Pencarian

Tuti Menemukan Jalannya 1

Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto Bagian 1


Hujan turun lebat sekali. Di sebuah gedung besar yang
berada di pinggir jalan Madiun Jakarta, Pak Parto duduk di
serambi depan bersama istrinya. Beberapa kali ia mengerling
ke arah jam tangannya. "Terlambat?" tanya istrinya. Matanya menatap muka
suaminya. Pak Parto menggeleng. "Mengapa Simin belum
datang?" kata kesal. Sekali lagi ia melihatjam tangannya.
" Mungkin kerusakannya beraterl jaWab istrinya.
"Mana mungkin," kata Pak Parto. "Mobil itu masihbaru."
Istrinya tidak menjawab. Diambilnya sebuah majalah
dari atas meja kemudian mulai membolak-balik isinya. Tetapi
pikirannya tidak berada di situ melainkan pada orang yang
duduk di sampingnya. Sebagai pegawai Pertamina yang rajin,
suaminya kurang senang jika ia sampai datang terlambat.
Biasanya jika siang hari pulang ia selalu ingin cepat-cepat
terbang ke kantornya kembali.
"Mengapa Tuti belum datang?" tanya Pak Parto kembali.
Nada suaranya kesal. Istrinya terhenyak. "Ya, mengapa gerangan?"
rlJam berapa sekarang?" tanyanya sambil menutup
majalahnya. "Setengah satu,rl jawab suaminya sesudah mengerling ke
arah jam tangannya sebentar.
Istrinya tersenyum. "Biasanya Tuti memang sudah datang.
Mungkin hujan inilah yang menyebabkan."
" Membawa payung"rl
" Tidak. Tadi pagi tidak hujan, bukan?"
Suara air yang jatuh di atas atap terdengar jelas. Kedua
suami istri itu memandang ke luar. Hujan makin lebat
sedangkan jalan makin sepi. Seorang pun tidak kelihatan.
"Tepatnya umur berapa tahun ini Tuti, Bu?" tanya Pak
Parto sambil mengeluarkan rokok.
Istrinya menoleh. rllakneh. Umur anak satu-satunya tidak
ingat, katanya. Saya tahu tetapi tanggal lahirnya lupa,rl jaWab suaminya.
" Tanggal 15' Oktober nanti Tuti tepat berumur 12 tahun."
"Jadi jika naik kelas enam nanti umurnya menjadi 13 tahun?"
Istrinya mengiakan. "Diiiiit, diiiiil:.rI
Terdengar suara klakson mobil. Cepat-cepat Pak Parto
menengok ke arah jalan. Ternyata bukan mobilnya. Warna
mobilnya merah sedangkan mobil itu bei-Warna biru muda.
"Gila!" gumamnya sambil merokok.
"Bukankah belum terlambat?" tanya istrinya. Matanya
masih terus mengawasi suaminya.
"Memang belum, tetapi pekerjaan saya banyak," jawab
Pak Parto, sambil mengisap rokoknya. "Belum pernah Simin
terlambat seperti sekarang."
Istrinya tidak menjawab. Tangannya mulai membolak-
balik majalah lagi. "Ha, itu dia," kata Pak Parto, sekonyong-konyong, Ia
lihat sebuah helicak berhenti di pinggir jalan. Dengan segera ia
berdiri kemudian mau masuk ke dalam rumah.
2 xii-'if. ; ?"" _"Mmmun Bajaj aman: " Mau apa?" tanya istrinya. Ia pun sudah berdiri.
" Mengambil payung,rl jawab suaminya pendek.
"Jangan," larang Bu Parto.
Pak Parto tidak menjawab. Ia memandang istrinya dengan
mata tak berkedip. "Basah sedikit tak mengapa," kata istrinya. rlBukankah
anak-anak lain juga begitu?"
Sambil berkata demikian tangannya memegang lengan
suaminya. Pak Parto menoleh ke arah jalan. Tampak pintu
helicak dibuka dan seorang gadis kecil berseragam biru putih
berusaha ke luar. Gadis itu manis sekali. Kulitnya kuning
sedangkan rambutnya berwarna hitam pekat. Sebuah pita
bel-Warna merah mengikat rambut itu menjadi satu.
"Eu, Yah," teriak gadis itu sambil melambai-lambaikan
tangannya. "Bisa?" tanya ibunya kembali. ia pun melambaikan
tangannya. "Tentu bisa," jawab gadis itu. Kemudian tas koper di
tangannya ia kepit, selanjutnya perlahan-lahan menuruni
helicak. "Bisa, Eu," teriaknya lagi. Kini ia sudah berdiri di tengah
hujan. Ibunya mengangguk senang.
" Lekas kemari,rl katanya.
Tuti mulai lari. Artinya ia mencoba untuk lari. Akan tetapi
usahanya tidak banyak berhasil sebab kaki kanannya lebih
kecil. Akibatnya jalannya terserak-serak seperti akan jatuh.
Malah supaya dapat berjalan lebih cepat ia mencoba melompat-
lompat dengan kaki kirinya. Sementara itu pakaiannya sudah
mulai basah. "Saya tidak tahan," gumam Pak Parto sambil bergerak
maju. Akan tetapi istrinya mencegah.
"Jangan," katanya "Biar dia menghadapi sendiri kesukaran
ini. Bukankah kita sedang mendidiknya"rl
Tuti terus berjalan. Kaki kanannya diseret sedangkan
tas kopernya diangkat tinggi-tinggi dengan maksud supaya
kepalanya jangan sampai basah. Satu, dua, tiga. Sedikit lagi,
Ya. "Sampai, Bu," teriaknya senang.
Pakaiannya basah kuyub dan air meleleh di dahi dan
pipinya. Tetapi matanya memancar penuh kegembiraan.
Cepat-cepat ibunya maju lalu mencium pipinya.
" Tuti berani," katanya lembut.
"Teman-teman banyak juga yang basah kuyub,rl jawab
Tuti dengan nada gembira. Tangannya sibuk mengusap air
mukanya. Tidak ada yang memakai payung?" tanya ibunya sambil
membersih air di leher anak itu.
"Tidak. Mereka malah berjalan beramai-ramai sambil
bersenda gurau.rl Sekonyo ng-konyong Tuti menoleh ke arah ayahnya.
"Belum berangkat, Yah?" tanyanya.
"Simin belum datang,rl jawab Pak Parto sambil ter-
senyum. Dengan senyuman itu ia mencoba menutupi kegelisahan
hatinya. Setiap kali ia melihat anak gadisnya berjalan hatinya
seo lah-olah teriris-iris. Anak perempuan yang berjalan dengan
satu kaki diseret. Ia masih belum bisa menerima kenyataan
itu. 4 xii-'if. :. ?"" _"Mmmun Bajaj aman: "Itu dia,rl teriak Tuti sekonyong-konyong. Tangannya
menunjuk ke depan. Pak Parto menoleh.
"Sialan," gumamnya. Kemudian ia mengambil jaketnya
lalu lari ke arah mobil, yang berhenti di pinggir jalan. Jaket itu
digunakan untuk menutupi kepalanya.
"Mari masuk," kata Bu Parto sesudah mobil itu tidak
kelihatan. rlCepat tukar pakaian. Nanti kamu masuk angin."
" Masak apa, Eu?" tanya Tuti sekonyong-konyong.
"Kesukaanmu," jaWab Eu Parto.
"Sambal tumpang?" Ibunya mengangguk.
"Horeeeee," Tuti berteriak keras sekali. Kemudian
diteruskan, " Tuti ditemani makan, ya Bu?"
Bu Parto mengangguk sambil tersenyum. Sesudah itu
dengan nyanyi-nyanyi kecil Tuti membuka kamarnya.
6 kit-'if. 's. ?"" _"Mmmun Balai aman: ji?" dan giwang "Ayamnyaenak,Eu,"kataTutisambilmenggigitpanggang
ayam. Ibunya mengangguk. Orang tua itu duduk di depan
anaknya sambil menghadapi segelas susu.
"Makan yang banyak, Tut," katanya, sambil sibuk
mengaduk susu. Tuti mengangguk. " Asal ibu selalu membuat makanan kesukaan Tuti," jawab
gadis itu manja. Ibunya tersenyum. "Tetapi jika menunya tidak diubah
kamu akan merasa bosan," jawabnya.
Tuti tidak menjawab. Ia sekali lagi menambah nasinya
kemudian mengambil sebuah brutu.'
"Jangan," larang ibunya. rlItu untuk ibu. Tidak baik untuk
anak gadis." "Tahayul, Bu," jawab Tuti sambil meletakkan kembali
daging tersebut. Sebagai gantinya ia mengambil sebuah paha.
"Kata Sophie daging itu rasanya enak.]adi lebihbaikuntuk
orang tua," katanya sambil makan paha ayamnya.
Ibunya tertawa. Sesaat lamanya seorang pun tidak ada
yang berbicara. Tuti sibuk dengan makanannya sedangkan
ibunya membetulkan letak Vas bunga di atas meja.
"Tadiulangan, Bu," kata Tutisekonyong-konyong.Tangan
nya sudah mengambil tempe.
1 Etutu : Pantat Ayam "Ulangan apa"rl tanya ibunya.
"Ilmu bumi." "Tuti bisa?" Gadis kecil itu mengangguk.
" Tuti dapat sembilanpuluh,rl katanya. Kini ia mulai makan
tempenya. " Pandai kamu," puji ibunya. "Jika terus begitu kamu tentu
akan naik kelas." "Harus naik bukan, Eu?"
Ibunya mengiakan. "Tetapi tadi siang Tuti menangis,rl kata anak itu lagi.
Tangannya meraih sebuah tempe lagi.
"Menangis?" Ibunya kurang mengerti.
" Leo mengatakan Tuti pengkor.rl
"Ah." "Untung Bambang datang."
"Bambang anak Pak Yudo ?"
Tuti mengangguk. "Lalu"rl tanya ibunya. Matanya tidak lepas dari muka
anaknya. " Leo ditinjunya sampai jatuh."
" Kemu di an?" "Ia disuruh minta maaf kepada Tuti."
" Minta maaf, tidak?" tanya Eu Parto sambil memperhatikan
muka anaknya. "I"Ieeh. Kelihatannya ia malu sekali, Bu," jawab Tuti.
Sambil berkata demikian diletakkan sendok dan garpunya
kemudian mengambil sebuah pisang ambon dari piring lain.
"Ibu ketika kecil dahulu juga sering diganggu anak laki-
laki," kata ibunya sekonyong-konyong. Ia pun mengambil
sebuah pisang ambon. 3 xii-'if. :. ?"" _"Mmmun Balai aman: " Mengapa, Bu"rl tanya Tuti.
" Pada waktu itu ibu gagu.rl
" Tidak bisa bicara?"
" Sukar berb icara"rl
Ibunya membetulkan. "Lalu?" " Ibu juga sering menangis," jawab ibunya.
Tuti tidak bertanya lagi. Tangannya mulai memilih sebuah
jambu air b erwarna merah.
" Tetapi ibu bisa sembuh," katanya acuh tak acuh. Sekalipun
ia tidak memandang ibunya.
Bu Parto terhenyak. ia merasakan tuduhan anaknya.
Dipandangnya gadis itu, tetapi Tuti tidak menanggapi tatapan
ibunya. ia justru membuang mukanya ke belakang.
" Mengapa Tuti begini, Bu?" tanyanya sekonyong-konyo ng
sambil menoleh. Muka ibunya ditatap lurus-lurus. Mata itu kini berair. Eu
Parto tidak menjawab melainkan berdiri lalu duduk di samping
anaknya. " Ibu tidak tahu, Tut. Hanya Tuhan yang tahu," jawab nya
lirih. Sementara itu ia mengeluarkan sehelai saputangan untuk
mengusap mata anaknya. "Jangan menangis, sayang. Nanti ibu ikut menangis.
Bukankah Tuti anak berani"rl
Perlahan-lahan gadis itu mengangguk kemudian matanya
diusap dengan tangan kanannya. Serta-merta ibunya mencium
pipinya. "Nanti malam ada pr sayang"rl tanya ibunya mencoba
mengalihkan perhatian anaknya.
Tuti memandang ibunya sejenak kemudian menggeleng.
Nanti malam ibu harus menepati janji, " katanya dengan suara
sedikit, serak. "Janji apa?" " Menceritakan tentang Helen Keller.rl
Ibunya tersenyum. Baru ia ingat janjinya dahulu.
"Baik," katanya.
"Sambil mendengarkan lagu seriosa, Bu," kata Tuti.
Bu Parto mengangguk lagi. la tahu anaknya membutuhkan
kehangatan. Jiwanya yang baru saja retak memerlukan obat.
Dan ibunyalah yang harus mengobati.
Ili . .,. Sri;-.C. K ' mmm-namum.- Balai Pusuk: kursi di sebelahnya. Sementara itu dari kaset yang berada di
atas bupet mengalun nyanyian Titik Sandora.
"Yang lain, Bu," kata Tuti sambil merebahkan dirinya di
kasur. Ibunya tersenyum. Ia tahu lagu kesukaan anaknya. Tak


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain lagu lembut. Tetapi yang paling digemari lagu seriosa
ringan. Itulah sebabnya tidak lama kemudian di kamar itu
sudah menggema permainan biola solo ciptaan Paceli.
"Bagus, bukan, Bu?" kata Tuti sambil melirik ke arah
ibunya. Bu Parto mengiakan kemudian menuju ke kursi yang
diduduki tadi. Di tangannya ia memegang sebuah buku.
"Mana gambarnya?" tanya Tuti sambil memiringkan
tubuhnya. Ibunya membolak-balik buku di depannya.
"Nah, ini dia," katanya. Kemudian gambar di dalam buku
itu diperlihatkan kepada anaknya.
"Kok sudah tua?" tanya Tuti pelan.
" Memang sudah tua," jawab ibunya.
"Jadi itu Helen Keller?"
"Sarjana Helen Keller,rl kata ibunya lagi.
"Ah." " Memang ia seo rang sarjana, Tut."
:--'i:. 11 ;: ft" Gadis itu tidak percaya. Drang buta, tuli, dan bisu bisa
menjadi sarjana. Bagaimana mungkin.
"Siapa yang berdiri di sampingnya, Bu?" tanyanya sambil
membalikkan tubuhnya lagi.
"Anna Sullivan,rI jawab ibunya. rlGadis itulah yang
meneruskan pembicaraan orang kepadanya."
" Cara nya?" rlDengan gerakan jari-jari tangan.rl
"Jadi bicara dengan sentuhan jari"rl
Ibunya mengangguk. "Aneh," kata Tuti hampir tak terdengar."
" Memang aneh. Akan tetapi dengan sentuhan secara
khusus yang dilakukan oleh pembantunya itu, Helen Keller
tahu apa yang dibicarakan dan ditanyakan orang."
"Jika tidak ada gadis itu?" tanya Tuti
"Tentu tidak mungkin ada hubungan. Bukankah Helen
Keller buta, bisu lagi tuli?"
Tuti tidak menjawab. la betul-betul tidak bisa meng-
gambarkan orang bisu, tuli, dan buta berada di tengah-tengah
orang banyak. "Mulai dari permulaan, ya Tut?" kata ibunya
sambil menutup bukunya. Tuti mengangguk kemudian mulai berbaring di atas tempat
tidur. Mulailah Bu Parto bercerita.
Karena terserang penyakit Helen Keller sejak kecil tidak
bisa melihat, tidak bisa mendengar, dan tidak bisa bercakap-
cakap. Jadi buta, tuli, dan bisu. Itulah sebabnya dunia anak
kecil itu serba gelap dan sunyi. Untung pada suatu hari seorang
guru bernama Nona Sullivan datang. Guru inilahyang dengan
penuh ketekunan dan penuh kesabaran mulai membuka dunia
baru baginya. 12 x3753. :. ?"" _"Mmmun Balai Pusuk:
Pertama-tama Helen diajari "bicara" dengan disuruh
menyentuh barang di dekatnya dan memberi nama benda-
benda tersebut. Kemudian di suruh meletakkan jari-jarinya di
bibir guru itu jika ia sedang berbicara. Selanjutnya ia disuruh
mendengarkan suaranya. Karena sangat tekun akhirnya Helen
dapat menangkap geraka mulut dan apa yang dimaksudkan
dengan perkataan itu. Meman sukar sekali, tetapi bagaimana
pun akhirnya iaberhasil. Apalagi sesudah dimulai denganhuruf
khusus untuk bacaan orang tuna netra. Kemajuannya makin
pesat. Dan Helen ter belajar. Akhirnya ia berhasil menjadi
seo rang sarjana. Sampai di sini Bu Parto berhenti sebentar. Seolah-olah
dengan kalimat itu ia ingin menekankan hasil yang telah
dicapai wanita penuh kemanusiaan itu.
" Padahal ia buta, bukan Bu?" tanya Tuti pelahan.
" Masih ditambah tuli," jawab ibunya.
" Tidak bisu lagi?"
"Ia sudah bisa bicara."
"Bagaimana mungkin dengan menempelkan tangan di
bibir orang bisa menangkap omongan, Bu?" tanya Tuti lagi. Bu
Parto menggeleng. "Saya sendiri tidak tahu bagaimana tepatnya. Akan
tetapi menurut yang mengetahui jika orang bicara, mulut
menggerakkan otot kanan kirinya. Dan setiap perkataan
memiliki gerakan yang satu sama lain berbeda.
" Tentu belajarnya lama, ya Bu"rI
"Tentu lama. Harus tekun dan penuh kemauan,rl jawab
ibunya. Tuti tidak menjawab. Pada waktu itu Blue Danube Waltz
ciptaan Strauss memberikan suasana riang di dalam ruangan.
"_,, 13 'ra $ Sambil bermain-main dengan buku di tangan Bu Parto melirik
ke arah anaknya. Tuti sedang berbaring terlentang sambil
mengawasi atap kamar. Apakah yang dipikirkan anaknya"
Mungkinkah cerita itu berkesan benar baginya" Seharusnya
demikian, akan tetapi apakah Tuti dapat menangkap"
"Di mana Helen Keller sekarang, Bu?" tanya Tuti sambil
menoleh. " Amerika Serikat, tapi sekarang sudah meninggal," jawab
ibunya. Matanya memperhatikan gambar di dalam buku.
Lalu kerj anya?" "Jika tidak belajar biasanya lalu berkeliling untuk mem-
perkenalkan dirinya dan ?"
Bu Parto tidak meneruskan kalimatnya.
" Apa, Bu?" tanya Tuti.
" Mengajar orang cacat supaya jangan putus asa. Bukankah
ia pun sebagai orang cacat dapat mengatasi?"
Tuti tidak menjawab. Matanya terus memandang muka
ibunya. "Apalagi jika diingat cacat jasmaninya yang serba rumit.
Coba saja pikir. Buta, bisu, dan tuli. Meskipun akhirnya ia
dapat berbicara akan tetapi cacat lain tidak bisa dihilangkan
sama sekali. "Jika demikian ia tidak mau putus asa dan mengalah.
Akhirnya Tuti sudah tidur matikan, ya Bu," kata gadis itu
sambilnya ia menang." mengenakan selimutnya.
" Tetapi harus selalu ada pembantunya bukan, Bu?"
Ibunya mengangguk kemudian perlahan-lahan menuju
ke pin Ibunya mengiakan. Tangannya bermain-main dengan
halaman buku. 14 x3753. :. ?"" _"Mmmun Balai Pusuk:
" Memang jika sedang berbicara dengan orang lain. Akan
tetapi pada waktu belajar atau membaca, dengan sendirinya
tidak memerlukan bantuan orang lain.rl
" Bukan main beraninya," gumam Tuti.
Ibunya sependapat. Matanya bersinar. Ia tahu anaknya
terpengaruh oleh cerita tersebut.
"Tutijuga ingin menjadi orang yang berani, Bu," kata gadis
itu sambil membalikkan tubuhnya.
"Betul"rl tanya ibunya.
" Heeh." "Tidak akan menangis lagi"rl
" Tidak." " Betul?" " Betul.rl Tangan Bu Parto mengusap lengan anaknya. Kemudian ia
mengerling ke arah jam dinding.
" Sudah jam sembilan, Tut,rl katanya sambil berdiri.
" Tuti belum mengantuk,rl jaWab Tuti.
"Tetapi Tuti harus tidur. Ibu ingin berbicara dengan
aya ." "Soal apa?" "Ada deh." "Ah. Ibu begitu," kata Tuti sambil tertawa.
Ketika ia melihat ibunya akan meninggalkan kamar,
cepat-cepat ia berkata, "Lagunya ganti Ave Maria, Bu. Tuti
mau tidur." " Ambil sendiri," jawab ibunya.
"Kali ini saja, Bu," bujuk gadis itu.
._'"_,, 15 ia. ft. "Bikin susah orang tua saja," gumam Bu Parto.
Meskipun demikian ia pergi juga ke arah cassette recorder di
atas bupet untuk mengganti isinya dengan lagu yang diminta
anaknya. Itulah sebabnya tidak lama kemudian lagu Ave Maria
ciptaan Gounod mengalun lembut memenuhi ruangan.
Jika Tuti sudah tidur jangan lupa ya matikan lampunya ya
Bu, kata gadis itu sambil mengenakan selimutnya.
Ibunya mengangguk kemudian perlehan-lahan menuju ke
pi ntu. 16 .sr-ge. gp :: - v mmm-namum.- Balai PLB"
321,355 Wa.-fia 537953, nEw "
"Bu," panggil Tuti beberapa hari kemudian ketika sedang
makan siang. Bu Parto menoleh. Muka anaknya kelihatan sungguh-
sungguh. " Tadi di sekolah Sophie menanyakan kelak Tuti mau
menjadi apa," kata Tuti sekonyong-konyong.
Ibunya terhenyak. Ditatapnya muka anaknya dengan mata
tak b erkedip. " Lalu apa jawab mu?" tanyanya cepat.
"Tuti tidak tahu," jawab gadis itu sambil membuang
mukanya. Ibunya mengangguk perlahan-lahan.
"Memang belum Waktunya," katanya sambil mengambil
pisang ambon. "Mengapa?" tanya Tuti. Sekali lagi ia menatap muka
ibunya. rlBukankah Sophie sudah pula memiliki cita-cita?"
" Mau menjadi apa dia?"
" Penerbang." rIAh.rl "Dan Mimin serta Agnes ingin menjadi dokter."
Bu Parto tidak menjawab. Perlahan-lahan kulit pisangnya
diletakkan di atas meja. " Bukankah Tuti juga boleh memiliki cita-cita, Bu?"
Ibunya mengangguk. Sebuah perkataan pun tidak keluar
dari mulutnya. Ia terpojok.
"Sebaiknya, Tuti menjadi apa, Bu?" tanya anak gadis itu
sambil memegang tangan ibunya.
"Lalu Tuti mau menjadi apa?"
Ibunya balik bertanya. Ia harus menjaWab. Ia harus dapat
mencari jalan keluar. " Tuti tidak tahu," jaWab gadis itu.
Ibunya diam sejenak. "Jika sekarang belum tahu, perlahan-lahan tentu akan
kamu temukan nanti."
" Tadinya Tuti ingin menjadi dokter."
Sambil berkata demikian gadis itu mulai makan sawo.
"Hm." "Jika Agnes dan Mimin yang kurang begitu pandai mau
menjadi dokter tentu Tuti juga dapat."
"Hm." "Tetapi Tuti lalu ingat kaki Tuti.rl
Ibunya tidak menjaWab. Matanya mengerling ke arah
muka anaknya. " Mana mungkin ada dokter dengan kaki seperti ini."
Aneh. Meskipun gadis itu menyebut cacatnya, tetapi
nada suaranya biasa. Mungkinkah karena ia berhasil menekan
perasaannya" "Jadi tentara dengan sendirinya juga tidak mungkin,"
kata Tuti lagi. Ia masih makan saWonya sementara matanya
memandang ke luar. Bu Parto tidak menjavU'ab. Ia tidak tahu
jawaban harus diberikan. "Tetapi Mimin memberi saran yang baik juga, Bu,rl kata
Tuti. "Apa?" Bu Parto menjawab dengan hati kosong. Jika anaknya
membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan cacatnya,
jiWanya menjadi merana. Ia bisa mengatakan kepada suaminya
supaya berani dalam menghadapi cacat anaknya, tetapi ia sendiri
tidak selalu berhasil. Jika berhasil tentu disertai perasaan yang
agak kurang enak. rlApa?" tanyanya sekali lagi.
13 x3753. :. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
"Tuti dianjurkan bekerja sebagai sarjana laboratorium.rl
" Bagaimana jawab anmu?"
"Jika bekerja di sana cacat Tuti tidak kelihatan, Tetapi "l
Anak itu tidak meneruskan kalimatnya. Sekali lagi ia
memandang keluar. SaWonya masih dipegang.
"Apa"rl tanya ibunya dengan napas tertahan.
" Tuti mau bekerja yang bisa kelihatan."
"Hm." "Tuti mau memperlihatkan bahwa Tuti bisa dan tidak
kalah dengan orang yang tidak cacat. Seperti Helen Keller."
"Hm." " Lalu pekerjaan apa itu, Bu"rl tanya gadis itu sambil
menatap muka ibunya. Bu Parto menggeleng. "Saya tidak tahu,rl jawabnya lirih. Sementara itu tangan
kanannya sudah memegang lengan anaknya.
Muka Tuti sukar ditebak. Kelihatannya tidak meng-
gambarkan sesuatu. Seolah-o lah seluruh perhatiannya
dicurahkan pada buah di tangannya, tetapi ibunya lebih tahu.
Jiwa anaknya sedang bergolak. Ia ingin memperlihatkan diri
seperti teman-temannya yang lain, tetapi selalu dihalang-
halangi oleh cacatnya. "Apakah tidak lebih baik jika setiap malam Tuti berdoa
untuk itu?" usul ibunya.
Gadis itu mengangguk. " Ibu yakin Tuhan tentu akan memb eri jalan keluar yang
baik." Tuti mengangguk lagi. "Dengarkan, Bu," kata Tuti sekonyong-konyong.


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu berhenti makan. Seluruh perhatiannya dicurah-
kan kepada nyanyian yang baru saja keluar dari cassette recorder.
Ibunya ikut mendengarkan.
fr. e Mother nature go on And tahe your course And tahe me with you I wanna leave here oh mother nature.
" Mother Nature, Bu," kata Tuti sambil menirukan
permulaan lagu itu. " Tuti bisa?" tanya Bu Parto heran.
"Sophie yang mengajar Tuti.rl
"Juga bahasa Inggrisnya?"
" Tetapi Tuti belum hafal.rl
"Bagaimana dengan Ave Maria?"
"Ciptaan Gounod?"
Tuti balik bertanya. Ibunya mengangguk.
"Sudah," jawab Tuti cepat.
"Coba nyanyikan. Ibu ingin mendengar."
Gadis itu tertawa. " Ibu ini bagaimana. Baru selesai makan disuruh
menyanyi. " Ibunya tertawa kemudian cepat-cepat berdiri.
" Ibu mau ke pasar, Tut,rl katanya.
"Siang begini?"
Bu Parto mengangguk. "Ayah ingin dibuatkan gulai kambing. Tadi pagi tukang
daging tidak datang."
Tuti tersenyum. "Jangan lupa membelikan kue lapis untuk Tuti."
Ibunya mengiakan. Sesudah itu ia menuju ke kamarnya.
._'"_,, 21 ia. ft. %?" 32251: Sekitar jam tiga siang sebuah helicak berhenti di depan
rumah dan Bu Parto turun.
"San ll Kasan, tukang kebun yang sedang membabat rumput lari
ke depan. "Ya, nyah,rl jawab pemuda itu.
rlAngkat barang-barang ini," kata Bu Parto. "Berikan
kepada Bi Inem.rl Kasankemudian membawabarang-barang itu kebelakang.
Sesudah itu Bu Parto menutup pintu halaman selanjutnya
perlahan-lahan menuju ke ruang depan. Ia capai sekali.
Biasanya sesudah makan ia berbaring sebentar. Kini malah
harus pergi ke pasar. Tetapi apa mau dikata" Tadi pagi penjual
daging tidak datang sedangkan suaminya nanti malam ingin
dibuatkan makanan kesukaannya. Ia tidak mau dibelikan gulai
di warung. Sampai ruang depan ia merebahkan diri di kursi empuk
yang ada di situ. Alangkah enaknya. Ia mulai memperhatikan
jalan di depan. Sepi sekali. Hanya sesekali kelihatan mobil
lewat. Aneh. KatanyaJakarta kota yang ramai, tetapi di daerah
Menteng, khusus di depan rumahnya, jarang sekali kendaraan
lalu. Apalagi jika dibandingkan dengan pasar Cikini. Tempat
itu ramai sekali. Untung masih ada daging kambing. Jika tidak
terpaksa ia harus pergi ke S enen atau Tanah Abang. Biarlah j am
& -.:-'f_<. .. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
enam nanti ia akan memasaknya sendiri. Bukankah suaminya
baru akan makan pada jam delapan"
Sekonyong-konyong ia mendengar seorang menyanyi.
Siapakah gerangan itu" Ia mendengarkan lebih teliti lagi.
Bukankah itu suara anaknya" Anaknya yang menyanyi. Karena
lelahnya ia kurang begitu memperhatikan. Alangkah indahnya.
Suaranya jernih lagi penuh perasaan.
Ave Maria Gratia Plana. Dominus Tecum
Ah. Ciptaan Gounod, pikirnya. Lalu ia ingat yang
dikatakan Tuti tadi siang. Rupa-rupanya anak itu hafal betul.
Siapakah gerangan yang mengajarnya"
Sanata Maria Mater Dei Bu Parto terhenyak. Ia lalu ingat di kala masih sekolah
di Mendut dahulu. Lagu itulah yang selalu dinyanyikan suster
Gaecilia sebelum murid-murid tidur:
Ora pro nohis Peccatorihus Nuno et hora
Maris Nash"ES Amen Hati Bu Parto tertawa bahagia. Ternyata anaknya bisa
menyanyi. Sedangkan lagu itu dibawakan dengan penuh
perasaan. Semua perkataan terdengar terang, jelas, dan tak
sumbang sedikit pun. Ini hanya menandakan bahwa... Di
sini pikiran Bu Parto berhenti. Mungkinkah" Bukan tidak
mungkin Tuti mempunyai bakat musik. Hanya seorang anak
yang berbakatlah yang bisa menyanyi seperti itu. Lalu ia ingat
apa yang ditanyakan anaknya tadi siang. Tuti akan jadi apa,
Bu" la tidak tahu jawabannya. Tuti pun belum mengetahui.
Bagaimana jika untuk mengisi kekosongan itu Tuti disuruh les
musik" Dengan cara demikian untuk sementara hatinya akan
terisi sehingga tidak mungkin akan terpengaruh oleh omongan
teman-temannya. Ya, ia akan menyuruh anak itu mengikuti
les musik. "Tuti" Sambil membuka pintu Bu Parto memanggil anaknya
yang sedang membaca buku. Tuti menoleh.
" Ibu sudah pulang?" tanya gadis itu.
"Sudah dari tadi," jawab ibunya. Ia terus langsung
menghampiri anaknya. "Tut," katanya sekali lagi.
Tuti menoleh. Mau apakah gerangan ibunya"
"Ya, Bu,rl jaWabnya. Matanya masih terus menatap muka
ibunya. "Buku apa yang Tuti baca"rl tanya Bu Parto.
" Petualangan Gulliver. "
"Bagus?" "Bagus sekali, Bu."
Bu Parto mengusap mukanya. rlTadi Tuti menyanyi, ya"rl
tanyanya sambil membersihkan leher.
" Ibu dengar"rl
Bu Parto mengangguk. " Lagu yang mana?" tanya Tuti.
" Ave Maria." "Ah." "Bagus sekali Tut.rl
"Di mana ibu waktu itu?"
"Di aq......" 24 .ki-gif. 48" mmm-namum.- Balai PLB"
"Jika Tuti tahu tentu berhenti menyanyi.rl
Bu Parto tertawa. Diusapusapnya rambut anaknya
" Bagaimanajika Tuti belajar musik?" tanyanya sekonyong-
konyong. Gadis itu tidak segera menjawab. Ditatapnya muka ibunya
lurus-lurus. Ia tidak percaya.
"Betul, Bu"rl tanyanya dengan penuh harap.
Bu Parto mengangguk. Matanya bercahaya.
"Ah." Gadis kecil itu berdiri lalu merangkul ibunya.
"Sebetulnya sudah lama Tuti menginginkan," katanya
kemudian. " Mengapa tidak kaukatakan"rl
" Tuti merasa malu."
" Ah. Mengapa malu"rl
Tuti tidak menjaWab melainkan memegang lengan
ibunya. "Sekolahnya di mana, Bu"rl tanyanya.
Ibunya menggeleng. "Saya tidak tahu. Tetapi saya yakin ayah tentu tahu. Nanti
bisa saya tanyakan kepadanya. Alat apa yang akan Tuti pilih"rl
tanyanya. "Piano," jawab Tuti cepat.
Ibunya tersenyum. "Raja dari segala alat,rl gumamnya.
"Kita dengarkan Chopin, ya Bu"rl kata Tuti sambil lari ke
arah laci meja tempat pita cassete disimpan.
Bu Parto setuju. Di dalam hati ia bersyukur bahwa ia
bisa memberikan sesuatu yang disenangi anaknya. Mengapa
,: 6P 25 tidak dari dahulu" Seharusnya ia tahu. Mungkinkah karena
perhatiannya terlalu diarahkan pada cacat anaknya" Padahal
ia tahu Tuti selalu mendengarkan musik. Malah ia pun tahu
anaknya menyukai musik seriosa. Bukankah ia sendiri memiliki
piringan hitam dari pencipta-pencipta terkenal" Ia senang sekali
mendengarkan. Khusus pada malam hari sebelum tidur. Akan
tetapi untuk lagu yang berat Tuti kurang senang. Mungkinkah
karena ia kurang mengerti"
"Ini, Bu. Coba dengarkan,rl kata Tuti sambil membawa
cassette. Tidak lama kemudian terdengar permainan piano ciptaan
Chopin. Lagu mengalun tinggi rendah, lirihkeras sesuai dengan
suasana yang digambarkan. Sesekali dimainkan pianissimo.
Ruangan sunyi sekali. Tetapi sekonyong-konyong mengalun
gegap gempita fortissimo seolah-olah sebuah taufan datang.
Hebat sekali. "Tuti ingin dapat bermain seperti itu, Bu,rl kata gadis itu.
Ibunya mengangguk. Matanya bersinar. Ia merasa
senang. "Baiklah besok sore akan saya antarkan ke sekolah itu.
Ayah tentu tahu alamatnya," jawabnya sambil memegang
tangan Tuti. Sesudah itu cepat-cepat ia melihat ke arah jam
dinding. " Sudah jam lima, Tut. Ibu harus ke dapur," katanya.
Tuti mengangguk. Tidak lama kemudian ia sudah sibuk
dengan bukunya lagi. mmm-namum.- Balai PLB"
(gogo/at" 322.319 "Maksud nyonya"rl tanya seorang gadis remaja bergaun
biru sesudah duduk berhadapan dengan tamunya.
" Akan memasukkan anak saya," jawab Bu Parto.
"Ini anaknya"rl tanya gadis itu lagi sambil menunjuk ke
arah Tuti. Bu Parto mengangguk. Gadis itu diam sejenak kemudian
berkata, "Saya mohon supaya ibu menunggu di kamar sebelah.
Pak Bambang sedang menerima tamu.rl
Kamar itu tidak besar, tetapi teratur rapi. Sedangkan di
dinding berderet-deret digantungkan alat musik. Ada biola, ada
cello, ada guitar, dan entah apa lagi namanya. Di sudut kiri
terdapat sebuah piano berwarna cokelat sedangkan di sudut lain
sebuah patung perunggu. Di baWahnya tertulis "Beethoven."
Kemudian di sebelahnya lagi berdiri sebuah lemari penuh
buku. "Silakan, Bu,rl kata gadis tadi.
Bu Parto dan Tuti duduk. " Permisi dahulu, Bu." Kemudian gadis itu keluar.
Untuk beberapa saat ibu dan anak memperhatikan seluruh
isi kamar. Semua benda ada hubungannya dengan musik.
"Itu alat apa, Bu"rl tanya Tuti sambil menunjuk ke arah
sebuah alat musik yang bentuknya seperti gambang. Bu Parto
menggeleng. "Saya tidak tahu," jawabnya.
"Biolanya banyak sekali, Bu,rl kata Tuti lagi. Ibunya
mengiakan. " Mungkinkah biola leh ih baik, Bu"rl
" Tidak. Piano lebih baik," jaWab ibunya dengan nada pasti.
" Kok ibu tahu?"
"Waktu sekolah dahulu ibu belajar sebentar.rl
"Di mana?" "Di Mendut.rl "Sekarang masih bisa, dong,rl tanya Tuti dengan nada
berapi-api. Bu Parto tertawa. " Sudah lupa," jawab nya. "Di samping itu jari-j ari ibu sudah
kaku.rl "Jika begitu tentu bisa menyanyi.rI
Ibunya tersenyum sambil mengangguk.
" Mengapa sekarang Tuti tidak pernah mendengar ibu
menyanyi?" tanya gadis itu lagi.
" Ibu sudah tua."
" Ibu Sophie masih sering menyanyi.rl
" Suara ibu seperti kaleng pecah.rl
"Ha, ha, ha.rl Tuti tertaWa keras sekali.
"Baiklah! Tuti melihat piano itu, Bu.rl
rlJangan. Tunggu sampai Pak Bambang datang."
" Apakah nanti juga harus bisa membaca balok not, Bu?"
"Tentu. Belajar piano tanpa balok not tidak mungkin maju.rl
" Tetapi Agnes bisa."
"Itu hanya main-main,rl jawab ibunya.
23 kit-'if. .:.. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
Tuti masih ingin bertanya lagi, tetapi sekonyong-konyo ng
pintu samping dibuka dan seorang laki-laki muda keluar.
" Maaf. Saya menyebabkan ibu menunggu lama," katanya
sambil duduk. Kemudian ia memperkenalkan dirinya.
"Bambang. Bambang Soegoro," katanya.
Bu Parto menyebutkan namanya sambil menoleh ke arah
anaknya. "Ini anak saya. Tuti namanya. Ialah yang akan belajar,rl
katanya. "Sudah pernah memainkan alat musik?" tanya Pak
Bambang sambil memperhatikan gadis di depannya.
"Belum," javU'ab Bu Parto.
" Ada bakat?" "Saya tidak tahu."
" Suka menyanyi?"


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rlRupa-rupanya senang sekali.rl
Pak Bambang mengangguk. Sementara itu Tuti duduk tak
bergerak di kursinya. Dengan penuhperhatian ia mendengarkan
percakapan kedua orang itu.
"Coba kemari, Nak," kata Pak Bambang sambil menuju ke
piano. Tuti memandang ibunya sejenak. Bu Parto mengangguk.
Pada waktu itu Pak Bambang sudah membuka piano lalu duduk
di depannya. "Ting, tong, tung.rl
Beberapa tuts disentuhnya.
"Mari sini, Nak," kata Pak Bambang lagi.
Tuti mendekat. Drang laki-laki itu terkejut. Tampak
olehnya gadis itu kakinya tidak sama. Kasihan. Akan tetapi ia
tidak memperlihatkan perasaannya. Dengan cepat ia berkata,
I td....rlh bui. Smentrzm ihiTutiduduk tak bergerak dikuminya
Balai PLBaMa .au .:. "Jika saya menyentuh tuts ini Tuti harus menirukan nadanya.
Mengerti, bukan?" Tuti mengangguk.]iwanya sedikit tegang.
"Ting." Tuti bersuara setinggi nada itu.
"Ting." Pak Bambang mengangguk. "Tung." "Tung." Sekali lagi Tuti menirukan.
"Bam." "Bam." Pak Bambang mengangguk lagi. Sesudah itu ia mencoba
beberapa pada yang agak sukar. Akan tetapi Tuti masih tetap
bisa menirukan. Sekalipun tidak pernah sumbang.
Pak Bambang mengangguk puas.
"Hafal sebuah nyanyian?" tanyanya.
Tuti tidak menjawab. Ia menoleh ke arah ibunya.
"Nyanyian Indonesia"rl tanya Bu Parto.
Pak Bambang tersenyum. Nyanyian apa saja. Pokoknya saya tahu. Saya ingih tahu
apakah Tuti mantap dalam hal irama."
"Satu Nusa Satu Bangsa,rl kata Tuti sekonyong-konyong.
Pak Bambang tersenyum lebar.
"Saya mulai dahulu. Jika saya memberi isyarat dengan
kepala, kamu mulai menyanyi," katanya.
Kini Tuti mengangguk. Mulailah jari-jari Pak Bambang menari-nari di atas tuts
piano itu. Akhirnya terbentuk sebuah lagu. Kadang-kadang
lirih, kadang-kadang lambat, tetapi sekonyong-konyong
bergmuruh seolah-olah ada prahara datang. Dan jari-jari itu
terus menari dan terus menari. Suatu saat Tuti melihat Pak
Bambang memb eri tanda dengan kepalanya.
"Satu nusa satu bangsa... '
Suara Tuti jelas terdengar. Apalagi karena suara piano
dilirihkan. Malah hampir-hampir tidak terdengar.
Satu bahasa kita Tanah air pasti jaya Untuk S'lamat-lamanya l ndonesia pusaka Indonesia tercinta Jari Pak Bambang terus menari. Kini suara piano makin
menggelora. Suaranya keras sekali. Akan tetapi kemudian
perlahan-lahan menjadi lambat dan lirih untuk selanjutnya
berhenti sama sekali. "Bagus," kata Pak Bambang sambil menutup pianonya.
Sesudah itu ia menuju ke kursinya kembali. Tuti sudah duduk
di samping ibunya. "Gadis ibu memiliki bakat," katanya.
Bu Parto tidak menjawab. Bukankah pada dasarnya ia
sudah mengetahui" " Alat apa yang akan dipilih?"
"Piano, Pak," jawab Bu Parto.
Pak Bambang mengerti. "Lalu kapan mau mulai"rl tanyanya.
rlSelekas mungkin.rl Pak Bambang menulis di dalam notesnya.
"Bagaimana jika mulai Senen depan sesudah jam lima
sore"rl 32 kit-'if. .:.. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
Bu Parto setuju. " Akan saya sertakan uang bayarannya,rl katanya.
"Bukankah jumlahnya masih sama dengan yang tercantum di
dalam edaran"rl "Betul Bu,rl jawab Pak Bambang. "Berapa kali
dalam seminggu Tuti akan belajar?"
"Saya kira dua tiga kali sudah cukup. Jika terlalu sering
nanti malah akan mengganggu pelajaran sekolahnya."
Pak Bambang mengiakan. "Saya minta supaya ibu menyediakan bukunya."
" Apa judulnya"rl "De Kindervriend" Bu Parto mencatat.
"Di mana bisa membeli?"
"Saya kira di toko buku Apollo tentu ada,rl jawab Pak
Bambang. Bu Parto menulis lagi. "Berapa lama kiranya anak saya akan bisa main piano,
Pak"', tanyanya. Pak Bambang tertawa. "Jika mau bermain asal bunyi dalam waktu dekat tentu
sudah bisa. Akan tetapi bermain dengan perasaan dan penuh
kemantapan memerlukan waktu cukup lama,rl katanya.
Kemudian di tambahkan. "Tetapi anak ibu berbakat. Saya
yakinjika teku dan mantap tidak lama lagi ia tentu sudah akan
bisa bermai piano secara lancar.
Bu Parto merasa senang. "Saya kira sudah cukup, Pak," katanya sambil berdiri.
Bambang ikut berdiri. "Selamat siang," kata Tuti.
"Selamat siang, Tut," jaWab Pak Bambang sambil mela
baikan tangan nya. %fm 12.931":ng Mulai saat itu tiga kali seminggu Tuti menerima pelajaran
musik dari jam lima sampai jam tujuh sore. Permulaan,
sesuatunya serba asing. Pertama-tama ia harus belajar
membaca balok not. Aneh. Gambar not yang tadinya dikira
tidak mempunyai arti apa-apa ternyata merupakan tanda yang
mengasyikkan. Ada yang bernilai empat bilangan, ada yang
nilai dua bilangan dan ada yang bernilai satu bilangan. Malah
yang memakai bendera di ekornya bilangannya lebih cepat.
Mengenai cara memainkan piano juga tidak mudah. Jari-
jarinya masih kaku. Jika mau memukul satu not, yang kena
dua tuts atau lebih. Malah pada malam pertama jari-jarinya
terasa sakit semua. Tetapi makin hari sakitnya makin kurang
dan sesudah satu minggu ia tidak merasakan lagi. Jari-jarinya
sudah agak terlatih. Kini ia sudah dapat membedakan nada bertuts putih dan
nada bertuts hitam. Yang lebih sukar jika harus bermain piano
sambil membaca balok not. Apalagi jika lagunya agak cepat.
Beberapa kali ia harus mengulang. Malah ada lagu yang selama
dua minggubelum dikuasai samasekali. Seringjika menghadapi
keadaan demikian hatinya seolah-olah patah. Ia ingin berhenti
belajar. Akan tetapi ia lalu ingat maksudnya dahulu. Ia ingin
pandai main musik. Jadi sekali lagi ia merapatkan giginya dan
sekali lagi menghadapi not-not di depannya.
Akhirnya susah payahnya terobati. Belum sampai tiga
bulan ia sudah bisa memainkan lagu mudah-mudah yang
terdapat di dalam buku Kindervriend.
34 -.:-'f_<. .. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
Kemajuannya makin pesat sesudah Bu Parto meng-
usahakan supaya Tuti bisa mempergunakan piano tetangganya
setiap sore. Maklum piano itu jarang dipakai. Dengan cara
demikian Tuti bisa melatih dirinya lebih sering.
Bu Parto merasa senang. Ia makin yakin kini kekosongan
anaknya sudah terisi. Hal ini lebihterasalagijika selamaberjam-
jam anaknya mendengarkan casette permainan piano ciptaan
Chopin atau pianist terkenal lainnya. Mengertikah anak itu"
Tentu saja tidak. Tetapi bukankah dengan cara demikian Tuti
mencoba untuk menangkap arti dari permainan piano tersebut"
Memang sekarang ia belum tahu, tetapi bukankah akhirnya
akan tercapai juga maksudnya"
"Bagaimana Tut?" tanya ibunya ketika pada suatu sore
anak itu pulang dari les.
" Menyenangkan sekali, Bu," jawab Tuti sambil melepaskan
sepatunya. "Bagaimana?" " Pak B ambang b ercerita."
"Cerita?" Tuti mengangguk. "Kepadamu sendiri?" tanya Bu Parto lagi.
"Tidak. Semua peserta les dikumpulkan menjadi satu."
"Oh." rlJumlahnya sepuluh orang.rl
" Lalu?" "Pak Bambang menceritakan lahirnya rMoonlight sonate'
ciptaan Beethoven.rl "Di tempat gadis buta itu?" tanya ibunya.
" Ibu tahu?" tanya Tuti heran.
:::. .tr:" " Pada waktu kecil ibu pernah mendengar. Lalu apa yang
dilakukan Pak Bambang lagi?" tanya ibunya.
"Ia memainkan lagu itu di atas piano.rl
"Ah .. "Sementara itu diterangkan di mana letak keindahan-
nya. MataTutibercahaya.Sambilberbicaraditirukanbagaimana
caranya Pak Bambang memainkan lagu tersebut.
"Indah sekali, Bu,rl kata anak itu sekali lagi. Perlahan-lahan
merebahkan diri di kursi.
Ibunya mengangguk. "Sekarang Tuti sudah bisa main dengan dua tangan," kata
gadis itu. "Jari-jari tangan kanan-kiri sudah lemas semua"rI
"Sudah. Malah sekarang seolah-olah sudah bisa mencari
jalannya sendiri. Tadinya jari-jari kiri selalu mau ikut yang
kanan saja.rl Ibunya tersenyum. Diusapnya rambut anaknya.
"Belajarlah yang rajin, Tut. Biar rahasia musik terbuka
bagimu, " katanya. rlDan kemarin Tuti disuruh mengiringi teman.rl
"He?" " Anak itu memainkan biola dan Tuti main piano."
"Berhasil baik?"
rITadinya Tuti gemetar, tetapi lama-kelamaan tida ."
" Lagu apa itu?" tanya Bu Parto lagi.
"Nina Bobo.rl "Oh." Sekonyong-konyong Bu Parto ingat sesuatu.
36 kit-'if. .:.. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
" 0 ya, Tut. Tadi siang kamu mendapat undangan,rl katanya
sambil menatap muka anaknya.
Tuti menoleh. "Dari siapa"rl tanyanya.
" To ni, anak sebelah.rl
" Mau apa dia?"
"Ulang; tahun," jawab ibunya.
Tuti tidak menjawab. Jari-jarinya mulai menarik-narik
kalungnya. rlSegan ah,rl katanya kemudian.
"Mengapa?" " Anak berengsek."
"Masak." "Di samping itu senangnya musik rock."
"Maksudmu musik pop?" tanya ibunya.
Tuti mengangguk. Matanya diarahkan ke lantai.
"Tuti kurang senang musik itu, Bu,rl gumamnya.
Bu Parto tidak segera menjawab. Ia mengerling sebentar
ke arah anaknya kemudian menjawab lirih.
"Tetapi musik pop banyak juga yang baik, bukan?"
Tuti tidak menjawab. Tangannya masih terus bermain-
main dengan kalungnya. "Jika ibu jadi Tuti ibu tentu pergi," kata Bu Parto.
Tuti tidak menjawab. Kakinya menendang-nendang kursi
di depannya. "Ia tetangga, bukan" Tidak baik jika diundang tidak
datang." Tuti masih belum mau menanggapi. Kakinya masih terus
menendang-nendang kaki kursi.
,: 6P 3" " Ibu dahulu juga sering kurang senang mengunjungi pesta
seseorang. Apalagi jika orang itu tidak ibu senangi. Akan tetapi
demi kebaikan akhirnya ibu pergi juga.rl
Kini gadis itu menatap muka ibunya.
"Tetapi Tuti tidak mau diajak menari gila-gilaan,"
katanya. Bu Parto tersenyum. " Tidak usah. Jika kamu tidak mau, tidak seorang pun akan
memaksa," katanya. rlKamu akan pergi sendiri atau diantar?"
"Pergi sendiri. Asal pulangnya dijemput,rl jawab Tuti.
Ibunya mengangguk. "Bu," kata Tuti sambil berdiri.
Ibunya memandang dengan penuh tanda tanya.
"Kapan ibu ke Pasar Baru?" tanya Tuti.
" Ada apa?" "Belikan cassette yang ada permainan piano dan biola, ya


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu.rl "Duet." "Apa?" Tuti tidak mengerti. Ibunya tersenyum.
"Permainan musik dengan mempergunakan dua alat musik
namanya duet.]ika mempergunakan tiga alat musik dinamakan
trio, sedangkan jika memakai empat alat dinamakan kwartet."
"Kok ibu tahu?"
Bu Parto tertawa. "Waktu ibu sekolah di Mendut dahulu pernah belajar
musik, tetapi kandas di tengah jalan.rl
"H., i..., r..., r...,"
Tuti tertavU'a keras sekali.
33 kit-'if. .:.. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
Suasana ulang tahun di rumah Toni ramai sekali. Sebuah
band remaja bermain di sudut ruangan sedangkan seorang
penyanyi memperdengarkan suaranya sambil meliuk-liukkan
tubuh. Dan di ruangan tengah pemuda-pemudi belasan tahun
sedang menari. Segala gaya dan gerak dipergunakan sesuai
dengan irama musik. Selanjutnya di sebelah kiri beberapa
anak sibuk makan minum sambil bersenda-gurau. Hadiahnya
sendiri sangat banyak. Semuanya ditumpuk di atas mejabesar
di sudut ruangan. Bukankah hampir semua anak-anak di jalan
itu diundang" Tuti duduk di belakang sambil memperhatikan suasana di
sekelilingnya. Padawaktu itu iamengenakangaun putih dengan
pita merah pengikat rambutnya. Baru kali ini ia menghadiri
pesta ulang tahun dengan band seperti itu. Waktu Sophie
berulang tahun dahulu juga diundang sebuahband. Akan tetapi
lagu yang dimainkan dipilih betul. Hanya diperbolehkan lagu-
laguberirama tenang dan lembut. Sebab ibu Sophie berpenyakit
jantung. Malah ketika Mimin berulang tahun didatangkan
sebuah orkes kroncong. Kurang enak sebetulnya. Akan tetapi
karena lagu-lagunya dipilih suasananya tetap menyenangkan.
Bagaimana di rumahnya sendiri" Orang tuanya selalu memilih
lagu lembut. Tetapi sekarang ah, ia tidak biasa. Irama
berdentam-dentam dan suara berkaok-kaok itu menyakitkan
betul. Tetapi kelihatannya pengunjung-pengunjung muda itu
sangat senang. "Sekarang Saudara Lily akan membawakan lagu
kesayangannya." Terdengar pembaWa acara melalui pengeras suara.
Menyusul tepuk tangan riuh sekali. Kemudian seorang gadis
maju ke depan dan belum ada satu menit suaranya sudah
mengalun memenuhi ruangan. Ia menyanyikan lagu berbahasa
Inggris. Sementara itu hadirin berteriak-teriak memekakkan
telinga. :::. .tr:" Tuti merasa terganggu. Ia tidak biasa. Akan tetapi untuk
pulang juga tidak mungkin. Apa kata teman-temannya nanti"
Sayang Sophie atau temannya sekelas tidak ada. Sebab meskipun
rumahnya berada di jalan itu, ia jarang sekali bergaul dengan
anak-anak tetangga. Ia lebih senang mencari kesibukannya di
rumah. "Sekarang Miss Elvy. "
Sekali lagi suara pembavU'a acara terdengar. Dan sekali lagi
tepuk tangan riuh berulang. Kemudian diikuti pukulan di atas
meja dan entakkan kaki di atas lantai. Sekali lagi penyanyi itu
memperdengarkan lagu Inggris. Sesudah itu disebut beberapa
nama lain. Masing-masing menampilkan suaranya. Suasana
menjadi ramai. "Sekarang acara akan diisi oleh Nona Tuti," kata pemuda
pembawa acara. Pengumuman itul disambut dengan tepuk tangan riuh.
Jantung Tuti serasa berhenti berdenyut. Ia tidak mengira sama
sekali. Tadinya ia menyangka hanya menjadi penonton b elaka.
Sekarang ternyata diharuskan menyanyi. Apa yang akan
diperbuat" Semua mata memandang ke arahnya. Menolak,
pikir Tuti. Memang itu jalan yang paling mudah. Akan tetapi
bukankah ia akan merusak suasana gemb ira pada malam itu" Di
samping itu bukankah iapernahberkata kepada ibunya bath'a ia
tidak mau kalah dengan anak-anak lain" Apalagi dalam bidang
menyanyi. Ya, ia akan memperlihatkan kemampuannya.
Dengan berserak-serak ia memaksakan diri untuk maju
ke depan. Sekonyong-konyong ruangan sunyi senyap. Semua
mata memandang ke arah gadis itu. Gadis kecil yang berjalan
dengan kaki diseret. Lagu apakah yang akan dinyanyikan, pikir Tuti. Tentu
lagu yang ia sukai. Mungkin anak lain kurang suka. Masa
bodoh. Mereka minta supaya ia menyanyi dan ia akan
4" ._'-,_'5_._, .. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
menyanyi. Ah. Ia sudah tahu sekarang. Ia akan menyanyikan
lagu sekolah. Bukankah anak-anak juga tahu" Biar anak lain
menyanyikan lagu, Inggris, tetapi ia akan tetap menyanyikan
lagu Indonesia. "Lagu apa, Dik"rl tanya pemimpin band itu. Tuti
membisikkan. "Oh," gumam pemuda itu. Kemudian ia meneruskan
kepada teman-temannya. "Jangan keras-keras. Suasana lagu ini lain," kata pemain
band itu. Ruangan masih tetap sunyi. Semua mata terpaku pada
gadis bergaun putih berpita merah.
Tanah tumpah darahhu yang suci mulia
Suara lembut Tuti mulai memenuhi ruangan. Hadirin
terkejut. Mereka tidak mengira sama sekali. Sesudah suasana ribut,
kacau lagi panas kini lagu itu seolah-olah merupakan siraman
air hujan di musim kemarau. Terasa dingin sejuk menyegarkan.
Pendengar diajak menjelajahi keindahan tanah air, sejarahnya
dan kemu ngki nan-k emungkinannya.
Pantai, hutan, tasihmu hucintai semua
Tanah airhu hupuja hau di hatihu
Suara Tuti terus mengalun. Tidak seperti biasanya kini
musik terdengar lirih sehingga setiap kata yang diucapkan
gadis itu terdengarjelas.
Bumi lhu Pertiwi yang suhur sentosa
Indah berseri bagaikan taman segara
Tanah airliu tujuan segala daya
Dirgahayulah diri Ratuhu bahagia.
Pikiran Tuti terus melayang menggambarkan keindahan
persada Indonesia..., Aneh. Sekonyong-konyong terdengar
seo rang anak ikut menyanyi. Selanjutnya disusul oleh dua orang
anak lain dan tidak lama kemudian seluruh anak di ruangan itu
pun mulai menyanyikan lagu tersebut dari permulaan.
Tanah tumpah darahhu yang suci mulia
Hilang lenyap suasana kacau. Hilang lenyap hawa panas
digantikan dengan haWa sejuk, aman, damai, dan permai yang
dialunkan oleh lagu itu. Bagaimanakah kesudahannya" Mudah diterka. Nama Tuti
menjadi buah bibir pada malam itu. Kini mereka tidak melihat
gadis berkaki cacat melainkan seorang seniwati cilik dengan
suara emas. Mereka betul-b etul terpesona.
rlBagaimana 'Tut"rl tanya Bu Parto waktu ia menjemput
anaknya. "Baik," jawab Tuti singkat.
"Tidak membosankan?" tanya ibunya lagi.
"Tidak." Jawaban itu masih tetap singkat. Bu Parto merasa kurang
enak. Ada apakah gerangan" Mungkinkah Tuti sakit" Tidak
mungkin. Bukankah mata Tuti memancarkan penuh
kegembiraan sedangkan suaranya nyaring riang"
" Ada apa sayang?" tanya Bu Parto lembut.
Tuti memandang ibunya sejenak kemudian tersenyum.
Sambil menggandeng lengan orang tua itu ia berbisik, rlNanti
Tuti ak an menceritakan. mmm-namum.- Balai PLB"
%".a.r: "ZZ/..... 32.5...
Tuti makin lancar bermain piano. Kini buku 'De
Kindervriend' sudah tamat. Sesudah itu diganti dengan buku
yang lebih sukar. Sering hatinya diliputi kerisauan jika menghadapi
kesukaran. Akan tetapi karena tekun dan kerasnya kemauan
akhirnya semua halangan dapat dilampaui. Sekarang membaca
not balok sudah bukan merupakan halangan lagi baginya.
Semuanya seolah-olah sudah merupakan sebuah buku terbuka.
Dengan mudah ia dapat membacanya. Belum lagi gerak jari-
jarinya. Jika jari-jari itu menyentuh tuts piano dengan segera
menari-nari sendiri. Lentik-Ientik turun naik, cepat lambat
mengikuti not-not yang ditentukan.
Pada suatu hari Tuti pulang dari les dengan mata bersinar.
rlBu,rl katanya cepat. Ibunya menoleh Pada waktu itu ia sedang membaca buku.
"Tadi Pak Bambang bercerita lagi, Bu,rl kata Tuti.
"Apalagi ceritanya?" tanya ibunya. Perlahan-lahan
bukunya diletakkan di atas meja.
" Tentang penghidupan Mozart."
Ibunya tidak menjavU'ab. Tampak olehnya mata anaknya
bercahaya. "Sesudah itu Pak Bambang lalu memainkan salah satu
ciptaannya. Tak lain Requiem."
Bu Parto masihbelum mengerti arah ke manapembicaraan
anaknya. _'."_,_ 43 :. ft" "Tahu mengapa Pak Bambang berbuat demikian, Bu"rl
tanya Tuti. Ibunya menggeleng. "Katanya kita baru bisa mengerti ciptaan seorang
komponis jika kita tahu siapa komponis itu dan apa yang ingin
dikemukakan dengan lagu tersebut," kata Tuti dengan mata
bersinar. Ibunya tersenyum. Ia masih ingat pelajaran suster Caecilia
dahulu. rlDan katanya pula setiap bulan ia akan menceritakan
riwayat hidup salah seorang komponis lain, Bu."
Ibunya mengangguk gembira.
" Tuti merasa senang?" tanyanya lembut.
"Senang sekali," jaWab gadis itu dengan mata berapi-api.
"Sayang. Tuti tidak mempunyai piano sendiri. Jika ada Tuti
akan bisa mempertunjukkan kemampuan Tuti kepada Ibu.rl
Bu Parto tidak menjawab. Matanya tidak mau lepas dari
muka anaknya. "Tuti mempunyai pr?" tanyanya segera.
"Punya," jawab anaknya.
"Lekas selesaikan. Biar kita bisa segera makan bersama-
sama ayah. Nanti ayah bisa kelaparan," kata Bu Parto sambil
tertawa. Tuti ikut tertawa pula. Sambil menyanyikan lagu rCitrar
ciptaan Cornel Simanjuntak ia menuju kamarnya.
Hari berganti dengan minggu dan akhirnya minggu
menjadi bulan. Sedangkan bulan merayap maju untuk suatu
saat berhenti pada bulan Oktober.
" Bukankah tanggal 15' Dktob er nanti Tuti ulang tahun,
Bu"rl tanya gadis itu ketika suatu sore ia duduk berdampingan
dengan ibunya di beranda depan.
44 ._'-,_'5_._, .*. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
Ibunya mengangguk sambil memandang Tuti dengan
penuh kasih sayang. "Mengapa?" tanyanya lembut. gadis itu.
"Tuti ingin mengundang teman-teman, javU'ab ibunya.
"Hal itu sudah saya bicarakan dengan ayah,
"Mengapa Tuti tidak diberi tahu?"
" Belum waktunya.rl " Tuti akan mengundang sekitar 3 orang teman, bu,rl kata
ana itu. " Teman sekolah semua"rl
"Sebagian besar teman sekolah. Akan tetapi beberapa di
antaranya anak yang berdiam di jalan ini juga."
"Mau mengadakan sesuatu barangkali?" tanya ibunya
sambil meletakkan bukunya. Muka anaknya dipandangnya
lurus-lurus. Tuti tidak menjawab.
" Mau, memakai band"rl tanya ibunya lagi.
"Ah. Jangan," jawab gadis itu cepat. "Tuti menghendaki
pesta berjalan meriah, tetapi jangan terlalu ribut."
" Mau menari"rl
" Nggak mau, ah "
"Lalu apa?" tanya ibunya. Matanya masih terus menatap
muka anaknya. Tuti masih belum menjaWab.
"Mau memikirkan dahulu barangkali"rl tanya ibunya
kemudian. Tuti memandang ibunya sejenak kemudian mengangguk.
" Tuti menginginkan apa?"
Suara ibunya terdengar lagi.
Gadis itu tidak mengerti apa yang dimaksud ibunya. Ia
memandang orang tua itu dengan mata tak berkedip.
"Yang ibu maksud Tuti menginginkan ayah memberi
hadiah apa pada ulang tahun Tuti"rl
Sekali lagi Tuti menatap muka ibunya. Ia masih belum
menjawab. Ia tidak tahu. "Apa?"I Sekali lagi ibunya bertanya.
"Tidak tahu," jawab Tuti lirih. Ia sudah memiliki apa
pun yang diinginkan. Kini ia hanya mau bersuka ria bersama
teman-teman. " Mengapa tidak tahu?"
"Terserah kepada ayah dan ibu saja," jawab gadis kecil itu.
Ibunya tidak menjawab. " Tentu ibu dan ayah lebih tahu apa yang baik untuk. Tuti,
bukan"rI kata gadis itu lagi.
Ibunya mengangguk lalu berkata, "Baiklah nanti akan saya
bicarakan dengan ayahmu."


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu Tuti mulai membuat undangan untuk teman-
temannya. Sesudah itu hari berjalan cepat sekali. Mungkin hal
ini disebabkan karena setiap anggota keluarga sibuk melakukan
tugasnya masing-masing. Malah pada hari terakhir menjelang
pesta sekali lagi Tuti menilpun dan meminta setiap orang
temannya supaya sekali-kali jangan tidak datang.
Akhirnya tanggal 15 Oktober tiba. Pada waktu itu ruangan
dalam dihias indah sekali. Seluruh ruangan penuh dengan
lampion dan balon beraneka warna. Sedangkan semua meja
sudah diberi taplak serta jambangan dengan bunga di atasnya.
Sebuah tape recorder besar berada di sudut. Alat itulah yang
akan melatar belakangi suasana malam nanti.
U ntukmemeri ahkansuasanabeb erapa temanmenyumbang;
tari-tarian. Ada tari serimpi, ada tari kupu-kupu, dan seorang
malah akan menari seperti seorang signorita dari Sepanyol.
Jadi memakai castagnette segala.
46 ._'-,_'5_._, .*. ?"" _"Mmmun Balai PLB"
Sementara itu Tuti keluar masuk rumah untuk melihat
apakah sesuatunya sudah beres. Sering iaberada di dapur untuk
melihat makanan enak-enak yang sedang dibuat. Pada saat lain
iaberada di ruangan dalam guna memperhatikan segala sesuatu
lebih teliti lagi. "Bu," katanya sekonyong-konyong sambil masuk dapur.
Pada 1Waktu itu Bu Parto sedang mengawasi pembuatan kue
Tiga orang melakukan tugas tersebut.
" Ada apa?" tanyanya sambil menoleh.
"Mengapa kamar ibu dikunci?" tanya Tuti.
"Ah." "Biasanya tidak pernah dikunci," kata gadis itu lagi. "Tuti
mau mengambil apa?" Bu Parto ganti bertanya. "Sapu," jaWab Tuti.
"Sapu?" "Tuti mau menyapu ruangan depan. Kemarin sapu itu Tuti
simpan di bawah lemari ibu.rl
Bu Parto diam sejenak. " Pakai saja sapu Bi Inem
"Apakah ia punya?"
Ibunya mengangguk. Sambil tertaWa Tuti menuju ke
belakang. Malam itu meriah sekali. Tuti berpakaian satin putih
dan rambutnya diikat dengan pita berwarna biru. Ia pun
mengenakan kalung berbandul sebuah salib emas. Sejak jam
tujuh tamu-tamunya sudah mulai berdatangan. Ada yang
datang sendiri dengan helicak atau diantarkan mobil, ada pula
yang diantar oleh orang tuanya. Semuanya membawa hadiah
yang dibungkus rapi serta diikat dengan pita bei-Warna merah.
"Selamat Tut," kata Sophie sambil mencium temannya.
Mimin dan Agnes serta teman-teman perempuan lainjuga
berbuat serupa. Hanya teman laki-laki cukup dengan berjabatan
tangan. "Selamat Tut. Makanannya enak, ya." Sambut Karno.
"Ah. Kamu," jawab Tuti tersipu-sipu.
Tidakberapa lama kemudian seluruhruangan dalam sudah
penuh sesak. Sesudah itu acara demi acara berjalan lancar.
Ketika acara tari-tarian selesai dengan segera dilanjutkan
dengan makan secara prasmanan. Artinya masing-masing
harus mengambil hidangan sendiri-sendiri.
"Sesudah makan acaranya apa, Tut?" tanya Sophie sambil
mengambil dua tusuk sate kambing.
"Ayah akan berbicara," jawab Tuti. Ia pun mengambil
setusulc Sate. "Mau apa?" tanya Sophie lagi. Kini ia mengambil sepotong
daging ati. "Saya tidak tahu," jawab Tuti. Tangan kanannya
mBnYBDleC acar. "Mau berpidato barangkali?" tanya Mimin. Sementara itu
tangannya sudah mengambil sebuah bergedel.
" Mungkin, " jawab Tuti sesudah mengambil sebuah
telur pindang. Ruangan itu ramai sekali. Anak-anak memilih
makanan yang disenangi. Dan dimungkinkan sebab di meja
panjang itu serba penuh. Jadi tinggal memililb.
"Enak," kata seorang anak.
"Ya. Enak," jawab temannya.
Mereka terus makan. Sementara itu musik pengantar terus
mengalun merdu, lembut menyemarakkan suasana. Akhirnya
acara ini pun selesai dan anak-anak mulai duduk di kursi
masing-masing sambil makan buah-buahan.
"Sekarang saya mau berbicara," kata Pak Parto sekonyong-
konyong. Ia berdiri di depan hadirin membelakangi sebuah
pintu tertutup. Istrinya berdiri di sampingnya.
43 xii-'if. ;" ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
Semua perhatian ditujukan kepada kedua orang tua itu.
"Coba matikan musik itu, Nak," kata Pak Parto lagi.
Seorang anak laki-laki mematikan pickup di dekatnya.
"Kalian sudah memberi hadiah kepada anak saya," kata
Pak Parto sambil menunjuk ke arah tumpukan hadiah di sudut
kamar. Semua hadirin tertawa riuh sekali.
"Tetapi saya sendiri belum memberi apa-apa,rl kata Pak
Parto lagi. Sekali lagi anak-anak tertawa.
"Kita jadi memberi hadiah, Bu?" tanya Pak Parto kepada
istrinya. rlHarus,rl jawab istrinya dengan nada pasti.
Hadirin tertawa lagi. "Buka dong,rl kata Pak Parto.
Bu Parto mengangguk kemudian membuka pintu di
belakangnya. Sesudah itu suaminya masuk untuk kemudian
ke luar lagi sambil menarik sesuatu yang berat. Barang itu
besar, ditutup kain berwarna keemasan dan beroda. Cepat-
cepat beberapa orang anak maju untuk ikut mendorong keluar.
Akhirnya barang itu berdiri di tengah mangan.
"Inilah hadiah ayah dan ibu, Tut," kata Pak Parto sambil
membuka tutupnya. Terdengar suara rla " an rlu " dari segala penjuru. Mereka
kagum. Ftpa yang tampak di depan mereka tidak lain ialah
sebuah piano bel-Warna cokelat. Melihat barang itu Tuti tidak
tahan. Ia menjerit lalu lari ke arah orang tuanya kemudian
mencium keduanya. "Terima kasih, Yah. Terima kasih Bu," katanya dengan
suara tersendat-sendat. Matanya basah karena air mata.
"Hidup Tuti," teriak teman-temannya.
"Main, Tut. Niain.rl
Beberapa temannya berteriak mengusulkan. Mereka tahu
Tuti pandai main piano. Anak itu mengusap air matanya,
seb entar kemudian menoleh ke arah teman-temannya.
"Main, Tut. Niain.rl
Desakan teman-temannya makin keras. Tuti menoleh
ke arah ibunya. Eu Parto mengangguk, sambil tersenyum.
Perlahan-lahan gadis itu menuju ke piano barunya. Dengan
tangan gemetar tutupnya dibuka lalu duduk di depannya.
Ia merasa semua mata teman-temannya menusuk dari
belakang. " Crung." Ia mencoba sebuah akkord.
" Hiduuuup.rl Teman-tenannya berteriak lagi. Mulailah jari-jari Tuti
menari-nari ke kiri dan ke kanan. Ia mau mencoba dahulu.
Di samping itu ia ingin melemaskan jari-j arinya. Lagu apakah
yang akan dimainkan" Ciptaan S chubert yang mudah" Teman-
temannya tentu kurang senang. Waltz Donau Biru" Mungkin
suasana akan menyenangkan, tetapi ia tidak begitu yakin anak-
anak amat tertarik. Lagu pop" Anak-anak tentu merasa senang,
tetapi ia tidak hafal sebuah lagu pun. Sementara itu jari-jarinya
masih terus menari-nari. Baiklah ia akan memainkan rlBendera merah putih." Ya, ia
akan memainkan lagu tersebut. Bukankah semua anak tahu"
Perlahan-lahan jari-j arinya mulai menyuarakan lagu itu.
Rupa-rupanya anak-anak mengenalnya sebab suara "ah" dan
"uh" mulai terdengar di semua sudut. Tidak lama kemudian
seorang ikut menyanyi. Kemudian diikuti oleh temannya dan
belum ada dua menit semua hadirin sudah ikut menyanyi:
5" xii-'if. ;" ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
Bendera merah putih Bendera tanah air-hu Gagah dan. jernih tamp ah wamamu
Berhibaran di langit yang biru
Bendera merah putih Bendera bangsaim Sesudah itu terdengar lagu-lagu yang lain. Semuanya lagu-
lagu yang mereka nyanyikan di sekolah. Suasana menjadi riang
gembira. Nyanyian demi nyanyian muncul. Dan jari-jari Tuti
terus menari mengiringi lagu tersebut. Lirih, keras, lambat,
cepat sesuai dengan irama yang diharuskan.
"Selamat malam, Tut," kata Sophie sambil mencium Tuti.
"Malam yang mengesankan," tambahnya.
"Kini kamu sudah besar," kata Agnes. r'Tidak boleh
menangis lagi." Ia pun mencium Tuti. Pada saat itu mereka merupakan
tamu yang terakhir. "Sampai besok ya, Tut?" kata Sophie sambil masuk
mobil. Agnes mengikuti dari belakang.
"Selamat malam. Terima kasih Sop, Nes,rl jawab Tuti
dengan mata penuh air. "Howdeeeeeeee." jawab kedua temannya.
Perlahan-lahan mobil itubergerak dan Tuti berdiri seorang
diri. Agak lama ia mengawasi mobil itu. Hatinya penuh. Ulang
tahunnya berhasil. Dan kini ia sudah memiliki sebuah piano
sendiri. Ia merasa senang. Bukan main senangnya.
;" 51 ia. ?"" fmmm an "Tuti naik, Bu," jerit gadis itu begitu pintu tengah dibuka.
Bu Parto yang sedang menjahit dengan segera menoleh.
Matanya tidak percaya. "Sudah ada keputusan?" tanyanya. Perlahan-lahan ia
berdiri. Tuti mengangguk. Sesudah itu dari dalam tasnya ia
mengambil rapornya. " Lihatlah Bu," katanya. Matanya bersinar terang.
Bu Parto menatap muka anaknya sejenak kemudian
menerima buku tersebut. Perlahan-lahan dibukanya. Memang
Tuti naik ke kelas enam. Sedangkan angka-angkanya bagus.
Sejak dahulu ia tahu anaknya pandai. Ternyata les piano itu
tidak mengurangi pelajaran sekolahnya sama sekali.
"Dalam bidang menyanyi Tuti menjadi juara kelas, Bu,"
kata Tuti riang. Ia mulai duduk di kursi.
Ibunya tersenyum. Hal ini pun ia sudah tahu. Tentu
anaknya lebih pandai dari teman-temannya. Bukankah
pengetahuan mengenai musiknya lebih tinggi"
"Tuti akan mendapat hadiah apa, Bu?" tanya gadis itu
sekonyong-konyong. Bu Parto terhenyak. Hadiah" Ia tidak mengharapkan
pertanyaan semacam itu. Biasanya Tuti tak pernah minta
hadiah apapun.]ika ada persoalan hadiah selalu orang tuanyalah
yang memulai. Sekarang anaknya membicarakan soal hadiah.
Apakah gerangan yang dikehendakinya"
52 J.H./_. :. ?"" "Mungkinkah Tuti menginginkan sesuatu?" tanya Bu
Parto sambil duduk di dekat anaknya.
Tuti mengangguk. Tangannya mengambil sebuah jambu
air yang berada di atas piring.
"Apa, sayang"rl tanya ibunya lagi. Matanya masih terus
menatap muka anaknya. "Tuti ingin gambar Beethoven," jawab Tuti.
Kini ibunya mengerti. "Beethoven" Mengapa bukan pencipta lain?" tanyanya.
rlIli-i'lenurut Pak Bambang Beethovenlah pencipta musik
paling tenar. Bukankah ibu sendiri melihat patung dadanya di
sekolah Pak Bambang?"
Bu Parto mengiakan. Meskipun demikian ia mempunyai
usul lain. "Alangkah baiknya jika di samping seorang pencipta
musik barat Tuti pun memilih pencipta terkenal dari negeri
kita sendiri." "L. Manik barangkali?"
Ibunya tertawa. " Bukan. Memang Pak Manik cukup terkenal dengan buah
karyanya rlDesaku", tetapi menurut ibu Cornel Simanjuntaklah
merupakan pencipta lagu semi seriosa paling terkenal."
" Bukankah dia pula yang mencipta lagu Citra, Bui-"rI
"Heeh," jawab ibunya. " Akan tetapi lagu itu adalah salah
satu di antara ciptaan-ciptaannya yang cukup banyak. Jika Tuti
setuju ibu akan mengusahakan kedua gambar pencipta tersebut.
Beethoven dan Cornel Simanjuntak. Mau?"
Tuti mengangguk setuju. Itulah sebabnya seminggu kemudian tepat di atas piano
terpancang gambar kedua pencipta tersebut. Di sebelah kanan
tampak Cornel Simanjuntak dan di sebelah kiri Beethoven.
Kedua gambar itulah yang sering memberi dorongan
kepada Tuti bila ia menghadapi kesukaran dalam memainkan
sebuah lagu. Seolah-olah kedua tokoh itu memberi kekuatan
kepadanya. Mungkin juga karena gambar itulah gadis cilik tersebut
mendapat dorongan kuat sehingga makin lama permainannya
makin man tap. Malah suatu waktu jari-jarinya seolah-olah
bisa lari secara otomatis begitu menyentuh tuts piano. Begitu
pula matanya, langsung bisa menangkap sebuah lagu yang
baru dipelajari. Memang jika ada bagian yang agak sukar perlu
diulangi beberapa kali, akan tetapi akhirnya bagian itu pun
dapat diatasi. Secara pasti serta perlahan-lahan kepandaiannya


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makin meningkat. Pada suatu hari Bu Parto mendapat surat. dari Pak Bambang
untuk datang ke sekolah. " Ada apa, Pak?" tanya Bu Parto ketika ia duduk berhadapan
dengan pemuda itu. "Saya ingin membicarakan anak ibu," kata Pak Bambang.
"Ada apa?" tanya Bu Parto lagi.
"Sekolah ini tidak bisa menambah kepandaian Tuti lagi.
Pelajaran kami hanya mengenai pendidikan dasar musik dan
teknik memainkan alatnya. Sedangkan kedua syarat itu telah
dikuasai oleh Tuti. Malah menurut pendapat saya Tuti sudah
jauh lebih maju." Bu Parto tidak menjawab. Ia duduk tegak tanpa berkata
sepatah pun. Maklum berita itu datangnya terlalu tiba-tiba.
Sebagai seorang ibu ia merasa senang anaknya bisa maju, tetapi
mau tidak mau ia pun merasa gusar dengan ketidaktentuan
yang dihadapi anaknya. Apakah yang harus dikerjakan Tuti
kemudian" " Lalu apakah yang harus saya lakukan terhadap Tuti?"
tanya Bu Parto dengan nada kurang mantap.
54 xii-'if. .. ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
Pak Bambang tersenyum. "Ibu bisa mengambil les privat," jawabnya.
"Les privat?" Mata Bu Parto berubah menjadi besar. Pak
Bambang mengangguk. "Saya kenal seorang guru piano kaliber Internasional.
Namanya Bu Nini. Tinggalnya di jalan Cikini Raya 67. Jika
ibu setuju saya bisa menghubungkan. Saya yakin di bawah
bimbingannya Tuti akan lebih maju lagi."
Bu Parto memandang Pak Bambang dengan mata
berkedip. " Bu Nini?" tanyanya.
"Betul," jawab Pak Bambang. "Ia lulusan Konservatori di
Paris. Bagaimana. Bu"rl
Perlahan-lahan Bu Parto menyatakan persetujuannya.
Bukankah suster Caevelia dahulu pernah menganjurkan
kepadanya supaya mengikuti les privaat" Ternyata ia tidak
melakukan. "Baik, Pak," katanya dengan nada mantap.
Berdasarkan pembicaraan tersebut maka sesudah itu dua
kali seminggu datang seorang wanita muda di rumah Bu Parto
untuk memberi les piano pada Tuti. Ternyata caranya kini agak
lain. Jika pelajaran Pak Bambang lebih ditekankan pada teknik
menguasai alat, maka ibu ini mementingkan soal pengutaraan
jiwa pada setiap lagu yang dimainkan.
"Setiap lagu memiliki jiwanya sendiri," kata Bu Nini
ketika ia memberi contoh dengan memainkan "Manuel: in G"
ciptaan Beethoven. Terus terang bagi Tuti sesuatunya serba baru. Dahulu
jika ia sudah mampu membaca not dan bisa memainkan di
atas piano hal itu sudah dianggap cukup. Akan tetapi sekarang
.:.-.gy, 55 '.;.. $ jiwa lagu itu perlu diperlihatkan. Jiwa yang dikehendaki oleh
penciptanya. Menurut Bu Nini hal ini hanya mungkin dengan
memperhatikan tanda-tanda yang dibuat oleh penciptanya
kemudian mengetahui riwayat hidupnya. Pendek kata untuk
bisa memainkan sesuai denganjiwa penciptanya perlu diketahui
dahulu siapa dan bagaimana pencipta itu.
"Memang sukar, Tut,"kataBuNiniketikagadisitubeberapa
kali harus mengulang. " Akan tetapi dengan belajar secara tekun
cepat atau lambat kamu akan tentu akan menguasai."
Unsurisi mulai digarap. Perlahan-lahan Tuti diperkenalkan
dengan lagu-lagu yang sedikit berat. Karya-karya komponis
terkenal pun termasuk pelajaran yang harus dikuasai. Dan
seperti setiap pelajar, Tuti pun sering mengalami banyak
kesukaran. Apalagi jika sudah beberapa kali diulang ternyata
lagu itu tetap belum dapat dikuasai. Terlalu sukar. Dalam
keadaan demikian hatinya seolah-olah patah. Akan tetapi entah
apa sebabnya kedua gamb ar di atas piano itu seakan-akan selalu
memberi dorongan dan semangat.
Itulah sebabnya ia berusaha sekuat tenaga untuk berlatih.
Akhirnya ia berhasil. Berdasarkan kenyataan tersebut maka
sesudah menerima les privat selama enam bulan persoalannya
betul-betul lain. Beberapa lagu yang termasuk sukar telah dapat
dikuasai. Dan Tuti masih terus berusaha untuk menundukkan
lagu-lagu sukar yang lain. Dan satu-satunya cara hanya dengan
belajar dan melatih diri secara terus-menerus. Piano itu betul-
betul merupakan alat berharga baginya.
mmm-namum.- B:.Ili Pusuk:
"Seora'nj gnjeniara (5.379.905"
Pada suatu hari Minggu hujan turun lebat sekali. Sudah
lebih dari setengahjam air seolah-olah dicurahkan dari langit.
Sedikit pun belum kelihatan tanda-tandanya akan berhenti.
Jalan menjadi sepi karenanya. Sesekali tampak sebuah mobil
lari kencang untuk segera menghilang di kejauhan. Meskipun
demikian di pinggir jalan Madiun, tepatnya di bawah pohon
asam besar, seorang sedang berteduh. Ia memegang sebuah
sepeda. Umur orang itu sekitar empat puluh tahun. Bajunya
bagian atas basah dan celananya malah sudah kotor sama sekali.
Beberapa kali ia melihat ke arah langit kemudian menengok
ke daun-daun yang di atasnya. Meskipun pohon itu sangat
rimbun akan tetapi air masih bisa menerobos. Kapankah hujan
akan berhenti, pikirnya" Ia harus cepat-cepat pulang. Anaknya
menunggu. Biasanya setiap hari Minggu sesudah pulang dari
gereja sehari penuh ia selalu bermain-main dengan anaknya.
Sekonyong-konyong tertangkap olehnya sesuatu yang
aneh. Di tengah hujan yang lebat itu ia mendengar suara piano
memainkan lagu La Paloma. Ia menoleh. Pemain itu tentu
berdiam di rumah yang berada di sebelah kiri ini, pikirnya.
Jendela terbuka itulah yang membawa suara piano ke luar.
Ha, sekarang ia main rlAngel's Serenade" ciptaan Braga. Ia
kenal betul ciptaan tersebut. Bukankah ia memiliki piringan
hitamnya" la terpikat dan terus mendengarkan penuh perhatian. Kini
pemain itu mulai dengan "Pilgrim's chorusrl ciptaan Wagner.
Bukan main. Lalu ia ingat ketika menjadi anggota koor dan
ikut menyanyikan lagu tersebut. Alangkah indahnya.
Siapakah gerangan pemain itu" Di dalam anganannya
ia melihat seo rang wanita dewasa, cantik dan berpendidikan
universitas. la yakin seperti itulah orang yang bermain piano
itu. Kini orang itu malah memilih rlWlenuet in G" karya
Beethoven. Bukan main bagusnya.
Entah apa sebabnya sekonyong-konyong timbul suatu
keinginan untuk mengenal pemain tersebut. Sebagai seorang
pencinta musik seriosa dan klasik ia selalu ingin berkenalan
dengan para seniman yang memainkan ciptaan-ciptaan ter-
kenal. Bagaimanakah caranya" Ia melihat ice atas. Hujan
sudah berhenti. Kemudian ia menoleh ke arah pintu halaman
rumah. Apakah sebaiknya ia langsung masuk" Ia merasa segan.
Bukankah ia belum mengenal penghuninya"
Sementara itu alunan piano masih terus terdengar. Jika
lagu yang satu selesai dengan segera disusul dengan lagu yang
lain. Asyik benar orang itu, pikirnya lagi. Ha, itu tukang
kebunnya keluar. Kini maksudnya makin bulat. Ia akan masuk.
Ia ingin berkenalan dengan pemain pandai itu. "Jangl"
Ia memanggil tukang kebun itu.
Pemuda itu menoleh. Perlahan-lahan cangkulnya
diletakkan di tanah. "Coba kemari, Jang," kata orang itu lagi.
Tukang kebun itu mendekat. Matanya penuh pertanyaan.
"Siapa yang memainkan piano itu"rl tanya prang baru itu.
"Den Tut, " jawab tukang kebun dengan nada agak curiga.
"Bolehkah saya berkenalan dengannya?"
Pemuda itu tidak menjawab. Matanya masih terus menatap
orang di depannya. 53 Fi'ii, .. ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
"Bagaimana?" desak prang itu.
" Akan saya tanyakan dahulu kepada nyonya,rl jawab
tukang kebun kemudian. Sesudah itu cepat-cepat ia masuk
melalui pintu samping. Belum ada lima menit pintu depan
dibuka dan seorang wanita setengah umur ke luar. Sesudah
memandang prang itu agak lama ia memberi isyarat supaya
tamu itu masuk. "Maaf," kata orang itu sesudah duduk berhadap-hadapan
dengan pemilik rumah. Bu Parto, wanita itu tidak lain ialah Bu Parto. la
mengangguk sambil tersenyum.
" Perkenalkan, Bu. SayaJan Armerun dari TV," kata orang
itu sambil mengulurkan tangannya.
Pak Parto pun ke luar menyebutkan namanya. Mereka
berjabatan tangan. "Saya derigar ;saudara inginberkenalan dengan anak saya,"
tanya Bu Parto. Pak Jan Armerun mengangguk sambil mengerling ke pintu
tengah. "Saya mendengar ia bermain piano," jawabnya.
"Saudara senang musik seriosa?" tanya Bu Parto.
Orang itu mengiakan. Mukanya kelihatan cerah.
"Tugas saya di TV khusus mengurus siaran musik. Di
samping itu saya sendiri senang mendengarkan. Dari sebab
itu jika. mengetahui ada seorang seniwati pemain musik tentu
saya ingin mengenal. Apalagi jika permainannya bagus. Dan
permainan putri ibu bagus sekali."
Di sini ia diam sejenak. Seolah-olah ia sedang mendengar-
kan sesuatu. "Ke mana ia sekarang" Saya tidak mendengar musiknya
lagi?" tanyanya sambil menoleh ke dalam.
6" xii-'if. .. ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
Bu Parto tersenyum. rll'i-f'lungkin anak saya sudah capai. Ia bermain sejak pagi,rl
jawab Bu Parto. Sesudah berdiam sejenak ditambahkan. rlBetul-
betul ingin berkenalan?"
Pak Jan Armerun mengangguk.
"Baiklah, saudara tunggu sebentar. Saya akan
memanggilnya.rl kata Bu Parto. Sesudah ia masuk, tidak lama
kemudian pintu dibuka kembali dan mulut Pak Jan menganga
lebar. Tadinya ia mengira akan berhadapan dengan seorang
wanita dewasa. Ternyata yang berdiri di depannya seorang
gadis kecil dengan kaki cacat. Jika berjalan kaki itu diseret.
"Ini pemain pianonya,rl kata Bu Parto memperkenalkan.
"Namanya Tuti. Dan ini Tut, Pak Jan Armerun dari TV."
Sambil tersenyum Tuti menjabat tangan tamunya.
" Tuti pandai sekali," kata PakJan memuji.
Gadis itu tersenyum malu.
" Sudah lama belajar piano?" tanya Pak Jan lagi. Matanya
tidak mau lepas dari gadis tersebut.
" Lebih dari satu setengah tahun," jawab Bu Parto.
"Bagus sekali," kata Pak Jan. Sekali lagi ia menatap gadis
kecil di depannya. Suatu gagasan timbul dibenaknya:
" Bu. Bolehkan saya melihat cara Tuti bermain?" tanyanya
sekonyong"konyong. Bu Parto terhenyak. "Untuk apa?" tanyanya. "Bukankah saudara sudah men-
dengar?" "Hanya mau melihat saja. Saya penggemar musik seriosa.
Apalagi jika yang memainkan seorang gadis kecil."
" Bagaimana Tut?"
Bu Parto menoleh ke. arah anaknya.
"Tuti capai,rl gumam gadis itu. Ia melirik sebentar ke arah
ibunya. "Coba mainkanbarang satu atau dua lagu. Bapak ini ingin
mendengar," kata Bu Parto.
Tuti memandang Pak Jan sebentar kemudian menoleh ke
arah ibunya kembali. Ia masih belum menjawab.
" Bukankah kamu senang main piano?" tanya ibunya.
Perlahan-lahan Tuti mengangguk. Tangannya bermain-main
dengan kalungnya. "Jika begitu harus diperlihatkan. Mau bukan?" tanya Bu
Parto. Tuti mengangguk lagi. Selanjutnya ketiga orang itu
mengikuti Tuti masuk rumah.
Tidak lama kemudian sekali lagi alunan piano terdengar di
pagi itu. Ciptaan Chopin, Mozart, Schubert, Verdi dan Strauss
satu persatu berkumandang memenuhi ruangan. Jari-j ari Tuti
terus menari-nari sementara matanya tak henti-hentinya
menatap buku musik di depannya.
Pak Jan Armerun terpaku. Ini bukan anak sembarangan.
Ini anak ajaib. Begitu kecil akan tetapi sudah bisa memainkan
ciptaan ko mponis-kompo nis terkenal. Sedangkan cara
memainkannyapun bagus sekali. Masyarakat perlu diberi tahu.
Harus diberi tahu. Calon seniman ini perlu dilatih untuk menghadapi umum.
" Mau main di studio?" tanya Pak Jan sekonyong-konyong.
Pada waktu itu Tuti baru saja menyelesaikan "Blue Danube
Waltz" ciptaan Strauss.
"Studio mana?" tanya Tuti kurang mengerti.
"Televisi." "Ah || mmm-namum.- B:.Ili Pusuk:
"Biar teman-teman tahu semua," kata Pak Jan.
" Malu " "Jika sudah sampai di sana nanti tentu tidak akan malu."
"Segan, ah.rl Gadis itu menggeleng sambil menatap muka ibunya. Pak
Jan memandangnya sejenak, kemudian ia pun menoleh ke arah
Bu Parto untuk minta bantuan. Di dalam hati wanita itu sudah
menyetujui. Bagaimanapun ia merasa senang. Ia tahu cepat atau
lambat jalan Tuti akan menuju ke sana. Harus memperlihatkan
diri kepada umum. Mengapa tidak dimulai dari sekarang"
"Tut," kata ibunya dengan suara mantap.
Gadis itu menatap ibunya seb entar kemudian melihat ke


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah lantai. "Dahulu Tuti pernah mengatakan ingin menghasilkan
sesuatu yang bisa kelihatan dan terasa oleh umum," kata Bu
Parto. Tuti tidak menjawab. Matanyaterus memandangkebawah
sementara jari-jarinya bermain-main dengan kalungnya.
"Jika kamu main di TV orang akan melihat. Dengan
sendirinya mereka akan dapat menikmati keindahan musik
itu. Sebagai akibatnya mereka akan merasa senang.]adi bukan
kamu sendiri yang senang akan tetapi orang lain pun dapat
menikmati. Bukankah ini berarti Tuti dapat menyenangkan
orang lain?" Bu Parto tahu anaknya perasa sekali. Ia mau menyentuh
Tuti dari sudut itu. Gadis itu masih belum menjawab.
" Mau bukan, Tut?" tanya ibunya lagi. Matanya menatap
Iembut ke muka anaknya. "Piano ini dibawa?" tanya Tuti sambil menoleh ke arah
Pak Jan. Drang laki-laki itu tertawa.
"Tentu saja tidak. Di Studio sana ada piano yang lebih
bagus. Namanya vleugel. Tuti dapat mempergunakan nanti,rl
katanya. " Lalu kapain harus main?" tanya Bu Parto.
"Dalam hal ini akan saya lihat dahulu acaranya. Tetapi
pada hari-hari ini undangannya akan saya kirimkan. Bolehkah
saya tahu nomer rumah ini, Bu"rI
" Tujuh belas,rl jawab Bu Parto.
Pak Jan Armerun mencatat di buku notesnya.
"Berapa lama Tuti nanti harus main, Pak?" tanya gadis itu.
Tangannya masih terus bermain-main dengan kalungnya.
" Kurang lebih setengah jam," jawab PakJan.
" Apa yang harus Tuti mainkan"rl
" Tuti boleh memilih sendiri."
Gadis itu tersenyum senang. Ia mengerling sebentar ke
arah ibunya. " Tidak malu lagi bukan"rl tanya Pak jan.
Tuti melirik ke arah ibunya.
"Jika begitu akan saya atur selekas mungkin,rl kata PakJan
sambil berdiri. "Nanti dahulu. Saudara belum minum," kata Bu Parto. Ia
punberdiri. "Maaf Bu. Sudah siang. Anak saya sedang menunggu
rumah Terima kasih atas pertemuan ini. Terimakasih nak, atas
per mainanmu. Sampai berjumpa di studio nanti," katanya.
Sesudahitu iamintapermisi. Bu Parto dan Tuti mengantark
sampai pintu depan. 64 xii-'if. .. ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
"...-..?". 3.7...
" Lagu apa yang sebaiknya Tuti mainkan, Bu?" tanya
Tuti pada malam harinya ketika ia bersama ibunya berada di
kamar. "Bukankah Tuti bisa memilih sendiri?" jawab Bu Parto
yang sedang membetulkan kancing kemeja suaminya.
"Tuti tidakbisa,rl jawab gadis itu.
"Harusbisa," rljawab ibunya.
" Bukankah Tuti lebih tahu lagu-lagu apa yang enak
didengar?" Tuti tidak menjawab. Ia merasa bimbang.
" Pilih saja Ia lagu yang paling baik," usul ibunya.
" Lagu-lagu apa?"
" Tuti sendiri yang harus memilih."
Tuti diam sejenak. Kemudian perlahan-lahan mengangguk.
"Apakah IC: lagu cukup, Bu?" tanyanya.
" Cukup. Malah mungkin terlalu banyak. Tetapi tidak
mengapa. Lebih baik kebanyakan daripada kurang," jawab
ibunya. Malam harinya sebelum tidur Tuti berpikir keras sekali.
Lagu apakah yang akan dipilih" Apakah sebaiknya lagu seriosa
semua" la kurang begitu yakin pendengar akan menyukai.
Bagaimana jika dib agi rata"_]adi lima lagu seriosa dan lima lagu
Indonesia" Ya, ia akan berbuat demikian. Untuk lagu seriosa
ia sudah dapat menetapkan. Pertama akan dimainkan rlAve
Niariarl ciptaan Gounod. Kedua "Largo" karya Anton Dvorak.
Ketiga rlThe Minute Waltz" ciptaan Chopin. Keempat " Menuet
in G" ciptaan Beethoven, sedangkan yang kelima "S erenaderl
ciptaan Schubert. Bukankah ia sudah menguasai kelima lagu-
lagu tersebut" Bu Nini telah mengajarnya.
Sekarang lagu Indonesia. Apakah itu" Baiklah ia akan
memilih lagu perjuangan saja. Pertama "Melati di tapal
batas,rl kedua rlSepasang mata bola," dan ketiga rlHallo-hallo
Bandung.rl Ketiga-tiganya karya Ismail Marzuki. Sedangkan untuk
lagu yang keempat dan kelima ia akan memilih lagu sekolah.,
"Desaku" ciptaan l... Manik dan rlTidurlah Anakku.rl
Lagu-lagu itulah yang akan disuguhkannya nanti. Memang
ia masih akan membicarakan dengan PakJan lebih dahulu, akan
tetapi lebih baik jika jauh sebelumnya sudah dipilih. Bukankah
Pak Jan yang meminta" Jika nanti ternyata terlalu banyak ia
akan mengurangi lagu seriosanya.
Tuti merasa puas. Ketika akan tidur ia mengumpulkan
seluruh partitur lagu yang sudah dipilih itu. Biar cepat dapat
dicari jika akan dimainkan.
Malam itu juga Bu Parto melaporkan segala sesuatu yang
terjadi pada hari itu kepada suaminya. Karena sudah dua hari
lamanya suaminya ke luar kota.
" Tuti mau?" tanya Pak Parto sambil menghisap rokoknya
dalam-dalam. Istrinya mengangguk.
"Saya yang mendesak," katanya mantap.
" Apakah tidak akan terjadi apa-apa nanti?" tanya suaminya
pula. la merasa khawatir jangan-j angan Tuti akan patah hati.
" Tuti ingin memperlihatkanb ahwa meskipun cacat ia tidak
kalah dengan teman-teman yang lain, Pak," kata Bu Parto.
Suaminya mer asa heran. 66 xii-'if. .. ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
"Apakah Tuti betul-betul berkata demikian?" tanyanya.
"Memang. Dan saya mendengar sendiri. Kini kesempatan
terbuka baginya. Mengapa tidak dipergunakan?" tanya Bu
Parto. Pak Parto tidak menjawab. Sekali lagi ia menghisap
rokoknya dalam-dalam. "Ingat. Ia berbakat, Pak,rl kata istrinya lagi.
" Asal tidak sebaliknya yang menjadi akibatnya," kata Pak
Parto lirih. "Saya yakin tidak," jawab istrinya dengan nada
pasti. Suaminya mengangguk.
"Mudah-mudahan saja tidak," katanya.
Keesokan harinya sesudah pulang sekolah Tuti langsung
meng-adakan latihan. Lagu-lagu yang dimainkan terbatas
pada sepuluh lagu yang sudah dipilih. Ia betul-betul ingin
menguasai. Ia harus hafal benar. Sebab itu ia terus berlatih.
Tetapi ada suatu perasaan aneh. Meskipun ia sudah lancar dan
hafal akan tetapi undangan yang sangat diharap-harapkan itu
tidak kunjung datang. Mungkinkah Pak Jan lupa" Ataukah ia
seorang penipu barangkali" Hal ini dikemukakannya kepada
ibunya. Ia merasa bimbang.
"Jika sampai besok undangan belum juga datang, Pak Jan
akan saya tilpun,rl janji ibunya.
Akhirnya undangan itu datang. Tepatnya pada sore itu
juga. Seorang pengantar surat membawanya.
"Seminggu lagi kamu harus main, Tut," kata ibunya
sesudah membaca undangan tersebut. Kemudian surat itu
diberikan kepada anaknya.
" Malam hari, Bu?" tanya Tuti lirih.
"Benar," jawab ibunya. rlBukankah siaran televisi selalu
ber-langsung pada so re dan malam hari?"
" Ibu mengantar, ya?" tanya Tuti manja.
;.__., 6" '.... $ Ibunya mengangguk sambil tersenyum. "Jangan takut,
katanya. Akhirnya hari yang dinanti-nantikan tiba. Dengan
perasaan harap-harap cemas Tuti masuk ke dalam mobil
bersama ibunya. Hatinya kosong. Malah jika ibunya tidak
mengingatkan hampir saja ia lupa membawa buku musiknya.
Dan hatinya makin kecil ketika mobil berhenti di depan
sebuah gedung besar tinggi berlampu banyak, Gedung televisi.
Perlahan-lahan tangannya mencari tangan ibunya. Ia melihat
Pak Jan berada di depan gedung tersebut.
"Masih lama, bukan?" tanya Bu Parto ketika turun dari
mobil. "Benar," jawab Pak Jan.
Kemudian Tuti dan ibunya diajak menuju keStudio tempat
si ar an dia dakan. " Masih satu jam lagi," katanya. "Di samping itu Tuti perlu
di makeup dahulu mukanya. Sesudah itu sebaiknya Tuti duduk
di depan piano. Tenang-tenang saja, nak. Anggaplah seolah-
olah. Tuti berada di dalam kamar sendiri. Jika nanti saya
memberi isyarat barulah Tuti mulai.rl
Gadis itu mengangguk. Ia merasa jiwanya kosong.. Jauh
sebelumnya ibunya sudah memberitahu apa-apa yang kiranya
harus dilakukan. Bukankah ketika masih remaja dahulu ibunya
sering mengadakan siaran" Dengan demikian ia bisa memberi
penerangan yang berharga. Meskipun demikian Tuti merasa
sunyi. Seolah-olah ia berada di tengah gurun sahara seorang
diri. Ketika mukanya di make up ia merasa aneh. Mengapa
diharuskan demikian" Tetapi menurut Pak Jan hal itu
merupakan syarat mutlak. 63 xii-'if. .. ?"" Immuno-null B:.Ili Pusuk:
Kemudian ia meletakkan buku musik di atas piano dan
menyiapkan lagu pertama yang akan dimainkan. Kemudian
ia duduk diam-diam sambil menunggu isyarat yang akan
dib erikan Pak Jan. Piano itu besar sekali. Mengapa ia tidak disuruh berlatih
di sini dahulu, pikir Tuti. Piano itu berbeda dengan pianonya.
Memang jumlah tutsnya sama akan tetapi ia belum pernah
bermain dengan piano sebesar itu. Mungkinkah ini yang
dikatakan Pak Bambang piano vleugel"
Suatu saat Tuti merasa sinar lampu mulai menyoroti
dirinya. Begitu pula kedua kamera di kanan kiri ruangan mulai
diarahkan kepadanya. Pikirannya makin tegang. Ia melihat
Pak Jan bersiap siap-siap memberi isyaratnya. Tubuhnya
terasa kaku lagi dingin. Belum pernah ia disorot seperti itu. Ya,
Tuhan, berilah kekuatan kepadaku.
Entah bagaimana mulainya Tuti sendiri kurang tahu.
Akan. tetapi begitu isyarat dari Pak Jan diberikan maka
tangannya sudah lari sendiri. Jari-jarinya menuju ke tuts piano
kemudian menari-nari di atasnya. Jari-jari itu sudah terlatih.
Sesudah berselang beberapa detik pikirannya menjadi tenang.
Dan ketika satu bait telah selesai, permainannya menjadi makin
mantap. Kini bukan hanya jari-jarinya yang main, melainkan
perasaannya ikut bermain pula didorong oleh kemauan dan
jiwa gadis tersebut. Ia merasa bahwa lampu terus menyoroti. Sesekali
mukanya malah terkena. Tetapi ia tidak menghiraukan sama
sekali. Pikirannya hanya tertuju kepada lagu yang dimainkan.
Malah ketika ia memainkan "Desaku" perasaannya terbawa
serta. Dalam angannya ia melihat sebuah desa kecil di pinggir
sawah. Sebuah desa sunyi, sepi, aman dan damai. Alangkah
indahnya. .;_-._., 69 :... $ Desaku. Desaku yang permai.
Ketika siaran selesai, dengan segera. Bu Parto merangkul
anaknya kemudian mencium kuat-kuat.
" Tut, Tut, Anakku."
Hanya kalimat itulah yang ke luar dari mulut ibunya.
Sementara itu mukanya basah karena air mata. PakJan sendiri
tertawa lebar sambil mengguncang-guncangkan tangan Tuti.
"Selamat, Selamat,", katanya dengan nada riang.
Tuti merasa seolah-olah mimpi. Hampir semua pegawai
TVyang ada di situ mengajaknyab ersalamandan mengucapkan
selamat. Akan tetapi sambutan di rumah melebihi segala-
galanya. Ayahnya yang biasanya diam lagi tenang sekonyong-
konyong mengangkat anaknya tinggi-tinggi kemudian
menciumi di kedua belah pipinya.
"Bagus, Tut. Bagus sekali. Saya melihat sendiri," katanya
lirih. Sesudah itu mimpi indah dilanjutkan. Ibu dan ayahnya
berbicara. Akan tetapi Tuti tidak mengeluarkan sepatah kata
pun. Hatinya terlalu penuh. Apa yang telah dialami pada malam
itu menggores betul benaknya. Perlahan-lahan ia memakan
nasinya akan tetapi pikirannya melayang entah ke mana.
"Jangan melamun, Tut. Ayo makan,rl kata ibunya sambil
menyo rbngkan sepiring bandeng goreng.
Tuti tersenyum. Akan tetapi bukan karena bandeng goreng
itu melainkan karena ia makin yakin akan kemampuannya.
mmm-namum.- B:.Ili Pusuk:
3.155 %nemuganqiafannya rlKamu tadi malam main di TV, ya"rr tanya Sophie ketika
berjumpa di sekolah. Tuti mengangguk. "Hebat deh," kata Sophie lagi.
Tidak lama kemudian Tuti sudah dikerumuni teman-
temannya yang lain. Mereka menanyakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan siaran televisi. Ada yang menanyakan,
apakah Tuti tidak takut serta gugup. Ada pula yang ingin
tahu bagaimanabentuk studio itu dari dalam. Semua dijawab
gadis itu dengan senyum dan tawa. Akhirnya seluruh murid
tahu dan menjadi bangga karenanya. Bukankah Tuti murid
sekolah itu" Yang berarti sekolah mereka memiliki seorang
murid yang dapat dibanggakan dalam bidang seni. Bagi
mereka tak tampak lagi seorang gadis yang jika berjalan salah
satu kakinya diseret. Apa yang mereka lihat hanya seorang
gadis manis berjiwa seniwati. Calon seorang pianis ulung.


Tuti Menemukan Jalannya Karya Soeroto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi Tuti sendiri hari itu merupakan hari yang tidak
mudah untuk dilupakan. Teman-temannya mengagumi dan
sekolahnya merasa bangga. Ketika pada jam setengah satu
siang ia sampai di rumah, ibunya sudah menunggu di ruang
depan. "Ada apa, Tut" tanya Pak Parto yang melihat muka
anaknya, begitu cerah dan bahagia.
..'-'.,' .. 71 Tuti tidak menjawab melainkan terus memeluk ibunya
sambil berkata, r'Tuti merasa senang sekali, Bu."
Bu Parto mengerti. "Sudah membaca surat kabar hari ini?" tanyanya.
Tuti terhenyak. "Surat kabar" Ia tidak mengerti apa yang
dimaksud ibunya. "Coba baca ini," kata ibunya sambil memberikan sebua
harian Kompas. Dengan segera gadis kecil itu membaca beri
yang disodorkan ibunya. Tulisan itu merupakan sebuah
laporan. Laporan tentang permainannya di TV. Wartawan
harian itu memujinya. Dikatakannya bahwa semua lagu
dimainkan dengan penuh perasaan dan kemantapan. Sebagai
penutup ia tulis bahwa pemain cilik itu suatu waktu tentu
akan lebih memperlihatkan dirinya.
Sesudah selesai membaca surat kabar itu perlahan-
lahan, Tuti meletakkannya kemudian memandang ke luar.
Ia merasa malu mendapat pujian seperti itu. Memang teman-
teman dan guru-gurunya memuji juga akan tetapi bukankah
semua itu terbatas pada halaman sekolah" Sekarang namanya
dimuat di dalam surat kabar. Sedangkan surat kabar dibaca
oleh ratusan ribu orang di seluruh Indonesia. Ia merasa malu.
Akan tetapi aneh. Hati kecilnya merasa senang juga.
"Bagaimana, Tut?" tanya ibunya.
Gadis itu tidak menjawab malah ia memegang lengan
ibunya. r'Tuti merasa senang, Bu," katanya lirih.
Bu Parto mengangguk sambil tersenyum.
Sekonyong-konyong anak itu menatap muka ibunya
dengan pandangan sung guh-sungguh.
"Sekarang Tuti tahu mau jadi apa kelak, Bu,rl katanya
dengan nada mantap. "& xii-'if. '.'.*.. $ mmm-namum.- B:.Ili Pusuk:
mang / . "Apa?" tanya ibunya. Jantungnya berdetak keras sekali.
"Jadi pianis.rl "Ah." "Tuti ingin terkenal, dikenal dan
Kalimat ini tidak diselesaikan. Matanya mencari
pandangan ibunya. "Apa?" tanya ibunya dengan mata tak berkedip.
Sementara itu dari radio terdengar nyanyian "MELATI
DI TAPAL BATAS" ciptaan Ismail Mz.
"Membuat orang lain senang dan merasa bahagia," jawab
gadis itu. Ibunya mengangguk. Tenggorokannya serasa kering.
Ucapan anaknya kena betul. Mencari kebahagiaan dengan
cara memberi. "Balk bukan, Bu?" tanya Tuti lirih.
Ibunya mengangguk lagi. Sekali lagi sebuah perkataan
pun tak ke luar. "Seperti Helen Keller," kata Tuti sambil tersenyum.
Lagu rlllirilelati di tapal Batas" masih ,terus mengalun.
Suasana berubah menjadi sejuk.
"Ya. Seperti Helen Keller akan tetapi dalam bidang
musik," kata ibunya lembut.
Sesudah itu ia memeluk Tuti lalu mencium anaknya
berkali-kali. Ia merasa bahagia. Tuti telah menemukan
jalannya. " kit-'if. .:.. $ mmm-namum.- B:.Ili Pusuk:
Penerbitan dan Percetakan
F'T Balai Pustaka [Peres-ro)
6 Jalan Bunga Nua"ah.
Matraman, Jakarta Tlmu r 1 3140
V TeliFaks. (az-211353 3369
Website: hiip:iMww.t:"alaipusiaka.eo.id
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 4 Dewi Sri Tanjung 3 Kobaran Api Asmara Drama Di Ujung Pisau 3
^