Pencarian

Bukan Istri Pilihan 1

Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono Bagian 1


Satu P AGI yang datang mengumumkan bahwa sehari itu
cuaca akan dironai warna cerah. Langit begitu bersih dan cahaya mentari bersinar cemerlang menghangati bumi, mengusir embun dan kabut yang dinihari tadi sempat turun menyelimuti permukaan tanah.
Ratih membuka warungnya dengan perasaan enggan yang begitu kentara membias di wajahnya. Sudah lebih dari seminggu hatinya dililiti rasa hampa yang semakin lama semakin menyesakkan dada. Setitik pun harapan yang biasanya masih mampir ke hatinya, kini tiada lagi. Cuaca cerah dan kicau riang burung prenjak di pucuk pohon kenari yang bersahutan di sudut halaman tak lagi berpengaruh pada dirinya. Bohong, kalau orang bilang bahwa kicau burung prenjak menjadi pertanda akan datangnya tamu jauh. Orang yang ditunggu dari jauh, belum juga datang. Maka lilin-lilin harapan yang
t . c beberapa waktu masih menyala kendati cuma berupa kerlip samar nan jauh di sana, padam sudah. Wajah moleknya tampak mendung, kontras dengan cerahnya cuaca pagi hari itu.
Seorang gadis tanggung yang berdiri menunggu sejak tadi di depan warung, hanya mampu menguakkan secercah senyum tipis di wajah Ratih saat mengucapkan maafnya.
Maaf, Sri, aku agak kesiangan, katanya. Sudah lama menunggu"
Yah, sekitar lima menit. Untung telingaku mendengar suara-suara dari dalam waktu aku sedang berpikir mau pindah ke warung Bu Totok, jawab Sri. Mau beli lima liter beras, sebungkus teh, setengah kilo telor, dan setengah botol minyak curah, Mbak.
Baik. Beras yang seperti biasanya itu tho" Ya.
Masih terlalu pagi untuk memasukkan uang sebanyak empat puluh enam ribu rupiah ke dalam kotak uang. Belum lagi setengah tujuh. Tetapi hati Ratih tetap beku. Padahal bukan biasanya rezeki datang begitu cepat seperti hari itu. Lagi pula, saat itu tanggal tua.
Perasaan Ratih masih belum juga berubah saat seorang perempuan tua datang membeli sebungkus kopi, setengah kilo gula pasir, sebotol kecap manis, dan empat bungkus kecil bubuk sabun cuci. Belum seperempat jam warungnya buka, di kotak uangnya sudah masuk enam puluh ribu rupiah lebih. Kemarin sampai warung tutup, cuma masuk tujuh puluh ribu rupiah saja. Tidak
t . c mencukupi untuk membeli barang dagangan yang sudah hampir habis stoknya.
Ketika dua anak kecil kakak-beradik yang setiap pagi selalu mampir ke warungnya membeli beberapa bungkus kue untuk bekal mereka ke sekolah, barulah senyum Ratih terkuak agak lebar. Kedua anak itu lucu dan sangat menyenangkan. Tetapi meskipun demikian, ia melayaninya tanpa banyak bertanya ini dan itu, tidak seperti biasanya kalau keduanya datang.
Setelah mereka pergi, Ratih berpikir mudah-mudahan menjelang siang nanti hatinya sudah pulih kembali dari tekanan perasaannya. Tetapi, tidak. Senyum yang sempat terkuak tadi bahkan lenyap dengan seketika waktu pandang matanya membentur tubuh tinggi besar menggantikan kehadiran kedua anak kecil tadi. Ratih tidak menyukai laki-laki yang sering datang mengganggunya itu.
Dik, Gudang Garam-nya masih" tanya laki-laki itu dengan senyum yang dirasanya akan memikat hati Ratih. Tetapi perempuan itu enggan menatap wajahnya lama-lama. Dia pura-pura sibuk mencari benda yang diminta laki-laki itu di dalam lemari kaca kecil yang terletak di atas meja warungnya.
Tinggal sebungkus, Pak, Ratih menjawab enggan. Malas dia bercakap-cakap dengan laki-laki mata keranjang itu.
Ah, masih juga belum mengubah panggilan itu. Aku belum tua, Dik Ratih. Panggil saja Mas Brata atau Kang Brata, lebih manis didengar.
Ratih tidak menjawab. Sedikit pun tidak ada keingin-
t . c annya untuk bicara dengan laki-laki itu. Apalagi berbasa-basi. Muak rasanya. Tetapi laki-laki bernama Brata itu terus saja mengoceh.
Sebungkus, tidak apa. Aku mau juga kok mengisap Bentul. Jadi beri aku dua bungkus Bentul dan sekotak korek api, Dik.
Ratih cepat-cepat membungkus apa yang dimaui Brata, berharap laki-laki itu segera berlalu dari warungnya. Tetapi ternyata laki-laki bernama Brata itu malah duduk di bangku yang terletak dekat pintu begitu bungkusan dari Ratih tadi diterimanya. Dengan senyum memuakkan, laki-laki yang matanya berkilat-kilat itu memperhatikan Ratih memasukkan uang yang didapat darinya ke kotak uang.
Ratih yang tahu sedang diperhatikan, tak dapat mengusir rasa perih yang menyelinapi hatinya. Rasanya ingin sekali ia mengembalikan uang yang baru saja diterimanya dari Brata tadi. Selalu saja perasaan terhina datang menyusupi hatinya setiap menerima uang dari laki-laki itu. Karenanya dengan sikap canggung, Ratih menyibukkan diri mengatur barang-barang dagangannya yang sebenarnya sudah rapi tersusun. Benci dia karena Brata belum juga pergi dari warungnya. Entah apa yang ditunggunya.
Ibu mana, Dik" Brata bersuara lagi. Ah, kenapa masih saja laki-laki itu ingin berhandai-handai dengannya. Teman baik, bukan. Handai tolan, juga bukan. Saudara, sama sekali bukan.
Ada, Ratih menjawab pendek, tanpa sekejap pun menatap yang mengajaknya bicara.
t . c Dik Ratih, sebenarnya selain datang ke sini untuk membeli rokok, saya juga mempunyai maksud baik lainnya yaitu... anu... eh... apa itu... ingin mengajakmu menonton film nanti malam. Ada film India dengan bintang...
Terima kasih, Pak. Ratih merebut pembicaraan sebelum Brata menyelesaikan bicaranya. Tetapi saya tidak ingin pergi ke mana pun. Saya banyak pekerjaan malam ini.
Ah, sayang sekali. Lalu kapan Dik Ratih tidak sedang repot supaya aku bisa mengajakmu nonton atau jalan-jalan"
Saya tidak tahu, Pak. Tiap hari saya sibuk, Bapak kan tahu itu. Mana ada waktu buat saya untuk nonton film. Lagi pula, saya tidak suka menonton film, Ratih menjawab agak ketus. Hiburan dari TV sudah cukup buat saya.
Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan sate buntelnya Pak Bambang" Belum pernah kan kau makan di sana, Dik"
Sudah. Tetapi lidah saya tidak cocok makan di situ. Lagi-lagi Ratih menjawab dengan suara dingin, masih tetap tanpa menatap wajah yang sedang mengajaknya bicara.
Kalau tidak mau nonton film atau makan sate, Dik Ratih ingin jalan-jalan atau mencicipi masakan khas lainnya" Pokoknya, Dik, untukmu aku selalu siap menemani ke mana saja asalkan hatimu senang, rasa bosanmu menjaga warung terobati, dan rasa capekmu hilang.
t . c Saya tidak pernah merasa bosan menjaga dan melayani pembeli, jawab Ratih, masih saja tanpa menatap wajah Brata.
Masa sih" Wajahmu tampak mendung begitu... Itu kan kata Bapak. Wajah mendung banyak penyebabnya. Bukan cuma karena bosan atau capek saja, sahut Ratih semakin kesal. Kalau tak takut menyakiti hati orang, Ratih ingin melanjutkan bicaranya bahwa wajah mendung juga bisa disebabkan kehadiran orang yang tidak disukainya.
Ketika Ratih masih saja tidak mengacuhkan kehadirannya dan tetap saja menyibukkan diri dengan apa pun yang bisa dikerjakannya di warung, lama-lama Brata tahu juga kehadirannya tidak diinginkan Ratih. Jadi dia bangkit dari tempat duduknya.
Kalau kapan-kapan Dik Ratih ingin jalan-jalan ke luar kota atau minta diantar ke mana pun, jangan segan-segan mengatakannya padaku. Dengan gembira aku akan mengantar Dik Ratih ke mana pun. Bahkan ke ujung dunia, akan kujalani. Aku punya motor baru, Dik, Brata berkata lagi dengan suara merayu yang membuat perasaan orang yang sedang dirayunya itu semakin mual.
Sepertinya tidak ada kapan-kapan, Pak. Saya bukan orang yang suka membuang-buang waktu seperti itu.
Brata meliriknya sebentar, berdeham, kemudian pergi meninggalkan warung Ratih. Dia masih belum menyerah. Pikirnya, suatu saat perempuan muda itu akan menyerah juga kepadanya. Sudah beberapa kali dia
t . c mengalaminya. Perempuan yang semula tidak menyukainya, lama-lama malah seperti prangko lengketnya.
Seperginya Brata, Ratih mengembuskan napas lega. Tetapi perasaannya masih saja tertekan. Harapannya untuk mengalami perasaan yang lebih ringan, tidak terwujud. Bahkan hatinya semakin berat digayuti perasaan yang jauh dari rasa nyaman. Dikatakan bosan dan capek. Ya, ia memang merasa bosan dan capek setiap pagi membuka warung dan melayani pembeli. Lalu setiap malam saat bunyi jangkrik atau katak memasuki pendengarannya, ia akan menutup warung untuk kemudian menghitung pemasukan uang dan memilah-milah mana yang keuntungan, mana yang untuk membeli dagangan yang sudah berkurang stoknya, dan seterusnya. Selalu demikian, tidak ada perubahan-perubahan yang berarti. Membosankan sekali. Tetapi rasa bosan dan rasa capek itu tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaannya, melainkan karena ia merasa tidak memiliki harapan untuk meraih kehidupan yang lebih menyentuh kebutuhan dasarnya, yaitu kehidupan yang tenang, damai, ada kehangatan dan cinta di dalamnya.
Setiap kali warungnya ia tutup, setiap kali itu pula perasaannya semakin hampa. Malam-malam yang datang akan membawanya lagi pada rasa sepi yang semakin mengoyak batinnya yang paling dalam. Apalagi jika dia teringat pada Pak Brata atau laki-laki lain yang menganggapnya mudah dirayu atau diiming-imingi barang hanya karena dia menjual rokok, permen, gula, sabun, dan kebutuhan lainnya. Seperti apa yang dialaminya petang tadi dengan Pak Mardi, laki-laki setengah
t . c tua yang termasuk orang terkaya di kampung ini. Lakilaki genit itu datang lagi saat Ratih bermaksud menutup warungnya lebih sore daripada biasanya. Pemasukan hari itu, cukup lumayan.
Lho, sudah mau menutup warung, Tih" Ya, Pak. Sudah malam..., Ratih menjawab enggan. Ah, selalu saja ada laki-laki menyebalkan yang datang mengganggu ketenangan hatinya, pikirnya sebal. Kalau bukan Brata, ya Pak Mardi. Kalau bukan keduanya, ya laki-laki iseng yang mencoba-coba keberuntungan. Siapa tahu bisa mengajak Ratih makan bakso atau tahu ketupat di pinggiran alun-alun sambil menikmati cuaca malam kota kecil yang agak sejuk hawanya itu.
Yah, hari memang sudah malam. Hmm, kau kelihatan letih, Ratih. Aku kasihan kepadamu. Dari pagi hingga malam melayani pembeli, sedangkan hasilnya tidak seberapa. Apakah kau tidak ingin sesuatu yang lain"
Ratih melirik sebal ke arah laki-laki tua yang tak menyadari ketuaannya itu. Perempuan muda itu tahu betul apa yang dimaui laki-laki yang suka kawin-cerai itu.
Tidak, Pak. Meskipun capek, saya menyukai pekerjaan ini. Membuka warung dan melayani pembeli bukan sesuatu yang berat dan patut dikasihani, jawabnya kemudian.
Aaah, mataku cukup tajam lho, Ratih. Kau kelihatan menderita. Mestinya dengan wajahmu yang cantik dan pengetahuan yang kaumiliki, pantasnya kau jadi guru. Itu paling sedikit. Bukan menimbang telor, meliteri beras, membungkus barang dagangan, dan yang
t . c semacam itu, bantah Pak Mardi dengan pandangan merayu.
Ratih tidak mau menanggapi perkataan Pak Mardi. Dia sudah biasa mendengar pendapatnya. Selalu itu-itu saja yang dikatakannya sehingga hatinya semakin sebal mendengar ocehan laki-laki tua itu. Tetapi kali itu Pak Mardi masih menambahi kata-kata usangnya itu dengan sesuatu yang baru.
Ratih, kau pasti sudah mendengar berita tentang istri ketigaku yang kuusir tanpa kuberi sesen pun uangku. Perempuan bejat itu ketahuan membawa laki-laki ke kamarnya saat aku menggiliri istriku yang lain. Sekarang rumah yang ditempati olehnya dalam keadaan kosong. Siang-malam aku mengangankan hanya kau yang pantas mengisi rumah mungil yang indah itu, menggantikan kedudukan istri ketigaku itu. Kau mau, ya" Kalau kau mau, mudah bagimu untuk menggeser kedudukan istri pertamaku. Kau mempunyai banyak kelebihan dibanding istri-istriku. Cantik, pendiam, baik hati, berpendidikan, dan banyak lagi. Aku sudah lama mengagumimu, Ratih. Bagaimana" Kau bersedia kan hidup bersamaku" Sambil berkata seperti itu, mata genit Pak Mardi dikerlingkannya dengan cara yang membuat Ratih ingin tertawa. Apakah laki-laki tua itu sedang bermimpi" Mestinya kerling mata itu cuma pantas diberikan kepada cucunya yang sudah banyak itu.
Bagaimana, kau mau menjadi istriku, kan" Karena Ratih seperti tidak mendengar perkataannya, Pak Mardi bertanya lagi. Apa jawabmu, Ratih"
t . c Rupanya Pak Mardi lupa kalau saya masih punya suami, ya"
Ya, ya, aku tahu. Tetapi dengan keadaanmu yang seperti ini, apa bedanya dengan menjadi janda" Hampir lima tahun kau ditinggal Tomo tanpa berita apa pun dan tanpa kiriman uang sepeser pun. Sudah begitu ada di mana dia dan apa yang sedang dilakukannya, kita semua yang ada di kampung ini, tidak tahu. Benar kan kata-kataku ini" Aku tahu banyak tentang dirimu, Ratih. Apakah itu bukan berarti sudah waktunya bagimu untuk memikirkan kehidupanmu sendiri, membentuk rumah tangga yang baru. Ingat, ada pasal-pasal dalam Undang-undang Perkawinan yang bunyinya demikian...
Tidak, Pak, Ratih memotong dengan cepat perkataan Pak Mardi yang belum selesai. Dia tahu betul apa yang akan dikatakannya karena sudah terlalu sering mendengar isi undang-undang itu dari banyak pihak. Saya yakin bahwa Mas Tom akan pulang. Sebelum berangkat dia menyatakan tekadnya untuk tidak akan pulang kembali sebelum cita-citanya menjadi orang terpandang tercapai. Maka saya akan setia menunggunya.
Pak Mardi tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataan Ratih. Perempuan itu agak tersinggung karenanya. Ditunggunya laki-laki tua itu menghentikan tawanya.
Apanya yang lucu, Pak" tanyanya kemudian dengan dahi berkerut.
Kamu itu yang lucu. Cantik, tetapi bodoh. Bodoh dalam hal memahami laki-laki. Mana ada suami yang
t . c mencintai istrinya kok setega itu meninggalkannya sampai bertahun-tahun tanpa secarik surat pun. Pikirkanlah dengan otak yang jernih, Ratih. Laki-laki macam apa suamimu itu" Masih bagus diriku yang tahu bertanggung jawab dan menyenangkan istri. Apa kau tidak sayang pada dirimu sendiri, menyia-nyiakan masa muda yang tak jelas mau jadi apa nantinya"
Itu urusan pribadi saya, Pak, Ratih menjawab kesal. Hatinya yang pedih sejak beberapa hari yang lalu, semakin tergores. Betapapun menyebalkannya laki-laki yang ada di hadapannya itu, apa yang dikatakannya tadi bukannya tidak beralasan. Bahkan merupakan kenyataan yang sering kali menjadi pertanyaannya sendiri. Benarkah Hartomo mencintainya" Benarkah Mas Tomo memiliki rasa setia terhadapnya" Benarkah Mas Tomo di Jakarta sana sedang berjuang mencari kebahagiaan untuk ibu dan istrinya"
Kau betul, Ratih. Itu memang urusan pribadimu. Tetapi alangkah baiknya jika di samping itu kau juga memikirkan masa depanmu sendiri. Kalau mau menjadi istriku, kau tidak perlu bekerja keras seperti sekarang ini. Seluruh kebutuhanmu akan kupenuhi. Kau akan kucintai dan kubahagiakan lebih dari istri-istriku yang lain. Bahkan kau boleh membawa ibu mertuamu yang sudah kauanggap sebagai ibu kandungmu itu tinggal di rumah yang akan kuberikan kepadamu. Pikirkanlah baik-baik, Ratih.
Saya lebih senang hidup seperti ini, Pak, Ratih menjawab dengan suara dingin yang amat kentara. Inilah yang membuatku tergila-gila padamu. Selain
t . c cantik jelita, kau itu setia, sabar, dan punya prinsip hidup yang kuat. Tetapi kalau terlalu berlebihan dan tidak mempergunakan akal sehat, wah, itu sudah lewat takaran, Ratih. Kau harus menyadari itu.
Biarpun Pak Mardi mengatakan apa saja mengenai diri saya, saya tetap berpegang teguh untuk menunggu kedatangan Mas Tom sampai kapan pun. Jadi Bapak jangan berharap yang tidak-tidak dari saya. Maaf. Tetapi itu pendirian saya yang tak mungkin berubah.
Kau keras kepala, Ratih. Suatu ketika, aku yakin kau akan tiba pada puncak penantian yang cuma sia-sia itu. Kau pasti akan menyesal telah berpendirian seperti orang bodoh begitu. Hilang kesempatanmu untuk hidup senang dengan masa depan yang jauh lebih cerah. Aku memang sudah tua, tetapi kau mesti sadar bahwa mempunyai suami tua itu lebih menyenangkan daripada suami muda yang mau menangnya sendiri dan yang tidak bisa menenggang perasaan perempuan. Ratih, bukannya aku menyombong, tetapi di kampung kita, bahkan di kampung-kampung tetangga, ada banyak perempuan yang mengharapkan lamaranku agar dapat hidup bahagia, bisa pula menempati rumah gedong itu. Tetapi karena aku sayang kepadamu, biarlah kuberi waktu bagimu untuk memikirkan lamaranku. Akan kuabaikan perempuan-perempuan lain itu. Ya, aku akan bersabar, Ratih. Pasti akan ada saatnya kau sadar dan menerima lamaran tulusku ini.
Ratih mengatupkan bibirnya rapat-rapat agar tak mengeluarkan perkataan pedas. Ia merasa terhina mendengar keyakinan Pak Mardi pada kelebihan dirinya
t . c sendiri itu. Tetapi ditahannya kuat-kuat lidahnya agar tak mengucapkan sepatah kata pun. Untuk apa membantahnya" Laki-laki itu boleh merasa yakin akan kemampuannya. Tetapi ia juga mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah tergoda pada tawaran laki-laki tua itu.
Sungguh, Ratih, untukmu aku akan bersabar menanti....
Kata-kata Pak Mardi terhenti oleh suara batuk ibu mertua Ratih, yang kemudian disusul suara sandal diseret dengan gerakan halus dari dalam rumah. Perempuan tengah baya itu keluar untuk membantu Ratih membereskan warung yang akan segera ditutup. Melihat itu hati Ratih merasa lega. Pak Mardi pasti merasa sungkan berada di tempat itu tanpa membeli sesuatu. Benar saja. Begitu melihat ibu mertua Ratih ada di ambang pintu, lekas-lekas laki-laki itu mengubah pembicaraan.
Ratih, tolong bungkuskan satu pak kopi isi setengah kilogram ya, katanya. Kopi merek yang paling terkenal.
Cepat-cepat Ratih mengambil apa yang diminta Pak Mardi. Ketika laki-laki itu menyerahkan uang kepadanya, ia sempat mendengar bisikannya.
Sekali lagi, Ratih, pikirkan baik-baik lamaranku tadi ya, katanya, sebelum menghilang dalam kegelapan malam.
Ratih menghela napas panjang. Sesak rasa dadanya. Dengan Pak Mardi, sudah ada tiga orang yang terangterangan memintanya menjadi istri. Sungguh menyakit-
t . c kan mengingat dirinya masih berstatus sebagai istri orang. Namun di kampung yang terletak di pinggiran kota kecil, semua orang sudah tahu bahwa dirinya ditinggal pergi suami selama hampir lima tahun tanpa kabar berita. Semua orang tahu pula bahwa jika seorang istri ditelantarkan tanpa nafkah lahir dan nafkah batin dalam jangka waktu sekian tahun lamanya, bisa dikatakan si istri itu sudah dianggap sebagai perempuan tak bersuami. Alias janda. Tinggal mengurusnya saja di pengadilan agama.
Belakangan ini Ratih merasa dirinya berada dalam kondisi yang sulit untuk mengelakkan diri dari anggapan semacam itu. Andaikata para laki-laki itu tidak mengatakan yang tidak-tidak dan tak pula mengganggu ketenangan hidupnya, Ratih tidak merasa hidup ini terlalu berat. Juga tidak ada rasa bosan dan jemu terhadap kehidupan yang sekarang dijalaninya. Baginya, menimbang, membungkus, menghitung, mengeluarkan barang-barang dagangannya pada waktu pagi dan memasukkan kembali pada malam hari, bukan sesuatu yang berat. Apalagi menganggapnya hina atau rendah karena melayani pembeli seakan mereka adalah raja. Tetapi menghadapi lakilaki seperti Brata, Pak Mardi, dan laki-laki sejenis itu, lama-kelamaan Ratih merasa tidak tahan. Itulah yang menyebabkannya merasa terhina. Tetapi yah, kalau suami sendiri telah mengabaikan dan menganggapnya seakan tidak ada, apalagi orang lain, bukan" Ah, ada di manakah Mas Tomo sekarang" Setiap pertanyaan itu melintasi pikirannya, Ratih ingin menangis keras-keras karena rindu yang tak tertahankan.
t . c Endapan-endapan perasaan tak puas itulah yang secara perlahan telah menyebabkan Ratih belakangan ini kehilangan semangat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Apalagi seluruh harapannya untuk hidup bersama Hartomo kembali, semakin lama semakin sirna. Sepertinya tidak lagi ada sisa-sisa harapan yang masih terselip di hatinya.
Mata tajam Bu Marta, mertua Ratih itu, bukan tidak memperhatikan perubahan-perubahan dalam air muka dan sikap Ratih belakangan ini. Senyum perempuan muda itu mulai jarang terkuak. Suara nyanyiannya saat mencuci pakaian atau memasak di dapur, sudah jarang sekali terdengar. Gurauannya bahkan sudah tidak pernah ada lagi padanya. Seakan sudah tidak ada gairah hidup apa pun dalam diri Ratih. Ingin sekali ia menguak apa yang sedang menjadi kemelut di hati menantunya itu. Tetapi sebagai orangtua yang bijaksana, perempuan itu tidak ingin mendahului bicara. Dia hanya menunggu Ratih membuka isi hatinya. Dia tahu, sang menantu itu tidak pernah menganggapnya sebagai ibu mertua, melainkan sebagai ibu kandung yang tak pernah dimilikinya. Namun sampai sedemikian jauhnya ia menunggu, tidak sepatah kata pun Ratih mau mengungkapkan perasaannya.
Tetapi malam itu tidak seperti biasanya, Ibu Marta tetap duduk di muka televisi begitu warung mereka tutup. Ditemaninya Ratih, yang sambil menonton televisi mengikat bungkusan gula pasir yang sudah ditimbangnya siang tadi dengan karet gelang. Ada yang isi satu kilogram, ada yang setengah kilo, dan ada yang
t . c seperempat kilo. Perempuan tengah baya itu mengambil jahitannya, memasang kancing-kancing dasternya yang lepas.
Tanpa mengalihkan pandang matanya dari kantongkantong plastik tempat gula pasir yang sedang diikatnya, Ratih menyapa sang ibu mertua.
Ibu belum mengantuk" tanyanya.
Belum, Nduk. Lagi pula, Ibu ingin menemanimu. Kau sendiri belum mengantuk"
Belum, Bu..., Ratih menjawab pendek. Bu Marta melirik Ratih dengan diam-diam melalui kacamatanya yang melorot. Dia tahu, Ratih sedang merintang-rintang waktu dan hatinya dengan mengerjakan apa yang sesungguhnya bisa ia kerjakan sambil menjaga warung seperti biasanya. Dengan sabar, perempuan setengah baya itu menunggu curahan hati Ratih. Kentara sekali sang menantu sedang amat resah. Tampaknya keresahan itu sudah sampai pada puncaknya.
Ratih bukannya tidak menyadari lirikan diam-diam ibu mertuanya. Dia sadar, sang ibu mertua yang tulus hati itu ingin menjadi tempatnya mengadu. Tetapi ia masih bimbang. Dia tidak ingin menambah sedih hati ibu mertuanya itu. Sama seperti dirinya, Bu Marta juga mengalami tekanan perasaan karena ditinggal pergi Hartomo, anak satu-satunya yang sejak kepergiannya tidak pernah mengirim berita apa pun.
Sekarang, Ratih sudah tidak bisa menahan lagi dadanya yang terasa sesak. Keadaan seperti ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa upaya apa pun untuk mengatasinya. Dalam sehari tadi Pak Brata dan Pak
t . c Mardi sudah mengusik perasaannya terlalu jauh. Untungnya si Soleh, pegawai kantor pos yang ditinggal mati istrinya itu, hanya bisa mengganggunya pada harihari libur saja. Hari ini, tak kelihatan batang hidungnya.
Yah, siapa pun orang di kampung ini, pasti meragukan statusnya. Sebagai istri orang, bukan. Sebagai janda pun bukan karena tidak pernah ia mempersoalkannya. Apalagi mengurus perceraian. Sementara itu, harapannya semula agar Hartomo menjemputnya dan membawanya ke Jakarta telah pupus sejak bertahun lalu. Sungguh, hidup seperti ini terasa berat baginya. Usianya belum lagi mencapai seperempat abad. Terlalu muda baginya untuk hidup dengan status tak jelas seperti yang dialaminya sekarang. Berlebihankah jika perasaannya yang tertekan ini dikatakan kepada ibu mertuanya"
Di saat sedang bimbang itulah pandang mata Ratih bentrok dengan lirikan mata Bu Marta. Dia mencoba tersenyum sambil mengakhiri pekerjaannya yang telah selesai. Tidak tahu dia bahwa sang ibu mertua melihat senyumnya yang kaku sehingga perempuan tengah baya itu merasa iba. Tidak tahan melihat keadaan Ratih seperti itu, ia menaikkan kacamatanya yang melorot lagi.
Ada apa, Nduk" tanyanya, mencoba memancing jawaban Ratih.
Ratih merasa saat itu merupakan saat yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati dengan ibu mertuanya. Sambil memasukkan bungkusan-bungkusan gula pasir ke dalam dos bekas mi instan, ia menoleh ke arah
t . c ibu mertuanya dan mencoba tersenyum lagi. Senyum yang sama kakunya seperti tadi.
Bu, saya ingin mengatakan sesuatu, katanya kemudian, memutuskan untuk mengeluarkan kepenuhan isi dadanya.
Bu Marta yang sudah sejak tadi mempersiapkan diri untuk mendengar curahan hati sang menantu, meletakkan jahitannya ke meja di depannya. Seluruh perhatiannya tertuju kepada perempuan muda itu.
Apa yang ingin kaukatakan, Ratih" tanyanya kemudian.
Ratih menelan ludah. Berat sekali rasa hatinya untuk berterus terang mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuat sedih hati Bu Marta. Tetapi apa boleh buat. Bisul yang menyakitkan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tanpa membicarakannya sama sekali, masalah yang menghuni hatinya dan yang ia yakin juga menghuni hati ibu mertuanya selama ini, akan tetap mengganjal perasaan dan akan berlarut-larut mengganggu ketenangan hidup mereka. Entah sampai kapan pula berakhirnya.
Ibu, saya kira... kita tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus tanpa usaha untuk memperbaikinya, sahutnya, mulai membuka masalah. Suaranya terdengar pelan, merasa apa yang dikatakannya terlalu gamblang, yang mungkin tidak enak didengar telinga Bu Marta. Terlalu berat, rasanya.
Yah... Ibu juga merasakan hal yang sama, Nduk. Ibu mengerti seperti apa perasaanmu. Kamu masih muda, tetapi harus mengalami keadaan seperti ini. Ke-
t . c betulan telinga Ibu tadi mendengar perkataan Pak Mardi dan mendengar pula apa jawabanmu. Perih hati Ibu mendengar percakapan kalian. Perih bukan untuk Ibu, tetapi perih untuk dirimu, Nduk. Karena statusmu yang tidak jelas, ada saja laki-laki yang ingin mencobacoba meraih hatimu. Dan itu akan terus terjadi....
Jadi Ibu tadi mendengar apa yang dikatakan oleh Pak Mardi" Ratih menatap mata sang ibu mertua.
Ya. Bu Marta mengangguk. Ratih menghela napas.
Itulah, Bu, yang menambah berat beban perasaan saya. Sulit menghindari perjumpaan dengan laki-laki semacam itu karena kita membuka warung. Siapa saja bisa datang meski cuma untuk membeli sebutir permen.
Yah, Ibu memaklumimu, Nduk. Amat sangat. Kau masih muda, harus berjuang pula untuk bisa bertahan hidup dengan membuka warung entah sampai kapan sementara ada saja orang yang mengganggumu. Ibu sendiri yang sudah tua sering merasa putus asa menghadapi penantian yang tak tahu kapan berakhirnya. Berat sekali menjalaninya. Tetapi yah... apa lagi yang bisa kita lakukan, Nduk" Bu Marta menarik napas dalam-dalam. Tak berani perempuan itu menyebut nama Hartomo, anak tunggalnya yang kini entah berada di mana.
Ratih ingin sekali memeluk Bu Marta. Dia memahami betul perasaan ibu mertuanya yang selalu berusaha untuk tidak menyebut nama yang sama-sama mereka rindukan itu. Perempuan tengah baya itu selalu saja
t . c ingin menenggang perasaannya sebagaimana ia juga sering menenggang perasaan ibu mertua yang disayanginya itu.
Bu, kalau beban berat yang kita pikul ini hanya karena lelah jasmani saja, saya masih sanggup menjalaninya. Lelah tubuh, bisa diistirahatkan. Apalagi bekerja keras bukan sesuatu yang asing bagi saya. Tetapi beban lain, beban yang ada di hati ini, saya hampir-hampir tak kuat lagi menyangganya. Jadi rasanya harus ada suatu langkah yang perlu diambil, kalau kita tidak ingin larut terbawa keadaan, sahut Ratih. Kita tidak bisa terus-menerus menanti dan menggenggam harapan yang semakin hari semakin lepas....
Ibu tidak memahami apa yang kaukatakan itu, Nduk. Sambil bertanya seperti itu, Bu Marta mendoyongkan tubuhnya. Matanya menatap bibir Ratih yang bagus, menanti suatu kejelasan dari situ.
Maksud saya, kita tidak boleh menyerah tanpa berjuang. Saya kira, pasti Ibu pun berpendapat begitu, karena kita sama-sama sudah berada di batas kesabaran dan keputusasaan. Kita harus melakukan sesuatu. Tidak hanya berdiam diri secara pasif seperti yang kita jalani selama ini. Setiap hari baru, setiap itu pula diamdiam kita berdua menyimpan harapan dan pertanyaan, kapan Mas Tom pulang dan lalu membawa kita pergi dari sini untuk mengarungi kehidupan yang lebih baik.
Kau betul, Nduk. Yah, mula-mula... setiap pagi hari mulai merekah, setiap itu pula hati kita disinggahi harapan. Tetapi se-
t . c tiap matahari terbenam, setiap itu pula harapan kita ikut terkubur bersama tenggelamnya matahari. Begitulah hari-hari terus berjalan dengan harapan yang semakin hari semakin menipis sampai akhirnya tidak lagi tersisa. Masih ditambah dengan ocehan orang-orang kampung mengenai status saya, terutama karena adanya beberapa laki-laki yang semakin terang-terangan ingin menggandeng saya. Rasanya, saya ini tidak ada harganya di mata mereka. Suara Ratih yang semula berkobar-kobar semakin lama semakin melemah dan akhirnya menjadi parau. Dihentikannya bicaranya untuk mengusap air mata yang mulai ikut berbicara.
Bu Marta langsung berdiri. Rasa ibanya terhadap sang menantu semakin dalam. Dipeluknya bahu Ratih dengan penuh perasaan dan kelembutan. Ia memahami bobolnya daya tahan perempuan itu. Ratih termasuk perempuan tabah dan sabar yang tidak mudah mengeluarkan air mata. Mengeluh juga bukan sifatnya, karenanya Bu Marta mengerti bahwa menantunya sudah berada di ambang batas kekuatannya.
Sekali lagi Ibu katakan, Ibu memahami perasaanmu, Nduk. Katakan saja terus terang kepada Ibu, apa yang sebenarnya kauinginkan. Jangan ragu untuk mengatakannya. Semua hal bisa kita rundingkan bersama, katanya sambil mengusap lembut rambut Ratih yang hitam dan lebat. Suaranya terdengar selembut elusan tangan keibuannya.
Ibu... tidak akan marah kalau saya mengatakannya dengan terus terang" tanya Ratih sambil menepis air matanya.
t . c Tentu saja Ibu tidak akan marah, Nduk. Bahkan seandainya kau ingin lepas dari ikatan perkawinanmu dengan Tomo, Ibu ikhlas, asalkan kau bahagia. Kau tidak bersalah andai mempunyai pikiran seperti itu. Hampir lima tahun lamanya kau telah menunggunya dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok atau lusa. Sudah saatnya kau memikirkan kehidupan pribadimu sendiri, kehidupan yang lebih jelas dan nyata.
Ah, Ibu belum juga mengenal hati saya. Ratih menatap wajah Bu Marta di balik tirai air matanya. Tidak selintas pun saya mempunyai pikiran untuk melepaskan diri sebagai istri Mas Tom. Saya sangat mencintainya, Bu. Saya hanya ingin adanya perubahan dalam kehidupan kita. Berhenti berdagang, kemudian pindah ke Jakarta menyusul Mas Tom. Rumah, pekarangan, dan warung ini kita jual. Entah kenapa, saya merasa yakin akan bertemu Mas Tom di sana. Kalau kita hanya berdiam diri saja di kampung, hidup ini menjadi sia-sia rasanya....
Bu Marta tidak menyahut. Matanya terasa panas sampai akhirnya air mata mengalir ke atas pipinya yang sudah mulai berkerut. Lalu cepat-cepat dihapusnya dengan ujung lengan dasternya. Sedih hati Ratih melihatnya.
Maafkan saya, Bu. Bukan maksud saya membuat hati Ibu sedih begini, katanya sambil membalas pelukan perempuan itu.
Kau tak perlu meminta maaf pada Ibu, Ratih. Ibulah yang seharusnya minta maaf kepadamu. Kalau saja kamu tidak kulamar untuk Hartomo, tentu kau seka-
t . c rang telah berbahagia hidup bersama laki-laki lain, sahut Bu Marta membantah perkataan Ratih tadi.
Itu tidak benar, Ibu. Menjadi menantu Ibu adalah sesuatu yang paling membahagiakan dalam hidup saya. Dari Ibu, saya mendapatkan kehangatan dan kasih sayang yang belum pernah saya terima dari orangtua saya yang sudah meninggal sejak saya masih kecil. Menjadi menantu Ibu, keberadaan saya lebih dihargai orang. Hidup sebagai istri Mas Tom, meskipun baru setengah tahun lamanya, saya belajar memaknai cinta dalam batin saya. Jadi, Bu, jangan pernah lagi mengatakan penyesalan Ibu karena telah melamar saya. Saya sungguh-sungguh beruntung karena Ibu melamar saya. Seandainya tidak, barangkali saja perkawinan kedua orangtua angkat saya jadi bubar karena diri saya.... Tubuh Ratih agak menggigil saat mengucapkan perkataan itu. Bu Marta yang memahami perasaan Ratih, segera memeluk tubuh perempuan muda itu semakin erat.
Sudahlah, Ratih, masa lalu yang pahit tidak usah diingat-ingat kembali, bisiknya. Ibu mengerti betul apa yang kaualami waktu itu.
Ratih mengangguk. Memang, mengingat-ingat bagaimana tangan jail ayah angkatnya yang sering mencubit pipi, lengan, bahkan pinggulnya, dengan pandangan penuh nafsu sementara ibu angkatnya menatap dengan kebencian dan kecemburuan, sering membuat Ratih gemetar sendiri.
t . c K ARENA sangat memperhatikan keberadaan Ratih,
Bu Marta tahu betul seperti apa kehidupan gadis itu sebelum menjadi istri Hartomo. Setelah menjadi gadis dewasa yang cantik, ayah angkatnya mulai bersikap kurang ajar terhadapnya. Setiap ada kesempatan, selalu mencoba menjaili Ratih. Ibu angkatnya, yang mengetahui bagaimana sang suami sedang berusaha mencari kesempatan untuk membawa Ratih ke dalam pelukannya, sering marah-marah dan mengobral kata-kata makian yang jauh dari kesopanan. Perempuan itu amat cemburu. Meskipun sang suami mengatakan bahwa elusan dan pelukan itu sebagai ungkapan kasih sayang seorang ayah, dia tidak pernah percaya karena kenal betul seperti apa mata keranjangnya sang suami. Sebagai pelampiasan rasa cemburunya, perempuan itu sering memperlakukan Ratih dengan semena-mena, melebihi
Dua t . c orang gajiannya. Bahkan makannya saja pun dibatasi. Tujuannya jelas sekali, dia ingin Ratih tidak kerasan dan lalu pergi meninggalkan rumah. Semakin cepat, semakin baik.
Bagi Ratih, berpindah-pindah tempat bukanlah hal yang aneh. Sejak masih kecil ketika ditinggal kedua orangtuanya, Ratih dibesarkan dan disekolahkan di Rumah Yatim-Piatu setelah sebelumnya berpindah-pindah dari rumah sanak keluarga yang satu ke rumah keluarga yang lain, sampai akhirnya diambil anak oleh pasangan suami-istri yang tidak mempunyai anak. Ketika itu dia baru duduk di awal SMP. Oleh kedua orangtua angkatnya yang cukup berada, Ratih disekolahkan sampai SMK dan kemudian dilanjutkan ke akademi sejenis yang sayangnya baru di tengah jalan terpaksa harus ditinggalkannya karena sang ibu angkat mulai mempersoalkan ini dan itu, yang intinya tidak rela mengeluarkan uang untuk gadis yang menyebabkan hati suaminya tergoda. Suasana panas dalam keluarga orangtuanya baru berhenti setelah Bu Marta melamar untuk anak lelakinya.
Ratih belum pernah mengenal calon suaminya. Dia hanya tahu, Bu Marta, ibu kandung pemuda itu, seorang perempuan yang menyenangkan. Ia berkenalan dengan Bu Marta di pasar saat mereka sama-sama berbelanja di tempat penjual sayuran. Bu Marta langsung tertarik pada gadis yang dengan malu-malu meminta cabai pembeliannya ditambahi. Ketika dia pergi, Bu Marta bertanya kepada si penjual sayuran. Siapa gadis cantik itu" tanyanya.
t . c Anak angkatnya Pak Sugeng. Namanya Ratih. Pak Sugeng yang kaya itu"
Ya. Tetapi istrinya pelit sekali. Kalau jumlah belanjaan Ratih kurang, dikiranya dia korupsi. Saya sering merasa kasihan padanya sehingga menambahi jumlahnya. Seperti waktu beli cabai tadi.
Sejak hari itu, diam-diam Bu Marta selalu memperhatikan Ratih. Dia jatuh hati kepada gadis yatim-piatu yang lembut dan sopan itu. Keinginannya mempunyai menantu seperti Ratih berkobar dalam hatinya. Apalagi Hartomo telah menyerahkan soal jodohnya kepada sang ibu setelah beberapa kali gagal menjalin hubungan cinta. Syaratnya, cantik dan baik. Kemudian selagi Hartomo sedang dalam keadaan kosong dan apatis, dibawanya anak lelakinya itu ke pasar untuk melihat sendiri seperti apa gadis yang diiklankannya.
Saat Hartomo melihat Ratih pertama kalinya, gadis itu mengenakan blus kaus warna kuning gading yang sudah agak pudar warnanya dan celana hitam tiga perempat. Meskipun demikian, pakaian itu pantas sekali membalut tubuhnya. Kulitnya yang kuning tampak menonjol. Betisnya yang bagus dan bersih, mencolok mata. Rambutnya yang hitam, tebal, dan panjang dijalin menjadi satu. Sungguh menarik. Soal fisik, lebih dari cukup nilainya. Gerak-geriknya juga menarik. Lembut, sopan, dan senyumnya manis sekali. Singkat kata, Hartomo setuju.
Sementara itu, Ratih terpikat kepada Bu Marta yang menampilkan sosok keibuan sebagaimana yang sering diidamkan oleh Ratih. Lembut, sabar, hangat, penuh
t . c pengertian. Karena perempuan itulah Ratih mau menjadi istri Hartomo. Apalagi ibu angkatnya tampak senang sekali saat menerima pinangan Bu Marta. Wajahnya tampak berseri-seri sehingga Ratih tahu bahwa kepergiannya sangat dinanti-nanti oleh perempuan yang sudah delapan tahun menjadi ibu angkatnya itu.
Yah, Ratih memang lebih dulu jatuh hati kepada sang ibu mertua daripada terhadap suaminya. Namun pelan-pelan akhirnya ia jatuh cinta juga kepada Hartomo. Hidup sebagai istri laki-laki itu, ia merasa keberadaannya lebih dihargai oleh orang-orang di sekitar mereka. Tidak seperti ketika masih menjadi anak angkat yang cuma dikenal lewat pintu dapur dan disiasiakan hanya karena dirinya cantik dan ayah angkatnya sering menakalinya. Para tetangga kiri dan kanan rumah mengetahui hal itu sehingga Ratih merasa malu karenanya. Ia merasa dirinya sebagai objek belaka.
Tinggal bersama Bu Marta dan Hartomo, hidup Ratih terasa lebih berarti dibanding masa lalunya. Ia diperlakukan sebagai sesama subjek. Kedua orang itu bersikap baik kepadanya. Hartomo tidak pernah berlaku kasar kepadanya seperti yang sering ia lihat di rumah tangga lain. Bahkan, laki-laki itu memberinya kebebasan untuk ikut membaca buku-buku koleksinya ketika Ratih menanyakannya. Tampaknya ia mulai tahu, Ratih suka membaca dan menyerap apa pun yang bisa diambilnya dari bacaan yang dibacanya. Jauh di lubuk hatinya, Ratih memang masih menyimpan keinginan untuk melanjutkan kuliahnya. Namun karena menyadari keadaannya, keinginan itu ditindasnya kuat-
t . c kuat. Sebagai gantinya, ia melampiaskannya dengan banyak membaca sehingga pengetahuannya terus bertambah. Hal itu tidak diketahui oleh Hartomo. Dia juga tidak tahu bahwa di rumah orangtua angkatnya, Ratih tidak memiliki kebebasan semacam itu. Baru membaca koran saja pun sudah disindir panjang-pendek oleh ibu angkatnya.
Sayangnya, sedikit kebahagiaan yang dikecap Ratih selama menjadi istri Hartomo tidak berlangsung lama. Hartomo bukanlah seperti apa yang tampak dari luar, yang tenang, sabar, dan tak banyak bicara. Jiwa laki-laki itu bagai air laut yang bergolak dan bergelombang. Dia termasuk laki-laki yang tak pernah merasa puas pada apa yang sudah didapatnya. Segala hal yang ada di seputar kehidupannya, tak pernah membuatnya merasa bahagia. Kota kecil yang nyaris tidak terlihat di peta ini bukan kota yang bisa memberinya harapan besar. Di kota kecil ini kehidupannya terasa monoton dan membosankan. Menurutnya, sulit meraih kemajuan di kota ini, kota yang statis, kota yang akan tetap begini keadaannya seperti lima tahun yang lalu, bahkan seperti sepuluh tahun yang lalu. Padahal kota-kota lain yang tak jauh dari kota ini sudah lebih dulu melangkah maju. Di sana ada banyak pertokoan baru. Ada banyak perkantoran baru. Ada banyak perumahan rakyat baru dan ada banyak tempat-tempat hiburan yang baru pula. Maka seperti tahun-tahun yang telah berlalu, pagi-pagi dia akan berangkat ke tempat pekerjaannya dengan kereta api yang singgah di setiap kota yang dilewati. Atau dengan bus tanpa AC yang pengap. Dan menje-
t . c lang senja, dia akan mengarungi perjalanan yang sama, pulang ke rumah. Dengan demikian dia akan tetap bekerja sebagai kepala bagian pembukuan pabrik gula yang jauhnya sekitar 40 kilometer dari kotanya yang tenang namun tanpa geliat kemajuan apa pun itu. Tidak ada tantangan di kota ini.
Rasa tak puas itu semakin berkembang di balik dadanya ketika di suatu saat bertemu dengan bekas sahabatnya waktu kuliah di Yogya dulu. Wisnu, temannya itu mengundangnya ke Jakarta. Suatu kesalahan baginya karena ia memenuhi undangannya. Di Jakarta, matanya jadi terbuka lebar dan rasa tak puas yang selama ini menghuni batinnya semakin meluas hingga ke sudut-sudutnya. Sama-sama lulus dengan nilai yang sama, kehidupan mereka berdua tampak jauh berbeda. Hidup Wisnu enak sekali. Rumahnya besar dan mewah, dengan garasi yang terisi dua mobil yang sama mewahnya. Pergaulannya luas. Istrinya tampak modern dan sangat menarik. Padahal jika dibanding Ratih, kecantikan perempuan itu kalah jauh. Sayangnya, Ratih tampak kuno. Ke mana-mana rambutnya hanya dijalin menjadi satu. Pakaian yang dikenakannya sederhana dan ketinggalan zaman. Sudah begitu, tangannya sering berbau bumbu-bumbu dapur. Dan lebih dari itu, istri temannya itu mempunyai latar pendidikan yang setara. Bicara dengannya, enak dan selalu nyambung. Masih ditambah dengan humor-humor menyegarkan yang menyebabkan Hartomo teringat pada Ratih yang pemalu dan tak pernah berani mengemukakan pendapat. Perempuan itu terlalu patuh dan tidak suka membantah
t . c apa pun yang dikatakannya sehingga menyebabkannya tidak bersemangat untuk bercakap-cakap terlalu lama dengannya. Kurang mendapat respons dan kurang menerima tantangan. Menjemukan, rasanya.
Maka begitulah, sepulangnya dari Jakarta Hartomo semakin merasakan ketidakpuasannya terhadap kehidupan yang dijalaninya. Ia dan Wisnu sama-sama berlatar pendidikan sama dan sama-sama pula berangkat dari keluarga sederhana. Tidak ada kelebihan Wisnu darinya. Tetapi nasib mereka bagaikan bumi dan langit. Hal itu membuatnya merasa malu pada dirinya sendiri. Dia cuma pegawai di pabrik gula. Kendaraannya, kereta api jarak dekat atau bus antarkota yang kadang-kadang sering mogok dan ia harus ganti kendaraan lain. Dia tinggal di pinggiran kota kecil sementara temannya tinggal di kota metropolitan yang modern dan penuh dengan berbagai keramaian. Jika malam tiba, telinganya hanya mendengar suara jangkrik dan binatang malam lainnya yang berasal dari sawah atau kebun yang tak jauh dari rumahnya. Sedangkan di rumah Wisnu di Jakarta, ia bisa mendengar suara musik dengan sound system yang serbamutakhir atau menonton film baru yang katanya belum diputar di gedung-gedung bioskop. Di kotanya yang kecil ini hanya ada film India atau film lokal yang sudah ketinggalan zaman. Jika di rumahnya hanya ada lampu yang kurang terang demi menghemat pembayarannya, di rumah Wisnu serbaterang keluar dari lampu-lampu kristal yang gemerlap. Jika di rumah ingin minum dingin, ia harus membeli es batu di ujung jalan sana. Di rumah Wisnu, ia tinggal mem-
t . c buka lemari es besar yang penuh berisi minuman dan makanan. Kalau di rumah pada waktu udara panas hanya ada kipas angin yang bunyinya sudah berkeriut-keriut, di rumah Wisnu tinggal memijit remote untuk menyalakan AC. Di dalam ataupun di luar rumah Wisnu, ada bermacam kesenangan yang bisa dinikmatinya.
Semakin dibandingkan dan dipikirkan, semakin hati Hartomo merasa gelisah. Ia tidak puas terhadap apa pun kehidupan yang sedang dijalaninya. Hatinya terasa sakit oleh gejolak perasaan dan pemberontakan jiwanya yang menginginkan perubahan untuk mendapatkan kehidupan seperti yang dinikmati temannya itu. Ia ingin berjuang di kota Jakarta untuk meraih kesuksesan dan menjalani kehidupan yang kelihatannya serbaenak di sana.
Hartomo tidak memahami bahwa hidup di Jakarta sangat keras dan penuh kebisingan yang menyesakkan. Orang-orang Jakarta justru ingin merasakan kehidupan yang tenang, damai, dan apa adanya sebagaimana yang dialami oleh mereka yang tinggal di kota-kota kecil. Itulah mengapa jika ada liburan tiga hari saja, penduduk Ibukota ramai-ramai pergi ke luar kota, yang jauh dari keramaian dan kemacetan lalu lintas. Mereka tak segansegan mengeluarkan uang demi mengurangi beratnya tekanan hidup di kota besar yang serbasemrawut dan sikut-sikutan. Mulai jalan-jalan yang macet dan para pengendara yang seenaknya nyelonong atau menyalip, sampai pada kata umpatan-umpatan kotor saat kaca spion tersenggol atau saat ada mobil berhenti seenaknya
t . c sendiri. Sesungguhnya, kemarahan yang mudah tersulut, kata-kata makian yang mudah berhamburan dan agresivitas yang sulit terkendali di Jakarta adalah ungkapan frustrasi kumulatif yang mereka alami sehari-hari. Beratnya perjuangan hidup untuk mendapatkan sesuap nasi bagi keluarga menyebabkan orang mudah melupakan martabat sebagai manusia beradab. Kota Jakarta memang merupakan tempat perjuangan hidup yang teramat berat dan tempat orang jadi mudah kehilangan kesabaran untuk mendapatkan jatah dan giliran dengan mengantre, yang acap kali membuang waktu dan tenaga. Dalam hal apa pun. Mulai rebutan tempat parkir, duduk di depan ruang praktek dokter, sampai di bank dan di muka kasir saat hendak membayar belanjaan atau yang lain. Yah, jangankan berjuang untuk meraih kehidupan yang lebih baik, berjuang untuk naik kendaraan umum pun membutuhkan kesabaran dan keuletan tersendiri di Jakarta. Tetapi Hartomo kurang memahami semua itu. Dia tidak menyaksikan kenyataan lain yang ada di Ibukota. Laki-laki itu hanya melihat kehidupan Wisnu yang serbaenak dan kemudahan-kemudahan yang didapat saat ia tinggal selama satu minggu di sana dan yang menyebabkannya semakin merasa jemu terhadap kehidupannya sendiri.
Setelah berminggu-minggu perasaan Hartomo digerogoti penderitaan akibat rasa tidak puas terhadap kehidupannya sendiri, dampaknya mulai terlihat. Pekerjaannya di kantor banyak yang salah. Sedikit-sedikit ia marah pada anak buahnya. Di rumah pun demikian. Melihat Ratih memakai daster yang agak kebesaran
t . c dan warnanya sudah pudar, Hartomo merasa kesal. Melihat Ratih hanya memakai bedak tanpa riasan yang berarti, Hartomo merasa jengkel. Bahkan ia mulai sering marah kepadanya hanya karena kesalahan-kesalahan kecil yang tidak disengaja tetapi yang selalu diterima oleh istrinya dengan sabar dan diam tanpa ada bantahan dari mulutnya. Tetapi justru karena itulah hati Hartomo semakin kesal. Ratih benar-benar membosankan. Jika diajak bicara mengenai apa saja, perempuan itu hanya mengangguk-angguk bagai burung tekukur kendati Hartomo sering menangkap ketidaksetujuan dari pandang mata istrinya itu. Padahal dia tahu, Ratih cerdas. Tetapi perempuan itu tak pernah berani mengemukakan pendapat, mengira bahwa kepatuhan semacam itu merupakan sesuatu yang menyenangkan hati suami.
Ratih memang belum mengenal Hartomo yang sebenarnya. Laki-laki itu tidak menyukai sesuatu yang pasif. Di dalam pembicaraan, ia ingin disanggah atau dikritisi sehingga percakapan mereka menjadi seru, di mana ada situasi saling mengisi, saling berbagi, dan saling adu argumentasi yang bisa memperkaya masing-masing pihak. Bagi Hartomo, bercakap-cakap dengan Ratih sangat tidak menyenangkan. Sama sekali perempuan itu tidak bisa diajak berdiskusi. Sikapnya malu-malu, takut-takut, dan serba membosankan. Kecantikannya sama sekali tidak lagi menarik bagi Hartomo. Apalagi jika dia teringat pada istri sahabatnya di Jakarta. Istri Wisnu pandai merias diri dan memakai pakaian-pakaian yang serasi, berbau harum pula dan selalu tampil
t . c prima penuh gaya. Apalagi jika sedang berada di balik kemudi mobil dengan kacamata hitamnya. Perempuan itu sungguh menawan, meskipun tidak terlalu cantik. Singkat kata, Hartomo mulai sadar bahwa dia telah menikah dengan istri yang bukan pilihannya. Ibunyalah yang memilihkannya dan dia mulai menyesal telah menyetujui pilihan ibunya yang membosankan itu.
Ketika Hartomo sudah tidak tahan lagi menyimpan rasa tak puasnya, ia mengajak Ratih bicara. Kepada istrinya, ia memaparkan keinginannya untuk merantau ke Jakarta.
Aku ingin mengubah nasib kita, Ratih. Terus terang aku merasa bosan menjalani kehidupan yang statis dan membosankan seperti ini. Kalau bukan kita sendiri yang berusaha mengubahnya, siapa lagi" Selagi masih muda, aku harus memperjuangkan apa yang ingin kucapai. Kota Jakarta merupakan kota yang menjanjikan, begitu antara lain yang dikatakannya kepada Ratih dan juga kepada ibunya.
Saat itu, Ratih tidak banyak memberinya tanggapan ataupun pendapat. Perempuan itu tidak mau menunjukkan keberatannya. Namun Hartomo tahu, istrinya itu sering menangis dengan diam-diam sejak mendengar niatnya untuk merantau ke Jakarta. Sungguh, memang membosankan perempuan pilihan ibunya itu. Terlalu Jawa.
Hartomo tidak sadar bahwa itulah cara Ratih menunjukkan perasaan cintanya. Karena cinta Ratih kepadanyalah maka ia selalu meluluskan apa pun yang diinginkannya. Ratih tidak ingin mengecewakan hati
t . c Hartomo. Ratih tidak ingin menghalang-halangi citacita lelaki itu. Maka dibiarkannya Hartomo meninggalkan kota kelahirannya untuk berjuang ke Jakarta demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Kelak jika telah berhasil, Hartomo akan kembali ke rumah, memboyong istri dan ibunya ke Jakarta untuk memulai kehidupan yang bahagia bersama-sama. Harapan Hartomo menyatu dengan harapan Ratih ketika ia mengantar kepergian laki-laki itu. Harapan Hartomo yang menggunung itu telah menulari Bu Marta dan juga Ratih saat mereka menghapus air mata perpisahan di ambang pintu rumah.
Tetapi itu dulu, bertahun-tahun yang lalu ketika mendengar janji Hartomo untuk datang menjemput mereka begitu telah berhasil mengubah harapan menjadi kenyataan. Kini, hampir lima tahun berlalu setelah tahun-tahun awal yang berat tanpa pemasukan apa pun dan tanpa kabar apa pun dari Hartomo. Ratih dan Bu Marta terpaksa membuka warung yang untungnya bisa menghidupi mereka berdua. Namun harapan yang semula menggunung itu telah terpapras rata menjadi tanah. Bahkan telah menggerus sedikit demi sedikit, meninggalkan lubang-lubang yang menganga di hati Ratih dan hati ibu mertuanya.
Bu Marta memahami perasaan dan keinginan Ratih untuk menyusul Hartomo ke Jakarta. Tampaknya perjuangan dan pengalaman hidup dengan membuka warung telah mengajari Ratih untuk berani melangkah dan berpikir sesuatu yang lain. Bahwa keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ia harus memper-
t . c juangkan kehidupan yang lebih baik dan lebih layak sambil mencari berita di mana keberadaan Hartomo sekarang. Tampaknya tekad perempuan itu telah bulat.
Ya, Ratih memang telah memikirkan segalanya demi menyusul Hartomo ke Jakarta. Ia masih menyimpan alamat Wisnu. Beberapa tahun yang lalu, Ratih pernah menulis surat untuk Hartomo ke alamat Wisnu. Namun surat itu kembali dengan catatan tidak dikenal . Jadi Ratih mulai berpikir, kalau ia menyusul ke Jakarta dan menemukan alamat rumah teman Hartomo tersebut, setidaknya akan ada sedikit berita mengenai suaminya itu. Kalaupun Wisnu pindah rumah atau pindah kota misalnya, tetangga kiri dan kanan rumahnya pasti tahu ke mana mereka pindah. Sebab seperti itulah yang selalu dialami orang-orang sekotanya jika pindah rumah. Saat pamit, mereka akan meninggalkan alamat.
Lama Bu Marta merenungkan apa yang dikatakan oleh Ratih sambil menangis tadi. Sebenarnya, menyusul Hartomo adalah juga keinginannya. Tetapi akal sehatnya mengatakan bahwa tindakan itu merupakan tindakan yang ceroboh mengingat mereka berdua belum pernah pergi ke Jakarta dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman mengarungi kehidupan di kota besar. Tetapi kalau tetap hanya tinggal di rumah saja dan menunggu sesuatu yang tidak jelas, kapan berakhirnya" Bukankah seperti katak merindukan rembulan" Sama-sama menghadapi nasib yang tidak jelas, rasa-rasanya rencana untuk menyusul Hartomo ke Jakarta merupakan langkah yang mengandung harapan. Ada suatu geliat atau
t . c gerakan yang lebih pasti daripada hanya diam menunggu saja.
Ratih..., kata Bu Marta, lama kemudian. Sebenarnya, Ibu tidak keberatan mendengar usulmu itu. Tetapi kita juga harus berpikir jauh dan dalam lebih dulu, apakah keinginan kita itu masuk akal" Bayangkanlah, Ratih, ke mana kita nanti harus menuju dan bagaimana menjalani kehidupan di kota besar yang masih amat asing bagi kita itu" Sudah begitu, tanpa bekal yang berarti pula.
Bekal kita ada beberapa, Bu. Pertama, tekad dan kebersamaan di antara kita berdua untuk saling bergandeng tangan, berjuang bersama-sama mengarungi kehidupan seperti yang telah kita jalani selama ini. Kedua, saya sudah bertanya macam-macam hal kepada Pak Hamid dan juga pada Arif, anaknya, ketika dia datang bulan lalu.
Pak Hamid dan anaknya yang berdagang di Jakarta itu" Bu Marta memotong perkataan Ratih. Pak Hamid adalah tetangga mereka yang tinggal di dekat lapangan, depan kelurahan.
Ya, betul. Ibu kan tahu, Pak Hamid dan anaknya mempunyai usaha di Jakarta. Setiap dua atau tiga bulan sekali, mereka bergantian pulang ke sini untuk kulakan. Nah, saya sudah minta bantuan kepada mereka untuk melihat-lihat rumah kontrakan yang murah di sana....
Mengontrak rumah di Jakarta kan mahal, Ratih. Dari mana uangnya" Lagi-lagi Bu Marta memenggal bicara Ratih.
t . c Bu, pekarangan rumah kita kan luas. Kita jual saja sebagian. Begitupun isi warung kita. Uangnya untuk mengontrak rumah yang kecil saja dan untuk berdagang sesuatu entah apa nanti, yang akan saya tanyakan kepada Pak Hamid yang sudah lebih berpengalaman hidup di Jakarta. Ekonomi keluarganya sekarang kan lumayan enak, Bu.
Ya, Ibu tahu itu. Tetapi apakah kamu yakin kita akan mampu bertahan, Ratih" Pak Hamid dan anaknya itu kan laki-laki yang kuat dan biasa berdagang ke mana-mana. Sedangkan kita ini cuma dua orang perempuan yang lemah dan tanpa pengalaman pula.
Ibu harus merasa yakin. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya mempunyai kekuatan dan kemampuan yang sama untuk melayari kehidupan. Jadi, perempuan bukan orang yang lemah, Bu. Kesempatannyalah yang sering terhambat atau dihambat akibat budaya. Namun asuhan budaya patriarki yang menempatkan perempuan harus lebih sabar, harus lebih tahan banting, harus lebih teliti, harus lebih hati-hati, dan lain sebagainya itu juga menghasilkan perempuan-perempuan yang lebih ulet, lebih peka melihat segala sesuatu, dan lebih tekun dibanding laki-laki yang diasuh untuk lebih mempergunakan otot dan otak. Padahal apabila laki-laki dan perempuan sama-sama dididik untuk mempergunakan otak, rasa, dan kemampuan lainnya tanpa pemilahan akibat jenis kelaminnya kecuali yang menyangkut kodrat terberi, dunia ini bisa digarap bersama-sama. Maksudmu, Nduk"
t . c Maksud saya, jika Pak Hamid dan anaknya yang berjenis kelamin laki-laki itu bisa sukses, kita kaum perempuan juga bisa mencapai kesuksesan yang sama. Bahwa mereka lebih berpengalaman, itu karena jam terbang mereka lebih lama. Bukan karena mereka lakilaki. Dan itu bisa dipelajari sambil dijalani oleh siapa pun, entah dia laki-laki entah pula dia perempuan, termasuk kita.
Bu Marta menatap Ratih dengan perasaan takjub. Baru menelorkan rencana ke Jakarta saja perempuan yang biasanya pendiam itu sudah bisa mengeluarkan pendapat yang bisa membuka wawasan orang yang diajaknya bicara. Jika mereka nanti ada di jakarta, pasti menantunya itu bisa lebih melihat, mendengar, dan belajar banyak hal yang akan menambah kematangan pribadinya. Bu Marta tidak tahu bahwa karena banyak membaca maka pengetahuan umum Ratih terus bertambah dan bertambah, namun ia tak berani mengutarakannya di hadapan Hartomo. Di hadapan laki-laki itu ia lebih suka mengangguk-angguk daripada beradu argumentasi. Baginya, menyenangkan hati sang suami yang dicintainya adalah nomor satu. Menurutinya dan patuh padanya adalah salah satu caranya. Tetapi itu dulu, lima tahun yang lalu.
Nduk, kau sudah yakin pada niatmu untuk pergi ke Jakarta" Bu Marta bertanya lagi, masih belum bisa mengibaskan keraguannya untuk pergi ke Jakarta. Sudah, Bu.
Bu Marta menatap Ratih. Perempuan yang biasanya peragu dan tak yakin pada diri sendiri itu tiba-tiba ber-
t . c ubah menjadi orang yang memiliki kepercayaan diri yang begitu nyata.
Langkah apa yang sudah kaurencanakan tetapi belum kamu katakan pada Ibu" Ini perlu Ibu ketahui agar keraguan hati Ibu terkikis, tanyanya.
Saya sudah bertanya banyak hal menyangkut rencana kita kepada Pak Hamid dan anaknya. Mereka bersedia membantu kita untuk melihat-lihat keadaan, mencarikan lowongan pekerjaan dan peluang dagang apa saja yang bisa kita ambil di sana.
Berdagang apa, misalnya"
Belum tahu, Bu. Mungkin membuka warung seperti di sini. Tetapi yang jelas, saya akan mencari pekerjaan di Jakarta. Saya kan lulusan SMK, Bu. Biasanya lebih mudah mencari pekerjaan daripada lulusan SMU. Kalau perlu saya akan menambah pengetahuan dengan mengikuti kursus menjahit atau kursus mode, untuk menunjang apa yang sudah pernah saya pelajari di sekolah. Pokoknya, Bu, Ibu tidak usah khawatir. Seandainya kita gagal... tetapi mudah-mudahan tidak, kita kan masih bisa kembali ke rumah ini. Selama kita tinggal, rumah ini kita kontrakkan saja pada yang mau. Jangan dijual. Mudah-mudahan di Jakarta nanti ada berita yang akan kita dapatkan mengenai keberadaan Mas Tomo.
Saat berbicara seperti itu, mata Ratih tampak berbinar-binar. Air matanya entah telah menguap ke mana, Bu Marta tidak tahu. Tetapi melihat hal itu hati perempuan separo baya itu tersentuh. Semangat dan tekad menantunya telah menularinya. Di lubuk hatinya, ia
t . c juga ingin mencari di mana anak kandung satu-satunya itu berada.
Bagaimana, Bu" Terdengar oleh Bu Marta, Ratih berbicara lagi.
Bu Marta menarik napas panjang. Ia memahami keinginan Ratih. Di kampungnya dan kampung-kampung tetangga, sudah banyak orang tahu bahwa Ratih ditinggal pergi oleh suaminya tanpa ada kabar berita. Statusnya yang bisa dianggap sebagai janda, lalu wajahnya yang jelita dan sifatnya yang baik merupakan daya tarik tersendiri bagi laki-laki di seputar kehidupan mereka. Tentu menyebalkan bagi perempuan muda itu. Meninggalkan kota kecil yang relatif lebih mudah bergosip merupakan upaya untuk menghindari hal-hal semacam itu. Namun membayangkan hidup di kota yang begitu besar dan serbaasing, hati Bu Marta masih saja merasa gamang. Berbagai bayangan buruk terus berseliweran di kepalanya.
Ratih, Ibu masih ngeri membayangkan bagaimana kita berdua harus berjuang dari nol di tempat yang sama sekali asing. Tanpa kenalan pula..., sahutnya, lama kemudian.
Bu, seperti yang sudah saya katakan, Pak Hamid dan anaknya akan mencarikan rumah kontrakan yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Keduanya bisa diandalkan, Bu. Mereka pasti akan menolong kita. Ibu tidak perlu merasa cemas. Kan sudah saya katakan tadi, kalau perjuangan kita gagal, kita bisa pulang kembali ke sini setelah memberitahu pada yang mengontrak rumah ini bahwa kita akan kembali. Beri mereka waktu
t . c satu atau dua bulan untuk menyiapkan segala sesuatunya, sahut Ratih dengan suara meyakinkan. Nanti sebelumnya saya akan membuat surat kontrak perjanjian ke notaris, Bu. Jadi Ibu tidak usah khawatir.
Tetapi ah... rasanya kok masih ngeri saja membayangkannya, gumam Bu Marta.
Terus terang saya juga merasa ngeri. Tetapi dengan keyakinan dan tekad untuk berjuang, saya yakin kita akan dilindungi Tuhan, Bu. Apalagi niat kita kan baik, sahut Ratih menenangkan. Kalau dipikir-pikir, di kampung ini pun saya merasa ngeri. Ada Brata, ada Pak Mardi, ada si Soleh pegawai kantor pos itu, dan ada anak-anak muda yang mondar-mandir di depan warung kita. Lama-lama bisa nekat juga mereka. Apalagi Pak Mardi. Apa sih yang tidak bisa dilakukannya dengan uangnya yang banyak itu" Kalau sudah punya kemauan... hiii. Ratih menggenggam kedua belah telapak tangannya dengan perasaan ngeri. Ada orang yang mengatakan bahwa Pak Mardi mempunyai aji-aji makanya bisa kaya dan disukai perempuan.
Yah... kau benar, Tih. Tetapi... bagaimana kalau Tomo kembali ke sini sementara kita malah ada di Jakarta"
Itu pun sudah saya pikirkan, Bu. Kita bisa minta bantuan kepada para tetangga kiri dan kanan rumah kita ini. Kita juga bisa meminta bantuan siapa pun yang nanti akan mengontrak rumah ini. Pak Hamid atau Arif juga bisa kita mintai bantuan kalau alamat kita nanti sudah jelas.
Yah... benar juga..., Bu Marta bergumam pelan.
t . c Bu, perlu Ibu ketahui bahwa jauh di lubuk hati saya, ada harapan besar bahwa cepat atau lambat kita akan berjumpa dengan Mas Tomo. Ada banyak cara untuk mencarinya, Bu. Dengan melalui iklan koran setempat, misalnya. Atau apa saja yang belum terpikirkan oleh saya sekarang. Tetapi yang jelas, harapan itu ada. Sedangkan dengan tetap tinggal di sini, harapan kita sudah pupus sejak kemarin-kemarin, kan"
Bu Marta menarik napas panjang lagi. Kemudian menatap mata Ratih dengan penuh perasaan.
Baiklah, Ratih, perkataanmu ada benarnya, sahutnya kemudian. Sudah diputuskan olehnya bahwa ia akan mengikuti keinginan Ratih. Meskipun Ibu masih ragu dan bahkan merasa ngeri, tetapi kalau kita berdua bersatu hati dan bergandeng tangan untuk menjalani kehidupan di Jakarta nanti, mudah-mudahan segala sesuatunya bisa berjalan lancar. Kalaupun mengalami kesulitan, kita akan bisa mengatasinya bersama-sama.
Saya lega mendengar perkataan Ibu. Semoga perjuangan kita diberkati Tuhan sehingga bisa lekas bertemu kembali dengan Mas Tom dan berkumpul lagi seperti dulu....
Amin. Mudah-mudahan harapan kita ini bisa terwujud menjadi kenyataan di Jakarta nanti. Bukan dirimu saja yang kehilangan Hartomo, Nduk. Ibu pun sebagai ibu kandungnya, mengalami hal yang sama, sahut Bu Marta, menanggapi perkataan Ratih. Suaranya terdengar bergelombang, menahan tangis.
Ya, Bu. Mudah-mudahan kedua upaya kita akan berhasil, bertemu kembali dengan Mas Tom dan meng-
t . c angkat ekonomi keluarga. Suara Ratih juga bergelombang, menahan tangis.
Di lubuk hatinya yang terdalam, muncul kerlip cahaya harapan baru yang akan menjadi bekal dan lentera bagi langkah-langkah yang akan diambilnya esok atau lusa bersama Bu Marta. Harapan yang pernah menyala beberapa waktu setelah Hartomo pergi, sudah padam sedikit demi sedikit sejak tahun-tahun pertama berlalu tanpa kabar berita dari suaminya itu. Tetapi kini dengan rencana pindah ke Jakarta, muncul cahaya harapan baru yang akan dibawanya pergi ke sana untuk mencari Hartomo sambil mencoba memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Ratih sudah bertekad untuk berjuang mati-matian di Ibukota.
t . c B AGI dua orang yang masih belum mengerti merah
dan hijaunya kehidupan kota metropolitan, pindah ke Jakarta hanya dengan bekal tekad, harapan, dan uang yang tidak begitu banyak, sungguh merupakan anugerah tersendiri saat mereka bisa langsung menempati sebuah rumah begitu tiba di Jakarta. Pak Hamid berhasil mencarikan rumah kontrakan bagi mereka, yang meskipun kecil tetapi lumayan menyenangkan dengan lingkungan yang bersih. Letaknya memang di gang kecil yang cukup padat namun tertata rapi.
Berkat Pak Hamid dan anaknya yang dengan tulus hati memperlancar kepindahan mereka ke Jakarta, Ratih dan ibu mertuanya bisa mulai menapaki kehidupan barunya tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Bahkan kompor, kasur, dan dua kursi plastik berikut mejanya sudah tersedia di sana. Semuanya baru.
Tiga t . c Padahal Ratih hanya minta ditalangi dua lembar kasur dan kompor saja. Untung saja Pak Hamid mau menerima uang penggantian yang diberikan Bu Marta, meskipun pada awalnya menolak.
Kami tidak ingin berutang budi terlalu banyak, Dik. Terimalah uang ini, kata Bu Marta. Kalau tidak, kami benar-benar merasa sangat tidak enak. Sudah merepotkan, masih membebani pula. Ayolah. Persaudaraan kita bisa ditunjukkan dengan banyak hal lainnya kok.
Sementara itu, rumah mereka di kampung telah dikontrak oleh tetangga kampung sebelah yang bermaksud melanjutkan usaha warung mereka. Sedangkan sebagian tanah pekarangan mereka dibeli oleh Pak Mardi, yang ingin mengulurkan jasa baiknya. Tentu dengan harapan Ratih akan segera kembali ke kampung setelah gagal menemukan Hartomo, yang menurut perkiraannya pasti sudah menikah lagi. Di Jakarta ada banyak perempuan yang ahli meraih hati laki-laki. Dengan pemikiran seperti itulah Pak Mardi sempat berbisik pada Ratih ketika mengulurkan uang pembelian tanah milik Bu Marta, peninggalan almarhum ayah Hartomo.
Kalau bosan hidup di Jakarta, kembalilah, Ratih. Aku masih tetap berharap dapat memperistri dirimu. Kalau kau mau menjadi istriku, tanah itu akan kukembalikan kepadamu....


Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ratih menelan rasa terhina itu tanpa menjawab apa pun. Baginya, Pak Mardi akan menjadi masa lalunya. Ia akan terus berjuang di Jakarta sampai menemukan Hartomo kembali. Kalaupun tidak, di sana ia harus
t . c mampu meraih sukses demi membahagiakan ibu mertuanya sehingga perempuan yang sudah dianggapnya sebagai ibu kandung itu bisa menikmati hari tuanya dengan nyaman dan senang. Mereka tidak perlu lagi membuka warung yang hanya memberi kesempatan bagi laki-laki iseng yang ingin menggodanya dengan berpura-pura berbelanja ini dan itu.
Atas nasihat Bu Marta, mereka berdua segera mengurus keberadaan mereka ke ketua RT dan datang untuk berkenalan dengan tetangga sekitar rumah. Mereka semua menghargai sikap Bu Marta dan Ratih karena di Jakarta sekarang ini sudah tidak banyak lagi orang yang mau melakukan hal-hal semacam itu.
Sebagai perantau, kita harus bisa menempatkan diri dengan baik, Ratih, Begitu Bu Marta memberi nasihat. Para tetangga adalah saudara kita, karena merekalah yang pertama-tama akan kita mintai tolong atau kita beri pertolongan jika terjadi sesuatu. Bukan saudara sedarah. Hartomo adalah contohnya, Nduk.
Ya, saya mengerti. Biarpun kita mempunyai banyak saudara sedarah tetapi kalau rumahnya jauh-jauh dan jarang bertemu, kan para tetanggalah yang akan menjadi saudara kita karena merekalah yang setiap hari bertemu dan mengetahui keadaan masing-masing. Jadi mereka jugalah yang akan lebih dulu tahu kalau kita jatuh di jalan, misalnya.
Amit-amit, ah. Tetapi ada yang jauh lebih penting, yaitu bertetangga dengan baik dan saling menghargai. Akrab, tetapi ada batasnya. Jadi hindari berkasak-kusuk dan bergosip. Hindari pula rasa ingin tahu urusan
t . c orang. Sebab semua itu bisa menjadi bibit pertikaian tak sehat.
Ratih tertawa. Tinggal di kota kecil atau di kota besar sama saja, Bu. Harus bisa menjalin hubungan baik dengan para tetangga. Bedanya, ketika kita di kampung, jarak rumah kita dengan tetangga kan jauh. Tetapi di sini, jarak rumah kita dengan rumah tetangga, berdekatan. Menguap saja pun terdengar oleh tetangga, katanya kemudian. Bu Marta juga tertawa.
Betul itu, Nduk. Kita memasak sayur lodeh, tetangga ikut membaui. Tetangga menggoreng ikan asin, jemuran pakaian kita ikut bau ikan asin. Tetapi yang penting sejauh itu tidak merugikan, ya biar sajalah. Ya, Bu. Setuju.
Setelah urusan dengan para tetangga selesai dan sudah pula mengisi rumah ala kadarnya, Ratih mulai sibuk mencari pekerjaan. Setiap hari ia membeli beberapa koran untuk mencari lowongan pekerjaan. Namun sampai dua bulan berlalu, masih saja belum ada lowongan yang cocok untuknya. Padahal seluruh pendengaran dan matanya dipertajam kalau-kalau ada orang membutuhkan pegawai. Baginya, menjadi pelayan atau kasir di toko kecil pun dia mau. Tetapi sayangnya, lowongan seperti itu belum ada.
Diam-diam hati Ratih mulai kecut memikirkan keuangan mereka yang mulai menipis. Bekal uang yang mereka bawa bisa habis hanya untuk keperluan seharihari dan untuk makan saja. Kalau dia tidak segera mendapat pekerjaan, entah apa yang akan terjadi. Bagai-
t . c mana pula ia bisa menelusuri keberadaan Hartomo tanpa bekal uang yang cukup. Ongkos kendaraan yang harus dikeluarkan setiap harinya, tidak sedikit. Jarak antara tempat yang satu dengan yang lain berjauhan dan harus berganti-ganti kendaraan. Yah, tinggal di Jakarta tanpa pekerjaan dan pendapatan memang merupakan hal yang mengerikan.
Meskipun Ratih tidak mengatakan apa-apa, Bu Marta tahu masalah yang sedang mereka hadapi. Karenanya diam-diam dia mulai membuat nasi uduk berikut lauk-pauknya. Ada tahu, tempe, dan ampela-ati goreng. Ada irisan telor dadar, emping, dan bawang goreng. Harganya, tergantung apa lauknya. Untunglah masakan Bu Marta sedap. Aroma nasi uduknya wangi dan rasanya gurih. Langganannya semakin banyak sehingga sebentar saja jualannya pasti habis.
Wah, bukannya saya yang mencari uang, tetapi malah Ibu, kata Ratih dengan perasaan mulai tertekan.
Siapa yang mencari uang, tidak masalah. Bu Marta yang semula juga merasa kecut hati memikirkan hari esok, kini mulai bisa tersenyum kembali. Lagi pula, yang menanak nasi uduk dan menggoreng lauknya kan kamu. Ibu cuma membuat bumbunya dan setelah matang menjualnya di teras sambil menyiangi sayuran untuk makan siang kita. Senang bisa melakukan sesuatu yang ada hasilnya, Nduk. Menganggur saja tidak enak. Kamu terlalu memanjakan Ibu.
Sahutan Bu Marta menenangkan Ratih. Untuk sementara, keuntungan dari nasi uduk sudah mencukupi untuk kebutuhan makan mereka. Apalagi Ratih menam-
t . c bahi jualan mereka dengan lontong isi buatannya. Semula dia membelinya di pasar, kemudian dipelajarinya untuk kemudian ditirunya dengan lebih bervariasi dan berbumbu lebih enak. Ada yang diisinya dengan oncom berbumbu dan ada yang diisi dengan oseng sayuran yang dicampur sedikit daging cincang supaya gurih. Lontongnya juga laris. Rupanya orang Jakarta suka makan enak dan tahu saja kalau ada makanan yang enak dan praktis untuk sarapan.
Namun, kebutuhan manusia bukan hanya makan saja. Mereka juga membutuhkan biaya-biaya lain untuk ini dan itu, seperti misalnya sabun cuci, pembersih lantai, gas, iuran RT untuk urusan sosial, sampah dan keamanan, lalu listrik, ongkos transportasi, dan lain sebagainya. Dan itu membutuhkan pemasukan.
Arif, anak Pak Hamid yang dengan diam-diam memonitor kehidupan orang sekampungnya itu, mengetahui bagaimana setiap pagi Bu Marta dan Ratih berjualan nasi uduk. Ia mengerti kesulitan mereka. Terutama karena Ratih belum juga mendapat pekerjaan. Oleh sebab itu, dia terus mencarikan pekerjaan untuknya. Untunglah sebagai pedagang, ia mempunyai pergaulan yang cukup luas. Berkat hubungan itulah akhirnya ia mendapat informasi mengenai lowongan pekerjaan yang tampaknya cocok untuk Ratih. Berita itu dibawanya ke tempat Bu Marta dan Ratih pada sore itu.
Mbak Ratih, apakah kau sudah mendapat pekerjaan" tanyanya begitu dipersilakan duduk. Pemuda lulusan STM itu tampak lebih dewasa daripada umurnya yang baru dua puluh satu tahun.
t . c Belum, Rif. Ternyata tidak mudah mencari pekerjaan yang cocok di Jakarta ini, sahut yang ditanya.
Maukah kau bekerja di perusahaan konveksi, Mbak" tanya Arif lagi. Ada lowongan, Mbak. Perusahaan itu mencari karyawan lagi. Kurang orang.
Aduh, mau sekali. Di mana itu, Rif" Apa persyaratannya"
Arif mengatakan tempat yang dimaksud. Tetapi Ratih tidak bisa membayangkannya. Dia masih belum banyak mengetahui tempat-tempat yang ada di Jakarta. Kota ini terlalu luas.
Wah, aku tidak tahu. Jauh tidak sih" tanyanya. Yah, lumayanlah jauhnya. Tetapi cuma dua kali ganti kendaraan saja. Nanti kuantar kau melamar ke sana dengan motorku.
Begitulah, setelah melalui wawancara dengan pemiliknya langsung, Ratih diterima bekerja di perusahaan yang cukup besar itu sebagai pengawas, merangkap penjahit di bagian aplikasi untuk pakaian anak-anak dan taplak-taplak meja makan. Ada sekitar dua ratus lebih karyawan yang bekerja di tempat itu. Sekali lagi, Ratih berutang budi kepada Pak Hamid dan Arif.
Rif, utang kami kepadamu dan kepada Pak Hamid, sungguh amat besar. Entahlah, apakah kami akan mempunyai kesempatan membalas budi kalian, tetapi aku berharap sungguh-sungguh, kalau kalian membutuhkan tenaga atau pikiran kami, jangan segan-segan mengatakannya.
Aduh, Mbak. Jangan sungkan-sungkan begitu ah. Sesama perantau dari kampung yang sama, kita ini kan
t . c saudara. Kalau aku atau Bapak mengalami sesuatu, pasti larinya ke sini. Masa ke tempat kenalan-kenalan yang hampir semuanya merupakan teman bisnis. Ya, kan"
Iya sih. Tetapi sulit menghilangkan perasaan bahwa kalian betul-betul seperti malaikat penolong kami.
Sudahlah, jangan berlebihan. Lagi pula, kalau dipikir-pikir ke belakang, ibuku juga banyak berutang budi kepada Bu Marta. Waktu kau belum menjadi istri Mas Tomo, ibuku sering meminjam uang kepada Bu Marta kalau kiriman uang dari Jakarta terlambat datang. Bahkan beberapa kali Bu Marta menolak uangnya dikembalikan. Beliau mengetahui betul kesulitan Ibu membesarkan lima anak saat Bapak masih berjuang di Jakarta. Waktu itu, usaha Bapak memang masih kembang-kempis. Baru setelah aku lulus STM dan membantunya, usaha kami mulai naik daun sedikit demi sedikit. Jadi, janganlah soal utang budi dipersoalkan. Aku yakin, kalau aku yang mengalami kesulitan, pasti Mbak Ratih akan membantu. Ya, kan"
Iya, iya. Ratih tertawa. Sepanjang jalan, sambil mengobrol Ratih mencoba mempelajari jalan-jalan yang nantinya akan dilaluinya setiap hari.
Gaji yang diterima Ratih selama tiga bulan percobaan, tidak banyak. Tetapi itu sudah mencukupi kalau hanya untuk hidup sederhana berdua dengan Bu Marta. Apalagi ibu mertuanya masih tetap berjualan nasi uduk karena perempuan itu tidak suka hanya berdiam diri saja. Tetapi lontong isi hanya dibuat pada hari Sabtu dan Minggu saja, saat Ratih libur. Setelah tiga bulan masa percobaannya berlalu, Ratih
t . c mendapat kenaikan gaji. Dengan berhemat-hemat, ia mengumpulkan uang untuk belajar menjahit dan memperdalam pengetahuan tentang tata busana. Jadi ketika uangnya telah mencukupi, Ratih langsung mengikuti kursus sepulangnya dari pekerjaan. Bahkan dengan mencicil, ia juga memaksakan diri membeli mesin jahit. Alasannya, kursus sesuatu tanpa dipraktikkan, kurang optimal hasilnya. Itu benar, karenanya sebagai uji coba, ia sering mempraktikkan apa yang sudah dipelajarinya dengan membuat pakaian untuk dirinya sendiri atau untuk Bu Marta.
Bu Marta sering merasa iba melihat betapa sibuknya Ratih sekarang. Waktunya habis untuk bekerja, mengikuti kursus, mengarungi jalan-jalan raya yang macet dan membereskan urusan rumah tangga.
Tih, apa kau tidak kecapekan" tanyanya di suatu hari ketika melihat Ratih mencuci pakaian. Sejak Ratih bekerja, Bu Marta memaksa untuk mencuci pakaian mereka. Tetapi Ratih menolaknya sehingga akhirnya ia hanya mencuci pakaiannya sendiri agar pekerjaan Ratih agak berkurang. Dia tidak tega melihat beratnya pekerjaan Ratih.
Capek sih capek, Bu. Tetapi hati saya senang, sahut Ratih sambil tersenyum manis. Bahkan ada gairah baru dalam diri saya. Hidup ini jadi terasa lebih berarti karena banyaknya tantangan baru yang bukan saja menambah pengetahuan, tetapi juga pengalaman hidup. Ibu kan tahu, saya suka sekali belajar.
Ya, Ibu tahu itu. Sering kali Ibu memergokimu sedang membaca buku-buku pengetahuan milik Hartomo.
t . c Tetapi, Nduk, antara kemauan dan fisik kita kan sering bertolak belakang. Ibu khawatir kalau-kalau kau jatuh sakit karena kelelahan.
Ibu tidak perlu merasa khawatir. Saya masih muda dan kuat. Mengenai kesibukan yang sedang saya geluti ini, pasti akan berkurang dengan sendirinya kalau kursus saya nanti selesai. Meskipun capek, tetapi hati saya senang sekali, Bu. Di situ saya belajar bagaimana merancang pakaian dan mempelajari model-model apa yang pantas untuk orang tua, orang muda, gadis remaja, anak-anak, tubuh kurus, tubuh gemuk, dan lain sebagainya. Semua itu ada kaitannya dengan pelajaran yang pernah saya terima di SMK dulu.
Syukurlah kalau kamu senang. Terus terang Ibu sering kagum melihat caramu berpenampilan sekarang. Kau bertambah cantik, rapi dan menarik.
Semula saya agak risi juga memakai sepatu agak tinggi dan berpakaian begini. Tetapi Bu Susi, bos saya, mengatakan bahwa sebaiknya saya berpenampilan lebih modern karena saya bekerja di perusahaan konveksi yang mengeluarkan berbagai gaun dan pakaian.
Bu Susi betul, Nduk. Mana ada orang tertarik membeli kalau karyawannya berpakaian lusuh dan ketinggalan zaman, sahut Bu Marta sambil tertawa. Tetapi apakah ada pembeli eceran yang datang ke tempatmu bekerja itu, Nduk"
Lumayan banyak, Bu. Di samping pabrik, ada toko khusus untuk pembeli yang hanya membutuhkan pakaian buat diri mereka sendiri dengan harga yang relatif lebih murah dibanding harga di pasar. Kalau sudah di
t . c tangan kedua, apalagi ketiga dan dijual di toko-toko, harganya bisa dua kali lipat lebih, Bu.
Oh, begitu. Hm... rupanya kau sudah kerasan dan senang di kota ini ya, Ratih..." pancing Bu Marta.
Bu, tinggal di mana pun saya senang asalkan ada kesibukan yang berarti. Asalkan pula ada kemajuan yang bisa saya raih dan asalkan ada Mas Tom di kota itu. Diam-diam saya masih terus mencoba mencari berita mengenai dia. Kepada Arif, saya juga sudah minta supaya mau memasang mata dan telinganya kalau-kalau mengetahui keberadaan Mas Tom.
Bu Marta langsung terdiam. Dia tahu betul betapa besar cinta Ratih kepada Hartomo. Sungguh, laki-laki itu tak tahu diuntung, pikir Bu Marta, menyesali anak kandung satu-satunya itu.
Melihat kilatan sedih di mata ibu mertuanya, Ratih segera mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih menyenangkan. Tadi ia telah terlepas bicara.
Bu, setelah setengah tahun lebih bekerja di perusahaan konveksi, timbul cita-cita dalam diri saya untuk suatu saat membuka usaha jahitan dan pakaian jadi di rumah. Saya sudah bisa menjahit berbagai model pakaian dan dari berbagai jenis bahan, katanya. Menjadi tuan atas diri saya sendiri, tentu lebih menyenangkan. Kita bisa bebas menciptakan model dan mengarahkan selera masyarakat.
Usaha Ratih mengalihkan perhatian Bu Marta berhasil. Perempuan setengah baya itu tersenyum menatap Ratih. Ada rasa haru yang menyelinap ke hatinya. Ia merasa lega sekali. Ratih sekarang berbeda dengan
t . c Ratih ketika masih di kampung. Ratih yang sekarang berani mengemukakan perasaan dan bahkan pendapatnya. Rupanya kebiasaan kota besar dan kebutuhan untuk bisa mengemukakan pendapat, telah menulari perempuan muda itu. Di kota kecil di Jawa Tengah dengan budaya Jawa yang sering mengharuskan orang untuk mengekang kemauan sendiri dan perasaannya, termasuk ketidakpuasannya, demi menghindari konflik terbuka, tidak cocok dibawa ke Jakarta.
Mudah-mudahan cita-citamu itu terwujud, Nduk. Jadi, Ibu setuju"
Tentu saja Ibu setuju. Bahkan senang, sebab kalau kau nanti mempunyai usaha sendiri di rumah, waktumu tentu akan lebih banyak di rumah. Tidak harus kepanasan atau kehujanan di jalan. Tidak usah berebut kendaraan umum, sahut Bu Marta. Tetapi yang juga harus kaupelajari adalah pemasarannya, Nduk. Belajarlah nanti pada Pak Hamid.
Ratih tersenyum lembut. Ya, Bu. Mmm... apakah selama saya bekerja dan banyak berada di luar rumah, Ibu merasa kesepian" tanyanya kemudian.
Ya, sejujurnya kuakui, memang demikian. Tidak enak sendirian di rumah tanpa dirimu. Tidak ada yang diajak bicara, jawab Bu Marta terus terang. Aku belum terbiasa. Sejak kau menjadi menantuku, baru sekarang inilah kau meninggalkan rumah setiap hari. Tetapi ini kan bagian dari perjuangan kita. Jadi ya harus dilalui.
Sabarlah, Bu. Saya masih harus banyak belajar dan mencari pengalaman dulu. Nanti pasti akan tiba saat-
t . c nya saya berusaha di rumah. Ibu bisa membantu saya biar ada kesibukan yang menyenangkan.
Ah, aku bisa membantu apa tho, Nduk" Ibu kan tidak punya keahlian apa-apa kecuali masak.
Ah, Ibu kan bisa membuat pembukuan sederhana seperti waktu kita membuka warung. Atau apa sajalah nanti kalau usaha yang saya cita-citakan sudah terwujud. Pokoknya, apa pun itu kita jalani bersama.
Bu Marta terdiam lagi. Ia teringat kepada Hartomo. Seharusnya laki-laki itu ada bersama ibu dan istrinya untuk ikut berjuang bersama-sama. Bukannya pergi tanpa kabar. Tidak sadarkah Hartomo, dia telah menorehkan luka di dada ibu dan istrinya"
Kenapa Ibu tampak sedih" Ratih meraih pikiran Bu Marta yang sedang melayang jauh entah di mana.
Ibu sering kali bersyukur kepada Tuhan, alangkah baiknya Dia telah memberiku seorang menantu yang menyayangiku dan kusayangi melebihi anak kandung sendiri. Terlebih sejak Hartomo pergi begitu saja, seperti ingin melupakan masa lalunya, termasuk ibu kandungnya sendiri..., sahut Bu Marta dengan suara yang semakin lama semakin bergelombang.
Sekarang ganti Ratih yang terdiam. Hartomo memang keterlaluan, pikirnya dengan perasaan perih. Sukses atau tidaknya perjuangan seharusnya dipahami sebagai bagian dari kiprah hidup manusia yang wajar dialami oleh siapa pun. Tidak perlu merasa malu. Tidak perlu merasa diri kurang. Tidak perlu merasa menjadi manusia yang gagal. Justru mengakui kekalahan dan kegagalan, itu adalah sikap kesatria seorang manu-
t . c sia yang matang jiwanya. Lalu seperti apakah Mas Tomo" Tidakkah dia mengerti bahwa di kota Jakarta ini, kota tempat ia tinggal entah di mana pun keberadaannya, ada dua orang perempuan yang sangat mencintainya. Tidakkah sesirat pun muncul keinginan di hatinya untuk pulang kembali ke kampung halaman, menjumpai ibu dan istrinya" Kasihan ibunya. Entah sudah berapa banyak tangisnya tertumpah karena merindukan anak satu-satunya itu.
Ratih sangat memahami perasaan Bu Marta kendati perempuan itu tak pernah mengeluhkan penderitaan batinnya. Oleh karena itulah ia tidak pernah bercerita bahwa beberapa bulan yang lalu dengan diantar Arif, ia pergi mencari rumah Wisnu. Saat melihat rumah mewah itu, Ratih mengerti mengapa Hartomo merasa tidak nyaman dan tidak betah lagi tinggal di kampungnya yang muram dan tampak membosankan. Entah bagaimana hasil perjuangannya, Ratih tidak tahu. Ia hanya tahu bagaimana rasanya dihantam kekecewaan dan kesedihan saat tuan rumah keluar dan mengatakan padanya bahwa rumah itu bukan milik Wisnu lagi karena sudah dijual kepadanya. Itu artinya, tidak ada berita baik yang ia bisa bawa untuk ibu mertuanya. Jadi lebih baik dia merahasiakan kegagalan usahanya itu.
Sesungguhnyalah, saat mendengar informasi dari pemilik baru rumah mewah itu, Ratih ingin menangis keras-keras karena satu-satunya rantai penghubung yang ia harapkan, putus berkeping-keping. Pantas saja suratnya kepada Hartomo dulu kembali ke tangannya. Pindah ke manakah mereka" tanyanya kemudian,
t . c masih sambil berharap mendengar berita yang lebih jelas.
Pindah ke Australia, Mbak.
Harapan yang masih tersisa di hati Ratih, langsung lenyap.
Australia" Apakah dia meninggalkan alamat di sana atau paling tidak, nomor ponselnya"
Ya, dia meninggalkan alamat dan nomor ponselnya. Silakan duduk dulu, Mbak. Akan saya carikan nomor telepon dan alamatnya di Australia.
Mendengar jawaban itu, harapan tadi muncul dan berkelip kembali di hati Ratih. Maka begitu mendapat nomor HP Wisnu, Ratih langsung mengajak Arif mampir ke wartel. Perbedaan waktu antara Jakarta dan Perth Australia tidak banyak. Tetapi ternyata teleponnya tidak terjawab. Barangkali saja Wisnu sudah berganti nomor, pikir Ratih dengan perasaan semakin kecewa. Malam harinya agar Bu Marta tidak mengetahuinya, Ratih menulis surat kepada Wisnu untuk mencari berita mengenai Hartomo kepada sahabat suaminya itu. Ia memakai alamat tempatnya bekerja agar surat balasan dari Wisnu, itu jika dia membalasnya, tidak diketahui oleh ibu mertuanya. Rencananya, jika berita itu positif, barulah ia akan menceritakannya pada Bu Marta. Tetapi ternyata bukan berita positif yang diterimanya. Jawaban Wisnu mengatakan bahwa ia tidak pernah bertemu Hartomo lagi sejak bertahun-tahun yang lalu.
Maafkan kami ya, Jeng, terpaksa menceritakan kenyataan ini. Tomo pernah meminjam uang kepada saya untuk modal usaha. Tetapi gagal dan dia tidak bisa
t . c mengembalikan pinjamannya. Entah mungkin malu atau bagaimana, sejak itu ia menghilang dan tidak pernah datang ke rumah kami lagi. Saya tidak tahu apakah dia mengetahui atau tidak mengenai kepindahan kami ke Australia karena sudah lama tidak ada kontak di antara kami. Saya mendapat pekerjaan di sini dan usaha istri saya membuka rumah makan Indonesia mulai membuahkan hasil sehingga perlu penanganan sepenuhnya di sini..., begitu antara lain isi surat Wisnu kepadanya.
Untunglah usahanya mencari Hartomo ketika itu tidak dikatakannya kepada Bu Marta. Pastilah hati ibu mertuanya itu akan semakin dipenuhi rasa kecewa dan sedih ketika mengetahui jawaban Wisnu.
Sejak membaca surat dari Wisnu, sering kali perasaan Ratih diselimuti dugaan-dugaan yang membuat tubuhnya jadi gemetar. Jangan-jangan Hartomo melakukan kejahatan dan kini berada di penjara" Berjuang di Jakarta tidaklah semudah yang dipikirkan. Sekarang Ratih mengetahui betul mengenai hal tersebut. Suaminya itu terlalu menggampangkannya. Jadi jangan pernah mengadu nasib di Jakarta kalau tidak mempunyai modal uang, bakat, dan keahlian tertentu yang bisa dijual . Jangan pernah mengadu nasib ke Jakarta kalau hatinya tidak sekuat baja dan tekadnya tidak sekeras besi.
Ratih tidak tahu secara persis bagaimana Hartomo menghadapi dan menjalani kehidupannya di Jakarta. Ia menjadi istri laki-laki itu hanya selama enam bulan saja, dengan hubungan yang kurang hangat dan komunikasi yang kurang lancar. Masih banyak yang ia tidak
t . c ketahui mengenai Hartomo. Masih belum sepenuhnya ia mengenal seperti apa suaminya itu. Cintanya yang mendalam kepada sang suami telah membutakan halhal lainnya. Rasa terima kasihnya pada sang suami yang mengentaskannya dari kehidupannya sebagai anak angkat yang disia-sia telah menyebabkan apa pun yang dilakukan oleh laki-laki itu tidak ada yang salah dalam pandangan matanya.
Tetapi kini setelah Ratih semakin dewasa dan pengalaman hidupnya semakin bertambah, cara perempuan itu menilai berbagai hal dalam kehidupan mulai diwarnai objektivitas. Maka mata Ratih juga mulai terbuka dan bisa melihat bahwa Hartomo bukanlah pribadi yang tangguh. Bukan pula laki-laki yang jiwanya matang. Bahkan bukan laki-laki yang memiliki prinsip kuat untuk berpegang pada kesetiaan. Tidak ada kesetiaan kepada ibunya. Tidak ada kesetiaan pada istrinya. Tidak ada kesetiaan pada tanah kelahirannya, dan tidak ada kesetiaan pada janjinya sendiri untuk menjemput mereka. Segala janji dan ucapan-ucapannya tidak berpijak pada landasan yang kuat. Segala hasrat dan gejolak jiwanya untuk mengubah nasib, tidak mengakar pada kematangan daya pikirnya. Jadi kalau mengalami kegagalan, mengapa ia harus malu pulang" Bagi Ratih, dijemput Hartomo sebagai suami yang berhasil mencapai kesuksesan atau sebagai suami yang mengalami kegagalan dalam perjuangannya di Jakarta, bukan hal yang penting. Baik atau buruk suaminya itu, ia sudah telanjur mencintainya. Itulah yang salah pada diri Ratih, terlalu mencintai Hartomo.
t . c Ratih menarik napas dalam-dalam sambil melirik ke arah Bu Marta yang masih duduk tercenung. Wajah perempuan itu begitu penuh gurat-gurat kesedihan yang belakangan ini semakin kentara. Sudah hampir satu tahun mereka berdua tinggal di Jakarta, namun setitik pun berita mengenai Hartomo belum mereka dapatkan. Laki-laki itu bagai hilang ditelan bumi. Pasti berat sekali bagi seorang ibu berusia hampir enam puluh tahun yang begitu merindukan anak satu-satunya yang kini entah berada di mana.
Hati Ratih perih sekali saat menatap wajah menderita sang ibu mertua. Sampai kapan perempuan itu menanti dan berharap untuk berjumpa kembali dengan sang anak"
Bu..." Merasa tak tahan, Ratih mencoba meraih kembali pikiran Bu Marta agar tidak terlalu larut dalam kesedihannya.
Ya..." Nanti sore kita jalan-jalan, mau ya, Bu" usulnya. Jalan-jalan" Ke mana"
Pokoknya melihat sesuatu yang menyegarkan mata, telinga, dan mulut kita. Saya ingin mentraktir Ibu. Nanti kita naik taksi biar Ibu tidak capek berdesakan dengan orang lain. Mau ya, Bu"
Apakah itu bukan pemborosan, Nduk" Bukan, Bu. Sudah lama sekali kita tidak pernah bersenang-senang mencari hiburan. Sesekali kita perlu melihat dunia luar, menyaksikan sesuatu yang bukan nasi uduk atau sinetron yang tidak jelas apa pesan moralnya itu. Bukankah Ibu sering menggerutu, sinetron-
t . c sinetron kita terlalu banyak kekerasan dan mengajari kita jadi jahat" Daripada begitu, nanti kita nonton film di luar ya, Bu"
Tidak usah, Nduk. Kita jalan-jalan saja lalu makan sesuatu yang belum pernah kita cicipi, entah apa nanti akan kita lihat. Soal film, hehe... Ibu sekarang suka menonton film Asia lainnya kok. Kisah cintanya lembut. Lalu sifat-sifat ketimurannya begitu kental. Menghargai dan hormat terhadap orangtua, bahkan terhadap siapa pun yang usianya lebih tua. Antara kejahatan dan kebaikan terlihat jelas sehingga sepertinya penonton diajak untuk memihak kebenaran. Sudah begitu... suara Bu Marta terhenti oleh tawa Ratih, apanya yang lucu, Tih"
Ratih masih tertawa. Kemajuan dalam berpikir dan berpendapat bukan hanya ada pada dirinya saja, rupanya. Tetapi juga pada ibu mertuanya.
Ibu sekarang hebat lho. Bisa mengemukakan pendapat, katanya kemudian.
Itu karena aku sering mendengar pendapat orangorang yang mengobrol saat mereka membeli nasi uduk kita, senyum Bu Marta. Terutama pendapat Bu Wiwik, guru SMP yang sering membeli nasi uduk untuk sarapan keluarganya. Kemarin dia bercerita tentang berbagai jajanan tak sehat yang sering dikonsumsi anak-anak sekolah. Ada yang memakai zat pewarna tekstil, ada yang memakai pengawet, pemanis buatan, boraks, formalin, dan lain sebagainya. Itu kan berbahaya sekali. Kasihan anak-anak yang tidak tahu apa-apa
t . c itu. Mudah-mudahan orangtua mereka mengetahui bagaimana memilih jajanan yang tidak berbahaya.
Tanggung jawab moral orang kita memang merosot sekali sekarang ini, komentar Ratih. Saya senang Ibu bisa menyerap yang positif dari obrolan mereka. Sebelumnya saya sempat merasa khawatir kalau-kalau sekeliling meja nasi uduk kita itu akan menjadi tempat bergosip ibu-ibu.
Yah, memang ada juga sih yang seperti itu. Sama seperti di kampung kita juga. Tetapi Ibu kan sudah tua dan telinga tua ini sudah terlatih untuk tidak ikut-ikutan dengan mereka.
Obrolan mereka terhenti setelah Ratih menjemur pakaian yang baru selesai dicucinya. Diam-diam perempuan muda itu merasa lega bisa mengalihkan pikiran Bu Marta meskipun hatinya ingin menjerit. Dia betul-betul sangat memahami perasaan ibu mertuanya itu. Jangankan ibu kandung yang melahirkan Hartomo, dia sebagai istri yang belum lama dinikahinya saja pun merasakan betapa pedihnya hidup dalam penantian yang tidak jelas di mana akhirnya ini.
t . c R ATIH berjalan pelan-pelan mengitari bagian penjahit
kemeja. Sebagian besar para penjahit itu masih berusia muda. Laki-laki dan perempuan. Semangat mereka masih tinggi dan tenaga mereka juga masih prima. Apalagi di pagi hari yang begitu cerah dan baru kemarin mendapat gaji pula. Dompet mereka masih penuh isinya.
Ratih mendekati seorang gadis yang sedang memasang lengan kemeja. Selain kelepak leher, memasang bagian lengan memang agak sulit. Kalau kurang pas memasangnya, tidak enak dilihat. Apalagi dipakai. Kening gadis itu berbintik-bintik keringat. Ia belum lama bekerja di perusahaan itu.
Ada kesulitan, Dik Marti" tanya Ratih kepadanya. Tidak, Kak. Tetapi saya tidak bisa mengerjakannya dengan cepat seperti teman-teman, sahut yang ditanya, agak gugup.
Empat t . c Ratih tersenyum menenangkan.
Lebih baik lambat daripada cepat-cepat mengerjakan tetapi salah. Kalau sudah telanjur salah, agak sulit memperbaikinya. Coba kulihat hasilnya yang sudah jadi, Dik.
Marti mengambil kemeja yang sudah selesai dikerjakannya. Dengan cermat Ratih memperhatikan jahitan dan pemasangan lengannya.
Ini sudah jauh lebih baik daripada kemarin-kemarin, Dik. Tidak usah terpengaruh pekerjaan teman. Mereka sudah lama bekerja di sini, katanya kemudian. Cuma untuk selanjutnya, jarak antara jahitan dengan obrasan jangan terlalu dekat, supaya tidak lekas lepas, ya" Kalau tidak salah, kemarin Kakak sudah mengatakannya.
Ya, Kak. Jahitan yang ini memang kurang sempurna. Saya lupa untuk mengambil jarak agak jauh.
Untungnya jahitanmu rapi, Dik. Tetapi untuk selanjutnya diingat-ingat ya, Dik Marti. Meskipun merupakan jahitan konveksi, kita tetap harus menjaga mutunya. Jangan sampai pembeli kapok membeli. Ya, Kak. Akan saya perhatikan.
Juga perhatikan kemeja-kemeja jahitanmu yang ukuran small ini, jangan sampai tercampur dengan jahitan teman yang lain. Terutama dengan jahitan Nanang yang ukuran medium, karena duduk kalian agak berdekatan, kata Ratih lagi.
Jangan khawatir, Kak. Saya tidak pernah lupa menjahitkan merek dan ukuran baju di bagian belakang kelepak lehernya kok.
t . c Bagus. Memang pada permulaannya kita sering terbentur pada kesulitan ini dan itu. Tetapi lama-kelamaan sambil memejamkan mata pun kita bisa melakukannya. Aku senang kau cepat belajar, Dik.
Terima kasih, Kak. Ratih ganti mendekati tempat Nanang.
Ini dia, pemuda yang sudah mahir menjahit. Dengan mata sebelah pun, dia bisa menjahit, Ratih berbicara agak pelan. Jangan sampai didengar yang lain.
Sebelah mata bagaimana, Kak" Nanang tersenyum agak malu-malu. Dia sudah menangkap arah bicara Ratih.
Lha itu, mata yang satunya kan sejak tadi menyangkut ke sebelah kiri terus. Hati-hati lho tanganmu bisa kena jarum.
Marti yang duduk di sebelah kiri Nanang tersipusipu malu. Dia sudah merasa, teman kerjanya yang belum lama dikenalnya itu menaruh hati kepadanya. Sesungguhnya, Marti yang manis dengan lekuk lesung pipinya itu juga menyukai Nanang. Pemuda itu lumayan ganteng. Tetapi karena belum lama berkenalan, Marti tidak berani menyambut godaan Ratih. Ratih tertawa lembut, memahami perasaan Marti. Jangan dimasukkan ke hati godaan saya tadi ya, Dik, katanya sambil menepuk bahu Marti. Itu tadi cuma senda-gurau sebagai selingan kerja, penghilang rasa bosan.
Marti hanya tersenyum saja. Ia semakin menyukai Ratih yang banyak membimbingnya dengan penuh kesabaran. Matanya mengikuti gerakan gemulai Ratih yang
t . c sedang berjalan ke ruang sebelah dengan pandangan kagum. Hari itu Ratih tampak cantik sekali dengan gaunnya yang berwarna kuning gading dan rambut panjangnya yang diikat di samping kepala. Telinganya menangkap pembicaraan dua rekan kerja yang duduk tak jauh di belakangnya. Suara mesin jahit mereka terhenti.
Kau lihat Kak Ratih tadi, Sri" Salah seorang di antara mereka yang duduk di belakang mulai bergosip. Warna lipstiknya tidak lagi tipis-tipis seperti semula. Rambutnya diikat di sisi kepala. Tambah cantik, dia. Temannya yang bernama Sri tertawa.
Kau ketinggalan zaman, Nik. Aku sudah melihatnya sejak beberapa hari yang lalu. Tetapi memang seharusnya begitu kalau bekerja di perusahaan pakaian jadi. Biarpun sangat cantik, tetapi kalau kelewat sederhana kan kurang menarik. Bisa-bisa orang segan membeli produk kita, sahutnya kemudian.
Ya, aku ingat ketika dia baru bekerja di sini. Rambutnya kelimis, dikepang satu, di belakang. Pakaiannya keluaran zaman Majapahit. Temannya juga tertawa mengikik.
Kudengar, Bu Susi memanggilnya dan meminta dia supaya memperhatikan penampilannya.
Ya, aku juga mendengarnya. Lihat sekarang, dia telah menjadi bunga perusahaan ini.
Hush... pagi-pagi sudah membicarakan orang, seorang laki-laki yang dikenal Marti dengan sebutan Gatotkaca karena kumisnya yang tebal, menyela bisik-
t . c bisik kedua orang tadi. Mesin jahit mereka tak berjauhan.
Kedua gadis tadi tertawa cekikikan.
Wah, pacarnya diomongin, marah dia, kata Ninik. Enak saja kalau bicara. Bisa-bisa aku dilabrak Pak Dody. Kelihatannya dia naksir berat pada orang yang sedang kalian gosipkan itu.
Sri dan Ninik semakin mengikik sehingga dibentak lagi oleh si Gatotkaca.
Wah... malah semakin menjadi. Ayo, teruskan kerja kalian.
Suaramu itu lho, Mas. Kedengaran sekali nada cemburumu. Diam-diam kau jatuh hati kepadanya, kan"
Kalian mau diam enggak sih"! si Gatotkaca membentak lagi. Kalau kalian mengoceh yang bukan-bukan, aku tidak jadi mentraktir mi pangsit lho.
Demi mi pangsit, aku akan diam. Sri tertawa. Tetapi untuk... sementara, Ninik menyambung. Tawa Sri menyembur mendengar perkataan Ninik.
Awas, jangan berlebihan kalau menggodaku. Bisabisa dikira orang, aku betul-betul memperhatikan Mbak Ratih. Aku tahu diri kok. Secantik dia, mana mau melirik aku. Sudah begitu kedudukannya di perusahaan ini kan lebih tinggi daripada aku, kata si Gatotkaca lagi.
Wah, aku mendengar curahan hati si pungguk merindukan rembulan, Ninik mulai menggoda lagi.
Batal janjiku mentraktir mi pangsit! si Gatotkaca mengancam.
t . c Ampun... ampun, Raden Gatotkaca. Kami mau mi pangsit.
Kalau begitu, cepat selesaikan pekerjaanmu, si Gatotkaca berkata lagi. Nanti istirahat jam makan siang, kutraktir kalian berdua. Tetapi minumnya es teh saja, ya.
Ninik dan Sri tertawa mengikik lagi.
Dasar pelit. Mestinya jangan diberi nama Gatotkaca, tetapi Abu Nawas, bisik Sri dengan suara agak keras agar didengar orang. Tak pelak lagi, para pekerja yang duduknya di sekitar mereka, ikut tertawa geli. Tetapi kemudian dilanjutkan dengan suara mesin jahit, sambung-menyambung. Mereka sadar, tidak boleh terlarut oleh canda ria.
Sementara itu, Ratih terus berkeliling mengawasi dan mencatat laporan para anak buahnya. Ada yang mengatakan mesin jahitnya seret sehingga tak bisa bekerja cepat, ada yang melapor bahan untuk membuat pakaian tertentu habis stoknya, ada yang melapor anaknya sakit sehingga minta izin pulang lebih cepat untuk mengantarkannya ke dokter, ada yang mengatakan kehabisan kancing warna tertentu dan seribu satu macam laporan lainnya.
Begitulah setiap hari Ratih bekerja, pagi-pagi berkeliling dari meja mesin jahit yang satu ke meja yang lain, mencatat laporan-laporan dan membantu apa saja yang perlu dibantunya. Sesudah itu ia akan duduk di sudut ruang besar itu untuk mengurus laporan, memilah isi laporan yang diterimanya dan menyampaikan laporan yang berkaitan dengan kekurangan bahan atau materi
t . c produksi ke bagian pembelian. Kemudian ia mulai memeriksa jahitan-jahitan yang sudah jadi kalau-kalau ada yang kelewatan memasang kancing atau jahitannya kurang rapi, lupa atau keliru memasang merek, ukuran pakaian, dan sebagainya. Kalau semuanya oke, ia akan memasukkan pakaian-pakaian itu ke kantong plastik dan mengikatnya selusin-selusin untuk setiap ukuran dan jenis modelnya.
Hari itu, Ratih langsung duduk di muka mesin jahit yang biasa dipakai oleh Bu Ina menjahit daster-daster. Selama Bu Ina sakit, Ratih mengambil alih pekerjaan perempuan itu.
Sampai lewat tengah hari, setelah menyelesaikan tiga daster ukuran small, Ratih menghentikan pekerjaannya yang secepat kereta api ekspres itu. Untuknya, tidak sulit menjahit daster yang telah dipotong oleh bagian pembuat pola dan pemotongan di ruang sebelah. Dia teringat salah satu toko di Pasar Mayestik, yang paling banyak mengambil barang-barang produksi mereka, telah dua kali menelepon minta segera dikirimi empat lusin daster beraplikasi dengan belahan depan. Itu artinya, ketiga daster yang baru selesai dibuatnya itu harus segera dibawa ke bagian bordir dan aplikasi supaya cepat selesai.
Saat berjalan ke sana, seorang perempuan yang juga bekerja di bagian penjahitan daster seperti Bu Ina menghentikan langkah kakinya.
Mau ke bagian aplikasi, Dik Ratih" Ya. Kenapa"
Maaf, apakah aku boleh titip daster yang sudah
t . c kuselesaikan sejak kemarin. Kakiku sakit kalau terlalu banyak dibawa jalan. Sepertinya penyakit asam uratku kumat.
Oh, silakan saja. Mana" Berapa banyak dan apakah sudah dicatat jumlah dan jahitan siapa"
Sudah, Dik. Terima kasih, ya"
Ratih mengangguk sambil tersenyum. Setelah membawa tumpukan daster itu, ia pergi ke bagian bordir dan aplikasi. Ada sekitar sepuluh orang di sana. Ratih pergi ke sudut, ke tempat tiga perempuan muda sedang mencatat dan menghitung tumpukan barang dagangan yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik dengan cap perusahaan mereka. Ratih meletakkan tumpukan daster itu ke atas meja besar, tak jauh dari tempat ketiganya sedang bekerja.
Wah, datang lagi setumpuk daster yang belum diaplikasi. Hampir semuanya warna biru dan pink, kata salah seorang di antaranya. Namanya Endang. Wajahnya manis dengan bentuk bibir indah.
Ya. Kenapa" tanya Ratih.
Kami kehabisan benang sulam warna biru dan merah muda, sahut yang ditanya.
Lho, kalau tak salah kemarin baru saja kuambilkan masing-masing warna satu kotak.
Sudah habis untuk membordir pakaian anak-anak. Kami semua ngebut kerja kemarin.
Kok pakaian anak-anak" Ratih merasa heran. Pertanyaan yang wajar. Biasanya yang sering didahulukan penyelesaiannya adalah daster-daster. Pakaian itu yang paling banyak dipesan. Kata agen yang memesan,
t . c daster merupakan pakaian favorit ibu-ibu dari semua tingkatan usia maupun sosial karena enak dipakai di rumah dan praktis. Bahkan kalau bahannya bagus dan panjangnya sampai ke mata kaki, bisa dipakai keluar rumah dengan jilbab yang senada warnanya. Begitu juga rumah-rumah bersalin sering memesan daster dengan belahan depan. Informasi itulah yang menyebabkan bagian produksi daster selalu mencari inovasi baru. Ada yang dibordir pada bagian lengan dan lubang lehernya, ada yang diaplikasi bagian atas dada dan sakunya, ada yang diberi ploi bagian depannya, ada yang lengannya diberi kerutan, dan lain sebagainya. Begitupun bahannya. Ada yang terbuat dari bahan polos, dari katun berbunga-bunga, dari batik, dan lain sebagainya.
Kau lupa kalau Lebaran tinggal dua setengah bulan lagi ya, Mbak" Terdengar suara Endang membalikkan pertanyaan Ratih tadi. Lagi pula, Bu Susi yang menyuruh kami untuk mendahulukan pakaian anak-anak. Bukan ide kami-kami di sini.
Begitu rupanya. Alangkah cepatnya waktu berlalu, kata Ratih. Baiklah, nanti kumintakan benang biru dan pink. Ada lagi"
Lengkapi saja benang berbagai warna. Terutama warna-warna cerah yang cocok untuk pakaian anakanak, kata salah seorang di antara mereka.
Baik. Ratih mengangguk. Sekarang, pakaian anakanak yang sudah jadi disimpan di mana"
Itu pertanyaan wajar, sebetulnya, karena Ratih bertugas memeriksa kalau-kalau ada jahitan yang kurang sempurna. Hasil karya dari bagian mana pun harus
t . c melalui pemeriksaannya sebelum di-pack untuk dikirimkan kepada para pemesan.
Di lemari besar. Endang menjawab pendek, tanpa memandang yang mengajaknya bicara. Tampaknya pertanyaan Ratih tadi tidak disukainya.
Merek dan ukuran pakaian sudah dipasang juga, kan" Demi tugasnya, Ratih tetap melontarkan pertanyaan yang pasti juga tak disukai Endang.
Beres semua. Malah sudah masuk dos. Bu Susi sendiri yang memeriksa dan menyuruh orang untuk mengikatnya selusin-selusin.
Ratih mengangguk lagi. Ia mendengar lagi nada tak senang dalam suara Endang. Terutama saat gadis itu mengucapkan perkataan Bu Susi sendiri yang memeriksa. Kata-kata itu mendapat tekanan yang kurang enak didengar.
Syukurlah kalau begitu. Ratih mencoba bersikap wajar, seakan tidak mendengar nada tak enak suara Endang tadi. Aku akan mengambilkan benang-benang bordir pesanan kalian.
Sambil berjalan ke arah ruang kerja Bu Susi yang terletak di samping ruang penyimpanan alat-alat dan keperluan jahit, Ratih memikirkan sikap Endang dan kedua temannya yang tidak pernah ramah kepadanya. Terutama Endang yang sering kali bersikap sinis. Dia yakin, begitu dirinya berlalu, ketiganya pasti akan membicarakannya. Ratih tidak tahu pasti apa sebabnya. Dia hanya menduga-duga, barangkali Endang merasa iri terhadap kepercayaan yang diberikan Bu Susi kepadanya. Endang sudah bekerja lama di perusahaan ini, te-
t . c tapi Ratih yang baru menjadi karyawannya telah mendapat banyak kepercayaan. Kalau itu yang menjadi sebabnya, semestinya Endang tahu apa alasannya. Latar pendidikan dan pengalamannya lebih pas untuk duduk sebagai pengawas, yang jika diperlukan bisa mengerjakan bagian mana pun yang membutuhkan kemampuannya menjahit. Apalagi sekarang, setelah ia mengikuti kursus menjahit dan tata busana, yang cocok melakukan banyak hal di perusahaan konveksi ini.
Di muka ruang kerja Bu Susi yang pintunya terbuka, Ratih melihat perempuan itu sedang memeriksa pembukuan. Jendela besar-besar yang terletak di belakang tempat duduk Bu Susi juga terbuka sehingga angin segar dari luar dan aroma bunga melati dan ceplok piring masuk ke dalam dengan bebas. Begitupun keindahan dedaunan tanaman hias warna-warni di belakang pemilik perusahaan itu tampak dari tempatnya berdiri. Dia tahu, Bu Susi tidak menyukai kamarnya terus-menerus didinginkan oleh alat pendingin buatan manusia. Hanya kalau udara terlalu panas baru AC di ruang kerjanya dinyalakan. Melihat kesibukan Bu Susi, Ratih merasa ragu untuk masuk. Tetapi baru saja ia bermaksud pergi, kepala Bu Susi terangkat.
Ada apa, Ratih" tanyanya. Suaranya yang lembut menenangkan hati.
Bagian bordir memerlukan benang-benang lagi, Bu.
Ambillah dan seperti biasanya catatlah dengan cermat benang apa saja yang kauambil, seberapa banyak dan hari pengambilan.
t . c Ya, Bu, Ratih menjawab sambil masuk ke ruang di sebelah ruang kerja Bu Susi.
Setelah mengambil barang-barang yang dibutuhkan, Ratih keluar lagi. Di muka meja Bu Susi dia berhenti.
Bu, semestinya ada pintu khusus ke ruang penyimpanan itu, katanya. Tidak enak rasanya keluar-masuk lewat meja kerja Ibu. Mengganggu....
Aku tidak merasa terganggu, Ratih. Tempat penyimpanan itu memang sengaja tidak diberi pintu khusus yang langsung keluar. Itu karena tahun lalu sering sekali kami kehilangan bermacam benang bordir, kancing, renda, bis band, dan lain sebagainya dalam jumlah cukup lumayan, yang tentu saja merugikan perusahaan. Apalagi terjadi berulang-ulang. Tidak mungkin barang itu diambil orang luar. Maka kuputuskan memindahkan ruang penyimpanan ke ruang samping itu. Ruang yang sebelumnya kupakai untuk ruang pribadi kalau aku ingin tiduran atau ganti pakaian.
Ibu tidak menyelidiki masalah itu"
Untuk apa" Bagiku asal orang yang mengambilnya tidak berani melakukannya lagi, cukuplah. Waktu itu, aku hanya mengumpulkan mereka semua dan mengatakan tempat penyimpanan bahan-bahan jahitan akan kupindah di sebelah ruang kerjaku demi keamanan. Kurasa, siapa pun yang mengambilnya pasti tahu mengapa tempat penyimpanan itu kupindahkan.
Ratih menatap wajah Bu Susi. Wajah itu tampak teduh tanpa teraduk emosi. Ia tahu dari banyak orang, keluarga Bu Susi adalah keluarga bangsawan tinggi Surakarta. Terlepas dari pengkultusindividuan, Ratih
Suling Emas 10 9 Dari Nadira Karya Leila S. Chudori Patung Kepala Singa 2
^