Pencarian

Ratu Jeruk Nipis 1

Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela Bagian 1


Revenge is Best Served Hot! TIK-TOK-TIK-TOK. Ah, jamku. Mengingatkanku lagi
sampai ke detik-detiknya, betapa tepat waktunya aku. Malah
sebenarnya aku datang beberapa menit sebelum waktu yang
dijanjikan. Tapi orang yang kutunggu belum juga datang.
Kulirik pelayan terdekat. Ia yang tadinya terlihat sedang
menatapku dengan sedikit ternganga tiba-tiba menjadi sibuk
membersihkan celemek dan lengan bajunya. Padahal setitik
remah pun tak ada di sana. Aku mendengus sebal sambil me"megangi jamku. Masa aku harus menyetel alarmnya biar ber"bunyi nyaring, untuk mendapat perhatian di sini" Atau me"
lemparnya ke dahi si pelayan yang tampak begitu mengilat"
Uuh, nggak usah deh! Sayang kan, nanti jamku bisa rusak!
Agaknya pelayan itu dapat membaca pikiranku. Tatapannya
terlihat cemas saat ia akhirnya mendekat. Itu pun dengan ta"
kut-takut, seakan setiap saat aku bisa mengeluarkan ular ko"b"
ra sejumlah 235 ekor dari balik jaket yang dapat mematuk"nya
dalam waktu yang sangat singkat. Kalau memang ini yang ia
pikirkan, tidak sepenuhnya salah. Karena kekesalan yang
kupendam, kalau kulampiaskan, mungkin lebih mengerikan
daripada sekadar dipatuk ratusan ular.
Kuketuk-ketuk meja dengan jemariku. Tidak sabar. Kenapa
sih pelayan ini diam saja" Ngasih menu kek, nanyain kabar,
ngucapin selamat sore dengan manis atau apa. Memangnya
enak, dianggurin" Pelayan itu masih juga menatapku dengan takjub. Tapi
agaknya ia lebih terpesona pada sahabat setiaku, sang jam
beker peninggalan Kakek. Bunyi tik-toknya masih jernih. Ben"
tuknya masih terlihat kokoh. Bergantian ia menatapi kami
berdua. Seakan ia melihat Tyrannosaurus Rex berjalan-jalan di
taman kota dengan santainya. Apa anehnya sih" Kayak nggak
pernah liat orang jalan-jalan bawa beker antik aja.
"Eee" Mbak, itu?" pelayan itu menunjuk jam yang berwar"
na keperakan itu dengan ragu.
Aku melotot ke arahnya. Pelayan itu mengerut. Aku dapat
membaca pikirannya. Pasti ia berpikir aku Medusa. Sayang
baginya, aku bukan! Kalau benar begitu, ia akan berubah jadi
batu dan terbebas dari malapetaka yang akan ia alami" sela"
ma ia tetap bertingkah menyebalkan seperti ini!
"Apa?" sergahku dengan kejam yang membuatnya mengem"
pis sempurna seperti balon yang pecah ditusuk jarum.
"Mmm" itu jam, kan?"
"Bukan, ini sapu!" Aku merespons dengan sebal. "Ya iyalah!
Ini jam! Hanya ini yang ingin kamu tanyakan?" Aku ingin
menambahkan kata-kata yang memberikan efek mengerikan,
tapi kemudian menahan diri. Akan kusimpan semua kata itu
untuk orang lain"yang lebih berhak menerimanya!
Pelayan itu terlihat semakin tidak nyaman. Aku mulai curi"
ga ada ratusan ribu kecoak merambat di dalam celananya dan
ia tak dapat mengeluh karena:
a. takut dipecat, b. takut pengunjung kafe yang lain pada kabur,
c. dia salah satu kontestan Fear Factor,
d. dia masokis yang sengaja disewa pemilik kafe untuk
mengganggu kenyamanan pengunjung kafe seperti aku,
atau malah" e. semua jawaban benar. "Menunya dong!" dengusku sambil mengusir kesebalan
yang mulai merajai diriku. Kalau aku mesin, mungkin aku
sudah meletup karena overheated. Kalau aku keran, mungkin
airnya sudah muncrat sampai Alaska karena tidak tahan me"nahan aliran emosi.
"Hah?" Pelayan itu malah cengo.
"Duileeeh! Menu! Daftar menu! Apa perlu dieja" Oke deh,
nggak masalah! Dari kecil juga aku selalu menang lomba
mengeja. D-A-F-T-A-R" ya, DAFTAR! Terus M-E-N-U!
Daftar menu! Ngerti" Itu tuh, daftar dalam kertas berisi ma"
kanan dan minuman yang tersedia di sini! Udah paham seka"
rang?" "Iya, Mbak, saya kan belum budek"." Pelayan itu ngeloyor
pergi. "Yaelah! Kok malah pergi!" dumelku, benar-benar berpikir
untuk melempar sesuatu ke arah si pelayan sableng. Mungkin
vas bunga di meja bisa juga digunakan"atau mejanya seka"
lian. "Kan tadi lupa bawa menunya, Mbak," pelayan itu bisa-bisa"
nya ngeles. Sejenak aku ingin mengucapkan kata-kata makian,
tapi kutahan. Sama saja kayak melawan api dengan api.
Tak berapa lama ia memberikan daftar menu. Aku menger"
nyitkan hidung melihatnya. Begitu lecek dan dekil"seperti
sudah dicelupkan dalam comberan bertahun-tahun kemudian
dikeringkan dengan disetrika. Jadinya melengkung-lengkung
nggak jelas. Curiga, aku mengendus-endus. Untunglah tidak
ada bau yang mencurigakan. Kalau ada, awas saja! Alamat
bakal hancur deh ini restoran!
Tetap saja, aku menggunakan tisu untuk membolak-balik
menu itu. Aku tidak mau ambil risiko terkena penyakit kulit
atau sebangsanya. Masih mending kalau cuma panuan atau
korengan biasa. Gimana kalau aku kena demam berdarah"
Dan jangan beranggapan aku ini berlebihan. Mungkin saja
kan, ada percikan darah yang terinfeksi virus DB somewhere
di menu sialan ini. Kalau aku menyentuhnya dengan tangan
telanjang"siapa menjamin tidak ada bekas luka atau apa
hingga aku dapat terkena DB juga"
Aku juga sudah berlaku cukup sopan. Dengan mengguna"
kan tisu, maksudku. Kalau mendengarkan kata hati sih, aku
ingin memakai sarung tangan karet yang selalu kubawa-bawa.
Seperti yang dipakai para dokter bedah. Terjamin kesterilan"
nya. Tapi kalau aku pakai, sama saja aku menuduh restoran
ini sama dengan markas kuman! Begini-begini aku masih pu"
nya tenggang rasa lho. "Pesan lemon tea-nya satu! Gulanya harus pas lima gram.
Jus lemonnya cukup 25 mililiter"sekitar lima sendok makan.
Lima sendok makan biasa ya, catet! Bukan sendok makan
versi resep dokter, yang isinya 15 mililiter! Sisanya teh yang
harus diseduh dengan air yang benar-benar mendidih. Biarkan
minimal dua menit mendidihnya, biar kumannya benar-benar
tewas! Jangan air asal comot dari dispenser, rasanya beda!"
Pelayan itu masih bengong. Jadi kuulangi pesananku. Ia
baru ngeh dan mencatat dengan kecepatan yang takkan dapat
mengalahkan kura-kura lari maraton.
Aku mulai mempertimbangkan karier sebagai perakit bom.
Kayaknya asyik kalau targetnya si pelayan lelet ini.
"Mbak" itu bukan bom, kan?" tanya pelayan itu lagi.
Aku mengejutkannya dengan tertawa. Andai saja begitu,
pikirku. "Kalau memang saya bawa bom, ditaronya di sini dong,
masa dalam jam?" ujarku bercanda sambil menunjuk traveling
bag hitam yang penuh barang-barang yang dapat membuat
lima orang bertahan hidup di satu pulau terpencil. Aku me"mang selalu membawa survival kit-ku ke mana-mana. Kita ti"
dak tahu kan, kapan akan memerlukannya"
Kali ini si pelayan menatap tasku dengan perasaan ngeri.
"Just kidding! Gimana sih" Diajak serius susah. Diajak ber"
canda nggak bisa!" Aku manyun. Sedikit lega, pelayan itu
berusaha tertawa. Kemampuan aktingnya akan membuatnya
mendapatkan piala Oscar untuk kategori "Akting Paling Tidak
Natural". Mungkin dia akan lebih baik kalau harus berakting
sebagai kerikil di pinggir jalan. Tinggal pake kostum abu-abu
bluwek, jadi deh. Pelayan itu berlalu dengan buru-buru. Kulirik jamku.
Gavin sudah terlambat sembilan menit lewat dua puluh sem"bilan detik.
Tak lama kemudian pelayan itu kembali membawakan pe"sananku. Takut salah, ia tergopoh-gopoh membawa satu poci
kecil berisi teh, satu gelas mungil berisi cairan yang agaknya
merupakan lemon juice, satu container mungil berisi gula, satu
cangkir dan tatakannya, serta sebuah sendok stainless steel mu"
ngil. "Benar ini dari air mendidih?" tanyaku dengan alis berke"
rut. "Benar, Mbak?" "Mendidihnya lebih dari dua menit?"
"Iya, Mbak" Sumpah!"
"Kok bisa cepet sih" Bohong, kali!" tuduhku tak berperasa"
an. "Benar, Mbak. Tadi kebetulan di dapur ada yang masak air.
Kalau Mbak nggak percaya, banyak saksi matanya kok!"
Aku masih memberikan tatapan yang dapat menghipnotis
ular kobra, lalu memutuskan untuk memercayainya. Setidak"
nya, kalau aku nanti mengalami masalah pencernaan, aku
tahu siapa yang akan kutuntut!
Ia terlihat kaget saat aku mengeluarkan satu gelas ukur,
sendok makan, dan timbangan mungil dari dalam tasku. Aku
semakin dongkol dibuatnya.
Benar-benar nggak profesional deh. Di mana-mana pelang"
gan adalah raja, kan" (Dalam hal ini, aku ya ratu.) Berhak
dong aku berbuat sesukaku" Lagi pula, mana bisa aku percaya
pada peranti di tempat yang tidak familier denganku" Belum
tentu ukurannya sesuai standar internasional. Juga, belum ten"
tu higienis! Setelah meracik lemon tea sesuai dengan yang kuinginkan,
aku mulai memikirkan kata-kata apa yang akan kugunakan
untuk menyemprot Gavin nanti. Bisa-bisanya dia membuatku
menunggu selama ini! Padahal rekor terlama Gavin sebelum
ini cuma enam menit tujuh belas detik.
Sang pelayan kayaknya mafhum akan suasana hatiku yang
jauh dari riang. Dia buru-buru menyingkir. Akan tetapi sese"
kali dia masih juga menatapku. Mungkin dia penasaran ingin
tahu apa saja yang aku bawa. Bisa jadi dia berasumsi dalam
tasku ada dinamit. Atau mayat yang dipotong-potong. Eks"
presinya kayak menonton film horor begitu sih.
Wajah yang sangat familier itu akhirnya nongol juga. Gavin,
kekasih hati, cowok yang kucintai setengah mati. Rambutnya
yang agak cepak dirapikannya terus dengan jemarinya. Tanda
bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Sori," ujar Gavin saat duduk di depanku.
Aku menyeruput lemon tea-ku, menunggu.
Jamku berdetak-detak terus di meja. Gavin menatapnya
dengan tatapan yang tak dapat kuterjemahkan.
"Haruskah kamu bawa jam itu ke mana-mana?" tanyanya
tanpa mampu menyembunyikan rasa kesal.
"Aneh." Kuseruput tehku dengan keanggunan seorang aristo"
krat. "Perasaan, harusnya aku yang punya alasan kuat untuk
kesal di sini." Kutatap dia dengan menaikkan sebelah alis.
Setelah ada jeda yang menurutku perlu, aku menambahkan
dengan santai, "Bukan kamu."
Gavin tampak tidak senang. "Aku kan cuma terlambat se"
bentar, Vel. Masa hal begitu saja diributkan?"
"Sebentar katamu?" Nada suaraku mulai meninggi dua ok"
taf. "Kamu sudah terlambat dua belas menit empat belas de"
tik. Pemborosan waktu!"
"Ya ampun, Vel, dua belas menit saja kok diributkan! Aku
tadi ada urusan sebentar."
Begitulah Gavin. Paling pintar mencari alasan yang jenius.
"Urusan apa" Menyelamatkan jiwa orang lain" Ada yang
kecelakaan jadi kamu melarikannya ke rumah sakit" Yang jelas
dong kalo ngomong! Lagian, kan kamu bisa menelepon dulu,
bilang bakal terlambat atau apa kek. Kamu kan tahu aku pa"ling tidak suka disuruh menunggu!"
"Jangan berlebihan gitu dong, Vel. Kamu itu, dikit-dikit
dihebohkan. Ya pokoknya tadi ada masalah sebentar, jadi aku
terlambat dan nggak mungkin nelepon."
"Kenapa nggak mungkin?" Aku terus mencecar. Melihat
Gavin yang mengerjap lebih banyak daripada biasanya aku
tahu dia sedang gugup luar biasa. Aku malah jadi ingin terus
menyemprotnya. "Apa baterai HP-mu habis, gitu" Atau kamu
lupa bawa HP" Atau nggak ada sinyal" Alasan basi macam
apa yang kamu mau kasih ke aku sekarang, Vin?"
"Berhenti dulu kenapa sih" Aku capek! Baru datang, sudah
dicerca. Aku nggak tahan lagi mendengar omelanmu, Vella!
Kamu begitu terobsesi oleh waktu. Dan jam itu. Aku sungguh
jengkel melihatnya!"
Hening sejenak. Dalam benakku aku mengasah pisau dan
kapak peperangan. "Kita sebaiknya jangan bertemu dulu. Mungkin dengan be"
gitu kita punya waktu untuk introspeksi." Gavin terdengar
begitu bijaksana. Sekaligus palsu. Aku tahu betul. Jarinya disa"
pukan ke hidung. Gavin selalu berbuat begitu kalau sedang
berbohong. Men! They thought they could lie to you and get
away with it. "Oh, begitu." Dengan tenang aku menatapnya. "Bukan kare"23
na si cantik Mila yang kamu gandeng kemarin?" Nada suara"
ku kembali wajar. Aku bangga pada diriku sendiri. Ternyata
aku cukup ahli berseni peran.
Gavin terpojok. Tapi tikus yang di sudut juga akan mela"
wan dengan sekuat tenaga.
"Memangnya aku nggak boleh jalan bareng tetangga sen"
diri?" Nada defensif. Kedua tangan disilangkan, tatapan tajam.
Aku cuma tertawa geli melihatnya. Gavin selalu merasa diri"
nya cerdas"dia pikir semua tingkah lakunya tidak akan da"
pat terbaca. TEEET! Salah besar!
"Oh, boleh saja. Tapi kalau sampai berpelukan dan ciuman,
apa benar itu cuma jalan bareng biasa?" Mataku mengerling,
seakan tidak merasakan apa pun kecuali perasaan geli. Se"
nyumku mengagumkan. Asli, tidak dibuat-buat.
Aku heran. Heran seheran-herannya pada diriku sendiri.
Dalam hati aku menangis dan mulai menulis skenario melibat"
kan Gavin dan Mila yang mengalami 79 kejadian mengenas"
kan sebelum akhirnya hidup dalam keputusasaan berkepan"
jangan. Tapi aku dapat berbicara dengan tenang. Seakan-akan
aku sedang menonton hidup orang lain di TV saja.
"Kamu" kamu lihat?" Gavin terbata-bata. Hilang sudah
wajah kalemnya. Sekarang Gavin tampak bagaikan anak be"
bek kehilangan induk yang dicampakkan di tengah Gurun
Sahara. "Bego banget sih jadi orang. Ya iyalah. Makanya kalau jalan
bareng cewek cantik, jangan lupa lihat kiri-kanan. Mungkin
kamu akan melihat cewek-cewek lain yang pernah kamu ken"
cani sebelumnya." Aku menaikkan sebelah alis.
"Aku bisa menjelaskan, Vella, semua itu tidak seperti yang
kamu duga!" Gavin masih juga berusaha membela diri.
"Jadi seperti apa dong ceritanya?" tanyaku, berusaha mena"
han kedongkolan di dada. "Apa dia mau ikut audisi sinetron
dan kamu pura-pura jadi pacarnya" Atau dia mendadak ingin


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu gimana rasanya dipeluk dicium, dan kamu, sebagai lakilaki yang gallant," aku memberikan penekanan kuat pada kata
gallant, "berusaha membahagiakannya dengan mengikuti ke"
inginannya" Atau karena dia akan tewas karena penyakit klise
seperti dalam cerita-cerita"leukemia atau kanker apalah, dan
dia akhirnya sadar mencintaimu, jadi kamu kasihan dan ber"
usaha memberinya kenangan terindah sebelum dia pergi" Apa
seperti itu, hah?" "Kamu terlalu berlebihan, Vel! Sama sekali tidak sedramatis
itu!" "Ah, masa"! Jadi apa dong" Biar aku tebak! Mungkin orang"
tuanya atau saudara atau tetangga atau kucing piaraannya
meninggal dan dia sedih jadi kamu menawarkan dirimu untuk
dipeluk sebagai penghiburan" Basi, tau! Basiii! Kalian berdua
senyam-senyum melulu, serasa di dunia ini hanya ada kalian
berdua"yang lainnya tak kasatmata!"
Gavin tampak terpuruk, tidak tahu harus membalas seperti
apa. Penuh cela aku menambahkan, "Gavin, aku heran pada diri"
mu. Kamu pikir aku tidak akan pernah tahu semua ini" Atau
kamu pikir aku akan memaafkanmu begitu saja" Dunia tidak
sesederhana itu, man." Aku mulai kehilangan kendali. Kupe"
jamkan mata. Pantai, ya, ya, bagus. Aku berjalan, menatap
matahari yang mulai tenggelam. Aroma laut yang khas"pan"
tai putih halus yang terasa lembut di kakiku. Ombak berde"
bur yang terasa begitu nyaman bagiku. Tapi aku sendirian"
dan air mata mulai menggenang, mendesak untuk keluar.
TIDAK! Aku harus tegar. Tidak cengeng. Tak pantas me"
nangisi Gavin, cowok yang sama sekali tidak bisa menghargai"ku.
Kutelan air mata. Kelopak mataku membuka. Gavin terlihat
sangat pucat sekarang. "Kalau kamu nggak tahu mau ngomong apa sekarang, tidak
apa-apa. Tetaplah duduk, dan pesan kopi. Oh, mungkin
orange juice saja, bukannya itu yang kamu pesan bersama Mila
saat kalian berkencan?"
Gavin tampak benar-benar malu. Aku yakin dia merasa
bersalah. Tapi pepat di hatiku belum hilang juga.
"Vel, maafkan aku. Tapi?" Gavin menatap penuh kesedih"
an ke arah jam yang selalu kubawa-bawa. "Aku tidak dapat
memiliki kekasih yang terobsesi dengan waktu."
"Dan aku juga tidak dapat memiliki kekasih yang tidak
menghargai waktu. Juga perempuan. Aku mungkin gila berta"
han denganmu selama ini." Nada suaraku begitu sinis dan ta"
jam. "Yang gila itu kamu, tau!" Nada Gavin meninggi. "Dan hanya
orang sinting yang mau pacaran dengan cewek yang sedi"kit-sedi"
kit memerhatikan jam! Obsesimu itu sungguh nggak sehat!"
Aku menatapnya, seakan tak tertarik. Kenapa ya, manusia
suka begitu" Sudah tau diri mereka salah, selalu saja mencari
celah untuk menimpakan kesalahan pada orang lain. Apa me"
mang pada dasarnya orang itu selalu merasa dirinya benar"
Kalau mengikuti perasaan, ingin aku membentaknya balik.
Tapi buat apa" Hatiku teriris mendengar kata-kata Gavin.
Aku memang sangat mencintai jam dan menyukai ketepatan
waktu"tapi dia kan tidak perlu menghinaku seperti itu" Aku
berusaha menahan sakit, berusaha keras agar wajahku tidak
menampilkan luapan emosiku.
"Kamu tau, Vel. Aku pacaran denganmu karena taruhan
sama orang lain. Ingat cowok-cowokmu yang dulu" Yang
cuma tahan pacaran denganmu paling lama satu bulan" Maka"
nya kami bikin taruhan: kalau aku berhasil pacaran denganmu
lebih dari tiga bulan, aku menang! Kamu tau apa hadiahnya"
iPod terbaru! Asyik, kan?" Sosok Gavin di mataku berubah
menjadi monster. "Aku akan mendengarkan lagu-lagu keren
dengan hadiahku itu. Dan tentu saja, aku juga akan dapat
uang! Keren, kan" Dengan begitu aku dapat mentraktir Mila
ke restoran termahal! Mungkin juga membawanya ke kafe ini!
Kamu harus tau, Vel, nggak ada cowok yang benar-benar ter"
tarik padamu! Kamu itu aneh! Psycho! Freak! Mana ada co"
wok yang suka sama cewek yang ke mana-mana bawaannya
segudang, terus meluk-meluk beker segala?"
Aku tercekat, kepalaku seakan berputar. Mendadak aku
kehilangan kepercayaan diri. Gavin masih saja tertawa, mem"
buat dadaku sesak. Apa aku sebegitu rendahnya" Aku tahu
aku berbeda, tidak seperti gadis kebanyakan. Aku ter"obsesi
pada kerapian, keteraturan, dan ketepatan waktu. Aku me"
milih tidak berdandan atau mengikuti tren terbaru. Mungkin
aku judes dan ketus, tapi hanya sebatas itu.
Aku mungkin bukan orang yang sempurna, tapi apa ini
berarti orang lain dapat mengejekku" Mataku memanas. Apa
tadi katanya" Gavin taruhan dengan teman-temannya menge"
nai aku" Kurang ajar benar! Apa sepayah ini diriku di mata
mereka" Apa memang tidak ada cowok yang benar-benar me"
nyukaiku tulus apa adanya" Apa selama ini semua cowok
yang mendekatiku tergiur iming-iming taruhan"
Gavin terpingkal-pingkal sambil mengangkat beker warisan"
ku. Aku yang sedang kaget tidak dapat mencegahnya.
"Dan benda sialan ini, kamu pikir begitu keren dan antik"
Kalau dijual di pasar loak juga mungkin langsung dijadikan
besi rongsok!" KRRRRRRRRRRIIIIII"IIII"NN"NNNN"NNNGGGGGG!
Bekerku mendadak berdering, tepat di telinga Gavin. Aku
menaikkan alis. Sebagian karena terkejut, sebagian lagi karena
senang. Gavin melemparkan beker dengan serampangan. Aku
tersentak, sadar akan perbuatan destruktif Gavin. Beker kesa"yanganku! Harta karun milikku!
Aku bangkit, berusaha menangkap bekerku itu. Sayang,
Gavin melemparnya terlalu jauh. Sesaat aku terpana, dapat
membayangkan beker itu berkeping-keping, hancur.
Napasku tertahan saat seorang cowok mengejar beker yang
melayang-layang itu. Sesaat aku merasa seperti menyaksikan
adegan slow motion. Saat jam itu tertangkap dengan selamat,
aku menarik napas lega. Perhatianku kembali ke arah
Gavin. Dalam hati aku bersorak. Gavin benar-benar kena hukum
karma, dibayar kontan! Bodoh orang yang berpendapat
revenge is best served cold. It"s best served hot, honey!
Gavin sempoyongan sambil menutup telinganya. Pandangan
matanya tidak fokus. Kemudian ia membuka telinganya.
Menggeleng-geleng. Tampak blank. Apa mungkin ia meng"
alami gegar otak" Atau minimal gegar gendang telinga karena
bekerku tadi" Salah sendiri!
"Gavin?" panggilku.
Gavin tidak tampak mendengarkan suaraku. Tubuhnya lim"
bung, bergoyang seperti bandul jam kuno.
"Gavin?" tanyaku dengan suara lebih keras.
Masih tidak ada reaksi. Mungkin pendengarannya tergang"
gu. Hah! Baguslah! Dengarkanlah iPod-mu sampai enek!
Much good it will do to you!
Aku memanggil pelayan yang tampak takjub. Tapi senyum
lebar terukir di bibirnya. Barangkali dia merasa terhibur de"
ngan kisah drama kami barusan.
"Mas, tolong bantu. Taro dia di luar. Toh dia nggak mesen
apa-apa, kan" Atau kalau Mas lagi baik hati, dudukin aja dia di
sudut. Mau panggilin ambulans atau dokter syukur, nggak juga
biar sajalah. Jangan sampai ngerepotin Mas. Makasih, ya."
Pelayan itu tampak terkejut. Dia tidak tahu bahwa aku juga
sama kagetnya. Nada suaraku begitu manis. Bahkan pake
embel-embel terima kasih pula. Dia tampak menggusah-gusah
Gavin, entah berkata apa, aku tidak mau ambil pusing.
Aku membawa barang-barangku ke arah cowok yang tadi
menangkap bekerku. Cowok itu tampak sedang mengamati
jam kesayanganku itu. "Mbak, sadar nggak, Mbak, jam ini lebih cepat tiga puluh
detik" Saya udah cek ke 103 tadi. Omong-omong, jamnya
bagus banget. Antik tapi masih tangguh."
Aku melongo. Tentu saja! Aku punya alasan yang kuat!
1. Ayolah! Berapa banyak sih, cowok yang membuka
percakapan dengan kata-kata ini"
2. Aku tak pernah menemui orang yang sebegitu pedulinya
pada waktu. Aku sampai mengecek lagi jamku. Cowok
itu benar! Memang terlalu cepat tiga puluh detik!
3. Akhirnya aku menemukan cowok yang dapat mengapre"
siasi jamku! 4. Yang paling penting, DIA SUPERGANTENG! Diban"
ding"kan dia, Gavin sih seperti kadal disuruh lawan naga!
"Kamu suka jam itu?" tanyaku, sekadar memastikan.
"Suka sekali." "Kenapa?" "Entah. Mungkin karena aku mengoleksi jam juga" Atau
karena aku tipe yang mementingkan waktu?"
Aku menjilat bibir atasku perlahan. Cowok ini menarik.
"Pacarmu?" Cowok itu menunjuk ke arah Gavin yang se"dang diseret pelayan.
"Yang diseret atau yang menyeret?" tanyaku, deg-degan. Hal
yang tidak pernah kualami sebelumnya"deg-degan karena
cowok, maksudku. Kalau jantungku berdetak lebih cepat ka"
rena habis olahraga berat sih sering.
Cowok itu memamerkan sederetan geligi yang putih kemi"
lau. Aku dapat merasakan daya tariknya menguar, menjeratku,
membuatku menahan napas. Kurasakan getaran halus di seku"
jur tubuh, membuatku siaga sekaligus terlena. Dan entah
kenapa, aku punya perasaan dia juga naksir diriku.
Wow! "Lucu juga kamu. Ya yang diseret lah." Cowok itu mengisya"
ratkanku dengan tangannya agar duduk di depannya. Aku
pun duduk dengan senang hati.
Tanpa menoleh ke arah Gavin, aku berkata, "Bukan."
Bandung, 05.19, 22 Maret 2006
Surat Terakhir RHEA menyeruput teh sambil mendesah. Teh earl grey me"
mang selalu nikmat, dalam situasi apa pun. Apalagi kalau di"
tambah madu. Rhea menatap pemandangan yang terbingkai
indah dalam jendela. Hujan rintik-rintik seakan menambah
keanggunan taman mawar. Rhea menghitung"ada tujuh, de"
la"pan kuncup mawar. Terlihat begitu lembut dan anggun di"
belai angin. Semuanya begitu sempurna. Hanya ada satu yang kurang:
orang yang menemaninya membangun taman mawar itu. An"dai saja ada Tito sekarang, kenikmatan tehnya pasti akan te"
rasa berlipat ganda. Seulas senyum getir terukir. Ingatannya selalu berujung
pada Tito. Senyumnya yang lebar dan mencerahkan. Bola
mata yang begitu bening dan jujur. Tawa renyahnya saat mem"
bantu Rhea memperindah taman kecilnya. Lengan kokoh
yang menopangnya saat hampir terpeleset di bedeng-bedeng
mawar yang licin. Waktu itu pun hujan turun"..
Pundak Rhea mendadak hangat. Senyum Erwin membuat"
nya merasa seperti anak-anak.
"Kubawakan kamu selimut."
Rhea mengangguk kecil, penuh rasa terima kasih. Baru
dirasakannya ia kedinginan. Selimut dirapatkannya, mata ter"tuju pada sosok yang sudah ia kenal hampir seumur hidup"
nya. Ia senang pada apa yang dilihatnya. Wajah Erwin tidak se"
tampan Tito, tapi ada gurat-gurat ketegasan yang membuatnya
tenang. Erwin dapat diandalkan. Teman yang setia.
"Kamu nggak apa-apa nemenin aku di sini?" tanya Rhea
tanpa benar-benar ingin tahu. Selama ini ia menganggap
Erwin akan selalu ada. Erwin juga sadar akan hal itu. People tend to take him for
granted. Kadang ia kesal dibuatnya. Tapi dalam hal Rhea, ia
tak pernah peduli. Hatinya sudah menjadi milik Rhea, saat
Rhea berbagi bekal sandwich-nya, sepuluh tahun yang lalu.
Gadis berkepang dengan gigi depan yang ompong. Erwin
tersenyum, tenggelam dalam kenangan masa lalu. Rambut
Rhea masih juga sering ditata dengan gaya yang sama, wajah"
nya pun tak banyak berubah. Kesedihan membentuk garis-ga"
ris yang malah membuat wajahnya semakin menarik. Perasaan
itu membuat gurat-gurat kedewasaan, membentuk karakter
yang unik. Rhea kembali larut dalam kenangan. Ia membiarkan dirinya
terbuai dalam masa-masa indah bersama Tito. Ia begitu ke"sepian.
Tanpa disadari, Erwin merasakan hal yang sama. Ia teringat
kata-kata klise yang dibencinya"karena ia merasakan kebe"
narannya. Puisi" Atau barangkali cerita ataupun novel" Dua
orang yang bersama. Yang satu memikirkan kekasih yang jauh
dan takkan dapat teraih lagi. Satunya lagi memikirkan yang
ada bersamanya, juga tak tergapai karena pujaannya mendam"
ba kekasih lain. Pertanyaannya"siapa yang lebih merasa
kesepian" Erwin sadar, tak seharusnya ia merasa kesal pada Tito. Toh
Tito sudah ada di alam lain, damai, tak terusik keduniawian.
Rhea"ya, Rhea-lah yang menjadi objek pemikirannya saat
itu. Setahun berlalu sudah, saat Maut menjemput Tito. Siapa
sangka, pemuda gagah ceria itu menyimpan kanker ganas da"
lam tubuhnya. Dan sampai sekarang" Rhea masih saja ber"
duka. Membuatnya gemas. Kapankah Rhea akan berpaling
padanya, lebih dari sekadar teman biasa" Apakah ia akan men"
jadi bayangan tak bermakna di samping Rhea, berusaha me"
raih cintanya tapi tidak akan pernah bisa"
"Kamu terlalu baik padaku, Win. Kamu kan nggak usah
nemenin aku seperti ini." Rhea menyeruput tehnya lagi. Kem"
bali menatap kuncup mawar yang bergoyang.
"Tapi aku mau."
"Aku lagi ingin sendirian."
Erwin menelan senyum. "Baiklah," ujarnya enggan. "Kamu
ingin sendirian membaca surat dari Tito, aku mengerti."
Rhea memejamkan mata. Entah kenapa ia merasa sakit.
Sungguh, ia tak tahan mendengar nada pahit dalam suara
Erwin. Jemari Rhea gemetar, tapi bukan karena kedinginan, melain"
kan karena takut. Tidak tahu apa yang menantinya. Amplop
tebal berwarna hijau muda di tangannya bisa berisi apa pun.
Apa ini surat warisan" Atau" barangkali Tito berkata bahwa
sebelum pergi ia telah menemukan orang lain"
Rhea menepis ketakutan itu dan mulai membuka amplop.
"Aku harus berani menerima kenyataan," bisiknya perlahan.
"Itu salah satu pesan dari Tito" saat dia tahu usianya takkan
lama lagi." "Tito menulis surat ini di hari-hari terakhirnya. Dia minta
kami menyampaikannya padamu, tepat setahun setelah hari
kematiannya." Suara Tante Elia, ibu Tito, masih mengiang.
Haru membuncah, membuat air mata mengalir deras. Tito


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih juga ingat padanya. Memikirkannya"bahkan sampai
sejauh ini! Tito mungkin tahu Rhea akan selalu mengingatnya.
Berduka. Larut dan hanyut dalam kenangan. Jadi dia menulis
surat istimewa ini, khusus buat Rhea.
Membacanya, Rhea merasa tenang. Beban sangat berat
melayang. Menimbulkan rasa damai di hatinya.
*** Kebun mawar Rhea dan Tito telah sarat oleh warna. Erwin
menatap kuntum-kuntum cantik dan wangi. Hatinya pedih.
Rhea pasti sedang merindukan Tito, batinnya mengeluh.
"Indahnya!" Rhea seakan berada dalam dunia berbeda. Du"nia tempat Erwin tidak ada, barangkali" Membayangkannya
membuat Erwin sedih. Apa ia harus menyerah menghadapi
Rhea dan mencari yang lain" Membayangkannya saja Erwin
tidak sanggup. "Win, bagus, ya?" tanya Rhea lagi.
Erwin mengiyakan. "Tapi kupikir, mungkin sudah saatnya aku memiliki taman
yang baru." Erwin menatap Rhea, tidak mengerti.
"Temani aku membangun taman baru, ya?"
Erwin menatapnya dengan terkejut. Ada asa di sana. Rhea
memeluk lengan Erwin. Ia teringat beberapa kalimat yang
ditulis Tito untuknya. ?"Aku ingin selalu berada di dekatmu. Menjalani hidup
bersamamu. Tapi aku sudah tak ada lagi di sisimu"tak
da"pat lagi menjagamu. Lihatlah ke sekelilingmu, Rhea,
Mawar Jelitaku. Ada seseorang yang penuh cinta. Dia
hanya perlu sebuah kesempatan. Aku tahu, kamu juga
sayang padanya. Berbahagialah" dan ingatlah, aku akan
selalu mencintaimu"."
Erwin senang, tapi juga merasa sedikit tidak enak. Terakhir
kali Rhea melakukan hal itu, mereka masih duduk di bangku
SD. "Mmm" Rhea, kita mau nanam apa?"
Tolong, jangan mawar! Bunga itu memang menawan hati,
tapi terkesan angkuh dan tak teraih. Seumur hidup aku tak
ingin berada dalam bayang-bayang Tito! Erwin meminta de"
ngan sungguh-sungguh. Mata Rhea bersinar. "Aster. Sederhana tapi bersahabat."
Rhea memeluk Erwin erat. "Tito yang memberikan bibit"
nya." Erwin balas memeluk. Sekarang dan sampai kapan pun, ia
yakin, hati Rhea adalah miliknya.
Sosok Vini LANGKAHKU terhenti. Kuhela napas. Sudah beberapa
hari ini kakiku selalu membawaku ke sini. Ke tempat bermain
tua yang sudah jarang dipakai lagi. Dulu, sewaktu aku masih
kecil, taman ini ramai sekali. Banyak anak bermain dan berla"
ri-lari dengan riang, sesekali tergelak sambil menikmati bekal
yang mereka bawa dari rumah. Sekarang" dengan hati pedih
kuperhatikan beberapa ayunan yang kosong, bergoyang sedikit
ditiup angin. Perosotan yang dihuni dedaunan. Jungkat-jung"
kit yang catnya sudah memudar. Anak-anak agaknya pun su"
dah malas pergi bermain di taman sekarang. Mungkin mereka
lebih memilih bermain PlayStation atau menonton TV.
Tatapan mataku tertuju pada bangku taman yang warnanya
telah suram seiring waktu. Di bawah naungan pohon mahoni.
Pohon kesayangannya. Di sanalah dulu kami sering duduk
berdua, sekadar menikmati bekal roti atau kue kering. Kadang
kami hanya berbagi cerita. Tanpa sadar bibirku mengukir se"
gurat senyum. Ah. Sungguh, suatu kenangan indah yang ma"sih terpatri kuat di benakku.
"Her." Kurasakan tepukan ringan di bahuku. Dan aku me"noleh, mendapati sosok yang kukenal baik tersenyum dengan
tulus. Kubalas dengan senyum masam.
"Tinggalkan aku sendiri, Dilla."
Dilla mundur selangkah. Ada ekspresi sedih memancar di
wajahnya. "Aku hanya ingin menemanimu," sahutnya pelan.
Aku menghela napas. "Aku tidak butuh ditemani. Apalagi
olehmu. Pergilah." Air mata menggenang di bola mata Dilla. Tanpa berkatakata lagi ia pergi.
Ada sebersit perasaan menyesal di dadaku. Dilla bermaksud
baik, aku tahu. Tapi saat ini aku memang ingin sendiri.
Bagiku, taman ini milikku berdua dengan Vini. Tak ada tem"pat bagi orang lain di sana.
Vini" sudah berapa tahun kau pergi meninggalkanku" Me"
ninggalkan kenangan manis yang takkan dapat kulupakan.
Kau cinta pertamaku. Banyak yang sudah menduganya, meng"
goda kita berdua. Kini aku sadar. Perasaanku nyata. Lebih
nyata dari yang orang lain kira. Sampai sekarang aku masih
juga mengenangmu. Aku tak tahu sudah berapa lama aku duduk termenung di
sana. Mentari yang tadinya masih berpijar di langit sekarang
sudah tenggelam. Angin berembus, awalnya perlahan namun
lama-lama mulai membuatku kedinginan. Entah mengapa
bulu kudukku berdiri. Mungkin sudah saatnya aku pergi.
Saat aku beranjak, kulihat sekelebat bayangan putih berlari
ke arah ayunan. Seorang anak, batinku berkata. Namun begi"
tu wajahnya terlihat jelas, aku tak dapat bernapas untuk bebe"
rapa saat. Wajah Vini! Aku berusaha meraihnya. Berjalan ke
arah Vini perlahan. Sosok itu menatapku sebentar, kemudian
berlari, hilang ditelan kegelapan malam.
Vini?" Setelah sekian lama kau muncul lagi di hadapan"
ku" Badanku bergetar. Entah perasaan apa yang melandaku.
Takut" Gembira" Entahlah. Apa mungkin kita dapat memun"
culkan seseorang hanya dengan memikirkannya sepenuh hati"
Aku tidak tahu" tapi mungkin itulah yang terjadi.
*** "Pasti kamu bermimpi," sahut teman sekelasku, Eko, saat pe"
ristiwa itu kuceritakan padanya. "Mana mungkin kamu berte"
mu Vini lagi" Dia udah bertahun-tahun meninggal. Atau ja"
ngan-jangan," bisiknya pelan, "kamu ketemu hantunya!"
"Hantu atau bukan, aku masih mencintainya, Ko."
"Gila, apa! Kalau memang dia hantu, alamnya kan udah
beda," sahutnya santai.
"Kupikir aku harus menemuinya lagi?"
"Gila." Eko hanya menggeleng-gelengkan kepala, seakan tak
tahu harus berkata apa lagi. "Masih juga mengejar cinta mo"
nyetmu." Aku hanya dapat menatapnya. Eko tidak mengerti. Tak ada
seorang pun yang memahami hal ini. Mereka tidak tahu apa
yang selalu ada dalam benakku. Sosok Vini. Yang tersenyum,
tertawa"menentang angin, duduk di ayunan. Yang menangis
saat terantuk batu setelah menaiki perosotan. Yang tampak
bahagia naik jungkat-jungkit denganku. Dalam setiap napas
yang kutarik dan kuembuskan, ada sosok Vini di sana. Begitu
menyatu, mengkristal. Memang, dia sudah tidak ada lagi di
dunia ini. Tapi terus kenapa" Apa itu berarti aku dapat melu"
pakannya begitu saja"
Sore harinya aku pergi ke taman bermain itu lagi. Seakan
ada magnet yang menarikku ke sana. Membuatku betah du"
duk menunggu. Entah satu jam, dua jam. Aku tak peduli.
Ku"rasakan angin berembus. Perlahan, namun membuatku
tersentak. Mataku nyalang mencari-cari. Aku yakin, sosok
Vini akan kulihat lagi. Kali ini ia takkan kulepaskan"untuk
selamanya! Sekelebat bayangan menerpa. Sosok yang riang, tertawatawa. Sosok Vini. Ia membawa boneka teddy bear. Aku ingat
sekali, itu memang boneka kesayangannya. Ia berlari-lari me"
nuju ayunan. "Vini!" Kuberanikan diri menegurnya. Anak itu menoleh,
menatapku dengan heran. Ia tidak mengenaliku! Oh, tentu
saja" sudah lama sekali berlalu. Heru yang dia kenal adalah
anak lelaki seumurannya. Bukan aku yang sekarang.
Mataku menyipit. Aku harus mendapatkan kepercayaannya.
Akan aku penuhi tahun-tahun yang terbentang di antara
kami dengan semua kisahku. Aku berani menghentikan napas"
ku saat ini juga"kalau saja Vini dan aku dapat tertawa ber"dua lagi. Seperti dulu.
"Vini?" tanyaku lagi, hati-hati. "Ini Heru, Vin. Dulu kita
sering main bareng, di sini. Inget, kan?"
Anak itu mendekatiku. Tanpa kusadari aku merinding.
Akankah aku berkomunikasi dengan roh gaib" Aku tak pedu"li. Semua akan kuhadapi, demi cintaku padanya.
"Kakak siapa, ya" Vini nggak kenal." Sosok Vini mengge"
leng, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
Ada rasa kecewa yang melandaku. Biarpun anak itu mirip
sekali dengan Vini, suara yang dimilikinya bukan suara Vini.
Siapakah anak ini sebenarnya" Aku jadi bertanya-tanya.
Saat itu juga sebuah sosok lain muncul.
"Tante Rina!" seruku sedikit kaget, saat melihat ibunya
Vini. Perempuan setengah baya itu menatapku dengan saksama.
"Siapa ya?" Tante Rina memekik sebentar. "Kamu Heru, ya"
Teman Vini dulu?" Aku mengangguk. Aku menatap Vini dan Tante Rina ber"gantian. Apa arti semua ini"
"Mama, siapa Kakak ini, Ma?" Anak yang kusangka Vini
itu bertanya sambil mengerutkan alis. Persis seperti yang dila"
kukan Vini dulu. Hatiku trenyuh jadinya. Sungguh menyakit"
kan melihat kemiripan antara anak itu dan Vini. Seperti
kembali ke masa lalu saja.
Tante Rina tersenyum. "Ini adiknya Vini, Her. Mirip sekali
ya, dengan kakaknya yang telah meninggalkan kita dulu?" Sua"
ra Tante Rina tercekat, penuh emosi.
Butuh waktu lama bagiku untuk mencerna semuanya. Aku
hanya dapat mematung. "Karena mirip sekali dengan Vini, Tante kasih nama Vini
juga?" Tante Rina berusaha tersenyum. "Vini, salaman ya
sama Kak Heru. Dulu Kak Heru temen deketnya Kak
Vini." Vini kecil dan aku bersalaman. Aku tersenyum getir. Sete"
lah itu aku tak ingat apa yang terjadi. Tiba-tiba saja aku su"
dah berada dalam kamarku, duduk dengan kelu.
Vini memang telah tiada"
Aku menangis. Tangis yang sejak dulu tak pernah tumpah
karena aku tak pernah mau mengakui kepergian Vini. Tangis
kehilangan. Aku memang mencintai Vini, sampai sekarang
pun masih, tapi mungkin memang sudah saatnya aku merela"
kannya. Peristiwa yang baru kualami tadi seakan menyadar"
kanku tentang hal ini. Sosok Vini yang selalu menghantuiku bukan Vini yang se"
benarnya. Vini sudah tidak ada di dunia ini lagi. Selama ini
aku tidak mau melepaskannya, karena membayangkan sosok
itu tidak dapat kulihat lagi membuatku sakit luar biasa. Aku
sangat ingin keajaiban terjadi, tapi sekarang aku sadar, itu ti"
dak mungkin. Kini, aku yakin aku harus menghadapinya.
Membiarkan Vini pergi. Untuk kebaikanku, juga kebaikan
Vini. Mungkin saja arwahnya tidak tenang di alam sana kare"
na aku masih saja berharap dia akan kembali padaku.
Saat itu juga aku ingin berbagi cerita. Tentang pencerahan
yang baru kualami. Tentang perasaanku yang baru kusadari.
Vini adalah bagian dari masa laluku. Memang, kenangan yang
kualami dengannya begitu menyenangkan. Tapi, seindah apa
pun itu, sudah berlalu. Telepon berdering. "Heru" Ini aku, Dilla." Suara Dilla terdengar. "Maafkan aku
kalau aku mengganggumu?"
"Tidak apa-apa, Dilla. Aku senang kok menerima telepon"
mu," sahutku sambil menahan tangis. Tapi ini tangis baha"
gia. The Unbeatables AKHIRNYA! Aku menyeret boks terakhir berisi koleksi bukuku ke da"lam kamar. Kuseka keringat yang mengalir deras di dahi. Se"
jak pagi tadi aku sudah mengangkat berbagai pot, boks, dan
benda-benda lainnya. Juga sibuk memindahkan barang-barang
dari satu ruangan ke ruangan lainnya, hanya karena merasa
kurang sreg. Sekarang aku merasa lebih lega. Setidaknya, se"
mua milikku telah berada dalam kamar.
Suasana kamarku telah berubah menjadi lebih menyenang"
kan. Beberapa hari yang lalu, aku dan sahabatku, Tatyana,
mengecat dinding kamar ini dengan warna peach lembut. War"
na yang sempurna, membuat kamar menjadi cerah. Aku me"
natap AC warna putih dengan senang. Sejuknya terasa sampai
ke hati. Aku senang telah memilih nuansa putih untuk kamar
ini. Tempat tidur model sederhana namun fungsional. Meja
putih dengan laptop berwarna putih kemilau seperti mutia"
ra. AC telah terpasang. Tempat tidur, meja rias, rak buku, le"
mari baju, dua kursi, stereo set dan CD player, telepon cordless,
laptop" tapi rasanya ada yang kurang. Sambil mengerutkan
dahi kupandangi lagi dinding yang masih kosong. Oh, tentu
saja, aku belum menghiasi dinding kamarku!
Sambil menghela napas kuseret boks yang berukuran luma"yan besar berisikan aneka poster. Kutarik poster kesayangan"
ku, saat bandku mengadakan live concert di Singapura. Di
poster itu aku mengenakan gaun berwarna merah jambu sam"
bil memegang mikrofon cordless. Tatyana tampak di sebelah
kiriku mengenakan gaun manis berwarna oranye. Di tangan"
nya tersampir gitar Ibanez kesayangannya yang berwarna pu"
tih. Di sebelah kananku tampak Tony, sahabat akrabku sejak
masih kecil. Ia mengenakan setelan kuning. Di tangan kanan"
nya ia memegang mikrofon, sedang tangan kirinya tampak
menekan tuts keyboard. Di belakang kami tampak Troy yang
memegang stik drum dan mengenakan setelan berwarna ma"
run serta Allan yang memegang gitar bass-nya. Allan menge"
nakan setelan berwarna hijau. Di atas poster tertera huruf
besar-besar: DAYDREAM LIVE CONCERT IN SINGA"
PORE 2006 by THE UNBEATABLES.
Mengingatnya membuatku tersenyum sekaligus ingin terta"
wa geli. Aku ingat, betapa kesalnya dulu kami pada Nancy,
adikku sekaligus penata busana kami, karena kami harus me"ngenakan warna yang menurut kami terlalu ngejreng. Tapi toh
semua itu berlalu. Dan konser itu laris manis, kostumnya juga
banyak dipuji. Saat itu aku berpikir, entah para kritikus itu
buta mode, atau tunaselera, ya" Entah deh!
Ya, aku adalah lead vocal sekaligus manajer band The UB
(demikianlah kami menyingkat The Unbeatables), grup band
yang sedang naik daun di kancah internasional. Kami telah
mengadakan konser di banyak tempat. Tahun lalu saja kami
kon"ser di Singapura, Malaysia, Jepang, Taiwan, Hong Kong,
bahkan di New York. Sambutan para penonton cukup me"riah,
dan kami mendapatkan honor yang tidak bisa dibilang sedikit.
Kami juga mendapatkan dua buah rumah berukuran lumayan
besar yang terletak di kota Bandung"daerah asal kami. Rumah
yang akan Tya dan aku tempati ini adalah salah satu rumah
tersebut. Ironisnya, di Indonesia kami tidak terla"lu terkenal.
Tapi kupikir malah lebih bagus begitu. Mungkin setelah sekian
lama, aku dan anggota bandku bisa memiliki privasi.


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Azie?" Tya tiba-tiba memasuki kamarku dan mengacaukan
lamunanku. "Tony ada di line 1, katanya dia ada ide lagu ba"gus tuh!"
Malas-malasan kuangkat telepon, kutekan line 1, dan suara
Tony yang kegirangan menyambutku.
"Azie" Aku ada ide bagus nih! Mungkin bisa kita jadikan
hits untuk album kita yang baru. Bagaimana rumah kalian,
apa sudah beres dan rapi?"
"Not even close?" Aku tertawa riang. "Rumah kalian bagai"
mana, kok kedengarannya ribut sekali?" Jangan-jangan Tony
menelepon dari sebuah tempat konser atau dari stadion sepak
bola. Ributnya nyaris bersaing dengan suaranya.
"Oh" that must be Troy. Dia kayaknya agak frustrasi kare"
na nggak bisa melanjutkan ke universitas pilihannya. Tapi
bagaimanapun juga, dia udah memutuskan jadi profesional
dan gabung sama band kita."
Troy memang anggota band kami yang termuda. Ia baru
saja lulus SMA. Sebenarnya ia ingin melanjutkan sekolahnya
ke Australia, tapi akhirnya memutuskan untuk total berka"rier
dalam musik. Anggota band lainnya kebanyakan hanya sem"
pat kuliah satu atau dua tahun kemudian memutuskan untuk
sepenuhnya bermusik. "I see. Okay, back to the point. What were you saying" Ada
ide bagus" So, apa idenya" Siapa tau bisa dikembangkan."
"Bagaimana kalau nanti malam kita pergi ke studio K?" ujar
Tony, memotongku. "Kita juga sudah lama nggak latihan. Mau
latihan di rumah, masih berantakan kayak gini, bikin nggak
selera. Malah pengin beberes atau tidur-tiduran seka"lian."
Aku tertawa. "Boleh! Maksudku, ke studionya ya! Bukan
beberes atau tidur, I"ve had enough of those! Kalian yang men"
jemput ya. Mobil Tya agak ngadat. Mungkin mesti ke beng"
kel." "Gampanglah itu. Sebelum pergi, kita telepon dulu deh.
Salam buat Tya-ku ya. Bye!"
"Bye!" sahutku sambil tersenyum.
Aku menoleh ke arah Tatyana. "Tya, salam dari Tony. Nan"
ti malam dia mau jemput kita. Ke studio K."
"Uh-huh," jawab Tya malas-malasan.
"Lho, kok gitu" Apa kamu nggak kangen sama Tony?" ta"
nyaku keheranan. "Semenjak pindahan tiga hari yang lalu kan
kita belum sempat ketemu dia dalam suasana santai. Boroboro bisa beromantis ria, malah terakhir kali kita ketemu,
wajah kalian berdua penuh cemong dan debu, kan?"
"Bukan itu, Zie. Aku nggak tau nanti harus pake baju apa,"
sahut Tya lirih. Aku menatap Tya dengan pandangan tak percaya. Tya ga"
dis yang cantik. Dia berpostur tinggi semampai, langsing, dan
berambut ikal panjang sepinggang. Hampir semua fans cowok
kami naksir padanya. Tanpa berdandan pun dia masih meme"
sona. "Pake baju apa pun kamu tetep cantik kok, Tya," kataku
akhirnya. "Udah, sana gih, beresin ruang tamu."
Tya beringsut walau sebenarnya wajahnya masih semrawut.
Dia memang penggila baju. Tya bahkan punya ruangan sendi"
ri yang menyimpan baju, tas, sepatu, dan semua aksesori lain"
nya, yang ukurannya mungkin lebih luas daripada kamar yang
kutempati. "Tapi aku kan pengin terlihat lebih cantik lagi."
"Uh! Maruk ah! Apa kamu ingin semua laki-laki di dunia
ini naksir kamu?" tanyaku dengan nada ringan. "Lagi pula,
pera"saan bajumu banyak yang belum dipake deh. Padahal
masih baru! Lagian, masa karena nggak tau mau pake baju
apa sampe malas ketemu pacar?"
"Yaaah, kan kasian Tony kalo ngeliat aku pake baju yang
sama berkali-kali. Bisa-bisa dia bosan, kan?"
"Mana mungkin dia bosan padamu, Tya! Itu sama aja de"
ngan nanya ke orang: "Kamu bakal bosan makan nggak?" Jadi
udah deh, beberes terus siap-siap pergi ya!"
Tya mencibir, pura-pura tersinggung. Kemudian ia pergi
sambil bersiul-siul. Paling menuju ruang pakaiannya"untuk
memilih baju yang paling oke! Berani taruhan deh.
Aku kembali memandangi poster-poster di dalam boks.
Hmm, kalo nggak salah, ada poster kami saat konser di China.
Poster itu poster terindah yang kumiliki. Latar bela"kangnya
adalah bukit-bukit yang indah di Guilin, China. Yaa, sebenarnya
konsernya nggak di Guilin sih. Gila apa" Menca"pai daerah
perbukitan saja sulitnya luar biasa, mau manggung di mana"di
salah satu bukit" Sori aja ya, aku dan teman-te"manku bukan
pendaki gunung! Tapi waktu itu latar belakang Guilin dianggap
lebih oke dibandingkan Great Wall. Kayak"nya sudah terlalu
sering orang mengidentifikasikan China dengan tembok raksasa
yang kabarnya bisa terlihat dari bulan ini. Lagi pula, latar
belakang perbukitan Guilin dinilai lebih asri dan alami.
Kupasang poster-poster itu. Kutambahkan juga dengan
posterku saat aku masih bersolo karier. Ah, itu sudah lama
sekali, pikirku. Let me see, sekarang umurku 21 tahun" ber"
arti sudah empat-lima tahun yang lalu, saat aku konser di
Malaysia. Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat masa lalu. Lucu
juga melihat poster diriku di masa lalu. Masih terlihat begitu
muda dan polos. Saat itu, mana pernah aku tahu aku akan
begini jadinya. "Azie, makan yuk"!" ajak Tya sambil memasuki kamarku.
"Terus mandi, dan siap-siap ke studio."
Pandanganku menyapu sekeliling kamar. Masih belum
benar-benar rapi, tapi sudah lumayanlah. Namanya juga be"beres. Kalau mengikuti kata hati, bertahun-tahun juga nggak
akan beres. Aku mengangguk. "Sip! Kamu masak apa?"
"Lho, kupikir giliranmu masak hari ini?"
"Tyaaa!" teriakku kesal. "Kan jelas-jelas hari ini giliran
kamu!" "Hahahaha! Bercanda kok!" Tya berkelit dari serangan cu"
bitan mautku. "Aku udah masak ayam panggang kesukaanmu
kok." "Gitu dong?" Aku menarik napas lega.
"Tapi aku belum masak nasi."
"Tega ih!" Aku manyun.
"Hahaaaa, masih bercanda kok! Nasinya udah mateng dari
tadi!" "Tyaaa! Kebangetan banget sih! Bikin panik aja!" Aku ber"
lari-lari mengejar Tya. *** Tak terasa sudah pukul setengah tujuh. Tya dan aku sudah
shalat Magrib lima belas menit yang lalu. Aku melirik Tya. Ia
tampak cantik mengenakan celana jins biru tua Guess dan blus
ketat lengan panjang berwarna hitam. Rambutnya yang ikal
mayang dikepang satu ke samping kemudian diberi hiasan
bunga mawar dari pita. Sederhana namun manis. Kadang ti"dak
perlu berdandan berlebihan untuk terlihat menarik.
Kurapikan jinsku. Di atasnya aku mengenakan blus berak"sen kancing ala China berwarna biru tua. Rambutku yang
sepunggung panjangnya kulepas dan kuhiasi dengan jepit mu"
ngil di poni. Kata Tya aku kekanakan banget pake jepit imut
segala, tapi biarlah. Kukenakan sedikit bedak. Tidak seperti Tya yang menggu"
nakan makeup, aku hanya mengoleskan lipgloss. Aku memang
kurang suka berdandan. Tak berapa lama kemudian terdengar bunyi bel. Aku segera
membukakan pintu. "Halo, Sayang," tegur Allan sambil memelukku. Allan yang
berwajah tampan menatapku sambil tersenyum. Senyum yang
dapat membuat para fans histeris. "You look beautiful tonight,
you know?" "Mmm?" Aku merasa kikuk. Allan sudah lama naksir aku,
tapi entah kenapa aku tidak dapat membalas perasaannya.
Padahal Allan lelaki yang cakap, gagah, tinggi, gallant, dan
baik hati. Di antara semua personel The Unbeatables, dialah
yang paling banyak memiliki penggemar.
Aku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya. "Tya, be"
rangkat yuk" Jangan lupa mematikan lampu dan mengunci
pintu!" seruku pada Tya, berusaha mengalihkan pembicara"
an. "Yup," balas Tya sambil berlari kecil. Kami lalu keluar. Mo"
bil SUV merah Tony telah menunggu di luar. Sambil berlarilari kecil Tya segera bergegas keluar. Tony membukakan pintu
untuknya. Sesudahnya, Allan membukakan pintu juga untuk"
ku. "Halo semua," sapaku sambil tersenyum. "Hey, Ton, apa ide
barunya?" Tony menoleh ke belakang kemudian nyengir. "Mm, begini,
aku dapat ide lagu untuk bahasa Indonesia. Selama ini kita
kan selalu menggunakan lirik bahasa Inggris agar lebih dapat
diterima dunia internasional. Kali ini udah saatnya kita nyanyi
pake bahasa Indonesia. Kurasa dengan bahasa Indonesia kita
masih bisa memasarkannya ke luar negeri. Asalkan ada teks
berbahasa Inggris-nya aja di dalam kasetnya," jelas Tony pan"jang-lebar.
"Lagi pula banyak yang protes ke kita, katanya sok bule,
nggak cinta sama negeri sendiri. Mungkin karena itu nama
The UB kurang ngetop di Indonesia?" Allan menggeleng-ge"
leng. "Serbasalah ya" Kenapa mereka bisa suka pada penyanyi
bule beneran yang nyanyi pake bahasa Inggris, tapi begitu tau
ada orang Indonesia yang begitu malah dicela" Dan kenapa
kalau ada penyanyi asing yang bela-belain nyanyi pake bahasa
Indonesia dipuji-puja, tapi kalo orang sini yang nyanyi dalam
bahasa Inggris malah diprotes?"
"Fans kita kan banyak, pendapat mereka semua pasti bedabedalah?" Troy yang sedikit cuek tampak tidak ambil pusing.
"Mana bisa kita membahagiakan semua orang. Lebih baik
tu"ruti kata hati saja, asal tidak merugikan orang lain, cuek
aja!" "Hmmm. Aku nggak masalah kita mau coba pake lirik ba"
hasa Indonesia. Asal nggak ngasal gitu. Kalau liriknya nggak
mutu, mendingan nggak usah. Bikin malu aja!" Tya ikut ber"suara.
"Aku juga setuju. Lagi pula, ini kali pertama kita menetap
di Indonesia. Biasanya kita lebih banyak stand-by di Singapu"ra, kan" Jadi sudah sepantasnya kita nyanyi pake bahasa Indo"
nesia," sahutku. "Sip kalau begitu!" sahut Tony sambil mulai menyetir.
Jemari Tya yang lentik membuka dasbor dan mencari-cari
CD. Ia mengambil satu keping CD dan memasukkannya ke
dalam CD player. Salah satu lagu terbaru kami, You"re Like
the Weather to Me mengalun lembut.
"Duh, lagu ciptaannya Azie!" seru Allan dari sebelahku.
"Patah hati melulu! Ngomong-ngomong, emang kamu pernah
jatuh cinta, Zie" Atau pernah patah hati" Habis, lagu-lagu
ciptaanmu selalu begitu sih!"
"Yee, sok tahu, kamu!" balasku sambil menonjok lengannya.
Lalu kami tertawa bersama.
Tapi dalam hati perasaan sakit itu masih ada. Allan me"
mang benar. Dulu, dulu sekali, aku pernah jatuh cinta. Harus"
nya aku mendengarkan kata manajerku saat itu. Lebih baik
konsentrasi ke karier, masalah cowok nomor dua. Profesional
berarti mendahulukan apa yang penting"pekerjaan, tentu"
nya! Sayang, saat itu cinta membuatku lupa diri. Aku mulai
mengabaikan latihan vokalku. Lebih memilih jalan bersama
Shawn, cowok Indo yang juga seorang pelukis. Saat Shawn
merasa buntu kehilangan inspirasi, aku menemaninya. Aku
sampai mengorbankan beberapa konserku demi menemani dia
melukis. Dan apa hasilnya"
Saat Shawn memamerkan karyanya ke depan publik, ia
memeluk perempuan lain, dan berkata cewek itu sumber ins"
pirasinya! Perempuan yang baru ia tiduri sehari sebelumnya!
Yang baru ia kenal dua hari!
Aku harusnya mendengar kata-kata orang lain bahwa para
seniman biasanya bermoral seperti itu. Akan melakukan apa
saja demi mendapatkan inspirasi"termasuk bergonta-ganti
pasangan. Tetap saja, hatiku hancur. Karena hal ini jugalah
aku memutuskan untuk konsentrasi sepenuhnya pada musik.
Aku masih trauma menjalin hubungan baru.
Trauma dengan masa lalu, hmmm" gimana kalau"
"Omong-omong, aku jadi punya ide nih, untuk lagu
Indonesia juga! Aduh, ada yang bawa mp3 player yang se"kaligus bisa untuk ngerekam, nggak?" tanyaku tiba-tiba. Aku
sudah belajar, kalau inspirasi datang menghampirimu, segera
sambut dan catat! Kalau tidak, bisa-bisa akan terlupa begitu
saja. Kebetulan Tony bawa, dan aku segera meminta semua un"
tuk diam dan mencoba merekam suaraku. Aku langsung me"
nyanyi dengan lirik asal-asalan, toh nanti pasti akan diubah
juga. "Hey, that"s great, Azie!" sahut Tony keras sambil bertepuk
tangan. "Lagu itu nanti pasti dapat kita andalkan sebagai sa"lah satu single kita."
"Thanks," jawabku dengan mata berbinar. Allan di samping"
ku memelukku hangat. Aku tersenyum. Kini aku baru sadar
mengapa aku tak dapat menerima Allan sebagai pendamping"
ku. Aku sudah menganggap Allan sebagai abangku sendiri.
*** "Apa?" seruku tak percaya saat Tya mengatakan bahwa Allan
tadi menelepon dan mengajakku kencan. "That"s absurd. You
know well, Tya, that he and I never go to ANYPLACE together.
Lalu apa ini maksudnya, ngajak kencan?" Aku menggelengkan
kepala. Kehabisan kata dan ide.
"Emangnya kenapa, Zie?" tanggap Tya santai. "Santai saja"
lah. Relax, and have fun. Dia kan cuma mengajakmu makan
malam. Lagi pula," tambah Tya sambil tersenyum bajing, "dia
memberikan ini untukmu. Open it," suruh Tya sambil menyo"
dorkan kotak yang dibalut kertas kado berwarna keemasan.
Sambil terbengong-bengong kubuka kado itu. Isinya gaun
sackdress hitam selutut tanpa lengan. Sederhana. Tapi labelnya
Prada. "Wow, bagus sekali," pujiku sambil mematut-matut diriku
dengan gaun itu. Ternyata di dasar bungkusan itu masih ada
satu bungkusan. Kubuka. Ternyata isinya seperangkat perhias"
an emas dengan desain mutakhir.
"Ya ampun!" seruku tertahan. "Ini pasti harganya mahal
sekali! Ada apa sih sebenarnya, Tya" Ulang tahunku kan su"
dah lewat beberapa bulan yang lalu!"
"Think again," jawab Tya sambil mengerling ke arahku.
"Masa kamu lupa, Zie" Tiga tahun yang lalu, pada hari ini,
kamu mendapat double platinum di Singapura dan Malaysia
atas penjualan album solomu, Time to Cry. Setelah itu kamu
menjadi penyanyi terkenal, Zie. Lalu kamu bergabung dengan
Tony dan mencari personel The Unbeatables. Termasuk aku,
yang waktu itu masih berjuang di dunia modeling walaupun
aku lebih menyukai dunia musik. Tanpa nama besarmu, The
UB nggak bakalan setenar ini," sahut Tya sambil memeluk"


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku. "Oh, Tya, aku nggak ngerasa begitu kok," jawabku rada
nggak enak hati. "Kita sukses karena kita semua mau bekerja
keras. Bukan cuma karena aku."
"Tetap saja, kami merasa beruntung mengenalmu, Zie."
"Aku juga," balasku, sambil tersenyum tulus.
"Anyway!" seru Tya. "Aku punya hadiah buatmu. Tony dan
Troy juga lho!" Ia memberikan beberapa bungkusan kado.
"Tad-daa" surprise!"
Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil berli"nang air mata. Kubuka hadiah-hadiah dari mereka satu-satu.
Dari Tya aku mendapatkan handphone baru. "Again?" seruku.
"Tya, aku kan udah punya HP!"
"Tapi kamu belum punya model terbaru, kan?" jawab Tya
santai. "Yang ini bisa motret dan ngerekam suara juga video.
Praktis dibawa-bawa. Kalau ada inspirasi juga bisa langsung
diabadikan di sini."
"Makasih banyak, Tya," seruku sambil memeluknya dengan
mata berkaca-kaca. Dari Troy aku mendapatkan trofi dari
kristal keemasan yang bertuliskan "For the most talented
woman on earth, Miss Azalea Katrina. From Troy." Dan dari
Tony aku mendapatkan gantungan kunci unik dari kristal be"
serta kuncinya. "Ini apa, Tya?" tanyaku dengan kening berkerut.
"I think you"re supposed to go to the garage!" sahut Tya sam"
bil tersenyum. Aku segera pergi ke garasi. Di sana aku mene"
mukan sebuah sedan BMW terbaru berwarna perak.
"A" astagaa!" sahutku gagap. "Tya, ini kan mahal sekali!
Tya, kamu mesti bilang ke Tony, I can"t accept this!"
Tya tertawa riang. "Sebenarnya ini bukan hanya dari Tony.
M"obil ini hadiah dari kami semua, patungan, ditambah sedi"
kit tambahan dari Sagitarius Record. Hadiah dari Tony yang
sebenarnya ada di dalam mobil."
Penasaran, kubuka mobil. Di dalamnya kutemukan sebuah
bo"neka Pink Panther seukuran manusia, di lehernya ada
liontin kris"tal berbentuk sekuntum mawar. Ada pula sepasang
anting-an"ting dari emas putih berbentuk mawar, dihiasi per"
mata war"na merah tua. Aku terharu. Boneka Pink Panther
me"mang meru"pakan impianku sejak masih kanak-kanak. Tony
dan aku per"nah jalan-jalan di suatu pertokoan belasan tahun
yang lalu dan melihat boneka seperti ini. Entah bagaimana
caranya, seka"rang ia berhasil mendapatkannya. Padahal aku
sempat mencari bo"neka seperti itu, tetapi di mana-mana stok"
nya sudah habis dan pabriknya sudah tidak memproduksi
boneka seperti itu lagi. "Bagus sekali, Tya. Aku terharu sekali," ujarku lirih sambil
sedikit terisak. Kukenakan kalung dan anting dari Tony, lalu
kupeluk boneka kesayanganku itu. Aku berjanji akan menem"
patkan boneka itu di sisiku saat aku tidur.
"Sudahlah! Kalau dipikir, mungkin hadiah-hadiah yang
kami berikan ini terlalu mahal, tetapi tidak juga. Kami rela
kok. Lagi pula, penghasilan kita kan jauh di atas itu. Soalnya
kami selalu heran melihatmu, Zie. Kamu sudah ngetop berta"
hun-tahun, tapi nggak pernah punya mobil. Semenjak kedua
orangtuamu meninggal dunia, sebagian uangmu kamu berikan
kepada adikmu, Nancy, dan sisanya kamu ta"bung."
Aku terdiam. Memang, uangku selalu kutabung. Aku nggak
mau berspekulasi dalam jual-beli saham seperti ayah dan ibu"ku yang mengakibatkan mereka rugi miliaran rupiah. Setelah
mereka dapat bangkit kembali, semuanya telah terlambat.
Ayah mendapat serangan jantung dan meninggal dunia. Tak
berapa lama kemudian ibu yang dirundung duka menyusul"
nya. Aku masih ingat semuanya. Saat itu umurku baru 17 ta"hun dan Nancy 16 tahun. Namun kami sudah bertekad akan
berusaha sendiri untuk memperoleh uang tanpa bantuan
orang lain, tidak juga dengan bantuan paman kami yang ber"domisili di Eropa.
Mulai saat itu aku dan Nancy mencoba mencari uang se"suai keahlian kami masing-masing. Aku mencoba mengikuti
lomba nyanyi, ternyata cukup sukses, bahkan mendapatkan
tawaran rekaman. Nancy, adikku yang jelita, mencoba kursus
jahit. Ternyata ia sangat berbakat. Dengan sedikit modal dari"
ku, ia membuka butik yang laku keras. Ia menjadi perancang
busana yang diakui dunia nasional maupun internasional.
Tiap kali The UB akan tampil, kami pasti ke tempatnya dulu
untuk memesan kostum yang sesuai.
Sayang Nancy memutuskan untuk tinggal di rumah sekali"
gus butiknya. Kupikir pasti menyenangkan kalau bisa seru"
mah dengan adikku itu. Sekali-sekali ia memang menginap,
tapi rasanya kan tidak sama.
Sebenarnya aku punya alasan kuat mengapa aku tidak ingin
memiliki mobil. Satu, aku tidak dapat menyetir. Dua, Shawn
sangat tergila-gila pada otomotif"terutama dengan semua hal
yang berkaitan dengan mobil mewah. Jadi, aku sengaja meng"
hindari memiliki sebuah mobil sendiri. Karena aku tidak
ingin mengingat-ingat Shawn.
"Kenapa, Zie, kamu ingat masa lalu, ya?" Tya membuyarkan
lamunanku. Aku menggeleng lemah, menghindari tatapannya.
Masa laluku memang pedih. Aku dulu sangat kesepian. Tapi
tidak lagi, setelah ada The UB.
"Sana gih, dandan. Sebentar lagi Allan jemput lho."
Aku cemberut. "Kamu kan tahu, aku nggak naksir Allan.
Tapi kamu selalu berusaha menjodohkan aku dengan dia."
"Kenapa nggak?" ucap Tya riang. "Kan asyik, Zie. Bayangin
aja, kita nanti bisa mengadakan resepsi pernikahan bareng!"
Ia tertawa malu-malu. "Ngaco kamu!" makiku. "Lagian, kalian kenapa nggak nikah
sekarang sih" Toh uang sudah ada. Rumah juga. Apa lagi
yang mau ditunggu?" "Kami masih ingin menikmati hidup, Zie. Kalau nanti ni"kah terus keburu hamil gimana?"
"Ya nggak apa-apa lah! Wajar kan, setelah nikah terus pu"nya anak?"
"Tapi The UB nanti gimana" Makanya, soal nikah mah
gam"pang. Urusan nanti. Mungkin dalam waktu lima tahun"
Setelah itu mungkin aku dan Tony akan berusaha settle down.
Dan nggak mungkin seaktif sekarang."
Membayangkan Tony dan Tya menikah lalu memulai hidup
sendiri membuatku sedikit tercenung. Suatu saat, aku tahu,
pasti anggota The UB akan berpencar dan memulai hidup
baru. Aku juga tidak dapat mengharapkan komitmen 100%
dari mereka. Walaupun kami telah berjanji satu sama lain
akan tetap berkarya, pasti akan tiba saatnya kami harus memi"
lih prioritas baru. Dan mungkin saja, The UB akan bubar.
Tapi itu kan tidak sekarang.
"Kamu benar, Tya." Aku manggut-manggut. "Memang saat
ini juga kita semua kayaknya memilih untuk berkarier penuh.
Mumpung masih bisa."
"Sudahlah, kok malah ngomongin yang nggak jelas. Mandi
sana!" Ekspresi Tya seperti ekspresi ibu-ibu galak di sine"t"ron.
Aku terkikik geli. Namun kuikuti juga sarannya. Aku ber"
dandan secukupnya, menanti Allan. Tak berapa lama bel ber"bunyi.
Aku membuka pintu, mengira Allan-lah yang datang, tapi
aku salah. Yang datang adalah seorang pemuda yang tidak
kukenal. Buset, ngapain dia datang malam-malam begini" Apa
dia salah satu fans kami" Setahuku, untuk masuk kompleks
yang eksklusif ini cukup sulit. Hebat juga kalau dia dapat
menerobos penjagaan. Tapi harus kuakui, pemuda itu memang menarik. Kutaksir
mungkin ia lebih tua beberapa tahun dariku. Ia tinggi dan
atletis. Wajahnya tercukur rapi. Kulitnya putih kekuningan.
Hidungnya mancung. Bibirnya tipis, namun serasi dengan
bentuk wajahnya. Sepasang matanya berkilau tajam, disertai
sepasang alis yang menyiratkan keteguhan hati. Ia mengena"
kan jins belel dengan T-shirt dan jaket.
"Ya?" tanyaku heran sambil terus menatapnya.
"Perkenalkan, saya Dhika. Saya baru pindah ke sini tadi
pagi. Rumah saya persis di samping rumah Anda." Ia mengga"
ruk-garuk kepalanya yang tampaknya tidak gatal. Tampaknya
ia tidak biasa berurusan dengan perempuan. Apalagi perem"
puan yang rapi jali, baru dandan, seperti diriku, simpulku
dalam hati. "Silakan masuk," ucapku menyilakan. "Kami juga baru pin"
dah kok, mungkin baru sekitar semingguan deh."
Dhika masuk rumah dengan grogi. Penuh minat ia mena"
tapi poster-poster kami dan peralatan musik yang tertata apik
di ruang tamu. "Kalian pemusik?" tanyanya grogi.
"Ya, begitulah," jawabku singkat. Tidak tahu harus bersyu"
kur atau sedikit kesal bahwa ia tidak mengenali The UB.
"Siapa, Zie?" tanya Tya dari arah dapur. Ia sedang berusaha
membuktikan kehebatan panci ajaib yang dibelinya melalui
TV Media. "Tetangga baru," jawabku. "Ayo, silakan duduk," ucapku ra"mah. Dhika duduk dengan ragu-ragu.
"Ini, ada bingkisan untuk Anda. Saya buat sendiri." Ia me"
nyodorkan sebuah bungkusan. Kubuka isinya. Ternyata isinya
ukiran sepasang burung merpati dihiasi beberapa kuntum ma"
war dari kayu yang indah sekali.
"Ouw, cantik sekali!" pujiku. "Kamu seniman, ya?"
Sambil mengangguk Dhika tersenyum. Senyuman yang
mengalirkan listrik berkekuatan tinggi ke arahku. Sejenak aku
terpana, tapi untung otakku masih bekerja. Dia seniman!
Sama seperti Shawn! Tubuhku mengejang seketika. Sejak dikhianati Shawn, aku
jadi alergi pada profesi ini.
"Oh ya, nama saya Azalea. Azalea Katrina. Panggil saja
saya Azie," sahutku dingin. Tak berapa lama Tya ke luar dari
dapur. "Ini teman saya, Tatyana Renata alias Tya."
"Dhika Erasmus. Tapi bukan Erasmus Huis lho," ia menco"
ba melucu. "Saya seorang artis, pemahat dan pelukis." Ia ter"
diam. "Kayaknya di sini ada perayaan, ya?"
"Ya, tepat sekali!" seru Tya sambil tersenyum manis. "Erat
kaitannya dengan band kami, The Unbeatables. Sebenarnya
lebih ke arah merayakan keberhasilan Azie sih."
"The Unbeatables?" Dhika mengerutkan keningnya. "Rasa"
nya pernah dengar. Bukannya band itu berasal dari Singapu"
ra?" "Bukan!" sentak Tya dengan garang. "Kamilah The UB
itu." "Oh, begitu," ucapnya santai dengan cool, seakan tak pedu"
li. Di satu sisi aku merasa lega. Kan tidak enak, bertetangga
dengan orang yang merupakan fans berat kami. Bisa-bisa pri"
vasi kami terganggu. Tapi di satu sisi, aku sedikit kesal juga.
Kesannya si Dhika ini tidak terkesan dengan kami. Tidak
tahu mengapa, tapi aku ingin membuatnya kagum pada
kami"tepatnya padaku.
Hal yang aneh, karena toh aku bisa dikatakan tidak menge"
nalnya, dan tidak begitu tertarik mengenalnya lebih lanjut.
Dia seniman, setipe dengan Shawn. Begitu memikat dan tam"
pan. Sekali jatuh dalam pesonanya, dia akan dengan gampang"
nya beralih. Begitu saja.
Tiba-tiba bel berbunyi. "Hello, darling," sapa Allan sambil mencium jemariku. Ia
memandangi Dhika dengan penuh minat. Aku segera mem"
perkenalkan mereka berdua. Entah ini hanya perasaanku,
kulihat ekspresi aneh di wajah Dhika. Kayaknya dia tidak
suka pada Allan. Mungkin ini hal yang wajar. Bisa jadi cowok
ga"nteng merasa terancam dengan kehadiran cowok tampan
yang lain. Takut kalah pesona, kali.
Setelah berbasa-basi sedikit, Dhika pamit.
"Menarik," komentar Allan singkat. "Ternyata ada juga
orang yang nggak silau dengan popularitas The UB. Well,
good for us!" Allan kemudian berbisik padaku. "Kamu nggak
naksir dia, kan?" Pipiku memerah. Dhika memang tampan, dan entah kena"pa saat tadi dia keluar rumah, aku ingin menyusulnya. Tapi
dia seniman! Tipe yang mirip pula dengan Shawn"apa ada"
nya, easy-going. Aku berani bertaruh pasti Dhika tipe yang
suka tidur sana-sini"mirip mantanku itu!
"Nggaklah. Baru juga kenal."
"Naksir juga nggak masalah. Dia ganteng ya?"
Aku menatap Allan lekat-lekat. "Kamu naksir" Sejak kapan
kamu jadi gay?" "Aku cuma ingin tahu kok," Allan nyengir. "Aku akan mem"
bawamu ke suatu tempat yang menyenangkan, Zie. Dan, aku
sudah bilang belum, kamu cantik banget malam ini?"
"Thanks." Aku menyambut uluran tangan Allan. "Ke mana
kita akan pergi?" "Panyawangan Rooftop and Revolving Restaurant. Tempat
yang romantis sekali," jawab Allan. "Tya, kami pergi dulu,"
pamitnya. Aku melirik Allan sekilas. Ia tampak gagah mengenakan
suit berwarna hitam dengan dasi berwarna keemasan agar
tampak matching dengan aksesori yang kupakai. Duh, seperti
mau pergi ke pesta saja! "Bye, Tya!" ucapku lirih. Tya hanya mengangguk-angguk
senang sambil mengelap tangannya ke celemeknya. Konsen"
trasinya tertuju pada menu khusus yang akan ia masakkan
untuk Tony-nya tersayang. Selama beberapa detik, aku iri
padanya. Mungkin memang menyenangkan memiliki pacar
untuk tempat berbagi. Apa aku jadian saja dengan Allan,
ya" Aku menatap Allan. Ia memesona. Ia baik hati. Segala"nya.
Apa aku mau menerima cinta dari seseorang yang tidak
aku cintai" Sesaat aku tergoda, tapi menatap mata jernihnya, aku me"
mutuskan untuk tidak melakukannya. Allan berhak mendapat"
kan yang lebih baik daripada aku.
*** "Tadi Dhika ke sini lho, Zie. Dia mengajariku memahat pa"tung. Nih, hasil karya pertamaku," ucap Tya bangga sambil
memperlihatkan segumpal kayu yang sedang dipahatnya.
Aku mengambil kayu itu dan memerhatikannya dengan
saksama. Aku mengernyitkan dahi, mencoba mencari persama"
an antara bentuk kayu itu dan benda-benda yang kuketahui.
Kuda" Bukan ah, kecuali kalau lehernya sejenjang itu.
Stik golf" Kayaknya juga bukan.
Mawar" Bisa jadi. Tapi kok nggak ada daun di batangnya"
Setelah memikirkan beberapa kemungkinan, aku mengge"
leng dan mengakui bahwa aku gagal menebaknya.
"Ini apa, Tya?" tanyaku heran.
"Masa kamu nggak tau" Itu kan bentuk gitar Ibanez!"
Aku terlongong sambil menatapnya. Kemudian aku tertawa
terbahak-bahak. "Oke, oke," potong Tya. "Aku kan masih pemula. Lagi pula
aku memutuskan untuk menggeluti aliran abstrak!" Ia mem"
bela diri, membuatku semakin kencang tertawa.


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku meringis menahan sakit setelah Tya menyikut tangan"ku lumayan keras. Tapi aku masih saja tertawa.
Aku baru saja pulang dari berbelanja segala macam keper"
luan dapur. Kubiarkan saja Tya berkutat dengan pahatannya.
Aku memasuki dapur sambil menata belanjaan yang kubeli.
"Kemarin gimana, Zie, kamu kok nggak cerita?" tanya Tya
sambil mengambil setangkai anggur, membilasnya, kemudian
melahapnya. Aku mengangkat bahu. "Yah, begitulah. Restorannya sih
bagus, makanannya juga lumayan. Tempatnya juga asyik. Di
lantai teratas sebuah hotel, restoran yang berputar perlahan.
Pemandangannya bisa bikin orang paling cuek sekalipun jadi
romantis. Kamu dan Tony harus ke sana suatu hari nanti.
Tapi bagiku, yah, rasanya biasa saja, karena aku sudah meng"
anggap Allan sebagai saudaraku sendiri."
Tya kelihatan tak sabar. "Zie, kamu ini bagaimana sih"
Kapan " lagi kamu dapat nyari kekasih yang sesuai" Selama ini
aku nggak pernah tau apa kamu pernah naksir cowok atau
nggak." "Pernah, sekali. Takeshi Kaneshiro! Habis dia ganteng ba"nget." Aku tergelak.
"Bukan itu maksudku!" Tya tampak putus asa. "Yah, barang
kali memang belum saatnya," katanya sambil menggerogoti
apel yang kubeli. "Mungkin," ucapku sambil tersenyum tipis. Wajah Dhika
tiba-tiba terbayang, membuatku memejamkan mata erat-erat.
Entah mengapa wajah menawan itu seakan menggodaku. Ter"
lebih karena sifat dingin dan cueknya itu.
"Zie," ucap Tya sambil menatapku lekat-lekat. "Kita dapat
tawaran show." "Dapat tawaran dari mana" Aku kan manajer kalian. Harus"
nya aku tahu duluan!"
"Iya, sih" tapppiii, begitulah. Ini konser amal."
Aku mengerutkan kening. "Konser amal buat siapa" Kok
aku nggak tahu sama sekali?"
"Dhika yang menawariku," sahut Tya nggak jelas sambil
mengunyah apelnya. "Dia akan mengadakan pameran, dan
hasilnya juga untuk amal. Dia menawari kita, dan, yah, kura"
sa, menarik juga." "Dhika lagi?" Aku menyilangkan tanganku. "Kapan, di
mana, suasananya seperti apa" Kurasa hal-hal tersebut bergu"na untuk diketahui. Kita nggak bisa konser sembarangan.
Kita mesti meningkatkan frekuensi olahraga kita supaya kita
bisa tampil prima." Tya tertawa. Aku takut dia tersedak karena tertawanya
begitu hebat. "Kamu memang cerewet, Zie. But you"re the
best!" Tya memelukku. Dia kelihatan excited sekali.
"Jangan begitu ah," tegurku berlagak serius. "Nanti aku bisa
membuat kesimpulan bahwa kamu naksir Dhika!"
Tya hanya tertawa. Ia tahu aku hanya bercanda.
"Waktu konser itu sebulan lagi. Di gedung Sasana Budaya
Ganesha ITB. Suasananya sedikit santai."
"Satu bulan!?" "Iya. Masih lama, kan?" tanya Tya, berlagak polos.
"Ya ampun! Kita harus siap-siap dari sekarang dong! Men"
dadak banget sih?" "Nyantai ajalah, Zie. Sekali-sekali ini. Jadi gimana?"
"Yah, boleh-boleh aja, tappiii, apa Tony dan yang lainnya
sudah tahu?" tanyaku ragu. Tapi entah kenapa hati ini rasanya
girang sekali karena akan ada kesempatan untuk bekerja sama
dengan Dhika. "Tentu sudah, Sayang." Tony tiba-tiba muncul entah dari
mana. Dikecupnya pipiku sekilas. "Kami setuju sekali. Apalagi,
hasilnya kan untuk amal."
"Then, I have nothing more to say." Akhirnya aku mengalah
juga. *** Kami mulai latihan dengan lebih intensif, baik fisik maupun
mental. Tiap pagi dan sore kami joging dan aerobik selama
satu jam untuk menjaga stamina. Latihan di studio juga diper"
lama. Yang biasanya hanya sekitar tiga jam sehari, bisa menja"
di enam jam sehari atau lebih.
Kebanyakan orang mungkin tidak tahu bahwa menjadi pro
dalam dunia hiburan sangatlah sulit. Yang mereka tahu, kami
sering tampil dan terlihat bahagia, hidup mewah dan glamor.
Tapi tidak begitu. Kebanyakan waktu kami tersita untuk la"
tihan, latihan, latihan. Kadang kami bosan harus melantunkan
lagu yang sama ratusan atau bahkan ribuan kali. Risiko peker"
jaan. Toh lama-lama juga jadi biasa.
Nancy seperti biasa datang dan menanyakan kostum ma"
cam apa yang kira-kira kami inginkan.
"Something casual, maybe?" tanya adikku. "Sebaiknya tidak
terlalu gemerlapan, toh konser ini buat amal, kan" Kurasa aku
akan menyediakan dua atau tiga macam kostum."
"Terserah kamu saja, Nancy. Aku percaya pada seleramu."
Aku menepuk kepala Nancy perlahan.
Nancy mulai mencorat-coret sketsa untuk mendesain kos"tum yang sesuai.
"Warnanya apa" Bagaimana kalau hijau?" tiba-tiba Allan
menyeruak sambil memegang kain berwarna hijau. Semua
tertawa. Allan memang sangat menyukai warna hijau.
"Allan, memangnya kamu mau memakai kostum hijau un"tuk yang kesejuta kalinya?" Nancy memandanginya dengan
kening berkerut. "Ah, masa sih aku sudah memakai kostum sesering itu?"
tanya Allan berlagak serius sambil menjitak Nancy.
Wajah Nancy memerah. "Oke, kurasa kali ini aku akan bi"kin kostum dengan warna dasar hijau," tandas Nancy sambil
terus mencorat-coret sketchbook-nya. "Bagaimana?" Ia menun"
jukkan hasil desainnya. Bahan dasarnya kayaknya kaus. Untuk
atasannya, ada yang berlengan, ada juga yang tidak. Bawahan"
nya celana jins. "Oke," jawabku singkat sambil terus melakukan gerakan
aerobik. Sebenarnya aku tidak benar-benar melihat. Kalau
Nancy yang mengolah, karung goni pun bisa kelihatan keren.
Jadi aku percaya sajalah.
"Zie, sudahlah. Kamu berlatih terlalu keras. Bisa-bisa ntar
kamu sakit. Istirahat sana gih," Tony menegurku.
Sambil merengut, kuikuti juga sarannya. Huaah, memang
meletihkan. Setelah cooling down aku melap keringatku
dengan han"duk. Hausnya! Mungkin segelas air putih akan
menghilangkan dahagaku. Tiba-tiba bel berbunyi. "I"ll get it," lamat-lamat suara Tya kudengar dari dapur.
"Zie, Dhika nih yang datang!" teriak Tya.
Bergegas aku ke ruang tamu. Aku pasti tampak jelek, tapi
ngapain juga aku mesti cantik-cantik di depan Dhika" Lagi
pula aneh, kenapa Dhika mencariku" Biasanya kan dia datang
untuk mengobrol dengan Tya atau mengajari Tya memahat.
Aku memang cenderung bersikap dingin padanya atau meng"
hindari Dhika kapan pun dia berkunjung.
"Ya" Ada apa?" Kupandang Dhika penuh ingin tahu. Dia
tampak gagah sore ini walaupun hanya mengenakan T-Shirt
dan celana pendek. Tangannya memegang bola basket.
"Bagaimana persiapannya" Konser tinggal seminggu lagi,"
tanyanya padaku sambil memain-mainkan bola basketnya.
Sebersit perasaan kecewa melandaku. Kemudian aku me"
ngutuk diri sendiri"kenapa harus kecewa sih" Memangnya
kamu berharap Dhika mau apa, mengajakku kencan"
"Baik-baik saja," jawabku sambil mengelap keringatku. "Ba"
gaimana dengan pameranmu" Sudah siap-siap?" Aku memu"
tuskan untuk berbasa-basi. Supaya tidak terlalu terpesona
melihat bola matanya yang begitu memikat.
Ia mengangguk. "Sepertinya kita harus bicara banyak me"
ngenai hal ini." "Apa yang harus dibicarakan, memangnya?" tanyaku dengan
kening berkerut. Debar jantungku membuatku malu. Apakah
dugaanku sebelumnya benar" Kami berdua akan kencan"
"Kamu kan manajernya."
"Oh. Ya." Aku sedikit kecewa tapi berusaha menyembunyi"kannya. Rambutku yang kugelung tiba-tiba lepas dari gelung"
annya. Buru-buru kubetulkan.
Dhika memandangi rambutku. "Rambutmu bagus, Zie,"
pujinya tulus yang entah kenapa membuat pipiku memerah.
Padahal biasanya aku sudah terbiasa dengan pujian-pujian
yang selangit. "Kamu mau kujadikan model?"
Aku menunduk. "Tidak, terima kasih." Aku mendadak ter"ingat Shawn. Dulu dia juga menjadikanku sebagai model
lukisannya. Dan kemudian" apa akhirnya" Tragis bagiku,
bahagia untuknya. "Kamu tahu, Zie, sejak pertama kali melihatmu, aku jadi
teringat sosok Helen of Troy. You have the face that could
launch thousands of ships. Teduh, menjanjikan, namun penuh
bahaya. Kamu cantik, Zie."
Aku terus menunduk. "Apa maksud pujian-pujianmu itu,
Dhika?" tanyaku tajam.
"Nggak ada maksud khusus. Aku hanya berkata yang sebe"narnya, sama sekali bukan memujimu. Anyway, kapan kamu
ada waktu" Banyak hal yang harus kita bicarakan. Nanti ma"lam bagaimana?"
"Malam ini?" tanyaku, entah kenapa merasa gugup.
"Ada masalah" Masih ada latihan, ya?"
"Nggak, nggak ada."
"Baiklah. Kalau begitu aku ke sini lagi nanti malam. Seka"rang istirahatlah. Kamu tampak kacau dan letih," godanya
sambil mengacak rambutku perlahan. "Aku pulang dulu, Zie,
pamitkan pada yang lainnya ya." Lalu ia pun keluar setelah
tersenyum ramah padaku. Mendadak aku jadi gamang. Apa maksud kata-kata manis
tadi" Atau, mungkin itu biasa diucapkannya. Toh dia seniman,
seperti Shawn yang memang paling andal mengumbar pujian.
Aku menggeleng-geleng, lalu masuk ke ruang tengah.
"Whassup?" tanya Troy sambil menatapku. Apa aku terlihat
aneh" Barangkali. "Nothing. Nanti malam Dhika mau ke sini, mau merembuk"
kan ide-idenya." "Ada apa, Zie" Kamu tampak kacau sekali," tegur Tya.
"Mandi sana, lalu siapin makan malam. Kalau capek, kita beli
takeaway aja. Eh, kamu nggak mengundang Dhika makan ma"
lam bersama kita?" "Aku lupa," jawabku santai sambil berjalan menuju kamar
mandi di kamarku. Setelah mandi aku merasa lebih segar. Sekarang aku jadi
bingung harus memakai apa. Biasanya sih busana sehari-hari"ku adalah piama atau baby doll. Tidak glamor, tapi kan nya"
man. Akhirnya aku memutuskan memakai celana panjang dan
kaus lengan panjang. Terlihat sopan tapi tidak terlihat niat
untuk dandan. "Tumben, bajunya bagusan," sindir Tya. "Pasti karena
Dhika mau datang." "Masa aku pake daster" Yang benar saja. Ngomong-ngo"
mong, kamu sudah masak belum?"
"Masak nasi sih sudah," ujarnya sambil nyengir, "tapi masak
lauknya belum. Kamu aja yang masak, ya?"
"Hah" Aku" Kamu sungguh tega, Tya. Aku kan udah man"di, udah bersih. Masa disuruh masak lagi?" Aku manyun.
Tya tertawa, membuat rambut ikalnya bergoyang. "Iya
deeeh, kubantuin. Kita masak sup buntut gimana" Tadi pagi
aku belanja buntut yang kayaknya segar dan enak di supermar"
ket." "Gila! Percuma aja kita aerobik dan joging, Neng! Oke deh,
aku bakal bantu kamu. Malam ini masak sup tom yam aja.
Tadi kamu juga beli udang, kan" Lalu, kurasa tumis tahu juga
bisa. Kayaknya kita juga punya dada ayam, bisa dipanggang
saus madu. Kita bakal bikin salad juga. Nanti yang lain pada
makan, nggak?" "Nggak. Tony dan yang lainnya diundang untuk siaran di
radio, live." "Oh iya. Sayang kita nggak diundang," protesku.
"Karena acaranya adalah Ma-Cho, Masalah Chowoq," te"rang Tya yang membuatku manggut-manggut.
"Nggak adil," protesku akhirnya. "Abis, Ma-Che kok nggak
ada. Masalah Cheweq, maksudku. Padahal masalah cewek
sama banyaknya dengan masalah cowok. Mungkin malah
lebih." "Yeh, dibahas. Kita masak aja yuk?"
Aku dan Tya beranjak menuju dapur yang didominasi war"
na oranye muda dan kuning. Warna yang katanya membang"
kitkan selera. Tya mengambil dua celemek dari dalam lemari.
Kami pun mulai bersiap-siap masak.
"Nance bakal ikutan makan sama kita?" tanyaku.
"I don"t think so, Zie," jawab Tya. "Tadi katanya dia mau
pergi entah ke mana. Sibuk ngejahitin kostum, kali."
Setelah semua beres, azan Magrib berbunyi.
"Mau jamaah atau sendiri, Tya?" tanyaku.
"Duluan aja deh, Zie, keburu gosong nih," jawab Tya sambil
menyeka peluh di keningnya.
Tanpa terasa malam menjelang. Aku menunggu dengan
geli"sah. Aku sendiri tak tahu mengapa. Rasanya aku sudah
melintasi ruang tengah untuk yang kesejuta kalinya saat Tya
menegurku. "Relax, baby, you ain"t gonna meet the president," kelakarnya.
"Atau, jangan-jangan kamu sudah jatuh hati pada Dhika?"
Kurasakan pipiku langsung menghangat. "Ngaco kamu!"
makiku kesal yang diiringi gelak tawa Tya. "Kita kan baru saja
kenal dia. Masa sih bisa jatuh cinta secepat itu?" Tapi jantung"
ku seakan berkhianat, berdebar lebih kencang dari yang seha"
rusnya. Jatuh cinta" Apa benar" Masa aku bisa sebodoh itu, lagilagi menyerahkan hati pada cowok yang setipe dengan
Shawn" Harusnya aku belajar lebih berhati-hati!
"Siapa tahu?" tambah Tya sambil cekikikan. Tiba-tiba bel
berbunyi. Tya mulai lagi menggodaku. "Ahem! I believe your
prince charming is waiting in the front?"" Tanpa ampun ku"lempari Tya dengan bantal sebelum kubuka pintu depan.
Aku menahan napas saat membukakan pintu untuk Dhika.
He looks great! Rambutnya yang berombak setengah basah
disisir rapi. Ia tampak segar sekali. Bahkan jins putih dan ke"meja birunya tampak seakan-akan baru saja disetrika. Samarsamar dapat kuhirup wangi aftershave bernuansa citrus dari
tubuhnya. "Halo, Cantik," sapanya ramah. "Di mana kita akan berbi"
cara" Ruang tamu, ruang tengah?""
"Ruang tengah saja. Silakan masuk, Dhika." Wajahku me"rona karena dibilang cantik. Kalau begini terus, lama-lama
aku tidak perlu pake kosmetik. Tinggal berada di sekitar
Dhika saja, pasti pipiku sudah merah alami.
Tya menyambut kami dengan cengirannya yang menyerupai
bajing. Ia masih nyengir saat berkata, "Dhika, mudah-mudah"an
kamu belum makan. Kami udah bikinin makanan buat kamu."
Aku melotot ke arah Tya. Apa-apaan sih! Kesannya kayak
Dhika ini tamu agung aja. Tya tentu saja mengabaikanku.
"That"s great, thanks."
Setelah makan kami mulai berbicara. Tya tiba-tiba menghi"
lang entah ke mana. Dalam hati aku berjanji akan menggeli"
tikinya nonstop selama satu jam nanti!
"Zie," Dhika menatap mataku dalam-dalam, "semoga repu"
tasi kalian sebagai The Unbeatables tidak membuatmu merasa


Ratu Jeruk Nipis Karya Primadonna Angela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gentar untuk konser amal nanti."
"Maksudmu apa?" tanyaku sambil menentang pandangan"
nya. "Begini, konser itu konser amal. Kalian takkan mendapat
apa pun, kecuali konsumsi sekadarnya."
"Kami sudah tahu. Terus?"
"Dari segi finansial kalian memang rugi. Dan orang bisa
saja berasumsi kalian mau konser amal untuk meningkatkan
reputasi." Dhika memandangiku terus.
Aku tak tahan lagi! Kutundukkan pandanganku sambil
bergumam, "I don"t care much about reputation, Dhika. The
UB belum pernah mengadakan konser amal. Kami sudah me"
rencanakannya sejak dulu, tapi selalu saja nggak kesampaian.
Lagi pula, kupikir, artis yang jauh lebih hebat dan terkenal
daripada kami saja sering mengadakan konser untuk keper"
luan amal. Jadi, kenapa tidak?"
"Benar begitu, Zie?" tanya Dhika lembut. Perlahan digeng"gamnya tanganku, lalu dikecupnya sekilas. "Terima kasih, Zie.
That means a lot to me."
"Nggak apa-apa kok," aku mencoba meyakinkannya sambil
menghalau perasaan asing yang baru menerpaku. Rasanya ha"
ngat sekaligus ringan. Kepak kupu-kupu seakan menjalar di
sekujur tubuhku. "Lagi pula, kami sudah cukup lama nggak
konser. Lumayan, buat pemanasan. Siapa tahu bakal dapat
lebih banyak order."
"Tanganmu indah, Zie, tanganmu tangan pencipta. Jemari"
mu lentik dan panjang," gumam Dhika sambil mengamati ta"
nganku. Otomatis kutarik tanganku.
"Maksudmu?" tanyaku galau. Kok tiba-tiba Dhika meng"alihkan pembicaraan seperti ini" Apa ini S.O.P. alias Standard
Operating Procedure-nya Dhika dalam merayu cewek" Dasar
seniman! Sama saja semuanya, tukang obral kata-kata ma"
nis! "Kamu memang pencipta lagu yang andal. Beberapa hari
yang lalu Tya meminjamiku semua CD kalian. Lagu-lagu cip"
taanmu begitu indah, suaramu juga. Tapi lagumu terlalu se"ring bernuansa kelam."
Aku memberengut. Ke mana arah pembicaraan kami kali
ini" "Kamu sering berbicara tentang patah hati. Sesekali me"mang menyanyikan lagu cinta, tapi rasanya kamu tidak meng"
hayatinya. Apa kamu lebih sering patah hati dibandingkan
jatuh cinta?" Aku kurang suka dengan Dhika yang mendadak menanya"
kan hal yang menurutku pribadi. Tapi toh aku menjawabnya
juga. "Nggak juga. Aku jatuh cinta dan patah hati, sama ba"
nyaknya." Aku tersenyum. Pahit. Memang begitu adanya. Ja"
tuh cinta"dengan Shawn, satu kali. Patah hati"satu kali
juga, dengan Shawn. Enough.
Entah itu hanya imajinasiku atau bukan, aku melihat sorot
mata Dhika berubah. "Kamu nggak tertarik jatuh cinta lagi?"
Kali ini aku menatapnya lurus-lurus. Aku jadi teringat
Shawn. Rayuannya yang membuatku yakin bahwa aku adalah
perempuan paling beruntung sedunia. Senyumannya yang da"
pat melelehkan hati. Semua perhatian yang kuberikan pada
Shawn, bahkan sampai merugikan diriku sendiri. Perasaan
sa"kit hati yang terus menempel, bahkan sampai saat ini.
"Nggak. Aku nggak tertarik." Aku mengatupkan rahangku
kuat-kuat. "Sayang sekali. Padahal aku mulai jatuh cinta padamu."
Aku tertegun. Menatapnya sekilas, berusaha mencari keju"
juran atau tanda bahwa ia telah berbohong. Tapi Dhika segera
pergi meninggalkanku. *** Tak terasa konser telah tiba. Kami mengawali konser kami
dengan Daydream, lalu You"re So Far Away, Triumphant Smiles,
dan beberapa lagu lawas lainnya. Saat break, Dhika langsung
menyeretku ke ruangan kecil hingga para fans tidak dapat
menyentuhku. "Kamu cantik," pujinya sambil memandangku dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Aku jadi risi. Saat itu aku menge"
nakan celana jins biru muda dan kaus lengan pendek warna
hijau. Sepatu bot suede warna hijau tua menghiasi kakiku.
Rambutku kuikat satu ke atas, menyisakan helai-helai rambut
yang ikal dan menggoda di kedua sisi wajahku. Makeup-ku
tidak terlalu tebal, seperti biasa.
"Aku harus ganti baju," sahutku singkat sambil menjauhkan
diri darinya. Aku masih ingat kata-katanya dulu, yang me"
nimbulkan rona merah dan sensasi aneh di diriku.
Sambil tersenyum Dhika keluar. Kuganti atasanku dengan
kaus lengan panjang, juga dengan warna hijau. Rambutku ku"hias dengan scarf warna biru muda. Kureguk air mineral yang
tersedia. Tya yang baru masuk ke ruang ganti melakukan hal
yang sama sebelum berganti baju.
Setelah break selesai, kami segera keluar.
"Come on, guys... wanna hear good music?" teriak Tony yang
mendapat sambutan luar biasa dari penonton. Gila, penonton
berjubel, banyak sekali. Sempat kulihat petugas keamanan
kepayahan memindahkan para penonton yang pingsan. Mung"kin The UB jauh lebih terkenal di Indonesia daripada yang
kami bayangkan. "Mau dengar lagu apa?" tanyaku sambil meletakkan tangan
di telinga. Berusaha mendengarkan permintaan mereka.
"Lagu baru!" sorak fans histeris. Aku mengedipkan mata
pada yang lainnya. "Oke, oke! Tapi tenang dulu ya" Supaya suasananya lebih
asyik!" bujukku sambil mengambil mikrofon dari stand-nya.
Untung mikrofon cordless, jadi gampang.
"Kami akan membawakan salah satu lagu terbaru kami.
Izinkan Aku!" kali ini Tya yang berbicara. Lalu dipetiknya
dawai-dawai Ibanez-nya, diiringi drum dan keyboard, melan"
tunkan intro lagu itu. Untung saja kami sempat melatih lagu
ini sebelumnya. "Izinkan aku, Kasih menguntai semua cinta sekali lagi
Adakah asa tersisa" Agar "ku dapat merengkuhmu kembali..."
Tiba-tiba seorang fans berhasil naik ke panggung dan ber"
lutut di depanku. Lalu ia mencoba memeluk kakiku. Otomatis
aku menjerit. Histeria massa. Massa di mana-mana. Aku pusing. Semua
orang berlarian ke atas pentas. Kacau. Jerit dan pekik bercam"
pur. Kupingku berdenging. Aku tidak dapat bereaksi walau
dapat mendengar seseorang memanggil namaku. Rasanya ge"
lap, suram. Duniaku menghitam dalam sekejap.
Sewaktu aku tersadar, kulihat wajah Tya yang khawatir se"
dang memandangiku. "Aku di mana, Tya?"
"Di rumah. Sshh, be quiet, Zie! Istirahat aja dulu. Kamu
masih capek banget!" Aku hanya mengangguk-angguk. Itu
pun rasanya sulit sekali. "Aku pingsan, ya" Malu-maluin ba"
nget!" Aku mencoba duduk, dibantu Tya.
"Ah, nggak sih, sebenarnya no big deal. Kamu aja yang ter"lalu kecapekan, Zie. Kami juga salah, memforsir kamu hingga
kamu jadi seperti ini! Maafin kami, Zie..."
Dari balik pung"gung Tya dapat kulihat Allan, Tony, dan
Troy. Juga Nancy. Mereka tampak merasa bersalah.
"Sudahlah, nggak ada yang perlu dimaafin. Sekarang aku
udah nggak apa-apa. Seharusnya aku yang minta maaf, bikin
kalian khawatir dan konsernya kacau. Wah, hebat, aku ping"
san di tengah-tengah konser amal! Kesannya nggak niat ba"
nget untuk berbuat baik!" Aku memaksakan diri untuk terta"
wa, dan aku cukup berhasil.
"Get well soon, sis." Nancy mengecup pipiku pelan.
Aku mengangguk sambil tersenyum untuk menenangkan
adikku. Aku tahu perasaannya, ia sangat takut kehilangan aku
sebagai saudara kandung satu-satunya. Aku juga berperasaan
seperti itu. Tony menatapku dengan pandangan mengiba. Pada saat itu
aku baru sadar betapa menariknya sahabatku yang satu ini.
Rambutnya hitam lebat, setengah gondrong, namun tetap keli"
hatan rapi. Kulitnya kekuningan dan bersih. Wajahnya imut.
Ia tampak seperti remaja saja, padahal umurnya sudah 22 ta"
hun. Ia mengusap wajahnya dengan tangan kiri, tanda bahwa
ia sedang bingung memikirkan apa yang sebaiknya ia laku"
kan. "Tony, I am alright. Don"t worry," ucapku padanya. "Mung"
kin aku perlu istirahat atau tidur sebentar. Abis itu kita la"tihan lagi. Oke?"
"I feel so guilty," katanya akhirnya.
"Apalagi aku," potong Tya cepat. "Aku yang menyetujui ajak"
an Dhika. Padahal saat itu aku belum minta pendapatmu
sama sekali. Zie, aku bersalah banyak padamu."
"Cepat sembuh ya, Sayang." Allan mengecup jemariku de"
ngan hati-hati sekali. "Kayaknya demamnya masih belum tu"
run, ya" Istirahat aja dulu."
Aku meraba keningku. Memang sedikit panas. Mungkin
aku memang terlalu memaksakan diri.
Selama beberapa saat Allan terdiam. Kemudian ia berkata
lagi dengan nada berapi-api, "Si Dhika sialan itu sama sekali
nggak peduli. Sebelum kau pingsan, Zie, kulihat dia sedang
me"rayu wanita lain! Nggak tahu malu!"
"Haaah, benar begitu?" tanyaku lemah. Sedikit kecewa juga.
"Betul, Zie, aku juga melihatnya," Troy ikut bicara. "Padahal
dia tinggal di dekat sini. Tapi sejak kemarin, dia nggak pernah
datang atau sekadar menelepon."
"Mungkin dia sibuk." Aku mencoba membela Dhika. Entah
mengapa rasanya aku tak dapat menuduhnya macam-macam
tanpa alasan yang jelas. Mungkin benar kata Tya, aku sudah
jatuh hati padanya! "Ngapain orang kayak gitu dibela! Percuma, tau!" Tya de"
ngan sewotnya memotong lamunanku. Aku hanya mengge"
leng-geleng. "Sudahlah, aku capek, aku ingin istirahat."
Kembang Darah Setan 1 Pembunuhan Di Sungai Nil Death On The Nile Karya Agatha Christie Misteri Bocah Jelmaan 1
^