Pencarian

Larung 3

Larung Karya Ayu Utami Bagian 3


Cahaya temaram. Wajah kami saling membuang, namun profilnya, hidung, tulang pipi, rambut pendeknya, terasa lewat sudut mata sebagai citra yang samar. Semakin tak sanggup mata saya menangkap bayangan itu karena gerakan dan cahaya rendah, semakin bercampur wajah Sihar, terkadang Saman, di sana. Seperti dalam sebuah foto dengan kecepatan bawah, segalanya adalah aliran.
Lalu musik berhenti. Telah satu jam. Telah satu jam kami berdansa. Kami saling melepas pelukan. Saya mel ih at ia berker ingat. Ia mencopot kemejanya begitu saja seperti seorang lelaki menanggalkan pakaiannya yang telah basah. Dan tengkurap. Saya melihat otot punggungnya. Titiktitik peluh. Ia berbalik. Lalu saya menemukan wajah saya telah bersandar pada siku lehernya. Dan saya menangis. Sebab sesungguhnya saya tahu saya terluka oleh sikap Sihar. Sebab kini saya tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar. Hangat nafasnya terasa. Cahaya rendah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
N ew Y ork , J uni 1996 Namaku hanya satu: Shakuntala.
Tapi sering aku merasa ada dua dalam diriku. Seorang perempuan, seorang lelaki, yang saling berbagi sebuah nama yang tak mereka pilih.
Aku lupa sejak kapan kutahu bahwa aku anak perempuan, sama seperti kita lupa kapan kita pertama kali ingat. Aku curiga bahwa ayah dan ibuku mengatakannya kepadaku terus-menerus kamu perempuan sejak aku belum bisa bicara. Dan bagaimanak ah aku bisa membantah jika aku tak bisa bicara"
Tetapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang memberi tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu dia adalah diriku laki-laki. Ia muncul sejak usiaku amat muda, ketika itu aku menari baling-baling.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Berputar-putar aku menirukan para darwis sehingga rokku menggembung seperti bunga kecubung, dan kelaminku seperti kembang telang. Percepatan membuat tubuhku terangkat hingga bertumpu pada kuku bujari. Ringan sep erti biji mahoni. Lalu aku melayang dan merasa ada yang terlepas: ia. Dan ketika tubuhku kemudian terhempas, aku melihat dia di hadapanku. Diriku laki-laki. Dia mencintaiku. Ia mencium di wajah dan mengelus di punggung. Dan ia tidak pergi.
Jika aku berputar terus dan berputar lebih kencang, maka sosok-sosok lain akan berlepasan dari diriku. Dua, lalu tiga, lalu empat, lalu banyak, dengan kelaminnya masing-masing, tidak laki tidak perempuan, bentukbentuk yang tak pernah dikenal orangt uaku dan segala ayah ibu. Seperti bunga-bunga yang kuncup, menjengat, rekah, lembut, kasar. Tetapi aku tak bisa berputar lebih cepat daripada itu. Aku belum bisa.
Manusia tidak terdiri dari satu, kataku.
Tentu, bisiknya. Tapi ia tempelkan telunjuknya pada bibirku. Lambat dan lama. Jangan biarkan orang lain tahu.
Barangkali dia adalah laki-laki pertama yang kucint ai, sebelum si raksasa itu. Ia adalah lelaki yang padanya tak kuserahkan keperawananku. Sebab ia akan selalu bers amaku. Untuk apa kuberikan milikku satu-satunya pada dia yang tak mengambil"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Manusia tidak terdiri dari satu, kataku.
Aku tahu ada sosok lain dalam teman-temanku yang aku tak bisa lihat, sebagaimana diriku lain yang tak mereka ketahui. Kupandangi ketiga karibku yang kini mengambang pada sofa putih kaku, berjejer, seperti deret pasien tanpa kartu pada busa putih telur. Di belakangnya, jendela berisi apartemen kemerahan dan langit biru di seberang jalan. Satu dua burung sesekali melayang, seperti gambar pada lapis bening yang digeser di muka gambar lain yang tetap, dalam tabung kaca bolpen cenderamata.
Kawan-kawanku berbeda satu sama lain. Laila Gagarina. Fotografer. Wajahnya yang sederhana, terdiri dari dua mata, satu hidung, satu mulut. Tubuhnya yang mulai kehilangan otot. Ia membaca Time Out tetapi ia sesungg uhnya mencari-cari agenda Lincoln Center yang akan menjadi alasan untuk mengingat pertem uannya yang tak riang dengan Sihar beberapa hari lalu. Yasmin Moningka yang berwajah baik dan benar, barangkali baku seperti Bahasa Indonesia. Pengacara. Dia seumpama lukisan realis di mana tak satu garis pun melenceng sehingga tak ada sisa bagi kita untuk menafsir. Ia duduk di sebelah Laila, membaca sebuah artikel New Yorker dan men gag umi penulisannya. Aku suka New Yorker dan Granta, ujarnya. Cokorda Gita Magaresa. Jika bahasa hindi itu diterjemahkan dengan bahasa lain, kira-kira nama
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
itu sepadan dengan Cokorda Ode Famiredo. Pengusaha hotel. Di kalangan bisnis ia dikenal dengan Cok Gita. Gincu yang pudar, maskara yang agak luntur, pipi yang lembab akan mengingatkan orang pada muka yang sedang bersetubuh. Ia juga membaca sebuah majalah, edisi yang telah lewat, tetapi halaman belakangnya: iklan-iklan cinta dan tawaran bedah silikon. Aku nggak percaya, katan ya, ternyata di Amerika lebih banyak orang operasi menyusutkan tetek daripada menggembungkan.
Kawan-kawanku: ketiganya dengan identitasnya satusatu. Tapi, jika saja teman-temanku berputar secepat gasing, mereka akan menemukan makhluk lain dari tubuh masing-masing. Dan jika mereka berputar tak terlalu cepat, tak secepat itu, mereka tetap akan tahu bahwa mereka berbeda di dalam dirinya sendiri-sendiri.
Alangkah asyiknya kalau kita ternyata sungguh-sungguh tidak satu, Cok menyahut sambil agak melonjaklonjak pada busa sofa, menciptakan gempa di dadanya. Aku bisa pacaran dengan si Batang Muda dan dengan si Mas-Mas sekaligus. Tanpa bikin mereka cemburu.
Iya. Seharusnya Sihar bisa membelah diri. Laila seperti melamun, seperti pasrah. Sebab membelah diri hanya bisa dilakuk an pada diri sendiri.
Kayaknya kamu harus belajar melupakan dia deh, Laila, kata Yasmin sambil meletakkan majalah pada kaca meja. Tapi ia melirik pantulan dirinya di sana. Saya pingin. Tapi nggak bisa.
Kamu bukan nggak bisa. Kamu nggak mau. Aku memandangi mereka. Mungkin Yasmin benar.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi alangk ah ganjil jika segala hal diputuskan oleh akal.
A ku mempunyai kakak lelaki. Dia anak pertama ayahibuku. Orangtuaku percaya bahwa pria cenderung rasional dan wanita emosional. Karena itu pria akan memimpin dan wanita mengasihi. Pria membangun dan wanita memelihara. Pria membikin anak dan wanita melahirkan. Maka Bapak mengajari abangku menggunakan akal untuk mengontrol dunia, juga badan. Aku tak pernah dipaksanya untuk hal yang sama, sebab ia percaya pada hakikatn ya aku tak mampu. W anita diciptakan dari iga . K arena itu ia ditakdirkan memiliki kecenderungan untuk bengkok sehingga harus diluruskan oleh pria . (S urat xiv , 1266)
Inilah pelajaran pertama Bapak. Ia mengutip: B ahkan air seni wanita berbau lebih tajam dan amis dibanding air seni pria . (N.S., 1987) Tapi tinja mereka sama. Bandingkanlah kakus perempuan dan kakus laki-laki. Karena itu, Nak, para raksasa bisa menghirup bau itu dari kejauhan. Seperti ikan hiu, mereka akan mengetahui arah perawan seperti arah daging. Juga arah bukan perawan.
Inilah pelajaran kedua Bapak pada anak sulungnya laki-laki: memanjat pohon kelapa. Ketika itu kangmasku belum sembilan tahun. Bapak membawanya menghadap pohon kelapa yang ia tanam sendiri saat masih jejaka, dan yang setiap kali meninggi tiga puluh senti ia pahatkan lapak jejak. Kini pohon itu lima belas meter. Tempat laki-laki, Nak, katanya, adalah di atas . Ia menunjuk ke arah tandan buah-buahan. Sebelum menjadi pangl ima, seorang prajurit akan menjadi pengintai di menara. Maka,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
wahai satria, jadikanlah pohon kelapa ini menaramu, tempat kamu melindungi adik-adikmu perempuan dari para raksasa yang men gend us di kejauhan hutan.
Kangmasku menangis geru-geru sebab pohon itu begitu tingginya. Biar saja adik-adik menjaga diri sendiri! jeritnya. Ketika itu angin menjatuhkan selembar pelep ah tua yang coklat mengenai kepalanya. Ia menangis semakin keras sebab ia percaya itulah semboyan bahwa ia harus naik dan pasti jatuh dan mati ketika memanj at ke arah puncak. Dan ia akan jadi hantu gundul pecingis yang menggelinding seperti buah kelapa. Ayahku mengangk at rotan lidi dan memecut belakang pahanya hingga bergaris-garis merah sambil berkata, Tangis itu milik perempuan. Milikmu adalah keberanian!
Aku tak mau jadi hantu! jerit kakakku. Hantu tak ada. Yang ada adalah raksasa . Sedu-sedannya belum berhenti. Lalu Bapak mengikat tangann ya ke belakang melingkar batang kelapa, sembari mengancam akan membiarkan dia di sana hingga gelap memunculkan raksasa-raksasa pemakan bulan. Dan karena malam itu tak ada bulan, para buta galak akan menggerogoti daging anak kecil, atau mencucup ubunubunn ya. Dan para mambang di rerumputan akan bernyanyi ketika mereka mulai datang. Buta-buta galak. Solahmu lunjak-lunjak. Terus-menerus sepanjang malam. Hingga kokok ayam mengusir mereka kembali. Dan tak ada Rorojonggrang yang akan mempercepat tanda pagi. Kakakku laki-laki gemetar. Ayahku melembut: Kalau kamu berteriak pada dirimu sendiri, berulang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kali, Berhenti nangis! Berhenti nangis! Berhenti & maka kamu akan berhenti nangis, Nak. Kalau kamu berseru pada dirim u, Berani! Berani! Berani! Berani!& kamu akan berani.
Kangmasku menurut. Setahap demi setahap. Ia menzikirkan keberanian, meski airmatanya masih mengalir dan pipinya merah dan pelupuknya sembab. Meski ia masih merintih. Kemudian Bapak melepaskan tali pada tangannya lalu ia mulai memanjat. Aku mendengar suaranya: berani, berani, berani.& Hingga ia menjadi tinggi dan tak kedengaran lagi dan aku hampir tak bisa mel ihatnya. Hingga ia terlindung pelepah-pelepah yang menjulai. Ia tak bergerak di sana sehingga aku khawatir dia len yap, atau terus memanjat ke arah langit melalui batang kacang polong yang tak nampak. Hanya sesekali angin mengg oyang lidi-lidi nyiur.
Setelah beberapa saat ayahku menyuruh ia turun. Dan ia merambat pelan-pelan. Tapi kudengar mantranya telah berbeda: tidak sakit, tidak sakit, tidak sakit& . Di tanah kami melihat ada seekor tokek menggigit jari manisnya hingga berdarah. Tapi ia telah berhenti menangis.
Karena kami percaya bahwa tokek hanya akan melepaskan jepitan rahangnya jika geledek meledak, dan karena ini bukan musim petir, Bapak membawanya ke pawon yang gelap dan berbau abu. Bapak meletakkan jarijarin ya yang gemetar pada talenan kayu, mengayunkan golok ke arah tangan kecilnya, dan membelah tubuh reptil itu dengan satu tebas, tiga mili dekat ujung jarinya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tak ada yang menjerit. Lalu Bapak menyeringai puas, sebab kangmasku telah berhenti menangis. (Barangkali ia berhenti menangis untuk seumur hidupnya.)
Sejak itu ia percaya bahwa akal akan menaklukan badan. Kehendak akan mengungguli tubuh. Ketika kemudian ia belajar ilmu hayat ia tak mau percaya bahwa ada otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras, baik yang polos maupun yang poleng. Untuk itu angka biologinya enam (sebab mereka juga punya pertanyaan lain yang menyelamatkan nilainya).
Ketika mulai akil balig ia punya kebiasaan baru. Sedikitnya setiap dua hari ia melatih ereksinya. Ia akan masuk ke kamar tidur atau kamar mandi, berdiri atau berbaring atau duduk, sambil mengulang-ulang: ngaceng, ngaceng, ngaceng& Dan ia ereksi. Semula ia melakukannya dengan bantuan tangan. Tetapi ia tahu itu tidak sportif dan ia seorang satria. Maka pada tahun kedua ia telah bisa memer intah penisnya hanya dengan kata-kata. Latihan berikutn ya adalah mengontrol ereksi itu dalam waktu. Ada tiga kategori durasi: singkat, sedang, dan lama. Ia belajar menguasai ketiganya. Tahap lanjutnya adalah latihan dengan beban yang digantung pada batang penisnya. Sem akin hari beban itu semakin berat dan kemampuan maks imaln ya adalah mengangkat sebuah gembok gerbang. Aku tahu sebab aku suka mengintip dari celah lubang kunci atau lubang angin. Ia meneruskan kebiasaan itu hingg a tubuhnya dewasa, hingga bulu-bulunya penuh dan kuat. Suatu hari, aku tak tahan lagi. Aku menghampirinya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dan berkata padanya. Hebat sekali! Kamu bisa jadi gigolo.
Bagaimana kamu tahu" tanyanya. Aku tahu sebab aku suka mengintip.
Ia tidak marah. Tapi barangkali ia juga menjadi homo.
M ungkin Y asmin benar. Tapi sampai sekarang aku mer asa abangku ganjil justru karena ia bisa menyuruhnyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti seorang komand an memerintah batalyon dan kompi. Dan, begitulah, abangk u menganggapku ganjil karena aku adalah kebalikann ya: keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab bagiku menari adalah menjadi. Aku juga memanjat pohon kelapa, tapi karena tubuhku ingin menjadi kera. Aku juga mengapung di sungai, karena tubuhku ingin menjadi tinja. Tubuhku hanya ingin menjadi.
Tapi apa salahnya menjadi tidak genap"
Mungkin betul juga, Laila. Kalau kamu bilang pada dirimu sendiri: lupa, lupa, lupa& kamu bisa lupa beneran pada Sihar.
Tapi ia tak percaya dan menganggap aku hanya bercanda. Ia memang punya argumennya. Sebab waktu aku sekolah, aku pernah dihukum menulis saya tidak akan malas membuat pekerj aan rumah seribu kali. Dan itu tidak membuatku rajin. Mengapa pula ia harus percaya padaku" Tapi, mana yang lebih sulit sebenarnya: melupakan Sihar atau membuat kangmasku ereksi, atau menjadi
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
rajin" Tentu bagiku yang paling mudah adalah melupakan Sihar.
Tapi Laila tidak melupakan Sihar, pria beristri itu, sebagaimana biasa selama tiga tahun ini. Lama-lama aku berkesimpulan bahwa ia bukan tak bisa melainkan, seperti kata Yasmin, tak mau. Ia tak mau kehilangan ilusi itu.
Apa bedanya ilusi dengan kenyataan"
Ibuku juga bernama Shakuntala. Ia juga menari, mungkin serimpi, di hadapan tamu sultan, atau mungkin dalam sendiri. Ia mungkin bidadari yang kehilangan selendangnya pada arus sun gai, meski ia tak mengaku. Ia mungkin peri yang lupa. Kata ayahku, ia lahir tahun 1939, meski aku tak percaya.
Tapi waktu itu tahun 1977. Kakak-sulungku kini telah delapan belas tahun. Ia tampan, gagah, begitu berani, dan banyak wanita jatuh hati kepadanya. Ia telah berhasil membelikan dirinya sendiri sebuah sepeda motor Suzuki GT 380 cc, seharga satu juta rupiah, yang bisa berlari dengan kecepatan 200 km/jam, beberapa potong Levis masing-masing delapan ribu rupiah, dan dua pasang sepatu Clark, dua puluh dua ribu rupiah. Aku curiga ini hasil kemamp uannya mengencani beberapa wanita. Tapi aku tak pernah iri, meski tak ada satu pun yang memberiku hadiah persetubuhan.
Sebagaimana ia dilatih sejak kecil, abangku mencoba
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
segala hal hingga maksimal. Selulus SMA, ia memutuskan untuk mengelil ingi pulau Jawa dengan motor barunya, dengan kecepatan puncak. Dan, tentu saja ia meninggal. Motornya menabrak truk tentara di muka sebuah kompleks ABRI di Serang. Jenazahnya datang dalam sebuah peti yang mereka anjurkan untuk tidak dibuka, serta sepucuk hasil otopsi. Motor itu tergelincir ke bawah truk dan ia tak mengikat helmnya. Begitulah, menurut laporan mereka, cara kakakku mati. Tapi motornya tidak kembali. Dan barangkali ia tidak mengindahkan lampu kompleks yang kelap-kelip.
Ibuku menangis sehari penuh. Ia telah membuka peti itu. Lusanya ia berhenti dan berkata, Dia tidak mati. Bagaimana mungkin, Ibu, ia telah dimakamkan" Dia tidak mati.
Ibu telah membuka peti itu, bukan" Dia tidak mati.
Lama-lama aku tak tahan dengan sikap ibu, dan aku berkata: Ibu, ada beberapa kenyataan. Pertama, dia sudah mati. Kedua, aku ternyata juga laki-laki. Ketiga, Tuhan tak ada, Ibu. Kenyataan kedua kuucapkan dengan antusias.
Ibuku terkejut, lalu tertawa. Dia tidak mati. Tuhan ada. Dan kamu anak perempuan, Sayang. Dan kamu cantik. Dan ia tersenyum, penuh seperti bulan.
Akhirnya aku mengalah. Baiklah, Ibu, aku tak membantahmu lagi. Kalau itu membuatmu bahagia. Untuk apakah bukti sebenarnya"
Setiap orang tua percaya bahwa anaknya cantik dan itu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
membuat mereka bahagia. Tapi aku tetap percaya bahwa ibuku yang berilusi, bukan aku. Sebab aku tahu pasti ada diriku lelaki dan itu tidak membuatku lebih bahagia.
Laila tak mau melupakan Sihar. Kini aku tak mau lagi mengub ahn ya. Kalau itu membuat dia bahagia. Tapi dia tidak bahagia, tukas Yasmin.
Ketika itu Laila sedang pergi sendiri, mencari konter Kodak, yang ia temukan alamatnya dari halaman kuning, yang menjual cairan pencuci lensa yang tak bisa ia temukan di Indonesia. Maka kami seolah sah untuk membicarakan orang yang tak hadir.
Dia mungkin tidak senang. Tapi dia bahagia, aku memb antah. Dia merasa sendu. Dan itu membuat dia bahagia.
Tapi dia hanya dibodohi saja. Cuma orang bodoh yang bahagia karena dibodohi.
Barangkali. Tapi apakah orang bodoh tak boleh bahagia"
Yasmin terdiam sebentar, lalu bilang, Apa betul dia bahagia"
Hmm, apa betul dia bodoh" Aku mulai ngeyel. Kulihat dia juga mulai jengkel.
Sebagaimana kerap sejak kecil, kami kini sedang berbeda pendapat. Maka suara ketiga dibutuhkan untuk membuat debat kusir yang genap menjadi perdebatan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang ganjil. Sebab keganjilan akan membuat sesuatu yang padat menjadi cair. Serentak aku dan Yasmin meminta komentar Cok, yang sedari tadi membaca Chicken Soup for the Soul. Di Jakarta ia suka membaca Anand Krishna. Di Bali ia membaca Dale Carnegie. Di Belanda ia akan membaca terapi minum kencing sendiri dari Coen van der Kroon.
Ia tidak menutup bukunya. Hanya melirik sebentar ke arah kami. Ah, si Laila itu orang Libra. Orang Libra lebih bergairah pada proses berburu daripada makan buruan.
Yasmin tidak setuju. Itu sih lebih cocok buat Sihar. Setelah dia berhasil memburu Laila, dia tak tertarik lagi padanya.
Emangnya Sihar itu Libra" Bukannya Saman yang Libra"
Saman" Ya dia Libra. Tapi ramalan bintangmu sama sekali nggak cocok pada dia. Dan Laila nggak pernah benar-benar mendapatkan Sihar. Bagaimana kamu bisa bilang bahwa dia tidak tertarik makan hasil buruan"
Pendapat Cok rupanya tidak membuat debat ini bermutu dan aku agak tak sabar. Kami seperti tiga orang berm ain voli dengan bola sendiri-sendiri, karena itu aku mengu sulkan jeda. Lalu menyepakati satu bola untuk beradu. Tapi karena di lapangan ini bola sudah terlanjur terlempar beberapa, kami sepakat untuk memainkannya satu per satu. Dengan agak ngotot aku berhasil membuat kami setuju untuk menyusunnya sebagai berikut. Materi debat pertama: apakah Sihar mencintai Laila. Kedua: apakah harus Sihar mencintai Laila. Ketiga: apakah Laila
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bodoh. Keempat: haruskah kebahagiaan mempunyai alasan yang cerdas.
Perdebatan pertama. Apakah Sihar mencintai Laila" Yasmin dengan tegas mengatakan tidak. Seseorang tidak akan membiarkan orang yang ia cintai terombangambing, katanya. Jika ia tak bisa meneruskan hubungan, ia akan terus terang. Jika ia ingin melanjutkan hubungan, ia akan konsekuen. Tapi Sihar cuma main tarik-ulur. Karena itu, berlebihan kalau Laila menyusul Sihar ke Odessa. Lalu ia menambahkan, Belum lagi, Sihar pasti akan memerawani Laila, lalu betul-betul meninggalkannya setelah ia mendapatkan itu.
Emangnya semua cowok kayak Lukas! bantah Cok. Kayakn ya Sihar jenis yang sama sekali nggak berselera dengan keperaw anan. Lu perhatiin dong bininya. Bininya hot gitu!
Aku pun termenung. Kenapa Laila, sahabatku yang menjaga baik-baik keperawanannya, senantiasa tergilagila pada lelaki yang tak peduli pada ide kesucian. Sihar, lelaki yang menikahi janda. Atau Saman, sang pastor.
(Telah lama aku curiga, terbenam di lapis-lapis bawah sadar, dalam sumur yang tak diketahui, ada seorang anak yang terteror oleh jalin-jalin halus selaput dara. Laila yang terancam oleh himen di dinding lorong yang seumpama sarang laba-laba yang menjadi tanda hantu di sebuah rumah kosong. Aku seperti melihat dia berkata, Aku Laila yang tak diketahui. Lalu seperti gema sosok itu selalu berpantulan menjauhi lelaki yang memuja
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kesucian. Seperti magnet yang bertolakan. Mencari bau aman pada ketiak pria yang tak peduli. Dan menjadi bergairah karenanya. Tapi ia tak mengaku. Tidak. Ia bukan tidak mengaku. Ia tidak mengetahui ada dirinya yang tak diketahui.)
Akhirnya kami sepakat menjawab tidak. Atau kurang. Sihar kurang cinta pada Laila.
Itu jawaban mudah buat kami. Tapi, seandainya pada Laila ditanyakan pertanyaan yang sama apakah ia akan mengatakan yang sama"
Ia tidak di sini. Perdebatan kedua. Apakah harus Sihar mencintai Laila"
Kataku: Kalau Laila menikmati greget itu, kenapa harus Sihar membalas cinta" Kataku lagi: Apalagi, aku juga percaya pada kasih tanpa syarat.
Yasmin terdiam sebentar. Aku tahu biasanya ia mengagungkan kasih sejati. Tapi segera ia menemukan jawaban: Agape dan altruisme hanya mungkin pada orang tua terhadap anak, atau antar sahabat. Pada Laila dan Sihar adalah eros, bentuk cinta yang lebih rendah. Untuk apa berkorban demi sejenis cinta yang badaniah"
Aku keberatan: Tubuh tidak lebih rendah daripada bukan tubuh.
Lalu Cok mencoba melerai kami. Ruwet amat, katanya. Gini saja. Katakanlah, Laila bertepuk sebelah tangan. Sekarang, pertan yaannya, apakah dia masih bisa meneruskan hubungan yang semacam itu"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi aku tak setuju. Pertanyaan itu nggak relevan. Soalnya, itu sudah mengandaikan bahwa perasaan harus timbal balik. Kita justru sedang membicarakan apakah harus cinta saling berbalas.
Tentu dalam kasus Laila dan Sihar. Cinta boleh hanya satu arah, tapi asmara memang harus resiprokal, kata Yasmin, agar sebuah hubungan berjalan.
Persis! kataku. Karena itu aku nggak setuju dengan kata hubungan . Sebab di sini tak ada hubungan. Yang ada adalah ilusi.
Lalu kedua temanku ketawa. Aku bisa merasakan gemanya.
Kenapa kita tidak bisa menerima ilusi" kataku heran.
Yasmin masih tertawa. Karena itu tolol sekali, katanya.
Kenapa tolol" Karena tidak sesuai dengan kenyataan.
Apakah kenyataan" Apakah ia bagimu dan bagiku" Ingin kukatakan ini kepadanya. Jika ayahmu memperkosa kamu ketika kamu begitu muda, pantaskah kamu disebut bodoh sebab kamu tidak maju ke muka kelas dan menyatakan bahwa ayahmu telah melanggar kamu. Bahk an jika kelas itu kosong dan tak ada murid atau guru yang mendengarmu. Jika pun kelas itu sebuah ruang dalam hatimu. Tapi kamu tidak punya ayah yang memperkosa. Kamu hanya mempunyai segala yang menyenangkan di dunia ini. Tak ada susahnya kenyataan bagimu.
Kupandangi temanku Yasmin. Aku melihat putri tidur
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dalam peti kaca yang kedap udara. Kamu tak bisa berkata tak ada debu di sini, sebab kata debu tak ada di sana.
Yasmin, kamu punya segalanya. Sementara Laila punya ilusi. Apakah kamu masih juga mau merenggut ilusi itu dari dia untuk melemparnya ke tong sampah"
Ia mengatakan sesuatu tapi aku telah tak mau mendengarnya.
I buku tak percaya aku juga laki-laki.
Tapi aku tak ingin berbagi rahasia ini dengan Ayah. Maka aku menari baling-baling di sebuah sore ketika ayahku belum pulang. Saat itu matahari telah condong ke barat dan bayang-bayang membuat tubuhku dewasa di sebelah timur. Aku menari berputar-putar, berharap ia terlepas dari badanku agar ibu percaya sebelum petang. Bayangku kujadikan patokan: jika ia masih nampak sebagai garis maka aku harus berputar lebih lesat. Dan, lihatl ah, kecepatan membuat bayangku semakin samar seperti angin debu. Tapi diriku laki-laki tidak juga tiba. Sep erti gasing yang kehabisan tenaga, aku kehilangan keseimb angan dan terjerembab perlahan pada batuan. Ia tetap tiada ketika angin berhenti. Dan aku kecewa. Inilah pertamakalinya diriku lelaki melukai aku.
Tapi lama-kelamaan aku tahu tak ada jalan untuk memb uat ibuku percaya. Setiap kali aku mengatakan: Bu,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
aku juga laki-laki; ia tak pernah menanyakan, apa buktinya. Ia tak mau percaya, dan itu membuat dia bahagia. Ia tak mau percaya padaku sebab aku tak tahu apakah aku akan bahagia jika Ibu percaya.
Tapi diriku lelaki datang suatu hari, ketika aku tidak merinduk annya.
Kataku padanya: Kenapa kamu tak ada ketika aku mencarim u"
Kamu juga tak selalu datang ke tempatku ketika aku menghar apkanmu.
Lalu aku merasa aneh. Sebab aku tak pernah datang. Ia membaca pikiranku dan berkata: Bahkan kamu tidak bisa mengingat bahwa kamu datang ke tempatku. Kemudian ia bercerita bahwa telah lima kali aku mengunjunginya. Pada sebuah musim tuai, pada sebuah kemarau, dan pada musim buah-buahan. Kamu belum pernah datang di musim hujan.
Aku merasa terkutuk sebab aku sungguh tak bisa mengingatnya sama sekali. Aku bahkan tidak tahu di manakah tempatn ya.
Bagaimana mungkin, ujarku, kamu bisa mengingat bahwa kamu pergi ke tempatku. Dan aku tak bisa mengingat bahwa aku pergi ke tempatmu"
Ia mengangguk. Apakah ketika aku ke tempatmu, aku tahu siapa diriku ketika tidak bersamamu"
Ia mengangguk. Lalu ia bercerita dan aku baru tahu bahwa bukan dia yang pertama-tama mengunjungi aku, tapi akulah yang lebih dulu mendatangi dia. Akulah
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang lebih dulu bercerita tentang sarang laba-laba dan serangga yang terjerat di dalamnya, sebelum ia datang dan menciumku di kening dan bercerita tentang burung layang-layang dan ikan lumba-lumba. Kenapa manusia bisa lupa"
Ada diriku di tempat lain yang aku tidak ingat tetapi yang mengingat aku. Itu membuatku murung.
Kemudian bertahun-tahun lelaki dalam diriku tak pernah kembali. Inilah saat-saat murungku: bahwa aku tak ingat, tak bisa ingat, adakah aku menemui dia dan bermesraan dengannya di masa-masa ini. Barangkali kemarin. Barangkali besok. Apa yang membuat diri kita satu jika kita tidak bisa mengingat bagian-bagiannya"
Bertahun-tahun lewat dan aku bertemu dengan seorang perempuan ketika aku telah dewasa. Ia seorang pesinden. Aku pun datang padanya untuk berguru sebab selama ini aku lebih banyak melatih suara beratku daripada suara hidung. Tapi ia juga memb acakan aku Serat Centhini dan menyanyikan keluhan dengan suara duka seperti gesek rebab dengan kunci manyura. Dhuh, apa dosaning raga. Duhai, apa gerangan dosa tubuh. Dan aku tinggal padanya beberapa bulan.
Suatu malam, ketika aku duduk dalam sebuah ruang dan mengagumi dia menyanyi tanpa pengiring, lelaki dalam diriku muncul dari belakang tubuhku seperti energi yang lepas. Aku tidak bicara dengannya tetapi si pesinden melihatnya lalu mereka menembang bersama. Lalu mereka berdekatan, berdekapan. Mereka melepas kain masing-masing dan saling berlekatan. Setelah itu mereka
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
saling berkata, Betapa indahnya. Kita sama-sama punya payudara.
N ew Y ork , 10 J uni 1996
Namaku Shakuntala. Namamu Laila. Dan kita berdua. Sebab Yasmin telah pergi, barangk ali dengan agak gundah, dan mengajak Cok. Tapi pernahk ah kamu merasa ganjil sebab gabungan institusi modern dan nama menghasilkan kutukan identitas" Aku tak bisa mengubah namaku. Kamu tak bisa mengubah namamu. Kita bisa mengu bahnya, tapi petugas kons ulat dan imigrasi tak akan percaya. Bahkan kita sendiri pun belum tentu percaya.
Dan kalau kita bersikeras, kita tak bisa ke luar negeri.
Padahal ke luar negeri membebaskan kita, katamu. Tapi aku tahu kamu sedih karena kamu ternyata tidak juga bebas. Meski sudah di luar negeri. Sihar menelepon, katamu. Aku tahu telah beberapa hari ini kamu enggan keluar rumah sebab kamu menunggu ia menghubungi. Tapi ia tidak menelepon sampai istrinya betul-betul pulang ke Jakarta. Bahkan setelah istrinya betul-betul tiba di rumah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi kamu tetap tak mau melupakan pria beristri itu. Bahkan kini kulihat ada sedikit seri di wajahmu seperti bara yang terhemb us.
Dia mengundangmu ke Odessa" Ya.
Kamu mau datang" Kamu terdiam. Menurutmu gimana"
Aku bikinkan kamu susu. Dengan kopi atau coklat" Kamu tertawa. Kenapa kamu selalu memaksa orang minum susu"
Karena perempuan akan kehilangan massa tulang setelah ia menopause.
Kamu nyengir. Masih dua puluh tahun lagi. Masih dua puluh tahun waktumu untuk menabung tulang.
Dan waktu itu lebih pendek jika kita tak punya lelaki sebagai sumber feromon yang bisa senantiasa kita endus. Sebab hirupan atas keringat lelaki merutinkan haid kita dan memperpanjang usia subur. Tapi aku tidak mengatakannya. Sebab minum susu lebih realistis ketimbang mendapatkan lelaki. Kita bisa membeli susu.
Menurut kamu sebaiknya saya datang nggak ke Odessa"
Aku memanaskan susu rendah lemak, berhati-hati agar tak sampai membludag. Terserah kamu. Tapi sebenarnya dadaku tak lapang membiarkan Sihar dudukduduk di sana seperti Ande-Ande Lumut sementara sahabatku Laila melintasi benua Amerika untuk menemui dia seperti Don Lopez de Cardenas.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ini kopi-susumu. Aku kehabisan coklat. Kamu meminumnya. Apa saja yang dicampur di sini"
Kayu manis dan cengkeh. Brown sugar. Afrodisiak. Kamu tertawa. Aku senang jika kamu tidak sedih. Kuperh atikan detail wajahmu.
Gigimu bagus. Coba lihat lidahmu. Kamu menjulurkannya.
Oh! Lidahmu putih! Saya sakit"
Nggak. Kamu barusan minum susu.
Kamu tertawa lagi. Aku duduk di sebelahmu. Kurangkul kamu.
Coba daftarkan, Laila, apa saja yang membuat Sihar menarik.
Kamu menggumam. Rambutnya, ubannya. Kacamatanya. Badannya&
Kurasa baunya. Kenapa baunya"
Feromonnya cocok dengan hidungmu. Kamu memandangku, seperti berpikir.
Coba pejamkan matamu, Laila. Tarik nafas. Bayangkan tubuhn ya& kamu bisa mencium baunya. Kamu mencium baunya. Liang hidungmu jadi hangat.
Kamu memejam dan mungkin mengerang. Tapi kamu buka lagi kelopakmu dan membelalak. Aduh, saya jadi kangen sekali sama Sihar.
Aku tertawa. Kamu gampang dihipnotis. Ayo! Lupakan dia sebentar. Aku ajari kamu dansa. Kalau kamu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
ketemu dia nanti, kamu bisa ajari dia tango.
Kuhidupkan musik dan aku bimbing kamu berdiri. Dengarlah iramanya: slow.., slow.., quick, quick, slow. Kua jari kamu memeluk bahuku dan aku merangkul pinggangmu. Kutuntun kakimu mel angk ah, pinggulmu menghentak, dan matamu menatap tajam bukan ke arahk u. Dan berpaling ke arah yang berlawanan. Jangan kamu tersenyum sebab ini adalah tarian yang angkuh. Bahk an ketika kamu menyerah, terseret, terkulai dan berk eringat.
Kita berkeringat. Lalu aku mencopot kemejaku dan beristirahat. Kamu tetap berdiri.
Kamu pandangi aku yang telungkup. Otot punggung kamu bagus, ya. Ih, kamu betul-betul nggak pernah pakai beha"
Tak perlu, kan" Aku nggak punya kelenjar susu, aku cuma punya otot dada.
Aku membalik badan, menampakkan torsoku yang kencang oleh olah gerak. Sini, Laila. Aku ajari kamu melatih otot-otot perut dan pinggang. Tak sulit melatih otototot abdominal.
Kamu pandangi aku. Tapi dari matamu aku tahu kamu ingin membenamkan wajahmu di tubuhku yang telentang. Dengan mataku kukatakan lakukanlah. Kamu tahu, meski cemas. Kamu berbaring di sisiku dan kulihat air mengalir dari matamu ke arah rambut. Dan menghilang di dalam rambut. Seperti kepahitan dari tumpukan kekecewaan yang kamu coba
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sembunyikan. Seperti gairah-gairah yang kamu coba kekang. Seperti ketakutan yang tak kamu akui. Kupeluk kamu. Aku mengelus di punggung dan mencium di kening. Dan aku tidak pergi. Aku tahu kamu belum pernah mengalami orgasme. Juga ketika bercumbu dengannya. Kini tak kubiarkan kamu menemui lelaki itu sebelum kamu mengetahuinya. Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri. Setelah ini kamu boleh pergi:
S ebab vagina adalah sejenis bunga karnivora sebagaima - na kantong semar . N amun ia tidak mengundang serangga , melainkan binatang yang lebih besar , bodoh , dan tak bertu - lang belakang , dengan manipulasi aroma lendir sebagaimana yang dilakukan bakung bangkai . S esung g uhnya , bunga kar - nivora bukan memakan daging melainkan menghisap cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak - kelopaknya yang hangat . O tot ototnya yang kuat , rerelung dindingnya yang kedap , dan permu k aan liangnya yang basah akan memeras binatang yang masuk , dalam gerakan berulang - ulang , hingga bunga ini mem p eroleh cairan yang ia hauskan . N itrogen pada nepenthes . S perma pada vagina .
T api klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin .
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
J akarta , 20 J uli 1996 Saman sayang, Sudah dua minggu aku meninggalkan kamu. Situasi politik di Jakarta semakin tegang. Telah satu bulan para pendukung Megawati bertahan di kantor PDI di jalan Diponegoro. Setiap hari ada orasi anti Orde Baru. Kami semua mendengar bahwa pemer intah akan memberi batas waktu. Mereka sedang menentukan tanggal untuk menyerbu. Dan aku berada di sekitar ketegangan ini. Aku merindukan kamu.
Meski kita terus berkirim e-mail, ada seperti kegeraman menyadari bahwa aku harus kembali pada kenyataan. Walaupun, seharusnya aku mempertanyakan diri, kenapa kita menyebut kenyataan hanya untuk sesuatu yang bertentangan dengan keinginan. Bukankah bahwa aku
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
pernah bersamamu, menyentuh tubuhmu, meski cuma sebulan, juga kenyataan"
Tapi bagaimana aku mendamaikan serempak kenyataan yang saling bertentangan" Realita dari sesuatu yang kuimpikan dan yang kuingin tolak" Dari yang lampau, yang sekarang, dan yang mungkin" (Bukan yang akan datang. Sebab kita tak tahu apa yang akan terjadi. Sebab kita hanya bisa bicara tentang yang lalu dan yang akan datang melalui kekinian.) Harus kuakui ada bagian diriku yang merasa bersalah atas hubungan ini janganlah ini menjadi bebanmu. Tapi ada sisi lain yang tidak menyesal, bahkan bersyukur, atas cinta kita. Sebab cinta bukanlah hal yang dir encanak an seperti perkawinan. Ia adalah karunia seperti semak yang tumbuh di luar pagar, cengkerik yang bernyanyi di sela-selanya.
Tapi paradoks, itulah soalnya. Karena itu kukirim surat kali ini, setelah kutulis pada beberapa malam. Ada yang berlawanan dalam diriku, yang mungkin takkan pernah dapat kuakurkan, yang selama ini kusimpan bagi diriku sendiri, kucoba sangkal: Saman, kuinginkan tubuhmu terluka, terikat di sana, jantan dan tak berdaya. Sebagaim ana pernah kuinginkan tubuhku terpentang, molek dan tak berdaya.
Tak bisa kulupakan ketika kamu telentang, bayangbayang yang terbentuk di lekuknya karena cahaya dan keringat, dadamu telanj ang, rentan terhadap telapakku yang gemas, badanku yang gelisah. Tak bisa kulupakan geliat tubuhmu. Kamu seumpama Santo Sebastian dengan tangan terpancang pada tiang di hadapan para pemanah.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Seperti Santa Agnes yang daging perawannya mengu ndang syahwat para algojo. Namun tak ada yang men yelamatkan kamu dari rasa tegang yang akan mengeksploitasi bad anm u hingga batas. Kamu merintih seperti Theresa yang tert usuk panah ilahi pada dadanya. Bukankah tubuh mengej ang oleh rasa sakit maupun nikmat"
Ketaklukan, juga penaklukan, adalah hal yang menggetarkan gairah.
Ada titik-titik di mana aku tak bisa membedakan rasa sakit dan nikmat. Kesakitan berpuncak pada sekon pertama kematian, dan seks berpuncak pada tiga detik orgasme. Jika ejakulasi mengi ngatkan kita pada kelangsungan hidup, tidakkah seks adalah ketegangan akibat pertentangan hidup dan mati yang hadir bersama di satu titik"
Tapi pada wanita tak ada ejakulasi. Karena itu bagiku kematian dan kesakitan lebih memukau.
Tidakkah kamu merasakan itu, Saman, keindahan pada pend eritaan" Seolah-olah maut adalah saudara siam syahwat, tumbuh pada tubuh yang sama, yang disembunyikan di balik rambutnya yang panjang. Ia, mereka, maut dan syahwat, seumpama tiga iblis betina di ruang bawah tanah kastil Pangeran Drakula di bukit-bukit Karpathian. Cantik dan haus darah. Seperti lilith yang beterbangan dari dunia gelap di kawah gunung-gunung timur dan menyetubuhi para biarawan dalam mimpi basah abad pertengahan. Bukankah Freud telah takjub pada eros dan thanatos sekaligus" Dan Bataille pada kematian dan sensualitas dalam erotisme" Dan aku merasa bahwa tubuh
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kita hanyalah tiruan canggih dari kerja sel-sel yang merupakan satuan terkecilnya. Mereka, sel-sel itu, aseksual. Mereka berkembang biak tanpa organ seks. Tapi siapa yang berani mengatakan bahwa plethora tak mengandung sensualitas bagi sang sel" Ketika ia, sel itu, mengembungkan diri dalam sebuah reproduksi-tanpa-kelamin hingga mencapai ketegangan puncak, sebelum terbelah, mati serentak menjelma dua individu baru, siapa yang berani mengatakan bahwa tak ada kenikmatan erotis yang mendorong sang sel melakukan bunuh diri itu"
Sensualitas tak selalu mensyaratkan seksualitas. Tidakkah kematian dan kenikmatan adalah ingatan purba yang sama"
Tapi yang kualami bersamamu menakjubkan aku. Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangk ap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menund a orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harafiah. Saman, aku belum pernah melakukannya. Bahkan telah lama kulupakan kegemasanku untuk melihat lelaki dalam percobaan fisik yang mengukur ketahanannya pada siksaan dan penghinaan. Hal itu adalah khayalan seksual masa kanak-kanakku.
Tapi sejak kapan aku mulai tertarik secara seksual pada lelaki" Barangkali sejak periode fallis, barangkali
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sejak akhir masa anal aku tak bisa ingat apa yang kurasakan pada usia tiga tahun. Tapi kuingat seorang anak di taman kanak-kanak. Julian. Dia kelas nol besar dan aku nol kecil. Anaknya jangkung untuk ukuran sebayan ya. Kakinya panjang dan ia sering mengenakan kaus garisgaris. Aku selalu bersemangat untuk melihatnya ketika keluar-main. Dan aku selalu membayangkan penis di balik celana pendeknya, pada pangkal kakinya yang ramping.
Tentu saja, Freud menyebut ini sebagai tahap fallis, saat anak tertarik pada alat kelaminnya. Anak lelaki bangga sementara anak perempuan cemburu dan merasa tak lengkap karena tidak mem iliki penis. Apakah aku cemburu atau minder aku tak ingat. Yang aku ingat adalah aku tertarik pada penis Julian. Dan tak cuma itu. Bentuk ketertarikanku adalah keinginan untuk mengkastrasinya, menyunatnya, melakukan sesuatu terhadapnya sehingga ia kesakitan. Kenikmatan seksual awalku adalah mengkhayalkan Julian merintih di tangan para musuhnya yang bersekongkol dengan orang-orang dewasa, yang menangkapnya, memapar dan menyak iti kelaminn ya.
Waktu kecil aku tak pernah tahu tentang hubungan seks antara ayah-ibu, suami-istri, atau dua orang yang mencintai. Aku tak pernah tahu ada sebuah tindakan yang disebut persanggamaan. Seks tak pernah datang bersama kasih sayang dalam fantasi kanak-kanakku. Seks, yang bel um sempat terdefinisikan waktu itu, berhubungan den gan kekerasan, penaklukan, dan rasa sakit. Dan itulah yang kubayangkan tentang laki-laki yang menarik hatiku, teman sekolah ataupun pria dewasa. (Ada seorang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tetangga favorit, om-om untuk ukuranku saat itu, yang sosoknya mirip kamu.)
Menjelang akil balig aku mulai malu atas fantasifantasiku dan kesenangan seksual yang dihasilkannya. Lalu suatu pergeseran yang aneh terjadi. Adakah aku mengh uk um diriku sendiri, ataukah ini datang bersama masa awalku memasuki dunia patriarkal yang tak kuketahui, dunia di luarku yang memaksakan diri, di mana wanita adalah obyek seksual" Aku kehilangan kesubyekan pada diriku dan menempatkan diri sebagai obyek. Aku kehilangan keperempuananku dan menjadi wanita. Dalam proses yang tak kumengerti, aku mulai menempatkan diriku sebagai si terhukum, wanita yang dikutuk karena kewanitaannya.
Mungkin seperti kata Deleuze dalam komentarnya terhadap Leopold von Sacher-Masoch: dalam masokisme, superego digeser ke luar diri hingga menjadi bagian dari dunia eksternal. Dengan kata lain, peran hukum dan instansi pendisiplin diproyeksikan pada pihak lain, terputus dari diri ego. Pada saat yang sama, superego menjadi kosong ini kataku sendiri dan, mengutip Delueze, sang penganiaya dalam cerita Masoch adalah peremp uan yang mencambuk juga mentransfer superego menjadi yang yang dicambuk, korban yang niscaya. Melalui inilah kenikmatan terlarang dapat diperoleh. Sebagaimana kelucuan dalam parodi didapat. Masokisme dan humor melecehkan kekuatan dengan mentransfer ketertindasan menjadi kenikmatan. Keduanya sesungg uhnya adalah kecerdasan mekanisme pertahanan diri.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Tapi Deleuze dan banyak lain hanya mengkaji masokisme pada pria. Mereka hanya bicara tentang he, dan bukan she. Mereka bicara tentang masokisme sebagai penyimpangan pada laki-laki. Yang saya rasakan, pada wanita ia datang dengan cara yang lebih natural. Karena itu, barangkali, mereka tidak menganggapnya sebagai penyimp angan. Sebab, superego, figur ayah, aparat pendis iplin, memang telah tampil di luar diri wanita dalam konstruksi sosial yang patriarkal. Kami tak perlu melakukan pembalikan. Kami hanya perlu ikut dalam permainan dominasi lelaki, yang derajat tertingginya adalah selera sadisme heteroseksual pria.
Apakah bedanya idealisasi terhadap pengorbanan istri, polig ami, dengan masokisme" Semuanya adalah internalisasi ketidaka dilan.
Wanita menyelamatkan diri dengan mengambil ke dalam dirinya dominasi pria (sebagaimana yang dikukuhkan banyak agama) dan menganggapnya agung. Karena itu, aku katakan, sembilan puluh persen wanita di dunia ini adalah masokis.
Dan, apa yang terjadi pada diriku"
Aku kehilangan sadisme kanak-kanakku dan menjadi seperti protagonis dalam Histoire d O, seorang gadis bernama O, yang diserahkan oleh kekasihnya sendiri ke sebuah chateau untuk menjadi budak seks pria-pria yang menjadi anggota klub di kastil itu. Ia menjalani semua itu dengan rasa cinta, rasa pengorbanan dan kesedihan yang agung.
Sejak menstruasi pertama, aku merindukan penghu-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kuman. Ketika aku bersetubuh dengan Lukas jauh sebelum kami menikah, barangk ali kukira dia bisa memenuhi fantasi tentang lelaki yang dominan. Tapi barangkali aku melakukannya untuk melanggar hukum. Sebab dengan demikian aku pantas dihukum seperti seharusnya anak gadis yang bersundal di rumah bapanya dalam kitab Ulangan. Sebab melanggar dan dihukum adalah dorongan erotisku.
Tapi tak ada yang menghukum aku. Dan Lukas tak pernah mengolah kekejaman dalam dirinya, meskipun sebatas imajinasi. Lukas lebih tertarik pada eksplorasi posisi fisik daripada eksplorasi relasi psikis. Barangkali ia tak menganggap itu sebagai fantasi seksual yang menarik. Barangkali ia tak bisa percaya bahwa orang seperti aku mempunyai khalayan seperti itu. Yasmin yang mandiri, yang selalu punya keputusan rasional, pengacara yang cukup dihormati, aktivis hak asasi manusia (dan di dalamnya adalah hak asasi perempuan).
Kontradiksi, itulah soalnya.
Tapi sesungguhnya aku tidak begitu saja kontradiktif. Bawah-sadarku cuma cerdik. Meski kecerdasan seringkali bukan mend amaik an melainkan memisahkan. Yang membedakan aku dari para wanita yang mengukuhkan patriarki adalah aku melokalisasin ya pada fantasi seksual. Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu Ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan melakukan seksualisasi terhadapnya. Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetik. Saman,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Bagaimanapun, kadang fantasi itu menakutkanku. Seperti aku pernah cerita padamu, kasus beracara pidana pert amaku adalah pemerkosaan terhadap seorang tahanan wanita di kantor polisi. Anak itu ditangkap di sebuah diskotek dengan tuduhan membawa bubuk ganja. Dia memang cantik dan tak heran polisi-polisi itu tergiur padanya. Salah seorang membujuk dia untuk bersetubuh dengan janji akan meringankan berita acaranya. Dalam kea daan tak berdaya tentu saja dia menurut. Tapi kemudian anak itu diperkosa secara bergantian oleh lima orang yang berjaga malam itu dengan cara yang amat merendahkan martabat.
Aku geram sekali hingga badanku gemetar ketika mend engark an pengakuannya. Betapa aku membenci para polisi yang sewenang-wenang, dunia yang patriarkal ini. Oh, betapa aku membenci laki-laki! Rasanya ingin kugant ung orang-orang itu. Tapi, tidak, pada saat yang sama aku terangsang dengan kejahatan yang terjadi pada anak itu. Semakin aku membenci peristiwa itu semakin erotis ia terasa. Kebencian dan dorongan seks mengg angguk u dengan skala richter yang sama.
Kadang itu begitu menakutkan aku. Bagaimana aku bisa mendamaikan estetika seksualku dengan pedoman nuraniku tentang keadilan"
Saman, Bertahun-tahun aku hidup dengan fantasi itu, tanpa pernah mewujudkannya. Hingga hari aku bertemu kamu lagi. Kamu membangkitkan kembali khayal kanakkanakku yang lama kuk hianati. Tanpa kamu ketahui
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
terlepaskanlah keperempuananku yang telah dipenjarakan hampir dua puluh tahun. Kini ia datang dengan memori purbanya. Seakan-akan ingatan primitif dari masa oral, ketika tubuhku belum diracuni oleh kekuatan luar yang mengagung-agungkan fallus dan memitoskan kesucian wanita. Ia datang dengan agresivitas yang murni, polos, inosen, yaitu dorongan untuk memakan, menghisap, mengconsume, mengexploit, memas ukk an ke dalam dirinya benda-benda yang menarik hatinya. Juga kelamin laki-laki.
Apakah penis envy baginya" Bukan apa-apa selain dorongan untuk menelan benda asing, the Other, sesuatu yang mirip namun berbeda dari dirinya (karena perbedaan hanya dimungkinkan oleh persamaan). Jika dia dibiarkan tumbuh alamiah, terjauhkan dari male chauvinisme, maka dia akan melalui masa klitoral dan vaginal bukan masa fallis ketika ia menemukan mulut keduan ya, yang dengannya ia mau menelan penis. Ia tak mengenal kata intrusi . Ia hanya mengenal konsumsi . Dan ia tidak cemas.
Sebab ereksi adalah kegentaran kompulsifmu pada kematian.
Saman, tubuhmu yang sederhana adalah tentara spiritual yang ditempa disiplin abstinens. Kegagahanmu adalah kesendirianmu, manusia yang selibat dalam realm yang religius maupun sekular. Aku seperti tahu kamu akan senantiasa sendiri. Selalu dalam kesunyian dan ketakmemilikian. Kejatuhanmu dalam dosa perzinahan adalah kejatuhan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
si pemanggul salib yang takkan henti mendaki. Meski barangk ali ia hanya sisifus yang tahu atau tak tahu bahwa puncak itu takkan tercapai, barangkali tak ada. Tapi kuperkosa kamu oleh karena keangkuhan solitermu. Kumenangkan diriku atasmu.
Kuinginkan tubuhmu yang sederhana.
Love, Y p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
N ew Y ork , 25 J uli 1996
Seperti segalanya telah selesai.
Sprei telah dibereskan dan ia telah merapikan rambut dengan sisa butir-butir keringat. Mereka telah bersetub uh dengan rasa bersalah yang menggairahkan. Sebulan yang lalu. Tidak, lebih dari sebulan yang lalu.
Saman menanggalkan pakaiannya dan berdiri di bawah tangkai pancuran. Musim panas sudah datang, karena itu ia biarkan jendela terbuka dan air dingin membasuhn ya pagi-pagi. Dari kepala. Dirasakannya air-air yang mengaliri tubuhnya, punggung, dada, jatuh dari ujung-ujung tangannya seperti jari-jari hujan yang panjang. Inilah saat di mana ia sering melepaskan pikiran dan menyadari badann ya, merasakan otot-ototnya dengan telapak tangan dan shampo. Tak lagi kencang. Sedikit lebih berisi. Ia bukan lagi pemuda. Umurnya tiga delapan. Ia menunduk, memb iarkan air mancur menyikat kulit rambut, menatap
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
telapak yang tergenang dalam kemricik air pada bathub. Ia mendapati jejak ayahnya di sana, pada betis coklat yang berbulu, pangkal paha yang berbulu, dagu yang berbulu. Kelelakian dan kedewasaan yang ia lihat pertama kali pada tubuh ayahnya, dulu, dan yang kini telah ia miliki begitu lama. Tetapi setiap kali ia menyadari tubuhnya seperti itu pada saat mandi, pada saat sungguh sendiri, ia tetap merasa bahwa hidup adalah sesuatu yang ajaib. Ia lahir, menjadi matang, dan kelak mati, dan bulu-bulu tubuh itu mungkin baru tumbuh dan menjadi keriting tadi malam. Kemarin lusa dia adalah anak yang dikeramasi di bawah ketiak ibunya, kaki-kakinya kecil dan lurus. Kencingnya belum lurus.
Ia teringat ibunya, yang mengelus perutnya menjelang tidur dan bercerita tentang seekor gagak yang tak bisa berhenti hinggap dan bercermin pada perigi, terusmenerus; sebelum ibu memberi berkat dan kecupan di dahinya, agar tidur dalam gembira. Agar malaikat pelindung tetap menjaganya dari peri dan mambang yang nakal. Dengan agak sedih ia merasa bahwa tak seorang pun akan mengingat dia seperti itu kelak, sebab jika ia sedang tak bisa menahan diri, lalu masturbasi dengan sabun dan air hangat, ia melihat maninya jatuh dan tersapu air pancur ke dalam celah saluran.
Yasmin tidak hamil. Ia mendapat mens dalam pesawat menuju Jakarta, barangkali di Alaska, dan segera menulis pada Saman setelah tiba: Pantas saya nafsu sekali waktu itu. Matang dan peka seperti tomat yang rekah. Saman merasa lega sekaligus kecewa yang tak rasional mengetahui
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
bahwa tak ada jejak dirinya pada tubuh wanita yang ia cintai. Tak ada sel yang menempel di sana, kecuali sperma yang mati.
Mereka terus berkirim surat elektronik. Selama satu dua periode bertukar cerita syahwat, tetapi secara kontinu membicarak an perkembangan beberapa proyek bawah tanah. Pertemuan dan pekerjaannya dengan Yasmin sebulan kemarin rupanya membuat ia kehilangan dan kembali merindukan Indonesia dengan payah, temanteman pergerakan di sana. Ia menginginkan bibir perempuan itu, dan tawanya, sebelum ia menginginkan pusar dan desahnya. Ia menginginkan tamparan perempuan itu pada pipinya dan cubitan pada dadanya. Tapi ia juga merindukan terik matahari yang membakar wajah dan tangannya saat menjelajah hutan Palembang- Lampung yang telah ditrabas menjadi perkebunan, debu dan keringat orang-orang dalam travel yang usang, para pengamen dalam bis menyanyikan lagu-lagu yang menyayat telinga. Medan yang kasar. Dalam musim yang lembab dan kota-kota yang berasap itu teman-temannya lahir, menetap, dan bekerja. Ia merindukan kesedihan dan kegembiraan mereka. Juga arwah-arwah yang berkelana di sela pepohonan dan tak menyediakan jawaban. Betapa jauh.


Larung Karya Ayu Utami di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telah dua tahun ia di New York, telah dua kali melihat musim gugur yang ia senangi. Daun-daun seperti api yang padam, jatuh ke tanah seperti sobekan abu. Pohon-pohon dengan lampu. Sebetuln ya ia sudah mulai kerasan dengan pekerjaannya sehari-hari, juga stasiun kereta, gemuruh
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
subway, suasana kotornya dan para pengamen yang membuat tempat itu hidup. Tapi, belum sekali pun ia pulang selama itu. Awal tahun ia pernah mendapat kemungk inan pergi ke Jakarta untuk kunjungan singkat, dan ia ingin sekali menengok ayahnya. Juga keponakannya yang telah merangkak. Tetapi seorang teman mengingatkan bahwa daftar cekal tidak sering direvisi meski kasusnya sudah ditutup, sehingga namanya mungkin masih tercantum di imigrasi hingga lima tahun lagi. Ia bisa saja masuk, tapi belum tentu gampang kembali ke New York untuk menyelesaikan pekerjaannya yang telah terlanjur berjalan. Ini barangkali perkara birokrasi yang lambat saja, atau peremehan orang biasa. Maka ia memutuskan untuk tak pergi sampai beberapa proyek utama selesai. Ia merasa agak hambar sekarang.
Musim panas begini ia biasa membuka e-mail setelah mandi pagi. Matahari yang terbit terlalu dini membuatnya gerah. Cahaya-cahaya yang jatuh dari tebing bangunan membikin bercak-bercak aneh pada dinding bata dan jendela. Lalu membuat suasana monokrom yang kelabu terang, silau tapi tak menyakitkan. Kaca-kaca menjadi putih. Pelan-pelan warna mulai muncul ketika hari semakin siang, bersama suara truk dan klakson yang sesekali lewat di potongan jalan Bedford yang tak ramai. Ia bisa melihat pucuk gereja katolik Vincent de Paul yang merah dan sepi di antara rumah-rumah. Sesekali burung dara putih dan kutut leher bercak lewat di sela apartemen, hinggap di tali air. Mereka menatap ke bawah seperti malaikat yang mengamati. Kini lelaki itu duduk di ceruk
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
jendela, komputer di depannya, dengan rokok dan segelas kopi yang baru diseduh. Semuanya, kretek dan tubruk itu, adalah sisa oleh-oleh Yasmin, Laila, dan Cok kemarin. Sisa-sisa ia menertawakan diri. Cewek-cewek itu sudah pulang ke Indonesia. Ia kini sendirian. Ferouz, teman serumahnya, telah tiga bulan lalu menyelesaikan kontrak dan kini bekerja untuk Article 19 di London. Ia hendak mencari apartemen lain. Tetapi bahkan di Brooklyn hampir tak mungkin menemukan tempat seharga 500 dolar sebulan tanpa patungan dengan orang lain. Yasmin mengusulkan agar ia serumah dengan Shakuntala. Namun ia merasa belum sanggup tinggal bersama perempuan, apalagi yang biseksual. (Ia baru tahu Shakuntala tumbuh menjadi biseksual. Yasmin bercerita kepadanya dengan marah karena Shakuntala tidur dengan Laila. Tapi perkara homoseksual terlalu jauh baginya untuk dipikirkan.) Di mejanya tergeletak iklan-iklan apartemen ia telah menandai yang seharga 800 dolar, selain laporan-laporan hak asasi manusia.
Sesekali ia menoleh ke jendela seberang. Seorang perempuan hitam menyusun pot-pot kembang begonia dan aster di tubir jendela, juga pansi. Warnanya jingga dan nila, dan daun-daun kecil bergelantung. Lelaki itu membuka internet.
Suara keruh lin telepon menuju jaringan telah menjadi rutinitas yang asyik bagi telinganya: naik turun dengan bagian putus-putus seperti lonceng. Ia membayangkan genta-genta digital kecil, bergandengan dalam deret binar. Teknologi itu sudah menjadi perpanjangan kesadarannya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
dan ia merasa sebagian impuls otakn ya bergabung dalam kode-kode digital yang menelusur begitu bunyi itu terdengar. Juga suara feminin komputer yang tiap kali memberitahu, you have mail. Pagi ini delapan puluh enam pesan masuk dalam kotak suratnya. Sebagian polemik di Apakabar, Berita dari Pijar, Siar, dan beberapa berkala dari kantor berita gelap lain yang bertambah aktif semenjak pemerintah membredel majalah Tempo, Editor, dan Detik dua tahun lalu. Gila, begitu banyak yang terjadi selama dua tahun! ia mengeluh, merasa tertinggal, tapi juga mengeluh karena suasana Indonesia yang makin represif. Ia mulai memeriksa surat-surat.
Tak ada pesan dari Yasmin, ia agak kecewa, tetapi ada kabar dari larung@komodo.org, bercerita tentang survei lokasi untuk percetakan bawah tanah. Ia membuka dan membacanya, sambil memegang dagu dan membiarkan rokoknya mereras pada asbak, seperti biasa. Kopinya mulai dingin. Ia belum pernah bertemu muka dengan orang ini, larung@komodo, tapi dari alamatnya ia tahu bahwa orang ini telah diterima dalam gerakan tempat Yasmin berada, dan dari surat-suratnya ia merasa berhadapan dengan pribadi yang imajinatif. Seperti apa wajahnya, suaranya, sebetulnya ia tak begitu peduli. E-mail telah menjadi dimensi tersendiri dalam berhubungan dengan manusia, membuat ia mengidentikkan orang-orang lain, bahkan diri sendiri, dengan alamat bertanda @. Tanpa fisik, hanya huruf-huruf visual dalam layar yang bercahaya. Ia bisa melihat dirinya sebagai adres dan kata-kata. Ia mulai berhubungan dengan lelaki itu lewat kawat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
elektronik sekitar satu tahun lalu. Waktu itu ada sebuah kasus penganiayaan di Bali oleh satu perusahaan asing dan sepucuk surat tiba-tiba masuk. Orang ini, Larung Lanang namanya, mengontaknya untuk advokasi luar negeri. Surat pertamanya bercerita tentang petani yang perutnya ditusuk dengan bayonet hingga terboyak, dan di bawah hujan gerimis yang menyapu sebagian darah ke dalam parit, nampak usus terburai, usus yang berwarna lemak, dan jika diperhatikan, perutnya tercabik ke lima arah seperti mahkota, dan hal-hal semacam ini membuatmu mengerti bahwa tubuh kita sesungguhnya terdiri dari serat dan warna-warni. Surat keduanya tentang seorang wartawan yang dianiaya tiga aparat di depan para wanita yang bertelanjang di antara buldozer dan kebun pisang demi mempertahankan tanah mereka. Wartawan itu, pelipisnya dipukul pentungan rotan hingga engsel kiri rahangnya dislokasi, dan sederet gigi terlepas dari rahang atas gigi seri, taring, dan graham kecil sehingga ia meminum begitu banyak darahnya sendiri. Merah dan asin yang keluar dari mulutnya sendiri. Ia juga tertelan pecahan akar graham, padahal premolar itu tidak berlubang dan gigi yang lain pun tidak berkarang. Gigi yang berwarna gading biasanya lebih kokoh ketimbang yang putih seperti porselin.
Ia memperkenalkan diri sebagai pemilik sekaligus pengel ola sebuah media turisme dwibahasa di Bali, BaliAge, yang dekat dengan kalangan wartawan independen, anakanak Aliansi Jurnalis Independen dan Forum Wartawan Surabaya. Ia juga menulis bahwa ia mendapatkan alamat
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
e-mail Saman, saman@hrw.org, dari Yasmin yang baik . Dan Yasmin yang baik dikenalnya lewat kawan-kawan wartawan serta, terutama, Cok. Dan Cok adalah teman cukup dekat dengannya sejak mereka bertemu dalam suatu upacara pembakaran jenazah lebih dari lima tahun lalu. Cok yang muncul di antara asap-asap mayat.
Meski latar belakang dan caranya memperkenalkan diri agak ganjil, Saman merasa tak berhak curiga. Apalagi Yasm in selalu menganggap penting penyebaran informasi dan rekrutmen dari luar kalangan aktivis katanya, kita harus meluaskan gerakan, di kelas menengah yang apolitis: para turis, pebisnis kecil, karyawan. Lagipula, Larung tidak ambisius, dan kerjanya cepat. Dan manaj emen keuanga nnya bagus. Jarang ada aktivis yang menghargai duit. Meskipun, memang, sebagai pribadi menurut Cok ada yang misterius pada dia. Kadang dia ekstrovert, kadang introvert, tulis Yasmin. Ah, tapi kamu tahu Cok. Semua laki-laki yang belum tidur dengannya dia bilang misterius. Habis have sex, misterinya hilang.
Saman mengalah. Ia memang tidak sedang menentang itu. Yasmin dan kawan-kawan di Indonesia tentunya matang memb edakan mana intel mana bukan. Mereka telah terbiasa hidup dengan kehadiran informan militer yang berpakaian lusuh maupun necis. Dan intel inside telah menjadi anekdot dalam hampir tiap pertemuan. Meski demikian, Saman agak heran ketika dua bulan setel ah perkenalannya, Larung telah memperoleh alamat di @ kom odo, sebuah jaringan yang tertutup, di mana pesan-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
pesan dienkrip, sehingga hanya bisa dibuka oleh alamatalamat yang didaftarkan, agar informasi yang dikirim tak bisa disadap saat melalui penyelenggara. Mereka yang di Indonesia membikin program ini dua tahun lalu, meski tak mend aftarkannya di dalam negeri, tak lama setelah ia melarikan diri. Yasmin dan Saman memiliki alamat di sana. Ia sempat berpikir, apakah menyertakan Larung bukan keputusan tergesa-gesa. Tapi, tentunya lelaki yang tak pernah dilihatnya itu seorang yang berdedikasi dan cakap organisasi sehingga ia segera mendapat kepercayaan teman-temannya. Semenjak itu, peran Larung dalam lingkaran itu semakin besar. Semua berjalan beres. Saman lega dengan hal itu. Kadang ia kepingin bertemu.
Kali ini suratnya datang, larung@komodo, di dereta n hampir terakhir. Bertajuk pendek: Percetakan-11. Ini suratnya yang keseb el as tentang perkembangan percetaka n bawah tanah, sebuah proyek rahasia yang juga melibatkan mereka bertiga. Proyek yang dipakai Yasmin sebag ai alasan pada diri sendiri untuk tinggal lebih lama ketimbang yang diperlukan, sebulan, di New York dan Washington DC. Ia, rupanya, amat menginginkan Saman. Larung mendapat peran utama dalam pekerjaan ini: membangun dan mengelola gedung yang di dalamnya akan terdapat mesin cetak bekas dari RRC. Ia berpengalaman bekerja dengan percetakan kecil untuk jurnal pariwisata. Ia bisa memakai bisnis itu untuk kamuflase. Yasmin dan Saman masuk dalam tim yang bekerja untuk pend anaan dan membikin jaringan. Setelah rencana itu berjalan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
hampir empat bulan, kini dana sudah turun dari sebuah sumber rahasia (barangkali beberapa sumber, ia tak perlu tahu), lokasi sudah tersedia, tim yang akan mengerjakan sudah siap. Pemb angunan akan dimulai bulan Agustus, artin ya pekan depan. Surat itu ditutup dengan paragraf singkat bahwa jaringan distribusi, terutama di luar Jawa, masih lemah. Pengiriman materi melalui jalur lalu lintas lebih riskan dan mudah dirazia. Kita masih perlu selusin PC dan printer. Dengan demikian, publikasi sederhana bis a dicetak di daerah-daerah. Bagaimana kabar dari Free World Forum tentang dana untuk ini"
Di sini Saman mengeluh. Ia buang nafas rokoknya ke jendela yang terbuka, menerbangkan perkutut yang semula diam pada tonjolan ventilasi.
Perempuan hitam itu masih di jendela seberang, sedang mencintai tanaman dengan semprotan dan pandangan lembut. Saman menyapa: bunga yang manis, ketika mata mer eka bert atapan dan si wanita menjawab: terima kasih.
Tetapi ia mengeluh. Dan dalam hatinya ia marah. Proposal yang ia kerjakan bersama Yasmin mereka menyeb utnya Alternative Media Network, yang bertujuan memb angun jaringan inform asi dengan perangkat berupa komputer dan printer di banyak kota ditolak oleh The Free World Forum. Ia telah tiga kali bertemu dengan Greg Thomson, salah satu direktur di sana, untuk membicarakan pentingnya program itu, tetapi dua hari yang lalu ia mendapat jawaban tidak. Ia merasa dikhianati. Seb el umnya, ia cukup dekat dengan Greg. Tahun lalu,
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Greg mem intanya menjadi pengantar dan penerjemah untuk seorang wartawan Indonesia yang mendapat Award on Courage. Upacaranya membuat mereka harus mengunjungi Los Angeles, California, Washington DC, New York dalam perjalanan sepekan yang melelahkan. Mereka harus berbicara dari satu ke lain pesta koktail yang mewah, untuk kemudian menyadari bahwa tiket acara itu dijual dan lembaga itu mendapat sponsor karena orang-orang seperti mereka.
Organisasi ini, tulisnya kemudian, tidak punya 15.000 dolar untuk 15 set komputer untuk 15 kota di Indonesia untuk progam 5 tahun. Sementara mereka memb ikin pesta megah, dan membawa orang dunia ketiga yang direpresi pemerintahnya sebagai tontonan. Semacam bukt i kegiatan sosial. Dengan begitu mereka mendapat dana. Bulan lalu, mereka bikin seminar pers di Hongkong den gan fasilitas kelas bisnis. Ternyata, tujuh puluh lima persen pesertanya adalah orang-orang dari bisnis media yang mend anai organisasi itu. Sebagian perusahaan itu rupanya tidak memberi donasi karena prihatin terhadap demokrasi di negara berkembang, melainkan karena ada fasilitas keringanan pajak bagi yang menyumbang badan filantropi. Dan mereka ingin menikmatinya sendiri dalam traveling mewah. Mereka telah membikin kita bekerja tetapi mereka tidak mau bekerja untuk kita. The Free World Forum adalah organisasi yang tengik!
Dengan kesal ia melempar rokoknya ke luar begitu saja. Dari jendela lantai empat, batang itu jatuh, melayanglayang bersama serpih-serpih abu yang bertaburan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Man, you re not gonna do that again!
Perempuan itu masih di jendela, menggelengkan kepala.
Saman meminta maaf. Juga bersyukur bahwa satusatunya yang lewat di jalan di bawahnya hanyalah seseorang dengan helm dan sepatu roda yang kencang. Lalu ia menulis kembali. Apakah Yasmin belum menceritakan ini padamu, Bung" Dia bilang, untuk mengantisipasi, dia sedang menghubungi Akiko dan Natsuko (kamu kenal mereka") untuk mengumpulkan komputer bekas di Jepang. Problemnya: huruf mereka lain.
Sebetulnya ia ingin bertanya apa kabar dengan Yasmin yang telah tiga hari tidak menulis pesan. Ia tak tahu apakah larung@komodo mengetahui hubungannya dengan Yasmin. Barangk ali ya, sebab surat-suratnya terlalu sering menyebut Yasmin yang baik . Barangkali Cok telah menggosipkan semua ini. Tak apa. Tapi betapa baginya semua orang di dalam internet hanya nampak sebagai alamat-alamat berhuruf @, tanpa sosok tanpa suara. Kecuali Yasmin.
Ketika itu komputer menyapa, memberitahu tentang surat yang baru datang. Dan ia agak terkejut. You have mail.
Ia segera mengirim pesan yang ditulisnya kepada larung@komodo.org, kemudian membuka kotak surat. Ada sebuah. Dari Yasmin. Ia tersenyum
Datang dengan alamat kantor, yasmin33@moningka. co.id. Bukan pesan rahasia:
Hai! Ini cerita dari Item di penjara Cirebon. Kamu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
katanya punya alamat e-mail baru. Saman@org.asm.crt. crt.
Saman tertawa. Ia gembira.
J akarta , 27 J uli 1996 P eristiwa 27 J uli Siaran Pers (disusun oleh Institut Informasi Indep enden, pukul 21.30)
Setelah lebih dari satu bulan para banteng pro Megawati bertahan di kantor DPP PDI jalan Diponegoro 58 dan menggelar mimbar bebas, pasukan rezim Orde Baru akhirnya menyerbu.
Kronologi 27 Juli, Sabtu pagi, sekitar pukul 6.00, sembilan truk serupa kendaraan sampah berwarna kuning berhenti di muka markas PDI dan menurunkan ratusan pemuda. Mereka mengenakan kaos merah bertuliskan Pendukung Kongres IV Medan kongres yang menolak Megawati dan mengangkat Soerjadi sebagai ketua umum partai dengan membawa batu serta pentung kayu sepanjang satu meter. Sebagian dari mereka berambut cepak dan berbadan tegap. Mereka langsung melempari kantor dan menyerang, sambil menc aci-maki Megawati dan pendukungnya.
Beberapa saksi mata mengatakan, Komandan Kodim Jakarta Pusat Letkol. Zul Effendi terlihat berada di sana dan ikut mengatur menit-menit awal penyerbuan.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Sepuluh menit kemudian sekitar 500 personil pasukan anti huru-hara berseragam lengkap telah tiba. Kapolres Jakarta Pusat Letkol. Abu Bakar bersama mereka. Pasukan membagi diri menjadi dua kelompok, dan menutup lokasi kejadian di ruas Megaria dan jalan Surabaya. Akibatnya, pendukung Mega dari luar lokasi tak bisa memberi bantuan. Di lokasi, penyerangan terhadap markas PDI terus berlangsung. Setelah lebih kurang sepuluh menit dua panser AD ditempatkan di bawah jembatan layang kereta api.
Sekitar pukul 7.30 Letkol Abu Bakar berunding dengan Megawati melalui telepon agar pendukungnya mengosongkan kantor. Perundingan macet karena Kapolr es tidak setuju jika Megawati datang ke lokasi. Sementara itu, pendukung Mega yang masih berada di dalam gedung menyanyikan lagu-lagu perjuangan.
Sekitar pukul 8.30 Dandim Jakpus Letkol. Zul Efendi kembali memerintahkan pasukan untuk menyerang. Saksi mata mengatak an, ia terlihat memberi semangat pada orang-orang berkaos merah untuk melempar, sementara polisi anti huru-hara memasok batu. Akhirnya mereka berh asil mendobrak pagar dan mengobrak-abrik kantor PDI. Satgas pro Mega digiring ke truk aparat dan yang luka ditandu ke ambulans polisi. Dari sana tidak ada laporan ke mana mereka dibawa. Hingga siaran ini diturunkan belum ada konfirmasi bahwa RSCM maupun RS St.Carolus menerima korban. Kedua rumah sakit itu berada dalam radius satu kilometer dari tempat kejadian.
Pukul 11.00-14.00 p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Berita tentang penyerbuan telah beredar ke perkampungan sekitar sejak pagi. Massa yang marah dan yang ingin menonton membengkak di sekitar Megaria. Para pendukung Mega mengadak an mimbar bebas dan mencoba berunding dengan aparat untuk diperbolehkan melihat apa yang terjadi di kantor mereka. Suasana memanas.
Sekitar pukul 14.30 aparat membubarkan massa dengan pentung rotan. Massa melawan dengan lemparan batu. Terjadi perang antara massa dan petugas. Orang banyak yang marah membakar tiga bus di Salemba. Pukul 15.00 20.30
Terjadi bola salju massa ke arah timur. Di jalan Salemba, Kramat, dan Proklamasi beberapa gedung milik pem erintah serta swasta dibakar. Masing-masing adal ah Gedung Persit Chandra Kirana, Ditjen Perikanan, Bank Swansarindo, Wisma Honda, Show Room Toyota, Bank Mayapada, Gedung Darmex, Gedung BDN, gedung milik Pertamina, serta beberapa deret ruko. Massa juga menghentikan kereta api di Jalan Pramuka dan membakar dua mobil. Tapi massa menurut ketika beberapa aktivis mencegah mereka membakar Perpustakaan Nasional.
Pasukan Kostrad dan Marinir didatangkan ke Jalan Kramat. Tidak ada bentrokan antara massa dan anggota Marinir yang bersikap lebih simpatik.
Kerugian akibat kerusuhan ini diperkirakan mencapai seratus milyar rupiah. Namun, korban luka dan tewas belum dapat diperkirakan. Ini karena aparat memblokade lokasi. Jakarta dic ekam ketakutan hingga malam ini. Ada ancaman pemberlakuan jam malam.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Latar belakang Meskipun para penyerbu kantor DPP PDI menggunakan atribut partai, nyata indikasi keterlibatan aparat militer Orde Baru di sini. Nama Megawati Sukarnoputri mulai muncul sebagai simbol perlawanan terhadap Suharto sejak ia secara de facto menjadi ketua umum partai dalam musyawarah nasional luar biasa di Surabaya, yang disahkan Kongres III di Kemang, Jakarta, tahun 1993. Sejak itu wanita pendiam ini berpotensi menjadi ancaman bagi Suharto dalam Pemilu 1997 mendatang. Pemerintah Suharto mencoba menjatuhkan putri presiden pertama itu dengan merekay asa perlawanan dari dalam yang berpuncak pada Kongres IV di Medan pertengahan Juni 1996 lalu. Kongres ini mengangkat kader jenggot Soerjadi menjadi ketua umum partai. Namun, banteng pro Mega yang lebih besar jumlahnya menggelar aksi ribuan orang di Jakarta dan mempertahankan kantor di jalan Diponegoro, persis ketika kongres berlangsung. Sejak itu gedung tersebut menjadi pusat aksi dan orasi melawan Orde Baru. Tanggal 25 Juli Presiden Suharto menerima Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI di istana. Tanggal 27 pasukan yang mengatasnamakan pendukung Soerjadi melancarkan penyerbuan yang mengakibatkan kerusuhan.
N ew Y ork . 26 J uli 1996
Ia menerima berita itu bersama suara xylofon. Nyanyian timur Eropa, barangkali Katchusha, barangkali lagu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
rakyat Yahudi. Di stasiun Grand Central yang direnovasi ia membeli kasetnya dari kotak sumbangan lelaki pengam en Yunani yang main dekat lorong Green Line. Sebetulnya ia tak begitu peduli musik. Tetapi di labirin subway orangorang lalu lalang, sebagian terburu-buru, sebagian terharu dan berhenti untuk memandang pemusik yang seperti sendiri, datang dari sejarah yang usang. Tak ada yang mem inta ia bernyanyi, bahkan berbunyi, tak ada yang mengharuskan siapap un mendengarkan. Tetapi musik barangkali adalah sebuah sapaan yang tak menggunakan kata-kata, gaung yang mempert autkan manusia dengan manus ia lain dalam keterasingan. Ada rasa sendu yang dibangkitkan sehingga lelaki itu menyetop langkah, melihat permainan, sesaat mata mereka bertatapan seperti saling memberi penghargaan, ia tak ingin kehilangan mom en itu, lalu menjumput kartu nama dari boks dan memb eli kasetnya, sepuluh dolar, kemudian pergi. Tidak seperti sebuah berita, yang sepenuhnya kata-kata yang memaksa.
Ia mendengar suara Yasmin dari mesin penjawab, seperti mendesak. Kamu ke mana" Saya telepon ke kantormu nggak ada yang jawab.
Ini Jumat. Hari yang sebentar. Orang-orang pulang lebih awal. Ia hendak membaca berkas-berkas di rumah. Mesin penjawab memotong pesan Yasmin di tengahtengah. Maka ia membuka e-mail dan menerima tiga pesan mengenai peristiwa yang sama. Lalu surat-surat lain masuk, satu per satu, tentang kejadian itu. Ia, juga semua yang menyisakan perhatian pada jalan Diponegoro, tahu bahwa hari-hari belakangan ini menegangkan. Ketika
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kepastian itu akhirnya datang pertama kali lewat berita Yasmin, ia merasa seperti selesai menanti persalinan yang matang, bayi lahir, serta bahaya kematian. Satu hal yang membuatnya lega, Yasmin tidak apa-apa meskipun sore itu ia datang juga ke LBH.
Saman berangkat tidur dini hari. Tubuhnya berkeringat. Gerah yang subyektif, gumamnya sendiri. Sumuk dari dalam badan, tidak obyektif. Udara terasa terlalu panas sehinga ia menyalakan AC meski sesungguhnya tak suka dingin buatan. Lalu sejuk mengalir ke dalam lengan bajunya, menyusuri tangannya yang terjulur. Nah, gumamnya sendiri, adakah sesuatu yang murni subyektif kalau begini, jika benda asing seperti AC ini ternyata sanggup mendingink an badanku" Tapi ia lelah. Sejak sore dan hampir sepanjang malam ia mengontak ke sana ke mari, menyiapkan laporan tentang perkembangan terakhir, terutama karena dirinya dan Indonesia berjarak 12 jam. Ini adalah kerusuhan terbesar di Jakarta setelah Peristiwa Malari tahun 1974. Ini adalah bentrokan termassal di sana setelah demonstrasi terhadap pembredelan Juni 1994. Tetapi ia bersyukur dengan heran bahwa kemarahan massa kali ini tidak rasialis seperti peristiwa Medan bulan April 1994 yang telah mendamparkannya di sini. Di kantornya di Manhattan dan di rumahnya di Brooklyn, kini. Lalu badannya berbaring penat, tetapi di ranjang pikirannya berlompatan, seperti percik-percik listrik dalam sebuah korslet yang panjang.
Lalu tiba saatnya ketika bunga-bunga api itu semakin tak beraturan. Bertubrukan satu sama lain dalam imaji-
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
imaji yang aneh. Ia melihat orang-orang mengecat langit, sebuah kubah raksasa yang penuh rasi bintang, langit yang hijau oleh cahaya. Ia tengadah di kolongnya yang datar dan tak berwarna, dan menjadi takjub sebab ia mampu mengenali konstelasi zodiak yang cerlang, seperti melihat gambarnya dalam buku ramalan. Begitu gampang dan berbentuk, seperti perempuan, lelaki, dan binatang. Awan amat tipis, tetapi setitik hujan jatuh di alisnya yang mulai panjang. Seorang pengamen bernyanyi dengan angklung dari tabung logam yang mengkilat dan berdengung. Ia berpakaian Yunani dan berpantat Turki, dan membawakan balada dewi India yang menangis karena para dewa memaku rambutnya pada langit langit. Saman tersadar bahwa hujan yang menetes adalah air mata. Dan ia melihat Yasmin tersangkut di atas, kelopaknya basah seperti bunga pagi hari. Orang-orang yang tadi mengecat kini memasang peniti di tepi gaun kekasihnya pada lengkung langit. Ujung-ujung rambutn ya yang coklathitam menjadi terang karena sinar yang menemb us. Indah laksana seorang santa yang berduka dengan cahaya halo di kepalanya. Air matanya sekali lagi jatuh. Saman menjerit: Ibu! Ibu! Lamasabachtani" Ia berlari meniti panjat rangka-rangka baja yang menjulang, ke tempat orang-orang merapikan cat dan peniti dengan kuas dan kaleng. Tetapi seorang perempuan hitam dengan topi berbunga begonia menarik-narik pantalonnya sehingga ia tertahan di anak bungsu tangga. Panik dan jengkel, ia bertanya: Aduh! Kenapa, sih" Mau apa"
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Do you have time, Mister" kata perempuan itu mengambil pergelangan tangannya.
Ia melihat jarum arloji. Ya, Tuhan! Ini sudah pukul
27. Pukul 27 Juli. Hahaha. Orang-orang ketawa, lalu berkata: Ini kan stasiun Grand Central, Bung. Kubahnya sedang direkonstruks i seperti planetarium.
Ia bertanya: Tapi kenapa mereka menjahit pacarku di langit-langit"
Mereka menjawab: Itu" Itu cuma papan iklan Garuda Indonesian Airways.
Ia mau membantah tidak mungkin , tetapi diperhatikann ya bahwa gadis yang tersangkut di awan itu hanya dua dimensi. Ia tertegun sebentar. Lalu mana Yasmin yang sebenarnya" Mana Yasmin" Mana Yasmiiin"! Ia mulai menangis seperti bocah yang kehilangan kucing dalam hujan, dan mengguncang-guncang bahu pria yang tadi bicara, si pemusik, sehingga angklung logamnya bergaung-gaung.
Tetapi orang banyak menjadi marah karena tingkahnya yang reseh. Mereka merubung dan mengepung dengan tanda tanya berbentuk pentung.
Yasmin siapa" kata mereka. Yasmin siapa" Yasmin@ moningka atau Yasmin@komodo" You tahu bagaimana membaca @ " He, Goblok! You! You tahu apa itu @ " @ njing" @su"
Mereka mulai menampar dan meludahinya. Namun rasa sakit dan penghinaan tidak menghapus cemasnya dan ia tetap memanggil-manggil nama kekasihnya. Perilaku
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
itu semakin membikin marah kerumunan, dan sebentar kemudian ia tak lagi bisa membedakan pria dan wanita, sebab orang-orang itu telah membagi-bagikan di antara mereka seragam Ku Klux Klan lalu mengenakannya, jubah dan tudung kerucut, ada yang putih ada yang hitam, dengan sedikit keliman biru serta bendera daerah Selatan, barangkali Georgia, yang hanya menyisakan lubang mata untuk memeriksa warna tubuhnya, dan lubang mulut untuk mengutuki dia.
Langit menjadi gelap di luar kesadarannya. Mereka menggiring tangan dan kakinya yang terikat oleh rantai, dan menyalakan di tengah pepohonan sebuah salib besar dengan obor, sambil bersyahadat: Kristus berambut pirang dan bermata biru! Seperti kobaran api.
Gantung dia, kulit coklat yang mau menjadi gembala bangsa putih!
Gantung pemerkosa! Gantung pemerkosa! Ia merasa sedih sebab akan berpisah sementara ia belum mendapatkan kekasihnya. Mana Yasmin hanya itu yang ia ucapk an berulang-ulang, ketika orang-orang melingkarkan tambang yang akan menjerat lehernya pada batang oak begitu Cadillac itu dijalankan. Ia merasa begitu lemas sehingga tak sanggup menamb ahk an tanda tanya di belakang kalimatnya.
Kamu mencari Yasmin" seseorang mencemooh. Tuh! Dia ada di mulut komodo! kata pria itu sambil membuka kain hitam yang membekap matanya. Seekor gagak hinggap pada perigi, terus menerus. Maka Saman melihat, agak jauh di balik bayang jajaran pohon, di
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
tengah danau yang memantulkan api ada sebuah pulau dengan binatang-binatang ankilosaurus. Sepasang tungkai Yasmin tersisa, lemas, sedikit kotor oleh darah, menyembul dari moncong seekor komodo besar. Sepatunya lepas. Lelaki itu menangis dengan air mata yang mengalir, sebab tak ada apapun yang sepadan dengan sesal dan kepedihannya. Dan ia mengerti bahwa monster yang memakan kekasihnya adalah larung@komodo.
Mimpi itu ditutup dengan sebersit kesadaran yang pahit: Oh, ternyata Larung itu komodo.
N ew Y ork , 5 A gustus 1996
Aneh. Bagaimana mimpi bisa meninggalkan kecemasan. Ia menulis pada Yasmin. Bukan cuma perasaan yang subyektif, melainkan jejak fisik dari sesuatu yang maya.
Kamu harus baca tafsir mimpi Freud tulis Yasmin. Lalu wanita itu agak menggurui tentang endapan bawah sadar yang terangkat untuk menjalin cerita dalam tidur (meski ia tak mengaku bahwa ketertarikannya pada lelaki itu berawal dari mimpi erotis yang datang tiba-tiba, di suatu malam, dan meningg alkan rasa haus). Saman bukan Shakuntala. Ia tidak menjadi tak sabar mendengarkan analisa yang ia telah lama tahu. Ia mencintai Yasmin. Baginya perempuan itu tidak memiliki kekurangan. Juga meski dia telah bersuami. Ia ingin mengatakan, betapa ia
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menyay angi kekasihnya dan begitu kehilangan dan cem as sehingga dorongan dan ingatannya merajut mimpi yang seperti itu. Ia terbangun dengan air mata mengalir ke dekik hidung. Mimpi membolehkan laki-laki menangis.
Ini sudah hari kesepuluh sejak penyerbuan, juga sejak mimpi itu. Namun ini akan menjadi alasan pertemuannya dengan Larung. Surat Yasmin datang:
Sayang, kami menyembunyikan tiga aktivis yang sedang diburu militer. Mereka dituduh mendalangi kerusuhan 27 Juli, bersama PRD. Mereka dijerat pasal subversi.
Saman membaca lanjutannya dengan sedikit cemas. Mereka adalah anggota Solidarlit (Solidaritas pada Wong Alit). Mereka memperjuangkan buruh dan pembantu rumah tangga. Saya simpati, sebab tak banyak yang memperhatikan pembantu. Sesungguhnya mereka tidak berhubungan dengan PRD, selain beberapa aktivisnya pernah demo bersama-sama di Surabaya tanggal 8 Juli, aksi buruh yang menyebabkan Dita Indah Sari dan Coen Husain Pontoh ditangkap.
Solidarlit berbasis di Surabaya dan Denpasar. Pemimpinnya tiga serangkai. Yang pertama adalah anak Bali yang kuliah di Universitas Airlangga. Anak ini nome de guerre-nya Wayan Togog. Nama aslinya Ketut Alit Kertapati. Ia memilih nama Togog sebagai lawan dari Semar, sebab menurut dia Semar telah menjadi representasi Orde Baru. Dia adalah anak pertama yang kami
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
sembunyikan. Yang kedua dipanggil Bilung, anak Kediri. Yang ketiga anak Batak. Ia menjuluki dirinya Koba. (Tahukah kamu, Koba adalah nama lain Stalin")
Wayan Togog, Bilung, dan Koba ada di Jakarta bulan Juli lalu. Dan seperti Budiman Sudjatmiko serta yang lain, mereka juga terpanggil untuk berbicara di mimbar bebas jalan Diponegoro, di depan kantor PDI, saling memperkuat antara orang-orang yang melawan Suharto. Di situlah intel-intel mencatat dan merekam wajah mereka. Setelah kerusuhan 27 Juli, begitu pemerintah dan militer menjadikan PRD sebagai kambing hitam utama, Solidarlit ikut terseret. Kini, para aktivis PRD maupun Solidarlit dalam persembunyian. Saya tidak tahu di mana Budiman dan kawan-kawan, tapi anak-anak Solidarlit ada pada kami.
Kami menganggap keadaan makin berbahaya bagi mereka. BIA melancarkan operasi intelejen murahan dengan memberi bocoran kepada beberapa pemimpin redaksi yang dekat dengan ABRI. Kamu tahu, apapun yang datang dari BIA akan segera dilalap oleh media massa seolah-olah informasi kelas satu. Disinformasi ini berisi jaringan neo-komunis di Indonesia yang berada di bawah jaringan komunis internasional yang berpusat di Paris. Nama saudara kandung Aidit disebut-sebut (meski dengan ejaan yang salah). PRD dan Solidarlit digambarkan berada di bawah garis komando komun is internasional itu.
Tentu saja ini fitnah untuk membangun opini publik. Pers oalann ya, militer kita tidak pernah harus
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
membuktikan teorinya. Militer kita akan mewujudkan teori itu dengan penculikan dan penyiksaan. Kini, mereka juga telah mengeluarkan perintah temb ak di tempat.
Ini amat menakutkan kami. Ada beberapa aktivis yang telah menghilang. Barangkali ditangkap dan dipaksa memberi petunjuk. Tapi, barangkali sebagian mereka memang informan.
Saman, Kami memutuskan untuk melarikan Wayan Togog, Bilung, dan Koba ke luar Indonesia secepatnya. Semakin lama mereka di sini semakin besar kemungkinan mereka tertangkap. Kami telah meranc ang perjalanan. Kami perlu satu orang yang sudah berada di luar negeri. Barangkali kamu bersedia. Perjalanan di dalam negeri akan dikerjakan oleh Larung.
Kalau kamu bersedia, rencana perjalanan akan segera kukirim.
Cintaku padamu semakin dalam di saat-saat seperti
ini, NB: tahukah kamu" Di penjara Dita dan tahanan wanita lain tidak boleh menggunakan softeks. Kata sipir, banyak narapidana yang membuang softeks ke WC sehingga tersumbat. Kini mereka harus pakai duk kain. Tapi kamu tidak tahu bagaimana repotnya mencuci duk kain. Kamu nggak pernah mens. Tanya saja ibu kamu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
L elaki itu ibunya sudah lama meninggal. Barangkali Yasmin lupa. Tapi tidak. Ibunya masih terus hidup dalam ingatannya, seperti dongeng malamnya tentang gagak yang tak berhenti hinggap pada perigi. Dan apakah yang membangun pengalaman manusia jika bukan ingatan" Ia tak pernah membawa fotonya ke manapun, sebab mem ori itu begitu jelas. Ibunya selalu cantik. Bahkan pada hari kematiannya. Meskipun seluruh rambutnya telah gugur dan tubuhnya menjadi amat kurus setelah proses kemoterapi atas kanker rahimnya, wanita itu tetap cantik. Pada hari pemak amann ya, anak lelaki serta suamin ya mendandani jenazahnya meskipun hangat yang terakhir telah meninggalkan tubuh itu dua hari lalu; hanya formalin serta dingin es yang mengawetkan senyumnya. Mer eka tidak mungkin mengenakan padanya kebaya sebab kepalanya telah licin. Maka mereka menggauninya, putih, dan mengenakan dari dahinya kerudung, putih, dan pada jemarin ya rosario besar dari biji jali-jali, dan ia nampak seperti Maria Magdalena yang telah lama menjadi pertapa. Seperti ketika segala dosa telah ditebus. Ketika itu namanya masih Wisanggeni.
Tapi hari-hari belakangan ini begitu mudah ia bermimpi.
Dalam ambang tidur ia merasakan dengan saraf-saraf indra, pengalaman yang tidak koheren. Sebab ia bisa merasakan suatu beban dengan mulut dan tenggorokannya. Ia
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
seperti bisa menelan suatu massa yang memiliki luas dan berat, yang melampaui tubuhnya sejenis sensasi yang ia alami ketika sakit panas di masa kanak-kanak. Massa itu putih hitam dan melembung, ia seperti bisa melihatnya, terus melembung seperti menantang batas, dan ketika batas itu tiba, benda itu tidak meletus, melainkan pemuda itu terbangun. Gelisah dan berkeringat. Kini ia semakin kerap menga laminya.
Ketika Yasmin baru saja meninggalkannya, ia berulang kali mencapai ambang tidur dan merasa bahwa Yasmin berbaring di sisinya, dan ia bisa menyentuh rambutnya yang terurai pada bantal. Kadang ia terbangun dan kecewa. Kadang ia tertidur kembali dan terseret dalam sebuah kesadaran, mimpi barangkali, yang memb uatn ya tak bisa membedakan Yasmin dan ibunya sendiri.
Ia teringat, atau barangkali bukan teringat, sebuah sumur di belakang rumah. Tempat ia membayangkan bur ung gagak yang tak bisa berhenti hinggap. Jika ia men atap ke permukaan airnya, jauh di bawah, ia tahu bahwa tak hanya suara yang memantul. Tetapi juga wajah. Wajah berulang pada relung-relungnya yang panjang. Seperti gema yang habis di kejauhan. Dan burung gagak yang haus itu, barangkali, ya, barangkali, tak berhenti hingg ap pada perigi sebab ia selalu melihat wajahnya berulang di sana.
Lalu ibunya datang dari sisi yang berlawanan. Ia dengar langkah dan bayangnya di antara warna hijau, ia bertanya:
Ibu, apakah burung itu tak berhenti hinggap karena rindu pada rupanya sendiri" Atau sebaliknya, ia takut
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
melihat wajahnya di sana"
Wanita itu menggeleng. Ibu pun tak tahu. Ia agak marah. Ibu yang memulai cerita ini. (Ibu selalu menceritakannya sambil mengusap perutku.)
Memang. Tapi haruskah aku mengakhiri" Aku kecewa, Ibu. Aku kepingin ending.
Di tempat ini, kata ibunya kemudian, cerita berulang seperti pantulan dari dalam sumur.
Mereka diam. Lalu ia pun tahu bahwa wanita itu mempunyai kekasih selain dia. Dari wajahnya ia tahu. Wanita itu tak ingin berbohong, namun juga tak ingin mengucapkannya. Ia takut pada kata-kata. Sebab kata-kata mengabadikan. Tetapi matanya yang sedih telah jujur (meski ia berharap kejujuran itu tak abadi). Lelaki itu menelan cemburu di pangkal tenggorok, bahwa ia bukan satu-satunya. Ia berkata pada diri sendiri: terlahir sebagai anak sulung, aku tahu rasanya dikhianati sejak amat muda.
Ibu melahirkan adik-adik, yang tak pernah kulihat. Ia mengand ung mereka dengan tubuhnya dan mencintai dengan kegemb iraan yang tulus: adik-adikku yang tak pernah kulihat dan tak pernah terlihat orang. Tak bisa disentuh, tapi aku bisa merasak annya. Aku tak tahu apakah harus aku mencintai mereka atau membenci, sebab ibuku berkhianat dan menyukai mereka. Tapi pada usia mula, kau tahu, bahwa kita tak punya siapa-siapa lagi. Bisakah aku membenci Ibu"
Aku tahu, ia pergi ke dalam hutan di belakang perigi.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Ia tidak sembunyi-sembunyi, namun tak seorang pun sungg uh mengerti apakah ia benar-benar ke sana. Tapi aku tahu dengan indraku yang halus. Ia pun tahu bahwa aku tahu; aku mewarisi kepekaan ini darinya. Sebab di bagian terdalam hutan itu ada mata air yang kemriciknya tak terdengar sebab peri dan mambang yang menjag anya tak mau sumber itu diketahui orang. Di sana, di antara kem erlap air, ibuku bercengkrama dengan mereka, yang tak diketahui manusia. Ia bercanda dengan tawanya yang jujur. Barangkali juga bercinta. Dan membuat mereka bahagia. Hanya aku yang tahu jika ia sedang pergi. Dan aku tidak bisa bercerita kepada siapa-siapa, sebab aku tak ingin orang memb enc inya. Aku mencintainya.
Dan lihatlah, ia pulang dari dalam hutan ketika hari belum petang. Melalui sinar dari barat, kuning keemasan, yang menemb us renggang daun, juga menembus sosoknya yang berjalan tipis dan anggun, ia kembali kepada tubuhnya yang sedari tadi duduk menatapiku, di teras belakang, dalam termenung. Ketika itu aku sadar bahwa aku begitu menderita sebab aku begitu bahagia ketika mend apatkannya kembali sehingga tangisku mengalir, betap apun kecil. Tapi matanya menjadi sedih karena pengkhianatan.
Lelaki itu menutup matanya tetapi tidak tertidur. Di luar hujan musim panas bertabur, dan ia ada di ambang itu. Seorang perempuan terbaring di sebelah, ia merasa. Agak telungkup, agak miring. Sebagian rambutnya menutup set engah wajahnya. Ia ingin menjul urkan tangannya dan
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
merengkuh tubuh itu. Meraba hangatn ya dan merapatkan pada tubuhnya. Dan membisikkan namanya. Yasmin, aku tak pernah memiliki perempuan yang kucintai seorang diri. Tapi terlahir sebagai anak sulung, aku tahu rasanya dikhianati sejak amat muda.
Dalam kesadarannya yang lain, ia mengecup keningnya. Tetapi wanita itu sedingin batu parit gunung. Dan ia mendapatkan wajah ibunya seperti ketika hangat terakhir telah meninggalkan tubuhnya dua hari lalu. Hanya form alin serta suhu es yang mengawetkan senyumnya. Menyisakan harum jenazah dan himne requiem dalam cah aya kecil.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
S elat P hillip , 12 A gustus 1996
ukul 00.30 Lampu suar telah menjauh.
Saman hampir-hampir tak mendengar apapun selain bising mesin dan tamparan ombak. Ia dan Anson tidak saling bicara. Ia enggan berteriak. Seluruh perjalanan ini rahasia. Tubuhnya hanya merasa aman dengan suara volume rendah, tapi bisikan takkan terdengar di atas perahu motor yang melaju itu. Ia memilih diam, sebagaimana sebuah sikap menunda. Anson pun diam, memand ang ke arah depan. Saman hanya melihat sisi wajahnya yang rusak oleh luka bakar di masa lampau, matanya yang tak berfungsi. Ia tak bisa menangkap emosi apapun di sana. Adakah Anson berbagi kegelisahan dengannya ia tak tahu.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Perahu melambat. Tiba-tiba mesin berhenti. Bukan ganggang menyelip baling-baling. Saman yakin melihat Anson mematikan motornya. Ia merasa sesuatu tidak pada tempatnya.
Kenapa, Anson" Adik, orang yang selalu ia anggap adik, itu masih diam. Melihat ke beberapa penjuru.
Ada apa" Kita menunggu dulu di sini. Apa!
Nanti kujelaskan, Bang. Anson tidak menoleh kepada abangn ya. Ia tetap memandang ke tempat yang jauh.
Kini ia memadamkan lampu baterai yang menerangi sampan kayu bermotor 2 X 500 PK. Sepi mencapai puncaknya. Saman merasa sebagai sebuah noktah di tengah samudra yang tak berbatas dengan langit. Bunyi gelombang memberi tahu bahwa angin telah datang dari amat jauh, merambat pada permukaan laut yang tak tahu batas. Dingin, dan akan terus merayap sebagaimana telah berjuta-juta tahun. Saman merasa amat tidak enak. Ia mulai marah, tapi Anson memintanya bersabar. Mereka duduk, tero mbang-ambing, hampir setengah jam lamanya. Saman pun tahu, Anson mempunyai rencana di luar miliknya. Ia merasa dikhianati. Gila, tak mungkin adikku menyerahkan aku pada polisi air.
Lalu matanya, yang mulai terbiasa dengan malam, menyimak bayang-bayang di sekeliling mereka. Ada beberapa garis gelap yang naik turun di balik ombak. Ia menghitung dan mendapat lima. Saman menoleh pada
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
adiknya dan ia tahu Anson juga menyadari hal yang sama. Sikap diamnya membuat Saman yakin Anson telah menunggu gejala itu. Makin parah kecurigaannya.
Siapa mereka, Anson" tanyanya dengan suara agak berm usuhan.
Anson membungkuk, mengambil sesuatu dari bawah bangku. Ia menyerahkan sebilah badik pada abangnya dan menyelipkan satu di tali pinggangnya sendiri. Saman melihat di sisi lain sabuknya telah tergantung selincip belati.
Saman hampir tidak percaya. Setan. Siapa kau, Anson!
Abang, tenanglah. Nadanya seperti meminta maaf. Ia tahu bayang-bayang itu adalah perahu-perahu motor dan di dalamnya ada beberapa orang yang tak pernah ia kenal. Ia tak punya pilihan selain bersiaga, meski geram luar biasa. Ia tak tahu bagaimana ini akan berakhir. Ia tak tahu bagaimana ini akan bermula. Ia tak sempat berpikir.
Dari arah selatan ia lihat nyala sebuah kapal. Merah di kanan hijau di kiri sisi mereka. Kapal itu melaju ke dekat dan dalam beberapa saat akan membelah jalur mereka. Benda itu berlayar tanpa suara, peluitnya tak dibunyikan, tanda awaknya tak melihat kehadiran perahu-perahu kecil seperti sampan nelayan yang menghadang di jalan. Tiba-tiba Saman mendengar suara mesin dinyalakan dari salah satu perahu, memecah sunyi gelombang. Kemudian Anson juga menarik kabel hingga mesin itu menyala, berbarengan dengan perahu-perahu lain. Lalu keenamnya
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
berp encar mundur sambil terus menjaga jarak pandang. Perahu Anson dan dua lagi di tengah, tiga sisanya di lingkaran luar. Tak satu pun menyalakan lampu. Mesin dimatikan lagi.
Sepuluh menit kemudian kapal kargo itu memasuki jalur antara. Ketika lunas itu lewat di muka mereka, besar seperti ikan paus yang menuju perangkap, Saman menyadari bahwa Anson memasang topeng balaklava hitam, menutupi wajahnya yang tak akan dilupakan orang. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar. Mimpi buruknya datang kembali, tentang para algojo yang mengen ak an topeng Ku Klux Klan, tudung kerucut yang menyisakan mata, hanya mata, orang-orang yang melempar Yasmin sebagai makanan ankilosaurus dan menggantung dia di pohon oak. Suasana mencekam itu datang lagi. Tengkuknya menjadi dingin. Anson menoleh padanya dan celah mata itu semakin menakutkan dia. Ia ingin bilang, lepaskan sarung itu, Anson, tapi ia hanya terpana. Ia seperti terbangun ketika Anson melempar selembar sampur hit am padan ya namun ia tak mau mengenakannya. Aku bukan perompak. Ia seperti terlontar dari satu mimpi dan masuk ke mimpi buruk yang lain. Adiknya tak peduli. Dengan cekatan lelaki itu memutar ke arah kapal besar, merapatkan perahu pada dinding lambung. Sebuah perahu lain, sedikit lebih besar, berisi sejumlah orang, juga menempel di sisi yang sama, sedikit berjauhan.
Saman menyaksikan semua itu. Anson mengayunkan satang ke pagar geladak, kait di ujungnya pun tersangkut, dan sambungan galah sepanjang dua puluh meter itu
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
menghubungkan kapal dan perahu mereka. Ia meminta Saman menahan satang itu sebagaim ana seorang awak di perahu yang lain. Saman tak punya pilihan selain melakukannya. Ia menyerapahi keadaan itu. Lalu adiknya memanjat, memeriksa keadaan, lalu memberi tanda pada orang-orang di perahu lain. Mereka memasang tangga tali, lima orang merangkak naik dengan langkah-langkah lincah. Dua di antaranya memanggul senjata yang dalam gelap berbentuk seperti AKA. Mereka menghilang pada geladak.
Seketika Saman merasa begitu sunyi hingga ia bisa mendengar debur jantungnya sebelum bunyi ombak. Ia menatap ke atas, ke arah Anson dan lima anggota komplotan lenyap dari pandangan, namun hanya mend apati tiang-tiang pengajut yang menjulang ke arah langit yang seram, panji-panji dan bendera Thailand yang diam. Ia merasa terkutuk berada di antara gerombolan bajak laut. Ia menoleh dengan cemas ke arah laut lepas. Semakin gelisah ia melihat bayangan dua perahu yang berputar agak mendekat. Jika patroli armabar memergoki mereka ia akan tertangkap tangan sebagai penjahat kriminil. Barangk ali hukumannya tak seberapa dibanding pidana politik dan ia pernah disiksa oleh petugas rahasia. Ia tak terlalu takut dengan dirinya. Tapi itu berarti perj al anannya untuk melarikan tiga aktivis Solidarlit gagal. Seluruh rencana ini rusak dan ia lebih khawatir jika ketiga anak itu terjebak. Dua perahu yang menjaga jarak tidak menyalakan lampu. Mereka bukan patroli, mereka bagian dari persekongkolan ini.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Terasa sepi meski cahaya kapal cerlang di kegelapan
air. Terdengar tembakan dari arah buritan. Beberapa letusan. Saman begitu gundah, perhatiannya beralih-alih antara kapal muatan itu dan dua perahu perompak yang di seberang. Perahu motor itu mendekat. Tiba-tiba enam pria yang tadi memanjat telah meniti turun tangga tali dengan karung-karung di pundak. Anson melompat ke dalam perahu. Secara refleks Saman membantu. Anson mengemudikan perahunya ke sisi satu dari dua perahu yang tadi menjaga jarak dan memindahkan seluruh buntal jarahannya ke sana. Orang-orang itu mengenakan balaklava warna gelap, memp erl ihatkan hanya mata mereka yang sesekali berkilat oleh pant ulan cahaya kapal pada ombak. Sesaat Saman merasa menjadi pusat tatapan wajah-wajah yang tak nampak itu, sebab hanya ia satusatunya yang bermuka telanjang. Tapi segera mereka sibuk dengan hasil rompakan dan waktu yang semakin pendek untuk lari.
Semua motor bekerja penuh dan mereka berpencar. Menjauh. Menjadi garis-garis gelap. Lalu hilang di balik busur gelombang. Mereka tahu Kiso Maru 2 akan berlayar tanpa nakhoda hingga awak kapalnya berhasil melepaskan tali belenggu. Jika orang-orang itu terlalu lamban, kapal kargo itu akan melaju ke arah yang tak tentu, barangkali menabrak kapal penumpang yang berp apasan di perairan selat. Tapi mereka juga telah menembak seorang mualim, barangkali pada kakinya, barangkali bukan pada kakinya, melainkan kepalanya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
P ulau M apur Pukul 5:10 Biru mulai sedikit memperlihatkan daratan dan lautan. Serta kemerlip buih. Mereka telah berlayar jauh ke arah barat dari selat Phillip, ke batas laut Natuna. Dalam tiga puluh menit pagi akan tiba dan ia akan bisa melihat pucuk-pucuk nyiur dengan jelas. Ia telah mendengar suaranya, suara angin yang menghantar dia menuju daundaun kelapa di pulau kecil itu. Di muka ia mulai melihat, juga mendengar, ombak telah menghantam pasir, dan kembali. Tanda laut telah usai.
Mereka telah kembali diam. Ia telah teramat marah.
Tadi adiknya meminta maaf. Ini ujian ketigaku, Bang, agar aku bisa masuk ke dalam kelompok mereka, sahutnya dengan suara bersalah. Aku tak mau kehilangan kesempatan. Lagi pula, aku berani mengajak Abang karena ini belanjaan kecil. Kami cuma mengambil uang, sedikit barang. Tak mengambil kapalnya.
Abangnya melirik dia dengan mata gusar, lalu membuang wajah.
Lagi pula itu kapal Thailand, sambung Anson. Saman melirik padanya lagi. Kenapa dengan kapal Thailand"
Mereka merampok ikan kita dengan kapal pukat harimau. Mereka juga menembak nelayan dekat Bengkalis. Beberapa minggu lalu. Bahkan berlayar sampai Bangka. Mereka bukan orang-orang yang sama dengan yang
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kau rompak semalam. Barangkali kapten kapal Kiso Maru malah warga negara Jepang dan awaknya Filipina. Kau pura-pura tidak tahu. Tapi Saman tidak mengatakan itu. Sekali lagi ia memandang ke laut lepas di sebelah selatan, ke arah Indonesia, ke arah Sumatera, ke arah masa kecilnya tertambat. Selalu ada kegamangan jika ia berhadapan dengan Anson. Anson bin Argani yang dengannya ia bertemu dua belas tahun lalu di Sumatera Selatan. Mereka pernah tinggal bersama enam tahun lamanya, membikin rumah asap dan pengolahan lateks. Mak Argani menganggapnya anak sulung sendiri dan Saman sering lupa bahwa mereka tak sungguh sedarah. Pada tahun-tahun itu ah, sudah begitu lamanya ia masih seo rang pastor muda, namanya Wisanggeni, tapi perk enalannya dengan keluarga Argani membuat dia lebih suka menetap di perkebunan karet ketimbang melayani jemaat dalam liturgi dan konsultasi. Ketika itu ia merasa egois tapi ia juga tak kuasa menolak dorongan untuk selalu kembali ke perkebunan, kepada keluarga petani karet, kepada Upi yang ia sayangi dengan aneh, kepada pepohonan yang menyimpan rahasia tentang ibunya. Ibu. Ibuku yang cantik.
Dusun mereka diserbu oleh aparat yang bekerja untuk perus ah aa n besar sawit. Mereka ditangkap di tempat terpisah. Wisanggeni diculik dan lebih dulu berhasil memb ebaskan diri lalu mengganti identitasnya menjadi Saman, menanggalkan jubahnya. Anson dipenjarakan dan setahun kemudian kabur bersama beber apa narapidana satu sel. Dari merekalah ia belajar tentang hidup baru
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
yang akan ditempuhnya. Sejak itu Anson, petani karet yang dulu sederhana, mengembara dari satu ke lain temp at di Sumatera sebagai maling kayu, penebang liar, penyelundup, dan akhirnya bajak laut di perairan Riau dan selat Malaka.
Saman tahu, Anson tidak mempunyai pilihan sebanyak dirinya. Mereka berasal dari kelas yang berbeda. Bagiku keadilan adalah cita-cita. Tapi bagi Anson benda yang sama hanyalah impian, kemewahan yang terlampau jauh. Niscaya Anson punya keadilann ya sendiri di negeri di mana hukum tak penuh ada. Dan bukankah aku sendiri pernah melakukan yang mirip terhadap Rosano" Saman tahu, ia tak steril dari dendam dan kemarahan.
Tapi ia tetap tak bisa memaafkan kelancangan adiknya melibatk an dia dalam perompakan semalam. Seharusnya Anson tahu bahwa ia pun sedang dalam sebuah rencana rahasia. Betapa cerobohnya anak itu dengan mempertaruhkan aku dalam aksi bajak laut itu. Meskipun kini ia telah selamat.
Mereka diam dalam pikiran masing-masing.
Semakin dekat pulau itu semakin kemarahannya tertinggalkan di tengah laut. Pohon-pohon kelapa seperti dalam lagu masa kecil melambai berkerumun. Rumahrumah panggung kampung nelayan. Ia mulai berdebar den gan gairah yang telah lama hilang. Gairah yang merangsang mulas kecil di perutnya. Buih-buih seperti menyambut.
Anson melabuhkan perahu motor itu di dermaga
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
kurus yang menjulur tak terlalu panjang sebab pantai tak berkarang dan tak ada kapal besar yang mampir di sini. Saman segera melompat dari geladak, antara berjalan dan berlari sepanjang bilah-bilah kayu. Ia menahan gelora pada dadanya. Ia bersujud mencium pasir begitu tiba. Ia ingin menjerit tapi tak berani. Tuhan, ini tanahairku. Ia menyadari betapa kalimat yang kuno itu kini terasa begitu berarti. Ia ingin menitikkan air mata. Ketika meninggalkan Indonesia ia tak pernah tahu kapan bisa kembali. Dua tahun terasa begitu panjang, seolah dua langkah pertama dari perjalanan yang tak diketahui. Betapa aneh bahwa kita merasakan waktu berdasarkan perkiraan kita sekarang tentang yang akan datang. Tapi kini aku kembali. Ia telentang pada pasir yang memisahkan pantai dari daratan, laut di sisi kanannya, hutan kelapa di kirinya. Ia memandang ke atas dengan mata lebar, senyum lebar. Pucuk-pucuk yang begitu tinggi, yang menandakan bahwa pohon-pohon itu tumbuh liar. Pucuk-pucuk yang condong bersama-sama karena angin. Sebuah pucuk yang hangus tersambar petir, sebuah yang agak menyendiri. Desau laut tropis.
Pendekar Bloon 29 Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam The Chamber 1
^