Pencarian

Larung 2

Larung Karya Ayu Utami Bagian 2


Sering kutemukan kau dalam pangkuannya. Jika warung mereka tutup cepat, pada setiap Selasa, begitu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menurut yang dipercaya ayahnya, ia mengajarimu berhitung dari papan-papan muka toko yang hijau telur bebek (kau menyebutnya telur asin), ketika orang sedang menyusun sesuai nomor yang ditera, 1 hingga 24. Tapi 1 sampai 4 cukup buatmu untuk menghitung umurmu. Jika tak kutemukan kau di depan, maka kau ada di dalam. Inilah yang kau ingat, ruang yang gelap dan agak pengap. Bau alum asap hio yang telah tahun-tahun lekat pada dinding dan langit-langit, seperti lembab, seperti bau gladiol layu. Sebuah altar merah yang menjadi pusat nyala ketika siang. Patung Kwan Im dari porselin. Lubang angin menghitam. Sebuah jendela mati. Sebab di baliknya mereka telah membangun gudang, juga untuk menyimpan karung-karung beras. Maka mereka mengecat kaca jendela itu dengan warna tua sehingga kau mengira di luarnya selalu malam.
Kau ada di ruang itu, pada sofa dari kulit imitasi dengan meja kayu dan kembang palsu. Kau duduk bersama Siok Hwa, makan dari mangkuk yang sama, nasi dengan kuah daging. Lalu ia menceritakan kepadamu hal-hal sederhana yang tak bisa kau ingat lagi. Hanya lembab kulitnya yang kau kenang. Tetapi di luar kamar, dunia tidak sederhana. Kau begitu kecil.
Dan dunia tidak sederhana. Dan kau begitu kecil. Dan dunia tidak sederhana. Kau begitu kecil.
Kita bisa mendengar suara laut. Tetapi ke sebelah utara, ke arah gunung, tak lagi ada kedamaian, melainkan paceklik dan gerubug. Kau sedang tidur, kau tak sanggup mengingat ataupun gugup, ketika Gunung Agung gemu-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ruh. Dari pantai kurasakan kemaraha nn ya yang besar, energinya yang tak nampak, yang tak hanya meletus dari mulut yang pecah, melainkan juga keluar dari pori-pori tanah seperti roh maut. Lalu kulihat pelan-pelan jelaga menyelubungi pulau ini, seperti arwah raksasa, seperti sisa kemarahan yang belum selesai, yang darinya kota tak bisa sembunyi. Tetapi di lerengnya, awan itu menggelegak luar biasa cepat dan mendidih. Orang desa tak bisa melihatnya, mereka hanya bisa mati terpanggang setelah ketakutan yang tiba-tiba. Pohon-pohon layu. Hewan-hewan matang. Segala kulit terkelupas dan bulu-bulu lepas.
Kemudian mereka menulis di koran-koran, tak hanya tentang busung lapar dan orang-orang yang menjadi arang, tetapi juga tentang penimbunan beras oleh para lintah darat, penghisap rakyat, mereka menyebutnya begitu. Mereka telah mencium subsidi yang tak rata dari Jakarta. Juga paksaan terhadap petani untuk menjual murah kepada pemerintah, dan harga beras yang begitu mahal sehingga mereka tak mampu membeli kembali berasnya sendiri. Kau masih terlalu kecil untuk mengerti.
Tetapi kau tidak terlalu kecil untuk melihat apa yang kau lihat. Dengan gemetar Nyoman Pintar membopong kalian berdua, Siok Hwa dan kau, ke dalam rumahnya. Seratus meter dari toko. Dari jendela engkau saksikan, ketika itu senja, seperti barisan gerilya turun gunung, dikhianati dan lapar, para pemuda membawa pentung dan kentong. Puluhan jumlahnya, barangkali seratus. Mereka orang komunis, kau dengar bisik di ruangan. Mereka orang sosialis. Mereka orang nasionalis. Tidak,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kataku, mereka orang-orang lapar. Kau tak bisa mengenali wajah mereka. Yang kau ingat adalah mulut-mulut yang terbuka sebelum mereka memb elak angimu, merangsek toko dan rumah Siok Hwa dengan teriakan yang tak kau tangkap. Kau heran dengan apa yang terjadi, dan kau tak berhenti heran ketika mereka menyeret ayah Siok Hwa keluar dan menghajarnya hingga tak berg erak. Kalaupun kau melihat darahnya dari kejauhan, kau tidak tahu cairan apakah itu sehingga kau hanya akan bertambah heran. Sebab kau belum pernah melihat kekejian. Kau tak mendengar suaranya, maka kau tak tahu ia kepay ahan. Tetapi Siok Hwa melihat semua itu dan menangis keras lalu istri Nyoman Pintar segera merebutnya dari sisimu, ke kamar tidur tanpa jendela. Kau melihat orang-orang mengangkuti karung-karung beras, juga barang-barang kelont ong. Akhirnya kau lihat mereka pergi, sepi, dan ayah Siok Hwa yang tergeletak. Hanya dari tangis Siok Hwa kau tahu sesuatu yang sedih terjadi. Sebab kau telah tahu apa arti tangis.
Sejak itu kau tak pernah melihat gadis kecil itu lagi. Kau merengek untuk pergi ke rumahnya, tetapi bahkan papan-papan toko telah koyak, memperlihatkan sebuah ruang seperti sisa perkosaan. Gelap dan tanpa harapan. Ke mana Siok Hwa, itu pertanyaanmu. Kau mengintip ke dalam dan menjadi takut. Suatu kecemasan yang belum kau mengerti dalam kata-kata, bahwa yang terjadi pada toko ini juga terjadi pada Siok Hwa. Tubuhnya yang lembut. Tidak, jawabku, ia hanya pergi, ke Surabaya, ke rumah kanak-kanak ibunya, sebab hidup di sini telah jadi mustahil. Kau tidak menangis, sebab menangis hanya mungkin
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
jika kau melihatn ya pergi. Ia hilang. Dari wajahmu kutahu engkau amat sedih. Tapi kau tak tahu apa itu sedih. Tidakkah kau ingat semua itu.
Setahun kemudian, 1965, kau melihat seperti barisan yang sama, kali ini lebih besar jumlahnya dan lebih nyaring derap dan kentongnya, menuju ke rumah kita. Kau tidak menyadari waktu, tetapi aku mencatat tanggal itu: 21 November. Kau tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku mengg ores semua itu dalam urat-urat jantungku. Mereka datang mengambil anakku, tanpa mengetuk pintu. Sebab sebelum mereka menyentuh daunnya, aku telah berdiri di sana. Telah kudengar sebelumnya, bisik-bisik orang menuduhku men yimp an ular di lipatan stagen. Nenek itu leak, rangda dengan sad tatayi, sebab setiap janda adalah potensi bahaya. Telanjangi dia dari kain pinggangnya maka kita temukan jimat. Telah kudengar itu. Maka kubuka pintu dan kutatap mereka. Tak satupun mendekatiku tetapi mereka mengambil anakku.
Kau melihat semua itu. Putraku, orang yang kau panggil bapak, berpeluh di sudut kamar. Lalu ia mengenakan seragamnya, tanda kegagahannya yang terakhir. Tetapi ia belum memakai sepatunya ketika orang-orang telah tak sabar. Salah satu masuk dari dapur, mengira anakku akan kabur. Pemuda itu, dia baru belasan tahun, menghardik begitu keras seperti salak senjata. Seperti tiada lagi rasa hormat pada orang tua, ia bawa putraku pergi tanpa alas kaki, orang yang kau panggil bapak. Tidakkah kau ingat pantovel hitamnya terserak dan ibumu tersedak.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kataku: lupakanlah. Sebab aku melihat dengan mataku yang tak tampak. Mereka membawa anakku ke banjar bersama yang lain, lalu memisahkan yang tent ara dari yang sipil, dan menganiaya yang militer lebih kejam. Kulihat mereka menanggalkan seragamn ya dan menggantung anakk u di tangannya pada pohon asam, sehari semalam, setelah mencambuknya dengan rotan dan popor, menindih tungk ainya dengan kaki meja. Mereka mengubah wajahnya, meregangkan persendiannya. Apa kesalahannya, tak ada lagi orang yang bertanya. Sebab ia dikenal semua tentara di kompleks kita, sebab ia biasa datang dari rumah ke rumah mengurusi perdagangan beras subsidi. Maka ketika para perwira harus menyebut orang-orang dalam pasukan yang terlibat dalam kudeta 30 September, semua menyebut naman ya.
Mereka memfitnahnya, kata ibumu. Tidak, kataku. Sebab hidup adalah pilihan semena. Suamimu, anakku itu, barangk ali bukan komunis, partai komunis barangkali tidak kudeta, tapi apa arti semua itu" Orang-orang harus menunjuk orang lain untuk menyelamatkan diri. Maka mereka menyebut namanya. Itu saja yang terjadi. Seperti segala binatang dan kita hidup dengan memakan yang lain, manusia selamat dengan mengorbankan yang lain. Mengapa engkau merasa aneh"
Ibumu menangis. Aku tidak menangis. Sebab aku telah mengosongkan diriku dari segala keheranan dan ket akb ersediaan. Dan sebuah kekuatan lalu mengisi kehampaan itu, tetapi orang-orang menyebutnya ilmu hitam. Tetapi apakah itu hitam" Kenapa engkau membenci kegelapan"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tiga hari kemudian aku merasa putraku padam, energin ya sirna seperti bara yang habis. Barangkali ia dibawa bersama-sama yang lain dalam truk yang menghantar merek a ke sebuah lubang besar di sebuah ladang. Tetapi ia telah mati ketika mereka diberondong.
Lalu aku mendengar, orang-orang menyebut ibumu gerwani. Ibumu memakai beha hitam dengan lambang bintang merah di satu pucuknya, palu arit di pucuk yang lain, kata mereka. Ia mengumpulkan perempuan-per empuan dan mengajar tari telanj ang, dan mengirim wan ita-wanita untuk merayu para prajurit dengan pinggul mer eka agar percaya pada komunisme, bukan pada segala tuha n. Sembari bern yanyi genjer-genjer. Tetapi aku tahu ibumu dan istri Nyoman Pintar kerap berada di bangsal dan mengajari sesama istri tentara membikin ketupat dan janur dari daun nyiur. Mereka semua pendatang. Dan daun genjer hanyalah sayuran yang membuat tinjamu lengket panjang.
Maka aku berdiri di muka pintu dan memandang ke arah laut ketika aku tahu para algojo itu dalam perjalanan. Telah kutunggu sebelum mereka tiba untuk mengambil menant uku juga. Kau mengintip dari celah jendela ketika orang-orang itu datang dengan lampu-lampu kecil. Kita mendengar suara laut, tetapi di sana tak ada kapal-kapal yang bercahaya. Hanya kilat mercusuar di kej auhan. Lalu kataku pada rombongan yang datang: aku yang tertua di kampung ini. Menantuku bukan gerwani. Kalaupun dia gerwani, dia punya bayi yang harus dibesarkan. Tapi akulah yang gerwani.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Lalu mereka pergi. Dan aku masih memandang ke arah laut beber apa saat lagi, merasakan gemuruhnya dalam ruang hampa diriku.
Tetapi aku tak pernah heran akan kejahatan. Pun tak pernah aku mengutuknya. Sebab aku telah mengosongk an diriku. Aku tak pernah bertanya. Kau, Nak, selalu bertanya. Kelak, waktu kau menjadi tua kau akan tahu arti kekosonga n dari segala nilai ataupun harapan. Kau akan tahu rasanya hampa, yaitu keadaan di mana tak ada bahasa untuk mengerti. Suatu . Itu tidak membuatmu bahagia. Juga tak membuatmu sedih. Tidak memb uatmu apa-apa. Tapi, Nak, ketika kau masih mengenal bahasa, maka bernyanyilah. Bernyanyi dengan kata-kata. Perdengarkan kepadaku seb uah lagu, yang pernah kuajarkan dulu, ketika suaramu belum stabil: kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau pergi.
Cupu-cupu yang lucu. Ke mana engkau tak pergi.
Aku telah membunuhnya. Cupu keenam itu telah terpasang di busungnya selama beberapa menit. Ia mestinya telah mati sebab segala syarat telah kupenuhi. Aku berhenti menyanyi. Kamar semakin gelap oleh malam yang datang maka kunyalakan lampu kecil di samping ranjang agar dapat kuperhatikan wajahnya yang diam dan matanya yang seten gah pejam. Bola hitamnya masih memandangku. Tetapi tak kulihat lagi nafasnya. Simbah, telah matikah engkau" Ya, kau telah mati. Mati sungguhkah engkau"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kuhampirkan telapakku pada lubang hidungnya. Hangat tubuhnya masih meruap, tetapi tak kurasa hembusnya.
Hahaha. Simbah, kau membohongiku, bukan" Kau tahan nafasmu agar aku tak tahu bahwa kau masih hidup. Kau sedang bercanda untuk membuatku kecele. Kau nakal, ya. Awas, tak kubiarkan kau dikubur hidup-hidup. Tid ak, kau tak akan dikubur. Tak kubiarkan serangga menggerogoti tubuhmu, membikinnya bengkak dengan anak-anak mer ek a. Kau akan dipanggang dalam tungku krem asi Cilincing. Dalam oven tertutup sehingga tak satu pun akan melihat jasadmu bangkit duduk ketika perutmu mengk erut oleh panas seperti sendi yang susut. Lalu abu tubuhmu akan kutaburkan di mana pun yang engkau ingin. Katakanlah, di mana engkau ingin disebarkan. Ayo, dong. Jangan pura-pura sudah mati.
Kau tidak menjawab. Sampai berapa lama kau akan tahan"
Jangan kira kau bisa menipuku, Simbah sayang. Tidak, kau tidak juga mati meski nafasmu telah berhenti. Aku tahu kau tak bisa mati sebelum seluruh susuk dan gotri kekebalan itu dikeluarkan dari tubuhmu. Aku tak lupa, Simbah, meski telah begitu lampau, ketika tempurung kepalaku masih amat lunak, aku melihat engkau di suatu tempat. Inilah salah satu ingatanku yang paling dini: engkau menuang ke dalam kerongkonganmu bukan butiran jamu melaink an biji-biji roda. Bulat berkilap lebih menggiurkan ketimb ang keneker. Aku tidak heran melihatmu sebab setiap bocah akan tergoda untuk menelan bulatan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
licin yang akan menggelincir di leher dan membikin geli perut. Bertahun-tahun kemudian Ibu memb eritahu bahwa tahun enam puluhan itu adalah masa ketika manusia tahu bahwa ia akan membunuh atau dib unuh. Maka engkau menelan gotri itu untuk penangkal lelogam pembantai; parang, keris, peluru. Dan susuk-susuk itu telah kau pasang jauh sebel umnya, demi hidup abadi, seperti Durga yang tak mati-mati. Seperti Uma yang menj elma Durga.
Maka izinkanlah aku mengeluarkannya dengan pisau, sebab tak ada yang selamanya. Tunggulah, jangan ke mana-mana, aku akan ke dapur sebentar untuk mengasah gunting dan pemotong daging. Tak akan terlalu lama.
Dan memang tak terlalu banyak menit yang kuhabiskan untuk menyiapkan alat-alat bedah itu. Pembantu kita rupan ya selalu menajamkan pisau-pisau pada tukang gerinda yang lewat sehingga seluruhnya amat tipis dan berkilat, matanya runcing, tetapi aku mengambil juga gergaji dari laci gudang, untuk memotong tulang. Sedikit berkarat karena lama tak digunakan, tapi tak apa.
Kutelanjangi engkau. Tubuhmu telentang seperti pasien dalam anestesi. Di manakah biji-biji gotri yang pernah kau telan itu bersarang jika bukan dalam perutmu" Maka perk enankan kubuka abdomenmu. Telah lama aku tidak mengupas kulit, tetapi masih kuingat caranya. Pertama, buatlah robekan vertikal tepat di tengah tubuh, dari ujung xiphois ke arah bawah hingga simphisis pubis. Lalu, gunting melintang ke atas, dari atas pusar ke pinggir dada, hingga ujung rusuk keenam, satu di kana n satu di kiri. Lantas, dua potongan horizontal dari
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bawah pusar ke pinggang, juga kanan kiri, menyusur lekuk tulang usus. Tapi telah kutemb uskan pisauku juga pada jaringan otot. Maka tersingkaplah lembar-lembar abd omen seperti kembang yang mekar hingg a kulihat rongga perut yang penuh. Usus, besar dan kecil, limpa, hati, empedu, pankreas. Namun pencarianku untuk satu pun dari tujuh puluh gotri itu ternyata begitu payah sebab aku tak memiliki penjepit pembuluh sehingga darah mengaburkan organ-organ dari pengamatan.
Entah berapa lama aku bekerja namun tak kutemukan juga biji-biji logam maupun jarum-jarum susuk di antara isi perut. Di manakah mereka bersarang jika tidak di sana" Tentu saja di kepala. Susuk-susuk itu terselip di balik kulit kepala. Permisi, biar kusayat kulit kepalamu. Aku juga masih ingat caranya. (1) Letakkan sebuah balok menyangga leher. Tetapi tak ada kayu, maka buku Di Bawah Bendera Revolusi yang tebal dan keras bisa dijadikan ganti. (2) Buatlah sayatan melingkari batok kepala, di atas alis melewati pangkal telinga dan tonjolan oksipital, sep erti Columbus mengel ilingi bola bumi. (3) Tarik irisan vertikal membelah tengah dahi hingga belakang kepala. Kulit batok selalu lebih tebal daripada kulit bagian tubuh yang lain, seperti teranyam oleh folikel rambut yang serta kelenjar minyak yang kenyal. (4) Lanjutkan irisan bujur tadi ke arah bawah, membelah kulit hidung hingga bibir atas. (5) Sobeklah, dari ujung bibir kanan, melingkari kepala, melewati bawah kuping, hingga ujung bibir kiri. (6) Buat lagi irisan vertikal di garis batas pipi dengan telinga. (7) Kelupaslah kulit ini, pelan-pelan, dari sisi
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
telinga ke arah hidung. Jaringan kulit ini melekat erat pada otot-otot muka. Jika tak hati-hati dan tak rapi kau men ariknya, otot-otot itu akan tercerabut juga. (8) Sayat kulit sepanjang rahang, dari telinga kanan ke telinga kiri. (9) Gunting kulit dari bibir bawah ke ujung dagu. (10) Seperti tadi, kupaslah kulit dengan menarik dari sisi telinga ke arah dagu.
Setelah satu per satu potongan kulit kuangkat, wajah maupun anggota badan, tak kutemukan juga benda-benda sihir itu. Maafk anl ah, telah aku acak-acak tubuh dan parasmu tetapi tak kutemuk an juga susuk dan gotri itu. Hanya, kini aku percaya bahwa engkau telah mati. Tetapi kusisakan telingamu, labirin dengan bulu-bulu kecil.
Selamat tinggal, Simbah. Kumakamkan engkau di kebun belakang, dekat sumur pompa. Maafkan, tak bisa kupenuhi janjiku tentang tungku kremasi di Cilincing, sebab para pegawainya akan ketakutan melihat wujud jasadmu yang mampat dalam dua kotak.
Aku begitu lelah ketika telah selesai kubereskan semuanya. Sprei telah kumasukkan ke dalam mesin cuci dan air limbahnya begitu merah dan anyir. Campuran sisa detergen dan debu membuat baunya tak segar, seperti basi. Ibu pulang lalu menangis tanpa suara. Kenapa, kubert anya. Tuhanku. Kamu tak punya rasa hormat sedikitpun pada tubuh dan sisa kehidupan. Kenapa, kubertanya, kenapa Ibu menangis tanpa suara. Kau membuatku ngeri, Nak. Kau membuatku ngeri.
Tidak, Ibu. p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
1 996. Cerita ini berawal dari selangkangan.
Selangkangan teman-temanku sendiri: Yasmin dan Saman, Laila dan Sihar.
Hahaha. Elu nggak suka, ya, cara gue mengawali diary
ini" Norak. Ah, Yasmin, dasar lu munafik. Emang kamu pikir apa yang bikin kita berencana ke New York nengok si Shakuntala" Laila ngebet sama laki orang itu, dan elu mau ngentot sama mantan pendeta itu.
Ya ampun, Cok. Kasarnya mulutmu! Kita mau lihat pertunj ukan Tala di Lincoln Center. Dan gue punya urusan advokasi dengan Human Rights Watch dan The Free World Forum.
Kenapa sih kamu nggak terus terang aja sama Tala
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dan Laila kalau kamu mau nyeleweng dengan Saman di New York"
Pertama, bukan urusan mereka. Kedua, aku nggak mau menyakiti Laila. Dia kan dulu cinta banget sama Saman. Aku nggak mau dianggap merebut kekasih orang.
Tapi sekarang kan Laila jatuh cinta sama Sihar" Ya. Tapi tetap ada kesan aku mengalahkankan dia. Dulu dia yang ngebet sekarang aku yang dapet. Aku khawatir ini seperti bilang pada Laila bahwa ia kurang menarik.
Lihatlah temanku Yasmin Moningka. Wanita sempurna. Cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan moral pancasila, setia pada suami. Paling tidak itulah yang dia mau akui tentang dirinya. Yang dia tidak mau akui: perselingkuhannya dengan Saman.
Nulis apa kamu" Aku bilang, sembilan hari lagi kita berangkat ke New York. Tujuan utama: menonton tari kolaborasi seniman Indonesia-Amerika. Tujuan sampingan: berzinah.
Cok, pasti elu girang sekali, deh, akhirnya bisa menemuk an kelemahan gue. Tapi, sumpah, dalam hidup ini gue berzinah baru sekali.
Enak aja! Sedikitnya elu berzinah dua kali. Pertama dengan Lukas, sebelum kalian kawin.
Itu nggak bisa ikut dihitung, dong! Gue kan nggak mengk hianati siapapun waktu itu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ah, bagi tuhan zinah ya zinah aja. Mau selingkuh atau nggak, maksiat tetap maksiat. Lagi pula, dengan keduanya kamu berzinah berkali-kali.
Itu bukan maksiat. Gue pake cinta. Nggak kayak elu. Nafsu doang.
Lihat temanku Yasmin. Wajahnya yang rupawan, bersih seperti patung marmer. Hidupnya teratur seperti tangga yang lurus. Sekolah, senam, lulus, kerja, kawin. Barangkali aku memang sirik padanya. Atau jengkel. Atau sekadar jail. Atau gemes. Sebab sejak kecil ia selalu menampakkan dirinya sebagai cewek manis dan alim. Ia tak pernah bolos. Tak malas kursus piano dan balet. (Tapi dia tak sukses menjadi pebalet karena kakinya terlalu ramping.) Tak mengerjakan PR di sekolah. Tak membikin malu orang tua. Tidak bunting di luar nikah. Tak pernah pacaran di tempat gelap waktu SMA. Dan, waktu sudah tahu seks dengan Lukas, gue kira dia juga nggak bersetubuh di tempat gelap. Ngapain punya badan bagus kalau nggak dipamerin. Tapi, selain kepada kami, sahabatn ya, mana pernah dia ngaku bahwa dia praktek seks ekstramarital. No way dia akan terus terang. Pasti di muka umum dia akan bilang, Oh, keperawanan adalah mahkota yang harus dijunjung tinggi. Dikempit rapat, maksud lu! Bahkan kini, perselingkuhannya dengan Saman hanya dia akui padaku. Tidak pada kedua sahabat kami, Laila ataupun Shakuntala. Padahal, biasanya kami berempat tak pernah saling menyembunyikan rahasia.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Itulah. Dia munafik. Dia selalu tampil kalem dan sopan, seperti karyawati baik-baik yang diidamkan ibuibu kos. Tapi gue yakin, di dasar hatinya yang paling dalam dia sama dengan aku. Binal. Perhatikan pakaian kerjanya: stelan, blazer dengan bantalan bahu, kayak eksekutif atau penyiar berita teve. Tapi gue yakin beha dan celana dalamnya pasti fansi.
Sebab ulang tahun kami hampir berbarengan. Aku lahir 21 Maret 1966. Dia tanggal 24. Cuma tiga hari beda kami. Artinya, kami sama-sama Aries dan Shio Kuda. Bayangkan, kambing dan kuda! Dua hewan yang birahi. Di hari raya kurban, kita bisa melihat kambing dan domba tidak pernah kehilangan nafsu seks meskipun kematian tinggal dua meter lagi. Aku juga pernah melihat kuda bersetubuh di pacuan Tanah Mas, dekat rumah. Luar biasa, biarpun foreplaynya tidak selama kucing. (Kucing terlalu lama, kita akan bosan menunggunya. Kecentilan. Dan suaranya seperti terlalu dibuat-buat.) Tubuh kuda juga begitu sensual. Liat dan mengkilap, menandakan energi. Semua ciri hewan itu sekaligus ada pada kami. Kami pemuja eros. Aku memang liar. Tapi apa boleh buat. Kupikir begitulah aku ditakdirkan. Semua orang diciptakan dengan karakter masing-masing sebagaimana garis tangan ditentukan saling berbeda. Dan jika aku dilahirkan sebagai kuda dan aries sekaligus, apa dayaku" Yang penting aku jujur.
Coba kuraba telapak tanganmu, Yasmin. Kamu punya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bukit Venus yang tinggi. So what"
Elu suka bercinta. Hm. Mau tahu sesungguhnya manusia macam apa dirimu, Yasmin" Sama dengan aku. Nih, aku bacain buku Sifat dan Peruntungan Anda Menurut Astrologi Barat dan Cina, pelajaran dari Mama Lotus, murid terbaik Mama Terate.
Masih percaya sama ramalan bintang" Zaman majapahit, lu!
Seru aja. Kita adalah Kuda Api, sang pencari keteganga n. Kuda (Be) adalah penjelajah dan petualang ulung. Energetik luar biasa, keras kepala dan impulsif, percaya diri, pandai mengatur uang sambil tetap murah hati, mahir berbisnis dan bercinta& Begitu mudah ia jatuh hati, begitu mudah juga ia melepaskan diri dari hubungan itu. Ia dilahirkan sebagai seorang playboy atau playgirl sejati. Caranya berpakaian, yang biasanya mencolok perhatian, menunjukkan gairahnya yang hebat. Kuda adalah seorang pencari kebebasan. Ia percaya bahwa hidup ini adalah pengembaraan untuk memburu kesenangan. Cocok kan sama kita"
Cocok sama elu. Elu nggak pingin dengar apa kata ramalan tentang nasib elu tahun ini, Min"
Nggak, tuh. Nggak percaya.
Ya udah. Kalau begitu aku mau baca tentang perunt unganku sendiri aja. Asmara: Wanita Aries akan menjumpai
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kekasih lamanya di tempat yang jauh. Meski untuk itu ia terpaksa berselingkuh. Hati-hati. Sepandai-pandainya tupai melompat, jatuhnya ke pelimbahan juga. Ngarang!
Katanya kamu nggak percaya!
Kamu bacanya keras. Aku kan jadi dengar. Ini kan cuma nasihat supaya kita hati-hati. Coba baca yang bener.
Untuk shio kuda betina. Kuda akan menjelajah dunia memburu birahi dan kemerdekaan. Cermati langkah Anda. Banyak ranjau darat di perbatasan.
Ngaco lagi. Bacain yang bener, dong!
Hmm. Nggak bagus. Tahun ini Anda akan kehilangan besar.
Keuangan atau asmara"
Keuangan. Anda akan keluar uang karena membeli tiket pesawat ke New York. Tapi itu tidak seberapa. Oh ya"
Yang lebih gawat, Anda harus memilih satu di antara suami dan selingkuhan. Memilih yang satu berarti kehilangan yang lain.
Oh ya. Lihat, dia sok kul. Dia memang dingin. Juga dalam berbuat jahat.
Aku suka sekali menggoda Yasmin. Terutama karena itu tadi, dia sibuk membangun citra dirinya sebagai super woman. Oh, sekarang dia sudah lumayan. Dulu, waktu masih SMA, terasa sekali dia punya kompleks
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
primadona. Dia selalu mau jadi nomer satu. Dalam hal prestasi, kecant ikan, maupun moral. Yang menjengk elkan, kadang-kadang dia mau menonjolkan itu dengan cara menjatuhkan yang lain. Di antara kami bere mpat aku, dia, Shakuntala, dan Laila dia paling sering memojokkan aku. Mentang-mentang aku bengal dan nilaiku nggak sebagus yang lain karena kebanyakan main, dia terus-terusan menyebutku si Perek. Itu kan penghinaan. Padahal, sebelumnya aku dipanggil si Tetek. Oh, ada cerita lain tentang panggilan ini.
Shakuntala yang mulai menjuluki aku si Tetek. Itu bera wal waktu aku menceritakan salah satu pengalama nku pacaran pada Shakuntala. Waktu itu aku mas ih kelas satu SMA. Aku masih takut kehilangan kep erawanan. Jadi, pacark u melakukannya dengan belaha n dadaku sampai orgasme. Shakuntala terkejut menden gar cerita itu. Soalnya, payud aranya nyaris rata, sehingg a itu tidak mungkin buat dia. Dia tak pernah pakai kut ang karena tak ada yang bisa dikutangi. Dia baru sadar bahwa ukuran behaku 36. Marks and Spencer. Kalau Wacoal, 38 atau 36 C. Ia geleng-geleng kepala. Sejak itu ia panggil aku Tetek.
Tapi membiarkan lelaki masturbasi dengan payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan. Tetek bukan diciptakan untuk itu. Aku bosan juga. Lalu kami mencoba melakukan anal seks, untuk menjaga keperawananku. Tapi aku jadi ambeien. Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kenikmatan" Enak di dia nggak enak di gue. Akh irn ya kupikir bodo amat, ah, udah tangg ung. Aku pun melakukannya, sanggama. Aku bertukar cerita ini dengan Shakuntala. Aku tidak tahu apakah dia memb ocorkannya kepada Yasmin dan Laila. Memang, waktu itu pacarku mulai banyak dan aku sering minta tolong mereka bertiga untuk menjadi tameng jika aku pacaran dengan yang lain. Juga untuk berbohong pada bapak-ibu. Aku tak tahu, apakah karena melihat pacarku banyak atau karena tahu apa yang aku lakukan dengan mereka, Yasmin kemudian menyebutku si Perek.
Julukan itu memang dia ucapkan dengan akrab, sebagaimana yang lain mendapat panggilan masingmasing. Laila dipanggil Peju, Pemudi Jujur. Shakuntala Piktor, Pikiran Kotor karena dia doyan sekali mem ikirkan tai. Tapi Perek tetap Perek. Semua perempuan punya tetek, tapi perek" Perek tentu saja punya tetek. Tapi tidak semua perempuan menjadi perek. Cuma yang bejat dan terhina saja. Perempuan Eksperimen. Bayangk an! Tak ada yang percaya bahwa perempuan eksperimen berarti perempuan yang bereksper imen. Semua akan mengartikannya perempuan untuk eksperimen. Seperti kelinci percobaan, kelinci buat percobaan. Enggak mungk in kelinci membuat percobaan. Babi panggang; mana mungkin menjadi babi yang memanggang. Bebek Masak Kecap, atau Bebek Masak Lemon; bukan bebek yang memasak, tetapi bebek yang dimasak. Kadang aku jengkel, apapun yang kita lakukan, yang juga dilakukan lelaki, kok kita mendapat cap jelek. Laki-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
laki tidur bergantian dengan banyak cewek akan dicap jagoan. Arjuna. Tapi perempuan yang tidur bergantian dengan banyak lelaki akan dibilang piala bergilir. Pelacur. Apapun yang kita lakukan, kita selalu dianggap obyek. Bahkan oleh sesama perempuan. Misalnya, oleh si Yasmin brengsek itu.
Shakuntala tak lagi memanggil aku Tetek setelah SMA. Padahal, julukan itu kadang kuterima sebagai pujian. Tetek montok banyak orang kepingin, dan tak semua punya. Tapi Yasmin masih sering memanggilku Perek. Atau, anggap saja Perek adalah perempuan yang suka bereksperimen.
Perek, kok diam. Coba bacain ramalan untuk tanggal lahir 9 Oktober 1958.
(Tuh kan, dia memanggilku begitu lagi.)
Haha, tanggal lahirnya si Saman, ya" Tanggal itu adalah Libra Anjing Tanah. Tahun 1996 ini bukan tahun yang baik buat anjing. Tahun yang penuh ketidakpastian. Niat baiknya disalahartikan. Kekuatannya hilang. Wah, gawat.
Siapakah seekor anjing" Dalam sejarah manusia, anjing (kauw) adalah hewan yang paling dapat diandalkan sebagai teman dan penjaga yang berani serta setia. Dia mempunyai telinga dan hidung yang luar biasa sensitif, walau matanya tidak istimewa. Meskipun cerdas, dia tidak cerdik seperti kera (khauw). Tahun kauw adalah tahun yang tenang dan adil. Ia teguh pada keyakinannya, namun tetap tunduk pada peraturan yang berlaku. Ia bukan tipe
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
pemb erontak, apalagi pemerkosa& Itu pasti. Terus"
Pada dasarnya ia baik hati namun biasanya pendiam dan tertutup. Ia memasang standar moralitas yang tinggi, hampir-hampir perfeksionis dalam memelihara idealisme. Ia bertar ung dengan berani dan nafas panjang. Jika kalah ia tak putus asa dan tidak congkak dalam kemenangan. Orang yang berada dalam pengaruh shio anjing cenderung sedikit saja tertarik untuk menjalin hubungan seksual. Cinta erotis bukan perkara pokok dalam hidupn ya. Biasanya ia dapat hidup tanpa kekasih ataupun kel uarga. Wah, rada cocok ya untuk Saman"
Gue rasa orang Cina benar, Min. Anjing, binatangnya, sedikitp un enggak mengingatkan kita pada seks. Mukanya ketawa. Matanya ramah. Orang make love kan enggak ketawa dan nggak ramah. Beda banget dengan kucing. Tampang kucing bukan tersenyum tapi mesum. Badannya juga, menggeliat melulu, pingin disentuh. Tangannya selalu main-main, seperti petting. Coba bandingkan cara kucing dan anjing menggunakan lidahnya. Kucing menjilat dengan lidah yang meruncing, tarikan bibir membulat, mata yang setengah menutup, seksi. Ia memakai lidah untuk kenikm atan sendiri. Tapi anjing menjilat dengan lidah mel ebar, tatapan penuh, tarikan mulut sorry, binatang nggak punya bibir melebar kayak lagi nyengir, nggak seksi sama sekali. Anjing mengendus untuk menunjukkan ia teman yang setia, karena itu mukanya tetap ramah. Atau, jangan-jangan Saman kayak anjing, kalau bercinta tersenyum, dan kalau orgasme menggongong, ya"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Rahasia. Dia lama nggak" Anjing kan lama. Gila apa gue cerita ke elu.
Ah, nggak apa, dong. Gue, semuanya gue ceritain sama elu.
Karena elu nggak punya penghargaan terhadap pacarpacarm u. Masa kamu cerita kalau si Kucing Bersepatu Lars itu cuma tahan satu setengah menit!
Hahaha. Biarin. Dasar Perek! Biarin. Paling tidak, aku bisa menyombong bahwa akulah satu-satunya dari kami berempat yang pertama kali melakukan hub ungan seks karena sadar dan suka. Shakuntala menghabisi keperawanannya lebih karena pemberontakan. Dia tidak menikm atinya. Laila masih suci-hama sampai sekarang. Dan Yasmin berbuat karena keter usan. Katanya nggak sadar, maunya cuma ditemp elin ternyata masuk. Atau, barangkali dia bohong. Barangk ali dia juga pertama melakukannya karena pingin, tapi dia takut mengakui nafsunya. Takut dicap murahan. Maka dia bikin seolah-olah Lukas yang kebablasan. Cerdik juga anak itu seperti monyet.
Itulah. Aku tak percaya bahwa Yasmin sealim yang terlihat dari luar, sejernih kata-katanya. Dia pasti tipe yang kalau bercinta ngomong jorok. Karena itu, aku penasaran sekali untuk memb uktikan bahwa dia tidak sebagaimana yang dia idealkan. Dan kesempatan itu datang waktu kami menyelundupkan Saman keluar
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dari Medan. Aku tahu Yasmin amat suka pada Saman. Dulu, cowok itu adalah frater pembimbing retret di SMP. Mereka bertemu lagi setelah bertahun-tahun. Saman kini jadi aktivis, sama dengan Yasmin, yang pengacara sekaligus aktivis. Aku mengerti jika kemudian Yasmin naksir cowok kerempeng itu sejak mereka sering terlibat. Sebab, suaminya mulai menjadi birokrat BPPT yang kelewat anteng dan empuk yang pasti membosankan Yasmin. Aku aja bosen sama Lukas, apalagi dia yang tiap hari ketemu. Tahun lalu, Saman diburu oleh polisi dan tentara karena dianggap menjadi dalang kerusuhan di Medan. Gimana dia nggak nampak eksotis di mata Yasmin" Miskin, kurus, kotor, dan buron. Aku dan Yasmin menyamarkan dia sebagai jongos hingga ke Pekanbaru. Dari sana dia kabur ke Singapura. Tetapi, tak kulewatkan kesempatan ini untuk menjerumuskan Yasmin dalam jebakan yang dia suka. Kukurung mereka berdua di bungalowku di Pekanbaru selama dua malam. Dan ternyata, kejadian. Mereka bercinta. Hahaha. Lebih gampang daripada mengawinkan anjing ras. Malah, Yasmin men ingg alkan cupang-cupang di leher lelaki itu. Hohoho. Sekarang kedudukan kita seri, Yasmin. Elu nggak lebih suci daripada gue. Dan yang lebih menyen angkan aku dalam petualangan ini, kami menyelamatkan pacar Yasmin itu dengan menggunakan mobil pacarku, si Kucing Bersepatu Lars. Seru, kan.
Elu masih kencan sama Kucing Bersepatu Lars" Nggak.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Dia marah karena tahu elu cerita-cerita tentang kemamp uannya"
Manalah dia tahu. Gue nyebut namanya cuma pada kalian.
Bisnis hotel jam-jaman kalian masih" Hehehe. Masih. Tapi dia kan cuma jadi beking aja. Masih suka ketemu"
Jarang. Dia takut PP 10. Pegawai Negeri sipil dan militer tidak boleh berbini ganda dan tak boleh nyeleweng. Bisa-bisa karirnya mampet.
Kucing Bersepatu Lars adalah julukan yang kuberi pada salah satu kencan gelapku. Brigjen. Rusdyan Wardhana, nama aslinya. Karena tentara, tentunya dia bers epatu lars. Kami bertemu di sebuah pesta pariwisata di Medan tak lama setelah aku membuka hotelku di jalan Sisingamangaraja. Waktu itu dia masih kolonel, baru dipindahkan dari Jakarta ke Kodam Bukit Barisan, gagah sekali, dan aku membayangkan seorang pria yang garang dan jalang, serdadu yang liar sepulang tempur, yang merobek-robek bajuku dengan buas. Kami pun berkencan. Tetapi di tempat tidur ternyata dia anak manis, yang menunggu aku melucuti pakaiann ya. Dan dua menit putus, kayak telepon koin. Aku baru mencari posisi yang enak ketika tiba-tiba, lho kok loyo", dia ejakulasi. Dia bukan macan. Dia apalagi kalau bukan kucing bersepatu lars. Aku rada kecewa. Tapi tak apa. Setiap pria memiliki daya tariknya sendiri. Juga daya tahan. Hahaha, sedikitnya ia menambah pengal amank u.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Dan kemudian terbukti bahwa hubungan kami berguna juga.
Setelah beberapa lama kencan, kami merencanakan berbisnis bersama. Maka jadilah sebuah hotel di daerah Cempaka Putih, yang aku renovasi dari sebuah hotel tua yang hampir bangkrut. Kamar di sana bisa disewakan dengan hitungan jam. Ini bisnis menguntungkan. Tingkat huniannya bisa mencapai dua ratus persen. Tapi bisnis ini akan merepotkan kalau tidak punya beking. Ka?" rena itu, Kucing Bersepatu Lars adalah rekan yang pas.
Tentu saja aku bercerita kepada ketiga sahabatku tentang hubunganku dengan si Kucing. Dengan segera Yasmin menjadikan ini bahan ejekan. Dia itu bukan Puss in Boots, katanya. Dia itu kucing garong. Apa yang dilawan tentara zaman sekarang" Orang-orang yang tak bersenjata: petani, buruh, mahasiswa. Perutnya buncit, kan" Itu bukti bahwa tentara zaman sekarang tidak prihatin. Hidupnya enak, cuma jadi tukang pukul bagi orang kaya. Tak ada musuh yang sesungguhnya. Yasmin bicara dengan berapi-api. Aku mengerti kebenciannya pada militer, sebab dia adalah pengacara untuk para aktivis dan suka menangani kasus perburuhan. Biasanya, musuhnya adalah ABRI. Tapi tak seharusnya ia membenci Kucingku secara pribadi. Kalau kenal dekat, Kucing itu baik kok. Penolong terhadap orang yang ia kenal. Dan perutnya nggak buncit-buncit amat dibanding jenderal-jenderal yang lain. Lagipula ABRI nggak selalu jahat. Kalau bukan mereka, siapa yang melind ungi Cina-Cina dari sasaran rasialisme. Tapi
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kini kebencian Yasmin terhadap si Kucing impas setelah kami menggunakan mobiln ya tanpa sepengetahuan dia, tentu untuk melarikan Saman, yang ketika itu sedang diburu oleh anak buahnya sendiri. Hahaha, jahat juga aku pada si Kucing. Sudah kumanfaatkan, kuumbar pula rahasianya pada teman-temanku.
Bagus, elu udah putus dari laki orang itu. Carilah bujangan, Cok. Jangan lakor. Bahaya.
Masa" Lihat aja kasus Laila. Aku rasa dia dimain-mainkan saja oleh Sihar. Dijadikan selingan. Selingkuhan ringan.
Lho, justru lakor itu aman, Min. Mereka nggak posesif karena punya keluarga. Bujangan cenderung mau menguasai kita. Dengan lakor, kita bisa putus dengan gampang.
Kenapa sih elu nggak mau cari suami atau pacar yang rada tetap" Supaya elu dapat seks yang aman dan halal.
Aku bosenan kali. Tapi aku nggak mau hipokrit dan berkhianat kayak elu.
Yah, ada dua kemungkinan. Lelaki tidak ada yang tahan punya hubungan panjang dengan elu, atau you re a maniac.
Lihatlah Yasmin. Dia masih tega menasehati aku, seo lah dia lebih bermoral ketimbang aku. Padahal, detik ini juga dia tengah merencanakan perselingkuhan dengan Saman. Sembilan hari lagi kami akan berangkat ke New York. Tiket, dokumen travel, segala jadwal telah beres.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Rencana ini agak mendadak. Dua bulan yang lalu, Laila datang padaku dan mengatakan dia pingin ke Amrik. Tentu aku kaget. Aku baru dapat duit dari proyek, katanya. Aku mau nengok Tala di New York. Tapi aku nggak percaya. Akhirnya, ngaku juga dia bahwa dia kepingin kencan dengan Sihar Situmorang, pacar gelapnya, yang suami orang itu, yang kebetulan ditugaskan di negeri itu. Aku tahu Laila nggak banyak duit. Karena itu aku mau membantunya. Segera kubilang, aku ikut. Biar dia cuma bayar tiket. Visa, fiskal, dan lain-lain akan kuurus. Biar sekretarisku yang mengerjakannya. Tapi ketika aku ceritakan ini pada Yasmin, ternyata malah dia yang lebih bersemangat. Katanya: Biar aku ikut menanggung perjalanan Laila. Kasihan dia. Nanti duitnya habis. Lagi pula, aku juga perlu ke beberapa organisasi di sana untuk cari dukungan buat gerakan demokrasi di Indonesia. Langsung aku ngakak dan menjerit, Hore! Dapat alasan untuk bisa pacaran sama Saman, nih ye!
Tapi jangan bilang-bilang Laila dan Tala, ya, bahwa gue mau ketemu Saman di sana.
Elu udah ngomong itu seratus kali.
Elu nggak pernah cerita ke mereka kan kalau gue pernah tidur sama Saman"
Nggak, nggak. Tapi kenapa sih elu takut banget kalau mereka tahu. Laila dan Tala kan teman kita dari SD. Barangkali lebih baik mereka tahu. Barangkali ini akan meringankan beban moral Laila, bahwa sahabatnya, yang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
istri orang itu, ternyata juga punya affair. Barangkali ini akan menyenangkan kita, bahwa elu itu manusia juga. Bukan malaikat. Atau, elu maunya jadi malaikat"
Bukan begitu, Cok. Lagipula, affairku dengan Saman kan sudah dua tahun yang lalu. Aku nggak tahu apakah kami sama-sama sudah berubah atau belum. Kayaknya kamu masih kepingin, deh.
Belum tentu. Banyak hal yang membuat orang make love atau tidak. Banyak hal terjadi hanya satu kali. Lagipula, selain seks, banyak sekali yang kukerjakan bersama Saman. Aku terus beru rusan dengan dia soal human rights watch. Hubungan kami nggak cuma seks.
Hahaha. Masa" Bukannya elu melakukan semua itu karena dorongan libido.
Elu nggak ngerti karena hubunganmu dengan lelaki hanya sekitar selangkangan!
Nggak! Enak aja. Gue juga punya teman lelaki yang tanpa seks.
Mana! Siapa teman cowokmu yang nggak kamu kerjain!
Larung! Kamu nggak tidur sama Larung" Nggak percaya gue! Kamu begitu sering pergi sama dia. Ke Bali berdua. Nggak. Ciuman pun nggak.
Kenapa" Karena dia terlalu kecil"
Nggak. Aku pernah tidur sama yang lebih kecil daripada dia.
Terus kenapa, dong" He s good looking, biarpun mungil.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ya, nggak terbentuk aja hubungan ke arah itu. Kami dekat. Kami akrab. Kami saling suka. Tapi, nggak tahu kenapa, kami nggak menginginkan seks. Entah kenapa. Jangan-jangan dia homo!
Larung Lanang namanya. Anak yang aneh. Beratnya 46 kg. Tapi matanya tajam. Tak ada yang besar pada tubuhnya, tapi aku merasa ia tidak ringan. Ia pendek, tapi aku merasa ia dalam. Ia adalah kontradiksi yang men gejutkan. Kadang kecerdasannya menyen angkan, kadang ketakterdugaannya menakutkan. Ia bukan stereo?" tipe orang pendek yang banyak cakap dan bersuara enteng seperti yang kubayangkan tentang Napoleon Bonaparte. Suaranya tidak berat, tetapi ia teman bicara yang perhatian dan bersedia menyediakan kupingnya kapan pun aku telepon, kecuali kalau dia sedang menghilang. Itulah kelemahan dia: suka tiba-tiba tak tentu rimba. Kadang sebulan. Dan ia tak pernah cerita apa yang dia kerjakan selama menghilang.
Aku ketemu dia sekitar enam tahun lalu. Di Bali. Dal am upacara ngaben famili jauh. Ada enam orang yang diupacarakan ketika itu. Salah satunya menjadi gunjingan orang banyak. Sebab wanita tua yang meninggal lima tahun sebelumnya itu, Anak Agung Stya Adnyani, dianggap telah mencemari nama keluarga besar raja Gianyar. Konon, pada masa gadisnya ia kabur dengan pria Belanda, sesuatu yang amat menimbulkan aib, dan ia tak pernah kembali atau memohon ampun pada orangtuanya. Malah ia hidup bersam a dangan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
si bule dan mengembara. Sejak itu namanya dicoret dari keturunan Raja Gianyar. Sampai ia meninggal dun ia di usia amat lanjut. Tapi cucunya, yaitu Larung Lanang, memp erjuangkan agar abu jenasah neneknya dapat disemb ahyangkan dalam upacara ngaben agar arwahnya dapat dengan cepat meningg alkan dunia ini. Akhirnya, keluarga besarnya mengizinkan itu. Lagipula, kesalahan yang dibuat wanita itu sudah hampir seratus tahun yang lalu, dan ia telah terhukum dengan terpisah dari tanah kelahiran dan keluargan ya. Begitu pemaafan yang kudengar dari pedanda.
Dalam upacara itulah aku pertama bertemu Larung. Ia mengen akan destar dan kain yang agak kepanjangan untuk tubuhnya yang mungil. Aku menyapa dia lebih dulu, sebetuln ya untuk mendengar dongeng tentang hidup neneknya yang seru. Kisah kumpul kebo dengan pria bule pada abad 19. Sebuah roman dengan latar belakang perang. Putri bangsawan yang tertarik pada kaum penjajah dan meningg alkan puri untuk bertualang. Cerita cinta ini lebih menarik ketimbang hidup Antonio Blanco. Barangk ali bisa disinet ronkan. Aku punya teman yang produser.
Aku ingin mendengarkan kisah itu, jadi kudekati dia. Tapi ia malah bicara tentang hal lain.
Nenekku dieuthanasia. Apakah kamu setuju pada euthanasia"
Apa itu" Kata benda. Hak untuk mati. Dieuthanasia, kata kerja pasif. Artinya, dipenuhi haknya untuk mati. Tepatn ya, dik abulkan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ruwet amat, sih. Nggak pernah kupikirkan itu. Pikirkanlah kalau sempat. Bayangkan, Anda kehilangan bad an yang segar itu, tubuh Anda rapuh dan nyeri, Anda tak bisa berkomunikasi, Anda kencing dan berak di tempat tidur, Anda tak bisa berpikir, apakah Anda tidak memilih mati saja"
Wah, kalau begitu sih apa bedanya dengan sudah mati"
Karena itu aku mengeuthanasia nenekku. Oh, aku nggak tahu kalau itu sudah dibolehkan di Indonesia. Di rumah sakit mana"
Kamu pernah ke rumah sakit hewan di Ragunan" Sunt ikan sodium pentobarbital pada pembuluh darah membunuh anjing dalam waktu satu setengah detik. Tapi nenekk u ditidurkan dengan cara yang lebih tidak menyakitkan.
Bagaimana caranya" Anda kepingin tahu"
Oh, nggak. Terima kasih. Aku belum kepingin mati, kok.
Kamu bilang neneknya Larung meninggal umur berapa, Cok"
Lebih dari seratus tahun. Itu pun matinya susah banget. Katanya.
Kamu percaya kalau dulu dia betul-betul mengeuthanasia neneknya"
Nggak. Memangnya dia gila apa!
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Larung itu aneh, ya. Katanya neneknya kawin dengan Belanda. Kok dia tampangnya pribumi banget"
Dia itu keturunan dari suami kedua neneknya. Orang Indon esia pejuang republik. Makanya, tampangnya inlander sekali. Kenapa" Elu suka yang indo, ya"
Nggak. Aku senang sama dia, Cok. Kalau kuperhatikan, dia orang yang tanggung jawab. Susah sekali mendapatkan aktivis yang begitu rapi membikin laporan keuangannya. Penyakit para aktivis ada dua. Pertama, meremehkan duit. Seolah mentang-mentang untuk demokrasi mereka tak perlu mempertangg ungj awabkan dana. Kedua, ego mereka biasan ya segede-gede anjing.
Anjing apa" Dulu, awalnya aku merasa Larung itu too good to be true sebagai seorang aktivis.
Kenapa" Yah, kalau ada orang baru dalam gerakan, agak-agak mister ius, dan tahu-tahu mengerjakan semuanya dengan baik, lebih baik daripada yang lain, tanpa keinginan menonj olkan diri, wajar saja kalau kami sempat curiga. Jangan-jangan dia intel.
Ah, elu curigaan amat! Tadi curiga dia homo, sekarang curiga dia intel.
Iya juga, sih. Gue kelewat curiga kali, ya" Lagipula, dia terlalu canggih juga untuk jadi intel melayu.
Larung tinggal di Jakarta dan Denpasar. Ia punya bisnis percetakan dan penerbitan. Ia kukenalkan kepada Yasmin sekitar dua tahun lalu, tak lama setelah kami
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
melarikan Saman keluar dari Medan sehabis Kerusuhan April. Bulan Juni 1994, aku dan Yasmin telah kembali ke Jakarta, Saman sudah memulai hidup baru di New York. Tanggal 21 tiga majalah dibredel pemerintah. Banyak orang demonstrasi. Yasmin, sebagai pengacara dan aktivis hak asasi manusia, ikut memprotes pembredelan itu. Ia ikut dalam aksi-aksi bersama dengan kawankawan wartawan yang membikin Aliansi Jurnalistik Indonesia. Sementara itu Larung, yang mempunyai majalah lokal berbahasa Indonesia dan Inggris di Bali BaliAge, merasa terlibat juga dengan peristiwa itu. Meskipun majalahnya tidak berbau politik dia menyebutnya majalah komunitas yang berisi pariwisata dan lingkungan awalnya Larung ikut menentang pembredelan itu bersama wartawan-wartawan Bali. Ia datang ke Jakarta untuk mengi kuti demonstrasi gabungan. Ia sempat men ginap di rumahk u karena rumah ibunya di daerah Bekasi padahal demo esok harinya direncanakan pagi-pagi. Ketika itulah ia kukenalkan kepada Yasmin. Rupanya, kemudian mereka cocok. Setelah itu, mereka beberapa kali membikin kerja sama. Kami bertiga menjadi teman baik.
Larung bintangnya apa, Cok"
Dia lahir 29 Februari 1960. Pisces. Cap Tikus. Oh, kalau begitu umurnya baru delapan. Delapan apa"
Delapan ulang tahun. p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
N ew Y ork , 1 J uni 1996
D i luar tidak ada daun-daun gugur. Di luar tidak ada hujan lebur, tak ada yang menggenang memb entuk rumah-rumah udara pada permukaan tanah. Di luar jendela udara jeda, dan turis-turis dengan kaki letih berhenti sepanjang Time Square. Telah saya lalui ruas jalan itu tujuh belas kali, telah saya alami penat yang berulang pada lutut, juga sebagai pelancong. Tetapi saya juga di sini, pada sofa ini di balik jendela, untuk membayangkan kekasih.
Sihar, saya tahu kamu tak begitu jauh. Jarak kita tak lebih dari lima kilometer. Sesungguhnya kita telah meninggalkan apa yang mengekang gairah kita di belahan bumi yang paling jauh, tempat kita berasal, setengah lingkar dunia dari sini. Seharusnya kita bisa bersama betapapun
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sementara. Tetapi kini kau di sini juga dibuntuti istrimu. Barangkali dia cemburu, atau curiga. Mungkin tidak. Barangkali dia cuma ingin berlibur, belanja, dan memunguti jenis-jenis daun yang tak ada di Jakarta, lalu menyelipkannya di antara helai-helai buku seperti herbarium, menyimpannya hingga kelak kehil angan warna.
Saya tahu kamu ada di sebuah kamar hotel itu. Days Inn. 57 th Street. West. Barangkali kamu pun memandang ke luar jendela. Melihat kelopak yang tak gugur, pada malam-malam tugur. Barangkali kamu tutup matamu ketika bersetubuh dengannya. Dan dengan punggung jemarimu, pada wajahn ya kau temukan wajahk u, pada dadanya kau temukan dadaku. Dengan mulutmu tak kau bisikkan namaku. Barangkali kamu sedikit menyesal bahwa ia ikut dalam perjalanan ini, tetapi kamu juga tidak ingin melukai hatinya. Sebab dia istrimu. Tapi, tidakkah saya kekasihmu" Tidakkah kita sepakat untuk bertemu dan kau biarkan aku menghirup keringat di lehermu"
Tapi kamu tidak datang ke taman itu seperti yang kamu janjikan. Mungkin kamu pergi juga ke sudut tenggara Central Park, dekat sirkel Columbus, dan melihat saya dari suatu jarak, menungg u kamu, tetapi istrimu di belakangmu, sedang memilih dedaunan jatuh yang tulangnya utuh. Dan ia gembira seperti seorang anak yang berkhayal menjadi ahli purbakala. Barangkali ia hanya duduk dan membikin sketsa. Kamu menoleh dan mendapati ia bahagia. Dalam hatimu kamu ucapkan maafkan aku, Laila. Lalu kamu ajak istrimu berjalan-jalan ke tempat turis-turis lain berkeliaran, kamu gandeng tangannya,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kalian berhenti di muka seorang juru gambar dari negeri Cina dan membayar untuk selembar potret dari arang. Sihar, saya ingin katakan: kamu saya maafkan. Pernahkah kamu tak kumaafkan"
Pernah saya katakan padamu setelah lama kamu seolah menghindar ketika telah tiga kali kita berbaring bersama di tempat tidur tanpa sungguh bersetubuh: Sihar, jangan cemas. Saya tak akan mengganggu perkawinanmu.
Kamu menjawab: Dirikulah yang kutakutkan. Katamu, Sebab aku bukan orang yang bisa tidak melibatkan perasaan dalam hubungan lelaki-perempuan. Aku akan tergantung padamu, kamu akan tergantung padaku. Itu berbahaya. Aku punya keluarga.
Tidak ada bahaya, Sihar. Sebab saya bukan penuntut.
Kau takkan tahu perasaanmu satu atau dua tahun lagi.
Kita sudah satu tahun. Kamu masih takut pada saya"
Saya tidak mau jatuh cinta. Kamu tidak usah.
Aku tidak mau kamu jatuh cinta.
Sihar, kalaupun saya jatuh cinta, saya tidak meminta apa-apa. Tidak bisakah kamu biarkan perasaan-perasaan kita mengalir"
Ia terdiam. Bagaimana kalau suatu kali aku ternyata menghamili kamu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Lalu saya diam. Tidakkah kamu akan bahagia karena memp unyai anak dari benihmu sendiri" Sebab istrimu janda dan tidak bisa mengandung. Tapi saya merasa salah. Saya tak menjawab.
Lagipula kamu masih perawan.
Tiga kali kami berkencan, tiga kali ia ulangi itu.
T elah tujuh hari kamu di New York. Tapi kamu tak menelepon untuk mencari saya atau sekadar meminta maaf karena tak jadi datang hari itu. Apakah nomer apartemen Shakuntala tertinggal di Jakarta, atau kamu tak berani membawa alamat perempuan sebab istrimu yang mengepak seluruh barang" Ataukah dia menemukan catatan itu dan merobeknya seperti mendapatkan bukti" Apakah dia mencacimu" Barangkali dia hanya berdiam diri.
Sedangkan saya sendiri di rumah sekarang, dengan televisi yang salurannya saya ganti tiap setengah menit. Shakuntala pergi ke bandara JFK menjemput Cok dan Yasmin yang akan tiba. Saya tidak ikut sebab telepon di apartemen ini tidak memiliki mesin penjawab. Janganjangan Sihar telah menghubungi tetapi tak ada yang mengangkat. Kini saya ingin berjaga-jaga agar panggilan darinya tidak terlewat. Tetapi menit-menit lalu. Hanya ada satu dering dari tukang ledeng, yang saya jawab sebelum pesawat itu berbunyi untuk kedua kali.
Sekarang terdengar lagi lonceng dan saya terloncat untuk menyambar telepon. Namun itu bukan bunyi tele-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
pon, melainkan sambungan interkom. Dari corong suara yang berisik terdengar cekikik ramai tiga teman saya. Mereka telah di bawah.
Tiga menit kemudian kami sudah bersama di ruang duduk, membuka koper-koper Yasmin dan Cok, dua sahabat yang selalu membawa banyak tetek-bengek dan buah-tangan ke manapun mereka pergi. Cok tertawa-tawa sebab ia berhasil menyelundupk an setengah kilo dendeng Padang, dengan bumbu cabe dalam plastik terpisah, buatan juru masak hotelnya. Yasmin membawa beberapa slop kretek entah untuk siapa sebab saya dan Shakuntala hanya menghisap rokok putih. Lalu mereka berdua menghadiahi saya tiga lusin kondom: rasa arbei, ekstraaman, dan ekstra-intim. Sengaja kami bawa ini dari Indonesia. Siapa tahu kondom Amerika ukurannya lain. Cok mengeluarkan dari tas Yasmin kamera-video tenteng. Kalau mau bikin BF pribadi juga bisa. Jangan lupa setel musik untuk latar. Saya tertawa mendapati kegembiraan mereka. Namun saya sedang murung. Saya sedang tidak bahagia. Tidakkah kalian tahu"
Kenapa" Cok dan Yasmin bertanya hampir bersamaan, sementara Shakuntala memandangi saya.
Apa Tala belum cerita" saya melirik padanya. Saya tahu ia tidak banyak bergosip. Sihar ke New York dengan istrinya, saya melirik pada mereka berdua. Dia tidak datang ke taman.
He stood you up" Kamu sudah menelepon dia di sini" Istrinya yang mengangkat.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Dan langsung kamu tutup"
Saya mendengar nada kecewa dari kedua teman saya dan berterima kasih atas simpati mereka. Paling tidak, kondom dari kalian belum terlambat. Aku belum berbuat apa-apa.
Tapi pada sisa hari itu topik utama pembicaraan kami adalah kegagalan kencan saya yang sesungguhnya telah dipersiapkan begitu detail dan begitu bersemangat, bahkan oleh ketiga teman saya. Sihar, tidak tahukah kamu bahwa tak hanya saya, tetapi ketiga sahabat saya pun bergairah dengan percintaan kita"
Koper-koper yang terbuka itu. Di dalamnya adalah perl engk apan kamar pengantin, kecuali bahwa brokat itu dipersiapkan bukan untuk jendela melainkan untuk tubuh saya. Barangkali bagi mereka ini adalah sebuah kawin lari yang sebentar. Atau, ini seperti bintang harapan, sebuah meteorit, yang bercahaya sesaat lalu padam, maka sebelum padam jadikanlah petualangan. Sedang bagi saya sendiri, saya tak mengerti apa yang saya bayangkan terjadi. Di antara kami berempat, sayalah yang tidak pernah tahu bersetubuh, juga pada usia tiga puluh. Sesungguhnya, apa pentingnya pernah bersetubuh" Tetapi itu menjadi berarti ketika kamu, Sihar, kamu selalu berkata padaku: Lagipula kamu masih perawan.
Sihar, apa salahnya menjadi perawan"
Dia tidak mau meniduri seorang perawan, kata Shakuntala.


Larung Karya Ayu Utami di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Apa artinya, saya bertanya.
Itu berarti dia lelaki yang bertanggungjawab, sebab dia tak mau bertanggungjawab. Tapi, apakah kamu tidak pernah bertanya, Laila, kenapa harus ada seorang lelaki yang bertanggungjawab atas keperawanan perempuan" Barangk ali, Laila, jika kamu renggut keperawananmu, dengan pikiranmu atau dengan jari-jarimu, dia bisa tidur dengan tenang, tidur dengan kamu.
Entahlah, Shakuntala kata saya. Tapi, saya sudah di sini, di New York. Barangkali di sini tak ada lagi lelaki yang harus bertanggungjawab atas keperawanan siapapun. Tapi bagaim ana harus saya katakan ini pada Sihar sedang meneleponnya pun hampir tak mungkin"
Yasmin bertanya: Apakah kamu tak pernah heran, Laila, kenapa dia tidak memungkinkan kamu meneleponnya" Dia juga tidak menghubungi kamu. Jangan-jangan dia menghind ar" Tidakk ah cintamu padanya tak sebanding" Tidakkah kamu berilusi"
Tapi! Kamu tidak pernah berselingkuh, Yasmin! Kamu tak tahu rasanya ada dalam sebuah dilema, untuk membuat dua luka, bahkan tiga. Dia pernah menulis pada saya: Jangan kamu kira, Laila, bahwa hanya kamu yang sedih dalam hubungan ini. Atau cuma kamu dan istriku. Saya pun bersedih karena kita tak boleh sering bertemu. Jika kita memutuskan hubungan, sesungguhnya sayalah yang paling menderita. Tetapi jika kita meneruskan hubungan, kamu yang paling banyak menanggung pedih,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Laila. Karena itu, biarlah saya yang bersedih. Bukankan kita sebaiknya menyel esaikan asmara ini" (Tidak, Sihar. Saya tidak menuntut kamu berkorban. Tidak bisakah kita biarkan perasaan-perasaan ini mengalir")
Kamu tidak pernah berselingkuh, Yasmin. Kamu tidak pernah merasakan jatuh cinta tiba-tiba pada seseorang selain Lukas. Kamu tak mengerti rasa bersalah ketika untuk mencintainya kamu berarti menyakiti orang lain.
Yasmin terdiam. Seperti menyimpan kata-kata dalam mulutnya yang merapat.
Lalu katanya kemudian, Apa kamu nggak merasa keper aw ananmu terlalu berharga untuk diberikan kepada lelaki yang mengkhianati istrinya"
Bagaimanapun, kita sudah di sini, kata Cok. Laila telah mampir di New York. Kenapa nggak kita coba cari cara agar Laila dan Sihar ketemu. Kalau nanti gagal, ya rezekinya segitu.
Tetapi bagaimana menghubungi dia sementara menelep onn ya pun hampir tak mungkin" saya menyahutinya.
Kita minta tolong Saman saja. Minta pada Saman untuk mengajak Sihar makan! Di situ kita nimbrung. Dia pasti nggak bisa menolak. Mereka lama sekali tidak ketemu, bukan" Setelah kasus Rosano, mereka nggak berhubungan lagi. Sihar pasti terkejut-kejut kalau tahu Saman ada di sini.
Saman di New York" Saya tak tahu Saman di New York. Bagaimana mereka
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tahu bahwa Saman di sini dan tak pernah mengatakannya kepada saya" Lupakah mereka bahwa saya pernah mencintainya juga"
S aman . Wisanggeni namanya dulu. Setiap kali disebut, nama itu menghadirkan kembali sepotong waktu ketika cinta belum dicamp uri keinginan bersetubuh. Sebuah cinta yang muda, terbangun dari rasa kagum. Sebuah latihan untuk mencintai bagi seorang remaja, barangkali.
Dua puluh tiga usianya. Empat belas usia saya. Kami berada dalam sebuah lingkaran dari anak-anak. Saya adalah satu dari murid-murid yang sedang mengikuti rekoleksi sekolah. Frater Wis bercerita ketika anak-anak menggodanya untuk mengisahkan satu cerita jorok sebab mereka tahu ia berkaul selibat. Dan seorang frater atau pastur adalah seperti anjing, katanya sendiri, menarik karena mereka terikat. Ia bercerita, sebuah kisah yang barangkali telah jadi usang. Tentang seorang istri yang terpisah dari suaminya oleh pasang sungai yang tak surut-surut. Ia begitu rindu dan cemas akan sang suami sehingga membujuk seorang tukang perahu untuk menyeberangkannya. Si tukang perahu mem int a bayaran persetubuhan. Tapi, si suami tak menerima istrinya yang tak bersih lagi. Siapakah yang bersalah"
(Sihar, siapakah yang bersalah jika seorang suami ingin bercumbu dengan gadis yang ia temui di sebuah perjalanan")
(Itu kan kisah Uma dan Durga, kata Shakuntala.)
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Frater Wis tidak memberi jawaban atas siapa bersalah. Ia hanya mengajukan pertanyaan. Saya memandang wajahnya yang tenang dan menyimpan teka-teki tua, alisnya yang biasa, parut luka yang sedang mengering di pelipisnya. Ketika kami tiba-tiba saling menatap, saya merunduk seperti perdu putri malu yang peka oleh getar angin. Sebab saya dara yang belum pernah jatuh cinta. Malam itu ia mem erawani hati saya.
Saya mengetuk pintu kamarnya. Sebab kami mend apatkan waktu untuk berkonsultasi. Wajahnya bersinar oleh lampu meja di bawah dagunya. Bayang-bayang terbentuk di lekuk dahi, tapi matanya hidup oleh bintik pantul cahaya dan senyumnya dalam. Saya tak tahu apa yang saya ingin katakan, tetapi saya mengadu bahwa ayah-ibu sepertinya tak lagi mencintai saya sebagaimana dulu. Ayah juga ibumu" ia bertanya. Terutama Ibu. Ia lebih menyayangi adik-adik saya. Frater Wis menangkup tangan saya saat saya selesai bertutur. Ia terdiam sebentar, lalu bercerita bahwa ibunya amat cantik. Ibu saya amat cantik sehingga ia menarik hati tak hanya manusia. Tapi matanya menerawang ke arah lain. Ibu saya amat cantik sehingga banyak hal jatuh cinta kepadanya. Kemudian ia menatap saya. Terlahir sebagai anak sulung, katanya, saya tahu rasanya dikhianati sejak dini. Kita merasa seperti dikhianati ketika kita harus berbagi kasih ibu dengan adik-adik. Ia seperti berbagi kesusahan dengan saya, dan itu membuat saya berarti. Saya jatuh cinta padanya.
Ia menjelma seorang sahabat, mungkin kekasih, tem-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
pat saya berkirim surat. Ingin saya bercerita banyak pada-mu bagaimana aku harus menyebutmu" Frater Wis, sahabatku. Tapi aku tak bisa. Dalam surat-surat yang tak pernah terkirim, barangkali delapan belas pucuk, aku bercerita padamu. Tentang ibu yang erat membebat dadaku dengan stagen agar kuncup payudaraku yang sedang tumbuh tak terlihat orang. Dan jika aku di rumah kerap sore ibu menggiling dadaku dengan botol seperti adonan pada talenan agar payud araku tidak tumbuh terlalu dini. Aku mengeluh, sakit sekali, Ibu, sesak dan ngilu. Katanya, tahanlah. Sebab dengan begini kamu tidak membuat teman dan gurumu, bahkan orang di jalanan, tergoda. Sebab bagi merek a tubuh wanita begitu menawan. Itu berbahaya. Biarl ah kamu menjadi anak-anak sampai tiba saatnya menjadi dewasa.
Kamu tak pernah tahu, Frater Wis. Sebab saya tak berani mengirim yang itu.
Tapi saya selalu kehilangan jejak orang yang saya cintai.
S aman ada di New York"
Saya melihat Yasmin dan Cok berpandang-pandangan seperti merasa bersalah.
Kok saya nggak dikasih tahu" Mereka telah menyembunyik an ini dari saya.
Saman siapa" tanya Shakuntala.
Frater Wisanggeni. Yang dulu ditaksir Laila itu. Yang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
terus bikin LSM perkebunan, sahut Cok seperti acuh tak acuh.
Oh, itu. Ngapain dia di sini" Suara Shakuntala tetap datar.
Yasmin meminta maaf. Sebetulnya tak boleh ada yang tahu dia di sini. Sebab di Indonesia dia buron. Aku dan Cok tahu karena kami berdua yang membantunya kabur ke luar negeri.
Saya sedikit kecewa karena sahabat saya tidak berbagi kisah penting ini. Mengapa mereka tidak mempercayai saya" Tapi barangkali sebuah gerakan bawah tanah sungguh harus rapih menyimpan rahasia. Mereka ingin melindungi Saman.
Saya baru tahu bahwa kini Saman bekerja pada Human Rights Watch. Telah dua tahun ia menetap di Amerika Serikat dengan paspor dan identitas baru untuk mengelabui KBRI. Agaknya, lobi Human Rights Watch dengan beberapa orang di kongres memungk inkan dia mendapat izin tinggal dan bekerja. Ia menjadi buron setelah dituding sebagai dalang kerusuhan di Medan tahun 1994. Yasmin dan Cok menyusun pelarian dia dari Medan ke kepulauan Riau. Dari sana ia naik perahu pengangkut buruh imigran ke Malaysia, membikin paspor palsu dari calo, lalu pergi ke Singapura. Di Singapura beberapa teman lain telah menunggu dan mengurus perjal anan dia selanjutnya.
Betapa janggal, hari ini dua lelaki yang ada di hati saya sama-sama berada di New York. Pun mereka tidak saling tahu. Padahal, Saman dan Sihar pernah bekerja
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sama, barangkali berkomplot, untuk menyidangkan Rosano, setel ah putra pejabat itu mengambil keput usan yang menyeb abkan kecelakaan di kilang minyak sehingga dua buruh tewas. Kecelakaan yang mempertautkan saya dengan Sihar Situmorang. Tiga tahun lalu. Saya ingat, Rosano hampir lolos dari hukuman lewat koneksi ayahnya yang pejabat dan purnawirawan jendral. Namun, kejadian aneh terjadi. Tiba-tiba massa kampung bergerak menuju rig tempat Rosano bertugas di Talangatas, beberapa kilo dari Perabumulih. Mereka menuntut Rosano dihukum karena memperkosa seorang gadis setempat. Setelah tekanan itu, Rosano dipenj arakan meski hukumannya cuma delapan bulan.
Tiba-tiba saya ingin bertanya. Yasmin, kamu yakin Saman memang tidak terlibat dalam penggalangan massa dalam peristiwa Medan"
Dia ikut dalam rapat perencanaan demonstrasi. Meski dari awal dia sudah khawatir bahwa intel akan menunggangi aksi itu seperti dalam peristiwa Malari. Seb etulnya dia ragu&
Sebab, seingatku, selain Yuly anu yang dikeroyok, Cina lain yang menjadi sasaran adalah salah satu direktur Anugrah Lahan Makmur, perusahaan yang merebut lahan petani karet dan memb akar dusun yang dikelola Saman.
Masa kamu pikir dia mengerjakan itu semua hanya untuk balas dendam" Yasmin agak ketus.
Bukan itu. Barangkali orang seperti dia atau Sihar perc aya bahwa penjahat harus dihukum, meski dengan cara lain.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Saman tidak sesederhana itu.
P erabumulih , S eptember 1993
Gadis itu tahu setelah malam ini ia tak tahu bila ia bisa bertemu lelaki itu lagi.
Besok Sihar akan datang dari sidang Rosano di Muara Enim. Malam ini Laila menginap di rumah Saman, lima puluh kilometer dari tepi kota yang kecil dengan rumahrumah panggung. Ia berbaring pada dipan lelaki itu, pada kasur kapuk yang telah begitu tipis sehingga tulang belakangnya merasakan keras papan. Sedang Saman tidur di ruang depan pada selembar lampit. Kamar tak berpintu dan perempuan itu bisa mendengar dengkurnya, seolah tiada nyamuk malam ini. Ia sendiri tak bisa lelap sebab serangga itu merubung kepalanya dengan bunyi denging. Pipi dan daun telinganya mulai panas. Tadi sore Saman memungut tiga bunga jantan dari pohon keluih yang telah jatuh dan mengering sebagai pengusir nyamuk. Tapi Laila enggan membakarnya menjel ang tidur. Kini binatang pengganggu itu tak putus memb angkit-bangkit kesadarannya. Ia ingin bisa tidur. Ia ingin segar besok, untuk bertemu Sihar yang ia rindukan bau tengkuknya. Ia memutuskan untuk menyalakan bongkol keluih yang telah ia biarkan teronggok di kaki ranjang.
Gadis itu bangkit dan memungut dua, tapi pemantik rokoknya kehabisan gas. Ia mengumpat lirih, menyadari
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bahwa ia harus pergi ke dapur. Saman membangun rumah ini tahun lalu, setelah ia tahu polisi tak lagi memburu dia. Sebagaimana rumah dusun, dapur terletak di luar, dekat perigi, di belakang. Konstruksi demikian selalu menghadirkan rasa cemas. Rerimbun pohonan tanpa jalan yang berpenerang. Mulut sumur yang licin. Barang-barang yang bertumpukan seperti menyembunyikan ular. Gelap yang melindungi para pemerkosa. Tapi ia tak mau menjadi manja. Lagipula Saman selalu membuatnya tenang. Sedari ia remaja. Dilihatnya lelaki itu telentang dengan mulut sedikit memb uka. Sebuah bohlam dibiarkan menyala dekat jendela, sayup-sayup menerangi bagian belakang rumah.
Dapur agak gelap sebab hanya jejak-jejak sinar yang masuk. Ia mencari-cari korek api dekat kompor minyak. Cahaya lalu mendad ak redup. Tapi bohlam itu tidak mati melainkan sebuah bayangan baru saja lewat seperti kelelawar. Seketika Laila menoleh dan ia tercekik. Dilihatnya seseorang berbalik karena merasakan gerak tubuh perempuan dalam dapur. Separuh tubuh lelaki itu berada dalam bayang-bayang. Tapi dalam cahaya setengah, wajahnya rusak. Tangannya menggenggam egrek yang panjang seperti Maut yang menjelajah untuk menuai jiwa. Seketika Laila menjerit, memanggil Saman, meminta tolong. Ia tak tahu apakah suaranya tertahan atau melengking, namun sosok itu lari seperti hantu yang jeri karena rautnya busuk.
Sesaat kemudian Saman berdiri di muka dapur, menemukan Laila yang gemetar dalam bau minyak tanah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Peremp uan itu telah menumpahkan tabung kompor. Ada orang. Bawa arit. Suaranya terpatah-patah. Saman mengambil parang dari lemari dapur dan menanti. Wajahnya tegang. Laila mendapatkan pisau, namun tangann ya masih gemetar. Suara angin. Lalu keduanya melihat semak berger ak. Sosok itu muncul dan menyapa, Abang! Bang Wis!
Segera Saman mengenali suara itu. Anson. Itu adikku, Laila. Tak apa-apa.
Ia memanggil-manggil, agak berbisik. Anson muncul dari balik pepohonan. Laila belum bisa menghapus ketakutannya ketika Saman memperkenalkan lelaki itu. Sisi kiri wajahnya yang bekas terbakar menjirihkan dia, entah kenapa. Barangk ali karena begitu kaku seperti tak menyisakan emosi, barangkali karena itu mengi ngatkan dia bahwa kecelakaan bisa terjadi pada siapapun. Dengan matanya yang tinggal satu, Anson mengamati tubuh Laila sesaat, lalu mengangkat alis kepada Saman, seperti berkata, seperti menggoda, Pacar ini, Bang" Sebab, apa yang dilakukan seorang wanita yang menginap di rumah seorang pria" Akhirnya abangku punya perempuan juga. Tapi alisnya yang utuh memang hanya sebelah.
Ia memanggilnya Wisanggeni. Ia pasti berasal dari masa lalu.
Saman menyalakan bongkol keluih dan memasangnya pada sebuah botol dengan alas piring kaleng. Tapi bagi Laila itu seperti perintah tidur, sebab lelaki itu ingin bicara berdua saja dengan tamu tadi. Ia tidak mengeluh, sebab ia memang ingin istirahat. Tapi sayup-sayup ia mendengar
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
percakapan para pria. Samar, seperti cahaya.
Anson datang untuk meminjam gergaji rantai. Sial! Kemarin ada razia. Barangkali mereka lagi cari muka pada Jakarta. Ini mau pergantian bupati. Atau, ini cuma persaingan antara perusahaan. Satu truk militer turun, Bang! Gergajinya tertinggal saat mereka melarikan diri, meninggalkan pohon-pohon yang kakinya telah dikerus namun belum dirub uhkan.
Terdengar Saman berdecak. Seharusnya aku senang jika kau ketangkap. Kau itu, nadanya mengumpat. Aku ini bikin LSM perkebunan dan lingkungan, Son. Harusnya aku bermusuhan dengan kalian, maling-maling kayu. Tetapi ia ambil gergaji rantai dari lemari pertukangan. Janganlah kau potong yang masih selebar mistar. Janganlah kau ambil yang di hutan lindung.
Apalah artinya kayu yang kutebang dibanding perusahaan besar itu, Bang.
Tak perlulah kau ajak aku berdebat perkara itu! Kau ini tidak kreatif sama sekali. Tiru itu si Raja Sitorus. Sebelum menebang pohon, jadilah penyelundup di pelabuhan.
Sudah pernah kujajaki, Bang. Tapi di sini tak seberapa. Barangkali aku harus ke Jakarta atau Batam. Ia diam sebentar. Tahun depanlah. Si kecil sudah bisa kutinggalkan. Lelaki itu bangkit sambil menenteng mesin pemotong pohon dalam sak semen, menimbulkan bunyi gemrisik. Ia mengucapkan terima kasih.
Mata rantainya ada yang rusak. Harus kau keling. Saman mengantarnya ke pintu belakang. Dan harus kau
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kembalikan chainsaw-ku ini. Jangan kau pikir aku tak perlu.
Abang maling kayu juga. Brengsek, kau!
Mereka saling menepuk bahu sambil tertawa pelan. Lalu lelaki itu menjadi bayangan.
Orang itu berasal dari masa lalu.
Tapi Laila tak bisa mengingat lagi. Ia menjelang lelap ketika Saman menutup pintu. Anson, orang yang disebutnya adik, telah pergi lewat pintu belakang. Dia akan hilang di jalan bersama iringan truk pengangkut tandan sawit atau gelondong kayu. Ia selalu berjalan dalam gelap, atau dalam hutan, berkunjung ke rumah abangnya seperti pencuri, sebab rautnya begitu mudah dicatat orang. Seorang lelaki bermata satu, berwajah setengah. Dua tahun lalu ia melarik an diri dari penjara Lahat dengan menggergaji ruji-ruji jendela bui. Sejak itu ia buronan kriminal polisi.
Ia tidak mengubah namanya. Ia bukan Wisanggeni, yang mengganti dirinya menjadi Saman. Ia tetap Anson bin Argani. Sebab ia tak pernah dikenal dengan namanya. Orang-orang akan mengingat wajahnya, berapapun usianya. Si laki mata picak. Kini ia dua puluh delapan. Ia telah menikah enam tahun lalu, beranak dua, berantiganti tidur dengan peremp uan-perempuan di kedai remang sepanjang jalan lintas Sumatra. Ia tak mengenal kondom, dan jika penisnya terasa perih dan meradang ia mengomp resnya dengan rebusan kulit jelutung ataupun ampas gadung sebelum mengunjungi mantri yang akan menyutiknya dengan penisilin. Hidupnya yang tiga tahun
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ini dalam buruan polisi membuat birahinya menyalanyala. Mata dan tangannya menyukai dada-dada yang lembut subur.
Ia kerap berkata pada Wisanggeni, orang yang dianggapn ya sebagai abang sendiri, bahwa dirinya adalah buron hitam sement ara si abang adalah buron putih. Ia buron kotor dan abangnya buron bersih. (Ia tak pernah memanggilnya Saman, tak pernah bisa.) Saman diingat orang sebagai dalang di belakang perlawanan petani karet yang mempertahankan lahan mereka dari konversi kebun sawit yang penuh paksa. Seorang yang menebarkan kesadaran pada kaum sederhana. Seorang yang mengorbankan hidupnya. Tapi dirinya adalah petani yang membakar rumah pembibitan dan akan diken ang sebagai kriminil. Seorang penjahat kecil yang hanya berharga jika menjadi penjahat besar. Lalu nasib memasang talinya pada pinggang kita dan tak mengizinkan kita melompat terlalu jauh. Saman kini membangun organisasi yang bekerja untuk perkebunan dan pelestarian alam, bereksperimen dengan pertanian organik. Tapi dirinya adalah penjarah hutan liar yang dikutuk oleh pemerintah maupun para pecinta bumi. Apakah nama bagi dia" Ia tak punya kemew ahan yang membuat namanya akan diingat. Ia tak punya cita-cita yang membuat pikirannya dibaca orang.
Saman tak pernah sanggup menentang dia mencuri kayu. Penderitaan yang mereka alami bersama tak pernah membuat keduanya sama. Bagi Saman ada pilihan, tapi tidak bagi Anson. Salib mereka tak pernah bisa menjadi milikku. Betapapun ia telah terlibat.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Saman tak segera rebah. Pada malam-malam begini ia ingin sekali berdoa. Tapi ia tak bisa lagi. Ia kehilangan kemampuan, barangkali imajinasi, untuk berbicara dengan Tuhan. Ia menatap ke langit, melampaui titik-titik bintang yang paling kecil, namun ia tak lagi bisa membayangkan yang agung di suatu sana. Ia tutup matanya, masuk dalam dirinya, namun ia tak lagi bisa merasakan misteri yang dulu ada di sana. Dulu di sini. Pada hatinya ada luka. Bukan sebesar tuhan yang pergi, melainkan sebesar Upi. Upi adik Anson. Upi, yang tak pernah ia bicarakan lagi jika Anson mampir ke rumahnya. Upi yang ia coba lupakan karena mengingatnya begitu pahit. Dia gadis imbesil, barangkali sedikit gila, yang begitu birahi, meski buruk rupa. Apakah dia sesungguhnya, manusia atau hewan" Sebab perempuan itu memang tak mampu mengontrol tingkah laku. Keluargan ya memasungnya sebab ia kerap kumat kesetanan. Kesedihan membuat si lelaki menyayangi perempuan itu. Tak banyak yang bisa ia kerjakan selain membangun kerangk eng yang lebih manusiawi, sebuah dunia kecil yang manis. Tapi di sana, dalam kurungan yang ia bangun dengan bersemangat, gadis itu mati terbakar ketika tentara perusahaan menyalakan dusun mereka. Upi tak bisa lari ketika api mulai menjalari pagar kayu. Ia melolong ketakutan tapi tak seorang pun menolong. Sebab mereka menculik dan tak mendengarkan aku. Semoga ia telah meninggal karena asap dan kehabisan oksigen sebelum api dan rasa sakit menghanguskan tubuhnya. Tak bolehkah manusia menyimp an dendam" Ia tak pernah mengatakan ini: ingin ia memeluk gadis
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
itu dan membiarkannya merancapkan pucuk-pucuk nafsu pada tubuh lelakinya, sebab ia mencintai perempuan itu. Sebab itu akan membuat si gadis bahagia. Ia menyesal bahwa ia tak pernah melakukannya.
Perempuan yang tidur itu merasakan Saman berdiri di ambang pintu, memandang dirinya beberapa saat.
Sihar datang esok harinya, dengan motor trail Binter hijau milik keluarga Hasyim Ali. Ia tidak menggunakan mobil kantor. Meski Seismoclypse tidak memecat dia karena perseteruannya dengan Rosano, agaknya ia tak ingin melibatkan perusahaan dalam rencana-rencananya. Payah, katanya sembari meletakkan helm di meja, dan Laila menemukan rambut yang mulai kelabu yang selalu menarik hatinya. Barangkali karena itu membuat lelaki nampak bijaksana. Hakim mengabulkan permohonan Rosano untuk tidak ditahan selama sidang. Ketika Sihar menanggalkan jaketnya, perempuan itu menghirup keringatn ya dari sebuah jarak. Odor yang telah saya kenal.
Ia menatap saya dua detik, seperti mengatakan bahwa ia pun rindu, tetapi kini ia dalam prihatin.
Ketiganya duduk. Laila di sisi lain meja, yang bersikuan dengan dua pria yang saling hadap. Yang seorang bert ubuh ramping, mungkin kurus, dengan otot yang liat dan berserabut oleh kebiasaan gerak tubuh yang lincah, urat darah yang menonjol pada lengan. Yang seorang lagi sekal; ototnya menggumpal oleh kebiasaan menahan beban serta asupan protein tinggi. Dua-duanya berkacamata, namun Saman jarang mengenakannya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Bagi gadis itu keduanya menampilkan kelelakian dengan caranya masing-masing. Saman tidak segagah Sihar, ia tidak tampan, wajahnya sederhana, namun keberaniannya membuat ia satria dan sikapnya menimbulkan rasa segan. Dengan agak tersipu Laila tiba-tiba menyadari bahwa sesungguhnya matanya menikmati pria-pria yang terasa jantan, menyusuri jalur keringat pada badan mereka, sementara hidungnya mencari-cari jejak aroma air tubuh itu, di luar akal sadarnya. Dan ia tahu bahwa ia belum pernah, mungkin tak pernah, berani menikmati lelaki lebih daripada memandang mereka. Atau menghirup.
Betapa serupanya lelaki-lelaki ini, betapa saya menggandrungi keduanya. Betapa mereka tak terjangkau.
Kedua pria itu berbagi Bentoel biru. Di mata Laila mereka berbagi kegeraman dan kesedihan. Masing-masing telah kehil angan orang terdekat dalam suatu kesewenangan. Kematian Upi dalam pembumihangusan desa. Kematian Hasyim Ali dalam kecelakaan di kilang. Tak boleh jugakah manusia berbagi dendam" Ia mengambil A-mild miliknya sendiri, menghisapnya sendiri. Hanya korek api ia berbagi dengan dua pria itu. Ia tahu kali ini Sihar tidak akan memperhatikan dandanannya, meski ia mengen akan buts coklat dan kemeja jins yang membuat ia nampak segar dan sportif. Tapi ia cukup senang bahwa ia terlibat dalam keprihatinan mereka dan berguna di sana.
Melihat gejalanya, kelihatannya hakim akan berpihak pada Rosano" Laila mengajukan pendapat dengan nada pertanyaan, seperti orang yang tak terlalu percaya diri. Dia akan main uang dan main kekuasaan, kata Sa-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
man. Apa pendapat pengacara kita& si Yasmin"
Dia bilang tak banyak strategi lain yang bisa kita lakukan selain ikut prosedur, banding dan sebagainya.
Saman menghela nafas. Yasmin memang bukan pada tempat untuk memenangkan ini. Dia ada pada tempatnya yang benar: mengupayakan keadilan. Kitalah yang berperang. Kau sudah makan"
Saman tidak membiarkan Laila ikut melayani di dapur. Lelaki itu menanak nasi dan menggoreng tempe dan tahu sendiri, meracik kecap dengan cabe, seperti memb eri kesempatan pada Laila dan Sihar untuk bicara berdua. Tapi juga seperti tanpa tujuan itu. Setelah makan ia meminta tolong Laila memotong pepaya dan membuatkan kopi untuk mereka bertiga. Laila menurut sebab itu pembagian kerja yang imbang. Tetapi ia selalu merasa ada pembicaraan yang penting di antara Saman dan Sihar sementara ia tak hadir.
N ew Y ork , 1 J uni 1996
Ia merasa banyak pembicaraan penting di antara sahabatn ya ketika ia sedang tak hadir. Tiba-tiba ia merasa dikecualik an dengan parah.
Apa yang saya tahu tentang laki-laki yang saya cintai"
Barangkali itu pun cuma ilusi. Ia seperti mendengar suara Yasmin.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Mereka lebih tahu tentang Saman. Dan perihal Sihar, apa sesungguhnya yang saya punyai"
Laila tahu setitik telah mengumpul di ujung dalam matanya, seperti selaput air yang menunggu tumpah. Ia segera bangkit, menuju pantri dengan cangkir kopi yang belum habis. Ia tak mau air mata itu terlihat mengalir. Tapi Shakuntala menyusulnya.
Entah kenapa, saya sedang sensitif. Tak apa. Kamu tak perlu senantiasa tegar. Tapi saya tahu ini perkara bodoh. Kecerdasan tidak selalu relevan.
Mereka sepakat untuk mencoba menikmati sore hingga malam, membawa Laila lupa pada luka kecilnya. Persetan dengan diet. Kita akan mengudap sepuasnya. Hidup makanan dan minuman! Shakuntala mengajak mereka minum arak beras dengan cemilan rumput laut serta lotus di Sake House, kemudian berjalan-jalan menghirup aroma ganja dari anak-anak yang menghisapnya sepanjang St. Mark, menengok toko buku di ujung jalannya, lalu Cok mengusulkan makan malam di Figaro, restoran Italia yang terkenal di antara teman-teman lain yang kerap ke New York, dan setelahnya Yasmin mengusulkan menikmati bir di sebuah kedai jazz dekat Blue Note. Inilah New York: makanan Jepang, China Town, Little Italy, dan jazz. Laila tak mengusulkan apapun. Ia hanya pelan-pelan menikmati, sesekali teringat bahwa Sihar ada di sebuah titik di kota yang sama. Barangkali dari sebuah koma ke koma lain, sebab barangkali ia tak berhenti. Mungkin ia akan lewat juga di sini. Matanya menyensor setiap pria berkulit
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
coklat dan berambut hitam yang lalu dalam ramai lampu dan pejalan kaki. Tapi Saman juga di sini, bukan"
Malam ini, please Laila, malam ini aja, persetan dengan laki-laki. Apalagi yang udah kawin, pinta Cok. Lalu ia tertawa geli terhadap diri sendiri. Ya, gue bisa bilang begitu karena gue udah tidur dengan entah berapa lelaki. Perawan, lakor, duda. Sampe kadang capek. Hubunganhubungan pendek membikin kita yakin bahwa cinta dan seks itu nggak istimewa amat.
Dan sembilan puluh sembilan persen lelaki tidak memuaskan kamu kalau kamu tidak bisa memuaskan diri sendiri, Shakuntala berkata sambil lalu.
Laila mencoba menertawakan diri. Tapi fokus matanya beralih-alih, panjang-pendek, pada orang-orang di sisi jauh ruang, pada wajah kawan-kawannya. Satu lelaki di seberang mengingatkan dia akan Robert de Niro, satu yang lain merupakan versi bule dosen statistiknya. Lalu wajah Yasmin yang apik. Kulitnya yang licin (ia satusatunya di antara mereka berempat yang tidak pernah merok ok dan percaya bahwa merokok berakibat buruk pada kulit). Perona yang rapih. Bibir yang lembab. Bulu alis yang tertata. Mata yang cerdas. Senyum yang sopan. Cok di sebelahnya. Rambutnya tergerai sedikit berantakan seperti orang habis bersetubuh. Anting gelang. Ia sedang tidak mengenakan pemulas apapun selain gincu merah hati yang makin memperkuat tawanya yang lebar dan lepas. Kancing atas bajunya terbuka. Dadanya berhimpitan. Lalu Shakuntala yang duduk di sebelah Laila. Ia hanya memakai maskara biru yang nampak seperti aksen
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
pada sebuah lukisan monokrom warna tanah, atau mengingatkan Laila pada sebuah gambar Paul Klee: warna padang pasir dan secelah langit. Rambut yang kini tercukur membuat tulang-tulang tirus wajah Shakuntala menonjol. Juga lehernya yang kurus dan bahunya yang kokoh. Ia telah menyampirkan jaketnya pada bangku dan kini hanya mengen akan singlet sehingga Laila bisa melihat dadanya yang rata dan serabut biseps dan triseps lengannya yang berjalinan. Tanda-tanda dewasa dan pengalaman seks telah ada pada mereka semua.
Ia sendiri merasa sedikit kelebihan berat. Ia teringat, semasa sekolah dialah yang paling banyak berlatih fisik. Naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, menyusur kebun teh, berenang jenis olah raga kelompok yang kebanyakan anggot an ya anak laki-laki. Juga tidur bersisian dengan kawan laki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia anak laki-laki, yang dinamis, tidak domestik, menjelajah alam, meninggalkan Barbie, tak segera tersentuh kosmetik. (Dan, yang barangkali tak ia akui, menyangkal buah dadanya sendiri. Juga menstruasinya. Ia pantang mengeluhkah keletihan atau nyeri ketika datang bulan. Ia selalu siap dengan banyak pembalut sehingga darah itu tak pernah rembes ke pakaian luar. Ia akan selalu segera mencuci bersih celana dalam yang tercemar sehingga tak satu pun akan melihat jejak yang memal ukan itu.) Tidak semua anak perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan ia merasa ada supremasi pada
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dirinya. Kini dia telah jauh dari aktivitas itu. Tak bisa lagi masuk ke dalam dunia pria dewasa. Memang ia memotret di alam terbuka atau medan yang sulit satu dua kali. Tapi lebih banyak pekerjaan studio yang tersedia: membikin foto sepatu kulit, botol kecap, telur, atau model. Ia telah lupa olah raga. Yasmin dan Cok punya jadwal rutin ke pusat kebugaran. Shakuntala terus menari. Tapi ia telah lama lupa pada tubuhnya. Dan menstruasinya makin lama makin tak rutin.
Beauty is in the eyes of thyself. Shakuntala memegang tangannya. Lalu tertawa. Klise, ya"
Ia juga tertawa. Ia seperti mendapat konfirmasi pada penyanyi tambun yang menikmati suaranya sendiri, juga kesedihannya sendiri. But Not for Me. Mereka bertepuk.
Atas estetisasi kesedihan, komentar Yasmin. Luar biasa. Si penyanyi menghadirkan melankoli dengan suara datar ala Chet Baker, sementara improvisasi piano menjadi liris justru karena time-span dan range yang panjang ala Keith Jarrett.
Someone to Watch Over Me. Ketiga kawannya tak terlalu mempedulikan komentar itu.
Ada uban di rambutmu, Tala. Tiga. Tujuh. Banyak. Memang, Laila.
Bagus. Rambut putih tumbuh lebih cepat.
Laila selalu mengagumi perak-perak rambut. Ia menatap kepala itu, mengingat Sihar. Wajah Shakuntala yang tampan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
N ew Y ork , 6 J uni 1996
S ihar . Yasmin telah menghubungi Saman. Ia telah meneleponm u tiga hari lalu. Kamu akhirnya setuju untuk datang minum kopi sebelum pertunjukan Shakuntala malam ini. Sebab dua hari kemudian kamu akan terbang ke Odessa. Saya kangen kamu, ingin melihat kamu, mau menghabiskan malam dengan kamu. Kini giliran saya, setelah istrimu pergi.
Barangkali kita akan bercumbu. Dan melupakan segala dosa. Sebab di sini tak ada. Sebab istrimu telah pergi.
Saya sudah berdandan. Mungkin untukmu, barangkali juga bukan. Cok memblow rambut saya dengan cuat pada ujung-ujung seperti Drew Barrymore. Katanya wayah saya yang bulat cocok dengan model rambutnya. Ia juga memberi polesan minimalis yang cocok untuk wajah Asia. Katanya. Waktu kecil ia ingin jadi perias di salon, tapi ia terlalu kaya untuk pekerjaan itu. Rumahnya di Tanah Mas seribu meter persegi, kamar orangtuanya di ujung satu, kamarnya di ujung yang lain. Ke sanalah ia membawa pacar-pacarnya. Sedangkan saya tak punya ruang bahkan untuk berkec upan. Rumah kami kecil. Dan kami lima bersaudara. Saya paling tua. Tak baik memberi contoh nakal pada adik-adik. Saya tak berani melakukannya di mobil sebab satpam dan berandalan akan memeras kita. Maka kamu membawa saya ke Copa Cabana dan kita duduk menatap Pulau Seribu ketika langit terang. Sebab kita hanya kencan ketika hari siang.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Coba hitung berapa pulau yang nampak dari jendela, katamu setelah orgasmemu. Meski kita tak bersetubuh. Dan saya gugup.
Empat. Enam. Saya tidak melihatnya. Kancing celanaku ada enam. Oh, kamu sudah mengancingkannya.
Hm mh. Kamu nggak tanya kenapa aku memakai kancing bukan resleting"
Kenapa" Kancing lebih sulit dibuka.
Ia tertawa. Saya masih mengenakan handuk yang saya bebatk an seselesai kami bercumbu tadi. Saya tak ingin ia mengamati tubuh saya sebab malu. Ia tak memaksa. Meski ia katakan dada saya indah. Ia mematikan lampu dan menutup tirai ketika kami akan mulai. Setelah usai ia membuka jendela dan mengenakan kembali celananya. Tapi sejak tadi selalu ada celah kecil cahaya. Apa kita akan pulang sekarang, Sihar" Ya.
Kalau begitu saya pakai baju dulu. Saya pergi ke kamar mandi dan kembali setelah berdandan. Ia pun telah rapih.
Kamu teringat istri"
Tidak& Ya& Tidak secara spesifik.
Saya belum pernah melihatnya. Saya bertanya. Dia baik. Amat baik, katamu.
Apakah dia tidak cantik" Saya tak menanyakannya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kamu bawa fotonya di dompet" Tidak.
Kamu tak banyak bercerita tentang istrimu, selain bahwa ia tak bisa mengandung lagi. Seperti apakah dia" Langsing, gemuk, pesolek, sederhana"
Dalam bayangan saya dia adalah wanita yang manis, barangk ali agak penurut. Sebab ia merasa tak sempurna setelah tahu bahwa ia takkan bisa memberimu anak. Karena itu ia bukan pembantah atau penuntut. Meski ia bekerja juga. Barangkali di perusahaan asuransi. Atau di bagian marketing kantor perumahan. Atau sebagai beautician Lancome. Ia punya gaji yang cukup untuk membeli pakaian dan pergi ke salon. Tapi ia bekerja lebih untuk mengisi kehidupannya sebab kamu sering tak ada dan anaknya, putri dari perkawinan sebelumnya, telah dua belas tahun. Ia mungkin wanita yang percaya bahwa suami boleh berselingkuh selama tidak di rumah dan di hadapan istri. Ia janda pula. Barangkali ia bercerai dengan suami pertamanya karena lelaki itu membawa kekasihnya pulang. Atau, ia sendiri simpanan yang dicerai, atau sekadar ditinggal, setelah istri pertama memergoki hubungan itu dan mengancam si suami.
Tak kamu ajak istrimu ke kedai ini, kan" Bukankah dia telah pulang.
Tapi kamu datang bersama seorang perempuan! Ia mengenak an sepatu buts, hampir seperti milik saya, celana ketat berwarna hitam, baju leher tinggi juga hitam, dan jaket kulit merah yang ramping. Sihar, sesungguhnya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
saya tidak siap berhadapan dengan istrimu. Saya kira dia telah kembali ke Jakarta. Dengan cemas Cok dan Yasmin menatap saya dan kalian ganti-berganti. Kalian jalan berdampingan, tidak bergandengan, masuk dari pintu kaca. Kamu persilakan dia lebih dulu. Kamu sentuh bahunya. Itu istrinya"
Saya nggak tahu. Ia cantik. Rambutnya lurus ketal menyentuh pundak, hitam memadan kulit kuning. Alisnya tebal, dan ketika ia semakin dekat nampak ia sedikit berkumis. Dan ia mengenakan anting-anting di lima lubang di masing-masing cuping telinganya. Waktu kamu memperkenalkannya sebag ai istrimu dan ia menjabat tangan saya, kukunya lentik bercat darah, seperti orang yang tak pernah bekerja di dapur, dan lengan itu berbulu halus. Ia cantik. Kamu sungguh beruntung.
Sihar menatap saya, mungkin tak lebih dari dua detik. Wajahn ya lempang, namun pada sebentar tatapannya ia menyatakan sesuatu. Maafkan aku, Laila. Tetapi sudah kubilang aku lelaki beristri. Sihar, tak bisakah kamu tak mengajak istrimu barang dua jam"
Ini Yasmin, Yang. Kamu memanggilnya Sayang . Dan ia cantik. Ini Laila.
Kamu perkenalkan Yasmin lebih dulu.
Hai! Ada percaya diri yang kuat padanya. Sihar cerita banyak tentang kalian berdua di Perabumulih& Mana Saman"
Ini Cok, teman kami juga. Saman sebentar lagi
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
datang. Yasmin mengambil pembicaraan sebab ia tahu saya tak sanggup menyahut.
Tak ada nada kikuk pada wicara Sihar. Begitu dinginkah kamu" Kamu telah membawa saya ke motel dan kita telah bercinta-cintaan lebih lama dari setahun. Tidakkah rahasia itu membuatmu gugup" Atau, kamu buka rahasia itu dengan kebenaran yang kamu plintir" Telah kamu bualkan pada istrimu seolah-olah saya gila padamu sementara kamu memandang sebelah mata saja. Mungkin kamu katakan bahwa saya sekadar perawan tua yang kesepian, ingin bertualang namun takut melepaskan keperawanan. Lalu kamu jatuh iba dan memberi saya sedikit belaian. Kamu bilang pada istrimu, Maaf, Yang. Aku cuma kasihan. Sudah tiga puluh tahun kok belum punya pengalaman seks sama sekali. Memang kubawa dia ke motel tapi tak kusetubuhi dia. Dia tidak berani. Lagipula kamu jauh lebih seksi daripada dia. Dia dingin dan bodoh. Kamu begitu bergairah. Kamu menyukai bulubulu tubuhnya dan percaya bahwa perempuan berbulu mempunyai birahi yang besar seperti impian seribu satu malam. Karena itu kamu nikahi dia meskipun dia tak bisa memberimu anak. Kamu lebih menyukai wanita berpengalaman ketimbang perawan murni. Kamu nafsu pada tubuhnya yang panas meski rahimnya telah dingin.
Kamu fotografer, Laila" Perempuan itu bicara pada saya.
Iya. Hitam putih atau warna"
Saya lebih banyak mengerjakan warna.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Asyik ya fotografer& selalu berpikir untuk mengabadikan sesuatu.
Saya termangu. Mengabadikan sesuatu, katanya. Sedang liburan ke sini" ia bertanya lagi. Saya membuat dokumentasi dan foto esai tentang Shakuntala. Setelah dari New York kami akan pertunjukan bersama di Jakarta dan Yogya. Mungkin juga Bandung. Dia akan bikin performance art, saya pameran. Mungkin di CCF atau Goethe Institut atau Erasmus Huis. Cok menoleh pada saya dengan heran. Oh. Saya kira kalian pada liburan aja.
Nggak. Saya pengacara. Saya ke sini juga urusan kerja. Untuk advokasi human rights. Mbak kerja di mana" Saya di Star Mobile.
Bagian apa" Saya corporate secretary.
Terdengar tawa lepas Cok. Rupanya, cuma aku yang ke sini untuk main-main.
Lalu perempuan itu balas tertawa. Ada gingsul yang manis di geligi atasnya. Saya juga ke sini untuk mainmain. Lusa saya pulang.
Tanpa terkuasai mata saya melirik Sihar ketika kalimat itu usai diucapkan. Saya tak tahu apakah itu harapan atau bukan.
Saya juga terbang ke Texas pada hari yang sama, sahut Sihar.
Begitukah. Saya tahu tangan dan kaki saya telah dingin. Sebab ia menjawab pertanyaan yang tak saya ucapkan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Lalu Saman datang. Tubuhnya kelihatan sedikit lebih berisi. Kulitnya lebih terang karena lama tak terpapar matahari dan suhu tropis. Ia nampak necis dengan baju hangat. Tapi wajahnya tetap. Entah kenapa kehadirannya jadi begitu menggembirakan, mendeb arkan seperti sesuatu yang melambung dalam igau sakit panas. Mungkin saya sedang terpukul atas kedatangan istri Sihar (bahkan saya tak mau tahu namanya). Mungkin saya jadi begitu kosong dan kesepian. Saya peluk dia dan ia merangkul saya pula. Lalu, saat pipi saya menempel di bahunya, dekat telinganya, dekat lehernya, sekonyong saya ingin menangis, seolah ada dalam masa lalu, ketika saya mencinta dan memujanya sebagai abang, pembimbing, kekasih tempat saya berkirim surat. Frater Wis. Ke mana saja kamu selama ini" Tidakkah kamu ingin berbagi persoalanmu dengan saya lagi"
Kami berjalan menuju teater. Dalam gedung saya duduk di sisinya. Saya paling ujung, lalu Saman, Yasmin. Sihar di ujung lain. Malam itu saya merasa Saman menyelamatkan saya.
N ew Y ork , 10 J uni 1996
Hari keempat setelah pementasan Shakuntala. Ada jejak rasa yang terbawa dari pertunjukan itu seperti dejavu tentang kesed ihan. Ketiadadayaan yang tak ha-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bis. Kemarahan yang ternyata sebentar. Ruangan yang sempit. Harum dupa dan taburan melati. Shakuntala menarikan Sita, Rama, dan Rahwana. Ia berganti peran dengan putaran-putaran. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan kain dan sampur. Ia tak berpayudara, tetapi saya bisa merasakan ranum pucuk buah dadanya ketika ia menjelma Sita. Dada yang sama itu menjadi perkasa, otot pektoralnya mengembang, ketika ia memerankan sang dasamuka. Saya jatuh simpati pada raksasa yang telah lama dikutuk oleh cerita wayang. Dalam bangsal yang tak lebar itu saya melihat gerak-gerak kecil, denyut-denyut halus otot Shakuntala yang membangun alur pelan dengan henti-henti yang menakjubkan karena tak selalu terduga. Ia menarikan Sita yang terbakar hingga mengerisut hangus (yang membuat Saman hampir menangis sebab itu mengingatkannya pada Upi). Rama yang terpuask an oleh kesia-siaan, menari gagah dengan kegilaan. Rahwana menutup dengan tarian berputar-putar dengan satu kaki terangkat seolah terbang. Saya lupa bahwa itu adalah sahabat yang saya kenal dua puluh tahun lalu. Rasanya ia bukan Shakuntala. Ia androgini.
Tapi ada jejak rasa, ngilu setelah pengkhianatan. Saya ingat ketika Sihar datang dengan istrinya sebagaimana saya ingat ketika dia masuk ke dalam taksi dan tak menatap saya lagi. Saya melihat profilnya dalam taksi yang pergi dari pelataran. Saya hanya menggambar, dari hari ke hari, pada lembar-lembar kertas cat air. Ombak-ombak yang menjauh.
Ini siang saya sendiri. Pagi tadi Yasmin berangkat ke
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Washington DC bersama Saman, mengikuti sebuah konferensi. Cok ikut untuk jalan-jalan. Mereka menganj urkan saya tetap di apartemen Shakuntala, sebab siapa tahu Sihar menelepon dari Odessa, setelah istrinya pulang.
Namun, selalu, setelah saya tak mengharapkannya lagi, telep on berdering. Suara Sihar di ujung itu. Apa kabarmu, Laila" kamu bertanya.
Menurut kamu gimana" Walaupun saya berdebar. Kedengarannya kamu baik& Maafkan saya, Laila. Lalu kamu katakan, kamu tak punya kesempatan. Sebab istrimu memintamu mengantar ke segala tempat. Ia tak mau ditinggal barang setengah jam. Istrimu yang cantik. Sebab ini adalah liburan perayaan perkawinan kalian yang kedelapan. Kamu belum kawin sih, Laila. Kalau kamu sudah kawin, kamu tahu betapa susahnya mengatur waktu.
Itulah kesalahan saya: belum kawin dan masih perawan. Kamu lebih suka punya kekasih wanita bersuami, sebab mereka lebih aman.
Jangan ngambek dong, Sayang. Saya tidak bermaksud bilang begitu. Maaf& .
Sihar, pernahkah kamu tak kumaafkan" Selalu saya marah dan terluka, tapi selalu saya sanggup membayangkan bahwa ini pun bukan perkara gampang bagi kamu. Pangg ilan darimu, biar apapun, membuat saya merasa bahwa kesedihan ini juga menjadi bagian dirimu. Istrimu sudah pulang"
Udah. Kamu mau ke sini" Memang kamu mau saya ke situ"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Laila, saya kan menelepon kamu. Tapi, kalau ke sini, kam u jangan menginap di staff house. Kita cari hotel. Kenapa"
Nggak begitu enak aja. Kalau saya di hotel, kamu sibuk training di staff house, kamu tak selalu bisa menengok saya, untuk apa saya ke sana"
Saya usahakan menengok kamu tiap sore. Saya lihat dulu saya bisa apa tidak.
Pembicaraan telepon dengannya tak pernah diakhiri oleh kecupan.
S aya sedang berdebar ketika Shakuntala pulang. Ia membawa belanjaan dalam kantong kertas. Roti pentung, susu tanpa lemak (ia selalu minum susu untuk memperkuat tulang sebab menurut dia penari bukanlah seonggok daging). Ia memanaskan dan mencampurnya dengan kopi lalu menyodorkan segelas pada saya.
Gimana, Laila" Sihar menelepon. Dari Odessa. Barangkali saya gembira.
Ia menaikkan alis. Ia mengajak saya ke sana. Apa yang harus saya lakukan, Tala"
Ia menghela nafas dan duduk di sebelah saya, menyeruput dari mugnya. Laila, tahukah kamu kalau hubungan seks tidak selalu menyenangkan buat peremp uan" Saya diam. Sebab saya masih perawan. Kadang menyakitkan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Kamu nakuti-nakuti saya! Ia mengangkat bahu. Kalau kamu bersama orang yang kamu suka dan kamu tahu cara menikmatinya, maka seks akan menyen angkan. Tapi, kalau kamu tahu cara menikmatinya, seks juga menyenangkan tanpa orang yang kamu suka.
Saya tertawa, meski saya tak begitu mengerti apa yang ia katakan. Ia biasa membolak-balik kalimat.
Lalu ia duduk agak membungkuk, sikunya bersandar pada paha, kedua tangannya berjalin, matanya memandang televisi yang mati. Laila, pernah nggak kamu merasa bahwa kamu adalah laki-laki" Anak laki" Nggak.
Kenapa" Ia menatap saya. Kamu kan dulu tomboy. Temanm u lebih banyak laki.
Tapi saya kan bukan lelaki sungguhan.
Ia membuang muka. Apakah itu sungguhan " Mereka juga bukan lelaki sungguhan.
Siapa" Mereka semua. Dan kita juga bukan perempuan sungguhan. Kita semua jadi-jadian.
Saya tertawa. Iya. Kita semua ngepet. Ia tertawa.
Tala! Karena itu kamu bisa menari sebagai lelaki dan peremp uan!
Ia nyengir. Ya. Aku ini perempuan juga lelaki. Lalu ia menoleh lagi pada saya. Namun air mukanya telah berubah. Tiba-tiba saya menjadi takut. Sebab pada matanya saya melihat mata Sihar. Pada bahu dan lengan-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
nya saya mendapati sepir yang jadi. Cahaya lampu dap ur yang lebih nyala daripada di ruang duduk mengkilatk an sedikit perak pada rambutnya yang cepak. Ia berdeh em dengan suara maskulin, seperti menggoda saya. Saya dorong dia. Tala!
Kami tertawa. Gigimu bagus, katanya. Saya berdebar.
Lalu ia bertanya apa yang membuat saya tak bisa melupakan Sihar. Namun, dengan semakin takut saya menyadari bahwa padanya saya melihat apa yang saya senan gi dari laki-laki, dari Sihar, dari Saman. Postur yang tegap, kulit yang gelap, rasa humor, sikap mengayomi. Dan orang ini belum pernah mengkhianati saya selama lebih dari dua puluh tahun. Ia tak pernah pergi. Saya baru menyadari bahwa dengannya saya banyak tertawa. Tapi, sem ua itu begitu membuat gelisah, seperti ada rasa salah.
Tala, karena itu kamu bisa menari sebagai lelaki. Agak kikuk saya mencari cara melupakan penglihatan yang baru saja.
Ia berdiri. Menghadap saya. Saya ajari kamu tango! Supaya kalau kamu ketemu Sihar dan suntuk, kamu bisa menari.
Ia menyetel musik. Astor Piazzolla. Lampu pantri dipadamk annya sehingga ia seperti dalam sebuah panggung yang privat, ruang yang muncul pada layar televisi, di mana saya satu-satunya sang vouyeris.
Spanish tango, katanya, diilhami gerakan matador.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ia bersiap dalam postur anggun. Tulang punggungnya memb usung, membentuk lekuk lencir antara pundak dan pantat. Satu kakinya menekuk kecil. Matanya menatap saya seolah pada seekor banteng. Ia tersenyum sedikit, dengan ujung kanan bibirnya, mahal, lalu berubah dingin sesaat kemudian. Tiba-tiba ia mulai bergerak, berputar, berkelit, mengayun dan kembali melipat tangan di belakang pinggang, seperti seorang penakluk binatang buas.
Saya bertepuk tangan oleh pesona yang singkat. Ia tersenyum, memiringkan kepala. Ada sesuatu yang amat tampan pada dirinya.
Argentinian tango lebih banyak bermain pada kaki.
Sesaat ia menunggu ketukan musik. Lalu ia masuk dalam alur permainan kaki dengan hentakan, belitan yang lincah dan berten aga sehingga saya berdecak. Ia menarik saya berdiri dan menarik an kaki-kakinya pada kaki-kaki saya. Penari lelaki dan peremp uan saling menyisipkan kaki di sela kedua kaki pasangannya, katanya. Pada pinggul ke bawahlah letak kesulitan dan keind ahann ya.
Susah sekali, Tala! sahut saya dengan agak bergetar.
Ia tertawa dan melepaskan saya.
Saya ajari kamu yang sederhana. Ballroom tango, katanya.
Ia meminta saya berdiri di samping belakang, menirukan langkah-langkah panjang dan pendek, panjang dan cepat, langk ah-langkah berputar. Lalu kami mulai menari berpasangan, tangan saya menyentuh pundaknya dan ibu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
jari saya ketiaknya, tangannya menyentuh pinggang saya. Agak kaku saya menatapnya seraya mencoba menghafal hitungan.
Jangan kamu menatap aku, katanya. Interaksi bukan pada wajah, melainkan pada tubuh.
Sebab ini adalah tarian yang sensual, bukan romantis. Dan jika kamu menyerahkan tubuhmu pada musik, melupakan pikiran, tubuhmu akan mengalun.
Imbauan Pendekar 5 Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka Samurai Pengembara 10 2
^