Pencarian

Kumbang Merah 1

Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah Bagian 1


T. Hidayat KUMBANG MERAH CINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
KUMBANG MERAH Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku Ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Kumbang Merah 128 hal ; 12 x 18 cm
1 "Haiiit...!"
Suasana pagi yang tenang di Hutan Ranggat, di-sentakkan suara teriakan yang
nyaring dan menggetarkan. Beberapa ekor burung yang tengah ber-cengkerama di
atas dahan-dalah pohon, beterba-ngan karena terganggu ketenangannya.
Sedangkan sosok tubuh langsing, yang mengena-kan pakaian berwarna biru muda itu,
mengiringi teriakannya dengan sebuah lesatan kilat. Selarik sinar putih
berkeredep menyertai sambaran tangan-nya.
"Aih...!"
Dua orang lelaki bertampang kasar berteriak kaget ketika mellhat datangnya
sambaran senjata dari sosok berpakaian biru muda itu. Meskipun dengan wajah
pucat, keduanya berusaha mengelak-kan serangan maut itu dengan melempar tubuhnya
ke belakang, dan bersalto di udara.
Namun, sosok berpakaian biru muda itu bergerak lebih gesit. Begitu serangannya
luput, sosok tubuh langsing itu menotolkan kakinya ke tanah. Seketika itu juga,
tubuhnya melenting dengan disertai sam-baran senjatanya yang mengeluarkan sinar
putih. Wuttt! Wuttt! Hebat dan cepat sekali putaran senjata yang dilakukan sosok berpakaian biru muda
itu. Samba-ran angin pedangnya menimbulkan bunyi menga-ung tajam.
Jelas kalau tenaga yang dimilikinya cukup kuat Sementara, dua orang lawannya
yang masih ber-putar di udara, semakin pucat wajahnya. Sadar kalau keselamatan
mereka terancam, maka kedua-nya nekat memapaki pedang lawan dengan lontaran
pukulan. Rupanya mereka memilih cacat daripada harus tewas di tangan sosok tubuh langsing
itu. "Hmh...!"
Terdengar dengus penuh ejekan dan sosok berpakaian biru muda itu. Dengan gerakan
cepat dan tak terduga, pedang di tangannya diputar dengan gerakan melingkar.
Kemudian menyambar cepat ke arah perut kedua orang lelaki bertampang kasar itu.
Dan... Bret! Bret! "Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Sambaran senjata maut Itu merobek bagian de-pan tubuh mereka. Darah segar
menyembur mem-basahi tanah berumput kering yang berada di bawahnya.
Dengan diiringi jerit kematian yang menyayat, tubuh kedua orang itu terbanting
dan tewas seketika.
"Tahu rasa kau, Manusia-manusia Busuk...!" Desis sosok berpakaian biru muda itu
dengan sinar mata galak. Rupanya ia seorang gadis muda yang cantik dan penuh
daya pikat. Namun, kelegaan di hati gadis cantik itu tidak berlangsung lama. Beberapa lelaki
bertampang ka-sar lainnya, tampak kembali bergerak dan menge-pungnya.
Sorot kebencian tergambar jelas pada wajah-wajah kasar itu.
"Wanita cantik ini tidak boleh dikasih hati! Ter-lalu enak kalau dibunuh begitu
saja. Kita harus menangkapnya hidup-hidup. Kemudian kita nikmati tubuhnya
beramai-ramai, baru kita cincang Kunti-lanak itu!" terdengar suara bernada geram
yang di-ucapkan salah seorang dan lelaki kasar itu. Wajah-nya yang kehitaman
tampak semakin gelap karena hawa marah.
"Benar, Kakang. Kuntilanak ini harus kita siksa sebelum dibunuh!" timpal lelaki
bermata picak yang
berada di sebelah kanannya. Menilik dari sorot matanya, jelas ucapan itu bukan
sekadar gertakan belaka.
"Hm..?" lelaki brewok berkepala botak itu mende-ngus kasar. Melihat dari
sikapnya, dapat dipastikan kalau lelaki itu merupakan pimpinan mereka.
"Serbu...!"
Sambil berteriak, lelaki brewok dan berkepala botak itu meluruk dengan gerakan
menyilang. Golok besar yang bergerigi pada bagian matanya, diputar se-demikian
rupa sehingga membersitkan kilatan-kilatan maut.
Sedangkan sebelas orang pengikutnya, tidak mau ketinggalan. Mereka bergerak
menyebar dengan di-sertai teriakan-teriakan ribut. Kemudian, mereka langsung
menyerbu gadis cantik itu dari segala penjuru.
"Hmh!"
Gadis cantik bermata galak itu mengeluarkan dengusan tajam. Tubuhnya yang
langsing dan padat itu, berdiri dalam posisi kuda-kuda harimau. Sedangkan
pedangnya menyilang didepan dada dengan tangan kiri berada di sebelah dalam.
Kefika kawanan lelaki kasar itu tepat berada dalam jarak beberapa tindak dari
tempatnya berdiri, tiba-tiba tubuh langsing itu melesat dengan kecepa-tan tak
terduga. "Haiiit..!"
Terdengar teriakan gadis itu yang melengking panjang.
Pedang di tangannya berputar membentuk gulungan sinar yang menyelimuti sekujur
tubuhnya. Trang! 'Bret' Terdengar jerit kematian ketika sambaran pedang di tangan gadis cantik itu
merobek dada salah seorang lawannya, yang berada di sebelah kanan. Tubuh lelaki
malang itu terjungkal dan roboh mandi darah. Saat itu juga nyawanya melayang
meninggal-kan raga.
Bukan main murkanya lelaki berkepala botak itu ketika menyaksikan pengikutnya
tewas bersimbah darah. Sambil mengeluarkan geraman keras, tubuh tinggi besar itu
langsung melesat maju mengibaskan sen-jatanya.
Wuttt! Serangkum angin tajam merobek udara. Kilatan badan golok besar yang tertimpa
cahaya matahari, bagaikan tangan-tangan maut yang siap menerkam tubuh lawannya.
Tapi, lelaki brewok berkepala botak itu lagi-lagi harus menelan kedongkolannya.
Karena sambaran gotoknya hanya menerpa angin kosong. Sedangkan tubuh langsing
yang terbungkus pakaian biru muda itu, melesat dengan gesit ke sampingnya.
Bahkan, pedang di tangannya mengancam lambung iawan. Jelas, kepandaian yang
dimilikinya tidak bisa diang-gap enteng.
"Setan...!" maki lelaki brewok itu sambil meng-gulingkan tubuh, menghindari
ancaman pedang Iawan.
Dengan akal licik, dilontarkannya beberapa pisau kecil seraya tetap bergulingan
menjauhi inca-ran senjata Iawan.
"Keparat curang...!"
Sosok yang terbungkus pakaian biru muda itu memaki kelicikan lawannya. Pedang di
tangannya kembali diputar dan membentuk gulungan sinar yang menyelimuri sekujur
tubuhnya. Terdengar suara gemerincing nyaring ketika pisau-pisau se-panjang satu
jengkal itu membentur gulungan sinar pedangnya.
"Mampuslah kau...!" maki gadis itu sambil mengibaskan pedangnya, sehingga
membentur dua pisau lawannya. Gerakan itu memang dimaksudkan un-tuk
mengembalikan senjata rahasia yang dilepaskan lawannya.
Cappp! Crakkk! " "Ughhh...!"
Lelaki berkepala botak yang baru saja bangkit itu menjerit ngeri. Senjata
rahasia yang dilepaskannya menancap di kening dan belahan dadanya. Karuan saja
tubuh tinggi besar itu langsung ambruk, dan menggelepar menanti ajal. Darah
bercucuran di ta-nah, dan nyawanya terbang dengan mata terbelalak.
Menyaksikan pemimpin mereka tewas di tangan gadis itu, tanpa diberi perintah
lagi, para pengikut-nya yang masih selamat berhamburan melarikan diri.
Sedangkan gadis berpakaian biru muda itu, sama sekali tidak berusaha mengejar
lawan-lawannya. Hanya matanya tak berkedip mengikuti bayangan tubuh lawannya
yang melarikan diri. Seulas senyum mengejek membayang di wajai cantik itu.
Mendadak, gadis berpakaian biru muda itu me-mutar tubuhnya ketika mendengar
suara tepukan di belakangnya. Dan, sepasang matanya yang indah itu tertegun
menatap sosok pemuda berpakaian sutera putih.
"Hebat, sungguh membuat hatiku benar-benar kagum sekali. Kali ini, kawanan
anjing-anjing kelaparan itu benar-benar terkena batunya," sambil mengeluarkan
kata-kata yang bernada pujian, kaki-nya melangkah menghampiri. Bahkan, sepasang
matanya yang bersinar tajam itu, sama sekali tidak menyembunyikan kekagumannya.
*** Untuk beberapa saat lamanya, gadis berpakaian biru muda itu berdiri bengong.
Bukan ketampanan sosok berpakaian sutera putih itu yang membuat-nya terpaku
seperti patung. Tapi, kehadiran sosok itu yang membuatnya terheran-heran.
Karena, sama sekali tidak diketahuinya, sejak kapan orang itu datang.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak" Dan, apa maksud ucapanmu itu?" tegur gadis itu
dengan suara tajam, dan tidak bersahabat Bahkan sinar mata dan tari-kan wajahnya
menampakkan rasa curiga.
"Ah! Maaf..., maaf.... Apakah kau benar-benar seorang manusia biasa...?" ujar
sosok yang temyata seorang pemuda tampan itu dengan suara gagap. Bahkan, raut
wajahnya jelas memancarkan ketidak-percayaan. Seolah-olah bukan gadis itu yang
tengah berdiri di hadapannya.
Melainkan sesuatu yang telah membuatnya terpesona sekaligus gentar.
Tentu saja gadis itu menjadi heran melihat kelakuan pemuda tampan yang berbicara
gagap itu. Namun, sesaat kemudian, sinar matanya kembali berkilat penuh ancaman.
"Kurang ajar...! Apakah kau mengira aku sebang-sa siluman?" geram gadis cantik
itu marah. "Ah! Bukan..., bukan itu maksudku. Tapi, kau..., kau cantik sekali. Seperti...
seperti seorang dewi dari langit...
Maafkan kalau aku bersikap kurang patut," pinta pemuda tampan itu, sambil
merangkapkan telapak tangannya dan membungkuk dalam-dalam. Nyata sekali kalau ia
tidak bermaksud main-main. Karena semua itu terlihat jelas di wajahnya.
"Kau..., kau kurang ajar...," maki gadis itu, de-ngan wajah kemerahan dan bibir
menyembunyikan senyum senang. Jelas, ia tengah berusaha menutupi rasa bangga
karena dipuji pemuda tampan itu. Se-hingga, tekanan pada ucapannya tidak sekeras
dan seketus semula.
Apa yang dirasakan gadis berpakaian biru muda itu, memang wajar dan bisa terjadi
dengan wanita mana saja. Hati wanita mana yang tidak merasa bangga mendengar
pujian tentang kecantikannya yang menyamai dewi dari langit" Apalagi yang me-
lontarkan pujian itu seorang pemuda tampan. Tentu saja pujian itu membuat
hatinya berbunga.
"Sekali lagi, aku mohon maaf. Bukan aku ber-maksud kurang sopan. Tapi, terus
terang apa yang kuucapkan itu, memang keluar dari lubuk hatiku yang paling
dalam, tanpa berniat kurang ajar sedikit pun. Maafkan atas keterusteranganku
ini, mmm...," ujar pemuda tarnpan itu menggantung ucapannya. Sepertinya, gadis
itu tengah dipancingnya untuk memperkenalkan diri.
"Sudahlah. Di antara kita tidak ada urusan. Aku pergi...," pamit gadis itu yang
segera membalikkan tuuhnya hendak meninggalkan Hutan Ranggat.
"Nisanak, tungguuu...!" cegah pemuda tampan itu sambil berlari mengejar. Dan,
sekali berkelebat saja, tubuhnya telah berada beberapa tombak dari tem-pat
aemula. Gadis berpakaian biru muda itu menunda lari-nya, ketika merasakan sambaran angin
lewat di samping kanannya. Dan, tanpa diketahuinya pemu-da berpakaian sutera
berwarna putih itu, telah ber-diri di hadapanriya dalam jarak satu tombak.
"Hra... Rupanya kau memiliki kepandaian, dan akan berbuat kurang ajar padaku"
Hm..., jangan kau kira, aku takut dengan kepandaianmu yang tinggi itu"
Majulah...," tantang gadis cantik itu de-ngan sikap siap tempur. Bahkan, tangan
kanannya terlihat sudah meraba gagang pedang di pinggang-nya.
"Sabar, sabar dulu, Nisanak," ucap pemuda tam-pan itu sambil menggoyang-
goyangkan telapak ta-ngannya mencegah. "Aku sama sekali tidak bermak-sud jelek.
Hanya..., kalau boleh, aku ingin menge-tahui namamu dan tujuanmu," lanjut pemuda
itu dengan nada yang sopan dan simpatik.
Sebenarnya gadis itu sudah merasa marah dan ingin memberikan pelajaran kepada
pemuda itu. Namun, melihat sikapnya yang sopan, diam-diam timbul rasa suka di
hati gadis itu. Tapi, perasaan itu ditutupinya dengan ucapan ketus dan sinar
mata yang dibuat segalak mungkin. Dan, ia pun tidak segera menjawab pertanyaan
pemuda itu. Pemuda tampan itu rupanya menyadari kekeli-ruan yang dibuatnya. Maka, cepat-
cepat ia melan-jutkan kata-katanya dan memperkenalkan diri ter-lebih dahulu.
"Mmm..., maaf. Namaku adalah Pradipta. Tujuan perjalananku ke Selatan. Nah,
apakah keterangan tentang diriku sudah cukup memenuhi syarat untuk
mengenalmu...?" ujar pemuda tampan itu dengan sikap yang sopan dan tidak
mencerminkan watak seorang pemuda ceriwis. Sehingga, rasa simpati di hati gadis
itu kian bertambah.
"Hm..., sebenarnya aku tidak ingin berkenalan dengan sembarang orang Tapi,
melihat sikapmu yang sopan, aku memberi sedikit kelonggaran untuk mengenalku.
Namaku Trijanti. Aku tidak mempu-nyai tujuan yang pasti. Tapi perjalanan kita
satu arah. Nah, apakah sudah cukup keterangan tentang diriku?" balas gadis itu
tersenyum. "Wah, kalau begitu, kita setujuan!" sambut Pra-dipta, dengan senyum gembira.
"Mmm..., bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama-sama..." Tentu saja
kalau Nisanak tidak keberatan?" sam-bung Pradipta masih dengan gayanya yang enak
di-pandang mata.
"Maaf, sebagai seorang wanita, aku tidak bisa melakukan perjalanan dengan orang
yang sama sekali tidak kukenal. Jadi, sebaiknya kita mengambil jalan sendiri-
sendiri saja," sahut Trijanti yang segera me-langkahkan kakinya melewati pemuda
tampan di depannya itu.
'Tapi, bukankah kita sudah berkenalan, Tri-janti...?"
desak Pradipta yang mengekor di belakang gadis cantik Itu.
Kali ini gadis berpakaian biru muda bernama Trijanti itu tidak mempedulikannya
sama sekali. Kakinya terus diayunkan, kemudian berlari cepat meninggalkan pemuda
ita Bahkan ia tidak menoleh ke belakang satu kali pun.
'Trijanti...!" panggil Pradipta tanpa berusaha me-ngejar gadis cantik itu. la
hanya berdiri memandangi bayangan Trijanti yang lenyap di balik rimbunnya
pepohonan hutan.
*** Saat itu, kemilau jingga telah merona di ufuk Barat Sebentar kemudian, senja pun
merayap me-nyelimuti permukaan bumi ini. Suara-suara bina-tang malam pun
terdengar menyambut kedatangan sang malam.
Trijanti yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di atas pembaringan kayu,
menatap kosong ke langit-langit kamar tem-patnya melewatkan malam ini. Namun,
sepasang mata bening itu tampak me-nyembunyikan segumpal resah. Semua itu
terlihat dari sorot matanya yang hampir tidak berkedip menatapi langit-langit
"Hhh...."
Terdengar sebuah tarikan napas panjang sebagai ungkapan rasa resah. Kemurungan
tampak semakin nyata tergambar di wajahnya. Kemudian ia bergerak bangkit dan
duduk di atas pembaringan. Masih de-ngan wajah murung, gadis cantik itu kembali
terme-nung. "Gila...!" desis gadis cantik itu menghela napas berat
"Mengapa wajah pemuda tampan itu tidak mau hilang dari benakku" Apa sebenarnya
yang terjadi denganku"
Belum pernah aku merasakan keanehan ini. Atau..., apakah aku telah tertarik
dengan pemuda bernama Pradipta itu...?"
Setelah bergumam demikian, tubuhnya dilurus-kan sejenak, kemudian kakinya
melangkah gontai ketuar dari dalam kamarnya.
Sejak berjumpa Pradipta dua hari yang lalu, Tri-janti merasakan ada sesuatu yang
aneh di dalam dirinya.
Mulanya ia tidak begitu mempedulikannya, dan menganggap hal itu sesuatu yang
wajar. Namun, makin lama perasaan aneh itu kian ber-kembang, dan membuat hatinya


Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu resah. Dan, ia pun mulai menyadari, apa sebenarnya yang te-ngah dialami.
Dalam usianya yang sudah mencapai sembilan belas tahun, Trijanti segera dapat
mene-bak perasaan yang lerkandung dalam hatinya.
Dengan langkah perlahan, gadis cantik yang memiliki kepandaian tinggi itu
bergerak menuju taman belakang rumah penginapan yang terletak di Desa Waru itu.
Dengan gerakan yang tanpa sema-ngat, Trijanti menjatuhkan tubuhnya di atas
sebuah bangku bambu di dalam taman itu.
"Aneh, mengapa sekarang aku begitu mudah ter-tarik kepada seorang pemuda?"
kembali batin Tri-janti bergumam. "Padahal bukan hanya Pradipta saja yang
kukenal. Cukup banyak pemuda-pemuda yang jagah dan
tampan berkunjung ke tempatku semasa aku berada di Gunung Buntar. Karena
sahabat-sahabat guruku kerap berkunjung dan membawa murid-muridnya. Tapi, aku
tidak pernah mengalami perasaan seperti saat ini.
Perkenalan dengan murid-murid sahabat guruku itu, sama sekali tidak
menggangguku, meskipun mereka telah pergi meninggalkan Gunung Buntar. Tapi,
mengapa perasaan aneh ini timbul setelah berjumpa dengan Pradipta...?"
Trijanti kembali menghela napas resah. Bayangan pemuda tampan yang telah membuat
hatinya geli-sah, benar-benar membuatnya tidak bisa tenang. Setiap kali
pandangannya diarahkan ke satu benda, selalu saja bayangan Pradipta muncul
dengan gaya dan senyumnya yang sangat simpatik itu. Semua gangguan itu tentu
saja membuatnya jengkel. Se-hingga, tidak jarang wanita cantik itu memukul ke-
ningnya perlahan, atau menggoyangkan kepalanya keras-keras. Seolah-olah dengan
berbuat demikian, bayangan Pradipta dapat hilang dari benaknya.
Setelah dua hari bayangan itu tidak mau juga le-nyap.
Kini sadarlah Trijanti kalau dirinya telah jatuh hati kepada pemuda tampan itu.
Terkadang ucapan-ucapan pemuda itu terngiang kembali di telinganya. Dan, ingatan
itu mau tak mau membuatnya terse-nyum seorang diri.
Demikian pula halnya dengan malam itu. Keresa-han dan rasa ingin berjumpa dengan
Pradipta, membuat gadis cantik itu tidak bisa memicingkan mata sekejap pun.
Bahkan, kegembiraannya selama ini seperti lenyap.
Sehingga, ia merasa hari-hari yang dilaluinya kosong dan tidak menyenangkan.
"Siapa...?"
Tiba-tiba saja Trijanti bergerak bangkit ketika mendengar suara langkah kaki
menghampirinya. Telinga gadis itu sangat jelas menangkapnya. Pada-hal, saat itu
ia tengah tenggelam dalam lamunan-nya.
Tapi, semua itu bukan karena pendengaran Tri-janti yang tajam. Melainkan,
langkah kaki itu se-ngaja diberatkan agar gadis itu dapat mendengar-nya.
Sehingga, meskipun tengah tenggelam dalam lamunan, suara langkah berat itu pasti
tertangkap oleh pendengarannya.
"Sss... siapa...?"
Trijanti mengulang pertanyaannya. Dengan suara yang agak gagap dan tegang.
Karena, sepasang matanya menangkap sosok berpakaian sutera putih yang tampak
gemerlap ditimpa cahaya rembulan.
Sosok tegap berpakaian sutera putih itu melang-kah tenang menghampiri Trijanti
yang bagaikan tersihir.
Gadis itu hanya berdiri dan menatap seperti patung.
Sedangkan dadanya bergemuruh dilanda ketegangan.
"Kau...?" jerit hati Trijanti setengah tak percaya.
Namun, ucapan itu tidak sampai terucap di bibir-nya.
Tentu saja, sosok berpakaian putih itu sama sekali tidak mendengarnya.
Sepasang mata Trijanti terbelalak ketika melihat raut wajah sosok tubuh itu.
Apalagi pancaran sinar bulan tepat menerangi-nya. Sehingga, wajah sosok tubuh
tegap itu bagaikan mengeluarkan sinar. Di-tambah lagi dengan jubah sutera
putihnya yang semakin bercahaya. Semua itu benar-benar merupa-kan pemandangan
yang sangat mempesona. Wajar kalau beberapa saat lamanya gadis itu hanya bisa
memandang dengan sepasang mata penuh kagum.
*** 2 "Apa kabar, Dik Trijanti...?" sapa Pradipta lembut Ucapannya lebih mirip dengan
suara bisikan. Namun, bagi Trijanti sendiri, sapaan itu telah membuatnya sadar dari sikap
bodohnya Karuan sa-ja gadis cantik itu menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Tampak rona kemerahan pada kedua pipi-nya. Pertanda ia merasa malu dengan
kelakuannya sendiri. Tapi, semua itu merupakan ungkapan pera-saan hatinya yang
terdalam. Itu yang membuat Trijanti semakin merasa jengah. Sehingga, ia tetap
menyembunyikan wajahnya seraya menenangkan hatinya yang tengah bergemuruh.
"Mengapa kau berada di tempat ini" Apa kau me-mang sengaja menguntitku...?"
tegur Trijanti tajam sambii tetap menyembunyikan wajahnya. la tidak ingin pemuda
itu mengetahui apa yang tersimpan di matanya. Apabila ia mengangkat wajahnya,
tentu saja pemuda itu akan mengetahui perasaannya yang melekat pandangan
matanya. "Maafkan aku, Trijanti... Aku tidak bisa membo-hongi perasaanku. Secara jujur
kuakui semenjak pertemuan kita di Hutan Ranggat, aku benar-benar tidak bisa
melupakanmu. Karena itu aku mengikuti perjalananmu.
Sekali lagi aku mohon maaf apabila perbuatanku kau anggap tidak sopan...," sahut
pemuda tampan berpakaian sutera putih itu, yang tak lain adalah Pradita.
Tak mengherankan bila pemuda tampan itu mengetahui tempat Trjanti menginap.
Rupanya ia sengaja menguntit perjalanan gadis cantik itu. Tidak aneh kalau tiba-
tiba Pradipta muncul di hadapan Trijanti
"Kau... apa... apa maksudmu sebenarnya.." Ta-nya Trijanti dengan suara bergetar
karena menahan perasaannya. Ucapan pemuda tampan itu telah membuatnya terpaksa mengangkat
kepala, dan menata tajam bola mata Pradipta. Seolah ia ingin mencari bukti dari
bola mata pemuda yang telah menimbulkan perasaan resah di hatinya itu.
"Trijanti... kau cantik sekali malam ini...," ter-dengar suara pujian bernada
lembut, yang meluncur begitu saja dari mulut Pradipta. Sambil berkata de-mikian,
pemuda itu kembali melangkah mendekati gadis cantik itu, yang membuat hatinya
berdebar tak karuan.
"Kau laki-Iaki tidak sopan...! Rupanya kau se-orang perayu ulung. Dan, kau
sengaja ingin meng-goda dan menjeratku! Huh! Sayang, kau salah me-nilai orang!
Rayuan mautmu tidak akan dapat men-jebakku...!"
Desis Trijanti ketus. Setelah berkata demikian, gadis itu mengalihkan
pandangannya ke arah lain. Tidak tahan melihat sinar mata pemuda itu, yang sama
sekali tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sehingga, wajah gadis cantik itu pun
kembali dijalari warna kemerahan.
"Trijanti..., begitu rendahkah penilaianmu terha-dap diriku" Salahkah kalau aku
tertarik kepada-mu?"
dengan suara bergetar Pradipta terus melang-kah.
Tampak wajahnya agak pucat ketika ia berhen-ti beberapa langkah di depan gadis
cantik itu. Di-tatapnya wajah Trijanti dan sinar matanya seolah-olah menuntut
jawaban. "Hm.... Kita baru saja bertemu dan itu pun hanya sekilas. Mengapa kau begitu
mudah melontarkan kata-kata pujian" Aku yakin pujian-pujianmu itu selalu
kauucapkan setiap kali berjumpa dengan ga-dis-gadis cantik lainnya. Nah, apa kau
mau me-nyangkal...?"
kembali terdengar suara ketus Trijanti dengan disertai dengusan mengejek. Sedang
wajah-nya tetap berpaling dan sama sekali tidak menoleh ke arah Pradipta.
"Hhh..., apa pun penilaianmu tentang diriku, itu adalah hakmu. Tapi, cobalah kau
jawab pertanya-anku Ini. Salahkah bila kita melihat sesuatu yang indah kemudian
memujinya" Ataukah kau lebih suka dengan sikap munafik dan berpura-pura men-
cemooh. Padahal, kau bisa melihat pujiannya dari pancaran sinar matanya"
Haruskah dia mengatakan kau jelek dan berpura-pura membencimu, tapi Ke-nyataan
yang sesungguhnya justru berlawanan?" ujar Pradipta kembali menyeret langkahnya,
sehing-ga jarak di antara mereka tinggal terpaut satu lang-kah.
Dengan sangat pandainya, Pradipta terus mende-sak Trijanti dengan ucapan dan
sikap yang simpa-tik. Sekilas terlihat kilatan aneh di mata pemuda tampan itu.
Sayang, gadis cantik itu tidak melihat-nya, karena ia masih saja tidak menoleh
ke arah Pradipta. Sehingga, ia pun tidak menyadari bibir pemuda tampan Itu
tampak menyunggingkan senyum yang mempunyai makna beragam.
"Trijanti...," panggil Pradipta sambil tangannya menyentuh bahu gadis cantik
itu. Melihat dari sikap dan caranya menghadapi Trijanti, pemuda itu sudah dapat
menebak isi hati gadis cantik di depannya. Tak heran kalau ia semakin berani
menyentuh bahu Trijanti.
Trijanti yang ekor matanya melihat gerakan ta-ngan pemuda itu, bergegas
melangkah mundur. Di-tatapnya wajah pemuda itu dalam jarak empat lang-kah.
Sekilas terlihat sinar berkilat pada sepasang matanya yang bening. Jelas, kalau
ia tidak suka dengan apa yang akan dilakukan Pradipta terhadap dirinya.
Tatapan mata Trijanti yang semula menyiratkan kemarahan itu, mendadak lembut
ketika beradu pandang dengan pemuda tampan di depannya.
"Pandanglah mataku, Trijanti. Lihatlah, apakah kau menemukan kebohonganku?" ujar
Pradipta de-ngan nada lembut, namun mengandung getar-getar aneh yang tidak
mengerti oleh Trijanti. Tanpa mem-bantah, gadis itu balas menatap sepasang mata
tajam pumuda tampan itu.
"Dengarlah, Trijanti. Aku sayang padamu, dan tidak ingin melihat kau murung,"
desis pemuda tampan itu dengan sepasang mata melekat pada bola mata Trijanti.
Sambil berkata demikian, sepa-sang tangannya memegang kedua bahu gadis cantik
itu. Ucapan lembut yang mengandung getar-getar uneh itu sepertinya mampu meluluhkan
hati Tri-janti. Sinar matanya tampak mulal meredup. Dan ia tidak herusaha
mengelakkan sentuhan tangan Pra-dipta. Malah gadis cantik itu tidak kuasa lagi
mena-han perasaan hatinya.
Sehingga, ketika tubuhnya dibawa ke dalam pelukan pemuda tampan itu, ia sama
sekali tidak memberontak.
"Katakan, Trijanti, apakah kau memiliki perasaan yang sama denganku,..?" bisik
Pradipta sambil me-meluk lembut tubuh gadis cantik itu. Bahkan, uca-pannya
diakhiri dengan sebuah kecupan lembut pada rambut Trijanti, yang kepalanya sudah
dire-bahkan ke dada pemuda tampan itu.
"Ya, Kakang, aku pun mempunyai perasaan yang sama denganmu," sahut Trijanti
tanpa mengangkat kepalanya dari dada. Ucapannya terdengar seperti sebuah
bisikan. Namun, tertangkap jelas di telinga pemuda tampan yang semakin
mempererat pelukan-nya.
"Kau sayang padaku...?" desak Pradipta lagi, te-tap dengan nada yang lembut dan
menggetarkan. "Aku sayang padamu, Kakang...," kembali terde-ngar jawaban Trijanti menyahuti.
"Ah, syukurlah kalau begitu," desah Pradipta se-raya membelai lembut punggung
gadis cantik itu. "Hm....
Udara di luar terasa semakin dingin, Adikku. Mari kita kembali ke kamarmu...,"
ajak pemuda tampan itu sambii mendekatkan bibirnya ke telinga Trijanti. Dan,
ajakan itu dijawabnya dengan anggu-kan kepala.
Dengan sebelah tangan tetap merengkuh tubuh Trijanti, Pradipta melangkah menuju
kamar gadis itu.
Sedangkan Trijanti sendiri tetap merebahkan kepalanya di bahu pemuda tegap itu.
Sebentar ke-mudian kedua tubuh insan berlainan jenis itu lenyap di balik pintu
kamar penginapan Trijanti
Sementara di luar malam semakin bertambah la-rut.
Hembusan angin yang dingin semakin keras. Tampak titjk-titik air mulai
berjatuhan membasahi bumi.
*** "Ohhh...."
Gadis cantik itu mengeluh pendek sambil meng-geliatkan tubuhnya yang hanya
tertutup selembar kain.
Sepasang matanya terlihat mengerjap bebe-rapa kali, untuk kemudian terbuka
lebar. "Aaah...!"
Tiba-tiba saja, gadis cantik yang tak lain Trijanti Itu tersentak bangkit
seperti disengat kalajengking. Dcngan sepasang mata membelalak lebar, ia menu-
tup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Sehingga, jeritannya tertahan dan tidak
sampai melengking.
"Oh, apa... apa yang telah terjadi dengan diriku"
Mengapa... mengapa... ohhh...," Trijanti tak sempat Ingin meneruskan ucapannya.
Karena ketika ia hen-dak bergerak bangkit, sekujur tubuhnya dirasakan linu dan
nyeri. Sadar kalau sesuatu yang mengeri-kan telah
terjadi tanpa sepengetahuannya, gadis itu pun merintih dan terisak.
Secara samar-samar, Trijanti mulai dapat meng-ingat apa yang telah dialaminya
semalam. Dan, ingatan itu membuat air matanya semakin deras mengalir.
Ditahannya tangis yang hen-dak meledak, agar tidak sampai terdengar penghuni
kamar pengi-napan yang lainnya. Sehingga, hanya terdengar sua-ra isak yang
memilukan mengalir dari kerongko-ngannya.
"Jahanam kau, Pradipta! Pasti kau yang telah melakukan perbuatan keji terhadap
diriku!" desis bibir mungil itu bergetar.
Meskipun ia tidak tahu pasti mengapa dan bagaimana kejadian itu menimpa dirinya,
Trijanti berge-gas bangkit dan menyambar pakaiannya yang ber-serakan di lantai.
Dengan air mata yang masih tetap bercucuran, gadis cantik itu segera mengenakan
pakaiannya. Dan, tanpa merapikan rambutnya ter-lebih dahulu, tubuh gadis itu
telah melesat melalui jendela, terus pergi meninggalkan rumah pengina-pan,
setelah meninggalkan uang sewa kamarnya di atas meja kecil, yang terletak di
samping pembari-ngannya.
Trijanti berlari terus tanpa menghiraukan panda-ngan mata beberapa orang petani,
yang sempat berpapasan dengannya di jalan. Hati gadis cantik itu benar-benar
hancur ketika teringat aib yang telah menimpa dirinya.
Langkah kakinya terhenti setelah ia berjalan cukup jauh, dan kini ia telah
berada di luar perbatasan Desa Waru.
Kemudian, ia langsung menjatuhkan kedua lututnya di atas rerumputan yang masih
dibasahi embun pagi.
"Guru..., ampunilah kelalaian muridmu yang bo-doh dan tak berguna ini..," rintih
Trijanti sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Butir-butir air
mengalir melalui celah-celah jemari-nya yang halus dan
lentik itu. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan hati.
Entah sudah berapa lama Trijanti tenggelam dalam penyesalan dan kedukaan yang
dalam itu. Sedusedannya sesekali masih terdengar, meski tubuhnya tetap
bersimpuh. Gadis cantik yang bernasib malang itu masih tetap menyesali
kecerobohannya.
Ketika raut wajah Pradipta melintas di benaknya, tiba-tiba Trijanti bangkit
dengan pandangan liar. Ia berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya menatap
langit yang mulai cerah. Perlahan-lahan tangan kanannya meraba hulu pedang
Terdengar suara nemerincing ketika senjata itu tercabut dari sarungnya.
"Pradipta, Manusia Terkutuk! Demi langit dan bumi, aku bersumpah akan membalas
hinaan ini dengan taruhan nyawaku! Sampai ke ujung dunia, aku akan mencarimu,
Manusia Keji! Dan, noda yang melekat di rubuhku ini, hanya dapat dicuci dengan
darahmu!" ujar Trijanti dengan suara parau dan bergetar. Sumpah itu diucapkannya
sambil mene-ngadahkan kepala dan mengacungkan pedangnya ke langit
Usai mengucapkan sumpahnya, Trijanti kembali menyarungkan senjatanya. Wajah
cantik yang ma-sih basah oleh genangan air mata itu, kini nampak pucat.
Sepasang mata beningnya tidak lagi meman-carkan cahaya kehidupan, dingin dan
tanpa pera-saan. Jelas kalau kejadian yang menimpanya telah membuat Trijanti
seperti membenci segala apa yang terlihat matanya.
"Manusia keji tunggulah pembalasanku...!" geram gadis cantik itu, kembali
melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan ilmu lari yang dimilikinya.
Cukup lama gadis cantik bemasib malang itu ber-lari seperti tidak mengenal
lelah. Sebuah aliran sungai yang membentang di depannya, membuat langkah
Trijanti terhenti. Sambil berdiri tegak, gadis cantik itu menatapi sekelilingnya dengan
pandangan tajam.
Mendadak saja. Sepasang mata sayu itu, terbela-lak ketika secara samar matanya
menangkap seso-sok bayangan putih yang tengah berlari di seberang sungai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis cantik itu langsung melesat melompati
sungai yang cukup lebar itu. Gerakannya yang gesit dan lincah, membuatnya tidak
mengalami kesulitan menyebe-rangi aliran sungai itu. Sebentar saja, ia telah
ber-ada di seberang sungai, dan langsung memburu sosok bayangan putih yang
dilihatnya tadi.
Geram bukan main hati Trijanti ketika tiba di seberang sungai, sosok bayangan
putih itu lenyap dari pandangannya. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, ia
hanya berdiri sambil mengerutkan keningnya seperti tengah memikirkan sosok baya-
ngan putih yang berlari cepat tadi.
"Jahanam kau, Pradipta! Rupanya kau sengaja ingin mempermainkan aku...!" desis
Trijanti sambil mengepalkan tinjunya erat-erat. Kemudian diputus-kannya untuk
mencari sosok bayangan putih, yang diduganya Pradipta itu. Tubuh ramping itu
segera berkelebat mengejar ke arah Barat.
Usaha gadis cantik itu tidak sia-sia. Sepasang matanya menangkap sosok bayangan
putih yang dilihatnya tadi. Cepat Trijanti memutar langkah dan bergegas menyusul


Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sosok bayangan itu, yang tengah melintasi daerah perbukitan.
"Jahanam keparat! Jangan lari kau, Iblis...!" teriak Trijanti sambil mengerahkan
seluruh ilmu kepandaiannya dalam berlari Karena sosok bayangan putih itu
terpisah beberapa puluh tombak di depan-nya,
tampak berlari dengan ringan dan gesit. Se-hingga, gadis itu hanya berjuang
keras agar dapat mengejarnya.
Trijanti semakin mempercepat larinya ketika ia melihat sosok bayangan putih itu
berhenti berlari, dan menoleh ke arahnya. Karena sosok tubuh itu sempat
menangkap suara teriakan gadis itu. Sehing-ga ia menunggu kedatangan Trijanti.
"Hm... mau lagi ke mana kau, Manusia Keji! Perbuatan terkutukmu harus kau tebus
dengan nya-wa!"
geram Trijanti. Tanpa membuang waktu lagi, ia langsung melesat dengan putaran
senjatanya. "Eh..."!"
Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pe-muda tampan itu, tampak
mengerutkan keningnya ketika melihat serangan Trijanti. Sadar kalau sera-ngan
Itu cukup berbahaya, cepat ia menggeser lang-kahnya ke belakang dan melanjutkan
dengan sebuah lompatan panjang.
"Nisanak, ada apa ini...?" Cegah pemuda tampan Itu sambil mengulurkan tangannya
kedepan seperti mau menghentikan serangan gadis cantik itu. Si-kapnya mpak tetap
tenang, dan sepasang matanya yang lembut menyiratkan rasa heran.
Namun, uluran tangan pemuda itu disalahartikan Trijanti. Dikiranya Iawan akan
membalas serangan, maka gadis cantik berwajah pucat itu segera memutar
senjatanya sampai menimbulkan suara mengaung tajam.
"Mampus kau, Bangsat Keji...!" maki Trijanti sam-bil melompat dan melontarkan
serangkaian sera-ngan yang cepat dan ganas!
Whuuut! Whuuut!
Sambaran mata pedang yang berkelebatan itu mengandung bahaya maut, tampak
bergulung-gulung mengincar tubuh sosok berjubah putih itu. Sehingga,
pemuda tampan itu kembali harus ber-lompatan untuk menyelamatkan tubuhnya dari
kibasan senjata Trijanti.
"Nisanak, tunggu! Apa salahku...?" seru pemuda tampan itu sambil terus
berlompatan ke kiri-kanan guna menghindari sam-baran pedang yang cepat dan ganas
itu. Hampir menangis Trijanti ketika hampir sepuluh jurus melakukan serangan bertubi-
tubi, tapi tak satu pun serangannya mengenal tubuh Iawan. Sepertinya sosok tubuh
berjubah putih itu hanya bayangan yang selalu mengikuti ke mana senjatanya
berkelebat. Jangankan untuk melukai sosok berju-bah putih itu, untuk menyentuh
jubahnya saja Tri-janti tidak mampu melakukannya. Tak heran kalau gadis cantik
itu semakin marah dan penasaran dibuatnya.
"Mengapa kau tidak membalas seranganku, Ja-hanam!
Apa kau kira dengan berbaik hati seperti itu aku akan mengampuni dosa-dosamu"
Huh! Jangan harap, Manusia Kotor...!" maki Trijanti sambil tetap melontarkan
serangannya. Sosok berjubah putih, yang semula hanya menge-lak tanpa melontarkan serangan
balasan itu, rupa-nya mulai kehilangan sabar. Sehingga ketika pedang Trijanti
meluncur lurus dan mengancam lambung-nya, pemuda tampan itu segera menggeser
tubuh-nya dengan posisi miring. Ditolaknya pedang di tangan gadis itu dengan
sebuah sentilan yang tepat mengenai badan pedang Trijanti.
Terdengar suara bergemerincing nyaring ketika sentilan tangan pemuda itu
mengenai pedang di tangan Trijanti, sehingga senjata gadis itu terpental balik
dengan kerasnya! Bahkan kuda-kuda gadis cantik itu tergempur sampai mundur.
Dapat diba-yangkan, betapa hebatnya kekuatan yang tersembu-nyi di balik sentilan
jari tangan pemuda Itu. Dan rasanya mudah sekali, kalau ia ingin melumpuhkan gadis cantik
yang tengah kesetanan itu Tapi, pe-muda itu tidak mau melakukannya. Ia tetap
berdiri tegak menatapi tubuh Trijanti yang tengah sempoyo-ngan akibat sentilan
jari tangannya.
Trijanti sendiri terbelalak menyaksikan cara pe-muda itu melumpuhkan serangan
pedangnya. Dan, kalau saja ia tidak menyaksikan dengan mata ke-palanya sendiri,
rasanya sukar sekali untuk per-caya. Trijanti menyadari kepandaian yang
dimiliki-nya. Jangankan seorang pemuda seperti lawannya itu, bahkan gurunya
sendiri ia tidak yakin berani melakukan tangkisan dengan cara seperti itu. Kare-
na tenaga dalam yang dimilikinya boleh dikatakan jarang dipunyai gadis
seusianya. Wajar kalau Tri-janti terbengong-bengong menatapi pemuda tampan itu.
Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika dilihatnya wajah pemuda itu. Karena
sosok tubuh ber-jubah putih itu sama sekali bukan Pradipta seperti yang
diduganya, meskipun pemuda itu juga sangat tampan, bahkan memiliki perbawa yang
amat kuat "Nisanak, mengapa kau menyerangku demikian ganas" Rasanya kita belum pernah
saling jumpa," ujar pemuda tampan berjubah putih itu dengan suara yang lembut
dan tenang. Hanya sepasang matanya saja yang tajam menatap sosok Trijanti.
Sehingga, gadis cantik itu sempat tergetar hatinya.
"Kau... kau bukan Pradipta.... Bukan..., ya, kau bukan pemuda iblis itu...,"
desis bibir mungil Tri-janti dengan gagap dan bergetar. Bahkan, dalam nada
ucapannya terkandung isak dan sedu-sedan, yang membuat pemuda itu mengerutkan
keningnya, heran.
"Aku memang bukan Pradipta seperti yang kau duga.
Namaku Panji. Ada apa sebenarnya, Nisa-nak?" Tanya
pemuda berjubah putih yang ternyata bernama Panji.
Sekilas saja, ia sudah dapat meraba, penyebab gadis cantik berwajah pucat itu
menye-rangnya mati-matian.
"Bukan... kau bukan dia, aku harus mencari iblis lerkutuk itu...," setelah
bergumam dengan suara yang hampir tak jelas, Trijanti membalikkan tubuh-nya dan
berlari meninggalkan Panji.
"Nisanak, tunggu...!" Panji yang melihat ketidak-beresan pada wanita yang
berpenampilan kusut itu, segera berteriak mencegah, dan langsung melesat
mengejarnya. Ilmu meringankan tubuh yang sempurna dari pemuda berjubah putih itu, membuatnya
mampu bergerak secepat kilat. Sekali lompatan saja, Panji telah berdiri tegak
menghadang jalan Trijanti.
"Mau apa kau..." Kau pasti sama jahatnya dengan bangsat Pradipta itu! Dan, kau
pun ingin menggunakan ketampanan dan kepandalanmu un-tuk mencelakai aku,
begitu?" bentak Trijanti seraya melompat dengan disertai serangan pedangnya. Se-
hingga, Panji terpaksa menghindarinya.
"Pergi kau! Pergi...!" sambil berteriak-teriak seperti orang gila, Trijanti
mengayunkan senjatanya secara serampangan.
Dan, ketika Panji melompat menjauh, gadis cantik yang hampir gila karena tekanan
batin Itu, segera melesat melarikan diri. Tampaknya ia merasa takut kalau
kejadian yang menimpa dirinya akan terulang kembali.
Panji tidak berusaha melakukan pengejaran. Pe-muda itu hanya berdiri tegak,
sambil memandangi sosok Trijanti yang kian menjauh.
"Kasihan.... Rupanya gadis cantik itu mengalami kejadian yang mengerikan. Entah
siapa orang yang
disebutnya dengan Nama Pradipta itu. Bisa saja orang itu kekasihnya, dan telah
mengkhianatinya, atau mungkin juga ia telah tertimpa kemalangan dari seorang
penjahat cabul. Hm..., sayang ia masih sulit untuk didekati. Sebaiknya kuikuti
saja gadis malang itu. Siapa tahu ia memerlukan bantuan," gumam Panji menduga-
duga. Setelah mengambil ke-putusan begitu, pemuda tampan itu bergegas me-nyusul
Trijanti dan menguntitnya.
*** 3 Pemuda itu duduk di atas sebuah batu besar, sambil mengawasi beberapa orang yang
tengah men-cuci dan membersihkan diri di sungai. Sepasang matanya yang tajam,
memancarkan pengaruh aneh, dan berputaran liar mengawasi wanita-wanita desa itu.
Pada wajah yang tampan itu, tersungging se-nyum manis ketika telinganya
mendengar celoteh gadis-gadis desa yang tampak lugu itu.
"Kenapa terburu-buru, Arum" Matahari belum lagi naik tinggi, lebih baik kita
ngobrol-ngobrol saja dulu,"
ujar seorang gadis berwajah bulat telur, yang pada dagu sebelah kirinya terdapat
tahi lalat. Gadis berwajah mungil dengan bentuk hidung yang mancung, menoleh dan sejenak
tersenyum manis.
Sedang di pinggang kanannya tersampir keranjang tempat pakaian yang telah
dicucinya. "Sebenarnya aku ingin ikut bergembira dengan kalian.
Tapi, aku harus memasak makanan dan
mengantarkannya untuk ayahku yang bekerja di ladang.
Sebab, ibuku sedang sakit Jadi, akulah yang menggantikannya. Sudah ya, aku
pulang duiu," pa-mit gadis berwajah mungil yang segera melempar-kan senyum.
Manisnya. Kemudian terus meleng-gang naik ke atas tepian sungai.
"Hati-hafi, Arum. Siapa tahu di tengah jalan kau dibawa lari orang," goda wanita
bertahi lalat itu yang disambut tawa ber-derai gadis-gadis lainnya.
"Biarlah kalau yang menculiknya pemuda tampan dan baik hati...," seru gadis
bernama Arum dari tepi sungai.
"Ngaco kamu, mana ada penculik yang baik hati..!"
sambut gadis yang lainnya menertawakan.
Namun, gadis manis bernama Arum itu tidak lagi mempedulikan ocehan kawan-
kawannya. Dengan wajah yang masih terhias senyum manis, ia berge-gas menuju
desa. Arum tidak merasa khawatir sama sekali, kendati la berjalan pulang seorang diri.
Karena desanya selama ini dikenal paling aman di antara desa-desa yang lainnya.
Apalagi setelah kepala desanya di-gantikan dengan seorang lelaki setengah baya
ber-nama Ki Ringgo.
Keadaan desanya semakin bertam-bah aman, dan tidak pemah terjadi tindak kejaha-
tan. Ki Ringgo, seorang lelaki setengah tua bertubuh tinggi besar dan memiliki sikap
tegas. Konon orang tua itu pernah menjadi seorang perwira kepercayaan Adipati.
Meskipun penduduk Desa Magetan, tempat Arum tinggal tidak ada yang mengetahuinya
secara pasti, namun melihat kepandaian dan sikap tegas Ki Ringgo, tentu saja
para penduduk desa itu memper-cayainya. Apalagi selain terkenal kebaikan dan ke-
dermawanan, orang tua itu pun datang ke Desa Ma-getan dengan kekayaan yang
berlimpah. Sehingga, ketika ada penggantian kepala desa, banyak pendu-duk yang
menunjuk lelaki gagah itu sebagai peng-ganti kepala desa lama.
Senyum di bibir Arum semakin melebar ketika teringat kepala desanya yang baru
itu. Tapi, bukan orang tua gagah itu yang membuatnya tersenyum. Melainkan, putra
sulung kepala desa itulah yang membuatnya tersenyum Dan, hampir semua pendu-duk
tahu kalau putra sulung kepala desa menaruh perhatian terhadapnya. Biasanya
pemuda yang menjadi kekasihnya itu, selalu setia menunggunya hingga selesai
mencuci. Baru kali ini putra sulung Ki Ringgo itu tidak menemaninya. Karena
pemuda itu pergi bersama keluarganya, menjenguk sanak saudaranya yang tengah
menderita sakit keras. Itu-lah sebabnya Arum tidak ditemani pujaan hatinya.
"Aaaw...!"
Mendadak Arum mengeluarkan jeritan tertahan.
Sedangkan tempat cuciannya langsung terlempar, karena tangan kanannya digunakan
untuk menu-tupi mulutnya. Sehingga jeritannya tidak terdengar sampai jauh.
Tubuh Arum yang langsing padat, dan hanya ter-tutup kain sebatas dada itu,
menggigil hebat. Sepa-sang matanya terbelalak lebar ketika melihat makh-luk
sebesar lengannya berdiri tegak menghadang di tengah jalan setapak yang akan
dilaluinya. "Uuu... ularrr...," desisnya gemetar, sambil me-langkah mundur perlahan. Sedang
makhluk sepan-jang satu setengah tombak itu, berdesis-desis men-julur-julurkan
lidahnya yang merah bagaikan darah.
Binatang berbisa itu menatap tajam ke arah Arum.
Sejauh itu ia tetap tidak bergeming dari tempatnya, dan hanya menatap penuh
ancaman. Arum yang sekujur tubuhnya mulai dialiri keri-ngat dingin itu, melangkah
perlahan menjauhi bina-tang berbahaya itu. Malang, ia tidak sempat mem-
perhatikan sebuah batu di belakangnya. Sehingga, tubuh gempal Itu terjerembab
ketika kakinya ter-sandung batu itu.
"Ohhh...!" terdengar suara jeritan lirih dan ber-getar yang keluar dari
tabirnya. Pada saat ia tengah bergerak bangkit, ular beracun itu langsung
melesat bagai kilat ke arah Arum, yang hanya mampu me-mandang dengan wajah
seputih kertas.
Tepat pada saat yang gawat itu, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat
cepat, dan langsung tangannya menangkap ular tersebut. Kemudian, kepala
ular beracun itu dihantamkannya ke sebuah batu yang terletak di tepi jalan.
Terdengar suara berderak nyaring yang disertai percikan darah segar. Tanpa ampun
lagi, kepala ular itu langsung pecah, dan mati seketika itu juga. Hebatnya,
semua gerakan itu hanya dilakukan seke-jap mata saja.
Sehingga, Arum sendiri tidak menge-tahui, ular itu tiba-tiba saja mati dengan
kepala pecah. Karena matanya memang tidak mampu me-nangkap apa yang dilakukan
sosok bayangan putih itu.
Setelah melempar bangkai ular itu jauh-jauh, so-sok bayangan putih yang ternyata
seorang pemuda tampan itu, bergegas menoleh ke arah Arum. Senyumnya yang penuh
pesona terukir bersamaan dengan tangannya teralur untuk menolong gadis itu
bangkit. Karena belum terlepas dari rasa takut yang menguasainya, Arum mengulurkan
tangannya bagai orang linglung. Kedua kakinya terlihat masih geme-tar ketika ia
mencoba untuk berdiri. Tentu saja tu-buhnya jadi limbung, mungkin saja tubuhnya
ter-jatuh kalau saja tangan pemuda tampan itu tidak keburu menangkapnya. Dan,
secara tak sengaja, tubuh ramping yang padat dan berkulit lembut itu jatuh ke
dalam pelukan pemuda penolongnya itu.
Arum yang belum hilang dari rasa terkejutnya ituj langsung menyembunyikan
kepalanya di dada pemuda itu. Sebentar kemudian, terdengar sedu-sedannya, yang
membuat dadanya turun nalk dan tergeser ke tubuh penolongnya. Hal itu dilakukan-
nya dalam keadaan setengah sadar.
"Sudahlah, Arum. Hentikan tangismu. Bukankah bahaya itu sudah lewat...?" bujuk
pemuda tampan itu dengan nada lembut dan terdengar penuh kasih. Sambil berkata
demikian, jemari tangannya berge-rak membelai
punggung gadis desa itu, yang sama sekali tidak terlindung pakaian.
Karena selama hidupnya, Arum belum pernah merasakan sentuhan tangan laki-laki,
karuan saja gadis desa yang Iugu itu tersentak kaget. Cepat ia menyentakkan
tubuhnya dari pelukan penolongnya itu, ketika merasakan getaran aneh menyelusup
ke seluruh bagian tubuhnya.
"Maafkan aku.... Aku..., aku telah lupa diri, hing-ga lelah...," Arum tidak
mampu melanjutkan uca-pannya, karena rasa jengah telah membuat kedua pipinya
bersemu merah. Sehingga, gadis desa itu terpaksa menundukkan wajahnya sambil
memilin-milin kainnya, tanpa sadar.
Dan, Arum sendiri tidak menyadari sama sekali kalau kain yang dikenakan sebatas
dada itu telah melorot, tampak gumpalan buah dadanya yang ra-num.
Sehingga, pemuda tampan itu sempat mena-tap gumpalan bukit kembarnya dengan
sinar mata berkilat aneh.
"Tidak mengapa, Arum. Aku memaklumi keada-anmu yang masih terkejut oleh ular
tadi," sahut pemuda tampan itu dengan gaya yang sangat memi-kat dan tutur
katanya yang lembut.
"Tuan... dari mana Tuan mengetahui namaku...?"
Tanya Arum yang merasa heran mendengar penolongnya itu telah mengetahui namanya.
Sehingga, gadis desa itu terpaksa mengangkat kepalanya me-natap pemuda tampan
itu. Deggg! Jantung di dalam dada Arum berdebar ketika me-lihat ketampanan wajah
penolongnya. Tanpa sadar, ditatapnya sekujur tubuh pemuda itu. Rasa kagum-nya
semakin bertambah, melihat tubuh penolong-nya yang
tegap dan gagah. Apalagi pakaian yang dikenakannya terlihat dari bahan mahal.
"Mengapa, Arum" Apakah diriku menakutkan, sehingga kau menjadi terkejut?"
kembali terdengar suara lembut pemuda tampan itu, menyadarkan Arum dari pesona
yang menguasainya.
"Tuan pasti orang kota. Pakaian yang Tuan kena-kan bagus sekali. Harganya pasti
mahal," ucap bibir mungil Arum yang rupanya telah lupa kalau per-tanyaannya
belum dijawab pemuda tampan itu.
"Kalau kau suka, aku bisa membelikannya ke kota.
Kau mau...?" ujar pemuda tampan itu sambil melemparkan senyum manisnya. Ucapan
itu disertai dengan uluran kedua tangannya yang langsung memegang kedua bahunya
yang telanjang.
Pemuda tampan yang tak lain Pradipta itu, ter-senyum senang ketika merasakan
bahu lembut ber-kulit halus itu tampak bergetar karena sentuhan-nya. Kenyataan
itu membuat Pradipta tambah be-rani dan meremas perlahan bahu gadis desa yang
lugu itu. "Ah, tidak..., jangan, Tuan. Aku..., aku...."


Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Tidak mengapa, Arum. Kalau kau suka, katakan saja.
Aku akan membelikannya dengan senang hati," ujar Pradipta yang masih terus
meremas ke-dua bahu Arum.
Sehingga tubuh gadis itu kian menggeletar. Dan sebagai orang yang berpengala-man
dalam menghadapi wanita, Pradipta pun tahu kalau Arum telah tertarik padanya.
Hanya mungkin karena ia adalah seorang gadis desa.
Maka, pera-saan malunya telah membuat gadis itu bertahan sekuat tenaga.
"Bukan..., bukan itu maksudku, Tuan. Tapi..., aku malu kalau sampai terlihat
orang...," ucap gadis manis Itu dengan napas serasa sesak. Dengan perlahan, Arum
mencoba meronta dari pegangan penolongnya Itu.
Kemudian melangkah mundur beberapa tindak dengan wajah pucat bercampur merah.
Arum kembali mundur empat langkah, ketika bayangan wajah kekasihnya melintas di
benaknya. Meskipun kekasihnya memang tidak setampan dan segagah pemuda penolongnya itu.
Namun kesetia-annya membuat hati gadis itu tidak terpedaya oleh penolongnya.
Pradipta kembali tersenyum memikat. la sama sekali tidak mengejar Arum. Pemuda
tampan berwatak cabul yang menyembunyikan silat aslinya di balik kelembutan dan
pakaian indah itu, hanya menatap gadis itu dengan sinar mata kagum. Melihat dari
sikapnya yang tidak kasar dan tidak terburu nafsu itu, jelas Pradipta merupakan
seorang Pemetik Bunga yang telah berpengalaman.
Meskipun dalam dunia persilatan ia dijuluki se-bagai Kumbang Merah. Namun, orang
jarang me-ngetahui tentang dirinya. Siapa yang mau percaya kalau pemuda setampan
dan segagah Pradipta suka menodai anak-anak gadis orang. Dengan wajah tampan dan
penampilannya yang mewah itu, gadis mana yang tidak akan tertarik kepadanya.
Ditam-bah lagi dengan sikapnya yang lembut dan pandai merayu. Sukar rasanya
untuk dipercaya kalau Pradipta sebenarnya si Kumbang Merah yang telah
menggemparkan wilayah Selatan dengan ulahnya.
Karena di Wilayah Selatan ruang geraknya kian terbatas, maka pemuda tampan
berwatak keji itu merantau ke Wilayah Barat. Di daerah yang baru ini tidak
banyak orang yang mengetahui tentang diri-nya.
Dan, ia pun kembali membuat ulah. Kali ini sasarannya adalah Arum, gadis Desa
Magetan yang lugu, dan tidak tahu sifat licik kaum persilatan golongan sesat
itu. Apalagi gadis desa itu sama sekali tidak mengetahu tentang persilatan. Maka,
wajar saja kalau ia tidak sadar bahwa dirinya te-ngah diincar pemuda penolongnya
itu. Dan, Arum pun sama sekali tidak mengetahui kalau munculnya ular beracun itu.
Karena ulah dan kecerdikan Pra-dipta. Meskipun Pradipta dikenal sebagai penjahat
Pemetik Bunga, namun ia tidak mau memaksa kor-bannya. Semua korban-korbannya
secara suka rela menyerahkan diri ke dalam pelukannya. Juka ia menemukan gadis
yang menimbulkan hasratnya, tapi sulit ditundukkannya, maka Pradipta tidak se-
gan-segan menggunakan ilmu sihirnya.
Tapi, pemuda berwatak cabul itu tidak ingin menggunakan ilmu sihirnya. Karena
sekali pandang saja, ia sudah dapat me-nebak kalau gadis desa itu akan suka
menyerahkan dirinya, bila ia mencoba menjerat gadis desa yang Iugu itu dengan
ketampa-nan dan kelembutan sikapnya. Dan, ia yakin akan berhasil baik.
"Kau takut kepadaku, Arum?" ujar Pradipta dengan senyum yang menghias wajahnya.
"Apakah diriku mirip dengan seorang penjahat yang suka mengganggu wanita" Dan,
bukankah kalau aku mau hal itu sangat mudah kulakukan dengan kepandaianku?"
"Sama sekali tidak, Tuan. Tapi..., aku sudah mempunyai ke-kasih. Aku tidak ingin
kalau per-buatan Tuan tadi dilihat penduduk desa ini. Mereka pasti akan
mengadukannya kepada kekasihku," bantah Arum yang merasa tidak enak karena telah
berhutang budi dengan pemuda tampan, yang telah menyelamatkan dirinya dari
bahaya. "Ah, kekasihmu itu pasti sangat tampan dan ka-ya.
Tentu saja aku tidak ada artinya jika diban-dingkan dengan pria pujaanmu itu.
Ah, betapa ber-untungnya pria yang mendapatkan cintamu itu. Arum. Andai saja
pria yang mendapatkan cintamu itu adalah aku, alangkah bahagianya," ucap Pradip-
ta yang mulai melancarkan aksinya dengan ucapan-ucapan berupa penyesalan.
"Sayang kita terlambat berjumpa. Kalau saja aku bertemu denganmu lebih dulu,
tentu aku tdak akan membiarkanmu sendi-rian melewati tempat ini. Engkau terlalu
cantik un-tuk dilepaskan seorang diri, Arum,"
lanjut pemuda berwatak cabul itu dengan disertai desahan napas panjang. Bahkan,
dengan pandainya Pradipta meru-bah raut wajahnya menjadi murung dan tampak
sangat sedih. "Tapi, Tuan, aku hanyalah gadis desa yang bosoh dan miskin. Sedangkan Tuan hanya
pantas men-dampingi wanita-wanita kota atau putri seorang adi-pati.
Bagaimana mungkin aku dapat disamakan dengan mereka?" bantah Arum yang mulai
terpan-cing dengan ucapan-ucapan Pradipta.
Bantahan itu dilontarkan Arum untuk menyembunyikan perasaan hatinya yang tengah
dilanda rasa kasmaran. Wanita mana yang tidak bangga mendapat seorang pemuda
tampan seperti Pradipta" Apalagi gadis desa seperti Arum, tentu saja hatinya
melambung mendengar kata-kata penolongnya itu.
"Ah, aku tidak tahu. Meskipun wajah gadis-gadis kota cantik-cantik, namun tidak
ada sinar yang menghiasi parasnya. Dan, semua itu hanya terlihat pada wajahmu.
Arum. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku jatuh cinta begitu melihatmu. Kalau
saja aku bisa mendapatkan cintamu, hari ini juga aku akan melamar ke orang
tuamu. Dan, tidak akan ku-biarkan kau berjalan seorang diri seperti sekarang
ini," ujar Pradipta melangkah maju perlahan-lahan. Karena gadis itu
memperhatikan ucapannya, maka langkah kaki pemuda itu tidak begitu diper-hatikan
Arum. Sedangkan hati gadis desa yang lugu itu, se-makin berdebar mendengar kata-kata
penolongnya itu.
Sehingga, Arum semakin lupa dengan bayangan kekasihnya. Jelas, gadis desa itu
semakin terpenga-ruh dengan rayuan pemuda cabul itu.
"Arum..., maukah kau menerima cintaku...?" Ta-nya Pradipta yang telah berada dua
tidak didepan gadis itu.
Sedangkan Arum sendiri tidak mendengar pertanyaan pemuda tampan itu. Karena ia
tengah terbuai dengan lamunan-lamunan yang indah tentang kehidupan penolongnya
yang diduganya anak orang hartawan yang kaya raya.
"Tapi, bagaimana dengan...."
"Pemuda itu tidak mencintaimu dengan sepenuh hati, Arum. Buktinya ia tidak mau
menjagamu. Le-bih baik ikutlah bersamaku, Arum. Aku akan selalu menjagamu, dan
tidak akan pernah meninggalkan-mu seorang diri,"
bujuk Pradipta memotong kalimat yang akan diucapkan gadis itu. Sedangkan sepa-
sang tangannya kembali berada di kedua bahu gadis desa yang lugu itu.
Hati pemuda cabul itu bersorak ketika ia tidak la merasakan perlawanan dari
Arum. Dibalasnya tata-pan mata gadis desa itu dengan sorot mata lembut
membayangkan kasih yang dalam. Sehingga, hati gadis itu semakin terbuai.
"Tapi, apakah kau benar-benar menyayangiku, Kakang...?" Tanya Arum dengan wajah
bodoh. "Katakanlah, apa bukti yang kau inginkan" Apa-kah aku harus mengeluarkan hatiku
dengan cara membelah dadaku ini" Katakanlah, aku akan menu-rutinya, demi kau,
Arum," tegas Pradipta yang sudah merasa yakin kalau korbannya telah masuk
kedalam perangkapnya.
"Iiih, jangan, Kakang. Aku ngeri membayangkan-nya,"
sergah gadis desa yang lugu itu dengan mimik wajah yang diliputi perasaan ngeri.
"Kalau begitu biarlah kubuktikan dengan ini."
setelah berkata demikian, sebelum Arum menya-darinya, Pradipta telah mengecup
bibir Arum den sangat perlahan dan penuh perasaan. Kemudian di-lepaskannya
kembali. Lalu, dipandangnya bibir yang merona merah itu lekat-lekat.
Kecupan lembut yang belum pemah dirasakan gadis itu, selama hidupnya. Membuat
diri gadis desa itu bagaikan melambung ke angkasa. Sayang, sebe-lum menyadari
kenikmatan itu sepenuhnya, Pra-dipta telah melepaskannya. Diam-diam hati Arum
mengharapkan agar penolongnya itu mengulangi perbuatannya lebih lama. Semua
keinginannya itu tentu saja tidak diucapkan melalui kata-kata. Na-mun, semua itu
dapat dilihat Pradipta.
Maka, tanpa menunggu lebih lama lagi, Pradipta kembali mengulangi perbuatannya.
Pemuda itu se-ngaja melakukannya lebih lama dari semula, dengan maksud untuk
memancing sambutan gadis desa yang lugu itu.
Hati pemuda cabul itu bersorak ke-tika sepasang lengan Arum memeluk erat
tubuhnya. Sepertinya gadis itu tidak ingin membiarkan sang Penolongnya
melepaskan ciumannya sebelum ia sempat merasakannya.
Sadar kalau pancingannya telah mengena, maka Pradipta pun mulai menimbulkan
rangsangan gadis desa itu. Setelah Arum benar-benar terlena dibuat-nya,
dibawanya tubuh ramping yang padat itu ke tepi jalan dan direbahkannya di atas
rerumputan te-bal.
Selanjutnya, si Kumbang Merah pun menghisap sari madu bunga desa itu dengan
lahapnya. Sedang sang bunga tidak sadar kalau kumbang itu hanya sekadar
singgah untuk kemudian kembali terbang mencari bunga segar lainnya.
*** 4 Lelaki setengah baya itu tergesa-gesa berjalan menyusuri tegalan menuju ke Desa
Magetan. Saat itu hari baru saja menjelang petang. Menilik dari pakaian yang
penuh Iumpur dan cangkul di bahu kanannya jelas kalau lelaki itu adalah seorang
pe-tani. Sepertinya petani tua itu terburu-buru pulang ke rumah. Sedangkan para
petani lainnya tampak masih sibuk mengurus sawahnya.
Begitu memasuki Desa Magetan, petani tua itu langsung memasuki tempat
tinggalnya. Tak lama kemudian, terlihat ia tergo-poh-gopoh keluar dengai wajah
cemas. "Kau tidak melihat Arum, Nyai...?" Tanya petani setengah baya itu kepada seorang
wanita berwajah bulat telur, yang mempunyai tali lalat pada dagi kirinya.
"Tadi sewaktu di sungai, Arum pulang lebih da-hulu, Ki Aku kira ia telah di
rumah," jawab wanita itu dengan wajah bingung. Karena jelas temannya itu telah
kembali lebih dahulu, dan berpamitan kepadanya.
"Aiiih, ke mana anak itu" Tidak biasanya ia pergi tanpa pamit" Istriku bilang ia
belum pulang dari mencuci di sungai. Hm... Apakah Ki Ringgo sudah pulang dari
menjenguk sanak keluarganya yang di kota?" Tanya petani bertubuh kekar itu
dengan wajah penuh liarap.
"Ah, benar! Siapa tahu Tuan Muda Jiwala telah menjemputnya, atau mengajak ke
rumahnya, Ki," lawab wanita itu seraya melanjutkan menyapu hala-man, setelah
petani tua itu pergi tanpa pamit.
Kedatangan orang tua Arum, tentu saja membuat Ki Ringgo sekeluarga menjadi
terkejut. Apalagi, le-laki bernama Ki Sukriya itu menanyakan perihal anak
gadisnya. Karuan saja Jiwala yang berdiri de-kat dengan ayahnya menjadi kalang-
kabut. Karena la baru saja mau
menjenguk kekasihnya dengan menenteng hadiah yang dibawanya dari kota.
"Kapan Arum pergi, Paman...?" Tanya Jiwala yang ingin mengetahui perihal
kepergian kekasihnya. Tampak kecemasan membayang pada wajah pemu-da itu, karena
hatinya merasa tidak enak mende-ngar kekasihnya lenyap tanpa diketahui seorang
pun. "Hm..., kalau sampai sore ini ia belum kembali, pasti ada sesuatu yang terjadi
dengan dirinya. Apa-lagi kau bilang, anakmu itu pulang lebih dulu sebe-lum
kawan-kawannya selesai mencuci. Hayo, kita harus segera mencarinya...!"
terdengar Ki Ringgo mengeluarkan perintahnya. Sedangkan ia sendiri langsung
nyiapkan para pembantunya.
Ki Ringgo segera memecah para pembantunya menjadi tiga kelompok. Masing-masing
dari mereka, terdiri sekitar sepuluh atau lima belas orang.
"Kau tunggulah di rumahmu, Ki Sukriya. Begitu kami menemukannya, langsung
dikabarkan kepada-mu," ujar Ki Ringgo sebelum melakukan pencarian.
"Baik, Ki..." sahut petani setengah baya itu dengan wajah tetap mencerminkan
rasa cemas. Namun, ia agak sedikit tenang setelah melihat kepala desanya sendiri langsung
turun tangan men-cari putrinya. Dan, petani tua itu hanya dapat me-ngiringi
kepergian orang-orang Ki Ringgo dengan tatapan penuh harap.
Jiwala, putra sulung Ki Ringgo yang menjadi ke-kasih Arum, bergerak ke sebelah
Timur desa dengan membawa dua belas orang pembantu ayahnya. Pemuda bertubuh
sedang dan berwajah keras itu, sengaja menyusuri jalan yang biasanya digunakan
gadis itu lewat seusai mencuci pakaian dari sungai.
Sebagai orang yang paling dekat dengan Arum, dan sering jalan bersama dengan
gadis itu. Jiwala pun tahu, jalan-jalan yang sering dilalui kekasihnya itu.
Ketika melewati jalan setapak, yang hanya cukup dilalui seekor kuda, tiba-tiba
Jiwala mengangkat ta-ngan kanannya sebagai tanda agar rombongannya berhenti.
Kemudian, pemuda itu bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Dengan
pandangan curiga, diamatinya sebuah batu di tepi jalan yang tampak bernoda darah
itu. Melihat dari sikapnya, tentu saja putra sulung Ki Ringgo itu merupakan
orang yang sangat teliti. Sehingga, dalam melaku-kan pencarian, ia benar-benar
sangat memperhati-kan keadaan sekelilingnya.
"Hm...."
Jiwala bergumam tak jelas ketika selesai meme-riksa noda darah di batu itu.
Seraya mengedarkan pandangannya berkeliling dengan penuh ketelitian.
Laksana seorang pencari jejak yang ulung, pemu-da bertubuh sedang dan padat itu,
bergegas bangkit dan memeriksa rerumputan di sekitarnya. Meskipun tidak
mengetahui secara jelas tentang darah di batu itu, namun kecurigaannya membuat
pemuda itu meneliti lebih seksama. Menurutnya, dalam melaku-kan pencarian atau
penyelidikan, orang harus men-curigai segala sesuatu. Kendati sesuatu itu tidak
berarti bagi orang lain.
Kening pemuda itu berkerut ketika menyibak se-buah rumput semak betukar,
ditemukannya rerum-putan yang rebah dan terlihat cukup lebar. Sekilas pandang
saja, Jiwala dapat menduga kalau di tem-pat itu telah terjadi pergumulan.
Setelah agak lama duduk meneliti, kembali Ji-wala bergerak bangkit dan meneliti
jejak-jejak yang tertinggal di sekitar tempat yang dicurigainya itu. Ketika la
menemukan jejak telapak kaki menuju ke Barat Desa Magetan, cepat diperintahkan
rombo-ngannya untuk menerobos semak belukar dan mengikuti jejak telapak kaki
itu. Untunglah tanah di sekitar tempat itu sangat lembab, sehingga orang yang
melintasinya akan meninggalkan bekas-bekas telapak kaki.
Karena semenjak berusia lima belas tahun ia telah sering bermain-main di sekitar
desanya, maka tidak heran kalau Jiwala mengenai baik seluruh wilayah desa
kekuasaan ayahnya itu.
Ketika arah yang ditempuhnya mulai memasuki sebuah hutan kecil di sebelah Barat
desa ini, inga-tan Jiwala langsung tertuju pada sebuah pondok sederhana, tempat
yang sering digunakan untuk melepas lelati setelah berburu.
Jiwala dengan cekatan menghubung-hubungkan segala se-suatu penemuannya, segera
timbul rasa cemas dalam dirinya terhadap nasib yang menimpa kekasihnya.
Sejenak pemuda itu memejamkan ma-tanya, takut membayangkan kalau dugaannya itu
menjadi kenyataan.
Segera dibuangnya jauh-jauh pikiran itu, meskipun semua yang ditemukannya
mendekati ciri-ciri dugaannya.
"Heyaaa...!" kecemasannya yang semakin hebat itu, membuat Jiwala membedal
kudanya sambil me-mukul keras bagian belakang tubuh binatang tung-gangannya itu.
Sehingga, kudanya melonjak kaget dan langsung melesat menerobos jalan setapak,
yang di kiri-kanannya banyak menjulur dahan-dahan pohon
Bagaikan orang yang hilang ingatan, pemuda itu membedal kudanya sambil mengobat-
abitkan pe-dang untuk menghalau semak belukar di kiri-kanannya. Tidak
dipedulikannya duri-duri halus yang menggores lengan
dan tubuhnya. Karena yang terlintas dalam benaknya, segera menemukan Arum.
Setibanya di halaman sebuah gubuk kayu, yang tampak rusak di sana-sini karena
hampir tidak ter-pakai lagi, Jiwala melompat turun dari atas pung-gung kudanya.
Dengan pedang telanjang, pemuda itu melangkah hati-hati mendekati pintu pondok
yang setengah terbuka.
Hati Jiwala bergemuruh bagai ombak di lautan ketika melihat adanya tanda-tanda
penghuni di da-lam gubuk setengah reyot itu. Semua itu tampak dari Jejak-jejak
baru yang tertinggal di lantai papan dengan gubuk itu.
Pemuda itu menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar rombongannya segera
menyebar dan mengepung gubuk kayu itu. Setelah gubuk itu dikepung ketat, Jiwala
langsung mendobrak pintu kayu itu dengan sebuah tendangan keras.
Terdengar suara berderak ribut ketika tendangan Jiwala menghancurkan pintu kayu
gubuk itu. Sedangkan pemuda itu sendiri langsung melompat dan menjejakkan kedua
kakinya ruangan di tengah.
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan tubuh-nya hampir terlompat keluar ketika
menyaksikan apa yang terjadi di tengah gubuk itu.
"Arum...!"
Bagaikan orang yang hilang ingatan, Jiwala ber-teriak melengking menyaksikan
pemandangan yang terpampang didepan matanya. Kulit wajah pemuda itu tampak merah
dan pucat. Giginya bergemele-tukan menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam
dirinya. Sehingga, Jiwala sendiri tidak tahu apa yang dirasakannya saat itu.
Empat langkah di depannya, tampak tubuh kekasihnya tergeletak dengan kain yang
tidak karuan. Sementara wajah gadis itu terlihat pucat dan kusut.
Jelas, kalau kekasihnya itu telah mengalami suatu kejadian yang sangat


Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan! Dan, apa yang diduganya tidak meleset sama sekali!
Bagaikan harimau luka, Jiwala meraung keras. Entah menangis atau berteriak
marah. Karena sua-ra yang keluar dari kerongkongannya terdengar seperti
rintihan, dan teriakan marah. Semua itu aki-bat pukulan batin yang terlampau
berat dialaminya.
Belasan orang pengikut Jiwala terkejut mende-ngar suara raungan keras itu.
Beberapa di antara mereka yang pemberani, langsung berlompatan ma-suk. Karena
mereka mengkhawatirkan sesuatu yang menimpa putra kepala desanya.
Ketika mereka tiba di ruangan tengah, ternyata yang dilihatnya tubuh Jiwala,
tengah terbungkuk dan mendekap tubuh seorang wanita.
"Den...," seorang di antara enam lelaki pengikut Jiwala itu, memberanikan diri
menegur. "Lebih baik kita bawa saja tubuh Arum ke desa. Biar Ki Sukriya dan Ki
Ringgo dapat memeriksanya. Siapa tahu Arum masih bisa disembuhkan. Bukankah ia
masih hidup?" Tanya lelaki berkumis lebat itu ragu-ragu.
Jiwala terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun.
Dengan tubuh yang tegang, pemuda itu bang-kit perlahan. Meskipun tidak ada suara
isak yang keluar dari kerongkongannya, namun jelas Jiwala mengalami kesedihan
yang sangat hebat. Tercermin dari butir-butir air bening yang membasahi wajah-
nya. "Bangsat keji...! Biadaaab...!"
Bagaikan orang kemasukan setan, tiba-tiba Jiwa-la berteriak mengguntur, dan
langsung melompat ke arah dinding kayu pondok itu. Tanpa peduli dengan pandangan
heran serta cemas para pengikutnya,
pemuda itu mengamuk seperti ingin merobohkan gubuk tua itu.
Sadar kalau tidak segera bertindak cepat tubuh Arum bisa terkena pecahan-pecahan
kayu yang ber-hamburan, maka para pengikut Jiwala pun segera membawa tubuh gadis
desa yang malang itu keluar. Lalu, membaringkannya di atas rerumputan tebal di
bawah sebatang pohon besar.
Tidak berapa lama kemudian, di antara gemuruh-nya suara pondok yang hendak roboh
itu, melesat bayangan Jiwala menerobos kepingan-kepingan kayu. Kemudian, tubuh
pemuda itu terjatuh dengan bertumpukan pada kedua lututnya. Sedangkan se-kujur
tubuhnya terlihat bersimbah peluh.
"Den...," lelaki gemuk berkumis tebal yang merupakan pembantu setianya itu,
bergegas menangkap tubuh Jiwala yang tiba-tiba saja roboh ke tanah.
Jiwala yang melampiaskan kesedihan dan kema-rahannya terhadap kejadian yang
menimpa kekasih-nya itu, telah kehabisan tenaga. Meskipun lelaki berkumis tebal
itu berusaha membantunya bang-kit, namun kedua kaki pemuda itu tidak juga mau
tegak. Terpaksa tubuh majikan mudanya itu dipon-dong, dinaikkan ke punggung
kudanya dengan posisi tengkurap.
Lelaki berkumis lebat itu, segera mengambil alih pimpilnan rombongan, dan
bergerak meninggalkan pondok tua yang telah hancur diamuk Jiwala. Sedangkan Arum
yang sudah menjadi mayat itu, dinaikkan ke atas punggung kuda lainnya. Lalu,
rombongan itu bergerak menuju desa.
*** Ki Ringgo yang telah tiba di desa lebih awal, langsung me-nyambut kedatangan
rombongan putra sulungnya.
Wajah orang tua itu mengelam ketika menyaksikan dua sosok tubuh tergantung lemah
di atas punggung kuda.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, orang tua gagah itu segera memerintahkan
pembantu-pembantunya untuk mengangkat tubuh Jiwala dan Arum ke dalam bangunan
rumahnya. Hati Kepala Desa Magetan geram sekali ketika mengetahui apa yang telah menimpa
Arum, sebelum gadis itu tewas. Wajah lelaki tua yang masih nam-pak gagah itu
menjadi keruh. Sorot matanya tampak tajam dan menyiratkan kemarahan yang
terpendam di hatinya.
"Apa yang kau ketahui dari kejadian yang me-nimpa kekasihmu ini, Jiwala" Apa kau
tidak mene-mukan tanda-tanda yang mungkin dapat menun-jukkan pelaku yang
bertindak biadab ini?" Tanya Ki Ringgo menatap tajam wajah putranya yang pucat
itu. Jiwala yang telah disadarkan ayahnya, sejenak menundukkan kepala dengan helaan
napas berat. Ditekannya rasa sakit dalam dadanya dengan tarikan napas panjang.
"Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ayah.
Sebab, tidak ada sesuatu tanda-tanda di tempat Itu yang bisa dijadikan petunjuk.
Ini pasti bukan ulah orang-orang desa, Ayah," jawab Jiwala menatap orang tuanya
dengan wajah sayu.
"Hm..., mungkin tanpa sepengetahuan kita, desa ini telah kedatangan seorang
penjahat cabul. Dan, secara kebetulan ia melihat Arum berjalan seorang diri
setelah mencuci di sungai. Gadis malang ini pasti diseret dan dibawa dengan
paksa ke gubuk di tengah hutan ini," ujar Ki Ringgo dengan wajah muram. Sejenak
lelaki tua itu menoleh ke arah pembantu yang bertubuh kekar dan bercambang bauk lebat.
"Sepengetahuanku, selama Aki dan Den Jiwa pergi, desa ini tidak kedatangan tamu
dari luar. Jadi kalau memang ada dugaan tindakan biadab itu dilakukan oleh orang
asing, tentu ia kebetulan lewat dan tidak mungkin singgah di Desa Magetan ini,"
sahut lelaki bertubuh kekar itu tanpa ditanya lagi. Karena selama kepergian
kedua majikannya Itu, ia dilimpakan wewenang untuk memimpin desa.
Pada saat mereka tengah berbincang-bincang, seorang lelaki setengah baya
menerobos masuk dengan wajah bersimbah peluh. Dari deru napasnya yang tersengal-
sengal, dapat diduga kalau orang tua itu datang dengan berlari-lari. Dan, lelaki
tua itu tidak lain ayahnya Arum, Ki Sukriya.
"Mana..., mana anakku...?" Ki Sukriya langsung berteriak-teriak sambii
mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan tengah itu. Dan, ketika di sudut
sebelah kiri ruangan itu matanya melihat sesosok tubuh tertutup kain putih,
orang tua Itu segera menghambur dan menyingkapnya. Kemu-dian, terdengar suara
keluhan dan rintihannya yang tertahan. Arum adalah anak petani itu satu-satunya,
dan yang menjadi tumpuan hidup mereka di hari tua.
"Sudahlah, Ki. Meskipun kejadian ini tidak seo-rang pun yang mengetahuinya, tapi
aku bertekad untuk mencari manusia keji itu. Dan, aku berjanji akan menghukum
manusia bejad itu," ucap Ki Ring-go sambil menepuk perlahan punggung Ki Sukriya.
"Aku ikut, Ayah...," Jiwala langsung menyahuti begitu mendengar niat ayahnya.
"Tidak, Jiwala. Biar aku saja yang pergi. Sebab, aku tidak ingin kejadian
seperti ini sampai terulang lagi di
desa kita. Dan, selama kapergianku, kuharap kau dan Wisna dapat menjaga keamanan
dan keten-teraman desa kita ini," jawab Ki Ringgo dengan nada yang tidak ingin
dibantah. Dan, Jiwala pun me-ngerti, sehingga ia tidak memaksakan kehendaknya.
Apalagi alasan yang dikemukakan orang tua itu memang sangat tepat.
"Kapan Ayah berangkat"!" Lanjut Jiwala tanpa maksud-maksud tersembunyi.
"Hari ini juga. Sebab, menilik dari keadaan mayat Arum, pasti orang yang
melakukan kebiadaban itu belum pergi jauh. Dengan berangkat secepatnya, aku
berharap dapat menyusulnya. Dan, kalau me-mang diperlukan, aku akan minta
pertolongan ka-wan-kawan dari rimba persilatan," jawab Ki Ringgo yang segera
melangkah keluar untuk menyiapkan kudanya, setelah menyiapkan perbekalan yang
diperlukannya dalam perjalanan panjang itu.
"Percayalah, Ki. Aku akan berusaha membekuk bangsat keji itu...," kembali Ki
Ringgo menghibur orang tua Arum, yang tengah duduk termenung seperti orang
hilang ingatan.
Bahkan ketika Ki Ringgo pamit, Ki Sukriya masih tetap membisu seolah-olah tidak
memperhatikan lagi keadaan sekelilingnya. Setelah Ki Ringgo lenyap, Jiwala
mengajaknya menguburkan mayat Arum, dan orang tua itu pun bangkit dengan langkah
lesu. Sore itu juga, Jiwala dengan dibantu lelaki bercambang bauk bernama Wisna,
segera menyiapkan penguburan. Atas persetujuan Ki Sukriya, Jiwala menanam tubuh
kekasihnya di halaman belakang gedung ayahnya.
Alam mulai diselimuti kegelapan, ketika upacara penguburan itu selesai. Hanya
angin dingin dan suara binatang malam yang masih menemani ma-kam Arum
Sedang orang-orang yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir, ayahnya dan
Jiwala telah kembali ke rumah masing-masing.
*** 5 "Hm..., kali ini bidikanku pasti tidak akan meleset...,"gumam sosok bertubuh
ramping dan beram-but panjang, seraya membidikkan anak panahnya ke tubuh seekor
kijang muda. Twingngng! Anak panah yang terlepas dari busurnya itu, langsung melesat dengan suara
berdesing nyaring, dan menuju sasarannya.
Sayang, kijang muda yang tengah melepaskan dahaga di sebuah aliran sungai itu,
sepertinya tahu bahaya yang tengah mengancamnya. Seketika itu juga, la langsung
terlonjak, dan melesat dengan ke-cepatan kilat. Lalu, menghilang di balik
gerombolan semak belukar.
"Kurang ajar...!" desis sosok tubuh ramping itu mengumpat dengan wajah masam.
"Rupanya hari ini nasibku sedang sial. Sudah lebih dari tiga kali membidik
kijang, tapi aku gagal," sambil tak henti-hentinya mengumpat, sosok ramping yang
ternyata seorang gadis muda itu, bergegas keluar dari balik sebuah pohon besar.
"Sabarlah, Den Ayu," hibur salah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh
tahun dengan nada hormat.
Menilik dari sikap dan nada bicaranya, jelas lelaki itu seorang pembantunya.
"Paman yakin kalau bidikan Den ayu sudah tepat sasarannya, dan pasti tidak akan
meleset," sambung lelaki yang satunya lagi ikut menyahuti.
"Kalau begitu, bagaimana dengan tempat yang pernah Paman ceritakan kepadaku"
Bukankah di lembah sebelah Selatan hutan ini banyak terdapat binatang buruan"
Mengapa kita tidak ke tempat itu saja" Ujar gadis berambut panjang dan berwajah
cantik itu mengingatkan janji salah seorang pem-bantunya. Dan tanpa menunggu jawaban lagi,
ia se-gera melangkah mendahuluinya.
Kedua orang lelaki yang usianya tidak berjauhan itu, saling bertukar pandang
sejenak. Nyata sekali kebimbangan di wajah mereka. Bahkan, ada kegelisahan dalam
sorot mata kedua lelaki itu ketika me-lihat gadis junjungannya itu sudah
melangkah lebih dulu.
"Salahmu, Bawung. Mengapa tempat berbahaya seperti itu kau ceritakan kepada
junjungan kita"
Bagaimana kalau dia berkeras akan ke Sana" Ke-pala kita bisa terpisah dari
badan, kelau sampai ter-jadi sesuatu dengan Gusti Ayu!" jelas lelaki bertu-buh
sedang yang wajahnya ditumbuhi kumis jarang.
Orang dipanggil dengan nama Bawung itu tidak membela diri. Kerena ia memang
merasa bersalah, dan tidak mau mengingkari. Hanya saja wajah lelaki yang tinggi
dan agak kurus itu, manjadi gelap dan resah.
"Hei, mengapa kalian diam saja" Ayo, cepat...!" gadis cantik yang disebut-sebut
sebagai Gusti Ayu itu, berseru ke arah kedua orang pembantunya.
Lelaki yang bernama Bawung, bergegas menda-hului kawannya. Kemudian, ia langsung
saja memo-hon maaf kepada junjungannya itu. Bawung tidak berusaha sama sekali
menyembunyikan kegelisa-hannya. Dengan begitu, ia berharap dapat mence-gah niat
Gusti Ayunya itu.
"Ada apa, Bawung" Mengapa kau seperti orang terserang demam?" Tegur gadis cantik
bermata galak itu yang merasa heran melihat kegelisahan pembantunya.
"Anu, maaf, Gusti Ayu. Tempat itu..., terlalu berbahaya. Kabarnya tempat itu
telah didiami segerom-bolan perampok kejam. Jadi, bagaimana kalau kita mencari
tempat lain saja?" ujar Bawung mengusul-kan.
"Kalau memang ada tempat yang lain, boleh saja, Paman," sahut gadis cantik yang
berambut panjang itu tersenyum, sekadar untuk menenangkan pera-saan pembantunya.
"Tapi..., untuk hari ini, aku belum bisa menun-jukkannya, Gusti Ayu. Sebab,
tempat Itu... tempat itu...,"
Bawung tidak bisa melanjutkan ucapannya. Kerena niatnya hanya untuk mengalihkan
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Panji Sakti 10
^