Pencarian

Ratu Jeruk Nipis 2

Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela Bagian 2


Aku berusaha membuat alasan untuk menenangkan hatiku
yang gundah. Apa benar Dhika begitu" Apakah semua katakata indah yang diucapkannya padaku akan diulangnya juga
pada orang lain" Padahal baru saja aku mulai berpikir Dhika
tidak seperti Shawn yang suka tebar pesona atau bermulut
manis, tapi ternyata"
*** Setelah aku pulih, Dhika memang tidak pernah kelihatan lagi.
Dendi, teman serumahnya, mengatakan Dhika sekarang ada
di Bali, tapi nggak jelas akan berapa lama dia di sana. Dhika
sama sekali tidak memberi kabar berita. Aku berusaha melu"
pakannya, tapi" andai semudah itu. Seakan Dhika selalu ada
dalam setiap napas yang kuhirup. Bayangannya selalu ada,
tidak pernah berhasil aku enyahkan.
Setiap lagu yang kuciptakan, selalu untuk Dhika. Kata
teman-temanku dan Nancy, aku bodoh. Bodoh, karena masih
mengharapkan orang yang nggak jelas juntrungannya. Bodoh,
karena masih juga mau tertarik dengan seniman yang ternyata
memang tidak dapat dipercaya.
Satu bulan berlalu, dan aku masih tidak percaya betapa
dalam perasaan yang kusimpan untuk Dhika. Mengingatnya,
hatiku patah dan ngilu, tapi juga senang. Aku selalu berharap
akan bertemu lagi dengannya. Tapi buat apa"
Aku tersenyum, getir. Kalaupun bertemu, barangkali Dhika
sedang bersama perempuan yang The UB lihat bersamanya
waktu konser dulu. Apa aku segila itu untuk menambah sakit
di hatiku" "Azie, nanti malam dandan yang cantik ya!" tiba-tiba Tya
mengagetkanku. Aku hanya bisa meng-ooh dengan tampang
bego. Aku masih juga memandangi ukiran burung merpati
dan mawar. Hadiah dari Dhika saat pertama kali aku berte"
mu dengannya. "Eh, kita mau ke mana?"
"Ke Cherry Caf"!" jawab Tya pendek.
"Ngapain juga ke sana!" omelku. Seperti biasa, sore itu aku
sudah siap dengan seragamku, babydoll, dan bersiap-siap
tidur-tiduran sambil memikirkan mengapa Dhika menghilang
begitu saja. "Heh! Pokoknya harus ikut! Awas kalo nggak!" ancam Tya
galak. Aku jadi takut juga.
"Emangnya ada apa di sana?"
"Kita bakal makan enak. Hari ini kan aku ulang tahun,
kamu pasti lupa ya!" Tya menatapku garang. Aku merasa se"perti anak kambing tak berdaya di hadapan seekor singa per"kasa.
"Waduh, maaf, Tya, aku lupa membelikanmu hadiah!" Aku
menepuk kepalaku, sadar bahwa sudah cukup lama aku meng"
abaikan orang-orang di sekelilingku. "Selamat ulang tahun ya!
Nanti aku carikan hadiah yang bagus untukmu."
"Ya ampuuun, Zie! Ulang tahunku masih bulan depan!
Aku tadi cuma bercanda."
"Jadi yang ulang tahun siapa dong?"
"Nggak ada!" Tya terdengar garang. "Memangnya mesti ada
yang ulang tahun dulu baru boleh makan-makan di resto"
Suka-suka, kan?" "Ng?" Aku jadi bingung mau ngomong apa.
"Pokoknya kamu mesti ikut, Zie," tambah Tya dengan nada
lebih lembut. "Nggak baik bertapa terus di rumah. Sekali-se"
kali kita perlu pergi biar dapat inspirasi. Kami semua peduli
padamu, Zie. Kami nggak pengin kamu mengurung diri di
rumah seumur hidupmu."
Napasku tercekat. "Terima kasih karena selalu ada untukku,
Tya?" "Kalau hanya gara-gara kamu moody selama satu bulanan
kami akan meninggalkanmu begitu saja, berarti bukan sahabat
sejati, kan?" "Hehehe..." Aku terkekeh. Merasa kembali ke diriku yang
biasa. "Jadi kita nanti pake baju bagus! Kali ini aku yang akan
dandanin kamu!" "Yaaah, Tya! Sahabat sih sahabat, tapi jangan maksa dong!"
dumelku. Aku selalu ngeri tiap didandani Tya. Hasil akhirnya
memang lebih oke, tapi aku tetap merasa kulitku bertambah
tebal dua inci! *** Malam itu aku dipaksa berdandan habis-habisan oleh Tya. Ia
memang tidak mendandaniku secara langsung, tapi memberi"
kan instruksi yang membuatku sedikit-sedikit ngambek.
"Pake bedak" lagi" Tadi kan udah pake alas bedak, terus
bedak padat. Buat apa pake bedak tabur segala?" protesku.
"Cerewet! Ya biar lebih tahan lama! Atau kamu mau aku yang
dandanin?" ancam Tya yang langsung membuatku kha"watir.
"Oke!" Aku mengalah. Tapi tentu saja dengan perasaan ti"
dak rela. Acara dandan yang bagiku lamanya serasa 2 hari (tapi da"
lam kenyataannya tidak sampai satu jam) akhirnya berakhir
juga. Setelah mengobrak-abrik lemari pakaianku, Tya memi"
lihkan gaun Prada yang dulu diberikan Allan. Ia menyampir"
kan pashmina berwarna keemasan sebagai aksen. Tya meng"gelung rambutku menjadi french twist yang rapi.
"Kayaknya ini berlebihan deh!" protesku.
"Sudah, diam aja! Yang penting kamu harus keliatan can"
tik!" "Kok gitu?" "Supaya Nance merasa tenang!"
"Tenang gimana?" Aku bertambah bingung.
"Supaya kamu terlihat bahagia dan cantik tanda kamu me"
restui hubungannya dengan Allan! Selama ini kan Nance ta"
kut kamu ada hati juga dengan Allan. I mean, who doesn"t, dia
kan begitu tampan. Eh, kecuali aku deh, aku kan udah punya
Tony!" Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk mencerna katakata Tya.
"Nance" Nancy-ku" Dengan Allan?" tanyaku takjub. "Apa
aku nggak salah dengar nih" Nancy dan Allan pacaran?"
Tya memberiku tatapan yang seakan berkata, "Where the
heck have you been, sistah?"
"Iya dong! Emang berapa Nancy yang kita kenal" Nggak
mungkin kan Allan jadian sama Nancy Drew?" Tya mencibir.
Lagian, ngapain juga Tya menyebutkan nama tokoh detektif
remaja fiktif yang sudah ngetop selama puluhan tahun itu!
Ada-ada saja. "Aku ikut senang mendengarnya," sahutku tulus. Allan yang
tampan dengan adikku, Nancy, yang manis" Pasangan yang
sungguh serasi! "Makanya, dandan yang bener!" Tya yang merasa di atas
angin memasang tampang jemawa. Aku hanya bisa terbahak
kemudian menurut. "Kita naik apa ke Cherry Caf?"" tanyaku.
"Naik mobilku saja. Sedanku cukup nyaman, kan?"
Aku terdiam sejenak. "Pake mobilku saja."
Tya menggeleng. "Nggak ah. Mobil bagus. Takut rusak. Kamu
aja belum pernah pake. Tiap hari cuma dipanasin doang."
"Nggak apa-apa. Mulai besok aku akan belajar nyetir. Seka"rang kamu yang nyetirin dulu, ya?"
Tya menatapku, bingung bercampur lega. "Kamu mau bela"
jar nyetir?" "Kok heran banget" Memangnya aku barusan bilang mau
mendaki Himalaya dengan menggunakan tangan, ya?"
"Sebenarnya kami semua berharap dengan adanya mobil
itu, kamu jadi tergugah belajar nyetir. Tapi nggak nyangka
manjur juga. Selama ini kamu kenapa sih nggak mau nyetir"
Trauma" Takut" Atau apa?"
Bayangan Shawn berkelebat di benakku. "Ceritanya panjang.
Kapan-kapan aku cerita."
Tya hanya mengangkat bahu. Sementara mengoleskan
lipstik, aku bertekad mengusir bayang-bayang masa lalu.
Mungkin Dhika dan Shawn sama saja. Mungkin tidak. Yang
penting, aku tidak mau hanyut dalam masa lalu. Aku ingin
terus berjuang, terus berkembang dan tumbuh. Dan dengan
cara itu, mungkin suatu saat nanti aku dapat menemukan
seseorang yang membuatku merasa sempurna.
*** Aku sudah tahu akan menjadi pihak yang tersisih! Tony oto"
matis duduk di depan, di samping Tya. Mereka tampak begitu
mesra dan bahagia, aku jadi sedikit iri. Sambil tersenyum aku
jadi ingat masa lalu. Dulu Tya benci sekali pada Tony saat
pertama kali mereka berkenalan. Tya menganggap Tony me"
nyebalkan dan sok ganteng. Tony beranggapan Tya terlalu jual
mahal. Tapi toh akhirnya mereka jadian juga.
"Duh, macet nih," Tya mengeluh. Jalan Dago di malam
Minggu seperti ini memang penuh. Apalagi dengan mobilmobil berpelat Jakarta.
"Udah deket kok. Lagian salahmu sendiri. Kamu sendiri
kan yang pengin nyetir" Padahal kamu bisa nyuruh kekasih"
mu tersayang jadi sopir!"
Tony hanya tertawa saat aku menyinggung kata sopir.
"Tapi aku kan pengin juga ngendarain BMW mewah kayak
gini. Kapan lagi" Kalau kamu udah bisa nyetir, uh, pasti deh
nggak bakalan mau minjemin mobil ini lagi!"
"Azie mau belajar nyetir?" Tony menoleh ke arahku. Be"
ngong. Aku mengangguk kecil. "Ternyata keajaiban memang ada ya?" sahut Tony lagi, pe"nuh kekaguman.
Aku cemberut dan pura-pura ngambek. Tapi kemudian
kami bertiga tertawa riang. Rasanya baru kali ini aku bisa
tertawa lepas. Hatiku masih sedikit perih mengingat Dhika,
tapi mungkin dengan berlalunya waktu, aku akan baik-baik
saja. Beberapa menit kemudian sampailah kami di Cherry Caf".
Kafe dengan nuansa warna merah itu ternyata lebih luas dari"
pada yang kuperkirakan. Interiornya minimalis, tapi trendi.
Sofa merahnya terlihat begitu nyaman. Suasananya memang
se"dikit santai, tapi nuansa mewah masih terasa.
Troy, Allan, dan Nancy sudah berada di sana. Allan dan
Nancy mengenakan baju dengan warna yang sama"hijau!
Me"reka bergandengan tangan. Aku menyelamati mereka ber"
dua. Mungkin aku sedikit iri melihat mereka yang berpasang"
an. Tapi toh setidaknya aku tidak sendiri. Troy juga masih
sendirian dan kayaknya happy-happy aja tuh.
Seorang perempuan yang usianya kutaksir masih remaja
datang menghampiri meja kami. Wajahnya biasa saja, tapi ia
terlihat ramah dan menyenangkan. Troy langsung memeluknya
dan mengenalkan perempuan itu sebagai pacarnya, Gita.
Sialan! Jadi aku satu-satunya yang masih single di sini!
Walau sedikit mangkel, sebenarnya aku merasa oke-oke saja.
Yang penting aku bahagia kan, walaupun masih mela"jang"
Andai saja ada Dhika" kebahagiaan ini pasti sempurna.
Mengingat nama itu, senyumku sirna. Malam ini adalah
malam indah bersama teman-temanku, ngapain juga aku ma"sih mikirin Dhika"
Aku sempat kebingungan mau memilih hidangan apa. Se"
muanya tampak lezat. Akhirnya Tya yang memilihkan untuk"
ku. Steak apa pun lah, aku juga rasanya tidak terlalu lapar.
Untuk minumannya Tya memesankan cherry milkshake, ke"banggaan kafe ini.
"Aku mau ke kamar mandi dulu. Kamu ikut, Nance" Gita?"
tanya Tya sambil berdiri. Aku mau ikutan berdiri tapi lang"
sung ditahan oleh Tya. "Kamu tunggu aja di sini, Zie. Nggak
lama kok." Aku kembali duduk, dan menatap terheran-heran ke arah
Troy, Tony, dan Allan yang mendadak ingin ke kamar mandi
juga. Mencurigakan! Masa mendadak semuanya kebelet" Ah,
tapi biarlah. Aku kan jadi punya waktu untuk sendirian. Wak"
tu untuk merenungkan Dhika.
Andai saja Dhika ada di sini. Aku mendesah. Penuh sesal.
Aku masih ingat kata-kataku dulu padanya, bahwa aku tidak
tertarik jatuh cinta. Apa karena itu Dhika pergi begitu saja"
Atau karena memang aku tidak berharga di matanya" Mung"kin dia sudah menemukan perempuan yang lebih cantik, yang
lebih manis"yang membalas cintanya, di pulau dewata.
Ah, andai saja Dhika ada di sini...
Bahuku ditepuk. Ternyata Tya tidak lama ke kamar mandi"
nya. Aku terkesiap, mendapati sosok Dhika. Saking terkejutnya
aku sampai kehilangan kata.
"Boleh aku duduk, Azie?" tanyanya. Aku mengangguk-ang"
guk panik. "Kaget, ya?" Ia tersenyum. Oh Tuhan... rasanya
diriku seperti es krim yang diletakkan di gurun pasir. Meleleh
tanpa ampun. "Kamu ke mana saja, Dhik" Sudah sebulan lebih aku nggak
dengar kabar darimu."
"Ke Bali, ngurus pameran perdanaku. Maaf ya, aku nggak
sempat ngasih kabar." Suara Dhika begitu tenang dan dalam.
Aku menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukannya.
Aku tertunduk malu, entah kenapa. Rasanya banyak sekali
hal yang ingin kubicarakan dengannya, tapi setelah ia duduk
di sampingku, rasanya semuanya hilang begitu saja.
"Kupikir aku nggak akan pernah bertemu lagi denganmu,"
bisikku lirih. "Well, here I am." Ia tersenyum lagi, membuat jantungku
berdebar cepat. Aku menunduk. Kali ini bersyukur telah memakai kosme"
tik dan bedak tebal. Setidaknya, warna merah di pipiku tidak
akan terlalu kentara. "I"ve got something to give you," ucapnya lagi sambil menatap
wajahku. Ia mengeluarkan kotak kecil dari balik jaketnya dan
memberikannya padaku. "Bukalah, Zie."
Perlahan kubuka kotak itu. Di dalamnya kutemukan seraut
wajah cantik dan anggun dalam bentuk sebuah ukiran dari
gading. Wajahku! "Itu replika karya terbesarku Zie. Yang asli terbuat dari
mar"mer terputih yang pernah kutemukan, life-size. Karyaku
yang ini kunamakan Goddess of Love. Dewi Cinta."
Aku menatapnya tak percaya.
"Kunamakan begitu karena wanita yang menginspirasikan
terbuatnya patung ini telah berhasil membuatku jatuh cinta.
Jatuh cinta sedalam-dalamnya sehingga aku melarikan diri ke
Bali dan berusaha melupakannya. Tetapi aku tak bisa. Setiap
saat, setiap malam sebelum aku tidur, wajahmu selalu
terbayang di hatiku. Oleh karena itu aku memutuskan untuk
membuat Goddess of Love." Ia menghela napas. "Kamulah
perempuan itu, Zie. Pesonamu telah menjeratku, hingga aku
tak dapat lagi melupakanmu."
"Tapi, Dhik, aku..." suaraku tercekat.
"Kamu nggak perlu ngomong apa pun, Zie." Dhika
menggenggam kedua belah tanganku erat-erat. "Aku tak ingin
kehilanganmu. Apakah kamu menerima cintaku, Zie?"
"Aku..." Aku menggeleng. Aku masih teringat cerita anakanak The UB. "Siapa perempuan yang sedang berbicara


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padamu saat itu, Dhika?"
Dhika mengerutkan alis. Ia terlihat begitu tampan"aku
harus menahan diri untuk tidak menyentuh wajahnya.
"Perempuan yang mana?"
Aku menghela napas. "Perempuan teman bicaramu"saat
konser." Aku menunduk. Takut Dhika tersinggung atau bagaimana.
Aku heran mendengar gelak tawanya.
"Aku senang kamu bertanya. Kamu cemburu?" tanyanya,
menggoda. "Siapa bilang?" aku bertanya balik.
"Yakin?" Senyumnya menular, membuatku ingin tersenyum
juga selebar-lebarnya. Aku memilih untuk menunduk.
"Dia kakakku. Artis juga. Dia menawarkan sesuatu yang
nggak bisa kutolak"pergi ke Bali hari itu juga, untuk meng"urus
persiapan pameran segala macam. Mendadak sih me"mang. Tapi
itu kesempatan langka"pameran berskala interna"sional pula.
Aku langsung pergi saat itu juga dan menyerahkan tanggung
jawab konser dan pameran di Bandung pada teman"ku. Aku
bahkan nggak tahu ternyata kamu sakit. Maafkan aku, Zie."
"Kenapa kamu nggak menelepon?" tanyaku dengan nada
sedikit tinggi. "Aku?" Dhika tampak malu. "Nggak tahu nomor telepon"
mu. Selama ini kan kita selalu bertemu langsung, nggak per"nah melalui telepon."
Tanpa kusadari aku tertawa geli. "Jadi begitu?"
Dhika mengangguk. "Terus, kenapa tiba-tiba kamu sekarang ada di sini" Tahu
dari mana?" "Dariku," Tya dan yang lainnya mendadak muncul. Aku
jadi bengong. Kalau mereka berkata bahwa mereka bisa tele"
portasi untuk berpindah dalam sekejap, aku pasti percaya.
Rasanya aku tidak melihat mereka ada di sekitar. Apa sebe"
narnya, mereka sudah ada dari tadi tapi aku terlalu asyik
melihat Dhika, jadi tidak memerhatikan"
"Aku berusaha menghubungi Dhika. Via Dendi, tentunya.
Awalnya susah melacak jejaknya. Tapi, tentu saja, kesabaran
pasti ada hikmahnya."
Aku mengerjap-ngerjapkan mata mendengar Tya mengucap"
kan kata-kata yang bernada bijaksana.
"Jadi, kalian semua sudah tahu hal ini?" Aku menatap ber"
gantian ke arah Tya (mengangkat bahu), Tony (nyengir me"
nyaingi kuda), Troy (berlagak bego), Gita (tampak begitu
polos, tapi siapa tahu"), Allan (menahan senyum), dan Nancy
(tertawa lebar). Mereka semua mengangguk.
Aku langsung meradang. "Kalian benar-benar tega ya!"
"Zie, kamu belum memberikan jawaban!" Suara Dhika
membuatku tersadar. Aku menatap Dhika. Dhika memang seorang seniman.
Sama seperti Shawn. Tapi dalam hatiku aku yakin dia berbe"
da. Dia tidak akan meninggalkanku begitu saja"seperti
Shawn. Dia tulus menyayangiku apa adanya.
"Memangnya kamu masih perlu jawaban?" Aku memeluk"
nya. Erat sekali. *** "Sudah siap, Tya?" tanyaku perlahan pada Tya yang kelihatan
sibuk mengeset gitarnya. Tya mengangguk. Di barisan depan
kulihat Dhika dengan kakaknya, Mbak Reta (yang dulu disang"
ka cewek yang dirayu Dhika oleh The UB), tersenyum sambil
menatapku. Kulirik Tony yang berdiri di samping kiriku.
"Okay! One, two, one, two, three, four, let"s roll!"
Tya memainkan melodi lagu terbaru kami.
"I"ve never given my heart to anyone at all
I was so afraid my dear heart would break in two
But here I am now, I"ve let myself fall
for a newcomer in my life like you..."
Lirik lagu terbaru kami mengalun dengan lembut. Sambut"an penonton sungguh luar biasa.
Aku, Azalea Katrina, adalah gadis yang sangat berbahagia.
Tiket konser kami selalu habis terjual di mana pun kami ber"
ada. Kepopuleran The UB di Indonesia juga mancanegara
semakin melesat. Aku memiliki teman-teman yang baik, dan
Dhika, tentu saja. Mereka membuatku utuh, sempurna. Di"hargai, dicintai.
Kulirik Tony, Tya, Allan, dan Troy. Kuberikan senyumku
yang terindah pada para penonton, dan mulai menyanyi lagi.
Cincin Perak KEVIN tidak mengenal kakek tua yang berdiri di dekat
pilar Landmark Convention Hall di Jalan Braga. Pertamatama ia menyangka kakek itu seorang pengemis. Hatinya tre"
nyuh. Ia teringat kakeknya yang telah meninggal beberapa
tahun yang lalu. Dirogohnya saku, berusaha menemukan se"jumlah uang.
Kakek itu menatap Kevin dengan pandangan sayu. Ternya"ta
Kevin salah duga. Sepasang mata yang masih kelihatan bening
itu menyorotkan sinar penuh percaya diri. Bukan ta"tapan
seorang pengemis. Lagi pula pakaiannya masih kelihat"an baru.
Tiba-tiba kakek itu berjalan mendekatinya. Dari sakunya si
kakek mengeluarkan sebentuk cincin yang dipandanginya pe"
nuh kasih sayang. "Ambillah cincin ini, Nak. Dengan cincin ini kau akan me"
nemukan cinta sejatimu," demikianlah kata si kakek sambil
meletakkan cincin itu di tangan Kevin. Kevin tak sempat ber"kata apa-apa. Ia bingung bercampur ragu. Beberapa detik ke"
mudian, saat tersadar, Kevin tidak berhasil menemukan sosok
kakek tua itu. Kevin bengong. Apa maksud kakek itu" Apakah dengan cin"cin ini"siapa yang cocok memakainya, maka dia adalah jodoh"
ku" pikir Kevin galau. Gila, sungguh gila. Rasanya terlalu
fant"astis untuk dapat dipercaya.
Diamatinya cincin mungil dari perak itu dengan saksama.
Cincin yang sangat mungil. Ukiran untaian mawar memperin"
dah cincin itu. Indah sekaligus penuh misteri. Kevin dapat
merasakan nuansa magis yang kuat menyelimuti sang cincin,
membuatnya terpana. Kevin masygul. Niatnya untuk melihat pameran komputer
sirna sudah. *** "Apa ini, Kev?" tanya Saisha, pacar Kevin, sambil memegang
cincin perak itu. "Mungil sekali." Saisha berusaha mengenakan"
nya di jari manisnya, tetapi cincin itu hanya muat di jari ke"
lingking. "Entah," jawab Kevin. Diceritakannya kejadian yang menim"
pa?"nya beberapa hari yang lalu. Saisha hanya mengangguk-ang"
guk. 100 "Berarti, mungkin aku bukan jodohmu, ya?" komentar
Saisha riang. Sesaat kemudian ia tertawa, membuat bahunya
dan rambut hitam lebat kebanggaannya berguncang.
"Hush!" potong Kevin tajam. Ditatapnya gadis terkasih
yang duduk di hadapannya.
Saisha tidak terlalu cantik, tapi wajahnya tidak membosan"
kan, selalu sedap dipandang. Matanya bulat dan jenaka, sesuai
kepribadiannya yang ramai. Ia baik hati, selalu ingin menolong
orang. Ia juga sangat ramah dan perhatian. Cuma, ia terka"
dang memiliki sense of humor yang aneh. Ia terkadang meng"
anggap hal yang orang lain tidak anggap menyenangkan seba"
gai sesuatu yang lucu. "Memangnya itu keinginanmu?" tanya Kevin sambil cembe"
rut. "Aku cuma bercanda, Kev." Saisha menghapus air matanya
akibat terlalu banyak tertawa.
"Memangnya kau ingin kita tidak berjodoh?" cecar Kevin
lagi. Saisha terdiam sesaat. Kevin selalu begitu, tidak dapat
membedakan canda dan hal serius, sungut Saisha dalam hati.
"Kev, bukan itu maksudku. Aku cuma membayangkan ke"
adaanmu saat menerima cincin itu. A bit shocked, I guess"
Mungkin wajahmu benar-benar bengong"seperti melihat
sundel bolong!" Saisha mulai cekikikan lagi. "Sori, Kev, aku
nggak serius," tambahnya lagi saat melihat Kevin semakin
cemberut. 101 "Tapi aku serius, Sha! Kakek itu pasti bukan kakek semba"
rangan. Mungkin apabila cincin itu muat di jari seorang gadis,
dialah jodohku." "Kev, masa kamu percaya sama hal-hal begituan?" Kali ini
giliran Saisha yang memberengut.
"Kurasa begitu," jawab Kevin sedikit tak yakin. "Kayaknya
kita memang tidak berjodoh, Sha. Sebaiknya kuantar kau pu"
lang. Anggap saja di antara kita tak pernah terjadi apa-apa."
"Kev!" protes Saisha. "Masa kamu mau menyia-nyiakan
hubungan kita yang sudah lebih dari dua tahun ini demi hal
nonsense seperti?" "Sudah kubilang, Sha! Kakek itu pasti nggak salah. Nggak
ada hal yang nonsense! Bisa jadi dia paranormal. Atau malai"
kat pelindung yang ingin memberiku pencerahan. Yang jelas,
aku yakin, cincin itu akan mengantarkanku pada jodohku.
Mungkin memang, jodohku bukan kamu?"
Saisha menatap Kevin, tak percaya. "Aku nggak bisa nerima
hal ini!" protes Saisha lagi. "Kamu cuma mencari-cari alasan!
Begitu, kan?" "Kau manis, Sha. Baik, lagi. Pasti kau akan cepat mendapat"
kan penggantiku. Kita masih berteman, kan?"
Saisha menatap Kevin dengan pandangan terluka. Dilepas"
kannya cincin itu dan diletakkannya di meja. Ia menggelenggelengkan kepala.
"Aku nggak nyangka, selama ini aku pacaran dengan lakilaki yang tidak rasional! Baiklah, Kev, ini maumu. Anggap tak
102 pernah terjadi apa-apa. Aku pergi!" seru Saisha penuh emosi.
Matanya berkaca-kaca. "Sha! Jangan pergi dulu! Kuantar kau pulang!"
"Kan ada taksi!" teriak Saisha. "Lagi pula, di antara kita
sudah tidak ada apa-apa, kan?"
Kevin menatap nanar punggung Saisha. Tapi batinnya ber"
kata, Biar saja. Mungkin memang ini jalan yang harus kami
tempuh. *** Kevin menjadi terobsesi dengan cincin itu. Dibersihkannya
dengan larutan khusus setiap hari, sehingga cincin itu menjadi
mengilat dan cemerlang. Dan Kevin yang dulunya setia pada
satu gadis saja, sekarang mulai bergonta-ganti pacar. Gadisgadis yang menjadi pacarnya akan ia coba pakaikan cincin itu.
Tapi semuanya tidak ada yang pas.
Kevin mulai putus asa. Ia mulai meragukan kata-kata ba"pak tua yang memberikannya cincin itu. Ia acap kali mengun"
jungi Landmark Convention Centre lagi dengan harapan akan
menemui kakek itu lagi, namun nihil. Ia akui ia agak menye"
sal memutuskan Saisha. Saisha memang gadis yang menarik. Begitu putus dari
Kevin, banyak cowok yang mengantre jadi pacarnya. Namun
Saisha tidak mau menerima satu pun cinta mereka. Entah
apakah ia masih cinta pada Kevin, atau ia trauma pacaran
103 untuk beberapa waktu. Toh Kevin tidak terlalu peduli. Bagi
Kevin, Saisha adalah masa lalu.
Beberapa bulan kemudian, entah karena putus asa atau
ingin mencari suasana baru, Kevin memutuskan untuk pergi
ke diskotek. Ia pergi ke Studio East di bilangan Cihampelas.
Padahal ia tidak pernah ke diskotek sebelumnya. Kepada
orangtuanya ia mengatakan akan menginap di rumah teman.
Memang ia berencana pulang pagi sekalian.
Dengan wajahnya yang tampan, Kevin segera menyita per"
ha"tian gadis-gadis pengunjung diskotek. Namun, pandangan
Kevin hanya tertuju pada seorang gadis, seorang perempuan
mungil berkulit kuning langsat dengan sepasang mata yang
menggoda. Pada saat itu Kevin sangat kalut. Ia sama sekali
tidak dapat menggunakan akal sehatnya. Gadis yang dilihat"nya itu ke"lihatannya bukan gadis baik-baik. Buktinya, dia
memakai pa"kaian yang sangat mini: rok supermini dan super"
ketat serta kem"ben berwarna hitam. Makeup-nya sungguh
tebal, lebih me"nor dibandingkan pengantin perempuan. Gadis
itu juga tampak sedang merokok sambil minum-minum. Tapi
pada saat itu Kevin tidak menyadarinya. Pikirannya terpusat
pada cincin itu. Kevin menyeruput bir yang dipesannya sambil mengernyit"
kan dahi. Ia tidak suka bir, tapi entah kenapa dipesannya juga
minuman pahit itu. Dirogohnya saku kanan jaketnya. Dike"
luarkannya kotak beludru mungil berwarna biru tua, tempat
104 cincin perak itu. Dibukanya kotak itu, dan ia menarik napas
lega karena cincin itu masih ada di sana.
Kevin melirik gadis itu yang segera dibalas kerlingan meng"
goda. Kevin merasa tertantang. Dihampirinya gadis itu dan
mereka pun berkenalan. Gadis itu bernama Tari.
Kebersamaan bersama Tari terasa menyenangkan bagi
Kevin. Tari perempuan matang. Ia sudah lama mengenal lakilaki. Dalam waktu singkat, Kevin sudah dibuatnya bertekuk
lutut. Ternyata, cincin itu muat di jari Tari yang mungil! Seperti
cerita Cinderella saja. Cuma kali ini bukan sepatu yang meme"
gang peranan penting. Kevin mencurahkan segenap perhatian dan kasihnya kepa"
da Tari. Gadis manis yang memiliki selera agak berani dalam
berpakaian. Gadis yang berbeda dengan Saisha yang polos
dan lugu. Kevin begitu terpikat dengan Tari yang membuat"
nya lupa diri. Dihujaninya Tari dengan berbagai hadiah yang
mewah dan mahal. "Kev, aku tuh bukannya nggak suka kamu pacaran sama
Tari," sahabat akrab Kevin, Tommy, menegurnya suatu hari.
"Kamu tau nggak sih, sebenarnya Tari itu siapa?"
Kevin menggeleng-geleng dengan sebal. "Kenapa sih, kalian
semua nggak ada yang menyetujui hubunganku dengan dia"
Tari gadis yang manis! Baik! Apa lagi yang kubutuhkan?" Ia
menghela napas. "Bagiku Tari calon istriku. Aku berniat meni"
kah dengannya suatu hari nanti!"
105 "Kevin, buka matamu deh! Tari itu bukan gadis baik-baik!
Kamu kok bego amat sih, mau-maunya percaya sama cincin
perak sialan itu. Siapa tau Pak Tua yang memberikannya pa"damu itu orang gila!"
Kevin marah. Ia percaya sekali pada kekuatan cincin itu.
Buktinya, ia sekarang menemukan Tari yang dinilainya jauh
lebih menyenangkan dibandingan Saisha yang membosankan.
Saisha yang jarang berdandan. Saisha yang lebih senang me"
ngenakan rok panjang dan blus. Uh, kuno sekali! Sementara
Tari sangat lihai dalam berdandan. Pakaiannya selalu up-todate dan ia selalu mengenakan makeup ke mana-mana. Tari
juga fasih membicarakan tren terbaru"dan tentu saja, meng"giring Kevin ke butik ternama.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ditinggalkannya Tommy yang
cuma bisa bengong melihat tingkah laku Kevin yang dianggap"
nya mulai kehilangan akal sehat. Tommy tahu persis reputasi
buruk Tari. Banyak yang melihat Tari sering bergonta-ganti


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasangan masuk ke hotel berbintang di Bandung ini. Dan
Tommy tahu sendiri Tari adalah cewek matre yang memen"
tingkan uang semata. Selama ini Tari bisa dikatakan meminta
hadiah yang tidak murah. Mulai dari sepatu, baju, parfum"
sudah begitu, seleranya tinggi pula. Maunya makan di hotel
berbintang saja. Atau kafe berkelas. Sungguh berbeda dengan
Saisha yang nrimo dan apa adanya.
Tommy tidak tahu cara membujuk Kevin untuk melihat
kebenaran. Kevin bagaikan tersihir cincin keparat itu, gerutu
106 Tommy dalam hati. Hanya gara-gara cincin itu muat di jari
Tari, Kevin beranggapan bahwa Tari adalah jodohnya!
*** Kevin gusar. Kevin marah. Semua orang menentangnya berhu"
bungan dengan Tari. Termasuk keluarganya! Mengapa mereka
semua dapat menjadi begitu bebal, sesalnya dalam hati. Cincin
perak itu telah menunjukkannya cinta sejati. Tari!
Tari" Mengingatnya membuat Kevin tersenyum. Ada
binar-binar kesenangan di mata Tari saat Kevin menghadiahi
gadis itu sepotong gaun mewah keluaran Mango. Kevin se"
nang melihat binar-binar itu. Ia rindu ingin melihat wajah
ceria Tari. Malam ini ia dan Tari akan bertemu. Aku ingin memberinya
kejutan, pikir Kevin. Aku harus ke Bandung Indah Plaza dan
mencari sesuatu. Sambil bersiul-siul, ditinggalkannya kampus
rindangnya yang terletak tidak terlalu jauh dari BIP.
Kevin melangkah ringan. Sambil menaiki eskalator, dicoba"
nya mengira-ngira kesukaan gadisnya itu. Barangkali kali ini
aku harus memberinya perhiasan" batin Kevin berbicara. Di
sini ada banyak gerai. Sebaiknya perhiasan dari emas biasa atau
emas putih ya" Atau platina sekalian" Pada saat itu juga ia ter"
geragap. Sosok gadisnya terlihat sedang berjalan berdua de"
ngan mesranya bersama seorang bapak-bapak yang kelihatan"
nya sudah agak berumur. Mereka berpelukan dan mengerling
107 menggoda. Kevin mungkin memang bodoh. Tapi ia tidak
buta. Kurang ajar! desis Kevin dalam hati. Benar juga kata temantemanku! Tari itu tak lebih dari seorang perek!
Kevin bergegas mendekati Tari dan pasangan kencannya
kali ini. Tapi Tari tidak kelihatan kaget. Biasa-biasa saja.
"Aku tahu, cepat atau lambat pasti akan begini jadinya,"
ujarnya acuh tak acuh. "Sebentar ya, Mas... saya ada urusan
nih, sama temen kuliah saya." Suara Tari mendadak terdengar
centil dan menjijikkan. Ia menatap lelaki paruh baya itu de"
ngan mesra, lalu menyeret Kevin ke tempat yang agak sepi.
"Tari, apa-apaan ini?" Kevin meledak.
Tari hanya tersenyum simpul. "Sori, Kev, aku tahu ini
mungkin berat bagimu. Tapi, Kev, sori aja ya, kayaknya kita
mesti putus!" Lalu ditambahnya lagi dengan terkekeh, "La"
gian" Mas tadi membayarku lebih tinggi sih!"
Kevin menengadah. Oh, betapa butanya ia selama ini, diper"
daya oleh cewek murahan seperti Tari! Dengan sepenuh hati
ia berteriak sekuat-kuatnya, "Oh, begitu, ya" Dasar perempuan
murahan! Memang kamu seharusnya berada di pelukan lakilaki genit yang pantas jadi ayahmu!"
Beberapa sorot mata memandangi Kevin dan Tari, tapi
Kevin tak peduli. Ia melengos dan berusaha berpikir jernih.
Ia sadar Saisha-lah yang selama ini cocok baginya. Betapa
kesederhanaan dan kepolosan Saisha terasa begitu berharga
baginya sekarang! 108 *** Malam itu juga Kevin pergi ke rumah Saisha. Dan sekarang
dipandanginya sosok gadis anggun dan baik hati itu di hadap"annya dengan sedikit malu. Diceritakannya semua yang telah
terjadi. Saisha mendengarkan dengan baik. Setelah Kevin se"
lesai, baru ia berkomentar.
"Jadi, Kev, aku pengin tau sekarang. Apakah kau masih per"
caya pada kekuatan cincin perak itu?" tanyanya lembut.
Kevin mengangguk. "Ya, aku percaya! Karena dengan cincin
ini aku menyadari bahwa kaulah yang terbaik bagiku?" Kevin
tersenyum. "Sekarang, tutup matamu, Sha. Aku ingin membe"
rimu sesuatu." Saisha menutup matanya. Dengan hati-hati sekali, seolah
takut menyakiti gadis itu untuk yang kedua kalinya, Kevin
memakaikan seuntai kalung keperakan di leher Saisha.
"Apa ini?" Saisha membuka matanya. Seuntai kalung perak
yang indah bermatakan" cincin pemberian Pak Tua itu!
"Terimalah aku kembali, Saisha"," pinta Kevin dengan
tulus. Saisha mengangguk dan membiarkan dirinya hanyut.
Kevin memeluknya. Saisha membalas.
109 Metamorfosis Clara SEUMUR hidup Clara, baru kali ini ada yang menyatakan
cinta padanya. Clara merasa bingung dibuatnya. Apalagi, co"
wok yang menyampaikan isi hatinya itu adalah Rico. Cowok
yang menurutnya terkeren di sekolah, populer dan aktif dalam
kegiatan OSIS. Rico memuji kecantikannya. Memuja kecerdas"
annya. Dan Clara terhanyut begitu saja.
Di depan cermin di toilet sekolah, Clara berkaca. Kacamata
model kuno dengan frame dan lensa yang besar. Mata yang
bening namun terbiasa menatap ke arah lantai. Rambut se"
pinggang yang selalu dikepang dua. Wajah yang sedikit jera"
watan. Hmm. Ia suka hidungnya. Mancung namun mungil.
Cantikkah ia" Jujur Clara menjawab, tidak. Setidaknya, itu"lah
yang ia rasakan. Kedua orangtuanya tidak pernah memuji kecan"
tikannya. Mereka selalu berkata, "Clara, kamu anak yang pin"tar.
110 Rajin. Suka menolong sesama." Tapi mereka tidak pernah me"
ngatakan, "Clara, anakku yang cantik." Tidak pernah sekali pun.
Kata-kata "cantik", "manis", "ayu", dan sebagainya mereka simpan
untuk Lily, sepupu Clara. Mungkin orangtua"nya berpi"kir, Clara
dan Lily takkan menyadari hal itu. Mereka salah besar.
Lily memang gadis yang cantik, Clara mengakui hal itu.
Tapi hanya sebatas cantik. Harusnya Lily sudah kuliah. Na"
mun karena kemalasannya, Lily masih kelas 2 SMA, satu
kelas dengan Clara. "Heh, lihat, ada anak itik buruk rupa sedang mengaca," sua"
ra Lily terdengar jelas, menggema di dalam toilet cewek yang
saat itu hanya dihuni Clara.
Napas Clara tertahan sejenak, kaget melanda. Ia menyesal
tadi melamun sebentar di dalam toilet. Harusnya ia tahu. Lily
memang pelanggan setia toilet mana pun. Bukan untuk mele"pas
panggilan alam, tapi sekadar menyalutkan bedak maupun lipstik
di wajahnya yang putih cerah, mempercantik penam"pilannya.
"Barangkali dia berharap, becermin akan mengubahnya men"
jadi angsa yang cantik," Desi terkekeh.
Clara beranggapan Desi adalah dayang-dayang Lily, peng"
ikut yang setia. Sama-sama cantik dan angkuh. Semua yang
dibenci Lily dibencinya juga. Dan sejak lahir, barangkali, Lily
sudah membenci Clara. Clara yang berparas biasa, namun tak
pernah kesulitan mengikuti pelajaran. Lily membenci orang
yang lebih cerdas daripada dirinya. Apalagi kalau orang itu
secara fisik dianggapnya kurang menarik.
111 Seperti biasa, Clara memutuskan untuk menghindar. Berda"
sarkan pengalamannya, konfrontasi langsung dengan Lily selalu
menimbulkan luka. Baik di hati maupun fisiknya. Lily memang
tak pernah segan melayangkan tangan apabila ia rasa perlu.
"Eeeehhh" lihat tuh, dia kabur. Nggak tahan, kali ya, meli"
hat wajah kita yang cantik! Seakan dia diingatkan, betapa
buruk wajahnya! Hahahaaa! Sungguh kasihan! Dasar Clara
si Buruk Rupa!" Clara menahan air mata yang hampir tumpah di wajahnya.
Sudah bertahun-tahun lamanya ia hidup seperti ini. Dalam
hinaan dan cemoohan Lily. Namun, tak pernah ia merasa tak
terluka. "Clara" kamu tidak apa-apa?" Suara lembut Rico menga"
getkannya. Clara menyusut matanya dengan ujung jarinya.
"Ah, nggak, kelilipan aja kok," sahutnya pelan, tak tahu ha"
rus berkata apa lagi. Rico menatapnya penuh rasa khawatir.
"Benar tidak apa-apa" Kalau begitu kutinggal dulu ya. Aku
ada perlu ke ruang guru." Rico beranjak pergi. Clara terus
menatapnya, ingin berkata sesuatu tapi tak tahu apa.
Clara menunduk, memutuskan untuk pergi sejauh mungkin.
Saat tatapannya terangkat kembali, ia melihat Lily sedang
menatap ke arahnya. Agaknya Lily sedang marah besar.
Kabarnya, Lily sempat pacaran dengan Rico. Mungkin Lily kesal
dengan per"hatian Rico padanya. Atau cemburu. Tapi" kenapa
mesti cemburu" tanya Clara galau di dalam hati. Itik buruk rupa
takkan mungkin dapat bersaing dengan angsa yang anggun.
112 Baru beberapa langkah, ia sudah dicegat oleh Lily.
"Heh!" ucap Lily kasar sambil mendorong Clara kuat-kuat.
"Kamu kan udah ngaca, jadi pasti sadar dong tampang kamu
itu lebih jelek daripada tampang Mak Lampir! Sekarang, be"
rani mendekati Rico, lagi! Nggak tau diri banget!"
Clara hanya berdiam diri, serbasalah. Ia tidak berani berka"
ta. Dalam posisi sekarang, ia tahu, apa pun yang ia lakukan
sama saja akhirnya. Lily akan marah besar. Entah apa yang
akan dilakukannya kali ini. Clara bergidik, membayangkan
terakhir kali Lily mendampratnya. Catatan matematikanya
menjadi korban. Menjadi asap, setelah sebelumnya dirobek
dengan kasar dan diguyur minyak tanah.
Sesaat kemudian sebuah perasaan asing melanda diri Clara.
Ya, semua yang ia lakukan hasilnya akan sama saja. Ia harus
pu"nya keberanian. Untuk melawan, untuk mempertahankan
diri"nya. Ia teringat senyum Rico, yang menghangatkan seluruh
kalbunya. Pernyataan cinta yang tiba-tiba, yang sempat
meluluhlantakkan perasaannya. Cintanya yang tumbuh dalam
se"ke"jap, memberikan keberanian. Ia harus mendobrak tradisi
yang sudah lama tertanam. Tak ada lagi Clara yang bisa
diinjak semena-mena. "Maaf, Lily. Rico yang mendekatiku. Bukan aku." Suara
yang keluar terdengar begitu wajar, penuh percaya diri. De"
ngan tatapan sedikit angkuh, Clara meninggalkan Lily yang
hanya bisa termangu. 113 *** "Bagaimana, Clara" Maukah kau menerima cintaku?" Suara
Rico terdengar begitu tulus. Begitu murni. Sekuntum mawar
merah diberikannya kepada Clara. Clara tergagap sejenak.
Rona merah menghiasi kedua pipinya. Clara menatap ke arah
Rico. Tak berkedip. Tak percaya seorang Rico dapat mencintai"
nya. "Kau yakin memilihku, Rico?" tanya Clara lirih. Rico terse"
nyum, menghapus semua keraguannya. Pelan namun pasti,
Clara mengangguk, disambut senyuman lega Rico.
Seminggu yang penuh keceriaan dan kebahagiaan bagi
Clara. Tiap hari Rico membawakannya sekuntum mawar,
cokelat, dan terkadang puisi. Lily hanya dapat melotot dari
jauh. Clara tak membiarkannya menghina dirinya lagi. Ia men"
jadi semakin percaya diri dengan Rico di sisinya.
Sayang setelah seminggu, neraka menanti Clara. Rico me"
mutuskannya dengan enteng. Saat Clara bertanya alasannya,
Rico hanya memandangnya dengan tatapan mengejek.
"Heh. Kau kira aku mau pacaran denganmu karena men"
cintaimu" Cinta itu datang dari mata. Kau kan punya mata.
Lihat saja sendiri bayanganmu di cermin. Semua orang pasti
malu punya wajah seperti itu," ujarnya santai penuh hinaan.
Clara terkesiap. Ia memang tak pernah menyombongkan
pe"nampilannya. Tapi tak pernah ia dihina sedemikian rendah"
nya seperti sekarang. 114 Clara berusaha untuk tenang dan bertanya. "Kalau begitu,
kenapa kau mau pacaran denganku?"
Rico tertawa. Tawa angkuh yang tak enak didengar. "Aku
hanya ingin memberi pelajaran pada Lily. Ingin membuat dia
cemburu sedikit. Seminggu cukuplah untuk itu." Lalu tanpa
menoleh lagi, Rico pergi begitu saja, meninggalkan Clara yang
pucat pasi. Ada suatu perasaan menyeruak dalam diri Clara. Ia merasa
terusik. Kata-kata Rico membuatnya ingin memberontak.
Melawan. Membuktikan bahwa ia tak layak dihina sedemikian
rupa. Air mata mengalir di pipinya. Bukan air mata kesedih"
an, tapi air mata yang tumpah karena tekadnya yang bulat.
Mulai sekarang, tak ada lagi yang namanya Clara si Buruk
rupa, desisnya dalam hati. Metamorfosis dimulai!
Clara mulai membenahi penampilannya. Rambut seping"
gangnya dipotong. Kini rambutnya yang lurus dan legam ter"urai indah sampai ke belakang punggung. Clara memutuskan
untuk menggerai rambutnya, tidak mengepangnya lagi. Frame
kacamatanya diganti. Clara rajin memakai produk kosmetik
untuk membasmi jerawatnya. Tak sampai sebulan, hasil yang
diraihnya membuatnya cukup puas. Clara menatap bayangan
wajahnya di cermin. Wajah gadis yang percaya diri, bersih
dari jerawat dan noda. Frame kacamatanya yang baru mem"
buatnya terlihat cerdas namun tidak nerdy.
Hari itu juga sekolah Clara geger. Ketika Clara berjalan
masuk ke pekarangan sekolah, banyak cowok yang bersiul ke
115 arahnya. Bahkan beberapa memberanikan diri mengajak ber"kenalan. Mereka semua berpikir Clara adalah murid baru
yang merangkap sebagai fotomodel. Begitu mereka sadar siapa
sebenarnya sosok yang mereka anggap cantik itu, mereka ter"kejut. Tak menyangka Clara si Buruk Rupa dapat bersalin
rupa dengan drastisnya. "Kamu ikut pemilihan Putri Kampus saja, Clara," teman
sekelasnya, Greg, memberinya saran. "Tahun ini kamu pasti
bisa mengalahkan Lily."
"Ah, tapi aku kan?" Sejenak perasaan minder menggantung
di hati Clara. Tiap tahun memang ada pemilihan Putri Kam"
pus di SMA mereka. Biasanya Lily yang menang.
"Ikut saja, Clara! Kami semua mendukungmu kok!" Yanto
menambahkan. Teman-teman sekelasnya yang lain pun ikut
memberikan dukungan. "Putri Kampus tidak hanya harus
cantik, tapi juga pintar! Kamu pasti menang, Clara!"
Clara menatap teman-teman sekelasnya. Mereka terdengar
begitu tulus. Clara tersenyum. Kemudian mengangguk.
*** Clara mendapatkan gelar Putri Kampus dengan gemilang.
Semua orang kagum dan terpesona melihat metamorfosis
Clara. Semua, kecuali Lily dan Desi. Dua gadis itu hanya da"pat menatap Clara dengan penuh benci. Dalam sekejap Clara
menjadi populer. Lily tersisih, karena memang modal yang ia
116

Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

miliki hanya wajah yang cantik. Sedangkan selain cantik,
Clara baik hati dan cerdas pula.
"Kembalilah padaku, Clara." Sebuah suara memanggilnya.
Clara menoleh, mendapati Rico berlutut di hadapannya.
"Kau kan sudah punya Lily." Clara tersenyum. Indah dan
berkilauan. Masih ada sedikit perasaan benci di hatinya untuk
Rico. "Dia tak berarti apa pun bagiku. Oh, kamu pasti tahu,
Clara, aku benar-benar mencintaimu?" Suara Rico terdengar
sung"guh-sungguh. "Kamu telah berubah menjadi begitu
cantik, Sayang," pujinya lagi.
Clara menggeleng. "Clara si Buruk Rupa," sahutnya pelan,
"dulu kamu memanggilku begitu. Maaf, Rico. Di hati ini su"dah
tak ada tempat buatmu lagi." Clara berlalu meninggalkan Rico.
Clara telah berubah, dari Clara si Buruk Rupa menjadi Clara
si Cantik. Ia juga telah belajar dari masa lalu. Tak akan terburuburu menerima tawaran seseorang yang ingin menjadi"kannya
sebagai kekasih. Masa muda memang hanya sekali, tapi ia sadar,
banyak yang dapat ia lakukan untuk mengisi"nya.
Clara mendongak, menentang sinar mentari di atas sana.
Begitu banyak harapan dan mimpi yang menantinya di masa
depan. Tiba-tiba ia sadar, begitu banyak yang tidak ia ketahui.
Ia yakin, masih banyak dari dirinya yang harus dibenahi, dita"
ta ulang, untuk meraih semua kesempatan yang ada.
"Nantikan metamorfosisku berikutnya, dunia!" seru Clara
lan"tang, penuh semangat masa muda dan keceriaan.
117 Hantu di Kamar Mandi FIKA deg-degan. Dengan langkah enggan ia menuju kamar
mandi. Jam Winnie the Pooh-nya yang tersampir dengan ma"
nis di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua kurang be"
berapa menit. Dua dini hari. Bulu kuduknya berdiri. Dipeluk"
nya boneka beruang pemberian Sonny, pacarnya, erat-erat.
Setidaknya ia merasa memiliki teman. Ya, aku harus berani,
ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Aku sudah enam
belas tahun, masa masih takut pipis malam-malam seperti ini"
Tapi suasana saat itu memang menimbulkan perasaan se"ram, Fika berpikir dengan galau. Hampir semua lampu dima"tikan. Di antara remang-remang yang menghadirkan imajinasi
yang berlebihan, ada bunyi-bunyi aneh yang terdengar, entah
apa. Fika menajamkan pendengarannya. Sesuatu yang berge"
rak dengan cepat nyaris membuat jantungnya copot. Oh,
118 cuma cicak. Fika menghela napas lega. Huh. Semoga saja ti"dak ada suara-suara aneh lagi yang membuatnya ketakutan.
Dong"! Dong"! Fika terlonjak kaget. Nyaris saja ia pipis di celana. Uuuh!
Ternyata jam raksasa di lantai bawah yang berulah. Dalam
hati Fika bertekad akan meminta Ayah menyetel jam itu agar
tidak berbunyi di malam hari seperti ini. Kan menyeram"
kan" Masih beberapa langkah lagi. Fika gelisah. Rasanya masih
berpuluh-puluh kilometer lagi. Padahal pintu kamar mandi
sudah terlihat jelas di depan mata. Fika didera konflik yang
berkepanjangan. Mau tetap pipis"atau..."
Fika menguatkan hati. Kandung kemihnya terasa sudah
sangat penuh kini. Kalau ia kembali ke tempat tidurnya yang
hangat, nyaman, dan aman, mungkin ia akan ngompol. Hal
yang sungguh memalukan. Akan tetapi" Fika kembali bimbang. Diliriknya pintu kamarnya. Kemu"
dian pintu kamar mandi. Dilakukannya terus berkali-kali.
Sementara cairan tubuhnya sudah menuntut untuk dikeluar"
kan. "Dor!" Untuk kedua kalinya Fika nyaris pipis di celana.
Dengan perasaan sebal ditatapnya Fira, kakaknya. Fira mena"
tapnya sambil nyengir lebar.
"Hayooo, ngapain?" tanya Fira, yang dibalas pelototan se"
ngit Fika. 119 "Mau pipis"," jawab Fika sambil cemberut.
"Kupikir tadi ada penjahat atau apa. Jam segini kok ada
langkah kaki." Fira menguap lebar. "Ya sudah, pipis sana." Fira
melangkah menjauhi adiknya.
"Kaaak!" rengek Fika manja. Ia bergelayut di lengan kakak"
nya. Fira berusaha melepaskan diri, namun pegangan Fika le"
bih kuat lagi. "Temenin!"
"Ih! Dasar bayi. Masa mau pipis aja minta ditemenin?" Fira
bersiap-siap pergi sambil bersungut-sungut.
"Takut, Kak?" Suara Fika terdengar begitu memelas. "Te"
menku, Chenny, cerita. Katanya dari jam dua sampai jam tiga
pagi itu hantu-hantu senang berkumpul di kamar mandi. Me"
reka sembunyi di balik cermin dan dalam saluran air."
"Terus kenapa?" tanya Fira acuh tak acuh.
"Kalo nggak ati-ati, ntar kita bisa ditarik ke dunianya, Kak.
Fika kan jadi takut!"
Fira menggeleng-geleng sambil menatap adiknya. "Itu sih
salahmu sendiri dengerin cerita yang nggak-nggak. Zaman
modern gini mana ada hantu" Udah ah, lepasin! Aku mau
tidur nih, ngantuk!"
Fika mempererat pegangannya. "Temani ya, Kak" Sekali
iniiiiii aja." "Iiih!" Fira mendengus sebal. Lagi ngantuk mendengar sua"
ra orang merengek sungguh menjengkelkan. "Paling nggak
akan terjadi apa-apa!"
"Temenin, ya" Ya?" rengek Fika lagi.
120 "Ya sudah! Tapi aku nunggu di luar kamar mandi aja!" te"
gas Fira. Fika tersenyum senang. Ia merasa agak lega ditemani Fira.
Setidaknya kalau ada apa-apa, ada Fira, katanya dalam hati.
Fika menyeret Fira ke arah kamar mandi. Fira menunggui
Fika dengan sedikit sebal. Untunglah tidak lama.
"Ternyata bener ya, Kak. Memang nggak ada apa-apa?"
Fika menyambut Fira dengan ceria.
Ada-ada saja, pikir Fira sambil berjalan menuju kamarnya.
Dibenamkannya dirinya dalam selimut tebal. Matanya dipe"jamkan, berusaha untuk tidur. Namun gagal.
Sialan, batinnya berkata. Entah kenapa saat ini Fira malah
kebelet ingin ke kamar kecil. Kenapa tadi nggak sekalian pas
ada Fika aja ya" Sambil ngedumel Fira bangkit dari tempat tidurnya yang
hangat. Ia menguap berkali-kali, memutar hendel pintu, ber"
siap-siap ke kamar mandi.
Penerangan yang minim membuat hatinya ciut. Tadi dia
tidak menyadarinya karena ada Fika. Tapi kini saat ia sendi"
rian, baru disadarinya betapa menyeramkannya koridor yang
menuju kamar mandi itu. Ia teringat kata-kata Fika. "Dari
jam dua sampai jam tiga pagi hantu-hantu senang berkumpul
di kamar mandi?" Hiiiiy! Tanpa malu-malu lagi Fira membuka kamar Fika
dan mengguncang-guncang tubuh adiknya.
"Temenin aku dong" Kebelet nih"," bisiknya agak keras.
121 Fika yang kebetulan belum tidur menatapnya dengan he"ran.
"Takut hantu, ya?" Fika menggodanya.
"Ah, sudahlah, pokoknya temenin!"
"Hihihi. Makanya, jangan ngetawain orang seenaknya. Se"
karang malah takut sendiri!" Fika terkikik geli.
Fira hanya bisa manyun. Entah kenapa, di malam hari ka"mar mandi memang menjadi tempat yang menakutkan. Apa
benar jam-jam segini hantu bersarang di sana" Fira tak tahu.
Ia malah sempat curiga, hantu itu cuma ada dalam benaknya
saja. Akan tetapi, untuk benar-benar mengecek ke kamar man"
di sendirian, Fira merasa tidak berani".
122 Ratu Jeruk Nipis SHARI berjalan ke arahku dengan wajah berseri-seri. Tanpa
sadar aku mengeluh. Panjang dan mengenaskan. Mungkin
kedengarannya sedikit aneh. Kekasih berada di dekatku, de"
ngan senyum lebar mengembang. Kebahagiaan seakan terpan"car dari seluruh tubuhnya. Namun aku tak dapat menikmati
semua itu, karena" "Sudah minum air hangat campur jeruk nipis pagi ini, Sa"
yang?" tanyanya, yang membuatku tersenyum kecut, sekecut
air jeruk nipis itu sendiri. Aku memutuskan untuk berbohong
dan mengiyakan. Toh anggukan kecil akan membuatnya se"nang. Tak terlalu mengorbankan tenaga.
"Baguslah kalau begitu! Air jeruk nipis hangat dipercaya
bisa meluruhkan lemak. Tapi kamu juga harus olahraga, ten"
tunya." Shari membelai rambutku mesra. "Iih! Kok kamu ke"
123 tombean sih" Abis keramas, akar rambutmu diolesi air jeruk
nipis, ya. Biar ketombenya hilang. Bisa memperkuat akar ram"
but juga." Aku hanya bisa mengangguk, lagi-lagi tersenyum masam.
Aku teringat julukan teman-temannya untuk Shari: Lime
Queen. Si Ratu Jeruk Nipis. Memang pas sekali.
Jeruk nipis memang selalu mendominasi pembicaraan Shari
dan aku. Ia sungguh memuja khasiat jeruk yang menurutku
rasanya tak layak disentuhkan ke lidah itu. Sabun yang dike"
nakannya memakai ekstrak jeruk nipis. Demikian pula body
lotion, sampo, pengharum ruangan, sabun cuci tangan, sabun
cuci piring, detergen, cairan pel, dan entah apa lagi. Shari per"
caya jeruk nipis memiliki setidaknya 1001 kegunaan. Saat aku
tak percaya serta protes dan meminta ia menulis semua kegu"
naan jeruk nipis untuk membuatnya bungkam, Shari berkata
bahwa dalam kenyataannya ada sepuluh ribu lebih gunanya,
dan ia merasa menulis semuanya akan membuatnya terlalu
lelah. "Kalau lelah, minum aja air jeruk nipis dengan madu," sin"
dirku halus saat itu. Alih-alih merasa tersinggung, Shari ma"
lah berkata bahwa itu adalah ide yang baik. Shari malah ber"
cita-cita menulis buku tentang segala macam manfaat jeruk
nipis. Rumah Shari dipenuhi berbagai macam pohon jeruk. Ke"
luarganya memang maniak jeruk. Ibunya fanatik jeruk purut,
sementara ayahnya lebih menyukai jeruk lemon. Untunglah
124 Shari anak tunggal. Aku dapat membayangkan adik-adik
Shari yang dengan tekun menanam pohon jeruk bali, jeruk
limau, atau jenis jeruk lainnya, kemudian setengah memaksa
orang lain untuk mengonsumsinya. Mending kalau orang lain
suka. Keluarga Shari memiliki petak-petak khusus di taman me"
reka. Setiap petak berisi satu jenis jeruk. Bukan hanya sekalidua aku "dipaksa" Shari merawat petaknya, dari sekadar me"
nyirami sampai memberi pupuk. Harus diakui pohon-pohon
itu tumbuh subur di bawah perawatan Shari dan keluarganya.
Ulat yang biasanya doyan mampir dan melahap daun jeruk
nyaris tak ada karena Shari rajin menyemproti sejenis cairan
pestisida ke pohon-pohon kesayangannya.
"Pestisida ini aman lingkungan," ujarnya saat itu, "terbuat
dari cabe. Caranya gampang sekali. Kumpulkan cabe jalapeno
atau rawit merah, terus?" Aku tak pernah mengetahui kelan"
jutannya karena otomatis telingaku menolak informasi yang
menurutku kurang berguna itu.
Awalnya aku menganggap hobi Shari itu lucu dan unik.
Aku dulu sering menggodanya. Ke mana-mana ia selalu mem"
bawa beberapa buah jeruk nipis dan pisau lipat. Ia juga mem"
bawa sebotol kecil madu dan kecap. Jadi kapan pun diperlu"
kan, ia tinggal memotongi jeruk nipis itu, memerasnya,
ke"mudian menyantapnya. Bisa juga ditambah air mineral yang
selalu ada di tasnya, ditambah sedikit madu atau kecap. Shari
percaya betul, gara-gara jeruk nipis inilah badannya tetap lang"
125 sing dan segar. Fakta bahwa ia joging tiap pagi dan berenang
dua kali seminggu diabaikannya begitu saja. Dan tentu saja,
ke mana-mana membawa beban sebanyak itu, dengan langkah
yang cenderung cepat, adalah salah satu bentuk olahraga
juga. Semakin kecut aku jadinya, mendengar Shari berbicara
sepanjang waktu tentang segala fungsi jeruk nipis. Bosan.
Padahal sebenarnya aku biasa-biasa saja. Terlalu suka tidak,
tapi tak dapat dikatakan benci.
Tiap aku ke rumahnya, selalu disuguhi sirop jeruk nipis.
Kalau udara sedang dingin, Shari menyuguhkan air jeruk ni"pis hangat dicampur madu. Cake dan muffin andalannya meng"
gunakan jeruk nipis sebagai bahan utama. Rasanya memang
enak sih, setidaknya terasa segar dan manis. Tapi kalau terlalu
sering, aku jadi enek. Dalam hati aku sering berpikir, janganjangan semenjak berpacaran dengan Shari aku jadi alergi jeruk
nipis. "Hobinya kan bagus, Ray," kata Tio, teman sekelasku, saat
aku mengeluh padanya tentang kebiasaan Shari. "Mendingan
dia terobsesi jeruk nipis daripada cowok lain. Bisa jadi obsesi"
nya itulah yang membuatmu tertarik padanya."
Saat itu aku cuma mencibir. Tio bisa saja berkata begitu
karena tidak mengalami sendiri. Ia juga baru beberapa kali
ketemu Shari. Komentarnya cuma satu, "Manis." Saat itu
Shari membawa muffin jeruk nipis ke sekolah yang langsung
dilahap Tio. Perut Tio yang tambun bukti bahwa ia menyan"
126 tap apa pun yang ia anggap layak dimakan. Pernah saat ia
berada di rumahku, tanpa sadar ia memakan catfood kering
sebagai camilan. Satu stoples besar habis dilahapnya. "Keripik
ini rasanya lumayan juga ya, biarpun baunya rada amis," ko"
mentarnya saat itu yang disambut gelak kami semua. "Shari
selain manis, pandai masak, lagi. Beruntung kau, Ray!" puji"
nya, membuatku tersenyum masam.
"Mikirin apa sih, Sayang?" Shari menjawil pipiku sambil
tertawa kecil. Sejenak aku terpesona. Rambutnya yang hitam
kemilau tergerai dibelai angin. Bola matanya yang jernih mena"
tapku penuh minat. Bibir yang mungil dan penuh, geligi yang
putih cemerlang. Shari memang cantik. Hatinya juga baik.
Tiap pagi, biarpun tak pernah cerita padaku, aku tahu dia
selalu memberikan jeruk-jeruk yang tumbuh di tamannya dan
uang sekadarnya pada mbok-mbok jamu yang lewat di depan
rumahnya. Uang yang dihasilkannya dari bercocok tanam je"
ruk nipis selalu disumbangkannya pada yang membutuhkan.
Kalau saja ia tak begitu terobsesi pada jeruk nipis"
"Mmh, nggak apa-apa kok." Kembali aku berbohong. "Mi"
kirin sekolah. PR menumpuk. Kamu sih enak, pintar dan ra"
jin, dapat mengerjakan semuanya dengan cepat dan sempur"
na." Shari tersenyum, memamerkan lesung pipi yang terpatri
indah di pipinya. Aku jadi gemas dan mencubitnya. "Ah, sela"
lu saja sekolah yang dipikirkan. Kapan kamu mikirin aku?"
sergahnya sedikit merajuk.
127 Andai saja kamu tahu, Shar, aku selalu memikirkanmu"


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan jeruk nipismu itu. Kubelai pipinya yang halus. "Kita ma"kan aja yuk" Laper nih." Kugamit lengannya. "Pamitan dulu
ke orangtuamu?" "Oh, mereka lagi pergi, ada undangan pernikahan. Kita pa"mit ke Mbok Yah saja."
Aku mengangguk. Tak berapa lama aku sudah menstarter
mobilku. Shari sudah duduk di sampingku.
"Kita ke mana?" tanya Shari sambil bersiap-siap mengulum
permen jeruk nipis. Ditawarkannya sebuah padaku. Aku
menggeleng, tidak dengan berat hati.
"Siang ini mau makan makanan Jepang atau Eropa?" Kuja"
wab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi.
"Hmmm" Jepang deh."
Segera kuarahkan mobil ke Jalan Dago. Weekend begini
biasanya macet, tapi restoran favorit Shari ada di sana.
Belum lagi kami sampai ke restoran yang dituju, kudengar
Shari mengeluh. "Kamu kenapa, Shar?" Aku menatapnya, khawatir. Mobil
kupinggirkan sebentar supaya aku dapat melihat keadaannya.
Kulihat ia merintih menahan sakit sambil memegangi perut"
nya. Keringat dingin menetes di dahinya.
"Nggak tau, Ray," jawabnya lirih. "Uh" sakit sekali" to"
long?" Aku membelai rambutnya. "Sabar sebentar ya, Shar," ujarku
berusaha menenangkan. Sedikit panik kupacu mobilku ke
128 arah rumah sakit swasta yang kebetulan ada di Jalan Dago.
Kubopong Shari ke arah UGD.
Waktu berlalu lambat sekali. Aku sudah menelepon kedua
orangtua Shari. Mereka berjanji akan datang secepatnya. Aku
mondar-mandir, gelisah. Perasaan bersalah menderaku, bagai"
mana kalau terjadi apa-apa terhadap Shari" Apa ini gara-gara
aku yang acap kali mengutuk Shari dan jeruk nipisnya dalam
hati" Akhirnya kudengar bunyi tirai disibakkan. Aku menoleh.
Dokter yang memeriksa Shari sudah selesai rupanya. Aku
bergegas ke arahnya. "Bagaimana, Dok?" tanyaku, cemas.
"Cuma maag, tak perlu khawatir," ucapnya. "Saya sudah
memberikan obat. Resepnya nanti bisa ditebus di sini." Ia me"
nyodorkan secarik kertas padaku. "Hindari makanan yang
pe"das dan asam. Apalagi tadi katanya pasien suka makan je"
ruk nipis, ya" Dihindari dulu. Terlalu banyak tak baik buat
pencernaannya." Dengan perasaan galau aku membuka tirai tempat Shari
berbaring di ruangan UGD. Kulihat sosoknya begitu lemas
dan tak berdaya. Kupeluk dia.
"Kata dokter aku terlalu banyak makan jeruk nipis"," sa"
hutnya lirih. Aku hanya mengangguk sambil menyusuti air
mata yang mengalir di pipinya. "Padahal kan?"
Kuletakkan telunjukku di bibir Shari dengan lembut. "Su"129
dahlah, istirahat saja dulu," bisikku perlahan. "Nggak usah
mikir macam-macam dulu."
*** Shari berangsur sembuh. Semenjak peristiwa itu ia menjadi
lebih pendiam. Tak pernah lagi ia membicarakan jeruk nipis
yang menjadi kebanggaannya. Ia memang masih membawa
jeruk nipis ke mana-mana, namun tak dikonsumsinya lagi.
Aku merasa sedikit lega. Karena Shari tak lagi mencekoki
orang lain, terutama aku, dengan jeruk nipis. Tapi harus ku"
akui, aku kangen melihat senyum dan binar di matanya saat
ia membicarakan jeruk nipis. Tanpa semua itu, rasanya Shari
bagaikan boneka jelita tak bernyawa.
Suatu hari, kulihat ia lebih ceria daripada biasanya.
"Aku membawakanmu hadiah," bisiknya penuh semangat.
Kunaikkan alisku sebelah. "Tutup matamu," bisiknya lagi. Ku"
turuti katanya. "Boleh buka mata sekarang?" tanyaku.
"Boleh!" Aku mengernyitkan dahi melihat sebotol cairan kental ber"
warna kuning kecokelatan di tanganku. Madu dari jeruk ni"
pis" Atau selai" Aku sedang memikirkan sedikitnya 733 alas"an untuk menolak pemberiannya itu, saat Shari berbicara
dengan nada cerianya yang biasa.
"Ini sirop chamomile!" serunya riang.
130 "Kamo" apa" Apaan tuh?" Bingung aku mendengar kata
asing yang diucapkan Shari. Sirop model baru dari mana
nih" "Dibuat dari bunga chamomile. Khasiatnya banyak lho. Ka"
lau maag-nya kambuh, minum saja teh dari seduhan bunga
chamomile. Bisa mengobati insomnia juga. Untuk keramas juga
bagus. Dibikin sirop juga enak. Nanti coba ya" Larutkan de"
ngan air hangat, minum sebelum tidur. Kalau tenggorokan
serak juga?" Kepalaku mendadak pusing mendengar Shari berceloteh
panjang-lebar tentang chamomile. Lamat-lamat kudengar ia
bercerita bahwa di tamannya sekarang ada petak khusus buat
bunga chamomile yang dibangga-banggakannya. Bahkan ia juga
membawa satu pot tanaman chamomile buatku.
Duuuh, Shari, Shari. Kok jadinya sama saja sih" Dulu Ratu
Jeruk Nipis, sekarang Ratu Chamomile. Tapi, ya biarlah. Aku
jadi teringat kata Tio. Lebih baik terobsesi pada jeruk nipis
atau chamomile, kan"
Kupeluk Shari yang masih juga berceramah tentang segala
macam khasiat chamomile. Bagaimanapun, senang juga rasanya
melihatnya sudah riang gembira seperti dahulu.
131 Lomba Masak "PASTI kamu nanti menang," bisik Desi padaku sesaat
sebelum bertanding. Bibirku menyunggingkan seulas senyum.
Tentu saja. Aku yakin sekali dengan kemampuanku. Sudah
bertahun-tahun lamanya aku ikut kursus memasak, baik di
dalam maupun luar negeri. Aku tidak menyesal tak pernah
mengecap bangku sekolah karena lebih memilih dunia masakmemasak. Di usiaku yang tujuh belas tahun ini, aku merasa
cukup ahli meracik hidangan yang lezat. Tak diragukan lagi.
Aku akan menang dalam perlombaan ini.
Aku mengecek lagi semua peralatan yang kubawa. Wajan
teflon terbaik antilengket dan antigores. Panci pyrex bening.
Satu set pisau mahal supertajam, dari bahan stainless steel sam"
pai model terbaru yang terbuat dari porselen. Yang terakhir
ini memang mahalnya luar biasa, tapi dapat memotong daging
dan sayuran semulus memotong puding.
132 Panitia lomba masak kali ini memperbolehkan para peser"
tanya membawa sendiri bumbu dan rempah yang mereka
perlukan. Aku menatap puas stoples-stoples bening mungil
yang tersusun rapi di mejaku yang ada roda di bawahnya.
Mint, sage, kemangi, allspice, kayu manis, rosemary, marjoram,
ghee, garam masala, bubuk kari" semuanya komplet. Tinggal
menunggu saja. "Kira-kira bahan bakunya apa ya kali ini?" Kembali Desi
berbisik. Ia malah terlihat lebih nervous. Padahal yang ikut
lomba kan aku. Toh dia cuma asisten.
"Entahlah. Aku siap mengolah apa pun kok, Des," jawabku
mantap sambil mengasah pisau stainless steel-ku supaya lebih
tajam lagi. Rak bumbu kucek lagi. Yak, sempurna, semua su"dah tersusun secara alfabetis. Kurapikan lagi saja daripada
bengong. Para peserta lain menunggu dengan reaksi bermacam-ma"
cam. Ada yang terlihat cemas, mondar-mandir nggak keruan.
Beberapa merokok untuk menenangkan diri. Ada juga yang
tenang-tenang saja, seperti seorang laki-laki"mungkin lebih
tua beberapa tahun dariku"di samping kananku. Kayaknya
dia nggak membawa banyak peralatan maupun bumbu. Ia
malah dengan santainya membolak-balik majalah terbaru yang
merupakan sponsor utama lomba masak ini. Aku menggelenggeleng. Dengan persiapan minim gitu kok bisa-bisanya tanpa
beban" "Kali ini pesertanya banyak banget. Nggak seperti tahun
133 lalu. Sayang tahun lalu kamu nggak ikut karena ikut kursus
di Amerika," Desi mencerocos lagi.
"Lihat saja nanti hasilnya?" Aku duduk di sampingnya.
Kurapikan celemek yang kukenakan. "Kok belum mulai-mulai
juga ya?" "Masih seperempat jam lagi kok."
Lomba kali ini memang bukan lomba biasa. Pesertanya
jauh lebih banyak daripada tahun lalu. Hadiahnya juga fantas"
tis. Kursus kuliner selama dua tahun penuh di Paris. Segala"
nya ditanggung, mulai dari akomodasi di hotel berbintang
lima, tiket, visa, bahkan uang saku segala. Semua koki dan
ahli masak pasti ngiler mendengarnya. Tidak terkecuali aku.
Seperti tahun lalu, panitia akan menyiapkan dua bahan
baku. Peserta lomba wajib mengolah kedua bahan itu menjadi
setidaknya tiga jenis makanan: appetizer, main course, dan
dessert. "Tahun lalu yang menang siapa, Des?" tanyaku, merintang
waktu. "Entah, aku lupa. Tapi yang jelas" yang sudah pernah me"
nang kan nggak boleh ikut lagi."
Nomor pesertaku sedikit miring. Gusar, kubetulkan letak"
nya. Walaupun sedang memasak, semuanya mesti terlihat
sempurna. Memang. Sekali menang di lomba ini cukup sudah. Karena
di seluruh Indonesia sang pemenang pasti akan dikenal seba"
gai juru masak andal. Semua hotel dan restoran ternama pasti
134 berlomba untuk mempekerjakannya. Dengan bayaran yang
sangat mahal, tentu saja. Kalau beruntung, aku mungkin da"
pat meraih cita-citaku: menjadi pembawa acara khusus ma"
sak-memasak di TV! Dengan kemampuanku sekarang, pasti
aku bisa! "Lomba akan dimulai sebentar lagi." Suara MC yang lem"but namun bernada tegas membuatku mulai bersiap-siap. Aku
tak sabar menunggu bahan apa yang mereka akan keluarkan.
Apa pun itu, akan kuolah sesempurna dan seindah mung"
kin. "Untuk tahun ini, dua bahan yang digunakan adalah ayam
dan apel!" Aku tercengang. Tak dapat kupercaya apa yang kudengar.
Ayam dan apel" Masa segampang itu" Kulihat para peserta
yang lain juga tersenyum lega.
"Kalian punya waktu dua jam untuk menyiapkan setidak"
nya tiga macam hidangan!"
Panitia mulai membagi-bagikan daging ayam dan apel ke
setiap peserta. Tiap orang berhak mengambil lagi bahan baku
di meja panitia apabila merasa kurang. Aku meminta Desi
yang menjadi asistenku untuk meminta beberapa kilo apel
jenis granny smith yang asam dan segar serta boneless breast
pada panitia. Lea dan Maya, dua asistenku yang lain, sibuk
me"nyusun bahan-bahan yang mereka anggap layak untuk ku"
gunakan. Aku memutuskan untuk membuat rolade ayam. Dada ayam
135 kupukul-pukul hingga lembut dan halus. Kurendam dalam
campuran rempah impor (resepnya tentu saja rahasia!) yang
mahal harganya, dengan saus yang istimewa, dicampur sedikit
madu. Kuminta Lea dan Maya mencuci beras basmati impor
dari India, beras pulen nan legit. Dikukus dengan Evian yang
terjamin kebersihan dan kandungan mineralnya serta kaldu
ayam bening yang sudah disaring. Dibumbui dengan rempah
lain yang menggoda hidung dan lidah. Beras basmati menjadi
isi roladenya. Sebagian ayam buat rolade itu kusisihkan, un"tuk dijadikan pai. Potongan nori cukup cantik dijadikan hias"
an. Untuk dessert aku meminta Maya dan Desi mengupas dan
memotong-motong apel granny smith. Kujadikan jelly dengan
tambahan mint dan sedikit madu dan jeruk lemon. Jus apel
kubuat menjadi puding busa dengan cetakan unik dan mena"
rik, menggoda mata. Tanpa sengaja aku kembali melihat peserta di sampingku.
Ia hanya membawa satu asisten. Sama sekali ia tidak terlihat
panik. Dengan tenangnya ia mengolah masakan yang tampak"
nya sederhana. Tanpa kusadari aku tersenyum mengejek. Da"lam lomba sekaliber nasional ini, jangan harap deh kamu bisa
menang. Lelaki itu menoleh ke arahku dan tersenyum. Sebe"
narnya ia cukup tampan. Tapi aku tak ada waktu buat ber"
main mata. "Tinggal appetizer," bisikku ke arah para asistenku. Salad
saja. Dengan potongan buah zaitun segar dan minyak zaitun
136 terbaik dari Italia, serta sayuran segar hidroponik, aku merasa
tak terkalahkan. "Waktu sudah habis!"
Aku menarik napas lega. Fiuh! Empat hidangan berhasil
kuselesaikan. Sebagai pembuka, ada salad apel-ayam. Hidang"
an utama berupa pai ayam nori dan rolade isi nasi. Hidangan
penutupnya puding apel mint dengan jelly.
Saat juri datang ke mejaku untuk menilai, mereka saling
berbisik memuji dan bertanya apa saja bahannya. Dengan
bangga aku bercerita semuanya. Mereka mencicipi sedikit,
mengangguk puas, kemudian melanjutkan penilaian ke meja
lain. Pemuda di sebelahku menatapku sambil tersenyum.
"Hidangannya kayaknya lezat-lezat ya, Mbak," katanya, en"tah berbasa-basi atau memang berniat memuji.
"Mau nyoba" Silakan" kebetulan masih banyak nih." Sam"
bil tersenyum jumawa aku sodorkan semua hidangan yang
baru kubuat. "Mas masak apa tadi?"
Pria itu menunjuk ke arah mejanya. Ada empat hidangan
di sana. Tidak terlihat begitu istimewa. Cuma cake apel ber"
krim yang menyita perhatianku. Biarpun tak banyak hiasan"
nya, terlihat begitu lembut dan membangkitkan selera. Ia
menawariku untuk mencobanya. Ryan, demikianlah nama"
nya. "Wah, enak sekali, Mbak!" pujinya dengan tulus yang mem"
buat senyumku semakin mengembang. Tapi senyum itu me"137
mudar saat aku mengunyah cake apelnya. Begitu renyah
sekaligus segar, lembut, dan menggelitik. Astaga! Enak sekali!
Aku yang jago masak saja takkan mungkin bisa membuat cake
seenak ini! "Ini bahannya apa aja?" tanyaku sambil ternganga. Sambil
sete"ngah tak percaya aku mencicipi masakannya yang lain.
Bentuknya memang tak terlalu istimewa, tapi amboi, rasanya!
Sungguh memikat. Aku seakan tersihir ingin mencicipi lagi.
Aku lebih terganga lagi begitu mengetahui Ryan menggunakan
bahan-bahan yang murah dan sederhana. Alasannya, masakan
itu bahannya mesti mudah didapatkan, kalau tidak, takkan


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dimasak dengan gampang dan cepat.
Sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Sebelum"
nya aku beranggapan, hanya dengan bahan-bahan murni im"
por dan terjamin kualitasnyalah masakan enak baru dapat
dida"patkan. Tapi Ryan membuktikan padaku bahwa dengan
ba"han yang dijual di pasar tradisional pun, ia dapat menghasil"
kan masakan dengan cita rasa luar biasa.
Juri berpendapat sama denganku. Biarpun mereka meng"akui
masakanku enak, inovatif, dan terlihat cantik, mereka beranggap"
an bahan-bahan yang kugunakan terlalu mahal dan susah
didapat. Hasilnya dapat ditebak, Ryan meraih juara satu. Aku
juara kedua. Aku tetap pergi ke Paris bersama Ryan, biarpun
aku hanya mendapat jatah selama satu tahun. Tapi tak apa. Aku
akan belajar banyak darinya. Dan mungkin saja, kami akan
memulai hidup yang indah bersama. Siapa tahu"
138 Ramalan Renata KARTU-KARTU itu dihamparkannya begitu saja. Namun,
kalau dilihat lebih saksama, ada semacam keindahan di sana.
Tidak"kartu-kartu itu tidak dilempar, melainkan ditata ang"
gun dengan cita rasa tinggi. Disusun dengan memesona.
"Artinya apaan tuh?" Seorang gadis berambut ikal memer"
hatikan kartu-kartu itu dengan saksama.
Yang ditanya terdiam sebentar. Dibetulkannya letak banda"
nanya yang agak miring sebelum mengatakan interpretasinya
terhadap kartu-kartu itu. Si rambut ikal manggut-manggut.
"Kok bener banget sih, Re" Gue emang lagi ada masalah
sama Glen. Tapi apa iya itu karena Glen naksir cewek lain?"
Sang peramal, gadis manis berambut panjang yang dihiasi
bandana, mengangkat bahu. "Ya nggak tau, Zoe. Gue kan cu"
man baca yang ada di kartu-kartu Tarot ini aja. Cuma, feeling
139 gue bilang sih, kayaknya tu cewek emang dah lumayan deket
sama Glen. Lo ati-ati aja deh."
Zoe bergidik. "Lo nyeremin, Re."
"Makasih." Renata tersenyum lebar.
Zoe pun berlalu sambil berpikir-pikir. Memang, yang dika"
takan Renata ada benarnya. Akhir-akhir ini Glen memang
sering terlihat berduaan dengan Sabrina. Alasannya sih karena
mereka memang dekat sejak kecil, tetanggaan. Tapi Zoe curi"ga.
Ada yang lain di sorot mata mereka berdua saat bertatap"an.
Ramalan Renata yang memang jitu seakan mengonfirmasi"kan
kecurigaannya. Harus dikonfirmasikan nih, tapi bagaimana
caranya" batin Zoe berkata galau.
"Sinting kalo elo percaya begitu aja sama ramalan sese"
orang," Alin, sahabat dekat Zoe, berkata. Ia memasang tam"
pang skeptis. "Lagian, apa bener si Renata ini dapat dipercaya"
Siapa tau dia cuma ngibul. Orang kan mau aja ngomong apa
pun asalkan dapat uang."
"Tapi, Lin" Re nggak punya alasan buat bohong ke gue.
Lagi pula yang dia omongin ke gue bener semua. Soal uang
juga, dia nggak pernah maksa orang ngasih kok. Serelanya
aja." Tanpa sadar Zoe membela Renata. "Lo kalo nggak perca"
ya, coba minta ramalin sama dia deh. On second thought, gue
bakal minta Glen diramalin juga sama Renata."
"Terserah lo deh," jawab Alin acuh tak acuh sambil me"
main-mainkan liontin kalungnya. Tapi entah kenapa Zoe
menangkap ada kegelisahan di sana. "Yah, asal lo hati-hati aja.
140 Siapa tau Renata itu emang tukang sihir. Jangan-jangan dia
bisa melet elo atau bikin elo celaka."
"Gue yakin Re nggak begitu!"
Di balik semua kata-katanya yang terdengar meyakinkan,
sebenarnya Zoe agak ragu juga. Ia memang baru sebentar
mengenal Renata. Baru dua minggu. Minggu lalu saat ia pergi
ke sebuah mal, matanya tertuju pada toko yang menjual ba"rang-barang unik. Kebetulan Zoe memang senang dengan hal
yang aneh-aneh. Jadi masuklah ia ke toko itu.
Toko bernama Witches" Lair itu memang bukan toko biasa.
Barang-barang yang dijual di sana mencerminkan nama toko"
nya. Ada bola kristal, aneka kristal dan batu permata, lilin,
minyak aromaterapi, ramuan aneh-aneh dalam botol-botol
mu"ngil, aneka bunga kering, rempah aneka ragam yang dijual
per ons, kartu tarot, serta buku-buku tentang ilmu gaib. Ada
juga ratusan atau mungkin ribuan barang lainnya yang tak
dapat diidentifikasikan Zoe.
Di sanalah ia bertemu Renata, si pemilik toko. Saat itu
Renata mengenakan jubah panjang berwarna cokelat tua yang
membuat Zoe terpesona. Bahannya menjuntai lembut, mem"
bingkai tubuhnya bagaikan gaun mewah yang indah. Ada se"
suatu yang dipancarkan Renata, yang membuat Zoe langsung
percaya padanya. Setelah membeli liontin cantik dari rose
quartz, Zoe merasa ia sudah mengenal Renata seumur hidup"
nya. Saat itulah pertama kali Renata meramal untuknya, de"ngan hasil yang mengagumkan.
141 Dengan segala cara akhirnya Zoe berhasil membujuk Glen
agar mau diramal Renata. Hasil ramalannya membuat Glen
pucat pasi. Padahal Renata cuma berkata dengan tenangnya
bahwa Glen sekarang sedang ragu di antara dua pilihan. Masa
depannya kedua pilihan itu sama baiknya, tapi harus ia ten"tukan sendiri.
"Gimana?" pancing Zoe pada Glen setelah mereka keluar
dari toko Witches" Lair.
Entah kenapa Glen hanya menatap Zoe nanar, kemudian
menggeleng-gelengkan kepalanya. Diajaknya Zoe minum di
sa"lah satu kafe yang ada di mal tersebut.
"Yang dikatakan Renata memang benar." Glen menunduk"
kan kepala. Zoe tersentak. Biarpun ia sudah menduganya,
mendengar sendiri kata-kata itu dari mulut Glen cukup mem"
buatnya terpukul dan terluka.
"Kamu punya pacar lagi, ya?" tanya Zoe lirih. Ia takut men"
dengarkan jawabannya. Tapi ia ingin tahu. Harus tahu.
"Ya." Jawaban yang singkat namun memilukan bagi Zoe.
"Siapa?" tanya Zoe, berusaha menekan perasaan sakit yang
menghunjamnya. "Sabrina?"
"Bukan Sabrina. Tapi Alin."
Zoe bagaikan disambar geledek. Alin" Alin sahabat baik"
nya" Air mata mengalir deras di pipinya. Ia ingat ramalan
Renata. Ya, Alin! Alin memang lumayan dekat dengan Glen,
bahkan sejak sebelum Zoe pacaran dengan Glen.
Zoe berlari meninggalkan Glen. Begitu Glen tetap duduk
142 dan tidak mengejarnya, Zoe merasa sungguh kecewa. Mung"
kin memang sudah begini jalan yang harus mereka tempuh.
Dengan hati porak-poranda Zoe kembali ke toko Renata.
Renata berseru kaget saat melihat Zoe limbung dan terduduk
di sudut. "Re" katakan ke gue, sebenarnya lo itu siapa," isak Zoe di
hadapan Renata yang menatapnya penuh rasa kasihan. "Kok
ramalan elo bisa tepat banget?" Zoe menangis tersedusedu.
Renata menghela napas, menunggu sampai Zoe selesai me"nangis. Setelah selesai, Renata menyodorkan sebuah cangkir
padanya. "Minumlah teh ini, Zoe. Lavender. Mungkin akan
menenangkanmu sedikit."
Zoe mereguknya dengan penuh terima kasih. Kemudian ia
menatap Renata dengan penuh tanda tanya. Ia sempat berpi"
kir, apa Renata itu memang seorang penyihir" Yang memang
memiliki kekuatan magis untuk melihat masa depan"
"Bukan, Zoe, gue bukan penyihir," ujar Renata seakan tahu
apa yang dipikirkan Zoe. "Kebetulan aja ramalan gue pas de"ngan diri elo." Renata menghamparkan kartu-kartu Tarot di
hadapan Zoe. "Elo lihat" Ini cuma kartu. Kartu biasa. Manu"
sia yang menentukan nasibnya sendiri. Kartu Tarot ini cuma
medium untuk refleksi diri. Melihat sesuatu yang mungkin
telah, sedang, atau akan terjadi."
Mendengar penjelasan Renata, Zoe mulai dapat mengontrol
dirinya. Disusutnya air matanya sampai kering.
143 "Jadi elo bukan peramal yang ramalannya memang seratus
persen jitu?" tanya Zoe lagi, berusaha memastikan.
Renata tersenyum manis. Zoe baru sadar satu hal. Di balik
jubah satin anggun berwarna ungu yang dikenakan Re hari
itu, Renata hanyalah seorang gadis muda biasa. "Gue bukan
peramal, Zoe. Semua orang bisa kok menggunakan kartu
Tarot." Zoe merasa dunianya gelap.
*** Zoe terbangun mendapati dirinya terbaring di tempat tidur
yang nyaman. Warna putih yang melingkupinya serta aroma
antiseptik yang menusuk membuatnya menduga bahwa ia ber"
ada di rumah sakit. Tatapannya beradu dengan sosok ibunya
yang menatap dirinya penuh kekhawatiran.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?"
"Renata mana, Ma?" tanyanya lirih.
"Renata siapa?" Ibunya heran.
Zoe tertegun. Setitik kecurigaan membekas di hatinya.
"Tadi Zoe pingsan di tokonya Renata di mal" toko ber"nama Witches" Lair."
"Kamu ditemukan di toko yang sedang direnovasi, Zoe."
Zoe tambah gundah. Keesokan harinya ia kembali mengunjungi mal tersebut.
Gadis manis bernama Renata tidak pernah ada. Demikian
pula toko yang bernama Witches" Lair. Zoe sampai harus me"144
mastikan hal ini dengan bertanya pada manajer mal terse"
but. Bingung, Zoe pulang ke rumah. Di kamar ia menemukan
sebuah kotak manis berwarna ungu dengan pita keperakan.
Wangi lavender yang lembut menggoda pancaindranya. Di
dalam kotak Zoe menemukan seperangkat kartu Tarot leng"
kap dengan buku manualnya.
"Semua orang bisa kok menggunakan kartu Tarot."
Kata-kata Renata mengiang di telinganya.
Why not" Zoe tersenyum. Ia yakin suatu saat akan dapat
meramal seperti Renata. 145 Anak Baru "CEWEEEK!" Darren bersiul dengan nada tinggi sambil
mengerling nakal. Yang disiuli hanya menoleh sekilas, terse"
nyum kecut, kemudian bergegas pergi seakan baru melihat
kecoak raksasa dalam kamar mandinya. Bukan hanya satu,
tapi satu lusin kecoak. "Lo terlalu agresif sih! Dia jadi kabur deh!" seru Wandi
kecewa. Padahal ia berharap dapat menatap wajah manis ce"
wek tadi lebih lama. "Kalo gue diam aja, dia juga bakal kabur, man!" sahut
Darren sok cool. Sekarang ia melirik ke arah cewek lain yang
baru masuk ke kafe. Cewek itu keren juga, taksirnya dalam
hati. Wajah polos, nyaris tanpa makeup, tapi bening banget!
Ba"dan"nya mungil tapi cukup berisi. Digrepe-grepe asyik tuh!
Mata Darren yang jail mengarah ke bagian dada dan pinggul.
146 Kalau cewek itu ayam panggang, Darren pasti sudah teng"
gelam da"lam liurnya.
"Ren, cewek itu?" Wandi seperti biasa punya pendapat
yang sama dengan Darren. Dan Wandi tahu fakta ini. Kadang
Wandi heran, dia sebenarnya bersahabat dengan Darren ka"rena selera mereka banyak yang sama, atau karena saking
lamanya mereka bersahabat hingga saling memengaruhi selera
masing-masing" Wandi hanya bisa bengong melihat tempat duduk yang ko"
song. Kalimatnya tidak pernah selesai, menggantung begitu
saja. Rupanya Darren sudah bergerak cepat. Wandi dapat me"
lihat sahabatnya itu sudah duduk di samping cewek cantik
yang baru lewat. Wandi menggeleng-geleng. Sempat bingung
mau berbuat apa. Akhirnya ia bergerak ke arah mereka. Ia
sempat curiga Darren memiliki darah superhero, hingga bisa
mencelat dalam sekejap. Mungkin jenis superhero yang menggu"
nakan lawan jenis yang sedap dipandang sebagai katalisnya.
"Aaaaah, Wandi!" Darren berdiri, kemudian memeluk
Wandi seakan mereka sudah satu abad lebih tidak bertemu.
Tidak, bukan memeluk. Tapi meremas dengan sekuat tenaga.
"Cewek ini milik gue," desisnya tajam ke arah telinga Wandi.
Wandi hanya bisa mengangguk kecil kemudian mengernyit.
Mau bagaimana lagi" Rasanya ia takkan sanggup masuk seko"lah kalau tulang iganya rontok semua. Apalagi tak usah meng"
ancam pun, dari segi fisik, sudah jelas Darren unggul. Banyak
yang bilang senyum Darren imut banget, kayak aktor yang
147 main jadi Harry Potter. Sementara, kalau ada yang bilang
Wandi mirip Hagrid di film Harry Potter, bisa dikatakan se"
bagai pujian bersalut eufimisme.
"Anindya, ini Wandi, sahabat gue," Darren tersenyum, me"
ngeluarkan daya pikatnya sampai nyaris melampaui batas
maksimum. Wandi nyengir, terpaksa. Lagaknya Darren seakan sudah
mengenal Anindya seumur hidupnya saja. Tapi toh Anindya
tidak tampak keberatan. Ia hanya tersenyum tipis. Yang mem"
buatnya semakin manis. "Wandi," sahut Wandi sambil menjabat tangan Anindya.
"Anindya," sahut gadis itu pendek. Poninya terjatuh, menu"tupi dua bola mata cerdas berbentuk bulat. Saat Anindya
tersenyum, rasanya semua warna di dunia menjadi lebih cerah
lagi. Sejenak Wandi sempat merasa menyesal tidak bergerak
lebih cepat. Dalam hati ia hanya dapat berharap Anindya me"
miliki adik atau kakak"minimal sahabat"yang bisa dikenal"
kan padanya kelak. Darren menginjak kaki Wandi. Wandi hanya bisa melotot,
kemudian sadar pada arah tatapan Darren. Dengan enggan ia
melepaskan tangannya dari tangan Anindya.
Darren tampak jemawa. Malah tampak meributkan hal-hal
sepele seperti: "Tempat duduk itu agak kotor ya" Nggak papa tuh" Gue mintain ke manajer resto supaya elo dapat sofa
yang empuk ya?" Wandi nyaris terjengkang. Kaget. Sofa" Di kafe seperti ini
148 mana ada sofa" Ada juga tempat duduk dari kayu. Sengaja
barangkali, supaya pengunjung tidak terlalu betah nongkrong
berlama-lama. Kafe di sini kan terkenal dengan minuman dan
penganannya yang menipiskan isi dompet. Banyak orang yang
datang hanya memesan secangkir kopi atau segelas minuman
ringan, dan bertahan selama berjam-jam. Wandi sempat ber"
pikir, kalau saja dia jadi manajer kafe ini, mungkin dia akan
meletakkan paku otomatis di kursi yang akan nongol setelah
pengunjung duduk selama maksimal satu jam"kecuali kalau
sang pengunjung kembali memesan makanan atau minuman.
Pasti akan lebih laris manis.
Anindya hanya menggeleng, dengan senyum misteriusnya
yang menurut Wandi, wah, Mona Lisa lewat deh!
"Ngomong-ngomong, elo sekolahnya di mana?" Sesaat sete"
lah mengucapkan kata-kata itu, Wandi menyesal. Dasar bego!


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rutuknya dalam hati. Kenapa sih malah nanya basa-basi kayak
gitu" Mana bisa Anindya terkesan" Sudah penampilan minus,
ngobrol pun basi banget! Anindya menjawab dengan hati-hati, "Besok hari pertama
saya di SMA 123." Belum sempat Wandi berkomentar, setidaknya menunjuk"
kan bahwa ia cukup cerdas dan layak untuk dijadikan gebet"
an, Darren sudah memotong, "Wah, sama dong! Gue dan
Wandi di kelas II-4. Kalo elo?"
"Wah, saya belum tahu bakal di kelas mana. Kan saya be"lum ke sekolah," jawab Anindya dengan nada ringan.
149 Rasain lo! Makanya jadi orang jangan maruk! Dalam hati
Wandi menandak-nandak karena sesaat Darren baru sadar
bahwa dirinya lebih bego daripada sapi dongo.
"Besok janji ketemuan ya!" Darren masih saja nekat, dan
mengeluarkan rayuannya: senyum maut penuh madu memi"
kat. Wandi mendesah. Pasrah, lelah. Ya sudahlah. Biar saja
Darren terus-menerus mengejar Anindya. Wandi hanya dapat
berdoa dalam hati, agar di masa depan Anindya dapat melihat
cowok lain yang mungkin berpenampilan kurang cemerlang
tapi aura tetap mencrang! Ya, siapa lagi kalau bukan dirinya
sendiri" "Boleh," sahut Anindya.
"Kapan-kapan kencan yuk?" desak Darren.
Anindya tersenyum. Tolak! Tolak! teriak Wandi dalam hati.
"Yakin elo mau kencan sama gue?" tanya Anindya sambil
terkekeh, seakan Darren baru saja mengeluarkan lelucon.
"Tentu dong!" sahut Darren bersemangat.
Ya elah, tentulah! Mana ada kucing nolak ayam goreng gra"tisan" Wandi mengutuk.
"Oke. Gue tunggu ya."
Darren sumringah. Wandi merasa sebah.
*** 150 "Kok dia belum masuk ya, Wan?" Darren gelagapan, panik
sendiri. "Padahal lonceng udah bunyi. Anak-anak udah ribut
aja, katanya bakal ada anak baru yang keren abis. Bakal seke"
las ama kita nggak ya?"
Wandi mendengus. "Tauk! Nyasar, kali" Namanya juga
anak baru." Wandi berlagak sok cuek padahal dalam hati ia
berharap Anindya tidak sekelas dengan dirinya dan Darren.
Jadi, dia tidak perlu bersaing terang-terangan di depan
Darren. Bisa-bisa wajahnya bonyok kayak mangga matang
terempas dari pohonnya, kalau Darren sadar Wandi masih
menyimpan harapan pada Anindya.
Pak Wanto, guru geografi yang wajahnya selalu tampak se"
perti orang yang tidak makan-minum selama 48 jam, masuk
ke kelas dengan langkah digagah-gagahkan. Dulu pernah ada
yang cerita si bapak ini pernah terobsesi mau jadi tentara tapi
nggak kesampaian. Sekarang walaupun udah jadi guru, masih
saja beliau mengenakan sepatu bot tentara. Wandi curiga se"
patu bot itu isinya selain kaki Pak Wanto, juga semen atau
batu bata puluhan kilo. Derap sepatunya terdengar begitu
seram dan nyaring sih. Kelas yang sebelumnya lebih ramai daripada jumpa fans
Dian Sastro sekarang lebih hening daripada ruangan kosong.
Setidaknya di ruangan kosong mungkin akan terdengar bunyi
cicak berdecak atau nyamuk mendengung. Mungkin karena
wajah Pak Wanto yang terlihat begitu garang, para binatang
pun pada kabur. 151 "Hari ini kita kedatangan murid baru," sahutnya, to the
point. Darren langsung tampak bagaikan baru menenggak kopi
berkafein tinggi dengan dosis tripel. Ia melirik Wandi, yang
tampak bagaikan kerupuk dicemplungkan ke dalam air got.
Para murid langsung kasak-kusuk. Penuh spekulasi. Apa
benar murid baru itu sebegitu memesonanya"
"Namanya Peter Wiryawan. Dia pindahan dari Singapura,"
sahut Pak Wanto lagi. Sosok seorang remaja cowok yang wajahnya sejuta kali lipat
lebih ganteng dibandingkan Darren masuk. Semua cewek
langsung ber-oooh dan aaah, terpikat oleh sang anak baru.
Wandi mulai bersemangat. Ia melirik Darren yang agaknya
sadar bahwa popularitasnya sebagai cowok terganteng di
SMA ini terancam kritis. "Dan perkenalkan, Anindya Setia."
Sosok Anindya melangkah masuk. Dunia Darren menda"
dak kembali ceria dan berwarna. Mentari bersinar begitu ce"
merlang, menyebarkan aroma yang begitu lembut namun
menggoda. Eh, itu sih aroma parfum Anindya, batin Darren berkata.
Kayaknya Anindya pake parfum J-Lo deh. Seksi! Sebodo ah.
Yang penting gue jatuh cinta! Hmmm" tapi kok rasanya ada
yang aneh. Anin kok nggak pake seragam ya" Mungkin baru
pindahan dari luar negeri juga atau apa jadi belum sempat beli,
kali ya" 152 "Bu Anindya Setia, M. Si. adalah wali kelas kalian yang
baru," sahut Pak Wanto lagi.
Mata Anindya menyapu seluruh ruangan. Senyumnya me"rebak. "Halo, semua! Terutama kamu yang di belakang, sebe"
lah kiri. Namamu Darren, kan?"
Ini kali pertama Darren merasa malu karena namanya di"
ingat oleh seorang perempuan jelita.
153 Profil Pengarang Primadonna Angela lahir di kota mungil bernama Rumbai
tang"gal 7 Oktober. Keinginannya untuk menjadi penulis telah
lahir sejak ia duduk di bangku SD. Selain gemar membaca,
Donna juga menggandrungi anime dan manga, mengoleksi
(kartu pos, prangko, buku, kartu telepon, koin, dan lain seba"
gainya), dan menulis. Buku pertamanya, Quarter Life Fear,
diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2005. Me"
nyusul Belanglicious dan Love at First Fall yang terbit pada
awal tahun 2006. Jangan Berkedip! ditulisnya bersama partner
hidupnya, Isman H. Suryaman. Menyusul Quarter Life
Dilemma, Big Brother Complex, Resep Cinta, Kintaholic, DJ &
JD, QueryPita, dan Resep Cherry. Sekarang Primadonna
Angela berdomisili di Bandung dengan partner hidupnya serta
buah hati mereka, Riordan Azad Zen dan Sachika Haniyya
Evereska. Primadonna Angela belanglicious@gmail.com http://vervain.blogspot.com
http://friendster.com/profiles/vervain
http://rumahpernik.multiply.com
Gramedia Pustaka Utama Gramedia Pustaka Utama Gramedia Pustaka Utama Gramedia Pustaka Utama Gramedia Pustaka Utama Ray merasa Shari, pacarnya, nyaris sempurna. Cantik,
baik, senang berbagi pada sesama. Hanya satu
kekurangannya: gila jeruk nipis! Mulai dari sampo,
lotion, penganan, minuman, harus ada unsur jeruk
nipisnya. Ray terkadang bosan dan enek kalau Shari
lagi-lagi menyinggung buah kesayangannya itu.
Apakah gara-gara jeruk nipis, Ray dan Shari harus
berpisah" Diwarnai nuansa haru, rindu, kesal yang terasa asam,
sampai manisnya cinta, perhatian, dan persahabatan,
sebelas cerita ini akan membuatmu merenung, gemas,
tersenyum sekaligus tertawa.
Sebagai penulis TeenLit dan
MetroPop, Primadonna Angela
mengusung kehidupan sehari-hari
dalam cerita yang menyentuh dan
menggelitik. Ratu Jeruk Nipis
adalah buku kedua belas dan
kumcernya yang pertama. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building Blok I, Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29-37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com
ratu jeruk nipis.indd 1 Pendekar Pemanah Rajawali 34 Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti Tiga Setan Darah Cambuk Api 1
^