Pencarian

Bukan Istri Pilihan 4

Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono Bagian 4


Kesibukan baru semacam itu memberi warna-warna lain dalam kehidupan kedua perempuan itu. Mereka bisa bekerja sama di ruang yang sama. Mereka bisa bekerja sambil membicarakan berbagai hal bersama-sama pula. Hubungan keduanya terasa semakin erat. Setiap kali mendapat uang dari hasil jahitan, bersama-sama pula mereka memasukkannya ke tabungan untuk nantinya setelah dikurangi biaya hidup sehari-hari dan biaya produksi seperti benang, kancing dsb, dikumpulkan dan dimasukkan ke bank.
Setelah hari-hari raya keagamaan seperti Lebaran, Natal, Tahun Baru, dan Imlek berlalu, Ratih dan Bu
t . c Marta boleh merasa sedikit bernapas lega. Uang tabungan mereka di bank sudah lumayan banyak jumlahnya. Ratih menatap Bu Marta.
Bu, kita berdua kan bekerja sebagai penjahit busana. Bagaimana kalau Ibu saya buatkan baju-baju yang modis"
Aduh, untuk apa" Ibu kausuruh memakai gaun mini atau celana pendek begitu" Bu Marta menyela sambil tertawa geli, Emoh, ah.
Bu, maksud saya pakaian Ibu perlu disesuaikan dengan profesi kita. Siapa mau membeli pakaian yang kita buat dan siapa yang mau menjahitkan ke sini kalau pakaian kita tampak kuno, tidak sesuai dengan bentuk tubuh kita. Apalagi lusuh. Jadi nanti kita buat atau beli jadi blus yang cocok warna dan modelnya untuk ibuibu setengah baya. Lalu Ibu juga harus memakai giwang yang lebih besar, bukan sekecil itu sampai hampir tidak terlihat....
Kamu itu, lho. Masa yang dipikir, Ibu. Sejak perhiasan yang dibelikan Tomo dulu kita jual di kampung waktu itu, satu kali pun kau belum pernah membeli lagi. Terus terang Ibu ingin kita membeli gelang untuk kaupakai sehari-hari supaya tanganmu yang mulus itu tidak kelihatan telanjang. Jangan yang besar dan jangan mencolok, tetapi yang akan mempercantik tanganmu. Begitu juga antingmu, jangan sekecil itu sampai tidak terlihat. Ratih tertawa.
Wah, Ibu membalas! katanya kemudian. Sudahlah, hari Minggu nanti kita pergi melihat-lihat apa yang bisa kita beli untuk berdua.
t . c Apa yang mereka harapkan di hari Minggu itu sesuai dengan jumlah uang yang harus mereka keluarkan. Bu Marta membeli dua helai blus dan sepasang giwang yang lebih besar. Giwangnya yang lama dijual untuk mengurangi jumlah uang yang harus mereka bayarkan. Begitu juga Ratih. Antingnya lebih besar dan pergelangan tangannya terlilit gelang emas yang tidak besar gramnya, tapi karena tangannya kuning mulus dan modelnya manis, sangat pantas dikenakan olehnya.
Bu, malam Minggu berikutnya acara senang-senang kita ini berlanjut ya" Saya ingin mengajak Ibu nonton wayang orang di daerah Senen. Pertunjukan hanya setiap Sabtu malam saja. Mau ya Bu"
Apa tidak pemborosan"
Bu, kita sudah berbulan-bulan lamanya hanya melihat mesin jahit, gunting, benang, dan kancing. Kalau kita tidak menghibur diri sebagai selingan kerja, bisa patah semangat dan itu akan mengurangi kualitas kerja. Lagi pula, menonton wayang kan tidak mahal. Naik taksi pergi-pulang juga tidak banyak biayanya. Kan jaraknya tidak begitu jauh dari rumah kita, sahut Ratih. Uang perpanjangan kontrak rumah juga sudah kita bayar untuk satu tahun ke depan. Santai sedikitlah, Bu. Baiklah kalau menurutmu itu perlu.
Maka malam Minggu berikutnya pada jam tujuh malam mereka telah siap untuk pergi menonton wayang orang. Pertunjukan dimulai pada pukul delapan. Malam itu Bu Marta memakai kain dan sarung motif Pekalongan, menyesuaikan apa yang ditontonnya. Bukan kain batik dan jenis kebaya yang biasa dipakainya
t . c untuk pergi kondangan, tetapi kebaya biasa yang terbuat dari bahan katun polos. Namun dengan bros di tengah dada berwarna senada dengan kain sarung yang dikenakannya, ia tampak menarik. Ratih telah mendandaninya. Pada dasarnya Bu Marta memang cantik. Apalagi karena ia jarang-jarang berdandan, malam itu ia tampak cantik dan lebih muda. Bibirnya juga diberi perona yang meskipun hanya sentuhan samar, namun telah membuat perempuan itu tampak berbeda. Ratih merasa senang melihat penampilan ibu mertuanya. Apalagi ia mencium aroma akar wangi berbaur melati yang tersiar dari kain Bu Marta setiap perempuan itu bergerak. Ia tahu, Bu Marta selalu menyimpan kain-kainnya dengan akar wangi yang diselipkan di antara lipatanlipatan kainnya. Masih ditambah taburan bunga melati. Di halaman depan, Bu Marta merawat beberapa pohon melati yang selalu saja bergantian mempersembahkan bunganya
Ibu tampak cantik dan harum, komentar Ratih sambil mencium-cium udara.
Ah, kamu. Orang sudah setua Ibu begini di mana sih cantiknya"
Ratih tersenyum, menatap Bu Marta. Tetapi tibatiba hatinya seakan tercubit. Wajah cantik ibu mertuanya itu mengingatkan dirinya pada Hartomo. Ada kemiripan di antara ibu dan anak yang tampak jelas saat si ibu berdandan. Karena tidak tahan menyimpan rasa rindu, Ratih segera mengibaskan bayangan sang suami dari ingatannya. Untungnya Bu Marta tidak mengetahui perasaan Ratih saat itu.
t . c Kalau bicara tentang cantik, kamu itu yang luar biasa. Kau membuat Ibu merasa bangga pergi bersamamu. Artis-artis kalah lho denganmu. Kau tampak molek sekali.
Ah, Ibu, ada-ada saja. Ratih tersipu. Tetapi dia tahu, apa yang dikatakan ibu mertuanya itu ada benarnya. Kaca lemari di kamarnya telah mengatakannya lebih dulu. Cara berdandan dan berpakaiannya memang semakin menunjukkan kemajuan yang positif. Tidak berlebihan namun modis dan enak dipandang mata karena serbapas. Ratih sekarang berbeda dengan Ratih satu setengah tahun lebih yang lalu. Apalagi dibanding ketika dirinya masih di kampung.
Pujian dan kenyataan yang ditangkapnya lewat cermin tadi melayangkan pikiran Ratih pada Hartomo lagi. Apakah enam tahun lebih yang lalu laki-laki itu juga akan meninggalkannya jika penampilan dirinya seperti sekarang ini"
Ratih memaki dirinya sendiri saat pikiran itu merasuki benaknya. Benci dia pada dirinya sendiri kenapa dalam beberapa menit saja sosok Hartomo muncul dalam kenangannya dan nyaris merusak kesenangannya.
Ayo ah, Bu. Kita masih harus mencari taksi di mulut gang. Jangan sampai kita terlambat, katanya, mencoba tersenyum sambil meraih tas tangannya. Dari tadi kok saling memuji seperti baru berkenalan saja.
Bu Marta tersenyum juga. Ratih tidak tahu bahwa sama seperti dirinya, perempuan tengah baya itu juga sedang teringat pada laki-laki yang sama. Saat dia mengagumi Ratih, ingatannya langsung bertanya-tanya
t . c sendiri. Andaikata Hartomo melihat Ratih seperti sekarang, apakah dia tidak menyesal telah meninggalkan mutiara indah yang berhati sederhana hanya untuk mengadu nasib yang tak jelas seperti apa hasilnya. Kalau anak tunggalnya itu masih ada di sisinya, pastilah sekarang ini mereka akan menonton wayang orang bertiga. Bahkan mungkin juga dengan anak-anak mereka. Sejak kecil, Hartomo selalu dididik Bu Marta untuk selalu mencintai budayanya. Karena hal itulah dulu semasa masih kanak-kanak, Hartomo kecil sering pergi diam-diam untuk menonton pertunjukan wayang kulit di pendopo kantor kecamatan, dekat alun-alun. Hampir setiap bulan Pak Camat menanggap wayang kulit untuk hiburan bagi masyarakatnya. Kalau bukan malam Minggu, Bu Marta pasti menjemputnya pulang, mau tidak mau. Tetapi kalau malam libur, dibiarkannya anak itu menonton sepuasnya. Ada banyak tetangga dekatnya yang juga menonton sampai menjelang pagi sehingga Bu Marta tidak merasa khawatir meninggalkannya sendirian. Setelah besar, Hartomo tidak kehilangan cintanya terhadap budaya, termasuk wayang.
Seperti Ratih tadi, Bu Marta juga lekas-lekas mengibaskan bayangan yang menyedihkan hatinya itu. Jangan sampai kegembiraan yang dirasakannya bersama sang menantu berkurang karenanya.
Ketika keduanya berada di ambang pintu menuju keluar, seorang anak perempuan tanggung datang menghampiri mereka.
Mbak, saya disuruh Ibu mengambil jahitan baju. Katanya selesai hari ini, kata anak tanggung itu.
t . c Ya, Dik. Sudah selesai. Saya pikir mau diambil besok. Untung kami belum berangkat, sahut Ratih sambil mengambil bungkusan pakaian yang sudah disiapkannya. Kalau ada kekurangan, bawa ke sini lagi ya"
Biasanya sih selalu pas, Mbak. Terima kasih. Sambil menerima bungkusan pakaian, ia mengulurkan sebuah amplop kecil kepada Ratih. Ini ongkosnya, Mbak.
Terima kasih, Dik. Sampaikan salam kami kepada ibumu, sahut Ratih.
Akan saya sampaikan, Mbak. Terima kasih. Bu Marta yang menyusul Ratih ke depan tersenyum melihat Ratih memasukkan amplop tadi ke dalam tasnya.
Lumayan, Ratih, bisa buat jajan. Nanti sebelum keluar gang, kita mampir sebentar membeli kue, permen, dan minuman untuk dibawa nonton, katanya kemudian.
Kita punya pikiran yang sama, sahut Ratih sambil tertawa manis. Ini namanya kemurahan Tuhan. Mau berangkat dianugerahi uang.
Setelah mengunci pintu, keduanya segera bergegas meninggalkan rumah. Mereka beruntung. Hanya sebentar berdiri di mulut gang, sebuah taksi tarif rendah lewat. Segalanya seakan sudah disiapkan untuk mereka. Sayangnya, lakon wayang malam itu tidak menunjang kegembiraan keduanya. Ceritanya mengenai Arjuna yang pergi meninggalkan istana, istri, dan keluarganya untuk bertapa mencari tambahan kebajikan dan kesaktian. Tetapi ratu jin perempuan kerajaan hutan tempat
t . c Arjuna bertapa itu jatuh cinta kepadanya. Dengan kesaktiannya ia mengubah dirinya menjadi perempuan jelita dan menggoda tapa Arjuna. Tapa Arjuna pun gagal. Mereka menikah dan merajai hutan belantara itu. Maka Arjuna lupa pulang, lupa pada istri dan keluarganya.
Dari keseluruhan cerita yang paling mengharukan adalah ketika menyaksikan penderitaan Dewi Subadra, istri Arjuna yang terlunta-lunta keluar-masuk hutan mencari keberadaan sang suami tanpa takut digoda setan, jin, raksasa, dan binatang-binatang buas. Pencariannya yang tanpa hasil menyebabkan Dewi Subadra bertapa. Dewa yang merasa kasihan kepadanya menjadikannya sebagai kesatria sakti. Arjuna kalah berperang dengannya.
Prabu Kresna, kakak kandung Dewi Subadra melihat ada yang tidak beres dalam keluarga adiknya itu. Ia ikut masuk ke hutan. Berkat campur tangan dan taktik yang diberikan Prabu Kresna kepada Arjuna, akhirnya kesatria sakti itu dikalahkan oleh Arjuna dengan cumbu rayunya. Bukan dengan senjata. Maka berubahlah kesatria sakti itu menjadi Dewi Subadra kembali. Arjuna pun sadar dan kembali kepada istri dan keluarganya. Ratu jin itu ternyata jelmaan Betari Durga. Kisah berakhir dengan kebahagiaan dan tokoh yang jahat mendapat balasan setimpal. Penonton puas. Hanya Ratih sendiri yang selama pertunjukan itu menahan jangan sampai air matanya tumpah. Kisah Dewi Subadra mirip dengan kisah hidupnya, terlunta-lunta di belantara kota Jakarta, sementara suaminya mungkin juga seperti
t . c Raden Arjuna, bersenang-senang dengan ratu jin yang jelita.
Bu Marta tahu persis apa yang sedang dirasakan Ratih. Dia menyesali lakon wayang malam itu. Kenapa bukan lakon Petruk menjadi raja atau Bagong mantu, yang pasti lucu. Tetapi apa mau dikata, ia dan Ratih datang menonton wayang tanpa mengetahui apa lakonnya.
Di dalam taksi yang membawa mereka pulang, Ratih tidak banyak bicara. Apalagi tertawa seperti ketika mereka berangkat tadi. Bu Marta pura-pura tidak mengetahuinya. Ia berharap, besok hati Ratih akan kembali normal seperti biasanya. Tetapi ternyata harapan itu tak terjawab. Ia melihat wajah Ratih tampak murung ketika pagi harinya keluar dari kamar. Rupanya cerita wayang malam tadi berpengaruh kuat padanya. Ketika Bu Marta sedang mencari cara bagaimana mengeluarkan Ratih dari kesedihannya, tiba-tiba saja hari itu mereka kebanjiran pesanan membuat baju seragam anak sekolah TK. Motifnya batik dan kotak-kotak, sebanyak tiga kelas. Sebagian anak laki dan sebagian lagi untuk anak perempuan, dengan dua ukuran. Beberapa bulan mendatang, tahun ajaran baru memang akan mulai.
Agar pekerjaannya cepat selesai, Ratih membeli satu mesin jahit jenis standar lagi dan mencari tenaga lepas yang bisa membantunya. Beruntung adik tetangga depan rumahnya, yang pandai menjahit dan juga pernah bekerja di pabrik konfeksi seperti dirinya, sedang menganggur. Pabrik itu mengalami kerugian dan mengu-
t . c rangi karyawannya. Titi, nama gadis itu, termasuk yang kena PHK dengan alasan belum berkeluarga.
Mengetahui itu Bu Marta merasa senang sekali. Pesanan itu bukan hanya akan memberi keuntungan, tetapi juga membuat Ratih tenggelam dalam kesibukan sehingga ia tidak sempat memikirkan Hartomo lagi.
Suatu ketika, salah seorang tetangga yang anaknya akan bersekolah di Taman Kanak-Kanak itu sengaja datang menemui Ratih agar ukuran baju untuk anaknya dibuat tersendiri.
Lihat, Dik Ratih, anakku ini kan bongsor. Mana cukup memakai seragam dengan ukuran rata-rata seperti itu.
Baik, Kak. Tetapi jangan mengambil dari bahan kain yang diberikan pihak sekolah. Saya tidak enak. Jadi sebaiknya Kakak membeli bahannya sendiri di luar sekolah. Nanti akan saya jahitkan. Bawa contoh kainnya. Di pasar Tanah Abang pasti ada, Kak.
Usul Ratih disetujui. Tetapi tetangganya itu tidak langsung pulang. Tampaknya ia senang sekali karena anak sulungnya akan bersekolah. Ia bercerita banyak hal tentang anaknya itu.
Anak lain banyak yang pasif saat didaftarkan masuk sekolah, tetapi anak saya malah sibuk melihat-lihat seperti apa ruang kelasnya nanti, siapa gurunya, duduknya di mana, dan lain sebagainya sampai mereka yang melihat ulahnya tertawa, begitu antara lain ceritanya.
Begitupun si anak. Gadis cilik itu terus saja mondarmandir di sekitar mesin jahit dan berulang kali bertanya, Yang mana baju seragam Rina"
t . c Saat bertanya seperti itu, wajah Rina tampak lucu dan menggemaskan. Melihat anak itu, hati Ratih mulai tercubit lagi. Andaikata Hartomo tidak meninggalkannya, pasti anak mereka juga seumur Rina.
Mengingat itu Ratih merasa sedih. Kenapa Hartomo tidak segera kembali" Sampai hari ini, tidak satu pun orang di kampung mengabari tentang kedatangan Hartomo. Itu artinya, laki-laki itu masih belum kelihatan batang hidungnya. Alias masih berada entah di mana. Begitu juga secarik kertas pun laki-laki itu tidak pernah menyuratinya. Bahkan andaikata pun isinya cuma mau mengatakan bahwa ia ingin menceraikannya. Kalau begini terus, rasanya, ia seperti katak merindukan rembulan.
Enam setengah tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ratih tidak tahu sampai berapa lama lagi ia harus menantikan kehadiran Hartomo. Setahun lagikah, lima tahun, sepuluh tahun, ataukah sepanjang hayat di kandung badan" Ratih sama sekali tidak tahu. Membayangkannya pun tidak. Semua merupakan bayangan hitam. Apa yang ia tahu pasti saat ini hanya satu. Menjahit, menjahit, dan menjahit lagi demi sesuap nasi sambil menanti keajaiban, datangnya rembulan di dalam kehidupannya yang nyata.
t . c S EMENTARA itu, laki-laki yang menjadi tumpuan
hati dan tokoh penting dalam penantian Ratih dan ibu mertuanya dengan santai berjalan di sepanjang deretan toko-toko di Pasar Baru. Kini pelataran itu tidak boleh lagi menjadi tempat parkir mobil. Para pengunjung pertokoan menjadi raja di jalanan, yang kini diberi atap transparan, yang cukup menyenangkan buat konsumen yang berbelanja dan bersantai. Itulah salah satu cara melestarikan dan menghargai karya nenek moyang terkait dengan sejarah kota Jakarta. Pasar Baru sudah ada, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Di tempat itulah Hartomo berjalan melenggang, memandang barang-barang yang di etalase. Jeritan kerinduan Ratih tak terdengar oleh hatinya yang tuli. Rasa kehilangan yang mencubiti hati sang ibunda tidak menyentuh perasaannya. Pikirannya malah melayang ke
Sebelas t . c rumahnya sendiri. Bukan pada kedua perempuan itu. Rumah itu masih jauh dari lengkap untuk menjadi tempat tinggal sebuah keluarga. Kecuali di ruang tamu depan, jendela-jendela lainnya masih telanjang, belum bertirai. Taplak meja makan dia baru punya dua helai. Isi dapurnya belum lengkap.
Memang untuk seorang bujangan, cukuplah. Tetapi jika ada istri di dalam rumah itu, tentulah belum mencukupi. Padahal tiga bulan mendatang ia akan menikah dengan Tety. Karenanya sedikit demi sedikit ia mulai mencicil perabot ini dan itu untuk melengkapi isi rumahnya. Dia ingin agar nanti kalau Tety masuk ke rumah itu, semua yang dibutuhkan untuk sebuah rumah tangga sudah tersedia.
Meskipun ikhlas, namun setiap kali uangnya keluar dari dompet, setiap itu pula Hartomo bertanya-tanya di dalam hatinya. Sudah berapa banyak uang yang telah dibelanjakannya selama menabung berbulan-bulan ini" Sepertinya selalu saja ada yang harus dibelinya. Apakah nantinya pengeluaran itu akan sesuai dengan kebahagiaan yang diimpikannya" Kata bahagia yang tiba-tiba masuk ke benaknya itu membuat Hartomo tersenyum sendiri. Apa sebenarnya makna bahagia"
Dulu ketika baru pertama kalinya menginjak kota Jakarta, Hartomo menyangka bahwa kebahagiaan itu lebih mudah didapat di kota tersebut. Menurut pandang matanya, kebahagiaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan harta, kedudukan, dan perempuan prima sebagai istri. Tetapi sekarang setelah enam tahun lebih berjuang dan berjuang, dan bayangan kehidupan seba-
t . c gaimana dicapai oleh Wisnu hanyalah merupakan mimpi di awang-awang belaka, ia tidak lagi mengerti apa makna bahagia yang sesungguhnya. Terlalu abstrak, rasanya. Padahal betapa seringnya ia menulis kartu ucapan selamat berbahagia kepada teman-temannya yang menikah atau berulang tahun. Atau pula ia yang mendapat kartu dari teman. Semudah itukah bahagia didapat"
Hartomo mengangkat bahu. Ia teringat saat menikah dengan Ratih. Berapa banyak kartu-kartu ucapan selamat berbahagia yang diselipkan kenalan, sanak saudara, dan teman-teman akrabnya saat memberi kado atau amplop berisi uang. Lalu berbahagiakah dia bersama Ratih" Pasti tidak. Kalau ya, tak mungkin ia akan keluyuran di kota Jakarta. Kalaupun ada sedikit rasa bahagia, itu pun kalau bisa digolongkan ke dalam makna bahagia, itu hanyalah sedikit kebanggaan saat duduk bersanding dengan Ratih di kursi pengantin. Didandani sedemikian rupa oleh perias pengantin, Ratih memang tampak sangat memesona. Senang hati Hartomo saat itu dapat menyunting bunga sekecamatan. Lalu apakah ia berbahagia" Jawabnya sama. Kalau ia merasa bahagia, tentu ia tidak akan merantau ke Jakarta untuk mencari sesuatu yang sekiranya akan membuatnya merasa puas dan senang. Hidup bersama Ratih dengan kehidupan yang itu-itu saja dari hari ke hari telah membuatnya merasa tertekan dan lelah.
Kini bertahun-tahun lamanya ia telah melangkahi perjalanan yang berbeda daripada di kampungnya dulu. Apakah dia telah mencapai kehidupan yang didamba-
t . c kannya" Hartomo menggeleng. Bahwa kini harapan mendapat bahagia itu ditaruhnya pada rencananya menikah dengan Tety, dia juga tidak tahu apakah kebahagiaan itu bisa dicapainya. Bahkan dengan jujur ia harus mengakui bahwa ada ketidakyakinan di hatinya.
Ah, persetan dengan apa yang disebut kebahagiaan, akhirnya hanya itu yang dapat dilakukannya untuk mengusir pikirannya. Dia menikah bukan melulu untuk mencari kebahagiaan. Orang lain menikah, jadi ia juga harus menikah. Soal apakah nanti ia akan berbahagia, ia tidak peduli. Itu soal belakangan karena yang penting di dalam mengarungi kehidupan yang berat dan keras ini ia akan didampingi seorang istri.
Tiba-tiba Hartomo merasa terkepung oleh pikirannya sendiri yang baru saja melintasi benaknya. Jika benar alasannya menikah karena orang lain juga menikah, aha, bukankah ia sudah menjalaninya bersama Ratih"
Hartomo merasa kesal oleh pikiran yang baru masuk ke otaknya itu. Sedikit-banyak rasa bersalah karena telah mengabaikan Ratih mendera perasaannya yang terdalam. Tetapi bagian lain di hatinya, ia mencoba membela dirinya sendiri. Ratih bukanlah istri pilihannya sendiri. Tety berbeda dengan Ratih. Di luar rumah, Tety bisa diketengahkan dalam pergaulan ke mana pun. Tety tidak akan membuatnya merasa malu. Di rumah, Tety bisa diajak bicara, bisa bertukar pikiran dan bercanda. Tetapi Ratih, tidak. Nah, apa lagi!" Tiba-tiba ia teringat bahwa Ratih adalah istri pilihan
t . c ibunya. Ratih adalah kesayangan ibunya. Ratih adalah kebanggaan ibunya. Ratih mempunyai banyak hal yang menyebabkan ibunya merasa cocok dan menganggapnya sempurna. Hmm, dasar sama-sama kuno. Tetapi justru karena itulah Hartomo merasakan cubitan keras di hatinya. Ia akan menikah dengan Tety tanpa restu ibunya. Ia akan menikah dengan membawa beban kebohongan yang teramat besar. Dia bukan seorang bujangan yang belum pernah menikah. Ibunya bukan seorang perempuan renta yang sudah tidak bisa mengarungi perjalanan jarak jauh sebagaimana yang dikatakannya pada Tety dan keluarganya. Kelak jika dusta itu tak lagi dapat disembunyikannya, ia masih bisa mengarang cerita lain. Ia lari dari keluarga karena dipaksa menikah dengan perempuan yang bukan istri pilihannya. Itu yang akan dikatakannya pada Tety. Tetapi bagaimana dengan ibunya"
Ia sadar, hati ibunya akan terasa hancur kalau mengetahui ia akan menikah lagi. Penantiannya selama bertahun-tahun bersama Ratih ternyata sia-sia saja. Akan sanggupkah ia mengatakan akan menikah lagi pada sang ibu yang pasti amat luar biasa kecewa" Mampukah ia memberi alasan bahwa menikah dengan Tety adalah keinginan pribadinya karena dulu ibunya telah salah pilih dan membuatnya merasa gerah hidup bersama perempuan yang membosankan"
Pasti air mata ibunya akan membanjir. Pasti ibunya akan marah kepadanya. Tetapi ah... apakah tangis ibunya itu baru tertumpah ketika nanti mengetahui pernikahannya dengan Tety" Pasti tidak. Selama enam tahun
t . c lebih pasti perempuan itu sudah terlalu banyak menumpahkan air mata karena anak kandung satu-satunya ini bagai hilang ditelan bumi. Membayangkan kepedihan hati ibunya yang selama ini selalu menyayanginya, Hartomo menggigil. Baru sekarang ia membayangkan betapa dalam penderitaan ibu yang melahirkannya ke dunia itu. Dan tiba-tiba... prang. Sebuah dos berisi sendok-garpu terjatuh dari raknya karena tersenggol olehnya. Isinya bertebaran di lantai. Wah, sejak kapan dia sudah berdiri di toko perabot rumah tangga ini" Melamun membuatnya seperti robot.
Maaf... maaf, ucapnya ketika seorang pelayan toko datang menghampirinya. Saya bermaksud membelinya, tetapi terjatuh.
Tidak apa, Pak. Mari saya bantu.
Maka peralatan makan itu pun terpaksa dibeli oleh Hartomo. Padahal di rumah sudah ada dua lusin. Itulah kalau melamun, gerutunya pada dirinya sendiri. Sesudah keluar dari toko peraboran rumah tangga tadi, Hartomo berhenti sesaat di muka toko tekstil milik orang India. Setelah berpikir-pikir, ia memutuskan masuk ke toko itu. Ada banyak bahan cantik untuk dijadikan kebaya pengantin di toko tekstil itu. Ada yang warnanya keemasan. Ada yang putih salju. Jika diberi payet, dibordir, diberi sulaman pita, dan hiasan-hiasan lainnya, pasti akan bagus sekali dikenakan oleh Tety. Tetapi ah, biarlah gadis itu memilihnya sendiri besok. Begitu Hartomo berkata dalam hatinya.
Esok harinya, diajaknya Tety ke toko tekstil yang besar dan komplet itu agar gadis itu memilih sendiri
t . c bahan kebaya pengantinnya. Gadis itu menjatuhkan pilihannya pada bahan transparan putih salju bermotif bunga yang warnanya sama seperti warna dasarnya. Mereka menghamparkannya di sandaran sofa setelah tiba di rumah Tety.
Rita, kakak perempuan Tety, mengelus-elus bahan itu dengan rasa kagum. Bahannya terasa lembut di tangan. Pasti enak dipakai karena tidak seperti banyak kebaya yang dibuat dari bahan-bahan yang terasa kurang nyaman di kulit tubuh. Bahkan ada yang terasa gatal.
Ini harus menjadi kebaya yang diberi hiasan payet yang mewah untuk kebaya pengantinmu, Tety. Nanti kucarikan contohnya. Temanku mempunyai buku-buku dan majalah yang khusus menampilkan berbagai macam pakaian pengantin yang anggun. Ada kebaya panjang dan pendek. Ada gaun dan lain sebagainya, begitu kata perempuan muda itu. Kalian enak, bebas memilih sendiri. Orangtua hanya menurut saja. Apalagi kau, Dik Tom, tidak ada orangtua yang ikut campur. Tetapi aku dulu..."
Cerita lama jangan diulang-ulang lagi, Mbak, Tety memotong perkataan sang kakak dengan nada kesal.
Iya sih. Tetapi kadang-kadang kalau melihat pakaian pengantin yang anggun dan cantik, hatiku masih suka kecewa. Ingin aku dulu memilih sendiri modelnya tetapi Mama menyuruh memakai yang sudah ada. Apa boleh buat karena kebetulan kebaya yang sudah ada itu pas betul di tubuhku. Padahal seharusnya kau yang memakainya. Bukan aku...
t . c Diam, Mbak Rita. Sudah kukatakan, jangan mengungkit-ungkit peristiwa yang sudah basi! Tety merebut pembicaraan Rita dengan membentak sehingga sang kakak merasa heran, bahkan terkejut karena tidak mengira perkataannya itu akan disambut kemarahan Tety.
Kok begitu saja marah sih, Tet" Kan kata-kataku tadi betul. Seandainya Alex dulu tidak berselingkuh dengan Yanti, tentu kebaya itu kau yang memakainya, kan" Sama sekali aku tidak mengejek atau menyesalimu, sahut Rita, tak mengerti. Dia tersurut mundur karena Tety mendekatinya dengan sikap galak.
Apa sebenarnya maksudmu mengungkit masa lalu, Mbak" Biar aku tidak bisa hidup dengan tenang dan bahagia" Kau iri karena tidak bisa hidup harmonis dengan Bang Arman"
Kamu jangan ngawur, Tety. Aku ini kakak kandungmu, tentu saja aku ingin kau hidup berbahagia dan tidak mengalami kehidupan perkawinan yang gersang seperti perkawinanku. Apa kesalahanku padamu sehingga membentak-bentak kakakmu sekasar itu, seolah aku mempunyai kesalahan besar" Suara Rita gemetar menahan perasaan.
Menyaksikan adegan itu, Hartomo tidak bisa diam saja. Ia segera maju dan menarik Tety dari hadapan kakak perempuannya itu.
Sudahlah, jangan meributkan sesuatu yang tidak perlu, katanya. Aku tahu duduk perkaranya. Mbak Rita tentu mengira kau sudah menceritakan padaku bahwa kau hampir saja menikah dengan laki-laki lain. Pikirnya, sudah tidak ada rahasia di antara kita.
t . c Mendengar perkataan Hartomo, mata Rita membelalak, menyadari kekeliruannya tadi.
Jadi... kau belum bercerita pada Dik Tom mengenai masa lalumu bahwa kau pernah bertunangan dengan seseorang" tanyanya, terheran-heran. Kenapa" Bagaimanapun juga kalian kan harus bersikap jujur satu sama lain sebelum melangkah pada keputusan untuk menjadi suami-istri!
Tety membuang pandangnya ke luar jendela dengan wajah memerah.
Kupikir, itu tidak perlu. Toh semuanya sudah lewat, katanya kemudian dengan suara pelan.
Hati Hartomo terasa sakit mengetahui ketidakjujuran Tety. Tetapi cuma sebentar. Saat ingatannya lari kepada Ratih, hatinya menjadi kecut dengan seketika. Apa yang dirahasiakannya dari Tety dan keluarganya maupun dari kenalan-kenalannya selama berada di Jakarta, jauh lebih berat. Ada seorang istri di kampung yang ditinggalkannya begitu saja dan sama sekali tidak diakuinya.
Sudahlah, Tety benar, katanya begitu ingatan tentang Ratih menyelinap ke hatinya. Cerita basi untuk apa diungkit-ungkit lagi" Ada yang jauh lebih penting. Yaitu mengisi masa kini dan masa yang akan datang.
Tety dan Rita langsung terdiam. Tetapi Hartomo merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Inikah permulaan yang baik dalam rangkaian rencana pernikahannya dengan Tety" Ada kebohongan dan ketidakjujuran di antara mereka berdua. Tetapi andaikata ia berkata terus terang bahwa dirinya telah mempunyai istri, akan-
t . c kah hubungannya dengan Tety bisa berjalan semulus sekarang" Jadi bagaimana mungkin ia akan menyurutkan langkah kakinya kembali ke titik nol dan semuanya menjadi berantakan" Kepalang basah, mandilah pula. Untuk apa terlalu dipikirkan.
Ketika tadi mendengar perkataan Hartomo agar tidak mengingat-ingat masa lalu, hati Tety amat lega. Itu artinya, tidak ada masalah di antara mereka berdua dan dia bisa tetap berharap agar perkawinannya dengan Hartomo nanti dapat menghapus kenangan pahit masa lalunya bersama Alex. Dulu, ia telah menyerahkan segalanya pada Alex. Bukan hanya sekali saja, namun berkali-kali, dengan pemikiran mereka akan segera menikah. Namun tidak sampai dua bulan sebelum pernikahan mereka, Alex jatuh hati kepada Yanti dan pertunangan mereka berantakan meninggalkan luka menganga di hati Tety. Sesal kemudian, memang tidak bisa diobati. Nasi sudah pula menjadi bubur. Oleh sebab itu, ia berharap pernikahannya dengan Hartomo bisa merajut kembali hatinya yang koyak. Perasaan cintanya pada Hartomo, meski tak sehangat cintanya terhadap Alex yang sampai saat ini belum padam, pasti bisa dipupuk jika nanti mereka telah menikah. Begitu Tety berpikir dan berpikir.
Namun anehnya setelah Tety membentak-bentak Rita karena kakaknya itu menyebut nama Alex, seminggu kemudian tiba-tiba saja dia berjumpa dengan lakilaki itu di suatu pertokoan. Seakan, begitu nama itu disebut, ada setrumnya . Bukankah sudah lama sekali nama Alex tak pernah disebut oleh siapa pun, seolah
t . c laki-laki itu sudah berada di negara antah berantah. Namun sekarang tiba-tiba tanpa disangka sama sekali Tety bertemu kembali dengan pemilik nama itu.
Tety mengatupkan mulutnya rapat-rapat saat melihat Alex tiba-tiba sudah ada di hadapannya. Dia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan Alex sedang sendirian. Tety merasa kesal karena dadanya masih sedemikian bergolaknya saat melihatnya kembali. Perasaannya baur. Ada rasa cinta, benci, muak, sakit hati, marah, namun juga ada kerinduan.
Halo, Tety, apa kabar" Alex langsung mengulurkan tangannya. Sikapnya begitu tenang namun terasa menghanyutkan hatinya.
Baik, terima kasih, Tety menjawab tanpa membalas uluran tangan Alex sehingga tangan laki-laki itu bergerak lunglai kembali ke sisi tubuhnya.
Pasti pertemuan kita ini diatur Tuhan, kata Alex lagi.
Mata Tety menyorotkan amarah saat mendengar perkataan lelaki itu. Enak sekali dia bicara, seakan bicara tentang cuaca. Tidak sadarkah Alex bahwa dia telah menikamkan senjata tajam ke ulu hatinya.
Jangan membawa-bawa nama Tuhan, sahut Tety dengan suara dingin. Kebencian mulai lagi menyusupi batinnya. Maaf, aku tidak bisa lama-lama. Aku harus cepat-cepat pergi.
Hmm, ada janji rupanya, sahut Alex keras kepala. Di mana" Ayo kuantar kau sampai ke tempat.
Ada janji atau tidak, bukan urusanmu. Tetapi tentang niat baikmu untuk mengantarkan aku, harus kuka-
t . c takan dengan terus terang bahwa aku tak mau pergi bersamamu. Jadi, silakan pergi dari hadapanku, sahut Tety.
Tety, kenapa kau jadi ketus begini sih" Aku berniat baik padamu, kata Alex lagi. Ayolah kuantar kau sampai di tempat.
Tety menggeleng. Sekali aku bilang tidak, tetap tidak. Sekarang menyingkirlah dari hadapanku, Alex.
Tety, coba kauputar kepalamu. Lihat, kita menjadi tontonan orang karena sikap ketusmu itu. Mereka pasti mengira kita ini pengantin baru yang sedang bertengkar. Ayo ah, jangan sampai kita ditertawakan orang. Atau jangan-jangan kau takut mobilku kupasangi bom waktu"
Tety tidak mau memutar kepalanya. Juga tidak mau menjawab apa pun meski ia harus mengakui Alex masih saja seperti dulu, pandai bicara dan memojokkan orang. Tetapi kali ini dia tidak akan berhasil, pikir Tety. Maka tanpa memedulikan keberadaan Alex, ia melanjutkan langkah kakinya. Tubuh Alex yang menghadang di depannya ia singkirkan dengan kekuatan tangannya yang berisi api amarah.
Aduh, Tety. Jangan galak-galak kepadaku. Orangorang di sekitar kita senang sekali melihat tontonan gratis ini. Alex mengulurkan tangannya untuk meraih lengan Tety yang baru saja melewati tubuhnya. Dia berhasil.
Merasakan lagi sentuhan tangan itu, hati Tety terasa berdenyar. Telapak tangan hangat yang melingkari le-
t . c ngannya itu masih tetap membuat perasaannya mabuk. Merasa takut pada dirinya sendiri, Tety lekas-lekas menarik lengannya untuk kemudian melanjutkan kembali ayunan langkah kakinya tanpa menoleh-noleh lagi ke arah Alex. Tetapi laki-laki itu menyusulnya dan menjajari langkah kakinya sehingga mereka jalan bersisian.
Tety, jangan jual mahal kepadaku, kata Alex di dekatnya. Aku benar-benar ingin mengantarmu ke mana pun kau mengadakan janji. Ada banyak hal yang ingin kukatakan kepadamu sambil mengantarmu.
Kurasa apa pun yang akan kaukatakan tidak ada relevansinya dengan diriku maupun dengan kondisi sekarang setelah masing-masing mempunyai kehidupan sendiri. Jadi sekali lagi, menyingkirlah dari dekatku, Alex.
Tety, Tety, kau pasti tidak tahu bahwa aku merasa pertemuan kita ini diatur Tuhan seperti kataku tadi. Aku benar-benar merasa senang sekali melihatmu kembali. Kau tampak tambah cantik dan dewasa. Sungguh, aku menyesal telah melakukan affair dengan Yanti yang cuma berjalan seumur jagung. Dibanding dirimu, ternyata dia tidak ada apa-apanya....
Cukup! Tety membentak marah. Jangan menggombal dan jangan merayuku. Aku muak mendengar omong kosongmu itu.
Mungkin memang aku pernah menggombal dan merayu kosong pada gadis lain. Tetapi terhadapmu, aku tidak pernah berpura-pura. Kusadari setelah berpisah denganmu, aku benar-benar mencintaimu, Tety. Senakal-nakalnya seorang laki-laki, pasti cinta sejatinya hanya diberikan pada seorang perempuan saja. Itulah
t . c dirimu. Itu pelajaran buatku. Setelah mengkhianatimu dan berpisah darimu, baru kusadari apa makna cinta sejati.
Aku tidak tertarik pada pidatomu, Alex. Sekarang, menyingkirlah. Aku tidak suka berjalan bersamamu.
Demi Allah, Tety, aku benar-benar menyesali perbuatanku. Aku sungguh tolol mengira bisa melupakanmu, kata Alex dengan bersungguh-sungguh. Oleh sebab itulah kukatakan tadi, aku merasa pertemuan ini direstui Tuhan karena terjadi saat penyesalanku sedang membuncah dan kerinduanku padamu sedang kuatkuatnya.
Bagi Tety, Alex mempunyai tempat tersendiri di hatinya. Ia mengenal laki-laki itu luar-dalam. Karenanya ia juga tahu, saat itu Alex mengatakan kebenaran. Tetapi sayang, hati Tety masih terasa sakit. Karenanya ia segera mengibaskan tangannya ke udara dengan sikap sengaja melecehkan.
Aku sudah tidak percaya lagi padamu, Alex. Sekarang biarkan aku pergi menemui seseorang, dalihnya.
Tety, aku tidak tahu apakah alasan itu memang benar demikian ataukah cuma karena ingin menghindariku. Tetapi tolong percayalah padaku dan ingat pada kata-kataku ini. Aku masih sangat mencintaimu dan sering kali merindukan keberadaanmu seperti dulu. Berilah kesempatan kepadaku untuk memperbaiki kesalahanku dan menunjukkan kesungguhan hatiku padamu. Tidak semua perselingkuhan itu berakibat jelek, Tety. Justru setelah berselingkuh, aku tahu bahwa ternyata cinta sejatiku hanya ada padamu.
t . c Kalau saja Tety tidak ingat pada Hartomo dan rencana mereka untuk menikah beberapa bulan mendatang, mungkin ia akan membiarkan dirinya digandeng Alex dan duduk bersamanya di dalam mobil. Aneh sungguh kekuatan cinta. Kebencian dan kemarahannya terhadap Alex mulai menguap begitu mendengar pengakuan laki-laki itu. Tetapi dengan menguatkan diri, ia menghentikan langkah kakinya dan mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya.
Alex, sudah terlambat bagimu untuk mengatakan semua tadi, katanya dengan suara tegas yang cuma ada di permukaan belaka. Beberapa bulan mendatang, aku akan menikah. Jadi, lupakan aku.
Alex tertegun, Dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata seperti itu dari mulut Tety. Selama ini dia mengira gadis itu tetap mencintainya. Sulit melupakan bayangan tangis dan terlukanya gadis itu saat ia mengakui perselingkuhannya dengan Yanti. Tetapi sekarang"
Kau... kau tidak sedang mengarang cerita untuk melukai hatiku kan" tanyanya agak terbata. Untunglah Tety memakai cincin yang diberikan oleh Hartomo beberapa minggu lalu sebagai tanda ikatan mereka. Kini cincin itu diperlihatkannya kepada Alex.
Ini cincin pertunanganku, Alex. Aku mengatakan kebenaran, katanya.
Tety... Maaf, aku harus pergi. Usai berkata seperti itu, Tety segera meninggalkan Alex. Hatinya pedih sekali. Kalau tidak ingat apa pun, ingin sekali ia menangis
t . c keras-keras. Dia sungguh sadar bahwa cintanya terhadap laki-laki itu masih membara. Laki-laki romantis itulah yang sebenarnya menjadi tambatan hatinya. Namun ia tidak ingin kembali padanya, khawatir Alex berselingkuh lagi.
Ditinggal sendirian, Alex merasa hatinya menjadi hampa dengan tiba-tiba. Namun sebagai orang yang sangat mengenali Tety luar dan dalam, ia sempat melihat kilatan cahaya di mata gadis itu. Cahaya bahwa sedikit-banyak Tety masih menyimpan cinta terhadap dirinya. Suatu saat, ia akan mengirim SMS padanya. Sebelum Tety melangsungkan pernikahan, berarti masih ada harapan untuknya.
t . c R ITA membalik-balik majalah mode di ruang tengah
rumah orangtuanya. Ia sedang mencari model gaun hamil kendati usia kehamilannya baru dua bulan. Ada semangat baru dalam dirinya. Sejak mengandung, hubungannya dengan Arman semakin membaik. Sedang melihat-lihat mode, matanya tertuju pada kebaya pengantin berwarna putih yang amat cantik.
Tety, ia memanggil adiknya yang sedang asyik menonton televisi. Kemari sebentar.
Tunggu sebentar, Mbak. Aku sedang menonton berita.
Lihatlah, Tety, ini ada kebaya pengantin berwarna putih, mirip bahan kebaya pengantinmu itu. Kalau itu dibuat begini, pasti akan cantik dan anggun sekali, kata Rita lagi.
Perkataan Rita mengalihkan perhatian Tety dari tele-
Dua Belas t . c visi. Ia langsung bangkit mendekati kakaknya dan mengamati model kebaya yang terpampang di depannya.
Aduh, ini bagus dan anggun sekali. Lengan atasnya agak menggembung dan bagian pergelangan tangannya mengerucut penuh payet. Begitu juga bagian dadanya. Aku ingin kebaya pengantinku seperti ini, Mbak. Tetapi ke mana kita harus menjahitkannya"
Bawa saja pada Tante Mimy. Dia kan terkenal sebagai penjahit kebaya pengantin, usul Rita. Konon kabarnya, ada beberapa artis yang menjahitkan kebayanya ke sana.
Tante Mimy, Mbak" Waduh, tak kuat aku membayar ongkosnya. Kau tahu kan tarifnya setinggi langit. Apalagi setelah banyak artis menjahitkan kebayanya di sana.
Betul juga. Tetapi hasilnya pasti memuaskan, sahut Rita.
Memangnya hanya Tante Mimy saja penjahit kebaya yang bagus di Jakarta"
Jadi..." Aku akan ke tempat Mbak Susi, sahut Tety, begitu nama itu terlintas di dalam pikirannya,
Mbak Susi yang mana"
Itu lho kenalan Mama, tempat Mama mengambil dagangan. Jahitannya halus, rapi, dan modelnya bagusbagus. Langganan Mama semakin banyak kan karena mengambil dari tempat Mbak Susi. Sekarang Mama tidak mau lagi mengambil dari tempat lain. Seluruhnya dari Mbak Susi.
Ya ampun, Tety. Mbak Susi kan pemilik konveksi
t . c dengan jahitan pakaian massal, kata Rita skeptis. Mana mau menjahitkan kebaya untukmu. Apalagi kebaya pengantin.
Pokoknya, aku akan menelepon beliau. Paling tidak, ia pasti mempunyai kenalan atau relasi penjahit kebaya yang bagus.
Terserah. Tetapi aku tak yakin. Apa salahnya mencoba, kan"
Seperti apa yang diduga Rita, pemilik konveksi itu tidak menerima jahitan perorangan. Apalagi, kebaya. Lebih-lebih lagi kebaya pengantin. Tetapi ia merekomendasi tiga nama yang sering menjahitkan kebaya atau gaun pengantin untuk para artis dan pejabat.
Aduh, Mbak, mereka itu kelas top. Kami tak sanggup membayarnya, kata Tety dengan nada kecewa. Barangkali Mbak Susi mengetahui penjahit lain yang bukan kelas mereka tetapi jahitannya bagus"
Ada, namanya Bu Mimy. Jahitannya juga bagus sekali. Aku sering menjahitkan kebaya untuk pesta di sana. Enak dipakainya.
Aduh, Mbak, itu juga masih kelas bintang, Tety memotong sambil tertawa. Ada yang lain lagi" Penjahit Mbak Susi kan bagus-bagus.
Betul, kuakui itu. Ada beberapa di antara mereka yang membuka jahitan di rumah untuk sambilan. Tetapi menjahit kebaya pengantin, wah, aku tak berani memberimu saran, Dik Tety. Jangan deh.
Aduh... ke mana ya saya harus menjahitkan kebaya pengantin" Kalau dibawa ke tukang jahit sembarangan...
t . c ah, sayang, Mbak. Bahannya bagus dan cukup mahal harganya.
Sebentar, kuingat-ingat dulu& Perempuan yang disebut Mbak Susi atau biasa dipanggil para karyawannya dengan sebutan Bu Susi, terdiam sejenak. Ketika sebuah nama terlintas di benaknya, ia langsung melanjutkan bicaranya. Dik Tety, apakah kau mau mencoba ke tempat bekas karyawan terbaikku" Dia menerima jahitan di rumah. Aku tahu betul, jahitannya rapi dan enak dipakai. Tetapi apakah dia sudah pernah menjahit kebaya pengantin atau belum, aku tidak tahu. Mbak Susi pernah menjahitkan ke sana" Ya. Semula sih cuma untuk membantunya biar pemasukannya bertambah. Tetapi sekarang, aku sering menjahitkan padanya karena selain enak dipakai juga murah.
Pernah menjahitkan kebaya juga, Mbak" Pernah, sekali. Enak dan bagus, sahut Bu Susi. Kalau mau mencoba dulu, belilah blus atau daster buatannya. Dia juga membuat daster-daster dan blus untuk dijual. Orang itu penuh bakat, Dik.
Kalau begitu, aku akan ke sana untuk melihat sendiri seperti apa jahitannya. Terima kasih informasinya. Tolong beritahu alamatnya, Mbak.
Tety datang sendiri ke rumah Ratih pada keesokan harinya. Saat itu Ratih sedang sendirian, menonton televisi sambil memasang payet kebaya langganannya. Belakangan ini lebih banyak orang menjahitkan kebaya padanya gara-gara iklan dari mulut ke mulut para tetangga.
t . c Ratih sudah biasa menerima tamu yang belum pernah dilihatnya, datang dengan membawa jinjingan atau bungkusan di tangannya. Pasti, dia langganan barunya. Jadi diterimanya kedatangan Tety dengan ramah sebagaimana biasanya.
Silakan masuk, Dik. Mari.
Terima kasih. Maaf, Mbak Ratih. Nama saya Tety. Apakah Mbak juga menerima jahitan pakaian pengantin"
Terus terang baru dua kali. Tetapi kalau kebaya, cukup sering, sahut Ratih sambil tersenyum. Saya kira kebaya pesta dan kebaya pengantin tidak terlalu jauh bedanya. Hanya payet, bordir, dan lipit-lipitnya memang lebih banyak dan lebih mewah. Dik Tety mau membuat kebaya pengantin"
Ya, sahut Tety sambil membuka bungkusan bahan yang dibawanya. Bahannya seperti ini, Mbak. Sudah ada modelnya"
Ada. Ini majalahnya, Mbak.
Ratih mengamati dengan cermat contoh yang diperlihatkan oleh Tety. Memang agak rumit. Tetapi rasanya ia bisa mengerjakannya. Ia sudah bisa memahami cara membuatnya.
Sementara Ratih mengamati contoh model dengan penuh perhatian, Tety mengamati sang nyonya rumah. Dia tidak menyangka penjahit yang direkomendasi Mbak Susi ternyata begitu cantik. Bulu matanya panjang dan lentik. Saat menunduk, bulu mata itu seperti menyentuh pipinya yang halus dan lembut. Bibirnya
t . c yang indah bergerak-gerak perlahan, mengikuti gerak alunan pikirannya.
Dik, bahan yang untuk kebaya di majalah ini sepertinya polos sama sekali sehingga banyak bermain pada berbagai bentuk payet, mote, dan bordir di bagian belahan dada dan pinggir di bagian bawahnya.
Apakah bahan saya yang ada motifnya ini memiliki tingkat kesulitan yang lebih, Mbak"
Bukan begitu, sahut Ratih sambil tersenyum. Menurut pemikiran saya, letak keistimewaan bahan ini justru ada pada motif-motif bunga ini. Jadi rasanya akan bagus kalau bunga-bunga ini ditonjolkan dengan payet dan mote-mote. Di beberapa bagian yang kosong, akan saya guntingkan motif bunga yang diambil dari bahan yang tersisa, kemudian ditempel dan dibordir plus ditaburi payet-payet. Misalnya di bagian pinggiran bawah kebaya, terutama di bagian depan. Tetapi itu tadi cuma sekadar pemikiran saya lho, Dik. Kalau Anda tetap menginginkan model sebagaimana yang ada di gambar, silakan. Itu kan masalah selera. Dengan senang hati akan saya kerjakankan.
Ide Mbak Ratih bagus juga. Boleh saya lihat contoh bordir dan payet yang sudah Mbak buat"
Ini kebetulan saya sedang memasang mote-mote pada kebaya waktu Dik Tety datang tadi. Sambil berkata seperti itu Ratih mengambil kebaya itu dari ruang dalam.
Tety memperhatikannya untuk kemudian berdecak kagum.
t . c Ini bagus sekali. Model kebayanya juga unik. Mencontoh dari mana ini, Mbak" tanyanya kemudian. Ini desain saya sendiri, Dik Tety.
Tety menatap Ratih beberapa saat lamanya, heran bahwa ternyata Ratih bukan hanya pandai menjahit, membordir dan memasang payet saja, tetapi juga merancang model pakaian.
Mbak berbakat besar, pujinya. Mbak Susi juga mengatakan begitu kepada saya.
Saya tidak tahu apakah saya berbakat atau tidak, sahut Ratih tertawa. Tetapi yang pasti, kemampuan merancang dan jahit-menjahit itu saya peroleh dari kursus. Saya kira siapa pun yang mengikuti kursus dengan rasa cinta terhadap apa yang dipelajarinya, pasti bisa mengerjakannya.
Mbak Ratih terlalu merendah.
Sudahlah, kembali ke pokok masalah, Dik Tety mau model yang mana" Seperti contoh yang ada di majalah itu atau bagaimana"
Menurut Mbak Ratih bagaimana" Tolong saya diberi pertimbangan, sahut Tety.
Kalau bukan untuk kebaya pengantin, saya akan memberimu usul, Dik Tety. Tetapi karena ini pakaian pengantin dan pasti akan difoto dan nantinya menjadi bagian dari sejarah perkawinan Dik Tety, saya tidak mau memberi pengaruh apa pun. Ratih tertawa. Nah, sambil berpikir-pikir, ayo saya ukur dulu tubuh Dik Tety, ya.
Selesai diukur, Tety bertanya kepada Ratih. Mbak, bolehkah saya memikirkannya di rumah le-
t . c bih dulu" tanyanya. Akan saya tanyakan kepada kakak perempuan saya dulu.
Itu bagus sekali karena ada beberapa kepala yang ikut memikirkan. Tetapi sebelumnya saya ingin tahu lebih dulu, kapan Dik Tety akan menikah"
Tiga bulan yang akan datang, sahut Tety. Hmm... sebentar, saya hitung. Wah, tidak sampai tiga bulan. Dua setengah bulan lebih, kira-kira. Berapa lama jahitannya selesai, Mbak"
Karena banyak payetnya, yah... sekitar dua minggu lebihlah. Saya masih harus menyelesaikan kebaya yang ini dulu.
Tidak apa, Mbak. Masih cukup banyak kok waktunya. Tetapi apakah saya boleh mengepas dulu sebelum diberi payet dan lain sebagainya"
Tentu saja. Untuk pakaian pengantin, saya selalu meminta supaya yang bersangkutan mencobanya sekali atau dua kali lebih dulu. Nanti saya beritahu, kapan siap untuk dicoba. Tolong nomor telepon rumah atau ponsel Dik Tety dicatat di buku ini, persis di bawah namamu.
Baik. Pulang dari rumah Ratih, Tety menelepon Bu Susi lagi untuk menceritakan pengalamannya bertemu penjahit yang direkomendasikannya.
Kelihatannya cocok, Mbak. Rupanya selain mengikuti kursus menjahit, Mbak Ratih juga kursus merancang busana. Saya lihat payet yang ia pasang pada kebaya langganannya rapi, anggun, dan cantik. Dia bi-
t . c lang, payetnya buatan Jepang, begitu antara lain cerita Tety kepada Bu Susi.
Dia memang tidak pernah mau diam di tempat. Selalu saja dia ingin belajar ini dan itu sampai bisa. Memasang payet, memilih warna benang bordir, atau apa saja yang dikerjakannya, selalu ada sentuhan seninya. Tidak asal pasang. Tidak asal rapi. Semua itu berasal dari pribadinya yang menarik. Aku menyukainya.
Kok rumahnya sepi. Apakah Mbak Ratih sudah menikah"
Ya, sudah. Sekarang dia hanya tinggal bersama ibu mertuanya yang sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sendiri, jawab Bu Susi.
Lho, suaminya" Suaminya pergi meninggalkannya.
Itu suami gila. Perempuan sejelita itu, mana pandai, baik dan ramah, kok ditinggal. Sudah berapa lama itu, Mbak"
Enam tahun lebih. Oh, suaminya bukan hanya gila, tetapi juga jahat dan tak punya perasaan. Apa masalahnya"
Cukup, Dik Tety. Aku tidak ingin bergunjing. Itu rahasia kehidupan orang. Aku tidak boleh membukanya terlalu detail. Aku tadi bercerita, asal kau tahu saja, supaya hati-hati kalau bicara. Orangnya lembut dan perasa. Tetapi juga luar biasa kuat, sabar dan tabah berjuang meniti kehidupan yang keras di Jakarta ini.
Keesokan harinya Tety menelepon Ratih untuk mengatakan pilihan model kebaya pengantinnya.
t . c Mengenai modelnya, saya serahkan pada Mbak Ratih. Pokoknya yang bagus, Mbak.
Tidak menyesal" Ratih tertawa.
Tidak. Kapan saya bisa mengepas kebayanya, Mbak"


Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seminggu lagi, ya" Demikianlah Tety datang lagi ke tempat Ratih untuk mengepas ukuran kebayanya. Ternyata pas dan enak.
Coba, tangannya diangkat ke atas dan ke samping, kata Ratih. Rasakan tarikannya. Enak atau tidak" Tety menurut.
Enak, Mbak. Semuanya serbapas. Bentuk leher dan pergelangan tangannya unik. Belum diberi payet saja sudah bagus. Mbak Ratih telah mengatur motif bungabunganya sedemikian rupa. Di bahu, di lengan atas, di pergelangan tangan dan di bagian depan pinggiran bawah. Cantik, Mbak.
Ya. Tetapi sisa bahannya jadi sedikit karena saya gunting-gunting motif bunganya.
Tidak apa, Mbak. Saya memang sengaja membeli bahan itu lebih lebar daripada yang dibutuhkan. Berjaga-jaga jika terjadi kesalahan. Tetapi ternyata malah berguna sekali.
Kalau Dik Tety sudah merasa pas dan enak, nanti akan saya bordir pinggiran motif bunganya dengan benang emas tipis yang tidak mencolok warnanya, kemudian akan saya beri payet dan mote-mote pada beberapa bagian, kata Ratih.
Wah, saya sudah tidak sabar melihatnya. Kapan kebaya ini selesainya, Mbak"
t . c Sekitar sepuluh hari ya, biar lebih bagus. Kalau terburu-buru, hasilnya kurang baik.
Setuju. Sepuluh hari lagi akan saya ambil. Tetapi ketika hari yang dijanjikan Ratih pada Tety tiba, kebaya pengantin itu belum selesai. Masih ada sebagian yang belum diberi payet. Itu gara-gara pengurus RT meminta bantuan menjahitkan beberapa pakaian daerah untuk beberapa anak kecil yang akan mengikuti pawai Hari Kemerdekaan.
Tolong ya, Bu, ini demi merayakan Hari Kemerdekaan kita. Beberapa tetangga ada yang menyumbang beberapa dos minuman gelas. Ada juga yang menyumbang makanan kecil dan lain sebagainya. Bu Ratih hanya kami mintai tenaga saja, menjahitkan pakaian daerah yang akan dipakai anak-anak kita untuk pawai keliling, Begitu antara lain kata panitia ketika datang menemui Ratih.
Memang tidak banyak yang harus dijahit, tetapi tetap saja telah menyita waktu yang seharusnya dipergunakan untuk menyelesaikan kebaya pengantin Tety. Ia baru saja akan menelepon Tety untuk memberitahu ketika tiba-tiba gadis itu muncul di depannya.
Bagaimana, Mbak" Sudah selesai, kan" sapa gadis itu begitu masuk ke rumah.
Aduh, Dik Tety, saya baru saja mau meneleponmu untuk mengatakan kebayanya masih kurang payet di satu bagian. Lusa saja diambilnya. Ini gara-gara saya diminta menjahitkan pakaian daerah untuk anak-anak di RT kami yang mau ikut pawai. Mau menolak, bagaimana" Ini kan untuk perayaan Hari Kemerdekaan dan
t . c saya termasuk bagian dari RT sini. Masa tidak ikut berpartisipasi sama sekali" Jadi maaf, ya... besok deh saya antar ke rumahmu. Minta alamat...
Suara Ratih terhenti oleh tawa Tety.
Sudahlah, Mbak. Tidak apa-apa, kata gadis itu merebut pembicaraan Ratih. Saya maklum. Kalau Mbak Ratih menolak menjahitkan pakaian untuk pawai, kan disangka tidak punya rasa nasionalisme. Tetapi bolehkah saya melihat sudah sampai mana penyelesaian kebaya saya"
Silakan. Ayo, masuklah. Ratih menunjukkan kebaya pengantin yang sudah sembilan puluh persen jadi itu. Kebaya itu dihamparkannya di atas meja kerja tempat ia biasa membuat pola dan memotong bahan. Melihat kebayanya, Tety berdecak kagum. Kalau kupakai nanti, pasti orang-orang mengira kebaya ini dibuat oleh perancang terkenal, katanya dengan rasa puas.
Ratih tertawa pelan. Ah, jangan berlebihan begitu, Dik Tety. Aku masih belum seahli mereka, katanya kemudian.
Mbak Ratih terlalu merendah, sahut Tety sambil melihat arlojinya. Wah, ternyata sudah siang. Saya langsung pamit ya, Mbak.
Tetapi duduklah dulu sebentar, Dik Tety. Biarpun belum bisa membawa pulang kebaya, minumlah dulu. Ibu tadi membuat rujak cacah yang enak. Cicipilah. Sudah kami masukkan ke dalam lemari es. Segar lho dimakan di siang hari panas begini, Ratih menawari
t . c tamunya dengan perasaan puas. Bulan lalu dia membeli lemari es kecil yang ternyata banyak kegunaannya.
Lain kali ya, Mbak. Ngiler sih saya mendengar tawaran itu. Tetapi saya harus cepat pergi. Ada keperluan yang harus segera kami selesaikan hari ini. Kami..."
Ya, kami. Tunangan saya menunggu di luar. Aduh, kenapa tidak diajak masuk"
Kapan-kapan, Mbak. Pasti nanti akan saya kenalkan pada Mbak Ratih yang telah membantu kami menyiapkan kebaya pengantin saya, Tety menjawab sambil bergegas keluar. Sampai ketemu ya, Mbak.
Ratih menyusul Tety sampai ke beranda. Tetapi ketika ia melihat tunangan Tety yang duduk di atas sepeda motor besar dan kemudian gadis itu naik ke atas boncengannya sambil melingkarkan lengannya ke perut laki-laki itu, langkah kaki Ratih terhenti mendadak di ambang pintu, dia bagai terpaku di tempatnya berdiri. Seluruh tubuhnya tiba-tiba saja gemetar hebat. Bersamaan dengan itu, seluruh aliran darah di tubuhnya seakan terisap sampai ke ubun-ubun di kepalanya, menyebabkannya kehilangan tenaga. Cepat-cepat ia berpegang kuat-kuat pada kusen pintu, berharap mendapat kekuatan dari tempat itu. Matanya nanar tanpa berkedip, menatap pasangan yang semakin menjauh itu. Hartomo yang dinanti-nantikannya, Hartomo yang diberinya kesetiaan dan cintanya sebulat hati, sebentar lagi akan menikah dengan Tety. Siang ini mereka akan mengurus sesuatu yang pasti berkaitan dengan perkawinan mere-
t . c ka. Membuat kartu undangan, mungkin" Mengurus katering untuk hidangan pesta, mungkin"
Apa pun, semuanya terasa amat menyakitkan bagi Ratih. Untuk beberapa saat lamanya ia memejamkan matanya, mengusir perasaannya yang baur berantakan. Kecewa, luka, perih, sedih menjadi satu dan berputarputar dan bergejolak di dadanya sehingga napasnya menjadi sesak. Bahkan kemudian keringat dingin mulai mengalir lewat pori-pori di seluruh tubuhnya dan pandang matanya berkunang-kunang. Apa yang baru saja disaksikannya tadi memang telah lenyap entah di mana, tetapi rekamannya masih terpeta jelas di kepala dan di hatinya. Benarkah apa yang dilihatnya tadi" Atau ilusikah itu" Halusinasi atau mimpi"
Tanpa sadar dicubitnya pahanya sendiri sekeras-kerasnya. Terasa sakit. Masih belum percaya, digigitnya bibirnya sendiri. Juga terasa sakit. Bahkan ada rasa asin di mulutnya. Pasti ada darah di situ. Jadi ini kenyataan. Tetapi darah yang masih terasa di mulutnya itu bukanlah apa-apa dibanding darah yang mengucur deras di hatinya yang tercabik-cabik.
Ratih lalu menatap ke langit dengan tatapan hampa yang mengerikan. Dilihatnya langit kota Jakarta masih sebiru semula dan awan-awan putihnya masih menarinari mengikuti gerak udara yang tampak seperti hamparan kapas ditiup angin. Itu adalah kenyataan. Jadi, dunia masih berputar dan masih ada kehidupan di sekitarnya. Bukan sedang kiamat seperti sangkanya tadi. Tetapi jika dunia tidak sedang kiamat, mengapa perasaannya kosong begini" Ke manakah jiwanya"
t . c Mata Ratih semakin berkunang-kunang. Bintang-bintang besar seakan bertaburan di dalam matanya. Lekaslekas ia mengatupkan kedua belah matanya kuat-kuat. Tetapi aduh, di pelupuk mata itu ia melihat sepasang kekasih duduk di atas motor besar, dengan lengan si gadis melingkari tubuh tunangannya. Cepat-cepat seperti ketika memejamkan matanya tadi, ia membuka kembali pelupuk matanya, berharap bayangan tadi lenyap. Tetapi usahanya sia-sia. Bayangan pasangan kekasih tadi malah seperti menari-nari di depan matanya. Tuhan, Tuhanku... berilah aku tangis, keluhnya dengan dada yang terasa semakin sesak. Ke manakah air mataku" Menggumpal di mana sehingga tak bisa keluar" Ah, begitu keringkah isi tubuhku sehingga untuk menangis saja pun tidak ada air"
Tubuh Ratih bergoyang-goyang di tempatnya. Dengan gemetar ia mencengkeram kusen pintu agar tubuhnya tidak sampai terempas ke lantai. Rasa sesak di dadanya terasa semakin menekan. Dia bertanya kepada langit dan kepada angin yang lewat, berapa banyak dan sebesar apa batu yang ditindihkan ke dadanya ini" Ditekapnya dadanya kuat-kuat, kemudian setengah berlari diseretnya kakinya kembali ke ruang tengah, ingin segera menyandarkan tubuhnya ke atas kursi agar tidak sampai jatuh terjerembap. Ia mulai menyadari bahwa yang baru saja dihadapinya itu adalah suatu kenyataan. Bukan khayalan. Bukan halusinasi.
Jadi... inilah kiranya yang ia dapatkan setelah menanti hampir tujuh tahun lamanya. Jadi ini pulalah yang ditemuinya setelah sekian lamanya mencari-cari di
t . c mana keberadaan laki-laki yang dicintainya itu" Hanya saja, kenapa harus dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan kagagalan total dan kesia-siaan yang sudah dirintisnya sejak masih di kampung halamannya" Kenapa bukan orang lain yang menceritakannya sehingga ada waktu baginya untuk menata hatinya yang hancur lebur.
Sungguh, tidak ada arti sama sekali kesetiaan yang dipegangnya erat-erat selama ini. Segalanya telah musnah... tiada setitik debu pun yang tersisa. Sebentar lagi Hartomo akan menikah dengan Tety. Alangkah luar biasa tajamnya pedang yang ditusukkan ke tengah dadanya. Dia benar-benar tidak kuat lagi menahannya....
Tiba-tiba pandang matanya terhunjam ke arah kebaya pengantin yang masih terletak di atas meja kerjanya. Itulah kebaya yang akan dikenakan Tety dua bulan mendatang. Dengan tangannya sendiri dan dengan ketelitiannya, ia membuatkan kebaya yang akan dikenakan oleh pengantin Hartomo.
Tubuh Ratih gemetar hebat saat menatap kebaya yang selama dua minggu ditekuninya dengan cermat, hati-hati, dan menyita waktu, tenaga, dan kekuatan matanya saat melihat jarum, benang, dan payet serta mote kecil-kecil yang harus ditatanya dengan rapi dan indah. Tiba-tiba saja tangis yang sejak tadi hanya menggumpal-gumpal di dadanya kini mulai terlepas, tumpah membanjiri wajahnya. Ia menangis tersedu-sedu sambil menelungkupkan kepalanya pada sandaran tangan kursi. Bahunya terguncang-guncang hebat. Bahkan nyaris saja ia menjadi histeris, ingin menjeritkan rasa sakit
t . c yang luar biasa ini sekeras-kerasnya karena tak tahan lagi.
Dalam keadaan berantakan seperti itu tiba-tiba suara derit pintu belakang terdengar olehnya. Sebentar lagi Bu Marta yang baru pulang dari warung, pasti akan masuk. Ratih tersentak. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh membuat hati Ibu hancur berkepingkeping karena ulah anak satu-satunya itu. Lekas-lekas Ratih menghentikan tangisnya. Dengan menggigit kuatkuat bibir yang mengakibatkan bagian dalamnya berdarah kembali, Ratih menegakkan tubuhnya. Sambil menghapus pipinya yang basah kuyup dengan gerakan kasar, ia cepat-cepat berdiri.
Bu... saya keluar sebentar..., katanya hati-hati, jangan sampai suaranya terdengar parau akibat tangisnya tadi. Kemudian tanpa bersisir, tanpa menoleh ke arah Bu Marta yang baru muncul dari belakang, dan bahkan tanpa membawa apa-apa, ia bergegas keluar rumah. Tujuannya cuma satu, pergi sejauh-jauhnya agar ibu mertuanya tidak mengetahui gempa berat yang sedang terjadi di hatinya.
Bu Marta mengiyakan tanpa perhatian penuh. Ia sedang memindahkan kue-kue yang baru saja dibelinya ke atas piring ceper. Ratih sering seperti itu, pergi dengan tergesa-gesa dan pulang dengan membawa beberapa keperluan menjahit. Jadi perempuan paro baya itu menganggapnya biasa.
Tetapi kali itu Ratih tidak pergi ke toko langganannya yang terletak di jalan besar. Begitu keluar dari
t . c gang, Ratih berjalan cepat di sepanjang jalan besar, tanpa tujuan yang jelas. Sinar matahari sedang terik-teriknya. Tepat di tengah ubun-ubun. Dengan berjalan di antara lalu-lintas yang ramai, perempuan itu berharap bisa melupakan sejenak pukulan batin yang terasa menyesakkan dadanya. Karena itu kakinya terus melangkah dan melangkah tanpa tahu ke mana akan menuju. Pokoknya dia harus berjalan agar tidak menangis lagi. Apalagi menangis di rumah karena bayangan yang teramat pahit itu terus saja mengikutinya ke mana-mana. Tety melingkarkan lengannya ke perut Hartomo, duduk di atas motor besar dengan mesra....
Ah, kenapa harus dirinya sendiri yang menyaksikan pemandangan paling mengerikan di sepanjang sejarah kehidupannya selama ini" Secara tiba-tiba dan tak tersangka pula.
Tanpa sadar, Ratih melangkah menuju ke jalan raya, bermaksud menyeberang jalan yang sedang ramai-ramainya, agar bayangan tadi tersingkir dari ingatannya. Tetapi, tiba-tiba saja dia dibentak orang.
Hei... buta lu, ya" Jalanan moyangmu! didengarnya dampratan sopir bajaj yang nyaris menabraknya. Untung remnya berfungsi bagus.
Ratih diam saja. Tidak terkejut sama sekali. Tak ada perasaan apa pun yang tersirat dari wajahnya kendati hampir saja ia mengalami bahaya maut. Bahkan ia mulai melangkah lagi menuju ke seberang sampai akhirnya ia diteriaki sopir mikrolet yang hampir saja menabraknya.
Hei, mau mati lu, ya! t . c Ratih menatap sopir mikrolet yang memakinya tadi dengan hampa. Pandangan matanya seakan menjawab dampratan tadi, bahwa ia memang ingin mati. Kemarahan sopir mikrolet tadi langsung menguap, menyesal telah berkata kasar pada perempuan itu. Ia menangkap bayangan duka mendalam yang tersirat pada air muka Ratih. Tetapi apa pun masalahnya, seharusnya perempuan itu tidak menyeberang jalan seenaknya sendiri. Kalau sampai tertabrak dan perempuan itu terbaring di bawah kolong mikroletnya, sopirlah yang selalu disalahkan. Padahal, belum tentu begitu kejadiannya.
Dengan sikap tak peduli dan bagaikan orang linglung, Ratih melanjutkan langkah kakinya tanpa tujuan yang jelas. Blusnya telah melekat ke tubuhnya yang basah kuyup oleh keringat. Mulutnya terasa kering, kepalanya mulai berdenyut-denyut terbakar teriknya sinar matahari, dan kakinya mulai terasa pegal. Namun meskipun demikian, tidak sedetik pun ia ingin menghentikan gerak langkah kakinya. Kalau mau terkapar di jalanan karena kelelahan, biar sajalah. Apa bedanya dengan perasaannya yang sudah sejak tadi terkapar di atas puing-puing kegagalan dan keputusasaannya" Apalagi sekarang, esok, lusa dan hari-hari mendatang, sudah tidak berarti lagi baginya. Tak ada yang dinantinantikannya lagi. Selesai sudah perjuangannya dengan kegagalan total....
Ratih tersenyum pahit. Sakit sekali dadanya. Rasa sakit yang harus dilarikannya jauh-jauh dari rumah. Kalau bisa, dia tidak usah pulang ke rumah kembali. Bukan hanya untuk menjaga perasaan ibu mertuanya
t . c saja, tetapi juga karena baginya sudah tak ada masa depan lagi. Jadi untuk apa pulang ke rumah" Untuk memperpanjang kesia-siaan perjuangannya" Atau untuk duduk di muka meja kerjanya, melanjutkan memasang payet kebaya pengantin Tety yang akan dikenakannya saat bersanding dengan Hartomo"
Menyadari apa yang akan terjadi dua bulan mendatang, tubuh Ratih menggigil lagi. Lebih hebat daripada tadi. Hartomo jelas tidak akan kembali kepadanya. Hartomo sudah pasti tidak akan kembali kepadanya. Hartomo sudah pergi dari kehidupannya. Hartomo sudah mempunyai kehidupan sendiri bersama perempuan lain.
Menyadari hal itu, dengan terhuyung-huyung Ratih menjauhi trotoar tanpa disadarinya. Tetapi telinganya masih bisa menangkap jerit dan teriakan orang-orang di sekitarnya saat ia merasakan nyeri yang teramat hebat menghunjam betis dan pergelangan kakinya. Sesudah itu ia tidak ingat apa pun lagi kecuali samar-samar tahu dirinya terkapar di jalan raya dan banyak orang berlarian mengerumuninya. Ratih tenggelam dalam kegelapan tanpa batas....
t . c M ULA-MULA suara-suara samar yang berdengung
di sekitar telinga Ratih terdengar begitu jauh, seakan berasal dari awan di atas sana. Namun lama-lama kemudian suara-suara itu terdengar semakin dekat, semakin jelas, dan semakin jelas lagi sehingga Ratih tahu suara itu pasti berasal dari sekitar dirinya. Maka pelanpelan ia mulai membuka pelupuk matanya. Tetapi cuma sebentar. Ia segera mengatupkan kelopak matanya kembali saat rasa pusing, yang seperti memutar-mutar kepalanya, menyerang dirinya. Setelah beberapa saat berlalu, untuk kedua kalinya Ratih mencoba lagi membuka matanya. Terlihat semua yang ada di sekitarnya tampak kabur, tetapi lamat-lamat ia mulai melihat seraut wajah laki-laki di dekatnya. Raut wajah yang terlihat kabur di matanya itu tersenyum kepadanya.
Tiga Belas t . c Ratih... Ratih..., pemilik raut wajah itu menyebut namanya dengan suara lembut.
Mas Tom..., bisik Ratih dengan suara parau. Tetapi sedetik kemudian saat menyadari kekeliruannya, air matanya mulai berhamburan. Lekas-lekas dikatupkannya kembali kelopak matanya yang penuh air itu, tak sanggup melihat dunia nyata yang ada. Ingin sekali ia kembali ke alam yang gelap, selama mungkin. Tiba-tiba terasa saputangan berbau harum yang segar menghapus pipinya yang basah.
Sudahlah, Ratih, jangan bersedih. Aku ada di sini, mendampingimu, kata laki-laki pemilik saputangan yang harum tadi.
Ratih mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi segalanya. Betapapun luka parah di hatinya, bagaimanapun porak-poranda masa depannya, dan sepahit apa pun kenyataan yang dialaminya, ia tidak boleh terkapar jatuh seperti kain lusuh yang tidak ada harganya. Bagaimanapun juga, kehidupan ini masih tetap berjalan dan dunia belum kiamat. Ia harus menunjukkan martabatnya sebagai insan yang bernilai di mata Tuhan. Dengan pemikiran seperti itu pelan-pelan ia membuka matanya lagi. Dengan pandangan sayu ia menatap bola mata laki-laki yang duduk di samping tempat tidurnya. Kemudian dikumpulkannya ingatannya yang tersebar dengan mengibaskan satu-satunya ingatan yang membuat dirinya hancur.
Apa yang terjadi..." tanyanya dengan suara bergetar. Di mana aku" Mengapa Mas Dody ada di sini" Kau di rumah sakit, Ratih. Aku yang membawamu,
t . c sahut Pak Dody. Memang laki-laki itulah yang ia lihat pertama kali saat tersadar dari pingsannya.
Ya, tetapi apa...a...pa yang terjadi..." Ratih mengulangi pertanyaannya. Dengan sedikit panik, matanya menatap ke sekeliling dan melihat bahwa semua yang tampak oleh matanya memang menunjukkan bahwa dirinya sedang terbaring di rumah sakit. Terutama jarum infus di punggung telapak tangannya yang menghubungkan tubuhnya dengan botol cairan yang tergantung di sisi tempat tidur.
Apa...apa yang terjadi padaku, Mas" Untuk ketiga kalinya Ratih bertanya hal yang sama karena bingungnya.
Tuhan telah membawaku melewati gang di depan rumahmu... saat aku merasa rindu padamu, Ratih. Dan Tuhan pula yang telah menuntunku saat aku melihat kerumunan orang. Ketika kutanya seseorang yang ada di dekat mobilku, ia mengatakan padaku ada seorang perempuan muda tertabrak motor....
Mendengar cerita Pak Dody, Ratih seperti diingatkan pada sesuatu yang samar-samar terjadi sebelum ia terseret ke kegelapan tadi. Ia tersentak dan langsung duduk. Namun rasa nyeri yang menghunjam tungkai dan betisnya menyebabkan ia terpekik. Perawat yang kebetulan berniat menengok keadaannya, langsung berlari mendekat.
Ibu baru saja sadar rupanya, sapanya. Berbaringlah lagi, Bu. Saya akan memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Ibu kembali.
t . c Sepeninggal perawat, Ratih menoleh ke arah Pak Dody. Tak dihiraukannya kepalanya yang pusing.
Ceritakan apa yang terjadi, Mas, bisiknya dengan bola mata melebar. Apa yang terjadi pada kakinya"
Kulanjutkan ceritaku tadi, ya" Setelah mengetahui ada kecelakaan, aku langsung turun dari mobil. Biasanya aku tidak ingin ikut campur karena sering kali orang yang tulus ingin menolong korban tabrak lari misalnya, malah direpotkan dengan banyak hal. Termasuk menjadi saksi. Tetapi setelah aku banyak bergaul denganmu, pola pikirku berubah. Bahwa mungkin saja korban tabrakan itu sedang berpacu dengan waktu. Kalau tidak segera ditolong, boleh jadi nyawanya tak terselamatkan. Dan itu ada di atas segala-galanya. Dijadikan saksi, apalah artinya. Jadi aku langsung mendekat untuk menolong siapa pun yang tertabrak motor itu. Ternyata... itu kau, Ratih. Pak Dody menghentikan bicaranya. Suaranya terdengar serak. Entah apa yang terjadi andaikata nuraniku tadi tidak kudengar....
Begitu... rupanya.... Matanya mulai penuh dengan air mata lagi. Mas Dody harus tahu... siapa pun yang menabrakku, itu bukan salahnya. Bahkan andaikata yang menabrakku itu anak muda yang sedang ngebut sekalipun, bukan salahnya. Akulah yang berjalan seperti orang linglung....
Penabraknya seorang bapak usia pertengahan yang mengendarai motornya dengan kecepatan biasa. Tak bisa kubayangkan jika kau ditabrak pengendara sepeda motor yang melaju kencang. Kata orang-orang di seki-
t . c tar tempat itu, kau memang yang tiba-tiba berjalan cepat ke arah jalan raya tanpa menoleh-noleh lagi.
Ratih terdiam. Dia ingat sopir bajaj. Dia juga ingat sopir mikrolet yang memakinya karena terkejut saat hampir menabraknya. Tetapi yang paling menyakitkan, dia juga teringat apa yang menyebabkannya lari dari rumah tanpa memikirkan bahaya di jalan raya. Namun siapa sangka pelariannya itu berakhir di rumah sakit. Mengingat itu dada Ratih terasa sesak. Wajahnya semakin pucat. Seakan tidak ada darah yang mengalir di situ. Melihat keadaannya, Pak Dody merasa cemas. Ia teringat apa yang dikatakan oleh dokter jaga di ruang emerjensi ketika memeriksa Ratih tadi.
Sejauh yang sudah kami lihat dan fakta-fakta dari foto rontgen, ibu ini mengalami patah tulang pada dua tempat di kaki kirinya. Tetapi dari foto kepala tidak ditemukan adanya gejala gegar otak, begitu dokter tadi menjelaskan.
Tetapi mengapa pingsannya lama"
Setelah melihat hasil pemeriksaan medis, kesimpulan kami sementara tampaknya ia baru saja mengalami guncangan batin. Memang ini masih merupakan kesimpulan sementara. Apalagi Bapak tadi mengatakan, pasien ini tidak membawa apa-apa dan hanya mengenakan sandal jepit dan pakaian rumah. Tetapi seandainya pasien nanti mengalami pusing yang hebat dan muntah-muntah, mungkin perlu pemeriksaan lebih jauh. Tetapi untuk saat sekarang ini sebaiknya pasien berbaring dulu. Jangan duduk. Kakinya akan kami spalk dulu agar letaknya tidak berubah. Besok pagi akan kami operasi.
t . c Mengingat penjelasan dokter, Pak Dody merasa khawatir kalau-kalau ada gegar otak yang baru sekarang tampak gejalanya.
Apakah kau merasa ingin muntah, Ratih" tanyanya.
Tidak. Pusing" Ya.
Pusing sekali sampai mau muntah" Tidak. Hanya pusing saja.
Hati Pak Dody agak lega. Mungkin kesimpulan dokter bahwa Ratih baru saja mengalami guncangan batin benar. Ketika mengangkat tubuh Ratih ke dalam mobilnya bersama seorang tukang parkir tadi, ia sempat melihat air mata mengalir di sela-sela matanya yang tertutup. Apalagi ketika dia bertanya kepada orang-orang di sekitar kecelakaan apakah melihat sesuatu yang dibawa Ratih, ia mendapat keterangan bahwa Ratih tidak membawa apa-apa. Pakaian yang dikenakannya juga bukan pakaian untuk bepergian. Bahkan alas kakinya hanya sandal jepit. Ada apa sebenarnya" Apa yang terjadi padanya" Tetapi sebelum Ratih tampak lebih baik, ia tidak ingin menanyakannya.
Apa yang kaurasakan, Ratih" tanyanya lagi. Aku... aku lelah...
Kalau begitu cobalah untuk tidur dan melupakan kejadian hari ini. Kau harus menguatkan hati dan fisik karena besok kau akan dioperasi.
Apa, Mas" Dioperasi"
Ya, besok kakimu akan dioperasi untuk membetul-
t . c kan letak tulang kakimu yang patah. Kata dokter, di antara tulang itu akan diberi pen untuk penyangga. Pak Dody langsung menghentikan bicaranya. Ia sadar, tidak seharusnya menceritakan sesuatu yang barangkali akan menyebabkan Ratih merasa takut.
Tetapi ternyata air muka Ratih tidak menyiratkan rasa takut atau yang semacam itu. Bahkan terlihat apatis, seperti tidak memedulikan apa pun yang akan dilakukan dokter terhadap tubuhnya.
Ratih..." Ya..." Sebetulnya, kau tadi mau pergi ke mana" Ratih menarik napas panjang.
Aku... aku juga tidak tahu... aku mau pergi ke mana, sahutnya pelan.
Ratih... aku masih tetap kakakmu yang akan melindungi dan menjagamu. Katakanlah... apa yang terjadi sampai kau pergi dari rumah hanya dengan membawa tubuh, tanpa ada yang lain seperti dompet, misalnya" Pak Dody mulai mengorek keterangan. Kalau dia sudah tahu apa yang terjadi pada diri Ratih, akan lebih mudah baginya untuk menolongnya. Siapa tahu pula ada gunanya untuk pemeriksaan medis.
Ratih diam saja, dia menatap ke langit-langit kamar. Matanya mulai basah lagi. Duh, kenapa aku jadi cengeng, begini" Mas Tom.. Mas Tom... kau membuat air mataku mengalir terus....
Rat, ada apa sebenarnya" Percayakanlah padaku apa yang menjadi beban hatimu. Aku pasti akan membantumu kalau bisa.
t . c Ratih mengusap matanya yang basah. Pandang matanya beralih menatap wajah Pak Dody dengan perasaan tertekan. Kenapa dirinya tidak jatuh cinta saja kepada laki-laki ini" Kenapa harus pada Hartomo yang tak kenal kesetiaan itu" Kenapa"
Terima kasih banyak, Mas... aku... aku banyak sekali berutang budi padamu. Kalau bukan kau yang membawaku ke sini, mungkin aku masih terkapar di jalan atau entah dibawa ke mana oleh orang, katanya. Kuakui, aku memang sedang menghadapi persoalan berat, Mas. Tetapi maaf... aku belum bisa mengatakannya.... Aku... aku... masih shock....
Pak Dody menepuk-nepuk lembut bahu Ratih. Dugaannya benar. Ratih memang sedang mengalami sesuatu. Kalau tidak, tak mungkin Ratih yang biasanya tabah dan mampu mengelola konflik batinnya itu akan lari begitu saja dari rumah. Apa kira-kira penyebabnya"
Baik, aku juga tidak ingin tahu saat ini. Sekarang, konsentrasikan dulu pikiran kita pada tindakan medis pihak rumah sakit. Asal kau tahu, Ratih, kapan saja kau membutuhkan diriku, aku akan selalu siap membantumu. Apa pun itu. Tetapi malam ini istirahatlah dengan baik karena besok pagi-pagi kau akan dioperasi. Sebentar lagi dokter datang bersama perawat dan mungkin darahmu akan diambil untuk pemeriksaan laboratorium guna keperluan operasi.
Ratih diam saja. Matanya beralih dari wajah Pak Dody, ke arah langit-langit kamar kembali dan tetap pada posisi seperti itu sampai lama. Pak Dody tidak
t . c tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Ratih, tetapi apa pun itu, ia ingin mengurangi beban batinnya.
Ratih, apakah kau memikirkan biaya rumah sakit" Kalau ya, buanglah pikiran itu. Aku yang akan membiayai semuanya....
Mas... aku tidak bisa menerimanya. Kuakui, aku memang tidak mempunyai banyak uang. Tidak mungkin aku membayar biaya rumah sakit dengan kekuatan sendiri. Tetapi aku juga tidak mau menerima gratis darimu. Jadi biarkan aku nanti membayar kembali dengan mencicil ya"
Pak Dody tersenyum. Aku tahu kau pasti akan mengatakan begitu. Tetapi, Ratih, kau itu adikku. Tidak bolehkah seorang kakak membiayai adiknya"
Ratih menghela napas panjang.
Mas, kau terlalu baik untuk menjadi kakakku, katanya dengan suara pelan. Tidak semestinya kau membuang uang untukku.
Membuang uang" Pak Dody mengerutkan dahinya. Jangan sekali-kali mengucapkan kata itu lagi, Ratih. Membuatmu kembali sembuh dan bisa berjalan lincah seperti sediakala adalah kepuasan dalam hatiku. Dan itu tak bisa dinilai dengan uang.
Tetapi mestinya aku jangan dimasukkan dalam perawatan VIP seperti ini, Mas. Sungguh tidak layak.
Jangan mengada-ada, Ratih. Kamar ini bukan VIP, karena aku yakin kau pasti akan menolak keras kalau aku memilih kamar itu. Jadi kupilihkan kamar kelas satu utama. Tujuanku cuma satu, supaya kau bisa ber-
t . c istirahat dengan lebih baik karena kamar ini hanya diperuntukkan bagi satu pasien saja. Nah, kita sudahi masalah ini. Kau mau minum"
Ratih mengangguk, tak mampu bersuara apa pun. Benci dia pada dirinya sendiri mengapa tidak bisa membalas cinta Pak Dody yang begitu tulus. Dibiarkannya laki-laki itu menyorongkan gelas dan menempatkan sedotan ke mulutnya.
Terima kasih..., gumamnya setelah menghabiskan setengah gelas air.
Ratih, setujukah kalau aku pergi ke rumahmu untuk mengabari keadaanmu pada Bu Marta"
Aku baru saja ingin minta bantuan Mas Dody untuk mengabari Ibu tentang kecelakaan ini. Tetapi tolong, hati-hati cara Mas mengatakannya pada beliau, ya" Jangan sampai terkejut.
Itu pasti, Ratih, tenanglah.
Tolong katakan pula pada Ibu untuk mengambilkan pakaian dan beberapa keperluan lain. Ibu pasti tahu apa saja yang kubutuhkan....
Akan kukatakan. Apa lagi pesanmu"
Cukup itu dulu, Mas. Terima kasih atas segala-galanya... yang tak bisa kubalas dengan sama luar biasanya.
Kata-kata seperti itu tidak perlu diucapkan oleh seorang adik kepada kakaknya, Ratih. Lagi pula...
Percakapan mereka terhenti oleh kedatangan dokter dan perawat. Mereka memeriksa Ratih dengan teliti dan seperti perkiraan Pak Dody, darah perempuan itu diambil guna keperluan operasi besok. Setelah selesai
t . c dan dokter meyakinkan tidak ada gegar otak atau yang semacam itu, Pak Dody langsung meninggalkan rumah sakit untuk mengabari Bu Marta dan mengambil berbagai keperluan Ratih.
Ratih memperhatikan Pak Dody sampai laki-laki itu menghilang di balik pintu. Ditinggal sendirian, Ratih langsung menarik udara jauh-jauh memasuki rongga dadanya. Perih dan sepi sekali hatinya. Dilayangkannya pandang matanya ke luar melalui jendela kaca. Langit tampak cerah, namun bayang-bayang senja sudah mulai mengintip di ufuk barat. Matahari sedang meluncur, bersiap-siap memasuki peraduannya. Mata Ratih nanar menatap ke kejauhan dengan berbagai perasaan yang baur di dadanya sampai akhirnya entah karena lelah, entah karena pengaruh obat dan infus yang berisi penawar sakit, tak lama kemudian ia tertidur.
Sementara itu, di rumah Bu Marta berulang kali melayangkan pandang matanya ke luar rumah. Kadangkadang pula perempuan setengah baya itu mendekati pagar dan menjulurkan kepalanya, menatap ujung gang dengan resah. Kegelisahan yang semakin kental berulang kali menyelinap ke hatinya. Bayang-bayang sudah semakin panjang dan samar, tetapi Ratih yang ditunggunya sejak siang tadi masih juga belum muncul. Ini bukanlah kebiasaan Ratih. Apalagi tanpa memberitahu ke mana ia akan pergi. Siang tadi, Ratih hanya mengatakan akan keluar sebentar. Dan kalau dia mengatakan sebentar, memang hanya sebentar sajalah dia pergi. Tetapi sekarang, hari sudah sore. Sebentar lagi senja akan turun. Pergi ke manakah Ratih tadi" Tidak mung-
t . c kin ia pergi jauh tanpa mengatakan apa-apa kepadanya. Lebih-lebih hanya dengan mengenakan pakaian rumah. Dompetnya pun tergeletak di dekat mesin jahit. Begitu juga ponselnya. Memikirkan hal itu, cemas sekali hati Bu Marta.
Ketika akhirnya senja telah turun dan Ratih belum juga pulang, Bu Marta nyaris kehilangan kendali. Kegelisahannya sudah sampai di ubun-ubun. Bagaimana menghubunginya kalau ponselnya ada di rumah" Kenapa anak itu tidak menelepon ke rumah, keluhnya berulang kali" Ah, ke mana dia dan apa yang terjadi padanya"
Dalam keadaan seperti itulah ia mendengar derit pintu pagar dibuka orang. Dengan penuh harapan, Bu Marta keluar. Tetapi bukan Ratih yang tampak olehnya, melainkan Pak Dody. Entah mau apa laki-laki itu datang lagi setelah agak lama tak pernah ke rumah, pikirnya resah. Kenapa pula pas Ratih tidak ada di rumah"
Silakan masuk Nak, kata Bu Marta dengan suara letih, kecewa karena bukan Ratih yang datang. Tetapi... Ratih... tidak ada di rumah. Tadi saya kira Ratih yang membuka pintu pagar.
Saya tidak mencari Ratih, Bu. Saya justru ingin bertemu dengan Ibu.
Dengan saya" Kenapa, Nak" Bu Marta semakin dipenuhi perasaan gamang.
Saya mendapat pesan dari Ratih...
Dari Ratih" Ada di mana dia" Dengan tidak sabar Bu Marta memotong perkataan Pak Dody.
t . c Sabar ya, Bu. Ibu tidak perlu cemas, meskipun saat ini Ratih ada di rumah sakit. Segala sesuatunya sudah ditangani dokter dengan baik...
Kenapa dia, Nak" Bu Marta, memotong lagi perkataan Pak Dody dengan kesabaran yang masih tersisa. Air mukanya tampak gelisah.
Dengan hati-hati dan pilihan kata-kata yang tertata, Pak Dody menceritakan kronologi kejadian yang menimpa Ratih tadi siang. Bu Marta langsung terenyak lemas di sandaran kursi sambil menekap dadanya.
Pantaslah sejak tadi perasaan Ibu begitu gelisah dan tidak enak. Bagaimana keadaannya sekarang"
Karena tulang kakinya patah, besok pagi dia harus dioperasi.
Aduh, Anakku..., lagi-lagi Bu Marta memotong perkataan Pak Dody. Kini dengan wajah memucat.
Ibu, jangan panik. Dia sudah ditangani dengan baik sekali oleh dokter. Keadaannya stabil dan sekarang sedang beristirahat. Sebaiknya malam ini Ibu menemani Ratih di rumah sakit. Nanti akan saya antar Ibu sampai di sana. Tetapi sebelumnya tolong Ibu bawakan pakaian dan keperluan pribadinya seperti sabun, bedak, dan lain sebagainya.
Baik... baik, Nak. Akan saya siapkan, sahut Bu Marta dengan suara bergetar. Oh, Ratih yang malang. Apakah ketika menyeberang jalan tadi dia melamun" Kenapa orang yang selalu hati-hati, cermat, dan biasanya sabar menunggu lalu-lintas sampai sepi baru menyeberang itu bisa tertabrak motor"
Sebaiknya Ibu juga membawa pakaian untuk Ibu
t . c sendiri kalau mau menginap di rumah sakit, Pak Dody berkata lagi.
Ya, saya mau menginap di sana. Baik, akan saya siapkan semuanya, Bu Marta mengiyakan. Ada kegugupan yang tersirat dari sikap dan suaranya.
Sebaiknya Ibu tenang, tidak usah gugup. Di rumah sakit, Ratih diawasi dan dijaga dengan baik.
Iya... Bu Marta mengangguk, kemudian menghilang ke dalam untuk bersiap-siap.
Seperempat jam kemudian perempuan setengah baya itu keluar lagi. Ia sudah berganti pakaian. Ada tas kecil yang dijinjingnya di tangan kiri sementara di tangan kanannya, ia memeluk gulungan kasur tipis.
Pak Dody tersenyum sambil mengambil alih semua bawaan perempuan paro baya itu. Tetapi kasur gulungnya diletakkannya lagi di atas kursi.
Ibu, di kamar Ratih ada sofa panjang yang disediakan buat keluarga yang menginap, katanya. Jadi Ibu tidak usah membawa kasur gulung. Bawa saja selimut dan kain untuk alas sofa.
Oh, begitu. Termos panas, boleh dibawa" Boleh. Siapa tahu Ibu membutuhkan minuman hangat. Nanti kita mampir membeli bubuk wedang jahe wangi, cokelat, dan kopi kalau Ibu suka, jawab Pak Dody. Kalau untuk Ratih, dia sudah terjamin, Bu.
Kebetulan kami punya bubuk wedang jahe. Masih satu dos, belum dibuka. Itu saja yang akan saya bawa, Nak. Oh ya, saya juga punya satu pak teh celup. Jadi kita tidak usah mampir ke mana-mana lagi. Ya, Bu. Saya setuju, biar cepat tiba di rumah sakit.
t . c Pertemuan antara Bu Marta dengan Ratih di rumah sakit sungguh mengharukan. Bu Marta merasa iba melihat kaki Ratih patah. Sedangkan Ratih merasa sedih karena harapan Bu Marta untuk melihat Hartomo kembali masih merupakan tanda tanya yang besar. Selama ada dirinya di antara Bu Marta dengan Hartomo, pasti laki-laki itu tidak ingin menjumpai sang ibu. Itu yang pertama. Kedua, andaikata Bu Marta tahu bahwa Tety adalah calon istri anaknya, pasti mertuanya itu akan turun tangan menggagalkannya. Padahal Ratih tidak ingin itu terjadi. Dia tidak mau merusak kebahagiaan Hartomo. Dia juga tidak ingin Hartomo semakin tak menyukainya andaikata pernikahannya dengan Tety batal. Karena itulah Ratih bertahan untuk tidak membuka kenyataan yang ada sampai ada waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Bu Marta. Mungkin jika Hartomo nanti sudah menikah dengan Tety. Atau entah apa saja nanti setelah melihat situasi dan perkembangan yang ada. Pokoknya, ia ingin menjaga perasaan kedua belah pihak. Ibu dan anak.
Keesokan harinya, Bu Marta dan Pak Dody duduk bersisian menunggu Ratih yang sedang menjalani operasi. Operasi itu sendiri memakan waktu hampir dua jam dan berjalan dengan lancar sehingga mereka merasa lega. Tetapi masih sekitar satu jam lagi Ratih berada di ruang pemulihan baru kemudian dibawa ke ruang perawatan setelah hasil operasinya difoto dulu. Ketika melihat Ratih didorong dengan dua infus di kiri dan kanan tangannya sementara wajahnya tampak pucat, hati Bu Marta seperti diremas-remas rasanya. Begitu
t . c juga hati Pak Dody. Laki-laki itu sangat ingin tahu apa yang menyebabkan Ratih keluar rumah dengan cara tak wajar, yang berakibat tertabrak motor.
Menjelang malam saat efek obat bius sudah hilang, Ratih merasakan sakit yang hebat. Dalam keadaan seperti itu ia tidak bisa menahan diri. Sakitnya luar biasa. Berulang kali ia mendesis kesakitan sehingga Bu Marta bingung melihatnya. Ratih bukan termasuk orang yang manja. Dia juga sangat kuat menahan rasa sakit dan derita. Jadi Bu Marta tahu, sakit yang diderita Ratih pasti tak tertahankan olehnya. Untunglah Pak Dody melihat keadaan itu. Ia melapor kepada perawat yang langsung memberinya obat penghilang rasa sakit setelah sebelumnya berkonsultasi pada dokter. Di situ Pak Dody belajar mengenai kehidupan. Bahwa senang dan susah datang silih berganti. Sehat dan sakit pun demikian. Tidak ada yang abadi di dunia ini.
Beberapa hari setelah operasi, perawat yang khusus menangani patah tulang datang ke kamar Ratih untuk melatih otot-ototnya. Dengan walker berbentuk huruf U Ratih dilatih untuk belajar jalan tanpa menapakkan kakinya yang patah. Walker itu menjadi tumpuannya. Sampai sedemikian jauh, segala sesuatunya berjalan dengan baik, sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan menurut dokter, Ratih sudah boleh pulang dalam beberapa hari mendatang. Namun secara berkala Ratih harus kontrol sesuai jadwal yang sudah ditentukan dan bekas operasinya akan difoto lagi untuk dilihat kemajuan penyambungan tulangnya.
Mengetahui kondisinya sudah lebih baik, Ratih me-
t . c minta Bu Marta untuk tidak perlu menginap di rumah sakit.
Ibu nanti capek. Saya tidak apa-apa, katanya. Ada banyak perawat dan ada dokter yang selalu siaga. Tetapi seperti yang Ibu dengar waktu dokter datang mengontrol tadi, semuanya baik-baik saja. Lagi pula, rumah tidak ada yang menjaga. Tak enak menitipkan penjagaan pada tetangga sebelah terlalu lama.
Bu Marta setuju. Pekerjaan di rumah terbengkalai dan dia masih harus mencuci pakaian yang menumpuk. Ratih menyarankan agar selama ia sakit sebaiknya mereka meminta Mpok Siti mencucikan baju. Tukang cuci itu sering membantu keluarga-keluarga yang membutuhkan jasanya dengan imbalan tertentu. Rumahnya tidak jauh dari rumah mereka. Kali ini pun Bu Marta setuju. Tetapi sebelum perempuan tua itu pulang, ia sempat bertanya diam-diam kepada Ratih mengenai pembayaran biaya rumah sakit. Wajahnya tampak resah.
Pak Dody yang akan membayarnya dan nanti saya akan mencicil padanya, Bu. Semula dia tidak mau, tetapi akhirnya setuju setelah saya marah kepadanya. Jadi Ibu tenang saja. Rezeki pasti akan ada saja kalau kita berusaha sungguh-sungguh.
Syukurlah kalau kau berpendapat seperti itu. Apalagi selama ini rezeki kita memang jauh lebih baik daripada dulu. Nah, jahitan mana saja yang menurutmu bisa Ibu kerjakan sambil menunggumu pulang, Ratih"
Ratih memejamkan matanya, teringat pada kebaya
t . c pengantin Tety yang belum selesai. Tetapi ia tidak mungkin menyerahkan pekerjaan itu pada Bu Marta. Beda tangan, mungkin akan beda pula hasilnya. Ia tidak ingin mengecewakan orang. Pedih sekali hatinya. Sungguh ironis, ia harus tetap menyelesaikan pekerjaan yang rumit dengan tingkat kesulitan yang tinggi dan sentuhan rasa seni yang dilakukannya dengan tulus hati untuk pengantin suaminya sendiri. Tidak ada kamus dalam hatinya untuk mengabaikan rasa tanggung jawabnya. Kepercayaan orang harus dihormati. Siapa pun dia. Termasuk calon istri suaminya.
Melihat Ratih terdiam, Bu Marta berkata lagi. Ibu senang kok mengerjakannya. Kau tidak usah merasa sungkan karenanya. Nah, jahitan mana yang bisa Ibu selesaikan tanpamu" Bu Marta bertanya lagi karena mengira menantunya itu merasa tak enak meminta bantuannya.
Memasang kancing dan melipit bagian bawah beberapa blus yang sudah saya jahit ya, Bu. Hanya itu saja kok yang belum saya selesaikan. Lainnya sudah diambil dan ada beberapa bahan yang belum sempat saya potong. Kalau saya pulang nanti, akan saya selesaikan pelan-pelan.
Apa bisa, Nduk" Bisa, Bu. Mesin jahit kita kan sudah tidak manual lagi. Cuma mungkin saya belum selincah biasanya. Jadi kita batasi dulu kalau ada jahitan baru. Kecuali yang bisa Ibu kerjakan setelah saya potong.
Setuju, Nduk. Jangan menolak rezeki, tetapi juga jangan ngoyo.
t . c Bu Marta betul, Ratih. Pak Dody ikut berbicara. Apalagi sekarang ini fokus perhatian kita adalah berusaha supaya kau lekas sehat dan bisa beraktivitas kembali seperti semula.
Setelah Bu Marta pulang diantar oleh Pak Dody, laki-laki itu menganggap saatnya untuk berbicara dengan Ratih telah tiba. Ia ingin mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu, sebab bukan seperti itulah Ratih yang ia kenal selama ini. Jadi, pasti ada sesuatu yang terasa berat baginya. Kalau bisa, ia ingin membantunya. Karenanya sore itu ia datang lagi ke rumah sakit dengan membawa buah tangan sebagaimana biasanya. Kali itu ia membawa buku bacaan dan koktail buah buatannya sendiri. Ratih merasa tidak enak karenanya.
Mas Dody selalu saja memanjakan aku. Repot-repot membuat sendiri pula. Apa tidak capek sih, Mas. Sudah setiap hari datang menjenguk, masih pula membawa oleh-oleh ini dan itu. Pekerjaan di kantor ditinggal terus.
Kalau kamu selalu bilang begini atau begitu setiap kali kubawakan sesuatu, aku betul-betul sedih sekali, Ratih. Seakan ada pamrih pada diriku. Padahal sudah sering kukatakan padamu, bahwa inilah kesempatanku untuk menunjukkan ketulusan kasihku kepadamu. Bisa melakukan sesuatu untukmu adalah kebahagiaanku. Rasanya senang sekali bisa memberi sesuatu kepada adikku satu-satunya ini. Nah, apakah itu tidak boleh"
Maaf... aku tidak bermaksud begitu Mas, sahut Ratih, terharu. Aku cuma merasa tidak enak saja.
t . c Kalau begitu belajarlah untuk merasa enak, senyum Pak Dody.
Ratih membalas senyum Pak Dody. Acap kali ia marah pada dirinya sendiri atas kedegilan hatinya terhadap cinta Pak Dody. Apa yang kurang padanya" Laki-laki itu amat baik, penuh perhatian, matang dalam berpikir dan bertindak. Adakah laki-laki lain yang memiliki cinta setulus laki-laki itu padanya" Pak Mardi" Kak Brata" Si Soleh" Hartomo" Rasanya, tidak. Tetapi alangkah degil perasaannya, masih juga tak mampu membuka hatinya buat laki-laki sebaik Pak Dody. Dibanding Hartomo, Pak Dody memang tidak seganteng suaminya. Tetapi tubuhnya lebih gagah dan enak dipandang mata. Apa saja yang dikenakannya tampak menarik. Apa susahnya menerima Pak Dody, terutama sekarang ini setelah dia tahu bahwa Hartomo tidak akan kembali padanya.
Teringat apa yang terjadi beberapa hari yang lalu, perih sekali hati Ratih. Ingatan tentang Hartomo dan Tety masih saja terus mengaduk-aduk perasaannya. Terlalu banyak kesia-siaan yang telah dilakukannya selama hampir tujuh tahun ini. Orang yang dinanti-nantikannya akan menikah dengan perempuan lain dua bulan mendatang. Tanpa sadar, terlontar keluhan dari mulut Ratih saat kenyataan itu mengoyak batinnya. Pak Dody mendengar keluhan itu dan mengamatinya dengan tatapan tajam.
Ada yang kaususahkan, Ratih" tanyanya. Ratih tersadar telah melontarkan keluhan dari mulutnya. Lekas-lekas ia mencoba menutupinya. Oh, ini tadi kakiku terasa sakit, dalihnya.
t . c Pak Dody tersenyum miring mendengar jawaban Ratih.
Jangan mengelak, Ratih. Aku tahu, tanpa sadar kau tadi telah melontarkan keluhan yang pasti keluar dari dadamu yang penuh. Jadi bukan karena rasa sakit pada kakimu. Ada apa sebenarnya"
Ratih menggeleng, tak berniat menjawab pertanyaan Pak Dody. Tetapi bola matanya yang sedang menatap ke arah jendela kaca tampak berkabut duka.
Ratih, aku yakin ada sesuatu yang kaupendam sendiri. Rasanya tidak mungkin kau meninggalkan rumah begitu saja tanpa membawa apa pun, dengan pakaian rumah dan bersandal jepit pula. Ada apa sebenarnya"
Ratih masih diam saja. Pandangannya juga masih mengarah ke jendela agar laki-laki itu tidak melihat duka yang melumuri matanya. Tetapi dia keliru. Lakilaki itu sudah melihatnya.
Ratih, apakah aku tidak layak untuk menjadi tempatmu mengadu dan mencurahkan kesedihanmu" Pak Dody bertanya lagi. Suaranya pelan.
Ratih mendengar nada sedih dalam suara Pak Dody sehingga hatinya tersentuh. Laki-laki itu telah dengan tulus hati menyediakan diri untuk mendengar keluhkesahnya. Pantaskah kalau ia menolaknya" Di mana rasa terima kasihnya" Berpikir seperti itu Ratih memindahkan pandang matanya ke arah Pak Dody dengan mata berkaca-kaca.
Kau sungguh baik sekali padaku, Mas. Rasanya aku ini sangat keterlaluan kalau mengajakmu ikut memikirkan kesusahanku, katanya.
t . c Kau baru disebut keterlaluan kalau tidak mau mencurahkan apa pun yang sedang kaurasakan padaku. Rasanya, aku ini seperti bukan kakakmu, sahut Pak Dody.
Ratih menghela napas panjang, kemudian mengangguk.
Baiklah, Mas. Aku akan menceritakan apa yang kualami, sahutnya kemudian. Mas Dody kan sudah tahu bahwa aku sekarang menerima jahitan sambil menjual pakaian jadi. Nah, setengah bulan lebih yang lalu ada langganan baru yang kebetulan direkomendasi oleh Bu Susi datang kepadaku untuk menjahitkan kebaya pengantinnya. Merasa tersanjung karena dipercaya untuk membuat kebaya pengantin yang modelnya rumit dan membutuhkan ketelitian serta cita rasa seni, kubuat kebaya itu dengan seluruh kemampuan yang ada padaku...
Begitulah Ratih mulai membuka rahasia yang berhari-hari ini disembunyikannya. Terutama dari Bu Marta. Tetapi kini kepada Pak Dody, Ratih menceritakan apa yang terjadi pada hari itu. Semuanya, termasuk perasaannya saat mengira dunia sedang kiamat dan hatinya yang sakit sekali bagai digodam palu besi panas. Bahkan juga termasuk maki-makian tukang bajaj dan sopir mikrolet yang hampir menabraknya sebelum akhirnya ia ditabrak sepeda motor.
Saat itu aku benar-benar seperti orang linglung yang kehilangan akal, berjalan tanpa jiwa dan menatap tanpa mengerti apa yang dilihat.... Ratih mengakhiri ceritanya dengan air mata yang mulai membanjir kem-
t . c bali setelah berhari-hari lamanya ia menahan diri jangan sampai kesedihannya terlihat oleh Bu Marta. Seluruh penantianku bukan hanya sia-sia saja, tetapi juga aku kehilangan harapan menatap masa depan yang lebih tenang. Aku tidak berharap bisa menggapai bahagia, Mas. Damai saja sudah cukup bagiku. Tetapi itu pun... tak kudapatkan....
Pak Dody termangu-mangu setelah mendengar pengakuan Ratih. Inilah kisah anak manusia, pikirnya dengan perasaan sedih. Kasihan Ratih. Sungguh, semakin dia mengerti betapa tak berdayanya manusia di hadapan Tuhan. Begitu mudahnya manusia dipermainkan nasib, seperti wayang kulit di tangan dalang. Yah, siapa mengira akan seperti ini akhir cerita seorang perempuan yang begitu gigih merintis kehidupannya di Jakarta dan yang setia terhadap cintanya. Sangat bertolak belakang dengan akhir cerita yang disuguhkan oleh buku-buku dongeng. Biasanya setelah tokohnya mengalami pahit-getir, dia dan pasangannya menemukan kebahagiaan untuk selama-lamanya. Tetapi Ratih, setelah sekian lamanya hidup menderita dan penuh penantian, malah menyaksikan kebahagiaan orang lain di atas puing-puing kehancuran dirinya sendiri.
Pelan-pelan Pak Dody menyadari pengalaman hidupnya sendiri. Beberapa kali dia menjalin hubungan cinta, dan putus sebelum mereka melangkah ke tujuan yang pasti. Selalu saja ada yang kurang pas antara dirinya dengan mereka. Masing-masing memiliki tuntutan terhadap pihak lain, yang terkadang berbenturan sehingga terjadi konflik kepentingan yang mengusik kedamaian
t . c hatinya. Jenuh dan bosan dia menjalani kehidupan yang menjemukan bersama gadis-gadis golongan pecinta mal, cafe, jalan-jalan ke luar negeri, makan di restoran bergengsi, dan yang semacam itu. Ketika akhirnya ia berkenalan dengan seorang perempuan yang berbeda dari mereka dan mendalami gaya hidupnya, caranya berpikir dan bersikap, perasaan serta prinsip hidupnya, barulah ia menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya. Kalau dulu ia hanya melihat sebagian dari suatu keseluruhan, kini ia mampu melihat seluruh kehidupan yang ada.
Perempuan bernama Ratih itu bukan seorang yang luar biasa. Ia hanya seorang perempuan yang lahir dan hidup di pinggiran kota kecil. Ia yatim-piatu, tak punya orangtua dan tak punya saudara, dibesarkan orangtua angkat yang tak menyayanginya. Ketika dilamar untuk dijadikan istri seseorang, ia lebih dulu jatuh cinta kepada ibu mertuanya, sosok ibu yang didambakannya. Baru kemudian kepada suaminya. Singkat kata, dibanding kehidupan Ratih, dirinya termasuk sangat beruntung. Ia lahir di lingkungan keluarga berdarah ningrat yang kaya, anak bungsu yang disayang dan dimanja oleh seluruh keluarga. Bersekolah di luar negeri dan usahanya berjalan bagus. Segala yang ada di seputar dirinya serbalancar sampai akhirnya ia jatuh cinta setengah mati kepada Ratih, yang sayangnya tak bisa membalas kasihnya yang tulus itu. Kecewa dan patah hati bercampur aduk di dalam perasaannya. Akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa mengubah rasa cinta itu menjadi kasih persaudaraan. Teramat berat
t . c baginya. Namun kini setelah mendengar pengalaman Ratih, Pak Dody mulai menyadari bahwa derita patah hatinya bukanlah apa-apa dibanding semua yang dialami Ratih. Seluruh penantian, cinta dan kesetiaan yang diberikan sebulat hati kepada sang suami, hanya tersia-sia. Sungguh, sama sekali dia tidak mengerti di mana mata hati Hartomo sampai tidak menyadari betapa beruntungnya dia mempunyai istri seperti Ratih.
Ah, kalau saja Ratih mau menerimanya sebagai kekasih dan lalu menjadi istrinya, kehidupan mereka berdua pasti berbeda daripada kenyataan pahit yang sedang dihadapinya. Ia akan mempunyai istri yang rupawan, tabah, rendah hati, sabar, tahu aturan sopan-santun, berwawasan luas, dan terutama setia pada suami. Dia pun akan menghujani Ratih dengan kasih, kemanjaan, perhatian, dan kehangatan yang tak pernah didapatnya dari suaminya maupun dari orang lain sehingga perempuan itu tidak lagi merasa sebatang kara. Maka mereka berdua akan hidup bahagia. Tetapi yah, sayangnya kenyataan tidak demikian. Dan dia harus segera berkompromi dengan realita yang ada kalau tidak ingin kasihnya kepada Ratih ternoda oleh keinginan pribadi. Adanya kenyataan bahwa suami Ratih akan menikah dengan perempuan lain, tidak boleh dijadikan kesempatan untuk memindahkan hati Ratih kepadanya.
Begitulah, Pak Dody termenung lama memikirkan semua yang diceritakan Ratih tadi. Ia berharap agar pemikirannya tetap objektif, rasional, dan netral dengan mengasihi Ratih tanpa pamrih apa pun. Perempuan itu pantas dikasihi seperti itu.
t . c B U MARTA memindahkan kue ketan srikaya yang
baru dibuatnya ke dalam rantang yang akan dibawanya ke rumah sakit. Dengan rasa puas dipandanginya kue buatannya itu. Hasilnya bagus sekali. Ratih pasti suka sekali karena bagian atas kue itu telah dibubuhinya dengan durian. Aroma wanginya masih mengambang di udara rumah ini.
Perempuan paro baya itu melayangkan pandangannya ke arah jarum jam dinding. Meskipun ruang perawatan Ratih diberi kebebasan waktu kunjungan, tetapi Bu Marta merasa tidak enak kalau masuk sendirian sementara yang lain masih menunggu jam bezoek.
Sekarang ia akan menukar pakaiannya lebih dulu, baru berangkat ke rumah sakit. Senang hatinya, kondisi Ratih sudah semakin membaik kendati kaki kirinya masih belum boleh menapak. Kalau tidak salah, sekitar
Empat Belas t . c enam minggu lagi baru kaki itu boleh diajak belajar jalan. Untuk menguatkannya, dokter menyarankan agar setiap harinya Ratih mengayuh sepeda statis. Tetapi dari mana mereka mendapatkan sepeda seperti itu" Ah, Ratih masih muda. Pasti ada cara lain untuk menguatkan kakinya.
Begitulah sambil memikirkan Ratih, Bu Marta bersiap-siap akan berangkat menjenguk menantu kesayangan itu. Rencananya, ia akan naik taksi ke rumah sakit. Ratih tidak membolehkannya naik kendaraan umum.
Sedang kakinya melangkah menuju ke kamar untuk menukar dasternya, terdengar suara ketukan di pintu depan. Ah, entah sudah berapa belas orang langganan yang ditolaknya untuk menjahitkan baju atau yang berniat mengambil jahitan pada Ratih.
Ratih ada di rumah sakit. Dia baru saja dioperasi karena kakinya patah, katanya berulang kali. Sebaiknya bahannya diambil saja.
Ada beberapa yang langsung diambil karena mereka perlu segera memakainya sehingga harus mencari penjahit lain. Tetapi sebagian lainnya yang tetap menginginkan jahitan Ratih, mau menunggu. Sementara mereka yang jahitannya bisa diselesaikan oleh Bu Marta, bisa mengambilnya dan langsung membayar ongkosnya. Lumayan, pikir Bu Marta setiap menerima uang dari mereka dan memasukkannya ke tabungan. Selain itu, setiap kali selesai menjual nasi uduk yang lumayan laris itu, ia juga memasukkan uang keuntungannya ke celengan. Pokoknya apa pun akan dilakukannya demi membantu Ratih mencari uang.
t . c Mendengar ketukan di pintu depan tadi, Bu Marta mengancingkan kembali dasternya yang sudah hampir dilepasnya.
Siapa lagi ini" gumamnya. Dengan agak enggan perempuan paro baya itu membuka pintu depan, sudah siap mengatakan bahwa sementara ini Ratih belum bisa menerima jahitan baru. Tetapi begitu pintu depan terkuak, jangankan berbicara, berdiri saja pun ia hampir tak sanggup. Tubuhnya mematung, tanpa berani bergerak, kendati kakinya terasa gemetar hebat.


Bukan Istri Pilihan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah penglihatannya keliru ataukah itu hanya halusinasi, Bu Marta bertanya sendiri dalam hatinya. Tetapi ketika laki-laki yang mengetuk pintu itu juga berdiri terkesima dengan mulut setengah terbuka, tahulah Bu Marta bahwa penglihatannya tidak keliru. Di hadapannya memang berdiri Hartomo, anak tunggalnya yang hampir tujuh tahun lamanya tak pernah dilihatnya.
Akhirnya, sang tamu lebih mampu menguasai diri. Dengan segera dipapahnya Bu Marta yang masih shock itu ke kursi dan didudukkannya di situ, lalu ia berlutut di hadapannya dan diletakkannya kepalanya di atas pangkuan perempuan yang melahirkannya ke dunia ini.
Ibu..., bisiknya dengan berurai air mata. Bu Marta tidak mampu menjawab. Ia masih belum percaya pada apa yang dialaminya.
Ibu..., Hartomo mengulangi panggilannya. Baru setelah dua kali Hartomo memanggilnya, Bu Marta sadar bahwa apa yang dialaminya adalah kenyataan. Bukan halusinasi, bukan pula impian. Maka tanpa
t . c dapat ditahan lagi, ia menangis tersedu-sedu sambil mendekap kepala Hartomo ke dadanya dengan penuh perasaan rindu.
Anakku... anakku..., keluhnya dengan suara tersendat-sendat. Akhirnya kau pulang juga....
Perkataan sang ibu yang diucapkan dengan sepenuh kerinduan dan kegembiraan itu bagaikan godam besar berat yang memukul telak jantung Hartomo. Sakit rasanya karena terasa betul olehnya betapa dalam kerinduan sang ibu terhadapnya, sementara selama ini ia sering mengabaikan apa pun perasaan yang mungkin diderita oleh perempuan itu.
Ampuni saya, Ibu..., kata Hartomo dengan perasaan teraduk-aduk. Ampuni saya. Banyak sekali dosa saya terhadap Ibu, membiarkan kerinduan Ibu terbang di udara begitu saja. Ampuni saya, Bu, telah pergi tanpa mengirim berita apa pun dan membiarkan Ibu begitu saja. Saya... saya tidak bisa mengatakan kenapa demikian... tetapi percayalah, Bu, saya selalu ingat Ibu dan rindu sekali untuk berkumpul kembali dengan Ibu seperti dulu....
Demikian ungkapan kerinduan Hartomo pada ibunya. Namun sepatah kata pun ia tidak menyinggung keberadaan Ratih. Bahkan namanya pun tidak disebutnya sama sekali.
Tetapi kenapa... baru sekarang kau kembali, Nak" Masih dengan memeluk kepala Hartomo, Bu Marta sibuk mengusap air matanya. Kenapa setega itu kau membiarkan kerinduan, kecemasan, dan kepedihan di hati ibu kandungmu sendiri, Nak" Kenapa"
t . c Ampuni saya, Bu. Saya... saya terpaksa... Tetapi dari mana kau mengetahui alamat rumah ini" Apakah kau pulang ke kampung kita, Nak" Atau bertemu dengan Pak Hamid..."
Hartomo tak mampu menjawab. Kepalanya yang masih berada di atas pangkuan sang ibu menggeleng. Ia tidak berani menatap wajah sang ibu. Rasa berdosa mengaduk-aduk batinnya. Tetapi bagaimanapun juga ia harus berani berterus terang kepada sang ibu dan bersikap kesatria untuk mengatakan kebenaran yang ada.
Ibu... ampun..., katanya dengan terpaksa. Sebetulnya, perjumpaan ini tidak sengaja terjadi. Sama sekali saya tidak tahu bahwa Ibu berada di Jakarta. Apalagi tinggal di rumah ini. Bahkan sama sekali saya tidak mempunyai perkiraan Ibu akan berani meninggalkan kampung kita.
Jawaban Hartomo menyebabkan air mata Bu Marta langsung kering. Diangkatnya wajah Hartomo dari pangkuannya. Tajam ditatapnya mata sang anak sehingga laki-laki itu menundukkan kepala, tak berani memandang balik tatapan mata ibunya.
Lalu... untuk apa kau datang ke sini..." tanya Bu Marta dengan rasa kecewa yang mendalam. Jadi, Hartomo datang bukan karena mencari ibunya. Perjumpaan ini hanyalah suatu kebetulan belaka. Ya, hanya kebetulan saja.
Saya... saya... sebetulnya datang karena diminta seseorang untuk mengambil jahitan, jawab Hartomo. Suaranya terdengar lirih. Aduh, kenapa harus seperti ini yang terjadi" Apa kata ibunya andaikata beliau tahu
t . c kedatangannya ke sini atas suruhan Tety yang tidak sempat mengambil sendiri kebaya pengantinnya" Alangkah kejamnya nasib yang mengharuskan calon istrinya membuat kebaya pengantinnya pada seorang perempuan yang masih terikat tali perkawinan dengan dirinya. Begitu banyak nama Ratih di dunia ini, tetapi kenapa nama itu seakan hanya satu-satunya milik perempuan yang ditinggalkannya tujuh tahun yang lalu"
Bu Marta menatap wajah Hartomo dengan bingung.
Jahitan mana yang akan kauambil, Tom" tanyanya kemudian. Di sini banyak jahitan yang harus diselesaikan.
Jahitan kebaya, Bu... Hartomo merasa serbasalah. Dia berharap ibunya tidak melanjutkan pertanyaan berbahaya itu. Tetapi sia-sia saja. Sang ibu tetap saja bertanya dan bertanya lagi.
Pendekar Bloon 20 Raja Naga 03 Misteri Menara Berkabut Pedang Naga Kemala 13
^