Pencarian

Yang Terempas Terkandas 1

Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga Bagian 1


Berjam-jam ia duduk di serambi muka stasiun, tiada
dihiraukan, pun tiada menghiraukan orang yang hiruk"
pikuk sekelilingnya. Tukang jaga sudah tak kuasa melarang
dia karena larangannya tak pernah diindahkan; ya, ada
kalanya ia menurut, kalau diancam akan dipukul, tapi kalau
tukang jaga tak ada, pergi menjaga di bagian lain, ia pun
kembali pula, duduk lagi di tempatnya semula, duduk
seolah-olahtakkanbangkit-bangkituntuk selama-lamanya.
Akhirnya ia pun dibiarkan orang, dibiarkan berbuat
sekehendak hatinya, asal tidak mengganggu ketertiban
umum. Tukang jaga, yang biasanya "keras", sekarang tak
bengis lagi, bahkan ada kalanya suka beramah-ramahan,
rupanya kini ia insa1c bahwa orang yang demikian hanya
perlu dikasihani. Warsiah memang tak jadi gangguan, kerjanya hanya
duduk"duduk dan melihat"lihat. Entah apa benar yang
menambat hatinya untuk berjam-jam duduk-duduk di
tempat itu. Dan duduknya itu, kadang"kadangdengan muka
yang bersinar seri, kadang"kadang dengan pandangan
suram muram; sering pula hanya duduk tercenung
seperti patung, tiada bergerak barang sejenak, tapi ada
kalanya gelisah resah tak ketentuan, duduk bangkit tiada
besannya, setiap gerak diminatinya: orang"orang yang
turun naik kereta ditatapnya, kereta yang akan berangkat
setelah berhenti sementara lama dipandanginya, sejak
mulai bergerak, hingga berjalan perlahan-lahan, sampai
jauh tiada lepasrlepasnya. Entah apa pula yang menarik
perhatian pada benda yang melancar lepas di atas
sepanjangjalan besi, menuju ke arah tujuannya itu.
Berjam"jam ia duduk semenjak siang mulai rembang,
hingga terik matahari, barulah rupanya ia merasa jemu, dan
ia pergi pindah ke tempat lain, katanya hendak berteduh
di bawah pohon yang rimbun yang dikatakannya pohon
rimbun, bisa jadi asalnya pohon itu berdaun rimbun, tapi
kini: tak lain tak bukan, sebatang pohon tegakterp ancang,
tiada beranting tiada berdaun, tinggal cabang bertunggul
angus, bekas api hebat mengganas.
Di sana sekarang ia duduk, di bawah pohon yang hitam
angus, katanya berteduh, rupanya dalam pandangan
angan"angan Warsiah pohon itu masih berdaun rimbun
juga. Berjam"jam pula ia di sana, kadang"kadang sampai
petang, ada kalanya sampai larut malam. Panas matahari
terik yang membakar sepanjang hari, waktu siang, dan
dingin angin malam yang berembus semenjak matahari
terbenam, tiadajadirintangan, tidakjadigangguankepada
tubuhnya, yang sudah setengah telanjang 'rtu.
Tidakjauh dari situ, dari tempat duduk-dudukWarsia h,
tampak tumpukan bata merah, bekas runtuhan rumah
batu, dan di sampingnya agak ke belakang sedikit,
berserak-serak timbunan abu h'rtam merawan; di sana
konon kabarnya bekas robohan rumah Warsiah.
Rumah Warsiah beserta orang tuanya, rumah
tempatnya lahir ke dunia, tempat ia dibesarkan, tempat
menerima suka duka semenjak kecil hingga menjelang
dewasa, kini rumah itu sudah lenyap, sudah musnah,
tinggal lagi timbunan abu, yang akan lantak dimakan
tanah. Meskipun pandangan Warsiah tentang pohon yang
dikatakan berdaun rimbun, berlainan dengan pandangan
orang yangwaras, tapitentang hal rumahnya sama dengan
. .. ; ' & mmm-namun.- B:]: Pusuk: pandangan orang kebanyakan, yakni bahwa rumahnya 'rtu,
sudah tak ada lagi, telah hancur menjadi abu, dan ia ingat,
bahwa hancurnya itu, bukan terbakar karena kecelakaan,
tapi dibakar sengaja, dimusnahkan oleh tangan manusia.
Dalam berkata"kata menyendiri, "ya, Warsiah kurang
ingatan, jadi sudah biasa berkata-kata atau tertawa-tawa
sendiri, peristiwa yang mula"mula jadi pusat ejekan dan
tertawaan orang, tapi lambat laun berubah jadi sumber
kasihan barang siapa yang melihatnya, "dalam Warsiah
berkata-kata 'rtu, seringterha mb ur dari mulutnya kata-kata:
h'rtam kejam, bengis, ganas ujud perkataan yang tiada
tentu ujungpangkalnya, dan dalam saat menghamburkan
kata-kata semacam itu, tampak benar kemarahannya;
mata nya merah berkilat"kilat, ka kinya senantia sa merentak"
rentak, tangan sebagai orang bersilat, merentang ke sana,
mencengkau ke mari, dan apabila sudah jemu dengan
kelakuannya yang demikian rupa, lalu ia lari, memburu
tempat bekas rumahnya, kemudian duduk, duduk
bersimpuh dan menangis, menangis sedih dengan ratapan
yangmemilukan. Berjam"jam pula ia menangis, menangis dengan tiada
jemu"jemunya, sampai"sampai larut malam, kemudian
ia hilang saja dalam gelap malam kelam, tiada diketahui
orang, ke mana perginya. Baru ia tampak lagi pada keesokan harinya, di tempat
yang biasa pula, demikianlah kerjanya dari sehari ke sehari,
hingga minggu bertemu minggu, berbilang bulan berjalan
sudah. Dalam pada itu tubuhnya yang mula-mula tegap berisi,
yang pernah jadi idaman "bujang perjaka", kini tinggal
tulang terbalut kulit, hitam kering berbau anyir. Warsiah
sudah menjadi kerangka hidup.
Pada suatu hari orang"orang kampung sibuk lagi
seperti dahulu ketika hendak ada pembakaran kampung.
fr; __ 1. .n' -_ 1:35]. _"Mmmun B:]: Pusuk: Sejak dari kemarinnya sebenarnya mereka sudah
sibuk, karena mendapat perintah dari kepala kampungnya,
masing"masing harus meninggalkan tempat kediaman,
tapi Warsiah tak menghiraukan. Dan ketika seluruh
kampung sudah kosong, ketika sekeliling stasiun sudah
merata dalam alam kesunyian, kiranya masih ada sesosok
tubuh manusia, yang sudah lain dari manusia biasa, tinggal
terpencil seorang diri, bertualang sebatang kara.
Sekali ini Warsiah tidak duduk-duduk di tempatnya
biasa, karena stasiun sepi; memang ada kalanya stasiun
sunyi saja, yaitu pabila kereta Jakarta"Cikampek tidak
jalan, tetapi keadaan kosong lengang seperti 'rtu, baru
dialaminya. Ia gelisah, kemudian merenung, kesepian
menyendiri sudah mengganggu otaknya yang tidak
waras, rupanya ia masih berkehendak akan keramaian
manusia. Sebentar ia lari ke jalan raya, sebentar duduk di
bawah pohon, kemudian kembali lagi kejalan kereta, dan
tiba-tiba letusan bertubi-tubi hebat menggetar bumi,
terdengar dari jurusan barat. Warsiah terperanjat, terdiam
bagai terpaku, tapi sebentar saja, kemudian biasa lagi,
seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Dentuman serentak
menderap pula, lebih hebat dan lebih banyak, dan di saat
itu bergegar pulalah derapan sambutan dari sebelah timur,
menggelagar memenuhi udara raya, meliputi seluruh
kampung. Pertempuran sudah mulai. Bekasi tempat
Warsiah, sudah menjadi medan pertempuran, perjuangan
bangsanya yang mempertahankan kemerdekaan tanah
airnya menentang musuh yang hendak menginjakkan kaki
angkara murkanya. Tapi Warsiah tak menghiraukan. Di
bawah desingan peluru lalu bersimpang siur, ia berjalan
selela"lelanya, mondar"mandir di atas rel, sebentar
melenggok ke arah timur kalau terdengar suara di arah
sana, sebentar menengok ke arah barat kalau dentuman
datangnya dari barat. Tentang lainnya tak dihiraukannya.
Tiba-tiba ia tertegun. Di sana, sayup-sayup darijauh, di
arah sungai sebelah timur, terdengar suara jer'rtan orang.
Tapi selintas saja, jer'rtan diputuskan oleh sebuah letusan
yang sangat hebat ..., kemudian hening seketika, desingan
yang banyak mulai reda, tinggal satu"satu letusan di
sana sini. Warsiah menegakkan kepala, matanya mulai
liar, badannya dihadapkannya ke timur ke arah tempat
jeritan datang, kemudian membalik menghadap ke barat,
tegang bertulak pinggang, lalu lari, lari menurutkan jalan
rel, lari kencang sambil mulutnya berkomat"kamit. Dari
karnit mulutnya ke luar lagi perkataan seperti biasa, tiada
berujung tiada berpangkal: si bengis lagi, si ganas lagi
danialartterus,larilepas melancarsaja,tiadakaku"kakunya.
Dan ketika ia sampai dijalan pertemuan antara jalan kereta
dan jalan raya, ia berhenti sebentar, seolah-olah berpikir,
kemudian ia membelok menurutkan jalan raya. Dari jauh,
dalam pandangan kabur sambil berlari, ia melihat benda
bergerak, berderet memanjang jalan, tetapi sebelum ia
insaf benar atau tidaknya tentang penglihatannya, sebuah
peluru datang menyongsong, tepat menembus tulang
dadanya. Warsiah terpelanting, jatuh tersungkur di tengah
jalan. Sebentar merontak merentak"rentak, mengerang
menyumpah-nyumpah, terhambur pula dalam sumpah
serapahnya perkataan: si bengis lagi, si ganas lagi, hitam,
kejam rupanya dalarn ia bergulat mempertahankan
hidupnya dengan sakaratulmaut, kebencian kepada si
hitam kejamnya dan si bengis ganasnya masih sanggup
mengatasi renggutan tangan malaikat maut pengambil
nyawanya yang akan menceraikan ruhnya dengan badan
kasarnya. Warsiah lama merontak"rentak, merentang ke
sana ke mari, kemudian lemah tak berdaya Warsiah
yang sebentar ini masih menjadi kerangka hidup, kini
sudah benar"benar menjadi kerangka mati. Mati terhantar
di tengah jalan, tiada dihiraukan orang, tiada orang yang
menangis meratapi. Ia meninggal tidak sebagai pahlawan
yang dapat dibanggakan oleh bangsa, tidak sebagai
korban pembela kemerdekaan. Ia mati hanya sebagai
korban kebuasan, salah satu korban dari yang sekian
banyaknya. Ia mati karena nasibnya, demikian sudah
menurut suratan tangannya, ya, ia mati karena kehendak
Ilahi. Tapi Warsiah rupanya tak akan terima kalau ada
yang mengatakan, bahwa baik buruk sesuatu itu karena
suratan tangan masing-masing Warsiah takkan terima.
Ayahnya meninggal karena romusha, buatan manusia,
bukan kehendak Tuhan. Yang merebut Masri, kekasihnya,
dari tangannya, tentu manusia juga, bukan Tuhan, dan
yang paling nyata, sudah ia saksikan sendiri, tentang
rumahnya: rumahnya musnah karena dibakar, dibinasakan
oleh segolongan bangsa, bangsa manusia. Bukan malaikat
dari langit suruhan Tuhan, yang membawa api menyalai
atap bubungan rumahnya, tetapi serdadu, bangsa
manusia bengis; dan sekiranya ruhnya, ruh Warsiah yang
kini sedang dalam perjalanan menghadap Ilahi dapat kita
tanya, tentu ia akan menjawab, bahwa ia meninggalkan
kurungan badan kasarnya, karena dipaksa oleh sesuatu
benda keras bulat memanjang, buatan manusia tamak,
yang kini mungkin masih menyelip di antara tulang rusuk
tubuhnya, yang sudah menjadi bangkai
Ya, Warsiah meninggal, dalam hakikatnya ia pergi ke
hadirat Ilahi, akan mengadukan hal ihwalnya dan meminta
keadilan Siapakah Warsiah" Ia seorang gadis tani, anak peladang desa, yang
hidupnya selalu dalam serba kekurangan. Ayahnya
meninggal di Merak dalam pekerjaan romusha ciptaan
Jepang, dan ibunya sudah berpula ng sehari sesud ah terja di
pembakaran kampung, karena penyakit tua dan karena
menderita "putus asa". Sebagai gadis yang menindak
dewasa, Warsiah pernah mempunyai pujaan hati, Masri,
namanya,teman sekampung sehalaman, seorang pemuda
yang cakap tampan, pernah masuk "Peta" di masa
Jepang dan dalam Pemerintahan Republik, jadi pemimpin
rombongan BKBka mpungya ng sangataktif. Masri seorang
pemudayangbercita"cita tinggi. Pernah berkata di hadapan
kekasihnya, bahwa ia takkan beristri dulu, kalau Indonesia
belum merdeka. Karena itu, ketika Wa rsiah untuk pertama
kali melihat bendera Sang Merah Putih di atas stasiun, ia
berlari"lari anjing, mendapatkan kekasihnya yang ketika itu
sedang mencangkul di kebun. Dengan gembira ia berseru
|I|Masri, Masri, lihatlah bendera kita|I| Asyik dan masyuk
beradu pandang, sebentar dalam pelukan cinta bahagia,
sebentar masing"masing memalingkan pandangannya
ke arah bendera yang sedang megah berkibar. Warsiah
tenang, menahan desiran hati kecilnya, Masri menantang,
tidak menahan, debaran jantungnya dibebaskannya turun
naik, tapiyang keluardari mulutnya |I|kita merdeka."
Baik Masri, maupun Warsia h, tentu takkan menyangka
bahwa pertemuannya ketika itu pertemuan yang akhir,
dan kebahagiaan yang mereka sama"sama rasai pada
waktu itu, kebahagiaan yang pertama tapi juga yang
terakhir, karena sesudah itu Masri pergi ke Cikampek
akan mencukupkan latihannya tentang keprajuritan dan
sebelum mereka dapat berjumpa kembali, seminggu
sebelum terjadi pembakaran kampung, Masri hilang tak
meninggalkan jejak, lenyap tak tentu rimbanya. Warsiah
ditimpa duka nestapa. Untuk pertama kali ia mengalirkan
air mata, air mata untuk kekasih yang tak dapat diharap
pulang. Dan di masa itulah, di masa ia kehilangan mestika
harapan hati, di masa itu benar rumah tempat tinggalnya,
harta benda dan pakaian sekadar apa yang ada, habis
musnah dimakan api. Peristiwa pembakaran kampung bagi Warsiah adalah
barang baru, sesuatu kejadian yang belum pernah
dialaminya. Oleh karena itu ketika mendengar kabar
bahwa kampungnya akan dibakar, ia tak segera percaya.
. .. ; ' & mmm-namun.- B:]: Pusuk: "Masakan ada manusia sekejam itu,"| katanya. Ya, Warsiah
tak tahu politik, tak kenal siasat, yang ia tahu dan ia telah
rasai, ialah nasib buruk yang berturut"turut menimpa
dirinya, dan bahwa terjadinya semua ini dalam suasana
kemerdekaan, yang dahulunya pernah menjadi harapan
buah mimpinya. Warsiah berpikir, memikirkan apa"apa
yang sudah terjadi, dan karena ia terlalu banyak berpikir,


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memikirkan yangmemangtak dapat masukdalam akalnya,
pikirannya menjadi kacau. Di masa Jepang kepalanya
sudah penuh dengan perkataan-perkataan: Asia Timur
Raya, kemenangan akhir, musuh hancur, dan sebagainya.
Masrilah tempat bertanya apa artinya dan maksudnya
perkataan-perkataan itu, dan meskipun sebenarnya ia
tidakmengerti, karena Masriyang menerangkan, ia seolah-
olah mengertijuga. Karena itulah hatinya melekat kepada
Masri, dan Masrilah yang menjadi harapan hatinya di masa
datang. Kemudian ia mendengar tentang kemerdekaan
Tanah Air, itulah yang menjadikan ia gembira ria ketika
melihat bendera Merah Putih melambai-lambai di atas
stasiun. Kata yang paling belakangialah: "nica". Kata Masri
nica itu musuh. Warsiah tidak menanyakan apa artinya
nica tapi ia tahu apa maknanya musuh. Kemudian Masri
hilang, memutuskan harapan Warsiah dan menimbulkan
pertanyaan: Ke mana dan mengapa" Kemudian rumahnya
dibakar orang. Pada pikiran Warsiah: Mengapa orang
ganas sedemikian" Pikiran"pikiran serupa itulah yang
mengganggu otak waras Warsiah, dan yang kemudian
membawanya ke alam angan"angan yang tak kunjung
diam. Dan sejak itulah, Warsiah menjadi Warsiah bermata
liar menjadi kelana sepanjang jalan, mencari yang sudah
takkan dapat dicarinya lagi
1945 JWJ Hasnah duduk bermenung, merenungi anaknya yang
tidur nyenyak di sampingnya. Di luar hujan turun tak reda"
reda. Semenjak siang ia bergulat menahan air hujan,
yang masuk memaksa menembus atap. Sudah lelah ia
menyisip sini, menyisip sana, menutup lubang"lubang yang
bertebaran, tapi air meluncur terus. Ya, apa kekuatannya,
karton atau kertas-kertas, sekalipun kertas tebal untuk
menahan air deras dari langit, sia-sia belaka. Kadang-
kadang memang ada tolongnya, kalau untuk seb entar saja,
tapi kalau hujan terus melebat sepanjang petang" Akhir-
akhirnya Hasnah jemu, ia putus asa, tangannya merasa
sakit, dibiarkannya saja air meneranai sana sini, membasah
membecak seedar petak. Hanya di tentang tempat anaknya itulah yang masih
agak kering sedikit, tapi nyamuk. Nyamuk yang biasanya
kalau hari hujan agak berkurang, malam itu rasa Hasnah
bertambah banyak, seringkali anaknya yang sedang tidur
nyenyak tersentak bangun merontak-rontak karena
digigitnya. Hasnah mengeluh panjangtapitiba"tiba matanya
bersinar, ia gembira melihat anaknya yang sedang tidur
tertawa"tawa, bibirnya bergerak, rupanya, sedang... mimpi.
Kemelaratan yang menyelubungi sekelilingnya hilang
sementara; ditekannya pipi anaknya perlahan"lahan dengan
bibirnya. "Mengapa engkau tertawa"tawa sendirian, Sam?"
bisiknya. Ia pun menyelimutinya dengan cermatrapat"rapat.
Hasnah mengisi pondok itu berdua saja. Si Sam berumur
jalan 2 tahun, sudah mulai banyak kata-katanya. Kata
10 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
orang anak yang sebesar itu, sedang"sedangnya menjadi
"bunga harapan", obat duka pelipur lara, dan Hasnah tentu
membenarkan. Tambahan Pula karena si Sam badannya sehat, pipinya
bulat"bulat berisi, tangannya besar"besar montok, dan
mukanya selalu berseri, kuning-kuning kemerahan.
Berlainan benar dengan keadaan ibunya, yang dari
sehari ke sehari, akibat kurang cukup makan dan kesukaran
mengatur hidup, makin susut, makin layu, kurus kering
kehitaman, muka pucat senantiasa.
Tapi Hasnahsendirirupanyatidakmerasa. Kalau anaknya
gelak tertawa, semua kebahagiaan kumpul padanya.
Tetangganya sering berkata bahwa si Sarn mempunyai
bakat nakal luar biasa, tapi bahkan inilah yang selalu jadi
buah tutur kebanggaan Hasnah.
Menjelang malam hujan mereda. Tapi sekeliling sudah
sunyi. Terasa benar oleh Hasnah. Orang yang tinggal di
petak sebelah menyebelah sudah tidur semua. Orang-orang
pekerja berat, tukangbeca dan kuli penyapujalan, golongan
manusia yang biasanya tak mempunyai kesempatan untuk
duduk lama berlena-lena, apalagi hari buruk. Yang baik
baginya segera pergi tidur, untuk dapat bangun lebih pagi,
pada keesokan harinya. Hanya dari jauh, terdengar radio sayup-sayup, di sela-
sela rintikan air. Hasnah kembali merenung, menyadari untung. Ia
pernah mempunyai radio, ia pernah mendiami rumah besar
dahulu, zaman Jepang, kemudian Jepang pulang, ia kembali
kepondokburuk. "Emh, peruntungan ..." rintih hatinya. Masa yang
sebentar itu, rupanya hanya kebetulan saja singgah
padanya. Kemudian terus lalu, takkan kembali"kembali lagi.
Pikiran Hasnah melayang"layang.
Ia mencoba berbaring di dekat anaknya. Matanya
dipaksanya dipejamkan, supaya segera tidur, pikiran
merentang hanya menimbulkan kepedihan hati, tapi
matanya tetap membantah. Tidak biasanya ia sukar tertidur seperti itu. Lazimnya,
kalauia sudah berbaring, karena siangpayah bekerja, mudah
saja mata"nya tertutup. Malam itu seolah"olah malam yang
"beralamat", pikiran Hasnah gelisah resah, tidak dapat
ditenteramkan. Sana sini makin sunyi. Radio orang sudah tak terdengar
lagi. Hujan terus meneranai.
Tiba"tiba pintu diketuk orang, disertai suara ragu,
memanggil namanya. Siapa gerangan" Suara tak dikenal di
malam kelam" Hasnah ketakutan.
Suara mengulang lebih keras, "Bukankah ini rumah
Hasnah?" Mendengarnamanya diserukan dengan pasti, ketakutan
Hasnah agak berkurang. la bangkit, untuk mengurangkan
kecemasan hatinya, lampu tempel di dinding ia besarkan: ia
berjalan perlahan-lahan menuju pintu, sambil, mengingat-
ingat suara tadi. Basa-rasanya pernah mendengar, tapi di
mana" Dan pabila"
Dengan tangan gemetar pintu dibukanya. Di luar
tampak seorang laki"laki kurus, berdiri berpakaian basah
dan kotor. Dengan sinar lampu dari dalam Hasnah dapat
memperhatikan orang itu selintas pandang, tapi ia
tetap ragu. Bahkan ketakutannya timbul lagi, ia hendak
menutupkan pintu kembali, tapi laki"laki yang selama itu
diam saja, segera membuka kata, " Hasnah, rupanya engkau
sudah lupa kepadaku?" Hasnah memberanikan diri, ia
bertanya, |I|Siapa, Abang" Hendak apa malam-malam?"
"Benar kau sudah lupa, Hasnah, tapi kalau kauizinkan
aku masuk, nanti akan kuceritakan."
12 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Hasnah masih khawatir, tapi ia tak berani menolak.
Mudah-mudahan saja orang baik-baik, pikirnya. Orang itu
dipersilakan masuk. Hati Hasnah yang ragu dihilangkan
dengan sangkaan: mungkin orang itu, salah seorang
familinya juga yang baru datang dari udik. Di samping
itu ada bisikan hatinya yang lain, tapi pikirannya segera
membantah, karena ..., tak mungkin.'"
Laki"laki itu masuk, dengan tak menunggu disilakan
lagi, ia duduk saja di kursi dekat pintu, "kursi yang hanya
satu-satunya ada di situ."Dekatnya ada sebuah meja kecil,
rupanya tempat Hasnah menaruh makanan dan air minum,
karena di sana adaterletak tempat air teh dan gelas kosong.
"Berubah benar keadaan di sini, Hasnah," kata laki"laki
itu, "dan kamu pun sudah sangat berubah, aku hampir tak
kenal lagi." "Ya, sekarang banyak yang berubah ...," jawab
Hasnah dengan tiada berpikir, suaranya tak pasti. Ketika ia
duduk di balai"balai, membelakangi anaknya yang sedang
tidur: Laki-laki yang di hadapannya rupanya tak menyangka
bahwa penghuni tempat itu ada dua jiwa, meskipun yang
satu masih berupa kanak"kanak. Ia terus saja bertanya ini
itu, dan Hasnah tampaknya bingung saja.
Kemudian dengan suara tak sabar laki"laki itu berkata,
"Jadi, kau sudah tak ingat lagi, Hasnah" kepadaku ...,
suamimu ...!!" Kalau disambar petir, barangkali Hasnah takkan
sedemikian terkejutnya: Seperti terlompat ia bangkit
dan memekik, "Ya Allah! Bang Daliii benarkah ini?" Ia
hendak menghampiri, tapi rupanya tak kuasa, tertegun saja
sebentar di tengah"tengah, antara tempat duduknya dan
orang itu, badannya gemetar, menahan, ia berkata terbata"
bata, ..." dari tadi sudah terasa-rasa tapi saya ragu
saya tak berani karena dahulu ada kabar abang sudah
meninggal ...." 14 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Rupanya semangatnya sudah kumpul kembali, ia
melangkah mundur, duduk lagi di tempatnya semula.
Laki"laki itu berkata lagi, "0 ..., jadi sudah ada kabar
aku sudah mati" Patut sikapmu demikian, Hasnah! Dan
ya, memang tak salah orang yang membawa kabar bahwa
aku mati, karena memang sebenarnya aku sudah mati,
tapi hidup lagi," (suara kesal), "aku sudah mati, Hasnah,
ditinggalkan orang seorang diri, di tengah"tengah hutan,
dalam sakit tidak berdaya! Ya, siapa yang akan menyangka
aku masih hidup.TapiTuhan masih melindungiaku.Akuyang
sebenarnya harus sudah menjadi bangkai, dapat berdiri lagi.
Kebuasan yang dibuat oleh tangan manusia, masih dapat
kuatasi. Aku kini masih dapat bertemu denganmu bukan"
Bercakap di hadapanmu! Ya, permohonanku supaya dapat
berjumpa lagi denganmu, sudah Tuhan kabulkan ...."
Perkataannya yang penghabisan diucapkan dengan
pasti, dengan gaya yang menunjukkan kemenangan.
Hasnah diam saja. Air matanya berlinang. Kedatangan
bekas suaminya yang disangka sudah tiada ada lagi di dunia,
tidak menggirangkan sebagaimana ia pernah harapkan,
dahulu sebelum ada kabar, bahwa suaminya itu sudah
meninggal. Sekarangiawas-was, sangsi. Daliyang sekarang,
yang ada dihadapannya, rasa"rasanya bukan Dali yang
dahulu, bukan Daliyang pernah ia tatapi berbilang hari.
Tiba-tiba anaknya merontak. Hasnah bangkit berbalik,
membenarkan letak tidurnya dan menepuk"nepuk.
Dali tercengang. Dengan tiada terasa ia ikut saja berdiri,
dan juga dengan tidak insaf, keluar saja dari mulutnya
"Engkau mempunyai anak"!"
Perkataan yang menurut lagunya seperti bertanya
kepada dirinya sudah disahutnya oleh Hasnah dengan
suara tenang yang dibuat"buat, "Bang saya sudah
bersuami lagi ..." "O ...," kata Dali menahan perasaan hatinya, "aku tak
tahu, maafkan, Hasnah. Mengapa tak kaukatakan daritadi,
tentu aku tak kan berani ...."
Kemudian seperti berkata kepada dirinya lagi, "Ya,
mengapa tak mungkin, masa 3 tahun, bukan masa yang tak
lama." "... karena saya mendengar kabar Abang sudah
meninggal "," sahut Hasnah sambil menunduk, menahan
air mata yang hendak mendesak. Ia sudah kembali
menghadapi Dali. Dali belum berkata lagi. Ia memandang Hasnah tenang"
tenang. Dan initerasa oleh Hasnah, terus menembus sampai
ke jantung. Ia tidak berani tegak.
"Aku sudah masukdengantakseizinsuamimu, Hasnah?"
"' Itu tak mengapa, ini rumah saya, ia sudah lama tidak di
sini, sudah pulang ke negerinya!"
"Ke negerinya ...?" renung Dali, ia melangkah
menghampiri, dan di saat itu benar, anak yang sedang
tidur membalik lagi, menghadap tepat ke arah Dali. Muka
yang bulat berisi, menarik minat untuk diperhatikan.
Meskipun sinar lampu suram, Dali dapat melihat jelas.
Ia terpaku. Darahnya tersirap. Sekilas saja ingatannya
kembali ke masa 3 tahun yang lalu. Tergambar nyata muka
seorang yang pernah menepuk-nepuk pundaknya, pada
hari ia akan meninggalkan kampung halamannya. Orang
itu selalu memuji"muji dia dengan perkataan yang manis"
manis memb esar"kan hati. Katanya yang penghabisan yang
seolah"olah kini terulang di telinga Dali, "Bagus, Dali pergi,
disininanti saya urus sama-sama yaEJangan takut!"
Dan anak yang sekarang tidur nyenyak di hadapannya,
yang mukanya bulat, mulutnya melebar dan matanya
kuncup di sudutnya itu, sungguh"sungguh sebagai pinang
16 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
dibelah dua, dengan orang yang membayang dalarn
ingatannya. Pikiran Dali merentang panjang, "Mungkinkah"
Mungkinkah dia anaknya, dari bekas istrinya?" ia hendak
menanyakan kepada Hasnah supaya dapat kepastian, tapi
Hasnah terus menangis. Mulut Dali seolah-olah tersmnbat.
la memaksakan juga bertanya, tapi perkataannya yang
keluar hanya, "Siapa nama anak itu, Has?"
?" Shamuro ...," kata Hasnah dengan suara tak acuh.
|I|Seperti nama orang Jepang ?" sambut Dali. Dali
berkata hanya sekata"katanya saja, tapi Hasnah merasa
teriris. |I|Seperti nama orang Jepang," selang hatinya. la
memejamkan mata. Kemudian sebagaiterpaksa, "Azatyo")
dahulu, yang memberikan nama itu. Ia orang baik, banyak
tolongnya kepada saya, tapi sekarang sudah tidak di sini."
Dali terdorong, "Mengapa bukan bapaknya yang
memberi nama?" " Ketika Shamuro lahir, ia sudah lama pergi...."
"O, ..." Dali mengerutkan alis, mengulang nama
Shamuro, perlahaolahan, kemudian matanya bersinar, ia
tertawa hampa, "Hm, pandai juga orang yang memberi
nama itu. Memang benar; sa-mu-ro ..., [lambat-lambat): roo-
mumu" ya, ya karena aku pergi ro"mu"sha, karena aku
tertipu, ia lahir ke dunia ...!"
Suaranya geram, tapi perlahan. Hasnah tak dapat


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar nyata. Tapi ia merasa, Dali tak senang hati.
Dali kembali duduk di kursi menahan debaran dadanya.
Hasnah bangkit, sebenarnya hanya mencari"cari saja. Ia
merasa tak enak diam saja di bawah pandangan bekas
suaminya. Ia menghampiri meja, menuang air teh, dan
berkata, "Minum dulu, Bang, teh masih ada, tapi sudah
dingin dan saya tak punya apa"apa.
Ia mengambil bungkusan yang ada di tentang kepala
1 Ketua R.K. |:ij zamanjepang.
anaknya, biskuit persediaan untuk anaknya tinggal 3 biji, ia
ambil dua, ditaruhnya di piring, disajikannya di muka Dali.
Selama itu Dali mengikutkan saja dengan ekor matanya,
semua gerak bekas istrinya, tapi tak b erkata.
|I|Minum dulu, Bang, minum ...," kata Hasnah dengan
suara putus asa. Dali minum seteguk. Tenggorokannya
memang merasa haus. Sekarang ia segar kembali. Tapi
kuenya dibiarkannya saja. Ia tahu makanan itu persediaan
Shamuro. " Kau tentu sayang kepada Shamuro"!" tanyanya.
"... Shamuro anak saya, Bang! ...."
|"Shamuro anak saya," yang diucapkan oleh Hasnah
dengan sungguh dan ikhlas, sampai ditelinga Dali lain pula.
Sekarang giliran dia merasa terkena. Dalam perkataan yang
tiga patah itu, menurut rasa Dali, terentang jurang yang
dalam, jurang yang akan memutuskan harapan. Dahulu ia
pernah bercita"cita, pernah mempunyai idaman hati. Kalau
Hasnah berkata tentang hal "anak", hendaknya ia berkata
bukan hanya "anak saya", tapi harus "anak kita", tapi dalam
hal Shamuro, Hasnah lebih mengetahui. Ia di pihak yang
benar. Ia tentu tak berani mengatakan "Shamuro anak
kita", karena Shamuro memang hanya anaknya, bukan anak
dia dengan Dali, anaknya sendiri, dari laki"laki lain
Dali menatap saja. Air mata Hasnah menitik. la menunduk lagi.
Kemudian Dali berkata lagi sambil menarik napas
panjang, "Ya, Shamuro memang anakmu ..., anak keciltidak
bernoda suci ...!" Giliran Hasnah lagi, hati pedih kena sembilu. Anak kecil
tidak bernoda, kata Dali, yang berdosa" ia sendiri"! Tapi
apakah benar ia berdosa" Ia tidak merasa.
Hening saja seketika. Di luar angin menderu, hujan akan
melebat pula. 18 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Sekonyong"konyong Dali bangkit, tegak, berkata
perlahan tapi jelas, |I|Hasnah, hasratku ingin bertemu
denganmu sudah terlaksana. Baik"baik sajalah menjaga
diri. Aku tak lama di sini. Mudah"mudah bertemu lagi kita
nanti,|I| (dengan suara ditekan), "Kalau tidak, di alam fana,
barangkali di alam baka." Hasnah menyapu matanya.
" Besok pagi aku akan terus ke Bogor, menemui ibu dan
ayah." Tiba-tiba Hasnah menyela terpatah-patah, "Jangan
Abang pergi ke Bogor, di sana sekarang sedang ribut. Dan
ibu" Belumkah Abang mendengar kabar" Ibu sudah lama
meninggal! Penyakitnya biasa yang dulu, dan mungkin
karena selalu memikirkan Abang ...."
|I|Ibu sudah meninggal" Ya Alla h!!"'
Dali menjatuhkan diri di kursinya kembali. Badannya
merasa lemas. Ibunya yang akan dibuatnya tempat
mengadu, menguraikan untung malang sudah tak ada.
Haribaan ibunya yang ia akan simpuhi dan taburi dengan
air mata nasib buruk, sudah tak ada di dunia. Dali sudah
kehilangan semua yang dikasihinya.
"Dan Ayah?" tanyanya pula tiba-tiba, sebagai
membentak. Giliran Hasnah untuk bicara bertenang"tenang,
meskipun matanya bersibak basah.
|I|Kemarin ada orang dari udik mengabarkan ayah sudah
pindah, karena rumah"rumah di kampung banyak yang
dibakar"bakari oleh serdadu nica. Ayah perginya diusung,
karena ia sedang menderita sakit. Ke mana dibawanya,
orang itu tak dapat menerangkan. Entahlah bagaimana
akhirnya." Kesedihan yang datang menimpa"nimpa menghimpit
dirinya, hampir menjadikan Dali gelap mata. Setengah ingat
ia berdiri mengepalkan tinjunya. Dengan pandangan mata
yang berkilat"kilat, menghambur saja perkataannya, |"Jadi,
sudah tidak ada yangtinggal!"! Semua sudah musnah!Tuhan
inikah yang dinamakan nasib" Hasnah, aku pergi romusha
dengan berpengharapan kalau kembali dapat memperbaiki
hidup kita, hidupmu dan hidupku, tapi apa yang sudah
terjadi" Engkau lepas dari tanganku! Ibu meninggal aku tak
tahu! Dan kalau benar katamu ayah dianiaya orang, aku tak
dapat membela!" Kemudian dengan suara lebih geram, "Dalam aku
bergulat mempertahankan hidupku, Hasnah, dengan
sakaratulmaut, seorang diri, di sana ditengah"tengah hutan
lebat, jauh dari tempat manusia, yang selalu terbayang di
ruang mataku hanya parasmu dan ibu! Dan aku menjerit
tiap detik, tiap menit, ke hadirat Ilahi, supaya aku sembuh
dan dapat bertemu kembali denganmu. Yang Maha
Kuasa mengabulkan, dan aku tadi sudah menyombong,
mengatakan aku dapat mengatasi perbuatan ganas tangan
manusia tapi kiranya tidak benar! Aku tak berkuasa! Tak
berdaya! Kalau aku sudah dapat melepaskan diri dari siksaan
lahiryangmengenaitubuh kasarku, rupanya sekarang harus
menghadapi siksaan jiwa yang takkan habis-habis selama
hidupku!" |I|Semua sudah takdir, Bang!"
Dan Dali dengan suara agak merendah, "Takdir" Hm, ya
barangkali benar! Sudah demikian kehendak Tuhan!"
Bersemangat lagi, "Tapi, apakah ini sehenarnya
kehendak Tuhan" Apakan ini semata"mata takdir dari Ilahi"
Tidakkah di dalamnya tercampur perbuatan manusia"!
Bukankah ini jejak tangan manusia"! Hasnah!" (hampir
memekik), "Tidakkah engkau merasa"!|I|
Dali berkata lupa daratan. Untung di luar hujan sudah
lebat pula. Suara keras hanya bergaung sebatas kamar.
Hasnah cemas, gugup. Khawatir Dali terus"terusan. Ia
mencoba meredakannya. 20 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
"Bang, sudah peruntungan kita. Kita senasib. Abang
kehilangan, saya pun kehilangan ..." Suaranya tak dapat
lanjut, air mata menahan pula.
Dali sudah kembali agak reda, ia berkata biasa lagi, tapi
rupanya sengaja, tiap"tiap perkataan ia tekan, "Baik, apa
yang sudah memang sudah, dan ini semua kita pandang
saja nasib, bukan" Nasib buruk yang menimpa kita berdua.
Engkau kehilangan, aku kehilangan, katamu, engkau korban
aku pun korban Aku selamanya sengsara engkau melarat!
Tapi mengapa kita harus sama" Mengapa kau yang sudah
bersuamikan orang lain yang tentunya apa"apanya lebih
dari aku masih harus mengalami penghidupan semacam ini!
Mengapa tidak lebih daripadaku! Mengapa"|I|
Hasnah berteriak "Ba ngngngng!"
Ia menutup mukanya lagi dengan kedua belah
tangannya. Kemudian Dali mengalih cakap, "Tentang ke Bogor,
bagaimanapun aku harus pergi. Bahaya katamu" Aku
siap menghadapi segala macam bahaya. Aku sudah mati,
Hasnah, mengapa takkan kembali lagi ke dalam kubur!?"'
Hasnah tersedu-sedu. "Sebelum kemari aku, pernah memasuki Laskar Rakyat,
dan yang menjadi hambatan untuk mencurahkan semua
tenaga sehabis"habis apa yang ada, hanya pikiran untuk
bertemu denganmu..., sekarangkita sudahbertemu, engkau
ada dalam keadaan baik. Aku kini sudah lebih bebas dan
leluasa ..." (terhenti sebentar). "Dari Bogor aku akan terus,
akan kembali menggabungkan diri dalam ketentaraan, tak
ada harapan kembali lagi, karena itu malam ini untuk kita,
malam pertemuan yang penghabisan ...."
Dali tegak menentang. Kemudian membuka ikat
pinggang, mengeluarkan uang sebanyak Rp 25,00. Ia
berkata, '"Ini uangmu, milikmu, dapat kukumpulkan selama
dalam perjalanan. Dari Cikotok, setelah aku sembuh dari
penyakitku, berhari-hari aku berjalan, sampai ke pedusunan
daerah Rangkas, di sana aku membujang pada seorang
tani kaya. Ketika itulah aku dapat mengumpulkan uang
ini. Tadinya memang uang Jepang. Waktu uang kita keluar
dapat tukaran sebanyak itu. Selama perjalanan kemari,
karena berbagai-bagai gangguan di jalan, bukan tak sering
aku menderita kelaparan,tapi uang itutak pernah kusentuh,
karena tetap dalam tekadku, hanya untukmu. Uang itu
sebenarnya masih baru, meskipun tampaknya kotor lecek.
Belum ada tangan lain yang menyentuhnya, semenjak
kuterima dari tangan kepala kampung, kecuali tanganku
Ambillah!!" Dali merasa puas menguraikan semua ini. Ia sengaja
mengeluarkan kata"kata demikian. Dan sekarang dadanya
merasa"lapang. Ia bersiap hendak berangkat. Hasnah
gugup. Ia berkata, "Bangjangan pergi dulu. Hujan belum
lagi berhenti, dan sekarang sudah malam benar." Ia
mencari"cari kata. Kemudian lanjutnya lagi, "Minumlah
dahulu, dan makanlah kue itu."
Ia menyapu lagi matanya. " Hanya itulah yang dapat saya sajikan."
" Kue itu persediaan anakmu, Hasnah, biarlah!"
"Tidak, Bang, tidak! Itu untuk Abang! Makanlah!"
Suara kesal tertahan, "Untuk Abang dari Hasnah,
Hasnah yang dahulu, Hasnah istri Abang, bukan Hasnah
ibu Shamuro! ! ...."
Giliran Hasnah mencurahkan hati sebalnya. Ia berkata
lantang saja. Kemudian membalik membelakangi Dali.
Dali tercengang. Tak menyangka akan berkata
demikian. Ia kembali duduk, bersikap seolah"olah tenang.
Ia menyahut, "Baik, Hasnah, hatiku melihat keikhlasanmu
22 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Ia mencoba makan sajian Hasnah.
Hasnah tetap membelakangi, tapi hatinya menghadap
dengan penuh hasrat. Orang yang sedang makan kue yang
ia belakangi itu, memang suaminya.
"Sebenarnya aku sehari"harian ini belum makan," kata
Dali. "Tadinya harapanku kalau juga terbit keinginan
untuk makan, kalau kita dapat makan bersama-sama
masakanmu ...." Merasa terlanjur lalu memutuskan, "Tapi sekarang
tentu tak akan keburu ...."
Hasnah berbalik menghadap, timbul lagi harapannya.
Ia berkata, " KalauAbang suka menunggu, saya akan masak
sekarang, kebetulan tadi siang saya mendapat beras
pembagian, dari Dapur Umum."
Tapi Dali menjawab cepat, "Tidak! Jangan! Aku harus
segera pergi." Ia bangkit. Kemudian berkata lagi, "Simpanlah uang ini,
untuk ya seperti katamu, untuk Hasnah yang dahulu ...."
Sebelum Hasnah sempat menjawab, dengan sigap
Dali sudah ke luar pintu dan lenyap dalam gelap. Dalam
pendengaran setengah ingat, menyelinap di telinga Hasnah
perkataan, "Tinggalah Hasnah ...."
Kemudian hening. Tinggal suara angin menderu, yang
sebagian masuk pintu yang masih terbuka, meningkatkan
Hasnah segera menutupnya. Tapi dengan gaya tak acuh saja.
Ia bergerak hanya menurut kodrat, tidak terpimpin lagi oleh
Whmn Peristiwa yang datang sekonyong"konyong itu, yang
datang sebagai mimpi, tidak dapat dipandang sebagai mimpi
saja, karena sudah meninggalkan bekas, gurisan luka hati,
yang takkan dapat diobati lagi.
Terhuyung"huyung ia mendekati kursi bekas Dali. Ia duduk
menghempaskan diri, menelungkup ke atas meja.Air matanya
sekarang dibiarkannya menghamburtak ditahan"tahan lagi.
Ia menangis sehabis-habis tangis. Dalam pada itu
pikirannyaterus merentang: Dali datang. Orangyang dahuluia
cintai sepenuh hati sudah kembali, tapi di saat ia sudah penuh
kepercayaan bahwa orangitu tak akan kembali untuk selama"
lamanya. Kecintaan kepadanya sudah dipindahkannya pada
anaknya Shamuro. Ia tidak pernah cinta pada bapak Shamuro
tapi kepada anaknya, sebagian darah daging tubuhnya,
ia cinta sebagai layaknya seorang ibu mencintai anaknya,
cinta ikhlas dan murni. Tapi melihat Dali tadi, meskipun tidak
jelas dengan kata-kata Hasnah merasa: Dali benci kepada
Shamuro. Mengapa" Mengapa Shamuro menjadi alangan
untuk mempertemukan mereka kembali" Mengapa Dali benci
kepada Shamuro" Hasnah ingat perkataan Dali, yang mengatakan takdir"
tidakkah di dalamnya tercampur perbuatan manusia"
Hasnah tidak mengerti benar ujud perkataan itu tapi
sekarang ia seolaholah melihat sesuatu yang membayang,
yang menimbulkan pertanyaan: Mengapa ada kabar Dali
meninggal" Sengajakah orang berbuat demikian karena
mempunyai maksud" Tiba-tiba teriintas dalam ingatannya suatu peristiwa
ketika ia ditanyai,"berdua saja di dalam kamar", oleh bapak
Shamuro. Ia pernah menolak, sekali dua kali, tapi bapak
Shamuro terus mendesak, dan sebagai alasan yang kuat,
ia membenarkan Dali sudah meninggal. Menipukah bapak
Shamuro" Atau tidak tahukah ia keadaan yang sebenarnya"
Mengapa ia mengatakan Dali sudah meninggal dengan pasti"
la terpaksa menerima desakan bapak Shamuro. Tapi
keputusan ini pun ia ambil, pokok"pokoknya, karena sudah
sangat percaya, bahwa suaminya benar"benar sudah tak ada
mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
lagi di dunia. Kalau dia tahu, atau sedikitnya kurang percaya
penuh, biar dipaksa dengan kekerasan sekalipun ia tetap akan
menolak. la suka berkorban, sehingga korban jiwa sekalipun
untuk Dali. Salahkah ia" Berkhianatkah ia kepada Dali"


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalimengemukakan segala pendirian untukmenunjukkan
cintanya kepadanya. Tapi ia pun pernah berhati-hari meratapi
dia hingga lupa makan minum, ketika ia mula"mula mendengar
kabar buruk tentang suaminya itu. Kurangkah kecintaannya"
Tapi mengapa Dali bersikap demikian seolah-olah menuduh"
Saat mula"mula ia tahu bahwa yang ada dihadapannya
itu bekas suaminya, ia sudah mengharap-harap, kalau-kalau
Dali berkata akan kembali, meskipun pada mulanya ia sudah
mengira bahwa Dali yang ada itu mungkin tidak lagi Dali yang
dahulu. Ia tetap mengharap. Dan ia pun sudah dapatmengira
ngirakan, bahwa kehendak Dali pun demikian, tapi setelah
Dali melihat Shamuro"
Mengapa Dali menyangka, bahwa itu semuanya
perbuatan orang" Mengapa tidak menyatakan takdir, takdir,
dan sekali lagi takdir, seperti ia percaya, bahwa itu semuanya
hanya takdir, bukan perbuatan manusia" Ia lebih percaya
kepada nasib, dari pada kepada perbuatan jahat dari tangan
manusia. Mengapa Dalitidak sepikiran dengan dia"
Ketika ia bangkit dari menelungkup, yang tampak mula
mula uang yang berserak di meja. Dali mengatakan uang itu
miliknya,tapikemudian dalamperkataanyangbelakangan Dali
menambah perkataan: untuk Hasnah yang dahulu. Meskipun
mungkin perkataan ini hanya sebagai balasan yang ia juga ada
mengatakan bahwa kue sajiannya itu sajian dari Hasnah istri
Dali bukan Hasnah ibu Shamuro, tapi di sini jelas lagi: Dali
tak akan rela pemberiannya termakan oleh Shamuro. Uang itu
hanya untuk Hasnah, Hasnah yang mungkin dalam anggapan
Dali sejak itu sudah mati ...tapi belum dikubur. Kalau ia terima
juga uang itu, hanya untuknya sendiri haram termakan oleh
Shamuro. Dalam pada itu, dalam layangan pandangan yang
tak tentu arahnya Hasnah melihat di pipi anaknya bintik-
bintik hitam,"nyamuk", mengerumuni, tapi ia sudah tak
menghiraukannya. Pipi anaknya yang biasanya jadi lompatan
untuk mencurahkan hati sedih, sekali ini tidak demikian.
Hasnah merasa lain..."Dali, Dali," nama itu selalu mendengung"
dengung menghalang-halangi. "Dali" sudah menahan hasrat
bibirnya untuk menyentuh pipi anaknya. Mengapa?"
Hasnah menjerit dalam hati, "Daliii! Mengapa engkau
datang, kalau hanya hendakmeracuni hatiku ...!"
Ia menghempaskan dirinya ke atas meja.
Hujan yang sudah lebat, melebat pula, titikan air masuk
membanyak lagi, batuk"batuk parau, suara orang yang tidur
mendusin di pondok sebelahnya, menghimbauhimbau,
Shamuro gelisah merontak-rontak ..., tapi Hasnah masih
menelungkup 1946 JWMWMJ Tempat itu merupakan kuburan, letaknya di sudut
sebuah pekarangan rumah pondok berpetak empat, di
ujung gang, di sebuah kampung buruk, dalam daerah
kota istimewa. Gang masuk ke sana hanya gang kecil saja,
dan pondok itu letaknya agak masuk ke dalam, sehingga
tempat yang merupakan kuburan itu, tak mudah tampak
oleh mata umum. Tiga buah dari empat petak, sudah lama
kosong, hanya di petak yang paling ujung itulah, yang
paling dekat ke tempat kuburan tadi, masih ada orang
tinggal, perempuan tua, seorang diri.
Orang tua itulah yang membuat tempat itu, "seolah-
olah" kuburan. Pinggir-pinggirnya teriingkar batu, di
tengahnya terpancang sekerat kayu merupakan maesan;
sedangkan di keempat penjurunya, tampak tanaman
selasih, beberapa macam bunga kuburyang lazim ditanam
orang sungguh"sungguh membawa ingatan ke tempat
"tanah pusara" yang sebenarnya.
Saya dengar bahwa kuburan itu, bukan kuburan
sungguh, dari seorang yang mengetahui hal ihwalnya.
Maka tertariklah minat saya, untuk mencari sekadar tahu,
apa gerangan yang sebenarnya.
Pada hari lebaran baru"b aru ini, lepas sembahyang Idul
Fitri sengaja saya memilih saat itu, saya pergi berkunjung
ke rumah perempuan tua itu. Karena pekarangan tidak
berpagar lagi, mudah saja saya masuk dan melihat-
lihat dari dekat. Pondok itu sudah sangat tua, letaknya
miring, dindingnya banyak yang bolong, pintu-pintunya
dibiarkannya saja terbuka. Di sana sini sampailah
bertebaran, kertas dinding yang rupanya hitam kusam
berseliweran tertiup angin, sedangkan sarang labah"labah
ditiap penjuru, merupakan hiasan yang istimewa. Rupanya
hanya seorang perempuan tua itu sajalah yang masih mau
dan berani tinggal menempati tempat yang sebenarnya
sudah tak layak lagi ditempati.
Waktu saya masuk diamdiam itu, sudah saya lihat
bahwa perempuan tua yang akan saya jumpai itu sedang
berdiri menghadapi kuburan buatannya. Ini sungguh
kebetulan. Setelah saya puas melihat"lihat petak yang
kosong, saya hampiri dia. Saya beri salam, tapi dari jarak
jauh saja. Entah memang sedang asyik, entah karena
perempuan itu agaktuli, atau saya berkata terlalu perlahan,
ia tidak menyahut. Saya ulang salam saya, dan menanti,
dalam pada itu tinjauan selayang pandang, tampak: atas
kuburan bertabur bunga pelbagai warna. Dalam hati, "ini
kuburan benar ! " "Waalaikum salam," kata suara mengandung ragu. Ia
tegak memandang saya. Sekilattentang tampak mukanya
pucat, gayanya layu, lakunya sangat tenang. Dan saya
berperasaan bahwa, umurnya tidak setua paras mukanya.
Ia menyilakan saya masuk ke serambi petaknya, saya
pun masuk sambil berpikir, "Ia bukan tuli."
Serambi yang saya masuki itu tampak terpelihara
sedikit. Ada tandanya tempat itu berpenghuni. Sampah
tidak berserak"serak, kertas dinding meskipun lama hitam,
kusamnya tidak berseliweran ke sana kemari, dan sarang
labah-labah hanya terdapat di bagian sudut yang paling
atas. Di sudutsebelah kiriterletakbalai"balai bambu, kakinya
beranjak miring, tapi rupanya masih kuat untuk diduduki.
Di sebelah kanan agak ke muka, ada kursi kayu besar,
kakinya hampir separuhnya masuk tanah, tapi karena ini
28 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
letaknya kukuh, tiada mudah dipindah"pindah. Di kursi
itulah saya menempatkan diri setelah disilakan duduk,
sedangkan perempuan tua itu berjuntai saja di balai"balai.
"Tuan!" tegurnya tiba-tiba, "Barangkali Tuan
kesalahan!" Saya segera mengerti, lalu menjawab, "0, tidak Mak!
Saya sengaja kemari, hasrat menyampaikan silaturahim
hari raya Lebaran. Saya sebenarnya tinggal jauh, tapi
sudah menjadi kegemaran, datang berkunjung ke rumah
orang"orangtua."
la belum berkata, di mukanya masih terbayang rasa
ragu. Saya teruskan bertanya, "Sendiri sajakah Mak di
sini?" "Saya Tuan ..., sendiri, saya tak mempunyai sanak
saudara." "Itulah Mak," kata saya, "datang kemari, mudah"
mudahan silaturahim Lebaran ini, jadi sebab untuk kita
satu dan lain kenal mengenali. Siapa tahu kalau kita nanti
jadi tetangga, karena saya kemari ini di samping maksud
berlebaran, juga sambil melihat-lihat kalau-ka lau dekat sini
masih ada rumah kosong."
Perkataan melihat-lihat rumah kosong, sebenarnya
hanya pikiran waktu itu saja, untuk menghilangkan
keragu"raguan pikirannya yang tampaknya selalu dalam
kekhawatiran dan kebimbangan. Dan ini memang berhasil,
ia mulai berkata terang dan pasti, "Kalau itu maksud Tuan,
saya mengucapkan terima kasih, memang mak di sini
sangat merasa kesunyian, tetangga"tetangga yang lama
pada pindah, dengan yang baru"baru mak belum kenal, tak
berani mencampurkan diri, maklumlah Tuan, saya orang
miskin." la bicara kadang"kadang meemakkan, kadang"kadang
bersaya saja. " Kalau rumah kosongya ng baik, dekat"dekat di sinitak
ada, Tuan. Dahulu memang banyak, hampir semua rumah
kosong karena ditinggal mengungsi, tapi sekarang sudah
berisi lagi. Ini masih ada tiga petak kosong, tapi tentu Tuan
takkan mau tinggal di sini, saya sendiri karena terpaksa.
Cakapnya mulai lancar, keterangannya beres, saya
mendapat kesimpulan bahwa perempuan ini, pernah juga
bergaul di tengah masyarakat.
"Tuan datang kemari, mak tak dapat menjamu,
maafkan saya, mak tak punya apa"apa, benar hari ini hari
Lebaran, tapi untuk mak hanya harinya saja "hari Lebaran"
Suaranya berubah sedih, pandanganya tak tentu
arahnya. "Tapi," sekonyong"konyong ia berdiri, "kalau
sekadar teh bening saja, barangkali ada."
Sebelum saya sempat mengatakan "takusah", ia sudah
masuk. Sebentar ia kembali, membawa, air teh segelas.
Teh itu bening dan dingin, tapi ia sangat meminta, dan
saya lihat gelasnya bersih, saya minum sungguh"sungguh.
Setelah minum saya menanyakan ini itu, yang
berhubungan dengan keadaan sehari-hari. la menerangkan
bahwa ia dapat pembagian makan dari Dapur Umum.
Selama bulan Puasa ia diberi bahan mentah, beras dan ika n,
dalam seminggu dua kali. Lumayan juga katanya. Untuk
mencukupi keperluan lain terpaksa ia menjual perkakas
rumah, yang masih ada dan masih laku, rupanya pondok
itu tadinya berpekakas juga. Kerja, katanya masih gelap,
ia belum mendapat jalan, pernah mencoba berdagang
kecil-kecil, tapi selalu merugi saja. Jadi hingga itu ia tak
mempunyai mata pencaharian.
Setelah kami masing-masing berdiam diri sementara
lama, saya sampaikan maksud saya. Saya mulai dengan
"kuburan". 30 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
"Mak!" kata saya dengan hati"hati, "maaf saja, saya
ingin tahu, kuburan yang di sudut itu kuburan siapa, sebab
dahulu kalau tak salah, tak ada kuburan di sana.
Ia bermenung seketika. Kemudian dengan suara
yang tiba"tiba berubah sedih lagi, ia berkata perlahan"
lahan, "Ya, barangkali, kalau Tuan tahu hal ihwalnya, akan
mengatakan saya ini orang gila, seperti setengah orang
yang pernah mengatakannya, tapi apa boleh buat, mak
takkan peduli akan kata-kata orang, dan mak takkan malu
kepada Tuan mengatakan yang sebenarnya, mak percaya
Tuan takkan menyakiti hati mak ..."
Berhenti ia sebentar. "Tuan, kuburan itu sebenarnya bukan kuburan!"
"Bukan kuburan!" tanya saya pura"pura kaget.
Orangtua itu belum menyahut. la diam, tapi diamnya
rupanya diam menahan. Air matanya titik. Setitik demi
setitik membasahi pipi yang pucat lesi. Disapunya dengan
ujung kebayanya. Saya tercengang. Seketika hening. Kemudian
kata saya," Mak, saya minta dengan sangat Mak sudi
menceritakan yang sebenarnya. Kalau hal itu rahasia, saya
berjanji akan menyimpannya. Percayalah Mak, saya hanya
ingin sekadar mengetahui."
"Tuan," katanya bergetar, tapi mulai bersemangat,
"tentang itu, boleh Tuan pandang rahasia, boleh Tuan
pandang tidak, untuk saya tidak mengapa, memang itu
bukan rahasia,saya katakan kepadabarangsiapayangingin
mengetahui, tapi kalau setengah orang mentertawakan,
kalau sebagian mencemoohkan, saya percaya Tuan tidak,
saya merasa Tuan sudah sebagai anak maaf, saya,
Tuan, kalau saya lancang, anak saya kalau ada agaknya
sebaya dengan Tuan" "Kuburan itu memang bukan kuburan, tetapi di sana
ada darah, darah anak saya, yang tak mau kering. Dahulu
darah itu merah, tapi sekarang sudah kehitam-hitaman,
tapi tetap basah, sebagai darah baru tertumpah ...."
Bukan suaranya saja mulai lantang, lidahnya pun fasih
pula. "Kemudian dengan tidak disengaja tempat itu
menyerupai kuburan, lalu mak teruskan membuatnya
seperti keadaan sekarang, ya, seperti kuburan yang
benar-benar, karena pikir mak tempat itu memang harus
menjadi kuburan, kuburan anak saya, yang mati tak tentu
kuburnya." Tertegun lagi ia sebentar.
"Tuan, anak saya meninggal tak tentu kuburnya. Ia
dibawa, dipaksa, disiksa,tengah malam, entah ke mana ...!
Kalau hanya dibawa saja, tapi ini, ya Tuan, saya tak dapat
mengatakannya. Masih terdengar pukulan, tendangan di
atas dirinya, kemudian tembakan ...! Saya tak melihat
karena tak kuasa, tapi saya mendengar, mendengar
sendiri, dengan telinga sendiri, dan pendengaran Tuan,
pendengaran yang mengerikan, namun ditutup dengan
telunjuk sepuluh jari pun, tetap terdengar juga Anak
saya tidak menangis, tidak kedengaran menjerit, tapi
karena itulah, karena tidak menangis, dan menjerit, karena
tidak terdengar suaranya lagi, yakin dalam hati saya, ia
mati seketika itu juga."
Perkataan yang penghabisan ini dihamburkan saja
dengan rin tihan tertahan-tahan disertai air mata yang
bukan menitiklagi, tapi menghamburtakhenti"hentinya.
Setelah agak reda, katanya pula, "Paginya Tuan, pagi"
pagi buta saya ke luar, saya tak dapat tidur, siapa pula
yang akan dapat mengejapkan mata setelah menyaksikan
kejadian demikian rupa. Ketika saya ke luar meskipun
masih gelap, saya dapat melihatnya, darah di sana sini,
berceceran, dan paling banyak, di sana itulah mengumpul
. .. ; ' & mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
di satu tempat, di atas tanah yang kerendahan ..., darah,
Tuan, darah anak saya darah si Amir, yang disiksa atau
dibunuh tiada tentu dosanya ...."


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi barangkali si Amir belum tewas, Mak!"
"Tapi ada kabar, Tuan, kabar yang mengatakan
mayatnya dibuang di kali, dan baru-baru ini saya tanyakan
kepada orang"orang yang baru pulang dari Onrus, si Amir
tiada ada di sana Bukankah itu sudah pasti?"
Saya termenung. "Tidakkah hal ini dilaporkan," tanya saya kemudian.
"Lapor Tuan" Kepada siapa" Orang"orang, benar ada
yang mengatakan harus lapor ke anu ke anu, menghadap
kantor ini kantor itu, tapi siapa yang pergi" Saya seorang
kampung, Tuan, tak tahu apa"apa, pangkatyang saya tahu
dan saya kenal hanya Bek, tapi Bek waktu itu, tuan Bek
yang patut dipintai tolong ia tidak ada, ia pergi, ia juga
dicari, rumahnya digedor, ia hilang..., ya Tuan,Tuan orang
pandai, orang pintar, orang banyak mengetahui, coba
terangkan, mengapa nasib kita sampai begini rupa ...?"
Kata-katanya sungguh hebat, kadang-kadang keras,
kadang"kadang rendah, dan dengan lancarnya.
Kemudian agaktenan g, "An ak saya kata orangpelopor,
tapi mengapa pelopor harus disiksa, harus dianiaya, harus
dibunuh" Saya kenal pimpinan pelopor di sini, ia orang
baik, rendah hati, baik budi, dan si Amir, Tuan, anak saya,
dia pun orang baik, saya berani sumpah! Tapi mengapa ada
orang yang menuduh"nuduh ia pernah membunuh orang.
Ya Tuhan, mengapa di dunia ini ada manusia dengki!"
Kata"kata terakhir meraung kepada Tuhan. Kemudian
hening seketika. Sedangkan matanya sudah mulai kering.
"Sesudah kira-kira sebulan dari waktu si Amir dibawa,
orang"orang itu datang lagi, katanya hendak mencari
kuburan. Kuburan siapa saya tak tahu. Mereka mencari
keliling rumah"rumah, menggali di sana mencungkil di
sini, tapi memang di sini tidak ada kuburan, di sini tidak
ada pembunuhan orang"orang merekaz) malah si Amir
yang dibunuh, ya, saya tak sangsi Tuan tentu si Amir telah
dibunuhnya. Jadi kerja mereka mencari kuburan di sini sia-
sia, tapi lalu rumah ini digeledah, dan kemudian diancam
akan dibakar. Karena itulah orang-orang tetangga saya
yang mendiami petak"petak ini pada mencari keselamatan
dirinya masing-rmasing. Mereka pindah, rneninggalkan
mak seorang diri. Mak juga disuruhnya supaya pergi, tapi
mak tak mau, mak sudah nekad, biar turut terbakar kalau
mereka hendakmembakarnya, biar makjadi abu daripada
hidup sengsara sebatang kara. Tapi Tuhan rupanya belum
mengizinkan, mak hingga kini masih hidup, yang hendak
membakar sampai sekarang tak datang"datang lagi, tapi
si Amir anak saya yang cuma satu-satunya, yang menjadi
harapan di kemudian hari, hingga kini tidak kembali ..., dan
saya yakin, ia sudah tak ada lagi di dunia. Karena itu, karena
saya yakin dalam hati, saya buatkan untuknya kuburan ...."
Terhenti sebentar. Kemudian, "Saya buatkan di
tempat darahnya yang sampai kini tak kering itu sebuah
kuburan, kuburannya. Salahkah saya" Sekarang hari
Lebaran, ribuan orang pergi berziarah ke pekuburan,
ribuan manusia menaburkan bunga dan wangi-wangian
di atas kuburan sanak keluarganya. Di manakah tempat
saya menaburkan bunga-bunga itu, untuk anak saya,
kalau tak ada kuburannya" Tuan, ribuan orang pada hari
ini membaca doa"doa di atas kuburan sanak familinya; di
manakah saya harus membaca doa untuk anak saya, kalau
tak saya buat sendiri, kuburan, di atas tanah tempat saya
membuat tempat untuk sekadar menaburkan bunga"
bungaan sebagai tanda cinta kepada anak" Saya cinta
kepada anak saya, Tuan, kepada si Amir, anak yang belum
pernah mengecap kenikmatan dunia selama hidupnya.
Zhang dimaksud serdadu nica
34 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Salahkah saya" Orang"orang banyak yang mengejek dan
menertawakan,bahkan ada diantaranyayang mengatakan
saya gila, dan Tuan juga barangkali mengatakan. Tapi
apa peduli saya dengan anggapan orang"orang itu, saya
takkan menghiraukan mereka, saya tak mengharapkan
pandangan orang, saya tinggal di siniTuan, hanya menanti"
nanti ajal datang ...."
Kata"katanya menghebat lagi, dengan lantang dan
kerasnya, meskipun di sana-sini masih terselip suara
rintihan kesedihan. Saya bermenung. Hampir tak percaya bahwa yang
berbicara di muka saya ini, perempuan tua yang tadi
tampaknya layu dan tak bergaya.
Hening lagi seketika, kemudian sekonyong"konyong
..., "Nah itu dia ...!"
Saya menegakkan kepala, memandang ke gang,
tampakdikelokjalan sejolimerpati,berjalan bergandengan
tangan. Yang laki-laki berpakaian setelan hijau seragam,
siap untuk berjuang, yang perempuan berkain baju serba
indah, maklum hari Lebaran. Yang lewat terus lalu, tiada
menengok kiri kanan, keduanya tampak riang gembira.
"Siapa itu, Mak?" tanya saya.
Mak Amir rupanya agak terdorong mengeluarkan
perkataannya tadi. Ia tidak segera menjawab. Saya ulangi,
"Siapa yangtadi itu, Mak?"
"Yang laki"laki, kami kenal juga, dahulu ia sering
kemari. Yang perempuan kalau Tuan hendak tahu juga, ia
bekas tunangan si Amir, bukan kehendak kami keinginan
bapaknya dan perempuan itu sendiri, tapi sekarang" Ya
Tuan, benar juga kata orang, "ada uang abang saya, tak
ada uang abang payah" ...!"
Saya mesem, kesedihan Mak Amir rupanya sementara
bertukardengan rasa kecewa hati.
"Dahulu dia tak mau dipinang oleh laki"laki itu, Tuan,
tapi sekarang, karena laki-laki itu sudah gagah dan beruang
ya, si Amir saja yang nasibnya buruk, tapi hal itu tidak
saya sesalkan benar, orang bersuami boleh memilih sendiri,
bukan" Dahulu tak mau sekarang mau, tentu ada sebabnya,
lagi pula si Amir sendiri pun, sekarang sudah tak ada, tapi
la tertegun. "Tapi apa, Mak?" desak saya.
"Tapi laki"laki itu, Tuan, saya tadi belum mengatakan.
Laki-laki itulah kata orang, meskipun saya mula-mula
sebenarnya tak percaya tapi kemudian melihat bukti. Dialah
Tuan, yang menunjuk"nunjuk di sini ada kuburan, padahal
tidak. Apa maksudnya" Si Amir jadi pelopor memang benar.
Tapi mengapa dituduh"tuduh melakukan pembunuhan.
Coba, Tuan pikir, apa keuntungannya buat dia" Kalau
ia ingin menjadi seperti ia sekarang, mengapa ia harus
mencelakakan orang lain?"
Ia terhenti lagi. Saya mesem untuk kedua kalinya. Dalam hati, "Tentu
saja ada untungnya, belum tentu ia dapat "bergandengan
tangan", kalau si Amir masih hidup."
"Mak!" kata saya. "Kalau benar si Amir tewas karena
khianat dia, tentu nanti juga ada balasnya. Tuhan lebih
mengetahui." "Tuan!" katanya tiba"tiba, "saya percaya bahwa di atas
kekuasaan manusia ada kekuasaan Yang Maha Kuasa, dan
pada suatu masa akan datang mengadili kebenaran, tapi
kalau saya mengenangkan anak saya, dalam hati timbul
sangsi, mengapa isila yang tidak pernah berbuat jahat
terhadap sesama manusia, lalu mendapat aniaya karena
perbuatan manusia, sedangkan laki"laki itu saya tahu
kelakuannya memang tak baik, juga melihat lagak lagunya
36 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
sekarang, sudah nyata ia pengkhianat, tapi hingga kini ia
dibiarkan Tuhan, hidup mewah, hidup senang, istri cantik
tak kurang uang. Mengapa demikian, Tuan" Tuan, Tuan
orang pandai dan tentu ahli agama, tunjukkanlah kepada
saya, di manakah sebenarnya letaknya keadilan Tuhan" ..."
Mak Amir memprotes Khaliknya, yang dapat
menyelesaikan tentu hanya "Mahkamah Tinggi", tapi
sekadar untuk mengurangkan gairahnya yang sedang
berkobar-kobar,sayajawabjuga,"Mak!"katasaya,"keadilan
Tuhan memang kadang-kadang sukar untuk difa hamkan. Si
Amir mati teraniaya, Mak melarat ditinggalkannya; dilihat
lahirnya Mak merugi berlipat-lipat. Tapi batinnya, yakni
hakikatnya Mak ini sebenarnya untung, mempunyai anak
meninggal di tangan musuh, semata"mata karena thahan
orang, ia masuk mati suci. Tuhan akan menyediakan tempat
istimewa di alam akhirat terutama pula kalau si Amir
memang selalu taat kepada agamanya."
Saya seperti kena pengaruh perkataan Mak Amir.
Terdorong saja saya berkata. Kemudian sebagai penutup,
"Lagi pula Mak, bukan kita saja, bukan si Amir saja yang
menemui nasib sedemikian, banyak lagi bilangannya, dan
tentang "kuburan" saya sengaja sebut lagi hal ini, "berapa
ratus, ya, berapa ribu pemuda kita berjuang di medan
perang, yang gugur dan yang tak tentu tempat kuburnya
"Tapi Tuan," tiba-tiba ia menyela, "kalau si Amir mati
dalam pertempuran, takkan mak ratapi, takkan mak sesali,
mak rela dan ikhlas, memang laki"laki mesti berani. Yang
menjadi sesalan karena ...."
Saya rela, "Dikhianati orang" Tapi kalau semua itu,
memang sudah demikian mestinya, karena suratan
tangannya ...?" Sengaja saya keluarkan perkataan ini sebagai
kata pemutus bicara karena saya merasa bahwa hari ini
sudah siang. Saya pun bangkit dari tempat duduk.
Mak Amir menahan dengan hasrat. Rupanya benar"
benar ke-intaan kepada anaknya, sudah dipindahkannya
sebagian kepada saya tapi saya harus pulang.
Sebelum melangkah, saya nasihati supaya Mak Amir
pindah dari pondok itu dan kuburan lebih baik dirombak
saja. Kata saya, "Kuburan si Amir tak usah berupa tanah
atau batu, kuburannya yang abadi ada di hati ibunya ...."
la tercengang, tapi meskipun ia tercengang saya yakin,
dalam hatinya ia mengerti.
Seminggu kemudian saya liwat lagi di tempat pondok
MakAmir. Gubugtua yang hampir roboh itu sudah tak ada,
dibakar serdadu"serdadu nica. Dan kuburan itu, "agak"
agak" sudah taktampak lagi. Hanya ada tanah bertaburan
di atasnya bekas digali. Dan Mak Amir menurut kata orang dibawa mereka
entahkemana, karena ketikaia disuruh pergimeninggalkan
pondok itu ia tak menurut, bahkan membantah dan
menemp eleng seorang serdadu yang memaksa menyuruh
pergi (tentu dalam keadaan gelap mata).
Jawa ara Perutku sudah terasa benar. Saubari, suamiku sedang
pergi memanggil dukun. Bukan pertama kali aku melahirkan. Anakku sudah
dua, (dengan ini akan tiga), tapi entahlah menghadapi
sekali ini, hati selalu diragu bimbang.
"Dukun ...," itulah senantiasa menjadi rentangan
pikiranku. Ada orang mengatakan, kalau tidak biasa, lebih baik
jangan. Tapi ada pula yang berkata bahwa dukun atau
bidan itu sama saja. Dukun yang berpengalaman kadang"
kadang lebih dari bidan yang terpelajar.
Aku mengerti. Dan mungkin benar pendapat orang yang akhir ini.
Mungkin selisih antara kedua ahli itu, terutama, hanya
dalam kebersihan. Dapatkah Mak Dukun memelihara kebersihan"
Pernah ia datang tiga kali. Sekali perkenalan, dua kali
mengurutperutku. Belumtua benar. Badannya kecil bersih,
lakunya sopan, tutur katanya menarik. Tapi di samping itu
semua, ia tetap dukun, dukun kampung yang tidak sama
umpamanya dengan nyonya M, bidan di Rumah Perawatan
Orang Bersalin di B, yang mengurus aku, waktu melahirkan
anak yang pertama; juga tidak pula sama dengan nona S,
bidan di P, yang pernah pula membidaniku. Mak Dukun
tetap Mak Dukun, dukun kampung yang kebetulan pula
mempunyai kebiasaan istimewa: Kalau datang, sebelum
bertemu dan berbicara denganku, dan kalau pulang setelah
minta izin padaku, tidak lupa menjenguk ke balik pintu
mengambil susurnya yang ditundanya selama berhadapan
dengan daku. Hal"hal kecil seperti ini, mungkin tak berarti, bukan
aku hendak melebih-lebihkan, dan bukan pula membuat-
buat, kalau aku mengatakan karena hal tersebut di atas,
sering timbul pertanyaan dalam hatiku, "Tidakkah nanti
Mak Dukun lupa membasuh tangannya, kalau hendak
menampani bayiku?" Dari Mak Dukun, tentu aku tak mengharap tangan yang
bersarung karet, tapi tangan yang dicuci bersih, rasanya
bukan tidak pada tempatnya, kalau aku menghendakinya.
Tapi ah, ini pun mungkin hanya kekhawatiran yang tak
beralasan. Mak bukun seorang dukun yang berpengalaman,
dan di kampung kami namanya sudah terkenal.
Apa boleh buat. Saubari sendiri menghendakinya.
Tiba-tiba timbul protes dalam hatiku. Benarkah Saubari
menghendaki" Artinya dengan rela hati"
Pernah ia berkata, "Ati, biarlah sekali ini, kita belajar
memakai dukun." Saubari kalau berkata"kata sering memakai perkataan
samar. Untung aku telah pandai "menangkap", dapat
segera memahami, bahwa yang dimaksudkan dengan
perkataan "belajar", sebenarnya "terpaksa".
Kampung kami jauh di luar daerah kota") Kalau
memaksakan mendatangkan bidan, ongkosnya terlalu
mahal. Dan ah, bukan itu saja, pernah aku sendiri datang di
salah satu rumah Perawatan Orang Bersalin, kutanyakan
berapa harus membayar kalau bidan dipanggil ke kampung,
kukatakan di mana aku tinggal. Salah seorang dari mereka
3 Kota pendudukan nina 40 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
menjawab, " Bayaran harus sekian, dan mau dipanggil hanya
kalau hari siang saja, kalau malam tak mau, katanya takut


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di ia memberi isyarat dengan gerak tangan di tentang
leher *") Ya Allah demikian anggapari mereka terhadap
penduduk kampung" Terlalu!
Rentangan pikiran melompat ke peristiwa lama. Tahun
'41Saubari belum bekerja. Kami masih ditunjang oleh orang
tua. Baharu zaman Jepang ia bekerja di salah satu kantor
Pemerintah. Tetap, sampai Pemerintah Republik berdiri.
Pada masa perang kemerdekaan. Saubari tetap bertahan,
aku dan anak"anak mengungsi. Daerah pedalaman diserang,
aku kembali ke dalam kota, tapi sudah dalam keadaan tak
punya apa-apa. Tempat dahulu sudah ditinggali orang.
Saubari tak dapat mempertahankannya, karena pengaruh
uang kunci, yang punya rumah mengatakan akan dipakai
sendiri. Semenjak itu hidup kamiterpaksa meminggir kota.
Dan Saubari hingga kinitidak bekerja, "maksudku ", tidak
mau kembali ke kantor dulu, yang kinitelah didukuki "nica".
Perutku makin terasa. Belakangku panas membakar.
Kubetulkan letak badanku, supaya enak sedikit. Tapi, alas
papan tempat tidur yang biasanya sudah takterasa apa"apa
sekarang menusuk"nusuk, tiap gerakan meremuk tulang.
Aku merintih kecil. Dan hati mulai memberontak lagi,
"Di papan itulah nanti anakku berbaring?"
Jam di rumah orang, tetangga di seberang jalan,
(tetangga yang tak pernah kenal), berbunyi sembilan kali.
Dan Saubari belum juga datang. Kecemasan dalam hati
tambah lagi, "Bagaimana kalau Mak Dukun tak ada?"
Aku sering mendengar hal orang melahirkan tidak
keburu oleh dukun atau bidan, tapi selamat juga, ya,
mungkin, kalau mereka banyak yang menjaga, keluarga
umpamanya,tapikalauterjadisepertidenganakusekarang"
Tuhan bukan aku tak percaya
4 Digorok Kupejamkan mataku. Dalam hati memohon kepadanya
jangan hendaknya terjadi yang demikian.
Entahlah! Apakah aku tertidur atau tidak, tapi seketika
aku membuka mata, tampak mula-mula Mak Saudah,
tetanggaku di belakang sudah berdiri saja, di sisi tempat
tidur, sambil menyapu-nyapu jidatku.
"Mak baru datang," katanya, "terus saja kemari, betul
saja tak ada orang, pintu tak dikunci, bagaimana kalau ada
orangjahat." "Ah biarkan saja Mak, tak punya apa"apa ini," jawabku
terdorong saja dengan tidak terpikir.
Selanjutnya ia menyesaliku mengapa aku tak
mengabarkan kepadanya, bahwa perutku sudah terasa.
"Kalau Mak tahu," katanya, "tentu tak jadi pergi
berjualan. Jangan begitu, kalau ada apa-apa kepada Mak
harus berterus terang."
Ia berkata sambil tak henti-hentinya membelai-belai
rambutku ke belakang, seperti laku seorang ibu terhadap
anak, yang sangat dikasihinya.
Mak Saudah, bukan keluarga, kenal pun belum lama,
tapi mengapa sebaik itu terhadapku" Pikiranku lalu
melanjut: barangkali memang ada dalam peri penghidupan
manusia sifat kebaikan; untuk sejumlah perempuan
hanya diwakili oleh Mak Saudah dan untuk laki"laki oleh
Saubari. Tapi mengapa orang yang bersifat demikian
hidupnya susah" Mak Saudah perempuan rajin bekerja,
bersih hati, suka menolong,dengan tidak pandang uang,
tapi hidupnya melarat; bem'iandi keringat sepanjang hari,
hasilnya tak mencukupi. Dan Saubari" Aku memuji Saubari, suamiku. Sebenarnya olehku
sendiri tidak terasa apa kebaikan Saubari, tapi Mak
Sa udah sering mengatakan: tidak kan dapat dalam seratus
42 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
seorang suami seperti Saubari. Sering aku tersenyum
kalau mendengar perkataan-perkataan Mak Saudah,
orang dusun, tak terpelajar tapi jujur, kata"katanya sering
menggelikan hati, tapi pula mengandung kebenaran.
Ia mengatakan tentang Saubari, suami sukar dicari;
kepadanya aku tak usah menyangka"nyangka hendak
mengambil-ambil hati, aku sendiri merasa; memang,
Saubari penyabar, tak pernah marah, sekalipun dimarahi,
ataupun kalau terpaksa marah, dalam bernasihat, tidak
pernah mengeluarkan perkataan yang menyakidcan hati;
terhadap anak istri tampaknya selalu sayang ya aku
harus mengakui dan sebagai istri tentu harus bangga,
tapi entahlah, entah karena kekurangan keinsafan
padaku, atau memang, kelebihan sifat Saubari di tentang
itu mengurangi keharusan di tentang lain, yang nyata:
aku berpendapat sekarang sesudah tahu pengalaman,
kelebihan Saubari yang bersifat demikian itu, tidak cukup
menjamin ketenteraman rumah tangga.
Mak Saudah menanyakan Saubari, kukatakan sedang
menjemput dukun. "Kalau demikian biar Mak pergi dahulu menyediakan
air dan apa"apa yang perlu."
Aku mengangguk. "Anak-anaktidurnya gelisah saja, sudah mak selimuti."
"Syukurlah!" kataku.
Mak Saudah pergi. Pikiranku merentang anak-anak.
Toto badannya makin susut saja. Kurus kehitam
hitaman, tinggal matanya besar-besar bundar. Tapi ia
sendiri rupanya tak merasa. Selalu riang. Memang Toto
anak yang dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya Tini,
benar badannya masih belum berubah, tapi cerewetnya,
bukan kepalang. Tahunya ada saja, kalau kemauannya tak
diturut sehari-harian kerjanya tak lain marah-marah dan
menangis. Rupanya kalau Toto hendak mengambil sifat
ayahnya, Tini ini ingin mengambil waris darahku. Anak tak
tahu diuntung! Di luar terdengar suara Saubari. Terasa dada lapang.
Mak Dukun masuk. Mulai meraba"raba perutku, tangannya
dingin, sebentar terasa bagai penawar. Pikirku: tangan
Mak Dukun baru dibasuh. la membenarkan letak tidurku, menanyakan ini itu,
kujawab dengan rintihan. Jam terdengar lagi. Kuhitung sepuluh kali. Terasa
benar kesunyian sekeliling. Di luar rupanya tenteram
damai. Hanya dalam kamarku saja orang"orang gelisah
resah. Mataku menembus genteng kaca yang ada di
tentang pembaringanku, tampak langit biru bening.
Aku tahu, malam itu malam terang bulan, dan kebetulan
tak turun hujan. Aku mengucap syukur dan merasa
keinginanku terlaksana: kalau aku melahirkan, minta pada
waktu terang bulan dan juga tak turun hujan. Kampungku
biasanya becek, oleh hujan sekali saja, sering-sering juga
terendam berhari"hari, kalau"ka lau nanti Mak Dukun segan
datang, dan ah, kasihan kepada Saubari. Dalam pada itu
pikiran terus melepas, teringatkan keluarga jauh, ibu di
pedalaman, adakah beliau mengingat aku"
Mak Saud ah kembali, mengatakan apa-apa yang perlu
sudah sedia. Kupegang tangannya dengan isyarat supaya
dekat"dekat padaku. Ah, mengapa hatiku tiba"tiba cemas
sedemikian" Aku merintih lagi.
Dengan merintih kadang"kadang kesakitan agak
kurang, dan dengan merentang-rentang pikiran kadang-
kadang kecemasan seb entar hilang.
Tapi tak selamanya. Sekali datang menghebat. Aku
mengeluh. Nafas berat. Keringat membasah seluruh
tubuh. Panas, gerah, tak tertahankan. Mungkin karena
bilik terlalu sempit. mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Dalam keadaan seperti itu terasa tangan Mak Saudah
tak berhentinya menyapu-nyapu mukaku, dengan kain
pengeringkan, sambil berkomatka mit, entah membacakan
doa apa. Mak Dukun tampak gelisah.
Memang, belum pernah aku sepayah itu. Pada
peristiwa"peristiwa yang sudah, biasanya mudah dan
lancar saja. Mungkin karena badanku lemah. Dahulu
selama mengandung itu tak pernah putus, dengan waktu
yang tentu memakan bubur kacang ijo, makanan yang
perlu untuk penguatkan badan, tetapi selama ini, aku
hampir tak pernah dapat. Terdengar lagi jam sekali. Setengah jam sudah lewat
pula. Tiba"tiba suatu desakan keras menghimpit. Tanganku
menggapai mencari pegangan. Sebelah memegangtangan
Mak Saudah sebelah berpegang pada besi tempat tidur
tentang kepalaku. Erat, erat sekali, seolah-olah hendak
memerasnya sampai hancur. Memang keinginanku ingin
menghancurkan Dalam pada itu kusatukan 'kekuatan,
kucoba kuhentakkan sekuat tenaga, tetapi ..., rupanya
belum waktunya. Hening sebentar. Semua kembali dan menanti.
Aku letih. Hendak menggerakkan sebelah tangan saja,
rasanya takberdaya. Terdengar bisik-bisik Mak Saudah, "Tahan Neng, tahan!
Memohonlah kepada Tuha n."
Memang aku memohon, memohon kerahiman-Nya,
supaya kesakitan dikurangkan supaya bayi lekas keluar.
Dalam pada itu membayang muka Saubari, sebab ialah
biasanya yang selalu memberi nasihat dengan serba
ke Tuhanan. Adakah ia tenang"tenang saja. Tiadakah
gelisah" Cemas" Dan adakah ia bermohon kepada Tuhan,
untuk keselamatanku" Aku merintih keras, seolah-olah
ingin terdengar oleh Saubari. Tidak! Tidak! Mengapa
ingin terdengar olehnya" Saubari tidak biasa mendengar
rintihan. Dahulu, kalau ia menengok aku di rumah sakit,
biasanya aku sudah bersih berpakaian rapi di tempat
pembaringanku. Tidak, aku tak ingin rintihanku terdengar
oleh Saubari. Tapi sekali ini, entahlah.
Satu desakan menyesak lagi. Lebih hebat. Aku bersiap
pula. Mulutterus merintih, tapi badan mengumpulkan lagi
kekuatan, dan dalam batin itikad, mesti, mesti, sekali ini
mesti Sekali lagi kusentakkan, tubuh kuciutkan, nafas
kutahan, sekali lagi itikad kubulatkan, harus, harus keluar
kalau tidak" Pemandanganku berkunang"kunang.
Aku serasa"rasa sedang melayang. Entah ke mana.
Tapi masih dapat mendengar sesuatu dalam hilang-hilang
timbul: suara Mak Dukun memerintah, derak tempat tidur
dan sayup"sayup bunyi jam di rumah orang entah berapa
kali kemudian hilang semua
Yang mula"mula menyelinap dalam ingatan: perasaan,
bahwa aku masih berbaring, dan yang terasa menyelinap
masuk telinga: tangis bayi keras membingar kemudian
berturut"turut suara yang makin jelas, aku merasa bahwa
ingatanku sudah kumpul kembali, tapi aku belum berani
membuka mata. Suara Mak Dukun, "Pantas sukar, kiranya
pendekar...." Ia mengatakan itu dengan lagu berolok"olok,
dan dengan suara yang menunjukkan kegirangan. Girang
karena lepas dari kekhawatiran dalam kecemasan.
Kemudian suara di luar, Saubari, entah dengan siapa,
rupanya menjawab pertanyaan, "pukul sebelas persis."
Dalam hatiku: pukul sebelas, laki-laki, selamatkah ia"
46 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Selamatkah aku" Ingin aku segera membuka mata, tapi
belum berani. Rupa-rupa saja sak wasangka yang meragu
hatiku, "Tidakkah ia cacat?" Aku ingat akan penderitaan,
selama ia dalam kandungan.
Kucoba perlahan"lahan membuka mataku: di sana di
tentang kakiku kiri ia berbaring dan ..., Ya Allah " segera
kututupkan lagi mataku, penglihatanku selintas pandang
itu kurentangkan dalam ingatan: "tidak, ia tidak cacat." Ia
bagus, hidungnya mancung seperti ayahnya ..., rambutnya
hitam lebat, dan benar ia laki-laki. Perasaan girang dan
bangga, sebentar meliputi jiwaku, "tapi segera aku
menutupkan mataku kembali, karena terkejut, "la, bayiku
masih berbaring, menangis, "belum dihiraukan oleh Mak
Dukun. Entah apa yang Mak Dukun dahulukan, tali ari"ari
belum dipotong, dan sekeliling kotoran"kotoran darah
Masya Allah, aku tak tahan. Belum, belum pernah, aku
melihat seperti itu ...."
Tiba"tiba terdengar suara Mak Dukun memanggil
Saubari. Aku masih memejamkan mata, tapi merasa bahwa
Saubari sudah ada di pintu, dan aku berseru, "entah
Terbakar Api Asmara 1 The Thrill Of Chase Karya Lynda Chance Tujuh Pembunuh 2
^