Pencarian

Bajang Menggiring Angin 7

Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata Bagian 7


Setelah membersihkan diri, di hadapan Kumbakarna telah tersedia makanan dengan lauk pauk pelbagai rupa yang bertumpuk setinggi bukit. Kumbakarna makan dengan lahapnya dan makanan itu habis tak tersisa.
Kumbakarna, setelah kau kenyang, aku ingin agar kau menjadi panglima untuk membunuh Rama dan Laksmana serta menghancurkan balatentaranya, kata Rahwana.
Rahwana, kakakku, mengapakah kau masih berkeras hati untuk membunuh orang yang tak bersalah" Kembalikan Dewi Sinta yang bukan milikmu itu, Kumbakarna mencoba mengingatkan kakaknya.
Kumbakarna, kau adalah seorang ksatria, tunjukkanlah kesatriaanmu bagi negerimu tercinta Alengka yang kini dilanda bahaya. Jangan kau berpikir lain. Soal Dewi Sinta adalah soalku sendiri, Rahwana masih mencoba membujuknya.
Rahwana, kakakku, tak perlu kau paksa aku untuk membela negeri bila negeri memang perlu dibela. Tapi kini hatiku raguragu apakah benar tindakanku karena aku tahu malapetaka yang akan menimpa Alengka ini sebenarnya disebabkan oleh kesalahan dan kejahatanmu. Tidakkah dengan demikian aku membela apa yang tidak benar" tanya Kumbakarna.
Rahwana terdiam. Ia tidak berani marah, khawatir adiknya yang jujur ini tidak mau melaksanakan keinginannya.
Rahwana, kakakku, dunia sudah mengenal kejahatanmu. Kau telah membawa Alengka ini menuju kepada kehancurannya. Para punggawa takut dan menurut kepada kehendakmu, meski sebenarnya hatinya tidak mau patuh. Lihatlah, Kakakku, di istana ada anak bajang bergandul di atap, menunjukkan sudah tiada lagi papan kebaikan di Alengka ini, gunung-gunung pun telah terbenam menjadi jurang.
Kakakku, jadikan hatimu bagaikan samudra yang luas seakan tak bertepi, tapi tenang dan sabar di tepi-tepinya. Sebagai raja kau adalah kartika yang seharusnya terang menghamburkan harum bunga-bungaan. Mengapa kau menjadi kejam terhadap Negeri Alengka untuk kau seret menuju kehancuran. Berubahlah kekerasan hatimu, Kakakku, untuk bermimpi seperti kakek kita Sumali, raja yang menginginkan Alengka penuh dengan darma. Ingatlah kakek kita Sumali pernah memimpikan agar keris Nandaka tiada lagi menjadi keris pembunuh nyawa, tapi keris yang membela hati warga Alengka untuk bercinta. Biarkan mereka mandi dalam kedamaian hati di Danau Pancaka yang gemerlapan dengan lima warna kebahagiaan surga. Pada saat itu kita semua tidak lagi menjadi anak-anak negeri tapi putraputra darma dan cinta.
Maka Kakakku, berdamailah dengan Rama. Jangan kau tambah kedosaan Alengka yang kenyang darah. Dan tiada cara lain, kecuali dengan mengembalikan Dewi Sinta kepada Rama pemiliknya, kata Kumbakarna.
Kumbakarna, pengecut kau! Satria licik kau! Kupanggil kau kemari bukan untuk menasihatiku, tapi untuk maju ke medan perang membela negeri. Binatang, setelah kau kenyang, kau mencoba mengoceh seperti setan kesiangan, bentak Rahwana yang tak kuat lagi menahan diri.
Aku tak butuh makananmu, Rahwana! Silakan kau mengambilnya kembali, ujar Kumbakarna. Lalu raksasa jujur ini membuka mulutnya. Dan dengan daya aji guna menga (gua menganga) dimuntahkan semua makanan pemberian Rahwana dari mulutnya. Rahwana dan para hadirin di balairung terkejut bukan buatan, karena makanan itu utuh seperti semula tanpa kurang dan noda sedikit juga, sama seperti ketika belum masuk ke perut Kumbakarna.
Rahwana, kau boleh memperbudak aku dengan membelenggu badanku, tapi kau tidak dapat membunuh jiwaku. Kau boleh merantai tangan dan kakiku untuk menuruti nafsumu, tapi kau tidak dapat memperbudak pikiranku, karena ia adalah bebas seperti burung yang terbang di langit, ujar Kumbakarna penuh ketetapan hati.
Hai Kumbakarna, tidurlah terus kau! Paman Prahasta dan anakmu Aswani Kumba dan Kumba Aswani telah gugur oleh para kera, masihkah kau..., bentak Rahwana.
Apa" Paman Prahasta telah tiada" Dan anakku Aswani Kumba dan Kumba Aswani telah binasa" sela Kumbakarna tak percaya.
Biadab! Pengkhianat kau, hai Bangsat! Tulikah kau karena ketakutanmu" Dasar penidur! Sudah tersiar di seluruh Alengka, Paman Prahasta remuk dihantam tugu batu oleh Anila, anakmu Aswani Kumba tewas oleh Sugriwa, dan Kumba Aswani binasa oleh Anoman, bentak Rahwana marah sejadi-jadinya.
Aduh Paman, kenapa kau meninggalkanku" Oh Paman, tunggulah aku di surga, aku segera menyusulmu sekarang juga! Rahwana, aku pamit mati. Aku pamit mati, Kakakku, Kumbakarna meratap tersendat-sendat. Dan lihatlah, tanpa berkata-kata lagi, Kumbakarna membalikkan tubuhnya secepat kilat. Lunglai tubuhnya, gontai langkahnya, meninggalkan hati hadirin yang tersayat-sayat. Kumbakarna hendak pergi mati, menyusul pamannya Prahasta, dan kedua anaknya Kumba Aswani dan Aswani Kumba yang tercinta.
Dan berangkatlah raksasa malang ini ke medan laga, sendirian tanpa balatentara. Ditanggalkannya pakaian istananya, dan dikenakanlah busana dari kain sederhana berwarna putih semuanya, tanda perkabungannya. Ia berteriak keras, menggelegar sampai bergoncang Suralaya. Dewa-dewa bergetar, para bidadari lari ketakutan. Angin bertiup karena langkah Kumbakarna yang kencang, merobohkan segala pepohonan. Binatang-binatang hutan ngeri mencari perlindungan dan hewan-hewan kecil gemetar tak karuan.
Wibisana, adikku yang tampan. Adikku yang bijaksana. Surgakanlah aku, oh Adikku, Kumbakarna berkeluh kesah sepanjang jalan. Kesedihannya memecah awan, lari dari gumpalan ke gumpalan. Kesedihannya menyelip di antara dedaunan, menjadi desiran nyanyi kedukaan.
Ratapannya menetes menjadi air mata. Merambat dari rumah ke rumah. Keluarlah perempuan-perempuan Alengka, menyaksikan Kumbakarna berangkat ke medan laga tanpa pedang kencana. Hanya hatinya yang membilah pedang, menyinarkan luka penderitaan. Perempuan-perempuan itu menangis keras, dan dari antara mereka tiba-tiba lari seorang nenek tua, Dewi Sukesi.
Kumbakarna, jangan tinggalkan aku, Nak! jerit Dewi Sukesi. Kumbakarna menghentikan langkahnya, ia berpaling dan lari memeluk ibunya.
Ibu, aku pamit mati. Aku pamit mati, Ibu, bisik Kumbakarna lirih. Ditatapnya ibunya, tapi betapa terkejut Kumbakarna melihat tatapan mata ibunya. Mata Dewi Sukesi memancar merah laksana darah.
Ibu, kenapa kau tatap aku dengan mata yang tanpa belas kasih, sedang hendak aku memohon kasihmu dalam perjalanan kematianku" tanya Kumbakarna.
Sukesi tersentak. Ia sadar, penderitaan Kumbakarna ternyata telah membawanya pergi ke masa lalu, masa lalunya di pelataran kembang kenanga, ketika ia bergulingan dalam nafsunya bersama Wisrawa, saat ia gagal menghayati Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Kegagalan itu adalah kebenciannya. Kini kebencian itu hadir kembali, dalam rupa Kumbakarna yang mau mati. Tak mengherankan matanya merah, menatap Kumbakarna di hadapannya. Sukesi dihentakkan kesadarannya, kebencian terhadap raksasa menakutkan yang mau mati itu adalah kebenciannya sendiri, bahkan buah kandungan dosanya sendiri.
Nak, maafkanlah ibumu, meratap kini Dewi Sukesi. Pandangan matanya pun pudar, melemah, menjadi tatapan seorang ibu yang penuh belas kasih, diciumilah Kumbakarna, dan Kumbakarna merasakan kemesraan seorang ibu yang belum pernah didapatinya. Raksasa dahsyat itu merasakan dirinya menjadi bayi yang ditimang-timang oleh ibunya.
Menyanyi merdu Dewi Sukesi. Nyanyian hati tentang penyesalan yang telah menjadi bulan. Indah bulan itu karena di dalamnya adalah penderitaan yang tak pernah padam. Mungkinkah dunia menjadi indah tanpa sinar bulan yang muram" Dunia takkan tahan untuk senantiasa berada dalam siang yang menyengat tajam. Ia pun suka menggigil dalam kedinginan malam meski harus berada dalam sinar bulan yang suram. Pada dirimulah Kumbakarna, tersembunyi penyesalan dan penderitaan berupa bulan yang muram itu. Wajah Dewi Sukesi memancar terang, ketika ia melihat penderitaan anaknya Kumbakarna, yang keindahannya tak kalah dengan kebahagiaan.
Nak, kurangkaikan dosa-dosa dan penyesalanku di lehermu. Lihatlah, Nak, untaian dosa-dosa itu tak kalah indahnya dengan permata, dan rangkaian penyesalan itu tak kalah indahnya dengan mutiara. Jalanmu yang menderita akan menyemarakkan keindahan itu, kata Dewi Sukesi.
Ibu, berikanlah untaian mutiara dosa dan permata penyesalan itu padaku. Akan kubawa dia dalam perjalanan kematianku, pinta Kumbakarna.
Terimalah perhiasanku ini, Nak, kata Dewi Sukesi. Dan perempuan tua ini pun mengalungkan untaian kembang kenanga di dada Kumbakarna! Mendadak alam pun membalik ke masa lalu. Tanpa malu-malu. Jeritan kedukaan menjadi madah syukur sukacita. Bermain-main anak-anak bajang di tepi pantai, padahal kematian sedang berjalan mengintai-intai. Gelombang lautan hendak menelan anak bajang, tapi dengan kapal kematian anak-anak bajang malah berenang-renang menyelami kehidupan. Hujan kembang kenanga di mana-mana, dan Dewi Sukesi pun tahu, penderitaan itu ternyata demikian indahnya. Di dunia macam ini, kebahagiaan seakan hanya keindahan yang menipu. Sukesi terbang ke masa lalunya, ke pelataran kembang kenanga. Ia tahu: kegagalannya untuk memperoleh Sastra Jendra ternyata disebabkan oleh ketaksanggupannya untuk menderita. Ia rindu akan kebahagiaan yang belum dimilikinya, dan karena kerinduannya itu ia malah membuang miliknya sendiri yang paling berharga, penderitaannya sendiri. Dan pada Kumbakarna-lah kini penderitaan itu menjadi raja.
Ibu, ijinkan aku berangkat ke Suwelagiri. Aku pamit mati, Ibu, kata Kumbakarna.
Kemarilah, Nak! Peluklah aku erat-erat sebelum kepergianmu, pinta Dewi Sukesi. Kumbakarna memeluk ibunya eraterat. Sukesi seakan tak ingin melepaskannya. Diciumilah pipi anaknya sepuas-puasnya. Ia merasakan betapa hangat pipi anaknya yang berupa raksasa dahsyat ini, dan pipi itu terasa suci seperti kapas.
Air mata Dewi Sukesi berlinangan mengiringi kepergian anaknya, Kumbakarna. Didoakanlah anaknya yang pergi menyongsong kematian. Dan mega-mega di langit pun pecah menjadi karang abang. Hujan darah dan ndaru-ndaru berkelabatan beriring dengan berkilat-kilatnya halilintar. Maka berlari-larilah ribuan anak bajang mengayun-ayunkan lidi jantan, diikuti para nagaraja dengan bisa keemas-emasan. Di seberang sana, Kumbakarna melihat pamannya Prahasta dan anaknya Aswani Kumba dan Kumba Aswani tersenyum di keindahan istana kematian.
Aduh Paman, tunggulah aku. Dan surgakanlah aku, Wibisana, jerit Kumbakarna. Langit menangis mendengar jeritnya. Dan suram-suramlah diwangkara mendengar ratapannya.
Suwelagiri masih jauh, tapi badan Kumbakarna seakan mau roboh. Berkibar-kibar rambutnya, dengan lambaian helai-helainya yang terpatah-patah. Bertiup angin dari selatan, angin hitam dari awan. Langit kering dinding-dindingnya, dan tanggal bunga tanggal daunnya. Bersinar pudar mata sang Kumbakarna.
Tertatih-tatih raksasa dahsyat ini berjalan. Dalam lemah langkahnya, Kumbakarna merasa ada makhluk yang mengikutinya. Berpalinglah sang raksasa, dan alangkah bahagia hatinya ketika melihat abdinya yang setia, Togog Tejamantri, di belakangnya. Kumbakarna terheran-heran, mengapa gerangan kelihatan lambat sekali jalan sang Togog Tejamantri. Abdi tua itu berjalan terbungkuk-bungkuk, punggungnya menggendong beban yang dibungkus dengan daun kelapa.
Togog Tejamantri, mengapa gerangan kau mengikutiku" tanya Kumbakarna.
Paduka, terimalah bekal hamba ini, hanya demikian jawab Togog Tejamantri. Togog Tejamantri segera membuka bungkusannya. Dikeluarkanlah sebatok air buah kunir. Diolesoleskannya air buah kunir itu ke dahi Kumbakarna. Kemudian ia masih menekan-nekan bungkusannya. Kumbakarna makin terheran-heran. Dan betapa terkejut ia, ketika keluar dari bungkusan Togog Tejamantri seekor anak trenggiling.
Togog Tejamantri, inilah saatku mati. Aku pamit mati, oh Togog Tejamantri, kata Kumbakarna setelah ia melihat seekor anak trengggiling itu melata dengan amat susah.
Sejenak ditatapnya Togog Tejamantri dengan mata penuh terima kasih. Lalu larilah ia sekencang-kencangnya ke Suwelagiri. Kumbakarna merasa waktunya telah tiba. Sia-sia ia mempertahankan hidupnya, karena hari-harinya telah remang-remang dengan cahaya kuning yang memancar dari dahinya. Ia ingin berjalan melampaui hidupnya, tapi ternyata jalannya hanya melata, lebih lambat daripada anak trenggiling. Pada saat inilah Kumbakarna merasa telah sampai di ambang malam, malam yang paling dalam, tempat tiada lagi suasana kecuali kegelapan yang mencekam. Dalam kegelapan itu serasa terdengar suara merdu, suara dari siter yang dipetik tanpa talinya, suara yang memaksa Kumbakarna untuk memenuhi panggilannya. Tapi tak mungkin lagi ia menghindar darinya, ia harus memberi jawabannya, dengan isak tangisnya.
Kumbakarna merasa jatuh dalam kesunyian. Ia bertanya-tanya, mengapa keadaan menjadi demikian sepi" Tapi kesunyian itu hanya sejenak saja. Kesunyian itu pecah menjadi suara riuh-rendah, ribut luar biasa. Para kera ternyata telah datang berkerubut seperti semut, menyerang Kumbakarna. Mereka mendekap-dekap kaki Kumbakarna, menghalangi perjalanannya. Ribuan kera naik ke kepala dan punggungnya. Dengan pelbagai cara mereka hendak melukai Kumbakarna. Menghantamnya sekuat tenaga, memukulnya dengan gada, mencabut pohonpohon untuk dihajarkannya.
Tiba-tiba Kumbakarna memekikkan teriakan dahsyat. Kerakera yang berada di dekatnya binasa karena pecah telinganya. Yang lain lari pontang-panting, menjauh dari amukan Kumbakarna. Suara itu masih terdengar menggelegar, sampai bergoyang-goyang batang-batang di mana para kera mencari perlindungan.
Sementara ribuan kera mati terinjak-injak kakinya. Tangannya meremas-remas kera-kera di telapaknya. Dan dilemparkannya ke udara kera-kera yang mengganggunya. Lawan-lawannya itu jatuh bertumpang-tindih menjadi bukit-bukit jenazah kera. Dan ketika mulutnya menganga bagaikan gua, tersedotlah kera-kera bagai aliran sungai ke dalam perutnya.
Adikku, Wibisana yang tercinta, di manakah kau" Aku datang Wibisana, surgakanlah aku segera, kata Kumbakarna makin menyayat hati. Datanglah Sugriwa menghadapinya. Mata Kumbakarna segera kabur, dipungutnya Sugriwa, dan ditimangtimangnya bagaikan Wibisana.
Betapa terhadang ribuan gunung, kau selalu dekat padaku, Wibisana. Oh Adikku, betapa tampan dan bijaksana dirimu. Mari kutidurkan kau dalam gendonganku. Jangan menangis adikku, lihatlah ada kinjeng terbang menawang-nawang, hinggap di batu gunung, mendengar tangismu, tak tahan hatinya, ingin mencium dan mendiamkanmu bagai seorang ibu. Adikku, inilah kakakmu yang mencintaimu, kata Kumbakarna bahagia bagai menimang-nimang Wibisana. Sugriwa ketakutan luar biasa berada dalam pelukan raksasa dahsyat ini, ketika Kumbakarna ingin menciumnya, digigitlah hidung Kumbakarna sekuat tenaga. Dan tanggallah hidung Kumbakarna.
Sugriwa lari ketakutan, meninggalkan Kumbakarna yang kesakitan. Maka makin mengamuklah Kumbakarna, membuat berantakan dan kebinasaan para kera. Laksamana yang melihat raksasa dahsyat ini segera melepaskan panah kembarnya. Panah melesat melewati lautan darah, mengenai kakinya, patah kedua-duanya. Rebahlah Kumbakarna.
Oh Wibisana, aku rindu padamu. Mengapa kau hai orangorang Suwelagiri tega melukai aku" Kumbakarna berteriak kesakitan. Namun raksasa itu terus berjuang, sambil duduk diombang-ambingkan kera-kera yang mendekatinya, lalu dicabutnya pohon-pohon sekenanya, diputar-putarkannya menghajar binasa ribuan kera.
Wibisana, datanglah kemari, kau yang tampan, kau yang bijaksana. Aku berperang bukan untuk kejahatan kakakku Rahwana, aku hanya membela negeri tercinta, tanah tumpah darahku ini, Wibisana, Kumbakarna berkeluh kesah sambil terus mengamuk. Tiba-tiba datanglah panah kembar Ramawijaya, mengenai lengannya, tanggal kedua-duanya. Medan laga pun banjir dengan darah Kumbakarna.
Sambil menjerit menyayat-nyayat, Kumbakarna pantang menyerah. Ia menggelundungkan dirinya, bagai gunung bergulunggulung melindas balatentara kera. Sangat menderita dan iba keadaan raksasa itu, tanpa kaki dan tangan, namun beribu-ribu kera habis binasa oleh badannya yang bergulung-gulung.
Kakakku, Kumbakarna yang tercinta, aku datang, Kakakku. Tak tahan aku melihat penderitaanmu, kata Wibisana menangis-nangis tersedu-sedu, memeluk kakaknya yang berlumuran darah. Kumbakarna memandangnya dengan penuh bahagia.
Wibisana, mengapa kau tak merasakan kerinduanku" Ketahuilah, Adikku, aku bukan membela kejahatan kakak kita
Rahwana, aku semata-mata membela negeriku tercinta yang akan dirusak para kera. Namun hatiku ragu-ragu Wibisana, apakah tindakan kesatriaanku ini berkenan di hati para dewa, sebab aku tahu betapa pun akhirnya aku juga membela Rahwana yang jahat dan keras hati itu. Semoga pertemuanku denganmu melenyapkan segala keraguan itu, karena bijaksanalah pilihan hidupmu. Dan memang aku belum mau mati Wibisana, sebelum aku berjumpa denganmu untuk terakhir kalinya. Surgakanlah aku dengan segera Wibisana, pinta Kumbakarna sangat mengharukan.
Kakakku, tak mungkin lagi aku mempertahankan hidupmu. Berpulanglah, Kakakku. Maafkanlah aku, aku akan minta Rama untuk mengantarkan kepergianmu, Wibisana berkata terpatahpatah sambil terus berlinangan air matanya. Lalu ia pergi ke Rama untuk minta agar ia melepas panah saktinya.
Terima kasih, Wibisana. Semoga berbahagialah hidupmu di dunia. Aku akan menyusul Paman Prahasta. Kunanti kedatanganmu di surga. Surgakanlah aku Wibisana..., sebelum Kumbakarna mengakhiri kata-katanya, panah sakti Rama telah mengenai lehernya, mengantar kepergiannya.
Kumbakarna menjerit ngeri. Tapi bersama dengan jeritannya yang terakhir kali, turunlah hujan bunga dari langit. Suka-suka para bidadari menyambut kedatangan pahlawannya. Arwah Kumbakarna naik ke langit mengendarai ular jantan, digiring anak-anak bajang. Namun betapa sedih hati Kumbakarna, karena surga ternyata belum mau membuka pintunya. Ia hanya terkatung-katung dalam alam pangrantunan (alam penantian).
Paman, tolonglah aku. Aku ingin ke kediamanmu, Paman, Kumbakarna merintih-rintih sedih.
Nak, inilah aku. Tak tahan aku mendengar tangismu yang tersedu-sedu, terdengar suara Prahasta dari balik keilahiannya. Kumbakarna ingin memeluknya, ingin melepas kerinduannya, tapi demikian jauh rasanya tempat kediaman pamannya. Paman, mengapa aku belum diperkenankan berada dalam keilahian seperti dirimu" Sudah banyaklah penderitaan hidupku di dunia, tanya Kumbakarna penuh belas.
Nak, keputusan hati yang pastilah yang akan menyelesaikan segala-galanya. Sepanjang hidupku aku tak pernah ragu-ragu akan keputusanku, meski orang lain mengatakan aku keliru. Menurut orang lain, aku berada dalam keadaan yang tidak benar, tapi aku yakin bahwa aku jalan kebenaran, aku yakin tiada kemuliaan lebih agung untuk seorang satria daripada menjalankan kewajibannya untuk membela negeri, aku tak memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari tugasku itu. Itulah sebabnya aku tak bisa dipersalahkan.
Paman, lalu apakah kesalahanku" tanya Kumbakarna. Keraguanmulah, Nak, kesalahanmu. Kau menjalankan tugasmu dengan hati yang ragu-ragu. Berarti kau tahu, masih ada yang lebih benar, lebih baik, dan lebih luhur, dan setidak-tidaknya kau tahu apa yang ternyata kau jalankan adalah keliru. Tapi kau tetap menjalankan apa yang kau ragukan itu. Berarti kau ragukan diri dan tugasmu. Itulah kesalahanmu, Nak.
Nak, ketahuilah, keksatriaanmu itu bisa salah, bisa benar, tergantung dari keputusanmu sendiri. Dan ingatlah, apa yang besar bagi dunia menjadi kecil bagi mata ilahi. Dunia boleh memujamu dan meluhurkan keksatriaanmu. Tapi dewa-dewa tidak mengukur dari kebesaran itu, dewa-dewa mengukur dari jiwa, kebesaranmu, yakni keputusanmu yang pasti atau tidak akan kesatriaanmu. Keputusan itulah yang membuat keilahianmu, bukan keksatriaan menurut ukuran dunia itu. Kau belum murni dalam keputusanmu, maka dewa-dewa mempersilakan kau memurnikan keputusanmu dalam alam penantian ini. Jangan kau anggap itu sebagai hukuman, tapi kesempatan untuk menyucikan keputusanmu, kata Prahasta bertutur.
Paman, sampai berapa lama aku harus menunggu dalam alam penantian ini" tanya Kumbakarna dengan penuh pemahaman dan sabar.
Sampai adikmu berpulang dari menjalankan tugasnya di dunia. Adikmu, Wibisana-lah yang dapat membantumu terangkat dari alam penantian ini, karena sungguh yakinlah ia akan jalannya di dunia, jawab Prahasta.
Paman, aku memang akan lebih bahagia bila aku boleh masuk ke surga bersama adikku Wibisana. Akan kutunggu dia dengan sabar, sampai ia selesai menjalankan tugasnya di dunia, kata Kumbakarna.
Prahasta kembali ke alam keilahiannya. Dan Kumbakarna dengan sabar menanti adiknya di alam penantian. (Pertemuan kembali Kumbakarna dan Wibisana akan terjadi kelak dalam cerita Makuta Rama). Sementara di sana belum reda isak tangis Wibisana. Berlinangan air matanya, jatuh bertetesan di mayat kakaknya, Kumbakarna.
P aro petang tanggal ke sebelas. Wibisana menelungkupi mayat
Kumbakarna yang penuh dengan bulan. Ada air mata menitik dari langit, air mata Begawan Wisrawa yang menetes seperti ketika ia memeluk Dewi Sukesi setelah ia gagal menghayati Sastra Jendra.
Adakah hidup ini berjalan dengan dicegah oleh pembalasan" Maka tergambarlah di langit, Wisrawa bagaikan manusia miskin mengayun bulan, dan dalam perjalanan waktu manusia miskin itu hanya ditinggalkan dalam awan-awan. Berlomba bulan, berlomba waktu, dan manusia miskin itu makin ketinggalan sampai beruban. Sungai darah telah jernih kembali, namun di muara airnya menjadi merah lagi. Darah Kumbakarna telah menggenang laksana lautan, darah pembalasan dendam Arya Jambumangli yang badannya terpotong-potong oleh panah Wisrawa. Manusia miskin itu tak berdaya lagi berlomba dengan perjalanan hidup yang berjalan menurut hukum pembalasan.
Nak, telah kau lunaskan semua dosa-dosaku. Badanmu hancur terpotong-potong seperti paman ibumu, Arya Jambumangli, yang mati oleh dosa-dosaku setelah aku gagal menghayati Sastra Jendra yang suci itu. Maafkan aku, Nak, dengan segala tapa dan matiragaku di dunia, telah kucoba mencegah perjalanan waktu untuk berputar menuruti hukum pembalasan. Namun aku tak berhasil, Nak, hidup ternyata berjalan menuruti hukumnya sendiri, dan kau binasa terpotong-potong seperti paman ibumu, Jambumangli, Nak, jasa kebaikanmu sudah terlalu banyak, naiklah, Nak, ke alam ilahi ini! kata Wisrawa di balik langit ilahi.
Ayah, sungguhkah hidup ini berjalan menurut hukum pembalasan" Tidak, Ayah! Hidup ini berjalan menurut hukum kesalahan manusia yang membuahkan pembalasan. Aku ikut berdoa menggerakkan roda hidup itu menuju ke pembalasan, karena aku hidup dalam keragu-raguan. Sebenarnya aku tahu yang lebih baik dan benar, namun hatiku tergoda oleh kebanggaan satria yang ingin bertapa di pucuk pedang, akhirnya pedang itu sendiri yang memenggal-menggal badanku. Aku takut terhadap dunia yang akan menistai aku, bila aku bertapa dalam kerendahan dan kesunyian hatiku. Ayah, aku tidak membenci kesatriaanku, aku membenci keragu-raguanku akan keksatriaanku. Maka kembalilah Ayah dalam alam kebahagiaanmu. Biar aku hidup dalam alam penantian ini supaya aku dapat menemani adikku tercinta, Wibisana, agar ia menjalankan tugasnya dengan ketetapan hati akan kebenaran yang diyakininya. Ketetapan hati akan kebenaran itulah yang akan mencegah hidup ini bergerak menurut hukum pembalasan, jawab Kumbakarna.
Maka berjalanlah ular jantan yang ditungganggi Kumbakarna dalam jalan surga yang belum mau menemui akhirnya. Ia berjalan melewati rumput katang-katang, digiring anak-anak bajang yang telanjang. Kumbakarna bagaikan penjaga bulan dan matahari yang saling berkasih-kasihan, ditemani anak-anak bajang yang memakan fajar. Siang masih jauh dari malam, dan malam masih jauh dari siang, namun dalam dunia Kumbakarna, keduanya saling menantikan dan merindukan. Dan di dunia itu, anak-anak bajang meminum embun sampai menggigil kedinginan, namun bidadari memandikan mereka dengan kehangatan air matahari. Dalam dunia inilah saling menjauh dan mendekat cita-cita dan harapan.
Indrajit, anakku, mengapa pamanmu Kumbakarna serasa terus berada dalam angan-anganku. Serasa ia berjalan di bumi Alengka ini dengan digiring ribuan anak-anak bajang yang telanjang. Pemandangan itu serasa membangkitkan rasa sayangku padanya. Tidakkah ia telah gugur binasa" tanya Rahwana yang ketakutan dan kebingungan karena kehilangan Kumbakarna yang sakti itu. Ia terdiam sejenak. Hanya sejenak, dan bangkit lagilah angkara murkanya.
Uah, Bedebah, mengapa aku mesti memikirkan kematian raksasa tukang tidur itu" Hatinya lebih pada Wibisana, bukan padaku. Tapi Indrajit, anakku, siapakah kini yang harus menghadapi Rama dan balatentaranya" tanya Rahwana.
Tiada lagi, Ayah, tidakkah semua panglima sakti Alengka sudah gugur semuanya" balas Indrajit. Rahwana seakan diingatkan, sudah sekian banyak balatentaranya yang habis binasa demi kemauannya. Karena sangat besarlah angkaranya, ia seakan tidak ingat bahwa ia sudah tidak mempunyai panglima lagi. Sebentar raja raksasa ini ketakutan kembali.
Bangsat, kera-kera Rama yang kurang ajar itu! Rupanya, aku sendiri yang harus membinasakannya, bentak Rahwana marah sambil bangkit dari takhtanya.
Jangan, Ayah, biarlah aku dan adik-adikku yang berangkat ke medan laga. Bisakah mereka mengalahkanku, meski mereka sudah membinasakan Paman Kumbakarna yang sakti itu" Indrajit mencegah ayahnya.
Ha, ha, Indrajit, anakku. Sungguh besar rasa baktimu padaku. Cukup memang kau yang menumpas kera-kera celaka
itu, tak perlu aku. Berangkatlah, Nak, kalau kau menang, dan dapat membawa pulang kepala Rama dan Laksmana, akan kuserahkan takhta Alengka ini kepadamu. Biar aku menikmati hari-hari tuaku bersama jelitaku, Dewi Sinta, ibumu. Pergilah, Nak, naiklah kereta perang Kerajaan Alengka, karena kau adalah satu-satunya wakilku yang bakal bisa menumpas Rama dan balatentaranya, kata Rama berkhayal.
Indrajit minta restu. Dan berangkatlah putra makota Alengkha ini dalam kemegahannya ke medan laga. Naik kereta pusaka Kerajaan Alengka yang ditarik empat puluh kuda kencana. Kusirnya adalah dua gandarwa kembar, Andarina dan Andarini. Bau wangi yang bertebaran di mana-mana, bau dari kereta yang terbuat dari kayu cendana. Kereta berkilap-kilap, memantulkan cahaya surya dari sisik-sisik naga kencana yang dipasangkan sebagai atapnya. Bagai pelangi kereta melesat karena terlapis beludru aneka warna dinding-dindingnya. Ada renda menghelai-helai di jendelanya, renda dari manik ringin makundala meranting-ranting. Leher-leher kuda penghelanya digantungi dengan kl"n"ngan emas itu bagai gangsa lokananta yang merdu suaranya.
Di kiri-kanan kereta terbanglah tujuh bidadari yang terhukum sebagai manusia, istri-istri Indrajit, yang kini ingin kembali ke surganya. Lalu bergeraklah barisan raksasa dengan dahsyatnya. Paling depan adalah dua prajineman tua Alengka, Tatkala dan Kalayaksa. Diikuti dua raksasa besar, Mataka dan Saramata. Di sekitar kereta beraraklah empat putra Alengka. Trisirah memamerkan kepalanya yang tiga jumlahnya. Trinetra, putra Rahwana yang bermata tiga, menerangkan jalan para prajurit dengan matanya ketiga, yang menyemburkan dahana dari dahinya. Tak kalah megahnya adalah Narantaka, putra Rahwana yang mengendarai wraha (babi hutan). Diikuti oleh Dewantaka, yang naik sardula (harimau) yang mengaum-ngaum.
Ketika Andarina dan Andarini melecut empat puluh kudanya, langit serasa gumawang, miring ke barat, merendahkan megameganya, bagai ibunda yang ingin memeluk Indrajit kembali ke pangkuannya. Maka bersoraklah para raksasa, mereka gembira, tak tahu pratanda yang akan menimpa putra makota Alengka.
Barisan kera tak gentar menghadapi kedahsyatan musuh yang lebih daripada biasanya. Maka mereka pun menggelar dalam siasat Cakrabyuha, yang menggigit bagai roda di kepalanya. Kera-kera berputar-putar sangat ganasnya, menggiling musuh seperti cakra. Dan belum habis kebingungan musuh, siasat Cakrabyuha ini telah dibubarkan dan kera-kera menggelar dalam siasat Brajasutikna, berbaris padat meruncing di ujungnya seperti panah sakti, siap menusuk musuh-musuhnya.
Di barisan paling depan terdengarlah pekik menyayat, Tatkala dan Kalayaksa berantakan otaknya karena di-adukumba (kepala saling dibenturkan) oleh Anoman. Saramata hendak membantu, tapi Anila keburu menghajarkan puncak sebuah bukit ke badannya, sampai berantakanlah daging-dagingnya. Kapi Sraba tak mau kalah, menggigit leher Mataka yang hendak menuntut bela, darah mengalir dan habislah riwayat Mataka.
Trisirah membabi buta. Tiga kepalanya berputar sangat waspada. Kera-kera tewas oleh pedangnya. Datanglah Anoman di belakangnya, sehingga Trisirah tak melihatnya. Ketika putra Rahwana yang berkepala tiga ini membalik, melompatlah Anoman membelakanginya. Demikian seterusnya, dan Trisirah pun lelah. Ketika ia lengah, Anoman merampas pedangnya, dan menusukkannya ke perut Trisirah.
Melihat kematian Trisirah, menggeranglah Narantaka, menerobos kepungan musuh dengan babi hutannya. Babi hutan Narantaka lari sangat kencang membuyarkan kepungan kera. Anoman segera berteriak, memerintahkan siasat Brajasutikna dibubarkan dan kera-kera pun menggelar dalam siasat Cakrabyuha. Kera-kera mengalir seperti roda, sangat kencang mereka berputar, dikejar-kejar babi hutan Narantaka yang melambai-lambaikan pedang. Di ujung Cakrabyuha menantilah Anggada dengan sebatang pohon di tangannya, begitu Narantaka lewat, dihantamkanlah pohon itu ke badan Narantaka sekeras-kerasnya. Putra Alengka ini lebur bersama babi hutannya.
Sementara Dewantaka mengiringkan putaran roda yang terdiri dari para kera. Namun belum sempat sardula-nya menelan lawan, siasat Cakrabyuha telah dibubarkan, dalam sekelebat kera-kera telah menggelar dalam siasat Brajasutikna kembali, di ujung siasat berbentuk panah ini bersiaplah Anoman dengan gadanya. Dewantaka tak mengira, barisan kera berbalik seperti anak panah ke arahnya. Namun sardula-nya keburu lari, Anoman menghindar dan dihajarnya Dewantaka sampai tewas binasa.
Di tengah kemenangan ini tiba-tiba mengerang-ngeranglah para kera kesakitan dimakan api. Para kera banyak yang terbakar hangus karena dahana yang disorotkan oleh mata Trineta yang ketiga. Dahana mencorong keluar dari dahinya. Laksmana tak membiarkan malapetaka ini berkepanjangan. Dilepaskan Kamalajastra, panah sakti dewa api. Panah tepat mengenai mata Trinetra yang ketiga di dahinya. Trinetra ditelan api, hangus terbakar di antaranya.
Mendengar kematian adik-adiknya, Indrajit tak kuasa lagi menahan geramnya. Kereta pusaka Alengka melesat karena lecutan dua gandarwa. Kera-kera buyar, bertumpang tindih menjadi mayat ketika panah Indrajit menyebar menjadi ribuan senjata, membinasakan mereka. Ada sekelompok kera terpesona oleh gangsa Lokananta, yang melengking merdu karena kl"n"ngan emas di leher kuda-kuda yang lari seperti membawa kereta pusaka terbang tak menyentuh tanah. Ketika mereka ternganga terpesona, Indrajit melayangkan pedangnya, dan bergelundunganlah kepala kera dalam sekejap.
Anoman, tak mungkinlah mengalahkan Indrajit, bila ia berada dalam keretanya. Pergilah ke puncak Suwelagiri, ambillah batu raksasa yang melekat di mega-mega. Gunakanlah Aji Wundrimu dan timpakanlah batu ke kereta pusaka. Berangkatlah Anoman, perintah Wibisana, melihat keponakannya Indrajit mengamuk sejadi-jadinya.
Anoman segera terbang ke puncak Gunung Suwela. Diheningkan ciptanya, memohon kasih sayang seorang ibu, dan lihatlah mega-mega tiba-tiba merendah menyelimuti batu raksasa bagai seorang ibunda yang rindu pada anaknya. Dan keluarlah daya Aji Wundri, ambrol dalam seketika batu raksasa karena daya cinta seorang ibu sebesar tujuh gunung dan seribu gajah. Anoman memondong batu raksasa yang telah penuh dengan mega.
Kereta Alengka yang dikemudikan gandarwa Andarina dan Andarini masih terus menelan mangsanya. Maka dijatuhkanlah oleh Anoman dari langit, batu yang penuh dengan mega itu. Batu menimpa kereta Indrajit. Indrajit sempat melesat keluar sebelum batu mega mengenainya. Tapi hancur berkepingkepinglah kereta pusaka, tewas empat puluh kuda kencananya, dan binasalah Andarina dan Andarini, gandarwa kembar, pengemudinya. Mega-mega meliputinya, lalu lihatlah mega-mega itu menyebar beterbangan, bagai ibunda yang ingin memeluk anaknya, mega-mega itu mengejar-ngejar Indrajit yang lari ketakutan. Dan bersama-sama larinya Indrajit buyarlah barisan para kera.
Malam datang. Malam darah. Malam gulita purnama. Bulan bundar menyembunyikan mukanya. Malam di mana dianmu, tujuh bidadari bersayap bunga, ingin kau hantarkan dalam rahasiamu. Kau biarkankah mereka menangis bersama suara burung cengga yang tersesat jalannya" Maka purnama pun turun dengan gemuruh pusparaga, terang harum di manamana. Dan naiklah tujuh bidadari ke langit setelah menjalani hukumannya di dunia. Tujuh cahaya, tujuh bulan buah dada, menari jelita dengan siter bulan-bulannya. Indrajit menangis, melihat ke tujuh istrinya pulang ke surga, lenyap ditelan megamega. Indrajit, mengapa kau tak ingin pulang dalam pelukan mega yang menyusuimu bagai ibunda" Dan Indrajit terpekur menikmati relung-relung rahasia dirinya. Serasa ia ingin pulang ke dalam pelukan mega.
Namun keindahan tak terlalu menggodanya. Kembali akal liciknya timbul. Dilepaskannya panah dari beludru malam, yang suka memberi kehangatan pada makhluk-makhluknya. Makhluk-makhluk bisa binasa karena kehangatan yang palsu dan menipu itu. Ketika panah beludru malam ini menyelimuti Suwelagiri, rebahlah Rama dan seluruh balatentaranya, terbius seperti binasa, kecuali Anoman dan Wibisana.
Anoman, jangan kita menunda-nunda waktu. Indrajit tentu tidak menunggu lebih lama lagi untuk membinasakan para kera. Pergilah ke Gunung Maliawan, seperti kata Rama, di sana tumbuh pohon maosadi, pemberian Batara Narada. Buah-buahnya berkilapan, petiklah dan bawalah kemari, kata Wibisana yang tak mau peristiwa Nagapasa terulang kembali.
Anoman segera pergi ke Maliawan. Buah pohon maosadi telah masak dan bersinar terang. Ketika menanti Sugriwa di Maliawan, Batara Narada berpesan, buah itu dapat menghidupkan makhluk yang belum waktunya berpulang. Anoman tidak sabar memetik buah itu satu per satu, dicabutnya pohon seakar-akarnya, dan dibawanya pulang ke Suwelagiri, dihaturkan ke hadapan Wibisana.
Wibisana memeras buah maosadi, lalu meneteskan airnya ke dahi Rama dan Laksmana. Dua satria ini seperti bangun dari tidurnya. Sementara Anoman lari meneteskan ke dahi para kera. Kera-kera yang telah sadar segera membantu Anoman meneteskan air buah maosadi ke kawan-kawannya. Maka sadarlah mereka seperti sediakala.
Wibisana, apa gerangan yang terjadi" tanya Rama. Indrajit telah melepas panah saktinya dan tertidurlah kau seperti binasa, bersama para kera. Kini kita telah sembuh kembali karena buah maosadi. Janganlah kita berlama-lama, silakan memberangkatkan barisan kera sebelum fajar tiba, kata Wibisana.
Maka berangkatlah barisan kera, Indrajit dan balatentaranya tak mengira kera-kera begitu cepat sadar sebelum sempat dibinasakan. Maka dilepaskan Saragni, panah apinya, sehingga teranglah angkasa raya.
Laksmana, tahanlah panah api Indrajit dengan panah apimu, supaya keduanya menjadi terang bagi malam yang gelap ini, pinta Wibisana. Laksmana segera melepaskan Kamalajastra, panah Dewa Brahma. Berbenturlah kedua panah api di langit saling menahan, dan jadilah keduanya dian bagi kegelapan malam. Dengan sinar kedua panah itu balatentara raksasa dan para kera berperang bagaikan dalam siang. Indrajit melepas lagi panah Asurastra, di udara panah sakti ini berubah menjadi ribuan senjata aneka rupa. Balatentara kera kelabakan, dan Laksmana hendak melepas panah saktinya untuk menahan amukan panah Indrajit itu. Tapi Wibisana segera mencegahnya.
Jangan Laksmana, takkan tertahan Indrajit olehmu, biar aku yang memulangkannya. Sudah waktunya aku mengembalikan dia ke asalnya, kata Wibisana.
Maka bersemadilah Wibisana memohon kekuatan mega. Terbayanglah ia akan kejahatan Rahwana di masa lalunya. Waktu itu permaisuri Rahwana sedang mengandung, dan kepada Wibisana berpesanlah Rahwana yang hendak melanglangbuana. Wibisana, belum padam hasratku untuk memperoleh pujaan hatiku Dewi Widowati. Akan kucari dia ke mana pun jua. Suatu saat aku yakin akan mendapatkannya. Dan siapa tahu, hai Wibisana, Dewi Widowati pujaan hatiku itu telah menitis dalam kandungan permaisuriku" Aku tak mau kehilangan dia. Siapa pun yang kukira titisan Dewi Widowati, akan kupersunting dia sebagai istri, bahkan jika ia anakku sendiri. Maka pesanku padamu Wibisana, jagalah baik-baik kandungan permaisuriku selama kepergianku. Bila ia lahir perempuan, akan kupersunting dia sebagai istriku setelah ia dewasa di kelak kemudian. Dunia boleh menertawakanku, tapi tak mungkin mereka memadamkan keinginanku. Aku tak mau tertipu, karena itu akan kukawini juga anak perempuanku, karena jangan-jangan ia adalah titisan Dewi Widowati pujaan hatiku. Wibisana, dapat kau bayangkan betapa kecewa dan geram aku jika keinginanku itu tak sampai. Maka pesanku juga padamu Wibisana, bila anakku lahir lelaki, tak sudi aku mengakuinya sebagai anakku, kecuali jika ia sakti seperti aku, dan dapat membantu aku mencari Dewi Widowati pujaanku.
Ternyata permaisuri melahirkan bayi putri. Dan bingunglah Wibisana, karena takut Alengka mendapat cela dari dunia, karena rajanya akan memperistri anaknya sendiri. Maka bersujudlah ia kepada para dewa, doanya terkabul, dan terjadilah seorang bayi dari mega. Wibisana menyembunyikan bayi putri itu, dan menghaturkan kepada Rahwana anak dari mega yang diberi nama Megananda.
Rahwana menyangka bayi lelaki itu anaknya, dan marahlah ia lalu membanting Megananda ke tanah. Megananda tak binasa, malah makin besarlah badannya ketika ia mengenai tanah. Berulang kali Rahwana membantingnya, namun makin besarlah ia jadinya. Rahwana menyerah, dan dengan bangga diakuinya Megananda yang sakti itu sebagai putra makotanya. Sejak itulah Megananda berubah menjadi Indrajit namanya.
Megananda, kembalilah ke pelukan ibumu yang sejati. Sudah saatnya kau suci dalam pelukan mega, dan pergi dari kejahatan Rahwana. Kau tidak bersalah, Nak, malah besarlah jasamu untuk menyelamatkan Alengka dari nista dunia karena kau gagalkan Rahwana memperistri putrinya sendiri. Rahwana tidak tahu, kau sesungguhnya bukan anaknya. Kau adalah anak dari mega, Megananda, maka kembalilah menjadi mega, kata Wibisana dalam semadinya.
Ia segera melepas panah saktinya. Panah bergerak diiringi mega-mega bagaikan ibunda yang menahan rindu akan Indrajit anaknya. Indrajit bagai kabur matanya, merasakan kebahagiaan sejati ketika mega-mega itu mendekatinya. Ketika panah itu mengenai tubuhnya, leburlah Indrajit kembali menjadi mega, berbaur dalam pelukan kawanan mega-mega. Pemandangan menjadi tak terkatakan indahnya, ketika sang Megananda yang telah menjadi mega itu beriringan naik bersama kawankawanan mega ke angkasa. Mega-mega itu tersenyum dalam kebahagiaannya, dan fajar pun pecah merekah cerah dalam seketika.
M endung merah menyelimuti Alengka. Mendung dari mega
darah yang marah. Sejuta bidadari terbang dengan sayap belati, menikam langit penuh birahi, berguling-guling di permadani melati, melati darah dendam yang suci. Maka turunlah hujan darah bagaikan air bah di tanah Alengka. Ada ajal menjadi makota di tengah-tengahnya, turun mendekati kepala Rahwana. Raja Alengka ini ketakutan, lari menyembunyikan diri ke istana. Dinanti-nantinya kabar kemenangan dari Indrajit anaknya. Tiba-tiba datang raksasa Kala Sruwa menyembah di hadapannya dengan nafas terengah-engah.
Paduka, putra Paduka dan kereta pusaka Alengka..., kata Kala Sruwa tak dapat melanjutkan pembicaraannya.
Kala Sruwa, bagaimana kabar anakku" Tidakkah kau datang untuk membawa kabar kemenangannya" tanya Rahwana menyela.
Celaka Paduka, putra Paduka, Indrajit, telah binasa oleh Wibisana, lebur badannya tak tersisa.
Apa" Putraku binasa"
Benar Paduka. Kereta pusaka Alengka pun hancur oleh Anoman yang menimpakan batu puncak Suwela. Aduh, Anakku. Tak menyangka kau tewas secepat itu, kata Rahwana sedih. Sejenak ia termenung, lalu berpaling ke hambanya, Kala Sruwa, mengapa kau kembali ke Alengka dan tidak menemani mati anakku"
Hamba datang untuk memberitahu Paduka.
Kala Sruwa, penakut kau! Hamba yang kecil hati! Kau tahu putraku tewas, malah kau lari pergi. Binatang. Lebih baik kubunuh kau, hamba yang tak tahu diri! bentak Rahwana menghunus kerisnya. Belum sempat Kala Sruwa bicara, Rahwana telah menusukkan keris itu ke dadanya. Binasalah Kala Sruwa yang malang itu. Dan di luar makin deraslah hujan darah.
Senja tiba dengan cahaya hitam-hitam mutiaranya. Hilanglah purnamacandra, padahal sedang waktunya bulan naik ke utara. Rahwana tenggelam dalam kekalutan hatinya. Bingung tak karuan rasanya. Kekuatan raja raksasa ini sudah tanggal. Habis binasa prajuritnya yang sakti. Binasa semua putranya. Masih dapatkah ia mengalahkan Rama dan balatentaranya" Maka pergilah ia ke sanggar pemujaannya. Membakar dupa dan kemenyan raksasa, minta kekuatan dan bantuan dewata. Dupa dan kemenyannya berbau darah, asapnya tak mau naik ke angkasa, mengepul rendah di sekitarnya. Dan termenunglah ia dalam kebimbangannya, melawan atau menyerah kepada Rama.
Maka muncullah kepala banaspati yang memancarkan api. Mulutnya menganga, menyembur-nyemburkan darah. Dipadamkannya bulan dan matahari, yang sedang hamil mengandung anak-anak bunga. Bintang-bintang padam cahayanya ketika dengan sedih melihat anak-anak keindahan itu gugur dari kandungan ibunya, tenggelam dalam lautan darah. Kepala banaspati itu tergolek-golek di samudra darah buatannya, menelan anak-anak bunga. Dasamuka, tunjukkanlah kedahsyatanmu, rusaklah keindahan pencipta maka dalam kedahsyatanmu ada segala-galanya, kata kepala banaspati itu.
Tak berapa lama muncullah kepala golek kencana. Dari ubunubunnya yang jelita tumbuh janur gebang, yang memancarkan cahaya kehidupan, gemerlap dengan sinar dan keagungan. Golek kencana tertidur dalam sarang angin dimandikan cahaya bulan dan matahari yang bersatu tanpa bayangan. Bintangbintang iri, ingin menjadi selendang, hendak mengikatkan diri sebagai pelangi di kepala golek kencana yang indah dengan janur gebang. Dan alam pun menjadi musim bunga tanpa kesudahan. Dasamuka, peluklah keindahan ini, maka dalam dirimu ada keilahian keabadian, kata kepala golek kencana itu.
Namun muncullah kepala dari makhluk yang wajahnya mirip sejuta dewa. Tak jelas bagaimana rupanya, mirip dengan binatang yang tak bernama. Mulut makhluk itu mengeluarkan aneka suara kesombongan binatang rimba, mengaum bagaikan singa, meringkik laksana kuda, melolong seperti serigala, mengirik seperti merak raksasa. Suaranya menggetarkan, sampai dunia runtuh ditimpa pecahan bulan dan matahari, langit rebah bersama bintang-bintangnya. Dan kepala makhluk itu menggelinding melangkahi kubur-kubur manusia, kepala yang mirip nenek tua yang menghadang ajal tak pernah tiba. Dasamuka tunjukkanlah kesombonganmu, maka dalam dirimu ada istana yang tak terkatakan oleh makhluk siapa saja, kata kepala dari makhluk yang wajahnya mirip sejuta dewa itu.
Dalam sekelabat lagi muncul kepala wanita seperti tapikanya (perawan pertapa). Tersenyum ia dengan tawa batu pualam. Kepala itu terapung-apung dalam lautan manikam. Tiada guruh, tiada prahara. Dan berkediplah matanya dengan ikan-ikan. Maka kepala tapikanya itu laksana kapal yang menarik angin. Dan samudra pun hilang ditelan bintang, tanpa perlawanan matahari dan bulan. Meski samudra menghilang, terhamparlah gambiralaya bagai permadani kembang worawari, berceplokceplok bunga jangga, nagapuspa, dan sridenta. Dan langit tersenyum bisu dengan kusuma kerendahan hati. Dasamuka, wujudkanlah kerendahan hatimu, maka dalam dirimu ada dunia yang berarak ke kebahagiaannya, kata kepala wanita seperti tapikanya.
Hilang dalam sekejap mata dan muncullah kepala satria yang matanya sebesar dunia. Dari kepala itu seakan terulurulur kaki setinggi langit, lalu menapak telapaknya itu di Kawah Candradimuka. Makin panaslah rasanya kawah neraka itu, dan ketika telapak dari kepala itu makin dalam menyentuh kawah, meluberlah lahar api ke jagad semesta. Penderitaan di mana-mana, menyempitkan cakrawala menjadi dunia yang sekecil mata kepala satria yang mendongak kesombongannya. Dasamuka, kerahkanlah kesombonganmu, maka dalam dirimu dunia akan bergerak ke mana kau suka, kata kepala satria yang matanya sebesar dunia.
Kemudian muncullah kepala bidadari tunjung putih. Helai-helai rambutnya menggambarkan param harum widasari, mengantarkan segala jenis hardawaleka di tempat pemujaan agung. Dikidungkannya pujian abadi yang tak selesai dalam semalam. Kidung itu adalah kesejahteraan selama-lamanya. Dan malam itu adalah ratri yang sunyi dan abadi. Maka dialaminya rahasia kekayaan ciptaan dan kepala bidadari tunjung putih itu seperti tertunduk dalam kesederhanaan anak-anak Hyang Widhi. Dasamuka, tunjukkanlah kesederhanaanmu, maka dalam dirimu ada keagungan yang nikmat meski terselimut dalam tekateki, kata kepala bidadari tunjung putih.
Maka muncullah pula kepala naga betina bertanduk pedang teluhbraja. Naga ini memakan bulan, padahal serupa perutnya hanyalah bintang yang pudar. Maka muntahlah dari mulutnya berjuta serpih kemuakan dari kelaparan makhluk-makhluk alam. Tiada henti muntahnya, menjadi bukit tangisan para wanita dan induk-induk binatang hutan. Disemburkannya bisa menjadi mantera, yang bagaikan kencana menghinakan derita. Dasamuka, lanjutkan keserakahanmu, maka kau bisa mengejek dunia yang tak bisa mengangkat diri dari penderitaannya, kata kepala naga betina bertanduk teluhbraja.
Tapi muncullah pula kepala anak bajang. Rambutnya hanya sebatang lidi jantan. Namun lidi jantan itu laksana pohon buana yang berdahan empat kiblat. Lama-lama empat kiblat itu tanggal dengan barat yang menjadi timur dan utara yang menjadi selatan. Maka lidi jantan itu menjadi purwaduksina, permulaan dan penghabisan. Dan diterbangkanlah kepala anak bajang itu oleh ayam betina yang ingin bertelur di samudra. Sehari-hari kepala anak bajang itu seolah-olah bertangan, melemparkan jala sutera tanpa menangkap ikan-ikan kencana dari telur ayam betina. Maka terjadilah kedamaian hati, dan kepala anak bajang itu menyusu pada buah dada ibunda semesta, setiap kali ia menengok dunia dari tepi samudra. Dasamuka, damaikanlah hatimu, maka pada dirimu akan bertakhta ketenteraman jagad semesta, kata kepala anak bajang itu.
Tapi kemudian muncullah kepala hantu yang buta. Rambutnya berkibar dengan angkara yang ditiup angin amarah. Ditelannya segala jenis binatang berkaki empat. Bergulung-gulung kepala hantu yang buta melindas binasa segala binatang yang melata. Dahaganya dipuaskan dengan meneguk darah manusia. Terkekeh-kekeh ia tanpa malu, lari kebingungan menghadapi dirinya yang penuh kekuasaan, karena merasa sepi di tengah keramaian. Kepala hantu yang buta itu menjadi raja atas semua negeri, negeri yang hancur berantakan, tiada kebijakan dan kebaikan, meski banyak para bijak menjadi punggawanya, tidak ada keutamaan dan kejujuran, meski banyak para pendeta menjadi penasihatnya. Semuanya takut pada kepala hantu yang buta, raja yang berkuasa dalam kesendiriannya. Dasamuka berkuasalah senantiasa, kau mempunyai kekuatan tak terkalahkan. Jangan kau mundur, tidakkah anakmu Indrajit dan para bawahanmu sudah kau korbankan demi kekuasaanmu" kata kepala hantu yang buta.
Maka bersambar-sambarlah halilintar menjadi terang sebuah bahasa. Selaksa putana bergendong-gendongan berperang dengan sejuta bidadari berpedang bunga. Riuh-rendah dan merdu suaranya. Tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Dan berputar-putarlah sembilan kepala Rahwana laksana cakra jagad semesta. Kepala banaspati dihancurkan oleh kepala golek kencana yang ber-janur gebang di ubun-ubunnya. Kepala golek kencana dibelai oleh kepala makhluk yang wajahnya mirip sejuta dewa. Kepala makhluk yang wajahnya mirip sejuta dewa terkutuk di hadapan kepala wanita seperti tapikanya. Kepala wanita seperti tapikanya dicium oleh kepala satria yang matanya sebesar dunia. Kepala satria yang matanya sebesar dunia terkulai oleh harum-harum kepala bidadari tunjung putih. Kepala bidadari tunjung putih menangis di hadapan kepala naga betina bertanduk teluhbraja. Kepala naga betina bertanduk teluhbraja menjadi mainan kepala anak bajang. Namun semuanya itu lebur menjadi santapan kepala hantu yang buta namanya. Berputarlah terus sembilan kepala itu, Rahwana pusing seperti mengelilingi cakra jagad semesta. Sangat pusing dia, sampai rebah ke tanah. Rahwana sedang mengalami pergulatan batinnya.
Oh Dewa, di manakah kepalaku yang ke sepuluh" Biarlah ia menghentikan putaran sembilan kepalaku yang memusingkan aku ini. Dewa, tolonglah aku, Rahwana merintih-rintih, seperti anak yang kelelahan mengitari jagad dengan segala isinya.
Rahwana, kepalamu yang ke sepuluh ada dalam dirimu sendiri. Ia sungguh nyata dalam dirimu, namun ia juga berada di luar dirimu. Ia tiada tandingannya, ia adalah burung yang terbang mengatasi langit, berdiri di atas sembilan kepalamu. Ia adalah budi dalam hatimu, hati dalam budimu. Padanyalah, Rahwana, berasal segala keputusanmu, kata sebuah suara tiba-tiba. Suara itu datang dari dalam dirinya, tapi serasa pula suara itu datang dari luar dirinya, tempat yang tak terbayangkan tingginya oleh mata manusia.
Sejenak putaran sembilan kepala Rahwana seakan terhenti oleh kepala serupa burung yang terbang mengitari langit dirinya. Rahwana sejenak ditenangkan. Dengan sayapnya yang mulia, burung itu berpihak menaungi empat kepala kebaikan, berperang melawan lima kepala kejahatan. Namun demikian dahsyat serangan lima kepala kejahatan itu. Burung itu hendak terbang makin tinggi mengelakkannya, ingin menuju ke tempat keilahiannya, namun sayapnya tertambat pada keinsaniannya di mana kejahatan menjadi tali-talinya. Burung itu tak dapat mematahkan tali-tali yang menghambatnya, sebab ia adalah budi ilahi yang berbadan hati insani, meski asalnya adalah dari yang menciptakan dunia. Maka patahlah sayap burung yang pada hakekatnya mulia itu, dan serentak pula seakan musnahlah ia menjadi kepala burung garuda raksasa, berjajar dengan sembilan kepala Rahwana lainnya. Namun di kejauhan sana nampak seekor burung bersayap mega terbang dalam keilahiannya yang indah, menuju tempat asalnya. Burung itu tadi ada dalam hati Rahwana, kini sudah bukan miliknya. Ia sudah menjadi kepala garuda raksasa karena hati insani Rahwana menolak untuk menjadi sarangnya. Dan serentak burung itu menghilang dari hadapan Rahwana, maka berubahlah semua kepala Rahwana menjadi sepuluh kepala raksasa yang dahsyat dan kejam kelihatannya. Rahwana telah menjadi Dasamuka, karena menolak pertimbangan budi ilahinya.
Rahwana, menunggu apa lagi kau sekarang" Lampiaskan nafsumu akan pujaan hatimu, Dewi Sinta, sebelum kau pergi ke medan laga. Kalau ia menolak, bunuhlah dia dengan pedangmu. Tidakkah kenikmatan akan dia yang menjadi satusatunya keinginanmu" kata sepuluh kepala raksasa Rahwana serentak.
Sinta, Sinta. Aku datang, hai jelitaku. Daripada kau mati, janganlah kau tolak permintaanku, kata Rahwana yang bersepuluh kepala raksasa. Sambil menghunus pedangnya, pergilah ia ke Taman Argasoka untuk menemui Dewi Sinta. Jalannya terhuyung-huyung, mulutnya bergumam dengan kata-kata birahi. Rahwana seperti orang yang telah kehilangan akalnya sendiri, lupa negerinya akan binasa.
Malam itu bulan sedang bersinar dengan indahnya di Taman Argasoka. Bau dupa harum melayang-layang tinggi di angkasa.
Dewi Sinta dan Trijata sedang asyik memanjatkan doa kepada para dewa. Hari-hari terakhir ini cerahlah wajah mereka, karena telah sampai ke telinga mereka, kabar kemenangan para balatentara Ramawijaya. Tak henti-hentinya mereka menambahkan dupa harum ke perapiannya, makin tinggilah asap dupa naik ke angkasa, seakan doa-doa mereka yang memujikan kemenangan Rama didengarkan oleh para dewa.
Sinta, Sinta, aku datang hai jelitaku, kalau kau masih menyayangi hidupmu, jangan kau tolak lagi cintaku ini, kata Rahwana memasuki Taman Argasoka. Dewi Sinta sangat terkejut ketakutan. Tak pernah ia melihat wajah Rahwana seseram malam itu. Wajah raksasa itu menakutkan, sepuluh kepalanya keluar berbarengan, berapi-api seperti mau menelan wanita cantik di hadapannya.
Rahwana, jangan dekati aku, jerit Dewi Sinta sambil menutupi mukanya, takut memandang wajah Rahwana.
Rahwana menghentikan langkahnya. Kata-kata Dewi Sinta memaksanya untuk menengadah ke atas, maka berkacalah ia pada bulan yang sedang bersinar. Di permukaan bulan ia seakan melihat sepuluh mukanya yang sangat seram. Rahwana sendiri terkejut dan takut melihat sepuluh mukanya yang demikian menakutkan, terpantul dari bulan. Ia tak menyangka ternyata wajahnya sangat mengerikan seperti setan. Bulan pun seakan pecah, tak tahan menahan wajah demikian. Kejahatan, betapa pun jahat dan nista dia, ternyata dapat menakutkan dirinya sendiri. Dan ketika Rahwana hendak mencoba berkaca lagi, bulan sudah memalingkan diri, karena ketakutan. Gelaplah keadaan, suasana hanya terang oleh kejahatan dari sepuluh muka Rahwana yang mencorong mengerikan.
Sinta, jelitaku, kupondong kau, kugendong kau. Mari kutanggalkan busanamu, tak kuasa lagi aku membayangkan kemolekan tubuhmu, Rahwana merayu-rayu. Mulut dari sepuluh mukanya berbusa-busa dengan liur birahi. Ingin ia membaringkan Dewi Sinta di rerumputan Taman Argasoka.
Rahwana, betapa tak tahu malu dirimu. Negerimu sudah hampir hancur binasa, masih juga kau ingin menikmati wanita, tangis Dewi Sinta sambil terus menutupi mukanya.
Sinta, cukup sudah kesabaranku. Lebih baik kau binasa oleh pedangku, kalau kau tak mau menuruti kemauan cintaku. Biar kudapat menikmati tubuhmu meski tubuhmu telah menjadi mayat! bentak Rahwana marah sambil menghunus pedangnya. Cinta akan kenikmatan belaka akhirnya memang suka melihat korbannya binasa. Inilah bukti bahwa Rahwana lebih suka memuaskan dirinya, dan bukan memikirkan kebahagiaan hidup orang yang dicintainya.
Rahwana, bunuhlah aku, kalau memang itu kehendakmu, kata Dewi Sinta berani. Rahwana segera melangkah mendekatinya, hendak mengayunkan pedangnya ke arah wanita yang menjadi kerinduannya. Untunglah Trijata menghalang-halanginya.
Uwa Prabu, sungguhkah kau mencintai Dewi Sinta" Kalau demikian, mengapa Uwa Prabu akan membunuhnya" sela Trijata menghadangnya.
Trijata, minggir kau. Sudah habis kesabaranku. Daripada aku malu, lebih baik kuhabisi nyawa wanita yang menolak cintaku ini, Rahwana mendorong-dorong Trijata.
Uwa Prabu, sabarlah Dewi Sinta akan menuruti kemauan Uwa Prabu, bila Uwa Prabu sendiri dapat membinasakan Rama dan Laksmana, kata Trijata. Dewi Sinta sangat terkejut mendengar kata-kata itu, lalu menarik Trijata mendekatinya.
Trijata, mengapa kau berkata demikian" Lebih baik aku mati daripada harus melayani nafsu uwamu. Sampai mati, tak sudi aku melayani keinginan raja jahat ini, tegur Dewi Sinta marah.
Paduka, tenangkanlah hati Paduka. Hamba hanya menipunya. Ingatlah, tak mungkin lagi ia membinasakan Paduka Rama dan Laksmana, Trijata berbisik di telinga Dewi Sinta.
Trijata, benarkah demikian kata-kata jelitaku ini" tanya Rahwana lega meski belum percaya.
Benar Uwa Prabu. Dewi Sinta mau melayani Uwa Prabu, bila Uwa Prabu dapat membawa pulang kepala Rama dan Laksmana, kata Trijata.
Sinta, Sinta, kenapa kau tidak berkata dari dulu. Ternyata, kau ingin agar aku sendirilah yang membawa pulang kepala Rama dan Laksmana. Kalau demikian, tak perlu aku menyuruh sekian balatentaraku binasa. Jelitaku, permintaanmu terlalu mudah bagiku. esok aku sudah dapat menikmati kehangatan tubuhmu yang jelita di peraduan istana, karena esok juga di hadapanmu telah kupersembahkan kepala Rama dan Laksmana..., kata Rahwana gembira.
Wajahnya makin mengerikan, karena kata-kata Trijata membawanya untuk membayangkan Dewi Sinta bagaikan Dewi Widowati yang terbaring telanjang, seperti ketika ia tak sabar menanti Dewi Widowati melepas busana pertapanya dahulu kala.
Uwa Prabu, berangkatlah sekarang juga, kalau Uwa Prabu ingin segera memiliki Dewi Sinta, kata Trijata tak sabar.
Ha, ha, Sinta, tak perlu kau suruh aku. Tunggulah aku sampai kedatanganku kembali. Aku akan berangkat dalam kebesaranku esok pagi, menumpas pasukan Suwelagiri, dan mempersembahkan padamu kepala Rama dan Laksmana. Jelitaku, akhirnya kau turuti juga permintaanku, kata-kata Rahwana membuih-buih, yakin akan tercapai cita-citanya.
Maka pergilah Rahwana yang bersepuluh muka itu dari Taman Argasoka. Ia pergi untuk menyongsong kekalahannya. Meninggalkan Dewi Sinta dan Trijata yang lega membayangkan gambar kematiannya. Bulan kembali terang, ketika Rahwana beranjak dari Taman Argasoka. Inilah malam wisuda kematian angkara murka.
G emuruh, suara pasukan Alengka ketika mereka keluar dari
tapal batas kota. Hujan darah tak berhenti dari pagi, mengiringi barisan Alengka yang mengalir bagaikan air bah. Di atas temboktembok perbentengan, perempuan-perempuan berebut menitikkan air mata sambil mendiamkan bayi-bayinya yang menangis menjerit-jerit, melihati gambar-gambar kematian ayah-ayah mereka. Ada ibu-ibu gandarwa yang serasa habis air susunya, diteguk anak-anak mereka yang sangat haus akan darah, meniru ayah-ayah mereka yang ingin minum darah di medan laga.
Pagi bagai hilang tertelan dalam pekik keganasan. Gamelan perang merintih-rintih dalam irama penasaran. Sangkakala ditiup memecah kuburan. Tambur dan gendang ditabuh bertalu-talu, meminta langit membuka matanya untuk tabah menikmati indahnya kekejaman.
Angin berhembus kencang. Angin dari kepedihan sayapsayap burung cucur yang kesiangan. Maka berkibar-kibarlah ribuan bendera bergambar sepuluh muka Rahwana, merah dan hitam warna-warnanya. Debu menggelap berkepul-kepul, menjadikan siang seperti tertidur dalam malam.
Rahwana memimpin pasukan dalam kemegahannya. Ia naik tunggangan kesayangannya, Wilmana, burung berbadan hantu raksasa, sayapnya membentang bagai permadani bertetesan dengan api kumala retna, kepalanya menyerupai kecantikan bidadari dari neraka. Sepuluh kepala Rahwana menyandang makota emas bersusun tiga. Dua puluh matanya berjilatan dengan api angkara.
Maka diperintahkanlah pasukan simpanannya mendahului barisan raksasa ke medan laga. Mereka ini adalah para gandarwa, balangatandan, banaspati, "ngkl"k"ngkl"k, w" w", bajobarat, dan makhluk halus lainnya, yang makanannya adalah manusia.
Dalam sekejap mereka sudah hilang tak tampak oleh mata. Hanya huru-hara mengerikan terdengar ditimbulkannya.
Rama, inilah saatnya kita mengerahkan segala kekuatan kita, kata Wibisana yang bersama Laksmana mendampingi Rama bersemadi di puncak Gunung Suwela.
Wibisana, gentar dan takut rasa hatiku menghadapi kejahatan ini. Lihatlah, betapa mengerikan pandangan di bawah Gunung Suwela. Mampukah kita mengalahkannya" tanya Rama.
Rama, tenangkan hatimu. Wajar bila kita merasa tidak mampu untuk mengalahkan kejahatan. Namun lihatlah pula Rama, di bawah ribuan kera berpihak pada kita. Merekalah yang akan mengalahkan kejahatan, karena mereka adalah wakil alam yang suci ini. Manusia penuh dengan kejahatan, dan apabila kejahatan itu sudah menjadi rajanya, ia akan menjadi raksasa seperti kakakku Rahwana. Tapi tidak demikian halnya dengan alam, dalam dirinya terkandung rahasia kesucian ilahi yang tak terkatakan. Kejahatan itu sudah demikian berkuasa atas manusia, dan tak mungkin lagi manusia menguasainya. Maka hanyalah suatu rahasia yang bisa menjungkirkan kejahatan, dan rahasia itu tersimpan dalam diri para kera sebagai makhluk yang masih merindukan kesempurnaan, kata Wibisana. Wibisana, lalu apa yang harus kita perbuat" tanya Rama. Ingatlah, Rama, kau, aku dan Laksmana hanyalah tiga manusia yang hidup di antara rahasia kebesaran para kera. Kita bertiga hanyalah setetes embun di tengah mega mendung yang sebentar lagi menurunkan hujan kebaikannya. Janganlah kita bermegah diri, larutkan diri kita dengan kerendahan hati dalam kebesaran mereka. Semoga kebesaran itu ikut menyucikan kita. Maka marilah bersemadi Rama, supaya dewa-dewa menyingkirkan segala kejahatan kita, sebab hanyalah kesucian yang dapat mengalahkan kejahatan, jawab Wibisana.
Maka bersemadilah Rama, Laksmana, dan Wibisana dengan lebih hening daripada semula. Di langit, Rama melihat seberkas cahaya ilahi berbentuk keris dengan tiga lengkungan. Maka kini kata-kata Burung Jatayu dulu serasa menjadi kenyataan: Tripurantaka, senjata sakti Dewa Wisnu sungguh menjadi miliknya. Gelombang emas dari cahaya itu adalah Laksmana yang berhati pendeta, penuh dengan penembah sejati kepada Sang Pencipta. Gelombang perak adalah Wibisana yang berhati sang bijaksana, penuh dengan pengertian tanpa pamrih. Dan gelombang baja itu adalah diri Rama sendiri yang penuh kekuatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia. Ketiganya telah bersatu dalam dirinya sebagai raja. Hanya dengan Tripurantaka itu ia dapat memerintah rakyat yang pada hakekatnya adalah suci seperti kera. Rama makin menyadari makna sejati seorang raja, bahwa ia bukanlah penguasa, ia hanya sebagian dari rakyatnya yang sudah suci hatinya, ia hanya menolong mereka dengan kesucian, pengertian dan kekuatannya supaya mereka menjadi makin sempurna.
Anak-anakku, hentikanlah semadimu. Turunlah kalian sekarang juga untuk menghadapi Rahwana, tiba-tiba terdengarlah suara dari langit. Batara Indra muncul di balik awan, mengendarai keretanya, Jatisura, dengan kusirnya Sang Matali.
Anak-anakku, lihatlah ribuan kera telah menggelar bagaikan bianglala penciptanya, ingin menarik manusia yang sudah terlanjur kesombongannya. Ingatlah, dengan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, Wisrawa dan Sukesi ingin melebihi keadaan dirinya sebagai titah, padahal tiada kemampuan dalam diri mereka. Dosa mereka dilanjutkan oleh Rahwana, yang ingin menjadikan dunia di atas surga. Alam menangis, ingin dikembalikan pada kebahagiaannya yang semula. Maka inilah saatnya hukum ilahi berjalan terbalik, kesombongan manusia akan kalah dengan kerendahan hati para kera yang merindukan kepenuhan tak terduga dari penciptanya. Bersatulah dengan mereka, Anak-anakku, kata Batara Indra. Lalu Batara Indra menghadiahkan keretanya Jatisura dan kusirnya Sang Matali kepada Rama. Dan turunlah ketiga manusia itu dari puncak Gunung Suwela.
Gemuruh kekejaman pasukan Alengka terdengar makin dahsyat. Pasukan kera seakan tak sabar untuk segera terjun ke medan perang. Wajah mereka cerah, memancarkan kebahagiaan, lebih daripada biasanya. Menari-narilah mereka, ketika Rama mengumumkan, inilah saat terakhir kebaikan harus menumpas kejahatan. Sugriwa, dan para pemimpin kera lainnya, segera menyiapkan pasukannya.
Tak terbilang indahnya gerakan para kera kali ini. Mereka menggelar dalam keindahan ibunda kehidupannya, dalam siasat perang Kembang Dewaretna. Debu pasukan Alengka menghitamkan suasana, tapi bagaikan angin musim bunga, pasukan kera menghembuskan kehidupan di masa kematian tak mungkin lagi bertahan. Teriakan para raksasa terdengar memecah langit. Namun kegaduhan yang sombong itu lenyap ditelan kesunyian dan kesenyapan dari suara bunga yang keluar dari mulut para kera.
Para raksasa menunjukkan kegagahan dan keganasannya. Namun kegagahan dan keganasan itu binasa, ketika para kera membuat gerakan yang indah. Bagaikan helai-helai Kembang Dewaretna, mereka bertaburan mempersembahkan korbankorban bunga berupa penyerahan diri mereka terhadap penciptanya. Alam menunjukkan kebesarannya ketika para kera mempersembahkan korban bunga dalam siasat perang mereka. Maka menyebarlah bau harum widasari bersama turunnya hujan bunga nagapuspa, bunga jangga dan padma menaungi mereka. Dan di dahi-dahi mereka bertetesanlah kembang melati. Sementara para raksasa seperti tertutup kabut matanya, dan mereka terperosok ke dalam bungkah-bungkah tanah yang terbuka karena kaki-kaki jahat mereka. Dalam keadaan ini menunduklah para kera, gerakan ini serupa pemasrahan diri para makhluk di depan pintu ilahi, ingin lebur dalam rahasia kebesaran istananya. Maka terdengarlah teriakan menyayat para raksasa, mereka rebah binasa karena lehernya terlilit ekor-ekor kera.
Rahwana terpesona oleh keindahan di medan laga. Di matanya, bahkan darah para raksasa yang binasa tak mampu mengalir ke dalam barisan para kera. Darah itu mengalir di tepi-tepinya, bagaikan laut yang tak bisa menyentuh pantai-pantai pulau yang terjadi dari para kera dalam bentuk Kembang Dewaretna yang pernah dicurinya dari tangan Danareja. Dan lihatlah, di tengah-tengahnya para raksasa lebur binasa bagaikan bremara yang serakah, terpental dari putik bunganya yang menolak keserakahan mereka. Lalu ada embun bening menjadi mutiara di helai-helai daunnya, embun dari kebahagiaan air mata para kera.
Rahwana tak mau tenggelam dalam keterpesonaannya. Maka disuruhlah barisan makhluk halusnya mengobrak-abrik barisan kera. Terjadi kegaduhan sebentar dalam barisan kera, kenapa mereka tak tahu siapa penyerangnya. Laksmana segera melepaskan panah Kamalajastra, di udara panah itu berubah menjadi lidah-lidah api. Karena lidah-lidah api itu, maka nampaklah ribuan jerangkong, pocong, warudoyong, "ngkl"k"ngkl"k, banaspati, bajobarat, balangatandan, w" w", dan gandarwa. Makhluk-makhluk itu tak terbiasa melihat api, menjerit-jerit mereka ketakutan, tapi sebelum mereka sempat lari, lidah-lidah api itu telah memusnahkan mereka.
Rahwana geram bukan buatan. Dilepaskan panah iblisnya, tepat mengenai dada Laksmana. Adik Rama yang suci ini roboh ke tanah. Pasukan kera bingung, namun datanglah segera Anoman meneteskan daun maosadi ke dahi Laksmana. Dan Laksmana sadar seperti sediakala, karena memang belum waktunya ia binasa.
Pasukan kera tak mundur setapak juga. Surya memancar bukan main terang dan panasnya. Maka Anoman memandang dengan wajah meminta pada surya yang pernah menolongnya. Tiba-tiba pudarlah cahayanya dan suasana pun gelaplah. Namun di langit sana berdirilah Dewi Windradi, Retna Anjani, dan para bidadari surga. Mereka menyanyangi anak-anak kera, maka mereka pun menanggalkan busananya. Dari buah dada mereka memancar berkas-berkas cahaya malam. Dan buah dada mereka pun menjadi sejuta purnama kembar yang menerangi anakanak mereka. Inilah siang yang terbelai dan tenggelam dalam buah dada malam. Kejahatan tak mungkin menyelami rahasia ini, maka bagi para raksasa hanyalah kegelapan yang ada. Tak ampun lagi, mereka pun binasa oleh para kera yang diterangi sinar kasih sayang buah dada para ibundanya di surga. Setelah banyak raksasa binasa, ibunda surga kembali menyandang busananya. Tertutuplah buah dada mereka, dan surya pun tak malu-malu lagi memalingkan pandangannya pada wanita-wanita surga yang telah menutup buah dadanya. Dan terang pun pecah seperti sediakala.
Dalam terang seketika itu, Rahwana terkejut melihat ribuan balatentaranya binasa. Mengamuklah raja raksasa ini. Burung Wilmana melesat tinggi, dan dari balik mega Rahwana melepas panah Asuranya, berubahlah panah itu menjadi singa, naga, serigala, harimau, dan binatang buas lainnya, hendak menelan para kera. Namun hewan-hewan galak itu binasa oleh tombaktombak yang ditaburkan oleh panah Rama, Pasupatapasa.
Rahwana menyuruh kendaraan kesayangannya menukik turun. Sang Matali segera melecut kuda bersayapkan sayap bidadari yang menarik kereta Jatisura. Kereta Jatisura melesat naik, menabrak Wilmana yang segera binasa lebur berkeping-keping. Rahwana terpental ke tanah. Segera ia bangkit, sebuah panah Rama tiba-tiba mengenai dadanya. Rahwana terpental ke bumi, namun ia tidak binasa karena Aji Pancasona. Sambil tertawa terbahak-bahak Rahwana melepas panah ularnya, namun ularular itu pun hanyut oleh air bah dari Barunastra yang dilepaskan Rama. Ketika panah sakti Rahwana habis, Rama segera menghujaninya dengan ribuan panah, namun Rahwana selalu bangkit lagi dari kematiannya karena Aji Pancasona. Maka geramlah Rama dan lari mendekati Rahwana.
Rahwana, tak mundur aku sampai ajalmu, kata Rama.
Ha, ha, Rama, sudah dengarkah kau, Sinta mau kupersunting kalau aku dapat membawa pulang kepalamu" Rahwana terbahak-bahak, merasa dirinya tak mungkin terkalahkan karena Aji Pancasona.
Rahwana, tutup mulutmu, jangan kau melamun menjelang ajalmu, bentak Rama tak percaya.
Hei, Satria penjelajah rimba, semalam sebelum aku membawa pulang kepalamu, jelitaku mengatakan demikian padaku. Mari kupenggal kepalamu. Sinta, terimalah persembahan cintaku berupa kepala musuhku, balas Rahwana.
Sejenak Rama dilanda keraguan, sungguhkah Sinta berkata demikian" Tiba-tiba ia merasa geram. Namun di hadapannya dilihatnya Rahwana sudah ber-tiwikrama menjadi raksasa sebesar gunung hendak menelan Rama. Rama pun melepaskan kegeramannya, dan sebagai titisan Wisnu ia juga ber-tiwikrama menjadi raksasa yang tak kalah besarnya. Bumi bergoncang karena langkah kedua raksasa dahsyat itu. Sama-sama sakti mereka, maka begitu mereka bersentuhan, keduanya langsung terpental ke tanah, berubah seperti semula.
Rama, takkan kekuatan Rahwana bisa kita tandingi. Ia juga tak bakal mati berkat Aji Pancasona-nya. Maka lepaskanlah senjata terakhir Guwawijaya sekarang juga, pinta Wibisana yang membantu Rama bangkit setelah ia rebah ke tanah.
Rama menurut, dengan bersemadi ia menarik gandewanya. Rama merasa seperti mengalami kembali peristiwa sayembara perebutan Dewi Sinta di Mantili. Sambil menarik gandewa, ia seperti melihat raksasa durhaka bergelimpangan dalam semua nafsunya. Raksasa itu memeluk putri jelita yang meronta-ronta dan kakinya menginjak-injak ratusan wanita telanjang yang ketakutan. Maka dilepaskanlah Guwawijaya, panah rahasia kejayaan, dan terdengarlah suara dahsyat yang menggoncangkan bumi seisinya.
Guwawijaya melesat, dan Rahwana pun lari ketakutan. Rahwana seperti merasa akan ditimpa Gunung Mahameru.
Ia seperti tertiup angin halilintar. Ujung Guwawijaya bagaikan sumber api, bulu-bulunya bagaikan bulu raja burung garuda. Rahwana berhadapan dengan rahasia kejayaan yang akan mengalahkannya. Kejahatannya seakan bakal dihancurkan oleh rahasia yang tak bisa diterangkan maknanya.
Anoman, begitu Guwawijaya mengenai Rahwana, timpakanlah Gunung Suwela ke badannya. Ia tak bakal mati berkat Aji Pancasona, namun dengan tertindih Gunung Suwela akan berakhir pula kejahatannya, perintah Wibisana.
Anoman segera lari ke Suwelagiri. Diheningkanlah Aji Wundri, pemberian Dewi Sinta. Dengan kekuatan tujuh gunung seribu gajah, dicabutlah Gunung Suwela. Maka dimintanya kelima saudara sekandungnya, Kilatmeja, Ramadaya, dan Dayapati, Garbaludira dan Ditya Pulasio, keluar membantunya. Berlima mereka terbang ke udara, dan lihatlah panah Guwawijaya sudah mengenai leher Rahwana. Dalam ketakutan sambil terbahak-bahak Rahwana mencoba bangkit begitu badannya mencium bumi. Namun sebelumnya, Anoman bersama lima saudara kandungnya telah menjatuhkan Gunung Suwela.
Berbarengan dengan jatuhnya Gunung Suwela, terjadilah perubahan mengerikan di dunia. Udara panas seperti Kawah Candradimuka, gunung-gunung bertubrukan, matahari padam, bintang-bintang jatuh, langit dan bumi terbalik, samudra mengebur-ngebur, dan halilintar menyambar-nyambar seperti ekor Hyang Antaboga, Sela Matangkep seperti jebol diterjang Lembu Andini yang pecah tanduknya. Rahwana merasakan gelap di sekitarnya, dan menjeritlah ia ketika Gunung Suwela menimpanya. Seketika teranglah suasana, damai di mana-mana, anakanak bajang berpelukan, dan turunlah hujan bunga dan aroma dari surga. Sementara Rahwana menjerit menyayat di bawah Gunung Suwela.
Oh Dewa, di manakah keadilanmu" Tidakkah kau akui sendiri, tak ada manusia yang bisa mengalahkanku" Kenapa hari ini aku terhina menderita seperti ini" jerit Rahwana menyumpah-nyumpah para dewa. Jeritan Rahwana terdengar oleh para dewa, maka turunlah Batara Narada ke dunia.
Rahwana, ketika kau ke kahyangan para dewa meminta Bayu Putih untuk menjaga ketenteraman Alengka, memang para dewa mengatakan takkan ada manusia yang dapat mengalahkanmu, sebab dalam diri manusia banyak terkandung kejahatan. Para dewa juga tak bisa mencegah kejahatanmu, karena kejahatanmu adalah putusan dari wewenang pilihanmu sendiri. Namun, ingatkah kau Rahwana akan perkataan para dewa. Suatu ketika kejahatanmu akan kalah dengan sendirinya oleh kesucian dan kerendahan hati alam, yang terwujud dalam diri para kera" Kau tak percaya, dan malah kau menyombongkan diri dengan berkata, jika manusia saja tak sanggup mengalahkanmu apalagi para kera! Namun hari ini semuanya terjadi, bersama dengan alam berupa Gunung Suwela, seekor kera telah mengalahkanmu. Ingatlah pula, pada saat itu hatimu nampak ragu-ragu, maka kau tetap memutuskan mencari Bayu Putih yang sudah turun ke dunia. Kau mengira sudah mendapatkannya. Namun ketahuilah, kau hanya memperoleh saudara seari-ari, sekawah, sedarah dan sepusar dari Bayu Putih itu. Sedangkan Bayu Putih sendiri sudah menjelma dalam kandungan Retna Anjani yang melahirkan kera putih, Anoman. Dan Anoman inilah yang kini menimpakan Gunung Suwela pada dirimu. Maka dewa-dewa tak mengingkari janjinya, kau tak bakal dikalahkan manusia, kau hanya kalah oleh kera sebagai wakil alam yang kau jahati. Rama, Wibisana, dan Laksmana hanya membantu mereka. Ketiga manusia itu pun takkan berhasil, bila mereka tidak menjadi rendah hati dan suci seperti kera. Itulah rahasia ilahi dalam kebesaran alam ini. Sebagaimana kejahatan adalah rahasia, yang tidak tahu dari mana datangnya, namun ternyata sangat menguasai manusia, demikianlah maka ia hanya bisa dikalahkan oleh rahasia kebaikan dan kerendahan hati alam, yang seakan suatu kemustahilan, tapi pada hari ini kau alami sendiri sebagai kenyataan. Semuanya itu harus kau terima Rahwana, karena itu adalah akibat kesalahanmu sendiri, kata Batara Narada dalam keilahiannya.
Rahwana menunduk lesu. Cahaya matanya pudar. Sepuluh kepalanya lunglai. Dan seluruh badannya terasa kesakitan. Di langit nampak Wisrawa bertetesan air mata, inikah akhir dari kesombongan manusia yang hendak mewedarkan Sastra Jendra" Namun ia nampak bahagia melihat Wibisana, tidakkah Wibisana berhasil untuk tidak menuruti kesombongan itu" Wibisana sendiri nampak penuh haru memandang kakaknya yang tersiksa, menjerit menyayat-nyayat.
Rahwana, kakakku, tidakkah hukuman berat ini tak perlu terjadi, jika kau menuruti perkataanku dulu" kata Wibisana sambil menyeka air matanya.
Jeritan Rahwana makin menyayat. Jeritan dari kesombongan hati seorang titah yang merasa tiada artinya apa-apa ketika kebesaran alam sudah menunjukkan kuasanya. Betapa sakit dan menyiksa himpitan Gunung Suwela! Dan ah, alangkah bahagianya jika dalam keadaan yang menyesakkan ini, hati Rahwana dapat terbang sebebas-bebasnya, membebaskan diri dari badannya yang tersiksa.
Tapi Rahwana sudah mematahkan sayap-sayap hatinya dengan belati-belati badannya ketika ia masih berkuasa. Hati ini telah lumpuh, terpenjara dalam badannya. Rahwana mengenang, betapa mudah dahulu ia menindas hatinya dengan badannya yang sangat berkuasa. Hati itu dengan mudah menyerah kalah, dan makin hari makin tak berdaya, diperdaya badannya. Tapi kini baik hati maupun badannya sama-sama tak berdaya. Dan hati Rahwana menuduh keserakahan badannya, sebaliknya badan Rahwana mengejek ketololan hatinya yang mau saja diperbudaknya. Demikian dahsyat tuduh-menuduh itu terjadi, meski demikian tak mampu hati Rahwana melepaskan diri dari siksanya, karena sudah tanggal kekuatannya. Keadaan diri yang tak pernah tenang, keadaan diri yang saling tuduh-menuduh dan saling menyalahkan inilah yang dialami Rahwana sebagai penderitaan.
Rahwana ingin terbebas dari penderitaan itu. Ia ingin menyesal. Tapi untuk menyesal pun ia tak mampu, karena sudah dipatahkannyalah sendiri sayap-sayap hatinya. Rintihan Rahwana membuat terharu para dewa. Tapi dewa-dewa pun tak dapat menolongnya, karena tak mungkinlah Rahwana terbang kembali ke pangkuan mereka setelah patah sayap-sayap hatinya. Rahwana menggigil ketakutan, ia merasa dalam keadaan diri tanpa harapan, dan keadaan diri tanpa harapan ini sesungguhnya adalah penderitaan yang abadi.
Oh, Dewa, tolonglah aku, jerit Rahwana setelah ia membayangkan penderitaan yang takkan ada habisnya itu.
Kami datang Rahwana. Inilah saatnya kami menghampiri dirimu, terdengar suara yang menjawabnya tiba-tiba. Rahwana mengeluarkan kepalanya dari sela-sela himpitan Gunung Suwela. Ia menengadah, dan nampak dari utara dan selatan dua satria tampan berjalan di atas mega. Rahwana hendak lari, melihat dua satria tampan itu akan menghunus pedangnya, hendak membunuhnya. Tapi demikian berat terasa tindihan Gunung Suwela.
Sejenak suasana menjadi kabur. Mega-mega beterbangan tanpa arah. Dan lihatlah, tiba-tiba ada gunung kembar berarak ke arahnya. Gunung kembar itu ternyata digerakkan oleh arwah Trikala dan Kalaseki, dua anak Prahasta yang dibunuh Rahwana tanpa ada salahnya. Makin merapat, akhirnya dua gunung itu mengapitkan diri di kanan-kiri Gunung Suwela. Suara menggelegar terdengar ketika gunung kembar itu bertumbukan dengan Gunung Suwela. Rahwana berteriak ngeri serentak tiga gunung itu bersama-sama menindihnya. Makin dahsyatlah siksa yang dialami Rahwana.
Rahwana tak berhenti menjerit-jerit. Selama-lamanya! Ia takkan mati dalam hidupnya yang tersiksa. Pada saat demikian, betapa kematian benar-benar menjadi kerinduannya.
Kematian yang dulu ditakutinya, kini menjadi cahaya yang akan menyelamatkannya. Rahwana berseru, meminta agar kehidupannya memandang cahaya itu dan menyerahkan diri untuk dibimbingnya. Tapi kehidupannya telah menjadi buta, oleh siksa dan duka, sehingga tak mungkinlah kehidupan memandang kematian yang sedang bercahaya. Rahwana memberontak, minta disapa oleh kematian yang sedang bercahaya, tapi ia tidak diijinkan oleh kehidupannya yang telah menjadi buta akan segala cahaya.
Maka beterbanganlah anak-anak bajang di atas mega. Meniup-niup sendaren dengan lagu-lagu kesedihan. Mereka menyanyikan lagu pujian abadi: kehidupan dan kematian itu saling mencinta dan melengkapi menuju kesempurnaan dan kebahagiaan sejati, maka bukankah tak ada hukuman yang lebih berat lagi daripada hidup yang tak dapat mati"
Anak-anak bajang ini juga mengingatkan, badan Rahwana telah tak berdaya ditimpa tiga gunung yang menghimpitnya, namun ia belum mati, artinya kehidupannya masih terus ada, maka tak mustahillah bila kehidupannya memasuki dunia sampai dewasa ini.
Dalam kehidupannya itu masih terkandung kejahatan yang tak mungkin dibebaskan oleh kematian. Maka kekuasaan jahat itu juga masih berada di dunia ini. Sampai kini pengaruh kejahatan Rahwana masih tetap mengancam setiap orang.
Delapan P agi sedang menjadi cinta, ketika Rama dan balatentara kera
memasuki Alengka, setelah gugurnya Rahwana. Pintu gapura Alengka berdenyitan bagaikan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih yang berciuman.
Bila membuka, dua helai daun pintunya bagai kekasih yang terpaksa berjauhan, tak sabar mengharapkan tibanya saat yang telah dijanjikan. Bila menutup, dua helai pintunya bagai pengantin yang saling berkasih-kasihan. Redalah amarah arca Cingkarabala dan Balaupata. Mereka menjadi raksasa tak berupa, sirna dalam rasa cinta.
Bunga-bunga berguguran, menjadi hiasan di sepanjang jalan yang dijalani Rama dan balatentaranya. Dan bertebaranlah keindahan, ketika bunga-bunga itu menjadi sandungan langkah-langkah raja cinta dan pasukannya.
Kera-kera berbaris bagaikan burung kepodang mengiringkan rajanya. Aneka warna bulu-bulunya menyulamkan keelokan yang bergerak-gerak di atas tikar-tikar pelataran kembang kenanga yang ditaburi dengan reruntuhan bunga-bunga kaniraga. Langit meredakan cahaya putihnya, ketika surya tertutup sayap burung Lamungsa yang menaungi para kera, sampai kekuningkuninganlah warna angkasa.
Berbondong-bondonglah para wanita ketika mendengar suara gamelan Lokananta menyambut kedatangan Rama dan balatentaranya. Berebut mereka menaburkan bunga-bungaan. Ada pula yang tergesa-gesa menyusun sanggulnya di jalanan, karena belum selesai mereka berdandan menyambut kemenangan. Mendengar keramaian, lari pula perempuan-perempuan yang belum selesai membersihkan diri di kali, mereka tidak merasa malu meski badan mereka belum tertutup rapi, karena kain mereka yang belum sempat terbenahi.
Bercandalah mereka tentang asmara, ketika ada perempuan yang terlepas kainnya karena terinjak oleh kawannya. Berbisikbisik mereka dengan mulut yang wangi dan sirih, yang dikunyah-kunyahnya sejak pagi. Ketika melihat Rama lewat di hadapannya, berkhayallah mereka tentang rasa asmara yang sampai kini belum pernah mereka nikmati. Sebagian wanita membiarkan anak-anaknya menyusu sekeras-kerasnya, mereka mengkhayalkan kenikmatan, seolah-olah anak-anak mereka adalah anak cinta yang dirindukannya. Wanita yang tak mempunyai anak, tak kehilangan akalnya, dipeluknya boneka sebagai anakanaknya, dan dipersembahkanlah anak-anakan itu kepada raja yang sedang berjalan bersama taburan bunga.
Inilah hari-hari cinta yang dikhayalkan para wanita. Pencuri hati seakan sudah dalam hatinya. Bunga-bunga rangin menderita sakit cinta akan lebah-lebah yang sedang mendengung-dengung di atas pohon beringin. Merak betina memanggil-manggil, suaranya bagaikan penderita cinta yang memetik gending dengan curing.
Surya lelah matanya, bagai mata orang yang semalam terganggu tidurnya oleh asmara. Pagi ini Sinta mandi dengan air burung jalak sepuluh kendaga. Berkemaslah ia dengan air bunga mawar tujuh jambangan emas. Bibirnya merah karena sekapur sirih. Badannya diolesi dengan param widasari bercampur atal yang dikeringkan dengan madusari. Dan bunga-bunga wiraga ditusukkan ke kondenya yang tergulung indah.
Siapakah yang tidak terserang sakit asmara mencium bau kumkuma yang tersebar dari badannya, bagai boreh kencana yang telah dibiarkan menggambar semalam lamanya" Mulutnya manis dengan rasa manisan manggis yang disedu dengan sendok bunga pudak!
Tak pernah Sinta seelok pagi ini. Alisnya bagai dua helai bunga pelangi. Dahinya berhiaskan nila cendani, bulu matanya menatap langit. Tertutup kain indah, buah dadanya bagaikan sepasang cangkir gading, buah dada itu bersela serupa selasela yang gemerlapan bagaikan bianglala. Tangkai sulur pohon gadung pun kalah dengan kakinya yang halus laksana kaki serangga retna.
Tak terbayangkan keelokannya, bahkan oleh dewa pencipta kecantikan bidadarinya. Bunga-bunga di taman seakan bersaksi, tak sangguplah kecantikan sang dewi dilukiskan dengan sejuta bunga angsoka dan cempaka yang dirangkaikan sampai malam tiba. Sinta bagaikan bunga yang berbadan mega, ingin mempersembahkan keindahannya kepada Rama yang bersama balatentaranya sudah berada di ambang pintu Taman Argasoka.
Berdebar hati Rama memandang Sinta di hadapannya. Tak sepatah pun keluar dari mulut Sinta. Namun Rama seakan bisa membaca bahasa yang diam itu, bahasa yang abadi, bahasa yang semua orang mengerti, bahasa yang bagaikan telaga tenang menarik makhluk-makhluk terjun ke kedalaman rahasianya.
Serasa terkatup pula mulut Rama untuk melukiskan keindahan wanita di hadapannya. Keindahan itu tak lagi bisa dimengerti oleh pikiran, tak terpandang oleh mata, ia bukan dirinya sendiri, ia terjadi karena cinta sendiri. Rama seakan dipaksa oleh pandangan mata Sinta yang penuh harap, keindahan itu akan sirna bila tiada cinta di antara mereka, karena keindahan sejati terkandung dalam irama alam yang abadi, yakni cinta di antara lelaki dan wanita. Tiada yang lebih besar daripada cinta, karena hanya cinta yang dapat mengangkat hati manusia untuk membayangkan keindahan yang tak terciptakan oleh manusia sendiri.
Adakah perpisahan telah menjadikan Sinta segala-galanya" Adakah penderitaan telah mengubahnya menjadi keindahan yang tak terkatakan rupanya" Dan mengapa perpisahan menjadi perjumpaan, penderitaan menjadi kebahagiaan, kalau bukan karena cinta yang tak mengenal perpisahan dan perjumpaan, penderitaan dan kebahagiaan" Cinta memang kaya rahasia pada dirinya, ia lebih daripada waktu yang mengandung perpisahan dan perjumpaan, ia lebih daripada dunia yang kaya dengan penderitaan dan kebahagiaan.
Sinta, mengapa kau diam tak berbicara" tanya Rama. Sejak tadi, hatiku berbicara, Rama. Alam yang tertidur pun mendengar suaraku itu. Bunga-bunga mendengar bisikannya dan ketenangan yang sunyi pun mendengar jeritan hatiku, jawab Sinta.
Maka kebisuan mulut dari suara cinta berbicara tentang segala-galanya. Kebisuan inilah yang membawa kedua insan Rama dan Sinta meninggalkan dunia. Menerbangkan mereka ke kerajaan seberang lautan. Di sanalah mereka menjadi anakanak, laki-laki dan wanita, yang tak memikirkan apa-apa dalam hidupnya, kecuali saling mencinta dan dicinta. Mereka berbicara tanpa bahasa, kecuali bahasa cinta.
Sinta, aku mendengar kebisuanmu berbicara. Aku mendengar suara kesunyian malam yang berbunga dan ketenangan siang yang berbicara, kata Rama.
Memang Rama, bertahun-tahun aku mendengar suaramu dalam kesendirianku. Suaramu mungkin menjadi irama yang lenyap di udara. Dipisahkan samudra raya, suaramu menghilang dalam kebesaran angkasa, tapi bagiku suara itu bergetar senantiasa. Siapakah yang dapat mendiamkan suara cinta" kata Sinta.
Maka beradalah mereka dalam suatu suasana, suasana yang lebih dalam daripada gambiralaya kedalaman samudra, suasana yang lebih tinggi daripada langit di lapisannya yang ke tujuh, suasana yang lebih jauh daripada cakrawala, suasana yang melebihi hidup dan kematian, suasana cinta yang tak mengenal batas-batasnya.
Ketika itu ada awan lewat menutup matahari. Namun terang tak berhenti memancar dari mata Sinta. Mata itu bening, karena telah bermandikan derita. Rama serasa iri untuk memiliki mata yang demikian tabah. Dan tidakkah keindahan Sinta hari ini adalah buah hasil ketabahannya untuk menderita"
Rama serasa iri akan ketabahan itu. Ia merasa malu ketika membayangkan penderitaan Sinta-lah sebenarnya yang menyediakan jalan bagi keagungannya. Kesucian Sinta pernah membuat keraguan hatinya. Ia berpikir, tidakkah sebenarnya kekecilan hatinya sendiri yang pernah membuat dirinya meragukan kesucian kekasihnya"
Bagi Rama, ketabahan Sinta terasa melebihi kebesaran dirinya yang telah menjadi raja dari para balatentara kera: penderitaan Sinta terasa melebihi kekuatannya untuk menaklukkan Alengka. Kesucian Sinta terasa melebihi kesaktiannya yang sanggup menyirnakan kejahatan Rahwana. Dan cinta Sinta terasa melebihi dirinya sendiri dalam segala-galanya. Sekarang ketabahan, penderitaan, kesucian dan cinta itu memancar dalam keindahannya. Dan mata Rama terlalu silau oleh cahayanya yang cemerlang.
Rama ingin memiliki keindahan, yang tabah, menderita, suci, dan penuh cinta itu. Namun masa lalunya ternyata pernah berupa kekecilan hati, keraguan, dan cinta bagi dirinya sendiri. Rama iri akan apa yang tak dimilikinya. Maka memberontaklah hatinya, dan teringatlah ia akan gandewa cinta yang pernah dipatahkannya. Namun kini wanita yang berada dalam pelukan raksasa bukan lagi wanita yang harus dibebaskannya, tapi wanita yang menjadi pelampiasan kekurangan dirinya sendiri. Rama lupa akan rahasia cinta yang baru direnungkannya. Sinta, mengapa kau berdandan seindah ini" tanya Rama. Aku tak berdandan berlebihan, Rama. Wajar rasanya, bila menyongsong kedatanganmu, aku mempersembahkan segala keindahan yang kumiliki, jawab Sinta terkejut.
Sinta, belum kau jawab pertanyaanku. Kau berdandan berlebihan Sinta, seakan kau hendak menyenangkan hatiku dengan segala cara, karena sebenarnya kau tidak suci lagi, kata Rama keras.
Sinta benar-benar tak membayangkan kata-kata itu keluar dari mulut Rama. Hadirin yang mengiringkan Rama pun seakan tak percaya Rama berkata demikian.
Sinta, jawablah pertanyaanku. Mengapa kau tutupi ketidaksucianmu dengan dandan keindahanmu" tanya Rama tak sabar. Di hadapannya, Sinta serasa benar-benar menjadi wanita yang tertidur dalam pelukan raksasa yang pernah dibayangkannya.
Rama, ingatkah kau akan malam penobatanmu sebagai raja Ayodya" Kini aku berdandan seperti menyambut kebesaranmu pada malam itu. Bertahun-tahun badanku kubiarkan tak terawat rapi, ketika aku menderita di Taman Argasoka ini. Kini demi ke-besaranmu pula Rama, maka diriku kubuat seperti ini, jawab Sinta berlinangan air mata.
Rama tak peduli akan air mata itu. Laksmana, yang sejak tadi berada di belakangnya, menjadi gundah-gulana hatinya. Dalam pengembaraan berulang kali Laksmana menegur Rama bila kakaknya ini meragukan kesucian kekasihnya. Kini Rama malah berbuat apa yang dikhawatirkan Laksmana.
Rama, kakakku, tidakkah pernah aku berkata, ketabahan dan penderitaan seorang wanita demi cinta kepada kekasihnya akan membuatnya menjadi wanita yang sesungguhnya. Maka bila hari ini keindahan Dewi Sinta memancar lebih daripada biasanya, tidakkah kita dapat memahami bahwa keindahan itu adalah buah hasil keprihatinannya. Dewi Sinta telah menjadi wanita yang sesungguhnya kau harapkan, dan wanita yang demikian seharusnya menjadi sebagian dari dirimu, mengapa kau masih ragu-ragu akan kesuciannya, Rama" Tidakkah keraguanmu sebenarnya adalah keraguanmu akan apa yang tak kau miliki sendiri" tegur Laksmana berani.
Air mata Sinta makin deras bercucuran mendengar kata-kata Laksmana itu. Sinta menyesal, mengapa ketika Rama berburu kijang kencana, ia sampai hati melukai hati dan mencurigai Laksmana yang suci itu. Ia ingin minta maaf kepada Laksmana, namun belum sempat ia menyatakannya, Rama yang dibelanya ternyata telah mencurigai kesuciannya.
Namun hati Rama tak dapat ditaklukkan oleh air mata suci yang mengalir makin deras itu. Malahan ia teringat akan katakata Rahwana di medan pertempuran, kata-kata yang membuat ia geram dan penasaran. Kata-kata Rahwana itu menghilangkan sama sekali perasaan bahagia, yang dialaminya sesaat di Taman Argasoka, sebelum ia mencurigai kesucian Sinta.
Sinta, tidakkah kau berjanji pada Rahwana, kau bersedia menjadi permaisurinya, bila ia dapat membawa pulang kepalaku" Mengapa kau tidak memilih mati daripada kau harus mengorbankan kesucian cintamu terhadap aku" tanya Rama menuduh.
Oh, Dewa, mengapa kau timpakan kemalangan ini kepadaku" Sinta menangis, sambil menutupi mukanya. Ia tak dapat menjawab tuduhan itu, karena sama sekali tidak benarlah tuduhan yang mencurigai kesuciannya itu.
Paduka, tidak benar Dewi Sinta mengatakan demikian. Hambalah yang menipu Uwa Prabu Rahwana, bahwa junjungan hamba mau menjadi permaisurinya jika ia dapat membunuh Paduka, kata Trijata berapi-api.
Trijata, tak ingin aku mendengar kata-kata orang lain. Aku ingin mendengar dari junjunganmu sendiri. Maka katakan Sinta, tidakkah kau mau menyerahkan kesucianmu kepada raja raksasa itu" sahut Rama yang tak mau padam rasa curiganya.
Rama, bila kau tak mau percaya kepada Trijata yang menyaksikan kebenaran kesucianku, bagaimana kau dapat percaya pada kesucianku yang tak kelihatan ini" Sinta terus menerus tesedu-sedu. Semua hadirin seakan menahan nafasnya mendengar kata-kata Dewi Sinta yang mengharukan itu.
Rama, ketahuilah, segala-galanya telah kuperbuat demi dirimu. Aku menderita, tapi aku tak ingin menarikmu ke dalam jalan penderitaanku, karena aku yakin kebahagiaan tersedia bagimu. Aku tahu nasib malang menuntunku pada jalan yang berat ini, namun tak sedikit pun aku membayangkan untuk memaksamu melewati nasibku, karena aku tahu padamu diberikan nasib mulia, lain dari nasibku. Aku tak takut menjalani nasibku itu, yang kutakutkan hanyalah kesakitan dan kepedihanmu yang akan menyebabkan lumpuh kekuatanmu untuk menyongsong masa depan di mana kebebasan dan kemuliaan menantimu. Aku tak mau kebebasan dan kemuliaan itu hilang bagimu, hanya karena aku memaksamu untuk melewati jalan nasib penderitaanku, jerit Sinta makin terdengar menyayat-nyayat. Tak tega hati hadirin yang mendengar jeritan yang mengharukan itu. Namun Rama sudah telanjur pada pendiriannya.
Sinta, jangan kau bela dirimu dengan kata-kata indah, sehingga aku menjadi makin bertanya-tanya, jangan-jangan sebenarnya kau tak sanggup menjalankan cobaan hidup ini, kata Rama tak goyah.
Rama, ketahuilah, tahun-tahun telah berlalu, belum sekecap aku menikmati kemuliaan bersamamu. Aku telah ditakdirkan untuk menderita, penderitaan telah menjadi hidupku. Demikian penderitaan telah menjadikan aku, sampai aku sendiri telah menjadi penderitaan itu. Penderitaan itu telah membuatku tak berdaya untuk meraih kemuliaan, bahkan andaikan aku berdaya, aku tak berani membayangkan kemuliaan itu, karena kemuliaan itu bukan milikku. Tapi aku percaya Rama, karena penderitaankulah kemuliaan menjadi milikmu. Sebagai wanita aku hanya ingin menumpang pada kemuliaanmu. Memang demikianlah nasib wanita, ia hanya layak untuk menumpang pada kebahagiaan dan kemuliaan lelakinya, meski hanya untuk menumpang itu saja ia harus menderita dan hidup celaka, Sinta berbicara dengan tenang, tabah, dan penuh keyakinan.
Sinta, cukup sudah segala kata-katamu. Sekarang buktikanlah kesucianmu. Kalau kau berani membuktikannya, terjunlah ke dalam api yang akan kusediakan bagimu. Dan bila kau memang suci, belum terjamah oleh Rahwana sedikit jua, takkan api menelanmu sampai binasa, kata Rama memerintah.
Hadirin marah mendengar perintah Rama yang mengerikan itu. Mereka semua mencoba melunakkan hati Rama untuk menarik keputusannya. Tak selayaknya Rama curiga terhadap kesucian kekasihnya.
Rama, urungkanlah niatmu. Seharusnya keraguanmu sendirilah yang harus dimurnikan oleh kesucian kekasihmu, tegur Laksmana keras.
Rama, tidakkah kami baru mendengar tentang indahnya cinta yang tak dimiliki bangsa kera, ketika kau bertemu dengan Dewi Sinta. Lalu apa artinya pengorbanan kami selama ini, kalau akhirnya kami mesti menyaksikan kesedihan ini. tak pernah terbayangkan oleh bangsa kera, bahwa di dunia ini ada wanita seluhur Dewi Sinta. Rama, mengapa manusia lalu tak pernah puas akan apa yang sebenarnya telah menjadi miliknya" tanya Sugriwa menahan geram.
Rama, lautan tak menjadi penghalang untuk mempertemukanmu kembali dengan kekasihmu. Cinta mampu membuat daratan yang terpisah saling bersambung. Cinta pula yang sanggup menambak samudra yang tak terbayangkan luasnya. Mengapa pula cinta mesti memisahkan kembali kekasih yang saling merindukan dalam penderitaannya" Rama, jangan kau menyia-nyiakan milikmu yang berharga seperti Dewi Sinta ini, kata Wibisana menahan rasa harunya.
Paduka, tak sedikit pun hamba mengira, bahwa ternyata Padukalah orang yang diharap-harapkan junjungan hamba. Dari hari ke hari hamba menyaksikan sendiri kesuciannya, ia rela mati demi kesuciannya yang hendak dipersembahkan pada Paduka. Tak terbayangkan oleh hamba, Paduka masih tega untuk meragukan pengorbanan dan kesucian junjungan hamba, kata Trijata, marah terisak-isak.
Teguran dan kata-kata itu hanya lewat begitu saja di telinga Rama. Hanya kata-kata Anoman-lah yang sejenak dapat membuatnya untuk mempertimbangkan kembali keputusannya.
Paduka, cincin Paduka menyala ketika dikenakan di jari manis kekasih Paduka. Tapi ingatkah Paduka, permata Dewi Sinta tak menyala terang ketika Paduka kenakan di dada Paduka. Tidakkah keraguan Paduka sendiri yang menuduh Paduka, sampai Paduka tidak tahan, lalu melemparkan tuduhan itu pada kekasih Paduka, yang tak bercela" kata Anoman, yang baru pertama kali ini terpaksa menegur junjungannya. Mendengar kata-kata Anoman, Rama merasa ngeri membayangkan api yang akan menjilat-jilat kekasihnya, ia ingin membatalkan keputusannya, karena membayangkan api itu selayaknya menjilat-jilat dirinya sendiri. Namun tiba-tiba terdengarlah suara indah dari Dewi Sinta.
Rama, sediakan api itu bagiku. Aku akan terjun ke dalamnya, karena memang demikianlah kehendakmu. Aku telah berbuat segala-galanya demi dirimu, mengapa aku takut akan api yang hendak menguji kesucianku" Rama, tak hendak aku membuktikan kesucianku, karena sejak pertama kali bertemu denganmu tak pernah aku menodai kesucian itu. Semata-mata aku hanya hendak menunjukkan, betapa aku mencintaimu, ucap Dewi Sinta tabah.
Hadirin menanti dengan hati berdebar-debar, sementara di sebelah pintu Taman Argasoka, sebukit kayu telah disediakan. Sinta mengajak Trijata masuk ke taman. Ditanggalkannya busana keindahannya, lalu ia mengenakan pakaian putih-putih untuk mengiringi kesuciannya. Dengan langkah tanpa kegentaran, berjalanlah Sinta ke tumpukan kayu.
Sang Dewi, jangan tinggalkan hamba, jerit Trijata. Putri Wibisana ini lalu menyandarkan diri ke tumpukan kayu sambil meratap-ratap keras. Datanglah wanita-wanita Alengka. Bersama Trijata, mereka memukul-mukulkan tangannya ke tumpukan kayu yang sebentar lagi menjadi bara. Serentak mereka membalik, mata mereka tajam memandang Rama, menyatakan geram dan amarahnya. Tapi Sinta seakan tidak mempedulikan mereka. Ia menengadah, meminta kasih sayang dewa.


Anak Bajang Menggiring Angin Karya Sindhunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh Dewa Api, lindungilah hambamu ini. Semoga kejujuran dan kemurnianku menjadi saksi, api ini akan makin menyucikan diriku, Sinta berdoa dengan penuh penyerahan. Matanya terpejam, penuh keindahan. Angin bergerak perlahan, menerpa busananya yang melambai-lambai bagaikan bendera kesucian. Maka turunlah hujan bunga melati putih dari langit. Sinta menyebarkan wewangian ilahi. Sementara surya tak tega untuk menambah panasnya api yang bakal terjadi, ia berpaling, dan dipersilakan bulan untuk menjadi terang yang mendinginkan. Dan dahi Sinta pun penuh dengan cahaya keindahan bulan. Dewa-dewa terdiam di langit, menyaksikan saat makhluknya akan diuji kesuciannya.
Maka disulutlah tumpukan kayu kering yang membukit. Dan berkobar-kobarlah api ke angkasa. Dalam sekejap tertelanlah Sinta dalam warna merah yang panas menjilat-jilat. Makin lama, makin ganaslah api membungkus kesuciannya. Dan pandangan pun menjadi kejam, merah membara, menyilaukan mata.
Kera-kera menutup matanya, tak tega menyaksikan api menyala di tengah kesucian itu. Para wanita berteriak, menjerit menyayat-nyayat, mohon agar dewa-dewa melindungi kesucian itu. Para bidadari menitikkan air matanya, ingin agar air mata kesedihan mereka dapat memadamkan api yang memakan badan suci Dewi Sinta. Sementara awan-awan sedih menghitam, merendah ingin menjatuhkan hujannya. Dan samudrasamudra melarikan ombaknya ke tepi-tepi daratan, memaksa dirinya untuk melimpahkan airnya ke jilatan api yang membakar kesucian. Tapi api tak akan padam. Dan tak mungkin padam. Maka Sinta pun makin tak terbayangkan, tenggelam dalam bara yang menghanguskan.
Tapi lihatlah, di tengah kekejaman dan kesedihan itu nampak anak-anak kera dan anak-anak raksasa riang bermain bersamasama. Sepasang-sepasang, anak raksasa menggendong seekor anak kera. Lalu berlombalah mereka sampai terengah-engah nafasnya.
Sorak-sorai meledak. Seorang anak raksasa didekap matanya oleh seekor anak kera. Anak raksasa ini terduduk. Lalu dua ekor anak kera merentangkan tangannya. Dan dua ekor kera lainnya memegangi kakinya. Lalu bersama-sama mereka menggoncang-goncangkan anak raksasa itu, di tengah kerumunan anak kera dan anak raksasa lainnya, dengan irama dan nyanyian gembira. Selang beberapa lama, pegangan dilepaskan, dan terhuyung-huyunglah anak raksasa yang didekap matanya karena pusing. Serentak anak-anak kera dan anak-anak raksasa lainnya lari, bersembunyi di balik-balik pohon. Tawa ria mereka terpingkal-pingkal, terdengar tiada henti, menyaksikan kawannya, anak raksasa yang bingung mencari-cari mereka.
Tertinggal di sana, seorang anak raksasa yang kecil sekali, usianya masih sangat muda. Taringnya belum muncul dan giginya masih tumpul. Ia telanjang bulat dan liurnya menetes terus. Anak raksasa ini merengek-rengek, minta ikut bermain. Dan datanglah seekor anak kera menghibur dan menciuminya. Lalu dituntunlah anak raksasa ini, pergi menyusul kawan-kawannya.
Anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini telah kehilangan ayah-ayah mereka yang mati dalam peperangan. Tapi tiada kesedihan pada mereka. Tiada dendam dan permusuhan di antara mereka. Dan tiada peduli mereka akan api yang menjilat-jilat kejam Dewi Sinta. Hanya sukacita ada dalam diri mereka.
Mereka terus bersenda gurau. Lari berkejar-kejaran. Main gajah-gajahan. Berguling-guling di tanah sambil bersorak riang. Rukun dan damailah hati anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini. Dan mereka tiada berpikir apa-apa, kecuali bergembira. Kegembiraan mreka seakan mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka.
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ, amat dikenal karena karya sastranya yang telah menjadi klasik, Anak Bajang Menggiring Angin. Penulis yang dilahirkan 12 Mei 1952 di Kota Batu, Jawa Timur ini juga amat dikenal karena features-nya tentang kemanusiaan dan kolomnya tentang sepak bola dunia di Harian Kompas, Jakarta. Sekarang ia adalah Penanggung Jawab/ Pemimpin Redaksi Majalah BASIS, Yogyakarta. Karier jurnalistiknya dimulai dengan bekerja sebagai wartawan Majalah Teruna, terbitan PN Balai Pustaka, Jakarta, 1974-1977. Mulai tahun 1977, ia menjadi wartawan di Harian Kompas, Jakarta. Sindhunata tamat dari Seminarium Marianum, Lawang, Malang, tahun 1970. Tahun 1980, ia selesai dengan studi sarjana ilsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Kemudian ia menyelesaikan studi teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta (1983). Ia melanjutkan studi doktoral ilsafat di Hochschule f"r Philosophie, Philosophische Fakult"t SJ M"nchen, Jerman 1986-1992. Ia telah menulis buku ilmiah: Dilema Usaha Manusia Rasional, Hofen auf den Ratu Adil Das eschatologische Motiv des Gerechten K"nigs im Riwayat Hidup Pengarang
Bauernprotest auf Java w"hrend des 19 und zu Beginn des 20 Jahrhunderts (Menanti Ratu Adil Motif Eskatologis dari Ratu Adil dalam Protes Petani di Jawa Abad ke-19 dan awal Abad ke-20), Sakitnya Melahirkan Demokrasi (1999), dan Kambing Hitam, Teori Ren" Girard (2006). Telah terbit juga buku-buku features-nya: Cikar Bobrok dan Bayang-bayang Ratu Adil. Sindhunata juga menulis buku dalam bahasa Jawa: Aburing Kupu-Kupu Kuning, Ndh"r"k Sang D"wi ing "r"ng-"r"nging Redi Merapi, Sumur Kitiran Kencana, dan Nggayuh Gesang Tentrem. Ia juga menjadi pengisi rubrik bahasa Jawa Blencong di Harian Suara Merdeka, Semarang. Selain Anak Bajang Menggiring Angin, beberapa karya sastranya adalah: Air Penghidupan, Semar Mencari Raga, Mata Air Bulan, Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka. Kumpulan puisinya telah diterbitkan dalam buku Air Kata Kata (2003). Penulis rubrik Tanda Tanda Zaman di Majalah BASIS ini juga telah menerbitkan buku tentang ilmu tertawa yang berangkat dari dagelan ludruk, Ilmu Ngglethek Prabu Minohek (2004) dan buku tentang ilsafat slebor becak yang berjudul Waton Urip (2005). Telah terbit trilogi catatan sepak bolanya: Air Mata Bola, Bola di Balik Bulan, dan Bola-Bola Nasib (2002). Tahun 2006, featuresfeatures-nya yang dipilih dari Harian Kompas diterbitkan serentak dalam lima buku: Dari Pulau Buru ke Venezia, Segelas Beras Untuk Berdua, Ekonomi Kerbau Bingung, Petruk Jadi Guru, dan Burung-burung di Bundaran HI.
Putri Cina. Di samping menulis buku, ia menjadi editor beberapa buku ilmiah dan buku features.
Apakah artinya samudra yang luas dan dalam, bila cinta ingin mengarungi dan terjun di dalamnya, Kawanku" tanya Anila dalam lagunya. Serentak para kera berhenti, sambil menari-nari mereka pun menjawab nyanyian Anila.
Samudra itu akan menjadi telaga, dan cinta akan menjadi sepasang golek kencana di permukaan airnya. Hilanglah kedalaman lautan, musnahlah luas samudra, dan mandilah sepasang golek-kencana, bersiram-siraman dengan air telaga.
Apa artinya kedua daratan yang jauh terpisah, bila cinta hendak mempersatukannya, Kawanku" tanya Cucak Rawun.
Daratan itu akan menjadi sejengkal tanah karena sayap cinta. Siapakah yang dapat terbang seperti sambaran halilintar kecuali cinta" Jangankan daratan di dunia, surga pun dalam sekejap akan disentuhnya, bila cinta sudah terbang dengan sayapnya, sahut para kera menyambut nyanyian Cucak Rawun.
Inilah hari-hari cinta yang dikhayalkan para wanita. Pencuri hati seakan sudah dalam hatinya. Bunga-bunga rangin menderita sakit cinta akan lebah-lebah yang sedang mendengung-dengung di atas pohon beringin. Merak betina memanggil-manggil, suaranya bagaikan penderita cinta yang memetik gending dengan curing.
Itulah sepenggal ekspresi tentang makna cinta yang dengan sangat indah dilukiskan dalam karya sastra ini. Tak banyak karya sastra Indonesia yang dicetak ulang berkali-kali seperti buku Anak Bajang Menggiring Angin ini. Banyak pembaca mengaku telah menemukan pegangan yang menguatkan dan mencerahkan hidupnya. Beberapa penggal kisah dan dialognya telah menyadarkan mereka akan arti penderitaan yang singgah dalam hidup mereka, akan kekuasaan atau jabatan yang mereka emban, persahabatan dan kebersamaan yang mereka jalin, keadilan dan kerendahan hati di tengah segala kepalsuan hidup.
Para pengamat sastra mengatakan bahwa kisah buku ini merepresentasikan perlawanan mereka yang lemah dan tak berdaya menghadapi absurditas nasib dan kekuasaan. Dengan imajinasi simbolik yang sangat kaya disertai penggalian makna-makna fi losofi s yang sangat dalam, buku ini mampu menghidupkan kembali kisah klasik Ramayana dalam bentuk sebuah karya sastra yang indah namun sangat enak untuk dinikmati.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29 37 SASTRA/FIKSI
Topan Di Borobudur 3 Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju Kumbang Merah 1
^