Pencarian

Asleep Or Dead 13

Asleep Or Dead Karya Bunbun Bagian 13


Kami bertiga lalu terdiam, larut dalam fikiran kami masing-masing. Entah lah dimana si cantik berada sekarang, tapi Gua masih berfikir positif, bahwa anak Gua itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.
Sore hari Gua pergi ke sebuah apotik untuk membeli obat Mba Laras karena memang sudah habis, Gua memberikan kertas resep kepada apoteker lalu menunggu di luar sambil merokok. Fikiran Gua kembali mengingat anak semata wayang Gua itu, yang keberadaannya entah dimana. Setiap aroma wangi bayi dari tubuhnya masih Gua ingat dan Gua rasakan dengan jelas, dan hari ini sudah dua minggu lebih Gua belum menemukannya. Rasanya sesak dada ini mengingat apa yang sudah terjadi.
Tidak lama kemudian Gua mengambil obat racikan yang sudah selesai dibuat oleh apoteker lalu membayarnya di kasir, setelah itu Gua kembali keluar dan menuju mobil. Baru saja Gua membuka pintu kemudi, seorang wanita memanggil nama Gua.
"Mas.. Mass..".
Gua menengok ke belakang. "Eh.. Mba Yu..", jawab Gua ketika sudah melihat Mba Yu Sherlin sedang berjalan menghampiri Gua.
"Hai.. Darimana Mas ?", Mba Yu mengulurkan tangannya. Lalu Gua pun menyambut jabat tangannya itu dan bercipika-cipiki.
"Ini habis beli obat Mba", jawab Gua setelah kami selesai saling menyapa. "Loch " Siapa yang sakit Mas ?", Mba Yu tampak kaget.
"Mm.. Mba Laras.. Dia lagi kurang sehat aja". "Kenapa emangnya ?".
Gua tersenyum, dan sepertinya Gua harus kembali menjadikan Mba Yu tempat berkeluh kesah, seperti waktu dulu, saat kami masih bersama. Sebelum Gua mengajaknya pergi dan mengobrol soal apa yang Gua alami, Mba Yu membeli obat untuk Desi di apotik tersebut, katanya adiknya itu sedang terkena penyakit alergi karena makanan laut. Selesai Mba Yu membeli obat, kami berdua pergi ke salah satu kedai kopi di dekat apotik ini, hanya berjalan kaki dan menyebrang jalan.
Gua duduk berhadapan dengan Mba Yu, secangkir ice cappuccino sudah berada di depan Gua, sedangkan Mba Yu memesan ice lemon tea. Kembali Gua membakar sebatang rokok dan mulai menceritakan keadaan si cantik setelah dibawa menginap oleh kedua mertua Gua itu. Mba Yu jelas terkejut dan bingung atas apa yang sudah terjadi kepada anak Gua, dia samanya dengan Luna, memberi saran agar Gua membuat berita koran tentang orang hilang dan juga melapor kepada pihak yang berwajib. Gua pun tidak bisa serta merta menyetujui sarannya itu.
"Terus sekarang kamu mau gimana " Sedangkan anak kamu udah gak ada kabar lebih dari dua minggu Mas, okelah mungkin dia sehat, baik-baik aja, tapi kan kita gak tau keberadaannya, gak ada yang bisa jamin itu semua Mas", ucap Mba Yu dengan nada suara yang cukup emosi.
Gua hanya bisa terdiam mendengarkan Mba Yu, meminum ice cappuccino seteguk lalu membakar lagi sebatang rokok dan menatap ke jalan raya di sisi kiri kedai ini.
"Mas.. Kamu harus lapor masalah ini, jangan dibiarkan berlarut-larut Mas",
"Kamu Ayahnya, kamu orangtua kandungnya.. Maaf Mas.. Papah dan Mamah almarhum Echa hanya Kakek dan Neneknya saja",
"Kamu yang berhak dan berkewajiban merawat dan membesarkannya, bukan mereka", tandas Mba Yu seraya menyandarkan punggungnya ke bahu kursi.
Gua mendengus kasar, lalu menggelengkan kepala. "Pusing aku Mba harus cari kemana lagi... Aku gak tau harus mulai dari mana lagi.. Aku udah coba ke Solo kemarin-kemarin sama Luna, tapi hasilnya tetap aja gak ada informasi yang berarti", kali ini Gua menatap wajah Mba Yu.
Dia terkcekat, terkejut lagi lalu memajukan tubuhnya hingga kedua tangannya berada di atas meja. "Apa " Sama siapa tadi kamu bilang "!", Mba Yu benar-benar terkjeut.
Oh Gua salah ngomong ini. Argh!!
"Ehm.. Ehm.. Lu.. Luna Mba..", jawab Gua dengan suara yang pelan, nyaris berbisik.
Males Gua liat matanya yang langsung melotot gitu, mode emosi tingkat kelurahan ini sih namanya. Jangan sampai naik ke tingkat kecamatan deh.
"Ngapain kamu pergi sama dia "! Kok bisa sih "! Jadi deket sekarang sama Luna " Iya "!", cecarnya.
Gua menggaruk kepala bagian belakang yang tidak gatal lalu mengusap wajah dan melirik kepada beberapa pengunjung lain yang berada di dekat kami, kan bener pada ngeliatin, Mba Yu terlalu keras ini ngomongnya aduh. Malu-maluin aja.
"Kamu tenang dulu dong Mba, semuanya juga ada penjelasannya, kenapa sampai Luna yang nemenin aku ke Solo", ucap Gua memulai penjelasan,
"Dan waktu itu dia yang menawarkan diri untuk nemenin aku Mba..". "Terus kamu iyain " Iya "!".
"Mba, terus aku harus gimana lagi " Sama Mba Laras " Dia lagi sakit, sama Nenek " Yang bener aja Mba..",
"Sama kamu " Iya ?", Gua mulai sedikit tersulut emosi.
"Ya tapi kan kamu gak perlu sama Luna juga Mas!", "Aku gak suka kamu deket sama dia dari dulu! Kamu juga uda..". Braakk!! Gua menggebrak meja.
"Aku tau maksud kamu, kamu fikir aku ada perasaan sama Luna "!", "Oh c'mon Sheeerr... Bisa-bisanya kamu mikir begitu!!",
"Kamu tau enggak aku kalut selama ini! Aku baru kehilangan istriku!, Sekarang kehilangan anak ku juga Sher!!! Kamu tau gak perasaan aku gimana "!!", sentak Gua.
Gua berhenti melangkah ketika sudah melewati tiga meja kedai ini, lalu menengok lagi kepada Mba Yu.
"Aku gak punya perasaan apa-apa sama Luna.. Yang ada di hati ku saat ini cuma Elsa dan Anak ku.. Gak ada yang lain, Sher..".
malam hari saat Gua sedang berada di halaman belakang, rintik hujan di bulan september mulai turun dengan perlahan, membasahi rerumputan dan juga gundukan tanah di dekat kolam renang. Gua berlari kecil lalu menurunkan sebuah tuas, sedetik kemudian atap peneduh itu tertutup.
Gua menyeuka butiran air yang menempel pada kaos hitam yang membalut tubuh bagian atas ini, lalu berjongkok di sisi makam istri Gua. Seperti biasa, Gua tersenyum seraya membelai nisan di sisi kanan, lalu tanpa terasa hawa dingin yang di sertai hujan mulai menusuk kedalam kulit Gua.
"Cha, kamu kedinginan kah di sana " Ada selimut kah yang menghangatkan tubuh kamu Cha " Aku harap do'a yang aku panjatkan untuk kamu menjadi penghangat kamu di sana ya sayang"
Tanpa terasa airmata Gua mengalir, lalu tangan kiri ini memukul-mukul dada, tangan kanan Gua mencengkram kuat nisan yang sudah basah.
"Cha... Aku... Aku gak kuat Cha...
Aku gak kuat menahan segala perih dan sakit ini Cha... Aku gak menyangka sesakit ini rasanya ditinggalkan kamu Chaa...
Selama ini, kamu lah yang selalu mengingatkan aku untuk bisa kembali bersimpuh dan memohon kepada NYA..
Kamulah wanita yang selalu bisa mengingatkan ku ketika aku sudah hampir melewati batas...
Apakah aku harus menyusul kamu kesana Cha "
Aku tau kamu gak akan suka, dan aku tau aku masih memiliki anak kita di sini.. Yang menjadi tanggungjawab ku...
Cha, aku membohongi diri ku selama ini, ya selama ini.. Berusaha menahan rasa pedih ini, karena aku tau ada anak kita yang menjadi pelipur lara ku Cha...
Tapi.. Tapi, kini dia pun direbut dari ku Cha..
Ooh... Ya Tuhaaaan... Apalagi yang ingin Engkau berikan kepada ku...!!!"
Gua menangis keras! Gua terjatuh di atas kuburan almarhum istri Gua itu, membenamkan wajah ke gundukan tanah, teriakkan dan isak tangis ini tenggelam dalam suara deru hujan yang semakin membasahi bumi...
* * * Sebelumnya, Gua memohon maaf untuk semua yang membaca isi hati Gua ketika semua ini terjadi... Karena apa yang akan kalian baca setelah ini adalah sebuah ungkapan dimana manusia itu hanyalah mahluk yang rapuh, tanpa bisa berfikir dan mengingat segala kebaikan-NYA, Gua pun menyerah... Menyerah saat semuanya sudah terasa terlalu berat untuk Gua jalani.
Dan apa yang akan kalian baca sudah menjadi masa lalu Gua, masa lalu yang tidak baik untuk dijadikan contoh.
Tapi kalian akan melihat, bahwa menyerah dan menuntut bukanlah pilihan yang tepat. Tolong pahami secara dewasa.
Thanks Gais for reading my stories.
GOD BLESS US.. GOD BLESS US... GOD BLESS US...
Gua bangun dan berdiri dengan wajah dan tubuh yang telah berbalut tanah merah kecokelatan. Lalu berjalan keluar dari 'rumah' terakhir istri Gua.
Terpaan air dari langit mulai membasahi setiap inci tubuh ini, Gua merasakan dingin dan basahnya air dari langit di atas sana.
Memejamkan mata... Tanpa tangis...
Tangan Gua mengepal... Gua buka mata ini...
Mendongakkan kepala lalu tersenyum... Di atas sana, hanya ada gelap tanpa cahaya... Dilangit-Nya yang luas itu, Gua bertanya kepada-NYA...
uhan, aku tau Engkau lah yang memiliki segala apa yang ada di alam semesta ini...
Engkau balikkan yang sulit menjadi mudah... Engkau balikkan yang mudah menjadi sulit...
Engkau berikan cobaan tanpa memandang derajat mahluk Mu... Engkau berikan jalan keluar untuk kami...
Tapi... Beginikah hidup yang harus aku jalani..."
Tuhan.. Aku terlahir dari rahim seorang wanita yang tidak pernah menyayangi ku... Hingga kami harus terpisah dan di saat ajalnya menjemput pun aku tidak merasakan lembut basuh kasih sayangnya...
Tuhan... Engkau berikan lagi aku cobaan di saat aku mengucap janji kepada Mu, saat menikahi seorang wanita yang tulus menemaniku selama ini, di saat itu lah Engkau memanggil pulang Ayah ku...
Tuhan ku... Belum cukupkah semua itu " Engkau tunjukkan lagi kuasa Mu kepada Ku... Tepat di saat aku menerima karunia Mu.. Engkau titipkan dan berikan mahluk ciptaan-Mu dalam rahim istri ku.. Dan di saat itu pula Engkau memanggil istri ku pulang...
Ya Tuhan ku... Tuhan semesta alam.. Tuhan yang Maha Segalanya...
Aku berjalan dengan tertatih dalam luka dan duka selama ini... Mencoba kuat dan bertahan dari apa yang telah Engkau tuliskan dalam takdir ku...
Kini Anakku pun harus dijauhkan dari diriku.
Beginikah cara Mu menguji setiap mahluk Mu Ya Tuhan Ku "
Atau... Hanya aku yang memang patut diberikan cobaan dan ujian 'seindah' ini "
Tuhan ku... Apa salah ku hingga Engkau senang membasuh ku dengan duka dan kematian dari orang yang aku sayangi "
Aku berdosa, dan aku tau setiap kesalahan ku Engkau murka... Tapi apakah hanya aku yang Engkau beri ganjaran "
Tuhan... Aku hanya mempertanyakan... Bagaimana diri Mu bisa mendapatkan gelar Maha Adil jika apa yang aku terima selama ini tidak menampakkan salah satu sifat Mu itu....?""
...when it hurts to move on,
just remember the pain you felt hanging on... PART 72
Bulan puasa tahun 2008 menjadi sebuah titik balik untuk kedua wanita yang Gua kenal. Ya, saat itu Mba Yu dan Luna akhirnya menjadi akrab, seringnya mereka bertemu di rumah Gua membuat kedua wanita itu kembali memiliki hubungan silaturahmi yang baik. Semua itu karena mereka perduli akan keluarga Gua, lebih tepatnya anak Gua, si cantik yang hilang. Dan karena itu pula Gua akhirnya menyerah. Menyerah untuk mengikuti saran mereka berdua dan juga Mba Laras. Di bulan puasa ini Gua bersama Mba Laras membuat berita kehilangan salah satu anggota keluarga, di media cetak. Jelas sudah, jalan ini adalah satu-satunya harapan kami semua, agar kami bisa menemukan keberadaannya.
Hubungan Gua dan Luna berjalan baik, setelah dirinya sempat mengejutkan Gua dengan sebuah kecupan di dalam mobil waktu itu, kami berdua tidak pernah membahasnya, seperti tidak pernah terjadi. Dan Gua menganggap itu hanyalah sebuah spontanitas. I don't have feeling about that. Sedangkan hubungan Gua bersama Mba Yu masih berjalan apa adanya, seperti selama ini. Mba Yu masih memiliki hubungan dengan Feri, mereka masih berpacaran.
Kedekatan Gua dengan Luna pun semakin akrab, Luna sudah dianggap keluarga oleh Mba Laras dan Nenek, karena selama istri Gua berpulang dirinya selalu hadir ditengah-tengah keluarga Gua, apalagi setelah kepergian si cantik yang dibawa oleh mertua Gua, Luna selalu meluangkan waktunya untuk membantu kami mencari sosok si cantik. Dan perselisihan antara Mba Yu dan Luna tidak pernah lagi nampak, sekalipun kini Mba Yu tau kalau Luna dekat dengan Gua. Karena dirinya pun menyadari bahwa dia tidak mungkin bisa selalu menemani Gua seperti dahulu, saat kami masih bersama.
Lambat laun, Gua dan keluarga mencoba membiasakan diri tanpa kehadiran si cantik di rumah ini. Bukan berarti kami menyerah, tapi kami berpasrah, dan hanya bisa berharap suatu hari nanti kami bertemu dan berkumpul kembali dalam keadaan sehat dan bahagia.
... ... ... Dua bulan setelah idul fitri tahun 2008, tepatnya bulan Desember, di penghujung tahun ini, Gua belum juga menemukan keberadaan si cantik beserta kedua mertua Gua itu. Segala cara sudah Gua tempuh, Gua mengikuti saran keluarga dan juga orang terdekat, membuat berita di media cetak atas kehilangan anak Gua itu pada saat bulan puasa lalu.
Tapi ternyata tidak ada satupun berita yang dapat memberitahukan keberadaan anak Gua, tidak ada sama sekali. Dan di penghujung tahun ini berarti Gua sudah melewati hari-hari tanpa si cantik selama hampir empat bulan. Ya, selama itulah Gua belum melihat lagi si cantik...
... ... ... Gua mengemudikan mobil ke daerah pesisir di jawa barat, setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama empat jam, akhirnya Gua pun sampai di sebuah resort. Beres check-in Gua pun masuk ke dalam kamar yang tidak begitu besar, Gua menaruh tas ransel di atas kursi kayu dekat Tv. Baru saja Gua duduk di atas kasur, hp Gua bergetar dalam saku jaket, sebuah panggilan telpon dari seorang wanita.
Quote:Percakapan via line : Gua : Hallo...
Luna : Hallo Za, kamu dimana ".
Gua : Aku lagi pergi dulu Lun, ada keperluan yang harus diselesaikan.
Luna : Iya, tapi kamu dimana Za " Kata Mba Laras dan Nenek kamu gak bilang pergi kemananya. Gua : Aku gak pergi jauh kok Lun, gak apa-apa.
Luna : Za... Aku.. Aku khawatir sama kamu.
Gua : Makasih Luna.. Tapi aku baik-baik aja Lun, aku kabarin lagi nanti ya Lun.. Aku cuma butuh waktu sendiri.
Luna : Jangan pergi terlalu lama.. Kami semua khawatir Za.
Setelah telpon di tutup, Gua melepaskan jaket lalu melemparnya sembarang. Kemudian menghempaskan tubuh ke atas kasur, memandangi langit-langit kamar resort ini. Fikiran Gua kembali memutar tiap kenangan, kenangan akan hidup yang sudah Gua lalui selama sembilas tahun berada di dunia ini.
Beberapa hal mungkin bisa kita prediksi dengan nalar manusia, ada sebab dan akibat karena perbuatan kita sendiri, sisanya.. Alur yang sudah berada dalam buku takdir lah yang kita jalani tanpa bisa menduganya. Keterbatasan daya imajinasi kita tidaklah cukup untuk sekedar menerka akan bagaimana perjalanan hidup ini, maka yang bisa kita lakukan hanyalah terus berjuang dan berusaha menerima alur takdir tersebut.
Perkaranya sekarang adalah kesabaran manusia diberi batasan. Dan untuk Gua pribadi, untuk apa yang sudah Gua lalui, untuk takdir hidup Gua saat ini, kadar kesabaran Gua nyaris habis, sudah berada pada titik nadir.
Gua keluar kamar setelah membilas tubuh dan berganti pakaian. Menapaki pasir pantai sebelum senja tenggelam. Desiran angin dan deru suara ombak menemani langkah kaki Gua, menemani jiwa Gua yang hilang, menemani kesenduan dalam hati ini. Tak ada lagi yang ingin Gua rengkuh dalam sebuah nama kebahagiaan, semuanya terasa sirna dari diri ini. Terenggut, terhempas dan terjatuh dalam palung kepedihan. Lalu apalagi yang ingin Gua pertahankan... Tak ada.
Gua memiliki dua cahaya, yang selalu bisa menghangatkan hati dan jiwa ini dari dinginnya kesedihan. Yang pertama adalah cahaya indah dalam sosok istri Gua, Elsa Ferossa. Dia selalu ada di saat Gua terjatuh dan tertatih menghadapi kejamnya dunia ini, dan ternyata dia sendiri menganggap Gua sebagai sosok cahaya bagi dirinya, ironis...
Dan kini, cahaya pertama itu telah pergi, hilang, dan sirna ditelan oleh Sang Maut.
Gua masih memiliki satu cahaya lagi, cahaya terakhir yang menerangi Gua dalam gelap karena kehilangan cahaya sebelumnya. Cahaya itulah yang membuat Gua mampu melangkah dalam gelapnya jalan yang Gua tapaki. Cahaya yang kecil namun mampu membuat Gua menatap optimis bahwa jalan hidup Gua masih panjang dan kebahagiaan Gua masih ada, belum pudar karena kehilangan sebelumnya.
Tapi, cahaya kedua itu kini direbut, direnggut, dan diambil dari Gua, bukan hilang dan sirna karena ditelan Sang Maut. Kini, Gua hanya bisa terdiam berdiri tanpa bisa melangkah lagi, terlalu gelap, bahkan teramat gelap bagi Gua untuk sekedar melihat jemari-jemari tangan ini.
Takut " Tidak, Gua tidak takut hanya untuk berada dalam gelap. Tapi permasalahannya bagaimana Gua bisa terus menyusuri jalan gelap ini tanpa cahaya. Dan sekarang... Gua hanyalah seorang buta yang tak tau arah jalan pulang...
Tak ada yang abadi di dunia ini, Gua menyadari hal itu. Segalanya akan kembali kepada-Nya. Kembali kepada Sang Maha Pemilik. Mengikhlaskan memang berat, teramat berat, bisa saja mulut ini mengucapkannya tapi dalam hati belum tentu sudah merelakan. Atas apa yang sudah terjadi, Gua berharap sebelum waktu itu tiba, Gua masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan anak tercinta Gua dan Echa.
Hanya do'a-do'a yang bisa Gua panjatkan untuk anak Gua itu, memohon kepada Tuhan agar ia selalu dalam lindungan-Nya. Hingga nanti kami dipertemukan lagi kelak.
Cahaya senja yang nyata menyinari tubuh ini ketika Gua sudah berdiri di ujung tebing, memandangi lautan yang dibasuh kemilau 'jingga'. angin laut yang menyapa Gua membuat fikiran ini tenang. Suasana inikah yang Echa lihat dalam mimpi Gua " Jika benar begitu, Gua setuju, bahwa semua ini indah, pemandangan ini indah sayang ku...
Sejenak Gua memejamkan mata, menikmati setiap detik waktu di tempat ini, di ujung tebing atas laut waktu senja menampakkan dirinya, menampakkan keindahan kemilau jingga...
Gua merentangkan kedua tangan dan menengadahkan kepala keatas, lalu tersenyum dengan mata yang masih terpejam. Mencoba merasakan suasana indah ini lebih lama, dan dalam hati Gua memohon... Memohon kepada-Nya.
"Tuhan ku, aku menyadari bahwa Engkau lah Sang Maha Cahaya...
Cahaya yang aku rasakan bukanlah milik ku.. Tapi kepunyaan Mu... Maka terangilah jiwa ini dalam gelapnya jalan yang aku tempuh... Karena aku tau, hanya Engkau lah yang mampu memberikan ku cahaya itu... Dan bila...
Bila ternyata sudah habis waktu ku untuk melihat cahaya Mu, jangan Engkau biarkan diri ini terdiam dalam gelap, lebih dari apapun aku berharap kepada Mu... Bawa serta roh dalam jasad ini untuk menemui cahaya kekal abadi di dimensi lain...
Tuhan ku... Aku mencoba untuk berpasrah dalam garis takdir yang Engkau tuliskan untuk ku... Namun bolehkah aku berharap dan berusaha lagi, untuk tetap berjalan menemukan titipan Mu.. Dan untuk itu semua, aku akan pasrah jika memang anak ku harus terpisah dengan ku dalam kehendak Mu...
Terpisah untuk sejenak, untuk waktu yang aku tidak tau.. Dan bila waktunya tiba, dimana saat aku akan bertemu lagi dengannya, jadikan hari itu hari kebahagiaan kami... Bukan duka lara yang senang menyapa diri ini.
Aku percaya Engkau menjaganya, menjaga darah dagingku yang tentunya kepunyaan Mu... Jadikan ia anak yang solehah dan selalu berada dalam kebahagiaan, jauhkan ia dari segala hal buruk di dunia ini. Aku berpasrah kepada Mu ya Tuhan ku..."
Tiga hari sudah Gua berada di resort ini, setiap sore hari Gua selalu berjalan ke tebing diatas laut, dimana di sisi timurnya ada sebuah bekas benteng, bangunan yang merupakan peninggalan jaman dahulu. Di sana Gua duduk sendirian, memandangi laut di saat senja akan terbenam sambil menikmati sebatang rokok.
Sama seperti sore ini, Gua pun sudah duduk di ujung tebing itu, mengepulkan asap dari mulut ini, dan mencoba menerka-nerka akan ada kebahagiaan kah esok hari atau sebaliknya. Sore itu Gua melihat sekelompok burung yang melintas dan berputar di atas lautan di depan sana, bersama deru suara ombak yang mengiringi desiran angin membuat tubuh ini cukup merasakan hawa dingin, sekalipun Gua sudah mengenakan jaket yang cukup tebal. Sekitar pukul setengah enam sore Gua memilih pulang ke kamar resort, dan sepertinya sudah cukup bagi Gua menyendiri dan melupakan sejenak segala beban hidup.
Ya, Gua akan kembali pulang dan berhadapan lagi dengan realita...
*** Teringat jelas dalam memori Gua, hari itu, sabtu tanggal enam desember. Gua pulang kuliah dan sedang bersama Luna pergi ke sebuah mall untuk makan sore di sebuah restoran. "Kamu mau aku pesenin apa Za ?", tanya Luna sambil membuka buku menu di hadapan Gua. "Ada menu apa aja Lun ?", jawab Gua sambil menyandarkan punggung ke bahu kursi. "Mmm.. Steak mau " Atau mau makan nasi ?", kali ini Luna melirik kepada Gua.
"Steak aja deh, aku mau tenderloin nya, barbeque sauce ya Lun", ucap Gua lalu mengalihkan pandangan ke resto ini ketika Luna menulis pesanan kami.
Setelah itu pelayan resto mengulang pesanan kami berdua, membacanya lalu kemudian pergi untuk meneruskan orederan tersebut ke bagian dapur. Gua dan Luna hanya mengobrol ringan, seputar perkuliahan Gua yang memang sudah habis masa cutinya sejak bulan oktober, pas setelah libur lebaran. Berlanjut ke perkuliahan Luna yang rencananya awal tahun depan dia akan mulai mengerjakan skripsi.
Tidak lama kemudian pesanan kami datang dan langsung kami santap setelah dihidangkan di atas meja makan. Masih menikmati steak yang baru setengah Gua makan, bahu kiri Gua ditepuk pelan dari arah samping kiri. Gua menengok kepada seorang wanita yang sedang berdiri dan tersenyum. "Hai Za.. Apa kabar ?".
"Eh, hai Mba, alhamdulilah baik",
"Mm.. Duduk dulu Mba", ajak Gua seraya bangun dari duduk, hendak bergeser ke kursi sebelah kanan.
"Oh gak usah Za, aku baru mau pulang ini, abis beli makanan dibungkus, eh liat kamu..", jawabnya sambil menunjukkan plastik makanan pada tangan kanannya.
"Oh.. Eh iya apa kabar kamu Mba ?".
"Alhamdulilah baik juga Za..",
"Ehm..", dia berdeham lalu melirik kepada Luna yang berada di depan Gua.
"Eh iya, kenalin ini Luna, teman aku Mba", ucap Gua tersadar,
"Lun, kenalin ini Mba Siska.. Tetangga aku di dekat rumah Nenek", ucap Gua kali ini melirik kepada Luna.
"Hai, aku Siska..", Mba Siska mengulurkan tangan kanannya setelah memindahkan kantung plastik ke tangan kirinya.
"Hai juga, Aku Luna", balas Luna seraya menyambut jabat tangan Mba Siska.
"Tapi.. Sebentar sebentar... Kayaknya kita pernah ketemu ya " Mm.. Dimana ya ?", Mba Siska menjentikan jarinya ke dagu seraya berfikir.
"Oh, iya kita pernah ketemu di rumah Eza, waktu... Ehm.. Waktu pemakaman Echa", Luna tersenyum setelah menjelaskan pertama kalinya mereka bertemu.
Gua hanya tersenyum sambil melirik kepada Luna.
"Ah iya iya, aku liat kamu waktu itu, tapi belum sempat kenalan ya.. Hahaha.. Maaf loch", jawab Mba Siska.
Ya, waktu itu Mba Siska memang datang ke pemakaman istri Gua, Echa. Dia datang sekeluarga bersama kekasihnya juga. Saat itu Luna dan Mba Siska memang belum sempat berkenalan, mereka hanya bertemu tanpa mengobrol. Setelah hari itu, Mba Siska tidak pernah bertemu dengan Gua, dan kami jarang berkomunikasi selama ini.
"Oh iya, si kecil gak diajak Za ?", tanya Mba Siska.
Gua langsung menengok ke sisi lain dengan ekspresi datar, seketika itu juga bayangan si cantik kembali hadir. Memang tidak mungkin Gua melupakan anak Gua itu dan masih terbayang jelas raut wajahnya dan aroma wangi tubuh seorang bayi mungil itu diingatan ini.
"Mm.. Memang Mba enggak tau apa yang terjadi dengan si kecil ?", tanya Luna kali ini.
Mba Siska langsung mengerenyitkan kening dan bingung, ya Gua rasa dia bisa menangkap bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Mba Siska menggelengkan kepala kepada Luna lalu melirik kepada Gua.
"Za, ada apa sama anak kamu ?".
Gua tersenyum lalu menghela nafas pelan. "Duduk dulu Mba, biar aku ceritain semuanya", kali ini Gua bangkit dari duduk dan benar-benar pindah ke bangku sebelah.
Lalu Mba Siska duduk di samping Gua, menaruh plastik makanannya di atas meja. Barulah Gua mulai bercerita yang kadang dibantu oleh Luna juga yang ikut bercerita, karena hati dan fikiran Gua masih terasa nyeri saat mengingat perginya si cantik yang membuat Gua terdiam sejenak. Setelah kami berdua bercerita kepada Mba Siska, dirinya mendengus kasar sambil memejamkam mata sejenak. "Za..", ucapnya menatap mata Gua lekat-lekat.
Gua menengok kepadanya, lalu menatap wajahnya yang memberikan ekspresi serius.
"Aku fikir semuanya berjalan baik..",
"Ini mungkin sudah jalan dari Tuhan, aku dipertemukan lagi sama kamu di sini Za", lanjut Mba Siska sambil menaruh tangan kanannya ke bahu kiri Gua.
Gua mengerenyitkan kening. "Maksudnya ?", Gua bertanya dengan bingung. "Aku liat anak kamu dua hari lalu bersama Papah dan Mamahnya Echa...", jawab Mba Siska serius.
*** ... Takkan selamanya tanganku mendekapmu Takkan selamanya raga ini menjagamu
Seperti alunan detak jantungku Tak bertahan melawan waktu Dan semua keindahan yang memudar Atau cinta yang telah hilang
Biarkan aku bernafas sejenak Sebelum hilang...
PART 73 Downfall II Pagi ini mendung, langit memang masih gelap setelah Gua selesai menunaikan ibadah dua raka'at tadi. Lalu selesai beribadah dan mandi, Gua mengenakan pakaian dan mengambil satu sweater berwarna hitam, kemudian Gua mengenakan sepatu converse dan mengambil kunci mobil di atas meja kamar.
Beres memanaskan mobil sebentar, Gua berangkat menuju sebuah rumah yang tidak jauh jaraknya dari rumah Gua, kurang dari lima menit Gua telah sampai di depan pagar rumahnya, lalu mengetik sms untuk memberikan kabar bahwa Gua telah sampai. Tidak lama kemudian seorang wanita keluar dari rumah di depan itu dan seorang satpam membukakan pagar.
"Maaf Za, nunggu lama ya ?", ucapnya setelah membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
"Enggak, baru aja sampe.. Kita langsung berangkat aja ya", jawab Gua sambil memasukkan persneling lalu menginjak pedal gas.
... Rintikan hujan mulai turun membasahi jalan raya, wiper mobil pun Gua nyalakan agar pandangan Gua tidak terlalu terhalang oleh derasnya hujan yang turun. Waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi saat mobil baru saja Gua hentikan di jalan tol yang sudah padat oleh kendaraan lainnya.
hari ini adalah hari rabu, dan sepagi ini Gua hendak mengantarkan wanita cantik yang duduk di samping Gua itu ke bandara soetta.
"Kamu kenapa gak kuliah aja sih ?", tanya Luna sambil membuka zipper jaket yang ia kenakan.
"Lagi males Lun, baru hari ini aja aku bolos lagi kok", Gua menurunkan handbrake lalu kembali melajukan mobil dengan perlahan.
"Oh ya, belum ada kabar lagi dari Mba Siska ya ?", kali ini Luna bertanya seraya membuka tasnya dan mengeluarkan sebungkus roti isi.
"Belum ada kabar Lun.. Huuftt..", Gua menghela nafas dengan kasar.
"Sabar dulu ya Za, pasti suatu hari kita ketemu sama mereka kok..", Luna mengelus bahu kiri Gua.
Gua hanya mengangguk sambil tersenyum kepada Luna.
"Eh, kamu belum sarapan kan pasti " sini aku suapin ya, lumayan untuk ganjal dulu", lalu tangannya menghampiri mulut Gua dengan sepotong roti berisi keju cokelat.
Setelah kami berdua bertemu secara tidak sengaja dengan Mba Siska di sebuah restoran, Mba Siska ternyata hanya melihat anak Gua sedang jalan-jalan di dalam sebuah mall bersama kedua mertua Gua, itupun Mba Siska tidak menyapa mereka karena hanya melihat dari sebrang, Mba Siska sedang berada di eskalator turun sedangkan si cantik bersama kedua mertua Gua menaiki eskalator naik.
Tapi apa yang dikatakan Luna ada benarnya ketika itu, setidaknya kita semua tau bahwa anak Gua dalam keadaan sehat bersama kakek dan neneknya, ditambah ternyata mereka tidak pindah jauh, ya mungkin saja mereka tinggal di ibu kota. Walaupun kami semua masih belum tau dimana tempat tinggal mereka sampai sekarang.
Pukul setengah sebelas siang kami berdua sudah sampai di bandara. Beres memarkirkan mobil, Gua dan Luna turun lalu berjalan ke terminal keberangkatan domestik, sampai di sana, Luna mengajak Gua untuk makan dulu di sebuah resto cepat saji, sekalian menunggu waktu keberangkatan yang masih cukup lama.
Gua memesan secangkir kopi hitam dan cheese burger, lalu Luna lebih memilih menyantap salad. Sambil menikmati makanan, Gua dan Luna mengobrol perihal keberangkatannya ke Yogyakarta. "Kamu di sana berapa lama Lun ?", tanya Gua seraya mengangkat cangkir kopi.
"Paling lama satu minggu Za, cuman perlu data perbandingan aja sih untuk skripsi aku", jawabnya setelah selesai menghabiskan saladnya.
Gua mengangguk. "Hmm.. Kenapa gak milih perusahaan di jakarta aja " Kan banyak toh ?".
"Banyak memang, tapi aku gak mau sama dengan rekan kampus ku yang lain, nanti disangka plagiat lagi".
Gua tergelak. "Hahahaha.. Bisa aja kamu, but success for you, Lun".
Masih mengobrol di sini, hp Gua bergetar pada saku celana, lalu Gua merogoh dan melihat layar hp. "Siapa Za ?".
"Mba Laras..", jawab Gua.
"Yaudah angkat dulu Za".
Gua menganggukan kepala lalu menekan tombol answer.
Quote:Percakapan via line : Gua : Hallo Assalamualaikum Mba.
Mba Laras : Walaikumsalam Za. Kamu masih di bandara ".
Gua : Iya, Mba, Luna belum berangkat.. Mba, kamu kenapa " Kok kayak yang panik gitu ". Mba Laras : Za, hiks.. hiks.. hiks...
Gua terkejut mendengar suara isak tangis dari ujung telpon ini.
Gua : Mba.. Mba.. Kamu kenapa "! Ada apa Mba "! Kenapa kamu nangis "!!.
Luna mulai ikut cemas mendengar percakapan Gua yang sedang menelpon dengan pertanyaan seperti itu.
Mba Laras : Hiks.. hiks.. hiks.. Papah mertua kamu.. mereka kecelakaan Za.. Hiks.. hiks.. hiks..
Gua semakin terkejut mendengar ucapan Mba Laras itu. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia ucapkan.. Dan suara Gua tiba-tiba tercekat lalu mata ini mulai berkaca-kaca, memikirkan segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada...
Gua : Mba.. Jangan bilang Mba... Jangan bilang Mba.. Jangan..
Nafas Gua mulai memburu, tangan kiri Gua mengepal di atas meja makan. Tangis diujung sana semakin terdengar nyaring. Gua memejamkan mata lalu airmata ini mengalir pelan, sebuah tangan lembut meyapa bahu kanan Gua dari depan.
Mba Laras : Zaaa.. Hiks.. hiks.. hiks.. Anak kamu ada dalam mobil itu.. hiks.. hiks.. hiks..
Praakk.. Hp Gua terjatuh ke lantai.
Mata ini menatap kosong kearah wanita yang masih mengusap bahu kanan Gua dari depan. "Kenapa Za " Ada apa ?", Luna bertanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Tidak lama kemudian hp milik Luna berdering, dia mengangkat telpon itu, sedangkan Gua sudah menutupi wajah dengan tubuh yang bergetar.
"Za.. Ayo kita langsung ke rumah sakit xxx.. Ayo Za.. Aku baru ditelpon Mba Laras, dia lagi diperjalanan sama Nenek dan Kinanti.. Ayoo..", Luna menarik tangan kanan Gua.
Gua mengikuti Luna yang menarik tangan kanan ini, meninggalkan resto fast food ini dengan fikiran yang tidak menentu. Sampai di parkiran dan ketika Luna meminta kunci mobil, Gua baru tersadar.
"Lun, kamu harus berangkat ke Yogyakarta sebentar lagi, biar aku yang pergi sendiri ke rumah sakit...", ucap Gua pelan.
"Enggak enggak.. Enggak Za, aku harus ikut.. Kamu gak bisa aku biarin pergi sendiri.. Aku harus ikut", jawabnya cepat.
"Lun, tugas kuliah kamu pen..".
"Eza! Anak kamu lebih penting dari sekedar tugas aku Za!". "Kenapa " Kenapa kamu perduli ?".
"Karena aku sayang sama anak kamu, aku sayang sama kalian berdua..".
Well it rains and it pours when you're out on your own If I crash on the couch, can I sleep in my clothes 'Cause I spent the night dancing, I'm drunk I suppose If it looks like I'm laughing
I'm really just asking to leave this alone You're in time for the show
You're the one that I need, I'm the one that you loathe
You can watch me corrode Like a beast in repose
'Cause I love all the poison away with the boys in the band I've really been on a bender and it shows So why don't you blow me
A kiss before she goes Give me a shot to remember
And you can take all the pain away from me Your kiss and I will surrender
The sharpest lives are the deadliest to lead A light to burn all the empires
So bright the sun is ashamed to rise and be In love with all of these vampires
So you can leave like the sane, abandon me
Mobil menembus hujan yang masih turun dengan derasnya, Luna mengemudikan mobil dengan kecepatan 100km/jam karena jalan raya yang lenggang. Gua duduk di jok kemudi dengan perasaan takut, khawatir, cemas, dan isi fikiran ini tidak mampu menepis segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
Pukul setengah satu siang kami berdua sudah sampai di parkiran rumah sakit, Gua dan Luna berlari kecil ke arah pintu utama rumah sakit untuk menghindari hujan. Lalu kami menuju bagian informasi, Luna menanyakan pasien yang bernama Bapak Wisnu, lalu setelah mendapatkan info letak ruangan tersebut, kami berdua berlari menuju ke sana.
There's a place in the dark where the animals go You can take off your skin in the cannibal glow Juliet loves the beat and the lust it commands
Drop the dagger and lather the blood on your hands, Romeo
Luna berjalan lebih dulu di depan Gua, lalu di depan sana Gua melihat Mba Laras dan Nenek, berjalan menghampiri kami berdua.
"Za, kejadiannya tadi pagi, Mamah mertua kamu nelpon ke rumah..", ucap Mba Laras yang sudah berdiri di depan Gua.
"Terus ?". "Ada sebuah truck, truck itu menyalip sedan di depannya, mengambil arah kanan, dimana dari arah berlawanan ada mobil taxi.. Taxi yang di dalamnya ada..", ucapan Mba Laras terhenti karena dia menangis.
"Ada mertua aku dan anak ku ?".
Mba Laras menangis sambil menganggukkan kepala. "Papah mertua kamu dan anak kamu..", jawabnya.
Gua berdiri terpaku mendengarnya, lalu Ibu Gua itu mendekap tubuh ini. Dia menangis semakin keras. Nenek ikut menangis dengan cukup keras sambil menggelengkan kepalanya seraya menutup wajahnya.
"Tuhan sayang sama anak kamu Za, Tuhan sayang sama dia.. Tuhan sayang.. Tuhan benar-benar sayang sama si cantik..", ucapnya dalam isak tangis dengan wajah yang terbenam dalam dada Gua.
Kedua tangan Gua bergetar, airmata Gua mulai mengalir perlahan, lalu Gua memejamkan mata dan mendorong pelan kedua bahu Ibu Gua itu.
Dengan suara berat dan lirih, Gua mencoba menahan emosi ini. "Mba.. Gimana kondisi anak ku..?". "Ikhlas Za, Ikhlasin... Allahu akbar..".
Bruk... Nenek terjatuh dan langsung di pegangi oleh Luna, Gua masih berdiri menatap lurus kedepan. Lalu dua petugas rumah sakit berlari menghampiri kami berempat. Nenek digotong oleh dua petugas rumah sakit yang entah dibawa kemana, karena dia sudah tak sadarkan diri. "Za..hiks..hiks..", Luna memegangi wajah Gua dengan kedua tangannya. Gua tersenyum dengan berderai airmata. "Tunjukin ruangannya Lun..".
Gua berjalan bersama Luna yang memegangi bahu kiri ini dengan tangan kirinya dari arah kanan. Langkah kami terhenti ketika sebuah pintu berada di depan kami berdua. Luna membuka pintu tersebut yang langsung disambut oleh seorang perawat laki-laki, setelah Luna meminta izin dan diperbolehkan masuk, Gua mengikutinya memasuki ruangan yang dingin ini.
Give me a shot to remember
And you can take all the pain away from me Your kiss and I will surrender
The sharpest lives are the deadliest to lead A light to burn all the empires
So bright the sun is ashamed to rise and be In love with all of these vampires
So you can leave like the sane, abandon me
Perawat itu berhenti di sebuah keranda jenazah, lalu dia membuka kain putih yang menutupi jasad seorang lelaki.
Gua memalingkan muka lalu memejamkan mata dengan kuat, tubuh Gua kembali bergetar, sedangkan Luna memeluk Gua dari samping sambil menangis.
"Ini korban kecelakaan tadi pagi Mas, Mba.. Sudah dibersihkan darahnya. Beliau meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit ini", perawat lelaki itu menerangkan kepada Gua.
Gua mengangguk, sambil beristigfar dalam hati. "Makasih Mas, iya itu jenazah mertua saya", jawab Gua.
Lalu dia berjalan lagi ke keranda besi jenazah di sisi lainnya. Gua menahan bahunya. "Mas.. Biar saya aja", ucap Gua.
"Za..". "Enggak Lun.. Biar aku sendiri".
Cengkraman tangan Luna pada bahu dan lengan kiri ini terasa semakin kuat ketika tangan Gua mulai menjangkau kain putih itu.
"Za..", Luna berbisik lirih sambil membenamkan wajahnya ke lengan ini. Sreett... kain itu Gua sibakkan...
*** Sesosok bayi berusia empat bulan yang cantik itu.. Tertidur... Tertidur dengan beberapa luka yang masih basah pada wajahnya dan lebam biru pada sekujur tubuhnya.
Luna jatuh pingsan dan langsung ditolong oleh perawat rumah sakit lelaki tadi.
Gua mengangkat tubuh bayi tersebut, memeluknya, mendekapnya dalam dada ini, dingin.. Sangat dingin aliran tubuhnya...
Hancur sudah perasaan di dalam hati ini. Gua menciumi sekujur luka pada wajahnya... Dugh.. Gua jatuh bertumpu dengan kedua lutut, menangis keras.
Gua menengadahkan kepala menatap lampu yang bersinar putih terang di atas sana. Menangis keras dan berteriak...
"JINGGAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!" "Nak... Ayah sayang sama kamu.. Bunda juga menyayangi kamu... Ayah titip salam untuk Bunda ya sayang..."
"Maafkan Ayah Nak, maafkan Ayah yang lalai menjaga kamu... Maaf Nak... " "Ayah mencintai kamu dan menyayangi kamu."
Putri kami tercinta Kencana Jingga binti Reoda Agathadera 15.08.08 ~ 10.12.08
PART 74 End of Chapter III

Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Quote:Terkadang hidup itu tak adil, ketika kita tidak bisa menerima apa yang sudah digariskan dalam takdir. Dan terkadang manusia baru bersyukur ketika menerima kebahagiaan, bukan di saat kita menerima ujian.
Bagi Gua, semuanya sudah selesai, tidak ada lagi hal di dunia ini yang bisa Gua perjuangkan. Dari awal Gua terlahir di dunia ini, Gua sudah harus merasakan terpisah dari Ayahanda. Lalu ada Ibunda yang menemani, dan dia, menjadi mimpi buruk yang nyata bagi Eza kecil. Apa salah seorang anak yang baru bisa belajar jalan tapi sudah menerima hantaman fisik " Karma " Hahahaha... Karma dari siapa anak itu harus menerimanya " Bagi agan yang kurang berkenan, maaf, kebetulan inilah jalan hidup yang sudah sempat terpilih oleh Gua, dulu agan gak ada buat ngasih petunjuk dan bimbingan bijak sih ya.
Mungkin juga agan-agan lebih kuat menghadapinya, semisal nanti agan-agan juga menghadapi ujian yang sama seperti Gua, semoga saja agan tidak salah berkeputusan seperti Gua, amin. Adapun kisah Gua, biarlah jadi cermin, alat buat Gua berkaca akan kesalahan di masa lalu, maupun para pembaca muda untuk melihat satu contoh nyata, bagaimana orang menghadapi masalah hidupnya.
Tak pernah terbayangkan sedikitpun bahwa perjalanan hidup Gua akan sampai ke titik ini, bukan Gua tidak mengerti arti dari kata hidup dan mati, tapi bagi Gua semuanya terlalu cepat, terlalu cepat untuk Gua hadapi di saat Gua baru memulai membangun sebuah keluarga, di saat Gua baru akan menginjak usia dua puluh tahun. Benar memang, kita semua akan berpulang, entah esok, lusa, atau nanti, yang jelas cepat atau lambat kita semua akan kembali kepada-Nya.
Berat hati ini menerima apa yang sudah terjadi, dan sepertinya Gua gagal untuk ujian kali ini. ***
Dalam heningnya ruangan ini dan rasa sakit yang menggerogoti hati ini... Gua telah hancur. Hancur sudah iman dalam diri ini.
Sesosok bayi cantik yang sudah tak bergerak masih berada dalam pelukkan Gua. Gua belai rambutnya yang tipis, membelai tiap luka yang menggores wajahnya. Tidak seperti ini, ya tidak seperti ini seharusnya, goresan sialan itu tidak seharusnya berani melukai wajah anak Gua. Oh Tuhan ku, kembalikan ruh ke jasad anakku... Aku memohon Ya Tuhan. Gua masih memeluknya dan menciumi wajahnya, menciumi lentik jari mungilnya, dan menciumi sekujur tubuhnya yang membiru karena luka lebam.
Dia, gadis kecil ini, tidak layak menghadapi ajal dengan cara seperti ini. Tidak... Gua menolak menerima semua ini. Gua menyangkal bahwa anak Gua telah meninggal.
"Jingga.. Buka matamu sayang...
Buka matamu dan menangislah Nak, Ayah akan membuatkan susu untuk kamu.. Nak.. Buka matamu, ayo bukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!"
Gua berteriak seraya menggoyangkan tubuhnya dalam pelukkan ini... Tapi apa lacur, semuanya sia-sia belaka.
... Gua terbangun karena aroma wewangian yang menusuk indra penciuman ini, Gua mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya putih yang terasa menyilaukan.
"Udah bangun Za " Gimana sekarang " Masih pusing ?", tanya Kinanti yang berada di sisi ranjang. "Aku dimana ?", Gua bertanya seraya mencoba duduk dan menyandarkan punggung.
Kinan membantu Gua untuk bangun. "Ini masih di rumah sakit.. Tadi kamu pingsan..", jawabnya sambil memijat pundak Gua.
Gua mengangguk pelan lalu memijat kening yang terasa pusing. "Za..".
Gua menengok ke kanan, kearah suara wanita separuh baya yang memanggil nama Gua tadi. "Mamah ?", ucap Gua memandangi Mamah mertua.
Beliau tampak pucat, kantung matanya sembab, jelas tampak kesedihan dari raut wajahnya itu.
"Za, maafin Mamah dan Papah Nak..", Mamah mertua Gua seketika itu langsung memeluk Gua, menyandarkan kepalanya ke dada ini. "Maafkan kami Nak, maafkan... Hiks.. Hiks.. Hiks..", ucapnya sambil menangis pilu.
Gua mengusap punggung beliau sebentar, lalu mendorong kedua bahunya perlahan. Gua tatap wajahnya lalu tersenyum. "Kenapa kalian ambil Jingga dari aku ?".
"Maafkan Za, maafkan Papah..",
"Mamah sudah mengingatkan Papah bahwa apa yang kami perbuat adalah kesalahan... Tapi dia bersi keras untuk mengasuh Jingga... Maafkan kami Nak..", beliau menyeuka airmatanya lalu kembali duduk di sisi ranjang rumah sakit ini,
"Papah mertua mu... Berfikir pendek...", lanjutnya. Gua menaikkan satu alis lalu tersenyum kecut. "Maksudnya ?".
"Dia.. Dia menganggap kamu tidak pernah mencintai Echa.. Dan ketika Echa meninggal, dia yakin kalau kamu akan menelantarkan anak kalian.. Apalagi dia melihat ada sosok wanita lain yang dekat dengan kamu setelah Echa tidak ada. Dia takut, takut kalau kamu tidak..".
Gua memotong ucapan beliau. "Tidak mengurus Jingga dengan baik ?", tembak Gua. Mamah mertua Gua hanya bisa menundukkan kepala sambil terus menangis pelan.
"Mah, apa Eza seburuk itu di mata kalian " Apa kalian tidak melihat betapa hancurnya Eza ketika ditinggal Echa pergi ?", Gua menyandarkan kepala ke dinding rumah sakit di belakang Gua, lalu menatap nanar keatas langit-langit ruangan ini. "Aku mengakui kalo aku memang belum mencintai Echa sepenuhnya.. Tapi itu dulu, saat awal kami menikah.. Dan ketika dia mengandung Jingga, semuanya berubah, aku mencintainya tulus dan kehadiran Jingga adalah pelipur lara ku Mah dari kepergian Echa...", lanjut Gua tanpa menoleh sedikit pun.
"Maafkan Papah mertua mu Za, maafkan mamah, maafkan kami..".
Gua menggeleng pelan, lalu memegang dagu beliau, Gua angkat wajahnya perlahan dan menatapnya lekat-lekat. "Semuanya udah percuma Mah, percuma... Enggak ada lagi yang bisa dirubah. Dan sekarang... Kita yang masih berdiri diatas dunia ini yang harus merasakan semua duka". Kinan mengusap dada Gua dari sisi kiri, Gua menengok kepadanya.
"Ikhlas Za, ikhlasin", ucap Kinan.
Gua tersenyum tipis, lalu menurunkan kaki dari atas ranjang, dan berdiri di samping Kinan. Gua pegang sisi kiri wajahnya dengan tangan kanan, lalu Gua dekatkan wajah Gua hingga hidung kami bertemu.
"Simpan kalimat itu untuk kamu sendiri Kak, dan aku yang akan mengulang kalimat tersebut ketika nanti kamu harus menghadapi kehilangan", Gua menatap matanya lekat-lekat dan sedetik kemudian dia langsung menangis.
Gua berjalan kearah pintu lalu Mamah mertua Gua memanggil lagi. "Za..".
Gua menengok kepadanya. "Jangan biarkan emosi menguasai hati kamu Nak..", ucapnya lirih. ...
Gua tutup pintu ruangan itu setelah berada di luar, seorang wanita menghampiri Gua dan langsung memeluk tubuh Gua dari samping.
"Luna " Kamu udah siuman ?", Gua mendorong pelan tubuhnya.
"Kamu enggak apa-apa kan Za " Kamu juga pingsan kata Mba Laras ya ?", Luna malah bertanya balik sambil memegangi wajah Gua.
"Udah gak apa-apa Lun..", jawab Gua lalu Gua melihat ke sisi belakang Luna, di ujung sana, Gua melihat Mba Laras dan Nenek yang sedang berbicara dengan dua orang tua yang tidak Gua kenali. "Lun, itu siapa ?", tanya Gua masih memandang jauh ke depan sana.
Luna menengok ke belakang, lalu menengok lagi kepada Gua. Dia memeluk Gua lagi dan menyandarkan wajahnya ke dada ini. "Udah Za, lebih baik kita ke bagian administrasi untuk urus anak kamu ya.. Biarin mereka jadi urusan Mba Laras", jawab Luna.
"Lun.. Siapa dua orang itu ?", tanya Gua sambil mencengkram lengan kanan Luna. "Aaah.. Aw.. Sakit Za", Luna meringis dan menepis tangan Gua. "Jawab Lun...".
Luna menggelengkan kepala pelan dan airmatanya kembali menetes. "Aku yang akan tanya mereka kalau gitu..", Gua berjalan melewati Luna.
"Za.. Za.. Tunggu, tunggu Za..", Luna menahan langkah Gua dengan memegangi tangan kiri ini. "Oke oke aku kasih tau.. Tapi kamu janji enggak ada amarah..", lanjutnya yang sudah berdiri di depan dan menghalangi jalan Gua.
"Ya..", jawab Gua.
"Aku diminta Mba Laras nungguin kamu disini, nunggu siuman, dan biarkan Mba Laras yang mengurus kejadian ini Za..".
"Bukan itu jawaban yang aku mau".
"Za, mereka berdua keluarga korban juga, sama seperti kita.. Udah ya Za, gak perlu kamu nemuin mereka, biar Mba Laras yang urus...".
Gua terkekeh pelan. "Okey okey... Aku ngerti..", Gua mendorong Luna dengan kasar ke sisi kiri dan berjalan lagi.
"Reza... Tunggu! Kamu gak usah nemuin mereka! Ezaaa!!".
Gua tidak memperdulikan Luna yang berteriak dan berlari lagi menghalangi jalan Gua, berapa kali dia menahan tubuh ini, berapa kali juga Gua mendorongnya dengan kasar, hingga ia menangis dan menyandarkan tubuh di sisi dinding lorong rumah sakit ini.
Sebuah lorong Gua telusuri dengan langkah yang berat, airmata ini sudah mengering, habis tak bersisa. Namun deru nafas ini masih memburu. Tangan kanan Gua terkepal. Sementara itu, seorang wanita berlari menghampiri dari arah depan. Bruk... Tubuhnya memeluk Gua.
"Sabar...", "Sabar...",
"Sabar Zaa..", ucapnya yang kini sudah memeluk Gua.
Pandangan ini hanya tertuju kepada seorang lelaki tua yang sedang duduk disebuah bangku besi, kedua tangannya menutupi wajahnya. Disebelahnya ada seorang Ibu-ibu yang baru saja diangkat oleh beberapa perawat rumah sakit untuk dibawa ke ruangan lain.
"Za...", "Istigfar...", "Istigfaar Zaaa..", ucapnya lagi yang masih memeluk tubuh ini.
"Mereka...", "Mereka...", "Mereka...",
"Harus membayar apa yang sudah mereka lakukan pada keluarga kecil ku Mba....", "Harus!!!!", balas Gua sambil mendesis lirih memandang tangan yang kian memutih terkepal.
Mba Laras langsung memegangi wajah Gua dan menundukkan kepala ini, dia menatap mata Gua lekat-lekat.
"Za, sayang, istigfar.. Mereka berdua juga kehilangan anak mereka Za.. Semua ini sudah takdir Tuhan sayang.. Istigfar Za..", Mba Laras berbicara dengan suara lirih dan sedikit tercekat. "Mereka kehilangan siapa " Hah "!".
"Mereka berdua orangtua supir truck itu Za, anak mereka juga meninggal.. Supir yang menabrak taxi itu meninggal Za, meninggal juga... Istigfar sayang", Mba Laras menggelang pelan sambil menangis.
"Satu anak hah " Dan anak mereka yang menyebabkan kematiannya sendiri Mba, bukan takdir! Dan aku harus kehilangan anak ku, sedangkan Mamah, harus kehilangan suaminya..", jawab Gua menatap mata Mba Laras.
Gua mendorong tubuh Mba Laras ke sisi kanan, lalu sedetik kemudian Gua berlari mengambil sebuah alat pemadam api yang berukuran kecil pada dinding lorong ini. Lalu kembali menghampiri lekaki tua itu dengan berlari lagi.
Lelaki tua itu bangun dari duduknya, berdiri di samping seorang lelaki muda. Lelaki tua tadi menatap Gua dengan ekspresi ketakutan, dia mundur beberapa langkah ketika Gua sudah mengangkat alat pemadam api ini.
Gua melayangkan tangan yang masih memegang alat tersebut ke arah kepalanya. Bruukk...
Tubuh Gua terhempas ke kiri menabrak dinding, sedangkan alat itu sudah terjatuh dan menggelinding di lantai lorong.
"Istigfar Mas! Sabar sabar!", ucap seorang lelaki muda dengan seragam berwarna coklat dan menindih tubuh Gua dari atas.
"Lepas! Lepas!", teriak Gua seraya mendorong tubuhnya.
"Mas! biar hukum yang meyelesaikan kasus ini! Anda tidak bisa main hakim sendiri, tersangkanya juga sudah menjadi korban tewas...", ucapnya lagi dengan tangan yang semakin kuat menahan tubuh Gua agar tetap terlentang di atas lantai.
Gua mendorong tubuhnya dengan lutut dan mengenai punggungnya, hingga dia terjatuh ke samping. Gua bangun dan hendak menghampiri lelaki tua itu.
"Tahan dia!". Dua orang perawat laki-laki yang daritadi hanya melihat kami sekarang berlari menghampiri Gua. Satu orang sudah berada di depan Gua dan menghalangi jalan, Gua mengelak ke sisi kirinya lalu menyikut wajahnya dengan tangan kanan, seorang lagi yang berada di belakangnya Gua hantam dengan tangan kiri kearah pelipisnya.
Dua orang tumbang dan kini hanya ada seorang lelaki tua. Lelaki tua yang memang Gua incar sedari tadi. Dengan cepat Gua mencekik lehernya dengan satu tangan kiri dan sedetik kemudian kepalan tangan kanan Gua mendarat telak ke hidungnya.
bugh bugh bugh bugh Hanya empat pukulan yang bisa Gua layangkan ke lelaki tua itu. Dan ternyata cukup membuatnya terjatuh dengan hidung yang sudah bersimbah darah.
"Cukup! Cukup! Cukup Mas!", teriak pria muda berbaju coklat yang kini sudah mengunci tubuh dan lengan Gua dari belakang.
Gua bersimpuh dengan kedua lutut dilorong ini, kedua tangan Gua terkunci olehnya dari belakang. Gua menatap lekat-lekat kepada lelaki tua yang berguling mengaduh di depan. "Ini belum berakhir... Belum...", ucap Gua pelan.
... ... ... Gua duduk di atas rerumputan, di sebelah kiri ada Mba Laras bersama Nenek, dan di sebelah kanan ada Mamah mertua Gua dan Luna, sedangkan di sebrang depan telah berkumpul Kinanti, Mba Yu, Mba Siska, Om serta Tante Gua, Rekti cs, dan Dosen kampus Gua, Pak Boy.
Selesai memanjatkan do'a, satu persatu dari kami semua meninggalkan halaman belakang rumah ini untuk kembali masuk ke dalam rumah, kembali berkumpul di ruang tamu dan teras depan bersama pelayat lainnya. Dan di sini, di halaman belakang ini, tinggal Gua, Mba Laras, Luna dan Mamah mertua yang masih duduk di hadapan dua gundukan tanah.
"Maafkan semua kesalahan Papah mertua mu Za, mamah memohon maaf..", ucap Mamah mertua seraya memegangi bahu kanan Gua sambil menangis.
Gua menghela nafas pelan, lalu memejamkan mata dan mengusap linangan air yang sudah mulai mengering di pipi ini.
"Mungkin, kejadian kemarin adalah ego terakhir almarhum Za, maafkan beliau, maafkan beliau ya Za.. Mamah mohon kamu bisa memaafkan beliau agar..", ucapannya tertahan karena Mamah mertua Gua kembali terisak.
Luna yang berada di sisi kanan Mamah mertua Gua, langsung memeluknya, mengusap punggung Mamah mertua Gua itu.
Gua tidak menanggapi ucapannya, Gua berdiri lalu pergi ke dalam rumah, Gua menaiki tangga ke lantai dua, mengacuhkan suara-suara yang memangil nama Gua dari mereka yang sedang berukumpul di ruang tamu.
Gua masuk ke dalam kamar, lalu mengambil dua frame foto yang berukuran besar dan kecil. Lalu Gua duduk di atas kasur, menaruh kedua frame foto tersebut di atas kedua paha ini. Gua tersenyum kelu memandangi kedua wajah yang nyaris serupa, membelai wajah itu, wajah yang sudah diabadikan dalam kertas foto.
Tidak ada lagi sinar jingga yang biasanya menyeruak menembus jendela kamar ini. Sore ini mendung, langit gelap, rintikan air turun dari atas sana dengan perlahan, dan suasana dalam kamar terasa sangat sendu, hanya lampu tidur yang menyala di atas meja kecil samping kasur ini menjadi penerang untuk Gua.
Gua menengadah, memejamkan mata sejenak, jejak airmata yang sudah mengering kembali basah, jantung Gua berdegup kencang. Jemari Gua bergetar dengan sendirinya, tanpa bisa Gua tahan. Suara rintikan hujan di luar sana cukup mengaburkan suara isak tangis yang keluar dari mulut Gua.
Gua menarik nafas pelan karena sulit rasanya menghirup udara masuk ke dalam dada yang terasa sesak. Tangan Gua bergetar. Satu demi satu tetesan air membasahi kedua frame foto itu, Gua menggertakan gigi dan menahan perih ini.
"Sekarang kamu sudah ditemani oleh anak kita kan Cha " Dia udah di sana kan Cha " Ya kan ?", Gua berbicara seolah-olah fotonya menanggapi ucapan Gua ini.
"Cha.. Huuufttt...", Gua menghela nafas agar dada ini tidak terasa sesak.
"Aku udah gak punya lagi cahaya di dunia ini Cha.. Gak ada Cha.. Kamu lah satu cahaya itu.. Lalu kamu pergi.. Pergi ke dimensi lain, dan cahaya itupun sirna Cha..", tetes demi tetes airmata ini semakin deras tertumpah.
"Dan ada dia, dia yang menerangi aku setelah kamu pergi.. Dia cahaya baru untuk aku Cha.. Tapi sekarang...", Gua menggelengkan kepala dalam tangis ini.
"Maafkan aku Cha.. Maafkan aku... Maaf atas segala apa yang sudah kamu terima selama hidup.. Maaf Cha".
"Hai cantik.. Hai permata hidup ku yang hilang..", ucap Gua kali ini kepada frame foto yang berukuran lebih kecil.
"Temani Bunda di sana ya.. Temani Bunda kamu.. Ajak dia bermain disana, buat dia tersenyum... Karena... Karena.. Haaaah.. Hah.. Huufttt...", Gua menghirup udara sejenak. "Karena Ayah udah gak bisa bahagiain Bunda dan kamu Nak!", Suara ini bergetar bercampur isak tangis dan mata Gua terpejam kuat, kening Gua berkerut dan cengkraman tangan pada kedua frame foto itu semakin kencang.
Gua memeluk frame foto yang besar, mendekapnya ke dada ini. Gua menangis tanpa suara. Lalu Gua mencium frame foto yang lebih kecil, foto itu menampakkan sosok bayi yang sedang tertidur menyamping, wajahnya damai, tanpa luka, pipinya chubby dan mulus, bersih... Sangat bersih. Kemudian Gua peluk kedua frame itu, mendekapnya lagi di depan dada. Tubuh Gua membungkuk dan terus menangis, sakit rasanya dada ini. Dan Gua sudah tidak bisa lagi membendung sakitnya serta sesaknya semua perasaan yang sudah hancur lebur dalam diri ini....
"AAAAAAAARRRRRRRGGGGGHHHHH.....!!!!"
. . . . . . . . . . *** Januari 2009 "Pihak kampus menyetujui usulan aku dan Pak Boy Za, mereka kasih kamu izin untuk ambil cuti lagi, sesuai yang kamu mau... Mereka mengerti akan kondisi kamu, tapi ya untuk kewajiban biaya semester dan lainnya tetap harus sesuai aturan", ucap Kinanti yang sedang duduk bersama Gua di gazebo halaman belakang.
Gua mengangguk pelan tanpa memandanginya. "Kamu minta urus Mba Laras aja Kak, soal biaya kuliah udah aku serahin ke dia. Aku gak mau sebenarnya lanjutin kuliah ku..", jawab Gua.
"Kamu udah berkali-kali bilang gitu Za, tapi kan sayang, udah masuk semester empat, dan dua semester lagi kamu selesai, jangan sampai mengulang dari awal, dan pilihan cuti ini udah solusi terbaik", lanjutnya seraya memegang tangan kanan Gua.
"Terserah..". "Maaf Za, kami gak mau kamu terus begini, kamu harus lanjutin hidup kamu Za, kamu masih punya keluarga, ada Nenek, Mba Laras, Om, Tante dan aku.. Kamu gak sendirian Za... Enggak".
Gua menengok kepadanya lalu memegang sisi wajahnya. "Kamu gak tau apa-apa soal hidup ku Kak..".
"Za, kita semua sedih, kehilangan, dan sakit atas apa yang udah terjadi.. Aku memang bukan kamu yang ngalamin ini semua, tapi aku dan yang lain tau gimana sakitnya kenyataan yang harus kamu jalanin.. Dan inilah gunanya keluarga Za, merangkul satu sama lain, agar kita bisa bersama-sama melewati semuanya".
Gua menggelengkan kepala lalu mengeluarkan lintingan dan membakarnya.
"Za! Udah ih! Apaan sih kamu konsumsi barang terla..", ucapan Kinan terhenti ketika Gua menempelkan jari telunjuk tepat di bibirnya.
"Sssttt.. You better get out.. Aku gak mau denger suara teriakan kamu karena pipi kamu yang mulus ini kena tampar..", bisik Gua pelan sambil terkekeh dan memicingkan mata menatapnya.
Kedua bola mata Kinan berkaca-kaca, lalu dia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Gua sendirian di gazebo ini. Gua kembali menghisap dalam-dalam lintingan ini, lalu Gua berteriak memanggil art rumah.
"Mbaaa!!! Mbaaa!!".
"Iya Mass.. Iya ada apa Mas ?", ucap art rumah sambil berlari dan tertunduk ketika sudah berada di depan Gua.
"Bikinin saya es teh manis sana! Jangan lama!", ucap Gua lalu berdiri dan duduk di sisi kolam renang.
Art rumah kembali masuk ke dalam rumah. Sekarang Gua memasukkan kedua kaki ini kedalam kolam renang hingga sebatas lutut, Gua duduk disisinya. Lalu memandang ke depan, ke sebrang kolam, dimana dua orang wanita yang Gua cintai berada dalam gundukan tanah.
Gua tersenyum kearah sana, lalu kembali menghisap lintingan ini. Seketika itu juga Gua tertawa pelan sambil memainkan kaki yang berada di dalam air. Tertawa dan meneteskan airmata...
Quote:This fuckin' black cloud still follows me around But it's time to exorcise these demons
These muh'fuckers are doin' jumpin' jacks now And fuck the whole universe
No more drama from now on, I promise
To focus solely on handling my responsibilities as a father So I solemnly swear to always treat this roof, like my daughters And raise it, you couldn't lift a single shingle on it! "Just a dead man, walking through the dead of night" PART 75
Tiga minggu sudah Gua mengurung diri di dalam kamar, bukan kamar di lantai dua rumah Gua, melainkan rumah Nenek. Gua memilih menghindari kontak dengan keluarga maupun teman.
Gua hanya keluar kamar ketika mengambil stok air mineral habis dan sisanya Gua menikmati kesendirian di ruangan ini. Gua hanya makan satu kali sehari, itupun Gua memesan delivery order.
Tante Gua sudah menginap di rumah Nenek selama dua minggu, dia diminta mengawasi dan memperhatikan Gua oleh suaminya. Sedangkan Om Gua yang memang harus dinas di Bandung hanya bisa tinggal selama tiga hari. Saat awal-awal kedatangannya dan Gua mengurung diri, Om Gua sampai harus menendang-nendang pintu kamar Gua dan mencoba mendobrak pintu tersebut. Karena Gua pun tersulut emosi dan merasa sangat terganggu, akhirnya Gua melepaskan satu tembakan ke udara, menembus langit kamar ini, agar mereka semua pergi dan terdiam.
Selama tiga minggu ini, Gua mengkonsumsi rokok berlebihan, minuman dan lintingan haram. Beberapa kali Nenek, Tante Gua, Kinanti dan Mba Laras membujuk Gua agar kembali menjalani hidup seperti semula, menata semuanya dari awal, mencoba membuat Gua kembali bersemangat. Dan ketika mereka semua sudah kehabisan cara membujuk Gua, maka mereka pun meminta tolong kepada sahabat dan teman terdekat. Dari mulai Nindi, Mba Yu, Mba Siska dan sudah pasti Luna sudah pernah berdiri di luar pintu kamar Gua, berbicara dari luar sana agar Gua mau bertemu dengan mereka, tapi semua itu percuma. Tidak sedikitpun upaya mereka mampu menggerakan hati ini untuk membuka pintu kamar itu. Tak ada satupun yang Gua temui. Tak ada.
Selain mereka, Rekti, Unang, Dewa, Icol dan Robbi pernah juga membujuk Gua untuk keluar dan kembali berkomunikasi, tapi Gua tidak perduli, mengacuhkan mereka semua. Bahkan Gua sampai membanting handphone ketika barang elektronik tersebut selalu berisik dengan nada panggilan dan pesan masuk.
Sore ini, Gua baru saja selesai makan setelah sebelumnya memesan delivery order. Lalu Gua membakar sebatang rokok, meminum minuman haram dan membakar lintingan, Gua menikmati ini semua, ya Gua menikmatinya saat itu. Entah pukul berapa sore itu, yang jelas tiba-tiba listrik padam.
Gua berdiri dari duduk diatas kasur lalu berjalan pelan ke arah meja belajar, di sana Gua mengambil dua batang lilin dan menyalakannya. Setelah ruang kamar ini kembali terang dari cahaya lilin tersebut, Gua kembali duduk di atas kasur lalu menenggak lagi minuman dari botol whiskey dan menghisap dalam-dalam lintingan sialan ini.
Seketika itu, ingatan akan kenangan masa lalu kembali menyeruak dan tergambar jelas. Gua melamun, Gua menikmati tontonan itu, tiap adegan kenangan terlihat jelas dalam angan dan khayalan Gua. Tersenyum, terkekeh pelan dan menangis, seperti itulah reaksi Gua ketika melihat kenangan tersebut.
Tiba-tiba ada suara dari luar kamar yang cukup berisik memanggil-manggil nama Gua suara seorang lelaki yang Gua pernah dengar tapi Gua tidak bisa mengingat itu suara milik siapa. Dia mengetuk pintu kamar dengan cepat hingga Gua mendengar ketukan itu berubah jadi pukulan.
Lalu Gua kembali berdiri, berjalan terhuyung melangkah pelan dalam ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya lilin ini. Kemudian naik keatas kasur, Gua memutar-mutarkan tubuh diatas kasur, tersenyum, menitikkan airmata untuk kesekian kalinya, lalu tertawa keras.
Suara ketukkan pintu kamar yang sudah berubah menjadi tendangan dari luar pintu kamar ini tidak menarik perhatian Gua.
Gua menghisap lintingan yang kelima untuk sore ini...
To un-explain the unforgivable,
Drain all the blood and give the kids a show. By streetlight this dark night,
A seance down below. There're things that I have done, You never should ever know!
Gua hisap kuat-kuat hingga tidak terdengar lagi suara berisik dari luar kamar. "Za, buka pintunya Zaa..", teriak suara seorang wanita kali ini.
Suara itu.. Ah untuk apa dia datang " Wait.. Bukankah kamu sudah tersakiti " Okey I'm dreaming... No no noo.. I'm not dreaming, suara itu nyata, Gua benar-benar mendengar suaranya...
"Ezaa..", "Ini aku.. Tolong buka pintunya Za".
Gua berjalan terhuyung kearah pintu dan menempelkan kening ke kayu jati di depan, Gua tersenyum dalam gelap.
"Hai..", "Untuk apa kamu kesini ?".
"Za ?", "Ini aku.. Tolong buka pintunya Za". "Ada siapa di luar ?".
"Semua udah pergi, cuma aku, percaya sama aku Za, buka pintunya ya Za..". "Bener ?".
"Demi Tuhan Za.. Cuma ada aku sekarang". We damn after all... Fak!
And without you is how I disappear, And live my life alone forever now. And without you is how I disappear, And live my life alone forever now. Ceuklek.. Pintu terbuka sedikit.
Gua memiringkan setengah wajah dari balik pintu, mata Gua terasa sakit ketika cahaya sore dari luar ruangan seolah-olah menusuk mata ini.
"ASTAGFIRULLOH.. EZAAA!!!". "Hehehe.. What ?", tanya Gua.
Gua tarik tangannya, dan pada akhirnya dia masuk ke dalam kamar sialan ini.
Bau lintingan yang sudah bercampur dengan whiskey pasti langsung menusuk hidungnya, Gua yakin karena cahaya lilin menunjukkan keningnya yang berkerut dan tangannya langsung menutupi indra penciumannya itu.
"Za, kenapa sampai begini ?".
Gua duduk di lantai kamar dan menyandarkan punggung ke sisi ranjang, menenggak whiskey untuk kesekian kalinya, dan menatap langit-langit kamar.
"Apa semua gadis yang baik akan masuk surga ?", tanya Gua pelan. "Za..".
"Ah, ya ya ya ya ya... Kata ahli agama, hanya Tuhan yang tau kan " HA HA HA HA HA HA...".
Who walks among the famous living dead, Drowns all the boys and girls inside your bed. And if you could talk to me,
Tell me if it's so, That all the good girls go to heaven. Well, heaven knows
Pelukkannya langsung membuat botol minuman di tangan kiri Gua terjatuh. Gua hanya bisa mendengar suara isak tangisnya dan membasahi kaos bagian bahu ini. "Za.. Kamu kenapa jadi begini Za.. Hiks.. Hiks.. Hiks..".
Gua masih terdiam lalu menatap nanar kearah langit-langit kamar. Dan airmata ini kembali menetes ketika dia mulai kembali bercerita.
"Za, aku udah denger semua yang kamu alami dalam setahun terakhir ini... Aku.. Aku.. Aku ikut berduka atas kepergian Echa dan Jingga..", kali ini dia duduk bergeser di hadapan Gua. "Za, aku tau semua ini berat, kamu gak bisa menanggungnya sendiri... Sekarang, biarkan aku mencoba membantu kamu Za..", lanjutnya sambil memegangi wajah Gua.
Gua menatapnya dingin. "Kamu untuk apa ke sini lagi " Untuk apa kamu pulang hanya untuk nemuin aku lagi " Bukankah kamu bahagia di luar sana.. Dan kamu udah kecewa sama aku yang memilih Echa kan ?", Gua hisap dalam-dalam lintingan ini ketika sudah selesai bertanya.
Can you hear me cry out to you" Words I thought I'd choke on figure out. I'm really not so with you anymore. I'm just a ghost,
So I can't hurt you anymore, So I can't hurt you anymore
Dia menggelengkan kepala lalu mengusap airmatanya, kemudian mengibaskan tangan di depan wajahnya karena asap dari lintingan.
"Za, awalnya dari Mba Yu, dia yang nemuin Gusmen dan langsung kontak aku.. Dia ceritain semuanya, semua tentang hidup kamu selama ini...", jawabnya seraya memegangi tangan kanan Gua agar tidak Gua angkat dan menghisap lintingan lagi,
"Za, aku gak pernah kecewa dan sakit hati karena kamu memilih Echa, aku gak pernah bilang gitu dan aku ikhlas kamu memilih Echa saat itu",
"Karena aku sadar, aku salah, salah udah ninggalin kamu dan pergi dari kamu, dan ketika aku tau kamu menikah dengan Echa.. Itu bukan salah kamu, tapi mungkin memang sudah seharusnya seperti ini Za", dia memegangi pipi kanan Gua lalu membelainya lembut.
"Terus sekarang, buat apa kamu kesini " Aku gak butuh apa-apa lagi.. Aku udah kehilangan semuanya..", Gua berkata dengan suara yang bergetar.
"Aku ada untuk kamu, semuanya belum berakhir Za, kamu gak bisa berhenti dan menghancurkan diri kamu seperti ini Za, Tuhan masih sayang sama kam..".
And now, you wanna see how far down I can sink" Let me go, fuck!
So, you can, well now so, you can I'm so far away from you.
Well now so, you can. "Ssssttt... Jangan kamu katakan itu..", potong Gua dengan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Gua dekatkan wajah hingga kening kami bertemu.
"Tuhan udah gak sayang sama aku, dan sekarang... Biarkan aku juga berpaling darinya...".
That without you is how I disappear, And live my life alone forever now. And without you is how I disappear, And live my life alone forever now.
Dia menangis lagi melihat Gua seperti itu, lalu dia mendekap kepala Gua dan menyandarkan ke bahunya. "Za, hiks.. hiks.. Aku.. Aku akan ada untuk kamu mulai sekarang, izinkan aku menjadi kamu.. Menjadi kamu saat menemani aku dulu, saat aku rapuh dan hancur.. Biarkan kini aku yang berjuang untuk mengembalikan senyum kamu Za.. Aku janji, aku gak akan ninggalin kamu lagi, aku gak akan pergi lagi dari sisi kamu Za...",
"Kamu ikut aku ya.. Kita tinggal di Singapore Za".
*** And without you is how I disappear And without you is how I disappear Forever, forever now!
This is how I disappear~ MCR a new chapter PART 76
Warning: Quote:Part kali ini adalah lembaran baru perjalanan hidup Gua di masa lalu, segala fakta yang sebenarnya sudah Gua kaburkan agar tidak menunjukkan dan merujuk kepada salah satu organisasi aslinya. Sikapi dengan dewasa dan Gua berusaha untuk mengedit bagian yang terlalu eksplisit.
Quote:Aku hanyanlah seorang pemimpi...
Jadi sekarang waktuku sudah habis Permainanmu dimulai, hatiku bergerak" Masa lalu tak berarti untuk kita, ini tak cukup!
Akankah kita membuatnya lebih baik atau hanya berdiri di sini lagi Katakanlah Kita tak bisa berakhir di sini sampai kita bisa cukup mendapatkannya!! Alasan yang mutlak itu penuh dengan kebohongan
Kerap kali ada dalam pikiranku
Aku dikacaukan dengan kepercayaan diri dan kegelisahan Aku lemah meski terlihat kuat!!
Ini keputusanku sendiri!! Tak perlu dikatakan!!
Jika aku bisa, akan kukatakan seketika apa yang ada dipikiran!! Sang pemimpi yang merasa sempurna inilah namaku. Jadi bagaimana" Tak disangka, kan"
Kau pasti tercengang, ragu-ragu Apa kau ingin mundur" Menarik diri"
"[hQa?"Dreamer Akulah sang pemimpi yang merasa sempurna. February 2009
Gua keluar dari pesawat dan berjalan bersama penumpang lainnya di lantai dua terminal satu bandara menuju ke loket karantina dan memberikan selembar kuisioner yang telah Gua isi sebelumnya ke loket itu, lalu Gua menuju loket imigrasi, menunjukkan paspor untuk menjalani pemeriksaan imigrasi. Selesai urusan di sini, Gua kembali berjalan, ke lobi kedatangan di lantai satu. Disini Gua berdiri dan melihat papan informasi, memeriksa nama penerbangan juga nomor penerbangan sebelum melanjutkan klaim bagasi. Selesai cek nomor bagasi dan mengambil koper milik Gua, lalu Gua berjalan sambil merubah waktu pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sekarang pemeriksaan terakhir oleh tim customs bandara ini, mereka memeriksa semua barang bawaan para penumpang.
Kemudian Gua turun ke lantai basement untuk menuju stasiun setelah keluar dari lobi bandara di lantai satu sebelumnya, di sinilah untuk kedua kalinya Gua bertemu lagi dengan seorang wanita nippon. Dia menyambut Gua dengan sebuah kertas yang ia rentangkan keatas dan bertuliskan nama Gua.
"Hai Kimiko..", sapa Gua setelah berada di hadapannya. "Agatha-san ?", ucapnya dengan aksen jepangnya yang kental.
Gua mengangguk sambil tersenyum, lalu Kimiko menundukan kepala sambil membungkukkan tubuhnya sedikit, Gua pun melakukan hal yang sama, barulah kami berjabat tangan.
"Ohayou gozaimasu, Agatha-san", ucap teman Kimiko yang berada di sebelahnya seraya membungkukkan tubuhnya.
Gua melirik kepada Kimiko. "Ah, he said, good morning..", Kimiko menjelaskan kepada Gua. "Oh ya.. Ohayou gozaimasu", Gua pun membalas ucapan temannya itu. "He is Aoki-san", lanjut Kimiko sambil melirik kepada teman lelakinya itu. "Hajimemashite, Aoki desu", kali ini teman lelaki Kimiko mengulurkan tangannya. "My name is Agatha, nice to meet you Aoki..", balas Gua seraya menyambut jabatan tangannya.
Setelah perkenalan singkat itu, Kimiko langsung mengajak Gua naik kereta, Gua berjalan di sisi kanan sepupu Gua ini, lalu berbisik kepadanya. "He's your boyfriend ?".
Kimiko menengok kepada Gua lalu tersenyum malu dan mengangguk pelan.
Selesai menukarkan JR pass, Gua kembali mengikuti Kimiko dan Aoki masuk kedalam kereta Narita Express untuk menuju stasiun Tokyo dan meninggalkan bandara internasional Narita ini. Kurang dari satu jam, kami bertiga sampai di stasiun Tokyo dan langsung pindah ke kereta shinkansen Hayabusa menuju stasiun Shin-Aomori, perjalanan yang sangat melelahkan untuk Gua setelah sebelumnya berada di udara selama kurang lebih delapan jam tanpa transit dari Jakarta ke Jepang. Sampai di stasiun Shin-Aomori kami bertiga melanjutkan perjalanan lagi ke stasiun terakhir, stasiun Hakodate. Gua harus menempuh perjalanan darat selama kurang-lebih delapan jam juga. Total Gua sudah berpergian selama enam belas jam lamanya hingga sampai di pulau paling utara negara matahari terbit ini.
Hakodate merupakan kota terbesar ketiga di prefektur Hokkaido, setelah Sapporo dan Asahikawa. Hakodate terletak di ujung selatan dan menjadi pintu masuk pulau Hokkaido. Disinilah seorang wanita yang bernama Katsumi Hikari lahir, seorang ibu yang melahirkan anak lelaki bernama Agathadera dua puluh tahun lalu di Bandung, Jawa Barat. Nyonya Hikari adalah keturunan asli suku Ainu, penduduk asli pulau Hokkaido.
Kesan pertama ketika Gua menginjakkan kaki di kota Hakodate adalah suasana kota ini terasa berbeda, disini bangunan arsitektur bergaya eropa cukup kental, salah satunya adalah bangunan gereja ortodoks.
Dari sinilah lembaran kertas baru dalam perjalanan hidup Gua akan di mulai, pena yang akan mengeluarkan tinta hitam di atas kertas kehidupan seorang lelaki berusia dua puluh tahun ini mulai menari dan menuliskan setiap langkah dan kisah hidupnya yang baru. Dan saat itu, Gua menyadari bahwa Gua masih berdiri terdiam di jalan gelap yang kini mulai menampakkan cahaya baru. Tapi sayang sekali cahaya itu adalah cahaya semu, bukan lagi cahaya yang menerangi Gua seperti dua cahaya sebelumnya.
... Keesokan harinya Gua terbangun dengan tubuh menggigil, ternyata Gua terkena flu. Kimiko membuatkan Gua minuman hangat dan memberikannya kepada Gua, rasanya sama seperti teh hijau, tapi ada rasa manis walaupun entah rasa manis itu dari tanaman apa, karena Gua tau dia tidak menambahkan gula. Gua pergi ke kamar mandi, dan untuk pertama kalinya berendam di sebuah bak kayu berukuran besar, air hangat yang langsung menyapa kulit tubuh Gua memberikan sensasi berbeda, rasanya segala rasa lelah dan letih karena perjalanan kemarin langsung hilang oleh basuhan air hangat ini. Selesai mandi dan mengenakan pakaian, Gua langsung mengenakan jaket yang benarbenar tebal. Karena sekarang adalah musim dingin, dan salju di luar rumah sudah turun semenjak kedatangan Gua kemarin.
Gua duduk di ruang tamu, duduk di atas lantai yang tertutup jerami. Sebuah meja persegi yang berkaki pendek berada di hadapan Gua. Kimiko duduk tepat di samping kanan Gua, kedua orangtuanya, Paman dan Bibi Gua duduk di hadapan kami berdua. Kami sarapan pagi dengan menu seafood. Ikan salmon yang direbus setengah matang menjadi pilihan Gua, karena Gua yakin tidak kuat perut ini jika langsung memakan daging salmon mentah-mentah seperti saudara Gua itu.
"So, Agatha-kun.. How long you will stay in Japan ?", tanya Paman Gua disela-sela menyantap makanan.
"Mmm..", Gua menelan makanan lalu menaruh mangkuk kecil di atas meja serta sumpitnya. "I don't know how long i want to live here, but.. I guess two months.. Maybe..", jawab Gua sambil menatap Paman Gua itu.
"Why you not live in here " You can stay with us, you are my cousin, we are family Agatha-san..", timpal Kimiko kali ini sambil mengambil sayuran kering dari atas piring dan menaruhnya ke mangkuk makan miliknya.
"Right, what Kimiko said is true, we are family, stay in here as long as you like ..", lanjut Paman Gua sambil tersenyum.
"Agatha-kun, anata wa hazukashigariyadearu hitsuyM wa arimasen", kali ini Bibi yang berbicara seraya mengibaskan tangannya pelan sambil tersenyum kepada Gua.
Kimiko tersenyum dan melirik kepada Gua. "She said, don't be shy..", ucap Kimiko menjelaskan.
Gua tersenyum kepada Bibi yang duduk dihadapan Kimiko sambil mengangguk. "ArigatMgozaimashita", jawab Gua.
"We will going to Sapporo today, you can see a festival in Odori Park... It's a beautiful place", Paman Gua mengambil satu potong sayuran dan menaruhnya ke mangkuk Gua. "Agatha-kun, you must have extra energy, coz' we will around the 'great place' in Hokkaido", tandasnya penuh penekanan seraya menyeringai.
*** Malam hari yang sangat dingin terasa menusuk hingga ke tulang Gua, ditambah musim salju di Hokkaido sepertinya berbeda dengan kota lain, di sini rasanya musim salju seperti lebih lama. Topi yang Gua balut lagi dengan hoodie, jaket tebal, sarung tangan, celana jeans, dan sepatu boots seperti tidak ada artinya. Terlalu dingin bagi Gua untuk menyesuaikan diri di sini.
Tapi sepertinya, berbeda dengan lelaki yang umurnya belum menginjak empat puluh lima tahun di depan sana. Dia hanya mengenakan celana bahan berwarna hitam tanpa pakaian atas. Sama sekali tidak terlihat kedinginan... Gua bergidik ketika dia merentangkan kedua tangannya, Gua yang berada di belakang dirinya sekitar enam meter ini tidak percaya dengan apa yang sedang ia lakukan.
"Agatha-kun... Come closer..", ucapnya tanpa menoleh kepada Gua.
Gua berjalan mendekatinya, mata ini hanya fokus kepada punggungnya yang dipenuhi sebuah karya seni, karya seni yang menunjukkan binatang buas tergambar jelas penuh warna diatas kulit tubuh bagian belakangnya itu.
Gua berdiri di sampingnya, jantung Gua berdegup kencang, jemari Gua sedikit bergetar dalam saku jaket, kali ini Gua yakin, bukan karena hawa dingin yang membuat Gua bergidik, tapi...
"Show me your darkside, as you have said before...", ucap lelaki disebelah Gua seraya membersihkan tangannya dari warna merah yang kental dan agak gelap.
Gua menengok kepadanya. "Oji-san, are you kidding me right ?".
Dia menyeringai lalu menatap Gua tajam. "Should i ?", ucapnya, lalu berjalan ke sisi lain dan mengambil pakaiannya yang tergeletak di jalan.
"Agatha-kun... Finish him", dia mengenakan kemejanya lagi lalu menunjuk seorang lelaki dengan dagunya.
Gua berjalan lagi, menghampiri seorang lelaki yang bertubuh gempal dan sudah tidak berdaya tergeletak di atas jalanan yang sudah tertutup oleh salju. Tapi salju yang berada di sekitar tubuh lelaki itu beda dari salju yang lain. Warnanya merah, merah pekat bukan putih layaknya warna salju pada umumnya.
Gua sudah berdiri tepat di samping lelaki ini. Gua menengok ke sisi kanan, dimana lelaki sebelumnya sudah selesai mengenakan lagi kemeja putih dan jas hitamnya, lalu dia mengenakan lagi long coat miliknya dan terakhir, winter leather gloves. Dia tersenyum lalu memiringkan kepalanya ke kanan, seolah-oleh mengisyaratkan, 'Let's do it'.
Jantung Gua kembali berdegup kencang, melihat lagi kepada lelaki yang terkapar. Hati Gua mengingatkan, bukan seperti ini seharusnya, bukan ini yang Gua mau. Masih menimang-nimang harus atau tidak melakukan kekejaman ini, tiba-tiba derap langkah kaki yang berisik terdengar berlari di atas jalan yang tertutupi salju. Gua menengok ke kiri, disana ada beberapa laki-laki yang sedang berlari mendekati kami. Mereka berjumlah sepuluh orang, pakaian yang seragam, jaket berwarna hitam dengan sebuah logo di bagian dada, entah logo bergambar apa tapi bukan itu yang menjadi perhatian Gua, melainkan barang yang mereka pegang masing-masing.
Gua mundur beberapa langkah hingga tubuh Gua tertahan dari belakang. Buk.. Tubuh Gua tertahan.
"Eh ?", Gua menengok kebelakang.
"Kill or get killed", ucap Lelaki yang sudah berpakaian lengkap yang kini menahan tubuh Gua. Ini gila, sangat gila... Dunia macam apa yang Gua singgahi.
Sekumpulan lelaki yang berjumlah sepuluh orang tadi sudah sangat dekat dan mereka sudah mengangkat besi yang panjangnya kurang dari enam puluh centimeter.
"Take it". Gua menerima dua buah kodachi yang dia keluarkan dari balik long coat setelah melepaskan sarungnya. Lalu dia mundur beberpa langkah dan menendang punggung Gua. Gua terhuyung kedepan, ke arah lelaki yang sudah sangat dekat dari sepuluh orang lelaki disana.
"AAAAAAA...", Gua berteriak seraya mengibaskan kodachi yang sudah Gua genggam dikedua tangan kepada orang-orang yang sudah terlalu dekat di hadapan Gua.
Sraatt.. Sraatt.. Sraattt.. Srattt... Sraatt..
Tiga orang tumbang setelah mereka terkena sabetan kodachi tepat di bagian leher dan wajah. Buaaghh..
Gua jatuh tersungkur akibat pukulan besi yang mengenai pelipis ini. Pandangan Gua kabur, Gua merintih kesakitan ketika banyaknya pukulan besi menghantam seluruh tubuh ini, kedua tangan Gua hanya bisa Gua gunakan untuk menutupi wajah dan kepala, Gua meringis menahan sakit dan meringkuk di atas jalanan bersalju.
"Aarrggh... Aaww.. Aaarrgh..", Gua masih berteriak kesakitan.
Buagh.. Buagh.. Buagh.. Buagh.. Buagh.. Duuaagh.. Dan akhirnya Gua menyerah, kesadaran Gua hilang setelah sepakan kaki tepat menghantam kepala ini.
XXX Gua membuka mata yang terasa perih, dan cahaya penerangan ruangan ini sangat menyilaukan, baru saja Gua hendak menghalau cahaya itu dengan tangan kiri, Gua langsung meringis, sakit ternyata ketika Gua mencoba mengangkat tangan ini.
"Hello young-man..", seorang lelaki berdiri di samping Gua sambil menatap kebawah, kepada Gua yang masih berbaring di atas sofa,


Asleep Or Dead Karya Bunbun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Are you ok ?", tanyanya sambil menjetikkan jari.
Lalu seorang lelaki lain datang menghampiri dan memberikan segelas minuman kepada Gua, dia mendekatkan gelas itu ke bibir ini, lalu Gua membuka mulut dan meminum isinya. Pruuahh.. Gua keluarkan lagi minuman itu.
"Hahaha... Kare wa sakenomide wa nakattadesu.. Hahaha", ucap lelaki yang memberi Gua minuman tadi sambil menengok kebelakangnya.
"Hahahahahaha...", entah semakin banyak suara tawa yang Gua dengar.
Sedetik kemudian beberapa orang lelaki yang sudah dewasa, sepertinya mereka berusia di atas dua puluh lima tahun, mendekati sofa yang Gua tiduri, mereka mengelilingi Gua dan menatap Gua seraya tersenyum.
Lalu suasana hening sejenak, hanya lantunan suara musik instrumental yang Gua dengar, entah Gua berada dimana sekarang. Lelaki yang pertama, lelaki yang bersama Gua saat di jalan tadi kembali tersenyum.
"Oda Agasa wa shison Yoshio Kodame desu", ucapnya dengan suara yang melengking. Traapp.. semua orang lelaki itu memberi hormat dengan menepak sisi paha mereka dengan kedua tangan masing-masing lalu membungkuk.
Gua bingung dan tidak mengerti maksud dari semua ini, Agasa " Who is that ". Masih menahan sakit dan perih di sekujur tubuh dan pusing yang terasa sakit di kepala, Paman Hiroshi mengambil sesuatu dari saku bagian dalam long coatnya, lalu melemparkan sebuah cincin ke dada Gua. "Welcome to the family...", ucapnya.
"Tonight, I see the demons watch over me from the sky... He smiling to me... And what should I do " I give my soul to him, and let's fuckup forever".
PART 77 Dua minggu kemudian... Tubuh ini masih terasa sedikit nyeri akibat hantaman benda keras, apalagi kalau bukan benda yang berbahan besi. Tapi Gua bersyukur, entah ramuan herbal apa yang diracik menjadi sebuah minuman, mungkin semacam jamu, yang langsung membuat Gua bisa cepat pulih tanpa perlu dirawat di rumah sakit. Luka lebam dan luka basah pada beberapa bagian tubuhpun hanya dibalur oleh daun yang digerus lalu ditempelkan ke luka itu, dan hanya butuh tiga hari bengkak yang membiru pada sekujur tubuh dan pelipis Gua berangsur kempis. Luka basahpun sama, mengering dengan cepat.
Sudah dua minggu Gua beristirahat dan dirawat oleh Bibi dan Kimiko di rumah mereka ini. Dengan telaten mereka berdua bergantian merawat Gua, yang jelas Gua lebih banyak dirawat oleh Bibi karena beliau adalah seorang ibu rumah tangga, sedangkan Kimiko harus pergi kuliah, dia mengenyam pendidikan di salah satu universitas yang berada di kota ini, kalau tidak salah ingat dia baru masuk semester satu, alias mahasiswi baru.
Luka fisik memang berangsur pulih dengan cepat, Gua pun sudah tidak berbaring terus-terusan di atas kasur, sudah mulai bisa berjalan keluar rumah dan menikmati suasana pelabuhan, walaupun hanya sesekali keluar karena faktor cuaca yang sangat dingin masih bersalju di luar sana. Tapi ini semua tidak ada apa-apanya dibandingkan mental Gua. Ya, mental Gua lah yang sangat down.
Paman Gua, Hiroshi, adalah lelaki yang baru menginjak usia empat puluh tahun saat itu. Pekerjaannya adalah seorang kepala keuangan di sebuah perusahaan kapal tanker, lokasi tempat kerjanya tidak jauh dari rumahnya. Jadi beliau lebih sering berjalan kaki untuk pulang-pergi ke kantornya itu. Walaupun pada akhirnya Gua tau kalau ditempuh dengan berjalan kaki ternyata cukup melelahkan, karena harus melewati dua halte bus. Tapi yang menjadi perhatian Gua adalah pekerjaan sampingannya, ah atau malah sebaliknya, pekerjaannya yang lain itu adalah pekerjaan utamanya.
Paman Gua ternyata adalah seorang ketua sebuah organisasi terselubung di pulau ini. Dia memiliki ribuan anak buah untuk menjalankan setiap kegiatan organisasinya tersebut. Yang jelas kalian bisa menebak sendiri apa yang dilakukan sebuah organisasi terselubung seperti itu.
Dan Gua mengetahui ini semua dari cerita purtinya sendiri, Kimiko. Ya dia menceritakan pekerjaan gelap Ayahnya itu ketika Gua menanyakan perihal kejadian gila di malam yang tak akan pernah Gua lupakan. Gua mengorek informasi karena apa yang Gua alami cukup membuat Gua terkena shock therapy.
*** Throwback Dua hari setelah Gua berada di Hakodate
Ketika baru dua hari Gua berada di rumahnya, dia mengajak Gua berkeliling prefektur Hokkaido, dari pagi hingga sore hari Gua, Kimiko, Bibi dan Paman Hiroshi menyambangi tempat wisata yang belum pernah Gua datangi. Dari mulai festival salju di taman odori yang terletak di Sapporo, kemudian kami pergi lagi untuk melihat kebun binatang terbesar yang di miliki negara matahari terbit ini, kebun binatang Asahiyama yang terletak di kota Asahikawa. Dan beruntunglah Gua karena ini masih musim dingin, maka Gua pun tidak melewati sebuah momen dimana Gua bisa melihat secara langsung dan dari jarak yang cukup dekat, mengamati beruang kutub, pinguin, macan tutul salju dan binatang lainnya. Selesai berwisata di kebun binatang Asahiyama, Gua diajak melihat salju abadi di pegunungan Daisetsuzan, bermain ski dan papan seluncur di atas salju. Menakjubkan, ya bagi Gua ini adalah pengalaman yang menakjubkan.
Hanya tiga tempat memang yang kami kunjungi hari ini, tapi itu semua lebih dari cukup untuk membuat rasa lelah dan letih terbayar tuntas. Gua suka dan sangat senang dengan pengalaman baru ini.
Malam harinya, setelah kami semua makan malam di sebuah restoran, Bibi dan Kimiko pulang terlebih dahulu, sedangkan Gua dan Paman Hiroshi pergi ke sebuah tempat yang jauh dari Hakodate, kami berkendara menggunakan mobilnya selama kurang lebih empat jam. Selama di perjalanan Gua menceritakan alasan yang sebenarnya kenapa Gua sampai pergi ke Hokkaido dan mengunjungi keluarga dari Almh. Ibunda Gua ini. Gua ceritakan semuanya, semua yang Gua alami dari mulai perlakuan almh. Ibunda, pertengakaran dengan keluarga barunya yang tidak lain adalah keluarga Nindi hingga akhirnya cerita itu Gua akhiri pada saat pertengahan tahun 2008 lalu, saat dimana Gua kehilangan segalanya. Keluarga kecil yang Gua miliki, istri dan anak Gua lah segalanya bagi diri ini. Paman Hiroshi menjadi pendengar yang baik, dia hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala ketika cerita Gua sampai pada bagian-bagian yang 'gelap', bagian gelap dimana Gua bertengkar dengan orang suruhan Papahnya Nindi, hingga puncaknya Gua nyaris menebas leher Kakak tiri Gua di depan rumah Nenek ketika itu.
Dari sekian jam lamanya perjalanan sampai cerita Gua selesai, dia hanya mengatakan satu hal. 'The Darkness of Our Family, Agatha-kun'.
Sampai di tujuan, Gua diajak berkeliling kota Otaru, lebih dekat dengan tempat yang kami kunjungi pagi tadi, kota Sapporo. Di kota Otaru, cukup banyak bangunan yang arsitekturnya menggunakan gaya eropa, termasuk sisa-sisa pergudangan yang bentuknya sekilas mirip dengan gudang-gudang tua di Amsterdam, Belanda. Belum lagi beberapa kanal yang berair bersih.
Berjalan kaki di malam hari sambil menikmati pemandangan unik dengan gedung-gedung gaya eropa membuat Gua melupakan sejenak rasa lelah dan letih sedari pagi hingga sore tadi. Gua kembali terkesima dengan apa yang Gua lihat di kota Otaru ini. Sampai semuanya berubah ketika Gua fikir hari yang melelahkan itu sudah cukup membuat Gua takjub akan keindahan yang dimiliki salah satu prefektur di negara ini.
Gua dan Paman Hiroshi berjalan di sebuah gang yang tidak begitu lebar, tapi cukup panjang hingga berkelok, dia mengatakan ingin mengajak Gua ke sebuah Bar yang ada disini, setelah sebelumnya memarkirkan mobil di dekat dramaga.
"Paman, masih jauh barnya ?", tanya Gua ketika kami masih berjalan di gang ini yang jalannya sudah tertutup salju.
Dia menengok kepada Gua di sisi kirinya. "Di depan itu", jawabnya sambil tersenyum.
Gua kembali menatap kedepan, tapi sejauh mata memandang tidak tampak sebuah bar ataupun tempat hiburan malam, yang tampak malah hanya dinding bangunan yang rata, yang Gua simpulkan, dimana pada sisi kanan dan sisi kiri kami adalah dinding dari sebuah bagian belakang bangunan. Ya kami berada di bagian belakang bangunan yang panjang. Entahlah Gua tidak tau sebenarnya beliau mau mengajak Gua ke sebuah tempat hiburan macam apa.
Sampai akhirnya beliau menghentikan langkahnya ketika kurang lebih sepuluh meter dari tempat kami berdiri, terlihat ada sebuah pintu kayu berwarna coklat di sisi kiri sana. Hanya ada satu pintu kayu dan lebarnya hanya cukup untuk dimasuki oleh satu orang. Tak ada papan yang menunjukkan bahwa pintu itu adalah sebuah bar atau tempat hiburan.
"Itu tempatnya Paman ?", Gua menengok kepadanya di sisi kanan Gua.
Dia tersenyum tanpa menoleh kepada Gua, memandang kearah pintu kayu itu lalu melepaskan long coatnya, berikut jas hitam, sarung tangan kulit berwarna hitam, serta kemeja putih yang ia kenakan, lalu melemparnya sembarang ke sisi kanannya. Gua terkejut melihat tingkahnya yang secara tiba-tiba itu.
"Diam di sini, dan perhatikan baik-baik apa yang akan kamu lihat selanjutnya", ucapnya lalu berjalan ke arah pintu kayu di depan sana.
Gua terpaku melihat bagian punggung tubuh Paman Gua itu, Gua tidak percaya dia menjadikan kulit tubuh bagian belakangnya itu dipenuhi dengan sebuah karya seni yang dibubuhi oleh tinta warnawarni, dan membentuk seekor binatang buas. Ini nyata kah " fikir Gua tidak percaya. Dan Gua hanya bisa mengikuti ucapannya tadi, menunggunya di sini. Kemudian Gua memasukkan tangan kedalam saku jaket lalu menaikkan bahu seraya menggelengkan kepala, dingin sekali malam ini.
Paman Hiroshi masuk kedalam bangunan di sisi kiri setelah membuka pintu kayu tersebut, lalu dengan sendirinya pintu itu tertutup lagi.
Lama, cukup lama Gua menunggu di sini, entah sudah berapa menit atau mungkin hampir satu jam Gua hanya memainkan salju dengan kaki. Ketika bosan, Gua mulai mengambil segenggam salju dan membentuk bola, untuk membunuh rasa bosan, Gua pun melemparkan bola salju itu kearah dinding tembok bangunan yang rata di sisi kiri.
Kriii.. Iiitt... Bunyi pintu kayu di depan sana yang kembali terbuka. Duaaaghh.. Seorang lelaki bertubuh gempal tersungkur keluar pintu.
Gua terbelalak dan menghentikan permainan bola salju ini. Gua menatap tak percaya kepada lelaki itu, dia bersimbah darah pada kepalanya, namun dia masih mampu berdiri dan kembali jatuh ketika Paman Gua keluar dari pintu itu lalu menendang tepat kearah kepalanya. Lelaki gempal itu masih bisa bangun, tapi bukan perlawanan yang ia berikan, melainkan bersimpuh di depan Paman Gua, lalu memohon ampun dan perkataan maaf berulang-ulang keluar dari mulutnya seraya melakukan sikap Zarei.
Paman Gua kembali menendang, kali ini sepatu pantofel berwarna hitamnya mengenai dagu si lelaki gempal hingga ia terjungkir ke belakang dan terkapar seraya merintih kesakitan. Paman Hiroshi berdiri tepat di depannya, membelakangi Gua. Lalu Gua berjalan perlahan mendekati mereka hingga jarak kami hanya sekitar enam meter, Gua tidak percaya dengan apa yang sedang ia lakukan. "Agatha-kun... Mendekatlah kemari..", ucapnya tanpa menoleh kepada Gua.
Gua berjalan mendekatinya, mata ini hanya fokus kepada punggungnya yang dipenuhi sebuah karya seni, karya seni yang menunjukkan binatang buas tergambar jelas penuh warna diatas kulit tubuh bagian belakangnya itu.
Gua berdiri di sampingnya, jantung Gua berdegup kencang, jemari Gua sedikit bergetar dalam saku jaket, kali ini Gua yakin, bukan karena hawa dingin yang membuat Gua bergidik, tapi...
"Show me your darkside, as you have said before...", ucap Paman Hiroshi yang berada disebelah Gua seraya membersihkan tangannya dari warna merah yang kental dan agak gelap.
*** Kembali setelah Gua menceritakan kejadian di malam gila itu kepada putri Paman Hiroshi, Kimiko. "Jadi sebenarnya Papah kamu ituu...", Gua tidak melanjutkan ucapan karena merasa tidak enak.
Kimiko mengangguk sambil tersenyum. "Ya, begitulah Agatha-san. Kami memang hidup di antara Yin dan Yang, sama seperti manusia lainnya, hanya berbeda problema hidup dan kebahagiaan.. Dan bukankah hidup memang seperti itu " Selalu berada di sisi baik dan buruk", jawabnya.
Gua hanya bisa mengangguk mendengar jawabannya itu, filosofi yang nantinya baru Gua bisa fahami setelah semua ini selesai.
"Ah ya, Agatha-san.. Kamu bilang tadi, kamu ceritakan alasan kamu ke Papah saat perjalanan ke Otaru..", ucapnya mengingat cerita Gua sebelumnya.
Gua sedikit bingung. "Alasan " Alasan apa ?", tanya Gua balik.
Kimiko terkekeh pelan sambil menutupi mulutnya lalu menepuk paha Gua. "Alasan kamu yang sebenarnya ke Hakodate...", jawabnya.
"Aah.. Ya ya ya ya... Maaf Kimiko, aku belum cerita alasan sebenarnya di email kemarin ya.. Maaf aku bohong waktu itu", jawab Gua kembali mengingat saat Gua belum berangkat ke Jepang.
Kimiko tersenyum lalu meminum teh yang asapnya masih mengepul, lalu menaruhnya kembali di atas meja.
"Jadi, apa kamu mau cerita ke aku juga alasan sebenarnya ?".
Gua mengangguk, menatapnya sebentar lalu bertopang dagu dengan kedua tangan sebagai alasnya di atas meja makan ini.
*** Bulan Januari 2009 satu minggu setelah Gua bertemu seorang wanita yang datang menemui Gua di dalam kamar rumah Nenek.
Gua keluar kamar dan menyalakan mesin mobil, membiarkan pintu kemudi terbuka lalu keluar lagi dari bangku kemudi, Gua biarkan mesin menyala agar oli mencapai viskositas yang lebih encer, dan menjangkau seluruh bagian mesin, karena mobil sudah lama tidak Gua pakai selama ini.
Gua bersandar pada bagian depan kap mobil lalu membakar sebatang rokok di halaman rumah Nenek. Dan inilah hari pertama bagi Gua menginjakkan kaki lagi keluar rumah setelah empat minggu lebih mengurung diri di dalam kamar.
Gua menyapukan pandangan keluar rumah, kearah jalan di depan sana, sore yang cukup cerah setelah malam hujan cukup deras. Jalan depan rumah dan halaman mulai sedikit mengering dari basahnya air yang turun dari langit sekian jam yang lalu. Gua menghirup udara dengan perlahan seraya memejamkan mata, lalu Gua tersenyum tipis, menikmati udara di luar yang sudah lama tidak Gua rasakan.
"Za..". Gua menengok ke sisi kiri belakang. Seorang wanita berjalan menghampiri Gua lalu berdiri sejajar tepat di samping kiri. "Kamu... Kamu bener udah baikkan ?", kini tangannya memegangi bahu kiri ini lembut.
Gua mengangguk tanpa tersenyum.
"Za, Mba khawatir sama kamu... Tubuh kamu kurus banget sayang...", tampak jelas wajahnya kini menunjukkan kekhawatirannya.
Gua membuang rokok dengan menyentilnya jauh ke depan jalan sana, lalu menghembuskan asap rokok dari mulut ke atas, Gua menengadah dan menatap langit cerah yang berwarna jingga.
"Za, sebenarnya Mba dan Nenek berat untuk melepas kamu pergi ke Singapore, tapi kalo memang bersama Vera adalah pilihan kamu, kami hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk kamu dan Vera, sayang..", tangannya kini mengusap lembut bahu Gua. "Kamu jaga diri baik-baik di sana ya, kami percaya Vera bisa membuat kamu melupakan semua kenangan pahi..".
"Mba..", potong Gua pelan tanpa sedikitpun menoleh kepadanya. "Kenangan apapun yang udah aku lalui selama ini gak akan merubah apapun, gak akan ada kata terbaik setelah ini Mba".
"Za, Mba yakin kalau kamu bisa bangkit dan menjalani semuanya lagi dengan normal sayang, kamu harus bisa dan lebih kuat setelah apa yang sudah kamu lalui. Mba ngerti ini semua berat, tapi Mba juga tau, kamu adalah salah satu manusia yang dipilih Tuhan untuk bisa menghadapinya, enggak setiap manusia diberikan ujian hidup sedalam apa yang kamu alami, dan untuk itu semua, kamu masih berdiri dan melanjutkan hidup. Buktikan kepada semua orang dan terutama kepada-Nya, bahwa kamu akan menjadi manusia yang..".
"Manusia yang menantang-Nya Mba", Gua menundukkan kepala lalu melipat kedua tangan di depan dada.
"Za, istigfar sayang.. Istigfar..", kali ini Mba Laras memegang kedua bahu Gua dan menarik tubuh ini agar kami saling berhadapan. Dia menatap mata Gua lekat-lekat. "Tuhan sayang sama kamu Za, Dia gak akan biarkan umatnya menderita selamanya Za, gak akan. Hidup ini memang gak mudah sayang, tapi kamu harus yakin akan firman-Nya, enggak ada cobaan yang ia berikan melebihi batas kemampuan mahluk-Nya, dan apa yang sudah kamu lalui dari dulu hingga sekarang Mba yakin, bahwa kapasitas kemampuan kamu mampu mene..".
"Mba..", Gua angkat kepala ini, membalas tatapannya, Gua tepis kedua tangannya yang berada di pundak ini, lalu mata Gua mulai meneteskan airmata, jantung Gua berdegup kencang, dan rasanya di dalam dada ini sesak, dengan tangan yang bergetar dan pundak yang sedikit naik turun karena gejolak sakit yang terasa menusuk hati.
Lalu Gua kembali berucap pada Ibu Gua itu. "Dia lahirkan aku dari seorang wanita yang gak pernah menyayangi anaknya sendiri! Dia biarkan aku tumbuh tanpa Ayah yang menemani di sisi aku! Dia biarkan seorang anak kecil disiksa oleh Ibu kandungnya sendiri! Dia biarkan anak itu menderita di saa t aku belum mengerti yang namanya cobaan!", nafas Gua memburu, Mba Laras menutup mulutnya dengan kedua tangannya dengan airmata yang sudah berlinang.
Gua menepuk-nepuk dada dengan cukup keras. "Aku... Aku.. Gak pernah berharap dilahirkan ke dunia sialan dengan segala omong kosong ini Mba! Dan gak ada satupun manusia di dunia ini yang mau menjalani masa kecilnya seperti itu!", Gua menjambak rambut Gua sendiri dengan kedua tangan. Mba Laras menggeleng cepat lalu menurunkan kedua tangan Gua dan memegang tangan Gua.
"Mba, salah apa aku harus nerima itu semua " Dosa apa anak kecil ini Mba! Tuhan berikan anak kecil itu cobaan hidup di saat dia baru bisa belajar berjalan! Dan kenapa cobaan itu harus lewat Ibu kandungnya sendiri "!". Gua melepaskan pegangan tangannya.
"Mba.. Itu semua belum cukup... Belum kan Mba " Iya kan Mba ?", Gua mundur beberapa langkah hingga sekarang Gua berdiri dengan rintikan hujan yang turun di sore yang cerah ini. Ya, sore yang cerah tanpa awan gelap namun hujan ternyata tidak mau menunggu awan mendung menurunkannya.
"Sekarang.. DIA... DIA...", Gua menunjuk keatas langit dengan tetap menatap wajah Mba Laras. "HUUAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.... DIA AMBIL ISTRI KU! LALU DIA AMBIL ANAK KU, MBAA!!!", tawa Gua yang keras itu diiringi linangan airmata yang tidak mau berhenti, bersama hujan di bulan januari tahun ini, Gua lepas segala beban dan meluapkan semuanya, meluapkan emosi, beban, kepedihan yang selama ini Gua rasakan seorang diri.
Mba Laras berlari dan sedetik kemudian langsung memeluk Gua, dia sandarkan wajah ini ke pundaknya, dia menangis, mendekap Gua erat lalu satu tangannya mengusap kepala Gua yang sudah basah karena air dari langit di atas sana.
Gua melepaskan pelukkannya, lalu memegang kedua sisi wajahnya yang terbalut hijab berwarna bi ru muda, Gua dekatkan wajah Gua seraya menatap matanya lekat-lekat. Gua mengatur nafas perlahan dan berbisik selembut mungkin sambil menyeringai.
"Jika Dia enggan mencabut nyawa ini... Biarkan Iblis yang mendekapnya".
Let your hopes. Not your hearts. Shape your future. Robert H. Schuller PART 78
Januari 2009 Gua memasukkan koper ke bangku samping kemudi, lalu menutup pintunya. Gua berjalan lagi kearah depan teras, disitu Nenek sedang berdiri sambil mengusap airmatanya dengan tissu, Gua mendekatinya lalu langsung memeluknya.
Maafkan Eza ya Nek& Maaf sudah buat Nenek dan keluarga kecewa, salam untuk Om dan Tante nanti Nek.. , Gua merasakan lembut usapan pada punggung badan dari tangan seorang wanita yang usianya sudah menginjak enam puluh empat tahun di tahun dua ribu sembilan ini.
Kamu gak mengecewakan Nenek, kamu gak mengecewakan kami sekeluarga, kamu berjuang untuk menata hidup mu yang baru Za, dan itu bukanlah suatu kesalahan, dan tidak ada yang merasa dikecewakan oleh kamu Za , Nenek masih mengusap punggung Gua,
Jaga diri disana ya Za, jaga baik-baik Vera juga, kalau sudah tiba waktunya& Segera hubungi Laras, kami semua pasti merestui hubungan kalian , kali ini Nenek melepaskan pelukkannya lalu memegangi kedua bahu Gua.
Terimakasih banyak Nek, Semoga Eza bisa menjadi pribadi yang lebih baik bersama Vera kelak, semoga& . Lalu Nenek mencium kening Gua dalam-dalam, Gua kembali memeluknya sesaat, barulah Gua mencium tangan beliau dan pamit kepadanya.
Gua berjalan lagi kearah mobil yang pintu kemudinya masih terbuka dan di sisinya berdiri wanita yang merupakan salah satu orang yang sangat berarti dalam hidup Gua, Gua bukanlah darah dagingnya, Gua bukanlah anak yang terlahir dari dalam rahimnya, tapi Gua adalah anaknya yang sangat ia sayangi dan kasihi. Gua lah satu-satunya anak yang ia miliki sekarang. Seorang wanita yang baru berusia dua puluh tujuh tahun yang sudah menjadi seorang Ibu untuk seorang anak laki -laki yang sudah berusia dua puluh tahun. Tapi bukti kasih saying dan cintanya kepada anak tirinya ini tidak perlu diragukan lagi, dia sudah cukup membuktikan kepeduliannya terhadap keluarga Gua selama ini. The perfect women I ever seen. Mba Laras benar-benar sosok wanita yang tangguh, kuat menghadapi segala cobaan dan ujian hidup, bahkan lebih mementingkan anak tirinya daripada kondisi kesehatannya sendiri. Dan sangat beruntunglah alm. Ayahanda sempat memilikinya walau hanya sesaat.
Za, hati-hati dijalan nanti ya, kalau sudah sampai bandara telpon Mba ya. Salam untuk Vera juga", ucap Mba Laras ketika Gua berdiri dihadapannya.
"Iya Mba, aku jaga diri baik-baik di sana. Makasih ya Mba, ehm.. Iya nanti aku sampaikan salamnya ke Vera", jawab Gua sedikit memelankan suara.
Eza, bener kamu gak mau Mba antar " , Tanya Mba Laras yang sudah menanyakan hal yang sama ratusan kali dari kemarin.
Gua tersenyum lalu memegang kedua tangannya. "Bener Mba, enggak apa-apa kok, Mba tenang aja ya..", Gua berusaha meyakinkannya lalu Gua peluk Ibu Gua ini. "Mba, maafin aku, maafin semua kesalahan aku selama di sini ya Mba, aku sayang Mba, aku udah anggap Mba Ibu kandungku sendiri...", tanpa terasa sedikit airmata Gua tergenang di kedua sudut mata ini.
Mba Laras mengusap punggung Gua, lalu Gua dengar suaranya bergetar. "Mba juga sayang sama kamu Za, kamu sudah Mba anggap sebagai anak Mba sendiri, adik Mba sendiri, teman juga sahabat Mba sendiri.. Kamu itu adalah bagian dari hidup Mba.. Jangan pernah lupain Mba dan Nenek di sini ya Za, janji... Janji kamu akan pulang lagi ke sini", Mba Laras memundurkan tubuhnya lalu memegang sisi bahu Gua.
Kencan Di Ujung Maut 1 Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku Makhluk Pemeluk Manusia 1
^