Pencarian

Bukan Istri Pilihan 2

Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


t . c melihat bahwa hampir setiap bangsawan tinggi yang dikenalnya selalu menunjukkan sikap-sikap yang hampir serupa jika menghadapi persoalan. Sabar, lebih memakai hati nurani, menghindari konflik terbuka, dan menyelesaikannya dengan cara halus tetapi mengena. Begitu juga Bu Susi. Ada banyak ajaran yang diturunkan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, menjadi pegangan dan pedoman dalam melangkahi kehidupan bersama orang lain. Ajaran-ajaran semacam itu sering menjadi pusat orientasi nilai bagi orang kebanyakan yang menganggap segala sesuatu yang berasal dari keraton dan orang-orang dekatnya merupakan ajaran yang adiluhung (indah dan luhur). Padahal tidak sepenuhnya betul. Sikap dan gaya hidup feodalisme dan budaya patriarki, misalnya.
Kenapa menatapku begitu, Ratih" Bu Susi melontarkan pertanyaan setelah beberapa saat lamanya Ratih memandangnya tanpa berkedip.
Ditanya seperti itu. Ratih agak tersipu.
Ah, tidak. Saya sekarang mulai mengerti mengapa Ibu lebih ketat mencatat keluar-masuknya barang, jumlahnya, kapan diambil, dan lain sebagainya. Rupanya karena masalah pencurian itu.
Ya. Bu Susi tersenyum. Berhasil"
Ya. Aman, sudah. Syukurlah.
Oh ya, Ratih. Ada sesuatu yang perlu kukatakan kepadamu. Aku meminta bagian penjahitan daster agar mengurangi produksinya untuk sementara ini. Sebagai
t . c gantinya, mereka akan ikut memperbanyak pakaian anak-anak, kemeja dan gaun jadi. Lebaran tinggal beberapa bulan lagi.
Ya, tadi Endang sudah mengatakannya. Aku mau minta maaf kepadamu. Seharusnya aku mengatakan kepadamu lebih dulu mengenai hal itu. Tetapi karena kebetulan Endang lewat di dekatku, aku langsung mengatakan kepadanya. Begitu juga aku sudah memeriksa sendiri jahitan pakaian anak-anak itu. Itu pun seharusnya aku mengatakan kepadamu. Tidak apa-apa, Bu.
Tidak apa-apa, bagaimana" Aku telah melanggar wilayah kerjamu, Ratih. Hanya karena ingin segera mengirimkan barang, aku telah memberi contoh jelek dan tidak profesional. Lain kali aku akan menuruti aturan main yang seharusnya. Setidaknya, memberitahumu lebih dulu melalui SMS.
Ratih tertawa. Saya tidak punya HP, Bu. Kalaupun punya, saya tidak tahu bagaimana cara memakainya, sahutnya.
Ah, kamu itu ketinggalan zaman. Bu Susi juga tertawa.
Dari pembicaraan singkat dengan Ibu Susi tadi, Ratih belajar untuk bekerja secara profesional. Jangan mentang-mentang dia pemilik perusahaan lalu bekerja memotong kompas semacam itu. Bu Susi telah mengakui kekeliruannya. Ratih terkesan karenanya.
Mengenai apa yang Ibu katakan tadi, saya mengucapkan terima kasih, Ibu telah mengajari saya bagai-
t . c mana sistem kerja yang seharusnya, kata Ratih, kembali pada pokok pembicaraan.
Bu Susi senang melihat bagaimana cepatnya Ratih belajar apa saja di perusahaannya ini.
Kudengar, kau tadi telah mengambil alih pekerjaan Bu Ina" tanyanya kemudian.
Ya, Bu. Lusa dia sudah bisa masuk kerja. Istirahat dari dokter hanya dua hari saja. Kalau dia masuk nanti, tolong beritahu supaya dia membantu pekerjaan bagian pakaian anak-anak. Katakan alasannya supaya dia mengerti.
Baik, Bu. Ratih, kita boleh merasa bangga bulan-bulan terakhir ini pesanan terus mengalir ke perusahaan kita. Kesibukan kita pasti bertambah. Tetapi sesibuk dan sebanyak apa pun pekerjaan kita, mutu harus tetap dipertahankan. Tolong katakan itu kepada para karyawan.
Ya, Bu. Selama ini saya selalu meminta mereka untuk memperhatikan mutu, sebab baik-buruknya hasil pekerjaan kita kan demi kita semua juga.
Betul sekali, Ratih. Kalau keuntungan perusaahaan banyak, bonus yang kalian akan dapatkan setiap tahunnya juga akan banyak. Aku juga ingin agar warna-warni aplikasi dan bordiran kauperhatikan jangan sampai norak kombinasinya. Tolong perhatikan itu. Beberapa kali aku melihat kombinasinya ada yang kurang pas.
Ratih menatap mata Bu Susi dengan penuh pertanyaan. Apakah ada sesuatu yang kurang berkenan pada-
t . c nya" Kalau tidak, mengapa Bu Susi tiba-tiba berbicara seperti itu"
Bu Susi, apakah ada yang... kurang berkenan di hati Ibu" tanyanya terus terang.
Bu Susi menatap mata Ratih, mulai sadar bahwa perkataannya bisa menimbulkan dugaan buruk pada diri Ratih. Karenanya ia tertawa.
Semuanya baik-baik saja, Ratih. Cuma kalau pekerjaan menjadi lebih banyak, biasanya para pekerja kurang teliti dan cenderung bekerja semaunya sendiri. Itu merupakan pengalamanku selama menjadi pemilik perusahaan ini. Misalnya, benang yang cocok habis, lalu mengambil benang yang tidak terlalu persis warnanya supaya pekerjaannya cepat selesai. Atau menjahit kancing asal-asalan sehingga mudah lepas. Seribu satu hal bisa terjadi. Semua ini kukatakan kepadamu justru karena aku memercayaimu, Ratih. Sudah kulihat bagaimana caramu menangani anak buahmu. Sudah kulihat hasil jahitanmu. Sudah pula kulihat rasa tanggung jawab, loyalitas, serta dedikasimu dalam pekerjaan. Kuhargai itu. Oleh sebab itu pula, aku meminta bantuanmu untuk ikut mengawasi segala hal yang menyangkut kemajuan perusahaan ini.
Wah, Ibu terlalu banyak menaruh harapan pada saya. Saat ini saya masih dalam proses belajar, Bu.
Ratih, dari pengalamanku selama puluhan tahun menggeluti perusahaan ini, sejak masih dengan enam karyawan sampai lebih dari dua ratus orang seperti sekarang, aku juga belajar mengenali sifat dan karakter orang terkait dengan pekerjaannya di sini. Ada yang
t . c terpaksa bekerja di perusahaan ini karena tidak ada pekerjaan lain, misalnya. Tetapi aku melihat dirimu, kau mencintai pekerjaan di tempat ini dan memiliki sense of belonging yang sangat kuhargai.
Kelebihan saya karena selain menyukai pekerjaan saya, juga karena searah dengan latar belakang pendidikan saya. Lain dari itu, saya ya sama saja seperti teman-teman lainnya, Bu Susi. Buat saya, yang penting adalah bekerja sebaik mungkin.
Syukurlah, Ratih. Itulah yang kuharapkan dari semua karyawan di sini. Kalau kita bekerja dengan sungguh-sungguh, tentu hasilnya akan baik. Tetapi kalau pikiran kita melantur ke mana-mana, tentu sedikit-banyak akan memengaruhi hasil pekerjaan kita.
Ya, Bu. Ada apa sebenarnya sehingga Bu Susi berbicara seperti itu"
Aku percaya kepadamu, Ratih. Terima kasih....
Ketika Ratih telah duduk kembali di meja kerjanya, perkataan terakhir Bu Susi tadi terngiang-ngiang kembali ke telinganya. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu di balik perkataan Bu Susi yang secara khusus ditujukan kepadanya: Kalau pikiran kita melantur ke mana-mana, tentu sedikit-banyak akan memengaruhi hasil pekerjaan kita.
Ratih berpikir keras, apa kira-kira yang menyebabkan Bu Susi mengira pikirannya melantur ke mana-mana" Apakah pikirannya yang belakangan ini resah kembali karena putusnya rantai yang bisa menghubungkannya pada jejak Hartomo terlihat dari luar" Atau apakah
t . c upayanya untuk selalu memisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan tidak berhasil sehingga orang lain bisa melihat kegalauan hatinya"
Ratih mengeluh sendiri. Pandang matanya membentur kaca lemari di sampingnya, yang memantulkan bayangan dirinya. Dia melihat wajahnya yang menurut kata orang semakin bertambah cantik tampak sayu. Bahkan cahaya matanya tampak redup. Melihat itu tiba-tiba hatinya berdenyut. Apakah Bu Susi juga melihat pandang matanya yang redup dan mengira ia bekerja dengan pikiran melantur ke mana-mana" Atau ada orang yang mengatakannya pada beliau"
Ratih membantah pikirannya sendiri. Memang boleh jadi Bu Susi melihat matanya yang sayu dan redup cahayanya. Namun seperti waktu masih berjualan di kampungnya, Ratih tidak pernah mencampuradukkan perasaan sedihnya dengan pekerjaan yang sedang digelutinya. Hatinya boleh bersedih, tetapi ia tetap bersikap profesional dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Baik ketika bekerja di warungnya dulu, maupun sekarang di perusahaan milik Bu Susi. Entahlah kalau Bu Susi melihat sesuatu yang lain, yang ia tidak sadari.
Ratih mengeluh lagi. Saat itu tiba-tiba pikirannya melayang pada Pak Dody, adik kandung Bu Susi yang belakangan ini sering datang ke pabrik. Semula, Ratih menyangka laki-laki itu datang untuk menemui Bu Susi, entah apa pun urusannya dengan sang kakak. Tetapi belakangan ini dia mulai melihat sesuatu yang lain. Terutama setelah beberapa kali laki-laki itu sengaja
t . c datang beberapa saat sebelum pabrik tutup dan dengan setengah memaksa, mengajak Ratih ikut mobilnya.
Ayolah, sekalian kuantar sampai rumahmu. Kebetulan aku harus mengurus suatu keperluan yang searah dengan rumahmu, begitu antara lain yang dikatakan Pak Dody saat Ratih berjalan keluar halaman pabrik. Tetapi Ratih tahu, laki-laki itu sengaja menghadangnya. Hal-hal semacam itu bukan hal baru, baginya. Ketika masih di SMK dan kemudian kuliah, selalu ada saja pemuda yang seakan-akan tidak sengaja menemuinya tetapi yang Ratih yakin itu disengaja. Mereka memang ingin mendekatinya. Tetapi saat itu Ratih tidak ingin didekati pemuda mana pun. Bisa-bisa orangtua angkatnya marah besar karena menganggapnya tidak tahu terima kasih. Studi belum selesai, sudah pacaran.
Sekarang ini menurut hati kecil Ratih, Pak Dody juga sedang mencoba-coba mendekatinya. Repot, jadinya.
Terima kasih, Pak. Tetapi saya tidak langsung pulang ke rumah karena masih ada keperluan lain yang harus saya selesaikan, begitu ia menyahuti tawaran Pak Dody. Hm dari mana Pak Dody mengetahui arah rumahku" tanyanya dalam hati.
Mengikuti kursus, kan" Aku tahu kok. Seminggu tiga kali kan kursusnya itu"
Ratih mengeluh dalam hati. Rupanya Pak Dody sudah mencari berbagai informasi tentang dirinya, entah sejak kapan dan dari mana. Tetapi Ratih tetap bersikukuh untuk menghindari pendekatan laki-laki itu.
t . c Namun kemudian setelah berkali-kali menolak ajakan Pak Dody, Ratih merasa tidak enak sendiri. Apalagi saat melihat sinar mata tersinggung yang sempat tertangkap oleh mata Ratih yang tajam. Jangan-jangan dikiranya ia sedang jual mahal. Kesannya seperti sombong. Kesannya seperti ge-er, padahal mungkin saja Pak Dody memang betul mempunyai keperluan yang tempatnya searah dengan rumah maupun tempat kursusnya. Begitulah Ratih berpikir dan mulai mengendurkan penolakannya. Maka akhirnya dua kali Pak Dody berhasil membawanya ikut mobilnya. Keduanya tidak menyadari banyaknya mata para karyawan yang melihat kepergian mereka berdua. Baru sekarang Ratih sadar bahwa kepergian mereka berdua bisa menjadi omongan orang. Atau... jangan-jangan sudah jadi bahan gunjingan lalu Bu Susi mendengar hal itu"
Ratih tahu, Pak Dody yang ganteng, kaya, dan berdarah ningrat itu masih bujangan. Seharusnya mudah baginya untuk mencari istri. Tetapi seseorang pernah mengatakan padanya bahwa adik Bu Susi itu dua kali mengalami putus cinta karena ternyata pacarnya mata duitan. Tampaknya laki-laki itu mulai mengalihkan pandang matanya ke arah karyawan-karyawan kakaknya, orang-orang yang bukan segolongannya . Orang-orang yang mungkin tidak macam-macam seperti mantan pacar-pacarnya dulu. Entahlah.
Ratih sadar bahwa di antara para karyawan perempuan di pabrik ini hanya beberapa orang saja yang bisa dikatakan masuk hitungan buat mata laki-laki seperti Pak Dody. Endang yang manis, menarik, dan gesit itu
t . c termasuk di antaranya. Tampaknya, gadis itu juga mempunyai pemikiran yang sama bahwa Pak Dody mulai merasa bosan mengincar gadis-gadis dari golongannya sendiri, golongan sosial atas . Ratih menduga, gadis itu menaruh harapan terhadap peluang yang mungkin ada di dekatnya.
Ratih menarik napas panjang. Sekarang dia mulai sedikit memahami mengapa Bu Susi tadi memintanya agar pikirannya tidak melantur ke mana-mana. Apakah perempuan itu menyangka ada apa-apa di antara dirinya dengan Pak Dody" Ah, kalau Bu Susi yang tidak bergaul akrab dengan para karyawannya saja berpikir seperti itu, apalagi rekan-rekan sekerjanya" Ratih ingat, Endang dan kawan-kawan akrabnya kurang menyukainya. Pasti itu bukan sekadar karena kepercayaan Bu Susi yang berlebih padanya saja, tetapi juga karena kurangnya kesempatan gadis itu untuk didekati Pak Dody. Laki-laki itu lebih menaruh perhatian kepadanya.
Untuk ketiga kalinya Ratih menarik napas panjang. Seharusnya Pak Dody membuka matanya lebih lebar. Endang bukan hanya manis dan menarik, tetapi juga lebih muda, lincah, pandai bergaul, belum pernah menikah dan pandai berdandan.Tetapi kenapa Pak Dody lebih memperhatikan aku yang sederhana begini" pikir Ratih sedih.
Sejak pikiran seperti itu memasuki dirinya, Ratih mulai menghindari perjumpaan dengan Pak Dody. Kalau waktu pulang tiba, diam-diam dia keluar lewat pintu belakang. Kalau ia melihat mobil mewah milik
t . c Pak Dody ada di halaman parkir, cepat-cepat dia menyelinap ke jalan raya. Atau bergerombol dengan teman-teman sesama karyawan, berdiri di halte bus, dan pura-pura tidak melihat Pak Dody yang lewat di depan mereka. Ratih tahu, Pak Dody merasa sungkan kalau hanya mengajak dirinya sendiri naik mobilnya sementara di dekat mereka ada karyawan lain. Ratih memang tidak ingin menjalin hubungan akrab dengan pria mana pun, khususnya dengan Pak Dody, yang menurutnya tatarannya terlalu jauh dengan latar belakang dirinya. Apalagi karena hatinya sudah telanjur ia serahkan kepada Hartomo.
Tetapi semakin Ratih menjauhinya, semakin Pak Dody merasa tertantang untuk meraih perhatian perempuan cantik itu. Dipelajarinya cara-cara Ratih menghindarinya. Setelah itu barulah ia menandingi cara-cara itu dengan taktik yang dianggapnya lebih ampuh. Ketika melihat Ratih berdiri bersama teman-temannya menunggu bus, Pak Dody sengaja menghentikan mobilnya di dekat Ratih. Disingkirkannya rasa sungkannya terhadap teman-teman Ratih.
Ayo, Dik, ikut mobilku. Aku ingin minta bantuanmu, katanya.
Bantuan apa, Pak" Memilihkan benang-benang rajutan dan bahan yang cocok untuk disulami. Ibuku sedang punya hobi baru, merajut benang wol, dan menyulam dengan tangan. Aku tidak bisa memilihkan untuknya.
Bu Susi kan bisa membantu Anda, Pak. Menunggu dia, baru bulan depan sempatnya. Ayo-
t . c lah, bantu aku demi ibuku, Pak Dody terus-menerus mendesak sehingga Ratih merasa tidak enak menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya itu. Terpaksalah ia masuk ke dalam mobil mewah lelaki itu.
Taktik Pak Dody berhasil, tetapi Ratih merasa kesal sekali karenanya.
Diam-diam dia mencari cara baru untuk menghindari Pak Dody yang semakin lama semakin nekat itu. Sering sekali mobil laki-laki itu muncul di halaman parkir menjelang jam kantor bubar. Oleh sebab itu, begitu melihat mobil Pak Dody masuk ke halaman parkir ia pura-pura kurang enak badan dan minta izin pulang lebih dulu pada Bu Susi sebelum laki-laki itu turun dari mobilnya.
Setelah menyerahkan urusan-urusan yang jadi tanggung jawabnya, lekas-lekas Ratih keluar. Tetapi sesampai di halte bus, dia melihat Endang sedang berdiri di depan tiang. Gadis itu malah sudah lebih dulu pulang.
Kok pulang duluan" Endang bertanya kepadanya begitu Ratih tiba di dekatnya.
Badanku tidak enak. Sepertinya masuk angin, jadi aku minta izin pulang lebih dulu, sahut Ratih. Dia tidak ingin bertanya mengapa Endang juga pulang lebih dulu. Enggan dia berhandai-handai di saat pikirannya dipenuhi kekhawatiran kalau-kalau Pak Dody menyusulnya sebelum ia mendapat bus. Tetapi Endang mengatakannya sendiri.
Aku juga kurang enak badan, katanya. Kok tumben tidak ikut mobil Pak Dody"
t . c Lebih enak naik bus, En. Kamu aneh, Mbak. Daripada berdesakan di bus kan enakan naik mobil sedan mewah yang berbau harum, sejuk, dan serbanyaman itu.
Tetapi kan tidak bebas. Memang naik mobil sebagus dan semewah mobil Pak Dody nyaman rasanya. Tetapi kenyamanan yang dirasa seseorang kan tidak melulu hanya fisik saja.
Maksudmu" Hatiku tertekan setiap ikut mobilnya. Kenapa"
Karena khawatir disangka orang aku ini pacarnya Pak Dody.
Endang tidak memberi tanggapan. Tetapi senyumnya sama sekali tak mengesankan ketulusan. Ratih tahu, Endang tidak memercayai perkataannya tadi. Ditahannya rasa dongkol yang naik ke lehernya dan dikumpulkannya kekuatannya untuk mengekang agar lidahnya tidak berucap dengan emosi untuk mengatakan kebenaran bahwa dia memang bukan kekasih Pak Dody. Calon pacarnya pun bukan. Dia bukan perempuan yang mudah silau oleh harta dan kemewahan. Tetapi belum sampai mulutnya terbuka, Endang menyenggol lengannya. Tuh, disusul, katanya dengan suara mengejek. Ratih melihat mobil Pak Dody mendekati mereka berdua. Tanpa sadar ia menghela napas. Percuma saja dia melarikan diri. Percuma saja dia membela diri di muka Endang. Pak Dody telah mematahkan pembelaannya itu. Apalagi begitu mobilnya berhenti, pintunya langsung terbuka.
t . c Ayo, Dik, kebetulan aku lewat di dekat rumahmu lagi. Naiklah.
Maaf, Pak Dody, saya harus membeli obat untuk ibuku dulu, Ratih mencoba berdalih dengan sekenanya aja. Tempatnya agak jauh....
Sudahlah, gampang nanti kita mampir ke apotek. Di Jakarta begitu banyak apotek kenapa harus mencari yang jauh-jauh. Pak Dody tidak memedulikan dalih Ratih karena tahu alasan itu hanya mengada-ada saja. Bahkan pintu mobilnya direntangkan semakin lebar. Ayo, naiklah.
Terima kasih, Pak. Tetapi saya betul-betul mempunyai banyak urusan sore ini dan tidak akan segera pulang.... Ratih tetap menolak. Tetapi kentara sekali, alasannya cuma dibuat-buat.
Pak Dody tidak mau menyerah.
Kau ini, katanya. Ayolah. Jangan khawatir apa pun urusan yang harus kamu selesaikan. Akan kuantar sampai urusanmu selesai. Ayolah, segera naik ke mobilku.
Ratih juga tidak ingin menyerah. Tetapi ketika melihat mata Pak Dody tampak tak senang dan sikapnya agak gelisah, Ratih sadar bahwa laki-laki itu tidak suka ditolak di muka umum. Ketika ia melihat ke sekeliling, kebanyakan orang-orang yang sedang menunggu bus itu mengarahkan perhatiannya kepada dia dan Pak Dody. Karenanya dengan cepat ia memutuskan untuk menuruti keinginan laki-laki itu.
Baiklah, Pak. Tetapi baru saja kaki sebelah naik ke mobil, dia teringat pada Endang. Bagaimana dengan
t . c Endang, Pak" Katanya dia sedang kurang sehat. Kita ajak sekalian, ya"
Pak Dody menganggukkan kepalanya. Tetapi kentara sekali anggukan itu merupakan keterpaksaan. Ratih tidak peduli. Dia turun lagi dan meraih tangan Endang.
Ayo, Endang, ikut jugalah. Nanti kau akan diantar sampai rumahmu. Ratih nekat, tidak peduli apakah Pak Dody setuju atau tidak jika Endang harus diantar sampai ke rumahnya. Tidak enak rasanya hanya berduaan saja dengan Pak Dody sementara temannya masih berdiri di halte bus.
Tetapi Endang menarik pelan tangannya dari pegangan Ratih. Matanya mengarah pada bus yang baru saja mendekati halte tempat mereka berdiri.
Terima kasih, Mbak. Terima kasih, Pak Dody. Itu busnya datang, katanya, dan sebelum Ratih sempat berkata apa pun, Endang bergegas naik ke bus yang berhenti tepat di belakang mobil Pak Dody.
Merasa mengganggu kelancaran jalan umum di belakangnya, Pak Dody segera melarikan mobilnya.
Sementara itu dengan perasaan tertekan, Ratih menyandarkan punggungnya ke jok kursi yang empuk. Mulutnya tertutup rapat.
t . c P ERASAAN Ratih memang tertekan. Mobil yang
empuk, sejuk, berbau harum, dan dipenuhi musik manis yang dinyalakan dengan suara lembut itu tidak menyebabkan perasaannya jadi nyaman. Ia sempat melihat senyum mengejek dari bibir Endang saat gadis itu sudah berada di dalam bus. Ia merasa malu. Pipinya yang sempat memerah dijilat sinar matahari sore tadi, tampak semakin memerah.
Setelah berada di jalan raya sekitar sepuluh menit tetapi tidak terdengar suara dari pihak Ratih, Pak Dody meliriknya. Wajah Ratih yang berkabut kemurungan itu tertangkap oleh matanya sehingga ia merasa tidak enak telah memaksa perempuan itu ikut mobilnya.
Kenapa diam saja, Dik Ratih" Marah, ya" tanyanya kemudian dengan suara lembut.
Lima t . c Ratih mencoba untuk tersenyum. Tetapi senyum itu tampak sedih.
Saya tidak marah, Pak. Tetapi..."
Tetapi saya merasa tidak enak kepada teman-teman. Sudah lebih dari lima kali saya ikut mobil Pak Dody, bahkan diantar sampai ke tempat tujuan. Kalau tidak ke tempat kursus, ya ke rumah. Sepertinya saya tidak memiliki rasa solider dan setia kawan terhadap mereka. Saya naik mobil sebagus ini, duduk dengan nyaman pula, sedangkan teman-teman saya yang seharian samasama berjuang di pabrik, harus berebut naik bus yang sudah penuh hanya untuk mendapatkan tempat berdiri. Bus yang pengap itu sebentar-sebentar berhenti dengan kondektur yang tiap sebentar bilang masih kosong dan mendesak penumpang yang sudah lebih dulu naik supaya lebih masuk ke dalam. Seperti tumpukan pindang bandeng. Belum lagi kalau kebetulan ada laki-laki iseng yang tangannya kurang ajar atau copet.
Apa maksud bicaramu itu, Dik Ratih" Saya cuma mau bertanya, kenapa Pak Dody tidak mengajak mereka ikut bersama kita" Bukankah mobil ini cukup luas untuk membawa sekitar empat orang lagi"
Pak Dody tertawa mendengar kata-kata Ratih. Kau ini lucu dan polos. Jadi selama ini kaupikir aku mengantarmu pulang karena kau pegawai kakakku, ya Dik"
Saya tidak tahu apa alasan Pak Dody mengajak
t . c saya ikut mobil ini, tetapi saya merasa kurang adil bagi mereka, sahut Ratih.
Dik, tidak ada keharusan saya untuk mengantar mereka pulang. Aku hanya khusus mengajak Dik Ratih karena dirimu mempunyai tempat yang khusus pula bagiku.
Khusus, bagaimana..."
Aku suka berteman denganmu, Dik. Sangat suka. Itulah alasannya. Nah, tidak bolehkah aku mengantarkan pulang orang yang kusukai"
Tentu saja, boleh. Tetapi ini, saya lho! Memangnya kenapa kalau dirimu, Dik Ratih" Lah, saya ini siapa dan Pak Dody itu siapa" Masa Pak Dody yang mempunyai perusahaan peralatan mobil dan adik Bu Susi majikan saya, menyukai saya" Kalaupun ingin berteman, ya tidak perlu kan harus sering-sering mengantar saya pulang seperti sekarang ini"
Pak Dody melambatkan mobilnya.
Dik Ratih, semua yang ada pada diriku itu hanya tempelan atau atribut belaka, katanya kemudian. Di dunia ini setiap manusia sama derajat dan berharganya bagi Tuhan. Di dunia ini ada manusia yang sukses dan ada yang mengalami kegagalan. Kebetulan, aku termasuk yang berhasil mendulang sukses. Alias, nasibku bagus. Jadi jangan melihat diriku sebagai pengusaha sukses atau sebagai adik Mbakyu, seperti aku juga tidak melihatmu sebagai anak buahnya.
Ratih terdiam. Kata-kata yang diucapkan Pak Dody dengan sungguh-sungguh itu mencerminkan dia orang
t . c yang baik hati. Apa yang dikatakannya tak salah. Tetapi sayangnya, kenapa laki-laki itu harus tertarik padanya, padahal ada banyak perempuan lain yang jauh lebih baik daripada dirinya.
Melihat Ratih terdiam, Pak Dody memakai kesempatan itu untuk melanjutkan bicaranya.
Aku ini bukan sekadar menyukaimu saja... tetapi... terus terang aku mulai jatuh cinta padamu. Kau sungguh berbeda dibanding gadis-gadis lain yang pernah kukenal dan kulihat. Kau begitu lembut, sabar, rendah hati, rajin, bicaramu selalu berisi, dan banyak lagi kelebihanmu. Termasuk pujian tentang dirimu yang kudengar dari Mbakyu, kata Pak Dody terus terang.
Pak Dody... Ratih terkejut. Meskipun sudah mempunyai dugaan ke arah sana, tetapi mengingat mereka belum lama berkenalan, mendengar pernyataan cinta secepat itu dan dilakukan Pak Dody sambil mengemudi mobil pula, rasanya sungguh tidak masuk ke akalnya. Bahkan terdengar sembrono.
Iya, Dik Ratih... aku memang mencintaimu... sudah sejak beberapa lama, Pak Dody berkata lagi menegaskan pernyataannya tadi. Semula, kukira itu hanya perasaan semusim saja saat melihat seorang perempuan yang begitu jelita tetapi sederhana dan apa adanya. Tetapi ternyata, aku benar-benar mencintaimu setelah semakin mengenal pribadimu....
Pak, perkenalan kita baru ada di permukaan lho. Masih banyak hal-hal lain yang belum Bapak lihat atau kenali dalam diri saya, tetapi Pak Dody sudah berani menyatakan perasaan. Rasanya... itu terlalu gegabah.
t . c Pak Dody perlu mempelajari hati sendiri. Bukannya saya tidak percaya pada Pak Dody, tetapi Pak Dody bisa saja keliru mengartikan perasaan sendiri. Unsurunsur emosional dan subjektif yang ada pada setiap orang, sering menyebabkan penilaian yang kurang akurat.
Pak Dody tertegun, tidak menyangka perempuan sederhana itu bisa mengeluarkan perkataan yang berbobot.
Dik Ratih, aku yakin akan perasaanku ini, Pak Dody membantah. Belum pernah aku segelisah seperti yang kualami sekarang ini. Setiap memikirkan dirimu, perasaanku teraduk-aduk....
Pak Dody, mohon berpikirlah lebih luas dan mendalam. Ingat, saya ini siapa dan Pak Dody itu siapa....
Dik Ratih, jangan mendikotomi antara kekayaan, kedudukan, status sosial, dan semacamnya kalau kita mau berteman... apalagi berhubungan cinta dengan tulus hati.
Betul sekali, Pak. Cinta yang sesungguhnya itu merupakan cinta yang suci, tulus tanpa pamrih, dan tanpa memandang hal-hal yang bersifat jasmani atau materi. Justru karena itulah, tolong Pak Dody mengupas dengan cermat dan sungguh-sungguh apakah cinta yang Pak Dody rasakan itu betul cinta yang suci murni tanpa pamrih dan seterusnya. Banyak orang sering keliru mengartikan cinta, yang kalau dirunut-runut sebetulnya bersumber pada kebutuhan dirinya sendiri.
Kebutuhan dirinya sendiri" Apa maksudnya" Pak Dody memalingkan sebentar kepalanya ke arah Ratih
t . c untuk kemudian mengembalikan perhatiannya ke jalan raya.
Bolehkah saya bicara apa adanya" Ratih membalikkan pertanyaan.
Kenapa tidak" Katakan saja.
Baik, sahut Ratih. Menurut pengamatan saya, orang yang jatuh cinta biasanya mengaitkan perasaannya itu pada kebutuhan dirinya sendiri. Namun pada umumnya hal itu tidak disadari oleh yang bersangkutan. Nah, tadi Pak Dody mengatakan bahwa saya ini berbeda dengan gadis-gadis yang pernah Pak Dody kenal, maka keberadaan saya menarik hati Pak Dody. Kenapa" Karena sesungguhnya di lubuk hati Pak Dody membutuhkan sosok yang tidak sama seperti kenalan-kenalan yang selama ini ada di sekeliling kehidupan Pak Dody, yang mungkin membosankan karena warnanya hampir sama. Penampilan yang gemerlap, suka keluar masuk mal dan rumah makan mewah, berceloteh tentang liburan ke luar negeri, menyusun rencana ke mana mengisi akhir pekan, menonton musik di hotel berbintang, mengeluarkan lelucon-lelucon yang agak ngeres.... Bicara Ratih terhenti oleh tawa lelaki itu. Apanya yang lucu" Apakah ada yang salah dari perkataan saya tadi" tanyanya kemudian.
Justru karena tidak salah itulah aku jadi tertawa. Memang seperti itulah yang membuatku merasa bosan, sahut Pak Dody.
Nah, secara tidak langsung kan Pak Dody sudah mengakui bahwa karena bosan bergaul dengan perem-
t . c puan-perempuan seperti itulah maka keberadaan saya yang berbeda menarik buat Pak Dody.
Pak Dody tertegun beberapa saat lamanya. Tetapi aku benar-benar mencintaimu, Ratih. Tertarik, merasa suka, senang bergaul dengan seseorang, itu bukan berarti ada cinta di dalamnya. Jadi simpan dulu pernyataan cinta Pak Dody.
Tetapi juga bukan berarti tidak ada cinta di dalamnya, Pak Dody membantah. Nah, daripada berbantah kata, sebaiknya sekarang ini kauikuti dulu caraku bergaul denganmu. Buang jarak yang ada di antara kita. Ganti panggilan Pak menjadi Mas dan ber-aku serta ber-engkau sajalah kita. Aku sudah memulainya sejak kemarin, tetapi kau tetap saja menyebutku Pak... Pak... sampai risi telingaku.
Ratih tersenyum. Basa-basi dan cara menghadapi orang, sudah tertanam pada diri Ratih. Apa yang dicontohkan orang-orang di sekelilingnya ketika ia masih kecil, sudah telanjur mewarnai pola pikirnya. Jadi bagaimana bisa ditanggalkannya begitu saja, pikirnya dengan perasaan geli.
Apa pun yang Pak Dody mau, belum tentu apa yang juga dimaui orang-orang lain, katanya kemudian dengan sabar. Hal-hal semacam itu menjadi perhitungan bagi saya untuk menentukan sikap.
Kenapa..." Orang lain belum tentu bisa menerima keakraban semacam itu. Pasti ada saja telinga yang gatal kalau mendengar saya memanggil mas pada Pak Dody. Hal itu wajar, karena di dalam kehidupan bersama ini ham-
t . c pir semua orang tidak melihat diri kita sebagai subjek otonom atau individu yang lepas tersendiri, tetapi selalu disangkutkan pada latar belakangnya. Keluarganya seperti apa, pendidikannya apa, status sosialnya, pekerjaannya, kedudukannya bagaimana. Dan lain sebagainya. Meskipun penilaian-penilaian semacam itu bias, namun itulah yang hampir selalu dipakai orang untuk memandang seseorang. Jadi meskipun saya tahu itu salah, tetapi apa boleh buat, Pak Dody harus memikirkan perasaan keluarga, terutama kedudukan Bu Susi di hadapan para karyawannya.
Pak Dody tertegun lagi. Ratih merupakan kejutan baginya. Pengalamannya di masa lalu, tidak ada seorang perempuan pun yang berbicara semacam itu terhadapnya.
Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan, Dik" tanyanya kemudian.
Di dalam pergaulan, kita ini masih sulit melepaskan diri dari kacamata buram kebanyakan orang. Oleh sebab itu, Pak Dody harus bisa menjaga nama baik dan derajat keluarga, sahut Ratih. Jangan sampai menjadi bahan tertawaan orang. Setelah putus hubungan dengan gadis-gadis hebat kok sekarang menyukai karyawan kakak sendiri yang begini ini seakan sudah tidak... laku lagi. Maaf....
Ratih! Pak Dody memotong perkataan Ratih dengan marah. Aku tidak suka mendengar kata-kata seperti itu.
Pak Dody boleh saja marah, boleh saja tutup telinga... tetapi itulah kenyataan yang ada. Karena kita
t . c masih hidup bersama orang lain dan bukan sendirian di hutan, maka kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Mau ataupun tidak, keberadaan orang lain harus menjadi bahan pertimbangan dalam melangkahi jalanjalan kehidupan kita. Itulah yang saya ingin Pak Dody menyadarinya. Jadi sekali lagi saya ulangi, tolong pernyataan bahwa Anda mencintai saya, dikaji. Saya tidak ingin Pak Dody terjebak dalam penilaian yang tidak akurat dan lalu tenggelam di dalamnya, mengira itulah kebenaran. Masih banyak hal yang Pak Dody belum ketahui mengenai diri saya dan masih banyak pula hal lain yang perlu dijadikan pertimbangan.
Pak Dody terdiam. Air mukanya tampak berubahubah sehingga Ratih merasa tidak enak.
Maafkan saya, Pak Dody. Percayalah, semua yang saya katakan itu demi kebaikan banyak pihak. Seperti yang telah saya katakan, janganlah Pak Dody menunjukkan sikap-sikap yang akan menjadi buah pembicaraan orang-orang pabrik. Pak Dody harus memikirkan kedudukan Bu Susi dan Pak Dody sendiri. Bukan karena saya mau meninggikan keluarga Pak Dody dan merendahkan diri saya sendiri sebab seperti Pak Dody katakan tadi setiap manusia sama derajatnya. Itu memang betul. Tetapi apakah setiap orang, terutama di pabrik ini, juga mempunyai pendapat yang sama seperti itu"
Sepanjang percakapannya dengan Pak Dody, Ratih tidak menyadari bahwa kerasnya kehidupan di Jakarta yang telah dilaluinya selama satu tahun lebih dan banyaknya berjenis buku yang sejak bertahun lalu dibaca-
t . c nya dengan rakus, telah melontarkannya pada kemajuan dalam cara berpikir dan bersikap, sehingga menyebabkannya berani mengungkapkan pendapat dan perasaan yang ada di hatinya. Ratih tidak sadar bahwa Ratih yang sekarang sangat berbeda dengan Ratih yang dulu tinggal di pinggiran kota kecil di Jawa Tengah. Ratih yang sekarang ini telah terbebas dari rasa tidak percaya diri, ragu-ragu, takut-takut, dan malu-malu. Ratih yang sekarang bukan hanya memiliki rasa percaya diri saja, namun juga mampu mengemukakan pendapat yang rasional, dilandasi oleh argumentasi yang memiliki bobot untuk menjadi bahan pemikiran lawan bicaranya.
Ratih seperti yang sekarang inilah yang terlihat oleh Pak Dody di sepanjang pembicaraan mereka berdua tadi. Dia tidak menyangka, di balik sosok yang pendiam dan apa adanya itu terdapat pemikiran yang mendalam. Berbagai pikiran pun muncul di kepala laki-laki itu sehingga perasaannya mulai bergejolak kacau. Dia mengakui semua yang dikatakan oleh Ratih dengan nada yang jelas dan sikap yang anggun itu benar belaka. Dia juga menyadari bahwa pernyataan cinta yang diucapkannya tadi memang terlalu cepat dan perlu dikaji. Diakuinya pula bahwa ia tertarik kepada Ratih karena perempuan itu jelita, lembut, sabar, dan tidak nekoneko. Masih ditambah dengan beberapa pujian dari kakaknya, padahal sepanjang yang ia ketahui, kakak perempuannya itu termasuk orang yang pelit memberi penilaian yang positif terhadap seseorang. Itu artinya, Ratih memang memiliki sesuatu yang patut dikagumi. Namun apakah kekaguman dan ketertarikannya terha-
t . c dap perempuan itu bisa disebut cinta, memang masih perlu dikaji. Bahkan masih terlalu pagi untuk diucapkan di hadapan yang bersangkutan. Tetapi malang, saat ini setelah berbicara panjang-lebar dari hati ke hati dengan Ratih dan merangkai penilaian demi penilaiannya sendiri tanpa membaurkannya dengan pujian kakaknya, tiba-tiba saja Pak Dody dikuasai kesadaran yang aneh. Cintanya yang matang justru sekarang ini datang bagai air bah yang dengan serentak memenuhi seluruh rongga dadanya. Lelaki yang sudah berpengalaman menjalin cinta dengan beberapa orang gadis itu sampai terteguntegun karenanya dan terpaksa harus tunduk pada pengaruh pancaran kepribadian Ratih. Tak pelak lagi, rasa tertarik dan kekagumannya terhadap perempuan itu mulai menusuk bagian asmara hatinya hingga ke kedalaman yang tak bertepi. Yah, inilah cinta yang datangnya baru belakangan setelah pernyataan cinta itu sendiri keluar.
Yah, pengaruh pribadi Ratih yang memancar dari wajah, sikap, pandang mata, dan isi tutur katanya telah menggenggam hati Pak Dody sejak hari itu. Semakin mengenal, semakin dalam akar-akar cinta merasuk ke dalam hatinya. Pengalaman cintanya selama ini hampir selalu seiring dengan berbagai kesenangan dan hadiah. Entah sudah berapa banyak yang telah dikeluarkan dari dompetnya untuk memanjakan mereka. Pakaian, tas, sepatu, perhiasan, makan di tempat-tempat mewah, jalan-jalan ke tempat yang indah, dan lain sebagainya. Tetapi dengan Ratih, baru diajak naik mobilnya saja perempuan itu sudah menganggapnya tidak adil karena
t . c membiarkan teman-temannya berdesakan di dalam bus.
Tiba-tiba saja Ratih sudah melampaui tempat yang jauh lebih tinggi daripada apa yang pernah diakrabinya bersama gadis-gadis lain. Ratih tidak bisa didekati dengan barang-barang duniawi. Ratih tidak bisa didekati dengan rayuan, pujian, perlakuan istimewa, maupun kemanjaan. Ratih sulit diakrabi sebagai seseorang yang khusus baginya. Perempuan itu selalu bersikap baik kepada siapa saja. Perempuan itu selalu ramah dan lembut kepada siapa saja. Perempuan itu selalu sabar terhadap siapa saja. Perempuan itu selalu hangat terhadap siapa saja. Perempuan itu selalu memperhatikan orang lain. Tetapi, tak pernah ada perlakuan khusus dan istimewa untuknya. Perempuan itu memang berbeda jauh. Kalau mantan-mantan pacarnya dulu merasa bangga menjadi pusat perhatiannya dan senang dibawa dengan mobil barunya, Ratih justru memintanya untuk tidak lagi memaksanya naik ke dalam mobilnya.
Pak Dody sering merasa malu teradap dirinya sendiri karena pernah mengira Ratih akan terkesan duduk di sampingnya. Pada kenyataannya, Ratih tidak pernah terpukau oleh harta benda, materi atau kedudukan yang dimilikinya. Bahkan memintanya untuk tidak terlalu mengumbar perhatian terhadap dirinya.
Jangan mengundang gunjingan orang yang bisa menyebabkan saya kehilangan rasa nyaman lho, Pak. Saya ingin bekerja dengan perasaan tenang, begitu antara lain yang dikatakannya.
Kalau begitu izinkan aku datang mengunjungimu
t . c ke rumah supaya kita bisa mengobrol dengan bebas di sana.
Bukannya menolak, Pak. Tetapi saya jarang sekali ada di rumah. Bapak tahu sendiri kan, saya harus mengikuti kursus menjahit. Malah sekarang saya juga mulai mengikuti kursus bahasa Inggris.
Pak Dody memang mengetahui hal itu. Sekaligus juga semakin mengenal pribadi Ratih yang menyukai kemajuan dan tidak pernah puas-puasnya belajar. Susi bercerita bahwa Ratih sekarang sudah mulai bisa mengoperasikan komputer dengan cara belajar sendiri. Berbagai catatan seperti keluar-masuknya barang yang semula ditulis secara manual, kini telah dipindahkan ke komputer. Supaya lebih pandai lagi, dia sengaja minta kepadanya agar diperbolehkan pulang belakangan.
Saya ingin belajar komputer lebih mendalam lagi, Bu Susi. Ruang-ruang yang penting, biar saja tetap dikunci. Saya hanya akan memakai ruang adiministrasi. Saya berjanji untuk menjaga tempat itu baik-baik dan menyerahkan kuncinya pada Bu Mirah begitu mau pulang. Mengenai pemakaian listrik, saya bersedia dipotong gaji, begitu pinta Ratih dengan mata penuh harap, yang sulit ditolak oleh Susi. Bu Mirah yang disebut Ratih tadi adalah kakak sepupunya yang tinggal di halaman belakang pabrik. Di samping satpam, Mirah dan keluarganya ikut menjaga pabrik.
Begitulah Bu Susi pernah bercerita kepada sang adik. Jadi Pak Dody tahu bahwa Ratih memang sibuk belakangan ini. Tetapi bagaimanapun sibuknya sese-
t . c orang, pasti ada saat-saat istirahat, pikirnya. Maka hal itu dikatakannya dengan terus terang kepada Ratih.
Ya, aku tahu kesibukanmu. Tetapi masa sih tidak ada liburnya sama sekali, katanya. Sekuat apa pun semangat dan kondisi fisik seseorang, ia juga membutuhkan waktu-waktu untuk istirahat dan bersantai.
Betul, Pak. Tetapi saya tidak tahu kapan saya bisa bersantai. Sulit membagi waktu. Jangan sampai Pak Dody datang ke rumah dengan sia-sia.
Tetapi dengan pemikiran itu, justru Pak Dody sengaja datang ke rumah Ratih. Karena tidak ada telepon, perempuan itu juga tidak mempunyai ponsel, jadi untung-untunganlah, pikirnya. Kalau beruntung, ya ketemu Ratih. Kalau tidak, ya pulang.
Tetapi ternyata, dia beruntung. Ketika ia datang, Ratih sedang ada di rumah. Laki-laki itu sudah beberapa kali menurunkan Ratih di muka rumahnya. Tetapi baru kali itu ia menyaksikan sendiri kehidupan Ratih dari dekat, melihat pula bagaimana sederhana kehidupan perempuan itu.
Pak Dody tidak habis mengerti mengapa perempuan yang kehidupannya tidak begitu mulus itu masih sempat memikirkan kesulitan orang lain. Dari Susi, ia tahu bahwa Ratih pernah meminjam uang untuk Rini, rekan sekerjanya yang membutuhkan uang guna keperluan sekolah anaknya. Susi baru mengetahuinya ketika tanpa sengaja, Rini menceritakannya. Mereka semua tidak tahu betapa Ratih yang pernah mengalami kesulitan uang, tidak tega melihat orang lain mengalami apa yang pernah dirasakannya dulu di kampung.
t . c Kalau melihat wajahnya yang jelita, kalau melihat kemampuan otaknya, sebenarnya bisa saja Ratih bekerja di tempat lain dengan gaji yang lebih besar. Di night club, di kafe, atau di ruang-ruang publik lainnya yang memungkinkannya bertemu banyak orang. Tidak bisa dipungkiri, perempuan-perempuan jelita selalu mempunyai tempat untuk menjadi daya tarik orang untuk datang atau untuk membeli produk yang ditawarkan. Tetapi tidak, tampaknya Ratih lebih suka bekerja di belakang layar. Tampaknya pula perempuan itu memiliki prinsip hidup yang kuat. Kesederhanaannya menjalani kehidupan apa adanya sudah menjadi cap atau meterai dalam jiwa Ratih. Itulah yang semakin tertangkap oleh pandang mata Pak Dody.
Memang harus diakui, dia sering merasa gemas setiap gagal mengajak Ratih ke luar rumahnya, meskipun hanya untuk makan atau jalan-jalan saja. Padahal betapa banyak gadis-gadis cantik jelita, bahkan melebihi kecantikan Ratih yang jauh lebih mudah diajak keluar bersamanya. Tetapi terhadap Ratih, benar-benar dia tidak berdaya menghadapi ketangguhannya, ketika dengan halus namun dengan ketegasan yang tak tergoyahkan, lagi-lagi menolak ajakannya. Selalu saja ada jarak dan tabir yang dibentangkan Ratih di antara mereka berdua. Ratih selalu bersikap hormat kepadanya. Pak Dody tidak menyukai hal-hal semacam itu. Tetapi bukan hal mudah menyingkirkan jarak dan tabir yang direntangkan perempuan itu.
Aneh memang manusia. Semakin sulit meraih hati Ratih, semakin cintanya terhadap perempuan itu berko-
t . c bar-kobar. Perasaannya sering galau karena merindukan perempuan yang sulit tergapai olehnya itu. Oleh sebab itu, hatinya bersorak riang saat kedatangannya yang untung-untungan di suatu sore membuahkan hasil. Ratih ada di rumah.
Sore itu ketika Pak Dody membuka pintu pagar rumah, Ratih sedang menyirami tanaman di kebun mininya. Saat itu dia mengenakan gaun rumah yang sederhana namun karena warna dan modelnya sangat pantas membalut tubuhnya, ia tampak sangat segar dan menawan. Ratih sendiri yang mendesain dan menjahitnya. Pak Dody menelan ludah melihat keelokan di hadapannya itu. Rambutnya yang hitam lebat dan agak berombak terurai hingga ke punggungnya. Tampaknya baru saja dikeramas. Gambaran tentang Dewi Ratih, istri Dewa Kamajaya, yang dikisahkan sebagai bidadari yang cantik jelita dan sangat setia pada cintanya itu muncul di benak Pak Dody saat melihat Ratih.
Rasanya tepat sekali gambaran itu dianalogikan pada perempuan yang memiliki nama dan kejelitaan yang sama namun berbeda hunian itu. Dewi Ratih hidup di dunia pewayangan yang konon tinggal di kahyangan, Ratih yang sedang menyirami bunga itu seorang manusia biasa.
Silakan masuk, Pak Dody. Ratih mematikan kran air dan menghentikan pekerjaannya.
Wah, saya mengganggu kesibukan Dik Ratih nih. Ayo, kubantu menyiram. Sambil berkata seperti itu Pak Dody bergerak ke teras rumah. Antara teras ru-
t . c mah dan pintu pagar selebar semeter itu hanya berjarak sekitar dua meter lebih sedikit.
Kebetulan sudah selesai kok, Pak. Menyirami beberapa tanaman dan pot-pot yang tidak banyak jumlahnya itu, sebentar saja juga sudah selesai.
Meskipun begitu, tanamannya subur-subur sekali, Dik Ratih.
Itu karena kami beri pupuk organik buatan sendiri yang dibuat dari sampah dapur setelah memilah-milah sampah lebih dulu. Senang rasanya karena para tetangga jadi ikut-ikutan membuat pupuk kompos sendiri setelah melihat tanaman kami subur-subur. Lihat itu, Pak, tomat dan cabai kami tampak segar dan sehat sekali.
Ada nada bangga dalam suara Ratih saat menceritakan tanaman-tanamannya. Rasanya Pak Dody belum pernah mempunyai teman perempuan yang seperti Ratih, membanggakan pekerjaan sederhana seperti itu. Jenis kebanggaan teman-teman perempuannya di masa lalu, berbeda jauh. Bukan mengenai hal-hal semacam itu.
Bisa kubayangkan, tentu sangat senang memetik hasil kebun sendiri. Puas rasanya, komentar Pak Dody.
Masalahnya tidak sesederhana itu, Pak. Kepuasan yang saya rasakan lebih pada perubahan pola pikir yang dialami oleh para tetangga kiri-kanan rumah yang terus menular ke tetangga lainnya. Pertama, dengan memilah-milah sampah, volume sampah yang diangkut ke tempat pembuangan akhir berkurang. Kalau setiap ru-
t . c mah tangga melakukan hal yang sama, pasti sampah di Jakarta tidak akan bergunung-gunung banyaknya, Ratih menjawab dengan penuh semangat. Pak Dody amat senang melihat binar-binar di mata perempuan itu.
Ada yang pertama, tentu ada yang kedua, kan" tanyanya.
Oh, ya. Kedua, mereka jadi rajin menanam dari bibit yang antara lain juga didapat dari dapur sendiri. Tomat, cabai, pare, bayam, kangkung, katuk, singkong, ubi, belimbing, pepaya, pisang, bumbu-bumbu dapur seperti lengkuas, jahe, kunyit, kunci, daun jeruk purut, salam, dan lain sebagainya.
Dengan lahan seluas ini" Pak Dody menyela. Kalau yang bermacam-macam tanaman tentu membutuhkan lahan yang lebih luas. Beberapa tetangga kami mempunyai lahan yang cukup luas. Orang asli Betawi sini kan tanahnya luas-luas, Pak. Ada yang dua ribu meter persegi luasnya. Mereka akan menjualnya pada pendatang kalau butuh uang. Tetapi sebelum laku, mereka sekarang mulai tertarik untuk ikut-ikut menanam ini dan itu seperti saya dan beberapa tetangga di sini. Sekarang ini malah ada yang mulai ragu untuk menjual tanah karena tanaman mereka seperti pisang, singkong, pepaya, durian, rambutan, jambu, dan lain sebagainya bisa menjadi andalan hidup.
Wah, boleh juga pemikiran orang-orang itu. Ya. Kebetulan pula belum lama ini ada penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang terkait dengan pangan dan bagaimana memanfaatkan DAS atau Daerah Alir-
t . c an Sungai dengan menanami pohon-pohon keras guna menghindari banjir di masa-masa mendatang. Bagus sekali.
Betul. Bahkan pohon jati emas dan sengon yang tumbuh subur sudah mulai pula memberikan harapan sebagai mata pencarian di hari esok. Begitupun tanaman pangan bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Istilah kerennya, bisa memenuhi ketahanan pangan keluarga. Tidak usah yang muluk-muluk demi ketahanan pangan nasional, misalnya. Hal-hal seperti itu memberi rasa puas pada diri saya. Dengan memanfaatkan tanah agar lebih produktif dan tidak membiarkannya sebagai lahan tidur, akan ada banyak orang bertahan untuk tidak menjual tanah mereka. Kalau sudah di tangan orang, biasanya lahan-lahan itu akan beralih fungsi menjadi rumah atau bangunan yang akan menyebabkan Jakarta kekurangan tanah untuk resapan air di kala hujan.
Pak Dody sangat terkesan mendengar kata-kata Ratih. Memang bukan hal baru dan dia sering mendengarnya. Tetapi ketika secara konkret dijelaskan oleh Ratih dengan mata bersinar dan penuh semangat, hati Pak Dody amat tersentuh. Niatnya untuk membangun kolam renang di halaman belakang rumahnya yang luas, runtuh dengan seketika. Mubazir dan bahkan memboroskan air bersih yang konon di masa mendatang akan merupakan barang mewah saking sulitnya. Sumber mata air di sejumlah daerah sudah semakin habis karena kekeringan sementara jumlah manusia yang semakin banyak, pasti akan membutuhkan air yang lebih banyak pula. Namun sampai sejauh ini, ma-
t . c sih saja banyak orang yang tak menyadarinya, bahkan seperti tidak peduli. Padahal menyelamatkan bumi dan isinya bukan hanya tugas pemerintah atau yang berwewenang saja. Tetapi juga tugas warga.
Hm, menarik, gumam Pak Dody. Apakah ada yang ketiga"
Ketiga, dengan banyaknya tanaman maka penghijauan di sekitar rumah saya ini berhasil. Udara segar atau oksigen yang dikeluarkan tanaman, membuat kepengapan kampung ini berkurang. Sedikit atau banyak, bisa mengurangi polusi udara di sekitar tempat ini. Mudahmudahan akan semakin banyak tetangga lain yang meniru kami. Keempat, resapan air oleh akar-akar pohon akan menjadi reservoir air yang dibutuhkan di musim kemarau. Masih ada kelima, keenam, dan seterusnya, tetapi sayangnya saya bukan ahli tentang pangan dan lingkungan hidup. Ratih tertawa.
Tetapi lebih baik melakukan sesuatu demi lingkungan hidup, Dik.
Ya. Mari, duduk di dalam. Mobilnya diparkir di depan gang, kan"
Ya. Pandangan Pak Dody terbentur pada meja panjang beralas plastik yang terletak di sudut teras. Meja untuk apa itu, Dik"
Itu meja untuk berjualan nasi uduk. Setiap pagi, ibu saya berjualan nasi uduk. Komplet dengan lauknya. Laris, Pak. Tanpa merasa malu, Ratih bercerita mengenai sebagian kehidupannya sehari-hari.
Sekali-sekali tolong aku dibawakan nasi uduk ke pabrik dong.
t . c Boleh. Berapa bungkus"
Dua saja. Satu untukku, satu untuk Mbakyu, sahut Pak Dody. Berapa harus kubayar, Ratih" Ah, tidak usah.
Aku tidak ingin merugikan usahamu, Dik Ratih. Berkurang dua bungkus tidak merugikan dagangan kami, Pak.
Tetapi mengurangi keuntungan, kan"
Sudahlah, jangan berdebat mengenai hal sepele seperti itu. Mari, duduk di dalam. Saya kenalkan Pak Dody dengan ibu saya.
Baik. Perkenalan terjadi singkat saja. Pak Dody bersikap ramah dan baik terhadap perempuan yang disangkanya ibu kandung Ratih. Bu Marta yang memang selalu ramah terhadap siapa pun membuatkan teh manis hangat dan pisang yang kebetulan baru digorengnya. Pak Dody suka sekali. Tehnya, wangi dan sedap. Dia tidak tahu bahwa teh itu berasal dari perkebunan teh di desa dekat kampung Bu Marta dan Ratih. Bu Marta selalu titip dibelikan teh asli dari desanya itu setiap Pak Hamid pulang kampung. Pisang gorengnya juga enak karena diberi tepung dengan bumbu ala Bu Marta.
Teh dan pisangnya enak sekali. Katakan kepada ibumu, ya.
Nanti akan saya sampaikan.
Dik, maukah jalan-jalan bersamaku malam ini... ssst tunggu dulu, jangan kaupotong perkataanku. Aku ingin sekali mengajakmu nonton. Untuk itu aku sudah membeli dua tiket lho....
t . c Pak Dody, malam ini saya ingin sekali berada di rumah. Jarang-jarang saya bisa menikmati suasana santai di rumah. Jadi maaf, saya tidak bisa ikut, kata Ratih, begitu berhasil menyela perkataan Pak Dody yang diucapkan dengan cepat karena takut dipotong itu. Jadi maafkan saya....
Pak Dody tampak kecewa sekali. Dua tiket yang dibelinya ia keluarkan dari dompet dan diletakkan ke atas meja.
Yah, apa boleh buat. Tiket ini tidak terpakai. Aduh, maaf sekali lagi. Mestinya Pak Dody jangan membeli dulu, tetapi tanyakan apakah saya mau menonton atau tidak. Sayang, kan" kata Ratih yang biasa menghargai uang hasil keringat sendiri. Mahal, ya"
Yah, cukup mahal karena tiket ini adalah bentuk penggalangan dana untuk merenovasi gedung panti jompo.
Oh... Masalahnya bukan pada jumlah uangnya, Dik Ratih. Toh aku memang sudah berniat menyumbang, tetapi pada materi pertunjukannya. Jarang sekali ada tontonan wayang orang gabungan semacam itu.... Wayang orang" Lho, tiket itu bukan tiket film" Bukan. Tetapi wayang orang. Pak Dody melihat ada nyala di mata Ratih. Pasti perempuan itu menyukai pertunjukan wayang orang. Wayang itu akan dimainkan oleh tiga kelompok paguyuban. Kata yang menjual tiket, pemainnya bagus-bagus dan ada bintang tamu beberapa pelawak yang akan menjadi Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
t . c

Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ratih terdiam. Melihat itu Pak Dody tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang mulai terlihat. Dia yakin sekali, Ratih mulai tertarik.
Ayolah, Dik. Kita nonton. Sayang kalau tiket ini terbuang begitu saja. Untuk sekali ini saja manjakanlah matamu dengan melihat pertunjukan yang jarang-jarang ada itu, katanya dengan tatapan memohon. Ratih tahu, laki-laki itu juga ingin menonton wayang. Dasar orang Jawa, di mana pun keberadaannya, tak bisa lepas dari budayanya. Terutama wayang. Entah itu wayang orang, entah pula wayang kulit, begitu Ratih membatin.
Dengan pikiran itu, Ratih masih tetap terdiam. Tetapi sinar matanya menyiratkan kebimbangan yang mulai nyata. Menonton wayang di daerah, apalagi di desa, serbasederhana dengan pemain yang juga kurang istimewa karena pada siang hari mereka bekerja. Ada yang menjadi pertani, ada yang berdagang di pasar, ada yang jadi kenek, ada yang mengajar di sekolah, dan lain sebagainya. Kapan mereka sempat berlatih, bukan" Sungguh ironis. Malam hari menjadi raja, tuan putri, dan lain sebagainya dengan kulit mulus kekuningan karena dibalur bedak, kunyit, dan entah apa lagi yang mungkin berbahaya jika diserap oleh pori-pori.
Itulah realita kehidupan yang sering terjadi di Indonesia. Inilah kisah getir para seniman Indonesia yang terpaksa hadir di depan publik karena kebutuhan perut, dengan honor yang sangat minim pula. Mereka berkesenian bukan demi seni itu sendiri. Kalaupun ada idealisme demi melestarikan kesenian daerah, mereka akan berhadapan dengan berbagai tantangan. Terutama
t . c karena keteteran, jauh tertinggal dengan kesenian negara lain yang datang membanjiri pola pikir dan pola rasa anak bangsa sehingga melupakan kepribadian dan karakter bangsa sendiri.
Ayolah, Dik Ratih. Aku berjanji, lain kali kalau mau mengajakmu menonton, akan kutanyakan lebih dulu kesediaanmu. Suara lelaki itu menghapus lamunan Ratih. Pandang mata memohon itu semakin jelas terpancar dari kedua bola matanya.
Ratih menarik napas panjang, tidak tega melihat air muka Pak Dody yang begitu penuh harap.
Baiklah, tetapi kutanyakan kepada Ibu dulu apakah aku bisa meninggalkannya sendirian malam-malam, ya"
Silakan. Memang sebaiknya demikian. Atau... aku yang bilang, Dik"
Tidak usah... Suara Ratih terhenti karena Bu Marta masuk ke ruang tamu dengan membawa poci berisi teh.
Silakan kalau mau menambah tehnya, Nak, kata perempuan itu. Masih hangat.
Terima kasih banyak, Bu. Pak Dody merasa senang melihat kehadiran Bu Marta. Tanpa meminta persetujuan Ratih, segera saja ia mengatakan apa yang ada di hatinya. Kebetulan Ibu keluar. Saya ingin minta izin Ibu untuk mengajak Dik Ratih menonton. Setiap kali saya ajak, selalu saja dia menolak. Tetapi kebetulan kali ini saya mempunyai dua tiket pertunjukan wayang orang. Apakah Ibu tidak keberatan kalau malam ini saya
t . c mengajak Dik Ratih menonton dan terpaksa membiarkan Ibu nanti tinggal sendirian selama beberapa jam"
Bu Marta tertegun. Dia melayangkan tatapannya ke arah Ratih yang langsung tertunduk sehingga dia tidak tahu apakah Ratih mau diajak menonton atau tidak. Karenanya secara diplomatis ia menjawab pertanyaan tamunya itu.
Silakan saja, Nak. Saya tidak keberatan. Di rumah, saya biasa menonton televisi sambil menjahit sesuatu. Asalkan Ratih sendiri tidak keberatan, tentunya.
Bagaimana, Dik" Ibu menyerahkan keputusan kepadamu, Pak Dody ganti mengarahkan pertanyaannya kepada Ratih.
Bu Marta melayangkan lagi pandang matanya ke arah Ratih. Dia mengenal Ratih dengan baik sekali. Dia juga tahu betul bahwa menantunya itu menyukai pertunjukan wayang orang. Karenanya dia juga bisa menangkap kebimbangan yang tersirat dalam sikap Ratih. Dia pasti ingin menonton, tetapi merasa tidak enak pergi bersama lelaki yang bukan apa-apanya. Tampaknya dia membutuhkan dukungan untuk menentukan sikap.
Hati perempuan itu merasa iba. Bertahun-tahun semenjak ditinggal Hartomo, Ratih nyaris tidak pernah mengecap kesenangan. Jadi rasanya perlu untuk memberi ketenangan pada Ratih agar tidak ada rasa bersalah pada dirinya. Sekadar menonton kan bukan berarti ada apa-apa antara dia dengan laki-laki bernama Dody itu. Lagi pula kalaupun ada apa-apa, itu hak Ratih sepenuhnya. Enam tahun lamanya Hartomo pergi tanpa meninggalkan berita apa pun. Ratih tidak boleh
t . c terlalu dikuasai superegonya yang terkadang terlalu keras menguasainya, bahwa apa pun yang terjadi, seorang istri harus tetap setia kepada suami.
Ratih, pergilah, katanya kemudian dengan suara lembut. Sekali-sekali perlu juga kamu melihat suasana yang lain daripada kesibukanmu sehari-hari. Manusia bukan mesin dan bukan robot, Nduk.
Ratih mengangkat wajahnya.
Ibu tidak keberatan" tanyanya meyakinkan. Tentu saja, tidak. Pergilah, Nduk. Cepat, ganti pakaianmu. Jangan sampai terlambat. Kita sudah semakin mengenal Jakarta, yang jalan rayanya sering terjadi kemacetan, kan"
Ratih menganggukkan kepalanya, kemudian minta izin masuk ke dalam. Hati Pak Dody tersentuh melihat adegan itu. Luar biasa hubungan ibu dan anak yang begitu santun, saling menghargai dan mendukung. Lebih-lebih ketika akan pergi, Ratih memegang lembut telapak tangan Bu Marta.
Begitu pertunjukan selesai, saya akan segera pulang, Bu. Kalau Pak Dody belum telanjur membeli karcis, saya tentu lebih senang menemani Ibu di rumah, katanya dengan suara yang selembut gerak tangannya.
Ibu tahu, sahut Bu Marta sambil tersenyum. Meskipun berhasil mengukir senyum yang tulus di bibirnya, tetapi jauh di relung batinnya ia masih belum merelakan menantunya didekati laki-laki lain. Apalagi, dibawa pergi. Namun begitu mendengar perkataan Ratih, hatinya yang masih gamang itu bagai disiram air yang menyejukkan. Dia tahu betul, di balik perkataan sang
t . c menantu tersirat pesan bahwa dia pergi hanya sekadar menonton. Tidak lebih dari itu. Karenanya diantarnya pasangan itu sampai di pintu pagar.
Malam itu Ratih tampak semakin memesona dengan gaun batik yang melekat di tubuhnya. Bahan batiknya memang bukan bahan yang mahal, tetapi didesain dengan bagus sekali sehingga terlihat seperti gaun yang mahal. Dengan rambut yang disanggul sederhana dan seuntai kalung dan gelang etnik yang juga sederhana namun serasi dengan corak kain batiknya, Ratih benarbenar tampil beda, jauh dengan Ratih yang dulu ada di kampungnya.
Kau tampak luar biasa, Dik Ratih, kata Pak Dody saat mereka telah berada di jalan raya. Gaunmu bagus sekali.
Ratih tertawa kecil. Ini gaun biasa yang bahannya tidak mahal, Pak. Saya beli di Pasar Tanah Abang. Kebetulan saja saya mendapat motif yang anggun dan tampak seperti corak klasik. Saya desain sedemikian rupa supaya coraknya yang keklasik-klasikan ini lebih menonjol.
Kau mempunyai bakat di bidang rancangan busana, Dik Ratih.
Sudah saya bilang, ini kebetulan saja semuanya pas. Ya bahannya, motifnya, modelnya. Aksesorinya.... Juga orangnya. Jangan lupakan itu.
Ah, Pak Dody terlalu berlebihan.
Begitulah di sepanjang jalan itu mereka berbicara tentang bermacam hal. Tetapi karena pertunjukan baru akan dimulai satu jam mendatang, Pak Dody mengajak-
t . c nya makan di tempat yang searah dengan gedung pertunjukan. Demi kepraktisan supaya seusai menonton nanti bisa langsung pulang ke rumah, Ratih menurut. Inilah kali pertama mereka berdua duduk bersama dengan santai dan damai. Tidak ada kata-kata saling berbantah dan adu argumentasi seperti biasanya. Menyenangkan juga rasanya.
Sepanjang pertunjukan wayang orang, Ratih merasa senang dan terpukau oleh seluruh tontonan yang disajikan. Para pemainnya melakukan tugasnya dengan prima, sesuai karakter yang harus dimainkan mereka melalui tari, tembang, dan alunan suaranya. Suara Gatotkaca misalnya, berat dan berjenis bariton. Sudah begitu pakaiannya bagus-bagus dan serbagemerlap. Permainan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong-nya juga bagus. Begitupun isi lawakan mereka lucu namun mengandung makna dan sindiran halus terhadap banyak hal yang terjadi di masyarakat. Pendek kata, Ratih merasa puas sekali. Dia berpikir, untung tadi tidak bersikukuh menolak ajakan Pak Dody.
Dari buku acara yang dibagikan kepada para penonton, Ratih tahu bahwa salah satu dari kelompok wayang orang itu ada di Jakarta dan setiap malam minggu menggelar pertunjukan di gedung pertunjukan mereka, di daerah Senen. Ada alamat dan nomor teleponnya. Diam-diam dia akan menanyakan tarif karcisnya dan kalau nanti ada uang, ia akan mengajak Bu Marta menonton wayang orang. Kalau bukan pertunjukan amal seperti yang ditontonnya bersama Pak Dody malam
t . c itu, pasti tiketnya tidak mahal. Mengingat rencana yang muncul di kepalanya itu, Ratih tersenyum sendiri.
Usai pertunjukan ketika para penonton berjubel menuju pintu keluar, Ratih merasa lengan Pak Dody melindunginya dari desakan orang. Ia ingin melepaskan lengan itu dari punggungnya tetapi takut Pak Dody merasa tersinggung karena mereka berada di tengah orang banyak. Jadi begitu mereka terlepas dari desakan orang banyak, barulah Ratih menghindar dengan cara halus dan tidak kentara. Perempuan itu tidak akan pernah mengizinkan kulitnya tersentuh oleh lelaki mana pun selama ia masih menjadi istri Hartomo. Apalagi dia tadi sempat merasakan rasa nyaman terlindung oleh lengan kekar, yang membuatnya merasa marah pada dirinya sendiri.
Sejak mereka berdua menonton malam itu, Pak Dody merasa semakin kagum terhadap Ratih yang begitu santun, begitu cerdas, berbakat, begitu matang dalam bersikap, terkendali dalam mengungkapkan emosi dan begitu menghormati orangtua. Cintanya kepada perempuan itu semakin berkobar, karenanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan berusaha mati-matian untuk menaklukkan hati Ratih yang bagai batu karang itu. Akan diperlihatkannya bahwa ia mencintai Ratih dengan sungguh-sungguh.
t . c S EBAGAI tindak lanjut dari upayanya meraih hati
Ratih, Pak Dody mulai mempersering kedatangannya ke rumah perempuan itu kendati ia belum berhasil mengajaknya pergi lagi. Ada Ratih di rumah ataupun tidak, setiap kali datang ke rumahnya selalu ada saja yang dibawa oleh Pak Dody sebagai buah tangan. Buku-buku bacaan, makanan, buah, penganan ringan, masakan restoran, dan lain sebagainya. Meskipun Ratih berulang kali melarangnya, tetap saja Pak Dody membawa sesuatu sebagai oleh-oleh.
Apa sih susahnya menerima oleh-olehku, Ratih" Benda-benda itu bukan sesuatu yang hebat. Mudah didapat pula. Aku sekarang meniru gaya hidupmu kok. Tidak berlebihan dan apa adanya.
Diam-diam Ratih menghargai perubahan cara Pak Dody menjalani kehidupannya. Namun hatinya merasa
Enam t . c tidak enak karena perubahan dan sikap-sikapnya yang begitu manis dan penuh perhatian itu tidak bisa dibalasnya. Perasaan cinta laki-laki itu hanya sia-sia belaka. Ia yakin, Pak Dody mengerti itu. Tetapi tidak demikian halnya dengan Bu Marta. Ratih sudah mencium gelagat yang menunjukkan kegelisahan hati ibu mertuanya itu dan memahaminya dengan baik. Bu Marta pasti ingin mengetahui apa yang sedang terjadi dan apa pula rencana hidup Ratih di masa mendatang.
Dengan pemahaman itulah Ratih mencari kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati dengan ibu mertuanya agar perempuan itu merasa lebih tenang. Kesempatan seperti itu didapatnya ketika mereka selesai makan malam, saat Ratih melihat Bu Marta tidak menyalakan televisi seperti biasanya. Radio yang dinyalakannya juga tidak memperdengarkan lagu-lagu keroncong atau gending-gending Jawa seperti biasanya, melainkan suara-suara kenes yang menawarkan produkproduk tertentu. Biasanya kalau terlalu banyak iklan, Bu Marta akan memindahkan gelombang radionya. Tetapi kali ini, tidak. Meskipun seperti mendengarkan radio, Ratih tahu itu hanya pura-pura saja. Wajahnya yang kelihatan tua, tampak tanpa ekspresi sehingga Ratih merasa iba. Ia harus segera menguraikan apa pun yang sedang menggelisahkan hati perempuan yang sudah dianggapnya sebagai ibu kandung itu.
Kok tidak menonton televisi saja, Bu" tanyanya sambil menyusul duduk tak jauh dari Bu Marta.
Tidak ada acara yang menarik, sahut Bu Marta. Hm, dari mana dia tahu tidak ada acara yang bagus"
t . c Sejak sore tadi, televisi di ruang tengah ini hanya membisu saja.
Kalau memang tidak ada yang ditonton, apakah Ibu mau menyempatkan diri mendengarkan uneg-uneg saya" tanyanya dengan sikap wajar, seakan apa yang akan dibicarakannya hanya masalah sepele saja.
Bu Marta mengangkat wajahnya. Pandang matanya menyiratkan kekhawatiran yang semakin kentara. Pasti perempuan itu mengira akan mendengar pengakuannya bahwa ia dan Pak Dody sudah menjalin hubungan cinta dan bermaksud menyelesaikan urusan perkawinannya dengan Hartomo.
Tentang apa, Nduk" tanya Bu Marta dengan suara letih.
Ratih menarik napas panjang. Hatinya semakin iba kepada Bu Marta. Memang sekarang ini saat yang tepat untuk membuka masalah yang pasti sedang mengganjal perasaan mertuanya itu.
Tentang Pak Dody, sahut yang ditanya dengan suara yang sengaja diupayakannya seringan mungkin. Sebenarnya sudah beberapa waktu yang lalu saya ingin membicarakannya dengan Ibu. Tetapi baru sekarang sempatnya.
Kenapa dengan Pak Dody, Ratih" Bu Marta bertanya lagi dengan kekhawatiran yang semakin jelas tertangkap oleh telinga Ratih.
Bu, bagaimana ya cara menolak kebaikan Pak Dody" Tolong saya diberi jalan. Dia sering sekali memaksa untuk mengantar saya pulang atau ke tempat kursus begitu jam kerja usai. Sudah saya tolak, dia me-
t . c maksa terus sehingga saya terpaksa masuk ke mobilnya. Kalau saya terus menolak dan berbantah kata di halaman pabrik, kan jadi tontonan orang banyak.
Bu Marta terkejut mendengar cerita itu. Dari sikap dan isi bicara Ratih, tampaknya tidak ada apa-apa di antara Pak Dody dan menantunya itu. Setidaknya, belum ada apa-apa. Kenyataan itu cukup menyejukkan perasaan Bu Marta yang belakangan ini sering terasa resah.
Kau sendiri sudah melakukan apa untuk menolak kebaikannya" tanya Bu Marta, penuh rasa ingin tahu.
Saya pernah mengatakan supaya kebaikannya itu juga diberikan kepada karyawan pabrik lainnya. Tetapi dia malah tertawa. Katanya, tidak ada kewajiban baginya untuk mengantar mereka. Dia hanya ingin mengantar saya. Begitu katanya, Ratih menjawab sesuai kenyataannya.
Lalu..." Lalu saya mulai protes. Kalau Pak Dody ingin supaya saya bisa bekerja dengan nyaman, jangan lagi mengantar saya pulang, begitu kata saya. Saya juga bilang bahwa di pabrik sudah mulai timbul bisik-bisik mengenai kami. Kali itu, Pak Dody menurut. Tetapi sebagai gantinya, dia sering datang ke rumah dan selalu saja dengan membawa macam-macam oleh-oleh. Bahkan seperti waktu itu, dia sengaja membawa tiket pertunjukan sehingga saya sulit menolaknya. Sebenarnya Pak Dody itu baik orangnya, Bu. Ramah, sabar, tidak sombong, dan penuh perhatian. Tetapi ah, saya malah merasa risi. Ibu kan sudah lebih luas pandangannya dan le-
t . c bih banyak pengalaman. Nah, apa yang harus saya lakukan untuk menolak kebaikan itu tanpa membuatnya sakit hati" Apakah Ibu mempunyai pendapat" Lagi-lagi Ratih menunjukkan sikap bahwa dari pihaknya tidak ada perasaan apa-apa terhadap Pak Dody.
Sekali lagi Bu Marta terkejut. Tetapi perasaannya semakin tenang karenanya. Rupanya selama ini ia terlalu khawatir. Ratih masih belum berubah. Tetapi ia ingin meyakinkannya lebih dulu, siapa tahu ia keliru.
Sebelum kujawab, bolehkah Ibu tahu tentang suatu hal" tanyanya.
Tentu saja boleh, Bu. Apakah Pak Dody pernah menyatakan cinta kepadamu"
Ya, pernah, Ratih menjawab terus terang. Pipinya tampak memerah.
Lalu apa jawabmu" Maaf, Ratih, jangan tersinggung. Ibu cuma ingin melihat masalah yang kauhadapi dengan lebih jelas supaya bisa menjawab pertanyaanmu tadi dengan tepat.
Aduh, Ibu, masa sih saya tersinggung" Waktu Pak Dody menyatakan perasaannya, ya saya jawab apa adanya bahwa saya tidak bisa menerimanya. Ada banyak jurang di antara kami, begitu kata saya kepadanya. Jurang apa"
Latar belakang keluarganya kan berbeda dengan diri saya. Mereka keluarga ningrat, berharta, berkedudukan, dan sukses. Saya memintanya agar ia mencari seseorang yang sejajar dan lebih layak untuknya. Lalu apa komentarnya"
t . c Dia marah. Tetapi saya tetap bersikap tegas dan saya katakan padanya bahwa saya hanya bisa menganggapnya sebagai adik majikan saya atau sebagai kenalan baik.
Apakah dia tahu bahwa kau sudah menikah" Sepertinya begitu karena banyak di antara temanteman sekerja di pabrik yang mengetahuinya. Tetapi mereka tahunya, saya ini janda. Hal itu saya biarkan saja, Bu. Malu... ditinggal pergi begitu saja oleh suami... seakan saya mempunyai kesalahan yang tak termaafkan....
Bu Marta merasa matanya menjadi panas ketika mendengar kata-kata yang diucapkan Ratih dengan nada getir itu. Dia mengetahui persis bagaimana perasaan Ratih. Status yang tidak jelas seperti itu pasti mengundang banyak sekali spekulasi. Bahkan bisa menjadi gosip. Kasihan sungguh menantunya itu.
Ibu mengerti, katanya dengan suara mulai bergetar.
Mendengar getar suara itu Ratih merasa menyesal telah menyuarakan perasaannya. Pasti perempuan setengah baya itu merasa ikut bersalah atas perbuatan anaknya yang menelantarkan istri hingga bertahun-tahun lamanya. Lekas-lekas Ratih memperbaiki suasana yang bisa mengait air mata itu.
Barangkali di situ letak jawabannya ya, Bu. Saya harus mengatakan sendiri kepada Pak Dody bahwa sampai saat ini saya masih berstatus sebagai istri seseorang. Tetapi... ah... bagaimana, ya" Perkataan Ratih terhenti oleh lintasan pemikiran lain yang tiba-tiba ber-
t . c seliweran di benaknya. Diam-diam dia marah pada diri sendiri karena lebih cepat kata-kata keluar dari mulutnya daripada oleh hasil rasionya. Bu Marta pasti akan mendesakkan pertanyaan atas perkataannya yang terhenti di udara tadi. Benar saja.
Tetapi kenapa, Ratih" Ayo, katakan saja. Ibu tidak apa-apa kok kalau kamu ingin mengeluarkan perasaan dan pikiranmu, kata Bu Marta dengan nada mendesak.
Yah... kalau saya bercerita kepada Pak Dody mengenai kenyataan sebenarnya... apakah dia tidak menilai rendah pada Mas Tomo" Terpaksalah Ratih berbicara apa adanya. Ternyata sulit menyembunyikan sesuatu dari ibu mertuanya itu.
Bu Marta terdiam. Hatinya bagai diremas-remas. Kasihan Ratih, pikirnya. Umurnya belum lagi genap seperempat abad tetapi masa depannya tampak gelap. Istri, bukan. Janda, juga bukan. Untuk menjalin hubungan cinta dengan laki-laki lain, dia merasa dirinya tak pantas. Namun untuk mengatakan kenyataan sebenarnya, Ratih tidak mau suaminya direndahkan orang. Ingin sekali Bu Marta membantu apa pun yang bisa dilakukannya demi kebahagiaan Ratih.
Ratih, terlepas dari pemikiran-pemikiran yang tidak menyenangkan itu, bolehkah Ibu mengetahui perasaanmu yang sesungguhnya kepada Pak Dody" Maksudku, andaikata perbedaan latar belakang keluarga dan hambatan-hambatan lainnya itu tidak ada, apakah ada perasaan cinta di hatimu terhadap Pak Dody" Jangan malu atau merasa tidak enak terhadap Ibu, Nduk. Kamu
t . c sudah kuanggap sebagai anak kandungku. Bukan lagi menantuku. Jadi katakan saja kenyataan sebenarnya dengan terus terang, katanya, lama kemudian.
Mendengar pertanyaan Bu Marta, Ratih menatap bola mata ibu mertuanya itu lurus-lurus dengan pandang mata meyakinkan.
Ibu, bagaimana mungkin saya bisa mencintai lelaki lain kalau cinta saya sudah telanjur dibawa pergi oleh Mas Tomo, sahutnya mantap.
Meskipun Bu Marta bagaikan mencium beribu wangi bunga yang berhamburan dari mulut Ratih saat menyatakan cintanya yang teguh terhadap Hartomo, namun ia tidak berani bergembira. Kebahagiaan Ratih harus menjadi tujuan utama.
Ratih, kau jangan salah mengerti. Pertanyaanku tadi justru dilandasi oleh keinginanku untuk melihatmu berbahagia dan tidak lagi menyia-nyiakan masa depanmu dengan menunggu sesuatu yang tidak jelas. Kalau memang kamu mencintai Pak Dody, Ibu tidak keberatan. Laki-laki itu benar-benar baik dan bertanggung jawab. Ibu yakin, di tangannya kau tidak akan mengalami susah. Ibu bisa melihat, dia benar-benar sangat mencintaimu.... Bu Marta menghentikan bicaranya ketika melihat Ratih tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Hati Bu Marta berdenyut karenanya. Itu bukan kebiasaan Ratih. Perempuan itu jarang sekali menangis. Palingpaling hanya matanya yang berkaca-kaca kalau ada sesuatu yang menyedihkan perasaannya.
Kenapa menangis, Nduk" Apakah ada perkataan Ibu yang membuatmu sedih" tanya Bu Marta, gelisah.
t . c Ia pindah duduk mendekati Ratih dan mengelus-elus rambutnya dengan hati iba.
Ibu... kenapa Ibu belum juga mengerti... isi hati saya, sahut Ratih di antara sedu sedannya. Ibu tahu, kenapa saya bersikeras ingin sekali pindah ke Jakarta" Itu karena saya ingin mencari kebahagiaan, karena kebahagiaan satu-satunya hanyalah bertemu dan hidup di sisi Mas Tomo kembali. Bukan dengan laki-laki lain, sebaik apa pun dia....
Mendengar curahan perasaan Ratih, habis sudah benteng pertahanan hati Bu Marta. Dia tidak lagi mampu menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja ia menangis menggerung-gerung.
Oh, Allah... Oh, Gustiku... beginikah kiranya anakku Hartomo" Ya Tuhan... anak itu benar-benar tidak tahu diuntung... tega-teganya dia meninggalkan istri yang sedemikian mencintai dan setianya. Tega-teganya dia meninggalkan ibu kandungnya sendiri. Tega-teganya dia melupakan kewajiban dan tanggung jawabnya. Oh... Gustiiii, beri ingatan yang waras kepada anakku itu. Kenapa Kau tidak kasihan kepada kami, Gusti" serunya di antara tangisnya.
Melihat Bu Marta hampir histeris, tangis Ratih langsung menguap. Cepat-cepat ia mendekap tubuh perempuan itu dengan perasaan cemas.
Ibu... Ibu... sabar, Ibu. Sabar..., keluhnya sambil menciumi pipi Bu Marta yang basah kuyup. Ingat diri, Ibu. Aduh, Ibu. Sadarlah, ucapkanlah ampun kepada Tuhan dengan hati pasrah. Cukup, Ibu. Jangan ber-
t . c teriak-teriak lagi. Hari sudah mulai malam... nanti didengar para tetangga.
Bu Marta masih saja menangis keras sehingga Ratih melompat ke arah meja untuk mengambil segelas air putih dari kendi yang dibawanya dari kampung. Kemudian diulurkannya gelas itu ke depan bibir sang mertua.
Minumlah, Bu. Tenang... tenang, sabar... ucapkan ampun kepada Tuhan. Jangan menghujat Tuhan, katanya dengan suara halus, penuh bujukan. Ayo, Bu. Minumlah beberapa teguk.
Bu Marta menurut. Setelah minum air sejuk dari kendi, berangsur-angsur tangisnya menghilang. Kemudian dengan suara bergetar ia mengucapkan ampun kepada Tuhan sambil mengurut dadanya berulangulang, mengusir rasa sesak yang tadi sempat menguasai dirinya. Setelah mereka berdua merasa lebih tenang, Ratih meminta sang ibu mertua untuk beristirahat di kamar.
Sekarang beristirahatlah, Bu. Lupakan kejadian tadi. Asal Ibu tahu bahwa hati saya masih tetap sama seperti ketika di kampung, cukuplah. Radionya dibawa masuk dan carilah gending-gending Jawa untuk pengantar tidur Ibu, katanya dengan suara lembut. Seperti tadi, Bu Marta menurut.
Pagi harinya Ratih melihat keadaan Bu Marta sudah kembali seperti biasa. Bahkan tetap membuat nasi uduk kendati dilarang. Maka ketika Bu Marta meyakinkannya bahwa dia tidak apa-apa dan kehidupan harus tetap berjalan seperti biasa, Ratih terpaksa mengiyakan.
t . c Kamu tidak usah menguatirkan Ibu, kata perempuan itu sambil tersenyum menenangkan. Kalaupun harus lembur, lakukanlah. Ibu tahu, mendekati Lebaran ini pekerjaanmu bertambah banyak.
Ratih merasa lega mendengar perkataan Bu Marta. Ia sudah merencanakan untuk membolos dari kursusnya karena ingin melanjutkan usahanya belajar komputer. Jadi sore itu sesudah pabrik tutup, Ratih langsung masuk ke ruang administrasi. Ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Sampai petang ia masih berkutat di muka komputer untuk memahami dengan lebih baik cara kerjanya. Bermanfaat sekali apa yang didapatnya dari kursus bahasa Inggris yang diikutinya. Saat itu kecuali satpam di luar, pabrik dalam keadaan sepi. Hanya sesekali terdengar suara-suara dari arah tempat tinggal Bu Mirah yang terletak di belakang pabrik, di halaman yang sama ini. Karenanya ia terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara Pak Dody masuk ke ruangan.
Sudah kusangka Dik Ratih ada di sini, kata lakilaki itu sambil mendekati tempat Ratih sedang duduk.
Ah, Pak Dody mengejutkan aku. Memangnya kenapa mencariku" Tanpa menoleh, Ratih bertanya.
Aku tadi mencari-carimu di antara karyawan yang berbondong-bondong pulang, tetapi Dik Ratih tidak ada. Aku ingin mengantarmu pulang, jawabnya.
Kan sudah saya katakan, jangan mengundang perhatian dan bisik-bisik orang, tegur Ratih terus terang. Tetapi hari ini hari istimewa, Dik.
t . c Istimewanya" Mmm... hari ini hari ulang tahunku, Dik. Aku ingin mengajakmu makan malam. Mau, ya" Sekali ini sajalah sebagai hadiah ulang tahunku.
Ratih menoleh. Mungkin untuk sekali ini bolehlah ia menuruti ajakan Pak Dody sebagai tanda perhatiannya. Sudah cukup banyak laki-laki itu membantunya. Antara lain ketika Bu Marta jatuh terkilir dan kakinya bengkak sekali. Kebetulan laki-laki itu datang. Melihat keadaan Bu Marta, ia memaksa untuk mengantar ke dokter. Dia pula yang membayar seluruh biaya pengobatan dan marah sekali ketika Ratih memaksa membayar sendiri. Singkat kata, Ratih merasa perlu membalas kebaikan laki-laki itu meski hanya untuk ikut merayakan hari ulang tahunnya.
Siapa saja yang Pak Dody ajak makan" Bu Susi" Hanya kita berdua saja. Keluarga sudah merayakannya tadi siang di rumah orangtuaku. Bagaimana, mau ya"
Untuk sekali ini saja ya, Pak" Saya tidak ingin mereka-mereka yang kebetulan melihat kita mengira ada apa-apa di antara kita berdua.
Oke. Tetapi saya memberitahu Ibu dulu, ya, kata Ratih sambil bangkit dari tempat duduknya.
Mau ke mana" Menelepon dari telepon umum di depan. Pakailah HP-ku saja.
Aduh, Pak, saya tidak tahu caranya. Ratih menertawakan dirinya sendiri. Tolong diteleponkan dulu ke
t . c rumah tetangga sebelah, nanti kalau sudah tersambung, saya yang akan bicara. Ini nomornya.
Ketika mendengar Ratih berbicara kepada tetangganya dan minta bantuannya agar mengatakan kepada ibunya bahwa ia harus lembur, muncul keinginan Pak Dody untuk memasang telepon di rumah Ratih sekaligus juga membelikan ponsel untuknya. Dia tahu, Ratih pasti protes keras. Tetapi kalau nanti diberi alasan bahwa memasang telepon rumah tidak mahal dan ponsel sangat penting untuk berkomunikasi mengingat Bu Marta hanya sendirian di rumah, pasti Ratih akan menerimanya juga. Sama seperti ketika ia membelikan mesin cuci, setelah mengetahui repotnya Ratih dan juga Bu Marta mencuci pakaian dengan tangan.
Tetapi biarkan saya mencicil setiap bulan ya, Pak" Jangan ditolak lho. Saya dan Ibu sama-sama tidak suka menyimpan utang budi, begitu Ratih memberi syarat yang tidak bisa ditolak sehingga Pak Dody terpaksa membiarkannya demi melegakan hati perempuan itu.
Usai menelepon, Ratih mengembalikan ponsel milik Pak Dody. Tanpa sengaja, tangan mereka saling bersentuhan. Untuk sedetik lamanya Pak Dody lupa diri. Tangan Ratih diraihnya untuk kemudian diciuminya dengan lembut dan mesra. Tentu saja Ratih terkejut dan langsung menegurnya.
Pak... jangan menodai persahabatan kita, katanya dengan suara agak bergetar. Belum pernah ia diperlakukan semesra itu oleh Hartomo.
Maaf... aku tidak tahan melihat betapa halus dan
t . c mulusnya kulit tanganmu, sahut Pak Dody terus terang. Sekali lagi, maaf.
Lupakan... Yah, lupakan. Ratih berkata pada dirinya sendiri. Perbuatan Pak Dody yang belum pernah diterimanya dari Hartomo maupun dari laki-laki mana pun itu sempat membuat darahnya berdesir. Rindu sekali ia diperlakukan mesra oleh suaminya yang sekarang entah ada di mana itu.
Mereka makan malam di sebuah rumah makan yang nyaman tempatnya dan lezat masakannya. Pak Dody memilih meja di taman dengan lampu artistik dan pohon-pohon yang dikalungi lampu-lampu kecil warnawarni. Suasananya sangat romantis sehingga lagi-lagi kerinduan Ratih kepada Hartomo terasa semakin menggigit hatinya. Lebih-lebih karena Pak Dody memperlakukannya secara istimewa dengan mengambilkan ini dan itu seakan dia seorang ratu. Segala sesuatunya berjalan lancar dan menyenangkan malam itu.
Sayangnya ketika dalam perjalanan menuju rumah Ratih jalanan macet. Ada mobil boks terguling dan sedang disingkirkan. Mobil mereka harus berjalan selangkah demi selangkah.
Wah, kita bisa kemalaman nih, kata Pak Dody. Maafkan aku, ya"
Ratih melihat arlojinya. Baru jam delapan lewat empat menit. Tidak perlu minta maaf, bukan salah Pak Dody kok, katanya kemudian.
Tetapi rasanya ada yang perlu minta maaf lho. Pak Dody tertawa.
t . c Oh ya" Siapa" Saya, ya"
Tidak sadar ya, sejak tadi Dik Ratih belum memberi ucapan selamat ulang tahun kepadaku.
Ya ampun, maaf, maaf. Keterlaluan sekali saya ini. Ratih tertawa. Tangannya langsung terulur ke arah Pak Dody. Saat itu mobil sedang terhenti, menunggu antrean panjang dari arah sebaliknya karena jalan raya hanya bisa dipakai satu jalur sehingga harus bergantian, sementara para petugas sedang berupaya menyingkirkan mobil boks yang terguling di depan sana.
Pak Dody tersenyum, menyambut tangan Ratih. Tanpa sadar, kedua pasang mata mereka bertatapan dalam gelap. Tanpa bisa menahan dirinya, Pak Dody menarik lembut tangan Ratih sehingga perempuan itu terdorong ke arahnya. Kemudian oleh dorongan cintanya yang sedang menggelegak, laki-laki itu pun lupa diri lagi. Ia mencium bibir Ratih dengan sepenuh perasaannya. Penuh kasih, lembut, hangat, dan mesra.
Untuk beberapa saat lamanya Ratih terlena. Ia merasakan adanya ketulusan, kemesraan dan kasih di dalam kecupan bibir lelaki itu. Suasana romantis di rumah makan tadi masih menguasai perasaannya. Apalagi di sepanjang usia perkawinannya dengan Hartomo belum pernah ia mengalami ciuman yang seperti itu. Ciumanciuman Hartomo nyaris tanpa perasaan, beda sekali dengan ciuman Pak Dody. Karenanya ia menjadi lupa diri. Lengannya terulur dan memeluk leher Pak Dody agar ciuman itu jangan berhenti. Senang rasanya membayangkan ciuman itu dilakukan oleh Hartomo dan ia mulai merangkai khayalan seakan sang suami memeluk-
t . c nya dengan erat dan melanjutkan ciuman dan kecupannya itu ke dagunya, ke lehernya, ke bahunya dan turun lagi... ke...
Stop. Ratih memarahi dirinya dan segera membuka matanya agar khayalan tadi lenyap untuk kemudian mendorong dada Pak Dody sehingga adegan mesra itu terhenti dengan seketika.
Lelaki itu pun tersadar karenanya.
Aduh... maafkan aku, Dik Ratih, katanya dengan suara parau.
Ratih tertunduk. Malu sekali dia pada dirinya sendiri.
Bukan salahmu saja, Pak Dody. Aku juga ikut bersalah, sahutnya dengan suara gemetar menahan tangis. Bahkan aku yang harus minta maaf kepadamu karena... karena aku sempat membayangkan suamiku yang tadi memesraiku. Maaf... maafkan aku ya, Pak"
Pak Dody tertegun. Polos dan jujur sekali perempuan satu ini. Meskipun hatinya agak kecewa, tetapi ia bisa mengerti keadaan Ratih.
Sudahlah, lupakan. Kita berdua sama-sama khilaf. Tetapi karena kau tadi sudah menyinggung suamimu, bolehkah aku tahu kenapa kalian bercerai" Kalau melihat sikap dan apa-apa yang tersirat darimu, tampaknya kau masih mencintainya. Maafkan aku kalau terlalu lancang ingin mengetahui kehidupan pribadimu, Dik.
Ratih teringat pada percakapannya dengan Bu Marta kemarin. Sebaiknya ia berterus terang mengenai kehidupan perkawinannya. Masalah bagaimana Pak Dody menilai, itu haknya. Keterbukaan lebih penting daripa-
t . c da hal-hal lainnya agar Pak Dody bisa mengambil sikap. Seburuk apa pun perkawinannya dengan Hartomo, pada kenyataannya ia toh masih berstatus sebagai istrinya. Hitam di atas putih, belum ada yang mengubahnya.
Pak Dody, sesungguhnya saya belum bercerai dengan suami. Sampai saat ini status saya masih sebagai istrinya, sahutnya kemudian.
Oh... Pak Dody terkejut. Tetapi apa yang terjadi& "
Suami saya ingin mencari penghidupan yang lebih baik. Ia pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Tetapi sampai hari ini, ia tidak pernah pulang ke kampung kami. Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya.& Ya, Tuhan. Sudah berapa lama"
Cukup lama. Ratih tidak ingin menceritakan bahwa sekarang ini sudah enam tahun lamanya ia ditinggal pergi Hartomo. Khawatir kalau-kalau Pak Dody menilai buruk kelakuan suaminya itu. Khawatir pula kalaukalau Pak Dody mengatakan bahwa ia berhak membatalkan perkawinan karena selama bertahun-tahun tidak diberi nafkah lahir dan batin. Tanpa berita pula. Dik Ratih tidak berusaha mencarinya" Sudah. Justru karena itulah saya dan Ibu menyusul pindah ke Jakarta. Memang kami akui, kepindahan kami ke Jakarta merupakan tindakan yang bodoh karena tahu Jakarta kota yang sangat besar. Apalagi setelah menyaksikan sendiri betapa luasnya kota ini. Tetapi, daripada berdiam diri hanya menunggu dan menunggu kan lebih baik kami yang menjemput bola.
t . c Lalu, apa hasilnya" Maafkanlah saya, Pak. Hal-hal lainnya mengenai kehidupan pribadi saya cukup sekian saja yang Pak Dody ketahui. Ada hal-hal yang tidak bisa saya ceritakan, sahut Ratih. Yah, mana mungkin ia bercerita tentang berita tak enak mengenai Hartomo yang didengarnya dari Wisnu. Mana mungkin pula ia bercerita bahwa selama berbulan-bulan sebelum akhirnya bekerja di perusahaan Bu Susi, ia hampir putus asa karena uang penjualan tanah di kampung semakin menipis dari hari ke hari.
Baik. Tidak apa-apa. Saya hormati keinginanmu, Dik Ratih, kata Pak Dody dengan suara lembut.
Terima kasih atas pengertian Pak Dody, sahut Ratih lagi dengan tulus.
Dalam banyak hal, memang Pak Dody mempunyai banyak kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki Hartomo. Laki-laki itu bisa diandalkan. Laki-laki itu bisa menjadi tumpuan hidup dan tumpuan hatinya. Begitu Ratih berpendapat. Tetapi sayang seribu sayang, tidak sedikit pun Ratih tertarik kepadanya. Dalam hal ini Ratih tidak memahami dirinya sendiri. Mengapa dia tak mampu bersekutu dengan realita" Mengapa masih saja ia bermimpi seakan Hartomo akan segera pulang dan memeluknya dengan penuh kerinduan untuk kemudian melimpahinya dengan kebahagiaan lahir-batin"
Akan halnya Pak Dody, sejak mengetahui status Ratih ia tidak lagi berani bersikap sembrono. Namun dari air mukanya yang teduh dan sejuk, dari sinar matanya yang lembut dan mesra, Ratih tahu bahwa cinta
t . c laki-laki itu tidak pernah berubah karenanya. Bahkan tampak lebih matang dengan sikapnya yang hati-hati dan terkendali. Dari Bu Marta, Ratih tahu bahwa Pak Dody datang ke rumah pada siang hari pada jam kerja saat ia masih di pabrik. Ibu mertuanya itu bercerita bahwa laki-laki itu sengaja datang menemuinya hanya untuk mengatakan kenyataan yang ada.
Saya yakin, Ratih tentu pernah bercerita kepada Ibu bahwa saya mencintainya, begitu antara lain kata Pak Dody yang diceritakan oleh Bu Marta kepada Ratih. Saya harap, Ibu tidak usah khawatir karenanya. Saya sudah tahu bahwa saat ini statusnya masih sebagai seorang istri dan saya tidak akan melanggar tata aturan yang semestinya. Tetapi izinkanlah saya mencintainya dengan cara saya sendiri. Entah di suatu saat nanti cinta itu bisa bersambut ataukah tidak, saat ini tidak saya pentingkan. Jodoh ada di tangan Tuhan.
Lalu apa yang Ibu katakan kepadanya" tanya Ratih setelah mendengar cerita Bu Marta.
Kukatakan kepadanya bahwa kalian bisa menjalin hubungan persaudaraan yang tulus. Cinta kan tidak harus direalisasikan ke dalam perkawinan. Bahkan ada banyak kasus yang katanya cinta menggebu-gebu, namun baru menikah beberapa tahun saja sudah ada orang ketiga.
Manjur ataukah tidak kata-kata Bu Marta waktu itu, yang jelas Pak Dody menunjukkan kasih persaudaraannya dengan meminta Telkom memasang telepon di rumah Ratih. Saat itu Ratih juga masih ada di tempatnya bekerja. Ketika Bu Marta menolak, laki-laki itu
t . c mengatakan bahwa telepon sangat penting di Jakarta ini. Ada banyak kegunaannya, terutama saat-saat dibutuhkan.
Ratih sering merasa khawatir kalau terlalu lama meninggalkan Ibu. Dengan adanya telepon, dia bisa menghubungi Ibu kapan saja. Biaya pemasangan telepon ini tidak mahal, Bu. Ibu tidak perlu merasa sungkan. Ini demi Ratih, agar dia bisa bekerja atau pergi ke tempat kursusnya dengan lebih tenang. Kita juga tidak perlu lagi membuat tetangga sebelah rumah yang punya telepon itu jadi repot, begitu cerita Bu Marta kepada Ratih mengenai apa-apa yang dikatakan oleh Pak Dody kepadanya.
Bersamaan dengan pemasangan telepon itu Ratih menerima ponsel dari lelaki itu. Karena tidak ingin Bu Marta tertekan oleh perasaan tak enak dan utang budi, Ratih mengatakan barang itu dibelinya sendiri.
Mencicil kok, Bu. Ya, ia memang akan mencicil pada Pak Dody, boleh ataupun tidak boleh. Mahal ya, Nduk"
Tidak, Bu. Ini jenis yang paling sederhana, dustanya. Padahal ia tahu, ponsel itu cukup mahal.
Singkat kata, Ratih semakin tahu bahwa Pak Dody memang mencintainya dengan caranya sendiri. Pikirnya, kalau saja cintanya belum telanjur diserahkannya kepada Hartomo, pasti ia akan menerima Pak Dody sebagai kekasih hatinya. Masalah kesenjangan latar belakang keluarga, itu bukan sesuatu yang terlalu besar. Soal kepriyayian tidak harus ada di dalam darah dan keturunan saja. Namun juga dalam budi pekerti, sopan santun, dan
t . c moralitas. Dan hal-hal seperti itu, Ratih sudah memilikinya karena ia selalu menyerap nilai-nilai budaya dan apa saja yang memiliki nilai-nilai tinggi dalam kehidupan ini. Lagi pula, andaikata mereka saling mencintai, apa pun akan mereka hadapi bersama. Tetapi pada kenyataannya, cinta itu hanya ada pada hati lelaki itu saja. Bukan cinta timbal balik bersamanya. Jadi, tidak perlu dipikirkan. Begitu, hati Ratih berkata.
Dalam kehidupan ini, menyembunyikan rasa benci lebih mudah daripada menyembunyikan perasaan cinta dan kasih. Hal itulah yang tidak disadari oleh Ratih dan Pak Dody. Kendati mereka jarang bertemu di pabrik, tetapi selalu ada saja telinga yang mendengar lakilaki itu menelepon Ratih. Bahkan kalau hari hujan, ada saja mata yang melihat mobil Pak Dody sengaja menjemput dan mengantar pulang Ratih. Kalau Pak Dody datang untuk menjumpai Bu Susi, selalu saja laki-laki itu menyempatkan diri untuk singgah di meja Ratih. Matanya yang lembut dan mesra mudah tertangkap oleh siapa saja kendati sikapnya tampak biasa-biasa. Hal-hal seperti itulah yang semakin sering terlihat oleh para karyawan Bu Susi.
Memang kalau sedang sial, selalu ada saja yang bisa dihubung-hubungkan oleh orang yang kebetulan melihat atau mendengar tentang mereka berdua. Bahwa penampilan Ratih sekarang tampak jauh berbeda dengan ketika baru mulai menjadi karyawan di pabrik itu, orang sering mengaitkannya dengan Pak Dody. Nyaris tidak ada yang berpikir bahwa hal itu karena tuntutan keadaan. Pertama, karena Ratih bekerja di pabrik pa-
t . c kaian jadi. Kedua, Ratih bukan orang yang menganggap mode dan penampilan tidak penting karena sadar bahwa ia hidup bersama orang lain. Apalagi di kota besar. Siapa yang menghargai kita kalau bukan diri sendiri" Begitu menurut pemikirannya. Ketiga, sejak mengikuti kursus menjahit dan belajar merancang busana, Ratih senang sekali mencoba-coba mendesain model pakaian dan menerapkan pada dirinya. Keempat, setelah ia terjun menangani masalah busana, ternyata penampilan yang modis tidak identik dengan kemewahan dan barang mahal. Hal itulah yang ingin ditunjukkannya kepada orang. Dari bahan yang murah, seseorang bisa tampil penuh gaya. Bahkan di situlah justru letak seninya, pikir Ratih. Mata harus jeli untuk menangkap sesuatu yang biasa-biasa saja menjadi luar bisa.
Ratih lupa bahwa tidak semua orang mempunyai pemikiran dan pandangan sama. Penampilannya, ponselnya yang baru, kepercayaan yang diberikan Bu Susi kepadanya, dan keinginannya untuk belajar komputer sering dihubungkan oleh rekan-rekan sekerjanya dengan lelaki itu. Desas-desus yang semula bertiup di sekitar Endang yang merasa iri kepada Ratih, mulai menyebar ke mana-mana. Sesekali ada saja teman yang iseng menggoda Ratih dan menyebabkannya merasa tak enak.
Tumben tidak diantar" Atau: Wah, cantik sekali kamu hari ini, Ratih" Nanti sore mau ada acara dengan seseorang yang khusus, ya"
Semula Ratih menganggap semua itu bagai angin lalu belaka dan ia menanggapinya secara diplomatis.
t . c Tetapi ketika tanpa sengaja ia mendengar gosip tentang dirinya, ia tak lagi bisa menahan diri.
Rajin belajar komputer, rajin memperlihatkan keahliannya, itu kan ada maunya..., begitu telinganya mendengar dua orang sedang bergosip di balik lemari, tanpa mengetahui Ratih ada di dekat mereka.
Lha iyalaaah, sahut yang lain. Itu pasti. Lihai sekali cara pendekatannya. Halus, lembut, tidak banyak bicara, dan tanpa kentara.
Endang salah langkah sih. Terlalu kentara dan pendekatannya pada Pak Dody agak kelewatan. Tidak semua laki-laki mudah tergoda dengan cara-cara mengundang seperti itu. Sedangkan Ratih...
Cukup, pikir Ratih sambil bergegas pergi dengan diam-diam. Iri, dengki, kalah bersaing, merasa tak mampu, dan berbagai perasaan semacam itu memang mudah sekali menyulut kebencian dan penilaian subjektif yang tidak akurat. Bahkan bisa menjadi fitnah. Ratih mulai tak tahan berada dalam situasi demikian justru di tempat pekerjaan yang disukainya. Itulah yang membuatnya merasa amat tertekan.
Untungnya cukup banyak teman lain yang baik kepadanya, yang mampu memilah urusan pribadi dengan pekerjaan dan pertemanan. Mereka sering makan siang bersama di saat jam istirahat. Mereka sering mengobrol macam-macam, bahkan mendiskusikan tentang modelmodel pakaian.
Memang sebaiknya kita tidak ikut-ikutan latah meniru model pakaian yang sedang jadi mode sekarang
t . c ini. Orang akan bosan, tidak ada kekhasan, akibatnya produk kita kurang laku, begitu pendapat Bu Ina.
Ya, sahut Ariati, teman lainnya. Kitalah yang seharusnya bisa menciptakan model pakaian yang akan menjadi trend di masyarakat.
Aku setuju, komentar Ratih sambil tersenyum. Tetapi yah, kita kan harus menurut aturan dan selera pemilik. Sudahlah, jalani saja dan cintailah pekerjaan kita. Toh tidak semua model pakaian yang dibuat di pabrik tidak sejalan dengan selera kita.
Begitulah antara lain yang mereka bicarakan. Bukan tentang hal-hal yang bersifat pribadi. Itulah pula yang agak menghibur kesesakan hati Ratih sehingga ia mampu melalui hari demi hari untuk tetap bekerja di situ tanpa terlalu terganggu oleh masalah-masalah pribadinya.
Maka hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan pun berlalu dengan cepat, secepat bumi berputar.
t . c D I suatu jalan yang banyak ditebari pohon-pohon
rindang di kiri-kanannya, duduk seorang laki-laki gagah di sudut rumah mungil bergaya minimalis. Selembar harian sore terkembang di antara kedua tangannya. Di atas meja di sampingnya terletak gelas berisi kopi tubruk yang tinggal ampasnya.
Seorang pembantu rumah tangga tua yang melihat gelas kosong itu, lalu mengambilnya dengan baki. Kopinya lagi, Pak"
Cukup, Bik. Buatkan es teh manis saja dalam gelas besar.
Baik, Pak. Laki-laki muda itu meneruskan membaca surat kabar. Matanya tertuju pada beberapa iklan rumah di daerah pinggiran kota Jakarta dengan berbagai fasilitas yang menggiurkan. Mulai dari letaknya, bentuknya, ba-
Tujuh t . c han-bahan bangunannya, arena olahraga, tempat bermain anak-anak, taman umum yang indah, pertokoan, sampai harga dan cara pembayarannya yang bisa dicicil sampai lima belas tahun lamanya. Dengan semangat dirobeknya sehelai kertas dari notes yang terletak di atas meja tulisnya, lalu dicatatnya beberapa lokasi dan alamat-alamat kantor pemasarannya. Tetapi belum selesai mencatat, pintu depan tiba-tiba terbuka lebar. Seorang gadis manis masuk sambil tertawa renyah. Gaun mode terakhir yang dikenakannya bergoyang-goyang mengikuti gerak pinggulnya.
Aduh, ternyata kau diperam di sini ya, Mas Tom. Seminggu lebih kau tidak datang ke rumah, aku sampai kangen sekali. Begitu masuk, suaranya yang terdengar manja mulai memenuhi isi rumah. Kenapa teleponmu tidak bisa dihubungi"
Ponselku rusak. Laki-laki itu, Hartomo, menjawab pendek. Tangannya mulai melanjutkan mencatat alamat-alamat kantor pemasaran hunian yang menarik hatinya.
Kenapa rusak" Terjatuh ke air, lagi-lagi Hartomo menjawab pendek. Pikirannya sedang terserap pada iklan-iklan yang menarik perhatiannya itu.
Kenapa tidak diperbaiki atau beli saja yang baru" Kalau mau, kau bisa kan meneleponku dari wartel, gadis manja itu berkata lagi. Memangnya kau tidak kangen padaku, Mas"
Belakangan ini aku sibuk sekali, Lis, Hartomo menjawab, masih saja dengan menekuni iklan-iklan yang
t . c sedang menarik hatinya itu dan mencatat alamat-alamatnya.
Melihat air muka serius Hartomo yang kurang menaruh perhatian pada kehadirannya, Lilis langsung cemberut. Ia mendekati laki-laki itu. Pandang matanya yang dipenuhi rasa ingin tahu mengarah pada apa yang sedang ditulis Hartomo di atas kertas.
Hayo, Mas Tom menulis surat kepada gadis lain, ya" tanyanya dengan nada cemburu. Pantas asyik sekali. Pacar datang diabaikan. Coba aku lihat sebentar....
Tanpa menunggu sahutan Hartomo, Lilis langsung menarik kertas yang masih tertindih telapak tangan laki-laki itu. Akibat tarikannya, kertas itu robek menjadi dua bagian. Hartomo kecewa melihat kelakuan Lilis yang kekanakan itu.
Nah, sobek, kan" Masa aku menulis surat pada gadis lain di depanmu" gerutunya.
Tetapi Lilis tidak memedulikan gerutuan Hartomo. Gadis itu asyik mencocokkan dua bagian kertas yang tersobek tadi dan membacanya.
Aiiih... Mas Tom mau beli rumah, ya" serunya. Baru tertarik, Lis. Aku belum melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa lokasi dan model rumahnya. Biasa kan, orang yang masih mengontrak rumah pasti tertarik melihat iklan-iklan perumahan begini. Tetapi kan belum tentu mau beli. Memangnya seperti beli kacang atau pisang goreng"
Tetapi aku setuju sekali, Mas. Memang sebaiknya Mas mulai memikirkan untuk segera membeli rumah.
t . c Daripada terus-menerus kontrak begini kan uangnya bisa untuk tambahan mencicil rumah.
Hartomo mengangguk dengan perasaan agak sebal. Dia tidak suka urusannya dicampuri. Belakangan ini, Lilis semakin menunjukkan kemanjaan dan dominasinya. Sering kali sikap sembrononya menyebabkannya kehilangan rasa nyaman. Karenanya lekas-lekas Hartomo mengalihkan pembicaraan.
Dengan siapa kau ke sini tadi, Lis" tanyanya. Diantar sopir. Tadinya Lis kira Mas Tom sakit atau kenapa-kenapa. Jadi kusuruh sopir mengantarku ke sini. Nah, Mas Tomo sibuk atau tidak hari ini" Hartomo menggeleng. Lilis tertawa senang. Kalau begitu sopir kusuruh pulang saja, ya. Nanti Mas Tom yang mengantarku pulang ke rumah sambil jalan-jalan dan makan di luar"
Memang sebaiknya dia pulang, Lis. Kasihan, malam Minggu begini disuruh kerja. Biarkan dia berkumpul dengan keluarganya, komentar Hartomo.
Tetapi kan dia dapat uang!
Uang tidak selalu membuat hati orang senang, Lis. Apalagi aku tahu ayahmu memberi gaji yang cukup besar kepadanya. Jadi sebaiknya suruhlah dia pulang ke rumahnya.
Tipsnya kukurangi kalau begitu, ya" Bapak tadi memberiku uang yang lumayan banyak.
Jangan perhitungan begitu, Lis. Dia kan harus naik kendaraan umum ke rumahmu untuk mengambil motornya dulu.


Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

t . c Oh, iya..., Lilis menurut. Bergegas gadis itu keluar rumah untuk menyuruh sopir ayahnya pulang.
Hartomo memperhatikan gadis itu lewat pintu depan yang terbuka. Hatinya terasa hampa. Untuk halhal kecil-kecil tetapi penting, Lilis harus selalu diingatkan. Pak Hidayat, ayahnya, terlalu memanjakannya. Dompetnya selalu dijejali uang. Kuliahnya sampai sekarang belum juga selesai dengan bermacam alasan, yang sebetulnya hanya karena kurang serius menekuni skripsinya. Usianya sudah hampir dua puluh empat tahun, namun pemikirannya kurang matang. Sikapnya sembrono dan seenaknya sendiri. Hari itu Hartomo merasa kurang senang melihat kehadirannya di saat-saat ia sedang ingin sendirian dan menikmati hari liburnya di rumah.
Perasaan seperti itu membingungkan Hartomo sendiri, sebenarnya. Dikunjungi kekasih kok tidak senang. Semula, dia sangat menyukai gadis yang lincah, manja, dan ceria itu. Sudah begitu, Lilis selalu tampil prima dengan keseluruhan yang menempel di tubuhnya. Termasuk rias wajah dan rambutnya. Pada awalnya, gadis itu mengingatkan Hartomo pada istri Wisnu yang selalu tampil sempurna. Namun ternyata itu hanya di bagian luarnya saja. Lilis tidak bisa diajak bicara dengan enak seperti istri Wisnu. Isi bicaranya hanya seputar hal-hal yang kelihatan di permukaan saja. Persis penampilan fisiknya yang sempurna di luar namun tidak di bagian dalamnya, yang justru merupakan bagian dari kepribadian yang sesungguhnya. Semula pula Hartomo menyangka jika nanti menikah dengan Lilis, ia boleh
t . c merasa bangga didampingi perempuan yang bisa menaikkan gengsinya di mata banyak orang. Enak diajak bergaul, nyaman diajak membicarakan hal-hal serius, cerdas dalam mengemukakan pendapat, dan matang dalam bersikap. Tetapi belakangan ini, cita-cita seperti itu sepertinya terlalu jauh jika diletakkan pada Lilis yang sering tampak masih kekanakan. Ayahnya terlalu memanjakannya.
Ingatan seperti itu menyebabkan Hartomo teringat pada perempuan lain yang sering menjadi bahan perbandingannya. Perempuan itu juga cantik seperti istri Wisnu. Bahkan lebih molek. Terutama jika dibandingkan dengan Lilis. Tetapi bagi Hartomo, perempuan bernama Ratih itu sama sekali tidak menarik. Pakaiannya asal bersih dan rapi saja. Rambutnya diikat sekenanya. Penampilannya seperti orang tidak berpendidikan, padahal istrinya itu pernah kuliah hingga semester empat. Dan sikapnya yang tidak percaya diri, pemalu, pendiam, dan canggung dalam pergaulan, benar-benar membuat suami mana pun akan malu mengajaknya pergi. Apalagi wajah cantiknya tidak pernah berkenalan dengan rias wajah apa pun kecuali seulas bedak tipistipis. Tak satu pun yang bisa dibanggakan dari Ratih. Berlama-lama berdekatan dengan perempuan itu terasa menjemukan. Rasa sayangnya yang dulu pernah ada di hatinya saat melihat betapa cantik dan santunnya istri yang baru dinikahinya itu telah berganti dengan rasa kasihan karena nasibnya yang kurang beruntung menjadi anak angkat yang diingini ayah angkatnya sendiri dan dicemburui ibu angkatnya.
t . c Memang semasa baru mulai tinggal di Jakarta, rasa kasihan dan sisa-sisa rasa sayang itu masih mampu memberinya tekad untuk berjuang di kota metropolitan dan bercita-cita meraih kesuksesan. Jika kehidupannya sudah mapan dan mampu meningkatkan taraf hidupnya, ia akan segera memboyong Ratih dan ibu kandungnya ke Jakarta. Tetapi setelah melihat perempuan-perempuan lain di Jakarta, bahkan yang tinggal di kampung-kampung pun memiliki daya tarik, keinginannya memboyong Ratih pun memudar pelan-pelan dan akhirnya lenyap tanpa bekas. Apalagi untuk hidup sendirian di Jakarta saja pun, ternyata tidak mudah. Bahkan sulit.
Sebenarnya, jauh di relung hatinya yang terdalam ia ingin menceraikan Ratih. Apalagi ia yakin sekali, perempuan itu akan mudah mendapat ganti suami. Dia cantik sekali. Sifatnya baik, sopan, dan sabar. Tetapi Hartomo tidak berani melakukannya. Ia tidak ingin melukai hati ibunya. Perempuan itu luar biasa menyayangi Ratih. Jadi lebih baik ia menghilang dulu sambil mengulur-ulur waktu untuk melihat situasi dan perkembangan dalam hidupnya.
Maka Hartomo pun lupa pulang ke kampung halamannya. Ia semakin tertarik oleh gemerlapnya kota Jakarta. Ia juga semakin tergiur oleh daya tarik gadisgadis Jakarta sampai akhirnya membawa cintanya melayang kepada putri atasannya sendiri, Lilis Adriati.
Tetapi kini Hartomo mengherani dirinya sendiri karena gairah rasa cinta itu mulai menguap sedikit demi sedikit sampai akhirnya timbul keraguan untuk menjadi-
t . c kan perempuan itu sebagai istri. Bahkan setelah semakin mengenali Lilis, semakin Hartomo merasa asing terhadap gadis itu. Ada jarak yang semula tak kelihatan, kini muncul di antara mereka. Selain manja, Lilis tidak pernah mau mengalah. Maunya menang sendiri. Dalam banyak hal, gadis itu ingin selalu dinomorsatukan. Bahkan ingin menguasai. Dan Hartomo bukan orang yang mau diperlakukan seperti itu. Sebagai anak tunggal yang bagaikan raja di mata dan sultan di hati, perlakuan Lilis yang seperti itu membuatnya tak senang.
Ketika api asmara baru mulai berkobar, semua itu tidak terlihat oleh Hartomo. Tetapi sekarang setelah gelora api asmara padam dan menjadi tenang barulah ia melihat segala sesuatunya secara lebih transparan. Karenanya juga semakin jelas terlihat olehnya ketimpangan status sosial yang ada di antara dirinya dengan Lilis. Gadis itu putri presiden direktur tempat ia mencari sesuap nasi. Kalau ia jadi menantu Pak Hidayat, semua orang akan menyangka bahwa apa pun yang dicapainya pasti berkat campur tangan ayah mertuanya. Jadi andaikata dia bisa membeli rumah dengan kemampuan sendiri, orang akan mengaitkannya dengan ayah Lilis yang kaya.
Hartomo memang bukan orang kaya. Kalaupun memiliki tanah yang lumayan luas di kampung halamannya, itu adalah warisan almarhum ayahnya. Justru karena itulah ia ingin berjuang dengan kemampuan sendiri sebagaimana halnya Wisnu, sahabatnya di masa kuliah dulu. Dia tidak ingin ada di bawah bayang-bayang siapa pun.
t . c Lilis yang baru masuk ke dalam rumah kembali, memergoki Hartomo sedang melamun. Gadis yang serba ingin tahu itu langsung bertanya.
Apa sih yang kaulamunkan, Mas" tanyanya sambil mengempaskan tubuhnya yang langsing ke atas kursi. Matanya melirik ke arah Hartomo yang tidak segera bisa menjawab. Pengaruh loncatan-loncatan pikiran yang sejak tadi mengganggu ketenangannya masih belum hilang dari benak laki-laki itu.
Tidak segera mendapat jawaban, Lilis mengulangi lagi pertanyaannya. Kini dengan nada mendesak. Hayo, Mas, apa yang sedang kaulamunkan" Aku... aku sedang memikirkan sesuatu..., Hartomo terpaksa menjawab.
Sesuatu apa sih, Mas" Lilis menatap wajah Hartomo dengan pandangan yang menuntut jawaban segera. Satu lagi sifat Lilis yang juga tidak disukai Hartomo. Gadis itu selalu ingin tahu urusan orang. Yaaah, adalah.., jawab Hartomo enggan. Ceritakan padaku dong.
Hartomo meliriknya. Dia tahu betul, Lilis ingin mengetahui pikirannya bukan dengan tujuan berbagi masalah. Tetapi karena ingin tahu belaka.
Sudahlah, kita mengobrol yang lain saja, Lis. Hmm... apakah Mas Tom sedang memikirkan soal kita berdua" Lilis masih belum mau pindah pembicaraan. Sudah menyusun rencana untuk melamarku" Ibu pernah menanyakan hal itu padaku lho.
Hartomo merasa tersudut. Dia memang pernah menyinggung masalah lamaran ketika api asmara masih
t . c menyala di hatinya. Tetapi sekarang keinginan itu mulai hilang. Oleh sebab itu, ia mencoba mengulur-ulur waktu, mencari saat yang tepat untuk membatalkannya tanpa menimbulkan rasa sakit hati. Bagaimanapun juga, Lilis adalah putri pemilik perusahaan. Salah-salah bicara, pekerjaannya yang lumayan enak ini bisa terancam.
Ya kan, Mas" Kau sedang memikirkan rencana lamaran" Mengaku sajalah. Lagi-lagi terdengar suara manja yang sekarang menimbulkan rasa sebal di hati Hartomo.
Kalaupun tebakanmu betul, tetapi kan kenyataannya aku masih belum siap untuk beristri. Rumah saja masih mengontrak, dalih Hartomo.
Wah, kalau kita menunggu sampai bisa beli rumah, sampai kapan" Keburu tua dong aku. Padahal kalau Mas Tom mau mengikuti saranku, gampang lho. Pinjam saja uang kepada Bapak, usul Lilis. Pasti diberi, karena toh nanti akan dinikmati oleh anaknya juga. Bahkan menurutku, sekalian saja pinjam untuk membeli kendaraan. Siapa tahu, semua itu malah sebagai hadiah perkawinan kita nanti.
Hartomo terdiam. Enak dan mudah sekali Lilis mengatakan sesuatu yang justru tidak dikehendaki Hartomo.
Lilis menoleh ke arah Hartomo. Karena laki-laki itu diam saja, ia menyangka kekasihnya menyetujui usulnya.
Kalau kau tidak berani mengatakannya kepada Bapak, biar nanti kubantu. Setuju kan, Mas" tanya Lilis lagi.
Pedang Awan Merah 5 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Sepasang Ular Naga 10
^