Pencarian

Asleep Or Dead 12

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 12


"Bun, kok kamu tadi gak sopan gitu sih ngomongnya.. Ada apa sih ?", tanya Gua sambil mengemudikan mobil.
"Enggak papa!", jawabnya ketus.
Gua menghela nafas lagi, kemudian membelai rambutnya dengan tangan kiri. "Hey, kamu cemburu sama Luna ?", tebak Gua.
"Enggak tuh! Biasa aja huh!", kali ini wajahnya berpaling ke sisi kirinya.
Gua tersenyum lalu menggelengkan kepala. Kemudian kembali fokus mengemudikan mobil.
Gua heran sih sebenarnya sama Echa, apa yang dia cemburui dari sosok Luna. Oke kalau soal fisik, Gua jujur, Luna itu bak model, persis seperti yang dikatakan Mba Yu dulu, bodinya proposional, tinggi semampai dan tentu saja memiliki paras cantik karena memang blesteran, peranakan eropa dan asia. Tapi masalahnya kan Gua sendiri tidak akrab, bahkan bertemu juga jarang dengan Luna, sebulan satu kali aja belum tentu kami bertemu, Ya Gua fikir ini karena faktor istri Gua sedang hamil saja.
Sesampainya di rumah mertua, kami duduk di gazebo halaman belakang rumahnya. Gua dan istri Gua duduk bersebelahan, sedangkan kedua mertua Gua duduk di hadapan kami. Sedikit basa-basi, kemudian barulah istri Gua menceritakan maksud dan tujuannya yang ingin membuka bisnis kuliner di atas tanah milik pemberian alm. Ayahanda Gua. Jelas Gua kembali terkejut, karena permintaannya kepada Papahnya itu lagi-lagi tidak dibicarakan terlebih dahulu kepada Gua sebagai suaminya.
"Sebentar Pah, maaf", ucap Gua menyela obrolan mereka berdua,
"Bun, gini ya sayang, rencana dan ide kamu itu memang bagus, tapi kamu belum cerita apapun sama aku, kita perlu omongin ini dulu berdua, kamu gak bisa main ambil keputusan sepihak seperti ini, apalagi sampai minta bantuan sama Papah", ucap Gua kepada istri Gua yang sudah cemberut itu.
"Loch loch.. Kalian belum bahas masalah ini berdua toh ?", ucap Mamah mertua dengan cukup terkejut.
Gua menengok kepada beliau lalu menganggukan kepala. "Belum Mah, aku sendiri baru tau hari ini dari Echa", jawab Gua.
Papah mertua Gua malah tersenyum lebar lalu berdiri dari duduknya. "Hahaha.. Ya itulah salah satu sifat istrimu Za.. Mohon dimaklum saja ya. Kalo gitu Papah sama Mamah masuk dulu ke dalam, kalian obrolin aja dulu soal rencana itu, dan kalo memang mau bangun usaha sendiri, insha Alloh Papah bantu", ucap Papah mertua Gua.
Kemudian kedua mertua Gua pergi meninggalkan kami. Gua bangun dari duduk dan berdiri seraya menyandarkan tubuh ke tiang gazebo ini, lalu membakar sebatang rokok. Gua menatap kearah lain, membelakangi istri Gua yang masih duduk di dalam gazebo.
"Bun, kamu kenapa tiba-tiba mau bangun usaha kuliner ?", tanya Gua dengan tetap membelakangi istri Gua.
"Ya biar kita punya usaha sendiri Nda, kan bagus tuh, daripada cuma kontrakin tanah terus", jawabnya.
"Terus referensinya darimana " Gak gampang loch Bun buka usaha kuliner itu, lagian kita harus survey dulu, belum lagi mikirin menu apa yang akan kita jual, lah akunya aja masih gak bisa masak dan cuma punya sedikit ilmu soal kuliner, masa main buka restoran atau cafe Bun", ucap Gua lagi lalu menghisap rokok dalam-dalam.
"Kamu kan lagi magang di hotel Nda, bisa nanya-nanya ke teman kerja kamu yang udah profesional, terus bisa juga nanya ke.. Eeuu.. siapa tuh dosen kamu " Pak Boy ya " Nah bisa tuh tanya ke dia Nda..".
Gua menggelengkan kepala seraya menatap langit yang cukup cerah hari itu. Bukan perkara mudah membuka usaha kuliner, apalagi itu tanah luas, jadi rasanya Gua tidak mungkin membuka sebuah cafe biasa, kalau pun memaksakan, bisa minus neraca keuangannya, karena biaya pajak dan bangun usaha di tanah yang letaknya strategis dan berada di jalan protokol itu pasti mahal sekali. Dan lagi-lagi selalu saja meminta bantuan Papah mertua, kan malu Gua.
"Gini aja deh ya Bun, kita pikirkan ulang dulu, jangan secepat ini mengambil keputusan, modalnya gak kecil Bun, ya kalopun mau pinjam ke Papah kan gak semudah itu juga, banyak hal yang harus kita pertimbangkan.. Oke ?", ucap Gua seraya membalikkan badan dan menatapnya. "Hmmm.. Pokoknya harus jadi, titik", tandasnya seraya berdiri lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Gua hanya bisa mendengus kasar lalu merebahkan diri di dalam gazebo, pusing ah mikirin maunya istri...
... ... ... Sudah memasuki bulan juni tahun 2008, kandungan istri Gua pun sudah masuk usia tujuh bulan, dan perutnya semakin membesar, di bulan inilah Gua meminta Echa untuk cuti kuliah selama satu semester. Sedangkan Gua sendiri masih menjalani masa pkl sebagai mahasiswa magang di salah satu hotel.
Kembali ke persoalan bisnis kuliner yang ingin dibangun oleh istri Gua, akhirnya Gua mengalah, ya mau tidak mau, Echa ngotot kalau kami harus mulai memiliki usaha sendiri. Dan jalan tengahnya tidak pernah terduga oleh Gua. Ini Gua persingkat saja, intinya Gua dan istri menyetujui saran dari Luna, sarannya adalah, dia dan Papahnya akan menginvestasikan modal untuk ikut ambil bagian dalam usaha kuliner ini, yang tentunya hanya diberikan porsi sebesar 40% oleh istri Gua, sisa 60% lagi milik kami berdua. Jadi sebagai pemilik tanah dan modal terbesar dari bisnis kuliner, kami berdua tentu menjadi pemilik utama usaha tersebut. Dan bulan juli baru akan direnovasi bangunannya agar lebih modern dan sesuai dengan desain istri Gua nanti. Dan Mba Laras Gua percayakan sebagai orang yang menjadi pelaksana usaha tersebut, apalah namanya ya, Gua bingung. Yang jelas Mba Laras jadi orang kepercayaan Gua, dia yang mengatur hal manajerial, dari mulai kontrak kerja, rekrut pegawai, urusan perizinan ke pemkot dan tentu saja urusan kerjasama dengan Papahnya Luna.
Di hari lainnya masih di bulan juni, Gua seperti biasa sedang mengantarkan istri tercinta ke klinik untuk cek n ricek kandungannya yang sudah masuk tujuh bulan. Dan alhamdulilah seperti bulan-bulan sebelumnya, segalanya normal. Selesai periksa kandungan Echa, kami berdua pergi ke salah satu toko furniture untuk membeli beberapa barang. Sesampainya di sana Echa memilih lemari pakaian, spring bed, satu set sofa ruang tamu dan ruang tv, lalu kursi dan meja untuk di teras dan sebagainya. Selesai memesan dan membeli furniture barulah kami berdua makan sore di sebuah warung soto pinggir jalan.
Malam harinya Gua dan Echa berada di kamar rumah Nenek. Saat itu kami sedang tiduran, menunggu kantuk menyerang.
"Nda, kamu selesai pkl bulan apa ?", tanyanya yang tiduran di samping Gua. "Mmm.. Bulan depan sayang, juli.. Kenapa gitu ?".
"Oh, enggak apa-apa, cuma bulan agustusnya kan aku lahiran nih kalo sesuai jadwal dan prediksi dokter, kamu bisa gak cuti satu semester abis pkl ?", tanyanya lagi.
Gua menengok kepada istri Gua itu, lalu mencium keningnya. "Enggak perlu kamu minta juga pasti aku ambil cuti kok sayang.. Hehehe", jawab Gua.
"Makasiiih.. Hihihi.. Eh eh, tapi gak apa-apa kan " Maksud aku gak masalah sama perkuliahan kamu ?", tanyanya seraya menatap wajah Gua.
"Enggak apa-apa kok Bun, kalo soal laporan pkl nanti aku minta tolong Lisa dan Kinan aja, mereka mau bantu kok, tapi tetep aku yang ngerjain", jawab Gua lagi.
"Bukan, maksud aku dari pihak kampus kamu nanti ada masalah gak ?", tanyanya cemas.
"Enggaklah Bun, nih, di kampus ku tuh yang penting bayaran uang kuliah lancar, semuanya aman, heheheh..".
"Iiih dasar, huuu.. Tapi syukur deh kalo gitu. Yaudah kita tidur dulu, besok kamu kan harus kerja lagi pagi-pagi".
"Kerja " Magang sayang".
"Ah sama aja Ndaaa.. Kan kamu dapet gaji hehehehe..". Akhirnya tidak lama kami pun beristirahat setelah pillow talk itu. ...
Sekitar pukul dua pagi Gua terbangun, dengan kucuran keringat yang cukup deras. Nafas Gua memburu, sepertinya dada Gua sedikit sesak. Penyebabnya adalah mimpi, ya mimpi yang sangat Gua takuti.
Bulan itu, juni 2008 pukul dua pagi Gua terbangun karena sebuah mimpi buruk. Selama Gua hidup, Gua jarang, bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Gua bermimpi buruk. Gua terduduk di atas kasur, menyandarkan punggung ke dinding kamar lalu menyeuka keringat di wajah ini. Kemudian Gua menatap istri Gua yang masih tertidur pulas, Gua menatapnya lama, memperhatikannya dalam kamar yang cahayanya redup ini.
Gua memegangi wajahnya dan merapihkan helaian rambut yang sedikit menutupi wajahnya itu, lalu Gua mencium pipi dan keningnya, tanpa terasa airmata Gua mengalir sendiri tanpa bisa Gua tahan. Entah kenapa saat itu Gua takut kehilangan istri tercinta Gua. Beberapa saat kemudian Gua bangun dari kasur dan menuju kamar mandi, mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka'at, meminta ketenangan hati dan bathin sekaligus memohon kepada Sang Maha Pelindung agar Gua dan keluarga Gua selalu berada dalam lindungan-Nya.
... ... ... Memasuki bulan juli Gua masih melakukan kegiatan magang di hotel, sedangkan istri Gua berada di rumah bersama Mba Laras dan juga Nenek yang selalu menemaninya. Istri Gua memang sudah mengambil cuti kuliah, dan kegiatan magang Gua pun akan berkahir di bulan ini. Tinggal satu minggu lagi saat itu Gua selesai magang. Beberapa hari berlalu, semuanya terasa normal dan berjalan dengan baik.
Tibalah saatnya Gua mengajukan cuti selama satu semester dan langsung disetujui oleh pihak kampus. Selesai sudah memberikan laporan magang selama tiga bulan belakangan ini, yang laporan tersebut dibantu oleh Kinan dan Lisa. Kemudian masa cuti kuliah itu Gua isi dengan hari-hari bersama istri tercinta Gua, menemaninya berbelanja kebutuhan anak kami ketika nanti lahiran.
Gua dan Echa sedang berada di mall, lebih tepatnya toko perlengkapan bayi di ibu kota. Kami berdua membeli berbagai macam perlengkapan bayi, dari mulai kereta bayi, pakaian, alat mandi dan segala macam kebutuhan bayi kami beli saat itu. Selesai berbelanja dan membayarnya, kami berdua pergi ke salah satu mall lagi, makan siang di resto favorit istri Gua.
"Nda, abis dari sini kita langsung pulang ?", tanyanya ketika selesai makan. "Iya Bun, kamu mau kemana lagi emang " Masih ada yang mau dibeli gitu ?".
"Enggak sih, cuma aku pingin beres-beres rumah baru kita aja, biar nanti minggu depan udah bisa pindahan", jawabnya.
"Ooh, ya gampang itu ma, nanti kita minta tolong Bibi aja untuk beres-beres ya, kan kamu gak boleh capek sayang", ucap Gua lagi.
"Iya, tapi kan aku mau nata barang-barangnya, cuma liatin aja kok". "Hehehe.. Jadi mandor gitu ya " Hehehe".
"Iih dasar, tapi iya juga sih, hihihihi..".
Singkat cerita satu minggu kemudian masih di bulan juli, kami berdua bersama kedua mertua Gua dan Mba Laras sedang berada di rumah baru kami. Alhamdulilah rumah sudah bisa ditempati oleh Gua dan istri, penataan barang pun sudah selesai ditata sesuai kemauan istri Gua. Sementara Gua dan Echa menempati kamar di lantai satu, di dekat ruang tv. Gua dan Echa sepakat mengajak Mba Laras tinggal bersama kami di sini, Mba Laras menempati kamar lantai satu juga, yang berada di dekat tangga ke lantai dua. Seorang asisten rumah tangga dihadirkan oleh Mamah mertua Gua, untuk membantu bersih-bersih rumah dan segala macam keperluan kami.
Di akhir bulan juli kami mengadakan pengajian, acara syukuran atas rumah tersebut, sekalian silaturahmi kepada warga sekitar, dan mengundang tetangga dekat rumah, tidak lupa juga mengundang ketua Rt dan Rw setempat. Alhamdulilah semuanya berjalan lancar, keluarga kecil Gua ini kini sudah berada di tengah-tengah komplek perumahan ini, menjadi bagian warga di sini.
Tentu saja atas segala apa yang Gua miliki sekarang adalah pemberian dari ALLAH SWT. Gua mengucap syukur atas pemberiannya ini, dan Gua sangatlah beruntung memiliki istri seperti Elsa Ferossa, dia tidak henti-hentinya mengingatkan Gua untuk selalu beribadah, mengucap syukur kepada Tuhan, menyisihkan sebagian rupiah untuk membantu orang lain, dan selalu mengingatkan Gua untuk shalat berjama'ah di masjid selama Gua cuti menemaninya.
... Bulan Agustus 2008. Waktu dimana istri Gua sudah akan melahirkan bayi kami ke dunia, rasa bahagia dan sedikit rasa cemas dalam hati ini bercampur menjadi satu. Jelas Gua bahagia karena sebentar lagi anak kami akan lahir, akan ada tangis seorang bayi ditengah-tengah keluarga kecil ini, akan ada suara rewel bayi yang meminta susu, akan ada suara imut nan lucu yang memanggil 'ayah' dan 'bunda'. Cemas, karena ini adalah pengalaman pertama bagi kami untuk menyambut itu semua, tentu siapapun di dunia tau, bahwa proses melahirkan bukanlah perkara mudah. Ada nyawa di sana yang dipertaruhkan.
15th August 2008. Sore ini, Gua pergi sendirian ke sebuah mall di ibu kota. Saat itu Gua naik ke lantai dua, memasuki toko perhiasan yang ada di sana. Gua memilih sebuah cincin yang beberapa bulan lalu sempat menyita perhatian istri Gua. Dan janji Gua pun alhamdulilah bisa Gua tepati, Gua membelinya dengan hasil uang yang Gua kumpulkan dari gaji Gua selama tiga bulan magang.
Selesai membeli cincin, Gua pun turun ke lantai basement, kembali ke parkiran dan masuk ke dalam mobil untuk pulang ke rumah. Baru saja Gua menyalakan mesin mobil, hp Gua bergetar tanda panggilan masuk.
Quote:Percakapan via line :
Mba Laras : Assalamualaikum Za, dimana ".
Gua : Walaikumsalam Mba, aku baru aja mau pulang nih, lagi di parkiran sih. Mba Laras : Oh gitu, kamu jangan terlalu ngebut ya bawa mobilnya Za.
Gua : Iya Mba, Mmm.. Emang kenapa Mba " Tumben ingetin aku jangan kebut-kebutan.
Mba Laras : Iya, ini.. Istri mu mau melahirkan, sekarang kami sudah di jalan mau ke rumah sakit. Kamu langsung ke rumah sakit aja nanti ya, janjian di sana.
Gua : Hah " Echa udah mau ngelahirin Mba ".
Mba Laras : Iya Za, tadi air ketubannya udah keluar.
Gua : Loch " Tapi.. Tapi tapi enggak apa-apa kan " Echa sehatkan Mba ".
Mba Laras : Reza.. Istigfar, enggak apa-apa kok Za, ini normal. Jangan terlalu khawatir, Echa nya aja biasa aja kok, tuh duduk santai. Yaudah ya, inget jangan kebut-kebutan bawa mobilnya ya, biar semuanya selamat. Jangan melamun, tenangin dulu pikiran kamu, disini ada Mba, Nenek dan mertua kamu yang nemenin. Oh ya, ada teman kamu juga, dia bawa mobil sendiri tuh di belakang, gak sengaja ketemu pas tadi keluar rumah waktu kami mau berangkat.
Gua : Ii.. Iya iya Mba, insya Alloh Eza hati-hati bawa mobilnya. Tolong temenin Echa ya Mba, segera mungkin Eza sampai di rumah sakit. Oh ya, temen " Siapa Mba ".
Mba Laras : Luna, ternyata dia tetangga kalian, rumahnya gak jauh dari rumah mu, masih satu blok padahal. Ya sudah jangan lupa berdo'a ya Za. Ketemu di rumah sakit ya sayang. Gua : Iya Mba iya, oke... Eza berangkat sekarang nih, makasih Mba.
* * * Quote: Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi." ~ QS.12.43
Mereka menjawab: "(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menakbirkan mimpi itu." ~ QS.12.44
Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) menakbirkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya)." ~ QS.12.45
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." ~ QS.12.46
Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. ~ QS.12.47
Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. ~ QS.12.48
Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur." ~ QS.12.49
Part 66 Downfall I Semilir angin pantai yang cukup kencang membuat helaian rambut wanita ini menutupi sebagian wajahnya. Gua berdiri tepat di sampingnya, menggenggam tangan kirinya dan menatapnya cemas. Saat itu langit berwarna gelap, guratan-guratan cahaya yang membelah awan mendung terlihat cukup jauh dari tempat kami berdiri.
Wanita ini menyandarkan kepalanya pada bahu lengan kanan Gua, lalu dia mendongakkan kepala untuk menatap Gua.
"Za, indah ya ?".
Gua menghela nafas pelan, lalu melirik kepadanya. "Indah " Apa yang indah ?", tanya Gua balik.
"Pemandangan laut itu, liat tuh, tenang banget kan " Gak ada ombak, cahaya senjanya menyinari air laut, kemilaunya bagus banget, aku selalu suka suasana pantai seperti ini..", jawabnya seraya menatap kedepan.
Gua mengerenyitkan kening mendengar ucapannya, lalu ikut menatap ke depan, memandangi laut yang sama, memandangi langit yang sama, tapi kenapa dia bilang semua itu indah ". Dari mata ini, Gua tidak melihat keindahan. Dari mata ini, Gua tidak melihat laut yang tenang. Dari mata ini, Gua tidak melihat langit yang menampakkan senja. Apa maksud dari ucapannya ".
Beberapa saat kemudian, Gua berbisik kepadanya. "Sayang, udah yuk, kita pulang, kayaknya sebentar lagi akan ada badai..", ucap Gua sambil melingkarkan tangan kanan ke pinggangnya.
"Pulang " Aku masih mau di sini, masih ingin liat senja tenggelam, gak akan ada badai kok Za.. Sebentar ya".
"Senja ?", "Cha, gak ada senja di sana, kamu gak liat apa itu ombak yang bergulung " Langit yang gelap dan suara gemuruh petir itu Cha ?".
Echa memegang kedua tangan Gua, kini kami saling berdiri berhadapan. "Apa yang tampak saat ini bukanlah kenyataan Za.. Kamu takut akan badai itu ?".
Gua memeluknya, mendekap kepalanya ke dada ini, lalu mencium ubun-ubunnya. "Cha, aku gak takut untuk berada di tengah badai, aku gak takut untuk terhempas karena angin kencang, aku gak takut karena ini semua bukanlah kenyataan.. Seperti yang kamu bilang".
"Kalau begitu apa yang kamu takutkan ?".
"Aku takut kalau kamu gak ada di sampingku Cha, aku takut berada dalam gelap tanpa kamu".
"Aku ada di sini Za, aku akan selalu ada di samping kamu, memeluk kamu dan menemani kamu, selamanya".
Butiran air turun dengan cepatnya dari atas langit yang sudah gelap, membasahi semua yang berada di bawah sini. Kami berdua bermandikan air langit itu, gemuruh petir begitu cumiakan telinga, suara deru ombak yang menggulung semakin membuat suasana di pantai ini semakin kelam. Tidak ada keindahan yang tampak dari semua pemandangan ini.
Tubuhnya hilang seketika dalam dekapan Gua. Gua berdiri sendiri di tepian pantai yang entah ada dimana, segalanya terasa nyata saat itu. Gua menyapu pandangan ke sekeliling pantai ini, dan tidak ada keindahan di sini, tidak ada. Gua berlari menyusuri pantai, mencari sosok wanita yang Gua cintai, tapi sejauh Gua berlari dan mencari, Gua tidak dapat menemukannya.
Nafas Gua terengah-engah. Gua berlutut karena kelelahan. Lambat laun pandangan Gua kabur dan kesadaran Gua hilang, hilang ditelan mimpi buruk ini.
... Gua mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang di jalan tol, kadang harus pelan sekali karena padatnya kendaraan, sampai ketika Gua harus menghentikan mobil karena panjangnya antrian kendaraan saat akan keluar pintu tol. Mimpi buruk beberapa hari lalu tiba-tiba saja terbayang di lamunan Gua, tapi Gua langsung tersadar ketika sebuah klakson mobil yang berada di belakang Gua cukup cumiakan telinga. Dengan perlahan Gua memindahkan persneling dan menginjak pedal gas.
Sekitar pukul setengah tujuh malam Gua sampai di rumah sakit, setelah sampai di parkiran, Gua langsung menelpon Mba Laras untuk menanykan keberadaan mereka, kemudian Gua berlari kecil melewati koridor rumah sakit ini hingga sampai di depan pintu ruang bersalin. "Za..", ucap Mba Laras sambil tersenyum dan berdiri dari bangku ruang tunggu. Gua melihat Mba Laras, Papah mertua Gua, Nenek, dan Luna berada di sini.
"Hai Mba", balas Gua lalu menghampirinya.
Gua mencium tangan Mba Laras, lalu mencium tangan Papah mertua dan Nenek juga. Kemudian bersalaman dengan Luna.
"Gimana keadaan istri ku Mba " Dia udah melahirkan ?", tanya Gua.
"Belum Za, dia masih di dalam ditemani Mamahnya, baru pembukaan empat katanya, kamu bisa masuk dulu, sana temui istri mu Za", jawab Mba Laras.
Gua pun mengetuk pintu ruangan itu, lalu membukanya. Di dalam sana Gua melihat dua orang suster dan satu orang dokter. Lalu Gua masuk sambil permisi.
"Maaf Sus, saya suaminya Elsa, bisa saya bertemu dengan istri saya ?", tanya Gua ketika sudah berada di dalam.
"Oh silahkan duduk dulu Mas", ucap Suster tersebut seraya mempersilahkan Gua duduk di depan meja dokter.
Gua pun berjalan dan duduk bersebrangan dengan dokter yang sedang membaca dokumen. Entah dokumen apa.
"Saya dokter yang akan menangani persalinan Ibu Elsa..", ucap dokter tersebut seraya mengulurkan tangannya kepada Gua.
Gua pun menyambut jabat tangan tersebut. "Iya Dok, saya Reza, suaminya Elsa.. Jadi gimana Dok ?", tanya Gua.
"Ya kalau dilihat dari kondisi istri anda saat ini, kita masih menunggu pembukaan lima, memang masih ada tahap pembukaan lainnya hingga pembukaan kesepuluh, tapi alhamdulilah kondisi Ibu Elsa dan bayi di dalam kandungannya baik.. Nah sekarang, saya minta anda berdo'a kepada Tuhan, agar proses persalinan ini bisa berjalan baik", jawab Sang Dokter.
"Iya alhamdulilah kalo gitu, pasti saya mendo'a kan semuanya agar berjalan lancar dan selamat untuk istri dan anak kami. Ah iya.. Apa saya masih bisa melihat istri saya dulu Dok ?", tanya Gua lagi.
"Oh boleh, silahkan anda lihat di ruangan sebelah, istri anda masih merasakan kontraksi, tenang saja itu hal yang normal".
Setelah mendapat izin, Gua berdiri lalu berjalan kearah pintu bagian lainnya di dalam ruangan ini, Gua membuka pintu tersebut lalu berjalan masuk mendekati ranjang yang berada di sisi kiri dan melihat Mamah mertua Gua sedang duduk di samping anak tercintanya, menggenggam tangannya sambil melantunkan do'a. Gua mencium tangan beliau lalu tersenyum kepada istri Gua yang sedang berbaring.
Terlihat dari wajahnya rasa sakit yang ia tahan, Gua rasa dia sedang merasakan kontraksi pada rahimnya. Setelah Mamah mertua Gua berdiri dan memberi ruang untuk Gua mendekati istri, Gua menggenggam tangan kirinya dengan tangan kanan, lalu tersenyum sambil mengusap lembut keningnya yang sedikit basah karena keringat.
"Hai sayang", sapa Gua.
Echa hanya tersenyum sambil berkedip.
"Gimana " Kamu.. Kamu baik-baik aja kan ?", tanya Gua.
"Do'a kan akunya ya sayang.. Semoga proses lahirannya lancar..", jawabnya dengan suara yang cukup lembut.
Gua tersenyum kepadanya. "Iya sayang, pasti.. Pasti aku do'a in kok Cha.. Kamu kuat ya, demi anak kita, demi semuanya", jawab Gua lagi.
"Iya Za, insha Alloh aku kuat, kamu udah shalat maghrib belum ?". "Eh, belum..", jawab Gua.
"Loch.. Shalat dulu sayang, biar tenang", ucapnya lagi.
Gua mengangguk sambil tersenyum. Lalu tidak lama Echa merintih kesakitan, Mamah mertua Gua dengan segera memanggil perawat dan dokter, kemudian dua orang suster datang bersama dokter yang sebelumnya Gua temui. Dengan cekatan kedua suster tersebut melepaskan akseosris yang masih dipakai istri Gua, dari mulai kalung, jam tangan, cincin dan gelang. Lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik kemudian diserahkan kepada Gua. Tidak lama, dokter memberitahukan kalau istri Gua akan diganti pakaiannya, setelah itu Gua, Mamah mertua dan dokter tersebut keluar ruangan, sedangkan Echa bersama dua suster tadi masih di dalam sana.
"Istri anda sedang mengalami proses pembukaan lima", ucap dokter kepada Gua ketika kami berjalan keluar.
"Mm.. Itu enggak apa-apa ya Dok ?", tanya Gua sedikit cemas.
"Oh itu normal kok Mas, gak apa-apa, sekarang berdo'a saja dulu ya Mas", ucapnya lagi.
Gua hanya menganggukkan kepala lalu bergegas keluar ruangan dan pergi ke musholla rumah sakit. Selesai berwudhu, Gua melaksanakan ibadah tiga raka'at, lalu Gua duduk bersila di dalam musholla ini, berdo'a setelah shalat, memohon perlindungan dan keselamatan untuk istri dan anak Gua.
"Ya ALLAH Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Aku memohon keselamatan atas istriku Elsa Ferossa binti Wisnu, agar hari ini, proses persalinannya bisa berjalan dengan lancar dan baik...
Lindungilah istri hamba Ya ALLAH..
Selamatkanlah ia dalam proses melahirkan anak kami... Anak yang Engkau titipkan kepada kami... Kurangilah rasa sakit yang akan ia derita...
Berikanlah ia kekuatan untuk melahirkan anak kami...
Aku memohon kepada Mu Ya ALLAH, selamatkanlah jiwa raga istri hamba dan anak hamba... Kami berserah kepada Mu Ya ALLAH, ampunilah segala dosa hamba dan dosa istri hamba, aku titipkan keselamatannya kepada Mu Ya ALLAH...
Ya ALLAH Ya Tuhanku... Hanya kepada Mu lah hamba berserah, hanya kepada Mu lah hamba meminta, hanya kepada Mu lah hamba menyembah, maka tolonglah istri hamba Ya ALLAH... Aamiin.. Aamiin.. Aamiin Yaa Rabbal 'Alamiin...
Saat itu, Gua masih ingat hal di atas, ketika Gua berdo'a kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan istri Gua.
... Selesai beribadah, Gua kembali berkumpul di depan ruangan bersalin bersama keluarga. Saat itu Gua mengajukan diri untuk menemani istri Gua melakukan proses persalinan, tapi ternyata tidak semudah itu diberikan izin untuk menemani orang yang akan melahirkan. Gua harus di cek tensi darah terlebih dahulu, dan hasilnya tensi darah Gua drop, alias turun, rendah. Yang mana membuat Gua tidak di izinkan menemani istri Gua, karena tekanan darah Gua yang rendah bisa menyebabkan terhambatnya proses persalinan istri, maksudnya bahaya jika pada saat dokter dan suster sedang membantu istri Gua melahirkan, sedangkan Gua jatuh pingsan karena tekanan darah rendah tersebut, tidak mudah berada di dalam, melihat orang yang mempertaruhkan nyawa serta banyaknya darah yang akan terlihat. Begitupun dengan Mamah mertua Gua, beliau pun ternyata tekanan darahnya rendah, dan akhirnya hanya Mba Laras lah yang mendapatkan izin untuk menemani Echa selama menjalani proses persalinan di dalam ruangan tersebut.
Sekitar pukul setengah delapan malam Echa di pindahkan ke ruangan lainnya. Ranjang yang beroda itu di dorong oleh dua orang suster, serta satu dokter berada di depan. Ketika itu Gua mendekatinya, suster pun menghentikan laju dorongan ranjang tersebut.
"Cha.. Yang kuat ya sayang, insha Alloh kamu bisa melewati ini semua dengan lancar.. Aku do'a kan kamu sayang, maaf aku gak bisa nemenin kamu di dalam nanti, maaf Cha..", sesal Gua.
"Iya Za gak apa-apa sayang, yang penting kamu berdo'a ya untuk aku dan anak kita..", jawabnya seraya menahan perih.
Gua mengangguk, lalu ranjang itupun kembali di dorong oleh kedua suster, Gua mengikuti mereka bersama Mba Laras di sisi lain ranjang. Tidak jauh memang ruangan yang akan menjadi proses persalinan itu, lalu pintu di buka, sebelum istri Gua dan Mba Laras masuk ke dalam sana, Echa menahan tangan salah satu suster, melirik kepada Gua dan tersenyum.
"Jagain anak kita ya sayang...", ucapnya pelan.
Sedetik kemudian kilatan cahaya putih menyinari istri Gua, hanya sekejap, dengan diiringi bunyi shutter camera yang digenggam oleh seorang wanita dari sisi kiri ranjang istri Gua. "Luna ?", ucap Gua melirik kepada Luna yang entah sejak kapan dia berada diantara kami.
Mba Laras tersenyum lalu dia masuk ke dalam ruangan itu, bersama Echa dan para petugas medis, dan pintu itu pun tertutup rapat.
"Aku kebetulan baru pulang dari Bandung Za, jalan-jalan sama teman kampus ke lembang...", ucap Luna ketika Gua sudah duduk di bangku besi panjang, samping pintu ruangan tersebut. Lalu Luna duduk di samping Gua.
"Oh, terus katanya kamu tinggal di deket rumah aku dan Echa ?", tanya Gua balik.
"Iya, aku gak sengaja liat Mba Laras dan istri kamu pas mau masuk mobil, sebelum pergi ke rumah sakit ini",
"Aku berhenti dan turun dari mobil, ya nyapa mereka, eh taunya Echa udah mau melahirkan, jadi aku ikut sekalian kesini", jawabnya.
"Mmm.. Makasih ya Lun, udah bantu dan nemenin keluarga ku".
"Ah enggak Za, cuma kebetulan aja, oh ya kamu dari mana tadi ?".
Gua pun menceritakan saat Gua membeli sebuah cincin untuk istri Gua di salah satu mall di jakarta kepada Luna.
"Seneng banget pasti Echa selesai ngelahirin dikasih kejutan sama kamu, apalagi kamu beli dengan hasil kerja kamu sendiri", ucapnya.
"Ya mudah-mudahan dia suka".
Tidak lama Nenek Gua dan kedua mertua Gua datang, kemudian duduk diantara kami. Ternyata mereka baru selesai shalat isya. Lalu Gua pamit sebentar untuk kembali ke musholla untuk shalat isya. Beribadah lagi dan memohon keselamatan lagi kepada Sang Maha Pelindung untuk istri Gua yang sedang berjuang melahirkan anak kami.
Selesai beribadah, Gua berjalan keluar musholla, Gua menyusuri selasar rumah sakit, melirik ke jam tangan di pergelangan tangan kiri, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, sudah cukup malam ternyata.
Dari ujung sini, Gua bisa melihat Mba Laras baru saja keluar ruangan dimana istri Gua melakukan proses persalinan, tidak lama kemudian seorang suster mendorong sebuah ranjang bayi, keluarga Gua langsung menghampiri suster tersebut, melihat kepada ranjang mungil yang diatasnya berbaring seorang anak yang baru lahir. Luna dengan cekatan memotret tanpa menggunakan flash. Kemudian suster itu kembali berjalan, mendorong keranjang bayi itu ke ruangan lain, yang tidak jauh dari sana. Gua menghampiri Mba Laras yang sedang tersenyum, kemudian dia memeluk Gua. "Selamat sayang, anak kalian perempuan.. Alhamdulilah Za", ucapnya.
Mata Gua berbinar mendengar ucapan Ibu Gua, kebahagiaan yang Gua rasakan meletup-letup di dalam hati.
"Alhamdulilah Ya ALLAH", ucap Gua,
"Eh iya, itu tadi anak ku Mba " Yang baru masuk ke ruangan ini ?", tanya Gua seraya menunjuk ruangan di sisi kiri kami.
Mba Laras tersenyum kepada Gua seraya mengangguk cepat. "Iya sayang, tadi itu anak kamu.. Ayo sana masuk, lihat dia", jawabnya.
Gua melangkah ke pintu ruangan itu, mengetuknya tiga kali dan langsung dibuka dari dalam oleh seorang suster. "Ya Mas " Ada yang bisa dibantu ?", tanyanya. "Saya mau lihat anak saya Sus, boleh saya masuk ?". "Atas nama Nyonya siapa ya ?".
"Oh Nyonya Elsa, ya Elsa nama istri saya", jawab Gua.
"Oh iya yang baru masuk tadi ya bayinya, boleh Mas, silahkan pakai dulu baju steril dan cap nya, dan jangan lupa basuh tangannya dengan sanitizer di situ ya Mas", jawabnya.
Gua memasuki ruangan tersebut setelah mengenakan pakaian berwarna hijau yang tergantung di dinding dan mengenakan cap penutup kepala, lalu membersihkan tangan dengan sanitizer. Kemudian barulah Gua berjalan ke sisi kanan, dimana ada beberapa ranjang berukuran kecil yang sudah terisi bayi-bayi lucu dan imut, ada yang tertidur, dan ada pula yang menangis. Gau membaca setiap papan informasi yang ditempel pada ujung bawah ranjang kecil itu, mencari nama istri Gua. Setelah melewati dua ranjang bayi, Gua menemukan nama yang tertulis pada papan informasi tersebut, 'Bayi Ny. Elsa'.
Gua berhenti dan berdiri tepat di depannya, tersenyum dan melongok dari atas kepada seorang bayi yang sedang menguap tanpa suara, matanya terpejam, tangannya sedikit bergerak. Lalu Gua melihat lagi papan tersebut. Membaca informasi yang ada disitu. Berat badan 3,8 kilogram dengan tinggi 52 cm, jenis kelamin perempuan.
Mata Gua berkaca-kaca, menatap kepada buah hati Gua dan Echa. Lalu seorang suster kembali menghampiri dengan selimut yang langsung ia kenakan kepada anak Gua itu. "Mau di adzanin ya Mas ?", tanya Suster tersebut setelah selesai menyelimuti anak Gua. "Oh... Ii.. Iiya Sus.. Ini mau saya adzanin dulu", jawab Gua tersadar.
Setelah Suster itu berlalu, Gua pun mendekati si bayi perempuan lucu ini, menurunkan tubuh, dan mendekatkan wajah ke sisi telinga kanannya. Hati Gua bergetar, nafas Gua tertahan sejenak, mata Gua terpejam.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, lalu Gua mengumandangkan adzan dengan intonasi suara yang bergetar, tepat di telinga kanan sang buah hati.
Airmata Gua mengalir dengan sendirinya hingga selesai mengumandangkan adzan, Gua usap airmata bahagia ini. Lalu mengecup kening sang bayi perempuan itu dan membelai lembut pipinya yang chubby.
"Nak, selamat datang di dunia ini, semoga kamu bisa menjadi anak yang solehah ya sayang... Kamu lah permata Ayah dan Bunda... Menangislah sayang, menangislah yang keras agar dunia mengetahui kehadiran mu..."
Tidak lama kemudian Gua mengabadikannya lewat kamera hp beberapa kali. Lalu tersenyum kepadanya. Kepada anak Gua dan Echa.
... Gua keluar ruangan bayi dan kembali berjalan menghampiri keluarga, di sana masih lengkap seperti awal Gua datang ke rumah sakit sore tadi. Mba Laras mendekati Gua lagi, tapi kali ini raut wajahnya sendu.
"Za, do'a nya untuk Elsa ya Za..", ucapnya seraya memegang bahu kanan Gua. "Kenapa Mba " Kenapa sama Echa ?".
"Dia mengalami pendarahan...".
Gua tercekat, terkejut mendengar ucapan Ibu Gua ini. "Maksudnya gimana " Kok bisa Mba ?", tanya Gua dengan perasaan yang semakin cemas.
"Kamu tenang dulu, pendarahan memang biasa terjadi setelah persalinan, sekarang Elsa lagi ditangani oleh dokter di dalam sana, insha Alloh dia baik-baik Za.. Kamu berdo'a pada Tuhan ya sayang, untuk Elsa..".
Gua menatap nanar wajah Mba Laras, tubuh Gua lemas, rasanya jantung Gua pun berdegup kencang mendengar kondisi istri Gua di dalam sana. Lalu Gua bersandar pada dinding dan lambat laun turun, berjongkok di sebrang pintu ruangan, dimana istri Gua sedang berjuang pasca melahirkan. Kedua tangan Gua menutupi wajah, lalu Gua kembali memohon kepada Tuhan, agar istri Gua, Echa, Elsa Ferossa diberikan keselamatan.
Entah sudah berapa lama kami menunggu di luar sini, kami semua berdo'a untuk orang yang kami cintai, untuk orang yang kami sayangi, untuk seorang wanita yang baru saja melahirkan seorang bayi perempuan beberapa jam yang lalu.
Gua menatap pintu ruangan di depan sana, dan pintu itupun terbuka sedikit, seorang suster melongokkan kepalanya keluar. "Suami Nyonya Elsa... Apakah ada suami Nyonya Elsa ?", tanyanya seraya menyapukan pandangan kepada kami yang berada di luar ini. "Za.. Eza.. Hey..".
"Reza... Reza Agathadera!".
"Eh iya.. Kenapa ?", Gua tersadar lalu berdiri dengan memegangi dinding di belakang Gua. "Mas silahkan masuk kesini..", ucap Suster tersebut kepada Gua.
Lalu pintu itu kembali tertutup bersamaan dengan Suster yang kembali memundurkan wajahnya. Gua masih terbengong menatap pintu itu, sedetik kemudian suara Mamah mertua Gua kembali menyadarkan Gua.
"Za, sana masuk dulu, kamu dipanggil".
Gua menganggukkan kepala lalu berjalan kearah pintu tersebut.
Gua berdiri tepat di depan pintu, lalu tangan kanan Gua memegangi handle pintu itu, menurunkannya perlahan dengan sedikit mendorongnya kebagian dalam. Gua menghembuskan nafas perlahan dan mendorong lagi pintu tersebut.
Gua berhenti melangkah ketika cahaya lampu dari dalam sana menyeruak kearah luar ruangan. Gua tertegun lalu menengok ke belakang, melihat keluarga Gua, di sana ada Mba Laras, Papah serta Mamah mertua Gua, lalu ada Nenek dan Luna. Tapi bukan mereka yang menjadi perhatiaan Gua.
Gua menatap mata, entah berapa pasang mata, mungkin puluhan, bahkan mungkin ratusan... Memandang kearah Gua yang masih berdiri di depan pintu ini. Gua melihat kalian, ya kalian para pembaca kisah ini. Genggam erat tangan ini, basuh segala nestapa yang ada dalam diri ini. Kuatkan iman dan jiwa ini agar aku mampu berserah kepada-Nya.
In Erinnerung "Pada satu masa kita pernah bersama, menerima hal baik dan buruk demi sebuah nama cinta.
Kita adalah hati... Yang tak pernah berhenti untuk meraih mimpi. Kita adalah hati... Yang selalu ada untuk saling melengkapi. Kita adalah hati... Yang menyimpan perasaan murni.
Dan kita adalah hati... Yang melahirkan cinta diantara kemunafikan diri.
Jika akhir adalah sebuah permulaan yang baru, maukah kau melewatinya " Ini berat, dan memaksakan bukanlah pilihan yang tepat.
Bangunlah, katakan pada dunia bahwa kita masih berdiri di sini. Dan ini semua baru di mulai." ~ Agathadera.
Quote:Gua masuk kedalam ruangan tersebut dan mengenakan baju steril berwarna hijau dan cap untuk menutupi kepala, setelah itu Gua mengikuti suster tersebut kearah bagian dalam ruangan lagi, satu pintu kembali kami lewati. Baru saja Gua masuki ruangan ini, seorang dokter menghampiri Gua, sementara itu, dua orang suster sedang berada di dekat ranjang di depan sana bersama dua orang perawat laki-laki.
Dokter yang sudah berdiri di depan Gua memegang bahu kiri ini. "Saya sudah mengusahakan yang terbaik, saya bersama tim medis telah berusaha semampu kami, tapi pendarahannya terlalu banyak Mas... Mohon maaf, mungkin ini sudah takdir dari Tuhan, semoga anda tabah menghadapi cobaan ini...".
Gua tersenyum kepada dokter tersebut dengan tangan yang sudah bergetar, airmata Gua mulai mengalir deras, lalu sang dokter melangkah ke sisi kanan Gua, memberikan ruang untuk Gua melangkah lagi. Gua melangkah dengan pelan karena rasanya tubuh ini lemah, seolah-olah Gua merasakan ada beban pada pundak ini. Gua menutupi mulut dengan tangan kanan ketika dengan mata kepala Gua sendiri memandang kearah ranjang rumah sakit yang cukup besar itu.
Disana terbaring seorang wanita yang Gua cintai. Beberapa perawat dan petugas medis bergeser menjauh dari ranjang ketika Gua sudah berdiri tepat di sisi kiri istri Gua.
Wajahnya pucat pasi, tidak ada lagi senyuman yang terukir dengan manis di wajahnya. Bercak darah pada pakaian bersalin masih terlihat jelas, begitupun ranjang bagian bawah dekat kakinya. Bruk... Gua jatuh berlutut di samping ranjang.
Dua orang perawat mendekati Gua dan mencoba memegangi tubuh ini, tapi langsung Gua tepis dengan kasar. Mereka pun membiarkan Gua.
Gua menangis tanpa suara, tangan Gua memegang erat tangan kiri istri Gua itu, masih terasa kehangatan dari tubuhnya yang lambat laun menjadi dingin. Wajah ini terbenam ke sisi ranjang, tubuh Gua bergetar dengan nafas yang memburu.
"Sa, Ini aku, Agha.. Suami kamu..", "Sayang, aku disini, anak kita udah lahir Sa.. Dia mirip sama kamu Sa.. Matanya, hidungnya, rambutnya, bibirnya, mirip semua sama kamu Sa.. Dia cantik seperti Bundanya.. Seperti kamu Sa..".
Suara Gua tercekat, tangis Gua kembali pecah, dan kali ini Gua tidak dapat menahan suara dari tangisan yang menyayat hati ini. Gua menciumi punggung tangan kiri istri Gua.
Lalu Gua berusaha berdiri, Gua mengambil sebuah kotak kecil dari saku celana, lalu membukanya. Gua mengambil sebuah cincin berbalut emas putih.
"Sayangku... Ini cincin yang kamu mau, aku beli dengan uang ku sendiri sayang... Uang dari hasil kerja ku, bukan dari tabungan ku Sa...",
"Indah kan Sa.." Aku tau kamu pasti suka.. Ya aku tau".
Lalu Gua meraih tangan kanannya, dan memegang jari manisnya. Aliran hangat pada tubuhnya mulai memudar, terasa hilang dan dingin. Dengan tubuh yang masih bergetar Gua berusaha memasukkan cincin itu ke jari manisnya, tapi rasanya sulit sekali, sulit bagi Gua memasukkan cincin tersebut dengan tangan yang tidak bisa berhenti bergetar.
Pluk.. Cincin itu jatuh keatas tubuh istri Gua.
Seketika itu Gua sudah tidak bisa menahan lagi perasaan yang sudah hancur dan luluh lantak di dalam hati ini. Gua rubuh, tubuh Gua jatuh di atas tubuh istri yang Gua cintai selama ini, Gua mendekapnya dan menciumi pipinya. Lalu mata Gua terpejam dan Gua berteriak hingga tenggorokan Gua terasa sakit...
"REEEESSSSSSAAAAAAAAAA!!!"
Dalam Kenangan Ressa Ferossa ~ 15.08.08
. . . . . . Harapan kami, kalian bisa meluangkan sejenak waktu kalian untuk mengirimkan do'a untuk almarhumah Ressa Ferossa binti Pulan, agar amal ibadahnya diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa & diampuni segala dosa-dosa nya.. Terimakasih.
Author's Notes Sembilan tahun kurang tiga bulan sudah Istri Gua Ressa Ferossa berpulang ke alam yang kekal abadi. Dimana tidak ada lagi manusia yang bisa menyakitinya.
Malam hari kemarin, tanggal 19 mei 2017, sekitar pukul dua pagi Gua baru saja selesai mengetik draft part 66, dan sudah dari jauh-jauh hari, Gua berjanji ketika cerita ini akan dipublikasikan, khusus part tentang kepergian Ressa, Gua pasti bersuci terlebih dahulu sebelum mulai mengetiknya. Dan tentu saja berdo'a untuk mendiang istri tercinta.
Ya, benar kata kalian, tidaklah mudah menuangkan kenangan pahit yang pernah kita alami ke dalam sebuah cerita, walaupun kejadian tersebut sudah berlalu sekian tahun lamanya.
Istri Gua, Bunbun, selalu khawatir akan hal ini, akan hal yang selalu menjadi momok menakutkan bagi Gua dan dirinya. Apa yang sudah Gua lalui memang berat, teramat berat untuk Gua tanggung sendiri ketika itu, maka logika dan hati Gua pun tidak sanggup menerima cobaan yang Tuhan berikan.
Gua jatuh ke palung gelap yang teramat dalam. Hingga iman dalam diri ini pun dipertanyakan... Apa karena terlalu banyak kehilangan " Mungkin. Ya, mungkin saja.
Karena langkah kaki Gua saat itu masih berada di jalan gelap tanpa cahaya.
Dari masa sekarang, jika Gua melihat ke masa lalu, setelah apa yang Gua lalui, ternyata ini baru setengah dari jalan gelap yang Gua tapaki.
Begitu hebat dan senangnya Tuhan memberikan Gua cobaan dan ujian di saat umur Gua belum genap dua puluh tahun.
Selalu ada hikmah dibalik nestapa... Tapi sayangnya saat itu Gua tidak bisa sedikitpun melihat hikmah yang Tuhan berikan.
PART 67 Satu minggu sudah istri Gua meninggalkan berjuta kenangan dalam ingatan kami, keluarganya.
Selesai pengajian tujuh hari selepas ba'da isya, Gua masuk ke kamar di lantai dua, kamar yang pernah istri Gua ingin tempati di rumah baru ini setelah melahirkan anak kami. Tapi sayang keinginannya belum sempat terwujud. Gua duduk di tepian kasur, melihat seorang bayi yang sedang tertidur lelap dengan balutan selimut berwarna putih dengan motif kupu-kupu berwarna warni.
Gua beringsut mendekati anak Gua itu perlahan, berusaha agar tidak menimbulkan gerakan yang bisa membuatnya terbangun, setelah tepat berada di sampingnya, Gua tersenyum lalu mengecup pipinya yang merah merona.
"Hai Nak, ini Ayah, tidur yang lelap ya sayang.. Besok Ayah ajak kamu berjemur di halaman, kita sambut mentari pagi bersama-sama ya Nak..", bisik Gua dengan nada selembut mungkin.
Entahlah, seolah-olah dia mendengar ucapan Ayahnya ini, matanya bergerak walaupun masih tertutup, lalu kepalanya bergoyang ke kanan sedikit dan kembali terdiam, kembali tidur dengan damai. Gua menyeuka airmata yang sedikit keluar disudut mata ini. Lalu kembali tersenyum.
"Za, mau tidur sama kamu disini " Atau Mba bawa ke bawah ?", tanya Mba Laras dengan suara berbisik dari sisi kasur.
Gua menunjuk kasur ini, memberikan kode bahwa biarlah malam ini anak tercinta Gua tidur bersama Ayahnya. Mba Laras akhirnya keluar kamar dan membiarkan pintunya setengah tertutup, lalu Gua bangun dan melangkah ke lemari pakaian. Gua mengambil sebuah cardigans hitam milik istri Gua dan kembali ke kasur, rebahan di samping sang buah hati. Lalu Gua mendekap erat cardigans ini, mencium setiap aroma yang ditimbulkan oleh pakaian tersebut. Tanpa terasa airmata Gua kembali mengalir, merasakan setiap kehadirannya pada cardigans hitam miliknya.
Gua tau ini tidak baik, belum bisa ikhlas secara tulus melepaskan kepergian Echa. Tapi apakah semudah itu merelakannya " Tidak mungkin, sulit bagi Gua merelakan bahkan mengikhlaskan kepergian almarhumah istri tercinta Gua itu. Sekalipun ini salah, dan mungkin menghambat 'jalan' nya untuk pergi ke dimensi berbeda, biarlah Echa tetap berada di rumah ini, bersama kami keluarganya.
Gua tidak bisa memejamkan mata sekalipun airmata sudah mengering dan waktu sudah semakin larut malam. Gua bangun lagi dari kasur, lalu mengambil sebuah kelambu bayi untuk menutupi anak Gua itu, menjaga agar nyamuk ataupun binatang kecil tidak membangunkannya, kemudian Gua berjalan kearah beranda kamar, membuka pintu gesernya lalu duduk di kursi kayu beranda ini, cardigans milik istri Gua masih Gua dekap dengan erat ke dada ini, hingga kembali Gua menciumi aromanya dan menempelkannya ke hidung Gua. Gua hirup dalam-dalam aromanya sampai mata Gua terpejam.
Hembusan angin malam menerpa tubuh Gua, rasa dingin yang menyapa hingga ketulang ini semakin membuat fikiran Gua mengenang kebersamaan antara Gua dengan Echa. Jauh kenangan yang Gua bangkitkan, saat itu yang timbul adalah kenangan masa kecil kami. Sebuah adegan layaknya pada layar lebar benar-benar terlihat dengan jelas, dimana untuk pertama kalinya Gua mengenal sosok seorang gadis berpostur gendut sedang menangis karena diledek oleh temannya yang lain.
Gua mendekati mereka dan langsung memukul kepala bagian belakang salah satu anak laki -laki yang masih tertawa sambil menyebut si gendut kepada Echa kecil. Ya bisa dibayangkan, kejadian selanjutnya adalah perkelahian tiga anak lelaki melawan satu anak lelaki, jelas Gua kalah dan dikeroyok oleh mereka bertiga, tidak lama kemudian Nenek Gua datang dan memarahi tiga anak lelaki itu hingga mereka pergi meninggalkan kami.
Dari situlah awal Gua mengenal Echa, yang ternyata tetangga rumah, dan juga menjadi teman satu sekolah kelak, walaupun dia adalah kakak kelas Gua, ternyata kami menjadi dekat, menjadi sahabat, adik-kakak dan berakhir dengan hubungan suami istri untuk kami.
eorang wanita sedang memeluk tubuh Gua di dalam kamar. Dia mengelus lembut kepala ini yang berada dalam dekapan dadanya. Tubuhnya lama-lama bergetar lalu airmata nya Gua rasakan terjatuh membasahi pipi Gua.
"Ikhlasin Za, ikhlasin...", ucap Echa dengan suara parau.
Gua hanya bisa terdiam, airmata Gua sudah mengering. Tidak ada lagi semangat dalam diri ini ketika harus ditinggal pergi oleh Vera.
Segala kenangan tentang Nona Ukhti masih terngiang dalam otak ini, ya tentang dia yang pernah dekat dengan Gua. Apa yang sudah ia lalui memang terlalu sulit untuk diterima, tidak ada wanita yang sanggup menanggung kejadian mengenaskan itu. Tapi Gua berusaha untuk selalu ada di sisinya, menemaninya, mencoba mengembalikan semangat hidupnya di masa-masa sulitnya. Dan kepergiannya dari sisi Gua seolah membuat depresi yang ia alami berpindah ke dalam diri ini, tepat di saat Gua akan menikahinya.
Tapi setelah itu semua, dia hadir, hadir menemani Gua yang sudah hanyut dalam keterpurukan. Dia seperti Gua yang menemani hari-hari Vera, ya dia lah Echa, Teteh tercinta Gua. Dia tidak pernah sedikitpun meninggalkan Gua saat itu, selalu ada di saat Gua melewati hari tanpa semangat hidup. Echa adalah seorang wanita bermental kuat, keteguhan hatinya dalam mencintai seseorang tidak pernah Gua ragukan. Sulit untuknya jatuh cinta kepada orang lain jika dia sudah memilih. Berapa kali Gua mengecewakannya, berapa kali Gua menolaknya, berapa kali Gua memilih untuk berhubungan dengan wanita lain, tapi Echa " Dia tetap setia menunggu. Menunggu cintanya berbalas. Dan ironis baginya, ketika dia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan belum juga bisa membuat cintanya berbalas.
Ya Gua yang terlalu buta karena nama Vera saat itu belum bisa sepenuhnya mencintai Echa ketika kami sudah menikah. Ini memang Gila, ada yang salahkah pada diri Gua " Entahlah. Tapi semakin lama, Gua sadar, bahwa Vera telah memilih pergi dan hanya Echa seorang yang bisa menerima Gua.
Segala emosi, pertengkaran, dan amarah Gua ketika kami sudah berumah tangga tidak pernah membuat Echa pergi meninggalkan Gua.
Pernah suatu ketika Gua marah kepadanya, ya kepada istri Gua. Saat itu apalagi persoalannya kalau bukan soal Vera. Dia hanya bisa menangis ketika Gua marah dan membentaknya, lalu berlari ke kamar mandi di dalam kamar Gua. Dari luar kamar mandi, Gua hanya bisa mendengar isak tangisnya yang tidak lama sebuah kucuran air menenggelamkan suara isak tangisnya. Ketika itu, Gua masih emosi, Gua sampai menendang-nendang pintu kamar mandi, meluapkan amarah. Gua memang Gila saat itu, memperlakukan istri dengan kasar, dia yang sudah sabar dan mencintai Gua dengan tulus tidak pantas menerima itu semua.
Tapi tidak pernah sekalipun Gua menamparnya atau mengasari fisiknya. Setidaknya Gua tidak melakukan kdrt.
Malam harinya Gua tertidur, dan terbangun ketika mendengar suara isak tangis lagi. Gua membuka mata sedikit, dan melihat Echa sedang bersimpuh, menengadahkan tangannya keatas dalam balutan mukena, di atas sajadah ia berdo'a kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kalian tau apa do'a yang ia panjatkan "
"Ya Alloh Ya Tuhanku... Ampunilah segala dosa-dosa suami hamba, ampunilah dosa Reoda Agathadera bin Gibraltar... Terangilah hatinya agar mencintai hamba, istrinya yang sah. Hamba memohon kepada Mu Ya Alloh, tuntunlah suami hamba ke jalan yang benar, jadikanlah ia pemimpin keluarga yang amanah, yang mencintai keluarganya setulus hati... Hamba tau suami hamba masih mencintai wanita lain, dan hamba ikhlas dengan itu semua, tapi hamba hanya memohon, bukakanlah pintu hatinya, ketuklah hatinya agar suami hamba sadar, bahwasanya hamba lah wanita yang ia nikahi dengan janji kepada Mu."
Saat itu, saat Gua mendengar do'a nya Gua belum tersadar, ya benar Gua masih tidak peduli, bahkan setelah mendengarnya berdo'a kepada Tuhan. Gua terlalu buta akan cinta.
Tapi benar adanya, do'a dari orang yang tertindas akan selalu di dengar bahkan di kabulkan oleh Tuhan. Dan Gua bisa lihat kenyataan tersebut. Do'a istri Gua dikabulkan oleh Tuhan.
Tuhan mengetuk pintu hati Gua, menyadarkan Gua, menunjukkan bahwa Echa adalah istri Gua, istri yang patut Gua cintai setulus hati. Bukan Vera.
Tuhan menunjukkannya dengan memberikan sebuah anugerah yang paling indah dalam hidup kami. Apalagi kalau bukan kehamilan Echa. Ya, karena itulah Gua tersadar dan menyesal atas apa yang sudah Gua lakukan kepada istri Gua selama ini. Gua tersadar bahwa kini, wanita yang sudah Gua kenal sejak lama dan selalu ada di setiap langkah kaki ini berjalan ternyata adalah wanita yang tepat untuk mendampingi Gua, wanita yang sangat teramat harus Gua jaga dan mencintainya setulus hati ini. Dia lah penerang hidup Gua.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan sekarang, cahaya terang yang selalu menuntun Gua di dalam gelapnya jalan yang Gua tempuh telah redup dan hilang... Tak ada lagi sosoknya yang selalu menerangi Gua dalam jurang keterpurukan... Gua kehilangan dirinya, kehilangan sesuatu yang tidak layak Gua dapatkan... Karena Gua hanyalah seorang baajingan...
"I'm swimming in the smoke Of bridges I have burned So don't apologize
I'm losing what I don't deserve What I don't deserve"
Semuanya begitu nyata, ya kenangan itu begitu nyata terpatri diingatan Gua hingga detik dimana Gua kehilangan dirinya tujuh hari lalu.
Gua menangis lagi, tapi tanpa airmata kali ini. Mungkin sudah habis airmata ini karena selama satu minggu dan setiap malam Gua selalu menumpahkannya. Gua tersadar, kembali kepada kenyataan, kembali ke dunia ini ketika suara tangis bayi mengagetkan Gua. Seketika itu juga, Gua berlari kecil masuk kembali ke dalam kamar.
Anak Gua menangis, lalu dengan segera Gua membuka kelambunya dan melihatnya sedang terpejam namun mulutnya berteriak dan menangis cukup kencang, sampai ada seseorang yang membuka pintu kamar lebih lebar. Mba Laras berjalan masuk ke dalam kamar ini dan langsung menuju meja kayu di dekat kasur, dengan cekatan dia membuatkan susu botolan, lalu memberikannya kepada anak Gua.
Seketika itu juga bayi cantik dan lucu itu terdiam, tidak lagi ada suara tangis yang cukup kencang di malam hari ini. Berganti dengan suara sedotan kuat dari mulutnya yang sedang menyedot susu botol. Mba Laras melirik kepada Gua di sisi kanan, sambil bertanya 'kenapa "' tanpa suara. Gua mendekatinya, lalu rebahan di samping Mba Laras yang masih memegangi botol susu untuk anak Gua.
"Aku abis duduk di beranda tadi, maaf", ucap Gua sedikit berbisik.
Mba Laras tersenyum, lalu tangan kirinya mengusap dada Gua perlahan, sedangkan tangan kananya masih memegangi botol susu yang belum habis disedot isinya oleh anak Gua itu. "Udah Mba, biar aku aja yang pegangin botol susunya, enggak apa-apa, maaf ya Mba", ucap Gua. Lalu Gua memegangi botol susu yang masih berada pada mulut si bayi cantik nan imut itu.
Mba Laras beranjak dari kasur, lalu berjalan kearah pintu kamar, Gua memanggilnya pelan. "Mba.. Terimakasih", ucap Gua.
Mba Laras mengangguk tersenyum, lalu keluar kamar seraya menutup pintu.
PART 68 Cahaya mentari pagi menghangatkan hati ini, embun pagi pada rerumputan di halaman belakang rumah menyejukkan telapak kaki Gua, serta senandung angin yang berhembus pelan membuat sang bayi tertidur dengan pulasnya setelah menghabiskan sebotol susu. Gua duduk di kursi kayu sambil menggendong anak perempuan yang cantik.
Terpaan mentari menyinari kami berdua, menghangatkan tubuh mahluk kecil dalam dekapan dada Gua. Rambutnya yang hitam, Bibirnya yang mungil, alisnya yang tipis, kelopak matanya yang sipit, kulitnya yang putih kemerahan, serta pipinya yang chubby membuat Gua tersenyum melihat semua itu. Dia lah buah hati Gua dan Echa. Anak kami berdua yang baru menghirup udara di dunia ini sejak delapan hari lalu.
Dalam dekapan Gua ia tertidur, sebotol susu sudah ia habiskan dan kini, Gua bangun dari duduk lalu membawanya ke dalam rumah. Mba laras sedang memasak sarapan bersama Nenek, sedangkan art kami baru saja membawa cucian yang baru dibilas ke halaman belakang, menjemur pakaian-pakaian berukuran kecil, dari yang bermotif bunga, kupu-kupu, serta warna-warna cerah.
Gua duduk di sofa ruang keluarga, menyalakan Tv yang entah saat itu sedang menanyangkan acara apa. Gua kembali memperhatikan sang permata hati yang masih Gua dekap di dada Gua. Bibir ini kembali tersenyum ketika gerakan mata dan kepalanya mendusel-dusel dada Gua.
"Apa sayaaang... Ngantuk yaa.." Bobo lagi ya cantiiikk..", ucap Gua kepadanya sambil menggoyanggoyangkan tubuh,
"Ssst... Sssttt.. Bobo ya manis, cantik nya ayah... Cantiknya bunda.. Sssttt.. Ssttt..", lanjut Gua ketika kepalanya semakin bergerak, tanda tidurnya mungkin sedang terganggu.
Gua bangun lagi dan berjalan sambil menggoyang pelan si buah hati dalam dekapan dan menepuknepuk pelan pantatnya yang terbalut selimut berwarna pink.
"Za, ayo sarapan dulu, tuh masakannya udah jadi", ucap Mba Laras sambil menghampiri Gua, "Bobo ya dia ?", tanyanya ketika sudah berdiri di samping Gua.
Gua mengangguk kepada Mba Laras, Ibu Gua. Lalu Gua membawa bayi ini ke kamarnya Mba Laras dan menaruhnya di atas kasur bayi, dan menutup tirai kelambunya.
"Mba makan bareng aja, dia lagi tidur ini, anteng pasti, udah puas minum susu juga", ucap Gua kepada Mba Laras yang masih berada di samping anak Gua.
"Iya Za, yaudah yuk makan sama-sama dulu", ajaknya.
Lalu kami keluar kamar dan membiarkan pintunya terbuka, kami sekarang sudah berada di ruang makan, duduk bersama untuk menyantap sarapan. Ada Nenek dan Mba Laras di ruang makan ini.
Selesai menyantap sarapan, Gua meminta dibuatkan secangkir kopi hitam kepada art, lalu Gua duduk di teras depan rumah. Sedangkan Nenek ke kamar Mba Laras untuk menemani anak Gua, dan Mba Laras entah sedang mengerjakan apa di dapur.
Secangkir kopi hitam sudah tersaji di meja teras, Gua membakar sebatang rokok sambil menikmati pagi hari ini. Fikiran Gua kembali mengingat kenangan bersama istri tercinta. Bayangan dirinya begitu jelas tergambar dalam fikiran Gua, lalu Gua tersenyum saat mengingat salah satu momen bahagia kami saat itu.
Gua meneguk kopi sedikit, lalu menaruhnya lagi di atas meja. Kemudian Gua berdiri dari duduk dan berjalan kearah halaman parkir di sisi kiri Gua, menuruni tiga anak tangga teras dan berdiri menunggu sebuah mobil berhenti tepat di depan Gua. Seorang wanita turun dari pintu kemudi dengan sebuah kantung plastik berwarna putih pada genggaman tangan kanannya seraya berjalan menghampiri Gua. "Pagi Za..", sapanya seraya tersenyum.
"Hai pagi Luna..", jawab Gua,
"Darimana kamu pagi-pagi gini " Atau baru mau pergi ?", tanya Gua.
"Iya nih aku baru mau berangkat ke kampus Za, dari rumah sekalian mampir dulu kesini, eh iya ini ada sedikit bingkisan, cuma roti sih hihihi..", jawabnya seraya menyerahkan bingkisan plastik tadi kepada Gua.
"Oh makasih Lun, repot-repot.. Eh iya, masuk dulu, sarapan ya, kamu belum sarapan kan ?", ajak Gua menawarkan.
"Nanti aja Za, aku mau ke kampus, ada tugas yang harus aku kerjain sama teman-teman.. Nanti sore aku mampir lagi, itu juga kalau kamu enggak kemana-mana", jawabnya.
"Oh gitu, yaudah oke Lun, kabarin aja nanti kalau udah mau jalan dari kampus ya", ucap Gua.
"Iya gampang Za, kan kalo pulang pasti lewat rumah kamu dulu nih", Luna tersenyum, "Oh ya si kecil mana " Bobo ya ?", tanyanya lagi.
"Iya Lun, dia lagi bobo di kamar Mba Laras, ditemenin Nenek.. Tadi pagi sih aku gendong sambil berjemur di halaman belakang", jawab Gua.
"Hmm.. Yaudah mudah-mudahan nanti sore dia lagi bangun ya, kangen sama anak kamu, lucu dan gemes sih, pipinya tembem hihihi..", ucapnya seraya terkekeh pelan.
Tidak lama kemudian Luna pamit, berangkat ke kampusnya. Setelah mobilnya mundur dan pergi meninggalkan halaman rumah, sebuah mobil box terbuka masuk ke halaman, beberapa tukang turun dari mobil tersebut, membawa beberapa tiang baja ringan serta bahan bangunan lainnya. "Permisi Mas, saya yang kemarin ditelpon, dari cv. xxx", ucap seorang bapak-bapak.
"Oh iya iya Pak, silahkan masuk, langsung di kerjakan saja ya, tempatnya di halaman belakang", jawab Gua.
Kami pun masuk ke dalam rumah dan Gua langsung menunjukkan tempat dimana mereka akan mengerjakan pekerjaannya. Di dekat kolam renang sebelah gazebo Gua meminta mereka memasang peneduh.
Mereka langsung mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing, Gua memperhatikannya dari gazebo sambil menikmati kopi hitam dan sebatang rokok. Kemudian Mba Laras datang menghampiri dan duduk di samping Gua.
"Atapnya jadi dibikin buka tutup ?", tanya Mba Laras.
"Iya Mba, kata mereka bisa dibuat buka tutup, pake tuas gitu nantinya", jawab Gua.
Lalu kami kembali mengobrol hal ringan lainnya, membicarakan perkuliahan Gua yang masih dalam masa cuti, lalu soal bisnis kuliner yang renovasi bangunannya baru rampung 50%. ...
Siang hari Gua pergi ke jalan protokol, melihat bangunan yang masih dalam tahap renovasi. Gua turun dari mobil lalu menghampiri mandor tersebut, menanyakan progres pekerjaan mereka, Gua melihat gambar detail bangunan yang istri Gua kerjakan dulu, desain yang ia buat sendiri ketika itu. Alhamdulilah tidak ada kendala berarti setelah Gua cukup puas mendengar laporan sang mandor tersebut. Lalu Gua pergi lagi, kali ini ke ibu kota.
Pukul dua siang Gua sampai di sebuah mall, naik ke lantai empat dan masuk ke dalam resto japanese food, Gua memesan makanan favorit Echa dan menyantapnya sendirian di sini. Entah kenapa, Gua merasakan seolah-olah Echa sedang ikut makan bersama Gua, melihatnya menyuap nasi dan tempura di hadapan Gua, seakan-akan itu semua nyata. Dan lagi-lagi mata Gua mulai berkaca-kaca hingga akhirnya Gua menaruh sumpit di atas mangkuk kecil lalu menutup wajah dengan kedua tangan.
Hati Gua kembali menclos mengingat kenangan bersama Echa. Gua rindu makan berdua di sini bersamanya, sekalipun kami tidak pernah berbicara ketika sedang makan, tapi itulah yang membuat Gua ingat kepadanya, kepada istri Gua yang baik hati, yang selalu bisa menempatkan diri sebagai wanita yang penuh pengertian terhadap suaminya.
Gua tidak menghabiskan makanan tersebut, Gua pulang setelah membayar di kasir. ...
Gua sampai di rumah sekitar pukul empat sore, lalu masuk ke kamar di lantai dua, dan mandi di kamar mandi dalam kamar ini, setelah beres membersihkan badan, Gua melaksanakan ibadah empat raka'at.
Gua turun ke bawah setelah melaksanakan ibadah, pergi ke halaman belakang, di sana terlihat para tukang masih mengerjakan pekerjaan mereka. Lalu Gua menuju gazebo, dimana Mba Laras, Nenek dan si cantik berada.
"Tuuh Ayah pulang tuuh.. Darimana Aayaahh..", ucap Nenek sambil melirik kepada Gua dan si cantik yang di gendong Mba Laras.
Gua menghampiri mereka dan duduk di sisi kiri Mba Laras. "Halo dede cantik, ditinggal Ayah ya tadi, maaf yaa, Ayah abis liat kerjaan..", ucap Gua kepada si cantik lalu menoel-noel hidungnya. "Abis liat kerjaan apa Za ?", tanya Mba Laras kepada Gua.
"Itu Mba, liat renovasi bangunan, ngecek aja sih, soalnya aku jarang liat kesitu juga", jawab Gua.
Sekitar pukul lima sore para tukang itu pamit pulang, dan pekerjaan mereka akan diteruskan esok hari.
Gua, Nenek dan Mba Laras sedang duduk di ruang tamu ketika Luna baru saja pulang dari kampusnya. Luna datang dengan membawa buah-buahan dan baju baru untuk bayi, rasanya banyak sekali baju yang ia belikan untuk anak Gua.
"Ya ampun Luna, banyak banget ini kamu beli pakaian untuk si ade", ucap Mba Laras ketika menerima pemberian Luna itu.
"Repot-repot kamu Nak, terimakasih ya..", timpal Nenek Gua.
"Ah enggak apa-apa Nek, Mba. Tadi sekalian aja pas lewat baby shop inget si cantik, jadi mampir dulu, terus liat bajunya lucu-lucu gitu", jawab Luna sambil duduk di sebelah Mba Laras.
"Aku gak enak Lun, kemarin kamu udah beliin kereta bayi, sekarang malah beliin baju, makasih banyak ya Lun..", ucap Gua yang sedang duduk sambil menggendong si cantik, buah hati Gua dan Echa.
"Ah enggak apa Za, sekali-kali kan", jawabnya,
"Eh, si cantik bobo apa enggak itu " Aku pingin liat", lanjutnya seraya berdiri lalu menghampiri Gua.
Luna tertawa pelan ketika sudah berdiri di samping sofa yang Gua duduki, melihat ke bayi yang sedang Gua gendong. "Tuh, lagi asyik minum susu..", jawab Gua sambil melirik kepada si cantik.
Tangan kiri Gua menopang si cantik dan menyandarkan tubuhnya ke dada ini, sedangkan tangan kanan Gua memegangi botol susu yang sedang ia minum. Luna membungkukkan tubuhnya, untuk melihat lebih dekat anak Gua itu, lalu tersenyum sendiri.
"Tuh de, ada siapa.. Ada Ateu (tante) Luna, dibawain baju baru sama Ateu tuh, bilang makasih sayang..", ucap Gua kepada bayi cantik ini.
"Hai dede cantiiik.. Lagi mimi ya " Mimi ama Ayah.. Iya " Duuh lucunya.. Gemes ih...", ucap Luna sambil membelai pipi anak Gua itu dengan jarinya yang lentik.
Setelah itu kami hanya berbincang santai sampai akhirnya adzan maghrib berkumandang lalu Luna pamit pulang. Setelah Luna pulang, Mba Laras dan Nenek melaksanakan shalat maghrib, setelah itu barulah kemudian Gua melaksanakan shalat dan menitipkan si cantik ke Mba Laras dan juga Nenek.
Malam harinya si cantik kembali Gua titipkan ke Mba Laras, tidur di kamar Mba Laras. Sebenarnya, semenjak meninggalnya istri Gua, si cantik memang selalu tidur bersama Mba Laras dan Nenek di kamar bawah. Pertama, jelas Gua tidak berpengalaman mengurus bayi, kedua Gua masih terpukul atas kehilangan istri tercinta, dan ketiga jelaslah sudah bahwa masa-masa kepergian yang baru saja kami alami membuat Gua selalu murung di dalam kamar.
Oleh karena itulah Gua sempat melupakan kehadiran buah hati kami. Beruntung masih ada keluarga yang selalu menemani Gua di rumah baru ini. Dan Mba Laras lah salah satu orang yang paling mengerti kondisi Gua, dia mengingatkan Gua ketika Echa sudah berpulang setelah lima hari, ya Mba Laras menyadarkan Gua kalau anak Gua dan Echa adalah penerang kehidupan Gua, anak itulah penyemangat hidup Gua, dia lah segalanya untuk Gua, sebagai pengganti cahaya yang baru saja hilang.
Si cantik adalah alasan Gua harus bisa bangkit dari jurang kesedihan ini, dia lah yang menjadi semangat Gua untuk bisa tetap berjalan di dunia ini, dan dia lah tanggungjawab Gua sekarang, dan amanah yang istri Gua sampaikan dulu, kini harus Gua jaga dengan baik. Menjaga anak kami, menemaninya tumbuh dewasa serta memastikan segala kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Nak, kamu lah segalanya bagi Ayah...
Pukul delapan malam, setelah ber-wudhu, Gua membawa tikar di tangan kiri dan buku yasin di tangan kanan, lalu berjalan ke halaman belakang rumah. Gua menggelar tikar di atas rerumputan dan duduk di atasnya, tepat di bawah bangunan yang belum selesai dikerjakan oleh tukang tadi sore.
Gua duduk bersila menghadap gundukan tanah yang masih terlihat merah kecokelatan, lalu Gua tersenyum dan mulai membuka buku yasin tersebut. Gua memulai membaca surat yasin dengan suara yang cukup pelan hingga selesai. Setelah itu Gua menaruh buku yasin dan menaruhnya di samping.
Tangan ini mengambil sedikit gundukan tanah yang berada di depan Gua, kemudian Gua biarkan tanah pada genggaman Gua kembali jatuh. Lalu Gua menengok ke kanan, kepada sebuah batu yang terukir nama istri Gua di sana.
"Assalamualaikum Cha...
Apa kabar sayang " Semoga kamu di sana enggak kedinginan ya... Gimana Cha " Di sana gak segelap dan seseram kata orang-orang kan " Aku yakin ada cahaya yang menerangi kamu di alam sana Cha.. Aku yakin, karena kami di sini selalu mendo'a kan kamu, agar kamu tidak kegelapan...
Cha, malam ini tepat delapan hari kamu meninggalkan kami, rasanya baru kemarin kita masih bercanda dan tertawa Cha, membicarakan keinginan kamu yang dengan antusias ingin punya usaha kuliner.. Oh ya, renovasinya berjalan lancar, insya Alloh sebelum akhir tahun rampung Cha.. Semoga bisa segera di buka ya restoran yang kamu mau itu...
Oh iya, kamu suka gak sama atap yang akan di bangun ini " Besok tukangnya balik lagi kok Cha, kayaknya selesai besok juga Cha.. Atasnya bisa dibuka tutup Cha, biar kalau hujan aku bisa tutup, dan kamu gak kebasahan... Semoga kamu suka ya sayang...
Cha, sayang.. Anak kita mirip banget sama kamu, wajahnya kamu banget Cha.. Cantik... Lucu, pipinya tembem kayak Bundanya waktu kecil.... Kulitnya putih kayak aku, matanya sipit kayak aku, tapi bola matanya kamu banget Cha.. Hmmm.. Kok aku dikasih porsi sedikit sih Cha " Tapi gak apaapa, lebih baik mirip Bundanya daripada Ayahnya deh.. Hehehe..
Sayang.. Kamu bahagia kan di sana " Ya, aku tau kamu pasti bahagia...
Sayang ku.. Echa... Aku janji akan selalu menjaga buah hati kita, bersama Mba Laras dan Nenek, insya Alloh aku jaga dia Cha... Semoga aku bisa mendampinginya hingga tumbuh dewasa ya sayang...
Malam ini dia tidur sama Nenek dan Uyutnya.. Mmm.. Kalo tidur sama aku, kadang aku bablas Cha kalo dia bangun, dia suka bangun tengah malem, kadang gak nangis, jadi aku gak tau tuh... Kalo dia nangis baru deh aku bangun... Bikinin susu untuk dia.."
Tanpa terasa airmata Gua mengalir lagi, kali ini bukan karena sosok istri Gua itu, tapi mengingat anak kami, ya anak kami yang akan tumbuh dan menjalani hidupnya tanpa sosok Ibu kandungnya. Entah apakah Gua bisa menjadi orangtua yang baik untuknya kelak.
"Sayang... Aku harap, aku bisa menjaga amanah kamu, menemani dan menjaga anak kita hingga nanti aku akan menyusul kamu Cha...
Sayang, aku masuk dulu ya ke rumah, besok aku ke sini lagi kok, seperti biasa, bersama anak kita di pagi hari..."
Gua berdiri dan membereskan tikar, lalu berjalan lagi melewati kolam renang dan membuka pintu kaca yang digeser, Gua membalikkan badan, Gua tersenyum ke depan sana, dimana 'rumah' terakhir istri Gua berada, sebelum Gua beranjak ke kamar, Gua berucap lagi dalam hati kepadanya... "Selamat malam Ressa.. Selamat beristirahat sayangku..."
PART 69 ...alles, was ich liebte schlie"lich verschwinden...
Tawa renyah yang Gua keluarkan membuat bahu ini dipukul oleh seorang wanita yang berada di samping Gua.
"Hahahaha... Ahahaha..", tawa Gua.
"Jahat ih! Kasian iiih...",
"Eza! Udah ih cepet bersihin!", ucap wanita itu.
Gua pun mengambil tissu basah sambil tertawa, lalu membersihkan pup si cantik dengan telaten, lalu mengelapnya lagi dengan tissu kering, baru kembali memakaikan celana dalam dan celana panjangnya. Gua memanggil art untuk membersihkan bekas tissu tadi dan memintanya mencuci celana kotor si cantik. Setelah itu kembali Gua gendong dia dengan hati-hati dan berjalan kearah halaman belakang.
"Mba.. Mba Laras..".
"Ya kenapa Lun ?", ucap Mba Laras kepada Luna yang berjalan cepat dari samping Gua dan duduk di samping Mba Laras, di dalam gazebo.
"Tuh si cantik dibikin nangis Mba sama Ayahnya..", jawab Luna kepada Mba Laras. Lalu Luna menatap kearah Gua lagi yang masih berjalan menghampiri mereka. "Jahat ihh.. Heuh!", sungutnya kesal.
"Emang kenapa Eza nya Lun ?", tanya Mba Laras lagi kepada Luna.
"Tadi si cantik pup Mba, udah nangis gitu, eh malah di diemin sama si Eza, sengaja dibiarin... Kan kasian Mba", jawab Luna penuh semangat.
Gua tertawa mendengar Luna mengadukan tingkah Gua tadi. "Ahahaha.. Lucu tau... Ahahaha... Aduduh.. Sakit perut nih tawa mulu dah... Haahaahaa..", tawa Gua setelah berdiri di depan mereka berdua.
"Udah ah ketawa terus kamu Za, hati-hati si cantik jatuh nanti..", ucap Mba Laras seraya berdiri dan melihat si cantik dari sisi kiri Gua.
"Iya tuh, malah seneng anaknya nangis!", Luna masih saja kesal.
"Sini Za, Mba gendong dulu, kamu makan gih sama Luna, udah sore belum pada makan..", ucap Mba Laras.
"Oh iya ya, tamu gak disuguhin apa-apa, maaf maaf lupa hehehe", jawab Gua lalu memberikan si cantik kepada Mba Laras.
"Gampang kok Mba, nanti aja, barengan sama Mba dan Nenek makannya", ucap Luna sambil memainkan jemarinya di pipi si cantik.
"Udah sana kalian makan duluan, Mba bareng Nenek aja.. Ayo makan dulu Lun..", "Eza, teman mu ajak makan sana..".
"Yuk Lun.. Kita makan duluan aja, nanti gantian Mba Laras sama Nenek makan, kita main lagi sama si cantik", ajak Gua.
Luna akhirnya mengangguk walaupun sebenarnya ia masih ingin bermain dengan anak Gua itu. Kami berdua berjalan masuk ke dalam rumah lagi, lalu setelah art menyediakan makanan di atas meja makan, Gua dan Luna pun duduk bersebelahan di ruang makan ini.
"Nasinya segini cukup ?", tanya Luna seraya menyendok nasi ke piring.
Gua sedikit terkejut melihatnya, karena jujur saja, Gua fikir dia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. "Eh, iya cukup kok...", jawab Gua tersadar.
"Mau pakai ayam atau udang Za " Sayurnya dipisah di mangkuk aja " Atau dicampur ke nasi ?". "Ehm.. Eeuu.. Disatuin aja sama nasi sayurnya Lun, lauknya ayam aja", jawab Gua.
Setelah itu Luna memberikan makanan yang sudah ia ambil tadi kepada Gua, barulah dia mengambil makanan untuknya sendiri. Kami duduk bersebelahan. Sambil menyantap makanan, Gua dan Luna sesekali mengobrol perihal perkuliahannya, dan dari obrolan inilah Gua baru mengetahui kalo Luna menargetkan kelulusannya dalam waktu tiga setengah tahun untuk menjadi sarjana psikologi. Kemudian kami pun berganti topik obrolan...
"Besok pengajiannya jam berapa Za ?", tanya Luna setelah menaruh sendok makannya. "Jam empat Lun, sehabis Ashar..", jawab Gua seraya mengambil gelas yang berisi air mineral.
"Enggak kerasa ya, udah empat puluh hari..", ucap Luna lagi.
Gua menghela nafas pelan, lalu menengok ke kiri, dimana ruang keluarga berada. Lalu menatap ke arah sebuah foto yang berbingkai putih di dinding ruangan tersebut.
"Iya, perasaan baru aja kemarin aku nikahin dia Lun..", jawab Gua pelan setelah meneguk minuman.
"Mmm.. Maaf ya Za, aku gak maksud buat kamu sedih lagi", ucap Luna sambil memegang bahu kanan Gua.
"Eh, enggak kok, gak apa-apa Lun, aku udah mulai terbiasa, gak sekalut waktu awal-awal dulu..", Gua menengok kepada Luna sambil tersenyum.
Franziska Luna Katrina, seorang wanita yang belakangan ini dekat dengan Gua dan juga keluarga Gua, tidak terkecuali si cantik. Jarak tempat tinggal kami yang berdekatan dan masih satu blok perumahan membuat dirinya sering mampir ke rumah Gua, hampir setiap hari dirinya menengok kami. Entah apa yang diucapkan Mba Yu dulu yang menilai Luna adalah orang yang jahat di matanya, tidak nampak di mata Gua, tentu saja terlepas dari persoalan mereka berdua di masa lalu. Luna wanita yang cukup supel, bisa dengan mudah mengakrabkan diri dengan Nenek dan Mba Laras dalam kurun waktu sebulan ini. Pertanyaannya setelah itu semua, apakah Gua jatuh hati kepadanya " Tentu saja tidak. Karena hati ini masih sangat tertutup rapat untuk menerima wanita lain selain nama mendiang istri Gua. Sekalipun Vera yang hadir saat ini, Gua belum tentu bisa menerimanya.
Tanpa Gua sadari ternyata ada seseorang yang sedang memperhatikan kami, dan dia berjalan menghampiri ke meja makan ini.
"Enggak nambah Luna makannya ?", tanyanya.
"Oh udah cukup, udah kenyang Nek..", jawab Luna kepada Nenek yang berada di sebrang kami. "Tuh ada buah Lun, ada jeruk, anggur sama apel, buat pencuci mulut", ucap Nenek lagi.
"Iya Nek, terimakasih.. Udah cukup ini..", "Nenek gak makan ?", tanya Luna kali ini.
"Nanti sebentar lagi, bareng Mba Laras", jawab Nenek lalu menarik kursi di depan kami dan duduk.
"Yaudah, Eza panggil Mba Laras dulu ya Nek, biar langsung makan sekarang, kasian Mba Laras juga daritadi gendongin si dede", ucap Gua kali ini seraya bangun dari duduk lalu mengangkat piring koto r.
Nenek tersenyum lalu mengangguk kepada Gua. "Iya Za, panggil Mba Larasnya, udah sore dia belum makan tuh".
"Eh Za, sini biar aku bawa piring kotornya sekalian ke dapur", ucap Luna seraya mengambil piring kotor dari tangan Gua lalu membawanya ke dapur.
Gua masih berdiri di depan meja makan, di hadapan Nenek juga. Gua mengambil anggur di atas meja, tapi mata Gua menangkap senyuman dari bibir Nenek. Ya, Nenek tersenyum penuh arti kepada Gua. Lalu Gua menaikkan alis seraya memakan menggigit anggur.
"Cantik, baik, rajin, perhatian dan penyayang anak kecil loch Za..", ucap Nenek tiba-tiba.
"Tapi beda keyakinan", jawab Gua lalu meninggalkan Nenek yang tertawa pelan sambil menggelengkan kepala.
... ... ... Si cantik sedang digendong Neneknya, Mamah mertua Gua, sedangkan Gua dan Papah mertua berada di halaman belakang, melihat bangunan peneduh yang baru selesai tadi siang untuk makam istri Gua. Sore ini alhamdulilah semuanua berjalan lancar, pengajian empat puluh hari istri Gua sudah selesai setengah jam yang lalu.
"Bagus Za bangunannya, atapnya bisa dibuka tutup ya ?", tanya Papah mertua Gua yang berdiri di samping.
"Iya Pah, sengaja agar bisa terhindar dari hujan deras...", jawab Gua, "Oh ya Pah, jadi mau bawa nginep si dede ?", tanya Gua balik. "Oh jadi Za, kamu gak keberatan kan ?".
"Oh enggak Pah, enggak apa-apa..".
"Iya, Neneknya kangen itu, pingin tidur sama cucunya".
Gua tersenyum kepada beliau. Lalu kami kembali masuk ke dalam rumah lagi. Tidak lama suara adzan maghrib berkumandang, kami semua melaksanakan shalat maghrib berjama'ah di ruang keluarga, kecuali Mba Laras karena memang sedang berhalangan serta menjaga si cantik bersama Luna, yang memang non-muslim. Selesai beribadah, kami semua berkumpul di ruang tamu.
"Ini teman mu yang dulu itu kan " Yang ikut ke rumah sakit waktu Elsa melahirkan..", ucap Mamah mertua Gua.
"Iya Mah, ini Luna, kebetulan rumahnya dekat dari sini", jawab Gua, "Mamah dan Papah sudah kenalkan ?", tanya Gua.
"Iya, sudah.. Waktu di rumah sakit dulu", jawab Papah mertua Gua kali ini. Luna hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala kepada kedua mertua Gua.
Sekitar pukul tujuh malam, si cantik di bawa oleh kedua mertua Gua untuk menginap di rumah mereka, tidak banyak barang bawaan si cantik karena hanya akan menginap selama dua hari paling lama katanya. Setelah kedua mertua Gua pulang bersama si cantik, kini Gua duduk di sofa teras depan rumah bersama Luna. Mba Laras dan Nenek sedang berada di dapur mempersiapkan makan malam.
"Rumahnya Echa jauh dari sini Za ?", tanya Luna.
"Mmm... Enggak juga sih, lumayanlah, di bilang jauh enggak, di bilang deket juga enggak..", jawab gua seraya menghembuskan asap rokok keatas,
"Eh ngomong-ngomong rumah kamu sebelah mana Lun " Aku belum tau", tanya Gua sambil menengok kepadanya di kanan.
"Di no. xx, dekat masjid komplek Za, yang pas diujung jalan belok kanan, ketiga dari kiri", jawabnya. "Ooh sebelum masjid, berarti ujung sebelah sini ya " Soalnya masjid kan ada di ujung sana". "Iya Za, kalo dari arah masjid, rumah ke ketujuh", jawabnya lagi.
"Eh ayo kita makan dulu, Eza, Luna.. Udah siap tuh makanannya di meja makan", ajak Nenek yang baru berdiri di ambang pintu rumah.
Kami pun masuk ke dalam lagi untuk makan malam bersama. Selesai makan, kami hanya mengobrol santai di meja makan, lalu membicarakan soal bisnis kuliner, ya karena sekarangkan Gua dan Luna selain teman juga termasuk rekan bisnis, Papahnya menanam modal di restoran yang akan Gua bangun itu. Dan tentu saja Mba Laras sebagai perwakilan dari pihak Gua dan istri yang memegang segala kebijakan menjadi lebih sering bertemu dengan Luna untuk membicarakan hal tersebut. Gua memang sengaja menyerahkan semuanya kepada Mba Laras karena Ibu Gua itu berpengalaman dalam berbisnis, apalagi gelar pendidikannya sudah MBA (master of business administration) dari Oxford, jadi sudah lebih dari cukup bagi Gua untuk mempercayakan bisnis ini kepada Ibu Gua itu.
Pukul delapan malam Luna pulang ke rumahnya setelah selesai bercengkrama dengan kami sekeluarga dan membantu mempersiapkan pengajian tadi sore.
"Za..", panggil Mba Laras ketika kami berdua sedang berada di ruang keluarga. "Ya Mba ?".
"Luna baik ya..", ucapnya kali ini sambil tersenyum kepada Gua lalu melirik kepada Nenek yang duduk di sampingnya.
"Iya Mba, dia baik, cantik, perhatian, orang berada, penyayang anak kecil lagi.. Apalagi Mba " Nek ?", jawab Gua seraya menebak arah pembicaraan ini.
"Ahahahaha... Kamu tuh tau aja Mba sama Nenek mau ngomong apa deh.. Gak asyik ah", ucap Mba Laras.
"Ya terus gimana coba " Hadeuh..",
"Gini ya.. Ehm.. Jangankan Luna, andai kata sekarang Vera yang ada di sini, menemani aku, itu semua belum mampu membuka hati aku Mba, baru empat puluh hari dia pergi, gak semudah itu untuk aku nerima wanita lain...", ucap Gua.
"Iya Mba paham, Mba ngerti, tapi bukan berarti kamu terus berlarut-larut kan " Memang ini masih baru, tapi lama-kelamaan juga kamu butuh sosok wanita lain, dan juga ibu baru untuk si cantik.. Ya enggak sekarang sih Za.. Someday you will find that's way.. And you deserve happiness sayang.. Mba yakin Echa juga pasti setuju dan senang melihat kamu dan si cantik mendapatkan penggantinya, yang penting tulus menyayangi kalian berdua", ucap Mba Laras sambil tersenyum.
"Yeah.. Aku tau Mba, tapi enggak sekarang.. Seperti kata Mba tadi, not today, but someday.. I will find her..".
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam ketika Gua berjongkok di samping 'rumah' Echa. Gua tersenyum seraya memegangi nisannya.
"Malam sayang... Lagi apa di sana " Masih terang kan sayang " Enggak gelap "
Tadi sore kami mengadakan pengajian untuk kamu sayang, ah kamu pasti denger kan.. Alhamdulilah banyak yang datang ke sini...
Oh ya, tuh liat deh, atapnya udah jadi, peneduh rumah kamu ini.. Bagus gak " Suka gak Cha " Mudah-mudahan kamu suka ya sayang...
Cha, si cantik lagi dibawa nginep sama Kakek dan Neneknya, Papah sama Mamah kamu... Aku kangen nih sama dia, dua hari katanya mereka ajak si cantik nginep, hmmm... Huufftt... Cha, aku rindu sama kamu Cha.. Aku kangen banget sama kamu Cha..."
Dan lagi-lagi airmata Gua menetes dengan sendirinya, cengkraman tangan kanan Gua kuat pada nisannya.
"Maafin aku ya sayang, aku belum benar-benar bisa lepasin kepergian kamu.. Maaf kalo sampai jalan kamu terhambat.. Maaf sayang, gak mudah untuk aku lupain kamu...
Cha, suatu saat aku pasti akan mencari pendamping hidup lagi Cha, untuk mengurus aku, mengurus anak kita kelak.. Tapi bukan sekarang Cha, hati ini masih milik kamu Cha, selamanya..
Biarkan sekarang aku berjalan dengan keadaan ini, menikmati semuanya dengan berjuta kenangan bersama kamu dalam ingatan ku sayang...
Kamu tak akan tergantikan Cha, jika suatu saat aku sudah menemukan pendamping lagi, dia bukan lah pengganti kamu, bukan.. Tapi dia adalah pelengkap Cha, pelengkap atas cinta kita berdua... Dan cinta itu milik kita, selamanya dan tak akan terganti."
Memang tak mudah tapi ku tegar menjalani kosong nya hati...
Bila memang ini ujungnya Kau kan tetap ada di dalam jiwa...
ART 70 Satu minggu sudah si cantik bersama Nenek dan Kakeknya. Dan hari ini Gua bersama Mba Laras berniat untuk mengunjungi mereka, sedangkan Nenek pulang ke rumahnya, karena sudah lama rumah itu ditinggalkan semenjak Nenek ikut menemani Gua di rumah baru.
"Za, saking senangnya mungkin ya Kakek dan Neneknya sampai lupa ngabarin kita", ucap Mba Laras dari bangku samping Gua di dalam mobil.
"Hahaha iya Mba, mungkin aja, namanya juga cucu pertama.. jadi yaa.. Sebagai pengganti kerinduan anak mereka juga, aku sih gak khawatir, mertua sendiri ini", jawab Gua sambil tetap fokus mengendarai mobil.
Sekitar pukul sepuluh pagi Gua dan Mba Laras sudah sampai di kediaman keluarga Echa, Gua turun dari mobil karena tidak biasanya pintu pagar rumahnya tertutup rapat, biasanya kalau Gua berkunjung sekalipun pagarnya tertutup, seorang satpam rumah pribadi keluarganya langsung membukakan pagar, karena sudah hafal dengan mobil Gua.
Gua melongok ke dalam sana dari luar pagar, tapi sepi sekali, tidak nampak mobil milik Papah dan Mamah mertua Gua di area parkirannya. Lalu Gua berjalan ke sisi kanan, dimana letak bel rumah berada, cukup lama Gua menekan bel tersebut tapi tidak ada yang keluar dari dalam rumah, Gua menengok ke pos satpam tapi di situ juga pintu pos tertutup. Aneh, pikir Gua. "Gimana Za " Ada orang ?", tanya Mba Laras yang ternyata sudah turun dari mobil.
Gua menengok kearah Mba Laras, dan menggelengkan kepala pelan seraya mengerenyitkan kening. "Pada pergi kayaknya Mba, tapi kok satpam juga gak ada ya sama si Bibi.. Biasanya mereka ada di dalam Mba..", jawab Gua lalu kembali memncoba menekan bel beberapa kali lagi. "Pada pergi kemana ya Za ?".
Gua mengangkat bahu. "Entah Mba..", jawab Gua.
"Mmm.. Coba kamu telpon mertua kamu, mungkin mereka lagi ajak jalan-jalan si dede", saran Mba Laras.
Gua pun langsung mengeluarkan hp dan mencari kontak Mamah mertua Gua, setelah menekan tombol call, suara penjawab mesin otomatis langsung terdengar dari ujung sana, memberitahukan kalau nomor yang anda hubungi sedang sibuk dan berada diluar jangkauan.
"Enggak aktif nomornya Mba, coba aku telpon rumahnya deh", ucap Gua.
Kembali Gua menekan nomor telpon rumah keluarga istri Gua itu, dan ternyata sama saja, nomor tidak aktif. Ini aneh, sangat aneh menurut Gua. Karena setelah tiga hari si cantik menginap, Papah mertua Gua masih mengabari, menelpon Gua memberikan kabar anak Gua yang masih menginap bersama mereka.
"Kamu enggak ada kontak keluarganya yang lain Za " Duh, kok Mba jadi khawatir ya Za..", ucap Mba Laras lagi dengan sedikit cemas.
Gua menggelengkan kepala, lalu berpikir hal yang sama dengan Mba Laras, takut terjadi apa-apa dengan si cantik dan mertua Gua itu. Tapi buru-buru Gua tepis fikiran negatif tersebut karena Gua yakin mertua Gua menjaga anak Gua dengan baik. Gua tidak mau berfikir yang aneh-aneh dulu.
"Enggak Mba, insha Alloh mereka semua baik-baik aja, mungkin lagi jalan-jalan Mba, kita tunggu di sini atau gimana Mba ?", sejujurnya Gua pun khawatir, tapi Gua mencoba untuk menghilangkan rasa cemas dan khawatir tersebut.
"Mmm.. Gimana ya, ah.. Kita tanya aja pos satpam komplek di depan tadi Za, gimana " Pasti mereka tau informasi Za, bukan apa-apa soalnya kok satpam rumah ikutan gak ada sama si Bibi..", ucap Mba Laras yang masih cemas.
Gua berfikir sejenak, sebenarnya Gua tidak ingin mengikuti saran Mba Laras, karena Gua pun sama khawatir dengan Ibu Gua itu. Dan jelaslah Gua tidak sanggup jika ada informasi yang Gua takuti. Tapi ya mau tidak mau Gua mengikuti saran Mba Laras karena dia memaksa kami harus menanyakan keluarga Echa kepada satpam komplek.
Kami berdua sekarang sudah sampai di pos satpam komplek perumahan, tepat di depan jalur masuk komplek perumahan elit ini. Gua dan Mba Laras masuk ke dalam pos, lalu menanyakan maksud kedatangan kami.
"Permisi Pak", sapa Gua kepada salah satunya dari dua satpam yang sedang duduk di dalam pos ini. "Oh iya Mas, Mba, ada yang bisa saya bantu ?", jawab satpam tersebut.
"Saya mau menanyakan mertua saya Pak, yang tinggal di rumah no. xx itu", ucap Gua lagi. "Maaf, anda siapanya ya Mas " Bisa tunjukkan kartu identitasnya dahulu ?".
"Saya menantunya Pak, oh boleh, sebentar...", Gua pun mengambil dompet dari saku celana bagian belakang, lalu membukanya dan mengambil ktp dari dompet tersebut, "Ini Pak silahkan..", ucap Gua seraya memberikan ktp kepada satpam itu.
"Oh iya, Reza Agathadera ya...", ucapnya seraya memeriksa nama Gua pada ktp yang ia pegang, "Maaf ya Mas, saya harus lihat ktp nya karena Mas menanyakan salah satu warga di lingkungan ini, saya hanya melakukan prosedural..", lalu ktp Gua dikembalikan lagi.
"Iya gak apa-apa.. Jadi gimana Pak " Apa Bapak tau kemana mertua saya ?", tanya Gua lagi. "Rumah nomor xx ya tadi Mas, oh atas nama Bapak Wisnu ya " Yang baru pensiun tahun lalu ?". "Iya betul Pak, itu nama mertua saya".
"Beliau baru pergi dua hari lalu Mas, pindah rumah sih yang saya dengar", "Memangnya tidak bilang sama Mas nya ?".
Degh... Jantung Gua berdegup kencang mendengar ucapan tersebut.
"Pindah "!! Pindah kemana Pak "!", tanya Mba Laras kali ini dengan nada suara yang terkejut.
"Iya Bu, saya juga hanya mendengar dari Pak RT, perginya pun saya tidak melihat, hanya mendengar saja informasi bahwa Pak Wisnu beserta keluarganya pindah rumah..",
"Pindah kemananya saya juga tidak tau Bu..", jawabnya.
"Pak, kalau gitu, tolong antarkan kami ke rumah Pak RT Pak, karena kami tidak tau kalau mereka pindah", ucap Mba Laras lagi.
Singkat cerita pada akhirnya Gua dan Mba Laras masuk ke dalam mobil lagi dan mengikuti satpam yang mengendarai motornya di depan kami, menuju rumah Pak RT. Sesampainya di rumah Pak RT, kami bertiga menanyakan kepindahan mertua Gua itu, dan apa yang Gua dengar dari satpam sebelumnya kembali diulang oleh Pak RT, ternyata benar, kedua mertua Gua sudah pergi dari rumahnya sejak dua hari lalu, bahkan pembantu dan satpam pribadi mereka sudah tidak bekerja di situ sejak satu minggu lebih.
"Mohon maaf saya sendiri tidak diberitahukan oleh Pak Wisnu kemana mereka akan pindah, saya memang curiga juga, bukan bermaksud apa-apa, tapi kok seperti dadakan gitu...", ucap Pak RT kepada kami.
Gua hanya bisa terpaku mendengar ucapan lelaki paruh baya itu. Gua tidak bisa memahami maksud dari kepindahan mertua Gua.
"Pak, apa Bapak lihat mereka membawa anak bayi ?", tanya Mba Laras kepada Pak RT.
"Oh.. Ya ya ya saya ingat, Ibu Wisnu menggendong cucunya pada saat pamit.. Ya dia bawa seorang anak bayi, dia bilang itu cucunya, anak dari almarhumah putri mereka", jawab Pak RT, "Maaf ini Mba, memang ada apa ya " Sepertinya ada masalah yang sedang kalian hadapi " Mohon maaf ini Mba", tanya Pak RT kepada Mba Laras.
"Pak, saya ini besannya, dan ini anak saya, menantu mereka", jawab Mba Laras seraya menepuk paha Gua,
"Mereka memang membawa cucu saya, cucu mereka juga, tapi tidak bilang kalau akan pindah rumah... Sekarang Bapak paham kenapa kami khawatir dan kaget kan setelah anda bilang mereka sudah pindah ?".
Pak RT dan Satpam sebelumnya terkejut. "Ehm.. Maaf Mba, anda benar-benar tidak dikabari oleh Pak Wisnu ?", tanya Pak RT lagi.
Mba Laras menghela nafas dengan kasar lalu mengangguk dengan cepat. "Iya Pak, betul.. Kami sama sekali tidak tau kalo mereka akan pindahan, apalagi... Apalagi... Ya Alloh!! Hiks.. Hiks..", Mba Laras beristigfar dan langsung menutupi wajahnya karena sudah tidak kuat menahan tangis, "Astagfirullooohh.. Dedeeee... Kamu dimana Naakk..", teriaknya memanggil nama anak Gua yang juga cucunya dalam tangis.
Pak RT mencoba menenangkan Mba Laras, sedangkan Pak Satpam menyodorkan segelas teh manis yang memang sudah disuguhkan diatas meja kepada Mba Laras.
Gua " Gua masih diam tidak bisa memahami apa maksud dari semua ini. Untuk apa mereka membawa anak Gua, pindah " Menjauhkan Gua dari darah daging Gua sendiri ".
Quote:Jangan.. Jangan sekarang... Jangan... belum waktunya 'kamu' keluar saat ini, dan saya harap, saya tidak akan membutuhkan 'kamu' lagi... Tidak akan pernah.
Gua berusaha menepis suaranya.. Suara yang selalu membangkitkan sisi kelam Gua dan merubah jiwa ini. Gua tidak ingin lagi menjabat 'tangannya'.
Quote:Now I know That I can't make you stay But where's your heart" But where's your heart"
But where's your... And I know There's nothing I can say To change that part To change that part To change...
So many Bright lights, they cast a shadow But can I speak"
Well is it hard understanding I'm incomplete
A life that's so demanding I get so weak
A love that's so demanding I can't speak
... ... ... Di suatu malam, angin bertiup cukup kencang di bulan september tahun ini. Gua sedang berdiri di hadapan Echa. Ya tepat dihadapan Gua sebuah gundukan tanah di halaman belakang rumah ini, Gua menemuinya (lagi).
"Sayang, kamu tau kan apa yang sedang terjadi pada kami semua di sini "
Cha.. Aku gak mau terjadi keributan antara aku dan kedua orangtua kamu Cha.. Aku tau kamu pasti sedih melihat semua ini... Tapi aku pun gak tau harus bagaimana lagi Cha...
Mereka.. Mereka.. Mereka rebut anak kita Cha... Apa salah aku Cha sampai kedua orangtua kamu mengambil anak kita Cha "
Bukan begini Cha caranya... Bukan seperti ini Cha... Maafin aku sayang... Maafin aku... Maaf...".
Quote:I am not afraid to keep on living I am not afraid to walk this world alone Honey if you stay, I'll be forgiven
Nothing you can say can stop me going home
Can you see My eyes are shining bright 'Cause I'm out here
On the other side Of a jet black hotel mirror And I'm so weak
Is it hard understanding I'm incomplete
A love that's so demanding I get weak
Gua tau kasih sayang Mba Laras kepada Gua dan anak Gua sama seperti seorang Ibu kandung yang menyayangi anak kandungnya sendiri, Gua tidak meragukan hal tersebut. Bahkan jika Gua harus membandingkan, dengan Ibu Gua sendiri, Almh. Ny. Hikari dan Ibu tiri Gua itu, Mba Laras, sudah tentu kasih sayang yang lebih nyata Gua dapatkan dari Mba Laras, walaupun kami dekat baru setahun belakangan ini. Begitu sayangnya Mba Laras kepada Gua hingga saat kepergian Echa dia lah yang selalu menemani Gua, dan rasa sayangnya kepada anak Gua tidak perlu diragukan lagi.
Setiap malam Gua memeluk foto si cantik bersama cardigans hitam milik ibundanya, dalam kamar ini Gua menangis, merindukan putri kecil yang belum dua bulan bersama Gua. Tidak jauh beda keadaan di kamar bawah, dimana Ibu Gua, Mba Laras menangis pilu merindukan cucunya. Dia menangis sepanjang hari, memeluk baju bayi yang selalu dipakai oleh si cantik, baju berwarna pink dan bermotif kupu-kupu.
Sudah sepuluh hari Gua tidak bertemu dengan anak Gua. Anak ku, permata hati ku, buah hati ku, cantik ku, cahaya hidup ku... Kamu dimana Nak...
"Mba, makan dulu Mba..", ucap Gua yang duduk di samping Nenek.
Mba Laras hanya melamun dengan wajah pucat karena dia sudah jatuh sakit selama dua hari lalu. Suapan bubur yang diberikan oleh Nenek hanya dimakan dua suap saja. Gua terenyuh melihat kondisinya yang tidak sehat seperi itu, dia tidak lagi ceria seperti sebelumnya. Tidak ada lagi keceriaan karena terlalu sakit dan kalutnya akibat kehilangan seorang bayi yang ia anggap sebagai cucunya sendiri.
Gua berjalan keluar dan duduk di sofa ruang tamu di samping Luna yang sebelumnya membelikan bubur untuk Mba Laras.
"Masih belum mau makan ya Za ?", tanya Luna.
Gua mengangguk lemah. "Gak tega aku liat kondisinya Lun..", jawab Gua pelan. "Za, apa gak sebaiknya kita lapor ke pihak berwajib masalah ini ?", tanya Luna lagi.
Pertanyaan dan saran dari Luna itu sudah Gua dengar berkali-kali, bukan dari Luna saja, tapi dari Mba Laras, ya dia tidak terima anak Gua dibawa pergi seperti ini. Gua bukannya tidak mau melakukan hal tersebut, Gua hanya menghindari keributan dan segala macam perpecahan keluarga. Walaupun kalau mau Gua paksakan hingga sampai ke meja hijau, Gua yakin pihak kamilah yang menang. Tapi apa Gua pun setega itu melaporkan mertua Gua sendiri. Bagaimanapun mereka adalah mertua Gua, orangtua istri Gua.
"Aku belum mau ambil tindakan itu Lun..", jawab Gua.
"Terus kalau gak begitu mau bagaimana kita mencari anak kamu Za ?",
"Ini udah sepuluh hari dia dibawa pergi dan entah kemana... Sedangkan kita semua disini gak ada yang tau saudara Echa ada dimana.. Kamu memang gak tau kampung halaman Echa ?". Degh.. Gua tersentak, ucapan Luna tadi menyadarkan Gua.
"Ah.. Iya bener Lun! Kampung halaman Echa! Ya mungkin mereka pindah kesana..", jawab Gua. "Kamu tau dimana kampung halaman Echa ?".
Gua mengangguk cepat lalu berdiri dan bergegas ke kamar Mba Laras. Disana masih ada Nenek. "Mba.. Aku tau dimana si cantik Mba.. Aku tau!", ucap Gua dengan bersemangat.
"Dimana Za "! Dimana dia Za "!", Mba Laras langsung duduk dengan menyondongkan tubuhnya kearah Gua yang sudah duduk di tepian kasur.
"Aku yakin mertua ku bawa si cantik ke kampung halaman mereka... Aku yakin", "Mereka ada di Solo, pasti mereka ada di sana", jawab Gua lagi.
Mba Laras memegang kedua tangan Gua. "Mba ikut ya Za, Mba ikut kesana, Mba mau jemput dia juga, cucu Mba...", ucapnya.
Gua menggeleng pelan, lalu menengok kepada Nenek.
"Laras, kamu tunggu di sini saja sama Ibu ya, biar Eza dan Luna yang pergi ke sana, kondisi kamu belum sehat Nak..", ucap Nenek Gua seraya mengelus lembut bahu Mba Laras.


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya Mba, biar aku dan Eza yang jemput si cantik, Mba berdo'a ya biar kami berdua bisa bertemu dan membawanya lagi ke rumah ini", timpal Luna yang berdiri di sisi kanan Gua.
Mba Laras memandangi Nenek dan Luna, lalu menatap Gua lekat-lekat, tangannya yang masih menggenggam tangan Gua itu terasa semakin kuat cengkramannya, sedetik kemudian matanya mulai berkaca-kaca. Dengan suara lirih dia memohon kepada Gua.
"Pastikan kamu bawa dia pulang Za..".
Gua tersenyum lalu mengangguk kepada Ibu Gua itu. "Pasti, aku pasti bawa Jingga pulang Mba...".
'Cause I see you lying next to me With words I thought I'd never speak Awake and unafraid
Asleep or dead ... I am not afraid to keep on living I am not afraid to walk this world alone Honey if you stay, I'll be forgiven
Nothing you can say can stop me going home PART 71
Solo ~ September 2008 Gua sudah mengemudikan mobil selama empat jam terakhir, sebelumnya Luna yang mengemudi. Tidak mudah mengingat jalan menuju rumah Eyang putri almarhumah istri Gua, tapi beruntung Gua mendapatkan alamat tempat tinggalnya dari Dewi, teman SD Gua sekaligus saudara jauh dari Echa.
Setelah bertanya ke beberapa orang di pinggir jalan, akhirnya sore hari Gua dan Luna sampai di kediaman keluarga mertua Gua ini. Gua memarkirkan mobil di pinggir sawah dan turun bersama Luna lalu berjalan masuk ke dalam rumah yang berbentuk joglo itu.
"Assalamualaikum", ucap Gua di depan pintu rumah yang terbuka.
"Walaikumsalam", jawab suara seorang lelaki dari dalam rumah yang berjalan kearah kami.
"Sore Pak, saya Eza, suaminya Almh. Elsa, menantunya Pak Wisnu..", Gua langsung memperkenalkan diri karena siapa tau Padehnya itu lupa dengan Gua. "Oh ya ya, apa kabar Le' " Mari masuk dulu", jawabnya lalu Gua mencium tangannya. Gua masuk ke dalam bersama Luna dan duduk di kursi kayu ruang tamu rumah ini. "Alhamdulilah saya baik Pak, oh maaf kenalkan ini teman saya, Luna", ucap Gua.
Luna pun memperkenalkan diri kepada Padehnya Echa itu. Setelah itu istrinya datang lalu menyalami kami kemudian ia pergi ke dapur untuk mengambilkan suguhan.
"Tumben kamu kesini, ada apa Le' " Lagi ada kerjaan atau lagi liburan ini ?", tanyanya lagi.
Gua tersenyum, lalu menjentikkan jari ke meja kayu di depan Gua berulang-ulang. "Hmmm... Saya bingung ini mau mulainya darimana Pak..", jawab Gua.
Padehnya Echa pun mungkin menangkap ada sesuatu yang menjadi masalah antara Gua dengan salah satu keluarganya itu, lalu tidak lama istrinya datang lagi dengan nampan yang diatasnya sudah ada dua gelas air minum. Setelah menaruh suguhan itu di atas meja, istrinya duduk di samping suaminya.
"Cerita saja Le', ada apa sebenarnya ?", tanya Padeh lagi.
Gua menghela nafas pelan seraya memejamkan mata, lalu Gua mulai bercerita apa yang sudah terjadi setelah meninggalnya keponakan mereka itu, yang menjadi istri Gua. Semuanya Gua ceritakan pelan-pelan, agar bisa dimengerti oleh beliau maksud kedatangan Gua dan Luna. "Ya Alloh Gusti.. Kenapa Mas Wisnu jadi begitu Pak..", ucap istrinya kepada sang suami.
Gua menatap kepada Padeh yang menghela nafas pelan lalu menatap langit-langit rumahnya ini. "Le', saya juga tidak tau kemana Mas Wisnu dan dimana sekarang keberadaannya.. Kamu mungkin ndak percaya, tapi apa yang saya ucapkan ini benar dan saya sendiri baru tau kejadian ini dari kamu Le'..", jawabnya,
"Semenjak kamu dan Elsa lebaran kemarin di sini, saya belum bertemu lagi dengan Mas Wisnu, kamu tau sendiri Le', waktu... Maaf, istrimu meninggal Padeh tidak bisa hadir karena sedang di luar kota, dan hanya istri Padeh yang waktu itu datang ke rumah kalian..", lanjutnya.
Gua mengangguk pelan, apa yang diucapkan Padeh memang benar, dia tidak hadir di pemakaman Echa, dan hanya istrinya lah yang datang, itupun setelah almarhumah di makamkan.
"Nah Bu, apa kamu dan Mas Wisnu pernah membicarakan soal cucunya atau hal lainnya yang menyangkut kejadian ini ?", tanya Padeh kepada istrinya itu.
"Ndak ada omongan apapun soal cucu mereka, selain wafatnya Echa... Sama sekali saya ndak tau kalo sampai seperti ini..", jawab sang istri.
Gua menghela nafas sedikit kasar, lalu menyandarkan punggung ke bahu kursi. Memejamkan mata sejenak. Entahlah, Gua tidak bisa menilai mereka jujur atau tidak, yang jelas sampai saat ini Gua belum menemukan secercah harapan untuk menemukan anak Gua.
"Nak... Dimana kamu sayang... Kamu sehat kan sayang ?"
... ... ... Sudah tiga hari Gua dan Luna menginap di rumah Eyang putri nya Echa, dimana setiap siang Gua dan Padeh pergi ke rumah saudaranya yang lain untuk menanyakan keberadaan Papah mertua Gua itu, sampai kami ke semarang dan juga Jogjakarta. Tapi apa lacur, semuanya tidak ada yang mengetahui dimana Papah mertua Gua. Sama sekali tidak membuahkan hasil. Hari keempat akhirnya Gua dan Luna pamit pulang, bukan kami menyerah, tapi Gua tidak enak kepada Luna karena dia sudah mangkir dari perkuliahannya selama kami pergi ke Solo, dan tidak mungkin Gua membiarkannya pulang sendiri.
Sekitar pukul delapan malam Gua dan Luna sampai di komplek perumahan kami, awalnya Luna mau mampir dulu ke rumah Gua tapi Gua kasihan karena pasti dirinya lelah, maka mobil pun Gua arahkan langsung ke rumahnya. Gua hentikan mobil di depan pagar rumahnya.
"Makasih ya Za udah diantar sampai rumah", Luna menengok dari bangku samping seraya membuka seatbeltnya.
"Loch, aku lah yang bilang makasih Lun, selama empat hari ini kamu nemenin aku pergi jauh nyariin anak ku, maaf ya Lun, sampai kamu bolos kuliah, aku gak tau harus bales ap..". Cupp..
"Eh ?", Gua terkejut.
"Mmm.. Jangan sungkan Za, aku ikhlas nemenin kamu cari si cantik.. Udah ya aku masuk dulu.. Selamat malam Za..".
Deub.. Pintu mobil kembali tertutup setelah Luna keluar, lalu dia berlari kecil ke dalam rumahnya. Gua masih terpaku di dalam mobil sambil memegangi bibir ini...
Keesokan harinya Gua bangun agak siang karena cukup letih berkendara dari jawa tengah ke jawa barat.
Setelah mandi dan melaksanakan ibadah empat raka'at, Gua turun ke lantai satu, duduk di sofa ruang tamu bersama Nenek dan Mba Laras. Kondisi kesehatan Mba Laras sudah sedikit membaik, tapi masih lemah dan pucat, setidaknya dia sudah mau keluar kamar.
"Mba kok gak habis fikir Za, masa saudaranya tidak ada yang mengetahui Papah mertua mu ?", tanyanya seraya menerawang jauh, karena fikirannya masih dipenuhi si cantik.
"Entahlah Mba, yang jelas aku dan Luna udah ke beberapa tempat di jawa tengah, mengunjungi rumah saudara-saudaranya yang lain, tapi tidak ada satupun yang tau keberadaan beliau", jawab Gua lalu menghisap rokok dalam-dalam.
"Atau mungkin memang Papah mertua mu tidak pindah ke Solo Za ?", ucap Nenek kali ini. Gua menengok kepada beliau, lalu mengangguk pelan. "Mungkin juga Nek, ya mungkin.. Bisa jadi si cantik dibawa pindah tapi masih di kota ini, atau.. Atau ke kota lain, aah.. Aku gak tau pasti dibawa kemana anak ku, aku benar-benar gak ada gambaran", jawab Gua sambil menggelengkan kepala kali ini.
Api Di Bukit Menoreh 21 Remember When Karya Winna Efendi My Name Red 10
^