringat masa lalu di kampungnya.
Sambil mendayung kano, kami kembali ke boat house dengan
pikiran masing-masing. Seekor burung falcon yang terbang
menghunjam ke air beberapa meter di samping kami sempat
mengejutkanku sebelum kembali terbang dengan seekor ikan
dijepit paruhnya. "Lif, sampai ketemu dua hari lagi ya. Aku mau langsung ke
New York, mengunjungi teman lama yang kerja di sana," katanya melambaikan tangan ketika dia menurunkanku di depan
rumah Mas Nanda. Mas Garuda penikmat makanan dan dia suka memasak buat
kami serumah. Apa pun masakannya, mau itu nasi goreng, ikan
teri bahkan gulai, dia selalu memasukkan keju. Dia pula yang
220 rantau1muara.indd 220 menerangkan kepadaku ada berbagai jenis keju yang namanya
aneh-aneh, mulai dari parmesan, edam, gouda, cheddar, dan blue
cheese. "Kenapa sih kalau masak pake keju semua?"
"Dendam masa kecil di kampung. Dulu cuma bisa melihat
keju di televisi, saya dan teman-teman sampai taruhan siapa
yang pertama bisa makan keju," katanya sambil mengangkat
masakannya dari penggorengan. Logika yang aneh.
Perihal dia suka memasak, aku yang sering diuntungkan.
Kalau aku pulang kuliah malam, dia biasanya sedang sibuk di
dapur. Aroma harum dari dapur membuat perutku yang kosong
berontak. "Ini Lif, sudah aku masakin. Yuk kita makan," ajaknya. Bagi Mas Garuda makan bersama itu penting. Dan memasak makanan buat teman itu lebih penting lagi.
Suatu hari di saat sarapan roti tangkup isi keju, aku bertanya,
"Mas ini terlalu baik, jadi gak enak aku."
Mas Garuda yang sedang asyik memasak gulai ayam memandangku sejurus, lalu bergumam, "Emang keberatan kalo saya
baikin?" "Bukan gitu Mas, gak enak aja. Aku sering dimasakin, sebaliknya aku nggak sempat bantu apa-apa. Aku tidak enak hati
aja." "Saya tidak terpaksa kok."
"Tapi kasihan Mas udah capek kerja, tapi masih sering juga
memasak dan berbagi makanan denganku."
"Saya bukan untuk dikasihani," jawabnya dengan suara
keras dan kaku. 221 rantau1muara.indd 221 "Maaf bukan gitu Mas." Aku merasa salah bicara.
Dia berhenti mengacau santan di kuali, mengecilkan api, dan
berbalik menghadap aku. Pandangannya serius dan suaranya datar, tidak ramah seperti biasanya. Dia merogoh dompetnya lagi.
Mengeluarkan sebuah foto lain.
"Ini," katanya menyorongkan selembar foto ke telapak tanganku.
Foto seorang bocah laki-laki, berseragam SD yang sedang asyik membaca buku.
"Itu Danang ketika dia sudah masuk sekolah."
"Danang sekarang di mana Mas?"
Dia tidak menggubris pertanyaanku. Dia melanjutkan bicara.
"Dengar Lif. Ini cara saya membalas rasa bersalah kepada
adik saya. Saya menyayanginya sepenuh hati. Tapi kemudian
saya merantau dengan janji akan pulang untuk mengajak dia
merantau. Tapi itu tidak pernah terjadi."
Dia menyeka alisnya yang berkeringat setelah berdiri di depan kompor.
"Ketika di Malaysia, saya terlalu sibuk mengejar uang dan
tidak pernah pulang. Suatu hari ada telepon dari kepala desa,
mengabarkan Danang sakit keras dan harus masuk rumah sakit.
Sebenarnya, saya bisa ambil cuti untuk pulang kampung tapi
saya hanya mengirim uang untuk pengobatan Danang. Alasan
saya waktu itu, bos susah memberikan cuti kalau mendadak.
"Beberapa hari kemudian, telepon berdering lagi. Danang tidak bisa diselamatkan. Saya shock. Saya tidak pernah bisa meng222
rantau1muara.indd 222 hapus penyesalan ini. Kenapa saya tidak pulang untuk ketemu
dengan adik saya satu-satunya."
"Aku turut berduka Mas," kataku dengan suara rendah.
"Seandainya dia masih hidup, mungkin seumuran kamu
Lif." Sekali lagi dia menyeka alisnya dengan punggung tangan.
Tapi kulihat dia tidak berkeringat. Aku baru sadar, dia menyeka
matanya yang berair. "Sejak itu saya berpikir ulang tentang tujuan hidup saya.
Betapa pendeknya umur kita. Jangan menunda-nunda sesuatu
yang penting, karena kalau hilang, bisa hilang selamanya. Yang
ada hanya penyesalan yang akan hadir selamanya."
Sesaat kemudian dia menggeleng-geleng dan berusaha mengeluarkan sebuah senyum selebarnya yang dia biasa tebar.
"Maka setiap melihat mahasiswa muda seumurmu, saya jadi
ingat Danang. Dan selalu saya anggap bagai adik kandung. Saya
bantu sebisa saya membantu. Seperti kamu, Lif," katanya sambil menumpangkan tangannya di bahuku.
Aku mengiyakan sambil mengangguk-angguk.
"Sekali lagi maafkan Mas, aku tidak tahu ceritanya seperti
itu." "Gak apa-apa, setiap saya membantu teman-teman mahasiswa, saya bayangkan membantu Danang. Sejak dia meninggal,
rasanya ada bagian yang hilang dalam hidup saya," katanya menerawang.
"Jadi anggap saja saya kakak kamu ya Lif?"
223 rantau1muara.indd 223 "Oke Mas, siap!"
Dia mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi ke arahku,
mengajak aku high five. Telapak tangan kami beradu. Lalu dia
mendekapku. Mas Garuda, mungkin dia bisa jadi sosok kakak
yang tidak pernah aku punya.
Ketika aku pulang kuliah, ruang keluarga sedang ramai. Ada
Mas Nanda, Mbak Hilda, Mas Garuda, dan beberapa teman
lain sedang mengobrol dengan sepasang suami-istri yang aku
belum kenal. "Sini Lif, ada kawan baru kita yang baru sampai dari Indonesia," katanya melambaikan tangan dari ruang keluarga.
Seperti biasa Mas Garuda mengenalkan aku kepada orang baru
dengan gaya seorang moderator yang membaca CV masingmasing panelis.
"Tamu kita ini, Ustad Fariz yang akan memimpin masyarakat
muslim di area DC untuk setahun ke depan. Beliau sekolah di
Madinah dan langsung ke sini diundang Ikatan Muslim Indonesia.... Beliau ini...," Mas Garuda berbicara cepat sekali dengan satu tarikan napas.
Belum selesai Mas Garuda bicara, aku sudah bertanya, "Ya
Ustad, antum minal ma"had" Anda dari Pondok?" Rasanya wajah
orang di depanku ini begitu akrab di masa laluku.
"Na"am. Iya. Konsul Sumathra Algharbiyah. Asli Sumatera
Barat," jawabnya seperti menangkap maksudku. Biasanya bila
alumni Pondok Madani bertemu akan menyebutkan nama,
224 rantau1muara.indd 224 angkatan atau konsul, alias daerah asal. Kami bersalaman dan
berpelukan. Selalu senang bertemu alumni Pondok Madani
di mana pun. Rasanya di hati kami ada magnet yang tarik-menarik. Mungkin karena kami digodok di tempat yang sama,
minum dari mata air yang sama, guru-guru yang sama. Kami
mungkin bukan saudara sedarah, tapi berkerabat sampai ke setiap benang-benang jiwa. Mas Garuda kebingungan melihat kami langsung akrab. Aku pikir aku satu-satunya anak Pondok di
ibu kota Amerika ini. Eh, ternyata aku tidak sendirian. Punah
sudah kege-eranku. Setelah kami mengobrol beberapa lama, pelan-pelan baru aku
ingat, Ustad Fariz ini pernah menjadi guru pengganti di kelasku
dulu. Sebagai ustad di PM, dia pernah jadi munsyi, penasihat
konsul santri yang berasal dari ranah Minang. Yang membikin
aku ingat juga karena kecamatan dia berasal bernama unik, yaitu Kecamatan 2x11 Enam Lingkung di Padang Pariaman. Aku
curiga pendiri kecamatan ini ahli matematika.
Seminggu pertamanya di DC, Ustad Fariz akan menumpang
tinggal dulu di rumah Mas Nanda dan Mbak Hilda. Rumah
mereka seperti tempat penampungan. Orang datang dan pergi.
Ada yang hanya bertamu sebentar, atau menginap sampai
beberapa bulan karena belum mendapat tempat tinggal atau
mendapat kerja. Lima kamar mereka tidak pernah benar-benar
kosong. Aku sekarang sudah menempati kamar sendiri, tepat di
sebelah Mas Garuda. 225 rantau1muara.indd 225 Setiap hari Minggu selepas Asar, Ustad Fariz mengadakan
pengajian rutin di Kedutaan Indonesia, di 2020 Massachusetts
Avenue, tidak jauh dari Dupont Circle. Acara pengajian ini biasanya diadakan di basement sebelah ruang latihan gamelan, atau
kalau jemaah ramai, maka dipindah ke ball room. Temanya setiap
minggu berganti-ganti mulai dari tafsir klasik sampai ekonomi
Islam dan Ustad Fariz rajin mengumumkan di mailing list pengajian DC. Sesekali, kalau ada waktu dan temanya menarik, aku
berusaha hadir. Minggu ini, Mas Garuda yang memaksa hadir.
"Yang ini, kita gak boleh ketinggalan, Lif," katanya sambil menunjuk ke layar komputernya. Aku menjulurkan kepala ke arah
layar. Judul pengajian minggu ini "Lima Langkah Mencari Jodoh dan Memulai Rumah Tangga".
Jemaah pengajian kali ini mayoritas dari kalangan mahasiswa,
dan pekerja Indonesia yang masih muda. Ustad Fariz memulai
bahasannya dengan pengantar, "Menurut pengalaman saya yang
sudah enam tahun berkeluarga, memang lebih baik menyegerakan menikah jika sudah merasa waktunya. Jangan ditunda lagi.
Siap?" "Siappp...," kata kami bulat.
"Jangan asal siap aja.... Saya mau cek dulu, apa teman-teman
di sini sudah punya calon belum?" katanya sambil tersenyum.
"Sudahhh...," jawab beberapa orang dengan malu-malu. Beberapa mahasiswa menimpuk teman lainnya dengan kertas yang
dibulatkan, sambil mengolok-olok.
"Yang sudah punya calon nyimak yang serius ya.... Yang
belum punya calon, lebih serius lagi. Hari ini kita bahas lima
langkah mencari jodoh."
226 rantau1muara.indd 226 Sepanjang pengajian, posisi duduk Mas Garuda condong ke
depan, mengikuti setiap kata Ustad Fariz dengan sungguh-sungguh. Aku pun memasang kuping baik-baik, mendengar dan ikut
terlibat dalam tanya-jawab yang seru.
"Mungkin teman-teman banyak yang sudah berusaha di
sini, tapi belum juga mendapatkan jodoh. Saya punya lima
tips yang akan kita diskusikan hari ini. Yaitu: evaluasi dan
memperbaiki diri, berusaha dan doa, memperluas pergaulan,
meminta bantuan orang lain, dan menyatakan perasaan secara
langsung. Itu lima hal yang akan kita bahas detail hari ini...."
Mas Garuda bahkan sampai mencatat contoh dan dalil dari
lima tips yang dibahas Ustad Fariz ini. Tampaknya sesi kali ini
sangat menarik hati para peserta karena setelah itu Ustad Fariz
dibanjiri banyak pertanyaan dari jemaah, termasuk pertanyaan
bertubi-tubi dari Mas Garuda.
Sambil pamit pulang, aku bertanya dengan suara pelan ke
Ustad Fariz. "Menyegerakan" Kapan kita tahu sudah waktunya
menyegerakan?" Dia tersenyum memandangku, lalu bertanya menyelidik.
"Sudah punya calon nih, Lif?"


Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku hanya tersenyum. "Mungkin sudah."
"Kalau hati dua orang sudah sangat condong satu sama lain
dan merasa sudah mampu untuk mandiri dan saling menghidupi, ya berarti sudah waktunya," katanya.
Melihat aku tersenyum dikulum saja, dia melanjutkan, "Saya
227 rantau1muara.indd 227 menyangsikan kalimat plesetan "takkan lari jodoh dikejar". Gunung memang tidak akan lari. Tapi jodoh" Dia punya kaki dan
keinginan, dia bisa berlari-lari ke sana-kemari, ke mana dia suka.
Bahkan dia bisa hilang, seperti lenyap ditelan Bumi. Atau dia
jatuh ke tangan orang lain."
Aku masih mengulum senyum. Dia melanjutkan, "Tapi pernikahan tidak hanya urusan dua hati, tapi dua keluarga besar.
Doa, restu, dan etika lamar-melamar yang pantas harus ada."
Mas Garuda yang mendengar aku bicara dengan Ustad Fariz
menepuk-nepuk punggungku. "Tuh kan, apa kata saya," goda
dia. Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Mas Garuda tidak
henti-henti membahas masalah menikah ini. Sepanjang perjalanan itu pula, hanya satu yang terbayang-bayang di pelupuk
mataku. Wajah dia seorang.
228 rantau1muara.indd 228 Bismillah, Bang enyegerakan menikah" Belum pernah aku pikirkan serius hal ini sebelumnya, seperti sekarang.
Kalaulah memakai perkataan Ustad Fariz, bahwa hati telah condong, maka hatiku sangat condong ke Dinara, bagai
matahari senja yang condong ke Barat. Untuk urusan mampu
menghidupi, aku yakin kalau aku bekerja part time, maka pendapatan dan beasiswaku akan cukup untuk makan berdua.
Yang lebih penting lagi, apakah Dinara mau" Aku tidak tahu
pasti. Kondisi yang paling tepat menggambarkan hubungan kami
adalah istilah yang aku ciptakan sendiri tadi malam: ULDR.
Undefined long distance relationship. Hubungan jarak jauh yang
tidak jelas bentuknya. Gelap! Tiada yang tahu mau ke mana
hubungan kami hendak dibawa.
Tiada cara lain untuk mengetahuinya, selain aku harus menyatakan perasaanku dengan jelas kepada Dinara. Tapi aku
masih saja ragu-ragu. Apakah ini terlalu dini" Terlalu berani"
Siapkah aku kalau ditolak" Tapi kalau aku tidak bertindak, aku
takut terjadi lagi seperti saat dengan Raisa dulu.
Membayangkan aku menyatakan perasaan saja sudah membuat perutku melilit tak menentu. Apalagi melamar Dinara.
Ujung tanganku dingin dan jantungku berdebar-debar. Kapan
229 rantau1muara.indd 229 sebaiknya aku akan melemparkan pertanyaan penting ini" Beberapa kali kami bicara di telepon, beberapa kali aku ingin
menyatakan niatku, dan setiap kali pula aku mengurungkan
niat itu. Jarak separuh lingkar Bumi dan perbedaan waktu 12 jam di
antara kami membuat harapan kami semakin tidak jelas. Karena
biaya telepon cukup mahal, aku sudah berhenti menelepon dia
dan kami memaksimalkan komunikasi dengan e-mail. Aku
tidak mengira "mengobrol" melalui e-mail melelahkan. Sedikitsedikit ada salah pengertian sehingga perlu klarifikasi isi e-mail.
Lalu kami pun bertengkar di e-mail, lalu dari satu pertengkaran
menjadi pertengkaran yang lain. Dari hal kecil sampai besar.
Bikin capek. Kacau. "Kenapa tidak pakai calling card murah ini saja, berjam-jam
cuma bayar 5 dolar. Sampai jontor," Mas Garuda mengulurkan
sebuah kartu sambil menjelaskan tentang calling card yang banyak dijual di Chinatown. Ini yang aku perlukan. Komunikasi
e-mail sudah membuat lelah. Aku perlu bicara panjang lebar
dengan dia. Mataku berbinar-binar dan tidak sabar menunggu
jam dinding di apartemen Mas Nanda berdentang tepat jam 10
malam di DC, alias jam 10 pagi di Jakarta. Ini jam Dinara sudah ada di kantor.
Dengan modal calling card baru yang memuat pulsa untuk
bisa bicara dua jam, aku meraih gagang telepon.
"Halo, selamat pagi, ini Dinara," katanya dengan suara ceria dan ringan. Ah, betapa aku rindu mendengarkan alunan
suaranya seperti bernyanyi di gendang telingaku. Sejenak aku
terdiam dan mencari-cari apa kata pertamaku.
230 rantau1muara.indd 230 "Halo, halo, ini dengan siapa?" Dinara bertanya dengan suara lebih keras, karena ada jeda yang belum juga aku isi.
"Ehmm, assalamualaikum. Dari siapa ayo?"
"Walaikumsalam. Bang Aliffff... akhirnyaaa...," katanya seperti bersorak. Aku membayangkan mungkin dia melonjak dari
kursinya. "Maaf ya baru nelpon lagi. Tapi e-mail udah kan?"
"Iya, tapi masa e-mail doang."
"Posctcard sudah juga kan?"
"Udah. Bikin mupeng. Tapi masa cuma segitu aja."
"Emangnya perlu apa lagi?"
"Apa gitu kek. Kan bisa kirim tiket hehe. Tiket apa aja, tiket
nonton, tiket bus, tiket KRL kek," jawabnya bercanda. Awal sudah mengarah, tapi kenapa ditutup dengan tiket kereta. Pesan
yang tidak jelas. Mixed message. Aku balas dengan kata bersayap
juga. "Dikirim tiket nanti gak mau pergi."
"Tergantung tiketnya ke mana." Ah seperti tantangan.
"Jadi gimana kabar di kantor?"
"Sepi." "Sepi kenapa" Emangnya pada pergi atau banyak yang keluar?"
"Hemmm. Sepi aja." Apakah ini bercanda lagi" Atau undangan
untuk membahas. Aku putuskan untuk membahas.
231 rantau1muara.indd 231 "Iya, di Washington juga sepi."
"Lah kan banyak orang bule."
"Sepi, gak denger ramenya suara Dinara," kataku memberanikan diri. Ada jeda sejenak.
"Ah, masa sih?" Walau tidak melihat, aku merasa bisa melihat senyumnya terkembang ketika menjawab.
"Iya, benar. Sepi. Sama, kangen juga obrolan kita sambil
makan siang." Aku sengaja tekankan kata kangen. Agar tidak
frontal, bukan kepada dia, tapi kepada suasana makan siangnya.
Aku menunggu reaksinya. Ada jeda beberapa detik.
"Sama dong," katanya dengan suara rendah.
"Sama apa?" aku coba desak.
"Kangen... kangen ngobrol juga." Nyes, rasanya hatiku laksana tersiram air dingin yang sejuk.
Aku hela napas panjang dan dan aku bersihkan tenggorokan.
"Ehm, Din?" "Ya?" "Aku mau ngomong beneran nih."
"Loh dari tadi gak beneran ya?" katanya sambil cekikikan.
"Ini serius...."
"Dinara juga serius dengerin nih."
Mungkin ini waktunya. Tidak boleh aku tunda lagi. Aku harus menyatakan sikap dan perasaanku.
"Din, aku ingin terus terang. Aku merasa hatiku sudah..."
232 rantau1muara.indd 232 Tut-tut-tut.... Hanya itu yang terdengar di ujung sana. Tanda
jatah pulsa calling card-ku habis.
Aku menekur dengan kesal sambil mengembuskan napas.
Gagal lagi. Kali ini bukan karena aku takut menyatakan, tapi
karena kartu telepon made in Chinatown ini mengkhianatiku.
Hari itu kami tidak bisa lagi meneruskan percakapan. Dinara
mengirim e-mail mengatakan dia harus melakukan liputan investigasi ke Bogor dan aku masih harus mengejar deadline tugas
makalahku. Hilang lagi kesempatanku untuk menyatakan perasaanku.
Cara komunikasi kami yang terbaru secara tidak sengaja aku
dapatkan ketika sedang berdiskusi dengan Profesor Deutsch.
Komputernya tiba-tiba berbunyi ping dan dia menghentikan
diskusi sebentar lalu jarinya sibuk menulis dengan cepat di
keyboard. "Maaf saya sedang chatting dengan seorang peneliti di
Jakarta," katanya. Dia memakai fasilitas telnet yang bisa diakses
dari program DOS. "Cara mudah untuk berkomunikasi tertulis secara langsung
dengan Jakarta," katanya. Aku baru sadar kalau Jakarta bisa terhubung dalam jaringan telnet ini.
Sejak itu aku dan Dinara menggunakan telnet untuk berkomunikasi. Setelah gagal bicara serius dengan Dinara melalui
telepon tempo hari, aku kembali mengumpulkan keberanian. Setelah aku pikir-pikir, aku memang lebih ahli menyampaikan perasaan melalui tulisan daripada lisan. Mungkin telnet cara terbaik.
Hari Sabtu pagi itu, setelah sarapan omelet terburu-buru dan
melewatkan mandi pagi, aku telah duduk di depan komputer,
233 rantau1muara.indd 233 siap chatting dengan Dinara yang sedang ada di rumah. Setelah
basa-basi sejenak, pelan-pelan, jariku mengetik sebuah kalimat
ini. Tanpa preambul apa-apa. Hanya ini saja.
"Nikah yuk." Aku patut-patut dan baca pelan-pelan. Dua kata yang berarti
dalam tapi juga terlalu terus terang. Tidak indah sama sekali.
Ah, kenapa tiba-tiba kemampuan menulis yang selama ini menjadi andalanku macet. Ragu-ragu, aku tekan tombol delete. Aku
coba menulis kalimat yang lain.
"Dinara, maukah menikah denganku?"
Sudah lebih baik tapi standar sekali. Apa dia tidak kaget aku
bom dengan kalimat itu"
Apa yang bisa membuat kalimat ini terasa lebih mengalir"
Tidak kaku tapi juga tidak melantur" Misalnya dihiasi kata-kata
romantis, seperti yang ada di film-film. Nyatanya aku tidak
mampu menyisipkan sekadar kata "cinta" di dalam kalimatku.
Kalimat "Dinara, maukah menikah denganku?" akhirnya aku hapus
juga. Out. "Jodoh rahasia Tuhan. Tapi Tuhan telah membukakan rahasia itu
padaku hari ini. Maukah Dinara jadi pendampingku seumur hidup?"
Nah, yang ini lumayan cantik gayanya, ada logika dan seni
menulisnya. Aku manggut-manggut dan geleng-geleng kepala
sendiri melihat keberanianku menuliskan kalimat itu. Singkat
tapi berisi tanggung jawab besar sepanjang hayat dikandung
badan. Bismillah. Lalu, telunjuk tanganku pelan-pelan menekan
tombol enter. Ping. Dalam sepersekian detik pesan ini memutari
234 rantau1muara.indd 234 setengah bola dunia, dari Washington ke Jakarta. Tiba-tiba perasaan dingin mengalir di tulang belakangku. Perutku mulas
dan tubuhku kaku seperti sebilah kayu. Sementara sekarang
sudah terlambat untuk aku mencabut kalimat itu. Apa kira-kira
jawaban Dinara" Aku meremas-remas tanganku sendiri dengan
perasaan tidak menentu. Ujung kursor berkedip-kedip cepat, seperti tidak mau kalah
dengan degup kencang jantungku. Harap-harap cemas aku
tunggu jawabannya. Waktu seakan berhenti. Beberapa detik
berlalu, tidak ada apa-apa. Beberapa menit sudah lewat, terasa
seperti selamanya. Aku tekan lagi tombol untuk mengirim Ping.
Ping-Ping-Ping... Tidak ada jawaban. Tidak ada Dinara di ujung sana. Hanya
ada kursor yang terus berkedip-kedip seperti mengolok-olokku.
Aku tunggu dengan resah. Lima belas menit sudah beringsut.
Beribu syak wasangka terbit di kepalaku. Apa dia marah" Apa
dia tidak siap untuk menjawab" Apakah dia tidak enak hati untuk menolak" Apa aku saja yang ge-er dengan hubungan kami
selama ini" Atau apa sambungan telnet tidak jalan"
Penantian 30 menit yang hampa. Kuputuskan aku harus tuntaskan urusan ini dengan cara lain. Aku keluar ruang komputer
dan menuju deretan telepon umum yang ada di ujung lorong.
Aku keluarkan kartu telepon murah dan angkat gagang telepon.
Aku masukkan nomor seri yang tertera di kartu, dan menekan
nomor telepon rumah Dinara. Beberapa dering terdengar, tidak
ada jawaban. Aku lirik jam, ini jam 10 pagi di DC, artinya jam
235 rantau1muara.indd 235 9 malam di Jakarta. Seharusnya belum terlalu larut. Semoga ibu
Dinara masih bekerja dan mengangkat telepon.
Tiba-tiba gagang diangkat di seberang sana. "Halo. Ini dari
siapa?" Bukan suara perempuan. Suaranya berat. Bapaknya!
Aku semakin gugup. Haruskah aku jawab, atau aku tutup saja"
Kalau aku jawab, lalu apa kataku. Kalau aku tutup, aku tidak
akan mendapatkan jawaban yang aku tunggu-tunggu.
Ah, sudahlah. Kepalang tanggung. Aku genggam gagang telepon lebih kuat.
"Assalamualaikum. Maaf, ba"a kaba, Pak" Iko ambo, Alif, sadang di Amerika kini. Lai sehat-sehat sajo Pak?" Aku serang dia
dengan bahasa Minang. Waktu di Jakarta, aku sempat bertamu
ke rumah Dinara dan pernah bertemu dengan bapaknya. Dia
berasal dari Sawahlunto dengan gelar Sutan Rangkayo Basa.
Kombinasi gelar dan raut muka sempat menggoyahkan kepercayaan diriku waktu itu.
Dia mendeham. Membersihkan tenggorokan, atau mungkin
kaget dengan seranganku. "Walaikumsalam. Baik. Sehat," balasnya datar. Aku meneguk
liur. Tidak seramah yang aku harapkan. Dan dia menolak pendekatan primordialku dengan sengaja berbicara bahasa Indonesia. Saatnya cepat-cepat mengakhiri percakapan.
"Pak, mohon maaf kalau menelepon malam-malam. Kebetulan ada keperluan dengan Dinara. Boleh bicara dengan dia,
Pak?" "Semoga belum tidur."
Lalu terdengar dia mengetuk kamar Dinara.
236 rantau1muara.indd 236 "Maaf Bang, tadi ninggalin komputer dulu, tiba-tiba ada telepon urusan kantor yang Dinara harus terima dari kamar. Ada
tambahan tugas dari Mas Aji."
"Iya, abisnya tiba-tiba hilang dan tidak ada balasan di
chatting... Jadi apa jawabannya?" sergapku tanpa membuang
waktu. Dinara diam sejurus. "Pertanyaan yang mana?"
"Yang itu." "Yang mana sih" Terakhir tidak ada pertanyaan apa-apa. Bentar, Dinara lihat di komputer dulu."
Dari gagang telepon terdengar klik-klik mouse dan keyboard
ditekan. "Sudah lihat, kan" Gimana?" tuntutku lagi. Dinara diam.
Hanya helaan napasnya yang terdengar panjang.
"Kita lanjutkan dengan chatting lagi aja ya?" akhirnya dia
berbicara. Ada perasaan tidak nyaman muncul di hatiku. Dia mungkin
mencoba berkelit. Tidak mau terus terang menjawab langsung.
"Oke," jawabku pendek.
Setelah menutup telepon, aku berlari masuk lagi ke ruang
komputer. Kursor berkedip dan tersambung dengan Dinara.
Sebuah kalimat dikirimnya. Kalimat jawabannya membuat aku
tersedak. 237 rantau1muara.indd 237 "Ketika tiba waktunya."
Dia tidak membalas dengan telak tapi juga tidak menolak.
Aku tanya, "Kapan waktunya?"
"Ketika tidak perlu menunggu lagi."
"Kalau begitu sesegera mungkin?"
"Berani kapan?" Dia malah menantang
"Libur semester pertama, dua bulan lagi," jawabku secepat kilat,
antara sadar dan tidak. Takut kehilangan momen ini.
"HAHHHHHHHH?" Tulisannya besar semua. Dia pasti kaget, tidak mengira aku
akan membalas tantangannya.
"Ayo, kita coba. Bismillah aja."
"Aduh. Bagaimana ini. Kok buru-buru begini?"
"Tadi sih nantang. Mau menunggu berapa lama" Kalau memang
cocok di hati, jangan menunda."
"Bingung nih, gimana ya?"
"Sebenarnya Dinara yakin tidak?"
"Antara yakin dan tidak yakin." Ciut juga hatiku mendengar
dia punya keraguan.

Rantau Satu Muara Buku 3 Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lebih banyak ke yakin atau ke tidak yakin?"
"HMMMM..." Lama sekali tidak ada jawaban.
"Aku menunggu."
"Nanti dulu, lagi mikir."
238 rantau1muara.indd 238 Di layar hanya ada kursor berkedip. Tidak ada tanda-tanda
jawaban. "Gimana?" "Halowww?" "Anybody there?"
Aku mulai meracau tidak sabar.
"Kalau memang belum yakin ya sudah. Kita tutup dulu saja
diskusi ini. Mungkin memang belum waktunya, atau memang tidak
pernah akan ada waktunya."
Aku menulis ini dengan perasaan mutung.
"Lho siapa yang tidak yakin, kalau Abang yang memang tidak
yakin, ya jangan bilang dulu."
Ups, aku salah langkah. Aku menangkap rasa kesal di tulisannya. Pasti mukanya sekarang kusut. Aku coba perbaiki
kesalahan ini. "Bukan begitu maksudku. Aku yakin. Kalau Dinara juga yakin,
mari kita jalani. Semoga ini jalan kita yang terbaik."
Kursor berkedip-kedip lama. Aku bahkan tidak tahu kalau
dia masih ada di depan komputer. Aku tulis lagi:
"Kalau yakin bisa dua bulan lagi, ayuk kita mulai dengan bismillah," sekali lagi aku ketik dengan cepat.
Ribuan kilometer dari tempatku duduk, mungkin jemarinya
sedang bergerak. Entah mantap, entah gemetar, entah ragu.
Yang jelas, satu persatu huruf itu muncul di layarku, semuanya
huruf besar, huruf demi huruf, berhimpun menjadi dua kata
pendek: 239 rantau1muara.indd 239 "BISMILLAH, BANG."
Badan dan hatiku terasa enteng, serasa melayang menyentuh
langit-langit. Semua mata di ruang komputer memandang ke
arahku dengan heran mendengar aku terpekik senang.
Aku telepon Amak dan bercerita dengan malu-malu kalau
aku merasa sudah menemukan calon yang ingin aku persunting.
Amak tidak banyak bicara, hanya berpesan, "Perempuan hatinya
seperti kaca, jika pecah berderai tidak bisa kembali utuh sempurna. Hargai hati dan perasaannya. Jangan main-main, kalau suka
bilang, kalau tidak jangan. Jangan permainkan perasaannya kalau masih ragu-ragu. Kalau wa"ang yakin, Amak restui."
Nasihat Amak itu semakin memantapkan hatiku. Sejak "hari
Bismillah" itu, aku mulai berburu pekerjaan. Kalaulah kami
nanti jadi menikah, aku perlu penghasilan tambahan. Uang
beasiswa memadai hanya untuk aku sendiri. Minggu ini aku
memutuskan kerja paruh waktu di kampus sebagai staf Ticket
Master, agen penjualan tiket pertandingan olahraga dan musik.
Kantornya ada di tengah kampus, sehingga memudahkan aku
untuk membagi waktu antara kelas dan kerja. Waktu kerja
juga dibatasi, hanya 20 jam seminggu. Walau gajinya kecil,
hanya 6 dolar per 1 jam, tapi ini pekerjaan yang pas buat aku
sekarang. Tidak terlalu banyak tuntutan, hanya menjaga loket
dan kalau sepi pembeli, aku bisa sambil membaca buku kuliah
atau mengetik paper. Aku juga mulai mencari informasi tentang
beasiswa dari kampus. Aku tahu Dinara juga punya mimpi melanjutkan sekolah di luar negeri.
240 rantau1muara.indd 240 Sutan Rangkayo Basa ore itu aku perlu mencari angin. Aku racak sepedaku
memutari Foggy Bottom, menyelip di antara beberapa mahasiswa yang jogging sore, lalu berhenti mengaso di taman Lafayette Square, di depan sebuah rumah paling terkenal di Amerika, atau bahkan dunia. 1600 Pennsylvania Avenue. Rumah para
presiden Amerika Serikat. The White House.
Taman ini ramai oleh gerombolan turis dan anak-anak
yang bermain frisbee. Aku melewati kemah plastik yang paling
terkenal di DC yang didiami Connie Picciotto dan William
Thomas. Poster protes mereka yang berwarna kuning dengan
tulisan: "War is Not the Answer" terlihat kontras dengan hijaunya
rumput. Mereka berdua mungkin demonstran paling konsisten
di dunia karena sudah berkemah di depan White House ini
sejak tahun 1981 untuk memprotes perang, zionis, dan senjata
nuklir. Tidak ada aparat yang bisa mengusir mereka, karena hak
untuk protes dilindungi undang-undang. Mungkin dulu polisi
meremehkan stamina mereka dan memperkirakan mereka akan
menyerah setelah beberapa minggu. Ternyata, hampir 20 tahun
kemah itu masih terus berdiri, dan dua orang keras hati ini masih tinggal di depan White House.
Aku datang ke sini bukan untuk bertemu dengan Connie
Picciotto atau bertamu ke rumah Presiden Clinton. Aku ingin
melemaskan pikiranku setelah seharian pusing mengerjakan
241 rantau1muara.indd 241 tugas dan memikirkan apa langkah selanjutnya dalam rencana
menikah kami. Aku rebahkan sepeda di taman dan kuselonjorkan kaki panjang-panjang di bangku taman sambil menatap taman White
House yang seperti baru dimanikur. Beragam gradasi warna dari
bunga tulip serta sebuah kricikan air mancur lumayan bisa menenangkan pikiranku yang kusut.
Pokok masalah yang membebani kepalaku adalah cara mempercepat lamaran, pernikahan, dan memboyong Dinara ke Washington DC. Waktu kami hanya dua bulan lebih. Tapi bagaimana aku melakukan lamaran dari negeri yang jauh ini"
"Bang, segera ngomong sama Mama dan Papa ya." Terngiangngiang terus di kepalaku pesan Dinara. Sudah seminggu dan aku
masih menyusun rencananya. Sebelum kedua keluarga bertemu
secara adat, tentu aku harus membuka jalan. Tidak ada jalan
lain selain aku harus bicara dengan orangtua Dinara secepatnya.
Dan yang aku hadapi adalah seorang calon bapak mertua bersuku Minang yang pasti sangat memperhatikan kesopanan dan
adat dalam masalah pinang-meminang. Pengalamanku terakhir
bicara dengan dia tidak begitu mengesankan.
"Iya tapi bagaimana" Pasti papanya Dinara akan tersinggung
kalau hanya ditelepon," tanyaku dengan risau. Untuk berbicara
berhadap-hadapan dengan bapaknya tentulah tidak mungkin
saat ini. Tapi mana mungkin melamar anak gadis orang hanya
dengan mengangkat telepon"
"Hmm. Dinara ngomong dulu deh sama Mama untuk nanya
gimana baiknya. Lebih pas curhat sama Mama. Kita teleponan
lagi besok ya," katanya.
242 rantau1muara.indd 242 "Abang tidak harus ngomong langsung sama Papa, tapi ngobrol sama Mama dulu. Mama jagoan diplomasi dan bisa bikin
semua orang happy. Insya Allah Mama ada di pihak kita," katanya memberi usul. Ibunya ada di pihak kami. Great.
Di luar dugaanku, Ibu Utami tidak banyak bertanya ketika
aku menelepon ke kantornya. Malah suaranya bercampur isak
kecil ketika aku sampaikan niatku melamar Dinara.
"Sebagai seorang ibu, saya bahagia anak saya dihargai. Rasanya belum lama saya besarkan, dan tiba-tiba dia sudah dewasa
dan akan segera punya hidupnya sendiri."
"Dengan keterbatasan jarak dan waktu, bagaimana baiknya
menurut Ibu untuk menyampaikan secara resmi kepada Bapak
dan keluarga?" tanyaku hati-hati.
"Papanya Dinara orangnya keras dan punya ego yang besar.
Harus pelan-pelan masuknya. Gini aja. Ibu akan mulai pelanpelan bicara sama papanya Dinara minggu ini. Minggu depan,
kamu telepon Ibu lagi untuk membicarakan bagaimana situasinya." Seperti kata Dinara, Ibu Utami memberi lampu hijau
kepadaku dan Dinara. "Crosswords," kata Ibu Utami kepadaku sebelum pembicaraan
telepon kami selesai. "Coba Alif mengirimkan beberapa buku
crosswords dari Amerika khusus ke papanya Dinara. Hobinya
mengisi buku itu. Dia punya koleksi dari berbagai negara tapi
belum ada dari Amerika. Coba kirim secepatnya. Kita teleponan
243 rantau1muara.indd 243 lagi minggu depan." Tanpa membuang waktu, hari itu juga aku
kirim tiga buku crosswords terbaru yang dijual di Borders. Kiriman dengan Fedex ini akan sampai dalam empat hari.
"Alhamdulillah Bapak senang sekali dapat kiriman kamu.
Sejak diterima dua hari lalu, setiap ada waktu luang dia asyik
mengisi crosswords dari kamu, Lif," kata Ibu Utami seminggu
kemudian. "Kapan saya bisa menelepon Bapak?"
"Jangan dulu. Jangan terlalu cepat. Begini saja, supaya tidak
ada yang merasa tersinggung nanti, coba Alif menulis surat dulu. Supaya cepat lewat e-mail saja. Isinya nanti kita atur dulu
agar sesuai dengan gaya yang pas."
Bagai merancang konspirasi besar, bolak-balik aku, Dinara,
dan ibunya mendiskusikan apa poin penting yang harus ada
dalam surat itu. Aku sudah biasa menulis surat sejak di Pondok
Madani dulu, tapi surat kali ini sungguh berbeda. Ini surat tentang masa depan. Jauh lebih sulit daripada menulis surat untuk
melamar beasiswa. Ini surat untuk melamar calon istri.
Sore itu di bangku kayu, di bawah pohon american elms
di taman Lafayette, aku mulai menyempurnakan draft suratku
untuk Sutan Rangkayo Basa.
Surat aku awali dengan: Yang Mulia Bapak Sutan Rangkayo Basa dan Ibu Utami di
Jakarta Hari ini adalah musim gugur yang indah di Washington DC.
244 rantau1muara.indd 244 Di saat yang sama, pikiran saya ingat negeri sendiri. Saya
senang sekali bisa kenal baik dengan Bapak dan Ibu sekeluarga, dan tentunya dengan anak kandung Bapak dan Ibu, yaitu
Dinara. Dan aku tutup dengan ini:
Karena itu, dengan segala kerendahan hati saya ingin melamar
Dinara untuk menjadi pendamping hidup saya. Saya berjanji
akan menjadi pendamping terbaik untuk Dinara, pembela utamanya, temannya di kala suka dan duka. Semoga niat baik
saya ini bisa direstui oleh Bapak dan Ibu. Mohon maaf karena
saat ini saya hanya bisa menyampaikan hal penting ini melalui
surat. Saya belum bisa untuk pulang ke Indonesia saat ini karena masih di tengah semester.
"Bagaimana raut Bapak waktu menerima surat itu?"
"Serius banget tampangnya waktu baca tadi. Sekarang Mama
dan Papa lagi di kamar, dari suaranya sih kayaknya mereka lagi
diskusi panjang." "Duh, semoga lancar. Berdebar-debar banget nih."
"Apalagi Dinara yang di sini. Bikin mules."
"Jadi, kira-kira kapan aku bisa menelepon Bapak langsung?"
"Kayaknya ini belum waktu yang tepat. Ntar Dinara tanya
sama Mama dulu ya, kapan timing yang pas untuk menelepon."
"Bismillah ya, Dinara."
245 rantau1muara.indd 245 "Bismillah, Bang."
Aku tidak bisa diam. Di dalam rumah Mas Nanda aku hilirmudik, dari ujung pintu, ke dapur, mentok, balik ke kamar
mandi, mentok, balik ke pintu lagi. Bagaimana kalau Pak Sutan
marah, tidak senang, menganggap aku tidak sopan atau lancang, lalu tidak setuju.
Mas Garuda terheran-heran melihat aku yang seperti linglung. "Aku masakin apa biar tidak stres begitu" Keju dengan
rendang, atau dendeng balado rasa keju?" tanyanya.
Aku menggeleng keras-keras.
Aku bisa merasakan kerasnya denyutan nadi di ujung jariku
ketika aku genggam gagang telepon itu. Suara nada tunggu di
ujung sana membuat aku gugup. "Halo..." Suaranya berat dengan kadar bas yang besar. Sutan Rangkayo Basa.
"Terima kasih kiriman crosswords kemarin ya. Sudah saya
Kuda Besi 2 Pendekar Pulau Neraka 08 Pesanggrahan Goa Larangan Jurus Tanpa Bentuk 17
^