Pencarian

Supernova Partikel 4

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari Bagian 4


"You made all these with only 50 milimeter lens?" tembaknya
langsung. "Iya." "Tanpa retouch dan sejenisnya, kan?"
Aku tersenyum, "I shoot on film, Paul."
"Yes, silly me," Paul geleng-geleng kepala. Dia lalu menun"
juk foto buaya muara yang kudapat dari ketinggian garis
251 Keping 40 mata. "Ini. Untuk bisa dapat foto ini, berarti kamu harus
sangat dekat sama buayanya, kan?"
"Iya. Waktu itu saya masuk ke batang pohon yang ada di
pinggir sungai. Saya motret dari dalam situ."
"Berapa lama kamu diam di batang pohon?"
"Hampir dua jam. Waktu buayanya masuk sungai baru
saya keluar. Kulit saya bentol-bentol seminggu. Nggak tahu
lagi ada serangga apa saja yang nancap di badan."
"And this is storm"s stork. Salah satu burung terlangka di
dunia." "Ciconia stormii. Di sini kami menyebutnya sindang lawe,"
sahutku. "You can easily sell this stork series to Nat Geo or any worldclass wildlife magazine, you know that?"
"Oh, ya?" kataku lugu.
Paul menggeser dua kursi, dan kami pun duduk ber"
hadapan. "Saya tahu kamu cinta tempat ini. Saya tahu kamu
salah satu ibu adopsi orangutan di sini. Dan, saya tahu kamu
salah satu orang kepercayaan Dr. D. Tapi, intuisi saya me"
ngatakan, kamu bisa jadi fotografer wildlife yang hebat. Un"
tuk itu, kamu harus berani keluar dari Tanjung Puting."
"K"ke mana?" Aku tergagap.
"Would you like to join The A-Team?"
Mulutku terkunci. Saking kagetnya, aku tak bisa mem"
berikan respons apa pun. "Kamu punya kehidupan indah di sini bersama Dr. D,
252 Partikel orangutan, staf yang sudah seperti keluargamu sendiri, tapi
ini semua nggak cukup. Kalau kamu mau berkembang se"
bagai fotografer wildlife profesional, kamu harus lihat dunia.
Kamu harus mengalami hutan lain, alam lain, negara lain.
Cuma dengan begitu kamu bisa berkembang."
Aku masih tidak bisa bersuara.
"Kamu punya empat hari untuk berpikir. Kalau kamu se"
tuju, saya kasih waktu dua bulan untuk kamu persiapan.
Setelah itu, kamu terbang ke London."
Akhirnya, sebuah pertanyaan mendesak naik. "Why are
you doing all this" Kenapa ini bisa jadi sebegitu penting buat"
mu?" "Nggak semua orang bisa diam di dalam batang kayu dua
jam untuk memotret buaya dari jarak dekat. Kalau kamu
nggak ambil foto ini, bagaimana kita bisa tahu rasanya kon"
tak mata dengan buaya" Nggak semua orang bisa tahan ber"
bulan-bulan di Arktik mengintili beruang kutub. Kalau
nggak ada yang melakukannya, bagaimana orang di belahan
dunia lain bisa tahu betapa penting dan indahnya beruang
kutub" Bagi saya, fotografi wildlife adalah jembatan bagi
orang banyak untuk bisa mengenal rumahnya sendiri. Bumi
ini. I see our profession as an important bridge that connects
Earth and human population. We"re the ambassador of nature."
Ketika mendengar Paul menyebut "kita", bulu kudukku
meremang. Saat itulah aku menyadari panggilan hidupku.
"Empat hari, Missy," tegas Paul.
253 Keping 40 London. Di sanalah Paul memintaku bermarkas. Ia akan
membelikan tiket, mengurus sponsor untuk visa, dan men"
carikan tempat tinggal sementara sampai aku mandiri.
Jangankan menetap, aku bahkan tak pernah terpikir sama
sekali untuk menginjakkan kaki ke Inggris. Ke kota besar
macam London. Sarah, Ibu Inga, Tanjung Puting, keluarga
besar di sini, telah menjadi bagian identitasku. Aku tak tahu
apakah sanggup meninggalkan tempat ini.
Aku pun teringat keluargaku di Bogor. Hara, yang ku"
telepon dua minggu sampai sebulan sekali. Ibu, yang belum
berbicara lagi denganku. Umi dan Abah, yang bertahun-ta"
hun tak kulihat. Membayangkan apa yang terjadi jika aku
nekat pergi sejauh itu. Malam itu, aku tak bisa tidur. Kupeluk erat Sarah yang
tertidur lelap di sampingku. Masih dua-tiga tahun lagi Sarah
bisa mandiri. Kalau aku pergi, ia akan kehilangan ibunya
untuk kali kedua. Aku tahu, tidak semua orangutan di sini bisa memiliki
pengasuh yang terus-terusan sama. Ada staf yang mungkin
hanya bisa bekerja dua-tiga tahun, dan mereka harus meng"
alihkan pengasuhannya kepada orang lain. Dan, di situlah
terjadi transisi yang menyakitkan, drama air mata. Aku tak
pernah membayangkan hal itu terjadi kepadaku dan Sarah.
254 Partikel Melepas Sarah pulang ke hutan adalah cita-citaku selama
ini. Haruskah aku kehilangan momen itu"
Di dekat kupingnya aku berbisik, "Sarah, kalau aku pergi,
kamu masih bakal ingat aku, nggak?"
Hatiku remuk sendiri mendengarnya. Kalimat itu seperti
menembuskan pisau ke dalam luka yang tak pernah sembuh.
Luka yang amat kuhafal. 14. Empat hari. Sekian saja waktu yang kupunya untuk meng"
ambil keputusan terbesar yang pernah kubuat dalam hidup"
ku. Dimensi waktu yang berjalan lamban di hutan ini tibatiba beroleh akselerasi luar biasa. Menit demi menit berlalu
dengan cepat. Orang pertama yang kuajak bicara adalah Ibu Inga. Aku
menghadap beliau sesudah makan malam. Sesuai dengan
tebakanku, Ibu Inga sudah tahu.
"Paul yang kasih tahu Ibu?" tanyaku.
Ibu Inga menggeleng. "Sebelumnya saya minta maaf kalau
saya lancang, Zarah. Sayalah yang duluan membuka pem"
bicaraan dengan Paul tentang kamu."
Aku pun teringat perjalanan kami bertiga ke Pesalat.
Kini aku mengerti. "Saya tahu pekerjaan Paul," lanjut Ibu Inga. "Karena itu"
255 Keping 40 lah saya bilang kepadanya, ada anak istimewa di tempat ini.
Dia punya bakat fotografi, dia punya kedekatan alami de"
ngan hutan, dengan alam. Biarpun anak itu sangat suka
tinggal di sini, dia terlalu besar untuk dikurung di Tanjung
Puting. Anak itu bisa melakukan hal-hal yang luar biasa,
yang bahkan dia sendiri belum menyadari."
Jika ada alat khusus yang bisa melihat rasa bangga, nis"
caya akan tampak kepalaku membesar sampai menyentuh
plafon. Kata-kata Ibu Inga menggelembungkanku sampai
rasanya ingin meletus. Tapi, aku berusaha kembali realistis.
"Saya nggak punya modal apa-apa untuk ke London,
Bu...." Ibu Inga menyambar buku kuitansi yang tadi sedang di"
tulisinya saat aku masuk. Ia menunjukkan lembar bertuliskan
namaku. Di bawahnya ada tujuh digit angka.
"Kerjamu selama ini tidak gratisan. Kamu kerja sama ke"
rasnya dengan staf lain. Ini bisa membantumu untuk me"
mulai hidup di sana," tandasnya.
Tanpa terasa mataku basah. "Bagaimana dengan Sarah,
Bu" Saya nggak tega...."
"Kamu ingat apa yang dulu saya bilang tentang hubungan
manusia dan orangutan?" sela Ibu Inga. "Manusialah yang
akan sulit melepas, Zarah. Tiga tahun dari sekarang, Sarah
akan kembali ke hutan dan dia tidak akan pernah menengok
ke belakang. Bukan berarti dia lupa sama kamu. Ikatan
orangutan terjadi sekali untuk selamanya. Tapi dia tidak lagi
256 Partikel butuh kamu. Dia akan jadi milik hutan. And as her mother,
you have to let her go."
"Saya takut, Bu," kataku pelan. "Saya takut Sarah me"
ngira saya mengkhianatinya."
"Sarah bukan manusia. Dia orangutan. Kamu berusaha
melihat dia dari sudut pandangmu. Bukan begitu caranya.
Sarah melihat hidupnya dengan cara yang berbeda."
"Tapi, kasihan dia, Bu...."
"Kamu sudah tiga tahun di sini. Kamu lihat sendiri ba"
gaimana transisi ibu asuh dan orangutan yang mereka ting"
galkan. We"ve done this, many times. Tidak mudah. Tidak
akan mudah juga untuk Sarah. Tapi sangat mungkin dilaku"
kan. Paul sudah memberi waktu yang cukup."
"Ayah saya pergi dari rumah." Suaraku bergetar saat me"
ngatakannya. "Saya nggak mau mengulanginya."
Ibu Inga meletakkan tangannya di bahuku, menatapku
dalam-dalam. Bagai mengeja, ia berkata, "Jangan bebani hu"
bunganmu dan Sarah dengan hubunganmu dan ayahmu. It"s
not fair for her. And stop being so hard on yourself."
Momen berikutnya, tubuhku direngkuh Ibu Inga. Me"
ngenalnya selama tiga tahun, belum pernah ia memelukku
selain malam itu. "Kamu akan baik-baik saja," bisiknya.
Pelukannya malam itu adalah restu Ibu Inga untuk mele"
pasku pergi. Kami bukan orangutan, tapi aku percaya ikatan
kami adalah sekali untuk selamanya.
257 Keping 40 Esok harinya aku mendatangi Gary.
"Hey, Nikon lad," sapaku.
"Hey, Tarzane," balasnya.
"Gary, saya mau tanya tentang Nikon Titanium-ku...."
"Kamu mau jual" Berapa?" sambarnya dengan mata mem"
belalang. Aku terkekeh, "Saya bukannya mau jual."
"Oh." Nyala di wajahnya langsung redup seperti api di"
kebas karung basah. "Saya mau tanya, waktu itu kamu bilang kamera ini li"
mited edition, cuma tiga ratus unit diproduksi. Betul?"
"Kamu meragukan pengetahuan Nikon-ku?"
"Bukan gitu," aku tertawa lagi. "Kalau kamera itu se"
begitu terbatasnya, harusnya bisa, dong, kita melacak siapasiapa saja pemiliknya?"
"Hmm. Mungkin. Setiap kamera FM2/T punya nomor
seri di boksnya. Kalau boksnya masih ada, kamu bisa lacak."
"Saya masih punya boksnya."
"Then you have a chance."
"Cara tahu daftar pemiliknya gimana?"
"I have no idea."
"Tapi, pasti ada caranya. Ya, kan?"
"Sewa detektif?"
258 Partikel "Gary, menurutmu, kalau saya cari di London, bisa ke"
temu nggak?" "Kamu bakal ke London?"
"Hmm. Mungkin."
"Kalau pertanyaan kamu artinya: lebih besar mana kans"
nya, kamu melacak dari London, atau kamu melacak dari
sini" Jawabannya jelas. London."
Detik itu rasanya keputusanku membulat. Aku menepuk
bahu Gary, "Thanks!" Berseri-seri aku berjalan ke barak.
"Tarzane! Are you really going to London?" teriak Gary.
"YES!" Pada hari kepulangan rombongan dokumenter itu, aku me"
numpang kelotok Paul ke Pangkalan Bun. Jadwalku me"
nelepon Hara telah tiba. Seperti biasa, aku mengabsen keadaan semua orang. Per"
tama, tentu saja, Hara. Adikku itu baru dapat beasiswa lagi.
Ia mendapat gratis biaya sekolah penuh untuk semester de"
pan. Sudah empat semester berturut-turut Hara dapat bea"
siswa. Dadaku sampai sesak oleh rasa bangga.
Lalu, aku menanyakan Abah dan Umi. Hara bilang, me"
reka sehat-sehat. Sejak aku tidak lagi tinggal di Batu Luhur,
Abah jadi sering menengok kampung. Sudah kuduga. Abah
dan Umi kelihatan lebih tenang, Hara menambahkan. Adik"
259 Keping 40 ku merasa lebih disayang. Itu pun aku tak heran. Dengan
ketiadaan Ayah dan aku, Hara menjadi tumpuan mereka
satu-satunya. Poros kebanggaan sekaligus harapan. Dan,
adikku berhasil tumbuh besar sesuai dengan impian ideal
mereka. Aku ikut bahagia.
Kemudian, aku menanyakan kabar Ibu. Seketika kurasa"
kan perubahan dalam suara Hara. Ia terdengar agak ter"
tekan. "Ibu baik-baik, Hara?" Aku mengonfirmasi.
"Baik, Kak...."
Suaranya jelas bimbang. Hara menyimpan sesuatu yang
ragu ia sampaikan. "Hara, kalau ada apa-apa, bilang terus terang sama Kak
Zarah," ucapku tegas.
Napas Hara menghela. "Ibu bakal menikah dengan Pak
Ridwan. Bulan depan."
Waktu dalam benakku berhenti. Yang berjalan hanyalah
penunjuk waktu di pesawat telepon ini.
"Kak" Kak Zarah?" panggil Hara setelah lama tak men"
dengar suara. Kutatap hampa penunjuk rupiah di pesawat telepon yang
terus bertambah. Rasanya, aku sudah menduga saat ini akan
tiba. Tapi, tetap saja, berita yang sesungguhnya menjadikan"
ku kelu. Akhirnya aku hanya berdeham. Sekadar menandakan ke"
pada Hara bahwa aku masih tersambung di ujung telepon.
260 Partikel "Kak Zarah bisa pulang, kan?" tanya Hara lagi.
"Kakak lihat kondisi di sini dulu, ya," jawabku akhirnya.
Suaraku parau. "Pak Ridwan baik sama kamu, kan?"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, Kak. Hara dikasih hadiah terus. Hara juga sering
diajak jalan-jalan bareng Ibu."
"Kamu sudah pernah kenalan sama anak-anaknya?"
"Sudah. Satu kali. Masih kecil-kecil, Kak. Yang paling
besar baru kelas 1 SD, yang bungsu masih TK. Mereka
tinggal sama ibu kandungnya, di Jakarta."
"Ibu gimana kelihatannya" Senang?"
"Kelihatannya, sih, gitu. Ibu sekarang lebih sering se"
nyum," jawab Hara, ditutup dengan tawa kecil.
Semua terdengar baik-baik saja. Aku mencoba ikut ter"
senyum. Susah. "Setelah Ibu menikah, kita semua pindah, Kak. Ke ru"
mah Pak Ridwan di Taman Kencana."
"Lho" Kenapa begitu?" sergahku spontan.
"Rumah kita, kan, nggak punya garasi. Mobil Pak
Ridwan ada tiga," sahut Hara polos.
Sesaat kemudian aku menyadari betapa bodohnya per"
tanyaanku. Ya, jelas saja, Ibu pasti harus pindah. Ikut suami.
Suami yang jauh lebih mapan, yang akan memberikan peng"
hidupan yang jauh lebih baik untuk Ibu dan adikku.
"Rumah kita" Dijual?"
"Nggak, Kak," jawab Hara. "Kata Ibu, suatu saat akan
diwariskan ke kita."
261 Keping 40 Aku manggut-manggut. Baguslah. Hara tak bisa me"
lihatku. Dia tak perlu melihat aku menyeka air mata yang
akhirnya jatuh berlelehan tanpa bisa kutahan.
"Kamu panggil apa sama Pak Ridwan?" tanyaku nyaris
berbisik. "Bapak." Aku manggut-manggut lagi. Air mataku menderas. Aku
harus menyudahi pembicaraan ini.
Di kamar wartel yang penunjuk rupiahnya sudah berhenti
sejak tadi, aku duduk membelakangi pintu. Menyembunyi"
kan wajahku yang basah. Berharap tak ada yang meng"
ganggu tangisku. Keluar dari sini, aku berharap bisa berbahagia untuk Ibu.
Untuk Pak Ridwan. Untuk Hara. Untuk diriku sendiri ka"
rena keluargaku kini sudah ada yang mengayomi. Namun,
sejenak saja di sekat kecil wartel ini, aku ingin menangis
untuk Ayah. Untuk ketiadaannya. Untuk rumah mungil
kami yang sebentar lagi tak berpenghuni. Untuk lembar ter"
akhir sebuah masa. 15. Ibu Maryam ditetapkan sebagai pengasuh Sarah yang baru
kelak. Dalam dua bulan masa transisi yang kupunya, kami
mulai pelan-pelan bergantian mengurus Sarah. Awalnya be"
262 Partikel berapa jam. Beranjak menjadi setengah hari. Makin lama
makin lebar. Aku hanya menemani Sarah menjelang tidur.
Kenyataannya, Sarah menghadapi adaptasi ini dengan
baik. Bahkan lebih baik dariku.
Jika ada Ibu Maryam dan aku berbarengan, Sarah masih
lebih memilih bersamaku. Tapi ia juga tidak menunjukkan
keberatan jika aku meninggalkannya dengan Ibu Maryam.
Kalau aku berjalan pergi, Sarah hanya bersuara sebentar, tapi
tidak lantas mengejar. Setiap malam aku terhanyut oleh nostalgiaku dan Sarah.
Tiga tahun tidur berdampingan"diompoli, dinomploki, di"
jambak, dipeluk"kini susah kubayangkan tidur tanpanya.
Setiap malam, ketika Sarah terlelap, aku membisikkan
pesan-pesan. Aku tak peduli apakah ia memahami atau ti"
dak, aku yakin ia bisa merasakan. Kubisikkan harap agar ia
tak lupa kepadaku, agar ia tumbuh besar dan sehat, agar ia
mendapatkan jantan yang gagah dan mampu melindunginya,
agar ia punya keturunan yang banyak, agar ia dan anakanaknya selamat dari tangan manusia jahat, agar ia dan garis
keturunannya menjadi orangutan yang berhasil bertahan di
rumahnya sendiri. Dua minggu terakhir sebelum keberangkatanku, Sarah
mulai selang-seling ditemani tidur oleh Ibu Maryam. Ka"
dang ia dicoba tidur mandiri di kandang, bersama orangutan
lain. Hanya sesekali ia protes keras, sisanya Sarah bisa ko"
operatif. 263 Keping 40 Di malam-malam aku tak tidur dengannya, sarung ban"
talku kerap berjejak air mata. Aku rindu hangatnya. Aku
rindu bulu-bulunya yang menggelitik kulit. Aku membolakbalik badan gelisah karena sudah lupa rasanya tidur sendiri.
Di malam-malam berharga saat aku masih bisa tidur de"
ngannya, sarung bantalku tetap berjejak air mata. Kuelus-elus
puncak kepalanya yang jabrik sembari membatin, inikah pe"
rasaan orangtua yang harus berpisah dengan anaknya" Beginikah
dulu perasaan Ayah ketika ia meninggalkan rumah" Beginikah
perasaan Ibu ketika aku keluar dari rumah" Sesaat kemudian,
terngiang pesan Ibu Inga untuk tidak membebani Sarah de"
ngan sampah pribadiku. Akhirnya kumengerti betapa rumit"
nya konstruksi batin manusia. Betapa sukarnya manusia
menanggalkan bias, menarik batas antara masa lalu dan masa
sekarang. Aku kini percaya, manusia dirancang untuk ter"
luka. Hari itu tiba. Saat aku harus menyusuri 250 meter jembatan
kayu menuju kelotok dan tidak kembali.
Telah kuucapkan perpisahan kepada segenap staf dan para
ranger. Kami berpuas-puas tertawa, berpelukan, bertangis-ta"
ngisan. Mereka janji mengirimkan foto Sarah saat dewasa
nanti, agar aku bisa tahu seperti apa tampang Sarah sebelum
ia lepas ke hutan dan juga mungkin tak kembali.
264 Partikel Drama perpisahan antara ibu asuh dan anak orangutan
adopsinya terkenal sebagai peristiwa dramatis yang berkalikali terjadi di kamp. Meski punya pilihan untuk mengan"
dangkan Sarah sementara aku pergi, tak kuambil pilihan itu.
Aku ingin Sarah melihat langsung keberangkatanku. Aku
ingin dia ada di ujung jembatan itu saat aku melangkah me"
nuju ujung jembatan satunya. Aku ingin Sarah ingat, ibunya
pergi dengan pamit. Digamit oleh Ibu Maryam, Sarah duduk di jembatan. Ibu
Inga dan para staf berdiri di belakangnya. Aku berlutut
mendekap Sarah, anak orangutan berusia empat tahun, yang
telah mengubah hidupku dan memberiku rumah selama tiga
tahun terakhir. Kubisikkan pesan terakhirku di kupingnya, "Chomochomo."
Itulah 250 meter terpanjang dalam hidupku. Aku berjalan
di atas jembatan kayu itu dengan jantung berdebar-debar,
mengantisipasi setiap saat Sarah akan berteriak, berlari, me"
lompat, dan menahanku pergi. Sampai kelotokku bergerak
meninggalkan kamp, Sarah tetap diam di tempat.
Perpisahanku dan Sarah dikenang sebagai perpisahan pa"
ling elegan yang pernah terjadi di Tanjung Puting.
265 Keping 40 Bogor Selesai mengurus surat-surat untuk keberangkatanku di
Jakarta, aku pergi ke stasiun. Membeli tiket KRL ke Bogor.
Tiga tahun dalam perut hutan Kalimantan, kota seperti
Jakarta membuatku gegar. Ada saat-saat aku harus duduk,
berhenti, memejamkan mata, karena lalu-lalang begitu ba"
nyak manusia membuatku sakit kepala. Dan, besok aku akan
menghadapi tantangan yang lebih besar lagi. Kota besar yang
sama sekali asing. London.
Namun, perjalananku ke Bogor kali ini bahkan sampai
mengaduk-aduk perut. Aku duduk meringkuk seperti orang
kena angin duduk. Terbetot-betot aneka perasaan yang
kontras. Aku rindu luar biasa kepada Hara, dan meski ter"
campur rasa kecut serta gentar, aku pun rindu kepada Ibu.
Aku cuma tak yakin siap menghadapi kehidupan baru me"
reka di Bogor. Rumah asing yang akan kujumpai. Pria asing
yang dipanggil Hara dengan julukan "Bapak".
Berbekal alamat yang diberikan Hara, aku tiba di rumah
itu. Rumah besar di daerah elite Kota Bogor. Garasi ber"
kapasitas empat mobil, pilar-pilar besar menopang bangunan
dua lantai, taman luas dengan cemara udang berlompok yang
dibentuk bulat-bulat. Aku memandangi pagar tinggi itu,
menelan ludah getirku sambil merogohkan tangan ke bo"
longan yang disediakan untuk memencet bel.
Tak lama, seorang pembantu tergopoh membuka pagar.
266 Partikel Dan sebelum pagar itu benar-benar terbuka, pintu besar di
teras depan sudah terbuka duluan. Hara menghambur keluar.
"Kakaaak!" jeritnya.
Rasanya ingin kuledakkan tangis haru. Dia bukan lagi
Hara-ku yang mungil. Hara-ku sekarang adalah gadis remaja
14 tahun. Rambutnya yang dulu dikepang dua kini dipotong
sebahu, tungkai kakinya yang jenjang berlari menghampiri"
ku. Aku mendekapnya erat-erat sampai kakinya tak menjejak
tanah. "Kak Zarah kangen sekali sama kamu," bisikku.
"Kak Zarah tinggal terus di sini, kan" Nggak ke Kali"
mantan lagi?" Matanya berbinar. Berharap.
Cepat-cepat, aku mendekapnya lagi. Dan kulihatlah Ibu.
Berdiri di teras. Ibu tak berubah sedikit pun, seolah waktu tak menyen"
tuhnya. Dengan senyum samar bak Monalisa yang menjadi
ciri khasnya, Ibu berdiri anggun. Kedua tangan terpaut di
depan. Menghadapi posisi demikian, kita tak mungkin berlari
dan menggabruk. Kita hanya bisa berjalan dengan langkah
terkendali, mencium tangan dengan sopan. Dengan hanya
berdiri, Ibu mampu membuat efek begitu.
Aku berjalan menghampirinya. Wajahnya yang ayu tak
menampakkan gejolak melihat putri sulungnya datang de"
ngan kulit menghitam yang jika diamati saksama akan mem"
perlihatkan bekas luka dan baret di mana-mana, rambut
267 Keping 40 dikucir satu dengan belitan karet gelang, menenteng ransel
yang sama dengan ketika meninggalkan rumah dulu.
"Assalamualaikum, Bu," aku mencium punggung tangan"
nya. "Waalaikumsalam. Sehat kamu, Zarah?" Ibu mendekapku
sesaat. Detik itu aku pun terempas ke dalam d"j" vu. Ter"
ingat saat-saat Ayah tak bisa menghindari Abah dan bagai"
mana keduanya bersua dengan rasa terpaksa, melontarkan
basa-basi pendek seputar topik "sehat", terlepas keduanya be"
tulan sehat atau sakit. Sudah sebegitu sempurnakah aku
menjadi Firas berikutnya"
"Sehat, Bu." "Kang Ridwan masih di kantor. Baru sore pulang. Kamu
nginap di sini, kan?"
Aku ingin sekali bilang, aku ingin ke rumah kami yang
dulu. Namun, dengan berat aku mengangguk. Semalam ber"
sama Hara lebih berharga dari apa pun.
"Makan siang sudah siap. Ayo, masuk." Sigap, Ibu me"
lepaskan ransel dari bahuku, dan dengan sekali lambaian
tangannya, seorang pembantu langsung menyambar ransel
itu. Di ruang tamu, aku langsung dihadapkan dengan pigura
besar berisi foto Ibu dan Pak Ridwan dalam baju pengantin.
Nyaris tak kukenali ibuku sendiri. Berbalut gaun pengantin
muslim yang berkerudung, aksesori gemerlap, dan riasan
yang tebal, ibuku tampak seperti artis berfoto untuk sampul
268 Partikel majalah. Pak Ridwan, yang selama ini hanya samar-samar
kuingat wajahnya, tersenyum gagah dalam beskap putih. Ta"
ngannya merangkul Ibu, dan Ibu tampak mencondongkan
tubuhnya ke belakang, bersandar pada bahu Pak Ridwan
yang bidang. Memasuki ruang tengah, aku disambut lagi oleh foto ke"
luarga yang sama besarnya. Foto yang diambil di pelaminan.
Ada Abah di sana, ada Umi, ada Hara, bersama orang-orang
serta anak-anak lain yang tak kukenal.
"Kita sudah siapkan kamar untukmu, Zarah." Suara Ibu
memecahkan ketertegunanku.
"Kalau boleh, aku mau tidur dengan Hara saja, Bu."
"Asyik!" Hara melonjak girang. "Boleh, Kak. Kamarku
besaaar... banget! Tempat tidurnya bisa muat tiga orang!"
Ibu tersenyum, "Nanti kalau sudah puas kangen-ka"
ngenan, kamu bisa punya kamar sendiri, kok. Ada banyak
kamar di sini." Aku hanya mengangguk sopan.
"Yuk, kita makan dulu," ajak Ibu. Di meja makan bundar
itu, tersedia sedikitnya enam macam lauk, cukup untuk ma"
kan sepuluh orang. Dan baru saja pantatku menyentuh kursi,
ada piring baru lagi yang diantar ke meja. Isinya potonganpotongan kue lapis. Cokelat dan pandan.
"Kak Zarah jadi berotot sekarang, kayak atlet," komentar
Hara. "Tambah hitam lagi," celetuk Ibu.
269 Keping 40 "Tapi tambah cantik, kok," Hara terkikik.
"Di sana, Kakak sering manjat pohon, ketularan orang"
utan," aku cengengesan.
"Pantas jadi mirip," Ibu menimpali.
Hara terpingkal. "Foto Sarah aku pamer ke teman-teman,
lho, Kak. Mereka semua bilang, Kak Zarah hebat. Bisa jadi
ibu asuh orangutan."
"Sampai lupa sama orang betulan," celetuk Ibu lagi.
Denting sendok dan garpu mengiringi berondongan per"
tanyaan Hara yang bersemangat. Celetukan bernuansa serupa
sesekali dilontarkan Ibu. Sindiran-sindiran serius yang di"
ucapkan dengan santai. Kutelan semuanya dengan ikhlas. Makan siang nan lezat
ini merupakan kompensasi yang setimpal.
Rumah besar itu memiliki enam kamar tidur. Yang terisi
tentunya hanya dua, untuk Ibu dan Hara. Sisanya menjadi
kamar-kamar kosong berseprai rapi macam hotel. Kamar


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hara ada di lantai atas. Ia bersemangat sekali menunjukkan"
nya kepadaku. Kunaiki tangga melingkar berlapis marmer itu. Dingin
dan asing. "Ini kamarku, Kak," Hara membuka pintu. Terhamparlah
270 Partikel kamar luas serba pink. Ada meja belajar, komputer, televisi
kecil. Dan seperti biasa, boneka-boneka berbaris rapi di tem"
pat tidur. Ciri khas Hara sejak dulu. Bedanya, dulu bonekaboneka di tempat tidurnya murahan dan kumal. Bonekanya
kini besar-besar seperti replika binatang asli, yang dari ben"
tuknya kelihatan bukan dibeli di pasar pagi.
"Bagus sekali kamarmu," pujiku tulus. "Kamu betah di
sini ya, Hara?" "Betah banget, Kak. Dari dulu Hara sering berkhayal
punya kamar kayak begini, tinggal di rumah kayak istana,
eh, tahu-tahu jadi kenyataan," tuturnya berseri-seri. "Nanti,
kalau Kak Zarah pindah ke sini, pilih kamar yang di se"
belahku persis ini, ya. Jadi kita dekatan."
Beban berat yang sedari tadi menggantungiku harus ku"
tanggalkan. "Hara, Kak Zarah mau bicara sebentar," aku
mendudukkannya di tempat tidur. Lebih cepat lebih baik.
"Kakak nggak bisa pindah ke sini," ucapku.
Air muka Hara langsung memuram. "Kakak masih ma"
rah sama Ibu, ya" Kakak nggak suka sama Bapak" Kakak
mau tinggal di rumah Ayah?"
Kepalaku langsung menggeleng, "Bukan gara-gara itu se"
mua. Kakak dapat tawaran pekerjaan. Nggak di sini," aku
menelan ludah, "jauh."
"Di mana?" "Di Inggris. Di London."
"Dan Kakak ambil tawarannya?"
271 Keping 40 Aku mengangguk. Berat. "Berapa lama Kakak nanti di London?"
"Nggak tahu." "Kapan Kak Zarah berangkat?"
"Besok." Hara tertegun. "Jadi, Kakak mampir ke sini cuma untuk
pamit?" Aku mengangguk lagi. Lebih berat.
Kulihat adikku berjuang menahan tangis. Dengan suara
gemetar ia berkata, "Ibu bilang, Kakak lebih sayang sama
monyet daripada sama kita."
"Itu nggak benar," kataku cepat.
"Memang. Hara bilang sama Ibu, orangutan itu kera. Bu"
kan monyet." Senyumku membersit bercampur dengan air mata yang
mulai mengembang. "Hara nggak suka lihat Kakak dan Ibu ribut terus. Hara
sayang Kakak, Hara sayang Ibu juga. Kalau Kakak memang
harus pergi jauh, Hara nggak keberatan. Hara tahu Kakak
sayang sama kita semua. Tapi, Hara pengin sekali suatu saat
Kakak dan Ibu rukun lagi. Kalau bukan sekarang waktunya,
Hara ikhlas. Hara selalu doakan Kakak dan Ibu."
Aku memeluknya erat. "Kakak janji, suatu saat Kakak
nggak akan pergi jauh lagi. Kakak akan temani Hara terus."
"Kak Zarah bakal baikan lagi sama Ibu, kan" Sama
Abah" Sama Umi?"
272 Partikel Jujur, aku tak yakin. Namun, tak urung aku mengangguk.
Hara melonggarkan pelukannya, menatapku lurus, "Kak,
memangnya, Ayah masih hidup?"
Tak kusangka akan mendapat pertanyaan itu. Pertanyaan
Hara sekaligus menyadarkanku, selama ini tak pernah aku
berpikir kemungkinan itu sama sekali. Bagiku, meski tak
kelihatan wujudnya, Ayah teramat hidup.
"Kalau Ayah masih hidup, kenapa sampai sekarang Ayah
nggak menengok kita sama sekali?" desaknya lagi.
"Kakak nggak tahu, Hara. Mati atau hidup, Kakak akan
cari Ayah terus," tegasku.
"Bagaimana kalau ternyata Ayah nggak mau dicari?"
Aku tercekat untuk kali kedua. Kemungkinan itu pun
belum pernah terlintas sebelumnya.
"Kakak cuma pengin tahu kenapa. Kenapa dulu Ayah
pergi. Soal ketemu atau nggak, gimana nanti."
Hara berusaha tersenyum sambil mengerjapkan matanya
yang berkaca-kaca, "Hara juga pengin tahu, Kak. Tapi Hara
nggak seberani Kakak. Biar Hara yang di rumah jaga Ibu."
Sebuah peta tergambar jelas kini. Ada semacam pem"
bagian tugas tak terucap di antara kami, yang barangkali
sudah digariskan di level takdir. Aku menjadi si Pencari.
Hara menjadi si Penjaga. Karena itulah, adikku begitu tabah menghadapi tempaan
demi tempaan yang menerjangnya dari usia muda. Dengan
bijak dan dewasa ia melepas kepergian kakak satu-satunya,
273 Keping 40 berkali-kali. Dan karena itu jugalah, aku diberi kekuatan
entah dari mana untuk terus berjalan. Menghadapi berbagai
macam situasi asing, orang-orang baru, dan ketidakpastian.
Aku dan Hara, terlepas dari jarak yang selalu memben"
tang di antara kami, tak pernah lepas untuk saling menjaga
dan berjaga. Di tempat yang berbeda.
Sekitar pukul enam sore, terdengar bunyi klakson dua kali,
dan sebuah kesibukan pun dimulai. Pembantu berlari mem"
buka pagar. Ibu beres-beres di meja makan, menyiapkan
secangkir teh manis dan sepiring pisang goreng yang masih
hangat. Aku dan Hara diminta stand-by di ruang tengah.
Sekilas Ibu membereskan dandanannya di cermin, kemudian
berdiri siaga, seperti pagar ayu yang akan menyambut tamu
besar. Pintu pun membuka. Suara hak sepatu kulit beradu de"
ngan lantai. Ibu melesat ke ruang tamu, menyambut.
Pak Ridwan berdiri gagah dengan baju kantoran lengkap.
Tas kulit hitam yang ditentengnya langsung disambar oleh
Ibu, dibawakan. Ibu mencium punggung tangannya dengan
takzim. Dibalas oleh ciuman Pak Ridwan di kening.
Tak lama, Hara mengikuti.
"Ada Zarah," gumam Ibu kepada Pak Ridwan.
274 Partikel Senyum Pak Ridwan langsung mengembang, "Zarah"
Apa kabar kamu?" ia menyalamiku. Aku satu-satunya yang
tidak ikut mencium tangannya.
"Baik, Pak," ucapku kaku.
"Kamar untuk Zarah sudah disiapkan?" tanyanya kepada
Ibu. "Sudah, semua sudah beres," jawab Ibu cepat.
"Bapak senang akhirnya kita semua bisa berkumpul,"
katanya lagi. Aku mencoba tersenyum. Kali kedua aku berjumpa de"
ngannya. Ada kesan yang berbeda. Ada sikap yang berkuasa.
Dulu, aku mengingatnya sebagai pria yang pendiam, yang
memandang aku dan Hara dengan segan. Mungkin, karena
waktu itu dialah pendatang. Mendekati Ibu dan dengan hatihati berusaha mendekati kami. Kini, aku menjadi pendatang
di tempatnya. Ibu dan Hara sudah ia miliki. Aku adalah
orang terakhir yang harus menyesuaikan diri.
"Zarah, kita belum terlalu saling kenal. Tapi, ingat, ini
rumahmu. Jadi, jangan sungkan-sungkan, ya?" katanya. "Kita
semua sudah keluarga. Kalau ada apa-apa, kita bisa terbuka.
Aku sekarang bapakmu."
Kembali aku berusaha tersenyum.
Pukul setengah delapan, kami berkumpul lagi di meja
untuk makan malam. "Gimana sekolah hari ini, Hara?" tanya Pak Ridwan sam"
275 Keping 40 bil menunggu piringnya disiapkan oleh Ibu, diisikan nasi dan
dipilihkan lauk-pauk. "Baik, Pak. Besok Hara ada ulangan Bahasa Inggris."
"Pas, dong!" Pak Ridwan berseru. "Pas sedang ada guru
Bahasa Inggris di sini."
Kami tertawa sopan karena tahu yang dimaksud adalah
aku. Mungkin Pak Ridwan lupa, terakhir aku mengajar su"
dah tiga tahun lebih yang lalu.
"Kamu nggak berminat mengajar lagi, Zarah?" tanya Pak
Ridwan. "Belum, Pak," jawabku pendek.
"Lebih ingin fokus di fotografi?"
"Sekarang ini, iya."
"Nggak mau sekolah lagi?"
"Nggak, Pak." "Mungkin Bapak bisa carikan tempat untuk kamu bikin
studio kecil-kecilan di Bogor...."
"Saya nggak akan menetap di sini." Aku tak tahan lagi.
Sendokan nasi Ibu berhenti. Tajam, ia mendelik.
"Waktu di Tanjung Puting, saya dapat tawaran pekerjaan
ke Inggris. Jadi, sebetulnya, saya pulang kemari untuk pamit.
Saya mau berangkat ke London."
"London?" Pak Ridwan membelalak. Punggungnya lang"
sung menegak. "Kapan?"
"Pesawat saya berangkat besok sore, Pak. Tapi, saya sudah
harus ke Jakarta dari pagi, untuk persiapan."
276 Partikel Pak Ridwan melongo. "Oh, begitu?" ia lalu melirik Ibu.
"Aisyah, kamu sudah tahu?"
Di luar dugaan, Ibu menjawab pendek, "Sudah."
"Hara?" "Sudah, Pak. Tadi siang Kak Zarah cerita sama Hara."
"Wah, berarti Bapak yang ketinggalan berita," katanya.
"Selamat ya, Zarah."
"Makasih, Pak," gumamku.
Makan malam berlangsung dengan mulus dan wajar. Pak
Ridwan menanyakan banyak hal tentang Tanjung Puting,
pekerjaanku di sana, dan kujawab semuanya dengan sopan.
Setelah semua obrolan usai, Ibu pun permisi pergi, "Ibu
duluan ke kamar, ya. Agak capek."
Pak Ridwan ikut berdiri, mengantar Ibu ke kamar sambil
merangkul bahunya mesra. Mataku lekat mengikuti bayangan
keduanya masuk ke kamar hingga pintu itu menutup. Tak
pernah terbayangkan sebelumnya olehku, Ibu akan dipeluk
pria lain, masuk ke kamar tidur.
Cepat-cepat, kutenggak air putih. Dia suaminya, dia
suaminya, aku mengingatkan diriku sendiri. Berkali-kali.
"Kakak temani kamu belajar, yuk," ajakku kepada Hara.
Aku ingin segera menyingkir dari sini. Menepis rekaman
gambar tadi. 277 Keping 40 Pagi-pagi sekali Pak Ridwan berangkat bersama Hara.
Meninggalkan aku dan Ibu, dan sebuah taksi yang dipesan
untuk mengantarku ke Jakarta.
Rumah besar ini menjadi lebih sunyi dan mencekam.
Aku turun membawa barang-barangku. Setengah jalan di
tangga, seorang pembantu sudah menghambur dan mengam"
bilnya dari tanganku. Sekejap, ia lenyap lagi ke pintu ke
belakang. Kulihat Ibu duduk di kursi makan. Menatap hampa.
Salah tingkah, akhirnya aku menarik kursi di hadapan"
nya. Ikut duduk. "Maaf, Bu. Kemarin Zarah belum bilang langsung?"
"Kamu memang nggak akan pernah mau tinggal di sini.
Iya, kan?" "Bukan itu, Bu. Zarah dapat tawaran pekerjaan ini sejak
dari Kalimantan?" "Berarti kamu memang nggak punya niat pulang sama
sekali ke keluargamu?" potongnya sengit.
Aku tak bisa menjawab. "Jujur saja. Kamu menghindari Ibu, kan" Kamu marah
sama Ibu" Gara-gara Ibu memilih Kang Ridwan?"
Aku menggeleng. "Zarah nggak tinggal di Bogor bukan
karena Zarah menghindari Ibu atau Pak Ridwan. Zarah
menghargai keputusan Ibu. Dan Zarah tahu Pak Ridwan
orang baik," aku berhenti sejenak, sesuatu terasa membubung
278 Partikel di dada, mendesak keluar lewat mulutku. "Tapi, Zarah harus
pergi karena...." "Ayahmu." Aku mengangguk, "Zarah masih mau cari Ayah," ucapku
bergetar. "Ke mana?" tantang Ibu. "Ke Inggris" Dia ada di sana?"
Lagi-lagi, aku tak punya jawaban.
"Mau sampai kapan, Zarah" Ke mana lagi kamu mau cari
dia?" Ibu menatapku seperti orang kelelahan. Antara gemas
dan putus asa. "Ke mana pun, Bu. Kalau bukan di sini, barangkali
Zarah bakal menemukan cara yang lebih baik untuk mencari
Ayah. Di mana pun Zarah nanti. Zarah nggak akan ber"
henti." Kulihat air mata mulai mengambang di matanya. "Apa
yang belum Ibu lakukan untuk mencari ayahmu" Apa yang
masih kurang?" ucapnya setengah berbisik.
"Zarah tahu semua upaya Ibu. Zarah nggak pernah me"
rasa Ibu kurang berusaha," jawabku pelan. "Ini cuma ikhtiar
Zarah." "Siapa pun tidak pernah bisa menandingi Firas di hati"
mu," Ibu mengusap air matanya, "tidak akan ada yang bisa."
Aku ingin menyangkal, mengatakan bahwa dugaannya itu
salah. Namun, aku tak sanggup. Mulutku bungkam. Mung"
kin karena aku memang sedang tidak ingin berbohong.
"Ibu capek, Zarah. Ibu capek bersaing dengan ayahmu.
279 Keping 40 Sampai kapan kita terus begini" Kapan kamu bisa memaaf"
kan Ibu?" ratapnya.

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidakkah ia tahu" Di dalam hatiku, aku selalu mengaju"
kan pertanyaan yang sama. Kapan Ibu mau memaafkan aku"
Memaafkan perbedaan kami"
"Zarah nggak menyalahkan Ibu," kataku akhirnya.
Ibu diam. Hanya bolak-balik mengusap air matanya.
"Salam untuk Abah dan Umi, Bu. Zarah pamit." Aku
menghampiri ibuku, mengambil punggung tangannya untuk
kusentuhkan pada kening. Tahu-tahu, tanganku dibetot ken"
cang. Ibu memelukku, menangis tersedu-sedu.
Betapa aku ingin menangis bersamanya. Betapa aku ingin
menghiburnya dengan kata-kata manis dan segala ungkapan
sayang. Tak ada yang keluar. Tidak air mata, tidak juga katakata. Hatiku pedih ketika sadar ucapan Ibu ternyata benar.
Akulah yang belum memaafkannya.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari kepedihan yang tak
bisa ditangiskan. e1999"2001f London Aku mendarat di Bandara Heathrow pagi hari pada bulan
Oktober. Dataran Inggris sudah memasuki awal musim
280 Partikel dingin. Yang tidak kuantisipasi adalah seberapa dingin dan
sekuat apa tubuhku menahan dingin.
Aku terkesiap ketika pintu geser otomatis di dekatku
membuka dan embusan angin beku menerpa wajah. Saking
dinginnya hingga terasa perih di kulit dan aku merasa baru
ditiup angin neraka. Ternyata, dingin yang ekstrem dan pa"
nas yang ekstrem akan bertemu di satu titik siksa.
Kulihat lagi baju yang kupakai: sehelai jaket kain, kemeja,
celana jins, dan seutas syal wol. Kupikir semua itu cukup
untuk menghadapi dingin London. Aku salah besar.
Paul berbaik hati menjemputku ke bandara. Barangkali ia
menaruh iba kepada perempuan hutan yang datang seorang
diri, perdana menginjakkan kaki ke luar negeri.
Dengan mudah kutemukan Paul di antara para penjemput
di terminal. Hatiku langsung lega luar biasa.
"Good to see you again. Welcome to London," sapanya. Di
sampingnya, ada seorang pria berambut kemerahan,
gondrong sampai garis bahu, tingginya kurang lebih sama
denganku. Matanya bundar dan berbinar, wajahnya bersaha"
bat. Ia langsung tersenyum ramah kepadaku.
"This is my partner in crime, Zach," Paul mengenalkan
temannya. Zach menjabat tanganku, "Welcome to the family, Zarah."
Suaranya ringan, ceria. Aku langsung menyukainya. Zach
seperti tambahan matahari bagi London yang kelabu dan
dingin. 281 Keping 40 Belakangan aku tahu bahwa Zach adalah tangan kanan
The A-Team. Dia sahabat lama sekaligus fotografer pertama
yang direkrut Paul. Saking akrabnya dua sahabat itu, lelucon
yang beredar adalah, kalau saja salah satu dari mereka pe"
rempuan, Zach dan Paul pasti sudah menikah.
Begitu kami melangkah keluar terminal, eksistensiku
menciut. Dingin yang kejam ini terasa mencabut setengah
nyawa. Sepanjang perjalanan dari terminal menuju tempat
parkir, badanku tegang menahan dingin. Setengah mati aku
berjalan tegak, pura-pura kuat.
Di jok belakang mobil station wagon Zach, langsung aku
meledak menggigil. Gigiku gemeletukan. Tanpa bisa kuken"
dalikan. Sementara Zach dan Paul santai-santai saja di jok
depan, di jok belakang itu aku seperti kena gempa bumi lokal.
"Kita langsung pulang?" tanya Zach sembari memasang
sabuk pengamannya. "Nggak. Kita harus cari toko dulu dan membelikan
Zarah baju hangat yang layak. Anak hutan tropis ini se"
bentar lagi jadi es batu."
Zach tergelak melihatku. Ia melepas lagi sabuk penga"
mannya, bangkit meraih selimut dari bagasi, lalu melempar"
nya ke pangkuanku. "Nih. Untuk kamu bertahan hidup
sampai kita ketemu toko baju."
Aku sudah tak bisa berkata-kata. Kalap, kubungkus tu"
buhku dengan selimut itu. Meringkuk bagai bola. Cuma
suara gemeletuk gigi yang terdengar.
282 Partikel Jalanan dari bandara hingga pusat London ini super"
mulus. Tapi di jok belakang mobil Zach, ada gundukan se"
limut yang tampak terguncang-guncang.
Zach tinggal di sebuah rumah teras di daerah Clapham. Ba"
ngunan gaya Victoria yang di dalamnya sudah dirombak
total, bergaya minimalis dengan furnitur-furnitur modern
yang diterangi lampu-lampu LED. Rumah yang terdiri dari
dua kamar dan satu basement itu memiliki luas total yang
cukup lega. Ruang tengahnya yang tanpa sekat dibagi men"
jadi tiga area: ruang makan, ruang televisi, dan ruang kerja.
Yang terakhirlah yang mendominasi. Memakan hampir tiga
perempat ruang. Tampak meja besar bertaburan laptop, me"
sin scan, faks, dan berbagai alat elektronik lain yang tak ku"
kenal. Di sebelahnya ada meja khusus untuk komputer
desktop. Di dinding terpasang white board sepanjang satu se"
tengah meter, bersebelahan dengan pin board. Kedua papan
itu penuh oleh tulisan, sketsa, kertas, foto. Sisa ruang yang
ada dipecah untuk meja makan bundar berkursi empat dan
sebuah televisi dengan satu sofa.
Rumah Zach ternyata merangkap menjadi markas besar
The A-Team. Ia house sharing dengan kantor Paul. Itu men"
jelaskan porsi ruang kerja yang menjajah rumahnya. Ber"
hubung semua anggota A-Team lebih banyak bepergian,
283 Keping 40 rumah itu sangat pas menjadi markas multifungsi. Salah
satunya, tempat untukku menumpang.
Kamar untukku menginap berukuran mungil. Di kamar
berkarpet itu, cuma ada satu tempat tidur single, lemari pen"
dek, cermin, satu unit pemanas. Sudah. Bagiku, itu semua
lebih dari cukup. Baru beberapa jam aku tiba di London,
tapi aku langsung kerasan di tempat Zach. Awal yang baik,
pikirku. "Coffee" Tea" Orange juice" Hot chocolate?" Zach menawar"
kan. "Oh, biar saya bikin sendiri. Nggak usah repot-repot.
Tunjukkan saja tempatnya," aku cepat-cepat bangkit.
"Zarah...," Paul menyambar, "biarkan dia yang bikin. Just
relax." Nada itu terdengar seperti komando.
"Oke," gumamku sambil duduk lagi.
"Coffee" Tea" Orange juice" Hot chocolate?" Zach mengu"
lang. Wedang jahe harusnya jadi pilihan ideal. Tapi, akhirnya
kupilih segelas cokelat panas.
Zach menghilang di dapur"sebuah bilik kecil yang ter"
pisah oleh pintu koboi. Kami cuma menangkap setengah
bayangannya yang sibuk di dalam sana. Terdengar bunyi de"
sis minyak beradu dengan pinggan panas, wangi telur mere"
bak, denting cangkir, bunyi air dituang, bercampur dengan
senandung Zach. "Nobody interrupts Zachary Nolan when he"s making break"
284 Partikel fast. Okay?" kata Paul dengan suara rendah, "it"s his obsession,"
lalu Paul memutar telunjuk di pelipisnya.
Aku tertawa geli. "Saya baru tahu ada orang terobsesi bi"
kin sarapan." "Zach itu punya cita-cita terpendam jadi chef. Sayangnya,
saat ini skill fotonya masih lebih bagus. So, dia terpaksa jadi
fotografer," Paul terkekeh.
Dua puluh menit kemudian, Zach keluar dari dapur
membawa tiga piring berisi telur acak, roti gandum bakar,
tiga mangkuk sup labu, dan tiga cangkir minuman panas
yang beda-beda. Teh untuknya, kopi decaf untuk Paul, dan
cokelat panas untukku. "Jadi, kapan assignment pertama saya?" tanyaku sambil
menyantap sarapan buatan Zach dengan lahap.
Paul langsung meletakkan cangkirnya. "Take it easy, will
you" Kami nggak sekejam itu!"
"Oh. Jadi, saya nggak langsung kerja?"
Zach tergelak, "Sebenarnya kami sekejam itu. Kami pe"
ngin kamu mati beku dulu di Inggris sebelum mengirimmu
ke Afrika." Mulutku makin menganga. "Afrika" Saya akan ke
Afrika?" Detik itu juga aku ingin jungkir balik saking se"
nangnya. "Zach, don"t be so mean," tegur Paul dengan muka jahil.
"Zarah, sebelum kami kirim kamu ke mana pun di pelosok
285 Keping 40 Bumi ini, banyak sekali yang harus kamu pelajari. Kamu
harus ikut training dulu."
"Training apa?"
"Kamu harus belajar pakai kamera digital. Kamu harus
belajar editing foto, postproduction... kapan kamu terakhir pa"
kai komputer?" Sungguh, aku tak ingat. Dari tampangku, Paul sepertinya sudah bisa menyimpul"
kan. "Zach, we have a bloody talented photographer here. But
you have to drag her out from the dark cave."
"Aye, aye, Captain," sahut Zach.
"Dengar, Zarah. Saat saya mengirim kamu, tugasmu nan"
ti seringnya bukan cuma memotret. Mereka bisa kasih job
desc macam-macam untuk kamu kerjakan. Di waktu-waktu
berharga yang kamu punya untuk memotret, kamu harus
sangat efisien dan efektif. Kalau kamu tidak dibantu tekno"
logi digital, kamu nggak bakalan bertahan. Belum tentu
kamu punya waktu untuk cuci film, cetak foto, risiko film
terbakar, jepretan yang gagal, dan seterusnya. Semua yang
kamu shoot harus sesegera mungkin kamu cek hasilnya su"
paya kamu bisa langsung tahu apakah fotomu sudah cukup
atau masih kurang. Itu baru soal teknis foto. Belum lagi
kondisi di lapangan. Kamu harus tahu banyak taktik, tip,
strategi untuk menghadapi macam-macam orang dan ma"
cam-macam alam. Jadi, bergantung kecepatanmu belajar, you
may easily spend your first one or two months only in London."
286 Partikel "Sebulan-dua bulan" Lama amat!" protesku. Bayangan
Afrika begitu menggoda. "Ah. You"ll love London," Zach nyengir. "Di sini banyak
kejutan menantimu." Wawasanku tentang teknologi selama ini hanya sebatas apa
yang dibawa para turis ke Tanjung Puting tiap tahunnya.
Aku baru tahu pager tidak lagi populer setelah turis-turis
berhenti menentengnya. Lalu, aku mulai mengenal telepon
seluler karena turis-turis mulai membawanya. Dari tahun ke
tahun, kuamati ukuran ponsel semakin ciut. Mengapa aku
bisa tahu" Karena turis-turis itu sering sulit menerima ke"
nyataan bahwa semua pemancar seluler mati begitu masuk
Tanjung Puting. Mereka kerap mencoba, berpindah-pindah
tempat, berharap sinyal akan muncul. Aku sempat ditertawa"
kan karena membantu seorang turis dengan menggoyang-go"
yang ponselnya. Kupikir setrip tanda sinyal itu bisa ber"
tambah jika dibantu sedikit guncangan.
Aku juga melihat perubahan laptop dari tahun ke tahun
lewat para turis atau para relawan. Bentuknya makin tipis
dan warnanya makin macam-macam. Sesekali aku pinjam
untuk mengetik atau main game kartu. Tidak lebih.
287 Keping 40 Menghadapiku, Zach harus mengajarkan segalanya dari
nol. Namun, sebelum training kami dimulai, aku harus me"
miliki peralatanku sendiri. Alhasil, modal uang yang kubawa
dari Indonesia ludes dalam waktu beberapa jam. Berganti
dengan kamera DSLR, satu lensa, dan ponsel sederhana.
Sesampainya di apartemen, aku garuk-garuk kepala me"
lihat belanjaan itu dan persediaan uangku. Nasibku selamat
semata-mata karena tumpangan Zach dan bahan makanan
yang selalu tersedia di kulkasnya untuk kumasak. Tak mung"
kin aku bergantung pada sedekah Paul atau Zach selama dua
bulan. "Zach, saya mesti hidup gimana di sini" I"m totally broke,"
ratapku. "Don"t worry. Paul will arrange something," hibur Zach.
Sementara aku sudah tidak tahu apakah masih punya cukup
uang untuk tiket underground besok.
Hatiku kecut membayangkan harus menghubungi Gary
dan menjual Nikon Titanium-ku demi menyambung hidup.
Perkataan Zach terbukti benar. Paul sudah duluan ber"
tindak. Pada malam yang sama, Paul datang ke apartemen
membawa amplop berisi uang.
"It"s yours, Missy," katanya santai.
Aku membuka amplop tebal itu. Lembaran-lembaran
poundsterling dari mulai "10 sampai "50.
288 Partikel "Sengaja saya pecah-pecah supaya gampang buat kamu
pakai sehari-hari," Paul menambahkan.
"I"ini uang apa" Dari mana?" tanyaku panik.
"I sold your stork"s storm pictures."
Aku tertegun. Sindang lawe" Berhasil menyelamatkan
hidupku di negeri orang"
"I told you it was an easy sell," Paul mengangkat bahu.
"Dan, selamat, fotomu akan dimuat di kalender Kodak edisi
World"s Rarest Birds tahun depan."
Zach menepak punggungku, "Congratulation, Zarah. Ka"
riermu resmi dimulai."
Pada hari yang sama, dari bokek total aku jadi punya
uang ekstra untuk membeli peralatanku yang masih kurang,
plus biaya hidup di London untuk beberapa waktu. Kucium
punggung tangan Paul sambil sungkem. Dan kucium lantai


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apartemen Zach. Tak habis-habis mereka menertawaiku.
Malam itu berakhir di sebuah pub. Aku mentraktir Paul
dan Zach minum. Sebagai imbalan, mereka bernyanyi duet
untukku di panggung karaoke. Jelek bukan main.
Aku mengenang malam itu sebagai salah satu momen
terindahku di London. Paul tidak main-main saat mengatakan aku bisa menghabis"
kan sebulan hingga dua bulan pertamaku di London. Per"
289 Keping 40 alihanku dari dunia analog ke digital ternyata cukup makan
waktu. Bukan hanya perkara transisi alat. Begitu bersentuhan
dengan komputer, seribu jendela lain seolah ikut terbuka.
Aku jadi harus melek terhadap banyak hal sekaligus: inter"
net, katalogisasi dokumen foto, teknik pencitraan digital,
penyuntingan foto digital, dan masih banyak buntut lain
yang ikut dalam paket pelajaranku. Hal baru muncul setiap
saat. Dalam sebulan terakhir, aku lebih banyak di depan
komputer ketimbang di belakang kamera.
Kadang, aku rindu hari-hari sederhanaku. Saat yang ada
hanya aku, objekku, kamera berisi film, dan ruang gelap.
Hiburanku di sini adalah menjadi turis London. Dengan
baju berlapis-lapis, aku menyempatkan diri berjalan-jalan ke
museum, naik bus double decker, dan menontoni upacara per"
gantian penjaga di Buckingham Palace.
Di kota kelabu ini, sinar matahari bagaikan siraman ber"
kat dari langit surga, yang cuma datang sesekali dan sekejap.
Sementara orang-orang di Indonesia bergerak santai, di sini
orang-orang bergerak cepat seperti dikejar hantu. Aku men"
duga, dinginnya cuaca membuat mereka terasing dari satu
sama lain di jalanan. Tak ada kontak mata. Tak ada abangabang yang jongkok di trotoar sambil mengisap keretek,
mengobrol ngalor-ngidul sambil menggoda cewek lewat. Tak
ada ruang untuk keleluasaan semacam itu di sini. Semua
orang bergegas ingin tiba di tujuan mereka sesegera mung"
290 Partikel kin. Terpisah sekian jauh dari Khatulistiwa membuatku ter"
sadar betapa mewahnya hidup bermandi matahari.
Meski dingin di jalan, orang Inggris bisa berubah drastis
ketika darah mereka sudah dihangatkan alkohol di ruang
tertutup. Di pub, di kelab, di kafe, dan tempat-tempat sosial
lain yang kukunjungi bersama Paul dan Zach, aku bertemu
dengan orang-orang Inggris yang hangat, humoris, senang
bicara. Aku curiga Paul mengenal setengah kota ini. Ke mana
pun kami pergi, selalu ada yang kulihat menyapa Paul. Si"
tuasi yang amat kontras denganku.
"Di sini banyak komunitas orang Indonesia. Do you know
any of them?" tanya Paul.
Aku menggeleng. "Perfect stranger," Zach nyengir.
Aku ingin bilang sebetulnya aku kenal satu. Tanpa tahu
orang itu di mana. Satu-satunya sahabat yang kumiliki dari
masa sekolah konon tinggal di kota besar ini. Mungkin kami
tak akan bertemu kembali. Aku hanya berharap ia masih
mengingatku, sebagaimana aku masih terus mengenangnya.
Tujuh minggu sudah aku di London. Tugas pertamaku
akhirnya tiba. Kenya. Aku akan ikut tim dari FAO untuk menyalurkan sum"
291 Keping 40 bangan makanan sekaligus mendata krisis pangan yang me"
landa Kenya akibat kemarau berkepanjangan. Masa tugasku
tidak tanggung-tanggung. Tiga bulan. Paul hanya akan me"
nemaniku seminggu pertama. Sisanya, aku dilepas sendiri.
Di kesempatan yang kupunya, aku akan meninggalkan
Nairobi menuju Kenya bagian selatan, ke batas dinding Great
Rift Valley, melewati Kota Narok, menuju perbukitan Loita.
Di sana, seorang pemandu Maasai kepercayaan Paul sudah
menungguku. Masa tinggalku di Kenya ada di rentang waktu
yang strategis, yakni saat rumput sedang pendek dan musim
turis sudah usai. Itulah saat ideal untuk memotret para pre"
dator lembah. Zach tergeli-geli melihatku berangkat ke bandara hari itu.
Setelan bajuku baru, demikian juga dengan ransel, sepatu
bot, tas kamera, serta tripod yang masih mulus berkilau.
"Your first photo gig with The A-Team, dan kamu kayak
mau pemotretan katalog," Zach geleng-geleng.
"Kita lihat tiga bulan lagi," sahut Paul kalem.
Aku mengatur napas. Gugup. "I"m really doing this, aren"t
I?" kutatap kedua pria itu, mencari kekuatan.
"You"ll live, Missy," Paul merangkul bahuku.
292 Partikel Pertengahan Maret 2001. Aku kembali ke London. Masih
hidup dan utuh. Tak ada lagi Paul dan Zach yang menjemput di bandara.
Aku pulang sendiri dengan kereta. Sesuai dengan ramalan
Paul, semua benda baru yang kubeli tiga bulan lalu kini ter"
lihat berusia tiga tahun.
Aku pulang ke apartemen Zach, memakai kunci duplikat
yang sudah ia sembunyikan di tempat khusus. Zach sedang
ke Alaska dua minggu. Paul baru akan menemuiku besok
siang. Malam ini aku menikmati kesendirian.
Di bathtub, aku berendam lama hingga kulit-kulit tangan
dan kakiku keriput. Sesudah ini, seorang terapis shiatsu lang"
ganan Zach bernama Helen sudah kupesan untuk memijatku
dua jam. Biasanya aku tak pernah tertarik memakai jasa
Helen, bukan karena dia tidak ahli, melainkan karena me"
nurutku servisnya mahal luar biasa. Masih sulit bagiku untuk
tidak membandingkan jasa pijat di London dengan jasa pijat
mbok-mbok di Indonesia. Namun, malam ini aku tak peduli.
Setelah mengalami apa yang kualami berminggu-minggu
di perbukitan Loita, aku merasa layak memanjakan diri.
Dari tiga bulan masa tugasku, aku memiliki setidaknya
tujuh kali kesempatan memotret dengan rentang waktu ber"
beda-beda, dari cuma dua hari sampai seminggu. Dari tujuh
kesempatan itu, tidak semuanya kugunakan untuk memotret,
293 Keping 40 beberapa kali aku bolak-balik hanya untuk persiapan sekali"
gus mengenal medan. Sesuai adat di desa Maasai yang kukunjungi, mereka
memberiku nama Maasai: Selenkay. Artinya, perempuan
yang keras kepala waktu remaja. Aku takjub sekaligus geli.
Orang-orang lembah besar Afrika yang tak mengenalku
sama sekali, tidak tahu kisah hidupku, dan tahu-tahu, dari
sekian nama yang mereka bisa pilih, aku diberi nama itu.
Sementara, teman-temanku yang juga ikut ke sana diberi
nama dengan arti "kebijaksanaan", "lagu merdu", "matahari
terbit", dan lain-lain, aku... perempuan keras kepala"
Nama Maasai-ku sepertinya tidak diberikan sembarangan.
Kejadian demi kejadian di sana seolah mengonfirmasi intuisi
pemimpin desa yang memberiku nama.
Oleh pemanduku, Olubi, aku diberi tahu bahwa tak sam"
pai lima kilometer dari desanya, ada telaga kecil yang jadi
sumber air hewan-hewan yang lewat ke sana, termasuk para
singa. Setelah kulihat jejak singa dengan mata kepalaku sen"
diri, hatiku pun bulat untuk menetapkan perburuan fotoku
di dekat telaga. Telaga yang dimaksud Olubi cuma sekitar 25 meter per"
segi luasnya. Ibarat setetes keringat di wajah Loita yang luas.
Namun, berhubung tidak ada lagi sumber air lain dekatdekat situ, telaga mungil itu menjadi perhentian yang hampir
pasti bagi hewan-hewan yang melintas.
Paul sudah mengajariku berbagai cara untuk memata294
Partikel matai hewan liar dengan aman tanpa mengganggu mereka.
Salah satunya adalah dengan menggali lubang dengan
konstruksi atap sederhana untuk menutupi kepalaku, entah
dari seng, kayu, atau yang lainnya, menyisakan celah cu"
kupan untuk lensa kamera membidik.
Aku menuruti saran Paul, membuat lubang sesuai dengan
petunjuknya. Lubang itu kubuat dengan mencicil. Setiap kali
aku punya kesempatan kembali ke daerah telaga, aku meng"
gali lebih dalam, hingga pada kunjungan ketiga, lubang itu
selesai. Aku berencana memanfaatkannya maksimal di waktu
seminggu yang kupunya, yang sekaligus merupakan kesem"
patan memotretku terakhir sebelum masa tugasku usai di
Kenya. Di lubang itu aku bisa diam setengah hari, dari pagi
hingga sore, sampai Olubi kembali menjemput dengan Land
Rover sewaan kami. Tak bisa dipastikan jenis hewan apa yang datang setiap
harinya ke telaga, tapi bisa dipastikan lubangku itu selalu
semarak oleh lalat tsetse. Siang hari, penunjuk termometerku
bisa mendaki hingga 40 derajat celsius. Diam di dalam lu"
bang menambah panas ekstra. Tiga liter air yang kubawa
setiap hari berakhir menjadi air panas. Kuminum di cuaca
yang menggigit. Suatu hari, sekelompok babun tahu-tahu berdiri di ping"
gir lubangku, berputar-putar sambil barangkali berpikir be"
tapa menariknya WC baru ini, dan kemudian dengan bar"
295 Keping 40 barnya mereka mengencingiku tanpa ampun. Panji permu"
suhanku dengan babun resmi berkibar.
Tak tahan lagi berdiam di lubang, akhirnya kuputuskan
mencebur ke telaga dangkal itu. Membenamkan diri dengan
berjongkok, hanya kepala dan tanganku memegang bodi
kamera yang muncul di permukaan air.
Karena jarak yang lebih pendek, aku pun terbebas dari
lensa tele yang berat dan mencolok, kembali memakai lensa
50 milimeter, lensa andalanku. Sejuk air pun membantuku
bertahan dalam cuaca neraka itu. Nahasnya, air telaga yang
berlumpur dan pesing adalah rumah bagi serangga-serangga
air yang tak kenal ampun. Aku pulang ke tendaku setiap
malam hanya untuk menemukan bentol dan beruntus baru.
Aku yakin betul kencing kawanan babun juga punya andil
di dalamnya. Enam hari di Loita, berhasil kudapatkan foto zebra, ce"
leng, soang Mesir, dan antelop Defassa. Baru pada hari ter"
akhir, predator yang kutunggu-tunggu akhirnya muncul.
Kawanan soang Mesir, yang tadinya berenang santai di
air, tiba-tiba mengepakkan sayapnya, kabur dengan panik.
Refleks yang serupa terlihat pada binatang-binatang lain
yang juga ikut menoleh dan langsung bergeser. Akulah yang
paling terlambat sadar. Empat ekor singa"satu jantan, tiga betina"berlari kalap
ke arah telaga bagai musafir padang pasir yang meregang
kehausan. 296 Partikel Kerumunan binatang-binatang di telaga dengan dramatis
tersibak, memberikan ruang yang cukup bagi tibanya rajaraja lembah. Jantungku serasa kehilangan denyut. Belum
pernah aku berada di jarak sedekat itu dengan singa liar.
Momen-momen awal mereka tiba di telaga adalah mo"
men-momen emasku. Saking hausnya, mereka tidak lagi
peduli apa pun selain minum. Termasuk makhluk misterius
di tengah telaga, yang muncul dengan corong hitam dari
permukaan air. Dikepung empat singa dewasa dalam jarak dekat, bunyi
shutter kameraku mendadak terasa terlalu bising. Kepalaku
mendadak terlalu mencolok. Dalam jarak ini, mereka dapat
menerkamku dengan sekali lompat. Inilah saat tepat bagiku
untuk menyulap tubuh jadi transparan, sihir yang sayangnya
tidak kukuasai. Mereka minum dan minum seolah tiada hari esok. Hing"
ga, di satu titik, sang singa jantan mulai mendongak. Me"
nemukan lensaku. Mataku. Kami beradu tatap dalam rentang
waktu yang terasa bagai keabadian. Instingtif, temannya mu"
lai ikut merasa. Satu demi satu, singa-singa itu menemukan
mataku. Tubuhku menegang. Ketakutan mulai merambat.
Menguasai ototku secara bertahap. Kameraku mulai gemetar.
Jika tadi momen emas, ini adalah momen platinum. Salah
satu predator darat terbesar di planet Bumi menatapku tepat
di bola mata dalam jarak kurang dari empat meter.
Menggunakan sisa kekuatan otot yang ada untuk me"
297 Keping 40 nekan shutter, aku memberanikan diri untuk kembali mem"
bidik. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali.
Sorot mata mereka menajam. Entah bunyi shutter kamera
atau badanku yang mulai bergetar dan mengirimkan riakriak ketakutan yang mereka deteksi, tapi aku mulai merasa"
kan aura ancaman. Sang raja tahu-tahu kembali menunduk, minum. Tak
lama, yang lain mengikuti. Napasku yang tadi tertahan mu"
lai bisa mengembus. Kelihatannya mereka tidak lagi meng"
anggapku makanan potensial. Namun, aku belum berani
menyimpulkan. Matahari sudah mulai turun. Tak jauh dari sini, mobil
penjemputku akan datang. Hal terburuk yang bisa terjadi
adalah terjebak dalam telaga ketika malam datang. Jika itu
terjadi, kemungkinan besar aku keluar dari Kenya tinggal
nama dan cabikan jasad. Hanya empat meter jarak dari punggungku ke tepian.
Tiket keluarku satu-satunya dari sini. Aku mundur sepelan
mungkin, menjaga keseimbangan kakiku baik-baik di atas
lantai lumpur yang licin, tanganku erat memegang kamera
dengan segenap jiwa. Setiap inci gerakanku seperti meman"
cing reaksi dari para singa. Entah sekadar lirikan, atau ta"
tapan tajam, langkah mundur teraturku berlangsung di ba"
wah pengawasan ketat. Air yang semakin dangkal kian membuka kedokku yang
sesungguhnya. Ketika air sudah di bawah pinggang, mulai"
298 Partikel lah aku melata, menggeliat bagai ikan sapu, menggapai
tepian. Dan ketika kakiku menapak di tanah kering, me"
lesatlah aku berlari sekencang-kencangnya.
Kutinggalkan botol air dan ranselku yang teronggok di


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat lubang. Aku tak peduli lagi. Dari kejauhan, tampak
Land Rover jemputanku. Di mobil itu, aku tahu Olubi me"
nyimpan senapan kaliber .458 yang mampu melumpuhkan
gajah dengan sekali tembak. Aku berharap Olubi tak perlu
menembakkannya demi keselamatanku. Dan tampaknya me"
mang tak perlu. Kusempatkan menoleh ke belakang. Ke"
empat singa itu diam di tempatnya, bergeming menatap se"
orang manusia berbalur lumpur yang tunggang langgang
seperti dikejar setan. Terengah-engah aku menggapai mobil. Olubi melongo
melihatku yang datang bagai monster berkaki dua yang baru
keluar dari perut Bumi. Akhirnya dia tersadar bahwa selama
hunting foto ini aku menceburkan diri di telaga. Sebelumnya,
aku selalu punya kesempatan ganti baju terlebih dulu. Tidak
kali ini. Saking kotor dan baunya, Olubi tidak membukakan
pintu. Ia menyuruhku naik ke bak belakang. Aku menurut
saja. Saat itu, aku tak sanggup lagi berkata-kata. Hanya bisa
tertawa campur menangis campur ngos-ngosan. Luapan
emosi mulai meledak-ledak, menyadari aku masih bernyawa.
Setidaknya sehari lagi. Land Rover itu memutar sejenak, Olubi menyambar tas
299 Keping 40 dan botolku. Dan meluncurlah kami meninggalkan Loita.
Adrenalin yang mengalir deras membuat tubuhku bergetar
hebat. Aku harus berteriak-teriak sepanjang jalan untuk me"
lepaskan ketegangan tubuhku. Lengkaplah sudah. Olubi
seperti sedang mengangkut siluman kesurupan di bak mobil"
nya. Malam itu, Olubi menceritakan kisahku kepada pemuda-
pemuda prajurit Masaai di desa. Mereka terpingkal-pingkal
histeris. Mereka bilang, singa selalu mengenal manusia se"
bagai makhluk bipedal yang berjalan tegak. Penyamaranku
di air, lalu melata di lumpur, kemudian lari terbirit-birit, se"
pertinya menjadi kombinasi yang membingungkan bagi si"
nga. Mereka yakin, jika singa bisa bicara, malam ini singa-
singa niscaya rapat besar membahas penampakan makhluk
aneh yang mereka lihat tadi sore.
Dari kumpulan orang yang ikut tertawa mendengar
ceritaku, akulah yang tertawa paling keras. Terjongkok-jong"
kok sampai bercucuran air mata. Menertawai kegoblokanku,
kemujuranku, kenekatanku. Lolos dari jeratan maut ternyata
mampu membuat seseorang jadi manusia paling bahagia se"
kaligus paling sinting. Sepulangku dari desa Maasai, aku masih punya sisa dua
minggu di Kenya. Dan aku jatuh sakit. Tes laboratorium
mengindikasikan infeksi parasit yang menyerang pencernaan"
ku. Belum lagi gatal-gatal menyiksa sekujur tubuh yang su"
300 Partikel dah tak jelas lagi apakah itu akibat sengatan lalat tsetse,
gigitan larva capung, atau kencing babun.
Empat hari tak berkutik di tempat tidur, tahu-tahu Olubi
mampir ke kamp. Ia memberikan obat tradisional suku
Maasai yang dioleh-olehi dari dukun di desanya. Ada dua
macam obat dibawa Olubi, yang satu berbentuk bubuk dari
tumbukan akar pohon untuk kucampur air dan kubalurkan
di luka-luka kulitku, satunya lagi botol berisi cairan jamu
untuk kuminum satu seloki tiga kali sehari. Aku menduga,
di luar sisi humor petualanganku yang puas kami tertawai
ma"lam itu, mereka sudah mengantisipasi efek samping yang
akan terjadi pada tubuhku.
Kuhentikan segala antibiotik pemberian klinik, memutus"
kan untuk percaya sepenuhnya pada obat dari Olubi. Dalam
dua hari, semua gejalaku lenyap tanpa bekas. Begitu juga
gatal-gatal di kulitku. Beruntus merah yang tadinya mem"
bengkak mulai mengempis dengan cepat, kemudian me"
ngering, dan akhirnya rontok begitu saja.
Sebelum pulang, aku menelepon Olubi, menitipkan te"
rima kasih tak terhinggaku untuk orang-orang desanya yang
sudah berbagi obat tradisional Maasai. Dan, aku pun ingin
menyampaikan terima kasih kepada hewan-hewan di per"
bukitan Loita, yang karena tak bisa kuucapkan langsung
maka kutitipkan dalam doa syukurku kepada alam raya.
Berjongkok di lubang dan di telaga, menurunkan level
mataku di bawah level mata mereka, telah mengajariku untuk
301 Keping 40 melihat kerajaan fauna dari sudut pandang berbeda. Meski
singkat, aku telah diberi kesempatan merasakan hidup di
tengah-tengah mereka tanpa memakai sudut pandang ma"
nusia. Ukuranku yang "menciut" memampukanku melihat
betapa megahnya makhluk-makhluk itu. Status kami yang
berubah sejajar mengingatkanku bahwa kerajaan manusia dan
hewan pada hakikatnya sama. Kami sama-sama penumpang
di Bumi. Melalui kemurahan hati Bumi-lah, kami mampu
melangsungkan kehidupan yang sekejap mata ini. Tak ada
yang lebih unggul. Kembali ke London, ke kota modern yang dirancang se"
maksimal mungkin untuk kenyamanan manusia, di mana
kita terlindung dari cuaca ekstrem, hidup dalam terang arti"
fisial, didukung kenyamanan barang-barang sintetik, aku
berharap aku tidak lupa. Aku berharap hangatnya air bersih
dan melimpahnya busa wangi di bathtub ini tidak mem"
buatku amnesia. Kita cuma penumpang. Dari setahun pertamaku bekerja untuk Paul, keberadaanku
di London dihitung-hitung kurang dari setengahnya. Hampir
delapan bulan aku bertugas di luar Inggris. Aku tak merasa
rugi. Kunikmati betul setiap tugas, setiap petualangan.
302 Partikel Khusus bulan ini, kami semua "cuti". Paul dan temantemannya membuat pameran fotografi di London.
Walau bukan terbilang pameran besar dan baru dijalan"
kan dua kali, pameran hasil godokan Paul Daly adalah salah
satu acara yang ditunggu-tunggu komunitas pencinta foto"
grafi. Selalu ada nama baru, kesegaran baru, dan kisah-kisah
menarik yang diungkap dalam setiap foto.
Ada selusin nama yang karyanya dipamerkan. Zarah
Amala menjadi salah satunya. Jumlah foto terseleksiku pa"
ling sedikit dibandingkan yang lain. Hanya tiga foto yang
ikut terpajang. Salah satunya adalah foto singa hasil per"
buruanku di Kenya. Namun, melihat namaku di dalam
buklet sudah membuatku bangga lebih dari apa pun.
Sehari sebelum ekshibisi, sesuatu yang tak kubayangkan
terjadi. Aku bingung memakai baju apa. Selama ini aku su"
dah terlalu nyaman dengan celana kargo, kaus oblong, ke"
meja lengan panjang, dan sepatu botku, hingga lupa bahwa
ada peristiwa sosial lain di kehidupan ini yang perlu busana
berbeda. Untungnya, aku sudah punya teman perempuan. Kim"
berly Harris. Teman lama Zach yang selalu berada di hi"
dupnya bagai satelit tanpa ada ikatan yang jelas. Kimberly
adalah seorang desainer grafis yang juga punya hobi foto"
grafi. Dia suka fotografi arsitektural, lanskap, tapi jelas-jelas
menolak untuk menguntit binatang berminggu-minggu di
alam bebas. Kimberly terang-terangan menyatakan dirinya
303 Keping 40 sebagai "a genuine city girl". Dia tidak bisa hidup jika tidak
ada pencakar langit, shopping mall, dan coffee machine.
Aku menyukai Kim. Sikapnya santai, terbuka, dan in"
telek. Kim nyaman-nyaman saja dengan kehadiranku sebagai
penumpang di rumah Zach. Melihat bagaimana keduanya
berinteraksi, aku merasa Kim dan Zach adalah pasangan
yang serasi dan saling melengkapi. Entah apa yang membuat
hubungan mereka lebih mirip musim mangga. Membeludak
dalam satu waktu, lalu hilang kembali berbulan-bulan. Se"
perti ada tombol yang bisa dengan cepat mengubah mereka
dari sepasang kekasih menjadi sahabat biasa. Kim menyebut"
nya open relationship. Sampai hari ini aku tidak tahu pasti
apa artinya. Dengan senang hati, Kim menolongku untuk masalah
kostum besok. "I"ll turn you into a fit London chick!" janjinya
di telepon. Esok petang, ia muncul di apartemen Zach membawa tas
plastik panjang. Ketika dibuka, aku nyaris pingsan. Kim
membawakan terusan di bawah lutut, berlengan panjang,
berwarna hitam polos, bahannya elastis mengepas di badan,
potongan punggungnya begitu rendah sampai aku tak bisa
membayangkan harus memakai baju dalam model apa.
"Tenang, Zarah. Saya membawakan segala aksesori yang
dibutuhkan untuk gaun cantik ini." Kim kemudian menge"
luarkan gelang, jepitan rambut, tas tangan, bra dengan ben"
304 Partikel tuk rumit yang tak kumengerti mekanisme pasangnya, dan
sebuah boks sepatu. "Kim, waktu saya bilang mau pinjam baju, yang ada di
bayangan saya itu adalah sehelai kemeja layak dan celana
kain. Not this!" Kim seperti tak mendengar, "Untung ukuran badan kita
mirip. Sepatumu ukuran 6", kan" And your bra is what"
34C" Right?" Aku yakin ukuran sepatuku 40, atau 6" dalam standar
ukuran UK. Untuk bra, sejujurnya, aku tidak tahu pasti. Su"
dah lama sekali aku tidak belanja baju dalam. Yang aku ti"
dak mengerti adalah bagaimana cara Kim bisa menaksir itu
semua hanya dengan melihat.
Dengan bantuan Kim, aku berhasil mengenakan semua
yang ia bawakan. Dan untungnya, Kim memiliki rasa peri"
kemanusiaan yang cukup dengan membawakanku flat shoes
dan bukan sepatu hak. Sepatu hak adalah temuan manusia
yang hingga hari ini belum bisa kuapresiasi.
Setelah melihat bayanganku sendiri di kaca, aku langsung
lunglai. "Kim, saya nggak mungkin keluar pakai baju ini," keluh"
ku. Kim menganga. "Darling, you look absolutely stunning!"
Sebelum aku bisa lanjut protes, Kim sudah lari meng"
gedor kamar Zach. "Zach! Cepat keluar! Lihat Zarah!"
305 Keping 40 Aku ingin melesak ke dalam sofa dan tak keluar-keluar
lagi. Zach keluar, sudah berbaju rapi. Ia menatapku dingin.
"Who are you" Do I know you" What are you doing in my
house?" Lalu, ia menengok ke Kim, dan bertanya, "Can I date
this stranger?" Sedetik kemudian, Zach terpingkal-pingkal
sendiri. "Kim, tantangan terbesar kita adalah menemukan
cara untuk membujuk Zarah keluar dari tempat ini, dan ma"
sih memakai baju itu."
Kim menanggapi perkataan Zach dengan serius. Ia lang"
sung sigap berlari, mengunci kamarku, mengantongi kunci"
nya. "Done. Kamu nggak bisa menyentuh baju-bajumu yang
lain, Zarah. You"re coming with us in that dress."
Belum pernah aku sebegini canggung. Aku merasa seluruh
dunia mengamatiku. Dari wajah anonim di jalanan yang
lebur dengan lingkungan tanpa diperhatikan, mendadak aku
menerima lirikan dari kiri-kanan. Bagiku, itu sangat meng"
ganggu. Begitu tiba di galeri, aku berharap bisa kembali nyaman
di tengah-tengah orang yang kukenal. Salah besar.
Aku dihujani komentar dan aneka reaksi. Termasuk Paul
yang berkali-kali menggosok matanya, dan berseru, "Blimey!"
Pukul tujuh tepat, ekshibisi dibuka. Ada tiga puluhan
306 Partikel orang yang datang, dan tamu terus bertambah. Di sebuah
meja bundar, gelas-gelas berisi wine dan camilan kering di"
sediakan. Kim datang membawakan segelas anggur putih.
"Thank you, but I don"t drink," aku menggeleng.
"Malam ini harus," tegasnya. "Dari tadi kamu kaku kayak
gagang sapu. This will help you relax a little."
Aku mencicip sedikit. Mukaku mengernyit. Baru tegukan
ketiga, mulai aku bisa menikmati efek hangatnya. Kim be"
nar. Minuman ini punya khasiat mencairkan persendian.
Aku mulai bisa berkeliling galeri dengan santai tanpa peduli
tatapan orang. Di dekat foto-fotoku, muncul muka yang kukenal.
"Gary!" Gary, masih dengan rambut keriting dan kacamatanya,
memandangku bingung. Perlahan ia bergumam, ragu,
"Tarzane?" Aku langsung merangkulnya. Barulah Gary yakin, ma"
nusia yang menantang beruang madu dengan tongkat di
Pesalat dan manusia yang kini hadir di galeri kota London
dalam gaun hitam adalah orang yang sama.
"Kamu betulan ke London ternyata!" Gary geleng-geleng
kepala. "Tadi saya baca nama "Zarah" di foto ini, tapi saya
nggak nyangka itu kamu."
Tiba-tiba orang di belakangnya nyelonong, maju ke de"
307 Keping 40 pan, dan langsung menyalamiku. "Are you Zarah Amala" I
love your photos. Brilliant," pujinya.
"Zarah, kenalkan, ini Storm," sela Gary.
"Storm Bradley," ia menyebut namanya dengan mantap,
"pleased to meet you."
"Zarah," aku mengulang namaku. Mataku tak berkedip.
Tubuh tegap itu dibungkus jaket kulit hitam bermodel jas,
dipadankan dengan setelan jins hitam belel dan kaus oblong
putih. Wajahnya yang tampan dan kekanakan dibingkai
rambut ikal emas kecokelatan dengan gradasi warna tum"
pang tindih yang alami. Aku membayangkan rambutnya
dapat menjadi kopi susu nikmat kalau kucelupkan ke air pa"
nas. "Saya sekarang lagi belajar fotografi fashion dan portraiture.


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Storm ini mentorku. He"s one of the best in the country," ujar
Gary bangga. Pernyataan Gary berhasil memecah fokusku. "Fashion" You
don"t do wildlife anymore?"
Gary nyengir. "Paul benar. Binatang membuatku gugup
dan serangga membuatku gila. Borneo was my last gig. Sejak
kejadian di Pesalat, saya banting setir. Sekarang, saya cuma
pengagum wildlife. Dari jarak aman."
"But, you will always be the Nikon lad, won"t you?" kela"
karku. Gary mesem-mesem. "I crossed to the other side," katanya
setengah berbisik. "Storm is using Canon."
308 Partikel "Artinya, Paul tidak cukup berpengaruh dalam hidupmu,"
aku tergelak. "Kamera cuma penunjang," tiba-tiba Storm menimpali.
"Contohnya, kamu, Zarah. You have special eyes. Kamu bisa
melihat apa yang tidak orang lihat," seperti tak rela, ia me"
ngatakannya, "tidak Canon, tidak Nikon, Leica, Hasselblaad,
atau apa pun, yang bisa menghadirkan mata seperti itu. Ha"
nya alam." Storm melempar senyumnya kepadaku.
Kembali aku terpana. Hatiku berdiri di pinggir tebing.
Siap jatuh. Grup kecil kami tiba-tiba dirubung. Perempuan-perem"
puan. Salah satunya Kimberly. Mereka mengenali Storm dan
menatapnya dengan tatapan memuja. Mereka lalu sibuk ber"
kenalan. Melihat audiens yang bertambah, Gary juga ber"
tambah semangat memamerkan mentor barunya.
"Kalian tahu" Storm baru masuk nominasi World Press
Photo di kategori Arts & Entertainment tahun ini. On his
bloody 25th birthday!" Saking semangatnya, Gary menepak
punggung Storm sampai pria itu terbatuk sedikit.
Rahangku dan Kim sama-sama jatuh. Secara berbarengan
kami berseru spontan: "WPP" Congratulation!" seru Kim.
"Happy birthday!" seruku.
Sampai sekarang, aku tetap tidak tahu kenapa lebih ter"
tarik pada peristiwa ulang tahunnya daripada WPP Award.
309 Keping 40 Namun, justru karena itu, Storm menatapku dengan tatapan
yang tak lagi sama. Grup kami terus membesar. Aku yakin semua itu karena
medan gravitasi seorang Storm Bradley. Orang-orang datang
hanya untuk berkenalan atau mencuri-curi obrolan dengan"
nya. Storm terdominasi. Aku pun menyingkir pelan-pelan.
Aku menggamit Paul yang berdiri tak jauh dari sana,
berbisik, "Gary is now into fashion."
"Saya sudah lama menduga, kok," Paul terkekeh. "Dia
nggak bakalan bertahan di A-Team. Tapi dia beruntung bisa
masuk ke lingkarannya Storm. He"s in good hands."
"Kamu kenal Storm?"
"Pertanyaannya adalah, siapa yang nggak kenal Storm?"
Paul tersenyum lebar. "Dia fotografer fashion dan iklan yang
lagi naik daun saat ini. Talented, handsome, and he"s still bloody
young. Lucky bugger."
Dari kejauhan, aku mengamati Storm. Nama yang tidak
tepat. Seharusnya ia dinamai Serenity karena lebih mirip
Laut Mati yang menghampar tanpa gejolak. Dari caranya
berdiri, tersenyum, menatap, Storm seolah dibungkus dalam
keheningan Buddha. Sorot mata Storm bersih, menyorot
tanpa pretensi seperti tatapan bayi. Tapi justru di sanalah
hati kita direnggut, dikristalkan menjadi garam.
Ada magnet dalam dirinya yang membuatku bertingkah
aneh, mencuri-curi pandang dan selalu ketahuan karena me"
mang kurang pengalaman. Di galeri luas dengan tamu ter"
310 Partikel sebar ke dua lantai, Storm dengan mudah mengidentifikasi
adanya perhatian yang berlebih. Ia menatapku yang sedang
menatapnya, dan langsung aku membuang muka, jengah.
Akhirnya kuputuskan untuk menjauh sama sekali. Pindah
ke lantai dua. Sejenak melupakan pusaran magnetis di lantai
satu, yang sialnya terjadi di dekat fotoku dan tak ada gelagat
mereka pindah tempat. Aku jadi tidak bisa mendekati fotoku
sendiri. Waktu berjalan dan jumlah tamu kian berkurang. Aku
memberanikan diri ke bawah, berharap kumpulan itu sudah
tak ada. Di tangga, aku berpapasan dengan Zach.
"There you are! Kamu harusnya di bawah. Banyak yang
menanyakanmu," tegurnya.
Zach menggiringku kembali ke tempat yang sama. Tem"
pat Storm bersemayam. Magnetnya telah sengaja menarikku
datang. Dan, dimulailah lagi. Jantungku yang berdebar lebih ken"
cang. Napasku yang jadi panjang-panjang. Perutku yang jadi
melilit. Mataku yang seolah punya kehendak sendiri untuk
melirik ke arahnya setiap ada kesempatan. Semua ini mem"
bingungkan. Terpaksa kuambil lagi segelas wine dari segelintir gelas
yang tersisa di meja bundar tadi. Berharap kesembuhan. Aku
ingin terbebas dari fenomena aneh ini.
Ternyata, selain membuat lantai oleng, tak ada bantuan
tambahan lain yang kudapatkan dari minuman itu. Seiring
311 Keping 40 malam yang menua, lingkaran itu kian mengecil. Mening"
galkan hanya aku dan dia. Aku... terapung di Laut Mati.
Pembicaraanku dan Storm sudah tak lagi menyangkut
fotografi. Ia sangat tertarik dengan asal usulku. Menurutnya,
mukaku sangat unik. Aku menjelaskan bahwa darahku cam"
puran Arab dan Sunda, jadi tidak sepenuhnya Asia. Dan
tentu saja, aku jadi harus menjelaskan apa itu Sunda, apa itu
Jawa Barat, dan apa itu Indonesia.
"I see," ia manggut-manggut, "tapi, yang saya nggak ngerti
adalah, bagaimana perempuan seperti kamu bisa jadi wildlife
fotografer?" Aku mengerutkan kening. Perempuan seperti aku" Tidak
kupahami maksud pertanyaannya. Memangnya aku perem"
puan seperti apa" Storm rikuh sendiri, geleng-geleng kepala, "That doesn"t
come out right, does it?" ralatnya. "Okay, what I"m trying to say
is, you are, by far, the most beautiful wildlife photographer I"ve
ever met." Aku bengong sejenak. Setelah itu, tawaku meledak tanpa
bisa kutahan. "Kamu tertipu. Zarah yang sebenarnya adalah
Zarah yang nyemplung di air berlumpur dan memotret singa
ini. Yang kamu lihat sekarang" Ini cuma ilusi," dan entah
karena dua gelas wine yang mengalir dalam darahku yang
perawan alkohol, aku pun nekat menambahkan, "baju ini,
dan semua yang ada di badan saya sekarang, adalah... pin-jaman."
312 Partikel Storm ikut terpingkal. "Brutal honesty. I like that," ujarnya.
Tawa itu menyurut, berubah menjadi sesungging senyum
yang tak akan kulupakan seumur hidup. "And I fancy you,"
sambungnya. Tawaku menghilang, diganti dengan cengang. Mukaku
pasti sudah tidak keruan.
"I"m just trying to be as brutally honest," Storm mengangkat
bahu. Hadirlah ia. Orang yang langsung menduduki peringkat
nol dalam hidupku. Dibutuhkan dua puluh dua tahun untuk
menemukannya. Dan cukup dua menit untuk menyadari aku
jatuh cinta. Bukan. Bukan lagi jatuh. Aku terjun bebas. Tan"
pa tali pengaman. Tanpa lagi peduli apa yang menyambutku
di dasar sana"kalau memang ada dasarnya.
Malam itu, aku tidak pulang ke tempat Zach. Dengan sopan
dan manis, Storm mengajakku singgah ke apartemennya.
Diiringi tatapan aneka rupa dari teman-teman kami yang
tersisa di galeri, aku dan Storm pamit.
Storm tinggal di apartemen keren bermodel loft dengan
interior gaya industrial. Terdapat jendela-jendela besar yang
menghadap kelap-kelip lampu kota di daerah Hoxton. Tapi,
aku tak peduli itu semua. Fokusku hanya dia.
313 Keping 40 Storm menyuguhiku anggur Merlot berumur sepuluh ta"
hun yang ketika lewat tengah malam tahu-tahu menjebol
mulut ini untuk bercerita segalanya. Storm begitu terkesan,
terutama pada cerita-ceritaku tentang Ayah.
Lewat pukul dua dini hari, kami mulai membahas topik
lain. Pria dan wanita. Jantan dan betina.
Aku mengoceh, "Betina memproduksi sel telurnya
jaauuuh... lebih sedikit ketimbang jantan memproduksi sper"
ma. Kamu bagi saja, berapa besar investasi si betina di satu
telurnya, lalu angka yang sama dibagi untuk sekian juta
sperma jantan. Yang berlaku di sini cuma hukum ekonomi
sederhana: ketika kedua pihak berusaha memaksimalkan
probabilitas kawin masing-masing, jelas-jelas si betina akan
hati-hati memilih partner, sementara si jantan akan mencari
sebanyak mungkin partner supaya nggak rugi. Jadi, jangan
heran kalau perempuan itu pemilih...."
"Dan laki-laki itu mata keranjang," sambungnya.
"Setuju," sahutku. "It was meant to be. Betina memilih
kualitas, dan jantan memilih kuantitas. Kamu boleh tanya ke
nyamuk, kodok, burung elang...."
"Tapi burung banyak yang monogami," selanya.
"Kamu tahu frekuensi elang tiram jantan gituan sama
betinanya?" "Berapa?" "Tiga ratus kali sehari."
Tawa Storm meledak. 314 Partikel "Itulah konsekuensi dia bermonogami. Dia harus me"
mastikan kalau partnernya tidak dihamili jantan lain selama
masa subur elang tiram betina yang supersingkat."
"Kalau kodok?" "They"re the worst!" Aku terbahak. "Dia gituan sampai
betinanya bertelur!"
"Kenapa saya tiba-tiba minder jadi manusia, ya?" gumam"
nya seraya mengisi penuh gelas anggurku.
"Tahu nggak belalang betina ngapain kalau kawin?"
"Apa?" Ia menyorongkan gelas untuk kuminum. Aku me"
nenggak dua teguk penuh. "Dia memakan si jantan," jawabku. "Pertama kepala dulu,
baru toraksnya. Sementara perut dibiarkan utuh sampai sper"
ma si cowok tertransfer ke tubuhnya."
"Thank God you"re not a female mantis," seru Storm. Spon"
tan. Ada sekian detik yang senyap ketika kami berdua ber"
usaha mencerna celetukan tak sengajanya itu. Aku, yang
berpikir: apa maksudnya" Dan Storm, yang barangkali mem"
batin: oops. Dengan cepat otakku berputar untuk menimpali ke"
sunyian tadi, "Tapi yang lebih menarik lagi adalah bagai"
mana para jantan berusaha."
Senyum relaks langsung lepas di wajahnya. "Topik me"
narik," ia berkata antusias. Mukanya maju menghampiri
mukaku. 315 Keping 40 "Are you familiar with satin bowerbirds?" tanyaku.
"Enlighten me."
"Mereka mengumpulkan apa saja yang berwarna biru, you
name it, tutup botol, sedotan plastik, tali, kertas... pokoknya
biru! Bagi mereka, nggak ada warna lain seindah biru. Terus,
mereka kumpulkan semua itu di dekat sarangnya, menarinari seharian penuh kayak orang gila. Kalau biru nggak
berhasil, mereka nggak putus asa. Mereka akan cari warna
lain. Selama itu, si betina cuma memandangi dari jauh. Ka"
lau dia tertarik, baru dia mendekat."
"Hmm." Storm bergumam sambil manggut-manggut,
tampak berpikir serius. "Bahkan lalat, Storm. Mereka selalu kasih persembahan
buat betinanya, nanti sambil si betina makan, si jantannya
baru gituan." "Apa sih "gituan?" Kamu selalu pakai istilah itu dari tadi,"
potongnya. "Well, you know?"
"Apa" Just say it."
"Don"t make me."
"Zarah, you"re an adult, for heaven"s sake."
Storm tidak akan mengerti betapa susahnya ini bagiku.
Aku sudah akrab dengan konsep reproduksi, baik seksual
maupun aseksual, lebih awal dari semua anak di negeriku,
bahkan mungkin lebih awal dibandingkan Storm. Masalah"
nya, aku hanya mampu membicarakan seks dalam konteks
316 Partikel ilmu pengetahuan. Tidak dalam konteks sosial, pergaulan,
pria-wanita di apartemen sunyi dini hari dengan botol
Merlot yang hampir kosong.
"Zarah?" panggilnya halus. "Say it."
"Coitus," jawabku setengah berkumur. "Happy?"
Ia tersenyum dan menggeleng pelan. Giginya berderet
rapi. Banyak yang bilang susunan geligi orang Inggris ratarata berantakan. Tidak yang satu ini.
"Shag," balasnya."The male fly shags the female while she"s
eating." "Whatever," aku mengangkat bahu. Kupalingkan muka ini
segera karena Storm sedang menatapku dengan ketenangan
yang tak sanggup kupadani.
"I"m more like that bowerbird," ia berkata lagi. "Blue is my
color. Dan, saya nggak keberatan bertingkah sinting demi
perempuan yang saya suka."
Ragu-ragu, aku melirik. Ternyata Storm sedang meraih
selembar tisu makannya yang berwarna biru laut, memben"
tuknya menjadi kerucut, lalu ia tuangkan sisa isi cokelat
M&M ke dalamnya. Storm menatap karyanya puas. Ia me"


Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyorongkannya kepadaku, "Buat kamu."
Canggung, kuterima persembahannya. Dan, lihatlah wa"
jah itu. Wajah yang membuatku memuja geometri. Dari
sudut ini, yang kulihat adalah pola-pola geometris yang
indah: hidung segitiga lancip, lekukan dagu mengotak, tu"
lang pipi membulat, alis bergaris tegas.
317 Keping 40 "What"s the matter?" tanyanya. "Kamu selalu kelihatan ber"
pikir, Zarah." "Saya nggak memikirkan apa-apa kok," aku terbata. Kau
membuatku merasa buruk rupa.
"Apa pendapat kamu tentang hadiah biru saya" Suka?"
Storm bertanya sekaligus tambah mendekat. Matanya ber"
cahaya. Menerangi satu sudut gelap dalam diriku yang se"
lama ini diabaikan karena kuanggap gang buntu yang tak
akan membawaku ke mana-mana.
"Kepala ini," aku menggoyangkan kepalaku, "kepala saya
serasa hilang. Kulit saya rasanya tebal. Numb."
"Then feel this," ujarnya seraya mendaratkan kedua telapak
tangannya yang hangat di pipiku, menempelkan dahinya de"
ngan dahiku. Jarak wajah kami dekat sekali. Aku jadi pusing. "You"re
going to kiss me, aren"t you?" celetukku. Entah dari pelosok
mana otakku kalimat itu terlontar. Barangkali gang terlarang
itu sedang kumasuki, yang dalam koridornya aku dibuat
menjadi manusia tak bermalu. Dan, butuh lonjakan kadar
alkohol dalam darah untuk menuju ke sana.
"Maybe." Kembali bibir itu merekah, tersenyum.
"Seumur hidup, saya belum pernah dicium," ujarku ringan
dengan cengiran bodoh. Oh, bodoh betul! Kumaki diriku sen"
diri. Jangan-jangan karena inilah mabuk diharamkan. Ia
melucuti semua tameng kemanusiaan, mendekatkan kita de"
ngan naluri kebinatangan yang tertanam jujur dalam DNA.
318 Partikel "Liar." Telapak tanganku mengangkat, berbarengan dengan satu
serdawa kecil. "I"m serious!" seruku. "Swear to God."
"I thought you didn"t believe in God."
"I honestly don"t know what to believe," bisikku.
"Kalau kamu sungguhan jujur, kalau kamu yang umurnya
dua puluh dua tahun ini bahkan belum pernah dicium, ber"
arti yang lainnya juga belum?"
"Yang lainnya?"
"You know, sexual activities."
Tawaku lebih seru lagi. Aku menggelengkan kepala.
Dan tiba-tiba, dengan ketenangan meditatifnya, ia me"
nempelkan bibirnya di atas bibirku.
Lembap. Empuk. Saat itu, aku tidak tahu apakah itu yang namanya ber"
ciuman. Bibirnya cuma menempel. Lama sekali. Sampai aku
merasa harus mengambil tindakan. Kugerakkan mulutku
sedikit, seolah ingin mencuri empuk itu. Kubayangkanlah
diri ini pasir isap, dan ia tersedot ke dalam. Bibirnya pun
memiliki kekuatan tersendiri yang tak menyerah begitu saja,
dan sekali-sekali akulah yang diisapnya masuk.
"See" You sure can kiss," ia berkata lembut, "a natural kisser."
Natural. Kata yang amat tepat. Tahukah ia bahwa naluri
berciuman juga ada di hampir semua hewan"
"Don"t think," tahu-tahu ia menyergah, seakan menyaksi"
319 Keping 40 kan pikiranku yang menari-nari. Ia jauhkan wajahnya sedikit
hingga mata kami bisa saling beradu tanpa jadi juling.
Storm benar, rasionalitas memang musuh utama dalam
agenda setiap gen di bumi ini. Menebalkan rantai reaksi kita
sehingga tingkah laku manusia sering kali membingungkan,
terlalu ragu-ragu" "Zarah, will you please... stop thinking?" Suara halusnya me"
mohon. Ia meniup mukaku. Seolah ingin membangunkan
seorang juru mimpi dari halusinasi panjang tentang segala"
nya... tapi, jangan ambil perasaan ini. Perasaan ingin lebur,
bersatu dengan lautnya, hingga untuk sesaat segala perta"
nyaan menguap hilang. Dan akulah semua jawaban. Garam
di Laut Mati-nya. "No more thinking," bisikku. "I promise."
Malam itu aku mengetahui satu rahasia. Rahasia difusi.
Rahasia es batu yang bergemerencing dalam segelas soda
dingin, semakin lama semakin lebur sampai jadi satu. Berge"
merencing dan melelehlah kami berdua. Bersatu.
Storm terdengar berkecipak-kecipuk di kamar mandi, sibuk
mencuci sarung bantal dan seprai. Noda darahku yang masih
segar. "I swear. Saya belum pernah melakukan ini sebelumnya."
320 Partikel Bercampur dengan suara kucuran air keran, kudengar ia ber"
seru dari dalam sana. Aku menyerukan kalimat yang persis sama di dalam hati,
diiringi senyum rapuh dan tubuh telanjangku yang terkulai
pasrah, menatap langit-langit, mengingat seluruh perjalanan
hidupku hingga sampai di tempat tidur ini, ekspresi me"
longonya ketika ia tahu aku tidak bercanda tentang kepera"
wananku. Dengan muka kebingungan, Storm sampai harus
mengganjalkan bantal di bawah pinggulku karena aku cuma
bisa diam seperti gedebok pisang. Semua ini pasti lebih dari
sekadar naluri. Aku telah mencintai. Hmm. Mungkin. Ingat,
ada bagian dari otakmu yang akan selalu merasionalisasikan ke"
binatanganmu, hasrat tubuhmu yang sudah matang dan memang
siap dan ingin disetubuhi, dengan banjiran konsep muluk seperti
jatuh cinta, asmara, dan entah apa lagi... aduh, kenapa aku se"
lalu skeptis" "Are you okay, love?" Storm berlutut di samping tempat ti"
dur, membelai rambutku lembut. Dengan hati-hati, ditariknya
selimut, menutupi tubuhku agar tidak "masuk angin". Sebuah
konsep yang tidak ia mengerti, tapi ia turuti. Demi aku.
Adegan sederhana itu berjalan tanpa gejolak tapi pasti,
seperti fajar. Selalu baru, sekaligus kekal. Ada rasa akrab
yang membuatku merasa semua ini sudah ditakdirkan. Pe"
rasaan pulang ke rumah. Kutatap wajah indahnya, yang
menjadikan dunia ikut indah, dan aku mulai menangis. Ter"
isak-isak. 321 Keping 40 "Oh, no, don"t cry...." Ia menidurkan mukaku di atas dada"
nya, seperti menyambut bayi yang rindu ibu.
Pertemuan dua insan bagaikan pertemuan dua unsur
kimia. Bila sebuah reaksi terjadi, maka kedua unsur tadi
akan bertransformasi, menjadi sesuatu yang tak diduga se"
belumnya. Sesuatu dalam diriku yang tak pernah kutahu
berontak, mengoyak keluar, dan kudapatkan dunia baru yang
bening. Damai. "Morning, sleepyhead."
Mataku membuka, mendapatkan Storm berlutut di sam"
pingku, telanjang dada, memunggungi sorot matahari dari
jendela yang membingkai sosoknya dengan garis cahaya.
"Breakfast is ready." Storm mengecup keningku.
"Ada apa dengan pria-pria Inggris dan sarapan" Zach was
making me breakfast, and now you...."
"Already on our first date, you"re trying to make me jealous?"
"Not Zach. He"s a like a brother to me," aku tertawa kecil.
"Dan, orang satu itu memang terobsesi bikin sarapan. Saya
cuma curiga, jangan-jangan itu tendensi pria-pria Inggris."
"Well, saya cuma bikin sarapan untuk orang yang saya
anggap spesial," tandasnya. Storm lalu berdiri, celana boxernya menggantung sedikit di bawah tulang panggul. Rambut
322 Partikel halusnya yang masih acak-acakan menutupi sebagian kening.
Storm mengibasnya ringan. Semua gerakan yang sepintas tak
punya arti terasa begitu indah ketika Storm yang melaku"
kannya. Lagi-lagi, ia membuatku merasa buruk rupa.
"Zarah?" Melihat perubahan air mukaku, Storm kembali
duduk di tepi ranjang. "Sehabis sarapan ini, saya akan kembali jadi Zarah dalam
celana kargo belel, T-shirt, dan sepatu bot kotor. Zarah yang
tadi malam mungkin cuma terjadi sekali dan tidak akan
kembali lagi. Will this Zarah still be special to you?"
Storm menggenggam tanganku, wajahnya mendekat.
"Tanpa saya sekalipun, kamu adalah Zarah yang spesial.
Ngerti?" katanya lembut.
"Dalam tiga minggu, saya sudah harus berangkat lagi ke
Afrika, dan saya baru bisa ketemu kamu sebulan lagi...."
"Kalau begitu, tiga minggu ini akan saya gunakan sebaikbaiknya untuk mengenal kamu," potong Storm. "Sebulan di
Afrika" So, what" You have work to do, and I have mine as
well. Setelah itu, kita bakal punya waktu lagi bersama. Ya,
kan?" Cara Storm mengatakannya, yang terkesan memastikan
suatu masa depan bagi hubungan kami, membuatku merin"
ding. "Bukan gaun kamu. Bukan dandanan kamu. Bukan pe"
kerjaan kamu. But this," ia mengecup bibirku, "this is what
matters. Zarah under my sheet, honest and naked."
323 Keping 40 "Jadi, kamu kepingin saya begini terus" Naked" Under your
sheet?" aku tertawa.
"You forgot " honest", but yes, please stay this way." Bibirnya
kembali mendarat di atas bibirku. Dan, kali ini Storm ikut
menyisip ke dalam selimut.
Baru sekitar sejam kemudian, sarapan kami tersentuh.
Aku baru kembali ke apartemen Zach setelah makan siang,
masih dalam kostum yang sama dengan waktu semalam aku
pergi. Namun, semua yang melihatku tahu, aku kembali se"
bagai manusia yang berbeda.
Ada Kim, Zach, dan Paul. Aku curiga mereka sengaja
berkumpul hanya untuk menungguku pulang.
"So, Storm Bradley, eh?" Zach berdeham.
"Gaunku berhasil sampai ke apartemen Storm Bradley,
bermalam, dan kembali dengan kenangan indah," kata Kim.
Manyun. Aku hanya tersenyum, melepas sepatu, dan duduk ber"
sama dengan mereka di meja makan. Tidak berkata apa-apa.
Sambil memegang cangkirnya, berdiri menyandar di kul"
kas, Paul tahu-tahu bersuara, "Are you in love, Missy?"
Kami semua terkejut dengan pertanyaan yang tak ter"
duga-duga itu. "Paul. She just met him yesterday," protes Kim.
324 Partikel "Terus, kenapa?" Paul bertanya balik, polos.
"I am," jawabku. "I"m in love."
"Fantastic!" Paul mengangkat cangkirnya. "Now, can we all
move on with our lives?"
Hari-hari yang asing. Ponselku, yang tadinya cuma berfungsi ketika bertugas
atau menghubungi layanan antar makanan saat lapar men"
dadak, kini hampir setiap saat kugenggam. Aku menantinanti saat Storm menelepon atau mengirim pesan singkat.
Aku menanti-nanti saat aku punya alasan untuk mengajak"
nya bicara, atau saat rangkaian kalimat mesra lewat di ke"pala
untuk kukirim kepadanya. Jika ide tak lewat, dan alasan
menelepon tak ada, aku akan membaca ulang pesan-pesan
singkatnya. Merapalnya dalam hati bagai jampi.
Hari-hariku bertambah ganjil karena aku tidak semangat
pergi bertugas. Biasanya, akulah yang resah duluan jika su"
dah kelamaan di London. Sekarang, ekstra sehari-dua hari
di London adalah anugerah yang bisa membuatku sujud me"
nyembah Paul. Keanehan ini menggila karena sekarang aku melihat
Storm di mana-mana. Di lekuk bukit padang pasir Sossusvlei,
yang kulihat adalah lekuk tubuhnya. Di Danau Wuhua Hai,
yang kulamunkan adalah ketenangannya, kejernihan tatap"nya.
325 Keping 40 Memandangi deru air terjun Victoria, yang kuingat adalah
kami berdua, bergulung dalam hasrat yang bergemu"ruh,
berpeluh, ditutup pelukan manis dan panjang, seindah
pelangi abadi yang membusur di air terjun megah itu, yang
ingin kupetik jika mungkin, untuk kubebatkan pada tubuh
kami yang telanjang. Aku cinta alam dan cinta pekerjaanku, tapi cinta yang
baru kukenal ini bagaikan badai dahsyat yang menyapu se"
luruh eksistensiku, menguasai sel-sel tubuhku dan butir-butir
pikirku. Tak pernah kukira cinta punya bentuk lain yang
sedemikian digdaya. Begitu berkuasa dan mendominasi, aku
hanya bisa tersungkur di kakinya. Sukarela.
Pada setiap hari bebas yang kupunya di London, entah
itu seminggu atau sebulan, aku dan Storm bisa dipastikan
selalu bersama. Rumah Zach, yang secara status sah masih
menjadi tempat tinggalku, berubah fungsi menjadi kantor.
Kutempati hanya kalau aku benar-benar harus bekerja dan
bertemu langsung dengan timku untuk briefing. Aku rindu
sarapan buatan Zach, tapi sarapan di samping Storm adalah
penyambung hidupku. Cuma satu yang masih mengganjal. Setahuku dari temanteman sekolah dulu, setiap pasangan kekasih pasti punya
tanggal jadian. Konsekuensinya, mereka punya tolok ukur
waktu yang pasti untuk merayakan hari jadi, dan mereka
punya tanggal pasti jika kelak putus. Hubunganku dan Storm
bergulir begitu saja. Aku tak tahu pasti kapan aku dan Storm
326 Partikel "jadian", dan apakah betul kami resmi pacaran, kendati setiap
hari kami saling bertukar ucapan cinta. Aku curiga, hu"
bungan macam musim mangga ala Zach dan Kim adalah
standar baku di sini. Aku menanyakan soal itu kepada Kim suatu hari, dan ia
menjawab tenang, "Itu karena kamu telat delapan tahun di"
bandingkan orang-orang normal, Zarah."
"Maksudmu?"

Supernova 4 Partikel Karya Dewi Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Umur kamu berapa sekarang" 22" Saya mulai pacaran
umur 14. Umur segitu, tanggal jadian jadi masalah penting
biar bisa ditulis di diary, di kartu, dipamer ke cewek-cewek
di sekolah. Ya, kan" Lewat umur 20, hal-hal begitu nggak
penting lagi. You fancy a bloke, the bloke fancies you, you date a
couple of times, you have sex along the way, if things work out,
great, if not, you will just have to call it off and move on."
"Sesimpel itu?"
"Do you have any better model?"
"Oke, oke. Jadi, saya telat delapan tahun?"
"Yes. You"re in the 20"s world with a 14 year-old mind."
"T"tapi... jadi, saya dan Storm itu apa" Pacaran" Teman
kencan?" "See" That"s a 14 year-old girl"s question!"
Aku terdiam. Apa yang dikatakan Kim sama sekali tidak
simpel. Simpel bagiku adalah iya ya iya, tidak ya tidak. Da"
lam banyak hal, aku tak suka abu-abu. Apa yang kurasakan
bagi Storm sama sekali bukan abu-abu. Segenap diriku men"
327 Keping 40 cintainya, memujanya. Tanpa ragu. Jadi, ketika ditanya: dia
siapa" Apa yang harus kujawab" Teman dekat" Pacar" Orang
yang sedang kucintai mati-matian" Yang terakhir memang
tepat. Tapi kepanjangan untuk diucap. Tidakkah ada satu
kata praktis di dunia ini yang bisa kupakai untuk menerang"
kan posisi Storm dalam hidupku"
Empat bulan sesudah pertemuan pertama kami, aku dan
Storm makan malam di restoran Italia kesayangannya di
Soho. Butuh dua minggu untuk Storm mendapatkan reser"
vasi. Begitu berhasil, Storm senang bukan main. Baginya,
makan malam kami di sana menjadi kencan spesial.
Ketika sedang makan, tiga perempuan mahatinggi tahu-
tahu menghampiri meja kami. Dari bentuk mereka yang
sempurna, dandanan bak sampul Vogue, kasak-kusuk orang
ketika melihat ketiganya muncul, aku langsung tahu mereka
adalah model-model papan atas Inggris, yang sayangnya, tak
kutahu namanya satu pun. "Storm! What a lovely surprise." Salah satu dari mereka,
yang berambut pirang dan paling cantik, mengecup ringan
pipi Storm. "Angelica," Storm tersenyum sopan, " ladies, lovely to see
you all." 328 Partikel "Kamu ikut ke Milan minggu depan?" Seorang lagi ber"
tanya. Storm menggeleng. "Saya ada proyek portraiture di sini.
Big company. Lots of people. My hands are tied."
Aku diam membatu dengan sesungging senyum kaku.
Ketiga perempuan itu juga mulai menyadari bahwa Storm
tidak sendiri. Serta-merta, Storm merengkuh pinggangku, dan ia mem"
perkenalkanku. "This is my girlfriend, Zarah."
Mereka terpaksa berbasa-basi denganku. Mau tak mau.
"Are you in the industry as well, Zarah?"
Ketika aku masih berpikir, industri apa yang mereka mak"
sud" Industri model, industri media, industri hiburan..." Storm
menyambar, "Zarah seorang fotografer."
"Fashion?" "Wildlife," jawabku.
Ada sedetik sunyi, yang barangkali merupakan momen
perenungan mereka bertiga. Bagaimana mungkin Storm
Bradley bisa berakhir dengan pemotret hewan"
Aku tak peduli lagi. Detik ketika kupingku menangkap
Storm mengucap "my girlfriend", tak ada lagi yang lebih ber"
arti. Untuk kali pertama ia mengucapkannya lantang dan
gamblang. Kebetulan saja, pihak ketiga yang menjadi saksi
deklarasi perdananya adalah model-model top ini. Hidup
terkadang sangat jenaka. Mengembanglah senyum yang tak bisa kutahan dan ber"
329 Keping 40 tahan hampir semalaman di wajahku. Akhirnya, aku punya
sebuah tanggal yang akan kukenang. Akhirnya, aku bisa
mengumumkan kepada dunia, kepada Kim, bahwa per"
tanyaan "anak umur 14 tahun"-ku kini punya jawaban.
Aku punya... pacar. Musim panas di London adalah musim panennya pertun"
jukan dan hiburan. Tentu saja, musim panas di London dan
musim panas di Kalimantan jauh berbeda. Sama seperti
membandingkan air hangat dan air mendidih, tapi keduanya
sama-sama disebut "panas".
Sialnya, musim panas adalah musim tersibuk bagi Storm.
Sementara ia bertugas di Paris, aku terjebak di London ka"
rena tiga hari lagi sudah harus berangkat ke Madagaskar,
menemui musim panas yang sesungguhnya.
"Kamu kembali ke pelukan saya, Zarah. Akhirnya," gurau
Zach. "Kangen juga sama sarapan buatanmu," aku tersenyum.
"Pastilah," Zach mendengus. "Storm Bradley may have six
pack abs, but it can only mean one thing. That chap doesn"t serve
delicious, scrummy breakfast like I do."
"Apa kabar Cro-Mag?" kataku sambil menyuap hash
brown panas yang berkilap oleh minyak, lalu mengiris omelet
330 Partikel khas Zach yang basah oleh campuran susu full cream, gendut
oleh keju mozzarella, dan penuh irisan jamur champignon.
"Bukannya dia sedang di London" Kok, jarang muncul?"
"Kamu sibuk pacaran, Cro-Mag lagi masuk gua," Zach
menghela napas panjang. "Ah, well, it"s just one of those days."
"Kangen sama kalian."
"Jalan, yuk. Malam ini."
"Ke mana?" "Sudah lebih satu setengah tahun kamu di London, dan
belum pernah kamu nonton pertunjukan Broadway satu kali
pun. Itu dosa besar."
"Saya mau. Asal kamu bisa membujuk Cro-Mag keluar
gua." Kembali bersama kedua "abang"-ku, kami menyusuri West
End. Hanya bersama mereka, aku mencicipi sensasi jadi anak
bungsu. Zach memilihkan pertunjukan klasik Les Mis"rables.
Menurutnya, pengalaman Broadway akan menyeimbangkan
sisi rimba Zarah Amala, membuatku lebih berbudaya.
Kami bertiga berjalan santai di trotoar London yang pa"
dat di akhir pekan. Cuaca musim panas yang bersahabat
melambatkan ritme gerak manusia di kota ini. Banyak orang
yang berkumpul dan mengobrol di trotoar. Aku menikmati"
nya. 331 Keping 40 Mataku tertumbuk pada antrean panjang di depan sebuah
gedung pertunjukan. "This one is a full house," komentarku. Rata-rata yang
mengantre adalah anak-anak remaja.
"Ada kompetisi tari di televisi. Sangat populer. Ratusan
ribu vote yang masuk. Setelah itu, para pemenang dan fi"
nalis-finalisnya tur keliling UK. London jadi pembuka.
Nggak heranlah penuh banget," jelas Zach.
Sambil berjalan, kulirik poster besar yang berderet di
tembok. Fokus poster tersebut ada pada seorang perempuan
berkulit hitam yang tengah melejit di udara, merentangkan
kedua kaki jenjangnya. Langkahku melambat. Rasanya... mataku menangkap se"
suatu yang familier. "Sebentar," aku membalik badan. Berdiri di depan poster,
mencari sesuatu yang tadi mencuri atensiku.
Kutemukanlah, secetak nama yang proporsinya lebih besar
dibandingkan nama-nama lain yang tertera. Kuyakinkan
mataku tak salah membaca. Foto perempuan yang meren"
tangkan kaki di udara itu diambil dari samping, menyem"
bunyikan wajahnya yang tertutup rambut keriting yang ter"
lempar. Di bawah foto itu terbaca: Koso Onyemelukwe.
"Coming, mate?" Zach menegurku karena terlalu lama me"
matung di depan teater. "Penari ini... Koso... I know her," sahutku terbata.
"I thought you said you didn"t know anybody in London, and
332 Partikel now you suddenly know the famous Koso?" Zach berkacak ping"
gang. "Famous" Koso?" ulangku tak percaya. Lelucon apa ini"
"Koso itu pemenang pertama kontes tari yang kubilang
tadi. Dia juaranya. So, yes, she IS famous!" Zach tertawa lepas,
"Makanya, nonton televisi sekali-sekali!"
Aku merinding. Mataku sampai berkaca-kaca. Koso, sa"
habatku, menjadi penari terkenal di Inggris" Dia berhasil.
Kami... berhasil. Melihatku berdiri kaku menahan tangis, tawa Zach me"
mudar. "Zarah?" panggilnya lagi. "Kamu serius kenal dia,
ya?" "Is there anyway I can see her?"
"Malam ini maksudmu?" tanya Paul.
"Ya. Malam ini."
Paul membentangkan tangannya, menunjukkan antrean
mengular di depan pintu teater. "Orang-orang ini beli tiket"
nya dari berbulan-bulan yang lalu. Nggak mungkin kita bisa
dapat tiket malam ini."
"Saya bukan pengin lihat dia nari. Saya ingin ketemu
orangnya. In person."
Paul terdiam, berpikir. "Well, I guess, we"ll just have to find
a way." Zach memandang kami berdua dengan muka tertekuk,
"What about our Broadway?"
333 Keping 40 Kasak-kusuk Paul selama setengah jam di telepon, entah de"
ngan siapa saja, membuahkan dua tanda media pass untuk
menembus ke belakang panggung. Zach terpaksa menunggu
di luar. Pertunjukan akan dimulai kurang dari lima belas menit
lagi. Para kru pertunjukan berpakaian hitam-hitam bercam"
pur dengan para pendukung acara yang berpakaian warna-
warni lalu lalang memenuhi koridor. Aku dan Paul harus
menembus manusia-manusia supersibuk itu. Mencari seorang
Koso. Seorang kru yang ditanya Paul menunjuk ruangan dengan
pintu bertanda bintang. Ruangan itu setengah terbuka, me"
nunjukkan beberapa orang yang sedang dirias. Mereka semua
memunggungi kami, tapi ada satu siluet yang kuhafal de"
ngan baik. Rambutnya yang keriting dan besar kini dicat
cokelat. Tapi dia masih orang yang sama. Jantungku berde"
bar kencang. Berharap cemas.
Kru tadi kemudian menghampiri Koso, memberitahukan
tentang kehadiran kami. Koso menoleh ke belakang. Lang"
sung menemukanku. Ia tertegun.
"OH, MY GOD!" Suara Koso yang tebal dan keras me"
menuhi koridor. 334 Partikel Lalu terdengar suara yang sama melengking, "ZA"
RAAAH!" Perhatian semua orang melesak hanya kepada kami ber"
dua. Di ujung sana, tubuh Koso yang menjulang tinggi me"
lompat-lompat kegirangan seperti anak kecil melihat mainan
dambaannya muncul di depan mata. Di ujung sini, pung"
gungku sampai membengkung menahan intensitas perasaan
campur aduk yang menyerbu. Sahabat yang sudah sewindu
tak kulihat kini hanya sepuluh meter di hadapan.
Badanku yang masih terkunci digabruk sekuat tenaga oleh
Koso yang berlari kencang.
"It"s you! It"s really you! My Zarah," rapat, ia mendekapku.
Terisak. Kami berdua menangis sambil tertawa. Paul ikut senyumsenyum, hanyut terbawa suasana dramatis reuni kami.
"Lihat kamu sekarang," Koso melepaskan dekapannya dan
mengamatiku takjub. "Saya nggak nyangka kamu jadi se"
tinggi ini. You look so great. So gorgeous you are," serunya.
"Dan, kamu...." Aku sampai kesulitan mencari kata-kata.
Koso bagaikan diva. Tubuhnya kini tinggi proporsional, wa"
jahnya dirias cantik, rambut keritingnya tergerai indah. Kos"
tum tarinya, yang hanya terdiri atas dua potong kain hitam
yang menutup dada dan pinggul, mempertontonkan ototototnya yang semakin lencir. Koso tidak hanya atletis, tapi
Hantu Langit Terjungkir 2 Cahaya Cinta Karya Cherry Aslan Mawar Maut Perawan Tua 1
^