Pencarian

Istana Emas 3

Istana Emas Karya Maria A. Sardjono Bagian 3


t . c logika, bossy, dan kaku. Sebaliknya, ibunya sangat lemah dan takut kepada sang ayah. Bentuk-bentuk kehangatan yang diberikan kepada anak satusatunya setelah kakak perempuannya meninggal dunia, dilarang oleh sang ayah. Alasannya, kehangatan dan kemesraan bisa menyebabkan anak lelaki menjadi lemah. Kemanjaan bisa menyebabkan daya juang menjadi lemah. Bahkan agar si anak mampu bekerja keras dan mampu bersikap tegas dan berwibawa, ayahnya tidak membolehkan Mas Yoyok menangis. Singkat kata kalau mendengar ceritanya, Mas Yoyok dibesarkan dengan tangan besi sehingga dia tumbuh menjadi laki-laki seperti yang kita kenal selama ini. Sukses luar biasa namun nyaris tanpa memahami hal-hal lain kecuali bekerja dan bekerja. Misalnya mengenai apa arti afeksi, bahwa setiap manusia tanpa kecuali membutuhkan rasa iba, cinta, kelembutan, kasih sayang, perhatian, pengertian, dan yang semacam itu, dia tak begitu mengerti.
Retno, selama dia bercerita aku sering melihat air mukanya dan mencoba mempelajari secara cermat untuk melihat seperti apa dia sebenarnya. Meskipun aku bukan seorang ahli jiwa, bukan psikolog, tetapi aku menangkap adanya kebanggaan dirinya terhadap sang ayah, bahwa berkat didikannya itulah ia bisa sukses dan mampu mengembangkan perusahaan jauh lebih baik daripada ketika dipegang beliau.
Singkat kata, aku merasa prihatin terhadap cara
t . c Mas Yoyok berpikir. Menurutku, sebagai manusia biasa yang terdiri dari darah dan daging dan bukannya terbuat dari besi, dia telah kehilangan perasaan indah yang seharusnya ada pada setiap insan. Tak ada keseimbangan dan harmoni di dalam kehidupannya. Bahwa ada saatnya orang harus bekerja keras, tetapi juga ada saat-saat untuk beristirahat. Ada saatnya pula orang harus memperlihatkan sikap tegas dan wibawa, tetapi juga ada saat orang harus menikmati suasana santai.
Yah, kacamata yang dipergunakan Mas Yoyok agak buram. Kau pasti melihat bagaimana grand piano atau piano vleugel bersayap yang besar itu hanya berfungsi sebagai pajangan, bagian dari prestise, diletakkan di ruang tengah, membatasi ruang tamu dengan ruang keluarga. Kau pernah mengatakan padaku alangkah sayangnya benda mahal yang seharusnya bisa mengumandangkan lagu-lagu indah hanya berdiri membisu. Mubazir dan rasanya berdosa membiarkannya begitu saja, sementara katamu ada banyak pemain piano berbakat ingin menarikan jemari mereka di atas piano bersuara pulen seperti itu tetapi tidak memiliki kesempatan karena harganya yang sangat mahal. Kau pasti masih ingat ketika aku melarangmu memainkannya karena bisa membuat Mas Yoyok marah. Sebab itu pernah terjadi ketika seorang keponakan datang dan memainkannya, ia langsung melarangnya hanya karena alasan yang tidak masuk akal.
t . c Nah, Retno, membaca ceritaku mengenai Mas Yoyok, mudah-mudahan kau mau melihat laki-laki itu dari sisi yang lain. Bahwa dia kaku, bahwa dia seperti& katakanlah seperti robot... itu bukan berarti bahwa dia jahat atau yang semacam itu. Tetapi karena ia tidak mengerti bagaimana mengungkapkan kasih sayang, kehangatan, dan keintiman.
Memang, mungkin saja penilaianku itu tidak tepat karena seperti kataku tadi, aku ini bukan seorang ahli jiwa. Namun sebagai istrinya, terutama sekarang karena aku mempunyai banyak waktu untuk merenung di atas tempat tidur, paling tidak aku bisa melihat dirinya secara lebih dekat dan lebih transparan. Sesuatu yang selama ini belum kulihat.
Oleh sebab itu, Retno, kuharap kau tidak marah atas permintaanku untuk menggantikan tempatku di sisi Mas Yoyok. Dan jangan pernah menyangka bahwa pemikiran seperti itu muncul karena kondisi fisikku yang sakit. Otakku masih waras, Retno. Justru dalam kondisi sakit, aku mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk merenung dan melakukan refleksi atas banyak hal di seputar kehidupanku. Kau boleh saja menyangkal, tetapi mata hatiku melihat bahwa semua hal yang bertolak belakang di antara dirimu dan Mas Yoyok justru bisa menyatu dan saling memperkaya masing-masing pihak. Dan jika ada keterbukaan di dalamnya, aku yakin kalian dapat berjalan seiring setujuan dengan cara yang menyenangkan.
t . c Namun, Retno, kalau kau tidak sependapat denganku dan benar-benar tidak ingin hidup bersama Mas Yoyok, aku menghormati keinginanmu. Kau bebas menentukan hidupmu sendiri. Tetapi aku masih tetap ingin agar kau mau membantuku. Ajarilah Mas Yoyok memahami dan mampu memaknai kehidupan ini dengan cara yang seimbang. Ajarilah pula bagaimana menumbuhkan rasa empati terhadap orang lain. Ajarilah dia bagaimana menjalin persahabatan dan keintiman dengan siapa pun, yang tidak ada kaitannya dengan urusan bisnis dan pekerjaannya& .
Itulah sebagian isi surat Aryanti yang berlembarlembar banyaknya. Meskipun tulisannya tidak mudah dibaca karena mungkin ditulis di atas tempat tidur, namun benar seperti kata Mas Yoyok dan ibunya, isi tulisan serta caranya menyampaikan pikirannya tampak runtut dan tertata.
Sampai lama aku termangu-mangu seorang diri dalam keheningan di kamarku. Aku bisa menangkap dua hal yang tidak secara eksplisit diungkapkan oleh Aryanti, namun yang secara implisit kutangkap melalui analisisku. Pertama, Aryanti ingin agar Mas Yoyok mempunyai istri yang sedikit-banyak telah mengetahui seperti apa laki-laki itu memperlakukan istrinya. Dengan kata lain, Aryanti ingin istri yang bisa bersikap sabar dan mengerti siapa Mas Yoyok. Dan satu-satunya perempuan yang tahu bagaimana Mas Yoyok, hanyalah aku. Kedua, karena Aryanti tahu aku masih belum
t . c punya kekasih dan masih gamang untuk berpacaran lagi, ia ingin aku bersikap realistis. Begini antara lain yang ditulisnya mengenai hal tersebut:
Ketika masih kuliah, kita berdua sering menyaksikan betapa banyaknya jalinan cinta sepasang insan putus berantakan karena perselingkuhan atau karena hal-hal lain. Aku dan kau sendiri pun pernah mengalaminya secara konkret, bukan" Nah, kenapa kita masih memikirkan idealisme, romantisme, dan yang semacam itu kalau ternyata hal-hal seperti itu bisa melukai hati kita. Bukankah lebih baik kita melakukan semacam eksplorasi, menjenguk suatu kehidupan yang mungkin lebih menjanjikan. Mas Yoyok mungkin saja termasuk orang yang kurang berperasaan, tak mampu menaruh rasa simpati apalagi empati, tetapi dia adalah lakilaki yang besar rasa tanggung jawabnya, tahu meletakkan harga diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merusak citranya, seperti misalnya& berselingkuh. Aku juga yakin, dia adalah suami yang ingin bisa membahagiakan istrinya, dengan caranya tidak mudah dipahami oleh orang-orang seperti kita.
Apa yang ingin kusampaikan adalah berpikirlah dengan positif, tenang, objektif, dan tidak bias tentang seberapa besar kemungkinan bersatunya kau dan Mas Yoyok. Mengenai keinginanku ini, aku pun sudah berbicara sendiri secara panjanglebar melalui surat yang kutujukan kepadanya.
t . c Dengan perkataan lain, lipatlah dulu suratku ini kalau kau merasa bingung atau resah, kau bebas menolak dan bebas pula mengiyakan. Sepenuhnya dirimu sendirilah yang harus menentukan langkahmu, sebab semua yang kuajukan padamu ini hanyalah sebagian dari pertimbanganku untuk menata masa depanmu& .
Seperti yang disarankan Aryanti, surat sebanyak lima lembar penuh itu kulipat hati-hati dan kumasukkan kembali ke dalam amplopnya. Kemudian kuganti lampu besar di kamarku dengan lampu tidur. Sekujur tubuhku terasa letih. Rupanya membaca surat peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal, telah menguras tenagaku. Fisik dan mental. Jiwa dan ragaku.
Sekarang aku ingin melupakan semua yang bertubitubi masuk ke dalam otakku. Kusurukkan kepalaku ke bantal dan kupejamkan mataku, mencoba untuk segera tidur. Tetapi ternyata itu tidak mudah. Aku tidak bisa segera terlelap sebagaimana yang kuinginkan. Sampai satu jam berikutnya, aku masih saja belum bisa tidur dan kepalaku terus saja berpikir dan berpikir, tidak mau diajak diam. Merasa kesal karena sudah berkalikali aku berganti posisi tidur namun masih saja tetap terjaga, kulempar selimutku ke tengah tempat tidur.
Aku harus minum sesuatu yang mempunyai pengaruh menenangkan, pikirku. Entah susu entah teh manis, pokoknya apa saja yang akan kutemukan di ruang makan. Aku sering melihat Aryanti dulu menyimpan berbagai macam minuman seduh kalau-kalau
t . c ada orang membutuhkan minuman hangat cepat saji. Mulai dari macam-macam kopi instan, serbat, jahe wangi, teh, lemon tea, susu, cokelat, Ovaltine, Energen, dan lain sebagainya.
Tanpa menyalakan lampu karena cahaya penerangan dari teras belakang membias masuk ke ruang makan, aku membuka lemari gantung yang dulu sering dibuka Yanti kalau dia mencari minuman. Seperti dulu, tempat itu masih menyimpan harta karun sebagaimana yang tadi kubayangkan. Maka kuambil dari kalengnya susu instan yang langsung kucairkan dengan air dari dispenser. Sedang aku mengaduk susu, tiba-tiba terdengar olehku suara denting cangkir beradu dengan alasnya dari arah kegelapan. Tentu saja aku kaget sekali sehingga tanpa sadar mulutku menyuarakan jeritan tertahan. Bahkan hampir saja gelas yang kupegang terjatuh.
Ssshh, ini aku& . Kudengar suara Mas Yoyok dari sudut ruang makan. Di situ memang ada meja sudut dengan dua buah kursi yang disediakan untuk mereka yang ingin makan dengan santai.
Kukira tidak ada orang, kataku. Kenapa sih diam saja waktu aku baru masuk ke sini"
Karena aku malas menyapa orang malam-malam begini. Pikirku, setelah minum kau akan masuk kamar kembali.
Memang begitu. Tetapi tanganmu menimbulkan suara.
Dan menakutkanmu! Mas Yoyok bergumam. Penakut juga rupanya kau ini, Retno.
t . c Jangan mengambil kesimpulan sendiri. Kaget dengan takut tidak sama artinya.
Mas Yoyok tidak menanggapi perkataanku. Dia tidak bisa membalas perkataanku. Sebagai gantinya dia memberi tanggapan lain tentang diriku juga.
Tidak bisa tidur, ya" Jelas sekali, cara dan nada suaranya itu merupakan pernyataan. Bukan pertanyaan. Menyebalkan. Tahu saja membuat orang jengkel setengah mati.
Aku meliriknya. Tetapi di dalam kegelapan ruang makan, hanya remang-remang sosok tubuhnya saja yang bisa kutangkap. Aku tak bisa melihat air mukanya. Namun karena aku masih merasa jengkel karena perkataanku tadi tidak ditanggapinya, aku membalas perkataannya dengan nada yang sama.
Ya, sama seperti dirimu. Kau juga tidak bisa tidur, kan" Apa yang kukatakan juga bukan jawaban. Tetapi pernyataan. Lalu kau minum apa untuk mengantar tidurmu" Teh" Susu" Cokelat" Ovaltine"
Teh manis dengan cream. Bukan susu, Mas Yoyok menjawab dengan kalem, tetapi ada sindiran di dalam suaranya.
Memangnya kenapa kalau susu"
Susu bukan minumanku, jawab Mas Yoyok, masih dengan kalem yang disengaja.
Sekarang aku yang terdiam karena tidak bisa segera membalas kata-katanya. Mas Yoyok yang mengetahui keadaanku, memakai kesempatan saat aku sedang berpikir itu untuk melanjutkan kata-katanya.
t . c Menurut kata orang, kalau kita mengalami sulit tidur, memang sebaiknya minum susu hangat. Tetapi bagaimana soal kebenarannya, tolong aku diberitahu hasilnya besok. Apakah kau bisa tidur nyenyak atau tidak setelah minum susu hangat, katanya, masih dengan suaranya yang menyebalkan.
Sambil memikirkan kata-kata untuk membalas perkataan Mas Yoyok, cepat-cepat aku menghabiskan isi gelasku. Kemudian gelas yang telah kosong itu kutaruh ke atas meja dengan gerakan kasar.
Tidak usah dibuktikan, Mas. Sudah pasti aku tetap tidak bisa tidur. Jangan lagi cuma segelas susu, minum obat tidur sekalipun kalau pikiranku dipenuhi masalah yang mustahil dan tidak masuk akal itu, pasti tidak akan ada hasilnya, kataku kemudian.
Kalau memang mustahil dan tidak masuk akal, kenapa harus dipikirkan sampai tidak bisa tidur" Bilang saja tidak. Titik. Selesai, kan" Suara Mas Yoyok terdengar menantang. Lalu kau bisa tidur dengan nyenyak sampai pagi. Percayalah.
Aku terperangah. Kata-katanya langsung menyentak ulu hatiku. Memang betul, kalau aku sudah mengambil keputusan untuk tidak akan menuruti permintaan Aryanti apalagi almarhumah mengatakan bahwa aku bebas untuk menentukan hidupku sendiri dan tak perlu menanggapi keinginannya maka masalah akan selesai dengan sendirinya. Lalu aku bisa pulang kembali ke Yogya dengan tenang dan melanjutkan kehidupanku sehari-hari seperti sediakala. Tanpa beban apa pun. Tanpa ganjalan hati apa pun.
t . c Tetapi, bagaimana kenyataannya" Ternyata aku masih saja berpikir dan berpikir sampai tidak bisa tidur. Jadi artinya meskipun persentasenya kecil dan apakah itu kusadari atau tidak, aku masih memikirkan adanya kemungkinan terjadinya ikatan antara diriku dengan Mas Yoyok. Persis apa yang tadi dikatakan olehnya. Sebab kalau tidak, aku pasti tidak akan mengalami sulit tidur.
Namun kalaupun memang demikian, mana mau aku mengakuinya" Tak akan kubiarkan Mas Yoyok meraih kemenangan begitu saja. Lagi pula belum tentu analisisnya betul demikian. Oleh karenanya kubantah perkataannya tadi.
Dua kali dua sudah pasti empat jadinya dan karenanya disebut ilmu pasti. Tetapi hal-hal di luar ilmu pasti beda lagi perhitungannya. Apabila hari hujan, sudah pasti tanah menjadi basah. Tetapi, tanah yang basah belum tentu disebabkan oleh air hujan, kan" Paham, Mas"
Setelah berkata seperti itu, dengan kepala tegak cepat-cepat aku menjauhi tempat Mas Yoyok. Aku malas berdebat dengannya malam-malam begini.
Betul atau salah analisisku, itu tidak penting buatku. Kan yang tahu kebenarannya hanya dirimu sendiri, kudengar di belakangku Mas Yoyok menanggapi perkataanku.
Tetapi apa pun kebenarannya, aku yakin sekali begitu meletakkan tubuh aku pasti langsung jatuh tertidur. Jadi terima kasih, Mas, kau telah membuka mata hatiku, bahwa aku tidak perlu memikirkan masalah
t . c yang sebetulnya mudah dijawab, sehingga tak perlu menguras energiku.
Di belakangku, aku sempat mendengar suara tawa bergumam. Entah untuk alasan apa Mas Yoyok menertawakan diriku, aku tidak tahu. Yang jelas, aku semakin merasa kesal karenanya.
t . c P AGI-PAGI ketika aku keluar dari kamar, Popon,
salah seorang pembantu rumah tangga yang kebetulan sedang membersihkan jendela ruang tengah, menyapaku dengan ramah seperti biasanya.
Selamat pagi, Bu Retno. Kalau mau sarapan silakan lho. Ada nasi goreng dan roti komplet, katanya. Telur ayam kampung rebus dan roti panggang sudah saya siapkan di meja makan.
Sarapan sendirian, Pon"
Ya. Bapak sudah berangkat pagi-pagi sekali tadi. Syukurlah, kataku dalam hati. Perutku memang sudah lapar. Aku sudah tahu kebiasaan sarapan di sini. Roti komplet yang dimaksud Popon itu terdiri atas mentega, keju, macam-macam selai termasuk selai kacang mete yang gurih, daging asap, dan kornet. Saya pilih roti saja. Terima kasih, sahutku. Tetapi nanti jam setengah sepuluh Bapak sudah pulang kembali, kudengar Popon melanjutkan bicaranya.
Delapan t . c Keinginanku makan roti panggang isi daging asap langsung lenyap. Laki-laki itu pasti akan bertanya padaku apakah setelah minum segelas susu, aku bisa tidur lelap tadi malam. Terus terang aku malas menjawabnya, sebab tidak seperti tantanganku terhadapnya semalam, ternyata segelas susu tidak membantuku cepat tertidur seperti yang kuinginkan. Jadi kalau mengikuti pendapat Mas Yoyok, berarti aku masih memikirkan isi surat Yanti dan berarti pula, aku belum juga mencampakkan keinginan sahabatku itu, sehingga masalahnya masih tetap menari-nari di depanku. Dengan kata lain, aku belum melepaskan diri dari persoalan yang dihadapkan padaku. Artinya, kemungkinan yang diajukan almarhumah masih memenuhi pikiranku, sadar atau tidak.
Saat sedang merasa sebal pada keadaan yang sedang kuhadapi ini, terdengar dering telepon mengoyak udara. Tidak berapa lama kemudian Popon mengatakan padaku bahwa telepon itu untukku. Jangan-jangan telepon itu dari Mas Yoyok, pikirku dengan perasaan semakin sebal.
Retno& . Kudengar suara ibu Aryanti masuk ke telingaku begitu aku mengucapkan kata halo . Jadi, bukan Mas Yoyok yang meneleponku. Tante minta maaf, tidak jadi datang ke situ. Bapaknya anak-anak tiba-tiba panas. Sebentar lagi akan Tante antar ke dokter karena yang lain-lain sudah telanjur berangkat kerja.
Lalu bagaimana, Tante"
Kau sudah membaca suratnya, Retno" Bukannya
t . c menjawab pertanyaanku, perempuan paro baya itu malah melemparkan pertanyaan kepadaku. Sudah, Tante.
Tante tidak akan menanyakan apa pendapatmu, bagaimana perasaanmu, dan yang semacam itu. Tante cuma mau menceritakan apa yang Tante alami bersama Yanti menjelang kematiannya. Dia sering sekali menceritakan pengalaman-pengalamannya bersamamu ketika masih tinggal di Yogya dan juga ketika kau berlibur ke sini beberapa bulan yang lalu. Setiap kali bercerita, wajahnya tampak berseri-seri. Surat-suratmu yang pernah kaukirim padanya, bahkan suratmu yang lama-lama, dibacanya lagi berulang-ulang. Begitu juga foto-foto lama kalian dulu sering dilihat-lihat kembali. Singkat kata, Retno, dia seperti hendak mengatakan bahwa salah satu dari hal-hal manis yang pernah dikecap dalam kehidupannya selama ini adalah persahabatannya denganmu& . Ibu Aryanti menghentikan sejenak bicaranya yang tiba-tiba bergelombang menahan tangis.
Sudahlah, Tante, jangan terlalu disesali hal-hal yang sudah lewat, kataku memotong. Yanti sudah berbahagia di sana.
Tante memang tidak ingin mengingat-ingat masa lalu karena percaya Yanti sudah bahagia di atas sana, sahut ibu Aryanti. Tetapi justru karena itulah Tante ingin membicarakan masa yang akan datang. Untuk itu tidak bisa tidak Tante harus menyinggung tentang amanah yang ia tulis di dalam surat kita masing-masing. Lalu& " Sungguh pertanyaan yang tolol.
t . c Apakah Retno sudah bisa memberi jawaban sekarang"
Sepertinya& berat buat saya untuk menuruti keinginan Yanti, Tante. Mustahil itu saya lakukan.& Apakah Retno sudah mempunyai seseorang& " Belum, Tante. Saya masih belum mau memikirkan hal itu.
Dengan begitu Tante tidak menyalahi aturan kalau Tante ingin memberimu saran agar kau bersedia memikirkan sekali lagi secara lebih mendalam apa yang diamanahkan Yanti. Artinya, jangan langsung mengatakan tidak mau atau mustahil, dan lain sebagainya, dan menolak mentah-mentah usul Yanti. Maafkanlah, Retno. Mungkin keinginan kami ini terlalu muluk mengingat kau dan Nak Yoyok belum saling mengenal dengan baik& .
Bukan hanya belum saling mengenal saja, Tante, aku memenggal perkataan ibu Aryanti, tetapi terutama karena tidak ada cinta di antara kami berdua. Bahkan rasa persahabatan pun tidak ada. Dan yang ada justru ketidakcocokan bagaikan minyak dengan air, yang tidak mungkin berbaur.
Kalau memang demikian, Tante merasa sedih sekali karena tidak bisa memenuhi amanah putri Tante. Suara ibu Aryanti mulai terdengar bergelombang lagi.
Maafkan saya, Tante, kataku buru-buru menyela bicaranya. Saya& saya tidak bermaksud membuat Tante menjadi sedih. Kalau ada amanah lainnya, barangkali saya akan berusaha memenuhinya. Tetapi& me-
t . c nikah dengan Mas Yoyok& jauh& jauh sekali dari pemikiran saya.
Yah, kami juga minta maaf telah mendesakmu, Retno. Tetapi untuk sekali ini saja, kalau boleh Tante ingin minta tolong kepadamu. Boleh, kan" kata ibu Aryanti lagi.
Apa, Tante" Tolong endapkan dulu permintaan Yanti. Tante tidak buru-buru ingin mendengar jawabanmu sekarang ataupun lusa. Bulan depan atau bulan depannya lagi pun tak apa asal jawaban itu merupakan hasil pemikiran yang sudah ditimbang matang-matang. Mengenai apakah kau akan tetap mengatakan tidak ataukah sebaliknya, itu terpulang sepenuhnya pada dirimu, jawab ibu Aryanti dengan suara letih. Meskipun demikian Tante berpendapat bahwa menikah bagi seorang perempuan, lebih baik daripada tidak.
Tetapi, Tante& Suaraku terhenti karena ibu Aryanti ganti memenggal bicaraku. Bahkan lebih gesit daripada caraku.
Pembicaraan ini kita cukupkan sampai di sini dulu ya, Retno! begitu ia memotong perkataanku. Tante harus mengantar Oom ke dokter. Masalah surat Yanti, sebaiknya kita tunda dulu. Tidak usah dibahas sekarang. Kecuali seperti yang Tante mohon kepadamu tadi, tolong sekali lagi kaupertimbangkan dan pikirkan baikbaik amanah Yanti sehingga jawabanmu nanti entah itu ya atau tidak , merupakan jawaban yang sungguh berasal dari lubuk hatimu yang terdalam. Aku tak mempunyai kesempatan mengatakan
t . c sepatah kata pun kepada perempuan paro baya itu, sebab baru saja mulutku terbuka, dia sudah menutup teleponnya, membuat perutku terasa penuh. Tetapi kalau aku tidak makan sesuatu pun, pasti akan ditanyai oleh Popon dan masalahnya bisa jadi panjang, mengira aku tidak suka apa yang ia hidangkan. Oleh karena itu kupilih nasi goreng, sebab kalau makan roti panggang, aku harus mengolesinya dengan mentega dan memilih isinya, sementara aku tak ingin berlama-lama di situ. Teringat sikap ibu Aryanti yang sangat konvensional mengenai perkawinan, selera makanku yang sudah telanjur patah, semakin menghilang.
Usai sarapan dan minum teh hangat untuk mendorong nasi goreng yang rasanya seperti masih nyangkut di leher, kutinggalkan meja makan untuk kemudian menonton teve di ruang tengah. Rencanaku, sebentar lagi aku akan ke makam Yanti meskipun ibunya tidak jadi pergi bersamaku. Dari situ aku akan membeli oleh-oleh buat Ibu dan Mbak Diah di Mangga Dua. Mereka minta dibelikan tas. Ketika beberapa waktu kemudian aku bangkit dari dudukku, ingin minta bantuan penjaga di depan untuk mencarikan taksi kosong lewat, aku mendengar suara seseorang di belakangku.
Sudah sarapan, Retno" Tanpa melihat siapa yang bicara, aku sudah tahu itu suara Mas Yoyok. Kata Popon, laki-laki itu baru akan datang sekitar jam setengah sepuluh. Sekarang baru jam setengah sembilan kurang, dia sudah pulang.
Sudah sejak tadi, aku menjawab enggan.
t . c Lalu apa rencanamu pagi ini, kalau aku boleh tahu.
Aku akan ke makam Yanti, kemudian mencari oleholeh untuk orang rumah.
Aku akan mengantarmu. Wah, jangan repot-repot, Mas, aku cepat-cepat bicara. Baru saja aku menelepon taksi.
Dari perusahaan taksi apa"
Mati, aku. Taksi apa yang terkenal di Jakarta ini" Ternyata tidak mudah membohongi Mas Yoyok. Untungnya aku teringat nama perusahaan taksi yang pernah dipesan salah seorang temanku ketika dia datang mengunjungi Aryanti di rumah sakit. Maka nama taksi itu kusebut untuk menjawab pertanyaan Mas Yoyok.
Tolong aku diberitahu nomor teleponnya. Siapa tahu di suatu ketika nanti aku membutuhkannya. Wah, mau mengujiku, rupanya.
Mati, aku. Sekali lagi aku mengeluh di dalam hati. Mana aku tahu nomor telepon perusahaan itu" Tetapi aku tak mau menyerah.
Aku lupa nomornya. Tadi kebetulan saja aku ingat. Sungguh jawaban yang tolol, bukan"
Retno, jangan berbohong kepadaku. Aku yakin sekali kau belum menelepon perusahaan taksi mana pun. Kalau memang mau naik taksi, pasti kau akan menyuruh penjaga rumah untuk mencarikan taksi kosong lewat seperti biasanya. Jadi artinya, kau hanya ingin menghindariku. Suara Mas Yoyok terdengar jengkel.
t . c Kalau ya, memangnya kenapa" Merasa tersudut, aku mulai menunjukkan taring-taringku. Boleh saja, kan"
Ya tidak apa-apa dan boleh-boleh saja, sih. Tetapi karena aku juga mau ke makam Yanti, kenapa kita harus jalan sendiri-sendiri"
Kau betul mau ke makam"
Ya. Kalau tidak untuk apa aku sengaja mengurus pekerjaan pagi-pagi sekali supaya bisa mengajakmu ke makam.
Kenapa mengajakku" Karena ibu mertuaku tidak bisa pergi bersamamu. Beliau sudah berjanji kepadamu untuk bersama-sama pergi ke makam Yanti, kan" Nah, aku akan menggantikannya, sahut Mas Yoyok dengan kalem.
Apa boleh buat. Terlalu kekanakan kalau aku memperlihatkan kedegilanku dan tetap menolak ajakannya. Jadi akhirnya aku berangkat bersama Mas Yoyok ke makam Yanti. Tetapi ketika melihatnya duduk di belakang kemudi dan tidak kulihat batang hidung Pak Musa, perlawananku mulai timbul kembali.
Kok tidak dengan Pak Musa" aku bertanya dengan suara meninggi. Tidak enak duduk di dalam mobil berduaan saja dengan laki-laki itu.
Dia punya tugas lain. Lagi pula aku masih tergolong muda untuk selalu duduk di belakang sebagai tuan besar, jawab Mas Yoyok seenaknya.
Sekali lagi aku terpaksa mengalah. Tetapi benarbenar tidak enak duduk di samping Mas Yoyok tanpa kehadiran orang lain karena baru sekali ini kualami.
t . c Terlebih karena isi surat Aryanti terasa masih berkibarkibar di depan mataku dan belum ada keputusan yang pasti. Sejak dari rumah kalau tidak perlu sekali, kami tidak berbicara apa pun. Begitu juga ketika berada di makam, kami berdua berdoa sendiri-sendiri. Rasanya seperti orang asing yang baru berjumpa di tempat sama. Tak ada kebersamaan yang kurasakan.
Tetapi ketika keluar dari kompleks pemakaman, Mas Yoyok tiba-tiba menoleh ke arahku.
Mau mencari oleh-oleh apa" tanyanya kemudian. Tas, untuk Ibu dan kakak perempuanku. Rencanamu mau belanja di mana" Mas Yoyok bertanya lagi.
Di Mangga Dua. Kenapa tidak di Mal Kelapa Gading atau di Plaza Senayan" Di sana tasnya bagus-bagus. Hm, pengalaman memberi hadiah tas juga, rupanya.
Aku pernah ke Mangga Dua dan melihat di lantai dasar banyak sekali tas dijual di sana. Mulai dari harga yang murah sampai jutaan. Dan bagus-bagus modelnya. Buatannya juga rapi.
Kualitasnya& " Kita kan bisa memilih. Kalau aku boleh memberi saran, beli sajalah di Kelapa Gading. Di sana ada Sogo. Di Mangga Dua penuh orang dan kita terpaksa sering berdesakan.
Perkataan Mas Yoyok langsung kupenggal dengan pertanyaan.
Apakah Mas Yoyok tahu kenapa aku lebih memilih belanja di Mangga Dua"
t . c Tidak. Kenapa" Selain pilihannya banyak, harganya juga murah. Itu alasan utamaku. Kedua, aku ingin membeli sehelai blus, pakaian balita untuk keponakan-keponakanku, dan beberapa macam barang keperluan pribadiku, di sana. Itu pun dengan alasan sama, di sana pilihannya banyak dan murah.
Tetapi karena harganya tidak ditentukan sebagaimana halnya di toko-toko besar, kita bisa kena tipu.
Tetapi justru di situlah letak seninya berbelanja di tempat-tempat seperti Mangga Dua. Senang kok bisa tawar-menawar. Kalau aku ke Jakarta, pasti kusempatkan diriku pergi ke sana. Nah, karena aku tidak ingin merepotkanmu dan tak mau pula membuatmu kurang nyaman karena tak biasa berbelanja di Mangga Dua, kita berpisah di sini saja. Aku akan mencari taksi, kataku sambil tersenyum semanis madu, tetapi jelas tidak sampai ke hati. Terima kasih Mas mau mengantarkan aku sampai ke makam Yanti.
Apa-apaan sih" Kita berangkat bersama, pulang juga harus bersama-sama. Mas Yoyok tampak marah oleh perkataanku tadi.
Jadi& " Jadi akan kuantar kau ke Mangga Dua. Daripada ribut di depan gerbang makam, aku terpaksa membiarkan diriku diantar Mas Yoyok ke tempat yang kuinginkan. Tetapi begitu sampai di Mangga Dua dan kami mendapat tempat parkir di lantai tiga, aku langsung membuat perjanjian dengannya.
Sebelum turun, kurasa kita perlu menyamakan
t . c persepsi lebih dulu mengenai arti mengantar. Mengantar itu ya mengantar. Bukan penyandang dana. Nah, bisa kita samakan persepsi kita"
Entah aku salah lihat ataukah memang demikian, rasanya aku melihat sudut-sudut bibir Mas Yoyok terjungkit ke atas ketika mendengar perkataanku. Jelaskan maksudmu, katanya kemudian. Yang perlu ke Mangga Dua aku. Jadi biarkan aku membeli apa yang kubutuhkan dan membayar sendiri apa yang kubeli. Oke"
Oke. Aku tidak tahu apa yang Mas Yoyok rasakan ketika di Mangga Dua dia hanya mengekor di belakangku. Kadang-kadang juga bolak-balik dari toko yang satu, ke toko yang lain dan akhirnya kembali lagi ke toko semula untuk memutuskan membeli barang yang kuinginkan. Tetapi ketika aku melihat pandang matanya menyapu wajahku, aku merasa harus mempertahankan diri dari kemungkinan ditertawakan.
Kelihatannya membuang waktu, tenaga, dan pikiran, ya" Tetapi ada kepuasan hati yang tidak bisa dinilai dengan materi, kataku kepadanya. Bisa membawa pulang barang yang diinginkan sesudah mondar-mandir mempertimbangkan dan membandingkannya, hati kita jadi senang lho, Mas.
Mungkin& , Mas Yoyok menjawab tanpa menatap wajahku.
Ah, masa bodoh. Dia mau mengiyakan atau tidak, bukan urusanku. Kalaupun dia merasa keberatan mengekorku ke mana-mana, toh bukan aku yang me-
t . c nyuruhnya. Maka kulanjutkan acara belanjaku sampai semua yang kuinginkan terbeli.
Nah, karena aku sudah selesai belanja dan Mas Yoyok telah dengan sabar mengikutiku, bolehkah aku mentraktir Mas makan siang"
Di mana" Ya di sini-sini saja. Memangnya mau ke mana" Di lantai atas ada banyak restoran yang bisa Mas pilih. Aku menurut.
Baiklah, sahut Mas Yoyok. Kemudian dia menanyakan apakah makanan kesukaannya ada di atas sana.
Ada, Mas. Kebetulan tadi aku melihat iklannya. Mau ke sana"
Ya. Tetapi biarkan aku yang membayar. Harganya agak mahal.
Kalau begitu, silakan Mas Yoyok makan sendirian di sana. Aku akan mencari makanan kesukaanku di tempat lain. Nanti kita telepon-teleponan mau ketemu di mana supaya tidak saling tunggu, kataku. Siapa suruh dia menyalahi aturan yang telah kami sepakati di tempat parkir tadi.
Mendengar kata-kataku, Mas Yoyok menatapku langsung ke bola mataku. Pandangannya menyiratkan kejengkelan.
Kenapa kau begitu keras kepala sih" tanyanya kemudian.
Keras kepala dan memegang prinsip itu beda lho, Mas. Jangan disamakan, sahutku sambil melihat arloji. Jam satu kurang seperempat. Sudah waktunya makan siang dan lalu kembali ke rumah. Nah, silakan mau
t . c memilih apa" Makan di atas bersamaku dan aku yang membayarnya ataukah makan sendiri-sendiri dan kita sama-sama puas menikmati makanan kesukaan masingmasing"
Makanan kesukaanmu apa"
Banyak. Tetapi hari ini aku kangen soto Betawi di lantai bawah. Di Yogya tidak ada yang seenak di sini, jawabku. Nah, kita pisah dulu dan nanti kita ketemu sekitar setengah jam lagi. Bisa"
Sotonya enak" Bukannya menjawab, dia malah bertanya.
Sangat enak. Aku sudah membuktikan beberapa kali, masakan-masakan yang khas daerah di tempattempat sederhana malah lebih enak daripada masakan hotel yang cuma penampilannya saja yang wah. Itu sih tergantung selera, komentar Mas Yoyok. Mungkin. Tetapi pada kenyataannya, di Jakarta ini banyak orang yang seleranya sama seperti seleraku. Dari mana kau tahu"
Dari sulitnya mencari tempat duduk dan ramainya orang jajan di tempat itu, jawabku sesuai kenyataan yang kualami.
Kalau begitu, aku ikut makan soto Betawi yang kauiklankan itu.
Terserah. Tetapi jangan salahkan aku kalau ternyata tidak sesuai dengan seleramu, sahutku. Ayo, kalau begitu.
Meskipun tidak memperhatikannya secara terangterangan, aku tahu Mas Yoyok menyukai soto Betawi
t . c yang kusukai itu. Dia menambah nasi dan wajahnya berkeringat kepedasan. Di dalam hati, aku menertawakan dirinya. Itulah kalau biasa makan di rumah makan yang AC-nya dingin dan tempatnya nyaman. Rupanya dia belum pernah makan berdempet-dempetan dengan orang lain dan tiap sebentar ada orang minta maaf sambil mengulurkan tangan, mau mengambil tempat sambal. Atau orang yang sudah selesai makan menyenggol punggungnya ketika meninggalkan tempat yang sempit sementara kami berdua masih menikmati makanan yang terhidang.
Di jalan begitu meninggalkan pertokoan Mangga Dua, Mas Yoyok mengatakan dengan terus terang perasaannya.
Kuakui, rasa sotonya lezat. Bumbunya serba pas. Perkedel dan keripik tempenya juga enak. Apalagi tidak mengeluarkan uang, katanya. Aku mendengar nada tawa di dalam suaranya.
Aku menoleh dan menatap sisi wajahnya. Mas bisa menikmati makan siang seperti itu" Ya, bisa.
Tidak takut dipergoki kenalan"
Waktu baru mulai duduk, yah, terus terang kekhawatiran itu ada. Tetapi setelah mulai mencicipi sotonya, tidak lagi....
Ibu mertua lewat juga tidak kelihatan, kan" aku menyela dengan nada menyindir.
Tak kusangka Mas Yoyok tertawa cukup keras. Karena ingin tahu apa yang membuatnya merasa geli, aku menanyakannya.
t . c Kok tertawa" tanyaku ingin tahu. Apanya yang lucu"
Yah& pertama, karena ibu mertua sedang mengurus suaminya yang sakit panas. Jadi pasti tak akan lewat di sana, katanya kemudian. Kedua, kenapa aku tidak khawatir dipergoki orang, karena hari ini hari kerja. Kenalanku pasti sibuk di kantor mereka masingmasing. Ketiga, tiba-tiba timbul keinginanku, kalau kebetulan ada kenalan atau anak buahku lewat, akan kupanggil dia untuk ikut bergabung makan bersama, mencicipi soto yang lezat itu.
Aku tidak ingin berkomentar karena tidak mengira Mas Yoyok bisa berkata sesantai itu. Terlebih karena tiba-tiba dia melontarkan pertanyaan yang juga tidak kuperkirakan.
Retno, supaya nanti malam kita tidak usah bicara lagi, bagaimana kalau sekarang kita membicarakan surat Yanti di rumah peristirahatanku"
Di mana itu" Kenapa kita mesti bicara di sana" Di rumah kan bisa. Lagi pula ibu mertuamu mungkin ingin ikut bicara. Lalu kalau jadi ke sana, jam berapa kita tiba di rumah lagi"
Baik, satu per satu pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu akan kujawab. Pertama, rumah peristirahatanku terletak di Cibulan. Jadi tidak terlalu jauh. Tak sampai dua jam perjalanan kita sudah bisa sampai di sana, jawab Mas Yoyok. Kedua, kenapa aku ingin bicara di sana, itu karena aku merasa di sana bisa bicara dengan lebih bebas dan tidak ada orang lain yang mendengar serangan-seranganmu yang sering pedas padaku. Ketiga,
t . c ibu mertuaku sudah menyerahkan seluruh persoalan ini kepadaku. Beliau menganggap sudah cukup banyak berbicara denganmu. Tadi pagi beliau meneleponmu, kan" Dan keempat, kita akan di sana sekitar dua jam, tergantung lama atau tidaknya pembicaraan kita. Sekarang jam setengah dua. Jadi kurasa, paling lama jam delapan malam kita sudah tiba kembali di rumah dan kau bisa langsung beristirahat supaya besok pagi tidak terlambat bangun.
Tanpa mandi" Silakan saja kalau mau mandi di sana. Kau bisa memakai pakaian Yanti, jawab Mas Yoyok. Tidak, ah.
Kenapa" Pakaian itu bersih dan belum pernah dipakai oleh yang punya, kata Mas Yoyok lagi. Kenapa"
Karena dia belum sempat memakainya. Kami pernah merencanakan untuk menginap di sini tetapi tidak jadi karena waktu itu aku harus ke luar negeri mendadak. Padahal pakaian kami sudah dibawa ke sini oleh orang suruhanku. Jadi akhirnya pakaian itu ditinggal di situ.
Sudah berapa kali Yanti menginap di sana" Belum sekali pun. Terus terang tahun kemarin aku memang sangat sibuk. Untunglah tahun ini kesibukanku tidak seperti tahun-tahun yang lalu, karena ada seorang sepupu yang bersedia membantu pekerjaanku, sehingga ketika Yanti sakit, aku bisa menemaninya. Kasihan Yanti....
Yah, aku menyesal telah mengabaikan keberadaan-
t . c nya. Tetapi siapa yang tahu kalau umurnya tidak panjang. Tumben dia mau mengakui kesalahannya, pikirku. Tetapi aku masih ingin menyerang.
Untung saja dia bukan istri yang penuntut, kataku. Bahkan dia termasuk istri yang sabar, patuh, lembut, dan penuh pengertian. Kalau kau nanti mencari istri lagi, carilah yang seperti dia, Mas.
Mas Yoyok tidak menjawab pertanyaanku. Dia sibuk mengklakson truk yang jalannya miring-miring. Tetapi aku tahu, klakson itu juga ditujukan kepadaku agar aku jangan melanjutkan pembicaraan seperti itu. Dasar mau menang sendiri!
Namun terlepas dari hal tersebut, itulah pertama kalinya aku dan Mas Yoyok mengobrol lebih dari tiga atau empat kalimat tanpa kehadiran orang lain. Sejak keluar area Mangga Dua sampai di tol dalam kota menuju tol Jagorawi, cukup banyak yang kami obrolkan, sampai akhirnya tanpa sengaja menyinggung masalah yang peka tadi.
Begitulah, kami tiba di rumah peristirahatan Mas Yoyok jam empat kurang seperempat. Penjaga rumah yang sudah diberitahu telah menyiapkan segala sesuatu yang kami butuhkan. Di antaranya minuman dan makanan kecil yang disiapkan di teras samping.
Kalau kau mau mandi, silakan. Ini kamar yang seharusnya menjadi milik Yanti, kata Mas Yoyok sambil membuka pintu kamar yang dimaksud. Pilih saja pakaian yang kaurasa cocok untukmu. Aku yakin, Yanti pasti sangat senang pakaiannya bermanfaat. Aku juga akan mandi. Tak enak rasanya memakai pakaian yang
t . c kupakai dari makam dan lalu berkeringat karena makan soto Betawi tadi.
Oke. Aku tak mau memberi komentar apa pun. Kulihat, laki-laki itu masuk ke kamar sebelah. Seperti di Jakarta, Mas Yoyok juga mendesain rumahnya dengan tidak mempersatukan kamar suami-istri dalam sebuah kamar yang sama, melainkan dua kamar yang berdampingan, dengan pintu penghubung di antaranya. Ketika aku sedang memilih baju yang enak kupakai, mataku melihat pintu itu dan merasa sedih karenanya. Sungguh suami yang sama sekali tidak romantis. Aku memang belum pernah menikah, tetapi aku tidak pernah berpikir bahwa sepasang suami-istri akan tidur di kamar yang berbeda. Aneh rasanya. Bukankah akan terasa indah kalau di rumah peristirahatan, suami-istri tidur bergelung di tempat tidur yang sama sambil berpelukan di bawah selimut hingga pagi hari"
Tetapi ah, aku tak mau berlama-lama memikirkan kehidupan Mas Yoyok dan Yanti. Semua sudah berlalu. Maka demikianlah, begitu selesai mandi, dengan memakai celana tiga perempat dan blus model kemeja yang feminin, aku segera keluar kamar. Kulihat Mas Yoyok sedang menelepon. Laki-laki itu tampak segar dengan rambutnya yang masih setengah basah dan Tshirt warna cerah yang dikenakannya.
Mendengar ekor perkataannya, aku yakin itu pasti urusan bisnis lagi. Sungguh, kehidupan yang tidak santai. Tetapi untunglah ketika melihatku ia segera menghentikan pembicaraannya. Diajaknya aku duduk
t . c di teras samping. Cuaca sore hari itu sungguh sangat cerah. Langit tampak bersih dan dua gunung nun di sebelah sana tampak indah kebiruan, sementara angin sore yang sejuk membelai lembut pipi dan rambutku.
Pakaiannya pas di tubuhmu, komentar Mas Yoyok.
Bentuk tubuhku dan tubuh Yanti tidak jauh berbeda. Hanya aku lebih tinggi sedikit. Dulu kami sering saling pinjam baju pesta.
Hm, semakin kumengerti betapa akrabnya kalian berdua. Nah, silakan minum. Ada teh, kopi susu, cokelat dan soft drink dingin. Tinggal pilih, katanya mengalihkan pembicaraan. Dan ini kue-kuenya. Ada yang manis, ada yang asin, dan ada kacang rebus yang baru matang. Kata penjaga rumah, kacang ini baru dicabut.
Aku mengangguk. Halaman rumah peristirahatan ini memang luas. Ada bermacam buah dan sayuran ditanam di halaman belakang. Dari jendela kamar aku tadi sempat memperhatikan ada beberapa macam pohon buah seperti mangga, nangka, durian, rambutan, dan banyak lagi. Juga ada jagung, singkong, dan sayuran merambat seperti kacang panjang, pare, buncis, labu siam, dan entah apa lagi. Tidak semuanya dapat terlihat melalui jendela. Tetapi kelihatannya banyak macamnya dan tampak subur-subur.
Terima kasih. Kacang tanah yang berasal dari kebun sendiri pasti enak, kataku. Dengan halaman luas begini, ada banyak buah dan tanaman bermanfaat bisa ditanam di sini.
t . c Bukan hanya itu saja manfaatnya, tetapi juga sebagai upaya untuk melaksanakan imbauan kementerian lingkungan hidup. Di sini kami melakukan penghijauan dengan sistem tanaman organik. Tanpa pupuk buatan, tanpa pestisida. Pokoknya serba-alami.
Pasti sehat dan menyenangkan, sahutku. Nah, kembali ke tujuan kita semula, bagaimana kalau sambil makan kue, kita mulai saja memasuki pembicaraan mengenai isi surat Yanti, supaya tidak terlalu lama di sini. Aku belum mengepak pakaianku.
Baik. Tetapi aku ingin kita bicara lebih serius. Jangan seperti tadi malam, beradu argumentasi cuma untuk saling mengalahkan. Ssstt& jangan membantah dulu. Kita tinggalkan pembicaraan kita semalam. Aku ingin kita mulai berbicara dari sesuatu yang bersifat objektif dan dengan akal sehat. Emosi dan unsur subjektif jangan dibawa-bawa. Apalagi sikap kekanakan. Siap ya"
Baiklah. Yah, apa lagi selain kata itu, bukan" Aku menyadari bagaimana tadi malam aku telah membiarkan perasaanku dan sikap kekanakanku ikut campur dalam pembicaraanku dengan Mas Yoyok. Mengingat besok pagipagi aku sudah harus pulang ke Yogya kembali, kurasa ada baiknya kalau masalah surat Yanti kami bicarakan dengan kepala dingin dan sikap serius.
Mendengar kata baiklah yang kuucapkan dengan sungguh-sungguh tadi, Mas Yoyok mengangguk.
Terima kasih, Retno. Nah, langsung saja pada pokok pembicaraan ya, aku ingin tahu tanggapanmu
t . c mengenai surat Yanti. Mudah-mudahan kau membacanya bukan cuma sekali saja.
Ya, beberapa kali. Tadi pagi, kubaca lagi. Lalu bagaimana menurutmu"
Kalau dari caranya bertutur dan berlogika& menurutku pikirannya masih jernih kendati tubuhnya sudah semakin dimakan penyakit. Seperti kata Tante, ia masih mampu memaparkan pikirannya dengan kalimat-kalimat yang runtut. Seakan bukan ditulis oleh orang yang sakit berat.
Ya, isi suratnya kepadaku pun demikian. Mas Yoyok mengangguk. Lalu bagaimana tanggapanmu mengenai substansi surat itu sendiri"
Tadi malam meskipun aku bicara secara emosional, sebenarnya apa yang kukatakan itu masuk akal. Yanti telah mengusulkan sesuatu yang mustahil bagi kita berdua. Hal itu yang mungkin dia lihat tetapi tidak dipahami keseriusannya. Namun harus kuakui, permintaannya itu didasari oleh perasaan kasih dan sayangnya terhadap kita berdua. Dia ingin agar kita hidup bahagia. Dia menyayangi kita berdua dengan caranya sendiri, tentu saja melalui kacamata yang dipakainya, tanpa menyadari bahwa kita masing-masing memakai kacamata sendiri dengan ukuran yang belum tentu sama untuk orang lain.
Tetapi dia seorang yang arif, sahut Mas Yoyok. Entah mengapa aku menangkap nada berteka-teki di dalam suaranya.
Kuharap Mas Yoyok jangan terlarut di dalam masalah ini, kataku menanggapi perkataannya, entah apa
t . c pun yang dipikirkannya. Jangan karena menuruti kasih sayang Yanti pada kita, Mas Yoyok lalu menentukan keputusan penting yang menyangkut kebahagiaan hidup sendiri tanpa khawatir risikonya di belakang hari. Kenapa kau berpendapat seperti itu, Retno" Karena aku mempunyai pendapat tersendiri mengenai Mas Yoyok dalam hal menilai sesuatu. Termasuk pernikahan, jawabku terus terang.
Oh ya" Apa itu" Kudengar nada ingin tahu yang teramat kental dalam suaranya.
Dalam banyak hal tampaknya Mas Yoyok termasuk seorang yang pragmatis, memandang sesuatu dari manfaatnya. Aku masih ingat apa yang kaukatakan kemarin, bahwa dengan kedudukanmu, dengan posisimu di lingkup pergaulan dan kegiatanmu, kau membutuhkan seorang istri sebagai pendamping. Dan yang seperti itu sangat bertolak belakang dengan pandanganku mengenai kehidupan dan pernikahan. Terlepas apakah aku termasuk orang yang romantis atau tidak, bagiku pernikahan adalah komitmen sakral antara sepasang suami-istri di mana ada tanggung jawab moral, ada cinta kasih dan perasaan ingin saling berbagi dalam menjalani kehidupan. Dengan kata lain, aku mau mengatakan bahwa perkawinan di antara kita berdua itu mustahil, karena pasti tidak akan bisa lestari dan langgeng.
Hmm& begitu, Mas Yoyok bergumam. Tetapi aku segera menyerobot pembicaraan.
Ya. Kalaupun dipaksakan demi memenuhi amanah orang yang sudah meninggal dunia atau demi kasih
t . c sayang kita terhadapnya, apakah itu etis" Membentuk rumah tangga kan tidak dilandasi oleh hak-hal semacam itu. Terlalu rapuh fondasinya.
Maka menurutmu tadi, pernikahan seperti itu tidak akan bisa langgeng"
Tepat sekali. Tetapi aku paling tidak menyetujui perceraian, apa pun alasannya. Sangat memalukan, terutama mengingat profesiku sebagai pengusaha. Bagaimana orang bisa memercayai diriku kalau mempertahankan perkawinan sendiri pun tidak sanggup. Bahkan seperti seorang pengecut, tidak berani menghadapi masalah.
Pendapat seperti itu aku setuju sekali. Kita sependapat. Justru karena itulah sebelum memutuskan untuk menikah, orang harus berpikir dan mempertimbangkannya seribu kali lebih dulu. Jadi kalau memang mustahil untuk dilakukan, ya jangan dilakukan.
Berulang kali aku mendengar kau mengatakan mustahil dan mustahil. Boleh aku tahu kemustahilan macam apa yang ada di dalam pikiranmu" Mata Mas Yoyok menatap tajam diriku.
Mas, aku ini mempunyai banyak sifat dan pembawaan yang berbeda denganmu. Itu yang pertama. Kedua, di antara kita tidak ada ikatan batin apa pun. Bahkan pengertian pun tidak ada di antara kita. Kalau itu ada, barangkali saja masih bisa dipertimbangkan kemungkinannya. Tetapi kenyataannya kan tidak begitu. Ketiga, kita ini mempunyai gaya hidup, cara pandang, dan latar belakang yang bertolak belakang bagaikan dua kutub.
t . c Tak kuduga, Mas Yoyok tertawa mendengar perumpamaanku.
Tetapi bukankah dua kutub berlawanan justru menimbulkan gaya tarik-menarik" katanya kemudian.
Tetapi itu kan berkaitan dengan alam. Tidak menyangkut manusia! aku membantah.
Siapa bilang tidak menyangkut manusia" Manusia kan juga bagian dari alam dan karenanya tidak bisa lepas dari hukum-hukum alam, Mas Yoyok membantah perkataanku. Tetapi aku mendengar nada godaan di dalam suaranya sehingga aku tertegun beberapa detik lamanya. Ini seperti bukan Mas Yoyok sebagaimana yang kukenal selama ini. Sepengetahuanku, Mas Yoyok yang kuketahui tidak kenal humor dan canda. Maksudmu apa" tanyaku kemudian.
Maksudku, di dalam kebersamaan hidup, orang bisa saja mencoba teori alam tentang gaya tarik magnet yang seperti dua kutub berlawanan itu, katanya kalem. Dua kutub yang sama kalau didekatkan kan malah akan saling tolak-menolak. Ingat pelajaran di SD dulu, kan" Nah, begitu pun manusia.
Aku tidak tertarik pada percobaan semacam itu. Hm, dia pikir siapa dia" Dia bukan atasanku, bukan apa-apaku. Enak saja memintaku melakukan percobaan demi kepentingan kedudukannya sebagai pengusaha. Tetapi masa sih tidak ada sikap kompromis" Mungkin bagi orang lain, bisa. Tetapi tidak, bagiku. Perkawinan tidak bisa dilandasi dengan unsur coba-coba ataupun unsur lain seperti menuruti kemauan orangtua atau karena terpaksa dan lain sebagainya.


Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

t . c Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku mempunyai prinsip tersendiri mengenai perkawinan, sahutku. Perkawinan adalah suatu wadah suci yang harus diisi oleh suami-istri agar menjadi tempat yang semakin lama semakin indah, tempat mereka bisa berbagi duka dan suka sehingga memperkaya masing-masing pihak. Keduanya harus bisa berkembang bersama-sama menuju ke arah kesempurnaan. Paling tidak lebih baik daripada hari kemarin dan kemarinnya lagi.
Idealis dan agak berbau falsafah ya" Mas Yoyok menatap mataku lagi. Tetapi eh, siapa bilang aku sedang bicara tentang perkawinan" Aku cuma mau mengatakan bahwa dalam hidup bersama, orang bisa mencoba teori gaya tarik magnet apabila memiliki sifat dan pembawaan yang berlawanan.
Aku terperangah. Pipiku langsung terasa panas. Wah, aku memang ge-er, tadi. Tetapi seperti biasanya, aku tidak mau kalah di hadapan laki-laki itu.
Pokoknya, percobaan apa pun tidak menarik buatku. Titik, aku berkata sambil melihat arlojiku, kemudian cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Sekarang sudah hampir jam lima, apa tidak sebaiknya kita pulang sekarang"
Wah, marah ya" Tidak. Aku cuma bosan membicarakan hal-hal yang tidak ada titik temunya. Kan lebih enak kalau pulang lalu aku bisa mengepak bawaanku" Mas Yoyok tahu kan, barang-barang yang kubeli di Mangga Dua tadi cukup banyak.
Soal mengepak barang, serahkan padaku. Penjaga
t . c rumah di depan itu ahli mengepak barang untuk dibawa pergi ataupun dikirim melalui Tiki. Pembicaraan kita belum tuntas lho.
Tetapi pembicaraan kita telah sampai pada kesimpulan bahwa permintaan Yanti itu mustahil untuk dilakukan.
Untuk sementara pembicaraan ini kita cukupkan sampai di sini dulu. Apalagi kau bilang bosan bicara dan bicara saja. Aku juga bosan kok membicarakan sesuatu yang tak pernah ada titik temunya. Jadi bagaimana kalau sebelum kembali ke Jakarta kita jalan-jalan dulu menikmati panorama di sekitar sini. Sebentar lagi saat sunset tiba. Memandang matahari tenggelam dari bukit di sebelah sana itu, menarik sekali. Aku sering berdiri di sana untuk merasakan keheningan senja dan menjadikan diriku sebagai bagian dari alam.
Aku tertegun, tidak menyangka Mas Yoyok bisa bersikap sedemikian manusiawinya.
Aku tidak pernah tahu bahwa ternyata Mas Yoyok bisa juga menikmati keindahan, sahutku terus terang. Suaraku terdengar ketus, masih marah karena dia berhasil memerangkapku dengan gaya tarik-menarik magnetnya tadi. Padahal aku tahu betul, yang dimaksud oleh laki-laki itu memang soal perkawinan.
Lho, dari mana kesimpulanmu tentang diriku itu" Mas Yoyok menjungkitkan salah satu alis matanya. Aku ini juga manusia biasa seperti orang lain kok. Apakah kaupikir aku tidak mampu menangkap keindahan"
Akan kita lihat buktinya nanti, apakah keindahan
t . c yang Mas tangkap memiliki persamaan dengan keindahan yang kutangkap.
Kenapa" Sebab sejauh yang pengenalanku padamu, Mas, dan juga dari beberapa pengalaman bersamamu, aku melihat cara pandang kita tidak pernah sama. Selalu saja berbeda dalam banyak hal.
Contohnya" Ingat tidak, ketika Mas Yoyok memberiku hadiah kalung dengan liontin bermata berlian dan aku menolaknya" Mas tersinggung, kan" Padahal bagiku, menerima hadiah semacam itu terlalu pribadi sifatnya, sementara Mas Yoyok menganggap itu biasa-biasa saja.
Mas Yoyok tidak menanggapi perkataanku. Sebagai gantinya dia menghabiskan isi cangkirnya untuk kemudian mengubah topik pembicaraan.
Ayo, kita jalan-jalan sekarang, katanya sambil berdiri.
Apa boleh buat, aku terpaksa mengikutinya karena menikmati panorama indah merupakan salah satu hobiku. Maka kami berjalan bersisian, keluar halaman menuju ke bukit sambil menyisiri kali kecil yang airnya mengalir gemercik mengempas bebatuan, melantunkan nyanyian alam. Sementara itu di langit yang mulai meredup tampak burung-burung terbang berbondongbondong sambil meneriakkan nyanyian senja menuju sarangnya, entah di hutan mana aku tak tahu. Tetapi mereka sangat tahu ke mana mereka harus pergi.
Kami sampai di lereng bukit sambil menatap menatap ke arah lembah di mana terhampar rerumputan
t . c dengan bunga-bunga liar berwarna ungu dan putih yang berpadu indah. Di ujung sana tampak hutan cemara gunung yang pucuk-pucuknya sedang menarinari berlenggang-lenggok kenes seakan mengantar bola merah besar yang mulai tergelincir ke ufuk barat. Di balik hutan cemara, samar-samar aku melihat danau yang tak terlalu luas namun tampak indah dikelilingi aneka tanaman liar. Sayang sekali terdapat beberapa rumah peristirahatan yang menodai keperawanan alam yang begitu indah itu. Ah, selalu saja tangan-tangan manusia merusak indahnya panorama.
Nah, bagaimana pendapatmu terhadap apa yang tersaji di hadapan kita ini, Retno. Indah" Tiba-tiba kudengar Mas Yoyok bertanya dengan suara penuh rasa ingin tahu. Dia menghentikan langkahnya, sementara kedua telapak tangannya disembunyikannya ke saku celananya. Aku terpaksa ikut berhenti dan ikut pula menyembunyikan telapak tanganku dengan melipatnya di dadaku. Udara dingin mulai menggigit tubuhku.
Indah, tentu saja. Tetapi aku yakin keindahan yang kutangkap pasti berbeda dengan yang Mas tangkap, sahutku.
Kenapa kau berani memastikannya"
Karena yang namanya keindahan itu kan merupakan suatu rasa. Bukan kepastian sebagaimana halnya ilmu pasti. Keindahan itu merupakan sesuatu yang relatif sifatnya.
Jelaskan. Ada tantangan dalam suaranya. Menurutku, rumah-rumah yang menyembul di balik pepohonan itu merusak indahnya alam. Tetapi
t . c mungkin saja seorang arsitek punya pendapat lain. Bangunan berwarna putih dan gentingnya yang cokelat dan merah itu menjadi bagian dari keindahan dari keseluruhan alam yang tertangkap mata kita. Kemudian bagi orang yang sedang gembira, pemandangan yang indah pasti ditangkap dengan keceriaan yang melambungkan perasaannya sehingga kadang-kadang agak berlebihan dibanding kenyataan yang sebenarnya. Sebaliknya bagi orang yang sedang bersedih atau gundah, saat melihat matahari bergerak turun misalnya, hatinya terasa semakin pedih karena mengingatkan dirinya pada kehidupannya yang segelap malam. Dengan kata lain Mas, keindahan yang kutangkap pasti berbeda dengan yang Mas tangkap.
Kupikir-pikir, mestinya kau dulu kuliah di fakultas hukum dan menjadi advokat, Mas Yoyok mengomentari perkataanku sambil menatap wajahku dengan serius. Tidak ada tanda-tanda godaan atau ejekan pada pandang mata dan air mukanya.
Pasti dia sudah menangkap keinginanku untuk mendebat apa saja yang dikatakannya. Yah, aku memang tidak mau diintimidasti olehnya. Bukankah orang boleh saja mempunyai pendapat, penilaian, dan cara pandang sendiri"
Memangnya kenapa" tanyaku kemudian, ingin tahu.
Kalau kau menjadi advokat, pasti akan sukses besar. Loncatan pikiranmu sangat cepat dan taktis.
Jadi dia tahu juga kalau aku sengaja menangkis pendapat-pendapatnya yang sudah kumulai sejak
t . c semalam ketika kami sama-sama mencari minuman pengantar tidur. Sekarang dia menyindirku.
Terima kasih atas penilaianmu yang amat akurat itu, sahutku kemudian. Tak kusembunyikan rasa tersinggungku.
Marah" Untuk kedua kalinya dalam waktu tak sampai setengah jam, dia melontarkan pertanyaan yang sama kepadaku.
Tidak. Seperti tadi, aku juga membantah perkataannya. Kalaupun tersinggung, aku harus berterima kasih kepadamu karena dengan begini aku jadi semakin yakin untuk memastikan langkah kakiku sehubungan dengan permintaan Yanti pada kita.
Mudah-mudahan Mas Yoyok menangkap apa yang tersirat dari perkataanku, bahwa sudah pasti aku tak akan menuruti permintaan Yanti. Atau jelasnya menolak permintaan sahabat karibku itu dengan alasan bahwa tidak mungkin aku bisa bersatu dengan Mas Yoyok. Dengan begitu aku bisa melanjutkan kembali langkahku untuk tetap berjalan sendirian sampai menemukan jodoh yang betul-betul merupakan pilihanku yang sesungguhnya. Bukan karena alasan lain.
Tetapi tanpa kuduga, Mas Yoyok langsung menukas perkataanku dengan cepat.
Begitu juga aku, katanya dengan suara tegas dan pasti. Aku juga sudah bisa menarik kesimpulan yang akan kupakai untuk menentukan langkah hidupku ke arah depan.
Syukurlah kalau Mas Yoyok menyadari itu. Setidaknya dalam persoalan ini kita mempunyai pendapat yang
t . c sama, sahutku dengan perasaan lega. Dengan demikian tidak perlu lagi kita membicarakan surat Yanti. Nah, nanti begitu matahari terbenam, kita bisa pulang, kan"
Kita lihat nanti, ya. Apanya yang dilihat"
Pokoknya kita lihat sajalah, nanti. Mas Yoyok menjelingkan matanya ke arahku. Sekarang kita urus yang ada di depan kita dulu, pulang ke Jakarta. Tetapi sebelumnya makan di rumah makan yang menyediakan masakan seafood paling lezat, mau kan"
Baik. Dengan demikian aku juga bisa langsung masuk kamar untuk membereskan bawaanku. Biar diurus orangku saja, Retno.
Tidak. Aku juga ahli mengepak barang. Lagi pula, aku biasa mengerjakan apa-apa sendiri sebab menurut pemikiranku, kalau kita bisa melakukannya dengan tangan dan kaki sendiri kenapa mesti menyuruh orang" Malas, namanya.
Kulihat Mas Yoyok mengetatkan gerahamnya. Pasti dia merasa jengkel kepadaku karena apa saja yang dikatakannya selalu kubantah. Tetapi aku tidak peduli.
Begitulah, kami meninggalkan bungalo Mas Yoyok sebelum tabir malam turun menyelimuti bumi. Sesampainya di Jakarta seperti yang sudah dikatakannya tadi, Mas Yoyok mengajakku makan malam di sebuah rumah makan sehingga kami baru tiba di rumah menjelang setengah sembilan.
Sayangnya keinginanku untuk segera masuk kamar tertunda oleh hadirnya seorang laki-laki ganteng yang
t . c sedang duduk santai di ruang tengah. Kedua belah kakinya bertumpu pada meja. Tetapi ketika melihat kedatangan Mas Yoyok bersamaku, kedua belah kaki langsung turun.
Lho kok sudah pulang, Pur" Suara Mas Yoyok yang berjalan di belakangku menyapa laki-laki itu. Suatu sapaan yang mengingatkan diriku pada dua hal mengenai laki-laki yang baru sekali kulihat itu. Pertama, almarhumah Yanti pernah menceritakan tentang sepupu Mas Yoyok yang tinggal serumah. Kedua, tadi Mas Yoyok mengatakan kepadaku bahwa sejak ada sepupunya yang membantunya, dia tidak terlalu tersita oleh pekerjaannya.
Jadi, inilah orangnya. Laki-laki yang sedang menatap ke arah Mas Yoyok itu memang ganteng. Alis matanya yang tebal menambah daya tariknya.
Ya. Sudah beres, mau apa lagi, Mas" Lebih baik aku pulang daripada menghabiskan waktu di kota yang sepi begitu, sahut sang sepupu. Tetapi ternyata tetap saja aku ketinggalan untuk mengikuti selamatan seratus harinya Mbak Yanti. Yah, sudahlah....
Melihat air mukanya dan caranya berbicara, tampaknya laki-laki itu termasuk orang yang mudah beradaptasi dan menganggap hidup ini harus dijalani apa adanya dan tak perlu ngoyo. Beda dengan saudara sepupunya yang sering terlalu serius.
Jadi semuanya beres, Mas Yoyok bergumam. Kemudian menoleh ke arahku. Retno, sebelum masuk kamar, berkenalanlah dulu dengan sepupuku. Purnomo namanya. Dia ini tangan kananku.
t . c Purnomo mulai menaruh perhatian ke arahku, mengulurkan telapak tangannya, kemudian tersenyum manis. Jadi ini yang namanya Retno, sobat kental Mbak Yanti. Almarhumah sering bercerita tentang dirimu.
Mudah-mudahan tidak berlebihan, sahutku sambil membalas senyumnya. Dari dekat aku mulai melihat kemiripannya dengan Mas Yoyok. Sama-sama tampan. Tetapi laki-laki ini lebih memiliki daya tarik bagi lawan jenisnya. Pandang matanya yang berada di bawah alis tebalnya itu berkesan tidak pedulian, yang biasanya membuat kaum perempuan justru merasa tertantang untuk diperhatikan olehnya.
Menurutku apa yang dikatakannya mengenai dirimu itu malah terlalu sedikit, Purnomo menanggapi perkataanku tadi.
Terlalu sedikit bagaimana"
Dia memang becerita bahwa sahabatnya itu cantik, baik hati, ramah, dan seribu satu pujian lainnya. Tetapi ternyata setelah melihat dengan mata kepala sendiri, kau tidak tergolong dalam kategori cantik. Tetapi suaangat jelita. Sungguh.
Aku benci pada diriku sendiri karena pujian itu membuatku tersipu-sipu. Sebenarnya bukan karena pujian itu sendiri yang membuatku jadi salah tingkah. Juga bukan karena yang mengucapkan pujian itu seorang laki-laki yang ganteng. Bukan pula karena aku tahu pujian itu hanya bagian dari caranya beramahtamah dan berbasa-basi, tetapi karena aku melihat Mas Yoyok menatapku dengan pandangan yang menurutku
t . c agak lucu. Itulah sebenarnya yang membuatku tersipusipu.
Namun untuk menetralisasi suasana yang membuatku merasa tak nyaman itu aku segera menanggapi pujian Purnomo tadi.
Mas Purnomo terlalu berlebihan memuji, kataku cepat-cepat dan secepat itu pula aku mengucapkan permintaan maafku karena tak bisa menemaninya mengobrol. Aku harus merapikan bawaanku karena besok pagi-pagi sekali sudah harus meninggalkan Jakarta, pulang ke Yogya.
Tidak nonton ilm dulu" Filmnya bagus lho, sahut Purnomo sambil menunjuk ke arah layar teve besar di ruang keluarga itu. Di sana tersaji adegan menegangkan antara pemain utama dan musuh-musuhnya. Asyik sekali, sebenarnya.
Retno tidak suka nonton ilm, Pur. Apalagi dia harus menyelesaikan pekerjaannya dulu supaya besok tinggal berangkat, Mas Yoyok menyela sebelum aku sempat menanggapi perkataan Purnomo tadi. Tentu saja aku merasa kesal karena tahu dia sedang menyindirku lagi. Aku memang pernah diajaknya menonton ilm bersama Aryanti, tetapi pura-pura tertidur saat menonton. Oleh sebab itu cepat-cepat aku menunjukkan taringku.
Tetapi nanti kalau sudah selesai mengepak barang, aku akan keluar lagi untuk menonton ilm. Begitulah kekesalan hatiku kutumpahkan begitu saja. Filmnya sudah habis dong. Purnomo tertawa. Memangnya ilm yang bagus cuma yang sedang
t . c Mas Purnomo tonton saja, sahutku. Kan kita bisa mencarinya bersama-sama.
Baik, nanti kita cari bersama-sama. Nonton sendirian memang kurang asyik.
Ya, tunggu dulu ya. Sebelum aku masuk ke kamar, kulemparkan pandang mataku ke arah Mas Yoyok. Wajah lelaki itu tampak mengeras. Tetapi apa peduliku" Kapan lagi aku bisa membalas kekecewaan hati Aryanti terhadapnya"
Besok berangkat ke bandara jam berapa, Retno" Suara Purnomo meraih kembali perhatianku. Kuhentikan langkah kakiku.
Jam setengah enam, Mas. Siapa yang mengantar" Pak Musa.
Bagaimana kalau aku saja yang mengantarmu" Aku ingin mendengar ceritamu mengenai kota Yogya saat ini. Sudah lima tahun lebih aku tidak ke sana, kata Purnomo lagi. Bagaimana, mau"
Asal tidak merepotkanmu, Mas. Pasti, tidak&
Tetapi, Pur, besok pagi ada meeting lho. Jangan lupa itu, Mas Yoyok menyela pembicaraan kami.
Tentu saja aku ingat, Mas. Jam sepuluh, kan" Ah, cukup waktu bagiku untuk hadir dalam pertemuan itu. Aku hanya mengantar Retno sampai di tempat yang aman, lalu kembali ke sini.
Sekali lagi aku melemparkan pandang mataku ke arah Mas Yoyok. Sekali lagi pula aku melihat air muka-
t . c nya tampak mengeras. Tetapi hatiku merasa puas bisa membuat laki-laki itu merasa jengkel. Tak heran, rencana yang sudah diaturnya bersama Pak Musa, jadi rusak olehku.
Esok paginya jam setengah enam aku sudah siap berangkat. Tetapi belum kulihat batang hidung Purnomo. Entah di mana kamarnya, aku tak tahu. Tak berani aku bertanya kepada Popon yang sedang menyiapkan Ovaltine hangat untukku. Jadi kutunggu saja laki-laki itu muncul di hadapanku. Ketika Popon telah pergi dan aku sedang minum, Mas Yoyok keluar dari kamarnya. Bukan Purnomo. Tetapi melihat kehadirannya, aku langsung menyalaminya.
Aku pamit ya, Mas, kataku kepadanya. Aku akan segera pergi, jadi kuusahakan untuk bersikap lebih santun. Terima kasih atas segalanya. Tolong sampaikan kepada ibu mertuamu, hal yang sama.
Baik. Nah, sudah jam setengah enam lho, ayo kita berangkat sekarang. Sebentar lagi bisa kena macet, kita.
Kita" Mas Yoyok juga akan ikut mengantarkan aku bersama Mas Purnomo ke bandara" Kukerutkan dahiku. Untuk apa mengantarkan aku ke bandara saja harus berdua.
Purnomo tidak bisa mengantarmu. Dia harus menyelesaikan suatu urusan yang tidak bisa ditundatunda. Jadi dia minta maaf, tidak jadi mengantarkanmu ke bandara.
Berarti kembali ke rencana semula, diantar Pak Musa"
t . c Pak Musa sudah telanjur kusuruh datang jam tujuh seperti biasanya gara-gara kau mau diantar Purnomo. Jadi, aku yang akan mengantarkanmu ke bandara, jawab Mas Yoyok.
Aku menatap mata Mas Yoyok.
Aku merasa, Mas Yoyok tidak suka kalau aku diantar Mas Purnomo. Betul, kan" Kutembak dia langsung pada masalahnya.
Kalau betul, kenapa"
Apa dasar keberatan Mas Yoyok" Aku mau diantar siapa pun, Mas tak berhak membatalkannya. Keberatan pun, tidak boleh.
Begini, Retno. Dasar pemikiranku sederhana saja. Purnomo itu laki-laki yang sangat menarik dan disukai oleh banyak gadis. Bahkan dikejar-kejar. Tetapi tidak seorang pun yang berhasil membawanya masuk ke dalam perkawinan. Nah, terhadapmu, aku melihat dia justru yang proaktif. Baru permulaan saja dia sudah pasang aksi.
Tetapi apa salahnya" Kami berdua sama-sama masih single.
Justru karena hal itulah aku akan berusaha mencegahnya. Jangan sampai kau tertarik kepadanya. Kata-kata Mas Yoyok membuatku geli. Tidak menggelikan kalau kau ingat apa yang diinginkan Yanti. Dia tidak ingin kau tertarik pada Purnomo ataupun lelaki lainnya. Dan ingat juga, kita belum mengambil keputusan yang pasti dan jelas mengenai permintaan almarhumah, sahut Mas Yoyok de-
t . c ngan suara tak ingin dibantah. Wajahnya tampak mengeras.
Aku tertegun. Rasanya ingin sekali aku menampar pipinya.
t . c S EKEMBALINYA ke Yogya, aku mulai lagi disibuk-
kan oleh rencana mengadakan reuni yang sudah semakin mendekati kenyataan. Tak bisa disangkal, uang sumbangan dari Mas Yoyok telah memperlancar segala sesuatu yang berkaitan dengan reuni tersebut. Bahkan beramai-ramai dengan teman-teman sesama panitia, kami bisa membeli bermacam-macam doorprize. Namun meskipun sedemikian seringnya aku berjumpa dengan mereka, tak sepatah kata pun aku menceritakan surat peninggalan Aryanti untukku kepada temantemanku. Bahkan kepada keluargaku pun aku tidak menceritakannya. Semuanya kusimpan rapat-rapat di dalam hatiku.
Alasanku sederhana saja. Aku merasa tidak ada gunanya hal itu kuceritakan kepada siapa pun karena kuanggap masalahnya telah selesai. Aku tidak akan menuruti permintaan Aryanti. Jadi akhirnya hari demi hari, minggu dan bulan terus berganti, kulalui tanpa mau memikirkan masalah tersebut. Apalagi setelah
Sembilan t . c acara reuni berhasil terselenggara dengan sukses dan kesibukanku berpindah pada pekerjaan kantor, waktu dan pikiranku lebih tersita ke sana. Kalaupun ingatanku pernah singgah ke Jakarta, aku hanya memikirkan satu hal saja. Sama seperti diriku, pasti Mas Yoyok juga sedang sibuk dengan pekerjaan dan kerajaan bisnisnya. Nyatanya undangan reuni kami untuknya, tidak dapat dipenuhi dengan alasan harus ke luar negeri.
Namun kemudian kuketahui bahwa ternyata dugaanku itu keliru. Tidak seperti diriku, Mas Yoyok masih terobsesi oleh surat peninggalan Aryanti. Dia datang ke rumahku menjelang jam delapan malam ketika aku baru saja sampai ke rumah dan belum mandi. Bahkan menukar pakaian pun aku tak sempat.
Sebelum ini sudah dua kali dia datang ke sini mencarimu, Retno. Pertama, jam lima sore. Lalu kedatangannya yang kedua pada jam setengah tujuh petang tadi, begitu ibuku berbisik. Kelihatannya, penting, Retno.
Ibu tidak mengatakan kalau aku lembur hari ini" Sudah, sudah kukatakan. Bahkan kusuruh dia supaya meneleponmu saja. Tetapi dia tidak mau, khawatir mengganggu pekerjaanmu. Sekarang, temuilah dia.
Masih seperti ketika datang dari kantor tadi, aku keluar menemui Mas Yoyok di ruang tamu rumah orangtuaku. Ruang yang tentu saja tampak sederhana dibanding ruang tamu di istana emas milik Mas Yoyok. Wajahku tampak masih berminyak, rambutku agak berantakan karena AC mobil bekas yang kubeli sebulan yang lalu sama sekali tidak dingin. Entah di mana letak
t . c rusaknya, aku tidak tahu. Jadi kubiarkan angin malam memburai-burai rambutku. Tetapi meskipun mengetahui tamuku itu menginginkan semua hal tampak serbarapi, apik dan anggun, termasuk penampilan orang, aku tidak peduli. Kenapa aku harus tampil sebagaimana yang disukainya" Memangnya dia siapa" Dengan pikiran itu kusalami tamuku.
Apa kabar, Mas" sapaku setelah kami bersalaman. Aku biasa-biasa saja, sahut yang kutanya. Kapan datang dari Jakarta"
Kemarin pagi, ada yang harus kuurus di sini. Tetapi aku sudah menyelesaikannya menjelang sore tadi. Jadi sekarang, aku bebas. Nah, apakah malam ini kau juga mempunyai waktu bebas sepertiku, Retno" Maksud Mas Yoyok"
Aku ingin mengajakmu makan malam di luar. Aku capek, Mas. Seluruh diriku sudah seperti perasan kain pel, sahutku. Aku mau beristirahat. Tetapi sudah makan malam atau belum" Belum, aku menjawab apa adanya. Tidak lapar"
Tentu saja lapar. Aku makan siang tadi sekitar jam setengah dua belas. Jadi perutku sudah kosong melompong saat ini. Oleh karena itu Mas Yoyok jangan menganggapku tidak sopan kalau aku berterus terang mengatakan keinginanku sebenarnya, yaitu mandi dengan air panas, makan, lalu tidur. Aku tidak ingin mengobrol atau yang semacam itu saat ini, aku menjawab jujur. Tetapi ketika ingat bagaimana selama di Jakarta aku telah diperlakukan sebagai tamu istimewa di istana
t . c emasnya, cepat-epat aku menambahi perkataanku yang kurang menenggang perasaan tadi. Tetapi kalau besok malam Mas Yoyok masih ada di Yogya, silakan saja kalau mau datang menemuiku lagi.
Kalau memang ingin beristirahat, segeralah mandi. Tetapi acara makan malammu, diubah sedikit. Aku akan mengajakmu makan di luar, lalu kuantar kau pulang kembali untuk beristirahat. Sama saja, kan" Tetapi tadi aku kan sudah bilang&
Aku cukup jelas mendengar seluruh perkataanmu tadi, Retno.
Mas Yoyok merebut pembicaraan. Kurasa kau tidak akan jatuh pingsan kelelahan kalau hanya mengubah tempat untuk acara makan malammu. Perbedaannya tidak banyak. Paling-paling membutuhkan waktu sekitar satu jam lebih lama daripada makan di rumah, tetapi suasananya kan beda.
Bibirku mengetat mendengar nada perintahnya itu. Bagaimana kalau aku tidak mau" tantangku. Akan kugendong kau masuk ke mobil dan aku akan makan malam dengan orang yang wajahnya berminyak dan matanya lesu yang katanya kelaparan. Nah, tinggal pilih. Mau pergi makan malam dengan tubuh segar dan wajah cantik ataukah dalam keadaan seperti sekarang"
Kuketatkan lagi bibirku. Itulah khas Mas Yoyok. Main perintah dan main paksa. Mana aku mau mengalah"
Biarpun aku sudah letih dan lusuh seperti kain pel yang diperas, kakiku masih kuat dipakai untuk me-
t . c nendang dan mulutku masih kuat dipergunakan untuk berteriak minta tolong, ancamku.
Mas Yoyok menatap mataku. Dia yakin aku akan tetap bertahan tidak ingin keluar makan malam bersamanya.
Baiklah, mungkin aku agak keterlaluan memaksamaksamu begini, katanya kemudian. Tetapi apa boleh buat. Retno, aku sangat membutuhkan bantuanmu. Tujuanku mengajakmu makan bukan cuma sekadar ingin menghilangkan rasa laparmu saja, tetapi ada hal lain yang ingin kuminta darimu dan itu tidak bisa kuutarakan di sini. Jadi tolonglah aku, Retno. Makan malamlah bersamaku.
Kini aku yang tertegun menatap mata Mas Yoyok. Kulihat ada kesungguhan yang begitu kental tersirat dari kedua matanya. Rasa ingin tahu tiba-tiba saja melesat masuk ke dalam hatiku. Laki-laki kuat dan tegar itu minta bantuanku"
Retno, tolonglah& , kudengar Mas Yoyok berkata lagi. Ini bukan kebiasaan laki-laki itu. Jadi artinya, ia memang membutuhkan bantuanku.
Baiklah& , akhirnya aku mengalah. Aku tidak boleh terlalu keras terhadapnya, bukankah saat ini aku sedang menjadi nyonya rumah"
Bisa siap dalam waktu seperempat jam, kan" Aku tidak merasa perlu untuk menjawab laki-laki bossy itu. Sebagai gantinya cepat-cepat aku masuk dan dengan gerakan secepat kilat mandi, berhias, dan memakai pakaian yang lumayan bagus. Seperempat jam kemudian, aku sudah berdiri di ruang tamu. Beruntung,
t . c Tuhan menganugerahiku wajah cantik alami sehingga aku hanya membutuhkan sesapuan bedak di wajahku, seulas lipstik di bibirku, dan menyisir rambut untuk bisa tampil rapi dan cantik.
Kau hebat, Retno. Jarang ada perempuan bisa tampil nyaris sempurna begini hanya dalam waktu seperempat jam saja.
Aku sudah mau ikut bersamamu, Mas. Jadi jangan mengumbar pujian, sahutku ketus.
Mas Yoyok tidak menjawab perkataanku karena kedua orangtuaku muncul di ambang pintu. Laki-laki itu langsung minta izin kepada mereka untuk membawaku makan malam.
Tidak lama, janjinya kepada mereka.
Jadi begitulah, aku berangkat bersama Mas Yoyok dengan mobil mewah entah dari mana dia meminjam atau menyewanya. Baginya, mendapatkan kemudahankemudahan seperti itu bukan hal yang aneh. Dari Aryanti aku pernah mendengar, bahwa di mana pun dia pergi selalu ada rekan-rekan bisnisnya yang siap memberinya penginapan di hotel dan pinjaman kendaraan mewah.
Semula Mas Yoyok bermaksud mengajakku makan malam di hotel mewah tempat ia menginap. Tetapi aku langsung menolaknya.
Aku tidak mau. Selera makanku pasti akan patah melihat orang memerhatikan kita berdua ada di hotel tempatmu menginap. Yogya bukan kota besar. Aku khawatir ada temanku yang memergoki kita berduaan di hotel.
t . c Iya sih, Mas Yoyok bergumam. Bagaimana kalau di Kaliurang"
Aku setuju. Memang tidak banyak pilihan, tetapi ada beberapa yang lumayan enak masakannya, sahutku.
Jadi pergilah kami berdua ke Kaliurang untuk makan malam. Meskipun tidak mewah seperti hotel yang tadi disebut Mas Yoyok, makanannya cukup menggoyang lidah. Apalagi perutku sedang lapar-laparnya. Usai makan, Mas Yoyok mengemudikan mobil mewah entah milik siapa itu ke daerah yang agak sepi dan menghentikannya tepat di mana kami berdua bisa melihat Gunung Merapi yang tampak remang namun sesekali kelihatan sedang menggelincirkan serpihanserpihan lava pijar ke punggungnya. Gunung berapi di sebelah utara kota Yogya itu memang seperti tak pernah tidur. Selalu saja ada batu-batu berpijar yang menggelinding dari puncaknya yang tampak kemerahan dilatarbelakangi hitamnya langit malam. Dari kejauhan seperti butir-butir arang berpijar yang diterbangkan oleh kipas tukang sate di kegelapan malam.
Mas, kau tadi bilang pada Bapak dan Ibu bahwa kita cuma keluar sebentar. Tetapi sudah hampir satu jam lamanya kita pergi dan sekarang masih ada di sini, kataku mengingatkan. Pertolongan apa sih yang akan kauminta dariku"
Sebelum itu kukatakan kepadamu, jawablah secara jujur apakah selama ini surat Aryanti tidak pernah mengganggu ketenangan batinmu" Jawab dengan jujur lho.
t . c Yah, kau kan tahu, Mas, Yanti itu sahabatku yang paling dekat dan paling kusayangi, jadi tentu saja kadang-kadang hatiku merasa tak enak karena tidak sanggup memenuhi harapannya itu. Tetapi aku yakin dia pasti akan mengatakan rasa maklumnya andaikata bisa berbicara kepadaku.
Aku malah hampir setiap hari merasa tidak enak sampai pekerjaanku terganggu.
Sampai begitu" Sepertinya kau bukan tipe orang yang mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tak masuk akal sehat.
Tak masuk akal sehat bagaimana" Mas Yoyok memotong perkataanku dengan gesit. Justru karena akalku masih sehat itulah maka aku merasa bersalah karena telah mengabaikan amanatnya. Terutama karena aku tahu dasar dari keinginan Yanti adalah rasa kasih sayang Yanti kepada kita berdua. Menurut pemikirannya, kita akan bahagia kalau menikah& .
Aku yakin, betapapun jernihnya pikiran Yanti ketika menulis surat-surat itu, tetapi karena beratnya penyakit yang dia derita maka sedikit atau banyak hal itu berpengaruh pada caranya berpikirnya, bantahku.
Tetapi setelah berminggu-minggu bahkan berbulan lamanya berpikir dan mempelajari seluruh isi suratnya, aku justru mendapatkan kesimpulan bahwa sesungguhnya dia perempuan yang arif. Ada sesuatu yang telah dia lihat, tetapi kita yang sehat-sehat ini tidak bisa menangkapnya.
Mendengar perkataan Mas Yoyok, aku teringat pada perkataan sama yang diucapkan laki-laki itu, bahwa
t . c Aryanti memiliki kearifan. Tetapi, kearifan seperti apa yang dilihatnya"
Maksudmu apa, Mas" Maksudku, aku ingin memberi tempat pada kearifannya itu, jawab Mas Yoyok.
Aku semakin tidak memahami apa yang kaumaksud.
Baik, akan kujelaskan, jawab Mas Yoyok dengan keseriusan yang tiba-tiba muncul sehingga meraih seluruh perhatianku. Begini, Retno, setelah aku mempelajari seluruh isi surat Yanti, maka seluruh kepastianku yang selama ini baru ada di tahap permukaan, meningkat menjadi suatu kebulatan tekad. Oleh karena itu pada malam hari ini dengan disaksikan oleh taburan bintang di langit dan Gunung Merapi di depan kita, aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku.
Aku ternganga. Sedikit pun aku tidak menyangka laki-laki itu akan melamarku dengan sikap yang sedemikian seriusnya dan nada suara yang penuh kesungguhan. Secara mendadak pula. Tidak keliru dengarkah aku"
A...apa, Mas..." tanyaku, mulai gagap.
Aku melamarmu, Retno. Aku berharap kau mau menjadi istriku, jawab Mas Yoyok. Tegas, jelas, serius, pasti, dan bahkan kudengar ada rasa hormat terhadap isi bicaranya sendiri.
Aku terdiam. Bingung dan tidak tahu harus mengatakan apa. Untuk mengatakan tidak seperti yang kuinginkan, sulit mengucapkannya. Cara Mas Yoyok melamarku, terasa menyimpan kekuatan, khidmat, dan
t . c kesungguhan. Sulit bagiku untuk bersikap kasar atau marah-marah seperti biasanya. Rasanya ada sesuatu yang harus kuhormati.
Kutunggu jawabanmu, Retno, kudengar Mas Yoyok berkata lagi. Lembut dan pelan namun, pada suaranya terdengar campuran antara harapan dan permintaan tolong yang membuatku merinding. Seakan, Yanti ikut bersuara bersamanya.
Dengan rasa terpaksa aku menoleh, ingin tahu apa yang tersirat di wajahnya. Tetapi tak banyak yang bisa kutangkap dari wajah yang hanya tertimpa cahaya lampu jalanan yang letaknya agak jauh dari tempat kami duduk di dalam mobil itu. Namun yang tak banyak itu telah memberiku pemandangan seraut wajah yang ganteng dan pandang mata yang mengandung pesona tersendiri padaku. Gila, pikirku. Kenapa tibatiba aku bisa memiliki penilaian seperti itu" Wah, aku harus keluar dari suasana yang bisa mencuil kewarasan otakku ini. Oleh karena itu lekas-lekas aku menjawab lamarannya.
Maaf, Mas Yoyok, aku tidak bisa menerima lamaranmu& .
Kelihatannya Mas Yoyok sudah menduga akan mendengar jawaban demikian dari mulutku.
Tolong beri aku alasannya, katanya. Aku ingin tahu.
Pertanyaan yang diucapkan dengan sungguhsungguh, dalam situasi begini dan di tempat yang sepi pula sementara udara dingin pegunungan menyerbu masuk ke dalam mobil, membuat aku jadi gugup.
t . c Sebelum ini tidak pernah aku merasa gugup berhadapan dengan Mas Yoyok. Karenanya sekali lagi aku menoleh ke arah Mas Yoyok sehingga sekali lagi pula aku menatap wajahnya yang ganteng dan pandang matanya yang mengandung pesona. Aneh rasanya. Tidak pernah aku melihat dia seperti itu sebelumnya.
Rasanya aku sudah berulang kali mengatakan kepadamu bahwa aku ini mempunyai prinsip tertentu mengenai perkawinan. Itulah alasan penolakanku.
Ya, aku ingat. Tetapi pada waktu itu aku belum melamarmu.
Apa bedanya" Bedanya, waktu itu aku belum memiliki kepastian yang penuh. Apalagi kebulatan tekad seperti sekarang. Meskipun tidak kukatakan, sebenarnya aku juga mempunyai prinsip yang hampir sama seperti dirimu mengenai makna perkawinan. Dan karenanya aku sangat berhati-hati dalam menentukan suatu keputusan. Terutama setelah aku menikah dengan Yanti. Tanpa bermaksud mengungkit masa lalu, aku harus mengakui bahwa saat itu aku tidak terlalu memakai kehati-hatian sebagaimana yang kualami sekarang. Aku berani melamarmu begini setelah melalui bertahap-tahap pemikiran. Pernah kukatakan kepadamu, aku membutuhkan seorang istri yang mendampingiku dalam mengarungi kehidupan. Tanpa seorang istri, aku merasa ada yang kurang dan canggung.
Kalau alasannya seperti itu, Mas Yoyok bisa memilih perempuan lain. Di Jakarta banyak sekali perempuan yang segalanya melebihi diriku, sahutku.
t . c Tetapi Yanti hanya menginginkanmu, Retno. Aku tidak menikah dengan dia, aku menyela. Memang tidak. Tetapi dengan aku. Dengan kata lain, aku hanya memiliki satu pilihan saja, yaitu dirimu. Oleh sebab itu kalau kau tetap menolak lamaranku, berarti aku tidak akan menikah seumur hidupku. Kok aneh"
Tidak aneh, karena seluruh pemikiranku mengenai pernikahan hanya tertuju pada keinginan Yanti. Jelasnya, suara Yanti sudah telanjur terinternalisasi dalam diriku. Otak maupun hati.
Mas bilang itu tidak aneh, tetapi aku bilang itu aneh. Nah, semakin jelas kan bahwa kita berdua tidak mungkin memiliki titik temu alias tidak cocok satu sama lain. Dalam banyak hal.
Pendapatmu itu hanya didasari oleh kesimpulan belaka. Bukan kepastian. Kita kan belum pernah hidup bersama sebagai suami-istri, jadi mana bisa kau begitu mati-matian mengatakan kita berdua ini tidak cocok, kata Mas Yoyok lagi. Kita kan belum mencobanya!
Perkawinan bukan suatu wadah untuk uji coba lho, Mas.
Betul sekali, aku setuju pendapatmu itu, sahut Mas Yoyok sambil mengangguk. Yang kukatakan mengenai coba-coba itu bukan perkawinan itu sendiri, tetapi mengenai kecocokan di antara kita berdua. Kecocokan dalam hal apa, misalnya"
Mas Yoyok menjawab pertanyaanku dengan menggeserkan tubuhnya ke arahku. Lengannya terulur dan melekat ke lenganku yang terasa sejuk oleh belaian
t . c angin gunung, lalu berbisik kepadaku, Izinkan aku menciummu, Retno.
Tubuhku langsung menegang begitu mendengar permintaannya. Ini bukanlah Mas Yoyok seperti yang kukenal. Permintaannya sama sekali di luar pemikiranku. Karenanya aku tidak mampu bersuara, terutama karena wajah Mas Yoyok begitu dekat dengan wajahku. Napasnya yang hangat mulai menyapu-nyapu pipiku. Dengan perasaan gugup dan bingung yang amat sangat, aku langsung kehilangan kata-kata. Terlebih karena ingatanku melayang pada apa yang pernah dikatakan oleh Aryanti bahwa suaminya itu sama sekali tidak romantis. Bukan pula laki-laki yang bisa bercinta dengan penuh gelora asmara. Yanti juga pernah mengatakan bahwa bagi Mas Yoyok hubungan intim suami-istri hanya merupakan suatu kebutuhan dasar, sama seperti kebutuhan makan, minum, dan tidur. Tak lebih dari itu.
Teringat pendapat Aryanti, timbul dalam hatiku suatu kenakalan untuk mengetahui kebenaran perkataan sahabatku itu. Seperti apa dicium oleh laki-laki yang tidak romantis seperti Mas Yoyok. Sudah terbayang olehku bagaimana kakunya dia memeluk dan menciumku.
Namun alangkah kelirunya aku. Kurasakan pelukan tangan Mas Yoyok begitu lembut dan mesra, sementara bibirnya yang menyentuh bibirku dan kemudian memainkan lidahnya di mulutku itu jauh dari bayanganku semula. Begitupun ketika dia juga mengecupi dagu, pipi, dan leherku, aku merasa seperti sedang dimesrai
t . c oleh seorang lelaki yang amat romantis dan penuh gelora asmara. Akibatnya aku kehilangan akal sehat. Kubalas pelukan dan ciuman-ciumannya dengan sama bergairahnya. Tanganku sibuk mengelusi rambut di belakang kepalanya dan sesekali pula mengelusi dagu dan lehernya. Kudengar desahan dari bibir Mas Yoyok. Wajahnya mulai menjauhi wajahku namun matanya yang berbinar-binar menatapku sehingga tanpa sadar kuraih lehernya dengan kedua belah lenganku. Aku masih ingin merasakan pelukan dan ciuman-ciuman bergairahnya.
Merasakan perlakuanku, Mas Yoyok mendesah lagi kemudian mengulangi ciuman-ciumannya. Kali ini lebih lama, lebih mesra, dan dengan tangan yang lebih banyak gerakannya, mengelus rambutku, mengelus bahuku, bahkan nyaris mengelus dadaku. Untungnya aku segera menjauhkan wajahku dari laki-laki yang membuatku merasa terheran-heran, tak percaya bahwa baru saja aku bercumbu dengan laki-laki yang selama ini kukenal arogan, kaku, keras, dan bossy. Betulkah lakilaki yang sedang memeluk dan memagutku itu laki-laki sama yang kukenal dengan nama Yoyok"
Suara siulan iseng dari pengendara motor yang tibatiba melewati kami berdua menyebabkan aku sadar dari pesona yang baru saja kualami. Pelukan kami pun terlepas, wajah kami memisah dan tubuh kami bergeser kembali ke tempat duduk masing-masing. Wajahku terasa panas membara. Kalau ada lampu pasti akan terlihat betapa merah padamnya kulit mukaku. Dadaku berdegup kencang sekali. Alangkah malunya aku karena
t . c begitu mudahnya aku mencair di dalam pelukan lakilaki yang bukan apa-apaku. Sungguh keterlaluan.
Hm& setidaknya ada kecocokan yang sedemikian intens di antara kita berdua kendati hak-hal lainnya sering bagaikan langit dan bumi& , kudengar suara Mas Yoyok. Parau namun terdengar lembut.
Perkataan Mas Yoyok bagai menambah bara panas di pipiku. Kenapa semudah itu aku terlarut oleh cumbuan-cumbuannya" Jangan-jangan setan Gunung Merapi telah menghilangkan akal sehatku"
Melihatku kehilangan kata-kata, Mas Yoyok memakai kesempatan itu untuk berbicara lagi.
Nah, Retno, maukah kau menjadi istriku" tanyanya. Aku berjanji akan menjadi suami yang setia. Percayalah.
Aku tak mampu menjawab, jadi kupejamkan mataku. Ingatanku lari lagi pada apa yang pernah dikatakan oleh Aryanti. Mengapa sahabatku itu mengatakan bahwa suaminya sama sekali tidak romantis" Mengapa pula Yanti mengatakan bahwa Mas Yoyok termasuk laki-laki yang dingin" Wah, pusing aku memikirkannya.
Retno, jawablah& . Kudengar lagi suara Mas Yoyok. Kini tersirat nada tak sabar karena aku belum juga bersuara.
Aku terpaksa menoleh ke arahnya. Laki-laki itu tengah menatapku sehingga aku melihat bibir laki-laki itu dengan kacamata yang amat berbeda daripada biasanya. Bibir itulah yang tadi mengecupi bibir, pipi, dagu dan leherku. Bibir itu jugalah yang mengawali keintiman kami. Ketika tanpa sadar pandang mataku berlabuh
t . c pada jemari tangannya yang sekarang hinggap di kemudi, dadaku mulai berdebar-debar lagi. Jemari itulah yang tadi begitu intim mengusap-usap rambut, punggung, lengan, dan leherku.
Retno& " Aku menarik napas, mengusir rasa sesak yang menekan dadaku.
Apakah Mas Yoyok yakin kita berdua bisa menjadi suami-istri yang tahan menghadapi badai kehidupan" tanyaku kemudian dengan suara yang hampir tak kukenali sendiri. Parau dan bergetar.
Aku akan membalikkan pertanyaan yang sama. Nah, jawablah, apakah perkawinan yang dilandasi cinta menggebu-gebu dan penuh gelora asmara akan tahan menghadapi badai perkawinan"
Aku tertegun dan teringat pada percintaanku dengan Aditya. Juga percintaan Aryanti dengan kekasihnya dulu. Begitupun percintaan antara temanku yang semula bagaikan Kamaratih dan Kamajaya, tetapi yang akhirnya berantakan di jalan. Juga perkawinan Ina, teman sepermainanku yang tinggal di depan rumah. Dia sering pulang ke rumah orangtuanya bersama kedua anaknya setiap kali dia bertengkar dengan suaminya. Padahal ketika mereka masih pacaran, sering membuat orang merasa iri. Itulah yang kulihat. Jadi aku harus menjawab pertanyaan Mas Yoyok dengan jujur.
Yah& memang belum tentu, Mas. Kata orang, kebahagiaan dalam perkawinan itu seperti untung-untungan, sahutku.
t . c Kalau begitu, ayo kita berdua sama-sama mengadu untung. Menikahlah denganku Retno, pinta Mas Yoyok sambil tangannya terulur kembali ke arahku. Kali ini tanganku digenggam dan diremasnya mesra. Maka kurasakan lagi kehangatan tubuhnya mengalir melalui telapak tanganku yang digenggamnya, mengusir rasa dingin udara malam pegunungan. Mau ya, Retno"
Aku masih juga belum mampu menjawab pertanyaannya. Otakku sama sekali tak bisa diajak berpikir. Mampet pet.
Retno, ayolah jawab lamaranku ini. Maukah kau menjadi istriku" Mas Yoyok mengulangi lagi pertanyaannya.
Entah setan Gunung Merapi mana yang menggerakkan, ataukah malaikat siapa yang ikut bicara di kepalaku, tiba-tiba saja kepalaku terangguk. Gerakan itu jelas menyatakan bahwa aku menerima lamaran Mas Yoyok. Melihat anggukan kepalaku itu, tanganku yang masih digenggamnya dibawanya ke arah bibirnya. Kemudian punggung telapak tanganku dikecupinya dengan mesra. Sentuhan bibirnya terasa lembut dan hangat di tanganku.
Terima kasih, Retno. Percayalah, aku tidak akan menyia-nyiakan dirimu, katanya dengan suara lembut. Kemudian dikecupnya pipi dan rambutku. Nah, mari kita pulang sekarang. Dalam waktu dekat nanti, aku akan mengurus semuanya sampai kita menjadi suamiistri.
Aku terpana lagi. Aneh rasanya melihat dan bahkan
t . c mengalami sendiri laki-laki yang sudah kukenal itu menjadi begitu asing bagiku justru karena keintiman yang baru saja kami lalui bersama tadi. Aneh rasanya. Sepertinya laki-laki yang duduk bersamaku di dalam mobil itu bukan Mas Yoyok.
Namun terlepas dari apa pun keheranan yang berulang kali timbul dan tenggelam di dalam dadaku, akhirnya aku si gadis lincah, periang, romantis, dan hangat tetapi temparemental ini mau menikah dengan Mas Yoyok yang selama ini kukenal kaku, mahal senyum, dingin, dan terlalu rasional. Suatu kumpulan sifat dan watak yang sama sekali tidak kusukai, tetapi hanya karena ciuman yang kurasakan bersamanya, aku langsung saja mengangguk begitu laki-laki yang sebetulnya tidak kusukai itu melamarku. Apa yang sesungguhnya terjadi padaku"
Sungguh, aku tak bisa menjawabnya.
t . c S ULIT sekali bagiku untuk menyadari bahwa istana
emas yang selama ini berada jauh di seberang kehidupanku dan yang rasanya tak mungkin tersentuh itu, kini menjadi milikku. Sekarang, seluruh harta dan kemewahan yang membalut istana emas itu berada di dalam genggamanku sebagai istri Mas Yoyok.
Mula-mula kesulitan yang kuhadapi adalah menyesuaikan diriku pada kedudukan dan peranku yang baru sebagai istri Mas Yoyok. Aku tidak biasa hidup dalam lingkup yang berbeda dengan kehidupanku selama ini. Aku juga tidak terbiasa berada dalam lingkup pergaulan dengan orang-orang yang dalam hidup kesehariannya disibuki oleh urusan usaha, perjalanan bisnis, jamuan makan dengan pejabat ini dan itu, serta klubklub papan atas dengan berbagai kesibukannya seperti mengadakan turnamen golf, tur-tur bergengsi, dan lain sebagainya, padahal selama ini aku terbiasa bangun pagi dan menyiapkan diri untuk pergi ke kantor. Singkat kata, semua yang kuhadapi sekarang ini bukanlah duniaku.
Sepuluh t . c Oleh sebab itu aku sedang menjajaki untuk bisa bekerja kembali. Bukan untuk mencari uang, tetapi untuk meniti karier. Kalau Mas Yoyok melarangku seperti melarang Aryanti dulu, aku akan melawannya. Untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi kalau tidak kuamalkan"
Namun di luar itu semua, hal paling berat yang kurasakan adalah penyesuaianku dengan Mas Yoyok sebagai suamiku. Ketika baru menikah dan masuk ke istana emas ini, aku tidak memilih kamar bekas Aryanti yang letaknya berada di sebelah kamar Mas Yoyok Kubiarkan kamar itu tetap seperti semula tanpa ada yang kuubah. Termasuk barang-barang pribadi almarhumah dan juga fotonya yang terpajang di sana. Ibu Aryanti sampai marah melihat kelakuanku.
Kamar itu seharusnya menjadi kamarmu, Retno, begitu katanya ketika beliau berkunjung ke rumah. Singkirkan saja barang-barang milik Yanti dari sana.
Tidak, Mama. Aku akan tetap tidur di kamar ketika aku menginap di rumah ini. Sejak menikah dengan Mas Yoyok, aku memanggil perempuan itu dengan sebutan Mama agar beliau tidak merasa terasing dari kehidupanku bersama Mas Yoyok. Kuanggap perempuan paro baya itu sebagai ibuku sehingga ketika hal itu kukatakan pertama kali kepadanya, beliau menangis terharu.
Kamar ini tidak sebesar kamar Yanti, Retno. Sebagai istri Nak Yoyok, kau harus mendapat tempat yang paling baik di rumah ini, ibu Aryanti mengusik lagi masalah kamar yang kutempati ini.
Kamar ini juga cukup besar, Mama. Kamar bekas
t . c

Istana Emas Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yanti, terlalu mewah dan luas bagiku. Lagi pula, aku tidak tahan membayangkan si pemilik kamar itu telah tiada. Biarlah semuanya tetap seperti sediakala. Kalau kamar ini dianggap kurang bergengsi, nanti akan kudandani. Lalu kuakhiri pembicaraan mengenai kamar itu dengan mengalihkan pembicaraan kepada hal-hal lainnya.
Tidak kukatakan kepadanya bahwa aku tidak ingin melihat barang-barang milik perempuan yang pernah hidup dalam tekanan batin dan dampaknya muncul melalui sikap yang agak berlebihan dalam cara memperlakukan Mas Yoyok. Aku juga tidak ingin mengingat-ingat bagaimana sahabatku itu mengolah batinnya dengan pelbagai kompensasi akibat kehilangan identitas diri yang dirasanya mengabur di bawah dominasi sang suami. Sedih aku membayangkan kembali bagaimana sahabatku itu tidak memiliki keberanian untuk memperlihatkan keberatan-keberatannya. Padahal, itulah yang paling kusesalkan. Andaikata saja usianya lebih panjang, akan kuajari dia bagaimana menjaga harga diri dan memegang kuat konsep tentang dirinya sendiri. Bahwa seorang istri bukanlah milik suami. Bahwa seorang istri adalah subjek otonom yang berhak menentukan dirinya sendiri di luar hal-hal yang sudah menjadi kewajibannya sebagai pasangan atau belahan jiwa sang suami sebagaimana komitmennya ketika menikah: kesetiaan dan kesediaan untuk tetap saling mendukung dalam situasi apa pun, misalnya.
Kamar yang kutempati memang agak jauh dari kamar Mas Yoyok. Semalam dua malam sesudah per-
t . c nikahan kami, Mas Yoyok memang tidak mengatakan apa-apa ketika melihatku memilih kamar yang biasa kutempati itu. Tetapi pada hari yang ketiga, tiba-tiba saja dia masuk ke kamarku ketika aku baru saja selesai mandi sore.
Retno, di rumah ini statusmu adalah istriku. Bukan tamuku. Apa kata orang melihatmu tidur di kamar tamu. Ingat, gunjingan orang bisa keluar lewat tembok rumah ini. Aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang. Aku tidak ingin melihat istriku berbuat semaumaunya sehingga menjatuhkan nama baik dan wibawaku, katanya sambil menyandar pada pintu kamar. Kedua lengannya terlipat di dadanya yang bidang.
Siapa yang mengatakan atau menamai ini kamar tamu dan kamar yang lain bukan kamar tamu" Dan siapa bilang aku telah berbuat sesuatu yang menjatuhkan wibawamu" Salahkah kalau seorang istri mengambil kamar yang paling dia inginkan" Perkataan Mas Yoyok tadi kujawab dengan sesuatu yang logis namun dengan sikap acuh tak acuh yang sengaja kuperlihatkan. Aku tahu, dia sudah mulai menempatkan diri sebagai orang yang berkuasa di rumah ini, persis yang ia perlihatkan pada Aryanti. Tetapi aku bukan Aryanti. Aku tak mau diintimidasi olehnya.
Memang tidak ada yang mengatakan ini kamar tamu atau itu bukan kamar tamu, sahut Mas Yoyok dengan suara tak ingin dibantah. Tetapi begitulah yang diketahui oleh orang-orang di rumah ini. Jadi kuharap kau bisa mengerti keberatanku melihatmu memilih tidur di kamar ini.
t . c Kalau memang begitu, anggapan orang-orang itulah yang harus diubah. Ini kamar istrimu dan kamar yang lain menjadi kamar tamu. Gampang, kan" Apalagi ada beberapa kamar kosong di rumah ini. Masa hanya ini saja yang disebut kamar tamu" Aku masih tetap dengan sikapku yang acuh tak acuh dan jawaban yang seenaknya namun logis.
Tetapi kamar istriku ada di sebelah kamarku. Itu yang orang ketahui. Mas Yoyok juga ngotot dengan sikap otoriternya.
Aku tersenyum licik. Kusambar matanya dengan air muka yang menyimpan kemenangan.
Kalau begitu, ambil saja kamar di sebelah ini. Jadikan sebagai kamarmu. Kulihat kamar itu cukup luas. Ketika teman-teman dari Yogya datang ke sini, mereka bisa tidur berlima di situ, kataku.
Tidak. Kau yang harus pindah kamar di sebelah kamarku.
Di kamar Yanti dulu" Ya.
Tidak. Aku tak bisa tidur di kamar semewah itu, dalihku.
Tetapi kau istriku, Retno. Orang-orang di sini dan juga kerabat dekatku sudah sama tahu bahwa kamar suami-istri di rumah ini bersebelahan.
Aku tersenyum lagi. Masih senyum licik. Kan tadi sudah kukatakan, kalau memang kamar suami-istri harus bersebelahan, ambil saja kamar di sebelah ini. Suruhlah orang memindahkan barangbarangmu. Lagi pula di sini juga ada pintu tembusnya,
t . c kataku tanpa sadar. Begitu kalimat akhir itu sudah telanjur terlompat dari mulutku barulah aku menyadari apa arti bicaraku tadi. Maka seketika itu juga pipiku terasa panas membara. Padahal aku tidak bermaksud menyinggung keintiman di antara kami berdua. Maksud bicaraku tadi, adanya pintu penghubung di antara dua kamar itu akan menyebabkan orang-orang di rumah ini segera maklum bahwa hubungan kami berdua baik-baik saja. Sebab sudah tiga hari kami menjadi suami-istri tetapi satu kali pun kami belum pernah bermesraan sebagaimana layaknya suami-istri.
Tetapi aku juga sudah mengatakan bahwa aku tidak mau pindah ke kamar mana pun. Titik. Mas Yoyok bersikeras untuk tetap mempertahankan kemauannya.
Kalau begitu, ya silakan saja tidur di kamarmu. Aku juga akan tetap tidur di sini. Beres, kan" Lagi-lagi aku tersenyum licik kembali. Nah, ayo kita keluar bersama-sama. Tadi aku melihat Bik Nunung membuat kue untuk teman minum teh. Habis mandi begini, perutku terasa lapar.
Tanpa menanti jawaban Mas Yoyok, aku langsung menuju pintu tertutup di mana Mas Yoyok masih berdiri di situ. Tak kupedulikan tubuhku yang agak membentur tubuh kekarnya. Maka terpaksalah laki-laki itu mengekor di belakangku. Kulihat, saat itu Popon dan Bik Nunung sedang sibuk mengganti taplak meja makan dan melihat kami jalan beriringan.
Aku tersenyum melirik ke arah Mas Yoyok dengan mendekatkan kepalaku ke sisi telinganya.
t . c Nah, kekhawatiranmu tak beralasan, Mas, bisikku, nakal. Sebentar lagi seisi rumah akan tahu bahwa meski hari masih sore begini, kau sudah berkunjung ke kamarku.
Terus terang aku merasa malu sendiri dengan katakata yang baru saja kuucapkan itu. Tetapi ternyata sikap Mas Yoyok bahkan lebih lucu lagi ketika mendengar bisikanku itu. Dia agak tersipu-sipu sehingga tak mampu membalas perkataanku. Padahal biasanya dia paling tidak mau kalah.
Dua hari setelah peristiwa sore hari tersebut, Purnomo masuk ke ruang keluarga tempat aku sedang membaca, sementara Mas Yoyok menonton televisi. Purnomo baru saja kembali dari Surabaya, mengurus rencana perusahaan untuk membangun ruko-ruko kelas menengah ke atas. Begitu melihat keberadaanku, lakilaki itu langsung menyalamiku dengan hangat.
Sekarang, aku harus memanggilmu dengan sebutan Mbak. Sebagai adik sepupu Mas Yoyok, Mbak Retno berada pada tingkatan yang lebih tua daripada tingkatanku, katanya kemudian.
Aku tertawa. Ia tampak lebih ganteng dan segar dengan rompi di luar kemeja lengan pendeknya.
Silakan, sahutku kemudian. Jadi aku akan memanggilmu Dik Pur . Nah, ada siapa di Surabaya, Dik"
Kok bertanya seperti itu, kenapa"
Kau tampak lebih sehat dan segar, Dik Pur. Rupanya di sana ada seseorang yang menjadi obat penyegar.
t . c Yah, mungkin saja, jawab Purnomo sambil tertawa lepas. Tetapi percayalah, tidak ada yang melebihi kesegaran seorang perempuan yang baru melalui bulan madu.
Mendengar perkataan Purnomo, dengan seketika seluruh wajahku terasa panas membara. Karena merasa malu, lekas-lekas aku mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain yang lebih aman. Untunglah Purnomo tidak menyadarinya. Dia mulai bercerita tentang kota Surabaya dan lokasi tempat ruko-ruko yang akan dibangun oleh perusahaan. Ia menceritakan hal-hal lucu yang terjadi di sana. Sesekali kami terbahak bersama. Melihat itu Mas Yoyok yang berada tak jauh dari kami, menoleh.
Apa yang membuat kalian berdua begitu asyik" tanyanya.
Pengalamanku di Surabaya banyak yang lucu, Mas. Maklum, seumur-umur baru sekali itu aku ke sana.
Lalu seperti biasanya, kau menggampangkan semuanya. Tidak mau disopiri orang sehingga salah jalan berulang kali. Ya, kan"
Ya, itu salah satunya. Purnomo menyeringai. Begitu akhirnya kami bertiga mengobrol kendati Mas Yoyok lebih banyak tersenyum daripada berbicara. Tetapi ketika kedua laki-laki itu mulai menyinggung urusan bisnis mereka, mulailah terjadi yang sebaliknya. Mas Yoyok mendadak saja menjadi pembicara utama bagaikan seorang narasumber dalam acara seminar dan Purnomo mulai kehilangan kata-kata.
Mula-mula aku merasa bosan mendengar ceramah-
t . c nya dan nyaris menguap lebar. Tetapi ketika kemudian teringat bagaimana Aryanti dulu sering duduk terkantuk-kantuk bagaikan kambing congek kalau sang suami sedang bersikap bossy begitu, kantukku langsung menghilang. Sebagai gantinya, aku mulai sering mengemukakan pendapat yang sekiranya dapat menggoyang pendapat Mas Yoyok sehingga akhirnya pembicaraan yang semula searah, menjadi ajang perang argumentasi yang sengit. Aku tak peduli wajah Mas Yoyok yang menjadi merah. Biar saja kalau mau marah, silakan dia marah. Aku bukan Aryanti yang harus mengiyakan saja apa pendapatnya kendati hatinya tidak sependapat.
Memberi penggantian uang yang lebih dari layak kepada penduduk setempat yang daerahnya akan dibuat ruko atau perumahan mewah, aku sangat setuju. Tetapi itu saja tidak cukup, begitu antara lain bantahanku. Aku yakin, beberapa di antara mereka ada yang sudah tinggal di daerah itu selama puluhan tahun. Dan itu tidak bisa dinilai dengan uang karena menyangkut perasaan dan keterikatan emosional mereka dengan wilayah tempat tinggal mereka.
Lalu bagaimana menurutmu" Mereka dibiarkan tetap tinggal di situ saja sementara sebagian besar tetangga-tetangganya sudah pergi mencari rumah tinggal yang lebih layak dengan uang pengganti yang mereka terima"
Aku mengabaikan sindiran yang termuat dalam suara Mas Yoyok dengan menanggapi perkataannya itu secara wajar.
Itu lebih buruk lagi. Pasti akan muncul semacam
t . c keterasingan dalam diri mereka terhadap daerah atau wilayah yang selama ini mereka akrabi. Apalagi ketika melihat para pendatang baru yang status sosio-ekonominya jauh lebih tinggi.
Jadi" Kudengar nada menantang di dalamnya. Jadi, beri mereka kesempatan untuk bisa ambil bagian di dalam proyek tersebut. Misalnya memberi tempat di luar proyek yang tak jauh dari tempat tinggal mereka semula. Kalau bangunannya lebih baik mutunya, beri kesempatan buat mereka untuk menyicil. Berdayakan pula ekonomi mereka. Misalnya, dengan memberi kesempatan bagi mereka untuk membuka warteg atau warung keperluan sehari-hari guna memenuhi kebutuhan para pekerja proyek. Syukur-syukur kalau bisa permanen menjadi mata pencarian mereka selanjutnya. Atau latih para pemudanya untuk menjadi satpam. Atau beri mereka pekerjaan di proyek sebagai kenek tukang batu, misalnya. Seribu satu macam bisa kita lakukan buat mereka agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi antara pendatang dengan penghuni lama di sekitar proyek.
Menarik. Apa lagi, Mbak" Purnomo menyela. Yah, selain demi kemanusiaan, usulku itu juga demi bangsa dan negara tercinta kita. Kalau semua pengusaha real estate dan pengembang mau memikirkan apa yang kukatakan tadi, maka kesenjangan ekonomi akan berkurang di mana-mana dan kesejahteraan rakyat bisa diharapkan. Jadi misalnya kalau kita membuat mal atau kompleks pertokoan yang megah, jangan tinggalkan masyarakat sekitar. Beri mereka pekerjaan sesuai
t . c dengan kemampuan dan latar belakang pendidikan mereka .
Maksud Mbak Retno mereka mendapat prioritas pertama"
Ya. Tetapi tetap pada profesionalisme. Artinya, kalau mereka tidak lulus seleksi, ya masuk kotak.
Begitulah diskusi segitiga itu terus berlangsung sampai tiba waktunya makan malam. Sesudah mengisi perut, aku tidak mau melanjutkan diskusi tadi tetapi kuajak Purnomo main catur dengan ditemani kacang kulit kesukaanku. Sementara itu Mas Yoyok membaca di kursi kebesarannya. Tetapi baru setengah jam bermain catur, Purnomo sudah beberapa kali menguap.
Maaf, Mbak Retno. Aku mengantuk dan lelah. Konsentrasiku sudah tinggal separo. Kurasa kau tidak akan puas kalau menangnya karena hal itu. Ya, kan" Tentu saja. Tidurlah sana. Aku juga mau istirahat. Silakan, Mbak. Biar aku saja yang membereskan biji-biji catur dan sampah kulit kacang ini.
Kuanggukkan kepalaku. Kulihat Mas Yoyok masih asyik membaca. Tetapi tak sampai lima menit aku berada di dalam kamar, Mas Yoyok menyusulku masuk. Ketika pintu terbuka saat Mas Yoyok masuk, kulihat Purnomo sedang melintas di muka kamarku. Tanpa harus memeras otak, aku tahu Mas Yoyok sengaja menunjukkan kepada sepupunya itu bahwa ia bisa masuk ke kamarku kapan saja ia mau kendati ada kamar pribadinya di tempat lain.
Dengan pikiran itu aku tersenyum ketika melirik Mas Yoyok sedang duduk di salah satu kursi yang
t . c terletak dekat jendela. Rupanya laki-laki itu merasa juga kalau aku menyenyumi kelakuannya.
Purnomo itu bukan laki-laki bodoh, Retno. Bahwa kau tidur di kamar ini sementara aku tetap tidur di kamarku yang lama akan menimbulkan dugaan macammacam di kepalanya, katanya membela diri. Jadi aku masuk ke sini sampai dia tertidur nyenyak di kamarnya.
Tetapi sepengenalanku, dia bukan orang yang suka usil.
Memang tidak. Tetapi ia sangat menaruh perhatian kepadamu. Aku yakin itu. Apa nanti yang dipikirkannya kalau kita tidur di kamar yang berjauhan.
Dia kan sudah melihatmu masuk ke sini. Jadi amanlah kita.
Mas Yoyok tidak menanggapi perkataanku. Tetapi dengan santainya ia mulai menyandarkan tubuhnya sambil meraih remote teve dari atas meja yang terletak di antara kedua kursi yang ada di kamar tidurku. Kemudian dinyalakannya teve tanpa dibesarkan volumenya. Aku yakin, perbuatan itu hanya sebagai upaya mengatasi perasaan tidak enak karena berada di dalam kamarku.
Padahal bukan hanya perasaannya saja yang terganggu, aku juga merasa kebebasanku tercuil karena kehadiran Mas Yoyok di kamarku. Terlebih karena saat itu aku sedang mempersiapkan diri untuk tidur. Maka untuk mengurangi perasaan tak enak itu aku menukar pakaian di kamar mandi. Sekalian mengosongkan kandung kemih dan menggosok gigi. Mudah-mudahan
t . c kalau aku keluar dari kamar mandi nanti, Mas Yoyok sudah pergi.
Tetapi ternyata laki-laki itu masih duduk santai. Terpaksalah aku menyikat rambutku di muka meja rias sambil menahan diri untuk bersikap wajar kendati perasaanku jauh dari rasa nyaman.
Gaun tidurmu cantik. Tiba-tiba kudengar Mas Yoyok yang kukira sedang menonton televisi, memuji baju tidurku.
Ini gaun tidur murahan kok. Bukan buatan luar. Aku tidak memasalahkan harga dan kualitasnya, Mas Yoyok menyela bicaraku dengan jengkel. Aku cuma mengatakan kenyataan sebagaimana yang kulihat. Bahannya bagus, warnanya yang lembut cocok dengan fungsinya sebagai pakaian tidur. Begitupun modelnya. Sederhana tetapi tampak manis sekali. Sangat cocok untukmu.
Aku nyaris tak mampu berkata apa pun karena tidak mengira Mas Yoyok bisa memuji hal-hal yang kukira tidak masuk ke dalam ruang pemikirannya. Apakah dia pernah memuji Aryanti sebagaimana yang diucapkannya kepadaku tadi, aku tidak tahu. Yang kuingat hanyalah Aryanti pernah berkata bahwa Mas Yoyok sama sekali bukan laki-laki romantis. Tetapi bahwa baru saja laki-laki itu memujiku, barangkali saja karena dia tidak tahu harus bicara apa. Tanpa mengeluarkan suara, suasana di kamarku memang terasa tegang. Baru sekali ini kami berduaan di dalam kamar pada malam hari. Tetapi apa pun alasannya, aku harus mengucapkan terima kasih atas pujiannya itu.
t . c Terima kasih, begitu aku berkata sambil mencoba mengatasi perasaanku. Tetapi rasa bingung dan rasa gugup yang ada di hatiku masih juga belum lenyap. Dengan perasaan tak nyaman, aku pura-pura sibuk menyikat rambutku pelan-pelan sebagaimana biasanya.
Rambutmu bagus dan tampak berkilau. Mungkin karena kau selalu menyikatnya ya"
Mungkin, sahutku, semakin merasa tak nyaman. Seingatku, Aryanti juga suka menyikat rambutnya meskipun tidak serajin aku. Jadi selama menikah hampir setahun lamanya, pasti Mas Yoyok pernah melihatnya menyikat rambut. Kecuali, kalau laki-laki itu hanya berada di kamar Aryanti jika sedang merasa perlu saja. Kalau memang demikian, dia benar-benar laki-laki yang tidak romantis.
Ketika perasaan tidak nyaman itu semakin menguasai diriku, kucoba untuk meraih kewarasan otakku agar bekerja normal dan terkendali. Aku tak mau berada di bawah pengaruh keberadaannya di dekatku. Ini kamarku. Kurasa, aku boleh saja menyuruhnya pergi.
Maaf, Mas, aku sudah mengantuk, begitu kataku. Jadi tak bisa mengajakmu mengobrol. Lagi pula sepanjang sore hingga petang tadi kita sudah terlalu banyak bicara.
Bersitegang leher, maksudmu" Mas Yoyok menyindir perang argumentasi kami tadi.
Apa pun namanya, telah membuatku lelah dan ingin segera tidur, kataku tak mau kalah.
Oke, aku keluar, katanya sambil mematikan televisi.
t . c Tetapi baru saja Mas Yoyok membuka pintu kamar, terdengar oleh kami berdua suara musik dari arah ruang tengah. Lagu sentimental yang manis mulai menyusup ke telinga kami sehingga Mas Yoyok menutup kembali pintu kamarku.
Itu pasti Purnomo, gumam Mas Yoyok. Katanya mengantuk, kataku dengan menggerutu. Kok malah mendengarkan musik.
Sound system di ruang tengah itu memang dirancang khusus sehingga pendengarnya merasa seperti sedang menonton konser. Kelihatannya Purnomo ingin menikmatinya di kursi malas sambil terkantuk-kantuk. Sial aku. Mas Yoyok menatapku. Biarkan aku duduk di sini lagi sampai setan kecil itu masuk ke kamarnya. Kalau kau mengantuk, tidurlah.
Pedang Dewa Naga Sastra 5 Shugyosa Samurai Pengembara 10 Kubur Berkubah 3
^