Pencarian

Supernova Partikel 5

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari Bagian 5


juga seksi luar biasa. Satu hal yang dulu tak kulihat dan kini memancar deras
335 Keping 40 darinya adalah rasa percaya diri. Aku tak punya kemampuan
melihat aura. Tapi Koso begitu bersinar bagai bintang kejora.
Senyum, gerak-gerik, dan sorot matanya menunjukkan ia
telah bertransformasi. "Your make-up...," aku menunjuk maskaranya yang me"
luntur di bawah mata. Koso tertawa, "Nggak peduli! Nanti saja saya perbaiki.
But... you... why are you here in London?"
"Saya kerja di sini. Sudah hampir dua tahun. Oh, ya,
kenalkan ini Paul," aku teringat Paul yang sedari tadi berdiri
menontoni kami. "He"s my... Boss."
Paul mengerling. Aku juga ikutan canggung. Baru kali ini
aku merujuknya sebagai bosku.
"Wow," Koso menjabat Paul sambil ternganga, "kerja
apa?" "Your old friend here is a brilliant photographer," Paul me"
rangkul bahuku. Koso melotot sampai kelihatan nyaris tersedak, "Zarah,
I"m so proud of you!"
Aku tak tahan tersenyum lebar. Koso bilang ia bangga
kepadaku, sementara dirinya adalah juara kompetisi tari seInggris Raya. Ada yang salah rasanya.
Tiba-tiba terdengar seorang kru berteriak lantang, "Five
minutes!" "Zarah, aku harus siap-siap. Kamu nonton, kan" Please"
Kita ngobrol lagi sesudah ini" Besok" Pokoknya kita harus
336 Partikel ketemu. I want your number, your address, anything," beron"
dong Koso panik. Cepat-cepat kurogoh tas kecilku, mencatatkan nomor
teleponku dan alamat Zach.
"Kamu akan telepon saya, Koso" Benar?" Aku menyerah"
kan catatanku sambil menggenggam tangannya erat-erat.
Tahunan kunanti sepucuk surat darinya, haruskah aku kem"
bali menunggu dalam ketidakpastian"
"Janji," bisiknya sambil mendekapku, "I got to go, now.
Pleased to meet you, Paul," Koso melempar senyum kepada
Paul, meniupkan kecupan kepadaku, lalu lari ke arah pintu
bertanda bintang tadi. Kosoluchukwu, teman sebangkuku. Bintang yang ku"
temukan ulang. Dua hari lagi aku sudah harus terbang ke Madagaskar. Tele"
pon dari Koso kunanti dengan cemas. Pukul tiga sore ke"
esokan hari, Koso menghubungiku. Kami janjian bertemu
lagi di area West End, di sebuah kedai kopi kecil, sebelum
Koso pergi geladi resik. Rasanya seperti mimpi. Berhadap-hadapan dengan Koso
lagi setelah sekian lama. Dan sesekali, ada saja yang meng"
hampiri kami untuk minta foto atau tanda tangannya.
337 Keping 40 Bahasa Indonesia Koso masih lancar, walau tidak sebagus
dulu. Bahasa Inggrisnya yang dulu berlogat Nigeria mulai
luntur, diganti logat Cockney yang kental.
Ayah Koso masih tinggal di London, tapi mereka sudah
tidak serumah. Seperti umumnya anak-anak muda Barat
yang keluar dari rumah setelah mandiri, Koso pun hijrah
dari rumah ayahnya setelah bisa cari uang sendiri.
Begitu tiba di London, Koso mendaftar akademi balet. Ia
berhenti dari sekolah biasa. Di akademi tempat Koso belajar,
beberapa gurunya menguasai metode khusus untuk muridmurid yang disleksik, dan menari balet adalah salah satu
terapi. Menari menjadi semacam senam otak yang membantu
bagi penderita disleksia. Guru-guru Koso punya cara untuk
membantu murid-murid disleksik agar tidak kebingungan
dengan hitungan dan koreografi.
Kemampuan fisik Koso yang memang istimewa langsung
melejitkannya menjadi murid yang paling menonjol. Setelah
lima tahun belajar balet secara disiplin, Koso mulai mem"
pelajari tari-tari dengan gaya berbeda, termasuk kontemporer.
Sampai akhirnya ia memberanikan diri mengikuti audisi
kompetisi di televisi, dan keluar sebagai pemenang.
"It felt like magic, Zarah. Hidupku berubah dalam sema"
lam," ujar Koso berbinar-binar. "But I love it. This is my path.
Saya akan terus menari seumur hidup saya." Ia lalu bertanya,
"Jadi, fotografi juga menjadi panggilan hidupmu?"
"I guess," aku mengangkat bahu. Dan, aku cukup kaget
338 Partikel karena ternyata tidak bisa kujawab pertanyaan itu dengan
semangat dan keyakinan seperti yang baru saja ditunjukkan
Koso pada dunia tari. "Saya belum tahu apakah saya akan selamanya memotret,
Koso," ucapku lagi. "Saya bahkan nggak tahu apakah saya
bakal terus di London. Hidup selalu membawa kejutan aneh
buat saya." "Sekarang giliran kamu yang cerita," Koso melipat ta"
ngannya. Siap mendengarkan. "Apa saja yang terjadi dengan"
mu selama delapan tahun terakhir?"
Aku menghela napas. Meneguk cappuccino-ku. Dari mana
harus kumulai" Dari hari-hari percuma saat aku memutus"
kan tinggal kelas demi membimbing Koso belajar, dan tibatiba saja ia pindah ke luar negeri" Dari hari-hariku yang
penuh tanya, menanti kabar darinya yang tak kunjung ada"
Atau cukup dari apa yang ia ingin dengar, tentang keberun"
tungan dan nasib baik yang sesekali berpihak dan mem"
bawaku kembali ke hadapannya hari ini"
"Butuh semalam suntuk untuk itu, Koso. Dan saya tahu
waktumu nggak banyak. Setengah jam lagi kamu harus pergi
latihan, kan?" "Kita harus ketemu lagi sepulang kamu dari Madagaskar.
Harus!" tegasnya. Ekspresi mukanya mendadak berubah, se"
perti dihinggapi wahyu. "Kita harus tinggal bareng!" pekik"
nya. "What?" 339 Keping 40 "Sekarang ini saya lagi cari teman serumah. Tahu-tahu,
sahabat terbaik saya dari belahan dunia lain muncul di kota
ini setelah hilang kontak delapan tahun! Coba, bagaimana
mungkin bisa begitu" It must be a sign! Kita ditakdirkan jadi
sahabat seumur hidup, Zarah," berapi-api Koso berkata.
"Sebentar, sebentar," aku menenangkannya. "Kamu ting"
gal di Primrose Hill, while I"m still struggling here. Saya bisa
patungan bayar tempat tinggalku sekarang karena tempat itu
setengah kantor, jadi saya menanggungnya dengan banyak
orang. Patungan bayar kontrak apartemen di daerahmu"
Cuma kita berdua" Sori, Koso. Masih jauh di atas kemam"
puan saya sekarang."
Koso menepak jidat. "Gara-gara itu doang?" serunya,
"Zarah, kamu nggak perlu bayar apa pun. Saya sanggup
membiayai apartemen saya sendiri. Tapi saya sangat butuh
teman kayak kamu," katanya lagi. "Please?"
"Saya nggak bisa numpang gratis," aku menggeleng.
"Oke. Kalau gitu, kamu bayar semampumu. Berapa pun
itu, saya terima. Done," timpal Koso cepat.
"Saya pikir-pikir dulu."
"Apanya lagi yang harus dipikirin, sih?"
"Saya harus bilang dulu sama pacarku...."
"You have a boyfriend" A Londoner" Wicked!" Koso ter"
pekik. "Kenalin dong!"
"Dia lagi di Paris."
"Di Paris?" Koso langsung menganga. "Who is this bloke?"
340 Partikel "Nanti, deh. Pasti aku kenalin," kataku kalem.
"Fotonya" I"m dying to know how he looks like," ia meng"
gosok-gosok jemarinya. Seperti halnya teman-teman sekolahku dulu yang mem"
bawa-bawa foto pacar di dompetnya, kini aku melakukan hal
yang sama. Beberapa bulan lalu, kuganti dompet usangku,
memilih dompet yang memiliki selipan berlapis plastik be"
ning. Di situlah kusisipkan foto Storm. Wajahnya menjadi
pemandangan yang menyambutku setiap membuka dompet.
Kubuka dompetku di depan muka Koso. Ia terpana.
"He is a hunk," Koso geleng-geleng, "I"ve never even had a
bloke this good looking."
"Nggak percaya," aku tergelak.
"Serius!" seru Koso, "You are one lucky bird."
"I am." Senyumku mengembang. Hatiku berubah menjadi
padang bunga hanya karena mengingat Storm.
"Jadi, tunggu apa lagi" Nggak mungkinlah pacarmu lebih
memilih kamu tinggal bareng teman pria daripada teman
perempuan. And I"m your oldest friend. Come on, Zarah, just
say yes." "Kayaknya dulu kamu nggak sekeras kepala ini, deh," ce"
letukku. "Hey, YOU taught me," Koso tergelak, "I learned from the
best." "Saya kabari setelah dari Madagaskar, ya."
"Deal." 341 Keping 40 Tak lama kemudian, kami berpisah. Koso pergi latihan
dan aku memesan cangkir cappuccino kedua.
Aku teringat Paul. Sering kuejek dia karena selalu me"
mesan weak cappuccino atau kopi hitam decaf. Sungguh tak
sesuai dengan figur besarnya.
Paul dengan bijak berkata, "Saya memesan kopi encer su"
paya saya bisa minum kopi lebih lama. Ketika orang-orang
berhenti minum kopi karena jantungnya berdebar atau lam"
bungnya nggak kuat, saya masih akan minum dengan santai
sesuka hati." Aku suka kopiku pekat dan nendang. Jika suatu saat ka"
fein membuatku tumbang, setidaknya aku pernah merasakan
tendangannya yang paling kencang. Kadang, aku berharap
bisa memiliki kehati-hatian seperti Paul. Namun, sepertinya
caraku menghadapi hidup memang berbeda dengannya.
Di tegukanku yang ketiga, sebuah pesan singkat terkirim
ke ponsel Koso: Deal. Saya pindah ke tempatmu.
Ramalan Koso tepat. Storm mendukung keputusanku pindah
ke tempatnya. Storm tak ada masalah sama sekali dengan
Zach atau Paul, tapi ia dan Koso langsung klop seperti sen"
dok ketemu garpu. Walau cuma sesekali mereka bertemu,
Koso dan Storm kompak dan saling mengagumi. Menurut
342 Partikel Koso, Storm adalah pria Inggris paling charming dan hangat
yang pernah ia tahu. Sementara menurut Storm, Koso adalah
"an exciting, jumpy ball of fire". Apa pun artinya itu. Yang
jelas, aku bahagia kekasih dan sahabatku bisa cocok.
Setelah karier dari Paul, status pacar dan kehidupan cinta
dari Storm, kepindahanku ke tempat Koso adalah kegenapan
dari rangkaian inisiasiku sebagai perempuan lajang di era
modern. Koso jarang di apartemen karena kesibukannya tur, la"
tihan, pemotretan, wawancara, shooting, dan sebagainya. Se"
baliknya, jadwalku cukup santai di London. Jika sedang ti"
dak tugas di luar negeri, aku jadi pengurus apartemen Koso,
mulai dari masak, belanja kelontong, sampai bersih-bersih.
Koso nyaris tak punya waktu untuk itu semua. Hidup de"
ngannya, aku menyadari jurang lebar antara dunia kerja
kami. Kehidupanku adalah etalase transparan yang mudah di"
tebak semua orang. Hidup fotografer wildlife tidak akan jauh
dari semak, tanah, air, dan hewan. Semua orang maklum
kalau jas hujan berkualitas baik lebih penting bagiku ketim"
bang koleksi trench coat terbaru Burberry. Sudah bukan ra"
hasia kami harus tahan disiksa berbulan-bulan oleh alam,
dan seringnya kami tidak dibayar mahal untuk itu.
Kehidupan Koso memiliki dua muka. Pekerjaannya me"
nuntut tampilan luar yang selalu up-to-date, terawat, dan
glamor. Jika ada waktu kosong, Koso akan ke salon dan ber"
343 Keping 40 belanja. Namun, di balik itu, Koso bekerja sangat keras. Ia
bisa berlatih menari setengah hari, di luar dari jadwal rutin"
nya ke gym atau Pilates. Tak jarang ia pulang dengan lebam,
terkilir, keseleo, dan cedera lainnya. Kompres es dan bebat
adalah dua benda yang akrab menempel di tubuh Koso.
Penari adalah salah satu profesi tersingkat, kata Koso. Di
atas 30 tahun, kans mendapat pekerjaan sudah sangat tipis.
Dengan mudah ia tergantikan oleh penari muda yang lebih
fit, lebih cantik, dan lebih muda. Jika sampai tidak men"
dunia dan punya nama ekstra terkenal, Koso harus bersaing
dengan ribuan penari demi slot pekerjaan yang jumlahnya
tidak banyak. Itu pun jika ia tidak dijegal duluan oleh cedera
berat seperti tendon robek, patah tulang, dislokasi sendi,
yang membayanginya setiap saat.
Belakangan aku baru tahu ayahnya masih membantu
Koso secara finansial. Kalau bukan karena subsidi dari ayah"
nya, Koso tak akan sanggup menyewa apartemennya seka"
rang, yang berada di area terelite di London.
"Kamu pikir, kalau saya muncul di videoklip, atau tur
bareng dengan popstar, itu berarti saya jadi selevel dengan"
nya" No bleeding way. Saya dibayar kurang dari sepersepuluh
honor yang dia terima. Saya nggak punya ruang ganti sen"
diri. Kami dandan, ganti baju, ramai-ramai bersama lusinan
penari lain. And on that stage, I"m just another face," tuturnya.
"Tahunan dari sekarang, saya sudah harus "naik kelas" jadi
344 Partikel koreografer, pengajar, atau punya studio sendiri. Kalau
nggak" I"m done."
Aku lalu mengusulkan untuk pindah, mencari apartemen
lain yang lebih murah, dan Koso menolak. "Saya nggak ke"
beratan tinggal di tempat yang paling sederhana sekalipun.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, sekarang mungkin satu-satunya kesempatan saya bisa
hidup seperti ini, Zarah. So, I decide to enjoy this to the fullest
while I still can," katanya. Aku pun memaklumi. Koso minum
double espresso setiap pagi. Seperti aku, ia mendamba ten"
dangan maksimal dari setiap cangkir kesempatan.
Dibandingkan saat tinggal di tempat Zach, kebersamaan"
ku dengan Koso lebih serabutan. Kami tak tentu kapan ber"
temu, kapan bersama, kapan bermain, dan kapan bekerja.
Zach dan aku bisa meninggalkan rumah berminggu-minggu
dan lama tidak bertemu. Tapi, saat kami di London, kami
hampir selalu bersama untuk mengerjakan banyak pekerjaan
di komputer. Jadwal A-Team yang terorganisasi dengan rapi
membantu kami menata jadwal hidup masing-masing dengan
baik. Kendati pekerjaan kami menuntut fleksibilitas dan ke"
siapan untuk menghadapi yang serba tak pasti di lapangan,
begitu kami kembali ke markas, ritme yang tertata mengam"
bil alih. Bersama Koso, aku tak punya penyeimbang itu. Pada
hari-hari sibuknya, Koso tak kelihatan seharian, dari pagi
hingga malam. Jika aku tak menyempatkan nonton pertun"
jukannya, bisa-bisa aku tak melihat tampangnya dalam wak"
345 Keping 40 tu lama. Begitu Koso punya libur dan terlalu lelah pergi
shopping, barulah ia akan mengonggok seharian di aparte"
men. Tidur. Pada saat-saat indah kami bisa bersama dan bersantai,
saat itulah kutemukan kembali sahabatku yang hilang. Da"
lam piama, kami duduk berdua di sofa, menonton film atau
mengobrol. Koso, yang maniak es krim dan bisa makan
seliter sendirian sambil menonton televisi, akan berbaik hati
membawakanku sendok, dan aku akan ikut mencomot es
krimnya. Aku, yang maniak popcorn, akan membuat sebas"
kom popcorn untuk kami camil bersama-sama sambil meng"
gosip tentang apa saja. Diikat oleh makanan dan waktu luang yang jarang-ja"
rang, persahabatan kami terasa semanis es krim vanila dan
segurih popcorn bersaus mentega.
10. Tahun ini akan menjadi ulang tahunku pertama bersama
Storm. Aku beruntung bisa merayakannya di London.
Orang yang paling sibuk justru Koso. Sehari sebelumnya,
dia mengajakku berbelanja. Untuk persiapan, katanya. Per"
siapan apa sebetulnya itu, aku sendiri tak begitu tahu.
Setengah jam sebelum toko-toko buka, Koso bersiap be"
rangkat. "Come on, let"s shop," ajaknya.
346 Partikel Hari itu, dia mengajakku ke King"s Road. Tanpa Koso,
aku akan limbung di sana. Semakin siang, semakin penuh
manusia. Bagai kerbau dicocok hidung, aku keluar-masuk
butik mengikuti Koso. Kantong kertas di tangannya pun te"
rus bertambah. Setiap ada baju yang menurutnya "cute" akan dipatutkan"
nya di badanku. "Kamu harus beli ini," ucapnya selalu. Aku
pun terus menolak. Pertama, sayang uang. Kedua, tidak
ingin dibelikan. Ketiga, di balik sarannya, aku merasa Kosolah yang sebetulnya tertarik dengan baju-baju itu. Dan, be"
nar saja, semua baju yang ia sarankan berakhir di kantong
kertas. Koso yang beli. "You shop a lot," komentarku saat kami akhirnya duduk
ngopi. Semua kantong belanjaan Koso memakan satu kursi
sendiri. "Ini namanya "retail therapy". Mengurangi stres, bikin hati
senang, and we look good," balas Koso ringan. "Kamu betulan
nggak suka shopping, ya?"
"Kayaknya saya cuma cocok dengan terapi hutan," aku
terkekeh. "Saya gemas banget pengin dandanin kamu. Kamu can"
tik, cowok kamu ganteng, tapi dandanan kamu selalu kayak
manusia gua," timpal Koso.
Aku terbahak. "Nggak separah itulah. Saya cuma malas
tampil macam-macam. T-shirt dan jins sudah cukup."
"Tapi jangan T-shirt dan jins model sepuluh tahun yang
347 Keping 40 lalu, dong," sambarnya lagi, "and those bulky, muddy boots...,"
Koso menunjuk ke kakiku sambil geleng-geleng kepala, " for
heaven"s sake, Zarah."
"He, sepatu bot ini sudah menemani saya bertahun-tahun.
Kami berdua sudah menjelajahi Afrika."
"Spot on!" seru Koso sampai matanya seperti mau men"
celat keluar. "Sepatu itu memang tempatnya di savana, untuk
kamu pakai bergaul dengan zebra dan jerapah. Bukan untuk
birthday dinner di London."
"Sudahlah. Storm menerima saya apa adanya, kok."
"Kamu kasih saya waktu sebelum dinner-mu nanti malam.
And you know I don"t have much free time. Jadi, habis ini, kita
jalan-jalan lagi?" "Lagi?" ratapku.
"Dengar dulu. Saya tahu kamu sedang berhemat. Saya
akan carikan tempat yang harganya bersahabat, dan saya
nggak akan belikan kamu apa-apa. Saya cuma pilihkan mo"
delnya. Kamu beli sendiri. Terus, kita ke salon. And THAT
will be my treat. You can"t say no."
"What is this" Ugly duckling make-over program or some"
thing?" aku terheran-heran.
"Nggak usah protes dulu. Just say yes to me this one time,
setelah itu baru kamu boleh komentar."
Aku tertawa dalam hati. Mungkin ia lupa, aku mengata"
kan "yes" kepadanya berkali-kali.
348 Partikel "Dulu saya pikir saya orang paling keras kepala di dunia.
Ternyata kamu sekarang melebihi saya, Koso."
"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari," Koso nye"
ngir lebar. "See" Saya nggak mungkin bakal bisa ingat peri"
bahasa itu kalau bukan kamu dulu yang bantu pelajaran
Bahasa Indonesia saya."
Koso telah menunjukkan titik lemahku. Sebetulnya, bu"
kan dia yang menjadi lebih keras hati. Untuk orang-orang
yang kusayang dan kubela, akulah yang berubah pasrah dan
tak lagi melapisi diri dengan benteng pertahanan apa pun.
Untuk mereka, aku menjadi Zarah yang selalu siap menga"
lah. Setelah rihat singkat tadi, kami pergi lagi. Kali ini dengan
berpedoman sebuah daftar yang dipegang oleh Koso, yang
tak boleh diintip olehku.
Satu demi satu barang ia pilihkan, lalu ia akan mencoret
satu demi satu item dalam daftar rahasianya.
Setelah baju dan tas tangan, Koso memilihkanku sepa"
sang sepatu dengan lapisan kain brokat warna hitam. Hak"
nya sepuluh senti. "Saya nggak mungkin pakai sepatu ini. Jalan tiga langkah
saja saya pasti jatuh!" protesku.
Koso berdecak. "Oke, oke. Kalau yang ini, gimana" Hak
349 Keping 40 ini nggak mungkin lebih dari tiga senti. You can walk on
these. I"m sure."
Kucoba sepasang pump shoes yang terbuat dari suede warna
ungu gelap itu. Mulai berjalan. Ternyata aku bisa mengeli"
lingi toko tanpa kehilangan keseimbangan.
"Lumayan," gumamku.
Koso memekik kecil sambil melonjak kegirangan. "You"ll
look so gorgeous tonight!" Ia mengeluarkan daftar "renovasi"nya, mencoret lagi satu baris. "Masih ada beberapa lagi,"
Koso menyusuri catatannya. "Yuk, buruan. Nanti keburu
tutup." Koso mengajakku ke Southall, daerah yang dikenal se"
bagai Little India. "Kalau kamu mau waxing dan threading
terbaik, kamu harus ke salon di sini. They"re the expert."
"Waxing" Threading" Apa itu?"
Koso menganga. "Kamu betulan nggak tahu" God have
mercy!" Koso tak perlu menjelaskan. Jawaban dari pertanyaanku
terungkap begitu kami sampai ke salon langganan Koso.
Waxing dan threading adalah metode siksa bagi tahanan pe"
rempuan dari masa primitif yang dengan misteriusnya ber"
tahan sampai sekarang. Semacam pemanasan sebelum siksa
neraka. Hanya teori konspirasi atau semata-mata faktor
irasionalitas manusialah yang bisa menjelaskan mengapa pe"
laku waxing dan threading sampai hari ini tidak diajukan ke
mahkamah internasional. Setidaknya, itulah definisiku pri"
350 Partikel badi ketika secarik kain berbentuk plester beroleskan karamel
yang ditempelkan di betisku ditarik sekaligus oleh kapster
India berwajah innocent itu.
Aku berteriak nyaring. "Don"t mind her. She"s a virgin. Please continue," celetuk
Koso kepadanya. Aku tidak suka kekerasan. Tapi ingin sekali rasanya me"
layangkan sebuah benda, apa pun, ke muka Koso saat itu.
Sayangnya, semua benda sudah disingkirkan jauh-jauh dari
jangkauanku. Setelah kaki dan tangan, perempuan India itu ternyata
masih belum selesai. Membawa seutas benang, ia berdiri di
atas mukaku, tersenyum manis, "Close your eyes, Miss."
Aku manut karena kupikir tidak mungkin ia menjerat
leherku dengan benang jahit. Setidaknya, tempat ini masih
tempat penyiksaan. Bukan pejagalan.
"Ouch! Ouch! Aww! Aaaaw!"
Benang itu ternyata dipakainya untuk mencabuti alisku.
Perihnya bukan main. Setiap entakan benang terasa bagai
silet yang mengoyak kulit.
"Koso, I hate you!" teriakku dengan mata terpejam.
"Zarah, percaya, deh. Muka kamu cantik banget seka"
rang. Mata kamu jadi tambah mencolok. Alis kamu rapi?"
"I HATE YOU!" Beberapa kapster lain yang sedang menganggur akhirnya
351 Keping 40 menontoni kami sambil cekikikan. Terdengar kasak-kusuk
mereka dalam bahasa Hindi yang tak kumengerti.
Aku nyaris pingsan ketika Koso bilang bahwa secara ter"
atur ia melakukan waxing dan threading di area "bikini".
Mereka menyebutnya layanan Brazilian waxing"meski jelasjelas dilakukan di permukiman India. Aku mengancam akan
melakukan tindak kriminal jika Koso berani menjebakku
untuk Brazilian waxing. "Tempat ini seharusnya dilaporkan ke Komisi Perlin"
dungan Perempuan," bisikku geram kepada Koso, "dan Brasil
harusnya ditindak oleh PBB karena menciptakan siksaan ti"
dak berperikemanusiaan bernama Brazilian waxing. Dan
kamu... kamu sadomasokis!"
Semua ancaman dan umpatanku dibalas Koso dengan
tawa panjang. Lima menit kemudian, terdengarlah teriakan garang pe"
rempuan hutan, membahana dari bilik kecil sebuah salon di
Southall. Kini, aku tahu pasti. Neraka itu ada.
Bagaimana aku masih keluar hidup-hidup dari tempat itu
tetap menjadi misteri Ilahi.
"It"s not that bad, right?" tanya Koso. Berani-beraninya.
"I still hate you."
352 Partikel "Perjuangan yang tadi kamu lewati di salon itu akan ter"
bayar di sini," ujarnya sambil memasuki sebuah toko. Aku
berhenti sejenak untuk mengecek. Jebakan Koso di Southall
membuatku lebih berhati-hati.
Ternyata toko yang dimasukinya adalah toko lingerie dan
pakaian dalam. Oke. Selama tidak ada karamel dan gelon"
dongan benang, aku mau toleransi.
Belum apa-apa, Koso sudah dengan lincahnya mencomot
barang-barang dari gantungan. Ada celana dalam warna me"
rah darah dengan model cawat yang sangat aneh, hanya tali
bentuk segitiga dan sejumput renda. Ada bra berbahan mene"
rawang yang tipisnya seperti jaringan epidermis. Ada daster
sama menerawangnya dengan panjang hanya sepangkal paha.
"Kamu gila kalau mengira saya sudi memakai benda-ben"
da itu. Those are not even clothes. I don"t know what they are!"
"Coward," Koso mencibir.
Sepuluh menit kemudian, kami keluar dari toko itu. Se"
mua yang tadi dipilih Koso sudah berpindah ke kantong
kertas. Dan sekarang tergantung di tanganku.
Program renovasinya selesai sudah.
Malam itu, aku membuat Storm menunggu hampir sepuluh
menit di ruang tengah. Tidak pernah terjadi sebelumnya.
Jika ia menjemput, biasanya aku langsung keluar tanpa ragu.
353 Keping 40 Tidak malam ini. Segalanya terasa tidak pas. Baju ini ter"
lalu pendek. Rambut ini terlalu dibuat-buat. Riasanku terlalu
tebal. Sepatu ini terlalu feminin. Tas ini konyol. Aku ingin
menghilang saja. Setelah berkali-kali diyakinkan oleh Koso, sampai dia
nyaris menjambak-jambak rambut saking gemasnya, aku ke"
luar malu-malu. Storm langsung terduduk tegak di sofa.
Menatapku tanpa kedip. Aku ingin kabur rasanya.
"You"re a princess," ucap Storm setengah berbisik. Bola
matanya bersinar penuh cinta. Dan seketika aku ingin luluh
lantak ke tanah. "A true beauty, isn"t she?" Koso mengedipkan matanya.
"What did you do to my girl?" Storm berseru kepada Koso
seraya merangkul pinggangku. Menciumku hangat.
"Happy birthday, sweetheart. Selamat bersenang-senang.
Please, come back late!" Koso berpesan.
Aku tak pulang ke apartemen Koso malam itu. Sepanjang
akhir pekan, aku menetap di tempat Storm. Tidak keluarkeluar. Kami terlalu sibuk di dalam kamar.
Senin pagi, baru aku kembali ke apartemen Koso. Anak itu
sudah pergi latihan Pilates saat aku tiba.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di meja dekat televisi, aku melihat sebuah boks berpita.
Ada amplop hijau pupus terhampar di bawahnya. Secarik
354 Partikel Post-it kuning menyala ditempel di atas boks persegi panjang
itu. Tulisan Koso: Untuk Zarah.
Keningku berkerut. Koso sudah duluan memberi "paket"
hadiahnya, jadi ini pasti dari orang lain lagi. Semangat, ku"
sambar amplop hijau itu. Sebuah kartu cantik bertuliskan
"Happy Birthday". Di halaman dalam, tertera tulisan tangan
Paul: What else can I give to a woman who has everything"
Kubuka boks persegi itu. Isinya adalah foto 5R berbingkai
kayu. Aku sedang mendekap Sarah dari belakang. Kami ber"
dua bersandar di bangku kayu dekat dek pemberian makan
orangutan. Latar belakang yang bokeh pekat mengaburkan
semua objek kecuali kami berdua, seolah seisi dunia lenyap,
menyisakan aku dan Sarah. Aku tak tahu kapan foto itu di"
ambil dan di mana Paul bersembunyi saat membidik kami.
Yang bisa kusimpulkan, foto ini diambil diam-diam.
Kupandangi foto itu lama. Sarah di pangkuanku, tangan"
ku yang memeluknya dan dipeluk balik olehnya. Tatapan
kami berdua yang entah melihat apa. Dan hadirnya Paul
yang menyaksikan itu semua, entah dari mana.
Kuletakkan bingkai foto itu dalam posisi tegak di meja.
Di sofa, aku duduk memandangi, meringkuk sambil mende"
355 Keping 40 kap bantal. Tangisan rindu adalah hadiah ulang tahun yang
kudapat berikutnya. 11. Minggu pagi dan aku harus kerja keras di tempat Zach. Se"
mentara aku menyortir foto-foto dari tugasku terakhir, Zach
sibuk bereksperimen di dapur. Konon, ia baru saja diajari tip
baru untuk membuat omelet yang paripurna. Zach berniat
menyempurnakan tekniknya pagi ini, memasak omelet ber"
kali-kali sampai sesuai dengan kesempurnaan yang ia target"
kan, dan untuk itu ia sudah ditemani sebaskom telur.
"You will help me to eat them all later. Right, ladies?" teriak"
nya dari dapur. Aku dan Kim berpandang-pandangan. Serempak, kami
teriak, "NO!" "Minggu lalu, dia terobsesi bikin sup krim jamur. Saya
harus menghabiskan dua mangkuk besar! Berat saya lang"
sung naik sekilo! And now he"s stuffing me with eggs. No way,"
omel Kim. Ponselku tahu-tahu berbunyi. Sebuah pesan masuk. Ke"
ningku berkerut. "Everything"s OK?" tanya Kim.
"Ya. Storm mau mampir kemari," aku membaca ulang
lagi pesan itu. "Tumben."
356 Partikel "He terribly misses you, perhaps."
"Kami baru kemarin ketemu, kok. Ah, well. I"m just being
lucky," aku mengangkat bahu sambil nyengir lebar.
Kim langsung melempar lap ke mukaku, "You snob."
Setelah berhasil lolos dari gempuran omelet Zach, aku dan
Storm duduk di sebuah kafe pinggir jalan, memesan bagel
dan salad. "Kok, kamu sampai tumben-tumbenan nyusul ke tempat
Zach?" tanyaku. "Not that I mind. I love seeing you every day,"
aku buru-buru menambahkan.
Storm mencium pipiku. "I can"t get enough of you as well,"
katanya. "Nggak ada yang penting-penting banget, sih. Saya
cuma pengin ngobrol sebentar. In private. Makanya saya ajak
kamu ke sini." "Nggak ada yang penting tapi kamu perlu bicara in pri"
vate" That"s... odd," aku tersenyum geli.
"Saya mau minta izin untuk sesuatu."
"Izin?" Konsep baru. Storm tidak pernah minta izin se"
formal ini sebelumnya. "Saya ingin memotret Koso."
Sejenak senyap sebelum tawaku muncrat. "Ya, ampun.
Kamu mendatangi saya khusus untuk itu?"
"Saya ingin membuat seri portraiture tentang penari. Life
357 Keping 40 of a dancer, sort of thing. Jadi, saya pengin memotret Koso saat
latihan, show, dan mungkin sedikit kegiatan sehari-harinya,"
Storm berhenti untuk menggenggam tanganku, "Look. She"s
your best friend, I know. Tapi, justru itu, saya harus lebih
hati-hati menjaga perasaan kamu. Kalau kamu sepenuhnya
nyaman dengan proyek ini, baru saya jalan."
"Boleh," aku mengangguk.
"You"re sure?"
"Positive," tandasku mantap. "Koso pasti senang. Saya ya"
kin ini bakal jadi foto-foto terbaiknya."
"I love you. You"re the best," Storm mengecup bibirku.
Aku menggeleng, "You are."
Dari hasil mencuri-curi waktu karena keduanya sama-sama
sibuk, baru dua bulan kemudian seri foto penari itu selesai.
Koso bangga habis-habisan melihat hasilnya. Kami semua
pun terkagum-kagum. Dan, yang terpenting, Storm amat
puas. Beberapa sudah pasti akan masuk ke dalam materi pa"
merannya. Storm mencetakkan sejumlah foto terbaik untuk diberi"
kan kepada Koso. Di dalam kotak, foto-foto itu disimpan
dan dibawa Koso ke mana-mana. Bolak-balik ia lihat dan
pamerkan ke teman-temannya. Termasuk aku. Teman seru"
mahnya. 358 Partikel "Yang ini yang saya paling suka," Koso menunjukkan foto
ketika ia sedang berputar di udara.
"Saya sudah lihat foto itu puluhan kali, Sayang." Aku
meringkuk di sofa, meraih buku. Siap membaca.
"Kamu belum pernah kasih tahu mana yang jadi favorit"
mu," Koso membuka boks lalu menebarkan foto-foto itu.
Entah untuk yang keberapa kalinya.
"I like them all," kataku selewat.
Koso menarik bukuku. "You"re a photographer. Pasti ada
satu yang bisa kamu pilih. Please, I really want to know."
Aku menghela napas. Terpaksa duduk tegak, memilih
foto-foto yang sudah begitu sering kulihat itu.
"Ini," tunjukku.
"Yang ini?" cetusnya heran. "Kenapa" Apa spesialnya?"
Pertanyaan bagus. Aku memilih asal-asalan, murni in"
tuisi. Dan akhirnya kupandangi lama foto itu. Iya, kenapa"
"Karena foto ini..." aku berusaha menerjemahkannya ke
dalam kata-kata. Foto itu mengingatkanku pada hadiah
ulang tahun Paul. Foto yang diambilnya diam-diam. Secara
teknis, tak ada yang luar biasa. Namun, foto semacam itu
berbicara. Ada bahasa rasa yang bersuara lantang, yang hidup
dan mampu keluar dari gambar, menjangkau hati. Menyen"
tuhnya. Di foto itu, Koso tampak sedang ngobrol dengan penari
lain di teater saat geladi resik. Foto itu diambil dari arah
atas, mungkin dari balkon. Pencahayaan yang tepat menyi"
359 Keping 40 nari sudut-sudut terindah wajah Koso. Tawanya yang lepas
dan matanya yang bersinar tampak tulus dan menawan. Aku
yakin, pada momen itu, Koso sama sekali tidak sadar ia se"
dang difoto. Dan, aku membayangkan, Storm yang mematamatai. Menunggu momen yang tepat untuk membidik,
mengabadikan keindahan yang diintai mata siaganya.
"Karena foto ini membuat saya cemburu."
Gantian Koso yang tertegun. Ia lalu tergelak. "So much for
a photographer"s point of view!"
Beberapa hari kemudian, foto yang kupilih itu dibingkai
oleh Koso. Dipajang di sebelah tempat tidurnya.
12. "Storm, kamu sudah tidur?" panggilku. Siluet punggungnya
yang membelakangiku tampak tenang, napasnya mengembus
teratur. Kamar ini hanya diterangi oleh lampu jalanan dari
jendela yang tirainya tak pernah ditutup, kebiasaan Storm
yang selalu ingin dibangunkan oleh matahari pagi. Kusentuh
punggungnya hati-hati. Perlahan, siluet itu bergerak. Storm memutar tubuhnya,
membuka mata, tersenyum samar, "Yes, love?"
"I miss my father."
Mendengar itu, Storm membuka matanya lebih lebar,
berusaha mengumpulkan kesadarannya.
360 Partikel "Tujuan awal saya ke London adalah supaya saya punya
akses lebih baik untuk mencari ayah saya. Sudah hampir dua
tahun saya di sini, tapi saya belum berbuat apa-apa," keluh"
ku. "Kamu, kan, sibuk, Sayang. You"re hardly in town."
"I love my life here, Storm. I love you. I love my work. Seka"
rang saya sudah bisa pergi ke belahan dunia mana pun yang
aku mau. Seharusnya saya menggunakan kesempatan itu un"
tuk mencarinya. Semakin lama saya diam, semakin saya
merasa mengkhianati Ayah...."
"Ada yang bisa saya bantu?"
Sungguh, aku pun tak tahu harus memulai dari mana.
"Kamera itu satu-satunya petunjuk yang kupunya," gumam"
ku. "Kita bisa mulai dari sana."
"Tiga ratus orang, Storm. It shouldn"t be that hard, right?"
Storm mengelus wajahku, "And you shouldn"t be so hard on
yourself, okay?" Ibu Inga pernah mengeluarkan peringatan yang sama,
yang membuatku jadi bertanya-tanya, apakah memang aku
punya kecenderungan sekuat itu untuk menempa diri demi"
kian keras" Storm merengkuhku, menempelkan kepalaku di atas
bahunya. Samar tercium sisa parfum yang berkumpul di le"
hernya. Aku bisa selamanya tidur di sana.
361 Keping 40 "Apa pun yang terjadi, saya akan selalu mendukung
kamu, Zarah," bisik Storm.
Aku memeluknya lebih erat.
Dengan koneksinya, Storm berusaha mencari. Baik lewat
internet maupun langsung mengunjungi toko-toko yang
menjual kamera-kamera collectible. Bolak-balik kami mende"
ngar respons yang serupa.
"Kamera semacam ini memang kepemilikannya lebih mu"
dah dilacak karena pembelinya nggak banyak." Itu yang se"
lalu kami dengar. "Jadi, kita bisa cari tahu siapa pemilik aslinya?" Lalu kami
bertanya. "Secara teori, iya. Tapi kalian harus sewa detektif." Selalu
begitu. Begitu kami meminta daftar nama untuk disusuri, pen"
carian langsung mentok. Ternyata tidak sesederhana itu.
Dalam lima tahun terakhir, satu kamera collectible bisa ber"
pindah dua-tiga pemilik, tapi bisa juga disimpan seumur
hidup oleh satu orang yang sama. Dan, pembeli 300 unit
kamera itu tersebar di seluruh dunia.
Susah payah, aku dan Storm akhirnya berhasil mengum"
pulkan beberapa nama. Tidak ada yang sesuai dengan nomor
362 Partikel seri kameraku. Masih lebih dari 250 nomor seri yang belum
terlacak. Bagai besi yang menua oleh waktu dan kompleksitas
cuaca, petunjukku satu-satunya pun mulai tergerogoti korosi.
Insignifikansi. 13. Akhir musim panas tahun 2001. Hari yang tidak mungkin
kulupakan. Aku baru kembali dari tugas dua minggu di Kepulauan
Fiji untuk pemotretan bawah air pertamaku. Tiba di London
tepat pada akhir pekan. Langsung aku pulang ke tempat
Storm, menghabiskan dua hari bersamanya sebelum minggu
yang baru kembali dimulai dan kami tenggelam dalam pe"
kerjaan masing-masing. Begitu banyak foto yang perlu kuedit, dan Storm harus
berangkat ke Spanyol esok lusa. Aku bahkan tak sempat pu"
lang ke apartemen Koso. Dari apartemen Storm, aku lang"
sung menuju tempat Zach di mana aku bisa meminjam
komputernya yang supercepat.
Dalam perjalanan singkatku dari stasiun underground me"
nuju rumah Zach, aku mampir ke kios penjual koran untuk
membeli titipannya. Foto Zach masuk ke Photography
363 Keping 40 Monthly dan ia ingin memborong untuk dokumentasi, alias
dipamerkan. Gara-gara belanja borongan, bapak tua baik hati pemilik
kios itu memberiku satu eksemplar koran sebagai bonus. Ke"
tika kuamati, ada stempel: "Promotion Copy. NOT FOR
SALE". Aku terkekeh sendiri. "Pantasan," gumamku. Tawaku me"
mudar cepat. Mataku tertumbuk pada satu berita di ujung
bawah kanan. Penemuan terbaru organisme terbesar.
Spontan, langkahku melambat. Ya. Bukan paus biru, bu"
kan pohon sequoia, melainkan fungi. Armillaria ostoyae. Lagi.
Terduduklah aku di bangku dekat kios. Ingatanku me"
layang ke masa kecil, saat Ayah mengatakan Armillaria
ostoyae adalah organisme tunggal terbesar di dunia, terbukti
dengan ditemukannya hamparan Armillaria ostoyae meliputi
600 hektare hutan. Dan ia berteori, suatu saat nanti akan
ditemukan yang lebih besar lagi. Ketika kutanya dari mana
ia bisa tahu, Ayah dengan mantap menjawab bahwa fungi
sendirilah yang memberi tahunya.
Di lembar surat kabar itu, tertulis penemuan baru ham"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paran Armillaria ostoyae. Tumbuh menutupi area hutan di
Oregon seluas 880 hektare. Tepi luarnya membentang sepan"
jang 5,6 kilometer, akar mereka menancap hingga satu meter
ke dalam tanah. Kabar itu membuat bulu kudukku meremang. Menyapuku
364 Partikel dengan gelombang emosi yang membuatku berair mata. Aku
tak boleh berhenti mencari, batinku.
Kulipat surat kabar itu, kumasukkan ke dalam ransel, dan
kuputar langkahku kembali ke stasiun. Aku merasa telah
membuang waktu. Kuketik pesan untuk Zach: Be back with
your magz by lunch time. Aku harus kembali menemui Storm.
Tak sampai 45 menit, aku sudah di depan pintu Storm lagi.
Aku mengetuk. Dan mengetuk. Lama, pintu itu tak dibuka.
Ketika akhirnya Storm membukakan pintu, aku tahu ada
yang salah. Storm menyambutku dengan ekspresi gado-gado. Ada
senyum, kaget, gugup, takut, dan marah yang ditekan. Ia
berdiri kaku seolah menyambut tamu asing. Storm yang tadi
pagi begitu luwes dan mesra disulap lenyap entah ke mana.
Aku memeluknya. Ia membalas, dingin.
"Kamu ngapain balik lagi?" gumamnya.
"Saya baca berita di koran. They found another honey
mushroom infested forest in America. Organisme terbesar di
dunia. Kamu ingat cerita ayah saya dan apa yang dikatakan"
nya tentang Armillaria ostoyae, kan" Ini pertanda...," aku ber"
henti. Semua ini terlalu aneh untuk tidak ditanyakan.
"Storm. Kamu kenapa?"
365 Keping 40 "Bisa nggak kamu pergi dulu" Nanti saya hubungi kamu.
Saya nggak bisa ngomong sekarang," jawab Storm ketus.
Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, ada sesuatu
yang besar. Yang tidak beres.
"Oke, saya pergi," aku mengangguk. "But, are you sure
you"re okay?" Kudengar pintu kamar terbuka. Seseorang keluar dari
sana. Mengenakan sweter kasmir hitam, rambut keriting
yang terurai, berdiri nanar menatapku sambil menggigit
ujung kukunya. Koso. "Koso" Kok, kamu ada di...."
"I"m sorry, love. I really am," Koso setengah berbisik. Jelas,
ia menahan tangis. Aku gantian menatap Storm yang tak henti mengusap
wajahnya sambil menghela napas berat.
"Kami sebetulnya sudah mau ngomong sama kamu, but
we just don"t know how," gumam Storm.
"Kita semua sayang kamu, Zarah," ucap Koso lagi, parau,
"I cannot do this anymore. I cannot hide from you."
Aku menatap mereka berdua. Antara percaya dan tidak
atas apa yang kulihat. Meski mulut mereka bolak-balik bi"
cara tentang cinta dan kasih sayang, yang kurasakan detik
itu adalah sebaliknya. Mereka tengah menikamku. Berkalikali.
Potongan-potongan gambar dan ingatan ganjil yang se"
lama ini tersebar acak mendadak memiliki kejernihan. Se"
366 Partikel mua yang selama ini kutangkap, kubaca selewat, dan kupen"
dam karena rasanya tak nyaman, akhirnya beroleh konteks
yang sempurna. Bagaimana Storm sering mendaratkan ta"
tapan kepada Koso satu-dua detik lebih lama dari seharus"
nya, bagaimana Koso sering menyentuh kulit Storm lewat
gestur yang kupikir bersahabat, bagaimana Koso sering diamdiam bertelepon dengan seorang misterius yang membuat
wajahnya merona tapi ketika ditanya selalu bilang tidak lagi
dekat dengan siapa-siapa, bagaimana Storm hanya mau
mengobrol denganku singkat-singkat di telepon, bagaimana
kami bertiga melewatkan waktu bersama dan ada momenmomen ketika akulah yang terasa seperti orang menumpang.
Baru sekarang segalanya menjadi jelas. Selama ini aku
buta. "Kamu boleh benci saya, Zarah," isak Koso, "tapi saya
nggak pernah punya niat sama sekali menyakiti kamu."
Kembali kutatap Koso, yang pipinya sudah berhias air
mata. Dalam sekejap, rekaman masa-masa waktu kami ber"
sama kembali terulang. Hari kami bermain ke ladang Batu
Luhur bersama Hara. Hari pembagian rapor ketika nama
Koso dipanggil sebagai salah satu yang naik kelas. Hari aku
menyalaminya di lapangan upacara ketika Bu Kartika meng"
umumkan kepindahannya. "Kenapa kamu nggak pernah kirim surat?"
Koso tergagu. "S"surat...?"
"Kamu pindah ke London, dan kamu janji mengirimi
367 Keping 40 saya surat. Saya menunggu bertahun-tahun. Kenapa kamu
nggak pernah kirim" Kenapa kamu nggak menepati janji?"
Mata Koso mengerjap-ngerjap, butir air matanya lebih
banyak lagi berjatuhan, "I... I lost your addresss."
Kepalaku pening. Segitu saja" Sesederhana itu" Tahunan
penantianku hanya karena secarik kertas catatan alamatku
raib" "Kamu sahabat saya terbaik, Zarah. I love you so much.
This is killing me," isaknya lagi.
Kuatur napasku untuk bisa bersuara, untuk bisa berkata
kepadanya, "Saya nggak ngerti kamu ngomong apa."
Koso memohon, "Please, forgive me."
"Ini salah saya," tahu-tahu Storm menyambar. "Zarah,
jangan salahkan Koso. This is all my fault."
Kutatap Storm, sebisaku. Kenanganku tentangnya tidak
sepanjang kenanganku akan Koso. Itu sudah jelas. Tapi po"
sisi Storm teramat pasti. Dia segalanya. Dia cinta pertamaku.
Dia harapan hidupku di Bumi yang sekarat ini. Mendapat"
kannya berdiri di depanku, memintaku untuk menyalahkan"
nya atas apa yang terjadi....
"Saya juga nggak ngerti kamu ngomong apa," aku ber"
bisik dan memungut syalku yang terjatuh.
Aku keluar dari apartemen Storm saat itu juga. Limbung.
Inikah tanggal itu" Tanggal yang akan kulingkari di agenda"
ku sebagai tanggal putus" Kenapa dulu aku sempat men"
368 Partikel damba tanggal jadi" Kalau saja tanggal itu tak ada, mungkin
rasanya tak sesakit ini. Kupercepat langkahku sampai akhirnya berlari. Aku salah,
rutukku. Ada atau tak ada tanggal, sakitnya akan tetap se"
perti ini. Cintaku kepada Storm menembus batasan waktu.
Menembus batasan akal. Karena itulah, aku buta. Tak ku"
lihat apa yang seharusnya sudah lama terlihat.
Pikiranku terfokus pada satu hal: mengambil barang-barang"
ku dari apartemen Koso. Sepanjang jalan, dalam kepalaku
kususun daftar baju mana saja yang kubawa, barang apa saja
yang kuperlukan, di mana nanti kutinggalkan kunciku.
Sesampainya di apartemen Koso, bagai robot, kueksekusi
daftar dalam kepalaku dengan rapi. Mendapatkan hidupku
kembali muat ke dalam satu ransel. Lalu kuraih telepon,
menghubungi nomor yang ada di speed dial. Zach. Paul. Salah
satu. Siapa saja. Aku butuh tempat bicara. Tempat berpijak.
Ternyata aku masih punya cadangan sejumput nasib baik.
Zach dan Paul sedang bersama-sama. Saat kutelepon Paul,
dua pria itu tengah menikmati weak cappuccino di kafe Em"
porio langganan mereka untuk membicarakan proyek per"
jalanan The A-Team selanjutnya ke Patagonia. Langsung
kusampirkan ranselku, menyusul mereka sambil berpikir
mungkin aku akan memesan secangkir kopi susu encer juga.
369 Keping 40 Di dalam kereta, di kepalaku berputar berulang-ulang
kalimat-kalimat terakhir Koso dan Storm. Aku betulan tak
memahami omongan mereka. Sama sekali.
Kalimat Koso sungguh tak masuk akal. Jika dia tidak
berniat menyakitiku, jelas ada satu persimpangan dalam ke"
putusannya yang akhirnya menempatkan aku sebagai orang
yang disakiti dan dia sebagai pihak yang menyakiti. Bagai"
mana dia bisa bilang dia tidak punya niat itu" Dan, kenapa
dia tidak mengirim suratnya ke sekolah, tempat aku mem"
busuk setahun lebih lama demi membantunya"
Storm berkata bahwa dialah pihak yang perlu dipersalah"
kan. Omong kosong. Pengkhianatan ada dalam batin setiap
manusia, hanya menunggu momen yang tepat untuk menye"
ruak, dirayakan, dan diamini sebagai titik lemah dari kema"
nusiaan. Mengatakan bahwa ia yang bertanggung jawab
adalah kebodohan dan kesombongan. Storm adalah semacam
Brutus dalam sejarah Romawi, orang yang didesain untuk
menancapkan belati ke punggung, menembus jantung, dan
terkaparlah aku akibat pengkhianatannya. Koso ibarat Iago
dalam pentas Othello, orang terdekat yang dirancang untuk
mengingkariku secara keji dan sistematis. Mereka adalah
virus yang disusupkan ke dalam sistem. Dorman, tak ber"
dosa, membuai kita hingga waktunya tiba untuk mereka
bangun dan menyerang tanpa ampun.
Kembali, dua orang terpenting dalam hidupku, terbukti
370 Partikel mampu melambungkanku tinggi sekaligus menghancurkanku
sekali jadi. Lagi-lagi, aku kalah berjudi.
Zach dan Paul kutemukan di meja pojok kafe itu.
"Zarah!" Zach melambaikan tangan. Menyambutku de"
ngan tawa hangat. "Are you okay, Missy?" Paul menggeser tempat duduknya,
memberi aku ruang. Detik itu, kujatuhkan ranselku ke lantai. Menangis se"
jadi-jadinya di depan dua pria dan dua cangkir kopi susu
encer. e2003f Bolivia "Zarah?" Aku mendongak. Fred, menghampiriku dengan hati-hati,
seolah mendekati bocah yang sedang tantrum.
"Kamu dicari Paul," katanya.
"Later, Fred," gumamku pendek.
"You"ve been out here for almost an hour."
"I"m having a me time."
Fred melipat tangannya di dada. Mulai gusar. "Well, you
tell that to Paul. We"re leaving for Asuriamas in fifteen minutes."
Ia pun meninggalkanku. "Coming?" serunya sambil berlalu.
371 Keping 40 Berat, aku berdiri. Menyusul Fred. Kesalku sebetulnya
sudah luntur sejak tadi. Berganti sesal. Jarang-jarang kami
bisa pergi bertiga"aku, Paul, dan Zach"dalam satu
assignment. Seharusnya ini menjadi piknik keluarga yang me"
nyenangkan. Banyak yang bilang, termasuk Fred, tiga tahun lagi aku
bisa menggeser posisi Paul dalam The A-Team. Aku tahu itu
tidak mungkin. Walau aku bisa mengejar jumlah cap paspor
Paul dalam tiga tahun lagi, tidak ada satu pun yang bisa
menandingi jaringan yang telah ia bangun bertahun-tahun
dengan berbagai institusi, organisasi NGO, pemerintah, dan
media. Aku rasa, mereka yang bicara begitu hanya melihat
dari kekerapanku bertugas ke mana-mana, dan juga sikapku
yang tidak ada takutnya kepada Paul. Mereka lupa, aku tak
punya ambisi karier apa pun. Hidup tanpa rumah permanen,
hidup dari satu ransel, telah kujalani lama sebelum aku ber"
gabung dalam tim Paul Daly.
Dalam dua tahun terakhir, yang terjadi hanyalah per"
panjangan dari serial pelarian yang kumulai dulu di Batu
Luhur. Ketika pola hidup yang sama kujalani sedemikian
lama, lambat laun hidup dalam pelarian menjadi kewajaran,
kurangkul menjadi identitas. Aku bisa paham mengapa Paul,
dengan cara-caranya, berusaha membuatku berhenti. Di
matanya, menjadi buron bukanlah hidup yang normal. Sa"
yangnya, kami tak bisa membekuk pihak yang mengejarku.
Aku telah menciptakannya. Dalam batinku sendiri.
372 Partikel Sejak hari di kafe Emporio, aku nyaris tak berhenti.
Namaku selalu ada di puncak daftar Paul. Terkadang aku
pergi tanpa bertanya lagi. Aku tak peduli akan berakhir di
mana. Ke mana pun selama aku bisa cepat meninggalkan
London, dan selama negara tujuannya bukan Indonesia.
Di London, aku kembali pindah ke rumah Zach. Tidak
pernah lebih dari seminggu aku menetap di kota itu. Se"
ketika ada kegerahan, keengganan, nyaris kemuakan, ketika
aku harus melihat sudut-sudut kota yang dulu sering kulalui.
Segala upaya kontak baik dari Koso maupun Storm ku"
blok rapat-rapat. Mentok menghubungi lewat ponsel, surel,
ataupun titipan pesan lewat teman-teman, keduanya pernah
nekat mencoba menghampiriku langsung. Bagaikan hantu
yang berusaha berkomunikasi dengan manusia tumpul, tak
kugubris mereka sama sekali. Bagiku, keduanya tak ada.
Akhirnya mereka berhenti berusaha.
Segala jurang perbedaan yang dulu membentang antara
duniaku dan dunia Koso, antara industri fotografiku dan
industri fotografi Storm, kini kusyukuri habis-habisan. Ka"
rena jurang itu, kecil kemungkinan kami bertemu dan beri"
risan. Alam bebas tak lagi sekadar tempatku bekerja, melainkan
juga suaka. Tempatku berlindung dari figur-figur seperti
Brutus, Iago, Macbeth, Yudas Iskariot. Figur yang me"
nurutku hanya akan muncul jika sudah terlampau lama kita
berbaur dengan manusia-manusia modern yang politis, ber"
373 Keping 40 agenda, dan berdrama. Aku tak sanggup lagi berjudi dengan
hidup. Kepingku habis. Daduku beku.
Aku rindu Tanjung Puting. Aku rindu Ibu Inga. Aku
mendamba bertemu Sarah dewasa. Namun, aku tahu tujuan
sejati Paul mengirimku ke Indonesia adalah agar aku kem"
bali ke Tanah Jawa, menuntaskan apa pun itu yang meng"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

awali pelarian panjang ini. Paul boleh bermimpi dan ber"
usaha, tapi ia seharusnya lebih tahu, untuk yang satu ini aku
tidak bisa dipaksa. Apa pun yang dikatakan Paul hari ini, kami semua sudah
bisa menyimpulkan hasil akhirnya. ZRH tidak jadi ke Kali"
mantan. London Sekembalinya kami dari Madidi, aku langsung booking Helen
untuk pijat shiatsu. Paul belum memberikan jadwal baru.
Kegiatanku selama hari-hari ke depan akan kufokuskan pada
apa pun kegiatan domestik, indoor, yang membuatku tetap
sibuk tanpa harus banyak keluar rumah.
Sepulangnya Helen, selembar faks masuk. Doaku ter"
jawab dengan cepat. Zach membacanya. "Untuk siapa?" tanyaku.
374 Partikel "Belum tertulis. Tapi aku 99,9 persen yakin, ini akan jadi
tugasmu." "Di mana?" "Pasifik." "Fiji lagi?" Zach menahan tawa. "Absobloodylootely not Fiji."
"Solomon" Samoa" Pulau Paskah?"
"Kamu sangat optimistis," cetusnya geli.
Tak sabar, kurampas lembar faks di tangannya. Mataku
membelalak. "Pacific Trash Vortex?"
"Bersemangat memotret sampah, Zarah" Yay!" Zach de"
ngan jenaka mengepalkan kedua tangannya di udara.
Aku terbahak, "Well, I smell my Times cover there, I tell
you." "Ah, yes. Bayangkan, foto kepala boneka mengambang di
tengah ratusan botol plastik di Samudera Pasifik," dengan
dramatis Zach menggambarkan. "I smell Pullitzer."
Aku biarkan saja Zach berpuas-puas mengejekku. Ber"
buru foto sampah di tengah laut memang bukan proyek
dambaan banyak orang. Selama Paul memiliki namaku di
daftarnya, ia selalu akan punya martir yang siap ber-jiba"
kutai. The Great Pacific Garbage Patch atau Pacific Trash
Vortex mulai jadi perhatian ketika beberapa tahun lalu se"
orang pelaut menemukan konsentrasi sampah dalam ukuran
gigantis mengapung di Samudra Pasifik sebelah utara.
375 Keping 40 Orang-orang sempat ribut menjulukinya "benda buatan ma"
nusia termasif ", mengalahkan Tembok China. Ukurannya
dua kali Negara Prancis. Dan berpotensi terus bertambah
besar. Dalam air yang terkontaminasi vorteks tersebut, jum"
lah serpihan plastik dalam per liter airnya mengalahkan
jumlah plankton hingga enam kali lipat.
Aku akan ikut memotret untuk sebuah proyek daur ulang
yang disponsori perusahaan swasta. Kami tahu, mereka pa"
ling banyak hanya akan mampu mendaur ulang seperseratus
ribu dari keseluruhan sampah. Tetapi upaya dan publisitas
yang mengikutinya tetap menjadi menarik.
Siapa pun yang melihat wujud Pacific Trash Vortex akan
merasa Bumi ini tidak punya masa depan, demikian opini
yang beredar. Mendengarnya, aku tersenyum tawar. Sudah
lama aku merasa tempat ini tak punya lagi masa depan. Se"
lama manusia masih menjadi penguasa, planet ini akan di"
sedot hingga tetes air terakhir, hingga molekul oksigen habis
tak bersisa di udara. Kami adalah virus. Virus akan mem"
bunuh hingga inangnya mati dan ia ikut binasa.
Anggaran penanggulangan sampah di Pasifik kalah jauh de"
ngan anggaran film terbaru James Bond, Zach lalu berkelakar.
Dalam hati, kami sadar itu masalah serius. Menuju kehan"
curan, manusia modern bahu-membahu. Menghabiskan dana
dan tenaga untuk jutaan hal tak penting dan mengesamping"
kan urusan hidup dan mati Bumi ini sembari berteriak tak
cukup dana. 376 Partikel Pintu apartemen Zach diketuk berbarengan dengan suara
bel. Tak lama, Paul melangkah masuk. Mukanya tegang.
"Hiya, Missy," sapanya pendek.
"I"m ready for my garbage," sahutku.
"Kamu nggak berangkat."
"Apa?" Aku langsung bangkit berdiri. Sudah hampir se"
minggu aku di London. Paul tahu, aku bakal kesemutan jika
sampai sehari lagi dibiarkan di sini.
"Zach yang berangkat."
"Apa?" Zach ikutan berdiri.
"Saya punya kabar untukmu. This is where you will be
going." Paul menyerahkan se"lembar kertas kepadaku.
Aku membukanya. Sebuah nama yang tak kukenal, se"
deret alamat. Glastonbury. Inggris.
"Glastonbury" Ada proyek apa di Glastonbury?" tanyaku
bingung. "Selama ini saya minta tolong beberapa orang yang punya
koneksi ke Nikon dan jaringan kolektor. Your FM2/T.
Finally, we have a name. Dialah pemilik asli kamera yang di
tanganmu." Lututku langsung lemas. "And I have to go to the Pacific?" Terdengar Zach ber"
celetuk. Paul langsung mendelik ke arahnya.
"Oke, oke. Zarah punya misi yang lebih penting," Zach
cepat-cepat menambahkan. 377 Keping 40 Aku terduduk di sofa. Bengong. Tahunan kutunggu kabar
ini. Sebuah petunjuk. Seremah roti. Kubaca kertas itu sekali
lagi. "Saya pernah coba mencari, lama sekali, and I got
nothing... b"bagaimana kamu bisa...?" dadaku sesak.
"You just need to knock on the right door. Saya cuma ber"
untung," Paul mengangkat bahu.
Kepalaku menggeleng. "No way. Saya tahu persis, menelu"
suri informasi seperti itu susahnya setengah mati. Sudah
berapa lama kamu ikut mencari?"
"It"s not important," sahut Paul cepat, "yang penting adalah
kertas di tanganmu."
"Thank you, Paul," bisikku. Tak tahu harus berkata apa
lagi. "Saya tahu kamu sudah nggak mau di London lebih
lama. Jadi, pergilah besok. Sekarang sudah terlalu sore untuk
mengejar bus ke sana."
Aku merasa yang dimaksud Paul sesungguhnya adalah
menyiapkan hati. Glastonbury hanya beberapa jam dari
London. Aku bisa berangkat saat itu juga kalau mau. Na"
mun, berita ini terlalu besar untuk disambut dengan keter"
gesaan. Terutama bagi seseorang yang sudah dalam pelarian
begitu lama. Ini adalah remah pertamaku untuk menemukan kembali
"rumah". Ayah. 378 Partikel Seperti yang sudah kami duga, aku tak bisa tidur sema"
laman. Bolak-balik gelisah di tempat tidur hingga pagi da"
tang. Kucek lagi kelengkapan barangku yang padahal hanya
satu tas itu. Rumah Zach sudah kurapikan hingga sudut
yang tersembunyi. Dan, aku masih gelisah mencari apa yang
bisa kulakukan hingga jadwal busku tiba.
"No coffee for you, mate," Zach menyorongkan secangkir
teh. "Chamomile" Really?"
"Kamu nggak tidur semalaman, Zarah. Saya tahu itu.
Kalau kamu minum kopi pagi ini, kamu nggak bakalan tidur
di bus nanti." "Saya memang nggak berencana tidur!" protesku.
"You will need some rest," sahut Zach kalem.
Tahu-tahu, terdengar bel berbunyi dan pintu diketuk ber"
samaan. "Paul?" Zach terkejut. Namun, tak ada lagi tamunya
yang mengetuk dan mengebel secara bersamaan seperti Paul.
Ternyata benar. Paul datang dan langsung bergabung sa"
rapan bersama kami. "Saya akan mengantarmu ke terminal," katanya pendek
sambil melahap muffin. "Kupikir kamu mau melepasku pergi ke Pasifik," sindir
Zach. "I"ll be floating on the sea of rubbish for days, you know."
379 Keping 40 "Kamu nggak perlu mengantar saya, Paul," ucapku.
Paul tidak menjawab, hanya menyumpal mulutnya dengan
gumpalan English Muffin yang kedua.
Terkecuali tugas pertamaku di Kenya, tak sekali pun Paul
pernah mengantarku lagi. Tapi, perjalanan yang satu ini ber"
beda. Prioritas Paul selama ini adalah memutus pelarianku,
dan akhirnya ia berhasil berkontribusi secarik petunjuk agar
aku berhenti berlari. Ia hadir untuk memastikan kegenapan
kontribusinya. "Kamu pasti nggak telepon orangnya dulu. Ngaku," tu"
ding Paul sambil menyerahkan tiket busku.
Aku menggeleng. "It will be wise if you call first."
"Kalau ini satu-satunya petunjuk di dunia yang tersisa
untuk menemukan ayah saya, akan saya selidiki dengan se"
gala kekuatan yang saya punya. Do you seriously think I will
back out if nobody answers my call" No way, Paul. I"m going
there myself." "I"m coming with you." Paul mengacungkan selembar tiket
lagi. Secepat kilat aku menyambar tiket di tangannya. Dan
untuk bisa merampas dari tangan Paul, aku harus melompat
380 Partikel tinggi seolah membidik ring basket. "No. You return this
ticket. Now. Saya pergi sendiri."
"Kenapa, sih, kamu keras kepala banget jadi orang?" seru
Paul gemas. "You"ve done so much already, Paul," kataku lembut. Ku"
kembalikan tiketnya baik-baik. "Perjalanan yang satu ini
adalah jatah saya sendirian," tegasku lagi.
"Saya cukup kenal kamu untuk bisa yakin kamu baik-baik
saja, tapi ini bukan cuma masalah kamu pulang ke London
dengan selamat, Zarah," Paul tersenyum getir. "I can"t see you
being crushed anymore. By your own hope."
Sebagai jawaban, aku mendekap Paul. Lama. Meski te"
rasa ragu, lengan-lengannya yang kekar dan berbulu akhirnya
balas mendekapku. Tidak ada yang bisa menciptakan rasa
aman seperti Paul. Ia membuatku seolah bersahabat dengan
Yeti. Dan jika kau bisa menundukkan Yeti, kau bisa me"
nundukkan apa saja. "From where I am now, the only way to go is up, Paul. I hit
my rock bottom. I"ll be fine," bisikku.
"You take care," Paul melepaskan pelukannya. "I"m always
here." Aku memandangi Paul yang berjalan pergi. Langkahlangkahnya yang besar membuat ia menjauh dengan cepat.
Baru saja aku mau membalik badan, tiba-tiba terdengar Paul
berlari. Dengan lebih cepat lagi ia kembali di hadapanku.
Pinggangku direngkuh dan ia mendaratkan sebuah ciuman.
381 Keping 40 Setengah mendarat di pipi, dan setengah lagi mendarat di
bibir. Sama terburu-burunya, ia kemudian melepas tubuhku,
tersenyum gugup, yang kubalas sama gugupnya. Lalu, ia
pergi. Sepanjang perjalananku di bus, bayangan Paul terus
menghantui. Sekejap tatapannya sebelum ia mendekat, se"
nyum gugupnya, ciumannya yang ambigu, menciptakan
lingkaran pertanyaan di benakku. Di antara pertanyaan-per"
tanyaan itu, terselip pertanyaan bagi diriku sendiri. Masih
perlukah aku bertanya atas sesuatu yang sebetulnya sudah ku"
ketahui jawabannya" Glastonbury Kepergianku ke Glastonbury yang tanpa persiapan tidak
memberiku cukup waktu untuk mempelajari tempat tujuanku
itu. Berbekal brosur yang kubaca di jalan, aku mengetahui
sedang ada simposium tahunan yang merupakan ajang besar
di kota tersebut. The Glastonbury Symposium adalah konfe"
rensi akbar para peminat crop circle, UFO, metafisika, geo"
metri sakral, dan sejenisnya.
"It"s where the New Agers from all over the world flock each
year," seorang ibu tua berkacamata di sebelahku berceletuk
ketika melihat halaman brosur yang khusyuk kubaca. "You"re
interested in crop circles?" tanyanya.
382 Partikel "Nggak," aku menggeleng sambil tertawa. "Saya sedang
cari seseorang di Glastonbury."
"Well, make sure you have a place to stay. Susah cari tempat
penginapan selama ada simposium," katanya.
"Punya rekomendasi?"
Selembar kartu nama hadir di depan mukaku. Elena Bed
& Breakfast. Ibu itu tersenyum lebar. "Yes. It"s mine. Only one
room left." Aku tak heran mengapa acara akbar metafisika bisa terwujud
di Glastonbury. Sesuatu di kota ini menghanyutkan kita
pelan-pelan dalam aura mistiknya. Bahkan berhasil meredam
keterburu-buruanku. Sesuai dengan ide Elena, aku tidak lagi tergesa menuntas"
kan tujuanku mencari alamat yang dikasih Paul. Hari itu,
aku menghabiskannya dengan jalan-jalan.
Terkenal oleh puncak Tor tempat reruntuhan gereja St.
Michael berdiri, Glastonbury pun terkait dengan legenda
Yusuf dari Arimatia, Holy Grail, Holy Thorn, dan Raja
Arthur. Bahkan sebagian kalangan percaya bahwa Yesus
muda pernah menginjakkan kakinya di sini. Tanpa ajangajang besar seperti Glastonbury Symposium atau Glastonbury


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Festival, turis tetap membanjiri tempat ini untuk keperluan
ziarah. 383 Keping 40 Entah itu spiritualitas New Age, Kristen, pagan, atau se"
kadar romantisme zaman medieval, Glastonbury merangkul
semuanya. Dari mulai maraknya toko ornamen kristal,
amulet, tarot, hingga jasa penyembuhan alternatif dan ber"
aneka ragam terapi relaksasi, semua itu menjadi bagian dari
pesona Glastonbury. Elena, yang sekilas terkesan seperti manusia skeptis, tetap
melengkapi penginapannya dengan fasilitas jasa aromaterapi
dan penyembuhan reiki yang bisa dipesan ke kamar. Terlihat
pula kristal-kristal yang dipajangnya di berbagai penjuru
ruangan. Ia melayani menu vegan, organik, dan menyedia"
kan taman luas untuk meditasi.
"Memang inilah yang dicari orang di Glastonbury," jelas"
nya, " for them, coming here it"s a spiritual retreat. For us, it"s
business." Keesokan paginya, aku sarapan roti gandum utuh, telur acak,
dan semangkuk besar salad organik. Aku menjadi orang
yang terakhir sarapan. Semua penghuni lain di sana adalah
peserta simposium dan mereka sudah berangkat lebih pagi.
"You"re not going?" tanyaku kepada Elena yang duduk me"
nemaniku. Elena mengibaskan rambut sebahunya yang sudah ber"
campur warna antara putih dan pirang, "Nothing excites me
384 Partikel anymore." Ia menyeruput tehnya, "Pada akhirnya, seluruh hi"
dup kita menjadi spiritual tanpa perlu dicari-cari. When you
get to my age, you"ll know what I mean."
Usia Elena mungkin sama atau lebih tua sedikit dari
Abah, tapi sikapnya yang easy going membuatku seperti
ngobrol dengan teman sebaya.
"Kamu" Sudah tahu mau ke mana hari ini?" tanyanya
balik. "I think so," jawabku. "Saya mau ke alamat ini."
Elena membenarkan posisi kacamatanya, membaca.
"Weston Palace?" ia menatapku tajam. "THE Weston Palace?"
ulangnya dengan penekanan.
Aku balik menatapnya. Terheran-heran.
Elena tertawa kecil, "I should"ve known. Pantas saja. Kamu
dari Indonesia, ya" Masih keluarga Hardiman?"
Cara Elena mengucapkan "Hardiman" lebih mirip bule
yang berusaha melafalkan bahasa Indonesia. Sebaliknya,
"Hardiman" dalam benakku lebih mirip seperti orang Indo"
nesia mengucap "Hardy-man".
"Simon Hardiman... itu... orang Indonesia?"
"You don"t know him?" Elena gantian bingung.
"No. Should I?"
"You"re looking for him. But, you don"t know the person?"
"Saya cuma mau cari orang yang tinggal di alamat ini."
"Well, it"s quite same, isn"t it?" Elena terbahak. "He"s the
385 Keping 40 legendary Hardiman! Orang asing yang membeli salah satu
properti termahal di kota ini. Of course we all know him."
Aku tertegun lama di tempatku. Pengirim kamera miste"
rius itu ternyata orang Indonesia" Apa pun hubungan antara
orang bernama Simon Hardiman dan ayahku, gerbang ja"
waban yang kutunggu-tunggu akhirnya mulai terlihat.
"Saya harus pergi," kataku sembari menenggak tandas sisa
tehku. "Kalau saya jadi kamu, saya nggak akan buang waktu ke
Weston Palace. Hardiman tidak di sana," sahut Elena.
"And where is he?"
"Glastonbury Symposium," Elena menjawab kalem.
"Hardiman langganan jadi donatur acara itu. I even believe
he"s one of the founders."
Hari itu adalah hari kedua dari rangkaian tiga hari
Glastonbury Symposium. Sesi pertama sudah dibuka sejak
pukul sembilan tadi. Aku baru tiba di Town Hall pukul se"
belas kurang. Bertepatan dengan dimulainya sesi kedua. Tak
ada pilihan lain. Kuputuskan untuk membeli tiket dan ikut
duduk mengikuti acara. Sesi kedua ini menghadirkan seorang shaman kontemporer
386 Partikel yang juga ahli etnobotani. Sesinya akan membahas kebang"
kitan shamanisme dan relevansinya dengan era modern.
Perhatianku tidak sepenuhnya di acara. Aku sibuk celi"
ngak-celinguk mencari sosok orang Indonesia di ruangan.
Tidak mungkin sesusah itu, pikirku. Jika Simon Hardiman
betul orang Indonesia, pasti rambut hitam dan kulit sawo
matang akan menonjolkannya di tengah orang-orang kauka"
soid ini. Tak lama, aku meralat diriku sendiri. Simon Hardi"
man bisa saja keturunan China, atau ras campuran alias
indo. Sejauh mata memandang, tak kutemukan tanda-tanda
orang Indonesia menyelip di ruangan. Kecuali aku.
Setengah hati, kudengarkan celotehan pembicara bernama
Hawkeye Apachito ini. Dari namanya di jadwal acara, aku
pikir Hawkeye akan bertampang Indian dengan kulit keme"
rahan, tulang pipi menonjol, mata tipis, hidung panjang.
Beda total. Hawkeye adalah pria bule beraksen Amerika,
bermata biru, dengan rambut pirang yang sudah memutih.
Aksesori kalung manik bercampur bulu dan rambut panjang
diikat satu adalah karakter fisik satu-satunya yang mirip
Indian. Lainnya tidak. Pada sesinya itu, Hawkeye menjelaskan figur shaman.
Shaman dipercaya sebagai figur yang menjadi perantara dunia
materi dan dunia spirit. Mengandalkan koneksinya dengan
entitas spirit, seorang shaman dapat menyeberang bolak-balik
antarkedua dunia. Seorang shaman punya kemampuan ber"
komunikasi dengan bermacam-macam spirit yang ada dalam
387 Keping 40 setiap makhluk. Di mata seorang shaman, binatang seperti
jaguar bukan semata-mata sejenis kucing besar dengan bulu
totol-totol, spirit jaguar adalah pemandu yang mampu men"
carikan solusi di medan paling chaos sekalipun. Orca, bukan
semata-mata predator lautan, spirit orca adalah figur maha"
tahu yang menyimpan memori terjadinya kosmos. Sementara
ular adalah figur penjaga jalur keluar-masuknya dunia spirit.
Menurut Hawkeye, terputusnya hubungan manusia de"
ngan alam diindikasikan dengan praktik shamanisme yang
tergusur. Berbarengan dengan itu, hewan-hewan yang me"
wakili figur spirit tadi semakin langka dalam jumlah, habitat
mereka dilalap, dan hutan semakin terdesak. Bumi meng"
alami krisis karena relasi manusia dengan Bumi semakin
mekanistis. Alam ini tidak lagi dilihat sebagai bermukimnya
spirit-spirit luhur, melainkan sebatas kekayaan flora dan
fauna yang bisa dieksploitasi kapan saja.
Bukan cuma hewan, setiap tumbuhan juga memiliki
spirit. Kerajaan tumbuhan mengandung keluhuran yang
menjadikannya instrumen penting dalam penyembuhan dan
perjalanan antardimensi. Bagi seorang shaman, dunia ini ada"
lah tempat yang sangat hidup. Segala sesuatu berkomunikasi.
Hewan dan tumbuhan. Dunia spirit dengan dunia materi.
Hawkeye lalu menjelaskan, dalam praktik seorang
shaman, mereka kerap dibantu oleh tanaman-tanaman sakral
yang bisa membuat kesadaran seseorang terekspansi. Ta"
naman-tanaman yang disebut enteogen.
388 Partikel Pada momen itulah Hawkeye berhasil mendapatkan per"
hatianku. Kata "enteogen" sejenak mengalihkan misi pen"
carian Simon Hardiman. Aku mulai menyimak pria dengan
dandanan ala dukun ini. Hawkeye berargumen, pertemuan manusia dengan enteo"
gen adalah titik pertama yang membangkitkan sisi spirituali"
tas manusia. Sejak itu, kehidupan spiritualitas lantas berkem"
bang terus hingga menjadi praktik keagamaan modern. Pe"
riode shamanistik sempat menjadi fase panjang yang men"
dominasi kehidupan spiritualitas manusia. Fase itu lambat
laun bergeser ketika manusia memasuki era rasionalitas. Se"
iring dengan perkembangan sains, shamanisme mulai diting"
galkan. Agama menjadi lebih struktural, mekanistis. Ia
muncul sebagai organisasi besar yang menjadi perantara ma"
nusia dengan Tuhannya. Di layar besar, Hawkeye menampilkan foto-foto enteogen
yang telah dipakai ribuan tahun oleh manusia di berbagai
belahan dunia. Di Afrika, ada Iboga, dikonsumsi dalam ben"
tuk bubuk dari tumbukan akar Tabernanthe iboga. Dari Ame"
rika Selatan, dikenal Ayahuasca, minuman hasil rebusan
batang tanaman rambat Banisteriopsis caapi. Dari Amerika
Utara, tembakau"khususnya jenis Nicotiana rustica dan
kaktus Peyote, dikenal sebagai tanaman sakral yang dapat
menghubungkan manusia ke dunia spirit.
"Cannabis," Hawkeye lalu nyengir ketika melihat foto
389 Keping 40 daun hijau berjari-jari itu muncul, "saya bahkan bingung
mau ngomong apa soal yang satu ini...."
Para peserta ikut tertawa.
"Penggunaan cannabis sebagai instrumen spiritual tercatat
di literatur kuno dari mulai dari India, China, Yahudi, Arab,
Afrika, Eropa, hingga sisa Asia lainnya. Sebagai yang ter"
populer, saya nggak heran kalau cannabis juga menjadi yang
paling disalahgunakan. Nomor dua sesudah tembakau, ten"
tunya," Hawkeye nyengir. Layarnya kembali berganti. "Beri"
kutnya, setelah kerajaan binatang, tumbuhan, ada satu ke"
rajaan lagi yang secara taksonomi berdiri terpisah dari bina"
tang dan tumbuhan, yakni kerajaan fungi."
Dudukku menegak. Hawkeye menyedot telak perhatian"
ku. "Bagi saya pribadi, fungi adalah makhluk hidup yang
unik. Dia seperti berada di tengah-tengah antara tumbuhan
dan makhluk hidup bergerak seperti kita dan hewan. Se"
bagian ciri fisik tumbuhan ada pada fungi, tapi di sisi lain
fungi pun mirip dengan manusia. Barangkali karena itulah,
salah satu enteogen terkuat yang alam ini miliki datang dari
kerajaan fungi," tuturnya.
"Saya akan menunjukkan bukti-bukti sejarah penggunaan
jamur dalam kehidupan spiritual manusia," Hawkeye kemu"
dian berjalan ke laptop-nya, dan seri gambar baru muncul di
layar. Ada foto patung-patung batu berupa tudung jamur, di"
390 Partikel topang oleh batang menyerupai manusia. Hawkeye menjelas"
kan bahwa patung-patung tersebut peninggalan Aztec yang
berhasil diselamatkan dari penghancuran besar-besaran yang
dilakukan oleh tentara Spanyol dan represi agama Katolik
saat itu. "Patung-patung jamur dari peninggalan Aztec menggam"
barkan Psilocybe caerulescens dan Psilocybe mexicana, yang di"
kenal dengan sebutan Teonan"catl, yang artinya jamur Tuhan.
Mereka percaya, jamur Psilocybe adalah jendela untuk men"
cicipi keilahian. Gerbang untuk kesembuhan dan keabadian."
Foto berikutnya adalah relief pintu katedral dari tahun
1020 di Hildesheim, Jerman, yang menggambarkan drama
Firdaus antara Tuhan, Adam, dan Hawa. Uniknya, tergam"
bar dengan jelas bahwa buah pengetahuan di relief tersebut
adalah Psilocybe semilanceata, yang dikenal juga dengan ju"
lukan Jamur Topi Penyihir.
Kemudian tampak lukisan dinding gua di Tassili, Aljazair
Selatan. Sosok yang dilukis tersebut menyerupai shaman za"
man Paleolitik yang membawa jamur di tangan dan di seku"
jur tubuhnya. Gambar yang diperkirakan dibuat sekurangnya
7.000 tahun SM itu merupakan dokumentasi tertua pe"
makaian jamur dalam konteks spiritual.
Lalu, muncul foto lain. Relief batu dari Yunani yang
menggambarkan dewi tetumbuhan, Persefone, menerima
jamur dari ibunya, dewi pertanian, Demeter. Ritual legen"
daris sekaligus paling misterius itu terjadi di Eleusis. Selama
391 Keping 40 dua milenia, ribuan orang Yunani menempuh perjalanan
ziarah dari Athena menuju Eleusis. Nama-nama besar seperti
Aristoteles, Plato, Homer, dan Sofokles, tercatat sebagai
partisipan. Baru pada tahun "70-an akhir, para ahli enteogen
modern menduga kuat bahwa upacara sakral di Eleusis ber"
titik pusat pada jamur psikoaktif.
Selanjutnya, tampak gambar sebuah fresko yang meng"
gambarkan legenda Adam, Hawa, dan buah pengetahuan.
Fresko tersebut diambil dari kapel Plaincourault di Prancis.
Kali ini, terlihat jelas buah pengetahuan tersebut adalah ja"
mur berwarna merah berbintik putih.
Hatiku berdesir melihat jamur yang membayangiku ber"
tahun-tahun kembali muncul.
"Amanita muscaria, yang punya julukan The Fly Agaric,"
Hawkeye berhenti sejenak untuk tertawa kecil. "Kalau ada
jamur yang bisa mewakili teori konspirasi, inilah dia."
"Periode shamanistik di kebudayaan Barat diwakili oleh
praktik sihir, atau witchcraft. Ketika agama formal mulai
mendominasi, witchraft mengalami represi keras. Mereka
yang ketahuan melakukan witchcraft, atau mereka yang di"
sebut para penyihir, dihukum, disiksa, bahkan dibunuh de"
ngan sadis. Mereka distigma sebagai orang-orang sesat, ja"
hat, berdosa besar. Dengan mudah kita bisa melihat dari
bagaimana nenek sihir ditampilkan di dongeng dan legenda
yang beredar di masyarakat. Represi yang keras terhadap
witchcraft ikut menciptakan stigma yang sama pada enteogen
392 Partikel yang mewakilinya. Itulah yang dialami Amanita muscaria.
Kebudayaan di Barat hampir semuanya mengalami miko"
fobia. Kecurigaan dan ketakutan berlebihan kepada jamur.
Tapi, justru di sinilah kekuatan alam berbicara," Hawkeye


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum simpul. "Anda tahu kan, bagaimana cara alam bawah sadar kita
menghadapi trauma?" lanjut Hawkeye jenaka. "Kalau kita
punya trauma, atau konflik yang belum tuntas, maka batin
bawah sadar kita akan terus memunculkan situasi di mana
kita jadi terus berhadapan dengan trauma dan konflik ter"
sebut. Hingga mereka diselesaikan. Yes?"
Para peserta berkor sama-sama menyahut, "Yes."
"Stigma kita atas praktik perdukunan, sihir, shamanisme,
witchcraft begitu keras, tapi gambar Amanita muscaria, yang
merupakan salah satu maskot enteogen dari kerajaan fungi,
adalah jamur paling populer, paling sering dipakai, paling
sering muncul dalam kehidupan kita. Books, cartoons, video
games, you name it. How paradoxical is that?" Hawkeye tertawa
renyah. "Setelah konspirasi politis habis-habisan mencoba
mengenyahkan penggunaannya, Amanita muscaria seperti
berkonspirasi balik dengan alam bawah sadar manusia, me"
nunjukkan trauma kolektif yang perlu kita sembuhkan ber"
sama." Tanganku mengacung, spontan. "Apa efek enteogen di
tubuh?" aku bertanya.
"Enteogen melebarkan spektrum kesadaran, memampu"
393 Keping 40 kan kita merasa dan melihat segala sesuatu lebih intens. Saat
ini terminologi yang ada untuk menggambarkan fenomena
itu adalah "halusinasi?""
"Jadi, yang kita lihat cuma halusinasi?" potongku.
"Sama sekali bukan CUMA," Hawkeye menyambar ce"
pat. "Bagaimana kita mempersepsikan fenomena bernama
halusinasi sangat menentukan penghargaan kita terhadap
enteogen. Secara definisi, halusinasi berarti persepsi yang
timbul tanpa ada stimulus eksternal. Kenyataannya, konotasi
halusinasi yang sering kita pakai ada di kategori delusional,
irasional, dan tidak nyata. Saya tidak melihatnya seperti itu."
"Can you elaborate?" desakku.
Hawkeye menatapku lurus. "And your name is?"
"Zarah," sebutku lantang.
"Oke, Zarah," Hawkeye berdeham. "Kamu mengerti bah"
wa segala makhluk dan benda di alam tiga dimensi ini me"
miliki aspek gelombang" Yes?"
Aku mengangguk saja. "Kalau kamu mengukur semua objek dalam alam tiga di"
mensi ini, maka rata-rata panjang gelombangnya 7,23 senti"
meter. Seperti tangga nada, setiap not bisa berbeda karena
panjang gelombangnya berbeda. Demikian juga realitas kita.
Jika kita punya kemampuan menangkap benda dengan pan"
jang gelombang berbeda, maka apa yang tadinya tidak ke"
lihatan dalam kondisi normal tiga dimensi, bisa jadi ke"
lihatan. Ibarat kamu nonton televisi, kalau di layar kamu
394 Partikel cuma ada CNN, bukan berarti saluran BBC di gelombang
lain tidak ada. Kamu hanya tidak sedang tune-in ke saluran
itu. Mengerti?" Aku mengangguk lagi. "Enteogen mampu melebarkan daya tangkap kita. Apa
yang tadinya tidak terlihat, jadi terlihat. Apa yang tadinya
tidak terdengar, jadi terdengar. Apa yang tadinya tidak nyata,
menjadi nyata. Kalau halusinasi artinya adalah persepsi tanpa
stimulus eksternal, lalu bagaimana dengan stimulus internal"
Itulah yang dilakukan enteogen kepadamu. Dia membuka
realitas baru dari dalam."
"Memangnya efek enteogen itu objektif sama bagi semua
orang?" "Ya dan tidak," tandasnya. "Enteogen yang disalahguna"
kan, misalnya, berakibat fatal. Contoh, tembakau. Dalam
ritual spiritual Indian, asap tembakau jarang diisap, melain"
kan ditiup. Tembakau yang digunakan murni. Bagaimana
tembakau tersebut dipersepsikan dan konteks pemakaiannya
amat terjaga. Hasilnya" It heals. Rokok, sama-sama pakai
tembakau, tapi dicampur dengan 4.000 zat kimia lain. Dibeli
tanpa berpikir, digunakan untuk rekreasi dan candu, akibat"
nya" Rokok menjadi ancaman kesehatan terbesar di dunia. It
kills. Jadi, sama-sama tembakau, tapi efeknya berbeda. Con"
toh lain, enteogen yang dipakai oleh orang yang konstruksi
mentalnya labil, patologis, dan tidak ada fasilitator yang
kompeten. Hasilnya" Fatal. Tapi, ketika enteogen dipakai
395 Keping 40 sesuai fungsi, dalam konteks yang sakral dan benar, saya pu"
nya setumpuk dokumen yang saya kumpulkan puluhan tahun
dan bisa kamu cek kalau punya waktu, bahwa dimensi yang
ditunjukkan oleh enteogen sifatnya konsisten. Apa yang di"
alami ribuan orang yang diinisiasi Ayahuasca, visi yang me"
reka lihat, figur-figur spirit yang muncul, sangat mirip dan
khas. Begitu juga dengan Iboga, Peyote, Psilocybe, dan se"
terusnya. Does it answer your question?"
Napasku menghela panjang. Sementara cukup. Aku
mengangguk dan duduk, "Thank you."
Tanya jawab masih berlangsung hingga setengah jam ke
depan. Setelah itu Hawkeye menutup sesinya dengan kesim"
pulan, "Secara historis, enteogen memiliki peranan mutlak
dalam awal mula kehidupan spiritual manusia," tegasnya.
"Bahkan saya berani berkata, segala kehidupan religius dan
spiritual yang kita miliki sekarang berakar pada enteogen.
Seperti saklar lampu, enteogenlah yang kali pertama meng"
aktifkan dimensi spiritual pada otak manusia."
Tepat pukul dua belas siang, para peserta rihat makan siang.
Orang-orang berdiri, meninggalkan bangkunya. Beberapa
tersisa untuk melanjutkan diskusi antarmereka, beberapa
mendatangi Hawkeye untuk bertanya. Aku adalah salah satu
396 Partikel dari orang yang tersisa di ruangan. Mengamati muka-muka
orang yang berjalan keluar. Mencari.
Aku terkejut ketika menyadari di hadapanku seorang pria
telah berdiri. Entah sudah berapa lama ia di sana. Dari ram"
butnya yang mulai menipis dan sebilah tongkat yang di"
pakainya, aku menduga umurnya sekitar 60 tahunan. Dari
sikap tubuh dan sorot matanya yang cerdas, ia menunjukkan
semangat yang jauh lebih muda. Garis muka dan warna
kulitnya jelas menunjukkan ia orang Asia. Memakai kemeja
flanel kotak-kotak lengan panjang dan jins, pria itu menatap"
ku santai. Jantungku kehilangan degupnya sesaat. "Simon Hardi"
man?" tanyaku tegang.
"Gimana Nikon Titanium saya" Belum rusak?"
Kami makan siang semeja. Aku tak menyentuh makananku
sama sekali. Fokusku ada di hal lain. Lagi pula, hanya orang
Inggris yang berani menyebut roti lapis dingin, potongan
ikan goreng tepung, dan sepiring keripik kentang sebagai
"makan siang". Bagi perutku, itu lebih mirip camilan baca
buku. Setelah bertemu langsung, barulah aku memahami
mengapa aku tidak berhasil menemukan pria itu di antara
peserta. Tubuh Pak Simon ramping dan proporsional, tapi
397 Keping 40 tingginya hanya sedadaku. Kedua, ia duduk di barisan paling
depan. Dengan tinggi badan demikian, tenggelamlah Pak
Simon di sandaran kursi. Belum lagi, batok kepalanya yang
sudah jarang ditumbuhi rambut menyarukan profil orang
Asia berambut hitam yang kucari-cari.
Aku pun mengamati satu keanehan. Pak Simon tidak ke"
lihatan membutuhkan tongkat. Ia berjalan tegap dengan
langkah-langkah gesit. Namun, tak sekali pun ia melangkah"
kan kaki tanpa iringan tongkat kayu berwarna hitam itu.
"Enam tahun yang lalu saya mengirimkan paket untuk
seorang anak bernama Zarah," ia berkata. Terdeteksi logat
Jawa membayangi pengucapannya. "Siapa sangka tahu-tahu
hari ini anak yang sama muncul di Glastonbury Symposium"
Begitu lihat kamu berdiri dan menyebutkan namamu, saya
langsung yakin, kamu anak yang sama," lanjutnya sambil
tersenyum. "Kenapa Bapak kirim kamera itu ke saya" Kenapa harus
anonim" Apa hubungan Bapak dengan ayah saya?" beron"
dongku tak tertahan. Pak Simon tertegun. "Sebentar. Bukan Firas yang mem"
beritahumu untuk kemari?"
Kepalaku seperti ingin meledak. Luapan emosi dan bun"
cahan pertanyaan yang selama ini terpendam rasanya ingin
serempak meledak. "Pak, kamera itulah yang membawa saya sampai ke
Inggris," kataku gemetar, "kamera itu juga satu-satunya pe"
398 Partikel tunjuk yang saya punya untuk menemukan ayah saya. Saya
nggak tahu alasan Bapak mengirim kamera itu, tapi saya
yakin ada hubungannya dengan ayah saya. Karena cuma dia
di dunia ini yang dengan spesifik pernah menjanjikan ke"
pada saya kamera di ulang tahun saya yang ke-17!" ucapku
setengah meratap. "Ayahmu hilang?"
"Saya, Ibu, dan adik perempuan saya, sudah dua belas
tahun nggak dengar kabar apa-apa dari Ayah. Dia masih
hidup atau nggak, kami juga nggak tahu," ucapku getir. "Te"
man saya berhasil melacak kamera itu, dan muncullah nama
Bapak. Saya selalu merasa kedatangan saya ke Inggris cuma
karena keberuntungan, tapi sekarang saya yakin, saya bisa
kemari karena saya diberi kesempatan untuk menemukan
Ayah. Lewat Bapak. Jadi...," aku menelan ludah, "pertanyaan
saya cuma satu. Bapak tahu di mana ayah saya?"
Pak Simon tidak langsung menjawab. Ia mengusap wajah"
nya, mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, menghela napas
berat berkali-kali. Gelisah. Berpikir.
"Saya tidak tahu dia di mana, Zarah," akhirnya ia berkata
tegas. "Tapi, saya mungkin satu-satunya orang yang bisa
membantu kamu mencarinya."
399 Keping 40 Untuk memulai misi pencarian ini, Pak Simon mensyaratkan
tiga hal. Pertama, aku harus mengepak barang-barangku dari
tempat Elena dan pindah ke Weston Palace. Kedua, berhu"
bung rangkaian Glastonbury Symposium merupakan hajatan
pribadi baginya, aku diminta mengikuti dulu semua kegiatan
simposium hingga tuntas. Ketiga, percaya sepenuhnya kepada
metode yang akan ia tempuh. Dengan cepat, kuiyakan ketiga
syaratnya. Tanpa ragu. Dia satu-satunya peluang yang ku"
punya. Sore itu juga, aku pamit kepada Elena. Menaiki taksi,
aku pergi ke Weston Palace yang letaknya di daerah per"
bukitan, tak jauh dari Tor.
Ketika taksi kami melewati gerbang besi tinggi yang ter"
buka secara otomatis, hamparan taman hijau yang tak kuli"
hat tepinya menyambut kami, barulah aku tersadar apa yang
dikatakan Elena tentang Simon Hardiman. Weston Palace
memang istana dalam arti sesungguhnya. Ketika salah satu
bangunan termewah di kota ini dibeli pendatang, orang itu
pasti jadi pusat perhatian.
Dari hasil mengobrol dengan sopir taksi dan Elena, aku
jadi tahu bahwa Weston Palace adalah salah satu bangunan
aristokrat Inggris yang satu per satu jatuh ke pembeli asing.
Weston Palace, bangunan bersejarah yang tadinya diperun"
tukkan sebagai rumah peristirahatan salah satu ningrat ke"
400 Partikel rajaan Inggris itu sudah sempat mau dijadikan hotel butik.
Apalagi lokasinya dekat dengan Tor yang merupakan tujuan
wisata utama Glastonbury. Rencana tersebut bubar begitu
seorang konglomerat dari Indonesia bernama Simon Hardi"
man membeli lelang properti itu dengan harga paling tinggi.
Pintu besar gaya arsitektur Baroque itu membuka. Se"
orang pria Inggris tinggi besar berseragam butler tersenyum
tipis, "Miss Amala" Please, come in. My name is Robert. At your
service." Dengan cekatan, ia menenteng tasku.
Aku mengikuti langkah Robert yang baru saja dengan
elegannya memanggilku "Miss Amala". Satu pengalaman
baru. "Mr. Hardiman is waiting in the library," jelas Robert lagi.
Langkahnya yang besar-besar membuatku kehilangan kesem"
patan menikmati pemandangan spektakuler ini. Langit-langit
tinggi dengan chandelier bertingkat-tingkat, jendela-jendela
dengan tirai besar yang menandingi tirai bioskop, lukisanlukisan bangsawan entah siapa, kursi dan lemari berwarna
tembaga keemasan dengan ukiran meliuk-liuk. Aku merasa
sedang memasuki kastel dongeng.
Dongeng itu makin surealistis ketika sosok Simon Hardi"
man menungguku dengan dua cangkir dan sepoci teh.
Semua kemewahan Inggris klasik yang tadi kulihat dimiliki
oleh bapak berjins dan berkemeja flanel ini.
"Zarah, selamat datang di Weston," Pak Simon terse"
nyum. "Saya senang bisa ngobrol bahasa Indonesia lagi."
401 Keping 40 Setelah menuangkan teh, Robert pun pamit pergi sambil
membawa tasku untuk diantar ke kamar.
"Bapak tinggal sendiri?" tanyaku.
"Hampir selalu," jawabnya. "Kadang-kadang saja saya ke"
datangan tamu. Seperti kamu sekarang."
Ditemani teh Earl Grey panas dan senampan kue kering,
meluncurlah cerita terdamparnya Simon Hardiman di da"
ratan Inggris. Datang dari generasi panjang keluarga saudagar, bisnis
utama Pak Simon bergerak di kapal tanker yang kemudian
beranak pinak menjadi aneka bidang bisnis, termasuk energi,
pertambangan, rumah sakit, dan seterusnya.
Usia Pak Simon kini 65 tahun, tapi ia telah pensiun dari
perusahaannya sejak tujuh belas tahun lalu. Ia memutuskan
untuk nonaktif dari dunia korporat, membiarkan anak-anak
dan saudaranya mengambil alih, sementara ia hanya mengen"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalikan dari jauh. Pak Simon pergi bertualang keliling du"
nia. Setelah dua tahun berkelana menikmati masa pensiun"
nya, ia memutuskan pindah ke Glastonbury. Pak Simon
lantas membeli Weston Palace, bangunan empat lantai de"
ngan sedikitnya dua puluh kamar tidur yang berdiri di lahan
seluas tiga hektare, lengkap dengan taman bunga dan hutan
mungilnya. Ia tinggal sendirian tanpa keluarga. Sebagai
ganti, Pak Simon dikawal oleh lima pelayan, dua koki, em"
pat tukang kebun, dan seorang sopir.
402 Partikel "Kejadian yang membuat saya pensiun dini adalah hal
yang menghubungkanku dengan ayahmu," katanya.
Ini dia yang kutunggu-tunggu. Badanku menegang.
Di cangkir kami yang kedua, mengalirlah cerita yang tak
kusangka-sangka. Cerita yang lebih surealistis lagi dari kastel
dongeng yang sekarang kupijak.
Pada suatu malam, tujuh belas tahun lalu, Pak Simon men"
jalani harinya seperti biasa. Sejak lama, Pak Simon sudah
terbiasa hidup sendiri. Ia bercerai dari istrinya dan tidak me"
nikah lagi. Aktivitas pekerjaannya yang padat menjadi peng"
isi hari-harinya. Di luar itu, Pak Simon punya satu minat
lain yang ia jalani diam-diam. Melukis.
Bekerja seharian lalu mencuri-curi waktu untuk melukis
kala malam adalah hiburannya. Malam itu, ia menyelesaikan
satu lukisannya yang terbengkalai.
"Saya mungkin akan berkesimpulan lain kalau waktu itu
saya lagi tidur. Tapi saya sedang terjaga, Zarah," ungkap Pak
Simon. "Orang-orang bilang, yang saya alami itu cuma lucid
dreaming, kondisi mimpi yang sering susah dibedakan de"
ngan kenyataan. Omong kosong. Saya ingat jelas. Saya lagi
duduk melukis ketika kejadian...."
Saat sedang tekun menorehkan kuas, tiba-tiba kanvas
403 Keping 40 yang dihadapinya seperti bergetar. Bukan getaran macam
gempa. Melainkan lebih seperti vibrasi visual. Seumpama
gambar televisi yang tahu-tahu antenanya goyang. Ia lantas
mendengar dengingan nada tinggi di kupingnya. Memekak"
kan. Dengingan itu seolah menembus dari kupingnya hingga
ke puncak kepala. Pandangannya mendadak berubah menjadi
putih menyilaukan, dan ia merasa tubuh fisiknya ambruk.
Anehnya, Pak Simon tetap merasa bisa bergerak dan ber"
jalan. Segalanya menjadi ringan.
Pak Simon berusaha mencari arah di dalam ruang serba
putih itu, dan tiba-tiba muncul sesosok makhluk, kira-kira
dua setengah meter tingginya, bertubuh sangat kurus dengan
kepala besar, kulitnya pucat dan licin seperti pualam, kedua
matanya berupa bulatan bola hitam. Ia kelihatan ringan, mi"
rip melayang. Ia tak bersuara. Pak Simon hanya bisa merasa"
kan makhluk itu berkomunikasi dengannya.
"Saya nggak dengar apa-apa, tapi di kepala saya muncul
berbagai informasi yang saya tahu itu disampaikan olehnya.
Seperti telepati," lanjut Pak Simon. "Dia bilang, dia tidak
bermaksud jahat. Dia ingin membantu. Dan dia perlu me"
nunjukkan sesuatu." Bertepatan dengan masuknya arus informasi itu, ruang
serba putih yang tadinya tidak kelihatan apa-apa mulai me"
nunjukkan bentuk. Pak Simon ternyata berada di semacam
ruang konsol yang besar. Atap ruang konsol itu membundar
seperti kubah. Tempat itu ternyata sangat sibuk. Makhluk404
Partikel makhluk tinggi serupa terlihat hilir mudik. Ada juga makh"
luk-makhluk versi mini dari mereka. Bentuknya mirip tapi
tingginya hanya satu meteran.
Makhluk pertama yang menyapanya itu tidak menyebut"
kan nama, tapi Pak Simon merasa bahwa ia adalah pemim"
pin di sana. Sang Pemimpin bercerita bahwa mereka telah
lama memiliki hubungan khusus dengan Planet Bumi dan
ras manusia. Ia berbicara tentang evolusi dan transisi dari
dimensi tiga menuju dimensi lima.
"Saya bertanya, kenapa bukan empat" Tapi langsung lima"
Dan ia menjawab, karena dimensi empat tidak bisa ditempati
lama-lama, hanya semacam persinggahan," jelas Pak Simon.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa semakin tinggi dimensi,
aspek materi semakin memudar. Dimensi tiga yang kita tem"
pati adalah tempat di mana terjadi polaritas sempurna.
Aspek materi dan gelombang, aspek fisik dan aspek batin,
logika dan emosi. Segalanya serba setengah-setengah. Dam"
paknya adalah realitas manusia selalu punya dua ekstrem.
Sang Pemimpin mengatakan bahwa Bumi dan kehidupan
dimensi tiga adalah kehidupan yang paling menantang. Di"
butuhkan keberanian untuk terlahir di sini. Manusia harus
berhadapan dengan emosi, dengan perasaan, dengan keter"
batasan fisik. Ia dan rasnya, adalah salah satu ras relawan
yang membantu ras manusia bertransisi. Untuk itu, mereka
terkadang harus melakukan intervensi.
405 Keping 40 "Saya tanya, intervensi semacam apa. Dia tidak menjawab.
Tahu-tahu, saya sudah telentang. Beberapa makhluk, yang
saya rasa semacam dokter dengan para asistennya, menge"
lilingi saya. Walau rasanya nggak sakit, saya bisa merasakan
sensasi kepala saya ditembus. Mereka menanam sesuatu di
situ. Saya nggak tahu apa," tutur Pak Simon.
Setelah "operasi" itu selesai, sang Pemimpin kembali da"
tang menghampirinya. Mengucapkan terima kasih dan me"
yakinkannya lagi bahwa niatannya baik dan Pak Simon akan
baik-baik saja. Tak lama, terdengar lagi dengingan meme"
kakkan di telinganya. Pandangannya kembali putih menyi"
laukan. Lambat laun, badannya tak ringan lagi. Tertarik oleh
gravitasi. "Saya kembali ke rumah saya. Terkapar di lantai. Kuas
saya sudah jatuh. Palet saya berserakan. Ada coretan di kan"
vas yang nggak sengaja saya buat waktu tahu-tahu saya pin"
dah ke tempat itu," Pak Simon berhenti sejenak untuk
menghirup tehnya. Kejadian yang ia ceritakan boleh jadi tu"
juh belas tahun silam, tapi ia mengisahkannya dengan energi
dan intensitas seolah kejadian itu terjadi kemarin. Aku ikut
menyambar cangkirku. Berharap teh Earl Grey ini bisa
membantuku mencerna ceritanya barusan.
"Saya berusaha merasionalisasikan pengalaman saya,
Zarah. Saya bukan orang yang religius, saya nggak punya
kepekaan indra keenam, saya nggak tahu-menahu tentang
UFO. Saya ini benar-benar orang biasa. Ya, sudah, saya ke
406 Partikel psikiater. Katanya, saya itu somnambulis1. Lha, kok, seumur
hidup saya ini tidurnya kayak kebo, nggak pernah melindur,
tahu-tahu langsung didiagnosis somnambulis" Saya ke psi"
kiater lain, eh, malah diresepkan obat antidepresan. Untuk
apa" Saya tahu saya nggak gila, kok. Saya rontgen kepala,
nggak ditemukan apa-apa. Jadi, sulit sekali saya menerima
apa yang terjadi," ujarnya. "Sejak hari itu, saya dihantui satu
pertanyaan: kenapa harus saya?"
Sejak hari itu juga, Pak Simon tidak lagi merasa tenang.
Dunianya berubah dalam satu malam. Ia seperti ditendang
keluar dari zona nyamannya. "Saya jadi nggak kerasan di
kantor," katanya. "Saya malah keliling-keliling cari informasi.
Tanya-tanya orang, mengubrak-abrik perpustakaan, pesan
buku dan majalah UFO dari luar negeri. Saya cuma kepi"
ngin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada saya malam itu."
Akhirnya, Pak Simon bertemu dengan komunitas UFO
di Jakarta. Komunitas yang ternyata punya anggota di ber"
bagai tempat di Indonesia itu adalah kumpulan orang-orang
senasib, yang entah dipersatukan oleh minat, pengalaman
melihat UFO, atau kombinasi keduanya. Pak Simon lang"
sung bergabung. Ia menjadi anggota aktif yang datang ke
setiap pertemuan. Ujung-ujungnya, malah ia yang sering ber"
Somnambulis/somnambulisme: Salah satu kelainan tidur parasomnia yang membuat
orang yang bersangkutan mampu melakukan aktivitas fisik sebagaimana biasa di"
lakukan dalam keadaan terjaga tanpa sepenuhnya disadari atau tidak disadari sama
sekali. 407 Keping 40 inisiatif membuat pertemuan. "Jelas saya senang," Pak Simon
tersenyum, "akhirnya bisa ketemu orang-orang yang me"
ngerti. Sayangnya, di komunitas kami saat itu, baru saya
yang mengalami "penculikan". Lama-lama, saya nggak puas.
Saya harus cari tahu dari sumber lain."
Aku teringat Ayah. Bagaimana ia teralienasi karena ter"
perangkap dalam dunia yang ia mengerti sendiri. "Tang"
gapan keluarga Bapak gimana?" tanyaku.
"Menertawai, itu sudah pasti. Dianggapnya saya kurang
kerjaan. Mimpi, kok, diseriusi. Mereka bilang, paling saya
digoda jin. Konsultasi ke orang pintar sebentar, dijampijampi sedikit, pasti beres," ia terkekeh sendiri. "Tapi, intuisi
saya mengatakan apa yang saya alami lebih dari itu. Bukan
semata-mata urusan klenik."
Untungnya, dengan posisi sebagai yang tertua dan paling
berkuasa di keluarganya, Pak Simon bisa melanglang buana
demi menuntaskan rasa ingin tahunya tanpa ada yang berani
protes. Ia memiliki segala fasilitas dan kemampuan untuk
pergi ke mana pun ia mau. Bagai kutu loncat, Pak Simon
pindah dari satu negara ke negara lain, menjalin jaringan
perkenalan dengan banyak orang kompeten. Sekaligus ber"
tubrukan dengan banyak hal yang tidak ia antisipasi.
"Semakin dalam saya mencari, semakin banyak informasi
dan bidang-bidang lain yang terkait. Ternyata, UFO itu
cuma puncak gunung es, Zarah," ujarnya, "cuma satu simpul
di antara jaringan laba-laba yang sangat luas. Saya jadi ber"
408 Partikel temu crop circle, metafisika, shamanisme, enteogen, meditasi,
dream yoga, antropologi, fisika kuantum, bio-energi, hipno"
sis"semua hal yang tadinya tidak saya tahu sama sekali.
Saya ke Tibet, India, Peru, Meksiko, Amerika Serikat, Je"
pang, Afrika, Mesir"di mana pun saya mengendus jawaban,
akan saya gali dan cari sebisanya."
Pak Simon sejenak berhenti, menatapku, "Sampai suatu
hari saya berkenalan dengan Firas. Ayahmu."
"Bapak pernah ketemu ayah saya?"
"Tidak, kami cuma korespondensi. Padahal saya ingin
sekali bertemu ayahmu," jawab Pak Simon. "Saya mengenal"
nya lewat seorang teman, profesor di Oxford. Dia ahli
Mikologi. Samuel Brennard, namanya. Suatu hari, Samuel
mengontak saya, bilang ada orang dari Indonesia yang me"
ngiriminya surat. Samuel tidak tertarik merespons surat itu.
Katanya, "that letter comes from a twilight zone." Berhubung
Samuel tahu hal-hal seperti itu justru menarik buat saya, dia
lalu mengirimkan surat ayahmu."
"Saya ingat masa-masa itu," aku menyambar. "Ayah me"
ngirimkan entah berapa banyak surat ke luar negeri. Dia
bilang, dia ingin cari sponsor untuk penelitiannya."
"Kamu tahu penelitian apa yang dia maksud?"
Aku menggeleng. "Inner space travel," jawab Pak Simon.
Alisku mencureng. "Apa itu, Pak" Ayah nggak pernah
cerita." 409 Keping 40 "Ayahmu mengerti prinsip polaritas yang berlaku di
realitas ini. Seseorang tidak akan mungkin menaklukkan
angkasa luar kalau ia belum menaklukkan alam batinnya.
Seberapa jauh umat manusia mengeksplorasi alam batinnya,
sebatas itu pulalah kita bisa mengeksplorasi angkasa. Per"
jalanan manusia selalu dua arah. Ke dalam dan ke luar. Ti"
dak bisa menegasi satu untuk mencapai satu lainnya."
"Eksplorasi alam batin" Bukannya itu sudah dilakukan
Jung" Freud?" aku menyela.
"Psikoanalisis cuma bisa menggaruk permukaan, Zarah.
Sementara yang perlu diselami itu ibaratnya lebih dalam dari
palung laut. Cara konvensional yang kita punya hanya meng"
andalkan alam sadar untuk mengerti alam bawah sadar.
Mana bisa" Kemampuan alam sadar kita sangat terbatas.
Ayahmu mengerti itu. Karena itulah dia putus asa. Dia me"
rasa dunia sains konvensional yang jadi topangannya terlalu
kaku, nggak terbuka, dan sangat terbatas."
"Saya yakin, dari puluhan surat yang Ayah kirimkan,
cuma Bapak yang membalas," ucapku getir. Antara bertanya
dan menyimpulkan. "Kamu betul. Dan saya bukan akademisi. Ayahmu bah"
kan nggak menujukan suratnya kepada saya. Dia sama sekali
tidak tahu saya siapa. Secara kebetulanlah kami jadi ter"
hubungkan, well, kalau memang ada hal yang kebetulan
dalam hidup ini," Pak Simon mengangkat bahu.
"Apa sebenarnya isi surat itu, Pak?"
410 Partikel "Proposal riset. Penelitian intensif dan terukur untuk
menjelajah planet lain, perjalanan ke "luar" menggunakan
jalur ke "dalam". Memakai enteogen. Dalam proposal ayah"
mu, ia merujuk spesifik pada jamur."
"Psilocybe" Amanita muscaria?" aku langsung menebak.
"Betul." "Apa hubungannya jamur dengan planet lain?"
"Logika yang umum adalah, kalau kita mau cari makhluk
angkasa luar, kita harus punya pesawat dan teknologi yang
cukup, betul" Sementara, secara fisik manusia baru bisa sam"
pai ke Bulan. Kapan mau sampai" Nah, Firas berargumen,
penjelajahan yang sama bisa dilakukan tanpa teknologi pe"
sawat. Tubuh manusia mampu melakukannya. Dan, Bumi
ini sudah menyediakan enteogen sebagai fasilitasnya. "Pe"
sawat" itu diracik di dalam molekul tubuh manusia. Jadi,
bukan perjalanan ke luar. Melainkan ke dalam. Untuk men"
capai tujuan yang sama."
Kepalaku terasa pening. "Tapi"mana mungkin, Pak?"
"Ayahmu, seperti juga aku, percaya bahwa semesta ini
bersifat hologram. Artinya, setiap titik adalah proyeksi dari
keseluruhan semesta secara utuh. Sama dengan tubuhmu.
Kamu berangkat dari satu sel hingga jadi triliunan sel. Se"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiap sel tubuhmu mengekspresikan Zarah secara utuh. Kalau
tidak, metode kloning tidak mungkin bisa dilakukan. Kalau
semesta ini merupakan satu tubuh, maka kamu adalah
bagian inheren darinya, Zarah. Kita berada dalam satu ja"
411 Keping 40 ringan inteligensi kosmos. Mengapa tidak mungkin inteli"
gensi yang sama menghubungkanmu dengan makhluk lain
di semesta ini" Kalau tubuh kita "mengandung" semesta se"
cara utuh, mengapa kita terus mengandalkan eksplorasi ke
luar, dan malah mengabaikan gerbang yang ada di dalam?"
balas Pak Simon. "Dalam suratnya, ayahmu bilang, dirinya sudah meng"
alami langsung perjalanan antardimensi. Ia juga sudah men"
jalin komunikasi dengan makhluk-makhluk ET. Di situlah
surat ayahmu menarik perhatian saya. Akhirnya, saya ber"
temu teman senasib," kata Pak Simon lagi.
Ia lanjut bercerita. Ayah dan Pak Simon berkorespondensi
berbulan-bulan. Kadang-kadang mereka bicara di telepon.
Pak Simon bahkan menawari Ayah terbang menyusul ke
Inggris, meneruskan eksperimennya di sana. Ayah belum
mengiyakan karena merasa belum siap meninggalkan
urusannya di Indonesia. Dari cerita Pak Simon, aku me"
naksir bahwa itu bertepatan dengan masa sulit kami setelah
wafatnya Adek. "Ayah sering bilang tentang dimensi lain, portal, Jamur
Guru. Pak Simon tahu soal itu?" tanyaku.
"Kepada saya, Firas pernah memberitahukan, dia punya
laboratorium hidup. Sebuah bukit dengan hutan primer yang
tidak tersentuh ribuan tahun, di dekat tempatnya tinggal.
Firas menduga, kualitas enteogen sangat ditentukan oleh
tempat tumbuhnya. Semakin murni dan bersih alamnya, se"
412 Partikel makin dahsyat. Dia bilang, hutan di bukit itu benar-benar
spesial. Bukan cuma bersih, vibrasinya juga luar biasa. Firas
juga sempat bercerita betapa khawatirnya dia kehilangan hu"
tan itu. Itu saja yang saya tahu."
"Menurut Bapak, mungkinkah ada juga portal di luar tu"
buh kita" Portal eksternal" Yang muncul di satu tempat?"
"Sangat mungkin," sahut Pak Simon mantap. "Sudah ba"
nyak orang berteori tentang portal eksternal. Beberapa tem"
pat di Bumi, seperti Segitiga Bermuda, diduga adalah portal.
Ada juga yang mencurigai bangunan-bangunan sakral seperti
Piramida Giza, Kuil Osiris, dan banyak lagi."
Napasku terhela. Segala informasi ini terlalu berat dicerna
dalam jamuan teh sore. "Saya berusaha mengerti semua ini,
Pak. Tapi, rasanya belum mampu," aku memijat pelipisku.
"Enteogen adalah pengalaman empiris, Zarah. Seseorang
harus mengalami untuk mengerti. Dan, enteogen bukan
mainan anak-anak, bukan rekreasi dangkal. Dibutuhkan
mental yang sehat, tujuan yang benar, dan ritual yang sakral
untuk memperoleh manfaatnya dengan maksimal. Kalau
nggak, percuma," Pak Simon tersenyum. "Tenang saja,
waktumu masih banyak. Masih ada tempat-tempat yang
perlu kita kunjungi, orang-orang yang perlu kita temui,
pengalaman yang harus kamu cicipi." Ia mengetukkan tong"
katnya, lalu berdiri sigap, "Yuk, ikut saya. Kita pergi se"
bentar." "Kenapa Bapak kirim kamera itu?" sambarku.
413 Keping 40 Terbit lagi senyum ramahnya. "Saya pernah tanya sama
Firas, apa yang bisa saya bantu untuk risetnya. Dia cuma
minta sebuah kamera. Dikirimkan untuk anak perempuan"
nya bernama Zarah pada ulang tahunnya yang ke-17. Untuk
semua diskusi dan informasi berharga dari ayahmu, saya pu"
tuskan untuk melepas kamera koleksi pribadi saya. Cuma itu
yang terbaik yang bisa saya berikan. Sampai sekarang, saya
terus berharap bisa memberikan lebih."
Dengan ayunan tongkatnya yang mantap, Pak Simon ber"
jalan keluar dari perpustakaan.
Aku tetap di tempat dudukku. Sebentar saja, pintaku da"
lam hati. Aku belum sanggup berdiri. Kuhirup teh Earl
Grey dingin yang tinggal menggenang di dasar cangkirku,
berusaha menelan desakan air mata.
Pagi-pagi sekali, dengan mobil Bentley berwarna emas pucat
dan sopir bernama Lance, kami meluncur meninggalkan
Glastonbury ke Salisbury Plain.
Di Eropa bagian barat laut, Salisbury Plain merupakan
plato kapur terluas, yang menumbuhkan vegetasi unik berupa
padang rumput luas. Sepanjang mata memandang, tampak
hamparan rumput yang berbukit-berbukit seolah tiada ujung.
Awan dan kabut memenuhi langit dan bukit hingga seluruh
414 Partikel tempat ini seperti dihias kapas putih yang mengisi tiap celah.
Dari balik kabut, terlihat beberapa kelompok kawanan ternak
asyik merumput, memberi gerak dan kehidupan bagi per"
madani hijau yang diam bagai lukisan.
"Tenang, Zarah. Saat kita tiba di Stonehenge, kabut ini
akan hilang dan kamu akan melihat sorot matahari yang tak
akan kamu lupakan." "Kok, Bapak bisa yakin?"
"Saya punya peruntungan baik dengan tempat itu," jawab
Pak Simon tenang. Seperempat jam kemudian, Lance memarkir mobil di se"
buah tempat parkir memanjang. Lengang. Hanya ada be"
berapa mobil terparkir. Kami rupanya salah satu pengunjung
pertama. Udara dingin menusuk menerpa kulitku yang padahal
sudah dilapis jaket. Dan ini bahkan bukan musim dingin.
Entah kapan aku bisa sepenuhnya beradaptasi dengan iklim
Inggris. Kubenamkan tanganku yang tak bersarung tangan
ke dalam kantong jaket. Angin yang bertiup terdengar bersiul-siul lirih. Burungburung hitam terbang melintasi kami. Dan di sanalah, ter"
pisah hanya oleh pagar kawat setinggi dua setengah meter,
siluet blok-blok batu neolitik menjulang dari rerumputan
menggapai langit. Aku tertegun. Sesuatu dalam bekunya
batu, selimut kabut, siulan angin, dan hamparan rumput luas
ini meremangkan bulu kudukku.
415 Keping 40 "Ayo, Zarah. Kita lihat lebih dekat." Suara Pak Simon
dan entakan tongkat kayunya mengguncang lamunanku.
"Saya punya pengalaman menarik dengan Stonehenge,"
Pak Simon bertutur. "Kali pertama saya kemari, tempat ini
sudah dibatasi dari pengunjung. Kita nggak boleh masuk ke
lingkaran dalam. Cuma boleh mengelilingi perimeternya saja.
Saya datang pagi-pagi, pada hari biasa, jadi nggak terlalu
banyak orang. Waktu saya masuk ke sini, tahu-tahu ada ba"
pak tua, berseragam petugas, duduk di lingkaran dalam. Dia
ajak saya mendekat. Saya tanya, "bukannya nggak boleh ma"
suk?" Dia jawab, "Tapi ini hari Rabu, kan" Hari ini boleh."
Dan akhirnya saya masuk. Dia lalu menjelaskan sejarah
Stonehenge. Saya mendengarkan. Setelah selesai, saya minta
izin meditasi di lingkar dalam selama lima menitan. Dia ka"
sih izin. Habis itu saya pulang lagi ke London. Beberapa
teman yang saya ceritakan kaget bukan main, apalagi mereka
sudah sering ke Stonehenge, katanya area dalam itu tidak
boleh dimasuki pengunjung umum. Dan tidak ada perke"
cualian Rabu atau apa pun. Kesimpulan mereka, saya ngibul
atau bapak tua itu semacam peri," Pak Simon terbahak sen"
diri. "Saya rasa, kesimpulan yang terakhir itu benar."
Kepada petugas keamanan yang berjaga di sana, Pak
Simon menunjukkan selembar faks dan sebuah kartu. Tak
lama, kami dipersilakan masuk.
"Peri yang dulu membawa saya masuk mungkin sudah
nggak ada dan nggak akan muncul lagi, tapi sekarang saya
416 Partikel punya ini," Pak Simon mengacungkan kartu plastik semacam
kartu kredit bertuliskan English Heritage. "Ada biaya tahunan
yang harus saya bayar. Nggak apa-apa. Saya jadi punya akses
terbaik ke tempat-tempat bersejarah di Inggris."
Kami melewati loket tiket yang masih ditutup. Kafe,
toko, semuanya belum beroperasi. Hanya seorang petugas
yang ditugasi untuk mengikuti kami.
"Dia bukan guide, cuma mau memastikan kita nggak pe"
gang batu-batu itu," bisik Pak Simon.
"Memangnya nggak boleh dipegang, Pak?"
"Cuma burung yang boleh pegang."
Aku nyengir. Sementara kami dijaga petugas agar tidak
menyentuhkan tangan ke bebatuan Stonehenge, kawanan
burung branjangan di sana sepertinya menjadikan Stone"
henge semacam tempat bergaul. Berjajarlah mereka berdiri
di atas batu. Bercengkerama santai. Kulihat bahkan ada yang
bersarang di celah-celah.
"Sejam lagi tempat ini dibuka untuk umum. Kita dikasih
waktu setengah jam di dalam," kata Pak Simon.
Kami pun berjalan menginjak rumput, melewati setapak
berpagar rendah yang merupakan batas pengunjung umum.
Sepasang Alap Alap Bukit 2 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Petualang Asmara 2
^