Pencarian

Bajang Menggiring Angin 5

Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Bagian 5


Ibu, tabahkanlah hatiku. Ingatlah akan anakmu, seekor kera yang selalu mengharapkan cintamu. Tak hendak rasanya aku ingin mengucapkan selamat jalan, kata Anoman. Dibalasnyalah pelukan ibunya erat-erat. Dan diciumlah pipi ibunya berulangulang.
Anoman tak bisa merasakan kebahagiaan dan kedamaian itu lebih lama lagi. Hanya terasa olehnya air mata ibunya yang berlinangan tertinggal di pipinya. Dan ketika Anoman menyekanya, ia melihat ibunya telah naik ke awang-awang, diiringi bidadari yang melagukan pujian abadi. Anoman terdiam. Mata Kera Putih yang membasah ini cemerlang dengan ucapan terima kasih, cinta kasih ibunya ternyata sanggup mengalahkan dosa-dosa kehidupan ini. Tidakkah karena cinta itu maka ia lahir sebagai makhluk sempurna yang akhirnya bisa meruwat saudara-saudaranya yang belum sempurna" Anoman merasa makin tabah dan kuat karena kelima saudaranya sudah berada dalam dirinya. Ia termenung merasakan kebesaran cinta.
A ngin merambat rendah di pelataran kembang kenanga.
Perempuan-perempuan tertidur ke kesepian jalan menuju Taman Argasoka. Berpijar-pijar bulu matanya, pijaran tangis bunga rangin. Ada sungai dengan mega-mega bergemiricik dengan darahdarah. Darah-darah anak perawan yang telah hilang kesuciannya. Betapa malangnya kau selir-selir Rahwana!
Sepi berjalan menyulamkan bayang-bayang. Di Taman Argasoka, Dewi Sinta sedang membilang angin, yang tak mau menanggalkan musim-musim. Sedu-sedan bunga padma, sejuta seroja belum terbuka kelopaknya. Ditarik kuda-kuda kencana, harapan sang dewi sudah menyentuh sandaran langit. Tapi mampukah sang dewi terbang dengan sayap kupu-kupu yang terluka" Bagai matahari kembar sinar matanya. Tapi mungkinkah batu akan leleh oleh air mata"
Di dekat Dewi Sinta, duduk bersimpuh Dewi Trijata, putri Wibisana. Sehari-hari Trijata disuruh Rahwana untuk menemani Dewi Sinta di Taman Argasoka. Dua wanita ini masuk ke lembah-lembah impian, asyik berbicara tentang kedatangan Ramawijaya. Lamunan mereka lewat tanpa meninggalkan bekas, hanya sebentar-sebentar air matanya berlinangan, bertanyatanya dalam maya bayang-bayang: mungkinkah embun turun dari mata siang"
Sinta, Sinta, aku datang, hai pujaanku. Menyerahlah kepadaku, raja yang kaya raya dan ditakuti dunia ini, teriak Rahwana yang muncul tiba-tiba masuk ke Taman Argasoka. Suaranya menggelegar penuh birahi.
Sinta, apakah yang kau minta" Ambillah semua harta Alengka yang kaya raya ini. Kurang apakah diriku ini" Semua raja-raja takluk di bawah kakiku. Hai, Jelita, turutilah kehendakku. Akan kujadikan kau permaisuri Alengka, wanita utama di atas semua wanita Alengka, Rahwana terus merayu.
Uwa Prabu, sabarlah! Akan tiba saatnya Dewi Sinta menuruti kemauan Uwa Prabu, bujuk Trijata.
Trijata, diam kau! Mesti berapa lama lagi aku bersabar" Berulang kali aku datang ke sini, tersenyum pun pujaanku tidak rela. Trijata, tak bisa aku bersabar lebih lama lagi! bentak Rahwana. Berulang kali Trijata dapat membujuk Rahwana untuk tidak mengganggu Dewi Sinta. Tapi kali ini nampaknya ia tidak berhasil.
Sinta jelitaku, mari kubawa kau ke istanaku. Akan kuusir Dewi Tari sebagai permaisuri Alengka. Dewi Tari adalah bidadari cantik putri Batara Indra yang dianugerahkan padaku, ketika aku mengobrak-abrik kahyangan. Tapi kau lebih cantik, Jelitaku. Jangan kau khawatir Sinta, akan kulabrak para dewa, bila mereka marah karena aku mengusir Dewi Tari. Demi dirimu, aku berani berbuat apa saja, kata Rahwana. Ia merayu terus seperti orang kehilangan akal.
Rahwana, meski kau bisa membalik dunia, takkan kuturuti kemauanmu. Musim-musim boleh habis peredarannya, tapi takkan habis kesetiaanku pada kekasihku, Ramawijaya. Pergilah kau, hai Dasamuka! teriak Sinta dengan tabah.
Sinta, Sinta! Hari ini juga kau pasti berada dalam pelukanku, kata Rahwana geram mendengar jawaban Dewi Sinta itu. Raksasa yang sedang mabuk asmara ini segera menerkam Dewi Sinta. Trijata ketakutan dan tak bisa menghalangi tindakan Rahwana. Tapi lihatlah, sambil menghindar dari terkaman Rahwana, Sinta segera mencabut sehelai bulu dari tusuk kondenya. Cahaya berkilatan, ternyata Sinta sudah menggenggam sebilah pisau tajam. Bulu itu adalah bulu Jatayu. Sesuai dengan pesan burung sakti itu dulu, bulu yang dicabut Dewi Sinta ketika Jatayu mendekati ajalnya akan bisa menolongnya bila ia berada dalam kesukaran. Kini bulu itu telah berubah menjadi belati tajam.
Rahwana tertegun memandangi belati tajam itu. Rahwana, lakukanlah kehendakmu. Tapi sebelum kau sempat menjamah aku, belati tajam akan menghabisi nyawaku. Lebih baik aku mati, hai Dasamuka, daripada harus menuruti nafsumu, kata Dewi Sinta sambil mengarahkan belatinya ke lehernya sendiri. Sinta mengancam bunuh diri.
Rahwana tak berani melanjutkan keinginannya. Ia takut, semua usahanya akan sia-sia, bila Sinta bunuh diri. Ia teringat akan Dewi Widowati, yang mati menceburkan diri dalam api, karena kenekadannya pada waktu itu. Daripada peristiwa Dewi Widowati itu terulang kembali pada Dewi Sinta, ia berpikir lebih baik bersabar. Kali ini terpaksa ia mengalah, daripada melihat pujaannya binasa.
Trijata, jagalah jelitaku ini. Biar kini aku pergi, tapi lain kali aku harus berhasil menaklukkan hatinya. Mungkin ia menunggu kekasihnya mati, baru ia mau kawin denganku" Bedebah kau, hai Ramawijaya, satria penjelajah rimba. Lebih baik kuhabisi nyawamu, supaya pujaanku ini mau menyerah padaku, kata Rahwana geram. Lalu ia pergi meninggalkan Taman Argasoka.
Sepeninggal Rahwana, tiba-tiba suara merdu melagukan kidung sayup-sayup. Kidung itu bercerita tentang wanita yang matanya terluka, anak rusa mendekap di dadanya, dan pada ujung jarinya ada siang bersayapkan rembulan: mengapa dukamu tak kunjung padam, hai wanita.
Trijata, suara siapakah semerdu ini" tanya Dewi Sinta. Belum sempat Trijata menjawab, suara itu melanjutkan lagu kidungnya. Ia berkisah tentang badai bunga-bunga pandan, di atas mega-mega kesedihan, di utara langit masak dengan bunga-bungaan harapan: wanita, mengapa dukamu menjerit seperti sendaren ditiup angin"
Trijata, suara siapakah itu" Mengapa ia mengenal kesedihanku" tanya Dewi Sinta. Trijata tak dapat menjawab, dan makin nyaringlah suara merdu itu melagukan kidungnya.
Kini ia berkisah, tentang sepasang kekasih di lingkaran cinta, bagai sepasang merpati di semak belukar, tiba-tiba ada dewa malam yang telanjang, berpedang nafsu sembilan lautan, ingin membakar buah dada sang perempuan: wanita, bagai siang meneteskan embun, dukamu akan mencium kekasih hatimu.
Siapakah kau, hai Penyair, yang tahu kisah hidupku ini, tanya Dewi Sinta terheran-heran. Tak ada jawaban! Tiba-tiba melompatlah seekor rase dari pohon nagasari. Rase yang indah ini jatuh ke pangkuan Trijata.
Rase yang cantik, dirimukah yang bersuara merdu itu" tanya Trijata. Mata rase ini terang berpendar-pendar, sinarnya beradu dengan mata Trijata yang penuh rasa kasih sayang. Trijata merasakan kehangatan, maka dielus-elusnya rase itu. Tiba-tiba rase kecil ini berubah menjadi seekor kera yang putih bersih bulunya. Trijata terkejut, kera putih itu mendekap keras di pangkuannya. Kera putih itu adalah Anoman. Trijata merasa sayang untuk melepasnya, tapi Anoman sudah keburu melompat dari pangkuannya.
Hamba diutus oleh suami Paduka untuk menengok keadaan Paduka. Terimalah sembah sujud hamba, kata Anoman menyembah Dewi Sinta. Ternyata, akhirnya Anoman berhasil menyusup ke Taman Argasoka. Sempat pula ia menyaksikan tingkah laku Rahwana yang kasar terhadap Dewi Sinta. Serasa ia tidak dapat menahan sabar untuk melabrak Rahwana. Tapi ia merasa saatnya belum tiba. Lama ia bergelantung di pohon nagasari, mencari akal untuk menghadap Dewi Sinta. Lalu ia melagukan kidung-kidung merdu dan mengubah diri menjadi seekor rase.
Dewi Sinta semula tak percaya bahwa Anoman sungguhsungguh yang diutus oleh suaminya. Setelah Anoman menceritakan segala-galanya, hilanglah semua keraguan Dewi Sinta.
Anoman, apakah pesan junjunganmu bagiku" tanya Dewi Sinta dengan lega hati.
Silakan Paduka mengambil cincin di ujung ekor hamba. Junjungan hamba berpesan, agar Paduka sudi mengenakan cincin itu di jari manis Paduka. Bila permata cincin itu bercahaya di jari manis Paduka, junjungan hamba akan segera menghabisi Alengka dan membawa pulang Paduka, karena masih sucilah keadaan Paduka. Bila tidak bercahaya, hamba diminta cepat pulang, tiada gunanya menyerang Alengka, karena sudah tidak suci lagi keadaan Paduka, kata Anoman dengan penuh rasa berat hati.
Dewi Sinta menangis mendengar pesan Rama itu. Hatinya hancur, tak mengira Rama demikian tak percaya akan kesuciannya. Trijata pun tak tahan mendengar keraguan Rama ini.
Anoman, tak mengira demikian curiga junjunganmu Ramawijaya. Semula kubayangkan dia sebagai satria yang luhur budinya. Seakan tak percaya aku akan pesannya tadi. Akulah saksi dari kesucian Dewi Sinta ini, kata Trijata penuh kejengkelan, meski matanya menatap Anoman dengan penuh kekaguman dan kasih sayang.
Trijata, sabarlah. Cinta memang bisa membuat segalagalanya, maka cinta pun bisa mencurigai kesucianku, meski dengan segala derita kubeli kesucian itu. Kemarilah Anoman, akan kukenakan cincin itu, pinta Sinta.
Lalu ia mengambil cincin itu dari ekor Anoman. Berdebar hati Trijata dan Anoman ketika Dewi Sinta memasukkan cincin itu ke jari manisnya. Tapi lihatlah, tiba-tiba berkelebat cahaya gilang-gemilang. Aneka warna cahaya tersembur dari cincin yang sudah di jari manis Dewi Sinta. Gemetar langit memperhatikannya, melompat cahaya-cahaya indah, bermain dengan sinar matahari yang mengalah. Ada kesegaran di dalam cahaya-cahaya itu, seperti percik-percik sungai yang mengalir, bermata air mata kesucian Dewi Sinta. Cahaya itu naik ke langit, membuka pintu-pintunya sampai terharulah hati para dewa, lalu menurunkan hujan bunga, yang menjadi saksi kejujuran seorang wanita yang diragukan kesuciannya.
Paduka, marilah Paduka hamba bawa ke Maliawan sekarang juga. Jangan Paduka menderita terlalu lama, kata Anoman, yang dalam dirinya tak habis menyesal mengapa Rama meragukan kesucian Dewi Sinta.
Anoman, tak hendak aku pulang ke Maliawan. Sebaliknya aku juga ingin tahu apakah junjunganmu masih sungguh mencintaku. Maka bawalah kalungku yang berbandul permata dengan nyala setitik api di dalamnya. Permata bermata api itu adalah pemberian ibuku. Jika di tangan junjunganmu, mata api itu tidak pudar, silakan dia menjemputku di Alengka, karena ia sungguh masih mencintaiku. Tapi bila nyala api itu padam di tangannya, tak perlu ia datang menjemputku, karena tiada lagi cintanya bagiku. Biar aku mati di tanah yang haus darah ini. Anoman, aku tahu kejujuranmu. Tapi maafkan aku, tak mau aku dijamah lelaki siapa saja, kecuali oleh junjunganmu. Itulah sebabnya, maka aku juga menolak untuk kau bawa terbang ke Maliawan, pesan Dewi Sinta.
Dewi Sinta segera memberikan kalungnya yang berbandul permata bermata api itu kepada Anoman. Matanya basah ketika melihat Anoman telah menerimanya. Demikian mahalkah harga cinta yang menuntut kesucian, dan kesucian yang menuntut cinta, sampai ia memilih bertahan dalam penderitaan, daripada diterbangkan ke Maliawan" Alangkah malang cinta yang memang suka tertipu oleh kelemahannya sendiri berupa keraguan itu! Atau adakah sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik cinta yang penuh kelemahan itu"
Anoman, mendekatlah kau kemari. Sebagai ucapan terima kasihku, kuberikan padamu Aji Wundri yang kudapat dari penderitaanku sebagai wanita selama ini. Bagaikan bayi tak berdaya menjadi manusia dewasa, demikian daya Aji Wundri ini. Terimalah, Anoman, kata Dewi Sinta menyapa Anoman.
Semoga hamba layak menerimanya, Paduka, jawab Anoman penuh rasa terima kasih.
Dan Anoman pun mengheningkan cipta. Maka angin dari rumput katang-katang meniup lemah, di gua-gua malam bergema, tangis bahagia berlinangan dari derita seorang wanita. Bagaikan bayi yang tak mau tahu tentang derita, Anoman melihat kebahagiaan itu terbuka laksana sepasang buah dada indah tersembunyi dalam lipatan malam raba-raba. Seperti bayi menangis Anoman merengek-rengek minta susu ibunya. Capung-capung beterbangan, bingung mendengar tangis sang jabang bayi.
Anoman menyusup dalam gulita, lipatan malam disingkirkannya. Pejam matanya meraba-raba, sedap malam bertaburan dengan aroma, dan terpeganglah olehnya buah dada yang telanjang indah. Betapa nikmat kebahagiaan Anoman. Ia bagaikan bersandaran di kehangatan purnama kembar. Anoman menghisap kehangatan itu, dan capung-capung pun terdiam tenang. Bagaikan bayi yang haus akan susu ibunya, Anoman tak mau terlepas dari kehangatan buah dada itu. Kera Putih ini menikmati air penderitaan seorang wanita, yang merelakan diri untuk menjadi ibunya. Sepuas-puasnya Anoman menyusu, dan air penderitaan itu mengalir seakan tiada habis-habisnya, mengalir dari mata air kebahagiaan. Maka makin air penderitaan itu tertumpah, makin buah dadanya mekar menjadi amat indahnya.
Anoman tak merasa, daya hidup sedang mengalir ke dalam dirinya yang menjadi jabang bayi. Bayi ini menjadi besar, tak terbayangkan lagi kebesaran itu berasal dari seorang bayi yang tak berdaya apa-apa. Demikian hakekat Aji Wundri, ia mengalir dari buah dada sang ibu yang menderita, memberi bagi anaknya daya kehidupan yang mengalir dari kebahagiaannya. Anoman terhentak ketika daya dan kehidupan itu memasuki dirinya. Dan ketika sadar kembali, maka Anoman pun mempunyai tenaga sebesar tujuh gunung seribu gajah, berkah dari Aji Wundri yang dianugerahkan oleh penderitaan Dewi Sinta.
Anoman, hentikan hening ciptamu. Pemberianku telah berada dalam dirimu, kata Dewi Sinta.
Terima kasih hamba ucapkan. Perkenankanlah hamba balik ke Maliawan. Namun, sebelumnya ijinkan hamba mengobrakabrik bumi Alengka ini, kata Anoman sambil melakukan sembah. Maka Kera Putih ini pun melesat terbang. Matanya memandang Trijata dengan penuh cinta, dan Trijata pun tergerak untuk membalas kasih sayangnya. Seakan sudah terjalin masa cinta di antara kera dan manusia itu.
Huru-hara pun terjadi di Alengka. Anoman mencabuti pohonpohon besar, menggugurkan bangunan megah. Merusak taman-taman yang indah, kecuali tempat kediaman Dewi Sinta. Rahwana segera memerintahkan balatentaranya untuk menangkap si pengacau itu.
Seribu raksasa keluar mengepung Anoman. Tapi dengan bersenjatakan sebatang pohon, Anoman berhasil mengobrak-abrik barisan raksasa ini. Diputar-putar pohonnya itu, dan para raksasa itu pun bergelimpangan.
Bantuan mengalir, barisan raksasa bersenjata gada keluar dari arah utara, dipimpin raksasa besar menakutkan, Surasekti. Lalu di bawah pimpinan putra Alengka, Sasadewa, menggelegarlah sekelompok raksasa bersenjatakan panah. Rakyat Alengka tahu, Anoman adalah duta Maliawan yang selama ini dikhawatirkan.
Ketika tahu akan mengalami perlawanan hebat, maka Anoman memanggil kelima saudaranya yang kini berada di dalam dirinya. Alangkah kagetnya prajurit Alengka, ketika melihat kelima prajineman saudara Anoman, yang dulu adalah pengawal Alengka, kini malah berbalik menyerang Alengka. Betapa dahsyat amukan kelima saudara Anoman ini.
Kilat meja menjulurkan lidahnya, memutar-mutarnya ke sana kemari. Setiap raksasa yang tertangkap oleh lidahnya, remuk digulung dalam lidah yang dahsyat seperti belitan naga raksasa itu. Di sebelah sana, Garda Ludira membentangkan tebing darah, lalu merobohkan tebing itu menjadi aliran yang menghanyutkan raksasa Alengka yang hendak menyerangnya. Sementara Ramadaya dan Dayapati menyemburkan angin dahsyat dari mulut mereka, membalikkan anak-anak panah yang dibidikkan oleh para prajurit raksasa. Panah-panah meluncur ke pemiliknya, masuk menusuk mata-mata mereka. Pasukan bergada pun remuk perutnya oleh gada-gada mereka sendiri dengan kuat dihempas oleh daya dua saudara Anoman ini. Tak jauh dari mereka, buta bajang Ditya Pulasio sedang mempermainkan raksasa besar Surasekti. Lalu Surasekti digigit lehernya sampai binasa. Sedangkan Anoman sendiri bertempur dengan Sasadewa. Tanpa sengaja Anoman menyambar batang cemara, lalu dihajarnya kepala Sasadewa. Kepala Sasadewa pecah, darahnya menggenapi korban Alengka.
Melihat saudaranya binasa, Indrajit, putra mahkota Alengka, segera menghela kereta perangnya yang ditarik sembilan singa. Kereta ini terbang, menyambar-nyambar Anoman. Kini berkumpullah kelima saudara Anoman, menghadang kereta itu. Tubuh mereka ditabrak oleh sembilan singa, namun singa-singa itulah yang menemui ajalnya.
Indrajit marah luar biasa. Ditariknya senjata saktinya, Nagapasa. Beribu-ribu naga berterbangan di angkasa. Ketika turun mendekati Anoman yang telah bersatu dengan kelima saudaranya, naga-naga itu bergulung-gulung menjadi satu rantai raksasa. Rantai raksasa itu lalu melilit tubuh Anoman. Anoman tak berdaya maka beramai-ramailah sisa prajurit Alengka mendekatinya. Anoman membiarkan dirinya menjadi bulan-bulan mereka.
A lun-alun Alengka berjejal dengan raksasa-raksasa. Mereka
mengerumuni Anoman yang terantai tak berdaya. ejekan kasar keluar dari mulut mereka. Beberapa tak sabar lagi, menghantam Anoman sampai babak belur. Disambut gemuruh tawa para raksasa yang bersuka ria menyaksikannya.
Wanita-wanita juga berdesakan di antara mereka. Sangat cantik mereka, karena mereka adalah putri raja-raja taklukkan Alengka. Ada yang belum selesai berdandan, namun berbondong-bondong mereka datang ke alun-alun. Ribut mereka dengan kain-kainnya karena berlari-lari. Tiba di alun-alun mereka mengelus dada. Mata mereka yang basah memancarkan belas kasih dan harapan, seakan mereka tahu Kera Putih inilah yang mungkin akan membebaskan mereka.
Minggir! tiba-tiba terdengar teriakan serempak, mempersilakan Rahwana yang dengan geram datang ke alun-alun. Sepuluh muka raja raksasa ini memperlihatkan amarahnya, rambutnya berkibaran bagaikan nyala.
Kera bangsat, Iblis, Setan, Laknat! Kaukah duta Maliawan yang mengobrak-abrik Alengka" bentak Rahwana
Melihat Rahwana tiba-tiba Anoman mengeraskan ekornya. Tegak lurus ekor Kera Putih ini, makin lama makin memanjang, sehingga melebihi tinggi Rahwana. Anoman memandang dengan mata menantang, ia bagaikan duduk di singgasana, yang berwujud ekornya.
Monyet keparat, masih juga kau berlagak! Turun kau, kalau kau tidak ingin kupotong ekormu. Kau mau mempermalukan aku, hai Monyet bedebah, Rahwana seperti tak tahan lagi menyaksikan tingkah Anoman yang sangat mengejek itu.
Rahwana, sudah lama aku ingin melihatmu. Ternyata kau tak istimewa, Rahwana, maka menyerahlah sebelum binasa oleh junjunganku, Ramawijaya, sahut Anoman tenang.
Monyet kurang ajar! Mati kau hari ini juga. Biar rajamu mati menunggu kera yang telah mengarungi lautan hanya untuk binasa di Alengka, bentak Rahwana. Lalu ia berpaling pada prajuritnya. Hai para prajurit, kumpulkanlah kayu, dan ikatlah monyet kurang ajar ini di atasnya. Tunggulah sampai aku selesai mengenakan busana kurban. Sebentar lagi, aku akan mengadakan upacara untuk membakar kera celaka ini. Biar bumi Alengka ini lega setelah memakan abunya, perintahnya.
Beramai-ramai prajurit Alengka mengumpulkan kayu. Ditumpuknya kayu-kayu itu sebagai bukit. Anoman yang telah terbelenggu itu diikatkan lagi pada sebatang kayu tegak, lalu ditaruh di atas tumpukan kayu. Sementara para prajurit menunggu perintah Rahwana selanjutnya, tiba-tiba menyusup masuk Togog Tejamantri mendesak-desak kerumunan mereka. Togog Tejamantri membawa buah kelapa muda.
Hai Kawan, mau ke mana kau" tanya mereka. Aku akan memberikan air kelapa muda ini pada kera yang terikat ini, sahut Togog Tejamantri, abdi tercinta Kumbakarna ini.
Apa gunanya kau memberikan air kelapa muda bagi kera celaka itu. Sebentar lagi, ia akan mati hangus. Lagi pula junjungan kita Rahwana akan marah karena tindakanmu itu. Pulanglah, Kawan, jangan kau lanjutkan niatmu.
Apa salahnya memberi air kelapa ini kepadanya" Dia akan makin tahu betapa ganasnya api yang akan menghanguskannya, justru karena menjelang kehangusannya ia merasakan betapa nikmat dan segar air kelapa muda ini. Tidakkah karena air kelapa muda ini, ia akan makin tersiksa menghadapi kehangusannya" Ijinkanlah aku, Kawan, pinta Togog Tejamantri.
Para prajurit raksasa akhirnya bisa memahami maksud Togog Tejamantri, dan diijinkanlah ia mendekati tumpukan kayu tempat Anoman terikat erat. Cepat-cepat Togog menghampiri Anoman, dan menyodorkan air kelapa itu ke mulutnya.
Siapakah kau, hai Orang Alengka, yang baik hati" Tidakkah aku ini musuhmu, mengapa kau mau memberikan air kelapa muda sebagai pemuas rasa hausku" tanya Anoman heran.
Aku Togog Tejamantri. Lekas minumlah air kelapa muda ini, dan ijinkan aku mengutarakan maksud kedatanganku. Pernah kudengarkan dari Wibisana, adik junjunganku Kumbakarna, Alengka akan hangus oleh duta Maliawan. Kau adalah duta Maliawan yang kini datang, benarkah akan kau hanguskan negeriku tercinta ini" abdi Kumbakarna ini balas bertanya pada Anoman.
Mengapa kau bertanya demikian, mana mungkin aku menghanguskan Alengka, sedang sebentar lagi aku sendiri akan dihanguskan oleh api"
Aku yakin kau dapat melakukannya. Dan justru karena keyakinanku itu, aku minta padamu, janganlah kau hanguskan Alengka. Ingatlah banyak warga Alengka yang tak bersalah. Memang mereka adalah raksasa-raksasa, tapi percayalah tidak semua raksasa itu jelek hatinya. Lagi pula, tegakah kau melihat wanita-wanita raksasa dan bayi-bayinya menderita, jika kau jadi melaksanakan niatmu. Apakah salah mereka" Kasihanilah mereka, hai Kera!
Togog Tejamantri, bukan maksudku untuk membuat mereka yang tak bersalah menderita. Aku hanya akan memberi pelajaran kepada Rahwana, supaya ia mau berbalik dari kejahatannya. Dan siapa tahu dengan tindakanku nanti, Rahwana bisa mengerti akan kekuatan balatentara Maliawan, lalu mengurungkan niatnya untuk memusuhi kami"
Hai Kera, aku mengerti maksudmu. Tapi sekali lagi, ingatlah bahkan maksud baik itu pun akan membuat sengsara raksasaraksasa yang tak bersalah. Maka perkenankan aku meminta, jangan kau lanjutkan niatmu, pinta Togog Tejamantri. Ia menjadi takut, jangan-jangan para prajurit tidak membiarkan ia berbicara dengan Anoman lebih lama lagi. Hai Kera, cepat minumlah air kelapa muda ini. Tak dapat aku bicara berlama-lama lagi, katanya tergesa-gesa.
Anoman cepat-cepat meneguk air kelapa muda itu. Ia merasakan kesegaran tak terkira. Kesegaran yang memadamkan api niatnya yang membara. Dan betapa bening air kelapa muda itu, terlindung dalam tempurung, tak terjamah oleh noda apaapa. Kebeningan air kelapa muda itu adalah kebeningan hati pemiliknya, Togog Tejamantri. Setelah Anoman meneguknya, kebeningan itu telah berada dalam dirinya. Kini kebeningan hati Togog Tejamantri, abdi sederhana ini telah berada dalam diri Anoman. Dan Anoman pun luluh dari hasratnya yang semula hendak membabi buta.
Togog Tejamantri. Takkan kuhanguskan semua warga Alengka. Pulanglah kau ke pondokmu di bukit sana. Lalu pasanglah janur kuning di puncaknya. Percayalah, karena janur kuning yang kau pasang itu, tak semua warga Alengka akan hangus dimakan api, kata Anoman. Betapa lega hati Togog mendengarnya. Ia hendak pergi tepat berbarengan dengan suara para prajurit meneriakinya.
Kawan, cepatlah turun dari tumpukan kayu itu, sebelum junjungan kita Rahwana datang kembali. Kau akan mempersulit dirimu sendiri, jika junjungan kita mengetahuinya, kata para prajurit di bawah.
Hai Kera, aku percaya akan janjimu. Aku minta pamit sekarang juga, kata Togog Tejamantri meninggalkan Anoman.
Sementara itu sudah datang Rahwana berteriak lantang, Hai para Prajurit, kini tiba saatnya kita berpesta api yang akan membinasakan kera celaka ini. Sulutlah tumpukan api itu, biar kera bangsat itu dimakan oleh nyalanya, teriak Rahwana lantang.
Maka berduyun-duyun para prajurit membawa obor menyala. Tumpukan kayu segera disulut. Gemuruh suara mereka, mengiringi suara kobaran api yang menjilat-jilat ke angkasa.
Rahwana, mengapa kau membakar negerimu sendiri" Sudah terlalu besarlah dosa-dosamu, kata Anoman, ketika api mulai menjilat-jilat tubuhnya. Sama sekali tak terbayang rasa takut di muka Anoman yang kemerah-merahan karena kobaran api.
Diam, hai Monyet, sebentar lagi kau telah menjadi abu, bentak Rahwana. Ia tertawa terbahak-bahak, ketika api mulai menyala-nyala. Raksasa-raksasa berteriak kegirangan, melihat api mulai membakar tubuh Anoman.
Nyala merah berkobaran di angkasa. Sangat dahsyatlah daya api yang membakar tubuh Anoman ini. Sementara sang surya tak mau berhenti dengan kemarahannya, maka alun-alun Alengka bagaikan neraka. Raksasa-raksasa menyangka Anoman binasa.
Tapi lihatlah! Di pucuk kobaran api, ada segumpal kapas-kapas putih yang berlari-lari gembira. Ia bermain-main di dalam selapis mega yang membungkusnya. Mega itu meneteskan embunnya, maka jatuhlah gerimis rintik-rintik mendinginkan segumpal kapas putih itu. Udara pun menjadi lebih dingin, suasana menjadi lebih daripada petang, padahal sang surya menjadi mata dari siang, di tengah amukan lautan api yang mendahsyatkan. Anoman menikmati daya kehidupan air permata mendung, yang disiramkan ke tubuhnya ketika ia menemukan Cupu Manik Astagina, justru pada saat dunia sedang diamuk lautan api. Kera Putih ini sudah lepas dari rantai yang membelenggunya, lalu bermain-main di dunia leluhurnya yang belum berdosa. Berlari-lari ia bagaikan segumpal kapas putih terbungkus dalam mega kesejukan.
Betapa bahagia hati Kera Putih ini. Tapi ia segera sadar, lalu melepaskan diri dari lautan api yang memberinya kesejukan itu. Dipegangnya sebatang kayu yang menyala. Lalu disulutnya rumah-rumah dan istana Alengka. Warga Alengka terkejut, lari tunggang-langgang, mencari perlindungan. Tapi tiada perlindungan, di mana-mana hanya api yang berkobar-kobar. Mata mereka terbelalak tak percaya menyaksikan Anoman terbang hilir-mudik dari alun-alun ke rumah-rumah mereka. Nyala merah bertebaran ke mana-mana. Raksasa-raksasa berteriak kebingungan. Alengka sudah menjadi lautan api. Rahwana, raja raksasa yang jahat itu, lari ngeri, menceburkan diri ke dalam sungai yang sudah penuh sesak dengan para raksasa yang menyelamatkan diri. Rahwana telah membakar negerinya sendiri.
Tapi lihatlah, di tengah-tengah lautan api, Taman Argasoka, tempat kediaman Dewi Sinta dan Trijata, menjadi makin hijau, mekar dengan segarnya. Api hanya berjilatan di sekelilingnya, kehijauan Taman Argasoka tak terjamah olehnya. Dalam kobaran api, Taman Argasoka malah menggelegarkan kehijauan, kehijauan dari hijau-hijau permadani dengan hiasan bunga-bunganya yang mekar menantang api.
Namun masih lebih indah lagi pemandangan di Bukit Jalanidi, tempat kediaman Togog Tejamantri. Puncak bukitnya berkibaran dengan sebatang janur kuning, yang meniupkan angin untuk membuyarkan gumpalan mega-mega. Pecahan mega-mega itu membentangkan samudra tanpa menjatuhkan airnya menjadi hujan ke tanah. Api yang berjilatan merelakan diri untuk menjadi gelombang-gelombang api! Dan keteduhan yang dingin menaungi Bukit Jalanidi, tempat kediaman Togog Tejamantri.
Keindahan Bukit Jalanidi ini tak nampak bagi mata raksasaraksasa Alengka yang jahat. Tapi keindahan itu membuka diri bagi raksasa-raksasa yang baik hati. Di mata raksasa yang baik hati ini, terlihat samudra yang menaungi Bukit Jalanidi memecahkan matanya, dan dari mata samudra yang pecah ini mengalir lemah air terjun bagaikan pelangi turun. Pelangi yang indah itu mengenai janur kuning yang dipasang Togog Tejamantri di Bukit Jalanidi, lalu membentuk sungai bening yang mengalir di lereng-lerengnya.
Dari balik api, Anoman melihat ribuan raksasa berlari-lari menyusuri kali bening itu. Raksasa-raksasa wanita mandi di tepi-tepinya, dan anak-anak raksasa berenang-renang dengan senangnya. Masih ribuan lagi raksasa-raksasa yang baik hati meninggalkan Alengka yang telah menjadi neraka, lari mengikuti kegembiraan kawan-kawannya yang menemukan keteduhan di Bukit Jalanidi. Berjejal mereka di sana, hendak naik menuju ke puncak bukit yang berkibaran dengan janur kuning, tempat mata air yang terbentuk dari pelangi turun. Mereka tidak merasa di kejauhan sana, Rahwana bersama raksasaraksasa jahatnya tengah bergulat menyelamatkan diri dari neraka yang menimpa Alengka. Para raksasa-raksasa jahat itu pun bagai buta matanya akan keindahan dan kesegaran Bukit Jalanidi yang dinaungi samudra dengan gelombang api, tanpa mengetahui ribuan kawan-kawan mereka selamat berkat Togog Tejamantri.
Anoman merasa telah menepati janjinya. Tawa ria di Bukit Jalanidi, dan teriakan panik di Alengka yang telah menjadi lautan api, segera ditinggalkannya. Anoman terbang diiringi lambaian tangan Togog Tejamantri
D engan kecepatan luar biasa, Anoman terbang pulang ke
Maliawan. Hatinya sudah rindu untuk segera menghadap junjungannya, menyampaikan segala peristiwa yang dialaminya. Di langit yang tinggi Anoman serasa bersentuhan dengan matahari. Mendadak ia menghitung hari-hari, sudah sangat lamalah sebenarnya ia mengembara. Tak lagi ia teringat, berapa bulan ia sesungguhnya telah meninggalkan Maliawan. Tapi sang surya belum juga beranjak membenamkan diri di ufuk barat. Artinya, waktu masih tetap berjalan belum sehari sejak ia mengucapkan janji di depan junjungannya. Sedemikiankah besarnya berkah bagi kepercayaannya"
Anoman melihat betapa awan-awan itu bergerak secepat kilat. Seingat dia, awan-awan itu bagai tak bergerak bila dilihat dari bawah. Lainkah bahasa langit dari bahasa bumi" Lainkah daya kepercayaan kepada tuntunan yang ilahi dari daya kesombongan makhluk yang kecil hati" Awan-awan yang kelihatan tak bergerak itu tiba-tiba sudah jauh meninggalkannya. Dan Anoman bersujud menghadap matahari, terpekur di bawah kebesaran waktu. Betapa waktu yang hanya sehari itu sebenarnya memuat masa yang akan datang dan bisa memberi anugerah dari masa yang silam. Waktu bukan tanda pergantian hari, tapi kehidupan manusia yang kaya raya. Waktu, betapa pun pendek dia, betapa pun hanya sehari seperti yang sedang terjadi, adalah riwayat hidup Anoman sendiri. Maka Anoman pun terbang mengikuti kecepatan awan-awan.
Tiba-tiba dari ketinggian langit, Anoman melihat setitik putih terombang-ambing gelombang lautan yang indah. Anoman menukik ke bawah, sesosok tubuh kelihatan sedang dimanjakan oleh ombak samudra yang menghentikan keganasannya. Kera Putih ini segera menghampiri sesosok tubuh yang seperti mati itu. Ia mengangkatnya dan membawanya terbang ke daratan. Disandarkannya tubuh tadi pada sebatang pohon. Perlahanlahan ia membuka matanya, seperti orang yang baru saja bangun dari tidur.
Siapakah kau, hai Satria" Betapa nyenyak tidurmu di pangkuan gelombang samudra, tanya Anoman.
Aku adalah Wibisana, adik raja Alengka, Rahwana. Kakakku telah mencoba membunuh aku. Sebenarnya aku belum mati tapi ia mengira aku sudah binasa, lalu membuang aku ke laut. Syukurlah laut tidak menelan aku, tapi mencintaiku bagai seorang ibu. Terima kasih atas pertolonganmu yang membawaku ke daratan ini, tutur Wibisana mengisahkan riwayatnya.
Siapakah gerangan kau, hai Kera Putih, yang baik hati" Wibisana balas bertanya.
Namaku Anoman. Aku adalah duta Ramawijaya dari Maliawan yang baru saja meninggalkan Alengka menjadi lautan api, cerita Anoman. Wibisana nampak sedih, hilang kegembiraannya.
Oh Rahwana, kakakku, tidakkah betul kataku, Alengka akan menjadi lautan api oleh duta Maliawan yang sakti ini karena kekerasan hatimu sendiri" kata Wibisana menatap langit. Anoman terdiam mendengarkan kata-kata Wibisana ini.
Satria, mau ke manakah kau sesungguhnya" tanya Anoman.
Aku mau ke Maliawan, mengabdi kepada junjunganmu Ramawijaya. Biar dunia mengejek aku, tapi aku rela membantu junjunganmu untuk menaklukkan Alengka, karena sudah terlalu besar kejahatan kakakku. Maka kebetulan aku bertemu denganmu, hantarlah aku ke hadapan junjunganmu, pinta Wibisana.
Anoman kembali terdiam. Wajahnya yang bertanya-tanya seakan meragukan kejujuran Wibisana.
Tapi apakah kau bukan mata-mata Alengka yang sengaja menyusup ke Maliawan untuk melihat kekuatan Ramawijaya dan balatentaranya" tanya Anoman.
Anoman, melihat dirimu, aku yakin sebenarnya kau tak ingin bertanya demikian itu kepadaku, setelah aku mengutarakan keinginan hatiku yang jujur. Betulkan kesanku ini Anoman" tanya Wibisana.
Anoman merasa malu dengan pertanyaan Wibisana ini. Dari tadi memang sebenarnya ia tak menaruh kecurigaan apa pun terhadap satria yang malang ini. Ia menyesal mengapa ia ragu-ragu, padahal Wibisana demikian percaya akan isi hatinya. Tanpa banyak bicara, duta Maliawan ini segera menerbangkan Wibisana.
Anoman, ketika kau menemui Dewi Sinta di Taman Argasoka, apakah kau melihat anakku Trijata" tanya Wibisana di langit yang tinggi.
Pandangan Anoman tiba-tiba serasa seperti orang melamun ketika mendengar pertanyaan Wibisana tadi. Trijata mendadak hadir kembali di hadapannya. Kehadirannya seakan memberinya kebahagiaan yang menghangatkan. Dan ia teringat, betapa ia tak mau lepas dari pelukan Trijata ketika putri cantik itu mengelus-elusnya di pangkuannya.
Sungguhkah Kera Putih ini telah mencintai Trijata" Mengapa ia memilih jatuh di pangkuan Trijata, ketika ia mengubah diri menjadi rase yang menjatuhkan diri dari pohon nagasari di Taman Argasoka" Anoman tersenyum bahagia ketika membayangkan kenangannya tadi. Seekor kera ternyata mempunyai keluhuran untuk mencinta!
Tiba-tiba ia menyadari dirinya hanya seekor kera. Manusia siapakah yang mau menerima dirinya" Hatinya bisa menjeritkan cinta, tapi wujud dirinya mengikat pada kehinaannya. Maka Anoman seakan merasakan, hati dan wujudnya seolah berlomba bagaikan badan dan bayang-bayang. Bayang-bayang itu tak pernah terkejar oleh badannya. Bayang-bayang itu bisa sampai ke tujuannya, tapi tujuan itu seakan meniadakan dirinya sama sekali, bahkan sebelum ia sampai ke sana. Demikian indah bayang-bayang itu, tapi keindahan itu justru mengejek dan merendahkan dirinya sebagai makhluk tanpa arti apa-apa.
Apakah cintanya pada Trijata hanya bisa terjadi dalam bayang-bayang" Tapi mengapa Trijata memberikan pandangan yang penuh kasih sayang ketika ia menatapnya" Seperti dia. Trijata seakan juga sayang untuk melepasnya, ketika ia akan balik ke Maliawan. Tapi apakah artinya cinta yang hanya dalam bayang-bayang"
Anoman menyadari hakekat dirinya sebagai makhluk yang tak sempurna. Justru dalam ketidaksempurnaannya itu segala-galanya hanya kerinduan, hanya bayang-bayang. Tapi justru dalam kerinduan itu ia merasa dapat menemukan apa sesungguhnya kesempurnaan. Hakekat hidup ini memang sebuah perjalanan yang selalu merindukan. Maka cintanya pada Trijata pun harus dialaminya sebagai kerinduan yang tak bakal terpuaskan. Dan bukankah cinta yang sejati itu adalah suatu yang tak kunjung habis untuk berhenti mengalir tanpa terhalang oleh orang lain, bahkan oleh pemiliknya sendiri" Anoman masih asyik dengan lamunannya.
Anoman, mengapa tak kau jawab pertanyaanku, tanya Wibisana yang dari tadi menunggu-nunggu. Anoman terkejut, dengan terbata-bata ia justru balas bertanya.
Apakah Trijata itu anakmu" kata Anoman.
Anoman, apa gerangan yang terjadi denganmu" Trijata adalah anakku. Kasihan dia, ia terpaksa kutinggalkan sendiri, sahut Wibisana. Ia makin bertanya-tanya dalam hati, mengapa Anoman bersungguh-sungguh dalam menanyakan putrinya tercinta itu.
Aku bertemu dengannya di Taman Argasoka. Trijata tidak dalam bahaya apa pun jua. Sangat besarlah jasanya untuk membujuk Rahwana supaya raksasa itu tidak menjamah Dewi Sinta. Pantaslah kalau ia adalah anakmu, kata Anoman. Wibisana merasa lega mendengar jawaban yang dinanti-nantikan. Anoman sendiri serasa ingin menyampaikan isi hatinya. Tapi kembali keinginannya itu dicegahnya, ketika ia merasakan makhluk yang diterbangkannya itu adalah manusia, ayah Trijata sendiri. Anoman bergulat dalam batinnya, pergulatan sengit antara kenyataan dan cita-cita. Dewa-dewa tahu, cita-cita makhluknya sungguh luhur dan jujur, meski kenyataan dirinya adalah hina. Maka turunlah hujan bunga dari langit sebagai tanda bahwa kelak Anoman sendiri pun akan terheran-heran oleh citacitanya yang luhur dan jujur meski dirinya hanya seekor kera.
Enam D i Bukit Maliawan tiba-tiba ribuan kera berteriak riang. Melihat
mega-mega merah muda berarak-arak di balik bulan. Bulan berseri, mandi di cahaya matahari. Bulan dinanti seribu hari, meski terbenam baru sehari.
Sungai-sungai berdandan dalam cahaya suram-suram keindahannya. Di padang-padang, rumput-rumput gemerlap kehijauhijauan. Rusa-rusa lari ke danau, terheran-heran melihat wajahnya menjadi indah, berkaca dalam air yang mulai suram.
Hutan harum kembang setaman. Bulan, bulannya datang! Anggrek bulan merambat pelan, seakan bertanya mengapa hai bulan kau lama terbenam. Nagapuspa melingkar-lingkar seperti ular. Harum mengambar-ambar, dari bunga wilasa dan gandasuli. Burung-burung malam mulai terbang, hinggap di harum-harum kembang angsana dan kaniraga.
Sehari bagai seribu hari, jika waktu berjalan tanpa keindahan bulan. Demikian nyanyi kegembiraan burung tadahasih. Cahaya putih lenyap dalam sekejap ketika matahari masuk ke peristirahatannya di ufuk barat. Bulan sudah selesai berdandan, siap berjalan sebagai putri malam. Kera-kera makin gaduh kegirangan. Senja datang ketika Anoman tiba di Maliawan. Dan bintang-bintang pun bertaburan.
Ribuan kera mengerumuni Anoman. Ramai mereka bertanya, mengapa sehari seperti seribu hari. Mengapa, hai Anoman, datang dan pergimu diiringi bulan" Anoman menjawab dengan tenang, bertanyalah pada keindahan bulan, maka kau akan tahu rahasia kemurahan hati matahari. Pergi dan datang itu bagaikan matahari dan bulan yang berpamitan, padahal tiada perpisahan dalam alam, maka seribu hari pun bisa menjadi sehari. Iringiringan kera ini akhirnya tiba di pesanggrahan Maliawan.
Anoman, bermimpikah aku melihatmu di pesanggrahan ini" tanya Rama tak percaya ketika Anoman bersembah di hadapannya.
Tidak paduka. Benar, hamba Anoman, duta Paduka, yang baru saja datang dari Alengka, jawab Anoman. Sudah lama rasanya Rama menanti Anoman, maka betapa gembira ia melihat kedatangannya kembali.
Tiada saat begini lama seperti ketika aku menanti-nanti kedatanganmu. Tiada senja seindah hari ini. Apa gerangan yang terjadi, Anoman" tanya Rama.
Istri Paduka, Dewi Sinta sehat sejahtera keadaannya. Rindu hatinya mengharapkan Paduka. Cincin Paduka bersinar-sinar indah ketika dikenakan di jari tangannya. Terharulah hamba melihat kesucian hatinya.
Anoman, mengapa tak kau bawa serta saja istriku" Beliau tak berkenan, Paduka! Seperti Paduka, Dewi Sinta juga bertanya ragu-ragu, apakah Paduka masih sungguh mencintainya.
Anoman, tidakkah kau katakan hari-hariku terasa berat merindukannya, siang-malam aku mengharapkannya" kata Rama dengan nada marah.
Kalau sehari bagai seratus hari bagi Paduka karena merindukannya, maka bagi Dewi Sinta sehari bagaikan seribu hari karena merindukan Paduka. Paduka, maafkanlah hamba. Wanita memang indah bagaikan bulan, tapi dalam kerinduan ini ia adalah matahari yang kering terhadap keindahan tapi sabar dan tabah bagi penderitaan, ia sanggup hidup dalam siang tanpa naungan. Paduka, hati lelaki memang lemah bila ia harus hidup dalam kerinduan, ia bagaikan bulan yang selalu ingin berdandan dalam keindahan, padahal malam sedang menjadi siang tanpa keindahan. Paduka, mungkinkah lelaki itu sebenarnya tidak tabah menderita seperti wanita" jawab Anoman dengan penuh kebijaksanaan. Ia terharu mengingat kesucian Dewi Sinta. Anoman, apa maksudmu" tanya Rama tak sabar. Hadirin terdiam. Hanya Laksmana kelihatan tersenyum bahagia. Laksmana-lah yang dulu menyesalkan mengapa Rama ragu-ragu terhadap kesucian Dewi Sinta.
Paduka, setahu hamba, keraguan-keraguan Paduka hanyalah menambah beban penderitaan istri paduka. Ia menangis sedih, seakan bertanya, mengapakah penderitaan dan ketabahannya Paduka ragukan sebagai ketidaksucian dan ketidaksetiaannya"
Anoman..., kata Rama tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Sabarlah Paduka, karena itu semuanya, Dewi Sinta juga ingin tahu cinta Paduka. Beliau menitipkan kalung berbandul permata yang bermata api ini. Kenakanlah pada dada paduka, bila masih menyala permata itu, masih besarlah cinta Paduka padanya. Bila tidak, Dewi Sinta berpesan, tak perlulah Paduka datang ke Alengka menjemputnya, kekasih Paduka ingin mati di tanah Alengka yang haus darah itu, kata Anoman.
Sinta, Sinta, maafkanlah aku, teriak Rama lirih. Ia segera menyambar kalung itu, lalu lari. Lari jauh sekali. Para hadirin di pesanggrahan Maliawan terkejut, tapi Rama sudah menghilang dalam sekejap.
Dengan hati gundah-gulana Rama pergi tanpa tahu arah. Malam terang dengan bintang dan bulannya. Tapi bagi Rama, seakan mereka marah. Dipakainya kalung itu, dan Rama pucat. Masih bernyala permata itu di dadanya, tapi nyalanya terlalu redup, seredup keraguannya! Keraguan kelam di kekelaman, kalah berebut takhta dengan sinar bintang-bintang.
Di dadanya, permata itu tak dapat menjadi dian bagi malam hutan-hutan. Di dalam remang-remang permata itu ada burung memangku malam, matanya buta dan padam, hanya sayapnya berkilap-kilap. Inilah tanda, Rama berada dalam harapan dan keraguan, padahal cinta kekasihnya indah menyanggah malam bulan dan bintang-bintang. Karena keraguannya mata hati Rama bagai buta terhadap keindahan yang berwujud penderitaan. Masihkah cinta bisa dikatakan cinta bila ia kehilangan penderitaan yang dipersembahkan kepadanya sebagai kesetiaan" Memang permata itu belum padam, tapi cinta Rama sudah kehilangan hatinya, meski badannya megah bersayap berkilap-kilapan.
Sinta, maafkanlah aku, katanya dengan hati hancur penuh penyesalan. Rama serasa ingin terbang ke Alengka, menjemput istrinya sekarang juga. Tiba-tiba ia terhalang laut yang mebentang luas. Tanpa terasa ia sudah tiba di tepi pantai. Bila cintanya masih memiliki hati, barangkali laut luas tidak menjadi penghalang baginya, karena betapa pun jauh Sinta berada, hatinya tetap bisa mendekatkannya, dan di hati itulah mereka berdua berada. Tapi kini tinggal sayap-sayapnya yang megah, apa artinya sayap yang megah itu dihadapkan pada lautan yang demikian luas"
Rama putus asa. Matanya memandang lemah samudra luas itu. Patah juga sayapnya yang megah itu. Tiba-tiba bangkit amarahnya, diambilnya panah saktinya Guwawijaya, lalu dimasukkannya panah itu ke dalam laut.
Padamlah bulan, lenyaplah bintang-bintang. Dan air laut mendidih panas mengerikan. Gunung-gunung laut bertubrukan. Ikan-ikan mati kepanasan. Tumbuhan-tumbuhan laut kering. Karang-karang hancur di permukaan. Buaya dan udang-udang melejit-lejit kepanasan. Merah-merah darah menjadi warna lautan yang mendidih. Di tengah keadaan ini muncullah ke tepi laut seekor naga berkepala manusia, sisik-sisiknya kencana gemerlapan, matanya memandang mohon belas kasihan. Ia adalah Dewa Laut, Hyang Baruna.
Rama, mengapa kau siksa laut dan semua makhluknya dengan panah saktimu Guwawijaya" Akan kau keringkankah laut dengan amarahmu" tanya Hyang Baruna. Rama terdiam, amarah dan kejengkelannya belum juga hilang.
Rama, mengapa kau korbankan kami demi keputusasaanmu yang marah" Ingatlah, Anakku, laut ini menjadi pemuas dahaga bagi matahari di siang hari, menjadi cermin keindahan bulan di malam hari. Laut ini bisa kering, tapi bisakah kau hidup tanpa matahari yang mati kehausan, tanpa bulan yang malu muncul karena kehilangan cermin berdandan"
Anakku, kau bermaksud mengeringkan lautan, supaya bisa balatentaramu lewat melaluinya ke Alengka di seberang sana. Aku tahu kesedihanmu, laut ini menjadi penghalang bagi maksudmu itu. Tapi janganlah kau memusuhi lautan. Kalau kau memusuhi lautan, berarti kau memusuhi matahari, memusuhi bulan, memusuhi alam. Dan dengan memusuhi alam, kau sebenarnya memusuhi dirimu sendiri.
Ketahuilah, Anakku, alam itu bagaikan manusia dengan seluruh anggota badannya. Lautan adalah air kehidupannya, bisakah alam bertahan tanpa kesegarannya" Matahari adalah matanya, hidupkah alam bila matanya buta" Bulan adalah wajahnya, tidakkah alam akan malu tanpa keindahannya" Gunung dan karang makhluk lautan adalah isinya, apakah alam tanpa isinya" Bila satu dari semuanya itu mati, alam juga akan mati anakku. Maka urungkanlah niatmu, anakku, kalau kau tak ingin binasa bersama alam yang kau keringkan ini. Masih ada cara lain yang bisa menuntunmu ke Alengka, kata Hyang Baruna
Rama terdiam lama. Matanya memandang dalam penuh penyesalan kepada Hyang Baruna. Ditariknya pelahan-lahan panah saktinya Guwawijaya dari lautan.
Dewa, maafkanlah kesalahanku, kata Rama.
Maka air laut pun kembali dingin dan tenang. Laut tak jadi dikeringkan oleh amarah Rama. Bersama dengan itu, bulan bundar di angkasa, terang dengan bintang-bintangnya. Terdengar tingkah kegirangan para makhluk lautan. Gunung lautan dan karang-karang tenang seperti sediakala. Dan Hyang Baruna pun kembali ke dasar laut dengan bahagia.
Paduka, mengapa Paduka bersedih menatap langit" Syukurlah Paduka tak jadi melampiaskan amarah kepada lautan yang tak bersalah ini, kata suara yang tiba-tiba terdengar di belakang Rama.
Rama berpaling, dan melihat Anoman bersama Laksmana, Sugriwa, serta seorang satria.
Anoman, siapakah satria ini" tanya Rama.
Ia adalah Wibisana, adik Rahwana. Hamba menemukannya ketika ia terapung-apung dalam pelukan samudra, kata Anoman menceritakan nasib Wibisana.
Lalu apa maksudnya" tanya Rama.
Ia hendak mengabdi kepada Paduka. Sepulang dari Alengka, hamba menyembunyikannya. Kini hamba memberanikan diri untuk menghadirkan kepada Paduka, kata Anoman.
Rama memandang Wibisana tanpa kecurigaan apa-apa. Ia percaya pada mata wibisana yang memancarkan kejujuran itu. Ia sendiri terharu mendengar kisah Wibisana, betapa ia berani mati oleh kakaknya demi niatnya untuk mengabdi kepadanya.
Wibisana, terima kasih atas pengorbananmu. Tak terbayangkan bagiku, betapa besar tekadmu meninggalkan negerimu tercinta demi aku. Tak keliru rasanya, bila kau kuangkat menjadi saudaraku. Anggaplah aku sebagai saudaramu, kata Rama.
Rama, mengapa kau demikian mudah percaya kepadanya" Tidakkah kau sangsi ia mungkin saja mata-mata, kata Sugriwa tiba-tiba. Dari tadi Sugriwa memang mencurigai Wibisana.
Sugriwa, aku percaya kepada kejujurannya. Aku sangat membutuhkannya, karena dialah orang yang paling tahu keadaan Alengka, kata Rama. Sugriwa tak berani membantah.
Dan wibisana segera memeluk Rama sebagai tanda kebahagiaannya.
Anoman dan Saudara-saudaraku semua. Lihatlah, di hadapan kita terbentang laut yang luas. Katamu Anoman, di seberang laut sana terletak Negeri Alengka. Bagaimana mungkin, balatentara kera menyeberangi lautan seluas ini" Tadi amarahku ingin mengeringkan laut ini, supaya dasar laut bisa menjadi jalan para kera. Tapi Hyang Baruna mencegahku, dan mengatakan keringnya air laut ini bisa mengakibatkan kebinasaan kita. Bagaimana kita bisa sampai ke Alengka" tanya Rama.
Rama, tidakkah kita mempunyai Wibisana" Suruhlah dia membentangkan tambak memanjang dari tepi pantai Maliawan ini sampai ke Alengka. Sekalian kita uji kesaktiannya, dan untuk melihat kejujurannya, apakah ia bersedia menghantarkan barisan kera dengan membuat tambak itu, kata Sugriwa yang belum hilang keraguannya.
Anoman dan Laksmana terkejut mendengar permintaan Sugriwa ini. Tapi dengan tenang Rama menjawabnya.
Sugriwa, terlalu beratlah permintaanmu. Mustahil itu akan terjadi. Aku takkan meminta Wibisana melakukan itu. Dan tak sedikit pun aku sangsi atas kejujurannya, kata Rama. Kembali Sugriwa terdiam. Tiba-tiba berbicaralah Wibisana.
Saudaraku, dengan senang hati aku akan menuruti permintaan Sugriwa. Dengan pertolongan dewa, tidaklah itu mustahil bagiku. Aku tak hendak menunjukkan kesaktianku. Niatku yang sungguh-sungguh hendak membantumulah yang mendorongku untuk berani menuruti permintaan Sugriwa itu, kata Wibisana dengan penuh keberanian.
Rama tak menghalanginya. Maka bersemadilah Wibisana. Fajar sudah tiba. Matahari merekah, menguakkan awan merah-merah. Ayam-ayam berkokok lantang, mengiringi semadi Wibisana.
Dan lihatlah, keluarlah asap dari kepala Wibisana, yang duduk terpekur di tepi pantai. Asap itu menggulung-gulung di udara, lalu merebahkan diri di permukaan laut. Perlahan-lahan asap itu membentang menjadi daratan, makin lama makin panjang. Matahari sudah terang, dan daratan itu terus berjalan sampai ujungnya tak terlihat lagi di kejauhan. Jadilah tambak yang diidam-idamkan.
Betapa bahagia hati Rama. Betapa kagum Anoman dan Laksmana. Tapi betapa kecil dan kecewa hati Sugriwa. Dengan penuh rasa malu dipandangnya Rama yang memeluk Wibisana dengan penuh kegembiraan.
Rama, mengapa kau begitu gembira, padahal belum terbukti sampai di manakah kekuatan tambak ini" Kita mempunyai ribuan prajurit kera. Kalau tambak ini tidak kokoh, akan binasalah para prajurit kera ke laut. Kita akan ditertawakan rakyat Alengka, karena tertipu oleh Wibisana, kata Sugriwa mematahkan kegembiraan itu. Semuanya terdiam.
Suruhlah Anoman menguji kekuatan tambak itu, pinta Sugriwa.
Rama terpaksa mengakui kesangsian Sugriwa tadi. Ditatapnya Wibisana dengan hati tak menentu. Wibisana tertunduk, menanti dengan hati berdebar-debar. Rama tak tega melaksanakan maksud Sugriwa itu.
Anoman, ujilah kekuatan tambak itu, akhirnya Rama memerintahkan dengan berat hati.
Anoman segera melaksanakan tugasnya, meski hatinya tidak rela. Maka terbanglah ia tinggi-tinggi. Di langit ia mengheningkan cipta, membayangkan dirinya sebagai anak kecil yang menyusu ke ibunya, memusatkan perhatiannya kepada mukjizat kebesaran kasih sayang seorang ibu, yang bisa memberinya daya kehidupan luar biasa. Anoman sedang mengerahkan daya Aji Wundri. Maka terjunlah ia ke bawah dengan daya tujuh gunung seribu gajah. Dan jebol serta berantakanlah tambak Wibisana karenanya. Musnah dalam seketika, tenggelam ke laut bersama Anoman.
Rama dan Laksmana terbelalak tak percaya. Sugriwa merah matanya. Dan pucat pasilah wajah Wibisana.
P agi yang malang bagi Wibisana! Demikianlah nasib bagi
kejujurannya" Laut yang pernah memeluknya telah menelan harapannya. Angin pagi menyapu dingin. Dan tergetarlah badan Wibisana, ketika tanpa ampun Sugriwa sudah mencekiknya.
Wibisana! Sungguh busuk hatimu. Syukur, sebelum kau berhasil menenggelamkan kami bersama semua balatentara kera, kau akan mati di tanganku terlebih dahulu, teriak Sugriwa marah. Ia mencekik makin keras leher Wibisana. Wibisana menyerah, tak berontak sedikit jua.
Rama, lihatlah. Anoman terbenam bersama tambak palsu buatan satria yang mau menipu kita ini. Ijinkan aku untuk menghabisi nyawanya sekarang juga, kata Sugriwa.
Rama terdiam, Laksmana juga tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba tenanglah gemuruh lautan. Ombaknya kecil berbuih-buih, mandi dalam sinar matahari. Burung-burung laut berkumpul bagai payung, menaungi sebuah titik putih yang berenang-renang dengan riang. Anoman merambat ke tepi. Sangat indahlah keadaannya, karena aneka sinar matahari yang menembus payung bulu burung berwarna-warna.
Anoman, syukur kau masih hidup sehingga kau juga bisa menyaksikan matinya satria busuk ini, kata Sugriwa menyambut kedatangan Anoman yang basah kuyup. Ia sendiri heran melihat Anoman masih selamat.
Paman Sugriwa, mengapa kau siksa Paman Wibisana yang tak bersalah ini" tanya Anoman.
Anoman, jangan kau seperti anak kecil. Tidakkah satria mata-mata ini hendak menenggelamkan kita dengan membentangkan tambak palsu, yang sudah hancur ketika kau mengujinya" balas Sugriwa marah.
Paman, ada seekor ikan kencana berkata padaku, layakkah kejujuran diukur dengan kegagalannya" Tidakkah kejujuran harus diterima dengan kepercayaan saja" Nafsu perang memang bisa membutakan segala-galanya, Paman, jawab Anoman. Sugriwa tertegun sejenak, lalu mengendorkan cekikannya pada leher Wibisana.
Anoman, bolehkah aku bertanya, dengan daya apa kau menguji tambak yang kau bentangkan tadi" tanya Wibisana. Tiba-tiba pertanyaan ini terdengar memecah kesunyian.
Dengan daya Aji Wundri aku menguji tambak itu, jawab Anoman.
Anoman, aku menyerah. Sebab siapakah dapat menandingi daya Aji Wundri yang sakti itu" Siapa dapat mengalahkan daya kasih seorang ibu yang memberi daya kepada manusia dengan susu-susunya yang menghidupkan" Menandinginya, sama dengan melawan kehidupan ini. Siapakah sanggup melawan hidup ini, Anoman" kata Wibisana.
Anoman, apa maksud semuanya ini" tanya Rama yang dari tadi diam tak mengerti.
Ketika di Alengka, Dewi Sinta memberi hamba Aji Wundri. Bagai anak bayi yang menyusu ibunya, demikianlah perasaan hamba ketika menerimanya. Dan hamba serentak merasa menjadi manusia dewasa. Dengan Aji Wundri itulah, hamba menguji tambak Paman Wibisana, Anoman bercerita.
Sugriwa, jika demikian, benarlah apa yang dikatakan Wibisana. Tak ada seorang pun dapat menandingi daya Aji Wundri. Pada hakekatnya, Aji Wundri adalah kekuatan susu seorang ibu yang dengan penuh kasih sayang menghidupkan anaknya. Tak ada satu pun di dunia yang bisa melebihi kekuatan penuh kasih sayang yang memberi kehidupan itu. Urungkan niatmu, Sugriwa, karena tak bersalah Wibisana, kata Rama berpaling pada Sugriwa. Sugriwa segera melepaskan Wibisana.
Paduka, malah hamba yang seharusnya mengucapkan terima kasih pada Paman Wibisana. Sebab tambak yang hancur tadi menambah daya hamba untuk terjun ke dasar samudra. Hamba memeriksa dasar samudra, sangat banyaklah jurang-jurangnya. Lalu hamba berjumpa dengan seekor ikan kencana, yang pernah bersama hamba berada dalam perut prajineman Alengka, Wilkataksini. Ikan yang baik hati itu mengatakan, biarlah para balatentara kera menambak lautan ini. Supaya kokoh, tambak itu nanti harus disangga oleh gajah putih yang sakti bernama Satubanda. Satubanda adalah saudara hamba sendiri, saudara satu Bayu, yang diturunkan ke dunia bersama hamba dan Bayu Gunung, Maenaka, yang pernah melempar hamba ke Alengka. Ijinkan hamba sekarang berangkat ke Gua Singamangleng, tempat pertapaan Satubanda, kata Anoman.
Semuanya mendengar kisah Anoman dengan penuh perhatian. Rama bersyukur, karena masih ada jalan untuk menambak lautan. Mereka memutuskan agar balatentara kera segera membuat tambak menuju ke pantai Alengka.
Anoman, berangkatlah sekarang juga menjumpai saudaramu Satubanda, pinta Rama.
Anoman minta pamit. Dan terbanglah ia ke Gua Singamangleng. Di angkasa Anoman merasa bingung, tidakkah ia belum tahu di manakah Gua Singamangleng itu. Tiba-tiba keluarlah dari dirinya, Ditya Pulasio, saudara kandung dari pusarnya, buta bajang putih itu menggelayut mesra di pundak Anoman.
Anoman jangan kau bingung. Sebelum bertemu denganmu, aku mempunyai sahabat seekor burung perkutut raksasa, Lamungsa. Tiap hari aku bermain-main dengannya. Aku yakin, ia mau menolong kita. Marilah kita ke sarangnya, di Bukit Mercunda, yang indah. Ia pasti tahu di mana kediaman Satubanda. Sebab sering ia menjelajah terbang ke mana-mana, kata buta bajang putih ini. Anoman memeluk saudaranya yang telah menjadi satu dengan dirinya itu. Maka terbanglah ia ke Bukit Mercunda.
Di sana burung Lamungsa sedang bermain-main dengan kawan-kawannya. Kupu-kupu berterbangan di sekitarnya. Ada kera-kera yang riang naik ke punggungnya. Menjangan-menjangan berlindungan di sayapnya. Sangat merdulah burung perkutut raksasa ini bernyanyi bersama dengan suara ribuan burung kecil di Bukit Mercunda. Bersinar-sinar matanya ketika melihat kedatangan Ditya Pulasio, yang segera mengelus-elus bulu kepalanya. Anoman kagum, betapa akrab dan tenang kehidupan damai para binatang ini.
Pulasio, sudah lama tak kau kemari, aku sangat merindukanmu untuk bermain-main lagi bersamamu, sapa burung Lamungsa.
Lamungsa, antarkanlah aku ke tempat Satubanda. Saudaraku Anoman ingin segera menjumpainya, aku tak tahu di mana kediamannya, kata Pulasio.
Ah sudah lama aku tak mengunjungi Satubanda. Kediamannya jauh lebih indah dari Bukit Mercunda ini. Dengan senang hati aku akan mengantarmu. Marilah kita berangkat sekarang juga, sebab sudah rindu pula aku melihat keindahan kediamannya, kata Lamungsa gembira.
Maka naiklah Anoman bersama Ditya Pulasio di punggung Lamungsa. Terbanglah mereka tinggi-tinggi. Anoman sudah biasa terbang tinggi, tapi lebih tinggilah terbang burung Lamungsa ini. Sangat tinggi, lebih tinggi di atas mega, dan terlihatlah samudra tanpa tepi. Di sana, ada cahaya yang bukan cahaya siang, tiada arah yang menentukan utara dan selatan, timur dan barat, tiada penengah yang menentukan tinggi dan rendah. Hanya nampak permata di dasar samudra.
Pulasio, di manakah kita berada" tanya Anoman heran. Di alam nyawa, jawab Pulasio.
Lamungsa terbang makin tinggi lagi. Lebih teranglah keadaan daripada sebelumnya. Terangnya ada lima warna. Dari lima warna yang paling terang pertama kali adalah warna hitam. Dalam kehitaman inilah Anoman melihat makhluk-makhluk dan binatang-binatang kelaparan, bumi bergoncang.
Pulasio, di mana sekarang ini" tanya Anoman. Di alam rasa, di mana kita selalu lapar dan dahaga, jawab Pulasio.
Warna hitam tiba-tiba menghilang. Tak lama kemudian warna merah menjadi terang. Lalu nampaklah para brekasakan seperti kesetanan, api bagai lautan.
Pulasio, alam apakah ini" tanya Anoman.
Alam rasa, di mana kita selalu angkara, jawab Pulasio. Mendadak, warna merah menghilang. Alam terang dengan warna kekuning-kuningan, menyilaukan mata. Burung-burung berterbangan, lari tunggang-langgang, bersama angin yang bertiup bagaikan topan, dan lautan pun memuntahkan air ke daratan.
Pulasio, alam apakah ini" tanya Anoman. Alam rasa, di mana kita selalu murka, jawab Pulasio. Sekarang alam terang dengan cahaya putih, menyinarkan cahaya kekuning-kuningan. Di dalam cahaya itu terlihat makhluk-makhluk seperti satria digiring para malaikat mau menuju neraka. Keutamaan mereka nampak bagai bintang-bintang yang pecah. Kerajaannya larut dalam banjir darah.
Pulasio, alam apakah ini" tanya Anoman.
Alam rasa di mana kita selalu loba akan keutamaan, sahut Pulasio.
Anoman, jangan kau terpesona dan terbenam dalam alamalam yang kelihatan indah dan menarik itu. Kalau kau terbenam, akan sirna pula dirimu, kata Pulasio.
Burung Lamungsa terbang makin tinggi. Makin indahlah keadaan di sekitarnya. Cahaya menjadi lebih terang daripada sebelumnya. Aneka warna cahaya menjadi terang dalam kegemilangan. Namun di dalamnya, masing-masing cahaya berebut, sehingga terjadilah peperangan di antara mereka.
Cahaya hitam bertakhta di kerajaan para binatang. Cahaya merah duduk di singgasana kerajaan para brekasakan. Cahaya kuning menghiasi kerajaan para bintang beterbangan. Di kerajaan para ikan, bersinarlah cahaya keputih-putihan. Cahaya hijau menerangi kerajaan tumbuh-tumbuhan. Masing-masing kerajaan ini berebut kemenangan disertai tangis bayi yang merindukan kesejatian.
Pulasio, apa pula alam ini" tanya Anoman.
Inilah alam cahaya. Jangan kau terikat pada salah satu cahayanya, karena tiada cahaya itu sebenarnya, kata Pulasio.
Lalu berubahlah keindahan warna itu menjadi mengerikan. Warna-warna itu menjadi seperti peri perayangan. Ada manusia masuk ke kerajaan para brekasakan, maka menjadilah ia raja dari para peri perayangan merah. Ada lagi yang masuk ke kerajaan para binatang, maka menjadilah ia raja dari para peri perayangan kuning. Ada pula raja dari para peri perayangan putih dan hijau. Tangis bayi pun makin menyayat hati.
Anoman, lihatlah betapa manusia-manusia itu celaka, karena memilih masuk ke dalam terang salah satu cahaya, padahal tiada cahaya itu sebenarnya, kata Pulasio.
Burung Lamungsa makin terbang tinggi, dan memasuki alam yang bukan alam. Cahaya sudah tidak dapat dikatakan terang, karena melebihi dari segala terang. Dalam cahaya yang bukan cahaya ini tidak ada segala-galanya, meski kaya dengan segalagalanya. Dalam cahaya yang bukan cahaya ini ada rupa seperti golek kencana, menggendong mutiara bagaikan anaknya, yang bukan lelaki bukan perempuan. Dan nampaklah apa yang tidak nampak, sekelompok bidadari bagaikan nini-nini. Lamungsa dan Pulasio bercanda dalam bahasa yang tak dapat dimengerti. Bermain-main dengan makhluk yang bukan makhluk. Dan Anoman merasakan kedamaian sejati.
Pulasio, alam apakah ini" tanya Anoman bahagia. Inilah alam atma sejati, kata Pulasio.
Anoman tak merasakan apa-apa. Ia hidup dalam cahaya gemilang yang bukan cahaya tanpa bayang-bayang. Dan Anoman pun tak menginginkan apa-apa lagi. Belum lama kebahagiaan ini, tiba-tiba Anoman sampai di pelataran yang indah. Burung engkuk bergetar menyanyi di pohon kanigara. Panggilan merak terdengar merdu bagaikan suara wanita. Dan kumbang-kumbang berdengung, membelai bunga-bunga harum. Kumkuma mewangi dan harum-harum bunga punjung. Ada bunga srigading yang menggelar bagai tikar menuju ke mulut gua seperti lubang persembunyian semut.
Pulasio, kita sudah sampai ke kediaman Satubanda, kata Lamungsa. Anoman tak mengira sama sekali, ia sudah sampai ke tujuannya. Terheran-heran ia bertanya-tanya, mungkinkah Satubanda berkediaman di lubang semut. Belum habis keheran-heranannya, seekor semut putih memberi mereka bertiga serpih makanan yang sangat kecil. Serentak mereka memakannya, saat itu pula mereka bertiga menjadi kecil seperti semut. Lalu masuklah mereka ke gua yang seperti lubang semut tadi.
Perlahan-lahan mereka merambat, dan lubang pun makin lama makin besar. Gelap makin hilang. Dan membentanglah di hadapannya sebuah gua raksasa, dijaga sepasang naga jantan dan betina. Naga Mintuna dan Naga Giyani. Sepasang naga ini menjilat mereka bertiga, sebagai tanda ucapan selamat datang.
Maka masuklah Anoman ke dalam gua. Seekor gajah sebesar gunung sudah menunggunya. Taringnya bagai seribu pohon kelapa panjangnya. Belalainya menjulur-julur melebihi naga raksasa besarnya. Warnanya sangat gemilang, putih seperti bulu Anoman.
Saudaraku, masuklah, sudah lama aku menunggumu, sapa sang gajah putih raksasa. Berhadapan dengan gajah raksasa ini, Anoman merasa diri sangat kecil, padahal sejak ia lewat dari lubang semut, badannya sudah pulih seperti sedia kala.
Satubanda, sudah lama pula aku tak bertemu denganmu, kata burung Lamungsa. Satubanda dan Lamungsa berbicara dalam bahasa binatang. Akrab sekali dua sahabat lama ini. Anoman, semoga kau krasan hidup di tengah kami, para binatang, kata Satubanda, gajah raksasa putih, saudara satu Bayu Anoman itu.
Aku seekor kera, tidakkah aku juga binatang" tanya Anoman.
Saudaraku, berbahagialah kau. Lamungsa telah mengajakmu menjelajah alam yang tak pernah disadari manusia. Hanya kerinduanlah yang bisa mengajak makhluk masuk ke dalam alam yang diinginkannya. Kerinduan itu hanya ada pada para binatang yang dari hari ke hari mengharapkan kesempurnaannya. Kerinduan itulah yang membuat kita rendah hati. Tidakkah kita ini sebenarnya sama dengan makhluk yang sempurna, kecuali dalam kerendahan hati kita" Tapi Anoman, kerendahan hati itulah yang bisa menguakkan tabir rahasia aneka alam ini. Sekarang apa maksudmu datang kemari" kata Satubanda.
Sudilah kau menjadi peyangga tambak yang akan dibangun oleh junjunganku Ramawijaya, kata Anoman.
Itu memang sudah menjadi tugasku. Hanya pesanku, janganlah kau mengganggu ketenteraman binatang, ketika kau membangun tambak nanti. Marilah kita berangkat Anoman. Anoman, sebelumnya, ambilah cupu kecil itu. Di dalamnya kau bisa menyimpan barang sebesar apa pun. Aku sering berada dalam cupu itu. Tapi kali ini aku tak ingin masuk ke dalamnya. Karena aku ingin menikmati angkasa bersama Lamungsa dan kamu juga. Tapi di manakah keempat saudaramu yang lain" kata Satubanda.
Anoman mengambil cupu kecil di sebelah Satubanda. Kemudian ia mempersilakan ke empat saudaranya keluar dari dirinya, bersama Pulasio yang dari tadi menemaninya. Satubanda membelai Anoman dan kelima saudaranya itu dengan belalainya. Bersama-sama mereka keluar dari gua. Mengubah diri menjadi sekecil semut-semut, setelah lewat mulut gua, berubahlah mereka seperti sedia kala.
Anoman bersama kelima saudaranya kini menumpang di punggung Satubanda. Gajah raksasa putih itu ternyata dapat
P enghuni Maliawan terbelalak. Cakrawala menghilang di sebe-
rang. Tertutup gunung kebiru-biruan dari ombak lautan. Anoman tergulung dalam ombak yang dahsyat ini. Dan seperti dilemparkan dari langit, Anoman terjatuh di pantai Maliawan.
Selamat datang, Anoman, sapa Ramawijaya di tengah kerumunan bala tentara kera.
Restu Paduka, hamba telah membawa gajah sakti Satubanda ke dasar samudra. Demikian dahsyat kekuatannya, sampai hamba terlempar ke sini bersama gulungan ombak ketika ia menjejakkan kakinya di dasar samudra, kata Anoman. Apakah yang harus kita lakukan sekarang" tanya Rama. Tak ada jalan lain, kecuali menggempur Gunung Sandyawela
terbang secepat kilat, karena ia juga titisan Bayu. Gembira ria mereka di angkasa, dipayungi sayap burung Lamungsa. Ketika sampai di atas Maliawan, Lamungsa mengucapkan selamat tinggal.
Satubanda, di laut inilah kita akan membangun tambak, kata Anoman.
Maka menukiklah Satubanda ke samudra. Bagai gunung putih kelihatannya. Di tengahnya ada lidah-lidah merah, lidah Ditya Kilatmeja yang menjulur gembira. Juga selapis bentangan merah yang digelarkan Ditya Garba Ludira. Ramadaya dan Dayapati bagaikan dua boneka kencana yang tidur di bentangan merah itu. Dan Pulasio, buta bajang yang jenaka, tertawa ria.
Mendekati permukaan samudra, semua saudara Anoman hilang, masuk ke jagad Anoman lagi. Sendiri Anoman bersama Satubanda. Tapi tiba-tiba terdengar suara ombak samudra terpecah-pecah. Satubanda dan Anoman sudah mencebur ke dalam samudra. Turun ke dasarnya.
di sebelah Gunung Maliawan ini, lalu menimbunkan reruntuhannya ke lautan menjadi tambak, jawab Anoman. Mungkinkah kita melakukan pekerjaan yang luar biasa ini" Paduka, kita mempunyai ribuan tentara kera yang perkasa. Perintahkanlah mereka, maka tambak itu pasti akan jadi.
Maka Rama memerintahkan balatentaranya untuk menggempur Gunung Sandyawela. Dengan penuh semangat dan gembira, berangkatlah mereka ke sana.
Dengan cepat Anoman mendahului mereka. Di tengah hutan Sandyawela, ia segera memanggil keluar kelima saudaranya.
Saudara-saudaraku, sebelum balatentara kera tiba di sini, marilah kita membawa pergi semua hewan penghuni Gunung Sandyawela ini. Gunung ini akan hancur dalam beberapa waktu saja. Sesuai dengan pesan saudaraku Satubanda, marilah kita selamatkan hewan-hewan penghuninya, kata Anoman.
Maka berteriaklah buta bajang putih, Ditya Pulasio, dalam bahasa yang tak dimengerti orang. Segera berhimpunlah segenap penghuni hutan. Pulasio berbicara dalam bahasa binatang, dan minta mereka untuk segera meninggalkan Gunung Sandyawela menuju ke hutan Maliawan.
Riuh-rendah suara mereka. Dan tergesa-gesalah mereka pergi. Ular-ular menggelesah bersama kelabang, cacing, dan kalajengking. Macan kumbang, macan tutul, dan macan gembong, mengaum-ngaum. Mengiring di belakang mereka, barisan badak dan warak. Kuda-kuda meringkik, lari mendahului gajahgajah yang berjalan terbata-bata. Kerbau, banteng, dan sapi gumarang berlomba-lomba tak mau kalah. Binatang-binatang yang lambat jalannya, kancil, saraba, dan gardaba, lari terengahengah.
Pulasio menggiring binatang-binatang terbang. Bercanda dengan burung ketilang dan kepodang, dihalaunya dengan jenaka, burung-burung perenjak, merak, dan gagak. Kelelawar rabun mata dibimbingnya melewati pohon-pohon rindang. Di belakangnya mengekor jutaan belalang.
Masih tertinggal dwipangga, maesa, sardula, dan pragalba, yang lumpuh kakinya. Ada pula singabarong, gajahmeta, dan nagaraja yang susah jalannya. Dan bersama mereka, merintihrintih binatang-binatang rimba lainnya yang sudah tua usianya, takut ditinggalkan anak-cucunya. Maka Kilatmeja menjulurkan lidah panjang-panjang. Digulunglah hewan yang lumpuh dan tua ini dalam lidahnya. Lidah itu kemudian dijulurkannya lagi ke angkasa, memanjang sampai ke Gunung Maliawan. Satu demi satu binatang-binatang lumpuh dan tua itu sampai dengan selamat di Maliawan karena pertolongan Kilatmeja.
Sementara terdengar tangisan anak-anak penghuni rimba. Bledug dan blengur bergulung-gulung di tanah, belo dan gogor bergendong-gendongan putus asa, cemeng dan kompreng merengek-rengek. Dan hutan pun gaduh dengan tangis anak-anak binatang yang ditinggalkan ayah-ibunya. Kasihan anak-anak binatang yang sendirian karena ayah dan ibunya pergi menyelamatkan diri ini. Maka bertindaklah Ramadaya dan Dayapati bagai ibu dan bapa mereka. Dikumpulkan anak-anak binatang itu, lalu ditidurkannya dalam bentangan permadani merah yang digelarkan oleh Garba Ludira. Ketika mereka tenang kembali, Garba Ludira menghembuskan permadani itu terbang ke angkasa, membawa anak-anak binatang itu ke hutan Maliawan, menyusul ibu-bapanya.
Barisan kera terkejut dan minggir ketika melihat ribuan penghuni rimba turun dari Gunung Sandyawela menuju Maliawan. Di antara penghuni rimba ini nampak Anoman menggendong seekor anak kijang, menyusur pantai Maliawan.
Anoman, hendak kau bawa ke mana anak kijang yang cantik ini" tanya Rama.
Paduka, janganlah kita mengganggu atau membunuh binatang-binatang hutan demi kepentingan kita meski kita harus menghadapi tantangan besar sekali pun. Sebelum Gunung Sandyawela ambruk, hamba telah menyelamatkan semua penghuni rimba ini ke Gunung Maliawan. Kasihan anak kijang ini, ia tertinggal oleh ibu-bapanya dan kawan-kawannya. Hamba hendak membawanya ke sana, jawab Anoman.
Rama terharu mendengar jawaban dari Kera Putih yang hidupnya banyak mendapat pertolongan dan teman para binatang itu. Rama teringat sejenak, betapa hanya karena hendak membunuh seekor kijang kencanalah maka ia harus menghadapi masalah besar, perang dengan Alengka yang menculik Dewi Sinta kekasihnya. Andaikan dulu nafsunya tak hendak menuruti permintaan Sinta untuk menangkap kijang kencana itu, barangkali tiada ia menghadapi masalah sebesar ini.
Saudara-saudaraku, hentikan langkahmu! Sebelum kau menghancurkan gunung ini, tunggulah aku sampai muncul kembali dari samudra, tiba-tiba terdengarlah suara Anoman dari kejauhan.
Balatentara kera menunggu di kaki gunung. Dan berangkatlah Anoman bersama Kapi Menda dan Kapi Kingkin, kera yang mempunyai jari-jari seperti supit kepiting. Bertiga mereka diikuti kera-kera yang pandai berenang, lalu mencebur ke dalam samudra.
Atas perintah Anoman, mereka memberitahu pada semua penghuni lautan supaya menyingkir jauh-jauh, karena sebentar lagi lautan akan ditimbuni reruntuhan Gunung Sandyawela.
Barisan Kapi Kingkin menyelam di sebelah kiri, dan barisan Kapi Menda di sebelah kanan. Karena pemberitahuan mereka, menyingkirlah ikan-ikan dan penghuni lautan lainnya. Sementara sendiri Anoman berenang di permukaan. Matanya memandang dalam ke dasar samudra.
Terkejut ia sebentar melihat di dasar samudra, gajah putih Satubanda sedang berbicara dengan ikan kencana yang pernah dijumpainya. Tidakkah ikan kencana itu demikian kecil, pikir Anoman. Mengapa kini ia bisa tampak dari permukaan, padahal sangat dalamlah jarak ke dasar lautan" Belum habis keheranannya, ikan kencana itu sudah muncul menjumpainya. Anoman, bagaimana kabarmu" tanya ikan kencana itu.
Sahabatku, menyingkirlah kau jauh-jauh. Sebentar lagi sebagian lautan itu akan segera ditambak oleh barisan kera, kata Anoman.
Jangan kau khawatir Kera Putih. Aku akan tetap bersama Satubanda di dasar samudra. Kasihan dia, bila kesepian sendiri. Sewaktu-waktu aku akan memberitahu kamu, bila ada bahaya di dalam samudra, kata ikan kencana itu.
Tak lama kemudian, ikan kencana itu kembali menukik ke bawah. Dan betapa terkejut Anoman, melihat ikan kencana itu makin lama makin besar, padahal makin dalamlah ia menyelam. Sisiknya yang keemas-emasan membuat terang di dasar samudra, sehingga sangat indah keadaan di sekitar Satubanda berada. Satubanda membelai ikan kencana itu dengan belalainya, mesra bagai sepasang kekasih mereka layaknya.
Anoman merasa terdorong untuk mendekati mereka. Menukiklah ia ke bawah. Tiba-tiba air bergemuruh di dalam lautan. Membentuk lubang gua menuju ke sebuah istana, jauh dari tempat Satubanda dan ikan kencana itu berada. Pelataran istana ini dihampari lumut-lumut laut. Ganggang keemas-emasan hidup dengan segar. Di atasnya bermain-main dengan gembira anak-anak naga laut, bersama ribuan ikan kuda-kuda. Tak jauh dari pelataran ini ada gapura dililiti naga putih dan merah. Di dalamnya duduklah Hyang Baruna, Dewa Laut, di singgasana dari pualam samudra, menggendong dua makhluk kecil seperti boneka, berwarna putih dan merah.


Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anoman, sudah siapkah balatentara Ramawijaya untuk menambak laut" tanya Hyang Baruna.
Dewa, syukurlah hamba bisa menghadap ke sini. Ijinkanlah hamba hari ini juga memerintahkan balatentara hamba untuk menambak lautan ini. Sudah siaplah kami semua, jawab Anoman sambil melakukan sembah.
Anoman, rindukah kau akan seorang anak" Anakmu rindu untuk tertidur di pelukanmu. Namun tungguhlah Anoman, belum saatnya kalian berdua bertemu, kata Hyang Baruna.
Laut menggelombang perlahan. Buih-buihnya tergantung di lumut-lumutan. Anoman bagai tertambat oleh tirai-tirai binatang laut, terpesona oleh keadilannya yang bermatakan cinta. Adakah Trijata bahagia di remang-remang gemetar samudra" Tak ada Trijata di sana. Dan Anoman bingung ditelan bayang-bayang cinta. Ia bertanya-tanya tak mengerti dalam hati, Hyang Baruna bagai mengajaknya masuk ke alam mimpi, di mana segalanya mungkin, mungkin pula anak dilahirkan tanpa ibubapanya. Ah, betapa besar rahasia kehidupan ini. Betapa pula ia suka menyajikan kemustahilan yang membuat makhluknya gundah-gulana berharap dan bersusah-susah.
Anoman, saatnya belum tiba kau bertemu dengan anakmu. Sabarlah, Anakku, kembalilah kau sekarang ke Maliawan, tiba-tiba Hyang Baruna menegur, mengejutkan Anoman yang sedang bingung bertanya-tanya. Dan betapa Anoman terkejut melihat dua boneka di tangan Hyang Baruna menghilang, masuk bermain-main di mulut naga laut.
Anoman segera meninggalkan istana Hyang Baruna. Di kaki Gunung Sandyawela, barisan kera sudah tak sabar menantinya. Setelah Kapi Menda dan Kapi Kingkin beserta balatentaranya juga sudah muncul dari lautan, Anoman segera memerintahkan supaya Gunung Sandyawela dihancurkan.
Beramai-ramai balatentara kera mendaki gunung. Batu-batuan besar dipecahkan. Ribuan kera mengangkut pecahan-pecahan batu, dan dilemparkannya ke dasar samudera. Sebagian lagi mencabuti pepohonan, menaruhnya sebagai palang di atas batu-batuan. Ribuan kera lainnya mengangkuti tanah-tanah longsor dengan pikulan-pikulan, lalu menimbunkannya ke dasar tambak dari batu-batuan.
Rama menyaksikan, betapa gembira kera-kera ini bekerja. Tak kelihatan mereka lelah, malah menyanyi mereka bersukasuka. Anila yang jenaka tiba-tiba melesat dari puncak gunung, sambil mengangkut batu luar biasa besarnya. Diceburkannya batu itu ke dalam samudra, lalu ia membalik ke arah rekan-rekannya, dan menyanyikan lagu gembira.
Apakah artinya samudra yang luas dan dalam, bila cinta ingin mengarungi dan terjun di dalamnya, Kawanku" tanya Anila dalam lagunya. Serentak para kera berhenti, sambil menari-nari mereka pun menjawab nyanyian Anila.
Samudra itu akan menjadi telaga, dan cinta itu menjadi sepasang golek kencana di permukaan airnya. Hilanglah kedalaman lautan, musnahlah luas samudra, dan mandilah sepasang golek kencana, bersiram-siraman dengan air telaga.
Rama tertawa mendengar nyanyian mereka. Kembali ia menyaksikan kera-kera yang menggugah semangatnya. Naik gunung, turun gunung, pulang-pergi ke pantai, hilir-mudik dan demikian gaduh tingkah dan suara kera-kera itu. Telah berharihari mereka bekerja. Saling tolong-menolong, berjaga mereka di perhentiannya masing-masing, lalu silih berganti mengambil dan memberikan batu-batuan. Barisan kera ini memanjang berliukliuk dari puncak gunung ke tepi pantai, bagaikan rangkaian pusparaga mereka bila senja datang menjamahnya.
Tambak masih jauh dari Alengka. Tapi kera-kera ini tak berputus asa. Malah terdengar ledek ketawanya, menyaksikan Cucak Rawun, kera yang menyerupai burung, terbang terhuyung-huyung. Cucak Rawun tak terlalu kuat, tapi ia nekad, sebatang pohon besar dipatuk dengan paruhnya, lalu diterbangkannya ke samudra. Suara mengebur terdengar tepat ketika pohon itu menimpa samudra. Dalam terbangnya yang terhuyung-huyung setelah melepas beban dari paruhnya, Cucak Rawun pun menyanyi gembira.
Apakah artinya kedua daratan yang jauh terpisah, bila cinta hendak mempersatukannya, Kawanku" tanya Cucak Rawun.
Daratan itu akan menjadi sejengkal tanah karena sayap cinta. Siapakah yang dapat terbang seperti sambaran halilintar kecuali cinta" Jangan daratan di dunia, surga pun dalam sekejap akan disentuhnya, bila cinta sudah terbang dengan sayapnya, sahut para kera menyambut nyanyian Cucak Rawun.
Tambak membentang makin jauh mendekati dataran Alengka. Makin bersemangatlah para kera melihat Alengka yang hampir terjangkau oleh pandangan mata. Kera-kera yang kuat menambah bebannya, diangkutnya beberapa batu besar sekaligus. Ada pula yang tolong-menolong memikul pohonpohon yang telah rebah. Bagai iringan semut mereka bekerja sama mengangkut pepohonan itu. Sebagian kera seperti hilang kesabarannya, mereka melilitkan ekornya ke pohon-pohon, lalu dicabutnya pohon-pohon itu dengan hentakan ekornya. Berjalan mereka dengan pepohonan di lilitan ekornya, sambil di tangannya menggotong batu-batuan. Makin lama Gunung Sandyawela makin menghilang. Ketika tanahnya tinggal sedikit seperti bukit, majulah Kapi Menda, kera berkepala kambing, lalu diseruduklah bukit kecil itu. Bukit, peninggalan Gunung Sandyawela ambrol, dan berteriaklah Kapi Menda dengan nyanyiannya.
Apa artinya gunung yang tinggi dan perkasa, bila cinta hendak merobohkannya, Kawanku" nyanyian Kapi Menda terdengar lantang dan merdu.
Gunung itu akan rata dengan tanah. Dan kekasih yang saling tersembunyi di baliknya akan berhadapan mata. Malu-malu mereka, meski sebelumnya sangat rindu hati mereka, ketika tiada lagi gunung yang menjadi penghalang bagi mereka untuk bertatapan muka. Tapi seperti mereka telah mematahkan keperkasaan gunung, patah pula rasa malu mereka, dan berpeluk-pelukan mereka di atas tanah dari gunung yang dulu menyembunyikannya, sahut para kera.
Rama tak tahan untuk menyembunyikan kebahagiaannya mendengar nyanyian para kera itu. Dalam nyanyian mereka, Sinta seakan hadir di hadapan matanya, meski ia berada di daratan yang jauh, meski ia terpisah oleh samudra yang dalam dan luas, meski ia tersembunyi di balik gunung yang tinggi.
Tapi kebahagiaan itu berubah menjadi keharuan baginya, menyaksikan para kera mengerahkan tenaganya yang terakhir untuk menghubungkan Maliawan dan Alengka. Demikian besar tekad makhluk-makhluk yang belum sempurna ini, masihkah manusia yang sempurna harus berkecil hati dengan kemampuannya"
Rama disentakkan dari lamunannya, terdengar pekik riuh-rendah para kera, tambak telah menyentuh bibir pantai Alengka, bersama musnahnya Gunung Sandyawela. Kera-kera melepas kelegaannya. Tak merasa, hampir genap setahun mereka bekerja menambak lautan. Kini tambak telah selesai, tepat ketika matahari sedang berputar ke selatan.
Dengan bangga balatentara Maliawan memandang tambak yang membentang dengan panjang dan lebar masing-masing sebulan dan tiga hari perjalanan. Tak terbayangkan oleh mereka, Gunung Sandyawela yang tinggi itu kini telah menjadi daratan datar yang menghubungkan Maliawan dan Alengka. Gunung Sandyawela telah hilang, dan senja datang di ufuk sana, ketika kera-kera yang terduduk lega di pantai Alengka menatap Maliawan di kejauhan. Maka di malam hari yang indah ini turunlah hujan bunga dari langit. Di sana berdiri para dewa, tertawa dan gembira. Kera-kera merayakan malam indah ini dan mengenangkannya sebagai peristiwa Rama Tambak. Dan betapa terharu hati Rama, mendengar mereka menamai tambak itu tambak cinta.
Lalu Rama dan balatentara beristirahat, melepas lelah setelah pekerjaan yang panjang dan berat ini. Rama melihat betapa tambak itu berkelok-kelok seperti jalan darat biasa, sampai tak terlihat di mana ujungnya. Diam-diam ia mengagumi betapa hebat kekuatan bala tentaranya. Tambak ini juga kokoh, karena disangga oleh gajah putih sakti, Satubanda, di dasar samudra.
Lama para bala tentara Rama beristirahat. Tiba-tiba mereka sama-sama terbangun, terasa ada guncangan hebat di atas tambak. Keadaan menjadi kacau. Kera-kera berlarian menyelamatkan diri ke pantai, mereka khawatir jangan-jangan tambak ini tidak kuat sehingga mudah berantakan.
Anoman segera menyelam ke laut untuk memeriksa dinding tambak yang terkena guncangan. Mendadak ia berjumpa lagi dengan sahabatnya, ikan kencana, sedang berkeliaran di tepi tambak.
Anoman, kerahkanlah seluruh bala tentara kera yang pandai berenang. Dinding tambak sedang digerogoti oleh prajineman Alengka di bawah pimpinan Yuyu Rumpung, kata ikan kencana itu.
Anoman segera naik ke permukaan air lagi, memanggil Kapi Kingkin, kera sakti yang ampuh di lautan. Kapi Kingkin, kera berjari supit kepiting ini lalu mengumpulkan bala tentaranya untuk terjun ke lautan.
Bala tentara Kapi Kingkin ini melihat raksasa seperti kepiting. Matanya kecil tapi mengerikan. Sungutnya bergerak-gerak menyeramkan. Lebih dahsyat lagi adalah tangannya yang menyerupai supit kepiting. Dibantu oleh kawan-kawannya, ia sedang menggerogoti tepi-tepi tambak, tak mengherankan bila tambak terasa berguncang.
Hai Raksasa, siapa kau" Hentikan kerjamu itu, bentak Kapi Kingkin marah.
Kera jelek, tahu juga kau akan perbuatanku. Aku Yuyu Rumpung prajineman Alengka, suami Sarpakenaka. Kuhancurkan tepi-tepi tambak ini supaya mati terbenam bala tentara Ramawijaya, sahut raksasa itu.
Bukan main marah Kapi Kingkin mendengar jawaban tadi. Maka ia segera menyerang Yuyu Rumpung. Disapitnya leher Yuyu Rumpung, tapi dengan mudah raksasa laut ini mengelak. Mulai pertempuran di lautan antara bala tentara Kapi Kingkin dan Yuyu Rumpung.
Badan Yuyu Rumpung ternyata sangat keras seperti tempurung. Berulang kali Kapi Kingkin menghantamnya, berulang kali ia terpental karenanya. Prajineman Alengka itu tertawa terbahak-bahak, ketika ia berhasil memegang Kapi Kingkin dengan supitnya. Disupitnya Kapi Kingkin sekeras-kerasnya sampai badannya berdarah. Kapi Kingkin meronta-ronta kesakitan. Karena kehilangan akal, tiba-tiba ia memegang sungut Yuyu Rumpung. Dijebolnya sungut itu, dan Yuyu Rumpung pun terhuyung-huyung. Sebelum sampai lawannya roboh, Kapi Kingkin sudah menimpakan tubuhnya. Dan berantakanlah tubuh Yuyu Rumpung berkeping-keping.
Balatentara kera yang berenang di lautan bersorak melihat kemenangan Kapi Kingkin. Maka mereka pun makin bersemangat menghajar sisa-sisa prajurit Yuyu Rumpung yang menggerogoti tambak. Darah menjadi warna samudra, ketika prajurit Yuyu Rumpung tewas semuanya.
Ketika keluar dari air, Kapi Kingkin dan kawan-kawannya terkejut melihat pertempuran hebat sedang terjadi di atas tambak. Barisan kera mengamuk, dan lihatlah mayah-mayat raksasa bergelimpangan di mana-mana.
Di medan pertempuran ini terlihat Anoman sedang berkelahi dengan seorang raksasa wanita. Raksasa wanita itu ternyata Sarpakenaka. Kabar mengenai Rama Tambak sampai terlebih dahulu ke telinga Sarpakenaka. Maka bersama Yuyu Rumpung dan seratus selirnya, ia menyerang Rama dan balatentaranya. Ia sengaja tidak memberitahu kakaknya, Rahwana, karena tak tertahankan lagi dendamnya untuk membunuh Rama dan Laksmana yang telah mempermalukannya.
Sarpakenaka, wanita celaka. Kaulah penyebab bencana besar ini. Matilah kau hari ini juga, kata Anoman sambil menendang keras Sarpakenaka.
Kera busuk, mana Rama dan Laksmana" Aku tak ingin berurusan dengan monyet jelek seperti kau, balas Sarpakenaka.
Sarkapenaka ternyata tak mudah dikalahkan. Anoman sengaja melarikan diri ke pantai. Di sana ia mencurahkan segala daya
yang didapatkan karena mandi dengan air kehidupan permata mendung dari Cupu Manik Astagina. Maka udara pun menjadi dingin. Dingin sekali. Sarpakenaka yang sepanjang hidupnya membara dengan nafsunya tiba-tiba merasa lemas. Terduduk payah ia di depan Anoman.
Siapakah kau, hai Makhluk yang membawaku berada di udara sedingin ini sampai padamlah semua kekuatanku" Peluklah aku, hai Makhluk, pinta Sarpakenaka meratap-ratap. Ia seperti melihat satria tampan di udara sedingin itu. Nafsunya bergejolak panas ingin memeluk satria itu. Didekapnya satria itu. Sarpakenaka menangkap angin. Tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang tiada banding menghampiri wajahnya, dan pukulan Anoman-lah yang sampai di wajahnya. Sarpakenaka roboh dan binasa. Tiada nafsu, betapa pun ia membara dengan panasnya, sanggup mengalahkan kesucian hati yang dingin. Maka pudarlah aneka warna nafsu, hitam, kuning, putih, dan hijau, yang keluar dari tubuh Sarpakenaka. Dan sirna pula wanita yang sepanjang hidupnya ini hanya mengikuti kepuasan nafsunya akan lelaki. Ia menjadi sepucuk kuku yang tak berarti apa-apa, seperti ketika ia dilahirkan oleh orang tuanya yang gagal menghayati Sastra Jendra. Bagi wanita, hidup ini memang bisa menjadi besar karena nafsunya. Seribu lelaki bisa dikuasainya. Tapi apakah artinya kebesaran nafsu" Seberapa hebatkah daya kekuatannya" Ia akan lumpuh tak berdaya di hadapan kesucian hati yang dingin. Dan wanita itu pun akan punah menjadi sepucuk kuku!
B alatentara kera sudah sampai di daratan Alengka. Mereka ber-
henti di kaki Gunung Suwela. Di sanalah mereka membangun pesanggrahan dan perkemahan.
Pertempuran dengan Alengka sudah di ambang mata. Tapi mengapa Suwelagiri menjadi demikian indah" Pasir di kaki gunungnya berpendaran bagai manik kencana. Gua-guanya lebar, terang dengan kunang-kunang senja. Di telaganya yang bening bersinaran permata Cintamani, permata yang bisa memuaskan dahaga manusia akan warna-warni indah.
Rama dan Laksmana naik ke atas. Dan makin indahlah keadaan Suwelagiri di malam purnama. Bunga-bunga cempaka dan angsana mekar bagai wanita yang melepas busananya. Tiba-tiba Rama serasa diserang rasa asmaranya akan Dewi Sinta. Ada air mengalir bening dan dingin. Tapi bagai Rama air bening dan dingin bagai tak mampu memadamkan panasnya api asmara hatinya. Sementara mata Rama menatap ke bawah, dan dilihatnya para balatentara kera seperti bergelimang dalam lautan darah.
Laksmana, adakah adil bila menenggelamkan berjuta-juta balatentara dalam samudra darah hanya demi seorang wanita" tanya Rama tak menentu hatinya.
Laksmana terdiam. Laksmana, sepaham kau padaku" Tidakkah demi Dewi Sinta, maka aku harus mengorbankan nyawa berjuta-juta kera ini" tanya Rama mendesak.
Rama kakakku, kau lihatkah keadaan Gunung Suwela yang indah ini" tanya Laksmana.
Sangat indah, Adikku. Puncaknya keemasan. Binatang-binatang mandi dalam kehangatan sinar bulan, jawab Rama.
Tapi apakah arti keindahan ini bila ia berada di bumi Alengka yang panas dan membara ini"
Keindahan itu akan menjadi makin indah, Adikku. Aku merasa, betapa nyanyian para bidadari malam telah menggantikan ratapan para jin setan perayangan. Suling-suling mereka melengking merdu, mengalahkan suara sangkala Batara Yamadipati yang ditiup para brekasakan.
Itulah, Kakakku, keanehan hidup ini. Justru dalam kengerian itulah keindahan nampak makin menyala-nyala.
Laksmana, apa maksudmu"
Cinta pun perlu mandi dalam darah supaya ia menjadi mutiara.
Rama ragu-ragu mendengar jawaban Laksmana itu. Adikku, sungguhkah aku masih mencintai Dewi Sinta" Tidakkah justru karena keraguan cintaku, maka permata api Dewi Sinta tak mau terang menyala ketika kukenakan di dadaku" tanya Rama.
Maka Kakakku, asah dan murnikanlah harimu dalam samudra darah, supaya bernyala mata permata itu. Pengorbananmu itulah yang akan memandikan cinta supaya ia suci dan bersih, jawab Laksmana.
Bulan pada paro petang yang kelima. Kera-kera tertidur dalam kedamaian. Dan langit pun bercucuran dengan bintang-bintangnya.
Tapi Laksmana, mengapakah harus kusertakan jutaan kera yang kini sedang tertidur dalam kedamaian untuk mandi dalam lautan darah itu" Belum kau jawab pertanyaanku, Laksmana, kata Rama.
Kakakku, mengapa tak kau tanya diriku saja" Apakah aku juga ingin berperang hanya karena ingin membantumu merebutkan seorang wanita" Tidak, Kakakku! Sama sekali tidak! Aku sudah berjanji untuk hidup wadat. Maka tiada aku berpikir tentang seorang wanita hanya karena ia wanita. Aku ingin akan sesuatu yang melebihi itu semuanya, Kakakku, jawab Laksmana.
Laksmana, apa sebenarnya keinginanmu"
Rama, Kakakku! Ada seorang wanita duduk di permukaan bumi. Bumi itu mengambang di gelombang samudra. Bulan dan bintang-bintang menyinarinya. Dan lihatlah, wanita itu termenung dalam kesendiriannya. Lalu keluarlah dari kepalanya cahaya bergulung-gulung sangat indah. Cahaya itu naik ke langit. Dan di awan-awan sana cahaya itu berubah menjadi dua makhluk. Dua makhluk itu telanjang meski mereka kelihatan berbusana indah. Serupa wajah mereka berdua, hampir tak ada perbedaannya. Hanya yang satu menunduk memejamkan matanya. Ia mirip lelaki, tapi sebenarnya ia adalah wanita dalam kesejatiannya. Sedangkan makhluk yang lain menengadah sambil membuka matanya. Ia mirip wanita, tapi ia sebenarnya adalah lelaki dalam kesejatiannya. Mereka berangkulan dalam pelukan yang erat. Lalu di hadapannya ada cahaya ilahi yang tersenyum-senyum, memantul dalam wajah dua makhluk tadi. Maka tak ada lagi makhluk lelaki atau wanita. Mereka telah lebur dalam persatuan sejati. Itulah cinta, kakakku, cinta yang ilahi,
Laksmana, apa sebenarnya yang kau inginkan" Cinta ilahi itu sendirilah, Kakakku! Cinta itu mengatasi segala cinta manusia di bumi ini. Cinta itu tak berasal dari dunia ini. Cinta itu adalah Hyang Murbeng Jagad ini sendiri. Demi cinta itu tadi, aku dan seluruh balatentara kera mau berbuat apa saja. Jangan kau berbicara tentang keadilan dalam hal ini, karena cinta itu melebihi apa saja, termasuk keadilan, kata Laksmana.
Maka telaga pun bening-bening seperti langit. Kura-kura mengambang di atasnya bagai bulannya. Kembang-kembang yang gugur bertaburan di atasnya bagai bintang-bintangnya. Harum aromanya bagaikan udara surga.
Kakakku, tiada cinta itu di dunia ini. Cinta lelaki dan wanita di dunia ini hanya perlambangnya saja. Maka aku dan seluruh bala tentara kera rela berkorban bukan demi cintamu akan Dewi Sinta, tapi demi persatuan sejati tadi. Siapakah yang tidak ingin akan cinta ilahi itu"
Cinta itulah isi dari Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Cinta yang bisa melebur semua dosa manusia. Maka cinta itu adalah anugerah, bukan buatan manusia. Manusia tak mungkin membuatnya, itulah sebabnya maka Wisrawa dan Sukesi gagal sehingga mereka melahirkan kejahatan ke dunia berupa Rahwana. Demi anugerah itu pula, maka Sukesi merelakan Wibisana untuk mengabdi kepadamu, supaya dilebur dosa-dosanya masa lalu. Demi anugerah itu pula, maka Anoman dan semua kawannya sanggup merendahkan dirinya dalam rupa kera-kera. Kerendahan hati itulah kerinduan akan cinta yang sempurna itu.
Laksmana, sedemikian beratkah tugas yang harus kutanggung" tanya Rama penuh kekaguman pada kebijaksanaan adiknya.
Rama, Kakakku, kau adalah seorang raja. Apalagi kau adalah titisan Batara Wisnu. Kau dan permaisurimu Dewi Sinta harus menjadi lambang dari persatuan sejati itu. Memang berat, Kakakku, karena sebagai lambang kau juga harus makin mewujudkan cinta sejati itu. Maka jauhkanlah dari pikiranmu segala cita-cita akan persatuan cinta sebagai perkawinan antara manusia lelaki dan wanita belaka. Sebaliknya usahakanlah bagaimana kalian berdua makin mewujudkan persatuan sejati yang damai dan bahagia itu. Dengan demikian di bawah pemerintahanmulah cinta sejati tadi berkuasa. Itulah hakekat kehidupan negerimu yang sebenarnya.
Rama, Kakakku, lihatlah Suwelagiri makin lama bertambah indah, penuh dengan puspita. Sementara di sana kejahatan Alengka makin bernyala-nyala. Sudah saatnya cinta sejati itu mengalahkan kejahatan itu. Maka tiba pula saatnya perang besar dengan Alengka. Perang ini bukanlah kisah riwayat Rama yang hendak memperebutkan Dewi Sinta, kekasihnya. Perang ini adalah sejarah manusia yang ingin mewujudkan kesempurnaannya. Sejarah manusia ini bermula dengan kegagalan manusia menghayati Sastra Jendra, maka sejarah ini harus berakhir dengan kerelaan manusia untuk menerima anugerah Sastra Jendra. Kau dan Dewi Sinta hanyalah lambang, Kakakku. Sedangkan kenyataan yang sebenarnya adalah kehidupan ini sendiri. Kehidupan setiap makhluk yang gagal menghayati Sastra Jendra, tapi sekaligus juga kehidupan yang tetap terbuka untuk diresapi anugerah Sastra Jendra. Marilah kita turun ke pesanggrahan, Kakakku. Di bawah para balatentara kera sudah menantikan kita, kata Laksmana mengajak kakaknya.
S esampainya di pesanggrahan, tiba-tiba Rama dan Laksmana
mendengar suasana ribut. Kera-kera terbangun dari tidurnya. Berlari-lari mereka mengerumuni seekor kra yang ditangkap Wibisana.
Bunuh, bunuh saja, kera jahat ini, teriak mereka. Wibisana, apa yang terjadi" tanya Rama.
Rama, telah kutangkap seorang mata-mata. Ia adalah Anggisrana, prajineman Alengka yang pandai mengubah dirinya. Ia menyusup ke sini dalam rupa kera, diperintahkan Rahwana untuk melihat kekuatan balatentara kita, jawab Wibisana sambil menunjukkan seekor kera yang terbelenggu. Lalu Wibisana meniup wajah kera itu dan berubahlah ia menjadi prajineman raksasa.
Bunuh saja mata-mata celaka ini, teriak balatentara kera makin hiruk-pikuk.
Tak perlu ia dibunuh. Dan tak boleh kita membunuh musuh yang tak berdaya. Wibisana, lepaskanlah Anggisrana. Biar dia pulang ke Alengka, supaya ia juga dapat memberitahu Rahwana tentang kekuatan balatentara kita, perintah Rama.
Wibisana menurut. Dan kera-kera lain pun patuh pada perintah Rama. Maka dilepaskanlah Anggisrana. Prajineman Alengka ini pulang dengan suka cita, karena tak dibunuh oleh lawannya. Tergesa-gesa ia lari menghadap Rahwana, rajanya. Sementara itu Rama mengumpulkan semua balatentaranya.
Hai para kera, sebentar lagi mungkin kita harus berperang dengan Alengka. Bersiap-siaplah kalian semuanya, kata Rama. Perintah Rama ini disambut dengan penuh semangat oleh para kera. Lalu Rama berpaling ke Anggada, anak Subali yang kini menjadi anak angkat Sugriwa.
Anggada, sekarang berangkatlah kau ke Alengka. Kau kuutus menjadi duta resmi untuk menanyakan kepada Rahwana, apakah ia masih akan tetap dalam kejahatannya. Yakinkanlah dia, lebih baik Alengka dan balatentara Suwelagiri berdamai saja, kalau ia tidak ingin pertumpahan darah. Kalau ia tidak mau, biarlah Alengka yang akan menanggung akibatnya, kata Rama.
Anggada segera melakukan sembah. Ia merasa bangga kali ini ia dipercaya menjadi duta. Maka melesatlah ia pergi ke Alengka, menghadap Rahwana.
Kabar mengenai Rama sudah sampai ke Suwelagiri memang sudah terdengar oleh Rahwana. Raja raksasa ini khawatir jangan-jangan balatentara Rama segera menyerang Alengka. Maka diutuslah Anggisrana menjadi mata-mata, melihat kekuatan Rama. Kini Rahwana sedang tidak sabar menunggu kedatangan Anggisrana.
Paduka, celaka, Paduka! Lebih baik Paduka menyerah saja kepada Ramawijaya, kata Anggisrana terengah-engah di hadapan singgasana Rahwana.
Anggisrana, kau sampai dengan selamat. Ceritakan, sampai di manakah kekuatan Ramawijaya" tanya Rahwana tak sabar.
Paduka, hamba tertangkap di Suwelagiri. Syukur hamba dilepaskan dengan belas kasih Ramawijaya. Percayalah Paduka, kekuatan balatentara Rama sangat luar biasa. Rasanya takkan bisa kita menandinginya. Mereka berhasil menambak samudra. Hal mana tentu tidak mungkin dilakukan tanpa naungan dan restu dewata. Berjuta-juta kera sakti kini berada di Suwelagiri, kata Anggisrana.
Anggisrana, prajineman bodoh! Mengapa kau demikian memalukan sampai tertangkap oleh musuh. Aku tak takut sedikitpun akan kekuatan satria penjelajah rimba itu, bentak Rahwana.
Paduka, ketahuilah, adik Paduka, Sarpakenaka, telah tewas oleh Anoman. Seratus selirnya binasa bersama seluruh balatentaranya, Anggisrana memotong pembicaraan Rahwana.
Rahwana mengerutkan keningnya. Sedih dan marah bercampur di wajahnya.
Oh Sarpakenaka, adikku tercinta. Kau ternyata mendahului mati untuk kakakmu. Mengapa kau tak memberitahu terlebih dahulu sebelum kau melampiaskan dendammu kepada dua satria jelek itu" Sarpakenaka, betapa malang nasibmu. Akan kubalaskan kematianmu. Lihatlah Rama dan Laksmana akan binasa di tanganku, kata Rahwana sedih.
Maka Paduka, urungkanlah niat Paduka! Marilah kita menyerah dan berdamai dengan balatentara Ramawijaya, kata Anggisrana lagi.
Anggisrana, minggat kau dari sini! Penakut kau, hai Prajineman tolol! Takkan berkecil hati oleh laporanmu. Minggat kau, dan ikutlah menjadi budak Ramawijaya seperti Wibisana, teriak Rahwana marah.
Paduka, ampunilah hamba. Apa pun halnya, hamba akan mengabdi kepada Paduka, Anggisrana menjawab dengan ketakutan.
Sementara para hadirin di paseban ketakutan karena kemarahan Rahwana, tiba-tiba di pelataran terjadi kegaduhan.
Kawan minggir, kawan minggir! Ada tamu datang, para hadirin berkata satu sama lain. Mereka mempersilakan Anggada yang sudah sampai di Alengka untuk lewat menghadap Rahwana. Dengan langkah gagah Anggada masuk ke balairung istana.
Aku Anggada, anak Subali, mau menghadap Raja Rahwana, kata Anggada.
Ha ha, Anggada. Mendekatlah ke sini. Sudah kuduga kedatanganmu. Tidakkah kau mau minta pertolonganku untuk menuntut balas arwah ayahmu yang telah binasa di tangan Ramawijaya" Syukur akhirnya kau sadar, Anggada. Dengan segenap hati aku akan membantumu, supaya terlaksana keinginanmu, sambut Rahwana berpura-pura ramah.
Rahwana, jangan kau salah sangka. Aku datang ke sini sebagai duta Ramawijaya. Aku diutus oleh junjunganku untuk mendengar kepastian darimu, apakah kau masih bertekad dengan kemauanmu yang buruk itu. Berdamailah dengan kami, dan serahkan Dewi Sinta kembali. Kalau tidak, perang darah nanti takkan terhindarkan lagi, jawab Anggada tegas.
Rahwana tak terkejut karena dalam hati ia sudah menduga, Anggada datang hendak menantangnya. Tapi ia merasa. Anggada dapat dikacaukan hatinya dengan akal liciknya. Siapa tahu Anggada akan berpihak padanya untuk mengalahkan Rama dan balatentaranya" Tidakkah ia mempunyai alasan kuat untuk membalikkan niat Anggada, karena Anggada adalah anak Subali yang telah dibinasakan oleh Rama yang membantu Sugriwa" Maka Rahwana memutar akalnya untuk menjinakkan Anggada.
Anggada, sabar dan tenanglah. Untung kau datang tepat pada waktunya. Ketahuilah, aku adalah murid ayahmu yang sakti, Resi Subali. Betapa aku ingin membalas budi kebaikan Subali, yang telah kuanggap kakakku sendiri. Masakan kau anaknya sendiri malah berpihak kepada satria yang telah menghabisi nyawanya" kata Rahwana.
Rahwana, jangan kau mencampuri urusan pribadiku. Dengan segenap hati aku rela mengabdi kepada Rama demi kebaikan diriku sendiri. Belum kau jawab pertanyaanku, apakah kau mau menyerah dan berdamai atau tidak" balas Anggada sengit.
Anggada, ketahuilah, sangat busuklah hati Sugriwa pamanmu, ia menutup mulut Gua Kiskendas ketika Subali, ayahmu, sudah membunuh lawannya Maesasura dan Jatasura, supaya ia dapat memperoleh Dewi Tara dan menjadi raja para kera. Kakakku Subali yang sakti akhirnya tahu maksud busuk Sugriwa dan bisa bertakhta kembali di Gua Kiskenda. Ia takkan mati, bila Rama satria yang curang itu tidak membantu Sugriwa. Oh betapa menyesal hati ayahmu Subali, karena mengetahui kau anaknya justru mengabdi pada orang-orang yang telah membunuhnya dengan curang. Sadarlah, Anggada, sebelum dirimu sendiri menyesali perbuatanmu nanti, kata Rahwana membujuk.
Rahwana, sungguhkah kata-katamu itu" tanya Anggada yang mulai ragu-ragu.
Anggada, kaulah yang sesungguhnya berhak atas takhta Gua Kiskenda. Sugriwa yang licik itu telah menipumu, karena takut kau akan merebut takhtanya, maka ia berkata kakakku Subali telah berpesan padanya agar kau menjadi anak angkatnya. Kakakku Subali tak pernah mengatakan itu, ia justru menginginkan agar kaulah yang membalaskan kematiannya, dan kaulah yang harus menjadi raja Gua Kiskenda. Percayalah Anggada, arwah ayahmu takkan tenang, sebelum kau membalaskan kematiannya dan menjadi raja di Gua Kiskenda.
Rahwana, bisakah aku mempercayai kata-katamu" tanya Anggada lagi.
Di hadapan arwah Subali, ayahmu, aku bersumpah, aku tidak bohong, Anggada. Aku merasa ikut menenteramkan arwahnya, jika kau dapat merebut takhtamu kembali, dan membunuh Sugriwa serta Rama yang dengan curang telah membinasakan ayahmu.
Lalu, apakah yang harus kuperbuat, Rahwana" tanya Anggada menyerah.
Baliklah ke Suwelagiri. Hancurkan Rama dan balatentaranya, hanya itulah cara menenteramkan arwah ayahmu. Ketahuilah, Anggada, bukan maksudku hendak merebut Dewi Sinta. Sebenarnya aku ingin mengembalikannya. Tapi dengan demikian, aku tak dapat membunuh satria yang telah menewaskan kakakku Subali yang kucintai. Maka sengaja kutahan Dewi Sinta di sini, supaya Rama datang ke Alengka, dan kuhabisi nyawanya. Tapi, percayalah Anggada, arwah kakakku Subali akan lebih bahagia, jika kau sendiri yang membinasakan mereka, karena kau adalah anaknya, maka lebih selayaknya kau membalaskan kematiannya daripada aku. Tapi kalau tak sanggup, biar aku sendiri yang membinasakan makhluk-makhluk keparat itu, kata Rahwana.
Cukup Rahwana, biar aku yang menghabisi nyawa pendusta dan pembunuh itu. Baru kini aku tahu, betapa lama aku tertipu. Syukur, kau memberitahukan semuanya itu. Mohon pamit Rahwana, sekarang juga aku akan mengobrak-abrik Suwelagiri, Anggada tiba-tiba menjadi geram dan marah.
Sebentar, Anggada. Tak tega aku melepasmu sendirian saja. Maka terimalah prajurit raksasaku untuk membantumu melabrak mereka. kata Rahwana yang gembira karena berhasil menipu Anggada. Berpalinglah raja raksasa ini kepada balatentaranya. Hai, Sayungsrai dan Kala Sraba. Siapkan prajuritmu, dan berangkatlah ke Suwelagiri. Bantulah Anggada, anak Subali kakakku, menghancurkan balatentara Rama.
Maka pergilah Anggada dengan hati berapi-api, diiringi para prajurit raksasa di bawah pimpinan Kala Sraba dan Sayungsrani. Sudah bulat tekad Anggada, hendak menghabisi nyawa Sugriwa dan Rama. Dan terbayang-bayang di lamunannya, takhta Gua Kiskenda.
Sampai di Suwelagiri, Anggada mengamuk membabibuta. Kera-kera kebingungan tak mengerti. Sementara para balatentara raksasa Kala Sraba dan Sayungsrani segera ikut membantu Anggada, memporak-porandakan Suwelagiri. Kerakera yang belum siap ini tak menunggu-nunggu lagi, tanpa menanti perintah, mereka pun membalas serangan para raksasa. Dalam sekejap Suwelagiri menjadi ajang pertempuran yang sengit.
Hai Sugriwa dan Rama, aku datang hendak membalaskan kematian Subali, ayahku. Keluarlah kau, hai Pendusta dan Pembunuh, teriak Anggada lantang.
Anggada, apa gerangan yang terjadi sampai kau berbuat senekad ini" Kau diutus menjadi duta ke Alengka, mengapa kau malah pulang membawa balatentara raksasa dan membuat keonaran seperati ini" tanya Sugriwa, yang datang menyongsong kedatangan anak angkatnya itu.
Diam, hai Tua bangka licik! Syukur, Rahwana telah membuka semua rahasia kejahatanmu padaku. Kaulah yang menghendaki ajal ayahku Subali. Hari ini aku hendak menuntut balas, dan serahkanlah kembali takhta Gua Kiskenda padaku, seru Anggada marah.
Sugriwa terheran-heran hendak bertanya tapi Anggada tak memberi kesempatan lagi. Dilemparlah Sugriwa dengan sebungkah batu besar. Untung Sugriwa cepat mengelak. Anggada bertambah kalap. Ia menyerang dengan mata gelap, sampai pontang-pantinglah para balatentara kera, yang mencoba menghalanginya.
Melihat kekalutan ini, Anoman segera turun tangan. Ia mencoba melunakkan hati Anggada, tapi sia-sialah usahanya. Anggada malah mendepaknya, sampai ia terjungkal ke tanah. Sekarang terpaksa Anoman melawan. Dengan gerakan secepat kilat, dipegangnya tangan Anggada. Anggada berteriak-teriak hendak menendangnya lagi, tapi dengan tangkas Anoman membalikkan diri sambil memutar tangan Anggada ke belakang. Anggada tak berdaya, karena tangannya terbelenggu oleh pegangan Anoman.
Anoman, bunuhlah aku. Lebih baik aku mati daripada menghamba kepada pamanmu pendusta yang kini mengabdi kepada Rama, junjunganmu, pembunuh yang telah merenggut nyawa ayahku, Anggada berteriak meronta-ronta. Anoman tak memberikan jawaban, dan didoronglah Anggada ke hadapan Sugriwa.
Anggada, pikirlah dengan tenang, Nak. Jangan kau terburu nafsu hanya karena kata-kata Rahwana yang telah menipumu, kata Sugriwa lemah
Kera tua bangka dan licik. Jangan kau berkata-kata lagi, tak hendak aku percaya. Aku sudah siap mati. Bunuhlah aku. Aku lebih rela mati daripada harus hidup menuruti kepura-puraanmu yang busuk itu, bentak Anggada.
Anggada, percayalah, Nak. Aku sangat mencintai kakakku Subali, hanya karena kesalahpahamanlah yang membuat nasib seperti ini. Sebelum kepergiannya, ayahmu Subali meminta agar aku memeliharamu. Dan sebagai tebusan dosaku, aku sudah berjanji padanya, hendak kurawat kau sebagai anakku sendiri. Bila waktunya tiba, dengan rela aku menyerahkan kembali takhta Gua Kiskenda padamu. Sabarlah, Nak, sampai nanti selesai tugas kita membantu Ramawijaya menaklukkan Alengka. Lagi pula inilah kesempatan bagimu untuk menambah ketenteraman arwah ayahmu. Ketahuilah, ayahmu pernah bersalah karena memberikan Aji Pancasona kepada Rahwana. Kau harus ikut menenteramkan dunia dengan mengalahkan Rahwana, agar jangan sampai anugerah ayahmu itu disalahgunakannya untuk mengacau dunia. Kau tertipu oleh Rahwana, Nak. Arwah ayahmu Subali akan makin bahagia, jika kau dapat ikut mencegah Rahwana yang telah menerima Aji Pancasona itu melakukan kejahatan di dunia. kata Sugriwa. Dibelainya kepala Anggada dengan penuh kasih sayang.
Anggada nampak lemas mendengar kata-kata Sugriwa itu. Dan tanpa kekhawatiran Anoman pun segera melepaskan Anggada. Belum hilang keraguan Anggada, tapi lihatlah, ketika ia menengadah ke atas, ia seperti melihat arwah Subali ayahnya, melayang-layang di atas awan. Terkilas kesedihan di wajah arwah Subali. Tiba-tiba Anggada melihat arwah ayahnya turun memeluk Sugriwa. Pada mata Anggada, dua ekor kera itu seakan berpelukan dalam kebahagiaan. Lalu suara Subali, ayahnya, seperti membisikkan sesuatu pada Anggada yang belum habis keraguannya. Semuanya ini memberikan pada Anggada sasmita, bahwa benarlah apa yang dikatakan Sugriwa padanya. Anggada laksana terbangun dari mimpi, dan ketika ia sadar, ia melihat arwah ayahnya pulang menghilang di awan-awan. Maka Anggada pun lari memeluk Sugriwa dengan penuh penyesalan.
Ayah, maafkanlah aku. Betapa mudahnya aku tertipu, kata Anggada terbata-bata. Sugriwa memeluknya erat-erat. Lalu ditatapnya anak angkatnya itu dengan mata terharu.
Nak, lupakan semuanya itu. Terimalah kasih sayangku. Hanya dengan demikian aku merasa dapat menenangkan arwah Subali, kakakku. Biar bagaimana, Anakku, aku juga merasa telah bersalah terhadap Subali ayahmu. Tolonglah aku meringankan dosa-dosaku terhadap Subali kakakku maka ijinkanlah aku mencintaimu, kata Sugriwa meminta.
Tak seperti biasanya, suara Sugriwa terdengar lemah penuh harap. Iba rasa para kera mendengarkannya. Di tengah keadaan yang mengharukan itu, datanglah Rama dan Laksmana, menghampiri Sugriwa dan Anggada.
Anggada, dengarlah, panah Guawijaya memang telah memulangkan Subali, ayahmu, ke alam baka. Tapi percayalah, Anggada, takkan pernah Guawijaya menghabisi nyawa orang yang tak bersalah, kata Rama. Anggada segera melakukan sembah, hendak ia berkata-kata menyatakan penyesalannya, tapi Rama cepat menghalanginya.
Senopati Pamungkas I 3 2060 When The World Is Yours Karya Yuli Pritania Pena Wasiat 16
^