Pencarian

Yang Terempas Terkandas 2

Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga Bagian 2


dengan suara, entah hanya dalam hati, tak ingat lagi, tapi
aku merasa, merasa berseru setengah menjerit, "Saubari,
lihatlah, anakmu! Tidakkah nanti terjadi apa"apa Aku
sendiri merasakan kesakitan ini, rasanya tak terperikan
Teman akrab saya seorang guru. Ia mengajar bahasa
di sekolah lanjutan. Bercerita tentang seorang guru
sebenarnya tidak akan banyak, kalau yang akan saya
ceritakan itu hanya, "dia sebagai guru" atau mungkin pula
terlalu banyak, kalau hendak meneliti segala sesuatunya,
umpamanya saja tentang cara mengajar, bagaimana
pergaulannya dengan murid"murid dan teman sejawatnya,
ataupun tentang peri kehidupan sehari-hari.
Tapi itu bukan yang saya maksud.
Yang akan saya ceritakan ini, tentang dia berkenaan
dengan soal lain, karena di samping gemar mengajar,
ia mempunyai kegemaran lain pula yaitu: menulis dan
melukis. Tentang melukis, sebenarnya belum banyak yang saya
ketahui. Pernah ia membawa beberapa skets, lalu saya
perlihatkan kepada seorang ahli, yang mengatakan tidak
lebih tidak kurang, "baik, tapi cobalah berlatih, sering
berlatih." Karena anjuran ini rupanya, pada suatu hari ia datang
tergopoh"gopoh, seperti orang yang sudah kehilangan
sabar, berkata sambil bertanya diucapkan dengan
serentak, seperti peluru menghambur dari mulut mitraliur,
"Aku hendak turut berlatih! Di ruang lukis Affandi," (ketika
itu Affandi sedang membuka 'ruang lukis' di Jakarta).
"Engkau tidak turut" Mengapa tidak"! Tidak ada waktu"
Kesempatan baik, jangan dilakukan! Kita harus banyak
tahu! Penggemar sastra harus pula tahu seluk beluk
. .. ; ' & mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
tentang lukis! Aku ingin menyelami segala lapangan seni!
Tapi keesokan harinya ia datang lagi. Tidak ribut
seperti pada hari kemarinnya, berkata dengan tenang saja,
tenang, setenang"tenangnya, seperti air telaga di malam
sepi, "Aku tidak jadi turut. Belum ada waktu. Lagi pula,
mereka rombongan pertama sudah terlalu jauh, sudah
mulai dengan latihan "telanjang" sedangkan aku" ..."
Dan ia, "teman saya itu, menarik diri, katanya untuk
sementara. Tentang menulis pun, kalau hendak kita cari pada salah
satu penerbitan karya"karya sastra, sebenarnya belum ada.
Hasil kerjanya baru merupakan corat"coret yang belum
tentu, berupa cerita pendek yang tak pernah habis atau
seperti fragmen cerita, yang tak ada cerita panjangnya.
Tapi bahwa ia mempunyai minat dalam hal itu (menulis
cerita dan terutama cerita pendek), barangkali ada
benarnya kalau saya kemukakan apa yang saya uraikan di
bawah ini. Sekali ia datang. Ia memang sering datang. Dan
kalau datang berbicara itu seperti pula sifatnya dalam
hal menulis, dengan tiba"tiba tiada berujung berpangkal
seperti, "Ia berkumis."
Tentu saja saya rela, "siapa berkumis?"
"Muridku," katanya.
Dan lalu ia bercerita tentang seorang murid yang
tadinya jaditentara, kemudian kembali ke bangku sekolah,
karena dulunya memang masih bersekolah.
Dalam segala hal pelajaran tertinggal tapi sikapnya
baik dan mempunyai pengaruh, dapat memerintah teman-
temannya "kujadikan pemimpin kelas," katanya.
Kemudian ia menera ngkan tentangkeada an tubuhnya:
rambutnya ikal, jidatnya lebar, matanya selalu bersinar,
mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
"Tidakkah nama ini bagus" Bukankah baik untuk
nama sebuah cerita pendek, atau roman, atau nama hlm
sekalipun" Tidakkah akan menarik kalau nanti ada sebuah
film bernama "Karmela?"!"
Dengan maksud meredakan, saya sela, "Nanti dulu,
engkau ini biasa ribut. Nama ini nama apa atau siapa?"
Dan ia menjawab, "Nama muridku yangbaru."
Lalu sambut saya, "Ho"ho, cantik atau manis?"
Dan ia dengan suara bersungguh-sungguh, "Engkau
tidak boleh menanyakan tentang cantik atau manisnya
seseorang murid kepada guru. Itu terlarang. Bagi guru
semua murid cantik dan manis atau semua jelek."
Dan kemudian dengan suara naik, "Dan aku kemari
bukan hendak bertanya cantik atau manisnya seseorang,
tapi tentang nama, nama itu menarik hatiku, atau tidakkah
nama itu baik menurut pendapatmu?"
Dan dengan tak menambah ba atau bu lagi, juga
tidak menanti jawaban persetujuan, ia pergi tergesa"gesa
seperti ora ng takut ketinggalan kereta.
Dan pikir saya, "Segelisah itukah kalau ia sed angberdiri
di muka kelas?" Dua hari iatidak datang. Dua haritidak datang, padahal
biasanya sampai dua tiga kali sehari, tentu menimbulkan
pertanyaan dalam hati saya. Dan saya pun bermaksud akan
pergi ke rumahnya, kalau tidak dengan tiba"tiba, datang
kiriman, dibawa oleh seorang anak, berisi cerita, yang
ya, seperti biasa tidak berujung, tidak berpangkal, juga
tidak bemama, di samping sana sini masih penuh corat-
coret p erb aika n. Ketika aku turun ke halaman, dengan maksud
berjalan-jalan sebentar, tiba-tiba dengan tidak diketahui
dari mana datangnya, seorang perempuan berkerudung
masuk, menguakkan pintu pagar pekaranganku dan lalu
menghampiriku. Waktu itu baru saja habis magrib, lampu di ruang
muka sengaja aku padamkan, sehingga keadaan sekeliling
meskipun belum gelap benar tapi tidak pula dapat
dikatakan terang, dan bagaimanapun aku berusaha
hendak mengenali muka perempuan itu sia-sia belaka.
Aku bukan penakut, tapi entahlah menghadapi dan
melihat sikap orang yang ada di hadapanku ketika itu,
sekalipun hanya seorang perempuan saja, aku harus
mengakui bahwa napasku tak bebas lagi, badanku agak
gemetar dan tegakku mulai gelisah (engkau tahu loron
di muka rumahku itu lorong sunyi, jauh dari jalan ramaiE
dan kegelisahan initidak berkurang, ketika perempuan itu
mulai berkata dengan penuh kepastian, "Maafkan Andi,
aku hendak berbicara sebentar kepadamu."
Aku terpaku. Sesaat kehilangan pikiran. Ingatan pertama setelah
merasa semangatku kembali, akan membantah panggilan
nama yangdiucapkan oleh mulutperempuanyang lancang
itu. "Andi " Siapa Andi?"
Mulutku sudah akan terbuka, tetapi sesuatu perasaan
menahan:Andi",ah ya,memangpernahjuga aku bernama
demikian, ketika aku masih kecil, tapi nama itu sekarang
tak pernah kupakai lagi. Dan mengapa keluar dari mulut
perempuan yang sama sekali tidak kukenal"
Dalam pada itu, selama aku meraba"raba dalam serba
ragu dan samar rupanya perempuan itu terus saja berkata
dan pada saat aku memperhatikan dengan sungguh,
kiranya sudah melampaui beberapa kalimat, "... memang,
kalau kita hendak menyalahkan, semua ini kesalahan
orang tua kita, tapi baiklah, tak usah kita membawa-b awa
mereka, yang kini sudah tidak ada lagi di dunia. Maksud
mereka baik. Ingin melihat kita berdua berbahagia, dan
menurut hitungan mereka tidak ada jalan lain yang lebih
baik, daripada mempertemukan kita, menjadi suami istri.
52 ._1_ mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Kita dipertemukan dalam keadaan masing"masing
engkau dan aku, sebenarnya belum bermaksud hendak
hidup berumah tangga. Ya, aku tahu semua ini Andi,
setelah engkau pergi, setelah engkau rneninggalkan aku.
Sebelum itu aku percaya bahwa engkau berkehendak
sungguh, maksudku: engkau memperistriku dengan
keinginan hati yang murni, karena itu, meskipun dari
pihakku sendiri waktu itu belum ada niat, aku kabulkan
juga permintaanmu. Belakangan ternyata, engkau berbuat demikian itu
semata-mata hanya hendak menyenangkan hati ibumu."
la terhenti sebentar. Dalam pada itu pikiranku yang sudah mulai mengikuti
ceritanya dengan saksama, mau tak mau harus
membenarkan, dan mau tak mau harus pula mengakui,
bahwa perempuan yang berdiri di muka itu: perempuan
bekas istriku. Tapi keragu-raguan terus merajuk: Benarkah ini"
Mungkinkah ada perubahan"
Pertanyaan ini timbul, karena istriku dahulu itu
sebenarnya tidak memper (kecuali suara yang pula
sebenarnya meragukan) dengan orang yang kuhadapi
sekarang. Istriku seorangpemalu, seorangyangtakpernah
berani mengemukakan pendapat dengan terang"terangan
dan hal inilah pula salah satu sebab, yang pernah menjadi
kebencian atau,"baiklah kulunakkan perkataan ini sedikit
", yang pernah mengurangi kecintaanku kepadanya.
Padahal perempuan yang tegak berbicara di mukaku
ini dalam sikap dan tindaknya sangat berlainan dengan
istriku dahulu itu. Dan sebagai hendak mencari bukti yang nyata dengan
tidakkuinsaH pandanganku dalam pada itu memperhatikan
mukanya dalam cahaya suram"suram, yangtentu tak dapat
terlihat jelas, dan kalau aku ketika itu merasa melihat
parasnya pucat, mungkin hanya penglihatan batin saja.
Dan ia, yang rupanya juga merasa bahwa aku mencoba
menembus dengan pandangan tajam ke arah mukanya,
sambil membetulkan kerudungnya yang ketika itu sudah
terkulai hendak terbuka, ia berkata, "Jangan Andi. Jangan
engkau mencoba memandangku demikian. Aku sudah
tua, lebih tua dari yang kausangka. Siapa yang akan
mengira bahwa aku bekas istrimu. Aku layak jadi bibimu,
bahkan ibumu, ya ibumu, ketika beliau meninggal tidak
lebih tua daripadaku sekarang. Tuhan rupanya dalam hal
kita berdua ini telah membuat perbedaan. Aku lekas tua
padahal engkau tetap muda ...."
la terhenti lagi seb entar.
Kesempatan sesaat ini kusela dengan ajakan supaya ia
mau duduk di serambi muka. "Bercakap"cakap lebih baik
sambil duduk," kataku.
Tapi ia menolak dengap berkata, "Tidak Andi, aku
berbicara sebentar saja." Dan ia pun meneruskan dengan
suara mulaitenang, "Sebenarnya apa perlunya kita bangkit"
bangkit lagi peristiwa lama. Yang sudah tinggal sudah, tak
ada faedahnya baik untuk kau maupun untukku. Itulah
pikiranku mula"mula. Tapi kemudian aku insaf, sekali akan
datang masanya: engkau harus mengetahui dan aku harus
memberitahu...." la menarik napas panjang, "Yang kumaksudkan ini,
hal anak kita."' la tertegun. Dan aku terperanjat. Kalau
tadi dengan suka rela aku mengakui bahwa perempuan
yang berbicara di mukaku itu istriku, atau bekas istriku,
sekarang aku berontak. "Anak" Anak siapa?"
Sedangkan perempuan itu menjawab dengan sesalan,
"Tidakjauh dari sangka. Engkau tak hendak mengakui dia.
54 ._1_ mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Memang dalam hal ini pun akulah yang bersalah, karena
aku tak pernah memberitahukan padamu. Ketika engkau
pergi dengan tiba"tiba itu ayah marah, mengatakan tak
sudi mengakui engkau sebagai menantu. Kepergianmu
dengan cara demikian itu dianggapnya suatu penghinaan
keluarga yang tak boleh diampuni."
Aku membantah, "Tapi, coba renungkan! Apa
sebabnya aku rneninggalkan engkau dengan cara seperti
katamu: "demikian," itu?"
Dan ia menukas, "Mungkin Andi, mungkin. Mungkin
akulah yang membawa kesalahan ini mula-mula. Karena
pernah aku marah kepadamu, keluar dari kesopanan
seorang istri terhadap suami, ini mungkin anggapanmu ",
tapi coba rasakan, termpatkan perasaanmu laki"laki pada
perasaanku perempuan, kalau suatu waktu, tengah malam
mendengar sang suami dengan mertua, anak dan ibu,
berselisih kata dan menyatakan suami itu kepada ibunya,
ia mau beristri, sebenarnya karena terpaksa meluluskan
kehendak ibunya, dan bukan kemauan sendiri ...."
" Kusela, "Tidakbenar, tidakbenar! Aku pergi itu karena
hendak meneruskan sekolah!"
Sedangkania melanjutkan dengan seolah"olahtakacuh
akan jawabku, "... dan semua ini aku harus mendengarnya.
Dengan telinga sendiri. Aku, yang ketika itu, ya aku berani
sekarang mengatakan di hadapanmu terus terang: bahwa
aku ketika itu telah merasa berbahagia mencintaimu
sepenuh hati, meskipun sebelum tak pernah. Dan aku
telah merasa bahwa badanku sudah mulai berubah. Sudah
terasa-rasa akan menjadi ibu kemudian harinya. Dan
pada saat itu benar, sebelum aku sempat mengabarkan
hal keadaan diriku kepadamu, pada malam sunyi senyap,
aku harus mendengar suatu ucapan dari mulut suamiku,
yang tak pernah ada dalam dugaan sebesar butir beras
sekalipun. Salahkah aku Andi, kalau pagi harinya aku pergi
meninggalkan rumah kita dan tak mau kembali ketika
engkau menyuruh ibumu menjemput aku?"
Dan dengan suara agak merendah, seakan"akan hanya
kepada dirinya sendiri. "Dan karena itu engkau pergi, meninggalkan kesan
seolah-olah akulah yang bersalah. Engkau pergi dengan
tidak berkabar dulu kepada ayah. Juga tidak pernah
engkau berkirim surat, bahkan kepada ibumu sendiri ketika
itu engkau masih berahasia tentang tempat tujuanmu
pergi. Salahkah ayahku, kalau beliau marah sejadi"jadinya"


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disuruhnyaakupergimengadukanhalmukepadapenghulu.
Dan minta keadilan. Minta supaya aku diberinya saja surat
cerai. Penghulu mula"mula tak mengabulkan. la membela
engkau dengan mengatakan belum bersalah untuk
diambil tindakan serupa itu. Disuruhnya aku menunggu
dengan sabar. Tapi ayahku memaksa, dan engkau tahu
bagaimana pengaruh ayahku di kampung kita. Entahlah
apa yang dibuat penghulu setelah itu, aku tak tahu, tapi
beberapa bulan kemudian dengan perantaraan ibumu aku
terimajuga surat ceraiyang sah daripadamu. Tapi ini tidak
membuat baik ayahku. Bukan itu yang sebenarnya beliau
kehendaki. Tapi surat permintaan maaf dari padamu,
surat yang menyatakan benar engkau bersalah dan akan
kembali. Tapi itu tidak ada."
Dan aku menjawab, "Aku pernah mengirim surat
berkali-kali, tapi surat itu selalu kembali."
"Ya, setelah engkau mengirimkan surat cerai, ketika
ayah masih dalam kemarahan. Surat"surat itu tak boleh
kubuka, harus dikembalikan seketika itujuga."
"Aku mengirimkan surat cerai, karena desakan ibuku,
karena ayahmu sangat meminta."
Dan ia menukas dengan tegas, "Jadi sama alasannya
dengan: engkau memperistrikanku, karena meluluskan
keinginan ibumu?" 56 ._1_ mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Penjelasan itu tidakkujawab, melainkan kukemukakan,
"Tapi belakangan aku menyesal, aku insaf, bahwa hal
itu sebenarnya belum kutimbang masak"masak. Karena
itu aku menyusulnya dengan surat berulang"ulang yang
bermaksud akan mencari penyelesaian, supaya kita berbaik
kembali, tapi selalu surat"surat itu kaukembalikan."
Ia tidak menjawab. Dan kesempataninikupergunakan untukmengelakkan
tuduhannya, "Jadi ternyata bukan salahku, kalau setelah
itu aku tak pernah lagi hendak tahu"menahu tentang
keadaanmu." Dan ia dengan suara naiklagi.
" Bukan tentang aku, kita sudah bercerai, berarti sudah
tak apa"apa, sudah orang lain, tapi yang kumaksudkan
di sini, tentang anak kita, aku tak pernah memberitahukan
hal itu kepadamu, karena dilarang ayah."
"Tentang anak kita, ya, aku hampir tak percaya, bahwa
kita telah mempunyai anak. Aku sebenarnya masih ragu.
Akalku hampir tak menerima. Adakah sesuatu rahasia
dapat tersimpan sampai sekian lama" Dan sekali aku
pernah datang ke kampung kita ketika ibu meninggal, tapi
tidak ada orang yang bercakap tentang itu.
"Engkau memang pernah datang, hal ini aku pun
tahu. Ah jangan engkau menyangka bahwa aku tak mau
menghiraukan tentang peristiwa kehilangan ibumu. Aku
pun berhari"hari menunggui beliau, tetapi ketika ada kabar
engkau akan datang, telah ada di stasiun, aku disuruh
segera pulang oleh ayahku. Dan memang pekerjaan pun
yang mengenai tentang sesuatu berkenaan dengan ibumu
telah selesai. Ya, memang engkau pernah datang tapi
terlambat,(akutahuinidariorang"orangku) engkau datang
ketika ibumu telah beberapa jam tertanam. Dan engkau
hanya semalam saja, menginap, keesokan harinya engkau
pergi lagi, dengan tak pernah menanyakan ini itu kepada
orang"orang keluargamu. Dan kalau mereka tak berkata
tentang yang mengenai anak kita kepadamu mungkin
ada yang takut kepada ayahku, tapi menurut keya kinanku
disebabkah pula karena engkau tidak pernah bertanya hal"
hal yang mengenai kekeluargaan kepada mereka. Engkau
telah menjauhkan diri Andi, dari sanak keluargamu, karena
engkau mungkin merasa lebih terpelajar, padahal mereka
hanya orang kampung yang tak tahu apa"apa. Tidakkah
engkau berpikir demikian ketika itu Andi" Kalau sekiranya
engkau datang ketika ibumu masih hidup, hal ini takkan
terjadi seperti sekarang. Ibumu, tentu takkan membisu
seperti sanak keluargamu, yang berani membuka mulut
hanya kalau ditanya saja."
"Tapi," tukasku dengan tak sabar, "di samping itu
semua mereka, ya, ayahmu dan ibuku, selalu hendak
turut campur dalam hal urusan orang berumah tangga.
Itulah yang tak kusetujui. Tidakkah terjadinya hal yang
sebenarnya tak usah terjadi ini karena mereka, baik ibuku
maupun ayahmu selalu ingin ...."
Tiba-tiba ia menukas, "Telah kukatakan Andi. Kalau
kita hendak mencari pangkal mulanya kesalahan, tuduhlah
orang tua kita, dan terutama ayahku, tapi sekarang
mereka sudah tak ada, padahal ini sudah terjadi, apa
yang hendak kita sesalkan" Dan kalau engkau ingin tahu,
perlu rupanya kuterangkan di sini, tentang ayahku, yang
dahulu marah sejadi-jadinya kepadamu, seolah-olah
hendak menerkam kalau engkau ketika itu ada, tapi ketika
beliau hendak berpulang padahal beliau sedang keras-
kerasnya sakit, sengaja aku dipanggilnya, semata"mata
hanya untuk mengatakan bahwa beliau merasa bersalah
atas perkawinan kita yang tidak membawa bahagia ini;
beliau menyuruh mencari engkau sampai bertemu, untuk
menyampaikan penyesalannya dan mempertemukan
anak kita. Dan sebenarnya, setelah ayah meninggal, aku
pernah berkirim surat menurut alamat yang ada pada
. .. ; ' & mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
ibumu dahulu, tapi surat itu berkali"kali kembali dengan
pernyataan "tak dikenal". Di samping itu pernah juga
aku minta tolong kepada seorang keluarga dari pihak
ibumu, supaya mencarikan engkau, tapi juga sia"sia. Aku
putus asa, tak hendak berusaha mencari lagi. Anggapan
dalam hati sudah bulat: engkau sudah tidak ada, dan
Karmela tidak berbapak. Pikiran putus asa ini mungkin
pula ditimbulkan oleh kesedihan yang datang bertubi"
tubi, ibuku yang dalam hal ini bersikap netral, Andi, jangan
kaubawa-bawa ibuku ini, hanya sebulan saja antaranya
dari waktu ayah berpulang, rupanya beliau pun lebih baik
beristirahat daripada menyaksikan keadaan kekacauan
seperti yang kita alami ini. Beliau pun meninggal karena
banyak menderita ...."
la terhenti lagi sebentar. Kemudian dengan lagu suara
sebagai memutuskan, "Tapi marilah, kita lupakan saja
apa-apa yang telah terjadi dengan orang-orang tua kita.
Sekarang kita pikirkan masa depan, untuk kebahagiaan
anak kita, untuk Karmela."
"Karmela?" terlompat pertanyaan dari mulutku
dengan tak kuinsah lebih dulu.
"Ya Karmela, kunamai anak kita Karmela. Neneknya,
ibumu, akan menamainya Siti Aisah, dan ibuku
menyuruhnya supaya aku memberikan nama Siti Khadijah,
kedua-duanya kata mereka istri Nabi kita, mudah-mudahan
menurun kebaikannya. Tapi aku bermaksud memberi
nama yang lain." "Nanti," tukasku, "aku masih bingung Karmela siapa"
Engkau sudah dua kali menyebut-nyebut nama itu."
Dan ia dengan suara seperti kesal, "Karmela, Karmela
muridmu. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Karmela
muridmu itu anakmu, atau tidakkah ada sangka-sangka
bahwa ia darah dagingmu" Ah, terlalu! Karmela anakmu
Andi, hakmu! Tuhan telah mentakdirkan rupa Karmela
seluruhnya mengambil rupamu. Tidakkah kauketahui
bahwa jidatnya, telinganya, hidungnya, hingga suaranya
pun hampir menyerupai suara engkau?"
Kunamai dia Karmela. Aku percaya engkau akan
setuju, karena nama ini nama peninggalanmu. Sekali
kebetulan aku membuka-buka buku catatanmu. Kudapati
nama"nama tertulis berjejer, entah apa ma ksudmu menulis
nama"nama seperti itu, di antaranya: Karmela, Kornelia,
Klara dan banyak lagi. Dan aku pilih nama Karmela.
Kebetulan Karmela dilahirkan hari Kamis. Nama-nama itu
aslinya pakai huruf C saya ga nti dengan K, tetapi kemudian
Karmela sendiri baru-baru ini menulis namanya dengan C
lagi. Anak-anak sekarang memang banyak tingkah ...."
Hening seketika. Kemudian, "Demikianlah Andi kehendaki Ilahi. Ayah
dan anak harus bertemu dengan tidak disangka"sangka
bukan" Padahal aku pernah mencari engkau dengan
sengaja berbulan"bulan, bahkan berbilangtahun.
Tadinya aku curiga; aku akan pergi dari sini Andi,
pergi jauh. Tiba"tiba Karmela tak mau ikut. Ia berkeras
ingin tinggal di sini saja, katanya akan bersekolah.
Demikian rupanya tarikan darah, tali gaib telah mendahulu
menghubungkannya, padahal Karmela sendiri tahu
siapa engkau, dan kiraku belum juga ada sangka-sangka
bahwa engkau ayahnya. Tapi dengan penuh kepastian ia
memutuskan akan tinggal di sini, karena akan bersekolah
di sekolahmu. "Aku tak akan turut ibu, kirimi uang saja
secukupnya," katanya. Tindakan yang tak disangka dari
semula, tapi sebaliknya sekarang aku merasa lega, dadaku
merasa lapang, meninggalkan anak pada seorang yang
lebih wajib. Kukatakan lebih wajib, mengingat masa
depan. Apabila sampai waktunya ia bersuami, bukankah
bapaknyalah yaitu engkau yang harus menjadi "wali?"
Satu hal yang telah kujanjikan dalam hati, apabila sampai
60 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
waktunya ia dewasa, tidakkah aku akan mencoha"coba
ikut campur dalam hal kemauannya" Bukankah demikian
Andi. Peristiwa yang sudah terjadi mengenai kita biarlah
kita buat sebagai pedoman di masa depan dan kenang"
kenangan masa yang silam.
Kutumpangkan Karmela di sini pada orang tua
temannya. Biaya sekolahnya telah kuserahkan buat satu
tahun, pendeknya sesuatunya telah selesai. Tinggal
pertimbangan bagaimana baiknya. Akan kaubawa Karmela
bersama-sama dengan engkau, itu rasaku lebih baik. Engkau
dapat menyelesaikannya sendiri nanti, dengan orang yang
akan ditumpanginya. Akan kaubiarkan saja ia menumpang,
itu pun tak ada salahnya. Tapi mengingat engkau diam
sendiri " aku tahu tentang halmu, dari orang yang akan
ditumpangi Karmela, yangtemyata kenal baik dengan kau,
dan mengatakan tahu benar tentang kea daan"keadaanmu
di antaranya engkau katanya seorang guru yang baik budi,
dan sampai kini tak mau beristri, dan banyak-banyak lagi.
Dan mengingat engkau belum beristri itulah, sebaiknya lah
Karmela engkau ambil di rumahmu. Karmela telah pandai
sekadar masak saja, telah kuajari semenjak ia mengerti
akan pekerjaan, jadi tak usah engkau khawatir dia akan
menyusahkanmu. Selanjutnya engkau lebih tahu, engkau
guru, lebih mengerti cara-cara berkenaan dengan anak ...."
Ia berhenti pula sejenak, kemudian dengan suara yang
lebih perlahan, "Dan besok aku akan berangkat."
Dengan gugup aku berkata, "Dan engkau Rakhmi, aku
hendak mengetahui tentang engkau."
Dan ia kembali tegak, "Aku" Perlukah kauketahui" Tapi
baiklah. Salah juga, kalau aku tak terus terang tentang
halku. Aku sudah bersuami lagi Andi, meskipun pernah
berjanji dalam hati tak akan kawin lagi. Suatu ketika
berubah niatku, ini pun karena aku hendak menyenangkan
orang yang pernah menolong jiwa Karmela, karena aku
merasa berhutang budi. Ah engkau tak tahu bagaimana
keadaan kampung kita di masa yang baru lalu ini. Rumah
peninggalan ayah habis dibakar militer Belanda. Memang
hampir seluruh kampung kena bencana ini, karena pernah
tempat itu dipakai markas tentara kita. Yang tinggal hanya
beberapa buah rumah saja di antaranya rumah peninggalan
ibumu. Menurut kabar, pamanmu yang menyelenggarakan
sekarang dan diuntukkan nanti buat Karmela. Jadi Karmela
masih ada mempunyai sesuatu peninggalan neneknya,
ibumu. Tapi aku" Harta bendaku tak ada yang tinggal
sehelai benang pun. Dan kalau dipanjangkan umurku,
hingga berumah tangga, kelak, aku hanya akan menjadi
bebannya. Kalaupun ia berbahagia hidupnya. Memang
sewajibnya anak memelihara ayah bundanya di hari tua
mereka, bukan" Tapi kalau umpamanya dia seperti aku ..."
Itulah Andi, karena aku merasa sebatang kara, tak
mempunyai orang tua lagi, tak bersaudara, tak punya
apa"apa selain badan sekujur, tinggal anak seorang, yang
belum tentu peruntungan nasibnya. Karena mengingat itu
semua, aku tidak menolak ketika orang yang kini menjadi
ayah tiri Karmela meminta aku jadi istrinya. Kecuali itu
seperti kukatakan tadi, aku merasa berhutang budi
kepadanya, berat rasa hati untuk tidak mengabulkannya.
Coba engkau bayangkan: waktu kami dalam
pengungsian di suatu tempat, tiba-tiba Kam'iela sakit,
sakit keras. Padahal semua pengungsi pada saat itu harus
pergimeninggalkan tempat menurut perintah. Bagaimana
tak akan kacau dan risau hatiku menghadapi semua ini.
Mengharapkan pertolongan orang lain. Dari siapa dan
apa yang diharapkan dalam kekacauan serupa itu" Tiap
orang hendak membawa dirinya masing"masing. Tak ada
kesempatan untuk menghiraukan keadaan orang lain. Dan
di saat serupa itulah tiba-tiba Tuhan mengirimkan seorang
62 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
malaikat untuk menolongku, untuk menolong Karmela
yang ketika itu menurut dugaanku, melihat keadaannya,
tak dapat diharap akan hidup lagi. Seorang muda datang
menjadi tempat bergantungku. Tak segan"segannya ia
menggendong-gendong Karmela yang sedang sakit keras
itu selama mencari tempat aman, dari suatu kampung
ke kampung lain, berhari-hari hingga berminggu-minggu
dalam perjalanan yang seolah"olah tak tentu yang dituju.
Padahal akhir"akhirnya terpaksa juga orang"orang kembali
lagi ke kota, karena rupanya taktertahan lagi menanggung
penderitaan yang senantiasa mengejar"ngejar tak henti"
hentinya. Kami pun akhir"akhirnya sampai di kota Cirebon,
yang ketika itu telah menjadi daerah pendudukan


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belanda. Kebetulan ketika kami masuk kota itu, keadaan
suasana sudah mulai aman, jadi tak banyak lagi kesukaran"
kesukaranyang harus kami alami. Dengan pertolongan dia,
0 ya, belum kusebutkan bahwa orang yang menolongku
itu bukan bangsa kita. Ia kelahiran India, beragama Islam,
menamakan dirinya Abdul Karim, entah namanya yang
asli, hingga kini ia belum mengatakan kepadaku. Ia bekas
anggota tentara Inggris yang dalam permulaan revolusi,
setelah peristiwa Surabaya, katanya ia menggabungkan
diri dengan Laskar Rakyat, dan kemudian ikut bergerilya
berbulan"bulan di pegunungan. Ia terpaksa meninggalkan
dahulu pasukannya dengan izin pemimpinnya untuk
memasuki kota, pertama ia sakit"sakit saja, hendak berobat
dahulu, di samping itu membawa tugas untuk menyelidiki
keadaan dalam kota. Untung ketika kami memasuki Cirebon itu, Abdul
Karim dapat menyamarkan dirinya dengan tidak dicurigai
militer dan kami, aku dan Karmela, tertolonglah.
Karmela dimasukkan di rumah sakit, sampai sembuh.
Aku ditumpangkannya pada seorang saudagar teman
Abdul Karim selama menanti"nanti Karmela. Dalam pada
itu rupanya berangsur-angsur keadaan suasana mulai
berubah. Abdul Karim mengatakan bahwa telah tercapai
persetujuan antara Belanda dan para pemimpin Indonesia.
Kedaulatan telah diserahkan.
Dan pada suatu hari ia berkata, "Sampai inilah
sumbanganku terhadap bangsamu, Rakhmi. Kalau aku
mau sebenarnya aku akan diangkat oleh pemimpinku
dahulu, yang sekarang sudah berkuasa di sini dalam
jabatan ketentaraan. Tapi aku menolak. Aku sekarang akan
memikirkandirikusendiridanmasadatang.Akusebenarnya
bukan turunan darah tentara. Keluargaku semuanya
saudagar. Dan kalau aku pernah memasuki ketentaraan,
ini memang telah dimaksud semenjak meninggalkan
tanah air kelahiranku, dengan melalui kesempatan masuk
dalam ketentaraan pemerintah Inggris, sebenarnya akan
membantu perjuangan bangsamu."
Demikianlah katanya. Entah benar entahtidak, tapi aku
percaya akan kata-katanya itu. Akhirnya ia mengatakan
maksudnya kepadaku. Jadi temyata Andi, suruhan
Tuhan yang kusangka malaikat itu, sebenarnya manusia
biasa, mempunyai keinginan dan kehendak. Dan aku tak
kuasa menolaknya, karena terikat oleh budinya. Pernah
sebenarnya kutolak dengan alasan aku akan kembali ke
kampung dan belum berniat bersuami lagi. Kukemukakan
juga bahwa perkawinan itu mungkin tidak baik akhirnya
karena ia lebih muda daripadaku. Sebenarnya anggapan ia
lebih muda itu hanya perasaan saja. Andi, belakangan aku
tahu ia seumur denganmu. Jadi kita bertiga sebenarnya
sebaya. Tapi pengalaman mengatakan tidak baik orang
bersuami istri sama usia. Ah, Andi, aku menuduh kegagalan
perkawinan kita, di samping masih muda, disebabkan pula
karena kita berumursama.Tidakkah engkau merasa bahwa
engkau dahulu selalu canggung berhadapan denganku
dan aku selalu merasa malu kepadamu" Padahal ketika
kecil kita teman sepermainan, bukan itu saja, perhubungan
keluarga masih terlalu dekat karena nenekmu, nenekku
. .. ; ' & mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
pula. Sedangkan setelah bertahun-tahun kita berpisah, ketika
bertemu harus terikat dengan syarat perkawinan. Tidakkah
heran kalau antara kita, engkau dan aku ketika itu belum ada
perasaan kasih sayang yang bersifat suami istri. Aku tak akan
menuduh engkau tidak pernah cinta kepadaku Andi, aku
hanya berkeyakinan bahwa rasa cintamu dan cintaku, tidak
bertemu di satu tempat, juga tidak pada suatu saat ...."
"Rupanya engkau telah banyak mengetahui, Rakhmi,"
kataku. Dan ia menjawab, "12 tahun lamanya kita berpisah.
Waktu yang sekian itu telah membuat aku dewasa. Aku tidak
pernah membaca-baca buku seperti engkau tapi pengalaman
telah mengajarku di antaranya: ketika aku kawin denganmu,
aku tak cinta kepadamu, karena perasaan bersaudara. Tapi
setelah berbulan-bulan kita berumah tangga aku mencintaimu
sepenuh hati. Tapi lalu aku engkau tinggalkan. Dan aku
menangis meratapi nasib. Dunia rasanya sempit dan aku ingin
segera mati saja. Kemudiantimbulbenci, berbulan-bulan aku membencimu.
Dantahukahengkau apayangkubuatpada saat"saatdemikian.
Aku meminta kepada iblis, supaya engkau dapat bencana.
Tapi di alas kekuasaan iblis ada kekuasaan yang Maha Kuasa,
dan engkau ada di bawah lindungannya."
Kepada orang yang kini telah menjadi suamiku pun, aku
tak merasa cinta. Aku anggap ia penolong dan pemimpin di
saat pada masa aku ditimpa malapetaka. Kalau nanti akan
terjadi peristiwa seperti engkau: mencintai sepenuh hati,
kemudian ditinggalkan, aku tak akan menangis lagi, tak akan
meratap-ratap minta pertolongan iblis, aku tak membenci dia.
Akan kuterima semua ini dengan senyuman. Dan inilah yang
kunamaipengalaman,tapiah,"tiba"tibaia mengalihlagisuara,
"aku melantur, marilah kuteruskan ceritaku sampai selesai."
Dan ia pun menyelesaikan ceritanya. Dalam pada itu
keadaan sekeliling sudah bertambah gelap. Yang tampak
olehku tentangnya, tinggal sosokan tubuh yang samar"samar.
"Jadi Andi," ia mulai, "Aku sudah berumah tangga lagi.
Ternyata Abdul Karim dapat bergaul dengan orang"orang
ternama dan saudagar-saudagar besar, karena itu hidupnya
(dengan sendirinya hidupku) meskipun tidak mewah, boleh
dikatakan cukup, padahal ia ketika itu belum memegang
pekerjaan yang tetap. Karmela dimasukkan sekolah, tapi
terpaksa mengulang lagi di kelas 6, karena keterangan
Surat tamat dari Sekolah Rakyat hilang dalam pengungsian.
Meskipun demikian ia telah pandai juga sedikit-sedikit
berbahasa Inggris, karena selalu di rumah disuruh belajaroleh
ayah tirinya. Baru saja Karmela lulus SM, baru-baru ini, tiba-
tiba Abdul Karim mendapat telegram dari tanah airnya, harus
pulang dengan segera. Kesempatan ini kupergunakan untuk mencari jalan supaya
dia dan aku bercerai saja. Aku tak dapat membayangkan
akan dapat hidup berbahagia terasing dari bangsa sendiri, di
tengahtengah bangsa lain, meskipun mengikuti suami yang
mungkin mencintai sepenuh hati. Tapi Abdul Karim berkata,
"Jangan engkau bersifat dungu Rakhmi. Alasanmu yang
kaukemukakan, alasan orang kampung yang tak mau maju.
Belumlah engkau merasa bahwa tanah airmu telah merdeka,
dan bangsamu yang pandai-pandai telah jauh maju ke muka"
Kedua kalinya engkau memikirkan tentang anakmu, yang
menurut katamu telah disia-siakan oleh ayahnya, aku sanggup
menggantikan ayahnya baik tentang cinta kasih, maupun
tentang halhal yang mengenai ongkos"ongkos sekolahnya
Engkau sendiri mengatakan bahwa engkau di kampungmu
sudah tak punya apa"apa, apa yang engkau hendak mulai
untuk menyelenggarakan anakmu, yang katamu pula ingin
mempunyai anak yang maju" dan banyak-banyak lagi
Andi, perjanjian-perjanjian yang menyenangkan hati, apabila
aku menurut kehendaknya, "yang menimbulkan pula aku
bercita-cita lagi, menimbulkan keinginan untuk terus hidup,
bukan untukku, untuk anak kita di kemudian hari.
66 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Jadi keputusan; aku akan turut. Keberangkatan kami
telah ditentukan dua minggu lagi. Akan berangkat dari
sini, dari Jakarta. Jadi dari Cirebon aku kemari dan di sini
kami menumpang di hotel sambil menanti"nanti waktu.
Pada suatu petang sedang kami berjalan"jalan (aku
dan Karmela), tiba-tiba Karmela bertemu dengan bekas
temannya ketika di Cirebon. Semenjak itu, beberapa
hari belakangan ini mereka sudah kembali menjadi
sahabat karib. Mungkin disebabkan karena Karmela tak
mempunyai teman sebaya, ia terasing dari anak-anak.
Tiap hari temannya itu datang ke hotel kadang"kadang
membawa teman lagi dan sehari-harian mereka bermain
dengan Karmela. Dan apabila Karmela sekali-sekali ikut
dengan temannya itu ke rumahnya di Kramat, aku tidak
melarangnya. Dalam pada itu Abdul Karim sendiri selalu
sibuk dengan urusannya, ternyata bahwa di sini pun ia
mempunyai perusahaan. Tiba"tiba, 3 hari lagi sewaktu kami akan berangkat
menuruttanggalpenetapan,"kamiakanberangkatbesok,
jadi hal ini ter-jadi 2 hari yang lalu: Karmela menyatakan
kepadaku tidak mau turut. Ia telah mendaftarkan nama
dan telah diterima menjadi murid di sekolah temannya itu.
Tentu saja aku harus menyelidiki. Aku pergi ke
rumah teman Karmela yang kebetulan orang tuanya itu
sepasang suami istri yang ramah tamah dan berbudi baik.
Sebentar saja aku sudah merasa sebagaiteman lama. Dari
padanya aku mendapat keterangan tentang kebenaran
keinginan Kam'iela bersekolah di sekolah anaknya, dan
dengan tidak disangka, karena kebetulan, engkau pun
ada mengajar juga di sekolah anaknya itu, dan mereka
kenal baik dengan engkau, dan selesailah pengusutanku,
dengan membawa pikiran pasti, bahwa engkau ialah ayah
Karmela. Sebenarnya telah dua kali aku lalu di sini, kedua"
dua kalinya aku melihat engkau waktu engkau pulang
dari sekolah. Itulah penyelidikan sebagai mencari bukti,
dan karena sudah tak sangsi lagi, aku sekarang, malam ini
"menghadap" engkau. Karmela sendiri tentang ini belum
mengetahui, maksudku tentang: bahwa engkau ayahnya.
Baru nanti aku berniat akan menguraikan semuanya
kepadanya. Malam ini ia masih dengan kami di hotel.
Dengan Abdul Karim telah kuselesaikan pula. Mulanya
ia berkeras akan membawa Karmela dengan paksa, aku
tentang dengan sekuat tenaga. Lihat Andi, dalam hal ini
aku membela engkau, mengingat karena ini kemauan
Karmela. Hampir kami berkelahi, alasan yang dikemukakan
Abdul Karim memang alasan yang tak mudah ditangkis.
Ia mengatakan bahwa ayah Karmela yaitu engkau, sudah
tak hendak tahu"menahu lagi tentang anaknya. Dan ini
hampir membuat ragu hatiku. Tapi aku ingat, Karmela
keras kepala, seperti engkau juga, kalau aku dipaksa tidak
pula akan berhasil. Dan keluarlah keputusan sebagai
ancaman kepada Abdul Karim, yaitu apabila Karmela
harus dipaksa, lebih baik, kukatakan keras"keras, "kita
berpisah" dan senjata ini rupanya masih berpengaruh
atas dirinya, ia mengalah. Supaya ia tidak berkecil hati
benar, karena aku tahu sayangnya kepada Karmela bukan
buat"buatan, kukatakan bahwa apabila Karmela sudah
tamat dari sekolah menengah tentu tak akan ke mana
lagi. Dan Abdul Karim rupanya merasa puas. la berjanji
akan mengirmkan uang secukupnya untuk ongkos-ongkos
Karmela. Sebenarnya ia ada pula niatnya akan bertemu
dengan engkau, tapi berhubung waktunya sudah sempit,
rupanya tak akan dapat. Tapi ini rasaku lebih baik."
Hening seketika. Kemudian, "Jadi selesailah sudah, kisahku ini. Andi.
Engkau dan Karmela telah berkumpul, aku sendiri akan
mencoba peruntungan sekarang aku boleh pergi."
Dan dengan tak menunggu jawab anku yang ketika itu
68 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
masih tegak termangu"mangu, ia pergi, berjalan dengan
langkah tetap menimbulkan kesan seola-olah telah bebas dari
sesuatu yang menjadi beban derita. Sampai di pintu pagar ia
berpaling sebentar ke arahku sambil mengucapkan sesuatu
yang aku sendiri tak dapatjelas mendengarnya, hanya dugaan
saja: ia mengucapkan selamattinggal. Kemudian ia hilangsaja,
sebelum aku mengetahui ke arah mana ia melangkah.
Aku masih tegak seperti patung. Sekelilingku terasa makin
sunyi. Rupanya hanya pikiran dan hati saja yang ketika itu tak
sunyi lagi. Sambil merenungi kembali ucapan bekas itriku
tadi; timbul pertanyaaopertanyaan dalam hati: Benarkah ini"
Apakah ini suatu kenyataan"
Tiba"tiba terdengar sayup"sayup bunyi bedug isya (jadi
hanya kira"kira sejam saja lamanya pertemuan antara dia dan
aku), sebagai tersentak dari tidur keluar ucapan dari mulutku,
"Ya Allah, jadi engkau ini anakku, Kam'iela?"
Ketika teman saya datangpada petang harinya, saya baru
bangun tidur. Dan kebetulan sedang membaca ceritanya itu
(untuk kedua kalinya) dan kebetulan pula telah sampai pada
kalimatterakhir. Saya menyongsong kedatangannya itu dengan
pertanyaan seb agai oranglatah, "Jadi Ka rmela itu anakku?"
Dan sambil mengangkat pundak ia menjawab, "Siapa
yangmengatakan?" "Ya, siapa yang mengatakan," kata suara dari dalam
tenggorokan sebagai gema dari dalam gua. la baharu 24
tahun.Tentu tak mungkin umur12ta hun sudah mempunyai
anak. Tapi saya teruskan, "Tapi ceritamu?"
Dan ia menjawab bertanya pula, "Ceritaku" Ya
bagaimana pendapatmu?"
Dan kataku, "Ceritamu itu sebagai biasa ...."
"Tidak berujung, tidak berpangkal?" sentaknya tiba"
tiba. Dan dengan tidak memberi kesempatan lagi untuk
mengelak, ia merebut naskah cerita nya itu dari genggaman
saya sambil berkata, "tapi mengapa sesuatu itu harus
berujung berpangkal" Tidakkah kehidupan dan dunia ini
pun tak berujung berpangkal?"
Dan dengan sikap ribut seperti itu ia pergi lagi tergesa-
gesa, dan baru setelah ia sampai di jalan di muka pintu
pagar ia menambah dengan seruan samar"samar, "aku
hendak mengajar" Sekali lagi timbul kesan dalam hati
saya, "Segelisah itukah, kalau ia sedang berdiri di muka
kelas?" Tapi saudara-saudara pembaca yang budiman,
bagaimanapun ia teman saya itu " telah berjasa
menciptakan cerita Karmela. Dan sekiranya tidak didahului
oleh anggapan "terlalu panjang", nama cerita pendek
yang saya sajikan ini sebenarnya berbunyi, "Cerita Karmela
dengan kisah penulisnya".


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

194" 3354.45... Angin petang mulai berembus daun-daunan berderis
gemersik. Matahari bersinar lunak. Dan lereng bukit di
sebelah lembah sana, ditaburi caya merah merata. Dan
padi menguning di bawah kaki, lemah gemulai tertahan-
tahan, merupakan alunan ombak samudra, di bawah
tinjauan cahaya menjelang senja.
Hampirserupa tapi"belum serupabenar.Tertegunlah
"Pelukis Kelana" lalu merenung.
Tiba-tiba dengan gaya sigap dan tergopoh-gopoh,
seolah"olah ia menemui sesuatu yang sedang dicari, dan
khawatir akan hilang kembali, bercekat"cekatanlah ia
mengaduk, mencampur. kuning, merah, kuning, agak
hitam menyuram ..., dan mulailah ujung pensilnya menari"
nari di bawah rumpun bambu dalam "teraannya" itu.
Tertegun pula ia sebentar.
Sekonyong"konyong berseri"serilah air mukanya.
Karena campuran warna ya ng menyuram"itu sudah hampir
sama dengan alam yang dihadapinya, tapi belum pula
sempurna benar. Ia kembali tegak merenung.
Dalam pada itu matahari ma kin ke bawah dan sinarnya
makin pudar. Siang berganti senja kala.
Pelukis Kelana merasa kecewa. Sambil menarik napas
panjang ia berkata, "Sudah dulu Khayali, besok kita
teruskan lagi." Khayali, seorang gadis tani, pernah juga bersekolah
kampung, dan digunakan ketika itu oleh Pelukis Kelana,
sebagai "model", untuk menciptakan "Gadis Desa", yang
ketika itu hampir selesai.
Sudah sebulan Pelukis Kelana menumpang di rumah
Khayali. Selama itu ia menumpahkan kecakapannya hanya
untuk sebuah lukisan itu saja.
Semua bagian"bagian sudah cukup memuaskan hati
Sang Pelukis, berkat kesabaran Khayali sebagai model.
Pelukis Kelana sendiri merasa kagum dalam hatinya,
melihat kesungguhan Khayali mengerjakan "jabatannya"
tak pernah jemu-jemunya: Yang belum berkenan besar
pada hari Pelukis ialah warna suasana sekeliling gadis itu;
saat itu saat senja, jadi sesuatu, kecuali "gadisnya" harus
tampak samar"samar, dan warna rumpun bambu yang ada
di belakang "gadis"nya it u harus hitam menyeramkan
Bagian inilah yang menyibukkan Pelukis Kelana sehari"
harian itu, memeras seluruh tenaga, pikiran, perasaan, dan
ketangkasan tangannya. Hampir pula putus asa. Tapiberkatkesungguhannyakeras,sesudahditeruskan
pada keesokan harinya, lukisan itu sampai juga kepada hari
penyelesaiannya. Terjadilah suatu peristiwa yang ganjil. Ganjil pada
perasaan Khayali, yang mungkin tak dapat dilupakan
selama hidupnya. Beberapa hari kemudian setelah lukisan itu selesai, dan
menurut pelukisnya sendiri sudah tak ada cacatnya lagi,
pada suatu petang dan pada saat dan tempat yang biasa,
diletakkan pula "Gadis Desa" itu di sandarannya. Khayali
disuruh lagi berdiri di ujung pematang. Maka berdirilah
Pelukis Kelana di muka lukisannya, merenung beberapa
saat, kemudian memalingkan mukanya sebentar ke arah
Khayali, sebentar ke arah "gadisnya". Tiba-tiba dengan
"2 J. mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
suara meriah dan muka berseri"seri serta laku seperti anak
kecil, ia melompat-lompat menghampiri Khayali sambil
berseru memegang bahunya, "Khayali, engkau sudah
menolongku." Kemudian Khayali dilepaskan, dan ia berlari kembali
ke muka "Gadis Desanya", dan tegak lagi memandang-
mandang, seolah"olah mencari, kalau"kalau masih akan
didapat sesuatu, yang belum juga sempurna
Khayaliberdirisaja dengantak berdaya. Keringatbasah-
basah din gin keluar dari seluruh tubuhnya. Mukanya, yang
sebentar ini kemerah-merahan, berubah menjadi pucat.
Khayali, semenjak ia jadi gadis, belum pernah
bersentuhan, sekalipun hanya tangan dengan sebarang
laki-laki, selain dari ayahnya. Dan pegangan Pelukis Kelana
yangselama ini dianggapnya dan bersikap sebagai saudara,
sebagai kakak, menimbulkan padanya perasaan bahagia
yang belum pernah dirasakannya.
Saat pun tiba, Pelukis Kelana meninggalkan tempatnya
bekerja, selama lebih sebulan itu. Satu yang menerbitkan
pertanyaan dalam hatinya, di saat ia akan pergi itu: Khayali
tak kelihatan Maka mulailah Pelukis Kelana mengelana lagi. Dari
kampung ke kampung, dari desa ke desa. Banyak pula
lukisan yang dibuatnya, tapi tidak ada yang menyamai apa
lagi melebihi lukisan "Gadis Desanya".
Dan pendapat ini dibenarkan pula oleh pendapat
umum. Ketika ia sampai di kota dan mengadakan pameran,
"Gadis Desa"lah yang digemari orang.
Mulailah nama Pelukis Kelana tersebar, dan terkenal
sebagai "pelukis naturalis" terkemuka dewasa itu.
Cukup tiga tahun dari tanggal, penjelmaan "Gadis
Desa". Pelukis Kelana akan mengadakan ulang tahun
untuk memperingati "ciptaan yang maha besar" itu.
Maka diundangnya teman"temannya yang akrab,
dan teman-teman yang akrab seorang pelukis ternama
tentu bukan sedikit, dan banyak pula di antaranya yang
memegang jabatan tinggi dalam masyarakat.
Maka berlangsunglah peringatan ulang tahun itu,
sebagai peralatan kawin laiknya. Ramai dirayakan dengan
serba cukup dan mewah. Terjadi pula suatu peristiwa.
Ketika serombongan wanita, tamu"tamu terakhir akan
meninggalkan ruangan peralatan, berdirilah seorang di
antaranya di muka "Gadis Desa", yang ketika itu dipajang
di sudut ruangan dengan serba keindahan, lalu bertanya,
"Saudara Pelukis Kelana, apakah gadis ini memang ada
orangnya?" Tampillah Pelukis Kelana dengan muka berseri"seri,
menjawab dengan tersenyum melukiskan kemenangan,
"Memang ada!" Tapi tiba-tiba berubahlah air muka Pelukis Kelana,
sebab pikirannya sekonyong"konyong melayang ke
peristiwa lama. Dengan agak gugup ia berkata pula, "Ada,
tapi.?" Penanya itu tidak mendesak, ia tersenyum. Kemudian
ia pergi dengan rombongannya.
Tinggallah Pelukis Kelana seorang diri. Dan mulailah
rentangan pikirannya merenungi alam silam:" "Ya,
bagaimana hal Khayali sekarang?"
Terbitlah pikirannya akan pergi ke kampung Khayali.
Disediakannya beberapa bingkisan, berupa pakaian, untuk
buah tangan. Teringat pula ia, kalau"kalau Khayali sudah
kawin, dahulu pernah orang tuanya mengatakan Khayali
akan dipertunangkan dengan orang sekampungnya.
Mungkin sekarang sudah berlangsung. Maka Pelukis
Kelana menyediakan pula beberapa potong pakaian laki"
laki. Kalau Khayali sudah kawin, suaminya itu tentu jadi
saudaranya pula! Teringat lagi, kalau"kalau Khayali sudah mempunyai
anak, tiga tahun bukan tak mungkin, bertambah pula
bingkisan Pelukis Kelana. Mungkin pula anaknya itu dua,
laki-laki dan perempuan. Maka ditambahnya lagi bingkisan
itu dengan bakal pakaian anaklaki"laki dan perempuan.
Petang hari sampai di desa.
Bergesa"gesa ia ke rumah Khayali. Rumah masih
tetap seperti sediakala. Pelukis Kelana memberi salam.
Keluarlah orang tua agak membungkuk. Ayah Khayali
sudah lebih tua da riyang disangka. Sebentar tertegun saja
tercengang"cengang, tapi setelah tahu nyata, bahwa yang
dihadapannya itu Pelukis Kelana, keluarlah perkataannya
dengan suara tertahan"tahan, "Masuklah Nak!"
Keluarlah pula seketika itu ibu Khayali, "Engkau datang
lagi, Anakku" Sayang adikmu sudah tak ada."
"Di mana dia?" tanya Pelukis Kelana, dengan hati
berdebar"debar. "Anakku, kalau engkau sungguh sayang kepada
adikmu, marilah!" Dan Pelukis Kelana pun mengikuti orang tua itu
melalui jalan kecil jalan yang biasa dahulu tiga tahun
yang lalu, dilaluinya tiap petang. Sampailah mereka ke
tempat di muka sawah di ujung pematang. Dan di bawah
pohon, di tempat yang agak ketinggian, tempat ia dahulu
berpuluh hari bertekun dengan alat lukisannya di situlah
di tempat itu benar, terbujur sebuah unggunan tanah
merah baru digali. Maka berkatalah orang tua itu, "Di
sinilah ia beristirahat, menurut permintaannya sendiri,
lama sebelum ia akan meninggal, katanya supaya dapat
semusimmusim, memandang"mandangpadi menguning."
"Ya Allah ..." Pelukis Kelana berdiri saja tegak tak
"6 J. mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
bergerak. Dalam pemandangannya, di mukanya itu bukan lagi
unggunan tanah merah, tapi lukisan "Gadis Desa"nya,terletak
pada sandaran, dan di sana, di ujungpematang, gadis Khayali,
Khayali nyata, dengan sikapnya yang "tenang anteng."
"Marilah, Anakku," tiba"tiba kata orang tua yang berdiri
saja di sampingnya selama itu. "Engkau harus beristirahat."
Dan kembalilah Pelukis Kelana dengan masygulnya,
menurutkan ibu Khayali. "Pabila ia meninggal, Bu?"tanyanya setelahtiba di rumah.
"Dua hari yang lalu, malam Kamis," kata orangtua itu. Pelukis
Kelana memejamkan mata. Dua hariyanglalu, malam Kamis itulah malaman ia bersuka
ria. "Ya Allah ..., pertanyaan tamu dan ingatanku pada saat itu
kepadanya, jadi bukan takada artinya."
"Apa sakitnya?"
"Sakitnya tak tentu, ibu sendiri tak tahu. Khayali
sepeninggal Anakku sangat pendiam, tidak pula bertanya
ini dan itu tentang Anakku, tapi pada hari ia akan meninggal
diberikannya ini, katanya untuk Anakku, kalau-kalau datang
lagi kemari." Ibu Khayali memberikan buku notes kecil.
Pelukis kelana menyambutnya. la ingat, pernah
memberikan buku itu, buku yang biasa dipergunakannya
untuk sketsa gambar, kepada Khayali dengan pensilnya
sebuah, kiranya masih ada dan terpelihara.
Di dalam notes itu ada tulisan-tulisan. Dan tertariklah
hatinya. Mulailah Pelukis Kelana membuka-buka buku kecil
peninggalan Khayali. Pada lembar pertama tertulis di atas
sekali:tanggalharisesuaidengantanggalhariia meninggalkan
tempat itu, dan di bawahnya dua kalimat pendek-pendek:
terdengar guruh, air jatuh.
kapan kembali. Berseraklah beberapa coretan tak tentu, di bawahnya.
Pelukis Kelana tak menghiraukan benar, apakah itu gambaran
atau bukan, tapi di bawah sekali dengan tulisan yang kabur,
tak nyata, tertulis pula sebuah kalimat pendek:
aku menunggu Pada lembar kedua tiada bertanggal:
padi sudah menguninglagi aku terkenang padamu. Tertera pula garis-garis melurus dari atas ke bawah. Ialah
padi menguning, yang mularnula menarik minatnya pertama
untuk melukiskan "Gadis Desa"nya.
Pada lembar ketiga: kalau aku bangun dinihari terdengar guruh airjatuh tempatmandi tiap pagi. Bertebaran pula di bawahnya titik-titik memanjang
berleret dari atas ke bawah, dan di bawahnya garis"garis
melintang putusrputus dan tampaklah dalam pandangan
Pelukis Kelana, "air jatuh," dan "air mengalir" tempatnya
mandi, dimasa tiga tahun yanglalu, " Khayali, tidak kusangka!"
waktu senja dan sekeliling sepi aku berdiri lagi di pematang
tampak wajahmu hanya air parit yang gemercik
Tertera pula di bawahnya sebuah garis pendek tegak, di
atas ujung garis melintang, lalu di sekelilingnya garis-garis kecil
melurus rata ke bawah; dan di pinggir sekali coret"coret yang
tak tentu; dan di atas sekali gambar sehelai daun kaku, dan di
bawah sekali garis"garis panjang putueputus
Dalam kata"kata sederhana dan pada coretan garis
sana sini bekas tangan Khayali, ia menampak "Gadis Desa"
seluruhnya, yang dibuatnya berpuluh hari dengan memeras
segala tenaga jiwa dan raga.
Dalam garis tegak lurus, tampak membayang diri Khayali,
pada garis yang melintang menampak ujud pematang; garis-
garis kecil merata, membentang padi menguning; dan corat"
corat yang tak tentu merupakan rumpun bambu; pada daun
tegak kaku, kesunyin sekeliling"
Pelukis Kelana meneruskan membuka-buka buku
kecilnya. Dalam lembaran kemudian dan seterusnya tidak tampak
lagi garis"garis yang merupakan gambaran, hanya katakata
dalam kalimat pendek-pendek dan letaknya di sana sini, tidak
tersusun, kadang"kadang hanya sebaris saja dalam selembar:
setahun sudah lalu aku tetap menunggu aku jemu aku pindah ke bekas kamam'iu
Kemudian dua"dua baris dalam selembar.
aku tak pernah lagi

Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihatlihat padi menguning
tak pernah lagi meminat seruan ketilang di lembah sana
tak pernah lagi mendengar air gemercik di bawah kaki
kamarmu sekarang duniaku dan aku merasa lebih dekatpadamu
Terluang selembar. Kemudian pada lembaran sesudahnya
dan beberapa lembar seterusnya:
aku mulai jemu melihat manusia
sekalipun ayah dan bunda yangsangat kucintai kuhindari ibu sakit-sakitsaja ayah makintua tinggal engkaulah jadi harapan
aku sakit.... Dan terluanglah beberapa lembar kosong. Terdapat pula
sesudahnya: aku mulai sembuh tapi sebenarnya aku merasa
lebih bahagia dalam sakit karena lebih banyak mengingatmu.
Dalam lembaran lain: dahulu kesenanganku berpetang"petang di pematang
sambil menghitung"hitung bulan
kemudian duduk"duduk di bekas kursimu
sambil menghitunghitung hari
dan sekarang berbaring di pembaringan
sambil menghitunghitung jari
dan rasaku lebih dekat padamu.
aku sakit lagi... Terluang pula beberapa lembar.
Kemudian pada lembaran yang akhir sekali, tertulis
beberapa kalimat agak panjang dan tersusun, tapi dengan
tulisan seperti ditulis dengan tangan gemetar bungkang
bengkok, kurang nyata; pelukis kelana (Pelukis Kelana ditulis besar-besar)
kalau saja engkau datanglagi ke mari
dan akutak ada dan kalau engkau perlu aku lagi
untuk melukis (Mereka ditulisjuga besar)
datang saja di sana di pinggirtelaga di puncak gunung
yangjalannya darijalan persimpangan
tempat yang pernah engkau janjikan
bukankah engkau pernah berkata
kalau selesaigadis desa akan melukis gadis telaga
tapilalu engkau lupa dan merasa puas dengan yangsatu itu saja
di sana aku menunggu Di bawah sekali tertulis tanggal.
Bersama dengan tanggal malam ulang tahun "Gadis
Desa". Pelukis Kelana menutup muka dengan kedua belah
tangannya 194"- %;agma 4%" Malam terang cuaca, angin gunung berembus perlahan-
lahan. Hawa sejuk menyelinap ke seluruh tulang sumsum.
Sedangkan keadaan seluruh kota sangat sepi. Ah saudara,
engkau tentu belum pernah mengalami kesunyian kota
seperti aku ketika itu. Daerah itu daerah kota sebelah selatan.
Engkau ingin tahu juga perlunya aku mengatakan daerah kota
sebelah selatan" Karena jarak tempat itu hanya kira-kira 200
meter saja arah ke utara dari jalan kereta. Sedangkan tempat-
tempat dan kampungkampung yang ada di sebelah selatan
jalan kereta, waktu itu sedang dikosongkan. Penduduknya
harus menyingkir ke bagian tengah kota atau utara.
Sebenarnya banyak pula pendudukyangtidak mau mengiliS).
Mereka ini ialah orang-orang yang beranggapan bahwa
penyerangan hanya ditujukan kepada militer, dan penduduk
umum tak usah khawatir. Tapi pikiran yang demikian tentu tak
dapat dikemukakan ketika itu atau kalau berarti tentu dituduh
akan membantu gerakan gerilya, sedikitnya disangka ada
hubungan. Jadi mau tak mau mereka harus mengili. Daerah
sepanjang rel membujur kota dengan sendirinya ketika itu
masuk daerah yang sunyi sepi tetapi "panas", dan engkau
dapat mengira-ngirakan apa yang mungkin terjadi sewaktu-
waktu. Tapi saudara, malam itu malam terang cuaca. Tidakkah
engkau sendiri akan tertarik oleh malam seperti itu" Dan
rupanya anggotaanggota gerilya itu pun mempunyai sifat
gemar akan keindahan pula. Mereka rupanya ingin melihat
betapa indahnya memandang daerah kota yang sunyi
5 Mengungsi sepi itu dari bukitbukit sebelah selatan pada malam bulan
purnama. Mereka hendak menyerang kota, seolah-olah
hendak mengetahui bagaimana indahnya kesepian di bawah
itu diselingi oleh letusan"letusanyang mengirimkan bunga api
berlarian susul-menyusul memburu suatujurusantengah kota.
Tapi ah, saudara, mereka pun bukan anak"anak tolol, mereka
pun mempunyai pikiran dan perhitungan. Mereka di kota itu
meninggalkan anak"anak dan istri, meninggalkan ayah bunda
dan keluarga. Jadi" Pernyataan matamata bahwa akan ada
serangan pada malam seindah itu dari arah sebelah selatan
kota oleh kekuatan lebih kurang 2000 gerilya bersenjata
lengkap, rupanya hanya kira"kiraan yang meleset, atau
mungkin hanya siasat menakuti-nakuti tentara pendudukan
pengawal kota. Hal seperti itu memang sering terjadi. Dan
biasanya ditambahtambahnya pula dengan berita yang
menggelisahkan penduduk umumnya, dengan pernyataan
adanya pemimpiopemimpin pasukan, bangsa Jepang yang
berambut panjang, atau bangsa India yang berbulu-bulu. Jadi
tidak heran kalaujam malam diumumkan pukul delapan, sejak
mulai pukul enam, seluruh kota sudah sunyi sepi seperti di
kuburan. Tapi itu malam kemarinnya. Pada malam berikutnya,
yaitu malam yang akan saya ceritakan selanjutnya, jam malam
sudah diundurkan satu jam, keadaan tidak setegang malam
kemarinnya. Dan orang"orang mulai mengira penyerangan
gerilya tidak akan terjadi. Meskipun begitu restoran-restoran
dan warung"warung kopi sepanjang jalan menuju stasiun,
yang dalam keadaan tenang menjadi pusat keramaian
orang-orang ketika itu belum berani membuka pintunya.
Jadi kesunyian malam masih kuasa meliputi seluruhnya.
Bedanya dengan malam kemarin sekarang sudah mulai
tampak beberapa bayangan hitam di muka gang-gang gelap;
beberapa perempuan membawa rantang makanan keluar
masuk pekarangan beberapa gedung di pinggir jalan; satu
dua orang laki-laki bersepeda lalu di jalan, dan aku mengira
84 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
orang"orang suruhan militer. Dan aku berpikir; rupanya hanya
empat macam manusia itulah (kecuali militer) yang ketika itu
masih ada di luar rumah. Dan empat macam ini ialah: babu,
jongos, beberapa bayangan di gang"gang gelap, dan aku,
yang hendak menikmati keindahan malam terang cuaca di
tengah"tengah kesunyian dan pengawal.
Langkahku kupercepat menuju "kolam kenangan".
Engkau ingin tahu pula apa yang kumaksudkan "kolam
kenangan?" Ialah sebuah danau kecil buatan, atau boleh juga
disebut kolam besar, bentuknya bundar, terletak di tengah-
tengah daerah kota sebuelah selatan itu, dan dalam keadaan
biasa, suatu tempat tamasya yang sangat menarik. Saya
namakan kolam itu kolam kenangan, karena pernah, sekali
memberi kenangan manis, dalam hidupku. Ingin tahu pulakah
engkau apayang kusebutkan kenangan manis" Itu peristiwa 2
tahun yang lalu. Dia dan aku dudukduduk di tepi kolam itu di
atas bangku, mengecap kenikmatan malam cuaca pula. Segala
sesuatu sekeliling kali cerlang"cemerlang mandi cahaya, air
kolam gemerlapan ditimpa sinar purnamaraya. Dan ia berkata,
"Malam seindah ini. Tidakkah manusia merasa gahagia" Tapi
engkau akan pergi meninggalkan daku. Haruskah aku berjanji
akan menanti?" Dan ia menjulurkan tangannya. Kupegang
erat. Tampak bibirnya bergerak. Bibir merah. Akan kukecup
sepuas hati, tapi ah, aku tak hendak mengotorinya.
Kemudian dia kuantarkan pulang.
la anakwedana. Aku pergi ke ibu kota. Terpaksa kawin dan mempunyai
anak Adakah ia tetap mengingat dan menanti" Tidak
Pernah aku membaca iklan dalam salah satu harian tentang
pertunangannya dengan seorang opsirTNl.
Beberapa pengawal patroli lalu. Mereka membiarkan
saja. Dan aku melangkah tenang-tenang. Memang sikap
demikian yang baik pada saat"saat seperti itu. Perlahanlahan
aku melangkah menyusur tepi kolam, lalu duduk di bangku
tembok. Bangku yang pernah kududuki dahulu bersama"
sama. Purnama yangterang benderang tibatiba dialingi awan.
Jauh sayup-sayup terdengar letusan satu-satu. Apakah
itu tanda permulaan serangan" Tapi letusan terlalu jauh dan
pengawal tampaknya tenang-tenang saja.
Tong"tong di kaum terdengar delapan kali. Masih ada
waktu sejam lagi. Tiba-tiba aku terkejut. Seorang perempuan
berinantel hitam berdiri tegak di mukaku.
Dan dengan perasaan dalam mimpi aku berseru, "Engkau
Tiwi?" "Ya aku. Aku tahu engkau di sini dan aku kemari. Biasanya
aku kemari tiap"tiap malam Jumat, tapi sekarang datangjuga,
karena hendak berjumpa denganmu."
"Tapi, bukankah engkau telah bertunangan?"
"Ya, tapi mengapa itu benaryang engkau tanyakan" Aku
telah bertunangan tapi ia pergi hijrah."
"Tunanganmu?" "Ya-FI " Dan engkau ditinggalkan?"
"Ya." "'Ayahmu"|I| "Sudah bekerja lagi."
"Abangmu?" " Pergi bergerilya. Ayahku ditawan sebulan lamanya. Dan
kemudian dikeluarkan dan akan diangkat jadi patih, kalau
mau bekerja sama. Dan ia terpaksa mau. Ah, ia telah tua. Tapi
abangku kabarnya akan menyerang kota. Apa yang akan
kubuat?" Langkah patroli terdengar mendatang. Aku gelisah,
hendakbangkit. 86 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
Air kolam di mukaku tenang saja.
"Diam!" katanya. "Jangan bergerak. Mungkin menarik
perhatian. Aku di sini tak akan apa"apa. Aku boleh bergerak
sekehendak hatiku. Tapi engkau?"
Angin bertiup tertahan"tahan. Harum bunga sedap
malam menyentuh hidungku. Dan pikirku, "ia sudah
menjadi perempuan korban. Jadi permainan serdadu"
serdadu pengawal, seperti bayang-bayangan yang tampak
di ujung gang-gang gelap itu."
Empat orang serdadu lalu di jalan raya. Lebih kurang 30
meter saja jaraknya dari tempat kami.
Dan ia melangkah perlahaolahan. Lalu duduk di
sampingku. Rambutnya terurai, ujungnya masuk ke
bawah mantel di atas pundak. Angin berembus mulai
keras, menggoyangkan daun"daun kenari sekeliling kolam.
Gemersik. Harum sedap malam tiba-tiba berganti wangi
cendana. Aneh. Dan ia berkata, "Apa kabar ibu kota" Aku
telah mendengar engkau beristri dan mempunyai anak."
"Jadi benartunanganmu itu turut hijrah?"
"Ya, dan menurut kabar, Yogya sudah diduduki.
Tidakkah demikian?" "Memang." "Ah, kalau"kalau ia tewas!"
" Kalau ia tewas, gugur sebagai bunga bangsa, Tiwi."
"Ya, tapi lalu meninggalkan aku menjadi janda. Tapi
sekiranya ia dapat lari ke Jakarta umpamanya. Aku dengar
Jakarta sekarang tempat persembunyian orang"orang dari
pedalaman. Tapi ah jangan hendaknya. Janganlah ia lari.
Biar ia mati daripada lari. Dan biar aku jadi janda selama-
lamanya." "Rela?" " Engkau menyangka aku tak akan rela" Tapi bagaimana
88 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
tentang orang"orang di Jakarta" Engkau belum menjawab
pertanyaanku!" "Orang"orang di Jakarta sedang menanti pertunjukan
APLHS) "Sandiwara" Ah bahagia benar orang-orang ibu kota.
Dan tentangmu pernah aku mendengar. Engkau sering
menulis. Apa yang biasa engkau tulis?"
"Hem, tidak benar itu. Tidak pernah aku menulis. Aku
seorang kelana yang hanya gemar dan pandai mendengar
cerita orang." "Cerita orang?"
"Ya-FI "O, maukah engkau mendengarkan ceritaku?"
"Ceritamu?" "Ya-FI "Hem, cerita apa itu?"
"Dengarkan: Adalah seorang tani, ...."
"Ya-FI "... mempunyai anak satu, ...."
"Heheh!" "Ah, engkau tak hendak mendengarkan!"
" Bukan begitu.Aku ingatakan masaku kanak"kanak; Aku


Yang Terempas Dan Terkandas Karya Rusman Sutiasumarga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di kelas nol. Ibu guru suka sekali bercerita memulai
dengan: adalah seorang Dan aku jatuh cinta kepada
ibu guru yang selalu memulai ceritanya dengan kata"kata:
adalah seorang Dan engkau tentu tak akan menyangkal
kalau kusebutkan bahwa ketika itu umurku sudah 6 tahun,
jadi yang terbesar di kelasku. Dan rupanya cintaku kepada
ibu guru itu cinta pertama. Aku melamun kalau sudah besar
akan meminang ibu guru yang manis itu. Tapi sayang ibu
guru itu telah meninggal ketika aku baru saja naik ke kelas
satu. Tapi coba teruskan ceritamu itu."
& Sandiwara, karya Usmar Ismail.
"Ah, engkau! Baik kuulangi: "Ada seorang tani.
Mempunyai anak satu. Setelah besar anak itu jadi tentara.
Dan ketika penyerbuan musuh, ia bertahan di hutan"huta n.
Entah berapa lama ia mengembara, setelah keadaan agak
reda, pada suatu malam, ia datang. Orang tuanya seperti
orang yang telah kematian anak datang kembali, tidak
terkatakan bagaimana gembiranya. Tapi tentara itu tahu
benar suasana pada saat itu. Ia tahu kebengisan serdadu"
serdadu pendudukan. Dinihari ia kembali ke hutan,
rneninggalkan ayah bundanya yang sedang dimabuk rindu
berjumpa. Meskipun begitu, meskipun ia sangat hati"hati
melakukan kunjungan kepada orang tuanya itu, pagi"pagi
benar telah datang sepasukan serdadu membakar-bakari
rumah-rumah di sekitar kampung itu. Dan rumah Pak Tani
musnah, menjadi abu. Orang"orang kampung tiada yang
sempat lagi membawa barang-barangnya ke luar rumah.
Mereka kehilangan segala kekayaan yang ada, dan hanya
dapat menyelamatkan dirinya dengan pakaian yang
melekat pada tubuhnya. Setelah api padam, pada keesokan harinya, istri Pak
Tani yang mempunai anak tentara itu, pergi menguak-
nguakkan puing bekas rumahnya. Tiba"tiba rentetan
tembakan riuh menderu, dan ia jatuh menelungkup di
atas timbunan abu. Tahukah engkau mengapa ia berbuat
sedungu itu" la tahu bahwa orang"orang dilarang dekat"
dekat ke tempat rumah-rumah yang baru dibakar, tapi
ia tak menghiraukannya. Dalam pikirannya ia percaya
bahwa rumahnya tak ada lagi, dan pakaiannya sudah jadi
makanan api, tapi ia tak sampai memikirkan bahwa uang
yang diterima dari anak kekasihnya, yang disisipkannya di
bawah bantal, akan musnah turutterbakar ...."
"Kasihan." "Ya, karena dungunya."
"Mungkin sudah hilang ingatan dengan seketika."
90 Jl mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
"Mungkin..., tapi ada lagi yang harus kaukasihani."
"Apa itu?" "Cerita lagi." "Tapi yang tadi bagaimana lanjutnya?"
"Yangtadi sekian saja!"
"0, rupanya engkau hanya hendak mengemukakan
nasib PakTaniyang malang itu?"
"Aku hendak mengemukakan kekejaman serdadu"
serdadu pendudukan."
"Ah ya, tapi bukankah tunanganmu seorang tentara?"
"la, meskipun tentara, ksatria, dan aku yakin akan
kesatriaannya." "Kesatriaannya?"
"Ia tak akan kejam terhadap musuh, dan tak akan
berbuat sesuatu kepada orang yangtakberdosa."
"Ah Tiwi, menurut pendapatku tentara itu di mana-
mana sama saja. Kejam dan bengis di samping berani dan
tangkas." "Begitulah pendapatmu. Aku memang benci kepada
yang bersifat tentara. Tapi dia, benar tentara, dia benar
berani dan tangkas, tapi tidak benar ia kejam dan bengis."
" Engkau hendak memenangkan."
"Karena ia membelaku. Karena ia berjasa kepada
TanahAir." "Hehem, ya ya, sedangkan aku hanya kelana yang tak
ada jasa. Tidakkah itu hanya perasaanmu?"
"Perasaan kasih" Ah, engkau cemburu."
"Tidak! Mengapa cemburu. Bukankah ia sudah
tunanganmu" Tapi coba teruskan cerita itu."
"Kalau engkau suka menghargai jasanya dan kalau
engkau ...." "Tidak cemburu?"
"Ya, tidak cemburu."
"Baik kuhargai jasanya terhadap nusa dan bangsa,
dan aku tak cemburu akan kasihmu kepadanya. Tapi coba
teruskan!" "Ada seorang gadis, bertunangan dengan seorang
opsir." " Heheh, tidak ini cerita tentangmu sendiri?"
"Aku tak mengatakan."
"Coba terus." "Seminggu lagi akan kawin, opsir itu harus pergi
ke satu daerah pertahanan. Dan ia pergi meninggalkan
tunangannya. Aku tak hendak mengisahkan kesedihan
gadis yang ditinggalkan tunangan, sebab hal itu perkara
biasa. Ya, siapa tidak sedih karena ditinggalkan tunangan.
Aku akan menceritakan gadis itu sebelum ia bertunangan
dengan opsiritu." "Bagaimana?" "Sebelum ia bertunangan dengan opsir itu ia pernah
jatuh cinta kepada seorang kelana. Tapi kelana itu
pengecut dan pengelamun. la mengelamun kalau ia kaya
akan meminang gadis itu. Tapi mengelamun kaya bukan
berarti ia kaya dan maksudnya akan meminang gadis itu
tak kesampaian. Maka pergilah ia mengelana entah ke
mana. Kemudian datang kabar kepada si gadis, bahwa
kelana itu telah kawin dengan seorang gadis hartawan di
tempat lain. Aku tak akan mengisahkan kesedihan gadis
yang menerima kabar buruk itu. Hal itu memang biasa.
Ya, siapa yang tidak merasa sedih ditinggalkan kawin oleh
orang yang pernah mencuri hatinya."
"Ssst ...." Ia terhenti sebentar. Beberapa pengawal lalu.
mmm-namun.- B:]: PLBhJ-E.
"Terusnya?" "Waktu ada seorang perwira datang, menyatakan
cinta kasihnya. Ia merasa beruntung. Dan terjadilah
pertunangan. Aku tak hendak mengatakan apakah gadis
itu cinta benar"benar kepada pemuda perwira itu. Yang
nyata bagaimanapun ia merasa berbahagia. Merasa
mendapat ganti yang sudah hilang. Tapi ...."
"Tapi?" "Yaitulah,barurajapertunanganyadiresmikan,pemuda
perwira itu harus pergi menunaikan kewajibannya."
"Kasihan." "Kepada gadis itu?"
"Kepada keduanya. Dan ceritamu itu hampir sama
dengan ceritaku. Juga tentang kelana dan gadis."
"Ceritamu?" "Ya, hanya bedanya tentang kelana. Pada ceritamu
kelana itu pengecut dan pengelamun. Pada ceritaku ia
menarik diri, karena harus menghadap kenyataan."
"Apa itu?" "Ayah si gadis itu seorang yang gila pangkat dan gila
turuna n. Ia telah menolak lamaran si kelana karena si kelana
itu bukan orang berpangkat dan berketurunan, sekalipun
ia sanggup memberi hidup bersuami istri sebagaimana
mestinya." "Jadi?" "Si kelana putus harapan. Dan ia pergi meninggalkan
kekasihnya dengan pilu dan sedih."
"Tahu jugakah gadis tentang hal itu?"
"Rupanya tahu, tapi ia tak mempunyai keberanian
untuk melaksanakan cintanya. Pengecut bukan" Ia takut
akan melarat." "Tapi si gadis dalarn ceritaku itu tidak sepengecut
si gadis dalam ceritamu. Ia tak pernah menerima
pernyataan cinta kasihnya dengan tegas. Dan tak pernah
pula mendengar tentang lamaran yang ditolak, sebab
kekasihnya itu takpernah melamar ...."
"Ya, itulah rupanya selisihnya. Tapi coba teruskan
cerita mu itu." " Kemudian kota tempat si gadis itu tinggal, jadi daerah
pendudukan. Dan suasana kota jadi suasana pendudukan."
"Maksudmu?" "Ya, siapa yang bersikap baik, selamat. Dan yang
menentang terancam dan menderita. Ayah si gadis
itu dipenjarakan, karena anaknya yang laki"laki turut
bergerilya." "Lalu?" "Sekali pada suatu malam. Malam itu seperti malam
sekarang juga, terang cuaca, tiba"tiba si gadis itu sakit
mendadak. la menyuruh anaknya memanggil dokter.
Rumah dokter itu jauh dan si gadis terpaksa pergi sendiri.
Ia lalu ditempatini ...."
" Hem, seperti betul"betul terjadi."
"Apa itu?" "Ceritamu!" "Tapi memang benar ia lalu ditempat ini. Sendiri saja.
Karena kebetulan waktu itu tak ada orang di rumahnya.
Seorang serdadu mengikutkan dia dari belakang. Dan si
gadis ketakutan. Ia berjalan bercepat"cepat. Dan serdadu
yang ternyata sedang mabuk mengejarnya. Karena
hendak menghindarkan, gadis itu menyimpang dari jalan
raya, lalu menuju ke arah sini, tapi serdadu itu terus saja
mengejarnya. Dan karena sangat ketakutan, ketika ia
sampai di pinggirnya benar, dengan setengah sadar,
gugup sambil menjeritia melompat ke dalam kolam."
"Si gadis itu?"
"Ya." "Tewas Tiwi" Tapi bukankah kolam ini tidak dalam
benar?" "Ya tidak. Dan ia pun mungkin tidak tewas, karena tak
pernah orang menemukan mayatnya. Tapi ...."
"Tapi?" "... yang nyata, sejak malam itu ia hilang tak tentu
rimbanya. Dan orang tak tahu lagi tentang dia ...! Diam!
Pengawal lalu lagi!"
Bulan purnama masih sembunyi di balik awan.
Sekeliling hanya remang"remang samar. Tiupan angin
terasa lagi sekilas sejuk. Daun"daun kenari gemersik riah.
Bau cendana makin mengeras.
"Tidakkah hidungmu membaui bau"bauan?"
"Hh, apa itu" Tidak!"
"Serasa"rasa bau cendana dan kemenyan."
"Kemenyan" O, mungkin. Lupakah engkau akan
kebiasaan penduduk di sini?"
"Apa?" "Tiap malam Jumat dan Selasa mereka mengukup,
untuk amarah-arwah yang sudah pulang terdahulu. Dan
sekarang malam Selasa Tapi marilah, aku pulang!
Cukuplah kiranya pertemuan kita."
Dan ia bangkit tergopoh"gopoh. Segera kuturutkan.
Perlahan-lahan ka mi berjalan berdampingan meninggalkan
tepi kolam menuju ke suatu gang arah ke selatan. Tiba"tiba
ia berhenti. "Engkau harus pergi!"
"Aku hendak mengantar kau pulang!"
Sambil kupegang tangannya yang terkulai putih di atas
mantel hitamnya. Terasa sangat dingin seperti batang
pisang. Tengkukku mengkirik.
"Engkau sakitTiwi?"
"Tidak," desisnya.
la melepaskan peganganku perlahan-lahan, lalu
melangkah tergesa-gesa. " Biar kuanta rkan kau," usulku.
"Tidak!Jangan! Berbahaya bagimu! Biarlah aku pulang
sendiri." Lalu ia pun melangkah bercepat"cepat. Menurutkan
gang yang terus menuju jalan kereta api. Bulan tersembul
lagi menerangi sekeliling. Dantampakjelas,jelas ia berjalan
melalui tempat pengawal tentang empang"empang jalan
kereta. Tidak diganggu. Dan dengan tak menengok-
nengok ia berjalan terus melalui rel kereta, tapiya Allah
bukankah daerah itu daerah yang sedang dikosongkan ..."
Tiba-tiba derap sepatu riuh mendatang. Dan aku
segera menyelinap ke gang gelap menuju daerah timur, ke
penginapan. Baru saja aku sampai di serambi, sekonyong"
konyong rentetan letusan terdengar riuh, dekat, dekat
benar di atas kepala Dan aku tengkurap di bawah meja,
dalam hati: jadikah penyerangan malam ini"
1948 Penamaan dari Parc-ratakan
PT Balai Puatallra [Pemeru]
Jalan Bunga. Haase Matraman, Jakarta Timur13140
V TellFake (BE-211853 3369
Website: http:"balaipuatakaeoid
Memanah Burung Rajawali 38 You've Got Me From Hello Karya Santhy Agatha Pendekar Pedang Sakti 22
^